Scanned by CamScannerrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40545...) dengan bentuk ism...
Transcript of Scanned by CamScannerrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40545...) dengan bentuk ism...
-
Scanned by CamScanner
-
Scanned by CamScanner
-
Scanned by CamScanner
-
Scanned by CamScanner
-
iv
ABSTRAK
Ahmad Toib
Mutarādif dalam Al-Qurʹan (Studi Kata Ṭayyib dan Ḥasan dalam Tafsir al-
Baḥr al-Muḥīṭ)
Di dalam al-Qurʹan kata ṭayyib dengan bentuk ism mufrad mużakkar (bentuk
tunggal untuk laki-laki) disebutkan sebanyak 13 kali. Sedangkan kata ḥasan dengan
bentuk ism mufrad mużakkar (bentuk tunggal untuk laki-laki) disebutkan sebanyak
19 kali. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kata ḥasan lebih banyak dari pada
kata ṭayyib. Hal ini menunjukkan pula bahwa makna kata ḥasan lebih umum dari
pada kata ṭayyib.
Kajian ini telah dikaji oleh para ulama, baik klasik maupun kontemporer.
Pandangan para ulama terkait mutarādif dalam al-Qurʹan dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu pandangan yang menetapkan adanya mutarādif dalam al-Qurʹan
dan pandangan yang menetapkan tidak adanya mutarādif dalam al-Qurʹan.
Penelitian dalam skripsi ini berkisar mengenai makna kata ṭayyib dan ḥasan
dalam tafsir al-baḥr al-muḥīṭ. Data yang digunakan adalah ayat-ayat al-Qurʹan yang
di dalamnya terdapat kata ṭayyib dan ḥasan dengan bentuk ism mufrad mużakkar.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu mensistematikakan
data atau keterangan yang terkumpul dalam sebuah penjelasan terperinci disertai
dengan analisis penulis.
Mutarādif dalam al-Qurʹan adalah setiap kata yang memiliki makna yang
sama, akan tetapi tidak dapat disamakan sepenuhnya. Hal ini dikarenakan susunan
kata dalam al-Qurʹan selain memiliki kekhususan dalam setiap maknanya, juga
memiliki arti yang berbeda dengan yang lainya, di samping itu kata tersebut
memiliki kesesuaian dalam susunannya.
Abū Ḥayyān menafsirkan kata ṭayyib dengan beberapa makna. Kata ṭayyib
memiliki makna sesuai dengan kata apa yang digandengnya. Bisa bermakna sesuatu
yang baik, sesuatu yang suci dan bersih, sesuatu yang halal, amal saleh, orang yang
beriman, orang yang taat, sesuatu yang bagus dan subur, sesuatu yang indah, dan
pun bisa bermakna kalimat tauḥīd dan kalimat taḥmīd.
Begitu pun dengan kata ḥasan memiliki makna sesuai dengan kata apa yang
digandengnya. Bisa bermakna sesuatu yang baik, niat yang tulus, taat dan patuh,
sesuatu yang bagus dan indah, sesuatu yang disenangi dan disukai, sesuatu yang
halal, pahala, surga, dan bisa juga bermakna amal saleh.
Kata Kunci: Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ, mutarādif, ṭayyib, dan ḥasan.
-
v
KATA PENGANTAR
ِحيمِ ْحٰمِن الرَّ بِْسِم اِلِل الرَّ
Segala puja, puji, dan rasa syukur, penulis haturkan kepada Allah SWT.,
atas segala nikmat dan pertolongan yang telah, sedang, dan yang akan selalu Ia
berikan kepada penulis. Dialah Tuhan di mana tempat penulis mengadu ketika
penulis sudah merasa lelah dan Putus asa dalam menyelesaikan skripsi ini. Kepada-
Nya penulis meminta kekuatan agar selalu dikuatkan dalam menyelesaikan skripsi
ini. Atas petunjuk dan rahmat dari-Nya penulis dapat mengolah data menjadi kata,
mengolah kata menjadi kalimat, mengolah kalimat menjadi paragraf-paragraf yang
berisi ide, kemudian dari kumpulan paragraf menjadi bab-bab dan akhirnya jadilah
skripsi ini.
Salawat dan salam seiring kecintaan, akan senantiasa tercurah limpahkan
pada baginda Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan para sahabatnya.
Sesungguhnya Ia dan merekalah yang sangat berjasa dalam menyampaikan pesan-
pesan Allah SWT., sampai akhirnya pesan itu sampai kepada kita semua saat ini.
Dalam perjalanan penelitian ini, penulis menyadari betul bahwa skripsi
yang berjudul “ MUTARĀDIF DALAM AL-QURʹAN STUDI KATA ṬAYYIB
DAN ḤASAN DALAM TAFSIR AL-BAḤR AL-MUḤĪṬ ” ini tidak akan selesai
dengan daya dan upaya penulis sendiri, melainkan ada banyak sosok kerabat, dan
orang-orang spesial dari berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak
langsung telah banyak membantu penulis, sehingga akhirnya tulisan ini selesai.
Maka, pada kesempatan ini, penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya, yaitu kepada:
-
vi
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Lilik. Ummi Kultsum, MA., selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qurʹan
dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum. M.Pd., selaku Sekretaris
Jurusan Ilmu Al-Qurʹan dan Tafsir, serta Civitas Akademik Fakultas
Ushuluddin.
4. Dosen penasihat akademik, Bapak Dr. Amin Nurdin, MA., yang banyak
memberi masukan kepada penulis selama studi di kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Muslih, M.Ag., selaku pembimbing, yang dengan ikhlas dan sabar
dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Rasa terima kasih penulis ucapkan juga kepada bapak Eva
Nugraha MA., beliaulah yang telah meluangkan waktu di tengah
kesibukannya untuk mengoreksi, memberikan arahan serta memberikan
nasihat-nasihat yang bermanfaat bagi penulis.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin khususnya Jurusan Ilmu Al-Qurʹan
dan Tafsir yang dengan sabar dan ikhlas telah mengajarkan dan
membagikan berbagai wawasan, ilmu, serta pengalaman kepada penulis
selama penulis kuliah di kampus tercinta ini.
7. Ayahku Muhammad Farid Toib Lubis (alm) dan Ibuku Masdalima Lubis
(almh) yang telah mendidik dan membesarkanku menjadi manusia yang
berguna untuk masyarakat. Kakakku Rosna Lubis, Abangku Muhammad
-
vii
Yusuf Lubis, dan Adikku Khoirul Saleh Lubis yang selalu meneguhkan
hatiku di kala kami harus berpisah dengan kedua orang tua kami di dunia
ini.
8. Segenap Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Pusat Studi al-
Qurʹan (PSQ) Ciputat yang telah memberikan fasilitas serta rujukan-
rujukan sebagai sumber referensi.
9. Teman-teman satu Jurusan Ilmu al-Qurʹan dan Tafsir yang senantiasa
menemani penulis dalam menimba ilmu pengetahuan di kampus UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Di antara mereka adalah Asep, Arif, Rifai,
Fuad, Ulil, Jamil, Iyan, Saiful, Ceceng, Subhan, Zulfikar, Seman, Ilham,
Hilman, Gandi, Bazit, Eka, Dayat, Ijal, Akrom, Yasir, Yaqin, Fahmi,
Ramdan dan mereka yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini.
Perjumpaan dengan kalian semua adalah sesuatu yang akan selalu
terkenang. Terima kasih dan semoga Tuhan selalu menemani kita semua
dalam segala hal.
Akhirnya, penulis berharap kepada Allah SWT., Semoga karya ini dapat
menambah wawasan mengenai al-Qurʹan, ‘Ulūm al-Qurʹān, dan bermanfaat bagi
semua yang mau membacanya, terkhusus bagi penulis. Semoga tulisan ini menjadi
tulisan pertama penulis dan dicatat sebagai amal baik bagi penulis.
Jakarta, 17 Juli 2018
Hormat saya
Ahmad Toib
Penulis
-
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................ ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................ iii
ABSTRAK ................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6
D. Manfaaat Penelitian .................................................................... 6
E. Kajian Pustaka ............................................................................ 6
F. Metodologi Penelitian ................................................................. 10
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 11
BAB II MUTARĀDIF DALAM AL-QUR’AN
A. Pengertian Mutarādif ................................................................. 12
B. Sebab-sebab Munculnya Mutarādif ............................................ 13
C. Pro Kontra Para Ulama Terhadap Mutarādif dalam Al-Qurʹan .. 15
BAB III SEKILAS TENTANG TAFSIR AL-BAḤR AL-MUḤĪṬ
A. Riwayat Hidup Pengarang .......................................................... 21
B. MetodeTafsir ............................................................................... 23
C. Corak Tafsir ................................................................................ 27
D. Sistematika Penafsiran ................................................................ 28
BAB IV ANALISIS KATA ṬAYYIB DAN ḤASAN DALAM
ALQUR’AN DAN TAFSIRANNYA DALAM TAFSIR AL-BAḤR AL-
MUḤĪṬ
A. Pengertian Kata Ṭayyib ............................................................... 30
B. Pengertian Kata Ḥasan ............................................................... 31
-
ix
C. Kata Ṭayyib dalam Al-Qurʹan dan Penafsirannya dalam Tafsir Al-
Baḥr Al-Muḥīṭ .......................................................................... 32
D. Kata Ḥasan dalam Al-Qurʹan dan Penafsirannya dalam Tafsir Al-
Baḥr Al-Muḥīṭ .......................................................................... 41
E. Analisis Kata Ṭayyib dan Ḥasan dalam Tafsir Al-Baḥr Al-Muḥīṭ
1. Kata Ṭayyib dalam Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ ......................... 52
2. Kata Ḥasan dalam Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ .......................... 53
3. Perbedaan dan Persamaan kata Ṭayyib dan Ḥasan ............... 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 55
B. Saran-saran .................................................................................. 55
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 57
-
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB - LATIN
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
No. 158 Tahun 1987-Nomor: 0543 b/u/1987.
1. Konsonan
No Arab Latin No Arab Latin
Ṭ ط .Tidak dilambangkan 16 ا .1
Ẓ ظ .B 17 ب .2
‘ ع .T 18 ت .3
G غ .Ṡ 19 ث .4
F ف .J 20 ج .5
Q ق .Ḥ 21 ح .6
K ك .Kh 22 خ .7
L ل .D 23 د .8
M م .Ż 24 ذ .9
N ن .R 25 ر .10
W و .Z 26 ز .11
H ه .S 27 س .12
′ ء .Sy 28 ش .13
Y ي .Ṣ 29 ص .14
Ḍ ض .15
2. Vokal Pendek
َ = a ك ت ب Kataba
َ = i ُسئ ل Su′ila
َُ = u ُي ذه ب Yażhabu
3. Vokal Panjang
ا َ = ā ق ال Qāla
Qīla ق يل ī = ا ى
Yaqūlu يقُولُ ū = أُو
4. Diftong
Kaifa ك يف ia = أ ي
ول au = أ و Ḥaula ح
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kajian al-Qurʹan persoalan mutarādif merupakan salah satu bagian
penting dalam metode penafsiran. Problematika ta‘āruḍ (secara lahir teks ayat
yang satu tampak bertentangan dengan teks ayat yang lain) yang sering
diselesaikan dengan metode nāsikh dan mansūkh (menghapus dan dihapus) dapat
dihindari dengan metode subtitusi dalam mutarādif.1
Mutarādif (Sinonim) ialah ragam kata yang mempunyai makna yang sama.
