SENGKETA TATA USAHA NEGARA MENGENAI...
Transcript of SENGKETA TATA USAHA NEGARA MENGENAI...
SENGKETA TATA USAHA NEGARA
MENGENAI SURAT KEPUTUSAN PRESIDEN
TENTANG PENGANGKATAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI
( Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
Nomor : 139/G/2013/PTUN.JKT.)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
RISTI MUTIARA K.
E1A011179
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
SENGKETA TATA USAHA NEGARA
MENGENAI SURAT KEPUTUSAN PRESIDEN
TENTANG PENGANGKATAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI
( Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
Nomor : 139/G/2013/PTUN.JKT.)
SKRIPSI
Oleh :
RISTI MUTIARA K.
E1A011179
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Risti Mutiara K.
NIM : E1A011179
Angkatan : 2011
Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan : Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Judul : SENGKETA TATA USAHA NEGARA MENGENAI
SURAT KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG
PENGANGKATAN HAKIM MAHKAMAH
KONSTITUSI (TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA
NOMOR: 139/G/2013/PTUN-JKT.)
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan
hasil karya saya, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain
yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini
hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Purwokerto, 2015
Yang Membuat Pernyataan,
Risti Mutiara K.
NIM. E1A011179
SENGKETA TATA USAHA NEGARA MENGENAI SURAT KEPUTUSAN
PRESIDEN TENTANG PENGANGKATAN HAKIM MAHKAMAH
KONSTITUSI
( Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan PTUN Jakarta Nomor:
139/G/2013/PTUN-Jkt.)
Oleh:
RISTI MUTIARA K.
E1A011179
ABSTRAK
Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara harus sesuai dengan perundang-
undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, jika tidak akan berakibat
pada dinyatakan batal atau tidak sahnya KTUN. Salah satu kasus mengenai
pembatalan KTUN, terdapat dalam Putusan PTUN Jakarta Nomor
139/G/2013/PTUN-JKT . Dalam hal ini Peneliti tertarik meneliti mengenai keabsahan
Surat Keputusan objek sengketa dari aspek wewenang, substansi, prosedur dan Asas-
Asas Umum Pemerintahan yang Baik, serta mengenai akibat hukum atas
dibatalkannya Surat Keputusan objek sengketa terhadap keabsahan Hakim
Mahkamah Konstitusi yang bersangkutan.
Dalam rangka menjawab permasalahan di atas, metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan tipe penelitian yuridis
normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan metode pendektan kasus.
Metode analisis yang digunakan adalah kualitatif dengan menggunakan model
intepretasi.
Hasil penelitian menyatakan bahwa dari aspek prosedur penerbitan Surat
Keputusan objek sengketa oleh Tergugat telah bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik terutama asas
kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas akuntabilitas dan asas keterbukaan.
Adapun akibat hukum dibatalkannya Surat Keputusan objek sengketa bahwa Surat
Keputusan objek sengketa masih tetap dianggap sah menurut hukum sebelum adanya
putusan pengadilan yang telah inkrah yang membatalkan Surat Keputusan objek
sengketa tersebut.
Kata Kunci: Keabsahan KTUN, Aspek prosedur, Pembatalan dan Akibat hukum.
SENGKETA TATA USAHA NEGARA MENGENAI SURAT KEPUTUSAN
PRESIDEN TENTANG PENGANGKATAN HAKIM MAHKAMAH
KONSTITUSI
( Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan PTUN Jakarta Nomor:
139/G/2013/PTUN-Jkt.)
Oleh:
RISTI MUTIARA K.
E1A011179
ABSTRACK
Validity of State Administration Decision must be appropriate with law and
good general principle goverment if it is not, it will cause the cancellation or
invalidity of State Administration Dicision. One of the cases about cancellation of
state administration decision is contained in Jakarta state administration decision
number 139/G/2013/PTUN-JKT. Researcher are attracted to research about validity
of dispute object decision letter from authority, substance, procedure aspect and good
general principle government also about legal consequence on cancellation of dispute
object letter decision toward validity court judge constitution concerned.
In order to answer that problem research method used on this research is using
normative juridical research type by law approach and case approach method.
Analytical method in used is qualitative by using interpretation models
Research result claim that publishing procedure of dispute objet decision letter
by defendant has conflicted with rules and good government general procedure
especially the principle of legal certainty, public interest, accountability, and
openness. The legal consequence on cancellation dispute object decision letter that is
dispute object decision still valid according to law before the dispute.
Key words: Validity State Administrative Decision, Procedure Aspect, Cancellation
and Legal Consequence.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbilalamin,
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberi begitu banyak kenikmatan, sehingga dengan kenikmatan-kenikmatan
tersebut Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul:
“SENGKETA TATA USAHA NEGARA MENGENAI SURAT
KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENGANGKATAN HAKIM
MAHKAMAH KONSTITUSI” (TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN
TATA USAHA NEGARA JAKARTA NOMOR: 139/G/2013/PTUN-JKT.)
Skripsi ini diajukan guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan skripsi ini mengalami kesulitan dan hambatan. Namun, berkat
bimbingan, petunjuk dan bantuan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan. Oleh karena itu, Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setulus-tulusnya kepada:
1. Bapak Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
2. Bapak Weda Kupita, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah
memberikan bimbingan, arahan, nasihat dan masukan dengan segala kesabaran
dan ketulusan hatinya dalam menyusun skripsi ini.
3. Bapak H. Kadar Pamuji, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang
telah memberikan bimbingan, arahan, nasihat dan masukan yang sangat berguna
bagi Penulis dalam penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Drs. Antonius Sidik Maryono S.H.,M.S, selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan masukan, kritik dan saran yang membangun untuk Penulis.
5. Bapak Haryanto Dwi Atmodjo, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang telah membimbing Penulis selama menempuh pendidikan di
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
6. Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang
telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada Penulis selama menuntut ilmu
di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
7. Kedua orang tua Penulis, H. Drs. Ii Somantri dan Hj. Reni Sumarni yang telah
menjadi motivator terbesar dalam hidup Penulis, yang tanpa lelah selalu
mendoakan dan memberikan dukungan sehingga Penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
8. Kakak-kakak tercinta, Puja Januar, Ari Mugia, Agie Satia, Yulian Safitri dan
Septiana Deka yang selalu mendukung serta memberikan semangat kepada Penulis
dalam segala hal.
9. Sahabat-sahabat yang senantiasa mewarnai serta mengiringi perjalanan Penulis
selama menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
10. Teman-teman seperjuangan skripsi PERATUN Kartika Hanazafira, Erina
Permata Althafunnisarry, Dani Habibi dan Nur Laila yang telah berjuang bersama
serta telah saling memberikan semangat dan dukungannya dalam menyelesaikan
skripsi ini.
11. Teman-teman dari berbagai kalangan yang telah memberikan semangat serta
dukungan kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Semua pihak yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih terdapat banyak kekurangan, karena keterbatasan serta
kemampuan yang dimiliki Penulis. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi Penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Purwokerto, Februari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN………………………………. ii
PERNYATAAN……………………………………………... iii
ABSTRAK…………………………………………………… iv
ABSTRACK…………………………………………………. v
KATA PENGANTAR……………………………………….. vi
DAFTAR ISI…………………………………………………. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………..... 1
B. Perumusan Masalah……………………………………….... 5
C. Kerangka Teori……………………………………………... 6
D. Tujuan Penelitian…………………………………………… 12
E. Kegunaan Penelitian………………………………………... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Negara Hukum……………………………………………… 14
B. Peradilan Tata Usaha Negara……………………………….. 19
1. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara………………… 19
2. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara… 22
3. Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara……… 28
C. Keputusan Tata Usaha Negara……………………………… 31
1. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara…………….. 31
2. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara…………….. 35
D. Mekanisme Pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi… 44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metodologi Pendekatan…………………………………… 50
B. Spesifikasi Penelitian………………………………………. 51
C. Lokasi Penelitian…………………………………………… 52
D. Sumber Bahan Hukum……………………………………... 52
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum……………………… 53
F. Metode Penyajian Bahan Hukum………………………….. 54
G. Metode Analisis Bahan Hukum……………………………. 54
BAB 1V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian……………………………………………… 56
B. Pembahasan…………………………………………………. 76
BAB V PENUTUP
A. Simpulan…………………………………………………….. 116
B. Saran…………………………………………………………. 119
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tercantum dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.Sebagai negara hukum, setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan
haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku (wetmatigheid van
bestuur).1Keberadaan Negara Indonesia sebagai Negara hukum membawa
konsekuensi terbentuknya tiga pilar kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif
(Kehakiman). Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 24 Undang-
Undang Dasar 1945 (Perubahan) Jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (LembaranNegaraRepublik
IndonesiaTahun2009Nomor157,Tambahan Lembaran
NegaraRepublikIndonesiaNomor5076), ditegaskan bahwa Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata
Usaha Negaradan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
1 Ridwan H.R., 2010, HukumAdministrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 17.
Peradilan Tata Usaha Negaramerupakan salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman yang ditugasi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur pada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(Lembaran Negara RI Tahun 1986 Nomor 77,Tambahan Lembaran Negara
RepublikIndonesia Nomor3344), sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4380), dan kemudian diubah lagi dengan Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5079).
Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Adapun yang dimaksud
denganpengertian SengketaTata Usaha Negara sebagaimana terdapat dalam Pasal
1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 adalah sengketa yang timbul
dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pengertian Sengketa Tata Usaha Negara di atas, makadapat
disimpulkan bahwa yang menjadi subjekdi Peradilan Tata Usaha Negara
(PERATUN) adalah orang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat,
dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat. Sedangkan
yang menjadi objek gugatannyaadalahKeputusan Tata Usaha
Negara(beschikking). Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 ditentukan bahwa :
“orang maupun badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan atas dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan secara
tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal
atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai ganti rugi dan atau
rehabilitasi”.
Adapun alasan-alasan yang dapat digunakan dalam mengajukan gugatan
berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
adalah:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-
asas umum pemerintahan yang baik.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 di atas, dapat diketahui bahwa Keputusan Tata
Usaha Negara akan dinyatakan batal atau tidak sah, apabila Keputusan Tata
Usaha Negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan Asas-
Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Salah satu kasus mengenai pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara
karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik, terdapat dalam Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta dengan Nomor Perkara 139/G/2013/PTUN-JKT. Para
pihak dalam perkara tersebut adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia dan Indonesian Corruption Watch (ICW) sebagai Penggugat,
melawan Presiden Republik Indonesia sebagai Tergugat, sedangkan yang
menjadi Objek Gugatan dalam perkara tersebut yaitu Surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 87/P Tahun 2013 Tanggal 22 Juli 2013 tentang
Pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut sebagai Surat
Keputusan Objek Sengketa).
Terhadap Sengketa Tata Usaha Negara mengenai Pengangkatan Hakim
Mahkamah Konstitusi, Majelis Hakim berpendapat bahwa Surat Keputusan yang
dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia No. 87/P Tahun 2013 dinyatakan
batal atau tidak sah karena tidak memenuhi Aspek Prosedur seperti yang diatur
dalam ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor4316), yang
menentukan bahwa dalam Pencalonan Hakim Konstitusi harus dilaksanakan
berdasarkan prosedur yang transparan dan partisipatif.
Secara normatif dan doktrinal, untuk menentukan keabsahan suatu
Keputusan Tata Usaha Negara, Majelis Hakim seharusnya mempertimbangkan
dari berbagai aspek, yakni Aspek Prosedural, Aspek Substansi, Aspek
Wewenang serta Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, sehingga putusan
yang dihasilkan dapat mengungkapkan kebenaran materiil serta dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, terlihat adanya
persoalan yuridis mengenai keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN) dari aspek prosedur dalam kaitannya dengan prosedur yang transparan
dan partisipatif dalam pengangkatan hakim Mahkamah Konstitusi. Berangkat
dari persoalan yuridis tersebut, Penulis bermaksud melakukan penelitian yang
menitikberatkan pada aspek yuridis normatif, dan hendak menuangkannya dalam
bentuk skripsi dengan judul :“Sengketa Tata Usaha Negara Mengenai Surat
Keputusan Presiden Tentang Pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi”,
dengan sub judul : (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta Nomor: 139/G/2013/PTUN-JKT.).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. “Apakah pembatalan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 87/P
Tahun 2013 tentang Pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusitelah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang Baik?”
2. “Akibat hukum apakah yang timbul dengan dibatalkannya Surat Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 87/P Tahun 2013 Tanggal 22 Juli
2013tentang Pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi?”
C. Kerangka Teori
Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana tercantum
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Amandemen IV menetukan bahwa Negara Indonesia adalah Negara
hukum.Sebagai konsekuensi Negara Indonesia menganut Negara hukum, maka
segala penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan hukum.
Hamid S. Attamimi, dengan mengutip Burkens, mengatakan bahwa
negara hukum (rechtstaat) secara sederhana adalah negara yang menempatkan
hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut
dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.2Secara sederhana
negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya
didasarkan atas hukum, dimana kekuasaan menjalankan pemerintahan
berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk
menjalankan ketertiban hukum dan memberikan petunjuk hidup pada
masyarakat.Sebagai negara hukum, setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan
2Ridwan H.R,2003, Hukum Administrasi negara, UII Pres Yogyakarta, Yogyakarta, hlm.14.
harus berdasarkan pada hukum yang berlaku (wetmatigheid van bestuur).3Salah
satu ciri negara hukum adalah adanya Peradilan Administrasi atau Peradilan Tata
Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur pada Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan kemudian
diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Adapun yang dimaksud dengan
pengertianSengketa Tata Usaha Negara sebagaimana terdapat dalam Pasal 1
angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 adalah sengketa yang timbul
dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pengertian sengketa Tata Usaha Negara tersebut, dapat
diketahui bahwa Keputusan Tata Usaha Negara merupakan dasar lahirnya
sengketa Tata Usaha Negara. Dimana setiap orang yang merasa kepentingannya
3 Ridwan H.R., Loc.,Cit..
dirugikan atas dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara Negara oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara maka berdasarkan ketentuan Pasal 53
ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dapat mengajukan gugatan
secara tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau
tidak sah. Demikian pula dalam kasus perkara a quo, dalam hal ini Indonesia
Corruption Watch dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia selaku
Penggugat yang merasa kepentingannya dirugikan atas dikeluarkannya Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 87/P Tahun 2013 Tanggal 22 Juli
2013 tentang Pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi oleh Tergugat telah
mengajukan gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Penggugat
dalam gugatannya berpendapat bahwa keputusan objek sengketa yang
dikeluarkan Tergugat bertentangan dengan ketentuan Pasal 15, Pasal 19, dan
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
serta telah melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, diantaranya
Asas Kepastian Hukum, Asas Kepentingan Umum, Asas Akuntabilitas dan Asas
Keterbukaan.
Dalam pertimbangan hukum terhadap perkara a quo, Majelis Hakim
berpendapat bahwa Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Presiden Republik
Indonesia No. 87/P Tahun 2013 dinyatakan batal atau tidak sah karena tidak
memenuhi Aspek Prosedur seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 19
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang
menentukan bahwa dalam pencalonan Hakim Konstitusi harus dilaksanakan
berdasarkan prosedur yang transparan dan partisipatif.
Hakim menilai bahwa berdasarkan pembuktian terhadap alat-alat bukti
yang diajukan oleh Para Penggugat, Hakim berkeyakinan bahwa dalil Para
Penggugat terbukti dan beralasan menurut hukum, oleh karenanya Surat
Keputusan objek sengketa yang diterbitkan oleh Tergugat dinyatakan batal atau
tidak sah menurut hukum.
Berdasarkan deskripsi sengketa Tata Usaha Negara tersebut di atas,
secara normatif dan doktrinal, untuk menentukan keabsahan suatu Keputusan
Tata Usaha Negara, perlu dilihat dari berbagai aspek, yakni Aspek Prosedural,
Aspek Substansi, Aspek Wewenang serta Azas-Azas Umum Pemerintahan yang
Baik, sehingga putusan yang dihasilkan dapat mengungkapkan kebenaran
materiil serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara erat kaitannya dengan
proses pembuatannya. Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara, Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Pemerintah harus memperhatikan syarat-
syarat mengenai sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara menurut hukum,
adapun syarat-syarat yang harus diperhatikan mencakup syarat materiil dan
syarat formil :
1. Syarat-syarat materiil terdiri dari :
a. Organ Pemerintah yang membuat ketetapan harus berwenang
b. Ketetapan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis
c. Ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan
d. Ketetapan tidak boleh melanggar perundang-undangan, serta isi dan tujuan
ketetapan harus sesuai dengan peraturan dasarnya.
2. Syarat-syarat formil terdiri dari :
a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya
ketetapan dan berhubungan dengan cara dibuatnya ketetapan harus
dipenuhi.
b. Bentuk ketetapan harus berdasarkan peraturan dasar.
c. Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan ketetapan harus dipenuhi.
d. Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang
menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya ketetapan itu harus
diperhatikan.4
Suatu keputusan yang telah memenuhi syarat materiil dan syarat formil,
maka keputusan tersebut sah menurut hukum (rechtgeltig), artinya dapat diterima
sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum
yang ada baik prosedural/ formil maupun materiil.5
Kemudian menurut pendapat Van der Pot, mengemukakan ada 4 (empat)
syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan dapat berlaku sebagai ketetapan yang
sah, yaitu:
4 Martiman Prodjohamidjojo, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-
Undang PTUN 2004,Ghalia Indonesia, Bogor,hlm. 33. 5Ibid.,hlm. 170.
1. Ketetapan harus dibuat oleh alat (organ) yang berkuasa (bevoegd)
membuatnya.
2. Karena ketetapan suatu pernyataan kehendak (willsverklaring), maka
pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis (geen
jundische gebreken in de wilsvorming).
3. Ketetapan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang
menjadi dasarnya dan pembuatannya harus juga memperhatikan
cara(procedur) membuat ketetapan itu, bilamana cara itu ditetapkan dengan
tegas dalam peraturan dasar tersebut.
4. Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.6
Keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara selanjutnya dapat dilihat
dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004, bahwa Keputusan Tata Usaha Negara akan dinyatakan batal atau
tidak sah, jika:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
6W. Riawan Tjandra, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, Yogyakarta, hlm.30.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986, suatu Keputusan Tata Usaha Negara dikategorikan bertentangan
dengan ketentuan peraturan-perundang-undangan yaitu apabila:
1. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat prosedural/formal.
2. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat materiil/substansial.
3. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak
berwenang.
Mengenai Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, berdasarkan
penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b UU Nomor 9 Tahun 2004, AUPB yang
dimaksud di sini adalah adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yaitu meliputi asas kepastian hukum, tertib
penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsional, profesionalitas, dan
akuntabilitas.
Berdasarkan beberapa kriteria mengenai keabsahan suatu Keputusan Tata
Usaha Negara di atas, Hakim Tata Usaha Negara memiliki penilaian sendiri
mengenai keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, menurut Indroharto
penilaian tersebut dapat dilakukan dengan cara:
1. Menguji Keputusan Tata Usaha Negara tersebut terhadap peraturan
perundang-undangan yang mendasari dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut;
2. Pengujian suatu Keputusan Tata Usaha Negara terhadap peraturan dasarnya
dilakukan hanya terhadap peraturan perundang-undangan yang dipergunakan
sebagai dasar menetapkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut walaupun
setelah Keputusan Tata Usaha Negara itu ditetapkan terjadi perubahan
peraturan perundang-undangan.7
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah pembatalan Surat Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 87/P Tahun 2013tentang Pengangkatan Hakim Mahkamah
Konstitusitelah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik.
2. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dengan dibatalkannya Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 87/P Tahun 2013tentang
Pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi.
E. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
pengembangan pustaka hukum yang berkaitan dengan Hukum Administrasi
7Indroharto, 2005, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku III Pustaka Harapan, Jakarta, hlm. 179.
negara yang khususnya mengenai Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara.
2. Kegunaan Praktis.
Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan bagi penulis
sekaligus hasil dari penelitian ini dapat menjadi pedoman dan acuan bagi yang
akan melakukan penelitian serupa, serta bagi para praktisi Hukum Acara Tata
Usaha Negara dalam menguraikan keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha
Negara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Negara Hukum
Negara ialah pelaksanaan kekuasaan dalam arti menciptakan dan
memelihara suatu ketertiban tertentu dalam kenyataan.Sedangkan Menurut
Epicurus, negara adalah alat bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya.8
Menurut Utrecht, dalam bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia
mengemukakan: “Hukum adalah himpunan petunjuk-petunjuk hidup (perintah-
perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat,
dan oleh karena itu seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang
bersangkutan”.9
A. Hamid S. Attamimi, dengan mengutip Burkens, mengatakan bahwa
negara hukum (rechtstaat) secara sederhana adalah negara yang menempatkan
hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut
dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.10
Secara sederhana
negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya
didasarkan atas hukum, dimana kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan
kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menjalankan ketertiban
hukum dan memberikan petunjuk hidup pada masyarakat. Sebagai negara hukum,
8Philipus M. Hadjon, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, Cet. XI, hlm. 17. 9Riduan Syahrani, 2009, Kata – Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, P.T. Alumni, Bandung,
hlm.78. 10
Ridwan H.R, 2003, Loc. Cit.
setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan harus berdasarkan pada hukum yang
berlaku (wetmatigheid van bestuur).11
Secara umum ada dua sistem hukum besar, yaitu sistem hukum Eropa
Kontinental yang menghasilkan sistem negara hukumrechstaat, dan sistem hukum
Anglo Saxon yang melahirkan sistem negara hukumthe rule of law.Para ahli di
Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Julius Stahl menggunakan istilah
yaitu rechtstaat, sedangkan A.V. Dicey menggunakan istilah The Rule of
Law.Kedua istilah tersebut secara formil dapat mempunyai arti yang sama, yaitu
negara hukum, akan tetapi secara materiil mempunyai arti yang berbeda yang
disebabkan oleh latar belakang sejarah dan pandangan hidup suatu bangsa.12
Konsep Rechtstaat dan The Rule of Law memiliki perbedaan, antara lain
dalam The Rule of Law, tidak terdapat peradilan administrasi (PTUN) sedangkan
dalam Rechtstaat terdapat Peradilan Administrasi Negara yang berdiri sendiri
terpisah dari peradilan umum. Sistem rechstaat yang banyak dianut di negara-
negara Eropa Kontinental bertumpu pada sistem civil law, sedangkan sistem rule
of law yang banyak dikembangkan di negara-negara dengan tradisi Anglo Saxon
bertumpu pada sistem common law.13
Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan istilah
rechtstaat mencakup empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia;
2. Pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
11
Ridwan H.R., Loc.,Cit.. 12
Mahmud MD., 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta,, hlm. 126. 13
Ibid.
4. Peradilan Tata Usaha Negara.14
Adapun A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap
Negara hukum yang disebutnya dengan istilah The Rule of Law, yaitu:
1. Supremacy of Law
2. Equality before the law
3. Due Process of Law.15
Keempat prinsip „rechtsstaat‟ yang dikembangkan oleh Julius Stahl
tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip „Rule of
Law‟ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara hukum
modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of
Jurist”, prinsip-prinsip Negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan
bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di
zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara
demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara hukum menurut
“The International Commission of Jurists” itu adalah:
1.Negara harus tunduk pada hukum.
2.Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3.Peradilan yang bebas dan tidak memihak.16
Selanjutnya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie merumuskan dua belas prinsip
pokok Negara hukum dimana kedua belas prinsip pokok ini merupakan pilar-pilar
14
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, 2009, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Garafika,
Jakarta, hlm. 125. 15
Ibid, hlm. 125-126. 16
Ibid, hlm. 126.
utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat
disebut sebagai Negara hukum(The Rule of Law ataupun Rechstaat) dalam arti
sebenarnya, diantaranya adalah :17
1. Supremasi Hukum
2. Persamaan Dalam Hukum,
3. Asas Legalitas,
4. Pembatasan Kekuasaan,
5. Organ Eksekutif Yang Independent,
6. Peradilan Bebas Dan Tidak Memihak.
7. Peradilan Tata Usaha Negara,
8. Peradilan Tata Negara,
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia,
10. Bersifat Demokratis
11. Sarana Untuk Mewujudkan Tujuan Negara
12. Transparansi Dan Kontrol Sosial.
Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana tercantum
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Amandemen IV menetukan
bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Indonesia dapat dikatakan sebagai
Negara hukum karena memenuhi unsur-unsur konsep Negara
hukumrechstaat.Salah satunya pada unsur adanya peradilan administrasi
(PTUN).Meskipun demikian, Negara Indonesia tidak dapat digolongkan ke dalam
salah satu dari dua kelompok negara hukum tersebut.
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa negara hukum di Indonesia
tidak dapat dengan begitu saja dipersamakan dengan “Rechstaat” maupun “The
Rule of Law” dengan alasan sebagai berikut:
1. Baik konsep “Rechstaat” maupun “The Rule of Law” dari latar belakang
sejarahnya lahir dari suatu usaha atau perjuangan menentang kesewenangan
17
Ibid, hlm. 127.
penguasa, sedangkan Negara Republik Indonesia sejak perencanaan berdirinya
jelas-jelas menentang segala bentuk kesewenangan atau absolutisme;
2. Baik konsep “Rechstaat” maupun “The Rule of Law” menempatkan
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai titik sentral,
sedangkan Negara Republik Indonesia yang menjadi titik sentral adalah
keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
3. Untuk melindungi hak asasi manusia konsep “Rechstaat” mengedepankan
prinsip wetmatigheid dan “The Rule of Law” mengedepankan prinsip equality
before the law, sedangkan Negara Republik Indonesia mengedepankan asas
kerukunan dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat.18
Berdasarkan alasan di atas, maka Negara Indonesia tidak digolongkan ke
dalam konsep negara hukum baik “Rechstaat” maupun “The Rule of Law”,
melainkan Negara Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,
hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi disamping juga hak
masyarakatnya. Oleh karena itu untuk memberikan perlindungan terhadap setiap
warga negara yang merasa haknya dirugikan oleh akibat suatu perbuatan hukum
publik oleh pejabat administrasi negara, serta untuk menjaga keseimbangan antara
kepentingan umum dengan kepentingan perseorangan, maka di Indonesia dibentuk
suatu lembaga peradilan yang dapat menjamin hak-hak warganya dari tindakan
sewenang-wenang pejabat administrasi negara yaitu Peradilan Tata Usaha Negara.
18
Philipus Hadjon, dkk, 1993, Hukum Administrasi Negara, Gajah Mada University, Press,
Yogyakarta, hlm. 84-85.
B. Peradilan Tata Usaha Negara
1. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu badan peradilan
yang melakukan kekuasaan kehakiman, yang merdeka dan berada di bawah
Mahkamah Agung dalam rangka menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.Penegakan hukum dan keadilan ini
merupakan bagian dari perlindungan hukum bagi rakyat atas perbuatan hukum
publik oleh pejabat administrasi negara yang melanggar hukum.
Peradilan Tata Usaha Negara diatur dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Yang menjadi pertimbangan
adanya Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah:
a. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata
keidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, serta tertib,,
yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum, dan
yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta
selaras, antara aparatur di bidang Tata Usaha Negara dengan para warga
masyarakat;
b. Adanya kemungkinan timbulnya benturan kepentingan, perselisihan, atau
sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga
masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya pembangunan
nasional.19
Berdasarkan hal tersebut, maka peradilan Tata Usaha Negara diadakan
dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan yang
merasa dirinya dirugikan akibat suatu perbuatan hukum publik oleh pejabat
administrasi negara, melalui pemeriksaan, pemutusan dan penyelesaian
sengketa dalam bidang administrasi negara.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun segala bentuk
tindakan pejabat administrasi negara telah diatur dalam norma-norma hukum
administrasi negara akan tetapi bila tidak ada lembaga penegak hukum dari
hukum administrasi negara itu sendiri, maka norma-norma tersebut tidak
mempunyai arti apa-apa. Oleh sebab itu eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara
sesuatu yang wajib, dengan maksud selain sebagai sarana kontrol yuridis
terhadap pelaksana administrasi negara juga sebagai suatu bentuk atau wadah
perlindungan hukum bagi masyarakat karena dari segi kedudukan hukumnya
berada pada posisi yang lemah.20
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan pengadilan yang berwenang
untuk menilai keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara dalam rangka
19
Philipus M. Hadjon dkk, 1994, Pengantar Hukum Administrasi di Indonesia, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, hlm. 301. 20
https://edrasatmaidi2010.wordpress.com/2010/07/15/penyelesaian-sengketa-tun-melalui-ptun/
, diakses pada Tanggal 14 Desember 2014.
pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah.21
Peradilan
Tata Usaha Negara diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah
dan warga negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dan adanya
tindakan-tindakan Pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga
negaranya. Adapun tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara adalah:
1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-
hak individu.
2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan
kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat
tersebut.22
Selanjutnya pelaksanaan berpekara di Peradilan Tata Usaha Negara ini
diatur dalam rangkaian peraturan yang dinamakan Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah hukum yang
mengatur tentang cara-cara bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, serta
mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses
penyelesaian sengketa tersebut.23
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan hukum acara
yang secara bersama-sama diatur dengan hukum materiilnya di dalam Undang-
21
W. Riawan Tjandra, Op. Cit., hlm.4. 22
Ibid, hlm. 1. 23
Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1991, hlm.1.
Undang Nomor 5 Tahun 1986. Ada beberapa ciri khusus yang membedakan
antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan lainnya, yaitu:
1. Peranan hakim yang aktif karena ia dibebani tugas untuk mencari kebenaran
materiil
2. Adanya ketidakseimbangan antara kedudukan Penggugat dan Tergugat
(Pejabat Tata Usaha Negara). Dengan mengingat hal ini maka perlu diatur
adanya kompensasi, karena diasumsikan bahwa kedudukan Penggugat
(orang atau badan hukum perdata), adalah dalam posisi yang lebih lemah
dibandingkan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.
3. Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas.
4. Gugatan di Pengadilan tidak mutlak bersifat menunda pelaksanaan
Keputusan tata Usaha Negara yang digugat.
5. Putusan hakim tidak boleh melebihi tuntutan Penggugat, tetapi
dimungkinkan membawa Penggugat ke dalam keadaan yang lebih buruk
sepanjang hal ini diatur dalam Undang-undang.
6. Putusan hakim tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi
juga berlaku bagi pihak-pihak yang terkait.
7. Para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya
sebelum hakim membuat putusannya.
8. Dalam mengajukan gugatan harus ada kepentingan dari sang Penggugat.24
24
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/8328/SKRIPSI%20GABUNG.pdf?se
quence=1 , diakses pada Tanggal 14 Desember 2014.
2. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa asas hukum merupakan
jantungnya peraturan hukum, karena ia merupakan landasan yang paling luas
bagi lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum itu
pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut
landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan lahirnya peraturan
hukum, atau merupakan ratio logis dari peraturan hukum.25
Menurut Scholten memberikan definisi asas hukum adalah pikiran-
pikiran dasar yang terdapat didalam dan di belakang sistem hukum masing-
masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim,yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-
keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.26
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara garis
besar terdapat beberapa asas dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
yaitu:
a. Asas praduga Rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid, prasumptio
iustae causa).Dengan asas ini setiap tindakan pemerintah selalu dianggap
rechmatig sampai ada pembatalan. (Pasal 67ayat (1) UU No. 5 Tahun
1986).
25
Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 85. 26
http://po-box2000.blogspot.com/2011/04/hukum-ptun-pengertian-asas-asas-dan.html, diakses
pada tanggal 28 November 2014.
b. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan Keputusan
Tata Usaha Negara yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang
mendesak dari penggugat (Pasal 67ayat (1) dan ayat (4) huruf a).
c. Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem). Para pihak
mempunyai kedudukan yang sama dan harus diperlakukan dan diperhatikan
secara adil. Hakim tidak dibenarkan hanya memperhatikan barang bukti,
keterangan, atau penjelasan salah satu pihak saja.
d. Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan di
peradilan judex facti, maupun kasasi dengan MA sebagai puncaknya. Atas
dasar satu kesatuan hukum berdasarkan Wawasan Nusantara, maka dualism
hukum acara dalam wilayah Indonesia menjadi tidak relevan.
e. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari
segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung dan
tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobjektifan putusan
pengadilan (Pasal 24 UUD 1945 jo Pasal 3 UU No. 48 Tahun 2009).
f. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan ringan (Pasal 4 UU
No. 48 Tahun 2009). Sederhana adalah hukum acara yang mudah dipahami
dan tidak berbelit-belit. Dengan hukum acara yang mudah dipahami
peradilan akan berjalan dalam waktu yang relativ cepat. Dengan demikian
biaya berperkaya juga menjadi ringan.
g. Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa
hakim mengadakan rapat permusyawaratan untuk menetapkan apakah
gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar atau dilengkapi
dengan pertimbangan (Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1986), dan pemeriksaan
persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas,
sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (Pasal 63 UU No. 5 Tahun
1986). Dengan demikian asas ini memberikan peran kepada hakim dalam
proses persidangan guna memperoleh suatu kebenaran materiil dan untuk
itu UU No. 5 Tahun 1986 mengarah pada pembuktian bebas. Bahkan, jika
dianggap perlu untuk mengatasi kesulitan penggugat memperoleh informasi
atau data yang diperlukan, maka hakim dapat memerintahkan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pihak tergugat itu untuk memberikan
informasi atau data yang diperlukan itu (Pasal 85 UU No. 5 Tahun 1986).
h. Asas sidang terbuka untuk umum. Asas inimembawa konsekuensi bahwa
semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila di ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 13UU 48
Tahun 2009 jo Pasal 70 UU No. 5 Tahun 1986).
i. Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan di mulai dari tingkat yang
paling bawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara, kemudian Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara, dan puncaknya adalah Mahkamah
Agung. Dengan dianutnya asas ini, maka kesalahan dalam putusan
pengadilan yang lebih rendah dapat dikoreksi oleh pengadilan yang lebih
tinggi. Terhadap putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap
dapat diajukan upaya hukum banding kepada PTTUN dan kasasi kepada
Mahkamah Agung. Sedangkan terhadap putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum permohonan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung.
j. Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas
ini menempatkan pengadilan sebagai ultimum remedium. Sengketa Tata
Usaha Negara sedapat mungkin terlebih dahulu diupayakan
penyelesaiannya melalui upaya administratif yang diatur dalam Pasal 48
UU No. 5 Tahun 1986 lebih menunjukkan penyelesaian ke arah itu. Apabila
musyawarah tidak mencapai mufakat, maka barulah penyelesaian melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara dilakukan.
k. Asas Objektivitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau
panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubngan suami atau istri
meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum
atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat
hubungan sebagaimana yang di sebutkan di atas, atau hakim atau
paniteratersebut mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung
dengan sengketanya. (Pasal 78 dan Pasal 79 UU No. 5 Tahun 1986).
l. Asas Pembuktian Bebas. Peluang hakim administrasi menerapkan asas
pembuktian bebas hanyalah merupakan konsekuensi logis dari tugas hakim
menemukan kebenaran materiil dan pemberian peran aktif hakim
administrasi. Wewenang untuk menetapkan asas pembuktian bebas ini,
mengakibatkan hakim tidak lagi terikat terhadap alat-alat bukti yang
diajukan para pihak dan penilaian pembuktian juga diserahkan sepenuhnya
kepada hakim akibat dari itu pula peran hakim menjadi melebar karena
hakim dapat menguji aspeknya di luar sengketa.27
Penjelasan Umum angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
menyebutkan bahwa hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha
Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada
Peradilan Umum untuk perkara perdata, dengan beberapa perbedaan antara
lain :
a. Pada Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses
persidangan guna memperoleh kebenaran material dan untuk undang-undang
ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas;
b. Suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.
Spesifikasi hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara ditampakan oleh
asas-asas yang menjadi landasan normatif-operasional hukum acara Peradilan
Tata Usaha Negara, yaitu:
a. Asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid-praesumption
iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa
selalu harus dianggap rechmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas
27
Zairin Harahap, 2007, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Raja GrafindoPersada,
Jakarta, hlm. 24-27.
ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat
(1) UU No. 5 Tahun 1986).
b. Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian.
c. Asas keaktifan Hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk
mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata
usaha Negara sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata.
d. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan “erga omnes”. Sengketa
Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian
putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja, tidak hanya
bagi para pihak yang bersengketa.28
3. Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara
Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili
suatu perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi
absolut.Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk
mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya.Sedangkan
kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu
perkara menurut objek, materi atau pokok sengketa.29
Kewenangan Absolut dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara terdapat dalam Pasal 47 yang menentukan bahwa Pengadilan
28
Philipus M. Hadjon dkk, 1993, Op. Cit., hlm. 313. 29
S.F.Marbun, 2003, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 59.
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara.30
Kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk
memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang
Tata Usaha Negara antara seseorang atau badan hukum perdata dengan badan
atau pejabat Tata Usaha Negara akibat dikeluarkannya suatu keputusan Tata
Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian (Pasal 1 angka 10 UU No. 51
Tahun 2009) dan tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan
seseorang sampai batas waktu yang ditentukan dalam suatu peraturan
perundang-undangan, sedangkan hal itu merupakan kewajiban badan atau
pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan (Pasal 3 UU No. 5 Tahun
1986).31
Dengan demikian kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara
minimal mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Yang bersengketa (pihak-pihak) adalah orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
b.Objek yang disengketakan adalah Keputusan Tata Usaha Negara yakni
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara;
c. Keputusan yang dijadikan objek sengketa itu berisi tindakan hukum
TataUsaha Negara;
30
R. Wiyono, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Gravika, Jakarta, hlm. 6. 31
Zairin Harahap, Op. Cit., hlm.30.
d. Keputusan yang dijadikan objek sengketa itu bersifat konkrit, individual, dan
final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.32
Kompetensi relatif adalah kompetensi Pengadilan ditentukan
berdasarkan wilayah hukum yang menjadi wilayah kewenangannya.Suatu
badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa
apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman
di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.33
Ini
artinya bahwa dalam pengajuan gugatan ke peradilan harus melihat subjek yang
berperkara yaitu tergugat dan penggugat untuk menentukan Peradilan Tata
Usaha Negara mana yang memiliki kompetensi untuk mengadili.Untuk
Pengadilan Tata Usaha Negara, kompetensi relatifnya diatur dalam Pasal 6 UU
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 tahun 2009 menyatakan:
(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota,
dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi
dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat
kediamanpara pihak, yakni pihak Penggugat atau pihak Tergugat,
diaturtersendiri di dalam Pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 sebagai berikut:
32
SF. Marbun, Op. Cit., hlm. 186. 33
http://repository.uksw.edu/jspui/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB%20II.pdf,
diakses pada Tanggal 29 November 2014.
(1) Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang
berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat;
(2) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
(3) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum
Pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat
untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan;
(4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara
yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan
dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman Penggugat;
(5) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri,
gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta;
(6) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar
negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan
Tergugat.
C. Keputusan Tata Usaha Negara
1. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU No. 51 Tahun 2009, bahwa
sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antara orang atau badan Hukum Perdata dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian,
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) merupakan dasar lahirnya sengketaTata
Usaha Negara yang kemudian disebut sebagai objek sengketa Tata Usaha
Negara.
Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 merumuskan Keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat
konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata.
Berdasarkan pengertian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut di atas
maka Keputusan Tata Usaha Negara mengandung beberapa unsur, yaitu sebagai
berikut:
1. Penetapan Tertulis
Penjelasan pasal tersebut menggariskan bahwa istilah “penetapan
tertulis” terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan itu
memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah
bentuk formatnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya.
Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian.
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat di
pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif.
3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan
Tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu ketentuan
hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban
pada orang lain. Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan”
ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan
oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga
bersifat mengikat secara umum.
4. Bersifat konkrit, individual dan final
Bersifat konkrit, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan
Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat
ditentukan.Bersifat individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara tidak
ditujukan untuk umum, tetapi tetentu baik alamat maupun hal yang
dituju.Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan
persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya
belum dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada pihak yang
bersangkutan.
5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
Menimbulkan akibat hukum artinya perbuatan hukum yang diwujudkan
dalam pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara itu dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada seseorang atau
badan hukum perdata.34
Dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara
pada prinsipnya meliputi :
1. Dari segi pembuatnya : dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dalam rangka melaksanakan kegiatan yang bersifat eksekutif (urusan
pemerintahan)
2. Wujud materiilnya : berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yaitu
tindakan Hukum Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
3. Dari segi sifatnya : konkrit, individual dan final.
34
W. Riawan Tjandra, Op.Cit.,hlm.18.
4. Dari segi akibatnya : menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.35
Tidak semua Keputusan Tata Usaha Negara(KTUN) yang memenuhi
unsur-unsur yang tercantum dalam Pasal 1 Angka 9 UU No. 51 Tahun 2009
dapat dijadikan objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, sebab UU No.
5 tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004 memberikan pembatasan-pembatasan
atau pengecualian-pengecualian terhadap KTUN-KTUN yang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, serta limitasi dalam Pasal 49.
Pasal 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa tidak
termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-
undang ini:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum
pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional
Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah
mengenai hasil pemilihan umum.
Berdasarkan alasan keadaan tertentu Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986
memberikan limitasi terhadap pengertian KTUN yang dapat diuji oleh
35
Ibid,hlm.20.
Peradilan Administrasi.36
Pasal 49 menyebutkan bahwa Pengadilan tidak
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan
luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara
Sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka
10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 adalah sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berkaitan dengan pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara, Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Pemerintah harus memperhatikan syarat-
syarat mengenai sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara menurut hukum,
adapun syarat-syarat yang harus diperhatikan mencakup syarat materiil dan
syarat formil :
1. Syarat-syarat materiil terdiri dari :
a. Organ Pemerintah yang membuat ketetapan harus berwenang
b. Ketetapan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis
36
Ibid,hlm.27.
c. Ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan
d. Ketetapan tidak boleh melanggar perundang-undangan, serta isi dan
tujuan ketetapan harus sesuai dengan peraturan dasarnya.
2. Syarat-syarat formil terdiri dari :
a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya
ketetapan dan berhubungan dengan cara dibuatnya ketetapan harus
dipenuhi.
b. Bentuk ketetapan harus berdasarkan peraturan dasar.
c. Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan ketetapan harus dipenuhi.
d. Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang
menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya ketetapan itu harus
diperhatikan.37
Suatu keputusan dianggap sah menurut hukum (rechtmatig), apabila
memenuhi syarat materiil dan syarat formil, artinya dapat diterima sebagai
suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada
baik prosedural/ formil maupun materiil.38
Pengujian aspek legalitas Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking)
menyangkut masalah keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Van der
Pot mengemukakan ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan
dapat berlaku sebagai ketetapan yang sah, yaitu:
37
Martiman Prodjohamidjojo, Loc. Cit. 38
Ibid.,hlm. 170.
1. Ketetapan harus dibuat oleh alat (organ) yang berkuasa (bevoegd)
membuatnya.
2. Karena ketetapan suatu pernyataan kehendak (willsverklaring), maka
pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis (geen
jundische gebreken in de wilsvorming).
3. Ketetapan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang
menjadi dasarnya dan pembuatannya harus juga memperhatikan
cara(procedur) membuat ketetapan itu, bilamana cara itu ditetapkan dengan
tegas dalam peraturan dasar tersebut.
4. Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.39
Selanjutnya keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat
dilihat dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004, bahwa Keputusan Tata Usaha Negara akan dinyatakan
batal atau tidak sah, jika:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-
asas umum pemerintahan yang baik.
Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 1986
menyebutkan bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dinilai
39
W. Riawan Tjandra, Op.Cit.,hlm.30.
“bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” apabila
keputusan yang bersangkutan:
1. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat prosedural/formal.
2. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat materiil/substansial.
3. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak
berwenang.
Berdasarkan penjabaran di atas, keabsahan (rechmatigheid) suatu
Keputusan Tata Usaha Negara diukur dengan peraturan perundang-undangan
dan/atau hukum tidak tertulis berupa Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik. Aspek-aspek yang diukur adalah: Wewenang, Substansi dan Prosedur.40
Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara ditinjau dari segi
kewenangan, Riawan Tjandramenegaskan bahwa Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
tidak berwenang (onvoegdheid) disebut keputusan yang cacat mengenai
kewenangan (bevoegdheidsgebreken), yang meliputi:
a. Onbevoegdheid ratione materiae, yaitu apabila suatu keputusan tidak ada
dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau apabila keputusan itu
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak
berwenang mengeluarkannya.
40
Philipus M. Hadjon, dkk, 1993, Op. Cit., hlm. 330
b. Onbevoegdheid ratione loci, keputusan yang diambil oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara tersebut menyangkut hal yang berada di luar
batas wilayahnya (geografis).
c. Onbevoegdheid ratione temporis, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk mengeluarkan Keputusan
Tata Usaha Negara.41
Berdasarkan teori kewenangan tersebut di atas, berarti Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara harus mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan
Keputusan Tata Usaha Negara.Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
doktrin, kewenangan yang ada pada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
menjadi salah satu tolok ukur untuk menilai sah atau tidaknya suatu Keputusan
Tata Usaha Negara.
Selanjutnya keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara perlu pula
ditinjau dari segi substansi. Menurut Indroharto, Hakim Tata Usaha Negara
memiliki penilaian sendiri mengenai keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha
Negara yang dapat dilakukan dengan cara:
1. Menguji Keputusan Tata Usaha Negara tersebut terhadap peraturan
perundang-undangan yang mendasari dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut;
2. Pengujian suatu Keputusan Tata Usaha Negara terhadap peraturan dasarnya
dilakukan hanya terhadap peraturan perundang-undangan yang dipergunakan
41
W. Riawan Tjandra, Op.Cit.,hlm. 73.
sebagai dasar menetapkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut walaupun
setelah Keputusan Tata Usaha Negara itu ditetapkan terjadi perubahan
peraturan perundang-undangan.42
Kemudian Indrohartojuga berpendapat bahwa pengujian dari segi
hukumnya tidak hanya mengenai keputusannya saja, tetapi mengenai
keseluruhan proses pembentukan keputusan tersebut dalam segala
tingkatannya. Artinya pengujian itu juga mengenai:
a. Prosedur permohonannya: umpama apakah pemohon telah diberi
kesempatan untuk melengkapi surat-suratnya dalam waktu yang layak?
b. Penelitian yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan: apakah instansi tersebut telah mengadakan penelitian
mengenai pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh mereka yang
berkepentingan? Umpama yang berkepentingan itu mengemukakan, bahwa
ternyata ada permohonan-permohonan yang keadaannya serupa dengan
permohonannya telah memperoleh izin yang dimohon maka semestinya
instansi tersebut juga perlu melakukan penelitian akan kebenaran mengenai
yang dikemukakan tersebut. Apabila menurut peraturan ditentukan bahwa
yang berkepentingan harus didengar, maka perlu diteliti apakah hal tersebut
benar sudah dilakukan oleh instansi tersebut? Apakah keharusan untuk
meminta pendapat instansi lain seperti yang ditentukan dalam peraturan yang
bersangkutan itu benar sudah dilakukan?
42
Indroharto,Loc. Cit.
c. Keputusan sendiri: apakah instansi yang bersangkutan itu benar berwenang
untuk mengeluarkan keputusan yang digugat itu? Apakah peraturan yang
menjadi dasar wewenang telah secara tepat ditafsirkan oleh instansi yang
mengeluarkan keputusan itu? Apakah benar telah dilakukan penimbangan
secara layak mengenai kepentingan-kepentingan yang terkait dengan
keputusan itu? Bagaimanakah keputusan mengenai hal itu atau keadaan yang
serupa pada waktu-waktu yang lampau? Apakah oleh instansi yang
bersangkutan telah dikeluarkan peraturan mengenai hal yang ditentukan
keputusan itu? Apakah peraturan kebijaksanaan tersebut telah
dipublikasikan? Apakah oleh instansi yang bersangkutan telah diberikan
janji-janji tertentu kepada pemohon?
d. Bentuk keputusan yang digugat: apakah keputusan itu sendiri sudah cukup
jelas? Apakah keputusan itu memuat pertimbangan-pertimbangan yang
didasarkan kepada fakta-fakta yang benar?43
Dasar pengujian suatu Keputusan Tata Usaha Negara berikutnya adalah
Asas Umum Pemerintah yang Baik.Asas Umum Pemerintah yang Baik dalam
bentuk tertulis, dapat diketahui daripenjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b UU
Nomor 9 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Asas
Umum Pemerintah yang Baik adalah meliputi asas kepastian hukum, tertib
penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsional, profesionalitas, dan
akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
43
Ibid.,hlm. 168-169.
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme.
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dapat dipahami sebagai
asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian
penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat,
bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan
wewenang dan tindakan sewenang-wenang. Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang Baik berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam
menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam
menilai tindakan administrasi negara, dan dasar gugatan bagi masyarakat yang
merasa dirugikan oleh Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara.44
Pengertian Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik disebutkan dalam
Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, yaitu:
1. Asas kepastian hukum adalah asas yang mengutamakan landasan Peraturan
Perundang-Undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggara negara.
2. Asas tertib penyelenggara negara adalah asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggaraan negara.
44
Ridwan H.R, 2011, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm 235.
3. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas keterbukaan adalah membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak
asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara
hak dan kewajiban penyelenggara negara.
6. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
7. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi Negara.45
D. Mekanisme Pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara baru dalam struktur
kelembagaan Negara Republik Indonesia yang dibentuk berdasarkan amanat Pasal
24C Jo.Pasal III Aturan Peralihan Perubahan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi
adalah lembaga Negara yang termasuk salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
yang melakukan fungsi peradilan dalam menangani permasalahan ketatanegaraan
45
Jum Anggriani, 2012, Hukum Administrasi Negara, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 237.
berdasarkan otoritas UUD 1945, yang meliputi lima perkara pokok yaitu : (i)
menguji konstitusionalitas undang-undang, (ii) memutus sengketa kewenangan
lembaga Negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, (iii) memutus
pembubaran partai politik, (iv) memutus perselisihan hasil pemilihan umum, dan
(v) memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden.46
Eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah
sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang kedudukannya sederajat
dengan Mahkamah Agung maupun lembaga tinggi negara lainnya.Dalam
kedudukannya yang demikian, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pusat
kekuasaan dalam suprastruktur politik negara sekaligus sebagai pelaksana
kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pengisian jabatan hakim Mahkamah Konstitusi
haruslah dipilih melalui tata cara pencalonan yang baik dan benar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan serta pencalonan hakim
Konstitusi diatur Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa untuk mendapatkan hakim Mahkamah
Konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan
46
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, 2004, Mahkamah Konstitusi, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.
18-19.
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar, Undang-Undang ini mengatur
mengenai syarat calon hakim Mahkamah Konstitusi secara jelas. Disamping itu,
diatur pula ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian, cara pencalonan
secara transparan dan partisipatif, dan pemilihan hakim konstitusi secara objektif
dan akuntabel.
Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hakim konstitusi berjumlah sembilan
orang.Kesembilan hakim konstitusi tersebut terdiri atas tiga orang yang dipilih
atau ditentukan oleh Presiden, tiga orang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat,
dan tiga orang dipilih atau ditentukan oleh Mahkamah Agung.47
Berdasarkan
ketentuan tersebut terdapat tiga lembaga yang diberi kewenangan secara langsung
oleh undang-undang untuk memilih dan menentukan masing-masing tiga calon
hakim konstitusi yaitu, Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat serta Mahkamah
Agung. Hal ini demikian pula di atur dalam ketentuan Pasal 24 C ayat (3) dan ayat
(6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditegaskan
bahwa:
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi
yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masingmasing tiga orang oleh
Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang
oleh Presiden.
47
Prof.Dr. Jimly Asshiddiqie, 2010, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sinar Gravika,
Jakarta,hlm.233.
(6)Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-
undang.
Selanjutnya pelaksanaan Pasal 24 C ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur dalam ketentuan Pasal 15, Pasal 16,
Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.48
Ketentuan Pasal 15 dan Pasal 16 mengatur mengenai persyaratan hakim
Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut :
Pasal 15
Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
b. adil; dan
c. negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Pasal 16
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi seorang calonharus memenuhi
syarat:
a. wargaNegara Indonesia;
b. berpendidikan sarjana hukum;
c. berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat
pengangkatan;
d. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
e. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan
f. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) tahun.
(2) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan calon
diterima Presiden.
48
Ibid.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, ketentuan
Pasal 15 ini diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
(1) Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
b. adil; dan
c. negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus
memenuhi syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. berijazah doctor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang
pendidikan tinggi hukum;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
d. berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65
(enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan;
e. mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan
kewajiban;
f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
g. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan
h. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima
belas) tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara.
(3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) calon
hakim konstitusi juga harus memenuhi kelengkapan administrasi dengan
menyerahkan:
a. surat pernyataan kesediaan untuk menjadi hakim konstitusi;
b. daftar riwayat hidup;
c. menyerahkan fotokopi ijazah yang telah dilegalisasi dengan menunjukan
ijazah asli;
d. laporan daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon yang disertai
dengan dokumen pendukung yang sah dan telah mendapat pengesahan dari
lembaga yang berwenang; dan
e. nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Kemudian, ketentuan Pasal 17 mengatur mengenai larangan bagi hakim
konstitusi merangkap jabatan, sebagai berikut :
Hakim konstitusi dilarang merangkap menjadi:
a. pejabat negara lainnya;
b. anggota partai politik;
c. pengusaha;
d. advokat; atau
e. pegawai negeri.
Pasal 18:
(1) Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah
Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan calon
diterima presiden.
Mengenai proses pencalonan hakim konstitusi, Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tidak memerinci secara detail, tetapi hanya menyebutkan prinsip-
prinsip umum bahwa pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan
dan partisipatif serta pemilihannya dilakukan secara objektif dan akuntabel.49
Hal
ini diatur dalam ketentuan pasal 19 dan 20, sebagai berikut:
Pasal 19:
Pencalonan Hakim Konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.
