Sistem penunjang keputusan manajemen rantai pasok...
Transcript of Sistem penunjang keputusan manajemen rantai pasok...
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. AGROINDUSTRI SUTERA ALAM
Sutra atau sutera merupakan serat protein alami yang dapat ditenun menjadi tekstil. Jenis
sutra yang paling umum adalah sutra dari kepompong yang dihasilkan larva ulat sutra murbei
(Bombyx mori) yang diternak (peternakan ulat itu disebut serikultur). Sutra bertekstur mulus,
lembut, namun tidak licin. Rupa berkilauan yang menjadi daya tarik sutra berasal dari struktur
seperti prisma segitiga dalam serat tersebut yang membolehkan kain sutra membiaskan cahaya
pada berbagai sudut (Atmosoedarjo 2000).
Peningkatan kualitas bibit sutera masih perlu dilaksanakan di Indonesia, terutama karena
bibit yang digunakan sekarang merupakan bibit dari daerah subtropik, yang biasa dipelihara pada
kondisi optimum. Untuk kondisi tropik, yang agroklimatnya berfluktuasi, kualitas daun rendah
dan kemampuan para pemelihara ulat terbatas, diperlukan jenis ulat yang lebih kuat. Menurut
Balasubramanian (1988), daerah tropik sebaiknya mempunyai ras ulat yang relatif tahan terhadap
iklim yang panas dan lembab. Sementara itu, menurut Kumar dan Yamamoto (1966), di Negara
yang mempunyai zona agroklimat yang bervariasi, pengembangan jenis yang spesifik terhadap
daerah dan musim benar-benar diperlukan.
Bibit ulat sutera berupa telur ulat sutera yang dikembangkan dari jenis bibit unggul yaitu
bivoltine. Pada saat sekarang telur diproduksi dan dikembangbiakkan oleh Perum Perhutani.
Pemeliharaan ulat sutera yang berlokasi di Candiroto, Jawa Tengan dan Sopeng, Sulawesi
Selatan, dengan produksi riil sebanyak 25.000 kota per tahun yang dapat menghasilkan kokon.
1. Pemeliharaan Ulat Sutera
Ulat sutera adalah serangga yang masuk ke dalam ordo Lepidoptera, yang mencakup
semua jenis kupu-kupu. Ulat sutera adalah serangga holometabola, yaitu serangga yang
mengalami metamorfosis sempurna. Hal ini berarti bahwa setiap generasi melewati empat
stadia, yaitu telur, larva, pupa, dan imago (kupu-kupu). Selama metamorfosis, stadia larva
adalah satu-satunya masa dimana ulat makan, merupakan massa yang sangat penting untuk
sintesis protein sutera dan pembentukan telur. Klasifikasi ulat sutera diperlihatkan pada
Tabel 2 (Atmosoedarjo et al. 2000).
Pemeliharaan ulat sutera sudah dimulai di Cina sejak berabad-abad yang lalu.
Leluhurnya adalah ulat sutera liar yaitu spesies Bombyx mandarina, yang ditemukan di
pohon murbei di Cina, Jepang, dan Negara Asia Timur lainnya.
Ulat sutera menurut daerah asalnya dibagi dalam empat ras, yaitu ras Jepang, ras
Cina, ras Eropa, dan ras Tropika. Jenis ulat sutera komersial yang biasa dipelihara di
Indonesia adalah bivoltine yang merupakan hasil persilangan ulat sutera ras Jepang dan ras
Cina.
5
Tabel 2. Klasifikasi ulat sutera
Sumber : Ryu (2000)
Ulat sutera termasuk serangga yang selama hidupnya mengalami metamorphosis
sempurna, dimulai dari telur, larva (ulat), pupa (kepompong), dan imago (kupu-kupu). Lama
periode hidup mulai dari saat lahir (telur menetas) sampai masa membuat kokon adalah
sekitar satu bulan, namun hal ini, sebenarnya bias berubah, dipengaruhi oleh iklim dan suhu
tempat pemeliharaan (Atmosoedarjo et al. 2000).
Menurut Ryu (2000), tahapan pemeliharaan ulat sutera adalah sebagai berikut :
a) Penanganan telur ulat sutera
Penanganan awal telur ulat sutera yang baru tiba dari produsen telur adalah
dengan melakukan inkubasi telur. Inkubasi telur adalah penempatan telur pada
suatu wadah yang disebut kotak penetasan telur dan diletakkan di dalam lemari
inkubasi dengan suhu optimum 25oC dan kelembapan 85%. Selama melakukan
inkubasi telur, ruangan dibuat menjadi gelap total. Hal ini dilakukan agar pada
saat penetasan telur didapatkan hasil yang merata.
b) Pemeliharaan ulat sutera kecil
Tahapan pemeliharaan ulat sutera kecil atau yang lebih dikenal dengan ulat
kecil, dimulai setelah proses hakitate dilakukan. Hakitate adalah pekerjaan
pemindahan ulat sutera yang baru menetas ke kotak pemeliharaan disertai dengan
pemberian pakan pertama kali. Pemeliharaan ulat kecil dilakukan dengan dilapisi
dan ditutupi oleh kertas paraffin. Larva yang baru menetas mengandung kadar air
yang rendah (75-78%) dan akan meningkat teratur hingga instar II (87%). Oleh
karena itu, diharapkan daun yang memiliki kandungan air yang tinggi dapat
diberikan untuk ulat instar I dan II. Instar adalah sebutan untuk siklus hidup ulat
sutera dimulai dari ulat bangun, makan, sampai tidur kembali. Satu instar biasanya
memakan waktu 4 hari, 3 hari ulat makan, dan 1 hari ulat tidur. Selama tidur, kulit
ulat akan mengelupas dan berganti dengan kulit baru. Kandungan air yang tinggi
pada tanaman murbei diperoleh pada daun bagian atas tanaman (4-7 daun dari
pucuk), sedangkan untuk pemberian pakan pada instar III adalah daun ke 8-11
dari pucuk tanaman murbei. Kondisi lingkungan yang optimum untuk
pemeliharaan ulat kecil adalah pada suhu 26-28oC dengan kelembapan 80-90%.
