Sejarah Kebijakan Pangan Di Indonesia
-
Upload
andikaputra -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
description
Transcript of Sejarah Kebijakan Pangan Di Indonesia
SEJARAH KEBIJAKAN PANGAN DI INDONESIA: SUATU TINJAUAN
06.03 Leo Kusuma
Pangan (food) dimaknai sebagai komoditi yang dikelola, diperdagangkan, dan diperuntukkan
untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok sehari-hari. Persoalan pangan sudah sejak lama
dipikirkan di masa kemunculan kerajaan-kerajaan nusantara. Tidak sedikit sejarah mencatat,
persoalan pangan menajdi penentu kelanggengan atau kejayaan suatu kekuasaan. Sampai hari
ini, ketika terbit Indonesia di era reformasi pun demikian. Seorang ekonom, Sjahrir (1986)
pernah berujuar, siapa yang menguasai pangan, maka dia yang akan mengusai orang
(kekuasaan). Bagaimanakah perjalanan sejarah pangan di Indonesia?
Masa Kerajaan-Kerajaan Kuno/Klasik
Kehadiran kerajaan kuno di Nusantara ditandai dengan masuknya pengaruh dari luar, yaitu
pengaruh dari Islam, Hindu, dan Budha. Merekalah yang pertama kali membangun sistem
pemerintahan, sistem sosial, dan membangun kebudayaan baru. Mereka di antaranya seperti
Kerajaan Yawa Dwipa (200 SM), Kerajaan Kutai Kertanegara (400 SM, tertua), kemudian
disusul kemunculan Srivijaya dan Majapahit. Darimana pun mereka berasal, atau dari pengaruh
agama manapun mereka dibesarkan, kekuatan pertanian (pangan) menjadi penentu kekuasaan.
Mengingat pengaruh kebudayaan datang atau berasal dari luar, maka satu-satunya jalur
penghubungnya adalah laut. Seluruh pulau-pulau di wilayah Nusantara terhubung satu sama lain
melalui lautan. Itu sebabnya, kerajaan-kerajaan kuno di masa lalu memiliki orientasi untuk
menguasai lautan. Mereka yang tadinya memiliki pusat kekuasaan jauh di pedalaman pun pada
akhirnya harus menguasai wilayah pesisir. Tetapi mereka yang sebelumnya menguasai pesisir
pun akan masuk ke pedalaman untuk menguasai wilayah-wilayah strategis. Catatan sejarah
melalui bukti prasasti ataupun arisp-arsip kuno menyebutkan dua kata kunci yang berhubungan
dengan pangan, yaitu pertanian dan perikanan (maritim).
Mengapa kerajaan besar seperti Srivijaya maupun Majapahit harus melakukan ekspansi hingga
menguasai seluruh wilayah Nusantara? Rasanya mustahil apabila hanya untuk menguasai
wilayah tertentu tanpa harus menguasai laut yang menghubungkan wilayah pusat dan wilayah
otoritas di luar wilayah pusat. Laut bukan semata menjadi sarana penghubung, melainkan
menyimpan sejumlah besar sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Ketersediaannya
cukup melimpah dan bisa diambil (dieksploitasi) kapan saja. Lain halnya jika hanya bergantung
dengan sumber protein hewani yang berasal dari ternak seperti sapi/lembu, ayam, kambing, dan
sebagainya yang mesti harus menunggu masa potong (dewasa).
Aktivitas tanaman pangan di masa itu lebih condong pada jenis tanaman untuk pemenuhan
kebutuhan karbohidratnya. Misalnya seperti padi dan jagung. Tetapi kedua jenis tanaman
tersebut tidak merata tersebar di seluruh wilayah, tergantung dari budaya tanaman pangan lokal
seperti di Kalimantan, Sulawesi, Ambon, dan Papua. Tanaman padi nampaknya lebih dominan
ditemukan di Pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Di wilayah Maluku hinga Ternate tidak
banyak penemuan pertanian kuno yang menunjukkan ciri khas bekas penggunaan teknologi
tanaman padi. Di Ternate itu pun baru mulai ditanami beras setelah masuk ke era kemerdekaan.
Mengingat perdagangan tanaman pangan masih didominasi oleh jenis tanaman kebutuhan pokok,
maka jenis tanaman seperti rempah-rempah dan komoditi untuk bumbu-bumbu masakan relatif
belum terlalu dominan.