Pasal 20:
49
Tim Penyusun Cetak Biru Mahkamah Konstitusi, 2004, Cetak Biru Membangun Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 69.
(1) Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon Hakim
Konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam pasal 18 ayat (1).
(2) Pemilihan Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara objektif dan akuntabel.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, dapat
dipahami bahwa mekanisme pengangkatan hakim Mahkamah Konstitusi meliputi
dua hal, yaitu (1) syarat administratif yang harus dipenuhi oleh seorang calon
hakim konstitusi, dan (2) tata cara pencalonan hakim Mahkamah Konstitusi yang
dilaksanakan secara transparan dan partisipatif, dan pemilihan hakim Mahkamah
Konstitusi secara objektif dan akuntabel.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metodologi Pendekatan
Sesuai dengan perumusan masalah yang diteliti, penelitian ini merupakan
penelitian hukum (legal research). Menurut F. Sugeng Istanto, penelitian hukum
adalah penelitian yang diterapkan atau diberlakukan khusus pada ilmu
hukum.50
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif atau penelitian hukum yang hanya meneliti bahan pustaka sehingga
disebut juga penelitian hukum kepustakaan.51
Dalam penelitian dengan pendekatan
yuridis normatif, peneliti mengonsepsikan hukum sebagai sistem normatif yang
bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan hukum masyarakat.52
Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan analitis (analitycal approach) dan pendekatan kasus (case
approach).
1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang sedang ditangani.53
Metode pendekatan perundang-undangan
digunakan dengan mengingat bahwa permasalahan yang diteliti berkisar pada
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Pendekatan ini
50
F. Sugeng Istanto, 2007, Penelitian Hukum, CV. Ganda, Yogyakarta, hlm. 29. 51
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm 14. 52
Ronny Hanitijo Sumitro, 2005, Penelitian Hukum Normatif, Kencana, Jakarta, hlm. 93. 53
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum Normatif, Kencana, Jakarta, hlm.93.
memberi kesempatan kepada peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi
dan kesesuaian antara ketentuan dalam suatu undang-undang dengan
pertimbangan hakim dalam suatu putusan pengadilan.
2. Pendekatan analitis(analitycal approach) adalah pendekatan dengan
menganalisa bahan hukum untuk mengetahui makna yang dikandung oleh
istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan.54
Pendekatan analitis digunakan untuk mengetahui makna yang dikandung oleh
istilah-istilah yang digunakan dalam perundang-undangan secara konsepsional,
sekaligus penerapannnya dalam praktik hukum.55
3. Pendekatan kasus digunakan dalam penelitian normatif, digunakan untuk
mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam
praktik hukum.56
Kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi
atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai pada suatu
putusan. Baik keperluan praktik maupun kajian akademis, ratio decidendi atau
reasoning tersebut merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam
pemecahan isu hukum.57
Adapun kajian pokok dalam penelitian ini adalah
pertimbangan hukum hakim dalam menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan Presiden merupakan Keputusan Tata Usaha Negara
yang tidak sah menurut hukum.
54
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., hlm. 54. 55
Jhonny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia
Publising, Cetakan Kedua, Jakarta, hlm. 295. 56
Ibid, hlm.321. 57
Peter Mahmud Marzuki,Op. Cit., hlm. 94.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis sesuai dengan
masalah dan tujuan dalam penelitian. Menurut Ronn Hanitijo Soemitro, deskriptif
analitis adalah menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dikaitkan dengan teori-teori hukum dari praktek pelaksanaan hukum positif yang
menyangkut permasalahan dalam penelitian ini.58
C. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman dan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Universitas
Jenderal Soedirman dan di tempat lain yang berkaitan erat dengan adanya sumber
bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini.
D. Sumber Bahan Hukum
Pada penelitian normatif, data sekunder merupakan data pokok atau utama
yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku literature maupun
surat-surat resmi yang ada hubungannya dengan objek penelitian.Menurut
Soerjono dan Sri Mamudji, data sekunder (bahan-bahan pustaka) terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan tersier.59
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dan diuraikan ke
dalamtiga bagian yaitu :
58
Ronny Hanintijo Soemitro, 1999, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hal 97-98 59
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., hlm. 14.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan bahan hukum yang bersifat mutlak dan
mengikat terdiri dari:
1) Peraturan dasar, yaitu Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara;
3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi;
4) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
5) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara;
6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi;
7) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi;
8) Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor: 139/G/2013/PTUN-JKT.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, literatur-literatur,
makalah-makalah, artikel-artikel, risalah sidang di PTUN Jakarta, serta
Petunjuk Teknis maupun Petunjuk Pelaksanaan yang dikeluarkan oleh MA
yang relevan dengan objek penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.60
Penelitian ini menggunakan kamus
umum bahasa Indonesia sebagai bahan hukum tersier.
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
60
Soerdjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 296.
Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan mengiventarisir
bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan, Putusan Hakim di
PTUN Jakarta, dan Yurisprudensi yang relevan, serta peraturan perundang-
undangan lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian.
Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara studi pustaka
terhadap hasil-hasil penelitian, literatur-literatur, makalah-makalah, artikel-artikel,
risalah sidang di PTUN Jakarta, serta Petunjuk Teknis maupun Petunjuk
Pelaksanaan yang dikeluarkan oleh MA.
F. Metode Penyajian Bahan Hukum
Metode penyajian bahan hukumyang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode display, yang merupakan suatu kegiatan memilah-milah bahan hukum ke
dalam bagian-bagian tertentu yang mendeskripsikan seluruh bahan hukum yang
dikumpulkan.Dalam kegiatan ini, bahan hukum disajikan dalam bentuk teks
naratif, yaitu suatu penyajian dalam bentuk uraian yang mendasarkan pada teori
yang disusun secara logis dan sistematis.
Setelahbahan hukum primer, sekunder dan tersier dikumpulkan, akan
dilakukan klasifikasi dan inventarisasi. Dari hasil klasifikasi dan inventarisasi
tersebut, hasil yang diperoleh akan disusun secara sistematis dan logis, dimana
antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lainnya memiliki
hubungan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam
penelitian ini.
G. Metode Analisis Bahan Hukum
Analisis dimaksudkan untuk mengetahui makna yang dikandung dari
istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan secara konsep
dan teknis penerapannya.Analisis bahan hukum bertujuan untuk menjelaskan suatu
permasalahan dengan memberikan arti atau makna terhadap bahan hukum yang
telah diolah sebelumnya.
Bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif-kualitatif,
yaitu pembahasan secara sistematis dengan menggambarkan, menjabarkan dan
menginterpretasikan norma atau kaidah hukum dan doktrin hukum yang ada kaitan
relevansinya dengan permasalahan yang diteliti. Norma hukum diperlukan sebagai
premis mayor, kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta yang relevan (legal
facts) yang dipakai sebagai premis minor dan melalui proses silogisme akan
diperoleh kesimpulan (conclusion) terhadap permasalahannya. Analisis bahan
hukum tersebut dilakukan dengan menggunakan model interpretasi sebagai
berikut:
1. Intepretasi Sistematis
Menurut P.W.C Akkerman, interpretasi sistematis adalah interpretasi
dengan melihat kepada hubungan dimana aturan dalam suatu undang-undang
yang saling bergantung. Disamping itu juga harus dilihat asas yang
melandasinya.Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah undang-
undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satu pun ketentuan dalam undang-
undang merupakan aturan yang berdiri sendiri.61
2. Interpretasi Gramatikal
Merumuskan suatu aturan perundang-undangan atau suatu perjanjian
seharusnya menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat yang
menjadi tujuan pengaturan hukum tersebut, atau para pihak yang terkait dengan
pembuatan suatu teks perjanjian.62
Peneliti menggunakan kedua model interpretasi tersebut untuk dapat
memberikan penjelasan mengenai ketentuan undang-undang dengan cara
menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya, sehingga dapat
mengetahui apakah ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat
diterapkan terhadap objek yang diteliti atau tidak.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang berbentuk data sekunder bersumber dari Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 139/G/2013/PTUN-JKT., yang
diuraikan secara sistematis sebagai berikut:
1. Para Pihak yang Berperkara
1.1. Para Penggugat
61
Peter Mahmud Marzuki,Op. Cit.,,hlm. 112. 62
Jhonny Ibrahim,Op. Cit., hlm. 220.
Para Penggugat dalam perkara ini adalah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang berbentuk badan hukum.
1.1.1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang dalam
hal ini diwakili oleh:
Nama : Alvon Kurnia Palma
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia
Alamat : Jalan Diponegoro No. 74 Menteng, Jakarta
1.1.2. Indonesia Corruption Watch yang dalam hal ini diwakili oleh:
Nama : Danang Widoyoko
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Koordinator Badan Pekerja Indonesia
Corruption Watch
Alamat : Jalan Kalibata Timur IV, Jakarta Selatan
1.2. Tergugat
Nama Jabatan : Presiden Republik Indonesia
Tempat Kedududukan : Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara
No. 1, Jakarta Pusat
1.3. Tergugat II Intervensi
Nama : Dr. Patrialis Akbar, S.H.,M.H.
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Tempat Tinggal : Jalan Cakrawijaya V Blok P No. 3, Kompleks Diskum,
Cipinang Muara, Jakarta Timur
2. Objek Gugatan
Bahwa yang menjadi objek gugatan dalam perkara ini adalah Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 87/P Tahun 2013 Tanggal 22 Juli
2013yang memutuskan:
Menetapkan:
Pertama : Memberhentikan dengan hormat dari jabatan Hakim
Konstitusi,masing-masing atas nama :
1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.
2. Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H., M.H.
Kedua : Mengangkat dalam jabatan Hakim Konstitusi, masing-
masingatas nama :
1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.
2. Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H.
3. Kasus Posisi Menurut Penggugat
3.1 Presiden (Tergugat) selaku Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara telah
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan objek
sengketa dalam gugatan, yaitu berupa Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 87/P Tahun 2013 tanggal 22 Juli 2013.
3.2 Bahwa dengan diterbitkannya Surat Keputusan objek sengketa tersebut
oleh Tergugat, menyebabkan kepentingan Para Penggugat dalam perkara a
quo dirugikan karena tidak dapat memberikan masukan dan pertimbangan
terhadap calon Hakim Konstitusi, sehingga Para Penggugat mengajukan
gugatan terhadap Surat Keputusan objek sengketa yang dikeluarkan oleh
Tergugat.
3.3 Bahwa dalam proses pengangkatan Hakim Konstitusi dari utusan
pemerintah sebagaimana yang tertera dalam Surat Keputusan objek
sengketa, diduga kuat tidak melaksanakan amanat Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi sehingga terjadi ketidaklengkapan syarat maupun
prosedur yang berlaku.
3.4 Bahwa Surat Keputusan objek sengketa yang dikeluarkan oleh Tergugat
bertentangan dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
karena pencalonan Hakim Konstitusi tidak dipublikasikan sehingga
persyaratan yang diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tidak dipenuhi dengan baik.
3.5 Bahwa Surat Keputusan objek sengketa yang dikeluarkan oleh Tergugat
bertentangan dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003karena pemilihan Hakim Konstitusi oleh Tergugat tidak dilakukan
secara transparan dan tidak dipenuhinya partisipasi masyarakat dalam
melakukan pemantauan dan pengawasan serta memberikan masukan
kepada calon-calon Hakim Konstitusi yang akan diusulkan.
3.6 Bahwa Surat Keputusan objek sengketa yang dikeluarkan oleh Tergugat
bertentangan dengan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 karena tidak terbukanya partisipasi publik dan transparansi sehingga
menegasikan objektivitas dan akuntabilitas pencalonan Hakim Konstitusi.
3.7 Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka keputusan objek sengketa yang
dikeluarkan oleh Tergugat dianggap telah bertentangan dengan Pasal 15, 19
dan 20 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011dan dianggap telah melaggar Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2)
UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 3 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, diantaranya yaitu Asas Kepastian Hukum, Asas Kepentingan
Umum, Asas Akuntabilitas dan Asas Keterbukaan.
4. Petitum atau Tuntutan Penggugat
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Para Penggugat memohon
kepada Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang memeriksa
dan mengadili perkara ini untuk memberikan putusan sebagai berikut:
4.1 Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
4.2 Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 87/P Tahun 2013, tanggal 22 Juli 2013 yang memutuskan:
Menetapkan:
Pertama : Memberhentikan dengan hormat dari jabatan Hakim
Konstitusi,masing-masing atas nama :
1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.
2. Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H., M.H.
Kedua : Mengangkat dalam jabatan Hakim Konstitusi, masing-
masingatas nama :
1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.
2. Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H
4.3 Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 87/P Tahun 2013, tanggal 22 Juli 2013 yang
memutuskan:
Menetapkan:
Pertama : Memberhentikan dengan hormat dari jabatan Hakim
Konstitusi,masing-masing atas nama :
1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.
2. Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H., M.H.
Kedua : Mengangkat dalam jabatan Hakim Konstitusi, masing-
masingatas nama :
1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.
2. Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H.
4.4 Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam
perkara ini.
5. Kasus Posisi Menurut Tergugat
5.1 Tergugat dalam menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara Nomor
87/P/Tahun 2013 yang menjadi objek gugatan pada tanggal 22 Juli 2013
telah didasarkan pada tiga apek hukum utama dalam penyusunan
Keputusan Tata Usaha Negara yaitu wewenang, prosedur dan substansi.
5.2 Tergugat memiliki kewenangan untuk mengajukan calon Hakim Konstitusi
sebanyak tiga orang dan menetapkan Hakim Konstitusi dari calon yang
telah diajukan untuk menjadi Hakim Konstitusi berdasarkan pada ketentuan
Pasal 24 C ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 jo.
Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
5.3 Prosedur penerbitan Surat Keputusan objek sengketa telah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 24 C ayat (3) dan ayat (6) UUD
1945, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 Undang-Undang
No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 3, Pasal 34, dan
Pasal 35 Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
5.4 Para Penggugat dalam gugatannya mendalilkan bahwa penerbitan Surat
Keputusan objek sengketa tidak dilakukan secara transparan karena
pemilihan Hakim Konstitusi yang tidak dipublikasikan di media masa oleh
Tergugat bertentangan dengan penjelasan Pasal 19 Undang-Undang No. 24
Tahun 2003 dan tidak diikutsertakannya Para Penggugat dalam proses
pemilihan Hakim Konstitusi melanggar hak masyarakat dalam melakukan
pengawasan serta memberikan masukan kepada calon-calon Hakim
Konstitusi yang akan diusulkan tidak berdasar hukum dengan alasan bahwa
berdasarkan Bagian E Penjelasan Nomor 176 dan 177 Penjelasan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011, maka suatu penjelasan tidak boleh
mencantumkan rumusan berisi norma, penjelasan hanya berfungsi sebagai
tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-Undangan atas norma tertentu
dalam batang tubuh, sehingga ketentuan mengenai publikasi pencalonan
Hakim Mahkamah Konstitusi di media masa baik cetak maupun elektronik,
bukan merupakan suatu keharusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah.
5.5 Tidak ada satupun ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
mengharuskan Tergugat untuk meminta pertimbangan kepada Para
Penggugat dalam menerbitkan Surat Keputusan objek sengketa dan
undang-undang memberikan kewenangan bagi masing-masing lembaga
untuk mengatur tata cara pengangkatan Hakim Konstitusi.
5.6 Ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tidak mengatur
tentang publikasi tetapi mengatur mengenai persyaratan yang harus
dipenuhi oleh calon Hakim Konstitusi, sehingga tidak terdapat keterkaitan
antara persyaratan sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dengan publikasi
sebagaimana didalilkan oleh Para Penggugat.
5.7 Bahwa dari aspek substansi, penerbitan Surat Keputusan objek sengketa
tidak bertentangan dengan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 28
Tahun 1999, karena dalam pencalonan Hakim Konstitusi, pemeritah telah
melakukan berbagai langkah-langkah sebagaimana diamanatkan dalam
undang-undang.
6. Petitum atau Tuntutan Tergugat
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Tergugat memohon kepada
Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang memeriksa dan
mengadili perkara ini untuk memberikan putusan sebagai berikut:
6.1 Menolak gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
6.2 Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 87/P Tahun 2013, tanggal 22 Juli 2013 tentang pemberhentian
dengan hormat dari jabatan Hakim Konstitusi, masing-masing atas nama:
1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.
2. Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H., M.H. dan pengangkatan dalam jabatan
Hakim Konstitusi Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. dan Dr.
Patrialis Akbar, S.H., M.H.;
6.3 Membebankan biaya perkara kepada Para Penggugat.
7. Alat Bukti
7.1 Alat Bukti Saksi Penggugat
Saksi Penggugat bernama Wayudi, pada pokoknya menerangkan
bahwa:
- Pada tahun 2008, Elsam (tempat bekerja saksi) bersama koalisis
masyarakat sipil diundang secara tertulis oleh Pansel pada Watimpres
untuk diminta partisipasinya dalam proses pemilihan hakim Mahkamah
Konstitusi dari Pemerintah.
- Panitia seleksi dibentuk melalui Keputusan Presiden, yang terdiri dari
lima orang tim ahli yang salah satu tugasnya adalah melakukan fit and
proper test terhadap calon Hakim Konstitusi.
- Saksi bersama koalisi masyarakat sipil memberikan masukan dan catatan-
catatan serta rekam jejak masing-masing calon Hakim Konstitusi pada
waktu pemilihan Hakim Konstitusi tanggal 13 Agustus 2008.
- Saksi tidak mengetahui proses pengangkatan Hakim Konstitusi atas nama
Maria Farida dan Patrialis Akbar, karena langsung ada Keputusan
Presiden yang menetapkannya.
7.2 Alat Bukti Saksi Tergugat
Tergugat dalam hal ini tidak mengajukan alat bukti saksi.
7.3 Alat Bukti Ahli Penggugat
Penggugat mengajukan dua orang Ahli yaitu Dr. Riawan Tjandra,
SH., M.Hum dan Prof. Dr. Saldi Isra, SH., MPA., yang pada pokoknya
menerangkan bahwa:
- Pasal 20 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi merupakan suatu
prasyarat untuk dilaksanakannya Pasal 18.
