ringkasan eksekutif - ferryfebub.lecture.ub.ac.idperusahaan-perusahaan multinational corporate (MNC)...
Transcript of ringkasan eksekutif - ferryfebub.lecture.ub.ac.idperusahaan-perusahaan multinational corporate (MNC)...
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 0
2010
���������������
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar
Kerjasama Pusat Pengkajian Manajamen dan Ekonomi Masyarakat (PPMEM)
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Malang
Dengan
Dinas Perindustrian Perdagangan Pertambangan dan Energi Kabupaten Blitar
Tim Penyusun:
Mohk Khusaini Moh Athoillah Ferry Prasetyia
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 1
Latar Belakang
Fenomena maraknya kemunculan pasar ritel di indonesia merupakan salah
satu bagian kecil dari adanya liberalisasi perdagangan di Indonesia, adanya
perusahaan-perusahaan multinational corporate (MNC) yang sudah banyak
beroperasi memunculkan persaingan-persaingan di antara pelaku industri.
Persaingan secara teori, akan dapat memberikan keuntungan kepada konsumen
karena akan diuntungkan dengan adanya persaingan harga hingga mereka akan
mendapatkan harga yang paling rendah. Tetapi di sisi lain, persaingan juga akan
mengakibatkan adanya praktek-praktek yang mengarah kepada persaingan yang
tidak sehat. Praktek monopoli atas sejumlah barang atau pasar juga akan
mempunyai dampak yang sangat besar terhadap kelangsungan usaha yang
dilakukan oleh masyarakat kecil yang menggantungkan hidupnya dari usaha kecil
(misal: pedagang kaki lima, pedagang kelontong, industri ritel tradisional).
Berdasarkan data AC Nielsen Tahun 2008, diketahui bahwa pertumbuhan
ritel modern setiap tahunnya mencatat kisaran angka 10% hingga 30%. Hal ini
ditunjukkan dengan ekspansi ritel modern yang sangat agresif hingga masuk ke
wilayah pemukiman rakyat. Ritel tradisional yang berada di wilayah pedesaan
maupun pemukiman rakyat pun terkena imbasnya dengan berhadapan langsung
dengan ritel modern tersebut. Persaingan diantara keduanya pun tidak
terhindari. Tidak hanya itu, karena minimnya aturan zonasi dari pembangunan
ritel modern tersebut, maka ritel-ritel tradisional yang berada di kota-kota besar
pun terkena imbasnya. Persaingan head to head akibat menjamurnya ritel
modern membawa dampak buruk terhadap keberadaan ritel tradisional. Salah
satu dampak nyata dari kehadiran ritel modern di tengah-tengah ritel tradisional
adalah berkurangnya pedagang kecil serta menurunnya omzet dari pedagang
kecil tersebut.
Pada tahun 2007 Pemerintah mengeluarkan Perpres No. 112 Tahun 2007
yang mengatur ritel tradisional dan ritel modern khususnya yang terkait dengan
zoning yang membatasi pembangunan pasar modern dan mereduksi dampaknya
terhadap pasar tradisional, serta dibahas pula mengenai jam buka, perizinan
sampai dengan masalah trading term yang sangat meresahkan pemasok pasar
modern. Permasalahan yang terjadi adalah sejauh mana aturan tersebut efektif
diterapkan dan berdampak bagi pelaku usaha ritel. Tidak hanya itu, kemudian di
akhir tahun 2008 Pemerintah mengeluarkan aturan pendukung dari Perpres 112
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 2
Tahun 2007 yaitu Permendag No. 53 Tahun 2008. Dalam aturan ini lebih rinci
lagi diatur mengenai masalah zoning serta trading term.
Namun kemudian akan menjadi tidak ada artinya jika aturan-aturan
tersebut di atas jika tidak diikuti dengan aturan-aturan pelaksana di daerah.
Sebagaimana tercantum dalam Perpres 112 Tahun 2007 bahwa Pemerintah
Daerah memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan industri ritel
di daerahnya dimana Pemda memiliki wewenang terkait dengan masalah
perizinan, zonasi dan jam buka toko. Dengan kondisi yang sekarang ada,
Kabupaten Blitar merupakan daerah yang memiliki keunggulan dari jumlah dan
variasi produk yang dihasilkan oleh UMKM; untuk mengoptimalkan kontribusi
UMKM ini terhadap perekonomian di Kabupaten Blitar perlu dilakukan berbagai
macam strategi agar UMKM ini dapat bersaing dengan usaha-usaha lain yang
sejenis terutama di tingkat lokal. Strategi untuk mengembangkan UMKM salah
satunya dapat berupa dukungan pemerintah dengan adanya peraturan dan
regulasi yang terkait UMKM , termasuk regulasi tentang ritel modern dan
tradisional.
Dari segi kebijakan publik, persaingan usaha bukanlah satu-satunya hal
yang harus selalu dikedepankan dalam perekonomian; meskipun pada satu sisi
akan mampu mendatangkan efisiensi bagi konsumen tingkat akhir hal yang perlu
diperhatikan adalah bahwa persaingan pun harus juga memperhatikan tingkat
kesetaraan dalam arena yang sama (play in equal field). Dalam konteks
persaingan industri ritel juga terjadi hal yang demikian, dimana ritel modern
dengan kemampuan modal besar, teknologi yang relatif canggih, jaringan yang
kuat, serta kemampuan manajemen yang sudah tertata bersaing dengan ritel
dan atau pasar tradisional yang tidak memiliki semua kemampuan seperti yang
dimiliki usaha ritel modern tersebut. Harus ada keberpihakan pemerintah daerah
dalam merespon hal yang demikian agar tidak terjadi kerugian sosial yang lebih
besar diakibatkan oleh ”matinya” usaha-usaha yang telah dijalankan masyarakat.
Dari data yang dipublikasikan BPS Kabupaten Blitar, untuk tahun 2007
industri sedang berjumlah 105 unit dan industri kecil sendiri berjumlah 680 unit.
Jumlah tenaga kerja yang diserap dari tiap industri kecil rata-rata berjumlah 100
orang sehingga total tenaga kerja yang diserap mencapai 6.886 orang. Jumlah
industri (sedang dan kecil) tersebut terbatas pada industri yang formal saja,
padahal masih sangat banyak industri kecil yang masih belum terdaftar (non-
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 3
formal). Sektor industri ini mampu menyumbang dalam hal penyerapan tenaga
kerja yang cukup banyak. Perlu diketahui bahwa, mayoritas industri yang ada di
Kabupaten Blitar berupa industri sedang dan kecil yang terbagi dalam kelompok
industri formal dan non-formal. Untuk tenaga kerja yang dapat diserap industri
kecil non formal yang berjumlah 10.589 unit pada tahun yang sama mampu
menampung tenaga kerja sebanyak 25.787 orang.
Secara prosentase, industri kecil mencapai 99,64% dari total jumlah
industri yang ada di Kabupaten Blitar dan sisanya industri sedang dan besar.
Kondisi yang demikian, menjadikan industri kecil yang ada di Kabupaten Blitar
sangat strategis dan potensial untuk dapat ditingkatkan dan diberdayakan agar
mampu berkontribusi lebih terhadap perekonomian secara luas dan
kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Blitar. Karena sebagian besar potensi di
Kabupaten Blitar berupa pertanian, maka yang sangat potensial agar
dikembangkan dan dimanfaatkan lebih lanjut adalah industri yang berhubungan
dengan sektor pertanian ini. Hal ini disebabkan karena sektor pertanian
mayoritas hanya dijual sebagai produk primer, yang perlu dikejar lagi adalah
adanya industri yang mampu me-support keberadaan produk primer ini agar
mampu memiliki nilai tambah yang lebih besar.
Dengan jumlah IKM yang ada di Kabupaten Blitar tersebut (formal dan
informal) sangat lah penting untuk dapat memberikan bantuan bagi industri
tersebut dapat mengembangkan usahanya, dengan cara memberikan pengawasa
dan evaluasi terhadap praktek-praktek operasional industri ritel yang ada
(tradisional dan modern). Muncul kekhawatiran bahwa ritel modern pada
akhirnya yang akan menikmati keuntungan yang sangat besar dengan cara
mendirikan usaha serta ekspansi ke pelosok-pelosok daerah hingga ke desa; jika
ini terjadi akan sangat dimungkinkan bahwa industri kecil yang sudah ada di
tengah-tengah masyarakat lebih dahulu akan tergantikan dengan adanya
pasar/insutri ritel modern.
