Rehabilitasi Tinitus Dengan Sound Terapi
-
Upload
aditya-wira-buana -
Category
Documents
-
view
48 -
download
2
description
Transcript of Rehabilitasi Tinitus Dengan Sound Terapi
REHABILITASI TINITUS DENGAN TERAPI SUARA
(TINNITUS SOUND THERAPY)
dr. Aditya Wira Buana
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala dan Leher
FK UNAIR / RSUD Dr. Soetomo Surabaya
PENDAHULUAN
Tinitus merupakan salah satu bentuk gangguan pendengaran berupa
sensasi suara tanpa adanya rangsangan dari luar. Tinitus dapat bersifat subjektif
dan objektif. Tinitus yang bersifat subjektif merupakan keluhan dimana hanya
penderita yang dapat mendengarkan suara. Tinitus bukanlah suatu diagnosis
penyakit tetapi merupakan gejala dari suatu penyakit. Bunyi yang diterima sangat
bervariasi. Keluhan tinitus dapat berupa bunyi mendenging, menderu, mendesis
atau berbagai macam bunyi lannya. Biasanya keluhan tinitus selalu disertai
dengan gangguan pendengaran.1-3
Setidaknya 50 juta penderita dewasa di Amerika Serikat dilaporkan pernah
mengalami tinitus, dan 16 juta diantaranya melaporkan mengalami serangan
tinitus dalam satu tahun terakhir. Penderita dengan riwayat terpapar bising lebih
sering mengalami hal tinitus dibandingankan lainnya. Studi epidemiologi
menunjukkan bahwa tinitus dapat dialami baik perempuan maupun laki-laki pada
semua ras. Angka prevalensi tinitus meningkat seiring bertambahnya usia, dan
mencapi puncak pada usia 60-69 tahun sebanyak 14,3%4
Penatalaksanaan tinitus bersifat empiris dan sampai saat ini masih menjadi
perdebatan, dikarenakan penyebab tinitus yang sampai sekarang masih belum
diketahui secara pasti. Tinitus dapat memberikan masalah yang serius bagi
penderita karena dapat memberikan pengaruh dalam berkonsentrasi, memberikan
perasaan cemas dan depresi, sehingga mengganggu kualitas hidup penderita.4-6
Studi di Korea Selatan sebanyak 23% penderita dengan gangguan pendengaran
disertai tinitus mengalami depresi dan memiliki keinginan untuk bunuh diri.5
Tujuan dari penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk memahami
rehabilitasi tinitus dengan menggunakan terapi suara (sound therapy).
1
2
1. Klasifikasi dan Etiologi Tinitus
Tinitus diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu tinitus objektif dan
subjektif. Tinitus objektif disebut juga sebagai tinitus ekstrinsik, vibrasi atau
pseudotinitus adalah tinitus yang dapat didengar oleh penderita dan pemeriksa,
sedangkan tinitus subjektif disebut juga sebagai tinitus aurium, dan nonvibrasi
adalah tinitus yang hanya dapat didengar oleh penderita.1-3
Tinitus subjektif dianggap berasal dari adanya abnormalitas pada jalur
saraf pendengaran perifer ataupun sentral. Pada jalur perifer gangguan dapat
terjadi mulai dari organ telinga bagian luar hingga ke jalur jaras auditori. Pada
jalur sentral terbagi dalam penyebab primer yaitu tumor otak, sindroma menierre
dan sekunder yaitu tinitus phantom auditory perception.7
Berdasarkan kualitas suara yang didengar pasien ataupun pemeriksa,
tinitus dapat dibagi menjadi tinitus pulsatil dan tinitus nonpulsatil.1 Tinitus pulsatil
dapat terjadi akibat adanya kelainan dari vaskular ataupun di luar vaskular.