- Dalam mekanisme penetapan hakim konstitusi, Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi mengatur syarat transparansi dan partisipatif
dalam Pasal 19.
- Transparansi dan partisipatif merupakan hak masyarakat (insprackht)
yang sudah dinormatifkan dalam Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi. Partisipatif dan transparan dalam pencalonan Hakim
Mahkamah Konstitusi tersebut dilaksanakan dengan cara dipublikasikan
dalam media cetak atau media elektronika, dengan maksud agar
masyarakat bias memberikan masukan.
- Penjelasan Pasal 19 walaupun bukan norma hukum tetapi setidaknya
membantu memberikan arahan sosok calon yang harus berkelakuan baik
dan masyarakat diminta berpartisipasi.
- Kesempatan masyarakat untuk partisipasi dalam pencalonan Hakim
Mahkamah Konstitusi sesuai dengan teori kedaulatan rakyat sebagai
salah satu pengejawantahan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang
perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Disebutkan bahwa
pengisian akan dilaksanakan oleh Panel Ahli.
- Ditinjau dari Hukum Administrasi Negara menjadi suatu kewajiban bagi
Pejabat Tata Usaha Negara untuk senantiasa memperhatikan syarat sah
suatu KTUN. Dan akibat hukumnya bisa berupa batal, batal demi
hukum dan dapat dibatalkan apabila ada pelanggaran Pasal 19 Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi.
7.4 Alat Bukti Ahli Tergugat
Tergugat mengajukan satu orang Ahli yaitu Prof. Dr. Muchsan,
S.H., yang pada pokoknya menerangkan bahwa:
- LSM tidak punya kewenangan untuk menggugat masalah Keppres
apalagi mengenai pengangkatan Hakim Konstitusi, semestinya harus
lewat kritik-kritik melalui media cetak dan tidak bias mengajukan
gugatan ke PTUN karena terdapat persyaratan-persyaratan normatif
kecuali ada AD/ART nya yang mengatur secara spesial (kewenangan
khusus).
- Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak secara tegas mengatur
mekanisme pengangkatan atau penunjukkan HakimKonstitusi. Jika
mengacu kepada Pasal 18 dan ditafsirkan secara gramatikal, maka harus
dimaknai bahwa ketiga lembaga negara (DPR, Presiden dan Mahkamah
Agung) terikat dengan protap masing-masing lembaga. Jika ketentuan
ini dikaitkan dengan pasal selanjutnya dan ditafsirkan secara gramatikal,
maka harus dimaknai bahwa ketiga lembaga negara tersebut adalah
pihak yang berwenang untuk menafsirkan makna “partisipatif”,
“akuntabel” dan “transparan”. Tidak ada lembaga lain yang berwenang
menafsirkan itu. Oleh karena itu, sangat dimungkinkan bahwa
mekanisme pengangkatan Hakim Konstitusi berbeda satu sama lain
karena adanya perbedaan penafsiran antar “partisipatif”, “akuntabel”
dan “transparan” lembaga negara.
- Penafsiran ketiga lembaga negara bersifat dinamis sehingga bisa saja
berbeda dari satu waktu ke waktu atau antar lembaga negara.
Pemerintah mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi eksekusi. Kedua,
fungsi pelayanan. Hanya terhadap fungsi pelayanan saja yang dapat
diajukan gugatan. Namun gugatan tersebut harus tetap didasarkan pada
paying hukum baik dari segi materiil maupun formil. Digunakan atau
tidak digunakannya fit dan proper test bergantung kepada penafsiran
lembaga negara yang mengajukan calon Hakim Konstitusi sebagaimana
diatur dalam Pasal 18 UU MK.
- Di dalam pengangkatan Hakim Konstitusi tidak harus menggunakan
atau membentuk panitia seleksi meskipun pada tahun 2008 pemilihan
Hakim Konstitusi menggunakan panitia seleksi, karena terdapat
perbedaan penafsiran “partisipatif”, “akuntabel” dan “transparan” pada
tahun 2008 dan sekarang.
8. Pertimbangan Hukum Hakim
Menurut Majelis Hakim, hal-hal yang relevan dan merupakan pokok
sengketa sehingga perlu diuji dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah
mengenai:
1. Apakah calon Hakim Konstitusi Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH., MH.
dan Dr. Patrialis Akbar, SH., MH. telah memenuhi syarat administratif
sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi?
2. Apakah tata cara pencalonan Hakim Konstitusi Prof. Dr. Maria Farida
Indrati SH., MH. dan Dr. Patrialis Akbar, SH., MH. telah dilaksanakan
secara transparan dan partisipatif?
8.1 Berikut pertimbangan Majelis Hakim mengenai apakah calon Hakim
Konstitusi Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH., MH. dan Dr. Patrialis
Akbar, SH., MH. telah memenuhi syarat administratif sebagaimana yang
ditentukan dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi?
Menimbang, bahwa mengacu pada bukti-bukti di bawah ini:
T-25 : Fotokopi Surat Pernyataan Prof. Dr. Maria Farida Indrati,
SH., MH., kepada Presiden Republik Indonesia Perihal Surat
Pernyataan Kesanggupan menjadi Hakim Konstitusi tanggal 26
Februari 2013 (Sesuai dengan aslinya);
T-26 : Fotokopi Daftar Riwayat Hidup Prof. Dr. Maria Farida Indrati,
SH., MH., tanggal 12 November 2013 (Sesuai dengan aslinya);
T-27 : Fotokopi Ijazah Universitas Indonesia menjadi Doktor tanggal 14
Agustus 2002, Magister Ilmu Hukum tanggal 15 April 1997 dan
Sarjana Hukum (S1) tanggal 18 Juni 1975 atas nama Maria Farida
Indrati, SH., MH., (Sesuai dengan aslinya);
T-28 : Fotokopi Pengumuman Komisi Pemberantasan Korupsi
Indonesia berupa Berkas Tanda Terima Penyerahan Formulir
Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara atas nama Prof. Dr.
Maria Farida Indrati, SH., MH., tanggal 29 April 2010 (Sesuai
dengan aslinya);
T-29 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Provinsi DKI Jakarta, Jakarta
Selatan NIK : 3174075406490005 tanggal 14 Juni 2012 berlaku
Hingga Seumur Hidup (Sesuai dengan aslinya);
Menurut Pengadilan, calon Hakim Konstitusi atas nama Prof. Dr.
Maria Farida Indrati, SH., MH. telah memenuhi syarat administratif
sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat
(3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Menimbang, bahwa selanjutnya mengacu pada bukti-bukti di bawah ini:
T-20 : Fotokopi Surat Pernyataan Kesediaan Menjadi Hakim
Konstitusi atas nama Dr. Patrialis Akbar, SH., MH., tanggal 22
Pebruari 2013 (Sesuai dengan aslinya);
T-21 : Fotokopi Personal Data atas nama Patrialis Akbar, Periode
Oktober 2009-Pebruari 2013 tanggal 22 Pebruari 2013 (Sesuai
dengan aslinya);
T-22 : Fotokopi Ijazah Doktor Universitas Padjajaran atas nama
Patrialis Akbar tanggal 03 Desember 2012 (Sesuai dengan
aslinya);
T-23 : Fotokopi Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara dari
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indoensia atas nama
Patrialis Akbar, SH., MH., tanggal 27 Maret 2012 (Sesuai
dengan aslinya );
T-24 : Fotokopi NPWP 06.449.251.5-002.000 atas nama Patrialis
Akbar, terdaftar tanggal 11 Agustus 2003 (Sesuai dengan
aslinya);
Menurut Pengadilan, calon Hakim Konstitusi atas namaDr. Patrialis
Akbar, SH., MH. telah memenuhi syarat administratif sebagaimana yang
ditentukan dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
8.2 Berikut pertimbangan Majelis Hakim mengenai apakah tata cara
pencalonan Hakim Konstitusi Prof. Dr. Maria Farida Indrati SH., MH. dan
Dr. Patrialis Akbar, SH., MH. telah dilaksanakan secara transparan dan
partisipatif.
Menimbang, bahwa Pasal 24 C ayat (3) UUD 1945 memberikan
kewenangan kepada Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Presiden untuk mengusulkan masing-masing tiga orang calon Hakim
Konstitusi kepada Presiden untuk diangkat menjadi Hakim Konstitusi
dengan keputusan Presiden.
Menimbang, bahwa dalam praktek yang terjadi selama ini,
pemilihan dan pengangkatan Hakim Konstitusi mengacu pada mekanisme
masing-masing lembaga. Hal ini disebabkan karena undang-undang tidak
merumuskan secara jelas dan tegas tentang tata cara tersebut.
Menimbang, bahwa dalam persidangan Pengadilan menemukan
fakta bahwa mekanisme pemilihan dan pengangkatan Hakim Konstitusi
yang terjadi selama ini, yaitu dari periode pertama lahirnya Mahkamah
Konstitusi (2003-2008) hingga periode keempat yaitu tahun 2011, terdapat
inkonsistensi Presiden dalam melaksanakan pemilihan dan pengangkatan
Hakim Konstitusi. Selanjutnya timbul pertanyaan hukum utama yang harus
dijawab oleh Pengadilan, yaitu : Apakah pengangkatan Prof. Dr. Maria
Farida Indrati SH., MH. dan Dr. Patrialis Akbar, SH., MH., dalam jabatan
Hakim Konstitusi oleh Presiden dalam keputusan objek sengketa a quo
telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku?
Menimbang, bahwa untuk menjawab pertanyaan hukum di atas,
Pengadilan terlebih dahulu merujuk pada ketentuan Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
yang menegaskan bahwa Pengadilan diwajibkan menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Menimbang, bahwa apabila ketentuan di atas dihubungkan dengan
kondisi saat ini, yaitu:
1. Pada tanggal 17 Oktober 2013, Presiden mengeluarkan Peraturan
Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi, yang berisi pada pokoknya menekankan
bahwa untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia,
serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi
menegakkan Undang-undang Dasar, akibat adanya kemoerosotan
integritas dan kepribadian yang tercela dari Hakim Konstitusi, perlu
dilakukan perubahan terhadap ketentuan mengenai syarat dan pengajuan
Hakim Konstitusi serta pembentukan Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi.
2. Dan pada tanggal 22 Desember 201, DPR telah mengesahkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 menjadi
undang-undang.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Pengadilan,
mekanisme dan tata cara internal yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung, DPR, dan Presiden dalam melaksanakan pemilihan dan
pengangkatan Hakim Konstitusi, yang terjadi dalam praktek selama ini
terdapat suatu persoalan, yaitu seolah-olah Hakim Konstitusi diangkat
begitu saja oleh masing-masing lembaga, tanpa dipilih melalui suatu
proses yang transparan dan partisipatif. Padahal transparan merupakan
syarat untuk mewujudkan keputusan yang akuntabel dan partisipatif
merupakan syarat untuk mewujudkan keputusan yang objektif.
Menimbang, bahwa dalam penafsiran teleologis, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 yang
dikeluarkan oleh Tergugat, mencerminkan bahwa Tergugat menyadari akar
kausa persoalan yang menimpa Mahkamah Konstitusi saat ini karena
Hakim Konstitusi diangkat begitu saja oleh masing-masing lembaga, tanpa
dipilih melalui suatu proses yang transparan dan partisipatif.
Menimbang, bahwa eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, adalah sebagai salah satu pelaku Kekuasaan
Kehakiman yang kedudukannya sederajat dengan Mahkamah Agung
maupun lembaga tinggi negara lainnya.Dalam kedudukan yang demikian,
Mahkamah Konstitusi merupakan pula salah satu pusat kekuasaan dalam
suprastruktur politik negara sekaligus sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu, pengisian jabatan Hakim Konstitusi haruslah dipilih
melalui tata cara pencalonan yang dilaksanakan secara transparan dan
partisipatif dan bukan dengan cara diangkat melalui penunjukkan langsung
oleh lembaga yang sederajat dengan Mahkamah Konstitusi.
Menimbang, bahwa pengangkatan Prof. Dr. Maria Farida Indrati
SH., MH.dan Dr. Patrialis Akbar, SH., MH. Dalam jabatan Hakim
Konstitusi oleh Presiden dalam keputusan objek sengketa a quo dilakukan
melalui proses penunjukan langsung, tanpa melalui tata cara pencalonan
yang dilaksanakan secara transparan dan partisipatif, menurut Pengadilan
tindakan Tergugat tersebut mengandung kekurangan yuridis karena tidak
memenuhi ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, yang menggariskan bahwa dalam
pencalonan Hakim Konstitusi harus dilaksanakan secara transparan dan
partisipatif.
Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil
gugatan Para Penggugat yang menyatakan bahwa objek sengketa telah
melanggar ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi adalah beralasan menurut hukum.
Menimbang bahwa karena dalil Para Penggugat terbukti dan
beralasan menurut hukum, maka sangat beralasan hukum bagi Pengadilan
untuk mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya.
Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Para Penggugat
dikabulkan, maka keputusan objek sengketa dinyatakan batal, dan
mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut keputusan objek sengketa,
serta mewajibkan kepada Tergugat untuk menerbitkan Keputusan Tata
Usaha Negara yang baru berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
9. Diktum Amar Putusan Majelis Hakim
9.1 Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
9.2 Menyatakan batal Surat KeputusanPresiden Republik Indonesia Nomor
87/P Tahun 2013, tanggal 22 Juli 2013 yang memutuskan:
Menetapkan:
Pertama : Memberhentikan dengan hormat dari jabatan Hakim
Konstitusi,masing-masing atas nama :
1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.
2. Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H., M.H.
Kedua : Mengangkat dalam jabatan Hakim Konstitusi, masing-
masingatas nama :
1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.
2. Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H
9.3 Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 87/P Tahun 2013, tanggal 22 Juli 2013 yang
memutuskan:
Menetapkan:
Pertama : Memberhentikan dengan hormat dari jabatan Hakim
Konstitusi,masing-masing atas nama :
1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.
2. Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H., M.H.
Kedua : Mengangkat dalam jabatan Hakim Konstitusi, masing-
masingatas nama :
1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.
2. Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H.
9.4 Mewajibkan kepada Tergugat untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha
Negara yang baru berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
9.5 Menghukum Tergugatdan Tergugat II Intervensi untuk membayar biaya
perkara yang timbul dalam perkara ini.
B. Pembahasan
Negara Indonesia adalah negara hukum dengan jelas tercantum dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.Sebagai negara hukum, setiap
penyelenggaraan urusan pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum yang
berlaku (wetmatigheid van bestuur).63
Konsep negara hukum dianggap sebagai konsep yang universal, pada
tataran implementasi ternyata memiliki karakterisktik yang beragam.Hal ini
disebabkan adanya pengaruh-pengaruh situasi kesejahteraan, pengaruh falsafah
bangsa, ideology negara dan lain-lain. atas dasar tersebut secara historis dan
praktis konsep negar hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum
63
Ridwan H.R., 2010, Op. Cit., hlm. 17.
menurut konsep Al-Quran dan Sunnah atau Nomokrasi Islam, negara hukum
menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtstaat, negara hukum
menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality,konsep
negara hukum Pancasila. Konsep-Konsep negara hukum tersebut memiliki
dinamika sejarah masing-masing.64
Sesuai dengan konsepnegara hukum, kekuasaan dalam negara harus
dipisah atau dibagi.Oleh karena itu, keberadaan Negara Indonesia sebagai negara
hukum membawa konsekuensi terbentuknya tiga pilar kekuasaan dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan
Yudikatif (Kehakiman).
Salah satu konsep negara hukum adalah adanya kekuasaan Yudikatif yang
bebas dan mandiri dari pengaruh kekuasaa lembaga negara lain. Berkaitan dengan
Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan)
Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negaradan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
Peradilan Tata Usaha Negaramerupakan salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman, dan salah satu lingkungan Peradilan yang menurut Pasal 47 Undang-
64
Ibid.,hlm.1-2.
Undang Nomor 5 Tahun 1986 bertugas dan berwenang untuk memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.Dengan demikian,
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan pengadilan yang berwenang untuk
menilai keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara dalam rangka pelaksanaan
urusan pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah.
Adapun yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana
terdapat dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 adalah
sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan
hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Berdasarkan pengertian tersebut,dapat diketahui bahwa sengketa Tata
Usaha Negara itu terjadi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara. Adapun pengertian Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan pengertian Keputusan Tata Usaha Negara di atas, maka
apabila dikaitkan Surat Keputusan objek sengketa yakni Surat Keputusan Presiden
Nomor 87/P, maka unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara dalam Surat
Keputusan objek sengketa dapat dideskripsikan sebagai berikut:
- Unsur pertama Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis.
Secara teoritis, merupakan hukum publik (publiekrechtsbetrekking) senantiasa
bersifat sepihak atau bersegi satu, “Administratiefrechttelijk rechtshandelingen
zijn enzijdige rechtshandelingen” (tindakan hukum administrasi adalah
tindakan hukum sepihak). Surat Keputusan objek sengketa dalam hal ini
merupakan tindakan hukum sepihak yang dituangkan dalam bentuk tertulis,
yaitu dikeluarkan oleh Presiden secara tertulis atau dengan kata lain hitam di
atas putih.
- Unsur kedua adalah dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang
menyelenggarakan “urusan pemerintahan”. Surat Keputusan objek sengketa
dalam hal ini dikeluarkan oleh Presiden dimana Presiden merupakan Pejabat
Tata Usaha Negara yang menyelenggarakan urusan pemerintahan.
- Unsur ketiga adalah berdasarkan peraturan peundang-undangan yang berlaku.
Pembuatan dan penerbitan ketetapan harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau harus didasarkan pada wewenang
pemerintahan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Peraturan
perundang-undangan yang dimaksud dalam Surat Keputusan objek sengketa
adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
- Unsur keempat adalah bersifat konkret, individual, dan final. Dalam penjelas
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa
konkret berarti objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu
tidak abstrak tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Surat Keputusan
objek sengketa bersifat konkret karena nyata-nyata dibuat oleh Tergugat yang
berisikan mengenai Pengangkatan Hakim Konstitusi. Individual artinya
Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu
baik alamat maupun hal yang dituju. Surat Keputusan objek sengketa bersifat
individual karena ditujukan kepada Hakim Konstitusi yang diangkat oleh Surat
Keputusan objek sengketa tersebut. Final artinya sudah definitif sehingga dapat
menimbulkan akibat hukum. Atau dengan kata lain Keputusan Tata Usaha
Negara yang bersifat final artinya merupakan keputusan akhir yang dapat
dilaksanakan sehingga keputusan yang masih memerlukan persetujuan pihak
lain bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara. Surat Keputusan objek
sengketa bersifat final karena Keputusan objek sengketa sudah berlaku definitif
serta berdasarkan Surat Keputusan objek sengketa tersebut menimbulkan suatu
akibat hukum berupa pelantikan atas hakim yang diangkat.
