Selama ini, hutan Indonesia bukan saja...
Transcript of Selama ini, hutan Indonesia bukan saja...
2
Selama ini, hutan Indonesia bukan saja dikelola
secara tidak berkelanjutan, tetapi juga diwarnai
konflik vertikal dan horizontal yang membuat
komunitas di dalam dan di sekitar kawasan hutan
berhadapan langsung dengan perusahaan-perusa-
haan besar, pemerintah pusat-daerah, juga aparat
kekerasan negara. Hingga tahun 2012, HuMa
mencatat setidaknya 72 konflik yang masih ber-
langsung di sektor kehutanan dengan luas wilayah
konflik mencapai 1,2 juta hektar dimana masyarakat
adat dan lokal melawan perusahaan tercatat
sebagai aktor utamanya (HuMa, 2012).
REDD+ sebenarnya dapat menciptakan momentum
politik dan celah-celah kebijakan untuk mengurangi
kerusakan hutan dengan menelusuri penyebab
utamanya, dan sekaligus memberi ruang bagi
dibicarakannya masalah “tabu” seperti penghor-
matan tenurial masyarakat atas hutan dan pe-
nyelesaian konflik. Ini misalnya terlihat dari ke-
berhasilan masyarakat sipil yang berhasil memasuk-
kan konsep kerangka pengaman (safeguards) ke
dalam draft kebijakan nasional REDD+, termasuk
hak untuk menolak atau menerima proyek pem-
bangunan (FPIC).
Meskipun wacana REDD+ yang bergulir di Indo-
nesia di tengah kompleksitas aktornya meng-
indikasikan upaya untuk “merebut” kepemilikan
REDD+, tidak dapat dipungkiri bahwa bangunan
REDD+ terkait langsung dengan (jika tidak ber-
gantung pada) perundingan internasional yang
masih berjalan. Di tengah belum paripurnanya
keamanan tenurial masyarakat adat dan lokal atas
tanah, kehadiran REDD+ yang berbasis lahan ber-
potensi menimbulkan pelanggaran HAM dan bah-
kan konflik baru di tengah masyarakat. Logika
dasar REDD+ adalah memberi nilai finansial pada
tegakan hutan sehingga ia dapat bersaing dengan
sektor-sektor lain yang eksploitatif, misalnya sawit
dan tambang. Hal ini memunculkan perdebatan
panas tentang sumber pendanaan. Dari manakah
REDD+ akan dibiayai dan apa konsekuensinya?
Negosiasi Iklim dan Debat Pendanaan untuk REDD+
Hingga saat ini, REDD+ di Indonesia (dan di dunia)
masih berada dalam fase “kesiapan” (readiness),
yaitu fase di mana kerangka peraturan, kelem-
bagaan, metodologi, dan mekanisme pelaksanaan
dibentuk. Dalam fase ini, Indonesia mendapatkan
pendanaannya dari berbagai sumber berupa hibah,
dengan Norwegia sebagai donor terbesar di Indo-
nesia (dengan komitmen US$1 miliar).
Pertanyaan yang masih menggantung adalah soal
pendanaan untuk fase implementasi penuh (fase ke
tiga). Kelompok negara maju terus berargumen
bahwa dana publik (yang berasal dari negara) tidak
akan cukup untuk mendanai REDD+ dalam jangka
panjang. Opsi perdagangan karbon (hutan) di
bawah mekanisme pasar pun mengemuka. Dalam
skema ini, REDD+ dibayangkan akan menghasilkan
“kredit karbon” (hutan) untuk diperdagangkan di
sebuah “pasar karbon” yang akan diciptakan
berdasarkan kesepakatan internasional. Kredit kar-
bon ini dapat digunakan oleh negara-negara maju
untuk memenuhi target pengurangan emisi me-
reka. Hanya saja, jika pengurangan emisi dari kredit
karbon hutan ini bukan merupakan tambahan
(additionality) dari upaya pengurangan emisi do-
mestik, maka mekanisme ini dikatakan sebagai
mekanisme offset. Dengan kata lain, negara-negara
maju membeli “izin mempolusi” dari negara-negara
berkembang.
Tonggak pertama untuk pasar karbon adalah ke-
putusan COP 17 di Durban tahun 2011 yang me-
nyatakan bahwa pendanaan REDD+ “dapat” ber-
asal dari pasar. Meskipun perdagangan karbon
maupun offset tidak disebut secara eksplisit, fokus
pada metodologi yang berorientasi karbon me-
nandakan kecenderungan ke arah sana (Lovera
2012). Sejak COP 17 inilah perundingan dalam isu
metodologi REDD+ sangat berfokus pada aspek-
aspek karbon seperti MRV (Monitoring, Pelaporan,
dan Verifikasi) dan tingkat acuan emisi; sementara
agenda terkait hak masyarakat seperti safeguards
dan manfaat selain karbon (multiple benefits) da-
lam REDD+ seringkali terpinggirkan. Negosiasi
REDD+ di COP 18 Doha 2012 lalu dikatakan macet
karena isu terkait dengan verifikasi pengurangan
emisi di mana negara maju (Norwegia, misalnya)
menginginkan mekanisme verifikasi pengurangan
emisi yang ketat di tingkat internasional sementara
negara berkembang (Brazil terutama) menentang-
nya. Verifikasi yang ketat dan rumit dapat diibarat-
3
kan sebagai “Kuda Trojan” perdagangan karbon
yang memang mensyaratkan akurasi dalam hal per-
hitungan emisi (Lovera, 2012). “Paket Metodologi”
REDD+ ini diprediksikan akan selesai dibicarakan
dan “dibungkus” dalam COP 19 di Warsawa 2013 ini
untuk kemudian diturunkan ke tingkat negara.
Mekanisme pasar sebenarnya sudah dikenal dalam
Konvensi Iklim yang merujuk pada penciptaan
skema jual-beli karbon dalam rangka menggalang
dana untuk membiayai upaya-upaya mitigasi per-
ubahan iklim. Di bawah Protokol Kyoto, negara-
negara maju berhasil mendesakkan tiga mekanisme
berbasis pasar yang dikenal sebagai “pasar kar-
bon”: Perdagangan emisi, “Implementasi Bersama”
(Joint Implementation/JI) dan “Mekanisme Pem-
bangunan Bersih” atau Clean Development Me-
chanism (CDM). 2 mekanisme pasar terakhir me-
rupakan mekanisme offset karena bisa dikerjakan di
luar negara penghasil emisi.
Dalam halnya hutan, pada awalnya, dalam me-
kanisme offset tersebut tidak dimasukkan karbon
dari “penghindaran emisi” di sektor kehutanan
karena berbagai masalah metodologis yang belum
terselesaikan (baru pada tahun 2005 dan se-
telahnya, penghindaran emisi ini diskemakan dalam
bentuk REDD). Hanya aforestasi dan reforestasi
hutan yang diikutkan, itu pun sampai April 2012
baru 40 proyek yang terdaftar dan baru satu
proyek yang sudah menghasilkan kredit karbon.a
Meskipun pasar karbon dari hutan ini sulit ter-
bentuk, perundingan di COP 17 di Durban justru
mengisyaratkan pembentukan mekanisme pasar
baru yang disebut sebagai NMM (New Market
Mechanism) untuk melengkapi pasar karbon yang
telah ada.
Posisi Indonesia dan Skema Karbon Nusantara
Meskipun posisi aktor pemerintah di Indonesia jauh
dari monolitik (tidak semuanya membicarakan pa-
sar karbon), di tataran internasional Indonesia
tampak menyambut mekanisme pasar dengan ta-
ngan terbuka, termasuk potensi pasar karbon
untuk REDD+. Dalam pertemuan SBSTA ke-38 di
Bonn, Juni 2013, Pemerintah Indonesia mendukung
sepenuhnya NMM sebagaimana nampak dalam
submission-nya:b
Terkait Mekanisme Pasar Baru (NMM), Indo-nesia percaya bahwa elemen-elemen teknis yang dapat diterapkan untuk Kerangka Be-ragam Pendekatan (FVA) juga dapat diterap-kan untuk NMM. Semangat yang harus ter-cermin dalam keputusan-keputusan UNFCCC di masa depan adalah pengembangan mekanis-me yang kuat namun memungkinkan par-tisipasi yang luas di kalangan para Pihak. Salah satu sarana potensial untuk mencapai hal ini adalah mengaitkan satu mekanisme dengan mekanisme yang lain.
Sebelumnya, pada COP 18 di Doha tahun 2012,
Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) mem-
presentasikan pembentukan Skema Karbon Nusan-
tara, sebuah skema pasar karbon domestik yang
proses pengembangannya cukup cepat dan ter-
kesan terlepas dari pengamatan publik, setidaknya
dibandingkan proses pembentukan Strategi Na-
sional REDD+ yang dapat dikatakan cukup terbuka.
Skema Karbon Nusantara (SKN) adalah skema
sertifikasi dan registrasi kegiatan penurunan emisi
gas rumah kaca yang memungkinkan perdagangan
karbon di Indonesia. Skema ini mengeluarkan kar-
bon kredit yang dinamakan Unit Karbon Nusantara
(UKN). Unit karbon dapat diperdagangkan ini di-
hasilkan dari kegiatan yang “secara nyata” me-
nurunkan emisi gas rumah kaca dan berkontribusi
pada “pembangunan berkelanjutan” di Indonesia
yang menghasilkan manfaat dampingan (co-
benefits). Pada dasarnya, skema ini bersifat suka-
rela. Melalui mekanisme ini, sektor swasta didorong
untuk “menetralkan” emisi yang mereka hasilkan
dengan membeli kredit karbon yang dihasilkan
proyek SKN.
