Sebuah Penelitian tentang Menikah
-
Upload
abu-dzar-al-ghifari -
Category
Documents
-
view
227 -
download
0
Transcript of Sebuah Penelitian tentang Menikah
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
1/22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian terdahulu ini sangat penting sekali guna menemukan titik perbedaan
maupun persamaan dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Selain itu,
penelitian terdahulu juga berguna sekali sebagai sebuah perbandingan sekaligus
landasan dalam penelitian itu.
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
2/22
Adapun penelitian terdahulu yang peneliti ambil adalah skripsi dengan judul
PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP KAWIN LARI (PARU DEKO)
AKIBAT TINGGINYA MAHAR. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa proses
perkawinan lari (paru deko) di daerah Ende berbeda dengan proses perkawinan lari di
daerah lain dan mahar tinggi yang ditetapkan oleh adat disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu karena wajibnya pemberian mahar dalam proses perkawinan adat, adat
sangat menghormati kaum wanita, adanya kadar terendah mahar, pemahaman
masyarakat Ende tentang mahar yang berbeda dengan islam serta budaya gengsi yang
telah menjamur dalam masyarakat, sehingga terjadilah kawin lari (paru deko) yang
terjadi dalam masyarakat. Kawin lari (paru deko) tetap sah menurut adat dan agama
karena semua rukun dan syarat pernikahan dalam agama tetap ada dan dijalankan,
hanya kawin lari (paru deko) masuk dalam pelanggaran adat karena ada tata tertib
adat yang tidak dijalankan, tetapi bukan merupakan pelanggaran keras. Pada dasarnya
masyarakat Ende memandang kawin lari (paru deko) tidak diperbolehkan dalam adat
karena akan menimbulkan hal-hal yang negatif dalam kehidupan bermasyarakat dan
dikucilkannya para pelaku kawin lari (paru deko) dalam kehidupan sosial.1
Disebutkan pula dalam skripsi dengan judul PANDANGAN TOKOH AGAMA
TERHADAP WAKALAH WALI DALAM AKAD NIKAH (Studi di Kelurahan
Ngagel Rejo Surabaya). Hasil penelitian itu memaparkan bahwa
wakalah wali terjadi di mayoritas pernikahan di Kelurahan Ngagel Rejo. Sebelum
1M. Abdullah,Pandangan Masyarakat Terhadap Kawin Lari (Paru Deko) Akibat Tingginya Mahar,
(Skripsi : Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang : 2009).
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
3/22
dilakukannya pernikahan oleh wakil wali, wakalah wali di awali dengan prosesi ijab
qabul dari wali asli kepada wakilnya. Kedua, mayoritas pernikahan di Kelurahan
Ngagel Rejo Surabaya selalu diwakilkan haknya kepada penghulu atau tokoh agama
setempat. Adapun alasan mereka di dalam mewakilkan hak perwalian mereka adalah
1) karena budaya. 2) Banyak masyarakat yang merasa tidak mampu untuk
menikahkan anaknya sendiri. Dan ketiga, menurut tokoh agama di kelurahan Ngagel
Rejo Surabaya, wakalah wali atau taukil wali merupakan hal yang sah. Artinya
mereka tidak melihat fenomena ini sebagai sebuah bentuk pelanggaran.tentunya
banyak faktor yang bisa dibenarkan dalam peristiwa taukil wali tersebut. Namun,
tokoh agama setempat sepakat jika wali nikah yang asli menikahkan puterinya sendiri
itu lebih baik daripada diwakilkan kepada orang lain.2
Persamaan antara kedua penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan
yaitu sama-sama membahas terkait kawin lari dan wali yang di wakilkan. Namun dari
penelitian terdahulu di atas juga memiliki perbedaan dengan penelitian ini. Dalam
penelitian saudara M. Abdullah dengan judul PANDANGAN MASYARAKAT
TERHADAP KAWIN LARI (PARU DEKO) AKIBAT TINGGINYA MAHAR
membahas masalah kawin lari dengan sebab karena tingginya mahar yang di
tentukan, perbedaannya yaitu dalam penelitian ini tidak membahas penyebab kawin
lari tersebut karena tingginya mahar melainkan penyebab kawin lari yang dilakukan
karena persoalan wali menolak menikahkan anak perempuannya. Adapun dengan
2Fauzi Romadhona Imron Putra,Pandangan Tokoh Agama Terhadap Wakalah Wali Dalam Akad
Nikah ( Studi di Kelurahan Ngagel Rejo Surabaya), (Skripsi Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang : 2009).
