REVOLUSI HIJAU DI PEDESAAN JAWA: BENTUK PEMINGGIRAN...
Transcript of REVOLUSI HIJAU DI PEDESAAN JAWA: BENTUK PEMINGGIRAN...
ICASERD WORKING PAPER No. 5
REVOLUSI HIJAU DI PEDESAANJAWA: BENTUK PEMINGGIRAN TERHADAPGOLONGAN EKONOMI LEMAH DI PEDESAANIkin Sadikin dan Purwanto
Agustus 2003
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No. 5
REVOLUSI HIJAU DI PEDESAAN JAWA: BENTUK PEMINGGIRAN TERHADAP GOLONGAN EKONOMI LEMAH DI PEDESAANIkin Sadikin dan Purwanto
Agustus 2003
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari dan Agus Suwito. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : [email protected]
No. Dok.008/5/2/03
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
1
REVOLUSI HIJAU DI PEDESAAN JAWA :Bentuk Peminggiran Terhadap Golongan Ekonomi Lemah di Pedesaan
Ikin Sadikin1 dan Purwanto2
1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian,Jl A. Yani No.70 Bogor 16161
2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jawa Timur,Jl. Raya Karangploso Km.4 Malang 65101
ABSTRACT
This paper was aimed to study the impact of Green Revolution on rice farming in rural Java, especially its related impact to the farmers’ welfare. The study showed that Green Revolution had increased rice production, but it had not followed by increasing farmers’ income as a whole. The large-scale farmers tended to have more benefit than small-scale farmers did. The more relations and the greater access to the agent of change and village bureaucrat made the large farmers had more access to the economical and political power. Those mechanisms brought to the wider gap on economic distribution among villagers. The ineffectiveness of those agricultural development programs closely related to less supporting policy on the socio-economic and agrarian reforms in rural areas.
Key words : Green Revolution, rural Java, the farmers’ welfare.
ABSTRAK
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melihat dampak Revolusi Hijau terutama dalam kaitannya dengan tingkat kesejahteraan masyarakat petani padi sawah di pedesaan Jawa. Hasil kajian menunjukkan bahwa Revolusi Hijau memang telah berhasil meningkatkan produktivitas lahan dan produksi padi secara nasional. Akan tetapi, peningkatan produksi ini hanya menguntungkan petani berlahan luas, sementara petani berlahan sempit tidak banyak memperoleh manfaat dari hasil peningkatan produksi. Hubungan-hubungan yang dijalin dengan agen pembangunan dan birokrat desa memberikan keuntungan kepada petani lahan luas untuk memperoleh akses yang lebih besar terhadap kesempatan ekonomi dan politik. Kondisi demikian membawa akibat pada kesenjangan ekonomi antar penduduk pedesaan yang makin melebar. Tidak efektifnya program pembangunan pertanian ini tidak terlepas dari kurangnya dukungan kebijakan terhadap persoalan mendasar dari pertanian sendiri, yakni penataan atau pembaruan agraria dan penataan kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat pedesaan.
Kata kunci : Revolusi Hijau, pedesaan Jawa, kesejahteraan petani.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan bidang pertanian tetap menjadi prioritas dalam program pembangunan di
Indonesia, sejak dimulainya Pelita I. Tujuan utama program pembangunan pertanian adalah terciptanya
peningkatan produksi, pendapatan dan kesempatan kerja. Dalam sektor pangan, pembangunan pertanian
diarahkan untuk mengatasi kekurangan pangan dengan jalan peningkatan produksi secara nasional.
Melalui upaya peningkatan produksi ini pada gilirannya diharapkan akan membawa kepada peningkatan
pendapatan masyarakat secara keseluruhan.
Pada tahun 1950-an, usaha peningkatan produksi untuk mencapai swasembada beras dihadapkan
pada keengganan orang Jawa untuk meningkatkan produksi di atas kebutuhan subsistennya. Keengganan
2
meningkatkan produksi di atas kebutuhan subsisten ini diindikasikan oleh Boeke sebagai akibat dari
terjadinya dualisme ekonomi dalam masyarakat Jawa. Geertz mengindikasikan gejala ini sebagai involusi
pertanian yang disebabkan oleh perilaku berbagi kemiskinan (shared poverty). Sedangkan Penny
menyebutnya sebagai peasant’s subsistence mindedness, yaitu sikap petani yang sulit meningkatkan
produksinya untuk kepentingan dijual di pasar dan lebih memilih hidup pada tingkat pemenuhan
kebutuhan subsisten.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi pola perilaku yang enggan maju dalam
produksi, sampai akhirnya diluncurkanlah program Revolusi Hijau. Aspek pokok yang diterapkan dalam
program Revolusi Hijau adalah pemakaian benih unggul (HYVs). Di samping itu juga dilakukan program
kilat besar-besaran (crash programs) untuk mensuplai input yang dibutuhkan dan untuk mengadakan
pengendalian air melalui berbagai proyek irigasi yang sangat mahal.
Penekanan pada program-program pembangunan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa untuk
mencapai pertanian yang modern (maju) harus memenuhi empat aspek teknologi, yaitu irigasi,
mekanisasi, pemupukan dan kontrol kimiawi terhadap rerumputan liar dan serangga (Collier, 1978). Oleh
karenanya, berbagai fasilitas dan prasarana dibangun untuk memenuhi persyaratan ini.
Dengan dasar pemikiran tersebut, berbagai program pertanian tanaman pangan difokuskan pada
peningkatan produksi dalam rangka mencapai swasembada pangan. Sedangkan masalah pembagian hasil
(pendapatan) diserahkan pada kekuatan atau mekanisme pasar.
Perumusan Masalah
Revolusi Hijau dengan segala perangkat penunjangnya seperti perkreditan rakyat, koperasi,
rehabilitasi irigasi merupakan program besar dengan segala tantangan dan risikonya yang kompleks.
Pertaruhan yang besar dalam program Revolusi Hijau, mengambil istilah Clifton Wharton, ibarat bermain
dengan kotak Pandora yang mengandung ketidakpastian di mana segala sesuatu bisa keluar dari kotak
tersebut. Oleh karena itu, sangat wajar bila dipertanyakan bagaimana dampak sosial ekonomi yang
ditimbulkan oleh Revolusi Hijau.
Tulisan ini berusaha menyajikan beberapa dampak Revolusi Hijau dengan mengambil data dari
beberapa penelitian terkait. Penekanan terutama diarahkan untuk menggambarkan perubahan-perubahan
sosial dan ekonomi dalam kaitannya dengan tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya para petani
sebagai sasaran utama dari program Revolusi Hijau.
3
KERANGKA PEMIKIRAN
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan tatanan masyarakat dari suatu keadaan
keterbelakangan menjadi keadaan yang lebih maju atau perubahan dari negara kurang berkembang dan
berkembang menjadi negara maju. Brookfield (dalam Long, 1987) mendefinisikan pembangunan sebagai
proses pergerakan ke arah kesejahteraan, seperti penurunan kemiskinan dan pengangguran, serta
pemerataan. Berdasarkan pengertian ini tampak adanya penekanan pada konsep pembangunan ekonomi,
sehingga dalam melihat perubahan-perubahan masyarakatpun ukuran-ukuran ekonomi ini yang menjadi
indikator yang penting.
Dalam konsep pembangunan masyarakat dikenal ada tiga aliran pemikiran yang berkembang,
yaitu perspektif modernisasi, dependensi dan sistem ekonomi kapitalis dunia (Suwarsono dan So, 1991).
Perspektif modernisasi memandang masyarakat di negara Dunia Ketiga akan berkembang dari suatu
keadaan masyarakat yang kurang maju menuju ke arah yang lebih baik (maju) dengan bentuk dan
susunan masyarakat yang homogen. Perubahan menuju bentuk masyarakat yang maju (modern)
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Setiap masyarakat menurut kadarnya, baik sedikit atau
banyak, akan mengalami perubahan, namun perubahan masyarakat ini berjalan secara bertahap untuk
mencapai ke arah kemajuan.
