Revitalisasi Industri Susu Melalui Revolusi Putih
Transcript of Revitalisasi Industri Susu Melalui Revolusi Putih
60 TROBOS Februari 2009
Oleh:Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec.
Direktur ProgramPascasarjana Manajemendan Bisnis-IPB (MB-IPB)
Revitalisasi Industri Susu
melalui Revolusi Putih
Tema peringatan Hari Gizi
Nasional (HGN) (25 Januari) pada
tahun ini adalah “Gizi Mutakhir
untuk Pertumbuhan dan
Kecerdasan Anak”. Ini sangat
menarik karena kualitas gizi
masyarakat merupakan salah satu
komponen penting bagi
peningkatan kualitas sumberdaya
manusia (SDM). Kualitas SDM—
sebagaimana digunakan United
Nation for Development Program
(UNDP) untuk mengukur kualitas
sumberdaya manusia (Human
Development Index/HDI)—
ditentukan oleh tiga komponen,
yaitu tingkat pendapatan atau daya
beli, tingkat kesehatan dan tingkat
pendidikan.
Berdasarkan data statistik HDI,
Indonesia menduduki peringkat ke
109 dari 179 negara yang diukur.
Peringkat itu lebih rendah
dibandingkan dengan negara
tetangga seperti Brunei (peringkat
27), Singapura (28), Malaysia (63),
Thailand (81), China (94) dan
Filipina (102). Pencapaian
Indonesia pada 2008 hanya lebih
baik dibandingkan dengan
Vietnam yang menduduki
peringkat 114.
Karena itu tema HGN kali ini
sangat relevan dengan gawe besar
peningkatan HDI Indonesia.
Sebab, gizi pangan masyarakat—
terutama anak-anak dari keluarga
kurang mampu—masih rendah.
Asupan gizi pangan yang rendah
itu salah satunya adalah protein
hewani, termasuk susu. Padahal,
susu diyakini sebagai satu-satunya
makanan yang mempunyai
kandungan nutrisi lengkap yang
dibutuhkan manusia selama
periode awal kehidupan untuk
tumbuh dan berkembang.
Revolusi Putih
Karena peranan susu dalam
peningkatan kualitas SDM sangat
penting, maka pemerintah India
dan Filiphina mencanangkan
Program Revolusi Putih (PRP). Hal
ini dipicu oleh beberapa hal seperti
(a) prospek pasar komoditas dan
produk susu kian membaik seiring
dengan peningkatan pendapatan
masyarakat, (b) harga pasar
komoditas dan produk susu terus
meningkat dan memiliki nilai
tambah lebih baik dibandingkan
komoditas dan produk tanaman
pangan dan (c) dengan kian
tingginya konsumsi susu maka
anak-anak kian sehat dan pintar,
peternak juga akan memiliki tingkat
kesejahteraan lebih baik.
India merupakan contoh
sukses negara yang berhasil
melakukan revitalisasi peternakan
susu melalui PRP. Dengan program
tersebut, mereka bisa
mengakselearasi pertumbuhan
produksi susu. Padahal sebelum
PRP, India merupakan negara yang
mengimpor susu dalam jumlah
sangat besar. Sejak PRP
dilaksanakan pada 1971, India
berhasil mencapai swasembada
susu pada 1998/99.
Faktor-faktor penentu
keberhasilan PRP di India adalah
adanya grand design dan action plan
yang sangat rinci dan konsisten
dilaksanakan. PRP merupakan
implementasi strategi kebijakan
pengganti impor (import substitution
strategy).
Pertumbuhan yang sangat pesat
dalam produksi susu di India
disebabkan oleh beberapa faktor.
Diantaranya, intervensi yang sangat
ekstensif dari pemerintah dan
adanya permintaan yang meningkat
akibat adanya pertumbuhan
populasi, peningkatan pendapatan,
urbanisasi dan perubahan selera
makan dan gaya hidup. Dari sisi
penawaran, adanya kemajuan
teknologi dalam bidang produksi
dan pengolahan, faktor
kelembagaan dan penyediaan
infrastruktur juga merupakan
faktor yang tak kalah penting.