Di Kamboja, kejayaan Kerajaan Khmer mengalami kejatuhan yang masanya bersamaan dengan
kedatangan musim kemarau panjang. Kerajaan Khmer dan bangsa Khmer sangat bergantung
sekali dengan jenis tahaman padi, serta relatif sedikit memiliki pilihan untuk mencari sumber
makanan pengganti (tanaman substitusi). Tetapi kejadian di Khmer justru tidak banyak
ditemukan dalam catatan sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara. Keruntuhan kerajaan-kerajaan
besar di Nusantara bukan dipicu oleh faktor kendala alam yang berdampak pada tanaman
pangan, melainkan karena faktor perebutan kekuasaan (internal) ataupun serangan dari kerajaan
lain. Wilayah utama di Sumatera dan Jawa pun mengenal musim kemarau atau musim paceklik,
tetapi kondisi tersebut tidak sampai pada situasi yang menyebabkan terjadinya keguncangan
politik ataupun sosial.
Ada sejumlah kemungkinan mengenai pola tanam dan strategi pertanian di masa kerajaan-
kerajaan Nusantara. Mereka memiliki komoditi alternatif untuk bisa menggantikan komoditi
andalannya yang berasal dari tanaman beras. Bisa jadi, komoditi alternatif yang dimaksudkan
merujuk pada strategi diversifikasi pangan. Melalui penguasaan laut, mereka pun menguasai
hasil-hasil perikanan yang laut yang sudah diperjualbelikan hingga ke pelosok. Mereka diduga
sudah menguasai teknik-teknik pengawetan makanan secara alami sejak masa Kerajaan
Majapahit. Sekalipun demikian, hasil-hasil perikanan masih dominan hanya ditemukan di
wilayah yang tidak jauh dari pesisir. Itu sebabnya, pola penyebaran pemukiman lebih banyak
pula yang terkonsentrasi tidak jauh dari pesisir.
Pertanian Di Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara memberikan pengaruh yang cukup besar
terhadap peta komoditi tanaman pangan. Mereka bangsa Eropa rupanya lebih tertarik untuk
membeli komoditi berupa rempah-rempah yang harganya cukup tinggi di Eropa. Posisi
Nusantara (Indonesia) cukup strategis di mana para pedagang Eropa bisa bersaing dengan kongsi
dagang lainnya di India dan kawasan Asia bagian Tengah lainnya. Untuk tanaman rempah-
rempah tadi, bangsa Portugis lebih condong ke Kawasan Indonesia Bagian Timur seperti
Maluku, NTT, NTB. Keuntungan Indonesia bukan hanya posisinya yang dilintasi oleh garis
Khatulistiwa, melainkan sifat tanahnya yang memungkinkan bisa lebih banyak ditanami oleh
jenis tanaman lain.
Sejak masa VOC hingga pemerintahan Hindia Belanda, pola kebijakan tanaman pangan lebih
banyak difokuskan pada jenis tanaman pangan utama seperti beras, jagung, dan beberapa jenis
tanaman perkebunan. Jenis-jenis tanaman yang lebih laku untuk diperdagangkan. Pemerintah
Hindia Belanda bahkan pernah menerapkan kebijakan Tanam Paksa atau Cultuurstelsel oleh Van
den Bosch yang lebih memfokuskan pada jenis tanaman pertanian utama seperti padi.
Diversifikasi ditekan untuk lebih memfokuskan memperbesar kuantitas produksi tanaman padi.
Sekalipun akhirnya mendapatkan pertentangan dan dihapuskan, tetapi tetap tidak merubah pola
diversifikasi. Rakyat pribumi tidak memiliki banyak pilihan untuk menanam lebih banyak jenis
tanaman lain, kecuali jenis tanaman yang laku untuk diperdagangkan.
Sumber: Wikipedia
Sektor perikanan laut pun sebenarnya telah dikelola melalui pembentukan departemen kelautan
yang bernama Bugerlijk Openbare Werken pada tahun 1911. Aktivitasnya belum terlihat
mendominasi dibandingkan dengan sub sektor pertanian lainnya. Hal ini dikarenakan selama fase
pembentukan lebih menitikberatkan untuk pengembangan landas kontinen pertama kalinya untuk
wilayah Hindia Belanda melalui Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939. Badan
kelautan pun berubah nama menjadi Departemen Verkeer en Waterstaat pada 1931. Organisasi
inilah yang nantinya menjadi cikal bakal departemen yang mengurusi bidang perikanan laut
selama masa kemerdekaan. Memang tergolong masih baru, karena pemerintah Hindia Belanda
sendiri baru memikirkan betapa pentingnya peran perikanan laut sejak tahun 1911.
