RELASI SOSIAL PASCA-KONFLIK DI LAMPUNG...

120
RELASI SOSIAL PASCA-KONFLIK DI LAMPUNG SELATAN (Studi Kasus Konflik Etnis Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2012) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.sos) Oleh: Adi Saputra 1113111000018 PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017

Transcript of RELASI SOSIAL PASCA-KONFLIK DI LAMPUNG...

RELASI SOSIAL PASCA-KONFLIK DI LAMPUNG SELATAN

(Studi Kasus Konflik Etnis Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2012)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.sos)

Oleh:

Adi Saputra

1113111000018

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2017

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul:

RELASI SOSIAL PASCA-KONFLIK DI LAMPUNG SELATAN

(Studi Kasus Konflik Etnis Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2012)

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Strata I di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuaidengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya

asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya

bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 28 September 2017

Adi Saputra

NIM. 1113111000018

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama : Adi Saputra

NIM : 1113111000018

Prigram Studi : Sosiologi

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

RELASI SOSIAL PASCA-KONFLIK DI LAMPUNG SELATAN

(Studi Kasus Konflik Etnis Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2012)

dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Jakarta, 28 September 2017

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Dr. Cucu Nurhayati, M.Si

NIP. 197609182003122033

Menyetujui,

Pembimbing

Mohammad Hasan Ansori, Ph.D

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

SKRIPSI

RELASI SOSIAL PASCA-KONFLIK DI LAMPUNG SELATAN (Studi Kasus Konflik Etnis Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2012)

Oleh

Adi Saputra

1113111000018

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18

Oktober 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh

gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Sosiologi.

Ketua,

Dr. Cucu Nurhayati, M.Si.

NIP. 197609182003122033

Sekretaris,

Dr. Joharotul Jamilah, M.Si.

NIP. 196808161997032002

Penguji I,

Dra. Ida Rosyidah, M.A.

NIP. 196306161990032002

Penguji II,

Saifudin Asrori, M.Si.

NIP.197701192009121001

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 18 Oktober

2017.

Ketua Program Studi Sosiologi

FISIP UIN Jakarta

Dr. Cucu Nurhayati, M.Si.

NIP. 197609182003122033

v

ABSTRAK

Skripsi ini mengkaji mengenai ”Relasi Sosial Pasca-Konflik di Lampung

Selatan (Studi Kasus Konflik Etnis Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2012)”.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan konflik yang terjadi antara etnis

pendatang dengan etnis lokal di Lampung Selatan, serta untuk menjelaskan relasi

antara masyarakat etnis pendatang dengan masyarakat etnis lokal pasca terjadinya

konflik di Lampung Selatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian

kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan

studi dokumen. Yang menjadi subjek dalam penelitian ini merupakan masyarakat

dari kedua desa (Desa Agom dan Desa Balinuraga) yang terlibat konflik pada

Oktober 2012. Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori

Fusngsional konflik Lewis A. Coser.

Dari hasil temuan dan analisis yang peneliti lakukan, konflik yang terjadi di

Lampung Selatan merupakan konflik yang melibatkan antar pemuda desa. hal

tersebut diawali dari isu terjadinya pelecehan seksual yang dilakukan oleh pemuda

Balinuraga kepada perempuan Agom. Akan tetapi isu tersebut hanyalah sebagai

provokasi kepada warga untuk melakukan penyerangan ke Desa Balinuraga,

karena sebelumnya telah terjadi beberapa konflik yang tidak selesai. Konflik lama

itu banyak disebabkan oleh oknum dari Balinuraga. Akibat konflik yang terjadi

pada Oktober 2012 hubungan antara masyarakat desa Balinuraga dengan Desa

Agom kembali terjalin dengan baik, walaupun belum sepenuhnya kembali kepada

hubungan Agom dan Balinuraga jauh sebelum konflik. Seperti halnya Coser

menanggapi konflik sebagai suatu hal yang positif dalam masyarakat, konflik

tersebut memberikan dampak yang baik pada kehidupan masyarakat di kedua

desa, diantaranya menguatkan relasi sosial antar masyarakat desa, menguatkan

kembali semangat keagamaan, dan merubah prilaku pemuda ke arah yang lebih

baik. Hal ini selaras dengan konsep konflik yang diberikan oleh Coser, dimana

konflik tersebut dapat menguatkan integrasi dan kohesi dalam dalam masing-

masing kelompok masyarakat yang terlibat konflik. Jika dilihat lebih jauh lagi

konflik yang terjadi di Lampung Selatan membawa kepada hal-hal positif yang

telah disebutkan sebelaumnya.

Kata kunci: Relasi sosial pasca-konflik, konflik, fungsional konflik.

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrabil „alamin segala puji dan rasa syukur selalu peneliti

curahkan kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan nikmat dan kasih

sayang kepada hambanya yang selalu berusaha memperbaiki diri serta selalu

berusaha untuk dekat dengan-Nya setiap saat, sehingga penulisan Skripsi ini dapat

diselesaikan oleh peneliti. Selawat serta salam selalu peneliti haturkan kepada

Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, serta para pengikutnya

hingga akhir zaman.

Tidak sedikit dari kita yang mengakatan bahwa konflik yang terjadi baik

dalam masyarakat lingkungan sekitar kita tinggal muapun konflik terjadi yang

melibatkan cakupan yang lebih besar, akan berujung kepada suatu permusuhan

dan pada akhirnya akan timbul perpecahan atau kehancuran. Akan tetapi melalui

skripsi ini peneliti mencoba untuk melihat dari sudut pandang lain mengenai

konflik yang terjadi dalam masyarakat. Pada skripsi ini peneliti mencoba untuk

melihat konflik dari kacamata fungsional, seperti apa yang telah Coser katakan

dalam bukunya The Functions of Social Conflict. Konflik tidak harus dipandang

dengan suatu yang negatif, akan tetapi konflik juga dapat berfungsi positif dalam

kehidupan masyarakat.

Mengapa penting dalam melihat konflik dari sudut pandang positif, karena

konflik yang terjadi dapat menjadikan ceriminan realita yang ada dalam

masyarakat. Sehingga hal tersebut dapat menjadi pijakan untuk melangkah

kedepan, sebagaimana yang telah banyak kita ketahui bahwa Bung Karno (Ir.

Soekarano) pernah mengatakan “jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Oleh

karenanya konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai kontrol

terhadap prilaku masyarakat dan pada akhirnya hal tersebut dapat menguatkan

integrasi dalam masyarakat itu sendiri.

Banyak hal yang akan terjadi pada masyarakat yang dinamis dan banyak

pula peneliti-peneliti lain yang membahas mengenai konflik yang terjadi dalam

masyarakat, baik analisa mengenai terjadinya konflik, resolusi konflik dan banyak

lagi, yang salah satunya adalah pelenitian yang peneliti lakukan yaitu Relasi

Sosial Pasca-Konflik Di Lampung Selatan (Studi Kasus Konflik Etnis Kabupaten

vii

Lampung Selatan Tahun 2012). Oleh karenanya peneliti sadar betul masih banyak

kekurangan dalam tulisan maupun dalam penelitian yang peneliti lakukan.

Berbagai saran dan kritik selalu peneliti harapkan guna memperbaikinya.

Dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini peneliti pun sadar tidak

jalan sendiri. Banyak pihak yang terlibat dalam proses tersebut. Banyak

dukungan, baik berupa materi maupun moral, baik tenaga maupun waktu yang

telah diberikan berbagai pihak kepada peneliti. Oleh karananya peneliti ingin

mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung

peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini.

1. Kedua keluarga peneliti, Bapak Sugito terimakasih Bapak banyak hal

yang telah Bapak lakukan dalam hidup saya, banyak pelajaran yang

telah Bapak berikan dalam kehidupan ini. Tidak ada lelah dalam

menjalankan tugas sebagai seorang Bapak, walaupun rasa lelah itu

pasti ada. kepada Ibu Saparia, Ma... terimaksaih... entah terimakasih

seperti apa yang bisa saya berikan untuk membalas jasa mama.

Terimaksaih telah melahirkan saya, menyayangi saya, dan selalu

memberikan pelajaran yang bermakna. Aprianto, thanks dek selalu

manjadi adik yang baik.

2. Bapak Mohammad Hasan Ansori, Ph.D dosen pembimbing yang

selalu menginspirasi mahasiswanya, selalu memberikan semangat dan

motivasi dalam menyelesaikan skripisi ini. Terimakasih pak, atas

segala waktu yang diluangkan, tenaga, dan pikiran dalam

membimbing saya.

3. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik UIN Syarif Hidayarullah Jakarta dan sekaligus dosen

Pembimbing Akademik peneliti.

4. Ibu Dr. Cucu Nurhayati, M.Si ketua Program Studi Sosiologi yang

selalu memberikan semangat dan motivasi baik dalam proses

penulisan proposal maupun dalam penulisan skripsi. Dan tidak lupa

juga kepada Ibu Dr. Joharatul Jamilah, M.Si Sekretaris Program Studi

Sosiologi yang telah membantu dalam penyelesaian proposal skripsi.

viii

5. Kepada seluruh civitas academica Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik.

6. Kepada pihak Pemprov. Lampung dan Pemkab. Lampung Selatan

yang dalam hal ini melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik

(KESBANGPOL) yang telah memberikan izin penelitian, serta

Kepala Bagian Hukum Pemkab. Lampung Selatan Pak‟De Elik

Murtopo beserta jajaran. Dan tidak lupa kepada pihak Kecamatan

Kalianda dan Way Panji serta pihak Desa Agom dan Balinuraga yang

telah banyak memberikan informasi, serta Perpustakaan Daerah

Provinsi Lampung.

7. Ilham, Luqman, Ubay, Monji, Arif (ucay), Jaldi, Yasser, Innu, Nanik,

Nisa, Dhana. Ga tau lagi gimana gw mendefinisikan kalian semua.

Tetap jadi yang terbaik guys. Kita lebih banyak jangan kalah sama

yang Cuma 5 cm!.

8. Kawan-kawan Sosiologi 2013, khususnya Sosio A yang banyak

memotivasi untuk terus lebih baik.

9. Untuk Oka dkk., Hilda dkk., Novi Dwi dkk., bang Rusydan, bang

Galih dkk. Dan abang-abang yang lain, terimakasih untuk

perjuangannya.

10. Temen-temen di Senat Mahasiswa Univeritas, terimakasih untuk

pembelajaran kehidupan kampusnya.

11. Temen-temen Kuliah Kerja Nyata Retina 024.

12. Dan pihak-pihak yang telah mendukung yang tidak dapat peneliti

disebutkan satu-satu.

Jakarta, 28 September 2017

Adi Saputra

ix

DAFTAR ISI

ABSTRAK ........................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Pernyataan Masalah ....................................................................................... 1

B. Pertanyaan Masalah ....................................................................................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 7

D. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 8

E. Kerangka Teoritis ........................................................................................ 15

F. Metodologi Penelitian .................................................................................. 23

G. Sistematika penulisan .................................................................................. 30

BAB II GAMBARAN UMUM ........................................................................... 32

A. Lampung Selatan ......................................................................................... 33

B. Kondisi Sosial dan Geografis Desa Agom dan Balinuraga ......................... 36

C. Relasi Masyarakat Pendatang Dengan Masyarakat Lokal Sebelum

Terjadinya Konflik ............................................................................................ 50

BAB III KONFLIK DAN RELASI SOSIAL PASCA KONFLIK DI

LAMPUNG SELATAN ................................................................. 53

A. Konflik Antara Pendatang dengan Masyarakat Lokal ................................. 53

1. Latar Belakang Terjadinya Konflik dan Isu yang Beredar ..................... 53

2. Kronologi Konflik .................................................................................. 64

B. Relasi Sosial Pasca Konflik di Lampung Selatan ........................................ 73

1. Relasi Sosial Lebih Harmonis (Positif) Antara Lokal dengan Pendatang ..

................................................................................................................ 73

2. Penguatan Integrasi/Kohesi di dalam Masing-Masing Kelompok dan

Perubahan Perilaku Masyarakat..................................................................... 81

3. Kehidupan Beragama Pasca Konflik di Balinuraga ............................... 89

x

BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 92

A. Kesimpulan .................................................................................................. 92

B. Saran ............................................................................................................ 95

Daftar Pustaka ..................................................................................................... 96

LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 100

xi

DAFTAR TABEL

Tabel I. A 1 Jumlah Insiden Kekerasan Komunal Terkait Isu Identitas Periode

1998-2013 .......................................................................................... 4

Tabel I. D.2 Daftar Tinjauan Pustaka ................................................................... 13

Tabel I. F. 3 Distribusi Informan .......................................................................... 26

Tabel I. F. 4 Data Informan ................................................................................... 26

Tabel II. A.1 Sektor Mata Pencaharian Penduduk Desa Agom ............................ 43

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar II. 1. Peta Provinsi Lampung ................................................................... 32

Gambar II. 2. Kantor Bupati Kabupaten Lampung Selatan .................................. 33

Gambar II. 3. Peta Administrasi Kabupaten Lampung Selatan ............................ 36

Gambar II. 4. Peta Administrasi Desa Agom ........................................................ 39

Gambar II. 5. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa ......................................... 41

Gambar II. 6. Gapura Perbatasan Desa Balinuraga............................................... 44

Gambar II. 7. Peta Administrasi Desa Balinuraga ................................................ 47

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Dalam skripsi saya ini akan mengkaji permasalahan relasi sosial antara

masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal di Lampung Selatan, pasca

konflik kerusuhan antar etnis tahun 2012. Lampung Selatan merupakan salah

satu kabupaten yang ada di Provinsi Lampung. Di kabupaten ini tidak hanya

dihuni oleh etnis lokal Lampung, tetapi juga dihuni oleh komunitas etnis yang

datang dari segala penjuru Indonesia. tidak heran jika Provinsi Lampung

banyak dihuni oleh beragam suku yang ada di Indonesia, menurut data Badan

Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung tahun 2010 dari total 7.608.405 jiwa

penduduk Lampung terdiri dari 63,84% etnis Jawa, 13,51% etnis Lampung,

9,58% Sunda, 2,27% Banten, 5,47% etnis asal Sumatera Selatan, 1,38% Bali,

0,92% Minangkabau, 0,53% etnis Cina, 0,28% Bugis, 0,69% Batak dan

1,21% etnis lain seperti Aceh, Jambi, Sumatera lainnya, Betawi, Papua, NTB,

NTT, dan Kalimantan (Data BPS Provinsi Lampung tahun 2010 terhadap

sensus penduduk menurut suku bangsa).

Penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa tersebar diseluruh

pulau di Indonesia, dan lebih dari setengah jumlah tersebut menempati

wilayah pulau Jawa dan Bali. Kepadatan penduduk di pulau Jawa dan Bali ini

tidak hanya terjadi di masa-masa sekarang, melainkan telah terjadi sejak

Indonesia dikuasai oleh Belanda. Oleh karenanya sejak Indonesia dikuasai

2

oleh Belanda, pemerintahan Belanda saat itu melakukan kebijakan untuk

mengurangi kepadatan penduduk yang ada di pulau Jawa dan meningkatkan

taraf hidup masyarakat saat itu dengan cara melakukan pemindahan penduduk

“Kolonisatie” (atau sama dengan transmigrasi penduduk) dari pulau Jawa ke

wilayah-wilayah di Sumatera, terutama di wilayah provinsi Lampung (The

Habibie Center 2014: 13). Dan kebijakan tersebut diikuti oleh pemerintah

Indonesia di era Orde Baru yang di pimpin oleh Presiden Soeharto saat itu

(The Habibie Center edisi 06, 2014: 13).

Balinuraga merupakan salah satu desa yang ada di Kabupaten

Lampung Selatan yang dibentuk oleh para transmigran yang berasal dari pulau

Bali. Desa ini diketahui telah dibentuk sejak tahun 1958 silam (The Habibie

Center edisi 06 2014: 13). Desa ini dihuni oleh warga etnik Bali yang menjadi

partisipan dalam program transmigrasi yang dilakukan oleh pemeritah masa

itu. Setelah era reformasi bergulir dan kapala daerah dipilih secara langsung,

konflik SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) pun mulai merebak di

Provinsi Lampung (Budiman dan Saroso HN, 2012: 18). Konflik tersebut

pada umumnya terjadi di daerah ekstransmigrasi yang proses pembaurannya

kurang halus (Budiman dan Saroso HN, 2012: 18). Seperti konflik yang

terjadi di Lampung Selatan antara pendatang dan penduduk lokal secara

khusus antara Balinuraga sebagai pendatang dan Desa Agom sebagai

penduduk lokal tahun 2012 (Setiawan, Lampung Selatan Berdarah, Siapa

Salah? Diakses dari http://fokus.news.viva.co.id/news/read/363482-lampung-

selatan-berdarah-siapa-salah).

3

Sebagai cerminan dari masalah konflik yang melibatkan kelompok

etnis ini terjadi di Lampung Selatan, yang pada paragraf sebelumnya sedikit

dijelaskan bahwa lampung menjadi salah satu destinasi para transmigran asal

Jawa dan Bali. konflik etnis tersebut melibatkan dua etnis berbeda etnis

Lampung (lokal) dan etnis Bali (pendatang) yang dilatar belakangi oleh

berbagai macam masalah yang timbul sebelumnya, seperti pemuda pendatang

yang dalam hal ini pemuda Balinuraga sering membuat onar dan terusiknya

harga diri warga lokal dalam kehidupan bermasyarakat (atau pendatang tidak

mengikuti dan menghargai aturan (Phi‟il) warga lokal) (Noor, Kompleksitas

Konflik Lampung, diakses dari http://nasional.kompas.com).

Konflik ini tapatnya terjadi di Desa Balinuraga Kabupaten Lampung

Selatan. Bukan hanya akibat dari kesalah pahaman yang dilakuakan oleh

kedua belah pihak, konflik tersebut juga merupakan buntut dari konflik-

konflik masa lalu yang pernah terjadi dan melibatkan kedua etnis tersebut

(Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center edisi 06, 2014: 15).

Seperti yang catatan kekerasan antar kelompok dalam kajian perdamaian dan

kebijakan The Habibie Center tahun 2013 isu tersebut tidak hanya terjadi di

kabupaten Lampung selatan saja, tetapi juga terjadi di daerah-daerah yang ada

di Indonesia.

4

Tabel I. A 1 Jumlah Insiden Kekerasan Komunal Terkait Isu Identitas

Periode 1998-2013

Sumber: Kajian Perdamaian dan Kebijakan, The Habibie Center, 2013

Dari tabel tersebut memang terlihat ada penurunan insiden kekerasan

yang terjadi dari periode 1998 sampai 2009, akan tetapi kembali meningkat di

tahun 2012. Lalu apakah dibalik meningkatnya tersebut akibat dari

penyelesaian konflik yang tidak selesai? Oleh karenanya dalam skripsi ini

akan mengkaji mengenai relasi sosial masyarakat setelah konflik terjadi.

Kembali kepada kasus konflik di Lampung Selatan, menurut catatan

yang ditulis dalam buku Merajut Jurnalisme Damai di Lampung konflik ini

berawal dari insiden yang dilakukan oleh para pemuda Desa Balinuraga yang

berusaha memegang paha dari salah seorang gadis dari Desa Agom yang

hendak pulang dari Desa Patok-Sidoharjo sehingga motor yang dikendarai

oleh gadis tersebut terjatuh dan menyebabkan luka pada gadis tersebut.

Mulanya orangtua dari gadis tersebut hanya ingin meminta pertanggung-

5

jawaban dari pemuda yang bersangkutan untuk membiayai pengobatan ke

rumah sakit. Berbeda dari orangtua gadis tersebut, justru ratusan warga desa

ingin pemuda tadi diberi pelajaran mereka menganggap telah dijatuhkan harga

dirinya. Sehingga malam itu juga warga Desa Agom mencari pemuda

tersebut, tetapi tidak ketemu sehinagga warga Desa Agom tadi ditemui oleh

kepala Desa Balinuraga dan ia menyatakan akan menanggung seluruh biaya

pengobatan. Akan tetapi berita mengenai pelecehan terhadap gadis Desa

Agom menyebar dengan cepat, singakat cerita tidak hanya warga dari Desa

Agom saja yang terlibat penyerangan di Desa Balinuraga akan tetapi warga

etnis lokal dari beberapa kabupaten juga turut andil dalam penyerangan

tersebut (Budiman dan Saroso, 2012: 4-10).

Akan tetapi dari versi lain yang diceritakan dalam Tempo.co, pemuda

dari Balinuraga tersebut tidak melakukan pelecehan, tetapi pemuda yang

berjumlah sepuluh orang tersebut berpapasan dengan gadis asal Desa Agom

dan tidak sengaja menyerempet gadis tersebut sehingga jatuh (Budiman,

Pemicu Bentrok Lampung Versi Penduduk, diakses dari https://m.tempo.co).

Terlepas dari cerita dari kedua versi tersebut yang jelas akibat dari kejadian

tersebut telah memakan korban yang tidak sedikit, menurut viva.co.id korban

tewas sebanyak 14 orang, namun menurut versi lain korban tewas lebih dari

14 (tidak disebutkan secara pasti jumlahnya) dan terdapat 7 orang warga

Balinuraga harus dilarikan ke rumah sakit (Budiman dan Saroso, 2012: 4-10).

6

Konflik memang dibutuhkan dalam kehidupan sosial, selain harus

menjaga keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat. Karena ketika

masyarakat yang terus berlarut-larut dalam ketertur, itu tidak menjamin

keteraturan tersebut benar-benar yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga

konflik dalam hal ini perlu ada, karena dengan adanya konflik dalam

masyarakat keseimbangan dan keteraturan itu akan terus diperbarui. Hal

tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh Novri Susan yang dikutip

dari Lewis A. Coser, konflik tidak selalu berwajah negatif. Konflik memiliki

fungsi positif terhadap masyarakat melalui perubahan sosial yang

diakibatkannya (Susan, 2014: 45-46). Oleh karenanya resolusi dalam

menyelesaikan konflik sangat penting dan harus sesuai, agar dapat benar-

benar menciptakan equilibrium dalam masyarakat. Maka dari itu dalam skripsi

ini peneliti mengambil judul mengenai “Relasi Sosial Pasca Konflik Di

Lampung Selatan (Studi Kasus Konflik Etnis Kabupaten Lampung Selatan

Tahun 2012)”

B. Pertanyaan Masalah

1. Bagaimana konflik yang terjadi antara pendatang dan lokal di

Lampung Selatan?

2. Bagaimana relasi sosial antara masyarakat etnis pendatang dengan

masyarakat etnis lokal pasca konflik tahun 2012 di Lampung Selatan?

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a) Menjelaskan konflik yang terjadi antara etnis pendatang dengan

lokal di Lampung Selatan.

b) Menjelaskan relasi sosial antara masyarakat etnis pendatang

dengan masyarakat etnis lokal pasca konflik di Lampung Selatan.

