Resus Pterygium
description
Transcript of Resus Pterygium
a. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Usia : 49 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta (Penjahit)
Agama : Islam
Alamat : Jumbleng, Taman Agung, Kec. Muntilan, Kab. Magelang
No. RM : 236299
b. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Penglihatan mata kiri kabur.
Keluhan Tambahan
Mata kiri ada selaput, merah dan berair.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik Kesehatan Mata RSUD Tidar Magelang dengan
keluhan penglihatan mata kiri kabur sejak 3 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan
memberat dalam 2 minggu terakhir ini. Keluhan muncul disertai dengan adanya
selaput di bagian putih mata kiri, mata merah dan berair. Saat ini mata merah (+),
namun mata berair sudah berhenti sejak kemarin pagi. Pasien sudah pernah berobat
ke spesialis mata lainnya, pada saat keluhan muncul pertama kali. Ketika itu,
disarankan untuk dilakukan operasi namun pasien menolak karena alasan biaya.
Pasien sering bepergian jauh menggunakan sepeda motor tanpa penutup helm
maupun kacamata.
Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan serupa, Trauma mata, Operasi mata : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa disangkal. Trauma mata, Diabetes mellitus, Hipertensi, dan
Glaukoma dalam keluarga tidak diketahui secara pasti.
c. KESAN
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan Umum : Baik
OD : Tampak jaringan fibrovaskular dari daerah konjungtiva nasal
hingga kornea
OS : Tampak jaringan fibrovaskular dari daerah konjungtiva nasal
hingga kornea
d. PEMERIKSAAN SUBJEKTIF
PEMNERIKSAAN OD OS
Visus Jauh 20/30 20/25
Refraksi Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Koreksi Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Visus Dekat Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Proyeksi Sinar Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Persepsi Warna Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
e. PEMERIKSAAN OBJEKTIF
PEMERIKSAAN OD OS PENILAIAN
1. Sekitar mata
- Alis N N Kedudukan alis
baik, jaringan parut
(-), simetris
- Silia N N Trikiasis (-),
diskriasis (-),
madarosis (-)
2. Kelopak mata
- Pasangan N N Simetris, ptosis (-)
- Gerakan N N Gangguan gerak
membuka dan
menutup (-)
blefarospasme (-)
- Lebar rima 10 mm 10 mm Normal 9-14 mm
- Kulit N N Hiperemi (-)
edema (-)
massa (-)
- Tepi kelopak N N Trichiasis (-)
ektropion (-)
entropion (-)
- Margo
intermarginalis
N N Tanda radang (-)
3. Apparatus Lakrimalis
- Sekitar glandula
lakrimalis
N N Dakrioadenitis (-)
- Sekitar sakus
lakrimalis
N N Dakriosistitis (-)
- Uji flurosensi Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
- Uji regurgitasi Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
- Tes Anel Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
4. Bola mata
- Pasangan N N Simetris
(orthophoria)
- Gerakan N
+ +
+ +
+ +
N
+ +
+ +
+ +
Tidak ada
gangguan gerak
(syaraf dan otot
penggerak bola
mata normal)
- Ukuran N N Makroftalmos (-)
Mikroftalmos (-)
5. TIO N N Palpasi kenyal
(tidak ada
peningkatan dan
penurunan TIO)
6. Konjungtiva
- Palpebra superior N N Tenang,
mengkilap,
hiperemis (-), papil
(-), folikel (-)
- Forniks N N
- Palpebra inferior N N Tenang,
mengkilap,
hiperemis (-), papil
(-), folikel (-)
- Bulbi Terdapat
jaringan
fibrovaskular
berbentuk
segitiga di
daerah nasal ke
arah kornea, ±
2 mm dari tepi
limbus, dengan
puncaknya di
bagian kornea.
Injeksi
konjungtiva
(+)
Terdapat
jaringan
fibrovaskular
berbentuk
segitiga di
daerah nasal ke
arah kornea, ±
4 – 5 mm dari
tepi limbus,
tidak melebihi
tepi pupil,
dengan
puncaknya di
bagian kornea.
