Sistem Hukum Indonesia
-
Upload
melinda-damayanti -
Category
Documents
-
view
19 -
download
1
description
Transcript of Sistem Hukum Indonesia
SISTEM HUKUM INDONESIA: UNIKUM YANG DINAMIS
Ditulis oleh Nyoman Surata | 10 Juni 2010
Sistem Hukum Indonesia merupakan hal yang telah menjadi wacana berkelanjutan, yang
tidak hanya melibatkan ahli dan pemerhati hukum, tetapi juga telah menarik ke dalamnya
berbagai kalangan untuk ikut menyampaikan pendapat. Ini merupakan sesuatu yang dapat
dimengerti mengingat dalam kenyataannya hampir tidak ada celah kehidupan yang tidak
‘diintervensi’ norma hukum.
Slogan-slogan Ubi Sociates Ibi Ius, Fiat Jutitia Ruat Caelum, dan lain-lainya
menegaskan bahwa dalam masyarakat yang paling sederhana sekalipun keberadaan norma
hukum sebagai suatu pranata sosial secara nyata telah menjadi qonditio sine quanon bagi
keberlangsungan masyarakat tersebut sebagai suatu entitas. Namun demikian, apakah itu berarti
hukum yang ada di suatu masyarakat telah menjadi sesuatu yang sistemik, dengan kata lain
apakah hukum yang ada pada masyarakat tersebut telah terbangun menjadi sistem hukum? Untuk
menjawab pertanyaan ini tentu harus dipastikan dulu apa yang dimaksud sebagai sistem hukum,
untuk dapat dijadikan tolok ukur, karena mungkin saja yang terdapat pada suatu masyarakat
adalah aturan-aturan hukum yang berserakan, yang tidak saling berhubungan, atau kalaupun
berhubungan tidak saling mendukung, justru saling melemahkan.
Berdasarkan pendapat Ludwig von Bertalanffy, H. Thierry, William A. Shorde/ Voich
Jr., Bachsan Mustofa ( 2003: 5-6) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem hukum
adalah sistem sebagai jenis satuan yang dibangun dengan komponen-komponen sistemnya yang
berhubungan secara mekanik fungsional yang satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan.
Sistem hukum terdiri dari komponen jiwa bangsa, komponen struktural, komponen substansial,
dan komponen budaya hukum.
Suherman (2004: 10-11) tidak sependapat jika pengertian sistem hukum hanya
penggabungan istilah sistem dan hukum. Menurutnya pengertian spesifik dalam hukum harus
tercermin dari istilah sistem hukum. Suherman mengemukakan pendapat J.H. Merryman sebagai
perbandingan. Menurutnya sistem hukum adalah suatu perangkat operasional yang meliputi
institusi, prosedur, atau aturan, dalam konteks ini ada suatu negara federal dengan lima puluh
sistem hukum di Amerika Serikat, adanya sistem hukum setiap bangsa secara terpisah, serta ada
sistem hukum yang berbeda seperti halnya dalam organisasi Masyarakat Ekonomi Eropah dan
Perserikatan Bangsa-bangsa.
Bagaimanapun juga, sebagai suatu sistem, sistem hukum seharusnya: terdiri dari bagian-
bagian, bagian-bagian tersebut saling berhubungan, masing-masing bagian dapat dibedakan
tetapi saling mendukung, semuanya ditujukan pada tujuan yang sama, dan berada dalam
lingkungan yang kompleks (pendapat ini dihubungkan dengan pendapat Shrode dan Voich
(dalam Amirin, 1987: 11)).
Untuk komponen sistem hukum, pendapat yang sering dijadikan rujukan adalah apa yang
dikemukakan oleh Friedman (selain Mustofa dan Suherman, juga Acmad Ali (2003: 7-dst)),
yang menyatakan bahwa sistem hukum meliputi substansi, struktur, dan budaya hukum.
Ada pendapat bahwa hukum Indonesia, dengan segala keterbatasannya, telah terbangun
menjadi suatu sistem. Norma hukum Indonesia, ada yang telah lebih teruji oleh waktu lebih dari
seabad, melewati berbagai dinamika masyarakat dan sampai saat ini masih berlaku. Sejak
pendidikan hukum dilakukan secara formal di Indonesia, sistem hukum Indonesia telah menjadi
bahan kajian. Hampir tidak ada yang menyerukan agar dilakukan ‘revolusi’[1] dalam hukum,
yang banyak diserukan adalah reformasi dalam bidang-bidang hukum tertentu. Dengan demikian
krisis hukum yang sering disebut-sebut, boleh jadi bukan krisis dalam sistem hukum secara
keseluruhan, tetapi krisis dalam penegakan hukum.
Sebagai suatu sistem, bagaimanakah gambaran umum Sistem Hukum Indonesia?[2]
Dalam kajian-kajian teoretik, berdasarkan berbagai karakteristik sistem hukum dunia dibedakan
antara: sistem hukum sipil; Sistem hukum anglo saxon atau dikenal juga dengan common law;
hukum agama; hukum negara blok timur (sosialis). Eric L. Richard (dalam Suherman, 2004: 21)
membedakan sistem hukum yang utama di dunia (TheWorld’s Major Legal Systems) menjadi:
civil law; common law; Islamic law; socialist law; sub-Sahara Africa; dan Far East. Munir
Fuady (2007: 32-dst.) myatakan terdapat lebih dari 11 pengelompokan sistem hukum.[3]
Menurutnya tradisi hukum dunia dibedakan antara: tradisi hukum Eropah Kontinental, tradisi
hukum Anglo Saxon, tradisi hukum sosialis, tradisi hukum kedaerahan, tradisi hukum
keagamaan.
Di antara sistem-sistem hukum yang dikenal, sistem hukum Eropah Kontinental dan
sistem hukum Anglo Saxon banyak dipakai dan cenderung berpengaruh terhadap sistem hukum
yang dianut negara-negara di dunia. Sistem hukum Eropa Kontinental dikenal juga dengan
sebutan Romano-Germanic Legal System adalah sistem hukum yang semula berkembang di
dataran Eropa. Titik tekan pada sistem hukum ini adalah, penggunaan aturan-aturan hukum yang
sifatnya tertulis, berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis
yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi
dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi,
yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar bagi putusan hakim-
hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru,
Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian
Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental
Napoleon).
Sistem Hukum Adat dinyatakan dianut oleh beberapa negara di antaranya oleh
Monggolia dan Srilangka (ada juga yang mengkategorikan Indonesia sebagai negara penganut
sistem hukum adat). Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan
agama tertentu, yang umumnya terdapat dalam Kitab Suci. Arab Saudi, Iran, Sudan, Suriah, dan
Vatikan dikategorikan sebagai negara dengan sistem hukum agama. Selain negara-negara
tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya
Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun
juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.
