Refleksi Kasus Pasien Ibs
-
Upload
caroline-johansyah -
Category
Documents
-
view
255 -
download
9
description
Transcript of Refleksi Kasus Pasien Ibs
REFLEKSI KASUS PASIEN IBS
OPERASI HERNIOTOMY
Disusun Oleh :
Caroline Johansyah
42100078
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT EMANUEL KLAMPOK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2016
BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
1. Nama : Bp. M
2. Usia : 42 tahun
3. Alamat : Penerusan
4. Tanggal Operasi : 20 April 2016
B. Anamnesa
1. Keluhan Utama :
Benjolan di bagian skrotum kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien merasakan adanya benjolan pada daerah skrotum kiri sejak 1
tahun terakhir, benjolan tersebut sering membesar dan mengecil dengan
sendirinya, terutama akan membesar pada saat batuk. Pasien tidak
mengeluhkan adanya nyeri pada daerah benjolan tersebut. Pasien merasa
terganggu dengan benjolan tersebut sehingga berkonsultasi dengan dokter
bedah. Pasien direncanakan akan dilakukan tindakan herniotomi untuk
mengatasi permasalahan pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit asma sejak 1 tahun terakhir,
riwayat penyakit lainnya seperti jantung, tekanan darah tinggi, DM, riwayat
kejang, disangkal.
4. Riwayat Pengobatan :
Obat rutin yang digunakan serta riwayat pengobatan lainnya disangkal.
5. Riwayat Alergi Obat dan Makanan :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat maupun makanan.
6. Riwayat Penyakit Keluarga :
Kakek kandung memiliki riwayat asma.
Riwayat penyakit lain seperti DM, HT, penyakit jantung, ginjal dan riwayat
kejang disangkal.
1
7. Riwayat Gaya Hidup :
Pasien mengaku memiliki kebiasaan merokok sejak 10 tahun yang lalu, namun
sejak 2 bulan terakhir pasien sudah tidak lagi merokok.
Pasien memiliki kebiasan mengkonsumsi teh setiap harinya, namun untuk
riwayat konsumsi alkohol disangkal.
8. Puasa :
Makan-minum terakhir + 8 jam sebelum operasi.
C. Assesment Pra Anestesi
1. Keadaan Umum : Sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. GCS : E4 M6 V5
4. Vital Sign
a. Tekanan darah : 110/70 mmHg
b. Nadi : 90 x/menit
c. Respirasi : 20 x/menit
d. Suhu : afebris
5. A: Airway
a. Jalan napas : jalan napas bebas.
b. Hidung :Tidak terdapat sumbatan atau perdarahan yang
tampak pada hidung.
c. Mulut : Gigi palsu/ goyang/ ompong (-)
d. Lidah : Simetris, ukuran normal
e. Faring : Malapati 2
6. B: Breathing
a. Respirasi : 20x/ menit
b. Suara nafas : Vesikuler
c. Pergerakan dinding dada : Simetris
7. C: Circulation
a. Tekanan Darah : 110/70 mmHg
b. Nadi : 90x/ menit, nadi teraba kuat dan regular
c. Saturasi : 99%
d. CPR : <2 detik
e. Kondisi akral : hangat
2
8. D: Disability
a. Keadaan umum : Sedang
b. Kesadaran : Compos mentis
c. GCS : E4 M6 V5
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium (20 April 2016)
a. Hematologi
i. Hemoglobin : 15.7 g/dl
ii. Leukosit : 7.92 ribu
iii. Eritrosit : 5 juta
iv. Hematokrit : 46.5 %
v. MCV : 86.6 mikro m3
vi. MCH : 29 pg
vii. MCHC : 33.8 g/dl
viii. Trombosit : 323 ribu
ix. Neutrophil : 74.9 % x. Eosinofil : 1.4 % xi. Basofil : 0.4 %
xii. Limfosit : 19.8 % xiii. Monosit : 3.5 %
xiv. Waktu Protombin :13.0 detik
xv. APTT : 33.7 detik
b. Kimia Klinik
i. Glukosa sewaktu : 108 mg/100ml
E. Kesimpulan Assesment Pra Anastesi
1. Diagnosa : Pro herniotomy
2. Status ASA : II / Non Emergency
3. Rencana Anestesi : Anestesi Spinal
4. Persiapan Anestesi : Inj. Dexamethason 2 Amp
3
F. Pelaksanaan Operasi
1. Identitas : Telah Tercantum
2. Ahli Bedah : dr. Samuel Zacharias, Sp.B, MM
3. Ahli Anestesi : dr. Yos Kresna, Sp.An, M.Sc
4. Jenis Anestesi : Spinal anestesi (Sub Arachonoid Block)
5. Operasi : 20 April 2016
6. Obat :
a. Premedikasi : Inj. Dexamethason 10 mg (IV)
b. Induksi : Pasien di berikan injeksi Decain Spinal (Bupivacain)
20mg, di L3-4.
