Referat Ready 3
description
Transcript of Referat Ready 3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trombosis merupakan salah satu masalah kesehatan utama baik di negara
maju maupun negara berkembang. Insiden penyakit terkait dengan trombosis
semakin meningkat setiap tahunnya. Selain peningkatan angka mortalitas dan
morbiditas, menurunnya kualitas hidup dan produktivitas kerja serta hilangnya
hari kerja juga merupakan hal yang menyebabkan peningkatan pembiayaan
kesehatan yang terkait dengan trombosis ini.1,2
Trombosis merupakan penyebab kematian utama di Amerika Serikat.
Sekitar 2 juta penduduk setiap tahunnya meninggal akibat trombosis arteri, vena,
atau komplikasinya. Insiden tromboemboli vena di Amerika Serikat sekitar 100
per 100.000 orang per tahun dan meningkat seiring dengan bertambahnya umur,
dua pertiga dari kasus tromboemboli vena adalah trombosis vena dalam dan
sepertiganya adalah emboli paru dan sekitar 20% dari pasien dengan emboli paru
meninggal sebelum terdiagnosis atau dalam hari pertama rawatan. Sementara data
di Eropa, tromboemboli vena merupakan penyebab tingginya angka mortalitas,
morbiditas, dan perawatan di rumah sakit. Berdasarkan data Eupean Union di
enam negara Eropa di tahun 2004 didapatkan sekitar 317.000 orang meninggal
yang dihubungkan dengan kejadian tromboemboli vena dengan rincian 34 %
meninggal tiba-tiba, 59 % meninggal selama proses diagnosa, dan hanya 7%
pasien meninggal yang sudah didiagnosa jelas dengan emboli paru sebelum pasien
meninggal.3,4,5,6
Trombosis adalah pembentukan suatu massa abnormal di dalam sistem
peredaran darah makhluk hidup yang berasal dari komponen-komponen darah.
Massa abnormal itu disebut trombus dan bila terlepas dari dinding bekuan darah
yang terjadi in vitro atau yang terdapat di dalam rongga tubuh maupun yang
terbentuk post mortem bukan merupakan suatu trombus. Teori mengenai
patofisiologi trombosis sudah dikenal sejak abad 19. Pada tahun 1845 Virchow
pertama kali mengemukakan adanya tiga faktor utama yang memegang peranan
dalam patofisiologi trombosis yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan
1
aliran darah dan perubahan daya beku darah. Ketiga faktor tersebut di atas disebut
“triad of virchow“.1,7
Berdasarkan komposisinya trombus dapat dibedakan atas 3 jenis, yaitu
white trombus yang biasanya terdapat di arteri dan terutama terdiri dari trombosit,
red trombus yang ditemukan di vena terutama terdiri dari fibrin dan eritrosit,
serta mixed thrombus yang komposisinya merupakan gabungan dari white
thrombud dan red thrombus. Komposisi suatu trombus dipengaruhi oleh
kecepatan aliran darah di tempat trombus itu terbentuk. Pada umumnya trombus
yang banyak mengandung trombosit terbentuk di daerah dengan aliran darah yang
cepat, sedangkan trombus yang banyak mengandung eritrosit dan fibrin terbentuk
di daerah statis.1
Tromboemboli vena terjadi sebagai akibat dari interaksi antara beberapa
faktor risiko. Goldhaber tahun 2010, membagi faktor resiko tromboemboli vena
menjadi faktor resiko yang dapat dimodifikasi, faktor resiko yang berhubungan
dengan perawatan di rumah sakit dan faktor genetik. Faktor resiko yang dapat
dimodifikasi adalah obesitas, kebiasaan merokok, hipertensi, diabetes mellitus,
dislipidemia, dan nutrisi. Faktor resiko yang berhubungan dengan perawatan
dirumah sakit adalah tindakan operasi, kanker, kegagalan jantung kongestif,
penyakit paru obstruksi kronik, gagal ginjal kronik khususnya sindroma nefrotik.
Sedangkan faktor genetik seperti faktor V Leiden, prothrombin mutasi gen dan
anticardiolipin antibodi.8
Kombinasi dari ketiga faktor triad of virchow merupakan patogenesis
terjadinya tromboemboli vena. Peranan stasis vena memegang peranan penting
dalam terbentuknya trombus pada vena, karena dapat menimbulkan gangguan
mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan darah sehingga
memudahkan terbentuknya trombin. Inisiasi tromboemboli vena terutama muncul
pada valve pocket sinus. Perubahan faktor-faktor pembekuan mekanisme kontrol
pembekuan juga berperan penting, seperti pada Faktor V Leiden, defisiensi
protein C dan S, dan defisiensi antithrombin. Sedangkan faktor dinding pembuluh
darah lebih cendrung kepada terbentuknya trombosis arteri.1,9
2
Presentasi klinis dari tromboemboli vena yang utama adalah trombosis
vena dalam dan emboli paru yang berhubungan dengan faktor risiko yang sama.
Trombosis vena dalam adalah suatu keadaan yang ditandai dengan ditemukannya
trombus di dalam vena dalam terutama pada tungkai bawah. Trombosis vena
dalam adalah satu penyakit yang dapat menimbulkan kematian kalau tidak dikenal
dan diobati secara efektif. Kematian terjadi sebagai akibat lepasnya trombus vena,
membentuk emboli yang dapat menimbulkan kematian mendadak apabila
sumbatan terjadi pada arteri di dalam paru-paru yang disebut dengan emboli
paru.10,11,12
Selama dua dekade belakangan ini, perkembangan strategi diagnostik
terhadap trombosis vena dalam dan emboli paru berkembang dengan pesat.
Trombosis vena dalam dan emboli paru merupakan dua manifestasi klinis yang
sangat berbeda, tetapi memiliki satu entitas yang dinamakan dengan
tromboemboli vena. Alat-alat diagnostik non-invasive seperti pengukuran D-
dimer, ultrasonografi kompresi, dan multidetektor CT angiografi sudah
berkembang luas. Hal ini telah mereduksi secara jelas penggunaan sarana
diagnostik invasive seperti phlebografi dan pulmonary angiografi.13
Antikoagualan merupakan terapi utama pada kasus-kasus tromboemboli
vena. Pasien membutuhkan terapi antikoagulan secepat mungkin setelah diagnosis
tromboemboli vene ditegakkan. Ada tiga opsi terapi antikoagulan parenteral yang
bisa diberikan untuk terapi inisial pada tromboemboli vena akut yaitu unfractional
heparin, low molecular weight heparin dan fondaparinux. Antikoagulan oral baru
sebagai terapi tromboemboli vena akut telah banyak juga digunakan. Penelitian
Einstein tahun 2012 yang meneliti penggunaan antikoagulan oral baru
rivaroxaban pada emboli paru simtomatis dibandingkan dengan terapi standar
didapat hasil bahwa regimen terapi rivaroxaban tidak inferior dibandingkan
dengan terapi standar.14,15
Pencegahan terhadap munculnya trombus baru merupakan salah satu hal
penting dalam penatalaksanaan tromboemboli vena. Pencegahan ini dapat
dilakukan dengan mengendalikan faktor resiko yang dapat dimodifikasi.
Pemberian antikoagulan profilaks juga juga harus diberikan pada pasien-pasien
3
dengan resiko tinggi terjadinya tromboemboli vena. American College of
Physician pada tahun 2011 memberikan rekomendasi propilaksis tromboemboli
vena pada pasien yang dirawat di rumah sakit berupa pemberian injeksi heparin
pada pasien dengan resiko tinggi tromboemboli vena dan tidak beresiko
perdarahan.8,16
Tromboemboli vena merupakan salah satu masalah kesehatan yang
memerlukan perhatian yang serius dari kita bersama. Angka mortalitas dan
morbiditas yang disebabkan penyakit ini masih tinggi. Sulitnya diagnosis dan
penatalaksanaan masih menjadi masalah. Adanya faktor resiko yang bisa
dikendalikan harus memberikan kita peluang untuk menekan angka penyakit ini.