Seperti kata saif ( َ َيَ س ف ), ḥusām ( َح َ امَ س ), muhannad ( َنَ هَ م َ د ) dan lain-lain. Ketiga
kata tersebut memiliki arti yang sama yaitu pedang. Menurut M. Quraish Shihab,
keunikan bahasa Arab terlihat juga pada kekayaannya, bukan saja pada
bilangannya, yaitu tunggal (mufrad), dua (Musannā), dan lebih dari dua (jama’),
tetapi juga pada kekayaan kosakata dan sinonimnya.2
Al-Qurʹan selalu memberikan makna baru bagi setiap orang yang
menafsirkannya, tanpa mengubah makna yang terkandung di dalamnya dan tanpa
mengurangi nilai-nilai yang hendak disampaikan kepada manusia sebagai
petunjuk. Sementara itu, al-Qurʹan merupakan kitab wahyu yang yufassiru
ba’ḍuhu ba’ḍān (sebagian ayatnya menjelaskan ayat yang lainnya).3 Jika dilihat
dari ungkapan tersebut, sebenarnya al-Qurʹan telah menjelaskan dirinya sendiri
sendiri, hanya saja tergantung kepada para mufassir tentang bagaimana ia bisa
1 Rofiq Nurhadi, “Pro Kontra Sinonim dalam Al-Qur’an,” Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Vol 2, no. 4 (2015): h. 7. 2 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, ed., Abdul Syakur (Tangerang: Lentera Hati, 2015),
h. 30. 3 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistomologi Tafsir (Yogyakarta: Pustakak Pelajar,
2008), h. 40.
-
2
mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lain sesuai dengan tema dan
permasalahan yang sama.
Hal tersebut berlaku bagi setiap penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qurʹan.
Tak terkecuali dengan penafsiran ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kata ṭayyib
( َ َ طَي ب ) dan ḥasan ( َح َ َس ن ), kedua kata ini sering kali diartikan dengan kata baik.
Seperti dalam kamus bahasa Arab Mahmud Yunus4, ketika dicari arti dari kedua
kata tersebut, maka arti yang ditemukan adalah “yang baik”.
Di dalam al-Qurʹan kata ṭayyib ( َ َ طَي ب ) dengan bentuk ism mufrad
mużakkar (bentuk tunggal untuk laki-laki) disebutkan sebanyak 13 kali.5
Sedangkan kata ḥasan ( َح َ َس ن ) dengan bentuk ism mufrad mużakkar (bentuk
tunggal untuk laki-laki) disebutkan sebanyak 19 kali.6 Hal ini menunjukkan
bahwa makna kata ḥasan itu lebih umum dari pada makna kata ṭayyib.
Di antaranya ialah :
1. Q.S. al-A’rāf ayat 58
َر ص
َن ك ل
َٰ ذ َكۚٗدا ك
َن َل َإ
ر ج ۡخ َي
ََل
ث ب
يَخ ذ
ٱل َو ۦۖ ه
ب َر ن ۡذ إ َب ۥ
ه ات ب َن ر ج
ۡخ َي ب
ي َٱلط د
ل ب ۡٱل َو
ف
َ ون ر كۡش ۡوٖمَي
ق َل ت
ي َٰٓ ۡ ٱۡل
Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin
Allah, dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh
merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami)
bagi orang-orang yang bersyukur.
4 Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuriyah,
1989), h. 103, dan h. 244. 5 Ahmad Mukhtār ‘Umar, al-Mu‘jam al-Mausū‘ī lī alfāẓi al-Qurʹān al-Kārīm wa
Qirāʹatihi (al-Riyāḍ: Mu‘asisah Sutūr al-Ma‘rifah, 1423), h. 661. 6 Ahmad Mukhtār, al-Mu‘jam al-Mausū‘ī lī alfāẓi al-Qurʹān al-Kārīm wa Qirāʹatihi, h.
568.
-
3
2. Q.S. Ali Imrān ayat 37
َزَ ا ۡيه ل َع ل
خ َد ا م
ل َكۖا ي ر
ك َز ا ه
ل ف ك َو ٗنا س َح اًتا ب
َن ا ه ت ۢنب
أ َو ٖن س َح وٍل ب
ق َب ا
ه بُّ َر ا ه ل ب ق ت اَف ي ر
ك
َ َٱّلل ن َإ ۖ َٱّلل ند ۡنَع َم
و ۡتَه ال َقۖا ذَه َٰ ك
َل ىَٰ
ن َأ م ۡري م َي َٰ ال
َقۖاٗۡزق اَر
ه ند َع د ج َو اب ۡحر
ََۡٱۡل ق
ۡرز ي
اٍبَ س َح ۡير غ َب
ء ٓا ش نَي م
Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang
baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah
menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk
menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya
berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?"
Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah
memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.
Jika diperhatikan dengan seksama kedua ayat di atas, terdapat kata ṭayyib
dan ḥasan dengan arti “yang baik”, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa al-
Qurʹan menggunakan kata ṭayyib dan ḥasan untuk menunjukkan kata yang
bermakna “baik”, akan tetapi nyatanya al-Qurʹan menggunakan banyak kata untuk
menunjukkan makna baik, seperti kata ma‘rūf, khair, birr, ṣāliḥ dan lain-lain.7
Mufassir beberapa kali menafsirkan kata ṭayyib dengan kata ḥasan dan
begitupun sebaliknya. Seperti penafsiran Abū Ḥayyān dalam surat al-Baqarah ayat
245: َ ط
ۡبص ي َو ض ۡقب َي ٱّلل َو
ۚٗة ير ث
اَك
ٗاف ۡضع
ٓۥَأ ه
ۥَل ه
ف ع
ض َٰ ي ٗناَف س ۡرًضاَح
َق
َٱّلل ۡقر ض
يَي ذ اَٱل
نَذ م
َون ع ۡرج
َت ۡيه
ل إ و
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat
gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan
Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya lah kamu
dikembalikan.
Penafsiran Abū Ḥayyān:
َوَ َصَ تَ ان َ:َح ََب َ،َعَ س
ًَنا
َل
َىَأ َيَ َن
َوَ ك
ََن َص َفًَلَ َة
َلَ وَ ق ََه
َ،َوَ رَ :َق
ًَه َضا ََو
َاه َالظ ََر
َ،َأ َعَ َو
َل
َىَأ َيَ َن
َوَ ك
َن
َ َعَ ن
َل ًَح َم ََرٍَد َصَ تا
َإَ ٍَفَوَ ذ
َذ
َأ َنَ بَ رَ عَ ا
َق َم َرَ ا
ًَبَ وَ عَ ف َضا
ًََه ََل
َأ ،َ َإَ َي :َ
َح َرَ ق
ًَاضا َوَ س ،َ
ًَنا َصَ و
َهَ ف
7 Yuli Gusmawati, “Makna Kata Ma‘rūf dan Padanannya dalam al-Qurʹan: Suatu Kajian
terhadap Tafsiran al-Maragi,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negri Sultan
Syarif Kasim Riau, 2011), h.3.
-
4
َبَ َح َال َس ََن
َل َنَ وَ ك ََه
َ طَي َ َب
َيَ الن ََة َ الَ خ
ًََلل َصا
َ،َق َابَ َهَ ال ََن
َارَ بَ ال ََك
َ.َأ َ:َلَ َو
َنَ وَ ك َه
َح َيَ َت َس عَ َب
َنَ َللا ََد
َ ََهَ ابَ وَ ث
َ،َأ َ:َلَ َو
َنَ وَ ك ََه
َ ج َي
َكًثَ دا
َيَ َ،َأ
ًَرا َ:َلَ َو
َنَ وَ ك َبَ َه
ََم َل َوَ ٍَن
ََل ََأًََىذ
َ،َقا َوَبَ رَ م َعَ َهَ ل َن
َعَ َم َث ََان
َ،َأ :ََو
َلَ َنَ وَ ك ََه
ََيَ َل
َط َل َبَ َب عَ َه
َوَ َ،َق
ًَضا
ََهَ ال َبَ َل َيَ هَ س َن
َبَ عَ ََد ََللا َق َال
َرَ يَ ش
َُّيَالت َس
ََيرَ ت
8َ
Dalam menafsirkan kata qarḍān ḥasanan (Pinjaman yang baik) dalam
surat al-Baqarah ayat 245, Abū Ḥayyān menafsirkannya dengan ṭayyib al-niyyah
(niat yang baik). Hal ini mengindikasikan bahwa kedua kata tersebut memiliki
kesamaan makna.
Lalu pertanyaan yang muncul ialah apakah al-Qurʹan menggunakan
banyak kata untuk menunjukkan satu makna. Sebagaimana diketahui bahwa al-
Qurʹan ini adalah sebuah mukjizat, maka tidaklah mungkin al-Qurʹan
menggunakan beberapa kata yang memiliki makna yang sama, untuk maksud dan
tujuan yang sama pula, ini merupakan sesuatu yang sia-sia, dan pastinya akan
mengurangi sisi kemukjizatan al-Qurʹan dari segi bahasa.
Muhammad Quraish Shihab menjelaskan, bahwa tidak ada dua kata atau
lebih yang yang memiliki makna yang sama kecuali pasti ada perbedaan
maknanya.9 Karena al-Qurʹan bagaikan berlian yang memancarkan cahaya dari
setiap sisinya. Gaya bahasa yang tinggi dan penempatannya bukanlah ditempatkan
oleh Allah begitu saja, namun mengandung banyak muatan dan konsep-konsep
yang tidak hanya menunjukkan satu makna, akan tetapi dapat menampung sekian
banyak makna.10
Berangkat dari hal inilah penulis merasa perlu untuk membahas hal ini.
Bagaimana memahami makna kata ṭayyib dan ḥasan dalam al-Qurʹan ?
8 Abū Ḥayyān al-Andalusī, al-Baḥr al-Muḥīṭ, Juz II (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1993), h. 261. 9 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, ed., Abdul Syakur (Tangerang: Lentera Hati, 2015),
h. 111. 10 M. Quraish Shihab, Mu’jizat al-Qur’an : Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 1998), h. 120.
-
5
Untuk mempertajam penelitian ini, penulis melakukan kajian pustaka
dengan menggunakan kitab tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ, karena kitab tafsir ini adalah
salah satu kitab tafsir yang bercorak bahasa. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Rusydi Khalid dalam artikelnya bahwa metode pendekatan atau corak penafsiran
yang digunakan oleh Abū Ḥayyān dalam kitab tafsir al-Bahr al-Muḥīṭ kebanyakan
memuat masalah kebahasaan khususnya nahwu, juga masalah Qirāʹat, dan
masalah fiqh.11 Berlandaskan inilah kitab tafsir ini sangat cocok dijadikan rujukan
utama dalam penelitian ini.
Oleh karena itu penulis terdorong melakukan penelitian skripsi dengan
judul “Mutarādif dalam al-Qurʹan (Studi Kata Ṭayyib dan Ḥasan dalam
Tafsir Al-Baḥr Al-Muḥīṭ)” untuk membahas secara khusus dan lebih mendalam
tentang makna kata ṭayyib dan ḥasan.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat banyaknya kata dalam al-Qurʹan yang memiliki makna baik,
seperti kata ṭayyib, ḥasan, ma‘rūf, khair, birr, dan ṣāliḥ dengan segala macam
derivasinya, maka untuk memperjelas dan menghindari pembahasan yang tidak
mengarah pada maksud dan tujuan penulisan skripsi ini, penulis menginventarisir
ayat-ayat al-Qurʹan yang di dalamnya terdapat kata-kata tersebut, lalu mendapati
bahwa makna yang paling menyerupai ialah kata ṭayyib ( ب ي ط ) dan ḥasan ( ن س ح )
dengan bentuk ism mufrad mużakkar (bentuk tunggal untuk laki-laki).