c. Maintenance : Gas O2 2 lpm.
d. Post Operasi : Inj. Ketorolac 30mg , Inj. Ondansentron 4 mg.
7. Persiapan induksi :
a. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
b. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
c. Nasal canul dan sumber oksigen.
d. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,
quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point
whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
e. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
f. Kapas/ kasa steril dan plester.
g. Obat-obatan anestetik lokal.
h. Spuit 3 ml dan 5 ml.
8. Cairan infuse : Ring As 500cc
9. Hemodinamik selama operasi
Waktu Tekanan Darah Nadi
15.15 120/76 90
15.30 115/74 80
15.45 108/68 72
15.50 105/70 74
4
G. Post Operasi (Recovery Room)
1. Keadaan Umum : Sedang
2. A : Airway
a. Jalan napas : Jalan napas bebas, OS menggunakan nasal canul
dengan dialirkan oksigen sebanyak 1-2 lpm.
3. B : Breathing
a. Respirasi rate : 22 x/menit
b. Suara napas : vesikuler
c. Pergerakan dinding dada : Simetris
4. C : Circulation
a. Tekanan darah : 110/75 mmHg
b. Nadi : 74 x/menit, teraba kuat dan regular
c. Saturasi : 99%
d. CPR : < 2 detik
e. Akral : Hangat
5. D : Disability
a. Keadaan umum : Sedang
b. Kesadaran : Compos mentis
Bromage Score : 3
H. Pemantauan Anestesi
1. Preoperatif
Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan pada daerah
skrotum kiri. Benjolan ini sering hilang timbul terutama saat batuk sejak 1
tahun terakhir.
Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang
meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk
menentukan status fisik ASA dan resiko. Diputuskan kondisi fisik pasien
termasuk ASA II, serta ditentukan rencana jenis anestesi yang dilakukan
yaitu regional anestesi dengan teknik SubArachoid Block.
5
Jenis anastesi yang dipilih adalah regional anastesi cara spinal.
Anastesi regional baik spinal maupun epidural dengan blok saraf setinggi
L3-L4 memberikan efek anastesi yang memuaskan dan kondisi operasi yang
optimal bagi Herniotomy. Dibanding dengan general anastesi, regional
anastesi dapat menurunkan insidens terjadinya post-operative venous
trombosis.
2. Durante Operatif
Teknik anastesi yang digunakan adalah spinal anastesi dengan
alasan operasi yang dilakukan pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup
memblok bagian tubuh inferior saja.
Obat anastesi yang diberikan pada pasien ini adalah Decain spinal
20 mg (berisi bupivakain Hcl 20 mg), Decain spinal dipilih karena durasi
kerja yang lama. Bupivakain Hcl merupakan anastesi lokal golongan amida.
Bupivakain Hcl mencegah konduksi rangsang saraf dengan menghambat
aliran ion, meningkatkan ambang eksitasi elekton, memperlambat
perambatan rangsang saraf dan menurunkan kenaikan potensial aksi. Durasi
analgetik pada L3-L4 selama 2-3 jam, dan Bupivakain Hcl spinal
menghasilkan relaksasi muskular yang cukup pada ekstremitas bawah selama
2-2,5 jam. Selain itu Bupivakain Hcl juga dapat ditoleransi dengan baik pada
semua jaringan yang terkena.
Sebagai analgetik digunakan ketorolac sebanyak 1 ampul (30
mg/ml) disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi (AINS)
yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat
menghilangkan rasa nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg mempunyai efek
analgetik yang setara dengan 50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi
memiliki durasi kerja yang lebih lama serta lebih aman daripada analgetik
opioid karena tidak ada evidence depresi nafas.
