repo.stikesperintis.ac.idrepo.stikesperintis.ac.id › 197 › 1 › 07 DARWIN EFENDI.docx · Web...
Transcript of repo.stikesperintis.ac.idrepo.stikesperintis.ac.id › 197 › 1 › 07 DARWIN EFENDI.docx · Web...
EFEKTIFITAS PEMBERIAN TERAPI OKUPASI: KOGNITIF (MENGINGAT GAMBAR) TERHADAP PENINGKATAN
KEMAMPUANKOGNITIFANAK AUTISME USIASEKOLAH DI SLB AUTISMA PERMATA
BUNDA KOTA BUKITTINGGITAHUN 2017
Penelitian Keperawatan Anak
SKRIPSI
Oleh :
DARWIN EFENDI13103084105012
Oleh :
DARWIN EFENDI13103084105012
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PERINTIS PADANGTAHUN 2017
EFEKTIFITAS PEMBERIAN TERAPI OKUPASI: KOGNITIF (MENGINGAT GAMBAR) TERHADAP PENINGKATAN
KEMAMPUANKOGNITIFANAK AUTISME USIASEKOLAH DI SLB AUTISMA PERMATA
BUNDA KOTA BUKITTINGGITAHUN 2017
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk MemperolehGelar Sarjana Keperawatan Program Studi Ilmu Keperawatan
STIKes PERINTIS Padang
Oleh :
DARWIN EFENDI13103084105012
Oleh :
DARWIN EFENDI13103084105012
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PERINTIS PADANGTAHUN 2017
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : DARWIN EFENDI
Nim : 13103084105012
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar – benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan
atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan skripsi ini merupakan hasil karya
orang lain, maka saya bersedia mempertanggungjawabkan sekaligus bersedia
menerima sanksi seberat – beratnya atas perbuatan tidak terpuji tersebut.
Demikianlah pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tanpa ada
paksaan sama sekali
Bukittinggi, Agustus 2017
Yang membua pernyataan
Darwin Efendi
Halaman PersetujuanEFEKTIVITAS PEMBERIAN TERAPI OKUPASI : KOGNITIF
(MENGINGAT GAMBAR) TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN KOGNITIF ANAK AUTISME USIA SEKOLAH DI SLB AUTIS PERMATA BUNDA
BUKITTINGGI TAHUN 2017
OLEH :DARWIN EFENDI
13103084105012
Skripsi ini telah disetujui dan telah diseminarkanBukittinggi, 01 Agustus 2017
Dosen Pembimbing
Pembimbing I
Yendrizal Jafri S.Kp, M.Biomed
NIK: 1420106116893011
Pembimbing II
Ns. Aldo Yuliano, S.Kep NIK: 1420120078509053
DiketahuiKetua PSIK STIKes Perintis Padang
Ns. Yaslina, M. Kep, Sp. Kep. Kom NIK:1420106037395017
Halaman PengesahanEFEKTIVITAS PEMBERIAN TERAPI OKUPASI:KOGNITIF
(MENGINGAT GAMBAR) TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUANKOGNITIF ANAK AUTISME USIA
SEKOLAH DI SLB AUTISMA PERMATA BUNDA KOTA BUKITTINGGI TAHUN 2017
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Sidang Tim pengujiPada
Hari/Tanggal : Selasa / 01 Agustus 2017 Pukul : 15:00 Wib
OlehDARWIN EFENDI
NIM: 13103084105012
Dan yang bersangkutan dinyatakan
LULUS
Tim Penguji :
Penguji I : Febriyanti M.Kep, Ns, Sp. Kep. An :.....................
Penguji II : Yendrizal Jafri S.Kp, M.Biomed :.....................
Mengetahui,
Ketua PSIK STIKes Perintis Padang
Ns. Yaslina, M. Kep, Sp.Kom
NIK: 1420120078509053
PENDIDIKAN SARJANA KEPERAWATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN STIKES PERINTIS PADANGSkripsi, Juli 2017DARWIN EFENDI13103084105012
Efektifitas Pemberian Terapi Okupasi:Kognitif (Mengingat Gambar) Terhadap Peningkatan Kemampuan Kognitif Pada Anak Autisme Usia Sekolah Di SLB Autis Permata Bunda Kota Bukittinggi.ix + VI BAB (78 halaman) + 5 tabel + 2 skema + 12 lampiran
ABSTRAKUNESCO melaporkan, tercatat 35 juta orang menyandang autisme diseluruh dunia. Ini berarti rata-rata 6 dari 1.000 orang di dunia mengidap autisme. Di indonesia sendiri pada Tahun 2015 diperkirakan terdapat kurang lebih 12.800 anak penyandang autisme dan 134.000 penyandang spektrum Autisme. Di Sumatera Barat dari hasil penelusuran jumlah penyandang autisme disekolah luar biasa di website dari 8 sekolah yang menangani masalah autisme pada anak terdapat jumlah penderita autisme yang ditangani disekolah tersebut berjumlah 374 orang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui “efektifitas pemberian terapi okupasi:kognitif (mengingat gambar) terhadap peningkatan kemampuan kognitif pada anak autisme usia sekolah Di SLB Autis Permata Bunda Kota Bukittinggi tahun 2017”. Jenis penelitian ini adalah Quasi eksperimen dengan pendekatan one group pretest posttes. Teknik sampling adalah total sampling sampel sebanyak 15 orang anak autisme usia sekolah. Pengumpulan data menggunakan lembar observasi perkembangan kognitif. Hasil penelitian didapatkan sebelum intervensi yaitu mean 60,27 (diragukan) dan setelah intervensi menjadi mean 64,73 (sesuai tahap perkembangan) dimana p value = 0.001 (α<0.05). Dapat disimpulkan bahwa terapi okupasi:kognitif (mengingat gambar) efektif terhadap peningkatan kemampuan kognitif pada anak autisme usia sekolah. Kepada pihak petugas SLB Autis Permata Bunda agar dapat secara rutin melaksanakan terapi okupasi sebagai salah satu intervensi keperawatan terhadap perkembangan kognitif anak dengan autisme. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, terapi yang telah diteliti dapat berguna dalam memberikan intervensi khususnya anak yang mengalami gangguan perkembangan kognitif agar bisa lebih berprestasi dalam belajar.
Kata Kunci : Anak Autisme, Terapi Okupasi, Perkembangan KognitifDaftar Bacaan : 46 (2001-2015)
Study Program Of NursingInstitute Of Healt Science Perintis PadangThesis, July 2017DARWIN EFENDI13103084105012
Effectiveness of Occupational Therapy: Cognitive (Given Images) Against Increased Cognitive Ability in Autism Children In School Age At SLB Autisma Permata Bunda Bukittinggi.IX + VI CHAPTER (78 pages) + 5 tables + 2 schemes + 12 attachments
ABSTRACTUNESCO reports that 35 million people have autism worldwide. This means an average of 6 out of 1,000 people in the world suffer from autism. In Indonesia alone in the Year 2015 is estimated there are approximately 12,800 children with autism and 134.000 people with spectrum Autism. In West Sumatera, the number of people with autism in schools was higher than the number of people with autism in schools. This study aims to determine "the effectiveness of occupational therapy therapy: cognitive (remember image) to increase cognitive abilities in children of school-aged autism At SLB Autism Gem of Mother of Bukittinggi City 2017". The type of this research is Quasi experiment with one group pretest posttes approach. Sampling technique is a total sampling of 15 children of school-aged autism children. Data collection using cognitive developmental observation sheets. The results obtained before intervention were mean 60,27 (doubtful) and after intervention became mean 64,73 (according to development stage) where p value = 0.001 (α <0.05). It can be concluded that occupational therapy: cognitive (remember image) is effective against the improvement of cognitive abilities in school-age autism children. To the officials of SLB Autis Permata Bunda in order to routinely perform occupational therapy as one of nursing intervention to cognitive development of children with autism. It is expected that with this research, the therapies that have been studied can be useful in providing intervention, especially children who experience cognitive developmental disorder in order to better achievement in learning.
Keywords : Autism Children, Occupational Therapy, Cognitive DevelopmentReading List : 46 (2001-2015)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
Nama : Darwin Efendi
Tempat/Tanggal Lahir : Lubuk Ambacang /17 November 2017
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Lubuak Ambacang, Kec. Hulu Kuantan
B. Identitas Orang Tua
Nama ayah : Marwan
Nama Ibu : Asnimar
Alamat : Lubuak Ambacang, Kec. Hulu Kuantan
C. Riwayat Pendidikan
2001 - 2007 : SDN 002 Lubuk Ambacang
2007- 2010 : SMPN 1 Kecamatan Hulu Kuantan
2010 - 2013 : SMAN 1 Kecamatan Hulu Kuantan
2013 – 2017 : STIKes Perintis Sumbar
KATAPENGANTAR
Assalamu’alaikumWr.Wb
PujisyukursayapanjatkankepadaAllah SWT, karenaatasberkahdanrahmat-
Nya, sayadapatmenyelesaikanskripsil yang berjudul “Efektivitas Pemberian
Terapi Okupasi:Kognitif (Mengingat Gambar) Terhadap Peningkatan
Kemampuan Kognitif Pada Anak Autisme Usia Sekolah Di SLB Autis
Permata Bunda Kota BukittinggTahun 2017”
P
enulisanskripsiinidilakukandalamrangkamemenuhisalahsatusyaratuntukmendapa
tkan gelar Sarjana
Keperawata
n.Sayamenyadaribahwa,tanpabantuandanbimbingandariberbagaipihak,darimasap
erkuliahansampaipadapenyusunanskripsil
ini,sayaakankesulitanuntukmenyelesaikanskripsil ini.Olehkarenaitu,
sayamengucapkanterimakasihkepada:
1. Bapak Yendrizal jafri, S. Kp, M. Biomed, selaku Ketua STIKes Perintis
Padang
2. Ibu Ns. Yaslina, M. Kep, Sp. Kom, selaku Kepala Prodi Ilmu Keperawatan
STIKes Perintis Padang.
3. Bapak Yendrizal jafri, S. Kp, M. Biomed, selaku pembimbing I
y
angtelahmenyediakanwaktu,tenaga,danpikiranuntukmengarahkansayadala
mpenyusunanskripsil ini.
4. Bapak Ns. Aldo Yuliano S. Kep, selaku pembimbing II yang
d
engansangatsabardanbijaktelahmemberikanbimbingandanpengarahandala
mpenulisan skripsil ini.
5. Bapak dan ibu staf pengajar Prodi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis
Padang
y
angtelahmembimbingsehinggapenulismendapatkanilmudanbekaldalamcara
penyusunanSkripsil ini.
6. Direktur RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi yang
telahmemberikanizinpenelitiuntukmencaridatadalampenyusunanSkripsiini.
7. BapakdanIbundatercintasebagaicahayaterangdalamhidupku,atasdo’a
d
anusahanyadalammendukung,penyelesaianskripsilini,baikdalammorilmaup
unmateri,sertatidaklupakakakdan seluruh sanak family
yangselalumemberikanmotivasiuntukmenjadiyang terbaik.
8. Rekan-rekanSI Keperawatanangkatan2013yang
y
angsenantiasamemberikanmotivasiuntukterusberlombadalammenyelesaika
nstudidengansebaikmungkin.
K
esempurnaanhanyamilikAllahsemata,untukitupenulismenginginkankritikda
nsarandemikesempurnaanskripsilini,karenapenulisyakinskripsilinimasihjau
hdarisempurna.
A
khirkatapenulisberharapsemogapenelitianinidapatbermanfaatbagipenulismaupun
pengembanganilmupengetahuanpadaumumnyadanilmukeperawatankhususnya.
Wassalamu’alaikumWr.Wb
Bukittinggi, Juli 2017
Penulis
DAFTARISI
HALAMANJUDUL
KATAPENGANTAR.................................................................................i
DAFTARISI................................................................................................iii
BABIPENDAHULUAN
1.1 LatarBelakangMasalah....................................................................1
1.2 RumusanMasalah.............................................................................8
1.3 TujuanPenelitian
1.3.1 Tujuan Umum........................................................................8
1.3.2 Tujuan Khusus.......................................................................8
1.4 ManfaatPenelitian............................................................................9
1.5 Rung Lingkup Penelitian...................................................................10
BABII LANDASANTEORI
2.1 Konsep Autisme
2.1.1 Definisi...................................................................................11
2.1.2 Etiologi...................................................................................12
2.1.3 Ciri-ciri Autisme.....................................................................18
2.1.4 Klasifikasi Autisme................................................................20
2.1.5 Terapi Autisme.......................................................................21
2.2 Konsep Perkembangan Kognitif
2.2.1 Definisi...................................................................................23
2.2.2 Perkembangan Kognitif Menurut Piaget................................24
2.2.3 Tahap Perkembangan Kognitif...............................................26
2.2.4 Kognitif Anak Autisme...........................................................29
2.3 Konsep Terapi Okupasi
2.3.1 Definisi...................................................................................30
2.3.2 Fungsi dan Tujuan Terapi Okupasi.........................................31
2.3.3 Jenis-jenis Aktivitas Terapi Okupasi......................................33
2.3.4 Standar Pelaksanaan Terapi Okupasi .....................................36
2.4 Peneelitian Terkait...........................................................................42
2.5 Kerangka Teori................................................................................43
2.6 Hubungan Terapi Okupasi Dengan Perkembangan Kognitif...........44
BAB III KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep.............................................................................46
3.2 Definisi Operasional........................................................................47
3.3 Hipotesis...........................................................................................48
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian..............................................................................49
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian..........................................................50
4.3 Populasi, Sampel Penelitian dan Teknik Sampel
4..3.1 Populasi.....................................................................................50
4.3.2 Sampel.....................................................................................51
4.3.3 Teknik Sampling.....................................................................52
4.4 Instrumen Penelitian.........................................................................52
4.5 Metode Pengumpulan Data..............................................................52
4.6 Pengolahan Data dan Analisa Data..................................................53
4.6.1 Pengolahan Data......................................................................53
4.6.2 Analisa Data............................................................................55
4.6.2.1 Analisis Univariat..............................................................55
4.6.2.2 Analisis Bivariat............................................................55
4.7 Etika Penelitian................................................................................56
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian.......................................................................................57
5.1.1 Analisa Univariat..........................................................................57
5.1.2 Analisa Bivariat...........................................................................62
5.2 Pembahasan............................................................................................63
5.1.1 Analisa Univariat..........................................................................64
5.1.2 Analisa Bivariat...........................................................................67
5.3 Keterbatasan Penelitian..........................................................................76
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan ............................................................................................77
6.2 Saran.......................................................................................................78
DAFTARPUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1Susunan Kegiatan Terapi Okupasi...............................................39
Tabel 3.1Defenisi operasional.....................................................................47
Tabel 4.1 Rancangan Penelitian...................................................49
Tabel 5.1 Distribusi Rata-Rata (Pretest)......................................60
Tabel 5.2 Distribusi Rata-Rata (Posttest).....................................61
Tabel 5.3 Distribusi Rata-Rata(pre-posttest)................................62
DAFTAR SKEMA
Skema Kerangka Teori............................................................43
Skema Kerangka Konsep.........................................................46
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 2 Inform Consent
Lampiran 3 SOP Terapi Okupasi “Mengingat Gambar”
Lampiran 4 Lembar Observasi Perkembangan Kognitif
Lampiran 5 Media Gambar Terapi Okupasi “Mengingat Gambar”
Lampiran 6 Leaflet Terapi Okupasi
Lampiran 7 Surat Izin Penelitian
Lampiran 8 Master Tabel Perkembangan Kognitif
Lampiran 9 Surat Izin Selesai Penelitian
Lampiran 10 Hasil Pengolahan Data Dan Analisa Data
Lampiran 11 Dokumentasi Penelitian
Lampiran 12 Lembar Konsul
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Anak merupakan anugrah Tuhan yang harus dijaga dengan baik agar
mampu melewati setiap fase tumbuh kembang dalam hidupnya. Periode
emas atau golden (0-3 tahun) merupakan masa anak mengalami
pertumbuhan dan perkembangan secara cepat, hal ini mengisyaratkan
bahwa apabila perkembangan pada asfek kognitif, motorik, serta efektip
bisa dicapai secara optimal yang akan mendukung perkembangan anak
selanjutnya. Hal ini tentu saja bisa di capai apabila anak tumbuh secara
normal, berarti bahwa tidak ada gangguan yang di derita anak baik secara
fisik, psikologis, maupun perilakunya, sebaliknya jika anak memiliki
gangguan fisik seperti kecacatan tubuh fisik, maupun psikologis seperti
autisme, serta gangguan perilaku, maka dapat menghambat perkembangan
dan pertumbuhannya pula (Ekowarni, 2014).
UNESCO melaporkan, tercatat 35 juta orang menyandang autisme
diseluruh dunia.Ini berarti rata-rata 6 dari 1.000 orang di dunia mengidap
autisme. Penelitian Center For Diasase Control (CDC) di Amerika
(2012), menyatakan bahwa perbandingan autisme adalah 1:68. Di Asia,
penelitian Hongkong Study (2012) melaporkan tingkat kejadian autisme
dengan prevelansi 1,68 per 1.000 orang untuk anak dibawah 15 tahun
(Sirrait, 2013).
