Sikap Terhadap Produk Ramah Lingkungan - Copy

download Sikap Terhadap Produk Ramah Lingkungan - Copy

If you can't read please download the document

description

SASASASASASA

Transcript of Sikap Terhadap Produk Ramah Lingkungan - Copy

24Sikap terhadap produk-produk ramah lingkunganPengaruh ekoliterasi, pengaruh interpersonal dan orientasi nilaiIsaac Cheah dan Ian PhauCurtin University of Technology, Perth, AustraliaIntisariTujuanPaper ini bermaksud mengidentifikasi anteseden-anteseden dan moderator-moderator penting yang memengaruhi kesediaan konsumen untuk membeli produk-produk ramah lingkungan.Desain/metodologi/pendekatanMetode sampling yang seder-hana digunakan. Total 600 kuesioner yang diurusi sendiri dibagikan selama kuliah di sebuah universitas Australia yang besar. Totalnya, 256 respons konsumen Australia yang bisa dipakai dihimpun dan dipakai untuk analisa.TemuanHasil-hasil menunjukkan bahwa tiga anteseden ekoliterasi, pengaruh interpersonal dan orientai nilai memiliki korelasi kuat dengan sikap-sikap terhadap produk-produk ramah lingkungan. Konsumen dengan sikap-sikap yang baik terhadap produk-produk ramah lingkungan lebih mungkin membeli produk-produk ramah lingkungan. Kebutuhan produk anggapan menengahi hubungan antara sikap terhadap produk-produk ramah lingkungan dan kesediaan membeli produk-produk ramah lingkungan. Keterbatasan penelitian/implikasiStudi-studi longitu-dinal bisa dijalankan di waktu mendatang. Faktor-faktor perantara yang mungkin lainnya seperti keterlibatan produk atau penetapan harga bisa pula digali. Jangkauan indicator perilaku yang lebih luas bisa digunakan untuk menangkap pengukuran perilaku berorientasi lingkungan yang lebih akurat.Implikasi praktisPendidikan konsumen tentang lingkungan krusial bagi konsumen untuk membentuk mindset yang lebih positif kea rah produk-produk ramah lingkungan. Inisiatif-inisiatif komunikasi yang menyoroti beragam kampanye dukungan lingkungan dan strategi-strategi produk sadar lingkungan ialah beberapa cara mendorong perilaku membeli.OriginalitasStudi ini memeriksa anteseden dan konsekuensi-konsekuensi sikap ke arah membeli produk-produk hijau dalam konteks Australia. Selanjutnya, studi memakai produk-produk kebutuhan harian sebagai kategori produk.Kata kunci: produk-produk ramah lingkungan, kesediaan membeli, ekoliterasi, perilaku konsumen, citra diri, AustraliaJenis paperPaper risetPendahuluan Akibat bertambah pentingnya keprihatinan lingkungan dan upaya-upaya tak kenal lelah dinas-dinas pemerintah, LSM dan ahli lingkungan setempat guna meningkatkan kesadaran mengenai imbas masyarakat pada lingkungan, environmenta-lisme sudah menjadi sebuah fenomena global yang penting (Brown, 2008; Kilbourne dan Pickett, 2008; Manaktola dan Jauhari, 2007). Kenaikan dalam environmentalisme antarpara konsumen (Montoro et al, 2006; Wustenhagen dan Bilharz, 2006) sedang mendorong banyak bisnis untuk menyadari bahwa mereka ialah anggota-anggota komunitas yang lebih luas dan harus merintis jalan bagi environmentalisme korporat (Banerjee et al 1995). Perusahaan-perusahaan bisnis yang cerdik kini memandang pembangunan hijau sebagai peluang-peluang pasar alih-alih sekadar regulasi yang dipatuhi (Pickett-Baker dan Ozaki, 2008; Polonsky dan Rosenberger, 2001; Taghian dan DSouza, 2008). Selagi keprihatinan lingkungan konsumen sudah bergerak menuju pemasaran arus utama, kiranya berguna dari perspektif pemasaran untuk menyelidiki bagaimana konsumen membuat pilihan jujur soal produk-produk hijau (DSouza et al 2006). Kepustakaan pemasaran sosial memandang perilaku konsumen hijau sebagai sebentuk perilaku konsumen yang berorientasi etis yang terdorong bukan semata oleh kebutuhan pribadi konsumen melainkan juga oleh keprihatinan mereka akan kesejahteraan masyarakat pada umumnya (Diamantopolous et al, 2003; Osterhus, 1997; Pelton et al, 1993).Selagi banyak studi menyelidiki beragam aspek pemasaran lingkungan (Kilbourne dan Pickett, 2008; Laroche et al, 2001; Manaktola dan Jauhari, 2007; Polonsky, 1994), pasar kini sedang mengalami minat yang diperbarui dalam isu-isu berorientasi ekologi dengan fokus lebih pervasif pada pasaran konsumen (Diamantopolous et al, 2003; DSouza et al, 2006). Ini mencakup standarisasi yang bertambah dalam regulasi lingkungan dan paket-paket dan program-program inisiatif pemerintah seperti paket rumah efisien energi dan inisiatif efisiensi energi nasional kota kecil, jaringan cerdik Pemerintah Australia (australian Government n.d.). Lagipula, ulasan media yang ekstensif mengenai permasalahan lingkungan, bencana dan insiatif (spt An Inconvenient Truth, film dokumenter yang dipersembahkan Al Gore) mempromosikan dan meningkatkan kesadaran akan ketakutan pemanasan global (Shabecoff, 2001, 2003).Mayoritas penelitian belakangan ini yang diteritkan pada segmen-segmen pemasaran lingkungan dibatasi pada konteks Euro-Amerika (Coddington, 1990; Karna et al, 2003; Schlegelmich et al, 1996; Wustenhagen dan Bilharz, 2006), dengan pengecualian segelintir studi menonjol yang menyelidiki efek-efek pemasaran lingkungan dalam konteks Asutralia (Banerjee et al 1995; Phau dan Ong, 2007; Taghian dan DSouza, 2005, 2008). Kerangka penelitian yang besar ini, meski kebarat-baratan, merintis jalan bagi banyak sekali konsep dan model anyar yang berkaitan dengan pemasaran lingkungan.Langkah logis berikutnya ialah memperluas konsep-konsep ini secara universal guna mengevaluasi perbedaan-perbedaan yang mungkin hadir di antara budaya, khususnya saat berhadapan dengan perilaku konsumen di latar yang sadar secara lingkungan. Misalnya, kecaman seputar bisnis Australia, para profesional kerja, pakar dan akademisi yang secar abuta mendukung konsep-konsep yang digodok di budaya-budaya berbeda dengan budaya mereka, selagi memiliki sedikit pemahaman mengenai bagaimana atau jika konsep-konsep ini bisa digeneralisasikan atau jika mereka berpotensi diselaraskan dengan konsumen Australia (Baker dan Sinkula, 2005; Banerjee et al, 2003; Chamoro et al, 2007).Misalnya, dalam memeriksa