Untuk anti mual-muntah digunakan ondansentron 4 mg,
ondasentron termasuk kelompok obat anti mual golongan 5HT3-receptor
antagonist yang bekerja dengan menghambat secara selektif serotonin 5-
6
hydroxytriptamine (5HT3) berikatan pada reseptornya yang ada di CTZ
(chemoreseceptor trigger zone) dan di saluran cerna. Ondansentron
digunakan untuk mencegah dan mengobati mual dan muntah yang
disebabkan oleh efek samping operasi. Mual dan muntah disebabkan oleh
senyawa alami tubuh yaitu serotonin selektif serotonin 5-hydroxytriptamine
(5HT3). Jumlah serotonin dalam tubuh akan meningkat ketika menjalani
operasi. Seretonin akan bereaksi terhadap reseptor 5HT3 yang berada di usus
kecil berikatan dengan reseptornya dan akan merangsang saraf vagus
menyampaikan rangsangan ke CTZ dan pusat muntah dan kemudian terjadi
mual dan muntah. Ondansetron akan menghambat serotonin bereaksi pada
receptor 5HT3 sehingga mengurangi mual dan berhenti muntah.
3. Postoperatif
Perawatan pasien post operasi dilakukan di RR, setelah dipastikan
pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran, serta vital sign
stabil pasien dipindahkan ke bangsal, dengan anjuran untuk bed rest 24 jam,
tidur terlentang dengan 1 bantal, minum banyak air putih serta tetap diawasi
vital sign selama 24 jam post operasi.
7
BAB II
DASAR TEORI
A. Hernia
1. Pengertian Hernia
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui
defek atau bagian lemah dari dinding rongga yang bersangkutan / Locus
Minoris Resistentiae (LMR). Bagian-bagian hernia meliputi pintu hernia,
kantong hernia, leher hernia dan isi hernia.
Sedangkan dikatakan hernia inguinalis lateral apabila hernia tersebut
melalui annulus inguinalis abdominalis (lateralis/internus) dan mengikuti
jalannya spermatid cord di canalis inguinalis serta dapat melalui annulus
inguinalis subcutan (externus) sampai scrotum. Hernia inguinalis disebut juga
hernia scrotalis bila isi hernia sampai ke scrotum.
Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau
kongenital dan hernia didapat atau akuisita. Hernia diberi nama menurut
letaknya seperti diafragma, inguinal, umbilikal, femoral.
Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponibel bila isi hernia
dapat keluar masuk. Bila isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam
rongga disebut hernia ireponibel. Hernia eksterna adalah hernia yang menonjol
ke luar melalui dinding perut, pinggang atau perineum. Hernia interna adalah
tonjolan usus tanpa kantong hernia melalui suatu lobang dalam rongga perut
seperti Foramen Winslow, resesus rektosekalis atau defek dapatan pada
mesentrium umpamanya setelah anastomosis usus.
Hernia disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata bila isinya
terjepit oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat
kembali ke dalam rongga perut. Akibatnya, terjadi gangguan pasase atau
vaskularisasi. Secara klinis hernia inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia
ireponibel dengan gangguan pasase, sedangkan gangguan vaskularisasi disebut
sebagai hernia strangulate.
8
Hernia yang melalui annulus inguinalis abdominalis (lateral/internus)
dan mengikuti jalannya spermatic cord di canalis inguinalis serta dapat melalui
anulus inguinalis subcutan (externus), sampai scrotum
Hernia yang paling sering terjadi (sekitar 75% dari hernia abdominalis)
adalah hernia inguinalis. Hernia inguinalis dibagi menjadi: hernia inguinalis
indirek (lateralis), di mana isi hernia masuk ke dalam kanalis inguinalis
melalui locus minoris resistence (annulus inguinalis internus); dan hernia
inguinalis direk (medialis), di mana isi hernia masuk melalui titik yang lemah
pada dinding belakang kanalis inguinalis. Hernia inguinalis lebih banyak
terjadi pada pria daripada wanita, sementara hernia femoralis lebih sering
terjadi pada wanita.
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena
sebab yang didapat. Faktor yang dipandang berperan kausal adalah prosesus
vaginalis yang terbuka, peninggian tekanan di dalam rongga perut, dan
kelemahan otot dinding perut karena usia. Tekanan intra abdomen yang
meninggi secara kronik seperti batuk kronik, hipertrofi prostat, konstipasi dan
asites sering disertai hernia inguinalis.