Secara keseluruhan, sejak masa VOC hingga pemerintahan Hindia Belanda, pihak kolonial lebih
memfokuskan pada jenis tanaman pangan utama dan jenis tanaman industri. Diversifikasi
tanaman pangan sesungguhnya sudah mulai diterapkan sejak lama, tetapi ditekan (dibatasi) untuk
hanya ditanam jenis tanaman utama seperti padi dan jagung. Budidaya perikanan darat yang
sudah dikembangkan oleh sejumlah kerajaan-kerajaan Nusantara menjadi tidak berkembang.
Rakyat pribumi tidak diperkenankan memiliki empang sendiri, kecuali empang yang
komoditinya telah dipesankan oleh pemerintah kolonial.
Di masa pendudukan Jepang agaknya tidak banyak berbeda dengan masa pemerintah kolonial
sebelumnya. Jepang mengambil alih seluruh aset-aset pertanian, perkebunan, bahkan perikanan
laut yang sebelumnya telah dikembangkan dan dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Jepang pun berorientasi pada jenis tanaman utama yang dalam jangka pendek
diperuntukkan untuk mendukung suplai makanan ke pasukan Jepang di Asia Pasifik. Kehadiran
Jepang yang cukup singkat itu pula lebih banyak diisi didominasi oleh aktivitas politik di dalam
negeri dan berkonsentrasi untuk menghadapi tekanan sekutu di Pasifik. Praktis tidak ada sesuatu
yang baru di bidang pertanian selama masa pendudukan Jepang di Indonesia.
Masa Kemerdekaan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, pemerintah Indonesia langsung berkonsentrasi untuk
membangun sektor pertanian di segala bidang. Departemen yang mengurusi bidang perikanan
laut itu pun sudah ada sejak kabinet pertama dibentuk. Melalui Kementrian Kemakmuran Rakyat
yang dipimpin oleh Menteri Mr. Sjafruddin Prawiranegara dibentuklah Jawatan Perikanan yang
mengurusi kegiatan-kegiatan perikanan darat dan laut. Program swasembada beras sesungguhnya
pula sudah dicanangkan di era Soekarno, tepatnya selama periode 1952-1956. Program
swasembada beras dilaksanakan melalui Program Kesejahteraan Kasimo dengan didirikannya
Yayasan Bahan Makanan (BAMA) dan berganti Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM)
pada 1953-1956.
Mengenai diversifikasi tanaman pangan itu pun sudah dipikirkan di era Soekarno. Program
swasembada beras paska 1956 tetap dilanjutkan melalui program sentra padi yang diatur oleh
Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP). Pada 1963, Soekarno memasukkan jagung sebagai
bahan pangan pengganti selain beras, dan pada 1964 menerapkan Panca Usaha Tani. Hal ini
menyesuaikan dengan kultur bercocok tanam dari petani yang biasanya memvariasikan antara
tanaman padi dan jagung. Institusi pendukung di bidang pertanian maupun sub-sub sektor
pertanian lebih banyak ditopang oleh kelembagaan inti yang dulunya pernah digunakan oleh
pemerintahan Hindia Belanda. Bedanya, orientasi pemerintahan republik bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri, lalu orientasi untuk ekspor.
Tidak seperti sekarang yang sudah memiliki sumber daya manusia dan infrastruktur yang lebih
baik, pembangunan di sektor pertanian di era Soekarno menemui jauh lebih banyak kesulitan dan
tantangannya di dalam negeri. Tingkat ketergantungan terhadap jenis tanaman beras masih
tergolong tinggi. Sekalipun demikian, Indonesia di masa itu belum pernah tercatat mengalami
krisis pangan yang menyebabkan kasus kelaparan seperti yang pernah dialami oleh India dan
China. Dalam beberapa periode, harga kebutuhan pokok sempat mengalami lonjakan harga yang
cukup tinggi. Tetapi lonjakan harga tersebut tidak banyak berimbas di wilayah pedesaan yang
relatif masih menerapkan pola diversifikasi bahan makanan. Pola kebijakan pertanian di masa
Soekarno memang lebih menitikberatkan pada jenis tanaman lokal sebagai komoditi utama.
Misalnya seperti jenis sagu di Maluku dan Papu atau nasi jagung di Sulawesi.
