Reformasi Praperadilan Indonesia
Transcript of Reformasi Praperadilan Indonesia
Reformasi Praperadilan di Indonesia(Tinjauan Teori, Praktek, dan Perkembangan Pemikiran)
Reformasi Praperadilan di Indonesia(Tinjauan Teori, Praktek, dan Perkembangan Pemikiran)
DR. Anang Shophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn.
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Reformasi Praperadilan Di Indonesia (Tinjauan Teori, Praktek, Dan Perkembangan Pemikiran)
©DR. Anang Shophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn.Editor: Masrudi Muchtar, S.H.,M.H.
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. All Rights Reserved
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
—Bandung: 2019xii+490 hal.; 155 x 230mm
ISBN: 978-602-6913-67-8
Cetakan I: Februari 2019
Diterbitkan oleh
Penerbit Nusa Media
PO Box 137 Ujungberung, Bandung
Disain cover: MF Mahardika
Tata Letak: Nusamed Studio
KATA PENGANTAR EDITOR
Praperadilan merupakan lembaga yang lahir untuk mengadakan
tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam
melaksanakan kewenangannya tidak menyalahgunakan wewenang,
oleh sebab itu dalam pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kegiatan Penyidik yang
implementasinya dapat berupa, misalnya penangkapan bahkan
penahanan, maka hukum acara pidana melalui ketentuan-ketentuan
yang sifatnya memaksa menyingkirkan asas yang diakui secara
universal yaitu hak kebebasan seseorang. Hukum acara pidana
memberikan hak kepada pejabat tertentu untuk menahan tersangka
atau terdakwa dalam rangka melaksanakan hukum pidana materiil
guna mencapai ketertiban dalam masyarakat.
Lahirnya Praperadilan ini disebabkan karena dalam menjalankan
kewenangannya, aparat penegak hukum tidak terlepas dari
kemungkinan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Adakalanya
aparat penegak hukum melakukan hal-hal yang menurut mereka
benar dan salah dimata hukum, semata-mata untuk mendapatkan
pengakuan dari tersangka. Sedangkan dalam pasal 34 UndangUndang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa,
“setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan,
diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang.”
Terbentuknya lembaga praperadilan menurut Pedoman
Pelaksanaan KUHAP disebutkan: mengingat demi kepentingan
pemeriksaan perkara diperlukan adanya pengurangan-pengurangan
dari hak-hak asasi tersangka, namun bagaimanapun hendaknya
selalu berdasar ketentuan yang diatur dalam undang-undang, maka
untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak
asasi, tersangka/terdakwa diadakan suatu lembaga praperadilan.
Praperadilan secara tidak langsung melakukan pengawasan atas
kegiatan yang dilakukan penyidik dalam rangka penyidikan maupun
penuntutan, mengingat tindakan penyidik pada dasarnya melekat pada
instansi yang bersangkutan. Sudah saatnya dibangun budaya saling
kontrol di dalam era supremasi hukum, antara semua komponen
penegak hukum agar kepastian hukum benar-benar dapat diberikan
bagi mereka para pencari keadilan.
Buku “Reformasi Praperadilan Di Indonesia (Tinjauan Teori,
Praktek, Dan Perkembangan Pemikiran)” yang ditulis oleh DR.
ANANG SHOPHAN TORNADO, S.H.,M.H.,M.Kn ditulis dalam 4
(empat) Bab. Bab Pertama berbicara mengenai Praperadilan dalam
Sistem Peradilan Pidana. Pada bab ini diuraikan tentang Pendekatan
Sistem Dalam Mekanisme Peradilan Pidana, Istilah Dan Pengertian
Sistem Peradilan Pidana, Model Sistem Peradilan Pidana, Komponen
Sistem Peradilan Pidana, Pengertian Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, Komponen Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Mekanisme
Pemeriksaan Perkara Pidana Di Indonesia, dan Praperadilan Dalam
Dimensi Peradilan Pidana Indonesia.
Bab Kedua berbicara mengenai Praperadilan di Indonesia. Pada bab
ini penulis menerangkan soal Wewenang Praperadilan Menurut KUHAP,
Pihak-Pihak dalam Perkara Praperadilan, Obyek Pemeriksaan Sidang
Praperadilan, Hukum Acara Praperadilan, dann Gugurnya Praperadilan
dan Penghentian Praperadilan. Pada bab ketiga penulis menguraikan
tentang Upaya Hukum Dan Pelaksanaan Putusan Praperadilan.
Bab Keempat merupakan bab terakhir dimana penulis berbicara
tentang Reformasi Praperadilan. Bab ini terdiri dari 3 (tiga) sub
bab yakni Kelemahan Praperadilan KUHAP, Praperadilan Setelah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUUXII/2014, dan Reformasi
Lembaga Praperadilan Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia di Masa
Mendatang. Pada bab ini penulis menuangkan ide dan konstruksi
gagasan yang progressif dalam rangka reformasi Lembaga praperadilan
dimasa mendatang. Penulis menerangkan bahwa pembaharuan
hukum merupakan salah satu jalan untuk melengkapi kekurangan-
kekurangan undang-undang yang telah ada. Namun walaupun
demikian pembaharuan hukum dari segi substansi maupun struktur
dengan jalan mengganti yang telah ada bukan merupakan jalan terbaik,
yang lebih penting adalah pembaharuan dari segi budaya hukum,
etika moral hukum dan ilmu pendidikan hukum. Pembaharuan ini
berlaku juga terhadap lembaga praperadilan yang diharapkan untuk
masa mendatang.
Buku ini sangat bermanfaat untuk dibaca tidak saja bagi kalangan
mahasiswa, akademisi, penegak hukum namun juga para praktisi
hukum yang ingin memahami Praperadilan dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia. Sebuah buku yang penting untuk dibaca dan
dijadikan referensi untuk membangun sistem dan mekanisme hukum
acara praperadilan di Indonesia yang lebih baik. Selamat membaca
semoga bermanfaat.
Banjarbaru, 10 Februari 2019
Masrudi Muchtar, S.H.,M.H.
(Pengamat Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Achmad Yani)
KATA PENGANTAR
Sistem hukum acara pidana di Indonesia, pada dasarnya telah
mengakui mekanisme komplain terhadap upaya paksa dari aparat
penegak hukum, khususnya terkait dengan penangkapan dan
penahanan, yang terwujud melalui lembaga praperadilan. Upaya
ini dihadirkan dengan maksud sebagai ruang komplain terhadap
perampasan kebebasan sipil seseorang, yang mungkin dilakukan
secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum.
Praperadilan merupakan suatau terobosan baru dalam sistem
peradilan pidana Indonesia. MK menjelaskan, Herziene Inlandsche
Reglement (H.I.R) yang menganut sistem inquisitoir, tidak mengenal
adanya lembaga ini.
Dalam sistem inquisitoir, tersangka atau terdakwa ditempatkan
dalam pemeriksaan sebagai objek yang mungkin mengalami perlakuan
sewenang-wenang penyidik terhadap tersangka. Sehingga, sejak
pemeriksaan pertama di hadapan penyidik, tersangka sudah dianggap
bersalah. Sedangkan KUHAP telah menempatkan tersangka/terdakwa
tidak lagi sebagai objek pemeriksaan, namun sebagai subjek manusia
yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di
hadapan hukum.
Praperadilan dimaksudkan sebagai mekanisme kontrol terhadap
kemungkinan tindakan sewenangwenang penyidik atau penuntut
umum dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan,
penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian
penuntutan, baik yang disertai dengan permintaan ganti kerugian dan/
atau rehabilitasi atau pun tidak. Lebih jauh, praperadilan bertujuan
menegakkan dan memberikan perlindungan hak asasi manusia
(HAM) tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan
penuntutan. Mekanisme ini dipandang sebagai bentuk pengawasan
secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam
pemeriksaan pendahuluan.
Penulis meyakini, bahwa tak ada hal yang sempurna di dunia
ini, oleh karena itu buku “ Reformasi Peradilan ; Tinjauan Teori,
Praktek, dan Perkembangan Pemikiran” ini juga tidak sempurna. Oleh
karena itu, penulis berharap anda semua dapat memberikan kritik,
saran, masukan atau apapun untuk dapat dijadikan bahan evaluasi
bagi penulis agar dapat terus mengembangkan diri dan melakukan
penyempurnaan – penyempurnaan terhadap substansi buku ini.
Banjarmasin, 7 Februari 2019
DR. Anang Shophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR EDITOR ...................................................................................vKATA PENGANTAR .................................................................................................. ixDAFTAR ISI xi
BAB I Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia ................. 1A. Pendekatan Sistem Dalam Mekanisme
Peradilan Pidana ............................................. 1B. Istilah Dan Pengertian Sistem Peradilan
Pidana ........................................................... 10C. Model Sistem Peradilan Pidana ..................... 15D. Komponen Sistem Peradilan Pidana ............... 23E. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Indonesia 28F. Komponen Sistem Peradilan Pidana Indonesia 32G. Mekanisme Pemeriksaan Perkara Pidana Di
Indonesia ...................................................... 37H. Praperadilan Dalam Dimensi Peradilan Pidana
Indonesia ...................................................... 50
BAB II Praperadilan di Indonesia ...................................................................57A. Wewenang Praperadilan Menurut KUHAP ...... 57B. Pihak-Pihak dalam Perkara Praperadilan ........ 62C. Obyek Pemeriksaan Sidang Praperadilan ....... 64D. Hukum Acara Praperadilan ............................ 72E. Gugurnya Praperadilan dan Penghentian
Praperadilan .................................................. 75
BAB III Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Praperadilan .................77A. Upaya Hukum Terhadap Putusan Praperadilan 77B. Pelaksanaan Putusan Praperadilan ................. 80
BAB IV Reformasi Praperadilan .......................................................................83A. Kelemahan Praperadilan KUHAP .................... 83B. Praperadilan Setelah Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 21/PUUXII/2014................. 93C. Reformasi Lembaga Praperadilan Dalam
Persfektif Hak Asasi Manusia di Masa Mendatang .................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................101DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................................103
BAB I
PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
A. PENDEKATAN SISTEM DALAM MEKANISME PERADILAN PIDANA
Mekanisme penyelenggaraan peradilan pidana merupakan
rangkaian proses bekerjanya aparat penegak hukum mulai
proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan, penahanan,
penuntutan, sampai pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan
kata lain Mekanisme penyelenggaraan peradilan pidana
merupakan mekanisme bekerjanya hukum acara pidana untuk
mewujudkan tujuan dari peradilan pidana.
Mardjono mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana
(criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat
untuk menaggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan
sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas
toleransi masyarakat. 1
Remington dan Ohlin dengan tegas mengemukakan bahwa
sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dapat diartikan
sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme
administrasi peradilan pidana, dan peradilan sebagai suatu system
merupakan hasil interaksi antara aturan perundang-undangan,
praktek administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian
1 Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan Pidana (Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia), (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro: 2011), Hlm. 14.
system itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi
yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efi sien untuk
memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.2
Dengan hal ini, Mekanisme penyelenggaraan peradilan pidana
di pandang sebagai suatu sistem. Penyelenggaraan peradilan
pidana sebagai suatu sistem, tentu tidak lepas dari teori sistem
hukum (three elements of legal system) yang dikemukakan oleh
Lawrence M. Friedman. Dalam teorinya Lawrence M. Friedman
menyebutkan bahwa dalam sistem hukum terdapat tiga hal yang
saling melengkapi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya
(komulatif), yaitu komponen struktur, substansi, dan kultur. Dari
dua bukunya dapat dijelaskan berikut ini.
The structure of a system is its skeletal framework; it is the permanent shape, the institutional body of the sistem, the though, rigid bones that keep the process fl owing within bounds. We describe the structure of a judicial sistem when we talk about the number of judges, the jurisdiction the court, how heigher courts are stacked on top of lower courts, what persons are att ached to various courts and what their roles consist of3. (struktur sebagai sebuah sistem adalah bentuk yang permanen, sistem kelembagaan, meskipun kaku dalam proses yang terbatas. Kita menguraikan suatu sistem struktur tentang pengadilan ketika kita memperbicangkan tentang banyaknya hakim, yurisdiksi pengadilan, pengadilan tinggi adalah lembaga di atas pengadilan rendah, orang-orang yang terikat dengan berbagai pengadilan dan apa peran mereka).
Dengan kata lain, Friedman menggambarkan komponen
struktural hukum sebagai perangkat keras yang memungkinkan
sistem hukum dapat bekerja secara nyata dalam masyarakat.
Pengembangan berbagai institusi hukum seperti Kepolisian, 2 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan
Abolisionisme, (Penerbit Putra A. Bardin, 1996). Hlm. 14.3 Lawrence M. Friedman, Legal System: A Social Science Perspective, (New
York: Russel Sage Foundation, 1975), Hlm. 14.
Kejaksaan, Pengadilan dan intitusi hukum lainnya harus dapat
menjamin tegaknya hukum demi keadilan. Diantara institusi
seperti yang disebutkan diatas, pengadilan mempunyai peran
yang sangat krusial. Faktor lain yang sangat menentukan adalah
sumber daya manusia yang mengisi berbagai institusi hukum
di atas tanpa sumber daya manusia berkualitas, niscaya hukum
hanya berada diatas kertas. Hendaknya perlu dikembangkan
sumber daya manusia yang unggul, profesional, dan mempunyai
integritas tinggi guna menjadi pengawal hukum4.
The substance is composed of substantive rules and how institutions should behave. HLA. Hart, indeed, feels that the distinctive feature of a legal system its double set of rules. A legal system is the union of primary rules and secondary rules. Primery rules are norms of behavior; secondary rules are norms about those norms—how to decide wheter they are valid, how to enforce them, etc. Both primary and secondary rules, of course are output of a legal system. They are ways of describing the behavior of the legal system seen in cross section. Litigants behave on the basis of substance; its creates expectations to which they reach5. (Subtansi adalah terdiri atas aturan dan bagaimana institusi bertindak. HLA. Hart, tentu saja, membedakan suatu sistem hukum adalah dua aturan. Suatu sistem hukum adalah kesatuan antara aturan utama dan aturan sekunder. Aturan utama adalah norma-norma perilaku; aturan sekunder adalah norma-norma tentang bagaimana norma-norma itu untuk memutuskan sesuatu yang valid, bagaimana untuk menegakkan mereka, dan lain lain. keduanya aturan sekunder dan utama, tentu saja adalah keluaran suatu sistem hukum. Mereka adalah jalan yang menggambarkan perilaku sistem melihat di bagian persimpangan. Para pencari keadilan bertindak atas subtansi; menciptakan harapan kepada siapapun yang dapat mereka jangkau).
4 Abdurrahman sebagaimana dikutip oleh Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif, (Yogyakarta: AnthonyLib, 2009). Hlm. 95-6.
5 Lawrence M. Friedman, Loc.Cit.
Yang dimaksudkan Friedman diatas adalah segala produk
hukum yang dikeluarkan oleh masyarakat, baik yang sifatnya
tertulis maupun tidak tertulis, yang fungsinya sebagai norma
hukum dalam masyarakat6.
Structure and substance are real components of a legal sistem, but they are at best blueprint of a design, not a working machine. The trouble with traditional structure and substance was that they were static; they were like a still photograph of the legal sistem---a lifeless image and distorted at that. The picture lacked both motion and truth. The legal sistem, described solely interms of formal structure and substance, is like an enhanced courtroom, petrifi ed, immobile, under some odd, eternal spell7. (Struktur dan substansi adalah komponen yang riil dalam suatu sistem hukum, tetapi mereka adalah cetakbiru yang terbaik dari suatu desain, bukan bekerjanya sebuah mesin. Gangguan dengan unsur dan struktur tradisional yang statis; mereka masih seperti suatu deskripsi system hukum yang berlaku, gambaran tak bernyawa dan menyimpang. Kekurangan deskripsi keduanya semangat dan kebenaran. Sistem hukum, diuraikan semata-mata di dalam struktur dan substansi, seperti suatu peningkatan ruang pengadilan, membantu, yang tak bergerak, di bawah beberapa mantera yang abadi).What gives life and reality to the legal sistem is the outside, social world. The legal sistem is not insulated or isolated; it depends absolutely on inputs from outside. Without litigants, there would be no courts. Without issues and the will to pursue them, there would be no litigants. These social elements infreeze the fi lem and star the sistem in motion8. (Apa yang memberi hidup dan kenyataan di sistem hukum adalah yang di luar, dunia sosial. Sistem hukum tidaklah dibatasi atau terisolasi; tergantung pada masukan dari luar. Tanpa para pencari keadilan, maka tidak ada pengadilan. Tanpa isu dan kehendak
6 Ibid, Hlm. 97. 7 Lawrence M. Friedman, Ibid., Hlm. 15. 8 Ibid.
untuk mengejarnya, tidak ada para pencari keadilan. Unsur-unsur sosial ini membekukan deskripsi penggambaran dan menggerakkan sistem). Social forces are constantly at work on the law—destroying here, renewing there; invigorating here, deadening there; choosing what parts of law will operate, which parts will not; what substitutes, detours, and bypasses will spring up; what changes will take place openly or secretly. For want of a bett er term, we can call some of these forces the legal culture. It is the elment of social att itude an value9. (Kekuatan sosial secara konstan pada kerja hukum pengrusakan di sini, pembaharuan di sana; menyegarkan di sini, mematikan di sana; memilih apa bagian-bagian dari hukum yang akan beroperasi, bagian yang mana tidak akan diganti akan diganti; perubahan apa yang akan berlangsung secara terbuka atau dengan diam-diam. Karena kekurangan suatu istilah lebih baik, kita dapat sebut sebagai kultur hukum. Itu adalah element dari sikap sosial suatu nilai).The phrases social forces is it self an abstraction; in any event, such forces do not work directly on the legal sistem. People in society have needs and make demands; these sometimes do and sometimes do not invoke legal process---depending on the culture. Legal culture refers, then, to those parts of general culture---customs, opinions, ways of doing and thinking---that bend social forces toward or away from the law an in particular ways10. (Ungkapan kekuatan sosial apakah sesuatu yang abstrak; biar bagaimanapun juga kekuatan tidak bekerja secara langsung pada sistem hukum. Orang-orang di masyarakat mempunyai kebutuhan dan permintaan buatan; ini kadang-kadang dilakukan dan kadang-kadang tidak---tergantung kultur. Kultur hukum menunjuk, kemudian, kepada bagian-bagian dari budaya umum---kebiasan-kebiasaan, pendapat, arah untuk melakukan dan berfi kir---yang penegakan kekuatan sosial atau menjauh dari hukum dalam arah-arah yang tertentu).
9 Ibid. 10 Ibid.
Friedman menyebutkan budaya hukum sebagai bensinnya
motor keadilan. Lebih lanjut bahwa budaya hukum adalah
keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum
memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik
masyarakat umum11.
Teori sistem hukum (Three Elements Of Legal System) Lawrence
M. Friedman pada awalnya merupakan konsep teori dan dalam
perkembangannya menjadi sebuah tolak ukur atas efektifi tas
pemberlakuan hukum di masyarakat.
Pada akhirnya Teori sistem hukum (Three Elements Of Legal
System) Lawrence M. Friedman tersebut oleh para ahli hukum
di Indonesia mengalami perkembangan pesat, berikut adalah
beberapa teori hukum sebagai sebuah sistem versi ahli hukum
di Indonesia;
a. Satjipto Rahardjo
Satjipto Rahardjo selain mengutik ketiga teori sistem
hukumnya Lawrence M. Friedman diatas juga menjelaskan
bahwa hukum sebagai institusi sosial ternyata melibatkan
pula peranan dari orang-orang yang tersangkut di dalamnya,
khususnya rakyat biasa yang terdiri atas individu yang
dipengaruhi oleh faktor pembawanya juga, yaitu kepentingan,
ide, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat mengenai hukum12
b. Soerjono Soekanto
Soerjono Soekanto menjelaskan tentang bagaimana
efektifi tas penegakan hukum yang terbagi dalam 5 faktor yang
berkaitan erat satu sama lainnya, yaitu: faktor hukumnya
dalam hal ini adalah:
undang-undang11 Abdurrahman sebagaimana dikutip oleh Mahmud Kusuma, ibid., Hlm. 98. 12 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000)
Hlm. 153-5.
a. faktor penegak hukumnya dalam hal ini pihak-pihak yang
membentuk maupun menerapkan hukum
b. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum
c. faktor masyarakat dimana lingkungan hukum tersebut
berlaku atau diterapkan
d. faktor kebudayaan sebagai hasil karya, cipta, dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan
hidup13.
c. Abdul Manan
Abdul Manan mengutip tentang sistem hukumnya
Lawrence M. Friedman menjelaskan bahwa dalam kaitannya
dengan perubahan hukum, maka perubahan itu dapat terjadi
pada tiga unsur yang sangat dominan dalam hukum, yaitu14
a. Struktur hukum adalah pola yang menunjukkan tentang
bagaimana hukum itu dijalankan ketentuan-ketentuan
formalnya. Struktur ini menunjukkan bagaimana
pengadilan, pembuat hukum dan lain-lain badan proses
hukum berjalan dan dijalankan;
b. Substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang
dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melaksanakan
perbuatan-perbuatan serta hubungan-hubungan hukum;
c. Kultur hukum yang datangnya dari rakyat atau para
pemakai jasa hukum seperti pengadilan dan jika
masyarakat dalam menyelesaikan kasus yang terjadi
memilih pengadilan untuk menyelesaikannya, maka
masyarakat itu mempunyai persepsi positif tentang
13 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafi ndo Persada, 2004) Hlm. 8-9.