Untuk itu referat ini dibuat untuk memaparkan patogenesis dan penatalakasanaan
tromboemboli vena dengan manifestasi klinis trombosis vena dalam dan emboli
paru.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui patofisiologi,
dan penatalaksanaan dari tromboemboli vena dengan manifestasi klinis trombosis
vena dalam dan emboli paru.
4
BAB II
FISIOLOGI HEMOSTASIS
Hemostasis adalah proses fisiologis untuk mempertahankan integritas
vaskular dengan mempertahankan fluiditas darah dan mencegah keluarnya darah
serta menghancurkan bekuan yang terbentuk setelah terjadinya restorasi pembuluh
darah yang rusak. Komponen utama sistem hemostasis adalah sistem vaskuler,
sistem trombosit dan sistem koagulasi.7,17
2.1. Sistem Vaskuler
Peran sistem vaskuler dalam mencegah perdarahan meliputi proses
kontraksi pembuluh darah (vasokonstriksi) serta aktivasi trombosit dan
pembekuan darah. Apabila pembuluh darah mengalami luka, maka akan terjadi
vasokontriksi yang mula-mula secara reflektoris dan kemudian akan
dipertahankan oleh faktor lokal seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT, serotonin), dan
epinefrin. Vasokontriksi ini akan menyebabkan pengurangan aliran darah besar
masih diperlukan lain seperti trombosit dan pembekuan darah.7,17
Pembuluh darah dilapisi oleh sel endotel. Apabila lapisan endotel rusak
maka jaringan ikat dibawah endotel seperti serat kolagen, serat elastin dan
membrana basalis terbuka sehingga terjadi aktivasi trombosit. Di samping itu
terjadi aktivasi faktor pembekuan darah baik jalur intrinsik maupun jalur
ekstrinsik yang menyebabkan pembekuan fibrin.7
Adanya kerusakan endotel akan menyebabkan keluarnya endotelin 1 serta
substansi lain yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi. Endotelin 1 berfungsi
sebagai kemoatraktan, menarik leukosit dan trombosit. Sel endotel juga
mengandung berbagai proteoglikan seperti hepatin sulfat, kondroitin sulfat,
dermatan sulfat, dan trombomodulin. Proteoglikan ini akan berinteraksi dengan
antitrombin untuk meningkatkan hambatan terhadap protease serin.
Trombomodulin berfungsi sebagai reseptor trombin. Trombomudulin ini akan
mengubah aktivitas prokoagulan dari trombin sehingga trombomodulin yang
5
terikat dengan trombin kehilangan kemampuan untuk mengubah fibrinogen
menjadi fibrin, mengaktifkan trombosit dan mengaktifkan faktor XIII.7
2.2. Sistem Trombosit
Trombosit mempunyai peran penting dalam hemostasis yaitu pembekuan
dan stabilitas sumbat trombosit. Pembentukan sumbat trombosit terjadi melalui
beberapa tahap yaitu adesi trombosit, agregasi trombosit dan reaksi pelepasan.
Apabila pembuluh darah luka, maka sel endotel akan rusak sehingga jaringan ikat
dibawah endotel akan terbuka. Hal ini akan mencetuskan adesi trombosit yaitu
suatu proses dimana trombosit melekat pada permukaan asing terutama serat
kolagen. Adesi trombosit sangat tergantung pada protein plasma yang disebut
faktor von willebrand’s (vWF) yang disintesis oleh sel eondotel dan megakariosit.
Faktor ini berfungsi sebagai jembatan antara trombosit dan jaringan subendotel.
Disamping melekat pada permukaan asing, trombosit akan melekat pada
trombosit lain dan proses ini disebut sebagai agregasi trombosit.17
Agregrasi trombosit mula-mula dicetuskan oleh ADP yang dikeluarkan
oleh trombosit yang melekat pada serat subendotel. Agregasi yang terbentuk
disebut agregasi trombosit primer dan bersifat reversible. Trombosit pada agregasi
primer akan mengeluarkan ADP sehingga terjadi agregasi trombosit sekunder
yang bersifat irreversible. Disamping ADP, untuk agregasi trombosit diperlukan
ion kalsium dan ikatan diantara fibrinogen yang melekat pada dinding trombosit
dengan perantara ion kalsium. Mula-mula ADP akan terikat pada reseptornya
permukaan trombosit dan interaksi ini menyebabkan reseptor untuk fibrinogen
terbuka sehingga memungkinkan ikatan antara fibrinogen dengan reseptor
tersebut. Kemudian ion kalsium akan menghubungkan fibrinogen tersebut
sehingga terjadi agregasi trombosit. Selain itu akan terjadi aktifasi enzin
fosfolipase A2 sehingga fosfolipid yang terdapat pada dinding trombosit akan
dipecah dan melepaskan asam arakhidonat. Asam arakhidonat akan diubah oleh
enzim siklo-oksigenase menjadi prostaglandin G2 (PGG2) yang kemudian akan
diubah menjadi prostaglandin H2 (PGH2) oleh enzim peroksidase. PGH2 akan
diubah oleh enzim tromboksan sintetase menjadi tromboksan A2 (TxA2) yang
akan merangsang agregasi trombosit. TxA2 akan segera diubah menjadi bentuk
6
tidak aktif TxB2. Di dalam sel endotel akan terjadi proses yang sama, akan tetapi
PGH2 akan diubah oleh enzim prostasiklin sintetase menjadi prostasiklin (PGI2)
yang mempunyai efek berlawanan dengan TxA2.17
Selama proses agregasi, terjadi perubahan bentuk trombosit dari bentuk
cakram menjadi bulat disertai dengan pembentukan pseudopodi. Akibat
perubahan bentuk ini maka granula trombosit akan terkumpul di tengah dan
akhirnya akan melepaskan isinya. Proses ini disebut sebagai reaksi pelepasan dan
memerlukan adanya enersi. Zat agregator lain seperti trombin, kolagen, epinefrin
dan TxA2 dapat menyebabkan reaksi pelepasan. Tergantung zat yang
merangsang, akan dilepaskan bermacam-macam substansi biologik yang terdapat
di dalam granula padat dan granula alfa. Trombin dan kolagen menyebabkan
pelepasan isi granula padat, alfa dan lisosom. Dari granula padat dilepaskan ADP,
ATP, ion kalsium, serotonin, epinefrin dan nor-epinefrin. Dari granula alfa
dilepaskan fibrinogen, vWF, FV, Platelet faktor 4 (PF4), beta tromboglobulin ( β
TG). Sedangkan dari lisosom dilepaskan bermacam-macam enzim hidrolase
asam.17
Masa agregasi trombosit akan melekat pada endotel, sehingga terbentuk
sumbat trombosit yang menutup luka pada pembuluh darah. Walaupun masih
permeabel terhadap cairan, sumbat trombosit mungkin dapat menghentikan
perdarahan pada pembuluh darah kecil. Tahap terakhir untuk menghentikan
perdarahan adalah pembentukan sumbat trombosit yang stabil melalui fibrin.1,4
2.3. Sistem Pembekuan Darah
Proses pembekuan darah terdiri dari rangkaian reaksi enzimatik yang
melibatkan protein plasma yang disebut sebagai faktor pembekuan darah,
fosfolipid dan ion kalsium. Faktor pembekuan darah dinyatakan dalam angka
Romawi yang sesuai dengan urutan ditemukannya.17
Tabel 2.1. Nomenklatur faktor pembekuan darah17
7
Faktor Nama Sinonim
I Fibrinogen -
II Prothrombin -
III Tissue faktor Tissue Thromboplastin
IV Ion kalsium -
V Proaccelelerin Labile factor
VI - -
VII Proconvertin Stable factor
VIII Antihemophilic factor (AHF) Antihemophilic globulin
IX Plasma Thromboplastin Component (PTC) Christmas factor
X Stuart factor Prower factor
XI Plasma Thromboplastin Antecedent (PTA) Antihemophilic factor C
XII Hageman factor Contact factor
XIII Fibrin Stabilizing factor (FSF) Fibrinase lorand factor
- High Molecular Weight Kininogen (HMWK) Fitzgerald factor
- Pre Kalikrein (PK) Fletcher factor
Teori yang banyak dianut untuk menerangkan proses pembekuan darah
adalah teori cascade atau waterfall yang dikemukakan oleh Mac Farlane, Davic
dan Ratnoff. Menurut teori ini tiap faktor pembekuan darah diubah menjadi