Kelaianan vaskular digambarkan dengan sebagai bising mendesis yang sinkron
dengan denyut nadi atau denyut jantung. Tinitus nonpulsatil umumnya bersifat
menetap dan berkelanjutan. Suara yang didengar bervariasi, mulai dari
berdenging, berdengung, berdesis, bergemuruh.1,3
Durasi tinitus dapat terjadi dalam hitungan detik hingga menit bersifat
intermiten ataupun kontinyu. Episode serangan dapat bersifat temporer (cepat
menghilang) atau permanen (harian, bulanan, hingga tahunan).3
2. Patogenesis Tinitus
Tinitus dapat berasal dari adanya kelainan di sepanjang jalur pendengaran.
Berbagai teori mulai dikembangkan tentang patogenesis tinitus subjektif, pada
umumnya terbagi menjadi 3 teori yaitu : kelainan di koklea, kelainan nervus VII,
serta kelainan neurofisiologi.
2.1 Kelainan koklea
Adanya kerusakan sel rambut koklea secara berulang akan menstimulasi
serat saraf untuk beraktivasi, sistem saraf pusat sendiri tidak dapat
mendiskriminasi sumber suara sebenarnya. Kebisingan dan bahan ototoksik dapat
3
merusak membran basilaris koklea, sel rambut luar/outer hair cells (OHC) diikuti
kerusakan sel rambut dalam/inner hair cells (IHC) yang lebih resisten. Kondisi
lainnya, terjadi perubahan rangkaian membrana tektorial dengan stereosilia IHC
dan menyebabkan depolarisasi. Kondisi modifikasi dari aktivitas aferen auditorik
ini akan menyebabkan persepsi tinitus. 3,8
Disfungsi OHC merangsang pelepasan neurotransmiter secara berlebihan
dari IHC yang mengakibatkan peningkatan potensial endokoklear. Tinitus juga
dapat disebabkan oleh hiperaktivitas OHC akibat aktivitas patologis koklea dan
edema sel rambut luar (peningkatan elektromotilitas). Selain itu adanya kerusakan
OHC mempengaruhi perubahan resistensi sistem koklea yang dianggap
bertangung jawab atas gelombang persisten pada telinga dalam yang
menimbulkan emisi otoakustik spontan dan tinitus.8,9
Terjadinya transfer sinyal biokimia, metabolisme transmiter dan
biosintesis protein menyebabkan terjadinya penurunan kalsium intraseluler.
Kalsium intraseluler penting dalam menjaga integritas membran tektoria dalam
proses coupling ke OHC. Penurunan kalsium intraseluler mempengaruhi proses
pelepasan neurotransmiter sehingga menghambat proses aktivasi dalam
pergerakan stereosilia dan menyebabkan tinitus.7
Adanya trauma lokal/gangguan mekanik pada koklea berupa bahan
ototoksik, trauma bising, gangguan metabolik, gangguan neurologi dapat
menyebabkan perubahan pemetaan tonotopik pada korteks auditorik primer.
Perubahan ini tidak selalu berhubungan dengan gangguan pendengaran, tetapi
dapat disertai adanya peningkatan emisi spontan dan peningkatan sinkronisasi
saraf. 6,8,9
2.2 Kelainan nervus VIII
Cross talk theory menjelaskan bahwa serabut saraf auditori intak dapat
berhubungan dengan saraf kranialis lain yang mengalami kerusakan pada
selubung mielin. Sinap baru (crosstalk) dapat terjadi antara masing-masing
serabut saraf menghasilkan fase penguncian (phase-locking) aktivitas spontan
pada grup sel-sel saraf auditori. Pada kondisi normal terdapat inhibisi yang
diperantarai oleh asam gamma amino butyric acid (GABA) yang memediasi
4
mekanisme inhibisi dan eksitasi. Saat kondisi tanpa rangsangan suara dari luar
terbentuk di saat GABA menurun maka akan terbentuk pola neural yang mirip
dengan pola-pola neural hasil dari rangsangan suara asli.7
2.3 Kelainan neurofisiologi
Dewasa ini dikemukakan teori keterlibatan susunan saraf sentral dalam
mekanisme persepsi tinitus berdasarkan teori neurofisiologi tinitus. Deteksi tinitus
terjadi di area subkorteks, persepsi pada area korteks, sistem limbik dan area
prefrontal korteks.
