referat shinta ispa 1 pediatri.doc
-
Upload
tantiana-budiarti -
Category
Documents
-
view
72 -
download
3
description
Transcript of referat shinta ispa 1 pediatri.doc
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit paru merupakan penyakit pernapasan yang bisa menganggu
setiap orang. Tidak terkecuali anak-anak juga bisa terserang penyakit paru. Ada
banyak jenis penyakit paru yang bisa menyerang anak-anak, diantaranya yaitu
infeksi saluran pernapasan akut, bronkitis akut, asma, pneumonia, atelektasis,
emfisema, pneumotoraks, emfiema torasis, dan lain-lain. penyakit paru pada anak
merupakan salah satu penyakit yang cukup meresahkan orang tua. Terkadang
kesibukan orang tua menyebabkan keterlambatan penanganan kesehatan anak
sehingga banyak penderita penyakit paru berusia anak-anak berjatuhan bahkan
meninggal dunia.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan
angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%
pertahun pada golongan usia balita, ISPA juga merupakan salah satu penyebab
utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan. Sebanyak 40%-60% kunjungan
berobat di Puskesmas dan 15%-30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan
rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA. Penyebab ISPA paling berat
disebabkan infeksi Streptococus pneumonia atau Haemophillus influenzae.
Menurut WHO 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian
besar kematian tersebut terdapat di Negara berkembang, dimana pneumonia merupakan
1
2
salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh 4 juta anak balita setiap tahun
(Depkes, 2000 dalam Asrun, 2006).
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati
urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu
ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei
mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan
ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan
persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Anonim, 2008).
Menurut data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun
2002, Prevalensi keluhan ISPA balita di Indonesia sebesar 18,7%, di perkotaan
(21,6%) lebih tinggi dibanding di pedesaan (16,6%). Faktor risiko keluhan ISPA
adalah sebagai berikut : gangguan asap dari pabrik sebesar 1.55 kali, lokasi rumah
di daerah rawan banjir sebesar 1.16 kali, dan status ekonomi miskin sebesar 0,89
kali.
Berdasarkan uraian di atas, penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit
dengan angka kesakitan dan angka kematian yang cukup tinggi, sehingga dalam
penanganannya diperlukan kesadaran yang tinggi baik dari masyarakat maupun
petugas, terutama tentang beberapa faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan.
Mengingat bahwa ISPA merupakan salah satu penyakit yang dapat
menyebabkan kematian dan kesakitan yang tinggi, sehingga perlu diketahui oleh
mahasiswa kedokteran, maka kami akan melakukan Tugas Pengenalan Profesi
untuk mengeksplorasi populasi dengan resiko gangguan paru, khususnya ISPA
pada anak di lingkungan sekitar
2
3
1.2 Tujuan Tugas Pengenalan Profesi
1. Untuk mengetahui faktor resiko ISPA pada anak.
2. Untuk mengetahui gejala awal yang terlihat pada anak.
3. Untuk mengetahui penanganan dan pengobatan yang dilakukan
oleh orangtua si anak penderita.
1.3 Manfaat Tugas Pengenalan Profesi
1. Menambah ilmu tentang jenis-jenis penyakit paru pada anak,
khususnya ISPA
2. Menambah pengalaman dalam Eksplorasi atau Observasi Populasi
Dengan Resiko Gangguan Paru (terutama pada anak), khususnya
ISPA
3
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Pernafasan
2.1.1. Anatomi Paru
Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm.
pembentukan paru dimulai dari sebuah groove yang berasal dari foregut.
Selanjutnya pada groove ini terbentuk dua kantung yang dilapisi oleh suatu
jaringan yang disebut primary lung bud. Bagian proksimal foregut membagi diri
menjadi dua, yaitu esophagus dan trakea. Pada perkembangan selanjutnya trakea
akan bergabung dengan primary lung bud. Primary lung bud merupakan cikal
bakal bronki dan cabang-cabangnya. Bronchial tree terbentuk setelah embrio
berumur 16 minggu, sedangkan alveoli baru berkembang setelah bayi lahir dan
jumlahnya terus meningkat hingga anak berumur 8 tahun. Ukuran alveoli
bertambah besar sesuai dengan perkembangan dinding toraks. Jadi, pertumbuhan
dan perkembangan paru berjalan terus menerus tanpa terputus sampai
pertumbuhan somatic berhenti.
2.1.2. Pengertian Pernafasan
Pernafasan atau respirasi adalah menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen (O2) kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang
banyak mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari
tubuh. Sisa respirasi berperan untuk menukar udara ke permukaan dalam paru-
paru. Udara masuk dan menetap dalam sistem pernafasan dan masuk dalam
4
5
pernafasan otot sehingga trakea dapat melakukan penyaringan, penghangatan dan
melembabkan udara yang masuk, juga melindungi organ lembut. Penghisapan ini
disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi.
2.1.3. Saluran Pernafasan
Secara fungsional (faal) saluran pernafasan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
1. Zona Konduksi
Zona konduksi berperan sebagai saluran tempat lewatnya udara
pernapasan, serta membersihkan, melembabkan dan menyamakan suhu
udara pernapasan dengan suhu tubuh. Disamping itu zona konduksi juga
berperan pada proses pembentukan suara. Zona konduksi terdiri dari
hidung, faring, trakea, bronkus, serta bronkioli terminalis.
a. Hidung
Rambut, zat mucus serta silia yang bergerak kearah faring berperan
sebagai system pembersih pada hidung. Fungsi pembersih udara ini
juga ditunjang oleh konka nasalis yang menimbulkan turbulensi aliran
udara sehingga dapat mengendapkan partikel-partikel dari udara yang
seterusnya akan diikat oleh zat mucus. System turbulensi udara ini
dapat mengendapkan partikel-partikel yang berukuran lebih besar dari
4 mikron.