Secara umum antara Sistem Hukum Eropah Kontinental dengan Sistem Hukum Anglo
Saxon dibedakan berdasarkan mana yang dipentingkan dalam pembentukan dan penegakkan
hukum, melalui peraturan perundang-undangan atau melalui jurisprudensi, secara lebih mendasar
mana yang lebih dipentingkan hukum tertulis atau hukum kebiasaan. Mengingat kekurangan dan
kelebihan antara hukum tertulis dengan hukum kebiasaan, maka secara filosofis hal ini
berhubungan dengan masalah pengutamaan antara kepastian dan keadilan, yang meskipun sama-
sama merupakan nilai dasar hukum tetapi antara keduanya terdapat spannungsverhaltnis
(ketegangan satu sama lain).
Sistem Hukum Eropah Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis, peraturan
perundang-undangan menduduki tempat penting. Peraturan perundang-undangan yang baik,
selain menjamin adanya kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya
ketertiban, juga dapat diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan.
Lembaga peradilan harus mengacu pada undang-undang. Sifat undang-undang tertulis yang statis
diharapkan dapat lebih fleksibel dengan sistem bertingkat dari norma dasar sampai norma yang
bersifat teknis, serta dengan menyediakan adanya mekanisme perubahan undang-undang.
Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum
yang berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui
lembaga peradilan dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan
dengan rasa keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.
Apapun sistem hukum yang dianut, pada dasarnya tidak ada negara yang hanya
didasarkan pada hukum tertulis atau hukum kebiasaan saja. Tidak ada negara yang sistem
hukumnya menafikan pentingnya undang-undang dan pentingnya pengadilan.
Kompleksitas sistem hukum Indonesia dibentuk oleh perjalanan sejarah Bangsa
Indonesia. Pertama kali kebudayaan yang muncul adalah kebudayaan Indonesia asli. Sebagai
produk kebudayaan asli ini adalah hukum adat. Kebudayaan ini berlangsung sebelum kedatangan
kebudayaan India (Hindu). Selanjutnya Indonesia memasuki masa pengaruh kebudayaan Hindu.
Pada abad ke-13 sampai ke-14 masuk pengaruh Islam, dan hukum Islam berkembang dan
memperkaya sistem hukum yang ada di Indonesia. Baru pada abad ke-17 masuk kebudayaan
Eropa-Amerika.
Jika hukum adat yang ada di Indonesia, dihubungkan dengan corak dasar kedua sistem
hukum yang paling berpengaruh (Eropah Kontionental dan Anglo Saxon), cenderung lebih dekat
dengan sistem Ango Saxon. Hukum adat terbangun dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam
menghadapi situasi dan kondisi tertentu, yang kemudian oleh masyarakat ditempatkan lebih dari
sekadar norma kesopanan atau kesusilaan menjadi norma hukum (opinio juris sive necessitatis).
Masyarakat tradisional Indonesia yang bercorak patriarkhis, menempatkan tetua-tetua/ pemuka-
pemuka adat sebagai tokoh penting yang menentukan hukum jika masyarakat menghadapi suatu
persoalan. Meskipun tidak ketat mengikat, apa yang diputuskan akan diikuti jika terjadi lagi hal
serupa. Jadi Mirip dengan sistem preseden. Peran tetua/ tokoh/ ketua suku menjadi sangat
penting dalam membentuk hukum, sehingga dapat dipahami jika yang dipilih seharusnya yang
paling berpengetahuan dan bijak.
Pada masa kolonial Belanda, dengan penerapan asas konkordansi, maka hukum yang
berlaku di Hindia Belanda sejalan dengan hukum yang berlaku di Belanda. Belanda merupakan
salah satu pendukung terkemuka sistem hukum Eropah Kontinental. Dengan demikian, secara
mutatis mutandis sistem Eropah Kontinental dilaksanakan di Indonesia. Walaupun demikian
pada dasarnya Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek) yang membiarkan
hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi
kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan
demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Dengan adanya lembaga
penundukan diri secara sukarela, banyak penduduk Indonesia saat itu menunduukan diri untuk
terikat pada Hukum Barat, terutama yang berusaha di bidang perdagangan. Dalam
perkembangan hukum di Indonesia selanjutnya, tampak kuatnya pengaruh hukum kolonial dan
cenderung meninggalkan hukum adat (Daniel S. Lev, 1990 : 438-473).
Setelah kemerdekaan, pengaruh Sistem Eropah Kontinental tampak dalam semangat
untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi. Meskipun Hukum Adat tetap diakui, tetapi pandangan
yang lebih mengemuka adalah dalam pembangunan hukum maupun optimalisasi fungsi hukum
sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial dilakukan melalui peraturan perundang-
undangan. Ajaran yang sangat berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat beberapa waktu
sebelumnya, yaitu Mazhab Sejarah yang dipelopori oleh Von Savigny dan teori keputusan yang
dikemukakan oleh Ter Haar, dianggap tidak relevan. Mazhab sejarah menyatakan bahwa hukum
itu hinkt achter de feiten aan, hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh secara historis atas dasar
peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi. Teori keputusan menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan
yang diakui oleh penguasalah yang merupakan hukum. Kedua mazhab ini menyatakan bahwa
hukum hanya menyangkut kejadian yang sudah sering terjadi. Kedua paham ini dianggap tidak
sejalan dengan pembangunan yang identik dengan perubahan, dengan kemungkinan terjadinya
hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Dari sudut pandang ini inilah kedua mazhab ini
dianggap tidak relevan (lihat antara lain Sunarjati Hartono, 1982).
Dalam perkembangannya kemudian, sebagai dampak pergaulan Indonesia dalam kancah
internasional, munculah bidang-bidang hukum baru seperti corporative law, computer law, cyber
law, dan sebagainya. Kebijakan dalam bidang-bidang ini dan kebijakan-kebijakan global lainnya,
legitimasinya banyak mengacu pada Sistem Common law.
Pemberian wewenang yang lebih luas kepada Pengadilan Agama, tidak hanya sekadar
menangani nikah, talak, rujuk, juga membuat pengaruh Hukum Islam bagi warga Negara
Indonesia yang beragama Islam semakin luas, setelah sebelumnya memberikan warna bagi
Hukum Adat di beberapa tempat di Indonesia.
Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum
yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa
sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi
juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.
Tidak hanya unik, sistem hukum Indonesia adalah sistem yang masih penuh dengan
dinamika, untuk mencari format di mana ketertiban dan keteraturan hukum sipil mendapat
tempat, dengan tidak mengesampingkan keluwesan hukum Anglo Saxon, serta tidak
menghilangkan suasana kebatinan masyarakat Indonesia.
Pencermatan terhadap kondisi nyata sistem Hukum Indonesia dan Sistem Hukum yang
dicita-citakan seharusnya menjadi bahan pertimbangan dalam pembangunan hukum, termasuk
dalam pembangunan pendidikan hukum. Legislator yang handal dan Juris yang berkemampuan
sama-sama diperlukan. Tetapi, ahli mana yang jumlahnya lebih banyak dibutuhkan, keahlian apa
yang lebih banyak diperlukan tentu berbeda.