Teori plastisitas auditori menyebutkan bahwa kerusakan koklea
memperbesar aktivitas neural pada jalur auditori sentral. Perwujudan plastisitas
auditori ini merupakan suatu konsekuensi dari penyimpangan jalur sinyal.
Pengurangan jalur sinyal dianalogkan seperti sensasi anggota tubuh yang
teramputasi yang oleh otak dianggap sebagai suara. Bangkitan tinitus diduga
berasal dari lobus temporal pada area korteks auditori dan kolikulus inferior.8
Struktur otak di dinding medial (limbus) hemisfer serebri terdiri dari
nukleus yang berhubungan dengan hipokampus, amigdala dan girus fornikatus.
Efek sistem limbik dipengaruhi endokrin dan sistem otonomik motor. Sistem ini
memantau perilaku multifaset yaitu emosi, memori, motivasi dan perasaan bila
teraktifasi menyebabkan emosi dan cemas. Adanya aktivitas neuronal yang tidak
seimbang dideteksi sebagai sinyal baru di area subkorteks diteruskan ke korteks
auditorius dievaluasi dan disimpan sebagai bunyi tinitus.7,8 Jalur ini yang menjadi
dasar untuk habituasi penderita dalam penatalaksanaan tinitus (gambar 1).
Gambar 1 : Alur timbulnya tinitus berdasar teori neurofisiologi.11
5
3. Penatalaksanaan Tinitus
3.1 Diagnosis tinitus
Diagnosis tinitus didasarkan pada anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik
THT-KL, pemeriksaan pendengaran, pemeriksaan radiologi dan laboratorium.
Anamnesis mempunyai peranan penting untuk mengetahui kualitas serta
kuantitas tinitus, lokasi, sifat (mendenging, mendesis, menderu, berdetak,
gemuruh atau seperti riak air) dan lama kejadian. Bila pada anamnesis didapatkan
lama keluhan kurang dari satu bulan dan durasi kurang dari satu menit dianggap
tidak patologis. Tinitus dianggap patologis umumnya terjadi minimal 5 menit, dan
berulang lebih dari satu bulan.2,3
Kualitas tinitus terbagi dalam dua jenis, yaitu bernada tinggi dan bernada
rendah. Tinitus bernada tinggi (mendenging) terjadi pada kelainan patologis di
basal koklea, saraf pendengar perifer dan sentral. Tinitus bernada rendah seperti
gemuruh ombak khas pada penyakit koklea (hidrops endolimfatika). Kuantitas
dan intensitas tinitus penting diperhatikan karena kemungkinan akan
menyebabkan gangguan psikologis pada penderita. Pada umumnya tinitus disertai
dengan gangguan pendengaran, tetapi tidak semua penderita menyadari hal
tersebut karena sensasi bunyi yang diderita lebih dominan.1,3
Tinitus subjektif yang bersifat unilateral perlu dicurigai kemungkinan
adanya neuroma akustik atau riwayat trauma kepala. Pada tinitus subjektif
bilateral kemungkinan dapat disebabkan oleh intoksikasi obat, presbikusis, trauma
bising dan penyakit sistemik.7
Anamnesis pada penderita tinitus juga dilakukan dengan tujuan
mengetahui tingkat keparahan serangan tinitus yang berdampak dalam keseharian
penderita. Keluhan tersebut meliputi gangguan konsentrasi, stress, depresi hingga
menimbulkan keinginan untuk bunuh diri. Keluhan tersebut dihimpun dalam dua
bentuk kuisioner terpadu, yaitu tinnitus handicap inventory questioneres (THQ)
dan tinnitus reaction questioneres (TRQ).3
Pemeriksaan THT-KL dilakukan untuk melihat adanya kelainan di telinga
