Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI
-
Upload
caruban -
Category
News & Politics
-
view
2.752 -
download
1
description
Transcript of Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI
Media, budaya, dan upaya merawat cita‐cita hidup bersama
Disampaikan pada resepsi 18 tahun Aliansi Jurnalis Independen: Jakarta, 7 Agustus 2012
Yanuar Nugroho
Institut Kajian Inovasi – Universitas Manchester, Inggris Manchester Institute of Innovation Research – University of Manchester, UK
Abstrak Hidup manusia modern hari‐hari ini tak bisa dilepaskan dari pengaruh media, yang sebenarnya punya fitrah utama memperantarai yang privat dan yang publik untuk mencari kemungkinan terbentuknya 'hidup bersama’. Apakah dalam gegap gempita perkembangan teknologi dan industri media fitrah itu masih setia dijalani? Lansekap media di Indonesia berubah secara dramatis dalam satu setengah dasawarsa terakhir. Industri media berkembang pesat. Namun apakah peningkatan jumlah perusahaan media ini mencerminkan meningkatnya keragaman dan kualitas isi? Pertanyaan ini sentral; apalagi ketika dikaitkan dengan hak warga untuk bermedia dan dinamika budaya masyarakat warga serta pesatnya kemajuan teknologi komunikasi, khususnya Internet dan media sosial, yang telah mengubah wajah media dan cara warga bermedia. Tapi apakah ini semua mampu menyediakan ruang publik alternatif yang kini dipandang gagal disediakan oleh media seperti tercermin dalam hype dan obsesi tentang media sosial hari‐hari ini? Dalam konteks di mana industri media sedang bertumbuh, hal‐hal ini layak direnungkan untuk memahami tak hanya pertumbuhan dan isi media yang dihasilkan, tetapi juga bagaimana perubahan struktur industri media mempengaruhi dinamika warga negara –bukan sekedar konsumen media. Nampaknya perkembangan industri media di Indonesia telah menggeser status dan hakikat khalayak (pemirsa, pendengar, pembaca) dari warga negara yang punya hak bermedia, menjadi sekedar konsumen media belaka.
Kata kunci media, budaya, media baru, neoliberal, globalisasi, pembentukan selera
Pengantar
Faktualitas hidup manusia modern hari‐hari ini tak bisa dilepaskan dari pengaruh media, baik media konvensional seperti media cetak dan penyiaran audio‐visual ataupun media baru (sering disebut media sosial berbasis Internet). Sejak era Reformasi tahun 1998, lansekap media di Indonesia berubah secara dramatis. Sebelum 1998, hanya ada 279 perusahaan media
1
cetak dan lima stasiun televisi swasta. Kurang dari satu dekade berikutnya, jumlah televisi swasta bertambah dua kali lipat –belum termasuk sekitar 20 stasiun televisi lokal—dan media cetak meningkat tiga kali lipatnya. Namun apakah peningkatan jumlah perusahaan media ini mencerminkan meningkatnya keragaman dan kualitas isi? Ada banyak asumsi di situ. Salah satu yang paling penting adalah sejauh mana kepemilikan perusahaan media mempengaruhinya. Misalnya, saat ini ada 455 perusahaan media beroperasi dari Sabang sampai Merauke, yang dimiliki hanya oleh selusin pengusaha. Dan kita tahu bagaimana ihwal kepemilikan berpengaruh mulai dari kebijakan hingga praktik ber‐perusahaan – media atau tidak, sama saja. Maka, pertanyaan tentang keragaman dan kualitas isi media menjadi sentral; apalagi ketika dikaitkan dengan hak warga untuk bermedia dan dinamika budaya masyarakat warga.
Di sisi lain, ada perubahan besar dalam hal cakupan dan skala yang ditawarkan oleh Internet dan media baru, dan bagaimana hidup kita makin dimediasi olehnya (Castells, 2010; Mansell, 2004). Kemajuan teknologi Internet jelas memberi manfaat pada perkembangan industri media. Tapi apakah benar ia sungguh menyediakan ruang publik alternatif yang kini dipandang gagal disediakan oleh media seperti tercermin dalam hype dan obsesi tentang media sosial hari‐hari ini? Barangkali kita perlu sedikit berjarak (mengikuti Morozov, 2011). Ada segumpal asumsi dalam perkara ini. Meski teknologi komunikasi dan penggunanya berkembang pesat, ada banyak keterbatasan yang dihadapi seperti seperti kesenjangan ketersediaan infrastruktur yang hanya terpusat di daerah maju, rendahnya akses dan literasi, di antara banyak lainnya. Internet memang punya potensi besar menjadi sebuah medium baru di mana para warga dapat berpartisipasi secara lebih bebas dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik (dan di beberapa kesempatan potensi ini sungguh nyata terwujud). Tetapi kita tahu: mewujudkan potensi butuh strategi dan kerja keras, yang berbeda dari sekedar riuh‐rendah mengejar obsesi.
Refleksi ini bertolak dari gejala globalisasi media yang tak hanya terkait dengan pertumbuhan industri media dan kemajuan teknologi komunikasi yang mendorong operasi serta kontrol lintas‐batas media, tetapi juga keseragaman isinya lewat konsentrasi kepemilikan (Gabel and Bruner, 2003). Menjadi penting menelisik perkara ini lebih dalam karena proses globalisasi media ini terkait erat dengan dinamika budaya dan mutu masyarakat. Herman dan Chomsky (1988) malah melihat betapa tema ‘gaya‐hidup’, individualitas, dan materialitas yang diangkat media cenderung berdampak negatif pada budaya kolektif: ia memperlemah rasa kebersamaan dalam kehidupan bersama di masyarakat. Dalam konteks di mana industri media sedang bertumbuh, hal‐hal ini layak direnungkan untuk memahami tak hanya pertumbuhan dan isi media yang dihasilkan, tetapi juga bagaimana perubahan struktur industri media mempengaruhi dinamika warga negara –bukan sekedar konsumen media.
Dalam refleksi ini, sebagian potret lansekap industri media di Indonesia (Nugroho et al., 2012) akan dibahas dari perspektif hak warga negara (Berkhout et al., 2011). Meneruskan konseptualisasi UNESCO (Joseph, 2005), ada tiga aspek hak warga dalam media: akses warga terhadap informasi (tanpa akses ini mereka akan tersingkirkan dari pembangunan dan transformasi hidup mereka sendiri); akses warga negara terhadap infrastruktur media (tanpa akses ini membuat akses terhadap media menjadi mustahil); dan akses warga negara untuk ikut mempengaruhi kerangka regulasi (tanpa akses ini warga negara dapat tersingkir dari proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka). Refleksi semacam ini barangkali penting karena industri media yang tumbuh dengan cepat dan ditopang oleh logika laba –disadari atau tidak— mempengaruhi tak hanya dinamika ekonomi, tapi juga sosial, budaya, dan politik publik. Satu gejala menyeruak, baik di Indonesia maupun di dunia global: sebagai bisnis yang sangat menjanjikan, motif pencarian laba industri media
2
nampaknya telah melumat karakter publik dari media itu sendiri. Itu fokus dan titik pijak dalam refleksi ini.
Sebagai panduan membaca catatan ini, setelah mencoba menguraikan beberapa konsep dasar, pertama‐tama kita akan menelaah tentang peran media di masyarakat dalam konteks kekinian yang ditandai oleh globalisasi. Gejala makin dalamnya media ikut menentukan dinamika publik dan sekaligus menjadi mekanisme akumulasi kapital melahirkan imperatif pertanyaan tidak saja tentang nilai‐nilai dan peran publik yang melekat padanya, namun juga potensi pergeseran peran pekerja media. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana pasar mempengaruhi perilaku sosial dan konstruksi‐konstruksi budaya –yakni cara kita hidup—lewat seluruh gegap‐gempitanya. Akhirnya, refleksi singkat ini menawarkan satu panorama masa depan media dan pekerja media dalam dunia yang makin tunggang‐langgang.
Media, budaya, dan globalisasi
Dari etimologinya, media (Latin, tunggal: medium) punya makna yang terkait erat pada, dan menjadi bagian dari, ranah publik—locus publicus. Fitrah media yang paling utama adalah memperantarai yang privat dan yang publik untuk mencari kemungkinan terbentuknya 'hidup bersama’. Apakah dalam gegap gempita perkembangan teknologi dan industri media fitrah itu masih setia dijalani?
Perkembangan industri media di Indonesia tak bisa dipungkiri telah menggeser status dan hakikat khalayak (pemirsa, pendengar, pembaca) dari warga negara yang punya hak bermedia, menjadi sekedar konsumen media belaka. Jika ini benar, lantas bagaimana dengan seluruh gagasan luhur media sebagai sarana perjumpaan antara faktualitas individual dan sebuah ideal sosial? Masih adakah ruang untuk mewujudkan gagasan itu? Dalam derap kemajuan teknologi, bagaimana media di masa depan masih bisa berperan untuk merawat cita‐cita hidup bersama kita? Apa konsekuensi ini semua pada pekerja media, pada warga negara, dan pada perkembangan budaya kita?
Mencoba mencari jawab atas pertanyaan itu dari domain media dan budaya ataupun pasar (ekonomi) semata, barangkali akan sama‐sama menabrak jalan buntu. Jawabannya bukan terletak di dalam adiluhung‐nya peran media dalam dinamika budaya masyarakat dan hidup bersama kita. Bukan pula ia ditemukan dalam pergerakan pasar yang dipandang selalu tunduk pada hukum ekonomi atas permintaan dan penawaran. Jawabannya rupanya harus dicari di luar kedua arena itu. Perspektif ekonomi‐politik ini menawarkan penjelasan melalui pelacakan gagasan tentang kekuasaan (power) yang melingkupi sebagian perdebatan mengenai media dan masyarakat serta posisi sosialnya. Refleksi semacam ini membidik dua ranah sekaligus: struktur dan isi media –dan bagaimana keduanya berkaitan, khususnya lewat sistem pengorganisasian dan pengendalian di mana isi media diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi.
Mengendalikan media makin berarti mengendalikan publik dalam hal cara pandang, kepentingan, dan bahkan selera (Curran, 1991). Substansi media, baik fisik dan non‐fisik, telah bergeser dari fungsinya sebagai medium dan mediator ruang publik yang memungkinkan terjadinya interaksi kritis antar warga (Habermas, 1984; 1987; 1989), menjadi alat kekuasaan untuk 'merekayasa kesadaran' (Herman and Chomsky, 1988) dan bahkan alat propaganda dan monopoli (Bagdikian, 2004). Gagasan ini sentral untuk memahami dinamika media hari‐hari ini ‐khususnya berbagai bentuk media massa—dan bagaimana ia mempengaruhi dinamika dan membentuk budaya masyarakat kita. Tetapi, apa itu budaya? Kata budaya atau kultur digunakan di sini secara umum untuk menunjuk pada keseluruhan cara hidup manusia (bdk:
3
tak hanya untuk menunjuk pada kinerja dan konteks seni, khususnya proses penemuan dan proses kreatif karya seni). Dan kita tahu, hidup kita hari‐hari ini, dalam sebuah refleksi kultural, tengah diserbu oleh apa yang kerap disebut dengan globalisasi.
Di sini mesti disadari bahwa gagasan globalisasi adalah salah satu gagasan yang tak pernah usai didiskusikan dan terus diperdebatkan. Tanpa bermaksud menambah perdebatan itu, refleksi ini menggunakan istilah globalisasi sebagai penanda tiga perkara (Herry‐Priyono, 2006). Satu, sebuah set proses sosial yang mentransformasi kondisi sosial manusia, dengan jantungnya adalah pemampatan ruang dan waktu1. Dua, intensifikasi cara pandang, cara pikir dan cara merasa manusia tentang dunia sebagai satu kebersatuan (globality) (Robertson, 1992). Tiga, transformasi corak aktivitas manusia yang makin intensif, cepat dan berdampak yang tercermin dalam jejaring aktivitas, interaksi dan praktik kekuasaan (Held, 2000). Segera bisa dilihat, bahwa dalam tiga perkara ini inovasi dan teknologi, khususnya teknologi informasi‐dan‐komunikasi mengambil peran sentral. Manuel Castell menyebut bahwa perkembangan teknologi adalah substrat globalisasi – tak mungkin globalisasi melaju secepat saat ini tanpa ada perkembangan teknologi, khususnya Internet (Castells, 1996; 1997; 2001; 2005). Dengan memahami globalisasi sebagai penanda tiga perkara ini dan peran teknologi di dalamnya, mudah‐mudahan akan lebih mudah bagi kita untuk memahami geliat berbagai gejala yang mengepung kita hari‐hari ini.