2. Manfaat Penelitian

Sebuah penelitian tanpa memberikan manfaat itu merupakan

bagian dari kegagalan dalam suatu penelitian. Oleh karenanya dalam

penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat dalam

kegunaan teoritis maupun manfaat kegunaan praktis.

a) Kegunaan teoritis, dapat berguna dalam memperkaya konsep teori

mengenai hubungan antar etnis pasca konflik.

b) Kegunaan praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah

satu rujukan dalam penelitian berikutnya. Selain itu hasil dari

penelitian ini diharapkan dapat dipertimbangkan dalam membuat

suatu kebijakan dalam menangani konflik etnis.

8

D. Tinjauan Pustaka

Terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait topik yang akan dibahas

dalam skripsi ini. Penelitian yang pertama ditulis oleh Bodro Sigit Rahwono

(mahasiswa program studi sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora,

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta) penelitian tersebut

membahas mengenai rekonsiliasi konflik yang terjadi di kecamatan Mesuji,

Sumatera Selatan. Skripsi tersebut berjudul Konflik dan Rekosiliasi Etnik di

Mesuji. (Studi Pada Masyarakat Pribumi dan Pendatang di Kecamatan

Mesuji, Kabupten Oku, Sumatera Selatan. Hasil dari penelitian skripsi

tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik tersebut disebabkan oleh beberapa

faktor. Pertama, Segregasi pemisahan tempat tinggal berdasarkan etnik dan

pengelompokan etnik di wilayah tertentu menimbulkan hambatan komunikasi

dan sikap. Kedua, label dan streotip yang beredar di masyarakat sehingga

kebanyakan dari mereka menggeneralisir kesalahan oknum menjadi kesalahan

kelompok. Ketiga, kesenjangan sosial dan ekonomi yang dirasakan oleh etnis

lokal terhadap etnis pendatang. Metode yang digunakan dalam penelitian

tersebut menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini secara umum

menggunakan teori konflik dan menggunakan teori labeling dari

interaksionisme simbolik George H.Mead (Sigit Rahwono, 2014).

Kedua, merupkan hasil penelitian dari skripsi yang dituls oleh Inggrid

Galuh Mustikawati (mahasiswa jurusan Sosiologi Universitas Indonesia),

dengan judul Pengungsi dan Penduduk Lokal: Studi Kasus, Hubungan Antar

9

Kelompok Pasca Konflik Sampit di Kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru

Kalimatan Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode

kualitatif. Dengan menggunakan parade teori konflik yang dikemukan oleh

Lewis Coser, George Simmel dan Randall Collins. Penelitian yang dilakukan

ini menggambarkan hubungan sosial yang terbentuk diantara kedua kelompok

tersebut, dengan mengkaji dari aspek prasangka dan stereoptype yang

berekembang dalam masing-masing kelompok. Tersebut. (Mustikawati, 2003)

Ketiga, merupakan penelitian yang diterbitkan oleh Universitas

Diponegor yang ditulis oleh Anisa Utami (mahasiswa Jurusan Ilmu

Pemerintahan) dengan judul Resolusi Konflik Antar Etnis Kabupaten

Lampung Selatan (Studi Kasus: Konflik Suku Bali Desa Balinuraga Dan Suku

Lampung Desa Agom Kabupaten Lampung Selatan). Metode yang digunakan

dalam penelitian tersebut merupakan metode kualitatif. Banyak faktor yang

menyebabkan terjadinya konflik tersebut dua diantaranya adalah faktor

ekonomi (lahan banyak dikuasai oleh etnis pendatang) dan faktor masalalu

yang belum usai. Pemerintah pun telah melakukan berbagai cara untuk

mendamaikan kedua belah pihak dengan mempertemukan kedua belah pihak

dan memediatori proses perdamaian tersebut. Selain itu juga pemerintah

daerah juga telah membentuk organisasi dalam upaya perdamaian pasca

konflik, yaitu MPAL (Majelis Penyeimbang Adat Lampung) dan FKDM

(Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat). Organisasi tersebut rutin

mengadakan pertemuan dalam satu minggu satu kali pertemuan (Utami, h. 6-

17).

10

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Eklefina Pattinama dan

dibukukan dalam Disertasi Doktor Antropologi Universitas Indonesia, dengan

judul Integrasi Pasca Konflik (Studi Kasus di Saparua Maluku Tengah).

Penelitian ini berfokus pada kajian Antropologi dengan metode yang

digunakan kualitatif dan etnografi. Hasil penelitinannya, integrasi yang

dibangun pasca konflik diawali oleh para pelaku yang berjumpa dan

berinteraksi dalam rutinitas mereka sehari-hari yang membentuk integrasi di

tengah ketidakamanan. Para pelaku ini juga merasakan trauma, perasaan takut,

cemas dan ragu yang membatasi ruang gerak mereka. Bahkan akibat

ditutupnya akses transportasi membuat lumpuh kondisi perekonomian. Selain

hal tersebut para pelaku yang berinisiatif berinteraksi adalah para petani,

nelayan dan perempuan pedagang kayu bakar, sayur serta ikan. Mereka

menjadi penggerak dalam membagun integrasi baru. Atas dasar saling

membutuhkan, saling bergantung satu sama lain mereka, para pelaku

merekonstruksi budaya lokal untuk membangun integrasi melalui

pembentukan kerja sama baru baik itu sosial, budaya, ekonomi maupun politik

(Pattinama, 2010).

Kelima, merupakan tulisan ilmiah yang diterbitkan dalam situs

pasca.unhas.ac.id ditulis oleh Amrul Djana, Maria E Pandu dan H. M. Darwis

yang berjudul Interaksi Sosial Pasca Konflik Horisontal (Studi Kasus Pada

Komunitas Islam-Kristen di Kecamtan Tobelo Utara Kabupaten Halmahera

Utara). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah

metode kualitatif. Dalam penelitian ini menjelaskan hubungan kedua belah

11

pihak yang terlit konflik sebelum terjdinya konflik, proses terjadinya konflik

dan menjelaskan pula hubungan masyarakat pasca konflik. Dari penelitian

tersebut diketahui bahwa kehidupan kedua kelompok yang terlibat konflik

sebelum terjadinya konflik sangatlah damai karena terdapat adat yang

menaungi kehidupan kedua belah pihak dan dijunjung tinggi oleh mereka,

yaitu adat Hibua Lamo. Pola interaksi sebelun terjadinya konflik ini bersifat

asosiatif, dimana terdapat kerja sama, asimilasi dan juga akomodasi, sifat-sifat

tersebut tercermin dalam proses berinteraksi antara komunitas Muslim dan

Kristen. Sedangkan kehidupan pasca konflik, kedua belah pihak telah

berdamai melalui akomodasi yang dilakukan oleh pemerintah, tokoh agama,

tokoh adat, LSM serta kesadaran dari masyarakat tersebut. Kedua belah pihak

telah bersepakat tidak lagi mudah dihasut oleh provoktor yang ingin memecah

belah mereka. Selain itu juga, adat Hibua Lamo telah kembali ditumbuh

kembangkan pada setiap masyarakat (Djana, Pandu dan Darwis, h. 4-12).

Keenam, tulisan yang diterbitkan dalam Kajian Perdamaian dan

Kebijakan The Habibie Center, dengan judul Peta Kekerasan di Indonesia

(September-Desember 2013) dan Konflik Antarkelompok di Indonesia. dalam

tulisan tersebut dijelaskan bahwa terjadinya konflik antar suku disebabkan

oleh beberapa faktor diantaranya faktor ekonomi, faktor migrasi penduduk

dan faktor pola penanganan. Secara khusus peneliti menyoroti tulisan

mengenai konflik kerusuhan di Lampung Selatan pada 2012 yang terdapat

dalam tulisan tersebut. Secara faktor ekonomi, konflik yang terjadi di

Lampung Selatan akbibat dari meningkatnya pendapatan ekonomi dan

12

perubahan kepemilikan tanah oleh warga etnis Bali sehingga memperbesar

ketimpangan horizontal antara pendatang dan penduduk lokal. faktor migrasi,

program transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah beberapa tahun

sebelumnya juga menjadi andil dalam konflik yang terjadi. yang terakhir

upaya penanganan oleh pemerintah, upaya perdamaian yang tidak efektif

menyentuh masyarakat lapisan bawah (grassroots) juga menjadi faktor dalam

konflik tersebut, karena konflik ini merupakan buntut dari konflik masalalu

yang tidak selesai (The Habibie Center, 2014: 18-24).

Dari beberapa penelitian yang telah ada, banyak penelitian yang hanya

membahas mengenai resolusi dan rekonsiliasi konflik. Hanya ada sedikit

penelitian yang membahas mengenai hubungan masyarakat pasca terjadinya

konflik. Dalam hal ini peneliti hanya menemukan satu penelitian yang sama

mengenai hubungan pasca konflik itu, yaitu penelitian yang dilakukan oleh

Inggrid Galuh Mustikawati mengenai hubungan pendatang dan penduduk

lokal pasca konflik. Perbedaan antara peneliti dengan penelitian yang

dilakukan oleh Inggrid tersebut terletak pada,

1. Jika Inggrid membahas mengenai hubungan pengungsi dan penduduk

lokal, maka dalam penelitian ini akan membahas mengenai hubungan

antara pendatang dan penduduk lokal.

2. Lokasi penelitian, penelitian yang dilakukan oleh Inggrid tersebut

dilakukan di Kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru Kalimantan

13

selatan. penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini terletak di

Kabupaten Lampung Selatan, Lampung.

3. Teori yang digunakan, walaupun akan sama-sama membahas tema

yang serupa dengan menggunakan teori konflik dari Lewis A. Coser.

Jika Inggrid menggabarkan bagimana hubungan sosial yang terbentuk

diantara kedua kelompok tersebut dengan mengkaji dari aspek

prasangka dan stereotype yang berkembang dalam masing-masing

kelompok, maka dalam penelitian ini akan melihat hubungan yang

terbentuk antara warga lokal dengan pendatang pasca terjadinya

konflik hanya dengan menggunakan pendekatan teori konflik Lewis A.

Coser.

Tabel I. D.2 Daftar Tinjauan Pustaka

No Nama, Judul &

Tahun

Perbedaan dan Persamaan

Penelitian sebelumnya Penelitian ini

1. Bodro Sigit Rahwono,

Konflik dan

Rekosiliasi Etnik di

Mesuji. (Studi Pada

Masyarakat Pribumi

dan Pendatang di

Kecamatan Mesuji,

Kabupten Oku,

Sumatera Selatan,

2014 (Prodi Ilmu

Sosiologi, Universitas

Islam Negeri Sunan

Kalijaga Yogyakarta).

Menggunakan teori

segitiga konflik

Galtung, pemetaaan dan

teori labeling.

Menggunakna

pendekatan sosiologis

dan metode penelitian

kualitatif. Subjek

penelitian Konflik di

Mesuji

Menggunakan teori

konflik Lewis A.

Coser. Subjek

penelitian konflik

Lampung selatan

tahun 2012.

Persamaannya, pada

metode dan

pendekatan sosiologis

yang digunakan serta

sama membahas

mengenai konflik

etnis.

2. Inggrid Galuh

Mustikawati,

Menggunakan metode

penelitian kualitatif

Menggunakan teori

yang difokuskan pada

14

Pengungsi dan

Penduduk Lokal:

Studi Kasus,

Hubungan Antar

Kelompok Pasca

Konflik Sampit di

Kecamatan Landasan

Ulin, Banjarbaru

Kalimatan Selatan,

2003 (sosiologi

Universitas Indonesia)

dengan pendekatan

sosiologis. Penelitian

ini dilakukan di

Kecamatan Landasan

Ulin, Banjarbaru

Kalimantan Selatan.

Menggunakan parade

teori konflik, Lewis

Coser, George Simmel

dan Randall Collins.

Fokus pada stereotype

yang terbangun di

masyarakat lokal

terhadap pengungsi.

teori konflik Lewis A.

Coser. Objek

penelitian konflik

Lampung selatan.

sama-sama membahas

hubungan pasca

konflik etnis.

3. Anisa Utami, Resolusi

Konflik Antar Etnis

Kabupaten Lampung

Selatan (Studi Kasus:

Konflik Suku Bali

Desa Balinuraga Dan

Suku Lampung Desa

Agom Kabupaten

Lampung Selatan), ---

- (jurusan Ilmu

Pemerintahan,

Universitas

Diponegoro)

Mengguanakan teori

konflik, resolusi konflik

dan konflik etnis.

Menggunakan metode

kualitatif dengan

pendekatan ilmu

pemerintahan. Berfokus

pada resolusi konflik

yang terjadi di

Lampung Selatan.

Pendekatan sosiologis,

menggunakan teori

Konflik yang lebih

spesifik yang

dikemukakan oleh

Lewis A. Coser.

Penelitian berfokus

pada relasi masyarkata

pasca terjadinya

konflik di Lampung

selatan.

4. Eklefina Pattinama,

Integrasi Pasca

Konflik (Studi Kasus

di Saparua Maluku

Tengah). 2010,

(disertasi Doktor

Antropologi,

Universitas Indonesia)

Berfokus pada kajian

Antropologi dengan

metode yang digunakan

kualitatif dan etnografi.

Menggunakan teori

Strukturasi Anthony

Giddens.

Penelitian ini akan

fokus pada kajian

sosiologis.

Menggunakan teori

yang berbeda yaitu

teori Konflik Lewis A.

Coser.

Persamaan, akan

mengkaji isu ini

menggunakan metode

kualitatif.

5. Amrul Djana, Maria E

Pandu dan H. M.

Darwis. Interaksi

Sosial Pasca Konflik

Horisontal (Studi

Kasus Pada

Komunitas Islam-

Kristen di Kecamtan

Menggunakan konsep

dasar interaksi sosial

dan teori konflik

Dahrendorf serta

menggunakan definisi

perubahan sosial Mac

Iver dan Selo Sumarjan.

Menggunakan teori

konflik Lewis A.

Coser

Persamaan, membahas

mengenai interaksi

sosial pasca konflik.

15

Tobelo Utara

Kabupaten

Halmahera Utara). ---

-

6. Kajian Perdamaian

dan Kebijakan The

Habibie Center. Peta

Kekerasan di

Indonesia (September-

Desember 2013) dan

Konflik

Antarkelompok di

Indonesia. 2013

Dalam penelitian ini

berfokus pada kajian

perdamaian dan

kebijakan yang

memfokuskan

fenomena konflik

antarkelompok berbasis

identitas sebagai isu

utama. Serta membahas

mengenai faktor

terjadinya konflik

dibeberapa daerah.

Khususnya yang sama

dengan penelitian

peneliti yaitu konflik

Lampung selatan tahun

2012.

Dapat melengkapi

penelitian sebelumnya

mengenai relasi sosial

yang terjadi di

Lampung selatan

pasca terjadinya

konflik khususnya di

2 desa yang terlibak

konflik dan

menewaskan belasan

jiwa.

E. Kerangka Teoritis

Kehidupan masyarakat sangatlah dinamis, pola hubungan dan keadaan

sosial setiap saat pasti akan cepat berubah. Dalam kajian sosiologi mengenal

beberapa pendekatan dalam menganalisis pola hubungan dan kondisi sosial

yang ada di masyarakat. Pendekatan tersebut diantaranya, pendekatan

fungsionalisme struktural, interaksionisme simbolik dan konflik.

Pendekatan fungsionalisme struktural ini memiliki asumsi dasar,

bahwa semua elemen atau unsur kehidupan masyarakat harus berfungsi atau

fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa menjalankan

fungsinya dengan baik (Raho, 2007: 48). Pendekatan ini menekankan pada

keselarasan hidup atau keteraturan dalam masyarakat untuk mencapai apa

16

yang dinamakan keseimbangan (equilibrium). Sehingga ketika salah satu

unsur tidak berfungsi dengan baik, maka akan ada disfungsi dan akan

mempengaruhi unsur lain.

1. Definisi Konflik

Konflik memang dipandang sebagai salah satu keadaan yang dapat

mempengaruhi tatanan sosial. Konflik juga dianggap sebagai hal yang

membuat tidak berfungsinya komponen-komponen dalam masyarakat.

Dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Klasik dari Comte hingga

parsons, Prof. Wardi Bachtiar mengatakan bahwa konflik secara empiris

tidak diakui oleh kebanyakan orang. Karena orang lebih memilih stabilitas

sebagai hakikat masyarakat. Akan tetapi, Prof. Wardi juga

mengungkapkan bahwa konflik merupakan kondisi realitas yang harus

dihadapi oleh para ahli teori sosial dalam membentuk model-model umum

perilaku sosial (Bachtiar,2010: 107).

Teori konflik muncul karena ketidakpuasan atas teori struktural

fungsional yang dianggap telah menutup mata atas konflik yang selalu

melekat pada setiap masyarakat. Teori struktural fungsional juga dinilai

mengabaikan praktik dominasi satu kelompok terhadap kelompok lain

(Maliki, 2012: 140). Teori konflik secara umum merupakan perspektif

dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai suatu sistem sosial

yang terdiri dari bagian-bagian yang mempunyai kepentingan berbeda

17

dimana bagian satu berusaha untuk menaklukan bagian yang lain guna

memperoleh kepentingannya yang sebesar-besarnya (Raho. 2007: 71).

Pada awalnya teori konflik ini dicetuskan oleh Karl Marx (1818-

1883) (Ritzer dan Goodman: 50-51). Pemikiran awal Marx muncul ketika

industrialisasi pada abad 19, saat itu ia melihat kesenjangan antara buruh

dengan pemodal. di mana buruh banyak menderita akibat dari

ketimpangan pemodal yang menjadikan buruh sebagai alat produksi.

Sehingga hal tersebut melahirkan alienasi, yang bukan hanya alienasi

individual melainkan alienasi masal yang sejalan dengan mode of

production yang dikendalikan oleh industri (Maliki, 2012: 146-147).

“Semakin tidak merata distribusi sumber di dalam suatu sistem,

akan semakin besar konflik kepentingan antara segmen dominan dan

segmen lemah di dalam suatu sistem” (Wirawan, 2013: 62). Menurut

Marx ketimpangan sumber daya yang terjadi dalam suatu masyarakat itu

akan menyebabkan peluang konflik semakin besar antara kelompok yang

memiliki kekuasaan dengan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan

(Wirawan, 2013: 62). Hal ini sejalan dengan yang terjadi pada konflik

Lampung selatan. Dalam pembahasan dari tim Kajian Perdamaian dan

Kebijakan The Habibie Center, konflik yang terjadi di Lampung Selatan

salah satu faktornya adalah ketimpangan ekonomi yang terjadi anatar

pendatang dengan penduduk lokal (The Habibie Center, 2014: 18-19).

18

Konflik yang dikemukakan oleh Dahrendorf seringkali disebut

dengan konflik dialektik. Di mana masyarakat menurutnya memiliki dua

wajah yang berbeda yaitu konflik dan konsensus, konflik akan terjadi

ketika konsensus dalam masyarakat terjadi lebih dulu (Raho, 2007: 77).

Menurut Dahrendorf di dalam buku yang ditulis oleh Bernard

Raho, dalam teori konflik, kesetabilan atau keseimbangan merupakan hal

yang terjadi karena adanya paksaan (Raho, 2007: 78). Oleh karenanya hal

ini berarti dalam masayarakat terdapat bagian yang otoritas untuk

memaksa atau menguasai bagian yang lain. Dalam buku yang sama juga

dijelaskan bahwa, hal tersebutlah yang membawa Dahrendorf kepada tesis

yang dikemukakan olehnya, di mana “distribusi otoritas atau kekuasaan

yang berbeda-beda merupakan faktor yang menentukan bagi terciptanya

konflik sosial yang sistematis” (Raho, 2007: 78).

Sedangkan konflik yang dikemukakan oleh Lewis A. Coser banyak

yang mengatakan sebagai bentuk fungsionalisme konflik. Dimana konflik

digambarkan oleh Coser sebagai bentuk yang berfungsi dalam sistem

sosial atau masyarakat (Raho, 2007: 82). Mengenai fungsi konflik

pemikiran Coser banyak dipengaruhi oleh ide-ide yang dikemukakan oleh

Simmel, dimana konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial dan

menghubungkan proses konflik dengan bentuk-bentuk alternatif (Johnson,

1994: 195). Akan tetapi pemikiran Coser Mengenai konflik difokuskan

19

kepada Konsekuensi konflik secara keseluruhan dalam mempengaruhi

sistem sosial dimana konflik itu terjadi (Johnson, 1994: 192).

Ide Coser mengenai konflik yang dapat memiliki fungsi dalam

masyarakat atau sistem sosial, diantaranya konflik dapat memperkuat

solidaritas kelompok yang agak longgar, konflik dengan kelompok lain

dapat menghasilkan solidaritas di dalam kelompok tersebut dan solidaritas

tersebut dapat membawa kepada aliansi-aliansi dengan kelompok-

kelompok lain, serta konflik juga bisa menyebabkan anggota-anggota

masyarakat yang terisolir menjadi berperan secara aktif (Raho 2007: 83).

2. Fungsi Konflik

The group in a state of peace can permit antagonistic members within it

to live with one another in an undecided situation because each of them

can go his own way and can avoid collisions. A state of conflict,

however, pulls the members so tightly together and subjects them to such

uniform impulse that they either must get completely along with, or

completely repel, one another. This is the reason why war with the

outside is sometimes the last chance for a state ridden with inner

antagonisms to overcome these antagonisms, or else to break up

definitely. (Coser, 1958: 90)

Konflik tidak selalu berdampak negatif dalam kehidupan sosial.

Konflik juga memiliki fungsi positif, yang salah satunya adalah

mengurangi ketegangan dalam masyarakat, juga mencegah agar

ketegangan tersebut tidak terus bertambah dan menimbulkan kekerasan

yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan (Bachtiar,2010:

107).

20

Lewis A Coser seorang sosiolog Amerika yang lebih banyak

membahas mengenai fungsi positif dari suatu konflik. Melalui bukunya

yang berjudul The Functions of Social conflict ia ingin mendekatkan

implikasi-implikasi dari fungsionalisme dan teori konflik (Jhonson, 1994:

195). Coser mencoba menjelaskan bagaimana konflik dapat

mengintegrasikan anggota-anggota dalam suatu kelompok dan kelompok-

kelompok yang memiliki musuh bersama.

Dalam melihat konflik di masyarakat, Fungsi positif dari Konflik

yang dikemukakan oleh Lewis A Coser dibagi kedalam beberapa proposisi

sebagai berikut:

a) Solidaritas dan integrasi kelompok dalam (In-gorup) akan

bertambah tinggi ketika tingkat ketegangan atau konflik

dengan kelompok luar bertambah tinggi.

b) Integrasi yang terbangun akibat dari konflik antara kelompok

luar dan kelompok dalam maka akan mempertegas batasan

antar kelompok yang terlibat dalam konflik tersebut.

c) Kelompok dalam yang terlibat dalam konflik dengan

kelompok luar, maka akan meningkatkan tekanan pada

konsensus dan konformitas.

d) Para penyimpang dalam kelompok tersebut tidak lagi

ditoleransi, jika tidak dapat mematuhi aturan maka tidak segan

21

akan diusir dari kelompok tersebut atau masuk kedalam

pengawasan yang ketat.

e) Apabila kelompok dalam tidak terancam konflik dengan

kelompok luar maka kemungkinan tingkat kekompakan,

konformitas dan komitmen terhadap kelompok itu akan

berkurang.