Komitmen untuk menegakkan supremasi hukum selalu didengungkan, tetapi keberadaan
hukum maupun sistem hukum bukanlah merupakan ciri mendasar dari supremasi hukum.
Supremasi hukum ditandai dengan penegakan rule of law yang sesuai dengan, dan yang
membawa keadilan sosial bagi masyarakat. Jadi yang terutama dan diutamakan adalah hukum
dan sistem hukum yang membawa keadilan bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Amirin, Tatang M. 1987. Pokok-pokok Teori Sistem. Jakarta: CV. Rajawali.
Ali, Achmad. 2002. Keterpurukan Hukum Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Fuady, Munir. 2007. Perbandingan Ilmu Hukum. Bandung: Refika Aditama.
Hartono, Sunarjati. 1982. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Jakarta: Bina Cipta.
Lev, Daniel S. 1990. Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta: LP3S.
Suherman, Ade Maman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mustafa, Bachsan. 2003. Sistem Hukum Indonesia terpadu. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Sistem Hukum Indonesia BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Indonesia adalah keseluruhan kaidah dan asas berdasarkan keadilan yang mengatur
hubungan manusia dalam masyarakat yang berlaku sekarang di Indonesia. Sebagai hukum nasional,
berlakunya hukum Indonesia dibatasi dalam wilayah hukum tertentu, dan ditujukan pada subyek hukum
dan objek hukum tertentu pula. Subyek hukum Indonesia adalah warga negara Indonesia dan warga
negara asing yang berdomisili di Indonesia. Sedangkan objek hukum Indonesia adalah semua benda
bergerak atau tidak bergerak, benda berwujud atau tidak berwujud yang terletak di wilayah hukum
Indonesia.
Hukum Indonesia sebagai perlengkapan masyarakat ini berfungsi untuk mengintegrasikan
kepentingan-kepentingan anggota masyarakat sehingga tercipta ketertiban dan keteraturan. Karena
hukum mengatur hubungan antar manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat dan
sebaliknya, maka ukuran hubungan tersebut adalah keadilan.
Hukum Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu sistem, yang terdiri dari unsur-unsur atau
bagian-bagian yang satu sama lain saling berkaitan dan berhubungan untuk mencapai tujuan yang
didasarkan pada UUD 1945 dan dijiwai oleh falsafah Pancasila. Sebagai satu sistem, sistem hukum
Indonesia telah menyediakan sarana untuk menyelesaikan konflik diantara unsur-unsurnya. Sistem
hukum Indonesia juga bersifat terbuka, sehingga di samping faktor di luar sistem seperti: ekonomi,
politik, sosial dapat mempengaruhi, sistem hukum Indonesia juga terbuka untuk penafsiran yang lain
B. Tujuan Penulisan
Untuk Membahas tentang pengertian Hukum dan Seperti apa Hukum yang Berlaku di Indonesia,
sejarah perkembangan sistem hukum Indonesia, gambaran umum sistem hukum Indonesia, sistem
hukum nasional, politik hukum lama dan politik hukum baru, serta pengaruh politik dalam pembentukan
hukum di Indonesia.
Dengan mempelajari makalah ini, Kita akan memperoleh gambaran tentang bagaimana sistem
hukum di Indonesia dijalankan, yang tentu saja banyak perbedaan dengan praktik-praktik hukum di
negara lain. Dengan demikian Kita akan lebih mantap dan percaya diri dalam proses pembelajaran serta
akan memberikan tuntunan bagi Kita dalam berbuat sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
C. Pembatasan Masalah
1. Apa Pengertian Hukum dan Seperti apa Hukum yang Berlaku di Indonesia?
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Sistem Hukum Indonesia?
3. Bagaimanakah G ambaran Umum Sistem Hukum Indonesia?
4. Bagaimana Dengan Sistem Hukum Nasional?
5. Bagaimana Dengan Politik Hukum Lama?
6. Bagaimana Dengan Politik Hukum Baru?
7. Bagaimana Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetian dan Fungsi Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan. Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat
dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat
terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat
menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum,
perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana
mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari
pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam
kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotele
menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dibandingkan dengan peraturan
tirani yang merajalela."
Hukum Indonesia adalah keseluruhan kaidah dan asas berdasarkan keadilan yang mengatur
hubungan manusia dalam masyarakat yang berlaku sekarang di Indonesia. Sebagai hukum nasional,
berlakunya hukum Indonesia dibatasi dalam wilayah hukum tertentu, dan ditujukan pada subyek hukum
dan objek hukum tertentu pula. Subyek hukum Indonesia adalah warga negara Indonesia dan warga
negara asing yang berdomisili di Indonesia. Sedangkan objek hukum Indonesia adalah semua benda
bergerak atau tidak bergerak, benda berwujud atau tidak berwujud yang terletak di wilayah hukum
Indonesia.
Hukum Indonesia sebagai perlengkapan masyarakat ini berfungsi untuk mengintegrasikan
kepentingan-kepentingan anggota masyarakat sehingga tercipta ketertiban dan keteraturan. Karena
hukum mengatur hubungan antar manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat dan
sebaliknya, maka ukuran hubungan tersebut adalah: keadilan.
Hukum Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu sistem, yang terdiri dari unsur-unsur atau
bagian-bagian yang satu sama lain saling berkaitan dan berhubungan untuk mencapai tujuan yang
didasarkan pada UUD 1945 dan dijiwai oleh falsafah Pancasila. Sebagai satu sistem, sistem hukum
Indonesia telah menyediakan sarana untuk menyelesaikan konflik diantara unsur-unsurnya. Sistem
hukum Indonesia juga bersifat terbuka, sehingga di samping faktor di luar sistem seperti: ekonomi,
politik, sosial dapat mempengaruhi, sistem hukum Indonesia juga terbuka untuk penafsiran yang lain
B. Hukum yang Berlaku di Indonesia
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan
hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum
Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan
wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian
besar masyarakat Indonesia menganut Agama Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih
banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku
sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan
penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah
Nusantara.
C. Sejarah Perk embangan Sistem Hukum Indonesia
a. Periode Kolonialisme Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda
dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
1. Periode VOC
1) Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk: Kepentingan ekspolitasi
ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi
pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri.
Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara
dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.
2. Periode liberal Belanda
Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau
Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi
kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur
perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini
dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap
eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi
sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini
ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya
subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal
swasta.
3. Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
1) Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang
berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: Pendidikan untuk anak-anak pribumi,
termasuk pendidikan lanjutan hukum;
2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;
3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi;
4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas;
5) Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga
runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan:
Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan;
Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-
Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan
perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari
menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan
perundang-undangan yang terjadi:
1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara,
diberlakukan juga untuk orang-orang Cina;
2) Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di
bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah:
Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan;
Unifikasi kejaksaan;
Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan;
Pembentukan lembaga pendidikan hukum;
Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang
pribumi.
b. Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal 1. Periode Revolusi Fisik
1) Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang
peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan
dengan melakukan penyederhanaan;
2) Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan
pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
2. Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum
dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan
peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap
perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi
peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian
sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung
dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.
c. Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam
dinamika hukum dan peradilan adalah:
1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di
bawah lembaga eksekutif;
2) Mengganti lambang hukum dewi keadilan menjadi pohon beringin yang berarti pengayoman;
3) Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses
peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965; 4) Menyatakan bahwa hukum perdata pada
masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-
putusan yang lebih situasional dan kontekstual.