Di Indonesia sendiri jumlah angka pertumbuhan anak penyandang
autisme juga meningkat pesat. Pada tahun 2010 Dr.Melly Budhiman
menyatakan perbandingan anak autisme adalah 1:500 (Kompas:2012).
Empat tahun kemudian Menteri Kesehatan saat itu, Ibu Siti Fadhilah
Supari menyatakan jumlah anak penyandang autisme adalah: 475
ribu,Judarwantomenyatakan perbandingan anak autisme adalah 1:150 atau
meningkat 300% dibanding tahun 2010. Jika mengikuti prevalensi dunia
yakni 1:100, secara agregrat, jika mengacu dari total jumlah anak usia 0-12
th di Indonesia yang saat ini berjumlah 52 juta (Diknas, 2014),maka
jumlah anak penyandang autisme di Indonesia saat ini adalah 532.000
ribu. Jika dipresentasi tingkat pertumbuhan dalam satu dekade terakhir
maka di tiap tahun Indonesia kebanjiran 53.200 anak penyandang autisme
baru, atau sekitar 147 anak perhari.Tahun 2015diperkirakan satu per 250
anak mengalami ganguan spektrum autisme. Tahun 2015 diperkirakan
terdapat kurang lebih 12.800 anak penyandang autisme dan 134.000
penyandang spektrum Autisme di Indonesia (Budiman, 2015).
Di Sumatera Barat sendiri sampai saat ini belum ada data resmi
tentang penderita autisme, dikarenakan kehadiran anak autisme tidak
menetap tiap semester.Dari hasil penelusuran jumlah penyandang autisme
disekolah luar biasa di website dari 8 sekolah yang menangani masalah
autisme pada anak terdapat jumlah penderita autisme yang ditangani
disekolah tersebut berjumlah 374 orang (Amelia, 2013).
Menurut penelitian Rahayu (2014). Data dari Dinas Pendidikan
Sumatera Barat tahun 2013 tercatat sebanyak 472 orang anak penderita
autisme, dan untuk Kota Padang jumlah anak autisme sebanyak 227 orang
yang tersebar diberbagai sekolah autisme seperti SLB Autis YPPA, SLB
Autis BIMA, SLB Autis Buah Hati Ibu, SLB Autis Harapan Bunda, SLB
Autis Yayasan Mitra Ananda, dan SLB Autis Mitra Kasih Karunia.
Di Bukittinggi terdapat 6 SLB yang menampung anak autisme, namun
sekolah yang menangani masalah autisme secara khusus yaitu Yayasan
Permata Bunda, Sekolah Luar Biasa Autis Permata Bunda.Sekolah ini
berdiri sejak 03 Agustus 2016.Didapatkan data jumlah siswa Sekolah Luar
Biasa Autis Permata Bunda tahun ajaran 2016/2017 menampung siswa
sebanyak 61 murid. Dari 61 murid tersebut ada 15 orang anak autisme usia
sekolah.
Anak autisme memiliki kemampuan dan karakteristik yang berbeda
satu sama lain, sehingga hal tersebut menentukan caranya berinteraksi
terhadap diri dan lingkungan serta menjadikan anak autisme sebagai
pribadi yang unik. Ketidak mampuan dalam berkomunikasi ini disebabkan
adanya kerusakan sebagian fungsi otak. Gangguan perilaku ini dapat
berupa kurangnya interaksi social, penghindaran kontak mata, kesulitan
dalam mengembangkan bahasa, pengulangan tingkah laku, dan kurangnya
kemampuan kognitif anak autisme (Mangunsong,2009).
Kemampuan kognitif merupakan salah satu aspek yang perlu
dikembangkan oleh anak usia dini dalam rangka mengembangkan
pengetahuannya tentang apa yang dilihat, didengar, diraba, dirasa, ataupun
dicium melalui panca indera yang dimiliki. Kognitif adalah sutau proses
berpikir, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai dan
mempertimbangkan suatu kejadian (Sujiono, 2008). Pengembangan aspek
kognitif pada anak usia dini sebaiknya disesuaikan dengan tingkat
perkembangan anak yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan
berfikir. Oleh karenanya kemampuan kognitif sangat penting bagi
kehidupan seseorang dan perlu dibekali serta dikembangkan sedini
mungkin, tidak terkecuali anak berkebutuhan khusus termasuk anak
autisme.
Pada permasalahan kognitif, anak autisme yang tergolong dalam usia
dini mengalami kesulitan dalam menerima materi pembelajaran yang
disebabkankurangnya pemahaman anak dalam menerima informasi
pembelajaran. Anak dengan gangguan autismemengalami kesulitan dalam
memproses dan menyimpan informasi non-visual (Dettmer, dkk, 2000).
Pendapat lain dikemukakan oleh Sunardi dan Sunaryo (2007) hambatan
perkembangan kognitif yang dimiliki anak autisme berbeda dengan anak
pada umunya yang ditandai dengan acuh terhadap stimuli pendengaran dan
mengalami kesulitan dalam memahami instruksi yang lebih kompleks.
Kesulitan dalam memahami informasi yang dihadapi individu dengan
gangguan autisme tidak menutup anak autisme pada usia dini
mendapatkan pembelajaran yang baik. Dalam upaya membantu anak
autisme meningkatkan pemahaman dalam konsep salah satunya konsep
ukuran, diberikan berbagai dukungan visual baik dua atau tiga dimensi di
dalam kegiatan pembelajaran. Menurut Quill, 1995 (Dettmer dkk, 2000)
yang menyatakan bahwa individu dengan gangguan autisme lebih mudah
untuk memperoleh informasi secara visual dua atau tiga dimensi daripada
stimulus pendengaran. Hal ini diperkuat oleh pendapat (Nawawi dkk,
2009) anak autisme juga lebih mudah memahami hal konkrit yang dapat
dilihat dan dipegang dari pada hal abstrak.
Autisme tidak dapat disembuhkan (not curable) namun dapat diterapi
(treatable).Maksudnya adalah kelainan yang ada di dalam otak tidak dapat
diperbaiki, namun gejala-gejala yang ada dapat dikurangi semaksimal
mungkin misalnya dengan terapi, sehingga anak tersebut bisa berbaur
dengan anak lain secara normal (Widyawati, 2001).
Untuk mengaktifkan sensasi dalam tubuh seseorang termasuk anak
autisme perlu keadaan yang rileks dan suasana yang menyenangkan,
karena dalam keadaan tegang seseorang tidak akan dapat menggunakan
otaknya dengan maksimal karena pikiran menjadi kosong (Denisson,
2006). Suasana menyenangkan dalam hal ini berarti anak berada dalam
keadaan yang sangat rileks, tidak ada sama sekali ketegangan yang
mengancam dirinya baik fisik maupun non fisik (Papalia, 2008). Keadaan
tersebut akan memberikan kenyamanan tersendiri bagi anak autisme untuk
mengembangkan kemampuan kognitif dan membuka jalan bagi anak
autisme dalam mendayagunakan seluruh potensi yang dimilikinya.
Pengembangan kognitif yang dimaksudkan yaitu individu mampu
mengembangkan kemampuan persepsi, atensi, ingatan (memory), berpikir,
konsentrasi, fokus-pemahaman terhadap simbol, melakukan penalaran dan
memecahkan masalah (Santrock, 2006). Dalam studi ini yang akan diteliti
adalah atensi, fokus pemahaman, ingatan jangka pendek, dan konsentrasi
yang juga menjadi bagian dari kemampuan kognitif individu, dan biasanya
terdapat hambatan pada anak autisme (Santrock, 2006). Kemampuan
kognitif berpusat pada organ otak individu, sehingga untuk meningkatkan
kemampuan kognitif seseorang bisa dengan mengaktifkan fungsi otak.
Untuk mencapai tingkat kemampuan kognitif yang baik pada anak
autisme, anak autisme perlu mendapatkan suatu terapi yang dapat
menunjang proses tersebut. Salah satu terapi yang bisa diberikan kepada
anak autismeadalah terapi okupasi (Wahyu, 2012).
Terapi okupasi diberikan untuk melatih kemandirian, kognitif
(pemahaman), kemampuan sensorik dan kemampuan motorik anak dengan
autisme. Terapi ini diberikan karena pada dasarnya anak dengan autisme
sangat bergantung dengan orang lain dan anak dengan autisme ini juga
acuh sehingga mereka beraktifitas tanpa adanya komunikasi serta tidak
memperdulikan orang lain. Terapi okupasi ini sangat membantu anak
dalam mengembangkan kemandirian serta meningkatkan fokus atau
konsentrasi anak autisme dalam belajar (Qaharani, 2010).
Terapi okupasi selain digunakan untuk anak autisme dapat pula
diterapkan untuk anak/orang dewasa yang mengalami kesulitan belajar,
hambatan motorik (cedera, stroke, traumatic brain injury), sensory
processing disorders, cerebral palsy, down syndrome, Attention Deficit
Hyperactivity Disorder (ADHD),genetic disorders, asperger’s syndrome,
kesulitan belajar, keterlambatan wicara, gangguan perkembangan
(Cerebral Palsy/CP), Pervasive Developmental Disorder (PDD) dan
keterlambatan tumbuh kembang lainnya (Kosasih, 2012).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti dengan cara
meberikan soal matematika penjumlahan dengan soal (6+17) kepada 15
anak autisme usia sekolah di SLB AutisPermata Bunda, pada kamis 19
Januari 2017, didapatkan hasil bahwa dari 15 anak autisme 13 anak
(86,67%) tidak mampu menjawab dengan benar, dan 2anak (13,33%)
mampu menjawab soal matematika penjumlahan (6+17) dengan benar.
Berdasarkan fenomena yang telah disebutkan diatas maka peneliti
tertarikmelakukan penelitian yang berjudul “ Efektifitas Pemberian Terapi
Okupasi:Kognitif (Mengingat Gambar) Terhadap Peningkatan
Kemampuan Kognitif Pada Anak Autisme Usia Sekolah Di SLB Autis
Permata Bunda Kota Bukittinggi.”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah di sebutkan di atas, maka peneliti
tertarik untuk mengetahui “apakah pemberian terapi okupasi: kognitif
(mengingat gambar) efektif meningkatkan kemampuan kognitif pada anak
Autismeusia sekolah di SLB Autis Permata Bunda Kota Bukittinggi.”
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui efektifitas pemberian terapi okupasi: kognitif (mengingat
gambar) dalam meningkatkan kemampuan kognitif pada anak Autismeusia
sekolah
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1 Teridentifikasi rata –rata tingkat kemampuan kognitif sebelum (pre-
test) pemberian terapi okupasi pada anak autismeusia sekolah.
1.3.2.2 Diketahui rata-rata tingkat kemampuan kognitif setelah (post-test)
pemberian terapi okupasi pada anak autisme usia sekolah.
1.3.2.3 Diketahui rata-rata efektifitas pemberian terapi okupasi dalam
meningkatkan kemampuan kognitif pada anak autismeusia sekolah.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi institusi pendidikan
Terapi okupasi ini dapat diaplikasikan oleh guru, untuk dapat
diterapkan dan ditingkatkan dalam melakukan kegiatan sehari hari (ADL)
dan dalam meningkatkan kemandirian anak autisme.
1.4.2 Bagi institusi pelayanan kesehatan
Penelitian tentang terapi okupasi yang diberikan kepada anak dengan
autisme dalam meningkatkan kemampuan kognitif ini dapat menambah
wawasan dan sebagai bahan rujukan bagi institusi pendidikan
keperawatan.
1.4.3 Bagi peneliti selanjutnya
Terapi okupasi ini dapat dijadikan bahan tambahan dan informasi
untuk pengembangan penelitian lebih lanjut tentang efektifitas terapi
okupasi: kognitif (mengingat gambar) terhadap peningkatan kemampuan
kognitif pada anak dengan berkebutuhan khusus dengan tingkat
Intelligence Quotient (IQ) yang sama.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini tentang Efektifitas Pemberian Terapi Okupasi: Kognitif
(Mengingat Gambar) Terhadap Peningkatan Kemampuan Kognitif Pada
Anak AutismeUsia Sekolah Di SLB Autis Permata Bunda Kota Bukittinggi.
Variabel yang diambil dari penelitian ini adalah pemberian terapi okupasi:
kognitif (mengingat gambar) Terhadap Peningkatan Kemampuan Kognitif.
Peningkatan kemampuan kognitif yang diterapkan dengan memberian
terapi okupasi:kognitif belum banyak di bahas. Terapi okupasi sudah mulai
dikembangkan dan diterapkan untuk anak berkebutuhan khusus.Sampel
penelitian adalah 15 anak autismeusia sekolah di SLB Autis Permata Bunda
Kota Bukittinggi yang dilakukan pada 24 maret – 6 April 2017.Penelitian
ini menggunakan lembar standar operasional prosedur (SOP) terapi okupasi
(mengingat gambar) dan lembar observasi perkembangan kognitif yang
dimodifikasi sendiri oleh peneliti sebagai instrumen penelitian. Penelitian
ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian yang
digunakan adalah Quasi eksperimen. Desain ini menggunakan pendekatan
one group pretest posttest.Pada study one group pretest posttestini
mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkkan satu
kelompok subjek. Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan
intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah dilakukan intervensi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Autisme
2.1.1 Defenisi
Autisme berasal dari kata “auto” yang artinya sendiri.Istilah ini dipakai
karena mereka yang mengidap gejala autisme seringkali memang terlihat
seperti orang yang hidup sendiri.Mereka seolah-olah hidup di dunianya
sendiri dan terlepas dari kontak sosial yang ada disekitarnya.Autisme
merupakan salah satu bentuk gangguan tumbuh kembang, berupa
sekumpulan gejala akibat adanya kelainan saraf – saraf tertentu yang
menyebabkan fungsi otak tidak bekerja secara normal sehingga
mempengaruhi tumbuh kembang, kemampuan komunikasi, dan kemampuan
interaksi sosialnya (Sunu, 2012).
Menurut PPDGJ (Pedoman Penggolongan dan Diagnosa Gangguan
Jiwa di Indonesia III) yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan 1993
dan merupakan terjemahan dari ICD-X (International Classification of
Diseases-X) yang diterbitan WHO 1992 dan DSM-IV, yang dimaksud
autisme masa anak adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai
oleh adanya abnormalitas atau adanya perkembangan yang muncul sebelum
usia 3 tahun, dan anak mempunyai fungsi abnormal dalam 3 bidang yaitu
interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang.
2.1.2 Etiologi
Sampai sekarang belum terdeteksi faktor yang menjadi penyebab tunggal
timbulnya gangguan autisme. Namun demikian ada beberapa faktor yang
dapat menjadi penyebab timbulnya autisme berdasarkan beberapa hasil
penelitian:
2.2.2.1 Faktor Psikologis dan Keluarga
Faktor-faktor psikologis yang dapat menyebabkan gangguan
autisme adalah ketidaksadaran dan ketidakpahaman akan eksistensi diri
yang sebenarnya berbeda dengan orang lain, tidak memiliki percaya diri
pada kekuatan dan potensinya, sikap menarik diri dari situasi sosial,
pandangan dunia luar yang terlalu sempit, disabilitas kognitif
(keterlambatan kognitif), kegagalan dalam relasi sosial,
ketidakmampuan berbahasa, rendahnya kosep diri dan perilaku yang
tidak lazim (Pieter, dkk, 2011).
Beberapa ahli (Kanner dan Bruno Bettelhem, 1943) menganggap
autisme sebagai akibat hubungan yang dingin, tidak akrab antara orang
tua (ibu) dan anak.Demikian juga dikatakan, orang tua atau pengasuh
yang emosional, kaku, obsesif, tidak hangat bahkan dingin dapat
menyebabkan anak asuhnya menjadi autisme (Joko, 2013).
2.2.2.2 Faktor Biologis
a) Faktor genetik
Yaitu keluarga yang terdapat anak autisme memiliki resiko lebih
tinggi dibanding populasi keluarga normal.Hal ini didasarkan pada
pewarisan sifat-sifat induk melalui kromosom.Setiap Manusia normalnya
mengandung 46 kromosom, atau dapat dikatakan 23 kromosom dari laki-
laki dan 23 kromosom dari perempuan.Sedangkan kromosom manusia
yang tidak normal memiliki 45 atau 47 buah kromosom.Kromosom yang
tidak normal inilah yang membawa sifat keturunan gangguan
mental.dingin dapat menyebabkan anak asuhnya menjadi autisme (Joko,
2013).
Kromosom sendiri terbagi menjadi dua, yaitu kromosom sek yang
terdiri dari satu pasang kromosom yang menentukan jenis kelamin, dan
kromosom otomos yang merupakan kromosom pasangan pertama sampai
pasangan ke-22 yang mewarisi sifat-sifat induknya seperti bentuk badan,
warna kulit, intelegensi, bakat-bakat khusus dan juga gangguan mental
(Hasdianah, 2013).