Ketiga, pada inti globalisasi tersebut adalah ekonomi neoliberal dan faham neoliberalisme, yang sayangnya banyak orang salah kaprah memahaminya2. Meminjam penyederhaan yang diusulkan Herry‐Priyono (2003) untuk memahami perkara globalisasi ini, pada jantung neoliberalisme ada dua lapis gagasan berikut. Pertama, manusia dilihat hanya sebagai homo oeconomicus. Artinya, cara‐cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah salah satu dari berbagai corak hubungan antar manusia, melainkan satu‐satunya corak yang mendasari semua tindakan dan relasi antar manusia (Becker, 1976; Evensky, 2005). Dengan kata lain, tindakan dan hubungan antar pribadi kita maupun tindakan dan hubungan legal, sosial, politis dan kultural kita hanyalah ungkapan dari model hubungan menurut kalkulasi untung‐rugi dalam transaksi ekonomi. Kedua, gagasan ekonomi‐politik neoliberal adalah argumen bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal jika dan hanya jika lalu‐lintas modal (finansial) yang dimiliki oleh pribadi (orang‐perorangan) dilepaskan dari kaitannya dengan proses survival sosial dan ditujukan semata untuk akumulasi laba. Neoliberalisme, jelasnya, adalah finansialisasi segalanya (Harvey, 2005). Bagi mereka yang pernah sedikit belajar ekonomi, mungkin jelas bedanya dua hal ini. Bila dalam liberalisme klasik kepemilikan privat masih dianggap punya tugas sosial untuk menyejahterakan seluruh masyarakat (misalnya Smith, [1776] 2000), dalam neoliberalisme kepemilikan privat tersebut sudah demikian absolut dan keramat, tanpa peran sosial apapun juga kecuali untuk akumulasi laba privat (seperti Friedman, 1962). Singkatnya, dalam faham neoliberal, “tidak cukup ada pasar, tetapi tidak boleh ada yang lain selain pasar” (Treanor, 2005). Karena itu mudah dipahami mengapa neoliberalisme juga dianggap sebagai “bangkitnya kembali faham pasar bebas” (Gamble, 2001:127) yang pernah dalam sejarah ditinggalkan.
Maka, ketika kita berbicara mengenai globalisasi, kita sesungguhnya tengah bicara mengenai tata dunia baru yang bertumpu pada kekuasaan modal dan pemilik modal. Di dalamnya, ada tiga hal. Pada (1) tataran tindakan, tata kekuasaan global ini bertumpu pada praktek bisnis raksasa lintas negara, (2) pelaku utamanya adalah perusahaan‐perusahaan transnasional dan
1 Definisi ini barangkali paling dekat dengan yang dirumuskan oleh Giddens dalam bukunya tentang dunia
yang tunggang‐langgang (Giddens, 1999) 2 Lihat catatan Herry‐Priyono di Kompas (2009)
4
(3) proses kultural idelologis yang dibawa adalah konsumerisme (Sklair, 2002). Bagaimana ia bekerja? Secara terbatas, saya gambarkan sebagai berikut3 . Dalam globalisasi, praktik perdagangan dan bisnis transnasional didiorong dan didukung oleh regulasi/kesepakatan internasional dalam kerangka pasar bebas. Pada saat yang sama ideologi konsumerisme juga didesakkan oleh kekuasaan luar biasa dari bisnis periklanan dalam bentuk logo, merk dan label –di bawah sadar menanamkan prinsip ‘kenikmatan‐prestise‐status‐kemewahan’ pada banyak individu (Tomlinson, 1990).
Karenanya, segera terlihat bahwa globalisasi terjadi bukan hanya ‘di luar sana’ –dalam rupa berbagai tata kebijakan ekonomi politik global yang dipaksakan pada kebijakan publik melalui tiga ‘mantra sakti’: deregulasi–privatisasi–liberalisasi. Namun, globalisasi juga terjadi ‘di dalam sini’ –yang diinjeksikan ke dalam berbagai pilihan individu yang merujuk pada ragam budaya, identitas dan gaya hidup global. Alih‐alih menawarkan keragaman pilihan bagi konsumen –sebagaimana ia mengklaim dirinya—globalisasi justru menyeragamkan ‘rasa dan selera’. Meminjam nama sebuah waralaba, masyarakat global digambarkan tengah mengalami “McDonalds”‐isasi (Ritzer, 1993) –atau kasarnya, pendangkalan (banalisation). Dan sebagaimana kita tahu, proses penyeragaman ‘rasa dan selera’ ini mendapatkan ‘bahan‐bakar’nya dari insting dasar manusia untuk mengkonsumsi yang lalu dimanipulasi untuk menjadi bagian dari permintaan dalam kurva ekonomi pasar. Bagi mereka yang mempelajari psikologi industri atau manajemen periklanan, permintaan konsumen itu adalah sekedar manifestasi insting konsumsi yang bisa direkayasa melalui advertensi (iklan) dan diinjeksikan dalam kesadaran konsumen (Sklair, 2002). Implikasinya dalam ekonomi (dan ekonomi politik pasar): tak ada lagi fondasi untuk mempercayai bahwa permintaan konsumen adalah alamiah.
Media di tengah globalisasi: Tegangan abadi
Lantas bagaimana media mesti dinilai saat ini – dalam masa globalisasi yang dikepung gagasan neoliberal? Masihkah media menawarkan ruang publik dimana masyarakat warga bisa berinteraksi secara kritis (seperti berulang‐ulang diidealisasikan Habermas, 1984; 1987; 1989; 2001) dan mendapatkan informasi yang independent dan terpercaya – dan karenanya ‘sakral’?
Sementara sebagian (kecil) pekerja media (seperti AJI) mempercayai posisi sakral media dan berupaya mempertahankannya, ekonomi neoliberal memberi jawaban lugas: media adalah bagian dari pasar; isi media adalah komoditas; dan dinamika media tunduk pada hukum pasar (tentu selalu ada kekecualian, tapi itu hanyalah anomali). Beberapa buru‐buru menyergap: apakah ini pertanda bahwa media kehilangan otoritasnya? Bukankah neoliberalisme justru seharusnya sejalan dengan semangat media yang mengagungkan kebebasan (libre) – khususnya dalam berkespresi? Benar, namun itu hanya separuh cerita, dan itupun ada pada tingkat perkara yang berbeda. Pertama (pada tingkat mikro), pekerja media bisa saja bebas berkarya dan mencipta isi media, tetapi kalau pasar tidak menerimanya meski itu bermutu, ia harus mengubah karyanya –bahkan kalaupun ia tidak mau. Kedua (pada tingkat makro), kalau bagi pekerja media kebebasan itu diwujudkan konkret lewat informasi dan isi media yang valid dan bermutu, bagi para pemikir neoliberal, ia diwujudkan melalui penataan masyarakat lewat logika pasar. Dan barangkali karena para pekerja media tidak seambisius para ekonom dalam mengajukan gagasannya, isi media yang bermutu‐informatif‐dan‐valid terpaksa ‘tunduk’ pada hukum pasar. Gampangnya, cara masyarakat dididik untuk menghargai mutu isi media adalah lewat mekanisme harga. Lewat apa? Rating dan periklanan.
3 Hal ini pernah saya sampaikan sebelumnya (Nugroho, 2002; 2005a; 2005b)
5
Dalam bisnis media, laba didapat dari konten melalui iklan. Sangat jelas, perkembangan industri media sangat tergantung pada periklanan yang membuat industri tetap hidup. Dua dasawarsa terakhir ini sekelompok kecil perusahaan media multinasional mendominasi pasar global untuk hiburan, berita, televisi dan film. Pada tahun 2006, dua pertiga dari pemasukan industri komunikasi global senilai US$250‐275 milyar dikuasai oleh delapan konglomerat media: Yahoo, Google, AOL/Time Warner, Microsoft, Viacom, General Electric, Disney dan News Corporation. Paruh pertama tahun itu juga, volume merger dalam media global, Internet dan telekomunikasi mencapai US$300 milyar, tiga kali lebih besar dari pada paruh pertama tahun 1999. Padahal, limabelas tahun yang lalu, tak ada satupun dari semua perusahaan ini ada dalam wujud serupa saat ini sebagai perusahaan media. Apa sebabnya? Besarnya nilai ekonomi bisnis media ini ditopang oleh iklan komersial. Sekedar agar kita tahu, nilai iklan TV di AS membubung drastis dari US$3,6 milyar pada tahun 1970 menjadi US$50,44 milyar pada tahun 1999. Siapa pemirsa iklan ini? Dipukul rata, seorang anak yang berumur 12 tahun di AS menonton rata‐rata 20 ribu jam iklan TV per tahun, dan bahkan anak‐anak berumur 2 tahun pun sudah punya kesetiaan pada merk tertentu (Steger, 2009:78‐79). Indonesia sendiri memiliki belanja iklan terbesar di Asia Tenggara, naik 24% dari 1,7 milyar USD pada tahun 2010 menjadi 2,1 milyar USD pada tahun 2011.4 Pertumbuhan iklan di Indonesia disebabkan oleh stabilnya pertumbuhan ekonomi, serta didorong oleh kuatnya konsumsi dan permintaan domestik.
Semakin banyak konten yang dikonsumsi oleh pemirsa, semakin besar laba yang akan dikeruk media. Logikanya jelas: operator media harus berusaha sebisa mungkin, untuk dapat menciptakan konten yang menarik sebanyak mungkin pemirsa. Pemikiran seperti ini sangat logis dan jelas dalam bisnis media – dan sepertinya tidak menimbulkan masalah yang serius. Tetapi hal ini terus berlanjut: untuk menjaga permintaan konten yang menguntungkan agar tetap tinggi, share pemirsa harus dijaga sedemikian rupa dengan cara memanipulasi kebutuhan konsumen. Terlebih lagi, untuk meraih keuntungan lebih, konten harus diproduksi dan didistribusikan dengan cara yang lebih ekonomis. Turunan dari logika ini sangat merusak, tetapi inilah yang sedang terjadi pada media di Indonesia.
Bisnis penyedia konten dan bisnis iklan telah berkembang seiring dengan perkembangan industri media. Saya tidak mengetahui secara pasti jumlah rumah produksi yang beroperasi di republik ini, tetapi jumlahnya tentu tidak kecil dan pastilah akan meningkat seiring dengan pertumbuhan industri media. Sebagian besar dari rumah produksi yang ada memproduksi sinetron, karena sinetron merupakan acara yang paling banyak ditonton di televisi. Survey Nielsen pada tahun 2001 menunjukkan bahwa pemirsa menghabiskan rata‐rata 26% waktu mereka di televisi dengan menyaksikan sinetron, ini merupakan angka tertinggi dibanding semua tipe program5. RCTI dan Indosiar menyatakan secara jelas bahwa sinetron merupakan konten utama mereka karena memiliki rating tertinggi dari semua program (MPA Analysis, 2011). Sebagaimana amanat dari logika bisnis, duplikasi konten adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari. Multivision Plus adalah salah satu rumah produksi terbesar dan tersukses dalam memproduksi sinetron, dan telah menghasilkan lebih dari 250 sinetron dalam 10 tahun terakhir ini.
Media dapat menghasilkan konten yang lebih edukatif dan berkualitas, tetapi seringkali, laba memainkan peran yang krusial di dalam perkembangan media dan proses produksi konten. Kecenderungan konten yang diproduksi dengan motif profit dan diduplikasi dengan tujuan 4 Lihat Belanja Iklan Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/12/20/14403449/Belanja.Iklan.Indonesia.Tertinggi.di.Asia.Tenggara
5 Berdasarkan Penghitungan Audience milik Nielsen yang dilakukan di 10 kota besar dari 2007‐2011.
6
menekan biaya produksi telah mengikis keberagaman informasi dan mengesampingkan informasi lain yang lebih bermanfaat untuk warga. Kita bisa mudah membayangkan sulitnya mencari pemasang iklan untuk program dokumenter yang lebih mendidik, misalnya, ketimbang di program populer tak terlalu mendidik seperti sinetron. Saat ini, rumah‐rumah produksi dan agensi‐agensi periklanan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perusahaan media itu sendiri. Bahkan pada kenyataannya, perusahaan‐perusahaan media juga memiliki in‐house production dan agensi periklanannya sendiri. Group MNC, contohnya, memiliki produsen konten sendiri bernama MNC Pictures dan Innoform Media, juga agensi kreatif milik mereka yaitu Star Media Nusantara.
Ketika konvergensi konten terlihat secara jelas pada televisi, hal yang sama juga terjadi di kanal media lainnya. Kita dapat melihat dengan jelas bagaimana ruang‐ruang di surat kabar dan majalan yang diambil oleh iklan berdampingan dengan rubrik ‘hiburan’ dengan mengorbankan berita‐berita lain yang lebih berkualitas. Hal serupa juga terjadi pada penyiaran radio. Sekedar menambah beberapa detil: Beberapa grup media berita, sebagai respons terhadap situasi ini, telah mendirikan penyedia konten sendiri di dalam perusahaannya. Tempo memiliki penyedia konten berbasis jurnalisme bernama TempoTV. Tidak seperti MNC, yang fokus produksinya ada pada sinetron, TempoTV memfokuskan pada produksi konten untuk stasiun televisi lokal dan dokumenter untuk LSM. Kompas juga mendirikan sebuah penyedia konten bernama KompasTV; yang sebagian besar produksinya adalah dokumenter dan biografi. Meskipun mereka mempunyai model bisnis yang serupa, tetapi kehadiran mereka dapat menjadi alternatif untuk warga dalam mendapatkan konten yang lebih baik dibandingkan hanya sinetron saja (lihat lebih detil dan lebih jauh di Nugroho et al., 2012).