Untuk pertama kalinya, pemerintahan republik membentuk badan penyangga pangan yang
disebut Badan Urusan Logistik atau Bulog pada tanggal 14 Mei 1967. Tugas pokok dari Bulog
adalah berfungsi sebagai agen pembeli beras tunggal. Berdirinya Bulog sejak awal diproyeksikan
untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia melalui dua mekanisme yakni stabilisasi harga beras
dan pengadaan bulanan untuk PNS dan militer. Pada prinsipnya, Bulog nantinya akan menjadi
lumbung nasional yang tugas utamanya untuk menjaga pasokan (supply) komoditi pangan dan
menjaga stabilitas harga tanaman pangan utama.
Masa Orde Baru
Setelah masuk ke era Orde Baru, pembangunan di sektor pertanian tetap menjadi prioritas
program kerja kabinet. Selama dua periode PELITA (Pembangunan Lima Tahun) dari tahun
1969-1979, kebijakan pembangunan lebih banyak dikonsentrasikan untuk memperkuat basis
sektor pertanian. Program revolusi hijau (green revolution) guna mendukung percepatan
pencapaian swasembada beras pada tahun 1974. Pada tahun 1971, Bulog mendapatkan
tugas/peran baru, yaitu mempunyai tugas sebagai pengimpor gula dan gandum. Biaya besar
untuk mendukung program pertanian tersebut ditopang oleh ekspor migas yang mencapai puncak
harga tertinggi pada pada pertengahan dekade 1970an.
Soeharto punya ambisi yang kuat untuk mempercepat swasembada beras yang belum pernah
dicapai sejak masa kemerdekaan. Salah satunya adalah dengan mengadopsi program revolusi
hijau sejak tahun 1974. Sayangnya, program yang berbiaya mahal tersebut ternyata hanya
menghasilkan swasembada beras pada tahun 1984, 1985, dan 1986 (berdasarkan laporan statistik
pertanian dari BPS). Sesudahnya, Indonesia kembali menjadi pengimpor beras, bahkan menjadi
pengimpor beras terbesar di Asia Tenggara. Program revolusi hijau ini pun hanya
menguntungkan petani kaya atau pemilik lahan dengan luas lahan lebih dari 1 hektar.
Setelah beras, pemerintah berusaha untuk menutupi kekurangan pasokan dalam negeri dan impor
dengan mendatangkan (impor) gandum. Bila semula diberikan kewenangan ke Bulog, maka
kewenangan untuk mengimpor gandum itu pun akhirnya diserahkan ke Bogasari (swasta).
Awalnya, pemerintah mencoba untuk membudidayakan jenis tanaman gandum, tetapi upaya ini
sulit terwujud, karena tanaman gandum memang kurang cocok untuk jenis tanah pertanian di
Indonesia.
Dalam rangka untuk mendukung program pertanian pangan, pemerintah di era Orde Baru
membuat cukup banyak pembangunan infrastruktur pendukung. Misalnya seperti pembangunan
irigasi, pendirian pabrik pembuatan pupuk urea, dan pembangunan pusat-pusat penelitian
tanaman pangan. Sayangnya, keseluruhan saran dan prasarana pendukungnya masih difokuskan
pada jenis tanaman beras. Tanaman beras disosialisasikan di seluruh wilayah yang dianggap
cocok untuk ditanami jenis tanaman padi seperti di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku,
Ternate, NTT, NTB, bahkan sampai ke Papua. Program transmigrasi pun digerakkan seluas-
luasnya untuk mendukung perluasan lahan tanaman padi di luar Pulau Jawa. Tujuannya tidak
lain untuk mendorong peningkatan produksi beras di dalam negeri.
Sayangnya, Jawatan Perikanan yang semula menjadi departemen yang terpisah di era Soekarno
dihapuskan. Seluruh kebijakan di sektor perikanan laut dijadikan satu ke dalam gugus tugas
direktorat jenderal (dirjen) bersama dengan program perikanan darat. Dalam pelaksanaannya,
Dirjen Perikanan lebih banyak memfokuskan kebijakan dan pelaksanaannya di sektor perikanan
darat, ketimbang perikanan laut.