Menurut Dube (1988), proses modernisasi yang terus berkembang merupakan suatu dinamika
sosial yang didasarkan pada perubahan masyarakat dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat
modern atau dari bentuk dan susunan masyarakat yang sederhana menjadi masyarakat yang kompleks.
Berdasarkan perkembangan ini masyarakat akan bergerak secara bertahap melalui perbaikan-perbaikan
menuju ke suatu keadaan yang lebih maju. Arah perkembangan masyarakat dapat bervariasi dan bersifat
spesifik untuk setiap masyarakat.
Dalam pandangan teori modernisasi baru, nilai-nilai tradisional bukanlah penghambat
pembangunan, bahkan hal ini dapat dimanfaatkan secara positif untuk keperluan mendorong
pembangunan. Hasil penelitian Dove dan kawan-kawan pada beberapa masyarakat lokal di Indonesia
memperlihatkan bagaimana nilai-nilai budaya dan sistem ekonomi tradisional mampu membawa
masyarakat secara dinamis menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan internal dan kekuatan
eksternal yang mempengaruhinya.
Meskipun tidak terlepas sama sekali dari pengaruh faktor eksternal, masyarakat di negara Dunia
Ketiga dalam posisinya yang terbelakang tetap mempunyai kekuatan dan kelenturan di dalam merespon
modernisasi. Davis melalui teori barikadenya memperlihatkan bagaimana masyarakat tradisional
melakukan barikade untuk melindungi dirinya dari kemungkinan gangguan yang ditimbulkan oleh
berkembangnya kapitalisme. Pembangunan ekonomi (kapitalisme) terjadi manakala benteng masyarakat
mulai menua dan melemah, yang pada akhirnya sedikit demi sedikit tumbang, atau ketika benteng
pertahanan tersebut kehilangan semangat dan pegangan kemudian menyerah. Dalam kondisi demikian
maka terbuka kesempatan bagi kapitalisme untuk melakukan ekspansi.
4
Berlawanan dengan aliran modernisasi, perspektif dependensi menganggap penetrasi kapitalisme
tidak membawa ke arah kemajuan, bahkan mendorong negara Dunia Ketiga pada situasi ketergantungan.
Perspektif dependensi lebih menekankan perhatiannya pada situasi hubungan yang tidak seimbang antara
negara pusat dan negara periferi, yang pada akhirnya melahirkan ketergantungan negara periferi kepada
negara pusat. Rangkaian hubungan antara periferi dan pusat ini dicirikan oleh hubungan eksploitasi pihak
pertama terhadap pihak yang kedua. Struktur hubungan yang bercorak eksploitatif dan menciptakan
ketergantungan ini pada akhirnya mengakibatkan keterbelakangan negara periferi.
Menurut pandangan dependensi situasi ketergantungan yang dialami oleh negara periferi banyak
diakibatkan oleh faktor luar, yakni warisan penjajahan dan pembagian kerja internasional yang timpang.
Ketergantungan merupakan akibat masalah-masalah ekonomi yang terjadi akibat mengalirnya surplus
ekonomi dari negara periferi ke negara pusat. Pembangunan yang hanya melahirkan ketergantungan
bukanlah suatu pembangunan. Pembangunan seharusnya membawa kepada peningkatan kualitas hidup
bagi semua orang, bukan sekedar peningkatan produktivitas atau peningkatan output. Pembangunan yang
hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat saja dan membebani mayoritas masyarakat akan
membawa kepada pengkutuban di tengah-tengah masyarakat sendiri.
Frank (1984), dengan teorinya the development of underdevelopment yang mengajukan model
hubungan satelit-metropolis, mengemukakan bahwa keterbelakangan negara Dunia Ketiga bukan
merupakan sesuatu yang alami, melainkan tercipta melalui sejarah kolonial yang panjang dan hubungan
eksploitatif dalam sistem pembagian kerja internasional. Model hubungan satelit-metropolis tidak hanya
berlaku pada tingkat hubungan internasional, melainkan juga berlaku dalam kasus hubungan regional dan
lokal di dalam negara Dunia Ketiga. Dalam hubungan demikian, terjadi proses pengambilan surplus
ekonomi dari satelit ke metropolis sehingga melahirkan kondisi ketergantungan pihak satelit dan
kemajuan pihak metropolis.
Menurut Santos (1970), ada tiga bentuk ketergantungan yang dapat melahirkan keterbelakangan,
yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan industri-finansial dan ketergantungan teknologi-industri.
Bentuk ketergantungan yang kedua dan ketiga inilah yang sekarang banyak melanda negara-negara
Dunia Ketiga. Keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga bukan disebabkan oleh kegagalannya
mengintegrasikan diri ke dalam tata ekonomi kapitalisme, tetapi lebih disebabkan oleh struktur
ketergantungan pada aras global, yang berupa pengawasan ketat dan monopoli modal asing, pembiayaan
pembangunan dengan modal asing, dan penggunaan teknologi modern yang hanya dikuasai segelintir
negara maju.
Sedangkan Cardoso (1972) mengemukakan bahwa hubungan negara pusat dan periferi terjadi
karena adanya kepentingan atau kebutuhan negara pusat untuk memenuhi bahan baku industrinya yang
banyak dimiliki oleh negara periferi. Hal ini menyebabkan terjadinya spesialisasi produksi antara negara
pusat dan pinggiran, di mana negara pusat menjadi penghasil barang industri sementara negara periferi
sebagai penghasil bahan baku bagi keperluan industri di negara pusat. Struktur pertukaran komoditi yang
5
tidak seimbang ini menyebabkan terbentuknya ketergantungan negara periferi kepada negara pusat.
Kendati demikian negara periferi melalui upaya yang cerdik masih bisa melaksanakan pembangunan.
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI, PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI
Perkembangan Teknologi
Dalam pembangunan di bidang pertanian, upaya peningkatan produksi dilaksanakan melalui
modernisasi di bidang teknologi melalui introduksi penggunaan varietas unggul dan masukan produksi
kimiawi. Dalam bidang tanaman pangan khususnya padi, pengenalan varietas padi unggul di Indonesia
telah dimulai sejak tahun 1968. Sebelumnya, petani banyak menanam varietas lokal dan unggul nasional
seperti Sigadis, Remaja, Jelita, Dewi Tara, Sinta, dan Bengawan. Namun beberapa tahun setelah varietas
unggul baru diperkenalkan, petani secara sukarela ataupun karena keterpaksaan telah banyak yang beralih
menggunakan varietas unggul baru yang dianjurkan (Siregar dan Nusution, 1984). Lebih lanjut hasil
penelitian Siregar dan Nasution memperlihatkan terjadinya pergeseran penggunaan varietas padi yang
digunakan oleh petani di pedesaan Jawa. Pada tahun 1970/1971 sebesar 65-95 persen petani masih
menggunakan varietas lokal tetapi pada tahun 1980/1981 lebih dari 90 persen petani telah menggunakan
varietas unggul baru yang telah diintroduksikan, bahkan di sebagian besar desa seluruh petani telah
menggantikan semua tanaman padinya dengan jenis (varietas) unggul tersebut.
Bersamaan dengan perluasan penggunaan bibit unggul tersebut, tingkat penggunaan pupuk juga
mengalami peningkatan. Hal ini tidak mengherankan karena karakteristik varietas padi jenis unggul
memang memerlukan masukan produksi yang lebih intensif untuk menghasilkan keluaran yang tinggi. Di
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, penggunaan pupuk per ha di tingkat petani telah mengalami
peningkatan yang amat signifikan. Peningkatan yang paling besar terjadi di Jawa Tengah dengan tingkat
perubahan mencapai lebih dari 200 persen, sementara di Jawa Barat perubahan penggunaan pupuk tidak
sampai 100 persen. Petani yang paling responsif dalam menggunakan pupuk buatan ini adalah petani di
Jawa Timur. Meskipun tingkat perubahan penggunaan pupuk tidak setinggi seperti di Jawa Tengah tetapi
tingkat penggunaan pupuk rata-rata per hektar paling tinggi diantara ketiga propinsi, dengan tingkat
pemakaian pupuk (Urea dan TSP) mencapai setengah ton per hektar. (Lampiran 1.)
