library.fis.uny.ac.idlibrary.fis.uny.ac.id/contoh/tas.pdf · SEKOLAH PAWIYATAN ABDI DALEM KARATON...
Transcript of library.fis.uny.ac.idlibrary.fis.uny.ac.id/contoh/tas.pdf · SEKOLAH PAWIYATAN ABDI DALEM KARATON...
SEKOLAH PAWIYATAN ABDI DALEM KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT 2010-2018
TUGAS AKHIR SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan
Oleh:
Yuris Prudisia Herti Dwi Arningrum
NIM. 15406244020
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
i
SEKOLAH PAWIYATAN ABDI DALEM KARATON NGAYOGYAKARTA
HADININGRAT 2010-2018 Oleh:
Yuris Prudisia Herti Dwi Arningrum
15406244020
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang sekolah abdi dalem yang dilaksanakan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 2010-2018. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Konsep pendidikan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I-IX; (2) Sistem pendidikan Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat; (3) Implementasi Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Penelitian ini menggunakan penelitian historis menurut Kuntowijoyo yang terdiri dari 5 tahap. Pertama, pemilihan topik yang berdasarkan kedekatan emosional dan intelektual. Kedua, mencari dan mengumpulkan sumber yang sesuai dengan tema penelitian. Tahap ini disebut sebagai heuristik. Ketiga, kritik sumber yang terdiri dari kritik eksternal dan kritik internal. Keempat, interpretasi yaitu upaya penafsiran sumber sejarah. Terakhir, historiografi atau penulisan hasil penafsiran dari sumber sejarah dalam bentuk karya ilmiah.
Hasil dari penelitian ini ialah (1) Konsep pendidikan asli Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat selama masa Sri Sultan Hamengku Buwono I-IX yang
terdiri dari pendidikan yang dikelola oleh karaton (formal dan non formal) dan pendidikan dikelola oleh masyarakat (2) Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem menerapkan
sistem pendidikan Karaton. Kurikulum di sekolah ini meliputi mata pelajaran bahasa (Bagongan, Daerah/Jawa), membaca aksara Jawa, menyanyi tembang (lagu jawa), menulis aksara jawa, sejarah, filsafat, etika (tata cara berpakaian, bertata krama, dan
cara berjalan), keagamaan, aturan-aturan untuk abdi dalem, dan berbagai upacara adat, tradisi di karaton. Penerimaan murid untuk Sekolah Pawiyatan adalah para abdi
dalem yang ingin menjadi abdi dalem atau abdi dalem yang sebelumnya belum mendapat pawiyatan. Guru-guru yang mengajar terdiri dari para abdi dalem dan
keluarga raja. (3) Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dibentuk pada 15 Oktober 2010. Sekolah ini menerapkan dan melanjutkan model pendidikan semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I agar tetap
menjaga dan melestarikan budaya Jawa sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal DIY yakni filosofi hamemayu hayuning bawana, dan ajaran moral sawiji, greget, sengguh,
ora mingkuh serta semangat golong-gilig bagi semua orang, termasuk para abdi dalem agar menjadi agen pelestari budaya.
Kata kunci: Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
iv
PERSEMBAHAN
Dengan mengucapkan Alhamdulillah, skripsi ini ku persembahkan kepada
Keluargaku yang senantiasa menyayangi, mendidik, dan mendoakan setiap saat
Serta
Almamaterku Universitas Negeri Yogyakarta dan segenap sahabatku
vi
MOTTO
Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan.
(Q.S. Al-Insyirah : 5)
Semakin aku banyak membaca, semakin aku banyak berpikir, semakin aku
banyak belajar, semakin aku sadar bahwa aku tak mengetahui apapun.
(Voltaire)
Menjalani hidup disertai dengan doa, usaha, dan pantang menyerah. Jadikan masa
lalumu lebih bermakna, sedangkan masa depanmu jadikanlah sumber kekuatan.
(Penulis)
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sekolah
Pawiyatan Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningat 2010-2018”. Shalawat
serta salam penulis panjatkan kepada junjungan nabi besar kita, Nabi Muhammad
SAW serta sahabat-sahabatnya. Tugas Akhir Skripsi ini penulis susun untuk diajukan
kepada Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta untuk memenuhi persyaratan Dalam penulisan skripsi ini, tentunya
banyak pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak. Untuk itu dalam
kesempatan ini penulis berkenan menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd selaku rektor Universitas Negeri
Yogyakarta.
2. Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Yogyakarta.
3. Dr. Dyah Kumalasari, M.Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah
FIS, UNY sekaligus merangkap sebagai dosen pembimbing akademik.
4. Saefur Rochmat, S.Pd., M.IR., Ph.D sebagai dosen pembimbing skripsi.
Terimakasih atas segala bimbingan dan arahannya.
5. Segenap dosen dan staf Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah
membantu selama proses perkuliahan .
6. H. Romo Tirun Marwito, S.H (K.R.T. H Jatiningrat, S.H) dan Romo K.R.T
Rintaiswara yang telah meluangkan waktu menjadi narasumber dalam
penulisan skripsi.
viii
7. Tepas Parentah Hageng, Tepas Dwarapura,Tepas Tandha Yekti, KHP. Widya
Budaya (Perpustakaan), Tepas Pariwisata, dan Tepas Security Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat yang telah memberikan izin dan menyediakan
data-data untuk keperluan melakukan wawancara dan kunjungan.
8. Romo Riya Rahardjo Guritno, Romo Yudomanggolo (Mas Penewu
Yudomanggolo), dan Romo Yudoharnowo (Bekel Sepuh Yudoharnowo), dan
Romo Yudoparminto yang telah meluangkan waktu menjadi narasumber
dalam penulisan skripsi dan membantu data-data untuk keperluan melakukan
wawancara, kunjungan, dan dokumentasi.
9. Para Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta yang telah bersedia
membantu, memberikan dukungan, dan doa atas kelancaran skripsi.
10. Orang tua (Bapak Hermanudin dan Ibu Ardianti) serta kakakku (Herdy Yudha
Perdana). Terima kasih atas limpahan doa yang telah diberikan, merawat,
mendidikku dengan penuh kesabaran, dan telah mengajarkanku cara
bersyukur.
11. Sahabat-sahabatku yang selalu memberikan motivasi dan dukungan sehingga
Tugas Akhir Skripsi ini dapat terselesaikan, terima kasih kepada Roida,
Yuhana, Siti, Devi, Ani, Ananda Kurniastuti, Sanggita, Wiji Astuti, Dyah
Rosa, Afni, Evita, Jatu, Fatkhi, Yeti, Faiz, dan Andri yang telah memberikan
semangat selama masa perkuliahan.
12. Teman-teman Pendidikan Sejarah 2015 yang telah bersama-sama melalui
masa pendidikan di kampus UNY.
ix
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................... iii
ABSTRAK ......................................................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................................. vi
HALAMAN MOTTO .................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................................... viii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... xi
DAFTAR ISTILAH ....................................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ........................................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................. xvi
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................... xviii
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................... .1
A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................................................ 7
E. Kajian Pustaka ....................................................................................................... 8
F. Historiografi yang Relevan ............................................................................... 12
G. Metode dan Pendekatan Penelitian ................................................................. 15
1. Metode penelitian ........................................................................................... 15
2. Pendekatan Penelitian .................................................................................... 23
H. Sistematika Pembahasan ................................................................................... 26
xi
BAB II. KONSEP PENDIDIKAN DI KARATON NGAYOGYAKARTA
HADININGRAT ........................................................................................................... 28
A. Pendidikan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dari masa Sri Sultan Hamengku Buwono I-IX .................................................................................... 29
1. Pendidikan Dikelola Karaton ....................................................................... 29
2. Pendidikan Dikelola Masyarakat ................................................................ 36
B. Sekolah-sekolah Asli Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat ..................... 40
1. Sekolah Tamanan ............................................................................................ 42
2. Sekolah Habirandha ....................................................................................... 45
3. Sekolah Macapat ............................................................................................. 46
BAB III. SISTEM PENDIDIKAN SEKOLAH PAWIYATAN ABDI DALEM
KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT ..................................... 48
A. Pawiyatan Abdi Dalem ...................................................................................... 50
1. Guru ................................................................................................................... 51
2. Materi Pembelajaran ...................................................................................... 53
3. Kegiatan Pembelajaran .................................................................................. 65
4. Murid ................................................................................................................. 70
5. Fasilitas Pembelajaran ................................................................................... 72
B. Pawiyatan Aksara Jawa ..................................................................................... 76
1. Guru ................................................................................................................... 75
2. Materi Pembelajaran ...................................................................................... 77
3. Kegiatan Pembelajaran .................................................................................. 78
4. Murid ................................................................................................................. 82
5. Fasilitas Pembelajaran ................................................................................... 82
BAB IV. IMPLEMENTASI SEKOLAH PAWIYATAN ABDI DALEM
KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT ..................................... 84
A. Pendidikan Pawiyatan Abdi Dalem .................................................................. 84
B. Penerapan Model Pendidikan HB I ................................................................... 94
1. Mata Pelajaran ................................................................................................. 94
2. Murid ................................................................................................................. 96
3. Guru ................................................................................................................... 97
4. Prasarana ........................................................................................................... 97
xii
BAB V. KESIMPULAN............................................................................................ 105
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 107
LAMPIRAN .................................................................................................................. 115
xiii
DAFTAR ISTILAH
Pamucalan = Berasal dari kata mucal (dalam bahasa jawa) artinya
pembelajaran
Sekar = Tembang; nyanyian (lagu)
Tradisi Lisan = salah satu jenis warisan kebudayaan masyarakat setempat
yang proses pewarisannya dilakukan secara lisan.
Hamemayu = Menjaga perdamaian dunia
Hayuning Bawana
Golong Gilig = Ajaran Sri Sultan Hamengku Buwono I bahwa perlu
adanya persatuan kesatuan antara rakyat (kawula) dengan
pemimpinnya
Caos/rondha = Menjaga rumah raja atau bangsawan
Jumenengan = Upacara penobatan raja atau ratu
Sangkan Paraning = Asal dan tujuan kehidupan manusia di dalam jagad ramai
Dumadi (dunia yang penuh dengan persoalan)
Watak Satriya = Membentuk watak prajurit
Greget = Semangat
Sengguh = Mempunyai jati diri
Nyawiji = Dekat dengan Allah SWT atau Tuhan Yang Maha Esa
secara vertikal dan selalu menyatu dengan lingkungannya
secara horizontal.
Ora Mingkuh = Tidak melepaskan tanggung jawab
Tata Rakiting = Serangkaian konsep terkait tata ruang, bangunan, ragam
Wewangunan hias, tanaman, fungsi dan kegunaan ruang atau bangunan
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1. Daftar Guru di Pawiyatan Abdi Dalem Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat ................................................................... 51
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1. Kartu Abdi Dalem ................................................................................... 116
Lampiran 2. Pengunduran Abdi Dalem . ................................................................... 117
Lampiran 3. Pengangkatan Abdi Dalem. ................................................................... 119
Lampiran 4. Pemberhentian Abdi Dalem .................................................................. 120
Lampiran 5. Kegiatan Pembelajaran Pawiyatan Abdi Dalem............................... 121
Lampiran 6. Serat Kekancingan Abdi Dalem ........................................................... 122
Lampiran 7. Partisara Pawiyatan Abdi Dalem ......................................................... 123
Lampiran 8. Bangsal Kasatriyan .................................................................................. 124
Lampiran 9. Gedung Pembelajaran Pawiyatan Aksara Jawa ................................. 125
Lampiran 10. Kegiatan Pembelajaran Aksara Jawa.................................................. 126
Lampiran 11. Presensi Kehadiran Pawiyatan Aksara Jawa .................................... 127
Lampiran 12. Latihan Soal Pawiyatan Aksara Jawa ................................................. 128
Lampiran 13. Penilaian Pawiyatan Aksara Jawa ....................................................... 129
Lampiran 14. Ujian Peserta Pawiyatan Aksara Jawa ............................................... 130
Lampiran 15. Partisara Pawiyatan Aksara Jawa ........................................................ 131
Lampiran 16. Tata Urutan Pembelajaran Pawiyatan Aksara Jawa ........................ 132
Lampiran 17. Gaji Abdi Dalem . ................................................................................... 133
Lampiran 18. Kendali Wawancara I ............................................................................. 137
Lampiran 19. Transkrip Wawancara I ......................................................................... 138
Lampiran 20. Kendali Wawancara II ........................................................................... 140
Lampiran 21. Transkrip Wawancara II ........................................................................ 141
Lampiran 22. Kendali Wawancara III .......................................................................... 143
xvi
Lampiran 23. Transkrip Wawancara III ...................................................................... 144
Lampiran 24. Kendali Wawancara IV ......................................................................... 146
Lampiran 25. Transkrip Wawancara IV ...................................................................... 147
Lampiran 26. Wawancara Romo Tirun ....................................................................... 148
Lampiran 27. Wawancara dengan Abdi Dalem ......................................................... 149
xvi
DAFTAR SINGKATAN
M. B
M.P
K.R.T
KTA
K.M.T
SK
K.G.P.A.A
= Mas Bekel
= Mas Penewu
= Kangjeng Raden Tumenggung
= Kartu Tanda Abdi Dalem
= Kangjeng Mas Tumenggung
= Serat Kekancingan
= Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo
.
xviii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat terbentuk pada tahun 1755 atas
dasar perjanjian Giyanti.1 Sejak pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I,
Karaton Kasultanan Yogyakarta mengembangkan sistem pendidikan yang berlaku
di istana. Semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I mengajarkan pendidikan yang
menyangkut ajaran budaya (Persatuan Kesatuan yang Golong-Gilig, Falsafah
Hamemayu Hayuning Bawana, dan watak satriya). Pengajaran yang menyangkut
budaya ini sebagai dasar filosofis pendidikan di karaton.
Lembaga pendidikan yang didirikan pada tahun 1757 Masehi disebut
dengan Sekolah Tamanan.2 Sekolah ini sudah memiliki kurikulum pendidikan
yang baik demi mewujudkan anak-anak bangsa yang berpendidikan, terampil,
berjati diri yang tangguh, berkepribadian, dan berbudaya tinggi. Sekolah ini
diselenggarakan di dalam lingkup karaton. Sekolah ini didirikan juga dapat
digunakan untuk mengisi jabatan dalam pemerintahan di karaton sesuai
dengan kebutuhan masyarakat karena pada masa tersebut karaton sekaligus
sebagai pusat pengajaran.
1HM. Nasruddin Anshoriy, Ch dan GKR Pembayun, Pendidikan Berwawasan
Kebangsaan Kesadaran Ilmiah Berbasis Multikulturalisme, (Yogyakarta: LKis, 2008) hlm. 10.
2 Anonim, Kota Jogjakarta 200 Tahun 7 Oktober 1756-7 Oktober 1956,
(Yogyakarta: Panitya Peringatan Kota Jogjakarta, 1956) hlm. 65.
1
2
Sekolah Tamanan hanya bertahan pada tahun 1830 sampai akhir tahun
1900.3 Sekolah ini belum diketahui secara pasti penyebab lembaga pendidikan
yang berkualitas dalam mendidik para anak bangsa tersebut lambat laun surut
dan hilang semasa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Dengan demikian,
sistem pendidikan sejak zaman Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai dengan
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menunjukkan bahwa pendidikan dan
pembentukan jiwa sangat diutamakan. Lain halnya pada masa Hamengku
Buwono IX mengedepankan pendidikan dengan cara melestarikan bahasa
Jawa. Sebagai buktinya, beliau memerintahkan agar nama-nama toko yang
berbahasa Belanda diganti dengan bahasa Jawa. 4
Sri Sultan Hamengku Buwono X ingin menyelenggarakan pendidikan
khusus di dalam Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Adanya upaya-upaya
untuk memberdayakan dan membangkitkan kesadaran bagi masyarakat
khususnya yang ikut andil dalam tata pemerintahan di Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat sebagai abdi dalem akan pentingnya pendidikan. Pendidikan yang
sebelumnya menjadi hak istimewa bagi para priyayi dan bangsawan, mulai
diperluas untuk masyarakat pribumi yang lain. Dengan demikian, Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat harus menjadi sebuah lembaga bersama baik hal
yang hidup dan ada di dalamnya secara keseluruhan.
Bidang pendidikan pada umumnya, dalam membaca dan menulis (huruf
latin) masih kurang pandai sehingga sebagian besar masyarakat masih buta
3 Ibid., hlm. 66.
4 Jatiningrat, Pawiyatan, (Yogyakarta: Tepas Banjarwilapa, 2014), hlm. 10.
3
huruf. Sedangkan jenjang pendidikan formal hanya terbuka bagi kaum
bangsawan dan priyayi.5 Masyarakat pribumi tidak mendapatkan hak serta
kesempatan yang sama seperti mereka dalam bidang pendidikan. Oleh karena
itulah, semasa Sri Sultan Hamengku Buwono X, menyelenggarakan kembali
pendidikan di dalam karaton Ngayogyakatra Hadiningrat dimana model
pembelajaran yang diajarkan sebagian besar sama halnya dengan sekolah
semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Sri Sultan Hamengku Buwono X menyelenggarakan pendidikan ini
diperuntukkan bagi para abdi dalem di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
guna membentuk seseorang pemimpin, yang mana kepemimpinan sebagai
pribadi dan kepemimpinan dalam kelembagaan. Abdi dalem yang terdiri dari
sanak keluargapun juga diharapkan agar dapat memahami mengenai budaya
dalam artian menjadi contoh dimana dia tinggal sebagai figur ksatria.
Sehingga, pendidikan ini sebagai proses yang berkelanjutan bagi seseorang
yang telah menempuh pendidikan dan berguna bagi semasa hidupnya.
Abdi dalem merupakan abdi budaya. Abdi budaya adalah orang yang bisa
dan mampu memberi contoh di manapun ia tinggal.6 Abdi Dalem harus bisa
menjadi contoh kehidupan di masyarakat, bertindak berdasarkan unggah-
ungguh dan paham akan tata krama. Abdi Dalem bertugas sebagai pelaksana
operasional di setiap organisasi yang dibentuk oleh Sultan. Para
5Eka Yuli Prasetya, Kehidupan dan Pendidikan Belanda Kaum Priyayi Jawa Abad XX, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma,2009), hlm. 3.
6 Wawancara K.R.T. H. Jatiningrat, S.H, 28 November 2018.
4
abdi dalem menjalankan tugas dan perannya masing-masing. Setiap abdi dalem
mendapatkan Kartu Abdi Dalem (KTA).7 Keberadaan para abdi dalem ini
sangat penting dalam menangani urusan di Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat.
Sri Sultan Hamengku Buwono X ingin menyelenggarakan kembali model
pendidikan semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pendidikan ini
diperuntukkan bagi para abdi dalem punakawan dan kaprajan. Sejak setelah
perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Maret 1755 (29 Jumadilawal 1680 TJ),
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat membutuhkan aparatur negara yang baik
dari golongan sipil maupun militer.8 Untuk itu, di Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat sampai sekarang membutuhkan abdi dalem untuk mengisi roda
pemerintahan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Penelitian sejarah dibatasi oleh batasan spasial dan temporal (tempat dan
waktu). Berdasarkan tema yang diambil, batasan spasial adalah Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat dan batasan temporalnya pada tahun 2010-2018.
Batasan waktu ini masih masuk dalam masa kepemimpinan Sri Sultan
Hamengku Buwono X. Periodisasi dalam penelitian ini menggunakan waktu
antara tahun 2010-2018. Tahun 2010 diambil sebagai awal penelitian karena
7 Lihat lampiran 1, hal. 116.
8Tepas Tanda Yekti, Tugas dan Fungsi Abdi Dalem, (http://kratonjogja.id/abdi-
dalem/3/tugas-dan-fungsi-abdi-dalem. diakses 23 Juni 2017).
5
pendidikan abdi dalem pertama kali diadakan pada saat bersamaan dengan
pisowanan.9 Pisowanan ini dilaksanakan pada tanggal 15 Oktober 2010.
Pendidikan pawiyatan perdana dilaksanakan di Bangsal Kasatriyan
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat pada hari Kamis, 30 Oktober 2010.10
Pendidikan ini ditujukan oleh para abdi dalem untuk menambah wawasan dan
pengetahuan. Selanjutnya, tahun 2018 digunakan sebagai batas akhir penelitian
karena tahun 2018 merupakan batas akhir penulis dalam mengambil data
penelitian dan observasi mengenai Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem. Selain itu,
pada tahun 2018 telah banyak arsip-arsip yang telah dikumpulkan berkaitan
dengan pelaksanan pembelajaran.
Sri Sultan Hamengku Buwono X ingin menghidupkan kembali model
pendidikan tahun 1757. Model pendidikan tahun 1757 semasa Sri Sultan
Hamengku Buwono I kini diterapkan kembali semasa Sri Sultan Hamengku
Buwono X. Penerapan model pendidikan ini membuat penulis tertarik dalam
melakukan penelitian ini. Model pendidikan yang bersifat holistik terkait dengan
bahasa yang digunakan sampai dengan materi yang diajarkan mempunyai
keberlanjutan. Penulis juga ingin mengkaji lebih dalam terkait dengan penggunaan
bahasa jawa khusus yang digunakan oleh para abdi dalem, dan ingin
9 Pisowanan berasal dari kata “sowan” yang artinya ketemu atau bersatunya rakyat
dan sultan atau raja dengan Tuhan, Tuhan dengan umat-Nya. Lihat: Agung Mustifaris
Nugroho, dkk, “Makna Pisowanan Agung di Yogyakarta Tahun 1998-2008”, AVATARA, volume 6 No. 4, tahun 2018, hal. 2.
10 Arif Wibowo, Sekolah Abdi Dalem, Tersedia pada (https://store.tempo.co.id.
Diakses 16 Oktober 2018).
6
melestarikan budaya Jawa yang berkembang sampai saat ini (nguri-uri budaya
Jawa).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan diatas, dapat
dirumuskan beberapa masalah yaitu:
1. Bagaimana konsep pendidikan asli yang diselenggarakan oleh Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I-IX?
2. Bagaimana sistem pendidikan Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat 2010-2018?
3. Bagaimana implementasi Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat 2010-2018?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian kali ini memiliki dua tujuan yang terdiri dari tujuan umum dan
tujuan khusus. Pemaparan lebih lanjut masalah yang tertulis sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
a. Mengembangkan kemampuan berfikir yang kritis, logis, dan analitis
dalam mengkaji suatu peristiwa.
b. Menerapkan metodologi dalam penelitian sejarah untuk mengkaji suatu
peristiwa yang telah dipelajari selama proses perkuliahan.
c. Memperoleh pengetahuan tentang adanya Sekolah Pawiyatan Abdi
Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
7
2. Tujuan Khusus
a. Memberikan gambaran tentang konsep pendidikan asli yang
diselenggarakan oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dari masa Sri
Sultan Hamengku Buwono I-IX.
b. Mengetahui sistem pendidikan Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat.
c. Mengetahui implementasi di Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
a. Melalui tugas akhir dapat memberikan pengalaman bagi penulis
mengenai sejarah pendidikan yang berbasis budaya di Yogyakarta.
b. Memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan
mengenai sejarah lokal di Yogyakarta.
c. Dapat mengaplikasikan penelitian sejarah menggunakan pendekatan
ilmu sosial melalui tugas akhir.
2. Bagi Pembaca
a. Setelah membaca skripsi ini diharapkan dapat mengetahui sejarah
tentang pendidikan di Yogyakarta, khususnya pendidikan bagi abdi
dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
b. Memahami tentang pentingnya pengetahuan terhadap sejarah adanya
Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton Ngayogykarta Hadiningrat.
8
c. Pembaca diharapkan dapat memberikan penilaian secara kritis dan
analisis tentang tulisan yang sudah disusun penulis.
E. Kajian Pustaka
Penulisan sejarah merupakan bentuk dan proses pengkisahan atas
peristiwa-peristiwa manusia yang telah menjadi peristiwa masa lampau.11
Penulisan sejarah memerlukan kajian pustaka maupun kajian teori untuk
memperkuat makna peristiwa-peristiwa masa lampau dan mendekati suatu
peristiwa yang terjadi sebelumnya dalam berbagai aspek kehidupan. Kajian
Pustaka merupakan telaah terhadap pustaka atau literatur yang menjadi
landasan pemikiran dalam penelitian.12
Penelitian sejarah mengacu pada sumber-sumber sejarah yang ada baik itu
sumber primer maupun sumber sekunder. Namun untuk mendapatkan satu
pemahaman awal untuk bekerja dengan sumber-sumber sejarah ada baiknya
memperhatikan kajian pustaka. Kepustakaan terdiri dari buku-buku yang sebagian
besar merupakan acuan yaitu karya tulis yang digunakan untuk mencari hal-hal
yang perlu diketahui dan dicatat. 13
Buku-buku yang digunakan harus relevan
dengan permasalahan yang dikaji penulis mengenai “Sekolah Pawiyatan
11 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm.19.
12 Ririn Darini, Pedoman Penulisan Penelitian Sejarah, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2009), hlm. 2.
13 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, (Jakarta: Depdikbud, 1996), hlm. 21.
9
Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (2010-2018) ini
menggunakan beberapa buku yang dijadikan kajian pustaka.
Pendidikan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat terdiri dari berbagai
macam yang akan dibahas menggunakan beberapa buku. Penulis menggunakan
buku yang berjudul Meneguhkan Identitas Budaya Sejarah Pendidikan di
Yogyakarta yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Isi buku ini memaparkan tentang awal mula pendidikan di karaton
dan macam-macam sekolah, khususnya sekolah karaton. Buku pendukung lainnya
menggunakan buku yang berjudul Kota Jogjakarta 200 tahun 7 Oktober 1756-7
Oktober 1956 yang diterbitkan oleh Panitya Peringatan Kota Yogyakarta Ke 200
Tahun. Buku ini mengulas sejarah pendidikan di Yogyakarta, sekolah-sekolah di
Yogyakarta yang menjadi cikal bakal adanya sekolah pawiyatan.