Meskipun bersifat domestik, dalam desainnya, SKN
juga dibayangkan untuk melayani pasar regional
dan internasional, baik yang bersifat mengikat (jika
kemudian ditetapkan oleh UNFCCC), maupun yang
sukarela (lihat gambar I). SKN turut mencakup
proyek-proyek di sektor energi terbarukan (misal-
nya panas bumi), proyek yang menghemat pe-
makaian energi, efisiensi atau modifikasi proses
industri, pengelolaan limbah rumah tangga dan
industri, pertanian berkelanjutan, reforestasi dan
aforestasi, serta REDD+ (DNPI, 2012).
4
Dimasukkannya REDD+ ke dalam “lingkup sektoral”
SKN dapat dikatakan sebagai langkah mendahului
UNFCCC (prejudicing) yang belum memutuskan
apakah REDD+ akan diikutsertakan ke dalam me-
kanisme pasar karbon atau tidak. Meskipun saat ini
sifatnya masih sukarela, Indonesia (setidaknya
DNPI) telah berancang-ancang untuk meng-
hubungkan pasar karbon domestik Indonesia de-
ngan pasar karbon bilateral, regional dan inter-
nasional, bahkan secara eksplisit memasukkan me-
kanisme offset internasional.
Skema Karbon Nusantara ini telah mendapatkan
wadah hukum setidaknya dalam dua kerangka hu-
kum, yakni Permenhut P.30/Menhut-II/2009 ten-
tang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi
dan Degradasi Hutan (REDD) dan Permenhut
P.20/Menhut-II/2012 tentang Penyelenggaraan Kar-
bon Hutan. Permenhut P.30/Menhut-II/2009 me-
nyebutkan bahwa perdagangan karbon adalah
kegiatan perdagangan jasa yang berasal dari ke-
giatan pengelolaan hutan yang menghasilkan
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan. Sementara pengaturan perdagangan karbon
dijabarkan lebih jelas dalam Permenhut P.20/
Menhut-II/2012. Misalnya saja dalam aturan Pasal 8
Permenhut P.20/Menhut-II/2012:
Pasal 8
(1) Pemegang izin penyelenggaraan kar-bon hutan dapat memperdagangkan karbon hutan pada wilayah kerjanya secara bersama-sama dan/atau sendiri-sendiri dengan hasil hutan yang di-usahakannya.
(2) Karbon hutan yang diperdagangkan pa-da pasar karbon hutan dalam negeri maupun pasar karbon hutan inter-nasional baik pasar sukarela maupun pasar yang bersifat mengikat, adalah karbon hutan yang telah mendapat sertifikat sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada pasar perdagangan kar-bon.
(3) Karbon hutan yang diperdagangkan adalah selisih antara potensi karbon hu-tan pada tahun tertentu dengan po-tensi awal karbon hutan (baseline), dan/atau memelihara dan/atau meng-amankan stock karbon hutan.
(4) Tata cara perdagangan karbon hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur tersendiri dengan Peraturan Menteri.
(5) Untuk memenuhi target komitmen pe-nurunan emisi Indonesia, maka pembeli karbon hutan yang berasal dari negara lain memperoleh nilai penurunan emisi karbon maksimal sebesar 49%.
(6) Dalam rangka meningkatkan potensi pertambahan karbon hutan, pemegang izin penyelenggaraan karbon hutan wa-jib menjaga potensi hutan yang ada di areal kerjanya dari kerusakan hutan, kebakaran hutan, perambahan hutan, dan tidak melakukan pemanenan hutan secara berlebihan, serta melakukan pe-ngelolaan hutan secara lestari.
Permenhut P.20/Menhut-II/2012 pada dasarnya me-
ngatur tentang rezim perizinan bagi mereka yang
telah memiliki izin pemanfaatan hutan untuk
menyelenggarakan aktivitas terkait karbon hutan
(yang mencakup REDD+). Permenhut ini memberi
peluang untuk memperdagangkan karbon hutan
secara domestik (yang difasilitasi oleh Skema Kar-
bon Nusantara) maupun di tingkat internasional
(yang telah “dibayangkan” oleh DNPI). Hampir 50%
dari karbon yang dihasilkan dari aktivitas pe-
nyelenggaraan karbon hutan di Indonesia dapat
dijual ke luar negeri dan tidak ada larangan untuk
offset.
Problematika Pasar Karbon Hutan dan Potensi
Dampak terhadap Komunitas
REDD+, terutama dalam fase kesiapan, memang
tidak identik dengan pasar karbon karena ia me-
nyasar penciptaan berbagai kondisi pemungkin
5
(enabling conditions) dalam bentuk langkah-lang-
kah kebijakan.
Beberapa kebijakan yang diambil terkait REDD+
justru membuka peluang untuk penguatan hak
komunitas terhadap hutan, misalnya dalam bentuk
safeguards dan berbagai inisiatif perbaikan tata
kelola kehutanan secara umum. Akan tetapi,
terdapat kecenderungan yang mengkhawatirkan di
tingkat internasional dan nasional bahwa REDD+
didesain terutama untuk melayani pasar, bukan
komunitas maupun iklim. Selain pertanyaan me-
ngenai integritas lingkungan yang ditimbulkan oleh
offset, ada beberapa “bendera merah” dalam pasar
karbon terkait hak komunitas.
Yang pertama, secara gagasan, pasar adalah tem-
pat jual-beli di mana peran negara dianggap netral.
Asumsi dasarnya adalah semua pihak mempunyai
kedudukan yang setara sehingga dapat berkom-
petisi sejajar dan akhirnya memetik keuntungan
yang layak dari perannya dalam kompetisi pasar.
Meski demikian, asumsi ini, sama seperti asumsi
liberalisme lainnya, adalah asumsi teoretik yang
sulit ditemukan dalam dunia nyata.
Bahkan di Amerika yang disebut ibu kandung pasar
bebas, tidak pernah ada kompetisi murni dalam
pasar. Mengutip komentar pengamat ekonomi Ian
Fletcher, “…Businesses will, in fact, do almost
anything to get out of the hell of pure head-to-head
competition…” (Fletcher, 2011). Artinya, tidak per-
nah ada pelaku bisnis yang mau menempatkan
dirinya setara untuk mendapatkan keuntungan dari
pasar. Kesetaraan hanya akan mengurangi ke-
untungan sebagai pilar utama penyangga bisnis.
Komunitas dalam situasi ini sudah sejak dini lebih
tidak diuntungkan dibandingkan pelaku bisnis yang
sudah malang melintang dalam lika-liku pasar.
Karena itu, komunitas yang masuk ke pasar tanpa
keberpihakan dan perlindungan efektif negara
berpotensi ditelan bulat-bulat oleh pelaku pasar
lainnya tanpa bisa ditolong karena Pemerintah
harus “berpura-pura” netral. Dalam situasi yang
homo homini lupus seperti ini, kepercayaan
Pemerintah demikian pada pasar karbon tidak
dapat dikatakan sebagai langkah yang berhati-hati
(prudent).
Dalam hal perdagangan karbon, bahkan imple-
mentasi REDD+ secara umum, komunitas adat dan
lokal bukanlah pemain dengan kapasitas yang
setara jika dihadapkan dengan para pemain besar,
baik pemerintah, perusahaan, maupun berbagai
NGO, terutama NGO internasional. REDD+ saat ini,
terlebih dalam kerangka pasar karbon yang
dibayangkan di tingkat internasional (yang dire-
produksi di tingkat nasional), bersandar pada pe-
ngetahuan yang secara umum “asing” bagi atau
cenderung mengasingkan komunitas, terutama jika
kelak dibayangkan bahwa komunitas akan menjadi
pelaku REDD+. MRV (Monitoring, Reporting, and
Verification) dan RELs (Reference Emission Levels)
adalah 2 di antara “paket metodologi” REDD+ yang
dibangun di atas pengetahuan yang sangat ter-
spesialiasi dan membutuhkan dana yang tidak
sedikit, belum lagi segala peraturan terkait aspek
finansial yang secara inheren terdapat dalam pasar
karbon.
Selain itu, ada pula risiko-risiko khusus ketika
komunitas berhubungan langsung dengan pasar,
misalnya kemungkinan hilangnya aset komunitas
(termasuk lahan) ketika mereka gagal meng-
hasilkan penurunan emisi sesuai kontrak yang
mereka buat. Berubahnya pola manajemen lahan di
mana komunitas dengan tidak dapat lagi menanam
tanaman yang sesuai dengan kebutuhan peng-
hidupan mereka, merupakan risiko lainnya. Belum
lagi kemungkinan penipuan oleh para “carbon
cowboys” di mana komunitas kehilangan lahan
karena janji palsu atau kontrak yang tidak dipahami.
Saat ini, belum ada mekanisme perlindungan ne-
gara yang terbukti efektif untuk mengansitipasi hal-
hal seperti ini. Kerentanan semakin besar, terutama
karena akses terhadap keadilan bagi komunitas
(terutama melalui sistem legal formal) belum me-
madai.
Yang ke dua (dan yang lebih mendasar), adalah
belum jelasnya kerangka hukum yang kompre-
hensif untuk hak atas karbon (Ivalerina, 2010). Saat
ini, yang telah diatur adalah izin untuk menye-
lenggarakan aktivitas karbon hutan (bukan hasil-
nya), yang mengikuti skema izin yang sudah ada
(HPH, HTI, dan seterusnya).
6
Dengan kondisi awal seperti saat ini, di mana
segelintir pemain besar mengelola hutan dengan
luas 35x hutan (Kementerian Kehutanan, 2012)
yang dikelola berjuta-juta komunitas (serta belum
jelasnya prosedur lebih jauh mengenai pengakuan
hak masyarakat adat terhadap hutan), adalah aman
untuk memprediksikan bahwa kue “kredit hutan”
bagi komunitas akan jauh lebih kecil. Komunitas
juga menghadapi risiko volatilitas pasar di mana
harga karbon dapat jatuh ke titik terendah karena
tidak ada permintaan yang cukup.