Dari uraian ini, mudah‐mudahan jelas bahwa isi media makin dalam memasuki arena komoditas publik dan tanpa terhindarkan menjadi sebuah bagian dari mekanisme kapital. Inilah jenius ekonomi yang secara halus menekuk kesakralan isi media menjadi sekedar komoditi industri. Tentu ini membawa berbagai implikasi, salah satunya adalah pantas‐tidaknya media hari ini masih dilekatkan dengan nilai‐nilai luhur alasan‐adanya (raison d’etre) yakni menyediakan ruang publik bagi interaksi kritis warga.
Saya tak fasih dengan kerumitan menilai kepantasan itu. Akan tetapi, juga dalam segala keterbata‐bataan ini, saya melihat gejala bahwa nilai‐nilai luhur media makin tidak tertangkap oleh publik karena ia dikepung oleh hiruk‐pikuk materialitas yang melingkupinya. Celakanya, sementara para insan dan pekerja media yakin bahwa dibutuhkan upaya keras untuk mendidik publik lewat corak dan isi media yang bermutu, ekonomi kembali menghempaskannya lewat mekanisme pasar dan ini kerap berujung pada pendangkalan. ‘Status’ yang dulunya tercermin dari mutu isi media, bergeser menjadi nilai ekonomi semata. Gampangnya, kalau dulu Tempo atau Kompas mewakili sebuah prestis tertentu karena nilai simboliknya menjaga kesakralan mutu isinya, kini prestis itu –di banyak media lain—tak lebih dari rekayasa harga dan main mata dengan pemasang iklan. Fenomena iklan jaket, adalah satu contohnya.
Apakah karena ini lantas sebaiknya fungsi publik media ditinggalkan begitu saja? Tidak. Media dan pekerja media harus tetap mengusung panggilan luhur itu. Mirip seperti perang gerilya, fungsi publik media harus terus diperjuangkan di tengah kepungan kedangkalan jaman yang menilai segala sesuatu lewat nilai finansial. Gerilya ini akan abadi sepanjang kita hidup dalam masa dimana pasar menjadi panglima. Apa yang saya haturkan di sini hanyalah sedikit peran serta memahami perkara.
7
Medium dan pesan: Antara kemajuan dan ketercerabutan
Dari semua situasi ini timbul sebuah pertanyaan yang menarik: sejauh mana gagasan ‘medium adalah pesannya’ (McLuhan, 1964) berlaku? Apakah kita dapat tetap berpegang pada asumsi McLuhan bahwa medium televisi itu sendiri –dan bukan konten di dalamnya– yang karakteristiknya mampu memberikan dampak kepada masyarakat? Saya tak yakin itu yang terjadi. Pemirsa justru cenderung terfokus pada konten (misalnya sinetron), dan menyerap elemen struktural (seperti gaya hidup) yang diperkenalkan secara halus, melalui periode waktu yang cukup panjang. Seringkali kita tidak menyadari implikasi sosial dari medium hingga berubahnya nilai‐nilai dan norma‐norma masyarakat karena teknologi. Implikasi ini dapat berupa implikasi budaya, agama, sosial, politik dan lain‐lain. Hal inilah yang kita amati dan alami sekarang ini dengan media yang ada –seperti yang terlihat secara jelas di televisi: penyebaran gaya hidup yang Jakarta‐ (atau Jawa‐) sentris secara masif melalui acara‐acara seperti sinetron, dan telah menjadi sebuah obsesi di seluruh negeri, terjadi tanpa kita sadari. Hal ini mungkin adalah konsekuensi yang tidak diharapkan dari praktek bisnis media yang lazim terjadi. Bagaimanapun, praktek ini memiliki konsekuensi yang besar pada masyarakat Indonesia.
Gagasan ‘medium adalah pesannya’ nampaknya lebih mengena pada media baru berbasis Internet – di mana warga memiliki lebih banyak ruang untuk menciptakan ‘pesan’ mereka sendiri. Terlebih lagi, Internet telah menciptakan jenis aktivisme dan keterlibatan sipil baru di Indonesia (Lim, 2002; 2003; 2004; Nugroho, 2008; 2010a; 2010b) – sebagaimana juga yang terjadi dengan ledakan media sosial (Nugroho, 2011; Nugroho and Syarief, 2012). Gagasan McLuhan bahwa medium itu sendiri (Internet) adalah pesannya (adanya ruang yang bebas dan keterlibatan warga) lebih terlihat nyata di sini. Meskipun Internet dan media sosial dapat secara potensial membantu membangun ruang publik untuk warga, hal ini terhambat oleh distribusi infrastruktur yang tidak merata, dan hanya terkonsentrasi di kota‐kota besar di Sumatra dan Jawa‐Bali (Kominfo, 2010; 2011). Situasi seperti ini, jika tidak diperbaiki, dapat menciptakan kesenjangan infrastruktur yang kemudian akan memicu terjadinya kesenjangan informasi di antara warga. Mengapa ini penting?
Kalau kita sejenak melihat beberapa indikator ekonomi, kita tahu bahwa Indonesia lolos dari krisis finansial yang menghantam di akhir tahun 90an. Dan kita makin ‘maju’. GNI per kapita konstan meningkat (saat ini USD 4.200 per capita PPP), walaupun pertumbuhan GDP naik‐turun. Enam tahun terakhir ini rasio orang miskin per kepala yang berada di garis kemiskinan (USD 2 per hari) menurun, yang seharusnya menunjukkan bahwa jumlah orang miskin juga menurun6. Namun, data dari Bank Dunia ini ditentang banyak pihak dan menimbulkan banyak pertanyaan utamanya apakah kemiskinan aktual sungguh menurun7. Prakarsa, pada akhir 2011 merilis risetnya sendiri dan, bertentangan dengan BPS yang datanya dipakai Bank Dunia, menunjukkan bahwa kemiskinan total di Indonesia meningkat dari 40,4 juta pada tahun 2008 menjadi 43,1 juta pada tahun 2010. Ini membuat Indonesia menjadi satu‐satunya negara di Asia Tenggara yang kemiskinannya meningkat (Prakarsa, 2011). Walau ekonomi negeri ini nampaknya membaik, kesenjangan juga meningkat. Menurut Bank Dunia, pada tahun 2005 10% orang terkaya negeri ini menguasai 28,51% total pendapatan, sementara 20% termiskin hanya mendapatkan remah‐remah 8,34%8. Situasi ini tak membaik sampai detik ini. Laporan World FactBook tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia duduk di ranking
6 Lihat database Bank Dunia http://databank.worldbank.org/ddp/home.do. 7 Misal, http://www.economist.com/blogs/banyan/2011/08/indonesias‐poverty‐line. 8 Perhitungan dari World Development Indicators and Global Development Finance Bank Dunia – lihat
http://databank.worldbank.org/ddp/home.do.
8
81 dari 144 dalam hal Gini Index (ukuran kesenjangan pendapatan). Di banyak negara lain, kesenjangan ekstrem semacam ini telah terbukti menjadi lahan subur konflik‐konflik sosial yang mudah tersulut menjadi kekerasan – yang kini juga terbukti di Indonesia.
Dalam hal penggunaan Internet, prestasi (kalau boleh disebut demikian) Indonesia barangkali sedikit lebih baik. Indonesia duduk di urutan keempat di Asia (setelah China, India dan Jepang), dan ke delapan di dunia dalam hal jumlah pengguna Internet yakni sekitar 55 juta orang menggunakannya saat ini. Namun, dalam hal penetrasi, Indonesia tertinggal di belakang negara lain dengan hanya 22,4% populasi terhubung ke Internet – walau ini sebenarnya adalah lompatan dari 14.1% pada bulan Maret 20119. Di ASEAN, penetrasi tertinggi adalah Brunei Darussalam (79,4%), lalu Singapura (77,2%), diikuti Malaysia (61,7%), Filipina (29,2%) dan Thailand (27,4%)10.
Sebagai salah satu pengguna Internet terbesar di dunia, apa yang dilakukan netter dari Indonesia? Baik data dari pemerintah (Kominfo, 2010) dan lembaga peneliti pasar independen IPSOS11 mengkonfirmasi bahwa mereka adalah pengguna social media kelas berat: mereka selalu ber‐mediasosial ketika online. 83% dari pengguna Internet di Indonesia adalah juga pengguna media sosial – ini angka tertinggi di dunia, yang disusul Argentina (76%), Russia (75%), Swedia (72%) dan Afrika Selatan (73%) – mengalahkan Inggris (65%), AS (61%) dan Perancis (50%)12. Tercatat di bulan Mei 2012 Indonesia adalah ‘negara Facebook’ terbesar keempat di dunia (setelah AS, Brazil dan India) dengan 42,6 juta pengguna (17,6% populasi, 142% populasi online) (Socialbakers, 2012). Saat ini ada 19,5 juta akun Twitter di Indonesia, menjadikannya pengguna terbesar kelima di dunia tahun 2012 ini13. Begitu populernya media sosial ini, seperti twitter, hingga apapun di’twit’ – mulai dari makanan, hingga topik serius yang melahirkan seri panjang twit hingga disebut kultwit (kuliah twitter). Jika saja Descartes masih hidup, barangkali ia akan menandai corak ini dengan ungkapan “Communico ergo sum” – I share therefore I am.
Namun demikian, data publik terakhir yang tersedia (Kominfo, 2010), barangkali bisa memaksa kita sedikit berpikir kritis. Jawa dan Sumatra serta wilayah barat Indonesia menikmati infrastruktur telepon kabel dan nirkabel yang lebih baik. Pada tahun 2005, terdapat 24.257 desa (34,68% dari seluruh desa) di Indonesia yang memiliki sambungan telepon kabel. Pada tahun 2008, jumlah ini meningkat menjadi 24.701 desa, tapi dari segi persentase menurun menjadi hanya 32,76% dikarenakan jumlah desa yang juga meningkat. Sebagian besar desa yang tersambung ini ada di Jawa‐Bali dan Sumatra. Gambaran yang sama juga terjadi untuk sambungan nirkabel. Desa‐desa di Jawa adalah wilayah yang paling terhubung secara nirkabel (Kominfo, 2010:34).
Setelah reformasi 1998, ada harapan besar bahwa demokratisasi tidak hanya menyentuh sistem politik tapi juga pemerintahan serta mengalihkan prioritas kepada pembangunan regional. Akan tetapi, paling tidak di sektor telekomunikasi, kita melihat bahwa
9 Lihat Nielsen – Indonesia, “Indonesia The Most Reliant On Mobile Internet Access Across Southeast Asia:
Nielsen” 11 July 2011, http://id.nielsen.com/news/Release110711.shtml diakses Desember 2011. 10 Lihat InternetWorld Stats – www.Internetworldstats.com/stats3.htm. 11 Lihat http://www.ipsos‐na.com/news‐polls/pressrelease.aspx?id=5564. 12 Lihat “Most Global Internet Users Turn to the Web for Emails (85 per cent) and Social Networking Sites (62
per cent)”, IPSOS press release, available http://www.ipsos‐na.com/news‐polls/pressrelease.aspx?id=5564 13 Lihat
http://semiocast.com/publications/2012_01_31_Brazil_becomes_2nd_country_on_Twitter_superseds_Japan diakses 2 Mei 2012.
9
pembangunan masih belum terdistribusi dengan merata. Keadaan tersebut semakin diperburuk oleh adanya kesenjangan di lapisan berikut dari pembangunan TIK, yaitu antara kabel (serat optik) vs nirkabel. Infrastruktur kabel tertinggal jauh dalam hal pembangunan dibanding infrastruktur nirkabel. Data resmi pemerintah mengkonfirmasi bahwa selama kurun waktu 2004‐2009 terjadi pertumbuhan sangat rendah dalam hal penetrasi kabel (4%) sementara jaringan nirkabel tumbuh sepuluh kali lipat (41%). Pelanggan kabel selama 2005‐2009 menurun dengan laju rata‐rata 0,67% per tahun sementara pelanggan nirkabel meningkat dengan laju fantastis 34% per tahun (Kominfo, 2010:33).
Bagaimana dengan media kita? Tak banyak bedanya. Media berjalan dan berkembang seiring dan menyatu dengan teknologi komunikasi; dengan konsentrasinya yang terpusat hanya di daerah‐daerah maju dan kesenjangan yang sangat besar dengan daerah‐daerah tertinggal, penyebaran infrastruktur media tetap tidak terdistribusi secara merata. Ditambah lagi, kita tahu dari pengalaman langsung betapa publik juga terpaksa mengkonsumsi konten acara yang bermutu rendah dan tidak mendidik—tanpa memiliki pilihan lain. Dalam konteks ini, tak heran jika di samping maraknya media sosial digunakan sebagai media alternatif menyuarakan kegelisahan publik, jauh lebih dahulu sebelumnya stasiun televisi lokal dan media komunitas (utamanya radio) muncul di berbagai daerah sebagai sebuah respon gagalnya media berita utama menghadapi beragamnya kebutuhan sosial (lihat juga Bagdikian, 2004). Namun, meski media komunitas dan media lokal menawarkan cara kepada warga untuk mengakses informasi yang lebih berorientasi sosial dan lebih relevan terhadap keseharian mereka (dan dengan demikian lebih berdampak pada kehidupan mereka), ia juga jadi sasaran bisnis. Nyata di depan mata bahwa demi laba kelompok‐kelompok bisnis besar mulai membeli media lokal untuk menjadi bagian dari jaringan bisnis mereka.