Menurut para peneliti, faktor genetik memegang peranan kuat
sebagai penyebab autisme karena manusia banyak mengalami mutasi
genetik akibat dari cara hidup yang semakin “modern” seperti
penggunaan zat kimia dalam kehidupan sehari-hari, dan faktor udara
yang semakin terpolusi (Hasdianah, 2013).
Hasil penelitian lain menemukan bahwa gangguan autisme lebih
banyak ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak
perempuan, yakni sekitar 3-5 lebih banyak pada anak laki-laki. Namun
tingkat keparahannya lebih banyak terjadi pada anak perempuan, apalagi
jika memiliki riwayat keluarga autisme. Sementara penelitian Cook
(2001) menemukan bahwa gangguan autisme memiliki komponen
genetik dari keluarga yang memiliki anak autisme berkisar 3-5%. Hasil
penelitian pada anak kembar ternyata ditemukan bahwa adanya
kesesuaian gen gangguan autisme pada anak kembar monozigotik dengan
angka kontribusi diperkirakan sekitar 36% (Pieter, dkk., 2011).
2.2.2.3 Pre Natal
Beberapa faktor yang dapat memicu munculnya autisme pada
masa kehamilan terjadi pada masa kehamilan 0-4 bulan, bisa diakibatkan
oleh polutan logam berat (Pb, Hg, Cd, Al), infeksi (toksoplasma, rubella,
candida, dan sebagainya), zat adatif (pengawet dan pewarna),
hiperemesis (muntah-muntah berat), perdarahan berat, dan alergi berat
(Sunu, 2012).
a) Lama masa kehamilan
Penelitian yang dilakukan Tommy Movsas dari Michigan State
University menunjukkan bahwa bayi yang lahir prematur (sebelum usia
kandungan cukup bulan) mempunyai risiko tinggi mengidap autisme.
Demikian juga jika lahirnya lebih lama dari masa kehamilan normal, risiko
mengidap autisme juga sama tinggi (Hasdianah, 2013).
Usia kehamilan normal pada ibu hamil yaitu 37-42 minggu, Sedangkan
kehamilan yang lebih dari 42 minggu disebut sebagai kehamilan lewat
waktu (postterm), dan disebut kehamilan preterm jika usia kehamilan
kurang dari 37 minggu. Biasanya bayi yang lahir prematur akan mudah
terserang penyakit, yaitu penyakit kuning. Disebut kehamilan preterm jika
usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Hal ini berdampak pada bayi dimana
kekebalan tubuh bayi masih lemah karena fungsi organ tubuhnya belum
terbentuk sempurna, sehingga perkembangan bayi terganggu (Hasdianah,
2013).
b) Obesitas
Menurut Paula Krakowiak, epidemiolog dari UC Davis MIND Institute,
penelitian terbaru yang dilakukan para ilmuwan yang berafiliasi dengan UC
Davis MIND Institute menemukan bahwa ibu yang obesitas beresiko 67%
lebih besar melahirkan anak yang menyandang autisme (Solikhah, 2011).
Menurut dr. Suririnah, bahwa selama kehamilan, ibu hamil perlu untuk
bertambah berat badan. Berat badan wanita hamil akan mengalami kenaikan
sekitar 6,5-16,5 kg. Metode yang biasa digunakan adalah BMI (Body Mass
Index).Kenaikan berat badan terlalu banyak ditemukan pada kasus
preeklampsi dan eklampsi.Hal ini berhubungan dengan hipertensi pada
kehamilan yang dapat dengan cepat menimbulkan oliguria dan disfungsi
ginjal. Sehingga prognosis pada bayi dan ibunya menjadi serius ( Solikhah,
2011)
c) Diabetes
Selain obesitas, hasil penelitian para ilmuwan yang berafiliasi dengan
UC Davis MIND Institue juga menemukan bahwa penderita diabetes
berisiko 2,3 kali lebih besar memiliki anak dengan gangguan perkembangan
dibandingkan ibu dengan kondisi sehat. Namun, proporsi ibu dengan
diabetes yang memiliki anak autisme lebih tinggi daripada ibu yang sehat,
meski secara statistik tidak terlalu signifikan.Studi ini juga menemukan,
anak autisme dari ibu penderita diabetes lebih mungkin mengalami
kecacatan (rendahnya pemahaman bahasa dan komunikasi) dari pada anak
autisme yang lahir dari ibu yang sehat. Namun, anak-anak tanpa autisme
yang lahir dari ibu penderita diabetes juga rentang mengalami gangguan
sosialisasi jika dibandingkan dengan anak tanpa autisme dari ibu yang sehat
( Joko, 2013).
d) Perdarahan selama masa kehamilan
Perdarahan selama kehamilan sering bersumber dari placenta
complication yang menyebabkan gangguan perkembangan otak.Perdarahan
pada awal kehamilan berkaitan dengan kelahiran prematur dan memiliki
berat bayi yang rendah, dimana kondisi ini sangat rentang terjadinya
autisme.Dalam periode neonatus, anak autisme mempunyai insiden yang
tinggi untuk mengalami sindrom gawat pernapasan dan anemia neonatus.
Beberapa komplikasi yang timbul pada neonatus mempengaruhi kondisi
fisik bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan kelahiran, maka hal
yang paling berbahaya adalah hambatan aliran darah pada otak dan oksigen
ke seluruh tubuh. Dan organ yang paling sensitif terkena autisme adalah
otak (Pieter, dkk., 2011).
e) Usia orang tua saat hamil
Menurut Alycia Halladay,2010. Direktur Riset Studi Lingkungan
Autism Speaks, makin tua usia orang tua saat memiliki anak, makin tinggi
risiko si anak menderita autisme. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010
menemukan, perempuan usia 40 tahun memiliki risiko 50 persen memiliki
anak autisme dibandingkan dengan perempuan berusia 20-29 tahun. Hal ini
diduga karena terjadinya faktor mutasi gen ( Admin, dkk, 2006 ).
f) Neurobiologis
Dari data prevalensi menunjukkan bahwa tiga dari empat penderita
autisme memiliki kecenderungan retradasi mental dengan tingkat estimasi
antara 30%-70%, sehingga penderita autisme memperlihatkan abnormalitas
neurobiologis, seperti kekakuan gerakan tubuh dan cara berjalan yang
abnormal. Hasil CATSCAN (Computer Assisted Axial Tomography) dan
MRI (Magnetic Resonance Imaging) menemukan adanya abnormalitas
cerebellum pada penderita autisme. Penemuan ini diperkuat oleh penelitian
Courchesne (1991) yang menemukan adanya keterkaitan abnormalitas otak
bagian cerebellum terhadap gangguan autisme( Pieter, dkk., 2011 ).
g) Gangguan sistem pencernaan
Kurangnya enzim sekretin diketahui berhubungan dengan munculnya
gejala autisme.Kasus semacam ini ditemukan pada seorang penderita
autisme bernama Parker Back pada tahun 1997.Selain itu, hasil pemeriksaan
usus anak-anak yang mengalami autisme ditemukan adanya
peradangan.Dari hasil penelitian, peradangan ini diketahui disebabkan oleh
virus campak (Sunu, 2012).
2.1.3 Ciri-Ciri Autisme
2.1.3.1 Gangguan pada Kognitif
Dalam bidang kognitif, mereka masih mempunyai ingatan yang
cukup baik, namun kurang memiliki fantasi atau imajinasi sehingga
memiliki sifat ketidaktertarikan yang kompleks baik kepada orang,
karakter khayalan, binatang, ataupun peran orang dewasa.
2.1.3.2 Gangguan pada Bidang Interaksi Sosial
Anak autisme sering memperlihatkan kurangnya respons sosial dan
gagal membentuk ikatan sosial sekalipun sudah terbiasa bergaul dengan
pengasuhnya.Orang-orang disekitarnya kerap kali dimanifestasikan
sebagai objek pencapaian kebutuhannya. Akibatnya anak autisme kurang
memiliki respon sosial ketika dia terluka, sakit atau kelelahan, sehingga
mereka sama sekali tidak mencari atau membutuhkan orang lain untuk
mendapatkan pertolongan.
2.1.3.3 Gangguan Bidang Komunikasi
Sejak dilahirkan, anak autisme memiliki kontak sosial yang sangat
terbatas.Perhatian mereka hampir tidak ada, terfokus kepada orang lain,
melainkan pada benda-benda mati yang disertai dengan taktil kenestesis,
yakni gerakan yang dilakukan bersamaan dengan nafsu meraba-raba
dirinya sendiri.
2.1.3.4Gangguan dalam Persepsi Sensoris
Gangguan ini ditandai dengan perilaku mencium-cium, menggigit-
gigit mainan atau benda-benda, dan bila mendengarkan suara yang baru,
mereka langsung menutup telinganya.Anak autisme juga tidak menyukai
rabaan dan pelukan.
2.1.3.5 Gangguan dalam Perilaku
Gangguan perilaku pada anak autisme ditandai dengan perilaku yang
berlebihan (excessive) dan perilaku yang sangat kurang (defisit), seperti
impulsif, repetitif, dan pada waktu tertentu dia akan merasa terkesan dan
melakukan permainan yang monoton. Hal ini diakibatkan pola kelekatan
terhadap benda-benda tertentu.
2.1.3.6 Gangguan dalam Bidang Perasaan
Gangguan dalam bidang perasaan ditandai dengan kurangnya ras
empati (kurang mampu berbagi perasaan), tidak memiliki simpati,
toleransi yang sangat rendah, misal tertawa, menangis, marah atau
mengamuk (temper tantrum) tanpa sebab dan sulit dikendalikan,
terutama apabila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, maka
perilaku agresi atau merusaknya sulit dikontrol (Pieter, dkk., 2011).
2.1.4 Klasifikasi Autisme
Menurut Yatim (2002), klasifikasi anak autisme dikelompokkan
menjadi tiga, antar lain:
2.1.4.1 Autisme Persepsi
Dianggap autisme yang asli karena kelainan sudah timbul sebelum
lahir.Ketidakmapuan anak berbahasa termasuk pada penyimpangan
reaksi terhadap rangsangan dari luar, begitu juga ketidakmampuan anak
bekerjasama dengan orang lain, sehingga anak bersikap masa bodoh.
2.1.4.2 Autisme Reaksi
lni Terjadi karena beberapa permasalahan yang menimbulkan
kecemasan seperti orang tua meninggal, sakit berat, pindah rumah atau
sekolah dan sebagainya. Autisme ini akan memumculkan gerakan-
gerakan tertentu berulang-ulang disertai kejang-kejang. Gejala ini
muncul pada usia lebih besar 6 sampai 7 tahun sebelum anak memasuki
tahapan berpikir logis.
2.1.4.3 Autisme yang timbul kemudian
Terjadi setelah anak menginjak usia sekolah, dikarenakan kelainan
jaringan otak yang terjadi setelah anak lahir. Hal ini akan mempersulit
dalam hal pemberian pelatihan dan pelayanan pendidikan untuk
mengubah perilakunya yang sudah melekat (Pertiwi, 2013).
2.1.5 Terapi Anak Autis
Menurut Hasdianah (2013), ada beberapa terapi anak autis yaitu:
a) Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang memberikan pelatihan khusus bagi anak
autis dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/ pujian). Jenis terapi
ini bisa diukur kemajuannya.Saat ini, terapi ABA adalah terapi yang paling
banyak diterapkan di Indonesia.
b) Terapi Wicara
Hampir semua anak autis mempunyai kesulitan dalam hal bicaradan
berbahasa. Dalam hal ini, terapi wicara dan berbahasa akan sangat membantu
anak autis dalam belajar bicara.
c) Terapi Okupasi
Hampir semua anak autis mempunyai keterlambatan dalam hal
perkembangan motorik halus. Gerak geriknya kaku dan kasar, anak autis
kesulitan untuk memegang benda dengan cara yang benar. Dalam hal ini,
terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot-otot
halusnya dengan benar.
d) Terapi Fisik
Autis adalah suatu gangguan perkembangan pervasif.Banyak diantara
anak autis mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik
kasarnya.Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang
kuat.Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi
sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan
memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
e) Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi anak autis adalah dalam bidang
komunikasi dan interaksi.Anak-anak dalam kategori ini membutuhkan
pertolongan dalam keterampilan berkomunikasi dua arah.Seorang terapis
sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul
dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara-caranya.
f) Terapi Bermain
Meskipun terdengarnya aneh, anak autis membutuhkanpertolongan
dalam belajar bermain.Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar
bicara, komunikasi dan interaksi sosial.Seorang terapis bermain bisa
membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.
g) Terapi Perilaku
Anak autis seringkali merasa frustasi.Teman-temannya seringkali tidak
memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan
kebutuhannya.Mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan
sentuhan, dan mengakibatkan anak autis mengamuk.Seorang terapis perilaku
terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan
mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan
anak tersebut rutin untuk memperbaiki perilakunya.
h) Terapi Perkembangan
Floortime, Son-rise dan Relationship Developmental Intervention (RDI)
dianggap sebagai terapi perkembangan.Terapi perkembangan berbeda dengan
terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan keterampilan yang lebih
spesifik.
2.2 Konsep Perkembangan Kognitif
2.2.1 Defenisi
Perkembangan kognitif adalah tahap-tahap perkembangan manusia
mulai dari usia anak-anak sampai dewasa, mulai dari proses berfikir secara
konkret sampai dengan yang lebih tinggi yaitu konsep-konsep abstrak dan
logis (Syamsu yusuf, 2013).
Menurut Piaget Perkembangan merupakan suatu proses yang bersifat
kumulatif. Artinya, perkembargan terdahulu akan menjadi dasar bagi
perkembangan selanjutnya. Dengan demikian, apabila teriadi hambatan
pada perkembangan terdahulu maka perkembangan selanjutnya akan
memperoleh hambatan (Soetjiningsih, Suandi 2008).
2.2.2 Konsep Dan Prinsip Tahap-tahap Perkembangan Kognitif Menurut
Piaget
2.2.2.1 Anak adalah belajar yang aktif.
Piaget menyakini bahwa anak tidak hanya mengobservasi dan
mengingat apa-apa yang mereka lihat dan dengar secara
pasif.Sebaliknya mereka secara natura lmemiliki rasa ingin tahu tentang
dunia mereka dan secara aktif berusaha mencari informasi untuk
membantu pemahaman dan kesadarannya tentang realitas dunia yang
mereka hadapi itu. Dalam memahami dunia mereka secara aktif, anak-
anak menggunakan apa yang disebut oleh piaget dengan ” schema”
(skema), yaitu konsep atau kerangka yang ada dalam pikiran anak yang
digunakan untuk mengorganisasikan dan mengimplementasikan
informasi.
2.2.2.2 Anak mengorganisasikan apa yang mereka pelajari dari
pengalamannya.
Anak-anak tidak hanya mengumpulkan apa-apa yang mereka
pelajari dari fakta-fakta yang terpisah menjadi satu kesatuan.Sebaliknya
anak-anak secara gradual membangun suatu pandangan menyeluruh
tentang bagaimana dunia bergerak.
2.2.2.3 Anak menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui proses asimilasi
dan akomondasi.
Menggunakan dan mengadaptasi skema mereka, ada dua proses
yang bertanggung jawab, yaitu assimilation dan accomondation.
Asimilasi terjadi ketika seorang anak memasukkan pengetahuan baru
kedalam pengetahuan yang sudah ada.Sedanagkan akomondasi terjadi
ketika anak menyesuaikan diri pada informasi baru.
2.2.2.4 Proses ekuilibrasi menunjukkan adanya peningkatan kearah bentuk-
bentuk pemikiranyang lebih kompleks.
Menurut piaget, melalui kedua proses penyesuaian asimilasi dan
akomondasi sistem kognisi seseorang berkembang dari satu tahap ke
tahap selanjutnya, sehingga kadang-kadang mencapai equilibrium yakni
keadaan seimbang antara struktur kognisinya dan pengalamannya
dilingkungan. Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang
tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian
diatas. Namun keadaan seimbang ini tidak dapat bertahan hingga batas
waktu yang tidak ditentukan.Sebagai anak yang sedang tumbuh,
kadang-kadang mereka berhadapan dengan situasi yang tidak dapat
menjelaskan secara memuaskan tentang dunia dalam termologi yang
dipahaminya saat ini. Kondisi demikian menimbulkan konflik kognitif
atau disequilibrium, yakni semacam ketidaknyamanan mental yang
mendorong untuk mencoba membuat pemahaman tentang apa yang
mereka saksikan. Dengan melakukan penggantian, mengorganisasi
kembali atau mengintegrasikan secara baik sekema-skema mereka
(dalam kata-kata lain, melalui akomondasi), anak-anak akhirnya
mampu memecahkan konflik, mampu memahami kejadian- kejadian
yang sebelumnya membingungkan, serta kembali mendapatkan
keseimbangan pemikiran.kejadian yang sebelumnya membingungkan,
serta kembali mendapatkan keseimbangan pemikiran (Soetjiningsih,
1998).