Pembahasan mengenai pendidikan yang dikelola oleh masyarakat
Yogyakarta menggunakan beberapa buku. Buku pertama adalah buku
Dinamika Kampung Kota Prawirotaman Dalam Perspektif Sejarah dan
Budaya yang diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Daerah
Istimewa Yogyakarta. Pada buku ini dibahas mengenai asal usul kampung
terkait dengan para abdi dalem. Buku ini memaparkan tentang adanya nama
kampung abdi dalem berdasarkan keahlian dan profesi abdi dalem. Pendidikan
yang dikelola oleh masyarakat ini menjadi bahasan tambahan bahwa sebelum
adanya sekolah terdapat keahlian-keahlian abdi dalem yang dimliki.
Buku lain yang digunakan sebagai pendukung untuk menjelaskan
pendidikan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah terletak pada saluran
10
masuknya ke Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Buku yang menjadi
referensi adalah buku yang berjudul Budaya dan Masyarakat. Buku ini
diterbitkan oleh PT Tiara Wacana Yogya. Buku ini membahas mengenai
beberapa macam pendidikan humaniora yang masuk ke karaton untuk para
keluarga istana sendiri, namun dalam perkembangannya juga dapat diberikan
untuk para abdi dalem. Buku ini juga menjelaskan mengenai pengaruh
pendidikan humaniora bagi para abdi dalem dan masyarakat umum.
Buku selanjutnya adalah Menjadi Jogja Memahami Jati Diri dan
Transformasi Yogyakarta yang diterbitkan oleh Panitia HUT ke-250 Kota
Yogyakarta Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta bekerjasama dengan Pusat
Studi Kebudayaan UGM. Buku ini menjelaskan gambaran awal pendidikan
dan sebelum adanya pengaruh Belanda dalam sistem pendidikan yang
dijalankan. Buku ini juga menjelaskan bagaimana keadaan pemerintah kolonial
Belanda hidup di zaman konservatif. Buku-buku ini juga peneliti gunakan
untuk rumusan masalah pertama.
Buku lain yang digunakan adalah buku yang berjudul Monarki Yogya
Inkonstitusional yang diterbitkan oleh Araska. Buku ini mengulas tentang
kapan pembentukan Sekolah Abdi Dalem, pembelajaran-pembelajaran yang
dapat dipelajari di Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem, dan manfaat adanya
Pawiyatan Abdi Dalem tersebut. Kekurangan buku ini diantaranya tidak
membahas proses pembelajarannya secara detail dan hanya memaparkan
tentang penjelasan Sekolah Abdi Dalem secara singkat, oleh sebab itu penulis
masih membutuhkan sumber pendukung lain.
11
Buku pendukung lain yang digunakan adalah Layang Aksara Jawa Jilid I,
II, dan III yang diterbitkan oleh PT. Pradnya Paramita Jakarta. Buku ini
mengulas tentang materi yang diajarkan di Sekolah Pawiyatan khusus
mempelajari aksara jawa, di dalamnya terdapat bacaan huruf aksara Jawa yang
disusun secara sistematis berdasarkan tingkat kesulitannya. Buku Selanjutnya
adalah Pedoman Penulisan Aksara Jawa yang diterbitkan oleh Yayasan
Pustaka Nusatama. Buku ini mengulas tentang tata cara penggunaan tanda baca
aksara Jawa dan bagaimana cara pengucapannya.
Buku lain yang digunakan adalah buku yang berjudul Bahasa Bagongan
yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Buku ini mengulas tentang bahasa yang digunakan sehari-hari
oleh para abdi dalem termasuk bentuk bahasa, pemakaian, pemerolehan
bahasa, dan perkembangan bahasa Bagongan. Buku ini menjadi referensi
utama dikarenakan bahasa Bagongan ini dpelajari oleh para abdi dalem di
dalam Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Referensi mengenai implementasi di Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem akan
dibahas menggunakan buku berjudul Materi Pawiyatan yang diterbitkan oleh
Tepas Banjarwilapa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Buku ini mengulas
tentang awal mula adanya Sekolah Pawiyatan Abdi dalem, materi-materi yang
diajarkan terkait dengan jiwa kepemimpinan, perkembangan sekolah di Karaton,
sejarah Karaton Ngayogyakarta Hadininingrat, kebijakan pendidikan selama Sri
Sultan Hamengkubono VIII, manfaat sekolah pawiyatan. Buku ini menjadi
12
acuan untuk mengetahui penjelasan bagaimana model pendidikan semasa Sri
Sultan Hamengku Buwono I. Buku ini juga digunakn dalam menjawab
rumusan masalah kedua.
Buku pendukung lain yang digunakan adalah buku Sejarah Daerah
Daerah Istimewa Yogyakarta. Buku ini diterbitkan oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Buku ini membahas mengenai perkembangan
gaji yang diterima oleh para abdi dalem semenjak Sri Sultan Hamengku
Buwono I- VII beserta lembaga pemerintahan yang mengatur urusan karaton.
Kekurangan pada buku ini adalah belum menjelaskan secara detail gaji para
abdi dalem yang diperoleh semasa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan IX.
F. Historiografi yang Relevan
Historiografi merupakan hasil kerja penelitian sejarah yang telah
dituliskan dan bisa dilihat dan dinikmati oleh pembaca yang berminat baik dari
kalangan sejarawan maupun siapa saja yang berminat. Sebelum melakukan
penelitian sejarah yang terpenting adalah melihat dan menyelidiki apakah tema
yang ditulis sudah pernah dikerjakan orag lain untuk menghindari plagiasi.
Selain itu, karya sejarah yang ditulis diharapkan memiliki sisi yang dapat
dipertanggungjawabkan hasil penulisannya.
Historiografi yang relevan merupakan kajian-kajian historis mendahului
penelitian yang akan ditulis. 14
Penelitian sejarah akan lebih jelas dan bermakna
14 Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), hlm. 99.
13
untuk diteliti apabila mengungkapkan historiografi yang relevan dalam tahapan
penelitiannya. Penelitian sejarah tentunya memiliki historiografi yang relevan
untuk menjadikan acuan dalam penulisannya. Historiografi yang relevan itu
menjelaskan mengenai kajian-kajian historis dengan tema atau topik yang sama,
yang pernah dilakukan sebelumnya baik yang membedakan maupun kesamaan
antara penelitian yang dilakukan dengan penelitian yang mendahului. 15
Penulisan menemukan historiografi yang relevan yaitu penelitian yang
membahas mengenai Peran Abdi Dalem Keraton Yogyakarta Pada Tradisi
Sekaten Tahun 1940-1989 ini ditulis oleh Bryan Tirta Nagara mahasiswa dari
Universitas Airlangga. Penelitian tersebut membahas tentang bagaimana peran
abdi dalem dalam menjalankan tradisi sekaten dan erat dengan tradisi leluhur
untuk mensyiarkan agama Islam. Persamaan penulis dengan Bryan Tirta
Nagara adalah sama-sama membahas abdi dalem sebagai subyek penelitian,
sedangkan perbedaannya Bryan Tirta Nagara menulis tradisi sekaten dari masa
ke masa yang diikuti oleh abdi dalem.
Skripsi Bryan Tirta Nagara mempunyai perbedaan dengan penulis. Ia lebih
memfokuskan pada tradisi sekaten yang dihubungkan oleh peran abdi dalem.
sedangkan penulis akan lebih memfokuskan penelitian ini kepada pendidikan
untuk abdi dalem berupa Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem yang didalamnya
terdapat materi pawiyatan yang membahas tradisi-tradisi dan upacara-upacara adat
di Karaton Ngayogakarta Hadiningrat. Selain itu, penulis juga menjelaskan
15 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Skripsi Program Studi Pendidikan
Sejarah FIS UNY, Jenis Penelitian Historis, Kualitatif, Kuantitatif, dan PTK, (Yogyakarta: Prodi Pendidikan Sejarah, 2013), hlm. 3.
14
bahwa para abdi dalem juga mempunyai keahlian-keahlian yang dimiliki untuk
menjalankan peran tersebut.
Historiografi relevan yang kedua merupakan skripsi karya Benedecta
Herlin Yose Hana, mahasiswa Universitas Gadjah Mada dengan judul skripsi
Dari Tradisional ke Modern: Sejarah Pendidikan Di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Skripsi ini menjelaskan pendidikan semasa Sri Sultan Hamengku
Buwono VII. Masa ini sudah mulai menerapkan pendidikan modern dengan
didirikannya Sekolah Sri Manganti yang diperuntukkan bagi keluarga dan abdi
dalem. Selain itu, skripsi ini juga menjelaskan singkat mengenai
perkembangan sekolah semasa Sri Sultan Hamengku Buwono VII (sistem
pendidikan karaton dan pengaruhnya pendidikan modern di lingkungan istana.
Skripsi Benedecta Herlin Yose Hana ini juga dapat dikatakan relevan
karena topik yang diangkat sama-sama mengenai sekolah para abdi dalem.
Meskipun demikian, masih terdapat perbedaan karena skripsi Benedecta Herlin
Yose Hana fokus penelitiannya adalah lebih membahas mengenai perubahan
pendidikan dari tradisional ke modern semasa Sri Sultan Hamengku Buwono
VII dan adanya keterbukaan keraton terhadap pendidikan Perbedaannya adalah
pada masa kepemimpinan sultan. Penulis menggunakan semasa pemerintahan
Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Perbedaan skripsi Benedecta Herlin Yose Hana dan penulis juga terletak pada
pembahasannya. Skripsi Benedecta hanya menjelaskan secara singkat sebuah
sekolah rintisan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu Sekolah Tamanan,
sedangkan para penulis akan membahas sekolah-sekolah asli Karaton
15
Ngayogyakarta Hadiningrat yang lainnya untuk para abdi dalem dan dijelaskan
bahwa adanya kelanjutan model pendidikan dari Sekolah Tamanan di masa
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X.
G. Metode dan Pendekatan Penelitian
1. Metode penelitian
Metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis
untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara
kritis dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil dalam bentuk tulisan.16
Metode
sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman-rekaman
dan peninggalan masa lampau. 17
Metode penelitian sejarah memliki landasan
utama yaitu bagaimana menangani buki-bukti sejarah, serta bagaimana
menghubungkannya. 18
Metode penelitian sejarah yang digunakan adalah
metode penelitian sejarah Kuntowijoyo. Berikut tahapan-tahapannya adalah
sebagai berikut.
16 Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), hlm. 43-44.
17 Louis Gottschalk, Understanding History: A Primer of Historical Method, a.b.
Nugroho Notosusanto, “Mengerti Sejarah”, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 35.
18 Fatchor Rahman, Menimbang Sejarah sebagai Landasan Kajian Ilmiah; Sebuah Wacana Pemikiran dalam Metode Ilmiah, (El Banat, Volume 7 Nomor 1 Januari-Juni 2017), hlm. 139.
16
a. Pemilihan topik
Pemilihan topik menurut Kuntowijoyo sebaiknya berdasarkan
kedekatan emosional atau kedekatan intelektual.19
. Kedekatan emosional
penting mengingat seseorang yang menulis sejarah akan bekerja lebih
sungguh jika menulis tentang topik yang disenanginya. 20
Kedekatan
emosional penulis terhadap tema penelitian ini karena berdasarkan tempat
tinggal penulis yang berada di sekitar lingkungan karaton dan mempunyai
keluarga yang berlatarkan profesi sebagai abdi dalem semasa Sri Sultan
Hamengku Buwono VIII. Hal ini memicu keinginan penulis untuk
meneliti pendidikan yang dilaksanakan di karaton saat ini. Selain itu,
penulis juga ingin menambah referensi terkait pendidikan khusus yang
dilaksanakan di dalam karaton.
Pemilihan topik juga didasarkan pada kedekatan intelektual.
Kedekatan intelektual dilakukan dengan cara mencari informasi yang
berhubungan dengan topik yang akan dikaji. Kedekatan intelektual
mendorong penulis untuk mencari berbagai sumber dari berbagai referensi
sepeti media cetak, media elektronik dan referensi lainnya. Di samping itu,
penulis juga merupakan mahasiswa pendidikan sejarah dan telah menempuh
mata kuliah Sejarah Pendidikan. Kedekatan intelektual maupun emosional
harus dimiliki oleh seorang peneliti sejarah dalam melakukan penelitian.
19 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 2005), hlm. 91.
20 Ibid., hlm. 92.
17
Pemilihan topik ini akan mempermudah penulis dalam perumusan
masalah yang akan dikaji oleh penulis. Alasan khusus mengambil tema
penelitian “Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat 2010-2018” karena ketertarikan pribadi dengan sejarah lokal
mengenai sekolah khusus yang bersifat non formal yang dilaksanakan di
dalam Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, menjunjung tinggi nilai
kebudayaan khususnya dalam berbahasa Jawa, berpakaian adat Jawa, dan
tata krama. Alasan ilmiah pemilihan topik ini adalah masih sedikitnya
penelitian tentang sejarah pendidikan di Yogyakarta khususnya di dalam
karaton.
b. Heuristik
Heuristik merupakan langkah awal dalam melakukan penelitian
sejarah, yaitu suatu kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan
data data, atau materi sejarah atau evidensi sejarah.21
Sumber atau sumber
sejarah adalah sejumlah materi sejarah yang tersebar dan teridentifikasi. 22
Materi-materi tersebut dapat tersebar dan teridentifikasi melalui berbagi
macam sumber. Tahapan ini banyak menyita waktu, tenaga, pikiran, biaya,
bahkan perasaan.23
21 Saefur Rochmat, Ilmu Sejarah Dalam Perspektif Ilmu Sosial, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2009), hlm. 153.
22 Suhartono, Teori Dan Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm.
29.
23 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm.86.
18
Sumber sejarah adalah segala sesuatu yang langsung ataupun tidak
langsung menceritakan tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia
pada masa lalu. 24
Sumber menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua
yaitu tertulis dan tidak tertulis, atau dokumen dan artefak. Selain itu,
sumber yang digunakan bisa berupa sumber primer dan sekunder yang
dapat dijadikan bahan penyusunan penelitian ini. Sumber-sumber tersebut
nantinya akan diangkum secara sistematis agar dapat menjabarkan isi dari
penulisan skripsi ini.
Pencarian sumber dilakukan di berbagai tempat seperti
Perpustakaan KHP Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat,
Tepas Banjar Wilapa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Tepas Tanda
Yekti Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Tepas Parentah Hageng
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Jogja Library Center, Perpustakaan
Pusat UNY, Perpustakaan dan Laboratorium Pendidikan Sejarah UNY,
Perpustakaan FIS UNY, Grahatama Pustaka, Pepustakaan FIB UGM,
Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Kota Yogyakarta, dan
Perpustakaan Kolsani.
Sumber-sumber yang dapat digunakan untuk merekonstruksi
sejarah menurut penyampaiannya dibagi menjadi: (1) sumber primer dan
(2) sumber sekunder. 25
Sumber sejarah dikatakan sebagai sumber primer
24 Ibid., hlm. 95.
25 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), hlm. 69.
19
apabila disampaikan oleh saksi mata. 26
Sumber sejarah primer tidak
hanya berwujud manusia tetapi juga berupa benda peninggalan sejarah
yang ada pada saat peristiwa sejarah terjadi. Sumber primer yang penulis
gunakan dalam penelitian ini yaitu berupa arsip dan wawancara. Adapun
sumber primer yang ditemukan dan digunakan adalah sebagai berikut:
Arsip-arsip foto Tepas Tanda Yekti Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Arsip Pamucalan Aksara Jawi tahun 2010-2018.
Serat Kekancingan tahun 2018 KHP Widya Budaya.
Pratelan Wentene Pasarta Pamucalan Aksara Jawi tahun 2018 KHP Widya Budaya.
Wawancara dengan K.R.T Jatiningrat selaku panitia penyelenggara pawiyatan dan penghageng (pimpinan Tepas Dwarapura) Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
K.R.T Rintaiswara selaku pengajar Pawiyatan Aksara Jawa.
M.P Yudomanggolo selaku murid Pawiyatan Abdi Dalem.
M.B Yudoharnowo selaku murid Pawiyatan Aksara Jawa.
Sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian berupa buku-
buku tentang awal mula adanya sekolah pawiyatan, sejarah pendidikan di
Yogyakarta dan perkembangannya, tambahan jurnal maupun makalah-
makalah dari hasil penelitian sejarah, buku-buku pendekatan sosiologi
26
Sebagai sumber sejarah, saksi mata meliputi pelaku/orang yang terlibat dalam
sebuah peristiwa, orang yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa namun melihat dengan mata kepala sendiri, dokumen-dokumen (arsip, catatan perjalanan, risalah sidang, daftar hadir peserta, daftar anggota organisasi, surat keputusan, dan sebagainya) atau peninggalan lain yang dibuat pada waktu yang sama dengan terjadinya peristiwa. Lihat: Abd Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Ombak 2008), hlm. 44.
20
maupun budaya. Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam penulisan
ini antara lain:
Anonim, dkk. (1956). Kota Jogyakarta 200 tahun (7 Oktober 1756 – 7 Oktober 1956). Yogyakarta: Panitia Peringatan Kota Yogyakarta.
Anonim. (2011). Monarki Yogya Inkonstitusional. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Erwin Edhi Prasetya dan Hariadi Saptono. (2011). Monarki Yogya Inkonstitusional. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Anonim. (2006). Menjadi Jogja Memahami Jati Diri dan Transformasi Yogyakarta. Yogyakarta: Panitia HUT ke-250 Kota Yogyakarta Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta bekerjasama dengan Pusat
Studi Kebudayaan UGM.
Dwi Ratna Nurhajarini, dkk. (2017). Meneguhkan Identitas Budaya Sejarah Pendidikan di Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jatiningrat. (2014). Pawiyatan. Yogyakarta: Tepas Banjarwilapa.
Riyadi Goenawan dan Darto Harnoko. (2012). Mobilitas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta Periode Awal Abad Ke-20: Suatu kajian Sejarah Sosial. Yogyakarta: Ombak.
Sumintarsih dan Ambar Adrianto, Dinamika Kampung Kota Prawirotaman Dalam Perspektif Sejarah dan Budaya. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Daerah Istimewa Yogyakarta.
c. Kritik Sumber (Verifikasi)
Kritik sumber yaitu kegiatan meneliti apakah jejak-jejak itu sejati,
baik bentuk maupun isinya, sehingga benar-benar merupakan fakta yang
dapat dipertanggung jawabkan. Kritik sumber dilakukan dengan dua cara
yakni kritik eksternal dan kritik internal.
21
1) Kritik Eksternal
Kritik eksternal berkaitan dengan uji keotentikan sumber yang
bertujuan untuk mengetahui keaslian sumber. 27
Kegiatan ini dilakukan
dengan menilai keaslian sumber dari tampilan luar/fisik sumber seperti
bahasa, tulisan, kertas, dan sebagainya. Adapun keadaan sumber Arsip
Pamucalan Aksara Jawi memiliki bentuk dan ukuran kertas yang
bermacam-macam jenis ukurannya sehingga belum disamakan jenis kertas
maupun ukurannya agar mempermudah pembaca maupun peneliti. Selain
itu, dalam mengatur arsip dokumen atau surat masih belum teratur sesuai
dengan abjad dan jenis dokumen hanya saja sebagian sudah urut
berdasarkan tahunnya. Arsip dan dokumen memakai bahasa jawa krama
dan sebagian menggunakan bahasa bagongan.
2) Kritik Internal
Kritik intern merupakan kebalikan dari kritik eksternal, kritik
internal sebagaimana yang disarankan oleh istilahnya menekankan aspek
“dalam” yaitu isi dari sumber: kesaksian.28
Kritik sumber ini menjadi
tolok ukur penulisan penelitian “Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton
Ngayogyakarta Hadiningat 2010-2018”. Kritik internal digunakan untuk
menguji kebenaran informasi yang ada dalam surat dokumen. Kebenaran
27 Ibid., hlm. 77.
28 Ibid., hlm.143.
22
dari informasi dapat dilihat dari latar belakang penulis sumber, persepsi
tehadap suatu peristiwa, adat, kebudayaan, agama dan lain sebagainya. d.
Interpretasi
Interpretasi adalah hal menetapkan makna yang saling
berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh setelah diterapkan kritik
ekstern maupun kritik intern dari data-data yang didapatkan sehingga
memberikan kesatuan berupa bentuk peristiwa lampau. Fakta-fakta sejarah
yang diperoleh tadi kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan
bantuan ilmu-ilmu sosial atau ilmu bantu lainnya sehingga dapat diketahui
hakikat dibalik kejadian sejarah atau fakta sejarah. 29
Tahap ini dipengaruhi oleh subjektivitas dan sudut pandang
sejarawan. Peneliti melakukan penafsiran secara analisis dan sintesis.
Analisis merupakan cara peneliti dalam menguraikan sumber yang telah
melalui tahapan verifikasi. Penelitian ini menggunakan analisis kebijakan
pendidikan. Analisis kebijakan pendidikan sangat diperlukan dalam
penulisan skripsi ini. Sedangkan sintesis merupakan penyatuan data
sehingga dapat memberikan satu kesimpulan dari isi secara keseluruhan. e.
Historiografi
Penulisan atau Historiografi yaitu menyampaikan sintesis yang
diperoleh dalam bentuk tulisan atau dengan kata lain penyampaian laporan
hasil penelitian sejarah setelah melalui tahapan-tahapan di atas dalam
29 Sri Suryantini, Metodologi Sejarah, (http://skp.unair.ac.id/repository/Guru-Indonesia/. diakses 28 Februari 2019).
23
bentuk karya sejarah (historiografi). Kegiatan menghimpun jejak-jejak
masa lampau dapat dilakukan dengan heuristik literatur, yang tidak
berbeda hakikatnya dengan kegiatan mencari sumber sejauh menyangkut
buku-buku cetak. Selanjutnya sumber yang telah diperoleh itu dikritik baik
secara ekstern maupun intern.
Penulisan sejarah juga harus mengedepakan prinsp kronologis dengan
menggunakan perodisasi. Penyajian penelitian dalam bentuk tulisan
mempunyai tiga bagian: (1) Pengantar, (2) Hasil Penelitian, (3) Simpulan.30
Bagian-bagian tersebut dirangkum secara keseluruhan terdiri dari 5 bab. Bab
pertama yakni bab pendahuluan, bab kedua, ketiga, dan keempat pembahasan
hasil penelitian, serta bab terakhir berupa uraian kesimpulan serta sumber-
sumber yang digunakan dalam halaman lampiran.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan adalah cara menjelaskan suatu penelitian dengan
memanfaatkan salah satu aspek sosial. Penulisan proposal penelitian ini
menggunakan pendekatan multidimensional. Pendekatan ini berfungsi
untuk menganalisa peristiwa masa lalu dengan konsep ilmu-ilmu sosial
sebagai yang relevan dengan pokok kajian ini.
a. Politik
Setiap ahli ilmu politik mengemukakan pendapat yang berbeda
mengenai definisi ilmu politik dengan sudut pandang yang berbeda-beda.
Menurut Miriam Budiharjo dalam buku “Dasar-dasar Ilmu Politik”, ilmu
30 Ibid., hlm. 80-81.
24
politik yang mengkaji tentang negara, kekuasaan, pengambilan
keputusan, kebijakan, dan pembagian. konsep kekuasaan, pengambilan
keputusan, kebijakan dan pembagian. Konsep kekuasaan dalam ilmu
politik adalah sesuatu yang dibahas, karena konsep ini dianggap
mempunyai sifat yang sangat mendasar dalam ilmu sosial pada
umumnya, dan ilmu politik khususnya. 31
Teori yang digunakan dalam
pendekatan politik ini, yaitu teori non-valutional. Teori ini bersifat
deskriptif (menggambarkan) dan komparatif (membandingkan).32
Pendekatan politik ini sangat penting untuk menganalisis suatu
peristiwa yang dihubungkan dengan kekuasaan, perpolitikan, aktivitas
pemerintahan, serta kebijakan-kebijakan pemerintah atau penguasa
mengenai pendidikan, khususnya pendidikan di karaton. Kebijakan-
kebijakan pemerintah kolonial serta penguasa. Penguasa dalam hal ini
adalah raja yang sangat mempengaruhi fungsi-fungsi lembaga
pendidikan di karaton, salah satunya Sekolah Pawiyatan di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat.
b. Sosial
Pendekatan kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan ilmu-ilmu sosial. Pendekatan ilmu-ilmu sosial sangat
31 A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara Pemikiran Politik Ibnu Khaldun.
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 103.
32
Ratnawati. “Teori Politik dalam Ilmu Politik”, Teori Politik Klasik dan Kontemporer. Tersedia pada http://www.elisa.ugm.ac.id. Diakses pada tanggal 10 Desember 2018.
25
membantu ilmu sejarah memperoleh pemahaman yang lebih utuh
mengenai makna-makna peristiwa sejarah. Dalam penyusunan
penelitian ini, penulis akan memberikan penjelasan (eksplanasi)
kausal terhadap perilaku-perilaku sosial dalam sejarah. Perilaku-
perilaku sosial ini lebih dilekatkan makna subjektif dari seorang
individu (pemimpin atau tokoh).
Pendekatan sosial ini juga nantinya akan dikaitkan mengenai
bagaimana para abdi dalem Karaton Ngayogyakarta dalam
menggunakan bahasa bagongan. Pendekatan sosial menggunakan teori
gagasan Mead tentang adanya proses interaksi sosial, secara simbolis
orang mengomunikasikan makna kepada orang yang terlibat.
33
Interaksi abdi dalem dalam bahasa bagongan serta dapat diamati
ketika kegiatan belajar mengajar di Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem.
c. Budaya
Pendekatan budaya ini digunakan dalam rangka menggugah
kesadaran kita, karena mengandung konsep budaya dan nilai, seperti
pahlawan, rela berkorban, persatuan bangsa, adat istiadat, dan lain-
lain.34
Dalam penulisan penelitian ini akan dituliskan menggunakan
pendekatan budaya terkait dengan bagaimana tata cara bepakaian abdi
33 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: KREASI
WACANA, 2016), hlm. 396.