Penutup
Pasca COP 18 Doha tahun 2012, masyarakat sipil
menuntut pemerintah untuk tidak terburu-buru
terjun ke pasar bebas. Pertama, sebagai upaya
mencari opsi alternatif pendanaan, Pemerintah
sering berargumen bahwa desain mekanisme pasar
sifatnya sukarela dan fleksibel. Jika tidak tidak
menguntungkan maka pemerintah akan mencari
alternatif lain yang lebih tepat untuk menggalang
pendanaan. Argumen seperti ini merefleksikan
kecerobohan pengambilan kebijakan publik selama
ini. Seringkali suatu desain kebijakan tidak berujung
pada kreativitas mencari alternatif tetapi meng-
arahkan pada proses “penguncian” (lock-in) atau
memenjarakan diri sendiri pada suatu skema yang
permanen. Dalam hal ini, pembicaraan skema pasar
pada tahap ini bukan suatu proses kreatif mencari
alternatif tapi suatu langkah cepat untuk segera
mencemplungkan diri pada pasar karbon global.
Ke dua, dari segi infrastruktur hukum, kebijakan
maupun tata kelola pemerintahan, hingga saat ini
belum tersedia instrumen yang fundamental dan
seharusnya sudah ada sebagai prasyarat sosial-
lingkungan yang menentukan terjadinya pe-
ngurangan laju deforestasi dan degradasi hutan
secara efektif. Misalnya menentukan drivers atau
pelaku deforestasi, memastikan pembatasan eks-
ploitasi, menerapkan AMDAL dan KLHS secara
utuh, perlindungan hak bagi komunitas, klarifikasi
atas konflik tenurial dan upaya-upaya mendasar
lainnya. Upaya-upaya ini jauh lebih mendesak dan
lebih mencerminkan upaya mengatasi persoalan
sesungguhnya daripada menghabiskan energi de-
ngan membicarakan pasar karbon yang sangat
tidak pasti, abstrak dan penuh muslihat. Pergulatan
politik kebijakan nasional masih terus bertarung
satu sama lain, terutama pertentangan antara isu
lingkungan dengan pembangunan yang bisa dilihat
ketidaksesuaiannya antara proyek MP3EI dan ko-
mitmen pengurangan emisi. Politik birokrasi pun
belum secara nyata merefleksikan keberpihakan
pada isu-isu lingkungan.
Selain tidak meyakinkan dalam hal pengurangan
emisi itu sendiri, pasar karbon (terlebih offset)
mengekspos komunitas terhadap berbagai risiko,
baik sebagai subjek maupun objek. Hal ini meng-
arahkan kita pada sebuah pertanyaan mendasar
yang harus terus-menerus dikemukakan di tengah
euforia REDD+ di Indonesia: untuk melayani ke-
pentingan siapa sesungguhnya REDD+ dikembang-
kan?
Catatan akhir:
(a) http://carbonmarketwatch.org/category/ sustain
able-development/forestry-land-use-projects/
(b) Submission Indonesia: http://unfccc.int/
resource/docs/2013/sbsta/eng/misc09.pdf
*Penulis bekerja di HuMa. Penulis mengucapkan
terima kasih untuk Bernadinus Steni atas komentar
dan masukannya terhadap tulisan ini.
Daftar Pustaka
Departemen Kehutanan dan BPS, 2009. Identifikasi Desa di dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan.
DNPI, 2012. Draft Persyaratan dan Ketentuan Skema Karbon Nusantara ver 1.0. Diakses pada 10 Juni 2013. http://skn.dnpi.go.id/dokumen/
Fletcher Ian, 2011. Why Free-Market Economics is a Fraud. Diakses pada 10 Juni 2013. http://www.huffingtonpost.com/ian-fletcher/free-market-economics-critique_b_1155820.html
HuMa, 2012. Outlook Konflik Sumber Daya Alam dan Agraria 2012. Diakses pada 10 Juni 2013. http://huma.or.id/en/pusat-database-dan-informasi/outlook-konflik-sumberdaya-alam-dan-agraria-2012-3.html
Ivalerina, Feby, 2010. Konsep Hak‐Hak atas Karbon. Kertas Kerja Epistema No.01/2010. Jakarta: Epistema Institute. http:// epistema.or.id/publikasi/working‐paper/145‐konsep‐hakhak‐atas‐karbon.html
Kementerian Kehutanan, 2012. Statistik Kehutanan Indonesia 2011.
Lovera, Simone, 2012. MRV as a Trojan Horse for Carbon Markets? Diakses pada 10 Juni 2013. http://www.redd-monitor.org/2012/ 12/04/guest-post-mrv-as-a-trojan-horse-for-carbon-markets/
7
Seperti aturan pendahulunya, kebijakan moratori-
um melalui penerbitan Instruksi Presiden Nomor 6
Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin
Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
Primer dan Lahan Gambut (selanjutnya disebut
Inpres 6/2013) ditanggapi berbagai pihak dengan
kecemasan yang sama meskipun dengan alasan
berbeda.
Sementara sebagian, khususnya kalangan peng-
usaha, cemas karena perpanjangan moratorium
diperkirakan akan menghambat pembangunan per-
kebunan sawit dan atau usaha berbasis lahan
lainnya di Indonesia. Bagi para civil society pe-
merhati lingkungan, Inpres itu telah lama menjadi
kekhawatiran, dianggap terlalu lemah, terutama
karena cakupannya yang sempit dengan berbagai
pengecualiannya (Wells & Paoli, 2011).
Belum lagi jika harus mempertimbangkan tata
kelola dan ruang mengenai hutan yang dinilai masih
buruk. Akibatnya, ketikapun diperpanjang melalui
Inpres 6/2013, kebijakan moratorium tersebut justru
seolah dipertanyakan oleh hampir seluruh pihak,
khususnya jika mempertimbangkan bahwa dampak
yang diharapkan tidak dapat dirasakan setelah
pelaksanaannya selama 2 tahun. Kecemasan ini
bahkan secara politis sering diartikulasi untuk
membangun kritik terhadap komitmen pengurang-
an emisi 26%-41% di tahun 2020 yang dinyatakan
Presiden SBY di Pittburgh tahun 2009; satu
komitmen yang telah menjadi bagian dari Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerin-
tah tahun 2010–2014 (Muhajir, 2010).
Tingginya ekspektasi publik dapat dipahami, meng-
ingat sejak awal semangat dalam inisiasi pen-
canangan kebijakan moratorium tidak diarahkan
untuk sekedar memberi “waktu bernafas” bagi
hutan. Setidaknya sebagaimana tercantum dalam
judulnya, kebijakan penundaan izin baru tersebut,
justru diharapkan juga sebagai momentum untuk
pembenahan kebijakan kehutanan (Murdiyarso,
Dewi, Lawrence & Seymour, 2011; Wells & Paoli,
2011). Dari sudut pandang itulah, kerangka 2 tahun
pelaksanaan kebijakan moratorium serta muatan
substansi Inpres 10/2011 yang diperpanjang dengan
Inpres 6/2013, boleh jadi tidak memadai. Terutama
memahami bahwa pekerjaan rumah dalam pe-
nyempurnaan tata kelola kehutanan tidak hanya
banyak yang belum selesai tetapi juga bisa jadi
sudah terlalu rumit.
Menakar Implementasi Moratorium
Lahirnya kebijakan moratorium izin baru tidak
dapat dilepaskan dari inisiatif Pengurangan Emisi
dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+)
yang didukung Norwegia melalui Pernyataan Ke-
hendak (Letter of Intent) tentang REDD+ 26 Mei
2010. Sebagai salah satu klausulnya, moratorium
menjadi komitmen bagian dari Indonesia untuk
mengurangi emisi – termasuk dengan membentuk
lembaga REDD+. Melalui Inpres 10/2011, Presiden
memerintahkan Satuan Tugas Persiapan Pemben-
tukan Kelembagaan REDD+ (Satgas REDD+) secara
khusus untuk memantau pelaksanaan kebijakan
moratorium.
Dengan demikian, fokus kebijakan moratorium
tidak hanya terfokus pada upaya penyempurnaan
tata kelola hutan, tetapi, sebagaimana dicantum-
kan irah-irahnya, raison d’etre dari Inpres 10/2011
merupakan bagian dari upaya (global) dalam
penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang
Moratorium Hutan dan Lahan, Quo Vadis?
oleh: Grahat Nagara*
8
dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi
dan degradasi hutan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Inpres 10/2011
menjadi arahan bagi inisiasi penyeimbang pem-
bangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan.
Arahannya dapat dibagi dalam setidaknya 2 alur
besar, yaitu pertama memastikan adanya peta
hutan alam primer dan lahan gambut yang dapat
dijadikan acuan bersama seluruh kementerian, dan
ke dua, melaksanakan pembenahan birokrasi ter-
hadap proses perizinan.
Gambar 1. Alur Menghasilkan Peta Hutan Alam
Primer dan Lahan Gambut
Pada ranah yang pertama, Kementerian Kehutanan,
Badan Koordinasi Survey Pemetaan Nasional (se-
karang: Badan Informasi Geospasial), dan Badan
Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN),
bersama dengan kementerian lain yang disebutkan
dalam Inpres 10/2011 menyusun Peta Indikatif acuan
untuk Penundaan Izin Baru (PIPIB), yang meliputi
areal yang dikategorikan sebagai hutan alam pri-
mer dan lahan gambut. Peta ini kemudian
diperbaharui selama 2 tahun dan disempurnakan.
Diharapkan selama proses 2 tahun tersebut, dapat
dibangun konsensus bersama lahan-lahan hutan
dan gambut yang tersisa. Baseline ini kemudian
menjadi dasar untuk dikonsolidasi dalam rencana
tata ruang.
Kemudian, melalui ranah yang ke dua, dapat
dipahami bahwa tujuannya diarahkan memastikan
tidak terjadinya konversi pada hutan alam primer
dan lahan gambut yang tersisa. Dari kedua alur
tersebutlah, konteks penyeimbangan atau penye-
larasan pembangunan terlihat. Logika sederhana-
nya, mempertahankan kanopi tersisa dapat menjadi
jalan yang cepat dan bisa jadi mudah untuk me-
mastikan pengurangan emisi.