Keterkaitan “supply chain” antara
peternak skala kecil yang tinggal di
pedesaan dengan konsumen di
kota melalui koperasi peternak
merupakan inovasi kelembagaan
yang menyumbang keberhasilan
pelaksanaan PRP.
Faktor lainnya, masyarakat
India merupakan masyarakat lacto-
vegetarian, menyenangi susu. Susu
menjadi sumber protein penting
dalam diet (menu) makanan
mereka. Disamping itu, susu dan
produk-produk turunannya
memiliki pendapatan yang elastis.
Adanya kenaikan pendapatan akan
membuat pertumbuhan
permintaan susu dan produk-
produknya meningkat. Program
pemberian susu kepada anak-anak
di sekolah (school milk program) yang
dibiayai pemerintah negara bagian
setempat juga menjadi faktor
pendorong peningkatan
permintaan susu.
Persusuan di IndonesiaDalam peta perdagangan
internasional produk susu, saat ini
Indonesia berada pada posisi
sebagai net-consumer. Industri
pengolahan susu (IPS) nasional
sangat bergantung pada impor
Program Percepatan
Peningkatan Produksi
Susu Domestik
(Program P3SD) harus
dilaksanakan mulai
saat ini, yaitu dengan
meningkatkan
produksi dan
konsumsi susu
nasional secara
bersamaan
TROBOS Februari 2009 61
Konsumsi Susu Perkapita (liter/tahun)
2004 2005 2006India 43.7 44.2 44.9Indonesia 5.8 6.8 7.7Malaysia 25.3 25 25Singapura 19.9 20.3 20.8Filippina 11.7 11.3 11Thailand 23.6 24.9 25.1Vietnam 6.4 7.6 8.5China 8.5 10.9 13.2
bahan baku susu. Selama ini profil
konsumsi susu di Indonesia
menunjukkan bahwa susu putih
cair segar hanya memberikan
kontribusi sekitar 18 % dari total
konsumsi susu putih. Sementara
82 % lainnya merupakan konsumsi
susu putih bubuk. Padahal, selama
ini IPS masih sangat tergantung
dengan bahan baku dari impor
yang mencapai 70%. Jika kondisi
tersebut tidak dibenahi dengan
membangun sebuah sistem
agribisnis persusuan nasional yang
kuat, maka Indonesia akan terus
menjadi negara pengimpor susu
sapi.
Masyarakat Indonesia juga
masih kalah banyak minum susu
dibandingkan negara berkembang
lainnya. Konsumsi susu
masyarakat Indonesia hanya 7.7
liter/kapita/tahun itu pun sudah
termasuk produk-produk olahan
yang mengandung susu (lihat tabel).
Diperkirakan, konsumsi
produk-produk susu masyarakat
Indonesia masih akan meningkat
sering dengan adanya peningkatan
pendapatan. Ini menjadi peluang
yang harus dimanfaatkan. Produksi
susu segar dan produk-produk
derivatnya seharusnya bisa
ditingkatkan. Kondisi produksi
susu segar Indonesia saat ini,
sebagian besar (91%) dihasilkan
oleh usaha rakyat dengan skala
usaha 1-3 ekor sapi perah per
peternak. Skala usaha ternak sekecil
ini jelas kurang ekonomis karena
keuntungan yang didapatkan dari
hasil penjualan susu hanya cukup
untuk memenuhi sebagian
kebutuhan hidup. Berdasarkan
rujukan pengalaman dan praktik
bisnis sapi perah modern, skala
ekonomis bisa dicapai dengan
kepemilikan 10-12 ekor sapi per
peternak.
