Simulasi Kasus Aris (Disentri Basiler)
-
Upload
erwin-christianto -
Category
Documents
-
view
89 -
download
2
description
Transcript of Simulasi Kasus Aris (Disentri Basiler)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Definisi
Shigellosis atau yang sering disebut dengan disentri basiler adalah suatu
infeksi akut radang usus besar yang disebabkan oleh kuman dari genus Shigella.
Shigellosis menunjukkan infeksi bakteri akut pada traktus intestinalis yang
ditimbulkan oleh satu dari empat spesies Shigella. Spektrum penyakit berkisar dari
diare ringan sampai dengan disentri parah yang ditandai oleh nyeri abdomen ,
tenesmus, demam dan tanda toksisitas sistemik (1,2).
1.2. Epidemiologi
Sekurangnya 140 juta kasus dan hanya 600.000 kematian terjadi akibat
seluruh disentri basiler pada anak-anak dibawah umur 5 tahun. Kuman penyakit
disentri basiler didapatkan di seluruh dunia, tetapi kebanyakan ditemukan di negara-
negara berkembang, yang tingkat kesehatan lingkungannya masih kurang (1).
Di Amerika Serikat insiden penyakit ini rendah. Setiap tahunnya kurang dari
150.000 kasus yang dilaporkan. Di bagian penyakit dalam RSUP Palembang selama
3 tahun (1990-1992) tercatat menurut catatan medis, dari 748 kasus yang dirawat
karena diare ada 16 kasus disebabkan disentri basiler (1).
WHO (1998) mengemukakan bahwa di negara-negara maju dengan tingkat
higiene yang cukup tinggi, infeksi Shigella yang paling umum adalah Shigella sonnei
(S. sonnei), sedangkan infeksi Shigella flexneri (S. flexneri) jarang dijumpai.
Sebaliknya di negara yang sedang berkembang infeksi S. flexneri lebih sering terjadi
1
daripada infeksi S. sonnei. Ditemukannya populasi S. flexneri yang jauh lebih tinggi
daripada S. sonnei di Jakarta merupakan indikator tingkat higien di Jakarta dan
Indonesia pada umumnya masih rendah (3).
1.3. Etiologi
Penyebab dari Shigellosis adalah kuman genus Shigella yang terdiri dari 4
spesies yaitu Shigella dysentriae (S. dysentriae), S. flexneri, Shigella bondii
(S.bondii) dan S. sonnei. Kuman ini berbentuk batang, dengan ukuran 0,5-0,7 um x
2-3 um. Pada pewarnaan gram bersifat gram negatif, tidak berflagel. Tahan dalam es
selama 2 bulan dan kuman ini akan mati pada suhu 55oC (1,3).
Spesies Shigella mempunyai endotoksin lipopolisakarida yang secara kimia
dan biologi mirip dengan endotoksin enterobactericeae. S. dysentriae tipe I (Basilus
shiga) juga menghasilkan eksotoksin (2).
1.4.Patogenesis
Cara infeksi secara oral melalui air, makanan, lalat yang tercemar oleh tinja
ekskreta penderita. Shigellosis atau disentri basiler adalah infeksi usus akut yang
dapat sembuh sendiri yang disebabkan oleh Shigella. Shigellosis dapat menyebabkan
3 bentuk diare yaitu:
1. Disentri klasik dengan tinja konsistensi lembek disertai darah, mukus dan
pus.
2. Water diarrhea
3. Kombinasi keduanya
2
Masa inkubasi adalah 2-4 hari, atau bisa lebih lama sampai 1 minggu. Oleh
seorang yang sehat diperlukan 200 kuman untuk menyebabkan sakit. Kuman masuk
dan berada di usus halus, menuju terminal ileum dan kolon, melekat pada permukaan
mukosa dan menembus lapisan epitel kemudian berkembang biak dalam lapisan
mukosa. Berikutnya adalah terjadinya reaksi peradangan yang hebat yang
menyebabkan terlepasnya sel-sel dan timbulnya tukak pada permukaan mukosa usus.
