RELASI PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM KITAB ADABUL...
Transcript of RELASI PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM KITAB ADABUL...
RELASI PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
DALAM KITAB ADABUL ‘ALIM WAL MUTA’ALLIM
KARYA K.H HASYIM ASY’ARI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
ANGELIA INDAH CHAIRUNNISA
NIM: 23010-15-0169
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2019
ii
iii
RELASI PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
DALAM KITAB ADABUL ‘ALIM WAL MUTA’ALLIM
KARYA K.H HASYIM ASY’ARI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
ANGELIA INDAH CHAIRUNNISA
NIM: 23010-15-0169
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2019
iv
v
vi
vii
MOTTO
ين )رواه البخرى را ي فق هه ف الد به خي ( مسلم من يردالله
“Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi baik, maka dia akan difahamkan
dalam hal agama.”
(HR. Bukhori Muslim)
viii
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah Swt, atas limpahan rahmat serta karunia-Nya,
skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku tercinta Bapak Sudar Winanto dan Ibu Marsiyah yang
selalu mendo’akan, mendukung, memberikan material, cinta dan kasih
sayang yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.
2. Adikku tersayang Dwi Daffa Saputra yang selalu memberikan do’a,
semangat, kasih sayang, dan perhatian yang diberikan semoga selalu
diberikan kelancaran dan kemudahan dalam sekolahnya.
3. Segenap keluarga besarku yang jauh maupun dekat, yang selalu
mendo’akan dan mendukung agar dapat terselesaikannya studi ini dengan
tepat waktu.
4. Kepada Bapak Dr. H. Achmad Maimun, M.Ag selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama
bimbingan, meluangkan waktunya untuk memberi bimbingan, arahan, dan
memotivasi penulis dengan sabar dan ikhlas hingga sampai terselesaikannya
skripsi ini.
5. Kepada Abah Kyai Muhsoni (Alm.) Ibu Nyai Mir’atul serta para guru di
Pondok Pesantren Bina Insani yang tak kenal lelah untuk memberi motivasi
kepada penulis sebelum duduk di bangku kuliah.
6. Kepada sahabatku Esti Nur Naniyah yang selalu bersedia dan ikhlas untuk
selalu menemani dalam pembuatan skripsi ini.
ix
7. Kepada teman-temanku kos “Formakla” yang selalu memberikan semangat,
kebersamaan, dan kekeluargaan, semoga selalu diberikan kelancaran dalam
segala hal baik yang menyertainya.
8. Kepada teman-temanku “Sekawan Pejuang Toga” (Nurul, Fikhqi, Ulfa)
yang selalu memberikan dukungan dan semangat dalam pembuatan skripsi
ini.
x
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrohim
Puji syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah Swt yang telah
memberikan nikmat, syafa’at, karunia, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang telah penulis
susun berjudul Relasi Pendidik dan Peserta Didik dalam Kitab Adabul ‘Alim wal
Muta’allim Karya K.H Hasyim Asy’ari.
Tidak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
Nabi agung Muhammad SAW, yang selalu memberikan suri tauladan bagi
keluarga, sahabat, dan juga pengikutnya. Beliaulah yang membawa umat Islam dari
zaman kegelapan, zaman kebodohan menuju zaman terang benderang seperti saat
ini. Dan semoga kita selalu mendapat syafa’at beliau esok di hari kiamat.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai
pihak yang telah berkenan membantu penulis dalam menyelesikan skripsi ini. Oleh
karena itu penulis mengucapakan banyak terima kasih kepada:
1. Rektor IAIN Salatiga, Bapak Prof. Dr. H. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag.
2. Dekan FTIK IAIN Salatiga Bapak Prof. Dr. Mansur, M.Ag.
3. Ketua Program Studi PAI Ibu Dra. Siti Asdiqoh, M.Si.
4. Bapak Dr. H. Achmad Maimun, M.Ag. selaku pembimbing skripsi yang
telah membimbing dan meluangkan waktunya dengan ikhlas untuk
penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini terselesaikan.
xi
xii
ABSTRAK
Chairunnisa, Angelia Indah. 2019. Relasi Pendidik dan Peserta Didik dalam
Kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim Karya K.H Hasyim Asy’ari. Skripsi.
Program Studi Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing : Dr.
H. Achmad Maimun, M.Ag.
Kata Kunci: Pendidik, Peserta Didik dan Kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim.
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui relasi pendidik dan
peserta didik dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim Karya K.H Hasyim Asy’ari.
Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah bagaimana relasi
pendidik dan peserta didik serta bagaimana relevansinya menurut K.H Hasyim
Asy’ari dalam pendidikan saat ini.
Metode penelitian yang digunakan yaitu library research (penelitian
kepustakaan). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik yang diperoleh
dari perpustakaan dan dikumpulkan dari sumber-sumber tertentu, seperti kitab,
menelaah buku-buku, artikel atau lainnya yang bersangkutan dengan skripsi ini.
Pengumpulan data dibagi menjadi dua sumber yaitu sumber primer dan sumber
sekunder.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa relasi pendidik dan peserta didik yaitu
hubungan yang terjadi di dalam sebuah proses pembelajaran. Pendidik sebagai
subyek yang aktif dalam membentuk karakter siswa, sedangkan peserta didik
sebagai obyek yang dibentuk oleh pendidiknya dengan mengikuti nasihat,
bimbingan serta arahan yang diberikan oleh pendidik. Peserta didik harus patuh
kepada pendidik karena pada dasarnya pendidik adalah seseorang yang mengetahui
segala hal yang berhubungan dengan pendidikan siswa-siswanya. Relevansi
tentang pendidik dan peserta didik menurut K.H Hasyim Asy’ari dalam pendidikan
saat ini masih relevan jika diterapkan pada konteks zaman sekarang.
xiii
DAFTAR ISI
SAMPUL ..................................................................................................... i
LOGO .................................................................................................... ii
SAMPUL DALAM ........................................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ v
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................... vi
MOTTO .................................................................................................. vii
PERSEMBAHAN ........................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... x
ABSTRAK .................................................................................................. xii
DAFTAR ISI ................................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Rumusan Penelitian ............................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 5
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 6
E. Kajian Pustaka ..................................................................................... 7
F. Metode Penelitian ................................................................................ 8
G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 10
xiv
BAB II BIOGRAFI
A. Biografi K.H Hasyim Asy’ari ............................................................. 12
B. Riwayat Pendidikan K.H Hasyim Asy’ari .......................................... 14
C. Karya Tulis K.H Hasyim Asy’ari ........................................................ 23
D. Pemikiran dan Ajaran K.H Hasyim Asy’ari ....................................... 29
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN K.H HASYIM ASY’ARI
A. Pendidikan Menurut K.H Hasyim Asy’ari .......................................... 33
1. Pengertian Pendidikan ................................................................... 33
2. Tujuan Pendidikan ........................................................................ 35
B. Pendidik Menurut K.H Hasyim Asy’ari ............................................. 36
1. Pengertian Pendidik ...................................................................... 36
2. Etika Pendidik dalam Mengajar .................................................... 37
3. Etika Pribadi Seorang Pendidik .................................................... 39
C. Peserta Didik Menurut K.H Hasyim Asy’ari ...................................... 41
1. Pengertian Peserta Didik ................................................................ 41
2. Etika Peserta Didik dalam Belajar ................................................. 43
3. Etika Pribadi Seorang Peserta Didik .............................................. 45
BAB IV PEMBAHASAN
A. Relasi Pendidik dan Peserta Didik dalam Kitab Adabul ‘Alim wal
Muta’allim ........................................................................................... 47
B. Relevansi Pemikiran K.H Hasyim Asy’ari Tentang Pendidik dan Peserta
Didik Dengan Zaman Sekarang .......................................................... 53
xv
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 59
B. Saran .................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP PENULIS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Guru adalah orang tua kedua bagi peserta didik. Dengan demikian,
menjadi tugas guru untuk selalu memerhatikan perkembangan setiap peserta
didik. Mendidik dengan kasih sayang akan dapat menghasilkan peserta didik
yang mampu bertanggung jawab. Artinya, peserta didik akan mampu
mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Dengan demikian, ia akan merasa
senang dan bahagia dengan apa yang telah diperbuatnya (Setiawan, 2008: 130).
Guru berperan sebagai pemberi ilmu pengetahuan, tentunya semua
kemampuan yang dimiliki disampaikan kepada peserta didik. Bila peserta didik
memiliki nilai bagus dan berhasil memperoleh prestasi, hal itu merupakan suatu
kebanggaan tersendiri bagi seorang guru. Hal ini menunjukkan metodologi dan
keterampilan mengajar guru patut dihargai, karena telah mampu membawa
anak didiknya menjadi manusia cerdas, pintar, dan berwawasan luas (Isjoni,
2006: 111-112).
Potensi yang dianugerahkan oleh Allah tidaklah mudah berkembang
jika tidak ada yang membantu menuntunnya, maka dari itu peran orang lain
dalam berinteraksi sangat penting. Dari berbagai macam interaksi, tentunya
interaksi yang memiliki tujuan yang jelaslah yang dapat membantu
perkembangan potensi agar lebih baik. Sehingga dapat diketahui bahwa
interaksi dalam proses pendidikan merupakan interaksi yang sangat penting
dalam mengoptimalkan kemampuan atau potensi dalam diri seseorang.
2
Pendidik merupakan salah satu peran penting dalam pembelajaran dan
juga sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan pendidikan. Tidak hanya
mengajar, tetapi pendidik juga berperan penting dalam pembentukan watak
serta membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi-potensi yang
dimilikinya. Dengan begitu jelaslah bahwa pendidik tak hanya berperan sebagai
pengajar melainkan juga harus mampu mengarahkan, membentuk dan membina
sikap mental anak didik, sehingga diharapkan seorang pendidik nantinya
mampu menanamkan nilai-nilai moral pada peserta didiknya.
Akan tetapi dilihat dari kenyataannya pada masa kini, Kompas, (Muis,
2011: 63) berpendapat bahwa pendidikan anak seringkali tidak lepas dari tindak
kekerasan. Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan pada anak dapat
bermacam-macam, mulai dari verbal hingga fisik. Di Indonesia angka
kekerasan terhadap anak secara umum semakin meningkat.
Beberapa asumsi bisa diajukan untuk menjelaskan fenomena kekerasan
yang terjadi dalam dunia pendidikan. Pertama, kekerasan dalam pendidikan bisa
muncul sebagai akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman,
terutama fisik. Ada pihak yang melanggar dan ada pihak yang memberi sanksi.
Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka
terjadilah tindak kekerasan. Aksi kekerasan susulan bisa terjadi bila antara
pelaku dan korban terjadi aksi saling balas dendam. Kedua, kekerasan dalam
pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan
yang berlaku. Muatan kurikulum, yang hanya mengandalkan kemampuan aspek
kognitif dan mengabaikan aspek afektif, menyebabkan berkurangnya proses
3
humanisasi dalam pendidikan. Ketiga, kekerasan dalam pendidikan mungkin
pula dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa.
Keempat, kekerasan bisa jadi merupakan refleksi dan perkembangan kehidupan
masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga menimbulkan sikap
instant solution dan jalan pintas. Kelima, kekerasan mungkin pula dipengaruhi
oleh latar belakang sosial ekonomi pelaku (Muis, 2011: 64).
Berangkat dari berbagai persoalan di atas, sudah saatnya sistem
pendidikan Indonesia dibenahi, lebih khususnya untuk para pendidik yang
sering melakukan tindak kekerasan pada peserta didik. Karena pada dasarnya
antara pendidik dan peserta didik keduanya sama-sama menjadi objek suatu
pendidikan, keduanya juga berada dalam sebuah hubungan yang saling
membutuhkan. Belajar mengajar merupakan satu istilah tunggal namun dengan
makna yang berbeda. Belajar merupakan perubahan tingkah laku dari sebuah
pengalaman, sedangkan mengajar merupakan kegiatan mengarahkan untuk
memperoleh ilmu yang baik, keterampilan, nilai dan sikap yang membawa
perubahan tingkah laku maupun kesadaran diri dari kepribadiannya.
Dilihat lagi dari realita dimasa kini, tidak sedikit hubungan antara guru
dan siswa yang kurang harmonis. Terlebih lagi bagi seorang guru yang salah
dalam memahami profesinya, maka bergeserlah fungsi guru secara perlahan.
Begitu juga dengan seorang siswa, tidak jarang juga yang berangkat ke sekolah
hanya untuk menggugurkan kewajibannya untuk belajar dan tidak disertai niat
yang baik. Sementara itu semakin ke depan, wibawa seorang guru semakin
merosot dimata murid-muridnya. Salah satu contoh kekerasan murid terhadap
4
guru di SMA Negeri 1 Torjun, Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa Timur,
menjadi korban tindak kekerasan siswanya sendiri. Seorang siswa dilaporkan
melakukan penganiayaan kepada gurunya hanya karna guru tersebut mencolek
pipi salah seorang siswa dengan cat warna karena siswa yang bersangkutan
mengganggu teman-temannya ketika pelajaran berlangsung (Republika, 05 Feb
2018). Sikap murid terhadap guru sudah sangat memprihatinkan, terlebih lagi
yang di sekolah umum. Guru hanya dipandang sebagai orang yang sedang
melaksanakan tugasnya, bukan lagi sebagai orang yang harus diteladani.
