REFERAT RINITIS ALERGIKA
-
Upload
anggimiranda -
Category
Documents
-
view
52 -
download
3
description
Transcript of REFERAT RINITIS ALERGIKA
BAB I
PENDAHULUAN
Rinitis adalah proses terjadinya inflamasi pada membran mukosa hidung yang dapat
disebabkan oleh infeksi, alergi atau iritasi. Hal ini dapat menimbulkan gejala seperti hidung
gatal, tersumbat, bersin-bersin, dan berair. Berdasarkan penyebabnya rinitis dapat dibagi
menjadi tiga golongan yaitu rinitis alergi, non-alergi, dan rinitis karena infeksi. Rinitis alergi
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan
alergen tertentu. Rinitis non-alergi merupakan rinitis yang disebabkan oleh faktor pemicu
tertentu yang bukan merupakan alergen. Rinitis ini dapat dibagi menjadi rinitis vasomotor
dan rinitis medikamentosa. Rinitis karena infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, dan
jamur. Contohnya adalah rinitis atrofi, rinitis hipertrofi, rinitis simpleks, rinitis difteri, rinitis
jamur/candida, rinitis tuberkulosa, dan rinitis sifilis.1,2
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respons normal
vasomotor akibat dari pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau obat
semprot hidung dalam waktu lama sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.1
Istilah rinitis medikamentosa juga digunakan di beberapa literatur sebagai penyakit kongesti
hidung akibat efek samping penggunaan berlebihan obat-obatan selain dekongestan topikal,
seperti kontrasepsi oral, obat-obat psikotropik, dan antihipertensi. Namun, mekanisme
terjadinya kongesti antara vasokontriktor topikal dengan obat-obat di atas berbeda sehingga
istilah rinitis medikamentosa hanya digunakan untuk rinitis yang disebabkan oleh
penggunaan vasokontiktor topikal, sedangkan yang disebabkan oleh obat-obat oral
dinamakan rinitis yang dicetuskan oleh obat (drug-induced rhinitis).2,3
Pada penelitian yang dilakukan oleh Toohill RJ4 dkk pada 119 subjek, 6.7%
diantaranya menderita rinitis medikamentosa. Insidens rinitis medikamentosa di Amerika
Serikat dalam 10 tahun terakhir adalah 1%. Berdasarkan jenis kelamin, tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan dalam terjadinya rinitis medikamentosa. Bila dilihat dari segi
usia, rinitis medikamentosa sering terjadi pada usia dewasa muda.4
Rinitis medikamentosa merupakan salah satu kelainan hidung yang dapat
mengganggu dan membuat penderita datang berobat ke dokter. Oleh karena itu pada makalah
ini akan dibahas tentang patofisiologi, gejala, pemeriksaan dan penatalaksanaan dari rinitis
medikamentosa.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala
nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka
tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri 1)
tulang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila, dan 3) prosesus nasalis os frontal;
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, dan 3) tepi
anterior kartilago septum.4
Gambar 1. Anatomi hidung luar dan kerangka tulang hidung7
2
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.4,5,6
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior, disebut vetibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.4,5,6
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista
Gambar 2. Kavum nasi dan konka8
nasalis os maksila, dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1)
kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela. Septum dilapisi oleh mukosa
hidung. 4,5,6
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. 4,5,6
3
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius
dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid
anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. 4,5,6
Gambar 3. Anatomi sinus paranasal9
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis
merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa =
saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga
hidung dibentuk oleh os sfenoid. 4,5,6
KOMPLEKS OSTIOMEATAL (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang
dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk
KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi, dan resesus frontal. Kompleks ostiomeatal merupakan unit fungsional yang merupakan 4
tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila,
etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan
terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.4
Gambar 4. Kompleks ostiomeatal (KOM)9
VASKULARISASI HIDUNG
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. Etmoid Anterior dan
Posterior yang merupakan cabang dari a. Oftalmika dari a. Karotis Interna. Bagian bawah
rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. Maksilaris Interna, di antaranya ialah
ujung a. Palatina Mayor dan a. Sfenopalatina yang keluar dari foramen Sfenopalatina
5
bersama n. Sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. Fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. Sfenopalatina, a. Etmoid
Anterior, a. Labialis Superior dan a. Palatina Mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (little’s
area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena
hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di
vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. Oftalmika yang berhubungan dengan
sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor
predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.4
Gambar 5. Vaskularisasi hidung10
PERSARAFAN HIDUNG
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. Etmoidalis
Anterior, yang merupakan cabang dari n. Nasosiliaris, yang berasal dari n. Oftalmikus (N. V-
1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
saraf simpatis dari m. Petrosus Superfisialis Mayor Profundus. Ganglion Sfenopalatina
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidupan
berasal dari n. Olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus Olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidup pada mukosa
Olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.4
6
Gambar 6. Persarafan hidung10
MUKOSA HIDUNG
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernapasan (mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar
rongga hidung dan permukaaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia ( ciliated pseudostratified collumner epithelium ) dan di antaranya terdapat sel-sel
goblet. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas
septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia (pseudostratified
collumner non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel,
penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-
kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous
blanket) pada permukaannya. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak
mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada
mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih
dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini
memberikan pendarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan sub epitel. Pembuluh eferen
dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya
7
dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai
sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih
dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai jaringan
kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan
vasosonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.4
SISTEM TRANSPORT MUKOSILIER
Sistem transport mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung
terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara.
Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Palut
lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada pada epitel dan kelenjar seromusinosa
submukosa. Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian
permukaan banyak mengandung protein plasma seperti albumin, IgG, IgM dan faktor
komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease
sekretorik, dan IgA sekretorik (s-IgA).4
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal yang
bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan
dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi didalam
mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajang dengan antigen banteri. Pada sinus
maksila, sistem transpor mukosilier menggerakkan sekret sepanjang dinding anterior, medial,
posterior dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran serta atap rongga sinus
membentuk gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium
sekret akan lebih kental tetapi drenasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan
berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghentikan atau
mengubah transport, dan sekret akan melewati mukosa yang rusak terebut. Tetapi jika sekret
lebih kental, sekret akan terhenti pada mukosa yang mengalami defek.4
Gerakan sistem transpor mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral.
Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian ke atap, dinding lateral dan
bagian inferior dari dinding anterior dan posterior menuju area frontal. Gerakan spiral menuju
ke ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid, sedangkan pada sinus etmoid terjadi gerakan
rektilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau gerakan spiral jika ostium terdapat pada
salah satu dindingnya.4
8
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transprort mukosilier. Rute pertama
merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior. Sekret ini biasanya
bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalan menuju tepi bebas prosesus
unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju nasofaring melewati bagian
anteroinferior orifisium tuba Eustachius. Transpor aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan
epitel skuamosa pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi
dan proses menelan.4
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid yang
bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian posterosuperior orifisium
tuba Eustachius. Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung
dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba Eustachius. Sekret pada septum akan
berjalan vertikal ke arah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian
inferior tuba Eustachius.4
2.2. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal dapat diklasifikasikan menjadi lima, yaitu fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang
dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; fungsi penghidu karena
terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu;
fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu membantu proses bicara, dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang; fungsi statik dan mekanik untuk
meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung napas; serta refleks
nasal.4
FUNGSI RESPIRASI
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem repirasi melalui nares anterior, lalu
naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasorafing. Aliran
udara di hidung ini benbentuk lingkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami
humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hamper jenuh oleh uap air, sehingga
terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin
akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur hingga berkisar 37 derajat 9
Celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.4
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di
hidung oleh: a) rambut (vibrise) pada vestibulum nasi, b) silia, c) palut lendir. Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan
dengan refleks bersin.4
FUNGSI PENGHIDU
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa
manis stroberi, jeruk, pisang, atau coklat, juga untuk membedakan rasa asam yang berasal
dari cuka dan asam jawa.4
FUNGSI FONETIK
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk
oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga
mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.4
REFLEKS NASAL
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan
napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan
pankreas.4
10
2.3 Pembahasan rinitis medikamentosa
DEFINISI
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respons normal
vasomotor. Kelainan ini merupakan akibat dari pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat
tetes hidung atau obat semprot hidung yang mengandung fenilefrin dan oxymethazoline
dalam waktu lama (lebih dari 1 minggu), sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang
menetap.1,11
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat dalam sebuah survei terhadap 119 pasien dengan alergi, 6,7%
diantaranya menderita rinitis medikamentosa. Dalam penelitian yang dilakukan selama 10
tahun di sebuah klinik THT ditemukan kejadian rinitis medikamentosa sebanyak 1-7%.