14 Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), Hlm. 10.
pengadilan. Kultur masyarakat merupakan hal yang
sangat penting dalam rangka pembaharuan hukum dan
pembaharuan masyarkat.
Lebih lanjut Abdul Manan memberikan gambaran
tentang aspek-aspek apa saja yang akan mempengaruhi atas
perubahan hukum itu sendiri, yaitu:15
1. Globalisasi sebagai aspek pengubah hukum;
2. Aspek pengubah hukum dalam perspektif sosial budaya;
3. Aspek pengubah hukum ditunjau dari segi politik;
4. Perubahan hukum ditinjau dari aspek ekonomi;
5. Perubahan hukum ditinjau dari aspek pendidikan;
6. Ilmu pengetahuan dan tekonologi sebagai aspek pengubah
hukum;
7. Supremasi hukum sebagai salah satu aspek pengubah
hukum;
d. Bagir Manan
Menurut Bagir Manan, kebijakan pembangunan hukum
nasional (yang menggunakan pendekatan friedman) kedalam
subsistem substansi, subsistem struktur, dan substansi
kultur semestinnya ditinggalkan. Berbagai bahan bacaaan
yang lebih baru, memuat susunan system hukum yang lebih
konkrit yaitu;16
1. Subsistem aturan hukum;
2. Subsistem penegakan hukum;
3. Subsistem pelayanan hukum
4. Subsistem profesi hukum;
15 Lihat lebih jelas dan lengkapnya dalam bukunya Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana Predana Media, 2005).
16 Bagir Manan, Peranan Pendidikan Tinggi Hukum Dalam Reformasi Hukum, (Varia Peradilan No. 256 Maret 2007), Hlm .6.
5. Subsistem pendidikan hukum;
6. Subsistem budaya hukum
Karena hukum tidak lepas dari masyarakat, maka satu
subsistem hukum dari Friedman mengenai budaya hukum
dapat di ambil secara utuh. Sesuai dengan pengertian Friedman
mengenai budaya hukum (sikap masyarakat terhadap hukum),
maka isi budaya hukum mencakup segala bentuk tingkah
laku sosial (politik, ekonomi, sosial, dan budaya itu sendiri),
yang disatu pihak menjadi sumber tatanan hukum, dipihak
lain merupakan refl eksi hukum yang ada.17
e. Achmat Ali
Achmat Ali selain mengutip pendapatnya Lawrence M.
Friedman tentang 3 unsur dalam sistem hukum diatas juga
memberikan penambahan sehingga berjumlah 5 dalam unsur
sistem hukum18, yaitu:
a. Struktur, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum
yang ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain
kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan
para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya dan
lain sebagainya;
b. Subtansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum
dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis, termasuk putusan pengadilan;
c. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan
(keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara
berpikir, dan cara bertindak, baik dari penegak hukum
17 Ibid.18 Achmat Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), Hlm.. 203-6.
maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan
berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum;
d. Profesionalisme, yang merupakan unsur kemampuan dan
keterampilan secara person dari sosok penegak hukum;
e. Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan
keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak
hukum, utamanya kalangan petinggi hukum.
Kepemimpinan sangat erat hubungannya dengan kemampuan
pemimpin untuk melakukan komunikasi yang optimal, sehingga
dia mampu membangun trust dan kepercayaan. Komunikasi
hukum dan sosialisasi hukum adalah sub-elemen dari elemen
kepemimpinan dalam suatu sistem hukum. Dengan kata lain,
komunikasi hukum dan sosialisasi hukum merupakan faktor yang
sangat esensial bagi efektifi tas hukum. Secara umum dikatakan
bahwa melalui komunikasi, seorang pemimpin ataupun penegak
hukum, membangun trust dari masyarakatnya19.
B. ISTILAH DAN PENGERTIAN SISTEM PERADILAN PIDANA
Secara teoritik, dalam kepustakaan baik menurut ruang
lingkup sistem Anglo-Saxon maupun Eropa Kontinental
terminologi peradilan pidana sebagai sebuah sistem relatif
masih diperdebatkan20. Terlepas dari aspek tersebut diatas pada
asasnya sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya pada
ruang lingkup lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan
negeri mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
dan Undang-Undang diluar Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).19 Ibid.20 Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perpektif Teoritik Dan
Praktik Peradilan, (Bandung, Mandar Maju: 2007). Hlm. 35.
Secara terminologi Sistem peradilan pidana atau criminal
justice system merupakan suatu istilah yang menunjukkan
mekanisme kerja dalam penagggulangan kejahatan dengan
mempergunakan dasar pendekatan sistem21.
Sistem peradilan pidana pertama kali diperkenalkan oleh
pakar hukum pidana dan para ahli hukum dalam “criminal
justice system”di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan
terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan
lembaga penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari
peningkatan kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-
an. Pada masa itu pendekatan yang digunakan dalam konteks
penegakan hukum dikenal dengan istilah “law enforcement”.
Istilah tersebut menunjukkan bahwa aspek hukum dalam
penanggulangan kejahatan dikedepankan dengan kepolisian
sebagai pendukung utama. Keberhasilan penanggulangan
kejahatan pada masa itu sangat bergantung pada efektivitas
dan efesiensi kerja organisasi kepolisian.
Frank remington adalah orang pertama di Amerika Serikt
yang memperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana
melalui pendekatan sistem (System Approach) dan gagasan
mengenai sistem ini teradapat pada laporan pilot proyek
tahun 1958. Gagasan ini kemudian diletakkan pada mekanisme
administrasi peradilan pidana dan diberi nama “Criminal Justice
System”. Istilah ini kemudian diperkenalkan dan disebarluaskan
oleh “The President’s Crime Commision” . Dalam kurun waktu
akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970, Criminal Justice sebagai
disiplin studi tersendiri telah muncul menggantikan istilah “Law
Enforcement” atau “Police Studies”. Perkembangan sistem ini di
amerika serikat dan dibeberapa negara eropa menjadi model yang
dominan dengan menitikberatkan pada “The Administration Of 21 Ibid, Hlm. 38.
Justice” serta memberikan perhatian yang sama terhadap semua
komponen dalam penegakan hukum.22
Menurut Romli Atmasasmita, istilah Criminal Justice System
atau sistem peradilan pidana (SPP) kini telah menjadi suatu istilah
yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan
kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.23
Dalam peradilan pidana seperti yang dikemukan oleh Romli
tersebut, sistem tersebut mempunyai ciri-ciri:
1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen
peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan
Lembaga Pemasyarakatan).
2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh
komponen peradilan pidana
3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama
dari efesiensi penyelesaian perkara
4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan
The Administration Of Justice
Berbeda dengan pendapatnya Romli Atmasasmita, Mardjono
Reksodipoetra memberikan batasan terhadap SPP adalah: sistem
pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarkatan terpidana.
Berkaitan dengan defi nisi tersebut, Mardjono mengemukaan
tujuan dari sistem peradilan pidana, adalah:24
22 Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep Komponen, Dan Pelaksanaannnya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), Hlm. 33.
23 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Op.cit., Hlm.14.
24 Mardjono Reksodipoetra, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Pidato pengukuhan penerimaan jabatan guru besar tetap dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Indonesia, dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Ibid.
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga
masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang
bersalah dipidana
3. Dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan
kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan
bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga kemasyarakatan)
diharapkan dapat bekerja sama dan membentuk suatu sistem
peradilan pidana yang terpadu yang dikenal dengan istilah
Integrated Crimnal Justice System.
Hagan membedakan pengetian antara “Criminal Justice Proces”
dan “Criminal Justice System”. Criminal Justice Proces adalah setiap
tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka
kedalam proses yang membawanya kepada ketentuan pidana
baginya. Sedangkan Criminal Justice System adalah interkoneksi
antara setiap keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam
proses peradilan pidana.25
Samuel Walker menegaskan, bahwa paradigma yang dominan
dalam sistem peradilan pidana di Amerika Serikat adalah perspektif
sistem dimana administrasi peradilan terdiri atas serangkaian
keputusan mengenai suatu kasus kriminal dari petugas yang
berwenang dalam suatu kerangka interelasi antar aparatur penegak
hukum. Lebih jauh samuel mengemukakan bahwa, pendekatan
ini telah menguasai pengajaran dan riset serta telah membentuk
upaya pembaharuan hukum pidana selama lebih dari 25 tahun
Amerika Serikat. Upaya ini antara lain:26
25 Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep Komponen, Dan Pelaksanaannnya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), Op.cit., Hlm. 36.
26 Ibid
1. Meningkatkan efektivitas sistem penanggulangan kejahatan
2. Mengembangkan kordinasi antara berbagai komponen
peradilan pidana
3. Mengawasi atau mengendalikan penggunaan kekuasaan oleh
aparatur penegak hukum.
Muladi menegaskan bahwa makna “Integrated Criminal Justice
System” adalah singkronisasi atau kesempatan dan keselarasan
yang dapat dibedakan dalam:27
1. Sinkronisasi struktural (structural synchronization) adalah
keserampakan dan keselerasan dalam kerangka hubungan
antara lembaga penegakan hukum.
2. Sinkronisasi substansi (substantial syncronization) adalah
keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertical dan
horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
3. Sinkronisasi kultural (cultural sycronization) adalah
keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-
pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang menyeluruh
mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa sistem peradilan
pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum,
karena proses peradilan pada hakikatnya suatu proses penegakan
hukum. Jadi pada hakikatnya identik dengan “sistem kekuasaan
kehakiman”, karena “kekuasaan kehakiman “ pada dasarnya
merupakan “kekuasaan/ kewenangan menegakkan hukum” 28.
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa sistem peradilan (atau
27 Muladi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Citrabaru, 1994), Hlm. 30.
28 Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan Pidana (Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia), (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro: 2011). Hlm. 2-3.
sistem penegakan hukum, untuk selanjutnya disingkat SPH) dilihat
secara integral, merupakan satu kesatuan berbagai sub-sistem
(komponen) yang terdiri dari komponen “substansi hukum” (legal
substance), “struktur hukum” (legal structure), dan “budaya hukum”
(legal culture).29 Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses
peradilan hukum/ terkait erat dengan tiga komponen itu, yaitu
peraturan perundang-undangan, struktur atau lembaga penegak
hukum, dan budaya hukum.
Sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari komponen
Kepolisian, Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan Negeri, Lembaga
Pemasyarakatan dan Advokat. Pada prinsipnya aparat penegak
hukum tersebut memilki hubungan erat satu sama lain
sebagai suatu proses (crimal justice process) yang dimulai dari
proses penangkapan, pengeledahan, penahanan, penuntutan,
pembelaan, dan pemeriksaan dimuka sidang pengadilan serta
diakhiri .dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.
Kelima lembaga penegak hukum dalam peradilan pidana
diakui eksitensinya guna menegakkan hukum dan keadilan.
Konkretnya, kelima lembaga inilah yang menjalankan fungsi
hukum pidana baik hukum acara pidana (hukum formal) dengan
bekerjanya kelima aspek sebagaimana konteks diatas maka
diharapkan adanya dimensi keadilan, kepastian hukum, hak asasi
manusia dalam rangka perlindungan terhadap masyarakat, pelaku
tindak pidana, korban, Negara, dan bangsa Indonesia.
C. MODEL SISTEM PERADILAN PIDANA
Pada prinsipnya sistem peradilan pidana merupakan sub
sistem dari sistem hukum nasional suatu negara. Sistem peradilan
pidana dapat dikatakan sebagai cara negara melalui aparat
penegak hukumnya untuk menegakkan norma-norma sentral 29 Ibid, Hlm.2.
hukum pidana. Sistem peradilan pidana sebagai suatu proses
penegakan hukum pidana memiliki hubungan yang erat dengan
perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana
materiil (KUHP) maupun hukum pidana formil (KUHAP), karena
perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan
penegakan hukum pidana dalam konteks ”in abstracto” yang akan
diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”.
Bekerjanya sistem peradilan pidana dalam rangka penegakan
hukum pidana baik hukum pidana materiil dan hukum pidana
formil harus mampu memenuhi tiga nilai dasar dari hukum
yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatab. Baik
dalam konteks teroritis maupun konteks praktis, ketiga nilai dasar
tersebut tidak mudah untuk diwujudkan secara serasi. Pemenuhan
nilai kepastian hukum, terkadang harus mengorbankan nilai
keadilan dan kemanfaatan, demikian pula pemenuhan nilai
keadilan dan kemanfaatan di satu sisi, pada sisi yang lain akan
berakibat pada dikorbankannya nilai kepastian hukum.
Secara teoritik dan komparatif maka ada beberapa model
sistem peradilan pidana. Menurut Michael King, ada 7 (tujuh)
model sistem peradilan pidana (SPP) yang secara implisit
mengemukakan adanya “model keadilan” yang dapat dipilih
dan dipilah hakim sebagai kebijakan aplikatif yang diinginkan
dalam hal menjatuhkan putusan. Pada hakekatnya, model
sistem peradilan pidana ini merupakan model ideal sesuai tolak
ukur dari dimensi, paradigma dan nuansa masyarakat Amerika
Serikat yang menjunjung tinggi heteroginitas, liberalisasi dan
demokrasi. Adapun tabel “model keadilan” yang dikemukakan
oleh Michael King itu pada hakekatnya berorientasi pada aspek-
aspek sebagai berikut:30
30 Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritik Dan Praktik Peradilan, (Bandung: Mandar Maju, 2007). Hlm. 39
Tabel 1: 7 (tujuh) Model Sistem Peradilan Pidana oleh Michael King
No Model Sistem Peradilan Pidana
Tujuan Yang Ingin Dicapai Dari Sistem Peradilan Pidana Tersebut
1 Due Process Model (DPM)
Menggambarkan suatu versi yang diidealkan tentang bagaimana sistem harus bekerja sesuai dengan gagasan-gagasan atau sifat yang ada dalam aturan hukum. Hal ini meliputi prinsip-prinsip tentang hak-hak terdakwa, asas praduga tidak bersalah, hak terdakwa untuk diadili secara adil, persamaan didepan hukum dan peradilan.
2 Crime Control Model (CCM)
Sistem yang bekerja dalam menurunkan atau mencegah dan mengekang kejahatan dengan menuntut dan menghukum mereka yang bersalah. Lebih menjaga dan melayani masyarakat. Polisi harus berjuang melawan kejahatan.
3 Medical Model (diagnosis, predection, and treatment selection)
Bahwa satu dari pertimbangan masing-masing tingkat adalah bagaimana yang terbaik menghadapi para individu yang melanggar hukum guna mengurangi kejahatan yang dilakukan melalui pendekatan rehabilitasi. Para polisi memiliki kekuasaan untuk memperingatkan pelanggar dan mengarahkan mereka kepada lembaga kerja sosial.
4 Bureaucratic Model Menekankan kejahatan harus dibongkar dan terdakwa diadili, ia harus dijatuhi hukuman dengan cepat, dan sedapat mungkin efi sien. Keefektifan pelaksanaan hukum di pengadilan menjadi suatu perhatian utama. Jika terdakwa mengaku tidak bersalah dalam suatu proses peradilan, maka penuntut dan pembela berupaya untuk mengumpulkan bukti-bukti, memanggil saksi dan menyiapkan berbagai dokumen yang diperlukan untuk keperluan pembuktian.
No Model Sistem Peradilan Pidana
Tujuan Yang Ingin Dicapai Dari Sistem Peradilan Pidana Tersebut
5 Status Passage Model Model ini menekankan bahwa para pelanggar harus diadili didepan umum dan dijatuhi hukuman. Hukuman perlu dijatuhkan untuk menggambarkan pencelaan moral masyarakat. Pengadilan publik dan hukuman perlu untuk menunjukkan bahwa masih terdapat nilai-nilai hukum yang kebal dari masyarakat. Hukum publik dan ungkapan pencelaaan dalam rehabilitasi dapat menyebabkan perasaan malu para pelanggar.
6 Power Model Bahwa sistem peradilan pidana pada dasarnya memperkokoh peranan penguasa sebagai pembuat hukum dan sekaligus menerapkannya di masyarakat. Hukum pidana dan pelaksanaannya dipengaruhi oleh kepentingan dari golongan yang dominan, seperti ras, jenis kelamin, dan lain-lain.
7 Just Desert Model (Just Desert & Just Punishment)
Setiap orang yang bersalah harus dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya. Tersangka harus diperlakukan sesuai dengan hak asasinya, sehingga hanya mereka yang bersalah yang dihukum. Juga memberi ganti kerugian kepada yang bersalah.
Pada hakekatnya, ketujuh model sistem peradilan pidana
tersebut menggambarkan “model keadilan” yang ingin dicapai
dalam takaran kebijakan aplikatif bagi hakim dipengadilan
khususnya saat proses penjatuhan putusan. “model keadilan”
sesuai dimensi Crime Control Model dan Due Process Model yang
juga dikemukakan oleh Herbert L. Packer dalam bukunya yang
berjudul: The Limits of Criminal Sanction.
1. Crime Control Model (CCM)
Pada hakekatnya Crime Control Model (CCM) didasarkan
pada pemikiran bahwa penyelenggaraan peradilan pidana
adalah semata-mata untuk menindas pelaku kriminal, dan
ini adalah tujuan utama dari proses peradilan pidana. Sebab
dalam hal ini yang diprioritaskan adalah ketertiban umum
dan efesiensi. 31 Pada model ini berlaku “sarana cepat” dalam
rangka pemberantasan kejahatan. Dan berlaku apa yang
disebut sebagai “Presumtion Of Guilty”, kelemahan dalam
model ini adalah seringkali terjadi pelanggaran hak-hak asasi
manusia demi efesiensi.32
Menurut Romli Atmasasmita, nilai (value) yang melandasi
Crime Control Model (CCM) adalah:33
1.) Tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal
merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan
2.) Perhatian utama harus ditujukan kepada efesiensi dari
suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka,
menetapkan kesalahannya dan menjamin atau melindungi
hak tersangka dalam proses peradilannya
3.) Proses kriminal penegakan hukum harus dilaksanakan
berlandaskan prinsip cepat, tuntas, dan model yang
mendukung adalah model administratif dan menyerupai
model manajerial
4.) Asas praduga tak bersalah “presumtion of guilt” akan
menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efesien
5.) Proses penegakan hukum harus menitikberatkan
kepada kualitas temuan-temuan fakta administratif,
31 Ansorie (et al), Hukum Acara Pidana, (Bandung:Angkasa, 1990), Hlm. 6.32 Ibid33 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan
Abolisionisme, Op.cit., Hlm. 19.
oleh karena temuan tersebut akan membawa arah: (a)
pembebasan seorang tersangka dari penuntutan, atau
(b) kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah
atau “Plead Of Guilty”.
2. Due Process Model (DPM)
Pada Due Process Model (DPM), lahir nilai baru berupa
konsep perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan
pembatasan kekuasaan pada peradilan pidana. Jadi dalam
model ini proses kriminal harus dapat dikendalikan untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan sifat otoriter dalam
rangka maksimum efesiensi. Dalam model ini diberlakukan
apa yang dinamakan dengan “Presumtion Of Inocence”.34
Menurut Romli Atmasasmita, nilai (value) yang melandasi
Due Process Model (DPM) adalah:35
1.) Adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusiawi,
maka dalam hal ini, tersangka harus diajukan ke
muka pengadilan yang tidak memihak atau diperiksa
setelah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk
mengajukan pembelaannya.
