sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR
Click here to load reader
-
Upload
waode-mustika -
Category
Documents
-
view
70 -
download
2
description
Transcript of sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan
ketatanegaraan suatu negara oleh karenanya pembuatan perjanjian internsional
yang merupakan salah satu dari aktivitas penyelenggaran negara sudah seharusnya
didasarkan atas ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Konstitusi juga
mempunyai fungsi sebagai fondasi dalam penyusunan sistem hukum negara, oleh
karena itu pembuatan perjanjian international juga menjadi bagian dalam sistem
konstitusi. Sementara ini masih terdapat perbedaan pendapat baik di antara pakar
hukum maupun praktisi penyelenggara pemerinrtahan negara mengenai dasar-
dasar konstitusional yang mengatur pembuatan perjanjian internasional.
Perbedaan yang menyebabkan pandangan yang beragam tersebut mempunyai
implikasi baik praktis dan teoritis dalam memberi dasar pengaturan tentang
perjanjian internasional1.
Sebuah perjanjian internasional pada hakekatnya adalah merupakan
penuangan kesepakatan yang diambil oleh para pihak, dalam hal ini antar negara
yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian, dalam sebuah perjanjian
internasional terceminkan kehendak dua pihak. Setiap negara mempunyai aturan
yang berbeda tentang siapa yang berhak untuk mewakili negara tersebut dan dari
1 Dr. Harjono, SH., MCL, 2012, Opini Juris Volume 04 Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kementrian Luar Negeri - Perjanjian Internasional Dalam Sistem UUD 1945, hal: 8.
2
wakil itu pulalah pihak negara lain mendapatkan kepastian bahwa memang
pihaknya telah bertemu dan mengadakan kesepakatan dengan wakil yang sah2. Di
Indonesia, satu-satunya landasan hukum pembuatan perjanjian hanyalah Pasal 11
UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain.
Ketentuan dalam Pasal 11 UUD 1945 tersebut, yang menyangkut
perjanjian internasional, sangat sumir dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan.
Apa yang dimaksud dengan kata membuat, dan apa saja yang meliputi kata
perjanjian, menghendaki penjelasan dan penelitian lebih lanjut. Setelah itu
dikeluarkanlah Surat Presiden R.I. no.2826/HK/60, 22 Agustus 1960, tentang
Pembuatan perjanjian dengan negara lain sebagai usaha untuk menjelaskan
ketentuan Pasal 11 UUD 1945.
Menurut Surat Presiden tersebut hanya perjanjian-perjanjian yang
terpenting saja yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti
perjanjian-perjanjian persahabatan, persekutuan, perubahan wilayah, kerjasama
ekonomi, kerjasama teknik atau kerjasama pinjaman yang harus disampaikan ke
DPR untuk mendapatkan persetujuan sebelum disahkan Presiden, sedangkan
perjanjian-perjanjian dengan materi lain yang biasanya dalam bentuk persetujuan
hanya disampaikan ke DPR untuk diketahui setelah disahkan Presiden.
Dengan demikian ada perjanjian yang disahkan oleh Presiden setelah
disetujui DPR dengan undang-undang dan persetujuan yang disahkan sendiri oleh 2 Ibid, hal: 9
3
Presiden dengan Keputusan Presiden. Surat Presiden tersebut yang merupakan
satu-satunya usaha penjelasan dari Pasal 11 UUD 1945 ditinjau dari segi hukum
tidak mempunyai kekuatan mengikat karena hanya berbentuk surat. Di samping
itu ketentuan untuk merumuskan suatu kategori perjanjian yang materinya
berisikan hal-hal atau ikatan yang akan mempengaruhi politik luar negeri akan
menimbulkan permasalahan bagi perjanjian dari materi yang sama yang dianggap
tidak akan mempengarui haluan negara3.
Pada dasarnya Pasal 11 UUD 1945 tidak membedakan bentuk perjanjian.
Sebaliknya Surat Presiden 2826 membedakan antara perjanjian yang penting yaitu
treaty dan perjanjian dalam bentuk agreement atau persetujuan. Pengesahan
perjanjian dilakukan oleh Presiden dengan undang-undang sedangkan pengesahan
persetujuan cukup melalui Keputusan Presiden ( Keppres)4.
