Sejarah Konflik Aceh
-
Upload
rizky-arief-budiarto -
Category
Documents
-
view
183 -
download
10
Transcript of Sejarah Konflik Aceh
Sejarah Konflik Aceh
Pada dasarnya, konflik yang terjadi di Aceh mepunyai akar sejarah yang
cukup panjang dimana konflik ini erat kaitannya dengan relasi kekuasaan antara
pemerintah pusat dengan sebagian besar masyarakat Aceh pada umumnya.
Masalah-masalah yang muncul di Aceh sendiri lebih bersifat ekonomi-politik dan
sosiologi-politik. Sejarah konflik ini sendiri terbagi menjadi dua tahap yakni:
1. Periode Daud Beureuh
Setelah menyerahnya Jepang pada tahun 1945, Aceh secara
wilayah hanya dikuasai oleh Belanda tanpa ada keinginan untuk
menaklukan kembali Aceh seperti dulu. Hal ini dikarenakan pada saat itu,
Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang diketuai oleh Daud Beure’uh
melakukan gerakan solidaritas kepada rakyat Aceh dibawah payung
Ulama yang ditakuti oleh Belanda. Geakan ini berupaya menggalang
kontrol politik di Aceh terlepas dari adanya Ulebalang (Bangsawan) yang
cenderung tidak disukai oleh rakyat Aceh karena keberpihakannya kepada
Belanda dan Jepang pada era kolonialisasi. Revolusi di Aceh pun pecah
dimana banyak Ulebalang yang pergi maupun tewas dan revolusi ini
sendiri merupakan sebuah revolusi sosial yang mana pada era tersebut juga
dilakukan secara nasional (revolusi kemerdekaan).
Pada era kemerdekaan, Daud Beure’uh turut serta membantu dan
mendukung pemerintah Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajah
Belanda. Hal ini terkait dengan kunjungan Presiden Soekarno pada tahun
1948 yang menyatakan bahwa Republik Indonesia masih seumur jagung,
masih banyak kesulitan yang dihadapi terlebih saat itu baru saja terjadi
Agresi Militer I oleh Belanda. Pada saat itu Soekarno menyatakan bahwa
Republik Indonesia tinggal setangkai payung, tangkainya ada di Aceh, dan
payungnya ada di Yogyakarta dan Aceh dapat dijadikan modal untuk
merebut kembali wilayah Indonesia yang diduduki Belanda. Atas dasar
bantuan tersebut, antara Daud Beure’uh dengan pemerintah pusat
bernegosasi agar wilayah Aceh diberikan suatu otonomi khusus secara
politik agar dapat menyelenggarakan syariat Islam secara utuh, hal ini
terkait penduduk Aceh yang mayoritas atau 1953sekitar 90% beragama
Islam.
Namun, setelah merdeka, Aceh tidak diberi otonomi dan justru
diintegrasikan kedalam Provinsi Sumatera Utara, dimana Aceh hanya
merupakan wilayah karesidenan di Provinsi tersebut. Hal tersebut
mengundang kekecewaan dari Daud Beure’uh yang pada akhirnya
membentuk tentara Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh
pada tahun 1953. Pada dasarnya, Daud Beure’uh pada saat itu masih
enggan untuk melakukan pemberontakan, namun muncul sebuah dokumen
rahasia yang disebut “les hitam” atau daftar hitam. Isi dari dokumen
tersebut menyatakan bahwa Jakarta (pemerintah pusat) akan melancarkan
operasi militer untuk menghabisi 300 orang yang disinyalir sebagai
anggota DI/TII. Hal ini menjadi sebuah momentum bagi Daud Beure’uh
untuk melakukan pemberontakan. Terkait dengan ada maupun tidak
adanya dokumen tersebut, menurut B.J Boland, seorang sejarawan
Belanda menerangkan bahwa dokumen tersebut pada dasarnya tidak
pernah ada. Pemberontakan tersebut akhirnya selesai pada tanggal 26 Mei
1959 dimana pada akhirnya Aceh diberi status Daerah Istimewa Aceh
yang merupakan otonomi khusus dengan cakupan dalam bidang agama,
adat, dan pendidikan.
Selain kekecawaan terhadap pemerintah pusat, konflik yang timbul
di Aceh sendiri muncul akibat adanya suatu peminggiran identitas budaya
masyarakat Aceh yang telah mapan sebelumnya (budaya berbasis syariat
Islam). Hal ini tidak lepas dari budaya pendahulu dimana pada era
kerajaan Samudra Pasai, Aceh merupakan pusat kajian Islam di tanah
Sumatera. Dengan basis Islam yang cukup kuat tersebut mendorong
negosiasi politik antara pemimpin Aceh dengan pemerintahan awal
merdeka Indonesia terkait dengan penerapan syariat Islam di Indonesia.