Jarang terjadi organisme menembus dinding usus dan menyebar ke bagian tubuh
yang lain. Reaksi peradangan yang hebat tersebut mungkin membatasi penyakit ini
hanya pada usus, selain juga menyebabkan timbulnya gejala klinik seperti demam,
nyeri abdomen dan tenesmus ani (1,3).
Basil ini membentuk endotoksin dan eksotoksin, menyebabkan infeksi lokal pada
dinding usus terutama daerah kolon dan adanya tanda-tanda peradangan yang khas.
Berbeda dengan disentri amuba yang tidak disertai dengan tanda-tanda peradangan
yang khas (5).
1.5. Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul bervariasi, defekasi sedikit-sedikit dan terus menerus,
sakit perut dengan rasa kolik dan mejan, muntah-muntah, sakit kepala. Tinja semula
normal kemudian berangsur-angsur berubah menjadi berlendir dan berdarah, bersifat
basa. Secara mikroskopis didapatkan sel nanah, sel darah putih/merah. Suhu badan
bervariasi dari rendah-tinggi, nadi cepat.(1)
Bentuk klinis dapat bermacam-macam. Bentuk yang berat biasanya
disebabkan oleh S. dysentriae. Gejala berlangsung cepat (berak-berak), muntah-
3
muntah, suhu badan abnormal, cepat terjadi dehidrasi bahkan sering dikacaukan
dengan kolera.(1)
Sakit perut terutama di daerah kiri, di daerah anus kadang-kadang dijumpai
anus luka dan nyeri. Suhu badan tidak khas biasanya lebih tinggi dari 39oC.
Perkembangan selanjutnya berupa keluhan-keluhan yang bertambah berat, keadaan
umum memburuk, inkontinensia urin dan alvi serta gelisah. Kematian biasanya
terjadi karena terjadinya gangguan sirkulasi perifer, anuria dan koma uremik. Angka
kematian tergantung pada keadaan dan tindakan pengobatan. Penyakit ini akan
bertambah buruk pada mereka yang mempunyai status gizi buruk, bahkan pernah
dilaporkan terjadinya septikemia pada penderita dengan status gizi buruk (1,4).
1.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium.
Shigellosis harus dipertimbangkan dalam setiap penyakit demam yang disertai
dengan diare. Biasanya tinja seperti air dan mengandung mukus, darah atau pus
dalam jumlah bervariasi. Tak ada perubahan yang tetap dalam hitung jumlah lekosit
perifer selama shigellosis. Peningkatan sel darah putih dalam bentuk batang sering
ditemukan. Anemia jarang terjadi. Kelainan elektrolit serum biasanya akibat muntah
dan diare (2).
1.7. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang sangat menentukan ialah ditemukannya basil
dalam pemeriksaan tinja atau diketahui dari biakan tinja .Bahan pemeriksaan adalah
4
tinja segar,dalam hal ini harus diingat bahwa Shigella tidak tahan asam, sehingga
harus secepatnya diperiksa (5).
Gambaran endoskopi memperlihatkan mukosa yang hemoragik dengan
mukosa yang terlepas dan ulserasi. Kadang-kadang tertutup dengan eksudat,
sebagian besar lesi terdapat pada distal kolon dan secara progresif berkurang pada
daerah proksimal kolon (1).
1.8. Diagnosa Banding
Diagnosa banding disentri basiler adalah radang kolon yang disebabkan oleh
kuman enterohemoragik dan enteroinvasif seperti Eschericia coli, Compilobacter
jejuni, Salmonellla enteridis, Yersinia enterocolica dan protozoa Entamoeba
histolytica (1).
1.9. Komplikasi.
Beberapa komplikasi ekstraintestinal terjadi pada pasien yang berada di
daerah berkembang. Komplikasi yang sering terjadi adalah artritis, peritonitis, otitis
media, ensefalitis (1,5)..
1.10. Pengobatan
Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah istirahat, mencegah
atau memperbaiki dehidrasi, dan pada kasus yang berat diberikan antibiotik.
Cairan dan elektrolit
Koreksi kehilangan cairan dan elektrolit merupakan terapi utama dan dapat
dicapai dengan larutan glukosa-elektrolit oral dan cairan semaunya jika pasien
dehidrasi ringan sampai sedang. Penyebab utama kematian adalah dehidrasi.