Alasan yang melatarbelakangi pengambilan kata ṭayyib dan ḥasan dalam
skripsi ini adalah karena kedua kata ini yang sering kali posisi kedudukannya
dalam al-Qur’an itu sebagai na’at (sifat). Ada juga beberapa kata yang bermakna
11 H.M. Rusydi Khalid, ”Al-Baḥr al-Muḥīṭ: Tafsir Bercorak Nahwu Karya Abū Ḥayyān
al-Andalūsī” Jurnal Adabiyah, Vol. 15, No. (2015): h. 180.
-
6
“baik” yang posisi kedudukanya dalam al-Qurʹan ialah sebagai na‘at (sifat), akan
tetapi jumlahnya tidak sebanyak kata ṭayyib dan ḥasan. Berdasarkan pembatasan
di atas maka, penulis merumuskan permasalahannya pada apa makna kata ṭayyib
dan ḥasan dalam tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ ?
C. Tujuan Penelitian
1. Menguraikan definisi mutarādif dalam al-Qurʹan
2. Menguraikan kata ṭayyib dan ḥasan dalam al-Qurʹan.
3. Menjelaskan makna kata ṭayyib dan ḥasan dalam tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ.
D. Manfaat Penelitian
Secara akademik, penelitian ini bermanfaat untuk melengkapi skripsi yang
disusun oleh Sugihardi12 yang membahas kata ḥasan, ṭayyib, dan khair dari segi
makna gramatikal. Dan menguatkan pendapat para ulama yang mengatakan
bahwa mutarādif dalam al-Qur’an itu tidak ada.
E. Kajian Pustaka
Sepanjang penelitian dan pengamatan yang penulis lakukan, penulis
menemukan beberapa skripsi yang berkaitan dengan skripsi ini :
1. Penelitian oleh Sugihardi13 yang mengatakan bahwa kata ḥasan, khair,
dan ṭayyib mengalami proses perubahan kata berjumlah 83 kata. Yang
terdiri dari 47 kata ḥasan, 12 kata khair, dan 24 kata ṭayyib dalam al-
Qurʹan yang mengalami proses perubahan kata yaitu: menunjukkan
12 Sugihardi, “Analisis Kata Ḥasan, Khair, dan Ṭayyib dalam Al-Qurʹan Ditinjau dari
Segi Makna Gramatikal” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, 2015). 13 Sugihardi, “Analisis Kata Ḥasan, Khair, dan Ṭayyib dalam Al-Qurʹan Ditinjau dari
Segi Makna Gramatikal”.
-
7
pelaku, menunjukkan perintah, menunjukkan jama’, menunjukkan kata
kerja aktif, menunjukkan pelaku jama’, makna “paling”, makna yang
menunjukkan dua, dan makna “lebih”. Menurut penulis, fokus
pembahasan dalam penelitian ini masih kurang, karena penjelasan yang
begitu melebar mengenai perubahan bentuk kata ḥasan, khair, dan ṭayyib.
Rujukan utama untuk mencari makna dari kata-kata tersebut hanya melalui
Tafsir Mahmud Yunus, yang menurut penulis Tafsir Mahmud Yunus Ini
lebih seperti terjemah al-Qurʹan. Dan pembahasan tentang makna kata-
kata tersebut belum begitu dalam.
2. Penelitian oleh Yuli Gusmawati14 yang mengatakan bahwa ada dua kata
yang maknanya sepadan dengan kata ma‘rūf yaitu kata iḥsān dan khair.
Kata-kata tersebut memiliki persamaan dalam terjemahannya akan tetapi
memiliki perbedaan sesuai konteksnya masing-masing. Kata ma‘rūf
dipakai untuk kebaikan yang bersifat masyhur atau dikenal di sebuah
tempat dan keadaan (relative). Kata iḥsān memiliki arti kebaikan yang
muncul dari rasa pengawasan Allah hingga selalu melakukan perintah
Allah baik yang diwajibkan maupun yang tidak diwajibkan. Sedangkan
kata khair ialah sesuatu yang kebaikannya benar-benar baik dari zatnya.
Bagi penulis penelitian ini sudah cukup baik mengulas kata-kata yang
bermakna kebaikan dalam al-Qur’an.
3. Penelitian oleh Dolizal Putra15 yang mengatakan bahwa khauf adalah
perasaan takut yang disertai cemas dan khawatir terhadap keselamatan diri
14 Yuli Gusmawati , “Makna Kata Ma‘rūf dan Padanannya Dalam Al-Qurʹan (Suatu
Kajian Terhadap Penafsiran Al-Maraghi)”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2011). 15 Dolizal Putra, “Khauf, Khasyyah, dan Taqwa dalam Tafsir Al-Misbah”, (Skripsi S1
Fakultas Ushuuddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2017).
-
8
karena menduga akan adanya bahaya yang dapat mengancamnya.
Sehingga yang bersangkutan mengambil langkah-langkah untuk
menangkal atau menghindarinya. Khasyyah adalah perasaan perasaan
takut kepada Allah yaitu akan keagungan dan kekuasaan-Nya yang disertai
dengan sikap kagum dan pengetahuan tentang Allah. Sedangkan, taqwa
ialah upaya sungguh-sungguh untuk memelihara, menjauhkan diri dari
siksaan atau ażāb Allah dengan cara menjalankan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya.
4. Penelitian oleh Muhammad Nabihul Janan16 yang mengatakan bahwa kata
khauf mempunyai konteks yang lebih luas, menyangkut semua hal yang
dapat mengancam, membawa keburukan. Khauf adalah rasa takut yang
dialami pada umumnya oleh manusia. Naluri kecemasan murni yang lahir
dari sifat manusia sebagai makhluk yang lemah. Sehingga subjek dan
objeknya pun beragam. Sedang kata khasyyah mempunyai cakupan yang
lebih sempit, yaitu memuat ketakutan kepada Allah, takut dengan ażab
Allah, takut dengan kebesaran Allah yang di mana subjeknya adalah
orang-orang mukmin agar senantiasa bertakwa, sedangkan apabila orang
mukmin menggunakan kata khasyyah terhadap manusia, maka ditegaskan
bahwa Allah lah yang berhak ditakuti.
5. Penelitian oleh Ariefta Hudi Fahmi17 yang mengatakan bahwa makna kata
al-Syakk ialah keadaan di mana seseorang harus menentukan satu pilihan
di antara dua pilihan yang bertentangan namun kadarnya seimbang
16 Muhammad Nabihul Janan , “Sinonimitas dalam al-Qurʹan (Analisis Semantik Lafaẓ
Khauf dan Khasyyah)”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam Negri Surakarta,
2017). 17 Ariefta Hudi Fahmi , “Sinonimitas dalam al-Qurʹan (Studi atas Lafaẓ al-Syakk dan al-
Raib)”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2015).
-
9
sehingga sulit untuk menentukannya. Makna kata al-Raib ialah ragu yang
disertai tuduhan dan kegelisahan jiwa. Kedua kata tersebut memiliki
persamaan konsep yaitu ketidakpastian dan samar (antara pembenaran dan
penolakan). Adapun dari segi konteks kata al-Syakk memiliki cakupan
yang lebih sempit, yaitu hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan
bidang aqidah. Sedangkan, kata al-Raib cakupannya lebih luas, tidak
hanya berkaitan dengan bidang aqidah namun juga mencakup dalam
bidang mu’amalah. Jika ditinjau dari dari pelaku atau subjek kalimatnya,
kata al-Raib digunakan tidak hanya oleh umat yang dikisahkan dalam al-
Qurʹan dan orang-orang non muslim namun juga digunakan oleh orang
muslim walaupun munafik. Sedangkan kata al-Syakk pelakunya sebatas
umat yang dikisahkan dan orang non-muslim. Jadi konteks tekstual kata
al-Raib lebih luas cakupannya dibandingkan dengan konteks tekstual kata
al-Syakk.
Dari beberapa penelitian di atas maka penulis mencoba menganalisis
kata-kata yang memiliki makna baik dalam al-Qurʹan di antaranya yaitu kata
ṭayyib, ḥasan, khair, birr, ṣāliḥ, dan ma‘rūf. Akan tetapi dari sekian kata yang
memiliki makna baik, penulis menemukan hanya dua kata yang benar-benar
memiliki kesamaan makna (mutarādif) yaitu kata ṭayyib dan ḥasan. Dan untuk
membedakan penelitian ini, maka penulis menggunakan tafsir al-Baḥr al-
Muḥīṭ, karena tafsir ini begitu dalam penjelasannya ketika membahas aspek
kebahasaan. Dengan ini, penulis berharap bisa menganalisis makna kata ṭayyib
dan ḥasan dalam al-Qurʹan melalui tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ.
-
10
F. Metodoogi Penelitian
1. Metode
Metode yang digunakan dalam pembuatan skripsi ini adalah:
a. Metode penelitian kuantitatif, yakni metode yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, sebagai lawannya adalah
eksperimen. Dalam hal ini penulis mencoba untuk mengedepankan
sistematika data dengan kajian telaah pustaka (library research), yaitu
menelusuri dan mengkaji data-data yang berhubungan dengan masalah
penelitian dari sumber-sumber buku.18
b. Metode deskriptif analisis, yaitu mensistematikakan data atau
keterangan yang terkumpul dalam sebuah penjelasan terperinci disertai
dengan analisis penulis.19
c. Metode telaah pustaka, yakni membaca dan memahami referensi
penelitian, baik itu dari sumber data bersifat primer, maupun sumber
data yang bersifat sekunder.
2. Sumber Data
Sumber data yang akan penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini
terbagi dua:
a. Sumber data primer, yaitu data yang sangat mendukung dan menjadi
pokok pembahasan dalam skripsi ini, atau sumber data utama, yang
dalam hal ini adalah tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ.
b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang bersifat menunjang
terkait tema yang akan dibahas, sumber data ini dapat berupa buku-
18 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D.
(Bandung: Alfabeta, 2013). h. 15. 19 Sudarto. M. Hum, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT. raja Grafindo Persada,
2002). h. 62.
-
11
buku, jurnal, karya ilmiah lainnya terkait dengan masalah yang akan
dibahas.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab akan diperincikan ke
dalam subbab, dengan sistematika sebagai berikut :
Bab satu merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka,
metode penelitian dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab dua merupakan tinjauan umum tentang mutarādif dalam Al-Qurʹan
yang terdiri dari pengertian mutarādif, sebab-sebab munculnya mutarādif dan pro
kontra ulama terhadap mutarādif dalam al-Qurʹan
Bab tiga merupakan tinjauan tentang tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ yang terdiri
dari riwayat hidup pengarang, metode tafsir, corak tafsir, dan sistematika
penafsiran.
Bab empat merupakan analisis terhadap kata ṭayyib dan ḥasan dalam al-
Qurʹan beserta tafsirannya yang terdiri dari kata ṭayyib dalam al-Qur’an,
penafsiran kata tayyib dalam tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ, kata ḥasan dalam al-Qur’an,
dan penafsiran kata ḥasan dalam tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ.