2.2.3 Tahap perkembangan kognitif
Piaget juga menyakini bahwa pemikiran seorang anak berkembang
melalui serangkaian tahap pemikiran dari masa bayi hingga masa dewasa.
Dalam hal ini Piaget membagi perkembangan kognitif ke dalam empat fase,
yaitu fase sensorimotor, fase praoperasional, fase operasi konkret, dan fase
operasi formal.(Needlman RD, 2004).
2.2.3.1 Fase sensorimotor (usia 0 – 2 tahun)
Pada masa dua tahun kehidupannya, anak berinteraksi dengan
dunia di sekitarnya, terutama melalui aktivitas sensoris (melihat,
meraba, merasa, mencium, dan mendengar) dan persepsinya terhadap
gerakan fisik, dan aktivitas yang berkaitan dengan sensoris
tersebut.Koordinasi aktivitas ini disebut dengan istilah sensorimotor.
(Needlman RD, 2004).
2.2.3.2 Fase Praoperasional (usia 2 - 7 tahun)
Pada fase praoperasional, anak mulai menyadari bahwa
pemahamannya tentang benda-benda di sekitarnya tidak hanya dapat
dilakukan melalui kegiatan sensorimotor, akan tetapi juga dapat
dilakukan melalui kegiatan yang bersifat simbolis. Kegiatan simbolis
ini dapat berbentuk melakukan percakapan melalui telepon mainan atau
berpura-pura menjadi bapak atau ibu, dan kegiatan simbolis lainnva
Fase ini memberikan andil yang besar bagi perkembangan kognitif
anak. Pada fase praoperasional, anak tidak berpikir secara operasional
yaitu suatu proses berpikir yang dilakukan dengan jalan
menginternalisasi suatu aktivitas yang memungkinkan anak
mengaitkannya dengan kegiatan yang telah dilakukannya sebelumnya.
Fase ini merupakan rasa permulaan bagi anak untuk membangun
kemampuannya dalam menyusun pikirannya. Oleh sebab itu, cara
berpikir anak pada fase ini belum stabil dan tidak terorganisasi secara
baik. Fase praoperasional dapat dibagi ke dalam tiga subfase, yaitu
subfase fungsi simbolis, subfase berpikir secara egosentris dan subfase
berpikir secara intuitif. Subfase fungsi simbolis terjadi pada usia 2 - 4
tahun. Pada masa ini, anak telah memiliki kemampuan untuk
menggambarkan suatu objek yang secara fisik tidak hadir.Kemampuan
ini membuat anak dapat menggunakan balok-balok kecil untuk
membangun rumah-rumahan, menyusun puzzle, dan kegiatan lainnya.
Pada masa ini, anak sudah dapat menggambar
manusia secara sederhana. Subfase berpikir secara egosentris terjadi
pada usia 2-4 tahun. Berpikir secara egosentris ditandai oleh
ketidakmampuan anak untuk memahami perspektif atau cara berpikir
orang lain. Benar atau tidak benar, bagi anak pada fase ini, ditentukan
oleh cara pandangnya sendiri yang disebut dengan istilah egosentris.
Subfase berpikir secata intuitif terjadi pada usia 4 - 7 tahun. Masa ini
disebut subfase berpikir secara intuitif karena pada saat ini anak
kelihatannva mengerti dan mengetahui sesuatu, seperti menyusun balok
meniadi rumah-rumahan, akan tetapi pada hakikatnya tidak mengetahui
alasan-alasan yang menyebabkan balok itu dapat disusun meniadi
rumah. Dengan kata lain, anak belum memiliki kemampuan untuk
berpikir secara kritis tentang apa yang ada dibalik suatu kejadian
(Needlman RD, 2004).
2.2.3.3 Fase Operasi Konkret (usia 7- 11 tahun)
Pada fase operasi konkret, kemampuan anak untuk berpikir secara
logis sudah berkembang, dengan syarat, obyek yang menjadi sumber
berpikir logis tersebut hadir secara konkret.
Kemampuan berpikir logis ini terwujud dalarn kemampuan
mengklasifikasikan obyek sesuai dengan klasifikasinya, mengurutkan
benda sesuai dengan urutannya, kemampuan untuk memahami cara
pandang orang lain, dan kemampuan berpikir secara deduktif.
2.2.3.4 Fase Operasi Formal (11 tahun sampai usia dewasa)
Fase operasi formal ditandai oleh perpindahan dari cara berpikir
konkret ke cara berpikir abstrak. Kemampuan berpikir abstrak dapat
dilihat dari kemampuan mengemukakan ide-ide, memprediksi
kejadian yang akan terjadi, dan melakukan proses berpikir ilmiah, yaitu
mengemukakan hipotesis dan menentukan cara untuk membuktikan
kebenaran hipotesis (Needlman RD, 2004).
2.2.4 Kogitif Anak Autisme
Menurut ( Kathlyn, 2001: 154) kognitif anak autisme sebagai berikut:
1) Anak autisme biasanya memilik tingkat kecerdasan subnormal.
2) Perkembangan mental anak autisme mungkin mengalami
keterlambatan.
3) Anak autisme memiliki perilaku yang kurang baik.
4) Anak autisme memiliki konsentrasi yang buruk dan mudah terganggu.
5) Kemampuan anak autisme memiliki keterbatasan dalam berpikir ke
depan.
6) Kemampuan anak autisme dalam memecahkan masalah mengalami
keterlambatan.
2.3 Terapi Okupasi (Occupational Therapy)
2.3.1 Definisi Terapi Okupasi
Okupasi ataupun pekerjaan sudah ada sejak tahun 2600 SM dan
dikenal sebagai sesuatu untuk mempertahankan hidup dan diketahui juga
sebagai suatu sumber kesenangan. Dengan bekerja seseorang akan
menggunakan otot – otot dan pikirannya seperti melakukan ataupun
bermain, latihan mengingat gambar, kerajinan tangan dan kegiatan –
kegiatan yang dapat mempengaruhi kesehatannya juga (Nasir & Muhith,
2011).
Terapi okupasi adalah terapi untuk membantu seseorang menguasai
keterampilan motorik kasar dan motorik halus dengan lebih baik. Terapi
okupasi dilakukan untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi
dan keterampilan otot pada anak dengan kata lain untuk melatih motorik
kasar dan motorik halus anak (Santoso, 2008).
Terapi Okupasi berasal dari kata Occupational Therapy.Occupational
diartikan sebagai suatu pekerjaan, dan theraphy yang diartikan sebagai
pengobatan.Jadi terapi okupasi adalah suatu terapi yang memadukan
antara seni dan ilmu pengetahuan untuk mengarahkan penderita kepada
suatu aktivitas yang selektif agar kesehatan dapat ditingkatkan dan
dipertahankan, serta dapat mencegah kecacatan melalui kegiatan dan
kesibukan kerja untuk penderita cacat mental ataupun cacat fisik.Terapi
okupasi membantu individu yang mengalami gangguan dalam fungsi
motorik, fungsi sensorik, fungsi kognitif serta fungsi sosial yang
menyebabkan individu tersebut mengalami hambatan dalam melakukan
aktivitas perawatan diri, aktivitas produktifitas dan dalam aktivitas untuk
mengisi waktu luang (Nasir & Muhith, 2011).
2.3.2Fungsi dan Tujuan Terapi Okupasi
Menurut Nasir & Muhit (2011) fungsi dan tujuan pemberian terapi
okupasi sebagai berikut :
2.3.2.1 Terapi khusus untuk klien dengan gangguan mental atau jiwa
a) Menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga anak dapat
mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan
orang lain dan masyarakat sekitarnya.
b) Membantu dalam melampiaskan gerakan – gerakan emosi secara wajar
dan produktif.
c) Membantu menemukan bantuan kemampuan kerja yang sesuai dengan
bakat dan keadaannya.
d) Membantu dalam pengumpulan data, guna penegakan diagnosis dan
penetapan terapi lainnya.
2.3.2.2 Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan ruang
gerak sendi, kekuatan otot dan koordinasi gerakan
2.3.2.3 Mengajarkan aktivitas kehidupan sehari – hari seperti makan,
berpakaian, belajar menggunakan fasilitas umum (telepon, televisi dan
alat elektronik lainnya) baik dengan atau tanpa alat bantu, serta
mengajarkan anak mandi dengan bersih
2.3.2.4 Membantu anak untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan rutin di
rumah dan memberikan saran penyederhanan ruangan maupun letak
alat – alat kebutuhan sehari – hari
2.3.2.5 Meningkatkan toleransi kerja, memelihara dan meningkatkan
kemampuan yang masih ada
2.3.2.6 Menyediakan berbagai macam kegiatan untuk dijajaki oleh anak
sebagai langkah dalam pre-cocational training. Berdasarkan aktivitas
ini akan dapat diketahui kemampuan mental dan fisik, kebiasaan kerja,
sosialisasi, minat dan potensi anak dalam mengarahkan anak pada
kegiatan yang tepat.
2.3.2.7 Membantu anak untuk menerima kenyataan dan menggunakan waktu
selama masa rawat dengan berguna
2.3.2.8 Mengarahkan minat dan hobi agar dapat digunakan setelah anak
kembali bersama keluarga
Program terapi okupasi adalah bagian dari pelayanan medis untuk
tujuan rehabilitasi total pada anak melalui kerja sama dengan petugas lain
di rumah sakit. Dalam pelaksanaan terapi okupasi akan banyak
overplapping dengan terapi lainnya sehingga dibutuhkan adanya kerja
sama yang terkoordinasi dan terpadu (Nasir & Muhith, 2011).
2.3.3 Jenis – jenis Aktivitas Terapi Okupasi
Beberapa aktivitas terapi okupasi yang dapat di berikan sebagai berikut
(Yusuf, dkk 2015) :
2.3.3.1 Aktivitas latihan fisik untuk meningkatkan kesehatan jiwa
Adapun contoh aktivitas yang bisa di lakukan untuk meningkatkan
kesehatan jiwa, antara lain : berjalan kaki selama 30 menit, berlari kecil
(jogging), bersepeda dan senam.
2.3.3.2 Aktivitas dengan pendekatan kognitif
Contoh aktivitas dengan pendekatan kognitif, antara lain :
mengingat gambar, mengintruksikan kepada anak untuk memperhatikan
benda yang ada di sekitarnya, lalu anjurkan anak untuk mengingat dan
memahami makna dari benda yang ia lihat.
Menurut Donna J. Bett (1999), ada 3 manfaat aktifitas dengan
pendekatan kognitif untuk anak autis yaitu:
a) Meningkatkan Keterampilan Berkomunikasi
Aktifitas dengan kemampuan kognitif dapat membantu
menstimulasi bagian otak yang tidak berkembang dan membantu anak
autis dalam mengekspresikan kecakapan non verbal. Saat anak autis
sedang melihat gambar misalnya, sesungguhnya dia sedang
berkomunikasi dengan menggunakan symbol. Proses ini dapat
membantu mengembangkan kecakapan komunikasinya secara
langsung, serta membantu dalam mengelola proses berpikir.Secara
bersamaan, sang terapis juga dapat lebih focus dalam mengeksplorasi
kecakapan berkomunikasi anak dengan memanfaatkan beberapa teknik
tertentu, seperti memberi tugas menggambar dengan mencontoh dan
melukis, ataupun dengan mengingat gambar sesuai arahan terapis. Anak
dengan autismeakan merespon tugas yang diberikan terapis lewat
perubahan sikap. Metode ini juga dapat melatih anak untuk lebih focus
dan dapat terlibat secara langsung dalam proses interaksi dengan orang
lain.Saat terapis membangun hubungan dengan anak autis itulah anak
mulai mengembangkan kemampuan menyimpan dan menambah
pengalaman barunya. Itulah cara kerja dan proses komunikasi dalam
terapi, yaitu dengan menciptakan suasana positif yang sangat baik dan
menyehatkan. Cara ini juga bermanfaat untuk mengurangi kecemasan
dan membantu memperbaiki perkembangan emosi anak autis.Menurut
Dwijo, anak autis juga cenderung lebih mudah diarahkan oleh terapis
yang bisa menciptakan rasa aman dan nyaman serta bisa menjalin
hubungan sesuai karakteristik setiap anak. Jika anak autis dapat
merasakan pengalaman yang nyaman selama proses terapi berjalan,
maka ia akan mudah diarahkan
b) Mengembangkan Perasaan Anak Autis
Atifitas dengan pendekatan kognitif juga bermanfaat untuk
membantu mengembangkan perasaan dan emosi anak autis. Karena
anak autis tidak memiliki emosi dan perasaan yang stabil, contohnya
dengan menggambar terapis dapat melatih cara mengekspresikan
perasaan lewat kegiatan tersebut. Latihan ini juga berguna untuk
melatih daya tahan atau keuletan dan kesabaran anak dalam
menyelesaikan suatu tugas selain membantu memperbaiki ekspresi dan
perasaannya. Menurut Arief Wibisono(2012), dalam proses latihan ini
seperti pada proses terapi yang dilakukan pada seorang anak autis
terapis memang dituntut memiliki kesabaran yang ekstra, mampu
memahami karakter anak dan sebisa mungkin dapat masuk atau
menyatu dengan sikap dan karakter anak agar ia dapat merasa nyaman
mengikuti proses terapi. Dengan teknik ini, anak akan merasa senang,
mau mendengar dan mengerti apa yang ingin disampaikan terapis.
c) Melatih Koordinasi Sistem Saraf
Koordinasi system saraf pada anak autis adalah salah satu aspek
penting. Penggunaan metode mengingat gambar dapat membantu
mengintergrasikan atau mengkoorinasikan perasaan anak autis,.
Meskipun memiliki kesulitan-kesulitan sesuai dengan karakteristik
individual anak, anak autis juga dapat mengembangkan keterampilan
komunikasi dan kepekaan visual mereka selama proses terapi
berlangsung. Sesuai dengan keunikan dan karakteristik masing-masing,
anak-anak autis juga dapat melakukan interaksi yang positif dengan
terapis selama terapi berlangsung. Lewat mekanisme ini, seiring dengan
pertumbuhan pola pikir dan sikap emosionalnya, sikap negative anak
autis pun akan berkurang. (Nirmala, 2012).
2.3.3.3 Aktivitas yang mengacu kreativitas
Contoh kegiatan yang dapat mengacu kreativitas anak, antara lain :
mendongeng, melukis, permainan alat musik sederhana dan permainan
melipat kertas.
2.3.3.4 Training keterampilan
Contoh aktivitas yang dapat memicu training (pelatihan)
keterampilan anak, seperti senam dan menari.
2.3.3.5 Terapi bermain
Terapi bermain yang diberikan kepada anak hendaknya di
sesuaikan dengan usia dan tingkat pertumbuhan dan perkembangan
anak. Contoh aktivitas bermain yang di berikan kepada anak usia
sekolah (berkebutuhan khusus), seperti permainan lempar tangkap bola,
bermain peran, bermain musik, dsb.