2. Periode Orde Baru
Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh
penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim
Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk
beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah
UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga
melakukan: 1) Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem
pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada
masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.
3. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali
amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan
formal yang mengemuka adalah:
1) Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;
2) Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan
3) Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada
masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun
dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti
polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan
permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses
peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat
hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber
daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan
hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.
D. Gambaran Umum Sistem Hukum Indonesia Dalam kajian-kajian teoretik, berdasarkan berbagai karakteristik sistem hukum dunia dibedakan
antara: sistem hukum sipil; Sistem hukum anglo saxon atau dikenal juga dengan common law; hukum
agama; hukum negara blok timur (sosialis). Eric L. Richard (dalam Suherman, 2004: 21) membedakan
sistem hukum yang utama di dunia (TheWorld’s Major Legal Systems) menjadi: civil law; common law;
Islamic law; socialist law; sub-Sahara Africa; dan Far East. Munir Fuady (2007: 32-dst.) myatakan
terdapat lebih dari 11 pengelompokan sistem hukum.[3] Menurutnya tradisi hukum dunia dibedakan
antara: tradisi hukum Eropah Kontinental, tradisi hukum Anglo Saxon, tradisi hukum sosialis, tradisi
hukum kedaerahan, tradisi hukum keagamaan.
Di antara sistem-sistem hukum yang dikenal, sistem hukum Eropah Kontinental dan sistem
hukum Anglo Saxon banyak dipakai dan cenderung berpengaruh terhadap sistem hukum yang dianut
negara-negara di dunia. Sistem hukum Eropa Kontinental dikenal juga dengan sebutan Romano-
Germanic Legal System adalah sistem hukum yang semula berkembang di dataran Eropa. Titik tekan
pada sistem hukum ini adalah, penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis, berbagai
ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut
oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut
sistem hukum ini.
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu
keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar bagi putusan hakim-hakim
selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan,
Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana
mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon).
Sistem Hukum Adat dinyatakan dianut oleh beberapa negara di antaranya oleh Monggolia dan
Srilangka (ada juga yang mengkategorikan Indonesia sebagai negara penganut sistem hukum adat).
Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu, yang
umumnya terdapat dalam Kitab Suci. Arab Saudi, Iran, Sudan, Suriah, dan Vatikan dikategorikan sebagai
negara dengan sistem hukum agama. Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga
menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang
menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan
hukum agama.
Secara umum antara Sistem Hukum Eropah Kontinental dengan Sistem Hukum Anglo Saxon
dibedakan berdasarkan mana yang dipentingkan dalam pembentukan dan penegakkan hukum, melalui
peraturan perundang-undangan atau melalui jurisprudensi, secara lebih mendasar mana yang lebih
dipentingkan hukum tertulis atau hukum kebiasaan. Mengingat kekurangan dan kelebihan antara
hukum tertulis dengan hukum kebiasaan, maka secara filosofis hal ini berhubungan dengan masalah
pengutamaan antara kepastian dan keadilan, yang meskipun sama-sama merupakan nilai dasar hukum
tetapi antara keduanya terdapat spannungsverhaltnis (ketegangan satu sama lain).
Sistem Hukum Eropah Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis, peraturan perundang-
undangan menduduki tempat penting. Peraturan perundang-undangan yang baik, selain menjamin
adanya kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya ketertiban, juga dapat
diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Lembaga peradilan harus
mengacu pada undang-undang. Sifat undang-undang tertulis yang statis diharapkan dapat lebih fleksibel
dengan sistem bertingkat dari norma dasar sampai norma yang bersifat teknis, serta dengan
menyediakan adanya mekanisme perubahan undang-undang.
Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang
berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga peradilan
dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa keadilan dan
kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.
Apapun sistem hukum yang dianut, pada dasarnya tidak ada negara yang hanya didasarkan pada
hukum tertulis atau hukum kebiasaan saja. Tidak ada negara yang sistem hukumnya menafikan
pentingnya undang-undang dan pentingnya pengadilan.
Kompleksitas sistem hukum Indonesia dibentuk oleh perjalanan sejarah Bangsa Indonesia.
Pertama kali kebudayaan yang muncul adalah kebudayaan Indonesia asli. Sebagai produk kebudayaan
asli ini adalah hukum adat. Kebudayaan ini berlangsung sebelum kedatangan kebudayaan India (Hindu).
Selanjutnya Indonesia memasuki masa pengaruh kebudayaan Hindu. Pada abad ke-13 sampai ke-14
masuk pengaruh Islam, dan hukum Islam berkembang dan memperkaya sistem hukum yang ada di
Indonesia. Baru pada abad ke-17 masuk kebudayaan Eropa-Amerika.
Jika hukum adat yang ada di Indonesia, dihubungkan dengan corak dasar kedua sistem hukum
yang paling berpengaruh (Eropah Kontionental dan Anglo Saxon), cenderung lebih dekat dengan sistem
Ango Saxon. Hukum adat terbangun dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam menghadapi situasi
dan kondisi tertentu, yang kemudian oleh masyarakat ditempatkan lebih dari sekadar norma kesopanan
atau kesusilaan menjadi norma hukum (opinio juris sive necessitatis). Masyarakat tradisional Indonesia
yang bercorak patriarkhis, menempatkan tetua-tetua/ pemuka-pemuka adat sebagai tokoh penting yang
menentukan hukum jika masyarakat menghadapi suatu persoalan. Meskipun tidak ketat mengikat, apa
yang diputuskan akan diikuti jika terjadi lagi hal serupa. Jadi Mirip dengan sistem preseden. Peran tetua/
tokoh/ ketua suku menjadi sangat penting dalam membentuk hukum, sehingga dapat dipahami jika
yang dipilih seharusnya yang paling berpengetahuan dan bijak.
Pada masa kolonial Belanda, dengan penerapan asas konkordansi, maka hukum yang berlaku di
Hindia Belanda sejalan dengan hukum yang berlaku di Belanda. Belanda merupakan salah satu
pendukung terkemuka sistem hukum Eropah Kontinental. Dengan demikian, secara mutatis mutandis
sistem Eropah Kontinental dilaksanakan di Indonesia. Walaupun demikian pada dasarnya Belanda
menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek) yang membiarkan hukum adat itu berlaku bagi
golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang
bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku
pluralisme hukum. Dengan adanya lembaga penundukan diri secara sukarela, banyak penduduk
Indonesia saat itu menunduukan diri untuk terikat pada Hukum Barat, terutama yang berusaha di
bidang perdagangan. Dalam perkembangan hukum di Indonesia selanjutnya, tampak kuatnya pengaruh
hukum kolonial dan cenderung meninggalkan hukum adat (Daniel S. Lev, 1990 : 438-473).