Maka dalam penelitian ini akan difokuskan kepada dua proposisi

awal, yang pertama Coser menjelaskan bagaimana integrasi dapat

terbentuk dalam suatu kelompok dengan adanya konflik dengan kelompok

lain. Fungsi positif dari suatu konflik akan jelas terlihat pada konflik yang

terjadi antara kelompok dalam (in-group) dengan kelompok luar (out-

group). Dimana proses sosial yang ditekankan pada model fungsional

adalah kelompok dalam atau internal kelompok sedangkan proses sosial

yang ditekankan pada model konflik adalah hubungan antar kelompok.

Artinya disini solidaritas dan integrasi dalam suatu kelompok akan

terbangun ketika kelompok tersebut memiliki permusuhan atau berkonflik

dengan kelompok lain (Jhonson, 1994: 196). Dalam bukunya Coser

menjelaskan “Conflict with another group leads to the mobilization of the

energies of group members and hence to increased cohesion of the group”

(Coser, 1958: 95).

Selain menjelaskan hal tersebut Coser juga menjelaskan

bagaimana konflik dapat digunakan sebagai stimulus dalam integrasi

anatar kelompok. Sebelumnya Coser membuat pembedaan antara konflik

22

yang realistik dengan konflik nonrealistik. Dimana konflik realistik

merupakan alat yang digunakan untuk suatu tujuan tertentu, yang jika

tujuannya tersebut telah tercapai maka akan menghilangkan sebab-sebab

dasar dari koflik tersebut. Sebaliknya konflik nonreaslitik merupakan

konflik yang membelok dari objek konflik yang sebenarnya (Jhonson,

1994: 202). Dari kedua hal tersebut Coser mencoba untuk menjelaskan

bagaimana konflik dijadikan stimulus untuk mengintegrasikan hubungan

antar kelompok.

Yang pada umumnya konflik terjadi antara kelompok (in-group)

dengan kelompok-kelompok lain (other-group), sehingga sifat hubungan

antara kelompok tersebut akan berubah-ubah akibat dari konflik yang

terjadi. Akan tetapi sifat hubungan yang memanas ketika konflik itu

terjadi dapat mencair ketika terdapat kepentingan-kepentingan atau nilai-

nilai yang dapat menyatukan hubungan mereka misalnya seperti adanya

musuh bersama. Konflik yang awalnya terjadi secara realistik maka akan

berubah menjadi konflik yang nonrealistik. Sehingga nilai dan

kepentingan yang menyebabkan konflik itu terjadi ditekan dan menjadikan

kelompok tadi dalam satu jalur yang sama. Seperti yang dikatakan Coser

“konflik sering merangsang usaha untuk mengadakan persekutuan dengan

kelompok-kelompok lain” (Jhonson, 1994: 205). Hal ini selaras dengan

konflik yang terjadi Kabupaten Lampung Selatan, dimana yang terlibat

dalam konflik tersebut tidak hanya dari kelompok Bali dengan kelompok

penduduk lokal Lampung Selatan, tetapi juga berasal dari kabupaten lain

23

yang ada di Provinsi Lampung, seperti Lampung timur, Bandar Lampung,

Lampung Tengah, Tanggamus, bahkan ada yang datang dari Provinsi

Banten (Budiman dan Saroso et al., 2012: 7).

F. Metodologi Penelitian

Melakukan sebuah penelitian memerlukan suatu metode untuk

mencapai pada hasil yang sesuai dengan keinginan kita atau sesusai dengan

realita yang ada pada objek penelitian kita. Cara yang diguanakan dalam

penelitian dinamakan dengan metode. Jika dalam penelitian kita

menginginkan hasil yang konkrit maka hal itu akan bergantung dengan

metode apa yang akan kita gunakan, apakah sesuai dengan objek kajian

penelitian kita atau tidak. Metode merupakan cara utama yang dipergunakan

untuk mencapai suatu tujuan, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesis,

dengan mepergunakan teknik serta alat-alat tertentu (Surahmad, 1990: 13).

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik studi kasus.

pendekatan kualitatif dipilih karena penelitian ingin mengetahui secara

mendalam mengenai relasi masyarakat etnis pendatang dengan etnis lokal

pasca terjadinya konflik kerusuhan antar etnis.

24

Creswell berpendapat dalam buku yang ditulis oleh Haris

Herdiansyah dengan judul Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu

sosial,

Penelitian kualitatif adalah proses penelitian ilmiah yang lebih

dimaksudkan untuk memahami masalah-masalah manusia dalam konteks

sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang

disajikan, melaporkan pandangan terperinci dari para sumber informasi,

serta dilakukan dalam seting ilmiah tanpa adanya intervensi apapun dari

peneliti. (Herdiansyah, 2012: 8)

Selain definisi yang disajikan oleh Creswell, Moleong juga

mendefinisikan dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian

Kualitatif,

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian seperti

tindakan, perilaku, persepsi, motovasi dan lain-lain. Secara menyeluruh

dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu

konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai

metode alamiah. (Moleong, 2009: 6)

Dari dua definisi yang disajikan pada paragraf sebelumnya, maka

penelitian kualitatif merupakan penelitian yang melihat masalah dan

memahami masalah tersebut dengan cara menciptakan gambaran yang

menyerluruh dan komoleks serta melaporkarnya secara terperinci tanpa

intervensi apapun dari peneliti. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti

memilih pendekatan kualitatif untuk menggali sumber informasi yang

mendalam mengenai relasi sosial masyarakat etnis pasca konflik di

Lampung Selatan.

25

2. Subjek Penelitian dan Penentuan Informan

Informan yang dijadikan subjek dalam penelitian ini adalah

masyarakat kedua desa yang terlibat dalam konflik kerusuhan antar etnis

tanun 2012. Peneliti hanya menggunakna dua kriteria dalam penentuan

informan yang akan menjadi subjek penelitian. yaitu pertama, informan

merupakan warga dari kedua desa dan yang kedua informan merupakan

warga yang terlibat dalam konflik tersebut.

Untuk itu dari penjelasan tesebut, komposisi informan yang akan

peneliti temui sebagai berikut. Informan yang akan peneliti temui

sebanyak 13 orang dengan kriteria yang telah disebutkan yaitu merupakan

warga dari kedua desa dan merupakan aktor yang terlibat dalam konflik

kerusuhan antara pendatang dengan masyarakat lokal pada tahun 2012.

Dari 13 orang tersebut, 6 diantaranya meruapak warga dari

Balinuraga dengan komposisi, 2 orang dari pemerintahan desa atau elit

desa (kepala desa, tokoh adat dan pamong desa) dan 4 orang dari

penduduk dari Desa Balinuraga. Sama halnya dengan komposisi Desa

Balinuraga, untuk Desa Agom juga akan diperlakukan demikian yaitu 6

sampel merupakan warga Desa Agom. 2 diantaranya merupakan

pemerintah desa atau elit desa (kepala desa, tokoh adat dan pamong desa

dan 4 diantaranya merupakan penduduk Desa Agom yang terlibat dalam

konflik tersebut. Dan terakhir 1 sampel berasal dari pemerintah Kabupaten

Lampung Selatan.

26

Tabel I. F. 3 Distribusi Informan

No. Jumlah Informan Masing-

Masing Desa

Komposisi

1. 6 Orang warga Desa

Balinuraga (warga

pendatang)

1. 2 dari elit desa (kepala desa,

tokoh adat dan pamong desa

setampat).

2. 4 dari warga desa yang terlibat

dalam konflik pada tahun 2012.

2. 6 Orang warga Desa Agom

(warga lokal)

1. 2 dari elit desa (kepala desa,

tokoh adat dan pamong desa

setampat).

2. 4 dari warga desa yang terlibat

dalam konflik pada tahun 2012.

3. 1 (satu) dari Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dalam hal ini

Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (KESBANGPOL).

Jumlah keseluruhan 13 Informan

Dari penjelasan dalam menentukan informan pada paragraf

sebelumnya, peneliti mendapatkan komposisi informan sebagai berikut:

Tabel I. F. 4 Data Informan

No. Nama (Inisial) Jenis Kelamin Keterangan

1. MS Laki-laki Tokoh masyarakat

Desa Balinuraga

2. Wy. S Laki-laki Tokoh masyarakat

Desa Balinuraga

3. K Laki-laki Warga Desa Balinuraga

4. WG Perempuan Warga Desa Balinuraga

5. KA Laki-laki Warga Desa Balinuraga

6. WJ Laki-laki Warga Desa Balinuraga

7. PLT Laki-laki Tokoh masyarakat

Desa Agom

8. PP Laki-laki Tokoh masyarakat

Desa Agom

9 ZA Laki-laki Warga Desa Agom

10. RS Laki-laki Warga Desa Agom

11. RO Laki-laki Warga Desa Agom

12. Y Laki-laki Warga Desa Agom

13. IS Laki-laki KESBANGPOL Lam-

Sel.

27

3. Jenis Data

Data primer yang digunakan adalah data yang diperoleh melalui

wawancara dengan masyarakat kedua etnis yang berada di Desa

Balinuraga dan Desa Agom. Mayarakat yang akan ditemui merupkan

masyarakat yang terlibat dalam kerusuhan. Selin itu, data akan digali dari

tokoh masyarakat seperti ketua adat, kepala desa dan pihak-pihak yang

berwenang.

Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini berasal dari

penelitian dan literatur sebelumnya mengenai konflik etnis. Selain itu juga

data sekunder yang akan digunakan adalah dokumen-dokumen yang dapat

menunjang penelitian ini. Data sekunder yang peneliti peroleh dalam

pnelitian ini merupakan Dokumen perdamaian yang tersimpan di Bagian

Hukum kantor Bupati Lampung Selatan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang diinginkan dan

sesuai dengan yang diharapkan, peneliti menggunakan teknik wawancara.

Serta mencari informasi melalui dokumen yang dapat digunakan dalam

menyajikan hasil penelitian yang akurat.

a) Wawancara

Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk

tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka

antara pewawancara dengan informan atau orang yang

28

diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)

wawancara (Bungin, 2013: 133).

b) Studi Dokumen

Studi dokumen dilakukan untuk melengkapi data yang

diperlukan oleh peneliti. Dari studi dokumen ini peneliti dapat

mengetahui bagaimana sejarah sebelum terjadinya konflik antar

etnis di wilayah yang menjadi objek penelitian. Diantaranya tulisan-

tulisan mengenai bagaimana peroses rekonsiliasi konflik yang

terjadi dan dokumen perdamaian yang peneliti peroleh dari

pemerintah Kabupaten Lampung Selatan.

5. Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan

informan, dan hasil dari data sekunder yang dapat mendukung penelitia ini

akan dihimpun dan dianalisa secara kualitatif menggunakan teori yang

sesuai dengan kondisi dilapangan. Setelah itu penarikan kesimpulan akan

dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif, sehingga dapat

menjelaskan hubungan masyarakat etnis pasca terjadinya konflik.

Data primer akan dikelompokan mulai dari masyarakat Desa

Balinuraga yang telah peneliti pilih, masyarakat Desa Agom yang telah

terpilih, kepala desa dan tokoh masyarakat/adat dari kedua desa serta data

yang diperoleh dari pihak-pihak yang dapat menunjang.

29

Analisis data akan menggunakan data wawancara serta dokumen

dan literatur penunjang, yang diolah dan direduksi sehingga dapat

menghasilkan kesimpulan atau penyajian data yang informatif.

6. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini akan dilakukan di dua desa yang terlibat

konflik etnis pada 2012. Desa tersebut adalah Desa Balinuraga dan Desa

Agom Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung. Lokasi ini dipilih

karena kedua desa tersebut selain terlibat dalam konflik kerusuhan antar

etnis, juga dihuni oleh kedua etnis. Desa Balinuraga mayoritas warganya

merupakan warga etnis pendatang dari Bali, sedangkan di Desa Agom

merupakan Desa yang banyak dihuni oleh warga etnis lokal Lampung

(Setiawan, Lampung Selatan Berdarah, Siapa Salah? Diakses dari

http://fokus.news.viva.co.id/news/read/363482-lampung-selatan-

berdarah-siapa-salah).

Penelitian ini akan dilaksanalan selama satu bulan di kedua desa

yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam waktu satu bulan tersebut akan

dipergunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data lapangan, baik itu

dokumen yang dimiliki oleh pemerintah setempat ataupun data yang

diperoleh dari wawancara dengan pihak-pihak yang telah disebutkan

sebelumnya. Sedangkan proses penulisan skripsi ini dari mulai proposal

hingga akhir dimulai sejak bulan Ferbruari 2017 hingga September 2017.

30

G. Sistematika penulisan

Sistematika dalam penulisan srikpsi ini akan dibagi kedalam 4

(empat) bab, setiap babnya terdiri dari sub bab-sub bab yang saling berkaitan

dengan masing-masing bab, sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan, dalam bab ini memuat pernyataan masalah

atau latar belakang, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian,

tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika

penulisan.

BAB II: Gambaran Umum, bab ini merupakan gambaran umum

mengenai wilayah penelitian yang dilakukan oleh peneliti, diantaranya:

kondisi geografis Desa Balinuraga dan Desa Agom dan proses datangnya

etnis Bali ke provinsi Lampung serta hubungan masyarakat etnis sebelum

terjdinya konflik.

BAB III: Temuan dan Analisa Data, pada bab III ini akan

menjelaskan dan memaparkan hasil temuan dalam dalam peroses penelitian

yang berlangsung. proses terjadinya konflik antara etnis Bali dengan etnis

Lampung dan hubungan masyarakat etnis setelah terjadinya konflik.

BAB IV: Penutup, merupakan bab terakhir yang berisikan

kesimpulan dan saran dari seluruh pembahasan materi pokok bab-bab

sebelumnya.

31

DAFTAR PUSTKA: Halaman ini berisikan daftar referensi yang

digunakan dalam penulisan skripsi. Referensi yang digunakan dipastikan

berasal dari sumber terpercara, seperti Jurnal ilmiah, hasil tesis maupun

disertasi, buku teks, buku elektroik (e-book), laporan penelitian dengan

sumber yang jelas, majalah dan surat kabar (baik cetak maupun online)

terpercaya serta dokumen-dokumen pendukung lainnya yang dapat

dipertanggung jawabkan.

32

BAB II

GAMBARAN UMUM

Telah banyak diketahui bahwa Provinsi Lampung merupakan Provinsi

yang terletak di ujung pulau Sumatera. Provinsi Lampung tidak lepas dari

Provinsi Sumatera Selatan (jika berdasarkan peta bumi terletak antara 103º 41¹ -

105º 50¹ bujur timur dan 6º 45¹ - 3º 45¹ lintang selatan), karena sebelum menjadi

Provinsi yang mandiri Lampung merupakan satu kesatuan dengan Sumatera

Selatan dan pada tanggal 18 Maret 1964 Lampung manjadi Provinsi yang terpisah

dari Provinsi Sumatera Selatan dengan ibukota Bandar Lampung. Provinsi ini

memiliki luas wilayah 35.376 km² atau setara dengan 3.528.835 hektare

(Sabaruddin, 2012: 35).

Gambar II. 1. Peta Provinsi Lampung

Sumber: https://www.google.co.id/

Provinsi Lampung tidak hanya dihuni oleh warga asli Lampung sebagai

penduduknya. Karena sejak masa kolonila Belanda pemerintah Hindia Belanda

33

melakukan pemindahan penduduk dari luar Lampung menuju Provinsi Lampung.

Proses tersebut melalui beberapa tahapan dari masa pemerintahan Hindia Belanda

dan dilanjutkan pada pemerintahan Orde Baru (Sabaruddin, 2012: 17). Untuk

pendatang dari wilayah Bali yang datang ke kabupaten Lampung Selatan

merupakan peserta transmgrasi yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada

tahun 1950-1968, penduduk tersebut mempati wilayan Palas, Sidomulyo, Balau

Kedaton, Sidomakmur, dan Tanjungan (Sabaruddin, 2012: 17).

A. Lampung Selatan

Gambar II. 2. Kantor Bupati Kabupaten Lampung Selatan

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Dikutip dari buku yang diterbitkan oleh pemerintah Kabupaten

Lampung selatan dengan judul Data dan Fakta Kabupaten Lampung Selatan

yang diterbitkan pada tahun 2012 Kabupaten Lampung Selatan terletak

diujung selatan pulau Sumatera dan memiliki luas 2.007,01 km² yang terdiri

34

dari 17 kecamatan. Kabupaten ini merupakan gerbang masuk Provinsi

Lampung dan sekaligus gerbang masuk Pulau Sumatera karena terdapat

pelabuhan yang menghubungka antara Sumatera dan Jawa. Letak geografis

kabupaten ini pada posisi 105º 10´-106º 00´ bujur timur dan 5º 10´-6º 10´

lintang selatan (Pemerintah Kabupaten Lampung selatan, 2012).

Daerah Kabupaten Lampung selatan memiliki daratan kurang lebih

adalah 210.974 Ha, dengan kantor Pusat Pemerintahan di Kota Kalianda, yang

diresmikan menjadi Ibukota Kabupaten Lampung Selatan oleh Menteri Dalam

Negeri pada tanggal 11 Februari 1982. Berdasarkan undang-undang Nomor 2

tahun 1997 tentang pembentukan Kabupaten Tanggamus, yaitu pemekaran

dari wilayah Kabupaten Lampung Selatan. Pada tahun 2006, terjadi

pemekaran Kabupaten Pesawaran dari wilayah Kabupaten Lampung Selatan.

Kemudian pada tahun 2008, terjadi pemekaran di Kabupaten Lampung

Selatan yaitu, Kecamatan Tanjung Sari, Way Sulan, Way Panji, dan

Kecamatan Bakauheni, dengan demikian jumlah Kecamatan di Kabupaten

Lampung Selatan secara eksisting berjumlah 17 kecamatan dan selanjutnya

terdiri dari desa-desa dan kelurahan sebanyak 248 desa dan 3 kelurahan.

Diprediksikan dalam waktu dekat akan terjadi pemekaran kecamatan pada

wilayah Kabupaten Lampung Selatan, khususnya pemekaran Kecamatan

Kalianda, Palas, dan Natar.

35

Secara administrasi Kabupaten Lampung Selatan mempunyai batas-

batas sebagai berikut :

1. Sebelah Utara: berbatasan dengan wilayah Kab. Lampung Tengah dan

Lampung Timur

2. Sebelah Selata: berbatasan dengan Selat Sunda;

3. Sebelah Barat: berbatasan dengan Kota Bandar Lampung dan

Kabupaten Pesawaran

4. Sebelah Timur: berbatasan dengan Laut Jawa.

Pulau-pulau yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan antara lain

pulau Krakatau, pulau Sebesi, pulau Sebuku, pulau Legundi, pulau Siuncal,

pulau Rimau dan pulau Kandang. Bila ditinjau dari segi luas dan keadaan

alamnya, maka Kabupaten Lampung Selatan mempunyai masa depan cerah

untuk lebih berkembang. Untuk lebih jelas mengenai wilayah Kabupaten

Lampung Selatan dapat dilihat pada gambar II. 2. Secara topografis wilayah

ini dapat dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu wilayah dengan relatif datar

yang sebagian besar berada di sepanjang pesisir, wilayah berbukit dan gunung

yang merupakan wilayah pegunungan Rajabasa. (Data dan Fakta Kabupaten

Lampung Selatan, 2012)

36

Gambar II. 3. Peta Administrasi Kabupaten Lampung Selatan

Sumber: https://www.google.co.id/

B. Kondisi Sosial dan Geografis Desa Agom dan Balinuraga

Secara geografis kedua desa yang terlibat dalam konflik kerusuhan pada

tahun 2012 terpaut sangat jauh. Menurut warga yang tinggal di kedua desa

tersebut, jarak antara kedua desa sekitar 8-9 Km. Dari Desa Agom menuju ke

Desa Balinuraga peneliti harus melewati beberapa desa yang ada, salah

satunya Desa Sidoreno kecamatan Way Panji.

Untuk kondisi sosialnya dari kedua desa tersebut, Desa Agom dihuni

oleh beragam etnis atau suku yaitu, Lampung sebagai suku lokal, Jawa dan

Sunda (wawancara dengan sekretaris desa, Lampung Selatan 17 April 2017).

37

Untuk Desa Balinuraga sendiri, hampir dari 90% warganya merupakan warga

Bali atau warga keturunan pendatang dari wialayan Provinsi Bali, sisanya

dihuni oleh warga keturunan Jawa

memang selain Bali di sini ini ada 2 dusun, ya sebenarnya ada 8 dusun, 5

dusun itu mayoritasnya Bali 100% lah Bali. Ya Cuma dua dusun ini ada Jawa

dan sunda ada juga Sunda Jawa. Di Jati Rukun sama Sumber Sari itu muslim.

(wawancara dengan MS tokoh masyarakat Desa Balinuraga, Lampung

Selatan, Jumat 21 April 2017).

Untuk ulasan lebih lanjutnya berikuti akan dipaparkan profil dari

masing-masing desa.

1. Wilayah Desa Agom.

a) Sejarah desa

Dari cerita warga setempat, dahulunya Desa Agom ini

merupakan sebuah hutan belantara yang tidak dihuni oleh manusia.

Tetapi ada seorang dari Desa Canggu, orang tersebut bernama

Agom. Agom itu menurut warga lokal gemar berburu menjangan

sebelum desa tersebut dihuni. Lalu Agom ini membuat gubuk di

dekat Cughup (Cughup dalam Bahasa lokal, merupakan sebutan

untuk air sungi yang menyerupai air terjun tetapi tidak tinggi).

Sehingga orang-orang yang gemar berburu dari Desa Canggu

tersebut ketika akan menyambangi Agom, mereka menyebutnya

dengan sebutan kubu Agom (gubuk Agom). Dari situlah desa

tersebut dinamakan dengan Desa Agom.

38

Dulu itu ada seorang dari desa Canggung itu namanya si Agom, dia

itu suka berburu menjangan ceritanya begitu sebelum ini dihuni.

Dia (Agom) buatlah gubuk didekat cughub (air terjun) jadi setelah

lama itu ada orang nyebutnya kubu Agom jadi Agom itu nama

orang. (wawancara dengan RS warga Desa Agom, Lampung

Selatan, Kamis 20 April 2017).

Hal tersebut senada dengan apa yang tertulis pada profil desa.