Gambar. Hernia Inguinalis
9
Hernia juga mudah terjadi pada individu yang kelebihan berat badan,
sering mengangkat benda berat, atau mengedan. Jika kantong hernia inguinalis
lateralis mencapai scrotum maka disebut hernia skrotalis. Hernia ini harus
dibedakan dari hidrokel atau elefantiasis skrotum. Testis yang teraba dapat
dipakai sebagai pegangan untuk membedakannya.
Gambar . Hernia scrotalis yang berasal dari hernia inguinalis indirek
2. Penyebab Hernia
Masih menjadi kontroversi mengenai apa yang sesungguhnya menjadi
penyebab timbulnya hernia inguinalis. Disepakati adanya 3 faktor yang
mempengaruhi terjadinya hernia inguinalis yaitu meliputi:
a. Processus vaginalis persistent
Hernia mungkin sudah tampak sejak bayi tapi kebanyakan baru
terdiagnosis sebelum pasien mencapai usia 50 tahun. Sebuah analisis dari
statistik menunjukkan bahwa 20% laki-laki yang masih mempunyai
processus vaginalis hingga saat dewasanya merupakan predisposisi hernia
inguinalis
b. Naiknya tekanan intra abdominal secara berulang
Naiknya tekanan intra abdominal biasa disebabkan karena batuk atau
tertawa terbahak-bahak, partus, prostat hipertrofi, vesiculolitiasis,
carcinoma kolon, sirosis dengan asites, splenomegali massif merupakan
factor resiko terjadinya hernia inguinalis.
10
Pada asites, keganasan hepar, kegagalan fungsi jantung, penderita yang
menjalani peritoneal dialisa menyebabkan peningkatan tekanan intra
abdominal sehingga membuka kembali processus vaginalis sehingga
terjadi hernia indirect.
c. Lemahnya otot-otot dinding abdomen
3. Pemeriksaan Hernia
a. Inspeksi Daerah Inguinal dan Femoral
Meskipun hernia dapat didefinisikan sebagai setiap penonjolan viskus,
atau sebagian daripadanya, melalui lubang normal atau abnormal, 90%
dari semua hernia ditemukan di daerah inguinal. Biasanya impuls hernia
lebih jelas dilihat daripada diraba.
Pasien disuruh memutar kepalanya ke samping dan batuk atau
mengejan. Lakukan inspeksi daerah inguinal dan femoral untuk melihat
timbulnya benjolan mendadak selama batuk, yang dapat menunjukkan
hernia. Jika terlihat benjolan mendadak, mintalah pasien untuk batuk lagi
dan bandingkan impuls ini dengan impuls pada sisi lainnya. Jika pasien
mengeluh nyeri selama batuk, tentukanlah lokasi nyeri dan periksalah
kembali daerah itu.
b. Pemeriksaan Hernia Inguinalis
Palpasi hernia inguinal dilakukan dengan meletakan jari pemeriksa di
dalam skrotum di atas testis kiri dan menekan kulit skrotum ke dalam.
Harus ada kulit skrotum yang cukup banyak untuk mencapai cincin
inguinal eksterna. Jari harus diletakkan dengan kuku menghadap ke luar
dan bantal jari ke dalam. Tangan kiri pemeriksa dapat diletakkan pada
pinggul kanan pasien untuk sokongan yang lebih baik.
Telunjuk kanan pemeriksa harus mengikuti korda spermatika di lateral
masuk ke dalam kanalis inguinalis sejajar dengan ligamentum inguinalis
dan digerakkan ke atas ke arah cincin inguinal eksterna, yang terletak
superior dan lateral dari tuberkulum pubikum. Cincin eksterna dapat
diperlebar dan dimasuki oleh jari tangan.
Dengan jari telunjuk ditempatkan pada cincin eksterna atau di dalam
kanalis inguinalis, mintalah pasien untuk memutar kepalanya ke samping
dan batuk atau mengejan. Seandainya ada hernia, akan terasa impuls tiba-
11
tiba yang menyentuh ujung atau bantal jari penderita. Jika ada hernia,
suruh pasien berbaring terlentang dan perhatikanlah apakah hernia itu
dapat direduksi dengan tekanan yang lembut dan terus-menerus pada
massa itu. Jika pemeriksaan hernia dilakukan dengan perlahan-lahan,
tindakan ini tidak akan menimbulkan nyeri.