5
Pemberian cairan dan elektrolit intravena sangat penting sesuai dengan
penatalaksanaan gastroenteritis. Jumlah cairan diberikan berdasarkan beratnya
dehidrasi yag dinilai dari kedaan umum pasien, sistem skor Daldiyono, dan
menentukan Berat Jenis Plasma (1,2)
Diet
Diberikan makanan lunak sampai berak-berak kurang dari 5 kali/hari.
Kemudian diberikan makanan ringan bila ada kemajuan (1).
Pengobatan Spesifik
Penggunaan antibiotik untuk mengurangi beratnya penyakit maupun angka
kematian , walaupun banyak penderita yang merasa tidak perlu untuk pergi ke dokter
karena penyakit ini dapat sembuh spontan. Walaupun biasanya shigellosis
merupakan penyakit yang sembuh sendiri, namun kemoterapi akan efektif
mengurangi lama demam dan memperpendek masa pembawa kuman Shigella (2,3).
Antibiotik ampisilin, tetrasiklin, trimetoprim-sulfametoksazol
(kotrimoksazole) banyak digunakan dalam pengobatan disentri basiler, tetapi dengan
semakin banyaknya strain Shigella yang resisten, maka sebaiknya dilakukan tes
kepekaan kuman terhadap antibiotik sebelum melakukan pengobatan. Gambaran
resistensi kuman terhadap obat yang dapat berubah dari tahun-ketahun dapat
digunakan memilih antibakteri yang tepat. Di Amerika Serikat, 90% isolat Shigella
resisten terhadap sulfonamid dan sekarang banyak yang resisten ampisilin (1,2,4).
Antibakteri pilihan dalam pengobatan disentri basiler bila kerentanan tidak
diketahui atau bila strain resisten terhadap tetrasiklin dan ampisilin adalah
kotrimoksazole dengan dosis 2 X 960 mg selama 5 hari. Ampisilin, 50 mg/kg perhari
6
dianggap terapi terpilih untuk strain yang sensitif atau dapat diberikan siprofloksasin
dengan dosis 2 x 750 mg. Du Pont dalam penelitian tentang disentri basiler
mendapatkan angka penyembuhan 72 jam sebesar 100% apabila dengan
menggunakan kotrimoksazole, dan angka penyembuhan sebesar 89%. Pemberian
siprofloksasin merupakan suatu kontraindikasi terhadap-anak-anak dan wanita hamil.
Amoksisilin tidak dianjurkan dalam pengobatan disentri basiler karena kegagalan
klinik telah terlihat (1,2).
Berdasarkan hasil penelitian di Jakarta dengan menggunakan 61 isolat
Shigella yang diambil dari penderita yang dirawat di Rumah Sakit di Jakarta,
ditemukan bahwa sebagian besar Shigella telah memiliki tingkat resistensi yang
tinggi terhadap empat jenis antibiotik yaitu terhadap tetrasiklin 62,3%, streptomisin
52,2%, ampisilin 39,3%, dan kloramfenikol 31,2%. Dua jenis antibiotik yang cukup
efektif untuk Shigella dalam penelitian tersebut adalah kanamisin dan kotrimoksazol;
tingkat resistensi Shigella adalah 3,2% terhadap kanamisin dan 0,0% terhadap
kotrimoksazol. Dari 4 spesies Shigella yang ditemukan S. flexneri merupakan jenis
yang paling tinggi tingkat resistensinya, sedangkan S. sonnei masih sensitif terhadap
keenam macam antibiotik tersebut. Di Indonesia populasi spesies Shigella yang
paling tinggi adalah S. flexneri sebesar 60,8%,S. dysentery dan S. bondii 14,7%, S.
sonnei 9,8% (3).