Tabel 1. 2 Ranah Upaya Penurunan Emisi Dalam
Inpres 10/2011
Sumber: Satgas REDD+ <http://www.satgasreddplus.org/satgas-redd/redd-task-
force-profile/monitoring-moratorium>, diolah.
Berdasarkan agenda-agenda tersebut, beberapa
hal telah dicapai oleh kebijakan moratorium, mes-
kipun dampaknya tidak setinggi yang diharapkan
banyak pihak. Setidaknya, sudah ada peta pe-
nundaan izin baru pada hutan alam primer dan
lahan gambut yang disepakati semua pihak, dengan
posisi terakhir per tanggal 19 November 2012 seluas
64,7 juta hektar. Upaya pemantauan beberapa kali
dilakukan bekerja sama dengan beberapa pihak di
antaranya memantau 98 titik deforestasi yang
terjadi di areal moratorium (UKP-PPP, 2012). Se-
mentara terkait dengan upaya penataan tata kelola
perizinan, berbagai inisiatif transparansi juga terus
dikembangkan. Badan Pertanahan Nasional mener-
bitkan peta hak atas tanah dalam situs
<http://peta.bpn.go.id/>, yang dapat diakses oleh
publik. Sementara Badan Informasi Geospasial pun
menerbitkan <www.tanahair.presiden.go.id>. Ke-
menterian Kehutanan juga menerbitkan seluruh
peta PIPIB dan berbagai peta perizinannya di
<www.webgis.dephut.go.id>. Pada lokus khusus,
yaitu Kalimantan Tengah, upaya inventarisasi per-
9
izinan direncanakan untuk ditindaklanjuti dengan
peninjauan perizinan.
Tabel 2. Perkembangan Luas Peta Moratorium
Sumber: Siaran Pers Satgas REDD+ (2011 dan 2012) dan Siaran Pers Kementerian
Kehutanan (2013), diolah.
Capaian tersebut, bukannya tanpa kritik. Bahkan
dengan target yang minim dan cakupan yang sem-
pit, Inpres 10/2011 dianggap belum mampu berjalan
secara optimal untuk melindungi hutan alam yang
tersisa, apalagi jika harus diharapkan bertrans-
formasi secara lugas dan menyeluruh menjadi
instrumen untuk penyempurnaan tata kelola sektor
kehutanan yang komprehensif.
Disebut cakupan yang sempit, karena PIPIB pada
dasarnya hanya melingkupi hutan alam primer yang
bahkan sebagian besar di antaranya sudah di-
lindungi berdasarkan mekanisme pengaturan di
sektor kehutanan. Ini berarti mengurangi beban
untuk menyelamatkan hutan sekunder yang se-
benarnya juga menyimpan kekayaan hutan dan
potensinya sebagai pengurang emisi. Argumentasi
yang sama juga dapat digunakan terhadap kawasan
hutan yang tidak berhutan sekalipun, terutama
mengingat kegiatan reforestasi yang juga dapat
dinilai dalam mekanisme REDD (Angelsen &
Atmadja, 2008).
Perhitungan yang lebih teliti menunjukkan PIPIB
sebenarnya hanya melingkupi 22,5 juta hektar
kawasan baru, dikarenakan lebih dari 43,9 juta di
antaranya merupakan kawasan hutan konservasi.
Angka ini pun kemudian harus dikurangi dengan
berbagai pengecualian, termasuk diantaranya usa-
ha yang sudah mendapatkan izin prinsip, proyek
vital pembangunan, perpanjangan pengusahaan
hutan, dan pengembangan restorasi ekosistem.
Setidaknya sebagian besar di antaranya di-
kecualikan tanpa memperhatikan kemungkinan
bahwa areal yang dikecualikan merupakan hutan
alam yang bernilai tinggi, atau setidaknya dapat
mempengaruhi hutan atau kawasan konservasi
yang ada di sekitarnya (Murdiyarso et al., 2011).
Sementara terkait restorasi ekosistem, menurut
penulis, agak janggal apabila dikecualikan dari
PIPIB. Restorasi ekosistem justru seharusnya di-
arahkan pada areal yang masih dapat dihutankan
kembali, bukan pada areal yang memang sudah
berhutan dengan kerapatan tinggi seperti hutan
alam primer. Sehingga pengecualian terhadap
restorasi ekosistem pun logikanya tidak tepat.
Untuk wilayah-wilayah tersebut pun, penulis masih
harus menggugat efektivitas cakupan Inpres. Tidak
dimasukkannya areal-areal yang memiliki dimensi
persoalan pengakuan hak atas tanah dan hutan
yang dikelola atau dikuasai masyarakat atau ber-
konflik untuk diselesaikan, justru berpotensi untuk
melemahkan efektivitas penyelamatan atas hutan
alam primer yang tersisa.
Sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa
inkonsistensi tenurial mendorong masyarakat se-
kitar hutan bertendensi buruk terhadap per-
lindungan hutan (Kelly, 2011). Oleh karena itu, perlu
ada penyelesaian inkonsistensi persoalan tenurial
kehutanan ini (Resosudarmo, Nawir, Resosudarmo,
& Nina L. Subiman, 2012).
10
Tabel 3. Cakupan Kebijakan Moratorium
Tidak optimalnya perlindungan terhadap hutan
alam primer dalam cakupan Inpres 10/2011 yang
sudah sangat terbatas tersebut khususnya terlihat
dari tidak adanya penyelesaian secara sistematis
terhadap persoalan tumpang tindih perizinan usaha
(termasuk yang ilegal) yang jelas-jelas dalam posisi
mengancam keberadaan hutan alam primer.
Meskipun, Kementerian Kehutanan hingga 2013
telah menunda dan bahkan menolak berbagai
permohonan izin dengan total luasan hingga
932.000 hektar, namun pengendalian dan penataan
kegiatan usaha di hutan alam primer dan lahan
gambut itu sendiri, belum dapat berjalan secara
menyeluruh dan maksimal, kecuali satu kasus di
Rawa Tripa yang sempat ramai di media masa.
Pembukaan lahan di hutan alam primer dan lahan
gambut terus terjadi, bahkan di hari pertama
kebijakan moratorium diterbitkan (Telapak & EIA,
2011). Di sisi lain, peta PIPIB terus dikoreksi dan
lahannya terus dikurangi hingga versi terakhir.
Tabel 4. Izin Baru dalam Lingkup Kementerian
Kehutanan yang Ditolak atau Ditunda
Sesuai Inpres 10/2011
Sumber: Diolah dari Kementerian Kehutanan (2013).
Potret keraguan paling kuat atas Inpres Mo-
ratorium terletak pada ketidakjelasan nasib dari
PIPIB itu sendiri. Tidak ada indikasi peta PIPIB
tersebut menjadi acuan bagi proses tata ruang.
Padahal, hingga September 2012 masih ada 18
provinsi yang proses tata ruangnya belum selesai.
Di sisi lain, di dalam dokumen Rencana Kehutanan
Nasional 2011-2030, dinyatakan Kemenhut hanya
akan melindungi hutan alam dan lahan gambut
yang luasanya lebih kecil dari PIPIB, yaitu 5,5 juta
hektar (Murdiyarso et al., 2011).
Opsi dan Peluang dalam Perpanjangan Kebijakan Moratorium
Berdasarkan potret tersebut, kedua ranah pem-
benahan yang ditargetkan dalam Inpres 10/2011
belum sepenuhnya tercapai. Pelaksana Inpres
masih memiliki banyak pekerjaan rumah, semen-
tara PIPIB terhenti sebagai mekanisme penundaan
izin dan bukan menjadi pelindung hutan alam yang
tersisa. Akibatnya, kebijakan moratorium seolah
hanya menjadi kebijakan “libur sementara” bagi
eksploitasi hutan.
Dengan demikian, perpanjangan kebijakan mora-
torium seharusnya tidak hanya menjadi tambahan
waktu untuk menyelesaikan target-target yang
belum selesai, tetapi juga lebih memberikan energi
tambahan untuk mencapai target. Sayangnya,
Inpres 6/2013 ternyata terbit dengan muatan yang
tidak berbeda jauh dengan Inpres 10/2011, kecuali
alasan penerbitannya, yang menegaskan bahwa
kebijakan moratorium tersebut diarahkan untuk
menyelesaikan penyempurnaan tata kelola hutan
dan lahan gambut yang tengah berlangsung.
11
Inpres 6/2013 tidak dapat menjadi panacea.
Walaupun demikian, keberadaan kebijakan mora-
torium tetap memberikan pilihan kepada ke-
menterian dan lembaga pelaksana Inpres 6/2013
dalam berkreasi dan berupaya membangun
mekanisme kerja dan upaya dalam pengurangan
emisi. Dalam hal ini, terdapat setidaknya 2 pilihan
bagi kementerian dan lembaga pelaksana, yaitu,
pertama mencermati kembali akar persoalan ke-
rusakan hutan dan mendorong pelaksanaan ke-
bijakan moratorium yang melebihi Inpres 6/2013,
atau ke dua, dengan memastikan low hanging fruit
target capaian sebagaimana cakupan yang ada
dalam Inpres 6/2013.
Opsi 1. Perluasan Cakupan Areal Hutan dan Lingkup
Permasalahan Tenurial Kawasan Hutan ke dalam
Kebijakan Moratorium
Untuk menggunakan pendekatan yang pertama,
pelaksana Inpres 6/2013 sebenarnya sudah memiliki
modal. Upaya perluasan cakupan dari segi materi,
sebenarnya juga sudah mulai dilakukan sebelum-
nya, misalnya dalam rilis persnya tahun 2012 dalam
rangka 1 tahun Inpres 10/2011, UKP-PPP sebagai
pemonitor mendorong para pihak untuk bergerak
lebih jauh dari cakupan Inpres dengan berbagai
inisiatif, di antaranya mendorong Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk
membangun basis data kegiatan usaha pertam-
bangan agar dapat dimasukkan juga dalam basis
data peta moratorium, meskipun ESDM bukan
pihak pelaksana Inpres 10/2011.