2.3.4 Standar Pelaksanaan Terapi Okupasi
Standar pelaksanaan terapi okupasi berdasarkan pada proses pelayanan
terapi okupasi yang akan dilakukan oleh seorang terapis dari mulai
pemeriksaan sampai dengan pendokumentasian. Adapun standar proses
pelaksanaan terapi okupasi meliputi (PerMenKes RI No. 76, 2014) :
2.3.4.1 Asesmen (Pemeriksaan/pengumpulan data)
a) Asesmen terapi okupasi meliputi proses pengumpulan data/informasi
berupa gangguan komponen kinerja okupasi yang meliputi komponen
motorik, sensorik, persepsi, kognitif dan psikososial
b) Isis asesmen sekurang-kurangnya memuat data anamnesa yang meliputi
identitas umum dan riwayat keluhan, serta pemeriksaan komponen
kinerja okupasi dan area kinerja okupasi serta mempertimbangkan
pemeriksaan penunjang
c) Re-asesmen atau pemriksaan ulang di mungkinkan bilamana terjadi
perubahan yang signifikan pada kondisi anak dalam fase
pengobatan/intervensi
d) Hasil asesmen di tuliskan pada lembar rekam medis klien baik pada
lembar rekam medis terintegrasi dan/atau pada lembar kajian khusus
terapi okupasi
2.3.4.2 Penegakan Diagnosa Terapi Okupasi
a) Diagnosa terapi okupasi merupakan suatu pernyataan yang
menggambarkan keadaan multi dimensi klien yang dihasilkan dari
analisis hasil pemeriksaan dan pertimbangan klinis, yang dapat
menunjukkan adanya disfungsi atau gangguan komponen kinerja
okupasional dan area okupasional
b) Diagnosa terapi okupasi dapat berupa adanya gangguan komponen
kinerja okupasional dan area okupasional
2.3.4.3 Menentukan Tujuan Terapi
a) Tujuan terapi okupasi merupakan target terapi yang di rencanakan untuk
di capai sesuai dengan kondisi yang dialami oleh klien
b) Tujuan terapi okupasi terdiri dari tujuan jangka panjang dan tujuan
jangka pendek
c) Tujuan terapi okupasi dituliskan pada lembar rekam medis dan/atau
lembar kajian khusus terapi okupasi
2.3.4.4 Intervensi Terapi Okupasi
a) Intervensi terapi okupasi dilaksanakan dengan metode yang berbasis
bukti yang sesuai perkembangan ilmu terapi okupasi
b) Intervensi okupsi meliputi : unjunctive therapy, enabling therapy,
purposefull activity, dan occupational activity
c) Intervensi terapi okupsi di laksanakan dengan mengutamakan
keselamatan klien, dilakukan berdasarkan program perencanaan
intervensi dan dapat dimodifikasi setelah dilakukan evaluasi serta
pertimbanganteknis sesuai persetujuan klien atau keluarga
d) Program intervensi ditulis pada lembar rekam medis
2.3.4.5 Evaluasi dan Tindak Lanjut
a) Evaluasi/ re-evaluasi di lakukan oleh okupasi terapi sesuai tujuan
perencanaan intervensi
b) Evaluasi/ re-evaluasi merupakan kegiatan monitoring evaluasi yang di
lakukan pada saat intervensi dan/atau setelah intervensi, serta di
dokumentasikan pada rekam medis
c) Hasil evaluasi/ re-evaluasi dapat berupa kesimpulan, termasuk dan tidak
terbatas pada rencana penghentian program
d) Hasil evaluasi/ re-evaluasi di tuliskan pada lembar rekam medis
Adapun hal – hal yang perlu di evaluasi adalah :
1) Kemampuan anak dalam membuat keputusan
2) Tingkah laku selama beraktivitas
3) Kesadaran akan adanya orang lain yang bekerja sama dengan anak
dan yang mempunyai kebutuhan sendiri
4) Kerja sama
5) Cara memperlihatkan emosi
6) Inisiatif dan tanggung jawab
7) Kemampuan untuk di ajak atau mengajak berunding
8) Menyatakan perasaan tanpa agresi
9) Kompetisi tanpa permusuhan
10) Menerima kritik dari keluarga ataupun teman
11) Kemampuan dalam menyatakan pendapat
12) Menerima dan menyadari keadaan diri sendiri
13) Kemampuan dalam menerima instruksi dan mengingatnya
14) Kemampuan beraktivitas tanpa harus di awasi
2.3.4.6 Pendokumentasian
Isi dokumentasi terapi okupasi sekurang-kurangnya memuat data
umum klien, data hasil pemeriksaan, identitas terapi, serta identitas
keluarga (jika diperlukan).
Tabel. 2.1. Susunan Kegiatan Terapi Okupasi “Mengingat Gambar”No
.Kegiatan Waktu
1. Persiapan :
a. Mengelompokkan anak sesuai indikasi, yaitu anak
dengan Autisme
b. Membuat kontrak waktu
5 – 10
menit
c. Mempersiapkan alat dan tempat kegiatan
2. Orientasi :
a. Memberikan salam teraupetik dan menanyakan
keadaan anak
b. Perkenalan terapis
c. Evaluasi atau validasi (pre-test)
d. Kontrak :
1) Menjelaskan tujuan kegiatan :
a) Jangka pendek : anak dapat berinteraksi
dengan teman sekelompoknya
b) Jangka panjang : perkembangan kognitif
anak meningkat dan lebih konsentrasi
dalam belajar
2) Menjelaskan aturan kegiatan :
a) Jika ada anggota kelompok tidak mau
melakukan kegiatan, terapis akan
memvasilitasi anak
b) Lama kegiatan 20 – 30 menit
c) Setiap anak akan mengikuti kegiatan dari
awal kegiatan hingga kegiatan selesai
10 menit
3. Tahap Kerja :
SESI 1 (Membantu anak untuk mengenal kegiatan yang
akan dilakukan) :
a. Menyebutkan alat atau media gambar yang akan
digunakan
b. Menganjurkan anak menjelaskan jenis gambar,
kegunaan gambar, nama dari gambar, melukis
gambar, dan menyebutkan satu benda lain yang
sejenis dengan gambaryang digunakan
c. Memberi pujian jika anak berhasil
Pertemuan
ke – 1
SESI 2 (Mengevaluasi sesi 1 dan memberitahu anak
jenis gambar, kegunaan gambar, nama dari gambar,
melukis gambar, dan menyebutkan satu benda lain yang
sejenis dengan gambar yang digunakan) :
a. Mengajarkan anak dan menjelaskan kepada anak
jenis gambar, kegunaan gambar, nama dari
gambar, melukis gambar, dan menyebutkan satu
benda lain yang sejenis dengan gambar yang
digunakan.
b. Menganjurkan anak menjelaskan jenis gambar,
kegunaan gambar, nama dari gambar, melukis
gambar, dan menyebutkan satu benda lain yang
sejenis dengan gambar yang digunakan.
c. Memberi pujian jika anak berhasil.
SESI 3 (Mengevaluasi sesi 1 dan dan 2 menganjurkan
anak menyebutkan jenis gambar, kegunaan gambar,
nama dari gambar, melukis gambar, dan menyebutkan
satu benda lain yang sejenis dengan gambar yang
digunakan) :
a. Menganjurkan anak menyebutkan jenis gambar,
kegunaan gambar, nama dari gambar, melukis
gambar, dan menyebutkan satu benda lain yang
sejenis dengan gambar yang digunakan
b. Memberi pujian jika anak berhasil
Evaluasi (Post test)
Pertemuan
ke – 2
Pertemuan
ke – 3
4. Tahap Terminasi :
a. Menanyakan keadaan anak setelah kegiatan
b. kontrak waktu untuk pertemuan selanjutnya
c. menutup kegiatan dan memberikan salam
teraupetik
10 menit
2.4 Penelitian Terkait
Penelitian yang dilakukan oleh Evi Hasnita (2014) judul efektifitas
terapi okupasi terhadap perkembangan motorik halus anak dengan autisme
di Sekolah Luar Biasa (SLB) Khusus Autis Al-Ikhlas Bukittinggi dengan
hasil penelitian menunjukkan bahwa Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa efektifitas terapi okupasi
terhadap perkembangan motorik halus anak autis di SLB Khusus Autis Al-
Ikhlas Bukittinggi Tahun 2014. Sebelum diberikan terapi okupasi rata-rata
perkembangan motorik halus anak yaitu 3,62 (diragukan). Sesudah
diberikan terapi okupasi rata-rata perkembangan motorik halus anak yaitu
7,85 (sesuai tahap perkembangan). Didapatkan adanya efektifitas pemberian
terapi okupasi terhadap perkembangan motorik halus pada anak autis (p
value= 0.001) dengan taraf kesalahan (α) 0.05 diSLB Khusus Autis Al
Ikhlas Bukittingi Tahun 2014.
2.5 Kerangka Teori
Penyebab Autisme:1. Faktor Psikologis dan Keluarga2. Faktor Biologis:
a) Genetik3. Prenatal
a) Lama masa kehamilanb) Obesitasc) Diabetesd) Pendarahan pada masa kehamilane) Usia orang tua saat hamilf) Gangguan sistem pencernaan
(Pieter, dkk., 2011)
Terapi okupasi adalah terapi untuk membantu seseorang ( anak berkebutuhan khusus) menguasai keterampilan motorik kasar dan motorik halus dengan lebih baik.(santoso, 2008)
Sumber :(Pieter, dkk., 2011), Santoso (2008), Nasir & Muhit (2011), Kathlyn (2001
2.6 Hubungan Terapi Okupasi Dengan Kemampuan Kognitif
Menurut Syamsu yusuf, 2013, Perkembangan kognitif adalah tahap-
tahap perkembangan manusia mulai dari usia anak-anak sampai dewasa,
mulai dari proses berfikir secara konkret sampai dengan yang lebih tinggi
Ciri-ciri Autisme:1. Gangguan Pada Kognitif2. Gangguan pada bidang interaksi sosial3. Gangguan bidang komunikasi4. Ganggguan dalam persepsi sensori5. Gangguan dalam perilaku6. Gangguan dalam bidang perasaan
(Pieter, dkk., 2011)
Kogitif Anak Autisme1) Anak autisme biasanya memilik tingkat kecerdasan
subnormal.2) Perkembangan mental anak autisme mungkin mengalami
keterlambatan.3) Anak autisme memiliki perilaku yang kurang baik.4) Anak autisme memiliki konsentrasi yang buruk dan mudah
terganggu.5) Kemampuan anak autisme memiliki keterbatasan dalam
berpikir ke depan.6) Kemampuan anak autisme dalam memecahkan masalah
mengalami keterlambatan.
Tujuan Terapi Okupasi:Untuk meningatkan kemampuan motorik,)sensorik dan kognitif anak berkebutuhan khusus (Autisme).(Nasir & Muhit 2011
yaitu konsep-konsep abstrak dan logis.Pada anak autis mereka mengalami
keterlambatan dalam bidang kognitif.
Menurut Astuti, anak autis pada umumnya memiliki kecakapan yang
lebih rendah dibanding dengan kelompok anak sebayanya, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif (Astati, 2001). Gangguan Spectrum Autism
adalah gangguan proses perkembangan salah satunya penyandang autis
yang cenderung menarik diri dan mengalami keterlambatan dalam
perkembangan sensorik, motorik dan kognitif
Perkembangan kognitif dapat untuk menggambarkan perilaku mulai
dari psikologi, fisiologi, neurofisiologi. Menurut Prasetyono 2008, banyak
cara terapi yang bisa untuk mengembangkan kemampuan kognitif salah
satunya yaitu terapi okupasi.
Aspek yang dituju pada terapi okupasi adalah untuk membuat anak
memahami bahwa aktivitas okupasi yang mereka jalani merupakan suatu
kebutuhan yang akhirnya dapat menjadi keahlian untuk bekal hidup
mereka di kemudian hari.Sasaran terapi okupasi meliputi pemulihan,
pengembangan, dan pemeliharaan fisik, intelektual, sosial, dan emosi pada
anak.Terapi okupasi memiliki dominan terapi pada terapi mengingat
gambar dan terapi bermain.Dalam melakukan penelitian ini peneliti
menggunakan terapi mengingat gambar, yang tujuannya yaitu untuk
meningkatan konsentrasi dan melatih daya ingat anak autis.
Berdasarkan pemaparan dan hasil penelitian terdahulu di atas, bahwa
terapi okupasi memiliki hubungan untuk perkembangan kognitif anak autis
dengan cara terapi yaitu mengingat gambar.
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu model konseptual yang membahas saling
ketergantungan antara variabel yang dianggap perlu untuk melengkapi
dinamika situasi atau hal yang sedang atau yang akan diteliti sekarang.
Penyusunan kerangka konsep akan membantu kita untuk membuat hipotesa,
menguji hubungan tertentu dan membantu peneliti dalam menghubungkan
hasil penemuan dengan teori yang hanya dapat diamati atau diukur melalui
konstruk atau variabel (Nursalam, 2003).
Variabel independent adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya
atau berubahnya variabel dependent. Variabel independent yang akan diteliti
adalah terapi okupasi (mengingat gambar), sedangkan variabel dependent
adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain. Variabel
dependent penelitian adalah peningkatan kemampuan kognitif (Nursalam,
2003).
Pre Intervensi Post
Sumber; Notioatmodjo (2012)Keterangan:X1 : kognitif sebelum diberikan tereapi okupasi (mengingat gambar)X0 : intervensi okupasi (mengingat gambar)X2 : kognitif sesudah diberikan tereapi okupasi (mengingat gambar)
3.2 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah proses perumusan atau pemberian arti
pada masing-masing variabel yang terlibat dalam penelitian (Nursalam,
2003).
X1 XO X2
No Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Skala Hasil Ukur
1 Independent
Terapi Okupasi: Kognitif (Mengingat Gambar)
Terapi Okupasi adalah terapi untuk meningkatkan kemampuan motorik, sensorik, dan kognitif.
SOPTerapi Okupasi
Tindakan Langsung (terapi okupasi)
Dilakukan terapi okupasi (mengingat gambar)
2 Dependent
Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah tahap-tahap perkembangan proses berfikir secara konkret sampai dengan yang lebih tinggi yaitu konsep-konsep abstrak dan logis
Lembar Observasi Perkembangan Kognitif
Observasi Ordinal kognitif kurang baik <60,27
kognitif baik ≥64,73
3.3 HIPOTESIS
Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian, patokan duga atau dalil
sementara yang kebenarannya akan diteliti dan kebenarannya akan
dibuktikaan dalam penelitian tersebut (Notoadmodjo, 2005).
Terdapat dua macam hipotesa yaitu hipotesa nol (Ho) dan hipotesa
alternative (Ha).Secara umum hipotesa nol diungkapkan sebagai tidak
terdapatnyaahubungan (signifikan) antara dua variaabel.Hipotesa alternative
(Ha) menyatakaan adaa hubungan antara dua variabel atau lebih.
Dalam penelitian ini hipotesa yang dirancang oleh peneliti adalah:
Ha : Pemberian terapi okupasi: kognitif (mengingat gambar) efektif
meningkatkan kemampuan kognitif pada anak autisme usia
sekolahdi SLB Permata Bunda Bukittinggi Tahun 2017
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian adalah bentuk langkah - langkah teknis dan
operasional yang digunakan dalam melakukan prosedur penelitian
(Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
desain penelitian yang digunakan adalah Quasi eksperimen. Desain ini
menggunakan pendekatan one group pretest posttest. Pada study one group
pretest posttest ini mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara
melibatkkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek diobservasi sebelum
dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah dilakukanintervensi
(Nursalam, 2008).
Tabel 4.1RancanganPenelitian
Pre-test Perlakuan Post-test
01 X 02Sumber : Notoatmodjo (2012)
Keterangan :
01 : Pretest sebelum dilakukan terapi okupasi
02 : Posttest setelah dilakukan terapi okupasi
X : melakukan terapi okupasi mengingat gambar
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini direncanakan peneliti dilakukan pada 1 Maret 2017 tetapi
dengan kendala dari pihak SLB Autis Permata Bunda belum memberikan
izin melakukan penelitian pada 1 Maret 2017. pihak SLB memberikan izin
penelitian pada 24 Maret 2017 maka penelitian ini telah dilakukan pada 24
maret – 6 April 2017, alasan peneliti mengambil disini karena peneliti
melihat terapi okupasi yang dilakukan belum maksimal. Teknik terapi
okupasi secara baik dan benar dapat membantu meningkatkan kognitif dan
kemandirian anak autisme. Pada penelitian ini penulis ingin mengetahui
bagaimana efektifitas terapi okupasi: kognitif (mengingat gambar) terhadap
perkembangan kognitf anak Autisme usia sekolah. Hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat memberikan masukan dan pengetahuan bagi guru yang
mengajar di SLB Autis Permata Bunda dalam melaksanakan terapi okupasi
di lingkungan sekolah.
4.3 Populasi, Sampel Penelitian dan Teknik Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : obyek/subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
2013). Menurut Notoatmodjo (2012), populasi adalah keseluruhan objek
penelitian atau objek yang diteliti. Populasi dalam penilitian ini adalah
seluruh anak Autisme usia sekolah di SLB Autis Permata Bunda yang
berjumlah 15 orang.
4.3.2 Sample
Sampel adalah sebagian kecil yang diambil dari keseluruhan objek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2012).
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik pengambilan
sampel dengan caratotal sampling. Teknik total sampling yaitu teknik
pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan jumlah populasi
(sugiyo, 2007). Sampel yang diambil dari penelitian ini adalah 15 orang
anak autisme usia sekolah.
Sample diambil berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi. Kriteria inklusi
adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang
terjangkau yang akan diteliti. Sedangkan kriteria eksklusi adalah kriteria
subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi
syarat penelitian, menolak menjadi responden atau keadaan yang tidak
memungkinkan untuk dilakukan penelitian (Nursalam, 2008). Adapun yang
menjadi kriteria inklusi dan ekslusi dalam sampel ini adalah:
a. Kriteria inklusi
1) Anak Autisme ringan dan sedang
2) Dapat melakukan aktivitas fisik
3) Dapat diajak bekerja sama dengan peneliti
b. Kriteria Ekslusi
1) Anak yang tidak kooperatif
2) Anak dengan kelainan kongenital
4.3.3 Teknik Sampling
Teknik sampling adalah suatu cara yang ditempuh dengan pengambilan
sampel yang benar - benar sesuai dengan keseluruhan obyek penelitian
(Nursalam, 2008). Teknik samplingdalam penelitian ini adalah dengan cara
sampling jenuh atau total sampling.Teknik sampling jenuh atau total
sampling yaitu teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama
dengan jumlah populasi, alasannya adalah karena populasi relatif kecil yaitu
kurang dari 30 orang (sugiyo, 2007).