Pada umumnya daun murbei perlu diberikan empat kali sehari selama instar I, II,
dan III.
Klasifikasi Keterangan klasifikasi
Phyllum Arthropoda
Kelas Insecta
Ordo (bangsa) Lepidoptera
Family (suku) Bombycidae
Genus (marga) Bombyx
Spesies (jenis) Bombyx mori L
6
c) Distribusi ulat kecil
Pemeliharaan ulat kecil berakhir sampai dengan ulat instar III. Ulat
kemudian disalurkan pada saat tidur memasuki instar IV. Penyaluran ulat
sebaiknya dilakukan pada waktu pagi hari. Ulat didistribusikan pada kotak khusus
yang disebut boks pendistribusian ulat.
d) Pemeliharaan ulat sutera besar
Pemeliharaan ulat sutera besar dilakukan setelah proses distribusi ulat kecil
kepada petani. Kondisi lingkungan yang baik dalam pemeliharaan ulat sutera
besar adalah pada suhu 22-25oC dan kelembapan 70-75%, serta harus
mendapatkan cahaya dan aliran udara yang baik. Fase ulat besar mencakup instar
IV dan V. Akan tetapi, kedua instar ini fisiologi sangat berbeda. Karena pada
instar IV lebih dekat kepada fase ulat kecil, maka titik pemeliharaan harus
diitekankan pada pemeliharaan lingkungan yang bebas penyakit, dan cukup pakan
daun murbei segar dan bergizi tinggi sehingga ulat sutera akan tumbuh dengan
baik dan sehat.
Pada ulat sutera instar V, berat kelenjar suteranya bertambah dengan cepat
sampai 40% dari jumlah berat tubuhnya bahkan mungkin lebih. Ini merupakan
fase yang penting dalam produksi sutera. Keperluan pakan dalam fase ini hampir
90% dari jumlah keperluan semua fase pertumbuhan ulat. Ini adalah fase dimana
daun murbei harus dimanfatkan secara efisien dan tenaga kerja harus dihemat
untuk kegiatan panen daun dan pemberian pakan ulat. Pada umumnya daun
murbei perlu diberikan empat sampai enam kali sehari selama IV dan V.
e) Desinfektan tubuh ulat sutera
Desinfektan tubuh ulat sutera dilakukan untuk mengurangi adanya
kemungkinan tubuh ulat yang luka selama proses pergantian kulit. Desinfektan
tubuh ulat dilakukan dengan menggunakan kapur atau kaporit 5%. Desinfeksi
dilakukan dengan menggunakan ayakan plastik. Kapur atau kaporit 5% ditaburkan
merata di atas tubuh ulat. Desinfeksi dilakukan sembilan kali, yaitu pada saat
permulaan hakitate, sebelum dan sesudah pergantian kulit pada setiap fase
pertumbuhan ulat.
Pengokonan dan panen kokon merupakan tahapan terakhir dalam pemeliharaan ulat
sutera. Bila tahapan ini tidak dilaksanakan dengan baik, maka akan berpengaruh buruk pada
kualitas filamen kokon (Atmosoedarjo et al. 2000). Persiapan yang perlu dilakukan sebelum
pengokonan adalah dengan melakukan pencucian, pembersihan, dan desinfeksi terhadap alat
pengokon. Menurut bentuk dan strukturnya, alat/tempat pengokonan dapat diklasifikasikan
menjadi alat pengokonan berputar (rotary), alat pengokonan berombak, bambu spiral, sarang
plastik (seriframe), dan lain-lain. Material dan struktur tempat pengokonan sangat
berpengaruh terhadap kualitas kokon dan filamen, serta terhadap tenaga kerja untuk
membantu proses pengokonan dan panen kokon. Persyaratan utama untuk alat pengokonan
adalah harus kuat, struktur alat cocok untuk proses pengokonan, alat pengokonan harus
memberi kemudahan ulat dalam mengokon dan memberi kemudahan pekerja dalam
melakukan panen (Wibowo 1998).
Peletakkan ulat pada alat pengokonan harus dilakukan tepat waktu. Jika pengokonan
dilakukan pada saat belum dewasa atau sudah lewat matang, maka daya pintal (tingkat
7
kemudahan filamen kokon terurai pada saat pemintalan) menjadi kurang dan panjang
filamen yang didapat akan berkurang (Atmosoedarjo et al. 2000).
Kualitas kokon dipengaruhi oleh keadaan suhu, kelembapan, aliran udara, dan
intensitas cahaya dalam ruang pengokonan. Suhu ideal untuk pengokonan adalah 24oC
dengan kelembapan 60-90%. Sirkulasi udara di dalam ruang pengokonan harus diatur
dengan baik, oleh karena itu ruangan harus mempunyai jendela yang cukup. Kebutuhan
cahaya untuk proses pengokonan antara 10-20 lux (diibaratkan seperti keadaan cahaya
dibawah meja). Cahaya harus merata, karena bila cahaya hanya datang dari salah satu arah,
ulat akan mengokon di tempat yang lebih gelap dan mengumpul, sehingga akan banyak
terjadi kerusakan kokon (Departemen Kehutanan 2007).
