REHABILITASI DALAM PUTUSAN BEBAS PADA KASUS...
Transcript of REHABILITASI DALAM PUTUSAN BEBAS PADA KASUS...
REHABILITASI DALAM PUTUSAN BEBAS PADA KASUS
PEMBUNUHAN ASRORI JOMBANG MENURUT HUKUM POSITIF DAN
HUKUM ISLAM
(Studi Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syari‟ah dan Hukum untuk mememuhi salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Syari‟ah (S,Sy)
LAKA RAMADHAN MUBARAK
NIM : 1110043200004
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH & HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2015 M - 1436 H
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan kebutuhan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukanlah hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 4 Juni 2015 M
Laka Ramadhan Mubarak
v
ABSTRAK
LAKA RAMADHAN MUBARAK. NIM 1110043200004. Rehabilitasi
Dalam Putusan Bebas Pada Kasus Pembunuhan Asrori Jombang Menurut
Hukum Positif dan Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 89
PK/PID/2008). Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, konsentrasi
Perbandingan Hukum, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam Negri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakrta, 1436H/2015M
Skripsi ini merupakan upaya untuk menjelaskan mengenai penerapan
rehabilitasi dalam putusan bebas pada kasus pembunuhan menurut hukum positif
dan hukum Islam. Dalam penegakan hukum di Indonesia masih terjadi kesalahan
dalam penyidikan maupun memberikan putusan. Setiap kesalahan tersebut
tentunya dapat diperbaiki salah satunya melalui putusan yang berupa rehabilitasi
yang dikeluarkan oleh pengadilan terkait. Seperti halnya yang terjadi kepada
Kemat, Devid dan Sugik yang dituduh dan di hukum telah melakukan
pembunuhan kepada Moch. Asrori padahal mereka tidak pernah melakukan hal
tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, yaitu penelitian
terhadap efektivitas pelaksanaan suatu peraturan, terutama dalam hukum positif
dan hukum Islam. Dengan pendekatan kualitatif yaitu bersumber pada data
skunder dan primer dengan pengumpulan data melalui study pustaka (library
research). Sedangkan analisis data dilakukan analisis kualitatif. Yaitu upaya yang
dilakukan secara bersamaan dengan pengumpulan data, memilihnya menjadi
satuan yang sistematis dan sempurna, menemukan apa yang penting dan apa yang
dapat dipelajari, memutuskan apa yang dapat dibaca dan mudah difahami serta
menginformasikannya kepada pembaca.
Tujuan dari penelitian ini agar pembaca dapat memahami dan mengetahui
bagaimana proses terjadinya putusan bebas pada kasus pembunuhan Moch. Asrori
di Jombang. Mencakup juga penjelasan tentang bagaimana penerapan rehabilitasi
terhadap putusan bebas dalam kasus Moh. Asrori di Jombang menurut hukum
positif dan hukum Islam.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil „alamin, berkat rahmat Allah SWT yang senantiasa
memberikan taufik serta hidayahnya. Sholawat serta salam tercurah kepada Nabi
Besar Muhammad SAW berserta Keluarga dan para sahabatnya. Kemudahan serta
pertolongan Allah SWT yang selalu diberikan kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Rehabilitasi Dalam Putusan Bebas
Pasa Kasus Pembunuhan Asrori Jombang Menurut Hukum Positif Dan
Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008)”
Karya ini tidaklah dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan dari kawan-kawan
serta pihak-pihak yang terkait dalam memberikan dukungan dan memberikan
sumbangsih ide serta waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Oleh karena itu
penulis merasa sangat perlu untuk mengucapkan terimakasih sebagai bentuk
penghargaan kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Khamami Zada, M.A, selaku Ketua prodi Perbandingan
Mazhab Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
3. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc., M.A, selaku sekretaris prodi Perbandingan
Mazhab Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
vii
4. Bapak Dedy Nursamsi, S.H, M.H, dan Bapak H.M Riza Afwi, M.A,
selaku dosen pembimbing skripsi yang telah berkenan meluangkan waktu
dan mencurahkan segala perhatiannya untuk memberikan pencerahan serta
pengarahan yang begitu baik bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini.
5. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.si yang telah membantu dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Pimpinan dan staf karyawan Perpustakan Umum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Pimpinan serta karyawan Perputakan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas
untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku-buku ataupun lainnya,
sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.
7. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah banyak mencurahkan ilmu pengetahuan kepada penulis
selama menjalani masa pendidikan berlangsung.
8. Ayahanda tercinta Bapak H. Zulkifli Syukur, S.H, dan ibunda tercinta Ibu
Dra. Hj. Elfy Julaeha yang selalu mendukung dan memberikan segalanya
kepada ananda, agar ananda dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Kakak tersayang Riska Aurisna Febriane, S.H, M.H, yang selalu
membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini, serta adik-adik tersayang
Fadly Khairuzzadhi dan Isye Mariza Fadilah.
10. Teman berkeluh kesah Hefa Nur Adri Septayunani, S.E, yang selalu
memberikan semangat dan dukungan.
viii
11. Sahabat tercinta M. Aidzbillah, Ramdhani, S.sy, Rani Putri Larasati, S.sy,
M. Ade Septiawan, dan Ilyas Fadilah yang tak henti-henti memberikan
dukungan serta menemani dalam kondisi suka dan duka juga menjadi
teman diskusi yang baik untuk penulis menyelesaikan skripsi ini.
12. Teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang selalu
memberikan motivasi dan kenangan dalam menjalani pendidikan di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 13 Mei 2015
Laka Ramadhan Mubarak
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i
SURAT PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................................. iii
ABSTRAK .................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................. 1
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah .............................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 9
D. Studi Terdahulu ........................................................................................ 10
E. Metode Penelitian .................................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ............................................................................... 13
BAB II TINJAUAN UMUM REHABILITASI MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM
ISLAM ..................................................................................................... 14
A. Definisi Rehabilitasi................................................................................14
B. Rehabilitasi Menurut Hukum Positif ........................................................ 15
1. Hukum Positif dalam Pemidanaan........................................................17
2. Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku.....................................................19
3. Rehabilitasi dalam Putusan Bebas........................................................22
C. Pelaksanaan Rehabilitasi dalam Sistem Peradilan Indonesia................27
x
D. Rehabilitasi Menurut Hukum Islam .......................................................... 34
1. Hukum Islam Mengenai Pemidanaan...................................................36
2. Penjatuhan Pidana Menurut Hukum Islam...........................................39
3. Rehabilitasi dalam Hukum Islam..........................................................41
Bab III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.89 PK/PID/2008 YANG MEMBEBASKAN
DEVID, KEMAT DAN SUGIK DALAM PEMBUNUHAN ASRORI DI JOMBANG . 52
A. Latar Belakang Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 ............ 52
B. Amar Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 ........................... 63
C. Pertimbangan Hukum (Interpretasi Hakim) Putusan Mahkamah Agung
No. 89 PK/PID/2008.................................................................................68
Bab IV ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM MENGENAI
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 89 PK/PID/2008 ............................... 72
A. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 Menurut Hukum
Positif ...................................................................................................... ..72
1. Pemulihan Nama Baik Menurut Hukum Positif....................................74
2. Ganti Rugi Menurut Hukum Positif.......................................................75
B. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 Menurut Hukum
Islam........................................................................................................79
1. Pemulihan Nama Baik Menurut Islam..................................................82
2. Ganti Rugi Menurut Islam.....................................................................84
Bab V PENUTUP ................................................................................................ 86
A. Kesimpulan ............................................................................................... 86
B. Saran ......................................................................................................... 87
xi
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 88
LAMPIRAN..................................................................................................................91
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum,
bahwa UUD 1945 menetapkan Indonesia suatu negara hukum dan dapat
dibuktikan dari ketentuan dalam pembukaan, batang tubuh dan penjelasan UUD
1945. Hukum diciptakan dengan tujuan untuk dapat memberikan perlindungan
dan ketertiban di dalam masyarakat supaya terciptanya keadilan bagi semua
lapisan masyarakat. Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak ditemukan
pelanggaran-pelanggaran serta penyimpangan-penyimpangan terhadap tujuan
hukum itu sendiri, baik di sengaja maupun tidak di sengaja. Sudah semestinya
peran penegak hukum melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang berlaku.1
Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia
setiap individu. Pengakuan negara terhadap hak individu ini tersirat di dalam
persamaan kedudukan di hadapan hukum bagi semua orang. Dalam sebuah negara
hukum semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before
the law), menegakkan keadilan di mana persamaan kedudukan berarti hukum
sebagai satu entitas tidak membedakan siapapun yang meminta keadilan
kepadanya dan diharapkan tidak terjadi sesuatu diskriminasi dalam hukum di
Indonesia di mana ada suatu pembeda atara penguasa dan rakyatnya.
1 Ramly Hutabarat, Persamaan Dihadapan Hukum “Equality Before the Law” di
Indonesia, cet.I, (Jakarta: Ghalia Indonesia, Maret 1985), hal. 11.
2
Kalau seorang yang mampu dalam materi dan dianggap sudah cakap
hukum (the have) mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau
lebih advokat untuk membela kepentingannya. Sebaliknya, seorang yang
tergolong tidak mampu dalam segi materi dan tidak cakap hukum (the have not)
juga dapat meminta pembelaan dari seorang atau lebih pembela umum sebagai
pekerja di lembaga bantuan hukum untuk membela kepentingannya dalam suatu
perkara hukum.
Tidak adil bilamana orang yang mampu saja yang dibela oleh advokat
dalam menghadapi masalah hukum, sedangkan fakir miskin tidak memperoleh
pembelaan karena tidak sanggup membayar uang sewa seorang advokat.
Perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum adalah hak asasi
manusia setiap orang dan merupakan salah satu unsur untuk memperoleh keadilan
bagi semua orang. Tidak ada seorang pun dalam negara hukum yang boleh
diabaikan haknya untuk memperoleh pembelaan dari seorang advokat atau
pembela umum dengan tidak memerhatikan latar belakangnya, seperti latar
belakang agama, keturunan, ras, etnis, keyakinan politik, strata sosio-ekonomi,
warna kulit, dan gender.2
Bangsa Indonesia menjamin perlindungan terhadap nyawa setiap warga
negaranya, dari yang ada dalam kandungan sampai yang akan meninggal.
Tujuannya adalah untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dalam suatu
perbuatan khususnya yang dilakukan dengan cara merampas nyawa orang lain
(membunuh). Pada masyarakat yang masih sederhana, membunuh merupakan
2 Andi Sofyan dan Abd. Azis, Hukum Acara Pidana (Suatu Pengantar) , Cet.I, (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2014), hal. 1-2.
3
suatu kebanggaan sebagai bukti keberanian dan kepahlawanan seseorang di
kalangan kelompoknya. Membunuh jika dipandang dengan sudut agama
merupakan sesuatu yang terlarang bahkan tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu
setiap perbuatan yang mengancam keamanan dan keselamatan atas nyawa
seseorang tersebut dianggap sebagai kejahatan yang berat oleh karena itu dijatuhi
oleh hukuman yang berat pula.3
Kesadaran akan hak dan kewajiban setiap warga negara terutama pada
negara yang sedang berkembang dan sedang membangun seperti negara kita,
perlu ditingkatkan secara terus-menerus karena di setiap kegiatan maupun setiap
organisasi tidak dapat disangkal bahwa peranan kesadaraan hak dan kewajiban,
amat menentukan dalam pencapaian tujuan. Dalam upaya penegakan hukum,
selain kesadaraan akan hak dan kewajiban tersebut, juga tidak kurang pentingnya
kesadaraan penggunaan kewenangan aparat penegak hukum, karena
penyalahgunaan kewenangan tersebut selain sangat memalukan dan dapat
merugikan keuangan negara juga dapat mengakibatkan timbulnya kekhawatiran
atau ketakutan warga jika berhadapan dengan aparat penegak hukum.4
Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia yang
terdiri dari suku bangsa dengan kebudayaan dan agama yang berbeda, ditambah
dengan keanekaragaman hukum yang ditinggalkan oleh penjajah, bukanlah
pekerjaan yang mudah. Pembangunan hukum nasional yang akan berlaku bagi
semua warga negara, semestinya tidaklah memandang agama maupun elemen
3 Harmien Hardiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press,
Surabaya, 1984, hal, 2. 4 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana: Penyidikan dan Penyelidikan,
cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. Vii.
4
kultural salah satu golongan masyarakat. Sebab, jika hal itu dilakukan, besar
peluangnya akan menimbulkan goncangan sosial secara nasional.
Secara teoritis, bisa ditegaskan bahwa kalaupun hal itu terjadi, hendaklah
ia merupakan proses alami yang dikerjakan oleh masyarakat sendiri berdasarkan
kebutuhan akan masa depan yang lebih baik. Apalagi, pencapaian suatu sasaran
hukum nasional yang diharapkan, seharusnya dilakukan secara bertahap,
terencana, terpadu, terarah, dan senantiasa mempertimbangkan psiko-sosial,
kultural, maupun teologi suatu masyarakat.5
“You have shown me the sky to a creature who‟ll never do better than
crawl.”
“Anda memperlihatkan langit kepadaku, tapi apalah artinya cakrawala,
bagi manusia kecil melata, yang hanya mampu merangkak terseok-seok.”
Ungkapan di atas pernah di ucapkan ketua Lembaga Bantuan Hukum
Filiphina, Dr. Salvador Laurel. Mungkin ungkapan ini merupakan manifestasi
perasaan golongan masyarakat kecil yang pernah dihibur dengan berbagai
kecemerlangan integritas hak asasi pribadi. Namun dalam kenyataan dan praktek
penegakan hukum, mereka sama sekali tidak mampu bertahan ketika berhadapan
dengan kecongkakan kekuasaan yang diperankan aparat penegak hukum yang
selalu berperilaku mempertontonkan kesewenangan dan kehausan kekuasaan.6
Semisal itulah barangkali yang dikhawatirkan dalam pelaksanaan
penegakan KUHAP. Pembuat undang-undang telah sengaja menciptakan
5 Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet.I, (Jakarta:
Penamadani, 2004), hal. 3-4. 6 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan
dan Penuntutan, Cet.VIII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 1.
5
cakrawala hukum acara pidana yang penuh ditaburi hiasan hak asasi sebagai
cahaya kemilau penuntun yang sekaligus menjadi perisai bagi diri mereka
berhadapan dengan wewenang yang diberikan undang-undang kepada aparat
penegak hukum. Namun penuntun dan perisai itu hancur lebur di bawah telapak
kaki keangkuhan pejabat penegak hukum, yang memaksa mereka merangkak-
rangkak merengek belas kasihan para pejabat yang mumpung berkuasa.7
Awal lahirnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
tidak lepas dari peninggalan warisan kolonial yang begitu saja langsung
diterapkan ke dalam sistem hukum di Indonesia. Akan tetapi setelah orde baru,
ada kesempatan yang sangat memungkinkan untuk membangun tatanan
kehidupan ataupun sistem kelembagaan yang ada tidak terkecuali di bidang
hukum. Suatu undang-undang hukum acara pidana nasional yang modern dan
ideal bagi bangsa Indonesia merupakan sebuah harapan seiring dengan
perkembangan zaman. Dimana ada konsep hukum acara pidana yang dapat
mengakomodir kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Sistem peradilan pidana di Indonesia di mana semua aturan hukumnya
merujuk pada konsep hukum yang berbentuk normatif berupa perundang-
undangan. Yang erat kaitannya dengan Hukum Acara Pidana yang dimaksudkan
ketentuan normatif sistem peradilan pidana. Sedangkan sistem peradilan pidana
Indonesia menganut konsep bahwa kasus pidana adalah sengketa antara individu
dengan masyarakat (publik) dan sengketa itu akan diselesaikan oleh negara
7 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan
dan Penuntutan, hal. 1.
6
(pemerintah) sebagai wakil dari publik, secara umum yang berlaku di Indonesia
civil law system yang didasari dengan satu doktrin bahwa pemerintah senantiasa
akan berbuat baik terhadap warga negara.8
Namun pada kenyataannya dalam proses pemeriksaan perkara pada tingkat
pengadilan segala kemungkinan bisa terjadi, salah hukum pun mungkin terjadi.
Salah hukum merupakan kesalahan dalam menetapkan hukuman, hal tersebut bisa
berupa salah tangkap sampai dengan adanya salah vonis. Salah hukum tersebut
terjadi karena ada kesalahan baik pada proses penyidikan, proses pemeriksaan
berkas acara perkara oleh Jaksa dan Hakim dalam proses menjatuhkan putusan,
sehingga dibutuhkan kejelian dan kehati-hatian dalam proses awal pemeriksaan
perkara sampai pada putusan hakim.
Dalam proses acara perkara pidana bisa terjadi kelalaian prosedur untuk
menyelesaikan perkara pidana salah satunya adanya salah hukum. Apabila terjadi
salah hukum maka korban salah hukum ini sebagai pihak yang sangat dirugikan
baik secara jasmani ataupun rohani, terjadinya salah hukum bermula dari salah
tangkap dan dilanjutkan dengan adanya salah vonis dalam menjatuhkan putusan.
Kasus salah hukum yang pertama terjadi di Indonesia adalah kasus Sengkon dan
Karta di Bekasi pada tahun 1974 yang dituduh melakukan pembunuhan.
Dalam perkara hukum acara pidana ada adagium yang menarik untuk
dicermati, yaitu bahwa lebih baik melepaskan seribu orang bersalah daripada
menghukum satu orang yang tidak bersalah. Adagium hukum tersebut lebih
menekankan kepada hakim untuk lebih ekstra hati-hati dalam menjatuhkan vonis,
8 Luhut M.P Pangaribuan, Hukum Acara Pidana (Jakarta, Djembatan,2008), hal. 1.
7
jangan sampai orang yang tidak bersalah dihukum, hanya karena disebabkan sikap
tidak profesionalnya hakim dalam menangani perkara. Begitu juga jangan mudah
melepaskan atau menjatuhkan hukuman yang ringan kepada pelaku kejahatan dari
hukuman yang seharunya dijatuhkan.
Seperti halnya dalam peristiwa tindak pidana yang dituduhkan kepada
David Eko Prianto alias Devid, Imam Hambali alias Kemat, dan Maman Sugianto
alias Sugik. Mereka diputus bersalah telah melakukan pembunuhan terhadap
Moch. Asrori dan harus bertanggungjawab atas perbuatan yang sebenarnya tidak
pernah mereka lakukan.