Akhirnya, dengan adanya Perpres No. 112 Tahun 2008 serta Permendag
No. 53 Tahun 2008 pemerintah daerah dapat dengan segera merespon kondisi
yang ada di daerah khususnya Kabupaten Blitar. Kemunculan peraturan presiden
dan Permendag tersebut bertujuan menciptakan ketertiban persaingan dan
menyeimbangkan kepentingan produsen, pemasok, toko moderen, dan
konsumen; lebih lanjut Perpres tersebut mengatur adanya zonasi (jarak) dan tata
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 4
ruang untuk mengatur lokasi pasar dan pusat perbelanjaan toko modern, tata
tertib persaingan untuk pemasok ke toko moderen, terutama UKM, serta
kemitraan dan pemberdayaan usaha kecil. Dengan adanya penelitian ini nantinya
diharapkan akan muncul rekomendasi terkait perijinan industri ritel tradisional
dan modern tersebut.
Permasalahan Penelitian
Kegiatan penyusunan Model aksesibilitas perijinan bagi industri kecil ini
adalah memberikan masukan dan bahan secara ilmiah bagi pengambil kebijakan
khususnya SKPD di lingkungan Kabupaten Blitar sehingga diharapkan kegiatan ini
dapat meningkatkan dan memberdayakan industri kecil yang ada di Kabupaten
Blitar, rumusan masalah dari penelitian dapat dkerucutkan menjadi dua hal di
bawah ini:
1) Bagaimana regulasi pemerintah terkait perijinan usaha di Kabupaten Blitar
yang ada saat ini di bidang ritel?
2) Bagaimana strategi kebijakan perijinan dalam rangka mewujudkan
persaingan usaha yang sehat di Kabupaten Blitar di bidang ritel?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah
yang telah diajukan yakni:
1) Identifikasi regulasi pemerintah terkait perijinan usaha di Kabupaten Blitar
yang ada saat ini di bidang ritel
2) Merumuskan strategi kebijakan perijinan dalam rangka mewujudkan
persaingan usaha yang sehat di Kabupaten Blitar di bidang ritel
Output Penelitian
Keluaran (output) yang dihasilkan dari kegiatan ini berupa Laporan Hasil
kajian yang memuat rekomendasi mengenai model aksesibilitas perijinan bagi
industri kecil dan industri ritel modern di Kabupaten Blitar.
Regulasi Perijinan Ritel
Perijinan merupakan hal yang penting untuk menarik investasi masuk,
berbagai macam jenis investasi akan dengan sangat mudah masuk ke suatu
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 5
daerah jika ada kepastian mengenai proses dan mekanisme perijinan; perijinan
dapat dipandang sebagai pintu utama bagi para investor untuk lebih jauh lagi
melihat prospek ekonomi yang ada di daerah tertentu. Persepsi investor terhadap
proses penerbitan perijinan hingga kemudahan dalam pelayanan kebutuhan
melakukan usaha menjadi modal penting yang harus diperhatikan, untuk
menjamin kepastian serta transparansi maka diperlukan undang-undang,
peraturan serta regulasi yang dengan jelas mengaturnya.
Undang-undang, peraturan serta regulasi yang berhubungan langsung
dengan konteks penelitian kali ini adalah regulasi mengatur mengenai ritel
tradisional dan ritel modern. Pada tahun 2007, pemerintah mengeluarkan
Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar
Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern; secara lebih luas Perpres ini
meregulasi zoning yang membatasi pasar modern dan mereduksi dampaknya
terhadap pasar tradisional, serta dibahas juga mengenai jam buka, perijinan
hingga masalah trading term. Selanjutnya, pada penghujung akhir tahun 2008
pemerintah melalui Menteri Perdagangan mengeluarkan aturan pendukung dari
Perpres yakni Permendag No. 53 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan
Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang lebih
rinci dalam mengatur mengenai zoning dan trading term.
Di tingkat regional Jawa Timur, Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga telah
mengeluarkan regulasi terkait pasar tradisional dan modern. Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Timur No. 3 Tahun 2008 tentang Perlindungan, Pemberdayaan
Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern di Provinsi Jawa Timur; peraturan
daerah ini keluar terkait dengan peraturan pemerintah berupa Perpres No. 112
tahun 2007 yang menjadi landasan konstitusional bagi pemerintah provinsi Jawa
Timur mengeluarkan regulasi tersebut. Beberapa hal penting yang tercakup
dalam Perda Provinsi Jawa Timur No. 3 tahun 2008 adalah sebagai berikut:
1. Lokasi pendirian pasar tradisional;
2. Penyelenggaraan pasar tradisional yang mengarah pada konsep yang
lebih modern, yang tercermin dari kebersihannya, fasilitas yang lengkap
mulai dari tempat parkir, pemadam kebakaran, kamar mandi, toilet
umum, mushola serta fasilitas halte kendaraan umum, pembagian blok
tempat usaha sesuai dengan jenis barang, dan perbaikan sistem
persampahan dan drainase;
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 6
3. Konsep kemitraan;
4. Perlindungan dalam kejelasan dan kepastian hukum hak pakai lahan
pasar;
5. Perlindungan Pemda terhadap pasar tradisional, UKM dan koperasi
khususnya dalam aspek persaingan dengan pelaku usaha di pasar
modern;
6. Pemberdayaan Pemda terhadap pasar tradisional, UKM dan koperasi
seperti pemberian subsidi kepada pedagang kecil;
7. Mempertahankan pasar tradisional yang merupakan ikon kota dan salah
satu tujuan wisata;
8. Penertiban terhadap pedagang kaki lima (PKL).
Poin-poin penting di atas dapat menjadi dasar bagi pemerintah daerah
kota/kabupaten yang ada di Wilayah Provinsi Jawa Timur agar juga melakukan
pengaturan terkait pasar tradisional dan pasar modern agar UMKM di masing-
masing kota/kabupaten bisa tetap sustain dan memberikan manfaat dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sangat jelas disebutkan dalam Perda
tersebut bahwa dalam pelaksanaannya juga diatur pola kemitraan antara
pedagang pasar tradisional dan pasar modern, hal ini diatur juga untuk
mengantisipasi agar tidak terjadi persaingan yang tidak sehat (unfair
competition).
Jenis Penelitian
Penelitian ini dipertimbangkan sebagai penelitian evaluasi, di mana akan
melakukan evaluasi atas aksesibiltas kebijakan perijinan. Penelitian evaluasi
diartikan oleh Babbie (2001:333) sebagai ‘a process of determining whether a
social intervention has produced the intended result’. Penelitian ini mengevaluasi
aksesibilitas yang diberikan terkait perijinan di Kabupaten Blitar dengan tujuan
yang telah ditetapkan khususnya berkenaan dengan pasar/toko modern dan
pasar/toko tradisional. Penelitian ini dilakukan dengan memadukan antara
pendekatan dekriptif-evaluatif dan kualitatif.
Penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-
temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan
lainnya. Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami
sesuatu di balik fenomena yang sedikit pun belum diketahui. Metode ini dapat
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 7
juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit
diketahui. Demikian pula metode kualitatif dapat memberi rincian yang kompleks
tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif (Strauss dan
Corbin, 2003:4-5). Selanjutnya, penelitian deskriptif ditujukan untuk: Pertama,
mengumpulkan informasi aktual secara terperinci yang melukiskan gejala-gejala
yang ada. Kedua, mengidentifikasi masalah dengan memeriksa data-data yang
diperlihatkan kondisi dan praktik-praktik yang berlaku. Ketiga, melakukan
evaluasi atau (jika mungkin) membuat komparasi. Ditunjang dengan analisis data
secara kuantitatif.