- Unsur kelima adalah menimbulkan akibat hukum. Berdasarkan tindakan
hukum pemerintahan tersebut tampak bahwa ketetapan merupakan instrument
yang digunakan oleh organ pemerintahan dalam bidang publik dan digunakan
untuk menimbulkan akibat hukum tertentu.Dengan dikeluarkannya Surat
Keputusan objek sengketa telah menimbulkan akibat hukum berupa
ditetapkannya orang yang tersebut dalam keputusan itu menjadi Hakim
Mahkamah Konstitusi, akibat hukum disini berupa timbulnya hak dan
kewajiban sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan hasil penelitian Nomor 2 digambarkan bahwaSurat Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 87/P Tahun 2013 Tanggal 22 Juli 2013
tentang pemberhentian dan pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi yang
dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia, dapat dikategorikan sebagai
Keputusan Tata Usaha Negara yang kualifikasi yang sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
Pengajuan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara sesuai Pasal 53 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dipersyaratkan harus mempunyai
kepentingan yang dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.
Sesuai dengan asas point d‟interest, point d‟action yang terkandung dalam Pasal
53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, konsekuensinya adalah tanpa
ada kepentingan dari Penggugat yang dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan, maka tidak mungkin melahirkan hak pada Penggugat
untuk menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. Jadi adanya kepentingan saja,
tidak cukup untuk melahirkan gugatan, karena harus diiringi oleh adanya hak-hak
subjektif yang dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat. Sesuai
yurisprudensi yang berlaku, kepentingan dalam kaitannya dengan hak untuk
menggugat atau kepentingan yang harus dilindungi oleh Pengadilan baru ada, jika:
1. Kepentingan itu jelas-jelas ada hubungannya dengan Penggugat sendiri. Artinya
Penggugatlah yang mempunyai kepentigan sendiri untuk mengajukan gugatan,
bukan orang lain;
2. Kepentingan itu harus bersifat pribadi;
3. Kepentingan itu harus bersifat langsung, artinya yang terkena secara langsung
dalah kepentingan Penggugat itu sendiri;
4. Kepentingan secara objektif dapat ditentukan, baik mengenai luas maupun
intensitasnya.65
Berdasarkan hasil penelitian Nomor 1 mengenai para pihak dalam
hubungannya dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004, Indonesia Corruption Watch dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia sebagai Para Penggugat telah memenuhi persyaratan sebagai subjek
hukum Penggugat berupa “badan hukum perdata” berkaitan dengan
kepentingannya sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sedangkan
Presiden Republik Indonesia juga memenuhi persyaratan sebagai subjek hukum
Tergugat, karena Presiden Republik Indonesia dapat dikatgorikan sebagai Pejabat
Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No.
51 Tahun 2009.
Adapun tuntutan pokok Para Penggugat seperti yang tertuang dalam hasil
penelitian Nomor 4.2. adalah menghendaki agar dibatalkannya Surat Keputusan
65
Wicipto Setiadi, 1994, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 57.
objek sengketa yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia, dapat
dikategorikan sebagai tuntutan atau petitum pokok sebagaimana diatur dalam
Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yaitu yang menentukan
bahwa di Pengadilan Tata Usaha Negara hanya ada satu tuntutan pokok yaitu
berupa pernyataan batal atau tidak sahnya suatu Keputusan Tata Usaha
Negara.Sedangkan tuntutan atau petitum ketiga seperti yang tertuang dalam hasil
penelitian Nomor 4.3. yang berisi permohonan agar Tergugat mencabut Keputusan
Tata Usaha Negara objek sengketa adalah merupakan konsekuensi yuridis
mengenai pembebanan kewajiban kepada Tergugat apabila nantinya Tergugat
dinyatakan kalah dalam Amar Putusan Majelis Hakim, hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 97 ayat (9) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
Analisis di atas mengenai eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam
negara hukum, kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara, sengketa Tata
Usaha Negara, hubungan hukum antara Penggugat dengan Keputusan Tata Usaha
Negara objek sengketa, dan petitum dari Para Penggugat, dalam skripsi ini
diposisikan sebagai pengantar untuk menelaah persoalan keabsahan Surat
Keputusan objek sengketa dilihat dari sudut pandang peraturan perundang-
undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
1. Keabsahan Surat Keputusan objek sengketa ditinjau dari peraturan
perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
Sebelum menelaah lebih lanjut, Penulis merasa perlu untuk
mendeskripsikan lagi secara singkat duduk perkara mengapa Para Penggugat
sampai mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, jawaban
gugatan dari Tergugat, pertimbangan hukum Majelis Hakim yang menyatakan
bahwa Tergugat dalam menerbitkan keputusan objek sengketa tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yaitu dari aspek prosedural, serta telah melanggar
asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas akuntabilitas, dan asas
keterbukaan.
Mengenai duduk perkara serta pendapat Majelis Hakim dapat dirangkum
secara singkat sebagai berikut:
1. Pada tahun 2013, telah dilaksanakan proses seleksi calon hakim Mahkamah
Konstitusi yang dilaksanakan dengan cara dipilih langsung atas utusan
pemerintah, serta ditetapkan oleh Presiden (Tergugat) melalui Surat Keputusan
yang dikeluarkan oleh Tergugat tertanggal 22 Juli 2013.
2. Para Penggugat merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Surat
Keputusan objek sengketa karena dengan proses pengangkatan Hakim
Konstitusi yang ditetapkan langsung oleh Presiden, Para Penggugat menjadi
tidak dapat memberikan masukan dan pertimbangan terhadap calon Hakim
Konstitusi yang akan dipilih.
3. Para Penggugat mendalilkan bahwa keputusan objek sengketa yang dikeluarkan
oleh Tergugat telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 karena proses pencalonan Hakim Konstitusi oleh
Tergugat tidak dilakukan secara transparan dan tidak dipenuhinya partisipasi
masyarakat dalam melakukan pemantauan dan pengawasan serta memberikan
masukan kepada calon-calon Hakim Konstitusi yang akan diusulkan.
4. Menurut Tergugat, Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan objek
sengketa telah didasarkan pada tiga apek hukum utama dalam penyusunan
Keputusan Tata Usaha Negara yaitu wewenang, prosedur dan substansi.
Mengenai publikasi pencalonan Hakim Mahkamah Konstitusi di media masa
baik cetak maupun elektronik,menurut Tergugat hal tersebut bukan merupakan
suatu keharusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah.
5. Putusan Majelis Hakim didasarkan pada pertimbangan hakim yang menyatakan
bahwa pengangkatan hakim Konstitusi oleh Tergugat dalam Surat Keputusan
objek sengketa dilakukan melalui penunjukan langsung tanpa melalui tata cara
pencalonan yang dilaksanakan secara transparan dan partisipatif sehingga
tindakan Tergugat dinilai mengandung cacat yuridis karena tidak memenuhi
ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang menggariskan
bahwa dalam pencalonan Hakim Konstitusi harus transparan dan partisipatif,
maka Surat Keputusan objek sengketa dinyatakan batal atau tidak sah, sehingga
Amar Putusan Majelis Hakim dalam perkara a quo mengabulkan gugatan
untuk seluruhnya.
Berdasarkan rangkuman kronologis persengketaan tersebut di atas,
paragraph berikut di bawah ini merupakan analisis Penulis terhadap duduk
perkara, serta pendapat Majelis Hakim tentang perkara tersebut di atas.
Untuk menentukan keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara
diperlukan suatu alat uji atau tolok ukur sebagai dasar pengujian. Berdasarkan
Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 alat uji untuk menentukan
keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut adalah peraturan perundang-
undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Sehingga suatu
Keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, maka berakibat
dibatalkannya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut.
Mengenai peraturan perundang-undangan sebagai tolak ukur untuk menilai
keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara, berdasarkan Penjelasan Pasal 53 ayat
(2) huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, menentukan bahwa suatu
Keputusan Tata Usaha Negara dapat dikategorikan bertentangan dengan ketentuan
peraturan-perundang-undangan yaitu apabila:
1. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat prosedural/formal.
2. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat materiil/substansial.
3. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang.
Untuk menentukan aspek legalitas atau keabsahan suatu Keputusan Tata
Usaha Negara, salah satunya dapat ditinjau dari segi prosedural/formal proses
pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Dalam hal ini, maka
pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara harus memperhatikan beberapa
persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah menurut hukum. Syarat-syarat
formil yang harus diperhatikan dalam pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara
yaitu meliputi:
a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya
ketetapan dan berhubungan dengan cara dibuatnya ketetapan harus dipenuhi.
b. Bentuk ketetapan harus berdasarkan peraturan dasar.
c. Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan ketetapan harus dipenuhi.
d. Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan
dibuatnya dan diumumkannya ketetapan itu harus diperhatikan.66
Kemudian, untuk menentukan keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha
Negara dari segi materiil atau subtansi, maka pembuatan Keputusan Tata Usaha
harus memperhatikan beberapa persyaratan yang bersifat materiil yakni:
a. Organ Pemerintah yang membuat ketetapan harus berwenang
b. Ketetapan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis
c. Ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan
d. Ketetapan tidak boleh melanggar perundang-undangan, serta isi dan tujuan
ketetapan harus sesuai dengan peraturan dasarnya.67
MenurutIndrohartojuga berpendapat bahwa pengujian dari segi hukumnya
tidak hanya mengenai keputusannya saja, tetapi mengenai keseluruhan proses
66
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hlm. 33. 67
Ibid.
pembentukan keputusan tersebut dalam segala tingkatannya. Artinya pengujian itu
juga mengenai:
a. Prosedur permohonannya: umpama apakah pemohon telah diberi kesempatan
untuk melengkapi surat-suratnya dalam waktu yang layak?
b. Penelitian yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan: apakah instansi tersebut telah mengadakan penelitian mengenai
pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh mereka yang berkepentingan?
Umpama yang berkepentingan itu mengemukakan, bahwa ternyata ada
permohonan-permohonan yang keadaannya serupa dengan permohonannya
telah memperoleh izin yang dimohon maka semestinya instansi tersebut juga
perlu melakukan penelitian akan kebenaran mengenai yang dikemukakan
tersebut. Apabila menurut peraturan ditentukan bahwa yang berkepentingan
harus didengar, maka perlu diteliti apakah hal tersebut benar sudah dilakukan
oleh instansi tersebut? Apakah keharusan untuk meminta pendapat instansi lain
seperti yang ditentukan dalam peraturan yang bersangkutan itu benar sudah
dilakukan?
c. Keputusan sendiri: apakah instansi yang bersangkutan itu benar berwenang
untuk mengeluarkan keputusan yang digugat itu? Apakah peraturan yang
menjadi dasar wewenang telah secara tepat ditafsirkan oleh instansi yang
mengeluarkan keputusan itu? Apakah benar telah dilakukan penimbangan
secara layak mengenai kepentingan-kepentingan yang terkait dengan keputusan
itu? Bagaimanakah keputusan mengenai hal itu atau keadaan yang serupa pada
waktu-waktu yang lampau? Apakah oleh instansi yang bersangkutan telah
dikeluarkan peraturan mengenai hal yang ditentukan keputusan itu? Apakah
peraturan kebijaksanaan tersebut telah dipublikasikan? Apakah oleh instansi
yang bersangkutan telah diberikan janji-janji tertentu kepada pemohon?
d. Bentuk keputusan yang digugat: apakah keputusan itu sendiri sudah cukup
jelas? Apakah keputusan itu memuat pertimbangan-pertimbangan yang
didasarkan kepada fakta-fakta yang benar?68
Mengenai Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik sebagai tolak ukur
untuk menilai keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara, berdasarkan penjelasan
Pasal 53 ayat (2) huruf b UU Nomor 9 Tahun 2004, AUPB yang dimaksud di sini
adalah adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme, yaitu meliputi asas kepastian hukum, tertib
penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsional, profesionalitas, dan
akuntabilitas.
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dapat dipahami sebagai asas-
asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaraan
pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman,
pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan
sewenang-wenang. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik berfungsi sebagai
68
Indroharto, Op. Cit., hlm. 168-169.
pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya,
merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi
negara, dan dasar gugatan bagi masyarakat yang merasa dirugikan oleh Pejabat
atau Badan Tata Usaha Negara.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan doktrin, analisis Penulis
mengenai keabsahan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 87/P
Tahun 2013 Tanggal 22 Juli 2013 perihalpemberhentian dengan hormat dari
jabatan Hakim Konstitusi, masing-masing atas nama Prof. Dr. Maria Farida
Indrati, S.H., M.H. dan Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H., M.H. serta pengangkatan
dalam jabatan Hakim Konstitusi masing-masing atas nama Prof. Dr. Maria Farida
Indrati, S.H., M.H. dan Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H dapat dideskripsikan
sebagai berikut:
a. Keabsahan Surat Keputusan objek sengketa ditinjau dari peraturan
perundang-undangan.
Keabsahan Surat Keputusan objek sengketa ditinjau dari peraturan
perundang-undangan dapat diukur melalui tiga aspek yaitu aspek wewenang,
aspek prosedural serta aspek substansi.
Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara ditinjau dari segi
kewenangan ini berarti bahwa dalam mengeluarkan suatu Keputusan Tata
Usaha Negara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara harus mempunyai
kewenangan.Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan doktrin,
kewenangan yang ada pada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menjadi
salah satu tolok ukur untuk menilai sah atau tidaknya suatu Keputusan Tata
Usaha Negara.
Riawan Tjandra menegaskan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak
berwenang (onvoegdheid) disebut keputusan yang cacat mengenai kewenangan
(bevoegdheidsgebreken), yang meliputi:
1. Onbevoegdheid ratione materiae, yaitu apabila suatu keputusan tidak ada
dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau apabila keputusan itu
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak
berwenang mengeluarkannya.
2. Onbevoegdheid ratione loci, keputusan yang diambil oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara tersebut menyangkut hal yang berada di luar
batas wilayahnya (geografis).
3. Onbevoegdheid ratione temporis, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk mengeluarkan Keputusan
Tata Usaha Negara.69
Ditinjau dari segi kewenangan, Tergugat dalam mengeluarkan Surat
Keputusan objek sengketa adalah berdasarkan Pasal 24 C ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 jo. Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No.
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman maka Tergugat memiliki
69
W. Riawan Tjandra, Op.Cit.,hlm. 73.
kewenangan untuk mengajukan calon Hakim Konstitusi sebanyak 3 (tiga) orang
dan menetapkan Hakim Konstitusi sehingga Tergugat berwenang untuk
menerbitkan Surat Keputusan objek sengketa.
Penunjukan Presiden kepada Prof. Dr. Maria Farida Indrati SH.,
MH.dan Dr. Patrialis Akbar, SH., MH. sebagai Hakim Konstitusi berdasarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 87/P Tahun 2013 Tanggal 22 Juli
2013 adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan dan kewajiban Presiden
untuk memenuhi perintah Konstitusi UUD 1945 Pasal 24 C ayat (3) yang
menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota
Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masingmasing
tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat,
dan tiga orang oleh Presiden.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
penerbitan Surat Keputusan objek sengketa telah memenuhi dan melaksanakan
pemberian kewenangan Tergugat dalam pengajuan Hakim Konstitusi
sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, maka Surat Keputusan objek sengketa telah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dalam dimensi wewenang.
Berikutnya ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang bersifat
prosedural, maka Surat Keputusan objek sengketa harus sesuai dengan
prosedur yang telah ditentukan mengenai mekanisme atau tata cara
pengangkatan Hakim Konstitusi. Peraturan perundang-undangan yang dijadikan
dasar pengujian untuk menguji keabsahan Surat Keputusan objek sengketa
tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
mengatur di dalamnya mengenai mekanisme atau tata cara pengangkatan
Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 15, Pasal 16, Pasal
17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20. Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah ke dalam pasal 15 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 berisi ketentuan yang bersifat prosedural, dimana
ditentukan bahwa secara prosedural untuk dapat diangkat menjadi Hakim
Konstitusi seorang calonHakim Konstitusiharus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan. Selain itu Pasal 19 menentukan bahwa prosedur pencalonan Hakim
Konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif serta pemilihannya
dilakukan secara objektif dan akuntabel.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, dapat diketahui
bahwa mekanisme pengangkatan hakim Mahkamah Konstitusi meliputi dua hal,
yaitu (1) syarat administratif yang harus dipenuhi oleh seorang calon Hakim
Konstitusi, hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat
(2) dan ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan (2)
tata cara pencalonan hakim Mahkamah Konstitusi yang dilaksanakan secara
transparan dan partisipatif, dan pemilihan hakim Mahkamah Konstitusi secara
objektif dan akuntabel, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 19 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003.
Berdasarkan fakta hukum, terlihat bahwa mekanisme pengangkatan
Prof. Dr. Maria Farida Indrati SH., MH.dan Dr. Patrialis Akbar, SH., MH.
dalam jabatan sebagai Hakim Konstitusi oleh Presiden dilakukan melalui proses
penunjukan langsung, tanpa melalui tata cara pencalonan yang dilaksanakan
secara transparan dan partisipatif,karena tidak dipublikasikandi
mediamassabaikcetakmaupunelektronik,sehingga menurut Pengadilan tindakan
Tergugat tersebut mengandung cacat yuridis karena tidak memenuhi ketentuan
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, yang menggariskan bahwa dalam pencalonan Hakim Konstitusi
harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Sehingga berdasarkan
fakta yuridis tersebut, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa Tergugat
melanggar peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural.
Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim tersebut di atas, dapat
diketahui bahwa yang menjadi titik permasalahan dalam objek sengketa adalah
mengenai penerapan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang
mengatur bahwa pencalonan Hakim Konstitusi dilaksanakan secara transparan
dan partisipatif.
Menurut penjelasan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
bahwa yang dimaksud dengan dilaksanakan secara transparan dan
partisipatifadalah calonHakim Konstitusidipublikasikandi
mediamassabaikcetakmaupunelektronik, sehingga
masyarakatmempunyaikesempatanuntuk ikut memberimasukanatascalon
hakimyangbersangkutan.
Penjelasan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 telah
dengan sangat jelas memberikan pengertian dari proses transparan dan
partisipatif. Berdasarkan penjelasan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 ditentukan bahwa yang dimaksud dengan transparan dan partisipatif
dalam pencalonan Hakim Konstitusi adalah dengan cara dipublikasikan dalam
media cetak atau media elektronik dengan maksud agar masyarakat dapat
memberikan masukan. Sehingga ketentuan mengenai publikasi pencalonan
hakim Konstitusi di media masa baik cetak maupun elektronik merupakan
suatu keharusan yang dilaksanakan oleh lembaga yang diberi kewenangan
untuk mengsyaratkan dilaksakannya proses pencalonan dan pemilihan Hakim
Konstitusi yang transparan serta partisipatif sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.
Pernyataan Tergugat yang menyatakan bahwa penjelasan hanya
berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas
norma tertentu dalam batang tubuh, dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar
hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut, menunjukan ketidakkonsistenan
Tergugat dalam memahami suatu penjelasan dalam peraturan perundang-
undangan.
Tindakan Tergugat dengan menunjuk langsung calon Hakim Konstitusi
tanpa melakukan publikasi melalui media masa jelas menggambarkan bahwa
proses pencalonan Hakim Konstitusi yang dilakukan Presiden tersebut tidak
dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Sehingga tidak terpenuhinya
syarat transparan dan partisipatif tersebut mengakibatkan tidak sahnya
Keputusan objek sengketa dari segi prosedural.
Selanjutnya, mengenai proses pengangkatan Patrialis akbar sebagai
Hakim Konstitusi banyak diprotes oleh para aktivis hukum, ahli hukum, dan
penggiat demokrasi karena Patrialis berasal dari lingkungan Partai Politik.
Persoalan diperuncing lagi dengan ditangkapnya Akil Mochtar oleh KPK.Oleh
karena itu, Presiden menyikapi protes tersebut dengan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
berisimengenai ketentuan perlunya Panel Ahli untuk menyeleksi calon Hakim
Konstitusi, dan tata cara pengangkatan calon Hakim Konstitusiyang diatur
dalam Pasal 1 angka 5, Pasal 15 ayat (2) dan (3) dan Pasal 18A, 18B, 18C.
Sebelum menelaah lebih lanjut, berikut kronologis yuridis penerbitan
Surat Keputusan objek sengketa dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Surat Keputusan Presiden Nomor 87/P Tahun 2013 diterbitkan pada tanggal
22 Juli 2013.
2. Surat Gugatan terdaftar di Panitera PTUN Jakarta, tanggal 12 Agustus 2013.
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, diundangkan tanggal 17 Oktober 2013.
4. Putusan PTUN Jakarta No: 139/G/2013/PTUN-JKT, tanggal 20 Desember
2013
5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun menjadi undang-
undang, diundangkan tanggal 15 Januari 2014
6. Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor: 1-2/PUU-XII/2014 tentang
Pembatalan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, tanggal 13 Fabruari
2014.
Berdasarkan kronologi tersebut di atas dapat diketahui bahwa pada saat
Surat Keputusan objek sengketa diterbitkan oleh Tergugat, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 belum berlaku.
Kemudian, dikarenakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-UndangNomor
24 Tahun 2003 tentang Mahakamah Konstitusi mulai diundangkan tanggal 17
Oktober 2013, maka dapat diketahui bahwa pada saat Putusan PTUN Jakarta
dikeluarkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 masih berlaku sebagai hukum positif, akan tetapi karena Surat Keputusan
objek sengketa dikeluarkan sebelum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tidak dapat dijadikan acuan untuk menentukan
keabsahan Surat Keputusan objek sengketa.
Sekalipun tidak mengacu kepada Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dan hanya mengacu kepada Undang-
UndangNomor 24 Tahun 2003, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam
Penjelasan Pasal 19 Undang-UndangNomor 24 Tahun 2003 mengenai
persyaratan mekanisme pencalonan Hakim Konstitusi yang mengharuskan
dipublikasikan dalam media cetak maupun media elektronik tetap menjadi
ketentuan yang tidak dapat disimpangi.Sehingga, dalam hal ini Surat Keputusan
objek sengketa tetap dinyatakan batal atau tidak sah karena tidak memenuhi
ketentuan Pasal 19 Undang-UndangNomor 24 Tahun 2003 dan pertimbangan
Majelis hakim yang mendasarkan pada Penjelasan Pasal 19 Undang-
UndangNomor 24 Tahun 2003 adalah tepat.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tindakan
Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan objek sengketa tidak sah dari
aspek prosedur dalam penerbitan suatu Keputusan Tata Usaha Negara karena
tidak memenuhi ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
yang menggariskan bahwa dalam pencalonan Hakim Konstitusi harus
dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Dengan demikian, maka Surat
Keputusan objek sengketa telah bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang bersifat prosedural.
Berikutnya,ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang bersifat
substansial, maka Surat Keputusan objek sengketa harus sesuai dengan
substansi kewenangan dan kewajiban Tergugat sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
dinyatakan bahwa Tergugat (Presiden) memiliki hak, kewenangan dan
kewajiban untuk mengajukan calon Hakim Konstitusi sebanyak 3 (tiga) orang
dan menetapkan Hakim Konstitusi dari calon yang telah diajukan tersebut ke
dalam suatu bentuk Keputusan Tata Usaha Negara. Sehingga subtansi dari
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut harus berupa “pengangkatan dalam
jabatan hakim Mahkamah Konstitusi”
Secara substansi, Surat Keputusan objek sengketa yang berisi
“pengangkatan dalam jabatan Hakim Konstitusi masing-masing atas nama Prof.
Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. dan Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H.” telah
sesuai dengan hak, kewenangan dan kewajiban Tergugat sebagai Pejabat Tata
Usaha Negara, karena dalam hal ini calon Hakim Konstitusi atas nama Prof. Dr.
Maria Farida Indrati, S.H., M.H. dan Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H. telah
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan ayat
(3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, sehingga Tergugat (sebagai Pejabat
Tata Usaha Negara) berkewajiban untuk menjalankan hak, kewajiban dan
wewenangnya untuk mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara objek
sengketa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang No. 24
Tahun 2003. Dengan demikian, dari aspek substansi, penerbitan Surat
Keputusan objek sengketa tidak bertentangan dengan Pasal 9 ayat (1) huruf a
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 sebagaimana yang telah didalilkan Para
Penggugat, sehingga Surat Keputusan objek sengketa telah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang bersifat substansiil.
b. Keabsahan Surat Keputusan objek sengketa ditinjau dari Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik.
Berikutnya keabsahan Surat Keputusan objek sengketa ditinjau dari
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik yaitu mengacu kepada Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, AUPB tersebut meliputi asas
kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas keterbukaan, asas
proporsional, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
Mengacu kepada AUPB sebagaimana terdapat dalam Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 sebagaimana disebutkan di atas, AUPB yang
dipermasalahkan oleh Para Penggugat atas tindakan Tergugat dalam
menerbitkan Surat Keputusan objek sengketa adalah asas kepastian hukum,
asas kepentingan umum, asas akuntabilitas, dan asas keterbukaan.
Pelanggaran mengenai asas kepastian hukum, menurut Para Penggugat
dikarenakan penerbitan Surat Keputusan objek sengketa oleh Tergugat tidak
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan yaitu ketentuan
prosedur pencalonan Hakim Konstitusi yang diatur Pasal 19 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 sehingga kepatutan dan keadilan bagi kepentingan Para
Penggugat dalam berpartisipatif dinilai terabaikan.
Bahwa yang dimaksud dengan asas kepastian hukum menurut
penjelasan Pasal 3 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 adalah asas
dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-
undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan
negara.
Asas kepastian hukum tersebut di atas mengamanatkan agar setiap
penyelenggaraan negara harus berdasarkan peraturan perundang-undangan serta
keadilan dalam setiap penyelenggaraan negara, namun tindakan Tergugat dalam
menerbitkan Surat Keputusan objek sengketa telah bertentangandengan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku ditinjau dari aspek prosedur.
Proses pencalonan Hakim Konstitusi melalui penunjukan langsung oleh
Tergugat tanpa melalui publikasi di media masa menunjukan bahwa proses
pemilihan Hakim Konstitusi tersebut tidak dilaksanakan secara transparan dan
partisipatif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003. Proses pencalonan Hakim Konstitusi yang demikian menunjukan
proses penyelenggaraan negara yang tidak menjalankan perundang-undangan
yang berlaku.
Selanjutnya keabsahan Surat Keputusan objek sengketa ditinjau dari
asas kepentingan umum. Menurut Para Penggugat pelanggaran terhadap asas
kepentingan umum oleh Tergugat adalah karena penerbitan Surat Keputusan
objek sengketa hanya berdasarkan kepentingan golongan dan
mengesampingkan kepentingan umum yaitu kepentingan Para Penggugat untuk
menyampaikan masukan dan pilihan terhadap pemilihan Hakim Konstitusi.
Menurut penjelasan Pasal 3 angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 yang dimaksud dengan asas kepentingan umum adalah asas yang
mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan
selektif.
Berdasarkan pengertian asas kepentingan umum tersebut di atas, asas ini
menghendaki pemerintah harus mengutamakan kepentingan umum terlebih
dahulu.Namundalam hal ini, Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan
objek sengketa telah mengesampingkan kepentingan umum yaitu kepentingan
masyarakat untuk turut serta dalam memberikan pertimbangan serta masukan
dalam menetapkan calon Hakim Konstitusi.Sehingga, penerbitan Surat
Keputusan objek sengketa oleh Tergugat dinilai telah bertentangan dengan asas
kepentingan umum.
Mengenai keabsahan Surat Keputusan objek sengketa ditinjau dari asas
akuntabilitas. Menurut Para Penggugat pelanggaran terhadap asas akuntabilitas
oleh Tergugat adalah karena penerbitan Surat Keputusan objek sengketa
bertentangan dengan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
dan terkesan Tergugat tidak melakukan rekrut Hakim Konstitusi kepada orang-
orang yang memiliki kredibilitas yang baik dan tidak tercela sehingga
penerbitan Surat Keputusan objek sengketa akan sulit dipertanggungjawabkan
dengan baik dan benar.
Menurut penjelasan Pasal 3 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 yang dimaksud dengan asas akuntabilitas asas yang menentukan setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan objek sengketa tidak
menerapkan asas akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.Proses pengangkatan Hakim Konstitusi
yang ditunjuk secara langsung serta tanpa melalui proses yang transparan dan
partisipatif dinilai tidak dapat dipertanggungjawabkan secara baik dan benar
terhadap masyarakat selaku pemegang kedaulatan tertinggi.
Mengenai keabsahan Surat Keputusan objek sengketa ditinjau dari asas
keterbukaan. Menurut Para Penggugat pelanggaran terhadap asas akuntabilitas
oleh Tergugat adalah karena penerbitan Surat Keputusan objek sengketa oleh
Tergugat tidak pernah melalui pemberian informasi kepada masyarakat dan
Para Penggugat sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003.
Menurut penjelasan Pasal 3 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri
terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia
negara.
Berdasarkan pengertian asas keterbukaan tersebut di atas, Tergugat
dalam menerbitkan Surat Keputusan objek sengketa tidak memenuhi asas
keterbukaan karena dalam proses pencalonan Hakim Konstitusi oleh Tergugat
tidak dilakukan publikasi sehingga proses pencalonan Hakim Konstitusi yang
demikian tidak melalui pemberian informasi kepada masyarakat dan Para
Penggugat.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam
penerbitan Surat Keputusan objek sengketa ditemukan adanya cacat yuridis baik
segi prosedural. Sehingga Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan objek
sengketa tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta
telah bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik terutama
asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas akuntabilitas, dan asas
keterbukaan.
2. Akibat hukum yang timbul dengan dibatalkannya Surat Keputusan objek
sengketa.
Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara mengatur di dalamnya mengenai hukum materiil dan hukum
formil.Hukum formil adalah hukum yang menegakkan hukum materiil.Hukum
formil dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 ini yaitu yang dikenal dengan
sebutan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Adapun pengertian Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara yaituhukum yang mengatur tentang cara-cara
bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, serta mengatur hak dan kewajiban
pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa tersebut.Sedangkan
yang dimaksud sebagai hukum materiil adalah Hukum Administrasi
Negara.Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang mengatur tindakan
pemerintah serta mengatur pula di dalamnya mengenai hubungan antara warga
negara dengan pemerintah.
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan hukum acara yang
secara bersama-sama diatur dengan hukum materiilnya di dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986.Oleh karena hukum materiil dalam hal ini adalah Hukum
Administrasi Negara maka asas-asas yang berlaku dalam Hukum Administrasi
Negara berlaku pula sebagai Asas-Asas Peradilan Tata Usaha Negara. Berikut
asas-asas yang dikenal dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara yaitu:
a. Asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid-praesumption iustae
causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu
harus dianggap rechmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan
tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat (1) UU No. 5
Tahun 1986).
b. Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian.
c. Asas keaktifan Hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk
mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha
Negara sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata.
d. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan “erga omnes”. Sengketa Tata
Usaha Negara adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan
pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para
pihak yang bersengketa.70
Salah satu asas yang terdapat dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara ialah asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid-
praesumption iustae causa).Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan
penguasa selalu harus dianggap rechmatig sampai ada pembatalannya.Menurut
asas ini ditegaskan bahwa perbuatan hukum pemerintah adalah sah sampai
dinyatakan batal. Oleh karena itu, pada asasnya selama hal tersebut belum
diputuskan oleh Pengadilan , maka Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat
tetap dianggap sah menurut hukum dan dapat dilaksanakan. Sehingga sekalipun
terhadap Keputusan Tata Usaha Negara tersebut terdapat gugatan yang digugat
oleh Penggugat, hal ini menimbulkan konsekuensi sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 bahwa gugatan
tersebut tidak menunda atau tidak menjadikan tidak dilaksanakannya KTUN yang
digugat. Sehingga selama gugatan dalam proses pemeriksaan, KTUN yang digugat
70
Philipus M. Hadjon dkk, Op. Cit., hlm. 313.
tetap mempunyai kekuatan hukum sepenuhnya serta tetap harus dianggap sah dan
berlaku sampai dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan.
Konsekuensi atas asas praduga rechtmatigmengakibatkan bahwa suatu
KTUN itu tidak dapat batal demi hukum tetapi hanya dapat dibatalkan.Relevan
dengan asas praduga rechtmatig, akibat suatu keputusan yang tidak sah dapat
berupa tiga hal yaitu:
1. Keputusan yang batal (nietig) yaitu berarti perbuatan yang dilakukan dianggap
tidak ada. Konsekuensinya bagi hukum, akibat dari perbuatan itu dianggap
tidak pernah ada, sehingga disebut sebagai batal mutlak.
2. Keputusan yang batal karena hukum atau batal demi hukum (van rechtswege
nietig-nietigheid van rechtwege)yaitu berarti akibat dari perbuatan dianggap
tidak ada tanpa perlu adanya suatu putusan hakim atau keputusan badan
pemerintahan lain yang berkompeten membatalkan perbuatan tersebut.
3. Keputusan yang dapat dibatalkan (vernietigbaar) yaitu berarti perbuatan yang
dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim
atau badan pemerintah lain yang kompeten.71
Tindakan pemerintah dapat berakibat pada batal, batal demi hukum atau
dapat dibatalkan tergantung pada “essential tidaknya” cacat yang terdapat dalam
keputusan itu.Berdasarkan asas praduga rechtmatig, dalam Peradilan Tata Usaha
71
Suparto Wijoyo, 2005, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi (Peradilan Tata
Usaha Negara, Airlangga University Press, Surabaya, hlm.59-60.
Negara, tindakan pemerintah dalam mengeluarkan suatu KTUN itu hanya dapat
dibatalkan tidak dapat batal demi hukum atau batal mutlak.
Kemudian, meskipun suatu keputusan itu dianggap sah dan akan
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, akan tetapi
keputusan yang sah itu tidak dengan sendirinya berlaku, karena untuk berlakunya
suatu keputusan harus memperhatikan hal sebagai berikut yaitu : pertama, jika
berdasarkan peraturan dasarnya terhadap keputusan itu tidak memberi
kemungkinan mengajukan permohonan banding bagi yang dikenai keputusan,
maka keputusan itu mulai berlaku sejak saat diterbitkan; kedua, jika berdasarkan
peraturan dasarnya terdapat kemungkinan untuk mengajukan banding terhadap
keputusan yang bersangkutan maka keberlakuannya keputusan itu tergantung dari
proses banding itu. Sehingga, apabila terdapat upaya hukum banding atau
keberatan yang diajukan para pihak atas putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan
Tata Usaha Negara, maka dalam hal ini terhadap putusan tersebut belum tercapai
putusan yang ingkrah.Sehingga secara hukum KTUN tersebut masih dinyatakan
sah dan belum dinyatakan batal.Kemudian, dalam hal telah tercapai putusan yang
ingkrah, maka putusan tersebut baru mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak
dibatalkannya KTUN bukan sejak diterbitkannya KTUN.Ini merupakan
konsekuensi dari asas praduga rechtmatig yang menyebutkan bahwa setiap
tindakan pemerintah selalu dianggap rechmatig sampai ada pembatalan.72
72
Ridwan HR., 2010, Op. Cit., hlm. 164.
Lebih lanjut, konsekuensi asas praduga rechtmatig ini adalah bahwa pada
dasarnya keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah itu tidak dapat ditunda
pelaksanaanya meskipun terdapat keberatan (bezwaar), banding (beroep),
perlawanan (bestreden) atau gugatan terhadap suatu keputusan oleh pihak yang
dikenai keputusan tersebut.Sehingga selama belum tercapai putusan yang ingkrah
maka suatu KTUN yang digugat masih dianggap sah dan dapat dilaksanakan
kecuali apabila diajukan permohonan penundaan.