5
6
b. Faring
Faring merupakan bagian kedua dan terakhir dari saluran pernapasan
bagian atas. Faring terbagi atas tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring,
serta laringofaring.
c. Trakea
Trakea berarti pipa udara. Trakea dapat juga dijuluki sebagai eskalator-
muko-siliaris karena silia pada trakea dapat mendorong benda asing
yang terikat zat mucus kearah faring yang kemudian dapat ditelan atau
dikeluarkan. Silia dapat dirusak oleh bahan-bahan beracun yang
terkandung dalam asap rokok.
d. Bronki atau bronkioli
Struktur bronki primer masih serupa dengan struktur trakea. Akan
tetapi mulai bronki sekunder, perubahan struktur mulai terjadi. Pada
bagian akhir dari bronki, cincin tulang rawan yang utuh berubah
menjadi lempengan-lempengan. Pada bronkioli terminalis struktur
tulang rawan menghilang dan saluran udara pada daerah ini hanya
dilingkari oleh otot polos. Struktur semacam ini menyebabkan
bronkioli lebih rentan terhadap penyimpatan yang dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Bronkioli mempunyai silia dan zat mucus
sehingga berfungsi sebagai pembersih udara. Bahan-bahan debris di
alveoli ditangkap oleh sel makrofag yang terdapat pada alveoli,
kemudian dibawa oleh lapisan mukosa dan selanjutnya dibuang.
6
7
2. Zona Respiratorik
Zona respiratorik terdiri dari alveoli, dan struktur yang
berhubungan. Pertukaran gas antara udara dan darah terjadi dalam alveoli.
Selain struktur diatas terdapat pula struktur yang lain, seperti bulu-bulu
pada pintu masuk yang penting untuk menyaring partikel-partikel yang
masuk. Sistem pernafasan memiliki sistem pertahanan tersendiri dalam
melawan setiap bahan yang masuk yang dapat merusak.
Sistem Saluran Pernapasan
7
8
2.1.4. Fungsi Pernafasan
Adapun fungsi pernafasan yaitu :
1. Mengambil oksigen yang kemudian dibawa oleh darah keseluruh
tubuh (sel-selnya) untuk mengadakan pembakaran
2. Mengeluarkan karbon dioksida yang terjadi sebagai sisa dari
pembakaran, kemudian dibawa oleh darah ke paru-paru untuk dibuang
(karena tidak berguna lagi oleh tubuh)
3. Melembabkan udara.
Pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara darah dan udara
berlangsung di alveolus paru-paru. Pertukaran tersebut diatur oleh kecepatan
dan di dalamnya aliran udara timbal balik (pernapasan), dan tergantung pada
difusi oksigen dari alveoli ke dalam darah kapiler dinding alveoli. Hal yang
sama juga berlaku untuk gas dan uap yang dihirup. Paru-paru merupakan jalur
masuk terpenting dari bahan-bahan berbahaya lewat udara pada paparan kerja.
Proses dari sistem pernapasan atau sistem respirasi berlangsung
beberapa tahap, yaitu :
1. Ventilasi, yaitu pergerakan udara ke dalam dan keluar paru
2. Pertukaran gas di dalam alveoli dan darah. Proses ini disebut pernapasan
luar
3. Transportasi gas melalui darah
4. Pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan. Proses ini disebut
pernapasan dalam
8
9
5. Metabolisme penggunaan O2 di dalam sel serta pembuatan CO2 yang
disebut juga pernapasan seluler.
2.1.5. Mekanika Pernafasan
Proses terjadinya pernapasan terbagi 2 bagian, yaitu:
1. Menarik napas (inspirasi)
2. Menghembus napas (ekspirasi)
Bernapas berarti melakukan inspirasi dan ekskresi secara
bergantian, teratur, berirama dan terus menerus. Bernapas merupakan
gerak reflek yang terjadi pada otot-otot pernapasan. Reflek bernapas ini
diatur oleh pusat pernapasan yang terletak di dalam sumsum penyambung
(medulla oblongata). Oleh karena seseorang dapat menahan,
memperlambat atau mempercepat napasnya, ini berarti bahwa reflex napas
juga di bawah pengaruh korteks serebri. Pusat pernapasan sangat peka
terhadap kelebihan kadar karbon dioksida dalam darah dan kekurangan
oksigen dalam darah.
Inspirasi merupakan proses aktif, disini kontraksi otot-otot inspirasi
akan meningkatkan tekanan di dalam ruang antara paru-paru dan dinding
dada (tekanan intraktorakal). Inspirasi terjadi bila mulkulus diafragma
telah dapat rangsangan dari nervus prenikus lalu mengkerut datar.
Muskulus interkostalis yang letaknya miring, setelah dapat dapat
rangsangan kemudian mengkerut datar. Dengan demikian jarak antara
stenum (tulang dada) dan vertebrata semakin luas dan lebar. Rongga dada
9
10
membesar maka pleura akan tertarik, dengan demikian menarik paru-paru
maka tekanan udara di dalamnya berkurang dan masuklah udara dari luar.