Oleh karena itu, seorang pendidik hendaklah tidak menganggap remeh
terhadap apa yang senantiasa diperhatikan oleh peserta didik. Seorang pendidik
harus senantiasa siap memberikan bimbingan nurani dan etika yang tinggi
terhadap peserta didiknya. Suatu proses pembelajaran akan berlangsung dan
berhasil dengan baik apabila interaksi antara pendidik dan peserta didik juga
baik. Untuk itu diperlukanlah kinerja yang baik pula antara keduanya.
Dalam buku pemikiran pendidikan K.H Hasyim Asy’ari, interaksi yang
harus dilakukan peserta didik dengan pendidik menurut K.H Hasyim Asy’ari
sebenarnya lebih mempengaruhi tingkat keberhasilan murid dalam belajar jika
dibandingkan dengan hanya mempelajari materi pembelajaran yang telah
disampaikan di sekolah. Ketika peserta didik berinteraksi dengan guru, maka
wajib baginya untuk memperhatikan etika yang baik.
Alasan mengapa penulis mengambil judul ini karena penulis tertarik
dengan berbagai pemikiran dari K.H Hasyim Asy’ari terutama dalam kitab
Adabul ‘Alim wal Muta’allim yang merupakan kitab pendidik dan peserta didik.
5
Selain itu, penulis juga akan menganalisis pemikiran K.H Hasyim Asy’ari
tentang hubungan pendidik dan peserta didik dalam kitab Adabul ‘Alim wal
Muta’allim.
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam sebuah
penelitian kepustakaan dengan judul “Relasi Pendidik dan Peserta Didik dalam
Kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim Karya K.H. Hasyim Asy’ari” dengan
harapan dapat memberikan manfaat dan kontribusi terutama bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang diuraikan di atas, yang akan menjadi pokok
pembahasan dalam penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana relasi pendidik dan peserta didik dalam kitab Adabul ‘Alim wal
Muta’allim karya K.H Hasyim Asy’ari ?
2. Bagaimana relevansi pemikiran K.H Hasyim Asy’ari tentang relasi
pendidik dan peserta didik dengan pendidikan sekarang ?
C. Tujuan Penelitian
Dari persoalan di atas tujuan yang hendak penulis diskripsikan dalam
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana relasi pendidik dan peserta didik dalam kitab
Adabul ‘Alim wal Muta’allim karya K.H Hasyim Asy’ari.
6
2. Untuk mengetahui bagaimana relevansi pemikiran K.H Hasyim Asy’ari
tentang relasi pendidik dan peserta didik dengan pendidikan sekarang.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat,
baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara
teoritis. Dan diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi penulis pribadi, teman-teman dan semua yang membacanya. Dan
memberikan kontribusi pemikiran dalam meningkatkan pengetahuan
tentang hubungan antara pendidik dengan peserta didik.
2. Manfaat Praktis
Sebagai sumbangan fikiran dalam bentuk tulisan yang berbentuk
karya ilmiah, guna dapat dimanfaatkan oleh kalangan mahasiswa,
khususnya mahasiswa IAIN Salatiga, yang sekiranya membutuhkan
wawasan luas dalam pembuatan karya ilmiah, maupun untuk berbagai pihak
yang memerlukannya. Dan penelitian ini diharapkan dapat menambah
kebaikan ilmu pengetahuan bagi penulis dan mahasiswa jurusan Pendidikan
Agama Islam (PAI) IAIN Salatiga khususnya, maupun mahasiswa jurusan
yang lainnya dan para pembaca lainnya.
7
E. Kajian Pustaka
Guna menghindari terjadinya pengulangan kajian dalam hal-hal yang
sama dalam penelitian lain, maka penulis memaparkan beberapa penelitian
sebelumnya, sebagai perbandingan terhadap penelitian ini. Dalam skripsi ini
penulis mengambil beberapa contoh skripsi peneliti terdahulu guna menambah
referensi, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Markhumah Purnaeni (2010), Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta yang berjudul : “Etika Pelajar Menurut K.H Hasyim
Asy’ari dalam Kitab Adab Al-Alim Wa Al-Muta’allim”. Penelitian
kualitatif yang menggunakan pendekatan study pustaka (library research).
Sumber data penelitian berasal dari sumber data primer dan sumber data
sekunder. Adapun metode analisis ini menggunakan metode analisis
deduktif dan induktif.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Muhamad Ilzam Syah Almutaqi (2013),
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam,
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga yang berjudul : “Konsep
Pendidikan Akhlak Menurut K.H Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adab Al-
Alim Wa Al-Muta’allim”. Penelitian kualitatif yang menggunakan
pendekatan study pustaka (library research). Sumber data penelitian berasal
dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun metode analisis
ini menggunakan metode analisis deduktif dan induktif.
8
Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu membahas
tentang kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim karya K.H Hasyim Asy’ari, serta
menggunakan jenis penelitian library research.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu terletak pada
skripsi peneliti ini membahas tentang relasi pendidik dan peserta didik dan
analisis datanya menggunakan metode deskriptif dan metode analisis.
Sedangkan peneliti sebelumnya yang bernama Markhumah Purnaeni
membahas tentang etika pelajar dan analisis datanya menggunakan metode
analisis deduktif dan induktif, serta peneliti sebelumnya yang bernama
Muhamad Ilzam Syah Almutaqi membahas tentang konsep pendidikan akhlak
dan analisis datanya menggunakan metode analisis deduktif dan induktif.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penilaian kepustakaan
(library research), karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka
dan yang dijadikan obyek kajian adalah hasil karya tulis yang merupakan
hasil dari pemikiran.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan metode library research (penelitian
kepustakaan) maka peneliti menggunakan teknik yang diperoleh dari
9
perpustakaan dan dikumpulkan dari kitab-kitab dan buku-buku yang
berkaitan dengan obyek penelitian, yang terdiri dari dua sumber :
a. Sumber primer, merupakan data utama yang langsung berkaitan dengan
permasalahan yang didapat yaitu : Kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim.
b. Sumber sekunder, merupakan data yang diperoleh dari sumber
pendukung untuk memperjelas data primer, data sekunder ini diambil
dari sumber-sumber yang lain dengan cara mencari buku lain yang
berkaitan dengan judul ini, yaitu buku terjemahan Kitab Adabul ‘Alim
wal Muta’allim, buku berguru ke sang Kiai (Pemikiran Pendidikan K.H
Hasyim Asy’ari) dan informasi lainnya yang mendukung judul dari
penelitian ini.
3. Teknik Analisis Data
Melihat objek penelitian ini adalah buku-buku atau literatur yang
termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan, maka penelitian ini
merupakan library research. Data yang terkumpul selanjutnya akan penulis
Analisa menggunakan teknik Analisa kualitatif dengan cara metode
deskriptif dan metode analisis.
a. Metode Deskriptif
Metode deskriptif adalah pemaparan gambaran mengenai situasi
yang diteliti dalam bentuk uraian naratif (Sudjana, 1989: 198). Peneliti
melakukan analisis data dengan menggambarkan pemikiran K.H
Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim.
10
b. Metode Analisis
Metode Analisis adalah analisis terhadap makna yang
terkandung dalam pemikiran, menganalisa dan memahami dari sebuah
pendapat maupun sebuah buku, baik sebagian maupun keseluruhan
untuk mengetahui, memahami dan menjelaskan isi dari sebuah buku
tersebut (Suryabrata, 1996: 85).
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga
pembaca nantinya dapat memahami tentang isi skripsi dengan mudah, penulis
berusaha memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara garis
besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab, maka penulis memberikan sistematika
penulisan sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan, menguraikan tentang : Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kajian Pustaka,
Metode Penelitian, Definisi Operasional dan Sistematika Penulisan sebagai
gambaran awal dalam memahami penelitian ini.
BAB II : Biografi K.H Hasyim Asy’ari, menguraikan tentang : Biografi
tokoh K.H Hasyim Asy’ari, yang meliputi riwayat kelahiran, riwayat
pendidikan, beberapa karyanya serta pemikiran dan ajaran K.H Hasyim Asy’ari.
BAB III : Deskripsi pemikiran K.H Hasyim Asy’ari, menguraikan
tentang : Pendidikan, Pendidik dan Peserta Didik. Dalam Pendidikan meliputi
pengertian pendidikan dan tujuan pendidikan. Dalam Pendidik meliputi
11
pengertian pendidik, etika pendidik dalam mengajar, dan etika pribadi seorang
pendidik. Dalam Peserta Didik meliputi pengertian peserta didik, etika peserta
didik dalam belajar, dan etika pribadi seorang peserta didik menurut K.H
Hasyim Asy’ari. Serta relasi pendidik dan peserta didik dalam kitab Adabul
‘Alim wal Muta’allim.
BAB IV : Analisis, menguraikan tentang : Signifikansi pemikiran K.H
Hasyim Asy’ari, Relevansinya tentang pendidik dengan peserta didik dengan
pendidikan saat ini serta implikasinya.
BAB V : Penutup, menguraikan tentang : kesimpulan dan saran.
12
BAB II
BIOGRAFI K.H HASYIM ASY’ARI
A. Biografi K.H Hasyim Asy’ari
K.H Hasyim Asy’ari dilahirkan di Gedang. Dusun kecil di utara Kota
Jombang yang sekarang masuk dalam wilayah desa Tambakrejo, kecamatan
kota Jombang, timur Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas. K.H Hasyim
Asy’ari lahir pada hari Selasa Kliwon tanggal 24 Dzulqa’dah 1287 H,
bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M (Mukani, 2016: 44).
K.H Hasyim Asy’ari lahir dari pasangan Kyai Asy’ari dan Nyai
Halimah. Nama lengkap K.H Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim bin
Asy’ari bin ‘Abdul Wahid Bin ‘Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin
‘Abdurrahman (Joko Tingkir atau Mas Karebet atau Sultan Hadiwijaya) bin
‘Abdullah bin ‘Abdul Aziz bin ‘Abdul Fattah bin Maulana Ishaq bin Ainul
Yaqin yang lebih populer dengan sebutan Sunan Giri (Mukani, 2016: 44). Dari
jalur keturunan tersebut bisa difahami bahwa K.H Hasyim Asy’ari adalah
keturunan bangsawan, aristoktar dan ulama.
Semasa masih hidup, K.H Hasyim Asy’ari pernah menikah dengan
empat perempuan. Namun beliau tidak pernah memiliki dua istri atau lebih
dalam waktu yang bersamaan atau bisa disebut dengan poligami. Akan tetapi,
pernikahan baru dilakukan setelah istri sebelumnya meninggal dunia, yang pada
saat itu K.H Hasyim Asy’ari sudah berstatus duda. Hal ini sekaligus membantah
pendapat beberapa kalangan yang menyatakan bahwa K.H Hasyim Asy’ari
melakukan poligami.
13
Aboebakar Atjeh, (Mukani, 2016: 50) berpendapat bahwa istri pertama
K.H Hasyim Asy’ari adalah nyai Khadijah binti kyai ya’qub dari pesantren
siwalan panji buduran sidoarjo. Pernikahan dengan istri pertama ini digelar pada
tahun 1892 M/1308 H, saat K.H Hasyim Asy’ari baru berusia 21 tahun. Menurut
Aboebakar Atjeh, K.H Hasyim Asy’ari menikah dengan nyai Khadijah atas
permintaan kyai ya’qub sendiri yang terpesona dengan keilmuan dan ketinggian
akhlak yang dimiliki K.H Hasyim Asy’ari.
Dengan istri pertama, K.H Hasyim Asy’ari memiliki satu putra,
Abdullah. Bayi Abdullah meninggal dunia saat masih berusia 40 hari. Ini terjadi
karena Nyai Khadijah meninggal dunia saat melahirkan Abdullah. Kondisi ini
menyebabkan K.H Hasyim Asy’ari sangat bersedih, lalu diajak pulang ke
Indonesia oleh sang mertua Kyai Ya’qub.
Istri kedua K.H Hasyim Asy’ari adalah Nyai Nafishah binti Kyai Romli
dari Pesantren Kemuning Bandar Kecamatan Mojoroto Kota Kediri. K.H
Hasyim Asy’ari menikah dengan istri kedua saat sama-sama masih berada di
Mekkah. Setelah dua tahun menikah dan belum diberikan keturunan, Nyai
Nafishah meninggal dunia.
Solichin Salam, (Mukani, 2016: 50-51) berpendapat bahwa istri ketiga
K.H Hasyim Asy’ari adalah Nyai Nafiqah binti Kyai Muhammad Ilyas dari
Pesantren Sewulan Dagangan Madiun. Dengan Nyai Nafiqah, K.H Hasyim
Asy’ari memiliki sepuluh putra, yaitu Hannah, Khoiriyah atau Ummu Abdul
Jabbar, Aisyah atau Ummu Muhammad, Azzah atau Ummu Abdul Haq, Abdul
Wahid, Abdul Hakim atau Kyai Kholiq, Abdul Karim, Ubaidillah, Masruroh
14
dan Muhammad Yusuf atau Pak Ud. Nyai Nafiqah meninggal dunia pada tahun
1920 M dan jenazahnya dimakamkan di Pesantren Tebuireng.
Istri keempat K.H Hasyim Asy’ari adalah Nyai Masrurah binti Kyai
Hasan Muchyi dari Pesantren Salafiyah Kapurejo Pagu Kediri. Dengan Nyai
Masrurah, K.H Hasyim Asy’ari memiliki empat putra, yaitu Abdul Qadir,
Fathimah, Khadijah dan Muhammad Ya’qub. Dalam film Sang Kyai, Nyai
Masrurah disebut dengan Nyai Kapu, dinisbatkan kepada nama desa kelahiran,
Kapurejo. Jenazah Nyai Masrurah juga dimakamkan di Pesantren Tebuireng.