bentuk aktif oleh faktor sebelumnya dalam rangkaian reaksi enzimatik. Faktor
pembekuan beredar dalam darah sebagai prekursor yang akan diubah menjadi
enzim bila diaktifkan. Enzim ini akan mengubah prekursor selanjutnya menjadi
enzim. Jadi mula-mula faktor pembekuan darah bertindak sebagai substrat dan
kemudian sebagai enzim.17
Proses pembekuan darah mulai melalui dua jalur yaitu jalur instrinsik yang
dicetuskan oleh aktivasi kontak dan melibatkan F.XII, FXI, FIX, F.VIII, HMWK,
PK, platelet factor 3 (PF.3) dan ion kalsium, serta jalur ekstrinsik yang dicetuskan
oleh tromboplastin jaringan dan melibatkan melibatkan F.VII, ion kalsium. Kedua
8
jalur ini kemudian akan bergabung menjadi jalur bersama yang melibatkan F.X,
F.V, PF.3, protombin dan fibrinogen.17
Jalur intrinsik meliputi fase kontak dan pembentukan kompleks aktivator
F.X. Adanya kontak antara F.XII dengan permukaan asing seperti kolagen akan
menyebabkan aktivasi F.XII menjadi F.XIIa. Dengan adanya kofaktor HMWK,
F.XIIa akan mengubag prekalikrein kalikrein yang akan meningkatkan aktivasi
F.XII selanjutnya dengan adanya kofaktor HMWK. Disamping itu kalikrein akan
mengaktifkan F.VII menjadi F.VIIa pada jalur ekstrinsik, serta mengubah
kininogen menjadi kinin yang berperan dalam reaksi inflamasi. Jadi aktivasi F.XII
disamping mencetuskan pembekuan darah baik jalur intrinsik maupun jalur
ekstrinsik, juga mencetuskan sistem fibrinolitik dan kinin. Reaksi selanjutnya
pada jalur intrinsik adalah interaksi nonenzimatik antara F.IXa, PF.3, F.VIII dan
ion kalsium membentuk kompleks yang mengaktifkan F.X. Walaupun F.IXa
dapat mengaktifkan F.X, tetapi dengan adanya PF.3, F.VIII dan ion kalsium maka
reaksi ini akan dipercepat.17
Jalur ekstrinsik terdiri dari reaksi tunggal di mana F.VII akan diaktifkan
menjadi F.VII dengan adanya ion kalsium dan tromboplastin jaringan yang
dikeluarkan oleh pembuluh darah yang luka. Akhir-akhir ini terbukti bahwa
aktivasi F.VII menjadi F.VIIa dapat terjadi dengan adanya kalikrein. Hal ini
membuktikan adanya hubungan antara jalur intrinsik dan ekstrinsik. Selanjutnya
F.VIIa yang terbentuk akan mengaktifkan F.X menjadi F.Xa.17
Jalur bersama meliputi pembentukan prothombin converting complex
(protombinase), aktivasi protombin dan pembekuan fibrin. Reaksi pertama pada
jalur bersama adalah perubahan F.X menjadi F.Xa oleh adanya kompleks yang
terbentuk pada jalur intrinsik dan atau F.VIIa dari jalur ekstrinsik. FXa bersama
F.V, PF 3 dan ion kalsium membentuk prothrombin converting complex yang
akan mengubah protombin menjadi trombin. Trombin merupakan enzim
proteolitik yang mempunyai beberapa fungsi yaitu mengubah fibrinogen menjadi
fibrin, mengubah F.XIII menjadi F.XIIIa, meningkatkan aktivitas F.V dan F.VIII,
merangsang reaksi pelepasan dan agregasi trombosit.17
9
Pada reaksi selanjutnya trombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin
monomer. Seperti kita ketahui fibrinogen terdiri dari 3 pasang rantai polipeptida
yaitu 2 alfa, 2 beta dan 2 gama. Trombin akan memecah rantai alfa dan beta pada
N-terminal menjadi fibrinopeptida A, B dan fibrin monomer. Fibrin monomer.
Fibrin monomer akan segera mengalami polimerisasi untuk membentuk fibrin
polimer. Mula-mula fibrin polimer yang terbentuk bersifat tidak stabil karena
mudah larut oleh adanya zat tertentu seperti urea. Sehingga disebut fibrin polimer
soluble. Dengan adanya F.XIIIa dan ion kalsium, maka fibrin polimer soluble
akan diubah menjadi fibrin polimer insoluble karena terbentuk ikatan silang antara
2 rantai gama dari fibrin monomer yang bersebelahan. Aktivasi F.XIII menjadi
F.XIIIa terjadi dengan adanya trombin.1,4
Gambar 2.1. Cascade koagulasi17
10
BAB III
PATOGENESIS TROMBOSIS
Teori mengenai patogenesis trombosis sudah dikenal sejak abad 19. Pada
tahun 1845 Virchow pertama kali mengemukakan adanya tiga faktor utama yang
memegang peranan dalam patogenesis trombosis yaitu kelainan dinding pembuluh
darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah. Ketiga faktor
tersebut disebut triad of virchow’s. Pada waktu itu peranan trombosit dalam
patofisiologi trombosis pada arteri yang terluka.1,12
Gambar 3.1. Triad of virchow’s12
Berdasarkan triad of virchow’s terdapat tiga faktor yang berperan dalam
patofisiologi trombosis, yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran
darah dan perubahan daya beku darah. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan,
tetapi besarnya peranan masing-masing faktor tidak sama. Pada trombosis arteri
faktor yang paling penting adalah kelainan dinding pembuluh darah, sedang pada
trombosis vena yang terpenting adalah adanya stasis dan hiperkoagulabilitas.1,12
3.1. Perubahan aliran darah
Pembuluh darah bukan merupakan saluran tunggal yang lurus, tetapi
bercabang-cabang. Adanya pola percabangan ini menyebabkan aliran darah di
dalamnya juga mengikuti pola percabangan. Trombosis arteri sering dimulai pada
11
orifisium dan daerah percabangan, karena di tempat tersebut terjadi perubahan
aliran darah. Daya hemodinamik sendiri dapat menyebabkan kerusakan endotel,
selain itu perubahan aliran darah akan menimbulkan akumulasi zat-zat yang
terdapat merusak dinding pembuluh darah.2
Pada vena, aliran darah cenderung lambat, bahkan dapat terjadi stasis pada
vena di tungkai yang mengalami immobilisasi. Stasis ini mengakibatkan
gangguan mekanismen pembersih sehingga menimbulkan akumulasi faktor-faktor
pembekuan yang aktif. Trombosis vena biasanya mulai di tempat yang mengalami
stasis, misalnya pada daerah antara dinding vena dan katub yang disebut valve-
pocket thrombi.2
Kecepatan aliran darah dipengaruhi oleh viskositas darah. Faktor-faktor
yang menentukan viskositas darah adalah nilai hematokrit, kemampuan eritrosit
untuk berubah bentuk serta kadar fibrinogen dan protein-protein lain yang
bermolekul besar. Bila nilai hematokrit naik dari 40% menjadi 50% maka
viskositas naik dua kali. Untuk melewati pembuluh darah yang kecil, eritrosit
harus mampu merubah bentuknya. Kemampuan berubah bentuk ini tergantung
dari sifat membran eritrosit. Pada anemia sel sabit, anoksia menyebabkan eritrosit
berbentuk seperti sabit. Sel sabit ini relatif kaku dan tidak dapat berubah bentuk,
sehingga tidak dapat melalui mikrosirkulasi. Protein yang bermolekul besar
seperti fibrinogen dan makroglobulin, maupun interaksinya dengan sel-sel darah
sangat mempengaruhi viskositas. Interaksi eritrosit dengan protein-protein
tersebut mengakibatkan pembentukan rouleaux yang akan meningkatkan
viskositas darah.2
3.2. Peranan pembuluh darah
Semua pembuluh darah, baik arteri, vena maupun kapiler dilapisi oleh
endotel pada permukaan yang menghadap ke lumen. Endotel yang utuh bersifat
non trombogenik. Hal ini disebabkan oleh beberapa substansi yang dihasilkan
oleh endotel yaitu prostasiklin (PGI2), proteoglikan, enzim ADPase, aktivator
plasminogen dan trombomodulin.2,12
12
PGI2 adalah metabolit prostaglandin yang merupakan penghambat
agregasi trombosit yang kuat. Mekanisme penghambatan ini melalui
perangsangan adenilat siklase yang akan meningkatkan siklik AMP. Pembentukan
PGI2 oleh endotel dirangsang antara lain oleh trombolin dan trauma mekanik.