Penderitaan yang diterima oleh Devid, Kemat, dan Sugik bukan saja harus
mendekam di penjara, ketiganya juga mengakui bahwa selama proses penyidikan,
mereka diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. Berdasarkan isi surat kepada
keluarganya, Devid mengaku ditodong pistol pada bagian perut dan kepala selama
pemeriksaan. Sedangkan Kemat, selain ditodong pistol, juga dipukuli perut dan
telinganya di Polsek Bandar Jombang.9
Kebenaran itu hadir belakangan, ketika tersangka Verry Idham
Heryansyah alias (Ryan) mengaku sebagai pelaku pembunuh Moh. Asrori alias
(Luki atau Aldo). Hal itu diperkuat kembali dengan keterangan Ryan bahwa
jenazah Asrori dimakamkan di kebun belakang rumah orang tua nya. Kebenaran
bahwa itu adalah jasad Asrori dibuktikan melalui uji tes DNA (deoxyribonucleic
acid), antara jenazah Asrori dengan pasangan Jalal dan Dewi (orang tua Asrori).10
Devid, Kemat, dan Sugik pun akhirnya dibebaskan begitu saja tanpa mendapatkan
rehabilitasi atas segala hal yang dituduhkan kepada mereka.
9 “Kemat Dihajar Polisi di Kebun Tebu”, Kompas, 28 Agustus 2008, hal 2.
10 “Asrori Korban ke-11 Ryan”, Jawa Post, 28 Agustus 2008, hal 3.
8
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dari itu penulis tertarik
mengangkat skripsi dengan judul : REHABILITASI DALAM PUTUSAN
BEBAS PADA KASUS ASRORI JOMBANG MENURUT HUKUM
POSITIF DAN HUKUM ISLAM (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 89
PK/PID/2008)
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
Agar tidak terjadi kesimpangsiuran masalah, maka penulis akan
mengidentifikasi dan membatasi masalah yang akan dibahas :
1. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya rehabilitasi dalam putusan bebas.
2. Pelaksanaan rehabilitasi terhadap putusan bebas dalam kasus pembunuhan
Moch. Asrori di Jombang menurut hukum positif dan hukum Islam.
3. Praktek penegakan hak pada tersangka pembunuhan.
4. Kelalaian dalam mengidentifikasi korban pembunuhan dan memutuskan
hukuman kepada pelaku pembunuhan.
Mengingat luasnya cakupan pembahasan masalah, maka ruang lingkup
masalah dalam penelitian ini difokuskan hanya terhadap masalah :
1. Terjadinya putusan bebas pada kasus pembunuhan Moch. Asrori di Jombang.
2. Praktek penegakan hak pada tersangka pembunuhan.
3. Bagaimana pelaksanaan rehabilitasi menurut hukum positif dan hukum Islam.
Berdasarkan batasan rumusan masalah di atas, maka untuk mempermudah
pembahasan, penulis merumuskan masalah yang dikaji dalam skripsi ini sebagai
berikut:
9
1. Bagaimana terjadinya putusan bebas terhadap kasus pembunuhan Moch.
Asrori di Jombang?
2. Bagaimana rehabilitasi terhadap putusan bebas dalam kasus Moch. Asrori di
Jombang menurut hukum positif dan hukum Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian ini, adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya putusan bebas pada kasus
pembunuhan Moch. Asrori di Jombang.
b. Untuk menjelaskan bagaimana penerapan rehabilitasi terhadap putusan bebas
dalam kasus Moh. Asrori di Jombang menurut hukum positif dan hukum
Islam.
2. Manfaat Penelitian
Penulis berharap penulisan skripsi ini dapat memberi manfaat sebagai
berikut:
a. Bagi penulis yaitu untuk menambah wawasan sekaligus pengembangan ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan hak tersangka yang dituduh melakukan
pembunuhan.
b. Secara teoritis untuk mengetahui kesesuaian praktek penegakan hukum
peradilan pidana di Indonesia dan hukum Islam.
c. Secara praktis yaitu untuk menambah keyakinan dan pemahaman kepada
masyarakat terhadap keadilan pemerintah dalam penegakan hukum yang
berlaku di Indonesia.
10
D. Studi Terdahulu
Sejauh yang penulis ketahui, apa yang penulis tulis ini belum pernah ada
yang menuliskannya, setidaknya di lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul yang mempunyai
sedikit kesamaan antara lain: “Penyertaan dalam Pembunuhan Berencana
dalam Hukum Islam dan Hukum Positif (Kajian Yurisprudensi No.
1429K/Pid/2010)”. Pokok masalah yang dikaji membahas tentang pengertian
tindak pidana, unsur-usnur tindak pidana, pengertian penyertaan, bentuk-bentuk
penyertaan, pengertian pembunuhan, macam-macam pembunuhan, sanksi pidana
dan konsep pemaafan.
Pada tinjauan selanjutnya, penulis mencermati skripsi yang berjudul :
“Pencemaran Nama Baik Akibat Salah Tangkap (Kajian Hukum Pidana Islam
dan Hukum Pidana Positif)”. Pada skripsi ini, pokok masalah yang dikaji
membahas tentang pengertian tindak pidana, pencemaran nama baik dan
sanksinya menurut hukum positif dan hukum Islam, pengertian jinayah dan
jarimah, macam-macam dan jenis-jenis jarimah, uqubah macam dan tujuannya
dalam hukum Islam, sebab terjadinya salah tangkap dan akibat salah tangkap. Jadi
dalam skripsi ini hanya menitikberatkan sanksi pada pelaku utama saja, tanpa
menjelaskan bagaimana bila terdakwa adalah bukan pelaku yang sebenarnya.
Ini sangat berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan, yang lebih
berfokus kepada bagaimana terjadinya perubahan putusan yang asalnya di
Pengadilan Negeri Jombang memutus bersalah menjadi putusan bebas pada
Mahkamah Agung. Serta bagaimana penerapan rehabilitasi pada putusan bebas
Mahkamah Agung menurut hukum positif dan hukum Islam.
11
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini adalah metode-metode yang dapat mempermudah dalam penelitian
yaitu sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Dalam pemulisan skripsi ini digunakan pendekatan Perbandingan
(Comparative Approach) yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengadakan
studi perbandingan hukum. Perbandingan hukum merupakan suatu metode studi
dan penelitian hukum, studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk
membandingkan hukum satu dengan hukum yang lain, penulis memilih
pendekatan ini karena penulis ingin membandingkan antara hukum Islam dengan
hukum positif di Indonesia dalam hal penerapan rehabilitasi yang diberikan
kepada orang yang di hukum bersalah, akan tetapi dia tidak pernah melakukan hal
tersebut.
2. Jenis Penelitian
Dengan menggunakan kajian pendekatan hukum normatif yaitu
mengumpulkan peraturan perundang–undangan dari bidang-bidang tertentu, yang
menjadi pusat perhatian dari peneliti. Klasifikasi dapat dibuat atas dasar
kronologi, bagian-bagian yang diatur oleh peraturan tersebut, dan seterusnya.
Kemudian diadakan suatu analisa, dengan mempergunakan pengertian-pengertian
dasar dari sistem hukum, analisa hanya dilakukan terhadap pasal-pasal yang isinya
merupakan kaedah (hukum).11
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta: UI Press, 1984), hal.
255.
12
3. Sumber Data Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis data. Data
yang digunakan yaitu data Primer dan data Sekunder. Untuk penelitian normatif
data primer yang digunakan adalah putusan peninjauan kembali yang di keluarkan
oleh Mahkamah Agung. Sedangkan sumber sekundernya adalah berupa undang-
undang yang di terapkan atau berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan masalah
yang penulis kaji, komentar dan buku-buku, dokumen-dokumen, serta artikel-
artikel yang terkait.
4. Metode Pengumpulan Data
Untuk pendekatan penelitian normatif dilakukan dengan cara studi
kepustakaan, yaitu dengan menelusuri bahan–bahan tertulis atau pustaka yang
terkait dengan judul dan masalah yang penulis teliti. Baik berupa salinan putusan
Mahkamah Agung dari website Mahkamah Agung, buku-buku, artikel-artikel
undang-undang ataupun dokumen-dokumen resmi yang di keluarkan yang terkait
dengan skripsi ini.
5. Metode Analisis Data
Analisis yang dilakukan secara komparatif yaitu peneliti akan
membandingkan antara pandangan hukum positif dan hukum Islam mengenai
masalah rehabilitasi yang diberikan kepada korban yang diputus bersalah akan
tetapi dia tidak pernah melakukan perbuatan yang dituduhkan.
6. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan acuan dari Buku Pedoman Penulisan
Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
13
F. Sistematika Penulisan
Sistematika bertujuan agar penulisan ini dapat terarah dan sistematis,
sehingga dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 (lima) bab yaitu
sebagai berikut :
Bab I adalah pendahuluan, pada bab ini penulis membahas tentang latar
belakang masalah, batasan masalah dan perumusan masalah, tujuan serta maanfaat
penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II adalah kerangka teoritis tinjauan umum rehabilitasi menurut hukum
positif dan hukum Islam. Bab ini memberi gambaran secara jelas tentang
rehabilitasi dalam ruang lingkup hukum pidana Islam dan hukum Positif.
Bab III adalah putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 yang
membebaskan Kemat, Devid dan Sugik. Dalam bab ini penulis menguraikan
tentang latar belakang putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 dan dasar
hukum putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008.
Bab IV adalah analisis perbandingan rehabilitasi pasca putusan Mahkamah
Agung No. 89 PK/PID/2008 menurut hukum positif dan hukum Islam. Pada bab
ini penulis membahas pelaksanaan rehabilitasi dalam sistem peradilan Indonesia,
analisis putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 menurut hukum positif
dan analisis putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 menurut hukum
Islam.
Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran penulis.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM REHABILITASI MENURUT HUKUM POSITIF DAN
HUKUM ISLAM
Bab II ini penulis ingin memaparkan tentang tinjauan umum rehabilitasi akibat
putusan bebas dalam hukum positif dan hukum Islam yang berisikan; rehabilitasi
dalam pandangan hukum positif, rehabilitasi dalam pandangan hukum pidana
Islam, dan dasar hukum rehabilitasi.
A. Definisi Rehabilitasi
Rehabilitasi berasal dari bahasa latih “habilitare” yang berati membuat
baik. Dalam perspektif ini yang dimaksud rehabilitasi ialah suatu tindakan
Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena
suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa
kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan
dengan perkiraan semula atau bahkan dia ternyata tidak bersalah sama sekali.
Menurut black rehabilitasi adalah pemulihan kembali hak-hak, kewenangan, atau
martabat seseorang.12
Fokus rehabilitasi ini terletak pada nilai kehormatan yang
diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung kepada undang-undang tetapi pada
pandangan masyarakat sekitarnya.
Rehabilitasi dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti pemulihan kepada
kedudukan (keadaan, nama baik) yang dahulu (semula). Atau perbaikan anggota
tubuh yang cacat dan sebagainya atas individu (misal pasien rumah sakit, korban
12
Henry Campbell Black, Black Law Dictionary (Revised Fourth Edition), Michigan:
West Group, 1968, hal. 1451.
15
bencana) supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat di
masyarakat.13
Dalam kamus hukum Indonesia pengertian rehabilitasi adalah hak
seseorang untuk mendapat pemulihan nama baik karena proses hukum tanpa
alasan berdasarkan undang-undang atau karena terjadi kekeliruan mengenai orang
atau hukum yang diterapkan.14
B. Rehabilitasi Menurut Hukum Positif
Lama sebelum KUHAP diundangkan, ketentuan ganti rugi dan rehabilitasi
sudah dituangkan sebagai ketentuan hukum pada Pasal 9 Undang-undang No.
14/1970 tersebut, sering pencari keadilan mencoba menuntut ganti rugi ke
pengadilan. Namun tuntutan demikian selalu kandas di pengadilan atas
argumentasi bahwa Pasal 9 Undang-undang No. 14/1970 belum mengatur tata
cara pelaksanaan.15
Ketentuan tentang rehabilitasi di dalam KUHAP hanya pada satu pasal saja,
yaitu Pasal 97. Sebelum pasal itu, dalam Pasal 1 butir 23 terdapat definisi tentang
rehabilitasi sebagai berikut.
“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya
dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada
tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut,
ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
13
Tim Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal.1186. 14
Fienso Suharso, Kamus Hukum, cet.X, (Jonggol: Vandetta Publishing, 2010), hal. 31. 15
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan (edisi kedua), cet.VIII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 44.
16
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.”16
Senada dengan definisi tersebut, Pasal 97 ayat (1) KUHAP berbunyi:
“Seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas
atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.” Selanjutnya ditentukan bahwa rehabilitasi tersebut
diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan tersebut di atas
(Pasal 97 ayat (2) KUHAP). Dalam KUHAP tidak dijelaskan apakah rehabilitasi
akibat putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tersebut bersifat
fakultatif (dituntut oleh terdakwa) ataukah imperatif. Artinya setiap kali hakim
memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap harus diberikan rehabilitasi. Hal ini mestinya diatur dalam
aturan pelaksanaan KUHAP.
Selanjutnya perlu diperhatikan, bahwa sebagaimana halnya dengan
ketentuan ganti kerugian, pada proses rehabilitasi pun dibedakan antara perkara
yang diajukan ke pengadilan dan yang tidak. Acara untuk perkara yang diajukan
ke pengadilan negeri berlaku ketentuan Pasal 97 ayat (1) dan (2) KUHAP
tersebut, sedangkan yang tidak, diputus oleh hakim praperadilan sebagaimana
yang ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP. Hal ini disebut oleh Pasal 97 ayat (3)
KUHAP.
16
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia: edisi revisi, cet.V, (Jakarta, Sinar
Grafika, 2006), hal. 202.
17
Memperhatikan bunyi Pasal tersebut, rehabilitasi adalah hak seseorang
tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan pemulihan atas hak kemampuan, atas
hak kedudukan dan harkat martabatnya.
KUHAP memberi hak kepada tersangka untuk menuntut ganti rugi dan
rehabilitasi apabila penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan
dilakukan tanpa alasan hukum yang sah, atau apabila putusan pengadian
menyatakan terdakwa bebas karena tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti
atau tindak pidana yang didakwakan kepadanya bukan merupakan tindak pidana
kejahatan atau pelanggaran.17
1. Hukum Positif Dalam Pemidanaan
Hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-
pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan
mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau
siksaan.18
Adapun yang termasuk dalam pengertian kepentingan umum ialah:
a. Badan dan peraturan perundangan negara, seperti negara, lembaga-lembaga
negara, pejabat negara, pegawai negeri, undang-undang, peraturan
pemerintah, dan sebagainya.
b. Kepentingan hukum tiap manusia, yaitu: jiwa, raga/tubuh, kemerdekaan,
kehormatan, dan hak milik/harta benda.19
Hukum pidana itu tidak membuat peraturan-peraturan yang baru, melainkan
mengambil dari peraturan-peraturan hukum yang lain yang bersifat kepentingan
17
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan: edisi kedua, cet.VIII, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), hal. 338. 18
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet.VII, (Jakarta, Balai
Pustaka, 1986), hal. 257. 19
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hal. 257.
18
umum. Memang sebenarnya peraturan-peraturan tentang jiwa, raga, milik, dan
sebagainya, dari tiap orang telah termasuk hukum perdata. Hal pembunuhan,
pencurian, dan sebagainya antara orang-orang biasa, semata-mata diurus oleh
pengadilan pidana.
Biasanya, pengertian hukum pidana itu sendiri, paling luas hanya tersebut
pada ilmu-ilmu hukum pidana sistematik:
a. Hukum material, yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang
mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud
perintah-perintah dan larangan-larangan. Contoh hukum material : hukum
pidana, hukum perdata, hukum dagang dan lain-lain.20
Hukum pidana material, yang berarti isi atau subtansi hukum pidana itu.
Disini hukum pidana bermakna abstrak atau dalam keadaan diam.21
Singkatnya
hukum pidana material mengatur tentang apa, siapa, dan bagaimana orang dapat
dihukum. Jadi hukuman pidana material mengatur perumusan dari kejahatan dan
pelanggaran serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.
b. Hukum formal (hukum proses atau hukum acara) yaitu hukum yang memuat
peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan
mempertahankan hukum material atau peraturan-peraturan yang mengatur
bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke muka pengadilan dan
bagaimana cara-caranya hakim memberikan putusan. Contoh hukum formal:
hukum acara pidana dan hukum acara perdata.22
20
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hal. 74. 21
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, cet.II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), hal.
2. 22
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hal. 74.
19
Hukum pidana formal atau hukum acara pidana bersifat nyata atau konkret.
Disini kita lihat hukum pidana dalam keadaan bergerak, atau dijalankan atau
berada dalam suatu proses. Oleh karena itu disebut juga hukum acara pidana.23
2. Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku
Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan :
a. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib.
b. Putusan bebas.
c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.24
Sebelum membicarakan putusan akhir tersebut, perlu kita ketahui bahwa
pada waktu hakim menerima suatu perkara dari penuntut umum dapat diterima.
Putusan mengenai hal ini bukan merupakan keputusan akhir (vonnis), tetapi suatu
ketetapan. Suatu putusan mengenai tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima
jika berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan tidak ada alasan hukum
untuk menuntut pidana, misalnya dalam hal delik aduan tidak ada surat pengaduan
yang dilampirkan pada berkas perkara, atau aduan ditarik kembali, atau delik itu
telah lewat waktu, atau alasan non bis in idem.
Suatu proses peradilan berakhir dengan putusan akhir (vonnis). Dalam
putusan itu hakim menyatakan pendapatnya tentang apa yang telah
dipertimbangkan dan putusannya. Berbeda dengan Ned. Sv. yang tidak menyebut
apakah yang dimaksud dengan putusan (vonnis) itu, KUHAP Indonesia memberi
definisi tentang putusan (vonnis) sebagai berikut.
23
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, cet.II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), hal.
2. 24
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia: edisi revisi, cet.V, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), hal. 280.
20
“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini.” (Pasal 1 butir 11 KUHAP).
Tentang kapan suatu putusan pemidanaan dijatuhkan, dijawab oleh Pasal
193 ayat (1) KUHAP sebagai berikut: “Jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka
pengadilan menjatuhkan pidana.”25
Atau dengan penjelasan lain, apabila menurut
pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan
menyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya
sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimun pembuktian yang
ditentukan dalam Pasal 183, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada
hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya.26
Selanjutnya putusan bebas dijatuhkan “jika pengadilan berpendapat bahwa
dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa
diputus bebas.” (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Tidak memenuhi asas pembuktian
menurut undang-undang secara negatif. Pembuktian yang diperoleh di
persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus
kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak diyakini oleh hakim.
25
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia: edisi revisi, hal. 280-281. 26
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, cet.VIII, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), hal. 354.