Ekspirasi merupakan proses pasif yang tidak memerlukan konstraksi otot
untuk menurunkan intratorakal. Ekspirasi terjadi apabila pada suatu saat
otot-otot akan kendur lagi (diafragma akan menjadi cekung, muskulus
interkoatalis miring lagi) dan dengan demikian rongga dada menjadi kecil
kembali, maka udara didorong keluar. Terjadilah proses respirasi.
2.2 Penyakit Paru Pada Anak (ISPA)
2.2.1. Definisi
Menurut Depkes (2004) infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
merupakan istilah yang diadaptasi dari istilah bahasa inggris Acute Respiratory
Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur penting yaitu infeksi, saluran
pernafasan, dan akut. Dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah
masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang
biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan adalah organ
mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus,
rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung
sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun
untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat
berlangsung lebih dari 14 hari.
10
11
Berdasarkan pengertian diatas, maka ISPA adalah infeksi saluran
pernafasan yang berlangsung selama 14 hari. Saluran nafas yang dimaksud adalah
organ mulai dari hidung sampai alveoli paru beserta organ adneksanya seperti
sinus, ruang telinga tengah, dan pleura (Habeahan, 2009).
Menurut Depkes RI (1996) istilah ISPA mengandung tiga unsur, yaitu
infeksi, saluran pernafasan dan akut. Pengertian atau batasan masing-masing
unsur adalah sebagai berikut:
1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2. Saluran pernapasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli
beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan
pleura. Dengan demikian ISPA secara otomatis mencakup saluran
pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk
jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan
ini maka jaringan paru-paru termasuk dalam saluran pernafasan
(respiratory tract).
3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari ini.
Batas 14 hari ini diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk
beberapa penyakit yang dapat digolongakan ISPA proses ini dapat
berlangsung lebih dari 14 hari (Suhandayani, 2007).
11
12
2.2.2. Epidemiologi
Pada akhir tahun 2000, ISPA mencapai enam kasus di antara 1000 bayi
dan balita. Tahun 2003 kasus kesakitan balita akibat ISPA sebanyak lima dari
1000 balita (Oktaviani, 2009). Setiap anak balita diperkirakan mengalami 3-6
episode ISPA setiap tahunnya dan proporsi kematian yang disebabkan ISPA
mencakup 20-30% (Suhandayani, 2007). Untuk meningkatkan upaya perbaikan
kesehatan masyarakat, Departemen Kesehatan RI menetapkan 10 program
prioritas masalah kesehatan yang ditemukan di masyarakat guna mencapai tujuan
Indonesia Sehat 2010, dimana salah satu diantaranya adalah Program Pencegahan
Penyakit Menular termasuk penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Depkes
RI, 2002).
Kota medan merupakan kota terbesar ketiga yang saat ini berkembang
menjadi kota Metropolitan, data profil kesehatan kota Medan berdasarkan
kunjungan di Puskesmas tahun 2003 sebesar 765.763 orang, sedangkan sampai
Juni 2004 sebesar 473.539 orang, dimana penyakit ISPA masih berada pada
urutan pertama yaitu sebanyak 225.494 pasien (47,62%). Angka tertinggi terdapat
di Kecamatan Medan Perjuangan yaitu sebanyak 1.293 kasus (3,3%). Di
Kabupaten Deli Serdang pada 2004, diketahui angka morbiditas kasus ISPA
sebanyak 12.871 kasus (31,7%) dengan rincian 6.638 terjadi pada kelompok umur
bayi (51,5%) dan 6.233 kasus pada usia 1-4 tahun (48,5%) (Agustama, 2005).
12
13
2.2.3. Etiologi
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.
Bakteri penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus,
Pnemococcus, Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya
antara lain golongan Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus,
Micoplasma, Herpesvirus.
Sumber : http://www.kcom.edu/faculty/chamberlain/website/lectures/intraurt.htm.
Penyebab lainnya, yaitu :
a. Agent
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa
secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks,
faringitis, tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal
sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus
13
14
yang paling sering terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah virus
Myxovirus, Coxsackie, dan Echo. Berdasarkan hasil penelitian Isbagio
(2003), mendapatkan bahwa bakteri Streptococcus pneumonie adalah
bakteri yang menyebabkan sebagian besar kematian 4 juta balita setiap
tahun di negara berkembang. Isbagio ini mengutip penelitian WHO dan
UNICEF tahun 1996, di Pakistan didapatkan bahwa 95% S.pneumococcus
kehilangan sensitivitas paling sedikit pada satu antibiotika, hampir 50%
dari bakteri yang diperiksa resisten terhadap kotrimoksasol yang
merupakan pilihan untuk mengobati infeksi pernafasan akut. Demikian
pula di Arab Saudi dan Spanyol 60% S. pneumonie ditemukan resisten
terhadap antibiotika.
Berdasarkan hasil penelitian Parhusip (2004), yang meneliti
spektrum dari 101 penderita infeksi saluran pernafasan bagian bawah di
BP4 Medan didapatkan bahwa semua penderita terlihat hasil biakan
positif, pada dua penderita dijumpai tumbuh dua galur bakteri sedangkan
yang lainnya hanya tumbuh satu galur. Bakteri gram positif dijumpai
sebanyak 54 galur (52,4%) dan bakteri gram negatif 49 galur (47,6%).