dimensi-dimensi variabilitas budaya, banyak negara dan budaya Euro-Amerika nampaknya melekat secara ketat pada rantai komando, yang tecermin dalam jenjang-jenjang kuasa-jarak yang tinggi dan juga memperlihatkan jenjang individualitas yang tinggi. Negara-negara atau budaya Eropa seperti Yunani dan Portugal memiliki jenjang pengelakan ketidakpastian yang lebih besar, sedang Jerman dan Perancis dibedakan melakui pengelakan ketidakpastian yang lebih lemah, yang menyiratkan aversi yang lebih berisiko dan tendensi guna menghindari konfrontasi dan ketidakpastian (Carbaugh, 2005; Hester dan Englin, 1997). Tambahan pula, masyarakat Euro-Amerika mungkin merangkul devosi jangka panjang ke nilai-nilai tradisional dan pemikiran maju, yang bermakna bahwa jenis perubahan apapun akan memakan waktu lebih lama untuk terlaksana (Hofstede, 1980), jadi memberi kontribusi pada proses fasilitasi yang parah dan berlarut-latur inisiatif-inisiatif dan regulasi-regulasi pemerintah berkenaan dengan isu-isu lingkungan. Namun, sesuai fakta bahwa Uni Euro-Amerika memuat bangsa-bangsa pada kedua ekstrim dimensi budaya ini, tergantung pada sifat dan keparahan isu yang dibahas, bisa jadi secara potensial sulit untuk menggeneralisasikan atau bahkan menentukan tekanan dan teknikalitas budaya yang menyumbang raihan apapun.Di sisi lain, warga Australia dicirikan oleh rendahnya kadar pengelakan ketidakpastian, jenjang tinggi individualitas dan lebih rendah daripada rerata jenjang jarak kuasa (Hofstede, 1980); ini menandakan kesetaraan yang lebih besar di antara jnjang-jenjang masyarakat, termasuk pemerintah, organisasi dan bahkan dalam keluarga, dan juga orientasi yang meneguhkan interaksi kooperatif lintas tampuk kekuasaan dan menciptakan lingkungan budaya yang lebih stabil. Oleh sebab itu, krakter warga Australia menyumbang pada kerjasama grup-grup korporat, publik dan pemerintah yang lancar dengan memandang isu-isu lingkungan seperti kinerja sustainabilitas dan minimalisasi sidik jari ekologis karbon.Hingga belakangan, kepustakaan menyediakan sedikit pemahaman mengenai anteseden-anteseden dan konsekuensi-konsekuensi sikap ke arah produk-produk hijau bagi bisnis dan konsumen Australia (DSouza et al, 2006). Pengabaian lain dari temuan-temuan kebanyakan studi ialah kurangnya spesifisitas kategori produk dan kegagalan mengalamatkan atau membandingkan jenis-jenis produk-produk ramah lingkungan yang spesifik (spt madu olahan). Hasilnya, ada ketidakseimbangan saat ini di antara tumbuhnya pemakaian produk-produk ramah lingkungandi pasaran dan terbatasnya perhatian riset yang terfokus pada kategori alternatif produk ini (Taghian dan DSouza, 2005). Wawasan tambahan ini bisa membantu banyak bisnis merancang prosedur-prosedur pemasaran mereka dan memperbaiki kesesuaian anggapan di antara produk-produk tradisional dan produk-produk bersifat ekologis.Guna menengok kembali kesediaan konsumen untuk membeli produk-produk ramah lingkngan di Australia, studi ini secara empirik menguji model konseptual. Pertama, ia menyelidiki korelasi tiga anteseden yang diperoleh dari kepustakaan, yaitu:EkoliterasiPengaruh interpersonal danDimensi-dimensi nilai yang terdiri dari kolektivisme dan individualisme, terhadap variabel dependen sikap-sikap lingkungan konsumen (CEA).Kedua, ia menyelidiki hubungan di antara CEA dan kesediaan konsumen untuk membeli produk-produk ramah lingkungan (WTB-EFP). Sasaran studi yang ketiga ialah menyelidiki efek perantara kebutuhan produk anggapan pada hubungan di antara CEA dan WTB-EFP. Bagian-bagian berikut meninjau teori yang berkaitan, mengembangkan hipotesa-hipotesa penelitian, menjabarkan metodologi studi guna menguji hipotesa, melaporkan hasil dan membahas implikasi-implikasi temuan.Kepustakaan yang relevanInformasi sosial dan psikografis mengenai konsumen sudah mendapat banyak perhatian dalam konteks pemasaran lingkungan (Laroche et al, 2001; McCarty dan Shrum, 1994; Ottman, 1993). Informasi sosio-psikografis meliputi nilai, jenjang pendidikan di area spesifik, pengaruh interpersonal, opini dan sikap. Salah satu paper yang lebih signifikan yan gmelihat informasi psikografis konsumen ialah paper McCarty dan Shrum (1994) yang menggunakan daftar skala nilai yang diusulkan oleh Kahle (1996) demi mengukur sejumlah variabel guna menghubungkan nya dengan perilaku daur ulang. Banyak penulis merasa bahwa variabel-variabel ini memiliki kemampuan memprediksi perilaku-perilaku tertentu, dan sebagaimana kebanyakan studi yang dijalankan dalam pemasaran lingkungan sudah meneliti hal ini, lebih dari informasi psikografis (Banerjee et al, 2003; Laroche et al, 1996; Roberts dan Bacon, 1997).Perilaku dan sikap-sikap lingkungan seorang konsumen sudah didokumentasikan sebagai sebuah konsep kompleks meski vital yang diperlukan guna mengalamatkan profil konsumen sadar secara ekologis (Roberts dan Bacon, 1997). Beberapa studi, katakanlah studi Roberts (1996), Roberts dan Bacon (1997) dan Stern et al (1993), sudah memeriksa kolaborasi dimensi-dimensi demografis dan psikografis berkaitan dengan sikap-sikap lingkungan dan perilaku. Studi-studi terdahulu (Amyx et al, 1994; Kinnear et al, 1974; McCarty dan Shrum 1994) sudah menetapkan korelasi kentara di antara sikap-sikap positif terhadap produk-produk ramah lingkungan dan keputusan pembelian yang positif. Secara setara, sikap-sikap negatif akan menggagalkan konsumen yang mengakibatkan keputusan tidak membeli (McCarty dan Shrum, 1994).Menurut Meneses dan Palacio (2006), perbedaan pokok di antara pemelihara dan bukan pemelihara (sustainer dan non sustainer) ialah kadar perhatian ekologi. Dengan memandang sikap terhadap produk-produk ramah lingkungan, istilah kepentingan dan kesukaran secara ekstensif paling banyak diperiksa dan dirujuk pada kepustakaan pemasaran hijau (Amyx et al, 1994; Kinnear et al, 1974; Van Liere dan Dunlap, 1981).Amyx et al. (1994) mendefinisikan kepentingan anggapan dengan memandang lingkungan sebagai kadar yang terhadapnya seseorang mengungkapkan keprihatian soal isu-isu