Metode dan Analisis Data
Di dalam penelitian deskriptif, proses analisis dan interpretasi data tidak
hanya dilakukan pada akhir pengumpulan data atau berdiri sendiri, namun secara
simultan juga dilakukan pada saat pengumpulan data di lapangan berlangsung,
sehingga dalam penelitian kualitatif sering dikenal sebagai proses siklus. Setelah
mendapatkan informasi, dilakukan analisis untuk mencari hipotesis kemudian
dilakukan pengumpulan informasi berikutnya. Ini dimaksudkan untuk
memperoleh kesesuaian dengan hipotesis sementara yang telah disusun,
demikian terus berputar hingga ditemukan puncak informasi atau kejenuhan
data. Selanjutnya, kegiatan dalam analisis data meliputi pencarian data,
menatanya, membaginya menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola,
mensintesanya, mencari pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari serta memutuskan apa yang dilakukan.
Menurut Moleong (1995:5) yang dimaksud dengan metode kualitatif
adalah “prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-
kata tertulis dan lisan dari orang-orang dan pelaku yang diamati.” Pencarian
data-data dilakukan dengan metode induktif, yang diberangkatkan dari fakta-
fakta atau peristiwa umum kemudian ditarik generalisasi yang bersifat khusus
(Moleong, 1990:28). Sedangkan pengelolaan datanya digunakan metode
reflektif. Komponen-komponen metode reflektif adalah: (a) perekaan, (b)
penafsiran, (c) penilaian, (d) deskripsi, (e) pemahaman; dan (g) analisa.
Kemudian, masih menurut Moleong (1990:49), dalam berpikir reflektif induksi
akan diawali dari fakta-fakta khusus dan menuju ke pernyataann umum yang
menerangkan fakta-fakta itu. Kemudian dari ekplanasi yang bersifat umum
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 8
tersebut diselidiki kembali fakta-fakta yang telah ada tadi untuk meyakinkan
kebenaran ekplanasi yang telah dirumuskan (verifikasi).
Pada tataran yang lebih teknis, proses dan tahapan dari kegiatan ini
ditempuh dengan melalui mix-approach dengan mengandalkan beberapa
pendekatan, seperti Participatory Research dan Stakeholders Analysis.
Pendekatan tersebut selanjutnya diformulasikan ke dalam berbagai bentuk
kegiatan yang saling menunjang:
• Participatory Research, dilakukan dengan penelitian secara
berpartisipasi melalui audensi, dialog, diskusi, wawancara terstruktur,
observasi dan info-sharing.
• Focus Group Discussion (FGD), dilakukan bekerjasama dengan
narasumber yang kapabel untuk memberikan informasi untuk
memberikan informasi yang sesuai dengan topik penelitian melalui
dialog dan diskusi intensif dalam rangka cross check data dan
informasi yang terolah maupun pengawasan dan evaluasi
implementasi model.
• Stakeholder analysis, dilakukan bekerja sama dengan pemerintah
daerah melalui kegiatan audensi, sarasehan (dialog, kompromi), dan
presentasi berdasarkan konsep-konsep yang ditawarkan untuk
memperoleh penyempurnaan dan pengembangannya, maupun dalam
rangka monitoring dan evaluasi implementasi.
• Seminar/Workshop, dilakukan bekerjasama dengan para pakar
perguruan tinggi, dan LSM serta lembaga terkait lainnya untuk
mendapatkan masukan mengenai proses dan mekanisme penerbitan
perijinan.
Secara umum penelitian ini menggunakan metode kualitatif sebagai alat
analisis. Penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-
temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan
lainnya. Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami
sesuatu di balik fenomena penerbitan perijinan di Kabupaten Blitar. Metode ini
dapat juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru
sedikit diketahui. Demikian pula metode kualitatif dapat memberi rincian yang
kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif
(Strauss dan Corbin, 2003:4-5). Terdapat tiga unsur utama dalam penelitian
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 9
kualitatif ini. Pertama, data, yang bisa bersumber dari pengamatan maupun
wawancara. Kedua, prosedur analisis dan interpretasi yang digunakan untuk
mendapatkan temuan atau teori. Kedua prosedur ini mencakup tenik-teknik
untuk memahami data. Ketiga, laporan tertulis dan lisan (Strauss dan Corbin,
2003:7).
Industri Kecil, Retail dan Regulasi Perijinan di Kabupaten Blitar
Keberadaan industri kecil dan juga UMKM di Kabupaten Blitar memiliki
peranan yang sangat besar dalam rangka menopang sektor ekonomi yang
dijalankan masyarakat berbagai macam jenis usaha dan industri kecil dihasilkan
dan dipasarkan di Kabupaten Blitar. Idealnya, kondisi tersebut harus mampu
menggerakkan perekonomian dengan adil dan merata antar pelaku usaha. Tetapi
seiring dengan kemunculan investasi atau penanaman modal yang dilakukan
investor yang juga bergerak dalam bidang usaha yang sama seperti yang
dijalankan masyarakat umum dikhawatirkan akan terjadi persaingan yang tidak
sehat dalam bidang usaha yang dilakukan. Usaha yang dimaksud adalah
maraknya kemunculan toko ritel-ritel terutama ritel modern yang akan lebih
unggul dalam banyak hal, terutama terkait dengan modal dan teknologi yang
dipakai.
Dengan memperhatikan berbagai karakter dan potensi UMKM dalam
beberapa sudut seperti penggunaan modal, penggunaan bahan baku lokal dan
kemampuan penyerapan tenaga kerja, serta ketahanannya dalam menghadapi
gejolak perekonomian dunia pemberdayaan UMKM dapat dijadikan salah satu
opsi untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Dari pemikiran
yang demikian, idealnya pendekatan pembangunan sekarang ini diarahkan pada
usaha mempercepat proses pemberdayaan UMKM dan koperasi. Sejalan dengan
keinginan tersebut perlu diperhatikan bahwa empat sektor utama yang menjadi
basis usaha UMKM dan koperasi sekarang ini adalah sektor pertanian, industri,
perdagangan dan jasa. Keempat sektor tersebut dalam menghadapi pasar global
yang sangat kompetitif terutama dua sektor yang sangat krusial adalah industri
dan perdagangan. Kedua sektor ini menjadi begitu penting dalam menghadapi
tantangan berat dalam mengubah orientasi pembangunan dari orientasi
pemenuhan kebutuhan dalam negeri menjadi usaha yang mampu menghadapi
persaingan pasar termasuk didalamnya persaingan dengan ritel modern.
Se
UMKM pad
usaha unt
Pemberda
mewujudk
besar unt
golongan
Ko
dikemukak
pembangu
nasional.
bentuk: a)
seperti pe
koperasi y
usaha bes
teknologi,
Dari gamb
kecil dan
keterbatas
tersebut d
Teknologi
fokus uta
Model Ak
cara umum
da saat ini,
tuk mendu
ayaan UMKM
kan keadilan
tuk mendu
maupun an
ondisi iklim
kan di atas,
unan daera
Dampak d
) Terbatasn
ermodalan t
yang berda
sar serta; c)
informasi d
Gambar
bar 1 dapa
UMKM yan
san akses
dapat diliha
dan juga 5
ama adalah
ksesibilitas
m dapat di
, belum me
ukung tumb
M memang
n pembangu
kung peme
ntar daerah.
m usaha y
, tetap belu
ah yang se
dari adanya
nya akses U
teknologi d
ampak pada
) Marjinalisa
dan pendap
r 1. Permas
at dilihat ba
ng paling u
ini memp
t dari hal-h
5). Legalitas
h hal yang
3
2. Produktivi
Rendah
Perijinan In
ikatakan ba
engindikasik
buhnya sist
sudah men
unan, karen
erataan pe
.
yang diwa
m mampu u
ekaligus me
a permasa
UMKM dan k
an pasar; b
a timbulnya
asi dari kelo
patan merek
salahan In
ahwa perm
utama adala
punyai ban
hal: 1). Per
s usaha (pe
berhubung
Ket
. Kondisi yangMarginal
tas h
ndustri Kecil
ahwa gam
kan besarny
tem pereko
njadi komitm
na UMKM m
mbangunan
rnai oleh
untuk menj
endukung k
lahan terse
koperasi ke
b) Rendahn
a kesenjan
ompok ini b
ka.
ndustri Ke
masalahan y
ah keterbat
nyak dimen
modalan, 2
erijinan). Pa
gan denga
1. terbatasan Akses
g
l di Kabupate
baran kond
ya harapan
onomian ya
men nasion
memiliki pote
n baik anta
masalah-m
adikan UMK
keberhasilan
ebut terliha
pada sumb
nya produkv
gan antara
baik dari asp
cil dan UM
yang dihada
tasan akses
nsi. Dimen
2). Informas
ada kajian in
an dimensi
en Blitar
disi iklim u
pada kelo
ang berkea
nal dalam ra
ensi yang sa
arsektor, a
masalah se
KM sebagai
n pembang
at nyata d
erdaya prod
vitas UMKM
a UMKM de
pek skala u
MKM
api oleh ind
s, permasa
nsi keterba
si, 3). Pasa
ni, yang me
legalitas u
10
usaha
mpok
dilan.
angka
angat
antara
eperti
basis
gunan
dalam
duktif
M dan
engan
saha,
dustri
lahan
tasan
ar, 4).
enjadi
usaha
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 11
(perijinan) sehingga perlu untuk dilihat perundangan dan regulasi terkait
perijinan yang ada di Kabupaten Blitar.