4.4 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh
peneliti dalam pengumpulan data agar pekerjaannya lebih mudah dan
hasilnya lebih baik (cermat, lengkap dan sistematis) sehingga lebih mudah
diolah (Saryono, 2011).Pada penelitian ini, peneliti menggunakan lembar
standar operasional prosedur (SOP) terapi okupasi (Mengingat Gambar)
dan lembar observasi perkembangan kognitif yang dimodifikasi sendiri oleh
peneliti sebagai instrumen penelitian.
4.5 Metode Pengumpulan Data
Data ini telah diperoleh dengan cara teknik observasi dengan
menggunakan alat ukur lembar observasi kognitif (mengingat gambar),
untuk mengetahui kognitif awal responden (pretest). Setelah mendapatkan
data awallalu dilakukan tindakan terapi okupasi (mengingat gambar),
peneliti akan mengumpulkan hasil dari lembar observasi perkembangan
kognitif yang telah dilakukan selama 2 minggu, dan didapatkan apakah
terapi okupasi tersebut efektif atau tidak meningkatkan kemampuan kognitif
pada anak Autisme (posttest).
4.6 Pengolahan dan Analisa Data
4.6.1 Pengolahan Data
Pengolahan data telah dilakukan dengan beberapa tahap, diantaranya
(Notoatmodjo, 2012)
4.6.1.1 Editing
Editing merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian
kuisioner atau formulir.Setelah kuisioner selesai diisi kemudian
dikumpulkan langsung oleh peneliti dan selanjutnya diperiksa
kelengkapan data apakah dapat dibaca atau tidak dan kelengkapan
isian.Jika isian belum lengkap responden diminta melengkapi lembar
kuisioner pada saat itu juga.
4.6.1.2 Coding
Semua data yang didapat telah diedit atau disunting, selanjutnya
dilakukan peng”kodean” atau “coding”, yakni mengubah data berbentuk
kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan. Codingatau
pemberian kode ini sangat berguna dalam memasukkan data (data entry).
4.6.1.3 Memasukkan Data (Data Entry)
Data, yakni jawaban - jawaban dari masing-masing responden yang
dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) telah dimasukkan ke dalam
program “software” komputer. Software komputer ini bermacam -
macam, masing - masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya.
Salah satu program yang paling sering digunakan untuk “entry data”
penelitian adalah program SPSS for Window. Dalam proses ini juga
dituntut ketelitian dari orang yang melakukan “data entry” ini. Apabila
tidak maka akan terjadi bias, meskipun memasukkan data saja.
4.6.1.4 Pembersihan Data (Cleaning)
Semua data dari setiap sumber data atau responden telah selesai
dimasukkan, dan telah dicek kembali untuk melihat kemungkinan -
kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan
sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi. Proses ini
disebut pembersihan data (data cleaning).
4.6.1.5 Processing
Kemudian selanjutnya data telah diproses dengan mengelompokkan
data kedalam variabel yang sesuai dengan menggunakan program SPSS.
4.6.2 Analisis Data
4.6.2.1 Analisis Univariat
Pada analisis univariat, data yang diperoleh dari hasil pengumpulan
dapat disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, ukuran tendensi
sentral atau grafik (Saryono, 2011). Analisis univariat bertujuan untuk
menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian
(Notoatmodjo, 2012).Pada penelitian ini anilisis univariat digunakan
untuk melihat hasil pengukuran kemandirian sebelum dilakukan terapi
okupasi (pre-test) dan setelah dilakukan terapi okupasi (post-test).
4.6.2.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis untuk mengetahui interaksi dua
variabel, baik berupa komperatif, asosiatif maupun koleratif.Terdapat uji
parametik dan non parametik pada analisis bivariat (Saryono, 2011).
Pada hasil penelitian uji hipotesis yang digunakan adalah uji t (paired
sample test) , untuk mengetahui kognitif sebelum (pre-test) dan sesudah
(post-test) diberikan terapi okupasi. Apabila dari uji statistik didapatkan p
value < dari α (0,05) maka dapat disimpulkan terapi okupasi efektif
meningkatkan kemampuan kognitif, sehingga Ho ditolak. Sedangkan
apabila p value> dari α (0,05) maka dapat disimpulkan terapi okupasi
tidak efektif meningkatkan kemampuan kognitif, sehingga Ho gagal
ditolak.
4.7 Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti telah mengajukan permohonan
izin kepada responden untuk mendapatkan persetujuan penelitian. Setelah
mendapatkan persetujuan barulah peneliti melakukan penelitian dengan
menegakkan masalah etika. Menurut (Hidayat, 2007).
4.7.1 Prinsip Manfaat
a. Bebas dari penderitaan
Penelitian telah dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan
kepada subjek, khususnya jika menggunakan tidakan khusus.
b. Bebas dari eksploitasi
Partisipasi subjek dalam penelitian telah dihindarkan dari keadaan
yang tidak menguntungkan.Subjek telah diyakinkan bahwa partisipasinya
dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan. Subjek tidak
digunakan untuk penelitian lain hanya digunakan untuk penelitian ini saja.
c. Risiko (benefits ratio)
Peneliti telah hati-hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan
yang akan berakibat kepada subjek pada setiaptindakan.
4.7.2 Prinsisp Menghargai Hak Asasi Manusia (Respect Human Dignity)
a. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right self determination)
Subjek telah diperlakukan secara manusiawi. Subjek telah diberikan
hak memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun tidak,
tanpa adanya sangsi apa pun atau akan berakibat terhadap kesembuhannya,
jika mereka seorang klien.
b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right to
full disclosure)
Seorang peneliti telah memberikan penjelasan secara rinci serta
tanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subjek.
c. Informed consent
Informed consentmerupakan bentuk persetujuan antara peneliti
dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan.
Informedconsent tersebut diberikan sebelum penelitian dengan
memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden.Tujuannya
adalah supaya subjek mengertimaksud dan tujuan penelitian.Jika
subjekbersedia, maka responden harus menanda tangani lembar
persetujuan, jika responden tidak bersedia, maka peneliti harus
menghormati hak responden. Setelah calon respondent ditentukan, maka
peneliti memberikan penjelasan tentang tujuan, manfaat, dan kerahasian
informasi atau data yang diberikan. Peneliti memberi kesempatan kepada
calon responden untuk bertanya tentang penjelasan yang diberikan, jika
dianggap sudah jelas dan dimengerti, maka peneliti meminta calon
responden yang bersedia menjadi ressponden pada penelitian untuk
menandatangani informed consent sebagai bukti kesediannya
berpartisipasi dalam penelitian yaitu sebagai sampel atau responden. Calon
responden berhak menolak atau menerima untuk menjadi responden dalam
penelitian in
4.7.3 Prinsip Keadilan (Right To Justice)
a. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil (right in fair treatment)
Subjek telah diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan
sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi
apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari
penelitian.Untuk siswa atau siswi yang tidak dijadikan responden
penelitian, penliti memberikan edukasi kepada orangtua siswa/siswi yang
tidak dijadikan responden penelitian yaitu berupa leaflet tentang terapi
okupasi. Dengan tujuan agar orangtua mengetahui apa itu terapi okupasi
dan bisa melakukan terapi okupasi secara mandiri kepada anaknya.
b. Hak dijaga kerahasiaanya (right to privacy)
Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan
harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama(anomali) dan
rahasia (confidentiality) (Nursalam: 2008).
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
Penelitian dengan judul efektifitas pemberian terapi okupasi:kognitif
(mengingat gambar) terhadap peningkatan kemampuan kognitif anak autisme
usia sekolah di SLB Autisma Permata Bunda Kota Bukittinggi. Penelitian ini
telah dilaksanakan pada tanggal 24 maret – 6 April 2017. Pada penelitian ini
15 orang anak autismeusia sekolah dijadikan sebagai subjek penelitian.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan terapi
okupasi (mengingat gambar) 3x / minggu dengan responden di SLB Autisma
Permata Bunda Kota Bukittinggi 2017.Sesuai dengan kondisi responden
pada saat itu tanpa pengaruh ataupun paksaan dari orang lain termasuk
peneliti.
5.1.1 Analisa Univaria
Analisa univariat dilakukan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Pada penelitian ini anilisis univariat
digunakan untuk melihat hasil pengukuran perkembangan Kemampuan
Kognitif sebelum dilakukan terapi okupasi (pre-test) dan setelah
dilakukan terapi okupasi (post-test).
a. Kemampuan Kognitif Anak Autisme Sebelum Dilakukan Tindakan
Terapi Okupasi (pre-test)
Kemampuan Kognitif anak autismeusia sekolah sebelum dilakukan
pemberian tindakan terapi okupasi di SLB Autisma Permata Bunda Kota
Bukittinggi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5.1Distribusi Rata-Rata Kemampuan Kognitif anak autismeusia
sekolah di SLB Autisma Permata Bunda Kota Bukittinggi sebelum diberikan tindakan terapi okupasi (pre-test)
Variabel Mean SD Min - Max 95% CI
Pre test 60,27 6,123 51,00-72,00 56,88-63,66
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa rata-rata Kemampuan Kognitif
anak autisme usia sekolah sebelum diberikan tindakan terapi okupasi
adalah 60,27 dengan satandar deviasi 6,123. Skor terendah 51,00 dan
tertinggi 72,00. Berdasarkan hasil estimasi interval diyakini bahwa 95%
dipercaya bahwa rata-rata skor Kemampuan Kognitif responden sebelum
intervensi berkisar antara 56,88-63,66.
b. Kemampuan Kognitif Anak Autisme Setelah Dilakukan Tindakan
Terapi Okupasi (post-test)
Kemampuan kognitif anak autismeusia sekolah setelah dilakukan
pemberian tindakan terapi okupasi di SLB Autisma Permata Bunda Kota
Bukittinggi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5.2Distribusi Rata-Rata Kemampuan Kognitif anak autismeusia
sekolah di SLB Autisma Permata Bunda Kota Bukittinggi setelah diberikan tindakan terapi okupasi (post-test)
Variabel Mean SD Min - Max 95% CI
Post test 64,73 5,535 55,00-76,00 61,67-67,80
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa rata-rata kemampuan kognitif
anak autisme usia sekolah setelah diberikan tindakan terapi okupasi adalah
64,73 dengan satandar deviasi 5,535. Skor terendah 55,00 dan tertinggi
76,00. Berdasarkan hasil estimasi interval diyakini bahwa 95% dipercaya
bahwa rata-rata skor kemampuan kognitif responden setelah intervensi
berkisar antara 61,67-67,80.
5.1.2 Analisa Bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis untuk mengetahui interaksi dua
variabel, baik berupa komperatif, asosiatif maupun koleratif.Pada hasil
penelitian uji hipotesis yang digunakan adalah uji t (paired sample test),
untuk mengetahui kemampuan kognitif sebelum (pre-test) dan sesudah
(post-test) diberikan terapi okupasi.
a. Efektifitas Pemberian Terapi Okupasi:Kemampuan Kognitif
(Mengingat Gambar) Terhadap Peningkatan Kemampuan Kognitif
Pada Anak Autisme Usia Sekolah Di SLB Autisma Permata Bunda
Kota Bukittinggi.
Tabel 5.3Analisa Rerata Perkembangan Kemampuan Kognitif Anak Autisme Usia Sekolah Sebelum diberikan Tindakan Terapi Okupasi (pre-test) dan Setelah diberikan Tindakan Terapi Okupasi (post-test) di SLB
Autisma Permata Bunda Kota Bukittinngi
Pemberian terapi okupasi
Mean SDMean
Different
95% CI PValue
Pre test 60,27 6,123 4,46 56,88-63,66 0,001Post test 64,73 5,535 61,67-67,80
Berdasarkan table 5.3 diketahui bahwa rata-rata skor perkembangan
kemampuan kognitif anak autisme usia sekolah sebelum pemberian
terapi okupasi (pre-test) adalah 60,27 dengan standart deviasi 6,123.
Hasil estimasi interval 95% diyakini bahwa rerata perkembangan
kemampuan kognitif anak autisme usia sekolah sebelum pemberian
terapi okupasi (pre-test) berkisar antara 56,88-63,66. Sedangkan rata-rata
skor perkembangan kemampuan kognitif anak autisme usia sekolah
setelah pemberian terapi okupasi (post-test) adalah 64,73 dengan standart
deviasi 5,535. Hasil estimasi interval 95% diyakini bahwa rerata skor
perkembangan kemampuan kognitif anak autisme usia sekolah setelah
pemberian terapi okupasi (post-test) berkisar antara 61,67-67,80. Hal ini
menunjukkan adanya peningkatan perkembangan kemampuan kognitif
anak autisme usia sekolah setelah dilakukan tindakan terapi okupasi
dengan sebesar 4,46. Hasil analisa statistik menggunakan uji Paired
sample T test didapatkan nilai sig/ pvalue=0,001maka 0,001< 0,05 jika pvalue
kecil dari a (0,05) maka H0 ditolak. Dengan kata lain dapat diartikan
pemberian terapi okupasi: kognitif (mengingat gambar)
efektifmeningkatkan kemampuan Kognitif pada anak autisme usia
sekolahdi SLB Permata Bunda Bukittinggi Tahun 2017.
5.2 Pembahasan
Pada pembahasan ini peneliti membahas hasil penelitian dan
mengkaitkannya dengan penelitian lain yang sejalan, dengan konsep
terkait serta asumsi peneliti tentang masalah yeng terdapat pada hasil
penelitian yang dilaksanakan pada tanggal April tahun 2017, maka peneliti
dapat membahas Efektifitas pemberian terapi okupasi: kognitif (Mengingat
Gambar) terhadap peningkatan kemampuan kognitif pada anak autisme
usia sekolah di SLB Autisma Permata Bunda Kota Bukittinggi tahun 2017.
Pada penelitian ini yang menjadi responden adalah anak autismeusia
sekolah di Autisma Permata Bunda Kota Bukittinggi yang sesuai dengan
kriteria sampel berjumlah 15 orang.
5.2.1 Analisa Univariat
a. Kemampuan Kognitif Anak Autisme Sebelum Diberikan Tindakan
Terapi Okupasi (pre-test)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 15 anak autisme
usia sekolah di SLB Autisma Permata Bunda Kota Bukittiggi tahun 2017
Sebelum dilakukan intervensi Terapi Okupasi diketahui rata-rata 60,27
dengan satandar deviasi 6,123. Skor terendah 51,00 dan tertinggi 72,00.
Berdasarkan hasil estimasi interval diyakini bahwa 95% dipercaya bahwa
rata-rata skor Kemampuan Kognitif responden sebelum intervensi
berkisar antara 56,88-63,66.
Penelitian terkait yang dilakukan oleh Evi Hasnita (2015) tentang
Efektifitas Terapi Okupasi Terhadap Perkembangan Motorik Halus Anak
Autisme yang dilakukan kepada 16 responden diketahui rata-rata
perkembangan motorik halus 3,63 dengan satandar deviasi 0,506. Skor
terendah 3 dan tertinggi 4. Berdasarkan hasil estimasi interval diyakini
bahwa 95% dipercaya bahwa rata-rata skor Kemampuan motorik halus
responden sebelum intervensi berkisar antara 3,31-3,92.
Piaget menyakini bahwa anak tidak hanya mengobservasi dan
mengingat apa-apa yang mereka lihat dan dengar secara
pasif.Sebaliknya mereka secara natural memiliki rasa ingin tahu tentang
dunia mereka dan secara aktif berusaha mencari informasi untuk
membantu pemahaman dan kesadarannya tentang realitas dunia yang
mereka hadapi itu. Dalam memahami dunia mereka secara aktif, anak-
anak menggunakan apa yang disebut oleh piaget dengan ” schema”
(skema), yaitu konsep atau kerangka yang ada dalam pikiran anak yang
digunakan untuk mengorganisasikan dan mengimplementasikan
informasi.
b. Kemampuan Kognitif Anak Autisme Setelah Diberikan Tindakan
Terapi Okupasi (post-test)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 15 anak autisme
usia sekolah di SLB Autisma Permata Bunda Kota Bukittiggi tahun 2017
Setelah dilakukan intervensi Terapi Okupasi diketahui rata-rata
perkembangan kognitif adalah 64,73. dengan satandar deviasi 5,535. Skor
terendah 55,00 dan tertinggi 76,00. Berdasarkan hasil estimasi interval
diyakini bahwa 95% dipercaya bahwa rata-rata skor kemampuan kognitif
responden setelah intervensi berkisar antara 61,67-67,80.
Penelitian terkait yang dilakukan oleh Evi Hasnita (2015) tentang
Efektifitas Terapi Okupasi Terhadap Perkembangan Motorik Halus Anak
Autisme yang dilakukan kepada 16 responden diketahui rata-rata
perkembangan motorik halus 7,85 dengan satandar deviasi 0,376. Skor
terendah 3 dan tertinggi 4. Berdasarkan hasil estimasi interval diyakini
bahwa 95% dipercaya bahwa rata-rata skor Kemampuan motorik halus
responden sebelum intervensi berkisar antara 7,62-8,07.