Bab lima merupakan penutup yang berisi kesimpulan yang dilakukan oleh
penulis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan saran untuk melakukan
riset lanjutan dari penulis.
-
12
BAB II
MUTARĀDIF DALAM AL-QUR'AN
A. Pengertian Mutarādif
Dalam bahasa Arab al-tarāduf ( َّ َّاد َّر َّالت
ف ) berasal dari akar kata ( فَّ-دََّّ-ر ) dan
berasal dari fi‘il ( َّر َّ َّد َّد َّر َّي ََّّ-َّف
ف ) yang bentuk masdar-nya adalah ( َّد َّالر َّ
ف ) ialah segala
sesuatu yang mengikuti sesuatu lainnya di belakangnya. Bentuk jama’-nya ( َّاف َّد َّالر َّي ),
telah dikatakan telah datang rombongan kaum berturut-turut ( ََّّاء َّج َّ َّال َّاف َّد َّر ََّّم َّو َّق
ي )
maksudnya ialah bagian satu mengikuti bagian yang lainnya. Lalu Mutarādif
( َّ َّال َّر َّت َّاد
ف ) merupakan ism al-Fā‘il dari kata ( َّ
َّاد َّر َّت
َّي ََّّ–َّف
َّاد َّر َّت
ََّّ-َّف
َّاد َّر َّت
اف ), yang memiliki
arti ( َّاب َّت َّالت َّ ع ) yang berarti saling mengikuti. Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan
yang terdapat dalam kamus Lisān al-‘Arab. Kata mutarādif diartikan “setiap
sesuatu yang mengikuti sesuatu yang lain”.1
Makna al-Mutarādif ( َّ َّال َّر َّت َّاد
ف ) ialah mengendarai sesuatu di belakang
pengendara atau membonceng. Perkataan bagi malam dan siang berurutan, karena
setiap salah satu dari keduanya mengikuti yang lain.2
Mutarādif menurut istilah bahasa adalah beraneka ragamnya kata berjumlah
dua atau lebih dengan disepakati satu makna. Seperti kata َّ َّال ََّّد َّس َّب َّ,َّالس َّ,َّاَّع
َّي َّل
َّث َّ,َّأ َّام َّس
َّة
yang menunjukkan mempunyai satu makna yaitu singa. Begitu juga dengan kata
َّ َّح َّال ََّّام َّس َّي َّ,َّالس
ََّّف
َّن َّه َّ,َّال ََّّد
َّان َّم َّي َّ,َّال ي memiliki satu makna yaitu pedang. Mutarādif yaitu
lafaẓ bermacam-macam dengan kesesuaian makna. Bangsa Arab adalah bangsa
yang paling kaya bahasa dengan sinonim (mutarādif). Misalnya kata َّ َّي َّالس ف
1 Muhammad Ibn Makram Ibn ‘Ali Ibn Manẓur, Lisān al-‘Arab, Vol. 19 (Kairo: Dār al-
Ma’ārif, t.th), h.1625. 2 Muḥammad Nūr al-Dīn al-Munajjad, al-Tarāduf fī al-Qurʹān (Beirut: Dār al-Fikr, 1997),
h. 29.
-
13
memiliki lebih dari seribu nama. Kata َّ َّال د َّس mempunyai lima ratus nama. Kata
َّل َّ َّع َّس namanya lebih dari delapan puluh nama.3 ال
Bagi al-Jurjānī, mutarāif adalah setiap kata yang memiliki satu makna dan
memiliki beberapa nama, dan mutarādif merupakan antonim dari musytarak.4 Lain
halnya dengan al-Suyūṭī yang menyatakan bahwa mutarādif adalah dua kata yang
memiliki arti serupa atau berdekatan.5 Sementara al-A‘rabi memiliki definisi yang
hampir berbeda. Menurutnya, mutarādif adalah dua kata berbeda yang biasanya
digunakan orang Arab untuk menyebutkan satu nama atau benda yang sama dengan
penggunaan yang berbeda.6 Tampaknya al-A‘rabi membedakan dua kata tersebut
dalam penggunaannya, kendatipun memiliki makna yang sama.
B. Sebab-sebab Munculnya Mutarādif
Ada beberapa alasan yang menjadikan sejumlah kata memiliki persamaan
makna, antara lain:7
1. Banyaknya kata-kata yang berdialek Arab berpindah ke dialek Quraisy. Dari
sekian banyak kosakata yang banyak jumlahnya, tidak sedikit kata yang tidak
menjadi kehendak dialek Quraisy. Sehingga sampai menimbulkan persamaan
dalam nama-nama, sifat-sifat dan bentuk-bentuknya.
2. Sumber kosakata yang diambil oleh kamus-kamus berasal dari bermacam-
macam dialek suku (suku Qais, Ailān, Tamīm, Asad, Huzail, Quraisy, dan
3 Amīl Badi’ Ya’qūb, Mausū‘ah ‘Ulūm al-Lugah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2006), h. 294. 4 Abū Bakr Ibn ‘Abd al-Qāhir Ibn Abd al-Raḥman Ibn Muhammad al-Jurjānī, Kītab al-
Ta‘rifāt (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyyah, 2009), h. 60. 5 Jalal al-Dīn al-Suyūṭī, al-Muzhir fī al-‘Ilm al-Lugah (Kairo: Maktabah Dār al-Turaṭ, t.th),
h. 403. 6 Khalid Abd al-Raḥmān al-‘Akk, Uṣūl al-Tafsīr wa Qawā’iduh (Beirut: Dār al-Nafāʹis
1986), h. 271. 7 Amīl Badi‘ Ya‘qūb, Mausū‘ah Ulūm al-Lugah, h. 299-300.
-
14
sebagian suku Kinānah). Kesempurnaan kamus-kamus atas kosakatanya bukan
berasal dari Quraisy saja. Namun didapati mayoritas kosakatanya berasal dari
bahasa ini.
3. Penulisan kata-kata dalam kamus-kamus banyak yang tidak digunakan lagi
dalam penggunaannya, kemudian tergantikan dengan kosakata yang lain.
4. Tidak adanya pembeda dalam peletakan kosakata di kamus-kamus antara
makna ḥaqīqī dengan makna majāzī, banyak kosakata yang belum diletakkan
pada maknanya yang tepat. Namun kebanyakan digunakan pada makna majāzī.
5. Banyaknya kata yang berpindah ke dalam makna kata benda yang sebenarnya
menyifatkannya. Seperti kata َّ ي ان م ي َّ,َّال د ن ه
َّ,َّال ع اط
ق َّ,َّال ام س ح
-merupakan nama ال
nama َّ ف ي pedang) yang menunjukkan setiap dari nama-nama tersebut) الس
sesungguhnya ialah sifat-sifat khusus kata َّ ف ي َّ kata . الس
ف ي terganti dengan الس
sifat-sifatnya tersebut kemudian menunjukkan bahwa sifat-sifatnya adalah al-
saif itu sendiri.
6. Sesungguhnya banyak dari kosakata yang hakikatnya bukan benar-benar sama.
Akan tetapi setiap darinya memiliki keadaan yang khusus kemudian
menunjukkan perbedaan konteks yang dimiliki setiap kata sehingga terlihatlah
perbedaannya antara satu dengan lainnya. Seperti kata kerja َّ ج د َّ,َّح ظ ح
َّ,َّل ق م , ر
ا ن َّر ,َّ ن
ف Dari sekian kata kerja tersebut menunjukkan persamaan pada kata . ش
kerja َّ ر ظ melihat) yang sesungguhnya memiliki ciri khasnya masing-masing) ن
yakni memiliki konteks yang berbeda. Ramaqa menunjukkan pada penglihatan
yang menggunakan kedua mata. Laḥaẓa menunjukkan pada memandang dari
samping telinga atau melirik. Hadaja bermakna melihat dengan cara terbelalak.
Syafana menunjukkan pada cara melihat dengan takjub. Dan ranā adalah cara
memandang dengan kedamaian atau keterangan
-
15
7. Banyak lembaran-lembaran dalam kitab-kitab bahasa Arab masa lampau yang
ditulis dengan tulisan Arab (khat al-‘Arabi) yang terbebas dari tanda atau sykl
(harakat).
C. Pro Kontra Para Ulama Terhadap Mutarādif dalam Al-Qurʹan
Pandangan para ahli tafsir terkait mutarādif dalam al-Qurʹan dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu pandangan yang menetapkan adanya
mutarādif dalam al-Qurʹan dan pandangan yang menetapkan tidak adanya
mutarādif dalam al-Qurʹan. Secara teologis kedua pandangan ini bisa dicarikan
alasannya. Di antaranya, bila dikaitkan dengan sifat kemahatahuan Zat yang
menciptakannya,. Kalangan pro mutarādif mengapresiasi banyaknya kata dengan
satu makna sebagai bagian dari kemukjizatan al-Qurʹan dari segi keindahan
sastranya. Sedangkan kalangan kontra mutarādif menganggap banyaknya kata
hanya dengan satu makna itu bertentangan dengan kemukjizatan al-Qurʹan dari sisi
keluasan hikmahnya. Allah yang Maha Tahu dan Maha Luas Ilmu-Nya tidak
mungkin menciptakan banyak kata hanya dengan satu makna saja, bervariasinya
simbol tentu dimaksudkan membedakan makna.8
Pandangan yang menetapkan adanya mutarādif dalam al-Qurʹan di
antaranya didasarkan pada:9
1. Mutarādif dipahami sebagai sab‘ah al-aḥruf
Riwayat al-Bukhari dalam Ṣaḥih al-Bukhari kitāb faḍāil al-Qur’an bāb
unzila al-Qur’an ‘ala sab’ah al-aḥruf. Bahwasanya Rasulullah brsabda
8 Rofiq Nurhadi, “Pro Kontra Sinonim dalam al-Qurʹan”, Surya Bahtera: Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol 2, No. 04 (2015), h. 8. 9 Al-Munajjad, al-Tarāduf fī al-Qurʹān (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), h. 109.
-
16
“sesungguhnya al-Qurʹan ini diturunkan atas tujuh macam bacaan (sab‘ah al-aḥruf)
maka bacalah apa yang termudah darinya”.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa sab‘ah al-aḥruf adalah tujuh bahasa
atau dialek dalam bahasa Arab yang memiliki satu makna.10 Al-Zarkasyi
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan mutarādif adalah kata yang terdapat
dalam tujuh dialek Kabilah Arab dan memiliki arti sama. Seperti kata aqbil,
ḥalumma, dan ta‘al. Lebih lanjut, Al-Zarkasyi menguatkan pendapatnya dengan
menyitir ayat al-Qurʹan in kānat illā ṣaiḥatan wāḥidah,11 dalam dialek lain dibaca
in kānat illā zaqīyan wāḥidah. Demikian juga dengan ayat ka al-‘ihn al-manfūsy12
yang dalam dialek lain dibaca ka al-ṣauf al-manfūsy.13
Sesuai dengan perkembangannya, enam dialek dari sab‘ah al-aḥruf dihapus
dan ditetapkan menjadi satu dialek sebagai patokan mushaf Usmani, yaitu dialek
Quraisy. Namun jika yang dimaksud dengan sab’ah al-aḥruf adalah tujuh dialek
dari berbagai suku Arab, maka sab’ah al-aḥruf tidak dapat digolongkan sebagai
mutarādif.