ekologis. Dengan kata lain, kepentingan sekadar dibatasi pada apakah konsumen memandang perilaku yang selaras secara lingkungan sebagai penting bagi diri mereka sendiri (kepentingan diri) atau pada masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Misalnya, makanan organik dan perkakas hemat energi adalah produk-produk ramah lingkungan yang ingin konsumen beli, sekadar karena produk-produk ini diyakini oleh konsumen mengundang secara langsung kepentingan diri mereka selagi pada waktu yang sama mendorong manfaat-manfaat lingkungan (Ginsberg dan Bloom, 2004). Di lain sisi, istilah kesukaran (inconvenience) merujuk pada seberapa tidak nyaman dirasakan oleh individu untuk bertindak dengan cara yang secara ekologis menguntungkan (Roberts dan Bacon, 1997). Misalnya, seseorang mungkin merasa bahwa daur ulang penting bagi manfaat masyarakat jangka panjang, namun ia mungkin juga merasa bahwa secara pribadi tidak nyaman. Demikian pula, seorang konsumen bisa jadi tahu bahwa jus atau puding yang dikemas secara aseptik yang disajikan tunggal akan menciderai lingkungan, namun tetap membelinya karena mereka nyaman.Sebagaimana studi-studi terdahulu (Kinnear et al, 1974; McCarty dan Shrum, 1994; Roberts dan Bacon, 1997), mayoritas studi menyimpulkan bahwa alasan pokok bagi kegagalan konsumen untuk menanggapi urusan lingkungan nampaknya sebagian besar ialah akibat keampuhan diri dan dugaan keefektifan konsumen anggapan mengenai kadar yang terhadapnya seseorang merasa dirinya bisa membuat perbedaan dalam membenahi kualitas lingkungan (Antil, 1978, Berger dan Cobin, 1992; Ellen et al, 1991). Oleh sebab itulah, masuk akal kiranya untuk berasumsi bahwa sikap seseorang terhadap keparahan permasalahan ekologi atau berkenaan dengan lingkungan pada umumnya bisa jadi mempengaruhi kesediaannya untuk membeli produk-produk ramah lingkungan.Ekoliterasi Pengetahuan lingkungan berkembang dalam dua bentuk: pertama ialah bahwa konsumen harus dididik untuk memahami imbas umum produk pada lingkungan, kedua ialah pengetahuan konsumen mengenai produk itu sendiri yang tengah diproduksi dengan cara yang ramah secara lingkungan (DSouza et al, 2006). Menurut Laroche et al (1996), pengetahuan seseorang mengenai lingkungan memainkan peranan multifacet dalam mempengaruhi perilakunya; yaitu menyediakan subyek dengan pengetahuan soal isu-isu dan strategi-strategi tindakan dan membantu membentuk sikap dan pamrih melalui sistem kepercayaan. Lagipula, ini mengarah pada aspek-aspek praktis variabel pengetahuan sebagaimana ia menguraikan poin-poin pengaruh yang penting yang dengannya para pemasar dan agensi bisa mempengaruhi perilaku pro lingkungan.Kebanyakan konsumen akan suka membuat pilihan rasional mengenai pembelian produk-produk ramah lingkungan, jadi mereka akan menghendaki informasi yang mencukupi agar sadar sepenuhnya akan dan berwawasan soal persoalan lingkungan dan isu-isu lingkungan demi membentuk pandangan opini atau sikap demi memilih menurut pamrih-pamrih mereka. Sebagaimana Laroche et al (2001) jelaskan, pendidikan konsumen dilihat sebagai metode yang tepat untuk meningkatkan kemudahan anggapan dan menetapkan kredibilitas dalam istilah menjadi ramah secara lingkungan. Ini diartikan sebagai ekoliterasi, yang digunakan untuk mengukur kemampuan responden untuk mengidentifikasi sejumlah simbol-simbol, konsep-konsep dan perilaku yang secara ekologis berkaitan. Sudah ditemukan berkorelasi dengan sejumlah sikap dan perilaku terhadap lingkungan (Laroche et al 1996).Pengaruh interpersonalPengaruh interpersonal terutama terdiri dari imbas bertindak membujuk, menyakinkan atau mempengaruhi orang lain untuk maksud memiliki efek tertentu. Determinan penting dari perilaku seseorang ialah pengaruh orang lain (Bearden et al, 1989). Menurut teori kognitif sosial, proses pengaruh interpersonal menyokong interaksi bilateral-direksional yang juga terjadi di antara karakteristik lingkungan dan karakteristik pribadi (Bandura, 1977, 1986, 1989). Sebagai bagian dari proses ini, pengaruh sosial dan struktur fisik dalam lingkungan mengembangkan dan memodifikasi harapan-harapan manusia, kepercayaan dan kompetensi-kompetensi kognitif. Tambahan pula, manusia membangkitkan reaksi-reaksi berbeda dari lingkungan sosial mereka sebagai hasil dari karakteristik fisik mereka, seperti umur, ukuran, ras, jenis kelamin dan daya tarik fisik.Pengaruh sosial teman sebaya, grup keluarga dan badan-badan berpengaruh bisa menyampaikan informasi dan mengaktifkan reaksi-reaksi emosional melalui faktor-faktor seperti peragaan, instruksi dan persuasi sosial (Bandura, 1986). Lingkungan sosial seperti keluarga, teman dan jaringan sebaya (susceptibilitas normatif) amat mempengaruhi keputusan membeli yang melibatkan produk-produk ramah lingkungan. Proses dan hubungan interpersonal di antara para pemuka pendapat dan profesional mungkin memiliki imbas substansial pada sikap-sikap serupa terhadap keputusan membeli (susceptibilitas informasi). Stafford dan Cocanougher (1977) mengemukakan bahwa kurangnya pertimbangan bagi efek-efek pengaruh interpersonal pada perkembangan sikap, norma, nilai, aspirasi dan perilaku membeli mungkin merintangi pemahaman esensi perilaku konsumen.Orientasi nilai Istilah nilai didefinisikan sebagai kepercayaan sempit atau kaku yang bertahan bahwa keadaan eksistensi akhir atau modus tingkah laku yang spesifik merujuk pada keadaan akhir yang berlawanan atau modus tindak tanduk yang berbeda bagi kehidupan seorang makhluk (Kahle, 1996; Rokeach, 1986). Keduanya menelaah dengan amat sering nilai-nilai dalam penelitian tentang produk-produk ramah lingkungan dan perilaku ekologi merupakan kolektivisme dan individualisme (Hui dan Triandis, 1986; McCarty dan Shrum, 1994; Triandis, 1989, 1993).Individualisme dalam budaya menyiratkan ikatan-ikatan yang kendor (Hui dan Triandis, 1986; Markus dan Kitayama, 1990; Triandis, 1989). Masing-masing individu memiliki harapan untuk mengurusi diri sendiri atau keluarga dekat seseorang namun bukan orang lain. Gratifikasi pribadi, yang