Apa yang kita amati di sini adalah fenomena yang mungkin dapat dikonseptualisasikan secara tepat sebagai ‘ketercerabutan’ atau disembeddedness (jika meminjam istilah Polanyi, 1957), yaitu sebuah situasi di mana perkembangan (penciptaan, difusi, adopsi) teknologi –termasuk teknologi media—tercerabut dari konteks sosial yang menjadi landasan eksistensinya. Didikte oleh revolusi teknologi internal, media semakin cepat terlepas dari keterkaitannya dengan evolusi masyarakat dalam populasi massa. Makin banyaknya keterkaitan yang terlepas menjadikan media kehilangan peran‐peran yang tersisa dalam merepresentasikan permasalahan sosial yang dihadapi populasi massa karena telah menjadi produk revolusi teknologi internal. Lihatlah kontras pertumbuhan (eksponensial) pengguna Internet di Indonesia (dalam persentase populasi) dengan perkembangan (linear) atas beberapa indeks pembangunan, misalnya. Sementara perkembangan teknologi mengikuti tren yang eksponensial (atau setidaknya logistik)– perkembangan masyarakat selalu meningkat secara linier. Terciptanya konten yang mencabut audiens dari realitasnya adalah gejala penanda ketercerabutan ini.
Dalam terang ini, perkembangan media yang serampangan tanpa pertimbangan (mindless) dapat memperburuk situasi. Media bisa jadi bertindak sebagai pelaku utama virtualisasi ekonomi, politik, kebudayaan, dan hukum seperti yang terjadi saat ini. Dampak dari hal ini bisa sangat buruk. Yang paling mengemuka: digerusnya hak warga bermedia.
Antara dinamika industri dan hak warga bermedia
Isu hak warga dalam bermedia, juga terhadap partisipasi warga dalam media, telah lama didiskusikan baik di tingkat lokal maupun global. Pada prinsipnya, gagasan hak warga bermedia bisa dipahami oleh semua pemangku kepentingan media. Namun pemahaman dan penerimaan, apalagi penjaminan, adalah perkara lain. Ketika isu ini makin mengemuka akhir‐
10
akhir ini, dan dipakai sebagai perspektif untuk membedah kinerja media, jelaslah isi media makin kehilangan mutunya, dan fungsi publiknya makin tergerus. Perkembangan industri media lebih kentara untuk mendukung motif profit mereka semata.
Hak warga terhadap informasi, di sisi lain, hanya merupakan salah satu aspek dari keseluruhan isu hak warga dalam bermedia yang harus dipenuhi (Joseph, 2005). Media memiliki tugas untuk melindungi dan memungkinkan warga untuk menggunakan haknya dengan cara mempertahankan karakter publik dan menyediakan ruang untuk keterlibatan sipil. Akan tetapi, tugas suci ini kerap diabaikan karena kepentingan bisnis yang menyetir industri media. Di Indonesia, hal ini ditandai dengan terjadinya konglomerasi dan konsentrasi kepemilikan kelompok media di semua sektor media.
Kepemilikan media di Indonesia sangat terkonsentrasi, didominasi oleh dua belas kelompok besar (Nugroho et al., 2012: Tabel 4.1.). Struktur yang terkonsentrasi ini mencerminkan sebuah kendali tinggi pada tindakan maupun aliran informasi dari titik pusat hingga ke periferal. Jaringan seperti ini tidak hanya menampilkan hubungan konsentrasi kepemilikan dalam kerja media, tetapi juga memperlihatkan secara logis bagaimana kendali medium dan konten terjadi. Apa implikasi langsungnya?
Menjalankan media secara murni sebagai bisnis, menjadikan berita dan informasi sebagai komoditas serta mengkapitalisasi konten, sebagai bagian dari strategi bisnis, telah membuat warga menjadi tidak berdaya. Dengan pertumbuhan industri yang eksponensial sekarang ini, media tidak dalam posisi untuk menyediakan ruang atau ranah yang dibutuhkan oleh warga untuk terlibat satu sama lain. Alih‐alih membudayakan masyarakat, media saat ini sepertinya telah kehilangan karakter pembudayaannya. Apa yang dimaksud di sini terutama adalah situasi di mana industri media telah membiarkan motif profit menghancurkan dan menghapuskan karakter publik dari media. Dalam gambaran seperti ini, tidak ada tempat untuk warga. Apa yang tersisa hanyalah pemirsa sebagai konsumen (yang mempunyai daya beli, tetapi harus menerima program apapun yang ditayangkan) bukan sebagai warga negara (dengan hak‐haknya).
Sepertinya saat ini lebih jelas terlihat, bahwa media di Indonesia lebih mewakili kepentingan pasar daripada kepentingan warga atau negara. Hal ini terkadang terlihat sebagai sebuah standar ganda: sensitif terhadap kegagalan‐kegagalan di badan‐badan publik atau komunitas sipil, tetapi tidak sensifit terhadap kegagalan‐kegagalan yang sama pentingnya di sektor pasar, terutama yang berdampak pada dunia korporasi swasta. Berikut ini satu contoh mengenai Kelompok Lippo. Para pemilik saham Kelompok Lippo hanya tertarik dengan informasi atau berita yang bersinggungan dengan kepentingan bisnis kelompoknya. Karena Kelompok Lippo juga mempunyai bisnis di sejumlah sektor publik seperti jasa kesehatan dan properti, berita mengenai sektor‐sektor ini akan dilaporkan oleh Beritasatu Media Holding dengan gaya yang cenderung subjektif, sementara informasi atau berita yang berasal dari sektor lain dapat dilaporkan secara lebih objektif di kanal‐kanal media mereka.
Bias keterwakilan ini bukan sekadar melindungi sistem korporasi, karena bias ini juga telah merebut kesempatan publik untuk memahami dunia yang sebenarnya (Bagdikian, 2004:xviii)14. Dengan begitu, ia menyembunyikan informasi yang mungkin penting bagi publik. Kita melihat saat ini, bagaimana pemilik media menggunakan medianya sebagai alat untuk menyampaikan kepentingan‐kepentingannya. Situasi ini semakin memburuk ketika
14 Mungkin layak juga untuk dicatat bahwa menurut Hermann dan Chomsky (1988), pilihan yang paling bias
dalam media muncul dari pre‐seleksi orang‐orang berpikiran kanan, internalisasi konsepsi‐ulang, dan adaptasi personal terhadap hambatan kepemilikan, organisasi, pasar dan kekuasaan politik.
11
pemilik media juga menjadi politisi dan menggunakan media sebagai alat kampanye politik untuk mempengaruhi opini publik. Karena meskipun para pemilik media tidak terafiliasi dengan politik, media masih mempunyai kecenderungan untuk mengarah kepada satu pandangan politik tertentu, dan ini mempengaruhi netralitas dari media. Memastikan bahwa mereka memiliki lingkungan politik yang bersahabat merupakan keinginan yang tidak dapat ditolak oleh sebagian besar korporasi‐korporasi besar. Hal ini mendukung mereka untuk memaksimalkan tingkat profit mereka, sementara mereka tidak terlalu peduli dengan faktor‐faktor lain seperti keadaan sosial, lingkungan, kebudayaan dan lain‐lain.
Hal ini menjadi dilema bagi media yang pemiliknya terlibat dalam politik. Intervensi dari pemilik telah menciptakan tekanan di dalam media. Di satu sisi, tidak diragukan lagi, pemilik dan para pemegang saham adalah penting bagi media. Di sisi lain, media harus memperjuangkan integritasnya untuk memastikan berita dan informasi yang disajikan tidak bias, terutama untuk publikasi berita yang mengecilkan pemilik media. Bagaimana caranya? Tampaknya, menyeimbangkan berita yang berkaitan dengan kepentingan pemilik (misal vivanews) telah menjadi sebuah pilihan di mana media dapat memperjuangkan dan menunjukkan integritasnya. Namun, hal ini juga menunjukkan besarnya dampak dari persepsi publik terhadap media. Itu sebabnya beberapa media berusaha untuk tidak menyampaikan isu‐isu sensitif yang berkaitan dengan pemiliknya dengan tujuan untuk menjaga agar persepsi publik terhadap medianya tetap positif. Hal ini terdengar seperti bias dalam media, tetapi kemudian, netralitas dalam media memang sangat sulit ditemukan (Bagdikian, 2004). Penelitian doktoral Nurhayani Saragih (2012) misalnya menunjukkan tujuh dari dua belas grup tersebut teridentifikasi mendukung gerakan “Pilpres Satu Putaran” (Viva‐Visi Media Asia, MNC group, CT Corp, Elang Mahkota Teknologi, Tempo Inti Media, Kompas Gramedia, Jawa Pos) yang melibatkan dana dari sejumlah konsultan politik (termasuk Fox Indonesia, LSI, dan lain‐lainnya).
Pada titik ini kita dapat merangkum sejumlah isu‐isu utama di dalam industri media di Indonesia dalam kaitannya dengan hak warga bermedia. Pertama, konten. Sebagaimana telah didiskusikan di bagian awal laporan ini, konten telah menjadi sebuah isu yang menghubungkan aspek‐aspek dalam media mulai dari hulu (produksi) hingga hilir (distribusi). Meskipun begitu, inti dari isu konten dapat terkait dengan alasan utama eksistensi media, yaitu menyediakan ruang publik untuk warga negera agar dapat terlibat dalam sebuah masyarakat yang demokratis dan rasional (Habermas, 1984; 1989). Konten media adalah media itu sendiri di mana dengannya warga dapat terlibat, dan pesan dari media itu, yang melaluinya warga dapat terlibat. Di satu sisi, produksi konten harus didasarkan pada, dan cerminan dari, kebutuhan warga negara. Namun, gagasan tentang ‘kebutuhan’ sendiri cukup problematis karena sangat mudah disalahartikan sebagai ‘keinginan’: tidak semua yang diinginkan adalah yang dibutuhkan. Tetapi, bisnis, termasuk media, beroperasi tepat di logika ‘merekayasa keinginan manusia’ dan mengartikannya sebagai ‘kebutuhan manusia’. Secara teori, satu kebaikan media adalah bahwa media mempunyai kekuatan untuk mendidik warga mengenai apa yang mereka butuhkan – bukan sekedar apa yang mereka inginkan. Media harus, dan sudah seharusnya, mendidik dan ‘memberadabkan publik’ melalui kontennya. Sayangnya, pernyataan ini sepertinya tidak berhasil. Sebaliknya, konten media telah menjadi sangat tergantung pada rating, yang mencerminkan tidak lebih dari ‘keinginan manusia’ (lebih tepatnya: keinginan yang ter‐rekayasa) daripada ‘kebutuhan manusia’. Rating, telah menjadi norma yang baru.
Kedua, perkembangan tekno‐ekonomi. Sementara motif profit sudah secara jelas menjadi pendorong utama perkembangan industri media saat ini, inovasi dalam teknologi media juga menjadi faktor yang tidak kalah pentingnya. Seperti yang sudah didiskusikan sebelumnya, kemajuan teknlogi, khususnya Internet dan media baru, telah mengubah struktur dan model
12
bisnis media, tidak hanya menyediakan platform baru untuk distribusi konten seperti saat ini, tetapi juga untuk konvergensi media dan strategi digitalisasi yang akan datang (Lawson‐Borders, 2006). Sayangnya, kebijakan media sepertinya tidak mampu mengimbangi kecepatan perkembangan teknologi dan ekonomi. Ketika kebijakan‐kebijakan yang ada saat ini tidak dijalankan untuk membatasi konsentrasi kepemilikan media, belum ada kebijakan yang disiapkan untuk mengantisipasi dampak dari model‐model bisnis baru yang berkembang, sebagai konsekuensi dari konvergensi dan digitalisasi media yang akan datang.
Sebagian besar peraturan media hanya terfokus pada konten (terlepas dari ketidakmampuannya untuk menjamin keberagaman), dan mengabaikan cara‐cara di mana praktek‐praktek bisnis baru akan berdampak terhadap hak warga dalam bermedia (Joseph, 2005)
Ketiga, kebijakan media. Seperti yang telah disebutkan di atas, kebijakan‐kebijakan yang ada saat ini amat tertinggal di belakang perkembangan bisnis media. Beberapa kebijakan sebenarnya telah dirumuskan dengan baik, namun diimplementasikan secara buruk. Kebijakan lainnya terlalu ambigu dan secara sengaja diterjemahkan sebagai hal yang menguntungkan bisnis media. KIDP mengajukan tuntutan mengenai UU Penyiaran no. 32/2002 Pasal 18(1) dan Pasal 34(4). Meskipun kedua pasal tersebut mengatur kepemilikan dan membatasi jumlah ijin yang diberikan kepada institusi penyiaran tunggal, tidak ada pernyataan yang jelas bagaimana efek yang diberikan oleh pembatasan ini. Interpretasi yang tidak jelas dari pasal‐pasal ini diinterpretasikan oleh KIDP sebagai dukungan legal atas konglomerasi di bisnis media, yang telah memiliki dampak sangat besar dalam hal akses media dan konten.