Impor komoditi pangan utama sesungguhnya sudah mulai marak dilaksanakan sejak era
Soekarno. Bedanya, kegiatan impor komoditi pangan di era Soekarno lebih banyak dikuasai oleh
negara melalui peran Bulog. Di masa Orba, untuk beberapa jenis komoditi diserahkan kepada
pihak swasta sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Beberapa jenis komoditi yang diserahkan
pengelolaan impornya ke swasta seperti gandum, daging sapi, kedelai, dan jeruk. Tetapi untuk
komoditi pangan utama masih dikuasai atau dimonopoli oleh Bulog. Impor gandum murah
besar-besaran sempat terjadi di awal dekade 1980an sebagai tindak lanjut bantuan pangan dari
Amerika. Sesudahnya, gandum masih terus didatangkan dari beberapa negara di mana paling
banyak didatangkan dari Australia. Sayangnya, kehadiran gandum tidak cukup banyak bisa
menyelesaikan masalah ketergantungan pangan bangsa Indonesia terhadap komoditi beras.
Di bidang sains, pemerintah membangun pusat studi di bidang pertanian yang melibatkan peran
serta dari perguruan tinggi. Pusat studi tersebut kemudian menghasilkan jenis varietas padi
unggulan lokal yang diberi kode IR (Indonesia Rice). Riset tersebut bertujuan untuk membangun
kemandirian penelitian di bidang tanaman pangan yang sebelumnya lebih banyak mengdopsi
dari luar. Misalnya dengan mengadopsi jenis IRRI (International Rice Research Institute) yang
dikembangkan di Filipina. Varietas lokal yang diberi kode IR64 itu pun berasal dari pusat riset
IRRI yang kemudian dikembangkan di dalam negeri dan diperkenalkan pada tahun 1985. Kode
IR sempat diganti oleh Presiden Soeharto menjadi PB. Tetapi kalangan peneliti pertanian masih
lebih suka dengan kode IR yang lebih dikenal oleh internasional.
Sayangnya, upaya untuk memabangun kemandirian di sektor pertanian justru berakhir menjadi
drama pergantian kekuasaan. Nyaris sama situasinya menjelang tahun 1965 di mana harga-harga
kebutuhan pokok melambung tinggi. Pada tahun 1994, pemerintah mengambil kebijakan yang
cukup kontroversial, yaitu menghapuskan subsidi pupuk dan bibit. Kebijakan tersebut terpaksa
harus diambil, karena semakin beratnya beban anggaran yang ditanggung di dalam APBN.
Petani pun mengalami kesulitan bercocok tanam mengingat biaya bercocok tanam yang semakin
sulit untuk ditutupi dengan hanya menanam padi. Penjaminan melalui Koperasi tidak lagi
memberikan harapan bagi petani untuk mendongkrak tingkat kesejahteraan, terutama di kalangan
petani kecil yang luas lahannya kurang dari 1 hektar. Akibatnya, impor beras pun semakin
diperbanyak untuk mengamankan pasokan beras di dalam negeri. Nilai tukar mata uang Rupiah
yang semakin anjlok sejak tahun 1990 mengakibatkan tingkat volatilitas harga beras dan
sejumlah kebutuhan pokok menjadi semakin tinggi. Akibatnya, harga-harga kebutuhan pun terus
merangkak naik dan tidak terkendali. Angka inflasi selama tahun 1998 sudah mencapai di atas
angka 70%.
Pemerintahan Transisi
Gejolak harga pangan sejak tahun 1985 mulai mencapai puncaknya pada pertengahan tahun
1997. Stabilisasi harga ternyata harus ditebus cukup mahal dengan meminimalkan peran
pemerintah (intervensi), termasuk menanggalkan peran Bulog. Penandatanganan Letter of Intent
(LoI) pada tanggal 21 Oktober 1997 yang di dalamnya berisikan poin penting di bidang
kebijakan pertanian. Bulog harus meninggalkan praktik monopoli beras dan peran pengawasan
terhadap harga-harga produk pertanian ataupun kebutuhan pokok seperti beras, gula, cengkeh,
kedelai, dan lain-lain. Dalam hal ini, pemerintah tidak lagi diberikan wewenang untuk
melakukan kontrol (intervensi) langsung atas harga komodit-komoditi utama pangan.
Paska kejatuhan Soeharto di tahun 1998 akan menjadi penanda babak baru kebijakan di sektor
pertanian. Liberalisasi di sektor pertanian sudah mulai resmi diterapkan sejak tahun 1998. Harga-
harga kebutuhan pokok pangan diserahkan kepada mekanisme pasar. Pemerintah hanya berperan
sebagai regulator atau mengatur tata kelolanya, tetapi tidak memiliki kewenangan lagi untuk
mempengaruhi secara langsung atas harga-harga kebutuhan pokok. Operasi pasar yang selama
ini dilakukan oleh pemerintah belum bisa disebut intervensi, karena dampaknya hanya bersifat
sementara. Melalui SK Memperindag No 439 Tentang Bea Masuk (Impor), peran Bulog yang
selama ini memonopoli impor beras sudah dihilangkan, sehingga pihak manapun sesuai dengan
ketentuan diperkenankan untuk mengimpor beras.
