Review Kontra Teror IX

7
Soft Approach Kontra Terorisme: Deradikalisasi atau Disengagement? A. Pendahuluan Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghentikan aksi terorisme yang terjadi berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Pendekatan militeristik maupun non militer telah dan terus diupayakan untuk menghilangkan ancaman teror di tengah-tengah masyarakat. Aksi militeristik dinilai belum mampu menyelesaikan permasalahan terorisme. Pendekatan dengan kekuatan senjata dianggap sebatas menyelesaikan terorisme sesaat tanpa dapat menghilangkan faktor pemicu munculnya terorisme. Untuk itu, para ahli berpendapat bahwa pendekatan militeristik harus disertai dengan pendekatan non militeristik untuk menghentikan aksi terorisme. Salah satu strategi non militeristik yang populer adalah strategi deradikalisasi. Deradikalisasi menjadi bahasan yang seolah tidak dapat dipisahkan dalam pembahasan upaya penanganan terorisme. Namun demikian, meskipun deradikalisasi telah dijalankan, bahkan untuk menjalankannya di Indonesia telah dibentuk sebuah badan khusus yaitu Badan Nasional Penanggulangan 1

description

Kontra Teror

Transcript of Review Kontra Teror IX

Page 1: Review Kontra Teror IX

Soft Approach Kontra Terorisme: Deradikalisasi atau

Disengagement?

A. Pendahuluan

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghentikan aksi terorisme yang

terjadi berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Pendekatan militeristik

maupun non militer telah dan terus diupayakan untuk menghilangkan ancaman

teror di tengah-tengah masyarakat. Aksi militeristik dinilai belum mampu

menyelesaikan permasalahan terorisme. Pendekatan dengan kekuatan senjata

dianggap sebatas menyelesaikan terorisme sesaat tanpa dapat menghilangkan

faktor pemicu munculnya terorisme. Untuk itu, para ahli berpendapat bahwa

pendekatan militeristik harus disertai dengan pendekatan non militeristik untuk

menghentikan aksi terorisme.

Salah satu strategi non militeristik yang populer adalah strategi

deradikalisasi. Deradikalisasi menjadi bahasan yang seolah tidak dapat

dipisahkan dalam pembahasan upaya penanganan terorisme. Namun demikian,

meskipun deradikalisasi telah dijalankan, bahkan untuk menjalankannya di

Indonesia telah dibentuk sebuah badan khusus yaitu Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme (BNPT), ternyata masih terdapat kelompok-

kelompok yang menjalankan aksi terorisme di Indonesia.

Pendekatan soft approach dalam kontra terorisme dikenal adanya dua

konsep yaitu deradikalisasi dan disenagegement. Deradikalisasi sering

mendapatkan sorotan tajam berupa kritik yang pedas dari kalangan akademisi.

Di Indonesia kedua program tersebut tampak tumpang tindih dan sifat kedua

program itu pun cenderung transaksional, yakni tersangka teroris yang bersedia

bekerja sama dengan aparat bisa berharap imbalan keringanan pasal, hukuman,

pembebasan bersyarat, atau amnesti.

Deradikalisasi dan disenagegement dianggap sebagai strategi yang terlalu

mahal jika ditinjau dari sisi input – output. Biaya yang besar dalam program

deradikalisasi sering kali tidak dibarengi dengan hasil yang sepadan. Disamping

1

Page 2: Review Kontra Teror IX

itu program deradikalisasi masih diragukan efektivitasnya dalam kontra

terorisme. Agak sulit memang untuk kita membuktikan seberapakah berhasil

program deradikalisasi dapat dikatakan berhasil atau tidak sehingga pendekatan

ini oleh beberapa kalangan mudah diklaim keberhasilannya tanpa paramter yang

jelas dan terukur.

B. Pembahasan

John Horgan menganggap deradikalisasi tidak realistis untuk diandalkan

dalam penanganan terorisme. Menurut dia, strategi negara sebaiknya difokuskan

pada upaya disengagement atau pemutusan keterikatan anggota teroris dengan

jejaringnya, termasuk memutus segala aksesnya terhadap aksi kekerasan.

Terlebih, derajat radikal tidaknya seseorang sulit diukur.1

Disengagement merupakan proses yang kompleks menyangkut sosial dan

psikologis yang dapat membantu kita memahami proses deradikalisasi.

Disengagement bisa saja terjadi tanpa melalui mekanisme deradikalisasi, bahkan

disengagement bisa mengarah kepada deradikalisasi pada kasus-kasus tertentu.

Menurut Horgan disengagement lebih penting daripada deradikalisasi karena

disengagement dapat terjadi tanpa melalui deradikalisasi, tetapi disengagement

merupakan prasyarat untuk memasuki proses deradikalisasi.