2.) Pencegahan (Preventive Measures) dan menghapuskan
sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi
peradilan
3.) Menempatkan individu secara utuh dan utama di dalam
proses peradilan dan konsep pembatasan wewenang
formal sangat memperhatikan kombinasi stigma dan
kehilangan kemerdekaan yang dianggap merupakan
pencabutan hak asasi seseorang yang hanya dapat
dilakukan oleh negara. Proses peradilannya dipandang 34 Ansorie (et al), Hukum Acara Pidana, Loc.cit.35 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan
Abolisionisme, Loc.cit.
sebagai Coercive (menekan), Restricting (membatasi), dan
Demeaning (merendahkan martabat). Proses peradilan
seperti ini harus dapat dikendalikan
4.) Model ini memegang teguh doktrin: (a) seorang dianggap
bersalah apabila penetapannya dilakukan secara prosedural
dan dilakukan oleh mereka yang memiliki tugas tersebut,
(b) terkandung asas “presumtion of innocence”
5.) Persamaan dimuka hukum, “equality before the law”
6.) Lebih mementingkan kesusilaan dan kegunaan sanksi
pidana
Kedua model tersebut di atas, baik Crime Control Model,
ataupun Due Process Model dilandasi oleh pemikiran apa
yang dimaksud dengan “Adversary Model”, yang berintikan
sebagai berikut:36
1.) Prosedur peradilan pidana merupakan suatu sengketa
(dispute) antara kedua belah pihak antara terdakwa dan
penuntut umum dalam kedudukan yang sama di muka
pengadilan
2.) Tujuan utama dari prosedur peradilan pidana, adalah
menyelesaikan sengketa yang timbul disebabkan kejahatan
3.) Penggunaan cara pengajuan sanggahan atau pernyataan
(pleadings) dan adanya lembaga jaminan bukan
merupakan keharusan, melainkan merupakan hal yang
sangat penting.
4.) Peranan penuntut umum adalah melakukan penuntutan,
sedangkan peranan tertuduh menolak atau menyanggah
tuduhan. Penuntut umum bertujuan menetapkan
fakta mana saja yang akan diajukan dipersidangan
yang akan menguntungkan kedudukannya dengan 36 Ansorie (et al), Hukum Acara Pidana, Op.cit.,Hlm. 5.
mengenyampingkan bukti-bukti lain sebagai penunjang
fakta yang dimaksud.
Dari karakteristik masing-masing model tersebut di atas,
maka Crime Control Model (CCM) merupakan tipe Affi rmative
Model, adalah tipe yang selalu menekankan pada eksistensi
dan penggunaan kekuasaan formal pada setiap sudut dari
prosedur peradilan pidana, dan dalam model ini kekuasaan
legislatif sangat dominan. Sedangkan Due Process Model
(DPM), merupakan tipe Negative Model, adalah tipe yang
selalu menekankan pada batasan kekuasaan formal dan
modifi kasi dari penggunaan model kekuasan tersebut yang
dominan dalam model ini adalah kekuasaan yudikatif dan
selalu mengacu pada konstitusi.37
Dilain pihak, Muladi mengamukakan kelemahan model-
model sistem peradilan pidana seperti tersebut dibawah ini:38
Crime Control Model: tidak cocok karena model ini
berpandangan tindakan yang bersifat represif sebagai
terpenting dalam melaksanakan proses peradilan pidana;
Due Process Model: tidak sepenuhnya mengntungkan
karena bersifat “anti-authoritarian values”;
Family Model: kurang memadai karena terlalu “off ender
oriented” karena masih terdapat korban (victims) yang
juga memerlukan perhatian serius.
Muladi mengemukakan, bahwa dari berbagai bentuk
model sistem peradilan pidana, untuk konteks diindonesia
yang cocok adalah model yang mengacu kepada daad-dader
37 Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep Komponen, Dan Pelaksanaannnya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), Op.cit., Hlm.44.
38 Muladi Dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Op.cit.,Hlm. 22.
strafrechf, atau model keseimbangan kepentingan. Model
ini merupakan model yang realistik, yang memperhatikan
pelbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum
pidana yaitu kepentingan negara, kepentingan umum,
kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban
kejahatan.
D. KOMPONEN SISTEM PERADILAN PIDANA
Menurut Barda Nawawi Arief, Sistem peradilan pidana identik
dengan sistem penegakan hukum, karena proses peradilan
pada hakikatnya suatu proses menegakkan hukum. Jadi pada
hakikatnya identik dengan “sistem kekuasaan kehakiman”,
karena “kekuasaan kehakiman” pada dasarnya juga merupakan
“kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum”.39
Apabila difokuskan dalam konteks hukum pidana, dapatlah
disebut bahwa sistem peradilan pidana merupakan sistem
penegakan hukum pidana, yang pada hakikatnya juga identik
dengan sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana.
Sistem peradilan sering diartikan secara sempit sebagai “
sistem pengadilan yang menyelenggarakan keadilan atas nama
negara atau sebagai suatu mekanisme untuk menyelesaikan
suatu perkara. Berkaitan dengan pengertian diatas, Barda
Nawawi Arief berpendapat bahwa pengertian demikian
merupakan pengertian dalam arti sempit, karena hanya melihat
dari aspek struktural (yaitu “system of court” sebagai suatu
institusi) dan hanya melihat dari aspek kekuasaan mengadili/
menyelenggarakan perkara (administer justice mechanism for
the resolution of disputes).40
39 Barda Nawawi Arief, Pendekatan Keilmuan Dan Religius Dalam Rangka Optimalisasi Dan Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) Di Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Univesitas Diponegoro, 2011), Hlm. 41.
40 Ibid, Hlm. 42.
Sistem peradilan pidana dilihat secara integral merupakan satu
kesatuan sistem yang terdiri dari berbagai sub sistem (komponen)
yang terdiri dari komponen substansi hukum (legal substance),
struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal
culture). Sebagai suatu sistem penegakan hukum, mekanisme
proses peradilan pidana terkait dengan ketiga komponen itu,
yaitu norma hukum/peraturan perundang-undangan, lembaga/
struktur/aparat penegak hukum, dan nilai-nilai budaya hukum.
Adapun yang dimaksud dengan nilai-nilai budaya hukum (legal
culture) dalam konteks penegakan hukum, tentunya lebih terfokus
pada nilai-nilai fi losofi hukum, nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat dan kesadaran/sikap perilaku hukum/periaku
sosialnya, dan pendidikan/ilmu hukum.
Komponen - komponen yang bekerja sama dalam sistem
ini dikenal dalam lingkup praktik penegakan hukum, terdiri dari
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatat.
Empat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk suatu
“Integrated criminal justice system”.
Muladi menegaskan makna intergrated criminal justice system
adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang
dapat dibedakan dalam :
1. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan
dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
2. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan
yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan
hukum positif.
3. Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan
dalam maghayati pandangan-pandangan, sikar-sikap dan
falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistim
peradilan pidana.
Keselarasan dan keterkaitan antara sub sistim yang satu
dengan yang lainnya merupakan mata rantai dalam satu kesatuan.
Setiap masalah dalam salah satu sub sistim, akan menimbulkan
dampak pada subsistem-subsistem yang lainnya. Demikian pula
reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu sub
sistim akan menimbulkan dampak kembali pada sub sisitim
lainnya. Keterpaduan antara subsistim itu dapat diperoleh bila
masing-masing subsistim menjadikan kebijakan kriminal sebagai
pedoman kerjanya. Oleh karena itu komponen-komponen sistim
peradilan pidana, tidak boleh bekerja tanpa diarahkan oleh
kebijakan kriminal
Komponen sistem peradilan pidana sebagai salah satu
pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan kriminal, termasuk
pembuat undang-undang. Olehkarena peran pembuat undang-
undang sangat menentukan dalam politik kriminal (criminal
policy) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan
hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus
menjadi tujuan dari penegakan hukum.Dalam cakupannya yang
demikian, maka sistem peradilan pidana (criminal policy system)
harus dilihat sebagai “The Network of court and tribunals whichedeal
with criminal law and it’s enforcement”.
Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat
dalam konteks baik sebagai Physical System dalam arti seperangkat
elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan,
maupun sebagai Abstract System dalam arti gagasan-gagasan yang
merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada
dalam ketergantungan.
Mardjono Reksodiputro dengan gambaran bekerjanya
system peradilan pidana demikian maka kerjasama erat dalam
satu system oleh instansi yang terlibat adalah satu keharusan.
Jelas dalam hal ini tidak mudah, tetapi kerugian yang timbul
apabila hal tersebut tidak dilakukan sangat besar. Kerugian
tersebut meliputi:41
1. kesukaran dalam menilai sendiri keberhasiolan atau kegagalan
masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka;
2. kesulitan memecahkan sendiri masalah-masalah pokok
masing-masing instansi (sebagai sub system); dan
3. karena tanggung jawab masing instansi kurang jelas terbagi,
maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas
menyeluruh dari system peradilan pidana .
Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya
merupakan suatu open system, dalam pengertian Sistem Peradilan
Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi,
interkoneksi dan interdependensi) dengan lingkungannya dalam
peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi, politik, pendidikan
dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari Sistem Peradilan
Pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system ).
Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan
penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-
masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut
yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokad dan lembaga
pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan
badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya.
Kelima lembaga penegak hukum dalam peradilan pidana
diakui eksitensinya guna menegakkan hukum dan keadilan.
Konkretnya, kelima lembaga inilah yang menjalankan fungsi
hukum pidana baik hukum acara pidana (hukum formal) dengan
bekerjanya kelima aspek sebagaimana konteks diatas maka
diharapkan adanya dimensi keadilan, kepastian hukum, hak asasi
41 Mardjono Reksodiputro dalam Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritik Dan Praktik Peradilan, Op.cit. Hlm. 45.
manusia dalam rangka perlindungan terhadap masyarakat, pelaku
tindak pidana, korban, Negara, dan bangsa Indonesia.
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan
(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai
sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana
formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian
kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau
konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya
untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana
berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan
sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil,
yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat
umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.
Di dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah
hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana,
yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat
diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak.
Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini
seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum
acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa.
Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar
penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.
Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak
mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-
hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia menjadi
pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia
memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa
diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya
tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum
dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan
hak untuk disidang dimuka pengadilan yang bebas dan dengan
hakim yang tidak memihak . Konsekuensi logis dari dianutnya
proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah sistem peradilan
pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana
sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin
penegak hukum yang menghormati hak-hak warga masyarakat.
E. PENGERTIAN SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
Sistem Peradilan Pidana atau “Criminal Justice System” kini
telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja
dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar
pendekatan sistem (system approach).
Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan
oleh pakar hukum pidana dan ahli dalam criminal justice system
di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap
mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi
penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari meningkatnya
kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa
itu pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum
adalah ”hukum dan ketertiban” (law and order approach) dan
penegakan hukum dalam konteks pendekatan tersebut dikenal
dengan istilah ”law enforcement”.
Menurut Indriyanto Seno Adji, sistem peradilan pidana di
Indonesia merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari
Criminal Justice System, yang merupakan suatu sistem yang
dikembangkan di Amerika Serikat yang dipelopori oleh praktisi
hukum (law enforcement officers). Dengan kata lain sistem
peradilan pidana merupakan istilah yang digunakan sebagai
padanan dari Criminal Justice System.
Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu
proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu memiliki
relevansi dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik
hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil, karena
perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan
penegakan hukum pidana dalam konteks”in abstracto” yang akan
diwujudkan dalam penegakan hukum dalam konteks”in concreto”.
Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam
sistem peradilan pidana, karena perundang-undangan
tersebut memberikan kekuasaan pada pengambil kebijakan
dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang diterapkan.
Lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan
dan memberikan langkah hukum untuk memformulasikan
kebijakan dan menerapkan program kebijakan yang telah
ditetapkan. Jadi, semua merupakan bagian dari politik hukum
yang pada hakekatnya berfungsi dalam tiga bentuk, yakni
pembentukan hukum, penegakan hukum, dan pelaksanaan
kewenangan dan kompetensi.
Dalam hukum acara pidana ( hukum pidana formil )
sebagaimana tercantum dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana telah dicoba diletakkan kerangka landasan
untuk melaksanakan peradilan pidana terpadu (integrated criminal
justice system), yang memiliki sepuluh asas sebagai berikut :42
1. Perlakuan yang sama di muka hukum;
2. Praduga tidak bersalah;
3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan
rehabilitasi;
4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
6. Peradilan yang bebas, dan dilakukan dengan cepat dan
sederhana;
42 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1996), Hlm. 41.
7. Peradilan yang terbuka untuk umum;
8. Pelanggaran atas hak-hak warganegara (penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus dilakukan
berdasarkan undang-undang dan dilakukan dengan surat
perintah (tertulis);
9. Hak tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan
pendakwaan terhadapnya;
10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan
putusannya
Berdasarkan kesepuluh asas tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa KUHAP menganut “due process of law” ( proses hukum
yang adil atau layak ). Suatu proses hukum yang adil pada intinya
adalah hak seorang tersangka dan terdakwa untuk didengar
pandangannya tentang bagaimana peristiwa kejahatan itu terjadi;
dalam pemeriksaan terhadapnya dia berhak didampingi oleh
penasihat hukum; diapun berhak mengajukan pembelaan, dan
penuntut umum harus membuktikan kesalahannya di muka suatu
pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak berpihak.43
Menurut Mardjono Reksodiputro, “desain prosedur” (
procedural design) sistem peradilan pidana yang ditata melalui
KUHAP terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap sebelum sidang
pengadilan atau tahap pra-adjudikasi ( pre- adjudication ), tahap
sidang pengadilan atau tahap adjudikasi ( adjudication ), dan
tahap setelah pengadilan atau purna adjudikasi ( post-adjudication
). Beliau mendukung pandangan bahwa tahap adjudikasi atau
tahap sidang pengadilan harus dianggap dominan dalam seluruh
proses. Pandangan ini berdasarkan pada KUHAP yang menyatakan
bahwa setiap putusan apapn bentuknya harus didasarkan pada
“fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari
43 Ibid, Hlm. 42.
pemeriksan di sidang”, sehingga sustu sistem peradilan pidana yag
jujur dan melindungi hak seorang warga negara yang merupakan
terdakwa, akan paling jelas terungkapkan dalam tahap adjudikasi.
Hanya dalam tahap adjudikasi inilah terdakwa dan pembelanya
dapat berdiri tegak sebagai pihak yang benar-benar bersamaan
derajatnya berhadapan dengan penuntut umum. 44
Pandangan di atas tidak sepenuhnya disetujui oleh Romli
Atmasasmita, dengan alasan bahwa sekalipun memang benar
bahwa pada tahap ini dari sudut hukum masing-masing pemeran
utama ( penasihat hukum/terdakwa dan penuntut umum)
memiliki kedudukan yang sederajat, akan tetapi pada tahap ini
dilihat dari sudut kriminologi dan viktimologi proses stigmatisasi
dan viktimisasi struktural sudah berjalan, bahkan sejak tahap
penangkapan dan penahanan.45
Sistem peradilan pidana terpadu adalah sistem yang
mampu menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan,
baik kepentingan negara, kepentingan masyarakat, maupun
kepentingan individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana
dan korban kejahatan. Menurut Muladi, makna integrated criminal
justice system ini adalah sinkronisasi atau keserampakan dan
keselarasan yang dapat dibedakan dalam :46
1. Sinkronisasi struktural ( structural syncronization );
2. Sinkronisasi substansial ( substantial syncronization );
3. Sinkronisasi kultural ( cultural syncronization ).
Sinkronisasi struktural adalah keserampakan dan keselarasan
dalam kerangka hubungan antara lembaga penegak hukum,
44 Ibid45 Ibid, Hlm. 43.46 Muladi, Kapita Selekta Sistem peradilan Pidana, (Semarang: Badan
Penerbit UNDIP), Hlm. 119.
sinkronisasi substansial adalah keserampakan dan keselarasan
yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan
hukum positif, sedangkan sinkronisasi kultural adalah
keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-
pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh
mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
F. KOMPONEN SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
Mardjono mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana
(criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat
untuk menaggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan
sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas
toleransi masyarakat47.
Sistem peradilan pidana sebagai sistem dalam suatu
masyarakat untuk menaggulangi masalah kejahatan memiliki
tujuan yang dapat dirumuskan: (a) mencegah masyarakat
menjadi korban kejahatan; (b) menyelesaikan kasus kejahatan
yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah
ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan (c) mengusahakan
agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi
lagi kejahatannya48.
Di Indonesia yang mendasari bekerjanya komponen sistem
peradilan pidana di atas mengacu kepada Undang-Undang No.
8 Tahun 1981 atau KUHAP. Tugas dan wewenang masing-masing
komponen (lembaga kepolisian, lembaga kejaksaan, lembaga
Pengadilan Dan lembaga Pemasyarakatan, termasuk Advokat)
dalam sistem peradilan pidana tersebut dimulai dari proses
penyidikan hingga pelaksanaan pidana (pemidanaan) yang diatur
melalui KUHAP.
47 Ibid,.Hlm.1448 Ibid
Pada hakekatnya kelima lembaga penegak hukum tersebut
memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain sebagai
suatu proses (criminal justice process) yang dimulai dari proses
penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan, pembelaan,
dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan serta diakhiri dengan
pelaksanaan pidana (pemidanaan) di lembaga pemasyarakatan
(LAPAS). Berikut ini dijelaskan secara singkat komponen sistem
peradilan pidana di Indonesia, yakni sebagai berikut:
1. Lembaga Kepolisian ( UU No. 2 Tahun 2002)
Kepolisian sebagai subsistem peradilan pidana diatur
dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara RI. Sesuai Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
tersebut kepolisian mempunyai tugas pokok memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,
dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat. Sedangkan dalam peradilan pidana,
kepolisian memiliki kewenangan khusus sebagai penyidik
yang secara umum diatur dalam Pasal 15 dan 16 Undang-
Undang No. 2 Tahun 2002 dan dalam hukum acara pidana
diatur dalam Pasal 5-7 KUHAP. Sebelum berlakunya
KUHAP, yaitu pada masa HIR, tugas untuk melakukan
penyidikan diberikan kepada lembaga kejaksaan, polisi
hanya sebatas sebagai pembantu jaksa menyidik, tetapi
setelah berlaku KUHAP maka tugas dan wewenang Kejaksaan
di Indonesia dalam hal penyidikan telah beralih ke pihak
Kepolisian. Oleh karena itu, mengenai tugas dan kekuasaan
dalam menangani penyidikan adalah menjadi tanggung
jawab kepolisian, terutama dalam usaha mengungkap setiap
tindak kejahatan mulai sejak awal hingga selesai terungkap
berdasarkan penyelidikannya.
Pada hakekatnya, kepolisian menjadi penyelidik terhadap
semua tindak pidana (Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara RI dan KUHAP). Sementara ada
lembaga penyelidik lain misalnya Komnas HAM, menjadi
penyelidik terhadap kasus pelanggaran HAM berat (UU
26/2000), Komisi Pengawas Persaingan Usaha/KPPU (UU
5/1999), dan lain sebagainya.
2. Lembaga Kejaksaan ( UU No. 16 Tahun 2004)
Dalam perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia,
lembaga kejaksaan merupakan bagian dari lembaga eksekutif
yang tunduk kepada Presiden. Akan tetapi, apabila dilihat
dari segi fungsinya, kejaksaan merupakan bagian dari
lembaga yudikatif. Hal ini dapat diketahui dari redaksi Pasal
24 Amandemen Ketiga UUD Negara RI 1945 yang menegaskan
bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Penegasan mengenai
badan-badan peradilan lain diperjelas dalam Pasal 41 Undang-
Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang berbunyi : “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan
badan-badan lain diatur dalam undang-undang.”