Yang dikatakan bahwa, Pada awalnya Desa Agom adalah bagian

dari Desa Kedaton kecamatan Kalianda yang merupakan hutan

belantara dan perkebunan kelapa milik warga. Daerah ini mulai di

huni kurang lebih antara tahun 1960-an. Sejak itu banyak

pendatang dari pulau Jawa yang bekerja dan menetap hingga saat

ini. Barulah pada tahun 2002 daerah ini memisahkan diri dari Desa

Kedaton dan membentuk desa baru dengan nama Desa Agom.

Desa Agom terdiri dari beberapa dusun diantaranya: dusun

sukajaya, Dusun Agom, Dusun banyumas, Dusun waringin harjo

dan dusun Kenihai (RPJM Desa Agom 2016-2021, II-1).

b) Letak Geografis Desa

Secara geografis Desa Agom terletak diantara beberapa desa

yang berdekatan, diantaranya.

1) Sebelah Barat berbatasan dengan: Desa Taman Agung Kec

Kalianda

2) Sebelah Timur berbatasan dengan: Desa Sukatani Kec

Kalianda

39

3) Sebelah Selatan berbatasan dengan: Desa Merak Belantung

Kec Kalianda.

4) Sebelah Utara berbatasan dengan: Kecamatan waypanji.

(RPJM Desa 2016-2021, II-1)

Gambar II. 4. Peta Administrasi Desa Agom

Sumber: Data RPJM Desa Agom tahun 2016-2021

Sedangkan luas Desa Agom menurut catatan dari RPJM

(Rencana Pembangunan Jangka Menengah) tahun 2016-2021 Desa

Agom terletak di tanah seluas 630 Ha. Dengan cakupan 125 Ha

merupakan lahan pemukiman penduduk dan sisanya merupakan

lahan kering dan area persawahan, Desa Agom ini masuk kedalam

kecamatan Kalianda, Lampung Selatan.

40

Jarak dari desa ke pusat pemerintahan diantaranya yang

disebutkan dalam RPJM Desa Agom:

1) Jarak desa ke ibu kota Kecamatan: 16 Km

2) Waktu tempuh ke Kecamatan: 15 Menit

3) Jarak tempuh ke ibu kota Kabupaten: 15 Km

4) Waktu tempuh ke kabupaten: 15 Menit

5) Ketersediaan angkutan umum: tersedia setiap hari.

c) Kondisi Pemerintahan dan Demografi Desa

1) Pembagian wilayah desa

Wilayah Desa Agom terbagi menjadi 5 dusun yang

dipimpin oleh kepala dusun. Dan dari 5 dusun tersebut terbagi

lagi menjadi 17 Rukun Tetangga (RT). Pembagian RT dari

masing-masing dusun sebagai berikut:

a) Dusun Sukajaya: 2 RT

b) Dusun Agom: 4 RT

c) Dusun Banyumas: 3 RT

d) Dusun Waringin Harjo: 4 RT

e) Dusun Kenihai: 4 RT

41

2) Struktur Pemerintahan Desa

Gambar II. 5. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa

Sumber: Data RPJM Desa Agom tahun 2016-2021

Kepala Desa : Hasyim, S.H (Plt.)

Sekretaris Desa : Muhamad Reza, S.Kom.

Kepala Urusan Perencanaan : Dodiyansyah

Kepala Urusan Umum : Nur Mizan, S.Pd.I.

Kepala Urusan Keuangan : Alim Fitriadi

KASI Kesra : Mukhlisin

KASI Pemerintahan : Heriyanto

KASI Pelayanan : M.Arif S.

Kadus Dusun Sukajaya : Ahmad Nur

Kadus Dusun Agom : Yakub

Kadus Dusun Banyumas : Saijan

Kadus Dusun Waringin Harjo : Wagito

Kadus Dusun Kenihai : Sutrisno

42

Dalam unsur pemerintahan yang menggunakan sistem

demokrasi, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan desa

juga terdapat perwakilan rakyat yang berperan aktif dalam

menyusun program pambangunan. Unsur tersebut adalah

Badan Perwakilan Desa (BPD), struktur BPD sebagai berikut:

Hasan Basri : Ketua

Fatoni : Wakil Ketua

Petrus Sunaryo : Sekretaris

M. Nur Sulaiman : Anggota

Sahidin : Anggota

Syahril : Anggota

Kurnia Rohman : Anggota

Muslikhun : Anggota

Supali : Anggota

Tumin : Anggota

3) Demografi Desa

Dikutip dari RPJM Desa Agom, berdasarkan data

Administrasi Pemerintahan Desa tahun 2015, jumlah penduduk

Desa Agom adalah terdiri dari 814 KK, dengan jumlah total

2954jiwa, dengan rincian 1516. laki-laki dan 1441

perempuan. Tingkat kemiskinan di Desa Agom termasuk

tinggi. Dari jumlah 814. KK di atas, sejumlah 249 KK tercatat

43

sebagai Pra Sejahtera, maka lebih 30 % KK Desa Agom

adalah keluarga miskin (RPJM Desa Agom 2016-2021, II-2).

Pendapatan rata-rata penduduk yang disebutkan dalam

RPJM Desa Agom yaitu Rp. 50.000/hari. Secara keseluruhan

mata pencaharian masyarakat Desa Agom terdapat di beberapa

sektor pekerjaan dianataranya pertanian, jasa/perdagangan,

industri dan lain-lain. Dari beberapa sektor tersebut, pertanian

merupakan sektor yang banyak dikerjakan oleh masayarakat

Desa Agom hal tersebut dapat diliat dari tabel berikut,

Tabel II. A.1 Sektor Mata Pencaharian Penduduk

Desa Agom

No Mata Pencaharian Jumlah Prosentase

1 Pertanian

Buruh Tani

602 orang

450 orang

%

2 Jasa/ Perdagangan

1. Jasa Pemerintahan

2. Jasa Perdagangan

3. Jasa Angkutan

4. Jasa Ketrampilan

5. Jasa lainnya

50 orang

70 orang

10 orang

30 orang

100 orang

%

%

%

%

%

3

4

Sektor Industri

Sektor Peternakan

50 orang

50 orang %

5 Sektor lain 150 orang %

Jumlah 1562 orang 100 %

Sumber: Data RPJM Desa Agom tahun 2016-2021

44

2. Wilayah Desa Balinuraga

Gambar II. 6. Gapura Perbatasan Desa Balinuraga

Sumber: Dokumentasi Pribadi

a) Sejarah Desa

Dari catatan profil desa yang peneliti peroleh, Desa

Balinuraga awalnya merupakan lahan milik pemerintah yang

kemudian dijadikan sebagai daerah tujuan transmigrasi pada tahun

1963 dan diberi nama Desa Balinuraga yang masuk kedalam

wilayah administrasi kecamatan Kalianda. Pada tanggal 27

September 1967 Dinas Transmigrasi menempatkan empat

rombongan peserta transmigrasi asal pulau Bali di wilayah yang

saat ini merupakan Desa Balinuraga. Dari keempat rombongan

tersebut diketahui berjumlah kurang lebih 540 kepala keluarga.

(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Balinuraga, BAB

II Profil desa)

45

1) Sidorahayu diketuai oleh Pan Sudiartana yang berjumlah 250

kk

2) Sukandi diketuai oleh Pan Kedas yang berjumlah 75 kk

3) Pandearge diketuai oleh Made Cedah yang berjumlah 175 kk

4) Rengas diketuai oleh Oyok yang berjumlah 40 kk

Menurut catatan profil desa pada mulanya tahun 1963 sampai

dengan tahun 1964 desa Balinuraga ini tidak memiliki struktur

pemerintahan desa, dan pada saat itu segala administrasi yang

berkaitan dengan masyarakat dipegang oleh Jawatan Transmigran

yaitu Mangku Siman. Tugas dari Jawatan Transmigran ini untuk

mengkoordinasikan rombongan transmigrasi dari semua

rombongan yang datang secara bergantian.

Barulah pada tahun 1965 perangkat Desa Balinuraga

dibentuk dengan pemerintahan sementara. Pada saat itu jabatan

kepala desa dijabat oleh Dewa Aji Regeg. Sehingga pada tahun

1973 Desa Balinuraga pertama kali mengadakan pemilihan kepala

desa dan terbentuklah struktur pemerintahan Desa Balinuraga

sebagai berikut:

Kepala desa : Dewa Aji Regeg

Kamitua : Pan Sudiartana

Bayan : 1. Pan Sudiartana

46

2. Pan Kedas

3. Made Gedah

4. Oyok

Sehingga pada tanggal 27 Juli 2007 Desa Balinuraga yang

masuk ke dalam wilayah pemekaran kecamatan baru yaitu

kecamatan Way Panji. (Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Desa Balinuraga, BAB II Profil desa)

b) Letak Geografis dan Administratif desa

Dikutip dari Profil desa yang terdapat dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Desa Balinuraga secara

administratif masuk kedalam bagian wilayah kecamatan Way Panji

kabupaten Lampung Selatan. Desa ini memiliki luas wilayah yang

terdiri dari 180 Ha pemukiman penduduk, 314 persawahan, 768 Ha

ladang, 1 Ha perkantoran, 1,5 Ha sekolah dan 1 Ha lapangan sepak

bola. Terbagi menajadi 7 dusun dan 16 Rukun Tetangga (RT).

Dengan komposisi sebagai berikut:

1) Dusun I Siderahayu

2) Dusun II Sukamulya

3) Dusun III Banjar Sari

4) Dusun IV Sukanadi

5) Dusun V Pande Arge

6) Dusun VI Jati Rukun

7) Dusun VII Sumber Sari

: 3 RT

: 1 RT

: 1 RT

: 2 RT

: 6 RT

: 1 RT

: 2 RT

47

Desa Balinuraga terletak diantara beberapa desa yang

berbatasan langsung, diantaranya:

1) Sebelah Utara: Desa Trimomukti Kecamatan Candipuro

2) Sebelah Selatan: Desa Sidoreno Kecamatan Way Panji

3) Sebelah Barat: Desa Way Gelam Kecamatan Candipuro

4) Sebelah Timur: Desa Tanjung Jaya Kecamatan Palas.

(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Balinuraga,

BAB II Profil desa)

Sedangkan letak Desa Balinuraga dari pusat pemerintahan

1) Jarak dari ibu kota kecamatan: 5 KM

2) Lama jarak tempuh ke ibu kota kecamatan: 15 menit

3) Jarak ke ibu kota kabupaten: 18 KM

4) Lama jarak tempuh ke ibu kota kabupaten: 35 menit.

Gambar II. 7. Peta Administrasi Desa Balinuraga

Sumber: https://www.google.co.id/maps

48

c) Kondisi Pemerintahan Desa dan Keadaan Ekonomi Masyarakat

1) Kondisi Pemerintahan Desa

Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia

Desa Balinuraga merupakan pelaksana pemerintahan di tinggat

yang paling kecil. Seperti desa-desa lain, Desa Balinuraga juga

dipimpin oleh seorang kepala desa dan dibantu oleh jajaran

pejabat di tingkat desa. Struktur pemerintahan di tingkat desa

yang dilaksanakan di Desa Balinuraga sebagai berikut:

Kepala Desa

Sekretaris Desa

Kepala Urusan Umum

Kepala Urusan Keuangan

Kepala Urusan Pembangunan

Ka. Urusan Kesejahteraan Rakyat

Kepala Urusan Pemerintahan

Kadus I Siderahayu

Kadus II Sukamulya

Kadus III Banjar Sari

Kadus IV Sukanadi

Kadus V Pande Arge

Kadus VI Jati Rukun

Kadus VII Sumber Sari

: Made Santer

: Made Suweda

: Karyadi

: Ketut Nade

: Ketut Tawan

: Ketut Sudane

: Wy. Mulyana

: Nyoman Astine

: Nyoman Pasek

: Nyoman Durme

: Kadek Tantre

: Kadek Sirye

: Kumpul

: Miskaryanto

49

Dan sebagai pengawas dari keberlangsungan

pemerintahan desa, Desa Balinuraga juga memiliki badan

perwakilan yang mewakili rakyat ditingkat desa. Yang berperan

aktif dalam menyusun program pembangunan bersama aparat

desa, organisasi tersebut adalah Badan Perwakilan Desa (BPD)

yang saat ini diketuai oleh Putu Pande Puniamaja.

Ketua : Putu Pande Puniatmaja

Wakil Ketua : Nyoman Agus Saputra

Sekretaris : Gde Made Mardita

Anggota : Komang Wardita

Made Sukre

Made Bawe

Wy. Darmawan

Ropi

Aan Badriansyah

Kriswanto

2) Keadaan Ekonomi Masyarakat

Dikutip dari RPJM Desa Balinuraga, roda perekonomian

desa masih ditopang penuh oleh sektor pertanian, dari jumlah

penduduk yang hampir 4000 jiwa, 737 jiwa bermatapencaharian

sebagai petani. Sedangkan yang bermatapencaharian sebagai

50

pedagang 150 jiwa, Pegawai Negeri Sipil (PNS) 27 jiwa, tukang

35 jiwa dan guru 45 jiwa.

Dari sektor pertanian yang merupakan sektor utama dari

matapencaharian masyarakat Desa Balinuraga, perkebunan karet

menjadi lahan terluas yaitu sekitar 995 Ha, lahan padi 314 Ha,

jagung 100 Ha, kopi 3 Ha dan kaka/ cokelat 2 Ha.

C. Relasi Masyarakat Pendatang Dengan Masyarakat Lokal Sebelum

Terjadinya Konflik

Jauh sebelum terjadinya konflik pada 2012 hubungan antara Desa

Agom dengan Desa Balinuraga terjalin dengan baik. Bahkan dari masyarakat

kedua desa sangat saling menghargai dan saling tolong menolong satu dengan

yang lain. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh RS (warga Desa Agom)

yang merupakan warga dari desa Agom, masyarakat desa Balinuraga sebelum

terjadinya konflik banyak yang mencari kebutuhan hidup ke wilayah desa

Agom. Bahkan ketika itu banyak dari warga Balinuraga yang mengangkut

batang sagu dari Agom untuk dibawa ke desa mereka, sehingga bekas dari

batang sagu tersebut menjadikan tanah padat dan dijadikan jalan oleh

masyarakat setempat. Tidak hanya itu, banyak dari warga Balinuraga yang

setelah dari kebun mereka dan membawa batang sagu untuk dijadikan sagu

mereka pun melakukan kegiatan dialiran sungan yang ada di Desa Agom

berbaur dengan warga Agom sehingga terjalin interaksi antara masyarakat

Agom dengan masyarakat Balinuraga.

51

...Ya dulu itu paling minta daun aren atau daun kelapa, ya bagus orang-

orangnya tapi orang tuanya. Memang dulu itu kalau yang tau orang tuanya

anatar Balinuraga dengan warga Agom itu gimana ya, karena memang dulu itu

disini tempat mandi mereka abis ambil gebang (batang sagu). Dulu itu

memang miskin banget mereka orang itu luar biasa, tahun 70 ngambil gebang

disini didorong-dorong, yang madet jalan itu dulu sebenarnya ya mereka

orang itulah ada yang ditarik ada yang didorong itulah macem-macem. Buat

aci (tepung sagu) disana samapi dari lubuk sana, mandinya itu disini ini ya

artinya saya tau persis awal-awalnya dulu itu, bagus dulu mah. Ya sekarang

mah karena perkembangan zaman anaknya udah lain... ga tau cerita... ya

gitulah yang jadi masalah. (wawancara dengan RS warga Desa Agom,

Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).

Hal tersebut juga diakui oleh warga Balinuraga, bahwa ketika sebelum

terjadinya konflik masyarakat kedua desa berhubungan dengan sangat baik.

Hal tersebut terlihat dari kondisi masyarakat Balinuraga yang mencari nafkah

di Desa Agom. Bahkan ketika kondisi krisis melanda perekonomian desa

Balinuraga, banyak dari mereka yang bekerja di Agom. Selain itu mereka

juga mendapatkan kebutuhan pokok yang didatangkan dari Desa Agom,

seperti gandum dan lain sebagainya.

Sebenarnya ya dari dulu, dari pertama ya dari apa, dari berdirinya desa

itu baguslah hubungan itu. Bahkan kita juga, mencari kehidupan itu di

daerah sana… daerah Lampung, daerah anu daerah sana. Bahkan waktu

itukan musim paceklikkan (krisis), nyari kehidupan atau apa… bahkan

seperti gandum itu kan kita nyari kesana. (wawancara dengan MS tokoh

masyarakat Desa Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21 April 2017).

Ditambahkan lagi oleh MS seorang tokoh masyarakat Desa Balinuraga,

sebenarnya dari orang-orang tua dari Balinuraga tidak tahu mengenai

mengapa dan apa penyebab konflik tersebut. Bahkan sebenarnya dari pihak

orang tua Balinuraga tidak menginginkan konflik tersebut terjadi di desa

mereka. Hal tersebut disampaikan oleh MS, orang-orang tua dari Balinuraga

ini sebenarnya telah menjalin hubungan yang sangat baik dengan masyarakat

lokal. “Sebenarnya orang tua disini ini engga tau menau masalahnya itu… ya

52

itu Cuma ya anak-anak remaja itu aja. Sebenarnya orang tua ini dari dulu

sudah akrab memang” (wawancara dengan MS tokoh masyarakat Desa

Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21 April 2017).

Sama halnya dengan yang disampaian oleh MS, informan peneliti yang

berinisial K (warga Desa Balinuraga) juga mengatakan bahwa sebenarnya

dari pihak orang tua dari masyarakat Balinuraga tidak ada yang

menginginkan konflik tersebut terjadi. Karena menurut K sebenarnya

hubungan masyarakat Balinuraga dengan Agom itu terjalin sangat baik di

kalangan orang tua mereka. Ia juga mangatakan bahwa konflik tersebut hanya

disebabkan oleh satu orang yang memprovokasi sehingga melebar kemana-

mana.

Sebenarnya dulu-dulu itu, apalagi dari orangtua kami mas, semenjak

perjuangan kesini mulai dari dia masuk kesini ke Lampung kan… itu memang

baik mas luar biasa, makanya kami juga merasa malu juga. Seharusnya dia itu

sekarang tidurnya nyenyak sambil menunggu ajal kan gitu di masa tuanya, dia

malah kita ajak lari-lari ngebuat trauma kan gitu. nah mau gimana lagi mas, ya

namanyakan perbuatan satu orang, kerena dalam penyelesaiannya ini mereka

oknum ini merekrut orang banyak. (wawancara dengan K warga Desa

Balinuraga, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).

53

BAB III

KONFLIK DAN RELASI SOSIAL PASCA KONFLIK

DI LAMPUNG SELATAN

A. Konflik Antara Pendatang dengan Masyarakat Lokal

1. Latar Belakang Terjadinya Konflik dan Isu yang Beredar

Konflik yang terjadi di Lampung Selatan yang melibatkan antara

masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang (desa Agom dengan desa

Balinuraga), tidak terlepas dari konflik yang terjadi di masalalu yang

melibatkan masyarakat Desa Balinuraga dengan desa-desa lain yang ada di

sekitarnya. Seperti yang disebutkan dalam hasil penelitian Kajian

Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center, Peta Kekerasan di

Indonesia (September-Desember 2013) dan Konflik Antarkelompok di

Indonesia yang diterbitkan pada Maret 2014

Insiden antara pendatang etnis Bali dan penduduk lokal Lampung di bulan

Oktober 2012, masih terkait dengan insiden kekerasan sebelumnya pada

bulan Januari 2012. Insiden terjadi di Kecamatan Sidomulyo pada 23-24

Januari, dipicu dari pertikaian pemuda dari dusun Napal, Desa Sidomulyo

dengan tukang parkir yang berasal dari Desa Kota Dalam. Dusun Napal

mayoritas warganya adalah etnik Bali sedangkan Desa Kota Dalam

mayoritas warganya adalah etnik lokal Lampung. (Kajian Perdamaian dan

Kebijakan THC, edisi 06, 2014: 15).

Hal tersebut juga dikatakan oleh informan yang peneliti temui,

...karena ibarat bom ini siap meledak. Bali yang ada di Lampung Selatan,

ya katakan dari Tanjung Karang kesini ya. Bali itu yang besar cuma dua

yang sekitar sini ya, Bali Napal sama Balinuraga. Nah sekitar tahun „85an

ya semua juga tau, kalo buka buku sejarah, sejarah konflik dulu, kalau

ditulis, Bali pernah tempur dengan Desa Sandaran, Desa Sandaran pernah

itu diserang sama Bali, Kota Dalam pernah, Sidomulyo pernah terus

bahkan kesini ke Merak Belantung pernah, terus ke Marga Catur itu

54

pernah, yang di Suka Tani juga sudah yang dibakar rumahnya. Mungkin

ada lagi yang lain tapi saya rasa ini cukup, dan itupun dari berbagai macam

suku, yang di Sandaran sukunya Sunda, yang di Sidomulyo Jawa, yang di

Patok Jawa, yang di Kota Dalam di sini Lampung, yang di Marga Catur itu

campur. (wawancara dengan ZA warga Desa Balinuraga, Lampung

Selatan, Kamis 20 April 2017).

Dari penjelasan informan yang peneliti temui ZA yang merupakan

salah satu warga dari Desa Agom, konflik yang pernah terjadi dan

melibatkan oknum desa Balinuraga membuat stereotype di masyarakat

etnis Lampung bahwasannya masyarakat Balinuraga banyak membuat

kerusuhan dan sebagai penyebab konflik yang terjadi sebelumnya.

Hal serupa juga dikatakan oleh salah satu informan yang berasal dari

Desa Balinuraga. Ketika konflik atau keributan yang terjadi dibeberapa

desa, Balinuraga selalu berada di depan. Seperti peristiwa konflik yang

terjadi di Desa Napal, Balinuraga pun terlibat dalam penyerangan tersebut,

Nah iya itu ada, memang itu yang saya tadi katakan-kan. Apa-apa

keributan dikit itu Balinuraga yang di depan. Nah itu tadi mungkin, waktu

kejadian sebelumnya itukan di Napal, itu juga anak Balinuraga-kan...

(wawancara dengan MS tokoh masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan,

21 April 2017).

Informasi yang peneliti terima dari MS, juga mengatakan bahwa

banyak dari pemuda Desa Balinuraga memang bersikap arogan. Hal

tersebut dilatar belakangi anggapan bahwa mereka memiliki kelebihan dari

pemuda-pemuda di luar Balinuraga, misalnya seperti motor mereka yang

dikatakan oleh MS sebagai motor yang bagus, tipe motor gede (moge).

Ya kehidupannya ya biasa-biasa saja… sebelumnya itu ya biasa-biasa aja.

Ya cuman ya Karena masyarakata itu ya bapak bekerja dengan sungguh-

sungguh, jadi perekonomiannya, anak-anak itu ya agak maju, bisa beli

motor yang bagus-bagus yang gede-gede. Tapi ya akhrinya, ya akhirnya

55

pemuda sini ya agak bersikap arogan. Jadi, apa-apa yang bermasalah pasti

di situ ada orang Balinuraga. (wawancara dengan MS tokoh masyarakat

Desa Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21 April 2017).