Injeksi
konjungtiva
(+)
Injeksi konjungtiva
(-), injeksi siliar (-),
perdarahan
subconjungtiva (-),
pucat (-), corpal (-),
7. Sclera Putih Putih Tidak ikterik
8. Kornea
- Ukuran horizontal 12mm
vertikal 11mm
- Kecembungan N N Lebih cembung
dari sclera
- Limbus Tampak
jaringan
fibrovaskular
menutupi
limbus
Arcus Senilis
(-)
Tampak
jaringan
fibrovaskular
menutupi
limbus
Arcus Senilis
(-)
Arcus senilis (-)
Injeksi siliar (-)
- Permukaan Terdapat
jaringan
fibrovaskular
± 2 mm dari
tepi limbus,
dengan
puncaknya di
bagian kornea.
Terdapat
jaringan
fibrovaskular
± 4 - 5 mm
dari tepi
limbus, tidak
melebihi
pinggiran
pupil-mata
dalam keadaan
cahaya
normal-
dengan
puncaknya di
bagian kornea.
Licin, mengkilap,
edema (-)
corpal (-)
defek epitel (-)
ulkus(-)
- Medium Jernih Jernih Jernih
- Uji flurosensi Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
- Placido Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
Konsentris Reguler
9. Kamera Okuli anterior
- Ukuran Dalam Dalam Dalam
- Isi Jernih Jernih Jernih, flare (-)
hifema (-)
hipopion (-)
10. Iris
- Warna Cokelat Cokelat
- Pasangan N N Simetris
- Gambaran N N Kripte baik
sinekia (-)
11. Pupil
- Ukuran 4 mm 4 mm Normal ( 3-6 mm)
pada ruangan
dengan cahaya
cukup
- Bentuk Bulat Bulat Isokor
- Tempat Di tengah Di tengah Di tengah
- Tepi Reguler Reguler Reguler
- Refleks direct (+) (+) Positif
- Refleks indrect (+) (+) Positif
12.Lensa
- Ada/tidak Ada Ada Ada
- Kejernihan Jernih Jernih Jernih
- Letak N N Di tengah,
belakang iris
- Warna Kekeruhan Jernih Jernih
13. Korpus Vitreum Jernih Jernih Jernih
14.Refleks fundus Warna orange
cemerlang
Warna orange
cemerlang
Warna jingga
kemerahan terang,
homogen
f. KESIMPULAN PEMERIKSAAN
OD OS
- Visus jauh 20/30
- Pada conjungtiva bulbi terdapat
- Visus jauh 20/25
- Pada conjungtiva bulbi terdapat
jaringan fibrovaskular berbentuk
segitiga di daerah nasal ke arah
kornea, ± 2 mm dari tepi limbus,
dengan puncaknya di bagian
kornea.
- Injeksi konjungtiva (+)
- Pada permukaan kornea terdapat
jaringan fibrovaskular ± 2 mm
dari tepi limbus, dengan
puncaknya di bagian kornea.
jaringan fibrovaskular berbentuk
segitiga di daerah nasal ke arah
kornea, ± 4 – 5 mm dari tepi
limbus, tidak melebihi tepi pupil,
dengan puncaknya di bagian
kornea.
- Injeksi konjungtiva (+)
- Pada permukaan kornea terdapat
jaringan fibrovaskular ± 4 - 5 mm
dari tepi limbus, tidak melebihi
pinggiran pupil-mata dalam
keadaan cahaya normal- dengan
puncaknya di bagian kornea.
g. DIAGNOSA KERJA
OD Pterygium derajat II
OS Pterygium derajat III
h. TERAPI
Dexamethasone 0,1% ED 3x ODS
Rencana ekstirpasi pterygium jika inflamasi membaik
i. PROGNOSIS
a. Visam : Dubia ad bonam
b. Sanam : Dubia ad bonam
c. Vitam : Dubia ad bonam
d. Kosmeticam : Dubia ad bonam
j. MASALAH YANG DIKAJI
1. Bagaimana penegakkan diagnosis pterygium?
2. Bagaimana penatalaksaan pada pterygium?
k. PEMBAHASAN
1. Definisi
Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang artinya sayap (wing).
Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada subkonjungtiva
dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya
berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap
lipatan semilunar pada cantus.1,2,3
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
konik dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk
segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterygium mudah
meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah.3
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu body, apex (head), dan cap. Bagian
segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya ke arah kantus disebut body,
sedangkan bagian atasnya disebut apex, dan ke belakang disebut cap. Subepitelial cap atau
halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterygium.4
2. Epidemiologi
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan
kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <37o lintang utara dan
selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada
daerah di atas lintang 40o.6
Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan.
Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada umur
muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan
dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di
luar rumah.6
3. Etiologi
Hingga saat ini etiologi pasti pterygium masih belum diketahui secara pasti. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa etiologi pterygium merupakan suatu fenomena iritatif
akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin karena sering terdapat pada
orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar
matahari, berdebu dan berpasir.5,6 Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau
penyebab pterygium. Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu
penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen
suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya
apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi
berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi
seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi elastoid
kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai dengan inflamasi.
Lapisan epitel dapat saja normal, menebal.
Teori lain mengatakan bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan
iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium.
4. Faktor Resiko
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain : 7
- Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada
usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Pterygium terbanyak
pada usia dekade dua dan tiga.
- Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar
UV.
- Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya.
Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah
abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian
pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang
menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300
memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang
lebih selatan.
- Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal
dominan.
- Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium.
- Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti
asap rokok.
5. Patofisiologi
a. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian
belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.
Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar
digerakkan dari tarsus.
- Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera
dibawahnya.
- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak
Gambar 1. Anatomi mata
b. Anatomi Kornea
Kornea merupakan dinding depan bola mata, berupa jaringan transparan dan
avaskular. Faktor-faktor yang menyebabkan kejernihan korena adalah letak epitel
kornea yang tertata sangat rapi, letak serabut kolagen yang tertata sangat rapi dan
padat, kadar air yang konstan, dan tidak adanya pembuluh darah. Kornea
merupakan suatu lensa cembung dengan kekuatan refraksi +43 dioptri. Kornea
melanjutkan diri sebagai sklera ke arah belakang dan perbatasan antara kornea
dan sklera ini disebut limbus.4
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel 4
- Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.
- Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman 4
- Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma.
- Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma 4
- Merupakan lapisan paling tebal, terdiri atas lamel yang merupakan susunan
kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman
yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang;
terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang
kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan
embrio atau sesudah trauma.
4. Membrane descemet 4
- Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
- Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal 40µm.
5. Endotel 4
- Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40µm.
endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan
zonula okluden.
Gambar 2. Lapisan kornea
c. Patofisiologi Pterygium
Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar
matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan
paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor
mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di
limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF-β dan VEGF (vascular
endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan
angiogenesis.8
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi
elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di
bawah epitel yaitu substansia propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan
kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh
pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan.
Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan
untuk pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang
terjadi displasia.5,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan
jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu
banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi
dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium
ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler
yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen
abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia
dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan
Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya
normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan
sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet 5,8
6. Klasifikasi
Berdasarkan perjalanan penyakit, pterygium dibagi atas 2 tipe, yaitu : 5
1. Progresif pterygium
Tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan kepala pterygium (disebut cap
pterygium).
2. Regresif pterygium
Tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi membentuk membran tetapi tidak
pernah hilang.
Derajat pterygium berdasarkan perkembangannya adalah:5
1. Derajat 1
Puncak pterygium tidak mencapai garis tengah antara limbus dan pupil.
2. Derajat 2
Puncak pterygium melewati garis tengah tetapi tidak mencapai pupil.
3. Derajat 3
Puncak pterygium melewati pinggir pupil.
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia, derajat pertumbuhan
pterygium dibagi menjadi : 5
1. Derajat 1
jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.
2. Derajat 2
jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
3. Derajat 3
sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan
cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)
4. Derajat 4
pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.
7. Diagnosis
Penegakkan diagnosis didapatkan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik.
- Anamnesa:
Pasien dengan pterygium muncul dengan berbagai keluhan berkisar dari tidak ada
gejala sampai kemerahan yang tampak jelas, pembengkakan, gatal, iritasi dan
kekaburan pandangan.5,9
Penderita dengan pterygium biasanya datang untuk pemeriksaan mata lainnya, seperti
kaca mata dan tidak mengeluhkan adanya pterygium; tetapi ada pula yang datang
dengan mengemukakan adanya sesuatu yang tumbuh di atas korneanya. Keluhan yang
dikemukakan tersebut didasarkan rasa khawatir akan adanya keganasan atau alasan
kosmetik.5,9
- Pemeriksaan fisik:
Menunjukkan penebalan, berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke
dalam kornea dengan puncak segitiganya di kornea, kaya akan pembuluh darah yang
menuju ke arah puncak pterygium. Umumnya di sisi nasal, secara bilateral.4
Diagnosa banding untuk pterygium diantaranya pannus, pseudopterygium, dan pinguecula.