Dalam studi lain, seorang praktisi THT mendiagnosis rinitis medikamentosa pada 52 orang
dari 100 pasien non-infeksi dengan adanya obstruksi hidung. Rentang frekuensi yang sama
terjadi di Eropa. Rinitis medikamentosa terjadi pada tingkat yang sama pada pria dan wanita.
Insiden puncak terjadi pada dewasa muda.4,9
ETIOLOGI
Penyalahgunaan obat-obat vasokonstriktor topikal hidung dengan frekuensi yang
berlebihan dan dalam jangka waktu lama (lebih dari 1 minggu) adalah satu-satunya penyebab
rinitis medikamentosa. Ada 2 golongan obat vasokonstriktor topikal hidung yang dapat
menyebabkan rinitis medikamentosa, yaitu amina simpatomimetik dan imidazoline.12
11
Dekongestan Imidazolines
– Simpatomimetik :
Amfetamin
Benzedrine
Kafein
Ephedrin
Mescalin
Phenylephrin
Phenylpropanolamin
Pseudoephedrin
Klonidin
Naphazolin
Oxymetazolin
Xylometazolin
Tabel 1. Obat-obat dekongestan nasal yang dapat menyebabkan rinitis medikamentosa12
PATOFISIOLOGI
Mukosa hidung terdiri dari dua komposisi pembuluh darah berupa pembuluh darah
resistensi dan pembuluh darah kapasitansi. Pembuluh darah resistensi terdiri dari arteri,
arteriol, dan anastomosis arteriovenosus, mengalir ke pembuluh kapasitansi, yang terdiri dari
sinusoid vena. Sinusoid vena yang kaya inervasi dengan saraf simpatis dan ketika dirangsang
dengan norepinefrin akan berikatan dengan reseptor α2 presinaps dan postsinaps reseptor α1.
Hal ini menyebabkan berkurangnya aliran darah dan meningkatkan pengosongan sinus di
pembuluh darah kapasitansi sehingga gejala hidung tersumbat berkurang. Saraf lain seperti
parasimpatis, saraf sensorik, saraf noncholinergik nonadrenergik (NANC) peptidergik
berkontribusi menyebabkan hidung tersumbat. Saraf parasimpatis melepaskan asetilkolin
menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan peptida vasoaktif intestinal (VIP) yang
menyebabkan vasodilatasi. Saraf sensorik yang mengandung substansi P, neurokinin A, dan
kalsitonin peptida-gen terkait, semuanya menurunkan kerja simpatik vasokonstriksi intrinsik.
Stimulasi saraf NANC menyebabkan rinore, bersin, dan hidung tersumbat.