Selain itu PP seorang informan yang berasal dari Desa Agom

mengakatakan dan merupakan tokoh masyarakat desa, bahwa kebanyakan

dari masyarakat Desa Balinuraga bersikap arogan dan keras (keras kepala).

PP juga beranggapan bahwa masyarakat Balinuraga ingin menguasai

komoditas ekonomi yang menurut PP komoditas tersebut seharusnya

dikuasai oleh masyarakat lokal.

Arogan, orangnya keras-keras. Merasa ya… pengen nguasailah kalo aku

ngarani (anggapan saya) pengen nguasain. Ya kaya di daerah Patok, kaya

Indomart, Alfamart itukan yang nguasai anak-anak dia, anak-anak

Balinuraga kayanya yang lainnya harus minggir. Kaya parkiran, kaya

apa… Karena merasa dirinya paling kuat (wawancara dengan PP tokoh

masyarakat Desa Agom, Lampung Selatan, Selasa 18 April 2017).

Sehingga terjadinya konflik yang melibatkan masyarakat Desa

Balinuraga dan Desa Agom merupakan luapan emosi yang terpendam dari

masyarakat desa, yang desanya pernah menjadi sasaran dari kerusuhan

yang disebabkan oleh oknum Desa Balinuraga sebelumnya. Pasalnya

konflik yang terjadi pada tahun 2012 tidak hanya menggerakan masyarakat

Agom saja, tetapi juga melibatkan beberapa masyarakat desa yang pernah

menjadi lawan dengan Desa Balinuraga.

Selain luapan emosi yang tersimpan lama dan akhrinya meledak

ketika oknum dari masyarakat Desa Balinuraga berbuat ulah dengan Desa

Agom, konflik tersebut juga dilatarbelakangi oleh perebutan komoditas

ekonomi. Seperti yang dikatakan oleh informan peneliti yang berinisial PP,

56

bahwa hal tersebut terjadi karena komoditas ekonomi yang menurut PP

seharusnya dimiliki oleh lokal justru dikuasai oleh pendatang (yang dalam

hal ini adalah Balinuraga). Selain itu juga sikap Arogan dari masyarakat

Balinuraga (terutamanya pada pemudanya), timbul karena kondisi

perekonomian mereka yang lebih maju seperti halnya yang disampaikan

oleh MS sebelumnya.

Terdapat dua cerita yang berbeda mengenai awal mula terjadinya

konflik yang melibatkan Desa Agom dengan Desa Balinuraga. Yang

pertama konflik tersebut diakibatkan karena tindakan beberapa pemuda

dari Desa Balinuraga yang dengan sengaja menggoda dan melakukan

tindakan asusila kepada dua perempuan yang berasal dari Desa Agom,

sehingga mengakibatkan kedua perempuan itu terjatuh dari kendaraannya.

Cerita tersebut banyak digunakan oleh beberapa media dalam

memberitakan konflik tersebut, sebagaimana telah peneliti sebutkan

dibagian awal tulisan ini yang salah satunya dari harian online

news.liputan6.com,

...Perkatan kurang enak didengar itu muncul dalam amuk masa yang

disertai pembakaran rumah warga Desa Balinuraga. Berawal dari persoalan

dua remaja putri warga Desa Agom mendapat pelecehan dari sekelompok

pemuda Desa Balinuraga. (liputan6, Bentrok Disebabkan Konflik Lama

diakses dari http://news.liputan6.com/read/449920/bentrokan-disebabkan-

konflik-lama).

Senada dengan hal tersebut, pernyataan demikian juga banyak

disampaikan oleh penduduk Desa Agom. Banyak dari mereka yang

menganggap bahwa insiden yang terjadi antara pemuda Balinuraga yang

57

mengganggu dua perempuan dari Desa Agom itu juga terjadi tindakan

asusila yang dilakukan oleh pemuda tersebut sebagimana yang

disampaikan oleh informan peneliti yang berinisial ZA berikut,

...Jadi, ada anak gadis dua lewat naik motor dan ada beberapa pemuda bali

yang berdiri di pinggir jalan, nah itu diganggu, ya namanya gimana ya

jalan sepi ya dilagak-lagak diganggu. Ya namanya juga jalan sempit,

mereka beberapa motor sajakan sudah menyempitkan jalan, artinya

kalaupun memenag dipegang itu memang sudah kena. Ya dari diganggu

itulah mereka dua gadis itu jatuh... (wawancara dengan ZA warga Desa

Agom, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).

Dari pernyataan tersebut kita bisa pahami jatuhnya dua perempuang

Desa Agom yang terjadi di jalan raya Desa Pathok itu merupakan akibat

dari beberapa oknum pemuda Desa Balinuraga yang mengganggu kedua

perempuan tersebut.

Selain itu informan peneliti yang berinisial PP juga menceritakan hal

serupa pada peneliti,

...Cewek biasakan kalo sore itu naik motor, ya ibaratnya nyorelah

istilahnya. Terus di tengah sawah sana itu dijawillah sama anak-anak itu

(pemuda Desa Balinuraga), jatuhlah cewe itu... (wawancara dengan PP

tokoh masyarakat Desa Agom, Lampung Selatan, selasa 18 April 2017).

Tetapi berbeda halnya ketika peneliti masuk kepada informan dari

Desa Balinuraga, banyak dari mereka yang menceritakan bahwa insiden

konflik tersebut diakibatkan karena kesalah pahaman. Terdapat dua poin

yang mereka luruskan (menurut mereka) mengenai insiden jatuhnya dua

perempuan Desa Agom. Yang pertama, dua perempuan Desa Agom yang

jatuh pada saat itu memang jatuh karena kedua perempuan tersebut gugup

saat mengendarai motor dan bertemu dengan pemuda Balinuraga, sehingga

58

mengakibatkan motor yang mereka kendarai oleng dan jatuh, hal itu

disampaikan oleh dua informan peneliti yaitu K dan MS.

Pemicu kecilnya itu ya, anak-anak sini itukan ya biasa sore-sore itukan.

Bawa sepeda, naik sepeda kan, sepeda santai gitukan, Karena jalan ini baru

jadi baru bagus, seneng diakan jalan ini baru jadi..... sampe ke Patok

bahkan sampe sananya prapatan (persimpangan jalan) Patok itu. Nah di

sanakan dia berenti dia, ada-lah anak gadis lewat, mungkin Karena rame-

rame kesana, anak gadis itu ngebut dia, nah mungkin dia panik gimana

kan, Karena apa kan entah Karena grogi apa gimana kepelesetlah dia

jatuh... (wawancara dengan K warga Desa Balinuraga, Lampung Selatan,

Kamis 20 April 2017).

...Ya kronologinya itukan, ya anak-anak muda itukan boleh dikatakan

remaja, remaja ini boleh dikatakan nyantaikan sore-sore, begitu mungkin

dia itu ada kawan cewek ya mungkin disapa apa diapainkan, apa dia itu

Karena dia itu grogi ya jatuh. Ya jatuh itukan, begitu jatuh itukan...

(wawancara dengan MS tokoh masyarakat Desa Balinuraga, Lampung

Selatan, Jumat 21 April 2017).

Yang kedua, mengenai isu yang beredar bahwa pada saat melakukan

pertolongan pemuda Balinuraga melakukan tindakan asusila, hal tersebut

dinyatakan tidak benar oleh beberapa infroman peneliti dan mengatakan

bahwa kejadian yang sebenaranya adalah ketika pemuda Balinuraga

melakukan pertolongan tidak ada tindakan asusila saat itu. Yang terjadi

hanyalah membantu membangunkan kedua perempuan Desa Agom dan

motornya yang tergeletak di jalan. Akan tatapi kabar tindakan asusila

tersebut tersebar dari pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab, padahal

dari pihak perempuannya sendiripun telah menyatakan tidak ada tindakan

asusila disitu. Sebagaimana pernyataan MS,

...karena dia itu grogi ya jatuh. Ya jatuh itukan, begitu jatuh itukan.... di

anu, dibantu sama anak-anak Balinuraga ini. Nah begitu dibantu, ada pihak

ketiga yang engga terima gitu kronologisnya. Ga terima, malahan anak-

anak ini dibilangin apa ya, pelecehan seksual. (wawancara dengan MS

59

tokoh masyarakat Desa Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21

April2017).

Dalam pernyataan tersebut, MS mengakatakan bahwa kedua

perempuan Desa Agom terjatuh karena grogi saat mengendarai motor yang

mereka tumpangi ketika bertemu dengan rombongan pemuda Balinuraga

yang sedang berkumpul di jalan Desa Waringin Harjo. Hal tersebut yang

mengakibatkan terjatuhnya kedua perempuan itu. Dan pada saat itu

pemuda-pemuda yang sedang berkumpul berniat membantu kedua

perempuan, akan tetapi ada pihak ketiga yang tidak menerima hal tersebut

dan mengatakan terjadi insiden pelecehan seksual. Informan peneliti yang

berinisial Wy. S (seorang tokoh Desa Balinuraga) juga mengatakan bahwa

dalam kejadian jatuhnya perempuan Desa Agom tidak terjadi tindakan

pelecehan.

Jadi sebenarnya itukan anak-anak jalan sore naik sepeda, jalan sore-sore

lah. Ya memang jalannya agak jelak, lewatlah cewek dari Desa Agom itu.

Karena memang jalannya agak jelek, jatuhlah dia. nah ini dibantu,

ditologin gitu lho. Aaa kan kalo ditolong pasti dipegang, motornya

dibangunin apa segala macem, nah ini lah bahasanya dipelintir jadi

pelecehan seksual isunya. Padahal waktu itu si korban ini sudah ngomong

ga ada apa-apa, cuma berniat nolong. Ada-lah pihak ke tiga ini yang

memproduksi Bahasa itu sampai besar-besarin... (wawancara dengan Wy.

S tokoh masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan, Rabu 19 April 2017).

Informan peneliti tersebut saat ditemui mengakatakan hal yang

serupa dengan pernyataan MS, bahwa saat kejadian di jalan Desa

Waringin Harjo sebenarnya tidak terjadi tindakan pelecehan. Akan tetapi

kabar atau isu terjadinya pelecehan tersebut disebarkan oleh pihak ketiga

atau oknum yang tidak bertanggung jawab. Wy. S juga mengatakan bahwa

dari pihak perempuan sendiri sebenarnya telah mengakui hal tersebut dan

60

hanya ingin meminta pertanggung jawaban atas jatuhnya kedua

perempuan. Hal serupa juga disampaikan oleh K salah satu informan yang

tinggal di Desa Balinuraga.

...nah teruskan, Karena dia jatuh… kan dia (pemuda Balinuraga) kan

sempet kaget juga diakan anak-anak sini itu, ini ditolong apa gimana.

Karena melihat ya ditolong, kalo kita ga liat ga mingkin kan kita nolong?

Karna melihat ya kita harus nolong... dibangunin anak gadis itu ya ga tau

apakah dia bener-bener nolong atau apa ya engga tau. entah apa ada

bagian tubuh yang dipegang atau apa yang negbuat ngerasa rishi atau

apakan ga tau persis itu. Nah Cuma kan ada dari kawannya si gadis itu kan

dateng, nah mungkin si gadis itukan ditanya gimana gitukan, ya terus itulah

termasuk ada unsur pelecehan, nah terus digaungkan. (wawancara dengan

K warga Desa Balinuraga, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).

Selain akibat dari konflik sebelumnya yang melibatkan beberapa

oknum Desa Balinuraga dengan bebersapa desa dan akibat dari insiden

jatuhnya dua perempuan Desa Agom, konflik ini juga ada yang

mengatakan akibat dari kesenjangan ekonomi antara kedua desa. Karena

sebelumnya banyak dari masyarakat Desa Balinuraga mencari pekerjaan

atau penghidupan dari masyarakat Agom, akan tetapi hal tersebut saat ini

telah berubah, banyak dari masyarakat Agom yang menjadi buruh di Desa

Balinuraga. Hal tersebut disampaikan oleh informan peneliti yang bernama

MS sebagai berikut,

...ya mungkin Karena apa, mungkin Karena kesenjangan ekonomi, juga itu

bisa. Karena apa ya, selama ini ya warga saya ini bisa dikatakan majunya

ini lumayan pesat. Kan dulunya apa, ya kita ini minta pekerjaan kesana

gitukan… kita buruhnya kesana, nah sekarang udah berbalek (berbalik)

kan, dia ya malah yang cari makan ke sini kampung kami... (wawancara

dengan MS tokoh masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21

April2017).

Dalam kesempatan yang sama MS juga menambahkan bahwa,

sebenarnya dari awal adanya Desa Balinuraga hubungan antara kedua

61

masyarakat terjalin sangat baik. Hal tersebut terlihat ketika memasuki

masa krisis, banyak dari masyarakat Balinuraga mencari bahan pangan di

Desa Agom, misalnya gandum dan bahan pangan lainnya.

Sebenarnya ya dari dulu, dari pertama ya dari apa, dari berdirinya desa itu

baguslah hubungan itu. Bahkan kita juga, mencari kehidupan itu di daerah

sana… daerah Lampung, daerah anu daerah sana. Bahkan waktu itukan

musim paceklikkan (krisis), nyari kehidupan atau apa… bahkan seperti

gandum itu kan kita nyari kesana. (wawancara dengan MS tokoh

masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan, 21 April 2017)

Dari pernyataan tersebut kesenjangan ekonomi menjadi salah satu

bagian yang menjadi andil membesarnya konflik yang terjadi pada

Oktober 2012. Keadaan ekonomi Desa Balinuraga saat ini bisa dikatakan

telah mandiri dibandingkan sebelumnya yang masih bergantung kepada

Desa Agom. Dengan kondisi yang demikian banyak dari masyarakat Desa

Balinuraga yang meminjamkan uangnya kepada masyarakat lain dan

memberikan bunga yang besar termasuk kepada masyarakat Desa Agom.

Hal tersebut diungkapkan oleh informan peneliti “...Paling kalau ada

jalinan itu mereka minjemin uang ke masyarakat terus dibunganin, gadai-

gadai itu kerjaan itu orang-orang tuanya...” (wawancara dengan RS warga

Desa Agom, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).

Hal tersebut juga diakui oleh masyarakat lokal Lampung,

masyarakan Balinuraga saat ini secara ekonomi mereka lebih unggul

dibandingkan dengan Masyarakat Desa Agom. Dilihat dari penghasilan

dan sektor pekerjaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Desa

Balinuraga. sebagaimana yang dikatakan oleh informan peneliti Y (warga

62

Desa Agom) “Kalau Bali emnag kita akuin orangnya mampu ya…

orangnya agak kaya gitu ya… dari pada kita disini. Iya benar jauh, jauh…

ekonominya juga jauh, penghasilannya juga jauh” (wawancara dengan Y

warga Desa Agom, Lampung Selatan, Selasa 18 April 2017).

Dari semua latar belakang yang memicu terjadinya konflik antara

Desa Agom dengan Desa Balinuraga pada Oktober 2012. Pemerintah

Kabupaten Lampung Selatan yang dalam hal ini di sampaikan oleh pihak

Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (KESBANGPOL) Kabupaten

Lampung Selatan menyatakan bahwa konflik tersebut disebabkan oleh

ulah pemuda Desa Balinuraga yang menggoda dua perempuan yang

berasal dari Desa Agom. Sehingga akibat dari pemuda Balinuraga yang

menggoda kedua perempuan Desa Agom tesebut, iapun terjatuh dari

sepeda motornya dan mengalami luka-luka.

Pada saat itu kalo tidak salah terjadi pada 27 Oktober 2012, bertempat di

desa Waringin Harjo telah terjadi keributan, yang disebabkan oleh

kelompok pemuda desa Balinuraga yang sedang duduk-dudu bersimpangan

di jalan desa Warngin Harjo, menggoda dua gadis remaja yang sedang

melintas menggunakan sepeda motor dan berasal dari desa Agom

kecamatan Kalianda, atas nama ND dan E. Akibat dari godaan tersebut

kedua gadis terjatuh dari sepeda motornya yang mengakibatkan luka-luka.

(wawancara dengan IS KESBANGPOL Lampung Selatan, Lampung

Selatan, Senin 24 April 2017).

Dalam kesempatan tersebut dari pihak KESBANGPOL Kabupaten

Lampung Selatan mengatakan bahwa konflik yang terjadi tersebut tidak

berkaitan dengan konflik yang terjadi sebelumnya. Karena menurut beliau,

konflik yang sebelumnya terjadi itu merupakan konflik biasa yang terjadi

antar pemuda atau antar penduduk yang hal tersebut dapat diselesaikan

63

oleh pihak desa. ia juga mengakatakn konflik yang sebelumnya terjadi

yang melibatkan oknum dari Balinuaraga tidak pernah sampai kepada

KESBANGPOL.

Kita tidak pernah, karena tidak pernah sampai ke permukaan. Atau

mungkin hanya pada di tingkat desa, diselesaikan oleh aparat desa. Artinya

itu hal-hal biasa saja antar pemuda, dan antar penduduk. Tetapi tidak

pernah sampai, artinya bahwa itu menyebabkan sesuatu hal yang kira-kira

akan mengakibatkan suatu keributan yang besar. Sehingga tidak ada lah

artinya seperti itu, walaupun itu ada hanya dialami oleh beberapa keluarga

dan beberapa… tetapi itu bisa diselesaikan secara langsung oleh mereka.

(wawancara dengan IS KESBANGPOL Lampung Selatan, Lampung

Selatan, Senin 24 April 2017).

Pihak KESBANGPOL juga mengatakan bahwa konflik tersebut

bukanlan konflik yang dilatar belakangi oleh Suku, Agama, Ras dan Antar

golongan (SARA), akan tetapi konflik tersebut merupakan konflik yang

disebabkan oleh pemuda dan melibatkan pemuda. Karena konflik yang

disebabkan oleh SARA menurutnya tidak pernah terjadi sebelumnya di

Lampung Selatan.

Belum pernah terjadi, jadi yang sebenarnya itu konflik antar suku itu

memang tidak ada apa lagi konflik antar agama tidak ada di Lampung

Selatan ini. karena konflik ini bukan bersumber karena suku dan bukan

karena agama, konflik yang ada ini hanya konflik antar pemuda, ya hanya

disebabkan oleh itu. Jadi, bukan sumbernya karena SARA itu bukan

seumbernya dari situ. Jadi konflik yang terjadi di Lampung Selatan sampai

hari ini menurut catatan kami belum pernah ada konflik antar suku apa lagi

agama. (wawancara dengan IS KESBANGPOL Lampung selatan,

Lampung Selatan, Senin 24 April 2017).

Pendapat dari pihak KESBANGPOL hanya menyoroti konflik yang

terjadi pada tahun 2012, disebabkan karena ulah dari pemuda tanpa

menyebutkan adanya insiden pelecehan seksual ataupun diakibatkan dari

konflik masa lalu yang belum usai atau bahkan akibat dari kesenjangan

64

ekonomi antara masyarakat Desa Agom dengan masyarakat Desa

Balinuraga.

2. Kronologi Konflik

Setelah insiden jatuhnya dua perempuan Desa Agom yang terjadi di

jalan Desa Waringin Harjo, akibat digoda oleh beberapa pemuda Desa

Balinuraga yang sedang nongkrong sore di jalan tersebut. Menurut

orangtua dari kedua perempuan itu penyebab dari jatuhnya mereka

disebabkan karena pemuda Balinuraga yang berada di tempat kejadian,

informasi tersebut didapatkan oleh orangtua perempuan dari kerabat yang

membawa pulang dua perempuan itu.

Lama berselang sekitar pukul 17.30 WIB menurut orangtua dari

kedua perempuan itu, pihak dari kepolisian datang dengan menggunakan

mobil dinasnya dua anggota polisi dari polres Lampung Selatan dan dua

anggota lainnya dari sektor Kalianda. Pihak kepolisian datang untuk

meminta keterangan awal dan menjaga kondisi keamanan desa yang saat

itu mulai ramai. Selain itu menurutnya pihak kepolisian juga

mengantarkan mereka ke rumah sakit. Mendengar cerita dari warga

menurut orangtua perempuan RO (warga Desa Agom) tersebut

mengatakan semakin malam rumah mereka semakin banyak didatangi oleh

warga.

...Kurang lebih satu setengah jam atau satu jam itu ya, ada kabar dari salah

satu pemuda kita di sini ini laporan ke rumah, awalnya mah terima telepon

ini kan cewe ada abangnya di rumah dapet kabar jatuh. Kabar jatuh itukan

pas juga ada yang laporan di rumah ini. Terus diiniin sama orang sini ke

65

sana, ke Patok itu ke sawah ke jalan deket sawah itu. Abangnya berangkat

nyusul, belum sampai tempat kejadian itu abangnya, udah ada yang dibawa

pulang adiknya. Gadis dua itu diboncengin....

...Ada salah satu pemuda dari sini yang adiknya itu kerja dipasar, niatnya

mah mau jemput adiknya, pas di tengah sawah itu dia ngeliat anak saya itu

lagi dikerumunin anak Bali itu. Udah diam saya waktu itu, apa bener tah?

Saking ininya sampai sangsi ininya saya, “panggilin anak yang menolong

itu tadi” kata saya waktu itu sama salah satu pemuda yang ada dirumah,

datanglah dia, tuk (bahasa dia ke saya kan datuk) “kamu benar tadi ngeliat

minannya tadi?”, “iya tuk ngeliat tuk”, “orang mana?”, “orang Bali tuk”,

“darimana kamu tau dia orang Bali?”, “iya tuk namanya saya tau,

orangnya saya tau”. “Kurang lebih 20 orang itukan, sebagian saya ada

yang tau, bahkan sebagian saya ada tau rumahnya dimana tuk”. Uuu...

berarti itukan positif itukan orang Bali....

... Makin sore itu ga tau makin banyak orang menyambung-menyambung

itu, ramailah itu di rumah, di rumah kita itu ramai. Pas setangah enam

(17.30 WIB) itu dateng anggota pakai mobil dari POLRES 2 dari sektor

juga 2 pakai mobil dinas... (wawancara dengan RO Warga Desa Agom,

Lampung Selatan, Selasa 18 April 2017).

Dari tempat yang berbeda dan waktu yang berbeda. Saat itu pukul

18.30 WIB menurut cerita dari informan peneliti yang berinisial KA

(warga Desa Balinuraga), terdapat tiga orang pemuda dari Agom yang

masuk kedalam wilayah Desa Balinuraga dengan menggunakan kendaraan

bermotor dan membawa senjata tajam. Setelah ditanya oleh warga

Balinuraga yang sedang berjaga (karena memang saat itu tersiar kabar

akan ada penyerangan di Desa Balinuraga), ketiga pemuda tadi lantas

membanting motornya dan melarikan diri. Tak lama berselang dari

kejadian itu warga Balinuraga mendapat kabar bahwa terdapat rumah yang

dibakar oleh masa Desa Agom.