21
Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti
saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183, agar cukup membuktikan kesalahan
seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah.27
Selanjutnya putusan lepas dari segala tuntutan hukum dijatuhkan menurut
KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka
terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
Pada masa yang lalu putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum disebut onslag
van recht vervolging, yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat (2), yakni
putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, berdasar kriteria28
:
1) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan
meyakinkan;
2) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan tidak merupakan tindak pidana.
Disini kita lihat hal yang melandasi putusan pelepasan, terletak pada
kenyataan, apa yang didakwakan dan yang telah terbukti tersebut tidak merupakan
tindak pidana, tetapi termasuk ruang lingkup hukum perdata atau hukum adat.
3. Rehabilitasi Dalam Putusan Bebas
Secara singkat sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu sistem
dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan agar hal tersebut masih berada
27
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 348. 28
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 352.
22
dalam batas-batas toleransi mayarakat.29
Sistem peradilan pidana bukan
merupakan struktur yang telah direncanakan sebagai sebuah sistem. Juga tidak
begitu terorganisir bahwa beberapa bagian saling beroperasi secara harmonis.
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) pada dasarnya terbentuk
sebagai bagian dari upaya negara untuk melindungi warga masyarakat dari
bentuk-bentuk perilaku sosial yang ditetapkan secara hukum sebagai kejahatan. Di
samping itu, sistem tersebut juga dibentuk sebagai sarana untuk melembagakan
pengendalian sosial oleh negara. Ikhtisar memberikan perlindungan terhadap
masyarakat melalui sistem peradilan pidana merupakan rangkaian dari kegiatan
instasional kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.30
Komponen tersebut harus saling berkaitan, jika terdapat kelemahan pada salah
satu sistem kerja komponennya, akan mempengaruhi komponen lainnya dalam
sistem yang terintegrasi itu.
Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan “sistem
terpadu” (integrated criminal justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan
di atas landasan prinsip “diferensiasi fungsional” di antara aparat penegak hukum
sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang kepada
masing-masing. Berdasaran kerangka landasan yang dimaksud aktivitas
pelaksanaannya, merupakan fungsi gabungan (collection of function) dari
29
Teguh Prasetyo dan Abdul H.im Barkatullah , Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum
pemikiran menuju masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat, cet.I, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,2012) hal. 115. 30
Mulyana w. kusuma dan Adnan Buyung Nasution, Tegaknya Supremasi Hukum
(Terjebak Antara Memilih Hukum dan Demokrasi, cet.I, (Bandung : PT Remaja Roksadakarya,
februari, 2011), hal. 03.
23
legislator, polisi, jaksa, pengadilan, dan penjara, serta badan yang berkaitan, baik
yang ada di lingkungan pemerintahan atau di luarnya.
Penyelidik ialah orang yang melakukan penyelidikan. Penyelidikan berarti
serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa
yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang
diduga sebagai perbuatan tindak pidana. Pencarian dan usaha menemukan
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menentukan sikap
pejabat penyelidik, apakah peristiwa yang ditentukan dapat dilakukan penyidikan
atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP (Pasal 1 butir 5).
Dari penjelasan diatas, penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama
permulaan penyidikan. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan
yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan
bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang
dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan
“merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang
mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan
pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum”.31
Siapa berwenang melakukan penyelidikan diatur dalam Pasal 1 butir 4:
penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Selajutnya,
31
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan: edisi kedua, hal. 101.
24
sesuai dengan pasal 4, yang berwenang melaksanakan fungsi penyelidikan adalah
“setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia”.
Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan “mencari
dan menemukan” sesuatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindak
pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan
“mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat
menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Dari
penjelasan dimaksud hampir tidak ada perbedaan makna keduanya. Hanya bersifat
gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang
berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi-mengisi guna dapat
diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana.32
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa.
Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang
“tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa,
terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa
dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184, terdakwa
dinyatakan “bersalah”. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu,
hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai
pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau
bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.33
32
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan: edisi kedua, hal. 109. 33
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 273.
25
Agar permasalahannya lebih jelas, mari kita hubungkan Pasal 183 dengan
Pasal 184 ayat (1). Pada Pasal 184 ayat (1) telah disebutkan secara rinci atau
“limitatif” alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yaitu keterangan
saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 184 ayat (1), undang-undang menentukan lima jenis alat bukti
yang sah. Di luar ini, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.
Jika ketentuan Pasal 183 dihubungkan dengan jenis alat bukti itu terdakwa
baru dapat dijatuhi hukuman pidana, apabila kesalahannya dapat dibuktikan
paling sedikit dengan dua jenis alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1).
Kalau begitu, minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup memadai untuk
membuktikan kesalahan terdakwa, “sekurang-kurangnya” atau “paling sedikit”
dibuktikan dengan “dua” alat bukti yang sah.
Mengenai putusan apa yang akan dijatuhkan pengadilan, tergantung hasil
mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat
dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di
sidang pengadilan. Mungkin menurut penilaian mereka, apa yang didakwakan
dalam surat dakwaan terbukti, mungkin juga menilai, apa yang didakwakan
memang benar terbukti, akan tetapi apa yang didakwakan bukan merupakan
tindak pidana, tapi termasuk ruang lingkup perkara perdata atau termasuk ruang
lingkup tindak pidana aduan (klacht delik). Atau menurut penilaian mereka, tindak
pidana yang didakwakan tidak terbukti sama sekali.34
34
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 347.
26
Apabila pemeriksaan perkara sudah sampai ke tingkat pengadilan, dan dari
hasil pemeriksaan pengadilan menjatuhkan putusan bebas dan putusan pelepasan
dari segala tuntutan hukum, maka dalam hal yang seperti ini rehabilitasi diberikan
pengadilan yang memutusnya. Bertitik tolak dari bunyi ketentuan Pasal 97 ayat
(2), rehabilitasi bedasarkan putusan pengadilan yang membebaskan atau
melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Jadi menurut ketentuan Pasal
97 ayat (2), jika pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau pelepasan dari segala
tuntutan hukum, rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam
amar atau diktum putusan pengadilan yang bersangkutan.
Di samping rehabilitasi diberikan langsung oleh pengadilan dalam putusan
pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, praperadilan berwenang
memeriksa rehabilitasi. Jenis rehabilitasi yang termasuk ke dalam kewenangan
praperadilan meliputi permintaan rehabilitasi atau tindakan penengakan hukum
yang tidak sah yang perkaranya tidak dilanjutkan ke sidang pengadilan.35
Dari pengertian singkat di atas, tampak jelas apa yang menjadi tujuan
rehabilitasi. Tujuannya tiada lain sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan
kembali nama baik, kedudukan, dan martabat seseorang yang telah sempat
menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan,
penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal ternyata semua
tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan yang
sah menurut undang-undang.
35
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 70-71.
27
Secara singkat dasar Hukum Rehabilitasi Dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981 bab XII bagian kedua Pasal 97
mengenai rehabilitasi dijelaskan bahwa:
a. Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus
bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
b. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
c. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai
orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95
ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh
hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.
C. Pelaksanaan Rehabilitasi Dalam Sistem Peradilan Indonesia
Dampak akibat putusan Mahkamah Agung No. 89/PK/PID/2008 yang
membebaskan Kemat, Devid, dan Sugik mengharuskan mereka untuk segera
dibebaskan dan dikembalikan hak terpidana dalam kemapuan, kedudukan, harkat
serta martabatnya sesuai salah satu isi dalam putusan. Dalam Pasal 1 butir 23
KUHAP berbunyi bahwa rehabilitasi adalah hak seseorang yang mendapat
pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya
yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena
ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-
28
undang atau karena alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan.
Bunyi redaksi pemberian rehabilitasi diatur dalam Pasal 14 PP No. 27
Tahun 1983. Perumusan redaksi ini dalam peraturan memperlancar pelayanan
pemberian rehabilitasi, sebab dengan ditentukan rumusan standar dalam
pemberian rehabilitasi baik pemohon maupun pengadilan tidak memperdebatkan
rumusan redaksi. Pengadilan dan pemohon terikat dan harus tunduk menerima
rumusan yang ditentukan dalam Pasal 14 PP No. 27 Tahun 1983.36
Arang yang sempat tercoreng di dahinya akibat tindakan penangkapan,
penahanan atau pemeriksaan pengadilan bisa dibersihkan dengan jalan memberi
rehabilitasi. Pemberian rehabilitasi berdasarkan atas putusan pengadilan atau
praperadilan yang rumusan redaksinya telah ditentukan dalam pasal 14. Pasal ini
memuat dua jenis redaksi, namun isi yang terkandung di dalamnya sama. Dasar
pembedaan rumusan itu dalam dua redaksi, semata-mata didasarkan atas alasan
perbedaan status pemohon serta instansi yang memeriksa permintaan rehabilitasi
yang diajukan.
Jika yang memeriksa pengadilan apabila yang berwenang memberikan
adalah pengadilan atas alasan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan
hukum sesuai dengan yang di atur dalam Pasal 97 ayat (1) KUHAP. Bila yang
memeriksa praperadilan apabila permintaan rehabilitasi didasarkan atas alasan
penangkapan dan penahanan yang tidak sah, yang berwenang memeriksa
permintaan rehabilitasi adalah praperadilan berdasarkan Pasal 97 ayat (3).
36
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 74.
29
Sesuai dengan Pasal 1 butir 23 KUHAP, maka Kemat, Devid, dan Sugik
berhak mendapatkan rehabilitasi karena mereka ditangkap, ditahan, dituntut, dan
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena alasan
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Dalam Pasal 97 ayat
(3) KUHAP dan pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983, orang yang berhak mengajukan
permintaan rehabilitasi adalah tersangka, keluarga tersangka atau kuasanya.
Hak mengajukan rehabilitasi yang diberikan undang-undang kepada
keluarga tersangka merupakan hak yang sederajat dengan yang diberikan kepada
tersangka. Sejak semula keluarga tersangka berhak mengajukan permintaan
rehabilitasi, sekalipun tersangka masih hidup dan sehat. Tidak ada hak prioritas
antara tersangka dengan keluarganya. Masing-masing mempunyai hak sederajat
untuk mengajukan permintaan rehabilitasi.
Tentang diberikan kemungkinan kepada kuasa mengajukan permintaan
rehabilitasi memperlihatkan rehabilitasi agak cenderung ke arah keperdataan.
Memang rehabilitasi secara murni adalah hak keperdataan yang seharusnya
dimintakan atau digugat di depan peradilan perdata. Akan tetapi lain halnya
dengan rehabilitasi yang diatur dalam pasal 97 KUHAP. Permintaan rehabilitasi
atas pejabat penegak hukum yang dikenakan kepada seseorang, tidak perlu
melalui gugat perdata. Apabila pejabat penegak hukum melakukan tindakan
pidana penangkapan, penahanan yang tidak berdasar alasan yang dibenarkan
undang-undang atau apabila terhadap terdakwa dijatuhkan putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum, rehabilitasi atau tindakan dan peristiwa tersebut
tidak perlu melalui proses perdata. Yang bersangkutan atau keluarganya dapat
30
mengajukan permintaan rehabilitasi melalui proses yang diatur dalam pasal 97
KUHAP jo. Bab V PP No. 27 Tahun 1983.
Dalam proses permintaan dan pemeriksaan rehabilitasi melalui pengadilan
perdata dengan apa yang diatur dalam KUHAP, terletak pada subjek yang menjadi
pihak. Rehabilitasi melalui gugatan perdata harus ada pihak yang digugat sebagai
pihak yang disalahkan melakukan perbuatan melawan hukum dan orang yang
melakukan perbuatan yang melawan hukum tersebut berkewajiban untuk
merehabiliter nama baik orang yang dirugikan atas fitnah atau pencemaran nama
baiknya. Berbeda dengan proses rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 97 KUHAP
tidak menempatkan seseorang sebagai pihak tergugat. Tetapi pihak pemohon
sendiri bukan merupakan pihak secara murni atau walaupun disebut ada pihak
yakni pemohon pada satu sisi dan pejabat penegak hukum yang bersangkutan
pada pihak lain, sifat keberadaan mereka sebagai pihak adalah semu. Pemohon
secara semu bertindak sebagai pihak penggugat dan pejabat atau instansi yang
terlibat atau negara negara berada dalam kedudukan sebagai tergugat semu.37
Dalam mengajukan permintaan rehabilitasi terdapat tenggang waktu yang
telah ditentukan dalam Pasal 12 PP No. 27 yang berisi permintaan rehabilitasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP diajukan oleh tersangka,
keluarganya, atau kuasanya kepada pengadilan yang berwenang selambat-
lambatnya dalam waktu 14 hari setelah putusan mengenai sah tidaknya
penangkapan atau penahan diberitahukan kepada pemohon. Dengan begitu masa
37
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 72.
31
tenggang waktu mengajukan permintaan rehabilitasi adalah 14 hari terhitung sejak
putusan mengenai tidak sahnya penangkapan atau penahanan diberitahukan.
Bila dicermati kembali dalam Pasal 12, tenggang waktu yang diatur di
dalamnya hanya berkenaan dengan permintaan rehabilitasi yang disebut dalam
Pasal 97 ayat (3) KUHAP yaitu tenggang waktu mengenai rehabilitasi atas alasan
penangkapan atau penahanan yang tidak sah dimana perkaranya tidak diajukan ke
sidang pengadilan. Namun dalam tenggang waktu atas alasan putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana yang disebut dalam Pasal 97 ayat
(1) KUHAP, tidak ada disinggung dalam Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983.
Alasannya dalam setiap putusan pengadilan yang berupa pembebasan atau
pelepasan dari segala tuntutan hukum harus sekaligus mencantumkan dan
memberikan rehabilitasi, itu sebabnya tidak ada tenggang waktu.
Pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum merupakan hak yang wajib diberikan dan dicantumkan sekaligus secara
langsung dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Dengan
begitu rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
tidak perlu diminta dan diajukan terdakwa, yang berarti tidak memiliki tenggang
waktu.
Rehabilitasi yang diberikan dan dicantumkan dalam putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum baru dianggap sah dan mempunyai kekuatan
mengikat terhitung sejak putusan yang bersangkutan memperoleh kekuatan
hukum tetap. Jika Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan bebas terhadap
terdakwa, maka berpedoman kepada ketentuan Pasal 97 ayat (2) KUHAP
32
Pengadilan Negeri yang bersangkutan harus memberikan dan mencantumkan
rehabilitasi dalam putusan.
Penyampaian petikan dan salinan putusan pemberian rehabilitasi diatur
dalam Pasal 13 PP No. 27 Tahun 1983. Pasal ini mengatur kewajiban panitera
Pengadilan Negeri untuk menyampaikan petikan dan salinan putusan rehabilitasi
kepada pemohon dan pihak instansi tertentu. Tujuannya agar pemberian
rehabilitasi tersebut diketahui pihak yang berkepentingan, instansi penegak hukum
yang bersangkutan serta masyarakat lingkungan di mana pemohon rehabilitasi
bertempat tinggal dan bekerja.
Adapun pihak dan instansi yang berhak mendapat petikan dan salinan
putusan rehabilitasi:38
1. Petikan penetapan disampaikan kepada pihak pemohon, hal ini diatur
dalam Pasal 13 ayat (1) PP. Kepada pemohon cukup disampaikan
petikan penetapan, namun tidak mengurangi haknya untuk mendapat
salinan penetapan jika ia menghendaki. Untuk itu pemohon dapat
meminta salinan penetapan kepada panitera pengadilan. Hak pemohon
untuk mendapatkan salinan petikan rehabilitasi bertitik tolak dari
ketentuan Pasal 226 ayat (3) KUHAP.
2. Salinan penetapan rehabilitasi disampaikan kepada beberapa instansi,
ini diatur dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) PP. Berdasarkan
ketentuan ini, pemberian atau pengiriman salianan penetapan
rehabilitasi:
38
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 75.
33
a. Diberikan kepada penyidik.
b. Diberikan kepada penuntut umum.
c. Instansi tempat pemohon bekerja.
d. Kepada Ketua Rukun Warga (RW) di mana pemohon bertempat
tinggal.
Apa yang digariskan dalam Pasal 13 PP No. 27 Tahun 1983, tidak
menentukan berapa lama jangka waktu penyampaian atau pengiriman petikan
dan salinan itu kepada pihak yang berkepentingan. Walaupun demikian,
pemberian atau pengiriman petikan dan salinan sepatutnya segara
dilaksanakan panitera, terutama kepada instansi tempat pemohon bekerja
serta kepada Ketua Rukun Warga, guna secepat mungkin pemulihan nama
baik, kedudukan, harkat, dan martabatnya di lingkungan masyarakat tempat
di mana ia hidup dan bekerja. Cara menyebarluaskan pemberian rehabilitasi
diatur dalam Pasal 15 PP No. 27 Tahun 1983, pengumuman putusan
rehabilitasi cukup ditempelkan pada papan pengumuman pengadilan.
D. Rehabilitasi Menurut Hukum Islam
Pada dasarnya dalam hukum pidana Islam tidak terdapat penjelasan secara
khusus mengenai rehabilitasi, oleh karena itu penulis menganalogikan masalah
tersebut ke dalam ta‟zir. Ta‟zir ialah sanksi yang diberlakukan kepada pelaku
jarimah yang melakukan pelanggaran, baik berkaitan dengan hak Allah maupun
hak manusia, dan tidak termasuk ke dalam kategori hukuman hudud atau kafarat.
Karena ta‟zir tidak ditentukan secara langsung oleh Alquran dan hadist, maka ini
34
menjadi kompetensi penguasa setempat. Dalam memutuskan jenis dan ukuran
sanksi ta‟zir, harus tetap memperhatikan petunjuk nash secara teliti karena
menyangkut kemaslahatan umum.39
Menurut Ibrahim Anis, ta‟zir ialah pengajaran yang tidak sampai pada
ketentuan had syar‟i, seperti pengajaran terhadap seseorang yang mencaci-maki
(pihak lain) tetapi bukan menuduh (orang lain berbuat zina). Al-Mawardi dalam
kitab Al-Ahkam Al-Sultaniyyah berpendapat ta‟zir ialah pengajaran (terhadap
pelaku) dosa-dosa yang tidak diatur oleh hudud. Status hukumnya berbeda-beda
sesuai dengan keadaan dosa dan pelakunya. Ta‟zir sama dengan hudud dari satu
sisi, yaitu sebagai pengajaran (untuk menciptakan) kesejahteraan dan untuk
melaksanakan ancaman yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan dosa yang
dikerjakan.40
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum sanksi ta‟zir. Berikut ini adalah
penjelasannya.
