SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada...
Transcript of SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada...
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH
JILID 18
OLEH
PaneMbahan Mandaraka
Gambar sampul & Gambar dalam
Ki Adi Suta
Tahun 2019
Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas
(i)
Cerita ini ditulis
Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa
Yang telah menggali cerita Dari bumi yang tercinta
Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga Hanyalah kecintaan akan sebuah karya Untuk dilestarikan sepanjang masa
Sekar keluwih, Desember 2019
Terima kasih atas dukungan: Istri dan anak-anak tercinta
Serta handai taulan semua
(ii)
“Sebenarnya ilmu menghisap tenaga lawan ini adalah sejenis ilmu
yang dapat untuk melumpuhkan lawan tanpa mencederainya,”
berkata Ki Rangga dalam hati sambil terus mengawasi jalannya
pertempuran, “Perguruan Windujati pun mempunyai ilmu sejenis
itu, namun dalam bentuk yang berbeda. Ilmu yang dapat
mempengaruhi indera penciuman seseorang sehingga akan
mengakibatkan lawan menjadi lumpuh saraf otaknya. Namun
kebanyakan ilmu-ilmu yang sejenis itu justru dijadikan sebagai
alat pembunuh oleh pemiliknya. Membunuh dengan cepat lawan
yang sudah tak berdaya. Berbeda dengan tujuan semula, untuk
menjadikan lawan menyerah tanpa harus mencederainya.”
Ketiga orang yang sedang mengawasi jalannya perang tanding itu
sekilas berpaling ke arah pintu longkangan ketika tiba-tiba mereka
mendengar derit pintu yang terbuka lebar. Sejenak kemudian
tampak Ki Gede Matesih berjalan menuju ke tempat mereka
sambil menjinjing tombak pusakanya.
“Aku akan mendekat,” berkata Ki Gede sambil melewati Ki Bango
Lamatan dan Ratri.
“Aku di sini saja, ayah,” bisik Ratri dengan suara yang nyaris tak
terdengar. Sementara Ki Bango Lamatan hanya tersenyum. Dia
tidak bisa mendekat ke arena perang tanding justru karena
mengkhawatirkan keselamatan Ratri jika putri Matesih itu
ditinggal sendirian.
Dalam pada itu langkah Ki Gede pun semakin dekat dengan ketiga
orang yang sedang terpaku mengawasi jalannya perang tanding.
Ketika Ki Gede kemudian berdiri di sebelah kanan Ki Waskita,
hampir serentak ketiga orang itu menganggukkan kepalanya yang
1
segera dibalas anggukan pula oleh pemimpin perdikan Matesih
itu.
“Luar biasa,” desis Ki Gede kemudian begitu pandangan matanya
ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada
anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti
ini.”
Ki Waskita yang berdiri di sebelahnya hanya menarik nafas dan
berpaling sekilas ke arah Ki Gede sambil tersenyum dan
mengangguk. Perhatian orang tua itu benar-benar sedang
tercurah pada pertempuran.
Ki Rangga yang berdiri di sebelah kiri Ki Waskita sekilas berpaling
mendengar desis Ki Gede. Namun sebagai kakak sepupu dan
sekaligus guru Glagah Putih dari jalur Ki Sadewa, Ki Rangga
benar-benar sedang mengkhawatirkan keselamatan Glagah Putih.
“Di dalam diri Glagah Putih telah mengalir dua jalur perguruan,
jalur dari perguruan Ki Sadewa dan Ki Jayaraga,” membatin Ki
Rangga untuk menentramkan gejolak hatinya, “Selain itu
pergaulannya dengan Raden Rangga juga telah membuat ilmunya
semakin meningkat pesat,” Ki Rangga sejenak berhenti berangan-
angan. Lanjutnya kemudian, “Terakhir dia telah mewarisi sebuah
kitab dari Kiai Namaskara secara aneh dan tidak masuk akal.
Namun aku belum sempat meneliti lebih jauh ilmu yang telah
dipelajari oleh Glagah Putih dan Rara Wulan itu. Sebagai gurunya,
suatu saat aku akan mempelajari isi kitab itu secara lebih
bersungguh-sungguh karena menurut cerita Glagah Putih, banyak
laku aneh yang terdapat dalam kitab itu dan memang harus dikaji
pengaruhnya terhadap diri pribadi orang yang mempelajarinya.”
Tiba-tiba terbesit sebuah pemikiran di benak Ki Rangga untuk
memberitahu Glagah Putih tentang ilmu lawannya yang mungkin
2
dapat membahayakan dirinya. Namun dengan cepat angan-angan
itu pun dibuangnya jauh-jauh.
“Tidak selayaknya jika aku menggunakan aji pameling kepada
Glagah Putih untuk mewaspadai ilmu dari goa Langse itu. Itu
sama saja dengan berlaku curang untuk membantu salah seorang
yang sedang berperang tanding, walaupun secara tidak langsung.”
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam, entah untuk ke berapa
kalinya. Dadanya rasa rasanya semakin pepat melihat jalannya
perang tanding yang semakin dahsyat.
Dalam pada itu Glagah Putih yang belum menyadari siasat lawan
yang terus memaksanya bertempur dalam jarak dekat, menjadi
berdebar-debar ketika sekilas pandangan matanya sempat melihat
ke arah kedua telapak tangan lawannya yang terbuka. Warna
kedua telapak tangan itu tampak kebiru-biruan.
“Mungkin mengandung sejenis racun,” membatin Glagah Putih
sambil terus bertempur, “Aku dapat merasakan sambaran hawa
dingin yang keluar dari kedua telapak tangan itu.”
Menyadari kemungkinan terburuk yang dapat terjadi jika
serangan lawan menyentuh tubuhnya, Glagah Putih pun
kemudian berusaha melindungi tubuhnya dengan kekuatan
tenaga cadangannya.
“Aku tidak mempunyai sejenis ilmu kebal seperti kakang Agung
Sedayu,” kembali Glagah Putih berkata dalam hati sambil terus
berloncatan dengan lincahnya menghindari setiap serangan
lawan, “Namun aku berharap seandainya benar serangan orang
ini mengandung racun, tenaga cadanganku akan cukup kuat untuk
menahan racun itu menjalar sampai ke jantung.”
3
Glagah Putih benar-benar harus berjuang sekuat tenaga agar
jangan sampai salah satu bagian tubuhnya tersentuh lawan.
Ditingkatkan kecepatan geraknya, demikian juga lawannya.
Sehingga semakin lama kedua orang yang sedang menyabung
nyawa itu sudah tidak tampak ujud mereka. Hanya bayangan yang
bergerak cepat, berputar melenting dan kemudian meluncur silih
berganti.
Dalam pada itu Matahari telah terbit dan cahayanya yang terang
benderang telah menyinari bumi. Ki Rangga dan Ki Waskita yang
berada di belakang banjar padukuhan induk itu pun telah
dikejutkan oleh suara derap langkah yang teratur dan sorak sorai
yang membahana, walaupun suara itu terdengar masih sangat
jauh dan hanya mereka berdua saja yang baru dapat
mendengarnya.
“Pasukan siapakah yang bergerak di pagi hari begini?” berkata Ki
Rangga dalam hati sambil mengerutkan keningnya dalam dalam.
Ketika dia kemudian berpaling ke arah Ki Waskita, tampak ayah
rudita itu menggeleng lemah. Agaknya Ki Waskita yang juga sudah
mendengar suara itu pun tidak mempunyai dugaan sama sekali.
Namun ketika sejenak kemudian Ki Jayaraga telah mampu
menangkap suara gerakan pasukan itu, tampak wajah orang tua
itu berkerut sejenak. Namun kemudian sebuah senyum
tersungging di bibirnya.
Sambil mengangguk-anggukan kepalanya, Ki Jayaraga pun
kemudian berdesis perlahan-lahan, “Agaknya pasukan pengawal
yang dipimpin Ki Wiyaga telah kembali dari gunung Tidar.”
Yang mendengar desis Ki Jayaraga itu pun telah menarik nafas
dalam-dalam, kecuali Ki Gede Matesih. Karena kemampuannya
4
memang masih di bawah orang-orang tua itu sehingga dia telah
terkejut mendengar desis Ki Jayaraga.
Bertanya Ki Gede kemudian sambil berbisik, “Ki Wiyaga dan
pasukannya telah pulang? Kapan?”
Ki Jayaraga tersenyum sambil berpaling sekilas. Jawabnya
kemudian tak kalah lirihnya, “Mereka sedang bergerak menuju ke
banjar ini, Ki Gede. Kita tunggu saja, sebentar lagi Ki Gede pun
akan mendengar gerakan pasukan itu.”
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam mendengar jawaban Ki
Jayaraga. Dia segera menyadari keterbatasan kemampuannya jika
dibandingkan dengan Ki Rangga dan orang-orang tua itu.
Ki Rangga yang ikut mendengar jawaban Ki Jayaraga itu ikut
mengangguk-anggukkan kepalanya. Berkata Ki Rangga dalam hati
kemudian, “Semoga pasukan pengawal Ki Wiyaga tidak
mengalami satu permasalahan apapun. Semoga mereka membawa
berita baik untuk perdikan ini.”
Namun lamunan Ki Rangga terputus ketika terdengar Glagah
Putih berteriak keras karena mengalami sebuah peristiwa yang
sangat mengejutkan. Ketika dalam jarak yang sangat dekat Glagah
Putih tidak ada ruang untuk berkelit, dengan terpaksa anak laki-
laki Ki Widura itu pun menangkis serangan lawan, dan akibatnya
benar-benar sangat mengejutkan Glagah Putih.
Ketika sambaran tangan lawan dengan telapak tangan yang
terbuka itu mengarah ke wajah, Glagah Putih benar-benar tidak
sempat mengelak. Yang dapat dilakukannya adalah mengangkat
salah satu tangannya untuk melindungi wajah. Namun yang
terjadi kemudian justru telah membuat jantungnya hampir
terlepas dari tangkainya. Lengan kanannya yang berbenturan
5
dengan telapak tangan lawan itu ternyata telah menempel sangat
erat dan lekat sehingga sulit untuk dapat ditariknya kembali.
“Awas Glagah Putih..!!!” tanpa sadar, hampir bersamaan ketiga
orang tua itu telah berteriak keras, bahkan Ki Rangga telah
melangkahkan kakinya selangkah ke depan. Sementara Ki Gede
yang belum mengetahui ilmu nggegirisi dari goa Langse itu hanya
mengerutkan keningnya dalam-dalam.
Bagi Ki Gede, benturan itu masih dalam taraf yang wajar. Tidak
terdengar suara benturan yang keras atau pun cahaya yang
menyilaukan akibat dari benturan itu.
Dalam pada itu Glagah Putih yang belum menyadari apa
sebenarnya yang sedang terjadi pada dirinya telah mengerahkan
segenap kekuatannya untuk menarik lengannya. Namun semakin
dia mengerahkan tenaga cadangan untuk membebaskan
lengannya dari cengkeraman lawan, semakin lama cengkeraman
lawan justru terasa semakin kuat.
Ketika Glagah Putih kemudian mencoba menggunakan tangannya
yang lain untuk menyerang lawan, ternyata lawan dengan sangat
tenangnya justru telah menyambut serangannya itu. Sekali lagi,
Glagah Putih pun merasakan tangannya bagaikan lengket dan
melekat erat pada telapak tangan lawan. Kali ini di bagian
pergelangan tangannya.
Untuk beberapa saat kedua orang itu saling berdiri tegak sambil
mengerahkan kemampuan masing masing sampai ke puncak.
Pertapa goa Langse itu pun telah mengetrapkan ilmu ciri khas
perguruannya sampai ke puncak.
Sedangkan Glagah Putih yang berusaha dengan sekuat tenaga
melepaskan diri dari cengkeraman kedua tangan lawannya
6
menjadi heran. Semakin keras dia berusaha menarik kedua
tangannya, semakin lekat kedua tangan lawan itu mencengkeram
kedua lengannya.
“Ilmu iblis apakah ini!” geram Glagah Putih dalam hati sambil
mengerahkan tenaga cadangannya untuk memperkuat
perlawanannya, “Dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin aku
melepaskan aji sigar bumi ataupun aji namaskara. Aku
membutuhkan waktu sekejap serta jarak yang cukup untuk
melontarkan kedua aji itu.”
Demikianlah akhirnya, ketika tenaga cadangan di dalam diri
Glagah Putih tidak mampu lagi bertahan, sedikit demi sedikit
terasa tenaga cadangan Glagah Putih justru seperti terseret dan
kemudian terhisap ke arah lawannya melalui kedua telapak yang
mencengkeram itu.
“Gila!!” kembali Glagah Putih menggeram dalam hati. Namun dia
tidak putus asa. Sambil berjuang mempertahankan tenaga
cadangannya agar jangan sampai terseret dan terserap habis, dia
memutar otak untuk menghadapi ilmu yang sangat aneh dan
nggegirisi itu.
Dalam pada itu, keempat orang yang berdiri di pinggir arena
perang tanding itu menjadi gelisah, terutama Ki Jayaraga dan Ki
Rangga. Kedua orang yang merasa sebagai guru Glagah Putih itu
tak henti-hentinya menyeka peluh yang membanjiri kening.
“Apa yang harus dilakukan Glagah Putih, Ki,” bertanya Ki Rangga
kemudian dengan suara bergetar menunjukkan kecemasan hati
yang tiada taranya.
Ki Jayaraga yang memandang ke tengah arena perang tanding itu
sama sekali tidak menjawab. Hanya tampak dia menggeleng
7
gelengkan kepalanya berkali-kali. Sedangkan Ki Waskita dan Ki
Gede telah membeku di tempatnya masing-masing. Keduanya
sama sekali tidak berani bergerak atau pun bersuara yang akan
dapat menambah kegelisahan Ki Rangga.
Memang ada sepercik niat untuk membantu murid dan sekaligus
adik sepupunya itu. Namun Ki Rangga segera membuang jauh-
jauh keinginan itu.
“Sebenarnya dengan sorot mataku, aku dapat membantu Glagah
Putih keluar dari kesulitan yang sedang dialaminya. Dengan sekali
hentakan saja pada punggung atau bahunya, Pertapa goa Langse
itu pasti akan terkejut dan dengan demikian pemusatan nalar dan
budinya akan terganggu. Namun itu sangat menyalahi dan
menodai aturan perang tanding ini,” membatin Ki Rangga dengan
jantung yang semakin berdentangan melihat perkembangan di
arena perang tanding.
Dalam pada itu, Ki Bango Lamatan yang termasuk golongan
angkatan tua, telah terkejut bukan alang kepalang begitu melihat
benturan itu. Tanpa sadar dia telah melangkah ke depan.
“Paman! Jangan pergi!” tiba tiba terdengar rengekan dari
belakangnya. Ketika Ki Bango Lamatan kemudian berpaling,
tampak Ratri yang kini sudah jatuh bersimpuh di atas tanah.
Sejenak Ki Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam. Dia
benar-benar tidak dapat meninggalkan Ratri sendirian dalam
keadaan seperti itu. Sementara di arena perang tanding Glagah
Putih sedang dalam kesulitan.
“Sedikit banyak aku mengetahui ilmu itu,” berkata Ki Bango
Lamatan kemudian dalam hati sambil melangkah mundur
kembali dan berdiri tepat di samping Ratri yang sedang
8
bersimpuh, “Ilmu nggegirisi yang dapat menghisap tenaga lawan.
Ilmu itu hampir tidak terlawan kecuali lawan yang dihadapi
mempunyai tenaga cadangan lebih besar dan lebih kuat. Jika
tenaga cadangan lawan jauh lebih kuat, ilmu menempel semacam
seekor cicak atau tokek itu akan dengan mudah dilepaskan.”
Namun ternyata kekuatan kedua orang yang sedang menyabung
nyawa itu terlihat seimbang, dan agaknya Pertapa goa Langse itu
yakin akan mampu menjebol pertahanan Glagah Putih sehingga
dia telah tertawa berkepanjangan.
“Nah, Glagah Putih. Sebut nama kedua orang tuamu sebelum
nyawamu meninggalkan ragamu!” teriak Pertapa goa Langse di
sela sela tawanya, “Engkau dapat menitipkan pesan kepada kakak
sepupumu itu sebelum ajal menjemput!”
Dada Glagah Putih rasa-rasanya mau meledak mendengar ejekan
dari lawannya itu. Namun benak Glagah Putih tetap jernih dan
tidak menjadi buram karena kekalutan hati. Dengan tetap
mempertahankan tenaga cadangannya yang mulai mengalir
sedikit demi sedikit terseret kekuatan ilmu lawan, Glagah Putih
mulai menilai ilmu apa saja yang pernah dipelajarinya sehingga
akan dapat digunakan sebagai sarana menghentikan serangan
lawan bahkan sekaligus menghancurkannya.
Tiba tiba Glagah Putih teringat kepada sebuah ilmu yang dapat
disalurkan lewat pori pori kulitnya. Ilmu yang bertumpu pada
kekuatan yang tersimpan dalam aliran darahnya. Ilmu yang dapat
mengubah tetes tetes embun pagi dan bahkan butir butir darah
yang mengalir dalam tubuhnya menjadi senjata yang sangat
dahsyat dan mematikan, aji pacar wutah puspa rinonce.