34 Setiadi Sulaiman “Pendekatan Konsep Dalam Pembelajaran Sejarah”, Jurnal Sejarah Lontar, volume 19 No. 1, Januari-Juni 2012, hal. 12.
26
dalem, tata cara berbahasa, tata cara dalam berperilaku di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pendekatan budaya juga digunakan pada saat kita mengetahui
pendapat abdi dalem mengenai adanya Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem
Karaton Ngayogyakarta Hadiningat tentang manfaat adanya sekolah
tersebut diselenggarakan. Pendekatan budaya didasarkan pada teori
Supriyoko (2000:9) bahwa ada tiga pendekatan sosialisasi budi pekerti,
yaitu (1) pendekatan kultural (cultural approach), (2) pendekatan
manajemen (managerial appoach), dan (3) pendekatan keteladanan
(behavioural model approach). 35
H. Sistematika Pembahasan
Penulisan penelitian yang berjudul “Sekolah Pawiyatan Abdi
Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat 2010-2018” memiliki
sistematika berikut:
BAB I. Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, historiografi yang relevan,
metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II. Konsep Pendidikan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
35 Suwardi Endraswara, Budi Pekerti Jawa Tuntunan Luhur Budaya Adiluhung, (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2006), hlm. 17.
27
Bab ini membahas tentang bagaimana pendidikan di Yogyakarta
semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I-IX dan model pendidikan
semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I yang dilanjutkan kembali oleh
Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan menguraikan sekilas sejarah
mengenai sekolah-sekolah asli Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I-IX, khususnya tenaga pengajar
dan muridnya adalah para abdi dalem.
BAB III. Sistem Pendidikan Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaon
Ngayogyakarta Hadiningrat
Bab ini mengenai sistem pendidikan yang diterapkan di Pawiyatan
Abdi Dalem. Gambaran tersebut meliputi kurikulum, murid, guru, fasilitas,
materi pembelajaran, dan kegiatan belajar mengajar Pawiyatan Abdi Dalem
Karaton Ngayogyakarta Hadiningat, dan sebagainya.
BAB IV. Implementasi Pendidikan Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem
2010-2018
Bab ini mendeskripsikan rumusan masalah ketiga mengenai
bagaimana pelaksanaan penerapan sekolah tersebut. Implementasi
sebagian besar menerapkan model pendidikan Sri Sutan Hamengku
Buwono I dan penjelasan mengenai diselenggarakannya pendidikan abdi
dalem secara keseluruhan.
BAB V. Kesimpulan
Bab terakhir ini berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban
dari rumusan masalah atau isi pokok dari keseluruhan pembahasan.
BAB II
KONSEP PENDIDIKAN DI KARATON NGAYOGYAKARTA
HADININGRAT
Pendidikan di Indonesia melalui tiga fase, yaitu fase pendidikan masa
tradisional, fase pendidikan kolonial termasuk pendudukan Jepang, dan fase
kemerdekaaan (Menurut pendapat dari Djoko Suryo).1 Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat dalam perkembangannya mengalami fase-fase pendidikan
tersebut. Pendidikan asli karaton menerapkan pendidikan yang sifatnya
tradisional. Pendidikan ini tidak lepas dari pelajaran berbasis budaya karena
merupakan satu kesatuan dari proses pembelajaran.
Pendidikan memiliki ciri-ciri khas di setiap zamannya. Pendidikan di Karaton
lebih mengajarkan tentang ketuhanan, keindahan, pertanian, akhlak, moral, dan
tata pemerintahan kerajaan.2 Ajaran-ajaran tersebut bersifat universal untuk
menjadikan kehidupan manusia yang langgeng, harmonis, dan serasi sesuai
tatanan kehidupan alam semesta. Kebijakan-kebijakan pendidikan di
1 Benedecta Herlin Yose Hana, Skripsi Dari Tradisional ke Modern: Sejarah
Pendidikan Di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta: UGM, 2018), hlm. 16.
2Muhammad Rifa’i, Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga
Modern, (Yogyakarta: AR-RUZZ Media, 2011), hlm. 8.
28
29
Karaton telah diatur oleh kerajaan. Nilai-nilai moral dan spiritual di dalam
pendidikan memberikan kesan sebagai faktor pendukung pendidikan di Karaton.
Pendidikan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki dua macam,
yaitu pendidikan yang dikelola karaton dan pendidikan yang dikelola oleh
masyarakat di Yogyakarta. Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat mengelola
pendidikan melalui cara formal dan non formal. Pendidikan formal didirikan
oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sendiri dengan mendirikan sekolah-
sekolah, sedangkan pendidikan non formal melalui penulisan karya sastra yang
berisi nilai-nilai kehidupan dan keahlian-keahlian yang dimiliki oleh
masyarakat Yogyakarta sendiri melalui komunitas-komunitas yang dibentuk.
A. Pendidikan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dari masa Sri
Sultan Hamengku Buwono I-IX
1. Pendidikan Dikelola Karaton dan Sistem Pengelolaannya
Kerajaan Mataram pecah menjadi dua yaitu Surakarta dan
Yogyakarta pada tahun 1755. Kekuasaan di Yogyakarta juga terbagi
menjadi dua, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta dan Paku Alam. 3 Oleh
karena itu, kekuasaan di kerajaan sangat terbatas. Pengajaran dan
pendidikan diurus oleh masyarakat sendiri, tidak dengan pemerintah raja-
raja. Pemerintah kerajaan tidak berkuasa lagi untuk memajukan
pendidikan dikarenakan pemerintah Belanda mengalang-halangi akan
kemajuan pendidikan yang berkembang di wilayah Yogyakarta.
3 Leo Agung dan Suparman, Sejarah Pendidikan, (Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm.
19.
30
Sejarah pendidikan memiliki perjalanan dari masa ke masa.
Pendidikan di Yogyakarta pada dasarnya bermula dari Karaton
Ngayogyakarta itu berdiri. Karaton mendirikan sekolah-sekolah asli sejak
pemerintah kolonial masih hidup di zaman konservatif tahun 1800-1870,
jauh sebelum Belanda melakukan gerakan Politik Etis tahun 1900-1942
dan Politik Liberal tahun 1870-1900.4 Pendidikan di Karaton memiliki
sistem pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan dan menyiapkan
diri dalam hidup bermasyarakat.
Sultan berpendapat bahwa untuk menghadapi Belanda harus
memakai cara-cara yang modern dan sistematis, yaitu dengan melalui jalur
pendidikan. 5 Perlawanan terhadap para penjajah sudah tidak dilakukan
lewat perlawanan fisik karena akan memakan banyak korban, tentunya
akan sia-sia. Agar dapat membebaskan rakyat dari penjajahan maka harus
setara dengan bangsa penjajah. Salah satunya agar memperoleh kesetaraan
yaitu dengan jalan pendidikan dan mempelajari kebudayaan mereka.
Pendidikan akan lebih bermanfaat sehingga memperluas pengetahuan dan
wawasan baik untuk diri sendiri maupun untuk tanah air.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memberlakukan sistem
pendidikan di karaton yang diurus oleh instansi agama (Kawedanan
4 Anonim, Menjadi Jogja Memahami Jati Diri dan Transformasi Yogyakarta,
(Yogyakarta: Panitia HUT ke-250 Kota Yogyakarta Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta
bekerjasama dengan Pusat Studi Kebudayaan UGM, 2006), hlm. 241.
5 Purwadi, Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik, (Medan: Pujakesuma,
2007), hlm. 540.
31
Pengulon), lembaga Budaya dan sastra (Tepas Kapujangaan)6 serta
anggota keluarga kerajaan. Sistem pendidikan di karaton memiliki tujuan
mengembangkan dan menyiapkan diri dalam kehidupan bermasyarakat
terkait dengan kebutuhan masyarakat. Pendidikan pada awalnya belum
mengenal sekolah pada masa sekarang. Pendidikan tidak hanya dalam
artian bersekolah, tetapi dapat dilakukan melalui penulisan karya sastra
(babad, piwulang, suluk, angger-angger)7.
Sri Sultan Hamengku Buwono I memerintahkan untuk mempelajari
bahasa dan kasusasteraan yang umumnya disebut dengan pujangga. 8
Kerajaan Mataram pada waktu itu, tidak sedikit orang-orang yang dapat
membaca dan menulis dengan huruf Jawa, sehingga mereka berusaha
6 Abdi Dalem Reh Kapujanggan yaitu abdi dalem yang bertugas mengampu
pelajaran bahasa dan kasusasteraan Jawa Baru dan Kawi serta sejarah karaton-karaton di
tanah Jawa yang diketuai oleh seorang Tumenggung. Sedangkan abdi dalem Reh
Kawedanan Pangulon yaitu abdi dalem yang bertugas dalam bidang mengaji atau agama
meliputi pelajaran tentang kitab Turutan, Al-Qur’an dan tafsirnya, hukum agama Islam,
tradisi sejumlah pacara kerajaan mulai kerajaan Mataram hingga Kerajaan Ngayogyakarta
(adat naluri tuwin tata adating keraton), yang berhubungan dengan agama, parail,
perkawinan, dan talak. Lihat: Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Meneguhkan Identitas Budaya
Sejarah Pendidikan di Yogyakarta (Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa
Yogyakarta, 2017), hlm. 13-14.
7 Angger-angger (undang-undang atau sering pula diartikan dengan hukum. Lihat: Endah Susilantini, dkk, Serat Angger Pradata Awal dan Pradata Akhir di Kraton Yogyakarta (Kajian Filosofis Historis), (Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta, 2014), hlm. 4.
8 Pujangga adalah seorang penulis di karaton, pujangga termasuk golongan intelektual, pujangga merupakan salah satu pengajar terpenting bagi keluarga Sultan, terutama untuk putra mahkota. Mereka mengajarkan berbagai pelajaran moral dan spiritual yang terkandung dalam filosofis karya sastra dan religius Karaton. Lihat: Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Meneguhkan Identitas Budaya Sejarah Pendidikan di Yogyakarta, (Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2017), hlm. 7.
32
sendiri. Para raja mengenal kasusasteraan dan bahasa Jawa, beberapa raja
ada yang mengarang buku yang berisi pendidikan pula. Sebagai contoh:
Sultan Agung pengarang Niti Sastra, Paku Buwana ke IV pengarang
Wulang Reh, dan Mangkunegara ke IV pengarang Wedatama. 9
Raja-raja mengenal kesusasteraan dan bahasa Jawa dalam rangka
menjadikannya sebagai buku pelajaran. Buku-buku atau serat dapat pula
dijadikan buku pelajaran pada abad ke-18. Di dalam buku tersebut terdapat
pandangan-pandangan dari pengarang tentang kehidupan, kehidupan
masyarakat, kehidupan seorang kehidupan negara, lembaga, dan
kehidupan ketuhanan. 10
Buku-buku karangan dari raja tersebut
merupakan sebuah langkah dalam memajukan pendidikan lewat dengan
cara memberikan nilai-nilai kehidupan.
Nilai-nilai kehidupan juga dapat dijadikan sebagai pelajaran.
Pelajaran mengenai kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita wayang.
Pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga dapat disampaikan melalui
9 Serat Wulang Reh berisi tentang hukum kesusilaan. Pandangan pada buku itu
ditujukan kepada keluarga raja dan kepada pegawai kerajaan, serta kepada masyarakat pada umumnya. Dalam serat Wulang Reh karya Paku Buwono IV mementingkan sekali soal kesusilaan, yaitu hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhan. Disamping itu, memberi pelajaran tentang watak yang berdasarkan tingkah laku perbuatan dan gerak-gerik manusia. Sedangkan Serat Wedatama berisi petunjuk-petunjuk bagi para pemuda yang harus menyiapkan diri utuk menjadi anggota masyarakat dan manusia sebagai makhluk ber-Tuhan. Lihat: Ahmadi, Pendidikan dari Masa ke Masa, (Bandung: CV. ARMICO, 1987), hlm. 19.
10 Sutedjo Bradjanagara, Sejarah Pendidikan, (Yogyakarta: Kongres Pendidikan Indonesia, 1956) hlm. 27.
33
tembang atau sastra lainnya.11
Berbagai pelajaran tersebut dapat
diwariskan dari generasi ke generasi melalui tradisi lisan. Semua pelajaran
erat dikaitkan dengan bahasa yang digunakan dan mulai adanya
perkembangan zaman. Pemberian nilai-nilai kehidupan tersebut pada
dasarnya dalam rangka untuk memajukan pendidikan.
Sri Sultan Hamengku Buwono I ingin mendirikan lembaga
pendidikan yang berlaku di istana. Lembaga pendidikan ini tujuannya
adalah agar orang-orang dapat membaca dan menulis huruf Jawa.
Lembaga pendidikan ini mengajarkan pendidikan yang menyangkut ajaran
budaya (Persatuan Kesatuan yang Golong-Gilig, Falsafah Hamemayu
Hayuning Bawana, dan watak satriya). 12
Lembaga pendidikan semasa Sri
Sultan Hamengku Buwono inilah yang disebut dengan Sekolah Tamanan
yang didirikan pada tahun 1757 Masehi.13
Sekolah Tamanan ini ada
bersamaan dengan berdirinya Karaton Yogyakarta.
Sekolah Tamanan ini sudah memiliki kurikulum pendidikan yang
baik waktu itu. Kurikulum di sekolah ini untuk mewujudkan bangsa yang
berpendidikan, terampil, berjati diri yang tangguh, berkepribadian, dan
11 Sri Wintala Achmad dan Krisna Bayu Adji, Geger Bumi Mataram Sejarah Panjang Perjalanan Kerajaan-Kerajaan Jawa Pasca Mataram Islam, (Yogyakarta:
Araska, 2014) hlm. 133.
12 Hamemayu Hayuning Bawana artinya menjaga perdamaian agar dapat menjaga
seseorang harus dimulai dengan menjaga perdamaian pribadi, keluarga, dan sesamanya. Lihat: Sri
Wintala Achmad, Asal Usul dan Sejarah Orang Jawa, (Yogyakarta: Araska, 2017), hlm. 139.
13 Anonim, Kota Jogjakarta 200 Tahun 7 Oktober 1756-7 Oktober, 1956, (Yogyakarta: Panitya Peringatan Kota Jogjakarta, 1956) hlm. 65.
34
berbudaya tinggi. Sekolah ini dilaksanakan di dalam lingkup karaton.
Sekolah ini mempunyai lulusan murid yang juga dapat digunakan untuk
mengisi jabatan dalam pemerintahan di karaton sesuai dengan kebutuhan
masyarakat karena pada masa tersebut karaton sekaligus sebagai pusat
pengajaran.
Sistem pendidikan yang dimiliki oleh sekolah ini memiliki beberapa
tujuan. Tujuan sistem pendidikan karaton ini adalah untuk mengasah,
memelihara dan membentuk jiwa ksatria dengan berbasis kebudayaan.
Pendidikan yang berbasis karaton ini lebih mengembangkan cara hidup
yang harmonis. 14
Beberapa tujuan tersebut dapat kita ketahui bahwa
pendidikan pada sekolah ini dalam rangka membentuk jiwa yang
berkarakter yang berdasarkan pada kebudayaan.
Sekolah Tamanan hanya berlangsung pada tahun 1830-1900 Masehi.
15 Setelah tahun 1900 Masehi, sudah tidak terdapat berkas-berkasnya.
Pada masa kepala Sekolah Tamanan yang bernama Ngabei Jayengwisraba,
pelajarannya hanya 2 macam saja, yaitu membaca huruf Jawa dan mengaji
(membaca huruf Arab). Sekolah ini bertahan hingga pemerintahan Sri
Sultan Hamengku Buwono VIII. Lembaga pendidikan yang berkualitas
dalam mendidik para anak bangsa tersebut lambat laun surut dan hilang
dan belum diketahui secara pasti penyebabnya, tetapi ada
14 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Meneguhkan Identitas Budaya Sejarah Pendidikan
di Yogyakarta, (Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2017), hlm. 14.
15op.cit., hlm. 66.
35
alasan lain bahwa sekolah ini tidak bertahan lama dikarenakan adanya
pelajaran di Sekolah Tamanan ini ditakuti oleh para pemerintah Hindia
Belanda.16
Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai dengan Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII mengedepankan pendidikan dan pembentukan jiwa sangat
diutamakan. Pembentukan jiwa melalui beberapa mata pelajaran yang
diajarkan di Sekolah Tamanan, antara lain: ketentaraan, pertanian, dan
kebudayaan seperti menari, latihan melepaskan anak panah, dan latihan
berperang. 17
Pelajaran-pelajaran ini dalam hal membentuk jiwa yang
berkarakter, berbudaya, dan memiliki nilai satriya, sehingga menjadi
contoh bagi masyarakat luas.
Pendidikan dari masa ke masa kemudian dilanjutkan kembali oleh Sri
Sultan Hamengku Buwono IX. Masa transisi mulai terjadi di Indonesia.
Periode ini menjadi salah satu periode kunci dalam perkembangan
Yogyakarta pada masa mendatang. Sri Sultan Hamengku Buwono IX
menanamkan sikap jiwa satriya dalam perannya mempertahankan persatuan
dan kesatuan dalam merebut kemerdekaan. Peneguhan Yogyakarta sebagai
Kota Budaya dan Kota Pelajar melalui lembaga-lembaga pendidikan dan
lingkungan sosial-budaya yang khas benuansa budaya Jawa.
16 Wawancara K.R.T Jatiningrat, S.H, 28 November 2018.
17 Anonim, Kota Jogjakarta 200 Tahun 7 Oktober 1756-7 Oktober, 1956, (Yogyakarta: Panitya Peringatan Kota Jogjakarta, 1956) hlm. 66.
36
Unsur pendidikan dan akar budaya sebagai pembangun idenitas bagi
Sri Sultan Hamengku Buwono IX sangat penting. Beliau mengungkapkan
sebagai berikut: “Kendati pendidikan Barat sangat mewarnai saya, saya
pertama-tama seorang Jawa dan tinggal pertama seorang Jawa.” 18
Pernyataan tersebut jelas bahwasannya seseorang yang telah mengenyam
pendidikan Barat tidak akan lupa bahwa dibesarkan dan terlahir sebagai
orang Jawa dan tetap meneguhkan sikap dan jwa satriya sebagai dasar jiwa
kepemimpinan.
2. Pendidikan Dikelola Masyarakat
Perjanjian Giyanti menyebabkan adanya perubahan struktur tata
pemerintahan di Karaton Mataram. Perubahan-perubahan ini menjadi bukti
bahwa mulai adanya sebuah tatanan pemerintahan. Pusat pemerintahan
dimulai sejak Sri Sultan Hamengku Buwono I membangun kampung-
kampung untuk para abdi dalem. Kampung-kampung tersebut memiliki nama
sesuai dengan keahlian para abdi dalem. Para abdi dalem tersebut
dikelompokkan menurut kesamaan pekerjaan, dengan menambahkan akhiran
-an yang berarti tempat (nama tempat). 19
Nama tempat untuk kampung abdi
dalem tersebut menjadikan ciri khas bagi Karaton
18
G. Budi Subanar, Bayang-bayang Sejarah Kota Pendidikan Yoyakarta: Komunitas Learning Society, (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2007), hlm. 22.
19
Djoko Soekirman, dkk, Sejarah Kota Yogyakarta, (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), hlm. 7.
37
Ngayogyakarta Hadiningrat dalam membentuk sebuah tatanan
pemerintahan yang terstruktur.
Kampung-kampung abdi dalem dikelompokkan berdasarkan tempat
tinggal para abdi dalem Kampung-kampung tersebut dibagi menjadi kawasan
Jeron Beteng (dalam beteng) dan Jaban Beteng (luar beteng). Kampung-
kampung ini dibangun oleh karaton memang diperuntukkan untuk tempat
bermukim abdi dalem. Abdi dalem yang telah menempuh pendidikan, disisi
lain juga memiliki keahlian di bidang masing-masing. Dengan demikian,
nama-nama kampung diberi nama sesuai dengan keahlian-keahlian para abdi
dalem tersebut. Berbagai keahlian yang dimiliki oleh para abdi dalem menjadi
faktor pendukung abdi dalem dalam menjalankan tugas dan perannya di
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Para abdi dalem memiliki keahlian yang bermacam-macam.
Keahlian-keahlian yang dimiliki antara lain: mengurus urusan karaton,
membuat berbagai peralatan karaton, dan ahli di bidang profesinya. Oleh
karena itu, kampung-kampung berdasarkan keahlian dan profesi dibuat
oleh karaton atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono I. Tujuan untuk
membuat kampung-kampung abdi dalem adalah untuk memudahkan
hubungan raja dengan para abdi dalemnya di dalam struktur tata
pemerintahan, dan sebagai tempat bermukim para abdi dalem Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pembagian tugas abdi dalem dalam urusan karaton bermacam-
macam. Pembagian tersebut menyebabkan nama-nama kampung abdi
38
dalem dalam menangani urusan karatonpun dibentuk. Kampung-kampung
tersebut antara lain: Siliran, Kemitbumen, Kenekan, Patehan, Gebulen,
Sekulanggen, Rotowijayan, Gamelan, Kenekan, Minggiran Suronatan,
Sitisewu, Ngampilan. 20
Kampung-kampung tersebut terbagi menjadi
Kawasan di dalam beteng dan di luar karaton. Salah satu kampung yang
masih hingga kini melakukan aktivitasnya adalah di Kampung
Sekulanggen karena Setiap Selasa Wage diadakannya sedekahan untuk
memperingati hari lahirnya Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Para abdi dalem mempunyai keahlian khusus dalam menangani
sarana, prasarana, administratif, dan fasilitas di dalam karaton. Keahlian-
keahlian dalam menangani urusan internal karaton tersebut sangat
mendukung profesi para abdi dalem. Tujuannya tidak hanya untuk
keperluan urusan karaton saja, tetapi juga sebagai mata pencaharian para
abdi dalem di kehidupan sehari-hari. Kampung-kampung abdi dalem
berdasarkan profesi yang dimiliki, antara lain: Kampung Pandean,
Pesindhenan, Mantrigawen, Musikanan, Namburan, Ngrambutan,
Bludiran, Gerjen, Gowongan, Dagen, Keparakan Tengen dan Kiwo,
Kemetiran, Maosan, Mertolulutan, Numbakanyar, Gebayanan, Jlagran,
Gandhekan, Bumijo, Gendhingan, Gemblakan, Gedhong Tengen dan
Gedhong Kiwo, dan Pajeksan. 21
20
Sumintarsih dan Ambar Adrianto, Dinamika Kampung Kota Prawirotaman Dalam Perspektif Sejarah dan Budaya, (Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Daerah Istimewa Yogyakarta, 2014), hlm. 48.
21 Ibid., hlm. 72.
39
Perubahan struktur tata pemerintahan tersebut, menyebabkan
adanya perkembangan kampung-kampung kota mulai ada. Perkembangan
kampung-kampung kota ini mulai berkembang setelah selesainya
pembangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningat pada 7 Oktober 1756.
Karatonpun mulai membentuk suatu tatanan pemerintahan, tak terkecuali
bagi para pegawainya (abdi dalem) akan ditempatkan di sekitar lingkungan
karaton. Lingkungan di sekitar karaton akan membentuk suatu kampung-
kampung kota. Kampung-kampung kota khususnya kampung abdi dalem
tersebut hingga saat ini masih ada dan dihuni oleh masyarakat umum.
Kebudayaan memiliki sifat tangible culture dan intangible-culture.
Tangible culture dapat berupa tata kota, toponim, perkampungan, kesenian,
bangunan, ataupun benda-benda budaya fisik lainnya. Sedangkan intangible-
culture berupa nilai budaya, pandangan hidup masyarakat, norma moral, adat
istiadat, dan aturan-aturan khusus, sikap dan perilaku umum masyarakat. 22
Semua sifat kebudayaan ini erat kaitannya dengan karakteristik kesejarahan
yang ada di Yogyakarta. Selain itu, memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan pendidikan.
Sejarah juga memiliki sifat diskontinuitas. Sifat diskontinuitas ini
terletak pada subjek sejarah. Subjek sejarah dalam bahasan ini adalah
perbedaan tempat tinggal para abdi dalem. Para abdi dalem dahulu
22 Aprinus Salam, dkk, Mbongkar Yogya, (Yogyakarta: Pusat Studi Kebudayaan
UGM dan Gambang Buku Budaya, 2016), hlm. 8.
40
mempunyai tempat tinggal dekat dengan Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat, tetapi di masa sekarang tempat tinggal para abdi dalem
tersebut kini sudah beralih fungsinya menjadi tempat pemukiman umum
bagi masyarakat Kota Yogyakarta. Pemukiman-pemukiman tersebut terdiri
dari berbagai nama kampung yang ada di Kota Yogyakarta.
B. Sekolah-Sekolah Asli di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
Yogyakarta merupakan bagian pecahnya Kerajaan Mataram.
Kerajaan Mataram pecah menjadi dua yaitu Surakarta dan Yogyakarta.
Setelah perjanjian Giyanti, Sultan Hamengku Buwono I kemudian
memilih nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan hingga sekarang menjadi
Yogyakarta. Sebelumnya Kota Yogyakarta memiliki banyak istilah dalam
penyebutannya, antara lain Ngayugyakarta Hadiningrat, Ngayogyakarta,
Ayodya, Yogyakarta, Jogjakarta, Jogyakarta, Yoja, Djokya, dan lain
sebagainya.23
Beberapa istilah tersebut digunakan dalam menyebut Kota
Yogyakarta.
Yogyakarta memiliki sejarah perjalanan di dunia pendidikan sangat
panjang. Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat telah mendirikan sekolah-
sekolah khusus di dalam istana. Sekolah-sekolah khusus tersebut
23 Ki Sabdacarakatama, Sejarah Keraton Yogyakarta, (Yogyakarta: Narasi, 2009),
hlm. 6.