Keterbatasan industri kecil dan UMKM selama ini dalam mengakses perijinan
usaha sebenarnya sudah dipermudah dengan regulasi-regulasi yang dikeluarkan
terkait dengan pe rijinan itu sendiri. Paling tidak ada tiga regulasi yang mengatur
mengenai perijinan di Kabupaten Blitar yakni:
1. Peraturan Daerah Kabupaten Blitar No. 9 Tahun 2002 Tentang Retribusi
Usaha Industri (IUI).
Perda ini dimaksudkan untuk mengatur, membina, mengendalikan
dan mengawasi Usaha Industri di Kabupaten Blitar; dimana untuk setiap
pendirian perusahaan industri diwajibkan untuk memiliki Ijin Usaha
Industri (IUI), lebih lanjut perda ini mengatur mengenai besaran dari
retribusi setiap ijin yang harus dibayar ke kas daerah oleh masing-masing
strata industri yang dibagi menurut besarnya nilai investasinya yaitu:
a) Industri kecil rumah tangga (IKRT), dengan nilai investasi sampai
dengan Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
b) Industri kecil (IK), dengan nilai investasi diatas Rp. 50.000.000
(lima puluh juta rupiah) sampai dengan dibawah Rp. 200.000.000
(dua ratus juta rupiah).
c) Industri menengah kecil (IMK), dengan nilai investasi diatas Rp.
200.000.000 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp.
1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
d) Industri menengah (IM), dengan nilai investasi diatas Rp.
1.000.000.000 (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp.
2.000.000.000 (dua milyar rupiah).
e) Industri besar (IB), dengan nilai investasi diatas Rp.
2.000.000.000 (dua milyar rupiah).
Dari strata industri yang disebutkan dalam Perda No. 9 tahun
2002 dapat dirangkum dalam tabel 1 mengenai besaran retribusi bagi
masing-masing pelaku usaha.
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 12
Tabel 1 Besaran Retribusi IUI Kabupaten Blitar
No. Strata Industri Ijin Baru(Rp.)
Perluasan Usaha(Rp.)
Daftar Ulang (Rp.)
1. IKRT 50.000 25.000 25.000
2. IK 100.000 50.000 50.000
3. IMK 150.000 75.000 75.000
4. IM 200.000 100.000 100.000
5. IB 250.000 125.000 125.000
Sumber: Perda No. 9 Tahun 2002, Kabupaten Blitar
Definisi perluasan usaha yang tercantum pada Perda No. 9 Tahun
2002 adalah berlaku bagi industri yang dalam proses perkembangannya
melakukan penambahan kapasitas produksi hingga lebih dari 30%
dibandingkan dengan prosuksi sebelumnya, ini berarti ketika diputuskan
perusahaan akan melakukan peningkatan kapasitas produksi pemegang
IUI harus mengajukan ijin terkait perluasan usaha tersebut. Masa berlaku
ijin yang diberikan pemerintah Kabupaten Blitar kepada pemegang IUI
adalah selama 2 tahun sehingga, setelah masa berlaku ijin tersebut habis
maka pemegang IUI diwajibkan memperbaharui ijinnya dengan
membayar retribusi sesuai ketentuan yang telah ditetapkan. Sedangkan,
masa retribusi itu sendiri jangka waktunya adalah selama satu tahun.
Sementara itu sesuai dengan bab II pasal 6 Perda No. 9 tahun
2002, untuk subjek retribusi ijin usaha industri ditetapkan adalah berupa
orang pribadi atau badan hukum yang melakukan usaha industri dapat
berupa: 1). Badan usaha milik negara (BUMN), 2). Badan usaha milik
daerah (BUMD), 3). Koperasi, 4). Badan hukum swasta yang didirikan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia dan
bergerak di bidang industri serta 5). Perorangan yang berusaha di bidang
industri. Untuk pelanggaran terhadap ketentuan perda ini dapat diancam
dengan kurungan paling lama satu tahun atau denda maksimal sebesar
Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
2. Keputusan Bupati Blitar No. 197 Tahun 2002 Tentang Penetapan
Pelayanan Penerbitan Ijin Usaha Industri (IUI).
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 13
Keputusan bupati ini muncul berkenaan dengan masih belum ditetapkan
dan diundangkannya Perda No. 9 tahun 2002 Kabupaten Blitar, sehingga
Keputusan Bupati No. 197 Tahun 2002 ini berfungsi untuk mengatur,
membina, mengendalikan, dan mengawasi usaha industri di Kabupaten
Blitar hingga terbitnya peraturan daerah yang mengatur perihal yang
sama terbit. Secara umum, keputusan bupati ini merupakan representasi
dari Perda No. 9 Tahun 2002 sehingga hal-hal yang diatur dalam
keputusan bupati ini juga diatur ulang dalam Perda No. 9 Tahun 2002.
Hal-hal yang diatur tersebut termasuk strata industri yang dikategorikan
berdasarkan besaran nilai investasi, besaran retribusi, masa berlaku IUI
dan subjek pengenaan retribusi IUI.
3. Keputusan Bupati Blitar No. 381 Tahun 2002 Tentang Ketentuan Tata
Cara Penerbitan Ijin Usaha Industri (IUI).
Untuk memberikan petunjuk pelaksanaan Perda No. 9 Tahun 2002 maka
diterbitkan Keputusan Bupati Blitar No. 381 Tahun 2002 terkait ketentuan
dan tata cara penerbitan ijin usaha industri. Jenis industri yang dapat
diberikan IUI adalah industri yang sudah disebutkan pada Perda No. 9
Tahun 2002, syarat dalam memperoleh IUI dapat dibedakan menjadi dua
tahap yaitu: 1). Tahap persetujuan prinsip, tahap ini dikenakan kepada
perusahaan industri yang masuk dalam strata industri menengah (IM)
dan industri besar (IB) dan 2). Tanpa melalui tahap persetujuan prinsip,
yakni perusahaan industri kecil rumah tangga (IKRT), indsutri kecil (IK)
dan industri menengah kecil (IMK). Tata cara permohonan untuk
memperoleh persetujuan prinsip juga dijelaskan dalam keputusan bupati
ini yakni tercantum pada Bab II pasal 7 dan 8.