Salah satu perjanjian internasional yang disahkan dengan undang-undang
adalah International Covenant on Civil and Political (ICCPR) ydan diundangkan
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Persoalan-persoalan yang muncul terkait arti undang-undang pengesahan
suatu perjanjian internasional khususnya ICCPR inilah yang menjadi pokok utama
penulisan ini.
B. Rumusan Masalah
3 Boer Mauna, 2005, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung: PT. Alumni, hal: 163.
4 Ibid, hal: 168
4
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka tulisan ini hanya berupaya
mengkaji:
1. Bagaimana proses pengesahan International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) ke dalam perundang-undangan nasional?
2. Apakah dengan adanya proses pengesahan tersebut serta merta membuat
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menjadi
self-executing atau non-self-executing?
BAB II
5
PEMBAHASAN
A. Proses pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) ke dalam perundang-undangan nasional
Sebagai anggota aktif masyarakat internasional, Indonesia juga membuat
perjanjian-perjanjian baik dengan negara-negara lain maupun dengan organisasi-
organisasi internasional ataupun subjek-subjek hukum internasional lainnya.
Perjanjian-perjanjian tersebut bukan saja dalam bentuk bilateral, juga dalam
rangka kerjasama regional di samping perjanjian-perjanjian multilateral yang
bersifat umum ataupun khusus5 .
Ditinjau dari segi materi, perjanjian-perjanjian yang dibuat Indonesia
meliputi hamper semua bidang, baik itu politik, hukum, ekonomi, keuangan,
perdagangan maupun kerjasama di bidang kebudayaan, ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sepanjang tidak bertentangan denan kepentingan nasional, Indonesia
telah menjadi pihak pada perjanjian-perjanjian multilateral dalam rangka
partisipasinya untuk menunjang dan mengokohkan keserasian dalam kehidupan
dan hubungan antar bangsa6.
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah
Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan
subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat
penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh
5 Boer Mauna, Op.cit, hal: 162.6 Ibid.
6
sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan
berdasarkan undang-undang7.
Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti
tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa
Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu
penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku
dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No.
2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut8.
Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan
dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960,
yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi
pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-
tahun9. Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat
dilakukan melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi
yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan
dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti
dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian
internasional.
7 http://perjanjianinternational.blogspot.com/2012/04/kemungkinan-perjanjian-internasional-di.html diakses pada tanggal 4 januai 2013.8 Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tanggal 22 Agustus 1960.9 Mochtar Kusumaatmadja,2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni, hal: 56-57
7
Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional
diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24
Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:
1. Ketentuan Umum
2. Pembuatan Perjanjian Internasional
3. Pengesahan Perjanjian Internasional
4. Pemberlakuan Perjanjian Internasional
5. Penyimpangan Perjanjian Internasional
6. Pengakhiran Perjanjian Internasional
7. Ketentuan Peralihan Ketentuan Penutup
Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori,
yaitu:
1. Ratifikasi, yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian
internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;
2. Aksesi, yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian
internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;
3. Penerimaan atau penyetujuan, yaitu pernyataan menerima atau menyetujui
dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas
perubahan perjanjian internasional tersebut;
4. Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-
executing (perjanjian-perjanjian internasional yang penerapannya tidak
memerlukan ratifikasi tetapi hanya cukup dengan proses penandatanganan
saja).
8
Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu
perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak
terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional
memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak
akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan. Seseorang yang
mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu
perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional,
memerlukan surat kuasa (Full Powers)10. Pejabat yang tidak memerlukan surat
kuasa adalah Presiden dan Menteri.
Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut
kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan
materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga
pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa
memerlukan surat kuasa.
Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang
dipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian
internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak.
Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah
terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang11.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau
keputusan Presiden12. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan
10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pasal 7.11 Ibid, Pasal 8.12 Ibid, Pasal 9.
9
persetujuan DPR13. Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu
pemberitahuan ke DPR14.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang
apabila berkenaan dengan:
1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;
3. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
4. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
5. Pembentukan kaidah hukum baru;
6. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri15.
Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta
pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian
internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan
nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR,
sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2000.
International Covenant On Civil and Political Rights (ICCPR) selaku
perjanjian internasional sebelum diimplementasikan dalam hukum nasional
terlebih dahulu harus melewati tahap ratifikasi selanjutnya disahkan. Pengesahan
dari ICCPR tersebut dalam bentuk Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang
Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik.
13 Ibid, Pasal 10.14 Ibid, Pasal 11.15 Ibid, Pasal 10.
10
B. Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) ke dalam perundang-undangan nasional tidak serta merta
berlaku (non-self-executing), bisa sebagai alat bantu bagi para hakim
untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional
Pemahaman mengenai perjanjian internasional self-executing dan non-self-
executing di Indonesia sangat berbeda dengan pemahaman umum mengenai
perjanjian internasional ini. Perbedaan pemahaman ini menimbulkan “kekacauan”
terhadap definisi yang sebenarnya dari perjanjian internasional self-executing dan
non-self-executing.
Perjanjian self-executing adalah perjanjian internasional yang secara ipso
facto dapat diterapkan di pengadilan nasional suatu negara tanpa memerlukan
implementing legislation16. Selanjutnya perjanjian non-self-executing diartikan
sebagai perjanjian internasional yang tidak dapat diterapkan secara langsung di
pengadilan tanpa adanya implementing legislation yang dibuat oleh lembaga
eksekutif.
Dari sisi epistemologi yaitu mengapa perjanjian internasional dibedakan
antara perjanjian internasional self-executing dan non-self-executing.
Permasalahan ini selanjutnya dikembalikan pada sistem hukum dari tiap-tiap
negara terkait dengan bagaimana status perjanjian internasional dalam sistem
hukum nasional mereka, apakah lebih tinggi atau lebih rendah dari hukum
16 Thomas Buergenthlm, 1992, Self-Executing and Non-Self-Executing Treaties in National and International Law, Extract from the Recueil der Cours, Volume 235, Martinus Nijhoff Publisher, the Netherlands, hal: 368 (Dalam disertasi hukum Wisnu Aryo Dewanto berjudul “Perjanjian Internasional Self-Executing dan Non-Self-Executing di Pengadilan Nasional”, hal: 48).
11
nasional mereka. Pada umumnya untuk mengetahui status ini, maka hal yang
harus dicermati adalah konstitusi di tiap-tiap negara. Ada konstitusi negara yang
mengatur mengenai kedudukan perjanjian internasional, namun ada juga
konstitusi negara yang tidak mengatur kedudukan tersebut sama sekali. Perbedaan
dalam memandang primacy hukum ini memunculkan dua jenis negara yaitu
negara dengan pandangan monisme dan negara dengan pandangan dualisme, yang
pada akhirnya menciptakan sifat self-executing dan non-self-executing dari
perjanjian internasional yang diratifikasi. Pada akhirnya, dalam tahapan
implementasi dilihat bagaimana perjanjian internasional dibedakan antara
perjanjian internasional self-executing dan non-self-executing. Jika melihat teori
Montesqiueu mengenai pemisahan kekuasaan, berdasarkan fungsi maka
kewenangan untuk menginterpretasikan hukum adalah tugas dari lembaga
yudikatif. Demikian pula dengan penginterpretasian perjanjian internasional di
mana hal tersebut menjadi kewenangan dari pengadilan, dalam hal ini adalah
hakim17.
Berbicara mengenai perjanjian internasional self-executing dan non-self-
executing pada hakikatnya membicarakan tentang apakah di dalam sistem hukum
nasional suatu negara, perjanjian internasional, tanpa implementing legislation,
memiliki legal effect secara langsung di pengadilan atau tidak. Jika perjanjian
internasional tersebut memiliki legal effect secara langsung, maka hakim dapat
menggunakan pasal-pasal di dalam perjanjian internasional tersebut sebagai dasar
17 Wisnu Aryo Dewanto, dalam disertasi hukum yang berjudul “Perjanjian Internasional Self-Executing dan Non-Self-Executing di Pengadilan Nasional”, hal: 46.