41
diperuntukkan bagi para abdi dalem.24
Para abdi dalem tersebut sebagai
tenaga pengajar maupun murid. Tidak hanya para abdi dalem saja yang
mengikuti proses pembelajaran tersebut melainkan juga putra sentana
dalem juga ikut mengikuti proses pembelajaran di lingkup Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat. 25
Sultan mendirikan sekolah-sekolah di dalam istana dalam rangka
memiliki tujuan. Tujuannya didirikan sekolah tersebut agar anak-anak para
pejabat karaton yang akan menggantikan kedudukan ayahnya harus
memiliki ijazah/sertifikat dari sekolah tersebut. 26
Kebijakan tersebut
dilakukan untuk mengisi pegawai-pegawai di lingkup Karaton baik sesuai
dengan keahlian maupun sesuai dengan profesinya. Berikut sekolah-
sekolah yang didirikan oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat terutama
yang diperuntukkan oleh abdi dalem. Sekolah ini merupakan sekolah asli
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, antara lain:
24 Abdi dalem juga sebagai kaum priyayi. Mereka adalah rakyat biasa yang
diangkat menjadi pegawai keraton. Fungsi kelas ini adalah melaksanakan perintah Sultan
yang disampaikan melalui kaum bangsawan. Lihat: Furnivall dalam Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981),
hlm. 26.
25 Kata Ngayogyakarta dalam bahasa Sansekerta berarti telah selesai
dikerjakan/dibangun dengan baik. Arti lain dari Ngayogyakarta berasal dari kata Yogya yang berarti baik dan karta berarti rahayu, tulus, dan indah. Adapun kata Hadiningrat
mempunyai makna tersohor di dunia. Lihat: Anonim, Ensklopedia Kraton,
(Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY, 2009), hlm. 271.
26 Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 67.
42
1. Sekolah Tamanan
Sekolah Tamanan merupakan sekolah asli Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Sebelum berdirinya Taman Siswa pada tahun 1922, di dalam
istana Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sudah terdapat lembaga
pendidikan yang disebut Sekolah Tamanan.27
Sekolah ini ada masa sejak
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. 28
Sekolah ini memiliki
pelajaran-pelajaran khusus bagi para murid. Daftar pelajaran sekolah
tamanan adalah sebagai berikut.
a. Bahasa dan Kasusasteraan Jawa Baru dan Kawi.
b. Sejarah Karaton-Karaton di tanah Jawa.
c. Menyanyi (nembang) bagian teori,
1) Tembang Macapat
2) Tembang Tengahan
3) Tembang Gede (Sekar Kawi)
d. Tata Negara.
e. Undang-Undang Sepuluh.
f. Bahasa dan Kasusasteraan Jawa Baru dan Kawi.
g. Sejarah Karaton-Karaton di tanah Jawa.
27 Sutirman Eka Ardhana, Sejak 1757 di Keraton Yogyakarta Ada Sekolah Tamanan, (https://www.perwara.com/2018/sejak-1757-di-keraton-yogyakarta-ada-sekolah-tamanan/ Sutirman Eka Ardhana. diakses 30 April 2018).
28 Sri Sultan Hamengku Buwono I memegang kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat
selama 43 tahun yaitu dari tanggal 13 Februari 1755 (Mulai Karaton masih di
Ambarketawang) hingga mangkatnya atau wafatnya pada hari malam minggu Kliwon tanggal
24 Maret 1792 atau tahun Jawa 1718 di Karaton yang baru di Ngayogyakarta Hadiningrat
denagn tutup usia 5 tahun dan di makamkan di Karaton Imogiri. Lihat: R.M Soemardjo
Nitinegoro, Sejarah Berdirinya Kota Kebudayaan Ngayogyakarta Hadinigrat, (Yogyakarta:
Direktorat Jenderal Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, 1981), hlm. 69.
43
h. Menyanyi (nembang) bagian teori,
1) Tembang Macapat
2) Tembang Tengahan
3) Tembang Gede (Sekar Kawi)
i. Tata Negara.
j. Undang-Undang Sepuluh.
k. Angger pradata lan angger pidono (Hukum perdata dan hukum
pidana).
l. Mengaji (membaca)
1) Kitab Turutan (alfabet dan bacaan Al-Qur’an juz ke-30
2) Qur’an dan tafsirnya
3) Hukum Agama Islam
4) Tradisi sejumlah upacara kerajaan mulai Mataram hingga
Kerajaan Ngayogyakarta (Adat-naluri tuwin Tata adating
Keraton), yang berhubungan dengan agama.
5) Parail
6) Perkawinan
7) Talak29
Daftar pelajaran (leerplan) yang disebutkan di atas adalah garis besar
susunan pelajaran di Sekolah Tamanan. Hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah beberapa pelajaran-pelajaran tersebut dibagi berdasarkan profesi
abdi dalem pada waktu itu. Berikut beberapa profesi abdi dalem dan mata
pelajaran yang diberikan di Sekolah Tamanan.
1) Pelajaran pada poin a dan b diberikan oleh para abdi dalem
Reh Kawedanan Kapudjangan yang diketuai oleh
Tumenggung Tambakboyo.
29 Sri Sutjiatiningsih dan Sutrisno Kutoyo, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1980/1981),
hlm. 49.
44
2) Pelajaran pada poin c diberikan oleh para pesinden, abdi dalem
Reh Karawitan dipimpin oleh seorang Wedana, Carang Soko.
3) Sedangkan pelajaran pada poin d-f diberikan oleh para jaksa
dan Suragama, kedua golongan ini abdi dalem Kawedanan
Reh Pantjaniti yang diketuai Tumenggung Sudjanpura.
4) Pelajaran pada poin g seluruhnya menjadi kewajiban abdi
dalem Reh Kawedanan Kapangulon, yang dipimpin oleh
Kanjeng Kyai Penghulu Dipaningrat.
Sekolah Tamanan memiliki mata pelajaran, yaitu ketentaraan,
pertanian, dan kebudayaan, antara lain: menari (tarian putri), menari
(bermacam-macam tarian bagi para kaum laki-laki), memilih dan
menunggang kuda, latihan berperang, tiap Sabtu di Alun-Alun Utara jam
16.00-18.00, latihan melepaskan anak panah, menatah dan menyungging
wayang, membuat dan melaras (nglaras Jawa) gamelan, seni bangunan,
memelihara segala tanam-tanaman yang biasa ditanam di pekarangan,
ladang, sawah, atau perkebunan, saluran pengairan dan bendungan untuk
pertanian rakyat.
Beberapa peninggalan-peninggalan yang masih ada berkasnya antara
lain: Pesiraman Code (sebelah utara Tugu), Pasiraman Tanjungtirta (di tepi
Sungai Opak sebelah timur pangkalan terbang di Maguwo), Sendang
Kasihan, Sendang Sempor, Sendang Cilereng (Kulon Progo). Berbagai
peninggalan-peninggalan tersebut masih nampak terdapat bekas-bekasnya.
Peninggalan-peninggalan tesebut memiliki wujud berupa pasiraman-dalem
(permandian Raja) tetapi sebenarnya waduk, saluran, dan pengairan untuk
pertanian rakyat.
45
2. Sekolah Habirandha
Sekolah Habirandha merupakan pawiyatan pedhalangan gaya
Yogyakarta. Sekolah ini berlokasi tidak jauh dari karaton Yogyakarta yakni
di Jalan Rotowijayan No. 1 Yogyakarta. Sekolah dalang ini berdiri tahun
1925. 30
Sekolah Habirandha atas inisiatif Kanjeng Raden Tumenggung
(KRT) Djajadipura dengan dukungan penuh Sri Sultan Hamengku Buwono
VIII. Pelajaran-pelajaran yang diberikan meliputi carita, pocapan, sabetan,
cepengan, dan suluk. 31
Berbagai pelajaran tersebut dijadikan pedoman bagi
para dalang dalam memainkan lakon wayang kulit gaya Yogyakarta.
Nama Habirandha merupakan singkatan dari Hanindake, Biwari,
Rancangan, Dhalang. Hanindake berarti melakukan pekerjaan, biwara
berarti menyebarluaskan, rancangan berarti sama dengan merencanakan
calon dalang atau dalang. 32
Dengan demikian, Habirandha ini adalah
tempat untuk menyiapkan calon dalang. Hingga saat ini pun Sekolah
Habirandha ini terbuka bagi masyarakat luas yang ingin menjadi dalang
ataupun ingin tahu tentang dalang dan pewayangan mulai tahun 1940.33
30 Gagas Ulung, Go Traditional, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011),
hlm. 162.
31 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Meneguhkan Identitas Budaya Sejarah Pendidikan di
Yogyakarta, (Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2017), hlm. 31.
32 Ibid., hlm. 31.
33 Wawancara Romo Cermo Proboprayitno, 15 Januari 2019.
46
3. Sekolah Macapat
Sekolah Macapat merupakan sekolah milik Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Sekolah ini didirikan oleh KMT Madukusumo, KRT
Condropuspito, KRT Manggalagita serta KMT Pronowijoyo pada tahun
1960.34
Lembaga yang mengurus Sekolah Macapat ini adalah KHP
Kridha Mardawa. KHP Kridhamardhawa, yang bertugas memeriksa dan
merawat seperangkat gamelan, wayang orang, busana wayang orang, serta
menyuguhkan uyon-uyon (lagu jawa), tari, dan wayang kulit.35
Lembaga
ini juga mengurus Sekolah Habirandha. Sekolah ini berlokasi tidak jauh
dari karaton Yogyakarta, yakni di Jalan Rotowijayan No. 3 Yogyakarta.
Para murid mengikuti kegiatan pembelajaran melalui tiga tahap.
Tahap pertama untuk pemula mempelajari sekar alit. Tahap kedua
mempelajari sekar tengahan. Tahap ketiga mempelajari sekar ageng.
Untuk naik ke tahapan selanjutnya sekolah mengadakan ujian kenaikan
kelas. Sekolah Macapat ini tidak hanya diikuti para abdi dalem dan
keluarga karaton. Saat ini sekolah terbuka untuk masyarakat umum dan
tidak dibatasi oleh usia. Kelas dibuka pada jam 15.30-17.30 sore setiap
hari Senin, Rabu, Kamis, dan Sabtu.36
34 Hening Wasisto, Menilik Sekolah Macapat Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, Upaya Jaga Kelestarian Budaya
Jawa,(http://jogja.tribunnews.com/2017/08/09/menilik-sekolah-macapat-keraton-
ngayogyakarta-hadiningrat-upaya-jaga-kelestarian-budaya-jawa?page=all. diakses 06
Februari 2019).
35 Lihat: Tata Rakit Paprentahan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
36 Tribun News, Keraton Yogya Gratiskan Belajar Macapat di Sekolah Ini, (http://jogja.tribunnews.com/2018/02/17/keraton-yogya-gratiskan-belajar-macapat-di-sekolah-ini?page=3. diakses 01 Februari 2019).
47
Sekolah macapat kini terus dikembangkan oleh masyarakat sekitar
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tembang (lagu) yang dinyanyikan
secara perlahan-lahan dan mengikuti arahan dari guru macapat. Guru
macapat juga merupakan seseorang abdi dalem Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat yang juga mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam
mengembangkan Sekolah Macapat ini. Sekolah Habirandha dan Sekolah
Macapat merupakan sekolah yang mempunyai tingkatan atau proses dalam
pembelajarannya. Kedua sekolah ini merupakan sekolah asli karaton yang
hingga kini masih ada.
BAB III
SISTEM PENDIDIKAN SEKOLAH PAWIYATAN ABDI DALEM
KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT
Sistem adalah suatu rangkaian keseluruhan kebulatan kesatuan dari
komponen-komponen yang saling berinteraksi dan interdependensi dalam
mencapai tujuan.1 Sistem yang akan dibahas dalam pembahasan ini terdiri
dari komponen-komponen yang mendukung di dalam Sekolah Pawiyatan
Abdi Dalem. Komponen-komponen tersebut terdiri dari pendidik, murid, dan
tujuan pendidikan dan interaksi antar komponen pendidikan (kegiatan belajar
mengajar, alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan). Selain itu, terdapat
juga komponen lain yang berperan dalam upaya pendidikan.
Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem mempunyai suatu sistem pendidikan,
yang dirancang khusus untuk sekolah-sekolah asli karaton. Sistem pendidikan,
pada awalnya, sebagai sistem ajaran yang membentuk watak manusia yang
bersangkutan menjadi ksatria. 2 Karaton juga memiliki sistem pendidikan
tradisional bersifat praktis dan sangat sederhana. Pendidikan tradisional tidak
terdapat cara pengajaran yang khusus artinya disini setiap orang diberi ajaran
1 Dwi Siswoyo, dkk, Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2013), hlm. 70.
2 Riyadi Goenawan dan Darto Harnoko, Mobilitas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta Periode Awal Abad Ke-20: Suatu kajian Sejarah Sosial, (Yogyakarta: Ombak,2012), hal 80.
49
50
untuk dapat mengerjakan segala jenis pekerjaan yang tidak mengkhusus
ada atau jenis pekerjaan. 3
Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem menerapkan sistem pendidikan
tradisional ini memiliki tujuan. Tujuan dari pendidikan tradisional yaitu
mengajarkan orang untuk mengerti tentang tata cara hidup tingkah laku yang
sopan, kesusilaan, dan pendidikan budi pekerti.4 Pendidikan tradisional
hingga sekarang ini masih diajarkan di sekolah-sekolah milik Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat seperti: Habirandha dan Macapat. Sekolah-
sekolah ini menjadi contoh bahwa melestarikan kebudayaan melalui
pendidikan adalah penting. Selain itu, Karaton juga memiliki peran dalam
kebudayaan dan pendidikan tersebut.
Berikut sistem pendidikan di Sekolah Abdi Dalem (Pawiyatan Abdi
Dalem dan Pawiyatan Aksara Jawa) antara lain:
A. Pawiyatan Abdi Dalem
Pawiyatan abdi dalem ini merupakan pendidikan yang diperuntukkan oleh
abdi dalem. Abdi dalem yang terdiri dari abdi dalem punakawan dan abdi
dalem kaprajan mengikuti pembelajaran ini setiap hari Selasa dan Kamis
pukul 09.00 sampai dengan 14.00 WIB. Kegiatan pemebelajaran ini tidak
dipungut biaya (gratis). Pawiyatan ini dilaksanakan di Bangsal Kasatriyan
3 Anonim, Monografi Daerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), hlm. 126.
4 Ibid., hlm. 126.
51
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.5 Berikut penjelasan mengenai Sekolah
Pawiyatan Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
1. Guru
Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningat
memiliki tenaga pengajar yang berasal dari abdi dalem dan keluarga karaton.
Tenaga pengajar antara lain:
Tabel 1. Daftar Guru di Pawiyatan Abdi Dalem
Karaton Ngayogyakarta Hadiningat
No Nama Guru Pengampu
1. KPH. H. Wironegoro, MSc Sabdatama
2. KRT. Kusumonegoro Filosofi Karaton Ngayogyakarta Hadiningat, Hamemayu Hayuning
Bawono, Watak Satriya, Golong
Gilig, Sangkan Paraninng
Dumadi, Manungaling Kawula
Gusti
3. KPH. Yudahadiningrat, SH Pranata Kalenggahan Abdi Dalem, Mijil, Serta Liyer
Mingser, Sejarah Keistimewaan
DIY (UU. No 13 Tahun 2012)
4. KRT. Prajaswasana Tata Bahasa Sarta Basa Bagongan
5. KRT. Rintaiswara Bab Hajad Dalem
6. KRT. PurwodiningratKagungan Dalem Gangsa Sarta Riwayat Asal Usulipun
5 Wawancara K.R.T Rintaiswara, 08 Januari 2019.
52
7. KRT. Widyowinoto Pengagem Abdi Dalem Sarta
Subasita lan tata lampah,
Geladen Lampah-Lampah,
Ageman Abdi Dalem Serta
Subasita
8. KRT. Ir Widya Anindita, MM Wewangunan Karaton: Mirsani Wewangunan saking Pagelaran
dumugi alun-alun kidul,
wewangunan salebeting karaton,
wewangunan ing sak jawaning
Karaton, Sengkalan
9. KRT Wijaya Pamungkas, SE Agama Islam Ing Tanah Jawi
10. Drs. H. KRT. Tata Rakit Paprentahan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
Mangkuhadiningrat,
11. MJ. Ngabdul Wahab Sesambetane Agama lan Budaya Ing Karaton Miturut Wucalan
Wali Songo Sarta Jumbuhe
Ajaran Agama Lan Budaya Ing
Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat, Ahlussunah
Waljamaah
12 KPH. Suryohadiningrat Mengertosi Riwayat Dalem Para Sultan Ngayogyakarta Wiwit HB
I- HB X
13. KPH. Jatihadiningrat Asma Dalem Sarta Sesambetan Para Sedherek Dalem Lan Dara
Dalem Sarta Sabda Tama
14. KRT. Dr. Puspadiningrat Pangertosan Bab Pusaka Dalem
15. KRT. Prof. Radya Nalapratala Siti Kagungan Dalem
16. MW. Ngabdul Juwari Donga Panutup
Sumber: Jadwal Pawiyatan Abdi Dalem Punakawan Sarta Kaprajan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Rambah III/ VIII/ 2018.
Tenaga-tenaga pengajar ini mengajarkan sesuai materi-materi yang
telah dijadwalkan. Jadwal ini dikeluarkan oleh Tepas Parentah Hageng
53
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat oleh KPH. H. Wironegoro selaku
penghageng (pimpinan) Parentah Hageng Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Sedangkan gaji guru diberikan sesuai dengan golongan abdi
dalem yang dimiliki.
2. Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran dalam Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton
Ngayogyakarta Hadiningat antara lain:
a. Sabdatama
Materi ini menjelaskan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
secara keseluruhan yang sesuai dengan Undang-Undang.
Sabdatama ini merupakan pernyataan penting yang disampaikan
raja. Sabdatama merupakan penegasan bahwa Daerah Istimewa
Yogyakarta mempunyai aturan yang menyangkut nilai dan tradisi
dalam mengatur tata pemerintahannya sendiri. 6 Sabdatama
merupakan pernyataan raja kepada rakyatnya secara langsung agar
dapat disampaikan secara menyeluruh kepada warganya.
6 Mataram termasuk di dalam Nusantara, mendukung tegaknya negara, tapi tetap memegang norma tradisi dan pemerintahan-kerajaan sendiri. Lihat: Pribadi Wicaksno, 4 Sabdatama Raja Yogya Untuk Warganya, (https://nasional.tempo.co/read/403116/4-sabdatama-raja-yogya-untuk-warganya/full&view=ok), diakses 10 Februari 2019.
54
b. Filosofi Karaton Ngayogyakarta Hadiningat.
Materi ini menjelaskan mengenai sifat kepemimpinan yang
diajarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I antara lain:
Hamemayu Hayuning Bawono, Wata Satriya, Golong Gilig,
Sangkan Paraning Dumadi, dan Mnunggaling Kawula Gusti.
Materi ini diberikan agar para abdi dalem menjadi contoh bagi diri
sendiri dan masyarakat.
c. Pranata Kalenggahan Abdi Dalem: Mijil, Serta Liyer Mingser
Materi Pranata Kalenggahan Abdi Dalem Pranata Kalenggahan
Abdi Dalem terdiri dari 11 Bab. 11 Bab ini terdiri dari: Bab I
Sebutan Ringkes, Bab II Reh Rehane, Bab III Papan Makaryo, Bab
IV Pangkat Kalenggahan, Bab V Minggah Pangkat, Bab VI
Pangkat Sipat Bupati, Bab VII Pratelan Urutane Pangkat, Bab VIII
Eselonisasi, Bab IX Majeng Hambiyantu Sarta Liyer Mingser, Bab
X Purnaning Pasuitan (MIJI), Bab XI Rujukan. Pada Materi ini
dijelaskan bagaimana aturan-aturan dan kedudukan abdi dalem
terhadap naik dan turunnya pangkat.7
Semasa Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Hamengku Buwono
VIII juga terdapat aturan mengenai karir abdi dalem. Aturan-aturan
tersebut terdapat di dalam Senarai Arsip Karaton Yogyakarta Masa
7 Pranatan Kalenggahan Angka: 001/KHPP/PRNTN/Pasa-VII/ALIP.1974.2014 Bab:
Pangkat Abdi Dalem.
55
Sri Sultan Hamengku Buwono VII No. 956-1607 dan Senarai Arsip
Karaton Yogyakarta Masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII No.
356-643. Beberapa contoh arsip terkait dengan aturan pengunduran
abdi dalem dikarenakan melakukan kesalahan.8 Selain itu, terdapat
juga pengangkatan abdi dalem. 9 Aturan terakhir mengenai
pemberhentian abdi dalem. 10
d. Tata Bahasa Sarta Basa Bagongan
Materi ini menjelaskan mengenai pengertian bahasa bagongan,
contoh kata-kata yang digunakan dalam bahasa bagongan. Bahasa
Bagongan dikenal sejak masa Sultan Agung yang kemudian
digunakan oleh Hamengku Buwono I dan dipakai di Karaton
Yogyakarta sampai awal 1950. Bahasa Bagongan digunakan semua
lapisan masyarakat karaton, terkecuali untuk pribadi sultan dan
putra mahkota. Berbicara dengan keduanya tetap menggunakan
bahasa krama inggil. 11
Bahasa Bagongan masih sering digunakan
8 Lihat lampiran 2, Senarai Arsip Keraton Yogyakarta Masa Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII Nomor 599 Tahun 1926, hlm. 117.
9 Lihat lampiran 3, Senarai Arsip Keraton Yogyakarta Masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII Nomor 435 Tahun 1923, hlm. 119.
10 Lihat lampiran 4, Senarai Arsip Keraton Yogyakarta Masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII Nomor 597 Tahun 1923, hlm. 120.
11 Wawancara K.R.T. H. Jatiningrat, S.H, 28 November 2018.
56
meski terbatas pada golongan tua atau para serat dhawuh dalem di
tepas-tepas karaton.12
e. Bab Hajad Dalem
Materi Hajad Dalem menjelaskan mengenai acara-acara yang
dilaksanakan di Karaton Ngayogakarta Hadiningrat yang masih
diselenggarakan hingga saat ini. Beberapa contoh hajad dalem
antara lain sebagai berikut.
1) Garebeg (Dilaksanakan setiap tiga kali dalam setahun dalam
Kalender Jawa, yaitu: Garebeg Mulud/ Sekaten, Garebeg
Sawal/Idul Fitri, dan Garebeg Besar/ Idul Adha. 13
Di semua
upacara Garebeg di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat disertai
dengan mengeluarkan Gunungan/Pareden agar terus berterima
kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mewujudkan sedekahan
untuk masyarakat. Macam-macam Gunungan yaitu: Gunungan
Kakung, Gunungan Putri, dan Gunngan Daratan, Gunungan
Gepak, Gunungan Pawuhan, dan Gunungan Picisan. Setiap tahun
Dal di upacara Garebeg Mulud, gunungan yang dikeluarkan ini
ditambah dengan gunungan Kutug/ gunungan Brama. Di dalam
12 Purwadi, Sejarah Raja-Raja Jawa Sejarah Kehidupan Kraton dan
Perkembangannya di Jawa, (Yogyakarta: Media Abadi, 2014), hlm. 475.
13 K.R.T Rintaiswara, Bab Hajad Dalem (Kagem Wucalan Pawiyatan) Wonten hing
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, (Yogyakarta: KHP Widyabudaya, 2015), hlm.1.
57
proses acara gunungan, ada upacara yang dilaksanakan 3 hari
sebelum acara Garebeg yaitu Tumplak Wajik, Nyebar udik-udik,
dan Miyos Gangsa (keluarnya gamelan (sekaten).
2) Labuhan
Upacara labuhan yaitu menghanyutkan perlengkapan raja dan
tempat-tempat yang berhubungan dengan sejarah Mataram.
Labuhan biasanya dilaksanakan di Pantai Parangtritis,
Parangkusmo, Labuhan Gunung Merapi, dan sebagainya. Labuhan
diikuti oleh para abdi dalem dan warga sekitar. Labuhan
dilaksanakan setiap bulan Muharram (Sura).
3) Siraman Pusaka
Siraman pusaka dilaksanakan pada Selasa Kliwon, Rabu Legi atau
Jumat Kliwon Sabtu Legi Bulan Sura. Siraman pusaka
dilaksanakan di dalam Cepuri Karaton, Museum Kreta Karaton,
Rotowijayan, dan Astana Pajimatan Imogiri.14
f. Kagungan Dalem Gangsa Sarta Riwayat Asal Usulipun
Materi terdiri dari beberapa gamelan kepunyaan dari Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Gamelan-gamelan tersebut antara lain:
Gamelan Monggang, Gamelan Kodhok Ngorek, Gamelan
Carabalen, Gamelan Sekaten, Gamelan Ageng. Selain itu, terdapat
14Ibid., hlm.19.
58
juga manfaat sejarah gamelan dan menyebutkan macam-macam
perangkat setiap gamelan.
g. Pengagem Abdi Dalem Sarta Subasita lan Tata Lampah
Materi ini menjelaskan pakaian-pakaian yang digunakan abdi
dalem, bertata krama, dan termasuk cara berjalan. Pakaian-pakaian
abdi dalem yang tediri dari pakaian peranakan, kebaya, dan
sebagainya. Filosofi-filosofi yang ada di dalam baju peranakan juga
dijelaskan dalam materi ini. Selain itu, materi ini dielaskan
mengenai sopan santun bertata krama yang dilakukan oleh abdi
dalem baik itu sesama para abdi dalem, keluarga raja, maupun
sultan.
Materi Tata Lampah (Cara Berjalan) juga terdapat dalam materi
Pawiyatan Abdi Dalem. Tata cara berjalan bermacam-macam,
seperti: cara berjalan menuju karaton, menuju bangsal, dan
sebagainya. Materi-materi ini guna mengedepankan pelajaran yang
mengajarkan budi pekerti.
h. Wewangunan Karaton
Materi Wewangunan karaton menjelaskan mengenai serangkaian
konsep terkait tata ruang, bangunan, ragam hias, tanaman, fungsi
dan kegunaan ruang atau bangunan yang ada di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Materi ini terdiri dri berbagai macam-
macam sub judul antara lain: Mirsani Wewangunan saking
59
Pagelaran dumugi alun-alun kidul (bangunan Pagelaran sampai
Alun-Alun Selatan), wewangunan salebeting karaton (bangunan
yang ada di dalam karaton), wewangunan ing sak jawaning Karaton
(bangunan yang ada di dalam karaton), dan Sengkalan (tanda bahwa
Karaton Ngayogyakarta sudah berdiri).