Selanjutnya, untuk memperoleh IUI perusahaan industri harus
mengajukan permohonan serta menyertakan dokumen yang
dipersyaratkan dan membayar retribusi setelah itu akan dilakukan
pengecekan fisik lapangan terhadap kebenaran dokumen yang
diserahkan, hasil dari telah dilakukannya pengecekan fisik adalah Berita
Acara Pemeriksaan. Persyaratan dan dokumen yang harus dilengkapi oleh
pemohon disesuaikan dengan strata masing-masing industri, secara lebih
lengkap dapat dilihat dalam tabel 2 untuk permohonan IUI baru berikut:
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 14
Tabel 2 Persyaratan dan Dokumen Permohonan IUI Baru
Kabupaten Blitar PERSYARATAN DAN DOKUMEN PERMOHONAN IUI
No. IB dan IM IMK dan IK IKRT
a. Persetujuan Prinsip
(bagi yang diwajibkan)
UKL/UPL Surat Pernyataan
Pengelolaan
Lingkungan
b. AMDAL (bagi yang
diwajibkan)
Ijin Gangguan (HO) Surat Keterangan dari
Desa/Kelurahan
tentang jaminan
bahwa usaha industri
tidak menggangu
lingkungan
c. UKL/UPL (bagi yang
tidak diwajibkan
AMDAL)
Akte Pendirian Akte Pendirian
d. Ijin Gangguan (HO) KTP Pemilik KTP Pemilik
e. Akte Pendirian Foto Hitam Putih 4x6 Foto Hitam Putih 4x6
f. KTP Pemilik
g. Foto Hitam Putih 4x6
Sumber: Keputusan Bupati Blitar No. 381 Tahun 2002 (diolah)
Sementara itu untuk untuk permohonan perluasan usaha dan daftar
ulang dapat dilihat dalam tabel 3 berikut ini:
Tabel 3 Persyaratan dan Dokumen Permohonan IUI
Kabupaten Blitar KELENGKAPAN PERSYARATAN DAN DOKUMEN
No. Perluasan Industri Daftar Ulang
a. IUI yang dimiliki IUI yang dimiliki
b. Rencana Perluasan Laporan Produksi
c. KTP Pemilik Tanda Pelunasan pembayaran retribusi
d. Foto Hitam Putih 4x6
e. Tanda Pelunasan pembayaran retribusi
Sumber: Keputusan Bupati Blitar No. 381 Tahun 2002 (diolah)
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 15
Dari paparan di atas diketahui bahwa di Kabupaten Blitar sudah ada
regulasi yang telah mengatur perijinan industri yang terkait ijin usaha industri
(IUI), namun seiring perkembangan perekonomian di daerah maka juga banyak
muncul usaha yang tidak hanya membutuhkan perijinan terkait IUI saja.
Kemunculan Perpres 112 Tahun 2007 tentang penataan dan pembinaan pasar
tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern mensyaratkan adanya ijin lain
berkaitan dengan pendirian pasar modern, pasar tradisional maupun pusat
perbelanjaan lainnya. Sebagai contoh untuk pendirian pasar tradisional
dibutuhkan ijin usaha pengelolaan pasar tradisional (IUP2T); pertokoan, mall,
plasa, dan pusat perdagangan dibutuhkan ijin usaha pusat perdagangan (IUPP);
dan minimarket, supermarket dan department store, hypermarket dan
perkulakan dibutuhkan ijin usaha toko modern (IUTM).
Hal-hal seperti inilah yang harus menjadi perhatian bagi pemerintah
daerah dalam hal mengikuti perkembangan dan pertumbuhan usaha dan industri
di masing-masing wilayahnya. Sehingga, sangat perlu bagi pemerintah daerah
untuk lebih cepat tanggap terhadap perkembangan dan pertumbuhan usaha
serta industri yang ada. Seperti fenomena maraknya ritel modern yang
berkembang dan menjamur di daerah hingga ke pelosok desa yang akan
bersaing dengan pasar tradisional, toko kelontong ataupun ritel masyarakat yang
sudah ada terlebih dahulu.
Berkembangnya ritel modern tersebut, di satu sisi memberi peluang bagi
pemasok untuk memasarkan produknya ke dalam jaringan ritel modern,
sementara di sisi lain terjadi persaingan yang semakin ketat antar pemasok
untuk merebut akses jaringan ritel besar. Kondisi ini tentunya akan berdampak
yaitu tersisihnya pemasok usaha kecil menengah (UMKM) apalagi bila tanpa
pemberdayaan. Disadari bahwa UMKM merupakan salah satu bagian penting
dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di Indonesia.
BPS 2008 mencatat bahwa terdapat peningkatan kontribusi UMKM terhadap PDB
Indonesia tahun 2007, yaitu dari 53,3% di tahun 2006 menjadi 53,6% di tahun
2007. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor bangunan sebesar 9,3%, diikuti
sektor perdagangan, hotel dan restoran 8,5%, dan sektor pertambangan dan
penggalian sebesar 7,8%. Dimana sumbangan UMKM sektor perdagangan dalam
pembentukan PDB adalah sebesar 14,40% dibandingkan dengan Usaha Besar
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 16
0.53%. Sementara pertumbuhan kedua kelompok tersebut masing-masing
sebesar 8,56% dan 7,42%.
Dilihat dari penyerapan tenaga kerja, jumlah tenaga kerja yang terserap
oleh UMKM meningkat 1,12% dari 96,13% pada tahun 2006 menjadi 97,3%
pada tahun 2007. Tiga sektor UMKM yang paling banyak menyerap tenaga kerja
adalah sektor pertanian 42,5 juta pekerja, atau setara dengan 46,40% dari total
tenaga kerja, sektor perdagangan dan perhotelan sebesar 25,18% dan sektor
industri 11,35% dari total tenaga kerja. Sejalan dengan perkembangan ritel
modern dan potensi UMKM di sektor perdagangan tersebut, pemerintah telah
mengambil kebijakan untuk membangun partisipasi UMKM dalam bisnis ritel
dengan upaya mengembangkan hubungan kerjasama usaha (kemitraan) antara
keduanya yang bertujuan agar aktivitas dan hubungan usaha antar ritel tersebut
dapat berjalan harmonis dalam arti terciptanya hubungan saling menguntungkan
antara ritel besar dengan pemasok terutama pemasok UMKM. Namun isu yang
berkembang selama ini bahwa UMKM pemasok sulit untuk memperoleh peluang
mengembangkan pemasaran produknya di dalam jaringan ritel besar karena
keterbatasan kemampuan UMKM untuk memenuhi berbagai prosedur dan
persyaratan perdagangan yang ditetapkan oleh ritel modern.
Di kabupaten Blitar sendiri sudah ada puluhan ritel modern yang terdaftar
pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan, tercatat ada 32 ritel modern yang
menggunakan merek dagang komersial (seperti: Indomaret dan Alfamart)
ataupun memakai merek dagang sendiri (Prasadamart, Swalayan Lingga Jaya
dana lain-lain). Yang harus diperhatikan dari jumlah ritel modern yang ada di
Kabupaten Blitar ini adalah pemilik dari ritel tersebut maupun merek dagang
yang dipakai.
Dalam teori ekonomi, persaingan usaha tidak sehat dapat diindikasikan
dari pemilikan sektor ekonomi mayoritas dan dalam hal ini adalah pemilik ritel
serta juga dapat muncul dari banyaknya cabang-cabang usaha dalam satu
wilayah tertentu dalam konteks ini wilayah Kabupaten Blitar. Dari total ritel
modern yang ada di Kabupaten Blitar ritel modern dengan merek dagang
komersial seperti Indomaret (PT. Indomarko Prismatama) memiliki 11 gerai yang
tersebar di 10 kecamatan di Kabupaten Blitar sedangkan untuk Alfamart hanya
masih ada satu gerai. Jika dilihat dari sisi pemilik ritel modern terutama
Indomaret akan dijumpai fakta yang menarik bahwa 11 gerai Indomaret di
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 17
Kabupaten Blitar kepemilikannya sebanyak 6 gerai dikuasai oleh RM. Ngantung
dan 4 gerai dimiliki oleh Sugiarto.
Tabel 4.