Pada bercak aterosklerotik pembentukan PGI2 berkurang. Demikian juga pada
diabetes melitus, haemolytic uremic syndrome, thrombotic thrombocytopenic
purpura, pre eklamsia, perokok dan adanya antikoagulan lupus.2,12
Dinding pembuluh darah mengandung beberapa proteoglikan yaitu
dermatan sulfat, heparan sulfat, chondroitin 4 sulfat, condroitin 6 sulfat dan asam
hialuronat. Diantara zat-zat ini ada yang dapat menghambat agregasi trombosit.
Heparan sulfat dan dermatan sulfat dapat berperan seperti heparin dalam
meningkatkan inaktivasi trombin oleh antitrombin. Adanya enzim ADPase pada
dinding pembuluh darah ikut mencegah pembentukan trombous dengan
menghilangkan efek proagregasi ADP. Endotel dapat melepaskan aktivator
plasminogen yang akan mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin yang
selanjutnya akan memecah fibrin. Pelepasan aktivator plasminogen dirangsang
oleh stimulus yang bersifat vasoaktif baik lokal maupun sistemik seperti iskemia,
trombin, bradiklin, asetikolin, histamin, serotonin dan epinefrin. Kerusakan
endotel pembuluh darah menyebabkan aktivator plasminogen berkurang. Endotel
kapiler mengandung paling banyak aktivator plasminogen dari pada vena pada
lengan, karena itu trombosis vena lebih sering terjadi pada tungkai dari pada
lengan. Trombomodulin adalah protein yang berfungsi sebagai kofaktor dalam
aktivasi protein C oleh trombin. Protein C aktif berfungsi sebagai antikoagulan
dengan memecah F Va dan F VIIIa serta meningkatkan fibrinolisis.2
Cedera minimal yang kronis dapat menyebabkan disfungsi endotel yaitu
perubahan fungsi endotel yang disebabkan oleh stres oksidatif misalnya radikal
bebas akibat rokok sigaret, stres hemodinamik misalnya hipertensi maupun oleh
penyebab lain seperti dislipidemia, diabetes melitus, kelainan genetik,
peningkatan kadar homosistein dan infeksi mikroorganisme seperti virus herpes
dan chlamidya pneumaniae.2,12
13
Aterosklerosis dimulai dengan pembentukan fatty streak. Sekitar 65% dari
anak berusia antara 12 sampai 14 tahun telah mempunyai lesi ini. Di dalam fatty
streak, lipid berhubungan dengan komponen matriks ekstraseluler seperti
proteoglikan yang memperlambat keluarnya lipid dari fatty sreak. Lipid yang
tertahan di intima terisolasi dari antioksidan plasma sehingga mempermudah
terjadinya oksidasi. Partikel lipoprotein yang teroksidasi dapat memicu ekspresi
oksidasi. Partikel lipoprotein yang teroksidasi dapat memicu ekspresi molekul
adesi seperti P-selection dan vaskuler cell adhesion molecule- 1 (VCAM-1) yang
menjadi perantara perlekatan monosit dan limposit ke sel endotel, serta monocyte
chemoattractant protein -1 (MCP-1) yang mengatur migrasi dan diapedesis
monosit. Monosit yang langsung berinteraksi dengan sel endotel meningkatkan
produksi matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) sampai beberapa kali. MMP-9
dapat mendegradasi matriks sehingga monosit dapat menginfiltrasi intima melalui
lapisan endotel dan membrana basalis. Di intima monosit berubah jadi makrofag
mengekspresikan scavenger receptor sehingga dapat memfagosit lipoprotein yang
termodifikasi dan terbentuklah sel busa.2,12
Apabila plak mengalami ruptur dan endotel terkelupas maka proses
trombosis arteri akan dipicu karena trombosit dan faktor koagulasi dalam plasma
terpapar dengan jaringan subendotel yang sangat trombogenik. Plak yang mudah
ruptur atau rapuh ditandai dengan fibrous cap yang tipis 60-150 µm, inti lipid
yang besar yaitu >40% volum, banyak sel busa tetapi sel otot polos sedikit.
Akumulasi sel busa menghasilkan banyak MMP-9 yang ikut berkontribusi dalam
ruptur plak melalui degradasi matriks ekstraseluler. Ekspresi MMP-9 yang
berlebih juga memudahkan pembentukan trombus melalui ekspresi TF.2,12
Pada trombosis vena, kerusakan endotel tidak memegang peranan penting,
kecuali pada trombosis vena femoralis yang terjadi setelah operasi panggul. Pada
operasi ini terjadi kerusakan jaringan yang luas dan melibatkan vena. Selain efek
mekanik tindakan operasi, pemakaian alat protese juga dapat merusak dinding
vena dan kerusakan ini berlangsung relatif lama. Penurunan tonus vena yang
terjadi pada kehamilan dan pemakaian pil kontrasepsi akan menimbulkan stasis
14
sehingga memudahkan terjadinya trombosis. Diduga hal ini karena efek
ekstrogen.2,12
3.3. Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan
darah dan sistem fibrinolisis maupun antara kedua sistem tersebut.
Kecenderungan trombosis timbul bila aktivitas sistem pembekuan darah
meningkat dan atau aktivitas sistem fibrinolisis menurun.2,12
Menurut beberapa peneliti, darah penderita-penderita trombosis lebih
cepat membeku dibandingkan orang normal. Keadaan tersebut disebut
hiperkoagulabilitas. Ternyata pada penderita-penderita tersebut dijumpai
trombositosis dan peningkatan kadar berbagai faktor pembekuan terutama
fibrinogen, FV, VII, VIII dan X. Timbulnya trombosis vena dapat diinduksi
dengan menyuntikkan serum ke dalam vena yang stasis, sedangkan stasis saja
tidak cukup untuk menimbulkan trombosis. Hal ini menunjukkan bahwa adanya
aktivasi ringan sistem pembekuan darah lebih penting dari pada peningkatan
kadar faktor pembekuan darah. Efek trombogenik serum disebabkan oleh sistem
pembekuan darah merupakan faktor utama pada patofisiologi trombosis vena.