Sebagai subsistem peradilan pidana, Kejaksaan mempunyai
tugas dan wewenang dibidang pidana sebagaimana diatur
Pasal 14 KUHAP, yaitu :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu ;
b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110
ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam
rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik ;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah
status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh
penyidik ;
d. membuat surat dakwaan ;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan ;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang
disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan ;
g. melakukan penuntutan ;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum ;
i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan
tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut
ketentuan undang-undang ini ;
j. melaksanakan penetapan hakim.
3. Pengadilan (UU No. 48 Tahun 2009)
Keberadaan lembaga pengadilan sebagai subsistem
peradilan pidana diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 Undang-undang
tersebut memberi defi nisi tentang kekuasaan kehakiman
sebagai berikut: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila,
demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.”
Sesuai dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tersebut
dan KUHAP, tugas Pengadilan adalah menerima, memeriksa
dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Dalam
memeriksa seseorang terdakwa, hakim bertitik tolak pada
surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum, dan
mendasarkan pada alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal
184 KUHAP. Kemudian dengan sekurang-kurangnya 2 (dua)
alat bukti dan keyakinannya, hakim menjatuhkan putusannya.
4. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)
Lembaga pemasyarakatan (LAPAS) diatur dalam
Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
yang mengubah sistem kepenjaraan menjadi sistem
pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan merupakan
suatu rangkaian kesatuan penegakan hukum. Sehingga
pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan
konsep umum mengenai sistem pemidanaan di Indonesia.
Berdasarkan ketentuan norma hukum Pasal 1 angka 3
Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
dinyakatan bahwa lembaga pemasyarakatan (LAPAS) adalah
tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan
anak didik pemasyarakatan.
5. Advokat
Lahirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat menjadi landasan hukum penting bagi profesi Advokat
sebagai salah satu pilar penegak hukum. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tersebut, yang
menyatakan bahwa Advokat berstatus penegak hukum, bebas
dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-
undangan. Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
No. 18 Tahun 2003 lebih ditegaskan lagi, bahwa yang dimaksud
dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah
Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan
yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum
lainya dalam menegakan hukum dan keadilan.
Kelima lembaga penegak hukum dalam peradilan pidana
diakui eksitensinya guna menegakkan hukum dan keadilan.
Konkretnya, kelima lembaga inilah yang menjalankan fungsi
hukum pidana baik hukum acara pidana (hukum formal) dengan
bekerjanya kelima aspek sebagaimana konteks diatas maka
diharapkan adanya dimensi keadilan, kepastian hukum, hak asasi
manusia dalam rangka perlindungan terhadap masyarakat, pelaku
tindak pidana, korban, Negara, dan bangsa Indonesia.
G. MEKANISME PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA
Mekanisme pemeriksaan perkara pidana di Indonesia terdiri
atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian perkara
pidana dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya
seorang pria yang dompetnya diambil secara paksa oleh orang
lain. Deskripsi diatas merupakan suatu peristiwa hukum. Namun
untuk menentukan apakah peristiwa hukum itu merupakan suatu
tindak pidana atau bukan haruslah diadakan suatu proses sistem
peradilan pidana (criminal justice process) untuk menegakkan
norma-norma hukum pidana. Tahapan untuk mengetahui dan
menentukan adanya suatu tindak pidana adalah melalui:
1. Penyelidikan
Seorang penyidik dalam melaksanakan tugasnya memiliki
koridor hukum yang harus di patuhi, dan diatur secara formal
apa dan bagaimana tata cara pelaksanaan, tugas-tugas dalam
penyelidikan. Artinya para penyidik terikat kepada peraturan-
peraturan, perundang-undangan, dan ketentuan-ketentuan
yang berlaku dalam menjalankan tugasnya.
Dalam pelaksanaan proses penyidikan, peluang-peluang
untuk melakukan penyimpangan atau penyalagunaan wewenang
untuk tujuan tertentu bukan mustahil sangat dimungkinkan
terjadi. Karena itulah semua ahli kriminalistik menempatkan
etika penyidikan sebagai bagian dari profesionalisme yang
harus d miliki oleh seorang penyidik sebagai bagian dari
profesionalisme yang harus dimiliki oleh seorang penyidik.
Bahkan, apabila etika penyidikan tidak dimiliki oleh seseorang
penyidik dalam menjalankan tugas -tugas penyidikan,
cenderung akan terjadi tindakan sewenang-wenang petugas
yang tentu saja akan menimbulkan persoalan baru.
Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
mengatur dalam undang-undang No 26 tahun 2000 pasal
I angka 5. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai
wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan
barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk
kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik
dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak
hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus
didasarkan pada bukti permulaan Barang Bukti.
Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap
harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption
of innocence) sebagaimana di sebutkan dalam penjelasan
umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah
untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka
dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak
hukum. Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini
disampaikan kepada penyidik.
Apabila didapati tertangkap tangan, tanpa harus
menunggu perintah penyidik, penyelidik dapat segara
melakukan tindakan yang diperlukan seperti penangkapan,
larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan. Selain itu penyelidik juga dapat meakukan
pemerikasaan surat dan penyitaan surat serta mengambil
sidik jari dan memotret atau mengambil gambar orang
atau kelopmpok yang tertangkap tangan tersebut. Selain itu
penyidik juga dapat membawa dang mengahadapkan oarang
atau kelompok tersebut kepada penyidik. Dalam hal ini Pasal
105 KUHAP menyatakan bahwa melaksanakan penyelidikan,
penyidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi
petunjuk oleh penyidik.
2. Penyidikan
Konstruksi Pengertian penyidikan diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang terdapat Pada
Pasal 1 butir I yang berbunyi sebagai berikut:
“Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
Atau Pejabat Pegawai Negari Sipil tertentunyang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan.“
Dari pengertian penyidik diatas, dalam penjelasan undang-
undang disimpulkan mengenai pajabat yang berwenang untuk
melakukan penyidikan yaitu: Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia (POLRI); dan Pejabat Pegawai Negari Sipil yang diberi
wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan
penyidikan.
Selain penyidik, dalam KUHAP dikenal pula penyidik
pembantu, ketentuan mengenai hal ini terdapat pada Pasal I
butir 3 KUHAP, yangmenyebutkan bahwa:
“Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang karena diberikan diberi wewenang
tertentu dapat melakukan penyidikan yang diatur dalam
undang-undang ini”.
Selanjutnya mengenai pengertian penyidik pembantu
diatur dalam Pasal 1 Butir 12 Undang-undang No.2 tahun 2002,
yang menyatakan Bahwa:
“Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang diangkat oleh Kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi
wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang
diatur dalam Undang-undang”.
Mengenai Penyidik Negari Sipil Dijelaskan lebih lanjut
dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) KUHAP, Bahwa
“Yang dimaksud dengan penyidik dalam ayat ini adalah
misalnya pejabat bea cukai, pejabat imigrasi, pejabat kehutanan
yang melakukan tugas penyelidikan sesuai dengan wewenang
khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya masing-masing.”
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan mengenai
penyidik dan penyidik pembantu di atas, dapat diketahui
bahwa untuk dapat melaksanakan tugas penyidikan harus ada
pemberian wewenang.
Tugas penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik POLRI
adalah merupakan penyidik tunggal bagi tindak pidana Umum,
tugasnya sebagai penyidik sangat sulit dan membutuhkan
tanggung jawab yang besar, karena penyidikan merupakan
tahap awal dari rangkaian proses penyelesaian perkara pidana
yang nantinya akan berpengaruh bagi tahap proses peradilan
selanjutnya.
Sedangkan pada Pasal I butir 2 KUHAP menjelaskan
mengenai pengertian penyidikan, sebagai berikut:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya”
Penyidikan merupakan aktivitas yurisdis yang dilakukan
penyelidik untuk mencari dan menemukan kebenaran sejati
(Membuat terang jelas tentang tindak pidana yang terjadi).
aktivitas yuridis yang dimaksud dilakukan berdasarkan
aturan-aturan hukum positif sebagai hasil dari tindakan
tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis
pula, karena kata yuridis menunjuk kepada adanya suatu
peraturan hukum yang dimaksud tiada lain peraturan-
peraturan mengenai hukum acara pidana.
Tujuan utama penyidikan adalah untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti dapat membuat
terang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal I butir
2 KUHAP. Dalam melaksanakan tugas penyidikan untuk
mengungkapkan suatu tindak pidana, maka penyidik
karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagimana
yang tercantum di dalam isi ketentuan Pasal 7 ayat (1) Kitab
Undang-udang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo. Pasal 16 ayat
(1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan
Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa
wewenang penyidik adalah sebagi berikut:
1. Menerima Laporan atau pengaduan dari seorang tentang
adanya tindak pidana;
2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa
tanda pengenal diri tersangka;
4. melakukan penangkapan, penahanan,penggeledahan
dan penyitaan;
5. mengenai sidik jari dan memotret seseorang;
6. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
8. mendatang orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
9. mengadakan penghentian penyidikan;
10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
Penyidikan yang dilakukan tersebut didahului dengan
pemberitahuan kepada penutut umum bahwa penyidikan
terhadap suatu peristiwa pidana telah mulai dilakukan.
Secara formal pemberitahuan tersebut disampaikan melalui
mekanisme Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
(SPDP). Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 109 KUHAP.
Namun kekurangan yang dirasa sangat menghambat adalah
tiada ada ketegasan dari kentuan tersebut kapan waktunya
penyidikan harus diberitahukan kepada Penuntut Umum.
Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan,
penyidik wajib segara menyerahkan berkas perkara tersebut
kepada penutut umum. Dan dalam hal penutut umum
berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap.
Penutut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut
kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila
pada saat penyidik menyerahkan hasil penyidikan, dalam
waktu 14 Hari penutut umum tidak mengembalikan berkas
tersebut, maka penyidikan dianggap selesai.
3. Penuntutan
Dalam Undang-undang ditentukan bahwa hak penututan
hanya ada pada penututan umum yaitu Jaksa yang diberi
wewenang oleh kitab-kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana No.8 tahun tahun 1981. Pada Pasal 1 butir 7 KUHAP
Tercantum defenisi penututan sebagai berikut;
“Penuntutan adalah tindakan penututan umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan suapay diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”
Yang bertugas menurut atau penuntut umum ditentukan di
Pasal 13 jo Pasal butir 6 huruf b yang pada dasarnyan berbunyi :
“Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk melakukan penututan dan
melaksanakan penetapan hakim “
Kemudian Muncul undang-undang No. 5 tahun 1991
tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya
tidak diberlakukan lagi dan diganti oleh Undang-undang
No. 16 tahun 2004, yang menyatakan bahwa kekuatan untuk
melaksanakan penuntutan itu dilakukan oleh kejaksaan.
Dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tetap Kejaksaan
Republik Indonesia yang memberikan wewenang kepada
Kejaksaan (Pasal 30), yaitu:
1. Melakukan Penuntutan;
2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan
dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana bersayarat, putusan pidana pengawasan, dan
keputusan lepas bersyarat
4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;
5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu
dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum
dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya
dikoordinasikan dan penyidik.
Berkaitan dengan kebijakan penuntutan, penuntut
umumlah yang berwenang untuk menentukan suatu perkara
hasil penyidikan, apakah sudah lengkap ataukah tidak untuk
kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk diadili. Hal
ini diatur dalam Pasal 139 KUHAP. Jika menurut pertimbangan
penututan umum suatu perkara tidak cukup bukti-bukti untuk
diteruskan ke Pengadilan ataukah perkara tersebut bukan
merupakan suatu delik, maka penuntut umum membuat
membuat suatu ketetapan mengenai hal itu (Pasal 140 ayat
(2) butir b (KUHAP). Mengenai wewenang penutut umum
untuk menutup perkara demi hukum seperti tersebut dalam
Pasal 140 (2) butir a (KUHAP), Pedoman pelaksanaan KUHAP
memberi penjelasan bahwa “Perkara ditutup demi hukum”
diartikan sesuai dengan buku I Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Bab VIII tentang hapusnya hak menuntut yang diatur
dalam Pasal 76;77;78 dan 82 KUHP.
Penuntutan Perkara dilakukan oleh Jaksa Penuntut
umum, dalam rangka pelaksanaan tugas penuntutan yang
diembannya. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penempatan hakim.
Dalam melaksanakan penuntutan yang menjadi
wewenangnya, penuntut Umum segera membuat surat
dakwaan berdasarkan hasil penyidikan. Dalam hal didapati
oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup bukti
atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana
atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut umum
menghentikan penuntutan yang dituangkan dalam suatu surat
ketetapan. Apabila tersangka berada dalam tahanan tahanan,
sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka tersangka
harus segera di keluarkan dari tahanan. Selanjutnya, surat
ketetapan yang dimaksud tersebut dikeluarkan dari tahanan.
Selanjutnnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut
dibertahukan kepada tersangka. Turunan surat ketetapan
tersebut disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau
penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik
dan hakim. Atas surat ketetapan ini maka dapat dimohon
praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X, bagian kesatu
KUHAP dan apabila kemudian didapati alasan baru, penuntut
umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.
Pada tahap penuntutan ada dikenal istilah Nebis in Idem
yang berarti tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua kalinya
mengenai tindakan ( feit) yang sama. Ketentuan ini disahkan
pada pertimbangan, bahwa suatu saat (nantinya) harus ada
akhir dari pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari baliknya
ketentuan pidana terhadap suatu delik tertentu. Asas ini
merupakan pegangan agar tidak lagi mengadakan pemeriksaan/
penuntutan terhadap pelaku yang sama dari satu tindakan
pidana yang sudah mendapat putusan hukum yang tetap.
Dengan maksud untuk menghindari dua putusan terhadap
pelaku dan tindakan yang sama juga akan menghindari
usaha penyidikan/ penuntutan terhadap perlakuan delik
yang sama, yang sebelumnya telah pernah ada putusan yang
mempunyai kekuatan yang tetap. Tujuan dari atas ini ialah
agar kewibawaan negara tetap junjung tinggi yang berarti juga
menjamin kewibawaan hakim serta agar terpelihara perasaan
kepastian hukum dalam masyarakat
Agar supaya suatu perkara tidak dapat diperiksa untuk
kedua kalinya apabila; Pertama Perbuatan yang didakwakan
(untuk kedua kalinya) adalah sama dengan yang didakwakan
terdahulu. Kedua Pelaku yang didakwa (kedua kalinya) adalah
sama. Ketiga untuk putusan yang pertamateri terhadap
tindakan yang sama itu telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.
Belakangan dasar nebis in idem itu digantungkan kepada
beberapa hal bahwa terhadap seseorang itu juga mengenai
peristiwa yang tertentu telah diambil keputusan oleh hakim
dengan vonis yang tidak diubah lagi. Putusan :
Pertama Penjatuhan Hukuman (veroordeling) Dalam hal
ini oleh hakim diputuskan, bahwa terdakwa terang salah telah
melakukan peritiwa pidana yang dijatuhkan kepadanya;atau
kedua: Pembebasan dari penuntutan hukum (ontslag
van rechtvervoging) Dalam hal ini hakim memutuskan,
bahwa peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa itu
dibuktikan dengan cukup terang, akan tetapi peritiwa
itu ternyata bukan peristiwa pidana, atau terdakwanya
keadapatan tidak dapat di hukum karena tidak dapat
dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu, bahwa
keslahan terdakwa atas peristiwa yang dituduhkan
kepadanya tidak cukup buktinya.
Dalam Pasal 77 KUHP yang berbunyi: Hak Menuntut
hukum gugur (tidak berlaku lagi) lantaran si terdakwa
meninggal dunia. Apabila seorang terdakwa meninggal
dunia sebelum putus ada putusan terakhir dari pengadilan
maka hak menuntut gugur. Jika hal ini terjadi dalam taraf
pengutusan, maka pengusutan itu dihentikan. Jika penuntut
telah dimajukan, maka penuntut umum harus oleh pengadilan
dinyatakan tidak dapat diterima dengan tentunya (Niet-
ontvankelijk) umumnya demikian apabila pengadilan banding
atau pengadilan kasasi masih harus memutuskan perkaranya.
Pasal 82 82 KUHP yang berbunyi : Ayat (1) :” Hak menuntut
hukum karena pelanggaran yang terancam hukuman utama
tak lain dari pada denda, tidak berlaku lagi bagi maksimun
denda dibayar dengan kemauan sendiri dan demikian juga di
bayar ongkos mereka, jika penilaian telah dilakukan, dengan
izin amtenaar yang ditunjuk dalam undang-undang umum,
dalam tempo yang ditetapkannya”.
Ayat (2): ”Jika perbuatan itu terencana selamanya denda
juga benda yang patut dirampas itu atau dibayar harganya,
yang ditaksir oleh amtenaar yang tersebut dalam ayat pertama”.
Ayat (3):” Dalam hal Hukuman itu tambah diubahkan
berulang-ulang membuat kesalahan, boleh juga tambahan itu
dikehendaki jika hak menuntut hukuman sebab pelanggaran
yang dilakukan dulu telah gugur memenuhi ayat pertama dan
kedua dari pasal itu’.
Ayat (4);”Peraturan dari Pasal ini tidak berlaku bagi orang
yang belum dewasa ,yang umumnya sebelum melakukan
perbuatan itu belum cukup enam belas tahun”.
Penghapusan hak penuntutan bagi penuntut umum yang
diatur dalam Pasal 82 KUHP mirip dengan ketentuan hukum
perdata mengenai transaksi atau perjanjian.
4. Pemeriksaan di Pengadilan
Apabila terhadap suatu perkara pidana telah dilakukan
penuntutan, maka perkara tersebut diajukan kepengadilan.
Tindak Pidana tersebut untuk selanjutnya diperiksa, diadili
dan diputus oleh majelis hakim dan Pengadilan Negeri yang
berjumlah 3 (Tiga) Orang.
Pada saat majelis hakim telah ditetapkan, selanjutnya
ditetapkan hari sidang. Pemberitahuan hari sidang disampaikan
oleh penuntut umum kepada terdakwa di alat tempat
tinggalnya atau disampaikan di tempat kediaman terakhir
apabila tempat tinggalnya diketahui. Dalam hal ini surat
panggilan memuat tanggal, hari serta jam dan untuk perkara
apa ia dipanggil. Surat panggilan termaksud disampaikan
selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
Sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana adalah sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang yang negatif (Negatif wett elijk).
Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 183 Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana. Pasal 183 KUHAP menyatakan:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadinya dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.
Berdasarkan pernyataan tersebut, nyatalah bahwa
pembuktian harus didasarkan apad alat bukti yang disebutkan
dalam undang-undang disertai keyakinan hakim atas alat-
alat bukti yang diajukan dalam persidangan, yang terdiri dari:
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk; dan
5. Keterangan terdakwa.
Disamping itu kitab Undang-undang hukum Acara Pidana
juga menganut minimun pembuktian (minimum bewijs),
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 tersebut. Minimun
pembuktian berarti dalam memutuskan suatu perkara pidana
hakim harus memutuskan berdasarkan sejumlah alat bukti.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan
batasan minimal penggunaan alat bukti, yaitu minimal
dua alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti disertai oleh
keyakinan hakim.
Tahap memeriksaan perkara pidana dipengadilan ini
dilakukan setelah tahap pemeriksaan pendahuluan selesai.
Pemeriksaan ini dilandaskan pada sistem atau model
Accusatoir, dan dimulai dengan menyampaikan berkas perkara
kepada Public prosecutor.
Pemeriksaan dimuka sidang pengadilan diawali dengan
pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan ynag
dilakukan secara sah menurut undang-undang. Dalam hal ini
KUHAP pasal 154 telah memberikan batasan syarat undang
undang dalam hali KUHAP pasal 154 telah memberikan
batasan syarat syahnya tentang pemanggilan kepada
terdakwa, dengan ketentuan;
Surat panggilan kepada terdakwa disampaikan di alat
tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak
diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir. Apabila
terdakwa tidak ada ditempat kediaman terakhir, surat panggilan
disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum
tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir dalam
hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan
kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara.
Penerimaan surat panggilan terdakwa sendiri ataupun
orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda
penerimaan apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman
terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada
tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang
mengadili perkaranya.
H. PRAPERADILAN DALAM DIMENSI PERADILAN PIDANA INDONESIA
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka hukum acara
pidana yang berlaku di Indonesia diatur dalam H.I.R (Het Herziene
Inlandsch Reglement) Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44, yang
merupakan produk hukum dimasa penjajahan Belanda, tentu saja
aturan dalam H.I.R tersebut dibuat untuk kepentingan penjajah,
dan belum banyak diperhatikan pemenuhan Hak Asasi Manusia
(HAM).