Setelah kemerdekaan, pengaruh Sistem Eropah Kontinental tampak dalam semangat untuk
melakukan kodifikasi dan unifikasi. Meskipun Hukum Adat tetap diakui, tetapi pandangan yang lebih
mengemuka adalah dalam pembangunan hukum maupun optimalisasi fungsi hukum sebagai sarana
untuk melakukan rekayasa sosial dilakukan melalui peraturan perundang-undangan. Ajaran yang sangat
berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat beberapa waktu sebelumnya, yaitu Mazhab Sejarah yang
dipelopori oleh Von Savigny dan teori keputusan yang dikemukakan oleh Ter Haar, dianggap tidak
relevan. Mazhab sejarah menyatakan bahwa hukum itu hinkt achter de feiten aan, hukum itu tidak
dibuat tetapi tumbuh secara historis atas dasar peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi. Teori keputusan
menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang diakui oleh penguasalah yang merupakan hukum. Kedua
mazhab ini menyatakan bahwa hukum hanya menyangkut kejadian yang sudah sering terjadi. Kedua
paham ini dianggap tidak sejalan dengan pembangunan yang identik dengan perubahan, dengan
kemungkinan terjadinya hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Dari sudut pandang ini inilah
kedua mazhab ini dianggap tidak relevan (lihat antara lain Sunarjati Hartono, 1982).
Dalam perkembangannya kemudian, sebagai dampak pergaulan Indonesia dalam kancah
internasional, munculah bidang-bidang hukum baru seperti corporative law, computer law, cyber law,
dan sebagainya. Kebijakan dalam bidang-bidang ini dan kebijakan-kebijakan global lainnya, legitimasinya
banyak mengacu pada Sistem Common law.
Pemberian wewenang yang lebih luas kepada Pengadilan Agama, tidak hanya sekadar
menangani nikah, talak, rujuk, juga membuat pengaruh Hukum Islam bagi warga Negara Indonesia yang
beragama Islam semakin luas, setelah sebelumnya memberikan warna bagi Hukum Adat di beberapa
tempat di Indonesia.
Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun
dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah
ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi
prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.
Tidak hanya unik, sistem hukum Indonesia adalah sistem yang masih penuh dengan dinamika, untuk
mencari format di mana ketertiban dan keteraturan hukum sipil mendapat tempat, dengan tidak
mengesampingkan keluwesan hukum Anglo Saxon, serta tidak menghilangkan suasana kebatinan
masyarakat Indonesia.
Pencermatan terhadap kondisi nyata sistem Hukum Indonesia dan Sistem Hukum yang dicita-
citakan seharusnya menjadi bahan pertimbangan dalam pembangunan hukum, termasuk dalam
pembangunan pendidikan hukum. Legislator yang handal dan Juris yang berkemampuan sama-sama
diperlukan. Tetapi, ahli mana yang jumlahnya lebih banyak dibutuhkan, keahlian apa yang lebih banyak
diperlukan tentu berbeda.
Komitmen untuk menegakkan supremasi hukum selalu didengungkan, tetapi keberadaan hukum
maupun sistem hukum bukanlah merupakan ciri mendasar dari supremasi hukum. Supremasi hukum
ditandai dengan penegakan rule of law yang sesuai dengan, dan yang membawa keadilan sosial bagi
masyarakat. Jadi yang terutama dan diutamakan adalah hukum dan sistem hukum yang membawa
keadilan bagi masyarakat.
E. Sistem Hukum Nasional Hukum nasional suatu negara merupakan gambaran dasar mengenai tatanan hukum nasional
yang dianggap sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Bagi Indonesia , tatanan hukum
nasional yang sesuai dengan masyarakat Indonesia adalah yang berdasarkan Pancasila dengan pokok –
pokoknya sebagai berikut :
a. Sumber dasar Hukum Nasional Adalah kesadaran atau perasaan hukum masyarakat yang menentukan isi suatu kaedah hukum.
Dengan demikian sumber dasar tatanan hukum Indonesia adalah perasaan hukum masyarakat Indonesia
yang terjelma dalam pandangan hidup Pancasila. Oleh karena itu dalam kerangka sistem hukum
Indonesia , Pancasila menjadi sumber hukum ( Tap MPRS No. XX/ MPRS / 1966 ).
b. Cita-cita hukum nasional Dalam penjelasan UUD 1945 , dinyatakan bahwa pembukaan UUD 1945 memuat pokok-pokok
pikiran sebagai berikut :
Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar
atas persatuan.
Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Negara yang berkedaulatan rakyat , berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.
Negara berdasar atas KeTuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
c. Politik Hukum Nasional Politik hukum yang dilakukan oleh pemerintah berkaitan erat dengan wawasan nasional bidang
hukum yakni cara pandang bangsa Indonesia mengenai kebijaksanaan politik yang harus ditempuh
dalam rangka pembinaan hukum di Indonesia. Adapun arah kebijaksanaan politik dibidang hukum
ditetapkan dalam GBHN.
Dalam TAP MPR dibawah ini terdapat politik hukum Indonesia yang menyangkut GBHN, antara
lain:
a. TAP MPR No. 66 / MPRS / 1960
b. TAP MPR No. IV / MPR / 1973
c. TAP MPR No. IV / MPR / 1978
d. TAP MPR No. II / MPR / 1983
e. TAP MPR No. II / MPR / 1988
f. TAP MPR No. II / MPR / 1993
g. TAP MPR No. X / MPR / 1998
Tentang Pokok – pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi
kehidupan nasional sebagai haluan negara “.
h. TAP MPR No. VIII / MPR / 1998
Mencabut TAP MPR No. II / MPR/ 1998
i. TAP MPR No. X / MPR / 1998, tentang GBHN
j. Tap mpr No. IV / MPR / 1999 tentang GBHN 1999 sampai dengan 2004.
F. Politik Hukum Lama Politik Hukum Lama, di jalankan pada masa pemerintahan Hindia, Belanda, diawali sejak
kedatangan atau zaman pemerintahan Hindia Belanda yang menerapkan asas Konkosedansi yaitu:
menerapakn hubungan yang berlaku di Belanda berlaku juga di Hindia Belanda. Di Hindia Belanda selain
berlaku hukum adat dan Hukum Islam.
Sejak pendudukan penjajahan Belanda sampai dengan Indonesia merdeka tidak ada asvikasi
hukum. Kalau menang Belanda berupaya untuk melakukan asifikasi (memberlakukan satu hukum untuk
seluruh Rakyat di seluruh wilayah negara) tidak berhasil jug.
a. Asas Konkordansi Yaitu pemberlakuan hukum Belanda disebuah wilayah Hindia Belanda. Unifikasi Hukum adalah
berlakunya suatu hukum di suatu wilayah negara untuk seluruh paalnya. Kenapa hukum Islam masih
berlaku ? karena sebagian besar pelakunya adalah beragama Islam.