Dari hasil biakan terlihat bahwa yang terbanyak adalah bakteri
Streptococcus viridans 38 galur sebesar 36,89%, diikuti oleh Enterobacter
aerogens 19 galur sebesar 18,45%, Pseudomonas aureginosa 16 galur
sebesar 15,53%, Klebsiella sp 14 galur sebesar 13,59%, Stapilococcus
aureus 13 galur sebesar 12,62%, Pneumococcus 2 galur sebesar 1,94%,
dan Sreptococcus pneumonie 1 galur sebesar 0,97%.
14
15
b. Manusia
1. Umur
Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia
dibawah 2 tahun mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar
dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena anak
di bawah usia 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran
nafasnya masih sempit. Berdasarkan hasil penelitian Maya di RS Haji
Medan (2004), didapatkan bahwa proporsi balita penderita pneumonia
yang rawat inap dari tahun 1998 sampai tahun 2002 terbesar pada
kelompok umur 2 bulan - <5 tahun adalah 91,1%,22 demikian juga
penelitian Maafdi di RS Advent Medan tahun 2006, didapatkan bahwa
proporsi balita penderita pneumonia terbesar pada kelompok umur 2 bulan
- <5 tahun sebesar 82,1%, sementara kelompok umur <2 bulan sebesar
17,9%.23
2. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA
pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut beberapa
penelitian kejadian ISPA lebih sering didapatkan pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan, terutama anak usia muda, dibawah 6
tahun. Menurut Glenzen dan Deeny, anak laki-laki lebih rentan terhadap
15
16
ISPA yang lebih berat, dibandingkan dengan anak perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian Dewi, dkk di Kabupaten Klaten (1996),
didapatkan bahwa sebagian besar kasus terjadi pada anak laki-laki sebesar
58,97%, sementara untuk anak perempuan sebesar 41,03%.
3. Status Gizi
Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan
penyebab utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan
tetapi anak-anak yang meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya
didahului oleh keadaan gizi yang kurang memuaskan. Rendahnya daya
tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan mempercepat
berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Hasil penelitian Dewi, dkk
(1996) di Kabupaten Klaten, dengan desain cross sectional didapatkan
bahwa anak yang berstatus gizi kurang/buruk mempunyai risiko
pneumonia 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang berstatus
gizi baik/normal.
Hasil penelitian Mustafa di Kota Banda Aceh (2006), dengan desai
cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat antara penyakit ISPA
dengan status gizi anak balita menunjukkan bahwa anak balita yang
menderita penyakit ISPA didapatkan 2,19 kali mempunyai status gizi tidak
baik dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita penyakit ISPA
(p = 0.038). Salah satu penentuan status gizi adalah klasifikasi menurut
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/2002 untuk
16
17
keperluan Pemantauan Status Gizi (PSG) anak balita dengan mengukur
berat badan terhadap umur. Status gizi diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
1) Gizi lebih : bila Z_Skor terletak > +2 SD
2) Gizi Baik : bila Z_Skor terletak diantara ≥ -2 SD s/d +2 SD
3) Gizi kurang : bila Z_Skor terletak pada < -2 SD s/d ≥ - 3 SD
4) Gizi Buruk : bila Z_Skor terletak < -3 SD.26
4. Berat Badan Lahir
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat
lahir <2.500 gram. Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR
mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat
≥2500 gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya. Pneumonia
adalah penyebab kematian terbesar akibat infeksi pada bayi baru lahir.
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006),
didapatkan bahwa proporsi anak balita yang menderita pneumonia dengan
berat badan lahir <2.500 gram sebesar 62,2%. Hasil uji statistik diperoleh
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian pneumonia
dengan balita BBLR (p <0,05). Nilai OR 2,2 (CI 95%; 1,481-4,751),
artinya anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2,2 kali lebih
besar pada anak balita yang BBLR.
17
18
5. Status ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang
bayi kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan
virus, terutama selama minggu pertama (4-6 hari) payudara akan
menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan
(Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit)
yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi.
Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula,
dan makanan padat. Pada enam bulan pertama, bayi lebih baik hanya
mendapatkan ASI saja (ASI Eksklusif) tanpa diberikan susu formula. Usia
lebih dari enam bulan baru diberikan makanan pendamping ASI atau susu
formula, kecuali pada beberapa kasus tertentu ketika anak tidak bisa
mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikas postnatal.
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006),
didapatkan bahwa proporsi balita yang tidak mendapat ASI eksklusif
menderita pneumonia sebesar 56,2%, sedang yang tidak menderita
pneumonia 38,8%. Hasil uji statistic diperoleh bahwa anak balita yang
menderita pneumonia risikonya 2 kali lebih besar pada anak balita yang
tidak mendapat ASI eksklusif.
6. Status Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap
penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi
18
19
tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa
pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan
kesehatan anak.
Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit
seperti, POLIO (lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati),
tetanus, pertusis.
Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat
penyakit-penyakit tersebut. Jadwal pemberian imunisasi sesuai dengan
yang ada dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yaitu BCG : 0-11 bulan, DPT
3x : 2-11 bulan, Polio 4x : 0-11 bulan, Campak 1x : 9-11 bulan, Hepatitis
B 3x : 0-11 bulan. Selang waktu pemberian imunisasi yang lebih dari 1x
adalah 4 minggu.30
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006),
didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian
pneumonia pada balita dengan status imunisasi. Hasil uji statistik
diperoleh nilai OR = 2,5 (CI 95%; 2.929 – 4.413), artinya anak balita yang
menderita pneumonia risikonya 2,5 kali lebih besar pada anak yang status
imunisasinya tidak lengkap.28 Berbeda dengan hasil penelitian Afrida di
Medan (2007), hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara status imunisasi bayi dengan kejadian
penyakit ISPA (p>0,05).