Selain itu ada anggapan bahwa DI/TII sendiri mucul karena
rivalitas masa lalu antara kaum Ulama dengan Ulebalang. Kaum Uleblang
yang dulu tersingkir berusaha balas dendam terhadap Ulamayang telah
menyingkirkan mereka dari kancah politik di Aceh. Melihat hal tersebu,
para Ulama meminta bantuan ke pemerintah pusat namun permintaan
tersebut ditolak. Hal ini memicu kaum Ulama untuk meminta otonomi
khusus di Aceh. Oleh pemerintah pusat, permintaan tersebut bukan
dianggap sebagai sebuah peluang untuk menerapkan syariat Islam, namun
lebih kepada upaya kaum Ulama untuk kembali menyingkirkan Ulebalang.
2. Periode Hasan Tiro dan Pembentukan Gerakan Aceh Merdeka
Pemberontakan yang terjadi pada era berikutnya, pada dasarnya
merupakan gerakan baah tanah yang kecewa terhadap proses dan model
pembangunan yang terdapat di Aceh. Gerakan ini dipelopori oleh kaum
intelektual Aceh yang dipimpin oleh Hasan Tiro dimana pada tanggal 4
Desember 1976 memproklamirkan kemerdekaan Aceh dan membentuk
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ide-ide yang menjadi pendorong gerakan
ini muncul terkait dengan sejarah Aceh dimana tidak pernah ikut dalam
aturan pada era kolonial Belanda serta tidak pernah menjadi bagian dari
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Pemberontakan GAM sendiri semakin membesar kala
pemerintahan Orde Baru berupaya mengeksplorasi minyak dan gas alam
yang terdapat di Aceh Utara pada era 1970an. Hal ini dipicu karena adanya
ketimpangan ekonomi yang terjadi di Aceh serta masalah yang muncul
akbat adanya eksploitasi. Pada era Orde Baru sendiri lebih menekankan
pertumbuhan ekonomi yang berimplikasi pada eksploitasi besar-besaran
pada sumber gas di Arun dan pupuk Iskandar Muda. Hal tersebut
menjadikan Indonesia sebagai eksportir LNG terbesar dan hampir 90%
hasil pabrik pupuk di Aceh dikirim ke luar.
Dengan eksploitasi besar-besaran tersebut, maka industri gas dan
pupuk di Aceh mendatangkan tenaga kerja terutama dari Jawa yang lebih
profesional dan berpengalaman dibandingkan dengan penduduk lokal. Hal
ini memicu ketimpangan etnis di Aceh dan GAM sendiri mendapat
dukungan dari adanya ketimpangan tersebut. masyarakat Aceh sendiri
mulai menyadari bahwa hasil tambang yang diambil dari Aceh lebih
banyak dikirim ke Jakarta daripada dikembalikan ke Aceh.
Konflik ini juga timbul karena adanya anggapan bahwa terjadi
kolonialisasi Jawa di Aceh oleh masyarakat Aceh sendiri. Hal ini
didasarkan atas penyelenggaraan pemerintahan di Aceh yang didominasi
oleh orang-orang Jawa dibandingkan dengan orang asli Aceh sendiri.
Munculnya gerakan ini sendiri ditanggapi oleh pemerintahan Orde
Baru secara represif. Konflik yang berlangsung antara GAM dengan
pemerintah Orde Baru (Orba) sendiri berlansung secara berlarut-larut
membuat pemerintah Orba mengirimkan ribuan pasukan TNI untuk
menumpas separatisme yang dilakukan oleh GAM. Penyerangan-
penyerangan yang dilakukan oleh GAM dianggap sebagai sebuah
penghalang atau gangguan bagi proses pembangunan yang terjadi di Aceh
oleh pemerintah Orba pada saat itu.
Pada tahun 1980 Hasan Tiro dan sejumlah pemimpin GAM lainnya
pindah ke Swedia, namun konflik yang terjadi masih tetap berlangsung.
Soeharto dalam masa pemerintahan Orba kemudian menggelar operasi
gabungan pada tahun 1989 berupa operasi militer dan operasi bakti untuk
menumpas GAM. Pendekatan militer ini lebih terkenal dengan istilah
Daerah Operasi Militer (DOM) padahal operasi militer ini sendiri bernama
Operasi Jaring Merah (OJM). Operasi militer ini sendiri dilakukan dengan
tujuan untuk menjaga pembangunan tidak mengalami gangguan. Di masa
Orba sendiri, pendekatan militer seringkali digunakan terutama terkait
dengan pemberontakan-pemborantakan yang muncul. Pendekatan militer
di Aceh sendiri banyak menimbulkan kekerasaan terutama pada periode
DOM 1989 hingga 1995 dimana banyak kasus pelanggaran hak asasi
manusia terjadi di sana.
Dengan kegagalan pendekatan militer yang diberlakukan di Aceh,
dilain sisi justru semakin menyuburkan GAM sendiri. Kelompok GAM
sendiri pada periode DOM tersebut mampu eksodus keluar Aceh dan
memberikan perlawanan dari luar Aceh melalui Malaysia, Libya, dan
Jenewa. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah terkait
dengan penanganan separatisme sebelum perundingan Helsinski secara
umum tidak lepas dari pendekatan militeristik yang mengedepankan
kekerasan dalam mewujudkan keamanan di Aceh.