Berpikir sampai disitu, anak laki laki Ki Widura itu segera
memusatkan segenap nalar dan budinya. Bertumpu pada aliran
9
darahnya yang terasa mulai sedikit demi sedikit merembes keluar
dari pori-pori di sekujur tubuhnya, Glagah Putih pun kemudian
dengan segenap kekuatan telah melontarkan aji pacar wutah
puspa rinonce. Aji itu tidak keluar dari kedua telapak tangannya,
namun justru telah mengalir deras bersamaan dengan aliran
tenaga cadangannya yang tersedot tenaga lawan.
Demikianlah akhirnya dengan berteriak keras, tubuh Glagah Putih
bergetar keras. Darah sekujur tubuhnya pun bagaikan bergolak.
Tenaga cadangannya pun ikut larut mendesak aliran darahnya
yang telah menyatu dalam pemusatan aji pacar wutah puspa
rinonce.
Pada awalnya Pertapa goa Langse itu begitu gembiranya
menyadari tenaga lawan dengan sangat derasnya memasuki
tubuhnya melalui aliran darah. Namun kegembiraan itu hanya
berlangsung sekejap dan berganti dengan teriakan penuh
kengerian ketika dia menyadari apa sebenarnya yang sedang
terjadi.
Aliran darah Glagah Putih dalam kendali aji pacar wutah puspa
rinonce itu telah menyusup ke dalam tubuh lawan melalui pori-
pori telapak tangan lawan yang mencengkeramnya dan berubah
menjadi ribuan jarum yang sangat lembut yang meluncur deras
mengikuti aliran darah menuju jantung.
Menyadari keadaan yang dapat membahayakan jiwanya, Pertapa
goa Langse itu segera melepas cengkeramanya dan meloncat ke
belakang. Namun semuanya sudah terlambat. Aliran darah yang
berubah menjadi senjata mematikan itu telah meluncur deras
didorong oleh hentakan tenaga cadangan Glagah Putih yang
memang sengaja telah dihentakkan diluar batas kemampuannya.
10
Akibatnya ternyata sangat dahsyat bagi kedua orang yang sedang
berperang tanding itu. Pertapa goa Langse yang telah meloncat ke
belakang itu ternyata tidak mampu mempertahankan
keseimbangannya. Ribuan butir butir darah yang telah berubah
ujud menjadi jarum jarum lembut sebesar gelugut pohon aren itu
telah merajam jantungnya.
Sejenak orang yang mengaku sebagai murid dan sekaligus anak
dari Pertapa goa Langse sepuh itu terhuyung huyung ke belakang
sambil mendekap dada kirinya. Namun semua itu tidak
berlangsung lama. Setelah memuntahkan darah segar terlebih
dahulu, tubuh Pertapa goa Langse itupun limbung dan akhirnya
jatuh terjengkang.
Dalam pada itu, Glagah Putih yang telah menghentakkan
kekuatan tenaga cadangannya melebihi batas untuk mendorong
aji pacar wutah puspa rinonce telah jatuh pada kedua lututnya.
Sejenak pandangan matanya menjadi berkunag kunang sebelum
akhirnya semua menjadi gelap dan dengan perlahan tubuhnya
rebah di atas tanah yang berdebu.
“Glagah Putih !!!” hampir bersamaan orang orang yang berdiri di
pinggir arena itu berlari menghambur ke tempat Glagah Putih
yang telah rebah di atas tanah.
Ki Bango Lamatan yang melihat akhir dari perang tanding itu pun
sudah tidak mampu menahan diri lagi. Dengan secepat kilat dia
meloncat dan berlari menyusul Ki Rangga dan orang-orang tua
itu. Tidak diperdulikan lagi suara rengekan Ratri di belakangnya.
Dalam pada itu, Ki Rangga yang telah sampai di tempat Glagah
Putih terbaring segera berjongkok dan kemudian mencoba
mengangkat kepala Glagah Putih. Ki Jayaraga yang juga telah
berjongkok di hadapannya segera membantu Ki Rangga
11
meletakkan kepala Glagah Putih di pangkuan kakak sepupunya
itu.
Dengan sangat cekatan dan sangat hati hati Ki Rangga segera
meraba denyut nadi di pergelangan tangan adik sepupunya itu.
Ketika Ki Rangga tidak menemukan apa yang dicarinya, dia segera
bergeser ke arah leher Glagah Putih. Namun Senopati pasukan
khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh itu telah
mengerutkan keningnya dalam-dalam. Detak nadi itu pun tidak
didapatkannya.
Namun Ki Rangga tidak berputus asa. Segera saja telapak
tangannya diletakkan di atas dada sebelah kiri Glagah Putih.
Sambil mengerahkan segenap nalar dan budinya, Ki Rangga pun
berusaha memantau detak jantung Glagah Putih.
“Hampir tidak terdengar,” membantin Ki Rangga dengan jantung
yang berdebaran. Dengan cermat Ki Rangga pun segera mengurut
beberapa urat-urat darah yang terdapat di sekujur tubuh Glagah
Putih, terutama urat darah yang menuju ke jantung
Ketika Ki Bango Lamatan telah tiba di tempat itu, tanpa sadar Ki
Rangga telah berpaling ke arahnya. Melihat kedatangan orang
yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra
itu, Ki Rangga pun segera berkata, “Ki Bango Lamatan, aku
mohon Ki Bango Lamatan memeriksa keadaan Pertapa goa
Langse itu.”
“Baik Ki Rangga,” jawab Ki Bango Lamatan sambil bergeser
meninggalkan tempat itu.
“Aku ikut,” tiba-tiba Ki Waskita yang berjongkok di sebelah Ki
Rangga segera bangkit berdiri dan menyusul Ki Bango Lamatan.
Sementara Ki Jayaraga sama sekali tidak memperdulikan keadaan
12
di sekelilingnya. Perhatiannya benar-benar sedang tercurah
kepada keadaan Glagah Putih, murid terakhir dan satu-satunya
harapan baginya untuk meneruskan jalur ilmu dari perguruannya.
Sepeninggal Ki Bango Lamatan dan Ki Waskita, Ki Rangga segera
kembali memeriksa keadaan Glagah Putih dengan lebih seksama
lagi.
“Ki Jayaraga, sebaiknya kita baringkan saja Glagah Putih di atas
tanah. Aku akan membantu peredaran darahnya agar detak
jantungnya kembali seperti biasa,” berkata Ki Rangga kemudian
sambil dengan sangat hati hati mengangkat kepala Glagah Putih
dari pangkuannya dibantu Ki Jayaraga dan kemudian
meletakkannya di atas tanah. Sementara Ki Gede Matesih yang
tidak tahu harus berbuat apa hanya berdiri termangu-mangu di
belakang Ki Rangga dengan tombak pusakanya tergenggam erat di
tangan kanan.
Ketika Glagah Putih kemudian telah terbaring sempurna, Ki
Rangga segara duduk bersila. Katanya kemudian, “Ki Jayaraga,
bantu aku mendorong aliran darah di dalam tubuh Glagah Putih.
Dengan tenaga cadangan, perlahan lahan alirkan hawa panas ke
dalam tubuh Glagah Putih melalui kedua telapak kakinya.”
“Baik Ki Rangga,” jawab orang tua itu. Tanpa membuang waktu
lagi, Ki Jayaraga segera bergeser dan kemudian duduk bersila di
hadapan kedua telapak kaki Glagah Putih. Sejenak kemudian
orang yang telah malang melintang di dunia hitam maupun putih
itu pun telah tenggelam dalam semedinya membantu Ki Rangga
mengalirkan hawa panas dari arah kedua telapak kaki Glagah
Putih.
Dalam pada itu pasukan Ki Wiyaga ternyata telah semakin
mendekati banjar padukuhan induk. Suara derap langkahnya
13
Dalam pada itu pasukan pengawal yang dipimpin Ki Wiyaga telah
semakin mendekati banjar padukuhan induk. Sepanjang jalan…….
14
telah terdengar oleh Ki Gede.
“Pasukan Ki Wiyaga,” tanpa sadar Ki Gede berdesis perlahan.
Ketika pemimpin perdikan Matesih itu kemudian memandang ke
arah Ki Rangga dan Ki Jayaraga berganti-ganti, keduanya tampak
sedang dalam pemusatan nalar dan budi untuk menolong Glagah
Putih.
“Aku tidak akan mengganggu mereka berdua,” berkata Ki Gede
kemudian dalam hati sambil melangkah mundur. Ketika tanpa
sadar dia memandang ke arah kiri, tampak Ki Bango Lamatan dan
Ki Waskita sedang merenungi tubuh Pertapa goa Langse yang
terbujur diam.
“Aku akan melihatnya,” kembali Ki Gede berkata dalam hati
sambil melangkahkan kakinya. Namun dia menjadi ragu-ragu
sejenak ketika sudut matanya menangkap bayangan seseorang
yang sudah sangat dikenalnya sedang duduk bersimpuh di dekat
pintu longkangan.
“Ratri,” desis Ki Gede tanpa sadar.
Menyadari bahwa saat itu putrinya pasti sedang membutuhkan
pertolongan, pemimpin perdikan Matesih itu pun telah
mengurungkan niatnya untuk melihat keadaan Pertapa goa
Langse. Kakinya pun segera diayunkan menuju ke longkangan .
Dalam pada itu pasukan pengawal yang dipimpin Ki Wiyaga telah
semakin mendekati banjar padukuhan induk. Sepanjang jalan
pasukan itu telah bersorak dan meneriakkan pekik kemenangan.
Para penghuni padukuhan induk sepanjang jalan yang mereka
lalui pun telah berhamburan turun ke jalan.
Seorang anak kecil yang sedang dimandikan biyungnya ternyata
telah tertarik dengan suara gegap gempita itu dan segera berusaha
15
meninggalkan biyungnya yang sedang memandikannya.
“He? Mau kemana?” teriak biyungnya sambil menangkap salah
satu tangannya begitu anak itu berusaha lari meninggalkannya.
“Ada keramaian, biyung! Aku mau menonton!”
“He! Tunggu dulu. Mandimu belum selesai!”
“Tidak apa apa biyung. Nanti aku ketinggalan!”
“Tidak boleh, tidak boleh!” sahut biyungnya cepat sambil menarik
tangan anak itu mendekat dan kemudian mengguyurnya dengan
segayung air.
“Sudah, biyung! Sudah! Nanti aku ketinggalan!” teriak anak itu
sambil meronta ronta berusaha untuk melepaskan pegangan
biyungnya.
“Selesaikan mandimu dulu, nak!” biyungnya sedikit membentak.
Kemudian diambilnya selembar kain yang sudah berwarna sedikit
kusam, “Nah, keringkan dulu badanmu baru engkau dapat melihat
keramaian itu. Jangan lupa berpakaian dulu. Pakaianmu di amben
dapur.”
Namun anak itu sudah tidak mendengarkan biyungnya. Begitu
pegangan biyungnya lepas, dengan berlari kencang dia segera
menghambur meninggalkan perigi.
“He! Jangan lupa pakai bajumu!” teriak biyungnya mengingatkan.
Namun anak kecil itu sudah tidak memperdulikan apapun lagi.
Sorak sorai itu terdengar sudah agak jauh meninggalkan depan
rumahnya.
“Ah, aku terlambat,” gerutu anak itu sambil berlari lewat samping
16
rumahnya. Dia sama sekali tidak sadar jika masih telanjang bulat
dan tetes tetes air masih membasahi sebagian tubuhnya.
Begitu dia sampai di regol depan, ternyata pasukan pengawal itu
sudah lewat beberapa langkah dari depan rumahnya namun masih
terdengar sorak sorainya di depan rumah sebelah.
Dengan cepat anak itu segera menyusup di antara gerombolan
orang yang berjajar-jajar di tepi jalan. Ketika dia kemudian
muncul di barisan paling depan, dia masih melihat ekor pasukan
pengawal itu.
Alangkah gembiranya anak kecil itu sehingga dia telah berteriak-
teriak sambil melonjak-lonjak. Lupa bahwa dirinya sama sekali
tidak mengenakan selembar pakaian pun.
Beberapa anak kecil sebayanya yang berada tak jauh dari
tempatnya berdiri telah tertawa sambil menunjuk-nunjuk ke
arahnya.
“He! Tidak punya malu!”
“He ! Tidak pakai baju!”
Demikian anak anak sebayanya yang berada di sekitar itu
berteriak riuh melihat dia yang telajang bulat.
Orang orang dewasa yang berada di sekitar tempat itu pun telah
tertarik dan akhirnya ikut tertawa.
Seorang anak muda segera menarik salah satu tangan anak kecil
itu sambil menjewer telinganya. Katanya kemudian, “Tidak tahu
malu. Bajumu kemana, he?”
“Aduh kakang sakit!” teriak anak kecil itu kemudian sambil
mengikuti anak muda itu yang setengah menyeretnya masuk
17
kembali ke halaman rumahnya.
Dalam pada itu derap langkah pasukan pengawal yang dipimpin Ki Wiyaga semakin mendekati banjar padukuhan induk. Sambutan para penghuni padukuhan induk pun semakin meriah. Mereka berjejal jejal sepanjang jalan yang menuju ke banjar,
Para pengawal regol banjar yang sudah mendengar sorak sorai
itupun segera bersiap. Tampak dari kejauhan pasukan pengawal
yang dipimpin oleh Ki Wiyaga itu berjalan dengan dada tengadah
dan langkah yang tegap.
“Hidup pengawal perdikan Matesih!”
“Hidup pengawal Matesih!”
“Hidup Perdikan Matesih!”
“Jayalah selalu perdikan Matesih!”
Teriakan itu membahana bersahut sahutan sepanjang jalan.
Demikianlah akhirnya ketika pasukan itu kemudian berbelok
memasuki halaman banjar, para pengawal jaga telah berdiri
berjajar jajar memberikan penghormatan. Para pengawal yang
dipimpin Ki Wiyaga itu benar-benar telah disambut bak pahlawan
yang pulang dari medan perang dengan membawa kemenangan
yang gemilang.
Sesampainya pasukan pengawal itu di halaman banjar, para
pemimpin kelompok segera membariskan kelompoknya masing-
masing dan kemudian mengistirahatkan mereka sambil
menunggu perintah lebih lanjut. Sementara para penghuni sekitar
banjar tampak berjejal-jejal di luar pagar depan dan samping.
18
Namun para pengawal perdikan Matesih yang baru datang itu
menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat pemandangan
yang aneh di pendapa. Di pendapa itu tidak tampak seorang pun
yang sedang duduk duduk. Namun sebagai penggantinya tampak
sebuah amben sederhana telah diletakkan di tengah-tengah
pendapa. Sementara di atas amben itu sepertinya ada sesosok
mayat yang dibaringkan dan ditutupi dengan selembar kain
panjang.
“Mayat siapakah itu?” terdengar bisik bisik para pengawal
“Apa sebenarnya yang tekah terjadi? Dan siapakah yang telah
meninggal?” pertanyaan itu hilir mudik dalam benak para
pengawal, tak terkecuali Ki Wiyaga.
Ketika Ki Wiyaga yang berdiri di tlundak pedapa itu sedang
termangu-mangu memandangi jasad yang tampak terbujur di atas
amben dan ditutupi kain panjang itu, tiba tiba terasa seseorang
sedang menggamitnya dari belakang.
Ketika Ki Wiyaga kemudian berpaling, tampak pemimpin
pengawal jaga pagi itu sedang berdiri di belakangnya.
“Ada apa?” bertanya Ki Wiyaga kemudian.
“Ki Gede ada di ruang dalam banjar,” jawab pemimpin jaga itu.
Kemudian sambil menunjuk ke arah jasad yang terbaring di atas
amben, dia meneruskan, “Menjelang Matahari terbit pagi tadi, ada
seseorang yang mengaku sebagai Pertapa dari goa Langse telah
menyusup ke dalam banjar lewat belakang dan Glagah Putih telah
memergokinya.”
“Jadi mereka kemudian bertempur?” bertanya Ki Wiyaga dengan
wajah yang tegang. Beberapa pengawal yang berdiri di dekat
19
kedua orang itu pun ikut tegang dan bahkan ada yang bergeser
mendekat untuk mendengarkan lebih jelas.
“Ya,” jawab pemimpin pengawal jaga itu dengan serta merta,
“Lebih tepatnya keduanya telah berperang tanding dan orang yang
menyebut dirinya Pertapa dari goa Langse itu telah tewas,”
pemimpin pengawal jaga itu berhenti sejenak. Kemudian
lanjutnya, “Ada lagi seseorang yang mengaku murid Pertapa goa
Langse itu dan telah membuat keributan di depan regol banjar
padukuhan induk ini.”
“He!” seru Ki Wiyaga tanpa sadar. Wajahnya pun menampakkan
ketegangan yang sangat, “Jadi mereka berdua sengaja mendatangi
banjar ini untuk membuat keributan?”
“Memang demikian,” sahut pemimpin pengwal jaga itu cepat,
“Menurut keterangan muridnya, Pertapa goa Langse itu
sebenarnya mencari Ki Rangga untuk ditantang berperang
tanding.”
Tampak kerut merut di kening kepala pengawal tanah perdikan
Matesih itu. Tanyanya kemudian dengan nada sedikit ragu,
“Untuk apa?”
Pemimpin pengawal jaga itu menggeleng, “Entahlah. Tetapi yang
jelas Pertapa goa Langse itu telah berhasil dilumpuhkan oleh
Glagah Putih walaupun Glagah Putih sendiri telah mengalami luka
yang cukup parah.”
“Dari mana engkau tahu?”
“Aku dan beberapa pengawal yang mengangkatnya dari halaman
belakang ke dalam ruang tengah,” jawab pengawal itu dengan
serta merta, “Keadaannya benar-benar parah dan belum sadarkan
diri.”