Terapi okupasi adalah terapi untuk membantu seseorang menguasai
keterampilan motorik kasar dan motorik halus dengan lebih baik. Terapi
okupasi dilakukan untuk membantu menguatkan, memperbaiki
koordinasi dan keterampilan otot pada anak dengan kata lain untuk
melatih motorik kasar dan motorik halus anak (Santoso, 2008).
Menurut Piaget Perkembangan kognitif merupakan suatu proses
yang bersifat kumulatif. Artinya, perkembargan terdahulu akan menjadi
dasar bagi perkembangan selanjutnya. Dengan demikian, apabila teriadi
hambatan pada perkembangan terdahulu maka perkembangan
selanjutnya akan memperoleh hambatan (Soetjiningsih, Suandi 2008).
Kemampuan kognitif merupakan salah satu aspek yang perlu
dikembangkan oleh anak usia dini dalam rangka mengembangkan
pengetahuannya tentang apa yang dilihat, didengar, diraba, dirasa,
ataupun dicium melalui panca indera yang dimiliki. Kognitif adalah sutau
proses berpikir, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan,
menilai dan mempertimbangkan suatu kejadian (Sujiono, 2008).
Pengembangan aspek kognitif pada anak usia dini sebaiknya disesuaikan
dengan tingkat perkembangan anak yang bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan berfikir. Oleh karenanya kemampuan
kognitif sangat penting bagi kehidupan seseorang dan perlu dibekali serta
dikembangkan sedini mungkin, tidak terkecuali anak berkebutuhan
khusus termasuk anak autisme.
5.2.2 Analisa Bivariat
a. Efektifitas Pemberian Terapi Okupasi:Kemampuan Kognitif
(Mengingat Gambar) Terhadap Peningkatan Kemampuan Kognitif
Pada Anak Autisme Usia Sekolah Di SLB Autisma Permata Bunda
Kota Bukittinggi.
Pada penelitian ini dilakukan pretest sebelum diberikan perlakuan
dan postest sesudahnya untuk mengetahui perbedaan kemampuan kognitif
sebelum dan sesudah diakukan terapi okupasi. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan, dapat dilihat distribusi respondent dari hasil pengukuran
terhadap nilai pretest dan postest perkembangan kemampuan kognitif dari
15 orang responden setelah dilakukan tindakan terapi okupasi.
diketahui bahwa rata-rata skor perkembangan kemampuan kognitif
anak autisme usia sekolah sebelum pemberian terapi okupasi (pre-test)
adalah 60,27 dengan standart deviasi 6,123. Hasil estimasi interval 95%
diyakini bahwa rerata perkembangan kemampuan kognitif anak autisme
usia sekolah sebelum pemberian terapi okupasi (pre-test) berkisar antara
56,88-63,66. Sedangkan rata-rata skor perkembangan kemampuan
kognitif anak autisme usia sekolah setelah pemberian terapi okupasi
(post-test) adalah 64,73 dengan standart deviasi 5,535. Hasil estimasi
interval 95% diyakini bahwa rerata skor perkembangan kemampuan
kognitif anak autisme usia sekolah setelah pemberian terapi okupasi
(post-test) berkisar antara 61,67-67,80. Hal ini menunjukkan adanya
peningkatan perkembangan kemampuan kognitif anak autisme usia
sekolah setelah dilakukan tindakan terapi okupasi dengan sebesar 4,46.
Hasil analisa statistik menggunakan uji Paired sample T test didapatkan
nilai sig/ pvalue=0,001maka 0,001< 0,05 jika pvalue kecil dari a (0,05) maka
H0 ditolak. Dengan kata lain dapat diartikan Pemberian terapi okupasi:
kognitif (mengingat gambar) efektif meningkatkan kemampuan Kognitif
pada anak autisme usia sekolahdi SLB Permata Bunda Bukittinggi Tahun
2017.
Menurut Mona (2006) dalam The American Journal of Occupational
Therapy yang dilakukan pada anak autisme di Amerika dengan
menggunakan terapi okupasi bantuan binatang didapatkan belum ada
perkembangan emampuan kognitif pada anak autisme tanpa adanya
intervensi terapi okupasi dengan melibatkan binatang. Adanya
keterlibatan binatang dalam terapi okupasi dapat memberikan
kesempatan anak untuk menginterpretasikan dan menanggapi setiap
perubahan sosial dan binatang sebagai jembatan untuk
mengintrepretasikannya.
Menurut Reneetal (2007) dalam American Journal of Occupational
Therapy menyatakan terapi okupasi merupakan salah satu intervensi
yang dirancang untuk membantu perkembangan anak-anak cacat. Banyak
cara yang dilakukan diantaranya bahasa tubuh dan interaksi sosial. Hasil
penelitian menunjukkan terdapat pengaruh terapi okupasi terhadap
perkembangan anak-anak cacat terutama anak autisme (p=0,003).
Menurut analisa peneliti kemampuan terapis juga memegang peranan
penting dalam mengoptimalkan terapi pada anak autisme. Dari hasil
penelitian Reneetal(2007) didapatkan bahwa anak yang mengalami
kemajuan ternyata lebih banyak dari golongan <5 tahun, sehingga hal ini
mungkin mempercepat kemajuan anak. Pada saat terapi okupasi
diberikan terapis melatih keterampilan anak dengan suasana yang
menyenangkaan sambil mengajak anak bermain sehingga
membangkitkan minat untuk berlatih. Terapi yang diberikan tidak terlalu
lama tapi sering dan terapis akan mengehentikannya jika anak tampak
bosan.
Pada beberapa anak yang tidak mengalami kemajuan pada saat
dilakuka terapi anak dalam keadaan emosi sehingga anak menarik diri.
Salah satu tujuan terapi okupasi yaitu diversional dimana kegiatan ini
untuk menyalurkan emosi dan kekesalan, sehingga walaupun anak marah
pada situasi atau tekanan yang dihadapi, anak tidak akan menarik diri
dan mudah tersinggung.
Penelitian terkait juga pernah dilakukan oleh oleh Rika Sabri, dkk
(2006) tentang pengaruh terapi autis terhadap kemajuan anak autis di
Sekolah Khusus Autisme di Kota Padang, didapatkan dari 27 anak yang
melakukan terapi okupasi yang baik, ada 25 anak (92,6%) yang
mengalami kemajuan. Hal ini mungkin disebabkan oleh metode yang
diterapkan oleh sekolah ini dimana metode yang diterapkan sistematis
dan terstruktur. Hasil penelitian ini relevan dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh dr. Mary Law (2006) tentang Autisme Spectrum Disoders
and Occupational. Therapy diketahui bahwa Occupational Therapy
berpengaruh terhadap peningkatan motorik anak dari pengukuran
pertama 68,5% dan setelah diberikan intervensi berubah menjadi 82%.
Penelitian yang dilkakukan Fitriana (2014) tentang Pengaruh Terapi
Okupasi Terhadap Perkembangan Motorik Halus Anak Autis di SLB
PGRI Plosoklaten Kediri, didapatkan rata-rata perkembangan motorik
halus 42,67 sebelum diberikan terapi okupasi dan didapatkan rata-rata
perkembangan motorikhalus 68,2 setelah diberikan terapi okupasi dan
terapi yang lain diberikan ada efek yang postitif terhadap perkembangan
motorik halus pada anak autis di SLB PGRI Plosoklaten.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Evi Hasnita (2015) tentang
Efektifitas Terapi Okupasi Terhadap Perkembangan Motorik Halus Anak
Autisme yang dilakukan kepada 16 responden didapatkan rata-rata
perkembangan motorik halus 3,63 sebelum diberikan terapi okupasi dan
didapatkan rata-rata perkembangan motorik halus 7,85 setelah diberikan
terapi okupasi dengan mean deferent 4,23.
Terapi okupasi adalah terapi untuk membantu seseorang menguasai
keterampilan motorik kasar dan motorik halus dengan lebih baik. Terapi
okupasi dilakukan untuk membantu menguatkan, memperbaiki
koordinasi dan keterampilan otot pada anak dengan kata lain untuk
melatih motorik kasar dan motorik halus anak (Santoso, 2008).
Menurut Piaget Perkembangan kognitif merupakan suatu proses
yang bersifat kumulatif. Artinya, perkembargan terdahulu akan menjadi
dasar bagi perkembangan selanjutnya. Dengan demikian, apabila teriadi
hambatan pada perkembangan terdahulu maka perkembangan
selanjutnya akan memperoleh hambatan (Soetjiningsih, Suandi 2008).
Kemampuan kognitif merupakan salah satu aspek yang perlu
dikembangkan oleh anak usia dini dalam rangka mengembangkan
pengetahuannya tentang apa yang dilihat, didengar, diraba, dirasa,
ataupun dicium melalui panca indera yang dimiliki. Kognitif adalah sutau
proses berpikir, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan,
menilai dan mempertimbangkan suatu kejadian (Sujiono, 2008).
Pengembangan aspek kognitif pada anak usia dini sebaiknya disesuaikan
dengan tingkat perkembangan anak yang bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan berfikir. Oleh karenanya kemampuan
kognitif sangat penting bagi kehidupan seseorang dan perlu dibekali serta
dikembangkan sedini mungkin, tidak terkecuali anak berkebutuhan
khusus termasuk anak autisme.
Pada penelitian ini dilakukan pretest sebelum diberikan perlakuan
dan postest sesudahnya untuk mengetahui perbedaan kemampuan kognitif
sebelum dan sesudah diakukan terapi okupasi. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan, dapat dilihat distribusi respondent dari hasil pengukuran
terhadap nilai pretest dan postest perkembangan kemampuan kognitif dari
15 orang responden setelah dilakukan tindakan terapi okupasi.
diketahui bahwa rata-rata skor perkembangan kemampuan kognitif
anak autisme usia sekolah sebelum pemberian terapi okupasi (pre-test)
adalah 60,27 dengan standart deviasi 6,123. Hasil estimasi interval 95%
diyakini bahwa rerata perkembangan kemampuan kognitif anak autisme
usia sekolah sebelum pemberian terapi okupasi (pre-test) berkisar antara
56,88-63,66. Sedangkan rata-rata skor perkembangan kemampuan
kognitif anak autisme usia sekolah setelah pemberian terapi okupasi
(post-test) adalah 64,73 dengan standart deviasi 5,535. Hasil estimasi
interval 95% diyakini bahwa rerata skor perkembangan kemampuan
kognitif anak autisme usia sekolah setelah pemberian terapi okupasi
(post-test) berkisar antara 61,67-67,80. Hal ini menunjukkan adanya
peningkatan perkembangan kemampuan kognitif anak autisme usia
sekolah setelah dilakukan tindakan terapi okupasi dengan sebesar 4,46.
Hasil analisa statistik menggunakan uji Paired sample T test didapatkan
nilai sig/ pvalue=0,001maka 0,001< 0,05 jika pvalue kecil dari a (0,05) maka
H0 ditolak. Dengan kata lain dapat diartikan Pemberian terapi okupasi:
kognitif (mengingat gambar) efektif meningkatkan kemampuan Kognitif
pada anak autisme usia sekolahdi SLB Permata Bunda Bukittinggi Tahun
2017.
Menurut analisa peneliti perkembangan kognitif anak autisme
sebelum diberikan terapi okupasi yang masih diragukan dapat dilihat dari
hasil observasi berdasarkan skala perkembangan kognitif didapatkan 9
orang (60%) berada diskala tidak normal atau kognitif kurang baik dan 6
orang (40%) berada diskala normal atau kognitif baik. Dari hasil
observasi didapatkan rata-rata perkembangan kognitif anak meningkat
dimana pada hari pertama didapatkan rata-rata sebesar 7,47. Hari kedua
didapatkan rata-rata sebesar 8,5. Dihari ketiga didapatkan rata-rata
sebesar 9,5. Dihari keempat didapatkan rata-rata sebesar 11.Dihari
kelijma didapatkan rata-rata sebesar 13.Dan dihari keenam didapatkan
rata-rata sebesar 14.Jadi peneliti menyimpulkan perkembangan kognitif
anak autisme di SLB Autis Permata Bunda meningkat setiap harinya.
Namun anak masih belum mampu melakukan tindakan seperti
menyebutkan kegunaan gambar, menggambar karakter yang ada
digambar, dan menyebutkan satu benda lain yang sejenis dengan gambar.
Anak masih memerlukan bantuan orangtua, guru maupun terapis dalam
melakukan hal tersebut.Kondisi ini dapat disebabkan gangguan
perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang sosial dan afek,
komunikasi verbal (bahasa) dan non–verbal, imajinasi, fleksibilitas,
lingkup interest (minat), kognisi dan atensi. Sehingga perlu proses waktu
untuk membentuk perkembangan motorik halus tanpa adanya terapi yang
efektif.
Sementara itu peneliti menganalisa bahwa setelah dilakukan Terapi
Okupasi terdapat peningkatan kemampuan kognitif anak dengan Autisme
adanya perkembangan kemampuan kemampuan kognitif pada anak
autisme, hal ini terlihat dari hasil observasi tindakan menyebutkan nama
gambar didapatkan sebagian besar responden (93,3%) melakukan semua
terapi tanpa bantuan. Dari hasil observasi didapatkan rata-rata
perkembangan kognitif anak meningkat dimana pada hari pertama
didapatkan rata-rata sebesar 8,47. Hari kedua didapatkan rata-rata sebesar
9,5. Dihari ketiga didapatkan rata-rata sebesar 10.Dihari keempat
didapatkan rata-rata sebesar 11.Dihari kelijma didapatkan rata-rata
sebesar 13.Dan dihari keenam didapatkan rata-rata sebesar 15.Jadi
peneliti menyimpulkan perkembangan kognitif anak autisme di SLB
Autis Permata Bunda setelah diberikan terapi okupasi mengingat gambar
meningkat setiap harinya.
Menurut asumsi peneliti dari penelitian ini ditemukan juga bahwa
adaptasi pada anak-anak autisme membutuhkan waktu yang lebih
panjang dibandingkan dengan anak pada umumnya. Terbukti dari
pelaksanaan terapi okupasi, yaitu pada pertemuan yang ke 5 baru terlihat
perkembangan kognitif anak autisme, terdapat kendala perilaku anak-
anak autisme yang sebagian besar menunjukkan keengganan menemui
peneliti dan melakukan terapi okupasi. Dari 15 anak yang diberikan
terapi okupasi mengingat gambar ada satu orang anak yang kognitif
kurang baik yaitu An.R dilihat dari hasil observasi sebelum dilakukan
terapi okupasi mengingat gambar selama enam hari di dapatkan jumlah
sebesar 69 sedangkan dari hasil observasi setelah dilakukan terapi
okupasi mengingat gambar didapatkan jumlah sebesar 65 dengan artian
An.R mengalami penurunan kemampuan kognitif sebelum dan sesudah
dilakukan terapi okupasi dengan penurunan sebesar 4. Selama melakukan
penelitian di SLB Autis Permata Bunda peneliti dapat menyimpulkan
bahwasannya An.R mengalami kesulitan dalam berkomunikasi , menulis
dan mendengar. An.R tidak mampu melakukan tindakan yang diberikan
peneliti secara mandiri tetapi harus dengan bantuan guru ataupun peneliti
sendiri.
Terapi okupasi menggunakan aktifitas okupasi anak untuk
meningkatkan keterampilan yang diperlukan sebagai fondasi untuk
mengembangkan keterampilan yang diperlukan agar anak mampu
mandiri. Beberapa keterampilan yang perlu dikembangkan antara lain:
keterampilan regulasi dan control diri anak agar mampu berpartisipasi
input sensori yang masuk, mengembangkan keterampilan motorik kasar
dan halus serta koordinasi gerak, mengembangkan keterampilan
komunikasi dan interaksi sosial, meningkatkan keterampilan kognitif dan
persepsi, meningkatkan keterampilan bantu diri, dan mengembangkan
konsep diri agar anak bisa mengontrol dan memimpin dirinya sendiri.
Penelitian ini juga menemukan bahwa terapi okupasi dengan
tindakan yang sederhana, mudah dan singkat ini, tidak dirasakan
demikian bagi anak-anak autisme yang masih merasa kesukaran dalam
mengikutinya. Dalam pelaksanaannyapun suasana hati (mood) dan
kemampuan anak autisme berbeda satu sama lain, sehingga subyek
memiliki perbedaan kualitas dalam hal mengikuti terapi okupasi secara
optimal, maka peneliti meminimalisir kendala ini dengan metode
Individualized Education Programme (IEP), yaitu tindakan dilakukan
secara individu dengan dilengkapi data observasi lengkap. Berdasarkan
hasil penilitian terkait selain meningkatkan kemampuan kognitif terapi
okupasi juga efektif terhadap peningkatan kemandirian dan kemampuan
motorik halus anak berkebutuhan khusus seperti autisme.