Terakhir, profesionalisme para jurnalis. Jurnalisme adalah sebuah profesi yang memiliki fungsi sosial: jurnalis menyampaikan berita dan informasi kepada warga sebagai pemirsa. Jurnalis memiliki pengaruh tentang apa yang diinformasikan kepada warga, dan sebaliknya, terlibat dengan realitas yang disampaikan dalam informasi atau berita tersebut. Telah menjadi sifat dari jurnalis – sebagai profesi – untuk mewakili kepentingan publik dengan menyampaikan informasi yang dapat dipercaya dan berarti bagi publik . Namun, pada kenyataannya, tidak semua jurnalis memenuhi tugas mereka seperti yang dimandatkan karena mereka juga berkaitan dengan, dan harus melayani, korporasi media di mana mereka bekerja serta kepentingan‐kepentingannya. Ini menunjukkan adanya tekanan antara ‘komitmen’ (sebagai seorang jurnalis) dan ‘pekerjaan’ (sebagai seorang pegawai). Tekanan tersebut akan selalu ada, karena mengabaikan salah satu dari dua hal tersebut merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Sebagaimana pun publik mempertanyakan kemandirian dan kredibilitas para jurnalis, para jurnalis pun sebenarnya ada di bawah tekanan dalam bekerja untuk kepentingan media. Meskipun begitu, apa yang dalam keseharian semakin tampak oleh warga adalah pelemahan secara sistematis terhadap pekerjaan jurnalis sebagai perwujudan sebuah komitmen. Kerja jurnalis (yang lemah secara sistematis) seperti ditunjukan dalam sebagian besar media15 menunjukkan bahwa mereka lebih peduli pada jurnalis sebagai sebuah pekerjaan, daripada jurnalis sebagai sebuah komitmen.
Dalam pemahamannya mengenai karakter publik dari media, Lippman (1922) menekankan bahwa manusia –termasuk jurnalis– mempunyai kecenderungan untuk lebih percaya ‘gambaran‐gambaran di kepala’ daripada memberikan pendapat yang didasarkan pada pemikiran kritis. Di sini, jurnalisme merupakan metode yang tidak efektif dalam mendidik
15 Sering, meskipun tak banyak, TEMPO direferensikan sebagai salah satu kanal yang masih
mempertahankan jurnalisme berkualitas tinggi. Operator media lain yang dulu memiliki reputasi untuk kualitas tingginya, seperti Kompas, di sisi lain, menunjukkan penurunan standar jurnalismenya.
13
publik. Oleh karena itu, pemberitaan bukanlah merupakan cermin dari kondisi sosial, tetapi laporan dari sebuah aspek yang telah menonjolkan dirinya sendiri. Meskipun begitu, berita yang dibuat oleh jurnalis akan cenderung subjektif karena ia menyampaikan tafsir kebenaran dari jurnalis, dan berita itu sendiri dibatasi oleh bagaimana para jurnalis mengkonstruksi realitas.
Pembahasan mengenai peran dari jurnalis, sementara menyimpulkan isu‐isu yang menyangga media di Indonesia, membawa kita kembali kepada isu utama dari media dalam pemahaman McLuhan (1964): keterpautan antara medium dan pesan.
Konstruksi budaya dan mekanisme pasar dalam media: Implikasi
Jika refleksi ini diteruskan selangkah lagi, barangkali yang perlu ditelisik adalah apa makna semua ini bagi insan media? Apa peran pekerja media karena di balik tiap media ada keterlibatan mereka? Apakah pekerja media saat ini masih berada dalam posisi sebagai bagian eksklusif dari masyarakat yang bisa mengarahkan orientasi budaya atau menciptakan inovasi budaya? Ataukah mereka harus menerima posisi mereka sebagai ‘profesional’ sebagai bagian dari kelas pekerja, beserta struktur pembagian kerja dan standarnya sendiri?
Akan tetapi jangan pernah lupa, jantung globalisasi adalah ekonomi yang membutuhkan sumber daya manusia yang bisa saling menggantikan (interchangeable) dan bisa saling mengisi (modular) untuk memompa kinerja ekonomi. Jika seorang pekerja tidak bekerja (entah karena sakit, cuti, PHK atau pensiun), maka tempatnya harus bisa digantikan oleh seorang pekerja lainnya. Kini gantilah kata “pekerja” dengan insinyur, analis, akuntan –atau dalam fokus kita, pekerja media. Di sinilah kaitannya: di mata neoliberal, fungsi pendidikan media tak lain adalah untuk (1) membuat pekerja media bisa saling menggantikan dan mengisi satu sama lain; dan (2) mencetak generasi konsumen media yang baru yang memastikan roda pasar media tetap berputar. Kedengarannya kejam, tetapi inilah realita hbungan langsung antara pendidikan media/komunikasi dan globalisasi.
Mudah‐mudahan sampai di sini kita melihat perkara penting ini: acapkali serbuan neoliberalisme lewat media justru terjadi lewat berbagai kerumitan yang seolah tak kasat mata. Hanya jika kita memaksa diri berefleksi, kebrutalan itu baru kentara. Ditarik lebih luas, hal yang mirip juga terjadi pada konstruksi budaya dan perilaku sosial lewat mekanisme pasar.
Bagaimana pasar sebenarnya mempengaruhi perilaku sosial dan konstruksi budaya? Budaya apa yang dibawa globalisasi neoliberal ini? Ketika menelaah rasionalitas pemerintah di tengah gempuran neoliberalisme dengan menggunakan kajian kekuasaan warisan Foucault, Colin Gordon akhirnya menyimpulkan bahwa dunia kini tengah hidup dalam sebuah budaya (kultur) yang baru, yakni, “tatakelola identitas diri dan relasi‐relasi yang didasarkan pada kapitalisasi kehidupan” (Gordon, 1991:44). Tetapi bukankah kapital (modal) bukan hanya uang/finansial? Benar, tetapi bagi ekonomi neoliberal itu hanyalah soal pelintiran kata‐kata belaka.
Seorang ekonom, Ben Fine (2000), meneliti karya empat pemikir besar: Pierre Bourdieu, Gary Becker, James Coleman dan Robert Putnam yang mendasari gagasan ‘modal sosial’ (social capital) yang didalamnya mencakup ‘modal budaya’ (cultural capital) dan ‘modal spiritual’ (spiritual capital). Kesimpulannya menyesakkan. Ia bilang, bahwa modal sosial “hanyalah kiasan belaka. Jika tidak, pasti ada modal yang bukan sosial, yang secara relatif punya potensi
14
berbeda dari modal sosial” (Fine, 2000:26)16 , dan pasti ada kemungkinan untuk memisahkan ruang produksi sosial dari ekonomi. Konsekuensinya, ini berarti bahwa beberapa jenis modal bukanlah sosial. Kalau tidak, pembedaan bentuk sosial dari modal jenis lain tak ada artinya. Nyatanya tidak. Anggapan bahwa modal adalah asosial itu keliru. Sebaliknya, seluruh modal itu sosial dan tak ada produksi yang berada di luar konteks sosial dan institusional.
Ekonomi neoliberal, menurut Fine, justru membuat orang berpikir bahwa segalanya adalah modal (capital): uang, barang dan properti, tetapi juga kepintaran, pengaruh, kepercayaan dan jaringan. Jadi kalau apa yang pada mulanya digagas oleh Bourdieu, Becker, Coleman dan Putnam mengenai ‘modal sosial’ sebenarnya ditujukan untuk memahami sebentuk kapasitas warga untuk terlibat dalam dinamika kekuasaan guna menentukan berbagai keputusan yang mempengaruhi hidup bersama mereka (misalnya dalam Putnam, 1993a; Putnam, 1993b), ia kini dipelintir habis‐habisan: modal sosial tak lebih adalah idiom neoliberal.
Lalu bagaimana konstruksi budaya (culture) mesti dipahami? Menurut Anthony Giddens (1984), reproduksi sosial (dan budaya) berlangsung lewat dualitas yang jarang kita pertanyakan antara praktik sosial dan struktur sosial: tindakan dan praktik sosial selalu mengandaikan struktur sosial tertentu; sementara struktur adalah ‘hasil’ (outcome) dari berulangnya praktik sosial 17. Ini bisa kita lihat jelas mulai dari anak‐anak yang selalu rebutan ke MacDonald’s hingga pengusaha yang rutin menyogok polisi atau bea cukai; mulai dari kebiasaan menonton sinetron hingga keinginan menghadiri pameran di museum.
Apa yang sentral dalam dualitas praktik‐dan‐struktur ini, namun kerap lolos dari pengamatan, adalah fungsi sarana‐antara (modality). Berebutannya anak‐anak mendatangi waralaba MacDonalds, misalnya, bertumpu pada sarana‐antara berupa status yang melekat padanya. Dalam budaya, sarana‐antara ini berwujud ‘bingkai tafsir’ (interpretation scheme). Yang membedakan apakah orang menonton sinetron atau dokumenter, membeli Kentucky Fried Chicken atau Ayam Goreng Kalasan, ikut dalam Indonesian Idol atau lomba baca puisi adalah ‘bingkai tafsir’ ini. Dan jelas, kepadanya melekat erat citarasa‐selera (taste). Pertanyaannya, bagaimana citarasa ini terbentuk?
Dulu, seorang pujangga Inggris Bernard Shaw, dalam karyanya Man and Superman tahun 1903 menyampaikan petuah bagi kaum revolusioner (“Maxims for Revolutionaries”). Petuah nomor satu berbunyi “Do not do unto others as you would that they should do unto you. Their tastes may not be the same” (“Jangan lakukan pada orang lain agar orang lain melakukannya kepadamu sesuai keinginanmu. Selera mereka belum tentu sama”). Petuah ini memenangkan hati banyak orang, termasuk para ekonom, dalam waktu cukup lama. Namun, dua ekonom George Stigler dan Gery Becker, pada tahun 1977 mencoba menekuk petuah ini. Menggunakan teori pilihan rasional (rational choice theory), esai mereka yang terkenal De gustibus non est disputandum (dalam hal citarasa, tak ada perdebatan), menyatakan bahwa semua individu punya selera yang sama sehingga perbedaan dalam perilaku mereka selalu bisa dijelaskan lewat perbedaan yang teramati lewat kendala yang dihadapi ketika
16 Kutipan aslinya, “Social capital is simply an oxymoron. To be otherwise, there would have to be some sort of
capital that is not social relative to which social capital has the potential to be distinctive” (Fine, 2000:26). 17 Apa yang dipahami sebagai struktur di sini bukanlah melulu benda atau organisasi, melainkan skemata
(cara berpikir, cara bertindak, dll.). Ada tiga gugus struktur: (1) struktur signifikasi (signification) menyangkut skemata simbolik, penyebutan dan wacana; (2) struktur dominasi (domination) yang mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (ekonomi) dan (3) struktur legitimasi (legitimacy) yang menyangkut skemata peraturan normatif yang terungkap dalam tata‐hukum (Giddens, 1979:82; 1984:29‐33).
15
menentukan kegunaan (utility) dan bukannya dari perbedaan yang tak teramati dalam hal selera (taste) (Stigler and Becker, 1977).
Setelah sekian lama para ekonom percaya (walau sulit menjelaskan) bahwa citarasa setiap orang berbeda thesis ini tentu mengejutkan. Ia segera disambut dengan sorak‐sorai karena menjelaskan, atau tepatnya justru meniadakan, apa yang selama ini susah dijelaskan dalam teori ekonomi tentang selera, yang dianggap tidak rasional (Blaug, 2001). Becker bahkan menerima Hadiah Nobel Ekonomi pada tahun 1992 karena pandangannya tentang rasionalitas tindakan manusia. Bisa dimengerti karenanya kalau tesis ini tak mendapat tentangan dari para ekonom mainstream, kecuali dari mereka di kubu ekonomi budaya (cultural economics).
Para ekonom budaya, sejak Baumol dan Bowen (1966), mengajukan berbagai bukti empirik bahwa selera sangat bisa dibedakan menurut pendapatan, umur, pekerjaan, tingkat pendidikan, dan lebih‐lebih lagi lamanya mereka dididik secara formal (misalnya Dickenson, 1992; Dobson and West, 1990). Bahkan sebelumnya, Bourdieau juga menegaskan bahwa ada kaitan erat antara citarasa kelas sosial dan modal pendidikan (Bourdieu, 1979). Selain itu juga banyak bukti lain tentang pentingnya pendidikan dini tentang budaya yang nantinya akan mempengaruhi berbagai bentuk partisipasi dalam beragam kegiatan kebudayaan (mulai dari sekedar menonton hingga partisipasi aktif berkebudayaan) terlepas dari perbedaan dalam pendapatan atau biaya menghadiri kegiatan tersebut (O'Hagan, 1996). Singkatnya, bahwa citarasa dan selera itu sudah secara endogen ada dan tak bisa diabaikan begitu saja hanya karena ia tak teramati seperti klaim Stigler dan Becker. Lebih‐lebih lagi, bukankah ‘kegunaan’ (utility) yang melekat dalam barang ekonomi juga sama‐sama tak bisa diamati seperti ‘selera’?