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
4/22
penelitian saudara Fauzi Ramadhona dengan judul PANDANGAN TOKOH
AGAMA TERHADAP WAKALAH WALI DALAM AKAD NIKAH (Studi di
Kelurahan Ngagel Rejo Surabaya) memaparkan bahwa pernikahan yang
dilangsungkan selalu diwakilkan hak walinya kepada tokoh agama dengan alasan
bahwa hal tersebut adalah budaya dan masyarakat merasa tidak mampu untuk
menikahkan anaknya sendiri. Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti
ini membahas tentang pernikahan yang dilangsungkan dengan wali yang diwakilkan
karena walinya tidak setuju dengan lelaki yang akan menikahi anak mereka sehingga
wali dari wanita ini pun tidak ikut hadir dalam berlangsungnya pernikahan.
B. KERANGKA TEORI
1. Perkawinan
a. Definisi Perkawinan
Menurut bahasa, nikah berarti penggabungan dan pencampuran. Sedangkan
menurut istilah syariat, nikah berarti akad antara laki-laki dan wali perempuannya
yang karenanya hubungan badan menjadi halal.3 Namun ulama berbeda pendapat
terkait dengan pengertian nikah itu sendiri, yang dari berbagai pendapat para ulama
terdahulu sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab fiqh klasik yang sederhana hanya
mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan yaitu kebolehan melakukan
hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan itu. Namun ulama
kontemporer memperluas jangkauan definisi yang disebutkan ulama terdahulu.
Diantaranya sebagaimna yang disebutkan Dr. Ahmad Ghandur dalam bukunya al-
3Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga ( Jakarta Timur : Pustaka Al-Kaustar, 2001), h. 3.
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
5/22
Ahwal alSyakhshiyah fi al-Tasyri al-Islamiy : Akad yang menimbulkan kebolehan
bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam
kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan
kewajiban-kewajiban.4
Perkawinan yang berlaku di Indonesia sebagaimana yang termuat dalam UU
Perkawinan No 1 Thun 1974 merumuskannya dengan:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita seorang wanita sebagai suami istsri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Pasal (1)5
Disamping definisi yang diberikan oleh UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut
diatas, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memberikan definisi lain yang tidak
menguragi arti-arti definisi tersebut, namun bersifat menambah penjelasan, dengan
rumusan sebagai berikut:
Perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau miitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Alah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.Pasal (2).6
b.
Rukun dan Syarat Perkawinan
4Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia( Jakarta: Kencana, 2006), h 395Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia( Jakarta: Kencana, 2006), h 406Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia( Jakarta: Kencana, 2006), h 40.
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
6/22
Rukun dan syarat menentukan suatu hukum, terutama yang menyangkut
dengan sah atau tidaknya perbuatn tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut
mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang
harus diadakan. Dalam acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak
boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak
lengkap.7. Unsur pokok suatu perkawinan adalah akad perkawinan, laki-laki yang
akan kawin, perempuan yang akan kawin,wali dari mempelai perempuan, saksi yang
menyaksikan akad perkawinan. Sehingga rukun perkawinan secara lengkap adalah:
calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali dari mempelai perempuan
yang akan mengadakan perkawinan, dua orang saksi, ijabyang dilakukan oleh wali
danqabulyang dilakukan oleh suami.
Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk ke dalam rukun,
karena mahar tidak mesti ada dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan
pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian, mahar itu termasuk ke dalam
syarat perkawinan.