12
hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang diajukan. Sebaliknya, jika tidak
memiliki legal effect secara langsung, maka hakim tidak boleh menggunakan
pasal-pasal di dalam perjanjian internasional tersebut tanpa adanya peraturan
pelaksana (implementing legislation)18.
Implementing legislation merupakan peraturan perundang-undangan yang
dibuat oleh lembaga legislatif atau parlemen yang berfungsi sebagai persetujuan
atas tindakan ratifikasi dari pemerintah yang di dalamnya biasanya memberikan
pengaturan lebih lanjut mengenai bagaimana berlakunya perjanjian internasional
di dalam sistem hukum nasional. Implementing legislation merupakan cirri khusus
dari ke-dualisme-an suatu negara. Selain itu, ketiadaan pengaturan hubungan
antara hukum internasional dan hukum nasional di dalam konstitusi negara
menjadi ciri lain dari sifat dualisme. Pembentukan Implementing legislation
menjadi kewenangan penuh dari lembaga legislatif karena peraturan pelaksana
selalu berupa undang-undang.
Di dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang sebenarnya, ketidakhadiran
hukum internasional secara eksplisit sudah menjelaskan ke-dualisme-an Indonesia
karena keutamaan hukum yang digunakan sebagai sumber hukum formal bagi
hakim adalah hukum nasional, bukan hukum internasional. Indonesia tidak
menganut sistem pemisahan kekuasaan secara murni tetapi juga tidak menganut
sistem pemisahan kekuasaan secara checks and balances19.
18 Ibid, hal: 46-47.19 Ibid, hal: 23
13
Jika menelaah Pasal 9 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional, setiap peratifikasian suatu perjanjian
internasional dapat dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.
Namun, baik undang-undang pengesahan ataupun keputusan presiden sama sekali
tidak berhubungan langsung dengan pemberlakuan norma-norma hukum
internasional ke dalam bagian hukum nasional sebelum ada peraturan
pelaksananya.
Kewenangan untuk membuat dan meratifikasi perjanjian internasional
mutlak dimiliki oleh Presiden, tetapi ketika Presiden akan meratifikasi, Presiden
wajib mendapat persetujuan dari DPR. Persetujuan ini memiliki implikasi yang
besar karena DPR tidak hanya menyetujui keinginan Preseiden begitu saja, namun
DPR dapat mengajukan persetujuan dengan syarat, seperti reservation,
understandings dan declarations, atau bahkan DPR dapat menolak keinginan
Presiden tersebut.
Dari penjelasan di atas, International Covenant On Civil and Political
Rights (ICCPR) merupakan salah satu perjanjian internasional yang bersifat non-
self-executing. Hal ini terlihat dari Pasal 2 ayat (2) dari Kovenan tersebut yang
menyatakan bahwa:
Each State Party to the present Covenant undertakes to take the necessary steps, in accordance with its constitutional processes and with the provisions of the present Covenant, to adopt such laws or other measures as may be necessary to give effect to the rights recognized in the present Covenant.
Adapun setelah proses pengesahan yang dilakukan oleh pemerintah, tidak
menjadikan International Covenant On Civil and Political Rights (ICCPR) ini
14
serta merta berlaku secara langsung oleh hakim di pengadilan karena harus
ditransformasikan terlebih dahulu ke dalam bentuk peraturan perundang-
undangan yang diakui di Indonesia, dalam hal ini adalah undang-undang. Dengan
kata lain, harus menggunakan implementing legislation.
Implementasi kaidah-kaidah hukum internasional di Indonesia sebenarnya
tidak terlalu menjadi beban bagi para hakim di Indonesia karena para hakim
memang tidak diwajibkan untuk menggunakan hukum internasional sebagai salah
satu sumber hukum yang dipakai untuk memutus perkara karena tidak dikenal
dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya di dalam
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Walaupun perjanjian internasional non-self-executing tidak memiliki
kekuatan hukum secara langsung di pengadilan, perjanjian internasional ini dalam
praktiknya khususnya di Indonesia dapat digunakan oleh hakim sebagai alat bantu
untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional yang tidak linear dengan
kewajiban-kewajiban internasional yang diatur dalam perjanjian internasional.