Ada perbedaan yang penting antara konsep disengagement dan

deradikalisasi. Disengagement terjadi ketika individu atau kelompok tidak lagi

terlibat dalam kekerasan atau individu tidak lagi melibatkan diri dalam aktivitas

kekerasan baik secara pribadi maupun secara berkelompok. Disengagement

adalah perubahan perilaku yaitu keluar dari kelompok sosial yang radikal

(dengan ciri-ciri sekuler, etnosentris, totalitarian, dan memilih cara-cara

kekerasan) atau memilih cara-cara non kekerasan untuk memperjuangkan cita-

cita dan ideologi kelompok sedangkan deradikalisasi adalah proses sosial dan

psikologis yang rumit dan panjang, dimana dalam hal ini, komitmen individu

dan keterlibatannya dalam organisasi kekerasan dikurangi sampai batas tertentu

di mana mereka tidak lagi berisiko terlibat dalam aktivitas kekerasan.2

1 Horgan, John. Deradicalization or Disengagement? A Process in Need of Clarity and a Counterterrorism Initiative in Need of Evaluation. Journal of The Terrorism Research initiative Vol II Issue 4 February 20082 Ibid

2

Page 3: Review Kontra Teror IX

Studi-studi tentang deradikalisasi dan disengagement umumnya

membedakan istilah yang satu dari istilah lain secara ketat. Disengagement

adalah proses ketika seorang atau sekelompok pelaku teror tidak lagi melakukan

kekerasan, meninggalkan kelompok teroris, atau berganti peran. Di sisi lain,

deradikalisasi adalah menekankan proses perubahan kognitif, yaitu ketika

seorang penganut paham radikal mengubah pahamnya secara mendasar,

misalnya menjadi moderat. Berdasarkan pembedaan ini, bisa saja seseorang tak

lagi melakukan aksi teror, tetapi paham keagamaannya tetap radikal. Dengan

disengaement nilai-nilai HAM, demokrasi pluralisme dan multikuturalisme lebih

terjamin tanpa harus memaksa seseorang untuk merubah pandangan hidup

seseorang. Ideologi seradikal apapun dapat berkembang tanpa harus

mengaktualisasikan radikalisasinya dalam bentuk tindakan kekerasan di tengah

masyarakat.

Proses disengagement dan deradikalisasi merupakan salah satu metode

dalam penanganan kasus terorisme dimana rehabilitasi dan reintegrasi kepada

masyarakat luas seorang pelaku terorisme menjadi tujuan utamanya. Proses ini

menjadi sarana penting dalam model penegakan hukum (law enforcement

model) dalam penanganan terorisme. Pelaku terorisme dalam pendekatan ini

dilihat sebagai manusia secara seutuhnya, sehingga proses penegakan hukum,

penahanan, pembinaan yang tercakup dalam disengagement dan deradikalisasi

diharapkan dapat kembali menjadikan seorang pelaku terorisme untuk

meninggalkan ideologi radikal dan kembali memiliki kehidupan normal di

masyarakat. Deradikalisasi dilakukan agar individu pelaku terorisme dapat

mengubah cara pandang dan tindakan radikalnya menjadi lebih moderat dan

tidak radikal.

Selain berfokus kepada pelaku terorisme, program deradikalisasi juga

ditujukan kepada keluarga dan kerabat dekatnya. Hal ini dilakukan agar proses

deteksi dini dan pencegahan ideologi radikalisme dapat dilakukan secara lebih

efektif. Selain itu pula aspek sosial-ekonomi juga menjadi hal yang penting

untuk diperhatikan, mengingat dengan ditahannya pelaku terorisme di dalam

penjara, maka praktis pendapatan keluarga pelaku juga akan terkendala,

sehingga pemerintah memberikan program bantuan pendanaan kepada keluarga

3

Page 4: Review Kontra Teror IX

pelaku, termasuk juga pendidikan untuk anak dan keluarga pelaku. Setelah

pelaku terorisme dibebaskan dilakukan juga pendampingan pekerjaan untuk

pelaku agar dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.

Beberapa kasus keberhasilan kontra-terorisme dengan melibatkan eks-

teroris yang mau bekerja sama yaitu dengan cara memoderasi orang-orang yang

terlanjur menjadi radikal atau ekstrim. Deradikalisasi di Indonesia kebanyakan

menerapkan model semacam ini. Eks teroris yang telah dapat telah mengalami

deradikalisasi kembali disusupkan untuk mengungkap jaringannya.

Deradikalisasi macam ini biasanya didahului dengan penggalangan dari sebuah

operasi intelijen.3

C. Kesimpulan

Kebijakan yang bersifat soft diplomacy ini diharapkan dapat memutus

mata rantai kekerasan dan radikalisme yang berpotensi untuk tumbuh di lingkar

inti pelaku terorisme, yaitu keluarga serta kerabat, kemudian juga diharapkan

program deradikalisasi dan disenagegement ini dapat menjadi penyeimbang bagi

pendekatan operasi militer yang seringkali memicu kebencian dari lingkar inti

komunitas kelompok radikal kepada pemerintah dan aparat keamanan.

Pendekatan militeristik semata ternyata tidak bisa diandalkan untuk

melawan terorisme. bukannya dapat diberantas, justru pendekatan militeristik

memicu sifat daur ulang diri pada terorisme, baik pada level individu maupun

level organisasi. Dalam konteks ini, deradikalisasi dan disengagement

merupakan salah satu solusi alternatif untuk melawan terorisme yang perlu

dipertimbangkan saat ini. Dalam konteks terorisme berbasis ideologi Islam,

menghilangkan ideologi jihad dari alam pikiran para pelakunya tidak semudah

membalikkan tangan, yang paling penting dan paling rasional untuk dilakukan

adalah bagaimana mengubah sikap mereka terhadap kekerasan. Dari pro

kekerasan menjadi anti kekerasan, dan disengagement adalah jawabannya.

3 Kurlantzick, Josh. Fighting Terrorism with Terrorist. Los Angeles Times 6 Januari 2008

4