Oldfield dan Wallace (2001) menyebutkan bahwa terapi cairan diiringi
dengan antibiotik sangat diperlukan guna mencegah terjadinya komplikasi yang lebih
berlanjut, seperti perforasi, ensefalopati dan kejang. Pengobatan antibiotik untuk
penderita shigellosis telah dilakukan sejak tahun 1960. Akibat tingginya tingkat
7
resistensi bakteri terhadap antibiotik, pada tahun dekade 90-an banyak ahli beralih
menggunakan antibiotik jenis kuinolon untuk pengobatan infeksi Shigella. Dari hasil
percobaan secara invitro ditemukan hasil yang sangat memuaskan, dan memiliki
tingkat efektivitas yang tinggi ketika diterapkan. Jenis kuinolon yang sering
digunakan adalah siprofloksasin, levofloksasin dan norfloksasin. Sebuah studi
menyebutkan bahwa tingkat efektifitas terapi kuinolon diiringi dengan pemberian
antimotilitas seperti loperamid memberikan hasil yang cukup memuaskan dan aman
untuk digunakan. Terapi dengan menggunakan kuinolon dikontraindikasikan untuk
anak-anak dan wanita hamil, meskipun pernah dilaporkan bahwa pemakaian
kuinolon pada anak-anak dengan shigellosis berhasil. Regimen antibiotik yang
dilaporkan aman untuk anak-anak dan mempunyai efektivitas yang sama dengan
siprofloksasin adalah azitromisin, golongan makrolida yang mempunyai tingkat
penetrasi ke dalam bakteri Shigella yang cukup tinggi. Azitromisin dengan dosis 500
mg pada hari pertama dan 250 mg pada hari ke 2 sampai ke 5 mempunyai tingkat
efektivitas yang sama dengan dengan pemberian 2 x 500 mg siprofloksasin selama 5
hari. Kuinolon merupakan drug of choice untuk shigellosis dewasa, azitromisin
untuk anak-anak. Bisa juga digunakan terapi antibiotik yang lebih murah seperti
ampisilin dan asam nalidiksik (6)
1.11. Prognosis
Pada bentuk yang berat angka kematian tinggi kecuali bila mendapatkan
penanganan yang dini. Sedangkan untuk disentri yang ringan sampai sedang
prognosanya baik (1).
8
BAB II
SIMULASI KASUS
2.1 Kasus
Seorang ibu hamil 5 bulan Ny.Wati 935 tahun) mengeluh berak-berak sudah
sehari ini sebanyak 3 kali, perut terasa sangat mulas, tidak disertai dengan darah dan
buih. Pada kultur tinja ditemukan adanya shigella spp
Diagnosa
Shigellosis
2.2.Tujuan Terapi
Pengobatan Kausatif : Untuk membunuh bakteri penyebab infeksi
Pengobatan Simptomatik : Mencegah dan mengatasi gangguan elektrolit dan cairan
(dehidrasi)
2.3.Kelompok dan Golongan obat
Golongan Obat Nama Obat
Antibiotik 1. Kotrimoxazole2. Ampisilin
Perbandingan kelompok obat menurut khasait, kemanan dan kecocokan
No
Jenis Obat Khasiat Keamanan (efek samping obat)
Kontraindikasi Ket
1 Kotrimoksazole
Antibiotik Spektrum luas
Ruam kulit, leukopenia, neutropenia dan trombositopeni. Mual dan muntah.
Penderita dengan kerusakan hati yang jelas.Penderita dengan gagal ginjal.
9
Diskrasia darahSensistif terhadap kotrimoksazole
3 Ampisilin Antibiotik Spektrum luias
Lebih sering menyebabkan gangguan gangguan lambung, usus, juga dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergi
Hipersensitifitas terhadap penisilin
Absorbsi dihambat oleh makanan sehingga pemberian dilakukan sebelum makan.
2.5 Pilihan Obat dan Alternatif Obat yang digunakan sebagai Antibiotik
Uraian Obat Pilihan Obat Alternatif
Nama Obat Kotrimoksazole AmpisilinBSO Generik : Kotrimoksazole
BSO dan Kekuatan: Tablet Kotrimoksazole 480 mg, Tablet Kotrimoksazole 960 mg; suspensi Kotrimoksazole 240 mg per 5 mlPaten:BactoprimBSO dan Kekuatan: tablet 960 mg; tablet 480 mg; suspensi, tiap 5 ml mengandung 240 mg kotrimoksazole.