Ditinjau dari perspektif historis, pada masa pra kemerdekaan
diberlakukan dua hukum acara pidana sekaligus di wilayah
Indonesia-Hindia Belanda. Bagi golongan Eropa berlaku
Strafvordering (Rv) dan golongan Pribumi berlaku Inland Reglement
(IR), yang kemudian diperbarui menjadi Herziene Indische
Reglement (HIR) melalui Staatsblad No. 44 Tahun 1941. Hukum
acara bagi golongan Eropa memiliki susunan hukum acara pidana
yang lebih baik dan lebih menghormati hak-hak asasi tersangka/
terdakwa. Sedangkan dalam Inland Reglement maupun Herziene
Indische Reglement (HIR), golongan Pribumi kedudukannya sebagai
warganegara di negara jajahan.
Ketentuan mengenai hakim komisaris (rechter commissaris)
dapat ditemukan dalam Rv, yang diatur dalam title kedua tentang
Van de regtercommissaris. Lembaga Van de regtercommissaris
berfungsi sebagai pengawas untuk mengawasi apakah tindakan
upaya paksa, yang meliputi penangkapan, penggeledahan,
penyitaan dan pemeriksaan surat-surat, dilakukan dengan sah
atau tidak.
Hakim komisaris berperan sebagai pengawas pada tahap
pemeriksaan pendahuluan dari serangkaian tahapan proses
peradilan pidana. Lembaga ini juga dapat melakukan tindakan
eksekutif seperti memanggil orang, baik para saksi (Pasal
46) maupun tersangka (Pasal 47), mendatangi rumah para
saksi maupun tersangka (Pasal 56), dan juga memeriksa serta
mengadakan penahanan sementara terhadap tersangka (Pasal
62). Tindakan hakim komisaris yang termasuk tindakan eksekutif
tersebut menunjukan bahwa kedudukannya bersikap aktif dan
memiliki tanggung jawab pengawasan yang besar pada tahap
pemeriksaan awal.
IR yang mengatur hukum acara pidana mulai dipublikasikan
pada 3 April 1848 dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848, berlaku
untuk golongan bumiputera daerah Jawa dan Madura, sedangkan
wilayah di luar daerah tersebut diberlakukan peraturan yang
berbeda dalam bentuk Ordonansiordonanasi.49 Ordonansi-
49 Ordonansi tersebut antara lain: Ordonanasi 26 Maret 1874 (Stb. 94 b), Gubernur Sumatera Barat; Ordonanasi 2 Februari 1880 (Stb.32), Residen Bengkulu; Ordonanasi 25 Januari 1879 (Stb.65), Residen Lampung; Ordonansi 8 Januari 1878 (Stb.14), Residen Palembang; Ordonansi 8 Juli 1906 (Stb.320), Residen Jambi; Ordonansi 21 Februari 1887 (Stb.45), Residen Sumatera; Ordonansi 14 Maret 1881 (Stb.82), Residen Aceh; Ordonansi 15 Maret 1882 ( Stb.84), Residen Riau; Ordonansi 30 Januari 1874 (Stb.33), Residen Bangka; Ordonansi 23 Agustus 1889 (Stb.183), Asisten Residen Belitung; Ordonansi 1 Februari 1883 (Stb.53), Residen Kalimantan Barat; Ordonansi 5 Maret 1880 (Stb.55), Residen Kalimantan selatan dan timur; Ordonansi 6 Februari 1882 (Stb.27), Residen Menado; Ordonansi 6 Februari 1882 (Stb.22), Residen Gubernur Sulawesi; Ordonansi 6 Februari 1882 (Stb.29), Residen Maluku; Ordonansi 6 Februari 1882 (Stb.32), Residen Ternate; Ordonansi 6 Februari 1882 (Stb.25), Residen Timor; Ordonansi 21 Mei 1882(Stb.142), Residen Bali dan Lombok.
ordonansi tersebut kemudian dihimpun dan dijadikan satu
dengan nama Recht-reglement buitengewesten (Reglement
Daerah Seberang, Stb. 1927-227). Dalam perkembangan selanjutnya,
Gubernur Jendral Rochussen masih memiliki kekhawatiran
terhadap diberlakukannya Reglement bagi Bumiputera, sehingga
statusnya masih dalam percobaan. Mr.Wichers telah mencoba
mengadakan beberapa perbaikan terhadap anjuran Gubernur
tersebut, dan terjadi beberapa kali perubahan, hingga muncul
Stbld 1941 No. 44 yang diumumkan dengan nama Herziene Inlands
Regelement atau HIR.
Titik penting dari perubahan IR ke HIR adalah adanya
lembaga Openbaar Ministerie (OM) atau penuntut umum, yang
ditempatkan di bawah kekuasaan Pamong Praja pada masa IR.
Dengan perubahan ini, Openbaar Ministerie dibuat secara bulat
dan tidak lagi terpisah-pisahkan (een en ondeelbaar) berada di
bawah naungan Offi cier Van Justitie dan Procureur General.
Bagian lainnya yang berubah nampak dalam: IR belum ada
badan penuntut umum tersendiri, dalam HIR sudah ada, meskipun
belum volwaardigh; Regen, patih, dan kepala Afdeeling (Residen
atau asisten Residen dalam IR adalah Penyidik dalam HIR tidak);
penahanan sementara dalam IR tidak mengharuskan syarat-
syarat tertentu, menurut HIR harus selalu ada perintah tertulis;
kurungan sementara atas perintah asisten-Residen (menurut
sistem lama) diganti dengan penangkapan (gevangenhouding)
selama 30 hari, yang jika perlu dapat diperpanjang 30 hari oleh
Ketua Landraad; penahanan sementara maupun penangkapan
hanya diperbolehkan pada tindak pidana yang berat (yang
diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau dipidana yang
lebih berat (Pasal 62 HIR); penggeledahan rumah pada umumnya
memerlukan izin Ketua Landraad, kecuali tertangkap tangan dan
dalam hal mendesak (Pasal 77 dan 78 HIR); wewenang untuk
menyita barang yang dapat dijadikan alat bukti diberikan kepada
pegawai penuntut umum.
Dalam HIR muncul lembaga penuntut umum yang tidak lagi di
bawah pamongpraja, tetapi secara bulat dan tidak terpisah-pisah
dibawah offi cer van justitie dan procuceur general. Sejalan dengan
praktik diberlakukannya HIR di Jawa dan Madura, eksistensi IR
masih sering digunakan dan diberlakukan, HIR berlaku di kota-
kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang
dan lain-lain sedangkan kota-kota lain berlaku IR.
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, aturan-aturan yang
berlaku di Indonesia pada zaman penjajahan didasarkan pada
asas konkordansi, termasuk peraturan yang mengatur Acara
Pidana. Ketentuan ini dinyatakan masih berlaku oleh Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945, selama belum ada undang-undang
atau peraturan lain yang mencabutnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, HIR masih berlaku dan bisa
dipergunakan sebagai hukum acara pidana di pengadilan seluruh
Indonesia. Hal ini diperkuat oleh Pasal 6 UU No. 1 Drt/195, yang
dimaksudkan untuk mengadakan unifi kasi dalam bidang hukum
acara pidana, yang sebelumnya terdiri dari dua hal, yakni hukum
acara pidana bagi Landraad serta hukum acara pidana bagi
Raad van Justice. Dualisme hukum acara pidana adalah akibat
perbedaan antara peradilan bagi golongan Bumi Putra dan bagi
golongan Eropa.
Akibat diberlakukannya HIR maka Regter Commissaris
tidak digunakan lagi, sebab mekanisme tersebut tidak ada
di dalamnya dan hilang dalam sistem peradilan pidana.
Pada masa HIR ada semacam pengawasan oleh hakim, yakni
dalam hal perpanjangan waktu penahanan sementara yang
harus dimintakan persetujuan hakim (Pasal 83 C ayat (4) HIR).
Namun dalam praktiknya control hakim ini kurang dirasakan
manfaatnya, mengingat urusan perpanjangan penahanan
oleh hakim itu bersifat tertutup dan semata-mata dianggap
urusan birokrasi.
Dalam proses tersebut, semua surat permohonan perpanjangan
penahanan langsung ditandatangani oleh hakim ataupun petugas
yang ditunjuk oleh hakim tanpa diperiksa. Akibatnya, banyak
penahanan yang berlangsung hingga bertahun-tahun dan korban
yang bersangkutan tidak memiliki hak dan upaya hukum apapun
yang tersedia baginya untuk melawan kesewenang-wenangan
yang menimpa dirinya. Korban hanya pasrah pada nasib, dan
menunggu belas kasihan dari hakim untuk membebaskannya
kelak di muka pemeriksaan persidangan pengadilan. Kemudian
berdasarkan konsep Rancangan KUHAP 1974, model pengawasan ini
(pengawasan tindakan petugas dalam pemeriksaan pendahuluan)
diletakkan di bawah pengawasan Hakim Komisaris. Dibentukanya
lembaga pengawas baru yakni hakim komisaris berakibat pada
perlu diaturnya kembali hubungan hukum antara polisi, jaksa,
dan hakim dengan hakim komisaris dalam pelaksanaan tugasnya
masing-masing.
Kelemahan-kelemahan ketentuan Hukum Acara Pidana yang
diatur dalam H.I.R antara lain belum adanya ketentuan yang tegas
membatasi kewenangan pejabat yang melakukan pemeriksaan
pendahuluan seperti dalam hal tindakan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan dan lain sebagainya.
Indonesia sebagai negara hukum yang menghormati HAM,
serta menjamin kesetaraan warganegaranya di depan hukum dan
pemerintahan, dituntut untuk memiliki hukum acara pidana yang
mencerminkan kebijakan nasional Indonesia, yang mengatur
tentang hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang terlibat dalam
proses penegakan hukum pidana, baik untuk Tersangka maupun
pejabat setiap tingkatan pemeriksaan.
Pada tanggal 31 Desember 1981 secara resmi diundangkan
UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, sehingga sejak saat itu berlaku KUHAP di seluruh
Indonesia, dan diberikan masa peralihan selama 2 (dua) tahun
dan untuk acara pidana yang bersifat khusus diatur dalam
undangundang tersendiri, oleh karena itu sejak 31 Desember
1983, ketentuan dalam KUHAP efektif berlaku dalam penanganan
perkara pidana umum.
Beberapa hal baru yang diatur dalam KUHAP tersebut antara
lain hakhak tersangka dan terdakwa, bantuan hukum pada semua
tingkat pemeriksaan, penggabungan perkara perdata dan pidana
dalam hal ganti rugi, pengawasan pelaksanaan putusan hakim,
dan pra peradilan;
Demi melaksanakan kepentingan pemeriksaan tindak pidana,
undangundang telah memberikan kewenangan kepada penyidik
dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa
berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan,
tindakan hukum tersebut membatasi bahkan bertentangan dengan
hak-hak Tersangka, oleh karena itu pemberian kewenangan
tersebut harus diatur secara terperinci untuk mencegah
penyalahgunaan dan tindakan sewenang-wenang dari penyidik
dan atau penuntut umum.
Pengaturan upaya paksa dalam KUHAP secara limitatif
tersebut, diharapkan akan dapat memberikan jaminan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia, perlindungan terhadap
harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh
suatu negara hukum. Namun demikian untuk lebih menjamin
perlindungan hak asasi manusia, atas kemungkinan terjadinya
penyalahgunaan wewenang upaya paksa tersebut, disamping
adanya pengaturan upaya paksa secara limitatif, maka di dalam
KUHAP dibentuk lembaga Praperadilan.
Gagasan lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang
bersumber dari Habeas Corpus dalam peradilan Anglo Saxon, yang
memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia
terhadap hak kemerdekaan.50 Lebih lanjut DR Yanto menyatakan
bahwa, melalui Habeas Corpus Act maka seseorang dengan surat
perintah pengadilan dapat menuntut pejabat yang melakukan
penahanan untuk membuktikan bahwa penahanan tersebut tidak
melanggar hukum (ilegal) atau benar-benar sah sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
50 Yanto, Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Kepel Press, 2013) hlm 21
BAB II
PRAPERADILAN DI INDONESIA
A. WEWENANG PRAPERADILAN MENURUT KUHAP
Praperadilan terdiri dari dua kata, yaitu pra dan peradilan,
sedangkan apabilan kita teliti menurut istilah KUHAP “praperadilan”
maka maksud dan artinya yang harfi ah berbeda. Pra artinya
sebelum, atau mendahului, berarti “praperadilan” sama dengan
sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan51 Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa praperadilan adalah suatu proses
pemeriksaan voluntair sebelum pemeriksaan terhadap pokok
perkara berlangsung di pengadilan. Perkara pokok dimakud adalah
suatu sangkaan/dakwaan tentang telah terjadinya suatu tindak
pidana, yang sedang dalam tahap penyidikan atau penuntutan.
Oleh karena itu praperadilan hanyalah bersifat ikutan atau asesoir
dari perkara pokok tersebut sehingga putusannya pun bersifat
voluntair.52
Praperadilan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh
pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang ke
absahan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan,
penghentian penuntutan, dan memutus permintaan ganti
kerugian dan rehabilitasi yang perkara pidanannya tidak
dilanjutkan ke muka sidang pengadilan negeri atas permintaan
51 Darwan Prints, Praperadilan dan Perkembagannya Di Dalam Praktek, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti :1993), Hlm. 12
52 Ibid
tersangka atau terdakwa atau pelapor atau keluarganya dan atau
penasehat hukumnya.53
Istilah praperadilan diambil dari kata pretrial, akan tetapi ruang
lingkupnya lebih sempit karena pretrial dapat meneliti apakah
ada dasar hukum yang cukup mengajukan suatu penuntutan
terhadap perkara pidana didepan pengadilan. Sementara ruang
lingkup praperadilan terbatas sepanjang yang diatur dalam Pasal
77 KUHAP dan Pasal 95 KUHAP. Sedangkan dalam pengertian
secara umum dicantumkan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP
mengatakan, Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri
untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini, tentang :
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan
atas permintaan tersangka atau keluarga atau pihak lain atas
kuasa tersangka.
b. Sah atau tidaknya penghentian penyelidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan
keadilan ;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitas oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya
tidak diajukan ke pengadilan.
Pasal 95 sesungguhnya merupakan penjelasan lebih lanjut
ketentuan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP dan Pasal 77 KUHAP,
dengan tambahan adanya unsur dikenakan tindakan lain tanpa
alasan berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yan diterapkan tindakan lain berupa :
a. Pemasukan rumah;
b. Penggeledahan, dan
c. Penyitaan.53 Mochamad Anwar, Praperadilan, (Jakarta,Ind-Hil-Co,: 1989), Hlm. 25.
Tindakan lain itu tidak terbatas pada ketiga hal tersebut. Akan
tetapi disesuaikan dengan ruang lingkup tugas dan kewenangan
Penyidik dan Penuntut Umum. Misalnya apabila terjadi perbuatan
diluar hukum atau tersangka atau terdakwa selama dalam
penangkapan atau penahanan, seperti teraniaya, tertembak atau
malah meninggal dunia. Dengan demikian apabila perbuatan
itu terjadi tanpa suatu alasan yang dibenarkan hukum, maka
karenannya korban atau keluarganya dapat mengajukan tuntutan.
Praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri.
Tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru
yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri,
sebagai wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang
ada selama ini. Kalau selama ini, wewenang dan fungsi Pengadilan
Negeri mengadili dan memutus perkara pidana dan perkara
perdata sebagai tugas pokok maka terhadap tugas pokok tadi diberi
tugas tambahan untuk menilai sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan, atau penghentian
penuntutan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum
yang wewenang pemeriksaannya diberikan kepada Praperadilan.
Menurut R. Soeparmono bahwa diadakannya lembaga
praperadilan bertujuan demi tegaknya hukum, kepastian hukum
dan perlindungan hak asasi tersangka, sebab menurut system
KUHAP setiap tindakan seperti penangkapan, penggeledahan,
penyitaan, penahanan, penuntutan, dan sebagainya yang dilakukan
bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan adalah
suatu tindakan perkosaan atau perampasan hak asasi tersangka.54
Menurut M. Yahya Harahap, ditinjau dari struktur dan susunan
peradilan, praperadilan bukan lembaga yang berdiri sendiri.
Praperadilan hanya suatu lembaga yang ciri dan eksistensinya :55
54 R. Soeparmono, Op Cit, hlm 1655 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada
Pengadilan Negeri dan sebagai lembaga pengadilan hanya
dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas
yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri.
b. Praperadilan bukan berada diluar atau disamping maupun
sejajar dengan Pengadilan Negeri tapi hanya merupakan divisi
dari Pengadilan Negeri.
c. Administrasi yustisial, personil, peralatan dan fi nansial bersatu
dengan Pengadilan Negeri dan berada dibawah pimpinan serta
pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri.
d. Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi
yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.
Lembaga baru yang tersendiri memiliki eksistensi dan ciri
itu adalah Praperadilan yang merupakan kesatuan yang melekat
dengan Pengadilan Negeri. Dan karena keadaan dan eksistensi
adanya lembaga praperadilan tersebut diantara lembaga lain
di dalam KUHAP maka mempunyai arti adanya kemajuan
dibidang hukum acara pidana yang memberi wewenang bagi
Pengadilan Negeri.
Setiap tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan
dengan hukum dan perundang-undangan adalah suatu tindakan
perkosaan atau perampasan hak asasi tersangka. Oleh karena
itu terdapat prinsip yang terkandung pada praperadilan yang
bermaksud dan bertujuan guna melakukan tindakan pengawasan
horizontal untuk mencegah tindakan hukum upaya paksa yang
berlawanan dengan undangundang.
Sifat atau fungsi praperadilan yang khas, spesifik dan
karakteristik tersebut akan menjembatani pada usaha pencegahan
tindakan upaya paksa sebelum seorang diputus oleh Pengadilan, Pemeriksaan Sidang Pengadilan Banding Kasai dan Peninjauan Kembali,( Jakarta, Sinar Grafi ka: 2006), Hlm. 1.
pencegahan tindakan yang merampas hak kemerdekaan setiap
warga Negara, pencegahan atau tindakan yang melanggar hak-hak
asasi tersangka/terdakwa, agar segala sesuatunya berjalan atau
berlangsung sesuai dengan hukum dan perundang-undangan
yang berlaku dan sesuai dengan aturan main.6 Dan Praperadilan
juga untuk memberikan perlindungan bagi hak asasi manusi
terutama hak asasi tersangka atau terdakwa yang merasa
dirugikan. Kehadiran lembaga ini disambut dengan gembira bagi
segenap bangsa Indonesia pada umumnya dan warga masyarakat
pencari keadilan.
Lembaga Praperadilan yang diciptakan pasti didorong dengan
maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi, yakni
untuk memberi pengawasan terhadap perlindungan hukum dan
perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan
penyidikan dan penuntutan yang kemudian dijabarkan dalam
Undangundang No.8 Tahun 1981 (KUHAP) yang dikenal dengan
Lembaga Praperadilan.
Praperadilan bertujuan mengawasi tindakan upaya paksa
yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum atau lembaga
penegak hukum yang lain terhadap tersangka, agar tindakan itu
benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-
undang dan benar-benar proposional dengan ketentuan hukum
serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan
hukum. Pengawasan dan penilaian upaya paksa inilah yang
tidak dijumpai dalam tindakan penegakan hukum dimasa HIR.
Pengawasan juga dilakukan terhadap perilaku masyarakat serta
terhadap perilaku para penegak hukum yang kerjanya berperan
secara pidana. Dimaksudkan sebagai pengawasan horizontal
oleh Hakim Pengadilan Negeri terhadap pelaksanaan upaya
paksa. Hakim dalam Praperadilan bukan berarti fungsionaris
peradilan, bukan pula wasit yang mengadili sengketa hukum.