2. Mutarādif dipahami sebagai taukīd
Sebagian ulama tafsir memahami mutarādif sebagai taukīd, karena dalam
taukīd ada pengulangan kata yang memiliki makna sama (al-taukīd bi al-alfāẓ al-
murādif). Ini sebagaimana ayat dalam al-Qurʹan “wa jā‘a rabbuka wa al-malak
ṣaffan ṣaffān”.14 Kata ṣaffan ṣaffān diulang dua kali dengaan menunjuk pada makna
yang sama, yaitu “berbaris-baris”. Taukīd dengan pengertian pengulangan kata
terkadang juga dipisah dengan huruf ‘aṭaf. Seperti dalam surat Ṭāhā ayat 112:
10 Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qurʹān (Kairo: Maktabah Wahbah,
2000), h. 158. 11 Al-Qurʹan, 36 (Yāsīn): 29. 12 Al-Qurʹan, 101 (al-Qāri‘ah): 5 13 Badr al-Dīn Muhammad Ibn ‘Abdillah al-Zarkasyī, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qurʹān, Vol.
1 (Beirut: Dār al-Fikr, 1972), h. 228. 14 Al-Qurʹan, 89 (al-Fajr: 22)
-
17
ۡضٗماَّ َّه َل ٗماَّو
ۡل َّظ
اف
خ َّي
َل ٞنَّف م
ۡؤ َّم و ه َّو ت
ح َّٰ ل َّٱلص َّٰ ن ۡلَّم
ۡعم نَّي م و
Dan barang siapa mengerjakan amal-amal yang saleh dan ia dalam keadaan
beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil
(terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya
Taukīd model seperti ayat di atas dinamakan taukīd ma‘nawī, Kata ẓulmān
dan haḍmān itu memiliki arti yang saling berdekatan.
3. Mutarādif dipahami sebagai mutasyābih
Selain dari sab’ah al-aḥruf dan taukīd, ada pendapat yang mengatakan
bahwa mutarādif dalam al-Qur’an itu berupa tasyābuh, yaitu satu kisah yang
diceritakan dalam banyak bentuk dalam al-Qur’an.15 Ini seperti dalam surat al-
Baqarah ayat 36:
ا ۡنه َّع ن َّٰ ۡيط
اَّٱلش م ه
ل ز أ َّالخ . . .ف
Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu. . .
Dalam bentuk yang lain diungkapkan dengan redaksi yang lain, seperti
dalam surat al-A‘rāf ayat 20:
...الخ ن َّٰ ۡيط
اَّٱلش م ه
َّل س ۡسو و
ف
Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya. . .
Bagi al-Suyūṭī, adanya beberapa kata yang memiliki makna sinonim tidak
menjadi persoalan, jika disebabkan faktor perbedaan bahasa atau dialek.16 Yang
menjadi persoalan adalah ketika makna sinonim tersebut bukan karena faktor
perbedaan bahasa, atau hanya karena faktor perbedaan kecil saja dalam pengujaran.
Makna sinonim muncul dapat disebabkan fenomena tidak adanya indra bahasa dan
ketidakmampuan untuk menentukan dan membatasi makna kalimat itu sendiri, atau
karena faktor lain yang tidak substansial.17
15 Al-Zarkasyī, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qurʹān, Vol. 1, h. 43. 16 Al-Suyūṭī, al-Muzhir fī al-‘Ilm al-Lugah, h. 405. 17 Aḥmad Ibn Fāris, al-Ṣāḥibī fī Fiqh al-Lugah al-‘Arabiyyah wa Masāʹilihā wa Sunan
al-‘Arab fī Kalāmihā (Mesir: Dār al-Ma‘ārif t.th), h. 8.
-
18
Sementara kelompok yang mengingkari adanya mutarādif dalam al-Qurʹan
melihat bahwa susunan kata yang digunakan al-Qurʹan dalam setiap ayatnya
memiliki karakteristik yang berbeda dan tidak bisa diganti dengan kata lain
walaupun maknanya sama, sebab setiap susunan redaksi ayat-ayat al-Qurʹan
terdapat keserasian dan keindahan di dalamnya. Seperti kata raib dalam surat al-
Baqarah ayat 2:
َّ ين ق ت م ۡل ٗدىَّل َّه َۛ يه َّف
ۡيب َۛ َّر ََّل ب
ت َّٰ ك َّۡٱل ك ل
َّٰ ذ
Kitab (al-Qurʹan) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertakwa
Kata raib di dalam ayat tersebut tidak dapat diganti dengan kata syakka
sehingga menjadi lā syakka fīh. Demikian pula dengan kata tatlū dalam surat al-
Ankabūt ayat 48:
َۥّب َّه ط خ َّت َل ٖبَّو
ت َّٰ نَّك ۦَّم ه ۡبل نَّق َّم
وا ۡتل َّت نت
اَّك م َّو
ون ل ۡبط
َّۡٱل اب
ۡرت اََّّل
ٗذ َّإ
ك َۖ ين م ي
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qurʹan) sesuatu Kitab pun
dan kamu tidak (pernah) menulis sebuah Kitab dengan tangan kananmu,
andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang
yang mengingkari(mu).
Kata tatlū di dalam ayat tersebut tidak dapat diganti dengan kata taqraʹ
sehingga ayat tersebut berubah menjadi wamā kunta taqraʹ min qablihi min kitāb.
Di samping itu, ada spesifikasi makna tertentu dari dua kata yang dianggap sama
maknanya. Seperti dalam surat al-Fāṭir ayat 35 :
وٞبَّ غ اَّل يه اَّف
ن س م َّي َل ٞبَّو ص
اَّن يه اَّف
ن س م َّي ۦََّل ه ۡضل
نَّف َّم ة
ام ق َّۡٱل ار اَّد ن
ل ح
ٓيَّأ ذ
ٱل
Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-
Nya, di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu"
kata al-Naṣb dan al-Lugūb memiliki makna yang sama, akan tetapi
memiliki keutamaan masing-masing.
-
19
Al-Aṣfahānī berpendapat bahwa setiap kata yang memiliki makna yang
sama di dalam al-Qurʹan tidak dapat disamakan sepenuhnya. Hal ini dikarenakan
susunan kata dalam al-Qurʹan selain memiliki kekhususan dalam setiap maknanya,
juga memiliki arti yang berbeda dengan yang lainnya, di samping itu kata tersebut
memiliki kesesuaian dalam susunannya. Karyanya yang berjudul Mu‘jam Mufradāt
li Alfāz al-Qurʹān didedikasikan untuk menjelaskan beberapa kata yang dianggap
mirip maknanya dalam al-Qurʹan.18
Beberapa ulama kontemporer juga tidak sedikit yang memiliki pandangan
yang sama dengan al-Aṣfahānī, di antaranya ialah Abd al-Raḥmān al-Akk, Mannā’
Khalīl al-Qaṭṭān, dan ‘Āisyah bint al-Syāṭi’. Al-Akk berpendapat bahwa dalam al-
Qur’an tidak ada kata-kata yang sama kecuali memiliki makna dan maksud yang
berbeda.19 Hal ini senada dengan pendapat al-Qaṭṭān yang mengatakan, “sesuatu
yang dianggap sinonim (mutarādif) dalam al-Qurʹan sejatinya bukanlah sinonim,
seperti kata al-khasyyah, kata ini lebih dalam maknanya dari pada kata al-khauf.20
Bint al-Syāṭi‘ dalam al-I‘jāz al-Bāyānī li Alfāz al-Qurʹān wa Masāil Ibn al-
Azraq secara tegas mengkritik ulama yang sejak lama disibukkan oleh perdebatan
seputar eksistensi sinonim (mutarādif) di dalam al-Qurʹan sehingga melahirkan
banyak pendapat. Kitab al-Iʹjāz al-Bayāni ini diuji untuk memecahkan perbedaan
itu dengan menjelaskan makna filosofis kata yang tidak bisa digantikan dengan kata
lain yang dinilai sebagai sinonimnya.21
Menurut Bint Syāṭi‘, konsep mutarādif dalam al-Qurʹan sebagaimana
konsep ziyādah dalam huruf, mengundang pertanyaan dari perspektif bayānī,
18 Al-Rāgib al-Aṣfahānī, Mu‘jam Mufradāt li Alfāz al-Qurʹān (Beirut: Dār al-Fikr, 2008),
h. 7. 19 Al-‘Akk, Uṣūl al-Tafsīr wa Qawā‘iduh, h. 271. 20 Al-Qaṭṭān, Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qurʹān, h. 194. 21 ‘Āisyah ‘Abd al-Raḥmān bint Syāṭi‘, al-I‘jāz al-Bāyānī li Alfāz al-Qurʹān wa Masāil Ibn
al-Azraq (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1971), h. 209.
-
20
apakah dua kata yang memiliki makna yang sama mengandung pengertian bahwa
salah satu dari keduanya tidak bermakna lagi, atau mengapa Tuhan memfirmankan
dua kata yang memiliki makna yang sama? Bukankah itu menunjukkan bahwa
penggunaan kata yang tidak efisien. Jika demikian, mungkinkah Tuhan
memfirmankannya. Karena itu sejak awal Bint Syāṭi‘ menolak konsep huruf
ziyādah dan konsep makna sinonim (mutarādif), karena hanya akan mengurangi
i‘jāz bayānī dalam al-Qurʹan.22
22 Bint Syāṭi‘, al-I‘jāz al-Bāyānī li Alfāz al-Qurʹān wa Masāil Ibn al-Azraq, h. 412.
-
21
BAB III
SEKILAS TENTANG TAFSIR AL-BAḤR AL-MUḤĪṬ
A. Riwayat Hidup Pengarang
Nama lengkap Abū Ḥayyān pengarang kitab Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ adalah
Abū ‘Abdillah Aṡīruddin Muḥammad ibn Yūsuf ibn ‘Alī ibn Ḥayyān al-Gharnaṭī
al-Jayyānī al-Nifzī al-Andalūsī.1 Beliau lahir di kota Granada pada akhir bulan
Syawwāl 654 H (1256 M) dan wafat kota Kairo pada tahun 745 H (1344 M).2 Beliau
adalah seorang ulama besar dalam beberapa disiplin ilmu seperti Hadis, Tafsir,
Bahasa Arab, Qirāʹat, Adab, Sejarah, dan Naḥw Ṣarf. Abū Ḥayyān diberi gelar ustāż
al-mufassirīn (guru besar para mufassir), dan juga syaikh al-nuḥāt (guru para ahli
naḥw). Sejak kecil beliau telah belajar membaca al-Qurʹan dan menghafalnya
dibawah bimbingan Syaikh al-Khaṭīb ‘Abd al-Ḥaqq ibn ‘Alī. Setelah itu ia berguru
kepada al-Khaṭīb Abū Ja‘far ibn al-Ṭiba. Beliaupun belajar aneka qirāʹat pada al-
Ḥāfiz Abū al-Ḥusain ibn Abd al-‘Azīz ibn Abī al-Ahwasy (w. 705 H) di Maliqah.3
Abu Ḥayyān merupakan ulama yang berwawasan luas dan suka
mengembara demi menuntut ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu keislaman.