19
20
c. Lingkungan
1. Kelembaban Ruangan
Berdasarkan KepMenKes RI No. 829 tahun 1999 tentang
kesehatan perumahan menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk
rumah sehat adalah 40- 70%, optimum 60%.
Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan
(2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban
ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan
hasil uji regresi, diperoleh bahwa factor kelembaban ruangan mempunyai
exp (B) 28,097, yang artinya kelembaban ruangan yang tidak memenuhi
syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar
28 kali.
2. Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu
optimum 18- 300C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah
180C atau diatas 300C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat.
Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko
terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.
3. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah
menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini
berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut
tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di
20
21
dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi
penghuninya menjadi meningkat.30 Sirkulasi udara dalam rumah akan
baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi
minimal 10% dari luas lantai.
Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), didapatkan bahwa
prevalens rate ISPA pada bayi yang memiliki ventilasi kamar tidur yang
tidak memenuhi syarat kesehatan sebesar 69,9%, sedangkan untuk yang
memenuhi syarat kesehatan sebesar 30,1%. Hasil uji statistik diperoleh
bahwa ada hubungan yang bermakna antara kondisi ventilasi dengan
kejadian penyakit ISPA (p <0,05).
4. Penggunaan Anti Nyamuk
Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan
nyamuk dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena
menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di
lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru
sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.
Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), didapatkan bahwa
adanya hubungan yang bermakna antara penggunaan anti nyamuk dengan
kejadian penyakit ISPA (p <0,05).
5. Bahan Bakar Untuk Memasak
Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat
menyebabkan kualitas udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74%
wilayah pedesaan di China tidak memenuhi standar nasional pada tahun
21
22
2002, hal ini menimbulkan terjadinya peningkatan penyakit paru dan
penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 juta kematian.
Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), prevalens rate ISPA
pada bayi yang dirumahnya menggunakan bahan bakar untuk memasak
adalah minyak tanah sebesar 76,6%, sedangkan gas elpiji sebesar 33,3%.
Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara penggunaan bahan bakar memasak dengan kejadian penyakit ISPA
(p < 0,05).
6. Keberadaan Perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok
pasif. Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya
merupakan racun antara lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic
Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain.
Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara
keseluruhan prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia
adalah sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk. Prevalensi perokok pasif
pada laki-laki 32,67% atau 31.879.188 penduduk dan pada perempuan
67,33% atau 65.680.814 penduduk. Sedangkan prevalensi perokok aktif
pada laki-laki umur 10 tahun ke atas adalah sebesar 54,5%, pada
perempuan 1,2%.
Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar 69,5%, pada
kelompok umur 5-9 tahun sebesar 70,6% dan kelompok umur muda 10-14
tahun sebesar 70,5%.
22
23
Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita dan umur muda
disebabkan karena mereka masih tinggal serumah dengan orang tua
ataupun saudaranya yang merokok dalam rumah.
Berdasarkan hasil penelitian Syahril (2006), dari hasil uji statistik
diperoleh nilai OR = 2,7 (CI 95%; 1.481 – 4.751) artinya anak balita yang
menderita pneumonia risikonya 2,7 kali lebih besar pada anak balita yang
terpapar asap rokok dibandingkan dengan yang tidak terpapar.
7. Status Ekonomi dan Pendidikan
Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda
dari satu individu dengan individu lainnya. Bagi seseorang yang sakit,
persepsi terhadap penyakitnya merupakan hal yang penting dalam
menangani penyakit tersebut. Untuk bayi dan anak balita persepsi ibu
sangat menentukan tindakan pengobatan yang akan diterima oleh anaknya.
Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan bahwa
bila rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan
bertambah besar, maka jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke
dukun ketika sakit lebih banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan
bahwa ibu dengan status ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi
berobat ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan ibu yang status
ekonominya rendah.
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi, akan lebih banyak membawa
anak berobat ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan
rendah lebih banyak mengobati sendiri ketika anak sakit ataupun berobat
23
24
ke dukun. Ibu yang berpendidikan minimal tamat SLTP 2,2 kali lebih
banyak membawa anaknya ke pelayanan kesehatan ketika sakit
dibandingkan dengan ibu yang tidak bersekolah, hal ini disebabkan karena
ibu yang tamat SLTP ke atas lebih mengenal gejala penyakit yang diderita
oleh balitanya.
2.2.4. Patogenesis
Menurut Baum (1980), saluran pernapasan selama hidup selalu terpapar
dengan dunia luar sehingga guna mengatasinya dibutuhkan suatu sistem
pertahanan yang efektif dan efisien. Ketahanan saluran pernapasan terhadap
infeksi mauapun partikel dan gas yang ada di udara amat tergantung pada tiga
unsur alami yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu:
1. Keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia.
2. Makrofag alveoli.
3. Antibodi.
Sudah menjadi suatu kecenderungan bahwa infeksi bakteri mudah terjadi
pada saluran napas yang sel-sel epitel mukosanya rusak, akibat infeksi terdahulu.
Selain itu, hal-hal yang dapat menggangu keutuhan lapisan mukosa dan gerak sila
adalah:
1) Asap rokok dan gas SO₂ yang merupakan polutan utama dalam
pencemaran udara.
2) Sindrom immotil.
3) Pengobatan dengan O₂ konsentrasi tinggi (25 % atau lebih).