Peningkatan penggunaan benih unggul dan pupuk oleh petani secara keseluruhan nampaknya
telah berhasil berkat penyuluhan dan subsidi harga pupuk. Pada tahun 1980/1981, harga nyata pupuk
lebih rendah yaitu sekitar 50 persen dari harga nyata pupuk pada tahun 1970/1971. Harga nyata pupuk
adalah rasio harga pupuk terhadap harga gabah pada waktu (tahun) yang sama (Siregar dan Nasution,
1984).
Menurut mereka, sebagai bagian dari modernisasi pertanian, penggunaan mesin pengolah tanah
atau traktor juga mulai merambah pedesaan di Jawa. Pada tahun 1970/1971 di pedesaan Jawa Timur
belum terlihat pemanfaatan traktor untuk mengolah tanah tetapi sepuluh tahun kemudian penggunaan
6
traktor mulai menggeser pemakaian tenaga ternak dan tenaga manusia. Meskipun traktor tidak
sepenuhnya menggantikan tenaga manusia dan ternak, tetapi dalam jangka panjang tuntutan peningkatan
intensifikasi dan waktu yang mendesak dalam pengolahan tanah akan semakin membuka peluang bagi
mekanisasi pengolahan untuk lahan-lahan pertanian.
Masuknya mekanisasi pertanian di pedesaan tentu saja juga akan membawa dampak pada
struktur pasar tenaga kerja. Penggunaan traktor untuk mengolah tanah memang menjadi masalah yang
dilematis. Pada satu sisi, penggunaan traktor akan sangat diperlukan bagi daerah-daerah pedesaan yang
kekurangan tenaga kerja. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa penggunaan traktor akan
menyingkirkan tenaga manusia dan ternak, sehingga memperparah terjadinya pengangguran dan makin
pincangnya distribusi pendapatan di pedesaan. Hal ini terjadi karena pekerjaan memborong pengolahan
tanah jatuh ke tangan petani bertanah luas pemilik traktor.
Disamping itu, Intensifikasi pertanian juga memerlukan kecukupan penyediaan air bagi
keperluan irigasi, sebagai prasyarat yang tidak bisa ditinggalkan. Menurut Siregar dan Nasuition (1984),
sejak Pelita I pemerintah telah banyak mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya air yang ada
dengan membangun bendungan, waduk-waduk dan saluran irigasi untuk mencukupi kebutuhan air bagi
pelaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Di beberapa tempat air tanah juga dimanfaatkan
karena tidak mempunyai air gravitasi. Di desa Geneng, Jawa Timur, penggunaan pompa air tanah telah di
mulai sejak tahun 1978. Selain untuk mengairi sawahnya sendiri, petani pemilik pompa air juga menjual
jasa dengan mengoperasikan pompa air untuk memenuhi kebutuhan petani lain dengan jalan membayar.
Namun seperti halnya pemilik traktor, pemilik pompa air ini pada umumnya adalah petani pemilik tanah
yang luas yang memiliki lahan sawah di atas 1,5 hektar.
Dari segi penguasaan tanah, masuknya pompa air telah mengakibatkan menurunnya jumlah
petani penyakap dan petani penyewa. Hal ini terutama diakibatkan oleh naiknya nilai tanah setelah
adanya pompa air. Masalah yang selalu dihadapi petani sebelum ada pompa air adalah risiko kegagalan
pada musim tanam kedua akibat kekurangan air. Dengan adanya pompa air risiko kegagalan dapat
diperkecil, sehingga petani pemilik sawah lebih cenderung untuk mengerjakan tanahnya sendiri.
Dari uraian di atas tampak bahwa telah terjadi perubahan-perubahan dalam penerapan teknologi
di tingkat petani, di mana petani banyak menggunakan input-input produksi yang sesuai dengan konsep
teknologi pertanian modern. Namun demikian proses-proses perubahan ini telah membawa dampak lain
yaitu ketergantungan petani terhadap input-input produksi kimiawi.
Prinsip modernisasi pertanian telah memaksa petani untuk mengandalkan masukan (input)
usahatani yang diproduksi oleh pabrik melalui proses-proses kimiawi dan penerapan pola tanam
monokultur. Akibatnya, kesuburan tanah makin merosot, keseimbangan ekologi pertanaman menjadi
terganggu dan banyak keragaman hayati yang punah, sehingga tidaklah aneh jika kemudian terjadi
ledakan hama di mana-mana. Meskipun kemudian disadari bahwa pemakaian pupuk anorganik dan
pestisida kimiawi banyak menimbulkan dampak negatif, namun upaya untuk menggerakkan petani agar
7
banyak menggunakan bahan organik pada lahan sawah yang dikerjakannya semakin sulit karena petani
semakin tergantung pada pemakaian komponen teknologi yang mengandung masukan kimiawi.
Kondisi tersebut menjadikan suatu keuntungan besar bagi perusahaan-perusahaan yang
memproduksi pupuk anorganik dan pestisida yang sahamnya banyak dimiliki oleh para konglomerat,
bahkan tidak jarang modal asing masuk di dalamnya. Dengan demikian secara tidak langsung, program
Revolusi Hijau telah memerangkap petani ke dalam situasi yang memojokkan mereka dan memberikan
keuntungan yang besar kepada golongan ekonomi kuat dan perusahaan-perusahaan multinasional yang
banyak didukung kapitalisme internasional. Situasi yang tercipta ini tidak terlepas dari model
pembangunan pertanian yang dilaksanakan secara sentralistik dengan menggunakan pendekatan yang
cenderung otoriter dan represif.
Perkembangan Produksi dan Pendapatan Petani
Perbaikan teknologi usahatani padi melalui penggunaan varietas unggul, pupuk dan peningkatan
fasilitas irigasi telah memberikan sumbangan yang besar bagi peningkatan produksi. Dalam dasawarsa
1970 sampai 1980-an, hasil padi per hektar di desa-desa Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat telah
meningkat rata-rata sebesar 45 persen (Siregar dan Nasution, 1984). Peningkatan produksi yang paling
tinggi terjadi di Jawa Timur, yakni sebesar 91 persen atau dari 2,7 ton per hektar menjadi 5,2 ton per
hektar, yang terjadi di Desa Janti. Sedangkan peningkatan paling kecil terjadi di Desa Jatisari, Jawa Barat
dengan peningkatan produksi sebesar 24 persen, dari 3,4 ton per hektar menjadi 4,3 ton per hektar.
Peningkatan hasil per hektar ini, pada gilirannya juga membawa pada peningkatan pendapatan rumah
tangga petani. Secara keseluruhan untuk semua desa penelitian telah terjadi kenaikan biaya produksi
sebesar 40 persen, namun dengan naiknya hasil per hektar sebesar 55 persen, maka pendapatan petani
meningkat menjadi 60 persen.
Dari gambaran di atas tampak bahwa perbaikan teknologi di tingkat petani telah membawa pada
peningkatan produktivitas dan pendapatan rata-rata per hektar. Sekalipun demikian, hal yang penting
seberapa besar peningkatan hasil per hektar ini dapat meningkatkan pendapatan nyata yang diterima
petani mengingat pemilikan dan penguasaan tanah di tingkat petani amat bervariasi. Bagi petani berlahan
luas, peningkatan hasil dan pendapatan per hektar dengan mengaplikasikan teknologi baru ini akan
menjadi bagian yang cukup signifikan di dalam menambah pendapatan keluarga. Namun bagi petani
berlahan sempit dan buruh tani, peningkatan hasil dan pendapatan per hektar tersebut belum tentu
mendorong peningkatan pendapatan keluarga mereka.
8
POLA PENGUASAAN TANAH DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pola Penguasaan Tanah
Modernisasi pertanian di pedesaan selain mendorong penggunaan teknologi usahatani yang
intensif juga telah membawa perubahan lebih lanjut pada pola pemilikan dan penguasaan tanah. Hasil
penelitian di beberapa desa di Jawa memperlihatkan bahwa distribusi pemilikan sawah sangat timpang.