20
Sejenak Ki Wiyaga menarik nafas dalam-dalam. Pengenalannya
dengan Glagah Putih terjadi sangat singkat semalam ketika
Glagah Putih dan Ki Jayaraga menemuinya di tempat
persembunyiannya di lereng sebelah utara gunung Tidar.
“Ternyata benar apa yang menjadi dugaanku selama ini,” berkata
Ki Wiyaga kemudian dalam hati sambil pandangan matanya lekat
ke arah jasad yang terbujur di atas amben itu, “Glagah Putih
mempunyai kemampuan yang ngedab edabi. Walaupun pada
akhirnya dia juga menderita luka yang parah, namun aku yakin
dia akan selamat. Benar-benar seorang anak muda yang
mumpuni.”
Kembali Ki Wiyaga menarik nafas dalam-dalam. Ketegangan
belum hilang dari wajahnya. Sementara beberapa pengawal yang
sekarang telah berkerumun hanya dapat saling pandang tanpa
tahu harus berbuat apa.
“Bagaimana dengan orang yang mengaku murid goa Langse itu,”
bertanya Ki Wiyaga setelah sejenak mereka terdiam.
“Ki Gede telah melumpuhkannya.”
“He, dia juga telah tewas?” seru Ki Wiyaga dengan suara sedikit
keras.
“Tidak Ki Wiyaga,” jawab pengawal jaga itu cepat, “Ki Gede
berhasil melumpuhkannya tanpa membuatnya cedera yang
berarti, dan sekarang dia kami taruh di salah satu bilik di gandhok
kiri dengan penjagaan yang kuat.”
“Nanti aku akan melihatnya,” berkata Ki Wiyaga selanjutnya
sambil menaiki tlundak. Lanjutnya kemudian, “Aku akan
menghadap Ki Gede terlebih dahulu dan sekaligus memberikan
laporan.”
21
“Bagaimana dengan kami?” tiba tiba salah satu pemimpin
kelompok pengawal yang berdiri tidak jauh dari tempat itu
mengajukan sebuah pertanyaan.
Sejenak Ki Wiyaga menghentikan langkahnya sambil berpaling.
Jawabnya kemudian, “Kalian aku ijinkan untuk beristirahat,
namun jangan keluar dari halaman banjar ini. Kita menunggu
perintah Ki Gede.”
Selesai berkata demikian, tanpa menunggu tanggapan pemimpin
kelompok pengawal itu Ki Wiyaga pun segera meneruskan
langkahnya.
Namun baru saja Ki Wiyaga membuka pintu pringgitan,
pandangan matanya segera menangkap sosok tiga orang
perempuan yang duduk berhimpit himpitan dan hampir saling
berpelukan.
Ketiga perempuan itu tampak sangat terkejut begitu mendengar
derit pintu pringgitan terbuka. Namun ketika yang muncul
kemudian wajah yang sangat mereka kenal, ketiga perempuan itu
pun telah menarik nafas dalam dalam sambil melepaskan pelukan
satu sama lainnya.
“Ki Wiyaga,” desis perempuan yang paling tua dengan suara
sedikit serak dan senyum yang dipaksakan.
Ki Wiyaga tersenyum dan menganggukkan kepalanya mendapat
sapa dari perempuan yang paling tua itu. Kemudian sambil
melangah masuk, dia bertanya, “Apa kerja kalian di sini?”
Ketiga perempuan itu sejenak saling pandang. Ketika perempuan
yang berambut sudah ubanan itu berdiri, yang lain pun kemudian
ikut berdiri.
22
“Maafkan kami Ki Wiyaga,” jawab perempuan tua itu kemudian,
“Kami sebenarnya mendapat giliran untuk memasak hari ini.
Namun karena telah terjadi keributan di halaman belakang
banjar, kami menjadi ketakutan dan tertahan di pringgitan ini.”
Ki Wiyaga mengerutkan keningnya dalam-dalam. Tanyanya
kemudian dengan suara sedikit meragu, “Jadi kalian sama sekali
belum memasak?”
Perempuan tua itu menggeleng. Jawabnya kemudian, “Bagaimana
kami mau memasak, pergi ke dapur pun kami belum berani.”
Ki Wiyaga menarik nafas dalam dalam. Katanya kemudian sambil
melangkah, “Marilah aku antar kalian ke dapur lewat ruang
tengah saja.”
“O! Jangan…jangan!” bisik perempuan tua itu sambil menggerak
gerakkan tangannya memberi isyarat kepada Ki Wiyaga.
Kemudian sambil sedikit mencondongkan tubuhnya dia kembali
berbisik, lebih pelan lagi, “Di ruang tengah ada Ki Gede dan tamu-
tamunya.”
Kembali Ki Wiyaga menarik nafas sambil mengangguk anggukkan
kepalanya. Katanya kemudian, “Baiklah mbok. Kalian aku rasa
sudah berani ke dapur lewat pintu butulan itu. Sudah tidak ada
lagi yang perlu ditakutkan. Segeralah memasak untuk para
pengawal jaga dan tamu-tamu Ki Gede.”
Untuk sejenak ketiga perempuan itu kembali saling pandang.
Namun ketika yang tertua kemudian menganggukkan kepalanya,
yang lain pun akhirnya hanya menurut saja.
“Baiklah Ki Wiyaga, terima kasih atas pemberitahuannya. Kami
akan langsung ke dapur,” berkata perempuan yang tua itu
kemudian.
23
“Silahkan, silahkan,” jawab Ki Wiyaga sambil melangkah menuju
pintu yang membatasi antara ruang pringgitan dan ruang tengah.
Sementara ketiga perempuan itu pun segera berjalan menuju ke
pintu butulan yang menghubungkan pringgitan dengan
longkangan.
Dalam pada itu di kediaman Ki Kamituwa yang berjarak beberapa
rumah dari banjar padukuhan induk, terlihat seorang pengawal
dengan langkah yang tergesa-gesa sedang memasuki regol rumah
Ki Kamituwa.
Setelah melintasi halaman yang tidak seberapa luas, pengawal itu
pun kemudian menaiki tlundak pendapa kecil sebelum akhirnya
mengethuk pintu pringgitan.
Belum terdengar jawaban dari dalam rumah. Namun ketika
pengawal itu akan mengulangi sekali lagi, terdengar langkah-
langkah di dalam rumah yang menuju ke arah pintu. Sejenak
kemudian pintu pun berderit terbuka dan seraut wajah tersembul.
“Maaf Ki Kamituwa ,” dengan cepat pengawal itu menyapa sambil
menganggukkan kepalanya dalam-dalam, “Aku diperintah Ki
Gede untuk menyampaikan berita raja pati yang baru saja terjadi.”
“He!?” terkejut Ki Kamituwa sambil membuka pintu lebar-lebar,
“Berita raja pati, katamu? Masuklah masuklah!”
“Terima kasih Ki Kamituwa, aku sangat tergesa-gesa,” jawab
pengawal itu sambil menggelengkan kepalanya. Lanjutnya
kemudian, “Aku hanya diutus Ki Gede untuk menyampaikan
bahwa pagi tadi ada raja pati di banjar padukuhan induk dan Ki
Kamituwa diharap segera ke banjar.”
“Baiklah,” sahut Ki Kamituwa cepat, “Tetapi siapakah yang
meninggal dunia?”
24
Sejenak pengawal itu mengatur nafasnya. Jawabnya kemudian,
“Pagi tadi ada penyusup yang memasuki banjar padukuhan induk
dari belakang dan kebetulan Glagah Putih, adik sepupu Ki Rangga
memergokinya. Keduanya pun kemudian berperang tanding dan
penyusup itu telah tewas di tangan Glagah Putih.”
Sejenak wajah Ki Kamituwa menegang. Berbagai tanggapan pun
hilir mudik dalam benaknya. Sedikit banyak Ki Kamituwa
mengetahui siapa Glagah Putih karena telah ikut penyerbuan ke
padepokan Sapta Dhahana. Namun yang membuat Ki Kamituwa
tidak habis mengerti adalah peristiwa yang baru saja didengarnya.
“Mengapa penyusup itu harus dibunuh?” pertanyaan itu
melingkar lingkar dalam benak Ki Kamituwa.
“Ki Kamituwa,” tiba-tiba saja pengawal itu berkata membuyarkan
lamunannya, “Ki Gede juga menitipkan pesan khusus untuk Nyi
Gede dan putranya. Sebaiknya mereka jangan berangkat ke
kediaman Ki Gede terlebih dahulu. Keadaan masih belum
memungkinkan.”
“Apakah penyusup yang telah tewas itu masih ada hubungannya
dengan padepokan Sapta Dhahana?” tiba-tiba terloncat
pertanyaan begitu saja dari bibir Ki Kamituwa.
“Kemungkinannya begitu, Ki Kamituwa,” sahut pengawal itu
dengan serta merta, “Karena selain penyusup yang telah tewas itu,
di depan regol banjar padukuhan induk tadi pagi Ki Gede sendiri
telah melumpuhkan orang yang mengaku sebagai murid orang
yang telah tewas itu.”
“He!?” wajah Ki Kamituwa pun menegang kembali. Kemudian
dengan sedikit berbisik dia berkata, “Baiklah, akan aku sampaikan
kepada Nyi Selasih pesan Ki Gede itu. Tetapi rencana yang aku
25
dengar dari Ki Gede sendiri, pagi ini Ki Gede dan Ratri akan ke
Menoreh. Apakah mereka jadi pergi?”
Pengawal itu menggeleng sambil menjawab, juga dengan berbisik,
“Ratri ada di banjar padukuhan induk. Pagi tadi dia datang
bersama Ki Gede dan beberapa pengawal. Agaknya mereka
berencana akan berangkat ke Menoreh namun keadaan memang
belum memungkinkan.”
Untuk sejenak Ki Kamituwa menarik nafas dalam-dalam. Sambil
melemparkan pandangan matanya ke kejauhan, dia pun
kemudian berkata ,”Baiklah aku akan berkemas terlebih dahulu.”
“Terima kasih Ki Kamituwa, aku mohon diri,” berkata pengawal
itu pada akhirnya sambil melangkah surut.
“Silahkan,” jawab Ki Kamituwa , “Aku juga berterima kasih atas
kesediaanmu untuk menyampaikan berita ini kepadaku.”
“Ah, itu sudah menjadi kewajibanku Ki Kamituwa, aku mohon
diri,” berkata pengawal itu sambil tersenyum dan kemudian
memutar tubuhnya.
Ki Kamituwa tidak menjawab hanya tersenyum sambil menutup
kembali pintu pringgitan.
Sepeninggal pengawal itu, dengan langkah berat Ki Kamituwa
kemudian menuju ke ruang dalam untuk memberitahu Nyi
Selasih.
“Entah tanggapan apa yang akan timbul dalam hati, Nyi Gede,”
berkata Ki Kamituwa dalam hati sambil mengayunkan
langkahnya, “Kasihan, Nyi Selasih masih harus menunggu dan
menunggu lagi. Aku khawatir jika kesabaran perempuan itu
26
semakin tipis dan yang tertinggal hanyalah rasa kecewa dan putus
asa.”
Namun Ki Kamituwa melangkah terus. Ketika dia kemudian
membuka pintu yang menghubungkan pringgitan dengan ruang
dalam, tampak Nyi Selasih sedang memangku anak laki-lakinya
ditemani oleh istrinya.
Sebuah desir tajam menggores jantungnya ketika pandangan Nyi
Selasih itu menatapnya dengan seribu tanda tanya. Demikian juga
istrinya juga memandang ke arahnya untuk menunggu
penjelasannya.
Ki Kamituwa berusaha bersikap setenang mungkin. Setelah
mengambil duduk di sebelah kanan istrinya, perangkat perdikan
Matesih yang rambutnya sudah mulai beruban itu pun berkata,
“Baru saja ada pengawal utusan Ki Gede menyampaikan sebuah
berita yang berhubungan dengan kita.”
“Berita apakah itu kakang?” sela Nyi Kamituwa dengan nada yang
tidak sabar. Sementara Nyi Selasih hanya menundukkan
kepalanya dalam-dalam.
Ki Kamituwa menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu sebelum
menjawab. Setelah membetulkan letak kain panjangnya, barulah
dia menjawab, “Pagi tadi menjelang Matahari terbit, telah terjadi
ontran ontran di banjar padukuhan induk.”
“Ontran-ontran?” seru Nyi Kamituwa tanpa sadar. Sedangkan Nyi
Selasih hanya mengangkat wajahnya sejenak, kemudian tunduk
kembali.
“Ya,” jawab Ki Kamituwa kemudian, “Ontran ontran yang telah
menyebabkan sebuah raja pati.”
27
“Ah!” hampir bersamaan kedua perempuan itu berdesah. Betapa
kedua wajah perempuan itu sekarang terlihat sedikit pucat.
“Jangan khawatir,” berkata Ki Kamituwa selanjutnya untuk
menentramkan hati kedua perempuan itu, “Semua telah teratasi
dan sekarang Ki Gede menunggu kehadiranku di banjar
padukuhan induk.”
“Siapakah yang meninggal kakang?” sela Nyi Kamituwa dengan
nada cepat, “Apakah salah satu pengawal Matesih? Atau siapa?”
Kembali Ki Kamituwa menarik nafas panjang. Jawabnya
kemudian dengan suara datar agar tidak terlalu mengejutkan
kedua perempuan itu, “Aku belum tahu. Menurut pengawal yang
datang kemari tadi, ada dua orang penyusup yang ingin membuat
keonaran di banjar padukuhan induk. Untunglah semua sudah
selesai. Namun karena dipandang keamanan di perdikan Matesih
ini belum terjamin sepenuhnya, maka Ki Gede telah berpesan agar
keberangkatan Nyi Selasih ke kediaman Ki Gede ditunda beberapa
saat, mungkin sore nanti atau bahkan sekalian besok pagi untuk
meyakinkan perdikan ini benar benar sudah aman.”
Ada sepercik kekecewaan yang membayang di wajah Nyi Selasih
yang tertangkap mata Ki Kamituwa. Namun wajah itu sejenak
telah kembali semula. Wajah yang tunduk dan pasrah, pasrah
terhadap jantraning ngaurip yang akan membawanya entah ke
mana.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam
lamunan yang tak berujung pangkal.
“Aku harus berkemas,” tiba-tiba suara Ki Kamituwa memecah
keheningan. Kemudian sambil bangkit berdiri Ki Kamituwapun
melanjutkan kata-katanya, “Sebaiknya Ki Prana dan Gandhung
28
diberitahu. Aku akan menghadap Ki Gede di banjar padukuhan
induk.”
Selesai berkata demikian tanpa menunggu tanggapan kedua
perempuan itu, Ki Kamituwapun kemudian melangkah ke dalam
biliknya untuk berkemas dan terutama mengambil senjatanya
untuk menghadapi keadaan yang setiap saat dapat berubah.
Dalam pada itu Matahari telah memanjat langit sebelah timur
semakin tinggi. Sinarnya terasa mulai menggatalkan kulit. Di
rumah Ki Dukuh Klangon tampak Ki Dukuh sedang duduk duduk
di dalam pringgitan bersama putut Panengah dan Jaka Purwana.
“Putut Panengah,” berkata Ki Dukuh kemudian, “Aku tidak habis
mengerti mengapa guru kalian nekat mencari Ki Rangga ke
Matesih? Apakah semua itu nantinya tidak akan membahayakan
kedudukanku sebagai kepala padukuhan Klangon?”
“Maaf Ki Dukuh,” jawab putut Panengah sambil menggeser
duduknya sejengkal ke depan, “Aku tidak tahu jika guru
mempunyai rencana untuk mencari Ki Rangga ke Matesih. Kami
berdua, aku dan adi putut Brajayekti hanya mendapat tugas untuk
menyelesaikan orang yang mencuri dengar pembicaraan kita
semalam yang ternyata adalah Jagabaya dukuh Klangon.”
“Mengapa guru tidak mengajak aku?” tiba-tiba Jaka Purwana
menyela, “Seharusnya jika guru mempunyai sebuah rencana, aku
harus dilibatkan, karena aku juga murid goa Langse.”
Ki Dukuh menarik nafas dalam-dalam mendengar kata-kata anak
laki lakinya itu. Dia maklum jika Jaka Purwana merasa
tersinggung tidak dilibatkan dalam tugas itu. Namun
sebenarnyalah Ki Dukuh menyadari, bahka kemampuan Jaka
Purwana yang baru berguru itu masih sangat jauh dari cukup
29
untuk mengemban sebuah tugas berbahaya. Terbukti putut
Brajayekti pun telah menemui ajalnya di tangan Ki Jagabaya
dukuh Klangon.
“Apa rencanamu sekarang Panengah?” bertanya Ki Dukuh
kemudian ketika dilihatnya murid kedua goa Langse itu hanya
berdiam diri.
Untuk sejenak Panengah ragu-ragu. Namun kemudian jawabnya
sambil menggelengkan kepala, “Aku tidak tahu Ki Dukuh.
Sebenarnya aku diajak oleh kakang Acarya untuk menyusul guru
ke Matesih. Namun aku takut dan aku memilih untuk pulang
kerumah Ki Dukuh.”
Kembali Ki Dukuh menarik nafas dalam-dalam. Keadaan ini
benar-benar tidak menguntungkan dirinya. Jika Pertapa dari goa
Langse itu membuat keonaran atau apapun yang membuat rusuh
perdikan Matesih, tentu dirinya akan disangkut pautkan jika
peristiwa itu kemudian dirunut sampai ke dukuh Klangon.