Namun juga bahkan ketika para ekonom budaya itu benar, bahwa citarasa itu berbeda dan pembentukannya sangat dipengaruhi oleh berbagai jenis situasi dan relasi sosial, faktanya ekonomi modern berhasil menjinakkannya secara cerdik. Pertama, misalnya kenyataan bahwa berbagai produk industri klutural modern umumnya bersifat ‘pengalaman berjangka’ (experience goods) – di mana citarasa terbentuk lewat proses konsumsi dalam jangka waktu tertentu dan bahkan mengakibatkan ‘ketagihan rasional’ (rational addiction). Lihatlah berbagai jenis game mulai dari Play station hingga Nintendo, atau saksikanlah acara‐acara macam sinetron atau Pop Idol, dan anda akan segera paham maksud saya. Sebenarnya sambil diam‐diam mengakui bahwa selera itu tidak seragam dan stabil, melalui konstruksi konsumsi semacam ini ekonomi modern mempengaruhi citarasa itu seraya mencoba menyeragamkannya, baik bentuk maupun isinya. Kedua, akhirnya soal selera, dalam ekonomi, tetaplah berujung pada permintaan dan penawaran. Di sini, para ekonom budaya pun terkecoh. Dalam ekonomi, yang penting adalah pasar, bukan individual. Maka soalnya segera mengerucut pada elastisitas harga dan permintaan akan teater, opera, konser, film, tarian, lukisan, dan lain sebagainya (Blaug, 2001).
Namun jika kita ingat bahwa berbagai produk kultural adalah experience goods seperti dibahas sebelumnya, apakah kita bisa sungguh‐sungguh yakin bahwa permintaan komoditi budaya terpisah dari suplai (yang menyangkut biaya dan harga) –dan sebaliknya? Tentu meragukan. Seperti halnya dalam ekonomi kesehatan yang berdasarkan pada permintaan yang dipengaruhi penawaran (rumah sakit dan perusahaan farmasilah yang akhirnya mempengaruhi permintaan akan jasa kesehatan dan obat), ekonomi kultural pun berjalan dalam corak serupa. Juga, seperti dokter yang seharusnya tak berpihak namun nyatanya justru menggunakan jubah ‘keahlian’ (expertise) mereka untuk bermain sebagai Tuhan dan mempengaruhi permintaan dalam ekonomi kesehatan, budayawan dan para ahli budaya pun terpeleset dalam jebakan yang sama.
16
Dalam diskusi ini, barangkali pelan‐pelan mulai disadari betapa sentralnya peran media. Semata‐mata bukan karena ia membawa informasi dinamika perkembangan budaya dan nilai ekonomi budaya, melainkan, lebih penting lagi, karena ia terlibat erat dalam pembentukan citarasa itu sendiri. Namun, kembali kita berhadapan dengan kenyataan bahwa di ujung perkara, media adalah satuan bisnis yang tidak bisa mengelak dari tujuan akumulasi modal dan laba. Omongan bahwa insting dan rasa‐merasa kita adalah hal yang alami makin menjadi omongan yang kehilangan makna. Kalau setiap hari anak‐anak kita diserbu iklan TV tentang bergengsinya McDonald’s, dalam diri anak berlangsung proses pembentukan jenis status sosial yang berkisar pada tersedianya burger itu di tangan mereka. Kalau tiap hari kita menyaksikan tayangan film‐film yang menawarkan mimpi dan gaya hidup a la Hollywood, dalam diri kita sendiri berlangsung proses pembentukan selera dan gagasan tentang sukses seperti itu. Maka, seperti anak‐anak yang akan sedih dan tidak merasa hebat jika tidak makan burger McDonald’s, kita juga merasa belum puas jika belum menghidupi gaya hidup seperti mereka yang kita lihat di media kita. Maka, yang sebenarnya ada bukanlah konsumsi, melainkan konsumerisme –konsumsi yang mengada‐ada.
Bahkan kalaupun ilustrasi di atas terlihat komikal, ia menggambarkan seperti apa hidup bersama (sosialitas) kita sedang dibentuk oleh kultur global ini lewat media. Dan tentu jangan lupa bahwa gaya hidup global ini tengah diekspor ke seluruh penjuru dunia. Apalagi, seperti halnya akumulasi laba adalah motivasi kunci kinerja bisnis media, logika bisnis juga lah yang akan lebih menentukan arah, corak, dan isi media. Hal‐hal selain itu –misalnya apakah sajian media mendidik publik dalam menghadapi berbagai perkara hidup (termasuk mendidik citarasa publik akan isi media sendiri)— tidak pernah menjadi soal utama. Gampangnya, kalau bermanfaat, ya syukurlah. Tetapi kalau tidak, toh tujuan mendidik publik untuk menghadapi perkara hidup tidak pernah menjadi tujuan media hari‐hari ini.
Sekedar contoh, lihatlah pop idol yang menjamur mulai dari X‐factor di Inggris, American Idol hingga versi lokalnya Indonesian Idol. Kalaupun ada, ‘bingkai tafsir’ macam apakah yang dibawanya? Bagi bisnis, itu tak penting sepanjang laba yang dikeruk dibelakangnya lestari. Lihat saja, dalam dunia media, TV dan studio film AS mengeruk 50%‐60% keuntungannya di luar AS dan dan angka itu mencapai 70% untuk perusahaan rekaman musik. Hanya ada tujuh perusahaan pembuat film, bagian dari konglomerasi dunia, yang mendominasi pasar film global dan hanya ada lima perusahaan yang menguasai industri musik dunia. Hollywood mengeruk US$11 milyar dari pembelian acaranya yang disiarkan TV‐TV di seluruh dunia (termasuk Indonesia) pada tahun 2002 – naik dari 7 milyar di tahun 1998 (Gabel and Bruner, 2003:106). Ini semua dimungkinkan dengan adanya 180 satelit geostasioner komersial yang memancarkan komunikasi suara, data dan gambar ke seluruh muka bumi (h.78).
Jadi, mungkin ibarat mendulang angin kalau kita meletakkan harapan pada media untuk membantu merumuskan ‘bingkai tafsir’ atas kebudayaan dan keberadaban publik. Yang terjadi malah sebaliknya. Karena ingin segera memburu laba, bisnis media malah terpelanting menjadi bisnis intip‐mengintip murahan atas dasar komersialisasi insting sensual dan pamer gaya hidup. Dan kita tahu bahwa dalam komersialisasi insting murahan macam itu estetika tidak lagi punya tempat. Maka kini kita mengerti, persoalan kebudayaan tidak lagi karena ketidaktahuan (ignorance) seperti yang dikeluhkan para ahli budaya setengah abad yang lalu. Soal budaya hari‐hari ini adalah soal kedangkalan (banality), dan ia makin mengkhawatirkan.
Kekhawatiran ini muncul karena cara produksi kultur kontemporer dalam masyarakat hari‐hari ini dilakukan lewat desakan atau program (entah itu karena tujuan komersial atau semata filantropi bisnis) dan bukannya tercipta sebagai proses konstruksi tradisi alamiah yang dimaksudkan menjadi sarana fungsi‐fungsi sosial‐budaya. Kalau kultur dipandang sebagai produk, kesamaan akan mempermudah segala prosesnya (baik produksi maupun
17
distribusinya). Atas dasar itulah warna‐warni budaya dalam globalisasi hanya dimungkinkan dalam homogenisasi budaya.
Dalam hal bahasa, misalnya, pada abad ke‐16 hanya ada tujuh juta orang yang berbicara dalam bahasa Inggris. Pada tahun 1990an angka ini membengkak menjadi lebih dari 350 juta lebih pengguna asli dan 400 juta lebih menggunakannya sebagai bahasa kedua. Sementara itu, dalam rentang waktu yang sama, jumlah bahasa yang dipakai di dunia anjlok dari sekitar 14.500 bahasa pada abad ke‐15 menjadi kurang dari 7 ribu saja pada tahun 2007. Dengan kecepatan ini, para ahli bahasa memperkirakan bahwa 50%‐90% dari bahasa yang sekarang ini ada akan lenyap di akhir abad ke‐21 (Steger, 2009:81‐83).
Itu mengapa kita menyaksikan munculnya kultur populer yang makin homogen yang selain termediasi lewat Bahasa Inggris juga didesakkan oleh ‘industri kultural barat’ yang berpusat di New York, Hollywood, London dan Milan. Dalam kemelut lenyapnya berbagai bahasa asli, sudah –dan akan makin—jamak kita dapati orang Indian mengenakan sepatu Nike di tepi sungai Amazon, anak muda Palestina mengenakan kaos Chicago Bulls di Ramallah, atau warga Indonesia menyantap Kentucky Fried Chicken di sebelah warung gudeg di Yogyakarta18 . Walau ada negara‐negara yang mencoba mencegah ‘imperialisme kultural’ ini (misalnya dilarangnya antena parabola untuk menangkap siaran satelit di Iran, atau pemerintah Perancis menerapkan tarif dan kuota untuk film impor, atau semua film buatan luar negeri di‐dubbing di Italia), tetapi penyebaran kultur populer ini tak akan bisa dihentikan.
Apa etos kultur populer ini? Benyamin Barber amat sinis. Dalam bukunya Consumed (2007) ia bilang, kalau pun ada etos, kapitalisme ini hanya punya satu etos, yakni ‘etos pengkerdilan’ (ethos of infantilisation). Etos pengkerdilan ini mengubah orang dewasa menjadi kanak‐kanak dan menelan warga negara bulat‐bulat, melalui iklan dan barang‐barang konsumsi yang membodohi, sementara tetap mentargetkan anak‐anak sebagai konsumennya (Barber, 2007). Etos ini berdiri di atas sikap bahwa akhir itu tak pernah ada bagi barang‐barang konsumsi. Untuk memperluas pasar dan mengeruk laba, produk global yang homogen perlu direkayasa bagi anak‐anak dan kaum muda yang makmur. Seperti halnya kesenjangan pendapatan di dunia justru akan membuat warga‐warga di negara miskin makin terobsesi, mereka yang sudah berumur pun (entah di negara kaya atau miskin) ingin kembali ‘muda’ melalui konsumsi itu. Maka bisalah kita kini memahami mengapa sementara Danau Toba atau Candi Prambanan tidak bertambah pengunjungnya secara berarti, jumlah keluarga yang berpiknik dan liburan di mall‐mall atau amusement centre malah melonjak jauh. SINETRON vs dokumenter.
Barangkali semua kisah dan angka‐angka di atas justru makin menyesakkan bagi kita yang tengah mencoba memahami pembentukan kultur. Karena ia dibentuk, pasti ada media pembentukannya – dan kembalilah kita terbentur pada persoalan media. Tak sulit untuk memahami bahwa aliran kultur global ini bergantung pada kekuasaan bisnis media. Seperti kita tahu, laba adalah keutamaan bisnis media, dan kalau isi media yang membombardir masyarakat dengan kultur globalnya itu makin menggemukkan pundi‐pundinya, kloplah sudah. Dan itulah yang tengah terjadi. Membuat kenyataan kultur global makin jenuh dengan formula pertunjukan TV yang beragam‐namun‐seragam dan berbagai iklan yang dungu (mindless), perusahaan‐perusahaan media ini makin membentuk identitas dan struktur keinginan –atau ‘kerangka tafsir dalam struktur citarasa kultural’—kita (meminjam teori Giddens).
18 Gudeg adalah makanan khas dari kota Yogyakarta, Indonesia.
18
Media dan pekerja media: Panorama masa depan
Nilai‐nilai yang disebarkan oleh perusahaan media transnasional ini tak hanya mengukuhkan hegemoni kultur populer. Ia juga mengakibatkan depolitisasi realitas sosial dan melemahnya ikatan antar warganegara. Depolitisasi sosial terjadi lantaran transformasi siaran berita dan program‐program pendidikan menjadi info‐tainment yang dangkal. Karena penyajian siaran berita hanya membawa separuh laba dibandingkan sajian hiburan, perusahaan media pun tergoda mengejar laba lebih tinggi dengan mengabaikan pemisahan keramat antara praktik kantor berita dan keputusan bisnis. Justru makin banyak aliansi antara kantor berita dan perusahaan hiburan dan makin luaslah gejala jurnalis ditekan agar bekerjasama dengan operasi bisnis mereka.
Sementara itu, media pun mencecar kohesi warganegara. Dengan menginduksikan logika bisnis lewat berbagai isi media, pelan‐pelan gagasan warganegara digerogoti tanpa ada perlawanan berarti baik dari pemerintah (yang terbeli) maupun warga (yang terlena). Memang, di mata pasar tak ada warganegara – yang ada hanyalah konsumen. Maka lalu tidak relevan misalnya membicarakan hak‐hak warganegara atas kesehatan, pendidikan atau air bersih. Yang berlaku adalah hukum pasar (walau ada undang‐undang): yang berhak sehat, tersekolahkan atau bisa minum adalah mereka yang punya uang. Bahkan kinerja pemerintahan pun dinilai dari keberhasilan ekonominya, misalnya berapa jumlah investasi luar negeri atau peningkatan pertumbuhan ekonomi. Peran pemerintah akhirnya bergeser menjadi serupa pengusaha – dan ini pun terjadi di negara kita.
Di tengah hiruk pikuk dunia dangkal yang tunggang‐langgang karena serbuan globalisasi neoliberal ini, lantas bagaimana dengan masa depan media dan peran insan/pekerja media?