Beliau berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain untuk belajar pada ulama
terkenal. Ia belajar hadis di Andalusia dan Afrika. Ia belajar ilmu Qirāʹat kepada
‘Abd al-Nāṣir ibn ‘Alī al-Maryūṭī di Iskandariah. Ia belajar tentang kitab-kitab
Adab (sastra) kepada Abū Ṭāhir Ismā‘īl ibn Abdullah al-Mulayji dan Syaikh Bahāʹ
al-Dīn ibn al-Nahhās di Mesir. Guru-guru tempatnya berguru dari satu kota ke kota
1 Muḥammad Ḥusain al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Juz 1 (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1995), h.325. 2 Ḥasan Yūnus Ḥasn Ubaid, Dirāsah wa Mabāhits fī Tārikh al-Tafsīr wa Manḥaj al-
Mufassirīn (Kairo: Markaz al-Kitāb wa al-Nasyr, t.th), h. 128. 3 Muhammad Rusydi Khalid, “al-Baḥr al-Muḥīṭ: Tafsir bercorak Nahwu Karya Abū
Ḥayyān al-Andalūsī”, Jurnal Adabiyah, Vol 15, No. 2 (2015), h. 1.
-
22
lain berjumlah sekitar 450 orang, sedangkan yang memberinya Ijazah sekitar
seratus orang.4
Di antara guru-guru Abū ḥayyān adalah:5
1. Aḥmad ibn Ibrāhīm ibn Zubair ibn Ḥasan ibn al-Ḥusain al-Tsaqafī al-
Asyimī. Beliau seorang yang ahli dalam bidang hadis, naḥw, uṣūl, dan
adab. Abū Ḥayyān banyak mengutip pendapat Aḥmad ibn Ibrāhīm
dalam tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ
2. Al-Ḥusain ibn ‘Abd al-‘Azīz ibn Muḥammad ibn ‘Abd al-‘Azīz ibn
Muḥammad al-Imām Abū ‘Alī ibn al-Aḥwās al-Qarsyī. Beliau seorang
yang fāqih, ahli hadis, ahli naḥw dan banyak menyusun buku yang
berkaitan dengan qirāʹat
3. ‘Alī ibn Muḥammad ibn ‘Abd al-Raḥīm al-Khasynī
4. Muḥammad ibn ‘Alī ibn Yūsuf al-‘Allāmah Raḍī al-Dīn Abū Abdillah
al-Anṣarī al-Syātibī
5. Muḥammad ibn Ibrāhīm ibn Muḥammad ibn Abī Naṣr
6. Syaikh al-Khaṭīb ‘Abd al-Ḥaqq ibn ‘Alī
7. Al-Khaṭīb Abū Ja‘far ibn al-Ṭiba
Adapun di antara murid-murid Abū Ḥayyān adalah :6
1. ‘Alī ibn ‘Abd al-Kāfī ibn ‘Alī ibn Tamām ibn Yūsuf ibn Mūsa ibn Hāmis
ibn Yaḥya ibn ‘Umar ibn ‘Usmān ibn ‘Alī ibn Siwār ibn Sālim al-Subkī
4 Rusydi Khalid, “al-Baḥr al-Muḥīṭ: Tafsir bercorak Nahwu Karya Abū Ḥayyān al-
Andalūsī”, h. 2. 5 Muhammad Hasdin Has, “Karakteristik Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ: Telaah Metodologi
Penafsiran Abū Ḥayyān al-Andalūsī”, Jurnal Shautut Tarbiyah, Vol 27, No. 18 (2012), h. 45. 6 Hasdin Has, “Karakteristik Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ: Telaah Metodologi Penafsiran Abū
Ḥayyān al-Andalūsī”, h. 45.
-
23
2. Muḥammad ibn ‘Abd al-Birr ibn Yaḥya ibn ‘Alī ibn Tamām Bahāʹ al-
Dīn
3. Aḥmad ibn Yūsuf ibn ‘Abd al-Dāim ibn Muḥammad al-Halabī Syihāb
al-Dīn
4. Abdullah ibn ‘Abd al-Raḥmān ibn Abdullah ibn Muḥammad ibn ‘Āqil
al-Qarsyī.
B. Metode Tafsir
Metode yang digunakan oleh Abū Ḥayyān dalam tafsirnya adalah metode
tahlīlī, yaitu metode penafsiran al-Qurʹan ayat demi ayat sesuai dengan susunannya
dalam mushaf. Mulai surat al-Fātihah sampai al-Nās semuanya ditafsirkan secara
berturut-turut secara rinci dan lengkap. Metode ini telah digunakan oleh para
mufassir sejak masa kodifikasi tafsir, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh
al-Farra‘ (w. 207 H) sampai tahun tahun 1960. 7
Dalam mengumpulkan data, Abū Ḥayyān banyak menggunakan metode
riwāyah yang dalam hal ini adalah al-Qurʹan dan hadis-hadis nabi sehingga tafsir
ini masuk dalam kaategori tafsir bi al-ma’sūr. Abū Ḥayyān menyebutkan hadis
yang betul-betul dari nabi maupun dari sahabat dan tābi‘īn yang ṡiqqah. Akan tetapi
beliau tidak menyebutkan dari mana sumber hadis tersebut, malah pada sebagian
tempat beliau tidak menyebutkan rāwi hadis sehingga besar kemungkinan ada
beberapa hadis ḍaīf yang dipakai dalam menafsirkan ayat. Di samping tafsir ini
dikategorikan sebagai tafsir bi al-ma’sūr, juga dikategorikan sebagai tafsir bi al-
ra’yi. Hal ini bisa dilihat dari metode Abū Ḥayyān dalam menjelaskan i‘rāb ayat
7 Muhammad Quraish shihab, membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), h. 112.
-
24
demi ayat secara rinci sehingga secara sepintas ketika dibaca tafsir ini seperti buku
i‘rāb.8
Dalam menganalisis sebuah ayat, Abū Ḥayyān memilih satu ayat menjadi
beberapa bagian. Misalnya ketika menafsirkan māliki yaumi al-dīn, dipilah
menjadi tiga bagian mālik, yaum, dan al-dīn. Kemudian setiap kata tersebut
ditafsirkan tersendiri. Setelah penafsiran kata perkata dalam sebuah ayat sudah
lengkap Abū Ḥayyān menjelaskan makna ayat dengan terlebih dahulu
menyebutkan asbab al-nuzūl, i‘rāb, dan qirāʹat-nya, akan tetapi terkadang juga
beliau mengelompokkan beberapa ayat dalam satu kelompok kemudian dijelaskan
ayat-ayat tersebut dengan tetap mengutamakan aspek kebahasaan. Misalnya
mengelompokkan dari ayat 104 sampai 113 dari surat al-Baqarah. Setelah
pengelompokkan ini barulah beliau menjelaskan makna setiap kalimat dari setiap
ayat secara rinci. Dan surat-surat yang pendek hanya dikelompokkan dalam satu
kelompok setelah itu beliau tafsirkan.9
Ada beberapa teknik interpretasi yang digunakan oleh Abū Ḥayyan dalam
menafsirkan al-Qur’an:
1. Interpretasi Tekstual
Yaitu interpretasi dengan menggunakan teks al-Qurʹan dan hadis.10
Misalnya surat al-Baqarah ayat 36 َاَ وَ
ََذ
َق َاَادَ نَ ل
َخ ََهَ اَهذ َوَ ل
َال َيَ رَ ق
.َ.َ.ة , kata َ
َال َيَ رَ ق
ة dalam
ayat ini banyak ditafsirkan oleh para ulama dengan penafsiran yang berbeda-beda.
Akan tetapi penafsiran yang paling rājiḥ (unggul) yaitu dengan melihat ayat lain
yang ada hubungannya dengan ayat ini yaitu dalam surat al-Māidah ayat 21 , ََ َدَ ا
َخ َاوَ ل
8 Hasdin Has, “Karakteristik Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ: Telaah Metodologi Penafsiran Abū
Ḥayyān al-Andalūsī”, h. 48. 9 Hasdin Has, “Karakteristik Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ: Telaah Metodologi Penafsiran Abū
Ḥayyān al-Andalūsī”, h. 49. 10 Abdul Muin Salim, Metodologi Tfasir: Sebuah Rekonstruksi Epistimologi Memantapkan
Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu (Ujung Pandang: 1999).
-
25
َ َا
َرَ ل ََض
َال َق َد َس
.َ.َ.َة . Jadi kata َ
َا
َيَ رَ لق
ة dalam surat al-Baqarah ditafsirkan dengan Bait
al-Maqdis sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Māidah ayat 21.
2. Interpretasi Linguistik
Yaitu interpretasi dengan menggunakan pengertian dan kaedah-kaedah
kebahasaan.11 Teknik ini mencakup semantik etimologis yang membahas arti dari
struktur dasar bahasa Arab. Semantik morfologis ialah makna yang diperoleh
berdasarkan bentuk taṣrīf lafẓ, misalnya kata َ َضَ ف
َتَ ل
م َك dalam surat al-Baqarah ayat
47 dijelaskan dengan mengemukakan struktur dasar kata َ َال ل َضَ ف yang fi’il-nya َ ل ض
ف
. Begitupula kata َ َال َضَ ف
َل ة yang berasal dari fi‘il َ
َف َض
ل . Kemudian kedua bentuk ini
dijelaskan sesuai dengan makna yang diperoleh berdasarkan bentuk taṣrīf lafẓ.
Semantik leksikal yaitu makna yang diperoleh dari kamus. Misalnya ketika Abū
Ḥayyān menafsirkan ayat 76 dari surat al-Raḥmān:
ك َت َم ا و
ا َس خر ٍح
َقق ل َو َضرو
َخ ر خ
َف َر ر
ى َل َني
Mereka bersandar pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani
yang indah
Ketika menafsirkan kata ََر َرَ ف
beliau berpedoman pada makna yang
diperoleh dari kamus. Bahwa yang dimaksud dengan kalimat ini adalah tempat
yang bagus dan lapang, atau bisa berarti taman surga yang penuh dengan
kenikmatan dan kebaikan.12
3. Interpretasi Sosio Historis
Ialah penafsiran dengan menggunakan riwayat mengenai kehidupan sosial
politik dan kultural bangsa Arab pada saat turunnya al-Qurʹan, dengan kata lain ayat
11 Abdul Muin Salim, Metodologi Tfasir: Sebuah Rekonstruksi Epistimologi Memantapkan
Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu (Ujung Pandang: 1999). 12 Abū Ḥayyān al-Andalusī, al-Baḥr al-Muḥīṭ, Juz VIII (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1993), h. 197.
-
26
ditafsirkan berdasarkan asbāb al-nuzūl.13 Interpretasi ini ditempuh dengan
mengemukakan asbāb al-nuzūl suatu ayat yang ingin ditafsirkan apabila ayat
tersebut turun berdasarkan satu peristiwa. Misalnya Abū Ḥayyān ketika
menafsirkan surat al-Muzammil maka terlebih dahulu beliau mengemukakan asbāb
al-nuzūl ayat ini. Dijelaskan bahwa ayat ini turun ketika Rasulullah sedang
menyendiri di Gua Hira tiba-tiba beliau didatangi oleh malaikat jibril
menyampaikan wahyu pertama. Ketika Rasulullah pulang menemui istrinya
Khadijah beliau minta diselimuti seraya berkata زملونيَزملوني , maka turunlah ayat
ini ياايهاَالزمل.