Kemudian UKP-PPP juga melakukan debottle-
necking pada beberapa inisiatif strategis seperti
mendorong pengukuhan kawasan hutan yang
menggunakan teknologi baru, dan penguatan basis
data degraded land.
Selain itu ada juga Strategi Nasional REDD+ yang
dirilis tahun 2012 (Satuan Tugas Persiapan Kelem-
bagaan REDD+ Indonesia, 2012). Dalam pelaksana-
an Stranas ini, Satgas REDD+ juga menyatakan
dengan jelas bahwa dalam penangguhan izin
selama 2 tahun (merujuk ke Inpres 10/2011) akan
dibarengi dengan inisiatif ke tiga – selain inisiatif
konsolidasi perizinan dan penyelamatan wilayah
hutan yang paling terancam – yaitu penyelesaian
konflik.
Saat ini pilihan untuk perluasan cakupan termasuk
penyelesaian tenurial kehutanan juga di dukung
dengan momentum yang kuat. Momentum itu di
antaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-II/2012 yang kemudian menganulir posisi
hutan adat dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, dan putusan sebelumnya,
yaitu Putusan Nomor 45/PUU-X/2011 yang juga
memaksa Kementerian Kehutanan untuk tidak
sekedar mempercepat pengukuhan kawasan hu-
tan, tetapi juga melakukan pengukuhan kawasan
hutan secara partisipatif dan adil.
Inisiatif lainnya adalah adanya dokumen Roadmap
Tenurial <http://epistema.or.id/menuju-kepastian-
dan-keadilan-tenurial/> dan inisiatif Nota Kese-
pakatan Bersama tentang Percepatan Pengukuhan
Kawasan Hutan Indonesia yang ditandatangani 12
kementerian dan lembaga pada tanggal 12 Maret
2013 <http://acch.kpk.go.id/nota-kesepakatan-bersa
ma-percepatan-pengukuhan-kawasan-hutan>.
Selain perluasan cakupan materi isu, perlu juga ada
perluasan cakupan arealnya, yang tidak hanya hu-
tan alam primer. Perlindungan termasuk pada
hutan-hutan lain yang berpotensi untuk memiliki
atau masih memiliki nilai konservasi tinggi (high
conservation value, HCV) (Murdiyarso et al., 2011).
Akan tetapi, pilihan pertama ini bukan jalan yang
mudah. Untuk memastikan perubahan funda-
mental dalam tata kelola kehutanan mau tidak mau
para pelaksana akan dihadapkan dengan berbagai
narasi dan asumsi dasar bagi sektoralisme dan
pembangunanisme, yang secara historis telah ter-
bukti berkali-kali menyebabkan penghancuran
12
hutan secara luar biasa. Secara riil, ia juga hadir
dalam argumentasi bagi model pembangunanan a
la ground breaking yang lebih banyak meng-
untungkan kepentingan ekonomi skala besar
seperti Masterplan Percepatan Pembangunan Eko-
nomi Indonesia (MP3EI) yang memiliki potensi
berdampak negatif pada hutan dan biodiversitas
yang tersisa.
Tantangan lain berasal dari situasi politik menjelang
tahun 2014 di mana 2013 merupakan masa-masa
injury time bagi partai politik untuk persiapan Pe-
milu Nasional 2014 dan Pemilu Kepala Daerah yang
sedang berjalan.
Opsi 2. Penyelesaian Pranata Informasi dan Data
dalam Rangka Penataan dan Penyelarasan
Pembangunan untuk Melindungi Hutan Alam
Primer dan Lahan Gambut Tersisa
Pilihan ke dua, mungkin akan lebih mudah, adalah
fokus untuk menyelesaikan perlindungan hutan
alam primer dan lahan gambut dalam cakupan
Inpres 6/2013. Pekerjaan rumahnya yang harus
diselesaikan pun cenderung lebih jelas diantaranya
memastikan PIPIB tidak selamanya menjadi peta
indikatif dan penyelesaian penataan kegiatan usaha
yang ada.
Meskipun tergolong low hanging fruit, tetap bukan
pekerjaan mudah. Para pelaksana dapat meng-
gunakan data dalam PIPIB secara maksimal untuk
kemudian mendorong berbagai kerja-kerja pem-
benahan tata kelola (khususnya birokrasi) dalam
pengelolaan sumber daya alam. Pilihan ini tetap
menantang terutama untuk memastikan bahwa
data dan informasi yang dikumpulkan tadi memang
menjadi jalan bagi pembenahan berikutnya.
Apapun pilihannya, pelaksanaan kebijakan mora-
torium jelas bukan tujuan, melainkan sebuah instru-
men untuk mencapai apa yang menjadi kebutuhan
masyarakat dalam keberlangsungan hutan, baik itu
sebagai sumber-sumber kehidupan maupun ruang
hidup yang bermartabat, secara ekonomis, ekologis
dan sosial. Quo vadis?
*Peneliti hukum, bekerja di Yayasan Silvagama.
Daftar Pustaka
Angelsen, A., & Atmadja, S, 2008. What is this book about? In A. Angelsen (Ed.), Moving Ahead with REDD: Issues, options and implications. Bogor: CIFOR.
Kelly, A. B., 2011. Conservation practice as primitive accumulation. Journal of Peasant Studies, 38 (4), 683–701. doi:10.1080/03066150.2011.607695.
Muhajir, M., 2010. Tanggapan Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) sebagai Kasus. Kertas Kerja Epistema No. 10/2010, Jakarta: Epistema Institute dan HuMa.
Murdiyarso, D., Dewi, S., Lawrence, D., & Seymour, F., 2011. Moratorium Hutan Indonesia: Batu loncatan untuk Memperbaiki Tata Kelola Hutan? Working Paper 77, Bogor: CIFOR.
Resosudarmo, B. P., Nawir, A. A., Resosudarmo, I. A. P., & Nina L. Subiman, 2012. Forest Land Use Dynamics in Indonesia. Working Papers in Trade and Development 2012/01, Canberra: The Australian National University.
Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia, 2012. Strategi Nasional REDD+. Jakarta.
Telapak, & EIA, 2011. Menjambret REDD: tentang Pelanggaran Kriminal atas Moratorium Logging Indonesia Sejak Hari Pertama dan Keuntungan yang akan Didapat Norwegia. Bogor: Telapak dan EIA.
UKP-PPP, 2012. 1 Tahun Pelaksanaan Inpres 10/2011: Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. UKP-PPP Press Release Presentation, Jakarta.
Wells, P., & Paoli, G., 2011. Sebuah Analisis terhadap Instruksi Presiden No. 10, 2011 Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Bogor: Daemeter Consulting.
14
Climate change negotiations under United Nations
goes on. After the parties conference 18th COP in
Doha, Qatar, 2012 discussion among- COP back
continued in Bonn, Germany, to prepare the parties
facing 19th COP in Warsaw, Poland, this end of year
2013. The main level of the negotiations is to reduce
global emissions, especially from fossil energy, the
most widely produced by the industrialised coun-
tries. However, this negotiation is also discussed
various side issues that grew stronger and occupy
the main stage, the land-based emissions and land
use (including forests), one of the results is REDD+
(Reducing Emissions from Deforestation and Forest
Degradation Plus).
Indonesia is deeply concerned with this scheme
because most of carbon emissions in Indonesia
contributed by forests and peat land destruction.
This scheme also has the potential to impact the
community spread over approximately 33,000
villages, that is situated inside and around the
forest area.
One current negotiations issue was the REDD+
funding. The parties enter into negotiations to find
a way to make reductions in emissions from the
forestry sector can be funded at the international
level. Related to this, appear two approaches
which until now further, are still being debated, the
market and non-market mechanism. This short
writing will discuss one of the levels of debates in
the climate negotiations as the establishment of
market mechanisms for forest carbon, its re-
sonance in the policy climate mitigation in Indo-
nesia, especially in the Nusantara Carbon Scheme,
as well as the potential impact on the rights of the
community.
REDD+ in the Middle of the Devastated Community
Rights
REDD+ reappearance with euphoria to improve
forest governance through with shifting the para-
digm of exploitative to the paradigm of sus-
tainability and respect for the rights of the com-
munity. So far, forest indonesia is not only unsus-
Carbon Trading Traps and Potential Threats to Community
by: Anggalia Putri Permatasari*
15
tainable managed, but it is also tinged by vertical
and horizontal conflicts that make the communities
inside and surrounding forest area facing big
companies, central and local governments; also
state hardness enforcement. Until 2012, HuMa
noted at least 72 conflicts is still going on in the
forestry sector with a total area of conflict reached
1,2 million hectares where indigenous people and
local against the company recorded as main actors
(HuMa, 2012).
REDD+ could actually creates the political
momentum and policy crevices to reduce forest
damages by tracing its causes, and simultaneously
make room for taboos problems such as the
tenurial community veneration over forests and
conflict resolution. This for example can be seen
from the success of the civil society that suc-
cessfully incorporate the concept of a security
framework (safeguards) into the REDD+ national
policy draft, including the right to reject or accept
the development project (FPIC).
Although the REDD+ discourse that rolling in
Indonesia in the middle of its actors complexity
indicating the attempt to seize REDD+ ownership,
can not be denied that the REDD+ building directly
related to (if not dependent on) the international
negotiations that are still running. In the middle of
tenurial unsecured on indigenous people and local
over the land rights, the REDD+ presence land
based is potential to cause human rights violations
and even new conflict in the community. The
REDD+ basic logic is to give financial value on the
forest stands so that it can compete with other
sectors that exploitative, for instance oil palm
plantations and mining. This raised a hot debate
about the funding source. How REDD+ will be
financed and what the consequences?