Generik: AmpisilinBSO dan Kekuatan: tablet atau kaplet ampisilin trihidat dan anhidrat 125 mg, 250 mg, 500 mg dan 1000 mg;injeksi 0,1; 0,25; 0,5 dan 1 g per vial;Paten: KalpicillinBSO dan Kekuatan: Tablet 125 mg, 250 mg,500 mg. Tiap sendok teh (5 ml) 125 mg/5ml sirup. Tiap vial : 250 mg, 500 mg dan 1000 mg.
BSO yang diberikan Tablet KapletDosis Referensi Kotrimoksazole 960 mg
sebanyak 2 kali sehari 250-500 mg tiap 6 jam
Dosis untuk kasus dan alasannya
Kotrimoksazole 960 mg. Sesuai dengan dosis referensi.
500 mg tiap 6 jam. Tidak ada faktor yang menghambat absorbsi, sesuai dengan dosis referensi.
Frekuensi pemberian dan alasannya
2 kali sehari. Sesuai dengan waktu paruh obat.
4 kali sehari, sesuai dengan waktu paruh obat.
Cara pemberian dan Oral. Tidak ada faktor yang Oral. Tidak ada gangguan
10
alasanya menghambat absorbsi. menelan.Saat pemberian dan alasannya
Sesudah makan, absorbsi tidak dipengaruhi makanan.
Sebelum makan, Absorbsi dipengaruhi makanan.
Lama pemberian dan alasannya
5 hari, Mencegah terjadinya resistensi
5 hari, Mencegah terjadinya resistensi
2.8. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Obat
a. Kotrimoksazole
Kotrimoksazole menghambat reaksi enzimatik obligat pada dua tahap yang
berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat ini memiliki efek sinergi.
Spektrum antibakteri trimetoprim sama dengan sulfametoksazol meskipun daya anti
bakteri trimetoprim 20-100 kali lebih kuat daripada sulfametoksazol (7).
Aktivitas kerjanya adalah dengan menghambat dua tahap reaksi enzimatik
untuk membentuk asam tetrahidrofolat. Tetrahidofolat penting untuk reaksi
pemindahan gugus atom C, seperti pembentukan basa purin dan asam amino. Untuk
mendapatkan efek sinergi diperlukan perbandingan kadar yang optimal dari kedua
obat, kebanyakan rasio optimal adalah 20:1 (7).
Rasio kadar sulfametoksazol dan trimetoprim yang ingin dicapai dalam
darah adalah 20:1. Karena sifatnya yang lipofilik, trimetoprim mempunyai volume
distribusi yang lebih besar daripada sulfametoksazol. Dengan memberikan
sulfametoksazol 800 mg dan trimetoprim 160 mg per oral (rasio
sulfametoksazol :trimetoprim = 5:1) dapat diperoleh rasio kadar obat tersebut dalam
darah kurang lebih 20:1 (7).
Trimetoprim cepat didistribusi dalam jaringan dan kira-kira 40% terikat pada
protein plasma dengan adanya sulfametoksazol. Volume distribusi trimetoprim
11
hampir 9 kali lebih besar daripada sulfametoksazol. Obat ini masuk ke CSS dan
saliva. Kira-kira 65% sulfametoksazol terikat dengan plasma sampai 60%
trimetoprim dan 25-50% sulfametoksazol diekskresi melalui urin dalam 24 jam
setelah pemberian (7)
Kotrimoksazole apabila diberikan bersama antikoagulan maka efek obat akan
meningkat. Apabila diberikan bersama obat hipoglikemik maka dapat mempengaruhi
dosis obat hipoglikemik tersebut. Pemberian kotrimoksazole bersama dengan
pirimetamin dapat menyebabkan terjadinya anemia megaloblastik (8).
b. Ampisilin
Ampisilin merupakan prototip golongan aminopenisilin berspektrum luas,
tetapi aktivitas terhadap kokus gram positif kurang daripada penislin G. Semua
penisilin golongan ini dirusak oleh beta laktamase yang diproduksi oleh bakteri gram
positif. Golongan penisilin bekerja dengan menghambat pembentukan mukopeptida
yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba. Terhadap mikroba yang sensitif,
penisilin akan menghasilkan efek bakterisid (9).
Jumlah ampisilin dan senyawa sejenisnya yang diabsorbsi pada pemberian
oral dipengaruhi besarnya dosis dan ada tidaknya makanan dalam saluran cerna.