24
25
Makrofag banyak terdapat di alveolus dan akan dimobilisasikan ke tempat
lain bila terjadi infeksi. Asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag
membunuh bakteri, sedangkan alkohol akan menurunkan mobilitas sel-sel ini
(Baum,1980).
Antibodi setempat yang ada pada saluran pernapasan ialah imunoglobulin
A (IgA). Antibodi ini banyak terdapat di mukosa. Kekurangan antibodi ini akan
memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan, seperti yang sering terjadi
pada anak. Mereka dengan defisiensi IgA akan mengalami hal yang serupa
dengan penderita yang mengalami imunodefisiensi lain, seperti penderita yang
mendapat terapi sitostatik atau radiasi, penderita dengan neoplasma yang ganas
dan lain-lain (immunocompromised host) (Baum,1980).Menurut Baum (1980)
gambaran klinik radang yang disebabkan oleh infeksi sangat tergantung pada:
1) Karakteristik inokulum meliputi ukuran aerosol, jumlah dan tingkat
virulensi jasad renik yang masuk.
2) Daya tahan tubuh seseorang tergantung pada utuhnya sel epitel mukosa,
gerak mukosilia, makrofag alveoli dan IgA.
3) Umur mempunyai pengaruh besar. ISPA yang terjadi pada anak dan bayi
akan memberikan gambaran klinis yang lebih buruk bila dibandingkan
dengan orang dewasa. Gambaran klinis yang buruk dan tampak lebih berat
tersebut terutama disebabkan oleh infeksi virus pada bayi dan anak yang
belum memperoleh kekebalan alamiah.
25
26
2.2.5. Klasifikasi
a. Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas :
1) Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti
menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk
yang tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi,
demam (38ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC),
pernafasan cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding dada
berat, sianosis sentral (pada lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan
abdomen tegang.
2) Bukan pneumonia: jika anak bernafas dengan frekuensi kurang dari 60 kali
per menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti diatas.
b. Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas :
1) Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernafas yang disertai
dengan sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding
dada, anak kejang dan sulit dibangunkan.
2) Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding
dada, tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.
3) Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa
penarikan dinding dada.
4) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas)
tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.
5) Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit
walaupun telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang
26
27
adekuat dan antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding
dada, frekuensi pernafasan yang tinggi, dan demam ringan.
c. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi
1) Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)
Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek,
otitismedia, faringitis.
2) Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA)
Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai
dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti
epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.
a. Pneumonia
Definisi : Penyakit peradangan parenkim paru yang meliputi
alveolus dan jaringan interstitial.
Patofisiologi : Pneumonia terjadi akibat inhalasi atau aspirasi
mikroorganisme melalui jalan nafas, aliran darah, aspirasi benda asing,
transplasental atau selama persalinan pada neonatus.
Etiologi :
Anak usia <3bln : Streptokokus grup B, Streptokokus Aureus,
C. Trakomatis, bakteri gram negatif.
Anak usia 3bln-5th : S. Pneumonia, H. Influenzae
Anak usia > 5th : M. Pneumonia, C. Pneumonia, S.pneumonia,
H.influenzae.
27
28
Gejala : Batuk, sesak nafas yang timbul mendadak, demam, nyeri dada
(pleuritik), espektorasi purulen.
Pemeriksaan fisik : demam (>39°c), dispneu, takipneu, nafas cuping
hidung, sianosis.
Pemeriksaan paru : retraksi dinding dada, perkusi sonor sampai redup.
Pemeriksaan penunjang :
Darah tepi : lekositosis dengan hitung jenis bergeser ke kiri.
Analisa gas darah : hipoksemia, Asidosis respiratorik.
Foto thorax : infiltrat alveolar, konsolidasi (pneumonia lobaris),
penebalan pleura (pleuritis)
Penatalaksanaan :
Kriteria MRS :
a. Ada kesukaran nafas
b. Sianosis
c. Usia <6bln
d. Ada penyulit ( muntah-muntah, dehidrasi, empiema)
e. Diduga infeksi Staphylococcus
f. Imunokompromis
g. Perawatan di rumah kurang baik
h. Tidak respon dengan pemberian antibiotik oral.
Oksigenasi
Pemberian cairan dan kalori yang cukup sesuai berat badan,
peningkatan suhu dan status dehidrasi.
28
29
Sesak tidak terlalu hebat, diet enteral bertahap melalui selang
nasogastrik
Sekresi lendir berlebihan inhalasi dengan salin normal
Asidosis, koreksi Na-bicarbonat 1 meg/kgBB atau berdasarkan
hasil AGD dengan rumus BB (kg) x 0,3 x base excess
Medikamentosa :
Berdasarkan kelompok usia :
< 3 bln : penisilin + Aminoglikosid
> 3 bln : Ampisilin + kloramfenikol
Dosis :
Ampisilin 100mg/kgBB/hari
Kloramfenikol : 100mg/kgBB/hari
Gentamisin 5mg/kgBB/hari
Sefalosporin ( Empiema) IV 48-72 jam setelah panas turun lalu
dilanjutkan per oral 7-10hari
Berdasarkan kuman penyebab :
Stafilokokus : perlu 6 minggu parenteral
Haemophylus influenzae/Streptococcus pneumonia : 10-14 hari
Diagnosis banding :
Bronkiolitis
Payah jantung
Aspirasi benda asing
Abses paru
29
30
Diagnosis banding pada bayi :
Meningitis
Ileus
b. Bronkiolitis
Definisi : infeksi akut pada bronkiolus ditandai dengan obstruksi
inflamasi pada saluran nafas. Sering pada anak < 2 th.