Era Pemerintahan Reformasi
Pemerintahan reformasi sesungguhnya baru dimulai setelah masa pemilu pertama yang
mengusung Abdurrahman Wahid sebagai presiden pertama pada pemilu langsung. Era
pemerintahan reformasi melanjutkan kembali sejumlah poin kesepakatan yang harus dipenuhi
oleh pemerintah Indonesia yang tertuang di dalam LoI dengan IMF. Melalui Undang-Undang No
23 Tahun 1999, dilakukan penghapusan fasilitas pemberikan Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) yang selama ini melekat pada Bulog. KLBI merupakan fasilitas finansial yang diberikan
kepada Bulog untuk membeli kelebihan produksi beras yang dihasilkan oleh petani. Praktis
dengan begitu, Indonesia tidak lagi memiliki payung hukum yang jelas mengenai keberadaan
kelembagaan lumbung pangan nasional.
Antara tahun 1998 hingga 2000, merupakan tahun-tahun yang kelam bagi Bulog. Setelah hak
atas monopoli beras dicabut, Bulog pun tidak memiliki kekuatan untuk turut berperan menjadi
penyeimbang pasar perberasan nasional. Peran impor maupun distribusinya sudah diserahkan
kepada mekanisme pasar. Di saat-saat yang terakhir itu pula, Bulog tidak diberikan kewenangan
lagi untuk menyalurkan beras yang telah ditetapkan harganya kepada TNI dan Polri. Akibatnya,
Bulog tidak memiliki segmentasi pasar yang jelas, sehingga berimplikasi pada
ketidakefektifannya peran Bulog sebagai lembaga stabilisasi harga gabah dan beras.
Angin segar nampaknya mulai ditiupkan setelah muncul sejumlah gejolak harga beras dan gabah
paska 1998. Peran Bulog mulai dihidupkan secara perlahan oleh Presiden Megawati melalui
Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2003. Pemerintah nampaknya sedikit berhati-hati menetapkan
status Bulog agar tidak melanggar ketentuan yang digariskan melalui LoI 1998. Melalui
peraturan pemerintah tersebut, untuk pertama Bulog ditempatkan sebagai lembaga logistik
dengan misi ganda, yaitu misi publik (Public Service Obligation) dan misi komersial atau misi
mencari keuntungan. Untuk misi PSO, Bulog diarahkan menjadi pemasok tunggal bagi program
beras miskin (raskin) yang diharapkan mampu mempengaruhi harga beras (stabilisasi). Melalui
peraturan pemerintah itu pula Bulog ditetapkan status kelembagaannya dari Lembaga Pemerintah
Non Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum yang berada di bawah naungan
Kementrian BUMN.
Masih di era Presiden Megawati, kebijakan harga dasar diganti dengan kebijakan harga
pembelian pemerintah (procurement price). Ketetapan tersebut dilaksanakan melalui Instruksi
Presiden (Inpres) No 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan. Secara
konsepsional, harga pembelian pemerintah tidak sama dengan harga dasar (floor price). Konsep
harga pembelian berpedoman pada target kuantitas, yaitu pembelian sejumlah tertentu pada
harga tersebut. Pengaruh terhadap keseimbangan harga di pasar tidak menjadi prioritas. Konsep
tersebut tidak selalu berpihak pada kepentingan petani, bahkan secara konseptual pula tidak bisa
menjamin harga ideal yang dikehendaki oleh para petani. Pemerintah agaknya hanya mencoba
menggerakkan kembali peran Bulog agar lebih mampu untuk memfungsikan secara kelembagaan
untuk melakukan stabilisasi harga. Sekalipun demikian, stabilisasi harga tersebut seringkali
hanya bersifat sementara, serta tidak mampu menahan kerentanan terhadap gejolak harga yang
bersumber dari luar (impor beras). Kebijakan harga pembelian tersebut masih diterapkan di era
Presiden Yudhoyono.