Menurut Ryu (2000), waktu yang diperlukan ulat dari mulai mengokon sampai
menjadi pupa dipengaruhi oleh temperatur dan varietas ulat. Pada umumnya ulat selesai
membuat kokon dalam dua hari dan dua hari kemudian digunakan untuk merubah diri
menjadi pupa. Pupa yang mula-mula berwarna keputihan dan lunak dalam dua hari akan
berubah menjadi berwarna cokelat tua dan mengeras. Kokon akan dipanen pada hari keenam
dan ketujuh setelah mengokon. Standar mutu kokon kering dapat dilihat pada lampiran 4.
2. Agroindustri Benang Sutera
Proses produksi pada agroindustri benang sutera dibagi menjadi tiga, yaitu proses
produksi pembuatan benang mentah, proses produksi pembuatan benang matang, dan
pembuatan kain. Proses pembuatan benang sutera mentah secara singkat dijabarkan pada
Gambar 1.
Flossing adalah pembersihan kokon segar dari kapas-kapas yang melekat pada kulit
kokon. Kapas-kapas tersebut dinamakan flossom (Ryu 2000). Pengeringan (drying) kokon
bertujuan untuk mencegah berkembangnya pupa menjadi kupu-kupu dan untuk mengurangi
kandungan air di lapisan sutera dan pupa, sehingga dapat memungkinkan menyimpan kokon
dalam jangka waktu yang lama. Pemasakan (cooking) merupakan tahapan yang bertujuan
untuk menguraikan filamen kokon sehingga dapat dipintal (Atmosoedarjo et al, 2000).
Proses pemintalan benang (reeling) adalah proses penyatuan beberapa filamen untuk
dipintal menjadi benang sutera. Jumlah filamen kokon yang disatukan untuk mendapatkan
sehelai benang mentah berbeda-beda tergantung ukuran benang yang dikehendaki. Proses
pemintalan ulang (rereeling) adalah proses pemindahan benang sutera yang sudah dipintal
dari gulungan dengan keliling yang lebih kecil ke gulungan yang lebih besar (keliling 1,5
meter) (Atmosoedarjo et al. 2000).
Setelah melalui proses pemintalan ulang dan inspeksi akhir maka produk yang
didapatkan dinamakan benang sutera mentah. Sebelum dapat dijadikan kain, benang sutera
mentah terlebih dahulu diproses menjadi benang sutera. Proses perubahan benang sutera
mentah menjadi benang sutera dijabarkan pada Gambar 2.
8
Gambar 1. Proses produksi benang sutera mentah (Atmosoedarjo et al. 2000)
Perendaman (soaking) adalah proses yang dilakukan untuk menghilangkan protein
serisin dari filamen kokon. Menurut Jumaeri (1997) di dalam Purwaningrum (2007) protein
serisin adalah protein yang tidak mengandung belerang, dan merupakan protein yang tidak
larut dalam air dingin, tetapi lunak di dalam air panas, dan larut dalam alkali lemah atau
sabun. Serisin menyebabkan benang sutera mentah, strukturnya menjadi kaku dan kasar, dan
merupakan pelindung serat selama pengerjaan mekanik. Agar kain sutera menjadi lembut,
berkilau dan dapat dicelup, protein serisin tersebut harus dihilangkan. Proses penghilangan
protein serisin dilakukan dengan pemasakan di dalam larutan sabun. Dalam proses ini, lilin,
dan garam-garam mineral ikut hilang.
Winding adalah proses pemindahan benang dari bentuk gulungan besar (skein) ke
dalam bobbin (gulungan benang yang terbuat dari kayu) dengan panjang benang yang
diinginkan untuk dikerjakan lebih lanjut. Doubling atau penggandaan adalah proses
membuat benang menjadi rangkap. Benang dapat dibuat menjadi rangkap 2, 3, 4, 6, atau
sesuai kebutuhan (Ryu 2000).
Twisting merupakan proses penggintiran benang untuk mencegah pecahnya benang,
member daya penutup (covering capacity) yang lebih besar. Pada proses twisting, gulungan
benang dipindah dari bobbin ke silinder (gulungan benang yang terbuat dari logam).
Rewinding adalah proses menggulung kembali benang sutera dari gulungan benang
berbentuk silinder menjadi bentuk gulungan besar (Atmosoedarjo et al. 2000).
9
Gambar 2. Proses produksi pembuatan benang sutera (Atmosoedarjo et al. 2000)
B. MANAJEMEN RANTAI PASOKAN
Manajemen rantai pasokan atau supply chain management merupakan serangkaian
pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang, dan tempat
penyimpanan lainya secara efisien sehingga produk yang dihasilkan dapat didistribusikan
dengan kuantitas yang tepat, lokasi yang tepat, dan waktu yang tempat untuk memperkecil biaya
dan memuaskan kebutuhan konsumen. Manajemen rantai pasokan bertujuan untuk membuat
seluruh sistem menjadi efisien dan efektif, meminimalisasi biaya dari transportasi dan distribusi
sampai dengan inventori bahan baku, bahan dalam proses, dan barang jadi. Ada beberapa
pemain utama yang memiliki kepentingan dalam rantai pasokan, yaitu pemasok, manufaktur,
distributor, retailer, dan konsumen (David et al. 2000 dalam Indrajit dan Djokopranoto 2002).