UU Perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. UU
Perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat
tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan.KHI
secara jelas membicarakan rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal
7Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia( Jakarta: Kencana, 2006), h.59.
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
7/22
14, yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti fiqh Syafiiy dengan tidak
memasukkan mahar dalam rukun.
8
1) Akad Nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
malangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan
pihak pertama, sedangkan qabuladalah penerimaan dari pihak kedua. Dalam hokum
Islam sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab fiqh akad perkawinan itu bukanlah
sekedar perjanjian yang bersifat keperdataan. Ia dinyatakan sebagai perjanjian yang
kuat yang disebut dalam Al-Quan denagan ungkapan yang mana perjanjian
itu bukan hanya disaksikan oleh dua saksi yang ditentukan atau orang banyak yang
hadir pada waktu berlangsungnya akad perkawinan, tetap juga disaksikan oleh Allah
SWT.9
KHI secara jelas mengatur akad perkawinan dalam Pasal 27,28, dan 29 yang
keseluruhunnya mengikuti apa yang tedapat dalam fiqh dengan rumusan sebagai
berikut :
Pasal 27
Ijabdan qabulantara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun
dan tidak berselang waktu.
Pasal 28
8Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia( Jakarta: Kencana, 2006), h.619Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia( Jakarta: Kencana, 2006), h.61
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
8/22
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 29
(1) Yang berhak mengucapkan qabul adalah calon mempelai pria secara
pribadi
(2) Dalam hal tertentu ucapanqabulnikah dapat diwakilkan kepada pria
lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang
tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu
adalah untuk mempelai pria.
(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai
pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
2) Laki-laki dan Perempuan yang Kawin
Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak
boleh lain dari itu, seperti sesame laki-laki ataupun sesame perempuan, karena ini
yang tersebut dalam al-Quran. Adapun syarat-syarat yang mesti dipenuhi laki-laki
dan perempuan yang akan kawin adalah sebagai berikut :
a)
Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan lainya, baik
menyangkut nama, jenis kelamin, keberadan, dan hal yang lain yang berkenaan
dengan dirinya. Adanya syariat peminangan yang terdapat dalam al-Quran dan
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
9/22
hadits Nabi kiranya merupakan suatu syarat supaya kedua calon pengantin telah
sama-sama tahu mengenal pihak lain, secara baik dan terbuka.
b) Keduanya sama-sama beragama Islam
c) Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
d) Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang
akan mengawininya. Tentang dan persetujuan dari kedua pihak yang akan
melangsungkan perkawinan itu dibicarakan panjang lebar dalam kitab-kitab fiqh
dan berbeda pula ulama dalam menetapkannya. UU Perkawinan mengatur
persyaratan persetujuan kedua mempelai ini dalam Pasa 6 dengan rumusan yang
sama dengan fiqh. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua
mempelai. KHI mengatur persetujuan kedua mempelai itu dalam Pasal 16 dengan
uraian sebagai berikut:
(1)Perkawinan diasarkan atas persetujuan calon mempelai.
(2)Bentuk persetujuan calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan
tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau syarat tapi dapat juga
berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.10
e) Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
Batas usia dewasa untuk calon mempelai secara jelas diatur dalam UU
Perkawinan pada Pasal 7 dengan rumusan sebagai berikut :
10Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia( Jakarta: Kencana, 2006), h.68
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
10/22
(1)Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun.