Data Ritel Modern Kabupaten Blitar
NO KECAMATAN NAMA TOKO NAMA PEMILIK
1. Kanigoro 1. Prasadamart Bekti Dwi Wahyuni 2. PT. Indomarko Prismatama Sugiarto 3. Swalayan Lingga Jaya Sadi 4. Toko Hidayat A. Bustomi 5. Langgeng jaya Sugiono
2. Wlingi 1. Sinar Makmur Hariyadi 2. PT. Indomarko Prismatama Sugiarto 3. Alfamart Mundulsen 4. PT. Indomarko Prismatama R.M Ngantung 5. PT. Indomarko Prismatama R.M Ngantung
3. Kesamben 1. Bukit Sofa H. Rafik 2. Beta Swalayan Hariadi 3. PT. Indomarko Prismatama Sugiarto
4. Kademangan 1. Joy Swalayan Hariadi 2. Sari - sari Trisno Yuwono 3. Swalayan Belgis Cahyono
Ramadianto 4. PT. Indomarko Prismatama Sugiarto
5. Sanankulon 1. Feona Swalayan Susetiyawati
6. Srengat 1. Dito Swalayan Hariyadi 2. Toko Ria Agung Eny Wahyuni 3. Toko Swalayan Mega Intan Suratman 4. Krisna Swalayan Hariyati 5. PT. Indomarko Prismatama Lucky
7. Ponggok 1. PT. Indomarko Prismatama R.M Ngantung 2. PT. Indomarko Prismatama R.M Ngantung 8. Gandusari 1. Minimarket Gandusari
9. Sutojayan 1. PT. Indomarko Prismatama R.M Ngantung 2. PT. Indomarko Prismatama R.M Ngantung 3. Toko Ibu Eva 4. Sinar Makmur Hariadi 5. Cahaya Swalayan Ta in Cahyono
10. Garum 1. Sinar Makmur Hariadi Sumber: Disperindag Kabupaten Blitar, 2010
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 18
Fakta yang terjadi atas berkembangnya industri ritel yang sangat
ekspansif hingga ke pelosok desa, harus menjadi perhatian tersendiri bagi
pemerintah daerah khususnya Kabupaten Blitar dalam hal pengaturan regulasi
yang terkait ritel secara keseluruhan. Artinya kemunculan ritel-ritel modern di
Kabupaten Blitar ini dikhawatirkan akan mengancam dan mematikan industri
kecil dan UMKM yang sangat banyak di Kabupaten Blitar. Jika dikembalikan pada
regulasi yang berlaku, persaingan usaha yang sehat diatur dalam Undang-
undang No. 5 Tahun 1999; dimana pada tahap selanjutnya sebagai konsekuensi
adanya undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
yang diatur dalam Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1999. Tugas utama dari
KPPU adalah untuk mengawal implementasi UU No. 5 tahun 1999 terkait
persaingan usaha yang sehat.
Pengalaman empiris di Indonesia sebelum diterapkannya UU No. 5 Tahun
1999, menunjukan bahwa perekonomian Indonesia diwarnai oleh praktek
persaingan tidak sehat. Hal ini ditandai dengan struktur dan praktek ekonomi
yang cenderung kolutif, monopoli, dan melakukan kegiatan serta perjanjian yang
dilarang (Kagramanto, 2007). Praktek-praktek tersebutlah yang menjadi salah
satu penyebab krisis ekonomi pada tahun 1997.
Berdasarkan pengalaman krisis tersebut pulalah yang menyebabkan
alasan utama diperlukannya UU anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
yang berkonstribusi tidak hanya untuk menumbuhkan iklim usaha yang sehat
serta menciptakan efektifitas dan efisiensi dalam rangka meningkatkan efisiensi
ekonomi nasional, tetapi juga menjaga kepentingan umum serta perlindungan
konsumen dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pengalaman di Negara Korea Selatan menunjukan bahwa implementasi
persaingan usaha telah berkonstribusi pada peningkatan dan pemulihan ekonomi
akibat krisis yang terjadi tahun 1997. Korea Selatan menerapkan kebijakan
persaingan usaha (anti trust policy) akhir tahun 1997 sebagai upaya untuk keluar
dari depresi ekonomi dengan periode waktu yang sangat cepat, dan juga sebagai
cara untuk mencapai keberlanjutan ekonomi dan pembangunan. Data
pertumbuhan ekonomi Korea Selatan menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi
setelah diterapkan kebijakan anti trust, terus mengalami peningkatan. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan persaingan telah berkonstribusi pada
peningkatan pertumbuhan ekonomi (Hur, 2006).
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 19
Untuk kasus di Indonesia, meskipun kebijakan persaingan usaha tidak
secara langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, namun adanya kebijakan
tersebut telah membuat kondisi perekonomian Indonesia jauh lebih baik. Hal ini
ditandai oleh pergeseran struktur pasar di beberapa sektor yang berubah dari
oligopoli maupun monopoli menjadi lebih bersaing. Implikasi langsung dari
adanya persaingan tersebut diantaranya adalah harga output menjadi lebih
efisien, inovasi produk, dan pasar berjalan lebih fair. Sementara itu, di Kabupaten
Blitar masih belum memiliki peraturan daerah yang mengatur usaha ritel modern
dan tradisional, pasar dan pusat perbelanjaan sehingga yang ada sekarang
adalah pemerintah daerah hanya bisa mengawasi pemegang ijin dari usaha yang
sudah ada saja tanpa ada landasan hukum pada tingkatan daerah; pemerintah
Kabupaten Blitar dapat memakai regulasi untuk mengatur ritel, pasar dan pusat
perbelanjaan yang berlaku secara nasional yaitu Perpres No. 112 Tahun 2007
dan Permendag No. 53 Tahun 2008.
Walaupun dampak implementasi UU persaingan usaha terhadap
ketimpangan piramida ekonomi Indonesia masih sulit dievaluasi, KPPU dalam
sepuluh tahun terakhir ini (2000-2009) telah berhasil mengajukan 93 kasus
pelanggaran persaingan usaha. Dalam hal ini, pelanggaran persaingan dapat
dikatogerikan dalam 7 jenis pelanggaran, yakni:
a) Persengkongkolan yaitu berupa (i) pengaturan dan atau penentuan
pemenang tender, (ii) mendapatkan informasi kegiatan usaha
pesaingnya, dan (iii) penghambatan barier to entry bagi pelaku usaha
pesaingnya,
b) Monopoli yaitu penguasaan usaha lebih dari 50% baik dari produksi
maupun pemasaran.
c) Diskriminasi usaha yaitu berupa perlakuan khusus pada pelaku usaha
atau pemasok tertentu.
d) Persaingan tidak sehat dapat berupa (i) menolak dan menghalangi pelaku
usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan, (ii) melakukan perbuatan curang dalam melakukan
kegiatan usahanya, (iii) dan menjalankan kegiatan produksi dan atau
pemasaran dengan tidak jujur atau melawan hukum.
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 20
e) Kartel yaitu pembuatan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
dengan tujuan untuk mempengaruhi harga melalui pengaturan produksi
dan atau pemasaran barang dan jasa.
f) Integrasi vertikal adalah pembuatan perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang bertujuan untuk menguasai rangkaian produksi barang dan atau
jasa tertentu, dimana setiap rangkaian produksi merupakan hasil
pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung
maupun tidak langsung.
g) Pelanggaran lainnya umumnya berupa pelanggaran administrasi perijinan
Berdasarkan hasil kajian dari 93 kasus tersebut, dapat ditunjukan bahwa
persaingan yang sehat diharapkan akan berdampak terhadap terciptanya harga
produk atau tarif jasa yang wajar atau ekonomis. Dengan demikian, diharapkan
konsumen membayar suatu produk atau jasa yang diproduksi atau dikelola
secara efisien. Kasus penyediaan bibit kelapa sawit di Kalimantan tahun 2006
adalah salah satu contoh kasus pelanggaran persaingan sehat di sektor produksi
(tradable). Dalam kasus ini, tiga perusahaan melakukan kesepakatan dalam
tender seperti kesamaan proposal teknis dalam penawaran harga, dan kesamaan
dalam hal sumber pasokan bibit kelapa sawit. Dengan demikian, harga bibit sawit
yang disepati antara pemasok dan pembeli bukan merupakan harga yang
terbentuk dari interaksi antara supplier dan konsumen secara benar, dan dapat
dipastikan, lebih tinggi dari harga pasar yang sebenarnya.