“Aku tidak bisa hanya dengan berdalih memberi mereka tempat
menginap,” berkata Ki Dukuh dalam hati dengan perasaan yang
gelisah, “Apalagi jika Jagabaya itu kemungkinannya tidak mati.
Dia akan banyak berbicara tentang hubunganku dengan Sapta
Dhahana. Namun jika dia mati kehabisan darah di tempat
persembunyiannya, mungkin aku masih dapat mengelak semua
tuduhan.”
Semakin dipikirkan masalah itu, hati Ki Dukuh menjadi semakin
gelisah. Namun akhirnya ayah Jaka Purwana itu telah mengambil
sebuah keputusan.
“Baiklah. Untuk mengetahui keadaan gurumu dan saudara
seperguruanmu, sebaiknya engkau mengadakan penyelidikan ke
30
Demikianlah akhirnya ketiga orang itu segera berunding untuk menentukan langkah-langkah mereka dalam mengadakan
penyelidikan ke banjar padukuhan induk Matesih.
31
Matesih,” berkata Ki Dukuh pada akhirnya sambil memandang
tajam ke arah Panengah, “Engkau harus bisa mencari sisik melik
tentang gurumu dan Acarya. Pergilah ke banjar padukuhan induk
Matesih karena jika memang tujuan gurumu ingin menantang Ki
Rangga Agung Sedayu, aku dengar Ki Rangga dan kawan-
kawannya itu bermalam di sana.”
Sejenak tampak keragu-raguan di wajah Panengah. Sambil
berpaling sekilas ke arah Jaka Purwana akhirnya murid kedua goa
Langse itu memberi tanggapan, “Maaf Ki Dukuh. Bagaimana jika
dalam mengadakan penyelidikan ini aku ditemani oleh Jaka
Purwana?”
“Tidak!” sahut Ki Dukuh dengan serta merta yang membuat
Panengah dan Jaka Purwana terkejut.
“Mengapa ayah?” bertanya Jaka Purwana dengan nada penasaran.
“Banyak orang Matesih yang mengenalmu, Jaka Purwana,” jawab
Ki Dukuh kemudian dengan suara tegas, “Berbeda jika Panengah
yang mengadakan penyelidikan. Aku yakin tidak ada seorang pun
di Matesih yang mengenalnya.”
“Bagaimana dengan Ki Jagabaya dukuh Klangon?” sela Jaka
Purwana tiba-tiba yang membuat ayahnya mengerutkan
keningnya dalam-dalam.
Namun orang tua itu tidak kehabisan akal. Jawabnya kemudian
sambil menggelengkan kepalanya, “Tidak mungkin Ki Jagabaya
akan keluar dari persembunyiannya hari ini jika dia masih hidup.
Setidaknya dia memerlukan barang dua tiga hari untuk
menyembuhkan luka-lukanya.”
Tampak kepala kedua anak muda itu terangguk-angguk. Memang
perhitungan Ki Dukuh itu sangat masuk akal. Namun bagi
32
Panengah mengadakan penyelidikan seorang diri ke Matesih sama
saja dengan memasuki sarang serigala.
Ketika Panengah masih diliputi keragu-raguan, tiba-tiba Jaka
Purwana berkata, “Ayah, aku mempunyai sebuah usul!”
Ayahnya berpaling sekilas sambil berkata “Katakan!”
Jaka Purwana menarik nafas terlebih dahulu sambil memandang
Panengah. Hati Panengah pun berdesir tajam.
“Ayah,” berkata Jaka Purwana kemudian, “Aku akan mengikuti
kakang Panengah mengadakan penyelidikan ke Matesih, namun
aku akan mengamat-amati saja dari jauh. Aku khawatir jika
kakang Panengah mendapat halangan dan memerlukan bantuan.
Maka aku akan dapat membantunya.”
Untuk sejenak Ki Dukuh termenung. Usul anak laki lakinya itu
memang baik dan masuk akal. Jika keadaan memaksa dan
Panengah memerlukan bantuan, setidaknya Jaka Purwana akan
dapat membantu.
“Namun Jaka Purwana kemampuannya masih sangat rendah,”
membatin Ki Dukuh dengan jantung yang berdebaran. Dia tidak
tega jika anak laki-laki yang diharapkan akan menjadi penerusnya
itu mengalami masalah.
“Baiklah,” berkata Ki Dukuh pada akhirnya, “Aku akan menemani
kalian berdua. Panengah dapat bergerak terlebih dahulu,
kemudian aku dan Jaka Purwana akan mengikuti pada jarak
tertentu. Kita harus membuat isyarat yang kita sepakati bersama
jika ada bahaya. Kita tentukan juga tempat tempat untuk bertemu
jika keadaan berkembang semakin membahayakan bagi
keselamatan kita.”
33
Tanpa sadar putut Panengah telah tersenyum dan menarik nafas
dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Demikianlah akhirnya ketiga orang itu segera berunding untuk
menentukan langkah-langkah mereka dalam mengadakan
penyelidikan ke banjar padukuhan induk Matesih.
Dalam pada itu di banjar padukuhan induk, ternyata Ki Gede telah
menyambut kedatangan para pengawal yang selama ini
menempati padepokan Sapta Dhahana didampingi oleh Ki
Kamituwa dan Ki Wiyaga.
“Atas nama perdikan Matesih, aku mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya atas jasa kalian para
pengawal perdikan Matesih,” berkata Ki Gede sambil berdiri di
ujung tlundak pendapa, “Keadaan masih memungkinkan untuk
berkembang ke arah yang tidak menentu. Maka aku perintahkan
kalian tetap menjaga kewaspadaan.”
Para pengawal yag berbaris rapi sedikit bergeremang. Sebenarnya
yang mereka tunggu adalah perintah untuk segera kembali ke
rumah masing-masing untuk bertemu dengan anak istri yang
telah beberapa hari mereka tinggalkan karena tugas.
“Seperti yang kalian saksikan,” berkata Ki Gede selanjutnya, “Di
tengah tengah pendapa ini telah terbujur sesosok jasad orang yang
mengaku sebagai Pertapa dari goa Langse. Kedatangannya pagi
tadi menjelang Matahari terbit memang sengaja untuk membuat
keonaran. Demikian juga orang yang mengaku sebagai muridnya,
telah berhasil kita tangkap hidup-hidup dan tidak menutup
kemungkinan akan kita jadikan sumber keterangan tentang
perguruan goa Langse.”
34
Tampak beberapa kepala terangguk-angguk. Namun selebihnya
banyak yang menjadi gelisah. Matahari telah memanjat langit
sebelah timur semakin tinggi. Sinarnya telah membuat para
pengawal yang berbaris di halaman banjar itu menjadi semakin
gelisah.
“Selepas Matahari tergelincir ke barat, akan kita antarkan jenasah
ini ke pekuburan padukuhan induk,” Ki Gede berhenti sejenak.
Sambil berpaling ke arah Ki Wiyaga yang berdiri di sebelahnya dia
melanjutkan, “Aku minta Ki Wiyaga dibantu para pengawal yang
sedang bertugas jaga untuk mengatur penyelenggaraan jenasah
ini.”
Hampir bersamaan Ki Kamituwa dan Ki Wiyaga mengangguk-
anggukkan kepala mereka.
“Nah, sambil menunggu waktu Matahari tergelincir, kalian aku
ijinkan untuk pulang ke rumah masing-masing,” berkata Ki Gede
selanjutnya.
Agaknya kalimat itulah yang sedari tadi di tunggu tunggu oleh
para pengawal. Segera saja terdengar tepuk tangan yang
membahana dan teriakan-teriakan membakar semangat.
“Hidup Ki Gede Matesih!”
“Hidup perdikan Matesih!”
Suara sorak sorai itu terdengar membahana dan gegap gempita.
Suara itu baru mereda ketika Ki Wiyaga mengangkat tangannya
untuk memberi isyarat agar para pengawal itu tenang kembali.
“Jangan lupa sampaikan salam kami kepada keluarga di rumah
yang telah dengan sabar menunggu kepulangan kalian,” berkata
Ki Gede selanjutnya yang kelihatannya sudah tidak begitu
35
menarik bagi para pengawal yang sudah benar-benar rindu
dengan keluarganya, “Sampaikan juga rasa terima kasih dan
penghargaan yang setinggi tingginya atas kerelaan dan
pengorbanan keluarga para pengawal perdikan Matesih ini untuk
tetap berjuang menegakkan kedaulatan perdikan Matesih di
bawah panji panji kebesaran Mataram.”
Keadaan benar-benar sudah hampir tak tertahankan. Maka Ki
Gede pun tanggap. Akhirnya Ki Gede menutup sesorahnya, “Sekali
lagi aku sebagai pribadi dan kepala tanah perdikan Matesih
mengucapkan ribuan terima kasih dan pengharagaan yang tak
ternilai. Selanjutkan kalian akan diatur oleh kepala pengawal
perdikan Matesih, Ki Wiyaga. Terima kasih!”
Kembali terdengar gemuruh sorak sorai. Kali ini bahkan para
penghuni sekitar banjar padukuhan induk yang menonton di luar
pagar ikut bersorak. Sementara Ki Gede segera memberi isyarat Ki
Kamituwa untuk mengikutinya memasuki pringgitan. Sedangkan
Ki Wiyaga segera memanggil para pemimpin kelompok untuk
mendapatkan arahan seperlunya.
Demikianlah halaman banjar padukuhan yang semula penuh oleh
para pengawal serta para penghuni padukuhan induk sekitar
banjar yang ingin menyaksikan penyambutan kedatangan
pengawal itu berangsur angsur mulai susut. Khususnya para
pengawal yang sudah beberapa hari meninggalkan keluarganya
dengan bergegas segera meninggalkan halaman banjar.
“Sesampainya di rumah aku akan tidur sampai Matahari
terbenam,” berkata seorang pengawal yang berkumis lebat sambil
berjalan cepat.
“Ah, aku tidak percaya,” sahut kawan di sebelahnya sambil
menjajari langkah pengawal berkumis lebat itu, “Apakah engkau
36
tidak kangen sama si thole? Si thole pun pasti kangen juga. Dia
pasti rewel dan akan minta gendong terus seharian sampai rasa
kangennya hilang.”
“Waduh!” desah pengawal berkumis lebat itu kemudian, “Kalau si
thole minta gendong terus, kapan waktunya aku menggendong
ibunya?”
“Ah!” kawannya tertawa masam. Jawabnya kemudian, “Nanti
malam kan waktunya sangat panjang. Tidurkan dulu si thole, baru
engkau dapat mengurus ibunya.”
Pengawal berkumis lebat itu tampak tersenyum sambil
mengangguk-angguk. Tiba-tiba sebuah pertanyaan meloncat
begitu saja dari bibir, “Nah, terus kapan kamu mau kawin? Ingat,
seorang laki-laki dapat dikatakan tidak begitu perduli dengan
umurnya yang semakin merambat tua, tapi bagaimana dengan
calon istrimu? Aku rasa orang tuanya sudah semakin resah tiap
hari digunjing tetangga. Bukankah Tinah sudah cukup umur?
Bahkan mungkin sudah kelewat menurut hitunganku.”
Kawannya yang terlihat masih muda itu tidak menyahut. Hanya
kepalanya saja yang tertunduk sambil memandangi langkahnya
satu-satu menyusuri jalan yang berdebu.
“He? Kapan?” pengawal berkumis lebat itu setengah berteriak
sambil mengguncang bahu kawannya.
Kawannya sejenak tersentak dari lamunannya. Sambil
menengadahkan wajahnya memandang selembar awan yang
melintas di langit yang jernih dia berdesis perlahan, “Mungkin
pertunangan itu lebih baik dibatalkan saja.”
“He?!” kali ini pengawal berkumis lebat itu benar-benar terkejut
sehingga telah menghentikan langkahnya. Kawannya pun
37
akhirnya ikut berhenti.
Sejenak pengawal berkumis lebat itu terdengar menggeram.
Katanya kemudian sambil memandang lekat-lekat ke arah
kawannya, “Jangan bermain api! Ingat! Pertunanganmu sudah
disetujui oleh kedua belah pihak keluarga. Jika seenaknya saja
engkau membatalkan secara sepihak tanpa ada alasan yang jelas
dan dapat diterima, kakaknya Tinah yang berbadan besar dan
sedikit berangasan itu pasti akan memluntir lehermu sampai
patah!”
Pengawal yang berusia muda itu tampak menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Berkali kali dia menarik nafas dalam-dalam seolah
olah ingin dipenuhinya rongga dadanya dengan udara yang segar.
“Sebenarnya aku dan Tinah sudah berjanji untuk melangsungkan
pernikahan kami dengan sangat sederhana, sesederhana keadaan
keluargaku dan keluarga Tinah.” berkata pengawal muda itu
setelah sejenak mereka terdiam.
“Jadi? Apa masalah yang sebenarnya?” sahut pengawal berkumis
tebal itu dengan serta merta.
“Kakak laki-laki Tinah itulah sumber permasalahannya,” jawab
pengawal muda itu sambil menggeleng gelengkan kepalanya, “Dia
telah mempengaruhi orang tuanya untuk menuntut asok tukon
yang berlebihan, sehingga keluargaku merasa keberatan.”
“Harus dicarikan jalan tengah,” desis pengawal berkumis itu
sambil melangkahkan kakinya kembali diikuti oleh pengawal
muda itu.
“Aku akan mencoba membantu, semampuku,” berkata pengawal
berkumis itu kemudian sambil terus melangkah, “Keluargaku
memang masih terhitung kerabat dengan orang tua Tinah. Kapan-
38
kapan aku akan mendatangi orang tua Tinah dan mengajak
berunding agar kedua belah pihak tidak ada yang merasa
keberatan.”
“Terima kasih kakang,” berkata pengawal muda itu kemudian.
Pengawal berkumis tebal itu tidak menjawab. Hanya tampak
sebuah anggukan kepala dan sebuah senyum yang tersungging di
bibirnya.
Keduanya pun kemudian meneruskan langkahnya menuju ke
rumah masing-masing.
Dalam pada itu di pringgitan banjar padukuhan induk tampak Ki
Gede dan Ki Rangga beserta beberapa orang sedang berkumpul
dan membicarakan sesuatu yang kelihatannya sangat penting.
“Ki Gede,” berkata Ki Rangga yang duduk di hadapan Ki Gede
Matesih, “Menurut berita yang dibawa Ki Jayaraga dan Glagah
Putih semalam, pasukan segelar sepapan cantrik padepokan Sapta
Dhahana telah meninggalkan gunung Tidar dan berjalan ke arah
timur.”
Ki Gede sejenak mengerutkan keningnya. Bertanya Ki Gede
kemudian, “Ki Rangga, kemanakah tujuan pasukan itu?”
“Menurut keterangan yang diperoleh Ki Jayaraga dan Glagah
Putih, pasukan itu sedang bergerak ke timur. Ke sebuah
padepokan yang terletak di antara lembah Merapi dan Merbabu.”
Sejenak wajah wajah yang berada di dalam pringgitan itu menjadi
tegang. Ki Kamituwa yang duduk di sebelah kanan Ki Gede segera
menyahut, “Lembah Merapi dan Merbabu cukup jauh. Jika
ditempuh dengan berjalan kaki tanpa henti mungkin sampai tiga
hari lebih mereka baru akan sampai.”
39
“Ki Kamituwa benar,” sahut Ki Bango Lamatan yang duduk
sebelah kiri Ki Rangga, “Aku pernah melintasi daerah itu dan
memang saat itu aku menemukan reruntuhan sebuah padepokan,
tapi itu sudah terjadi lama sekali sebelum aku menjadi
kepercayaan Panembahan Cahya Warastra.”
Ki Gede dan Ki Kamituwa yang belum pernah mendengar nama
Panembahan Cahya Warastra telah mengerutkan kening mereka
dalam-dalam sambil memandang ke arah Ki Bango Lamatan
dengan penuh tanda tanya.
Menyadari kedua orang tua itu tentu bertanya-tanya tentang
Panembahan Cahya Warastra, Ki Bango Lamatan segera
meneruskan ucapannya, “Itu semua sudah menjadi masa laluku.
Tidak ada yang aneh sama sekali dan aku sudah melupakannya.”
Ki Rangga tersenyum menanggapi penjelasan Ki Bango Lamatan.
Akan tetapi kedua perangkat perdikan Matesih itu tampak masih
kebingungan.
“Sudahlah,” berkata Ki Rangga kemudian, “Agaknya Ki Bango
Lamatan memang tidak ingin bercerita tentang masa lalu. Namun
yang penting adalah, reruntuhan padepokan yang pernah dilihat
Ki Bango Lamatan itu sekarang sudah berkembang menjadi
padepokan yang besar dan disebut padepokan Panembahan
Agung.”
“Padepokan Panembahan Agung?” hampir bersamaan mereka
yang hadir itu menyebut kembali nama padepokan itu.
“Ya, padepokan Panembahan Agung,” sahut Ki Rangga kemudian,
“Sebuah nama padepokan yang pernah dipergunakan oleh
seseorang yang menyebut dirinya Panembahan Agung yang
mempunyai cita-cita ingin merajai tanah Jawa.”
40
“O,” kembali mereka yang hadir di tempat itu berdesis perlahan
sambil mengangguk-anggukkan kepala mereka, walaupun
sebenarnya nama padepokan itu pun baru mereka dengar
sekarang ini, kecuali Ki Waskita dan Ki Rangga.