Rantai pasok terdiri atas seluruh organisasi yang terlibat, baik secara langsung maupun
tidak langsung, dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Rantai pasok tidak hanya meliputi
manufaktur dan pemasok, tetapi juga transportasi, penggudangan, retailer, dan kosumen sendiri.
Tujuan utama dari rantai pasok adalah memuaskan kebutuhan pelanggan, dan bagi perusahaan
adalah untuk mendapatkan keuntungan. Aktivitas rantai pasok dimulai dari permintaan kosumen
(consumer order) dan berakhir ketika pelanggan atau konsumen telah terpuaskan (Chopra dan
Meindl 2004)
Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2002), hubungan organisasi dalam rantai pasok
adalah sebagai berikut :
1. Rantai 1 adalah pemasok. Jaringan bermula dari sini, yang merupakan sumber
penyedia bahan pertama, dimana mata rantai penyaluran barang akan dimulai. Bahan
pertama ini dapat berbentuk bahan baku, bahan mentah, bahan penolong, bahan
10
dagangan, dan suku cadang. Jumlah pemasok untuk setiap perusahaan tentunya
berbeda-beda.
2. Rantai 1-2 adalah pemasok manufaktur. Manufaktur yang melakukan pekerjaan,
membuat, mempabrikasi, meng-assembling, merakit, mengkonversi, ataupun
menyelesaikan barang. Hubungan dengan mata rantai pertama ini sudah mempunyai
potensi untuk melakukan penghematan. Misalnya, inventori bahan baku, bahan
setengah jadi, dan barang jadi yang berada di pihak pemasok, manufaktur, dan tempat
transit merupakan target penghematan ini. Penghematan sebesar 40-60 % bahkan
lebih dapat diperoleh dengan menggunakan konsep supplier partnering.
3. Rantai 1-2-3 adalah pemasok – manufaktur – distributor. Barang yang sudah jadi dari
manufaktur disalurkan kepada pelanggan. Walaupun tersedia banyak cara untuk
menyalurkan barang kepada pelanggan, yang umum dilakukan adalah melalui
distributor dan ini biasanya merupakan bagian dari rantai pasokan. Barang yang akan
disalurkan biasanya ditempatkan pada gudang untuk dibawa ke gudang distributor
atau pedagang besar dalam jumlah besar dan pada waktunya nanti pedagang besar
nanti menyalurkan dalam jumlah yang lebih kecil kepada pengecer.
4. Rantai 1-2-3-4 adalah pemasok – manufaktur – distributor – ritel. Pedagang besar
biasanya mempunyai fasilitas gudang sendiri atau dapat juga menyewa dari pihak
lain. Gudang ini digunakan untuk menimbun produk sebelum disalurkan. Pada rantai
ini bisadilakukan penghematan dalam bentuk inventori dan biaya gudang, dengan
cara melakukan desain kembali pola-pola pengiriman barang
5. Rantai 1-2-3-4-5 adalah pemasok – manufaktur – distributor – ritel - konsumen.
Pengecer menawarkan barangnya kepada pelanggan atau konsumen. Mata rantai
pasok baru benar-benar berhenti ketika barang tiba pada pemakai langsung.
Rantai pasokan harus saling mendukung diantara organisasi yang saling berhubungan agar
kegiatan pengadaan dan penyaluran bahana baku dan produk akhir terintegrasi secara baik dan
benar, sehingga mereka menjadi sama, yaitu “to gets the right goods or services to the right
place, at the right time, and in the desired condition, while making the greatest contribution to
the firm” (Siagian 2007).
Berdasarkan konsep rantai pasok, terdapat tiga tahapan dalam aliran material. Bahan
mentah didistribusikan ke manufaktur membentuk suatu sistem physical supply, manufaktur
mengolah bahan mentah, dan produk jadi didistribusikan kepada konsumen akhir membentuk
sistem physical distribution. Bahan mentah didistribusikan oleh pemasokdan manufaktur
melakukan pengolahan sehingga menjadi barang jadi dan siap didistribusikan kepada konsumen
melalui distributor. Aliran produk terjadi mulai dari pemasok hingga ke konsumen, sedangkan
arus balik aliran ini adalah aliran permintaan dan informasi. Dimana, permintaan dari
konsumen, diterjemahkan oleh distributor, dan distributor menyampaikan pada manufaktur.
Selanjutnya manufaktur menyalurkan informasi tersebut pada pemasok.
C. PENGUKURAN KINERJA SUPPLY CHAIN
Salah satu aspek fundamental dalam SCM adalah manajemen kinerja dan perbaikan secara
berkelanjutan. Untuk menciptakan kinerja yang efektif diperlukan sistem pengukuran yang
mampu mengevaluasi kinerja rantai pasok secara holistik. Menurut Pujawan (2005), sistem
pengukuran kinerja dilakukan untuk : i) melakukan monitoring dan pengendalian, ii)
11
mengorganisasikan tujuan organisasi ke fungsi-fungsi pada rantai pasok, iii) mengetahui dimana
posisi suatu organisasi relatif terhadap pesaing maupun terhadap tujuan yang ingin dicapai; dan
vi) menentukan arah perbaikan untuk menciptakan keunggulan dalam bersaing.