Perkembangan teknologi seperti pencetakan dan penerbitan buku menyebabkan perubahan sosial besar lewat literasi: tak hanya orang makin bepikir secara linier, individualistis, tapi juga memungkinkan pengekangan pikiran dan rasa, ketercerabutan, desakan atas spesialisasi, dan bahkan praktik militerisasi modern. Karena itu, McLuhan merayakan munculnya teknologi media baru seperti radio, TV, telepon dan komputer (dan kemudian Internet): ia meyakini bahwa teknologi ini akan mengembalikan fungsi otak‐kanan yang ditekan oleh literasi. Dalam argumennya bahwa media adalah pesan itu sendiri (the medium is the message) bagi McLuhan yang lebih penting adalah struktur media ketimbang isinya karena struktur itu membentuk kesadaran manusia secara lebih mendalam. Misalnya, sementara struktur media cetak konvensional mengkotak‐kotakkan mereka yang membacanya secara pribadi, struktur media baru mendorong keterhubungan dan membangun komunitas internasional (global village) yang melompati batas‐batas politik sempit (McLuhan and Fiore, [1967] 2001). McLuhan tak begitu tertarik dengan siapa yang menguasai produksi dibandingkan dengan jenis‐jenis pemikiran dan kesadaran sensorik yang difasilitasi lewat TV.
Nampaknya, McLuhan terkecoh. Ambillah film seri TV atau sinetron sebagai contoh. McLuhan benar, bahwa kebanyakan film seri di TV tidak mendorong pemikiran linier (misalnya lewat alur cerita yang beragam). Namun ironisnya, kebanyakan isinya menceritakan drama yang itu‐itu juga (percintaan, si baik melawan si jahat, atau sekedar orang biasa menjadi sosok tenar). Dan seringkali, berbagai acara itu menampilkan episode‐episode ulangan – Hal ini juga bahkan terjadi dengan berita. Jadi, sementara mediumnya tidak linier, isinya tetap saja linier. Tapi bagi raksasa media, siapa yang peduli akan hal ini? Sejauh acara‐acara itu ditonton dan membawa untung, dan sejauh ia dan iklan‐iklannya membuat makin banyak orang berintegrasi dengan budaya global (artinya membeli produk‐produk kultur global) seperti mengenakan Levi’s, membawa Master Card, dan Cadillacs – hal itu tak akan pernah menjadi soal.
19
Bagaimana kita bisa memetakan panorama media dan budaya kita di masa depan, di dalam dunia dangkal yang berlari tunggang‐langgang ini? Pertama‐tama, nampaknya perkembangan teknologi (informasi dan komunikasi) sudah jelas memunculkan pertanyaan akan peran publik media memediasi berbagai kemungkinan terciptanya hidup bersama. Internet dan media sosial, jelaslah saat ini, menjadi kanal pelepasan atas kegusaran akan ketidakmampuan media konvensional menjalankan peran publiknya. Yang akan kita tuju, barangkali di depan mata ini, adalah sebentuk citizens media yang pada jantungnya disokong oleh social media ‐media warga yang muncul dan berkembang intrinsik dalam social media. Apa yang saat ini kita amati tumbuh dengan cepat –blogging, micro blogging, photo/video blogging, social networking sites, dan lain‐lain– adalah penanda akan makin segeranya kita menjejak masa social‐media‐based citizens media ini. Barangkali kalau tidak disebut mengalami transformasi, media akan mendapatkan konteks yang sungguh baru. Tanpa harus buru‐buru meratap atau bersorak, kita mesti peka memindai konsekuensi‐konsekuensi yang bisa jadi segera menghantam ke pokok perkara: isi media dan dinamika pekerja media di masa depan.
Internet, khususnya web2.0, makin akan menjadi alat utama produksi –atau setidaknya diseminasi—media. Tak hanya karena ini menggenapi visi Habermas (dan Marshall McLuhan dalam beberapa hal) tentang media yang demokratis, melainkan karena web2.0 akan makin menjadi landasan berbagai tindakan ekonomi, sosial dan politik di masa depan. Tentu saja apa yang membuat Morozov sinis tentang potensi web2.0‐social media yang justru delusional harus diperhatikan. Didorong teknologi digitalisasi, Internet akan menjadi ether interaksi yang makin luas. Isi dan corak media serta hidup masyarakat bermedia akan makin banyak tergantung pada teknologi online dan menghadirkan beragam karya insan media lewat web. Namun ingat: ada jarak luas, dan akan makin membentang, antara penyajian sebuah isi media dan upaya membangun kesadaran lewat isi itu.
Berikutnya, di masa depan kapitalisme kultural ini, satu situasi hampir pasti. Bagi ekonom seperti Jeremy Rifkin (2000), masa depan budaya hanya satu: ia akan makin terjerembab dalam komersialisasi. Kapitalisme kultural ini bukan hanya berarti prioritisasi ekonomi jasa dan informasi atas ekonomi industri, namun lebih dalam lagi: komersialisasi pengalaman itu sendiri. Pendorongnya jelas: inovasi teknologi – internet dan media. Dalam perspektif ini, budaya (culture), seperti halnya alam (nature) bisa terus dikeruk sampai habis. Industri gaya hidup, misalnya, adalah tambang besar komodifikasi kultur dan keberagaman. Dan dalam masa ketika ‘apapun bisa dikomodifikasi’ seperti saat ini, tidak mudah memikirkan tandingannya. Kecenderungan counter‐cultural justru menjadi target jeli pemasaran. Mulai dari soal musik (perjalanan musik hip‐hop dan rap sejak ia menjadi bagian radikalisasi kulit hitam hingga kini malah menjadi mainstream budaya kulit putih – dan kehilangan pesan radikalnya) hingga makanan (produk organik atau fair trade sebagai instrumen keadilan bagi produsen kecil hingga jadi gaya hidup bergengsi kelas menengah atas). Media di sini sudah, sedang, dan akan terus memainkan peranan sangat penting.
Mencermati masa depan memang tidak mudah, dan sering kita justru terjebak pada obsesi. Salah satu obsesi studi media dan budaya hari‐hari ini nampaknya berpusat pada upaya menafsir berbagai karya di media, sembari berupaya menemukan penjelasan untuk memahami kinerjanya, dan tentu saja kaitannya dengan bagaimana dunia bekerja. Tentu tak ada salahnya obsesi semacam ini, namun ia tak cukup untuk meneropong masa depan. Refleksi media dan budaya, apalagi dalam kaitan merawat cita‐cita hidup bersama ini, mesti lebih peka memahami corak konsumsi dan berbagai ‘tipu‐muslihat’ dalam dinamika produksi isi media karena di situlah terletak kunci memahami masa depan. Kalau tidak, ia tak akan peka membedakan antara pemirsa aktif, pengelana cyber, pembaca, tukang‐belanja,
20
pengamat, pengintip, atau jurnalis warga, karena semuanya dianggap konsumen oleh ideologi pasar neoliberal ini.
Oleh karena itu, perlu diingat bahwa citarasa kebanyakan (mayoritas) belum tentu selalu merupakan pandu yang baik bagi arah kebudayaan. Bahkan, merenungkan data‐data dan kajian literatur dalam seluruh rangkaian riset media di CIPG‐Hivos yang saya pimpin ini, saya cenderung mengatakan ‘tidak’. Saya kira di sini ada satu pokok penting. Tidak cukup kalau kita hanya merefleksikan situasi kedangkalan kultural ini dan refleksi itu ternyata tak lebih dari apologi. Kita harus beranjak lebih jauh: refleksi itu haruslah menyangkut gerakan kritik terhadap situasi pendangkalan yang akan terus terjadi ini dan membangun tindakan sedikit lebih konkrit. Di sinilah pentingnya memasukkan kembali agenda keadaban (civility) untuk beberapa kemungkinan intervensi.
Pada akhirnya: Keterlibatan nyata
Pertama adalah kebutuhan publik untuk mengatasi kekhawatiran mengenai besarnya perkembangan konglomerasi media dan hasilnya, yaitu konsentrasi kepemilikan yang berdampak terhadap kualitas jurnalisme dan mengancam keberagaman konten/informasi. Hal ini untuk memastikan bahwa perkembangan industri media tidak akan menghilangkan raison d’être media sebagai locus publicus, ranah publik yang memediasi kehidupan warga negara sipil.
Kedua, dalam keprihatinan yang sama, poin aksi selanjutnya adalah untuk merevitalisasi peran pengaturan dari badan‐badan sektor publik, khususnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI seharusnya memiliki kewenangan untuk mengendalikan lansekap industri media dan cara di mana perusahaan‐perusahaan media bekerja. Tanpa otoritas penuh, KPI hanya akan mendampingi Kemenkominfo dalam meregulasi lanskap media. Dengan adanya KPI sebagai institusi publik yang independen dan memiliki otoritas, juga akan memastikan eksistensi kanal publik untuk menyampaikan kekhawatiran terkait kinerja media di Indonesia.
Ketiga, melanjutkan proses revisi UU Penyiaran. Meskipun agenda politik di dalamnya tampak jelas, sulit untuk melibatkan publik dalam proses pembuatan kebijakan. Di sinilah muncul permintaan bagi warga negara yang aktif dan peduli untuk secara terbuka menuntut proses revisi dibuat transparan agar dapat dilihat publik. Revisi UU Penyiaran harus digunakan sebagai momentum publik untuk menetapkan landasan baru bagi keterlibatan warga negara dalam memastikan perlindungan terhadap hak‐hak mereka atas media.
Keempat, sebesar apapun keprihatinan kami terhadap perkembangan media industri yang berbasis keuntungan, menghidupkan kembali media publik yaitu TVRI dan RRI merupakan hal yang sangat penting. Tanpa memiliki penyiaran publik yang kuat dan berkualitas tinggi, tidaklah mungkin memastikan pembentukan ranah publik di mana warga negara dapat menyuarakan pandangan‐pandangan mereka dan ikut terlibat dalam interaksi yang sehat, atau untuk memastikan pemenuhan hak warga negara dalam bermedia.
Kelima, temuan‐temuan kami menunjukkan bahwa media (atau forum) alternatif sangatlah penting untuk memberi kesempatan warga negara mengambil peran aktif dalam isu‐isu yang secara langsung berhubungan dengan mereka. Seperti yang kami perlajari dari riset ini, media komunitas menawarkan lebih dari sekadar wacana publik: media komunitas menyediakan akses untuk pengalaman komunal dan, yang paling penting, menawarkannya sebagai bagian dari jaringan proyek sosio‐kultural dan sosio‐politik. Kebijakan‐kebijakan media tidak boleh membahayakan eksistensi media alternatif di Indonesia, tetapi justru harus memeliharanya.
21
Tentu saja, kelima bentuk intervensi keterlibatan praktis itu punya sejumlah catatan19. Jika memang angin zaman saat ini berhembus ke sisi ‘kebebasan individual’ (dibandingkan pada ‘otoritas publik’), beragam upaya untuk memperbaiki ‘otoritas publik’ (misalnya melalui aparat administratif negara, agen publik, dan kebijakan publik) dapat dipastikan akan menghadapi penolakan yang kuat. Prasangka timbul bukan karena upaya‐upaya ini tidak didasari niat yang baik, melainkan karena di Indonesia, idiom jaman akan menganggap upaya semacam ini tak layak dilakukan (persis dengan bekerjanya prinsip kawanan atau ‘herd principles’).
Melihat kondisi yang ada, sekecil apapun kemungkinannya, harapan harus ‘ditemukan’ atas dasar ‘kebebasan individual’. Karenanya, meski berisiko klise, isu ini menggarisbawahi perlunya re‐edukasi atas selera masyarakat. Namun, ada keterkaitan di sini: upaya re‐edukasi atas selera masyarakat akan mustahil jika mediumnya (yaitu media massa) yang digunakan untuk menyebarkannya juga kosong melompong. Karena itu cara dari sisi yang lain adalah dengan memberikan re‐edukasi kepada para pekerja dan profesional media. Namun, gagasan ini hanya masuk akal jika kita berasumsi bahwa pekerja media masih mempertahankan independensi mereka—sebuah asumsi yang dalam kenyataannya terlalu dangkal—dan bahwa ada institusi yang mampu melakukannya. Kami sangat menyadari kesulitan ini. Namun, di sinilah kesempatan bagi masyarakat, warga negara, dan jurnalis yang peduli: seperti AJI dan KPI seharusnya didorong untuk menjalankan lembaga pendidikan yang mampu mere‐edukasi pekerja media. Hasilnya akan memiliki efek jangka panjang, sayangnya upaya ini masih belum dikembangkan dengan serius.
Bagaimana memikirkannya?
Pada mulanya adalah sebuah premis –dan premis ini sangat antropologis—bahwa manusia adalah ‘homo educationis’ – yakni makhluk yang bisa untuk dididik dan bisa berubah dari satu kondisi ke kondisi lain, baik dalam hal kebiasaan, cara berpikir, selera, dan lain‐lain. Hidup bersama kita terbentuk sebagian karena adanya struktur, kerangka, sistem. Namun ini tidak akan pernah menihilkan fakta bahwa manusia itu bisa dididik. Nyatanya, kita sudah demikian keras berusaha mencoba merancang berbagai inovasi institusional, strategi struktural, intervensi sistem dan kebijakan media – tetapi kita tahu bahwa walau semua itu sudah dilakukan, praktik bermedianya sama saja tak berubah. Kalau kita belajar dari negara‐negara dan peradaban‐peradaban yang lebih dewasa, terlihat bahwa yang antropologis itu ternyata ditata dan direncanakan sebaik yang struktural. Kita, di sisi lain, nampaknya kita belum cukup memberi perhatian pada hal tersebut. Inilah inti perkara pendidikan kembali (re‐edukasi).