(2)Dalam hal penyimpanan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria dan wanita.11
KHI mempertegas persyaratan yang terdapat dalam UU Perkawinan dengan
rumusan sebagai berikut:
(1)Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya
boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yakni
calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri
sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.12
3) Wali
Yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seorang yang karena
kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dalam
perkawinan wali itu adalah seseorang yang yang bertindak atas nama mempelai
perempuan dalam suatu akad nikah. Syarat-syarat wali nikah adalah:
a) Laki-laki
b) Dewasa
11Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia( Jakarta: Kencana, 2006), h.6812Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia( Jakarta: Kencana, 2006), h.68
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
11/22
c) Mempunyai hak perwalian
d)
Tidak terdapat halangan perwalian
Selain syarat wali nikah diatas, perlu diungkapkan bahwa wali nikah adalah
orang yang menikahkan seorang wanita dengan seorang pria. Karena wali nikah
dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai
wanita yang bertindak menikahkannya (Pasal 9 KHI). Wanita yang menikah tanpa
wali berarti pernikahannya tidak sah. Ketentuan ini didasari oleh hadis Nabi
Muhammad yang mengungkapkan : Tidak sah perkawinan, kecuali dinikahkan oleh
wali.13
4) Saksi
Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian
hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad
dibelakang hari. Dasar hukum keharusan saksi dalam akad pernikahan yaitu pada Q.S
at-Thalaq ayat 2 dan hadits Nabi sebagai berikut:
..
Artinya : Apabila mereka telah mendekati akhir iddah mereka, maka
rujukilah mereka dengan baik atau lepaskan mereka dengan baik dan
13H. Zainuddin Ali, M.A.,Hukum Perdata Islam di Indonesia(Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h. 15
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
12/22
persaksikanlah dengan du orang saksi diantaramu dan hendaklah kamu
tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Hadits Nabi dari Amran ibn Husain menurut riwayat Ahmad, sabda Nabi :
Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi
yang adil.
Saksi dalam pernikahan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Saksi berjumlah paling kurang dua orang.
b) Kedua saksi itu beragama Islam.
c) Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka.
d) Kedua saksi itu adalah laki-laki.
e) Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan
tidak selalu melakukan dosa kecil.
f) Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
KHI mengatur saksi dalam perkawinan yang materi keseluruhnnya terambil
dari kitab fiqh menurut jumhur ulama terutama fiqh Syafi iyah. Ketentuan saksi
dalam perkawinan diatur KHI terdapat dalam Pasal-pasal 24,25, dan 26 dengan
rumusan sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
13/22
(2) Setiap perkawinan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk sebagai saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-
laki muslim, adil, akil baligh, tidak teranggu ingatan, dan tidak tuna
rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah
dilangsungkan.
5) Shigat Nikah (Akad)
Pernikahan adalah akad peradaban yang tidak formulisasi di dalamnya.
Sedangkan akad merupakan pengikat bagianbagian perilaku, yaitu ijab dan qabul
secara syari. di maksud akad di sini adalah makna masdharnya , yaitu keterikatan.
Syariat menghukumi bahwa ijab dan qabul ada lahir dan saling mengikat secara
legal.14
ijab adalah suatu yang dikeluarkan (diucapakan) pertama kali oleh salah
seorang dari dua orang yang berakad sebagai tanda mengenai keinginannya dalam
melaksanakan akad dan kerelaan atasnya.
14Wahbah Az-zuhaili,fiqih islam wa adilatuhu (Jakarta : Gema insani, 2011), h. 46.
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
14/22
Qabuladalah sesuatu yang dikeluarkan (diucapkan) kedua dari pihak lain sebagai
tanda dari kesepakatan dan kerelaannya atas sesuatu yang diwajibkan pihak pertama
dengan tujuan kesempurnaan akad.15
2. Wali dalam Perkawinan
a. Pengertian Wali
Yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seorang yang karena
kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dalam
perkawinan wali itu adalah seseorang yang yang bertindak atas nama mempelai
perempuan dalam suatu akad nikah
b. Kedudukan Wali dalam Perkawinan
Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak
sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai
rukun perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Memang tidak ada satu
ayat al-Quran pun yang jelas secara ibarat al-nash yang menghendaki wali dalam
akad perkawinan. Namun dalam al-Quram tedapat petunjuk nash yang ibarat-nya
menunjuk kepada keharusan adanya wali, tetapi dari ayat tersebut secara isyarat nash
dapat dipahami menghendaki adanya wali.