4. Interpretasi Logis
Ialah interpretasi dengan menggunakan prinsip-prinsip logika dalam
menafsirkan sebuah ayat. Misalnya firman Allah SWT:
ءَٗٓا ن َب
ء ٓا م ٱلا َو ا
ٗش ر ر َف
َرض ََٱۡل م
ك َل ل ع ذ ٍَج
ََٱل ن َم ۦ ه َب
ر ج َخ أ َف ٗء
ٓا َم ء
ٓا م َٱلا ن َم
ل نز أ و
َو م
َعل َمَت نت
أ اٗداَو ند
َأ َّلِل وا ل َجع
َت
َل َفَۡۖم ك اَلَٗزق َر ت
ر ر م ٱلث
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai
atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan
dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu
janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu
mengetahui
Dalam ayat ini Allah memulai dengan menyebutkan langit, kemudian hujan
dan terakhir tumbuhan. Abū Ḥayyān kemudian menjelaskan bahwa dalam ayat ini
ada sebab akibat. Dari sebab adanya langit yang mengeluarkan air hujan sehingga
tumbuhlah tumbuh-tumbuhan yang mendatangkan rezeki bagi manusia.14
13 Abū Ḥayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, Juz VIII, h. 197. 14 Hasdin Has, “Karakteristik Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ: Telaah Metodologi Penafsiran Abū
Ḥayyān al-Andalūsī”, h. 50.
-
27
5. Interpretasi Sistemik
dengan kata lain interpretasi ini bisa dipahami dengan munāsabah
(keterkaitan) ayat yang satu dengan ayat yang lainnya atau munāsabah surat dengan
surat yang lain. Contohnya ketika Abū Ḥayyān mengaitkan ayat 20 dan 21 dari surat
al-Ḥadīd. Dalam ayat 20 disebutkan bahwa di akhirat nanti ada magfirah yang
dijanjikan oleh Allah, maka di ayat 21 Allah memerintahkan kita berlomba-lomba
untuk meraih magfirah itu melalui iman, amal shaleh dan ketaatan. Begitu juga
keterkaitan antara satu surat dengan surat yang lain. Misalnya ketika Abū Ḥayyān
menafsirkan surat al-Taḥrīm, beliau terlebih dahulu mengemukakan adanya
keterkaitan surat ini dengan surat sebelumnya yaitu surat al-Ṭalāq. Dalam hal ini
beliau mengemukakan bahwa pada surat sebelumnya (al-Ṭalāq) telah disebutkan
beberapa hukum yang berkaitan dengan istri-istri orang mukmin, maka dalam surat
al-Taḥrīm Allah SWT menyebutkan sebagian hukum-hukum yang berlaku pada
istri-istri Rasul.15
C. Corak Tafsir
Pendekatan yang paling dominan digunakan dalam tafsir ini adalah
pendekatan lugawī (bahasa), kemudian pendekatan fiqh. Dalam menggunakan
pendekatan bahasa beliau banyak menukil penafsiran al-Zamakhsyarī dan Ibn
Atiyyah. Yang mana kedua mufassir tersebut cenderung menafsirkan al-Qur’an
dengan pendekatan kebahasaan. Al-Zamakhsyarī misalnya, ia banyak menyikap
keindahan bahasa al-Qur’an dan ketinggian unsur balagah-nya melalui pendekatan
ilmu al-Ma’ānī, ilmu al-Bayān, ilmu Naḥw, dan Ṣarf. Al-Zamakhsyarī berpendapat
15 Hasdin Has, “Karakteristik Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ: Telaah Metodologi Penafsiran Abū
Ḥayyān al-Andalūsī”, h. 450.
-
28
bahwa untuk menyikap kandungan al-Qurʹan maka yang paling penting untuk
dikuasai adalah ilmu bahasa Arab dengan berbagai macam cabang-cabangnya.16
Sementara dalam menggunakan pendekatan fiqh, Abū Ḥayyān ketika
menafsirkan ayat-ayat hukum beliau menyebutkan pendapat sahabat dan tabi‘īn.
Begitupula beliau menukil pendapat dari imam mażhab yang empat, Abū Hanīfah,
Mālik, Syāfi‘ī dan Aḥmad. Akan tetapi karena pada saat itu di Andalusia banyak
menganut mazhab Mālikī sehingga dalam mengistimbatkan hukum ia banyak
berpedoman pada mażhab Mālikī. Namun setelah ia meninggalkan Andalusia ia
berpindah ke mażhab Al-Syāf‘ī.17
D. Sistematika penafsiran
Dalam menafsirkan al-Qurʹan, terkadang Abū Ḥayyān menyebutkan satu
ayat secara langsung kemudian ditafsirkan, dan terkadang juga ia mengelompokkan
dua atau beberapa ayat dalam satu kelompok, kemudian ia menguraikan semua ayat
yang telah dikelompokkan itu dengan penjelasan yang rinci. Mulai dari makna
mufradat, i’rāb, asbāb al-nuzūl apabila ayat tersebut dilandasi oleh sebab
diturunkannya dan selanjutnya dijelaskan makna dan kandungan dari ayat
tersebut.18
Ada satu hal yang menarik dari tafsir ini adalah banyaknya syair-syair Arab
yang digunakan oleh Abū Ḥayyān dalam menjelaskan ayat sekalipun tidak
disebutkan sumber syair tersebut. Kemudian beliau menjelaskan yang menjadi
syawāhid dalam syair tersebut. Contoh ketika Abū Ḥayyān menafsirkan surat al-
16 Muṣṭafa al-Ḍawī al-Juwainī, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur’ān wa Bayān
I’jāzih (Kairo: Dār al-Ma’ārif, t.th), h. 77. 17 Abū Ḥayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, Juz 1, h. 57. 18 Hasdin Has, “Karakteristik Tafsir al-Baḥr al-Muḥīṭ: Telaah Metodologi Penafsiran Abū
Ḥayyān al-Andalūsī”, h. 51.
-
29
Baqarah ayat 173. Kata al-mayyitah dalam ayat tersebut dijelaskan dengan
mengemukakan syair Arab terlebih dahulu:
َ َيَ ل َم ََس َم ََن ََات
َف َاس
َرَ ت َبَ َاح
َ م َيح اَ َتخ
َم َنَ َ اَالَيح َ م ََت
َيح ََت اء َيَ س َال
Bukan orang mati orang yang istirahat karena kematiannya, akan tetapi
orang mati adalah orang yang telah mati perasaan malunya
Setelah itu barulah beliau menjelaskan makna dan arti sesungguhnya kata
al-mayyitah dalam ayat itu.
-
30
BAB IV
ANALISIS KATA ṬAYYIB DAN ḤASAN DALAM AL-QURʹAN DAN
TAFSIRANNYA DALAM TAFSIR AL-BAḤR AL-MUḤĪṬ
A. Pengertian Kata Ṭayyib
Kata ṭayyib dalam bahasa Arab ( َ َ طَي ب ) adalah maṣdar dari akar kata َ اب
ط
yang terdiri dari tiga huruf takni ta, alif, dan ba yang bermakna halal, suci, lezat,
subur, memperkenankan, dan membiarkan. Kemudian pola taṣrīf-nya ialah َ َط ,َاب
َيَ ط َيَ َب
َ ,َطَا,َوَ بَ ي
َا,َوَ ابَ ط
َ طَبَ ي
ا,َوَ ة اب ي
ط
ت yang secara kebahasaan mengandung arti َ,َ
ال ح ,َو دَّ
ل
اَ ذ ك َب
س ف َالنَّ اب ,َط اد ج ,َو ن س ح lezat, halal, baik, indah, dan jiwa yang baik).1) و
Kamaluddin Nurdin dalam kamus Syawarifiyyah menjelaskan kata ṭayyib:
َ,َ ة ك ر ٍةَ,َب م ع َن ل
ض َ,َف
ف و ر ع َ,َم ان س ح َ,َا ر ي
َ:َخ ب
ي َط
ة ار
ض 2َ غ
Kebaikan, kebajikan, kemuliaan nikmat, berkah, kehalusan.
َ ام ع ََّالط و
ل َ,َح ئ ي ن
َ,َه ئ ي ر َ,َم ع اج
َ,َن ن س َ,َح
ذ ي ذ
َ,َل غ ائ
َ:َس ب ي َ 3ط
Lezat, sedap, enak, asyik, menyenangkan, manis rasanya.
Dalam Mu‘jam Maqāyis al-Lugah oleh Ibn Zakaria, menjelaskan bahwa :
َ ث ي ب خ
َال ف
ال يَخ
ل َع لُّ د َي ح ي ح
َص د اح َو ل ص
َا اء ب
ال َو اء ي
ال َو اء
ََّ:َالط ب
ي 4َط
Ṭayyib asal akar kata ta, ya, dan ba asalnya hanya satu yang ṣaḥīḥ, yang
menunjukkan atas lawan dari pada yang kotor.
Pengertian ṭayyib dalam kitab Muʹjam al-Mufradāt li Alfāẓ al-Qurʹān adalah
seperti berikut:
1 Fuad Afrain al-Bustanī, Munjid al-Ṭullāb (Beirut: Dār al-Masyriq, 1986), h. 450. 2 Kamaluddin Nurdin Marjuni, Kamus Syawarifiyyah : Kamus Modern Sinonim Arab-
Indonesia (Jakarta: Ciputat Press Group, 2007), h. 401. 3 Kamaluddin, Kamus Syawarifiyyah : Kamus Modern Sinonim Arab- Indonesia, h. 401. 4 Abū al-Ḥusain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakaria, Mu‘jam Maqāyis al-Lugah (Beirut: Dār al-
Turāṡ al-‘Arabī, 2001), h. 605.
-
31
ََّ
َالش اب َط ال
ق َ:َي ب
ي َيَ َءَ يَ ط ط
َيَ ََب َ طَبَ ي
َهَ اَف ََو
َ طَي ََب
ََال َ:َق
َف
هَ ك َان
َاَم َوَ َاَط ََاب
َل
َاَ ك,ََف
ََن ط َبَ َن
َ َل ََوَ َم َك .َ
ََل َصَ ا
ََّ الطَي ََب
َم َاَت َلَ تَ س
ََهَ دُّ َوَ ح َال َم َوَ َاس
َاَت َلَ تَ س
َف َالنَََّهَ دُّ َوَ َس َََّامَ عَ الط
ََّ الطَي َفَ َب
ََّرَ يَالش َع
َم َ َاَك َاوَ نَ تَ م ََان
ََمَ ل
َيَ ح ََن َوَ ج َاَيَ م ََث
َبَ وَ َز َق ََرَ د
َوَ ج َاَيَ م 5َ.َز
Ṭayyib berasal dari kata tāba – yatību , tāba al-syaiu , sesuatu itu baik, Allah
SWT. Berfirman : Maka nikahilah perempuan-perempuan yang baik bagi
kamu, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu, dan asal kata
ṭayyib makna pokoknya sesuatu yang enak dirasakan oleh pancaindra, dan
dirasakan enak oleh jiwa. Makanan yang ṭayyib menurut syar‘i adalah yang
diperoleh dari jalan yang diperbolehkan dan kemampuan yang
diperbolehkan.
Gulan Reza Sultani dalam mengartikan pengertian baik dalam bukunya hati
yang bersih kunci ketenangan jiwa, menjelaskan bahwa kendati manusia melalui
inspirasi ilmiah atau insting alami dapat menemukan akar kebaikan dan keburukan
melalui petunjuk Allah SWT dapat membedakan antara hal yang disukai dan tidak
disukai. Itu tidak berarti bahwa manusia dapat memahami sendiri semua problem
yang menimpa mereka di bidang akhlak tanpa seorang guru. Sehingga mereka dapat
dengan mudah membedakan segala yang baik dan segala yang tidak baik.
Pengertian baik ialah dari segi zatnya dan tidak melanggar syarī‘at Islam.6
Pengertian di atas memberikan gambaran bahwa ṭayyib adalah segala
sesuatu yang baik dan mengandung makna lebih luas, apakah itu bersifat lahir
(nampak) atau secara batin (abstrak).