“Nah, dengan demikian untuk sementara perdikan Matesih dapat
dikatakan aman,” berkata Ki Rangga selanjutnya yang membuat
mereka yang hadir menarik nafas dalam-dalam, tak terkecuali
Ratri yang duduk di belakang ayahnya.
Tanpa sadar Ratri begitu mendengar keterangan Ki Rangga segera
menggamit punggung ayahnya.
Ki Gede yang terkejut itu segera berpaling ke belakang. Tampak
seraut wajah Ratri dalam pakaian laki-laki tanpa ikat kepala
sedang memandang ke arahnya.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam sambil kembali memalingkan
wajahnya ke depan. Ketika Ki Gede kemudian memandang ke
arah Ki Rangga, tampak agul agulnya Mataram itu sedang
tersenyum ke arahnya.
“O, maafkan kami Ki Rangga,” berkata Ki Gede kemudian sambil
menganggukkan kepalanya, “Sebenarnyalah aku ini tidak bisa
menjadi orang tua yang baik.”
Orang-orang yang hadir di ruangan itu mengerutkan kening
mereka kecuali Ratri. Diam-diam gadis itu merasa sedikit malu
jika permasaahan keluarganya dibicarakan di hadapan orang
banyak.
“Semua orang tua mempunyai masalah yang hampir sama, Ki
Gede,” berkata Ki Rangga menanggapi, “Namun jika memang Ki
Gede ingin berbagi, aku tentu akan menyediakan waktu untuk
menjadi pendengar yang baik.”
41
Ki Gede tersenyum sambil menarik nafas dan menegakkan
punggungnya. Ketika dia menyempatkan diri berpaling ke
belakang, tenyata Ratri sedang menundukkan kepalanya dalam
dalam.
“Ki Rangga,” berkata Ki Gede kemudian sambil pandangannya
menyapu ke seluruh ruangan, “Sebenarnya kedatanganku ke
banjar padukuhan pagi ini untuk meminta bantuan Ki Rangga dan
kawan-kawan.”
Beberapa pasang mata tampak menatap Ki Gede dengan penuh
tanda tanya, tak terkecuali Ki Rangga sendiri.
“Bantuan apakah kiranya yang dapat kami lakukan, Ki Gede?” Ki
Waskita yang sedari tadi hanya berdiam diri ikut bersuara.
Untuk sejenak Ki Gede menarik nafas panjang untuk melongarkan
dadanya yanga tiba-tiba saja menjadi pepat. Namun Ki Gede
merasa sudah waktunya untuk menuntaskan persoalan yang
membelit keluarganya, walaupun dia tidak akan menceritakan
permasalahan itu dengan gamblang dan jelas. Mungkin hanya
seperlunya saja sebagai gambaran bagi Ki Rangga dan kawan-
kawan.
“Ki Waskita,” berkata Ki Gede kemudian, “Ada permintaan dari
anakku Ratri yang ingin mempelajari olah kanuragan sebagai
bekal bagi dirinya untuk membentengi diri dari segala
kemungkinan buruk yang dapat menimpanya.”
“O,” hampir bersamaan orang-orang yang hadir di tempat itu
berdesah sambil menarik nafas dalam dalam. Jika
permasalahannya hanya keinginan Ratri untuk mempelajari ilmu
olah kanuragan, bukankah Ki Gede sendiri mempunyai
kemampuan untuk mengajarinya?
42
Namun tidak ada seorang pun yang mengungkapkan pemikiran
itu. Mereka menunggu keterangan lebih lanjut dari pemimpin
tanah perdikan Matesih itu.
“Ki Rangga,” akhirnya Ki Gede meneruskan kata-katanya, “Atas
anjuran Ki Ajar Mintaraga, Ratri disarankan untuk pergi ke
Menoreh, belajar ilmu olah kanuragan kepada Nyi Sekar Mirah,
istri Ki Rangga Agung Sedayu.”
Ki Rangga sedikit terkejut nama istrinya telah disebut. Sejenak
Senapati pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di
Menoreh itu mengerutkan keningnya dalam-dalam.
“Mengapa harus jauh-jauh ke Menoreh, Ki Gede?” bertanya Ki
Rangga kemudian setelah berpikir sejenak, “Bukankah Ki Gede
sendiri mempunyai kemampuan untuk mengajarinya?”
“Aku tidak mau belajar olah kanuragan kepada laki-laki, ayah,”
tiba tiba terdengar suara Ratri dari balik punggung ayahnya, “Aku
hanya mau belajar olah kanuragan kepada sesama perempuan!”
Hampir bersamaan orang-orang yang hadir di pringgitan itu
menghela nafas panjang sambil tersenyum. Alasan yang
dikemukakan oleh Ratri itu memang masuk akal. Jika seorang
guru laki-laki mengajarkan ilmu olah kanuragan kepada
perempuan, tentu akan banyak mengalami ewuh pekewuh,
walaupun laki laki itu ayahnya sendiri.
“Baiklah,” berkata Ki Rangga kemudian, “Aku tidak berkeberatan
jika putri Ki Gede ingin belajar ilmu olah kanuragan kepada
istriku, namun dengan satu syarat. Istriku bersedia menerima
murid lagi.”
Hampir bersamaan Ki Gede dan Ratri mengangkat kepala dan
memandang ke arah Ki Rangga. Ki Gede lah yang kemudian
43
bertanya, “Apakah Nyi Sekar Mirah sudah pernah mengangkat
seorang murid?”
“Ya,” sahut Ki Rangga cepat, “Namanya Rara Wulan dan dia telah
menjadi istri Glagah Putih.”
“He?” kembali Ki Gede dan Ratri terkejut. Namun Ratri yang
menyadari dirinya sebagai perempuan segera menundukkan
kepalanya dalam-dalam, sedang Ki Gede telah bertanya kembali,
“Jadi Glagah Putih sudah beristri?”
“Ya Ki Gede,” jawab Ki Rangga kemudian, “Bahkan sekarang Rara
Wulan sedang mengandung muda, sehingga dia tidak dapat kami
ajak dalam rombongan ini.”
Tampak kepala Ki Gede dan Ki Kamituwa terangguk-angguk.
Sedangkan Ratri, gadis yang baru tumbuh menjelang dewasa itu
terlihat semakin tunduk. Entah apa yang sedang berkecamuk di
dalam dadanya.
“Nah, Ki Rangga,” berkata Ki Gede selanjutnya, “Untuk itulah aku
menyempatkan diri mampir ke banjar padukuhan induk untuk
sekedar berpamitan dan meminta bantuan Ki Rangga dan kawan-
kawan untuk menjaga perdikan Matesih ini selama aku tinggal.”
“He? Secepat ini? Mengapa?” bertanya Ki Rangga dengan nada
keheranan. Demikian juga Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan yang
duduk beberapa jengkal di belakang Ki Rangga.
Sejenak Ki Gede terlihat ragu-ragu. Namun akhirnya dia hanya
dapat memberikan alasan yang tidak menyangkut permasalahan
keluarganya.
“Aku secara pribadi memang tidak tergesa-gesa,” jawab Ki Gede
kemudian perlahan-lahan, “Namun Ratri, puteriku satu satunya
44
ini agaknya masih dihantui oleh tingkah laku adik Trah Sekar
Seda Lepen yang pernah menjalin hubungan khusus dengannya.”
Terdengar Ratri berdesah perlahan di belakang punggung Ki
Gede. Namun Ki Gede pura-pura tidak mendengar. Dalam benak
Ki Gede, hanya itulah satu-satunya alasan yang masuk akal. Tidak
mungkin bagi Ki Gede untuk mengungkap hubungan yang tidak
serasi antara Ratri dan ibu tirinya selama ini.
Namun Ki Waskita yang mendengar desah Ratri justru telah
mengerutkan keningnya. Orang tua yang dikaruniai mata batin
yang sangat tajam itu agaknya sedikit menangkap ketidak
sesuaian antara keterangan Ki Gede dan hati nurani Ratri.
“Itu urusan keluarga Ki Gede,” membatin Ki Waskita dalam hati,
“Biarlah angger Sedayu memutuskan, langkah apa yang terbaik
untuk mengatasi permasalahan ini.”
Untuk beberapa saat suasana menjadi sunyi. Ki Rangga tampak sedang mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil
menundukkan wajahnya. Ki Waskita yang berada di sampingnya
menjadi berdebar-debar. Ayah Rudita itu sedikit banyak telah
mengetahui perkembangan mata batin Ki Rangga, sehingga dia
menjadi berdebar-debar jika Ki Rangga mencoba meraba kejadian
sebenarnya yang sedang membelit keluarga Ki Gede.
Namun Ki Waskita segera menarik nafas lega ketika Ki Rangga
kemudian berkata, “Baiklah Ki Gede. Kalau memang Ki Gede telah
memutuskan untuk berangkat hari ini ke Menoreh, aku tidak
mempunyai hak untuk melarang,” Ki Rangga berhenti sejenak.
Lanjutnya kemudian, “Namun jika Ki Gede berkenan sabar untuk
menunggu sehari atau dua hari lagi, dengan senang hati aku akan
menemani perjalanan Ki Gede ke Menoreh.”
45
Jika saja ada petir yang menyambar di ruang pringgitan saat itu,
tentu mereka tidak akan seterkejut ketika mendengar keterangan
Ki Rangga, kecuali Ki Waskita.
Ki Gede dan Ratri benar-benar tidak mempercayai pendengaran
mereka. Bahkan Ratri telah mengangkat wajahnya dan bergeser
sejengkal merapat ke punggung ayahnya.
“Ayah,” bisik Ratri kemudian di dekat telinga ayahnya, “Jika Ki
Rangga sendiri yang berkenan mengantar kita ke Menoreh, Nyi
Sekar Mirah dengan senang hati pasti akan menerima aku sebagai
muridnya, karena yang mengantar suaminya sendiri.”
Tanpa sadar Ki Gede tersenyum mendengar bisikan Ratri. Mereka
yang hadir di ruangan itupun telah menahan senyum mereka,
kecuali Ki Kamituwa yang tidak mampu menangkap bisikan Ratri.
“Nah, semua terserah Ki Gede,” berkata Ki Rangga selanjutnya
begitu melihat ayah dan anak itu terlihat sedang berpikir, “Namun
aku tidak dapat berangkat hari ini juga karena Glagah Putih masih
memerlukan perawatan yang sungguh sungguh.”
“Aku kira berangkat hari ini ataupun besok tidak banyak
bedanya,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian ikut memberi
saran, “Melakukan perjalanan di pagi hari rasa-rasanya lebih
segar dan bersemangat dari pada siang hari seperti sekarang ini.”
“Sebenarnya kami memang sudah berencana untuk melakukan
perjalanan di pagi hari, Ki Bango Lamatan,” sahut Ki Gede dengan
serta merta, “Namun kehadiran orang yang mengaku Pertapa dari
goa Langse itu yang membuat rencana kami berantakan.”
“Tentu tidak,” kini Ki Waskita yang menyahut, “Perjalanan itu
hanya tertunda sehari dan aku sependapat dengan Ki Bango
Lamatan. Apalah bedanya sehari itu jika besok Ki Gede dan
46
rombongan dapat melakukan perjalanan dengan lebih segar dan
bersemangat di pagi hari dengan diantar oleh Ki Rangga.”
Tampak semua kepala terangguk-angguk. Ketika Ki Gede
kemudian berpaling ke belakang, tampak anak gadisnya itu
memandangnya dengan sinar mata yang penuh tanda tanya.
Bisiknya kemudian, “Terus aku tidur di mana, ayah? Aku tidak
mau pulang lagi ke rumah jika..”
Belum sempat Ratri menyelesaikan kata-katanya, Ki Gede segera
menyahut, juga dengan berbisik, “Ratri, semuanya sudah aku
perhitungkan sebelumnya. Aku telah memerintahkan kepada Ki
Kamituwa untuk memberitahukan Ki Prana tentang kemungkinan
perubahan perjalanan kita.”
Sengaja Ki Gede menyebut nama ayah Nyi Selasih agar mereka
yang hadir di ruangan itu tidak mengetahui persoalan yang
sesungguhnya kecuali Ki Kamituwa.
Ratri pun kemudian menganggukkan kepalanya tanpa
mengeluarkan sepatah kata lagi.
Tiba-tiba terdengar pintu pringgitan dikethuk tiga kali berturut
turut. Serentak pandangan orang-orang yang sedang berada di
dalam ruang pringgitan itu pun berpaling ke arah pintu yang
masih tertutup rapat.
“Masuklah!” seru Ki Gede kemudian dengan suara yang sedikit
keras.
Sejenak kemudian pintu pringgitan pun terbuka dan kepala
pengawal perdikan Matesih, Ki Wiyaga melangkah masuk.
“Silahkan Ki Wiyaga,” berkata Ki Gede kemudian
mempersilahkan.
47
“Terima kasih Ki Gede,” berkata Ki Wiyaga kemudian sambil
mengambil tempat duduk di sebelah Ki Gede.
“Apakah persiapan penyelenggaraan jenasah sudah siap?”
bertanya Ki Gede kemudian sambil beringsut dan berpaling ke
arah Ki Wiyaga.
“Sudah Ki Gede,” jawab Ki Wiyaga cepat sambil menganggukkan
kepalanya, “Para penggali kubur pun sudah mengirim utusan
bahwa liang lahat sudah siap.”
“Baiklah,” berkata Ki Gede kemudian sambil mengedarkan
pandangan matanya ke sekeliling, “Matahari agaknya memang
belum tergelincir ke barat. Kita menunggu sejenak,” Ki Gede
berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Rangga,
Ki Gede pun bertanya, “Bukankah sebaiknya memang demikian Ki
Rangga?”
Ki Rangga tersenyum sambil mengangguk. Jawabnya, “Memang
sebaiknya demikian Ki Gede. Saat Matahari tergelincir tinggal
sesaat lagi. Sebaiknya kita antar jenasah itu ke liang lahat setelah
kita usai menunaikan kewajiban kita.”
“Ya, aku setuju,” sahut Ki Waskita dengan serta merta.
Kembali Ki Rangga tersenyum sambil mengangguk ke arah Ki
Waskita. Katanya kemudian, “Aku kira pertemuan kali ini sudah
cukup. Aku akan menengok keadaan Glagah Putih kembali. Aku
harus yakin keadaan Glagah Putih sebelum aku berangkat
mengantar Ki Gede ke Menoreh.”
“Ah,” tanpa sadar Ki Gede telah berdesah. Lanjutnya kemudian,
“Aku merasa telah banyak merepotkan Ki Rangga dan kawan-
kawan. Entah bagaimana aku harus membalas budi semua
kebaikan ini.”
48
“Ah sudahlah Ki Gede,” sahut Ki Rangga cepat, “Semua yang kita
kerjakan itu dilandasi tugas serta penggilan kewajiban untuk tetap
tegaknya panji panji Mataram.”
Orang-orang yang hadir di tempat itu pun tampak mengangguk
anggukkan kepala mereka. Berkata Ki Gede kemudian, “Sambil
menunggu pemberangkatan jenasah, biarlah aku dan Ratri
beristirahat di gandhok kanan bersama Ki Kamituwa.”
“Jika diijinkan aku akan pulang sebentar, Ki Gede,” menyela Ki
Kamituwa sambil mengangguk hormat, “Aku nanti akan ikut
mengantar jenasah dari depan rumahku. Bukankah jalan ke
pekuburan itu lewat depan rumahku?”
Orang orang yang mendengar kata kata permohonan Ki Kamituwa
itu telah tersenyum. Namun akhirnya Ki Gedepun mengangguk
anggukkan kepala sambil menjawab, “Silahkan Ki Kamituwa.
Agaknya tadi sebelum berangkat ke banjar ini, Ki Kamituwa masih
meninggalkan pekerjaan yang belum diselesaikan.”
“Ah,” Ki Kamituwa tertawa pendek diikuti oleh mereka yang hadir
di pringgitan itu. Jawab Ki Kamituwa kemudian, “Memang benar
Ki Gede. Tadi pagi aku sedang mengawasi para tukang batu yang
sedang membetulkan dinding belakang rumah ketika utusan Ki
Gede datang.”
“Baiklah, silahkan,” berkata Ki Gede kemudian sambil bangkit
berdiri. Yang lain pun kemudian ikut bangkit berdiri.
Demikianlah akhirnya mereka telah meninggalkan ruang
pringgitan dan meneruskan kegiatan masing-masing. Ki Rangga
segera bergegas masuk ke ruang dalam untuk melihat keadaan
Glagah Putih yang sedang ditunggui Ki Jayaraga diikuti oleh Ki
Waskita dan Ki Bango Lamatan.
49
Dalam pada itu putut Panengah tampak sedang menyusuri jalan
padukuhan induk perdikan Matesih. Putut Panengah berjalan
sambil menundukkan kepalanya. Sesekali saja dia mengangkat
wajahnya jika ada seseorang yang berpapasan menyapanya.
“Agaknya penghuni padukuhan ini masih menjunjung tinggi nilai
nilai peradaban manusia,” membatin Panengah sambil terus
mengayunkan langkahnya, “Aku tadi sempat curiga ketika ada
seseorang yang sedang berpapasan telah menyapaku. Ternyata
memang itu sudah menjadi tradisi di padukuhan ini. Mereka
selalu menyapa orang yang mereka jumpai, kenal maupun tidak
kenal.”