luar dan telinga tengah. Seringkali adanya serumen dapat menyebabkan keluhan
6
tinitus. Perforasi membran timpani dan kelainan di telinga tengah sesuai penyakit
dapat menimbulkan gangguan konduksi juga yang disertai tinitus.1
Pemeriksaan pendengaran, secara subjektif meliputi audiometri nada
murni, pemeriksaan objektif menggunakan timpanometri, pemeriksaan fungsi
koklea menggunakan Otto Accpustic Emission (OAE), tes Short Increment
Sensitivity Index (SISI), dan pemeriksaan untuk retrokoklea seperti Tone Decay
dan Brainstem Evoked Response Audiometry.1,3 Disamping itu pada penggunaan
alat bantu dengar juga dibutuhkan pengukuran terhadap Minimum masking level
(MMI), dan Loudness discomfort level (LDL) pada frekuensi 0.5, 1, dan 4 kHz.12
Pemeriksaan radiologis CT scan atau MRI dapat dilakukan untuk
mengetahui kelainan retrokoklear hingga intrakranial. Kelainan tinitus yang
diduga akibat malformasi vaskular, dapat dilakukan pemeriksaan angiografi dan
venogram Jugularis.1,10,11
3.2 Rehabilitasi tinitus menggunakan terapi suara
Terdapat dua kategori dalam pengobatan tinitus, pertama berfokus pada
pengurangan tinnitus (misalnya obat-obatan, electric suppression) dan kedua
terfokus pada reaksi pengkondisian pasien. Pemikiran terkini tentang mekanisme
yang mendasari tinitus menekankan perubahan pendengaran dan sistem saraf yang
dapat secara luas terkait dengan aspek persepsi, atensi, dan reaksi emosional untuk
tinitus.12
Pola pengkodisian pasien dengan merubah fokus pendengaran secara
umum adalah menutupi suara tinitus yang ada dengan suara lain yang lebih
menyenangkan. Tinnitus masking biasa digunakan saat penderita ingin tidur atau
relaks, digunakan dalam bentuk CD atau Mp3 atau dipadukan dengan alat bantu
dengar. Suara yang digunakan sebagai maskers bisa suara natural (rintik hujan, air
terjun, debur ombak) maupun sintetik. Tinnitus maskers yang terbaru bisa
menyesuaikan frekuensi suaranya dengan frekuensi tinitus yang ada.11
Terapi awal yang paling mudah serta murah yaitu dengan Active masking.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara bernyanyi, bermain musik, ataupun
mendengarkan suara-suara alam, dengan tujuan merilaksasi pikiran serta distraksi
dari tinitus yang diderita.13,14 Target untuk pengobatan tinitus yang dengan
7
konseling adalah mempengaruhi reaksi kognitif dan emosional. Bentuk yang
umum yang sering digunakan adalah Tinnitus Retraining Therapy (TRT) yang
dikombinasikan menggunakan Sound environtment generator atau program alat
bantu dengar.11 Konseling bertujuan menghabituasi persepsi penderita melalui
respon auditoris, yang mempengaruhi reaksi pada sistem limbik dan sistem saraf
otonom (gambar 2).
Gambar 2. fokus terapi pada TRT adalah memodulasi dengan memberikan HP
(habituation perceptionyang akanmemunculkan HR (habituation reaction).12
3.2.1 External Sound Environtment Generator
External Sound environtment generator memiliki berbagai macam fungsi
suara yaitu gelombang laut, sungai, air terjun, hujan, suasana hutan, dan white
noise. Pada sebagian pengguna, alat ini memberikan efek yang bersifat relaksasi,
hal ini dikarenakan suara yang bersifat monoton, repetititf tanpa disertai interupsi.