The Climate Negotiations and Funding Debate for
REDD+
Until now, REDD+ in indonesia (and in the world) is
still in readiness phase, that is the phase in which
the regulatory framework, institutional, metho-
dology, and implementation mechanism esta-
blished. In this phase, Indonesia received its fun-
ding from various sources in the form of grants,
with Norway as the largest donor in Indonesia
(with a commitment of US $ 1 billion).
The question that still restrained is about full
implementation phase funding (third phase). A
group of developed countries continue to argue
that public funds (comes from countries) will not
be enough to fund REDD+ in the long run. Carbon
trading options (forests) under the market me-
chanism was emerging. In this scheme, REDD+
imagined to be producing carbon credits (the
forest) to be traded in a carbon market that will be
created on the basis of an international agreement.
Carbon credits can be used by developed countries
to meet their emission reduction targets. However,
if emission reduction of this forest carbon credits
not additionality of domestic emission reduction
efforts, then this mechanism is said to be an offset
mechanism. In other words, the developed coun-
tries were buying “polluting permissions” from
developing countries.
The first milestone for the carbon market is the
decision of the COP 17 in Durban on 2011 that
REDD+ funding “can” comes from the market.
Although carbon trading and offsets are not
mentioned explicitly, focus on carbon-oriented
methodology indicates a tendency towards it
(Lovera 2012). Since COP 17 that negotiations in the
REDD+ methodology is focussing on carbon as-
pects such as MRV (Monitoring, Reporting, and
Verification) and the emission level; reference.
While agenda rights that related to society rights
like safeguards and benefits other than carbon
(multiple benefits) in the REDD+ often mar-
ginalized. REDD+ negotiations at COP 18 Doha on
2012 then allegedly bogged down because of issues
that related to the verification of emission
reductions where developed countries (Norway,
for example) want a mechanism to verify the strict
emissions reductions at international level while
developing countries (notably Brazil) against it.
Strict and complicated verification be likened as a
“Trojan horse” carbon trading that accuracy is
required in terms of emissions calculation (Lovera,
2012). REDD+ “methodology package” is predicted
to be completely discussed and “wrapped” in the
16
COP 19 in Warsaw on 2013 then handed down to
the country level.
Market mechanisms are actually already known in
the Climate Convention which refers to the crea-
tion of a carbon trading scheme in order to raise
funds to financing the climate change mitigation
efforts. Under the Kyoto Protocol, developed
countries successfully enforced the three market-
based mechanisms, known as carbon markets:
Emissions trading, Joint Implementation and Clean
Development Mechanism. The last two market
mechanisms is offset mechanism because it can be
done outside the emission producing countries.
In the case of forest, initially, in the offset
mechanisms it was not included carbon emissions
avoidance of (new in 2005 and thereafter, the
avoidance of emissions of these schemed in the
form of REDD). Only aforestation and forestation
which included, it was until April 2012 only 40 new
projects registered and only one project which has
been producing carbon credits.a Although this
carbon market from forest was difficult to be
formed, the negotiations at the COP 17 in Durban
that suggests the creation of a new market
mechanisms are referred as New Market Me-
chanism to complement the existing carbon
market.
The Position of Indonesia and Its Nusantara Carbon
Scheme
Although the position of government actors in
Indonesia is far from a monolithic (not all of them
talk about carbon markets), at the international
level Indonesia seemed to welcome with open
arms market mechanisms, including carbon market
potential for REDD+. In the 38th SBSTA meeting in
Bonn, on June 2013, government of Indonesia fully
support NMM as appears in its submission:b
Related to new market mechanism (NMM), Indonesia believes that technical elements that can apply in to the framework of various approaches (FVA) can also applied in to NMM. The spirit that must reflect in UNFCCC decisions in the future is the development of strong mechanisms but allows broad parti-cipation among the parties. One potential
means to achieve this is to associate a single mechanism with other mechanisms.
Previously, in COP 18 in Doha on 2012, the national
council on climate change presented the formation
of Nusantara Crabon Scheme, a domestic carbon
market scheme that development process was fast
enough and it feels that it was despite from public
eyes, at least compared to the formation process
of REDD+ National Strategy that can be said to be
quite open.
Nusantara Carbon Scheme (“Skema Karbon
Nusantara (SKN)”) is a certification and registration
scheme for decreasing green house gas emission
that will open the opportunity for carbon trading in
Indonesia. This scheme issued carbon credits called
Nusantara Carbon Unit (“Unit Karbon Nusantara
(UKN)”). Carbon units can be traded, this resulting
from activities which significantly reduces green-
house gas emissions and contribute to sustainable
development in Indonesia that produced co-
benefits. Basically, these schemes are voluntarily.
Through this mechanism, the private sector is
encouraged to neutralize the emissions they pro-
duce by buying carbon credits that’s generated by
SKN project.
Although domestic feature, in its design, SKN also
envisioned to serve regional and international
markets, whether were imbedded (if it is then
defined by UNFCCC), or voluntarily (see figure I).
SKN also include projects in the renewable energy
sector (i.e. geothermal), projects that conserve
energy consumption, Efficiency or modification
industrial process, domestic and industrial waste
management, sustainable agriculture, reforestation
and afforestation, as well as REDD+ (DNPI, 2012).
The inclusion of REDD+ in the sectorial scope of
SKN is arguably a step ahead UNFCCC (prejudicing)
that has not been decided whether REDD+ will be
included into the carbon market mechanisms or
not. Although still voluntary feature, Indonesia (at
least the DNPI) has getting ready to connect the
Indonesia domestic carbon market carbon with
bilateral, regional and international markets, even
explicitly included offset international mechanism.
17
Nusantara Carbon Scheme have gained legal
forum, at least two legal framework, namely
Permenhut P.30/Men hut-II/2009 about Reducing
Emissions from Deforestation and forest Degra-
dation (REDD) and Permenhut P.20/Men hut-II/2012
about implementation of forest carbon. Permenhut
P.30/Men hut-II/2009 mentioned that carbon
trading is a trading service that comes from forest
management activities that generates emission
reduction of deforestation and forests degra-
dation. While carbon dioxide trading setting,
elaborate more clearly in Permenhut P.20/Menhut-
II/2012. For instance, in the regulation, article 8
Permenhut P.20/Men hut-II/2012:
Article 8
(1) The license holders can do the forest carbon trading at a lo-cality as jointly and/or with forest products that they earned.
(2) Forest carbon in the domestic and international market ei-ther voluntary market or im-bedded market, is forest car-bon that has been certify in accordance with the provi-sions applicable to the carbon-trading market.
(3) Traded carbon forest is dif-ference between potential carbon forest in certain years to potential early carbon fo-rest (baseline), and/or main-tain and/or secure the forest carbon stock.
(4) Forest carbon trading mecha-nism referred to paragraph (4) regulated in the Minister Re-gulation.
(5) To meet Indonesia targets of emission reduction commit-ments, then the buyers of forest carbon originating from other countries gained maxi-mum value for carbon emis-sion reduction of 49%.
(6) In order to increase the poten-tial value of forest carbon, carbon forests implemen-tation permit holders must keep the potential of forests in the area of their works from the forests destruction, forest fires, the forest encroachment and not harvesting the forest too excessively, and sustain-able forest management.
Permenhut P.20/Menhut-II/2012 basically setting
about licensing regime for those who already have
forest exploitations permit to organize activities
related to forest carbon (which includes REDD+).
This Permenhut gives opportunities to carbon
forest domestic trading (facilitated by Nusantara
Scheme Carbon) and international level (which has
been “imagined” by DNPI). Almost 50% of carbon
resulting from the carbon activities in Indonesia
forest can sold to foreign countries and there are
no restrictions for offset.
Forest Carbon Market Problems and Its Potential
Impact Toward the Community
REDD+, especially in readiness phase, was not
identical with carbon market because its various
enabling conditions creation targets, in the form of
measure policies.
Some policies taken that related to REDD+ actually
open the opportunity to strengthening the rights
of communities on the forest, for example in the
form of safeguards and various initiatives improved
forestry governance in general. However, there are
tendencies that alarmed in the international and
national level that REDD+ is design especially to
serve the market, not community and climate.
18
Besides questions about environmental integrity
inflicted by offset, there are several “red flag” in
carbon market related community rights.
The first, is the idea, the market is the place for
trading where the role of the State considered
neutral. The basic assumption is all parties have
equal status so that they can compete equally and
finally take the proper benefits on their role in the
market competition. However, this assumption,
just as other assumptions of liberalism, is the
theoretically assumption that is difficult to find in
the real world.
Even in America, that called the mother of free
market, there never was pure competition in the
market. Quoting the economic observer; Ian
Fletcher comment, “…Businesses will, in fact, do
almost anything to get out of the hell of pure head-
to-head competition…” (Fletcher, 2011). It means
that there never any businesses that want to put
themself equivalent to get profit from the market.
Equality will only reduce profit as the main pillar
supporting the business. The communities in this
situation have not benefitted much at early stage
compare businesses that already at rancor within
the market.
Therefore, the community that goes to market
without partiality and effective State protection
potentially swallowed by other market participants
could not be helped because the Government
without having to “pretend” to be neutral. In a
situation that homo homini lupus like this, the
government belief on carbon market could not
considered as a prudent step.
In terms of carbon trading, even the REDD+ in
general, indigenous and local communities are not
players with an equivalent capacity, if faced with
the big players, either the government, company,
and various NGOs, especially international NGOs.
REDD+ currently, especially within the framework
of carbon market imagined at an international level
(which is reproduced at a national level), based on
the knowledge that is generally “unfamiliar” or
tend to seclude communities, especially if it is later
implied that the community will be the REDD+
perpetrator. MRV (Monitoring, Reporting, and
Verification) and RELs (Reference Emission Levels)
are two among a package of REDD methodology is
built upon the knowledge that very specialize and
in need of not a less funds, not to mention all
related aspects of financial regulations that are
inherently contained in carbon market.