Dari sisi kelembagaan, sebagian
besar peternak sapi perah yang ada
di Indonesia merupakan anggota
koperasi susu. Koperasi tersebut
merupakan lembaga yang bertindak
sebagai mediator antara peternak
dengan IPS. Peranan koperasi
sebagai mediator perlu
dipertahankan. Pelayanannya perlu
Konsumsi Susu Per Kapita diBerbagai Negara (Liter/tahun)
Sumber : Tetra Pack (2007)
ditingkatkan dengan cara
meningkatkan kualitas SDM
koperasi serta memperkuat
networking dengan industri-industri
pengolahan serta dengan
menerapkan contract farming
Sayangnya, peternak masih
menghadapi permasalahan. Antara
lain rendahnya kemampuan
budidaya khususnya menyangkut
kesehatan ternak dan mutu bibit
yang rendah. Kekurangan tersebut
selain mengakibatkan lambatnya
pertumbuhan produksi susu juga
berpengaruh terhadap kualitas susu
yang dihasilkan. Selain itu juga
kesulitan lahan sebagai sumber
rumput hijauan bagi ternak, biaya
transportasi tinggi, serta skala
usaha yang kecil.
Dalam hal pemasaran susu dari
peternak dalam negeri, keberadaan
Inpres No 4 Tahun 1998 tentang
Koordinasi Pembinaan dan
Pengembangan Persusuan
Nasional yang merupakan bagian
dari LoI yang ditetapkan oleh IMF,
maka ketentuan pemerintah yang
membatasi impor susu melalui
BUSEP (Bukti Serap, yang
mewajibkan industri pengolah
susu menyerap susu segar dalam
negeri sebagai pendamping dari
susu impor untuk bahan baku
industrinya) menjadi tidak berlaku
lagi. Susu impor dengan adanya
Inpres tersebut menjadi komoditas
bebas masuk. IPS mempunyai
pilihan untuk memenuhi bahan
baku yang dibutuhkan yaitu susu
segar dari dalam negeri maupun
dari impor. Hal ini juga kemudian
menyebabkan relatif rendahnya
harga susu segar yang diterima oleh
perternak dalam negeri.
Permasalahan lain,
ketergantungan peternak terhadap
IPS dalam memasarkan susu
segar masih besar. Absennya
keberpihakan pemerintah
terhadap peternak akan
menimbulkan
kecenderungan bahwa harga
susu segar yang diterima
peternak relatif rendah.
Adanya pemberlakuan
standar bahan baku yang
ketat oleh kalangan IPS
mendudukkan peternak sapi
perah pada posisi tawar (bargaining
position) yang rendah.
Arah KebijakanSeiring dengan meningkatnya
daya beli, perubahan gaya hidup
masyarakat Indonesia dan
perbaikan sistem pemasaran dingin
bagi komoditas susu segar dan
derivatif-nya, maka pangsa pasar
susu yang dihasilkan peternak
domestik harus ditingkatkan.
Tidak ada pilihan lain, belajar dari
pengalaman India, Program
Percepatan Peningkatan Produksi
Susu Domestik (Program P3SD)
harus dilaksanakan mulai saat ini,
yaitu dengan meningkatkan
produksi dan konsumsi susu
nasional secara bersamaan.
Kebijakan dalam upaya
substitusi impor susu antara lain
(1) Pemerintah memberikan
dukungan nyata untuk
meningkatkan produktivitas dan
kualitas hasil ternak/susu (2) Perlu
dibentuk wadah kemitraan yang
jujur dan memperhatikan
kepentingan bersama antara
peternak, koperasi susu dan IPS (3)
Koperasi susu perlu didorong dan
difasilitasi agar dapat melakukan
pengolahan sederhana susu segar,
antara lain pasteurisasi dan
pengemasan susu segar,
pengolahan menjadi yoghurt, keju
dsb., (4) Pemerintah pusat dan
daerah harus mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang mampu
memperkuat posisi tawar peternak
sapi perah dan bagi pengembangan
agribisnis peternakan, dan (5) Pusat
dan daerah seyogyanya membiayai
pelaksanaan program minum susu
untuk anak-anak di
sekolah.TROBOS