Di antara ayat al-Quran yang mengisyaratkan adanya wali adalah sebagai
berikut:
Q.S al-Baqarah: 232
15Ali Yusuf As-Subki,Hukum Keluarga(Jakarta: Amzah,2010), h.100.
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
15/22
Dan bila kamu telah menalak perempuan dan hampir habis iddahnya,
maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin dengan
bakal suami mereka.
Q.S al-Baqarah: 221
Janganlah kamu mengawinkan anak-anak perempuanmu dengan laki-laki
musyrik. Sesungguhnya hamba sahaya mukmin lebih baik dari orang
musyrik walaupun ia menarik hatimu.
Q.S an-Nur: 32
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan
orang-orang yang layak (untuk kawin) di antara hamba sahayamu yang
laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberikan
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.
Ibarat nash ketiga ayat tersebut diatas tidak menunjukkan keharusan adanya
wali, karena yang pertama larangan menghalangi perempuan yang habis idahnya
untuk kawin, ayat kedua larangan perkawinan antara perempuan muslimah dengan
laki-laki musyrik, sedangkan ayat ketiga suruhan untuk mengawinkan orang-orang
yang masih bujang. Namun karena dalam ketiga ayat itu khitab Allah berkenaan
dengan perkawinan dialamakan kepada wali, dapat pula dipaham daripada keharusan
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
16/22
adanya wali dalam perkawinan. Dari pemahaman ketga ayat tersebut diatas jumhur
ulama menetapkan keharusan adaanya wali dalam perkawinan.
Jumhur ulama di samping menggunakan ayat-ayat Quran sebagai dalil yang
mewajibkan wali dalam perkawinan, menguatkan pendapat mereka dengan hadist-
hadits di bawah ini :
1) Hadits Nabi dari Abu Burdah bin Abu Musa menurut riwayat Ahmad dan lima
perawi hadits :
Tidak boleh nikah tanpa wali
2) Hadits Nabi dari Aisyah yang di keluarkan oleh empat perawi hadits selain an-
Nasai :
Perempuan mana saja yang kawin tanpa izin walinya, perkawinannya adalah
batal.
c. Orang-orang yang Berhak Menjadi Wali
Yang berhak menempati kedudukan wali itu ada tiga kelompok yaitu pertama:
wali nasab, yaitu yang berhubungan dengan tali kekeluargaan dengan perempuan
yang akan kawin. Kedua: wali muthiq, yaitu orang yang menjadi wali terhadap
perempuan bekas hamba sahaya yang dimerdekakannya. Ketiga: wali hakim, yaitu
orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.
Jumhur ulama membagi wali itu dalam tiga kelompok, yaitu pertama: wali
dekat atau wali qarib,yaitu ayah dan kalau tidak ayah pindah ke kakek. Keduanya
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
17/22
mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan
dikawinkannya. Ia dapat mengawinkan anaknya yang masih dalam usia muda tanpa
minta persetujuan dari anaknya tersebut. Wali dalam kedudukan seperti ini disebut
wali mujbir.Kedua: wali jauh atau wali abad, yaitu wali dalam garis kerabat selain
dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu, karena anak menurut ulama .
jumhur tidak boleh menjadiKetiga: wali hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam
kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.16
d. Urutan Hak Kewalian
Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam
arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama
wali nasab yang lebih dekat masih ada wali yang lebiih jauh tidak dapat menjadi
wali17
.
Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarib. Bila wali
qarib tidak memenuhi syarat baligh,beraka, Islam, merdeka, berpikiran baik dan adil,
maka perwalian berpindah kepada wali abadmenurut urutan tersebut di atas. Bila
wali qaribsedang dalam ihram haji atau umrah, maka kewalian tidak pindah kepada
wali abad, tetapi pindah kepada wali hakim secara kewalian umum. Demikian pula
wali hakim menjadi wali nikah bila keseluruhan wali nasab sudah tidak ada, atau wali
qaribdalam keadaan enggan mengawinkan tanpa alasan yang dapat dibenarkan.18
16Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia( Jakarta: Kencana, 2006), h.7517Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia( Jakarta: Kencana, 2006), h.7818Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia( Jakarta: Kencana, 2006), h.78.