Antara DI/TII dengan GAM
Jika dilihat dari aspek tokoh-tokoh yang terlibat didalamnya, maka data
dikatakan bahwa GAM merupakan kelanjutan dari gerakan DI/TII yang
sebelumnya ada. tokoh-tokoh yang terlibat dalam DI/TII ternyata masih terlibat
pula di GAM seperti Hasan Tiro, yang pada saat berada di Amerika sempat
menyatakan kritiknya kepada pemerintah RI yang dinilai terlalu kejam dalam
upayanya memberantas DI/TII. Hasan Tiro menyebut bahwa upaya
pemberantasan tersebut lebih kepada upaya “genocid” atau pembantaian sewenan-
wenang terhadap rakyat Aceh.
Keterkaitan antara tokoh DI/TII dengan GAM sendiri terlihat pada
pertengahan 1971, dimana Daud Beure’uh singgah di Amerika Serikat dan
bertemu dengan Hasan Tiro untuk mendiskusikan nasib bangsa Aceh –Sumatera.
Dalam diskusi tersebut, Daud Beure’uh mengharapkan bahwa Hasan Tiro
bergerak untuk merealisasikan ide yang kemudian menjadi cita-cita GAM
mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatera pada tahun 1976.
Jika dilihat dari aspek sosio-politik, baik gerakan DI/TII maupun GAM
lebih kepada upaya perlawanan akibat adanya kekecewaan terhadap pemerintah
pusat pada saat itu. Jika dilihat pada era DI/TII, tokoh-tokoh yang terlibat
didalamnya pada dasarnya tidak ingin melepaskan diri dari NKRI, namun lebih
kepada keinginan agar pemimpin RI pasca kemerdekaan menjalankan
pemerintahan sesuai dengan kondisi masyarakat yang majemuk. Hal ini berarti
bahwa keinginan adanya otonomi-otonomi sesuai karakter masayrakat yang
didasarkan pada sosio-kultur yang ada di wilayah tersebut. Misalnya, Aceh
sebagai wilayah yang dikenal sebagai pemeluk Islam yang taat agar diberi
keleluasaan untuk memberlakukan syariat Islam disana.
Berbeda dengan DI/TII, GAM sendiri sesuai dengan namanya dari awal
bertujuan untuk memerdekakan diri dari NKRI. Penggagas dan tokoh-tokohnya
menginginkan agar Aceh terlepas dari Republik Indonesia dan membentuk negara
tersendiri. Hal ini terlihat dari kutipan yang diucapkan oleh Hasan Tiro pada saat
mendeklarasikan GAM dimana adanya keinginan untuk memisahkan diri dan
merdeka secara utuh.
Fase Pertumbuhan GAM dan Daerah Penyebaran
Secara geografis penyebaran serta pertumbuhan dari GAM sendiri dapat
dilihat dari gambar di bawah ini:
Sedangkan berdasarkan waktu dan karakeristiknya, maka penyebaran dan
pertumbuhan dari GAM sendiri dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Fase Pertumbuhan Karakteristik Lokasi Penyebaran dan
Perkiraan Jumlah
Personil
1976 - 1982 Periode kelahiran dan
konsolidasi kekuatan
yang ditandai oleh
bentuk-bentuk
propaganda GAM kepada
masyarakat
Pidie, Aceh Utara, dan
Aceh Timur.
Diperkirakan jumlah
personil lebih dari 500
orang
1982 - 1989 Periode rekonsiliasi
kekuatan yang ditandai
oleh aksi-aksi kekerasan
dan kekacauan
(sasarannya adalah aparat
keamanan (ABRI) pada
saat itu)
Terbatas di pegunungan
dan perjuangan dilakukan
melalui luar Aceh dari
Libya, Malaysia,
Singapura, dan Swedia
1989 - 2003 Periode pengembangan
sayap militer, konflik
bersenjata, dan
perjuangan diplomatic di
luar negeri terutama
tahun 2003
Khususnya pasca
jatuhnya Soeharto GAM
mengalami perluasan
wilayah ke kabupaten-
kabupaten lain hampir 17
kabupaten dengan
estimasi pasukan
berjumlah 5.000 hingga
15.000 pasukan.
Berakhirnya Konflik Aceh
Konflik yang terjadi antara pemerintah dengan pihak GAm sendiri
berakhir dengan diadakannya mediasi oleh mantan Presiden Finlandia yakni
Martti Ahtisaari. Pertemuan antara kedua belah pihak tersebut dilangsungkan di
Helsinki, Finlandia antara bulan Januari dan Agustus 2005. Pertemuan atau
negosiasi tersebut menghasilkan Memorandum of Understanding (MoU) antara
GAM dengan pemerintah Indonesia. Perjanjian tersebut berisi enam pokok
bahasan berkenaan dengan Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh dan Undang-
undanh tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, Partisipasi Politik,
Ekonomi, Peraturan Perundang-undangan, Hak Asasi Manusia, Amnesti dan
Reintegrasi ke dalam masyarakat, Pengaturan Keamanan, Pembentukan Misi
Monitoring Aceh, dan Penyelesaian perselisihan.