menyoroti kebutuhan akan rasa prestasi, pengakuan sosial dan menikmati hal-hal yang lebih baik dalam hidup (Ang et al 2001) merupakan titik tonggak individualisme. Konsumen individualistik yang menilai gratifikasi pribadi tidak sangat kondusif terhadap keramahan lingkungan. Di sisi lain, kolektivisme mengabaikan gratifikasi pribadi namun menyiratkan kerjasama, kebermanfaatan dan pertimbangan ke arah tujuan-tujuan kelompok yang relatif terhadap individu (Crane, 2000; Laroche et al 2001; McCarty dan Shrum, 1994). Seorang kolektivis mungkin mengabaikan motivasi-motivasi individual demi kebaikan kelompok. McCarty dan Shrum (1994) dan Triandis (1993) menyimpulkan bahwa orang-orang kolektivis cenderung menjadi lebih ramah secara lingkungan, selagi orang-orang individualistik cenderung menjadi lebih jahat secara lingkungan. Oleh sebab itulah, konsumen yang menilai gratifikasi pribadi akan memiliki sikap-sikap yang kurang positif terhadap lingkungan dan sebaliknya.Kebutuhan produk anggapan Dua kategori produk diperiksa: yaitu item-item barang mewah dan item-item barang kebutuhan. Item-item barang mewah cenderung memiliki kadar eksklusivitas yang tinggi dan biasanya lebih mahal (spt risiko moneter yang lebih tinggi) daripada item-item barang kebutuhan (Sharma et al 1995). Tambahan pula, risiko pembelian yang buruk dan nilai hedonistik produk-produk mewah merupakan karakteristik tugas yang kompleks (spt keputusan pembelian menjadi lebih pelik, penting dan memakan waktu), seperti membeli produk-produk mewah (Solomon, 2006. Sebaliknya, item-item kebutuhan cenderung mewakili produk-produk yang dimiliki bersama, dan dengan demikian menegaskan risiko moneter dan nilai hedonistik yang lebih rendah dan melubatkan sedikit kompleksitas dalam istilah pengambilan keputusan.Ketika suatu produk dianggap sebagai suatu kebutuhan, diharapkan bahwa sikap-sikap konsumen ke arah lingkungan seharusnya memainkan peranan relatif kecil dalam mempengaruhi perilaku pembelian, atau dalam kasus ini, kesediaan membeli produk-produk ramah lingkungan. Di sisi lain, mungkin kiranya bahwa sikap-sikap konsumen terhadap lingkungan dalam kaitan dengan item-tem yang kurang perlu seharusnya memiliki imbas yang lebih substansial pada perilaku pembelian (Sharma et al 1995; Solomon 1996). Pada dasar logika, bisa diharapkan bahwa preferensi pribadi dan kehendak pribadi (kebutuhan suatu produk) akan mengimbangi motif-motif yang lebih altruistik dan terpusat non diri yang terkandung dalam pandangan sikap ideal.Landasan teoritis dan pengembangan hipotesaSeperti Gambaran 1 tunjukkan, studi ini berusaha memenuhi sasaran-sasaran yang dirangkum dalam model penelitian. Model menyajikan CEA sebagai konstruk penting dan mengaitkannya dengan konstruk-konstruksi sosial-psikologis lain, yaitu ekoliterasi (H1), pengaruh interpersonal (H2) dan orientasi nilai (H3). CEA memprediksi hubungan kasual dengan WTB-EFP (H4). Harapannya ialah bahwa keterkaitan teoritis yang penting tidak secara seragam kuat dan harus diukur oleh keadaan perantara yang berlaku. Model mempostulasikan variabel perantara tunggal dan dianggap sebagai relatif tak perlu versus kebutuhan tak tercakup (H5). Bagian-bagian berikut membahas landasan teoritis di balik tiap hipotesa.Gambar 1 Model penelitian usulanEkoliterasi Orientasi nilaiPengaruh interpersolanalSikap terhadap produk-produk ramah lingkunganKesediaan membeli produk-produk ramah lingkunganKebutuhan produk anggapanH1H2H3H4H5Teori kognitif sosial Teori kognitif sosial mendefinisikan perilaku manusia sebagai sebuah interaksi triadik, dinamis dan timbal balik dari faktor-faktor pribadi, perilaku dan lingkungan (Bandura, 1977, 1986, 1989). Teori mengemukakan bahwa interplay dinamis dari pengaruh-pengaruh pribadi, perilaku dan lingkungan secara unik menentukan berfungsinya manusia (perilaku seseorang). Selanjutnya, orang-orang merupakan produk maupun produsen lingkungan mereka (Bandura, 1977). Perilaku seseorang memengaruhi aspek-aspek lingkungan yang terhadapnya mereka terpapar dan kelak lingkungan memodifikasi perilaku orang itu. Misalnya, peranan wawasan produk atau pendidikan (informasi yang diperoleh dari lingkungan) yang mempengaruhi keputusan pembelian (evaluasi pembelian) merupakan kepentingan pokok bagi konsumen (Diamantopolous et al 2003; Wiser et al 1999; Zarnikau, 2003).Perilaku seseorang bisa memengaruhi cara yang di dalamnya ia mengalami lingkungan melalui perhatian selektif. Berdasarkan kompetensi dan preferensi manusia yang dipelajari, orang-orang memilih dengan siapa mereka berinteraksi dan aktivitas-aktivitas yang di dalamnya mereka ikut serta dari jangkauan kemungkinan yang luas. Oleh sebab itu, pengaruh-pengaruh perilaku yang banyak pengaruh lingkungan yang potensial bermain, dan yang bentuk-bentuknya mereka ambil. Kelak, lingkungan sebagian memengaruhi perkembangan dan aktivasi perilaku seseorang (Bandura, 1989).Berdasarkan ini, teori menyokong bahwa wawasan lingkungan atau ekoliterasi konsumen (Laroche et al, 1996, 2001), pengaruh interpersonal (Bearden et al 1989) an orientasi nilai (McCarty dan Shrum, 1994; Triandis, 1993) terhadap lingkungan ekologis akan memainkan peranan multifacet dalam memengaruhi CEA dan perilaku. Jadi, teori merumuskan hipotesa-hipotesa berikut:HEkoliterasi konsumen berkorelasi secara positif dengan sikap-sikap terhadap lingkunganH2Pengaruh interpersonal yang tinggi secara positif berkorelasi dengan sikap-sikap yang ramah secara lingkungan. Yaitu, konsumen yang lebih terbuka terhadap opini-opini mengenai norma-norma akan cenderung menyesuaikan diri atau mematuhi harapan-harapan orang lainH3Kolektivisme terkait secara positif dengan sikap-sikap terhadap lingkungan. Yaitu, konsumen dengan latar belakang kolektivistik akan mengungkapkan tendensi-tendensi yang lebih altruistik daripada konsumen dari latar belakang individualistikTeori tindakan beralasanAjzen dan Fishbein (1980) mengusulkan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh pamrihnya guna menjalankan perilaku dan bahwa