...Nah setelah itu sekitar jam setengah tujuh, ada orang tiga anak sana dari

Agom itu ke sini gitu lho, motor dua orang tiga, nah ceritanya itu mereka

itu bawa pedang, entah tujuannya apa kan ga tau kan. Nah yang di sana itu

yang di tikungan Karena sudah malamkan waktu itu, jadi mereka itu kaget.

Nah mereka itu mau dideketin kok malah membanting motor terus lari

mereka itu. Nah seletah itu, engga taunya rumah orang bali yang dilura

sana yang kalo dari sini sebelah kanan yang di tikungan, kan ruamh itu

66

warung kok kiosnya itu dibakar... (wawancara dengan KA warga Desa

Balinuraga, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).

Diceritkana pula saat itu, pemuda Desa Agom yang membawa motor

dan membawa senjatan tajam itu mengendarai motornya dengan tidak

beretika serta mengacungkan senjata tajam yang mereka bawa. Sehingga

saat itu sepeda motor yang mereka tumpangi dan ditinggalkan dibakar oleh

masa dari Desa Balinuraga. Hal tersebut disampaikan oleh informan

peneliti yang berinisial K (warga Desa Balinuraga),

...tau-tau malamnya kawan-kawan kita itu nongkrong di perapatan sini

tikungan sana, adalah dua orang dari sana itu bawa montor (motor), bawa

motor kan… bawa pedang diakan… bawa pedang terhunus, nah kaget lah

orang-orang sini itu, motornya dia juga kasarkan… dia juga ga nanya baik-

baik, makanya terjadilah itukan, terjadinya konflik itukan, nah sampelah

dia nah orang yang bawa pedang itu lari lah dia, lari menyelamatkan diri

nah motornya itu dibakar di sini. Ya udah masuk kampung orang desa

orang ga baik-baik gitu mas, wajar itu anggapnya nah ditanya dia juga ga

ngejawab itu... (wawancara dengan K warga Desa Balinuraga, Lampung

Selatan, Kamis 20 April 2017).

Sebelum bermulanya kejadian tersebut, kepala desa dari kedua desa

melakukan perundingan yang dilakukan di Desa Sidoharjo tepat di

kediaman kepala desa Sidoharjo. Dari perundingan tersebut disepakati

bahwa kepala desa Balinuraga akan membantu biaya pengobatan kepada

kedua perempuan yang terjatuh dari sepeda motornya. Namun saat itu

kepala desa Balinuraga meminta waktu selama satu jam untuk menyiapkan

uang tersebut. Akan tetapi, waktu berselang lebih dari satu jam kepala

Desa Balinuraga tidak dapat dihubungi. Informasi ini disampaikan oleh

infroman yang peneliti temui yang berinisial KA.

Nah sorenya itu mungkin ya ngomong disana itu, ada pertemuan antara

kepala desa sini sama kepala desa sana untuk ketemuan di Patok, desa

67

Sidoharjo, tempatnya pak Toher luhrahnya dulu itu. Sudah ada pertemuan

itu, ya memang di sini ini dulu itu lurah, maksudnya dia itu secara baik-

baik mau rembuk, maksudnya mau bantu gitu. Padahal dia itukan jatuh ya

jatuh sendirikan anak Agom (desa) itu. Lurah di sini waktu itu ada niat

untuk membantu Cuma waktu itu dia minta waktu tempo satu jam. Tidak

taunya udah ada satu jam setenga sampe dua jam, pak lurah di sini ini di

bel-bel (dihubungi via ponsel) tidak tersambung katanya, kata pak lurah di

sana itu. (wawancara dengan KA warga Desa Balinuraga, Lampung

Selatan, Kamis 20 April 2017).

Hal serupa juga disampaikan oleh MS salah satu tokoh penting di

Desa Balinuraga. Saat itu MS tidak mengetahui bagaimana persis kejadian

tersbut, akan tetapi banyak dari rekannya yang juga sebagai tokoh

masyarakat desa mengatakan bahwa sebenarnya konflik tersebut bisa

dihindari. Akan tetapi saat itu setelah perundingan selesai kepala desa

Balinuraga harus kembali ke Balinuraga untuk merundingkannya kepada

masyarakat Balinuraga. Sayangnya setelah itu kepala desa tersebut tidak

dapat dihubungi, ditambah lagi masa yang ada di Desa Agom semakin

banyak yang berkumpul dikediaman kepala desanya.

Karena tadi cewek itu jatuhkan dibantu, setelah dibantu karna mungkin

apa, itu mungkin ada rundingan gimana-gimana ya mungkin kurang

nyambungkan… jadi permasalahan itu akhirnya besar. Nah kemaren itu

memang ada kawan-kawan saya Sekdes (sekretaris desa) Sidoharjo, Kades

(kepala desa) di Agom itu menceritakan, “ini pak, waktu itu sebenernya

harusnya ga jadilah. Karena apa? Karena waktu itu kita runding-ruding

sama Kades, Cuma dia itu mesti pulang kedesa anu, ke masyarakat dulu,

runding ke masyarakat dulu kadesnya bapak itu. nah begitu runding, dibel-

bel itu malah engga aktif itu nomornya” kata dia dulu itu. Ini ceritanya

kawan saya yang jadi kades itu di Agom. “Begitu dibel-bel itu udah

ngumpul di rumah saya masanya, gimana pak kades? Ini kok ditunggu-

tunggu engga ada berita, kata masyarakat itu” katanya. Maksud dia

itukan, orang yang sakit yang jatuh itukan sakit, lecet apa-apa itu-kan,

minta pertanggung jawaban siapa yang ini, nah itu engga ada jawaban.

(wawancara dengan MS tokoh masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan,

Jumat 21 April 2017).

Dalam perundingan tersebut ada yang mengakatakan bahwa dari

pihak Agom meminta pertanggung jawaban atas kejadian tersebut dengan

68

uang senilai Rp. 3.000.000,00 kepada pihak Balinuraga (yang dalam hal

ini diwakili oleh kepala Desa Balinuraga). Setelah itulah terdapat pemuda

Agom yang masuk ke Desa Balinuraga pada malam harinya, yang saat itu

bertemu dengan warga Balinuraga yang sedang berjaga di pos ronda

setempat.

..Nah Cuma itu ada pihak ketiga itu, entah itu cowoknya si gadis gitukan…

aa itu yang engga terima. Sampe-sampe mau ada perunding sempat

diminta uang tiga juta pihak sininya. Bahkan dari kepala desa sini ini ke

sana waktu itu-tu, katanya uang itu buat berobat tadi itu...

...Bahkan dari kepala desa sini ini ke sana waktu itu-tu, katanya uang itu

buat berobat tadi itu. Nah terus kepala desa itu-tu apakah dia mensetujui

uang tiga juta itu untuk menalangi duit tiga juta itu apa gimana, yang jelas

waktu itu kepala desa itu pulang kan. Nah mungkin setau dia itu ngambil

uang kan gitu, Karena habis itu (setelah itu) kepala desa sini ini ga kesana

lagi kan, tau-tau malamnya kawan-kawan kita itu nongkrong di perapatan

sini tikungan sana pas di pos, adalah dua orang dari sana itu bawa montor

(motor), bawa motor kan… bawa pedang diakan… (wawancara dengan K

warga Desa Balinuraga, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).

Dari saat itu keadaan di Balinuraga semakin mencekam. Dengan

alasan untuk menjaga keamanan desa saat itu banyak dari warga dari

Balinuraga yang menghadang dan mewaspadai datangnya warga dari Desa

Agom. Sehingga dengan keramaian tersebut dianggap oleh warga Agom

sebagai sebuah perlawanan yang akan menyerang balik. Karena kondisi

desa saat itu semakin tidak kondusif, sehingga banyak sekali informasi

yang tidak jelas yang semakin memprovikasi keadaan. MS mengandaikan

jika saat itu perundingan tersebut disepakati oleh kedua pihak dan pihak

dari Balinuraga memberikan kejelasan kabar, maka konflik seperti ini

tidak akan terjadi.

Karena masyarakat di sini itu merasa dia menjaga desa karena waktu itu

ada kabar kalo bakal diserang. Ya seolah-olah orang itu yang datang engga

69

permisikan ya terjadilah ini, karena macam-macam sama apa yang dibawa

nah iya identitas masing-masing sampai informasi yang tidak jelas. Ya kalo

umpamanya itu dari sini, salah satu ngadep waktu itu ya mungkin bisa

engga terjadi kaya gitu. ya karena udah memanas, dari dia Napal, dari

Marga Catur itukan orang kita engga mau naik. (wawancara dengan MS

tokoh masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21 April 2017).

Setelah gagalnya perundingan yang melibatkan kepala Desa Agom

dengan kepala Desa Balinurga dan masuknya tiga oknum pemdua Agom

yang mengacungkan senjata di Balinuraga, kondisi dari desa Balinuraga

sudah mulai tidak aman. Terjadi pembakaran rumah, penjarahan harta

benda dan perusakan fasilitias umum oleh masyarakat yang menyerang

desa Balinuraga. akan tetapi aktor utama penyerangan sudah tidak lagi

dapat diketahui saat itu. Memang awal terjadinya konflik tersebut dari dua

desa, yaitu Agom dan Balinuraga. Tetapi saat penyerangan di Desa

Balinuraga tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Agom. Banyak dari

mereka yang datang dari luar desa bahkan terdapat kabar yang mengatakan

bahwa penyerangan tersebut juga melibatkan masyarakat lokal dari

kabupaten lain.

Tidak hanya pembakaran rumah yang terjadi dalam penyerangan ke

Desa Balinuraga, tetapi juga ada oknum yang melakukan penjarahan di

rumah-rumah warga Balinuraga yang saat itu memang banyak yang

ditinggalkan oleh penghuninya untuk menyelamatkan diri. Salah satu

korban yang isi rumahnya dijarah oleh oknum penyerangan adalah MS.

Menurutnya kejadian yang terjadi di desanya itu bukan hanya sebagai

penyerangan semata, tetapi juga masuk dalam bentuk penjarahan.

Mengapa ia mengatakan demikian, menurutnya jika penyerangan itu

70

benar-benar murni penyerangan benda-benda yang dibakar seharunya ada

abu sisa pembakaran, tapi ia mengaku bahwa setalah rumahnya terbakar

kursi hilang tanpa jejak hangus, sepeda motor hilang dan 8 ekor sapi

hilang dan tidak pernah ditemukan.

ini rumah ini terbakar. Kita bukan ngukit-ngungkit yang udah lewat ya…

nah itu, mustinya itu bukan hanya istilahnya perang, itu kalau kita nilai ya

banyak itu penjarahan. Ya kita apa, ya bukan menjelek-jelekan ya kita ini

bicara sebenarnya. Masa kursi ya… kalo kebakarkan ada abunya, tapi ini

malah kursinya engga ada, gabah-gabah, sapi pada hilang semua. Kalo sapi

ya udah engga tau berapa yang ga ada, udah hampir 8 ekor sapi itu aja yang

ga ketemu sampe sekarang, untung aja itu babi, babi itu untuk muslim-kan

haram kan? Kalo engga abis juga itu pasti, motor, TV, ya kaya barang-

barang yang kelengkapan rumah itu. (wawancara dengan MS tokoh

masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan, jumat 21 April 2017).

Akibat dari konflik dan penyerangan yang terjadi Desa Balinuraga

banyak dari warga Balinuraga yang menjadi korban. Bukan hanya korban

harta yang mereka alami tetapi juga korban nyawa. Tidak sedikit dari

warga desa Balinuraga yang menjadi korban. Menurut buku Merajut

Jurnalisme Damai di Lampung, tidak kurang dari 10 jiwa melayang akbat

dari kerusuhan dan ada 7 warga yang harus dilarikan ke rumah sakit akibat

mengalami luka-luka.

Menurut informan yang peneliti temui RS ketika kerusuhan itu

terjadi banyak dari masyarakat Balinuraga yang mencari pertolongan

dengan mengungsi ke desa tetangga. Saat itu menurut RS ia menemui

seorang warga Balinuraga yang sedang mencari pertolongan disebuah

masjid yang berdiri tidak jauh dari Balinuraga, RS menyarankan kepada

orang tersebut untuk tidak bersuara, karena aksen dari masyarakat

71

pendatang dari Bali masih kental dengan aksen Balinya dari situ warga

yang menyerang melihat ciri dari warga Balinuraga. tidak hanya itu

penyerangan juga tidak lagi kepada warga Balinuraga atau bukan, karena

menurut RS banyak juga masjid yang dibakar oleh masa.

...Memang ya waktu itu sampe nangis-nangis sore-sore itu bawa galon

untuk minta tolong, “bapak boleh masuk aja silakan, tapi asal jangan

ngomong” kata saya. Orang masuk kampung itu rame... banget dari mana-

mana disitulah kepala desanya sampe nangis. Yang bersolawat di masjid

juga terus, ada seorang bapak itu yang mintak tolong-tolong ya itu ya

gaboleh karena suaranya itu ketauan. Kalo ada yang ngomongnya itu beda

itu ya udah terjadi penyerangan dan itu terjadi itu... nah disitu, maka

terbakarlah rumah satu di situ. (wawancara dengan RS warga Desa Agom,

Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).

RS juga menceritakan bagaimana kondisi penyerangan yang

dilakukan oleh warga Agom ke Desa Balinuraga saat itu, ia mengatakan

bahwa saat itu pola penyerangan memang ditujukan kepada Balinuraga

saja. Walaupun disepanjangan jalan menuju Balinuraga banyak rumah-

rumah yang dihuni oleh warga pendatang dari Bali, tetapi itu tetap dijaga

oleh warga Agom. Karena memang saat itu banyak yang dari luar dan

orang-orang yang sebenarnya tidak tahu masalah yang terjadi ikut

melakukan penyerangan sehingga tidak hanya rumah-rumah orang

Balinuraga saja yang menjadi sasaran, masjid pun menjadi sasaran

pembakaran.

Yang jelas orang yang kemarin itu memang gimana ya, aturan saat

menyerang itu memang sangat bagus, sangat baik tertata dan sangat

disiplin. Kenapa saya bilang kaya gitu, ya karena yang waktu di gang Bali

Koga itu kami jaga ga boleh masuk kesitu. Terarah ga asal Bali engga,

yang bermasalah aja ya kan. Ya karena banyak orang luar itu ya asal ada

pura itu ya diserangnya. Sebenarnya ya teratur, tapi ya karena lebih dari

seribu orang ya udah ga teratur lagi. Jangankan rumah orang Bali yang ada

puranya, masjid aja ada yang kena. Yang di Sidoreno itukan banyak islam

72

semua disitu, tapikan Bali. (wawancara dengan RS warga Desa Agom,

Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).

Sampai pada saat itu banyak upaya yang telah dilakukan oleh

berbagai pihak termasuk dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Banyak dari warga Balinuraga yang hasur diungiskan ke wilayang

Kemiling, Bandar Lampung tepatnya di Sekolah Polisi Negara Kemiling.

Berbagai media banyak menyoroti konflik tersebut sebagai konflik

multietnis yang memakan banyak korban, dan sebagai salah satu konflik

etnis yang besar pasca reformasi.

Setelah konflik tersebut terjadi berbagai elemen masyarakat dari

kedua desa yang terlibat dalam konflik tersebut dikumpulkan dalam satu

kegiatan untuk menyepakati perdamaian atas konflik tersebut. Sebagai

mana informasi yang disamapaikan oleh PP,

...penyatuannya dikumpulin semuanya dari warga Agom yang betikai itu

sama warga Bali sana dikumpulin jadi satu. Terus ketua-ketua adatnya

Lampung, Ketua adat sana itu jadi satu pokoknya musyawarahan ya entah

baik dari keamanannya, ya pokoknya semuanya kumpul sampe Bupatinya

kayanya apa wakilnya ya… ya pokoknya ada acara itulah perdamaiannya

sekalian juga perjanjian itu kalo suatu saat terjadi lagi... (wawancara

dengan PP tokoh masyarakat Agom, Lampung Selatan, Selasa 18 April

2017).

Tidak hanya samapi disitu dari pihak KODIM pun turut berpartisipasi

dalam mengadakan kegiatan perdamaian antara Agom dengan Balinuraga sebagai

mana yang juga disamapaikan oleh PP,

...Kalau waktu ya sama-sama sih, waktu perdamaian itu ya ada kegaiatan

nyatanya ya jalan santai semua itu dari sini sampai sana, yang mengadain

kan itu orang KODIM yang ngadai itu, yang ngadain jalan sehatlah biar

bersatu sambil itu habis (setelah) acara itu... (wawancara dengan PP tokoh

masyarakat Agom, Lampung Selatan, Selasa 18 April 2017).

73

B. Relasi Sosial Pasca Konflik di Lampung Selatan

1. Relasi Sosial Lebih Harmonis (Positif) Antara Lokal dengan

Pendatang

Lama berselang setelah terjadinya konflik yang melibatkan

masyarakat Desa Agom dan Balinuraga, dan bahkan masyarakat desa yang

ada di sekitar Kecamatan Kalianda, kondisi telah banyak berubah. Baik

dari sisi sosial dan budaya dari masyarakat yang ada di Desa Balinuraga

maupun Desa Agom. Perubahan yang terjadi akibat dari adanya konflik

tersebut dapat dikatakan perubahan yang mengarah kepada kondisi yang

lebih positif menurut peneliti. Penyebab utama membesarnya konflik yang

terjadi antara masyarakat Balinuraga dengan Agom bukanlah dari isiden

jatuhnya dua perempuan Desa Agom ataupun terjadinya pelecehan seksual

saat itu, akan tetapi membesarnya konflik tersebut menurut peneliti

merupakan akibat dari konflik-konflik yang terjadi sebelumnya.

Konflik yang sebelumnya terjadi banyak yang disebabkan atau

dimulai oleh oknum dari Desa Balinuraga. Korban atau sasaran dari

oknum-oknum tersebut tidak hanya dari satu desa saja tetapi beberapa desa

yang telah peneliti sebutkan sebelumnya. Mengapa peneliti mengatakan

bahwa penyebab membesarnya konflik yang terjadi pada Oktober 2012 itu

bukan dari jatuhnya dua perempuan Desa Agom? Karena sebelum-

sebelumnya masyarakat Agom tidak pernah terlibat pertikaian dengan

Balinuraga. Sehingga dapat dikatakan bahwa insiden jatuhnya perempuan

dan terjadinya insiden pelecehan seksual (menurut beberapa informasi)

74

yang dilakukan oleh pemuda Balinuraga itu merupakan pemantik api

kemarahan dari warga desa yang sebelumnya pernah menjadi sasaran

arogansi oknum dari Balinuraga.

Dengan terjadinya konflik tersebut memberikan suatu pengajaran

kepada kedua masyarakat desa, baik dari Agom maupun dari Balinuraga.

dalam artian konflik tersebut membawa perubahan dalam kehidupan sosial

yang ada dalam masyarakat baik perubahan kepada hal yang baru ataupun

perubahan kepada penyesuaian kebiasaan hidup dalam masyarakat yang

berbeda. Dikutip dari buku Pengantar Sosiologi Konflik, konflik

dipandang oleh Coser lebih kepada mekanisme perubahan sosial dan

penyesuaian, sehingga memberikan dampak yang positif dalam

masyarakat. Akan tetapi dalam suatu hubungan sosial yang ada dalam

masyarakat, ketika konflik tersebut disembunyikan maka tidak akan

memberikan dampak yang positif (Susan, 2014: 46).

Ini artinya konflik dan penyerangan yang terjadi di Desa Balinuraga

pada Oktober 2012 memberikan dampak yang positif kepada tatanan

masyarakat yang ada disana, baik itu dari Agom, Balinuraga maupun desa-

desa lain yang terlibat dalam penyerangan tersebut. Dari catatan penelitian

yang peneliti peroleh dari beberapa informan mengatakan bahwa dari

setelah konflik dan sampai peneliti berada di Desa Agom maupun

Balinuraga (April 2017) tidak lagi terjadi konflik atau keributan yang

melibatkan masyarakat lintas desa yang besar. Walaupun ada konflik

tersebut tidak sampai melibatkan masyarakat yang ada di desa tersebut

75

(dalam artian konflik hanya dilakukan oleh oknum dan diselesaikan

dengan damai antara yang terlibat).

Kalau sesudah..., ya artinya apa ya... informasi-informasi yang

disampaikan oleh ibu juga ini kan saya lupa ya. Tapi, memang pernah ada,

ya artinya ada hal-hal yang dilakukan oleh Bali juga ya seperti kesalahan-

kesalahan yang tidak masive yang dilakukan oleh beberapa orang yang

arogan, tapi mereka sendiri ya sudah punya peraturan dan mereka juga

sudah punya antisipasi siapa yang bersalah merekalah yang akan

menghukum sendiri (orang Bali sendiri yang menghukum, bukan lagi

orang Lampunnya). Ya itu bagus dengan maksud mereka permasalahan itu

tidak mencuat dan juga tidak merembet. (wawancara dengan ZA warga

Desa Agom, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).

Yang menjadi sorotan pada konflik tersebut adalah sikap dari

masyarakat Balinuraga yang arogan dan bertindak anarki dengan

masyarakat desa lain. Karena beberapa konflik yang sebelumnya terjadi

merupakan ulah dan melibatkan oknum dari Balinuraga. ketika satu orang

berkonflik dengan masyarakat lain diluar Balinuraga, maka banyak dari

warga Balinuraga yang ikut terlibat dalam konflik tersebut. Sehingga

terjadi insiden keributan yang meluas dan sampai melakukan pembakaran

rumah, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Setelah konflik 2012 terjadi, informasi yang peneliti ketahui dari

beberapa informan baik dari Agom maupun dari Balinuraga mengatakan

bahwa saat ini di Desa Balinuraga, ketika satu orang yang terlibat dalam

keributan maka orang tersebut yang harus menyelesaikannya sendiri dan

tidak melibatkan masyarakat lain dari Balinuraga. Artinya ketika A

merupakan warga dari Desa Balinuraga dan B merupakan warga dari desa

lain, A dan B terlibat keributan maka yang menyelesaikan keributan

tersebut adalah A dan B serta keluarga dan dibantu oleh aparat desa atau

76

dari pihak kepolisian sebagai penengah. Sehingga A tidak lagi mangajak

kawan dekatnya dan memprovokasi warga dalam kasusnya, begitu juga

dengan B, seperti yang disampaikan oleh PLT salah satu tokoh masyarakat

Desa Agom dan WG seorang warga Desa Balinuraga berikut,

Ya sekarang ya Alhamdulillah ya sudah beberapa tahun terakhir itu udah

engga ada apa-apa, dan sekarang juga itukan udah jadi tanggung jawab

masing-masing. Jadi kalau sekarang itu ada yang buat keributan atau

keramaian itu ya yang bertanggung jawab itu ya kedua belah pihak itu,

tidak melibatkan yang lain dalam hal ini mengajak kawan ya kalo yang

buat onar si A dan B ya mereka berdua itulah yang menyelesaikannya tidak

mengajak C, D, E dan itu sudah ada dalam perjanjian, jadi kalo ribut tidak

akan menjadi meluas. (wawancara dengan PLT tokoh masyarakat Agom,

Lampung Selatan, Rabu 19 April 2017).