Materi ini menjelaskan sejarah Karaton Ngayogakarta Hadiningat,
Filosofi letak Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan dijelaskan
pula beberapa bangunan-bangunan Karaton Ngayogyakarta
Hadiningat.
i. Agama Islam Ing Tanah Jawi
Materi ini menjelaskan mengenai Karaton jika dilihat dari sisi
sejarah budaya dan agama. Selain itu dijelaskan pula amalan-
amalan yang terdapat dalam Hadits Rasulullah serta manfaat dalam
melakukan amalan tersebut. Isi materi ini dapat dilihat
selengkapnya di dalam materi yang berjudul Agama- Budaya dan
Aswaja.
j. Sejarah Keistimewaan DIY (UU. No 13 Tahun 2012)
Materi ini menjelaskan tentang UU. No 13 Tahun 2012 dan
Peraturan Daerah Istimewa Tentang Kewenangan Dalam Urusan
Keistimewaan DIY. UU. No 13 Tahun 2012 ini terdiri dari 16 bab
antara lain: Bab I Ketentuan Umum, Bab II Batas dan Pembagian
Wilayah, Bab III Asas dan Tujuan, Bab IV Kewenangan, Bab V
60
Bentuk dan Susunan Pemerintahan, Bab VI Pengisian Jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bab VII Gubernur dan/atau Wakil
Gubernur Berhalangan, Bab VIII , Bab IX Kebudayaan, Bab X
Pertanahan, Bab XI Tata Rang, Bab XII Perda, Perdais, Peraturan
Gubernur dan Keputusan Gubernur, Bab XIII Pendanaan, Bab XIV
Ketentuan Lain-lain, Bab XV Ketentuan Peralihan, dan Bab XVI
Ketentuan Penutup.
Materi kedua adalah Peraturan Daerah Istimewa Tentang
Kewenangan Dalam Urusan Keistimewaan DIY. Materi ini terdiri
dari 9 bab, antara lain: Bab I Ketentuan Umum, Bab II Tata Cara
Pengisian Jabatan, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bab III Kelembagaan Pemerintah Daerah,
Bab IV Kebudayaan, Bab V Pertanahan, Bab VI Tata Ruang, Bab
VII Pendanaan, Bab VIII Ketentuan Peralihan, dan Bab IX
Ketentuan Penutup.
k. Geladhen Pengageman Abdi Dalem Tata Lampah Sarta Subasita
Materi ini menjelaskan aturan-aturan mengenai pakaian abdi dalem
dan sopan santun dilengkapi dengan cara berjalan para abdi dalem.
Selain itu, para abdi dalem juga melakukan praktik bagaimana cara
berpakaian dengan benar, cara berjalan, dan cara bertata krama.
Praktik ini dilaksanakan di Bangsal Kasatriyan Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat.
61
l. Tata Rakit Paprentahan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
Materi ini menjelaskan mengenai tata urutan dalam pemerintahan
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Materi ini diajarkan oleh Drs.
KRT. H Mangkuhadiningrat. Tata urutan pemerintahan di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat dibagi berdasarkan tepas-tepas (badan-
badan) yang menangani urusan karaton. Setiap tepas memiliki
penghageng (pimpinan) seperti halnya dalam urusan tata
administratif.
m. Sesambetane Agama lan Budaya Ing Karaton Miturut Wucalan
Wali Songo Sarta Jumbuhe Ajaran Agama Lan Budaya Ing
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat,
Materi ini menjelaskan tentang pengertian agama dan budaya secara
terpisah, sisi sejarah Karaton, dan acara-acara budaya di Karaton
seperti Maulid Nabi yang diambil manfaat positifnya sesuai dengan
hadits dan surat-surat Al- Qur’an. Budaya-Budaya di karaton
dilaksanakan sesuai dengan perkembangan zaman dan tetap ada
ajaran moral, agama, sosial, dan budaya di dalamnya. Topik ini
merupakan bagian dari materi yang berjudul Agama- Budaya dan
Aswaja.
62
n. Mengertosi Riwayat Dalem Para Sultan Ngayogyakarta Wiwit HB
1- HB X
Materi ini menjelaskan tentang sejarah singkat Raja-Raja
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dari Sri Sultan Hamengku
Buwono I sampai dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X terkait
dengan biodata-biodata raja dan diceritakan sekilas mengenai
peristiwa sejarah pada setiap pemerintahan raja. Berbagai isi materi
ini dapat dilihat selengkapnya dalam Sejarah Singkat Raja-Raja
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
o. Ahlussunah Waljamaah
Materi ini menjelaskan makna dan pengertian dari Ahlussunah
Waljamaah, akidah, dan sumber hukum. Topik ini merupakan
bagian dari materi yang berjudul Agama- Budaya dan Aswaja.
Materi ini dijelaskan secara singkat dan jelas dalam Pawiyatan Abdi
Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
p. Asma Dalem Sarta Sesambetan Para Sedherek Dalem Lan Dara
Dalem Sarta Sabda Tama
Materi ini menjelaskan mengenai hubungan keluarga dan silsilah
saudara para raja di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tepas
yang mengurusi urusan keluarga raja bernama Tepas Darah Dalem.
63
q. Pangertosan Bab Pusaka Dalem
Materi ini menjelakan mengenai macam-macam pusaka baik di
dalam Karaton maupun di luar Karaton jenisnya ada yang berwuud
keris, tombak, dan bendera. Salah satu contoh pusakanya adalah
tombak Kyai Plered. Berbagai isi materi ini dapat dilihat
selengkapnya dalam Kagungan Dalem Pusaka Karaton
Ngayogyakarta.
r. Siti Kagungan Dalem (Sultan Grond= Tanah Kasultanan) Materi
ini menjelaskan mengenai kegunaan tanah kasultanan tersebut
berdasarkan Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, Perda I Nomor 5
Tahun 1954, Rijksblad Kasultanan Nomor16 Tahun 1918. Tanah-
tanah Kasultanan Yogyakarta sudah diatur sejak pemerintahan
kolonial.
s. Kagungan Dalem Ringgit Ing Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat
Materi ini menjelaskan macam-macam wayang dari Sri Sultan
Hamengku Buwono I sampai dengan Sri Sultan Hamengku Buwono
VIII yang dikelompokkan berdasarkan kurun waktu. Materi ini juga
diajarkan di Sekolah Habirandha Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat sampai sekarang. Ringgit (wayang) yang dipelajari
khususnya wayang gaya Yogyakarta.
64
t. Wanuh Wayang Kulit Purwo Gagrak Ngayogakarta
Materi ini menjelaskan tentang asal mula sebutan Wayang Purwa
Gagrak Ngayogyakarta beserta sejarah bedirinya Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat yang bermula dari Perjanjian Giyanti,
Filsafat, dan Karakter mengenai wayang kulit purwa (gagah dan
pemberani), perlengkapan untuk mementaskan wayang kulit purwa,
dan gambar-gambar tokoh wayang. Materi ini dibuat oleh
Pamulangan Dhalang Habirandha Yogyakarta.
Materi-materi di dalam Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem tersebut
merupakan materi secara keseluruhan. Selain materi di atas,
terdapat materi-materi lain yang telah dirangkum oleh K.R.T H.
Jatiningrat, S.H mengenai pawiyatan. Materi pawiyatan terdiri dari
8 bab. Materi-materi tersebut antara lain;
a. Bab 1 Kepemimpinan
b. Bab 2 Perkembangan Sekolah di Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat
c. Bab 3 Gelar Sultan untuk Kesejahteraan dan Ketenteraman
Masyarakat
d. Bab 4 Menghayati Pengertian Istimewa Daerah Istimewa
Yogyakarta
e. Bab 5 Membangun Generasi Muda
65
f. Bab 6 Pendidikan dan Pembentukan Jiwa di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat
g. Bab 7 Masih Adakah Pendidikan Karakter?
h. Bab 8 Kebijakan Pendidikan Hamengku Buwono VIII.
Materi-materi tersebut sebagai materi tambahan bagi para abdi dalem
khususnya. Materi Pendidikan dan Pembentukan Jiwa di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat lebih erat kaitannya dalam membentuk
jiwa abdi dalem sebagai seorang ksatria. 15
3. Kegiatan Pembelajaran
Para abdi dalem baik abdi dalem punakawan serta kaprajan
mengikuti proses pembelajaran di Bangsal Kasatriyan Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat. 16
Bangsal Kasatriyan berbentuk pendopo
agung. Selain tempat pembelajaran, Bangsal Kasatryan sebagai untuk
pertunjukan seni seperti: tari, karawitan, pertunjukan gamelan, dan
sebagai tempat tinggal para putra raja yang belum menikah.17
Pendidikan Pawiyatan Abdi Dalem diikuti oleh seluruh abdi dalem.
Pendidikan setiap angkatan berlangsung selama sebulan dengan setiap
15 Wawancara K.R.T. H. Jatiningrat, S.H, 28 November 2018.
16 Lihat lampiran 5, hlm. 121.
17 Kerajaan Nusantara, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, (www. kerajaannusantara.com/id/yogyakarta-hadiningrat/istana-utama. diakses 18 Februari 2019).
66
angkatannya berjumlah 100 orang. Setelah mengikuti pendidikan ini abdi
dalem akan mendapatkan sertifikat dari karaton yang berisi pernyataan
kenaikan pangkat atau pemberian kedudukan yang disebut serat
kekancingan. 18
Serat kekancingan diberikan pada waktu abdi dalem
melaksanakan wisuda. 19
Setiap tahunnya pihak Karaton Yogyakarta
melaksanakan prosesi wisuda abdi dalem sebanyak dua kali yaitu pada
Bakda Mulud dan Sawal.20
Setelah seluruh Abdi Dalem selesai diwisuda,
prosesi dilanjutkan dengan penerimaan partisara Pawiyatan Abdi Dalem.
21 Setelah itu, sebagai penutupnya memberikan atur panuwun
(penyampaian terima kasih). Pembelajaran dan prosesi wisuda abdi dalem
diselengarakan di Bangsal Kasatriyan. 22
Dalam kegiatan pembelajaran, tidak hanya dilakukan dengan
penjelasan materi secara lisan saja (ceramah teori sosial budaya dan adat)
tetapi dengan cara melakukan praktik. Praktik dilakukan di Bangsal
Kasatriyan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Berikut macam-macam
18 Kawedanan Hageng Panitrapura, Pranatan Kalenggahan Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat , (Yogyakarta : Kawedanan Hageng Panitrapura, 2014), hlm. 1 Nomor 001. KHPP/PRNTN/Pasa-VII/2014.
19 Lihat lampiran 6, hlm. 122.
20 Bakda Mulud dan Sawal merupakan sistem kalender Hijriah yang dibuat oleh Sultan Agung. Lihat: Ahmad Sahroji, Kenapa Kalender Jawa Mirip dengan Kalender Hijriyah?, (https://news.okezone.com/read/2017/09/20/340/1779891/kenapa-kalender-jawa-mirip-dengan-kalender-hijriah-berikut-penjelasannya, diakses 01 Januari 2019).
21Lihat lampiran 7, hlm. 123.
22 Lihat lampiran 8, hlm. 124.
67
tata cara abdi dalem dalam melaksanakan tugas, tanggung jawab, dan
peran (sebagian diajarkan oleh Pawiyatan Abdi Dalem) adalah:
a. Cara Berjalan
Para abdi dalem melakukan kegiatan praktik di Pawiyatan
Abdi Dalem. Tata cara berjalan antara lain: memasuki melalui
regol (pintu gerbang) sri manganti, regol kemagangan. Apabila
perjalanan telah sampai di dalam dan masuk ke pintu gerbang,
maka busana diperiksa kembali kerapihannya. Kancing baju telah
dikancingkan, wiru telah rapi di tempatnya, dan ikat kepala telah
lurus. Apabila kesemuanya telah selesai, perjalanan diteruskan
dengan tangan kiri memegang wiru, tangan kanan melenggang
sementara, pandangan mata ditetapkan ke depan lurus, tidak
boleh menoleh ke kiri dan ke kanan.
Kedua, saat berjalan, sebaiknya k satu per satu (urut kacang),
tidak berdampingan, tidak bersenda gurau. Berjalan di sebelah
pinggir dan terus maju ke tempat tujuan. Kalau perjalanan lewat
regol gapura, maka hendaklah berhenti sebentar, duduk
menhadap bangsal prabayeksa, menyembah dan lalu mengambil
tempat duduk untuk selanjutnya menghadap (sowan). 23
23 Soepomo Poedjosoedarmo dan Laginem, Bahasa Bagongan, (Yogyakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2014) hlm. 47.
68
Lipatan-lipatan kain (Wiru) harus diatur. (Wiru) kain diatur
dan ditempatkan di bawah kain bagian telapak kanan. Sesudah
memberikan sembah lalu duduk dengan tangan ngapurancang
(dipertemukan). Kalau akan melanjutkan perjalanan, tubuh
berjongkok, menyembah lalu berdiri, dan selanjutnya berjalan
menuj tempat tujuan. Kalau akan berjalan melewati plataran
(halaman), sebaiknya langkah masuk itu melewati gerbang
butulan dan terus ke sebelah timur regol gapura.24
b. Pada waktu menghadap di plataran dan kedhaton
Para abdi dalem memperhatikan sopan santun ketika berada
di lingkup karaton. Contohnya adalah sewaktu menghadap di
plataran dan kedhaton, tidak diperkenankan merokok. Selain itu,
dalam tata bahasa dilangsungkan dalam bahasa Bagongan,
kecuali tehadap Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom
Hamengkunegara (kepada K.G.P.A.A Hamengkunegara ini
percakapan dilangsungkan dengan tingkat undha-usuk krama).25
c. Apabila para abdi dalem akan naik trap ke bangsal kothak,
bangsal kencana serta bangsa prabasuyasa
Para abdi dalem memperhatikan tata cara ketika memasuki
bangsal-bangsal karaton. Para abdi dalem harus berjongkok lalu
24 Ibid., hlm. 48.
25 op.cit., hlm. 47.
69
menghadap bangsal, menyembah, kemudian pantat diangkat dulu
dan diletakkan di atas lantai, lalu kaki ditarik, berjongkok
menyembah lagi, lalu mengatur cara duduk, dengan wiru ditata
lagi, hal ini disebut sowan.26
Aturan-aturan ini dilakukan bagi
para abdi dalem dalam mengunjungi sebuah bangsal.
d. Sembah
Menyembah merupakan penghormatan kepada pihak lain baik
kepada pemimpin (Raja), kepada orang tua atau orang yan
dituakanyang patut mendapat penghormatan. Adapun cara
menyembah adalah menangkapkan kedua telapak tangan secara
rapat ibu jari ketemu ibu jari, masing-masing jari bersatu,
kemudian diangkat dengan ibu jari mengenai hidung.
Menyembah dilaksanakan dengan duduk bersila, jongkok, atau
berdiri disampaikan kepada benda-benda pusaka maupun tempat
yang dianggap sakral, yang diciptakan oleh leluhur.
e. Duduk bersila
Para abdi dalem duduk bersila mempunyai aturan sendiri.
Pertama, telapak kaki kanan berada di bawah dalam kaki kiri,
telapak kaki kiri disisipkan antara paha dan betis kaki kanan.
Tumit kaki kanan di bawah betis kaki kiri, telapak kaki kiri
26 loc.cit., hlm. 47.
70
maupun kanan menghadap ke atas. Kain dan wiron menutup
kedua kaki kanan dan kaki kiri. Tangan kanan dan tangan kiri
menutup di depan kedua kaki yang disebut ngapurancang.
Punggung tegak dada ke depan, kepala tegak, pandangan tetap
lurus.
f. Duduk di Kursi
Sopan santun merupakan hal yang utama. Salah satunya adalah
ketika duduk di kursi. Tata cara adalah kaki kiri dan kiri kanan
tidak saling tumpeng, tetapi sejajar dan menampak. Tangan kiri
dan kanan di depan pangkuan, badan tegak, dada ke depan
sedikit, kepala tegak pandangan lurus ke depan kurang lebih 5
meter, tidak menoleh kanan dan kiri.
g. Cara berjalan
Tata cara berjalan untuk para abdi dalem sangat diperlukan.
Berjalan biasa maupun jalan jongkok atau berjalan menggunakan
pantat (ngesot). Cara berjalan biasa, tangan kiri memegang
lipatan kain (wiron), sedang tangan kanan melambai biasa.
Pandangan tetap ke depan tidak boleh toleh kanan dan ke kiri,
berjalan selalu mengambil di pinggir. Kalau berjalan bersama
tidak bergerombol tetapi harus urut, tidak diizinkan mengobrol.
Di dalam Karaton tidak diperkenankan memakai alas kaki baik
71
sepatu maupun sandal. Bila hujan diizinkan memakai payung.
Masing-masing memegang payung sendiri.27
4. Murid
Murid yang melaksanakan pendidikan pawiyatan ini adalah para abdi
dalem. Abdi dalem yang terdiri dari abdi dalem punakawan serta kaprajan.28
Saat mengikuti pembelajaran, para abdi dalem mengenakan baju yang
disebut dengan pranakan. Baju pranakan diprakarsai oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono VI. Kata pranakan mengandung arti bahwa ketika
mengenakannya seseorang seperti keluar dari rahim seorang Ibu. 29
Pranakan artinya wadhah bayi atau rahim ibu. Para abdi yang
mengenakannya layaknya seorang bayi yang suci, murni, dan fitrah.
Pranakan juga berarti prepat, punakawan, atau abdi yang dekat di hati.
Hal ini dilukiskan dengan jenis lurik yang digunakan bergaris 3-4. Warna
baju pranakan berwarna biru tua mengacu kepada kedalaman dan
kekhusyukan hati. Kancing baju pranakan berjumlah 6 dibagian leher,
27 D. Soenarto, Kesetiaan Abdi Dalem, (Yogyakarta: Kepel Press, 2013), hal. 51-53.
28 Abdi dalem punakawan merupakan abdi dalem yang mendapatkan gaji dari pihak karaton melalui Tepas Danartopuro, sedangkan abdi dalem kaprajan tidak berhak gaji dari pihak
karaton tetapi mendapatkannya dari pihak pemerintah RI. Dengan demikian, abdi dalem kaprajan
itu prinsipnya sebagai abdi dalem caos (datang ke karaton hanya sebagai pengakuan bahwa dirinya abdi dalem) dan tidak mempunyai beban tugas. Berbeda dengan abdi dalem punokawan,
secara kelembagaan diakui oleh pihak karaton sebagai salah satu perangkat pemerintahan karaton
dan mendapatkan tugas tertentu. Lihat: Agus Sudaryanto, Hak dan Kewajiban Abdi Dalem Dalam Pemerintahan (Mimbar Hukum, Volume 20 Nomor
1 Februari 2008), hlm. 166.
29 Wawancara K.R.T Jatiningrat, S.H, 27 November 2018.
72
juga terdapat 5 kancing pada bagian lengan panjang kiri dan kanan.
Angka 5 pada kancing berkaitan dengan rukun islam (syhadat, shalat,
puasa, zakat, dan haji). 30
Para abdi dalem kakung (laki-laki) saat melaksanakan tugasnya juga
mengenakan blangkon dan keris. 31
Sedangkan untuk para abdi dalem
putri busana yang dikenakan saat di karaton harus menggunakan kemben.
Ciri-ciri dari Abdi Dalem Keparak adalah, tidak mengenakan baju
penutup. Berbeda dengan Abdi Dalem putri baik dari golongan
Punakawan, Keprajan atau masih mempunyai kedudukan Darah Dalem.
Kelompok ini boleh mengenakan kebaya tangkeban berwarna hitam.
Sedangkan untuk kerabat karaton mulai dari Putri Dalem, Istri Pangeran,
Wayah Dalem Putri dan Istri Wayah Dalem boleh mengenakan kebaya
tangkeban warna-warni. Namun, pada saat menerima tugas, waranggana
(sinden) atau Keparak mengenakan busana yang disebut
30 Wawancara K.R.T Jatiningrat, S.H, 27 November 2018.
31 Blangkon, berasal dari kata blangko yang berarti mencetak kosong, adalah suatu nama yang diberikan pada jenis-jenis iket yang telah dicetak. Sedangkan berasal dari kata keiris yang artinya terpotong. Tidak seperti atribut lainnya, keris hanya boleh dipakai oleh abdi dalem yang telah berpangkat minimal bekel enom. Lihat: Nail Hikam Faqihuddin,
Makna Simbolis Pakaian Dinas Abdi Dalem Keraton
Yogyakarta,(https://www.academia.edu/35396281/Makna_Simbolis_Pakaian_Dinas_Abdidal em_Keraton_Yogyakarta), diakses 05 Februari 2019.
73
janggan dan menggunakan satu wiron di ujung sebelah kiri yang nampak
dari luar.
5. Fasilitas Pembelajaran
Para abdi dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat mengikuti
pembelajaran pawiyatan mendapatkan beberapa fasilitas pembelajaran berupa
materi-materi pembelajaran. Fasilitas pembelajaran lainnya berupa gedung
untuk melaksanakan pembelajaran adalah Bangsal Kasatriyan Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Selain itu, terdapat juga bangsal yang digunakan
untuk acara wisuda. Bangsal tersebut bernama Bangsal Kasatriyan Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Para abdi dalem melaksanakan wisuda di bangsal
tersebut jika abdi dalem sudah mengikuti magang selama 2 tahun. Berikut
jenjang kepangkatan abdi dalem setelah mengikuti magang, antara lain;
a. Jajar
b. Bekel Anom
c. Bekel Sepuh
d. Lurah
e. Penewu
f. Wedono
g. Riya Bupati
h. Bupati Anom
i. Bupati Sepuh
74
j. Bupati Kliwon
k. Bupati Nayoko
l. Pangeran Sentana
Kenaikan pangkat abdi dalem tersebut berbeda pada setiap abdi dalem.
Abdi Dalem Reh Punakawan Tepas bisa naik pangkat 3- 5 tahun sesuai
dengan bakti serta kerajinan, sedangkan Abdi Dalem Reh Punakawan Caos
dapat naik pangkat diantaranya 4-5 tahun sesuai dengan bakti dan kerajinan.32
Abdi dalem yang sudah mengikuti magang boleh dikatakan sudah resmi
menjadi abdi dalem dan berhak menerima jenjang kepangkatan. Kenaikan
pangkat seorang Abdi Dalem dikelola oleh Parentah Hageng. Parentah
Hageng mempunyai kewenangan untuk mengangkat, menaikkan pangkat dan
mempensiunkan Abdi Dalem.
Setiap Abdi Dalem akan mendapatkan Asma Paring Dalem (nama Abdi
Dalem), Pangkat, dan Penugasan yang terdapat di dalam Serat Kekancingan
(SK) dikeluarkan oleh Parentah Hageng. 33
Selain adanya kenaikan pangkat
dan gelar abdi dalem terdapat juga aturan-aturan yang
32 Lihat Pranatan Kalenggahan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Pangkat Abdi
Dalem) Bab V Minggah Pangkat hlm. 5.
33 Parentah Hageng adalah yang bertugas mengenai administrasi abdi dalem. Lihat: Dawuh Dalem, Tata Rakit Paprintahan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, (Yogyakarta: Dawuh Dalem, 1999) hlm. 8 Nomor 01/DD/HB.X/EHE-1932.
75
mengatur terkait dengan proses pemberhentian abdi dalem atau istilah nama
lainnya adala miji. Proses pemberhentian abdi dalem dapat disebbakan oleh
macam-macam faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain: usia lanjut,
kesehatan, dan dan sebab-sebab lain. Berikut beberapa ketentuan terkait miji
atau proses pemberhentian Abdi Dalem:
a. Miji Sudono Mulyo: telah mengabdi di atas 20 tahun
b. Miji Sudono Saroyo: telah mengabdi antara 10-20 tahun
c. Miji Tumpuk: lama pengabdian di bawah 10 tahun
d. Miji Pocot: diberhentikan dengan tidak hormat sehingga harus
mengembalikan gelar yang diberikan oleh Sultan (asma paring Dalem)
dan dilarang masuk ke karaton.
Kenaikan pangkat, gelar, dan pemberhentian didapatkan oleh setiap abdi
dalem. Selain pengetahuan yang didapat di pawiyatan, para abdi dalem juga
mendapatkan penambahan pengetahuan mengenai budaya, upacara, adat,
sejarah dan filosofi Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat oleh instansi-instansi
lain terkait dengan sosial budaya karaton bagi anak-anak, terutama anak-anak
sekolah34
Penambahan pengetahuan yang dilaksanakan oleh karaton ini
merupakan salah satu peranan karaton dalam memperkenalkan kebudayaan
oleh anak-anak dan masyarakat umum.
34 Jatiningrat, Pawiyatan, (Yogyakarta: Tepas Banjarwilapa, 2014), hlm. 29.
76
B. Pawiyatan Aksara Jawa Untuk Abdi Dalem
Pawiyatan aksara Jawa ini merupakan bagian dari Sekolah Pawiyatan
Abdi dalem. Pawiyatan aksara Jawa ini merupakan pendidikan tambahan yang
diperuntukkan oleh abdi dalem. Abdi dalem yang terdiri dari abdi dalem
punakawan serta abdi dalem kaprajan mengikuti pembelajaran ini setiap hari
Senin dan Kamis pukul 10.00 sampai dengan 12.00 WIB. Pawiyatan ini
dilaksanakan di Gedung (KHP) Widyabudaya Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat. 35
Pawiyatan ini sifatnya khusus mempelajari aksara Jawa.
Berikut penjelasan mengenai Sekolah Pawiyatan Aksara Jawa Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat:
1. Guru
Pawiyatan aksara Jawa Karaton Ngayogyakarta Hadiningat memiliki
tenaga pengajar yang berasal dari abdi dalem. Guru-guru di Pawiyatan
Aksara Jawa ini antara lain: KRT. Rintaiswara dan KRT. Prajaswasana.