Tetapi masuk terdapat orang-orang Indonesia yang tidak bulat “membela pemikiran barat”. A.c.
Hamengku Buwono IX yang tetap mempertahankan Budaya Timur dengan menyatakan: jiwa barat dan
timur dapat dilakukan dan bekerja sama secara ekonomomis tanpa harus kehilangan kepadiannya
masing-masing. Selama tidak menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang utama
dalam mator yang kaya dalam tradisi.
Pandangan politik hukum penjajah Belanda di Hiondia Belanda;
secara keseluruhan politik hukum Belanda sama isinya dengan politik hwed untuk tanah atau aja
hanya di Hindia Belanda.
panangan politik Hukum Belanda sama dengan politik umum dan politik hukum dari hampir
smua orang Eropa dan orang negara baratt trhadap daerah timur yang mereka jajah.
umumnya daerah yang dapat mereka kuasai; Daerah di Afrika dan Asia.
dikatakan oleh mereka, kebudayaan barat, tinggi, baik, mul;ia,sedangkan kebudayaan timur
rendah terbelakang, primitif, sangat bergantung pada alam.
orang yang berpegang pada kebudayaan barat maju sedangkan yang berpegang pada timur
ketinggalan zaman.
pendidikan mereka memandang pendidikan asli rendah, pendidikan Islam rendah dapat dilihat
pada daerah jajahan Inggris, perancis, Belanda.
Usaha penjajah Belanda memaksakan sistem kebudayaan ke Hindia Belanda berhasil sehingga
pemikiran sebagian bangsa Indonesia berpihak pada penjajah Belanda atau Barat.
Jadi terjadi dikotomi timur dan Barat.
b. Unifikasi Jaman Penjajahan di Hindia Belanda Terlihat adanya usaha unifikasi melalui tahap tersebut pada masa penjajahan di Hindia Belanda
antara lain; dalam bidang hukum dagang dan lalu lintas ekonomi, dengan tujuan utamanya adalah
keinginan pemberlakuan hukum Belanda bagi seluruh orang di Hindia Belanda caranya ialah:
memulai memberlakukan peraturan-peraturan yang disusun oleh pemerintah Belanda itu untuk orang
Belanda dan Eropa sendiri.
Kemudian memberlakukan Hukum Belanda pada orang yang menunjukkan dii dengan sukarela kepada
hukum Belanda.
selanjutnya baru memberlakukan Hukum Belanda untuk orang yang dipersamakan oleh pemerintah
Hindia Belanda dengan orang-orang Belanda.
c. Unifikasi Masa Indonesia Merdeka dizaman Indonesia merdeka maka tahap tertentu seperti diatas tak diperlukan memberlakukan suatu
hukum gak tetap untuk yang lain atau menundukkan diri kepada kepada hukum tertentu tidak
diperlukan lagi dalam hukum pemerintahan hukum di Indonesia merdeka, teutama dalam tindak hukum
lalu lintas ekonomi dan keuangan baik untuk semua bangsa Indonesia sediri apalagi dalam hubungan
dengan bangsa lain.
Khusus untuk sesama bangsa Indonesia terhadap kemungkinan memberlakukan pertahanan hukum
bagi kekhususan orang Indonesia.
Menyangkut bidang yang disebut untuk dewa sesuai dengan bidang yang netral, tidak sulit
mengunifikasikannya misal; KUHAP, tidak sulit dalam hak ;
Perasaan dan pemikiran anggota masyarakat untuk menyatukan peraturan-peraturannya.
sedangkan mengenai isinya tetap menghadapi kesulitan yang tak terhingga, misal bidang perdagangan
dalam perdata yang berhubungan dengan perjanjian, bidang ini sudut isinya tetap tidak sangat sulit
perasaan anggota masyarakat untuk menyatukannya.
mungkin di mintakan masukan yang diperlukan oleh pihak yang merasa bersangkutan dengan
masalahnya, hal yang diangkat tersulit dalam dalam bidang hukum yang berhubungan dengan rasa
kepercayaan keagamaan. Misalnya; bidang kekeluargaan, namun untuk bidang ini ini telah di rumus
dengan suatu idang hukum yang berat.
d. Kondifikasi Menurut teori ada 2 macam kodifikasi hukum, yaitu ;
Kodifikasi terbuka
Kodifikasi terbuka adalah kodifikasi yang membuka diri terhadap terdapatnya tambahan –
tambahan diluar induk kondifikasi. Pertama atau semula maksudnya induk permasalahannya sejauh
yang dapat dimasukkan ke dalam suatu buku kumpulan peraturan yang sistematis,tetapi diluar
kumpulan peraturan itu isinya menyangkut permasalahan di luar kumpulan peraturan itu isinya
menyangkut permasalahan – permasalahan dalam kumpulan peraturan pertama tersebut. Hal ini
dilakukan berdasarkan atas kehendak perkembangan hukum itu sendiri sistem ini mempunyai kebaikan
ialah;
“ Hukum dibiarkan berkembang menurut kebutuhan masyarakat dan hukum tidak lagi disebut sebagai
penghambat kemajuan masyarakat hukum disini diartikan sebagai peraturan “.
Kodifikasi tertutup
Adalah semua hal yang menyangkut permasalahannya dimasukan ke dalam kodifikasi atau buku
kumpulan peraturan.
Cacatan;
Dulu kodifikasi tertutup masih bisa dilaksanakan bahkan tentang bidang suatu hukum lengkap dan
perkasanya perubahan kehendak masyarakat mengenai suatu bidang hukum agak lambat. Sekarang
nyatanya kepeningan hukum mendesak agar dimana-mana yang dilakukan adalah Kodifikasi Terbuka.
Isinya;
1. Politik hukum lama
2. Unifikasi di zaman Hindia Belanda (Indonesia) gagal
3. Penduduk terpecah menjadi;
a. penduduk bangsa Eropa
b. Penduduk bangsa Timur Asing
c. Pendudk bangsa pribadi (Indonesia)
4. pemikiran bangsa Indonesia terpecah-pecah pula.
5. Pendidikan bangsa indonesia:
a. Hasil Pendidikan Barat.
b. Hasil Pendidikan Timur
G. Politik Hukum Baru Politik hukum baru di Indonesia muali pada tanggal 17 Agustus 1945 (versi Indonesia).
Kemerdekaan Indonesia Belanda adalah; 19 desember 1949 yaitu sewaktu adanya KMB di Denhaag
(Belanda).
Apa syarat untuk membuat atau membentuk Politik Hukum sendiri bagi suatu negara;
1. Negara tersebut negara Merdeka.
2. Negara tersebut yang mempunyai Kedaulatan keluar dan kedalam
a. Kedaulatan keluar ; Negara lain mengakui bahwa Negara kita merdeka.
b. Kedaulatan kedalam; Kedaulatan Negara diakui oleh seluruh Warga Negara.