pamrih ini kelak merupakan fungsi sikapnya terhadap perilaku dan norma subyektifnya. Lagipula, subyek kontrol perilaku anggapan dicatat sebagai elemen teori ini, yang mengemukakan bahwa individu-individu yang yakin mereka kekurangan sumberdaya atau peluang yang perlu guna menjalankan perilaku tertentu musykil membentuk pamrih-pamrih perilaku yang kuat (spt motivasi tindakan), meski fakta bahwa norma-norma subyektif dan tindakan mereka mungkin tetap menguntungkan. Konsep kepercayaan keampuhan diri ialah kemampuan memengaruhi pola-pola pikiran seseorang dan reaksi-reaksi emosionalnya (Ajzen dan Fishbein, 1975, 1980; Bandura, 1977). Misalnya, keampuhan diri yang tinggi membantu menciptakan perasaan tenang dalam mendekati tugas dan aktivitas yang sukar. Oleh sebab itu, kecuali konsumen percaya bahwa tindakan-tindakannya akan memiliki konsekuensi-konsekuensi yang dikehendaki, ia memiliki sedikit insentif atau motivasi untuk terjun dalam tindakan-tindakan itu. Jadi, teori merumuskan hipotesa berikut:H4Konsumen dengan sikap-sikap positif versus negatif terhadap lingkungan mereka, atau fenomena hijau pada umumnya, lebih mungkin membeli produk-produk ramah lingkunganTeori kongruitas (kesebangunan) citra diriSirgy (1982) mengamati bahwa kadar kepuasan atau ketidak-puasan seorang konsumen bukan sekadar merupakan fungsi evaluasi harapan dan evaluasi kinerja konsumen melainkan juga fungsi evaluatif mengenai kesebangunan citra produk dan citra diri sang konsumen. Misalnya, istilah diri aktual merujuk pada bagaimana seseorang menganggap dirinya dan diri ideal merujuk pada bagaimana seseorang menyajikan dirinya kepada orang lain (Rosenberg, 1979). Pertama, keseangunan citra diri yang positif terjadi dalam keadaan kesebangunan diri yang positif (kesenjangan yang rendah di antara citra diri aktual seseorang dan citra positif) dan keadaan kongruitas diri ideal yang positif (kesenjangan yang rendah di antara citra diri ideal seseorang dan citra produk). Ini menyiratkan bahwa citra produk sesuai citra diri aktual seseorang, dan juga citra diri ideal (Sirgy, 1985). Situasi ini mengakibatkan kepuasan konsumen yang tinggi dalam hal itu dengan membeli atau mengidentifikasi dirinya dengan produk ini, konsumen mencapai keadaan emosional yang memperkaya motif harga dirinya dan meneguhkan motif konsistensi dirinya.Kedua, kondisi kongruitas citra diri yang positif berlangsung ketika terdapat keadaan kongruitas diri yang negatif (kesenjangan tinggi di antara citra diri aktual seseorang dan citra produk), namun keadaan kongruitas diri ideal yang positif (kesenjangan rendah di antara citra diri ideal seseorang dan citra produk). Dalam situasi ini, individu mungkin termotivasi untuk membeli produk tapi kadar kepuasannya akan moderat (Sirgy, 1985). Selagi pembelian akan memperkaya motif harga diri seseorang, suatu kesenjangan hadir karena motif harga diri akan bertentangan dengan motif konsistensi diri seseorang. Jadi, teori merumuskan hipotesa berikut:H5Kebutuhan anggapan produk ekologis menengahi pengaruh sikap-sikap konsumen terhadap lingkungan mengenai kesediaan konsumen untuk membeli produk-produk ramah lingkungan (spt H4). Secara spesifik, efek sikap-sikap positif pada kesediaan membeli produk-produk ramah lingkungan harus relatif lebih kuat bagi produk-produk yang tak perlu.Metode Pengumpulan dataSampel yang mencukupi yang menyusun mahasiswa bisnis S1 tahun pertama, kedua dan ketiga dari sebuah universitas multinasional yang besar di Australia dihimpun. Total 600 formulir survei, yang semua diperjelas oleh komite etika kampus, dibagikan dalam sejumlah kuliah. Peneliti menjelaskan prosedur kepada responden di aula kuliah dan responden membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk merampungkan formulir. Pertanyaan pemeriksaan dicakup dalam formulir survei guna memastikan bahwa hanya respons-respons dari warga Australia diperhitungkan. Kendati haril sampling yang memadai umumnya mungkin membatasi generalisabilitas atau daya representatif temuan, ada bukti-bukti untuk mengemukakan bahwa pemakaian sampel-sampel mahasiswa andal bagi studi-studi semacam, seperti studi-studi terdahulu sudah terbukti menghasilkan temuan-temuan riset yang andal (Aaker dan Keller, 1990; DelVecchio, 2000; Yavas, 1994).Instrumen surveiKuesioner terdiri dari lima bagian skala-skala mapan dan suatu bagian tentang informasi demografis. Bagian A terdiri dari item-item yang mengukur orientasi nilai konsumen mengenai kolektivisme dan individualisme yang diadaptasi dari Laroche et al (2001) dan McCarty dan Shrum (1994) dan skala pengaruh interpersonal seorang konsumen yang diadaptasi dari Bearden et al (1989). 12 item mencerminkan dua dimensi susceptibilitas yang berkorelasi dengan pengaruh interpersonal, katakanlah pengaruh normatif dan informasi. Bagian B terdiri dari item-item yang mengukur CEA. Skala-skala yang diadaptasi dari Laroche et al (2001), McCarty dan Shrum (1994) dan Roberts (1996) dan mencakup bermacam topik terkait dengan lingkungan, seperti parahnya persoalan lingkungan, pentingnya menjadi ramah secara lingkungan, kadar tanggung jawab korporasi-korporasi dan kesukaran menjadi ramah secara lingkungan. Pertanyaan juga menyiratkan bermacam isu-isu pribadi dan masyarakat. Bagian C terdiri dari versi skala kebutuhan produk anggapan Sharma et al (1995) yang dimodifikasi. Bagian ini mengukur range 15 produk yang berbeda dalam kadar kebutuhan mereka. Bagian D mereplikasi metodologi Sharma et al (1995) dan kesediaan membeli alternatif ramah lingkungan tiap 15 produk yang terdaftar dalam bagian sebelumnya (Bagian C). Bagian E mengadaptasi karya Laroche et al (2001) dalam mengukur ekoliterasiwawasan responden mengenai lingkunganmelalui sembilan pertanyaan-pertanyaan yang secara lingkungan berkaitan, masing-masing bernilai satu. Jawaban responden menandakan seberapa banyak mereka tahu soal isu-isu lingkungan. Total skor yang dicapai oleh tiap responden dinilai sebagai 1-3 (amat tidak ekoliterat), 4-6 (lumayan ekoliterat) dan 7-9 (amat