- Pseudopterygium
Merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Letak
pseudopterygium ini pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea
sebelumnya. Jadi, letaknya tidak harus pada celah kelopak atau fisura palpebra
seperti pada pterygium. Pada anamnesis juga akan didapatkan adanya riwayat
trauma atau kelainan kornea seperti misalnya ulkus kornea.
- Pannus
Pembentukkan pannus biasanya terdapat pada infeksi Chlamydia Trachomatis.
Oleh sebab itu, untuk membedakannya adalah dengan adanya tanda dan gejala lain
dari infeksi tersebut.
- Pinguecula
Pinguecula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi. Letak bercak ini pada
celah kelopak bagian nasal, namun tidak berbentuk segitiga seperti pterygium.
Pinguekula merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva.
Pembuluh darah tidak masuk ke dalam pinguekula kecuali jika terjadi radang.
8. Penatalaksanaan pterygium
a. Konservatif
Pada pterygium derajat 1-2 yang tidak mengalami inflamasi, cukup lakukan
observasi selama tiga bulan. Pada pterygium yang mengalami inflamasi, pasien
dapat diberikan obat tetes mata steroid/NSAID 3 kali sehari selama 5-7 hari.
Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada
penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.
b. Bedah
Pada pterygium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa eksisi pterygium.
Tujuan utama pengangkatan pterygium yaitu memberikan hasil yang baik secara
kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, dan angka kekambuhan
yang rendah.
Indikasi operasi
- Pterygium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
- Pterygium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
- Pterygium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
- Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan
dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Terlepas dari teknik yang
digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata
lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.
Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus
dari permukaan kornea.
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera
untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan.
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40 persen
pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft,
biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah
dieksisi pterygium tersebut.
3. Cangkok Membran Amnion
Sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membrane amnion berisi
faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai.
Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada, diantara 2,6
persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk
kekambuhan pterygia. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera,
dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah.
9. Komplikasi
Komplikasi dari pterygium meliputi astigma, iritasi, gangguan pergerakan bola mata,
timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral
berkurang, timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan
diplopia, Dry Eye sindrom, dan keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterygium.
Komplikasi post-operatif yang bisa terjadi adalah infeksi, perforasi korneosklera, jahitan
graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan, korneoscleral dellen,
granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts, conjungtiva scar, adanya jaringan parut
di kornea, dan disinsersi otot rektus.
10. Prognosis
Umumnya prognosis baik. Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah
baik. Rasa tidak nyaman pada hari pertama post-operasi dapat ditoleransi. Sebagian besar
pasien dapat beraktivitas kembali setelah 48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren
pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dengan conjungtiva autograft atau transplantasi
membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan pertama setelah operasi.
Kekambuhan dipengaruhi oleh faktor resiko, usia, teknik pembedahan yang dipilih, dan
jenis pterygium yang terjadi. Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti
riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai
kacamata sunblock dan mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.
l. DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. 2009. Konjungtiva. Dalam Oftamologi umum.
Edisi 17. Jakarta : Widya Medika. Hal 123.
2. Ilyas,Sidharta. 2006. Konjungtiva dan Sklera. Dalam Penuntun Ilmu Penyakit
Mata. 3rd edisi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, hlm : 107-108.
3. American Academy of Ophthalmology. 2008. Clinical Approach to Depositions
and Degenerations of the Conjunctiva, Cornea, and Sclera Chapter 17. In External
Disease and Cornea. Singapore: Lifelong Education Ophthalmologist. pp 366.
4. James, Bruce, Chris Chew, Anthony Brun. 2006. Konjungtiva, Kornea, Sklera.
Dalam Lecture Notes: Oftalmologi. Edisi 9. Jakarta: Erlangga Medical Science.
Hal 66-67.
5. P. Fisher, Jerome, William Trattler. 2008. Pterygium. Diambil dari
http://www.emedicine.com
6. Lazuarni. 2009. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis : Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatra Barat, Medan.