Aktivasi sistem pembekuan darah dapat terjadi karena masuknya tromboplastin
jaringan ke dalam darah seperti operasi, trauma dan keganasan. Beberapa jenis
tumor seperti karsinoma pankreas dapat menimbulkan kecenderungan trombosis
vena adalah defisiensi AT, defisiensi protein C, defisiensi protein S,
disfibrinogenemia kongenital, defisiensi F XII dan kelainan struktur
plasminogen.2,12
Defisiensi AT dapat terjadi secara bawaan maupun didapat. AT berfungsi
menetralkan trombin, VIIa, IXa, Xa, XIa dan XIIa. Pada defisiensi AT, maka
faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak dinetralkan sehingga kencendrungan
trombosis meningkat. Pada defisiensi AT bawaan, terjadi trombosis vena berulang
yang dimulai sejak usia muda. Defisiensi AT yang didapat, dijumpai pada sirosis
hati, sindroma nefrotik, pemakai pil kontrasepsi, setelah trombosis yang luas dan
setelah pengobatan dengan heparin dosis tinggi. AT disintesis di hati sehingga
pada sirosis hati produksinya menurun. Pada sindroma nefrotik terjadi kehilangan 15
AT melalui urin karena kebocoran membranaglomeruli. Pada pemakai pil
kontrasepsi yang mengandung estrogen terjadi penurunan aktivitas AT yang
bersifat reversible. Mekanisme terjadinya hal ini belum diketahui dengan jelas.
Setelah trombosis yang luas, AT banyak terpakai untuk menetralkan faktor-faktor
yang aktif sehingga aktivitasnya berkurang.Demikian pula setelah pengobatan
dengan heparin dosis tinggi AT banyak terpakai karena heparin tidak dapat
bekerja tanpa AT.2,12
Protein C adalah suatu protein yang dibentuk di hati dan pembentukannya
memerlukan vitamin K. Protein ini setelah diaktifkan oleh trombin dengan
bantuan trombomodulin dapat menghambat aktivitas F Va dan F VIIIa serta
meningkatkan fibrinolisis. Oleh karena itu pada defisiensi protein C secara
bawaan akan terjadi trombosis vena yang berulang-ulang. Demikian pula pada
defisiensi S merupakan kofaktor protein C.2,12
Pada defisiensi F XII tidak terdapat gejala perdarahan, melainkan
kecenderungan trombosis. Mungkin hal tersebut berkaitan dengan peranan F XII
pada aktivitas fibrinolisis berkurang. Kelainanan struktur molekul plasminogen
mengakibatkan aktivitas fibrinolisis berkurang sehingga menimbulkan
kecenderungan trombosis.2
Menurut Nossel pada trombosis arteri, peranan trombosit lebih penting
dari pada faktor-faktor pembekuan. Hal ini terlihat pada trombus arteri lebih
banyak mengandung trombosit dari pada fibrin. Pada trombus arteri yang terjadi
pada binatang percobaan, juga terlihat bahwa trombosis mengalami konsentrasi 51
kali sedang fibrinogen hanya 4 kali dari kadarnya dalam darah. Kelainan
trombosit yang dihubungkan dengan trombosis arteri adalah trombositosis dan
trombosit yang hiperaktif. Trombositosis dijumpai pada polisitemia vera dan
trombositemia sedang trombosit yang hiperaktif dijumpai antara lain pada
hiperkolesterolemia dan diabetes melitus.2
Selain trombosit, leukosit dan eritrosit juga ikut berperan, karena di
samping dapat mengeluarkan oksigen radikal yang dapat merusak endotel,
leukosit juga mengandung tromboplastin. Selain itu leukosit juga merangsang
16
agregasi trombosit dengan mengeluarkan platelet activating factor (PAF).
Eritrosit banyak mengandung ADP dan fosfolipid, hal ini mungkin dapat
menerangkan terjadinya trombosis pada penderita paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria.2,12
3.4. Faktor-faktor risiko untuk trombosis vena
Berdasarkan ketiga faktor yang dijelaskan sebelumnya, faktor utama yang
berperan terhadap terjadinya trombosis vena adalah perubahan aliran darah berupa
statis aliran darah dan perubahan daya beku darah dengan meningkatnya aktifitas
pembekuan darah. Faktor kerusakan dinding pembuluh darah relatif berkurang
berperan terhadap timbulnya trombosis vena dibandingkan trombosis arteri.
Sehingga setiap keadaan yang menimbulkan statis aliran darah dan meningkatkan
aktifitas pembekuan darah dapat menimbulkan trombosis vena. Faktor resiko
tersebut antara lain:7,8
a. Immobilisasi
b. Tindakan operasi yang lama
c. Kontrasepsi oral
d. Trauma jaringan yang luas
e. Keganasan
f. Kehamilan
g. Antiphospholipid syndrome (APS)
h. Activated protein C resistance
i. Defisiensi antitrombin
j. Defisiensi protein C dan protein S
k. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
Cushman pada tahun 2007 membagi faktor resiko untuk trombosis vena
antara lain dengan faktor resiko yang bisa dimodifikasi, faktor resiko yang bersifat
temporer dan faktor resiko yang tidak dapat di modifikasi. Faktor resiko yang bisa
dimodifikasi adalah obesitas, homasistein. Faktor resiko yang bersifat temporer
adalah perawatan di rumah sakit, trauma, immobiltas, cancer dan faktor resiko
yang yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor genetik.
17
BAB IV
DIAGNOSIS TROMBOEMBOLI VENA
4.1. Diagnosis trombosis vena dalam
Anamnesa dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting
dalam pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Keluhan utama pasien dengan
trombosis vena dalam adalah kaki yang bengkak, nyeri, panas dan kemerahan.
Pada beberapa kasus, kadang-kadang bisa bersifat asimtomatis dan tidak
mempunyai gejala yang spesifik. Adanya trauma pada tungkai, infeksi, penyakit
arteri perifer, penyakit vena lainya dapat memiliki klinis yang menyerupai
trombosis vena dalam. Riwayat penyakit sebelumnya merupakan hal penting
karena dapat diketahui faktor resiko dan riwayat trombosis sebelumnya. Adanya
riwayat trombosis dalam keluarga juga merupakan hal penting.3,4,19,20
Gambar 4.1. Trombosis vena dalam pada tungkai kiri
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda klinis yang klasik tidak selalu
ditemukan. Gambaran klasik dari trombosis vena dalam adalah edema tungkai
uni lateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah superfisial, dan
tanda Homan yang pasitif.3,4
Menegakkan diagnosis trombosis vena dari gejala klinis saja terkadang
kurang sensitif dan kurang spesifik karena banyak kasus trombosis vena yang
besar tidak menimbulkan penyumbatan dan peradangan jaringan perivaskuler
sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala. Oleh karena itu, pasien yang
18
dicurigai trombosis vena dalam harus dilakukan penentuan kemungkinan penyakit
dahulu. Skor Wells telah tervalidasi dan digunakan untuk mengkategorisasi pasien
dengan kemungkinan rendah, sedang ataupun tinggi untuk menderita penyakit
ini.4,19,20
Tabel 4.1. Wells skor untuk trombosis vena dalam4
Peranan pemeriksaan penunjang sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis trombosis vena dalam. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis trombosis vena dalam, yaitu:
1. Pemeriksaan D-Dimer
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengukur kadar D-Dimer dalam darah.