Kemauan yang keras dalam diri K.H Hasyim Asy’ari untuk senantiasa
belajar telah membentuk kebesaran namanya. Hal ini ditunjang dengan pola
pengasuhan dari lingkungan keluarga yang sangat kental dengan nuansa
Pesantren. Sampai dengan berusia lima tahun, K.H Hasyim Asy’ari dibesarkan
oleh pola pendidikan dan lingkungan di rumah kakeknya di Pesantren Gedang,
Jombang. Setelah itu hingga berumur 15 tahun, K.H Hasyim Asy’ari belajar
agama kepada ayahnya sendiri di Pesantren Keras. Didorong semangat
mudanya untuk selalu mencari ilmu, K.H Hasyim Asy’ari kemudian
melanjutkan studinya ke beberapa Pesantren yang terdapat di Pulau Jawa
(Mukani, 2016: 51-52).
B. Riwayat Pendidikan K.H Hasyim Asy’ari
Berlatar belakang dari keluarga Pesantren, pendidikan K.H Hasyim
Asy’ari tidak berbeda jauh dengan lingkungannya, dari kecil K.H Hasyim
Asy’ari belajar sendiri dengan ayah dan kakeknya. K.H Hasyim Asy’ari
15
merupakan sosok yang tidak mengenal kata menyerah dalam hal mencari ilmu.
Semangat thalabul ‘ilmi dalam dirinya yang didukung dengan kondisi ketika itu
memang kondusif untuk merealisasikan cita-cita, menjadikan kesempatan
belajar bagi K.H Hasyim Asy’ari semakin terbuka lebar. Maka tidak heran jika
K.H Hasyim Asy’ari memiliki kesempatan untuk melanjutkan studi ke berbagai
pesantren di Pulau Jawa, bahkan harus pergi ke Arab Saudi.
Kesempatan langka ini dimanfaatkan K.H Hasyim Asy’ari dengan
sebaik-baiknya. Setelah 5 tahun berada dalam pendidikan dan lingkungan
kakeknya di Pesantren Gedang, dilanjutkan dengan 10 tahun dalam pola
pendidikan ayahnya di Pesantren Keras, K.H Hasyim Asy’ari memberanikan
diri pamit kepada orang tua untuk mencari ilmu di luar kampung halaman
sendiri. Saat masih dalam masa pendidikan kakek dan ayah, K.H Hasyim
Asy’ari banyak belajar tentang dasar-dasar teologi Islam, Fiqh, Tafsir, Hadist,
Bahasa Arab dan sebagainya. Bahkan pada usia 13 tahun, K.H Hasyim Asy’ari
sudah dipercaya ayahnya untuk mengajar santri yang usianya lebih senior di
Pesantren Keras (Mukani, 2016: 53).
Pada usia 15 tahun, K.H Hasyim Asy’ari berangkat dengan keterbatasan
fasilitas yang ada ketika itu. Pesantren yang pertama kali dituju oleh K.H
Hasyim Asy’ari adalah Pesantren Wonorejo, di daerah Trowulan Mojokerto.
Menuju pesantren ini, K.H Hasyim Asy’ari berjalan kaki. Di pesantren ini, K.H
Hasyim Asy’ari tidak lama menetap. K.H Hasyim Asy’ari memang berpindah-
pindah dalam menuntut ilmu karena belum ditemukannya ilmu yang dicari
secara spesifik dari Pesantren yang didatangi, di samping masing-masing
16
pesantren saat itu memang memiliki spesifikasi dalam pelajaran ilmu agama
yang diberikan (Mukani, 2016: 53).
Kemudian K.H Hasyim Asy’ari pindah ke Pesantren Wonokoyo di
Probolinggo selama 3 tahun. Lalu meneruskan pengembaraan intelektual ke
Pesantren Langitan di Tuban. Kemudian pindah lagi ke Pesantren Tenggilis di
Surabaya, yang kemudian menjadi perantara K.H Hasyim Asy’ari untuk
meneruskan perjalanannya ke Madura, tepatnya di Pesantren Kademangan
Bangkalan, yang ketika diasuh oleh Syaikhona Khalil bin Abdul Latif.
Di Pesantren Kademangan Bangkalan ini, K.H Hasyim Asy’ari tinggal
selama 3 tahun. Dari Syaikhona Khalil, K.H Hasyim Asy’ari menimba ilmu
tentang Fiqh, Sufisme, Tata Bahasa dan Sastra Arab. Di kemudian hari,
Syaikhona Khalil memiliki peran besar dalam pendirian NU, karena K.H
Hasyim Asy’ari meminta ijin terlebih dahulu dari tokoh ini sebelum mendirikan
NU. Syaikhona Khalil dianggap sebagai waliyullah dan maha guru dari para
Kyai di Pulau Jawa dan Madura. Meski demikian, Syaikhona Khalil tetap tidak
sungkan untuk justru berguru kepada K.H Hasyim Asy’ari dalam bidang hadits
di Pesantren Tebuireng (Mukani, 2016: 54-55).
Segala ilmu yang telah diperoleh K.H Hasyim Asy’ari ternyata belum
mampu memuaskan keingin tahuannya yang kemudian mendorong dirinya
untuk melanjutkan perjalanan ilmiah kembali. Oleh karena itu, pada tahun 1307
H/1891 M, K.H Hasyim Asy’ari lalu berangkat kembali ke Pulau Jawa.
Tepatnya di Pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo, yang ketika itu masih
diasuh Kyai Ya’qub. Syaikhona Khalil dan Kyai Ya’qub dipandang sebagai dua
17
tokoh penting yang berkontribusi besar dalam membentuk kapasitas intelektual
K.H Hasyim Asy’ari.
Di Pesantren Siwalan Panji ini, K.H Hasyim Asy’ari lebih banyak
menggunakan waktu untuk memperdalam pengetahuan yang dimiliki dalam
bidang Fiqh, Tafsir, Hadist, Tauhid dan Sastra Arab. Selama kurang lebih 3
tahun, tanpa sepengetahuan K.H Hasyim Asy’ari, ternyata ketekunan dan
kecerdasan yang dimilikinya diamati oleh Kyai Ya’qub. Kelebihan dalam hal
inilah yang mendorong Kyai Ya’qub berkehendak untuk menjadikan K.H
Hasyim Asy’ari sebagai calon menantu. Akan dinikahkan dengan putrinya yang
bernama Khadijah, pada tahun 1308 H/1892 M (Mukani, 2016: 55).
Pada awalnya, K.H Hasyim Asy’ari belum memiliki niat untuk
menikah, dikarenakan statusnya yang masih mencari ilmu (santri). Tetapi
setelah dinasehati oleh Kyai Ya’qub tentang pernikahan yang tidak akan
mengganggu studinya dan karena sungkan untuk menolak perintah Kyai
sendiri, akhirnya K.H Hasyim Asy’ari menerima tawaran Kyai Ya’qub.
Keputusan ini diambil setelah meminta ijin kepada orang tua K.H Hasyim
Asy’ari di Pesantren Keras Jombang.
Setelah menikah, satu tahun berikutnya K.H Hasyim Asy’ari bersama
istri dan mertuanya berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Niat
awalnya, setelah melaksanakan ibadah haji, K.H Hasyim Asy’ari ingin menetap
dahulu di Mekkah untuk beberapa waktu guna melanjutkan studi dalam mencari
ilmu. Tetapi belum genap 7 bulan di Mekkah, istri pertama K.H Hasyim Asy’ari
wafat setelah melahirkan putra pertamanya, Abdullah. Belum hilang kesedihan
18
ditinggal Khadijah tercinta, bayi pertama K.H Hasyim Asy’ari yang bernama
Abdullah juga wafat dalam usia 40 hari. Dua peristiwa ini yang mengganggu
konsentrasi K.H Hasyim Asy’ari dalam melanjutkan studi di Mekkah, sehingga
Kyai Ya’qub mengajaknya pulang terlebih dahulu ke Indonesia untuk beberapa
waktu, guna menenangkan pikiran (Mukani, 2016: 55-56).
Pada keberangkatan ke mekkah yang kedua ini, K.H Hasyim Asy’ari
lebih lama menetap di Mekkah karena selalu dimotivasi oleh pesan dan harapan
al-marhumah Khadijah. Putri Kyai Ya’qub itu pernah berpesan agar K.H
Hasyim Asy’ari kelak menjadi orang pandai yang mampu memimpin
masyarakatnya. Pada muqim di Mekkah periode kedua ini, K.H Hasyim Asy’ari
harus ditinggal wafat kembali oleh adiknya, Anis. Adik kandungnya ini orang
yang setia kepada K.H Hasyim Asy’ari dalam menemani dalam melanjutkan
studi di Mekkah.
Saat di mekkah, hari-hari K.H Hasyim Asy’ari lebih banyak
dimanfaatkan untuk mengkaji berbagai ilmu yang diajarkan oleh para ahlinya
di Mekkah ketika itu. Di samping itu, K.H Hasyim Asy’ari juga berupaya untuk
memperkuat spiritual dengan cara memperbanyak wirid dan do’a di Masjidil
Haram maupun di Gua Hira’ yang berada di atas bukit Jabal Nur. K.H Hasyim
Asy’ari selalu membawa buku-buku bacaan Al-Qur’an untuk dikaji selama
menetap di tempat itu. Ketika hari Jum’at pagi, K.H Hasyim Asy’ari turun dari
bukit tersebut untuk melaksanakan shalat Jum’at di kota Mekkah (Mukani,
2016: 57).
19
Guru pertama K.H Hasyim Asy’ari saat di Mekkah adalah Syaikh
Mahfudz Al-Tirmisi. Di Mekkah, Syaikh Mahfudz ini mengajar tentang Hadist
dan Thariqat Qadariyyah Naqshabandiyyah. Nama asli Syaikh Mahfudz adalah
Muhammad Mahfudz bin Abdullah bin Abdul Manan bin Abdullah bin Ahmad
Al-Tirmisi Al-Jawi. Tokoh ini lahir di Termas, Pacitan, Jawa Timur, tanggal 31
Agustus 1868. Syaikh Mahfudz meninggal dunia di Mekkah tanggal 20 Mei
1920 M. Syaikh Mahfudz merupakan ulama Indonesia yang pertama kali
mengajar kitab Shahih Bukhari di Mekkah. Juga sebagai pemegang otoritas
terakhir dari 23 generasi ulama dalam mengajarkan kitab hadist tersebut. Syaikh
Mahfudz juga memiliki otoritas meriwayatkan sanad hadist dari kitab Shahih
Muslim, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah,
Musnad Imam Syafi’i, Musnad Imam Abu Hanifah, Musnad Ahmad Bin Hanbal.
Mukhtashar Abi Jamrah, Arba’in Nawawiyah, Muwatha’ dan Jami’ul Shaghir.
Dari tokoh ini, K.H Hasyim Asy’ari belajar tentang thariqat yang diperoleh
Syaikh Mahfudz dan Syaikh Nawawi Banten, murid Syaikh Ahmad Khatib dari
Sambas, Kalimantan Barat. Dari Syaikh Mahfudz ini pula K.H Hasyim Asy’ari
memperoleh otoritas periwayatan hadist (sanad) dalam mengajarkan kitab
Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Beberapa karangan Syaikh Mahfudz
adalah Al-Siqayat Al-Mardhiyah, Muhibbah Dzil Fadli, Manhaj Dhawin
Nadzar, Kifayatul Mustafid Dan Al-Khalat Al-Fikriyah.
Guru kedua bagi K.H Hasyim Asy’ari adalah Syaikh Ahmad Khatib Al-
Minankabawi. Nama lengkap tokoh ini adalah Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul
Lathif bin Abdullah Al-Minangkabawi. Lahir di ampat angkat, Bukit Tinggi
20
tahun 1855 dan wafat di Mekkah pada 1916. Tokoh ini ahli dalam bidang fiqh
beraliran Syafi’iyah. Setelah menimba ilmu dari keluarga sendiri, Khatib lalu
hijrah ke Mekkah dan berguru kepada Sayyid Bakri Syata, Sayyid Ahmad bin
Zayni Dahlan, Syaikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makki dan
sebagainya. Selama masih hidup, tidak kurang dari 17 karya tulis yang pernah
dihasilkan. Di antaranya adalah Al-Jawhar Al-Naqliyyah, Hasyiyah Al-Nafahat,
Rawdhatul Hussab, ‘Alamul Hussab, Al-Da’il Masmu’ dan Dha’us Siraj.
Syaikh Ahmad Khatib adalah aktor dari Kaum Muda di Minangkabau saat itu.
Ini dilakukan melalui upayanya mengajar orang-orang Minangkabau yang
berorientasi kepada urgensi kebangkitan umat muslim setelah mereka
melaksanakan haji di Mekkah. Syaikh Ahmad Khatib pernah menjabat sebagai
imam di Masjidil Haram dari madzhab Syafi’iyah. Murid-muridnya banyak
yang menjadi tokoh pergerakan Islam di Indonesia. Saat berguru kepada Syaikh
Ahmad Khatib inilah K.H Hasyim Asy’ari menjadi teman seangkatan dengan
K.H Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah.