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
18/22
Pindahnya kewalian kepada wali hakim atau sultan bila seluruh wali tidak ada
atau bila waliqaribdalam keadaan enggan mengawinkan.
e. WaliMujbirdan WaliAdhal
Maksud wali mujbiradalah seorang wali yang berhak menikahkan perempuan
yang diwakilkan di antara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka
lebih dahulu, dan berlaku juga bagi orang yang diwakilkan tanpa melihat ridha atau
tidaknya pihak yang berada di bawah perwaliannya.19
Adapun yang dimaksud dengan ijbar (mujbir) adalah hak seseorang (ayah ke
atas) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa perseujuan yang bersangkutan, dengan
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1) Tidak ada rasa permusuhan antara wali dengan calon pengantin wanita.
2) Calon suaminya sejufu dengan calon istri, atau ayah lebih tinggi.
3) Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilangsungkan akad nikah.
Apalagi syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, hak ijbar gugur. Sebenarnya,
ijbarbukan harus diartikan paksaan, tetapi lebih cocok bila diartikan pengarahan.
Wali yang tidak mujbiradalah :
a) Wali selain ayah, kakek dan terus keatas.
b)
Perwaliannnya terhadap wanita-wanita yang sudah baligh, dan mendapat
persetujuan dari yang bersangkutan.
19Tihami dan Sohari Sahrani,Fikih Munakahat(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 101
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
19/22
c) Bila calon pengantin wanitanya janda, izinnya harus jelas baik baik secara lisan
baik tulisan.
d) Bila calon pengantin wanitanya masih gadis, cukup dengan diam.
Apabila wali itu tidak mau menikahkan wanita yang sudah baligh yang akan
menikah dengan seorang pria yang kufu,maka dinamakan wali adhal.Apabila terjadi
seperti itu, maka perwalian langsung pindah kepada wali hakim.
Bukan kepada wali abad, karena adhal adalah zalim, sedangkan yang
menghilangkan sesuatu yang zalim adalah hakim. Akan tetapi, jika adhal-nya sampai
tiga kali, berarti dosa besar dan fasik maka perwaliannya pindah ke wali abad.20
Lain halnya kalau adhol karena sebab nyata yang dibenarkan oleh syara, maka
tidak disebut adhal, seperti wanita menikah dengan pria yang tidak kufu, atau
menikah maharnya di bawah mitsil, atau wanita dipinang oleh pria lain yang lebih
pantas (kufu) dan peminang pertama.
Al-adhaladalah penghalangan yang dilakukan oleh wali perempuan yang telah
mencapai akil baligh untuk mengawinkannya dengan orang yang setara dengannya
jika dia memintanya dan jika masing-masing dari keduanya saling menginginkan.
Allah SWT telah melaarang semua wali untuk menolak keinginan perempuan yang
dia walikan dengan firman-Nya,
20Tihami dan Sohari Sahrani,Fikih Munakahat(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.102
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
20/22
Apabila kamu menolak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya,
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suami. (QS al-Baqarah 232)
Seorang wali tidak berhak untuk menghalangi menurut mazhab SyafiI,
Hambali, Abu Yusuf dan Muhammad, akibat kurangnya mahar, atau karena
maharnya bukan merupakan uang Negara tersebut jika si perempuan merasa ridha
dengannya. Tanpa memperdulikan apakah dia meminta kawin dengan mahar mitsli
ataupun tanpa mahar mitsli, maka wali tidak boleh menghalanginya. Karena mahar
adalah haknya semata-mata, dan pengganti yang khusus menjadi miiknya, maka para
wali tidak berhak menolak untuknya mengenai mahar.