...Dan kalo pun ada anak bali yang punya masalah sekarang udah jadi

urusan individu aja, yang buat masalah ya yang buat masalah itu aja yang

nyelesaiin. Tapi kalo pun ga ada apa-apa ya ga ada apa-apa, engga sampe

kaya yang kemaren itu, yang sampe bawa-bawa suku segala macem engga.

(wawancara dengan WG warga Desa Balinuraga, Lampung Selata, Rabu

19 April 2017).

Dalam kesempatan yang lain PP juga mengatakan bahwa dalam

perjanjiannya antara Agom dengan Balinuraga, apabila terjadi lagi konflik

antara Balinuraga dengan Agom, maupun Balinuraga dengan desa lain

maka pelaku dari konflik tersebut akan dikembalikan ke daerah asalnya.

...jadi perjanjiannya kalau terjadi sesuatu, nanti yo kapan terjadi lagi antara

Bali sama Agom, walaupun Bali dengan Jawa, apa Bali dengan Lampung,

kalo yang dia mulai duluan orang sana dia bakal diusir dari sana. Pokoknya

siapa yang bikin ulah, pulang itu sanksinya. Kalo emang kaya gitu dia

sendiri yang harus tanggung jawab untuk menyelesaikan masalahnya.

Pokoknya orang sana orang luarnya engga mau ikut campur, sekarang

permasalahannya udah perorangan engga boleh masalah kaya kemarin.

Kemarin itukan kalo ada apa-apa gerebuk (ramai-ramai), kalo ada apa-apa

gerebuk ngono (gitu) sekarang engga... (wawancara dengan PP Tokoh

Masyarakat Agom, Lampung Selatan, Selasa 18 April 2017).

Selain dari hal tersebut, antisipasi yang dilakukan oleh pemerintah

daerah adalah membentuk suatu wadah kerukunan yang di dalamnya

77

terdapat berbagai macam unsur. Baik dari masyarakat lokal sendiri, Bali,

Jawa dan suku-suku lain yang ada di Lampung Selatan. Wadah tersebut

berfunsi sebagai penanggulangan konflik yang terjadi di wilayah desa,

sehingga konflik tersebut tidak ditarik kepada cakupan yang luas sehingga

menimbulkan konflik besar. Ini merupakan satu kebaruan yang

ditimbulkan dari adanya konflik pada 2012, dan hal ini menurut peneliti

adalah antisipasi yang positif untuk mencegah terjadinya konflik baru.

...Bupati udah mencanangkan rukun keagamaan, nah dibentuk dari Bali

juga ada disitu kan, jawa, Madura, Kristen, budha di situ udah ada semua.

Nah disitu bergerak itu FKUBnya, perwakilan-perwakilannya. Dari

keamanan jugakan, kalo bisa diselesaikan di forum apa, di forum

kekeluargaan nah kalo disitu udah engga bisa kita baru ke kemanan itu. di

desa ini ada permasalahan apa ya diselesaikan dulu di desa, ya sama

pemimpin desa ketua adat ya ada dari kepolisian, supaya ya engga adu

mulut jadinya, ya kan, kalo ada kemanan kan kita bicara detailnya aja kan,

ga sampai kemana-mana. (wawancara dengan MS tokoh masyarakat

Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21 April 2017).

Badan kerukunan tersebut salah satu upaya untuk mencegah

terjadinya konflik yang akan timbul. Badan kerukunan tersebut berperan

sebagai Savety-Valve, dimana badan tersebut digunakan sebagai benteng

awal ketika konflik tersebut terjadi. Savety-Valve sendiri merupakan

mekanisme Khusus yang dipakai dalam mencegah kemungkinan dari

perubahan struktur akibat terjadinya konflik dalam masyarakat, sehingga

mempertahankan kelompok dari konfli sosial (Poloma, 2004: 108)

Tidak hanya dalam hal tersebut, diakui oleh pihak dari Balinuraga

bahwa setelah konflik terjadi dan setelah terjadinya perjanjian damai,

kehidupan masyrakat kembali sedikit demi sedikit kearah yang lebih baik.

78

Dari beberapa ungkapan informan mengatakan bahwa, konlifk yang terjadi

pada 2012 itu mengakrabkan antara penduduk Balinuraga dengan

penduduk Agom. Hal tersebut terlihat ketika dibeberapa kesempatan,

ketika ada kegiatan adat maupun masyarakat. mereka telah saling

mengundang dan saling menghadiri acara atau kegiatan yang diadakan.

Seperti halnya yang disampaikan oleh MS, setelah perjanjian damai

antara kedua belah pihak, kiehidupan bermasyarakat Balinuraga mulai

beradaptasi dengan masyarakat lokal. Dicontohkan oleh MS ketika ada

hajatan warga saat ini masyarakat saling mengundang. Tidak hanya itu MS

juga melakukan pendekatan pada tingat atas, seperti sesama tokoh

masyarakat desa dan pemangku adat masing-masing. Langkah lainpun

ditempuh oleh MS termasuk penguatan hubungan antar pemuda, pemuda-

pemudanya pun harus bisa berdamai dan memiliki rasa persaudaraan, hal

tersebut dapat dijalin dengan pertandingan sepak bola dan kegiatan lain

menurut MS.

Sekarang malah lebih baik, lebih bagus beradaptasi. Kemarin malah itu ada

apa tu, ada selalu kalo ada hajatan itu ya diundang, tokoh-tokohnya ini

diundang. Kita juga kemaren kaya gitu, setelah perdamaian itu. setelah

terjadi itu kita bagaimana caranya supaya ya lebih akrab lagi, kita sama-

sama sebagai ya khususnya saya sebagai pimpinan ya sama pimpinan situ

(desa Agom) ya bagaimana caranya bisa lebih akrab.... Kita bagaimana

caranya menggali persaudaraan itu sampai ke akar-akarnya, terutama

pemudanya. Kita buat apa ya, kita buat turnamen (pertandingan) bola, atau

apa kan…nah dari situ-kan menjalain hubungan yang lebih erat antara

pemuda. Nah sewaktu kita ini ada acara kita repot ya minta bantuan ke dia

(desa Agom), untuk ngawal. Itu langkah-langkah kita. (wawancara dengan

MS tokoh masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21 April 2017).

Informan lain yang mengatakan hal serupa adalah K dan Wy. S

Mereka mengatakan bahwa setelah terjadinya konflik pada 2012,

79

hubungan masyarakat sudah kembali membaik dan mulai kondusif. Hal

tersebut dibuktikan oleh K dan Wy. S dengan kegiatan-kegiatan yang

diadakan di desa mereka dalam kegiatan tersebut mereka mengundang

masyarakat Agom dan undanga tersebut disambut baik oleh masyarakat

Agom, terutama bagi tokoh masyarakat desa. tidak hanya dari pihak

masyarakat lokal, konflik tersebut juga menyatukan mereka dengan

sesama pendatang di Lampung, seperti Jawa, Sunda dan lainnya.

ya mulai, mulai ini sekarang ya mulai kondusiflag sekarang udah kaya

dulu-dulu. Ya kalo kita ada acara, ya dari tokoh-tokoh ya dari tokoh-tokoh

pribumi, tokoh-tokoh jawa, ya kalo jawa itu emang dari dulu itu mas dari

dulu itu emang udah engga ada apa-apa... (wawancara dengan K warga

Desa Balinuraga, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).

...Mereka punya hajat kami diundang kami dateng, begitu pun sebaliknya

kami yang punya hajat mereka diundang yang mereka yang mau dateng ya

pasti dateng.... Kalo untuk hubungan saat ininya pun sudah kembali baik,

mereka juga sekarang sudah sering kemari kok. Kami juga ke sana

silaturahmi ya engga papa, bahkan kalua ada yang hajatan pun sekarang

ini saling mengunadang....(wawancara dengan Wy. S tokoh masyarakat

Balinuraga, Lampung Selatan, Rabu 19 April 2017).

Dalam konteks konflik yang terjadi antara Balinuraga dengan Agom,

dapat kita lihat bawa konflik tersebut kembali membawa kedua

masyarakat kepada hubungan yang erat. Konflik Balinuraga dengan Agom

memperlihatkan bahwa konflik tersebut menjalankan fungis positif dalam

membangun kohesi kelompok. Sebagaimana fungsi konflik terhadap

kohesi kelompok, walaupun bagi Coser kohesi konflik itu merupakan salah

satu hal yang akan terjadi dari fungsi positif konflik (Susan, 2014: 47).

Tidak hanya kembali kepada hubungan atau relasi yang baik antara

kedua belah pihak yang terlibat seteru. Tetapi konflik tersebut membangun

80

kembali semangat dalam membangkitkan perekonomian warga di Agom.

Jika sebelumnya salah satu penyebab konflik merupakan akibat dari faktor

ekonomi. Maka setelah konflik ini semangat untuk mengejar

ketertinggalan Agom dari Balinuraga tumbuh dalam diri masyarakat.

Seperti yang dikatakan RS sebagai berikut,

Ya itukan terutama daya pikirnya dari masyarakat Agom, berinovasi

dengan kejadian-kejadian itu keliatannya sampai berubah. Berubahanya

bagaimana, ya terutama perekonomian mereka semakin giat istilahnyakan

gitu. Mungkin ada satu pelajaran yang mereka petik dari kejadian itu,

jadilah mereka itu berfikir ke arah depan ya artinyakan perubahannya

sangat pesat terutama pendidikannya, anak-anak ini sangat semangat untuk

sekolah dan ga ingin memikirkan buru-buru kerja itu engga. Tadinya rata-

rata itu diarahkan untuk kuliah itu engga mau nah sekarang ya pada mau.

Karena memang kelemahan kitu memang disitu, di pendidikan yang masih

rendah. (wawancara dengan RS warga Desa Agom, Lampung Selatan,

Kamis 20 April 2017).

Selain itu, konflik yang terjadi pada 2012 membawa masyarakat

Balinuraga khususnya pemuda kepada penguatan spirit keagamaan

mereka. Konflik membuat mereka lebih dekat dengan kehidupan tuhan

seperti yang disampaikan oleh WG, “...Sekarang juga lebih ke ibadah juga

lebih meningkat lagi, kalo dulukan jarang-jarang sekarang lebih ke

ibadahnya lebih meningkat lagi itu kalo aku pribadi ya,...” (wawancara

dengan WG warga Desa Balinuraga, Lampung Selatan, Rabu 19 April

2017). Hal itu juga yang diungkapkan oleh K saat peneliti temui. Wadah-

wadah kegiatan keagamaan kembali diminati oleh pemuda-pemuda

Balinuraga, seperti salah satunya Pasraman (pendidikan keagamaan).

Ya itu, anak-anak ini sekarang diadakan Pasraman, kalo jaman dulu itu

namanya Pasraman Karena belum ada Pendidikan-kan mungkin kalau

istilah muslimnya itu kaya Pesantren gitu. Pasraman ini ya kaitannya

dengan kegiatan-kegiatan spiritual, ya artinya untuk arah ketuhanan. Ya

81

ada juga itu kegiatan-kegiatan apa itu kreatif, untuk mengurangi ya kalo

anak-anak ini kan kalo ga ada kegiatan ga terahar ini kan. Yang penting

tujunnya ke arah positif. (wawancara dengan K warga Desa Balinuraga,

Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).

Dari kesemua itu dapat kita lihat dan simpulkan bahwa konflik yang

terjadi pada Oktober 2012 memberikan angin segar kepada hubungan

kedua masyarakat. Terjadi perubahan pola perilaku yang diterapkan di

Masyarakat Balinuraga, sebagaimana sebelum terjadinya konflik banyak

dari oknum yang membuat masalah dan menyelesaikannya dengan bermai-

ramai (main hakim sendiri dengan memprovokasi warga). Dan setelah

konflik terjadi masyarakat tidak lagi mudah diprovokasi oleh oknum-

oknum yang tidak bertanggung jawab. Dalam arti masyarakat sekarang

menyerahkan masalah kepada yang bermasalah. Tidak hanya sampai

disitu, saat kondisi kehidupan masyarakat sudah kembali dalam keadaan

normal dan timbul ikatan dari kedua desa dan timbul rasa saling

menghormati. Sebagaimana yang telah peneliti sampaikan pada awal sub-

bab ini, bahwa konflik memberikan pengaruh yang positif dalam

kehidupan masyarakat setelah konflik itu terjadi.

2. Penguatan Integrasi/Kohesi di dalam Masing-Masing Kelompok dan

Perubahan Perilaku Masyarakat

Konflik pada dasarnya tidak selalu memberikan dampak yang

negatif dan tidak juga selalu membawa kepada ruang kehancuran. Konflik

juga dapat memberikan dampak yang posotif dalam kehidupan masyarakat

dan tidak melulu memberikan stigma bahwa dengan konflik akan

memberikan dampak yang begitu merugikan. Pada dasarnya konflik dapat

82

merubah tatanan kehidupan dalam masyarakat yang mengarah kepada hal-

hal yang bersifat positif. Dengan adanya konflik dalam kehidupan

masyarakat dapat diketahui apakah terjadi kesalahan dalam tatanan sosial

masyarakat yang sebelum konflik itu terjadi.

Seperti halnya yang dikatakan oleh Lewis A. Coser, ia memandang

konflik sebagai suatu siklus untuk memperbaiki tatanan kehidupan dalam

masyarakat. Pemikiran mengenai fungsi positif konflik Coser itu

berangkat dari pemikiran Simmel yang mengatakan bahwa konflik pada

dasarnya menunjukan dirinya sebagai faktor positif, dalam mejuwudkan

perubahan yang ada pada kehidupan masyarakat. Seperti banyak kasus

sejarah yang pada dasarnya konflik membawa kepada arah penyatuan

(Susan, 2014: 46).

Menurut Poloma dalam bukunya Coser menegaskan bahwa

ketiadaan konflik dalam kehidupan sosial masyarakat tidak dapat dianggap

sebagai suatu kekuatan atau kestabilan yang ada dalam masyarakat

tersbeut. Konflik sendiri dimaknai sebagai tanda dari kehidupan kelompok

atau masyarakat itu sendiri, justru ketiadaan konflik dalam kehidupan

kelompok atau masyarakat dapat diartikan sebagai penekanan masalah

yang menandakan suatu saat nanti akan timbul konflik yang begtu besar

bagai bom waktu (Poloma, 2004: 113).

Coser sendiri mengatakan bahwa konflik pada struktur kelompok

membawa anggota dari kelompok tersebut untuk sadar pada ikatan dalam

83

kelompok mereka sehingga meningktakan partisipasi mereka dalam

kelompok tersebut.

The group in a state of peace can permit antagonistic members within it to

live with one another in an undecided situation because each of them can

go his own way and can avoid collisions. A state of conflict, however, pulls

the members so tightly together and subjects them to such uniform impulse

that they either must get completely along with, or completely repel, one

another. This is the reason why war with the outside is sometimes the last

chance for a state ridden with inner antagonisms to overcome these

antagonisms, or else to break up definitely. (Coser, 1958: 90)

Dalam kasus konflik antara Agom dengan Balinuraga targambar

bahwa konflik tersebut menguatkan hubungan di dalam masing-masing

kelompok. Seperti misalnya di Desa Agom, walaupun yang disoroti pada

konflik lalu merupakan konflik yang melibatkan dua etnis yang berbeda

yaitu Lampung dengan Bali. Akan tetapi dari masyarakat Agom sendiri

tidak hanya dari masyarakat lokal yang menguat hubungannya, masyarakat

Jawa dan etnis lain yang ada di Agom juga membaur menjadi satu ikatan

yaitu masyarakat Agom.

Seperti yang dikatakan oleh PP salah satu masyarakat Jawa yang ada

di Desa Agom dan salah satu tokoh Desa Agom, Ia mengatakan bahwa

antara Jawa dengan Lampung di Desa Agom sudah tidak ada lagi sekat

pemisah. Bahkan telah terjadi pertukaran budaya antara Lampung dengan

Jawa, hal tersebut terbukti tidak sedikit dari masyarakat Lampung yang

pandai mengucapkan Bahasa Jawa.

Kalau masyarakat di sini kalo orang Lampung sih ya baik, biasa sudah

membaur sama orang Jawa. Engga ibaratnya Jawa-Jawa, Lampung-

Lampung itu Engga ada udah menyatu. Ya sikapnya ya sudah menyatu, ya

kalo Lampung-Lampung sana paleng (mungkin)iya… Cuma kalo di sini

84

engga, ya pokoknya Agom ini udah sama orang jawa udah biasa. Udah

biasa ibaratnya kaya, Lampung aja sekarang banyak yang bisa ngomong

jawa kan Karena udah kebiasaan sana sini. (wawancara dengan PP tokoh

masyarakat Agom, Lampung Selatan, Selasa 18 April 2017).

Tidak hanya terjadi di Desa Agom penguatan hubungan dalam

masyarakat juga terjadi di desa Balinuraga pada tataran pemuda. Menurut

salah satu informan peneliti, sebelum terjadinya konflik pada 2012 pemuda

Balinuraga hidup terkotak-kotakan berdasarkan peer group. Akan tetapi

dengan adanya konflik pada 2012, saat ini pemuda Balinuraga lebih

bersatu dapa ikatan Balinuraga. tidak hanya itu, dampak dari konflik juga

merubah perilaku pemuda Balinuraga. Semula pemuda yang besikap

arogan kini menjadi suatu keharusan untuk menahan diri untuk tidak lagi

berbuat masalah.

Baiknya sekarang ini, masyarakat sini jadi lebih bersatu, dulu kan dari

masyarakat balinya itukan kaya ngeblok-ngeblok gitu untuk pemudanya,

sekarang jadi lebih bersatu lagi.... dampak positifnya lagi masyarakat

sininya engga lebih anarki lagi, engga karya kemarin. Jadi sekarang lebih

ditahan lagi emosinya. Kalo ke masyarakat luar kita ini kaya jadi sorotan si

mas, kalo ada masalah apa gitu kan ya, jadinya anak bali ini yang kena

pasti disangkut-pautin gitu. (wawancara dengan WG warga Balinuraga,

Lampung Selatan, Rabu 19 April 2017).

Sebagaimana yang dikatakan oleh Poloma, Coser menunjukan

bahwa konflik dengan kelompok lain (out-Group) akan memperjelas

batasan struktural dari kedua kelompok yang terlibat. Selain itu konflik

dengan kelompok lain (out-Group) juga akan memperkuat hubungan atau

membangun integrasi dalam masing-masing kelompok (Poloma, 2004:

116). Dari data tersebut terlihat bahwa konflik memperkuat integrasi dari

masing-masing kelompok yang terlibat.

85

Bahkan lebih dari hal tersebut, dampak dari konflik antara Agom dan

Balinuraga dapat kembali memperbaiki hubungan kedua antara Agom dan

Balinuraga. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, jauh sebelum terjadinya

konflik antara Agom dengan Balinuraga, hubungan antara masyarakat dari

kedua desa sangat terjalin dengan Baik. Bahkan dalam tulisan yang di tulis

oleh Budisantoso Budiman dan Oyos Saroso HN dalam buku Merajut

Jurnalisme Damai di Lampung, Siti Noor Laila dari Komnas HAM asal

Lampung menceritakan berdasarkan informasi yang ia dapat dari para

korban, kecil kemungkinan pelaku pembunuhan dalam kerusuhan yang

terjadi itu merupakan Masyarakat Agom. Karena informasi yang

didapatkan masyarakat Balinuraga dengan Agom sudah saling mengenal

satu sama lain dan dapat bekerja sama dengan baik (Setyawan dkk, 2012:

9).

Data tersebut dapat menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat

Balinuraga maupun Agom setelah terjadinya konflik pada Oktober 2012.

Konflik menguatkan hubungan dalam kelompok, baik dari Masyarakat

Agom maupun dari masyarakat Balinuraga sendiri. Sebagaimana yang

dikatakan oleh Lewis A. Coser yang dikutip dalam buku Sosiologi

Kontemporer, dimana kelompok yang terlibat konflik dengan out-group

akan memperkuat identitas anggota dalam kelompok tersebut (Poloma,

2004: 108). Selain dari hal itu konflik tidak hanya menguatkan integrasi

dalam masing-masing kelompok, akan tetapi konflik juga dapat

merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan,

86

penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial dalam masyarakat (Poloma,

2004: 107). Hal ini berarti konflik dapat fungsional dalam memperbarui

dan memelihara sistem atau struktur dalam masyarakat yang mungkin

telah lama bergeser, sehingga dengan konflik sistem atau struktur tadi

dapat kembali berjalan sebagaimana mestinya. Atau bahkan dengan

adanya konflik tersebut sistem atau struktur dalam masyarakat

menyesuaikan kepada zaman.

Sebelum terjadinya konflik antara kedua desa, banyak yang

mengakatakn bahwa tidak sedikit dari pemuda Balinuraga atau bahkan

penduduk Balinuraga sendiri bersikap arogan dengan masyarakat lain.

Tidak hanya itu, prilaku masyarakat yang saat itu menumbulkan keresahan

bagi masyarakat desa disekitar desa Balinuraga. Hal tersebut juga diakui

oleh kepala desa Balinuraga yang saat ini sedang menjabat. Akibat dari hal

tersebut, tidak sedikit pula yang tidak menyukai sikap arogan yang

dimiliki oleh warga Balinuraga. akan tetapi, setelah konflik terjadi banyak

perubahan yang dari sikap dan prilaku masyarakat Balinuraga.

Walaupun demikian konflik tersebut akibat dari ulah pemuda yang

sebenarnya belum tahu pasti bagaimana hubungan kedua masyarakat dari

Agom dengan Balinuraga jauh sebelum konflik, sebagai mana yang telah

peneliti paparkan sebelumnya. Dengan konflik tersebut memberika

pembelajaran baru bagi para pemuda untuk memahami bagaimana

87

hubungan kedua desa. seperti pernyataan informan yang peneliti temui

sebagai berikut.

Ya hargai orang tua-tua kita, masa kitanya bermasalah terus. Dari situ kita

bombing pemudanya, kita kasih arahan, masukan, syukur termasuk bisa

mendengar suara tokoh masyarakat, suara orang tua, ya sampe sekarang ya

baik-baik. Ya mudah-mudahan terakhirnya engga mungkin terulang lagi-

kan, sayang kita ini-kan hidupnya di perantauan orang-kan minumnya di

sini, beraknya di sini, lahirnya di sini ya mau apalagi-kan? Kalo engga kita

menciptakan kedamaian.