Guru ketiga K.H Hasyim Asy’ari adalah Syaikh Nawawi Al-Bantani.
Nama lengkapnya adalah Muhammad Nawawi Bin Umar bin Arabi bin Ali Al-
Jawi Al-Bantani. Lahir di Banten pada tahun 1814 dan wafat di Mekkah pada
1897 M. Syaikh Nawawi adalah ulama Indonesia paling produktif yang
bermukim di haramain. Selama hidup, karya Syaikh Nawawi tidak kurang dari
99 buku maupun risalah. Bahkan ada yang mengatakan lebih dari 115 buah.
Semua tulisan itu membahas berbagai disiplin kajian Islam. Beberapa karyanya
yang masih terkenal sampai sekarang adalah Fathul Shamad Al-‘Alim,
21
Nasha’ihul ‘Ibad, Al-Futuhat Al-Madaniyyah, Tanqihul Qawl, Nihayatul Zayn,
Targhibul Mustaqin, Hidayatul Azkiya, Madarijul Sa’ud, Bughyatul ‘Awam,
Fathul Majid dan sebagainya.
Ketiga nama tersebut di atas, yaitu Syaikh Mahfudz, Syaikh Ahmad
Khatib dan Syaikh Nawawi, adalah guru besar di Mekkah saat itu. Ketiganya
adalah tokoh yang berhasil membangkitkan semangat pergerakan dan
nasionalisme dari murid-murid Indonesia yang saat itu menimba ilmu di
Mekkah. Ketiganya juga memberikan pengaruh signifikan dalam pembentukan
intelektual K.H Hasyim Asy’ari.
Guru keempat adalah Syaikh Ahmad Khatib dari Sambas, Kalimantan
Barat. Tokoh ini telah berhasil menggabungkan ajaran thariqat aliran
Qadariyyah dan Naqsyabandiyyah. Di samping itu, K.H Hasyim Asy’ari juga
berguru kepada Syaikh Ahmad Amin Al-Aththar, Sayyid Sulthan bin Hasyim,
Sayyid Ahmad Nawawi, Syaikh Ibrahim ‘Arb, Sayyid Ahmad bin Hasan Al-
Aththasy, Syaikh Sa’id Al-Yamami, Sayyid Abu Bakar Syatha’ Al-Dimyati,
Syaikh Rahmatullah, Sayyid ‘Alwi bin Ahmad Al-Saqaf, Sayyid ‘Abbas
Maliki, Sayyid ‘Abdullah Al-Zawawi, Syaikh Shalih Bafadhal, Syaikh Syu’aib
bin Abdurrahman, Syaikh Sulthan Hasyim Daghastani dan Sayyid Husain Al-
Habsyi, yang saat itu menjadi mufti di Mekkah (Mukani, 2016: 58-61).
Selama 7 tahun K.H Hasyim Asy’ari menetap di Mekkah untuk
melanjutkan studi yang diliputi dengan semangat membara. Prestasi belajar K.H
Hasyim Asy’ari yang menonjol, membuatnya kemudian juga memperoleh
kepercayaan untuk mengajar di Masjidil Haram. Beberapa ulama terkenal dari
22
berbagai negara pernah belajar kepada K.H Hasyim Asy’ari. Di antaranya
adalah Syaikh Sa’dullah Al-Maymani (mufti di Bombai India), Syaikh Umar
Hamdan (Ahli Hadist di Mekkah), Al-Syihab Ahmad bin ‘Abdullah (Syiria),
K.H Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas), K.H. R. Asnawi (Kudus), K.H
Bisyri Syansuri (Denanyar), K.H Dahlan (Kudus) dan K.H Saleh (Tayu)
(Mukani, 2016: 62).
Fakta ini menunjukkan bahwa ulama asal Indonesia pada masa lalu
bukan hanya sekedar “murid” para ulama di Timur Tengah dan dunia Islam
lainnya. Namun mereka juga sebagai “guru” karena kedalaman ilmunya
mendapatkan reputasi yang sangat baik. Nama ulama dari nusantara pun dicatat
dengan tinta emas. K.H Hasyim Asy’ari telah berhasil menunjukkan diri
sebagai seorang ulama yang pantas untuk membagikan ilmu kepada orang lain.
Ini disebabkan karena K.H Hasyim Asy’ari merasa berutang jasa yang sangat
besar karena Mekkah telah menjadikannya sebagai salah satu ulama yang
brilian.
Atas alasan itu pula, tradisi menimba ilmu di Mekkah dalam beberapa
dekade setelah itu mengalami peningkatan karena diyakini akan menjadikan
ilmu keagamaan seseorang semakin bertambah dan mantap. Putra para Kyai di
Indonesia kerap dikirim ke Mekkah dan beberapa negara di timur tengah untuk
menimba ilmu di sana.
Setelah 7 tahun menghabiskan waktu dengan menimba ilmu di Arab
Saudi, tepatnya pada tahun 1899 M, K.H Hasyim Asy’ari kembali lagi ke rumah
orang tuanya di Pesantren Keras Jombang. Tujuannya untuk mengajarkan
23
berbagai ilmu yang telah diperoleh di Mekkah. Di samping itu, K.H Hasyim
Asy’ari juga mengajar di Pesantren mertuanya di Kediri dan Pesantren
kakeknya di Gedang Jombang (Mukani, 2016: 64).
Dengan memiliki setting sebagai orang ‘alim, memiliki bakat yang baik
dalam mencari ilmu dan mengajar yang cukup panjang, K.H Hasyim Asy’ari
kemudian menjadi salah satu guru terkenal di Jombang. Oleh karena itu, K.H
Hasyim Asy’ari berkeinginan untuk mendirikan Pesantren sendiri dalam rangka
mendukung upaya dakwah yang telah dilakukan para Kyai sebelumnya, seperti
Pesantren Gedang, Pesantren Keras, Pesantren Paculgowang, Pesantren
Sambong, Pesantren Nggayam dan sebagainya.
Pendirian Pesantren menjadi tahap awal dan memberikan kesempatan
bagi K.H Hasyim Asy’ari untuk mengaktualisasikan kapasitas keilmuannya,
bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga masyarakat Jawa dan Nusantara.
Keinginan K.H Hasyim Asy’ari untuk mendirikan Pesantren sendiri ini dapat
dilihat sebagai pengaruh dari perjuangan ayah, kakek dan moyangnya dalam
berdakwah dengan cara mendirikan Pesantren. Dalam perjalanan sejarah,
terbukti bahwa mendirikan Pesantren Tebuireng merupakan langkah nyata K.H
Hasyim Asy’ari dalam mengabdi kepada kepentingan agama dan bangsa, di
samping pendirian organisasi.
C. Karya Tulis K.H Hasyim Asy’ari
K.H Hasyim Asy’ari wafat pada hari Jum’at Pon tanggal 25 Juli 1947
Masehi atau bertepatan dengan tanggal 7 Ramadhan 1366 Hijriyah pada pagi
24
hari menjelang Subuh. Semasa hidup, K.H Hasyim Asy’ari merupakan salah
satu Kyai penulis yang produktif pada jamannya. Tulisan-tulisan tersebut
berbahasa Arab dan Jawa. Baik yang berkaitan dengan masalah ‘Aqidah, Fiqh,
Hadist, Tasawuf, Pendidikan maupun lainnya. Sebagian dari tulisan-tulisan
tersebut sudah dicetak ulang dan bahkan diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia.
Mayoritas artikel atau risalah yang ditulis menunjukkan respon K.H
Hasyim Asy’ari terhadap problematika yang dihadapi masyarakat. Resolusi
Jihad, sebagai studi kasus, menunjukkan bagaimana ijtihad K.H Hasyim
Asy’ari yang sangat kreatif dan inovatif dalam membela kepentingan rakyat.
Meski diakui semasa hidup K.H Hasyim Asy’ari tidak pernah menulis sebuah
buku yang utuh dan tebal, tetapi berupa risalah yang membahas tema aktual
dalam masyarakat. Namun, risalah yang tipis itu tidak menunjukkan bobot
mutu tentang karya tulis K.H Hasyim Asy’ari (Mukani, 2016: 89-90). Adapun
karya-karya beliau adalah sebagai berikut :
1. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim
Kitab ini membahas tentang keutamaan ilmu dan akhlak murid kepada
gurunya, begitu juga sebaliknya. Karya ini selesai ditulis pada hari Minggu
tanggal 22 Jumadil Tsani 1343 H/1924 M. Pada tahun 2003, kitab ini telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh M. Luqman Hakim dengan
judul Menjadi Orang Bener dan Pinter.
25
2. Al-Nur Al-Mubin
Kitab ini menerangkan tentang pentingnya beriman dan mencintai kepada
Nabi Muhammad SAW beserta segala akibat dari keimanan tersebut,
terutama dalam hal mencintai dan meneladaninya. Karya ini berisi 29 pokok
bahasan dan diselesaikan K.H Hasyim Asy’ari pada tanggal 25 Sya’ban
1346 H/1927 M.
3. Al-Tanbihat wa Al-Wajibat
Karya ini berisi reaksi dan kecaman K.H Hasyim Asy’ari terhadap praktek-
praktek peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang dijumpai di
masyarakat sekitar sebuah Pesantren yang diramaikan dengan hal-hal
maksiat. Karya ini selesai disusun K.H Hasyim Asy’ari pada Senin tanggal
25 Rabi’ul Awal 1355 H/1936 M.
4. Al-Durar Al-Muntatsirah
Tulisan ini membahas tentang hakikat dari orang-orang pilihan (waliyullah)
dan praktek-praktek sufi dalam thariqah atau tashawuf secara benar. Format
karya ini adalah tanya jawab tentang tema pokok pembahasan yang
berjumlah 19 pertanyaan. Karya ini selesai ditulis oleh K.H Hasyim Asy’ari
pada hari Rabu, 9 Sya’ban 1359 H, atau 14 September 1940.
5. Al-Tibyan
Karya ini menjelaskan pemikiran K.H Hasyim Asy’ari tentang tata acara
menjalin tali silaturrahim, bahaya atau larangan memutuskannya dan arti
membangun interaksi sosial. Karya ini setebal 17 halaman dan diselesaikan
pada hari Senin, tanggal 20 Syawal 1360 H/1940 M.
26
6. Al-Mawa’idz
Tulisan ini memandang pentingnya persatuan dan kesatuan di antara sesama
umat Islam dalam merespon upaya-upaya yang telah dilakukan Belanda.
Terutama masalah pernikahan dan penganaktirikan hukum Islam pada
lembaga peradilan ketika itu.
7. Risalah Ahlissunnah wal Jama’ah
Tulisan ini menjelaskan konsep ‘aqidah menurut aliran Ahlus Sunnah wal
Jama’ah (aswaja) dalam kaitan dengan konsep bid’ah, kematian, hadist dan
ijtihad. Juga perlunya umat Islam tetap memegang teguh pola keagamaan
bermadzhab.
8. Dha’ul Mishbah
Kitab ini menerangkan tentang pernikahan Islami. Kitab ini
mendeskripsikan secara jelas tentang prosedur pernikahan, meliputi hukum-
hukum, syarat, rukun, kewajiban dan hak-hak dalam perkawinan.
9. Ziyadatut Ta’liqat
Tulisan ini mengomentari kesalahpahaman kritik dari Syaikh ‘Abdullah bin
Yasin Pasuruan terhadap pendirian NU.
10. Al-Qanun Al-Asasi Li Jam’iyyatin Nahdhatil ‘Ulama
Karya ini membahas prinsip-prinsip dasar bagi organisasi NU. Manuskrip
ini terdiri dari ayat-ayat Al-Qur’an, Hadist dan pesan-pesan penting yang
melandasi pendirian organisasi masyarakat muslim terbesar di dunia. Karya
ini sangat penting dalam rangka memberikan fundamen yang kuat tentang
paham keagamaan yang akan dijadikan pijakan utama. Tulisan ini berisi
27
tentang latar belakang pendirian organisasi NU, hakikat dan jati diri NU,
potensi umat yang diharapkan menjadi pendukung NU, urgensi kesatuan di
antara ulama dan kewajiban taqlid bagi warga NU kepada salah satu
pendapat imam madzhab yang empat, yaitu Imam Syafi’i, Imam Abu
Hanifah, Imam Maliki dan Imam Hambali. Selain itu, karya ini juga memuat
fatwa K.H Hasyim Asy’ari tentang berbagai persoalan keagamaan yang
sedang dihadapi umat.
11. Arba’in Haditsan
Risalah ini berisi 40 hadist yang menjadi basis legitimasi dan dasar-dasar
pembentukan organisasi NU. Hadist-hadist itu berisi pesan untuk
meningkatkan ketaqwaan dan kebersamaan dalam hidup, yang harus
menjadi fondasi kuat bagi setiap umat muslim dalam mengurangi kehidupan
yang penuh dengan tantangan ini.
12. Al-Risalah Fil ‘Aqa’id
Tulisan ini menggunakan Bahasa jawa pegon. Berisi kajian tauhid. Karya
ini diedit oleh Syaikh Fahmi Ja’far Al-Jawi dan Syaikh Ahmad Sa’id ‘Ali
Dari Al-Azhar Kairo Mesir. Selesai diedit pada hari Kamis, 26 Syawal 1356
H/ 30 Desember 1937.