Jika tidak mau, maka kaidah-kaidah hukum internasional tersebut tidak mungkin
dapat diterapkan dan tentu saja tidak berlaku secara efektif di pengadilan-
pengadilan nasional Indonesia20.
Yang menjadi masalah adalah pengetahuan hakim-hakim tentang
perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah
20 Wisnu Aryo Dewanto, 2012, Opini Juris Volume 04 Dirjen Hukum dan perjanjian Internasional Kementrian Luar Negeri - Memahami Arti Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia, hal: 28.
15
Indonesia, khususnya bagi mereka yang jauh sekali dari pusat pemerintahan,
apakah mereka memahami tentang kewajiban-kewajiban internasional yang
diemban oleh Indonesia sebagai konsekuensi dari peratifikasian perjanjian-
perjanjian internasional tersebut. Hakim dalam memutus perkara harus
mendasarkan pada konstruksi berfikir hukum yang obyektif, selain menegakkan
hukum juga menegakkan keadilan. Konstruksi berfikir menegakkan hukum
melihat dari sisi perbuatan, sedangkan konstruksi berfikir menegakkan keadilan
menelaah dari sisi alas an-alasan mengapa perbuatan tersebut dilakukan21.
Sistem peradilan nasional Indonesia harus berubah dan berkembang kea
rah yang lebih baik karena saat ini batas antar negara sudah semakin terbuka,
artinya bahwa keluar masuknya barang, jasa dan orang dari satu negara ke negara
lain semakin mudah sehingga memerlukan hakim-hakim yang mampu dan
memiliki pengetahuan hukum yang berdimensi internasional. Tidak bisa hanya
mengandalkan peraturan-peraturan hukum nasional karena kasus-kasus yang
berdimensi internasional yang ad adi Indonesia sudah semakin banyak. Salah satu
contohnya pelanggaran hak berpendapat dan berekspresi yang diatur dalam
ICCPR, dan banyak kasus berdimensi internasional lainnya yang tidak terkuak
secara umum, apalagi Indonesia terlibat dalam berbagai kerjasama internasional.
Oleh karena itu, hakim-hakim harus memperkaya diri mereka dengan kemampuan
hukum internasional dengan mengetahui perjanjian-perjanjian internasional yang
telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sehingga para hakim juga memahami
21 Ibid, hal: 29.
16
kewajiban-kewajiban internasional yang harus diemban oleh Indonesia sebagai
negara peserta dari perjanjian-perjanjian tersebut.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) sebagai salah satu
perjanjian internasional yang diadopsi oleh Indonesia, tidak dapat diberlakukan
secara langsung oleh hakim di pengadilan karena harus ditransformasikan terlebih
dahulu ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang diakui di Indonesia,
dalam hal ini undang-undang. Dengan kata lain, semua perjanjian yang bersifat
non-self-executing pemberlakuannya harus menggunakan implementing
legislation yang berupa undang-undang. Oleh karena itu, untuk bisa ICCPR
berlaku utuh di Indonesia perlu peraturan khusus untuk menjabarkannya secara
lebih detail .
18
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Mauna, Boer. 2005. Hukum Internasional – Pengertian, Peranan dan Fungsi
dalam Era Dinamika Global. Bandung: P.T. Alumni.
Suryokusumo, Sumaryo. 2008, Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta:
PT.Tatanusa.
Website:
http://perjanjianinternasional.blogspot.com/2012/04kemungkinan-perjanjian-
internasional-di.html diakses pada tanggal 4 Januari 2013.
http://jurnalhukum.blogspot.com/2008/01/perjanjian-internasional-2.html diakses
pada tanggal 4 Januari 2013.
Konvensi Internasional:
International Covenant on Civil and Political Rights 1966 (ICCPR)
Undang-Undang:
Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional.
Sumber Lain:
Wisnu Aryo Dewanto, 2012, Opini Juris Volume 04 Dirjen Hukum dan perjanjian
Internasional Kementrian Luar Negeri - Memahami Arti Undang-Undang
Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia
_________________, Disertasi Hukum yang berjudul “Perjanjian Internasional
self-Executing dan Non-Self-Executing di Pengadilan Nasional” di Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
19