Suatu sistem pengukuran kinerja biasanya memiliki beberapa tingkatan dengan cakupan
yang berbeda-beda. Menurut Melynk et al. (2004), suatu sistem pengukuran kinerja biasanya
mengandung : i) metrik individual; ii) serangkaian metrik kinerja dan iii) sistem pengukuran
kinerja yang menyeluruh.
Metrik individual berada pada tingkat paling bawah dengan cakupan paling sempit. Metrik
adalah ukuran yang dapat diverifikasi, diwujudkan dalam bentuk kuantitatif ataupun kualitatif,
dan didefinisikan terhadap suatu titik acuan tertentu. Menurut Pujawan (2005), ada beberapa hal
yg harus dipenuhi agar suatu metrik bisa efektif, yaitu : i) mudah dimengerti, ii) value-based, iii)
dapat menangkap karakteristik atau hasil dalam bentuk numerik maupun nominal, iv) tidak
menciptakan konflik antar fungsi pada suatu organisasi, dan v) dapat melakukan distilasi data.
Menurut Gunasekaran et al. (2001, 2004), pengukuran kinerja pada rantai pasok bertujuan
untuk mendukung tujuan, evaluasi, kinerja, dan penentuan aksi di masa depan pada strategi,
taktik, dan tingkatan operasional. Metrik pengukuran kinerja SCM perlu diklasifikasikan dalam
level strategi, taktik, dan opersional manajemen. Jumlah metrik pada suatu sistem pengukuran
kinerja bisa cukup banyak. Untuk menghindari kerancuan, tiap metrik harus didefinisikan
dengan jelas. Menurut Melynk et al. (2004), metrik bisa diklarifikasikan berdasarkan fokus dan
waktu. Metrik bisa berfokus pada kinerja operasional maupun finansial. Metrik operasional
mengukur kinerja dalam satuan waktu, output, dan sebagainya. Banyak proses-proses dalam
rantai pasok memang dimonitor dalam satuan non-finansial.
D. SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN
Konsep sistem pendukung keputusan (SPK) pertama kali diungkapkan pada 1970-an oleh
Michael S. Scoot Morton dengan istilah Management Decision Sistem. SPK merupakan suatu
sistem berbasis komputer yang digunakan untuk membantu pengambil keputusan dalam
memanfaatkan data dan model tertentu untuk memecahkan berbagai persoalan yang tidak
terstruktur (Daihani 2001).
Sistem Penunjang Keputusan digunakan untuk memaparkan secara detail elemen-elemen
sistem sehingga dapat membantu para pengambil kebijakan dalam proses pengambilan
keputusannya. Dalam sistem penunjang keputusan dikenal dengan adanya istilah kriteria dan
alternatif. Kriteria digunakan untuk menggambarkan tujuan dari sistem serta sebagai basis untuk
merancang dan mengembangkan sistem. Alternatif merupakan tindakan yang harus diambil dan
dipilih agar diperoleh hasil yang terbaik sesuai dengan tujuan sistem (Eriyatno 1999).
Landasan utama dalam pengembangan SPK menurut Eriyatno (1999) dalah konsepsi
model. Konsepsi model ini menggambarkan hubungan abstrak antara tiga komponen utama
dalam penunjang keputusan, yaitu pengambil keputusan atau pengguna, model, atau data.
Masing-masing komponen tersebut dikelola oleh sebuah sistem manajemen. Masukan dan
keluaran untuk pengguna dikelola oleh sebuah manajemen dialog, sedangkan untuk pelaksanaan
perintah model, dikelola oleh manajemen basis model, dan data akan dikelola oleh sebuah basis
data. Struktur dasar SPK dapat dilihat pada Gambar 3. Menurut Syamsi (1995), pengambilan
keputusan itu meliputi :
1. Identifikasi masalah.
2. Pengumpulan dan analisa data.
12
3. Perancangan alternatif-alternatif kebijakan yang nantinya akan dijadikan alternatif-
alternatif keputusan.
4. Pemilihan satu alternatif terbaik untuk dijadikan keputusan.
5. Pelaksanaan keputusan.
6. Pemantauan dan evaluasi hasil pelakasanaan keputusan.
Gambar 3. Struktur dasar SPK (Turban 1990)
E. METODE PERBANDINGAN EKSPONENSIAL
Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) digunakan sebagai pendekatan dalam
membantu pengguna untuk mengambil keputusan dengan kriteria jamak pada model pemilihan
produk prospektif dan pemilihan pasar potensial. Menurut Eriyatno (1996), Metode
Perbandingan Eksponensial (MPE) digunakan sebagai pembantu bagi individu mengambil
keputusan untuk menggunakan rancang bangun yang telah terdefinisi dengan baik tiap tahap
proses. MPE digunakan untuk membandingkan beberapa alternatif dengan menggunakan
sejumlah kriteria yang ditentukan berdasarkan hasil survei dengan pakar terkait. MPE adalah
salah satu metode pengambilan keputusan yang mengkuantitaskan pendapat seseorang atau lebih
dalam skala tertentu. Metode ini mempunyai keuntungan dalam mengurangi bias yang mungkin
terjadi dalam analisis. Nilai skor menggambarkan urutan prioritas menjadi besar (fungsi
eksponensial) ini mengakibatkan urutan prioritas alternatif keputusan lebih nyata.