13. Al-Risalah Fil Tashawwuf
Tulisan ini berbahasa jawa dan berisi tentang konsep Ma’rifat, Syari’at,
Thariqat dan Haqiqat. Karya ini dicetak bersama dengan Al-Risalah Fil
‘Aqa’id.
28
14. Tamyizul Haqq Minal Bathil
Tulisan ini menjelaskan pandangan K.H Hasyim Asy’ari tentang ‘aqidah
dan ‘amaliyyah sebuah aliran agama yang dikembangkan oleh seorang
tokoh di dusun Sukowangi desa Karangtengah Kandangan Kediri. Menurut
penuturan K.H Hasyim Asy’ari, aliran ini berasal dari seorang guru spiritual
di desa Gembongan Ponggok Blitar.
15. Risalah Fi Ta’akud Al-Akhdz Bi Madzahib Al-A’immah Al-Arba’ah
Karya ini menjelaskan pentingnya berpegang teguh kepada salah satu di
antara imam madzhab yang empat, yaitu Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah,
Imam Maliki dan Imam Hambali. Karya ini juga membahas tentang metode
ijtihad, respon K.H Hasyim Asy’ari terhadap pernyataan Ibnu Hazm tentang
taqlid dan metodologi pengambilan hukum (istinbath al-hukm).
16. Hasyiyah ‘Ala Fathur Rahman
Tulisan ini berisi penjelasan K.H Hasyim Asy’ari tentang buku Risalatul
Waly Ruslan yang ditulis oleh Syaikh Zakariya Al-Anshari.
17. Al-Risalah Jama’ah Al-Maqashid
Tulisan ini terdiri dari 7 maksud dan satu bab penutup. Risalah ini lebih
banyak menjelaskan tentang ajaran-ajaran pokok dalam Islam yang harus
dipahami terlebih dahulu bagi orang Islam yang sudah dikenai hukum Islam
(mukallaf), baik tentang ushuluddin, ‘aqidah, thariqah, fiqih maupun
tashawuf.
Terdapat beberapa risalah karya K.H Hasyim Asy’ari yang belum
diterbitkan. Di antaranya adalah (1) Al-Risalah Al-Tawhidiyyah, yang
29
merupakan uraian singkat dari Mbah Hasyim tentang ‘aqidah dari aliran
Aswaja, (2) Al-Qala’id, yang menerangkan tentang kewajiban dalam ‘aqidah
Islam, (3) Manasik Sughra, yang menerangkan tentang tata cara pelaksanaan
ibadah haji, (4) Al-Jasush fi Ahkamin Nuqush dan sebagainya.
Atas usaha beberapa pihak, terdapat 10 karya K.H Hasyim Asy’ari yang
dikumpulkan menjadi satu, berjudul Irsyadus Sari. Kesepuluh karya yang
dijadikan satu itu adalah Adab Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim, Risalah Ahlissunnah
Wal Jama’ah, Al-Tibyan, Al-Nur Al-Mubin, Ziyadatut Ta’liqat, Al-Tanbihat Wa
Al-Wajibat, Dha’ul Mishbah, Miftahul Falah, Audhahul Bayan dan Irsyadul
Mu’minin. Usaha ini dipelopori oleh M. Ishamuddin Hadziq, cucu K.H Hasyim
Asy’ari sendiri, pada tahun 2007.
Di samping itu, pidato-pidato yang disampaikan K.H Hasyim Asy’ari
banyak dimuat oleh surat kabar. Seperti Soeara Nahdlatoel Oelama, Soeara
MIAI, Soeara Moeslimin Indonesia, Soeara Masjoemi, Adj-Djihad dan
sebagainya (Mukani, 2016: 90-96).
D. Pemikiran dan Ajaran K.H Hasyim Asy’ari
Meski pemikiran utamanya adalah dalam bidang pendidikan Islam,
namun bukan berarti K.H Hasyim Asy’ari tidak ahli dalam bidang-bidang
lainnya. Ia seorang ulama yang memiliki ilmu sangat luas dalam berbagai
bidang. Tidak hanya dalam bidang pendidikan, K.H Hasyim Asy’ari juga
mumpuni dalam bidang teologi, tasawuf, fiqh, politik, dan lain-lain.
30
1. Bidang Teologi
Dalam bidang teologi, salah satu topik yang dibahas oleh K.H
Hasyim Asy’ari adalah tingkatan-tingkatan manusia dalam mengartikan
Tuhan. Menurutnya, ada tiga tingkatan manusia yang mengartikan Tuhan,
yakni :
a. Tingkatan pertama, pujian terhadap keesaan Tuhan. Hal ini dimiliki oleh
orang awam.
b. Tingkatan kedua, pengetahuan dan pengertian mengenai keesaan
Tuhan. Hal ini dimiliki oleh ulama.
c. Tingkatan ketiga, tumbuh dari perasaan terdalam mengenai Hakim
Agung, dan hal ini dimiliki oleh para sufi.
2. Bidang Tasawuf
K.H Hasyim Asy’ari juga memiliki perhatian dalam bidang tasawuf.
Dalam bidang ini, pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Al-Ghazali.
Menurut K.H Hasyim Asy’ari, tasawuf bertujuan memperbaiki perilaku
umat Islam yang sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
3. Bidang Fiqh
Dalam bidang fiqh, K.H Hasyim Asy’ari menganut keempat
madzhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Seperti diketahui,
keempatnya merupakan madzhab-madzhab dalam Islam yang dianut oleh
seluruh umat Islam di dunia. Tentunya, tidak semua madzhab-madzhab
tersebut dianut oleh satu orang, melainkan berbeda-beda. Maksudnya, satu
muslim hanya mengikuti satu madzhab. Namun, hal berbeda ditunjukkan
31
oleh K.H Hasyim Asy’ari yang mengikuti keempat madzhab tersebut
(Aizid, 2016: 270-271).
4. Bidang Politik
Meskipun K.H Hasyim Asy’ari bukan seorang politikus, ia seorang
pemikir politik. Dalam dunia politik, ia menjadi guru atau penasihat para
tokoh Indonesia. Pokok pemikirannya dalam bidang politik adalah
mengajak kepada semua umat Islam untuk membangun dan menjaga
persatuan. Menurut beliau, fondasi politik pemerintahan Islam itu
mempunyai tiga tujuan, yakni memberi persamaan bagi setiap muslim,
melayani kepentingan rakyat dengan cara perundingan, dan menjaga
keadilan.
5. Bidang Pendidikan
Bidang pendidikan (Islam) menjadi garapan yang paling mendapat
perhatian oleh K.H Hasyim Asy’ari. Karena perhatiannya yang begitu besar
terhadap pendidikan Islam, sampai-sampai beliau disebut sebagai tokoh
pendidikan Islam Indonesia.
K.H Hasyim Asy’ari disebut-sebut sebagai tokoh yang memiliki
perhatian yang cukup besar terhadap pendidikan Islam karena ia telah
mengarang sebuah kitab adab al-‘alim wa al-muta’allim fima yahtaj ila al-
muta’allim fi ahuwal ta’allum wa ma yataqaff al-mu’allim fi maqamat
ta’limi. Meski secara umum isinya terkait dengan masalah pendidikan,
tetapi masalah pengajaran etika lebih ditekankan. Karyanya ini merujuk
kepada kitab-kitab yang ditelaahnya dari berbagai ilmu yang diterima dari
32
para gurunya, ditambah dengan berbagai pengalaman yang pernah
dijalaninya selama melakukan pengembaraan intelektual dan juga terhadap
sistem pendidikan di Nusantara semasa hidupnya. Boleh jadi, penyusunan
kitab ini didorong oleh situasi pendidikan saat itu yang mengalami
perubahan dan perkembangan cukup pesat, dari kebiasaan lama (tradisional)
yang sudah mapan ke bentuk baru (modern) akibat pengaruh sistem
pendidikan Barat (imperialis Belanda) yang diterapkan di Indonesia (Aizid,
2016: 271-272).
33
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN K.H HASYIM ASY’ARI
A. Pendidikan Menurut K.H Hasyim Asy’ari
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan merupakan sebuah proses pembelajaran pengetahuan,
keterampilan atau hal lainnya yang diwariskan dari satu generasi ke generasi
di bawahnya secara berkelanjutan. Pembelajaran ini dilakukan dengan
beberapa cara, seperti pengajaran, pelatihan, dan juga penelitian.
K.H Hasyim Asy’ari memaparkan bahwa pengajaran yang paling
baik yaitu dari seorang ulama, karena ulama adalah pewaris para nabi.
Dengan kedudukan ulama seperti itu, maka menjadi bekal yang cukup untuk
mendapatkan keagungan serta kemuliaan dan sebutan yang baik (sebagai
ulama). Jika di atas pangkat nabi tidak ada level kepangkatan yang lebih
tinggi lagi, maka tidak ada kemuliaan yang lebih besar di atas kemuliaan
menjadi pewaris para nabi (Asy’ari : 13). K.H Hasyim Asy’ari dalam kitab
Adabul ‘Alim wal Muta’allim mengemukakan :
، وحسبك ب هذ ه الد الألنب رثة العلماء و دا و فخرا،ياء رجة مج
ة ، كرا. وإ ذا كان ال رتبة فوق النبو فال و ب هذ ه الرتبة شرفا وذ
.شرف فوق شرف الو ت لك الرتبة را ثة ل
Dalam buku Mukani (2016 : 148) pendidikan menurut K.H Hasyim
Asy’ari, pada hakikatnya merupakan tanggung jawab orang tua peserta
didik, terutama dari pihak ibu. Tanggung jawab tersebut melekat sampai
34
dengan peserta didik telah dianggap dewasa dan mampu untuk hidup secara
mandiri. Di samping itu, orang tua juga memiliki kewajiban untuk
memberikan nama yang baik saat bayi baru lahir dan memberikan asupan
makanan yang baik pula.
Peran keluarga terhadap pembentukan peserta didik yang sukses
dalam pendidikannya sangat penting dan dominan. Oleh karena itu, K.H
Hasyim Asy’ari menyarankan agar persiapan untuk mewujudkan hal itu
harus sudah dilakukan ketika seseorang (calon suami) yang diharapkan
mampu memenuhi kriteria sebagai ibu yang dapat dipercaya untuk
mengemban amanah dan dalam mempersiapkan peserta didik yang
memiliki kemampuan keberagaman yang baik. Oleh karena itu, wanita yang
baik untuk dijadikan (calon) istri adalah yang memiliki kepribadian yang
baik, masih perawan, sederajat, dan sebagainya. Hal ini dilakukan sebagai
upaya untuk mengantisipasi terjadinya dominasi faktor hereditas dalam
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik ketika berproses dalam
pendidikannya.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan faktor utama
dalam pembentukan pribadi manusia. Karena pendidikan merupakan upaya
mengembangkan potensi-potensi peserta didik baik potensi fisik, potensi
cipta, rasa, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfugsi dalam
kehidupan.
35
2. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan (ilmu) menurut K.H Hasyim Asy’ari yaitu
mengamalkannya, sebab amal adalah buah dari ilmu, menjadikan umur
lebih berguna, dan bisa menjadi bekal di akhirat kelak. Maka barangsiapa
yang memperoleh ilmu, dia akan beruntung, dan barangsiapa yang
kehilangan ilmu, dia akan merugi (Asy’ari : 13-14). K.H Hasyim Asy’ari
dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim mengemukakan :
رة ، ة و غا ي ن ه ثمرته و فا ئ دة العمر و زا د الخ لم العمل ب ه ل الع
ر. د و من فا ته خس فمن ظفر ب ه سع
Ilmu dipelajari hanya untuk dijadikan sarana menuju ketaqwaan
kepada Allah SWT. Ilmu memiliki kelebihan yang tak dimiliki yang lain
karena fungsi ilmu sebagai sarana pengantar ketaqwaan kepada Allah SWT.
Jika fungsi ini tidak teraplikasikan dan tujuan penuntut ilmu telah tercemar
dengan keinginan mendapatkan pencapaian duniawi seperti harta dan tahta,
maka pahala menuntut ilmu itu hangus, dan amal perbuatannya telah
dihapus (Asy’ari : 23-24). K.H Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim
wal Muta’allim mengemukakan :
لم ي إ ن ما يتعل م الع ن ه ي ل فض ، و إ ن ما ب ه للا ق ي ت ل ه ل ت ق ى على غير
ب أ ن ه ب طا ل ة ذا القصد و فسدت ن ي ه اختل تعالى، فإ ن ب ه للا
ي نا ل الد إ لى م ل وص ب ه الت ر يستشع ن مال أو جاه ، فقد بطل نيو م
له.ط عم ب ه و ح أجر
Tujuan pendidikan ini mampu direalisasikan apabila peserta didik
terlebih dulu mampu mendekatkan diri kepada Tuhan. Ketika berproses
36
dalam pendidikan, peserta didik harus mampu terhindar dari unsur-unsur
materialism seperti jabatan, kekayaan, popularitas dan sebagainya. Oleh
karena itu, ketika peserta didik melakukan kesalahan, maka menjadi
kewajiban pendidik untuk melakukan koreksi terhadap kesalahan tersebut.
Kepada peserta didik yang belum mengetahui tentang suatu perbuatan itu
sendiri, maka pendidik harus mampu menolongnya agar peserta didik
memperoleh pemahaman yang benar (Mukani, 2014: 142).
Dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan yaitu untuk
mencerdaskan dan mengembangkan potensi di dalam diri peserta didik.