ekoliterat). Semua respons diukur pada skala Likert tujuh poin, dengan 1sangat tidak setuju dan 7sangat setuju.Analisa dan HasilSampel Respons-respons dari bukan warga Australia dan formulir-formulir survei yang tak rampung dibuang, yang mengakibatkan sampel yang bisa dipakai 256 individu Australia (taraf respons 43 persen). Sampel terdiri dari 112 pria dan 144 wanita. Mayoritas responden berusia antara 18 dan 24 tahun (82,4 persen) dan 131 responden berada di tahun pertama kuliah mereka, dengan 61 persen terdaftar di studi bisnis. Kebanyakan responden (59,8%) memiliki pemasukan tahunan kurang dari 10.000 dolar Australia.ReliabilitasSkala CEA adalah faktor pertama yang ditelaah menggunakan analisa komponen pokok dan rotasi varimax guna menguji uni-dimensionalitas. Hasi bagi tes sperisitas Bartlett ialah 0,000 dan nilai KMO 0,82, yang memenuhi asumsi bagi faktorabilitas (Coakes dan Steed, 2003). Koefisien alfa andal yang tinggi 0,84 dicatat dan sepadan dengan reliabilitas yang dilaporkan dalam Laroche et al (2001). Reliabilitas sisanya bagi beragam skala ialah susceptibilitas normatif (0,89), susceptibilitas informasi (0,66), kolektivisme (0,81) dan individualisme (0,66). Nilai-nilai ini mendukugn penerimaan reliabilitas yang tinggi (Nunnally, 1987) Lampiran menyediakan seluruh loading bagi tiap konstruk ini.Pengujian hipotesaHasil-hasil bagi korelasi Pearson antara ekoliterasi dan CEA secara statistik signifikan dan positif (r = 0,188, p < 0,05) yang menandakan bahwa individu-individu dengan ekoliterasi tinggi lebih mungkin membentuk sikap-sikap positif terhadap produk-produk ramah lingkungan. Temuan menunjang H1. Korelasi di antara susceptibilitas normatif dan CEA negatif secara signifikan (r = -0,341, p < 0,05), sedang korelasi susceptibilitas informasi dan CEA tidak signifikan (r = -0,021, p > 0,05). Temuan secara parsial menunjang H2. Akhirnya, korelasi signifikan hadir di antara kolektivisme maupun CEA (r = 0,91, p < 0,05) an individualisme dan CEA (r = 0,120, p < 0,05). Jadi, temuan mendukung H3. Hasil-hasil ini mencerminkan temuan-temuan Aaker dan Bagozzi (1982), Roberts (1995), Zarnikau (2003) dan Zimmer et al (1994). Susceptibilitas informasi, susceptibilitas normatif dan individualisme adalah konstruk-konstruk ndividual yang terbukti entah memiliki efek negatif ataupun merupakan prediktor tak signifikan sikap-sikap terhadap lingkungan. Hasil dan kesimpulan mengenai matrik korelasi secara bersama-sama didasarkan pada tes-tes satu dan dua koma, seperti kedua metode menegaskan rating-rating korelasi yang mirip. Tabel I menunjukkan analisa korelasi Pearson bagi hubungan di antara sekian konstruk.Studi mencakup analisa regresi linier guna menguji hubungan di antara CEA dan WTB-EFP. Meski nilai R2 yang rendah, model regresi secara statistik signifikan (nilai R2 0,12). Tabel II menyediakan hasil-hasil analisa regresi linier. Temuan ini menegaskan hipotesa bahwa konsumen dengan sikap-sikap positif terhadap lingkungan lebih mungkin membeli produk-produk ramah lingkungan, yang mendukung H4. Hasil-hasil mencerminkan hasil-hasil studi-studi terdahulu oleh Kinnear et al (1974), McCarty dan Shrum (1994), Roberts (1996), Roberts dan Bacon (1997) dan Van Liere dan Dunlap (1981).Tabel 1. Regresi berganda anteseden-anteseden terhadap CEAStatistik regresiR gandaR2R2 disesuaikanSEObservasiEkoliterasi Susceptibilitas informasiSusceptibilitas normatifNilai-nilai kolektivistikNilai-nilai individualistik 0,4210,1770,1610,81045256Koefisien 0,1690,063-0,3450,126-0,043SE0,0770,0410,0410,0720,047Statistik t2,9151,042-5,6611,980-0,677Nilai p0,0040,2990,0000,0490,499Demi menguji H5, analisa regresi moderat yang hierarkis dijalankan untuk menelaah efek-efek moderasi kebutuhan produk anggapan pada hubungan di antara konstruk CEA dan konstruk WTB. Tabel III menyediakan rerata dan simpangan baku bagi 15 produk yang diuji. Tabel mengurutkan produk-produk ini dalam istilah kebutuhan mereka menjaga kehidupan harian. Ia juga menyediakan hasil-hasil regresi yang menguji efek perantara kebutuhan produk. Analisa regresi terpisah dijalankan bagi ke-15 produk dengan mencakup tiga istilah dalam regresi moderat hierarkis: kebutuhan produk, CEA dan inteaksi di antara variabel-variabel ini. Alternatif WTB-EFP tiap produk individual merupakan variabel terikat bagi semua analisa. Moderasi ditandai ketika terma interaksi di antara sikap-sikap terhadap lingkungan dan kebutuhan anggapan secara statistik signifikan. Tabel IV mencerminkan bahwa parameter-parameter regresi yang dibakukan bagi hanya dua term ainteraksi bukan kebutuhan (spt soft drink dan perhiasan) secara statistik signifikan, dengan begitu menunjang H5. Secara spesifik, efek sikap-sikap positif pada perilaku pembelian lebih kuat bagi produk-produk yang dianggap sebagai tak perlu berlawanan dengan produk-produk yang dianggap sebagai perlu. Jadi, temuan-temuan secara marjinal menopang H5.Tabel II. Regresi linier CEA terhadap kesediaan membeli produk-produk ramah lingkungan (WTB-EFP)Statistik regresiR2Adjusted R2SEObservasi CEA0,1240,1200,92857256Koefisien 0,352SE0,066Statistik t5,945Nilai p0,000Tabel III. Rerata dan simpangan baku bagi skor-skor kebutuhan produkProduk Rerata aSDKartu sambutanMaduSoft drinkPerhiasanTas belanjaProduk gaya rambut/pewarna rambutKosmetikaShampooPonsel Perkakas dapurPCT-shirtLemari esPengobatan Kertas toilet2,02,42,42,62,83,13,54,64,95,55,65,96,16,16,31,431,504,991,651,541,912,011,951,761,311,411,251,181,391,21Catatan: aAngka-angka lebih besar menandakan kebutuhan produk anggapan yang lebih besarTabel IV. Hasil-hasil regresi moderat bagi skor-skor kebutuhan produkProduk Kebutuhan (K)Sikap (Skp)K x SkpR2Kartu sambutanMaduSoft drinkPerhiasan Tas belanjaProduk gaya/pewarna rambutKosmetikaShampooPonsel Perkakas dapurPCT-shirtLemari esPengobatan Kertas toilet 