Menurut Marimin (2004) dalam menggunakan metode perbandingan eksponensial ada
beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu menyusun alternatif-alternatif keputusan yang akan
dipilih, menentukan kriteria atau perbandingan kriteria keputusan yang penting untuk dievaluasi,
menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria,
melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada setiap kriteria, menghitung skor atau nilai
total pada setiap alternatif, dan menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau
nilai total masing-masing alternatif. Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif dalam
metoda perbandingan eksponensial adalah sebagai berikut :
Data Model
Sistem Manajemen Basis Data
Sistem Manajemen Basis Model
Sistem Pengolahan
Sistem Manajemen Dialog
Pengguna
13
Keterangan :
TNi = Total nilai alternatif ke-i
RKij = Derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan i
TKKj = Derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j; TKKj > 0;bulat
n = Jumlah pilihan keputusan
m = Jumlah kriteria keputusan
Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan dengan cara wawancara dengan pakar
atau melalui kesepakatan curah pendapat, sedangkan penentuan skor alternatif pada kriteria
tertentu dilakukan dengan memberi nilai setiap alternatif berdasarkan nilai kriterianya. Semakin
besar nilai alternatif, semakin besar pula skor alternatif tersebut. Total skor masing-masing
alternatif keputusan akan relatif berbeda secara nyata karena adanya fungsi eksponensial
(Marimin 2004).
F. ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)
Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process/AHP) merupakan suatu metode
atau alat yang dapat digunakan oleh pengambil keputusan untuk memahami kondisi suatu sistem
serta membantu melakukan prediksi dan pengambilan keputusan. AHP memasukkan
pertimbangan dan nilai pribadi secara logis. Proses ini bergantung pada imajinasi, pengalaman
dan pengetahuan untuk menyusun hirarki suatu masalah serta pada logika, intuisi, dan
pengalaman untuk memberi pertimbangan. Mekanisme prosesnya adalah mengidentifikasi,
memahami dan menilai interaksi dari suatu sistem sebagai suatu satuan. Analisis ini dapat
diterapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah terukur (kuantitatif) maupun masalah-masalah
yang memerlukan pendapat (judgement) (Saaty 1986).
Tahap terpenting dalam analisis pendapat adalah penilaian dengan teknik komparasi
berpasangan (pairwise comparation) terhadap elemen-elemen keputusan pada suatu tingkat
hirarki keputusan. AHP memungkinkan pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif dari
suatu kriteria majemuk (atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria) secara intuitif, yaitu
dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Penilaian dilakukan
untuk membedakan setiap pendapat serta mempunyai keteraturan, sehingga memudahkan proses
transformasi dalam perhitungan matematis dari bentuk pendapat (kualitatif) ke dalam bentuk
nilai angka (kuantitatif). Penilaian ini dilakukan dengan menggunakan nilai skala 1 sampai 9
yang merupakan skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat (Saaty 1986).
Nilai-nilai perbandingan relative kemudian diolah untuk menentukan peringkat relative
dari seluruh alternative. Baik criteria kualitatif, maupun criteria kuntitatif, dapat dibandingkan
sesuai dengan pendapat (judgement) yang diberikan untuk menghasilkan bobot. Kemudian bobot
dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik. Tingkat
kesahihan (validitas) pendapat bergantung pada konsistensi dan akurasi pendapat. Revisi
pendapat dapat dilakukan apabila nilai rasio konsistensi pendapat cukup tinggi (Marimin 2004).
14
Gambar 4. Struktur Dasar Hirarki AHP (Saaty 1980)
Dalam proses penjabaran tujuan hirarki terdapat tiga hal yang perlu dicermati. Pertama,
setiap aspek dari tujuan yang lebih tinggi tercakup dalam subtujuan tersebut. Kedua, perlu
dihindarkan terjadinya pembagian yang terlampau banyak, baik ke arah lateral maupun vertikal.
Ketiga, tes kepentingan perlu dilakukan karena kriteria-kriteria dalam hirarki harus relevan
dengan tujuan (Mangkusubroto dan Trisnadi 1987).
G. SCOR (SUPPLY CHAIN OPERATIONS REFERENCE)
SCOR adalah suatu model referensi proses yang dikembangkan oleh Dewan Rantai
Pasokan sebagai alat diagnosa Supply Chain Management yang digunakan untuk mengukur
performa rantai pasokan perusahaan, meningkatkan kinerjanya, dan mengkomunikasikan pihak-
pihak yang terlibat di dalamnya. Dasar model SCOR didasarkan pada tiga pilar utama, yaitu
pemodelan proses, pengukuran performa atau kinerja rantai pasokan, dan penerapan best
practice (Supply Chain Council 2008).
Model SCOR mempunyai indikator-indikator penilaian yang dinyatakan dalam ukuran
kuantitatif yang disebut dengan metrik-metrik penilaian. Metrik-metrik penilaian tersebut
dinyatakan dalam beberapa level tingkatan meliputi level 1, level 2, dan level 3. Banyaknya
metrik dan tingkatan metrik yang digunakan sesuai dengan jenis dan banyaknya proses, serta
tingkatan proses rantai pasokan yang diterapkan di dalam perusahaan (Supply Chain Council
2008). Proses SCOR terbagi menjadi beberapa level detail proses untuk membantu perusahaan
menganalisa kinerja supply chainnya. Model SCOR diperkenalkan pada lima proses berbeda,
yaitu perencanaan (Plan), pengadaan (Source), produksi (Make), distribusi (Deliver), and
pengembalian (Return) yang terdapat pada level 1. Tabel di bawah ini menjelaskan model
hierarki proses dalam SCOR.