Alat ini dapat digunakan sebagai background noise dalam mengatasi tinitus, inilah
yang menyebabkan penggunaan akan lebih efektif saat malam hari ketika sedang
beristirahat. 14
Belum ada publikasi keberhasilan tentang penggunaan alat ini,
dikarenakan penggunaanya hanya efektif pada waktu tertentu. External Sound
environtment generator memiliki ukuran yang cukup kompak, dengan speaker
beserta pengatur suara dan tombol yang sudah memiliki rekaman suara tertentu
(gambar 3).
8
Gambar 3. Sound environtment generator yang cukup ringkas dengan fungsi yang memudahkan pengguna 14
3.2.2 Alat bantu dengar (Hearing Aid)
Alat bantu dengar di design untuk mengkompensasi gangguan
pendengaran dan kurangnya stimulasi auditori. Alat bantu dengar yang ada di
pasaran tidak mampu mengamplifikasi suara dengan frekuensi 6-7 khz, yang
merupakan frekuensi pendengaran dimana tinitus sering terjadi. Jenis alat bantu
dengar terbaru seperti Combi terintegrasi dengan internal sound generator
sehingga mampu mengkombinasi stimulasi auditoris, disamping
mengkompensasi gangguan pendengaran.14 Combi memiliki ukuran yang kecil,
mudah dalam penggunaan dan perawatan (gambar 4)
Gambar 4. Bentuk Combi sebagai alat bantu dengar. 14
9
Studi yang dilakukan terhadap penderita dengan gangguan pendengaran
derajat ringan disertai tinitus, menunjukkan bahwa 50% keluhan tinitus berkurang
dalam 6 minggu pertama.14
3.2.3 Neuromonic12
Salah satu terapi berbasis konseling dan terapi suara adalah menggunakan
neuromonic. Neuromonic mampu mengeluarkan stimulasi musik serta suara
berfrekuensi luas, yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan penderita
berdasarkan hasil pemeriksaan audiologi. Tujuan dari terapi ini adalah
menstimulasi dan mendensitisasi aktivitas saraf abnormal yang menyebabkan
tinitus, sehingga penderita mencapai relaksasi maksimal (gambar 5).
Gambar 5. Kombinasi auditoris, atensional, dan emosional, yang di berikan stimulus dengan menggunakan Neuromonic. 12
Indikasi penggunaan terapi neuromonic antara lain yaitu, penderita dengan
pendengaran normal atau penderita dengan frekuensi pendengaran tidak lebih dari 50 db
pada tiap sisi telinga, skala Tinnitus handicap inventory questionnaire (THQ) lebih dari
17. Keluhan disertai tinitus pulsatil maupun non pulsatil, yang tidak meningkat dengan
stimulasi akustik dan penderita terlindungi dari kebisingan selama mendapatkan terapi.
Kontra indikasi penggunaan terapi neuromonic yaitu penderita dengan meniere’s
10
disease. Tinnitus handicap inventory questionnaire (THQ) memiliki 25 pertanyaan
seperti nampak pada gambar 6 dan diisi saat awal anamnesis dengan penderita.
Gambar 6. Tinnitus handicap inventory memiliki skala 0-10 tentang kualitas tinitus, serta 25 pertanyaan seputar tinitus yang diderita.3
Penderita yang akan mendapatkan terapi neuromonic akan di ikuti
perkembanganya dengan Tinnitus reaction questionairre (TRQ). TRQ akan menunjukkan
kemajuan penderita yang didapat pada saat konseling dengan skala 0 hingga 100.
Pengumpulan data dilaksanakan bersamaan dengan program rehabilitasi dengan tujuan
memantau penurunan keluhan penderita melalui prosedur wawancara. Semakin rendah
nilai yang didapat pada tiap sesi konseling, menunjukkan semakin tingginya keberhasilan
11
terapi. TRQ memiliki 28 pertanyaan yang lebih kompleks dibandingkan dengan THQ
(gambar 7).