Berbekal keyakinan itulah, putu Panengah kemudian tidak ragu
ragu lagi berjalan sambil menegakkan kepalanya. Ketika di bawah
sebatang pohon yang rindang, seorang penjual cendol dawet
sedang duduk di belakang pikulannya sambil melepas lelah
menyapanya, putut Panengah pun telah menyempatkan diri untuk
berhenti.
“Masih adakah dawetmu, Ki Sanak ?” sapa putut Panengah
kemudian.
Penjual dawet itu tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Habis. Engkau tidak beruntung Ki sanak. Cobalah ke kedai dekat banjar. Mungkin di sana masih ada.”
“Baiklah, terima kasih,” sahut Panengah sambil kembali
mengayunkan langkahnya.
Beberapa puluh tombak di belakang Panengah, tampak dua orang
berjalan beriringan dengan caping lebar yang menutupi wajah.
Seorang yang sudah cukup tua tampak memanggul sebuah
cangkul sedang yang muda membawa pikulan di pundaknya
50
“Apakah persiapan penyelenggaraan jenasah sudah siap?” bertanya Ki
Gede kemudian sambil beringsut dan berpaling ke arah Ki Wiyaga.
51
dengan dua buah keranjang yang kosong.
“He? Ada apa Panengah berhenti di depan penjual dawet itu?”
terdengar yang tua menggerutu sambil mengamat-amati
Panengah dari balik caping lebarnya.
“Mungkin dia kehausan, ayah,” jawab yang masih muda tanpa
berpaling. Keduanya tetap melanjutkan langkah mereka.
Ketika Panengah kemudian berbelok dan memasuki kedai dekat
banjar, kedua orang yang mengikutinya dari jauh itu telah
mengumpat umpat.
“Gila!” geram yang tua, “Putut itu memang benar benar bebal.
Seharusnya dia ingat tugasnya untuk mengadakan penyelidikan,
tapi malah enak enakan masuk kedai.”
“Biarlah ayah,” jawab yang muda sambil tertawa pendek, “Kita
berjalan terus. Aku khawatir jika kita ikut mampir di kedai itu, ada
orang yang akan mengenali kita berdua.”
“Engkau benar Jaka Purwana,” sahut yang tua, “Kemungkinannya
sangat besar karena aku memang sering mampir di kedai itu.
Kedai yang paling enak di perdikan Matesih ini.”
Anak muda yang ternyata Jaka Purwana itu tersenyum, namun
tidak berkata-kata lagi. Keduanya pun kemudian melanjutkan
perjalanan mereka. Ketika keduanya kemudian melewati kedai itu,
mereka sama sekali tidak berpaling sehingga telah membuat putut
Panengah menahan senyum.
“Nah, sekarang aku punya kesempatan untuk menikmati makan
siang,” membatin Panengah sambil tertawa dalam hati, “Panas-
panas begini berjalan dengan perut dalam keadaan lapar serta
tenggorokan kering, benar benar menyiksa diri. Aku sudah yakin
52
jika kedua orang itu pasti tidak akan berani mampir di kedai ini.
Mereka takut ketahuan penyamarannya.”
Dalam pada itu Ki Dukuh dan anak laki lakinya ternyata telah
sampai di depan banjar. Alangkah terkejutnya kedua orang itu,
ketika mereka sekilas berpaling, dari pintu regol yang terbuka
lebar, dengan sangat jelasnya mereka berdua melihat
pemandangan yang sangat mendebarkan.
Di tengah-tengah pendapa itu terlihat sebuah amben kecil. Bukan
amben kecil itu yang membuat jantung ayah dan anak itu
bagaikan terlepas dari tangkainya. Namun sesosok jenasah yang
terbaring di atas amben itulah yang telah membuat keduanya
terperanjat. Beberapa pengawal pun tampak sedang
mengerumuninya.
“Mayat siapakah, ayah?” bisik Jaka Purwana kemudian sambil
berpaling ke arah Ki Dukuh yang dengan sengaja sedikit
memperlambat langkahnya.
“Mana aku tahu,” jawab ayahnya juga sambil berbisik, “Agaknya
jenasah itu sudah selesai dimandikan dan mungkin akan segera
dibawa ke pekuburan.”
“Kita ikut ke pekuburan,” desis Jaka Purwana kembali sambil
mengikuti langkah ayahnya yang bergegas berlalu dari tempat itu.
Ayahnya tidak menanggapi. Hanya tampak kerut merut di dahinya
yang semakin dalam. Dia segera menggamit anaknya agar tidak
terlalu mencolok melihat ke dalam banjar. Beberapa pengawal
yang sedang berjaga di depan regol tampak sedang mengawasi
tingkah laku kedua orang itu.
Demikianlah akhirnya langkah-langkah mereka telah sampai di
kelokan jalan. Ketika kedua orang itu merasa sudah lepas dari
53
pandangan para mengawal penjaga regol, Ki Dukuh segera
berhenti dan meletakan cangkulnya diikuti oleh anaknya.
“Kita berhenti disini,” berkata Ki Dukuh kemudian sambil duduk
di bawah sebatang pohon yang rindang. Angin sepoi sepoi yang
bertiup perlahan terasa sedikit menyegarkan sekujur tubuh
mereka yang telah basah oleh keringat.
“Apa rencana ayah?” bertanya Jaka Purwana kemudian sambil
ikut duduk di samping ayahnya.
Ayahnya menggeleng sambil memandang ke kejauhan. Dari sorot
mata orang tua itu terlihat betapa kebimbangan sedang melanda
hatinya.
“Ayah, sebaiknya kita ikuti iring iringan jenasah itu menuju ke
pekuburan,” berkata Jaka Purwana kemudian setelah sejenak
mereka terdiam, “Kita dapat bertanya kepada orang-orang yang
mengantar jenasah itu sambil lalu seolah olah kita sama sekali
tidak berkepentingan.”
Tampak Ki Dukuh menarik nafas dalam, dalam sekali.
Panggraitanya mengatakan bahwa mayat yang terbujur di
pendapa itu pasti guru Jaka Purwana.
“Jika yang terbunuh itu Ki Rangga atau salah satu dari kelima
perantau itu, pasti kawan-kawannya akan menyempatkan diri
untuk merawatnya atau sekedar duduk-duduk di pendapa sambil
membacakan doa-doa,” membatin Ki Dukuh sambil pandangan
matanya menerawang ke langit, “Namun kenyataannya mayat itu
hanya diurusi oleh para pengawal.”
“Ayah?” sergah Jaka purawana kemudian mengagetkan Ki Dukuh,
“Apa rencana ayah?”
54
Ki Dukuh belum menjawab ketika tiba-tiba kedua orang itu
mendengar langkah-langkah mendekat. Sejenak wajah ayah dan
anak itu menegang. Jika yang muncul dari kelokan jalan itu salah
seorang pengawal, tentu mereka harus berusaha sejauh mungkin
untuk menghindari benturan. Tanpa berjanji sebelumnya,
keduanya pun segera menundukkan wajah.
Namun kedua orang yang sedang duduk melepas lelah di bawah
sebatang pohon yang rindang itu akhirnya menarik nafas panjang
ketika dari kelokan jalan yang muncul adalah putut Panengah.
“Bocah edan!” geram Ki Dukuh sambil bangkit berdiri. Jaka
Purwana pun ikut berdiri sambil mengibas kibaskan kain
panjangnya yang kotor terkena debu.
“Ki Dukuh?” sapa putut Panengah sambil memperlambat
langkahnya dan kemudian berhenti di hadapan kedua orang itu.
“Panengah,“ bertanya Ki Dukuh kemudian dengan pandangan
mata yang tajam, “Apa saja kerjamu di kedai tadi?”
Putut Panengah tersenyum. Jawabnya kemudian, “Maafkan aku
Ki Dukuh. Dari semalam perutku belum terisi sama sekali,
sehingga aku menyempatkan diri untuk mencari makan dulu.”
Tanpa sadar ayah dan anak itu saling berpandangan sejenak.
Agaknya mereka baru menyadari bahwa sebagai tuan rumah
mereka berdua belum sempat memberikan pelayanan bagi tamu-
tamunya.
“O, maafkan kami Panengah,” berkata Ki Dukuh kemudian sambil
menarik nafas dalam-dalam, “Kalian berkunjung ke rumahku
ketika menjelang tengah malam. Sedangkan pagi tadi kami pun
belum sempat menyediakan makanan dan minuman.”
55
“Tidak mengapa Ki Dukuh,” jawab Panengah dengan serta merta
sambil tersenyum untuk menghilangkan rasa bersalah Ki Dukuh
dan anak laki-lakinya, “Semalam guru telah memberi tugas
kepada kami untuk meringkus Jagabaya itu, namun ternyata
justru telah terjadi peristiwa yang diluar dugaan sama sekali.”
“Maksudmu?” hampir berbareng ayah dan anak itu bertanya.
Panengah menarik nafas dalam dalam sambil memandang ke
kejauhan. Wajahnya terlihat memendam kesedihan yang tiada
taranya. Jawabnya kemudian, “Menilik jenasah yang diletakkan di
pendapa itu, aku mempunyai dugaan, mungkin itu jasad kakang
putut Acarya atau bahkan bisa jadi itu jasad guru.”
“Ah,” sergah Jaka Purwana kemudian dengan wajah yang
menyiratkan ketidak percayaan, “Dari mana engkau mempunyai
kesimpulan seperti itu?”
“Ya,” sahut Ki Dukuh tak kalah sengit, “Apa alasanmu menduga
seperti itu?”
Kembali Panengah menarik nafas dalam, dalam sekali. Jawabnya
kemudian dengan suara yang memelas, “Guru mendatangi banjar
itu untuk menantang agul agulnya Mataram Ki Rangga Agung
Sedayu. Jika perang tanding itu benar-benar terjadi dan yang
tewas adalah Ki Rangga, tentu kawan-kawannya tidak akan
membiarkan hal itu terjadi. Mereka tidak akan membiarkan guru
meloloskan diri dari tempat itu.”
Tampak kepala Ki Dukuh dan anaknya terangguk angguk. Memang alasan Panengah itu masuk akal.
“Jadi, jika Ki Rangga yang kalah dalam perang tanding itu,
seharusnya ada dua jasad yang disemayamkan di pendapa, begitu
menurutmu?” bertanya Ki Dukuh selanjutnya.
56
“Ki Dukuh benar,” jawab Panengah dengan serta merta sambil
menganggukkan kepalanya. Lanjutnya kemudian, “Jika kakang
Acarya juga ikut menyusul guru memasuki banjar itu,
kemungkinan justru kakang Acarya tidak akan terbunuh. Dia pasti
masih hidup, namun sekarang sedang dijadikan tawanan.”
Hampir bersamaan Ki Dukuh dan putranya saling berpandangan.
Bertanya Jaka Purwana kemudian, “Mengapa engkau menyimpulkan demikian? Mengapa kakang Acarya
kemungkinannya tidak mati terbunuh?”
“Karena ilmu kakang Acarya masih sangat jauh di bawah ilmu
guru,” jawab Panengah cepat,” Ki Rangga atau kawan-kawannya
tentu tidak akan menemui kesulitan yang berarti untuk
melumpuhkannya dan kemudian menawannya.”
Kini tampak kedua orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya,
walaupun dalam hati mereka masih terselip sebuah harapan,
bahwa semua perkiraan Panengah itu tidak terjadi. Bahkan diam
diam dalam hati Ki Dukuh memuji Panengah yang disangkanya
terlalu bebal dan bodoh.
“Jika Acarya tertangkap dan kemudian mengaku bahwa aku telah
memberi tempat kepada Pertapa itu beserta murid-muridnya,
tentu Ki Gede Matesih tidak akan tinggal diam. Padukuhan
Klangon akan diratakan dengan tanah,” berkata Ki Dukuh dalam
hati kemudian sambil mencoba menyembunyikan kegalauan
hatinya.
Namun agaknya Jaka Purwana tanggap akan masalah yang akan
dihadapi keluarganya. Jika guru dan saudara seperguruannya itu
nantinya ditelusuri sejauh mana keterlibatan mereka dengan Ki
Dukuh dan keluarganya, maka keselamatan keluarganya akan
terancam.
57
Maka katanya kemudian, “Ayah, jika keadaan memaksa, lebih baik
kita menyingkir dan sekalian bergabung dengan para cantrik
Sapta Dhahana. Mumpung Ki Gede belum bergerak untuk
melacak keterlibatan kita, sebaiknya kita segera menyingkir.”
“Adi Jaka Purwana benar,” sahut Panengah sambil berpaling ke
arah Ki Dukuh, “Kita harus bergerak cepat, Ki Dukuh. Tidak
menutup kemungkinan seandainya kakang Acarya telah tertawan,
sekarang ini dia pasti sedang dipaksa untuk mengaku siapa saja
pengikut Pertapa goa Langse. Dan itu tidak menutup
kemungkinan kakang Acarya akan menyebut nama kita semua.”
Tampak wajah Ki Dukuh menjadi kalut. Dengan wajah yang
tegang, akhirnya dia berkata, “Marilah kita segera meninggalkan
tempat terkutuk ini. Jika memang menyingkir adalah jalan
terbaik, untuk sementara aku akan memboyong keluargaku untuk
tinggal di lereng pegunungan Kendeng.”
Jaka Purwana terkejut. Bertanya Jaka Purwanan kemudian
dengan nada sedikit ragu-ragu, “Maksud ayah, ke tempat paman
di padepokan Glagah Tinutu?”
“Engkau benar, Jaka Purwana,” jawab ayahnya sambil
menganggukkan kepalanya, “Aku akan meminta perlindungan ke
padepokan Glagah Tinutu untuk sementara waktu.”
Akan tetapi wajah Jaka Purwana masih diliputi keragu-raguan.
Katanya kemudian, “Ayah, selama ini kita sepertinya sudah putus
hubungan dengan paman Sabda Langit di padepokan Glagah
Tinutu.”
Ki Dukuh tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Pimpinan
padepokan Glagah Tinutu itu masih ditangan eyangmu, belum
diserahkan kepada pamanmu yang tamak itu. Kita ke sana bukan
58
untuk mengunjungi pamanmu, namun kita meminta
perlindungan kepada eyangmu.”
Kerut merut masih tampak di kening anak laki laki Ki Dukuh itu,
namun Ki Dukuh segera memutuskan. Katanya kemudian,
“Marilah kita kembali. Aku dan Jaka Purwana akan terus
mengikuti jalur jalan ini. Setelah bulak kecil itu kita berbelok ke
kiri dan selanjutnya kembali ke dukuh Klangon.”
“Bagaimana dengan aku, Ki Dukuh?” bertanya Panengah
kemudian begitu melihat ayah dan anak itu mulai melangkahkan
kaki mereka. Suaranya terdengar sangat memelas sehingga
memaksa Ki Dukuh menghentikan langkahnya.
Sambil berpaling, Ki Dukuh menjawab,”Engkau bebas Panengah.
Engkau bebas menentukan jalan hidupmu. Dengan meninggalnya
Pertapa goa Langse itu, aku dan anakku sudah tidak ada ikatan
apa apa lagi dengan mu. Kita berpisah di sini untuk mencari jalan
kita masing masing.”
Gemetar sekujur tubuh putut Panengah. Dia benar benar bagaikan
seekor anak ayam yang ditinggal pergi induknya. Sementara di
setiap sudut tampak gigi gigi musang yang menyeringai kelaparan
dan siap untuk menerkamnya.
Agaknya Ki Dukuh dan Jaka Purwana sudah tidak memperdulikan
Panengah lagi. Keduanya dengan langkah bergegas segera
meninggalkan Panengah yang masih berdiri termangu nmangu di
ujung kelokan.
Dalam pada itu, sepeninggal Ki Dukuh dan anaknya, Panengah
masih berdiri termangu mangu beberapa saat di tempat itu.
Pikirannya benar-benar sedang kalut. Dia tidak tahu harus
berbuat apa. Sementara bayangan Ki Dukuh dan Jaka Purwana
59
sudah semakin jauh.
Ada terbersit pemikiran untuk kembali ke goa Langse. Namun
pemikiran itu segera dibuangnya jauh-jauh.
“Untuk apa aku kembali ke goa Langse?” pertanyaan itu berputar
putar dalam benaknya. Sementara Matahari di langit sudah
tampak mulai sedikit tergelincir ke arah barat.
“Ah, persetan dengan semua persoalan itu. Aku akan pergi
kemanapun kakiku melangkah,” umpat Panengah dalam hati
kemudian sambil membalikkan badan dan kembali menyusuri
jalan melewati depan regol banjar padukuhan induk.
Dalam pada itu di pendapa banjar padukuhan induk, Ki Gede
didampingi Ki Wiyaga dan Ki Rangga di sebelah menyebelah telah
berdiri berjajar jajar di belakang jenasah Pertapa goa Langse yang
telah dimasukkan kedalam keranda dan digeser tempatnya agak
ke depan. Di belakang Ki Gede tampak Ki Waskita dan Ki Bango
Lamatan. Sedangkan Ki Jayaraga agaknya masih tidak tega untuk
meninggalkan muridnya yang masih terbaring di dalam bilik di
ruang tengah banjar padukuhan induk.
Di halaman banjar, tampak telah berkumpul para penghuni
padukuhan induk yang tinggal di sekitar banjar. Sebenarnya
mereka sudah melihat jenasah itu di pendapa sejak pagi
menjelang siang tadi. Namun sampai saat ini, belum ada kejelasan
tentang jati diri orang yang telah terbujur menjadi mayat itu.