Mediator lokal juga berperan dengan menginduksi perubahan dalam pembuluh darah. Sel
mast, eosinofil, dan basofil menyebabkan hidung tersumbat oleh pelepasan histamin,
tryptase, kinins, prostaglandin, dan leukotrien. Eksudasi plasma, yang berisi albumin,
12
imunoglobulin, kinin, komplemen, faktor koagulasi, dan sistem fibrinolitik, terjadi melalui
fenestrasi pembuluh darah kapiler. Sel goblet yang meningkat pada rinitis medikamentosa
tidak berada di bawah kontrol otonom, tetapi tersumbatnya hidung akibat pelepaskan musin
setelah stimulasi dari protease, metabolit asam arakidonat, histamin, neurotransmitter, sitokin,
atau trifosfat nukleotida.13
Amina simpatomimetik meniru kerja sistem saraf simpatik melalui pelepasan
norepinefrin presinaps di saraf simpatik. Norepinefrin kemudian berikatan dengan reseptor α
di postsinaps menyebabkan vasokonstriksi. Selain itu juga sebagai agonis reseptor ß ringan
yang menyebabkan rebound dilatation setelah efek reseptor α telah berkurang. Golongan
imidazoline terutama agonis α2, bekerja di postsinaps pada saraf simpatis dan menyebabkan
vasokonstriksi. Golongan ini juga menurunkan produksi norepinefrin endogen melalui
mekanisme umpan balik negatif, sehingga mengurangi aliran darah dan mengurangi hidung
tersumbat.13
Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes hidung dalam
waktu lama ialah: 1) silia rusak, 2) perubahan ukuran sel goblet, 3) membran basal menebal,
4) Pembuluh darah melebar, 5) stroma tampak edema, 6) hipersekresi kelenjar mukus dan
perubahan pH sekret hidung, 7) lapisan submukosa menebal dan 8) laposan periostium
menebal.13
Mukosa hidung merupakan organ yang amat peka terhadap rangsangan atau iritan
sehingga harus berhati-hati dalam mengkonsumsi obat vasokonstriktor topikal dari golongan
simpatomimetik yang dapat mengakibatkan terganggunya siklus nasal dan akan berfungsi
kembali dengan menghentikan pemakaian obat. Pemakaian vasokonstriktor topikal yang
berulang dalam waktu lama (lebih dari 1 minggu) akan mengakibatkan terjadinya fase dilatasi
berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriksi, sehingga menimbulkan terjadinya
obstruksi atau penyumbatan. Dengan adanya gejala obstruksi hidung ini menyebabkan pasien
lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut sehingga efek vasokonstriksi
berkurang, pH hidung berubah dan aktivitas silia terganggu, sedangkan efek balik akan
menyebabkan obstruksi hidung lebih hebat dari keluhan sebelumnya. Bila pemakaian obat
diteruskan akan menyebabkan dilatasi dan kongesti jaringan. Kemudian terjadi pertambahan
mukosa jaringan dan rangsangan sel–sel mukoid, sehingga sumbatan akan menetap dengan
produksi sekret yang berlebihan.14
MANIFESTASI KLINIS13
Gejala terbatas pada hidung dan terdiri dari kongesti hidung kronis tanpa rhinorrea
signifikan atau bersin dan keluhan lain berupa:4,11,12
Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair.
Gejala tidak berubah berdasarkan musim atau saat pasien di dalam ruangan atau di
luar ruangan.
Pasien tidak mempunyai pengetahuan tentang penggunaan dekongestan
sebelumnya. Dalam upaya untuk mengontrol gejala, pasien sering mencoba untuk
meningkatkan baik dosis dan frekuensi dekongestan topikal, yang menyebabkan
ketergantungan.
Gejala timbul akibat penggunaan semprot hidung atau nasal dekongestan dengan
frekuensi dan durasi yang berlebihan.
Penghentian pemakaian dekongestan yang diikuti oleh hidung tersumbat beberapa
jam, kemudian penderita menggunakan lebih banyak dekongestan. Semakin
banyak dekongestan yang digunakan, semakin pendek periode hidung terasa lega.
Hal ini akhirnya mengarah pada pasien yang mencari perawatan medis.
Tidak ada alergen tertentu yang teridentifikasi.
Pasien dengan rinitis medikamentosa sering mendengkur, sleep apnea, dan sering
bernapas dengan mulut sehingga mengakibatkan sakit tenggorokan dan mulut
kering.
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik, temuan terbatas pada rongga hidung. Pemeriksaan yang
dilakukan berupa rinoskopi anterior. Pada pemeriksaan tampak edema konka dengan sekret
hidung yang berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang.
Membran mukosa hidung tampak bengkak dan merah (beefy-red), dapat berdarah dan
granular.15
14
Gambar 7. pemeriksaan rinoskopi anterior
pada pasien dengan rinitis kronis. Udema
mukosa konka inferior akibat iritasi seperti
asap rokok, penggunaan vasokonstriktor
berlebihan dan sensitif suhu.15
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, smear hidung, IgE total, skin prick
test, dan CT scan sinus dapat membantu dalam mengidentifikasi kondisi yang mendasarinya.