Etiologi : Respiratory syncytial virus, virus parainfluenzae, adenovirus,
mikoplasma, virus influenzae.
Patogenesis : invasi virus pada bronkiolus edema, akumulasi mukus
& debris seluler obstruksi saluran nafas kecil.
Anamnesis : pada anak usia < 2 th dengan sesak nafas, mengi ygang
timbul mengikuti ISPA
Pemeriksaan fisik : demam ringan, takipneu, sianosis, nafas cuping
hidung.
Pemeriksaan paru : suara vesikuler menurun, ekspirium di perpanjang,
wheezing.
Pemeriksaan penunjang
Analisa gas darah : pCO2 tinggi
Foto thorax AP-lateral : normal atau emfisematosa (hiperinflasi
paru), Atelektasis sekunder (obstruksi/inflamasi)
Diagnosis banding : Asma bronkiale, Aspirasi benda asing,
bronkopneumonia, Gagal jantung, Miokarditis.
30
31
Penatalaksanaan :
Oksigenasi dengan konsentrasi 35-40%
Posisi nyaman : supine dengan kepala tegak
Cairan yang cukup
Kortikosteroid : Dexamethsone 0,5 mg/kgBB dilanjutkan 0,5
mg/kgBB/hari di bagi 3-4 dosis.
Antibiotik diberikan jika curiga infeksi sekunder (Pneumonia).
Mukosilier klirens β-agonis (salbutamol 0,1 mg/kgBB/dosis,
sehari 4-6x diencerkan dengan saline normal) atau teofilin
inhalasi/per oral.
c. Bronkitis
Definisi : Proses keradangan pada bronkus
Etiologi :
Infeksi : virus (Parainfluenza), bakteri (streptococcus), dan
fungi (monilia)
Alergi : Asma
Kimiawi : Aspirasi susu, aspirasi isi lambung, Asap rokok,
uap/gas yang merangsang.
Gejala klinis :
Didahului ISPaA (virus)
Batuk pilek 3-4 hari
31
32
Sifat batuk : kering yang disertai nyeri/panas subternal, riak
jernih purulen setelah 10 hari menjadi encer lalu hilang, dapat
disertai muntah-muntah.
Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum baik, anak tidak tampak sakit.
Panas sub febris
Sesak tidak ada, rhonki basah kasar / rhonki kering ada.
Dapat di temukan nasofaringitis dan conjungtivitis
Pemeriksaan penunjang :
Foto thorax : peningkatan corak bronkovaskuler / bisa juga
normal.
Laboratorium : Leukosit meningkat / normal
Penatalaksanaan :
kontrol batuk agar sekret encer dengan perbanyak minum,
pemberian uap/mukolitik bila perlu diikuiti dengan fisioterafi
dada.
Antibiotik diberikan jika ada kecurigaan infeksi sekunder
(Ampicilline, Cloxacilline, Chloramphenichole, Erythomycine)
Pemberian antitusif dan antihistamin harus diawasi, karena
dapat mengakibatkan sekret menjadi kental sehingga dapat
menimbulkan atelektasis/pneumonia.
32
33
2.2.6. Gejala klinis
Penyakit saluran pernapasan atas dapat memberikan gejala klinik yang
beragam, antara lain:
1) Gejala koriza (coryzal syndrome), yaitu pengeluaran cairan (discharge)
nasal yang berlebihan, bersin, obstruksi nasal, mata berair, konjungtivitis
ringan. Sakit tenggorokan (sore throat), rasa kering pada bagian posterior
palatum mole dan uvula, sakit kepala, malaise, nyeri otot, lesu serta rasa
kedinginan (chilliness), demam jarang terjadi.
2) Gejala faringeal, yaitu sakit tenggorokan yang ringan sampai berat.
Peradangan pada faring, tonsil dan pembesaran kelenjar adenoid yang
dapat menyebabkan obstruksi nasal, batuk sering terjadi, tetapi gejala
koriza jarang. Gejala umum seperti rasa kedinginan, malaise, rasa sakit di
seluruh badan, sakit kepala, demam ringan, dan parau (hoarseness).
3) Gejala faringokonjungtival yang merupakan varian dari gejala faringeal.
Gejala faringeal sering disusul oleh konjungtivitis yang disertai fotofobia
dan sering pula disertai rasa sakit pada bola mata. Kadang-kadang
konjungtivitis timbul terlebih dahulu dan hilang setelah seminggu sampai
dua minggu, dan setelah gejala lain hilang, sering terjadi epidemi.
4) Gejala influenza yang dapat merupakan kondisi sakit yang berat. Demam,
menggigil, lesu, sakit kepala, nyeri otot menyeluruh, malaise, anoreksia
yang timbul tiba-tiba, batuk, sakit tenggorokan, dan nyeri retrosternal.
Keadaan ini dapat menjadi berat. Dapat terjadi pandemi yang hebat dan
ditumpangi oleh infeksi bakterial.
33
34
5) Gejala herpangina yang sering menyerang anak-anak, yaitu sakit
beberapa hari yang disebabkan oleh virus Coxsackie A. Sering
menimbulkan vesikel faringeal, oral dan gingival yang berubah menjadi
ulkus.
6) Gejala obstruksi laringotrakeobronkitis akut (cruop), yaitu suatu
kondisi serius yang mengenai anak-anak ditandai dengan batuk, dispnea,
dan stridor inspirasi yang disertai sianosis (Djojodibroto, 2009).