Tenaga-tenaga pengajar ini mengajar sejak tahun 2012. Tugas utama para
pengajar ini adalah memberikan materi pembelajaran terkait dengan tata
cara menulis dan membaca aksara Jawa. Selain itu, para pengajar juga
memberikan pengetahuan lain guna menambah wawasan para abdi dalem.
35
Tepas Tanda Yekti, Pawiyatan Aksara Jawi Abdi Dalem Memasuki Angkatan Ke- 4, (http://kratonjogja.id/peristiwa/27/pawiyatan-aksara-jawi-bagi-abdi-dalem-memasuki-
angkatan-ke-4. diakses 25 Juni 2017).
77
2. Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran dalam Pawiyatan Aksara Jawa Karaton
Ngayogyakarta Hadiningat seperti: menulis, membaca aksara Jawa,
menyanyikan tembang, sejarah, wayang, dan sebagainya. Selain itu,
terdapat pelajaran tambahan mengenai sejarah asal usul wayang dan
makna dari tembang-tembang macapat. Pelajaran-pelajaran tambahan ini
diberikan guna memberikan wawasan luas bagi para abdi dalem
disamping mempelajari aksara Jawa.
Buku ajar Pawiyatan Aksara Jawa Layang Aksara Jawa Jilid I, II, dan
III memiliki kesamaan dengan buku ajar semasa Sekolah Klas II yaitu
kitab Layang Paramasastra Jawa. Kesamaannya terdapat dalam hal tata
bahasa serta penulisan bahasa Jawa dengan huruf Jawa. Sehingga lulusan
Sekolah klas II pada waktu itu, biasanya telah mempunyai dasar yang
kuat untuk pengetahuan bahasa Jawa, misalnya: hal tulis menulis huruf
Jawa, tata bahasa Jawa, kesusasteraan Jawa (tembang Macapat,
Tengahan, Gede) dengan segala pedoman-pedomannya. Selain itu,
diperhatikan dalam unggah-ungguh basa Jawa.36
36 Anonim, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta,
(Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan
Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977), hlm. 85.
78
3. Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran Pawiyatan Aksara Jawa memberikan
pengetahuan dasar aksara Jawa bagi para abdi dalem yang ingin belajar
aksara Jawa. 37
Abdi dalem yang terdiri dari pangkat/gelar yang berbeda
dikelompokkan dalam satu kelas. Satu kelas berisi 30 peserta.38
Kegiatan
pembelajaran menggunakan buku. Buku tersebut membahas tentang
macam-macam huruf aksara Jawa dan bagaimana tata tulis aksara Jawa
dengan memperhatikan tanda bacanya. Kegiatan pembelajaran ini
dilaksanakan di Gedung KHP Widyabudaya. 39
Tata urutan dalam
melaksanakan proses pembelajarannya adalah sebagai berikut:
a. Pembacaan Pambukaning Pawiyatan (Pembukaan Pawiyatan)
Pembukaan pawiyatan dengan menyanyikan tembang yang berjudul
Mijil Karamanglung. Tembang ini selalu dinyanyikan sebelum
Pawiyatan Aksara Jawa dimulai. Inti dari tembang ini adalah meminta
pada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dilancarkan dalam mengikuti
pembelajaran aksara Jawa terkait dengan menulis dan membaca huruf
jawa.
37 Perkembangan Tulisan jawa menurut De Casparis. De Casparis membedakan
menjadi 5 periode: Pallawa sebelum 700, Kawi tahap awal 750-925, Kawi tahap akhir 925-
1250, Majapahit 120-1450, dan Jawa Baru 1600-sekarang. Nama Kawi bisa dianggap Tulisan
Jawa Kuno. Lihat: W. Van der Molen, Sejarah dan Perkembangan Aksara Jawa, (tanpa
lokasi penerbit: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tanpa tahun), hlm. 5.
38 Wawancara K.R.T Rintaiswara, 08 Januari 2019.
39 Lihat lampiran 9, hlm. 125.
79
b. Waktu Istirahat
Pembelajaran aksara jawa ini mempnyai jeda waktu untuk
beristirahat. Dalam waktu beristirahat, para abdi dalem yang mengkuti
pembelajaran ini diperkenankan untuk makan dan minum. Sama
seperti halnya pada pembukaan pawiyatan yaitu menyanyikan
tembang. Doa untuk makan dan minum yang berjudul Kinanthi
Mangu Slendro Manyura. Dalam tembang ini memberikan kesan
bahwa ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena sudah
diberikan rezeki dan berdoa semoga mendapat berkah dan berguna
untuk seterusnya.
c. Menyanyikan tembang (lagu Jawa)
Menyanyikan tembang merupakan kegiatan yang dilakukan disela-
sela pembelajaran latihan membaca dan menulis aksara Jawa. Para
abdi dalem beserta guru menyanyikan salah satu tembang yang
berjudul Mijil Raramanglung. Dalam tembang ini dijelaskan bahwa
terdapat 5 plengkung di Mataram yaitu: Plengkung Nirbaya
(Gadhing), Plengkung Jagabaya (Tamansari), Plengkng Jagasura
(Ngasem), Plengkung Tarunasura (Wijilan), dan Plengkung
Madyasura (Gondomanan). Akan tetapi, yang masih ada dan
digunakan sampai saat ini hanya ada 4 plengkung. Selain itu, di dalam
lagu tersebut juga menggambarkan suasana di dalam karaton yang
80
didalamnya terdapat pohon beringin, air bersih, dan terdapat pohon
gayam di setiap jalan.
d. Menulis dan membaca aksara Jawa
Pembelajaran inti adalah menulis dan membaca aksara jawa dengan
cara menirukan guru langsung.40
Abdi dalem membaca dan menulis
aksara Jawa secara bergantian. Sembari menunggu mendapat giliran
membaca, maka disetiap kehadirannya diminta untuk tanda tangan
bagi setiap peserta.41
Selain itu, guru juga memberikan latihan soal-
soal menulis huruf jawa pada setiap pertemuannya dan soal diberikan
sebagai tugas untuk dikerjakan di luar pembelajaran.42
e. Panutuping Pawiyatan (Penutup Pawiyatan).
Pawiyatan Aksara Jawa mempunya tata urutan pembelajaran kegiatan
pembelajaran. Kegiatan pembelajaran terakhir dilakukan dengan
menyanyikan tembang yang berjudul Pangkur Dhudhakasmaran.
Tembang ini menjelaskan bahwa sudah selesainya pembelajaran
pawiyatan dan mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
40 Lihat lampiran 10, hlm. 126.
41 Lihat lampiran 11, Arsip Serat-Serat Pasarta Aksara Jawa Tahun 2018, hlm. 127.
42 Lihat Lampiran 12, Arsip Serat-Serat Pasarta Aksara Jawa Tahun 2018. hlm. 128.
81
f. Penilaian dan Evaluasi
Penilaian dan evaluasi terkait dengan pembelajaran adalah hal utama.
Penilaian harian dan presensi kehadiran adalah hal yang utama dalam
memperoleh nilai di dalam Pawiyatan Aksara Jawa. 43
Penilaian
menggunakan standar huruf A, B, dan C pada saat ujian.44
Di
samping penilaian harian, terdapat ujian setiap bulannya. Ujian setiap
bulan dilaksanakan pada minggu terakhir dan sebagai penentu lulus
atau tidaknya. Abdi dalem yang lulus dalam pembelajaran ini akan
diberikan partisara.45
Proses pembelajaran di dalam Pawiyatan Aksara Jawa sudah tersusun
dengan urut. Para abdi dalem yang mengikuti Pawiyatan Aksara Jawa
ini dalam melaksanakan pembelajarannya, diawali dan diakhiri
dengan menyanyikan tembang (lagu Jawa). Tembang-tembang ini
antara lain; Mjil Raramanglung (sebagai pembukaan pawiyatan),
Kinanthi Mangu Slendro Manyura (sebagai doa pengantar makan dan
minum), dan Pangkur Dhudhakasmaran (doa penutup pawiyatan). 46
43 Lihat Lampiran 13, Arsip Serat-Serat Pasarta Aksara Jawa Tahun 2018, hlm. 129.
44 Lihat Lampiran 14, Arsip Serat-Serat Pasarta Aksara Jawa Tahun 2018, No.066/KHP. WB/IX/2018, hlm. 130.
45 Lihat Lampiran 15, Arsip Serat-Serat Pasarta Aksara Jawa Tahun 2018, No.
72/PHK/TDP/KPJ/II/2015, hlm. 131.
46 Lihat Lampiran 16, Tata Urutan Pembelajaran Pawiyatan Aksara Jawa, hlm. 132.
82
4. Murid
Para abdi dalem yang ingin mengikuti Pawiyatan Aksara Jawa ini
harus memenuhi persyaratan. Syarat-syarat untuk mengikuti
pembelajaran antara lain: mempunyai fotokopi Surat Kekancingan
Abdi Dalem/ KTA, Surat peserta dari Tepas atau Kawedanan, Busana
pranakan lengkap (kakung) dan Tangkeban/ janggan (Kanca Sinden/
Nebda) menurut kedudukan, tidak boleh meninggalkan pembelajaran
lebih dari tiga kali, dan sudah tahu aksara Jawa sedikit demi sedikit. 47
Berbagai peraturan dan syarat-syarat dalam mengikuti pembelajaran
aksara Jawa. telah diatur. Sebelum dimulai angkatan pawiyatan yang
baru, KHP Widya Budaya membuat pengumuman di masing-masing
tepas karaton dan mempersilahkan setiap tepas untuk mendaftarkan
anggotanya.
5. Fasilitas Pembelajaran
Fasilitas-fasilitas pembelajaran merupakan pendukung dalam
kegiatan pembelajaran. Fasilitas-fasilitas pembelajaran yang didapat
berupa buku-buku sebagai pedoman pembelajaran. Salah satunya adalah
buku Layang Aksara Jawa Jilid I, II, dan III. Buku ini mengulas tentang
materi yang diajarkan di sekolah pawiyatan khusus mempelajari aksara
jawa, di dalamnya terdapat bacaan huruf aksara Jawa yang disusun secara
sistematis berdasarkan tingkat kesulitannya. Selain itu, terdapat pula buku
47 Wawancara K.R.T Rintaiswara, 08 Januari 2019.
83
Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Buku ini mengulas tentang tata cara
penggunaan tanda baca aksara Jawa dan bagaimana cara pengucapannya.
Buku Layang Aksara Jawa Jilid I, II, dan III mempunyai kesamaan
materi buku Layang Paramasastra Jawa semasa pemerintahan Belanda.
Buku Layang Paramasastra Jawa ini adalah buku ajar di Sekolah Klas II
(Sekolah angka loro). Persamaan di dalam kedua buku ini adalah adanya
materi terkait dengan Tata bahasa serta penulisan bahasa Jawa dengan
huruf Jawa. 48
Jadi, di dalam kedua buku ajar ini membahas bagaimana
cara penulisan aksara Jawa dengan baik dan benar.
48 op.cit., hlm. 85.
BAB IV
IMPLEMENTASI SEKOLAH PAWIYATAN ABDI DALEM
KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT
A. Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sekolah Pawiyatan
Peradaban-peradaban bangsa dapat diciptakan melalui sejarah salah satunya
dibidang pendidikan. Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta berpidato pada acara peluncuran dan bedah buku. Bedah
buku yang berjudul Menuju Jati diri Pendidikan yang Mengindonesia tanggal 9
November 2009 di Bank Pembangunan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
beliau mengatakan bahwa:
Pendidikan di Indonesia masih berorientasi pada ekonomi. Fenomena ini bertolak belakang dengan kondisi di zaman leluhur kita yang selalu
berusaha menciptakan sejarah, bahkan sejarah yang dibangun bisa menciptakan peradaban sebagai roh, tidak hanya dalam hal bahasa lokal,
pakaian, makanan, filosofi, dan tradisi. 1
Pendidikan dapat dilihat dari berbagai aspek. Pernyataan tersebut
menyatakan bahwa sejarah dapat membangun suatu peradaban sebuah bangsa.
Selain itu, pernyataan tersebut secara tidak langsung merujuk pada pendidikan
dapat dibangun kembali dengan melihat kondisi di zaman leluhur kita.
Mempelajari mengenai filsafat-filsafat dari Barat lebih diminati oleh generasi
muda dikarenakan adanya pengaruh budaya modern. Oleh karena itu, filsafat-
1 Jatiningrat, Pawiyatan, (Yogyakarta: Tepas Banjarwilapa, 2014), hlm. 10.
84
85
filsafat dari leluhur dapat dipelajari kembali contohnya filsuf-filsuf dari Jawa,
misalnya Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Yasadipura, Ranggawarsita, dan lain-
lain. 2
Pendidikan yang berkembang semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I
sampai dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX masing-masing mempunyai
karakteristik yang berbeda-beda. Semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I
sampai dengan VIII mulai dibentuk sebuah lembaga pendidikan yang berupa
sekolah. Lembaga pendidikan ini sudah terdapat kurikulum yang mengatur
pembelajaran, tenaga pengajar, dan materi-materi pembelajaran. Sedangkan
pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX lebih menekankan pada
pelestarian budaya. Sumbangsih terbesar terdapat dibidang seni tari, yaitu tari
klasik Golek Menak, tari Bedhaya Sapta dan Bedhaya Sanghaskara (Manten).
Perkembangan pendidikan yang dilakukan dari masa ke masa tersebut
merupakan bukti bahwa pendidikan itu sangat penting. Pendidikan awalnya
masih sederhana istilahnya getok tular (dengan lisan atau dalam tutur kata saja).
Pendidikan ini masih sederhana dan belum adanya keterikatan peraturan dalam
menempuh pendidikan menjadi suatu alasan bahwa perlunya pendidikan
berbasis budaya diera modern ini. Pendidikan ini diselenggarakan juga tak lupa
dengan pendidikan yang telah dahulu pernah ada di lingkungan karaton.
2 Muhammad Supraja, Sosiologi Pendidikan, (Yogyakarta: Anggota IKAPI,
2015), hlm. 96.
86
Pendidikan Pawiyatan merupakan pendidikan khusus bagi para abdi dalem.
Pembentukan sekolah ini merupakan salah satu langkah-langkah dari Sri Sultan
Hamengku Buwono X sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Ada 4
langkah yaitu: membuat peraturan Gubernur No: 72 Tahun 2008 tentang
Budaya Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta, membuat pawiyatan di
Karaton untuk para abdi dalem dan keluarga Karaton dan direncanakan untuk
perangkat desa serta masyarakat, meneguhkan keistimewaan DIY dengan UU
No. 13/ 2012 proses pembuatan perdais, pembuatan kurikulum dan modul.
Pembuatan kurikulum dan modul merupakan pedoman penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan pengembangan karakter.3
Sultan tetap ingin menjaga dan melestarikan budaya Jawa dengan diikuti
derapnya modernitas. 4 Modernitas yang berbasiskan pada nilai-nilai kearifan
lokal DIY yakni filosofi hamemayu hayuning bawana, dan ajaran moral sawiji,
greget, sengguh, ora mingkuh serta semangat golong-gilig. 5 Filosofi-filsofi
3 Jatiningrat, Pawiyatan, (Yogyakarta: Tepas Banjarwilapa, 2014), hlm. 7.
4 Modernitas berasal dari perkataan "modern"; dan makna umum dari perkataan modern adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan masa lampau. Jadi modernitas adalah pandangan yang dianut untuk menghadapi masa kini. Selain bersifat pandangan, modernitas juga merupakan sikap hidup. Yaitu sikap hidup yang dianut dalam menghadapi kehidupan masa kini. Kalau kita berbicara tentang masa kini, maka yang
dimaksudkan adalah waktu sekarang dan masa depan. Lihat:
Sayidiman Suryohadiprojo, Makna Modernitas dan Tantangannya Terhadap Iman, (https://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=198), diakses 01 Januari 2019).
5 Anonim, Satriya, (Yogyakarta: Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
2009), hlm. 1.
87
tersebut kini harus dimiliki oleh setiap orang termasuk abdi dalem. Abdi dalem
harus menjadi agen pelestari budaya Karaton Yogyakarta. Abdi dalem yang
mengikuti pembelajaran di Sekolah Pawiyatan terdiri dari berbagai macam latar
belakang, profesi, dan keahlian, termasuk abdi dalem yang sebelumnya belum
mendapat pawiyatan.
Abdi dalem dalam menjalankan tugas, peran, dan fungsinya harus melalui
sekolah abdi dalem. Sekolah abdi dalem disebut dengan Sekolah Pawiyatan dan
dibentuk pada 15 Oktober 2010 dan mulai dibuka kembali pada tangal 30
Oktober 2010.6 Pawiyatan perdana dilaksanakan di Bangsal Kencono, Karaton
Yogyakarta. Pawiyatan mempunyai arti pamulangan (pembelajaran) dan
diprakarsai oleh Sultan Hamengku Bowono X dan Tirun Marwito, S.H (K.R.T.
H. Jatiningrat). 7 Sekolah ini merupakan pendidikan khusus untuk para abdi
dalem dalam mempelajari berbagai hal mengenai Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat.
Pawiyatan pertama akan mendidik 1.200 abdi dalem dan setiap angkatan
dididik 100 orang setiap hari Senin dan Kamis pukul 10.00-13.00. Pawiyatan abdi
dalem diselenggarakan pada hari Senin dan Kamis karena berkaitan dengan
6Arif Wibowo, Sekolah Abdi Dalem, tersedia pada (htps://store.tempo.co.id. Diakses
16 Oktober 2018).
7Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Meneguhkan Identitas Budaya Sejarah Pendidikan di
Yogyakarta, (Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2017), hlm. 14.
88
hari puasa yang baik bagi seseorang.8 Pawiyatan Abdi Dalem hingga saat ini rutin
dilaksanakan setiap tahunnya. Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem merupakan
pendidikan wajib yang diikuti oleh seluruh abdi dalem Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat guna menambah wawasan abdi dalem sebagai agen pelestari budaya.
Pendidikan khusus untuk abdi dalem mempunyai macam-macam pelajaran.
Pelajaran-pelajarannya tentang bahasa karaton, tata pemerintahan, dan jabatan
di keraton. Pawiyatan diisi dengan pengajaran aspek kebudayaan yang tidak
tampak (intangible) dan yang tampak (tangible). 9 Pawiyatan mengajarkan
tentang filsafat, sejarah, bahasa, sastra, busana tata krama, tradisi karaton,
pusaka, wayang, gamelan, sampai arsitektur yang ada di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Pendidikan ini dalam artian diikuti oleh seluruh
abdi dalem sehingga dilaksanakan secara berkala.
Pendidikan Pawiyatan Abdi Dalem ini merupakan salah satu langkah yang
dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X. Abdi Dalem yang berjumlah
ratusan yang terdiri dari abdi dalem punokawan dan keprajan (abdi dalem yang
bertugas di pemerintahan daerah). Abdi dalem memakai pakaian tradisional Jawa
bernama peranakan, keris yang diselipkan di pinggang, saat menghadap raja
didahului sembah terlebih dahulu kemudian dilanjut duduk menghadap Sultan.
8 Anonim, Monarki Yogya Inkonstitusional, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
2011), hlm. 107.
9 Ibid., hlm. 108.
89
Pendidikan ini penting bagi abdi dalem salah satunya untuk menyiapkan dirinya
di setiap acara karaton.
Para abdi dalem mempunyai tugas, peran, dan tanggung jawab masing-
masing. Semasa Sri Sultan Hamengku Buwono X, para abdi dalem juga
bertugas dalam upacara-upacara yang diadakan oleh Karaton. Di samping itu,
terdapat kegiatan rutin berkaitan dengan keamanan karaton, yaitu caos atau
rondha. Abdi dalem yang bertugas sebagai prajurit juga memiliki tugas dalam
pariwisata. Selain itu, bertugas pada kegiatan-kegiatan temporer (berkala)
seperti jumenengan, sedan (kematian), pengantin, atau menyambut tamu.10
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat memberikan tugas, peran, dan
tanggung jawab kepada setiap abdi dalem yang bertugas di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Tidak hanya kegiatan-kegiatan di dalam karaton
yang harus dijalankan tetapi kegiatan-kegiatan yang sifatnya penting juga harus
dijalankan. Semasa Sri Sultan Hamengku Buwono X abdi dalem prajurit
mempunyai tugas yang multifungsi, lain halnya dengan semasa Sultan
Hamengku Buwono I-IX, urusan prajurit masuk ke dalam Kawedanan Hageng
Punakawan yang anggotanya menjadi abdi dalem penuh.11
10
Yuwono Sri Suwito, Prajurit Kraton Yogyakarta Filosofi dan Nilai Budaya Yang Terkandung Di Dalamnya, (Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, 2009), hlm. 63.
11 Ibid., hlm.14.
90
Para abdi dalem dalam menjalankan berbagai tugas, peran, dan fungsinya
tersebut dirangkum secara keseluruhan dalam Pawiyatan Abdi Dalem. Di
samping itu, para abdi dalem juga dibekali ilmu dan pengetahuan mengenai
cara membaca, menulis, dan menyanyikan lagu tembang secara bersama-sama
melalui pawiyatan khusus untuk belajar membaca dan menulis huruf Jawa.
Pawiyatan tersebut bernama Pawiyatan Aksara Jawa. Pawiyatan ini sama
halnya dengan Pawiyatan Abdi Dalem, hanya saja Pawiyatan Aksara Jawa ini
diperuntukkan bagi abdi dalem yang ingin belajar membaca dan menulis huruf
Jawa.
Pendidikan di karaton mengalami perkembangan dari masa ke masa.
Karaton memiliki sekolah-sekolah kasultanan yang hingga kini masih ada dan
terus untuk diupayakan oleh masyarakat luas. Sekolah kasultanan tersebut
merupakan suatu langkah awal karaton yang berperan sebagai patron atau
fasilitator pendidikan. 12
Karaton membuktikan bahwa dengan melanjutkan
model pendidikan sejak masa pemerintahan Hamengku Buwono I, nilai-nilai
luhur tersebut dapat berguna untuk masa sekarang dan menemukan kembali
ajaran-ajaran sebagai pedoman untuk kehidupan yang berlatarkan budaya.
Pendidikan pawiyatan merupakan pembelajaran bagi siapa saja yang
berkeinginan menjadi abdi dalem di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
12 G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 113.
91
Pendidikan ini diadakan oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk abdi
dalem seperti halnya sekolah kursus. Setiap abdi dalem diwajibkan mengikuti
pawiyatan ini. Pembelajaran di Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem dalam rangka
membentuk watak dan kepribadian sesuai ajaran Sri Sultan Hamengku Buwono I
antara lain; Hamemayu Hayuning Bawono, jiwa satriya, serta semangat persatuan
kesatuan yang Golong-Gilig dibahas di dalam materi ajar pawiyatan.13
Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat juga
memiliki beberapa manfaat. Manfaat adanya sekolah tersebut seperti sekolah
memberikan pengetahuan, memberikan kesempatan meningkatkan status dan
peran sosial, menyediakan tenaga terampil, mentransmisi kebudayaan,
menciptakan kebudayaan sekolah, dan menaikkan kelas seseorang. Beberapa
manfaat sekolah tersebut memberikan pengaruh terhadap kehidupan abdi dalem
dalam berkehidupan bermasyarakat.
Abdi dalem mengikuti sekolah untuk menambah ilmu. Sekolah memberikan
pengajaran berupa membaca dan menulis. Selain itu, sekolah pawiyatan ini
memberikan pengetahuan yang lainnya seperti sejarah berdirinya Karaton
Nayogyakarta Hadiningrat, bahasa bagongan, membaca dan menulis aksara Jawa,
menyanyikan tembang, dan sebagainya disela-sela pembelajaran agar
13 Jatiningrat, Pawiyatan, (Yogyakarta: Tepas Banjarwilapa, 2014), hlm. 29.
92
membekali abdi dalem dalam memperluas pandangan dan pemahaman tentang
budaya, nilai, dan norma.
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat memberikan kesempatan untuk para
abdi dalem dalam menaikkan status dan peran sosial. Status dan peran sosial
merupakan salah satu faktor pendukung mobilitas seseorang. Mobilitas sosial
dapat terjadi di sekolah.14
Oleh karena itu, melalui sekolah ini, abdi dalem yang
mempunyai pangkat rendah dapat meningkatkan pangkat/gelarnya di
pendidikan pawiyatan ini. Dengan demikian, status sosial akan menjadi naik
dengan adanya gelar kepangkatan yang diterima.
Sekolah abdi dalem memiliki manfaat untuk melatih abdi dalem agar
menjadi abdi dalem yang terampil dibidangnya. Terampil dan ahli dibidangnya
menjadikan nilai tambah bagi para abdi dalem Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, pendidikan di
sekolah ini diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan karaton terutama dalam
mengisi tenaga kerja dan admnistratif di Karaton. Sekolah abdi dalem ini
diharapkan dapat memberikan pengaruh yang positif di tengah-tengah
masyarakat luas, khususnya di Yogyakarta.
Manfaat keempat Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem selanjutnya adalah
mentransmisikan kebudayaan. Kebudayaan dapat disosialisasikan melalui
14 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 11.
93
lembaga pendidikan, salah satunya sekolah. Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem
menyelenggarakan pendidikan guna untuk menyampaikan nilai-nilai yang
dijunjung tinggi melalui pengajaran langsung. 15
Pengajaran langung dapat
dilakukan melalui metode ceramah dan praktik. Metode ceramah dan praktik
digunakan agar harapannya dapat berjalan sesuai dan dapat dipahami oleh
setiap abdi dalem.
Sistem pendidikan mengembangkan pola kelakuan tertentu sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh masyarakat dari para murid. Kehidupan di sekolah serta
norma-norma yang berlaku dapat disebut kebudayaan sekolah. Sekolah bertugas
menyampaikan kebudayaan kepada generasi baru. Sekolah mempunyai tugas
menyampaikan sejumlah pengetahuan sikap, ketrampilan, yang sesuai dengan
kurikulum dengan metode dan teknik yang berlaku di sekolah.