Mazhab Hanafi berpendapat, para wali berhak menghalangi seorang
perempuan untuk kawin tanpa mahar mitsli karena dapat mendatangkan rasa malu
kepada mereka, dan dalam hal tersebut terdapat keburukan bagi kaum perempuan
mereka akibat berkurangnya maharmitslimereka.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa penghalangan terwujud pada dua
masalah, pertama, jika yang melamarnya adalah orang yang setara dengan si
perempuan, dan dia merasa ridha dengannya maka dia meminta untuk dikawinkan
dengannya atau tidak. Kedua, jika dia minta dikawinkan dengan orang yang setara,
dan walinya meminta agar dia kawin dengan orang yang setara lainnya.
Sedangkan mazhab Syafii dalam pendapatnya yang paling sahih membatasi
penghalangan wali pada masalah yang pertama. Mereka berpendapat, jika telah
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
21/22
ditetapkan orang yang setara untuk seorang perempuan, sedangkan si bapak
menginginkan laki-laki yang lain, maka si bapak berhak untuk mengawinkannya
dengan orang piihannnya. Namun, mazhab Hambali menambhakan gambaran yang
lain bagi penghalangan wali, yaitu jika para pelamar ditolak karena sikap keras wali,
akan tetapi secara zahir sesungguhnya tidak ada kehormatan bagi wali disini karena
tidak berhak baginya untuk melakukan hal tersebut.
Wali menjadi fasik dengan melakukan penghalangan jika terjadi berulang-
ulang karena itu adalah perbuatan maksiat yang kecil. Jika wali menghalang-halangi,
menurut Imam Ahmad hak perwalian berpindah kepada orang yang lebih jauh karena
dia terhalang kawin dari arah yang lebih dekat. Sehingga hak perwalian berpindah
kepada yang lebih jauh, sebagaimana halnya jika dia gila. Jika semua wali menolak
untuk mengawinkannya, maka dia dikawinkan oleh hakim.21
3. Kawin Lari dalam Hukum Adat
Pada umumnya yang dimaksud kawin lari adalah bentuk perkawinan yang
tidak didasarkan atas persetujuan lamaran orang tua, tetapi berdasarkan kemauan
sepihak atau kemauan kedua pihak yang bersangkutan. Lamaran dan atau persetujuan
untuk perkawinan diantara kedua pihak orang tua, terjadi kejadian melarikan.
Sebab-sebab terjadinya Kawin Lari antara lain :
a. dikarenakan tidak mau atau tidak untuk melamar
b. karena lamaran ditolak
21Wahbah Az-zuhaili,fiqih islam wa adilatuhu (Jakarta : Gema insani, 2011), h. 202-203
-
7/25/2019 Sebuah Penelitian tentang Menikah
22/22
c. karena perkawinan tidak disetujui orang tua
d.
karena keadaan terpaksa
e. karena merasa dirugikan
f. karena mempunyai suatu tujuan22
pada masyarakat adat yang prinsip kekerabatannya patrilineal perkawinan lari
merupakan pelanggaran tata tertib adat yang tidak dapat dituntut, melainkan
diselesaikan secara musyawarah antar kerabat yang bersanngkutan atas dasar hukum
adat perdata. Pada masyarakat adat yang prinsip kekerabatannya matrilineal atau
parental perkaawinan lari adalah pelanggaran adat, merupakan perbuatan yang
melanggar kekuasaan orang tua. Tetapi sudah banyak terjadi bahwa kasus yang
serupa diselesaikan dalam perundingan antara kedua pihak (kerabat) orang tua
bersangkutan atas dasar persetujuan untuk kawin diantara si perempuan dan si lelaki
yang melakukan kawin lari itu. Jadi penyelesaiannya berdasarkan hukum perdata adat
atau hukum antar perdata adat dengan jalan musyawarah diluar pengadilan negeri.
Penyelesaian diluar pengadilan lebih dirasakan keadilannya daripada didalam
pengadilan.23
22Sution usman, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama (Yogyakarta: Liberty, 2002), h.105.23Sution usman, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama (Yogyakarta: Liberty, 2002), h.105-106.