1. Menurut golongan Malikiyah dan Hanabilah, ta‟zir hukumnya wajib
sebagaimana hudud karena merupakan teguran yang disyariatkan untuk
menegakkan hak Allah dan seorang kepala negara atau kepala daerah tidak
boleh mengabaikannya.
2. Menurut mazhab Syafi‟i, ta‟zir hukumnya tidak wajib. Seorang kepala negara
atau kepala daerah boleh meninggalkannya jika hukum itu tidak menyangkut
hak adami.
39
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet.I, (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 139-140. 40
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet.I, (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 137.
35
3. Menurut mazhab Hanafiyah, ta‟zir hukumnya wajib apabila berkaitan dengan
hak adami. Tidak ada pemberian maaf dari hakim karena hak hamba tidak
dapat digugurkan, kecuali oleh yang memiliki hak itu. Adapun jika berkenaan
dengan hak Allah, keputusannya terserah hakim. Jika hakim berpendapat ada
kebaikan dalam penegakannya maka ia melaksanakan keputusan itu. Akan
tetapi, jika menurut hakim tidak ada maslahat maka boleh meninggalkannya.
Artinya, si pelaku mendapat ampunan dari hakim. Sejalan dengan ini Ibnu Al-
Hamam berpendapat, “Apa yang diwajibkan kepada imam untuk menjalankan
hukum ta‟zir berkenaan dengan hak Allah adalah kewajiban yang menjadi
wewenangnya dan ia tidak boleh meninggalkannya, kecuali tidak ada
maslahat bagi pelaku kejahatan”.41
Penetapan sanksi ta‟zir dilakukan melalui pengakuan, bukti, serta
pengetahuan hakim dan saksi. Kesaksian dari kaum perempuan bersama kaum
laki-laki dibolehkan, namun tidak diterima jika saksi dari kaum perempuan saja.
1. Hukum Islam Mengenai Pemidanaan
Salah satu aturan pokok yang sangat penting dalam syari‟at Islam ialah
aturan yang berbunyi “Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi
perbuatan orang-orang yang berakal sehat”. Dengan perkataan lain perbuatan
seseorang yang cakap tidak mungkin dikatakan dilarang, selama belum ada nash
yang melarangnya, dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu
atau meninggalkannya, sehingga ada nash yang melarangnya.
41
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet.I, (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 145.
36
Oleh karena sesuatu perbuatan dan sikap tidak berbuat tidak cukup
dipandang sebagai jarimah hanya karena dilarang saja, tetapi juga harus
dinyatakan hukumannya, baik hukuman had atau hukuman ta‟zir, maka
kesimpulan yang dapat diambil dari keseluruhannya ialah bahwa aturan-aturan
pokok syari‟at Islam menentukan tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman
kecuali dengan suatu nash”.42
ال جزيمت ال عقبت اال ببننص
“Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman kecuali dengan suatu nash”.
Dalam kaidah hukum Islam, pengertian hukum pidana termuat dalam fiqh
jinayah. Didalamnya terhimpun permbahasan semua jenis pelanggaran atau
kejahatan manusia berbagai sasaran yang menyangkut badan, jiwa, harta benda,
kehormatan, nama baik, negara, tatanan hidup dan lingkup hidup. Di sinilah
letaknya agama Islam sangat menghormati dan mengakui keberadaan manusia
dengan menimbang segala kelebihan maupun kekurangannya.
Dalam fiqh jinayah, ada istilah penting yang terlebih dahulu dipahami
sebelum menggali materi selanjutnya. Pertama adalah jinayah dan kedua
mengenai jarimah. Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah
yang sama. Selain itu, istilah yang satu menjadi murodif (sinonim) bagi istilah
lainnya. Singkat kata, keduanya bermakna tunggal. Meski begitu, keduanya
berbeda dalam penerapannya. Dengan demikian, kita patut memperhatikan dan
memahami agar penggunaannya tidak keliru.
42
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet.IV, (Jakarta : PT Midas Surya
Grafindo, 1990), hal. 58-59.
37
Jarimah ialah larangan-larangan Syara‟ yang diancamkan oleh Allah dengan
hukuman had atau ta‟zir. Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa
mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan. Dengan kata lain Syara‟ pada pengertian tersebut di atas, yang
dimaksud ialah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang
oleh Syara‟. Pengertian jarimah tersebut tidak berbeda dengan pengertian tindak
pidana, (peristiwa pidana, delik) pada hukum pidana positif.
Para fuqaha sering memakai kata-kata jinayah untuk jarimah. Semula
pengertian jinayah ialah hasil perbuatan seseorang, dan biasanya dibatasi kepada
perbuatan yang dilarang saja. Di kalangan fuqaha, yang dimaksud dengan kata-
kata jinayah ialah perbuatan yang dilarang oleh Syara‟, baik perbuatan itu
mengenai (merugikan) jiwa atau harta benda ataupun lain-lainnya.
Akan tetapi kebanyakan fuqaha memakai kata-kata jinayah hanya untuk
perbuatan yang mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh,
melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya. Ada pula
golongan fuqaha yang membatasi pemakaian kata-kata jarimah kepada jarimah
hudud dan qisas saja. Dengan mengenyampingkan perbedaan pemakaian kata-kata
jinayah dikalangan fuqaha, dapatlah kita katakan bahwa kata-kata jinayah dalam
istilah fuqaha sama dengan kata-kata jarimah.43
Adapun unsur-unsur umum dari pada tindak pidana dalam hukum Islam,
dibagi menjadi tiga yaitu:44
43
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet.IV, (Jakarta : PT Midas Surya
Grafindo, 1990), hal. 01-02. 44
Juhaya S Praja dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Islam, cet.II,
(Bandung: Penerbit Angkasa, 1993), hal. 81.
38
a. Hendaknya ada nash yang mengancam tindak pidana yang dapat
menghukuminya (rukun syar‟i). Dalam perundang-undangan kita istilah ini
disebut juga dengan unsur formil.
b. Melakukan perbuatan-perbuatan yang diancam dengan pidana, baik dengan
melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan (rukun madi). Dalam
perundang-undangan kita unsur ini disebut dengan unsur materil.
c. Hendaknya pelaku tindak pidana kejahatan itu mukallaf atau bertanggung
jawab atas tindakan pidana itu (rukun adabi). Dalam perundang-undangan
kita disebut dengan unsur moril.
Unsur-unsur tersebut adalah unsur yang sama dan berlaku bagi setiap
macam jarimah (tindak pidana atau delik). Disamping itu, terdapat unsur kasus
yang hanya ada pada jarimah tertentu dan tidak terdapat pada jarimah yang lain.
Unsur kasus ini merupakan spesifikasi pada setiap jarimah dan tentu saja tidak
akan ditemukan pada jarimah lain. Sebagai contoh, memindahkan (mengambil)
harta benda orang lain hanya ada pada jarimah pencurian atau menghilangkan
nyawa orang lain dalam kasus pembunuhan.45
2. Penjatuhan Pidana Dalam Hukum Islam
Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari‟at Islam ialah
pencegahan (ar-rad-u waz-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-islah wat-
tahdzib). Pengertian pencegahan ialah menahan pembuat agar tidak mengulangi
perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus-menerus memperbuatnya, disamping
pencegahan terhadap orang lain selain pembuat agar ia tidak memperbuat jarimah,
45
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), cet.I, (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2000), hal. 53.
39
sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan terhadap orang yang
memperbuat pula perbuatan yang sama. Dengan demikian, maka kegunaan
pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan terhadap pembuat sendiri untuk tidak
mengulangi perbuatannya dan menahan orang lain untuk tidak memperbuatnya
pula dan menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.
Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan, maka besarnya hukuman
harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh
kurang atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian maka
terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Bila demikian
keadaannya, maka hukuman dapat berbeda-beda terutama hukuman ta‟zir,
menurut perbedaan pembuatnya, sebab di antara pembuat-pembuat ada yang
cukup dengan diberi peringatan dan ada yang cukup dijilid.46
Jarimah-jarimah dapat berbeda penggolongannya, menurut perbedaan cara
meninjaunya dilihat dari segi berat-ringannya hukuman, jarimah dibagi menjadi
tiga yaitu jarimah hudud, jarimah qisas dan jarimah ta‟zir:47
a. Jarimah hudud ialah jarimah yang diancamkan hukuman had, yaitu hukuman
yang telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Tuhan. Dengan
demikian, maka hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah atau batas
tertinggi. Pengertian hak Tuhan ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa
dihapuskan baik oleh perseorangan (yang menjadi korban jarimah), ataupun
oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. Jarimah-jarimah hudud ada tujuh,
yaitu zina, qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina), minum-minuman keras,
46
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet.IV, (Jakarta: Bulan Bintang,
1990), hal. 255-256. 47
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, hal. 7-9.
40
mencuri, haribah (pembegalan/perampokan, gangguan keamanan), murtad,
dan pemberontakan (al-baghyu).
b. Jarimah qisas-diyat adalah perbuatan-perbuatan yang diancamkan hukuman
qisas atau hukuman diyat. Baik qisas maupun diyat adalah hukuman-
hukuman yang telah ditentukan batasnya, dan tidak mempunyai batas
terendah atau batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan
pengertian bahwa korban bisa memaafkan pembuat, dan apabila dimaafkan,
maka hukuman tersebut menjadi hapus. Jarimah qisas-diyat ada lima yaitu
pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena tidak
sengaja, penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja.
c. Jarimah ta‟zir ialah perbuatan-perbuatan yang diancam dengan satu atau
beberapa hukuman ta‟zir. Pengertian ta‟zir ialah memberi pengajaran (at-
Ta‟dib). Tetapi untuk hukum pidana Islam istilah tersebut mempunyai
pengertian tersendiri, seperti yang akan terlihat dibawah ini. Syara‟ tidak
menentukan macam-macamnya hukuman untuk tiap-tiap jarimah ta‟zir, tetapi
hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya
sampai kepada yang seberat-beratnya. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan
untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan macam jarimah
ta‟zir serta keadaan si pembuatnya juga. Jadi hukuman-hukuman jarimah
ta‟zir tidak mempunyai batas tertentu. Maksudnya pemberian hak penentuan
jarimah-jarimah ta‟zir kepada para penguasa, ialah agar mereka dapat
mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa
menghadapi sebaik-baiknya terhadap keadaan yang mendadak.
41
3. Rehabilitasi Dalam Hukum Islam
Secara teoritis dalam hukum Islam tidak mengenal tentang rehabilitasi, oleh
karena itu penulis mengqiyaskannya dalam perkara fitnah yang mengandung
unsur kezaliman. Bagi seseorang yang pernah di zalimi, hendaklah untuk tidak
membalaskan perbuatannya tersebut. Karena dalam Islam mengenai pembalasan
dan ganti rugi merupakan hak Allah sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW
dalam hadits Imam Bukhari48
:
حذثنب ئسمبعيم قبل حذثني مبنك عن سعيذ انمقبزي عن أبي ىزيزة أن رسل انهو
نب سهم قبل من كبنج عنذه مظهمت نأخيو فهيخحههو منيب فانو نيس ثم دينبر صهى انهو عهيو
درىم من قبم أن يإخذ نأخيو من حسنبحو فان نم يكن نو حسنبث أخذ من سيئبث أخيو فطزحج
عهيو
“Telah menceritakan kepada kami (Ismail) mengatakan, telah menceritakan
kepadaku (Malik) dari (Sa‟id Al Maqburi) dari ( Abu Hurairah)
radhilayyhu‟anhu, bahwasannya Rasulullah Shallallahu‟alaihiwasallam
bersabda: Barangsiapa yang memiliki kezaliman terhadap saudaranya,
hendaklah ia meminta dihalalkan, sebab dinar dan dirham (dihari kiamat)
tidak bermanfaat, kezalimannya harus harus dibalas dengan cara
kebaikannya diberikan kepada saudaranya, jika ia tidak mempunyai
kebaikan lagi, kejahatan kawannya diambil dan dipikulkan kepadanya.”
Apabila dia mengetahui bahwa jika dia memaafkan dan berbuat baik, maka
hal itu akan menyebabkan hatinya selamat dari (berbagai kedengkian dan
kebencian kepada saudaranya) serta hatinya akan terbebas dari keinginan untuk
melakukan balas dendam dan berbuat jahat (kepada pihak yang menzaliminya).
Sehingga dia memperoleh kenikmatan memaafkan yang justru akan menambah
48 Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab Makasar, diakses pada tanggal 28 April
2015 http://hadits.stiba.net/?type=hadits&imam=bukhari&no=6053.
42
kelezatan dan manfaat yang berlipat-lipat, baik manfaat itu dirasakan sekarang
atau nanti.49
Dengan demikian, ganti rugi menjadi tanggungan Allah bukan di tangan
makhluk. Barangsiapa yang menuntut ganti rugi kepada makhluk (yang telah
menyakitinya), tentu dia tidak lagi memperoleh ganti rugi dari Allah.
Sesungguhnya seorang yang mengalami kerugian (karena disakiti) ketika
beribadah di jalan Allah, maka Allah berkewajiban memberikan ganti rugi.
Kondisi yang dialami layaknya seorang yang kecurian satu dinar, namun dia
malah menerima ganti puluhan ribu dinar. Dengan demikian dia akan merasa
sangat gembira atas karunia Allah yang diberikan kepadanya melebihi
kegembiraan yang pernah dirasakannya. Hendaknya dia mengetahui bahwa
seseorang yang melampiaskan dendam semata-mata untuk kepentingan nafsunya,
maka hal itu hanya akan mewariskan kehinaan didalam dirinya. Apabila dia
memaafkan, maka Allah justru akan memberikan kemuliaan kepadanya.
Keutamaan ini telah diberitakan oleh Nabi Muhammad SAW melalui
sabdanya:
ئال عشا مب ساد انهو عبذا بعف
Artinya: “kemuliaan hanya akan ditambahkan oleh Allah kepada seorang
hamba yang bersikap pemaaf.”
Berdasarkan hadits di atas, kemuliaan yang diperoleh dari sikap memaafkan
itu tentu lebih disukai dan lebih bermanfaat bagi dirinya daripada kemuliaan yang
diperoleh dari tindakan pelampiasan dendam. Kemuliaan yang diperoleh dari
49 Tazkiyatun Nufus, “Tips Bersabar (2): Sabar Ketika Disakiti Orang Lain”, diakses pada
tanggal 28 April 2015 dari http://www.muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/tips-bersabar-2-sabar-ketika-
disakiti-orang-lain.html.
43
pelampiasan dendam adalah kemuliaan lahiriah semata, namun mewariskan
kehinaan batin. Sedangkan sikap memaafkan terkadang merupakan kehinaan di
dalam batin, namun mewariskan kemuliaan lahir dan batin.50
Sebagaimana contoh yang pernah terjadi terhadap Aisyah, istri Nabi
Muhammad SAW. Aisyah pernah difitnah melakukan perbuatan zina dengan
salah satu sahabat Rasulullah. Permasalahan tersebut dalam hukum islam disebut
dengan hadist ifki.
Hadisul al-ifki adalah “berita bohong” yang sangat berbahaya, baik jika
dilihat dari segi makna maupun kandungan dan tujuannya.51
Aisyah ra
menceritakan kisah bohong besar tersebut, yang diriwayatkan oleh az-Zuhri dari
„Urwah dan lain-lain dari riwayat Aisyah ra beliau berkata: “Biasanya Rasulullah
SAW apabila hendak berpergian jauh melakukan undian bagi istri-istrinya, maka
siapa saja diantara mereka yang bagiannya (undiannya) keluar atas namanya maka
dialah yang mendapat bagian ikut pergi bersama beliau. Pada suatu ketika, nabi
akan pergi dalam suatu peperangan, lalu beliau melakukan undian dan yang keluar
adalah bagian atas namaku. Maka aku pun ikut pergi bersamanya
(mendampinginya) sesudah ayat tentang wajib hijab diturunkan. Aku pada saat itu
dibawa di dalam sekedup (di atas punggung unta) dan disitulah aku tinggal. Kami
pun berjalan hingga Rasulullah SAW selesai dari misi peperangannya dan beliau
pun kembali. Dan sudah terasa dekat dari kota Madinah, maka pada suatu malam
50
Tazkiyatun Nufus, “Tips Bersabar (2): Sabar Ketika Disakiti Orang Lain”, diakses pada
tanggal 28 April 2015 dari http://www.muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/tips-bersabar-2-sabar-ketika-
disakiti-orang-lain.html. 51
Abdurrahman bin Abdullah, Kisah-kisah Manusia Pilihan, Penerjemah, Uwais Al-
qorny, (Bogor: Pustaka Teriqul Izzah, 2005), hal. 194.
44
beliau mengizinkan (para sahabatnya) untuk berangkat (pulang). Maka aku pun
bangkit (untuk buang hajat) ketika mereka diizinkan untuk pulang hingga pasukan
itu telah berlalu.52
Seusai buang hajat aku kembali pada untaku, kemudian aku raba dadaku dan
ternyata kalungku terputus karena terenggut kukuku (dan hilang). Maka aku
kembali (ke tempat buang hajat) sambil mencari kalungku yang terjatuh hingga
makan waktu cukup lama. Lalu pada saat itu sekelompok orang yang biasa
menuntun untaku datang menuju unta yang di punggungnya ada sekedupku
(tempat duduk diatas unta) dan mereka langsung menggiringnya dengan mengira
bahwa aku ada di dalamnya. Rata-rata perempuan pada masa itu ringan, tidak
gemuk, karena kami biasa makan sesuap makan saja, sehingga ketika mengangkat
sekedupku ke atas punggung unta tidak merasa bahwa aku tidak ada di dalamnya
dan mereka pun langsung membawanya. Sementara pada saat itu aku masih
remaja di bawah umur sedangkan unta telah pergi bersama mereka. Kalungku
baru aku temukan sesudah pasukan berjalan jauh, maka dari itu aku pergi ke
tempat bekas mereka singgah (bernalam) dan disana tidak ada seseorang. Lalu aku
menuju bekas persinggahanku, karena dalam dugaanku mereka pasti akan
mencariku di sini.53
Ketika aku sedang duduk menunggu, aku pun tertidur. Pada saat itu ada
seorang sahabat Nabi bernama Shafwan bin Mu‟atthal As-Sulami Adz-Dzakwani,
52 Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http://www.artikel-
islam.com/muslim/taubat/hadits-ifki/. 53
Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Al-Qur‟an Wanita, (Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara,
tth), Judul Asli: Tafsir Al-Qur‟an Al-Adzhim Lin Nisa. Hal. 200.