Peningkatan D-Dimer merupakan indikator adanya trombosis yang aktif.
Pemeriksaan ini sensitif, tetapi tidak spesifik, dan sebenarnya lebih berperan
untuk menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif. Pemeriksaan ini
mempunya sensitifitas lebih dari 95% dengan spesifisitas yang rendah.4,20,21
19
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi vena merupakan pemeriksaan pencitraan pilihan untuk
dignosis trombosis vena dalam. Pemeriksaan ini tidak invasif, aman, relatif
tersedia dan tidak mahal. Ada 3 tipe ultrasonografi vena, yaitu ultrasonografi
kompresi, duplex ultrasonografi ( imaging dan doppler ) dan ultrasonografi
doppler. Pada akhir abad ini, penggunaan ultrasonografi berkembang dengan
pesat, sehingga adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan ultrasonografi,
terutama ultrasonografi doppler. Pemeriksaan ini menggunakan gelombang suara
untuk membentuk gambaran aliran darah melalui pembuluh darah arteri dan
pembuluh darah vena pada tungkai yang terkena. Pemeriksaan ini memberikan
hasil sensivity 95% dan spesifity 93,9%. 20,21
3. Venografi
Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk
trombosis vena. Akan tetapi teknik pemeriksaannya relatif sulit, mahal dan bisa
menimbulkan nyeri dan terbentuk trombosis baru sehingga tidak menyenangkan
penderitanya. Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam
di daerah dorsum pedis dan akan kelihatan gambaran sistem vena di betis, paha,
inguinal sampai ke proksimal ke vena iliaca. Pemeriksaan ini tidak terlalu
direkomendasikan, dan dilakukan ketika kecurigaan adanya trombosis vena dalam
tidak ditemukan dengan pemeriksaan non-invasif.4,21
4. Flestimografi impendans
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah
pada tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femoralis dan
iliaca dibandingkan vena di betis. Pemeriksaan ini memiliki sensitifitas 91% dan
spesifisitas 96%.4,21
5. Magnetic resonance imaging (MRI)
Pemeriksaan MRI merupakan salah satu modalitas diagnostik yang sangat
sensitif untuk mendeteksi adanya trombosis vena dalam pada pelvis dan
extremitas atas. Pemeriksaan ini merupakan pilihan utama pada pasien dicurigai
trombosis vena dalam pada vena iliaka atau vena cava ketika CT venografi kontra
indikasi. Pemeriksaan ini tidak memeliki resiko radiasi, akan tetapi masih
merupakan pemeriksaan yang mahal.21
20
American Famili Physician pada tahun 2012 mengeluarkan algoritma
diagnosis trombosi vena dalam. Dalam algoritma ini, pasien yang dicurigai
menderita trombosis vena dalam di lakukan pemeriksaan well skor untuk melihat
resiko terjadinya trombosis vena dalam. Setelah itu, pemeriksaan D-dimer dan
ultrasonografi kompresi sangat memiliki peranan penting.4
Gambar 4.2. Algoritma diagnosis trombosis vena dalam4
4.2. Diagnosis emboli paru
Diagnosis trombosis vena dalam dapat ditegakkan berdasarkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada
emboli paru pasien umumnya mengeluh nyeri dada mendadak, sesak nafas,
hemoptisis, banyak keringat dan gelisah. Pada kasus-kasus emboli paru yang
masiv bisa menyebabkan kegagalan hemodinamik berupa hipotensi dan syok.
Pada kasus-kasus emboli paru yang minimal yang hanya segmental dan
subsegmental kadang hanya menimbulkan keluhan yang minimal dan bahkan
asimtomatis. Keluhan-keluhan ini dapat menyerupai nyeri dada pada sindrom
21
koroner akut, sehingga diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan evaluasi yang
lebih cermat.3,4,21
Tabel 4.2. Keluhan pada emboli paru6
Seperti pada trombosis vena dalam, kecurigaaan adanya emboli paru bisa
dinilai dengan pemeriksaan prediksi klinik. Ada beberapa pemeriksaan prediksi
klinik yang bisa dilakukan, yaitu wells skor untuk emboli paru, Geneva skor,
PERC (pulmonary embolism rule-out criteria) dan PISA-PED (prospective
investigative studi of acute pulmonary embolism diagnosis). Diantara semua skor
tersebut, tidak ada kriteria tunggal yang lebih superior. Akan tetapi Wells skor
sudah digunakan secara luas untuk memprediksi adanya emboli paru.4
Tabel 4.3. Wells skor untuk emboli paru4
22
Pemeriksaan penunjang sangat dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis
emboli paru. Beberapa pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, radiologi dan
elekrokardiografi dapat membantu menegakkan diagnosa. Berikut pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan untuk emboli paru.
1. Pemeriksaan D-dimer
Peningkatan D-Dimer merupakan indikator adanya trombosis yang aktif.
Pemeriksaan ini sensitif, tetapi tidak spesifik, dan sebenarnya lebih berperan
untuk menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif. Pemeriksan D-
Dimer tidak dapat digunakan secara tunggal untuk memprediksi adanya emboli
paru, karena memiliki spesifisitas yang rendah, karena D-Dimer juga dapat
meningkat pada kondisi seperti adanya kanker, inflamasi, perdarahan, trauma,
operasi dan nekrosis jaringan.3,5
2. Pemeriksaan Troponin dan Natriuretic Peptide
Troponin baik itu troponin I dan troponin T dapat diasosiasikan dengan
kemungkinan prognosis pada emboli paru akut. Pada beberapa penelitian
didapatkan adanya hubungan antara peningkatan troponin dengan angka
mortalitas pada emboli paru. Selain itu, peningkatan natriuretic peptide baik itu
brain natriuretic peptide (BNP) maupun N-terminal pro-BNP memiliki prediksi
tingginya angka mortalitas.6
3. Pemeriksaan foto rontgen thorak
Gambaran foto rontgen toraks biasanya menunjukkan kelainan, walaupun
tidak jelas, non spesifik dan tidak memastikan diagnosis. Gambaran yang nampak
berupa atelektasis atau infiltrat. Gambaran lain dapat berupa konsolidasi,
perubahan letak diafragma, penurunan gambaran vaskuler paru, walaupun dapat
dijumpai normal pada 40% kasus.3
4. Elektrokardiografi
Temuan elektrokardiografi tidak spesifik. Elektrokardiogram normal tidak
menyingkirkan diagnosis emboli paru, bila ditemukan perubahan, seringkali dapat
berupa:6
a. Sinus takikardi atau atrial aritmia
b. Low voltage
c. Q wave di lead III dan AVF (pseudoinfarction)
23
d. S1Q3T3 pattern
e. Qr pattern di V1
f. P pulmonal
g. Right axis deviasi
h. QT prolongation
i. RBBB komplit atau inkomplit
5. Ekhokardiografi
Pada emboli paru akut, adanya overload dan peningkatan tekanan serta
disfungsi ventrikel kanan dapat dideteksi dengan pemeriksaan ekhokardiografi.
Pemeriksaan ekhokardiografi tidak terlalu spesifik, karena disfungsi ventrikel
kanan bisa saja disebabkan oleh penyakit lain seperti penyakit paru kronik dan
hasil yang negatif pada ekhokardiografi tidak dapat menyingkirkan adanya emboli
paru. Hasil yang positif pada pemeriksaan ekhokardiografi juga menunjukan
buruknya prognasis pasien dengan meningkatnya angka mortalitas.5,6
6. Computed tomografi (CT) angiografi
Multidetektor CT angiografi merupakan modalitas diagnosis imaging
utama pada pasien dengan emboli paru di Amerika Serikat. Pemeriksaan ini
digunakan pada pasien yang dicurigai menderita emboli paru dengan D-dimer
positif atau dengan tinggi pada pemeriksaan prediksi klinis emboli paru.