Dengan pertumbuhan kecerdasan dan potensi diri maka setiap anak bisa
memiliki ilmu pengetahuan, kreativitas, sehat jasmani dan rohani,
kepribadian yang baik, mandiri, dan menjadi anggota masyarakat yang
bertanggung jawab.
B. Pendidik Menurut K.H Hasyim Asy’ari
1. Pengertian Pendidik
Pendidik adalah orang yang memikul tanggung jawab untuk
mendidik. Tugas pendidik adalah memberikan ilmu pengetahuan kepada
peserta didik, mencerdaskan kehidupan peserta didik, serta bertanggung
jawab untuk membentuk peserta didik agar menjadi orang yang berguna
bagi agama, nusa, dan bangsa untuk kehidupan di masa akan datang.
Menurut K.H Hasyim Asy’ari hendaknya seorang pendidik tidak
mendatangi rumah seorang murid untuk mengajarkan ilmu pengetahuan
37
yang hendak belajar meskipun murid itu berpangkat tinggi. Sebaiknya
pendidik menjaga kehormatan ilmunya sebagaimana juga ulama salaf
memeliharanya (Asy’ari : 56). K.H Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul
‘Alim wal Muta’allim mengemukakan :
نه وإ ن كان ه إ لى مكان من يتعل م م لم يما أن يذهب ب ع المتعل م ال س
لم كب ير ، بل يصون ع .ال ح الص لف ه كما صانه الس القدر
Pendidik harus memiliki tingkat profesionalisme yang tinggi dalam
mendidik peserta didik. Ini berdampak kepada keharusan kualitas dan
kompetensi keilmuan pendidik yang telah diakui oleh pihak lain yang
berupaya meningkatkan pemahaman keilmuannya dalam bidang keahlian
yang diajarkan. Pendidik juga dituntut untuk memiliki sifat kasih sayang
kepada seluruh peserta didiknya, memiliki kepribadian yang baik,
menguasai berbagai metode pengajaran dan memiliki moral yang baik pula
(Mukani, 2014: 144).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa mengajar atau mendidik adalah
tugas yang mulia, karena pada dasarnya orang yang berilmu itu dimuliakan
dan dihormati oleh orang lain. Tanpa adanya pengajar atau pendidik yang
tanggung jawab dan berhati besar untuk mendidik, kita tidak akan mengerti
apa-apa. Padahal ilmu pengetahuan adalah hal yang sangat mulia.
2. Etika Pendidik dalam Mengajar
Dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim ada 12 materi yang
membahas tentang etika pendidik dalam mengajar, yaitu :
38
a. Seorang guru harus mempunyai rasa taqarrub yaitu mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
b. Ketika guru hendak mengajar maka sebaiknya ia bersuci dari hadas dan
najis, membersihkan diri, memakai wewangian, dan mengenakan
pakaina rapi.
c. Sebelum meninggalkan rumah, hendaknya berdoa terlebih dahulu,
kemudia berdzikir sampai tiba di tempat mengajar.
d. Jangan sekali-kali mengajar dalam keadaan lapar dan haus, marah,
mengantuk, dan keadaan dingin atau panas yang berlebih. Karena dapat
mengganggu kenyamanan pembelajaran.
e. Menjaga diri dan sikap, menjauhi hal-hal yang dapat mengurangi
kewibawaan, serta menggunakan Bahasa yang baik dan santun.
f. Mengawali pembelajaran dengan membaca Al-Qur’an, berdoa untuk
kebaikan dirinya dan kaum muslimin. Kemudian dilanjutkan dengan
membaca ta’awudz, basmalah, hamdalah, dan sholawat.
g. Jika terdapat banyak pelajaran yang harus disampaikan, maka utamakan
pelajaran yang lebih mulia misalnya tafsir, hadist, ushuluddin, ushul
fiqh, kitab-kitab madzhab dan nahwu.
h. Sebaiknya mengeraskan dan merendahkan suara sesuai kebutuhan.
i. Jika ditanya mengenai suatu ilmu yang belum diketahui, maka jawab
tidak tahu. Karena hal tersebut merupakan bagian dari ilmu.
39
j. Apabila di dalam majelis terdapat orang baru, hendaknya guru bersikap
santun dan ramah. Dan jangan terlalu banyak memperhatikannya karena
itu bisa membuatnya malu.
k. Mengakhiri pelajaran dengan mengucapkan “Wallahu A’lam” sebagai
bentuk dzikir dan menyatakan bahwa hanya Allah SWT yang
mengetahui segala sesuatu.
l. Hendaknya guru tidak segera beranjak dari majelis setelah para hadirin
berdiri mau pergi. Sebab dalam hal ini terkandung beberapa faedah dan
akhlak (Asy’ari : 71-80).
3. Etika Pribadi Seorang Pendidik
Dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim ada 16 materi yang
membahas tentang etika pribadi seorang pendidik, yaitu :
a. Selalu merasa diawasi oleh Allah SWT saat sendiri maupun bersama
orang lain.
b. Selalu takut kepada Allah SWT apabila amanah yang telah dititipkan
tidak sejalan dengan semestinya.
c. Apabila mengetetahui suatu ilmu, maka bersikaplah merasa tenang,
tawadhu’, khusyu’ kepada Allah SWT.
d. Pasrahkan urusan dunia kepada Allah SWT dan tidak menjadikan
profesi sebagai guru semata-mata hanya karna mendapatkan imbalan
jabatan, harta, perhatian orang lain dan lain sebagainya.
e. Menjaga martabat seorang guru dengan cara tidak memuliakan para
penghamba dunia dengan cara berjalan dan berdiri untuk mereka.
40
f. Apabila memikirkan urusan dunia cukup sekedar untuk diri sendiri dan
keluarganya saja sesuai standar qana’ah.
g. Menjauhi segala bentuk mata pencaharian yang rendah dan hina
menurut akal sehat, begitu pula profesi yang makruh menurut adat dan
syariat Islam seperti tukang tukar menukar uang, tukang pembuat
perhiasan dari emas, tukang cantuk, dan lain sebagainya.
h. Menghindari tempat-tempat yang memungkinkan membuat timbulnya
prasangka tidak baik menurut orang lain. Pendidik tidak boleh
melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan kurangnya harga dirinya
dan sesuatu yang secara terlihat dianggap munkar, walaupun
kenyataannya hukumnya boleh.
i. Menjaga keistiqomahan dalam menjalankan syari’at-syari’at Islam
seperti sholat berjama’ah di masjid, mengucap salam kepada siapa saja,
amar ma’ruf nahi munkar, serta selalu tabah da sabar atas penderitaan
yang sedang dihadapi.
j. Memberikan perhatian terhadap masalah agama dan urusan-urusan yang
menyangkut kemaslahatan umat Islam, menjalankan Sunnah dan
menghindari bid’ah.
k. Selalu menghiasi perbuatan dan pekerjaan dengan Sunnah seperti
membacar Al-Qur’an, berdzikir, membaca do’a-do’a. Mengerjakan
sholat, puasa, haji jika mampu, membaca sholawat dengan kecintaan,
hormat dan takdzim kepada Rasulullah SAW.
41
l. Memperlakukan orang lain dengan baik, misalnya dengan menebarkan
salam, menampakkan wajah yang berseri-seri, mengendalikan amarah,
mengucapkan terima kasih atas kebaikan orang lain, menimbulka
suasana nyaman ketika bersama orang lain, dan lain sebagainya.
m. Membersihkan jiwa dan raga dari akhlak yang tercela seperti dengki,
dendam, sombong, menipu, dan membangunnya dengan akhlak yang
mulia.
n. Senantiasa bersungguh-sungguh dan istiqomah dalam beribadah serta
rajin membaca, belajar, mengulang-ulang ilmu, menghafal, berdiskusi.
Pendidik tidak boleh menyia-nyiakan waktu untuk selain ilmu dan
urusan mengamalkannya kecuali untuk yang sifatnya primer.
o. Pendidik harus punya hasrat yang tinggi dalam mencari pengetahuan
yang berfaedah di manapun tempatnya.
p. Lebih baik pendidik mengarahkan perhatiannya pada sesuatu yang bisa
berguna dalam lingkup yang luas dan banyak dibutuhkan. Seperti
menyibukkan diri dengan meringkas, mengarang, dan menyusun
karangan jika mampu melakukannya (Asy’ari : 55-70).
C. Peserta Didik Menurut K.H Hasyim Asy’ari
1. Pengertian Peserta Didik
Peserta didik merupakan anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pendidikan. Peserta didik pada
umumnya merupakan sosok anak yang membutuhkan bantuan orang lain
42
untuk bisa tumbuh dan berkembang kea arah kedewasaan. Selain berniat
untuk mengharapkan ridho Allah SWT, peserta didik juga berniat untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim, dijelaskan perkataan
Ibnu Mubarak R.A sebagai berikut : “Seseorang dianggap alim selama dia
tetap menunut ilmu. Ketika dia mengira dirinya sudah alim, maka
sesungguhnya dia masih bodoh.” Penjelasan mengenai keutamaan ilmu dan
ulama, diperuntukkan khusus bagi ulama yang mengamalkan ilmunya bagi
para muridnya, yang baik budi pekertinya, dan bertaqwa dengan tulus hanya
karena Allah SWT serta mengharapkan kedekatan di sisi Allah dengan
memperoleh surge kenikmatan. Bukan untuk mereka yang menjadikan
ilmunya sebagai modal untuk memperoleh keuntungan duniawi seperti
harta, tahta, dan pengikut, serta murid yang banyak (Asy’ari : 21-22). K.H
Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim mengemukakan:
ي للا عنه : "ال يزا ل وقال ابن المبارك جل عا ل ما ما رض الر
لم طلب ل". ما ذ ، فإ ذا ظن أن ه ق الع ن فضل د عل م فقد جه ر م ك
لم و أهل ه إ ن ما هوف ي حق العلم م الع ه لم ين ب ع ل البرار اء العام
ين قصدوا ب ه ين ال ذ يم و الالمت ق لفى لديه ب جن ات ز وجه للا الكر
، ال من قصد ب ه أغرا ضا دني يم ي الن ع ن جاه أو مال أو م ة و كاث رة م
ت .و الت ع باف ى ال يذ الم
Dalam peserta didik setiap individu mempunyai perbedaan yang
sangat bervariasi, hal ini terjadi karena perbedaan individual, dikarenakan
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya. Dalam pendidikan,
43
pendidik harus memperhatikan perbedaan yang dimiliki peserta didik agar
mudah untuk mencapai dari tujuan pendidikan yang telah dirumuskan.
Peserta didik harus mempunyai perilaku yang baik terhadap guru,
sesame teman dan harus menggunakan sarana pembelajaran dengan sebaik-
baiknya. Jadilah kaum sebagai guru atau murid atau pendengar atau cinta
terhadap ilmu. Jangan jadi orang yang nomer lima, karena suatu saat akan
rusak karenanya. Barangsiapa pergi untuk mencari ilmu, para malaikat akan
mendo’akan dan hidup akan diberi berkah (Amiruddin, 2018: 22).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa peserta didik merupakan salah satu
komponen pendidikan yang tidak bisa ditinggalkan, karena dengan tidak
adanya peserta didik tidak akan mungkin proses belajar mengajar dapat
berjalan. Karena pada dasarnya peserta didik merupakan sumber utama dan
terpenting dalam proses pendidikan.
2. Etika Peserta Didik dalam Belajar
Dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim ada 13 materi yang
membahas tentang etika murid dalam pembelajaran, yaitu :
a. Mengawali belajar dari hal-hal yang hukumnya fadhu ‘ain, yang terdiri
dari empat macam pengetauan, pengetahuan tentang zat Allah SWT,
pengetahuan tentang sifat Allah SWT, pengetahuan tentang hukum-
hukum Islam, dan pengetahuan tentang macam-macam keadaan.
b. Mempelajari Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh serta memahami
tafsir dan ilmu-ilmu lainnya yang bersumber dari Al-Qur’an.
44
c. Jangan terlalu berurusan ke dalam argument dan isu-isu yang
diperselisihkan oleh para ulama dan juga semua orang lainnya.
d. Meminta bantuan dengan guru untuk mengoreksi terlebih dahulu materi
yang hendak dihafal. Setelah dikoreksi dengan guru, maka boleh
menghafalkannya dengan hafalan yang kuat.
e. Bersegera mempelajari ilmu terutama ilmu hadist dan tidak
mengabaikan ilmu-ilmu yang terkait dengan ilmu hadist.
f. Apabila penjelasan pembelajaran terlalu singkat, maka bukalah buku
yang lebih lengkap. Kemudian belajar dari buku tersebut dan tidak lupa
terus melakukan telaah dan pencatatan hal-hal yang ditemui berupa
keterangan penting.
g. Selalu menghadiri majelis ilmu yang diadakan oleh guru, sebisa
mungkin.
h. Jika menghadiri majelis ilmu, hendaknya mengucapkan salam dengan
suara keras yang bisa didengar jelas oleh semua hadirin.
i. Jangan malu ketika menanyakan sesuatu yang dirasa sulit dan jangan
malu meminta penjelasan ulang terhadap hal yang tidak dimengerti.
j. Menunggu giliran dalam belajar dan tidak boleh mendahului orang lain
kecuali ada kerelaan dari yang bersangkutan.
k. Hendaknya membawa kitab sendiri yang akan dipelajari bersama guru
dan tidak meletakkan kitab di lantai dalam keadaan kitab terbuka.