Masuki era kepemimpinan Yudhoyono sebagai RI-1, liberalisasi semakin diperluas di sejumlah
komoditi. Pada prinsipnya, kebijakan tersebut hanya melanjutkan kembali poin-poin kesepakatan
yang belum dilaksanakan oleh pemerintahan reformasi sebelumnya. Tetapi tanpa proteksi penuh
dari pemerintah, petani lokal akan sulit bertahan ketika menghadapi pasar bebas. Angka impor
komoditi pangan utama terus melonjak, bahkan untuk komoditi pangan lainnya selain tanaman
pangan utama. Paradigma kebijakan di sektor pertanian dari Presiden Yudhoyono masih
meneruskan paradigma usang yang masih bergantung pada komoditi beras, yaitu orientasi untuk
mencapai swasembada beras. Presiden Yudhoyono sempat pula memberikan kewenangan
monopoli impor beras kepada Bulog di akhir tahun 2007. Tetapi sayangnya, kewenangan
tersebut tidak banyak bisa membantu untuk mengatasi dinamika harga beras di dalam negeri
yang rawan dengan gejolak harga.
Presiden Yudhoyono nampaknya sudah berupaya untuk mewujudkan stabilisasi harga beras
melalui sejumlah kebijakan. Beberapa di antaranya belum pernah diterapkan oleh presiden-
presiden sebelumnya. Setelah dihentikan sejak tahun 1994, Presiden Yudhoyono memberikan
kembali subsidi bagi input-input penting, seperti pupuk, bibit, bunga kredit, dan penyuluhan.
Kebijakan subsidi sebelumnya hanya dikenakan untuk subsidi pupuk. Sayangnya, kebijakan
yang mungkin bisa disebut sebagai terobosan dalam kebijakan pertanian di Indonesia tidak
banyak membantu untuk melindungi petani. Biaya oportunitas untuk mengelola lahan pertanian
menjadi semakin mahal, akibat regulasi di bidang agraria yang kurang menguntungkan petani.
Sekalipun biaya input seperti pupuk dan bibit bisa ditekan, tetapi biaya-biaya input yang lebih
besar tidak dapat dibendung dengan hanya bertahan dengan mata pencaharian sebagai petani.
Akibatnya, jumlah petani dan sumber daya manusia di sektor pertanian di pedesaan terus
menyusut setiap tahunnya.
Program 'Revitalisasi Pertanian' yang dibawa oleh Presiden Yudhoyono sebenarnya berupaya
untuk mendongkrak produksi padi dengan melibatkan peran dari swasta. Program ini pun
terbuka bagi pemodal asing untuk mengambil bagian dalam mendirikan farm industry. Program
ini sudah berjalan dari sejak tahun 2007 yang pengembangannya difokuskan di Kawasan Timur
Indonesia (KTI). Sayangnya, program revitalisasi pertanian tersebut tidak banyak menyentuh
potensi besar dari keberagaman tanaman pangan melalui pemberdayaan tanaman pangan lokal.
Kerja sama yang dijalin bersama pusat penelitian pangan di Xinchua (China) pun hanya
membawa bibit-bibit beras yang diharapkan bisa cocok dibudidayakan di Indonesia. Pada
akhirnya, rencana swasembada beras di tahun 2014 nanti pun tidak akan mampu menyelesaikan
ketergantungan pangan utama bangsa Indonesia terhadap beras.
Wacana tentang keberagaman pangan ataupun diversifikasi tanaman pangan sesungguhnya telah
dihidupkan kembali di masa kepemimpinan Presiden Yudhoyono. Indonesia merupakan satu-
satunya neagra di dunia yang memiliki potensi keberagaman tanaman pangan paling banyak.
Kebutuhan karbohidrat tidak hanya dapat dicukupi dengan tanaman beras, melainkan dapat
dipenuhi dari tanaman singkong, jagung, ketela, kentang, ubi jalar, sagu, ataupun sejenis umbi-
umbian. Diversifikasi pangan sesungguhnya pula telah diperkenalkan secara resmi sejak era
Soekarno, kemudian terakhir dimunculkan pada tahun 1974. Andai saja, program diversifikasi
pangan yang diperkenalkan kembali pada tahun 2010 tersebut bisa dilaksanakan dengan serius,
maka Indonesia tidak perlu lagi harus mengeluarkan lebih banyak uang hanya untuk
mewujudkan program swasembada beras yang belum tentu akan tercapai setiap tahunnya.