Gambar 7. Tinnitus reaction questionere bertujuan untuk melihat perkembangan penderita yang menggunakan Neuromonic.3
12
Penderita diberikan edukasi tentang penilaian kondisi tinitus yang sedang
dialami serta cara kerja neuromonic. Penderita juga diminta menulis saran dan
harapan di setiap tahap pengobatan. Materi edukasi juga berisi tentang berbagai
faktor yang dapat memperburuk persepsi tinitus dan daftar kegiatan yang
disarankan untuk dilakukan bersamaan dengan menggunakan perangkat
neuromonic.
Tahap pertama dari terapi neuromonic berlangsung selama kurang lebih 2
bulan setelah awal terapi. Penderita menggunakan perangkat selama 2-4 hari pada
awal terapi, dan digunakan selama periode tinitus yang paling mengganggu.
Penderita diinstruksikan untuk mengatur volume ke tingkat yang paling nyaman,
dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah stimulasi neural dan untuk
memberikan bantuan maksimal serta relaksasi. Pendekatan disertai konseling
memudahkan proses desensitisasi sinyal tinitus pada tahap selanjutnya (gambar
8).
Gambar 8. a: Penggunaan Oasis neuromonic disertai konseling;
a
b
13
b: alat Oasis Neuromonic yang ringkas mirip MP3 player.12
Tahap kedua pengobatan bertujuan untuk secara bertahap melakukan
desensitisasi sinyal tinitus sebagai efek yang lebih permanen. Selanjutnya
penderita diperintahkan untuk mengatur dengan durasi setengah dari waktu
kejadian. Oleh karena itu, penderita akan mengalami interaksi intermiten dengan
tinitus mereka, tujuan ini untuk membantu otak mengembangkan kemampuan
menyesuaikan terhadap timbulnya tinitus. Fase ini berlangsung selama 4 bulan,
dengan kontrol pada minggu ke 16 dan 24.
Minimum masking level (MML) dan LDL diukur kembali pada minggu ke
2, 4 dan 6 untuk mengevaluasi progresifitas penderita. Pengisian TRQ dilakukan
bersamaan untuk mengevaluasi seberapa parah gangguan yang dapat dirasakan
oleh penderita selama beberapa minggu terakhir. Respon penderita pada tahap ke
dua diperiksa pada minggu ke 10. Beberapa penderita dengan gangguan
pendengaran pada umunya membutuhkan terapi yang lebih lama.
Tahap ke tiga dimulai setelah penderita merasa tinitus sudah bukan menjadi
masalah utama lagi. Penderita mengurangi penggunaan alat secara bertahap setidaknya
seminggu sekali agar tidak terjadi rebound tinitus yang lebih hebat. Penggunaan alat
diakhiri ketika penderita sudah mampu beraktifitas mandiri layaknya tidak mengalami
gangguan tinitus.
Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa 85 % dari pengguna neuromonic
mengalami kemajuan dalam menyesuaikan tinitus. Keberhasilan neuromonic dalam
memberikan terapi mencapai 95 %, sedangkan TRT konvensional hanya 21 %.
Keunggulan yang didapatkan oleh penderita dan klinisi meliputi kemudahan dalam terapi
neuromonic yang tidak invasif, dapat digunakan pada berbagai macam jenis tinitus, dan
tidak memakan waktu.
RINGKASAN
Terapi tinitus masih menjadi perdebatan, hal ini dikarenakan etiologi tinitus yang
masih luas. Beberapa kasus tinitus menjadi sumber masalah baru, karena menyebabkan
depresi dan keinginan bunuh diri. Untuk itu diperlukan pendekatan baru dalam
merehabilitasi tinitus yang efektif dan efisien. Rehabilitasi dengan suara adalah proses
mengalihkan, menciptakan relaksasi dan membiasakan penderita tidak terfokus pada
sensasi suara yang didengarnya.
14
Rehabilitasi dengan terapi suara mengkombinasikan terapi konseling dan
perangkat auditoris (active masking, sound generator, alat bantu dengar dan
neuromonic). Dimulai dari anamnesis lengkap dengan THQ (tinnitus handicap inventory
questionairre). Khusus neuromonic dilakukan pengawasan penderita menggunakan
TRQ (|Tinnitus reaction questionere) dan konseling untuk melihat kemajuan terapi.