Fokus yang hendak dicapai Fokus
Faktor
Aktor
Alternatif
Faktor-1 Faktor -2 Faktor -m
Aktor-1 Aktor-2 Aktor-n
Alternatif-1 Alternatif-2 Alternatif-o
15
Tabel 3. Model hierarki SCOR
Sumber : Supply Chain Council (2008)
Model SCOR memiliki lima aspek penilaian, yaitu reliability, responsiveness, flexibility, cost
dan assets. Masing-masing dari atribut performa tersebut terdiri dari satu atau lebih metrik level
1. Menurut Bolstroff (2003), pada umumnya para pimpinan perusahaan menggunakan metrik
level 1 ini sebagai dasar untuk menentukan strategi pengembangan rantai pasokan yang hendak
dicapai oleh perusahaan, disesuaikan dengan atribut performa yang paling dikehendaki oleh
pembeli (eksternal) dan perusahaan (internal). Definisi dari masing-masing atribut performa
tersebut dijelaskan pada Tabel 4.
16
Tabel 4. Atribut performa manajemen rantai pasokan beserta metrik performa
Atribut Performa Definisi Metrik Level 1
Reliabilitas
Rantai Pasokan
Performa rantai pasokan perusahaan dalam memenuhi pesaan
pembeli dengan; produk, jumlah, waktu, kemasan, kondisi,
dan dokumentasi yang tepat, sehingga mampu memberikan
kepercayaan kepada pembeli bahwa pesanannya akan dapat
terpenuhi dengan baik.
Pemenuhan
Pesanan
Sempurna
Responsivitas
Rantai Pasokan
Waktu (kecepatan) rantai pasokan perusahaan dalam
memenuhi pesanan konsumen.
Siklus
Pemenuhan
Pesanan
Fleksibilitas
Rantai Pasokan
Keuletan rantai pasokan perusahaan dan kemampuan untuk
beradaptasinya terhadap perubahan pasar untuk memelihara
keuntungan kompetitif rantai pasokan.
Fleksibilitas
Rantai Pasok
Atas
Penyesuaian
Rantai Pasok
Atas
Penyesuaian
Rantai Pasok
Bawah
Biaya Rantai
Pasokan
Biaya yang berkaitan dengan pelaksanaan proses rantai
pasokan.
Biaya SCM
Biaya Pokok
Produk
Manajemen
Aset Rantai
Pasokan
Efektivitas suatu perusahaan dalam memanajemen asetnya
untuk mendukung terpenuhinya kepuasan konsumen.
Siklus Cash-to-
Cash
Return on
Supply Chain
Fixed Assets
Return on
Working Capital
Sumber : Bolstroff (2003)
Jumlah metrik pada suatu sistem pengukuran kinerja bias cukup banyak. Untuk
menghindari kerancuan, tiap metrik harus didefinisikan dengan jelas. Menurut Melynk et al.
(2004), metrik bisa diklasifikasikan berdasrkan fokus dan waktu. Metrik bisa berfokus pada
kinerja finansial maupun operasional. Metrik operasional mengukur kinerja dalam satuan waktu,
output, dan sebagainya. Banyak proses dalam rantai pasok memeang dimonitor dalam satuan
non-finansial.
Menurut Gunasekaran et al (2001, 2004), pengukuran kinerja pada rantai pasok bertujuan
untuk mendukung tujuan, evaluasi, kinerja, dan penentuan aksi di masa depan pada strategi,
taktik, dan tingkat operasional. Untuk itu dibutuhkan lebih besar untuk studi pengukuran dan
metirk dalam konteks manajemen rantai pasok karena dua alasan, yaitu kurangnya pendekatan
yang seimbang dan kurang jelasnya perbedaan antara metrik level strategi, taktik dan
operasional. Model SCOR fokus pada aspek-aspek seperti semua kegiatan yang berkaitan
dengan interaksi pembeli mulai dari pesanan barang yang masuk hingga ke pelunasan
pembayaran oleh pembeli, semua trnsaksi produk (barang atau jasa) mulai dari produsen hulu
hingga ke konsumen akhir, dan semua interaksi pasar mulai dari memehami permintaan pasar
secara agregat hingga ke pemenuhannya dari masing-masing permintaan. Namun, bukan berarti
SCOR berusaha untuk mendeskripsikan semua kegiatan dan proses bisnis yang ada.
17
H. WWW (WORLD WIDE WEB) Web adalah jaringan informasi yang menggunakan protocol HTTP (Hyper Text Transfer
Protocol) dan FTP (File Transfer Protocol), dimana sumberdaya- sumberdaya yang berguna
diidentifikasi oleh pengenal global berupa alamat URL (Uniform Resource Locator). Web dapat
diakses melalui interface sederhana dan mudah digunakan. Informasi ini biasanya disajikan
dalam bentuk hypertext atau multimedia, dan disediakan oleh server yang berlokasi di berbagai
penjuru dunia.
Halaman web terbagi menjadi dua macam, yaitu halaman statis dan halaman dinamis.
Web statis biasanya hanya merupakan HTML yang diketik melalui teks editor yang disimpan
dalam bentuk.html atau .htm. Web dinamis adalah halaman web yang hanya berhubungsn
dengan halaman web yang lain, user hanya bias melihat isi dokumen pada halaman web dan jika
diklik maka dokumen akan berpindah ke halaman web selanjutnya. Interaksi user dengan
browser hanya sebatas melihat informasi tetapi tidak bisa mengolah informasi yang dihasilkan.
Web yang dinamis memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan menggunakan form sehingga
kita bisa mengolah informasi yang ditampilkan .