3. Ada keinginann untuk membuat hukum yang tujuannya untuk mensejahterakan Masyarakat.
Sumber-sumber hukum bagi Politik antara lain :
1. Konstitusi
2. Kebajiakan (tertulis atau undang-undang)
3. Kebijakan tertulis atau tidak.
Seperti :
1. UUD 1945
2. Perbidang atau perlapangan hukum
- perdata, pidana, dagang, tata usaha negara, tata negara.
- ex : di sektor ekonomi, ketenaga kerjaan, Accantung, management, sosial politik, politik bisnis.
3. Kebijakan tidak tertulis dengan hukum adatnya.
Adat kita menyatu dengan sumber politik Hukum:
Contoh :
1. Hukum perkawinan, UU No. 1 1974 tetapi masih menyelenggarakan pertunangan.
2. Adanya pelarangan menikah antara 2 Agama yang berbeda.
Apa bahan baku dari politik Hukum (Indonesia hukum nasional yang baru)
1. Hukum Islam
2. Hukum Adat
3. Hukum Barat
Pihak ytang tersebut dalam pembentukan Politik Hukum :
1. Negara ~ pemerintah
2. Parpol ~ partai.
3. Para Pakar ~ ahli hukum dengan tulisan dan doktren dan pendapat.
4. Warga Negara ~ Kesadaran Hukumnya ~ bila warga negara kesadraan hukum tinggi maka politik
hukumnya tinggi begitu sebaliknya.
Bagi Indonesia politik Hukum dicantumkan dalam :
1. Konsitusi = garis besar politik Hukum.
2. UU = ketentuan Incroteto = ketentuan yang berlaku.
3. Kebijaksanaan yang lain = pelengkap untuk pemersatu.
4. Adat = Berupa Nilai.
5. GBHN = Berupa Program
6. Hukum Islam , yang diambil adalah nilainya.
Sedangkan dari sisi produk Perundang-undangan. Terjadi perubahan Politik Hukum, yakni: dengan
dikeluarkannya beberapa UU yang semula belum ada, yakni :
1. UU No 14 tahun 1970 Tentang ketentuan kekeuasaan kehakiman.
2. UU No 5 Tahun 1960 Tentang ketentuan pokok Agraria.
3. UU lingkungan Hiduop.
4. UU Perburuhan.
5. UU Perbankan, Dsb.
1. Kemudian Prof. HAZAIRIN berpendapat bahwa :
Di Pakainya Hukum Adsat sebagai sumber Hukum Nasional telah disebakan Hukum Adat sudah Eksis
dalam budaya dan perasaan Bangsa Indonesia.
Di pakainya Hukum Islam sebagai sumber Hukum Nasional karena mayoritas Penduduk Indonesia
beragama Islam ~ Iman.
Terhadap Hukum Adat dan Hukum Islam tersebut hanya diambil asas-asasnya saja.
Hukum Barat dijadikan sumber Hukum Nasional juga berkaitan dengan urusan-urusan Internasional
atau berkaitan dengan Hukum atau perdagangan Internasional.
2. Tahun 1979, PURNADI dan SURYONO SUKAMTO menyatakan: Hukum Negara (Tata Negara) adalah
Struktur dan proses perangkaat kaedah-kaedah Hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat
tertentu serta bwerbentuk tertulis.
3. Tahun 1986, JOHN BALL menyatakan : Persoalan Hukum di Indonesia adalah persoalan dalam rangka
mewujudkan Hukum Nasional di Indonesia, yaitu persoalan yang terutama bertumpu pada realita alam
Indonesia.
4. Tahun 1966, UTRECHT membuat buku dengan judul “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”.
5. Tahun 1977, AHMAD SANUSI menyatakan PTHI hendaknya dipahami sebagai penguraian Deskritif-
Analistis yang tekanannya lebih dikhususkan bagi Ilmu Hukum Indonesia, menjelaskan sifat-sifat spesifik
dari Hukum Indonesia dengan memeberikan contoh-contohnya sendiri.
Persoalan Hukum di Indonesia dan Negara-negara baru lainnya tidak hanya sekedar penciptaan Hukum
baru yang dapat ditujukan pada hubungan Perdata dan Publik dengan karekteristiknya yang telah cukup
diketahui.
Harus diusahakan pendobrakan cara berpikir Hukum kolonial dan penggantinya dengan cara berpikir
yang didorong oleh kebutuhan menumbuhkan Hukum setempat bagi Negara yang telah merdeka.
6. Tahun 1978 , DANIEL S. LEV menlis aspek Politiknya dengan menyatakan dan kedudukan Hukum di
Negara republik indonesia sebaian besar merupakn perjuangan yang hanya dapat dimengerti secara
lebih baik dengan memahami Sosial Poltik daripada kultural.
Hukum Indonesia harus memberi tempat kepada Rasa Hukum, Pengertian Hukum,Paham Hukum yang
khas (Indonesia).
Hendaknya ada pelajaran Hukum indonesia.
7. Tahun 1952, DORMEIER membuka wacana dengan cara :
menulis buku “Pengantar Ilmu Hukum” (buku PIH karangannya ini adalah buku PIH pertama dalam
Bahasa Indonesia).
Menukis bentuk-bentuk khusus Hukum yang berlaku di Indonesia.
8. Tahun 1955, LEMAIRE Deskripsi Hukum Indonesia.
9. Tahun 1965, DANIEL S.LEV. menyatakan Transformasi yang sesungguhnya terhadap ;
Hukum masa Kolonial, terutama tergantung dari pembentukan Ide-ide baru, yang akan mendorong ke
arah bentuk Hukum yang sama sekali berbeda dengan Hukum Kolonial.
Sejak sebelum kemerdekaan sesudah kemerdekaan Republik Indonesia sudah banyak usulan agar
Negara Republik indonesia memiliki Hukum Politik dsendiri, bukan Politik Hukum yang sama dengan
Politik Hukum Belanda. Usulan-usulan tersebut.
10. Tahun 1929, KLEINTJES menulis dalam sebuah buku, yang isinya :
Pokok-pokok Hukun Tentang Negara dan Hukum Antar Negara yang berlaku di Hindia Belanda.
Beberapa aspek pranata Hukum yang dijumpai di Hindia Belanda.
11. Tahun 1932, VAN VOLLEN HOVEN dalam pidatonya yang brjudul “Romantika Dalam Hukum indonesia”
menyatakan :
Hukum Indonesia harusnya menuju “Hukum Yang Mandiri” dan jangan hanya menjadi tambahan saja
bagi Hukum Belanda di Hindia Belanda.
Ideaalnya, sejak Tahun 1945 Indonesia sudah memiliki Politik Hukumnya sendiri yang sesuai dengan
situasi dan kondisi Bangsa Indonesia
H. Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia
a. Peranan Struktur dan Infrastruktur Politik Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur
kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat
hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi
politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya (Daniel S. Lev, 1990 : xii).