45
bertugas sebagai orang yang memeriksa di belakang pasukan hingga kemalaman
dan pada keesokan harinya ia berada di dekat persinggahanku. Lalu ia melihat
warna kehitam-hitaman tampak seperti manusia yang sedang tidur dan ia pun
menghampirinya (aku) dan langsung mengenalku di saat ia melihatku,54
dan itu
sebelum diwajibkan hijab (tabir). Akupun terbangun karena ucapan “istirja”-nya
disaat melihatku. (Istirja‟ adalah ucapan: Inna lillahi wa inna ilaihi rajiu‟un).
Maka aku langsung menutup wajahku dengan jilbabku, demi Allah, ia tidak
berbicara kepadaku dengan satu katapun, dan aku tidak mendengar satu katapun
selain istirja‟-nya tadi. Lalu ia turun dan mendudukan untanya (supaya aku naik
untanya). Maka aku naik ke untanya dan ia pun mengendalikannya, hingga kami
dapat mengejar para pasukan setelah mereka singgah beristirahat di Madinah.55
Aisyah melanjutkan: orang yang melihat mereka mulai membicarakan
menurut pendapat masing-masing,56
dan tokoh yang menyebarluaskan dosa besar
ini adalah Abdullah bin Ubai bin Salul (seorang tokoh munafik yang tidak jujur).
Setibanya kami di Madinah aku jatuh sakit selama satu bulan karena berita
bohong itu, dan orang-orang banyak terlibat dalam hasutan para penyebar berita
bohong itu, sedangkan aku tidak sadarkan diri dan makin membuatku tidak
menentu di masa sakitku adalah bahwasannya aku tidak melihat lagi dari
Raulullah SAW kelembutan yang selama ini selalu aku melihatnya mana kala aku
sedang sakit, dan beliau hanya memberikan salam bila masuk menjengukku lalu
54
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http://www.artikel-
islam.com/muslim/taubat/hadits-ifki/. 55
Zaini Dahlan, Dkk, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakap, 1990),
Jilid-6, hal. 604. 56
Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Al-Qur‟an wanita, hal. 201.
46
bertanya, “Bagaimana kamu?”, lalu pergi. Itulah yang membuatku makin merasa
bimbang.57
Aku tidak merasakan adanya keburukan kecuali setelah aku sembuh dan
masih dalam keadaan lemah. Aku keluar bersama Ummi Masthah menuju
Manashi‟, yaitu tempat kami buang air. Kami tidak keluar ke sana kecuali pada
malam hari, dan itu sebelum kami menggunakan dinding pelindung (untuk buang
air), karena kami sama seperti orang-orang Arab lainnya dalam hal buang air
besar, yaitu membuang air besar di padang yang jauh (gha‟ith). Kemudian, seusai
buang hajat aku dan Ummi Masthah kembali dengan jalan kaki. (Ummi Masthah
adalah putri Abu Dirham bin Abdil Mutthalib bin Abdi Manaf, sedangkan ibunya
adalah anak dari Shakhar bin „Amir, bibinya Abu Bakar Siddik, putranya bernama
Masthah bin Utsatsah). Tiba-tiba Ummi Masthah tersandung karena kainnya dan
berkata, “Celaka Masthah!” maka aku bertanya, “Alangkah buruknya apa yang
kamu katakan! Apakah kamu mencela orang yang telah ikut dalam perang
Badar?” Ia menjawab, “Wahai saudaraku, apakah kamu belum mendengar apa
yang ia katakan?” Aku bertanya, “ apa yang telah ia katakan?” Lalu Ummi
Masthah menceritakan kepadaku bahwa Masthah ikut membicarakan apa yang
dibicarakan oleh para penyebar berita bohong itu. Maka aku pun bertambah
sakit.58
57
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http://www.artikel-
islam.com/muslim/taubat/hadits-ifki/. 58
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http://www.artikel-
islam.com/muslim/taubat/hadits-ifki/.
47
Sekembalinya aku ke rumah, Rasulullah SAW masuk menjengukku dan
berkata, “Bagaimana kamu?” aku berkata kepada beliau, “Izinkan aku datang
kepada kedua ibu-bapakku.” Pada saat itu aku ingin mengecek berita dari pihak
mereka (orang tuaku). Maka Rasulullah mengizinkan dan akupun pergi menemui
ibu dan ayahku. Di rumah aku bertanya kepada ibuku, “Wahai ibuku, apa yang
sedang dibicarakan oleh banyak orang saat ini?” ibu menjawab, “Wahai anakku,
tahan dirimu atas peristiwa ini, karena demi Allah, jarang ada perempuan cantik
yang mempunyai suami yang sangat mencintainya, sedangkan ia mempunyai
banyak madu (istri-istri suami yang lain) melainkan mereka selalu
memojokannya.” Aku berkata, “Maha suci Allah, sungguh manusia telah
membicarakan masalah ini?” Maka aku pun menangis pada malam itu hingga
pagi, air mata terus bercucuran tiada henti dan tidak dapat tidur. Pagi harinya pun
aku tetap menangis.59
Aisyah menceritakan: adapun Usamah, menganjurkan sesuai dengan
pengetahuan akan kebersihan istrinya dan dengan dasar pengetahuannya bahwa
Nabi sangat mencintai mereka, seraya berkata: “Mereka adalah keluargamu wahai
Rasulullah, dan kami, demi Allah, tidak mengenal mereka kecuali sebagai orang-
orang baik”.60
Sedangkan Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Wahai Rasulullah,
Allah tidak mempersulit dirimu, dan perempuan selain dia (Aisyah) masih sangat
banyak. Engkau hanya minta carikan kepada salah seorang perempuan, niscaya ia
mencarikannya.”
59
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http://www.artikel-
islam.com/muslim/taubat/hadits-ifki/. 60
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http://www.artikel-
islam.com/muslim/taubat/hadits-ifki/.
48
Aisyah menuturkan: Semenjak hari itu Rasulullah SAW pergi dan meminta
kerelaan orang-orang untuk menindak Abdullah bin Ubai bin Salul seraya
bersabda sambil berdiri diatas mimbar, “Siapa yang mendukungku untuk
menghukum orang yang telah menyakiti aku dengan mencemarkan keluargaku?
Demi Allah, aku tidak mengenal keluargaku selain sebagai orang yang baik. Dan
sesungguhnya mereka menyebutkan seseorang yang tidak aku ketahui kecuali
sebagai orang baik, dan ia tidak pernah datang kepada keluargaku kecuali
bersamaku.”
Lanjut Aisyah: Maka Sa‟ad bin Mu‟adz ra berdiri seraya berkata, “Wahai
Rasulullah, aku, demi Allah mendukungmu untuk menghukumnya. Kalau dia
berasal dari suku Aus, maka kita penggal lehernya, dan kalau ia berasal dari
saudara kami, satu Khazraj, maka kami tunggu apa perintah terhadapnya, niscaya
kami lakukan.”
Kemudian Sa‟ad bin Ubadah ra bangkit dia adalah pemuka suku Khazraj
dan merupakan seorang lelaki shalih, namun fanatisme kesukuannya sangat tinggi
seraya berkata kepada Sa‟ad bin Mu‟adz, “Tidak benar kamu! Demi Allah, kamu
tidak boleh membunuhnya dan tidak akan mampu melakukannya.” Kemudian,
Usaid bin Hudhair ra (keponakan Sa‟ad bin Mu‟adz) berkata kepada sa‟ad bin
Ubadah, “Kamu yang tidka benar! Demi Allah, kami pasti membunuhnya, kamu
adalah orang munafik, karena membela orang-orang munafik.” Maka kedua suku
Aus dan Khazraj ini pun naik darah, hingga hampir saja mereka berbunuhan.
49
Sementara Rasulullah SAW masih berada di atas mimbar dan melunakkan emosi
mereka hingga akhirnya mereka diam dan kemudian beliau turun (dari mimbar).61
Aku pada hari itu menangis tiada henti dan air mataku pun terus berlinang
dan tidak merasakan tidur sedikitpun juga. Pada malam berikutnya pun aku masih
terus menangis dengan air mata bercucuran dan tidak dapat tidur hingga pada
keesokan harinya ayah dan ibuku mendampingiku. Sungguh, aku telah menangis
dua malam satu hari hingga aku mengira bahwa tangisan itu akan membelah
hatiku. Ketika ayah dan bundaku duduk di sisiku, sementara aku sedang
menangis, seketika ada seorang perempuan dari kaum Anshar minta izin masuk,
maka aku pun mengizinkannya. Lalu ia duduk sambil menangis bersamaku.
Ketika kami dalam keadaan seperti itu Raulullah SAW masuk kepada kami lalu
duduk, padahal ia tidak pernah duduk di sisiku semenjak hari disebarluaskannya
berita bohong itu. Sudah sebulan lamanya beliau tidak menerima wahyu
berkenaan dengan perihal ini. Beliau ber-tasyahhud ketika duduk, lalu bersabda,
“Sesungguhnya telah sampai berita kepadaku tentang kamu, bahwa begini dan
begitu. Maka jika kamu benar-benar bersih dari tuduhan itu, niscaya Allah
membebaskan kamu dari tuduhan. Dan jika kamu benar-benar telah melakukan
dosa, maka minta ampunlah kamu kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya,
karena sesungguhnya apabila seorang hamba mengakui dosanya lalu bertobat,
niscaya Allah menerima tobatnya.” Setelah Rasulullah SAW selesai
61
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http://www.artikel-
islam.com/muslim/taubat/hadits-ifki/.
50
mengutarakan ucapannya maka air mataku kering (berhenti) hingga aku tidak
merasa ada setetes pun.62
Pada saat itu Allah menurunkan firman-Nya surat 11,
ا بهبفك عصبت منكم ان انذين جبء
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah
dari golongan kamu juga...” (Dan ayat-ayat selanjutnya).
Lalu setelah ayat tentang pembebasan Aisyah diturunkan Abu Bakar As-
Shiddiq ra yang sebelumnya selalu memberi nafkah kepada Misthah bin Utsatsah
karena hubungan kerabat dekat dan kefakirannya, ia berkata: “Demi Allah, aku
tidak akan memberinya nafkah lagi selama-lamanya, karena ia turut serta
menyebarkan berita bohong yang dituduhkan terhadap Aisyah ra.” Maka
kemudian Allah menurunkan ayat:63
انميبجزين انمسبكين نى انقزبى ا ا انسعت ان يإ ح ا انفضم منكم ن نب يبحم ا
ر رحيم اهلل غف ن ان يغفزاهلل نكم ا انب ححب نيصفح ا نيعف فى سبيم اهلل
Artinya: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan
memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang
miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan
hendaklah mereka mema‟afkan dan berlapang dada. Apakah kamu
tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (An-Nur/ 24:22).64
62
Imad ZaSki Al-Barudi, Tafsir Al-Qur‟an wanita, hal. 203. 63
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http://www.artikel-
islam.com/muslim/taubat/hadits-ifki/. 64
M. Qurais Shihab. Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet-8, hal. 310.
51
Aisyah ra menuturkan: Rasulullah SAW juga menanyakan tentang aku
kepada Zainab binti Jahsy ra seraya bersabda, “Wahai Zainab, apa yang engkau
ketahui (tentang Aisyah) dan apa yang telah kamu lihat.” Zainab menjawab, “Ya
Rasulullah, aku selalu memelihara pendengaran dan mataku, demi Allah, aku
tidak mengetahui tentang dia kecuali baik-baik saja.” Dialah (Zainab) di antara
istri-istri Rasulullah SAW yang selalu menyayangi aku, dan Allah melindunginya
dengan ke-wara‟annya. Aisyah juga menuturkan, “Namun saudara perempuannya
selalu melancarkan serangan terhadapnya, maka dari itu ia binasa (mendapat
hukuman) bersama-sama para penyebar berita bohong itu.”65
ن نهطي انطيب انطيببث نهطيبين ن نهخبيثبث انخبيث نئك انخبيثبث نهخبيثين ببث ا
رسق كزيم ن نيم مغفزة ن ن ممب يق مبزؤ
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang
keji adalah buat wanita-wanita yang keji pula, dan wanita-wanita yang baik
adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-
wanita yang baik pula. Mereka (yang dituduh itu) bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki
yang mulia (surga). (An-Nur ayat 26).
65
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http://www.artikel-
islam.com/muslim/taubat/hadits-ifki/.
52
BAB III
PUTUSAN MA No. 89 PK/PID/2008 YANG MEMBEBASKAN DEVID,
KEMAT, DAN SUGIK DALAM PEMBUNUHAN ASRORI DI JOMBANG
A. Latar Belakang Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008
Peradilan Asrori adalah peradilan yang menyidangkan terdakwa David Eko
Priyanto alias Devid, Imam Chambali alias Kemat, dan Maman Sugianto alias
Sugik atas dakwaan melakukan pembunuhan terhadap korbannya yang bernama
Moch. Asrori. Mula-mula, saudara Kemat mengetahui Asrori mempunyai pacar
seorang laki-laki (Alex Adi Saputro), sehingga saudara Kemat merasa sakit hati
dan cemburu terhadap Asrori. Selanjutnya, saudara Kemat sebelum kejadian
pernah menyampaikan niatnya kepada saudara Devid dan Sugik untuk membunuh
Asrori, karena ia merasa sakit hati atau cemburu dengan Asrori yang mempunyai
pria lebih tampan. Niat terdakwa tersebut disetujui oleh Devid dan Sugik,
kemudian mereka bertiga menentukan hari pelaksanaan untuk membunuh Asrori,
yaitu hari Sabtu malam tanggal 22 September 2007.66
Pada hari dan tanggal yang telah ditentukan sekitar pukul 21.30 WIB Kemat
bersama-sama dengan Devid mencari korban dengan mengendarai mobil Carry
warna biru No. Pol. LP 1057 KD milik Kemat. Devid duduk dibangku depan kiri
sedangkan Kemat yang mengemudikan kendaraan, akhirnya mereka bertemu
dengan Asrori di depan Mitra Swalayan Jalan Wachid Hasyim depan Kebonrojo
Jombang dan diajak Kemat pulang. Asrori pulang dengan mengendarai sepeda
66
Putusan perkara No.48/Pid.B/2008/PN.JMB atas nama Imam Chambali al. Kemat.
53
motor Yamaha Jupiter No. Pol S 4088 WJ yang diikuti oleh Kemat dan Devid dari
belakang dengan mengendarai mobil Carry menuju Salon Ayu.
Sesampainya di Salon Ayu Devid memasukan sepedah motor milik Asrori
ke dalam Salon Ayu setelah itu Asrori masuk ke dalam mobil Kemat duduk di
bangku tengah, Devid duduk di bangku depan dan Kemat yang mengemudikan
kendaraan Carry menuju rumah kosong yang telah ditentukan yaitu di Dusun
Kalangan, Ds. Kalangsemanding, Kec. Perak, Jombang. Sesampai di tempat
tujuan sekitar pukul 22.30 WIB Kemat menghentikan mobilnya dan memaksa
Asrori untuk turun dari mobil lalu di suruh masuk rumah kosong kemudian Kemat
bersama Devid juga masuk ke dalam rumah tersebut, setelah berada di dalam
Devid mendekap tubuh dan menyumbat mulut Asrori dengan menggunakan
tangan supaya Asrori tidak berteriak kemudian Kemat dari samping kiri memukul
Asrori menggunakan kayu balok bekas bangunan kebagian belakang leher Asrori
dengan keras sebanyak satu kali mengakibatkan Asrori jatuh ke tanah dan tidak
berdaya/tidak sadarkan diri.67
Kemat dan Devid kemudian mengangkat tubuh Asrori yang sedang tidak
sadarkan diri ke dalam mobil Carry di bangku tengah dan dibawa menuju Desa
Bandar Kedungmulyo, setibanya di Dusun Braan Kemat menemukan tempat yang
dianggap aman yaitu di tengah sawah bekas tanaman tebu yang telah di tebang
dan bersama mereka menurunkan Asrori dalam keadaan tidak sadarkan diri untuk
dibawa ke tempat bekas tebangan tebu. Kemat lalu melepaskan celana dan celana
67
Putusan MA No.89 PK/PID/2008 atas nama Imam Chambali al. Kemat.
54
dalam yang dipakai Asrori, setelah itu Kemat mengambil pisau yang ada di dalam
mobil lalu Kemat menusuk dan merobek perut korban hingga ususnya ke luar.
Devid kemudian mengambil oli bekas yang ada di dalam mobil dan oli
tersebut oleh Kemat disiramkan ke muka Asrori dengan tujuan untuk
menghilangkan identitas Asrori dan memastikan bahwa Asrori telah meninggal
dunia. Kemat kemudian melepaskan jaket sweater yang dipakainya serta Devid
melepas jaket parasit warna biru yang dipakainya dan diletakkan di samping
korban, sedangkan celana dalam, 2 HP, dompet yang berisi uang dibawa Kemat
untuk disimpan lalu Kemat dan Devid menutupi tubuh Asrori dengan daun tebu
kering hingga tidak terlihat.68
Akibat perbuatan Kemat korban Moch. Asrori meninggal dunia
sebagaimana Visum Et Repertum Jenazah No. 371/04/415.39/X/2007 tanggal 25
Oktober 2007 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Rudy Prayudiya Ariyanto
dokter Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Jombang, dengan hasil
pemeriksaan:
1. Pemeriksaan luar:
a. Pakaian : Tanpa menggunakan pakaian;
b. Tinggi badan : 160 cm;
c. Kepala : Rambut hitam, gigi tonggos;
d. Leher : Tak ada kelaianan;
e. Perut : Ada robekan 5 cm di atas pusar, 1 cm dari garis
tengah tubuh berbentuk elips dengan sudut tajam dikedua sudutnya
68
Putusan MA No.89 PK/PID/2008 atas nama Imam Chambali al. Kemat.
55
dengan ukuran 2 cm x 4 cm, tidak didapatkan jembatan jaringan,
didapatkan usus yang terburai dari lubang robekan;
f. Lain-lain : Terjadi pembusukan pada seluruh tubuh;
2. Pemeriksaan dalam:
Sebagian usus besar keluar dari rongga perut lewat lubang (robekan)
yang terdapat pada dinding perut dan sebagian dan besar organ dalam
mengalami pembusukan;
3. Kesimpulan:
Tidak dapat disangkal, bahwa korban meninggal dunia karena
pendarahaan rongga perut karena robekan diding perut sebagai akibat
persentuhan dengan benda tajam;
Satu hari setelah perbuatan pembunuhan Kemat membawa sepeda motor
Yamaha Jupiter No. Pol. S 4088 WJ milik Asrori dan dititipkan di tempat
penitipan sepeda motor Rumah Sakit Islam (RSI) Jombang, pada tanggal 29
September 2007 Kemat dan Devid mendengar jasad Asrori ditemukan warga
setempat, untuk menghilangkan jejak barang-barang yang masih disimpan oleh
Kemat dibuang ke sungai yang airnya mengalir di Dusun Barong, Ds.