16 Kebudayaan yang sudah membentuk pola kelakuan tertentu tersebut dapat diamati dalam
tugas dan peran abdi dalem sehari-hari di Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat.
Seseorang dapat menaikkan kelasnya salah satunya melalui sekolah.
Sebagai contoh, Pawiyatan Abdi Dalem ini menjadi fasilitator abdi dalem untuk
menaikkan kelas seseorang. Menaikkan kelas seseorang berarti berhubungan
dengan adanya kenaikan pangkat setiap abdi dalem. Kenaikan pangkat ini
15 Ibid., hlm. 15-16.
16 Ibid., hlm. 65.
94
tentunya harus berdasarkan pada kinerja abdi dalem di samping dalam hal
menguasai pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya. Pengetahuan yang
dimiliki oleh setiap abdi dalem berkaitan dengan tingkat kinerja abdi dalem di
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
B. Penerapan Model Pendidikan Sri Sultan Hamengku Buwono I di Sekolah
Pawiyatan Abdi Dalem
Sekolah Pawiyatan memiliki keberlanjutan model pendidikan sejak Sri
Sultan Hamengku Buwono I. Model pendidikan tersebut kini diterapkan kembali
di Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku
Buwono X. Sekolah ini memiliki penerapan model pendidikan sebagian besar
yang ada di Sekolah Tamanan. Sebagiannya memodifikasi dari Sekolah Macapat
dan Sekolah Habirandha. Berikut beberapa kelanjutan yang dapat disimpulkan
terkait dengan komponen-komponen dalam pembelajaran, antara lain:
1. Mata Pelajaran
Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem memiliki kombinasi mata
pelajaran yang ada di Sekolah Tamanan. Mata pelajaran yang
diberikan secara keseluruhan mayoritas yang diberikan di Sekolah
Tamanan. Sebagai contoh adalah di Sekolah Tamanan terdapat
beberapa mata pelajaran seperti: Sejarah Karaton ditanah Jawa,
Menyanyi (nembang Macapat, Tengahan, Tembang Gede (Sekar
Kawi), Qur’an dan tafsirnya, Hukum Agama Islam, Tradisi sejumlah
upacara kerajaan mulai Mataram hingga Kerajaan Ngayogyakarta
(Adat-naluri tuwin Tata adating Keraton) yang berhubungan dengan
agama, perkawinan, dan bemacam-macam tarian putra dan tarian putri.
95
Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem baik Pawiyatan Abd Dalem
maupun Pawiyatan Aksara Jawa mengajarkan kembali beberapa nama
mata pelajaran tersebut dengan nama yang berbeda. Selain itu,
beberapa nama mata pelajaran tersebut kini dipelajari kembali dengan
nama yang berbeda. Perkembangan terkait dengan perubahan nama
mata pelajaran tersebut antara lain:
a. Mata pelajaran sejarah karaton di tanah Jawa sekarang menjadi
Sejarah Keistimewaan DIY (UU. No 13 Tahun 2012) dan Filosofi
Karaton Ngayogyakarta Hadiningat terdiri dari: Hamemayu
Hayuning Bawono, Watak Satriya, Golong Gilig, Sangkan
Paraninng Dumadi, Manungaling Kawula Gusti.
b. Mata pelajaran menyanyi (nembang Macapat, Tengahan, Tembang
Gede (Sekar Kawi) sekarang diberikan di Pawiyatan Aksara Jawa.
Menyanyikan tembang merupakan pelajaran tambahan disamping
menulis dan membaca aksara jawa.
c. Mata pelajaran Qur’an dan tafsirnya maupun Hukum Agama Islam
sekarang menjadi materi Sesambetane Agama lan Budaya Ing
Karaton Miturut Wucalan Wali Songo Sarta Jumbuhe Ajaran
Agama Lan Budaya Ing Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat,
Ahlussunah Waljamaah.
d. Mata pelajaran tradisi sejumlah upacara kerajaan mulai Mataram
hingga Kerajaan Ngayogyakarta (Adat-naluri tuwin Tata adating
Keraton) yang berhubungan dengan agama. Mata pelajaran ini di
Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem menjadi materi Bab Hajad Dalem.
Berbagai mata pelajaran di Sekolah Pawiyatan sebagian besar
mengadopsi dari mata pelajaran di Sekolah Tamanan. Perkembangan.
Perkembangan tersebut terkait dengan perubahan nama mata pelajaran. Semua
mata pelajaran yang diajarkan tidak hanya sebagian besar model dari
96
Sekolah Tamanan, tetapi Sekolah Habirandha juga memiliki keterkaitan
dengan Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem. Keterkaitan tersebut terletak di
dalam hal mata pelajaran. Pelajaran-pelajaran yang ada di Sekolah
Habirandha mengenai tokoh-tokoh wayang, sejarah wayang, juga diajarkan
di Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem. Di samping itu, di Pawiyatan Aksara
Jawa juga mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam setiap tembang
Jawa dan menyanyikan tembang, seperti halnya dalam pembelajaran di
Sekolah Macapat.
2. Murid
Sekolah Pawiyatan baik Pawiyatan Abdi dalem maupun
Pawiyatan Aksara Jawa memiliki perkembangan terkait dengan
perubahan struktur. Perubahan tersebut terletak pada perbedaan para
murid yang mengikuti pembelajaran. Para murid mengikuti
pembelajaran sesuai dengan profesi, keahlian, dan golongan abdi dalem
pada waktu itu. Perbedaan yang ada di Sekolah Tamanan dan Sekolah
Pawiyatan Abdi Dalem adalah terletak pada murid yang mengikuti
pembelajaran.
Pembelajaran di Sekolah Tamanan mempunyai ciri khusus.
Pembelajaran tidak diikuti seluruhnya oleh para murid (para abdi dalem)
melainkan pelajaran-pelajaran tertentu saja yang diberikan sesuai
dengan profesi, keahlian, dan golongan abdi dalem, misalnya: pelajaran
menyanyi (tembang) diberikan oleh para pesinden dan abdi dalem Reh
Karawitan. Seiring berjalannya waktu, pelajaran menyanyi (tembang)
97
telah diberikan di Pawiyatan Aksara Jawa dan boleh diikuti oleh semua
para abdi dalem sehingga tidak bersifat khusus.
3. Guru
Perubahan-perubahan struktur juga terdapat di dalam
komponen pendidik atau guru. Para guru yang mengajar di Sekolah
Pawiyatan Abdi Dalem, khususnya Pawiyatan Aksara Jawa mengalami
perkembangan jika diihat dari sisi sejarah dari Sekolah Tamanan. Para
guru di Sekolah Tamanan ini adalah para abdi dalem yang bertugas di
Reh Kawedanan Kapujanggan. Para guru memberikan pelajaran sesuai
dengan pelajaran bahasa dan kasusasteraan Jawa.
Pelajaran bahasa dan kasusasteraan Jawa hingga kini diberikan
di Pawiyatan Aksara Jawa. Selain itu, para pengajarnyapun adalah
para abdi dalem yang bertugas di Tepas Widya Budaya. Pembelajaran
ini sifatnya tidak khusus, sehingga para abdi dalem yang inin belajar
mengenai bahasa, kasusasteraa, tulisan Jawa dapat mengikuti
pembelajaran di Gedung KHP Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat.
4. Prasarana
Perkembangan selanjutnya adalah terletak pada prasarana.
Prasarana gedung sekolah memiliki beberapa perbedaan terkait dengan
fungsi dan letak tempatnya. Gedung Sekolah Tamanan mempunyai
fungsi sebagai tempat untuk kegiatan belajar mengajar yang disebut
98
dengan Bangsal Tamanan. Namun, saat ini sudah dialih fungsikan dan
digunakan untuk kegiatan membatik. Selain fungsi, terdapat perubahan
mengenai letak tempat kegiatan belajar mengajar para abdi dalem.
Para abdi dalem menggunakan Bangsal Kasatriyan dan Gedung KHP
Widya Budaya sebagai tempat abdi dalem belajar saat ini.
Bangsal Kasatriyan merupakan Bangsal tempat para abdi dalem
melakukan kegiatan belajar mengajar Pawiyatan Abdi Dalem,
sedangkan Gedung KHP Widya Budaya merupakan tempat para abdi
dalem dalam mengikuti pembelajaran di Pawiyatan Aksara Jawa.
Bangsal maupun Gedung ini keduanya memiliki peran penting dalam
melaksanakan kegiaan pembelajaran di karaton.
Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem sebagian besar memiliki persamaan dan
perbedaan dengan yang ada di Sekolah Tamanan. Sekolah Tamanan memiliki
cara kegiatan belajar mengajar yang lebih bersifat khusus dan belum bersifat
universal untuk abdi dalem. Abdi dalem semasa mengikuti kegiatan
pembelajaran di Sekolah Tamanan masih mengutamakan dan memperhatikan
profesi dan keahlian yang dimiliki. Pengelompokan-pengelompokan sesuai
dengan keahlian dan profesi abdi dalem tersebut menjadikan ciri khas untuk
membedakan dengan Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem. Selain itu, para
pengajarnya pun ahli di bidangnya dan sesuai dengan tugas dan profesinya.
99
Berbagai aspek yang dapat diihat dari perubahan-perubahan yang ada antara
Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem dengan Sekolah Tamanan, dapat menunjukkan
sifat kontinuitas dalam sejarah. Ada beberapa aspek saja yang saling berkaitan
dengan masa sekarang. Konsep sejarah kontinuitas dalam bahasan ini adalah
terletak pada model pendidikan semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I. Model
pendidikan semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I ini kini diterapkan kembali
semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Para abdi dalem menjalankan tugas dan profesi di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat telah diberikan gaji atau upah. Gaji atau upah yang
diterima oleh para pegawai karaton (abdi dalem) memiliki perbedaan seiring
dengan masa pemerintahan sultan. Sri Sultan Hamengku Buwono I-VII
memberikan gaji untuk para pegawai berupa tanah dan sawah. Sedangkan uang
tetempuh besarnya menurut tingkat jabatan. Uang tetempuh tersebut berasal
dari Pemerintahan Belanda. Pemerintah Belanda memberikan uang tetempuh
yang berasal dari hasil daerah Mataram yang berada di luar Yogyakarta.
Peraturan gaji tersebut berlaku sampai tahun 1914, pada waktu apanage stelsel
dihapuskan sehingga dibentuk kalurahan-kalurahan sebagai badan hukum.
Sri Sultan Hamengku Buwono I-VII memberikan gaji untuk para abdi
dalem belum melalui lembaga pemerintahan yang khusus dan masih terikat
dengan peraturan Belanda. Lain halnya, semasa Sri Sultan Hamengku Buwono
VIII yang sudah mempunyai lembaga pemerintahan yang bertugas menangani
100
urusan para pegawai karaton. Lembaga pemerintahan tersebut dinamakan
Parentah Luhur Keraton. Parentah Luhur Keraton ini didirikan pada tahun 1934.
Pegawainya terdiri dari pegawai yang digaji negeri dan yang digaji karaton.17
Para pegawai karaton semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX mulai memberikan gaji untuk para abdi dalem berupa uang. 18
Uang tersebut bukan berasal dari Pemerintahan Belanda, melainkan uang
tersebut berasal dari karaton sendiri. Selain sistem pembayaran upah atau gaji
berubah, lembaga pemerintahan Parentah Luhur berganti nama menjadi
Kantor Penghubung Karaton Yogyakarta atau disebut Tepas Dwarapura
hingga sampai sekarang (masa Sri Sultan Hamengku Buwono X). 19
Tepas
Dwarapura merupakan tepas yang menangani urusan hubungan Karaton
Yogyakarta dengan masyarakat ataupun instansi.
Pendidikan untuk abdi dalem tidak terlepas dari adanya pendidikan
humaniora. Pendidikan humaniora lambat laun akan masuk di kalangan istana,
baik untuk keluarga istana maupun para abdi dalem.20
Berbagai macam cara
17 Anonim, Sejarah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayan, 1976), hlm. 159.
18 Lihat lampiran 17, Senarai Arsip Keraton Yogyakarta Masa Sri Sultan Hamengku
Buwono IX Nomor 2717 Tahun 1945, hlm. 133.
19 op.cit., hlm. 160.
20 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: PT TIARA WACANA
YOGYA, 1987), hlm. 40.
101
agar pendidikan humaniora ada dan lambat laun akan masuk ke dalam istana
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dapat melalui berbagai macam saluran.
Saluran-saluran tersebut antara lain: literatur jawa, upacara-upacara dan
simbol-simbol, dan pendidikan keagamaan. Berbagai macam saluran tersebut
hingga kini dapat menjadi pendukung di dalam proses pembelajaran di
Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem.
Pendidikan humaniora dapat dipelajari melalui berbagai macam saluran.
Saluran pertama dapat melalui kajian literatur jawa. Literatur jawa dapat
memberikan wawasan yang didalamnya memuat wawasan mengenai etika. Etika
dapat dipelajari mengenai kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kepribadian
yang dimiliki oleh seseorang sehingga muncul adanya pendidikan etika.
Pendidikan-pendidikan terkait dengan etika tersebut ada di dalam literatur jawa.
Literatur jawa seperti babad, serat, dan piwulang dapat mengajarkan kepada kita
bahwasannya etika tidak terlepas dari kepribadian seseorang.
Literatur Jawa merupakan salah satu saluran pendidikan humaniora yang
bergerak di bidang bahasa dan kasusasteraan. Adanya literatur tersebut, karaton
dapat juga mempekerjakan pujangga-pujangga yang berkewajiban
mengembangkan sastra yang mencakup etika (filsafat perilaku dan ajaran baik-
buruk), babad (sejarah tradisional), gendhing atau nyanyian. 21
Pengembangan-
21 G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 110.
102
pengembangan dibidang sastra tersebut dapat dikembangkan oleh pihak
karaton dengan didukung oleh teknologi yang modern. Karaton juga berharap
kajian tentang literatur jawa dapat terus dikembangkan melalui berbagai
macam naskah, manuskrip, dan arsi-arsip karaton.
Saluran pendidikan humaniora kedua adalah melalui upacara-upacara dan
simbol-simbol. Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki simbol-simbol
kebesaran yang terlihat pada upacara-upacara karaton. Pelaksanaan upacara-
upacara pasti memiliki makna tersendiri. Makna-makna tersebut dapat
memberikan pengetahuan dan pendidikan bagi masyarakat melalui simbol-
simbol yang ada di dalam upacara karaton tersebut. Masyarakat yang hadir dan
turut serta melihat secara langsung dapat memiliki kesan tersendiri.
Simbol merupakan suatu kesatuan dalam upacara-upacara karaton.
Misalnya, adanya simbol disetiap bendera prajurit karaton berbeda. Simbol-
simbol ini untuk membuktikan bahwa karaton mempunyai pemerintahan yang
kuat dengan memiliki bermacam-macam prajurit guna untuk memberikan
keamanan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Selain itu, tujuan utama
upacara ialah menundukkan setiap anggota masyarakat pada posisi sosial
tertentu sebagai raja, sentana, abdi dalem, maupun kawula. 22
Simbol-simbol
22 Kawula Dalem dapat disebut juga lapisan wong cilik. Lapisan ini diartikan dengan
lapisan yang jauh di luar kerabat karaton dan mereka yang tidak mempunyai Sedangkan tugas Sultan menyangkut masalah dalam lingkungan karaton dibantu oleh para sentana. Lihat:
103
dalam upacara karaton ini memberikan pemahaman kepada masyarakat
terkait dengan peranan karaton dalam pemerintahan, sosial, dan budaya.
Karaton memiliki peranan di bidang keagamaan. Peranan ini tidak lepas
dengan adanya pendidikan keagamaan di karaton. Pendidikan ini penting untuk
Karaton karena memiliki posisi yang biasanya dekat dengan masjid. Salah satu
masjid yang posisinya dekat dengan Karaton Ngayogyakarta adalah Masjid
Gedhe Kauman.23
Selain itu karaton juga mempekerjakan sejumlah ulama. 24
Ulama tersebut terdiri dari abdi dalem abdi pamethakan (pamethakan dari kata
pethak= putih). Warna putih ini sesuai dengan warna baju yang dikenakan
ketika para abdi dalem menjalankan tugas.
Pendidikan keagamaan dapat masuk melalui berbagai macam cara.
Pendidikan keagamaan dapat melalui tulisan-tulisan buku yang ditulis oleh
para pujangga, raja, ataupun siapa saja yang memiliki pemikiran teologis.
Tulisan-tulisan buku tersebut mengenai cita-cita dalam hal kasampurnaan,
Sagimun dan Rivai Abu, Sistim Kesatuan Hidup Setempat Daerah Isimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980/1981), hlm. 58, 59, dan 70.
23 Masjid Gedhe Kauman Karaton Yogyakarta didirikan oleh Pangeran Mangkubumi
yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I, dengan arsitek Kanjeng Tumenggung Wiryokusumo pada tahun 1667 J atau 1773. Lihat: Ahmad Sarwono bin Zahir, Sabda Raja HB X Dalam Timbangan Revousi Karakter Istimewa, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), hlm. 120.
24 Ulama, kosakata bahasa Arab, bentuk jamak dari kata ‘alim, artinya orang yang berpengetahuan, ahli
ilmu, orang pandai. Dalam bahasa Indonesia menjadi bentuk tunggal, yakni orang yang ahli ilmu agama Islam. Kata
ulama sepadan dengan ulul albab dalam Al-Quran, yaitu orang yang arif. Lihat: Muhammad Chirzin, Ulama dan Umara
dalam Perspektif
Al-Quran, (https://artikula.id/muhammad/ulama-dan-umara-dalam-perspektif-al-quran/. diakses 12 Februari 2019).
104
yaitu buku-buku wirid dan suluk. Buku-buku wirid dan suluk ini merupakan
hasil tulisan-tulisan dari para pujangga. Salah satu pujangga yang berasal
dari Karaton Surakarta yang bernama Ranggawarsita (1802-1873). Beliau
menyumbangkan ilmu kasampurnaan dengan menulis buku-buku berjenis
wirid dan suluk, seperti Wirid Hidayat Jati, Suluk Sukma Lelana, Maklumat
Jati, dan sebagainya.
BAB V
KESIMPULAN
Pendidikan di Yogyakarta telah lama menjadi bahan kajian yang menarik
minat berbagai kalangan. Unsur yang menarik dari pendidikan secara historis
bahwa telah terjadi pada masa kerajaan-kerajaan salah satunya di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Peninggalan-peninggalan masa lalu dan
kebudayaan-kebudayaan yang ada merupakan bagian dari terbentuknya sejarah
pendidikan di Yogyakarta. Sejarah pendidikan di Yogyakarta merupakan bahan
kajian dalam skripsi ini, yang didukung oleh seluruh masyarakat Yogyakarta.
Berbagai aspek yang dapat diihat dari perubahan-perubahan yang ada
antara Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem dengan Sekolah Tamanan, dapat
menunjukkan sifat kontinuitas dalam sejarah. Ada beberapa aspek saja yang
saling berkaitan dengan masa sekarang. Konsep sejarah kontinuitas dalam
bahasan ini adalah terletak pada model pendidikan semasa Sri Sultan
Hamengku Buwono I. Model pendidikan semasa Sri Sultan Hamengku
Buwono I ini kini diterapkan kembali semasa pemerintahan Sri Sultan
Hamengku Buwono X.
Konsep sejarah dalam bahasan ini juga ada konsep diskontinuitas. Konsep
diskontinuitas ini terletak pada pendidikan yang ada di karaton saat ini
105
106
disesuaikan dengan perkembangan zaman, misalnya pemukiman di sekitar
Karaton Yogyakarta. Pemukiman saai ini sudah mempunyai fungsi yang
berbeda semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I. Semasa Sri Sultan
Hamengku Buwono I mempunyai fungsi sebagai pendukung tata
pemerintahan di Yogyakarta dan berguna sebagai pemukiman khusus untuk
abdi dalem, sedangkan semasa Sri Sultan Hamengku Buwono X fungsi dan
peranan kampung sudah berubah. Pemukiman-pemukiman ini sekarang dihuni
oleh masyarakat umum dan hanya sebagian kecilnya saja peranan kampung
masih ada. Peranan kampung yang masih ada hingga sekarang ini terletak di
Kampung Sekulanggen, kampung ini masih aktif dalam menyiapkan berbagai
kebutuhan karaton.
Pendidikan Pawiyatan Abdi Dalem ini merupakan pendidikan yang
mengutamakan pendidikan karakter. Karakter yang sesuai dengan ajaran Sri
Sultan Hamengku Buwono I terkait dengan kepemimpinan. Selain itu,
pendidikan pawiyatan juga menyisipkan budaya-budaya di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Pendidikan ini sangat penting terkait dengan
pembentuka kepribadian, dan jiwa seseorang abdi dalem. Abdi dalem harus
menjadi suri tauladan yang baik bagi masyarakat dan juga pada keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Arsip:
Arsip Pamucalan Aksara Jawi, (2018). KHP Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Arsip Serat-Serat Pasarta Aksara Jawa, (2018). KHP Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Senarai Arsip Keraton Yogyakarta Masa Pemerintahan HB VII No. 597 Tahun 1923.
Senarai Arsip Keraton Yogyakarta Masa Pemerintahan HB VIII No. 435 Tahun 1923.
Senarai Arsip Keraton Yogyakarta Masa Pemerintahan HB VIII No. 599 Tahun 1926.
Senarai Arsip Keraton Yogyakarta Masa Pemerintahan HB IX No. 2479.
Sumber Buku:
Abdurahman, Dudung. (1999). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Achmad, Sri Wintala dan Krisna Bayu Adji. (2014). Geger Bumi Mataram Sejarah Panjang Perjalanan Kerajaan-Kerajaan Jawa Pasca Mataram Islam Yogyakarta: Araska.
Achmad, Sri Wintala. (2017). Asal Usul dan Sejarah Orang Jawa Yogyakarta: Araska.
Agung, Leo dan Suparman. (2012). Sejarah Pendidikan. Yogyakarta:
Ombak.
Ahmadi. (1987). Pendidikan dari Masa ke Masa. Bandung: CV.ARMICO.
Anggota IKAPI. (1983). Layang Aksara Jawa Jilid I, II, dan III. Jakarta: PT Pradnya Paramita
Anonim. (1956). Kota Jogjakarta 200 Tahun 7 Oktober 1756-7 Oktober 1956. Yogyakarta: Panitya Peringatan Kota Jogjakarta.
_______.(1976). Sejarah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta.
(Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayan.
107
108
______. (1977). Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
_______. (1992). Monografi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
_______. (2006). Menjadi Jogja Memahami Jati Diri dan Transformasi Yogyakarta. Yogyakarta: Panitia HUT ke-250 Kota Yogyakarta Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta bekerjasama dengan Pusat Studi Kebudayaan UGM.
_______. (2009). Ensklopedia Kraton. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY.
_______. (2011) Monarki Yogya Inkonstitusional. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Anshoriy, Nasruddin dan GKR Pembayun. (2008). Pendidikan Berwawasan Kebangsaan Kesadaran Ilmiah Berbasis Multikulturalisme. Yogyakarta: LKis.
Bradjanagara, Sutedjo. (1956). Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Kongres Pendidikan Indonesia.
Darini, Ririn. (2009). Pedoman Penulisan Penelitian Sejarah. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Darusuprapta. (1996). Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Yogyakarta:
Yayasan Pustaka Nusatama.
Dawuh Dalem, Tata Rakit Paprintahan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, (Yogyakarta: Dawuh Dalem, 1999) hlm. 8 Nomor 01/DD/HB.X/EHE-1932.
Endraswara, Suwardi. (2006). Budi Pekerti Jawa Tuntunan Luhur Budaya Adiluhung. Yogyakarta: Buana Pustaka.
Geertz, Clifford. (1981). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Goenawan, Riyadi dan Darto Harnoko. (2012). Mobilitas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta Periode Awal Abad Ke-20: Suatu kajian Sejarah Sosial. Yogyakarta: Ombak.
109
Gottschalk, Louis. (1986). Understanding History: A Primer of Historical Method, a.b. Nugroho Notosusanto, “Mengerti Sejarah”. Jakarta: UI Press.
Hamid, Rahman Abd dan Muhammad Saleh Madjid. (2008). Pengantar
Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Jatiningrat. (2014). Pawiyatan. Yogyakarta: Tepas Banjarwilapa.
Judian, Doni. (2010). Ensiklopedi Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gita Nagari.
Jurusan Pendidikan Sejarah. (2013). Pedoman Penulisan Tugas Akhir Skipsi. Yogyakarta: Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
Kartodirdjo, Sartono. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowijoyo. (1987). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT TIARA WACANA YOGYA.
Kuntowijoyo. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
Kuntowijoyo. (2008). Penjelasan Sejarah: Historical Explanation.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Kawedanan Hageng Panitrapura, Pranatan Kalenggahan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, (Yogyakarta : Kawedanan Hageng Panitrapura, 2014), hlm. 1 Nomor 001. KHPP/PRNTN/Pasa-VII/2014.
Moedjanto, G. (1994). Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
Yogyakarta: Kanisius.
Molen, W. Van der. (tanpa tahun). Sejarah dan Perkembangan Aksara Jawa, (tanpa lokasi penerbit: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nasution, S. (1995). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Nitinegoro, Soemardjo. (1981). Sejarah Berdirinya Kota Kebudayaan Ngayogyakarta Hadinigrat. Yogyakarta: Direktorat Jenderal Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta.
110
Nurhajarini Dwi Ratna, dkk. (2017). Meneguhkan Identitas Budaya Sejarah Pendidikan di Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Poedjosoedarmo, Soepomo, dkk. (2014). Bahasa Bagongan. Yogyakarta:
Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Purwadi. (2007). Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik. Medan:
Pujakesuma.
Purwadi. (2014). Sejarah Raja-Raja Jawa Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa. Yogyakarta: Media Abadi.
Rifa’i, Muhammad. (2011). Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa
Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: AR-RUZZ Media.