Pemeriksaan ini dilaporkan memiliki validitas yang sama dengan diagnosis
emboli paru dengan pulmonari angiografi konvensional dan ventilasi-perfusi
(V/Q) scaning. Pada pasien dengan intermediet dan resiko tinggi emboli paru,
pemeriksaan CT angiografi memiliki nilai prediksi positif 92-96%.4,5
7. Pulmonary angiografi
Pulmonari angiografi sudah lama menjadi standar pemeriksaan untuk
diagnosis emboli paru. Namun, pemeriksaan ini sekarang sudah jarang dilakukan
karena pemeriksaan CT angiografi lebih kurang invasif tapi memberikan hasil
akurasi yang sama dengan pemeriksaan pulmonari angiografi. Pulmonari
angiografi sering digunakan pada penatalaksaan emboli akut langsung dengan
kateter perkutaneus. Diagnosis emboli paru ditegakkan dengan menilai adanya
trombus yang terlihat dengan gambaran filling defect atau terputusnya cabang-
cabang arteri pulmonalis.4,5
24
American Academy of Family Physician tahun 2012 merekomendasikan
skema diagnosis emboli paru. Pada skema ini digambarkan pentingnya penilaian
awal terhadap kemungkinan trombosis dan diikuti dengan pemeriksaan penunjang
lainnya.24
Gambar 4.4. Skema diagnosa emboli paru4
25
BAB V
PENATALAKSANAAN TROMBOEMBOLI VENA
5.1. Penatalaksanaan trombosis vena dalam
Penatalaksanaan trombosis vena dalam harus segera dilakukan setelah
diagnosis ditegakkan. Tujuan terapi trombosis vena dalam adalah:3,21
Menghentikan bertambahnya trombus
Membatasi bengkak yang progresif pada tungkai
Melisiskan atau membuang trombus dan mencegah disfungsi vena sindrom
pasca trombosis
Mencegah terjadinya emboli
5.1.1. Terapi antikoagulan
Antikoagulan merupakan terapi utama pada kasus-kasus tromboemboli
vena. Ada beberapa jenis antikoagulan yang dapat digunakan pada terapi
trombosis vena dalam, diantaranya, unfractionated heparin (UFH), low molecular
weight heparin, fondaparinux, vitamin K antagonis, dan antikoagulan oral baru.
1. Unfractionated heparin (UFH)
Unfractionated heparin (UFH) sudah lama digunakan sebagai terapi
trombosis vena dalam pada saat awal. Mekanisme kerja obat ini adalah dengan
meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor faktor pembekuan dan
melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding pembuluh darah.
Terapi ini diberikan dengan bolus 80 IU/kgBB intravena dilanjutkan dengan infus
18 IU/kgBB dengan pemantauan nilai activated partial tromboplastin time
(APTT) sekitar 6 jam setelah bolus untuk mencapai target APTT 1,5-2,5 kali nilai
kontrol dan kemudian dipantau sedikitnya setiap hari. 3,6,22
Pemberian UFH dapat diberikan 5-10 hari. UFH dapat dihentikan setelah
4-5 hari pemberian kombinasi dengan warfarin dengan INR 2.0-3.0. Sebelum
memulai terapi UFH, APTT, protrombin time (PT), dan jumlah trombosit harus
diperiksa, terutama pada pasien dengan resiko perdarahan yang tinggi atau dengan
gangguan hati dan ginjal. Berikut adalah tabel dosis UFH berdasarkan nilai APTT
dan berat badan pasien:6
26
Tabel. 5.1. Dosis UFH berdasarkan nilai APTT dan berat badan
2. Low molecular weight heparin (LMWH)
Low molecular weight heparin (LMWH) merupakan antikoagulan
parenteral bekerja lebih besar pada inhibitor faktor Xa dan sedikit efek pada
antitrombin III dalam hal sebagai antikoagulan. LMWH dapat diberikan satu atau
dua kali sehari secara subkutan dan mempunyai efikasi yang baik. American
Heart Association pada tahun 2011 merekomendasikan pemberian LMWH
dengan dosis 1mg/kgBB/hari subkutan 2 kali sehari atau 1,5 mg/kg satu kali per
hari. Keuntungan dari LMWH adalah resiko perdarahan yang lebih kecil dan tidak
memerlukan pemantauan laboratorium yang sering dibanding UFH, kecuali pada
pasien tertentu seperti gagal ginjal dan obesitas.3,6
3. Fondaparinux
Fondaparinux merupakan sintetik pentasakarida analog yang bekerja
sebagai inhibitor faktor Xa secara tidak langsung. American Heart Association
pada tahun 2011 merekomendasikan pemberian dosis 5 mg sekali sehari untuk
pasien dengan berat badan < 50 kg dan 7,5 mg untuk pasien 50-100 kg secara
subkutan.6,21
4. Vitamin K antagonis (warfarin)
Pemberian antikoagulan vitamin K antagonis sebagai terapi awal pada
trombosis vena dalam tidak direkomendasikan. Obat ini diberikan bersama-sama
saat terapi koagulan parenteral akan dihentikan dengan pemantauan international
27
normalised ratio (INR). Target INR dari terapi warfarin adalah 2-3. Lama
pemberiannya sangat bervariasi, tergantung pada faktor resiko trombosis vena
dalam pada pasien tersebut. Berikut adalah tabel dosis warfarin sesuai dengan
target INR 3,11,21
Tabel 5.2. Dosis warfarin sesuai dengan target INR
5. Antikoagulan oral baru
Penelitian mengenai penggunaan antikoagulan oral baru sudah banyak
dilakukan sebagai terapi tromboemboli vena. Antikoagulan oral baru terdiri dari
direct trombin inhibitor seperti darbigtran dan anti Xa seperti seperti rivaroxaban,
apixaban dan edoxaban. Beberapa studi yang dilakukan didapatkan kesimpulan
bahwa antikoagulan baru memiliki efek yang sama sama bagusnya dalam hal
sebagai terapi tromboemboli vena dan bahkan lebih bagus mengurangi efek
samping perdarahan pada pasien.23,24,25,26
5.1.2. Terapi trombolitik
Terapi ini bertujuan untuk melisiskan trombus secara cepat dengan cara
mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Trombolitik yang biasa digunakan
adalah tissue plasminogen actvator, streptokinase, dan urokinase. Terapi ini jarang
dilakukan dan umumnya hanya efektif pada fase awal dan penggunaanya harus
benar-benar dipertimbangkan secara baik karena mempunyai efek resiko 28
perdarahan tiga kali lipat dibandingkan dengan teerapi antikoagulan saja. Pada
umumnya terapi ini hanya dilakukan pada trombosis vena dalam dengan oklusi
total, terutama pada iliofemoral.3,21
5.1.3. Terapi kompresi
Terapi kompresi dengan menggunakan stoking elastis bertujuan untuk
mencegah stasis vena, mengurangi bengkak dan nyeri pada tungkai, sebagai
preventif timbulnya trombus baru dan mencegah timbulnya sindrom pos
trombosis. Pemasangan stoking elastis dengan tekanan 30-40 mmHg pada ankel
kaki sampai pangkal paha. Terapi ini dapat diberikan secara bersamaan dengan
terapi lain. Japanese Circulation Society tahun 2011 tetap merekomendasikan
terapi kompresi pada pasien trombosis vena dalam.10,21,22
5.1.4. Trombektomi
Indikasi open surgical thrombectomy antara lain adalah trombosis vena
iliofemoral akut tetapi terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan
trombolitik maupun mechanical thrombectomy, lesi yang tidak dapat diakses oleh
kateter, lesi dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan
untuk penggunaan antikoagulan. Setelah tindakan pembedahan, heparin diberikan
selama 5 hari dan pemberian warfarin harus dimulai 1 hari setelah operasi dan
dilanjutkan selama 6 bulan setelah pembedahan. Untuk hasil yang maksimal
tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan kurang dari 7 hari setelah onset
trombosis vena dalam.22
5.1.5. Filter vena cava inferior
Filter vena cava inferior diindikasikan pada pasien kontraindikasi absolut
penggunaan antikoagulan, gagal terapi antikoagulan. Absolut kontraindikasi
antikoagulan meliputi perdarahan intraserebral, perdarahan saluran cerna, batuk
darah yang masiv, CNS trauma, trombositopeni signifikan (<50.000/uL).