Hakim dalam Praperadilan dipinjam karena diperlukan suatu
fungsionaris netral untuk mengontrol penangkapan dan
penahanan itu. Jelaslah bahwa prosedur Praperadilan mengganti
atau mengalihkan tugas pengawasan terhadap penangkapan dan
penahanan serta penghentian penyidikan atau penuntutan dari
kepala-kepala Kejaksaan atau Kepala-kepala Kepolisian kepada
Hakim Pengadilan Negeri yang berkedudukan netral. Serta
lembaga ini bertujuan untuk menempatkan pelaksaan hukum
pada proposi yang sebenarnya demi terlindungnya hak asasi
manusia, khususnya hak-hak tersangka dan terdakwa dalam
pemeriksaan ditingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
didepan pengadilan. Dan upaya paksa diluar yang ditentukan
undang-undang bukanlah menjadi wewenang praperadilan untuk
memeriksanya, tetapi itu dapat menjadi perbuatan pidana biasa
tetapi bisa jadi dapat dikaji ulang wewenang praperadilan dan
menambahkan objek praperadilan untuk wewenang praperadilan
yang belum ditentukan oleh undangundang.
B. PIHAK-PIHAK DALAM PERKARA PRAPERADILAN
Ada 2 (dua) pihak dalam perkara praperadilan yaitu pihak
pemohon praperadilan dan pihak termohon praperadilan. Para
pihak tersebut saling berhadapan, masing-masing berdiri pada
sisi yang saling berlawanan.
1. Pemohon Praperadilan
Pemohon praperadilan adalah pihak yang mengajukan
tuntutan ke pengadilan negeri dengan dalil telah terjadinya
pelanggaran hukum acara pidana dalam suatu tindakan
yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum. KUHAP
mengatur tentang siapa yang dapat bertindak sebagai
pemohon praperadilan, yaitu:
Jika dalil pokoknya dalam hal sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan yang dilakukan oleh
penyidik atau penuntut umum, maka yang berhak
mengajukan praperadilan adalah tersangka, keluarga
tersangka atau kuasanya (Pasal 79 KUHAP)
Jika dalil pokoknya dalam hal sah atau tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan, maka yang
berhak mengajukan praperadilan adalah penyidik,
penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan.
(80 KUHAP).
Jika dalil pokoknya dalam hal permintaan ganti kerugian
dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan
atau penuntutan, maka yang berhak mengajukan
praperadilan adalah tersangka atau pihak ketiga yang
berkepentingan. (Pasal 81 KUHAP).
Jika dalil pokoknya dalam hal sah tidaknya penetapan
Tersangka, maka yang berhak mengajukan praperadilan
adalah Tersangka (Pasal 1 angka 14 KUHAP). - Jika dalil
pokoknya dalam hal sah tidaknya penggeledahan rumah,
maka yang berhak mangajukan praperadilan adalah
Tersangka atau penghuni rumah (Pasal 32 ayat (1) KUHAP).
Jika dalil pokoknya dalam hal sah tidaknya penggeledahan
badan, maka yang berhak mangajukan praperadilan
adalah Tersangka atau orang yang dilakukan tindakan
penggeledahan (Pasal 32 ayat (1) KUHAP).
Jika dalil pokoknya dalam hal sah tidaknya penyitaan,
maka yang berhak mengajukan praperadilan adalah
Tersangka atau orang dari mana barang itu disita atau
pemilik barang yang disita (Pasal 32 ayat (1) KUHAP)
Pengertian “pihak ketiga yang berkepentingan” yang dapat
mengajukan praperadilan semula hanya diartikan terbatas
kepada saksi korban atau pelapor, tetapi pengertian tersebut
telah diperluas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
98/PUU-X/2012 tanggal 21-Mei-2013, meliputi juga lembaga
swadaya masyarakat dan organisasi kemasyarakatan.
2. Termohon Praperadilan
Termohon praperadilan KUHAP tidak mengatur secara tegas
siapa yang menjadi termohon dalam perkara praperadilan,
akan tetapi secara implisit dari bunyi ketentuan Pasal 77
KUHAP yang mengatur tentang wewenang praperadilan, maka
Termohon praperadilan adalah pejabat yang telah melakukan
tindakan yang dijadikan obyek dari permohonan praperadilan,
yaitu penyidik atau penuntut umum.
C. OBYEK PEMERIKSAAN SIDANG PRAPERADILAN
1. Syarat-Syarat Sah Tidaknya Penangkapan
Diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 19 KUHAP, syarat
sahnya penangkapan, yaitu:
a. Syarat Materiil:
Adanya kepentingan penyelidikan atau penyidikan
(Pasal 16 KUHAP)
Adanya dugaan keras sebagai pelaku tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17).
Tindak pidana yang diduga dilakukan adalah kejahatan,
dalam hal tindak pidana yang dilakukan adalah
pelanggaran maka dapat dilakukan penangkapan jika
ia telah dipanggil secara sah 2 (dua) kali berturut-turut
tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah
(Pasal 19 ayat (2) KUHAP).
b. Syarat Formil:
Dilakukan oleh penyidik atau oleh penyelidik atas
perintah dari penyidik (Pasal 16 ayat (1) KUHAP).
Dengan memperlihatkan surat tugas dan surat perintah
penangkapan, kecuali dalam hal tertangkap tangan
penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah,
dengan ketentuan penangkap segera menyerahkan
orang yang ditangkap beserta barang bukti kepada
penyidik pembantu atau penyidik yang terdekat (Pasal
18 ayat (2) KUHAP).
Tembusan surat perintah penangkapan diberikan
kepada keluarga, segera setelah penangkapan
dilakukan (Pasal 18 ayat (3) KUHAP).
Dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari (Pasal 19
ayat (1) KUHAP).
2. Syarat-Syarat Sah Tidaknya Penahanan dalam Tingkat
Penyidikan dan Penuntutan
Diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 25 KUHAP,
syarat sahnya penahanan, yaitu:
a. Penahanan dalam tingkat penyidikan:
1. Syarat Materiil:
Adanya kepentingan untuk pemeriksaan (Pasal
20 ayat (1) KUHAP).
Adanya dugaan keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup (Pasal 21 ayat (1)
KUHAP).
Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran
tersangka akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi
perbuatannya. (Pasal 21 ayat (1) KUHAP). -
Tersangka diduga melakukan tindak pidana:
Tindak pidana yang diancam pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih (Pasal 21 ayat (4) huruf
a KUHAP) atau;
Tindak pidana tertentu, yaitu: Pasal 282
ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal
351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372,
Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454,
Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal
506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie
(pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan
Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad
Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2
dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana
Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt.
Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955
Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal
42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-
undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976
Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3086) (Pasal 21 ayat (4) KUHAP).
2. Syarat Formil:
Dilakukan oleh penyidik (Pasal 20 ayat (1) dan
Pasal 21 ayat (2) KUHAP).
Dengan memberikan surat perintah penahanan
yang mencantumkan identitas tersangka dan
menyebutkan alasan penahanan serta uraian
singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan
dan menunjuk tempat Terdakwa ditahan (Pasal
21 ayat (2) KUHAP).
Tembusan surat perintah penahanan diberikan
kepada keluarga Tersangka (Pasal 21 ayat (3)
KUHAP).
b. Penahanan dalam tingkat penuntutan
1. Syarat Materiil:
Adanya kepentingan untuk penuntutan (Pasal 20
ayat (2) dan Pasal 21 ayat (2) KUHAP).
Adanya dugaan keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup (Pasal 21 ayat (1)
KUHAP).
Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran
tersangka akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi
perbuatannya. (Pasal 21 ayat (1) KUHAP).
Tersangka diduga melakukan tindak pidana:
Tindak pidana yang diancam pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih (Pasal 21 ayat (4) huruf
a KUHAP) atau;
Tindak pidana tertentu, yaitu: Pasal 282 ayat
(3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat
(1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal
379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal
459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26
Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap
Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah
dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471),
Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang
Tindak Pidana Imigrasi (Undangundang
Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara
Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal
41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal
48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976
tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun
1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3086) (Pasal 21 ayat (4) KUHAP).
2. Syarat Formil:
Dilakukan oleh penuntut umum (Pasal 21 ayat
(2) KUHAP).
Dengan memberikan surat perintah penahanan
yang mencantumkan identitas tersangka dan
menyebutkan alasan penahanan serta uraian
singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan
dan menunjuk tempat Terdakwa ditahan (Pasal
21 ayat (2) KUHAP.
Tembusan surat perintah penahanan diberikan
kepada keluarga Tersangka (Pasal 21 ayat (3)
KUHAP).
3. Tentang Syarat-Syarat Sah Tidaknya Penghentian
Penyidikan atau Penuntutan:
a. Tingkat penyidikan
1. Syarat materiil
Tidak terdapat cukup bukti.
Peristiwa yang diduga dilakukan oleh
Tersangka bukan merupakan tindak
pidana.
Dihentikan dengan alasan demi hukum
(Pasal 109 ayat (2) KUHAP)
2. Syarat formil
Memberitahukan penghentian penyidikan
kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya (Pasal 109 ayat (2) KUHAP),
dalam hal yang menghentikan adalah
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
maka harus memberitahukan kepada
penyidik dan penuntut umum.
Penyidik memberitahukan penghentian
penyidikan kepada saksi pelapor atau
korban (Lampiran Keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia Nomor:
M.14-PW.07.03 TAHUN 1983 angka 11).
b. Tingkat penuntutan
1. Syarat materiil
Tidak terdapat cukup bukti.
Peristiwa yang diduga dilakukan oleh
Tersangka bukan merupakan tindak
pidana.
Ditutup demi hukum. (Pasal 140 ayat (2)
huruf a KUHAP)
2. Syarat formil
Memberitahukan penghentian penuntutan
kepada tersangka atau keluarganya atau
penasihat hukum, pejabat rumah tahanan
negara, penyidik dan hakim (Pasal 140 ayat
(2) huruf c KUHAP).
Penuntut Umum memberitahukan
penghentian penuntutan kepada
saksi pelapor atau korban (Lampiran
Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor: M.14-PW.07.03 TAHUN
1983 angka 11).
4. Tentang Syarat-Syarat Sah Tidaknya Penetapan
Tersangka
Pengertian tersangka diatur dalam Pasal 1
angka 14 KUHAP yang berbunyi: ”Tersangka adalah
seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana”. Oleh karena itu untuk
menetapkan seseorang sebagai tersangka, maka harus
dipenuhi syarat-syarat, yaitu:
Adanya perbuatan pidana;
Adanya bukti permulaan yang mengarah kepada
seseorang sebagai pelaku tindak pidana.
5. Tentang Syarat-Syarat Sah Tidaknya Penggeledahan
a. Penggeledahan rumah
Dalam keadaan normal. Penggeledahan rumah
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Syarat Materiil: Untuk kepentingan penyidikan
(Pasal 32 ayat (1) KUHAP).
2. Syarat Formil:
Harus dengan surat ijin ketua pengadilan
negeri setempat.
Dalam hal tersangka atau penghuni
menyetujui penggeledahan disaksikan
oleh 2 (dua) orang saksi, jika tersangka
atau penghuni menolak atau tidak hadir
maka penggeledahan harus disaksikan
oleh kepala desa atau ketua lingkungan.
Dalam waktu 2 (dua) hari setelah memasuki
dan atau menggeledah rumah harus
dibuatkan berita acara dan turunannya
harus disampaikan kepada pemilik atau
penghuni rumah
Penggeledahan rumah yang terletak di
luar wilayah hukum, harus diketahui oleh
ketua pengadilan negeri dan didampingi
oleh penyidik setempat.
Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak
bilamana penyidik harus segera bertindak dan
tidak mungkin untuk mendapatkan surat ijin
terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan
penggeledahan tanpa ijin terlebih dahulu dari
ketua pengadilan negeri:
pada halaman rumah tersangka bertempat
tinggal, berdiam atau ada dan yang ada
di atasnya.
pada setiap tempat lain tersangka
bertempat tinggal, berdiam atau ada.
di tempat tindak pidana dilakukan atau
terdapat bekasnya.
ditempat penginapan dan tempat umum
lainnya. (Pasal 34 ayat (1) KUHAP)
Dengan ketentuan segera melaporkan kepada
ketua pengadilan negeri setempat untuk
mendapat persetujuan (Pasal 34 ayat (2)
KUHAP)
b. Penggeledahan pakaian dan badan
Pada waktu penangkapan penyelidik hanya
berwenang melakukan penggeledahan
badan.
Pada waktu penangkapan atau menerima
penangkapan dari penyelidik, penyidik
berwenang melakukan penggeledahan badan
dan pakaian.
6. Syarat-Syarat Sah Tidaknya Penyitaan
a. Syarat Materiil
Untuk kepentingan penyidikan (Pasal 32 ayat
(1) KUHAP)
Benda yang disita adalah:
benda atau tagihan tersangka atau
terdakwa yang seluruh atau sebagian
diduga diperoleh dari tindakan pidana
atau sebagai hasil dari tindak pidana;
benda yang telah dipergunakan secara
langsung untuk melakukan tindak pidana
atau untuk mempersiapkannya;
benda yang dipergunakan untuk
menghalang-halangi penyidikan tindak
pidana;
benda yang khusus dibuat atau
diperuntukkan melakukan tindak pidana;
benda lain yang mempunyai hubungan
lansung dengan tindak pidana yang
dilakukan.
b. Syarat Formil
Harus dengan surat ijin ketua pengadilan negeri
(Pasal 38 ayat (1) KUHAP), kecuali dalam keadaan
yang sangat perlu dan mendesak penyidik dapat
melakukan penyitaan hanya atas barang bergerak,
dan segera wajib melaporkan kepada ketua
pengadilan untuk memperoleh persetujuan.
D. HUKUM ACARA PRAPERADILAN
Lembaga Praperadilan lahir untuk memberikan jaminan
fundamental terhadap HAM khususnya hak kemerdekaan.
Hak yang diberikan ini memberikan perlindungan yang sangat
menguntungkan bagi para tersangka atau terdakwa pelaku tindak
pidana. Dan sistem peradilan pidana menetapkan prosedur upaya
paksa yang seimbang. Prosedur ini bertujuan untuk melindungi
HAM orang yang tidak bersalah dan juga melindungi hak-hak asasi
tersangka atau terdakwa yang bersalah sama baiknya. Dengan
demikian kehadiran lembaga praperadilan menjadi titik balik
dan memberikan semangat baru, khususnya mengenai jaminan
hak-hak si tersangka, karena bersifat transparan dan akuntabilitas
public yang merupakan syarat-syarat tegaknya sistem peradilan
yang bebas dan tidak memihak serta menjunjung HAM.56
Lembaga praperadilan di Indonesia mengenai hukum acara
dan proses pemeriksaan praperadilan, telah diatur dalam KUHAP.
Pengaturan yang ada memang cukup singkat, sehingga tidak
memberikan kejelasan tentang hukum acara mana yang akan
digunakan khususnya berkaitan dengan beban pembuktian.
Praperadilan dalam KUHAP ditempatkan dalam Bab X, bagian
kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang
mengadili bagi Pengadilan Negeri (PN). Sedangkan pengertian
dari Praperadilan sendiri diatur di bab tersebut dalam Pasal 1
angka 10 KUHAP. Apa yang dirumuskan dalam Pasal tersebut
dipertegas dalam Pasal 77 KUHAP yang menyebutkan PN
berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undangundang ini tentang : sah
atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan, ganti rugi dan atau rehabilitas
bagi seseorang yang perkara pidanannya dihentikan pada tingkat
penyidikan atau penuntutan.
Wewenang pengadilan terhadap Praperadilan sebagaimana
56 O.C. Kaligis , Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, (Bandung, Alumni: 2006). Hlm. 366-368.
diatur dalam Pasal 95 KUHAP dijadikan alasan bagi tersangka,
terdakwa, atau terpidana untuk menuntut ganti kerugian selain
dari adanya penangkapan, penahanan, penuntutan, diadilinya
orang tersebut, juga apabila dikenakan “tindakan-tindakan lain”
yang secara tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya.
Mekanisme pengajuan praperadilan diatur dalam Pasal 77
– Pasal 83 dan PP No. 27 Tahun 1983 khususnya Pasal 7 sampai
dengan Pasal 15. Tata cara mengajukan Praperadilan oleh Pemohon
(korban salah tangkap/penahanan dll) memang tidak secara tegas
dan rinci diatur dalam KUHAP. Hanya saja pratik peradilan selama
KUHAP berlaku meniru dari prosedur tata cara dalam hal seseorang
mengajukan perkara perdata dalam bentuk gugatan/perlawanan.
Acara praperadilan sebagaimana dimaksudkan tersebut diatas,
dilaksanakan berdasarkan prosedur sebagaimana diatur dalam
Pasal 82 ayat (1) KUHAP berikut:
a. Hakim harus menetapkan hari sidang dalam waktu 3 ( tiga )
hari setelah diterimannya permintaan praperadilan;
b. Dalam melakukan pemeriksaan, hakim harus mendengar
keterangan dari para pihak baik dari pemohon, termohon
maupun dari pejabat yang berwenang;
c. Persidangan dilaksanakan secara cepat, dan paling lambat 7 (
tujuh ) hari hakim harus sudah menjatuhkan putusan;
d. Jika dalam jangka waktu tersebut pemeriksaan belum selesai,
maka permintaan praperadilan menjadi gugur, apabila perkara
tersebut sudah diperiksa di pengadilan;
e. Terhadap putusan praperadilan yang dilakukan pada tingkat
penyidik, tidak menutup kemungkinan pengajuan permintaan
pemeriksaan lagi pada tingkat pemeriksa oleh penuntut
umum.
f. Dalam menjatuhkan putusannya, maka hakim harus
mencantumkan secara tegas yang memuat dasar putusan
dan alasan / pertimbangan putusan, serta konsekuensi dari
disahkan atau tidak disahknannya alasan praperadilan (ayat 3).
E. GUGURNYA PRAPERADILAN DAN PENGHENTIAN PRAPERADILAN
Pemeriksaan praperadilan bisa gugur artinya pemeriksaan
praperadilan dihentikan sebelum putusan dijatuhkan atau
pemeriksaan dihentikan tanpa putusan. Hal ini diatur dalam
Pasal 82 ayat (1) huruf d yang berbunyi : dalam hal suatu
perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedang
pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan
belum selesai maka permintaan tersebut gugur. Memerhatikan
ketentuan itu gugurnya pemeriksaan praperadilan terjadi: (1)
apabila perkaranya telah diperiksa oleh pengadilan negeri dan (2)
pada saat perkaranya diperiksa pengadilan negeri, pemeriksaan
praperadilan belum selesai.
Pendapat yang menyatakan bahwa penguguran permintaan
yang ditentukan dalam Pasal 82 ayat (1) tidak mengurangi/ tidak
dianggap mengurangi hak tersangka, sebab semua permintaan
itu dapat ditampung kembali oleh Pengadilan Negeri dalam
pemeriksaan pokok.
Berkaitan dengan ketentuan mengenai penghentian
praperadilan didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) No. 5 Tahun 1985 tentang penghentian praperadilan,
tertanggal 1 Februari 1985. SEMA tersebut menyatakan bahwa
untuk menghindari keragu-raguan apakah acara praperadilan yang
sedang berjalan dapat dihentikan sewaktu-waktu oleh hakim?
Berhubung mengenai hal ini tidak ada pengaturannya dalam
KUHAP, maka Mahkamah Agung memberikan petunjuk sebagai
berikut: Pertama, acara praperadilan yang sedang berjalan dapat
dihentikan oleh hakim atas dasar permintaan pihak yang semula
mengajukan keberatan;dan Kedua, penghentian itu hendaknya
dilakukan dengan sebuah penetapan.
BAB III
UPAYA HUKUM DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PRAPERADILAN
A. UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN
Pada hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia dikenal
adanya upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya
hukum biasa yakni banding dan kasasi dimuat dalam Bab XVII
KUHAP, sedangkan upaya hukum luar biasa yakni kasasi demi
kepentingan hukum dan pemeriksaan kembali keputusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dimuat
dalam Bab XVIII KUHAP.
1. Pemeriksaan Banding
Menurut ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP
pemeriksaan Praperadilan dilakukan dengan cara pemeriksaan
cepat. Berdasarkan Pasal 67 KUHAP terhadap putusan
Pengadilan dalam acara pemeriksaan cepat tidak dapat
dimintakan banding, kecuali bagi terdakwa yang dijatuhi
pidana berupa perampasan kemerdekaan (Pasal 205 ayat (3)
KUHAP).
Tidak semua putusan praperadilan dapat dimintakan
banding, sebaliknya pula tidak seluruhnya putusan
praperadilan yang tidak dapat dimintakan banding. Demikian
menurut ketentuan Pasal 83 KUHAP. Dalam Pasal 83 inilah
ditentukan putusan yang menyakut kasus mana yang dapat
dibanding, dan yang tidak dapat diajukan permintaan banding.