In addition, there are also special risks when the
community directly related to the market, for
example the possibility of losing community assets
(including land) when they failed to produce
emission reductions according to the contract they
make. The change of the land management pattern
in which community could no longer plant the
crops in accordance with the needs of their
livelihood, the other risks. Not to mention the
possibility of fraud by the carbon cowboys where
communities lost land due to false promises or
contract that is not understood.
Currently, there is no state protection mechanism
proved effective for anticipating things like this.
The greater the vulnerability, especially as access to
justice for the community (especially through
formal legal system) has not been adequate.
The second (and more substantial), is not yet clear
the comprehensive legal framework for carbon
rights (Ivalerina, 2010). Currently, that has been
arranged is permit to convene the activity of
carbon forest (rather than the result), that follows
an existing license schemes (HPH, HTI, and so on).
With initial conditions like today, where those few
big players manage forest with broad 35x forest
maintained by millions communities (and not yet
clear the further procedure on the indigenous
people recognition rights against forest), it is safe
to predict that “forest credit” cake to the
community will much smaller. The community also
faces the risk of volatility in the market in which the
carbon price fell to the lowest point since there is
no sufficient demand.
Closure
After COP 18, Doha, on 2012, civil society demanded
government not to rush and took the plunge into
free markets. First, in an effort to find alternative
19
funding options, the Government has often argued
that the design of market mechanism, are volun-
tary and flexible. If it unprofitable, the Government
will seek other alternatives that more appropriates
to raising funding. This kind of arguments reflected
the carelessness of public policy making over the
years. Often a design policy does not lead to
creativity on looking for an alternative but direct on
the “lock in” process or imprison self into a
permanent scheme. In this case, the market
scheme talks at this stage is not a creative process
of looking for alternatives but a quick step to
immediately plunge into a global carbon market.
Second, in terms of its legal infrastructure, policies
and governance, until now has not been an
available fundamental instrument and should have
been there as a social-environmental prerequisites,
that determine the occurrence of reduction rate of
deforestation and forest degradation effectively.
For instance, determine the drivers or of de-
forestation perpetrator, ensure exploitation restric-
tion, apply AMDAL and KLHS wholly, the protection
of the rights of the community, clarification on
agrarian conflicts and other fundamental efforts.
These efforts are much more urgent and more
reflective of real resolve efforts instead of
spending energy by talking about carbon markets
that are very uncertain, abstract and full of
deception. Political struggles within the national
policies are continue to fight each other, especially,
the contradiction between the environmental
issues can sees in the discrepancy development
project between MP3EI and emission reduction
commitment.
Besides unconvincing in terms of emission reduc-
tion itself, carbon market (moreover offset)
exposes the community against various risks, as the
subject or object. This leads us to a fundamental
question that must be constantly put forward in
the middle of REDD+ euphoria in Indonesia: To
serve the interests of whom actually REDD+ being
developed?
End notes:
(a) http://carbonmarketwatch.org/category/ sustain
able-development/forestry-land-use-projects/
(b) Indonesia submission: http://unfccc.int/
resource/docs/2013/sbsta/eng/misc09.pdf
*Writer works in HuMa.
The writer say thank you to Steni Bernadinus for
the comments and inputs to this paper.
Bibliography Departemen Kehutanan dan BPS, 2009. Identifikasi Desa di dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan.
DNPI, 2012. Draft Persyaratan dan Ketentuan Skema Karbon Nusantara ver 1.0. Diakses pada 10 Juni 2013. http://skn.dnpi.go.id/dokumen/
Fletcher Ian, 2011. Why Free-Market Economics is a Fraud. Diakses pada 10 Juni 2013. http://www.huffingtonpost.com/ian-fletcher/free-market-economics-critique_b_1155820.html
HuMa, 2012. Outlook Konflik Sumber Daya Alam dan Agraria 2012. Diakses pada 10 Juni 2013. http://huma.or.id/en/pusat-database-dan-informasi/outlook-konflik-sumberdaya-alam-dan-agraria-2012-3.html
Ivalerina, Feby, 2010. Konsep Hak‐Hak atas Karbon. Kertas Kerja Epistema No.01/2010. Jakarta: Epistema Institute. http:// epistema.or.id/publikasi/working‐paper/145‐konsep‐hakhak‐atas‐karbon.html
Kementerian Kehutanan, 2012. Statistik Kehutanan Indonesia 2011.
Lovera, Simone, 2012. MRV as a Trojan Horse for Carbon Markets? Diakses pada 10 Juni 2013. http://www.redd-monitor.org/2012/ 12/04/guest-post-mrv-as-a-trojan-horse-for-carbon-markets/
20
Like the previous rule, moratorium policy through
enactment of Presidential Instruction 6/2013 on
Suspension of Granting of New Licenses and Im-
provement of Governance of Primary Forest and
Peat Land (next Inpres 6/2013) responded by
various parties with the same anxiousness though
with different reasons.
While some, especially the entrepreneurs, anxious
because the extension of the moratorium is
predicted to hamper the development of the oil
palm plantation and/or other land-based businesses
in Indonesia. For the civil society environmentalists,
the Inpres has long been a concern, considered too
weak, especially because its narrow coverage with
variety of exceptions (Wells & Paoli, 2011).
Not to mention there is little improvement in
forests and land management. Consequently, even
when its was extended through Inpres 6/2013, the
policy seemed to be questioned by nearly all
parties, especially if you consider that the expected
impact may not be felt after 2 years imple-
mentation. This anxiety is often politically arti-
culated to build criticism to the 26%-41% emission
reduction commitments in 2020 that the President
SBY stated in Pittburgh 2009; the commitments
itself has become part of government medium-
term development plan (RPJM) 2010-2014 (Muhajir,
2010).
High public expectations is understandable, since
the beginning of the spirit in moratorium policy was
not directed for just giving “time to breath” for the
forest. At least, as specified in the title, the new
license moratorium policy is expected also mo-
mentum for improvement on forestry policy
(Murdiyarso, Dewi, Lawrence & Seymour, 2011;
Wells & Paoli, 2011). From that point of view, the
framework of a two-years implementation on the
moratorium policies as well as the substance
content of Inpres 10/2011 extended by Inpres
6/2013, could be inadequate. Especially understand
that the homework in improvement of forestry
governance not only much unfinished but can also
be already too complicated.
Measuring Moratorium Implementation
Moratorium policy cannot be separated from the
initiative of Reducing Emissions from Deforestation
and Forest Degradation (REDD+) which was sup-
ported by Norway through a letter of intent about
the REDD+ on 26 May 2010. As one of the clause,
the moratorium was part of Indonesia's com-
mitment to reduce emissions, including by esta-
blishing institutions of REDD+. Through the Inpres
10/2011, President SBY ordered the Task Force on
REDD+ Institutional Preparation (REDD+ Task
Force) to monitor the implementation of the
moratorium policy.
Thus, the focal issues of the moratorium policy not
only emphasizing on completion of forest go-
vernance efforts, but also as part of global efforts
to reduce greenhouse gases emissions through the
reduction of emissions from deforestation and
forest degradation.
To achieve that goal, Inpres 10/2011 must be stated
as a basis for balancing sosio-economic, cultural
and environmental development. The direction of
the Inpres then divided into 2 domains: first, to
ensure there is a map of primary forests and peat
land as a reference for all unit in government; and
Forest and Land Moratorium, Quo Vadis?
by: Grahat Nagara*
21
second, improving permit process in forest related
business.
Picture 1. Flows to Generates a Map of the Primary
Forests and Peat Land
From the first domain, Ministry of Forestry, the
Mapping Survey National Coordination Board (now
Geospatial Information Board), National Spatial
Planning Coordination Board, along with other
ministries mentioned in Inpres 10/2011 composing
The Indicative Moratorium Map (IMM/ PIPIB= Peta
Indikatif Penundaan Izin Baru), that includes areas
categorized as primary forests and peat land. This
map then renewed for 2 years and perfected.
Expected result from 2 years implementation is a
mutual consensus about remaining forests and
peat land.
From the second domain, there is a policy direction
to ensure no conversion in remaining primary
forest and peat land. Hence, the context of
balancing or harmonizing the development can be
seen from those 2 domains. In simple logic,
maintain remaining forest canopy can be quicker
and easiest way to ensure the reduction of emis-
sions so far, allegedly mostly derived from the
conversion forest and peatland.
Table 1. 2 Domain Efforts to Reduce Emissions in
the Inpres 10/2011
Source: REDD+ Task Force <http://www.satgasreddplus.org/satgas-redd/redd-
task-force-profile/monitoring-moratorium>, processed.
Based on those agendas, some have been achieved
by moratorium policy, though the impact was not
as high as expected by many parties. At least, there
is a map of moratorium on new license in primary
forest/peat land (IMM/PIPIB), with the latest
position as per November 19, 2012 was reached
over 64.7 million hectares. Several times moni-
toring efforts carried out in collaboration with
several parties including monitoring the 98 points
areas of deforestation that occurred in moratorium
(UKP-PPP, 2012). While associated with attempts to
improve licensing bureaucracy, many transparency
initiatives were also developed. National land
agency publishes a map of land rights in the site
<http://peta.bpn.go.id/>, that can be accessed by
the public. While the Geospatial Agency has
published <www.tanahair.presiden.go.id>, the Mi-
nistry of Forestry also published the entire
IMM/PIPIB map and its license map at
<www.webgis.dephut.go.id> On particular locus,
such as Central Kalimantan, the inventory of busi-
ness licenses will be followed up with licensing
review and compliance audit.
22
Table 2. Moratorium Map Policy
Source: REDD+ Task Force press release (2011 and 2012) and Ministry of Forestry
press realease (2013), processed.
The achievements was not without criticism. Even
with minimal targets and narrow scope, Inpres
10/2011 can not be considered running in optimal
manner in order to protect the remaining natural
forests, moreover if it is expect to transform
straightforwardly and thoroughly to be a tool for
enhanced forestry sector management.