“Siapakah sebenarnya yang telah meninggal?” bertanya seorang
laki laki tua kepada orang yang berdiri di sebelahnya.
“Aku tidak tahu, kek,” jawab laki laki itu tanpa berpaling.
Pandangan matanya lurus ke depan memperhatikan apa yang ada
di pendapa.
60
“Nanti Ki Gede pasti akan memberitahukan kepada kita,” sahut
seorang laki laki paro baya yang berdiri tidak jauh dari kakek tua
itu, “Tapi menurut dugaanku, yang meninggal itu pasti bukan
warga perdikan Matesih.”
“Ya, aku juga menduga demikian,” sahut kakek tua itu sambil
mendesak ke depan.
Tiba tiba terlintas dalam benak kakek tua itu sesuatu dugaan.
Maka katanya kemudian, “Jangan–jangan salah satu tamu Ki
Gede yang tinggal di banjar ini yang meninggal dunia. Aku dengar
selepas penyerbuan ke padepokan Sapta Dhahana, ada salah satu
dari mereka yang terluka dan jatuh sakit.”
Orang-orang di sekitarnya yang mendengar kata kata kakek tua itu
telah berpaling sambil mengerutkan kening. Tanpa sadar mereka
kembali melayangkan pandangan ke pendapa. Walaupun mereka
kebanyakan tidak mengenal Ki Rangga dan kawan kawannya
orang perorang. Namun mereka segera mengenali dari wajah
wajah asing yang berdiri di sekitar Ki Gede.
“He! Mereka katanya ada berlima?!” seru salah seorang yang
berjanggut dan berkumis lebat, “Tapi mengapa yang aku lihat di
pendapa itu hanya bertiga? Ke mana yang dua lagi? Ataukah aku
yang salah hitung?”
Beberapa orang yang mendengar ucapan orang itu telah menjadi
berdebar debar. Tanpa sadar mereka segera mengamat amati
wajah wajah yang tampak asing bagi mereka. Wajah wajah yang
belum pernah terlihat selama ini di perdikan Matesih. Berbagai
dugaan pun telah memenuhi benak mereka.
Namun agaknya kakek tua itu segera menyadari bahwa dugaannya
akan dapat membawa ke perdebatan yang tak berujung pangkal.
61
Maka katanya kemudian, “Sudahlah. Aku juga tidak begitu paham
dengan kelima tamu Ki Gede itu. Lebih baik kita tunggu
penjelasan Ki Gede saja.”
Agaknya orang-orang yang berada di sekitar kakek tua itu pun
akhirnya menyadari. Tidak ada gunanya mereka menduga duga
peristiwa yang mereka sama sekali tidak mengetahuinya. Lebih
baik menunggu saja keterangan resmi dari pemimpin tanah
perdikan Matesih itu.
Dalam pada itu di pendapa Ki Gede telah maju selangkah. Setelah
mengucapkan salam terlebih dahulu, barulah Ki Gede memulai
sesorahnya.
“Siang hari ini kita akan mengantarkan jenasah menuju ke tanah
pekuburan, “ berkata Ki Gede kemudian memulai sesorahnya,
“Jenasah ini adalah jenasah seseorang yang menyebut dirinya
Pertapa dari goa Langse.”
Segera saja terdengar kerumunan orang di halaman banjar itu
saling bergeremang antara satu dengan lainnya. Beberapa orang
yang mempunyai dugaan yang keliru pun telah menarik nafas
dalam dalam.
“Pertapa dari goa Langse?” desis kakek yang sebelumnya menduga
jika salah satu kawan Ki Rangga yang meninggal.
“Siapa itu?” lanjutnya kemudian dengan nada penuh tanya.
“Aku juga tidak tahu, kek,” sela orang yang berdiri di sebelahnya,
“Akan tetapi dari julukannya, dia pasti berasal dari tempat yang
jauh.”
“Ya, ya. Engkau benar,” sahut kakek itu dengar serta merta.
62
Kemudian dengan kerut merut di dahi, kakek itu mencoba
mengumpulkan ingatannya. Lanjutnya kemudian, “Goa Langse itu
kalau aku tidak salah berada di pantai laut selatan.”
“Memangnya kakek pernah ke sana?” tiba tiba seseorang menyela.
Kakek itu berpaling ke arahnya sambil tersenyum mengejek.
Jawabnya jemudian, “Jelek jelek begini, di masa muda hampir
seluruh tempat di tanah Jawa ini telah aku jelajahi. Dari ujung
kulon sampai ujun wetan.”
“Tapi, seumur-umur aku belum pernah melihat kakek
meninggalkan Matesih,” tiba tiba terdengar suara seseorang
menyeluthuk dari arah belakangnya.
Ketika kakek tua itu kemudian berpaling ke belakang, terlihat
seseorang yang setua dirinya sedang tersenyum ke arahnya. Wajah
kakek itu pun menjadi merah padam seperti udang direbus.
Sementara di sekeliling kakek itu pun kemudian terdengar suara
tawa yang tertahan-tahan. Kakek itu pun hanya dapat menggeram
sambil memelototkan sepasang matanya ke arah mereka.
“Jadi, kewajiban kita sebagai sesama insan hamba Tuhan, adalah
memberikan penghormatan terakhir dan menyelenggarakan
pemakamannya, apapun peran yang telah dilakukan oleh orang
yang menyebut dirinya Pertapa dari goa Langse ini kepada tanah
perdikan Matesih,” terdengar kembali suara Ki Gede meneruskan
sesorahnya.
“Nah, marilah kita bersama sama memanjatkan doa kepada yang
Maha Pemurah agar peristiwa yang terjadi di perdikan Matesih
selama ini dan khususnya peristiwa di banjar padukan induk pagi
tadi, tidak akan terulang kembali. Semoga perdikan Matesih selalu
jaya dan dalam lindungan serta bimbingan Yang Maha Kuasa,”
63
Namun alangkah terkejutnya Ki Rangga begitu pandangan
matanya menangkap sesosok tubuh tua renta…..
64
berkata Ki Gede kemudian mengakhiri sesorahnya.
Ki Waskita yang telah ditunjuk oleh Ki Gede untuk memimpin doa
segera maju ke depan. Segera saja untaian doa demi doa mengalir
dari bibir Ki Waskita. Orang yang telah kenyang makan asam
garamnya kehidupan serta telah putus segala kawruh lahir
maupun batin itu pun akhirnya mengakhiri doanya dengan
harapan dan permohonan agar perdikan Matesih selalu dalam
lindunganNya untuk menyongsong hari hari mendatang.
Setelah Ki Waskita selesai memimpin doa, empat orang pengawal
yang telah disiapkan segera mengangkat keranda dan kemudian
berjalan perlahan menuruni pendapa. Sesampainya keranda itu di
halaman banjar, orang orang pun saling berebut untuk
menggantikan memikul jenasah itu.
“Apakah Ki Rangga dan kawan-kawan akan ikut mengantar
jenasah sampai ke pekuburan?” bertanya Ki Gede kemudian
sambil berjalan menuruni pendapa.
Sejenak Ki Rangga berpaling ke arah Ki Waskita dan Ki Bango
Lamatan. Tampak kedua orang itu tidak berkeberatan dan telah
menganggukkan kepala mereka.
“Baiklah Ki Gede, mari kita antar jenasah itu sampai ke liang
lahat,” jawab Ki Rangga kemudian sambil mengikuti langkah Ki
Gede menuruni tlundak pendapa.
Demikianlah Ki Gede dan Ki Rangga beserta Ki Waskita segera
bergabung dengan arus orang-orang yang berjalan ke tempat
pekuburan. Sedangkan Ki Wiyaga dan Ki Bango Lamatan tampak
berjalan di belakang sambil asyik bercakap cakap.
“Ki Bango Lamatan,” bertanya Ki Wiyaga kemudian sambil
melangkahkan kakinya, “Bagaimana keadaan Glagah Putih yang
65
sebenarnya? Mengapa aku tadi tidak diijinkan untuk menengok ke
dalam biliknya?”
“Bukan begitu, Ki Wiyaga,” sahut Ki Bango Lamatan sambil
mengikuti langkah kepala pengawal perdikan Matesih itu, “Luka
Glagah Putih memang sangat parah. Bukan dalam arti luka yang
terbuka terkena senjata tajam. Namun luka Glagah Putih adalah
luka di dalam tubuhnya. Tenaga cadangannya bagaikan terperas
habis dari dalam tubuhnya. Bahkan darahnya pun telah ikut
merembes keluar dari pori pori sekujur tubuhnya.”
“Gila!” geram Ki Wiyaga tanpa sadar sambil mengepalkan kedua
tangannya, “Ilmu apakah yang dimiliki oleh lawan Glagah Putih
itu sehingga Glagah Putih telah mengalami cidera seperti itu?”
Ki Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam. Angannya sejenak
melayang ke peristiwa tadi pagi. Seandainya Ki Rangga
mengetahui Pertapa goa Langse itu memiliki sebuah ilmu yang
nggegirisi seperti itu dan akibat yang dapat ditimbulkannya, tentu
Ki Rangga tidak akan mengijinkan Glagah Putih untuk
menghadapinya.
Ki Wiyaga yang melihat Ki Bango Lamatan justru telah termenung
menjadi heran. Tanyanya kemudian, “Apakah sebenarnya yang
telah terjadi, Ki Bango Lamatan?”
Ki Bango Lamatan bagaikan terjaga dari tidurnya mendapat
pertanyaan dari Ki Wiyaga. Setelah menarik nafas panjang,
barulah dia menjawab, “Lawan Glagah Putih itu memiliki sejenis
ilmu yang mampu menyedot kekuatan lawan, khususnya tenaga
cadangannya. Dengan demikian apabila kedua tangan lawan
Glagah Putih itu telah menempel di tubuh bagian mana saja, ilmu
itu akan bekerja. Jika tenaga cadangan lawannya masih dibawah
66
kekuatannya, dengan cepat dia akan mampu membuat lawannya
mati lemas dengan sekujur tubuh bersimbah darah.”
“Sekujur tubuh bersimbah darah?” ulang Ki Wiyaga dengan nada
keheranan, “Bukankah dia sama sekali tidak bersenjata?”
“Ki Wiyaga benar,” sahut Ki Bango Lamatan kemudian cepat,
“Namun ilmu menyedot tenaga cadangan lawan itu akan membuat
darah di dalam tubuh lawan mengalir keluar melalui pori pori di
sekujur tubuhnya.”
Ki Wiyaga diam diam bergidik ngeri. Betapa dahsyatnya ilmu itu
dan kelihatannya dapat digunakan untuk menghabisi lawan tanpa
belas kasihan.
“Lawan akan mati dalam keadaan mengenaskan,” membatin Ki
Wiyaga sambil terus menjajari langkah Ki Bango Lamatan,
“Tubuhnya akan kering karena darah di dalam tubuhnya seakan
akan telah terperas keluar. Benar benar sebuah ilmu yang
nggegirisi dan mengerikan.”
Tanpa terasa langkah kedua orang itu sudah sampai di gerbang
pekuburan. Tampak jenasah Pertapa goa Langse itu sudah
diturunkan ke liang lahat. Beberapa orang pun sudah mulai
menimbuni kembali liang lahat itu dengan tanah bekas galiannya.
“Apakah kita terlambat?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian
Ki Wiyaga menggelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian,
“Belum, Ki. Setelah selesai mengubur jenasah itu, masih ada doa
yang akan dipanjatkan. Setelah itu barulah kita bubar kembali ke
tempat masing masing.”
Ki Bango Lamatan mengangguk anggukkan kepalanya. Ketika dia
kemudian melemparkan pandangan matanya ke depan, tampak Ki
67
Gede sedang berbisik bisik dengan Ki Rangga. Sementara
beberapa langkah di samping mereka Ki Waskita dan Ki
Kamituwa tampak sedang asyik membicarakan sesuatu.
Ada keinginan Ki Bango Lamatan untuk mendekat. Namun niat
itu segera diurungkannya ketika melihat Ki Wiyaga justru telah
bergeser ke bawah sebatang pohon untuk berteduh dari teriknya
sinar Matahari . Ki Bango Lamatan pun kemudian mengikutinya.
Dalam pada itu, orang orang yang menimbuni liang lahat itu
ternyata telah selesai dan sepasang nisan pun telah terpasang.
“Pertapa goa Langse,” desis Ki Rangga tanpa sadar membaca
sekilas tulisan yang terpasang pada nisan tersebut.
Ki Gede hanya tersenyum mendengar desis Ki Rangga. Kemudian
Ki Gede pun mempersilahkan Ki Waskita untuk kembali
memimpin doa.
Demikian lah akhirnya penyelenggaraan jenasah Pertapa dari goa
Langse itu telah selesai. Orang-orang yang hadir di dalam
pekuburan itu pun berangsur angsur telah keluar dari area
pekuburan. Ki Rangga dan yang lainnya pun telah melangkahkan
kaki mereka meninggalkan tempat itu.
Ketika langkah Ki Rangga dan kawan kawan itu hampir mencapai
pintu gerbang pekuburan, tanpa sadar Ki Rangga telah berpaling
ke belakang, memandang ke tempat Pertapa goa Langse itu
dimakamkan.
Namun alangkah terkejutnya Ki Rangga begitu pandangan
matanya menangkap sesosok tubuh tua renta berpakaian kumal
sedang duduk menghadap ke kuburan yang tanahnya masih
basah. Orang itu tidak tampak wajahnya karena membelakangi Ki
Rangga. Namun dari ujudnya, orang itu terlihat sudah sangat tua
68
renta dan kurus kering tinggal tulang belaka. Rambutnya yang
panjang dan berwarna putih bagaikan kapas itu digelung keatas
tanpa selembar ikat kepala, hanya diikat dengan secarik kain yang
berwarna hitam kelam.
Berdesir tajam jantung Ki Rangga. Segera saja dia berpaling ke
arah Ki Waskita yang berjalan di samping kirinya sambil berbisik,
“Ki Waskita, ada seseorang yang tampaknya sedang meratapi
kubur Pertapa dari goa Langse itu.”
Ki Waskita pun terkejut bukan alang kepalang. Secepat kilat dia
segera berpaling ke belakang. Namun ayah Rudita itu hanya
melihat gundukan tanah yang masih basah.
Ki Rangga yang ikut kembali berpaling itu darahnya bagaikan
tersirap. Sesosok bayangan orang tua renta dengan tubuh kurus
kering serta pakaian kumal itu sudah tidak dilihatnya lagi.
“Aneh,” desis Ki Rangga kemudian. Hampir saja dia
menghentikan langkahnya. Namun karena khawatir akan
membuat yang lain gelisah dan bertanya-tanya, Ki Rangga pun
memutuskan untuk tetap melangkahkan kakinya.
“Jika apa yang dilihat angger tadi memang benar benar ada, aku
jadi teringat cerita Ki Jayaraga,” desis Ki Waskita perlahan lahan
sambil tetap menjajari langkah Ki Rangga. Langkah kedua orang
itu sengaja dibuat perlahan agar mereka berdua agak terpisah dari
rombongan para pelayat yang sedang kembali ke banjar.
“Mungkinkah yang aku lihat sekilas tadi adalah Pertapa goa
Langse yang sebenarnya?” bertanya Ki Rangga kemudian setelah
sejenak mereka berdua terdiam.
“Aku rasa memang demikian, ngger,” jawab Ki Waskita sambil
menarik nafas panjang, “Jika memang orang yang mengaku
69
Pertapa dari goa Langse itu benar benar murid dan sekaligus anak
dari Pertapa goa Langse yang sebenarnya, Glagah Putih benar
benar dalam bahaya.”
Mendengar penjelasan Ki Waskita itu, tiba tiba saja hati Ki Rangga
menjadi gelisah. Seolah olah Ki Rangga sedang meninggalkan
seorang anak kecil bermain main di pinggir sungai.
“Akan tetapi ada Ki Jayaraga,” membatin Ki Rangga mencoba
menghibur dirinya, “Seandainya Pertapa tua itu mendatangi
banjar, semoga dia masih mengenal Ki Jayaraga.”
Namun hati Ki Rangga masih belum tenang. Maka katanya
kemudian, “Ki Waskita, sebaiknya kita segera kembali ke banjar.
Aku mengkhawatirkan segala sesuatunya dapat berkembang ke
arah yang tidak terduga.”
“Baiklah ngger,” jawab Ki Waskita sambil ikut mempercepat
langkahnya mengikuti Ki Rangga.
Orang orang yang sedang berjalan di sekitar mereka berdua pun
menjadi heran. Pada awalnya kedua orang itu tampak berjalan
perlahan lahan. Namun tiba tiba saja sekarang kedua orang itu
berjalan seperti sedang dikejar hantu. Begitu tergesa gesanya
sehingga seolah olah mereka berdua sedang berlomba jalan cepat.
Ketika kedua orang itu kemudian melewati Ki Gede dan Ki
Kamituwa, Ki Rangga pun menyapa keduanya sambil berkata,
“Maaf Ki Gede, kami mendahului. Ada sesuatu yang harus kami
kerjakan.”
Ki Gede yang melihat kedua orang itu berjalan dengan bergegas
telah mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Apakah Ki
Rangga perlu bantuan?”
70
“O, tidak…tidak Ki Gede,” sahut Ki Rangga sambil berpaling
sekilas dan tersenyum. Tanpa mengurangi laju langkahnya Ki
Rangga menjawab singkat, “Kami berdua ada keperluan yang
sangat pribadi.”