Barongsawahan Kec. Bandarkedungmulyo namun sebelumnya HP milik Asrori
sempat digunakan oleh Kemat untuk membalas SMS kepada keluarga Asrori pada
hari Sabtu tanggal 29 September 2007 jam 04.57 WIB dengan menggunakan
bahasa Jawa yang isinya “Aku nok Magetan aku gak onok sing nekan nek aku ora
iso goleh duet minggu iki sepedahe tak dol aku gak mulih sepeda tak gawe sangu
lungo golek kerjo sing adoh” (saya berada di Magetan saya tidak ada yang
56
menekan kalau saya tidak bisa mencari uang minggu ini sepedanya saya jual saya
tidak pulang sepedanya saya pakai biaya mencari pekerjaan yang jauh).69
Petugas dari Polsek Bandar Kedungmulyo pada tanggal 29 September 2007
bersama-sama dengan kakak kadung Moch. Asrori yang bernama Agung Wibowo
berangkat ke RSU Jombang untuk melihat korban dan kakak korban menyakini
bahwa mayat tersebut adalah Moch. Asrori hanya berdasarkan ciri-ciri fisik kaki
kanan dibagian betisnya ada luka bekas kena knalpot, kukunya panjang terawat,
gigi tulang sebelah kiri agak keluar, potongan rambut bagian kiri dan kanan tipis
dan bagian belakang tebal, sedangkan di sekujur tubuh ada bekas oli, hidung ada
luka bengkak, rahang gigi sudah lepas, tengkuk mengalami luka memar, perut
luka terbuka dan usus terburai keluar dan wajah korban sudah mengalami
kerusakan dan sulit untuk dikenali. Setelah adanya pernyataan dari keluarga atas
mayat tersebut penyidik tanpa melakukan tes DNA untuk mencocokkan dengan
DNA keluarga Moch. Asrori mengambil kesimpulan bahwa mayat di kebun tebu
tersebut adalah Moch. Asrori.70
Berdasarkan bukti permulaan, yaitu keterangan saksi Suyoto (Kepala Desa
Dusun Bra‟an Jombang) serta Jalal (orang tua korban) yang menyatakan bahwa
satu hari sebelum dilakukan pembunuhan, terdakwa sempat dilihat oleh saksi
memakai sepeda motor Yamaha Jupiter No. Pol S 4008 WJ milik korban.
Keterangan selanjutnya yang diberikan oleh saksi bahwa sandal jepit dan jaket
parasit yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) yang merupakan milik
terdakwa. Setelah penyidik melakukan olah TKP, penyidik berkesimpulan bahwa
69
Putusan MA No.89 PK/PID/2008 atas nama Imam Chambali al. Kemat. 70
Putusan MA No.89 PK/PID/2008 atas nama Imam Chambali al. Kemat.
57
mayat di kebun tebu itu bernama Moch. Asrori korban pembunuhan yang diduga
pelakunya ialah Imam Chambali alias Kemat.
Penyidik kemudian melakukan penangkapan terhadap saudara Kemat pada
21 Oktober 2007. Melalui proses investigasi yang dilakukan oleh penyidik Polsek
Bandar Jombang, akhirnya Kemat ditetapkan statusnya menjadi tersangka, serta
berdasarkan keterangan Kemat bahwa ia tidak melakukan kejahatan itu sendirian,
tetapi dibantu oleh Devid Eko Priyanto alias Devid dan Maman Sugianto alias
Sugik.71
Perbuatan Kemat sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 338
KUHP jo. 55 (1) ke-1e KUHP, membaca tuntutan Jaksa/Penuntut Umum tanggal
17 April 2008 yang isinya adalah sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa Imam Chambali alias Kemat bersalah telah
melakukan tindak pidana “Pembunuhan direncanakan yang dilakukan
bersama-sama” sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 340 KUHP
jo. Pasal 55 (1) ke-1 KUHP dalam surat dakwaan Primair;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Imam Chambali alias Kemat
dengan pidana penjara selama 17 (tujuh belas) tahun dikurangi selama
terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan;
3. Barang bukti :
1 (satu) unit mobil Suzuki Carry warna biru No.Pol L 1057 KD,1 (satu)
unit sepeda motor Yamah Jupiter warna merah No.Pol. S 4088 WJ,1
(satu) buah jaket parasit warna biru, 1 (satu) buah sweater hitam bergaris
71
Putusan perkara No.48/Pid.B/2008/PN.JMB atas nama Imam Chambali al. Kemat.
58
putih, 1 (satu) buah celana jeans warna hitam, 1 (satu) buah ikat
pinggang berwarna hitam, 1 (satu) buah pisau dapur gagang kayu
panjang 32 cm, 1 (satu) pasang sendal jepit warna biru, 1 (satu) buah
sendal jepit sebelah kanan warna hitam, 1 (satu) buah batang kayu bekas
bangunan, 1 (satu) buah helm warna hitam kaca riben, untuk pembuktian
perkara Terdakwa Devid Eko Priyanto;
Kasus Asrori menjadi menarik ketika penyidik melepaskan Sugik karena
tidak cukup bukti keterlibatan langsung antara Sugik dengan rangkaian kejahatan
tersebut. Pada akhirnya, kasus Asrori hanya di pertanggungjawabkan oleh
terdakwa Devid dan Kemat di persidangan.
Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari penyidik, jaksa penuntut
umum mengajukan perkara Asrori ke pengadilan dengan dakwaan secara
alternatif. Dalam surat dakwaannya, penuntut umum mendakwa (terdakwa)
melakukan kejahatan sebagai berikut. Pertama, dakwaan primer, melakukan
kejahatan sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 340 KUHP
jo 55 (1) ke-1e KUHP. Kedua, dakwaan subsider diancam dengan pidana Pasal
338 KUH Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUH Pidana.72
Pada tanggal 8 Mei 2008, Pengadilan Negeri Jombang dalam putusannya
Nomor 48/Pid.B/2008/PN.JMB menyatakan bahwa terdakwa terbukti dengan sah
dan menyakinkan melakukan tindak pidana “pembunuhan berencana” yang
mengakibatkan kematian terhadap korbannya bernama Moch. Asrori dan
hukuman yang dijatuhkan berupa pidana penjara selama 17 tahun kepada
72
Putusan perkara No.48/Pid.B/2008/PN.JMB atas nama Imam Chambali al. Kemat.
59
terdakwa Kemat, dan 12 tahun kepada terdakwa Devid yang amar lengkapnya
sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa Imam Chambali alias Kemat telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan melakukan tindka
pidana “Pembunuhan berencana”;
2. Menjatuhkan pidana terhdap terdakwa tersebut dengan pidana penjara
selama 17 (tujuh belas) tahun;
3. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5. Menetapkan barang bukti berupa :
1 (satu) unit mobil Suzuki Carry warna biru No.Pol L 1057 KD, 1 (satu)
unit sepeda motor Yamah Jupiter warna merah No.Pol. S 4088 WJ, 1
(satu) buah jaket parasit warna biru, 1 (satu) buah switer hitam bergaris
putih, 1 (satu) buah celana jeans warna hitam, 1 (satu) buah ikat
pinggang berwarna hitam, 1 (satu) buah pisau dapur gagang kayu
panjang 32 cm, 1 (satu) pasang sendal jepit warna biru, 1 (satu) buah
sendal jepit sebelah kanan warna hitam, 1 (satu) buah batang kayu
bekas bangunan, 1 (satu) buah helm warna hitam kaca riben.
Dalam proses persidangan Devid dan Kemat, kembali status Maman
Sugianto alias Sugik dipersoalkan, yang sebelumnya Sugik dijadikan tersangka
kemudian oleh penyidik dilepaskan karena alasan tidak cukup bukti. Melalui
pembuktian di persidangan Devid dan Kemat, maka majelis hakim menyatakan
60
saudara Sugik memiliki keterkaitan langsung terhadap rangkaian kejahatan
pembunuhan tersebut. Setelah putusan terdakwa meminta kepada jaksa penuntut
umum dapat bekerjasama dengan penyidik Polsek Bandar Jombang untuk
melakukan penangkapan kembali terhadap saudara Sugik.
Pada tangal 28 Agustus 2008, Pengadilan Negeri Jombang menggelar
sidang perdana terdakwa Maman Sugianto alias Sugik yang diketahui oleh
Majelis Hakim Kartijono. Sebelum sidang perdana Sugik dilangsungkan, pada
tanggal 27 Agustus 2008, kasus pembunuhan terhadap Asrori menjadi masalah
setelah tersangka Verry Idham Heryansyah alias Ryan yang ditangkap di Depok
sebagai pelaku pembunuhan berantai dengan modus memutilasi korbannya
mengaku kepada polisi bahwa Moch. Asrori alias Luki atau Aldo menjadi korban
ke-11 yang telah dibunuhnya. Ryan memberikan keterangan kepada penyidik
bahwa jenazah Asrori dimakamkan di kebun belakang rumah orang tuanya.
Kebenaran bahwa itu jasad Asrori dibuktikan melalui uji tes DNA
(deoxyribonucleic acid) antara jenazah Asrori dengan pasangan Jalal dan Dewi
(orang tua Asrori).73
Setelah adanya pengakuan Ryan, kemudian Kapolda Jawa Timur Irjen Pol
Herman Sumawiredja memerintahkan untuk dilakukan pembongkaran terhadap
kuburan di Desa Bandar Kedung Mulyo pada tanggal 17 September 2008.
Hasilnya melalui uji tes DNA (deoxyribonucleic acid) bahwa jenazah yang
diketemukan di kebun tebu bukan jenazah Moch. Asrori alias Aldo melainkan
73“Asrori Korban ke-11 Ryan”, Jawa Post, 28 Agustus 2008, hal. 3.
61
jenazah Fauzin Suyanto alias Fauzin warga asal Kelurahan Ploso, Kecamatan
Kota, Nganjuk, Jawa Timur.
Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 18 Oktober 2008
polisi berhasil menangkap Rudi Hartono alias Rangga dan ditetapkan menjadi
tersangka atas kasus pembunuhan terhadap Fauzin, setelah pengakuan didapatkan
dari Joni Irwanto alias Joni. Pengakuan Joni, bahwa Rangga sempat menceritakan
niatnya ingin membunuh Fauzin, lantaran kesal karena Fauzin sering ingkar
janji.74
Kemudian atas temuan-temuan baru dari Tim Khusus (tim-sus) yang
dibentuk langsung oleh Polda Jatim, melalui pengacara Devid dan Kemat, yaitu
Slamet Yuono, pada tanggal 25 Oktober 2008, Devid dan Kemat mengajukan
upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Pengadilan
Negeri Jombang (kasus Asrori) kepada Mahkamah Agung (MA), berdasarkan
bukti-bukti baru (novum), yaitu pengakuan dari tersangka Ryan yang mengaku
membunuh Asrori dan disertai tes DNA Asrori dan Fauzin.
Tepatnya pada tanggal 28 Oktober 2008, terdakwa Sugik mendapatkan
penangguhan penahanan yang diberikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jombang. Tidak jauh dari 4 Desember 2008 Mahkamah Agung membatalkan
vonis Pengadilan Negeri Jombang terhadap Devid Kemat, dan mereka bebas tanpa
syarat. Berdasarkan putusan tersebut, maka Mahkamah Agung memperlihatkan
74
“Tragedi Sengkon Karta Terulang”, Jawa Pos, 20 Oktober 2008, hal. 3.
62
kekhilafan dan kekeliruan nyata yang dilakukan oleh hakim dalam menjatuhkan
pidana kepada Devid dan Kemat.75
Pada tanggal 12 Desember 2008, akhirnya terdakwa Sugik dituntut bebas
oleh jaksa penuntut umum (JPU) yang diketuai oleh Endang Dwi Rahayu dalam
persidangan di Pengadilan Negeri Jombang. Tuntutan bebas itu dibacakan oleh
satu penuntut umum, yaitu Didik Sudarmadi. Namun, tuntutan bebas ini masih
harus menunggu putusan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jombang. Hakim
meminta waktu satu (hingga) dua hari untuk menyusun putusan.
Dalam persidangan dengan agenda pembacaan putusan, pada tanggal 15
Desember 2008, Majelis Hakim yang diketuai oleh Kartijono memberikan
putusan bebas terhadap Maman Sugiato alias Sugik. Beberapa alasan mendasari
putusan Majelis Hakim, pertama, dalam putusannya hakim mengatakan terdakwa
tidak terbukti melakukan pembunuhan yang dimaksud. Kedua, berdasarkan
putusan MA yang telah mengabulkan peninjauan kembali (PK) Kemat dan Devid.
Ketiga, dalam kasus yang menimpa Sugik ini telah terjadi kesalahan penyelidikan
yang mengakibatkan salah/keliru dalam menentukan pelakunya.76
Berdasarkan putusan Nomor: 650/PID.B/2008/PN.JMB, pertimbangan
Majelis Hakim dalam memberikan putusan bebas kepada terdakwa Sugik adalah
sebagai berikut:
Menimbang, bahwa dari komparasi alat bukti identifikasi antara
korban Asrori dan Fauzin, Majelis Hakim berpendapat, bahwa bukti-
bukti yang diajukan oleh pihak penuntut umum dan penasihat hukum
75“Ryan Pelaku, Orang Lain Dibui.” Kompas, 20 Oktober 2008, hal. 3. 76“Ryan Pelaku, Orang Lain Dibui.” Kompas, 20 Oktober 2008, hal. 3.
63
terdakwa, dikaitkan dengan adanya surat No.Pol:B/5723/XI/2008/Dit
Reskrim tertangal 14 November 2008 dari Kapolda Jawa Timur,
yang disampaikan kepada majelis juga dijadikan bukti surat oleh
penasihat hukum terdakwa, terdapat fakta yang tersirat bahwa pihak
penyidik telah salah menyajikan fakta (BAP) dalam perkara a quo, di
samping DNA sebagi bukti ilmiah di bidang medis yang menunjukan
identifikasi korban, maka majelis berpendapat, mayat di kebun
tebu/korban dalam perkara a quo adalah mayat Fauzin, bukan mayat
Asrori, sehingga dakwaan penuntut umum yang menyebutkan bahwa
korban dalam perkara a quo adalah Asrori tersebut merupakan error
in objecto, sehingga terhadap pelakunya salah sasaran merupakan
error in persona, oleh karena terdapat error in persona dalam surat
dakwaan penuntut umum, maka dakwaan penuntut umum cacat
prosesuil.
B. Amar Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008
Penerimaan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung dikarenakan
terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa maksud keadaan
baru dalam ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP tersebut sesungguhnya
bukan keadaannya yang baru, akan tetapi diketahuinya yang baru atau baru
diketahui. Keadaan yang dimaksudkan itu sesungguhnya sudah ada pada saat
perkara pokoknya diperiksa di pengadilan. Keadaan baru dalam Pasal 263 ayat (2)
huruf a KUHAP dapat disimpulkan suatu keadaan yang sesungguhnya secara
(materiil) sudah ada, namun ketika perkara sedang diperiksa belumlah dibuktikan/
64
diketahui tentang keberadaanya itu. Untuk membuktikan adanya keadaan itu
haruslah dengan alat bukti, yaitu jika alat bukti itu diperiksa di muka persidangan
maka terbuktilah tentang keadaan tersebut.
Keadaan baru yang pertama dan dijadikan dasar permohonan peninjauan
kembali ini adalah pengakuan Very Idham Heryansyah alias Ryan pada tanggal 17
Agustus 2008 yang menyatakan bahwa mayat/korban ke 11 yang saat itu belum
diketahui identitasnya (disebut Mr.X) yang dikuburkan di pekarangan belakang
rumah orang tuanya di Dusun Maijo, Desa Jatiwates, Kecamatan Tembeleng,
Kabupaten Jombang adalah bernama Asrori dan dibunuh sekitar bulan Oktober
2007.
Berdasarkan pernyataan yang dibuat Kemat, peninjauan kembali tertanggal
10 Juni 2008 menyatakan bahwa dirinya dan Sugik tidak pernah membunuh
Asrori, pengakuan yang dibuat dalam BAP dihadapan Penyidik POLRI bahwa
dirinya dan Sugik telah membunuh Asrori dibuat semata-mata karena Kemat tidak
tahan disiksa dan dipukuli oleh oknum anggota Polsek Bandar Kedungmulyo di
pinggir sungai.
Devid juga dalam pernyataannya yang dibuat pada tanggal 10 Juni 2008
menyatakan tidak tahu tentang pembunuhan Asrori dan benar-benar tidak
melakukan pembunuhan tetapi karena dipukuli oleh oknum aparat Polsek Bandar
kedungmulyo akhirnya mengakui turut serta membunuh Asrori. Asrori juga turut
menyertakan kliping korang harian Surya rabu tanggal 20 Agustus 2008 dengan
65
judul “Ryan Pelaku, Orang lain Dibui” dan koran harian Surya kamis tanggal 21
Agustus 2008 dengan judul “Ryan: Polisi Salah Tangkap”.77
Keadaan baru yang kedua berdasarkan DNA Mr. X yang dikubur di
belakang rumah orang tua Ryan identik dengan DNA M. Jalal (ayah kandung
Moch. Asrori) dan Dewi Muntari (ibu kandung Moch. Asrori). Dengan demikian
terbukti mayat yang ditemukan di kebun tebu di Desa Braan, Kecamatan Bandar
Kedungmulyo, Kabupaten Jombang pada tanggal 29 September 2007 bukanlah
Moch. Asrori melainkan Fauzin Suyanto alias Antonius. Akan tetapi sampai
dengan memori peninjauan kembali ini pemohon peninjauan kembali daftarkan
copy hasil DNA tersebut belum pemohon peninjauan kembali dapatkan, maka
pemohon peninjauan kembali mengacu pada keterangan Kasatpidum Polda Jatim
AKBP Susanto yang dimuat dalam media massa yaitu koran harian pagi Jawa Pos
yang diterbitkan pada tanggal 28 Agustus 2008 dengan judul “Asrori Korban ke-
11 Ryan” dan koran harian Surya yang diterbitkan hari kamis tanggal 28 Agustus
2008 dengan judul “Tragedi Sengkon Karta Terulang” dan koran harian pagi
Surya yang terbit pada hari kamis tanggal 28 Agustus 2008 dengan judul “3
Orang Tak Bersalah Dibui” yang pada intinya menegaskan bahwa berdasarkan
hasil pemeriksaan DNA terhadap Mr. X menunjukan bahwa Mr. X adalah Moch.