Hampir di semua desa, indeks Gini menunjukkan angka di atas 0,60 (Wiradi dan Makali, 1984). Bahkan
di beberapa desa angkanya mencapai di atas 0,80, suatu ketimpangan yang berat.
Dalam hal pendistribusian pemilikan lahan, Wiradi dan Makali menyatakan bahwa hampir di
semua desa, sekitar 30 persen atau lebih rumah tangga tidak memiliki tanah, sementara kurang dari 20
persen rumah tangga memiliki separuh atau lebih dari keseluruhan luas sawah milik yang ada. Pada
sebagian besar desa (8 dari 12 desa), lebih 50 persen rumah tangga merupakan tunakisma. Pemilikan
formal memang tidak selalu mencerminkan penguasaan nyata atas tanah, karena ada beberapa jalan untuk
dapat menguasai tanah seperti melalui sistem sewa, penyakapan ataupun gadai, meskipun yang terakhir
ini sebenarnya dilarang menurut UUPA 1960. Dengan jalan tersebut, sebagian rumah tangga petani yang
tidak memiliki tanah tetap dapat memperoleh tanah garapan, dan sebaliknya ada sebagian pemilik yang
tidak menggarap sama sekali. Meskipun sebagian tunakisma (rumah tangga yang tidak memiliki tanah)
dapat memperoleh tanah garapan, tetapi ternyata jumlah tunakisma mutlak masih cukup besar. Lebih dari
20 persen rumah tangga di 10 dari 12 desa di Jawa adalah tunakisma mutlak. Bahkan pada 7 desa di
antaranya, jumlah tunakisma mutlak melebihi 40 persen (lampiran 2).
Distribusi Pendapatan
Menurut Sinaga dan White (dalam Mintoro, 1984) ada dua macam kemiskinan di pedesaan Jawa,
yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah terjadi akibat langkanya
sumberdaya dan rendahnya produktivitas, sedangkan kemiskinan struktural terjadi karena lembaga-
lembaga yang ada membuat sekelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-
fasilitas secara merata. Dalam kemiskinan struktural sebagian anggota masyarakat akan tetap miskin,
walaupun sebenarnya total produksi yang dihasilkan oleh masyarakat bila dibagi rata dapat
membebaskan semua anggota masyarakat dari kemiskinan. Kemiskinan struktural ini terjadi karena
adanya ketimpangan distribusi pendapatan dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dalam pengembangan teknologi pertanian di pedesaan, kendati teknologi bersifat netral terhadap
luasan usahatani tetapi tetap menghasilkan ketimpangan ekonomi (pendapatan) di tingkat rumah tangga
petani. Kondisi demikian tidak terlepas dari struktur pemilikan dan penguasaan tanah yang mengalami
proses polarisasi yang mengarah pada distribusi yang timpang. Ketimpangan dalam pemilikan dan
penguasaan tanah ini akan dapat berakibat pada terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan dalam
masyarakat.
9
Memang pemilikan dan penguasaan tanah bukan merupakan satu-satunya faktor penentu
ketimpangan dalam distribusi pendapatan rumah tangga petani. Para petani kecil dan buruh tani dapat
meningkatkan pendapatan rumah tangganya melalui berbagai aktifitas di luar usahatani. Meskipun
demikian, apakah petani kecil dan buruh tani mampu merebut bagian ekonomi yang cukup besar dalam
kegiatan di luar usahatani sehingga mereka dapat mengejar ketertinggalannya dalam memperoleh
pendapatan rumah tangga yang sepadan dengan petani pemilik lahan luas? Hal ini tentu masih menjadi
tanda tanya besar, karena petani pemilik lahan luas tentunya juga mempunyai keinginan yang sama.
Bahkan kesempatan bagi pemilik tanah luas akan lebih besar karena mereka mempunyai modal yang
dapat dimanfaatkan untuk menjalankan kegiatan di luar usahatani.
Meskipun tidak seluruhnya benar, namun ada gejala yang memperlihatkan adanya keeratan
hubungan antara pendapatan di sektor pertanian dengan sektor di luar pertanian (Mintoro, 1984). Petani
yang memiliki dan menguasai tanah luas, dengan surplus ekonomi yang besar akan mampu memperoleh
peluang lebih besar untuk mengakses berbagai fasilitas dan kemudahan yang ditawarkan melalui
berbagai program pembangunan dan akses terhadap kekuasaan, sehingga akan memudahkan mereka
untuk mendapatkan surplus ekonomi yang lebih besar. Sementara bagi golongan petani berlahan sempit,
meskipun mampu memanfaatkan peluang sektor non-pertanian, namun pada umumnya mereka hanya
bisa mendapatkan pekerjaan kasar yang tidak banyak membutuhkan modal, dengan tingkat pendapatan
yang tentu saja tidak terlalu besar.
Meningkatnya pendapatan sebagai akibat kemajuan teknologi akan mempengaruhi perilaku
konsumsi masyarakat untuk mengkonsumsi barang-barang sekunder di luar kebutuhan pokok dan
perubahan gaya hidup. Pandangan masyarakat yang memperlakukan kekayaan dan tanah sebagai ekspresi
kehormatan sosial, akan mengukuhkan kedudukan sosial petani pemilik tanah luas yang banyak
memperoleh surplus ekonomi dari hasil usahataninya pada posisi sosial yang tinggi.
Di samping untuk mengembangkan gaya hidup dan kedudukan sosial, peningkatan pendapatan
(surplus) ekonomi ini juga dapat menjadi sarana yang efektif untuk memperoleh kekuasaan. Selain efek
kekayaan terhadap ekspresi kehormatan, barang dan jasa yang melekat dalam kekayaan juga dapat
dijadikan dasar kewenangan untuk mempengaruhi tindakan sosial, seperti halnya kewenangan yang
diperoleh melalui dasar hukum dan legitimasi politik. Meskipun dengan cara yang halus, kekuatan yang
dimiliki oleh kapital ini cukup efektif untuk memperoleh kewenangan kekuasaan (Trijono, 1996).
Melalui sarana ekonomi yang kuat, petani pemilik lahan luas dan pemodal yang kuat akan dapat
memasuki wilayah politik desa. Sebagai contoh, pemilihan kepala desa yang memperlihatkan bahwa
pembagian uang dan distribusi kesejahteraan sangat menentukan terpilih-tidaknya seseorang menjadi
kepala desa. Ada semacam peraturan tak tertulis bahwa kepala desa sangat dimungkinkan terpilih karena
mampu bersikap royal dengan membagi uang dan kesejahteraan kepada masyarakat. Kondisi demikian
memberikan peluang yang besar bagi golongan ekonomi yang kuat untuk memasuki birokrasi desa dan
menjadikannya alat untuk memperjuangkan kepentingannya. Pelaksanaan program pembangunan
10
pertanian yang bertumpu pada jalur kepemimpinan formal akan memungkinkan terciptanya peluang
aliansi birokrasi dengan golongan (kelas) ekonomi yang kuat.
Dengan adanya akses terhadap kekuasaan ini maka golongan ekonomi kuat, yakni pemilik lahan
luas dan pemodal besar akan semakin mempunyai peluang yang besar untuk mengembangkan usaha
ekonominya dan mereka akan dapat memanfaatkan berbagai fasilitas dan kemudahan untuk menguasai
berbagai sumber-sumber ekonomi di desa. Bahkan dengan kekuatan ekonominya kelompok pemilik
lahan luas dan pemodal kuat ini akan mempunyai kesempatan yang besar untuk memperoleh keuntungan
dalam hubungannya dengan kekuatan-kekuatan dari luar (kota) yang berkaitan dengan kepentingan desa.
Akses yang besar ke kota dapat dilakukan baik melalui hubungan ekonomi secara langsung maupun
berupa investasi pendidikan kepada anak-anaknya yang kelak diharapkan akan dapat menjadi bekal untuk
bagi anak-anaknya untuk memperoleh pekerjaan di kota.