45
l. Fokus terhadap satu kitab yang sedang dipelajari dan jangan
mempelajari kitab lainnya apabila kitab sebelumnya belum terlalu
dikuasai.
m. Saling memotivasi kepada teman-temannya dalam hal mendapatkan
ilmu (Asy’ari : 43-54).
3. Etika Pribadi Seorang Peserta Didik
Dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim ada 10 materi yang
membahas tentang etika pribadi seorang peserta didik, yaitu :
a. Peserta didik harus mensucikan hati dari segala sesuatu yang memiliki
rasa dendam, dengki, kekotoran hati, budi pekerti yang tidak baik, dan
lain sebagainya.
b. Hendaknya memiliki niat yang baik dalam mencari ilmu semata-mata
dengan tujuan untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Jangan sampai
berniat hanya untuk mendapatkan kepentingan duniawi seperti
mendapatkan kepemimpinan, harta, pangkat, dan lain sebagainya.
c. Peserta didik sebaiknya menggunakan masa muda untuk menuntut ilmu
dengan tekun, jangan menggunakan waktu hanya untuk bermain-main.
d. Peserta didik hendaknya menerima sandang pangan dengan apa adanya.
e. Peserta didik hendaknya membagi waktu siang dan malam serta
menggunakan setiap kesempatan waktu luang untuk belajar.
f. Peserta didik hendaknya mengurangi pola makan da minum yang
banyak, sebab kenyang hanya akan mencegah ibadah dan berat badan
naik sehingga dalam belajar kurangnya konsentrasi.
46
g. Hendaknya bisa lebih berhati-hati dalam membeli makanan dan
minuman yang belum jelas halal haramnya.
h. Hendaknya seorang murid menjauhi hal-hal yang menyebabkan lupa
seperti membaca tulisan di nisan kuburan, membuang kutu hidup-hidup,
dan masuk di antara dua unta yang beriringan.
i. Hendaknya seorang murid meminimalisir tidur selama tidak berefek
bahaya pada kondisi tubuh dan kecerdasan otak.
j. Peserta didik hendaknya mencari teman yang bertaqwa kepada Allah
SWT, bersih hati, banyak berbuat kebaikan, memiliki harga diri yang
baik dan mengingatkan teman lainnya jika berbuat salah (Asy’ari : 24-
28).
47
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Relasi Pendidik dan Peserta Didik dalam Kitab Adabul ‘Alim wal
Muta’allim
Hubungan antara pendidik dan peserta didik keduanya sama-sama
menjadi hal terpenting dalam suatu pendidikan, keduanya juga berada dalam
sebuah hubungan yang saling membutuhkan. Antara pendidik dan peserta didik
dalam pembelajaran merupakan indikator terlaksananya proses pembelajaran
untuk mencapai suatu tujuan. Dengan syarat, aktifitas itu terkait dengan norma-
norma belajar dan mendapat perubahan, pengembangan potensi dan karakter.
Hubungan antara guru dengan murid akan terjalin harmonis apabila keduanya
saling menghargai dan menjalankan sesuai tugasnya masing-masing.
Sebagaimana yang disampaikan K.H Hasyim Asy’ari, bahwa masing-
masing guru dan murid memiliki tanggungjawab dan kewajiban yang harus
dipraktikkan, terlebih pada saat aktifitas belajar mengajar berlangsung. Nilai-
nilai yang dibahas dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim sangat sesuai
dengan tujuan pendidikan yaitu tujuan yang akan dicapai dengan semua
kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan itu
meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku,
penampilan, kebiasaan dan pandangan (Daradjat, 2008: 29).
48
Berbicara mengenai tujuan pendidikan yang dilakukan oleh guru ini
tentu bersifat menyeluruh. Kecakapan yang dimiliki guru secara teoritis tentu
tidak cukup tanpa penerapan praktis khususnya di lingkungan belajar. Bahkan,
pesan yang disampaikan guru melalui aktifitas dan perilakunya yang dijadikan
suri tauladan oleh murid-muridnya, lebih efektif dalam mengubah dan
mengembangkan perilaku dan karakter.
Dari uraian K.H Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adabul ‘Alim wal
Muta’allim tentang hubungan guru dengan murid, terlebih lagi hubungannya
dalam proses belajar mengajar. Setidaknya ada beberapa pokok pembahasan
yang perlu dijabarkan, terutama sebagai pertimbangan untuk pendidikan saat
ini. Gagasan ini akan menjadi sebuah kebaikan bagi kaum muslim agar tidak
lagi ragu untuk dapat mempertimbangkan sebagai referensi dalam bidang
pendidikan terutama dalam hal berperilaku.
Pemikiran K.H Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adabul ‘Alim wal
Muta’allim tentang hubungan guru dengan murid, yaitu :
1. Etika Peserta Didik Terhadap Pendidik
Dalam Kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim ada 12 yang membahas
tentang etika peserta didik terhadap pendidik, yaitu :
a. Hendaknya seorang murid mempertimbangkan terlebih dahulu sebelum
meminta petunjuk (istikharah) kepada Allah SWT perihal guru yang
akan ditimba ilmunya dan yang akan diteladani budi pekerti dan tata
kramanya. Jika bisa, orang yang sudah diketahui punya keahlian, sifat
49
asih, citra yang baik, kepandaian menjaga kesucian diri, dan
kemampuan mengajar dan memahamkan yang baik.
b. Bersunggguh-sungguh dalam mencari guru yang memiliki keahlian
dalam bidang ilmu syariat, yang dipercaya di antara guru-guru lain
zamannya sering melakukan penelitian dan dialog bersama para pakar.
Bukan sosok guru yang ilmunya didapat lewat lembaran-lembaran
kertas buku dan tidak pernah belajar langsung pada guru-guru ahli.
c. Patuh pada guru dalam berbagai hal dan tidak menentang pendapat dan
aturannya. Murid dengan guru posisinya seperti pasien dengan dokter
ahli. Oleh karena itu, hendaknya murid meminta petunjuk guru dalam
menggapai tujuannya, berusaha mendapat ridho guru dalam setiap
perbuatan, menghormatinya, dan mendekatkan diri kepada Allah.
d. Memandang guru dengan hormat, takzim, dan percaya bahwa pada
dirinya ada kesempurnaan karena itu lebih bermanfaat bagi murid.
e. Mengetahui hak guru dan tidak melupakan kemuliaannya.
Mendoakannya baik ketika masih hidup maupun telah meninggal.
f. Berusaha sabar menghadapi sikap kekasaran dan keburukan perilaku
yang muncul dari guru. Dan janganlah hal itu menghentikan
kemantapan pada guru dan keyakinan akan kesempurnaan sang guru.
Pencegahan dan peringatan dari guru itu sebenarnya demi pengarahan
dan perbaikan murid.
g. Tidak baik menemui guru di tempat umum atau di selain majelis ta’lim
tanpa meminta izin atau pemberitahuan terlebih dahulu. namun bila guru
50
yang meminta waktu khusus karena tidak bisa hadir di waktu yang sudah
ditentukan, entah karena halangan atau karena suatu kemaslahatan yamg
dipandang baik, maka hal tersebut diperbolehkan.
h. Apabila murid duduk di hadapan guru, sebaiknya duduklah dengan etika
yang baik, seperti duduk bersimpuh di atas kedua lututnya atau duduk
tasyahud dengan tanpa meletakkan tangan di atas paha.
i. Berbicara dengan baik terhadap guru.
j. Apabila guru menyebutkan hukum suatu kasus atau suatu keterangan
yang berfaedah sedangkan murid sudah menghafalnya, maka murid
tetap harus mendengarkan dengan seksama, mengambil manfaat,
seolah-olah murid belum pernah mendengar.
k. Tidak mendahului gurunya dalam menjelaskan suatu permasalahan atau
dalam menjawab pertanyaan.
l. Apabila guru memberikan sesuatu, maka murid harus menerimanya
dengan tangan kanan (Asy’ari : 29-42).
2. Etika Pendidik Terhadap Peserta Didik
Dalam Kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim ada 14 yang membahas
etika pendidik terhadap peserta didik, yaitu :
a. Hendaknya mengajar dan mendidik murid dengan tujuan utama yaitu
mendapatkan ridho Allah SWT, menyebarkan ilmu, menghidupkan
syariat Islam, melanggengkan munculnya kebenaran, meraih pahala,
juga berharap keberkahan atas apa yang telah disampaikan.
51
b. Menghindari sikap tidak mau megajar murid yang tidak tulus niatnya,
karena sesungguhnya ketulusan niat masih ada harapan terwujud sebab
berkah dari ilmu itu sendiri.
c. Mendekatkan murid dengan sesuatu yang menurut guru terpuji, seperti
anjuran hadist, dan menjauhkan murid dari apa yang menurut guru
tercela.
d. Memberi pemahaman kepada murid dengan bahasa yang mudah
dipahami dan dicerna ketika proses belajar mengajar berlangsung.
e. Menyampaikan kepada murid dengan berusaha meringkas penjelasan
tanpa panjang lebar dan terlalu dalam sehingga mengakibatkan murid
tidak mampu menampung dan merekamnya dengan baik.
f. Meminta murid untuk mengulangi materi pelajaran dengan memberi
latihan, ujian, hafalan dan mendampingi mengembangkan materi.
g. Jika murid mengalami kesulitan di atas kadar kemampuannya dan
menyebabkan kekhawatiran guru, maka guru menasihati dengan
lembut, bombing murid agar perlahan-lahan dan bersikap biasa-biasa
saja dalam kesungguhan belajarnya.
h. Seorang guru tidak boleh pilih kasih terhadap salah satu murid, karena
hal ini akan mengakibatkan kecemburuan sosial.
i. Bersikap ramah kepada murid-murid yang hadir dalam majelis dan
melarang murid yang melakukan perbuatan yang tidak pantas untuk
dilakukan, seperti melakukan haram atau makruh, atau perbuatan yang
52
mengakibatkan rusaknya moral, atau bergaul dengan orang yang tidak
layak dijadikan teman, dan lain sebagainya.
j. Mengajarkan murid dengan hal-hal yang berguna bagi mereka dalam
berinteraksi dengan sesama, seperti menyebarkan salam, bertutur kata
yang baik dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan juga dalam mencapai
tujuan-tujuan bersama selama mencari ilmu.
k. Berusaha untuk membantu sekuat tenaga yang dikuasainya baik
kedudukan maupun materi (tanpa ada paksaan) untuk murid.
l. Jika ada salah satu anak murid yang tidak hadir dalam pembelajaran,
maka sebaiknya guru menanyakan bagaimana kepada anak murid yang
lainnya.
m. Tetap bersikap rendah hati atau tawadhu’ terhadap seorang murid.
n. Memberi perlakuan yang baik terhadap murid dengan kata-kata yang
menunjukkan penghormatan dan penghargaan (Asy’ari : 80-95).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa relasi pendidik dengan peserta didik
adalah hubungan yang terjadi di dalam sebuah proses pembelajaran. Tugas
pendidik terhadap peserta didik adalah terlebih dahulu memahami dan
menyampaikan materi, memberikan hukuman bagi peserta didik yang sulit
diatur dan sesekali memberikan hadiah bagi peserta didik yang rajin.
Sedangkan tugas peserta didik terhadap pendidik adalah dengan
mengulang-ulang pembelajaran yang telah diberikan kepada pendidik. Etika
pendidik terhadap peserta didik yaitu dengan mengajar secara lemah
lembut, diulang-ulang, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat dalam
53
menyampaikan materi pelajaran. Sedangkan etika peserta didik terhadap
pendidik adalah dengan menghormatinya atau mendengarkannya dalam hal
berbicara.
B. Relevansi Pemikiran K.H Hasyim Asy’ari Tentang Pendidik dan Peserta
Didik dengan Pendidikan Sekarang
Hubungan pendidik dengan peserta didik adalah hal yang tidak dapat
ditinggalkan dalam proses pembelajaran. Terlibatnya kedua pihak tersebut
dalam pembelajaran merupakan indikator terlaksananya proses pembelajaran
untuk mencapai suatu tujuan. Dengan syarat, aktifitas itu terikat dengan norma-
norma belajar dan berorientasi pada penanaman, pengembangan potensi dan
perubahan karakter. Hubungan antara pendidik dengan peserta didik akan
terjalin dengan baik jika keduanya saling menghargai dan berperan sesuai
dengan tugas masing-masing. Sebagaimana dipaparkan oleh K.H Hasyim
Asy’ari, bahwa masing-masing guru dan murid memiliki tanggung jawab dan
kewajiban yang harus dipraktikkan terutama saat aktifitas belajar mengajar
berlangsung.
Pemikiran K.H Hasyim Asy’ari tentang hal ini dapat memberi pengaruh
bahkan bisa menjadi solusi atas permasalahan pendidikan saat ini. Nilai-nilai
yang dibahas dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim sangat sesuai dengan
tujuan pendidikan yaitu dengan membangun manusia yang unggul, memiliki
daya saing, dan mampu memecahkan masalah dalam setiap kondisi dan situasi.
Tujuan pendidikan yang dilakukan oleh guru ini tentu harus bersifat
54
menyeluruh. Pesan yang disampaikan oleh guru melalui aktifitas dan
perilakunya yang dijadikan contoh yang baik oleh murid-muridnya, lebih
efektif dalam mengubah dan mengembangkan perilaku dan karater.