5.3 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini telah diusahakan dan dilaksanakan sesuai prosedur
ilmiah namun demikian masih memiliki keterbatasan yaitu:
5.3.1 peneliti kesulitan dalam proses observasi dikarenakan anak autisme yang
dijadikan sebagai responden. Memiliki perilaku etis yang berbeda setiap
individunya, ada sebagian kecil anak autisme yang harus didampingi
peneliti ataupun guru yang berada ditempat penelitian ini dilakukan.
5.3.2 Usia yang yang masih dini membuat anak autisme masih bersifat kekanak-
kanakan seperti ribut ketika peneliti menjelaskan tujuan penelitian, dan
ketika peneliti menjelaskan cara melakukan terapi okupasi.
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasrkan penelitian yang dilakukan pada bulan April 2017 kepada
15 responden tentang efektifitas pemberian terapi okupasi:kemampuan
kognitif (mengingat gambar) terhadap peningkatan kemampuan kognitif
pada anak autisme usia sekolah di SLB Autisma Permata Bunda Kota
Bukittinggi Tahun 2017. maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
5.3.3 Rata-rata kemampuan kognitif anak autisme usia sekolah di SLB
Autisma Permata Bunda Kota Bukittinggi sebelum diberikan
tindakan terapi okupasi (pre-test) adalah 60,27.
5.3.4 Rata-rata kemampuan kognitif anak autisme usia sekolah di SLB
Autisma Permata Bunda Kota Bukittinggi setelah diberikan
tindakan terapi okupasi (post-test) adalah 64,73.
5.3.5 Terdapat perbedaan yang signifikan dengan pvalue =0,001 (α=0,05)
dengan kata lain Pemberian terapi okupasi: kognitif (mengingat
gambar) efektif meningkatkan kemampuan Kognitif pada anak
autisme usia sekolah di SLB Permata Bunda Bukittinggi Tahun
2017.
5.4 Saran
5.4.1 Institusi Pendidikan
Terapi okupasi efektif meningkatkan kemampuan Kognitif pada
anak autisme usia sekolah, oleh karena itu penelitian ini dapat dijadikan
sebagai informasi tambahan dalam mengembangkan pendidikan ilmu
keperawatan khusunya keperawatan anak dan keperawatan komunitas.
5.4.2 Institusi Pelayanan Kesehatan
Bagi pelayanan kesehatan khususnya Puskesmas sebagai pelayanan
kesehatan tingkat awal diharapkan agar bisa memberikan terapi okupasi :
kognitif (mengingat gambar) kepada anak berkebutuhan khusus seperti
autisme. Puskesmas dapat bekerja sama dengan pihak sekolah dalam
menjalankan program terapi okupasi.
5.4.3 Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini hendaknya dapat digunakan data dasar untuk
penelitian selanjutnya dan diharapkan penelitian selanjutnya untuk
mempergunakan waktu, tenaga, dan fasilitas yang lebih mencukupi dan
seefesien mungkin.Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan
sampel yang lebih banyak dengan desain penelitian yang digunakan adalah
kelompok kontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Admin, dkk, 2006. Anak autisme tttp://dewo.wordpress.com, wordpress.com, diakses12 februari 2015
Amelia, 2013. Data autisme di Sumatera Barat http://autismendonesia.org/, diakses 9 Maret 2015
Budiman, (2015). Data autisme di Indonesia http://autismendonesia.org/, diakses 9 Maret 2015
Brain Gym International, (2013). Diakses 22 Juni 2011, dari http://braingym.org/ studies
Data Autis di Indonesia, http://kompas.co.id/, diakses 5 januari 2012.
Denisson, 2006. Tumbuh Kembang Anak”. Dalam: Ranung IGNG, penyunting. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998.h.1-36.
Dettmer, dkk, 2000. Perkembangan Kognitif Anak Autisme. Anakku autisme,aku harus bagaimana, PT bhuana ilmu populer, jakarta.
Diknas, 2014. Data Autis di Indonesia.
Ekowarni, 2014. Autisme. www.autism.society.org. 2014 diakses tanggal 09 Maret 2014
Fitriana & wiwik.2014. Terapi Okupasi Dengan Teknik Kolase Terhadap Kemampuan Motorik Halus Anak Autis Di SLB PGRI Plosoklaten Kediri.Skripsi Universitas Negeri Surabaya.
Hasdianah, 2013. Autis pada anak (pencegahan, perwatan dan pengobatan), nuha medika, yogyakarta
Hasnita, Evi. Terapi Okupasi Perkembangan Motorik Halus Anak Autisme. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Fort De Kock.
Johnson CP and Blasco PA.Infant Growth and Development.Pediatric Rev 1997; 18:224-242.
Joko yuwono, 2012.Memahami anak autistik (kajian teoritik dan emperitik) , alfa beta, bandung.
Kosasih, 2012.Standar Pelayanan Terapi Okupasi. Jakarta : MenKes RI
Law, Mary 2006. SystematicReview of Interventions Used inOccupational Therapy to PromoteMotor Performance for ChildrenAges Birth–5 Years. The AmericanJournal of Occupational TherapyJournal Volume 67, Number 4.Diunduh dari www.search.proquest.com
Manguansong, 2009.Anak Penderita Autis Ada Di Sekeliling Kita. [Online], diakses dari: http://jaringnews.com/hidupsehat/umum/38230/anak-penderita-autis-ada-di sekeliling-kita (7 Januari 2009)
Mona J. Sams, & Elizabeth V. Fortney, 2006. Occupational Therapy Incorporating Animals for Children With Autism: A Pilot Investigation The American Journal of Occupational Therapy Journal Volume 60, Number 4. Diunduh dari www.search. proquest.com
Nasir, A & Muhith, A. (2011).Dasar – dasar Keperawatan Jiwa.Jakarta : Salemba Medika
Nawawi dkk, 2009.Melatih Motorik Anak autisme dengan Metode Persiapan Menulis di TK Permata Bunda Surakarta.Surakarta : UMS
Needlman RD. “Growth andDevelovment’. Dalam: Behrman RE, Kligman RM, Jenson HB. Nelson Text Book of Pediatrics.Edisike-17. Philadelphia: Saunders, 2004. H.23-66.
Neffleton J. LCPUFAs in Visual and Cognitive Developmant of Toddlers and Children. (diakses tanggal 20 Februari 2011) diunduh dari www.mjn.com/newsletterimages/pdf/v7s2LB2267NEW-12-07PBP.pdf.
Nirahma, 2012.Panduan Memecahkan Masalah Autisme ‘Unlocking Autism’. Yogyakarta: Lintang Terbit
Notoatmodjo.(2012). Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta : PT. Asdi Mahasatya
Nursalam.(2008). Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta : PT. Rineka Cipta
Papalia, D. E., & Olds, S. W. (2008). “Human development” (9th ed). New York: Mc Graw Hill Companies.
PerMenKes RI, No. 76. (2014). Standar Pelayanan Terapi Okupasi.Jakarta : MenKes RI
Pieter,dkk, 2011. Anakku autisme,aku harus bagaimana, PT bhuana ilmu populer, jakarta.
Qaharani, A. (2010). Melatih Motorik Anak autisme dengan Metode Persiapan Menulis di TK Permata Bunda Surakarta.Surakarta : UMS
Rahayu, Metha Kemala. (2011). Pengalaman Hidup Orangtua Anak Penyandang Autis Setelah Berhasil Diterapi Disekolah Autis Dikota Padang Tahun 2010.http://repository.unand.ac.id/ diaksespada 23 juni 2014 pukul 12.23 WIB.
Renetal.Watling, Jean Dietz.2007.Immediate Effect of Ayres’s SensoryIntegration–Based OccupationalTherapy Intervention on ChildrenWith Autism Spectrum Disorders.The American Journal ofOccupational Therapy JournalVolume 61, Number 5. Diunduh dariwww.search. proquest.com
Sabri, Rika et al. 2006. Pengaruh Terapi Autis Terhadap Kemajuan Anak Autis Di Sekolah Khusus Autisme Di Kota Padang. Diakses dari: http://repository.unand.ac.id/1808/1/r ika_sabri-BBI-20060rin.doc (10 Juli2014)
Santoso.(2008). Terapi Okupasi (Occupational Theraapy) pada Anak dengan Kebutuhan Khusus.Konsultan pada Anak dengan Kabutuhan Khusus. http://putrakembara.org/rm/OTBudi.pdf. Diakses pada tanggal 5 Maret 2016
Santrock, J. W. (2006). Psychology (8th ed.). New York, NJ: McGraw Hill.
Saryono.(2011). Metodologi Penelitian Kesehatan.Yogyakarta : Mitra Cendikia Press
Sekartini R. Skrining Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Dalam: Continuing Professional Development IDAI Jaya 2006 Nutrition Growth-Develovment. Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta, 2006.h.79-92.
Sirrait, Nikky. 2013. Anak Penderita Autis Ada Di Sekeliling Kita. [Online], diakses dari: http://jaringnews.com/hidupsehat/umum/38230/anak-penderita-autis-ada-di sekeliling-kita (10 Juli 2014)
Soetjiningsih, Suandi IKG. “Gizi Untuk Tumbuh Kembang Anak”. Dalam: Mursintowarti Bn, Titi SS, Soetjiningsih, dkk, penyunting. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja.Edisi pertama. Jakarta: CV Sagung Seto, 2008.h.22-47
Soetjiningsih. “Tumbuh Kembang Anak”. Dalam: Ranung IGNG, penyunting. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998.h.1-36.
Sugiono.(2013). Metodologi Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D).Bandung : ALFABETA
Sunaryo, 2007. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.Jakarta : Salemba Medika
Sunu, Christopher. 2012. Panduan Memecahkan Masalah Autisme ‘Unlocking Autism’. Yogyakarta: Lintang Terbit
Triyosni, Dewi. 2013. Pengaruh Terapi Music Klasik Terhadap Kemampuan Mengingat Anak Autis Di SLB Syekh Muhammad Sa’ad Kecamatan Mungo Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2013. Jurusan S1 Keperawatan STIKES Fort De Kock Bukittinggi
Wahyu, 2012.Autisme.www.autism.society.org. 2012 diakses tanggal 07 Afril 2012.
Widyawati, Ika, (2001). Permasalahan Autis di Indonesia. Seminar: An Overview of Children Behavior and Development.
Yusuf, dkk.(2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.Jakarta : Salemba Medika
Lampiran l
PERMOHONAN UNTUK MENJADI RESPONDEN
Kepada YthBapak/Ibu CalonRespondenDitempatDengan Hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini adalah mahasiswa Prodi Ilmu
Keperawatan Stikes Perintis Padang :
Nama : DARWIN EFENDI
Nim : 13103084105012
Bermaksud akan melakukan penelitian dengan judul “Hubungan
Karakteristik Keluarga dengan Penerimaan Diri Anak Berkebutuhan Khusus Di
SLB Permata Bunda Bukittinggi Tahun 2017”.
Adapun tujuan penelitian untuk kepentingan pendidikan peneliti, dan segala
informasi yang diberikan akan di jamin kerahasiaannya, dan peneliti bertanggung
jawab apabila informasi yang diberikan akan merugikan bagi responden.Apabila
Bapak/Ibu menyetujui untuk menjadi responden, maka peneliti mohon kesedian
Bapak/Ibu menyetujui untuk menjadi responden, maka peneliti mohon kesedian
Bapak/Ibu untuk menandatangani lembar Persetujuan.
Atas bantuan, dan Kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.
Bukittinggi, Maret 2017
Peneliti
(DARWIN EFENDI)
Lampiran 2
PERNYATAAN PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
(INFORMED CONSENT)
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama :
Umur :
Alamat :
Menyatakan bersedia berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian yang
akan dilakukan oleh:
Nama : DARWIN EFENDI
NIM : 13103084105012
Judul :Hubungan Karakteristik Keluarga Dengan Penerimaan Diri
Anak Berkebutuhan Khusus Di SLB Permata Bunda
Bukittinggi Tahun 2017
Saya menyadari bahwa penelitian ini tidak bersifat negatif terhadap saya,
sehingga jawabban yang saya berikan adalah yang sebenarnya dan akan
dirahasiakan
Demikian pernyataan ini saya buat agar dapat dipergunakan sebagaimana
semestinya
Bukittinggi, Maret 2017
(Responden)
SOP Terapi Okupasi “Mengingat Gambar”No. Kegiatan Waktu
1. Persiapan :d. Mengelompokkan anak sesuai indikasi, yaitu anak
dengan Autisme
5 – 10 menit
e. Membuat kontrak waktuf. Mempersiapkan alat dan tempat kegiatan
2. Orientasi :e. Memberikan salam teraupetik dan menanyakan
keadaan anakf. Perkenalan terapisg. Evaluasi atau validasi (pre-test)h. Kontrak :
3) Menjelaskan tujuan kegiatan :c) Jangka pendek : anak dapat berinteraksi
dengan teman sekelompoknyad) Jangka panjang : perkembangan kognitif
anak meningkat dan lebih konsentrasi dalam belajar
4) Menjelaskan aturan kegiatan :d) Jika ada anggota kelompok tidak mau
melakukan kegiatan, terapis akan memvasilitasi anak
e) Lama kegiatan 20 – 30 menitf) Setiap anak akan mengikuti kegiatan dari
awal kegiatan hingga kegiatan selesai
10 menit
3. Tahap Kerja :SESI 1 (Membantu anak untuk mengenal kegiatan yang akan dilakukan) :
d. Menyebutkan alat atau media gambar yang akan digunakan
e. Menganjurkan anak menjelaskan jenis gambar, kegunaan gambar, nama dari gambar, melukis gambar, dan menyebutkan satu benda lain yang sejenis dengan gambaryang digunakan
f. Memberi pujian jika anak berhasil
SESI 2 (Mengevaluasi sesi 1 dan memberitahu anak jenis gambar, kegunaan gambar, nama dari gambar, melukis gambar, dan menyebutkan satu benda lain yang sejenis dengan gambar yang digunakan) :
d. Mengajarkan anak dan menjelaskan kepada anak jenis gambar, kegunaan gambar, nama dari gambar, melukis gambar, dan menyebutkan satu benda lain yang sejenis dengan gambar yang digunakan.
e. Menganjurkan anak menjelaskan jenis gambar, kegunaan gambar, nama dari gambar, melukis gambar, dan menyebutkan satu benda lain yang sejenis dengan gambar yang digunakan.
Pertemuan ke – 1
Pertemuan ke – 2
f. Memberi pujian jika anak berhasil.
SESI 3 (Mengevaluasi sesi 1 dan dan 2 menganjurkan anak menyebutkan jenis gambar, kegunaan gambar, nama dari gambar, melukis gambar, dan menyebutkan satu benda lain yang sejenis dengan gambar yang digunakan) :
c. Menganjurkan anak menyebutkan jenis gambar, kegunaan gambar, nama dari gambar, melukis gambar, dan menyebutkan satu benda lain yang sejenis dengan gambar yang digunakan
d. Memberi pujian jika anak berhasil
Evaluasi (Post test)Pertemuan
ke – 3
4. Tahap Terminasi :d. Menanyakan keadaan anak setelah kegiatane. kontrak waktu untuk pertemuan selanjutnyaf. menutup kegiatan dan memberikan salam
teraupetik
11 menit
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 sebelumpemberianterapioku
pasi60.27 15 6.123 1.581
setelahpemberianterapiokup
asi64.73 15 5.535 1.429
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 sebelumpemberianterapioku
pasi &
setelahpemberianterapiokup
asi
15 .755 .001
Paired Samples Test
Paired Differences
Mean Std. Deviation Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 sebelumpemberianterapiokupa
si -
setelahpemberianterapiokupasi
-4.467 4.121 1.064 -6.749
uji validitasCorrelations
gambar1 gambar2 gambar3 gambar4 gambar5 totalscore
gambar1 Pearson Correlation 1 .305 .484 .388 .447 .825**
Sig. (2-tailed) .269 .067 .153 .095 .000
N 15 15 15 15 15 15
gambar2 Pearson Correlation .305 1 .289 .463 .189 .666**
Sig. (2-tailed) .269 .297 .082 .500 .007
N 15 15 15 15 15 15
gambar3 Pearson Correlation .484 .289 1 -.089 .327 .585*
Sig. (2-tailed) .067 .297 .752 .234 .022
N 15 15 15 15 15 15
gambar4 Pearson Correlation .388 .463 -.089 1 .044 .592*
Sig. (2-tailed) .153 .082 .752 .877 .020
N 15 15 15 15 15 15
gambar5 Pearson Correlation .447 .189 .327 .044 1 .594*
Sig. (2-tailed) .095 .500 .234 .877 .019
N 15 15 15 15 15 15
totalscore Pearson Correlation .825** .666** .585* .592* .594* 1
Sig. (2-tailed) .000 .007 .022 .020 .019
N 15 15 15 15 15 15
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 15 100.0
Excludeda 0 .0
Total 15 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the
procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.664 5
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-
Total Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
gambar1 10.40 1.829 .644 .486
gambar2 10.60 2.400 .472 .593
gambar3 10.67 2.524 .355 .639
gambar4 10.67 2.381 .293 .677
gambar5 10.73 2.495 .362 .636
DOKUMENTASI