Sementara golongan petani berlahan sempit (petani gurem) dan buruh tani akan semakin
terpinggirkan dalam memperoleh berbagai akses sumber-sumber daya ekonomi yang ada di desa. Bahkan
dengan kurangnya akses terhadap pendidikan, juga menjadikan mereka tersisih dalam perebutan untuk
mencari peluang kerja di kota. Kebanyakan mereka yang tersisih akan masuk ke dalam sektor informal di
perkotaan, yang mengakibatkan berkembangnya slum area di perkotaan.
REVOLUSI HIJAU : ANTARA PERTUMBUHAN PRODUKSI DAN
PENINGKATANKESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Pertumbuhan Produksi
Tujuan utama Revolusi Hijau adalah peningkatan produksi pangan khususnya padi yang
diharapkan akan meningkat dengan meningkatnya masukan produksi berupa benih unggul, aplikasi
pupuk kimiawi, insektisida, pestisida, pembimbingan lapangan melalui PPL, kredit usahatani, kekuatan
pemerintah, dan penciptaan iklim yang mendukung.
Perkembangan teknologi yang terjadi sejak Bimas dimulai sampai sekarang tampaknya telah
meningkatkan produksi padi di Indonesia secara nyata. Penggunaan teknologi maju, bibit unggul dan
pupuk yang disertai dengan perbaikan irigasi telah mampu memberikan sumbangan besar pada
peningkatan produksi padi. Meskipun demikian peningkatan produksi yang dicapai belum mampu untuk
mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Pada dasa warsa pertama dari Revolusi Hijau (1965-1980),
kendati terjadi peningkatan produksi, tetapi belum mampu menurunkan impor. Pada tahun 1965 hasil
produksi gabah per hektar sebesar 17 kuintal, meningkat menjadi 33 kuintal per hektar pada tahun 1980.
Tetapi dari segi impor juga mengalami peningkatan, dimana pada tahun 1965 persentase impor terhadap
penyediaan total adalah sebesar 9 persen, dan angka ini meningkat menjadi 13 persen pada tahun 1973
dan 1977. Pada tahun 1980, persentase impor terhadap suplai total masih sebesar 10 persen (Trijono,
1996).
11
Selanjutnya Trojono (1996) menyatakan bahwa tingkat swasembada, dalam arti impor sebesar
nol persen, baru tercapai pada tahun 1985. Pencukupan kebutuhan dalam negeri secara mandiri
(swasembada) ini juga tidak bertahan lama, hanya sekitar 5 tahun, yakni tahun 1985 sampai dengan 1988
dan selang tahun 1989, kemudian tercapai lagi pada tahun 1990. Setelah itu impor tidak pernah turun lagi
ke posisi nol persen. Bukan hanya tidak turun, bahkan pada tahun 1992 terjadi peningkatan impor
kembali, yakni sebesar 6 persen. Kecuali pada tahun 1993, yang justru terjadi ekspor. Pada tahun 1994,
impor beras masih mencapai 2 persen dari total suplai 28,58 juta ton (atau sebeesar 633 ribu ton), tetapi
tahun berikutnya menjadi tiga kali lipat, yakni 6 persen dari total suplai atau sebesar 1,8 juta ton.
Persentase impor ini sama dengan tahun 1995, tetapi jumlah nominalnya meningkat menjadi 2,1 juta ton.
Pada tahun 1997 terjadi penurunan persentase impor menjadi sebesar 1 persen, namun pada tahun tahun
1998 persentase impor melambung kembali menjadi 9 persen dari total suplai atau sebesar 2,9 juta ton.
Angka 9 persen mengingatkan persentase impor tahun 1965, yakni permulaan pergantian dari Orde Lama
ke Orde Baru. Meskipun angka persentasenya sama tetapi jumlah nominal beras yang diimpor jauh
berbeda. Pada tahun 1965, jumlah impor beras sebesar 819 ribu ton yang merupakan 9 persen dari total
suplai 8,8 juta ton dan pada tahun 1998, persentase impor kembali menjadi 9 persen dari total suplai
beras.
Dapat dikatakan bahwa selama masa Orde Baru, kendati telah berhasil mencapai swasembada
beras, pada akhirnya juga membawa kembali ke posisi impor tinggi seperti pada masa berakhirnya rezim
Orde Lama. Bahkan pada dasa warsa pertama Orde Baru, impor beras tetap tinggi, yakni sebesar 10
sampai 13 persen yang terjadi antara tahun 1973 sampai 1980. Memang angka nominal produksi beras
menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun seperti ditunjukkan oleh hasil panen gabah kering per
hektar, yang meningkat dari 17 kuintal per hektar pada tahun 1967 menjadi 33 kuintal per hektar tahun
1980 dan mencapai 44 kuintal per hektar pada tahun 1997, tetapi peningkatan tersebut masih belum
mampu mengimbangi laju permintaan penduduk (Tjondronegoro, 1998).
Kesejahteraan Petani
Dari uraian terdahulu tampak bahwa Revolusi Hijau telah membawa perubahan-perubahan yang
cukup besar dalam masyarakat pedesaan. Introduksi teknologi melalui penggunaan masukan produksi
kimiawi, mekanisasi, dan peningkatan fasilitas irigasi telah meningkatkan intensitas pengelolaan
usahatani dan peningkatan produksi padi. Namun untuk melihat pengaruhnya bagi peningkatan
kesejahteraan petani harus dilihat bagaimana distribusi dari hasil yang telah dicapai ini dalam masyarakat
pedesaan.
Persoalan distribusi hasil dalam pertanian pangan dapat diukur dengan berbagai cara, antara lain,
melalui indeks nilai tukar petani, pendapatan petani yang dikontraskan dengan kebutuhan fisik minimum,
ketersediaan peluang kerja, akses terhadap sarana produksi dan kondisi struktur pemilikan dan
penguasaan tanah.
12
Menurut Wahono (1999), indeks nilai tukar petani merupakan suatu indikator untuk mengukur
seberapa besar kemampuan nilai produk petani dapat digunakan untuk membeli produk-produk non-
pertanian. Berdasarkan data nilai tukar petani tampak bahwa setelah mencapai swasembada beras tahun
1985, indeks nilai tukar yang diterima petani di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur
tidak pernah meningkat, dengan angka indeks berkisar antara 103 sampai 105. Pada tahun-tahun tertentu
angka indeks dapat mencapai 108 sampai 113, tetapi tidak pernah berlangsung lama. Misalnya untuk
kasus Jawa Timur, pada tahun 1987 dan 1988 angka indeks nilai tukar petani berturut-turut 111,3 dan
113,3, tetapi pada tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan, bahkan sampai mencapai 99,1 dan 94,3
pada tahun 1992 dan 1993. Indeks nilai tukar petani di Jawa Timur baru mengalami peningkatan kembali
pada tahun 1997, yakni mencapai 112,8, meskipun tahun berikutnya jatuh kembali pada posisi 104,7.
Penampilan angka indeks nilai tukar petani di propinsi lainnya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di
Jawa Timur (Lampiran 3)
Berdasarkan analisis terhadap angka indeks nilai tukar petani, dapat ditarik dua kesimpulan.
Pertama, meskipun telah terjadi peningkatan produksi gabah secara berarti pada paruh kedua dasawarsa
tahun 1980-an, namun indeks nilai tukar petani justru menunjukkan kecenderungan menurun secara
drastis. Kedua, penampilan indeks nilai tukar petani yang naik cuma satu dua tahun kemudian jatuh
beberapa tahun berikutnya menunjukkan bahwa telah terjadi fluktuasi yang tinggi, sebagai akibat
kecenderungan laju tingkat harga hasil pertanian yang rendah, sementara harga-harga barang input
pertanian berfluktuasi dengan kecenderungan yang meningkat. Gejala yang pertama dapat disebut
sebagai proses pemiskinan, sedangkan gejala yang kedua dapat dikatakan sebagai pemojokan petani pada
situasi rentan terhadap harga input pertanian dan barang non-pertanian. Oleh karenanya penetapan harga
yang wajar bagi barang produk pertanian seperti gabah sangat diperlukan.