0,132a0,036b0,2740,0000,1710,0060,1990,002-0,1640,0090,2170,0010,2090,0010,1420,0240,3630,0000,2170,0000,1580,0110,0200,7550,0920,143-0,0100,871-0,0850,1740,2320,0000,2820,000-0,0350,5860,3090,0000,3480,0000,1790,0050,3060,0000,1850,0030,1700,0040,2960,0000,2160,0000,2440,0000,3090,0000,2150,0010,2710,000-0,0240,930-0,3800,1721,880,009-1,0050,0010,0760,794-0,3610,282-0,3780,261-0,6730,158-0,6460,112-0,8500,116-0,2610,601-0,3560,532-0,6330,261-0,6470,2700,6280,2330,068c0,1600,0560,1690,1250,0810,1410,0620,1680,1430,0720,0610,1080,0500,086Catatan: aParameter regresi dibakukan, btaraf p, cR2 (K x Skp)Pembahasan dan kesimpulan Ini adalah salah satu studi perintis dalam mendefinisikan dan memeriksa sifat konsumen sadar secara ekologis dan perilaku pembelian produk-produk ramah lingkungan dalam konteks Australia. Penelitian ini dan basis teoritisnya memiliki implikasi-implikasi berharga bagi kepustakaan tentang pembentukan sikap dan tendensi-tendensi perilaku pembelian konsumen, yang membentuk konstruk tingkat perorangan yang penting bagi pemahaman dinamika pemasaran hijau yang lebih baik. Studi ini membuat tiga temuan. Pertama, berkenaan hubungan anteseden, konstruk CEA menunjukkan korelasi positif di antara ekoliterasi dan nilai-nilai kolektivistik, namun korelasi negatif di antara susceptibilitas normatif, pengaruh interpersonal dan tendensi individualistik. Hasil-hasil ini bertalian dengan sejumlah temuan dalam studi terdahulu. Laroche et al (1996) mengemukakan bahwa wawasan seseorang soal lingkungan memainkan peranan multifacet dalam memengaruhi perilakunya. Selanjutnya, teori kognitif sosial Bandura (1977, 1986, 1989) mendukung temuan, yang mencerminkan hubungan triadik di antara faktor-faktor pribadi, lingkungan dan perilaku. Temuan menunjukkan bahwa kadar ekoliterasi secara signifikan berkorelasi dengan sikap-sikap dan tendensi-tendensi perilaku seorang konsumen (Aaker dan Bagozzi, 1982; Laroche et al, 1996, 2001; Roberts dan Bacon, 1997).Temuan menegaskan lagi bahwa jika seorang konsumen memiliki wawasan mengenai lingkungan dan promulgasi polusi, penyebab dan dampak pada lingkungan, maka kadar kesadaran mereka akan bertambah dan, dengan demikian, akan berpotensi mendorong sikap yang positif terhadap produk-produk hijau (Laroche et al 1996). Oleh sebab itu, kiranya krusial bagi para praktisi pemasaran maupun public relations untuk menyebarkan informasi atau mendidik konsumen soal lingkungan entah melalui inisiatif-inisiatif komunikasi seperti kampanye dukungan lingkungan ataupun klaim-klaim pada label (DSouza et al 2006) mengenai jenis-jenis manfaat lingkungan yang ditawarkan produk, agar konsumen membentuk opini-opini yang lebih positif mengenai produk suatu perusahaan, secara spesifik produk-produk ramah lingkungan mereka. Namun, penting kiranya mencatat bahwa jika seorang konsumen sudah meningkatkan literasi soal isu-isu lingkungan tak harus berarti bahwa ia akan membuat pembelian hijau. Pamrih pembelian hijau, tak pelak lagi tergantung pada altruisme seorang konsumen dan cara yang di dalamnya ia bisa dimotivasi. Dengan memandang susceptibilitas seorang konsumen pada pengaruh interpersonal dan sikap-sikap terhadap lingkungan, temuan-temuan yang berlawanan menyimpang dari studi-studi seperti Bearden et al (1989) dan Stafford dan Cocanougher (1977). Ini berarti bahwa pengaruh interpersonal dari sebaya dan norma takkan memiliki efek signifikan pada sikap seorang konsumen terhadap lingkungan.Ini mungkin menciptakan hambatan-hambatan yang mungkin dan tantangan-tantangan tambahan bagi para pengambil kebijakan korporat dan publik dan kelompok-kelompok pemerintah dengan memandang isu-su lingkungan, khususnya kompulsi bagi perusahaan untuk memeatuhi legislasi lingkungan dan tekanan hijau yang dibebankan pada mereka oleh lobi-lobi lingkungan, seraya merumuskan strategi-strategi dan program-program komunikasi yang dirancang untuk menjangkau dan menginduksi sikap dan perilaku lingkungan yang positif. Dalam istilah orientasi nilai konsumen, McCarty dan Shrum (1994) dan Triandis (1993) mengusulkan bahwa konsumen kolektivistik cenderung lebih ramah terhadap lingkungan, sedang konsumen individualistik cenderung lebih tidak ramah. Hasil studi ini jga mencerminkan kepustakaan, yang menandakan bahwa penting kiranya membakukan strategi gun amenjangkau segmen konsumen yang tepat.Kedua, hubungan di antara CEA dan WTB adalah signifikan dan positif, yang menandakan bahwa konsumen dengan sikap-sikap lingkungan yang positif lebih bersedia membeli produk-produk ramah lingkungan. Ini memperbesar hasil-hasil sebelumnya dalam studi-studi lain seperti McCarty dan Shrum (1994), Meneses dan Palacio (2006) dan Roberts dan Bacon (1997). Ditopang oleh teori tindakan beralasan Ajzen dan Fishbein (1980), temuan-temuan di atas bisa membantu merumuskan inisiatif-insiiatif dan seruan komunikasi yang efektif yang mengarah pada peluang-peluang eko-pemasaran yang bertambah. Adopsi dan pengayaan beragam strategi produk sadar secara lingkungan dan konsep-konsep eko-desain terkait, seperti pengemasan, desain, kualitas, fitur, pelabelan dan pemosisian produk ramah lingkungan bisa mendorong pembelian produk-produk ramah lingkungan (DSouza et al 2006; Pujari dan Wright, 1995; Taghian dan DSouza 2005). Para peneliti lain mengemukakan konstruksi merk-merk hijau dan promosi atribut-atribut hijau dalam suatu merk (Hartman et al 2005; Hoek et al 2002; Oyewole, 2001; Polonsky, 1995). Inimungkin memperbaiki posisi suatu merk relatif terhadap merk-merk lain dan lebih jauh memperkuat persepsi konsumen mengenai merk itu. Dengan demikian, merk membenarkan strategi penetapan harga yang lebih tinggi bagi produk-produk ramah lingkungan. Ketiga, hasil menunjukkan bahwa kebutuhan produk anggapan menengahi hubungan di antara CEW dan WTB-EFP. Temuan mengamati perbedaan signifikan dalam kesediaan konsumen membeli produk-produk ramah lingkungan ketika mereka harus mengevaluasi produk-produk kebutuhan tinggi dan rendah. Selanjutnya, jika konsumen menganggap produk-produk ramah lingkungan sebagai tidak penting, mereka akan cenderung membeli produk. Lagipula, teori kongruitas citra diri (Rosenberg 1979; Sirgy 1982) menunjang temuan ini, yang menyokong