Penutup
Pembangunan di sektor pertanian pada akhirnya akan mengkerucut pada satu tujuan untuk
membangun ketahanan pangan. Setiap negara memilikinya, bahkan di negara-negara yang sama
sekali tidak memiliki lahan pertanian itu pun memiliki pula lembaga yang khusus mengurusi
ketahanan pangan. Bukan semata mengurusi soal stabilitas harga ataupun stabilitas stok pangan
di dalam negeri, melainkan membangun sebuah perencanaan jangka pendek ataupun jangka
panjang dengan mengoptimalkan segenap sumber daya lahan dan potensi tanaman (lokal) di
suatu wilayah. Ketahanan pangan meliputi segala aspek (sub sektor) di sektor pertanian,
termasuk peternakan, perkebunan, maupun perikanan. Diversifikasi pangan adalah satu-satunya
faktor (keunggulan) yang akan menentukan keberhasilan dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Masalah utama dari kebijakan pangan terletak pada aspek perencanaan. Setelah memasuki era
Orde Baru, kebijakan pangan terjebak ke dalam upaya untuk mewujudkan swasembada beras.
Hampir seluruh wilayah, bahkan di Papua pun diberdayakan untuk hanya mengejar target
swasembada beras. Akibatnya, tingkat ketergantungan pangan terhadap tanaman beras menjadi
sangat sulit untuk dihilangkan. Di era Soekarno sebenarnya sudah memberikan landasan
pemikiran yang ideal dengan memperkenalkan swasembada di dua komoditi, yaitu beras dan
jagung. Masyarakat di Sulawesi misalnya lebih cocok dengan menanam tanaman jagung, selain
menanam beras. Di Maluku maupun Papua masih terbuka peluang untuk dibudidayakan tanaman
sagu yang bisa diorientasikan untuk keperluan promosi ekspor.
Sektor pertanian dan pangan sesungguhnya memiliki cakupan yang luas. Tidak semata
membicarakan tanaman (holtikultura) ataupun satu jenis tanaman, melainkan mencakup pula
pemenuhan lauk pauk, tanaman-tanaman untuk bahan baku bumbu masak, sayur mayur, dan
lain-lain. Sektor pertanian sesungguhnya tidak hanya membahas satu atau beberapa jenis
tanaman pangan tertentu, melainkan mengenai potensi tanaman lokal yang bisa dibudidayakan
untuk menjadi tanaman utama. Indonesia bukan hanya negara kepulauan terbesar di dunia,
melainkan negara dengan jumlah laut paling luas dan paling banyak. Sayang sakali, setelah
berakhirnya era Soekarno, sektor kelautan belum pula digarap dengan serius. Sekalipun era
reformasi telah meletakkan fundamental kebijakan di bidang kelautan, tetapi belum mampu
untuk mengoptimalkan sumber daya kelautan. Fakta yang tidak terbantahkan, data BPS 2012
menyebutkan kecenderungan jumlah nelayan yang semakin berkurang setiap tahunnya. Trend
atau kecenderungan yang serupa terjadi di sub sektor tanaman pangan.
Saya tidak akan mengkambing hitamkan liberalisasi yang menjadi sumber kekacauan kebijakan
pangan. Tidak ada negara manapun di dunia ini yang 100% menjalankan liberalisasi di seluruh
sektor perekonomiannya, terutama sektor pertanian. Campur tangan pemerintah masih menjadi
variabel pokok untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan. Saya pun tidak
memandang negatif terhadap kebijakan impor, karena aktivitas perdagangan internasional seperti
ekspor maupun impor dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk mengetahui keberhasilan
kebijakan di sektor pertanian maupun pengelolaan ketahanan pangan.
Beberapa pandangan beranggapan apabila salah satu sumber kekisruhan kebijakan pangan
berasal dari LoI antara pemerintah Indonesia dan IMF pada tahun 1998. Mungkin memang benar
adanya, karena beberapa butir rekomendasi menyebutkan agar pemerintah Indonesia menarik
dari campur tangan langsung di sektor pertanian. Mekanisme pasar sesungguhnya bisa efektif
mendongkrak kesejahteraan untuk semua orang apabila tidak terjadi penyimpangan. Terkait
dengan gejolah harga bawang putih dan bawang merah beberapa minggu ini, pihak KPPU
(Komisi Pengawas Persaingan Usaha) masuk untuk melakukan investigasi. Hasilnya, pihak
KPPU mensinyalir kuat adanya praktik kartel dalam distribusi maupun tata niaga bawang putih
dan bawang merah. Inilah yang oleh sejumlah kalangan pengamat disebut 'permainan mafia'.
Praktik kartel dalam tata niaga pangan sesungguhnya sudah lama ada, bahkan di era
kepemimpinan Presiden Soekarno.