Sejak tahun 1985, ketika swasembada beras tercapai, pengumuman kenaikan harga gabah yang
diikuti kenaikan harga pupuk disampaikan jauh sebelum masa panen, ketika kegitan para petani baru
pada tahap menyiang dan memupuk. Akibatnya harga pupuk melambung lebih dahulu, sehingga
kenaikan harga gabah hampir tidak ada artinya. Bahkan sejak tahun 1991, pemerintah melakukan impor
beras tanpa mempedulikan persediaan beras yang sudah dapat diproduksi dalam negeri. Harga di pasaran
dunia dari beras yang diimpor ini lebih rendah dari harga beras dalam negeri. Hal ini berarti pemerintah
di satu sisi berusaha mengurangi subsidi input pertanian bagi petani dalam negeri, namun di sisi lain
memberikan subsidi pada petani di luar negeri. Dari segi input pertanian yang bahan bakunya
kebanyakan masih diimpor, Indonesia amat bergantung pada kekuatan ekonomi perusahaan-perusahaan
transnasional (TNCs) dalam menentukan harga, teknologi dan jumlah produksi. Dalam impor beras,
Indonesia juga banyak didikte oleh kekuatan pedagang beras besar, yang tidak jarang di belakangnya
didukung dengan subsidi besar-besaran oleh pemerintah masing-masing. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa hasil Revolusi Hijau selama masa pemerintahan Orde Baru, memang telah mampu
membebaskan petani dari perangkap involusi dengan menggerakkan dan memacu petani untuk
meningkatkan produksi pangan khususnya beras. Namun dengan adanya globalisasi ekonomi dan
13
perdagangan, membuat petani semakin bergantung pada kekuatan ekonomi dan teknologi global
(Wahono, 1999).
Gambaran nasib petani semakin memprihatinkan bila kita amati dan mengaitkannya dengan
indikator upah yang dikontraskan dengan kebutuhan fisik minimum. Menurut Wahono, 1999);
Kebutuhan fisik minimum bukan berarti suatu kecukupan, tetapi sekedar untuk bertahan hidup dan
bekerja. Berdasarkan tingkat pendapatannya, tampak bahwa petani gurem, buruh tani dan petani dengan
luasan lahan sampai 0,5 hektar tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan fisik minimum (KFM) yang
diperlukannya atau dengan kata lain mereka mengalami defisit anggaran per bulan. Defisit anggaran
buruh tani mencapai 55,9 ribu rupiah per bulan, sedangkan petani gurem mencapai 7,8 ribu rupiah per
bulan. Sementara itu kelompok masyarakat desa yang bukan petani, sekalipun termasuk golongan
ekonomi rendahan tetapi nasibnya masih lebih baik dari buruh tani dan petani gurem. Golongan ini
mengalami surplus anggaran sampai 96,64 ribu rupiah per bulan. Hasil ini lebih tinggi dari surplus yang
diperoleh petani dengan luasan lahan 0,5-1 hektar, dengan surplus sebesar 29,13 ribu rupiah per bulan.
Kelompok pencipta surplus terbesar adalah golongan lapisan atas desa dan kota yang bukan petani
dengan surplus masing-masing sebesar 481,06 ribu rupiah (desa) dan 608,14 ribu rupiah (kota). Hanya
petani dengan lahan lebih dari 1 hektar yang bisa mendapatkan surplus di atas 100 ribu rupiah per bulan
(Lampiran 4). Semua hal tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan bertani adalah pekerjaan yang
menghasilkan pendapatan kecil dengan kerentanan ekonomi yang paling tinggi.
Meskipun demikian pertanian tetap menjadi menjadi klep pengaman dengan penyerapan tenaga
kerja yang paling besar dibandingkan sektor lainnya, yakni mencapai 44,9 persen dari total angkatan
kerja atau 39.414.765 tenaga kerja. Posisi selanjutnya diduduki sektor perdagangan dan hotel dengan
total penyerapan tenaga kerja sebanyak 19,18 persen, dan sektor pelayanan jasa masyarakat sebesar 14,14
persen.
Memang Revolusi Hijau telah mampu memberikan dampak peningkatan produksi yang cukup
besar, tetapi Revolusi Hijau dengan segala perangkat kelembagaan dan teknologinya telah menciptakan
keterbelahan dan kesenjangan antar berbagai kelompok dalam masyarakat pedesaan. Para petani pemilik
lahan luas dan kelompok elit pedesaan mendapat bagian kue ekonomi yang semakin besar, sementara
para buruh tani dan petani gurem telah menjadi bagian kelompok masyarakat yang mengalami
peminggiran. Mekanisme akses terhadap modal, input produksi, pekerjaan, dan pembagian pendapatan
telah menjadi proses keterbelahan dan ketimpangan ekonomi dan sosial.
Kondisi yang tercipta akibat Revolusi Hijau ini tidak terlepas dari paradigma pembangunan yang
terlalu memfokuskan pada pencapaian produksi secara makro (nasional) dan kurang memperhatikan pada
kondisi mikro di tingkat petani sehingga aspek pemerataan hasil dan penyejahteraan petani menjadi
terabaikan. Pelaksanaannya di tingkat masyarakat tidak dilakukan dengan pendekatan pemahaman
kebutuhan dan penyadaran diri petani, sehingga kemajuan cara berproduksi di tingkat petani tidak di
dorong oleh semangat menyejahterakan diri, tetapi lebih karena keterpaksaan ekonomi dan atmosfir
14
ketakutan. Revolusi Hijau berhasil antara lain juga karena desakan pemerintah yang berupa sanksi-sanksi
sosial manakala petani menolak untuk menanam benih unggul dan tidak mau menggunakan pupuk
buatan yang dianjurkan. Tingkah laku para petani di tingkat desa diawasi baik oleh perangkat desa
maupun pemerintah tingkat kecamatan, yang disebut dengan Tripika (tentara, polisi dan birokrasi
pemerintahan).
Sedangkan determinan kemajuan dalam cara berproduksi karena keterpaksaan ekonomi dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pelaksanaan Revolusi Hijau telah memasukkan petani ke dalam suatu situasi
yang tidak dapat dielakkan, dimana mereka harus membayar semua input produksi kecuali tenaganya
sendiri. Petani tidak lagi dapat memobilisasi input (masukan) produksi sendiri. Input produksi yang
berupa benih unggul, pupuk buatan, dan pestisida harus mereka beli dari toko-toko yang merupakan
kepanjangan dari perusahaan-perusahaan besar. Kredit usahatani sebagai modal untuk membeli input
produksi juga harus dibayar kembali oleh para petani. Bahkan mereka juga harus membayar sewa tanah,
baik melalui sewa tahunan maupun bagi hasil dengan para pemilik tanah yang luas. Penggunaan air
irigasi harus dibayar oleh petani berupa dana tirta (untuk pemeliharaan saluran irigasi dan upah bagi
tenaga pengatur irigasi), bahkan di beberapa tempat mereka harus mengeluarkan dana irigasi yang cukup
besar karena harus membayar jasa penggunaan pompa air.
Di samping kewajiban untuk membayar semua input produksi, petani juga dihadapkan pada
pengeluaran-pengeluaran masyarakat modern seperti biaya pendidikan dan pemeliharaan kesehatan yang
semakin tinggi. Desakan pengeluaran untuk pendidikan, tidak jarang menjadi suatu dilema bagi petani.
Di satu sisi, peningkatan investasi untuk pendidikan anak justru menjadi faktor pemicu untuk
mempercepat terdorongnya anak keluar dari pertanian dan menjadi tenaga murah yang siap ditarik atau di
tolak sektor perkotaan. Mereka yang cukup beruntung dan diterima di sektor kota, kebanyakan menjadi
tenaga kerja di sektor informal, sedangkan yang kurang beruntung akan menjadi penganggur atau
terpeleset dan masuk ke dalam dunia hitam di perkotaan. Di sisi lain, apabila petani memperkecil atau
membatasi investasi untuk pendidikan anak, petani memang dapat mengerem anak untuk tetap tinggal
dan bekerja di bidang pertanian, akan tetapi mereka telah memasukkan anaknya ke dalam situasi
kesulitan yang lain karena semakin langkanya lahan perta nian dan ongkos produksi yang mahal.