Pemeriksaan radiologi tidak membantu dalam mendiagnosis rinitis, tetapi untuk
mengidentifikasi komplikasi seperti sinusitis kronis, infeksi, dan polip hidung.16
Rhinostereometri merupakan metode yang tepat untuk mendeteksi perubahan mukosa
hidung yang mengalami udem, dimana mukosa hidung diamati melalui mikroskop (surgical
microscope). Rhinostereometri telah dipakai pada beberapa penelitian rinitis medikamentosa
dan penggunaan benzalkonium klorida. Dengan rhinostereometri dapat menunjukan
penggunaan benzalkonium kloride (BKC) dalam oxymetazolin yang berlangsung lama.17
DIAGNOSIS
Kriteria bagi diagnosis rinitis medikamentosa adalah:
Riwayat pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau obat semprot
hidung dalam waktu lama dan berlebihan.
Obstruksi hidung yang kronis tanpa pengeluaran sekret atau bersin.
Ditemukan mukosa hidung yang menebal pada pemeriksaan fisik
Rinitis medikamentosa sering terjadi disebabkan oleh kondisi medis lainnya yang
menyebabkan penggunaan dekongestan. Penting untuk menjalankan beberapa pemeriksaan
guna mengidentifikasi kondisi medis lain yang berpotensi diobati. Di antaranya adalah skin
prick test bagi pasien yang mempunyai riwayat rinitis alergi dan pemeriksaan rinoskopi untuk
mengidentifikasi deviasi septal, abnormalitas struktur anatomi dan juga polip hidung.1,2 3,4
DIAGNOSIS BANDING
15
Diagnosis banding untuk Rinitis Medikamentosa adalah:
Diagnosis Penjelasan
Rinitis alergi Alergi hidung bersifat musiman, disertai bersin, kongesti hidung, dan rinore yang encer dan banyak dan gatal di hidung sampai mata berair. Alergen berkaitan dengan bulu binatang, debu atau inhalan lainnya.
Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) Rhinitis
Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) merupakan terapi untuk sleep apnea yang menyebabkan meningkatnya aliran udara melalui rongga hidung, mukosa hidung kering, kelebihan produksi lendir dan kongesti hidung.
Polip Nasi Penonjolan mukosa hidung berbentuk kantung yang berisi serum melekat pada pedikel sempit menjulur dari sinus ke rongga hidung dan dapat bergerak pada pedikelnya.
Rinitis Non-Alergi Suatu keadaan diamana adanya rinore dengan penyebab meliputi rinitis vasomotor, rinitis kerja, rinitis hormonal, drug-induced rhinitis, rinitis non-alergi dengan sindrom eosinofilia (Nares).
Rhinosinusitis Infeksi yang menyerang sinus dan hidung dengan gejala bersin, kongesti hidung, dan rinore yang kental atau menjadi purulen, kadang berbau busuk.
Tabel 2. Diagnosis banding rinitis medikamentosa18
TERAPI
Setelah rinitis medikamentosa diidentifikasi, penggunaan dekongestan topikal harus
dihentikan sesegera mungkin. Tujuan pertama dalam pengobatan rinitis medikamentosa
adalah penghentian langsung dari dekongestan hidung. Pasien harus diedukasi tentang
kondisi mereka dan metode pengobatan lain.2,12
1. Kortikosteroid
16
Kortikosteroid hidung membantu mengurangi peradangan lokal tanpa efek
sistemik dengan mengurangi hidung tersumbat lebih cepat. Kortikosteroid memiliki
sifat anti-inflamasi, imunosupresif, dan menyebabkan efek metabolik yang bervariasi.