Sesuai dengan isi dari Pasal 83 ayat (1) KUHAP maka terhadap
putusan praperadilan yang berisi penetapan tentang sah atau
tidak sahnya suatu tindakan penangkapan dan penahanan
maka tidak dapat dimintakan pemeriksaan banding.
2. Pemeriksaan Kasasi Terhadap Putusan Praperadilan
KUHAP tidak mengatur mengenai pemeriksaan kasasi
terhadap putusan praperadilan. Dan kalau diperhatikan
perumusan Pasal 83 ayat (2) KUHAP, maka terhadap putusan
praperadilan hanya dapat dimintakan “putusan akhir” kepada
Pengadilan Tinggi. Karena disebut putusan akhir (bukan
putusan pada tingkat akhir) dapat disimpulkan bahwa putusan
praperadilan tidak dapat dimintakan pemeriksaan kasasi,
dengan alasan bahwa ada keharusan penyelesaian secara
cepat dari perkara-perkara praperadilan, sehingga jika masih
dimungkinkan kasasi maka hal itu tidak dapat dipenuhi.
Selain itu wewenang Pengadilan Negeri yang dilakukan dalam
praperadilan dimaksud sebagai wewenang pengawasan
horizontal dari Pengadilan Negeri.
Alasan di atas juga dikuatkan oleh Putusan Mahkamah
Agung yaitu tidak membenarkan atau tidak dapat menerima
permohonan kasasi untuk putusan praperadilan. Hal tersebut
dapat diketahui antara lain dari putusan MA No. 227 K/KR/1982
tanggal 29 Maret 1983 dan No. 680 K/Pid/1983 tanggal 10 Mei
1984 yang dalam pertimbangan pokoknya menyatakan; bahwa
menurut Yurisprudensi tetap terhadap putusan-putusan
praperadilan harus dinyatakan tidak dapat dimintakan kasasi,
sehingga permohonan kasasi terhadap putusan praperadilan
harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dan yang terbaru
mengenai kasasi terhadap putusan praperadilan, terdapat di
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun 2011
tentang perkara yang tidak boleh diajukan kasasi yang mana
terdapat pada butir 2 yang menyebutkan putusan tentang
praperadilan tidak dapat diajukan kasasi.
3. Pemeriksaan Peninjauan Kembali Terhadap Putusan
Praperadilan
Seperti halnya pemeriksaan kasasi terhadap putusan
praperadilan, maka KUHAP juga tidak mengatur secara tegas
tentang pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) terhadap
putusan Praperadilan. Akan tetapi dalam pratek hukum
sudah pernah terjadi pemeriksaan peninjauan kembali
terhadap putusan praperadilan yang didasarkan pada
ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP dan Pasal 21 UU No. 14
Tahun 1970, antara lain:57
1. Putusan MA No. 32 PK/Pid/1989 Tanggal 7 Februari 1991.
Putusan tersebut adalah putusan peninjauan kembali
terhadap putusan praperadilan atas nama pemohon
Drs. Lukito yang dalam amar putusannya menyatakan
mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari
pemohon, membatalkan putusan praperadilan di
Pengadilan Negeri Tebing Tinggi.
2. Putusan MA No. 16 PK/Pid/1989 Tanggal 19 Juni 1990.
Putusan tersebut adalah peninjauan kembali terhadap
putusan praperadilan atas nama pemohon Ridwan
alias Aceng dengan amar putusan yang menyatakan
permohonan peninjauan kembali oleh Ridwan alias Aceng
tersebut tidak dapat diterima dan menetapkan putusan
yang dimohonkan tetap berlaku serta menghukum untuk
membayar biaya perkara.
57 M. A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Edisi Ke-5, (Malang, Universitas Muhammadiyah Malang, : 2004), Hlm. 291, 293.
Dengan demikian dari uraian Putusan MA di atas tentang
peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan, maka
upaya hukum peninjauan kembali dalam praktek hukumnya
dimungkinkan dilakukan.
B. PELAKSANAAN PUTUSAN PRAPERADILAN
Pada dasarnya putusan hakim sudah dijalankan apabila
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, begitu pula dengan
putusan praperadilan. Namun demikian putusan yang dijalankan
adalah putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan si
pemohon baik seluruh maupun sebagian. Melihat dalam Pasal 82
ayat (3) KUHAP, bahwa ada 3 (tiga) macam pelaksanaan putusan
praperadilan :
a. Melakukan Perbuatan Tertentu
Isi putusan yang memerintahkan kepada penyidik
atau penuntut yang diajukan permintaan pemeriksaan
praperadilan sebagai termohon untuk melakukan perbuatan
tertentu tercantum dalam Pasal 82 ayat (3 huruf a,b,dan d)
KUHAP meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan
atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa
penuntut umu pada tingkat pemeriksaan masing-masing
harus membebaskan tersangka.
2. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian
penyidikan tau penuntutan tidak sah, penyidik atau
penuntut terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
3. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita
ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka penyidik
atau penuntut umum harus segera mengembalikan benda
tersebut kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.
Putusan praperadilan yang mengandung perintah untuk
melakukan perbuatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 82 ayat (3 huruf a,b, dan d) KUHAP dilaksanakan oleh
penyidik atau penuntut umum selaku termohon dalam
putusan praperadilan tersebut. Misalnya putusan praperadilan
menetapkan bahwa penahanan yang dilakukan oleh termohon
adalah tidak sah, apabila tersangka berada dalam tahanan,
penyidik atau penuntut umum sebagaimana tersebut dalam
putusan praperadilan selaku termohon harus membebaskan
tersangka dimaksud dari tahanan, yaitu dengan mengirim
surat perintah pembebasan tersangka dari tahanan kepada
Kepala RUTAN dimana tersangka ditahan. Atas perintah
tersebut, kepala RUTAN membebaskan tersangka dengan
membuat Berita Acara Pelepasan tersebut kepada penyidik atau
penuntut umum. Selanjutnya, setelah Berita Acara tersebut
diterima, penyidik atau penuntut umum yang bersangkutan
membuat laporan pelaksaan putusan praperadilan kepada
Ketua Pengadilan Negeri setempat.
b. Melakukan Pembayaran Sejumlah Uang
Apabila isi putusan paperadilan menetapkan bahwa
tersangka diberikan ganti rugi sebagaimana tersebut
dalam Pasal 82 ayat (3 huruf c) KUHAP, maka tersangka
selaku pemohon berhak untuk mendapat sejumlah uang
sebagaimana tersebut dalam putusan praperadilan. Oleh
karena tindakan yang dilakukan penyidik atau penuntut
umum merupakan tindakan dalam rangka menjalankan
tugasnya sebagai alat Negara penegak hukum, maka ganti
kerugian atas tindakan-tindakan mereka yang menurut
putusan praperadilan adalah tidak sah, dibebankan kepada
Negara. Negara yang memberikan sejumlah uang tertentu
kepada tersangka, dalam hal ini menurut Pasal 11 ayat (1)
PP No. 27 Tahun 1983 adalah Menteri Keuangan RI. Dalam
pratek setelah penerima petikan ganti kerugian dari panitera
Pengadilan Negeri yang mengadili permintaan pemeriksaan
praperadilannya, pemohon mengajukan permohonan
pelaksaan putusan praperadilan kepada Ketua Pengadilan
Negeri membuat surat ketetapan pembayaran ganti kerugian
dengan melampirkan surat permohonan pemohon, dan
putusan praperadilan tersebut kepada kantor perbendaharaan
Negara. Kemudian atas perintah Ketua Pengadilan Negeri,
kantor perbendaharaan Negara mengeluarkan surat perintah
membayar uang sejumlah yang telah ditetapkan dalam
putusan praperadilan dan mengirimkanya kepada Ketua
Pengadilan Negeri. Karena yang mengajukan permintaan
kepada kantor perbendaharaan Negara adalah Pengadilan
Negeri lalu uang tersebut diserahkan kepada pemohon.
c. Pemberian Rehabilitasi
Putusan praperadilan menetapkan bahwa suatu
pengkapan atau penahanan tidak sah maka dalam putusan
dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi
yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian
penyidikan atau penuntut adalah sah dan tersangkanya tidak
ditahan yang rehabilitasinya dicantumkan dalam Pasal 82 ayat
(3 huruf c) KUHAP. Dalam hal pemberian rehabilitasi, menurut
Pasal 15 PP No. 27 Tahun 1983 isi putusan atau penetapan
rehabilitasi diumumkan oleh panitera dengan menetapkannya
pada papan pengumuman pengadilan. Penetapan pemberian
rehabilitasi hendaknya tidak saja dimuat dalam papan
pengumuman pengadilan melainkan dimuat juga dalam
media masa, demi nama baik oang yang bersangkutan yang
sudah tercemar dimata masyarakat.
BAB IV
REFORMASI PRAPERADILAN
A. KELEMAHAN PRAPERADILAN KUHAP
Di tengah situasi penegakan hukum yang penuh dengan
aroma ”mafi a peradilan”, KUHAP justru memberikan peluang bagi
aparat penegak hukum dalam soal penahanan untuk menafsirkan
dibolehkannya menahan seseorang yang diduga sebagai pelaku
tindak pidana secara subjektif. Artinya, kewenangan menahan
atau tidak sepenuhnya tergantung dari penyidik dengan dasar
yuridis yang bersifat sangat subjektif pula. Dalam hal ini, situasi
penegakan hukum dan instrumen hukum saling mendukung
dalam menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi.
Penulis menilai bahwa potensi penyalahgunaan wewenang
juga terjadi terhadap ketentuan KUHAP tentang “bukti permulaan
yang cukup” karena KUHAP tidak pernah menjelaskan secara
memadai pengertian dan batasannya. Penafsiran atas “bukti
permulaan yang cukup” akhirnya diserahkan kepada aparat
penegak hukum, yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum
dan berakibat pada metode kerja penyidik yang masih mewarisi
cara-cara masa lalu yaitu dengan “tangkap dulu baru pembuktian”.
Ketidakjelasan pengertian maupun batasan ”bukti permulaan
yang cukup” menunjukkan bahwa KUHAP tidak konsisten dengan
semangat lahirnya, yaitu menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia yang memilki hak-hak asasi yang harus dihormati dan
dijunjung tinggi.
Bukti permulaan yang cukup merupakan dasar untuk
melakukan upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan,
dalam menggunakan upaya paksa ini telah terjadi pengurangan
terhadap hak asasi manusia yaitu kebebasan, sehingga harus
betul-betul didasarkan pada bukti yang akurat dan memadai,
apalagi penangkapan, penahanana maupun upaya paksa lainnya
terkait dengan nama baik seseorang, meski di dalam hukum
pidana digunakan asas praduga tidak bersalah tetapi di tengah
masyarakat orang yang pernah ditangkap dan ditahan terkadang
mendapat stigma yang negatif. Bukti permulaan yang cukup
seharusnya dikaitkan dengan ketentuan pasal 183 KUHAP yang
mengatur tentang batas minimal alat bukti yaitu minimal harus
ada 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim.
Penyidikan polisi merupakan proses untuk membuktikan
bahwa seorang tersangka/terdakwa betulbetul melakukan
tindak pidana, sehingga proses ini adalah rangkaian kegiatan
mengumpulkan dan memperdalam alat bukti yang sah, sebagai alat
untuk membuktikan di pengadilan. Seorang terdakwa harus betul-
betul melakukan tindak pidana, dan karenanya pantas dijatuhi
sanksi pidana. Pengadilan yang akan menguji apakah dakwaan
penuntut umum beserta bukti-bukti yang diajukan dapat dijadikan
sebagai alat bukti yang sah untuk mempidanakan seseorang.
Namun, belum tentu alat bukti yang berhasil dikumpulkan
oleh penyidik diakui sebagai alat bukti yang sah oleh hakim di
pengadilan. Sehingga, lebih tepat jika masih berada dalam tahap
penyidikan, alat bukti yang dikumpulkan penyidik disebut sebagai
”calon alat bukti”. Hal ini dapat pula dikaitkan dengan asas praduga
tidak bersalah.
Ketidakjelasan pengertian ”bukti permulaan yang cukup” juga
berakibat tidak dapat dilakukannya pengujian oleh hakim dalam
praperadilan. Praperadilan hanya menguji syarat administratif
dalam pengkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau
penghentian penuntutan, tetapi tidak menyentuh aspek subtansial
pembuktian yaitu terpenuhinya bukti permulaan yang cukup.
Penulis juga menilai, selain luasnya kewenangan penyidikan
dalam menentukan bukti permulaan yang cukup, pengawasan
terhadap kewenangan tersebut juga lemah. Oleh karena itu,
sehingga penulis berpendapat, kewenangan hakim perlu ditinjau
kembali dalam hal menentukan perlu tidaknya penahanan dan
tidak sekedar menentukan sah tidaknya penahanan dalam
proses praperadilan, mengingat tingginya keluhan publik tentang
masalah penahanan.
Semestinya, memang ada upaya kontrol terhadap setiap
aparat penegak hukum pada lembaganya masing-masing secara
vertikal. Namun pengawasan ini tidak cukup kuat karena sangat
tergantung dari kesungguhan dan kemauan internal lembaga itu
sendiri. Maka, diperlukan pengawasan horizontal, yang dilakukan
secara sejajar atau pengawasan dalam tingkat yang sama.
Berdasarkan hal tersebut penulis menyimpulkan bahwa
KUHAP perlu direvisi khususnya mengenai mekanisme saling
mengawasi antara penegak hukum dan lembaga dalam subsistem
peradilan. Maksudnya antara penyidikan, penuntutan, pembelaan,
pemeriksaan hakim dan tingkat upaya hukum. Selain itu, penulis
juga menilai, ketentuan praperadilan dalam KUHAP hanya sebatas
menguji (examinator judge) sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
tetapi tidak meliputi menguji tindakan menyimpang dari penyidik
jadi di harapkan dari posisi examinator judge harusnya menjadi
investigating judge.
Didalam sistem hukum acara pidana di Indonesia, Penulis
menilai ada 5 (lima) masalah terkait penahanan, praperadilan
dan pengawasan upaya paksa, yakni sebagai berikut:
1. Pengujian penahanan: terbatas hanya review administratif
dan dasar objektif penahanan
Dalam praktiknya, praperadilan hanya menguji syarat-
syarat penahanan yang bersifat formal administratif. Hakim
hanya memerhatikan ada atau tidak adanya surat perintah
penangkapan, atau ada tidaknya surat perintah penahanan,
dan sama sekali tidak menguji dan menilai syarat materiilnya.
Padahal syarat materiil inilah yang menentukan seseorang
dapat dikenakan upaya paksa berupa penangkapan atau
penahanan oleh penyidik atau penuntut umum.
Aturan penahanan KUHAP justru memberikan peluang
bagi aparat penegak hukum menafsirkan dibolehkannya
menahan seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak
pidana secara subjektif. Artinya kewenangan menahan atau
tidak sepenuhnya tergantung dari penyidik dengan dasar
yuridis yang bersifat sangat subjektif pula.58 Dalam hal ini,
baik situasi penegakan hukum dan instrumen hukum saling
mendukung potensi penyalahgunakan kewenangan untuk
kepentingan pribadi. Menurut hasil penelitian KHN dan ICJR,
penyidik maupun penuntut dalam menggunakan kewenangan
”penahanan” atau ”lanjutan penahanan” didasarkan pada
feeling seorang penyidik maupun penuntut terhadap keadaan
seorang tersangka.
58 Ketentuan pasal 21 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi ”Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulagi tindak pidana lagi”. Apa yang diatur dalam pasal 21 ayat (1) KUHAP adalah pertimbangan subjektif, adapun pertimbangan obyektif diatur dalam pasal 21 ayat (4) KUHAP yang berbunyi ” Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3) dan seterusnya”
Karena tidak ada forum yang berwenang memeriksanya,
sampai saat ini masih banyak penyalahgunaan kekuasaan
dan kesewenang-wenangan dalam hal penangkapan dan
penahanan terhadap seorang tersangka/terdakwa oleh pihak
penyidik/penuntut umum. Padahal dalam sistem habeas
corpus, hal ini justru menjadi tonggak ujian sah tidaknya
penahanan terhadap seseorang ataupun boleh tidaknya
seseorang ditahan. Oleh karena itu, tidak tepat jika hakim,
melalui praperadilan, hanya memeriksa bukti formil dan
mengenyampingkan fakta yang terjadi (materil). Peran
hakim yang seperti demikian, menyimpangi tujuan proses
peradilan pidana yang mencari kebenaran materil. Sangat
sulit mengharapkan kebenaran materil jika dalam tahapan
praajudikasi karena hakim hanya memeriksa bukti formil saja
sebagaimana dipraktikan dalam praperadilan.
2. Sikap hakim yang cenderung pasif dalam praperadilan
Dalam menggunakan kewenangannya, hakim pada
praperadilan bersikap pasif, yang hanya dapat dipergunakan
jika ada permohonan. Hakim praperadilan menunggu
adanya permohonan dari para pemohon yang merasa
haknya dilanggar atau dirugikan atas tindakan hukum
yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum dan
permohonan ganti kerugian.
Hakim praperadilan tidak boleh bertindak aktif atau
inisiatif sendiri untuk melakukan pengujian terhadap dugaan
terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik atau
penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa. Tetapi,
hakim yang mengetahui terjadinya pelanggaran hukum pada
tahap pendahuluan oleh penyidik atau penuntut umum,
dapat menggunakan wewenangnya pada saat pemeriksaan
pokok perkara untuk mempertimbangkan penyidikan atau
penuntutan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara
atau yang melawan hukum.
Misalnya, hakim mengetahui dalam sidang pengadilan
tentang penyimpangan dalam pengumpulan alat bukti
dijadikan dasar untuk menilai kekuatan alat bukti tersebut
dalam pembuktian, penahanan yang tidak sesuai dengan
prosedur, dipertimbangkan untuk menjatuhkan pidana yang
lebih ringan. Praperadilan tidak berwenang untuk menguji dan
menilai sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan
tanpa permintaan dari tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasa tersangka, Sehingga, maka sidang praperadilan
tidak dapat ditiadakan apabila tidak ada permintaan,
walaupun tindakan penangkapan atau penahanan nyata-
nyata menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
3. Gugurnya praperadilan yang menghilangkan hak tersangka
Gugurnya pemeriksaan praperadilan terjadi apabila
perkaranya diperiksa PN atau pada saat perkaranya diperiksa PN,
pemeriksaan praperadilan belum selesai. Hal ini dimaksudkan
untuk menghindari terjadinya penjatuhan putusan yang
berbeda. Oleh karena itu lebih tepat pemeriksaan praperadilan
dihentikan dengan jalan menggugurkan permintaan, dan
sekaligus semua hal yang berkenaan dengan perkara itu ditarik
ke dalam kewenangan PN untuk menilai dan memutusnya.
Menurut banyak teoritis, ketentuan tersebut tidak mencerminkan
keadilan, karena dengan demikian tindakan yang dilakukan oleh
pejabat yang bersangkutan tidak bisa diketahui sah menurut
hukum ataukah tidak. Meskipun Hakim berwenang melakukan
penahanan, namun ia tidak bisa diajukan praperadilan. Oleh
karena itu, jika ada permintaan pemeriksaan praperadilan
terhadap seorang Hakim, haruslah ditolak dengan surat biasa
di luar sidang (SEMA No. 14 Tahun 1983).
Surat Edaran tersebut menyebutkan, apabila telah
dilakukan penahanan oleh Hakim maka pemeriksaan
perkara pokok akan segera mulai diperiksa sehingga
permohonan praperadilan dimaksud adalah hal yang bersifat
sia-sia. Ketentuan ini membatasi wewenang praperadilan
karena proses pemeriksaan Praperadilan ”dihentikan”
dan perkaranya menjadi gugur pada saat perkara pidana
pokoknya mulai diperiksa oleh PN. Kalau proses praperadilan
yang belum selesai dihentikan dan perkaranya yang sedang
diperiksa menjadi dianggap gugur atas alasan perkara
pidana pokok sudah mulai disidangkan, maka tujuan
praperadilan menjadi tidak berfungsi, kabur dan hilang.