Rintaiswara. (2015). Bab Hajad Dalem (Kagem Wucalan Pawiyatan) Wonten hing Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta: KHP Widyabudaya.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. (2016). Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern.Yogyakarta: KREASI WACANA.
Rochmat, Saefur. (2009). Ilmu Sejarah Dalam Perspektif Ilmu Sosial.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sabdacarakatama, Ki. (2009). Sejarah Keraton Yogyakarta. Yogyakarta:
Narasi.
Sagimun dan Rivai Abu. (1980). Sistim Kesatuan Hidup Setempat Daerah Isimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Salam, Aprinus, dkk. (2016). Mbongkar Yogya. Yogyakarta: Pusat Studi Kebudayaan UGM dan Gambang Buku Budaya.
Sarwono, Ahmad. (2015). Sabda Raja HB X Dalam Timbangan Revousi Karakter Istimewa. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Siswoyo, Dwi, dkk. (2013). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Sjamsuddin, Helius. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Soekirman, Djoko, dkk. (1986). Sejarah Kota Yogyakarta, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soemardjan, Selo. (1981). Perubahan Sosial di Yogyakarta.
Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
111
Soenarto, D. (2013). Kesetiaan Abdi Dalem. Yogyakarta: Kepel Press, 2013.
Subanar, G. Budi. (2007). Bayang-bayang Sejarah Kota Pendidikan
Yoyakarta: Komunitas Learning Society. Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma.
Suhartono. (2010). Teori Dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Surjomihardjo, Abdurrachman. (2008). Kota Yogyakarta Tempo Doeloe:
Sejarah Sosial 1880-1930. Jakarta: Komunitas Bambu.
Supraja, Muhammad. (2015). Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Anggota
IKAPI.
Susilantini, Endah, dkk. (2014). Serat Angger Pradata Awal dan Pradata Akhir di Kraton Yogyakarta (Kajian Filosofis Historis). Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta.
Sutjiatiningsih, Sri dan Sutrisno Kutoyo. (1980). Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Suwito, Yuwono Sri. (2009). Prajurit Kraton Yogyakarta Filosofi dan Nilai Budaya Yang Terkandung Di Dalamnya. Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta.
Ulung, Gagas. (2011). Go Traditional. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Zainuddin, Rahman. (1992). Kekuasaan dan Negara Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Sumber Jurnal:
Agung Mustifaris Nugroho, dkk. (2018). “Makna Pisowanan Agung di Yogyakarta Tahun 1998-2008”, AVATARA, Vol 6 No, 4, hlm. 2.
Agus Sudaryanto. (2008). “Hak dan Kewajiban Abdi Dalem Dalam Pemerintahan”, Mimbar Hukum, Volume 20 No. 1, hlm. 166.
Fatchor Rahman. (2017). “Menimbang Sejarah sebagai Landasan Kajian Ilmiah; Sebuah Wacana Pemikiran dalam Metode Ilmiah”, El Banat, Volume 7 No.1, hlm. 139.
112
Setiadi Sulaiman. (2012). “Pendekatan Konsep Dalam Pembelajaran
Sejarah”, Jurnal Sejarah Lontar, Volume 19 No. 1, hlm. 12.
Sumber Internet
Ahmad Sahroji. (2017). Kenapa Kalender Jawa Mirip dengan Kalender Hijriyah?. Tersedia pada https://news.okezone.com/read/2017/09/20/340/1779891/kenapa -kalender-jawa-mirip-dengan-kalender-hijriah-berikut-
penjelasannya. Diakses pada tanggal 01 Januari 2019).
Anonim.(2010). Sekolah Abdi Dalem. Tersedia pada https://store.tempo.co/foto/detail/P1610201000070/sekolah-abdi dalem#.XKKg49OJjo. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2018.
HeningWasisto. (2017). Menilik Sekolah Macapat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Upaya Jaga Kelestarian Budaya Jawa. Tersedia pada http://jogja.tribunnews.com/2017/08/09/menilik-sekolah-macapat-keraton-ngayogyakarta-hadiningrat-upaya-jaga-kelestarian-budaya-jawa?page=all. Diakses pada tanggal 06 Februari 2019.
Kerajaan Nusantara, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, (www.
kerajaannusantara.com/id/yogyakarta-hadiningrat/istana-utama. diakses 18 Februari 2019.
Muhammad Chirzin, (2018). Ulama dan Umara dalam Perspektif Al-
Quran, Tersedia pada https://artikula.id/muhammad/ulama-dan-
umara-dalam-perspektif-al-quran/. Diakses pada tanggal 12
Februari 2019.
Nail Hikam Faqihuddin. (2017). Makna Simbolis Pakaian Dinas Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Tersedia pada https://www.academia.edu/35396281/Makna_Simbolis_Pakaian _Dinas_Abdidalem_Keraton_Yogyakarta. Diakses pada tanggal
05 Februari 2019.
Pribadi Wicaksno. (2012). 4 Sabdatama Raja Yogya Untuk Warganya.
Tersedia pada https://nasional.tempo.co/read/403116/4-
sabdatama-raja-yogya-untuk-warganya/full&view=ok. Diakses
12 Juni 2019.
Ratnawati. (2018). Teori Politik dalam Ilmu Politik, Teori Politik Klasik dan Kontemporer. Tersedia pada http://www.elisa.ugm.ac.id. Diakses pada tanggal 10 Desember 2018.
113
Redaksi Ngangsu Kawruh. (2017). Ageman (Pakaian) Abdi Dalem Keraton Yogyakarta (Bag.1). Tersedia pada https://ngangsukawruh.com/2017/08/30/ageman-pakaian-abdi-
dalem-keraton-yogyakarta-bag-1/. Diakses pada tanggal 02 Februari 2019
Sayidiman Suryohadiprojo. (1994). Makna Modernitas dan Tantangannya Terhadap Iman. Tersedia pada https://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=198. Diakses pada tanggal 01 Januari 2019.
Sutirman Eka Ardhana. (2018). Sejak 1757 di Keraton Yogyakarta Ada Sekolah Tamanan. Tersedia pada https://www.perwara.com/2018/sejak-1757-di-keraton-yogyakarta-ada-sekolah-tamanan/. Diakses pada tanggal 30 April 2018.
Sri Suryantini. (2011). Metodologi Sejarah. Tersedia pada
http://skp.unair.ac.id/repository/Guru-Indonesia/. Diakses 28
Februari 2019.
Tepas Tanda Yekti. (2017). Tugas dan Fungsi Abdi Dalem. Tersedia pada http://kratonjogja.id/abdi-dalem/3/tugas-dan-fungsi-abdi-dalem. Diakses pada tanggal 23 Juni 2017.
Tepas Tanda Yekti. (2017). Pawiyatan Aksara Jawi Abdi Dalem
Memasuki Angkatan Ke-4. Tersedia pada http://kratonjogja.id/peristiwa/27/pawiyatan-aksara-jawi-bagi-abdi-dalem-memasuki-angkatan-ke-4. Diakses pada tanggal 25 Juni 2017.
Tribun News. (2017). Keraton Yogya Gratiskan Belajar Macapat di Sekolah Ini. Tersedia pada http://jogja.tribunnews.com/2018/02/17/keraton-yogya-gratiskan-belajar-macapat-di-sekolah-ini?page=3. Diakses pada tanggal 01 Februari 2019.
Sumber Skripsi:
Benedecta Herlin Yose Hana. (2018). Dari Tradisional ke Modern: Sejarah Pendidikan Di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. (Skripsi). Yogyakarta: UGM.
Eka Yuli Prasetya. (2009). Kehidupan dan Pendidikan Belanda Kaum Priyayi Jawa Abad XX. (Skripsi). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
114
Wawancara:
K.R.T. H. Jatiningrat, S.H, 75 tahun, Penghageng Tepas Dwarapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Memprakarsai Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem.
K.R.T Rintaiswara, 76 tahun, Guru Pawiyatan Aksara Jawa sejak tahun 2012.
M.P Yudomanggolo, 75 tahun, Abdi dalem Punakawan dan Murid Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem pada tahun 2011.
M.B Yudoharnowo, 65 tahun, Abdi Dalem Punakawan dan Murid Sekolah Pawiyatan Aksara Jawa pada tahun 2017.
Romo Cermo Proboprayitno, 67 tahun, Abdi Dalem dan Kepala Sekolah
Habirandha sejak tahun 2013.
LAMPIRAN
115
116
Lampiran 1. Kartu Abdi Dalem (KTA).
Sumber: Dokumentasi Penulis.
117
Lampiran 2. Pengunduran Diri Abdi Dalem Sasrosudirdja dari kedudukan Bekel
Enom Punakawan Minuman dikarenakan melakukan kesalahan semasa Sri Sultan
Hamengku Buwono VIII.
118
Sumber: Senarai Arsip Keraton Yogyakarta Masa Pemerintahan HB VIII No. 599 Tahun 1926.
119
Lampiran 3. Pengangkatan Abdi Dalem Jayeng Puraya Carik Punakwan Miji Parentah
Menjadi Bekel Enom/ Punakawan Carik Mii Parentah.
Sumber: Senarai Arsip Keraton Yogyakarta Masa Sri Sultan Hamengku Buwono
VIII Nomor 435 Tahun 1923.
120
Lampiran 4. Pemberhentian Abdi Dalem Sdr. Bekel Resapernata Bekel Tuwa
Punakawan Miji Tumpukan dan Anaknya Sasrasukapja Jajar Punakawan
Minuman karena sakit ingatan semasa Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Sumber: Senarai Arsip Keraton Yogyakarta Masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII Nomor 597 Tahun 1923.
121
Lampiran 5. Kegiatan Belajar Mengajar Pawiyatan Abdi Dalem.
Sumber: Tepas Tanda Yekti Karaton Ngayoyakarta Hadiningrat.
122
Lampiran 6. Serat Kekancingan Abdi Dalem.
Sumber: Arsip KHP Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
123
Lampiran 7. Partisara Pawiyatan Abdi Dalem.
Sumber: Tepas Parentah Hageng Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
124
Lampiran 8. Bangsal Kasatriyan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sumber: Dokumentasi Penulis
125
Lampiran 9. Gedung Tempat Pembelajaran Pawiyatan Aksara Jawa.
Sumber: Dokumentasi Penulis.
126
Lampiran 10. Kegiatan Belajar Mengajar Pawiyatan Aksara Jawa.
Sumber: Dokumentasi Penulis.
127
Lampiran 11. Presensi Kehadiran Pawiyatan Aksara Jawa.
Sumber: Arsip Serat-Serat Pasarta Aksara Jawa Tahun 2018 KHP Widyabudaya
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
128
Lampiran 12. Latihan Soal Pawiyatan Aksara Jawa (Mengubah tulisan latin
menjadi tulisan aksara jawa).
Sumber: Arsip Serat-Serat Pasarta Aksara Jawa Tahun 2018 KHP Widyabudaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
129
Lampiran 13. Penilaian Pawiyatan Aksara Jawa.
Sumber: Arsip Serat-Serat Pasarta Aksara Jawa Tahun 2018 KHP Widyabudaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
130
Lampiran 14. Ujian Peserta Pawiyatan Aksara Jawa dan Standar Penilaian
Aksara Jawa.
Sumber: Arsip Serat-Serat Pasarta Aksara Jawa Tahun 2018 KHP Widyabudaya Karato Ngayogyakarta Hadiningrat.
131
Lampiran 15. Partisara Pawiyatan Aksara Jawa
Sumber: Dokumentasi Penulis
132
Lampiran 16. Tata Urutan Pembelajaran Pawiyatan Aksara Jawa.
Sumber: Dokumentasi Penulis
133
Lampiran 17. Gaji Abdi Dalem semasa Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
134
135
136
Sumber: Senarai Arsip Keraton Yogyakarta Masa Sri Sultan Hamengku
Buwono IX Nomor 2717 Tahun 1945.
137
Lampiran 18. Kendali Wawancara I untuk Tepas Dwarapura
Nama
: K.R.T. H. Jatiningrat, S.H.
Umur
: 75 tahun
Pekerjaan : Penghageng Tepas Dwarapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
Wawancara dilakukan di Tepas Dwarapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
pada tanggal 28 November 2018. Pukul: 10.00.
1. Siapa nama lengkap bapak?
2. Apa yang dimaksud dengan abdi dalem?
3. Apa yang dimaksud dengan Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem?
4. Bgaimana model pendidikan di Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem?
5. Apa saja pelajaran di dalam Pawiyatan Abdi Dalem?
6. Apa saja aturan-aturan untuk menjadi abdi dalem?
7. Apa yang diharapkan ketika menjadi abdi dalem?
138
Lampiran 19. Transkrip Wawancara I
Jawaban Wawancara
1. Tirun Marwito, S.H atau K.R.T H. Jatiningrat, S.H.
2. Abdi dalem adalah perangkat atau seseorang yang diberi atau diangkat
sebagai abdining budaya atau negara dengan diberi tanda serat
kekancingan dan diberikan nama dan kedudukan. Abdi dalem juga
berasal dari keluarga Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
3. Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem adalah pendidikan budaya dalam
membentuk karakter seseorang khususnya untuk para abdi dalem. Jadi,
pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono X mulai ada pemikiran
untuk menyelenggarakan pendidikan khusus budaya supaya para abdi
dalem termasuk keluarga karaton dapat memahami budaya. Selain itu,
agar mampu bisa menjadi contoh di mana ia tinggal. Karakter ni
disebut sebagai figur ksatria.
4. Model pendidikan di Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem ini adalah
keberlanjutan dari Sekolah Tamanan semasa Sri Sultan Hamengku
Buwono I. Sekolah ini diselenggarakan untuk membentuk jiwa atau
karakter seorang ksatria.
5. Pelajaran-pelajaran yang diberikan ada kaitannya dengan budaya dan
kesejarahan di Karaton Ngayogakarta Hadiningrat. Selain itu, untuk para
abdi dalem menggunakan bahasa khusus yaitu Bahasa Bagongan. Bahasa
Bagongan ini merupakan bahasa yang digunakan untuk merujuk
139
pada tidak adanya tingkatan yang berlaku antar sesama abdi dalem,
walaupun pangkat abdi dalem berbeda, tetapi semuanya tetap
menggunakan Bahasa Bagongan. Bahasa Krama Inggil hanya
digunakan pada berhadapan dengan sultan. Bahasa Bagongan ini dapat
dikatakan adalah bahasa yang demokratis. Contoh kata-kata dalam
Bahasa Bagongan seperti: boya (tidak), wenten (ada), punapi (kenapa),
dan sebagainya.
6. Aturan-aturan menjadi abdi dalem adalah mematuhi aturan berlaku di
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, seperti dari segi busana:
memakai pakaian peranakan lengkap dengan blangkon, cenela, dan
keris. Selain itu, tidak melanggar aturan yang berlaku di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat.
7. Harapan untuk para abdi dalem adalah abdi dalem harus menjadi
contoh di mana ia tinggal, mematuhi aturan berlaku di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat, seperti: memakai pakaian peranakan
lengkap dengan blangkon, cenela, dan keris. Pakaian peranakan ini
memiliki makna bahwa satu sama lain adalah bersaudara. Mengabdi
itulah yang paling penting untuk menjadi abdi dalem. Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat kini mewajibkan para abdi dalem
seluruhnya untuk mengikuti pawiyatan tersebut.
140
Lampiran 20. Kendali Wawancara II untuk pengajar Sekolah Pawiyatan Aksara
Jawa.
Nama: K.R.T Rintaiswara
Umur : 76 tahun
Pekerjaan: Guru Pawiyatan Aksara Jawa
Wawancara dilakukan di KHP Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat pada tanggal 8 Januari 2019. Pukul: 10.00
Kendali Wawancara
1. Siapa nama lengkap bapak?
2. Tahun berapa bapak mengajar di Pawiyatan Aksara Jawa?
3. Apa tujuan diadakannya Pawiyatan Aksara Jawa?
4. Bagaimana sistem pembelajaran di Pawiyatan Aksara Jawa?
5. Sejak kapan adanya Pawiyatan Aksara Jawa mulai ada?
6. Apa yang diajarkan dalam Pawiyatan Aksara Jawa?
7. Bagaimana penilaian dan evaluasi terhadap pembelajaran aksara Jawa?
8. Apa hambatan ketika mengajar Pawiyatan Aksara Jawa?
9. Bagaimana solusi yang digunakan dalam mengatasi hambatan tersebut?
10. Apakah guru-guru dalam mengajar Pawiyatan Aksara Jawa digaji?
11. Apa ada semacam ijazah atau tanda bahwa sudah mengikuti Pawiyatan
Aksara Jawa?
141
Lampiran 21. Transkrip Wawancara II
Jawaban Wawancara
1. K.R.T Rintaiswara
2. Sejak tahun 2012
3. Tujuannya utamanya adalah untuk dapat membaca dan menulis aksara
Jawa bagi para abdi dalem karena banyak literatur yang bertuliskan
huruf aksara Jawa.
4. Sistem pembelajaran adalah belajar mengenai pengetahuan dasar
aksara Jawa bagi para abdi dalem yang ingin belajar aksara Jawa. Abdi
dalem yan terdiri dari pangkat/gelar yang berbeda dijadikan dalam satu
kelas. Satu kelas berisi 30 peserta. Peserta diberi materi pembelajaran
yang berbentuk buku. Buku tersebut di dalamnya terdapat macam-
macam huruf aksara Jawa dan bagimana tata tulis aksara Jawa dengan
memperhatikan tanda bacanya. Pembelajaran dalam satu minggu
adalah 2 kali yaitu hari Selasa dan Kamis pukul 10.00-12.00.
5. Sejak 2016
6. Pembelajaran yang diajarkan mengenai membaca aksara Jawa, menulis
aksara Jawa. Selain itu disela-sela pokok pembelajaran terdapat
pembelajaran mengenai tembang, sejarah, wayang, dan sebagainya.
Dalam hal ini ditekankan pula sejarah asal usul wayang dan makna
dari tembang-tembang macapat.
7. Penilaian yang dilakukan adalah penilaian harian dan presensi
kehadiran adalah hal yang utama dalam memperoleh nilai. Penilaian
digunakan menggunakan standar huruf A, B, dan C. Akan ada ujian
setiap bulannya yaitu dilaksanakan pada minggu terakhir.
8. Hambatan dalam mengajar terletak pada fasilitas yang belum
mendukung sepenuhya dan daya serap para peserta yang mengikuti
pawiyatan ini. Fasilitas yang perlu dalam pawiyatan ini adalah papan
tulis dikarenakan pada umumnya peserta pawiyatan sudah lanjut usia
sehingga dalam hal ini berpengaruh terkait dengan kondisi kesehatan
142
mata. Selain itu adalah daya serap masing-masing peserta berbeda
terlebih yang sudah lanjut usia.
9. Solusi yang dilakukan adalah bagi peserta diberikan tugas rumah
semacam PR. Pekerjaan rumah ini dapat berupa latihan menulis aksara
Jawa. Soal yang diberikan berupa kalimat-kalimat dengan huruf latin
kemudian di tulis dalam bentuk aksara Jawa. Kalimat-kalimat ang
terdapat dalam soal tersebut dipetik dari cerita dari sejarah Yogyakarta,
babad, dan tembang. Dalam hal ini peserta dapat mengkaji tulisan
sekaligus mengerti isi dari tulisannya tersebut.
10. Iya digaji dari pihak Karaton
11. Ada semacam tanda bahwa sudah lulus dalam mengikuti pembelajaran
aksara Jawa yaitu disebut partisara.
143
Lampiran 22. Kendali Wawancara III untuk murid Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem.
Nama: M.P Yudomanggolo
Alamat: Giripeni Wates Kulon Progo
Umur : 78 tahun
Pekerjaan: Abdi Dalem Punakawan
Wawancara dilakukan di Halaman Bangsal Magangan Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat pada tanggal 12 April 2019. Pukul: 11.00.
Kendali Wawancara
1. Siapa nama lengkap bapak?
2. Tahun berapa bapak mengikuti Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem?
3. Kapan bapak menerima partisara Pawiyatan Abdi Dalem?
4. Bagaimana cara untuk ikut Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem?
5. Bagaimana sistem pembelajaran di Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem?
6. Berapa jumlah murid dalam satu angkatan di Sekolah Pawiyatan Abdi
Dalem?
7. Apa saja pelajaran yang diajarkan di Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem?
8. Bagaimana dengan pelajaran yang bersifat praktik?
9. Bagaimana cara guru-guru mengajarnya?
10. Apa bapak juga mengikuti Pawiyatan Aksara Jawa?
11. Apa manfaat yang dirasakan setelah mengikuti Pawiyatan Abdi Dalem?
144
Lampiran 23. Transkrip Wawancara III
Jawaban Wawancara
1. Raden Mas Penewu Yudomanggolo
2. Mengikuti pawiyatan pada saat tahun 2011 (Sudah angkatan ke-4)
3. Menerima partisara pada 10 Februari 2011. Saat itu masih berpangkat Bekel
4. Sekolah Pawiyatan Abdi Dalem ini sifatnya wajib diikuti oleh seluruh abdi
dalem (kaprajan maupun punakawan). Karaton sebagai penyelenggara
pendidikan ini jadi jadwalnya berbah-bubah sesuai dengan Dawuh Dalem
(perintah raja). Pembelajran ini dilaksanakan di Bangsal Kasatriyan Karato
Ngayogyakarta Hadiningrat.
5. Setelah sowan bekti selama 2 tahun dan magang selama 2 tahun di karaton
secara rutin, maka abdi dalem mulai masuk ke jenjang kepangkatan yang
dimulai dari jajar. Pangkat abdi dalem jajar ini sudah harus ikut
Pawiyatan Abdi Dalem.
6. Jumlah murid dalam satu angkatan kurang lebih sebanyak 200 orang
7. Pelajaran yang diajarkan banyak sekali mengenai Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat, seperti: sejarah Yogyakarta, filosofi tentang Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat tentang garis imajner, keagamaan, tradisi,
kesenian, sastra, dan sebagainya. Selain itu, diperkenalkan tentang macam-
macam bangunan yang ada di dalam dan di luar karaton.
8. Pelajaran yang bersifat praktik, abdi dalem harus paham tentang bagaimana
cara berpakaian, tata krama dalam berbahasa, dan berjalan. Selain itu, terdapat
juga lampah dodok, lampah pocong, dan lampah dadap.
145
9. Para guru mengajarkan dengan cara teori dan praktik. Abdi dalem
mendengarkan penjelasan dari guru dan diberi macam-macam modul
sebagai materi pembelajaran.
10. Sayatidak ikut Pawiyatan Aksara Jawa, hanya mengikuti Pawiyatan Abdi
Dalem. Pawiyatn Aksara Jawa bersifat khusus dan tidak diwajibkan bagi
abdi dalem, hanya saja abdi dalem yang ingin belajar mengenai aksara
Jawa boleh ikut.
11. Manfaat yang dirasakan adalah menambah pengalaman dan dapat
memberikan wawasan tentang Karaton Ngayogakarta Hadiningrat.
146
Lampiran 24. Kendali Wawancara IV untuk murid Sekolah Pawiyatan Aksara Jawa
Nama
: M.B Yudoharnowo
Alamat
: Jethak, Sendangtirto, Berbah, Sleman
Umur
: 65 tahun
Pekerjaan
: Abdi Dalem Punakawan
Wawancara dilakukan di Halaman Bangsal Magangan Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat pada tanggal 12 April 2019. Pukul: 11.00
Kendali Wawancara
1. Siapa nama lengkap bapak?
2. Tahun berapa bapak mengikuti Sekolah Pawiyatan Aksara Jawa?
3. Kapan bapak menerima partisara Pawiyatan Aksara Jawa?
4. Bagaimana cara untuk ikut Sekolah Pawiyatan Aksara Jawa?
5. Bagaimana sistem pembelajaran di Sekolah Pawiyatan Aksara Jawa?
6. Berapa jumlah murid dalam satu angkatan di Sekolah Pawiyatan Aksara
Jawa?
7. Apa saja pelajaran yang diajarkan di Sekolah Pawiyatan Aksara Jawa?
8. Bagaimana dengan pelajaran yang bersifat praktik?
9. Bagaimana cara guru-guru mengajarnya?
10. Apa manfaat yang dirasakan setelah mengikuti Pawiyatan Aksara Jawa?
147
Lampiran 25. Transkrip Wawancara IV
Jawaban Wawancara
1. Mas Bekel Yudoharnowo
2. Ikut Pawiyatan Aksara Jawa pada tahun 2017.
3. Mendapat partisara pada tahun 2017.
4. Cara untuk mengikuti pembelajaran di Sekolah Pawiyatan Aksara Jawa
adalah mendaftar di KHP Widya Budaya dan sudah terdaftar di masing-
masing tepas.
5. Sistem pembelajaran di Pawiyatan Aksara Jawa menggunakan sistem teori
dan praktik. Murid mendengarkan penjelasan dari guru kemudian
menirukan kembali cara membaca aksara jawa. Para abdi dalem bergiliran
latihan membaca satu per satu dan lainnya menyimak.
6. Jumlah murid 30 orang.
7. Membaca dan menulis aksara jawa. Selain itu, diberikan pengetahuan lainnya
seperti makna dari wayang, lagu, dan ceita-cerita sastra lainnya. Berbagai
wawasa ini diberikan pada murid di sela-sela waktu pembelajaran.
8. Pelajaran yang bersifat praktik hanya dilatih cara membaca aksara jawa
dengan baik dan benar.
9. Para guru mengajar dengan cara menjelaskan materi kemudian para murid
dilatih untuk membaca dan menulis huruf aksara jawa.
10. Manfaat yang dirasakan adalah sedikit demi sedikit saya bisa membaca dan
menulis aksara jawa. Saya belajar tentang aksara jawa ini tidak hanya di
karaton saja, tetapi juga di rumah saya tetap membaca di sela-sela kegiatan.
148
Lampiran 26. Berfoto dengan K.R.T. H. Jatiningrat, S.H seusai wawancara
Dokumentasi : Penulis
149
Lampiran 27. Wawancara dengan Abdi Dalem.
Dokumentasi: Penulis