Sekali lagi perlu diingat bahwa sejak lama dan hingga hari‐hari ini media adalah sekaligus arena perang kepentingan (war of interest) dan ceruk pekerjaan (niche of employment). Karena pendidikan formal selalu adalah upaya menginjeksikan inti pekerjaan (employment), maka ia perlu sejak awal diimbangi dengan injeksi komitmen.
Kelompok seperti AJI secara praktis bisa bekerjasama dengan para ‘supplier commiment’ ini, yakni FISIP dan FIKOM universitas atau PT untuk menginjeksikan pentingnya isu komitmen ini pada para calon pekerja media dan jurnalis. AJI bisa mengambil langkah strategis lewat rancangan kerjasama per daerah atau regio. Apakah bisa langsung kelihatan hasilnya? Tentu tidak. Ketika bicara pendidikan, barangkali paling cepat kita akan merasakan hasilnya lima tahun lagi – kalau ada. Kita tahu ada kemungkinan kegagalan atas upaya ini. Tapi tetaplah ia pantas dilakukan, karena kita juga tahu pasti bahwa kedangkalan ini akan makin menjadi‐jadi jika ini dibiarkan.
19 Dikontribusi oleh Dr. B. Herry‐Priyono, penasihat dan peninjau penelitian ini.
22
Menerawang soal media dan dinamika sosietal dan mencoba memahaminya dalam gejolak gejala hari‐hari barangkali memang tidak mudah. Berbagai teori tentang media, budaya, dan globalisasi sering membuat orang mundur teratur ketika menyadari kerumitannya. Apalagi ketika berbagai data dan statistik menyerbu dan kita gagap memberinya makna. Akhirnya banyak orang menyerah memahaminya. Karena itu, apa yang akan disampaikan dalam refleksi ini tidaklah lebih dari sekedar tawaran cara memahami kaitan antara media, budaya, dan cita‐cita hidup bersama kita yang tengah dikepung oleh gejala globalisasi. Ujungnya adalah kepedulian agar peran publik media dikembalikan demi mutu hidup dan budaya kita sendiri, persis karena kita tidak bisa menyerahkan hidup bersama kita begitu saja pada logika akumulasi laba.
Manchester – Jakarta, Agustus 2012
23
Referensi
Bagdikian, B., 2004. The New Media Monopoly. Beacon Press, Boston, MA.
Barber, B.R., 2007. Consumed: How markets corrupt children, infantilize adults, and swallow citizens whole. W.W. Norton, New York.
Baumol, W.J., Bowen, W.G., 1966. Performing arts: The economic dilemma. The Twentieth Century Fund, New York.
Becker, G., 1976. The Economic Approach to Human Behavior. University of Chicago Press, Chicago IL.
Berkhout, R., Koster, K.d., Kieboom, M., Pieper, I., Fernando, U., Ruijmschoot, L., 2011. Civic Driven Change: Synthesising implications for policy and practice. Report. Development Policy Review Network.
Blaug, M., 2001. Where are we now on cultural economics? Journal of Economic Surveys 15(2), 123‐143.
Bourdieu, P., 1979. Distinction: A social critique of the judgement of taste. Routledge (Translated by R. Nice, 1984).
Castells, M., 1996. The Rise of Network Society. The Information Age – Economy, Society, and Culture – Volume I. Blackwell, Oxford.
Castells, M., 1997. The Power of Identity. The Information Age – Economy, Society, and Culture – Volume II. Blackwell, Oxford.
Castells, M., 2001. The Internet galaxy: Reflections on the Internet, business, and society. Oxford University Press, New York.
Castells, M., 2005. The Network Society: A Cross‐Cultural Perspective. Edward Elgar, London.
Castells, M., 2010. The Rise of Network Society. The Information Age – Economy, Society, and Culture – Volume I (2nd Ed.). Wiley‐Blackwell, West Sussex.
Curran, J., 1991. Rethinking the media as public sphere, in: Dahlren, P., Sparks, C. (Eds.), Journalism and the public sphere. Routledge, London and New York, pp. 27‐57.
Dickenson, V., 1992. Museum Visitor Surveys: An Overview, 1930‐1990, in: Towse, R., Khakee, A. (Eds.), Cultural Economics. Springer‐Verlag, Berlin, Heidelberg, pp. 141‐150.
Dobson, L.C., West, E.G., 1990. Performing arts subsidies and future generations. Journal of Behavioral Economics 19(1), 23‐33.
Evensky, J., 2005. "Chicago Smith" versus "Kirkaldy Smith". History of Political Economy 37(2), 197‐203.
Fine, B., 2000. Social Capital versus Social Theory: Political economy and social science at the turn of the millennnium. Routledge, London.
Friedman, M., 1962. Capitalism and Freedom. University of Chicago Press, Chicago IL.
Gabel, M., Bruner, H., 2003. Global, Inc. An Atlas of the Multinational Corporation. The New Press, New York.
Gamble, A., 2001. Neoliberalism. Capital and Class 75, 127–134.
Giddens, A., 1979. Central Problems in Social Theory. Macmillan, London.
Giddens, A., 1984. The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration. University of California Press, Berkeley.
Giddens, A., 1999. Runaway world: How globalization is reshaping our lives. Profile, London.
Gordon, C., 1991. Governmental Rationality: An Introduction, in: Burchell, G., Gordon, C., Miller, P. (Eds.), The Foucault Effect: Studies in Governmentality. Chicago University Press, Chicago IL, pp. 1‐51.
Habermas, J., 1984. The Theory of Communicative Action. Vol. I: Reason and the Rationalization of Society. Beacon. [German, 1981, vol. 1], Boston.
Habermas, J., 1987. The Theory of Communicative Action. Vol. II: Lifeworld and System. Beacon. [German, 1981, vol. 2], Boston.
Habermas, J., 1989. The Structural Transformation of the Public Sphere. MIT Press. [German, 1962], Cambridge, MA.
Habermas, J., 2001. The Postnational Constellation. MIT Press. [German, 1998], Cambridge MA.
24
Harvey, D., 2005. A brief history of neoliberalism. Oxford University Press, Oxford.
Held, D., 2000. Regulating globalization? The reinvention of politics. International Sociology 15(2), 394–408.
Herman, E.S., Chomsky, N., 1988. Manufacturing Consent: The Political Economy of Mass Media. Pantheon Books New York.
Herry‐Priyono, B., 2003. Dalam Pusaran Neoliberalisme, in: Wibowo, I., Wahono, F. (Eds.), Neoliberalisme. CPS, Yogyakarta, pp. 47‐84.
Herry‐Priyono, B., 2006. Proyek Indonesia dalam Globalisasi: Mencari terobosan Hak Asasi Ekonomi, in: FISIP UI (Ed.), Restorasi Pancasila: Mendamaikan politik identitas dan modernitas. Brighten Press, Bogor, pp. 376‐412.
Herry‐Priyono, B. (2009) Sesat Neoliberalisme. Kompas, 28 May 2009,
Joseph, A., 2005. Media matter, citizens care: The who, what, when, where, why, how, and buts of citizens’ engagement with the media. UNESCO. Available online http://portal.unesco.org/ci/en/files/19137/11164945435advocacy_brochure.pdf/advocacy_brochure.pdf.
Kominfo, 2010. Komunikasi dan Informatika Indoneisa: Whitepaper 2010. 2010 Indonesia ICT Whitepaper. Jakarta: Pusat Data Kementrian Komunikasi dan Informatika.
Kominfo, 2011. Indikator TIK Indonesia. Report. Jakarta: Pusat Data Kementrian Komunikasi dan Informatika.
Lim, M., 2002. Cyber‐civic Space. From Panopticon to Pandemonium? International Development and Planning Review 24(4), 383‐400.
Lim, M., 2003. From Real to Virtual (and Back again): The Internet and Public Sphere in Indonesia, in: Ho, K.C., Kluver, R., Yang, K. (Eds.), Asia Encounters the Internet. Routledge, London, pp. 113‐128.
Lim, M., 2004. Informational Terrains of Identity and Political Power: The Internet in Indonesia. Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology 27(73), 1‐11.
Lippmann, W., 1922. Public Opinion. Free Press Paperbacks, New York.
Mansell, R., 2004. Political economy, power and new media. New Media & Society 6(1), 96‐105.
McLuhan, M., 1964. Understanding Media: The extensions of man. McGraw‐Hill, New York.
McLuhan, M., Fiore, Q., [1967] 2001. The Medium is the Massage: An Inventory of Effects. Penguin, London.
Morozov, E., 2011. The Net Delusion: How not to liberate the world. Penguin Books, London.
MPA Analysis, 2011. Prospektus Awal Visi Media Asia (Initial prospectus of Visi Media Asia). Jakarta: Visi Media Asia. http://www.vivanews.com/appaux/propektus_awal_pt_visi_media_asia_tbk.pdf.
Nugroho, Y. (2002) Reinventing Globalisation. The Jakarta Post, 30 December 2002, Jakarta.
Nugroho, Y., 2005a. Globalisation: Neither nirvana nor armageddon (Globalisasi: Antara berkah dan kutuk). Business Watch Indonesia (Bilingual), Solo.
Nugroho, Y., 2005b. Rekayasa merawat neoliberalisme: Menggagas kembali peran teknologi untuk akumulasi laba. Wacana INSIST 19(7), 51‐79.
Nugroho, Y., 2008. Adopting Technology, Transforming Society: The Internet and the Reshaping of Civil Society Activism in Indonesia. International Journal of Emerging Technologies and Society 6(22), 77‐105.
Nugroho, Y., 2010a. Localising the global, globalising the local: The role of the Internet in shaping globalisation discourse in Indonesian NGOs. Journal of International Development.
Nugroho, Y., 2010b. NGOs, The Internet and sustainable development: The case of Indonesia. Information, Communication and Society 13(1), 88‐120.
Nugroho, Y., 2011. Citizens in @ction: Collaboration, participatory democracy and freedom of information – Mapping contemporary civic activism and the use of new social media in Indonesia. Report. Manchester and Jakarta: MIOIR and HIVOS.
Nugroho, Y., Putri, D.A., Laksmi, S., 2012. Mapping the landscape of the media industry in contemporary Indonesia Report. Engaging Media, Empowering Society: Assessing media policy and governance in Indonesia through the lens of citizens’ rights. Jakarta: Centre for Innovation Policy and Governance, HIVOS Regional Office Southeast Asia, Ford Foundation Indonesia.
Nugroho, Y., Syarief, S.S., 2012. Beyond click‐activism? New media and political processes in contemporary Indonesia. Friedrich‐Ebert‐Stiftung, Jakarta and Berlin.
25
26
O'Hagan, J.W., 1996. Access to and participation in the arts: The case of those with low incomes/educational attainment. Journal of Cultural Economics 20(4), 269‐282.
Prakarsa, 2011. Kemiskinan melonjak, jurang kesenjangan melebar (Poverty jumps, inequality gap widens). November 2011. Prakarsa, available http://www.theprakarsa.org/uploaded/lain‐lain/Prakarsa‐Policy‐Review.pdf. Last accessed 15 May 2012.
Putnam, R., 1993a. Making democracy work: Civic traditions in modern Italy. Princeton University Press, Princeton.
Putnam, R., 1993b. The Prosperous Community – Social Capital and Public Life. American Prospect 13, 35‐42.
Rifkin, J., 2000. The Age of Access: How the Shift from Ownership to Access is Transforming Capitalism. Penguin, London.
Ritzer, G., 1993. MacDonaldization of Society. Pine Forge Press, Thousand Oaks, London, New Delhi.
Robertson, R., 1992. Globalization: Social Theory and Global Culture. Sage, Newbury Park, CA.
Saragih, N., 2012. Studi Kritis Ekonomi‐Politik Komunikasi Aktivitas Bisnis Konsultan Politik Melalui Konsep Komodifikasi. PhD thesis. Bandung: Universitas Pajajaran.
Sklair, L., 2002. Globalization: Capitalism and Its Alternatives. Basil Blackwell, Oxford.
Smith, A., [1776] 2000. An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. The Modern Library, New York.
Socialbakers, 2012. Indonesia Facebook Statistics. Socialbakers. http://www.socialbakers.com/facebook‐statistics/indonesia visited 30 May 2012.
Steger, M.B., 2009. Globalization. A very short introduction. Oxford University Press, Oxford.
Stigler, G.J., Becker, G.S., 1977. De gustibus non est disputandum. American Economic Review 67, 76‐90.
Tomlinson, A., 1990. Consumption, identity and style: Marketing, meanings, and the packaging of pleasure. Routledge, London.
Treanor, P., 2005. Neoliberalism: Origins, Theory, Definition. http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/neo‐liberalism.html, viewed 14 August 2009