Tekanan kebutuhan masyarakat modern menciptakan keterpaksaan ekonomi. Peningkatan
produksi bukan didorong oleh perubahan perilaku subsisten ke komersial, tetapi karena keterpaksaan
ekonomi. Dengan demikian perilaku subsisten petani telah dihadapkan pada tuntutan akan kebutuhan-
kebutuhan masyarakat modern. Dengan kata lain pola perilaku dasarnya tidak berubah, yakni
pemertahanan diri (subsisten), tetapi intensitas produksinya yang mengalami perubahan.
Tuntutan kebutuhan masyarakat modern telah menyebabkan posisi petani sangat rentan terhadap
berbagai pengaruh kekuatan dari luar khususnya kekuatan kapitalisme yang digerakkan oleh
industrialisasi melalui perusahaaan-perusahaan transnasional. Kalau dahulu kegiatan produksi yang
dilakukan petani hanya didasarkan pada perhitungan yang berkesesuaian dengan alam, maka sekarang
15
mereka harus melakukannya melalui tawar menawar dengan kebutuhan modern yang digerakkan oleh
industrialisasi. Dengan demikian petani tidak hanya berhadapan dengan kendala alam, tetapi juga harus
menghadapi tekanan dari kekuatan ekonomi global.
Pemberlakuan globalisasi perdagangan menyebabkan posisi produsen primer (petani) di
Indonesia semakin rentan terhadap berbagai pengaruh politik ekonomi perdagangan internasional.
Sebagian besar input produksi dan lisensi yang terkait dengan pengetahuan untuk memproduksi masukan
(input) produksi hanya dapat diperoleh melalui perdagangan dunia yang banyak didominasi oleh
perusahaan-perusahaan transnasional dari negara maju. Industri-industri yang dikembangkan di negara
Dunia Ketiga termasuk Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perusahaan transnasional melalui
penyertaan saham, pemberian lisensi, maupun berbagai bahan keperluan industri yang tidak dapat
diproduksi oleh negara Dunia Ketiga, demikian juga industri pendukung bidang pertanian seperti industri
pupuk, pestisida dan alat-alat pertanian.
Perluasan kapitalisme yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnasional akan makin
memperberat beban yang harus ditanggung petani. Dalam sistem pertanian modern, para petani dituntut
untuk menggunakan input produksi yang banyak dihasilkan oleh industri perusahaan transnasional
sehingga petani harus membayar berbagai komponen impor dari pupuk, pestisida, maupun alat-alat
pertanian yang mereka gunakan. Makin besar nilai komponen impor dalam input produksi yang
digunakan petani, akan memperkecil nilai tambah yang didapat petani. Dengan demikian bagian terbesar
dari keuntungan (pendapatan) input produksi yang digunakan petani akan jatuh ke tangan perusahaan-
perusahaan transnasional yang sebagian sahamnya dimiliki oleh negara asing.
Beban berat yang harus ditanggung petani ini tidak terlepas dari model pembangunan yang
banyak mengandalkan pada bantuan asing. Bantuan atau pinjaman dana pembangunan yang diberikan
oleh negara donor telah memaksa pemerintah untuk memenuhi dan mematuhi berbagai persyaratan yang
diajukan oleh negara donor. Penghapusan subsidi pupuk dan pembebasan harga-harga hasil pertanian
menyebabkan beban yang semakin berat bagi petani. Selain itu, harga-harga input produksi dan harga
barang-barang konsumsi (hasil industri) yang meningkat, sementara harga-harga hasil pertanian
(khususnya pangan) yang rendah menyebabkan daya beli petani semakin rendah (seperti tercermin dalam
indeks nilai tukar petani yang tidak kunjung meningkat).
Pengembangan industri di dalam negeri juga tidak terlepas dari situasi ketergantungan terhadap
modal, keahlian dan teknologi dari negara-negara maju, sehingga berbagai kebijakan dan keputusan
dalam industri ini tidak bisa mandiri. Dominasi teknologi, keahlian dan modal ini semakin tidak
menguntungkan negara-negara Dunia Ketiga termasuk Indonesia, dalam menjalin hubungan pertukaran
dengan negara maju. Hal senada diindikasikan oleh Martins (dalam Roesnadi, 1979) dalam penelitiannya
di Brazil.
Negara-negara maju juga mempunyai keunggulan dalam penguasaan pangsa pasar hasil-hasil
industri di pasaran dunia. Melalui penguasaan pasar ini, negara-negara maju dapat mengontrol berbagai
16
produksi barang-barang industri negara-negara Dunia Ketiga, bahkan fluktuasi harga barang-barang
produksi primer seperti hasil-hasil pertanian dari negara-negera berkembang di pasaran internasional
semakin menunjukkan bahwa negara maju mempunyai kontrol yang kuat terhadap perdagangan
internasional (Roesnadi, 1979). Oleh karenanya tidaklah mengherankan apabila petani di negara-negara
berkembang yang menghasilkan barang-barang produksi primer, posisinya semakin terjepit dan
tergantung pada berbagai gejolak yang terjadi di pasaran internasional.
KESIMPULAN
Program Revolusi Hijau memang telah mengakibatkan peningkatan produktivitas lahan dan
peningkatan produksi padi secara nasional. Akan tetapi peningkatan produksi tersebut hanya
menguntungkan petani berlahan luas, sementara petani berlahan sempit tidak banyak memperoleh
manfaat dari hasil-hasil peningkatan produksi. Bahkan ada kecenderungan semakin meningkatkan
ketimpangan distribusi pendapatan dan pemilikan lahan antara petani. Para petani yang memiliki dan
menguasai lahan luas yang notabene juga pemilik modal mempunyai kesempatan yang lebih besar
terhadap akses teknologi maju, sehingga dapat lebih memperluas usahataninya.
Hubungan-hubungan yang dijalin dengan agen pembangunan dan birokrat desa juga
menguntungkan petani berlahan luas, sementara petani gurem tidak mempunyai kesempatan yang sama.
Kelompok petani kaya juga mempunyai akses terhadap fasilitas-fasilitas dalam berhubungan dengan
pihak luar desa karena hubungan desa dengan luar desa kebanyakan melalui jalur birokrasi desa. Oleh
karena itu para petani pemilik lahan luas akan mempunyai kesempatan yang besar untuk mendapatkan
peluang-peluang ekonomi dari luar sektor pertanian. Kondisi demikian pada akhirnya membawa kepada
terjadinya kesenjangan pendapatan dan akses ekonomi yang makin melebar di antara anggota masyarakat
pedesaan.
Pengembangan Revolusi Hijau telah mengakibatkan petani terperangkap dalam situasi
ketergantungan yang makin tinggi di dalam penggunaan input modern. Bahkan harga-harga input
produksi dan kebutuhan-kebutuhan konsumsi yang meningkat, sementara harga hasil pertanian tidak
mampu mengimbangi tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga petani sehingga mengakibatkan petani
terpojok pada situasi yang tidak menguntungkan. Tidak efektifnya program pembangunan pertanian ini
tidak terlepas dari kurangnya dukungan langkah (kebijakan) terhadap persoalan mendasar dari pertanian
sendiri yakni penataan atau pembaharuan agraria dan penataan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat
di pedesaan.
17
DAFTAR PUSTAKA
Cardoso, F.H. 1972. “Dependency and Development in Latin America”, New Left Review, 74. (p. 112-127).
Collier, W. L. 1978. “Masalah Pangan, Pengangguran dan Gerakan Penghijauan di Pedesaan Jawa”, Prisma, No. 1, Tahun VII, Februari 1978 (p.69-87).
Dube, S.C. 1988. Modernization and Development: The Search for Alternative Paradigms. London, New Jersey and Tokyo: Zed Books Ltd.-UNU.
Long, Norman. 1987. Sosiologi Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Bina Aksara.