Setelah memeriksa sisi kiri, prosedur ini diulangi dengan memakai jari
telunjuk kanan untuk memeriksa sisi kanan. Sebagian pemeriksa lebih
suka memakai jari telunjuk kanan untuk memeriksa sisi kanan pasien, dan
jari telunjuk kiri untuk memeriksa sisi kiri pasien. Cobalah kedua teknik
ini dan lihatlah cara mana yang anda rasakan lebih nyaman.
Jika ada massa skrotum berukuran besar yang tidak tembus cahaya,
suatu hernia inguinal indirek mungkin ada di dalam skrotum. Auskultasi
massa itu dapat dipakai untuk menentukan apakah ada bunyi usus di dalam
skrotum, suatu tanda yang berguna untuk menegakkan diagnosis hernia
inguinal indirek.
c. Transluminasi Massa Skrotum
Jika ditemukan massa skrotum, lakukanlah transluminasi. Di dalam
suatu ruang yang gelap, sumber cahaya diletakkan pada sisi pembesaran
skrotum. Struktur vaskuler, tumor, darah, hernia dan testis normal tidak
dapat ditembus sinar. Transmisi cahaya sebagai bayangan merah
menunjukkan rongga yang mengandung cairan serosa, seperti hidrokel
atau spermatokel.
4. Tatalaksana Pada Hernia
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia
inguinalis yang rasional. Tujuan dari operasi adalah reposisi isi hernia,
menutup pintu hernia untuk menghilangkan LMR, dan mencegah residif
dengan memperkuat dinding perut. Prinsip dasar operasi hernia terdiri dari
herniotomy, hernioraphy, dan hernioplasty.
Pada herniotomy dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke
lehernya, kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan,
kemudian direposisi ke cavum abdomen seperti semula. Kantong hernia
12
dijahit-ikat setinggi mungkin lalu dipotong. Pada hernioraphy leher hernia
diikat dan digantungkan pada conjoint tendon (pertemuan m. transverses
internus abdominis dan m. obliqus intenus abdominis). Pada hernioplastik
dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis internus dan memperkuat
dinding belakang kanalis inguinalis.
Pada bayi dan anak-anak dengan hernia kongenital lateral yang faktor
penyebab adanya prosesus vaginalis yang tidak menutup sedangkan anulus
inguinalis internus cukup elastis dan dinding belakang kanalis cukup kuat,
hanya dilakukan herniotomi tanpa hernioplastik.
Pada operasi hernia inguinalis, ada 3 prinsip yang harus diperhatikan,
yaitu eksisi kantong hernia, ligasi tinggi kantong hernia, dan repair dinding
kanalis inguinalis
B. Anastesi Pada Herniotomi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal /
subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai
bawah, panggul, dan perineum. Hernia pada dinding perut merupakan penyakit
yang sering dijumpai dan memerlukan suatu tindakan pembedahan.
Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain:
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3,
L3-4 atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap
medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan , misalnya dengan lidokain 1-2 % 2-3
ml.
13
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G
atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk kecil 27 G atau 29 G,
dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik
biasa semprit 10 cc. Tusukkan introducer sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit
kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang
jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan
jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur
miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran
likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah
resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 900 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukkan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ±
6 cm.
Gambar. Posisi Lateral pada Spinal Anestesi
14
Gambar . Posisi Duduk pada Spinal Anestesi
Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari
sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral
dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.
Gambar. Tusukan Medial dan Paramedial
15
Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan
monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada
dermatom di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi
motoric pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa
hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang perlu
diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi. Tekanan
darah bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua
yang belum diberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat
monitor dan keadaan umum pasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit
menjadi pucat, pusing, mual, berkeringat.
Gambar . Lokasi Dermatom Sensoris
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI SPINAL
16
Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor. Diantaranya adalah :
1. Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesi.
2. Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia.
3. Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik.
4. Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
5. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
6. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
7. Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik.
8. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.
9. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar
dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat).
10. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik
sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi
pasien.
KOMPLIKASI TINDAKAN ANESTESI SPINAL
Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan. Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti.
Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah :
1. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan
terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok
makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan
venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian
17
cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin
atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat
pada saat dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba
biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien
dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini,hipotensi atau hipoksia
bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari
mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid
(NaCl, Ringerlaktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit
segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat
tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti
efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit sampai mencapai
tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah
balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine
1/8-1/4mg IV.
2. Blok Tinggi atau Total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa
muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran,
paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat
blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah
vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi
spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital
terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain.
Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan
terjadi henti nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat
kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf
somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenikus biasanya dipertahankan.
Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan
kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang
seterusnya menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan
aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat
sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk
pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif.
18
Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan
normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang
disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.
3. Komplikasi Sistem Respirasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat
melakukan anestesi spinal adalah :
a. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
b. Penderita PPOK atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.
c. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
d. Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani
dengan pernafasan buatan.
4. Komplikasi Gastointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal
merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan
posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24 - 48 jam pasca pungsi
lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan
pada kehamilan meningkat. Untuk menangani komplikasi ini dapat diberikan
obat tambahan yaitu ondansetron atau diberikan ranitidine.
5. Nyeri Kepala (Puncture Headache)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri
kepala. Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada
dural pada anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung
beberapa faktor seperti ukuran jarum yang digunakan.Semakin besar ukuran
jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi
terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang
dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 –48 jam
selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya
muncul di area oksipital dan menjalar ke retroorbital, dan sering disertai
19
dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri
kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau
berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang atau
hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 –48 jam
harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral
atau intravena), analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen. Tekanan
pada vena cava akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena
pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan
serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif
tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin ke dalam epidural untuk
menghentikan kebocoran.
6. Nyeri Punggung
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat
dari tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari
struktur ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri
punggung akibat dari trauma suntikan jarum dapat di obatisecara simptomatik
dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat saja.
7. Komplikasi Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun
regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali
paling akhir pada analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam.
Kerusakan saraf pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi.
PENGAWASAN SELAMA DAN SETELAH PEMBEDAHAN
Kemajuan dalam bidang mikro-elektronik dan bio-enjinering memungkinkan
pengawasan lebih efektif dan dapat mengetahui peringatan awal dari masalah
potensial, sehingga dapat dengan cepat mengerjakan hal-hal yang perlu untuk
mengembalikan fungsi organ vital sefisiologis mungkin. Pengawasan selama
operasi merupakan hal yang bertujuan untuk meniadakan atau mengurangi efek
samping dari obat atau tindakan anestesi.
Selain itu, dengan melakukan pengawasan yang legeartis juga memiliki tujuan
untuk memperoleh informasi mengenai fungsi organ selama anestesi berlangsung.
Pengawasan yang lengkap dan baik meningkatkan mutu pelayanan terhadap
penderita, akan tetapi tidak menjamin tidak akan terjadi sesuatu. Perlengkapan
20
dalam pengawasan minimal yaitu meliputi stetoskop, manset tekanan darah, EKG,
oksimeter, dan termometer.
Sedangkan hal-hal minimal yang harus diawasi antara lain meliputi:
1. Tekanan Darah
2. Nadi
3. Jantung
4. Keadaan cairan
5. Suhu tubuh
Pada pengawasan pasca operasi sebenarnya memiliki prinsip-prinsip:
1. Mencegah kekurangan oksigen.
2. Memberikan antidotum, apabila ada kemungkinan masih adanya pengaruh
obat-obat relaksasi otot.
3. Pipa endotrakea masih terpasang apabila dinilai pernapasan masih belum
cukup baik.
4. Posisi penderita harus diperhatikan misalnya penderita dimiringkan untuk
mencegah terjadinya sumbatan oleh lidah atau muntahan.
5. Perdarahan selama operasi haru segera diganti terutama apabila perdarahan
melebihi 10%.
6. Usahakan menjaga temperatur penderita.
BAB III
21
PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan operasi, kondisi penderita tersebut termasuk dalam ASA II
karena penderita berusia 42 tahun dan kondisi pasien tersebut sehat organik,
fisiologik, psikiatrik, dan biokimia, namun penderita mengaku memiliki riwayat
asma. Rencana jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu anestesi regional dengan
blok spinal.