Called as narrow scope, because IMM/PIPIB
basically just covers the primary forest that even
most of which were already protected under
forestry sector management mechanism. The
IMM/PIPIB simply reduced the burden to save
secondary forest that in fact also storing the forest
richness and its potential as a emission deduction.
The same argument can also be used for a
degraded forest area, as reforestation actions can
also be valued in REDD mechanism (Angelsen &
Atmadja, 2008).
In detailed argumentation, the IMM/PIPIB actually
only covered a new area of 22.5 million hectares. It
was because more than 43,9 million hectare has
already defined as conservation forest areas
(Murdiyarso et al., 2011). This number must then
reduced by various exceptions, including busi-
nesses that have gotten principle permit, vital
development projects, extended forest concession,
and development of ecosystem restoration ma-
nagement unit. At least most of them excluded
without regarding for the possibility that the
excluded area is a high-value natural forest, or can
affect the forest or conservation areas that existed
in the surrounding.
Meanwhile, related to restoration ecosystem, the
writer thinks somewhat incongruously when ex-
cluded from IMM/PIPIB, ecosystem restoration is
supposed to direct in to area that can still be re-
forested, not in the area with dense canopy like
primary forest. So exceptions to any ecosystem
restorations is logical fallacy.
In addition, for those areas narrow scope itself, the
writer must still questioned the effectiveness of the
Inpres coverage. The Inpres was not including
conflicted area (i.e. overlaping claim between
adat/local peoples with government or business
unit on particular land/forest), which has potent
problem to undermine effectiveness of protecting
remaining primary forests. Tenurial inconsistencies
encourage bad tendencies on communities sur-
rounding forests in term of protecting forest (Kelly,
2011). Therefore, solving inconsistency in tenurial
forestry is issues that coherently should be part on
safeguarding the last primary forest (Resosudarmo,
Nawir, Resosudarmo & Nina L. Subiman, 2012).
Table 3. Moratorium Coverage Policy
Inpres 10/2011 deficiency also seen from the lack of
systematic solution for the problem of overlapping
business licensing (including the illegal ones) that
clearly in a position threatening the existence of
the primary forests.
Although, Ministry of Forestry until 2013 indeed had
a various delays even refusals for permit appli-
cation with total 932.000 ha, however, control and
arrangement of business activities in primary forest
and peat land itself has not been able to run
thoroughly, except for one case in Rawa Tripa
which was boisterous in the mass media.
Meanwhile, land clearing is keep happening both in
primary forest and peat land, even on the first day
the moratorium policy is published (Telapak & EIA,
23
2011). In the other hand, IMM/PIPIB continues to be
corrected andthe area reduced in the last version.
The most doubtful portrait on Inpres moratorium
after 2 years implementation is on the unclear fate
of IMM/PIPIB. No single indication that IMM/PIPIB
map will be used as reference for spatial process. In
fact, until September 2012 there are 18 provinces
that their spatial management processes haven’t
finished yet. On the other hand, according to
National Forestry Plan 2011-2030, Ministry of Fo-
restry will only protect natural forest and peat land
that smaller than IMM/PIPIB which is 5,5 millions
hectares (Murdiyarso et al., 2011).
Table 4. Delayed and Rejected New Permit in
Ministry of Forestry According to Inpres 10/2011
Source: processed from the Ministry of forestry (2013).
Options and Opportunities in the Extension of the Moratorium Policy
Based on above portrait, both improvements tar-
geted in the Inpres 10/2011 has not been fully
achieved. Inpres executor still have a lot of home-
work to do, while IMM/PIPIB stalled as the
permission delays mechanism instead of protection
of remaining primary forest. Moratorium policy is
seen only a “temporary holiday” policy for forest
exploitation.
Thus, the extension of the moratorium policy
should not just be an extra time to complete the
targets not yet finished, but also provide more
energy to reach the target. Unfortunately, the
Inpres 6/2013 was published with content that does
not vary much with Inpres 10/2011. The difference is
only in the reasons of issuance of Inpres 6/2013 that
the moratorium policy is directed to complete the
ongoing improvement policy on forests and peat
land management. Inpres 6/2013 is also valid for 2
years.
Therefore, Inpres 6/2013 cannot be a panacea.
Nevertheless, the existence of the Inpres 6/2013
moratorium still provide policy options to the
Ministry and implementing agencies, that is, first
observed back to the root problems of defo-
restation and forest degradation and implementing
the moratorium policy that exceeds in Inpres
6/2013, or secondly, by ensuring the low hanging
fruit target sections as there is the coverage in
Inpres 6/2013.
Option 1. Insert the Expansion of the Forests Area
and the Problems Forestry Tenurial into
Moratorium Policy
To use the first approach, implementing agencies
actually already have provision. In its 2012 press
release to 1 year of Inpres 10/2011, UKP-PPP
encourage the implementing agencies and other
related agencies to move further more from the
Inpres coverage with various initiatives. UKP-PPP
encourages the Ministry of Energy and Mineral
resources (ESDM) to build a database of mining
business activities that can be included also in the
moratorium base data map, although the ESDM is
not the implementing agencies for the Inpres
10/2011.
Then UKP-PPP also did a debottlenecking on se-
veral strategic initiatives such as using new spatial
technology in forest gazettement proces, and
improving database on degraded land.
In addition, There is also National Strategy for
REDD released in 2012 (Satuan Tugas Persiapan
Kelembagaan REDD+ Indonesia, 2012). Regarding
National Strategy, REDD+ task force stated clearly
that there will be third initiatives - besides con-
solidating licences and protecting the most
vulnerable forest area – to improve moratorium po-
licy, namely conflict resolution.
Expanding coverage is also supported with a strong
momentum. Including some of them are the
issuance of the constitutional court decision No.
35/PUU-II/2012 which then revised the position of
indigenous forest in forest status in Indonesia. The
previous ruling that is the verdict of the number
45/PUU-X/2011 that forcing the Ministry of Forestry
to not only accelerate process of forest gaz-
zettement, but also strengthening participatory
24
and fair process in forest gazzettement. Other
initiative are the Forest Tenurial Roadmap do-
cument <http://epistema.or.id/menuju-kepastian-
dan-keadilan-tenurial/> and mutual agreement on
the acceleration of forest gazzettement area
signed by 12 ministries and agencies on March 12,
2013 <http://acch.kpk.go.id/nota-kesepakatan-bersa
ma-percepatan-pengukuhan-kawasan-hutan>.
In addition to expansion of the material issues,
there is also the need to extens the scope of the
protection areas. The moratorium should include
other forest area other than primary forests, such
as forest with high conservation value (HCV)
(Murdiyarso et al., 2011).
However, this first choice is not an easy way.
Ensuring fundamental changes in the forest
governance, the implementing agencies will be
faced with a variety of narrative and basic
assumptions for sectoralism and developmental-
ism. Its will be facing with the arguments of a la
“ground breaking” development model that give
more acces to the large scale economic interests,
such as the acceleration of Indonesia economic
development masterplan (MP3EI) that has
potential damage to the remaining forests and
biodiversity.
Another challenge comes from political situation,
where 2013 is injury time for political parties to the
2014 national election and ongoing regional leader
elections. This option obviously requires leadership
and a strong political commitment from all parties
implementing the Inpres.
Option 2. Improving Information and Data to
Protect Remaining Primary Forests and Peat Lands
The second option, it might be easier, is to
complete the protection of primary forests and
peat land stated in Inpres 6/2013. Its homework
that must be settled also tend to be more clear,
among other is to ensure that IMM/PIPIB will not
forever be the indicative map and the completion
of improving license arrangement. Of course, there
should be a precondition of the data transparency
and data effectively to be agreed and be a
reference for improving the forestry management.
Although categorized as low hanging fruit, it is still
not an easy work. IMM/PIPIB could be seen as
reference data, so the imolementor can use PIPIB
data to push various work to improve transperancy
and accountability in natural resources mana-
gement. This option remains challenging, especially
to ensure that the data and information collected
along the building of IMM/PIPIB is opening the
door for the next improving process.
Whatever the choice, the implementation of the
moratorium policy clearly not the purpose, but an
instrument for accomplishing what was need by
the people in the sustainability of the forest, be it
as sources of life as well as dignified (economically,
ecologically and socially) living space. Quo vadis?
*Law researcher, work for Yayasan Silvagama.
Bibliography
Angelsen, A., & Atmadja, S, 2008. What is this book about? In A. Angelsen (Ed.), Moving Ahead with REDD: Issues, options and implications. Bogor: CIFOR.
Kelly, A. B., 2011. Conservation practice as primitive accumulation. Journal of Peasant Studies, 38 (4), 683–701. doi:10.1080/03066150.2011.607695.
Muhajir, M., 2010. Tanggapan Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) sebagai Kasus. Kertas Kerja Epistema No. 10/2010, Jakarta: Epistema Institute dan HuMa.
Murdiyarso, D., Dewi, S., Lawrence, D., & Seymour, F., 2011. Moratorium Hutan Indonesia: Batu loncatan untuk Memperbaiki Tata Kelola Hutan? Working Paper 77, Bogor: CIFOR.
Resosudarmo, B. P., Nawir, A. A., Resosudarmo, I. A. P., & Nina L. Subiman, 2012. Forest Land Use Dynamics in Indonesia. Working Papers in Trade and Development 2012/01, Canberra: The Australian National University.
Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia, 2012. Strategi Nasional REDD+. Jakarta.
Telapak, & EIA, 2011. Menjambret REDD: tentang Pelanggaran Kriminal atas Moratorium Logging Indonesia Sejak Hari Pertama dan Keuntungan yang akan Didapat Norwegia. Bogor: Telapak dan EIA.
UKP-PPP, 2012. 1 Tahun Pelaksanaan Inpres 10/2011: Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. UKP-PPP Press Release Presentation, Jakarta.
Wells, P., & Paoli, G., 2011. Sebuah Analisis terhadap Instruksi Presiden No. 10, 2011 Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Bogor: Daemeter Consulting.