1. Desain website Setelah melakukan penyewaan domain name dan web hosting serta penguasaan bahasa
program (scripts program), unsur website yang penting dan utama adalah desain. Desain website
menentukan kualitas dan keindahan sebuah website. Desain sangat berpengaruh kepada penilaian
pengunjung akan bagus tidaknya sebuah website.
Untuk membuat website biasanya dapat dilakukan sendiri atau menyewa jasa website
designer. Kualitas situs sangat ditentukan oleh kualitas designer. Semakin banyak penguasaan
web designer tentang beragam program/software pendukung pembuatan situs maka akan
dihasilkan situs yang semakin berkualitas, demikian pula sebaliknya.
2. Publikasi website Keberadaan situs tidak ada gunanya dibangun tanpa dikunjungi atau dikenal oleh
masyarakat atau pengunjung internet. Karena efektif tidaknya situs sangat tergantung dari
besarnya pengunjung dan komentar yang masuk. Untuk mengenalkan situs kepada masyarakat
memerlukan apa yang disebut publikasi atau promosi.
Publikasi situs di masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti dengan
pamflet-pamflet, selebaran, baliho dan lain sebagainya tapi cara ini bisa dikatakan masih kurang
efektif dan sangat terbatas. Cara yang biasanya dilakukan dan paling efektif dengan tak terbatas
ruang atau waktu adalah publikasi langsung di internet melalui search engine-search engine
(mesin pencari, seperti : Yahoo, Google, search Indonesia, dsb). Cara publikasi di search engine
ada yang gratis dan ada pula yang membayar. Yang gratis biasanya terbatas dan cukup lama
untuk bisa masuk dan dikenali di search engine terkenal seperti Yahoo atau Google. Cara efektif
publikasi adalah dengan membayar, walaupun harus sedikit mengeluarkan akan tetapi situs cepat
masuk ke search engine dan dikenal oleh pengunjung.
3. Pemeliharaan Website Untuk mendukung kelanjutan dari situs diperlukan pemeliharaan setiap waktu sesuai yang
diinginkan seperti penambahan informasi, berita, artikel, link, gambar atau lain sebagainya.
Tanpa pemeliharaan yang baik situs akan terkesan membosankan atau monoton juga akan segera
ditinggal pengunjung.
Pemeliharaan situs dapat dilakukan per periode tertentu seperti tiap hari, tiap minggu atau
tiap bulan sekali secara rutin atau secara periodik saja tergantung kebutuhan (tidak rutin).
Pemeliharaan rutin biasanya dipakai oleh situs-situs berita, penyedia artikel, organisasi atau
18
lembaga pemerintah, sedangkan pemeliharaan periodik bisanya untuk situs-situs pribadi,
penjualan/e-commerce, dan lain sebagainya. (Saputro 2007).
I. PENELITIAN TERDAHULU
Panggabean (2010) dengan skripsi yang berjudul Pengembangan Model Perencanaan
untuk Pendirian Agroindustri Sutera Alam. Program SiDiKuu 1.0 dapat membantu menganalisa
perencanaan pendirian agroindustri sutera alam ditinjau dari aspek pasar, aspek teknis khususnya
pemilihan lokasi, aspek produksi, dan aspek kelayakan finansial. Kriteria investasi yang
digunakan untuk mengukur kelayakan dalam model ini adalah Net Present Value (NPV),
Payback Periode (PBP), Profitability Index (PI), dan Break Even Point (BEP).
Sementara Muhardika (2009) dengan skripsi yang berjudul Sistem Pendukung Keputusan
Manajemen Rantai Pasok Krisan dan Kedelai Edamame melakukan pengukuran kinerja terhadap
para mitra perusahaan dengan metode SCOR dan DEA. Selain itu, dalam sistem yang dibuatnya,
terdapat pula model pengukuran nilai tambah masing-masing komoditas terhadap berbagai
pihak, diantaranya konsumen, perusahaan, dan mitra tani.
Setiawan (2009) dalam tesisnya yang berjudul Studi Peningkatan Kinerja Manajemen
Rantai Pasok Sayuran Dataran Tinggi Terpilih di Jawa Barat melakukan pengukuran kinerja
komoditas lettuce head dengan menggunakan pendekatan DEA dan SCOR fuzzy AHP.
Pengukuran kinerja jaringan rantai pasok produk sutera alam menggunakan teknik AHP untuk
memilih metrik pengukuran prioritas yang diadaptasi dari metode SCOR. Dengan mengadopsi
SCOR, model dapat dirancang dengan metrik kinerja yang seimbang dan mencakup kinerja
keseluruhan dari rantai pasok dalam berbagai sisi.
Sistem penunjang keputusan manajemen rantai pasokan sutera alam merupakan penelitian
studi kasus di suatu agroindustri yang permasalahannya diambil dari agroindustri tersebut.
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengoptimalkan potensi
produk dan pasar, membantu menentukan strategi pengembangan plasma, serta mengukur
kinerja perusahaan yang terangkum dalam suatu sistem penunjang keputusan berbasis web
sehingga pengguna dapat mengaksesnya dengan mudah. Metode yang digunakan dalam memilih
keputusan mengenai produk dan pasar yaitu dengan MPE, sementara metode AHP digunakan
dalam menentukan strategi plasma unggul. Pengukuran kinerja perusahaan dilakukan dengan
SCOR yang dikombinasikan dengan AHP. Sistem ini juga dilengkapi dengan informasi
mengenai budidaya ulat sutera, proses pengolahan sutera, serta mekanisme rantai pasok yang
terjadi dalam agroindustri sutera tersebut.