Terapi neuromonic dilakukan lebih dari 10 minggu. Keunggulan neuromonic adalah
tidak invasif, dapat pada berbagai jenis tinitus. Keberhasilan terapi neuromonic lebih
tinggi dibandingkan dengan TRT konvensional.
15
Kepustakaan
1. Cosetti MK, Roehm PC. Tinnitus and Hyperacusis. In : Johnson JT, Rosen
CA, eds. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology 5th edition
Volume Two. Philadelphia: Lippincott Williams&. WJ.lkins, a Wolters
Kluwer business; 2014.p.2597-611
2. Benson AG, Meyers AD. Tinnitus. 2014;1-8. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/856916-overview Accessed June 24,
2015
3. Dinces EZ, Deschler DG, Park L. Etiology and diagnosis of tinnitus. 2015;1-
13. Available from http://www.uptodate.com/contents/etiology-and-
diagnosis-of-tinnitus?
source=search_result&search=tinnitus&selectedTitle=1%7E138 Accessed
June 23, 2015
4. Shargodosky J, Curhan G, Farwell W. Prevalence and characteristics of
tinnitus among US adults. The American Journal of Medicine. Vol 123. Issue
8. Boston; 2010.p.711-8
5. Joo YH, Han KD, Park KH; Association of Hearing Loss and Tinnitus with
Health-Related Quality of Life: The Korea National Health and Nutrition
Examination Survey. The Catholic University of Korea. Vol 10. Issue 6.
Seoul;2015.p.1-10
6. Nouvian R, Eybalin M, Puel JL. The cochlea and the auditory nerve as a
primary source of tinnitus. In : Eggermont JJ, Zeng FG, Popper AN, Fay RR,
eds. Tinnitus. New York: Springer; 2012.p.83-95
7. Purnami N. Patogenesis Vertigo dan tinitus. Dalam : Wiyadi HMS, Harmadji
S, Herawati S, Roestiniadi, Romdhoni AC. Pendidikan kedokteran
berkelanjutan VII. The comperehensive management of vertigo & tinnitus.
Surabaya : Departemen/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL FK Unair-RSUD Dr.
Soetomo Surabaya; 2009.hal 22-9
16
8. Baguley D, Andersson G, McFerran D, McKenna G. Mechanisms of tinnitus.
In : Tinnitus : Multidisciplinary approach, second edition. Iowa: Blackwell
publishing ltd; 2013.p.29-42
9. Moller AR. Pathology of the auditory system that can cause tinnitus. In :
Moller AR, Langguth B, DeRidder T, Kleinjung T, eds. Text book of tinnitus.
New York:Springer; 2011.p.77-90
10. Minen MT, Camprodon J, Nehme R, Chemali Z; The Neuropsychiatry of
tinnitus: a circuit-based aproach to the cause and Treatments available. J
neurol neurosurg psychiatry; 2014.p.1138-44
11. Shulman A, Kleinjung T, Tyler RS, Seidman MD; AAO-HNS Intl tinitus
miniseminar summary 2014 : Modalities tinnitus treatment –
neuromodulation, instrumentation, pharmacology, electric stimulation,
surgery, and neurofeedback. International tinitus journal, vol 18 no 2.
USA;2014.p.102-14
12. Vierre D, Davis PB. Rehabilitation of tinnitus patients using the neuromonics
tinnitus treatment. In : Moller AR, Langguth B, DeRidder T, Kleinjung T,
eds. Text book of tinnitus. New York: Springer; 2011.p.605-11
13. Davis. All about masking. In Living with tinnitus. Australia: Gore & Osment
publication; 2011.p.32-6
14. Bo LD, Baracca G, Forti S, Norena A. Sound Stimulation. In : Moller AR,
Langguth B, DeRidder T, Kleinjung T, eds. Text book of tinnitus. New York:
Springer; 2011.p.597-604