Pemikiran K.H Hasyim Asy’ari lebih menitik beratkan pada persoalan
hati, sehingga yang menjadi hal terpenting dalam menuntut ilmu adalah niat
yang tulus dan ikhlas untuk mengharapkan ridho Allah SWT. Selain itu beliau
juga sangat menekankan penanaman akhlak dan moral terhadap siswa, jika
dikaitkan dengan pendidikan sekarang ini maka pemikiran K.H Hasyim Asy’ari
berhubungan dengan aspek afektif siswa.
Pada dasarnya pemikiran K.H Hasyim Asy’ari mengenai tujuan ataupun
dasar yang digunakan adalah sangat tepat bahkan sangat sesuai karena
menggunakan dasar Al-Qur’an dan Hadist, karena dalam Al-Qur’an dan Hadist
terdapat suatu sistem pendidikan yang berhubungan dengan aspek kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Akan tetapi di zaman sekarang ini, banyak kasus-
kasus kekerasan yang ada di dalam dunia pendidikan banyak di perbincangkan.
Banyak kasus terjadi yang menjadikan sosok pendidik tidak lagi menjadi
panutan yang baik bagi peserta didiknya, padahal seorang pendidik merupakan
contoh ideal bagi anak didiknya. Banyak juga yang memperbincangkan
maraknya seorang siswa yang melakukan tindak kekerasan terhadap gurunya
sendiri.
Berbagai problematika yang dihadapi dunia pendidikan pada masa
sekarang merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari. Berbagai pergeseran
yang dilakukan manusia modern untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari telah
55
menyebabkan pergeseran pula di semua aspek kehidupan, tidak terkecuali di
dalam dunia pendidikan (Mukani, 2016: 239).
Pada masa sekarang kasus-kasus kekerasan yang ada dalam dunia
pendidikan sama sekali berlawanan dengan peran guru yang sebagai pendidik,
pembimbing dan pengajar. Kita seringkali mendengar guru mengimbau agar
murid-muridnya, misalnya, selalu menyayangi dan menghormati dengan
sesama. Akan tetapi bagaimana peserta didik belajar menyayangi dan
menghormati orang lain jika gurunya membenarkan kekerasan? Dan bagaimana
peserta didik terinspirasi untuk membuat perubahan dalam masyarakat dari
seorang guru yang melakukan kekerasan?
Sebagian guru beranggapan bahwa kekerasan bisa menjadi sarana untuk
menunjukkan bahwa dirinya berwibawa di hadapan murid-murid. Maksudnya,
guru pada situasi-situasi tertentu memerlukan kekerasan agar murid
mendengarkan dan menghormatinya. Ketika siswa atau siswi menunduk
dengan raut yang sedih dan merasa bersalah, maka guru merasa bahwa ia telah
berwibawa. Begitu anggapan yang dipercayai selama ini (Baedowi, 2015: 176-
177). Belum lagi dengan maraknya seorang siswa yang melakukan tindak
kekerasan balik terhadap gurunya sendiri. Jadi bisa dikatakan bahwa dunia
pendidikan saat ini sangat keras, dengan gurunya saja tidak bisa menghargai
dan menghormati, apalagi dengan orang lain yang dikenal maupun yang belum
dikenal.
K.H Hasyim Asy’ari mendorong agar seorang pendidik melaksanakan
profesinya secara jujur. Ini mengingat terkait dengan keberkahan ilmu yang
56
diperoleh oleh peserta didik. Namun apa yang terjadi dengan dunia pendidikan
sekarang, tidak hanya pada pendidikan dasar dan menengah, di perguruan tinggi
pun praktik-praktik tidak terpuji dilakukan oleh oknum. Pada level peserta
didik, fenomena yang terjadi sekarang juga sudah jauh dari nilai-nilai karakter
yang di gariskan oleh K.H Hasyim Asy’ari. Pada aspek kurikulum, K.H Hasyim
Asy’ari sudah menegaskan bahwa pendidikan hendak membentuk generasi
yang baik dan cerdas. Namun seolah kurikulum yang ada di pendidikan
sekarang ini masih belum mampu untuk menyentuh kedua substansi tersebut
(Mahbib: 2016).
Di lihat lagi dalam pendidikan masa sekarang sudah banyak yang
menyepelekan ilmu keagamaan. Contohnya dalam bentuk nyata di sekolah yang
mengalokasikan sedikit jam pelajaran untuk ilmu keagamaan itu sendiri,
seharusnya di dalam sekolah bisa menyeimbangkan moralitas ke dalam
berbagai mata pelajaran yang ada. Antara materi pembelajaran yang
menghubungkan kepada kecerdasan otak seperti matematika, fisika, kimia,
biologi dan sebagainya, dengan materi pembelajaran yang memang disusun
untuk membentuk akhlak yang baik dalam diri peserta didik, sebenarnya dapat
berjalan secara bersamaan. Hal ini tentu membutuhkan profesionalisme guru
dalam memahami konsep dasar islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri,
terutama dalam menerapkannya dalam mata pelajaran yang diajarkan (Mukani,
2016: 241).
Di samping itu, penganjuran K.H Hasyim Asy’ari kepada guru untuk
melakukan kunjungan rumah kepada siswa yang telah sakit selama berhari-hari,
57
menunjukkan perlunya hubungan yang baik antara pihak sekolah (guru) dengan
keluarga siswa. Padahal dengan melalui pelaksanakan kunjungan ke rumah
siswa, guru akan lebih mengetahui keadaan sebenarnya dari keluarga siswa. Di
samping adanya pemahaman dari orang tua siswa, mereka percaya bahwa
anaknya memang benar-benar memperhatikan perkembangan pendidikan
(Mukani, 2016: 241).
Masalah yang patut digasirbawahi di sini adalah rendahnya kualitas guru
dan output. Dalam hal ini, K.H Hasyim Asy’ari sangat menekankan adanya
kompetensi guru, baik secara personal, professional maupun sosial. Secara
personal, guru harus mampu menjaga moralitas agar tidak terjebak dengan
aktifitas yang dijalaninya sendiri. Secara professional, guru selalu dituntut
untuk meningkatkan kemampuan mengajar melalui berbagai media informasi
yang ada, karena untuk membantu kelancaran dalam melaksanakan tugas.
Sedangkan secara sosial, guru diharapkan mampu menjadi suri tauladan bagi
masyarakat sekitar agar tetap dipandang guru yang professional dan bisa
menjadi pemimpin bagi pembaharuan di dalam masyarakat untuk menjadi lebih
baik (Mukani, 2016: 242).
Jadi, dapat disimpulkan mengenai relevansi menurut pemikiran K.H
Hasyim Asy’ari tentang pendidik dan peserta didik dengan pendidikan saat ini
yaitu masih relevan jika diterapkan pada konteks zaman sekarang. Hubungan
pendidik dengan peserta didik harus berjalan secara harmonis sesuai dengan
tanggungjawab masing-masing. Dimana pendidik bertanggung jawab dalam
memberikan kasih sayang yang tinggi, suri tauladan yang baik, berkarakter,
58
memerintahkan pada setiap peserta didik agar menghormati proses
pembelajaran, dan selalu berbuat baik terhadap peserta didik lainnya.
Sedangkan peserta didik memiliki tanggungjawab dengan memilih guru yang
berkompeten, menghormati, menghargai dan tidak menyinggung perasaan
guru, dan mengulang-ulang materi pembelajaran yang telah disampaikan oleh
guru.
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti tentang Relasi
Pendidik dan Peserta Didik dalam Kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim Karya
K.H. Hasyim Asy’ari dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Mengenai relasi pendidik dan peserta didik adalah hubungan yang terjadi di
dalam sebuah proses pembelajaran. Pendidik sebagai subyek yang aktif
dalam membentuk karakter siswa maupun mengarahkan siswa. Sedangkan
peserta didik sebagai obyek yang dibentuk oleh pendidiknya dalam
mengikuti nasehat, bimbingan serta arahan. Tugas pendidik yaitu
memahami dan menyampaikan materi. Sedangkan tugas peserta didik
adalah dengan patuh terhadap apa yang telah diperintahkan pendidik, karena
pada dasarnya pendidik adalah seseorang yang mengetahui segala hal yang
berhubungan dengan pendidikan siswa-siswanya. Hubungan pendidik dan
peserta didik sebagaimana pola hubungan Patron-Klien yang tidak sejajar
antara atasan dengan sejumlah bawahan yang dimana peran patron sebagai
figure pemimpin dan pemberian bantuan bagi semua klien.
2. Mengenai relevansi tentang pendidik dan peserta didik dengan pendidikan
saat ini yaitu masih relevan jika diterapkan pada konteks zaman sekarang.
Pendidik dan peserta didik harus berjalan secara harmonis sesuai dengan
tanggung jawabnya masing-masing. Pendidik bertanggungjawab dalam
memberikan contoh yang baik, memiliki jiwa kasih sayang yang tinggi,
60
memperbaiki perilaku peserta didik yang nakal, serta menekankan pada
peserta didik agar menghormati proses pembelajaran. Peserta didik juga
berperan dengan cara menghormati, ramah, dan tidak menyinggung
perasaan pendidik dengan berbicara yang tidak enak terhadap pendidik,
mengulang-ulang materi pembelajaran yang telah diberikan, serta
membangun kedekatan dengan pendidik.
B. Saran
1. Bagi Para Pendidik
Sekiranya dapat mengambil contoh hubungan guru dan murid
menurut K.H Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim
untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar sehari-hari, sehingga
aktivitas belajar mengajar yang dilaksanakan dapat berjalan dengan baik
dan sukses dalam mengantarkan anak didik agar berakhlak mulia.
2. Bagi Peserta Didik
Hendaknya mampu mengoreksi dan berusaha memperbaiki perilaku
sebagaimana yang telah diuraikan K.H Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul
‘Alim wal Muta’allim.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bahwa hasil dari analisis tentang relasi pendidik dan peserta didik
menurut K.H Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim
yang peneliti kaji ini, peneliti berharap dapat digunakan selanjutnya sebagai
salah satu referensi dalam melakukan penelitian. Karena penelitian ini
61
masih jauh dari kata sempurna, peneliti mengharapkan akan ada banyak
penelitian untuk tema-tema seperti ini dan dapat dikaji lebih dalam lagi.
62
DAFTAR PUSTAKA
Aizid, Rizem. 2016. Biografi Ulama Nusantara. Yogyakarta : Diva Press.
Akbar, Rois. 2018. Pendidikan Akhlak untuk Pengajar dan Pelajar Terjemah Kitab
Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, Penerjemah. Pesantren Tebuireng Jawa
Timur : Tim Pustaka Tebuireng.
Amiruddin, Muhammad Faiz. 2018. Konsep Pendidikan Islam Menurut K.H
Hasyim Asy’ari. Jurnal Dirasah. Vol. 1, No. 1.
Asy’ari, As-Syaikh Muhammad Hasyim. Adabul ‘Alim wal Muta’allim. Jombang :
Turats Al-Islami.
Baedowi, Ahmad. 2015. Potret Pendidikan Kita. Jakarta : PT Pustaka Alvabet.
Daradjat, Zakiah. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Isjoni, 2006. Pendidikan Sebagai Investasi Masa Depan. Jakarta : IKAPI DKI
Jakarta.
Jumali, Muhammad, Dkk. 2004. Landasan Pendidikan. Surakarta :
Muhammadiyah University Press.
Mahbib. 2016. Pemikiran Pendidikan Mbah Hasyim Relevan Hingga Sekarang.
NU Online. (di Akses pada Tanggal 29 Juli 2019).
Https://Www.Nu.Or.Id/Post/Read/72871/Pemikiran-Pendidikan-Mbah-
Hasyim-Relevan-Hingga-Sekarang.
Muis, Tamsil, Dkk. 2011. Bentuk, Penyebab, dan Dampak dari Tindak Kekerasan
Guru Terhadap Siswa dalam Interaksi Belajar Mengajar dari Perspektif
Siswa di SMPN Surabaya : Sebuah Survey. Jurnal Psikologi: Teori &
Terapan. Vol. 1, No. 2.
Mukani. 2014. Pemikiran Pendidikan Islam Perspektif K.H Hasyim Asy’ari. Jurnal
PAI. Vol. 1, No. 1.
63
Mukani. 2016. Berguru Ke Sang Kiai Pemikiran Pendidikan K.H M. Hasyim
Asy’ari. Yogyakarta : KALIMEDIA.
Muliawan, Jasa Ungguh. 2005. Pendidikan Islam Integratif. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan dalam Islam. Surabaya : Al Ikhlas.
Roqib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam : Pengembangan Pendidikan Integrative
di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta.
Setiawan, Beni. 2008. Agenda Pendidikan Nasional. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Sudjana, N. 1989. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinarbaru.
Suryabrata, Sumardi. 1996. Metode Penelitian. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Suyanto, Bagong. 2018. Mengapa Ada Siswa Brutal Kepada Guru? di
Https://Www.Google.Com/Amp/S/M.Republika.Co.Id/Amp/P3mv8b440.
(di Akses pada Tanggal 23 Mei 2019).
Yasin, A. Fatah. 2008. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. Yogyakarta : Sukses
Offset.
Yusrianto. 2014. Pemikiran Politik dan Perjuangan K.H Hasyim Asy’ari Melawan
Kolonialisme. Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia. Vol. 2, No. 3.
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74