Kalo sebelumnya ga aktif ya itu apa, pemudanya ini engga denger

omongan orang tua.... Sekarang ini kan anak-anak mudanya begitu

dianukan sama orang tua ini kan sudah apa, boleh dikatakan ngertikan

engga mau lagi. Kalau dulukan engga, diomongin, dicegat dijalan… aa…

apa ini orang, orang ini motor-motor saya sendiri, kok jadi bapak yang

bingung, sekarang kan dia ga berani ngomong kaya gitu nah ini kan mau ga

kamu ini kedua kalinya kejadian kaya gitu. nah akhirnyakan dia kalo

orang-orang tua ini ngomong nurut, berarti ngerti. Sebenarnya kejadian

kemarin itu orang tua itu engga ada yang tau, tapi akhirnya juga jadi

korban gara-gara kamu ulah-ulah kamu, kan di gituin. Nah inikan sadar.

Kalo sebelum kejadian itu, ya gimana kita ngomong aja engga di gubris,

lagi-lagikan, rambutnya ini dipirang-pirang… pake tatoan. Orang

sebenarnya itu aja, orang di lingkungan sini itu udah engga seneng, iya

sama muda-muda yang berandal-berandal kaya gitu. sebenarnya orang tua-

tua sini itupun udah engga seneng. Ya cuman itu tadi, kalo di, dikasih

masukan ga mau digubris, apalagi umpamanya anaknya si bapak ini, kita

ngasih arahan engga digubris, bapaknya udah, udah berkali-kali

ngomongin. Alhamdulillah-nya itu tadi Karena kita udah begitu pemuda ini

udah engga ada yang nongkrong-nongkrong, malah sekarang mulai

beraktivitas, bantu orangtua. (wawancara dengan MS tokoh masyarakat

Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21April 2017).

Sebenarnya konflik ini bukan masalah tua-tua ini, ya konflik ini ya seperti

yang saya katakana tadi itu, ya anak-anak ABG (Anak Baru Gede) itulah.

Kalo sekarang ini anak-anak ABGnya pun sudah ada perubahan, ya

mungkin ada satu atau dua, Cuma dengan jelas dibandingkan dulu dengan

sekarang itu jauh perbedaannya. Perbedaannya itu ya di waktu-waktu itu ya

mereka itu terbatas, kalo dulu itukan engga, semaunya dia aja mau jam

berapa dia pulang ya seenaknya dia aja, karenakan belom pernah ada

kejadiaan kaya ginikan. Nah setelah kejadian ini, masing-masing yang

punya anak ini kasih masukan ke anaknya ini. (wawancara dengan KA

warga Balinuraga, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).

Bahkan lebih dari hal itu konflik yang terjadi pada Oktober 2012

memberikan penguatan relasi antara masyarakat Balinuraga dengan

masyarakat Agom sebagai bagian dari masyarakat Provinsi Lampung dan

88

bagian dari warga Negara Republik Indonesia. Hal itu diakui oleh Wy. S,

dimana mereka mengakui benar merupakan warga keturunan dari etnis

Bali. Akan tetapi mereka juga tidak bisa menafikan bahwa mereka

merupakan Bagian dari masyarakat Lampung. Walaupun mereka

keturunan etnis Bali menurut Wy. S ketika mereka pulang ke tahan Bali

mereka dianggap sebagai warga Lampung.

Ya setelah konflik ini ya… sudah bagus semualah, ya artinya kami sudah

meluruskan kembali jadi kami tokoh adat sana maupun tokoh adat sini

sudah menjalin dan berkomitmen untuk hidup bersama. Artinya kami ini

sudah menjalin hubungan persaudaraan bahwa diantara kita ini tidak ada

musuh-musuhan, kita ini adalah saudara semuanya bangsa Indonesia.

Tidak ada negara ini negara itu, tidak ada daerah ini daerah itu. Kami ini

betul masyarakat Bali asal dari Bali, tapi kami ini warga Lampung, kalo

pun kami pulang ke Bali engga ada kami ini disebut warga Bali, kami ini

disebutnya ya warga Lampung, “nah ini orang Lampung pulang ini orang

Lampung”. Kami ini asalnya aja Bali sama kaya orang jawa, betul emang

keturunannya keturunan Jawa atau Bali tapi warganya ya tetep aja warga

Lampung KTP (Kartu Tanda Penduduk)nya aja Lampung kok. (wawancara

dengan Wy. S tokoh masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan, Rabu 19

April 2017).

Hal ini menunjukan konflik yang terjadi tidak hanya memberikan

penguatan dalam hubungan kelompok masyarakat. Akan tetapi konflik

disini juga memperdalam sebuah makna yang ada, membangun integrasi

dalam masyarakat dan menumbuhkan identitas baru. Warga Balinuraga

memang merupakan bagian dari etnis Bali akan tetapi mereka merupakan

bagian dari penduduk Lampung, begitu pula dengan masyarakat Jawa,

Sunda dan etnis lainnya yang ada di Lampung. Bukan lagi Bali atau Jawa,

atau Lampung tetapi membawa kepada ikatan kebinekaan dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

89

3. Kehidupan Beragama Pasca Konflik di Balinuraga

Tidak dapat dihindari memang ketika konflik terjadi dalam

masyarakat berbagai perubahan dan dampak pasti akan banyak terjadi,

yang salah satunya peneliti sajikan dalam tulisan ini adalah fungsional

konflik yang terjadi. Akan tetapi terlepas dari fungsi positif konflik,

konflik yang terjadi juga akan berdampak pada kehidupan setelah konflik

itu sendiri, baik itu perubahan yang mengarah kembali pada tatanan awal

jauh sebelum konflik atau bahkan memperbarui yang telah ada.

Dalam konteks konflik yang terjadi antara Agom dengan Balinuraga,

banyak perubahan yang mengarah kepada perubahan yang merujuk kepada

hubungan jauh sebelum terjadinya konflik. Akan tetapi hal tersebut tidak

dapat lepas dari beberapa hal yang malah berubah mundur dari

seharusnya, salah satunya adalah perubahan kegaiatan keagamaan yang

terjadi di Balinuraga.

Mengenai kegiatan keagamaan. Salah satu informan dari desa Agom

mengatakan bahwa setelah kejadian konflik pada oktober 2012 kegiatan

keagamaan dari masyarakat Balinuraga sempat terganggu, yaitu ketika

upacara kematian (ngaben). Masyrakat Balinuraga saat itu sempat tidak

diperbolehkan untuk melintasi jalan desa Agom ketika hendak melakukan

upacara kematian (ngaben), sehingga masyarakat Balinuraga terpaksa

melintasi jalur yang lebih panjang jarak temuhnya. Akan tetapi saat ini

sudah kembali normal seperti biasa.

90

...sekarang umpama acara-acara ngaben apa-apa ya lewat, lewat biasa

engga ini, kalo dulukan kaya ini gimana… sekarang engga-ga rame kaya

dulu ya kalo ngaben lewat ya lewat aja biasa. Kalo dulu itukan sempat

ditutup engga boleh lewat ya setelah itu, pokoknya orang Bali ga boleh

lewat. Mau ngaben terserah lewatnya mau kemana, jauh lewatnya muter

Sidomulyo... (wawancara dengan PP tokoh masyarakat Agom, Lampung

Selatan, Selasa 18 April 2017).

Selain itu ketika upacara sebelum hari raya nyepi masyarakat

Balinuraga sering mengadakan upacara penyucian diri di Laut yang

rutenya harus melewati jalan Desa Agom. Terjadi perubahan dalam

kebiasaan upacara tersebut, yang biasanya masyarakat Bali dari Balinuraga

menggunakan pengeras suara dalam upacara tersebut tetapi setelah konflik

tidak lagi digunakan.

...Ya alhamdulillah bagus, kalau dulu itukan kalau mereka ada acara

sembahyang ke laut itu jalanan kaya diborong sama mereka, tapi sekarang

ya udah engga bahkan sekarang ini kita udah ga pernah denger suara

speaker (pengeras suara) di jalanan pas mereka lewat... (wawancara dengan

RS warga Desa Agom, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).

Hal tersebut salah satunya yang menjadi polemik pasca konflik.

Dalam artian setalah konflik terjadi hal yang sebenarnya dapat

diselesaikan dengan rukun dalam kegaiatan keagamaan. Walaupun

demikian warga Balinuraga tetap menjalankan ritual keagamaan tersebut

dengan sebagaimana mestinya di desa mereka tanpa harus melakukan

kegiatan itu di laut seperti biasanya.

...Misalnya sebelum nyepi, di sebelum perayaan nyepi ini kami ini

sebenarnya wajib melaksanakan pembersihan diri ya kalo bisa itu di laut,

Karena laut itu menurut kepercayaan kami merupakan tempat untuk

menetralisir segala sesuatu yang ada dibumi. Makanya setelah kegiatan

bersuci itu makanya ada ada ogoh-ogoh itu mas… yang tujuannya untuk

menghancurkan sifat kegelapan dan kejahatan atau aura negatif yang ada di

kami. Makanya saya bilang tadi mas… biasanyakan kalo kami ini

menyucikan diri itu kelaut… sekalipun disana kita juga ngontrak

91

(sewa)kan, habis konflik itu, kami ini tidak diperbolehkan oleh saudara

kami ini yang disini ini, untuk kesana lagi. Nah katanya kami ini membawa

alat-alat musik yang mengganggu gitu, ya kami ini dengan sendirinya

ngikut mas. Nah makanya sekarang ini kan kami buat tempat disini ini

secara simbolis... (wawancara dengan K warga Balinuraga, Lampung

Selatan, Kamis 20 April 2017).

Sebenarnya dari perubahan-perubahan tersebut dapat kita maknai

sebagai suatu hal yang positif. Karena perubahan tersebut tidak menjadi

kendala atau penghalang masyarakat Balinuraga untuk mendekatkan diri

kepada yang maha kuasa. Terlebih lagi hal tesebut dilakukan untuk saling

menjaga dan saling menghormati antara masyarakat Desa Agom dengan

Balinuraga khususnya dan secara umum desa-desa yang berdekatan

dengan kedua desa tersebut. Yang pada akhirnya hal tersebut dapat

menjalin hubungan yang lebih baik dan menjaga integrasi yang telah

terbangun kembali.

92

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti tuangkan pada bab

sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Konflik yang terjadi pada Oktober 2012 dan melibatkan masyarakat

Desa Agom dengan masyarakat Desa Balinuraga merupakan konflik yang

disebabkan oleh beberapa unsur pemicu konflik. Yang pertama adalah

mengenai kesenjangan ekonomi antara Balinuraga dengan Agom, akan tetapi

unsur ini tidak begitu signifikan dalam mempengaruhi terjadinya konflik

antara Balinuraga dengan Agom. Ekonomi menjadi salah satu unsur

penyebab konflik dikarenakan beberapa oknum dari Desa Balinuraga

bersikap arogan dan membunganakn hutang yang mereka pinjamkan kepada

masyarakat lain, sehingga isu ini yang menjadi terangkat sebagai salah satu

unsur penyebab konflik yang terjadi. Selain itu adalah perebutan lahan parkir

antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang. Dalam hal ini

menurut warga lokal lahan parkir tersebut seharunya dipegang oleh warga

lokal, tetapi faktanya warga Balinuraga banyak menguasai lahan parkir yang

ada disana. Pandangan warga agom juga melihat bagaimana warga

Balinuraga yang angkuh akibat dari kondisi perekonomian mereka yang

menurut warga Agom lebih maju dibandingkan warga Agom sendiri.

93

Yang kedua adalah akibat dari konflik lama yang belum usai dalam

penyelesaiannya. Beberapa informan mengatakan bahwa terdapat oknum

Balinuraga yang sering berbuat ulah dan keributan dibeberapa desa diluar

Agom, seperti Desa Sandaran, Pathok, Sidomulyo, Marga Catur, dan

beberapa desa lain yang disebutkan informan pernah terlibat konflik dengan

Balinuraga. akan tetapi konflik sebelum-sebelumnya tidak meluas dan tidak

pernah masuk kedalam catatan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik

Kabupaten Lampung Selatan. Menutut informan yang peneliti temui beberapa

masyarakat di luar Balinuraga yang terlibat masalah atau konflik dengan

Balinuraga akan berakhir kepada pembakaran rumah. Namun, sayangnya

konflik tersebut tidak pernah diselesaikan secara tuntas.

Masalah yang ketiga yang menjadi salah satu unsur konflik pada

Oktober 2012 di Lampung Selatan dan melibatkan Balinuraga dengan Agom

adalah insiden jatuhnya dua perempuan Desa Agom akibat ulah beberapa

pemuda Balinuraga. insiden ini yang dioleh oleh beberapa pihak yang tidak

bertanggung jawab sebagai insiden pelecehan seksual yang dilakukan oleh

pemuda Balinuraga kepada dua perempuan desa Agom.

Dari beberapa unsur yang telah peneliti sebutkan dalam paragraf

sebelumnya. Unsur yang paling berpengaruh dalam memicu konflik yang

terjadi menurut peneliti adalah konflik masa lalu yang tidak terselesaikan dan

penggiringan isu terjadinya pelecehan seksual ketika insiden jatunya

perempuan dari Desa Agom. Sehingga konflik tersebut membesar dan

94

menyatukan warga lokan dari berbagai wilayah yang ada di Lampung Selatan

maupun di luar Lampung selatan. Akibat dari hal tesebut terjadilah

penyerangan ke Desa Balinuraga yang dilakukan oleh warga lokal dan

mengakibatkan beberapa rumah warga dan fasilitas umum seperti sekolah

musnah terbakan dan dirusak oleh warga lokal.

Akibat dari konflik yang terjadi antara Balinuraga dengan Agom

memberikan dampak dan perubahan, baik di dalam masing-masing kelompok

maupun hubungan antara kedua kelompok. konflik yang terjadi itu

memberikan perubahan dalam masyarakat Balinuraga diantaranya perubahan

dalam sipak pemuda yang kini sudah dapat diatur dengan tertib,

menumbuhkan spirit keagamaan di dalam diri pemuda dan meningkatkan

minat pemuda dalam kegiatan pasraman (sekolah keagamaan/pesanteran),

mengeratkan hubungan di dalam masyarakat Balinuraga sendiri maupun

mengeratkan hubungan antara Balinuraga dengan Agom. Tidak hanya terjadi

di Desa Balinuraga perubahan tersebut juga dialami oleh warga Agom,

konflik yang terjadi itu menguatkan hubungan antara masyarakat lokal,

membangung hubungan antara masyarakat lokal dengan pendatang (Jawa,

Sunda, Batak, Bali dan lainnya), konflik tersebut juga memberikan dapak

kepada semangat dalam menumbuhkan perekonomian mereka. Tidak hanya

itu, konflik yang terjadi antara Balinuraga dengan Agom juga mengeratkan

hubungan antara masyarakat kedua desa itu. Membangkitkan hubungan

sebagai identitas warga Lampung.

95

B. Saran

Telah banyak penelitian yang berkaitan dengan konflik yang terjadi di

Lampung Selatan, yang melibatkan Desa Agom dan Desa Balinuraga. salah

satunya adalah penelitian yang peneliti lakukan mengenai relasi masyarakat

pasca konflik, dari penelitian tersebut memunculkan beberapa saran, antara

lain:

1. Pada penelitian berikutnya disarankan untuk mengkaji lebih

mendalam mengenai konflik yang terjadi di Lampung.

Dikarenakan peneliti mengakui pada penelitian ini masih banyak

kekurangan. Penelitian selanjutnya dapat mendalami mengenai

pola hubungan antar kelompok (seperti: akulturasi, dominasi,

paternalisme, dan pluralisme), dan mendalami mengenai

stereotype yang muncul setelah terjadinya konflik (baik dari

Balinuraga ke masyarakat lokal maupun dari masyarakat lokal ke

Balinuraga).

2. Untuk Pemerintah daerah Provinsi Lampung maupun pemerintah

kabupaten Lampung Selatan seharusnya dapat lebih reaktif kepada

hal-hal yang memicu konflik dan dapat me-manage konflik yang

ada di Lampung khususnya di daerah-daerah yang rawan terhadap

konflik, karena tidak dipungkiri Lampung merupakan wilayah

yang terdapat beragam etnis.

96

Daftar Pustaka

Buku

Bachtiar, Wardi. “Sosioogi Klasik dari Comte hingga Parsons”. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2010.

Bungin, Burhan. Metode Penelitian Sosial dan Ekonomi. Jakarta : Kencana

Prenada Group, 2013.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung tahun 2010 terhadap sensus

penduduk menurut suku bangsa.

Coser, Lewis A. The Function of Social Conflict. New York: The Free Press, a

Corporation, 1958.

Herdiansyah, Haris. Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu sosial. Jakarta:

Salemba Humanika, 2012.

Jhonson, Doyle Paul. “Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid II”. Jakarta:

Gramedia Pustka Utama, 1994.

Maliki, Zainuddin. Rekonstruksi Teori Sosial Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2012.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2009.

Na‟im, Akhsan dan Syaputra, Hendry. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama

dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia (Hasil Sensus Peduduk

2010). Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Poloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer. Diterjemahkan dari Buku

Contemporary Sociological Theory Oleh Tim Penerjemah YASOGAMA.

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Raho, Bernad. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi (Dari Teori Sosiologi

Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern).

Penerjemah Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009.

Sabaruddin. Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir Dialek O/Nyow dan Dialek

A/Api. Jakarta: Buletin Way Lima Maninjau, 2012.

Salam, Syamsir. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.

Setyawan, Agus. dkk. Merajut Jurnalisme Damai di Lampunng. Bandar

Lampung: AJI Bandar Lampung, 2012.

97

Sulistyaningsih. Metodologi Penelitian Kebidanan: Kualitatif -Kuantitatif .

Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Surahmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik.

Bandung: Tarsiti, 1990.

Susan, Novri. Pengantar Sosiologi Konflik. cet. Ke-3. Jakarta: Prenadamedia

Group, 2014.

Wirawan, Ida Bagus. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2013.

____________. Data dan Fakta Kabupaten Lampung Selatan. Pemerintah

Kabupaten Lampung Selatan, 2012.

Disertasi

Pattinama, Eklefina. “Integrasi Pasca Konflik (Studi Kasus di Saparua Maluku

Tengah)” Disertasi Doktor Antropologi, Universitas Indonesia.

Skripsi

Mustikawati, Inggrid Galuh. “Pengungsi dan Penduduk Lokal: Studi Kasus,

Hubungan Antar Kelompok Pasca Konflik Sampit di Kecamatan Landasan

Ulin, Banjarbaru Kalimatan Selatan”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

Rahwono, Bodro Sigit. “Konflik dan Rekosiliasi Etnik di Mesuji. (Studi Pada

Masyarakat Pribumi dan Pendatang di Kecamatan Mesuji, Kabupten Oku,

Sumatera Selatan”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora,

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014. Akses

internet http://digilib.uin-

suka.ac.id/15452/21/BAB%2520I,%2520V,%2529DAFTAR%2520PUST

AKA.pdf diunduh pada 1 september 2016.

Tulisan Ilmiah

Djana, Amrul. dkk., Interaksi Sosial Pasca Konflik Horisontal (Studi Kasus Pada

Komunitas Islam-Kristen di Kecamtan Tobelo Utara Kabupaten

Halmahera Utara). Akses internet dari

pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/160053a460ba1bc56fb243d7d5e16cd1.pdf

diunduh pada 27 september 2016.

Rasyid, Imron. dkk. Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan THE

HABIBIE CENTER (THC). Peta Kekerasan Di Indonesia (September-

Desmber 2013 Dan ) Dan Konflik Antar Kelompok Di Indonesia. Edisi 6/

Maret 2014.

Utami, Anisa. “Resolusi Konflik Antar Etnis Kabupaten Lampung Selatan (Studi

Kasus: Konflik Suku Bali Desa Balinuraga Dan Suku Lampung Desa

98

Agom Kabupaten Lampung Selatan”, mahasiswa Ilmu Pemeritahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro.

Berita online

Noor, Firman. Kompleksitas Konflik Lampung, Nasional.kompas.com, Minggu, 4

November 2012 diakses pada 6 Maret 2017 dari

http://nasional.kompas.com/read/2012/11/04/08580419/Kompleksitas.Kon

flik.Lampung.

Setiawan, Aris. dkk. Lampung Selatan Berdarah, Siapa Salah?, Viva.co.id, 30

Oktober 2012. Diakses pada 5 Maret 2017 dari

http://fokus.news.viva.co.id/news/read/363482-lampung-selatan-berdarah-

siapa-salah

Budiman, Aditya. Pemicu Bentrokan Lampung Versi Penduduk, Tempo.co, 1

November 2012, diakses ada 5 Maret 2017 dari

https://m.tempo.co/read/news/2012/11/01/058439069/pemicu-bentrokan-

lampung-versi-penduduk

____________. Bentrokan disebabkan Konflik Lama. News.Liputan6.com, 4

November 2012, diakses pada 10 Agustus 2017 dari Liputan 6,

http://news.liputan6.com/read/449920/bentrokan-disebabkan-konflik-lama

Dokumen lain

____________. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Agom Tahun

2016-2021. Pemerintah Desa Agom

____________. Profil Desa Balinuraga. Pemerintah Desa Balinuraga

Sumber wawancara

Wawancara pribadi dengan Informan MS tokoh masyarakat Desa Balinuraga,

Lampung Selatan, Jumat 21 April 2017.

Wawancara pribadi dengan Informan KA warga Desa Balinuraga, Lampung

Selatan, Kamis 20 April 2017.

Wawancara pribadi dengan Informan K warga Desa Balinuraga, Lampung

Selatan, Kamis 20 April 2017.

Wawancara pribadi dengan Informan WG warga Desa Balinuraga, Lampung

Selatan, Rabu 19 April 2017.

Wawancara pribadi dengan Informan WJ warga Desa Balinuraga, Lampung

Selatan, Rabu 19 April 2017.

99

Wawancara pribadi dengan Informan Wy. S tokoh masyarakat Desa Balinuraga,

Lampung Selatan, Rabu 19 April 2017.

Wawancara pribadi dengan Informan PP tokoh masyarakat Desa Agom, Lampung

Selatan, Selasa 18 April 2017.

Wawancara pribadi dengan Informan RS warga Desa Agom, Lampung Selatan,

Kamis 20 April 2017.

Wawancara pribadi dengan Informan Y warga Desa Agom, Lampung Selatan,

Selasa 18 April 2017.

Wawancara pribadi dengan Informan Z warga Desa Agom, Lampung Selatan,

Kamis 20 April 2017.

Wawancara pribadi dengan Informan PLT tokoh masyarakat Desa Agom,

Lampung Selatan, Rabu 19 April 2017.

Wawancara pribadi dengan Informan RO warga Desa Agom, Lampung Selatan,

Selasa 18 April 2017.

Wawancara pribadi dengan Informan IS KESBANGPOL Lampung Selatan,

Lampung Selatan, Senin 24 April 2017

.

100

LAMPIRAN-LAMPIRAN