Pada premedikasi pasien diberikan injeksi dexamethason sebanyak 10mg.
Deksametason (dexamethasone) adalah obat steroid jenis glukokortikoid sintetis yang
digunakan sebagai agen anti alergi, imunosupresan, anti inflamasi dan anti shock yang
sangat kuat. Obat ini 20-30 kali lebih kuat daripada hidrokortison dan 5-7 kali lebih
kuat daripada prednison. Deksametason (dexamethasone) bekerja dengan cara
menembus membran sel sehingga akan terbentuk suatu kompleks steroid-protein
reseptor. Di dalam inti sel, kompleks steroid-protein reseptor ini akan berikatan
dengan kromatin DNA dan menstimulasi transkripsi mRNA yang merupakan bagian
dari proses sintesa protein.
Induksi anestesi pada kasus ini menggunakan anestesi lokal yaitu bupivacaine
sebanyak 1 ampul. Kerja bupivacain adalah dengan menghambat konduksi saraf yang
menghantarkan impuls dari saraf sensoris. Kebanyakan obat anestesi lokal tidak
memiliki efek samping maupun efek toksik secara berarti. Pemilihan obat anestesi
lokal disesuaikan dengan lama dan jenis operasi yang akan dilakukan.
Analgetika yang diberikan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri
tanpa mempengaruhi susunan saraf pusat atau menurunkan kesadaran juga tidak
menimbulkan ketagihan. Obat yang digunakan ketorolac, merupakan anti inflamasi
non steroid (AINS) bekerja pada jalur oksigenasi menghambat biosintesis
prostaglandin dengan analgesic yang kuat secara perifer atau sentral. Juga memiliki
efek anti inflamasi dan antipiretik. Ketorolac dapat mengatasi rasa nyeri ringan
sampai berat pada kasus emergensi seperti pada pasien ini. Mula kerja efek analgesia
ketorolac mungkin sedikit lebih lambat namun lama kerjanya lebih panjang dibanding
opioid. Efek analgesianya akan mulai terasa dalam pemberian IV/IM, lama efek
analgesic adalah 4-6 jam.
22
Pasien juga diberika ondansetron 4 mg/2 ml. Ondansetron merupakan suatu
antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan
dan pengobatan mual dan muntah pasca bedah. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus dapat
merangsang refleks muntah dengan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat
reseptornya. Ondansetron diberikan pada pasien ini untuk mencegah mual dan muntah
yang bisa menyebabkan aspirasi
Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap
dan baik. Hingga kondisi penderita stabil dan tidak terdapat kendala-kendala yang
berarti, penderita kemudian dibawa ke bangsal untuk dirawat dengan lebih baik. Yang
harus diperhatikan adalah :
a. Pasien tidur terlentang dengan bantal tinggi selama minimal 12 jam pasca operasi
b. Jika pasien sadar penuh dan peristaltic (+) boleh minum / makan sedikit-sedikit
setelah operasi
c. Kontrol tekanan darah, nadi, dan respirasi setiap 1 jam
d. O2 2 liter/menit dengan menggunakan canul O2
e. Cairan infuse RL 30 tetes/menit
f. Jika ada mual muntah diberikan ondansetron 4 mg intravena
g. Jika pasien kesakitan diberikan ketorolac 30 mg intravena
h. Jika nadi < 60 kali/menit diberikan sulfas atropine 0,25 mg intravena
i. Jika tekanan darah sistolik <90 mmHg diberikan efedrin 10 mg intravena
j. Monitor balance cairan
BAB IV
KESIMPULAN
23
1. Penderita usia tahun 42 tahun dengan Hernia Inguinalis Lateralis Sinistra dan
kondisi pasien tersebut sehat organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia, namun
pasien mengaku memiliki riwayat asma oleh karena itu digolongkan seagai ASA II.
2. Premedikasi yang digunakan adalah dexamethason 10mg (2 ampul).
3. Induksi anestesi menggunakan decain spinal dengan dosis 1 ampul diberikan secara
langsung ke bagian sub araknoid di daera L4-5
4. Selama akhir operasi pasien diberikan analgetik berupa ketorolac sebagai anti
nyeri , serta ondansentron sebagai anti mual.
5. Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap dan
baik dan diberikan instruksi paska operasi, sebagai penanganan jika terjadi efek
anestesi yang masih tersisa.
24