Asrori.
DNA Mr. XX yang ditemukan di kebun tebu Desa Braan, Kabupaten
Jombang identik dengan Ny. Suyati selaku ibu kandung Fauzin Suyanto alias
Antonius melalui hasil tes laboratorium DNA No.Pol.: R/08012.D/DNA/V
77
Putusan MA No.89 PK/PID/2008 atas nama Imam Chambali al. Kemat.
66
III/2008/Biddokpol tanggal 27 Agustus 2008 dengan nilai kebenaraan
pemeriksaan DNA lebih dari 99,999% bahwa Mr. XX yang dibunuh oleh Ryan
teridentifikasi sebagai Moch. Asrori alias Aldo, maka pihak kepolisian
menindaklanjuti dengan melakukan pembongkaran makam Mr. XX yang
selanjutnya diyakini sebagai mayat Moch. Asrori di Dusun Kalangan, Desa
Kalangan Semanding, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang yang dilakukan
pada tanggal 28 Agustus 2008.
Tanggal 17 September 2008 Mabes POLRI melalui Kadiv Humas Polda
Brigjen Pol. R. Abubakar Nataprawira, Direktur I Keamanan dan Trans Nasional
Bareskrim Polda Brigjen Pol. Badrodin Haiti, dan Kabid Dokpol Pusdokkes Polri
Kombes Pol Mussadeq Ishaq di Mabes Polda berdasarkan Surat Pemeriksaan
DNA No. R/08012.E/DNA/IX/2008/Biddokpol, tanggal 16 September 2008
menyatakan bahwa hasil tes DNA mayat di kebun tebu (Mr. XX) di Desa Braan,
Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Kabupaten Jombang adalah identik dengan
keluarga Fauzin Suyanto alias Antonius artinya Mr.XX adalah anak biologis Ny.
Suyati orang tua Fauzin Suyanto.
Bukti lain yang menguatkan fakta bahwa Mr.XX adalah Fauzin Suyanto
adalah bukti baru berupa berita acara penyerahan/pengambilan mayat (jenazah)
Fauzin Suyanto tertanggal 19 September 2008 dengan uraian singkat jalannya
penyerahan/pengambilan mayat sebagai berikut: “Pada hari Kamis tanggal 28
Agustus 2008 Penyidik Ditreskim Polda Jatim telah melakukan penggalian di
makam Islam Desa Kalang Semanding, Kecamatan Perak, Kab. Jombang yang
sebelumnya ditemukan di TKP Kebun Tebu Dusun Braan, Desa / Kecamatan
67
Bandar Kedungmulyo, Kabupaten Jombang pada tanggal 29 September 2007
yang diduga merupakan korban pembunuhan. Kemudian setelah dilakukan
identifikasi, otopsi atau pemeriksaan forensik guna kepentingan penyidikan oleh
penyidik Polda Jatim, maka diketahui identitas atau jati diri jenazah tersebut dan
selanjutnya dimasukan ke dalam peti dan diserahkan/dikembalikan kepada pihak
keluarga”.
Kadiv Humas Polda Brigjen Pol. R. Abubakar Nataprawira, Direktur I
Keamanan dan Trans Nasional Bareskrim Polda Brigjen Pol. Badrodin Haiti, dan
Kabid Dokpol Pusdokkes Polri Kombes Pol Mussadeq Ishaq di Mabes POLRI
melalui media massa juga mengumumkan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan
hasil forensik terhadap Mr. XX diketahui bahwa Mr. XX adalah Fauzin Suyanto,
yang antara lain dikutip oleh Koran Harian Pagi JAWA POS terbit Kamis tanggal
18 September 2008 dengan judul “Tes DNA Pastikan Mr.XX Fauzin” dan Koran
Harian Pagi SURYA terbit Kamis tanggal 18 September 2008 dengan judul
“Mayat Kebun Tebu 100% Fauzin”. Jelas bahwa mayat yang diketemukan di
Desa Braan, Desa/Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Kabupaten Jombang
bukanlah mayat Moch Asrori melainkan mayat Fauzin Suyanto.
Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat bahwa dalam memutus perkara
No. 48/Pid.B/2008/PN.JMB, Pengadilan Negeri telah melakukan kekhilafan dan
kekeliruan yang nyata dalam memberikan pertimbangan hukumnya, sehingga
putusan tersebut dalam pertimbangannya tidak sempurna dan terdapat kekeliruan
yang nyata dalam amar putusannya yang sangat merugikan Pemohon Peninjauan
Kembali. Tidak adanya saksi fakta yang dalam perkara tersebut, saksi-saksi yang
68
dihadirkan di muka persidangan pada tingkat pertama yang terdiri dari H. Ishak
Hidayat, Suyoto, Jalal, Agung Wibowo, Kasyono, Bambang Hermanto, Supandi,
Bambang Sucipto, Alex Hadi Saputro, H. Djaimudin, Abdul Wahid, dan Devid
Eko Priyanto adalah untuk memberikan keterangan terkait dengan berkas perkara
tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Moch. Asrori.
C. Pertimbangan Hukum (Interpretasi Hakim) Putusan Mahkamah Agung
No 89 PK/PID/2008
Mencermati catatan sidang mengenai keterangan para saksi tersebut diatas,
jelas bahwa pengetahuan atas pernyataan yang mereka sampaikan di atas tidak
diperoleh dari pengetahuannya sendiri, tidak ada saksi yang mampu menjelaskan
cara kejahatan, waktu kejahatan dan tempat kejahatan yang tepat dilakukan oleh
Pemohon Peninjauan Kembali di mana telah dijelaskan klasifikasi seorang saksi
dalam Pasal 1 ayat (26) bahwa orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Pengajuan saksi Polisi
Pemeriksaan Perkara / Penyidik dilakukan sekedar untuk memenuhi syarat formil
jumlah saksi, apalagi dalam perkara ini terungkap bahwa Kemat maupun Devid
mengalami penyiksaan untuk mengaku sebagai pelaku pembunuhan.
Hasil Visum Et Repertum Jenazah atas nama Moch. Asrori No.
371/04/415.39/X/2007 tertanggal 25 Oktober 2007 oleh Dr. Rudy Prayudiya
Ariyanto Dokter Bedah pada Rumah Sakit Umum Jombang tersebut terdapat
beberapa ketidaksesuaian antara lain:
69
1. Keterangan yang diberikan oleh kakak kandung Moch. Asrori yang
bernama Agung Wibowo yang mengatakan Asrori memiliki gigi
tulang sebelah kiri agak keluar (gingsul) tetapi berdasarkan hasil
Visum menyatakan hasil pemeriksaan luar terhadap kepala: gigi
tonggos, adalah suatu pengetahuan yang bersifat umum bahwa
keadaan anatar gigi tulang sebelah kiri agak keluar (gingsul) dan gigi
tonggos adalah berbeda, tonggos adalah bentuk gigi yang cenderung
maju kedepan, sedangkan gingsul adalah gigi tulang yang lebih
menonjol dari gigi lainnya pada barisan depan gigi manusia.
2. Terhadap hasil pemeriksaan dipersidangan Pemohon Peninjauan
Kembali mengatakan Maman Sugianto memukul kepala korban
bagian belakang dari arah samping korban yang mengakibatkan
korban jatuh kelantai tidak sadarkan diri tetapi berdasarkan hasil
Visum menyatakan hasil pemeriksaan luar leher: tidak ada kelaianan,
terdapat pertentangan terhadap hasil Visum yang menyatakan tidak
ada kelaianan dan fakta dipersidangan leher dipukul dengan balok
kayu yang seharusnya akan timbul luka atau patah tulang terhadap
leher tersebut sebagai akibat dipukul dengan balok kayu.
3. Bahwa terhadap hasil VER pemeriksaan luar dinyatakan “pada bagian
perut ada robekan 5 cm di atas pusar, 1 cm dari garis tengah tubuh
berbentuk elips dengan sudut tajam di kedua sudutnya dengan ukuran
2 cm x 4 cm ... dst”, apabila dikaitkan dengan barang bukti berupa
pisau dapur yang disita dari rumah Kemat maka luka berbentuk ellips
70
tersebut pada VER adalah bukan karena ditusuk dengan pisau dapur
yang memiliki satu sudut tajam, lebih-lebih terhadap pisau dapur yang
dijadikan barang bukti tersebut tidak pernah diperiksa forensik apakah
terdapat bekas-bekas darah yang identik dengan darah korban.
Alasan peninjauan kembali dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Adanya bukti-bukti yang menjelaskan bahwa korban mati yang digali
dari kebun rumah Ryan ternyata dari hasil sampel darah adalah anak
pasangan Dwi Mentari dan Jalal yang bernama Moch. Asrori.
2. Korban yang di kebun tebu adalah anak dari pasangan Suyati yang
bernama Suyanto.
3. Kemat didakwa telah melakukan pembunuhan terhadap Asrori
sedangkan dalam kasus perkara itu kemudian ditemukan tersangka
yang mengakui bernama Ryan adalah pelakunya.
4. Sesuai bukti-bukti ternyata mayat yang ditemukan oleh masyarakat
teridentifikasi bernama Moch. Asrori sebagai korban pembunuhan
Ryan sedangkan kemudian ternyata korban mati yang di kebun tebu
adalah Fauzin Suyanto alias Antonius.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dan Pasal 263 (2) jo. Pasal 266
ayat (2) huruf b KUHAP terdapat cukup alasan untuk membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Jombang No. 48/Pid.B/2008/PN.JMB. tanggal 8 Mei 2008 dan
Mahkamah Agung mengadili kembali perkara tersebut yang mengabulkan
permohonan peninjauan kembali dengan putusan:
71
1. Menyatakan terpidana Imam Chambali alias Kemat tersebut di atas
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana dalam dakwaan Primair dan Subsidair;
2. Membebaskan oleh karena itu kepada Terpidana dari segala dakwaan;
3. Memulihkan hak Terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya;
4. Memerintahkan agar Terpidana segera dikeluarkan dari tahanan,
kecuali Terpidana ditahan karena perkara lain;
5. Menyatakan barang bukti berupa :
a. 1 (satu) unit mobil Suzuki Carry warna biru No.Pol L 1057
KD;
b. 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter warna merah
No.Pol. S 4088 WJ;
c. 1 (satu) buah jaket parasit warna biru;
d. 1 (satu) buah switer hitam bergaris putih;
e. 1 (satu) buah celana jeans warna hitam;
f. 1 (satu) buah ikat pinggang berwarna hitam;
g. 1 (satu) buah pisau dapur gagang kayu panjang 32 cm;
h. 1 (satu) pasang sendal jepit warna biru;
i. 1 (satu) buah sendal jepit sebelah kanan warna hitam;
j. 1 (satu) buah batang kayu bekas bangunan;
k. 1 (satu) buah helm warna hitam kaca riben;
Dikembalikan dari mana barang bukti tersebut disita.
72
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN REHABILITASI PASCA PUTUSAN MA No.
89 PK/PID/2008 MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008
Jika dilihat dari sudut pandang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) atas putusan Mahkamah Agung No. 89/PK/PID/2008 berdasarkan
Pasal 263 (2) jo. Pasal 266 ayat (2) sudahlah tepat. Dalam putusan tersebut Kemat
dan Devid dijatuhi hukuman bebas karena terbukti tidak bersalah melakukan
pembunuhan. Menimbang atas alasan-alasan terdapat keadaan baru (novum) yang
menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas
dari tuntutan hukum.
Dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP dijelaskan permintaan peninjauan
kembali dilakukan atas dasar:
1. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat,
bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas
dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan.
2. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat penyertaan bahwa sesuatu
telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan
73
putusan yang telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu
dengan yang lainnya.
3. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Dalam Pasal 266 ayat (2) KUHAP Mahkamah Agung berpendapat bahwa
permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
1. Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon,
Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan
menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu
tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya.
2. Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon,
Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan
peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa:
a. Putusan bebas.
b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
c. Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum.
d. Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan.
Dengan keterangan putusan bebas diatas, maka Kemat dan Devid berhak
mendapatkan ganti rugi dan pemulihan nama baik atas tuduhan-tuduhan yang
telah diberikan kepada mereka.
74
1. Pemulihan Nama Baik
Nama baik merupakan citra seseorang dimata lingkungannya, jika nama
baik seseorang rusak maka rusak juga citra orang tersebut di mata masyarakat
sekitarnya. Tujuan dari pemulihan nama baik adalah sebagai sarana dan upaya
untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan, dan martabat seseorang yang
telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan,
penahanan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan yang ternyata
semua tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan
yang sah menurut undang-undang.
Pemulihan kembali nama baik dan martabat tersangka atau terdakwa di
dalam pergaulan masyarakat sangat penting, untuk menghapuskan luka yang
dideritanya akibat penangkapan, penahanan, atau penuntutan dan pemeriksaan
pengadilan yang dilakukan terhadap dirinya. Dengan pemberian rehabilitasi ini
dapat diharapkan sebagai upaya membersihkan nama baik dan harkat serta
martabat tersangka atau terdakwa maupun keluarganya di mata masyarakat.
Dalam Pasal 97 ayat (1) KUHAP sudah dijelaskan bahwa seseorang berhak
memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas
dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Dengan begitu rehabilitasi kepada Kemat dan Devid diberikan langsung
oleh pengadilan yang dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan yang
bersangkutan.78
78
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 71.
75
Berdasarkan bukti-bukti baru yang ditemukan antara lain yaitu pengakuan
dari Very Idham Heryansyah alias Ryan yang menyatakan bahwa korban ke 11
adalah Moch. Asrori, yang sebelumnya Kemat dan Devid melalui putusan Nomor:
650/PID.B/2008/PN.JMB dijatuhi hukuman bersalah melakukan pembunuhan
kepada Moch. Asrori. Bukti baru yang kedua adalah hasil dari tes DNA mayat
yang ditemukan di kebun tebu Desa Braan, Kabupaten Jombang ternyata identik
dengan Ny. Suyati selaku ibu kandung Fauzin Suyanto alias Antonius. Sementara
mayat yang ditemukan dibelakang rumah orang tua Ryan identik dengan DNA M.
Jalal dan Dewi Muntari selaku orang tua Moch. Asrori.
Dengan penjelasan singkat diatas, pemulihan nama baik harus diberikan
kepada Kemat dan Devid mengingat dalam perkara pembunuhan yang dituduhkan
kepada mereka karena sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa
penangkapan, penahanan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Padahal ternyata semua tindakan yang dikenakan kepada Kemat dan Devid
merupakan tindakan tanpa alasan yang sah menurut undang-undang.
2. Ganti Rugi
Tuntutan permintaan ganti kerugian yang dilakukan tersangka atau terdakwa
atau ahli waris merupakan perwujudan perlindungan hak asasi dan harkat
martabatnya. Apabila tersangka atau terdakwa mendapat perlakuan yang tidak sah
atau tindakan tanpa alasan berdasar undang-undang, memberi hak kepadanya
menuntut ganti rugi.79
79
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 38.
76
Pengertian ganti kerugian yang diatur dalam Bab XII bagian kesatu
KUHAP, dapat diperhatikan dalam Pasal 1 butir 22 bahwa ganti kerugian adalah
hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan
sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau pun diadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Mengenai landasan hukum tuntutan ganti kerugian yang diatur dalam
KUHAP, bersumber dari ketentuan Pasal 9 Undang-undang No. 14 Tahun 1970
yang berbunyi seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan, berhak menuntut ganti kerugian dan
rehabilitasi. Jika diperhatikan rumusan Pasal 9 Undang-undang No. 14 Tahun
1970 sama isinya dengan Pasal 1 butir 22 KUHAP.
Praperadilan adalah salah satu instansi yang berwenang memeriksa dan
memutus tuntutan ganti kerugian selain Pengadilan Negeri, sebagaimana yang
disebut dalam Pasal 78 ayat (1) dan Pasal 1 butir 10 adalah suatu lembaga yang
distrukturkan dalam organisasi Pengadilan Negeri. Merujuk kepada berbagai pasal
yaitu Pasal 77 huruf b, Pasal 81, dan Pasal 95 ayat (2) KUHAP dijelaskan jenis-
jenis tuntutan ganti kerugian yang termasuk kewenangan praperadilan yakni:
a. Tuntutan ganti kerugian tentang tidak sahnya penangkapan, penahanan,
serta tindakan lain tanpa berdasarkan yang sah menurut undang-undang
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan
dengan syarat:
77
1) Perkaranya hanya sampai tingkat penyidikan,
2) Perkaranya hanya sampai tingkat penuntutan seperti yang
disebut Pasal 138 ayat (1) KUHAP,
3) Perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan.
b. Tuntutan ganti kerugian yang disebut dalam Pasal 77 huruf b:
1) Atas alasan penghentian penyidikan,
2) Atas alasan penghentian penuntutan.
Jika perkaranya sudah dilimpahkan atau diajukan ke sidang pengadilan itu
sudah menjadi kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksanya. Pasal 95
ayat (3) menyatakan bahwa jika perkaranya sudah diajukan, diperiksa, dan diputus
oleh pegadilan, baik pemeriksaan itu hanya sampai pada tingkat Pengadilan
Negeri maupun sampai pada tingkat banding atau kasasi, tinggal kewenangan
Praperadilan untuk memeriksanya, dan beralih kewenangannya kepada
Pengadilan Negeri.
Mengenai tenggang waktu mengajukan tuntutan ganti kerugian diatur dalam
Pasal 7 PP No. 27 Tahun 1983, Pasal 7 terdiri dari 2 ayat. Pembagian ke dalam 2
ayat, sengaja dibuat untuk membedakan cara memperhitungkan tenggang waktu
sesuai dengan jenis alasan yang mendasari tuntutan ganti kerugian.
Tenggang waktu mengajukan tuntutan ganti kerugian telah ditetapkan dalam
waktu 3 bulan, akan tetapi cara memperhitungkannya, Pasal 7 membedakan antara
tuntutan ganti kerugian berdasarkan pasal 95 dan tuntutan ganti kerugian berdasar
alasan yang disebut dalam pasal 77 huruf b. Tuntutan ganti kerugian berdasarkan
alasan yang disebut dalam Pasal 95 meliputi alasan penangkapan, penahanan,
78
penuntutan, atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
tindakan lain yang tidak berdasar undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orang atau hukum yang diterapkan, jangka waktu pengajuan yang
diberikan adalah 3 bulan terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap.80
Terhadap tuntutan ganti kerugian berdasarkan alasan yang disebut dalam
Pasal 77 huruf b yaitu tuntutan ganti kerugian atas alasan penghentian penyidikan
atau penuntutan. Jangka waktu pengajuannya 3 bulan terhitung dari sejak saat
pemberitahuan penetapan praperadilan.