Dengan dosis yang lebih kecil persentase yang diabsorbsi relatif lebih besar.
Perbedaan absorbsi ampisilin trihidrat dengan bentuk anhidrat tidak memberikan
perbedaan yang bermakna dalam penggunaan di klinik. Sering absorbsi ampisilin
oral tidak memuaskan sehingga perlu meningkatkan dosis (9).
Ampisilin didistribusi luas dalam tubuh dan pengikatannya oleh protein
plasma hanya 20%. Ampisilin masuk dalam empedu mengalami siklus enterohepatik,
12
tetapi yang diekskresi bersama tinja jumlahnya cukup tinggi. Biotranformasi
golongan penisilin umumnya dilakukan oleh mikroba. Kadar ampisilin dalam darah
dapat meningkat apabila pemberian ampisilin bersama dengan probenesid (8,9).
2.9. Pengendalian Obat
Penggunaan obat-obatan pada waktu hamil, harus benar-benar sesuai dengan
keperluan, dan perlu dipertimbangkan antara rasio keuntungan dan kerugian yang
kan diderita oleh pasien. Pada kasus ini terjadi shigellosis pada wanita hamil dengan
usia kehamilan 5 bulan. Pemilihan obat dilakukan dengan mempertimbangkan
keuntungan dan resiko yang akan diterima oleh ibu maupun janin. Hampir semua
obat dapat melalui plasenta, beberapa hal yang dipertimbangkan dalam memilih obat
adalah (10):
1. Tidak ada obat yang 100% aman untuk janin
2. Obat sebaiknya diresepkan selama kehamilan hanya jika keuntungan
lebih besar daripada resiko dan hindarkan peresepan selama trimester
pertama.
3. Efek obat pada janin bisa tidak sama dengan farmakologi obat pada
ibu.
4. Metabolisme obat pada saat kehamilan lebih lambat dibandingkan
pada saat tidak hamil.
5. Pengalaman penggunaan obat pada saat kehamilan sangat terbatas
Pada kasus ini terdapat beberapa jenis antibiotik yang bias digunakan dalam
pengobatan shigellosis yaitu, kotrimoksazole, siprofloksasin, ampisilin, tetrasiklin,
dan kanamisin, dari kelima obat tersebut tiga jenis obat (siprofloksasin, tetrasiklin,
13
kanamisin) dinyatakan tidak aman untuk digunakan pada saat kehamilan karena efek
samping yang ditimbulkannya. Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan oleh
ketiga obat tersebut adalah (10):
1. Kerusakan nervus VIII (ototoksik) dan nefrotoksik (aminoglikosid,
kanamisin)
2. Terjadi arthropati pada animal yang belum matang (siprofloksasin)
3. Hepatotolsik pada ibu, gangguan pertumbuhan tulang, gangguan dan
pewarnaan gigi. (tetrasiklin)
Dari beberapa pilihan diatas maka dua antibiotik yang masih bisa digunakan
adalah kotrimoksazole dan ampisilin. Pada beberapa kepustakaan trimetoprim
dikontraindikasikan untuk diberikan pada pasien hamil trimester I. Untuk pasien ini
dapat dikatakan aman, karena usia kehamilan memasuki trimester ke-2. Sedangkan
untuk ampisilin dinyatakan aman untuk pemberian pada wanita hamil, tetapi karena
tingkat resistensi bakteri Shigella terhadap ampisilin sangat tinggi, maka
dikhawatirkan efektivitas terapi akan sangat rendah, sehingga kita lebih cenderung
untuk memilih kotrimoksazole sebagai drug of choice pada kasus ini. Disamping
pemberian antibiotik, rehidrasi cairan dan elektrolit merupakan terapi yang paling
utama untuk mencegah morbiditas dan mortalitas.
Pemakaian kotrimoksazole sebagai obat pilihan untuk terapi disentri basiler telah
populer sejak 1986. Kotrimoksazole biasanya digunakan untuk shigellosis
simptomatik, yang resisten terhadap ampisilin dan kloramfenikol. Dosis 2 x 960 mg
setiap 12 jam mungkin efektif untuk beberapa jenis infeksi Shigella dan Salmonella,
terutama jika mereka resisten terhadap ampisilin dan kloramfenikol (11).