Kortikosteroid oral jarang diperlukan tapi disarankan dalam terapi pada orang dewasa
(misalnya, prednison 20-40 mg/hari untuk rata-rata berat badan orang dewasa, selama
7-10 hari). Beberapa steroid hidung antara lain termasuk budesonide, ciclesonide,
flutikason propionat, fluticasone furoate, mometasone, beklometason, flunisolide, dan
triamcinolone. Untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion), dapat
diberikan kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan dosis diturunkan secara
bertahap (tapering off) dengan menurunkan dosis sebanyak 5 mg setiap hari (misalnya
hari 1: 40 mg, hari 2 : 35 mg dan seterusnya). Kortikosteroid oral jangka pendek efektif
untuk memecahkan penggunaan siklik vasokonstriktor topikal. Pengobatan ini sering
digunakan selama 5-10 hari. Dapat juga dengan pemberian kortikosteroid topikal
selama minimal 2 minggu untuk mengembalikan proses fisiologik mukosa hidung.2,12
2. Dekongestan sistemik
Pseudoefedrin adalah satu dari banyak dekongestan sistemik yang dapat
digunakan. Obat ini merangsang vasokonstriksi dengan langsung mengaktifkan
reseptor alfa-adrenergik dari mukosa pernapasan. Menginduksi relaksasi bronkial dan
meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas dengan menstimulasi reseptor beta-
adrenergik.2,12
3. Larutan saline
Tambahan larutan salin buffer seperti cromolin, sedatif/hipnotik. Semprotan
hidung yang menggunakan larutan saline dapat digunakan untuk irigasi hidung. Selain
sebagai pelembab mukosa hidung juga sebagai dekongestan non-adiksi. Dapat
disimpan dalam waktu yang lama dan sebagai pencegahan bila kembali menggunakan
dekongestan topikal.19
4. Tindakan Bedah
Pembedahan tidak dianjurkan kecuali terdapat polip atau deviasi septum. Reduksi
konka hidung tidak dilakukan dalam kasus sederhana. Jika dilakukan, pengurangan ini
menghasilkan efek yang singkat dengan kembalinya kongesti jika nasal dekongestan
tidak dihentikan. Dengan penghentian dekongestan, kondisi ini dapat teratasi dengan
17
sendirinya. Dalam kasus refrakter terhadap penghentian pengobatan, pasien rawat jalan
dapat diberikan laser dioda konka inferior reduksi hiperplastik. Cara ini merupakan
pilihan pengobatan yang sangat efektif, aman, dengan pemulihan tahan lama dan dapat
meningkatkan aliran udara hidung serta menghentikan kecanduan dekongestan
hidung.12
KOMPLIKASI
Hampir semua pasien pada akhirnya bisa menghentikan penggunaan obat tetes
hidung dengan penyembuhan sempurna. Pada pasien yang tidak bisa menghentikan
penggunaannya, dapat terjadi hiperplasia menetap yang memerlukan intervensi bervariasi
dari elektrokauter submukosa atau kryoterapi untuk mengurangkan destruksi turbinasi
melalui penggunaan laser dan reseksi bedah. Komplikasi lainnya yang dapat terjadi adalah
seperti perforasi septum, rinitis atropi dan infeksi sinus.13
PROGNOSIS
Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua pasien bisa menghentikan penggunaan
obat tetes hidung dan akhirnya menunjukkan penyembuhan yang sempurna. Bagi yang tetap
menggunakan obat tersebut, fenomena kongesti rebound akan tetap berlangsung.13
BAB III
KESIMPULAN
Rinitis medikamentosa merupakan suatu kelainan hidung berupa gangguan
respons normal vasomotor akibat dari pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat
tetes hidung atau obat semprot hidung yang mengandung fenilefrin dan
oxymethazoline dalam waktu lama (lebih dari 1 minggu), sehingga menyebabkan
sumbatan hidung yang menetap. Di Amerika Serikat dalam sebuah survei terhadap
18
119 pasien dengan alergi, 6,7% diantaranya menderita rinitis medikamentosa.
Rentang frekuensi yang sama juga terjadi di Eropa. Rinitis medikamentosa terjadi
pada tingkat yang sama pada pria dan wanita. Insiden puncak terjadi pada dewasa
muda. Pemakaian vasokonstriktor hidung topikal dalam waktu lama (lebih dari 1
minggu) akan mengakibatkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation)
setelah vasokonstriksi, sehingga menimbulkan terjadinya obstruksi atau penyumbatan.