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan
maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan
hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di
tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk
memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang
kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur
sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.
Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu
perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula
mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam
kenyataan (Lihat Mieke Komar at. al, 2002 : 91).
Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik
melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada
dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup
kata “process” dan kata “institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan
sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang
oleh suatu institusi politik yang sangat dpengarhi oleh kekuata-kekuatan politik yang besar dalam
institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik
diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik
terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan (M.Kusnadi, SH., 2000 :
118). Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang
duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan
otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka
diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang
kekuasaan politik. Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki
oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan
lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya dan
sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti: partai politik, tokoh-tokoh masyarakat,
organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan
demikian dapatlah disimpilkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan
politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas untuk itu.
Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa teori-teori hukum yang berpengaruh kuat
terhadap konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia adalah teori hukum
positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai
jenis hukum yang berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional dan
tradisional (Lili Rasjidi, SH., 2003 : 181). Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat,
pengaruh aliran poisitvis adalah sangat dominan. Apa yang disebut hukum selalu dikaitkan dengan
peraturan perundang-undangan, di luar itu, dianggap bukan hukum dan tidak dapat dipergunakan
sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila
dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undang
yang tidak atau belum mengatur masalah tersebut.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan
berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang
dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945
mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-
masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan
menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara.
Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap
lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah,
semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang
merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum
untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut
dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah
Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang
diajukan kepada Mahkamah Agung.
b. Pengaruh Kelompok Kepentingan dalam Pembentukan Hukum Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-
kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh
institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui
keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi,
seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi,
tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi
masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan
Peraturan Daerah.”
Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengarh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan
hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam
mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan ditandai jatuhnya orde baru di
bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era reformasi telah membawa perubahan besar di
segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu
besar dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh pakar filsafat publik
Walter Lippmann, bahwa opini massa telah memperlihatkan diri sebagai seorang master pembuat
keputusan yang berbahaya ketika apa yang dipertaruhkan adalah soal hidup mati (Walter Lippmann,
1999 : 21).
Kenyataan yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap
pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa
keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu Karena rasa ketidakadilan dan
terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin
besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau
keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.
Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para lawmaker
adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu :”Kalu opini umum sampai mendomonasi
pemerintah, maka disanalah terdapat suatu penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini
menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk
memerintah (Ibid, : 15). Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting
memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk
mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Disnilah peranan
para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun
infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma,
kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.
c. Sistem Politik IndonesiaUntuk memahami lebih jauh tentang mekanisme pembentukan hukum di Indonesia, perlu
dipahami sistem politik yang dianut. Sistem politik mencerminkan bagaimana kekuasaan negara
dijalankan oleh lembaga-lembaga negara dan bagaimana meknaisme pengisian jabatan dalam lembaga-
lembaga negara itu dilakukan. Inilah dua hal penting dalam mengenai sistem politik yang terkait dengan
pembentukan hukum.
Beberapa prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang terkait dengan uraian ini adalah sistem
yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip konstitusional serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini
saling terkait dan saling mendukung, kehilangan salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya
sistem politik ideal yang dianut. Prinsip negara hukum mengandung tiga unsur utama, yaitu pemisahan
kekuasaan - check and balances - prinsip due process of law, jaminan kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip konstitusional
mengharuskan setiap lembaga-lembaga negara pelaksana kekuasaan negara bergerak hanya dalam
koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat yang diberikan konstitusi.
Dengan prinsip demokrasi partisipasi publik/rakyat berjalan dengan baik dalam segala bidang,
baik pada proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur politik, maupun dalam proses penentuan
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh berbagai struktur politik itu. Karena itu demokrasi juga
membutuhkan transparansi (keterbukaan informasi), jaminan kebebasan dan hak-hak sipil, saling
menghormati dan menghargai serta ketaatan atas aturan dan mekanisme yang disepakati bersama.
Dengan sistem politik yang demikianlah berbagai produk politik yang berupa kebijakan politik
dan peraturan perundang-undangan dilahirkan. Dalam kerangka paradigmatik yang demikianlah produk
politik sebagai sumber hukum sekaligus sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum diharapkan –
sebagaimana yang dianut aliran positivis – mengakomodir segala kepentingan dari berbagai lapirsan
masyarakat, nilai-nilai moral dan etik yang diterima umum oleh masyarakat. Sehingga apa yang
dimaksud dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan oleh
institusi negara yang memiliki otoritas untuk itu. Nilai-nilai moral dan etik dianggap telah termuat dalam
perundang-undangan itu karena telah melalui proses partisipasi rakyat dan pemahaman atas suara
rakyat. Dalam hal produk itu dianggap melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang mendasar yang
dihirmati oleh masyarakat dan merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka rakyat dapat
menggugat negara (institusi) tersebut untuk mebatalkan peraturan yang telah dikeluarkannya dan
dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian nilai moral dan etik, kepentingan-kentingan rakyat yang ada
dalam kenyataan-kenyataan sosial tetap menjadi hukum yang dicita-citakan yang akan selalui
mengontrol dan melahirkan hukum positif yang baru melalui proses perubahan, koreksi dan
pembentukan perundangan-undangan yang baru.
BAB IIIPENUTUP
A. Kesimpulan Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam
kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai
sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa
yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran
positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam
peraturan perundang-undangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam perkembagan sistem
hukum Indonesia ke depan. Adapun nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan rakyat dalam
kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum yang
baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa hukum adat dengan bentuknya yang pada umumnya tidak
tertulis, yang sifatnya religio magis, komun, kontan dan konkrit (visual), sebagai hukum asli Indonesia
semakin tergeser digantikan oleh paham positivis. Menurut Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada
penegakan hukum serta kekecewaan pada aturan hukum sebagian besarnya diakibatkan oleh situasi
bergesernya pemahaman terhadap hukum tersebut serta proses pembentukan hukum dan putusan-
putusan hukum yang tidak demokratis.
B. Saran 1. Kita sebagai masyarakat Indonesia seharusnya kita tau bagaimana system penerintahan di Indonesia.
2. Penegak hokum harus bertidak demokratis dan jangan penah menyepelekan hukum karena hukum
adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung
Agung, Jakarta, 2002.
Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.
Lili Rasyidi & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti, Bandung
2001.
Bushar Muhammad, Asas_Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Cet. ke 4, Pradnya Paramita, Jakarta,
1983.
Fletcher, George P, Basic Concepts of Legal Thougt, Oxford University Press, New York, 1996.
Amirin, Tatang M. 1987. Pokok-pokok Teori Sistem. Jakarta: CV. Rajawali.
Ali, Achmad. 2002. Keterpurukan Hukum Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Fuady, Munir. 2007. Perbandingan Ilmu Hukum. Bandung: Refika Aditama.