14
Penulisan Resep Pilihan
15
Dr. Aris Budianto Sp.PDSIP : 012376890
Banjarmasin, 29 April 2005
Kotrimoksazole Tablet 960 mg No X
b.d.d Tablet.I p.c
Pro : Ny. WatiUmur : 35 tahunAlamat : Jl.Veteran 26 Banjarmasin
Praktek : senin-jumat 17.00-20.00Apotik Kimia FarmaJl.S.Parman no 26 Banjarmasin Telp.2677934
Rumah: Jl.Gatot Subroto VII Komplek Pondok Karya No 26Banjarmasin Telp: 262211
Penulisan Resep Alternatif
16
Dr. Aris Budianto Sp.PDSIP : 012376890
Banjarmasin, 29 April 2005
Ampisilin Tablet 500 mg No XX
q.d.d Tablet.I a.c
Pro : Ny. WatiUmur : 35 tahunAlamat : Jl.Veteran 26 Banjarmasin
Praktek : senin-jumat 17.00-20.00Apotik Kimia FarmaJl.S.Parman no 26 Banjarmasin Telp.2677934
Rumah: Jl.Gatot Subroto VII Komplek Pondok Karya No 26Banjarmasin Telp: 262211
DAFTAR PUSTAKA
1. Hoesadha, Y. Sya’roni, A 1996. Disentri Basiler dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi ke 3. Balai Penerbit FK UI, Jakarta; 458-62.
2. Pearson, R.D. Guerrant, R.L 1991. Sigellosis dalam Buku Ajar Penyakit Dalam HARRISON Kelainan Karena Agen Biologik dan Lingkungan Edisi 11. EGC, Jakarta; 257-60.
3. Triatmojo, P 1994, Pola Resistensi Shigella Sp.yang diisolasi dari penderita Gastroenteritis di Jakarta terhadap Beberapa Jenis Antibiotik.CDK 97. Jakarta, 1994; 36-9.
4. Karsinah et al 1993. Batang Negatif Gram dalam Buku Ajar Mikrobiologi
Kedokteran edisi revisi. Binarupa Aksara, Jakarta; 165-8
5. Hassan,R (ed). 1997 . Disentri Basil dalam Ilmu Kesehatan Anak vol 2, Infomedika, Jakarta; 556-8
6. Oldfiel E .C, Wallace M.R. 2001. The Role of Antibiotics in The Treatment of Infectios Diarrhea.. http://www. mdconsult.com /Gastroenterolgy Clinics.htm diakses 28 April 2005.
7. Mariana,Y. Setiabudy, R. 1995 . Sulfonamid, Kotrimoksazol dan Antiseptik Saluran Kemih dalam Ganiswarna S. (ed). Farmakologi dan Terapi edisi 4. Penerbit FK UI, Jakarta ;590-3.
8. Hardjasaputra, P.S.I. 2002. Data Obat di Indonesia (DOI) edisi 10. Grafidian Medipress, Jakarta; 312-3,338-9
9. Istiantoro, Y.H. Gan, V.H.S. 1995 . Penisilin, Sefalosporin, dan Antibiotik Betalaktam lainnya dalam Ganiswarna S. (ed). Farmakologi dan Terapi edisi 4. Penerbit FK UI, Jakarta ;625-36.
10. Mansjoer,Arief (ed). 1999. Kapita Selekta Kedokteran edisi ke-3 Jilid I.Media Aesculapius FK UI, Jakarta;13-21.
11. Jawetz, E. 1995. Sulfonamid & Trimetoprim dalam Katzung B.G. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3. EGC. Jakarta; 659-61.
17
18
Simulasi Kasus
SHIGELLOSIS
PADA WANITA HAMIL
Disusun Guna Memenuhi Sebagian SyaratMengikuti Ujian Ilmu Farmasi Kedokteran
Oleh:
Aris Budianto
I1A000077
Pembimbing :
Dr.H.M Bakhriansyah M.Kes
Universitas Lambung Mangkurat
Fakultas Kedokteran
Laboratorium Farmasi
Banjarbaru
2005
19
20