B. Pengertian Kata Ḥasan
Kata ḥasan dalam bahasa Arab ( َح َ َس ن ) berasal dari kata kerja (َ ن س yang (ح
terdiri dari tiga huruf ḥa , Sīn , nūn yang bermakna baik, bagus, indah, dan cantik.
5 Al-Rāgib al-Aṣfahānī, Mu‘jam Mufradāt li Alfāz al-Qurʹān (Beirut: Dār al-Fikr, 2008), h.
321. 6 Gulan Reza Gulami, Hati yang Bersih: Kunci Ketenangan Jiwa (Jakarta: Pustaka Zahra,
2004), h. 1.
-
32
Kemudian pola taṣrīf-nya adalah (ا ن س ح اَ,َو ن س َ,َح ن س ح َ,َي ن س yang secara bahasa (ح
mengandung arti ( لَ ي م َج ,َ د
ي َج ,َ ب ي yang memiliki arti yaitu baik, bagus, dan (ط
indah.7
Secara istilah kata ḥasan adalah sebuah ibarat dari sesuatu yang disenangi.
Dan ia terbagi dalam tiga macam: kebaikan dalam pandangan akal, kebaikan dalam
pandangan hawa, dan kebaikan dalam pandangan pancaindra. Kebaikan itu disebut
sebagai setiap kenikmatan yang didapati manusia dalam dirinya, raganya, dan yang
lainnya.8
C. Kata Ṭayyib dalam Al-Qurʹan dan Penafsirannya dalam Tafsir Al-Baḥr Al-
Muḥīṭ
Kata ṭayyib (ب di dalam al-Qurʹan dengan bentuk ism mufrad mużakkar (طي
(bentuk tunggal untuk laki-laki) disebutkan sebanyak 13 kali.9 Kata ṭayyib memiliki
beragam makna sesuai dengan kata apa yang digandengnya.
1. Kata ṭayyib bergandengan dengan kata ḥalāl
a. Al-Baqarah: 168
َ ك َل ۥ ه نَّ َإ
ِۚن َٰ ط يأ
ََّٱلش ت
و َٰ ط
َخ
وا ع ب
َّت َت
ل اَو با
ي َط
االَٰ ل َح ض
رأأ يَٱۡل َف ا
مَّ َم وا
ل َك اس اَٱلنَّ ه يُّ
أَمأَي ََٰٰٓ
و د َع
َ ين ب مُّ
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu
َوَ ََّيَ الط
ََب َل َغ ََة
ََّاه َالط َر
َ،َوَ َلح َا
َصَ وَ يَ َل َال
َبَ َف
ََهَ نََّأ
َ طَي ََب
َم َ،َك
َاَأ ََنَّ
َصَ وَ يَ َامَ رَ ح َال
َبَ َف
ََهَ نََّأ
بَ خ
َيَ َث
َ،َوَ َا
َفَ َل َصَ ۡل
ََّ يَالطَي ََب
َاَيَ م َلَ تَ س َُّ،َوَ َذ َصَ و
َبَ َف ََه
ََّاه َالط َر
َوَ َلح َا
َعَ َل َال
َل ىَج
َهََّ ََة ََّالت
بَ ش
َيَ َ،َ َه َۡل َنَّ
7 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1984), h. 264. 8 Al-Aṣfahānī, Mu‘jam Mufradāt li Alfāz al-Qurʹān, h. 163. 9 Ahmad Mukhtār ‘Umar, al-Mu‘jam al-Mausū‘ī lī alfāẓi al-Qurʹān al-Kārīm wa Qirāʹatihi
(al-Riyāḍ: Mu‘asisah Sutūr al-Ma‘rifah, 1423), h. 661.
-
33
َج َالنََّ ََس َت َرَ ك
َف َالنَََّهَ ه َ،َوَ َس ََامَ رَ ح َال
َيَ َل َلَ تَ س
ََُّذ
َ،َۡل
ََنَََّّنَ م ََعَ رَ الش مَ َع
َ.َاَ َهَ نَ َتَ ن َىَ.َوَ ه
َالث َبَ ا
يَفَ َت
ََُّالل َغ ََة
َ:َأ ََنَّ
ََّ الطَي َه ََب ََو
ََّاه َالط َمَ َر
ََن َالدَّ َن س
10
Pada ayat ini Abū Ḥayyān menafsirkan kata ṭayyib dengan al-ṭāhir ( sesuatu
yang suci atau bersih). Kata ṭayyib dalam ayat ini digandengkan dengan kata ḥalāl.
Menurut Abū ḥayyan kata ṭayyib di sini menyifati kata ḥalāl, sebagaimana kata al-
khabīṡ (sesuatu yang buruk) menyifati kata al-ḥarām. sehingga makna dari halālān
ṭayyibān ialah sesuatu yang halal dan juga suci atau bersih.
b. Q.S. al-Māidah: 88
َ َّ
َٱَّلل م ك قز اَر مَّ َم
وا
ل ك َو
ون ن م أؤ ۦَم ه مَب
نت َأ يَٰٓ ذ
ََّٱل
ََّٱَّلل
وا ق ٱتَّ َو
ِۚا با ي َط
االَٰ ل ح
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
berikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya.
Abū Ḥayyān tidak menafsirkan kata ṭayyib pada ayat ini dengan detail,
dikarenakan kata ṭayyib yang bergandengan dengan kata ḥalāl sudah beliau
jelaskan secara detail ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 168.
c. Q.S. al-Anfāl: 69
ََٱَّللَّ ِۚ
وا ق ٱتَّ َو
ِۚا با ي َط
االَٰ ل َح مأ ت مأ ن
اَغ مَّ َم
وا
ل ك يم َف ح َرَّ
ور ف َغ
ََّٱَّلل نَّ َإ
Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu,
sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Abū Ḥayyān tidak menafsirkan kata ṭayyib pada ayat ini dengan detail,
dikarenakan kata ṭayyib yang bergandengan dengan kata ḥalāl sudah beliau
jelaskan secara detail ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 168.
10 Abū Ḥayyān al-Andalusī, al-Baḥr al-Muḥīṭ, Juz I (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1993), h. 653.
-
34
d. Q.S. al-Naḥl: 114
َي َط
االَٰ ل َح
ََّٱَّلل م
ك قز اَر مَّ َم
وا
ل ك َف
ون د ب عأ َت اه يَّ َإ
مأ نت نَك َإ
ََّٱَّلل ت م عأ َن
وا ر
ك
أٱش اَو با
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah
kepadamu, dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja
menyembah.
Abū Ḥayyān tidak menafsirkan kata ṭayyib pada ayat ini dengan detail,
dikarenakan kata ṭayyib yang bergandengan dengan kata ḥalāl sudah beliau
jelaskan dengan detail ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 168.
2. Kata ṭayyib bergandengan dengan kata ṣa‘īd
a. Q.S. al-Nisā’: 43
َج َ
ل َو ون
ول ق
اَت َم
وا م
ل عأ
َت ىَٰ تَّ َح ىَٰ ر
َٰ ك َس مأ نت
أ َو
ة وَٰ
ل َٱلصَّ
وا ب ر قأ
َت
َل
وا ن ام َء ين ذ
َّاَٱل ه يُّ
أَنَ ي ََٰٰٓ
َّل اَإ
ب
َ د ح َأ ء
َٰٓا َج وأ
ٍرَأ
ف َس ىَٰ
ل َع وأ
َأ ىََٰٰٓ ض رأ مَمَّ نت
نَك إ
َو ِۚ وا
ل س
تأغ َت ىَٰ تَّ يٍلَح ب
ر يَس اب ََع
غأَٱل ن
مَم نك
َم ِ َِٰٓا
َمأ يك د
يأ أ َو مأ
ك وه
ج و َب وا ح س ٱمأ
اَف با
ي اَط يدا ع
َص وا م مَّ ي ت
َف ءا
َٰٓا َم
وا د ج
َت مأ
ل َف ء
َٰٓا س
َٱلن م ت سأ
َٰ ََل وأ
َأ
اَ ور ف اَغ وًّ ف َع ان
َك
ََّٱَّلل نَّ إ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan
pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali
sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang
dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), usaplah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun
َوَ ََّ الطَي ََب
ََّاه َالط َر
َوَ َهذ
َت َف َا س
َيَ ََر َِ ط َا
َف َم َ،َوَ َة
َه َذ ََب
َبَ أ
نَ يَح َيَ
َف ٍَكَالَ م َوَ َة
َاَ وَ تَ خ
َيَ ََار َّيَ.َرَ بَ الط
مَ وَ ََهَ نَ
ََّ}َال ذ
َيَ ََن َوَ تَ ت
َََّم َاه َف
َاَل
ََِ ال
َك ََة
َ طبَ ي
َيَ ََن َ{َأ ََي
رَ اه َط
َيَ َمَ َن ََن
َدَ أ
َن ََاس
َال َالَ خ
َف َات
َ.َوَ ََال َق
:ََمَ وَ ق
َََّ الطَي َنَ ه ََب
َال َح َا
ََل َال
َق ،َ
ََهَ ال َيَ ف َس ََان
َّرَ وَ الث
َيَوَ َوَ َهَ رَ يَ غ .َ
ََال َق
ََّافَ الش ع
َوَ َاعَ م َج َي ََة
ََّالط : ََي َب
َ َبَ نَ اَل
َ،َوَ َت َق
َابَ َهَ ال َلَ َاٍسَبََّعَ َن
َلَ وَ ق ََه
َ:َ}َوَ َالىَ عَ ت
َبَ ال
َل ََد
ََّ الطَي َيَ َب
ََج َرَ خ
َبَ ن
ََهَ ات
عَ الصََّ{َف
َيَ َعَ َد َل
اَىَهذ
ََُّرَ الت اب
11
Sama seperti penafsiran sebelumnya, pada ada ayat ini Abū Ḥayyān
menafsirkan kata ṭayyib dengan kata al-ṭāhir (sesuatu yang suci). Pada ayat ini kata
11 Abū Ḥayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, Juz III, h. 270.
-
35
ṭayyib digandengkan dengan kata ṣa’īd (debu). Kata ṭayyib di sini mensifati dari
kata ṣa’īd, jadi ketika dikatakan sa’īdān ṭayyibān maka maksudnya adalah debu
yang suci. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa kata ṭayyib di sini sama
maknanya seperti kata ḥalāl.
b. Q.S. al-Māidah: 6
َ ق اف ر أ َٱَل ى
ل َإ
مأ ك ي د
يأ أ َو مأ
ك وه ج َو
وا
ل س
أٱغ
َف ة
وَٰ ل َٱلصَّ ى
ل َإ
مأ ت مأ َق ا
ذ َإ
ا وَٰٓ ن ام َء ين ذ
ََّٱل ا ه يُّ
أَي ََٰٰٓ
َ ىََٰٰٓ ض رأ مَمَّ نت نَك إ
َو ِۚ وا ر هَّ
َّٱط
اَف با ن َج مأ نت
نَك إ
َو ِۚ ن يأ ب عأ
كأىَٱل
ل َإ
مأ ك ل ج رأ
أ َو مأ
ك وس
ء ر َب وا ح س ٱمأ و
َ وأ ََأ
وا م مَّ ي ت
َف ءا
َٰٓا َم
وا د ج
َت مأ
ل َف ء
َٰٓا س
َٱلن م ت