Mintoro, A. 1984. “Distribusi Pendapatan” dalam Faisal Kasryno (peny). 1984. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Roesnadi, S. 1979. “Dilema Ketergantungan, Pengalihan Teknologi dan Disiplin Nasional Dunia Ketiga”, Prisma No. 5. Mei..
Santos, T. D. 1970. “The Structure of Dependence”, American Economic Review. (Pp 231-236).
Siregar, M. dan Nasution, A. 1984. “Perkembangan Teknologi dan mekanisasi di Jawa” dalam Faisal Kasryno (peny). 1984. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suwarsono dan So, Alvin Y. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Tjondronegoro, S.M.P. 1998. Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan. Jakarta: Dirjen Dikti, Depdikbud.
Trijono, L. 1996. “Pasca Revolusi Hijau di Pedesaan Jawa Timur” dalam Saharuddin (peny). 1996. Sosiologi Umum: Bahan Bacaan Praktikum. IPB. Bogor.
Wahono, F. 1999. “Revolusi Hijau: Dari Perangkap Involusi ke Perangkap Globalisasi”, Wacana, No. IV. INSIST. Yogyakarta.
Wiradi, G. dan Makali. 1984. “Penguasaan Tanah dan Kelembagaan” dalam Faisal Kasryno (peny). 1984. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
18
Lampiran 2.
Banyaknya Rumah Tangga yang Memiliki Sawah dan Rata-rata Luas Pemilikannya di Jawa, 1982
Jumlah R.T. Rata-rataPemilikan
Desa
Jumlah
Resp.(RT)
Tidak
memilikiSawah
(%)
Memiliki
Sawah(%)
Per RT
(ha)
Per
Pemilik(ha)
IndeksGini
Tuna-kisma mutlak (%)
Jawa Barat
1. Sentul 107 30 70 0,38 0,54 0,6 14
2. Mariuk 114 70 30 0,50 1,67 0,87 62
3. Jatisari 128 32 68 0,39 0,57 0,71 23
4. Sukaambit 148 23 77 0,16 0,21 0,57 16
5. Balida 140 59 41 0,28 0,69 0,85 48
6. Wargabinangun 138 73 27 0,55 2,05 0,91 42
Jawa Tengah
1. Kebanggan 143 58 42 0,29 0,68 0,84 50
2. Wanarata 138 28 72 0,32 0,44 0,61 26
3. Rowosari 106 64 36 0,31 0,87 0,85 56
Jawa Timur
1. Geneng 131 60 40 0,37 0,95 0,78 39
2. Janti 132 56 44 0,22 0,51 0,67 52
3. Sukosari 114 50 40 0,37 0,73 0,85 49
Sumber: Wiradi dan Makali (1984).
Lampiran 1. Perkembangan Penggunaan Pupuk Per Hektar 1970/1971 dan 1980/1981
1970/71 1980/81Desa Urea
(kg/ha)TSP
(kg/ha)Total
(kg/ha)Urea
(kg/ha)TSP
(kg/ha)Total
(kg/ha)
PerubahanTotal
(%)
Jawa Barat Mariuk 81 54 135 201 56 257 90
Jarisari 166 111 135 223 127 350 26
Jawa Tengah Rowosari 54 4 58 198 7 205 253 Kebanggan 174 0 174 262 65 327 88
Wanarata 121 0 121 276 116 392 224
Jawa Timur Janti 213 0 213 359 85 444 108 Geneng 132 44 176 399 175 574 226
Sumber : Siregar dan Nasution (1984).
19
Lampiran 3.
Nilai Tukar Petani di Empat Propinsi di Jawa, 1983-1998 (1983=100)
Sumber: Wahono (1999).
Tahun Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur1983 100,0 100,0 100,0 100,01984 100,5 104,0 100,2 101,31985 100,8 105,6 96,7 100,61986 103,3 105,1 104,6 108,21987 103,7 107,5 106,5 111,31988 106,0 111,6 109,1 113,31989 103,9 106,3 102,3 104,61990 105,7 106,0 104,0 104,31991 106,2 104,6 105,0 103,61992 101,9 98,5 99,5 99,11993 98,4 95,0 96,9 94,31994 101,8 99,8 108,1 102,31995 105,5 104,7 109,3 106,41996 101,0 109,0 111,6 107,01997 104,1 104,2 114,4 112,81998 101,2 94,3 131,0 104,7
20
Lampiran 4 Produksi Padi dan Persediaan Beras di Indonesia, 1965-1998
Tahun
LuasPanen(ha)
GabahKering
(M.Ton)
BerasGros-Pro(M.Ton)
GabahPer Ha(Kw/ha)
BerasNet-Prod(M.Ton)
Impor(M.Ton)
Impor(%)
SuplaiTotal
(M.Ton)
Gross-Pro Per kapita (kg)
SuplaiPer
kapita(kg)
Penduduk(Estimasi)
(000)
1965 7618210 12974568 8607602 17 7993146 818745 9 881891 81 83 1061671966 7469780 13649676 9055482 18 8429914 280500 3 8710414 84 81 1075361967 7892720 13222632 8772172 17 8141035 56600 1 8197635 80 75 1093021968 8020773 17274986 11311751 22 10325962 628400 6 10954362 101 98 1117791969 8013623 18138002 11876858 23 10857437 604200 5 11461637 104 100 1146161970 8135078 19457313 12740750 24 11664845 955629 8 12620474 109 108 1168561971 8324322 20321975 13306935 24 12189814 493484 4 12683298 112 107 1185351972 7897638 19520355 12782030 25 11712739 334600 3 12047339 105 99 1216901973 8403604 21629954 14163406 26 12991861 1862700 13 14854561 113 119 1248281974 8508598 22464376 14709790 26 13501443 1132100 8 14633543 115 115 1272481975 8495096 22330650 14622226 26 13419649 706735 5 14126384 112 108 1308001976 8368759 23300939 15257576 28 14021715 1327755 9 15349470 114 115 1334741977 8359568 23347132 15103260 28 13877010 2013673 13 15890683 110 116 1369891978 8929169 25771570 16671629 29 15329469 1879184 11 17208653 119 122 1410551979 8803564 26282663 17002255 30 15645066 1922000 11 17567066 118 122 1439921980 9005065 29651905 19181817 33 17686140 2011700 10 19697840 130 133 1481041981 9381839 32774176 21201614 35 19570324 538300 3 20108624 141 133 1511931982 8988455 33583677 21725281 37 20077632 309600 2 20387232 141 133 1532871983 9162469 35303106 22837579 39 21116530 1168800 5 22285330 146 142 1569391984 9763580 38136446 24670467 39 22816430 414300 2 23230730 155 146 1591151985 9902293 39032945 25250412 39 23356268 33800 0 23390068 155 144 1624311986 9988453 39726761 25699242 40 23774869 27800 0 23802669 155 144 1652961987 9922594 40078195 25926584 40 23991093 55000 0 24046093 154 142 1693391988 10138155 41676170 26960314 41 24954546 32700 0 24987246 157 145 1723261989 10521207 44725582 28932979 43 26794185 268321 1 27062506 165 154 1757311990 10502419 45178751 29226134 43 27070470 49577 0 27120047 163 151 1796031991 10281519 44688247 28908827 43 26780659 510796 2 27291455 158 149 1831641992 11103317 48240009 31206462 43 28908973 1801534 6 30710507 168 165 1861241993 11012776 48181087 31168345 44 22876609 - 326091 - 1 28550518 165 151 1890761994 10733830 46641524 30172402 43 27951102 633048 2 28584150 157 149 1921771995 11438764 49744140 32179484 43 29810770 1807084 6 31617854 165 162 1953291996 11569729 51101506 33057564 44 30631152 2149758 6 32780910 167 165 1985321997 11140594 49377054 31942016 44 29598966 349681 1 29948647 158 148 2017881998 11613267 48472129 31356620 42 29030597 2895119 9 31925716 153 156 205097
Sumber: Wahono (1999).
D:\WP2003\REVOLUSI HIJAU 4a IKIN SADIKIN