Hak atas ganti kerugian merupakan imbalan sejumlah uang yang diberikan
kepada tersangka atau terdakwa. Mengenai jumlah ganti kerugian yang dapat
dikabulkan berpedoman kepada ketentuan Pasal 9 PP No. 27 Tahun 1983. Pasal 9
telah menentukan berapa besarnya jumlah maksimun yang dapat dikabulkan.
Ganti kerugian berdasarkan alasan Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP
serendah-rendahnya Rp. 5.000,- dan setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,-. Apabila
penangkapan, penahanan atau tindakan lain seperti yang dimaksud dalam Pasal 95
KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan mengalami sakit atau cacat sehingga
tidak dapat melakukan pekerjaan atau meninggal dunia, besarnya imbalan ganti
kerugian setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,-.
Pasal 11 PP No. 27 Tahun 1983 menentukan, negara melalui Departemen
Keuangan dibebani tanggung jawab untuk menyelesaikan pembayaran tuntutan
ganti kerugian yang dikabulkan pengadilan. Untuk itu Departemen Keuangan
80
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 46.
79
telah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan tanggal 31 Desember 1983, No.
983/KMK.01/1983. Dalam Pasal 2 ayat (3) keputusan dimaksud ditetapkan bahwa
masalah ganti kerugian yang sehubungan dengan Pasal 95 KUHAP, menjadi
beban Bagian Pembayaran dan Perhitungan Anggaran Belanja Negara Rutin.
B. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 Menurut
Hukum Islam
Secara teoritis dalam hukum Islam tidak mengenal tentang rehabilitasi, oleh
karena itu penulis mengqiyaskannya dalam perkara fitnah yang mengandung
unsur kezaliman. Jika dilihat menurut hukum Islam atas putusan Mahkamah
Agung No. 89/PK/PID/2008 berdasarkan Pasal 263 (2) jo. Pasal 266 ayat (2)
sudahlah tepat. Islam merupakan agama yang rahmatan lil‟alamin atau rahmat
bagi seluruh alam semesta, karena seluruh ajaran yang ada dalam Islam telah
mengatur tata cara berkehidupan yang baik dan menjadi pedoman hidup.
Hukum yang telah ditetapkan dalam Islam bersifat pencegahan, agar orang
lain yang belum pernah melakukan perbuatan tersebut tidak berani melakukan
jarimah karena takut dengan sanksi yang akan di terima. Bagi pelaku jarimah
diharapkan tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Hukum dalam Islam
juga bersifat mendidik bagi pelaku jarimah agar kelak hukuman tersebut merubah
pola hidupnya ke arah yang lebih baik.
Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 yang memberikan
rehabilitasi pada Kemat dan Devid, dalam Islam kelak akan memberikan
kemaslahatan bagi Kemat, Devid, dan seluruh aparat penegak hukum yang terkait.
80
Sebab dengan pemberian rehabilitasi kepada mereka yang sempat menerima
kezaliman terdapat unsur pemaafan dan akan memperoleh kebaikan yang lain.
Dalam hukum Islam juga mengenal kaedah maslahah mursalah. Yaitu
kemaslahatan yang diberikan kepada orang yang terzalimi atau teraniaya.
Maslahah mursalah atau kesejahteraan umum artinya mendatangkan keuntungan
bagi mereka dan menolak mudharat serta menghilangkan kesulitan daripadanya.
Kemaslahatan bahwasannya diperuntukan untuk kebaikan umat manusia dan tidak
terungkap bagian-bagiannya.
Jadi maslahah-maslahah, di mana syari‟ telah mensyariatkan hukum untuk
merealisir maslahah itu, dan atas pengakuan syari‟ atas maslahah itu, telah
ditunjukkan beberapa illat dari hukum yang disyariatkannya, maka maslahah-
maslahah itulah yang di dalam istilah Ulama Ushul disebut (Maslahah
Mu‟tabaroh) maslahah yang diakui dari syari‟. Seperti pemeliharaan kehormatan
mereka, yang syari‟ telah mensyariatkan mengenai hal itu, dera penuduh, dera
laki-laki atau perempuan yang berbuat zina. Jadi masing-masing tersebut, baik
pembunuhan secara sengaja, pencurian, tuduhan dan zina adalah sifat yang sesuai.
Jumhur Ulama ummat Islam berpendapat, bahwa maslahah-maslahah itu
adalah hujjah syariat yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan
bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash dan ijma atau qiyas
atau istihsan itu disyariatkan padanya hukum yang dikehendaki oleh maslahah
81
umum, dan tidaklah berhenti pembentukan hutum atas dasar maslahah ini karena
adanya saksi syari‟ yang mengakuinya.81
Para ulama yang menjadikan hujjah maslahah mursalah mereka berhati-hati
dalam hal itu, sehingga tidak menjadi pintu bagi pembentukan hukum syariat
menurut hawa nafsu dan ke inginan perorangan. Karena itu mereka mensyaratkan
dalam maslahah mursalah yang dijadikan dasar pembentukan hukum itu tiga
syarat sebagai berikut82
:
1. Berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan.
Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisir pembentukan hukum
suatu kejadian itu, dan dapat mendatangkan keuntungan atau menolak
mudharat. Adapun dugaan semata bahwa pembentukan hukum itu
mendatangkan keuntungan-keuntungan tanpa pertimbangan di antara
maslahah yang dapat didatangkan oleh pembentukan hukum itu, maka ini
berarti adalah didasarkan atas maslahah yang bersifat dugaan, contoh
maslahah ini ialah maslahah yang didengar dalam hal merampas hak suami
untuk menceraikan istrinya, dan menjadikan hak menjatuhkan talak itu bagi
hakim (qadhi) saja dalam segala keadaan.
2. Berupa maslahah yang umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan.
Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisir bahwa dalam
pembentukan hukum suatu kejadian dapat mendatangkan keuntungan kepada
kebanyakan ummat manusia, atau dapat menolak madharat dari mereka, dan
81
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, cet.VI,
(Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 128. 82
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, cet.VI, hal.
130.
82
bukan mendatangkan keuntungan kepada seseorang atau beberapa orang saja
di antara mereka. Kalau begitu, maka tidak dapat disyariatkan sebuah hukum,
karena ia hanya dapat merealisir maslahah secara khusus kepada Amir, atau
kepada kalangan elit saja, tanpa memperhatikan mayoritas umat dan
kemaslahatannya. Jadi maslahah harus menguntungkan (manfaat) bagi
mayoritas umat manusia.
3. Pembentukan hukum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengan hukum
atau prinsip yang telah ditetapkan oleh nash atau ijma. Jadi tidak sah
mengakui maslahah yang menuntut adanya kesamaan hak di antara anak laki-
laki dan perempuan dalam hal pembagian harta pusaka, karena masalah ini
adalah masalah yang dibatalkan.
1. Pemulihan Nama Baik Menurut Islam
Bagi Kemat dan Devid yang pernah di zalimi walau pada akhrinya dalam
Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 membebaskan mereka dari
segala tuntutan, dalam Islam diperbolehkan untuk membalaskan perbuatannya
tersebut. Akan tetapi Nabi Muhammad SAW lebih menganjurkan hendaklah
untuk tidak membalaskan perbuatan tersebut atau menuntut rehabilitasi. Karena
dalam Islam mengenai pembalasan merupakan hak Allah sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW.
Dalam sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa rehabilitasi dalam Islam
dijelaskan hendaknya tidak menuntut pemulihan nama baik kepada orang yang
menzaliminya. Karena Nabi Muhammad SAW telah menegaskan bahwa
83
rehabilitasi akan lebih baik jika Allah yang memberikan pemulihan atas mereka
daripada Kemat dan Devid menuntut rehabilitasi kepada orang yang
menzaliminya. Kemat dan Devid hendaknya lebih bersabar dan mendekatkan diri
kepada Allah SWT agar mendapatkan kemuliaan yang sudah di jelaskan dalam
sabda Nabi Muhammad SAW.83
Seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat Asy Syuura: 4
أصهح فأجزه عهى انهو ئنو نب يحب انظبنمين جشاء سيئت سيئت مثهيب فمن عفب
Artinya : “dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka
barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas
(tangguhan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang
yang zalim.”
Seseorang yang melampiaskan dendam semata-mata untuk kepentingan
nafsunya, maka hal itu hanya akan mewariskan kehinaan di dalam dirinya.
Apabila Kemat dan Devid memaafkan, maka Allah justru akan memberikan
kemuliaan kepadanya. Kemuliaan yang diperoleh dari sikap memaafkan itu tentu
lebih disukai dan lebih bermanfaat bagi dirinya daripada kemuliaan yang
diperoleh dari tindakan pelampiasan dendam. Karena penuntutan rehabilitasi bila
dilakukan Kemat dan Devid merupakan bentuk pembelaan diri yang dilandasi
oleh keinginan melampiaskan hawa nafsu.
Kemat dan Devid termasuk ke dalam orang-orang yang dizalimi bila melihat
dari pernyataan Devid yang tertulis dalam kliping korang harian Surya Rabu 20
Agustus 2008 bahwa mereka terpaksa mengaku pelaku dari korban pembunuhan
83
Tazkiyatun Nufus, “Tips Bersabar (2): Sabar Ketika Disakiti Orang Lain”, diakses pada
tanggal 28 April 2015 dari http://www.muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/tips-bersabar-2-sabar-ketika-
disakiti-orang-lain.html.
84
Moch. Asrori karena disiksa dan dipukuli oleh oknum aparat Polsek Bandar
Kedungmulyo. Melalui pengakuan ini dan bukti-bukti baru yang didapat, Kemat
dan Devid menurut hukum Islam boleh menuntut atas haknya kepada penguasa.
2. Ganti Rugi Menurut Islam
Islam tidak menjelaskan secara khusus mengenai ganti rugi kepada orang
yang menerima kezaliman berupa salah tangkap maupun salah dalam memberikan
putusan. Namun bila melihat dalam surat Asy Syuura ayat 4, maka pembalasan
atau ganti rugi merupakan hak dan menjadi tanggungan Allah SWT. Maka dengan
Kemat dan Devid berbuat baik serta memaafkan segala perbuatan zalim yang
pernah mereka terima, Allah SWT akan memberikan pahala kepada mereka.
Dalam surat An-Nur ayat 26 pun menjelaskan bahwa bagi mereka yang
mendapatkan fitnah atau dituduh akan menerima ampunan dan rizki yang mulia
(surga).84
Kezaliman harus dibalas dengan kebaikan, maka pahala yang dimiliki atas
mereka pelaku fitnah akan diambil dan diberikan kepada orang-orang yang
terzalimi, bila tidak ada pahala lagi maka dosa orang yang dizalimi akan diambil
dan diberikan kepada mereka yang telah menzalimi. Dengan begitu Kemat dan
Devid akan mendapatkan ketenangan jiwa karena telah memaafkan dan lebih
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Kemat dan Devid kelak akan mendapatkan ganti rugi yang lebih baik bila
mereka memaafkan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan menuntut
84
http://www.artikel-islam.com/muslim/taubat/hadits-ifki/. Diakses pada tanggal 13 Juni
2015.
85
ganti rugi kepada aparat penegak hukum. Seperti misalnya orang yang sepedanya
dicuri, lalu orang itu ikhlas dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka ia
akan mendapatkan ganti sebuah sepeda motor dari pada ia mencari pelakunya agar
sepedanya kembali.
Bila dilihat ganti rugi yang harus didapatkan terhadap putusan bebas yang
diberikan kepada Kemat dan Devid dalam kasus pembunuhan yang dituduhkan
kepada mereka menurut hukum Islam tidak dijelaskan secara khusus bagaimana
atau berapa besar jumlah ganti rugi yang akan didapatkan oleh mereka, maka dari
itu peran serta penguasa atau pemerintah yang mengharuskan untuk mengaturnya.
Karena dalam Islam lebih baik Kemat dan Devid untuk memaafkan segala
perbuatan yang pernah diterimanya, dengan begitu Kemat dan Devid
mendapatkan kemuliaan di mata Allah SWT dan mendapatkan balasan yang jauh
lebih baik daripada Kemat dan Devid melakukan balas dendam.
86
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah penulis menguraikan dan menganalisis pembahasan skripsi yang
berfokus pada persoalan penerapan rehabilitasi setelah putusan Mahkamah Agung
No. 89 PK/Pid/2008 serta rehabilitasi terhadap putusan bebas dalam kasus
pembunuhan Moch. Asrori di Jombang menurut hukum positif dan hukum Islam,
maka penulis menyimpulkan bahwa:
1. Terjadinya putusan bebas yang diberikan Mahkamah Agung kepada Kemat,
Devid, dan Sugik disebabkan terdapat bukti-bukti baru (novum) yang
membuktikan bahwa mereka secara sah terbukti tidak bersalah. Hal ini dapat
dilakukan melihat bahwa dalam kasus pembunuhan yang dituduhkan kepada
mereka sudah salah dari tingkat penyidikan yang salah/keliru dalam
mengidentifikasi korban serta pengakuan dari Very Idham Heryansyah alias
Ryan bahwa dirinya yang telah melakukan pembunuhan kepada Moch. Asrori
dan mayatnya dikubur di halaman belakang rumah orang tua Ryan bukan
yang berada di kebun tebu.
2. Dalam hukum positif rehabilitasi harus diberikan/dicantumkan dalam putusan
kepada Kemat, Devid, dan Sugik sesuai dalam Pasal 97 KUHAP yang
digunakan sebagai upaya mencari keadilan pemulihan atas haknya dalam
kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya. Sementara dalam
hukum Islam mengenai rehabilitasi bagi mereka yang telah dituduh
melakukan perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan tidak dibahas secara
87
terperinci. Maka dari itu penulis menggolongkan mengenai rehabilitasi
dimasukkan ke dalam jarimah ta‟zir, yang di mana hukumnya ditentukan oleh
ulil amri.
B. SARAN
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan melalui penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Agar aparat penegak hukum hendaknya tidak sewenang-wenang melakukan
penganiayaan secara fisik maupun mental terhadap terdakwa hanya demi
mendapatkan keterangan atau pengakuan kejahatan yang belum tentu mereka
lihat atau mereka lakukan.
2. Kepada hakim hendaknya lebih berhati-hati dalam memeriksa dan memutus
suatu perkara. Jangan sampai orang yang tidak bersalah mendapatkan
hukuman atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan. Jika ada keraguan
terhadap bukti-bukti yang ada, harusnya hakim juga mempertimbangkan
adagium yang mengatakan bahwa lebih baik melepaskan seribu orang
bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah.
3. Kepada masyarakat hendaknya lebih mengetahui hak-hak serta kewajibannya
di mata hukum yang berlaku di Indonesia guna menghindari kejadian serupa
terulang kembali.
88
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdurrahman, bin Abdullah. Kisah-kisah Manusia Pilihan, Penerjemah, Uwais
Al-qorny, Bogor: Pustaka Teriqul Izzah, 2005.
Al-Munawar, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet.I. Jakarta:
Penamadani, 2004.
Al-Barudi, Imad Zaki. Tafsir Al-Qur‟an Wanita, (Jakarta Pusat: Pena Pundi
Aksara, tth), Judul Asli: Tafsir Al-Qur‟an Al-Adzhim Lin Nisa.
Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam, cet.I. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Black, Henry Campbell. Black Law Dictionary (Revised Fourth Edition),
Michigan: West Group, 1968.
Fienso Suharso, Kamus Hukum, cet.X, (Jonggol: Vandetta Publishing, 2010), hal.
31.
Dahlan, Zaini, Dkk. Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakap,
1990.
Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), cet.I. Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2000.
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi revisi), cet.V. Jakarta:
Sinar Grafika, 2006.
_______, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta: PT Rineka Cipta,
1994.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan Penuntutan), cet.VIII. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali (edisi kedua), cet.VIII. Jakarta: Sinar GrafikHanafi, Ahmad.
Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet-4, Jakarta : PT Midas Surya
Grafindo, 1990.
Hutabarat, Ramly. Persamaan Dihadapan Hukum “Equality Before the Law” di
Indonesia, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia 1985.
89
Irfan, Nurul dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet.I. Jakarta: Amzah, 2013.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet.VII, Jakarta, Balai
Pustaka, 1986.
Koeswadji, Harmien Hardiati. Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University
Press, Surabaya, 1984.
Kusuma, Mulyana W dan Nasution, Adnan Buyung. Tegaknya Supremasi Hukum
(Terjebak Antara Memilih Hukum dan Demokrasi, cet.I. Bandung : PT
Remaja Roksadakarya, februari, 2011.
Marpaung, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyidikan dan
Penyelidikan), cet.II, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Pangaribuan , Luhut M.P. Hukum Acara Pidana, Jakarta: Djembatan,2008.
Praja, Juhaya S dan Syihabuddin, Ahmad. Delik Agama Dalam Hukum Islam,
cet.II. Bandung: Penerbit Angkasa, 1993.
Prasetyo, Teguh dan Barkatullah, Abdul H.im. Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum
pemikiran menuju masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat, cet.I
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2012.
Shihab, M. Qurais. Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya,
Bogor: Poleteia, 1990.
Sofyan, Andi dan Abd, Azis. Hukum Acara Pidana (Suatu Pengantar,) Jakarta:
Penerbit Kencana Prenadamedia Group 2014.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet.III. Jakarta: 1984.
Tim Pusat Bahasa Depdiknas. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa Depdiknas.
Yafi, Alie, dkk. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam.
90
Undang-undang/Putusan
Putusan MA No.89 PK/PID/2008 atas nama Imam Chambali al. Kemat.
Putusan perkara No.48/Pid.B/2008/PN.JMB atas nama Imam Chambali al. Kemat.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Website:
Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab Makasar, diakses pada tanggal 28
April 2015
http://hadits.stiba.net/?type=hadits&imam=bukhari&no=6053.
Nufus, Tazkiyatun. “Tips Bersabar (2): Sabar Ketika Disakiti Orang Lain”,
diakses pada tanggal 28 April 2015 dari
http://www.muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/tips-bersabar-2-sabar-ketika-
disakiti-orang-lain.html.
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015.
http://www.artikel-islam.com/muslim/taubat/hadits-ifki/.
Koran/Majalah
“Asrori Korban ke-11 Ryan.” Jawa Post. 28 Agustus 2008.
“Ryan Pelaku, Orang Lain Dibui.” Kompas. 20 Oktober 2008.
“Kemat Dihajar Polisi di Kebun Tebu.” Kompas. 28 Agustus 2008.
“Tragedi Sengkon Karta Terulang.” Jawa Post. 20 Oktober 2008.