Terlepas dari kasus yang ditemukan dan ditangani oleh KPPU, persaingan
usaha di sektor ritel perlu juga untuk diperhatikan; paling tidak harus ada
pengaturan terkait persaingan usaha ritel modern dan pasar tradisional di
Kabupaten Blitar. Karena secara kapasitas dan pangsa pasar antara ritel modern
dan pasar tradisional terdapat perbedaan yang cukup besar, lebih lengkap
perbedaan tersebut dapat dilihat dalam tabel 5:
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 21
Tabel 5 Perbedaan Karakteristik Ritel Tradisional dan Ritel Modern
No. Aspek Ritel Tradisional Ritel Modern 1. Histori Evolusi panjang Fenomena baru 2. Fisik Kurang baik, sebagian
baik Baik dan mewah
3. Kepemilikan Milik masyarakat/desa, Pemda, sedikit swasta
Umumnya perorangan/swasta
4. modal Keterbatasan modal Modal kuat 5. Konsumen Golongan menengah ke
bawah Umumnya golongan menengah ke atas
6. Metode pembayaran
Ciri dilayani, tawar-menawar
Ada ciri swalayan
7. Status tanah Tanah negara, sedikit swasta
Tanah swasta/perorangan
8. Pembiayaan Kadang-kadang ada subsidi
Tidak ada subsidi
9. Pembangunan Umumnya dilakukan oleh Pemda/desa, masyarakat
Pembangunan fisik umumnya oleh swasta
10. Pedagang yang masuk
Beragam, masal, dari sektor informal sampai pedagang menengah dan besar
Pemilik modal juga pedagangnya (tunggal) atau beberapa pedagang formal skala menengah dan besar
11. Peluang masuk/partisipasi
Bersifat masal (pedagang kecil, menengah dan besar)
Terbatas, umumnya pedagang tunggal, dan menengah ke atas
12. Jaringan Pasar regional, pasar kota, pasar kawasan
Sistem rantai korporasi nasional atau bahkan terkait dengan modal luar negeri
Sumber: CESS, 1998 dalam KPPU 2004
Dari tabel 5 di atas jelas terdapat perbedaan yang sangat besar antara
ritel tradisional dan ritel modern, meskipun demikian tidak menutup
kemungkinan persaingan juga terjadi diantara keduanya. Hal ini dipengaruhi oleh
keputusan para konsumen dalam memutuskan pilihannya untuk memenuhi
kebutuhan sehari-harinya; sementara keputusan untuk memilih tersebut
dipengaruhi oleh hal-hal seperti tingkat pendapatan, suasana tempat belanja dan
juga keamanan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Abdullah (2003) dalam
KPPU, 2004 ditemukan bahwa pertumbuhan ritel modern yang semakin cepat
tidak terlepas dari adanya peningkatan pendapatan masyarakat serta perubahan
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 22
pola konsumsinya; dimana konsumen lebih banyak memilih untuk berbelanja di
ritel modern. Kenyataan seperti ini, juga dipengaruhi oleh keinginan konsumen
yang menginginkan berbelanja di satu tempat yang lengkap (one stop shopping)
dan mampu memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa dengan perilaku konsumsi masyarakat
yang sedemikian rupa maka keberadaan pasar tradisional akan semakin
ditinggalkan peminatnya dan lama-kelamaan akan tergusur tergantikan dengan
pusat perbelanjaan modern. Ini merupakan salah satu dampak dari persaingan
tidak sehat yang terjadi dari antara ritel modern dan tradisional. Maka, sudah
jelas bahwa regulai yang mengatur pasar tradisional, ritel dan pusat
perdagangan semakin urgen untuk diimplementasikan.
Strategi Kebijakan Perijinan dalam Persaingan Ritel
Keberadaan hukum persaingan usaha sejak dikeluarkannya undang-
undang anti monopoli dan persaingan usaha sehat di era pemerintahan reformasi
telah meminimalisir persaingan usaha tidak sehat dan memberantas praktik
monopoli, dimana di era pemerintahan sebelumnya beberapa aktivitas usaha
selalu diwarnai praktek usaha yang tidak sehat dan monopoli. Adanya kebijakan
persaingan tersebut berkonstribusi positif tidak hanya pada pelaku usaha dan
masyarakat sebagai konsumen, namun lebih dari itu dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi yang relatif meningkat.
Disisi konsumen, persaingan usaha yang sehat berkonstriubusi pada
meningkatnya tingkat kesejahteraan konsumen, dimana konsumen tidak lagi
menjadi korban posisi produsen sebagai price taker yang sering merugikan
konsumen, baik dalam konteks penentuan harga, kualitas, ketersediaan atau
pasokan serta pelayanan. Selanjutnya, dengan persaingan yang lebih sehat,
konsumen akan dihadapkan pada pilihan barang yang lebih banyak dan variatif
dengan harga dan kualitas yang juga lebih baik.
Bagi produsen, dampak persaingan usaha yang sehat tentu akan
mendorong strategi bisnis perusahaan yang lebih baik, yang akan lebih care
terhadap penggunaan sumber daya yang lebih efisien, penciptaan inovatif dan
kreatifitas yang lebih baik serta pelayanan serta kualitas yang lebih baik. Hal ini
tentu disebabkan karena persaingan akan membuka peluang bagi perusahaan-
perusahaa
dengan m
tercapainy
bahwa pe
efisiensi d
tetapi juga
Se
mewujudk
dengan pe
Kebijaka
Ke
menghind
ritel kecil/
dibanding
creation k
satu zona
akhir per
menciptak
Z
Pe
Ja
Model Ak
an baru un
mengedepan
ya kepuasa
ersaingan u
dan efektifita
a perusahaa
mentara itu
kan persain
engaturan h
Gam
n Zonasi
ebijakan zo
arkan terja
tradisional.
kan dari s
keduanya ju
si dan berh
rsaingan d
kan equal
Zonas
erijin
m BuToko
ksesibilitas
ntuk masuk
nkan aspek
an konsume
usaha yang
as usaha ya
an yang me
u dalam m
ngan yang s
hal-hal berik
bar 2. Stra
onasi mer
dinya persa
Hal ini dis
sudut kapi
uga berbeda
hadapan h
ari keduan
playing fie
si
an
uka o
Perijinan In
k kedalam
k-aspek pr
en. Sehingg
sehat aka
ang dampa
engimpleme
melaksanaka
sehat di bid
kut ini:
ategi Kebij
upakan
aingan hea
sebabkan u
ital, sehing
a. Apabila k
ead to hea
nya. Zonas
eld, sehingg
•Harus memp•Memperhati•Memperhatimasyarakat
•Diperlukan s•Diperlukan smodern•Skema pola kdaerah
•Pengaturan J•Pemberian s
ndustri Kecil
pasar dan
aktek bisn
ga, secara
an berakiba
knya tidak
entasikanny
an strategi
dang ritel s
jakan Peri
sebuah k
ad to head a
kuran kedu
gga kemam
kedua pelak
d, maka bi
si merupak
a persainga
perhatikan RTRWikan jarak pasarikan jarak pasar
studi kelayakan studi dampak so
kemitraan yang
Jam buka toko anksi tegas ata
l di Kabupate
berkompet
is yang le
umum da
t pada pen
hanya diras
a.
kebijakan
setidaknya
ijinan Rite
kebijakan
antara ritel
uanya yang
mpuan men
ku tersebut
sa dibayang
kan sebuah
an diharapk
W Kabupaten/Kr tradisional dar modern dan k
sosial ekonomosial dan ekono
g jelas terhadap
ritel moderns pelanggaran j
en Blitar
tisi secara
ebih sehat
pat disimp
ncapaian ti
sakan konsu
perijinan d
dapat dilak
el
yang men
modern de
berbeda ap
nciptakan
disatukan d
gkan bagai
h upaya u
kan berlang
Kotan pasar moderkondisi sosial ek
iomi atas pendir
p industri kecil d
jam operasiona
23
sehat
demi
pulkan
ngkat
umen
dalam
kukan
ncoba
engan
pabila
value
dalam
mana
untuk
gsung
nkonomi
rian ritel
dan UMKM di
al usaha
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 24
dalam suasana yang sangat sehat (fair competition) karena berada dalam ”kelas”
yang sama.
Sesungguhnya dengan melakukan zonasi, maka ketika zona-zona
ditetapkan untuk hipermarket, maka pada saat itu ada semangat untuk
membatasi hipermarket di wilayah tersebut. Hal ini misalnya disampaikan oleh
KPPU kepada Pemerintah agar tidak membangun ritel modern untuk berhadapan
langsung dengan ritel kecil/tradisional. Makna sesungguhnya dari ini adalah,
batasi jumlah ritel modern.