Pasien biasanya datang dengan keluhan hidung tersumbat yang menetap, dan dari
anamnesis pasien memiliki riwayat penggunaan obat-obat vasokonstriktor topikal
dalam jangka waktu yang lama. Pada pemeriksaan, tampak edema konka dengan
sekret hidung yang berlebihan. Membran mukosa hidung tampak bengkak dan merah
(beefy-red), dapat berdarah dan granular. Kriteria diagnosis rinitis medikamentosa
adalah: 1) Riwayat pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau
obat semprot hidung dalam waktu lama dan berlebihan. 2) Obstruksi hidung yang
kronis tanpa pengeluaran sekret atau bersin. 3) Ditemukan mukosa hidung yang
menebal pada pemeriksaan fisik. Setelah rinitis medikamentosa diidentifikasi,
penggunaan dekongestan topikal harus dihentikan sesegera mungkin. Pasien harus
diedukasi tentang kondisi mereka dan menawarkan metode pengobatan lain, seperti
kortikosteroid, dekongestan oral, larutan saline, dan tindakan bedah bila sesuai
indikasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wardani RS, Mangunkusumo E. Infeksi Hidung. Dalam : Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher edisi ketujuh. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2012. p.106-16.
2. Lockey R.F,ed. Rhinitis Medicamentosa and Stuffy Nose, Allergy Clinical Immunology Journal, Volume 118, 2006 : 1017-8.
3. Toohill RJ, Lehman RH, Grossman TW, Belson TP. Rhinitis medicamentosa. Laryngoscope. Oct 1981;91(10):1614-21
19
4. Soetjipto D, Wardani RS. Hidung. Dalam : Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher edisi keenam. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010. p. 96-100.
5. Dhingra P.L, Dhingra S, eds. Diseases of Ear, Nose & Throat, 5th Edition. New Delhi : Elsevier; 2011. p. 180-4
6. Tortora G.J, Derrickson B, eds. Principles of Anatomy and Physiology, 11th Edition. New York : Wiley; 2006. p. 847-50
7. Anonim. Normal Anatomy of the Nose. Available from: http://bedahunmuh.wordpress.com/anatomypic/. Accessed on October 14, 2014.
8. Anonim. ENT for medical students : NOSE. Available from : http://wwwent4medstudents.blogspot.com. Accessed June 19, 2014.
9. Anonim. Normal ostiomeatal complex. Available from : http://www. radiopaedia .org . Accessed June 19, 2014.
10. Netter F.H, ed. Atlas of Human Anatomy, 4t Edition. New York : Elsevier; 2006. p. 32-6
11. Kushnir NM dkk. Rhinitis Medicamentosa [online]; [cited 2014 July 15]. Available from: URL : http://www.medscape.com
12. Ramey JT, Bailen E,Lockey RF. Review Rhinitis Medicamentosa. Investig Allergol Clin Immunol 2006; 16(3). p 148-55
13. Ramer J.T, Bailen E, Lockey R.F. Rhinitis Medikamentosa, Allergy Clinical Immunology Journal, Volume 16(3), 2006 : 148-55.
14. Hilger P A. Penyakit hidung. Dalam : Adams G L, Boeis L R, Higler P A. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI, Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. p 210-20
15. Bull TR. Color atlas of ENT diagnosis 4thed.New York: Thieme Stutgart. 2003.p:13516. Morris Adrian. Hay Fever and Allergic Rhinitis.[online]2012 july[cited 2014 June
25]. Avaliable from : http://www.allergy-clinic.co.uk/airway-allergy/hayfever/17. EllegårdEva.Practical aspects on rhinostereometry. Department of
Otorhinolaryngology, Kungsbacka Hospital, Kungsbacka, Sweden. 2002;(40):p.115-7
18. Quillen D.M, Feller D.B,eds. Diagnosing Rhinitis : Allergic vs Non-Allergic, American Family Physician Journal, Volume 73 Number 9, May 2006 : 1583-91.
19.Schalch Paul. Rhinitis Medicamentosa: management with buffered saline irrigation.[online]2013 Sep 11[cited 2014 june 25];available from: http://www.neilmed.com/neilmedblog/2013/09/rhinitis-medicamentosa-management-with-buffered-saline-irrigation/
20