Ki Gede dan Ki Kamituwa pun saling berpandangan sejenak. Namun akhirnya kedua orang itu pun telah tersenyum maklum.
Demikianlah langkah kedua orang itu benar benar bagaikan
sedang dikejar hantu. Ketika keduanya melewati Ki Bango
Lamatan dan Ki Wiyaga, Ki Rangga pun berbisik perlahan, “Maaf
Ki Wiyaga, aku perlu bantuan Ki Bango Lamatan. Ijinkan Ki
Bango Lamatan berjalan mendahului bersama kami.”
“O, silahkan…silahkan,” jawab Ki Wiyaga kemudian. Ki Bango
Lamatan yang telah digamit oleh Ki Rangga segera mengangguk
ke arah Ki Wiyaga terlebih dahulu sebelum mempercepat
langkahnya menyusul Ki Rangga dan Ki Waskita.
Ketika regol banjar padukuhan induk itu sudah terlihat, ketiga
orang itu hampir saja tidak mampu menahan diri untuk berlari.
Namun Ki Rangga segera berkata, “Jangan membuat para
pengawal yang sedang berjaga menjadi cemas. Kita pertahankan
langkah kita agar tidak menimbulkan kesan yang berlebihan dan
kegelisahan.”
Kedua kawannya itu hanya mengangguk dan tetap berjalan cepat
di samping Ki Rangga.
Sebenarnyalah para pengawal penjaga regol itu menjadi heran
melihat ketiga orang itu. Mereka terlihat sangat tergesa gesa
memasuki banjar padukuhan induk. Namun tidak ada satupun
dari pengawal jaga itu yang berani bertanya.
71
Barulah ketika ketiga orang itu telah hilang di balik pintu
pringgitan, pemimpin pengawal jaga hari itu telah menarik nafas
panjang sambil berkata, “Ada ada saja Ki Rangga dan kawan
kawannya itu. Aku kira tadi ada serangan lagi di banjar
padukuhan ini. Ternyata tidak. Mungkin mereka hanya ingin pergi
ke pakiwan saja.”
“Mungkin , Ki,” sahut pengawal di sebelahnya, “Namun agak aneh
juga jika ketiga-tiganya ingin pergi ke pakiwan semua.”
“Bukankah di banjar ini pakiwannya ada lebih dari satu?” seorang
pengawal yang duduk bersandaran dinding gardu menyela.
Serentak para pengawal yang sedang berbincang itu menengok ke
arahnya. Namun kemudian tampak kepala mereka terangguk
angguk.
Dalam pada itu Ki Rangga dan Ki Waskita serta Ki Bango Lamatan
segera memasuki bilik yang digunakan untuk merawat Glagah
Putih.
Agar tidak mengejutkan Ki Jayaraga, Ki Rangga memerlukan
mengetuk pintu bilik itu sebelum masuk.
“Masuklah!” terdengar suara Ki Jayaraga yang berat dan dalam
mempersilahkan.
Sejenak kemudian mereka bertiga pun berturut turut telah
memasuki bilik.
Ki Rangga segera mengambil sebuah dingklik kayu dan kemudian
duduk di dekat amben. Sedang Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan
segera menyesuaikan diri mencari dingklik kayu yang lain dan
kemudian bergabung di sekitar amben.
72
“Bagaimana keadaannya, Ki?” bertanya Ki Rangga kemudian
kepada Ki Jayaraga sambil meraba kening Glagah Putih.
“Tadi sudah sempat siuman dari pingsannya,” jawab Ki Jayaraga
kemudian, “Aku sudah meminumkan obat cair yang telah Ki
Rangga siapkan. Syukurlah cairan obat itu bisa dihabiskan Glagah
Putih dan agaknya dia sekarang ini sedang tidur lelap.”
Ki Rangga menarik nafas dalam dalam. Sejenak murid tertua
perguruan orang bercambuk itu merenungi tubuh Glagah Putih
yang terbujur diam. Hanya dadanya saja yang terlihat naik turun
dalam irama yang ajeg.
“Luka dalam Glagah Putih ini sangat parah,” desis Ki Rangga
kemudian sambil memutar tubuhnya menghadap kawan
kawannya, “Aku akan meramu sejenis makanan khusus untuk
luka dalam yang cukup parah. Untuk sementara Glagah Putih
tidak diperbolehkan makan makanan padat terlebih dahulu
sampai lambungnya siap.”
Tampak orang orang yang berkumpul dalam bilik itu mengangguk
anggukkan kepala mereka.
“Ki Rangga benar benar telah menjelma menjadi gurunya sendiri,
Kiai Gringsing. Baik dalam ilmu olah kanuragan jaya kawijayan
maupun dalam ilmu pengobatan,” berkata Ki Jayaraga dalam hati
dengan penuh kekaguman.
“Ki Jayaraga,” tiba-tiba Ki Rangga berkata membuyarkan
lamunan Ki Jayaraga, “Apakah selama kami mengantar jenasah ke
pekuburan tadi Ki Jayaraga menerima tamu?”
Orang orang yang hadir di dalam bilik itu terkejut mendengar
pertanyaan Ki Rangga, kecuali Ki Waskita.
73
Ki Jayaraga segera menggeser dingkliknya sejengkal ke depan.
Jawabnya kemudian, “Dari mana Ki Rangga mengetahui kalau
tadi aku menerima tamu di dalam bilik ini?”
Tanpa sadar Ki Rangga berpaling ke arah Ki Waskita. Ki Waskita
pun tampak mengangguk anggukkan kepalanya. Sedangkan Ki
Bango Lamatan yang belum mengetahui duduk permasalahannya
tampak mengerutkan keningnya dalam dalam.
“Ki Jayaraga,” berkata Ki Rangga selanjutnya, “Tadi sebelum
meninggalkan tanah pekuburan, secara tidak sengaja aku telah
melihat sesuatu yang sangat mendebarkan?”
“Apakah itu Ki Rangga?” Ki Bango Lamatan lah yang justru
mendahului bertanya dengan nada yang tidak sabar.
Ki Rangga tersenyum. Jawabnya kemudian, “Selepas kami
meninggalkan makan Pertapa goa Langse itu, ketika mendekati
pintu gerbang pekuburan, aku telah menyempatkan diri untuk
menengok kebelakang,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Namun aku menjadi sangat tekejut ketika melihat
sebuah pemandangan yang sangat ganjil. Di depan makam
Pertapa goa Langse itu aku melihat seorang kakek tua renta
dengan tubuh yang kurus kering tinggal tulang belulang saja dan
berpakaian kumal tampak sedang meratapi makam itu.”
Ki Jayaraga segera menarik nafas panjang sambil berdesis
perlahan lahan, “Dia lah Pertapa goa Langse yang sesungguhnya.”
Ki Rangga dan Ki Waskita yang sudah mempunyai dugaan
sebelumnya masih tampak terkejut. Apalagi Ki Bango Lamatan.
Orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya
Warastra itu bahkan telah menggeser duduknya lebih mendekat.
74
“Pertapa goa Langse yang sesungguhnya? Apa maksud Ki
Jayaraga?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian.
Kembali Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Pandangan matanya
terlempar ke langit langit yang sedikit kotor terkena jelaga lampu
dlupak. Tampaknya Ki Jayaraga sedang mengingat-ingat masa
lalunya.
“Bagaimana Ki Jayaraga?” Ki Rangga mencoba membangunkan
guru Glagah Putih itu dari mimpi masa lalunya.
Ki Jayaraga tersenyum sambil menggeleng gelengkan kepalanya.
Jawabnya kemudian, ”Aku sama sekali tidak menyangka jika
Pertapa tua itu ternyata mempunyai anak angkat yang
dipungutnya dari pinggir jalan,” Ki Jayaraga berhentui sejenak.
Lanjutnya kemudian, “Pertapa tua itu begitu menyayanginya
seperti menyayangi anak sendiri. Pertapa tua itu tidak mempunyai
keluarga sehingga seluruh perhatian dan kasih sayangnya semua
tercurah kepada Anggara.”
“Anggara? Jadi namanya Anggara?” sela Ki Rangga kemudian.
“Ya, nama sebenarnya lawan Glagah Putih itu adalah Anggara,”
jawab Ki Jayaraga kemudian.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing masing sedang mencoba
untuk menilai apa yang telah diceritakan oleh Ki Jayaraga itu.
“Jadi, Pertapa tua itu telah menyempatkan diri untuk datang ke
bilik ini, Ki Jayaraga?” pertanyaan Ki Rangga itu telah
membangunkan semua orang dari lamunan mereka.
“Ya, Ki Rangga,” jawab Ki Jayaraga sambil menarik nafas dalam-
dalam. Orang orang yang hadir di dalam bilik itu pun menjadi
75
tegang. Lanjut Ki Jayaraga kemudian, “Untunglah dia masih
mengenali aku.”
Ki Rangga dan yang lainnya pun sejenak saling pandang. Bertanya
Ki Waskita kemudian, “Apakah dia datang untuk mencari
pembunuh anak angkatnya?”
Untuk sejenak Ki Jayaraga termenung. Namun jawabnya
kemudian, “Sebenarnya dia tidak mengetahui jika anak angkatnya
itu sudah meninggal. Dia dapat meraba di mana keberadaan
anaknya itu untuk terakhir kalinya. Dan dia mendapat isyarat
bahwa terakhir kali Anggara berada di banjar ini.”
Wajah-wajah di dalam bilik itu pun menjadi semakin tegang.
Agaknya Pertapa tua itu memiliki sejenis ilmu untuk memantau
keberadaan seseorang yang dikehendakinya.
“Itu tidak aneh menurutku, Ki Jayaraga,” sahut Ki Rangga
kemudian. Sambil berpaling ke arah Ki Waskita, dia melanjutkan,
“Ki Waskita juga mendapat anugrah dari Yang Maha Agung
kemampuan seperti itu.”
Kini semua pandangan beralih ke arah Ki Waskita. Orang tua ayah
Rudita itu pun tersenyum maklum sambil menjawab, “Apa yang
aku terima hanyalah berupa sebuah isyarat yang kemudian harus
aku urai dan aku terjemahkan menurut kemampuan
pemahamanku. Kadang karena pengetahuan dan kepahamanku
yang terlalu dangkallah, yang membuat aku bisa saja salah dalam
membaca isyarat itu.”
Yang hadir di dalam bilik itu pun menarik nafas panjang. Berkata
Ki Jayaraga kemudian, “Memang ilmu seperti itu benar adanya.
Bahkan hubungan seorang ibu dengan anak kandungnya secara
alamiah mempunyai ikatan yang erat tanpa harus menekuni
76
ataupun mempelajari ilmu seperti itu. Demikian hal itu kadang
juga berlaku terhadap saudara kembar.”
Tampak kepala orang orang yang hadir di dalam bilik itu pun
terangguk angguk.
“Nah, Ki Jayaraga,” berkata Ki Rangga kemudian, “Kami semua
ingin mengetahui apa saja yang dilakukan Pertapa tua itu di
banjar ini.”
Kembali untuk ke sekian kalinya Ki Jayaraga menarik nafas
panjang. Dipandanginya wajah Glagah Putih yang terlihat tidur
pulas. Wajahnya sudah tidak sepucat tadi. Bahkan nafasnya pun
sudah lancar dan teratur sebagaimana orang yang sedang tidur
biasa.
Agaknya Ki Rangga mengikuti arah pandangan Ki Jayaraga. Maka
katanya kemudian, “Aneh. Menurut kitab pengobatan yang aku
pelajari, diperlukan sehari dua hari untuk mengembalikan tata
letak urat nadi dan syaraf di dalam tubuh Glagah Putih sehingga
aliran darahnya menjadi lancar. Demikian juga aliran
pernafasannya.”
Ki Jayaraga mengangguk angguk. Katanya kemudian, “Aku juga
merasa heran Ki Rangga. Ketika Pertapa tua itu tiba tiba saja
sudah berada di sampingku, aku sudah pasrah dengan apa yang
akan dilakukannya kemudian. Untung dia masih mengenalku
sebagai Jayaraga.”
“Apa yang dilakukanya kemudian, Ki?” sahut Ki Bango Lamatan.
Orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya
Warastra itu agaknya menjadi tidak sabar untuk menahan diri.
Ki Jayaraga tersenyum. Sambil berpaling ke arah Ki Bango
Lamatan dia menjawab, “Dia hanya duduk di bibir amben itu.
77
Kemudian dia meraba dada Glagah Putih beberapa saat. Ketika
Pertapa tua itu kemudian melepaskan tangannya dari dada Glagah
Putih, aku melihat Glagah Putih yang sebelumnya bernafas
dengan sedikit berat, tiba tiba saja sudah bisa bernafas dengan
longgar sebagaimana biasanya.”
“Syukurlah,” hampir berbareng orang orang itu berdesis perlahan.
Ki Rangga pun kemudian melanjutkan, “Aku yakin Pertapa tua itu
sebenarnya berhati sangat mulia. Akan tetapi aku tidak habis
pikir, mengapa Anggara sebagai murid dan sekaligus anak
angkatnya kemudian mempunyai sikap seperti itu?”
“Mungkin lingkungan yang telah mengubah cara bepikir serta
pandangan hidupnya,” sahut Ki Waskita dengan serta merta,
“Atau ada seseorang yang telah mempengaruhinya.”
“Ki Waskita benar,” sela Ki Jayaraga kemudian, “Pertapa tua itu
memang sekilas mengeluhkan murid sekaligus anak angkatnya.
Memang Anggara dipelihara sejak dia masih belum mengetahui
jati dirinya dan Pertapa tua itu selalu mengaku sebagai ayah
kandungnya.”
“Perhatian serta kasih sayang yang berlebihan kadang dapat
menjerumuskan seseorang,” berkata Ki Waskita kemudian
menanggapi, “Apalagi Anggara tidak pernah mengenal dunia luar
sebelumnya. Sehingga ketika dia diberi kesempatan untuk melihat
dunia luar, mungkin dia menjadi silau dan keseimbangan
penalarannya pun terganggu.”
Kembali terlihat setiap kepala terangguk angguk. Berkata Ki
Rangga selanjutnya kemudian, “Kita wajib berterima kasih kepada
Pertapa tua itu atas pertolongannya kepada Glagah Putih.”
78
“Ki Rangga benar,” sahut Ki Jayaraga cepat, “Namun ada satu hal
yang membuat aku gelisah, bahkan aku takut untuk
mengatakannya.”
Wajah wajah yang telah tenang itu pun menegang kembali.
Pandangan mata semua orang pun kini tertuju kepada Ki Jayaraga
dengan kening yang berkerut merut.
“Maksud Ki Jayaraga?” sela Ki Rangga cepat.
Kembali sebuah tarikan nafas yang panjang dan dalam terdengar
sebelum Ki Jayaraga menjawab. Namun bagaimana pun
keadaannya, senang atau tidak senang pesan itu harus
disampaikan.
“Ki Rangga” berkata Ki Jayaraga kemudian dengan nada yang
setenang mungkin, “Sebelum meninggalkan bilik ini, Pertapa tua
itu telah menitipkan sebuah pesan untuk Ki Rangga.”
“Pesan?” hampir bersamaan mereka yang hadir di dalam bilik itu
mengulang.
“Ya, sebuah pesan,” sahut Ki Jayaraga kemudian. Sekarang
suaranya terdengar sedikit bergetar.
Dada Ki Rangga pun terasa berdesir tajam. Namun sebagai kakak
sepupu dan sekaligus sebagai salah satu guru Glagah Putih, dia
memang telah siap mengambil alih semua tanggung jawab atas
terjadinya peristiwa itu.”
“Ki Jayaraga,” berkata Ki Rangga kemudian, “Seperti yang telah
aku sampaikan sebelumnya. Apa yang telah terjadi ini menjadi
tanggung jawabku. Tanggung jawab sebagai kakak dan sekaligus
guru dari Glagah Putih,” Ki Rangga berhenti sejenak sekedar
untuk menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun lebih dari itu,
79
semua adalah tanggung jawabku sebagai kepala rombongan kecil
ini atas perintah dari penguasa Mataram melalui Ki Patih
Mandaraka.”
Tanpa terasa, dada orang orang yang hadir di dalam bilik itu telah
bergetar. Ki Rangga benar benar seorang pemimpin yang dapat
dicontoh dan diteladani. Jika telah ditunjuk menjadi seorang
pemimpin, kesalahan apapun yang diperbuat anak buahnya akan
menjadi tanggung jawabnya juga, tanpa melepaskan tanggung
jawab yang harus dipikul oleh anak buah yang melakukan
kesalahan itu. Seorang pemimpin memang pantang untuk tinggal
glanggang colong playu.
“Nah, sampaikan saja pesan itu, Ki Jayaraga,” berkata Ki Rangga
kemudian.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Semua menunggu Ki Jayaraga
untuk menyampaikan pesan dari Pertapa tua itu.
“Ki Rangga,” berkata Ki Jayaraga pada akhirnya, “Pertapa tua itu
hanya berpesan bahwa, urusan seorang murid biarlah menjadi
urusan sesama murid, sedangkan urusan seorang guru, tentu saja
menjadi urusan dengan sesama guru.”
Tergetar semua jantung mereka yang hadir. Untuk beberapa saat
suasana menjadi sangat sunyi sekali. Yang terdengar hanyalah
suara desah nafas Glagah Putih yang terdengar dalam irama yang
teratur.
-----------------0O0---------------
Bersambung ke jilid 19
80