Adapun dalam perkara a quo, berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Surat Keputusan objek sengketa yang
dikeluarkan oleh Tergugat dinyatakan tidak sah karena dinilai telah bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan serta Asas-Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik sehingga Surat Keputusan objek sengketa dinyatakan batal. Pembatalan
Surat Keputusan objek sengketa tersebut oleh Pengadilan telah menimbulkan
akibat-akibat hukum
Adanya konsekuensi asas praduga rechtmatig sebagaimana diuraikan di
atas apabila dikaitkan dengan perkara a quo, maka dalam hal ini Surat Keputusan
objek sengketa masih dianggap sah menurut hukum sebelum tercapainya putusan
yang ingkrah. Sehingga dalam hal ini apabila Tergugat merasa tidak puas atas
putusan Majelis Hakim serta kemudian mengajukan upaya hukum banding
terhadap putusan tersebut maka selama itu belum tercapai putusan yang
ingkrah.Oleh karenanya, Surat Keputusan objek sengketa secara hukum masih
dianggap sah dan masih dapat dilaksanakan selama tidak diajukan permohonan
penundaan atau selama permohonan penundaan KTUN tersebut tidak dikabulkan
oleh Pengadilan. Sehingga, dalam hal ini segala tindakan Prof. Dr. Maria Farida
Indrati, S.H., M.H. serta Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H (Tergugat II Intervensi)
yang dilakukan selama menduduki jabatan Hakim Konstitusi berdasarkan Surat
Keputusan objek sengketa masih sah dan baru dianggap tidak mempunyai
kekuatan hukum lagi sejak dibatalkannya Surat Keputusan objek sengketa bukan
sejak diterbitkannya Surat Keputusan objek sengketa.
Selanjutnya, menurut ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004 seorang atau badan hukum perdata yang mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah untuk menuntut agar KTUN yang
dipersengketakan dinyatakan batal atau tidak sah. Suatu KTUN akan dinyatakan
tidak sah yaitu apabila KTUN tersebut dikeluarkan oleh badan atau pejabat yang
tidak berwenang, KTUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang mendasari dikeluarkannya KTUN tersebut, kemudian isinya
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta
bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemrintahan Yang Baik. Selain itu, F.H.
van der Burg dan kawan-kawan menyebutkan bahwa keputusan dianggap tidak
sah jika dibuat oleh oragan yang tidak berwenang (onbevoegdhid), mengandung
cacat bentuk (vormgebreken), cacat isi (inhoudsgebreken), dan cacat kehendak
(wilsgebreken).
Suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak sah tentunya menimbulkan
beberapa macam akibat hukum yang ditimbulkan. Dalam konteks akibat-akibat
hukum yang ditimbulkan sebagai akibat adanya suatu KTUN yang tidak sah A.M.
Donner mengemukakan sebagai berikut:
1. Keputusan itu harus dianggap batal sama sekali;
2. Berlakunya keputusan itu dapat digugat:
a. dalam banding (beroep).
b. dalam pembatalan oleh jabatan (amtshalve vernietiging) karena bertentangan
dengan undang-undang.
c. Dalam penarikan kembali (intekking) oleh kekuasaan yang berhak
(competent) mengeluarkan keputusan itu.
3. Dalam hal keputusan tersebut, sebelum dapat berlaku, memerlukan persetujuan
(peneguhan) suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan itu
tidak diberi.
4. Keputusan itu diberi tujuan lain dari pada tujuan permulaannya.73
Berdasarkan analisis bagian yang relevan adalah bagian nomor 1 dan 2,
sedangkan pada bagian nomor 3 dan 4 ini tidak terkait sehingga menurut hemat
Penulis bagian yang tidak relevan tidak perlu dibahas. Menurut doktrin tersebut
disebutkan bahwa akibat dari suatu keputusan yang tidak sah mengakibatkan
keputusan itu harus dianggap batal sama sekali. Hal ini berbeda dengan prinsip
yang diatur dalam asas hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara yang
menentukan bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara tidak dapat batal demi
hukum tidak dapat dibatalkan.Sehingga hal ini menimbulkan konsekuensi yang
73
Ibid, hlm. 163.
berbeda. Akibat dari suatu keputusan yang dinyatakan batal demi hukum yaitu
bahwa setelah adanya putusan hakim atau putusan badan pemerintahan lain yang
berwenang yang menyatakan bahwa keputusan itu tidak sah maka keputusan
tersebut dianggap tidak pernah pernah ada atau tidak sah sejak mula diterbitkan.
Konsekuensi dari keputusan yang batal demi hukum ini serupa dengan akibat
hukum yang disebutkan dalam doktrin yaitu keputusan itu harus dianggap batal
sama sekali, sehingga dari semula dianggap tidak pernah diterbitkannya keputusan
tersebut. Sedangkan prinsip “hanya dapat dibatalkan” dalam hukum acara
Peradilan Tata Usaha Negara mengandung konsekuensi keputusan itu tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak dibatalkan bukan sejak
diterbitkan.Sehingga keputusan itu dianggap ada dan baru dianggap batal atau
tidak sah sejak dibatalkan oleh Pengadilan bukan sejak semula keputusan itu
diterbitkan.
Mengenai berlakunya keputusan itu dapat digugat dalam banding, dalam
pembatalan oleh jabatan (amtshalve vernietiging) karena bertentangan dengan
undang-undang serta dalam penarikan kembali (intekking) oleh kekuasaan yang
berhak (competent) mengeluarkan keputusan itu, dalam hal ini gugatan yang
diajukan atasa keputusan tersebut tidak dapat mempengaruhi keberlakuan
keputusan tersebut karena pada asasnya keputusan yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah itu tidak dapat ditunda pelaksanaanya meskipun terdapat keberatan
(bezwaar), banding (beroep), perlawanan (bestreden) atau gugatan terhadap suatu
keputusan oleh pihak yang dikenai keputusan tersebut. Sehingga dalam hal suatu
keputusan yang dikeluarkan pemerintah kemudian digugat melalui banding dan
lainnya, maka secara hukum keputusan tersebut masih dianggap berlaku dan sah
hingga telah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, dengan
demikian adanya proses gugatan terhadap suatu keputusan tidaklah mempengaruhi
keberlakuan suatu keputusan tersebut.
Kemudian, pada bagian lain masih terkait dengan akibat dari suatu
keputusan yang tidak sah terdapat pendapat yang menarik yang dikemukakan oleh
Van der Wel yang menyebutkan enam macam akibat suatu keputusan yang
mengandung kekurangan, yaitu sebagai berikut:
1. Batal karena hukum.
2. Kekurangan itu menjadi sebab atau menimbulkan kewajiban untuk
membatalkan keputusan itu untuk sebagiannya atau seluruhnya.
3. Kekurangan itu menyebabkan bahwa alat pemerintah yang lebih tinggi dan
yang berkompeten untuk menyetujui atau meneguhkannya, tidak sanggup
memberi persetujuan atau peneguhan itu.
4. Kekurangan itu tidak mempengaruhi berlakunya keputusan.
5. Karena kekurangan itu, keputusan yang bersangkutan dikonversi ke dalam
keputusan lain.
6. Hakim sipil (biasa) menganggap keputusan yang bersangkutan tidak
mengikat.74
74
Ibid.
Berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh Van der Wel tersebut di atas
terdapat poin yang menarik dimana disebutkan bahwa akibat dari suatu keputusan
yang tidak sah salah satunya adalah keputusan itu batal karena hukum. Hal ini
berlawanan dengan konsekuensi asas praduga rechmatig yang menyebutkan
bahwa suatu keputusan hanya dapat dibatalkan tidak batal demi hukum.
Selain itu Stellinga menegaskan bahwa keputusan pemerintah selalu tidak
boleh dianggap batal (batal demi hukum), baik dalam hal keputusan itu digugat di
muka hakim administrasi atau banding administrasi, maupun dalam hal
kemungkinan untuk menggugat dan untuk memohon banding itu tidak digunakan,
demikian juga dalam hal kedua kemungkinan tersebut tidak ada.75
Perbedaan akibat hukum ini menimbulkan konsekuensi yang jelas berbeda
dimana suatu keputusan yang dinyatakan batal demi hukum berarti bahwa
keputusan itu dianggap tidak ada setelah dinyatakan tidak sah melalui putusan
hakim sedangkan konsekuensi dari dapat dibatalkannya suatu keputusan adalah
keputusan itu tetap dianggap ada dan baru dinyatakan batal dan tidak berlaku
ketika sampai waktu pembatalan oleh hakim.Dengan demikian akibat hukum yang
menyatakan bahwa suatu keputusan tidak sah adalah batal demi hukum adalah
bertentangan dengan konsekuensi asas praduga rechtmatig dalam hukum acara.
Kemudian, mengenai akibat hukum lainnya dari suatu keputusan yang
tidak sah adalah kekurangan itu dapat menjadi sebab untuk membatalkan
keputusan itu untuk sebagiannya atau seluruhnya.Hal ini telah sesuai bahwasannya
75
Suparto Wijoyo, Op. Cit., hlm.60-61.
suatu perbuatan hukum yang dapat dibatalkan adalah suatu perbuatan yang
mengandung cacat (kekurangan yuridis), sehingga terhadap suatu keputusan yang
mengandung kekurangan atau cacat yuridis itu dapat diajukan pembatalan baik
untuk sebagian maupun seluruhnya melalui gugatan.Dengan demikian terhadap
keputusan yang mengandung kekurangan itu dapat dijadikan sebagai alasan untuk
mengajukan gugatan yang pada dasarnya memohon agar keputusan itu dibatalkan
baik sebagian maupun seluruhnya.
Keputusan yang mengandung kekurangan atau tidak sah pada dasarnya
tidak mempengaruhi keberlakuan keputusan tersebut.Keputusan yang mengandung
kekurangan tetap dianggap sah serta berlaku secara hukum selama belum
dinyatakan batal oleh hakim melalui putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.Selama keputusan itu belum dinyatakan tidak sah dengan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, keputusan itu dianggap
sah dan mempunyai kekuatan hukum untuk berlaku bagaimanapun cacat atau
kurangnya keputusan itu.
Mengenai mengikatnya suatu keputusan, dalam hal ini suatu keputusan
yang tidak sah masih mempunyai kekuatan hukum mengikat selama keputusan itu
belum dinyatakan batal oleh Pengadilan dan baru tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sejak dibatalkannya keputusan itu.
Dengan berdasarkan dokrin tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa dengan dibatalkannya Surat Keputusan objek sengketa itu tidak
mengakibatkan Surat Keputusan objek sengketa itu batal karena hukum tetapi
hanya dapat dibatalkan. Dibatalkannya Surat Keputusan objek sengketa dalam hal
ini pun tidak mempengaruhi keberlakuan keputusan tersebut, sehingga Surat
Keputusan objek sengketa tesebut masih sah dan mempunyai kekuatan hukum
untuk berlaku sebelum tercapainya putusan yang ingkrah.Sehingga apabila
Tergugat merasa tidak puas terhadap putusan pengadilan dan masih dimungkinkan
untuk mengajukan upaya hukum banding terhadap putusan tersebut maka selama
itu belum tercapai putusan yang ingkrah.Oleh karenanya, Surat Keputusan objek
sengketa secara hukum masih dianggap sah dan masih dapat dilaksanakan selama
tidak diajukan permohonan penundaan atau selama permohonan penundaan
KTUN tersebut tidak dikabulkan oleh Pengadilan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pembatalan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 87/P Tahun
2013 Tanggal 22 Juli 2013 perihalpemberhentian dengan hormat dari jabatan
Hakim Konstitusi, masing-masing atas nama Prof. Dr. Maria Farida Indrati,
S.H., M.H. dan Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H., M.H. serta pengangkatan
dalam jabatan Hakim Konstitusi masing-masing atas nama Dr. Patrialis Akbar,
S.H., M.H, apabiladitinjaudari peraturan perundang-undangan dan Asas-Asas
Umum Pemerintah yang baik, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Keabsahan Surat Keputusan objek sengketa ditinjau dari peraturan
perundang-undangan, dapat dilihat dari tiga aspek yaitu ditinjau dari aspek
wewenang, aspek substansi serta aspek prosedur. Ditinjau dari aspek
wewenang dan aspek substansi, Surat Keputusan objek sengketa telah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan ditinjau dari
aspek prosedur Surat Keputusan objek sengketa tidak sah karena tidak
memenuhi ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
yang mensyaratkan proses pencalonan Hakim Konstitusi harus dilakukan
secara transparan dan partisipatif.
b. Keabsahan Surat Keputusan objek sengketa ditinjau dari Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik, Tergugat dalam mengeluarkan Surat
Keputusan objek sengketa telah bertentangan dengan Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik terutama asas kepastian, asas kepentingan umum,
asas akuntabilitas dan asas keterbukaan.
Berdasarkan deskripsi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
Surat Keputusan objek sengketa perihal pengangkatan Hakim Konstitusi
tersebut tidak memenuhi syarat keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha
Negara, sehingga pembatalan Surat Keputusan objek sengketa telah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan
yang baik.
2. Akibat hukum yang ditimbulkan dengan dibatalkannya Surat Keputusan objek
sengketa oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yaitu
dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Sebagai konsekuensi adanya asas praduga rechtmatig yang menyebutkan
bahwa setiap tindakan pemerintah selalu dianggap rechmatig sampai ada
pembatalan, maka Surat Keputusan objek sengketa hanya dapat
dibatalkan, tidak batal demi hukum.
b. Surat Keputusan objek sengketa tetap dianggap sah menurut hukum
sebelum adanya putusan pengadilan yang telah inkrah yang
membatalkanSurat Keputusan objek sengketa tersebut.
c. Adanya hak Tergugat untuk mengajukan upaya hukum banding ke
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, dan apabila Tergugat tidak
mengajukan upaya hukum banding maka Surat Keputusan objek sengketa
dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena putusannya
telah inkrah, serta apabila Tergugat mengajukan banding maka Surat
Keputusan objek sengketa dianggap masih mempunyai kekuatan hukum
mengikat karena putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta belum
inkrah.
d. Surat Keputusan objek sengketa secara hukum masih dapat dilaksanakan
selama tidak diajukan permohonan penundaan atau selama permohonan
penundaan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut tidak dikabulkan oleh
Pengadilan.
e. Segala tindakan Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. serta Dr.
Patrialis Akbar, S.H., M.H yang dilakukan selama menduduki jabatan
Hakim Konstitusi berdasarkan Surat Keputusan objek sengketa, masih
tetap sah,sebelum ada putusan Pengadilan yang telah inkrah yang
membatalkan Surat Keputusan objek sengketa.
f. Terhadap putusan Pengadilan yang telah inkrah, yang berisi amar putusan
mengabulkan gugatan dan membatalkan KTUN, maka Tergugat dibebani
kewajiban mencabut Surat Keputusan objek sengketa tersebut, apabila
Tergugat tidak bersedia mencabut, berdasarkan ketentuan Pasal 116 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 setelah jangka waktu 60 hari
maka Surat Keputusan objek sengketa tersebut otomatis tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
B. Saran
Terhadap Pejabat Tata Usaha Negara hendaknya lebih cermat dan hati-hati
dalam mengeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dengan memperhatikan
keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan dari aspek peraturan
perundang-undangan serta Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, sehingga
tidak berakibat pada dibatalkan atau dinyatakan tidak sahnya Keputusan Tata
Usaha Negara tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
Abdullah, Rozali. 1991. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Anggriani, Jum. 2012. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta:Graha Ilmu.
Asshiddiqie, Jimly. 2009. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:Sinar
Garafika.
________________. 2010. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang.Jakarta: Sinar
Gravika.
Daulay, Ikhsan Rosyada Parluhutan. 2004. Mahkamah Konstitusi. Jakarta:Rineka
Cipta.
Hadjon, Philipus M. dkk.Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta:Gajah Mada
University Press.
____________________. 1993. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
____________________. 1994. Pengantar Hukum Administrasi di
Indonesia.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
____________________. 2011. Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Cet. XI.
____________________. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia.
Surabaya:PT. Bina Ilmu.
Harahap, Zairin. 2007. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
H.R., Ridwan. 2003. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
___________. 2010. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
___________. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Indroharto.2005. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.Jakarta: Buku III Pustaka Harapan.
Istanto, F. Sugeng. 2007. Penelitian Hukum. Yogyakarta: CV Ganda.
Ibrahim, Jhonny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
Banyumedia Publising, Cetakan Kedua.
Marbun, S.F. 2003.Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Marzuki, PeterMahmud. 2005. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Kencana.
MD, Mahfud. 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media.
Rahardjo, Satjipto. 1986. Ilmu Hukum. Bandung: Penerbit Alumni.
Setiadi, Wicipto. 1994. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Suatu
Perbandingan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soekanto, Soerdjono. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Sumitro, Ronny Hanitijo. 2005. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Kencana.
Syahrani, Riduan. 2009.Kata – Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum. Bandung: PT
Alumni.
Tim Penyusun Cetak Biru Mahkamah Konstitusi. 2004. Cetak Biru Membangun
Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Tjandra, W.Riawan. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Wijoyo, Suparto. 2005. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi
(Peradilan Tata Usaha Negara). Surabaya:Airlangga University Press.
Wiyono, R. 2009. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar
Gravika.
Peraturan Perundang-undangan :
1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8);
3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77);
4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75);
5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98);
6) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35);
7) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160);
8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70);
Putusan Pengadilan:
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor: 139/G/2013/PTUN-JKT.;
Internet:
1. http://ptun.palembang.go.id/upload_data/BEBERAPA%20ASPEK%20DALAM%
20HUKUM%20MATERIIL.pdf
2. http://po-box2000.blogspot.com/2011/04/hukum-ptun-pengertian-asas-asas-
dan.html
3. http://repository.uksw.edu/jspui/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BA
B%20II.pdf
4. http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/8328/SKRIPSI%20GAB
UNG.pdf?sequence=1
5. https://edrasatmaidi2010.wordpress.com/2010/07/15/penyelesaian-sengketa-tun-
melalui-ptun/