Tujuan praperadilan adalah memberikan penilaian hukum
tentang pemeriksaan pendahuluan terhadap tersangka
seperti yang dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP, yang
keputusannya menjadi dasar untuk membebaskan tersangka
dari penangkapan dan/atau penahanan yang tidak sah serta
tuntutan ganti rugi.
Oleh karena itu, sistem praperadilan seharusnya menjamin
keputusan hukum yang tuntas, tidak dengan sistem gugur itu.
Sistem hukum yang sesuai dengan azas ”due proccess of law”
harus menjamin proses praperadilan selesai hingga terdapat
keputusan yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Pemeriksaan
perkara pidana pokok oleh pengadilan seharusnya menunggu
sampai selesainyabpemeriksaan oleh praperadilan, dan bukan
sebaliknya. Dengan demikian permasalahan hukum dalam
pemeriksaan pendahuluan seperti yang dimaksud dalam Pasal
77 KUHAP menjadi tidak terjawab, yang merugikan tersangka
dan merugikan citra hukum dan keadilan.59
59 Harjono Tjitrosoebono, Komentar DPP Peradin Terhadap Hukum Acara Pidana (HAP), (Jakarta: 1981), Hlm. 28.
Adanya putusan gugur dalam praperadilan menutup
kemungkinan bagi pemohon untuk melakukan upaya
hukum atas putusan tersebut, karena upaya hukum tersebut
sangatlah penting bagi pemohon untuk mengetahui
keabsahan dari tindakan hukum (penangkapan dan atau
penahanan) yang dilakukan oleh Pejabat tertentu berdasarkan
kewenangannya terhadap diri tersangka. Seharusnya ada
upaya hukum yang memberikan perlindungan hukum
bagi mereka yang ditangkap, ditahan ataupun dihentikan
penyidikan dan penuntutannya, dimana perkara pokoknya
telah diperiksa di sidang Pengadilan. Jika hal ini tidak
dilakukan oleh pembuat undang-undang maka akan terjadi
tindakan kesewenang-wenangan oleh pejabat. Apabila
terjadi permohonan praperadilan baik terhadap penyidik
maupun Penuntut Umum, maka kedua pejabat tersebut
dapat dengan leluasa melakukan upaya pelimpahan perkara
ke PN dengan harapan akan dilakukan pemeriksaan terhadap
perkara tersebut yang berakibat gugurnya permohonan
praperadilan tersebut.
4. Masalah hukum acara praperadilan: antara perdata, pidana
dan minus aturan
Sebagian hukum acara dan proses pemeriksaan
Praperadilan, memang telah diatur dalam KUHAP. Namun
Pengaturan yang ada terlalu singkat, sehingga tidak
memberikan kejelasan tentang hukum acara mana yang
akan digunakan. Di dalam praktik, hukum acara pemeriksaan
praperadilan adalah hukum acara perdata. Khusus mengenai
penahanan, penggunaan hukum acara perdata akan membawa
komplikasi tersendiri karena Pemohon/Tersangkalah yang
harus membuktikan bahwa penahanan terhadap dirinya
bertentangan dengan Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Selain itu
penggunaan hukum acara perdata juga akan “memaksa”
pengadilan untuk hanya memeriksa aspek–aspek administratif
dari penahanan seperti ada tidaknya surat perintah penahanan.
Karena hukum acara praperadilan dalam KUHAP tidak
diatur secara tegas, dan karena sifatnya permohonan, maka
hakim mengacu pada hukum acara perdata. Dalam hukum
acara perdata, praperadilan diajukan di tempat termohon.
Beberapa hal yang tidak di atur di dalam KUHAP: (i) masalah
pemanggilan kepada ‘termohon’; (ii) tata cara mengajukan
praperadilan oleh Pemohon (iii) minimnya pengaturan beban
pembuktian (burden of proof), sehingga tidak konsisten
digunakan. Jika para pihak tidak hadir, tidak ada ketentuan
hukum acaranya dalam KUHAP walaupun secara hukum acara
perdata diperbolehkan, sehingga hakim tidak akan melakukan
verstek dalam praperadilan.
5. Masalah manajemen perkara praperadilan dan ketepatan
waktu praperadilan
Ada tiga pendapat yang berbeda sebagai pedoman
dalam menentukan tenggang waktu praperadilan. Pertama,
pendapat yang menyatakan bahwa putusan dijatuhkan
tujuh hari sejak penetapan sidang, maka hakim harus
menjatuhkan putusan tujuh hari sejak penetapan hari sidang.
Berarti penetapan pemanggilan dan pemeriksaan sidang
maupun penjatuhan putusan berada dalam jangka waktu
tersebut dan tidak memperhitungkan tanggal penerimaan
dan tanggal regsitrasi. Jangka waktu antara penerimaan
dengan penetapan hari sidang dikeluarkan dari perhitungan
tenggang waktu yang ditentukan pasal 82 ayat (1) huruf c.
Dalam pendapat ini seakan-akan ada suatu pertimbangan
atas makna proses pemeriksaan cepat, padahal ketentuan
pasal dimaksud sudah menegaskan bahwa pemeriksaan
dilakukan dengan acara cepat. Karene itu, perhitungan
tenggang waktu tujuh hari dimulai dari tanggal penetapan
hari sidang. Pendapat ini kurang tepat dan tidak memnuhi
perintah undang-undang.
Pendapat kedua, tenggang waktu dihitung tujuh hari
sejak sidang pertama dibuka, yaitu setelah didaftarkan
melalui kepaniteraan pidana, dimasukkan ke register, dan
disampaikan ke meja ketua untuk penunjukkan hakim. Hal ini
terjadi karena biasanya ada waktu tiga hari dalam menentukan
hari sidang. Proses pemanggilan dihadapkan pada syarat
sahnya pemanggilan setidaknya tiga hari sebelum sidang.
Hari Sabtu dan Minggu tidak dihitung dalam tenggang waktu
ini. Setelah hari siding ditetapkan, tenggang waktu tujuh hari
dimulai. Meski demikian, pengadilan tidak mengetahui pasti
apakah tenggang waktu yang dimaksud adalah tujuh hari kerja
atau tujuh hari kalender. Penunjukkan hakim oleh Ketua PN
biasanya seesai dalam satu hari, dan hakim yang ditunjuk
sudah menetapkan hari sidang dalam satu hari. Pemanggilan
sendiri membutuhkan waktu tiga hari, sehingga banyak hakim
menetukan bahwa penentuan tujuh hari dihitung sejak sidang
pertama digelar. Pendapat ini juga kurang tepat dan tidak
memenuhi perintah undang-undang.
Pendapat ketiga yang menyatakan tenggang waktu tujuh
hari dihitung sejak tanggal pencatatan adalah pendapat yang
lebih dekat dengan Pasal 82 ayat (1) huruf c. Menurut pendapat
ini, hakim harus menjatuhkan putusan dalam tujuh hari sejak
permohonan diregister di kepaniteraan pengadilan.
Pendapat ini lebih sesuai dengan prinsip peradilan yang
cepat. Secara teoritis tidak ada pilihan bagi hakim untuk
untuk mengingkari jika berpegang kepada ketentuan undang-
undang. Hakim harus memberikan pelayanan yang cepat
sehingga putusan mesti dijatuhkan dalam waktu tujuh hari.
Namun dalam praktik, para hakim tidak dapat memenuhi
tenggat waktu tersebut secara tepat.
B. PRAPERADILAN SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUUXII/2014
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-
XII/2014. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian
permohonan terpidana korupsi kasus proyek biomediasi PT
Chevron Bachtiar Abdul Fatah yang salah satunya menguji
ketentuan objek praperadilan yang menjadi polemik terutama
pasca putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
yang membatalkan status tersangka Budi Gunawan. Mahkamah
Konstitusi di dalam isi putusannya menyatakan inkonstitusional
bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan
yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14,
Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal
dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP
dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai
termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan
pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan
hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai
tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal
ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik
terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu. Saat
KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum
menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara konvensional
dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan,
dan penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa
telah mengalami berbagai perkembangan atau modifi kasi yang
salah satu bentuknya adalah penetapan tersangka oleh penyidik
yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau
status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk
melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian
tujuan dari penetapan tersangka tersebut. Padahal hukum harus
mengadopsi tujuan keadilan dan kemanfaatan secara bersamaan
sehingga jika kehidupan sosial kompleks maka hukum perlu lebih
dikonkretkan secara ilmiah dengan menggunakan bahasa yang
lebih baik dan sempurna. Dengan kata lain, prinsip kehati-hatian
haruslah dipegang teguh oleh penegak hukum dalam menetapkan
seseorang menjadi tersangka.60
C. REFORMASI LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM PERSFEKTIF HAK ASASI MANUSIA DI MASA MENDATANG
Secara sosiologis, praktek persoalan mengenai praperadilan
sering terjadi dan kadang-kadang masih menjadi permasalahan
karena tidak adanya persepsi dan penafsiran yang seragam dan hal
itu terjadi karena KUHAP tidak mengaturnya. Diperlukan adanya
kebijakan di bidang sistem peradilan pidana, apabila diajukan
permohonan praperadilan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat
dari tindakan pejabat baik penyidikan maupun penuntutan, dimana
kebijakan tersebut dapat berupa amandemen Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dengan jalan menambah
ketentuan ”apabila dilakukan permohonan praperadilan,
seharusnya perkara pokok tidak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri
sebelum diputuskan permohonan praperadilan ini.
Hal ini bertujuan memberikan perlindungan hukum dan
kepastian hukum terhadap tersangka yang dikenai tindakan
60 Putusan Mahkamah Konstitusi 21/PUU-XII/2015, Hlm.104.
penangkapan dan / atau penahanan oleh pejabat yang
berwenang dimana tindakan pejabat tersebut akan dinilai atau
dikontrol oleh lembaga Praperadilan melalui putusannya yang
mempertimbangkan keabsahan dari tindakan pejabat dimaksud.
Sehingga nantinya tidak ada putusan Praperadilan yang serta merta
dinyatakan gugur akibat mulai diperiksanya perkara pidana pokok
terhadap tersangka. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu,
terlepas dari konteks diatas ternyata ada sebuah pemikiran baru
tentang perlunya perubahan dan pembaharuan KUHAP.
Pertanyaan kritis dari aspek ini adalah apakah memang
diperlukan perubahan dan pembaharuan KUHAP, sehingga
diperlukan pembahasan tentang RUU-KUHAP untuk masa
mendatang (ius constituendum). Kemudian pertanyaan yang
timbul berikut apakah dengan adanya RUU-KUHAP, yang nantinya
apabila disetujui menjadi undang-undang selaku hukum positif,
apakah dapat memberikan sebuah garansi bahwa undang-
undang yang dihasilkan tersebut akan menjadi relatif lebih baik
dari aspek substansi, redaksional, dan akhirnya akan memberi
pengaruh yang besar terhadap penerapan pasal-pasal tersebut
pada praktek pengadilan.
Harus diakui memang, bahwa undang-undang (hukum)
relatif jauh tertinggal dengan perkembangan masyarakat (law in
action). Akan tetapi, hal ini bukanlah berarti an sich kita harus
mengganti KUHAP dengan pembaharuan melalui RUU-KUHAP
secara menyeluruh. Penerapan KUHAP memang banyak aspek
positif dapat dipetik. Akan tetapi disisi lainnya memang harus
diakui bahwa KUHAP dalam penerapannya banyak kekurangan
di sana sini.
Oleh karena itu dengan dimensi yang demikian bahwa
penggantian KUHAP yang telah berjalan dalam praktik selama
kurang lebih 28 tahun, dengan RUU-KUHAP tidak bersifat gradual
dan menyeluruh, tetapi hendaknya bersifat parsial di mana dari
sisi kebijakan formulatif dan aplikasi yang terjadi dalam praktik
dianggap penerapannya kurang maksimal dan akomodatif,
hendaknya diperbaharui dan dirumuskan kembali sehingga
menjadi lebih bersifat aspiratif. Rumusan substansi lembaga
hakim komisaris sebagai pengganti lembaga praperadilan
yang dirumuskan oleh tim nasional yang dibentuk oleh
Departemen Hukum dan Ham R.I tahun 2007 dalam Rancangan
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (R KUHAP) yang
dicantumkan dalam Pasal 73 sampai dengan Pasal 81 adalah
sebagai berikut :
Pasal 73 Rancangan KUHAP menyebutkan :
1. Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan:
a. Sah atau t idaknya penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, penghentian penyidikan,
atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan
asas oprtunitas ;
b. Penahanan atas permintaan penuntut umum ;
c. Ganti kerugian dan / atau rehabilitasi bagi seorang yang
ditangkap atau ditahan secara tidak sah ;
d. Dapat atau tidaknya dilakukan pemeriksaan pada tahap
penyidikan dan penuntutan tanpa didampingi oleh
penasihat hukum ;
e. Menangguhkan penahanan ; dan
f. Suatu perkara layak atau tidak layak untuk dilakukan
penuntutan ke pengadilan
2. Hakim Komisaris memberi putusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d berdasarkan
permohonan tersangka atau korban, serta huruf e dan huruf
f berdasarkan permintaan penuntut umum.
3. Hakim Komisaris memberikan penetapan penangkapan,
penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan, atau
penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan atas asas
oprtunitas, atas perkara sendiri, setelah menerima tembusan
surat penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian
penyidikan, atau penghentian penuntutan yang tidak
berdasarkan atas asas oportunitas.
4. Hakim Komisaris dapat memerintahkan pemeriksaan atas
orang saksi yang mungkin tidak dapat hadir pada saat
persidangan, berdasarkan permohonan tersangka, terdakwa
atau penuntut umum.
5. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
dihadapan tersangka atau terdakwa dan penuntut umum agar
pemeriksaan sidang dapat dilakukan
Pasal 80 R KUHAP menyebutkan :
1. Hakim komisaris berkantor di atau dekat rumah tahanan
negara;
2. Hakim komisaris menerapkan hakim tunggal, memeriksa,
menetapkan atau memutus karena jabatannya seorang diri;
3. Dalam menjalankan tugasnya hakim komisaris dibantu oleh
seorang panitera beberapa orang staf sekretaris
Bahwa setelah mendapat tanggapan dari berbagai pihak
selanjutnya terdapat perubahan dalam ketentuan Pasal tersebut
diatas yaitu :
Pasal 73 berbunyi sebagai berikut :
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang :
a. Tidak ditangkap dan ditahan tersangka / terdakwa yang
mengancam dan membahayakan keamanan korban, pelapor
dan saksi.
b. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan.
c. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang
berperkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan
atau penuntutan.
Pasal 74 menyebutkan :
1. Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 adalah praperadilan.
2. Praperadilan dipimpin oleh Hakim tunggal yang ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera.
Dengan substansi Pasal 80 R KUHAP tersebut diatas, bila
lembaga hakim komisaris disahkan dan diberlakukan akan
menimbulkan kerugiankerugian sebagai berikut :
a. Menjadi beban yang sangat berat bagi pemerintah RI untuk
: 1) Penyediaan pembiayaan baik untuk gaji operasional cost
maupun pendidikan dan pelatihan ; 2) Penyediaan sarana
prasarana perkantoran, perumahan dinas dan transportasi.
b. Semakin permanen terbentuk kolusi dan korupsi yang
sulit untuk disentuh oleh hukum dengan mengedepankan
presumption of innoncent, indepedensi dan impartial judge,
dengan mengorbankan hak korban, pelapor dan saksi.
c. Tidak mengutamakan kepentingan hak korban, pelapor, atau
saksi yang lebih dominan kepentingan aparat penegak hukum.
d. Tidak efektif dalam memberikan jaminan kepastian hukum
dan keadilan kepada para pihak berperkara
Kritik selalu dilontarkan sehubungan dengan terlalu banyaknya
instrumen HAM yang memfokuskan pada perlindungan pelaku
tindak pidana, sedangkan perhatian terhadap korban yang
seharusnya dilakukan atas dasar belas kasian dan hormat atas
martabat korban (compassion and respect for their dignity) seolah-
oleh dilupakan, atau paling tidak kurang diperhatikan.
Dengan adanya perubahan Rancangan KUHAP setelah
mendapat tanggapan dari berbagai pihak, juga terdapat perubahan
mengenai keberadaan Hakim Komisaris yang diganti dengan
mengaktifk an kembali lembaga praperedilan dengan berbagai
perubahan ataupun perluasan wewenangnya. Disamping
perluasan wewenang tersebut hal yang lebih penting adanya
perlindungan hak asasi terhadap tersangka / terdakwa dan korban,
pelapor, maupun saksi secara seimbang. Dengan kerugian-
kerugian tersebut diharapkan negara Indonesia tidak perlu
meniru bentuk lembaga hakim komisaris. Yang paling utama
adalah moralitas manusia yang ditunjuk sebagai pejabat dalam
sistem peradilan pidana yang telah ditetapkan. Untuk itu lembaga
praperadilan tetap diterapkan dalam rancangan undang-undang
tentang hukum acara pidana dengan rumusan lebih kongkretkan
dan lebih mengutamakan kepentingan tersangka / terdakwa dan
korban, pelapor, serta secara seimbang, agar jangan sampai hak
korban, pelapor dan saksi dikorbankan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005).
Achmat Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009).
Ansorie (et al), Hukum Acara Pidana, (Bandung:Angkasa, 1990).Bagir Manan, Peranan Pendidikan Tinggi Hukum Dalam Reformasi Hukum,
(Varia Peradilan No. 256 Maret 2007).Barda Nawawi Arief, Pendekatan Keilmuan Dan Religius Dalam Rangka
Optimalisasi Dan Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) Di Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Univesitas Diponegoro, 2011).
Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan Pidana (Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia), (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro: 2011).
Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan Pidana (Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia), (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro: 2011).
Darwan Prints, Praperadilan dan Perkembagannya Di Dalam Praktek, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti 1993.
Harjono Tjitrosoebono, Komentar DPP Peradin Terhadap Hukum Acara Pidana (HAP), (Jakarta,:1981)
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Rajagrafi ndo Persada: Jakarta, 2011.
Lawrence M. Friedman, Legal System: A Social Science Perspective, (New York: Russel Sage Foundation, 1975).
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perpektif Teoritik Dan Praktik Peradilan, (Bandung, Mandar Maju: 2007).
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritik Dan Praktik Peradilan, (Bandung: Mandar Maju, 2007).
M. A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Edisi Ke-5, (Universitas Muhammadiyah Malang, Malang : 2004)
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan Banding Kasai dan Peninjauan Kembali, (Jakarta, Sinar Grafi ka: 2006).
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif, (Yogyakarta: AnthonyLib, 2009).
Mochamad Anwar, Praperadilan, Ind-Hil-Co, (Jakarta: 1989)Muladi, Kapita Selekta Sistem peradilan Pidana, (Semarang: Badan
Penerbit UNDIP).Muladi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Citrabaru, 1994).O.C. Kaligis , Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa
dan Terpidana, (Bandung, Alumni: 2006)Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: CV. Mandar
Maju, 1996).Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme
Dan Abolisionisme, (Penerbit Putra A. Bardin, 1996). Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000).Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
(Jakarta: PT. Raja Grafi ndo Persada, 2004).Yanto, Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Pertama
(Yogyakarta: Kepel Press, 2013).Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep Komponen,
Dan Pelaksanaannnya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009).
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
NAMA : Dr. Anang Shophan Tornado, SH. MH. M .Kn.Lahir : Banjarmasin. Tanggal : 2 Oktober 1979.Pekerjaan : Dosen FH ULM.Agama : Islam.Alamat Kantor : FH ULM Jalan Brigjen Hasan Basri Kayu Tangi
Banjarmasin.
Riwayat Pendidikan 1). SDN Belitung Selatan 5 Banjarmasin lulus tahun 1992.2). SMPN 5 Banjarmasin Lulus Tahun 1995.3). SMUN 6 Banjarmasin Lulus Tahun 1998.4). Fakultas Hukum ULM Lulus Tahun 2004.5). Magister Ilmu Hukum ULM Lulus Tahun 2010.6). Magister Kenotariatan UGM Lulus Tahun 2012.7). Program Doktoral Ilmu Hukum UB Lulus Tahun 2018. Riwayat Pekerjaan 1). Dosen Fakultas Hukum ULM.2). D osen Magister Ilmu Hukum ULM.3). Dosen Magister Ilmu Hukum STIHSA3). Dosen Magister Kenotariatan ULM.4). Dosen luarbiasa Fakultas Ekonomi ULM.