hubungan di antara citra diri seseorang dan citra seseorang mengenai suatu produk atau jasa. Ini berkorelasi dengan dugaan bahwa pilihan produk didasarkan pada konsistensi dengan diri aktual, sedang pembelian lain mungkin membantu menjangkau standar yang dipatok oleh diri ideal, dengan demikian memperbesar konsep diri cerminan atau pandangan menerima peranan yang lain.Riset ini menghubungkan ciri-ciri ini dan perilaku konsumen (spt evaluasi pembelian konsumen) guna membantu para pemasar dengan perumusan strategi-strategi pemasaran yang cocok bagi produk-produk ramah lingkungan (Cummings 2008, Ginsberg dan Bloom, 2004; Polonsky dan Rosernberg, 2001). Misalnya, pemakaian sponsorship dan endorsemen bisa menyumbang perbaikan inisiatif-inisiatif komunikasi pemasaran hijau. Lagipula, pelukisan konsumsi produk dalam situasi-situasi sosial dan pemakaian juru bicara yang menonjol atau menarik yang mempromosikan produk-produk ramah lingkungan atau suatu merk dengan citra hijau adalah pertimbangan-pertimbangan yang pentign (Branthwaite, 2002; Goldsmith et al, 2000; Grace dan OCass 2002). Oleh sebab itu, bisnis mesti memilih endorser atau juru bicara guna mendukung produk-produk mereka bukan secara murni karena status atau popularitas mereka; melainkan meletakkan keputusan pada kemampuan mereka mengikat bersama audiens target dan citra produk. Misalnya, National Tree Day Planet Ark pada Juli mencakup para suporter mirip selebritis sepeti Olivia Newton-John, Kelly Preston dan Jamie Durie, yang memberi kontribusi pada waktu mendukung peristiwa tahunan ini (Bllington 2008; Planet Ark n.d.). Tambahan pula, selebritis berprofil tinggi lainnya seperti Oprah Winfrey, Robert Redford, Orlando Bloom, Leonardo DiCaprio dan James Taylor sudah sukarela sebagai eko-endorser internasional. Individu-individu yang diperbarui secara internasional ini sudah memberi kontribusi pada lingkungan dengan membuat donasi, menggelar konferensi pers dan talk show dan menunjang beragam kampanye lingkungan seperti gerakan Stop Global Warming (Tilden, 2007). Studi memiliki sejumlah keterbatasan, yang merupakan area-area untuk mempertimbangkan riset lebih jauh. Pertama, kurangnya pemeriksaan efek-efek sosio-demografis dalam odel yang diuji merupakan kelemahan potensial interpretasi temuan. Secara demografis, konsumen dan pembelanja Australia yang ramah lingkungan ditemukan tersebar secara beragam sepanjang semua jangkauan pemasukan, kantong usia, tingkat pendidikan dan beraga ukuran rumah tangga: namun raa-rata, mereka cenderung lebih tua, memiliki penghasilan lebih tinggi dan lebih terdidik (Straughan dan Roberts 1999; Ha, 2008; Palmer, 2008). Sekalipun demikian, statistik sosio-demografis bisa dilihat berfluktuasi amat lumayan dengan memandang segmen grup konsumen individual, khususnya dalam istilah gap-gap generasi (Moisander dan Pesonen, 2002; Cogen, 2007). Misalnya, boomer yang menonjol (usia 55-64) dan boomer muda (45-54) diidentifikasi sebagai individu-individu ultra hijau yang merupakan kekuatan pendorong environmentalisme (Volsky et al 1999); di sisi lain, konsumen GenX (usia 25-39) dan GenY yang potensial (18-24) tersegmentasi sebagai konsumen hijau yang bermunculan dan partisipan pasar mendatang yang potensial (DSouza, 2004).Kendati benar bahwa ebanyakan temuan yang melingkupi imbas karakteristik demografis konsumen pada perilaku sadar secara lingkungan mereka adalah bertolak belakang (Roberts, 1996), kiranya jelas bahwa mereka menggunakan pengaruh signifikan. Namun, kebanyakan penulis sepakat bahwa kuasa prediktif variabel demografi dan sosioekonomi umumnya rendah dibanding dengan pengetahuan, nilai dan/ atau sikap dalam menjelaskan perilaku yang ramah secara ekologis (Banerjee dan McKeage, 1994; Chan, 1999; Webster, 1975). Oleh sebab itu, ini akan menyiratkan dugaan bahwa konsumen hijau yang khas terus elusif, terutama karena komplekstas atau sifat problematis sosio-demografis dalam menjelaskan sikap-sikap dan perilaku lingkungan, dengan kata lain, konsumen hijau sulit mende-finisikan secara demografis dan berfokus pada kehijauan melampaui seluruh populasi pada kadar-kadar yang berbeda-beda (Diamantopolous et al, 2003; Ottman, 1993).Kedua, meletakkan studi pada perspektif lintas bagian membatasi informasi pada imbas jangka panjang variabel dan faktor yang ditinjau. Suchard dan Polonsky (1991) menasihati bahwa probabilitas perbedaan signifikan terjadi di antara studi-studi yang bersifat longitudinal dan studi-studi bersifat lintas bagian. Selain ini, riset lebih jauh yang membandingkan keganjilan dan keanehan pasar Australia dengan riset mirip yang dijalankan dalam konteks Eropa dan Amerika harus dipertimbangkan.Konstruk-konstruk anteseden dalam studi ini tidaklah exhaustif. Variabel-variabel lain yang terkait dengan pembentukan sikap, seperti norma-norma pribadi (ajzen dan Fishbein, 1969; East, 1991) dan pengalaman silam (Bentler dan Speckart 1979, Bagozzi, 1981) adalah area-area untuk diperhitungkan bagi riset mendatang. Selain kebutuhan produk, faktor-faktor lain yang bisa jadi menengahi efek tendensi-tendensi sikap, seperti keterlibatan produk, konsep-konsep penetapan harga dan kualitas anggapan, bisa diperiksa. Kelemahan nyata studi ini ialah pengukuran sempit perilaku berorientasi secara lingkungan. Pemberdayaan jangkauan indikator perilaku yang lebih luas harusnya menghasilkan temuan-temuan tambahan atau lebih andal. Area elektronika hijau dan produk-produk atau jasa-jasa serupa tetaplah merupakan area abu-abu yang tumbuh lamban dalam penerimaan kepustakaan pemasaran sosial maupun dengan konsumsi pragmatis. Dengan menerapkan model konseptual yang digodok dalam studi ini ke latar riset lain, seperti konsumen dan/atau elektronika bisnis dan industri jasa, bisa berpotensi berguna sebagai tempat bagi riset mendatang. Ini karena spesifikasi latar menjamin penyelidikan lebih jauh agar bisnis mengevaluasi secara sepadan efek pada produk-produk yang lebih tradisional dan jasa, dan juga membedakan keunggulan dan kelemahan mereka.