2.2.7. Faktor resiko
Berdasarkan hasil penelitian, ISPA yang terjadi pada ibu dan anak
berhubungan dengan penggunaan bahan bakar untuk memasak dan kepadatan
penghuni rumah, demikian pula terdapat pengaruh pencemaran di dalam rumah
terhadap ISPA pada anak dan orang dewasa. Pembakaran pada kegiatan rumah
tangga dapat menghasilkan bahan pencemar antara lain asap, debu, grid (pasir
halus) dan gas (CO dan NO). Demikian pula pembakaran obat nyamuk,
membakar kayu di dapur mempunyai efek terhadap kesehatan manusia terutama
Balita baik yang bersifat akut maupun kronis. Gangguan akut misalnya iritasi
saluran pernafasan dan iritasimata.
Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam penularan
ISPA, dimana ventilasi dapat memelihara kondisi atmosphere yang
menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Suatu studi melaporkan bahwa
upaya penurunan angka kesakitan ISPA berat dan sedang dapat dilakukan di
antaranya dengan membuat ventilasi yang cukup untuk mengurangi polusi asap
34
35
dapur dan mengurangi polusi udara lainnya termasuk asap rokok. Anak yang
tinggal di rumah yang padat (<10m2/orang) akan mendapatkan risiko ISPA
sebesar 1,75 kali dibandingkan dengan anak yang tinggal dirumah yang tidak
padat (Achmadi, 1993 dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
2004).
Faktor lain yang berperan dalam penanggulangan ISPA adalah masih
buruknya manajemen program penanggulangan ISPA seperti masih lemahnya
deteksi dini kasus ISPA terutama pneumoni, lemahnya manajemen kasus oleh
petugas kesehatan, serta pengetahuan yang kurang dari masyarakat akan gejala
dan upaya penanggulangannya, sehingga banyaknya kasus ISPA yang datang ke
sarana pelayanan kesehatan sudah dalam kategori berat (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 2004).
2.2.8. Penatalaksanaan
Menurut Rasmaliah (2005) penatalaksan ISPA ada tiga:
1. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral,
oksigen dan sebagainya.
2. Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol per oral. Bila penderita
tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian
kotrimoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik
pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.
3. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan
di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat
35
36
batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti
kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam diberikan obat
penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila
pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat)
disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai
radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik
(penisilin) selama 10 hari.
8.1. Perawatan dirumah
Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya
yang menderita ISPA:
1. Mengatasi panas (demam)
Untuk anak usia 2 bulan samapi 5 tahun demam diatasi dengan
memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan
dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap
6 jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai
dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan
kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak
perlu air es).
2. Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional
yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½
sendok teh , diberikan tiga kali sehari.
36
37
3. Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-
ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah.
Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.
4. Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih
banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak,
kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.
5. Lain-lain
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal
dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan
hidung yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan
menghindari komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan
tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak
berasap. Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk
maka dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan.
Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas
usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar
selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan
37
38
antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak dibawa kembali
kepetugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang.
8.2 Pencegahan dan Pemberantasan
Pencegahan dapat dilakukan dengan :
1. Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.
2. Immunisasi.
3. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan.
4. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.
38
39
BAB III
KESIMPULAN
ISPA adalah suatu penyakit pernafasan akut yang ditandai dengan gejala
batuk, pilek, serak, demam dan mengeluarkan ingus atau lendir yang berlangsung
sampai dengan 14 hari. Menurut derajat keparahannya ISPA dapat di bagi menjadi
3 golongan yaitu ISPA ringan, ISPA sedang dan ISPA berat. Faktor resiko yang
mempengaruhi atau mempermudah terjadinya ISPA secara umum ada 3 faktor
yaitu keadaan sosial ekonomi dan cara mengasuh atau mengurus anak, keadaan
gizi dan cara pemberian makan, kebiasaan merokok dan pencemaran udara. Selain
ketiga faktor tersebut sanitasi rumah juga sangat mempengaruhi dalam kejadian
ISPA pada balita. Sanitasi rumah meliputi ventilasi, penerangan, kepadatan
hunian dan suhu ruangan.
Karena ISPA merupakan penyebab utama kematian pada balita, maka
diharapkan penanganannya dapat diprioritaskan. Disamping itu pemberian
penyuluhan kepada ibu-ibu tentang penyakit ISPA perlu ditingkatkan dan
dilaksanakan secara berkesinambungan.
39
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Acute upper respiratory tract infections (URTIs). Dalam: Chapman S,
Stephen G, Stradling J, West S. Oxford Handbook of Respiratory
Medicine 1st Edition. Oxford: Oxford University Press.: 2005.hlm:448-51
2. DepKes RI. Direktorat Jenderal PPM & PLP. Pedoman Pemberantasan
Penyakit InfeksiSaluran Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta.2003
3. Kajian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita. Universitas
sumatera Utara. Available from :
http://library.usu.ac.id/index.php?option=com_journal_review.[Accessed
22 April 2010]
4. Kumar, V., et al., 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. In: Hartanto, H., ed.
Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC
5. Ranuh, IG. G, Pendekatan Risiko Tinggi Dalam Pengelolaan Pelayanan
Kesehatan Anak. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak. FK-
UNAIR Santosa, G.
6. Depkes RI. 2005.Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Depkes RI. Jakarta.
7. Rasmaliah. 2005. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan
Penanggulangannya. www.fkusu.org/fkm infeksi saluran nafas. Diakses
tanggal 23 november 2008
40