Refleksi Diri

2
Awangku Zeffrey Ali Musa Jeludin MM UGM Kelas Reguler Angkatan 37 REFLEKSI DIRI Berdasarkan artikel berjudul Revolusi Paradigma Pembelajaran Perguruan Tinggi : Dari Penguliahan ke Pembelajaran karya Suwardjono (2009), saya sangat tersentil secara pribadi dan jujur saja sangat merefleksikan cara belajar saya maupun mahasiswa pada umumnya. Ketika saya berada di bangku kuliah menjadi “mahasiswa” di program sarjana, saya menjadi salah satu mahasiswa bertipe “dengarkopi”. Tipikal mahasiswa pada umumnya yang memang hanya mengandalkan penjelasan dosen dan catatan dari teman saja. Saya baru tersadar bahwa pada intinya, pendidikan tinggi merupakan ajang konfirmasi dari sesama para pencari ilmu. Jika mahasiswa hanya tinggal menelan apa yang sudah dikunyahkan oleh dosen, maka proses “kuliah” yang sesungguhnya akan sangat tidak optimal. Setelah membaca dan merenungkan artikel karya Suwardjono, mungkin akan membawa perubahan dan dampak yang besar bagi gaya belajar saya ke depan. Cara pandang saya setelah saya membaca artikel tersebut menjadi lebih terbuka. Mahasiswa yang mengenyam pendidikan tinggi, seharusnya menjadikan proses kuliah sebagai ajang saling konfirmasi dan betukar pengalaman. Kuliah bukan sebagai ajang pemberian ilmu pengetahuan semata layaknya lembaga kursus. Tingkat pemahaman pun harus lebih ditingkatkan dengan banyak membaca. Membaca, ya membaca merupakan salah satu hal yang menjadi momok bagi para mahasiswa.

description

Refleksi Diri

Transcript of Refleksi Diri

Awangku Zeffrey Ali Musa Jeludin

MM UGM Kelas Reguler Angkatan 37

REFLEKSI DIRI

Berdasarkan artikel berjudul Revolusi Paradigma Pembelajaran Perguruan Tinggi : Dari Penguliahan ke Pembelajaran karya Suwardjono (2009), saya sangat tersentil secara pribadi dan jujur saja sangat merefleksikan cara belajar saya maupun mahasiswa pada umumnya. Ketika saya berada di bangku kuliah menjadi mahasiswa di program sarjana, saya menjadi salah satu mahasiswa bertipe dengarkopi. Tipikal mahasiswa pada umumnya yang memang hanya mengandalkan penjelasan dosen dan catatan dari teman saja. Saya baru tersadar bahwa pada intinya, pendidikan tinggi merupakan ajang konfirmasi dari sesama para pencari ilmu. Jika mahasiswa hanya tinggal menelan apa yang sudah dikunyahkan oleh dosen, maka proses kuliah yang sesungguhnya akan sangat tidak optimal.Setelah membaca dan merenungkan artikel karya Suwardjono, mungkin akan membawa perubahan dan dampak yang besar bagi gaya belajar saya ke depan. Cara pandang saya setelah saya membaca artikel tersebut menjadi lebih terbuka. Mahasiswa yang mengenyam pendidikan tinggi, seharusnya menjadikan proses kuliah sebagai ajang saling konfirmasi dan betukar pengalaman. Kuliah bukan sebagai ajang pemberian ilmu pengetahuan semata layaknya lembaga kursus. Tingkat pemahaman pun harus lebih ditingkatkan dengan banyak membaca. Membaca, ya membaca merupakan salah satu hal yang menjadi momok bagi para mahasiswa. Hal itulah yang membuat banyak mahasiswa hanya tinggal menunggu disuapi oleh para dosen.

Yang paling mengusik saya pikiran saya ketika selesai membaca artikel ini adalah tentang kemampuan bahasa yang saya miliki. Saya jujur sangat tertohok ketika penulis mengatakan bahwa saat ini banyak orang Indonesia yang mendengar kata kata bahasa Indonesia yang berat terkesan menghiraukan. Saya sendiri pun demikian. Saya lebih tertarik mencari tahu kata kata bahasa Inggris yang tidak saya ketahui dibandingkan membuka KBBI untuk memperdalam khasanah bahasa Indonesia saya. Terlebih lagi saya mengakui bahwa mother tongue saya adalah Bahasa Indonesia.

Dosen yang paling cocok dan sesuai dengan harapan saya adalah dosen yang dapat berbagi ilmu dan menjadi teman diskusi ketika proses belajar mengajar berlangsung. Selain itu, saya berharap para dosen tidak hanya kaya ilmu dari proses membaca, akan tetapi ilmu ilmu mereka didapatkan dari pengalaman yang sesungguhnya yang sudah mereka pernah lakukan di tengah masyarakat.