Melalui zonasi ini pada akhirnya, market power yang dimiliki hipermarket
atau ritel modern lainnya tidak akan berkembang sebagaimana yang terjadi saat
ini. Hal ini terjadi karena mereka tetap terbatas jumlahnya sekalipun trademark
bahwa mereka tempat belanja yang nyaman, murah dan mudah tetapi karena
jumlahnya sedikit maka bargaining power mereka tidak terlalu besar. Hal ini
disebabkan masih banyaknya alternatif lain bagi konsumen untuk mendapatkan
produknya. Berbeda sekali dengan kondisi jika konsumen dapat menemukan
tempat belanja hipermarket/ritel modern dengan cepat karena tersedia banyak,
maka dipastikan ritel tradisional/kecil akan tergerus dan pelan tapi pasti
menghilang dari peredaran ritel nasional.
Kebijakan Perizinan
Dalam Perpres 112/2007 dan Permendag 53/2008 dinyatakan bahwa
proses perizinan untuk ritel modern akan melalui sejumlah proses yang cukup
sulit apabila diimplementasikan dengan benar. Hal ini terlihat dari persyaratan
bahwa permintaan terhadap izin ritel modern harus dilengkapi dengan studi
kelayakan termasuk analisis mengenai dampak lingkungan terutama aspek sosial
budaya dan dampaknya bagi pelaku perdagangan eceran setempat (pasal 13).
Sebelumnya di pasal 4 juga disebutkan bahwa pendirian pusat perbelanjaan dan
toko modern wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat,
keberadaan pasar tradisional, usaha kecil dan usaha menengah yang berada di
wilayah yang bersangkutan. Apabila ketentuan ini dilaksanakan dengan penuh
kehati-hatian, maka seharusnya terdapat alat analisis untuk melihat bagaimana
pengaruh dari kehadiran sebuah peritel modern di sebuah tempat. Apabila
benefit positif yang dihasilkan dari pendirian ritel modern lebih besar dari efek
negatifnya, maka pendirian pasar modern dapat dilaksanakan.
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 25
Begitu pula sebaliknya. Atau apabila ritel modern tetap diizinkan, maka
apabila muncul efek sosial, Pemerintah sudah harus siap dengan jaringan
pengaman sosialnya. Tanpa itu, maka pemberian izin akan menjadi pusat dari
permasalahan ritel modern versus ritel kecil/tradisional. Di sisi lain, dalam pasal
12 terkait perizinan, juga terdapat klausul yang sesungguhnya apabila
dilaksanakan akan menjadi sebuah bentuk pemberdayaan peritel lokal, dimana
format-format ritel modern diutamakan diserahkan kepada pelaku usaha lokal.
Hal ini memiliki arti apabila peritel kecil/tradisional dapat berevolusi menjadi ritel
modern, maka konsumen-konsumen ritel yang selama ini menjadi milik mereka
akan loyal terhadapnya.
Keterkaitan dengan market power peritel modern dengan perizinan
sangat erat, karena cakupan penetrasi/jangkauan pasar hanya dapat dilakukan
dengan sangat baik apabila mereka bisa mendapatkan tempat-tempat yang
strategis bagi penempatan gerai-gerai mereka. Penempatan gerai ini, hanya
dapat dilakukan apabila proses perizinannya dikabulkan oleh Pemerintah.
Tidaklah mengherankan apabila pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa
kebijakan perizinan akan sangat mempengaruhi struktur industri ritel secara
keseluruhan, termasuk persoalan ritel tradisional/kecil. Melalui perizinan yang
ketat, maka perlindungan terhadap ritel kecil/tradisional dapat dilaksanakan.
Kebijakan Pembatasan Waktu Buka
Kebijakan ini merupakan sebuah bentuk nyata yang juga ditujukan untuk
melindungi ritel kecil/tradisional dengan memperhatikan bahwa ada karakter-
karakter tertentu yang selama ini dimiliki oleh ritel tradisional/kecil, yang
diharapkan bisa tetap dilaksanakan dan memberi ruang bagi mereka untuk bisa
tetap bertahan dalam persaingan ritel yang sangat ketat saat ini. Beberapa
pelaku usaha ritel kecil/tradisional membuka gerainya berbeda-beda. Untuk
warung/toko tradisional mereka melakukannnya mulai dari pagi sampai sekitar
pukul 08.00-09.00 malam. Sementara pasar tradisional biasanya buka hampir 24
jam kerja. Melalui pembatasan jam buka yang ditetapkan oleh Perpres 112/2007
dan Permendag 53/2008, maka diharapkan akan tetap ada ruang bagi pelaku
usaha ritel kecil/tradisional untuk bisa memperoleh konsumen yang berbelanja di
toko/warung dan pasar.
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 26
Dalam Perpres 112/2007 dan Permendag 53/2008 waktu jam buka untuk
hipermarket, supermarket dan Department Store ditetapkan jam 10.00 sampai
22.00 untuk setiap hari Senin -Jum’at dan 10.00 sampai 23.00 untuk setiap hari
Sabtu – Minggu. Tetapi sayangnya hal ini tidak terjadi untuk ritel modern skala
kecil yakni minimarket dan convenience store. Padahal potensi ritel ini
mendistorsi pasar pelaku usaha ritel kecil/tradisional sangat besar sekali,
terutama bagi warung/toko jenis pop & mom store yang biasanya juga buka
sepanjang hari. Jam buka yang ditutup sekitar jam 22.00-23.00 dan dibuka
kembali jam 10.00, sangat membantu pasar tradisional yang umumnya mulai
melakukan aktivitasnya sekitar pukul 24.00 dan berakhir pukul 08.00-09.00.
Melalui model seperti ini, maka ruang bagi pasar ritel tradisional masih ada.
Kesimpulan
Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk melihat secara lebih jelas
persaingan usaha ritel terkait dengan perijinan usaha yang selam ini telah
diterbitkan oleh pemerintah Kabupate Blitar, dengan perkembangan sektor
perdagangan dan jasa telah menciptakan peluang baru bagi pemerintah daerah
dalam mengembangkan perekonomiannya. Salah satunya adalah dengan
mengundang investor untuk masuk dan menanam investasi di daerahnya, tapi
yang menjadi pertimbangan penting adalah ketika investasi masuk ke Kabupaten
Blitar dapat memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan dan tidak mengakibatkan kerugian kepada masyarakat secara
mayoritas.
Hal ini berlaku juga atas kebijakan pemerintah Kabupaten Blitar dalam
menata dan mengatur industri ritel yang ada di wilayahnya, harapannya dengan
maraknya ritel modern tersebut tidak akan mematikan industri kecil dan UMKM
yang ada di Kabupaten Blitar; karena sektor ini merupakan tulang punggun bagi
sebagian besar masyarakat Kabupaten Blitar. Sehingga, kesimpulan dari
penelitian ini adalah:
1. Pemerintah Kabupaten Blitar masih belum mempunyai regulasi terkait
peraturan daerah tentang perpasaran yang secara umum mengatur pasar
tradisional, pasar modern dan pusat perbelanjaan.
Model Aksesibilitas Perijinan Industri Kecil di Kabupaten Blitar 27
2. Dalam mengantisipasi munculnya persaingan yang tidak sehat dalam
bidang ritel, maka strategi yang dapat diterapkan adalah berupa 1).
Zonasi, 2). Perijinan dan 3). Pengaturan jam buka toko.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil dan kesimpulan penelitian ini maka rekomendasi atas
permasalahan perijinan yang sehat dalam bidang ritel dapat diberikan adalah:
1. Pemerintah Kabupaten Blitar harus mempertimbangkan untuk segera
mengatur pasar tradisional, pasar modern dan pusat perbelanjaan.
2. Meskipun pemerintah Kabupaten Blitar masih belum mempunyai
peraturan daerah tentang perpasaran setidaknya pemerintah harus
mengacu pada peraturan yang lebih tinggi sebagai acuan dalam
mengambil kebijakan atas perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional
dan penataan pasar modern.
3. Pemerintah Kabupaten Blitar perlu untuk melakukan sebuah kajian
komprehensif dalam upaya membuat naskah akademik penyusunan
peraturan perijinan dalam upaya menciptakan iklim usaha yang sehat dan
kondusif.