Komplikasi dari filter vena cava inferior meliputi hematom pada tempat insersi,
filter berpindah, filter embolisasi dan obstruksi vena cava inferior.3,21
5.2. Penatalaksanaan emboli paru
29
Emboli paru merupakan salah satu kegawatdaratan medis yang harus
ditangani dengan segera. Berdasarakan ada tidaknya syok pada pasien, ESC tahun
2014 membagi emboli paru menjadi 2 bagian yang sangat mempengaruhi alur
penanganan pasien.6
5.2.1. Tindakan untuk memperbaiki keadaan umum dan hemodinamik
Kegagalan jantung kanan akut menyebabkan menurunnya perfusi sistemik
yang meningkatkan angka kematian pada pasien emboli paru. Keadaan ini
menyebabkan kita untuk menjaga keadaan vital pasien sebagai akibat dari
kegagalan jantung kanan pada emboli paru. Penelitian yang mengindikasikan
pemberian cairan yang agresif tidak menguntungkan dan bahkan tambah
memburuknya fungsi jantung kanan. Pemberian vasopresor sangat diperlukan dan
bisa diberikan bersamaan dengan terapi lain terhadap emboli paru untuk
menstabilkan hemodinamik. Pemberian oksigen untuk mencegah terjadinya
hipoksemia juga diperlukan.5
5.2.2. Terapi antikoagulan
Pada pasien dengan emboli paru, antikoagulan merupakan terapi utama
yang direkomendasikan. Lama pemberian antikoagulan minimal selama 3 bulan.
Pada fase akut, antikoagulan parenteral yang paling direkomendasikan.
Antikoagulan parenteral yaitu UFH, LMWH dan fondaparinux yang diberikan
selama 5-10 hari. Pemberian terapi antikogulan parenteral harus diberikan
bersamaan dengan terapi koagulan oral sebelum dilanjutkan dengan terapi
antikoagulan oral tunggal.5
1. Antikoagulan parenteral
Unfractionated heparin (UFH), LMWH, dan fondaparinux merupakan
antikoagulan parenteral yang digunakan pada terapi awal pada emboli paru. Dosis
dan lama pemberian sama dengan pemberian antikogulan parenteral pada
trombosis vena dalam. UFH diberikan dengan dosis awal bolus 80 IU/kgBB
intravena dilanjutkan dengan infus 18 IU/kgBB dengan pemantauan nilai
activated partial tromboplastin time (APTT) sekitar 6 jam setelah bolus untuk
mencapai target APTT 1,5-2,5 kali nilai kontrol dan kemudian dipantau sedikitnya
30
setiap hari. LMWH dengan dosis 1mg/kgBB/hari subkutan 2 kali sehari atau 1,5
mg/kg satu kali per hari. Fondaparinux diberikan dengan ndosis 5 mg sekali sehari
untuk pasien dengan berat badan < 50 kg dan 7,5 mg untuk pasien 50-100 kg
secara subkutan.5,6,22
2. Vitamin K antagonis (VKA)
Pemberian antikoagulan vitamin K antagonis sebagai terapi awal pada
emboli paru tidak direkomendasikan. VKA merupakan obat antiokoagulan standar
yang sudah ada sejak 50 tahun yang lalu. Obat ini diberikan bersama-sama saat
terapi koagulan parenteral sedikitnya 5 hari dengan pemantauan international
normalised ratio (INR). Target INR dari terapi warfarin adalah 2.0-3.0. Lama
pemberiannya sangat bervariasi, tergantung pada faktor resiko emboli paru pada
pasien tersebut.5,6
3. Antikoagulan oral baru
Penelitian mengenai penggunaan antikoagulan oral baru sudah banyak
dilakukan sebagai terapi tromboemboli vena. Antikoagulan oral baru terdiri dari
direct trombin inhibitor seperti darbigtran dan anti Xa seperti seperti rivaroxaban,
apixaban dan edoxaban. Beberapa studi yang dilakukan didapatkan kesimpulan
bahwa antikoagulan baru memiliki efek yang sama sama bagusnya dalam hal
sebagai terapi emboli paru dan bahkan lebih bagus mengurangi efek samping
perdarahan pada pasien.23,24,25,26
5.2.3. Terapi trombolitik
Terapi trombolitik merupakan salah satu modalitas terapi pada
tromboemboli paru. Penggunaan terapi harus dengan pertimbangan yang klinis
yang ketat. Efek samping perdarahan pada terapi trombolitik meningkat 3 kali
lipat dibandingkan dengan terapi anti koagulan. Untuk menghindari efek samping
perdarahan pada terapi trombolitik, ada beberapa kondisi yang menjadi kontra
indikasi terapi trombolitik, diantaranya perdarahan yang aktif, riwayat perdarahan
intrakranial spontan, operasi dalam 10 hari sebelumnya dan strok iskemik dalam 2
bulan terakhir. Indikasi pemberian terapi trombolitik pada emboli paru adalah
emboli paru yang masif dengan hemodinamik yang tidak stabil yang ditandai
dengan disfungsi ventrikel kanan yang dapat dilihat pada ekhokardiografi.
31
Japanese Circulation Society tahun 2011 tetap merekomendasikan pemberian
intravena monteplase dengan dosis 13.750-27.500 unit/kgBB selama 2 menit.
Sedangkan American Heart Association tahun 2011 merekomendasikan
pemberian intra vena alteplase 100 mg selama 2 jam.6,22
5.2.4. Operasi embolektomi
Operasi embolektomi dilakukan pada pasien dengan emboli paru yang
masif dengan hemodinamik yang stabil serta kontra indikasi pemberian
trombolitik atau gagal terapi trombolitik. Emboli biasanya menutupi cabang-
cabang utama dari arteri pulmonalis, sehingga menimbulkan kegagalan sirkulasi.
Pada kondisi seperti operasi embolektomi bisa menjadi salah satu modalitas terapi
ketika terapi trombolitik gagal atau kontraindikasi. Pada sebuah studi baru-baru
ini, terdapat 47 pasien yang dilakukan operasi embolektomi dengan 96% survival
rate dalam 4 tahun.6,22
BAB 6
32
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
1. Trombosis adalah pembentukan suatu massa abnormal di dalam sistem
peredaran darah makhluk hidup yang berasal dari komponen-komponen
darah dan presentasi klinis dari tromboemboli vena yang utama adalah
trombosis vena dalam dan emboli paru.
2. Patogenesis trombosis dapat diterangkan berdasarkan triad of Virchow’s
yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan
perubahan daya beku darah dan pada trombosis vena peranan aliran
darah berupa berupa statis aliran darah dan perubahan daya beku darah
dengan meningkatnya aktifitas pembekuan darah.
3. Terapi utama pada penatalaksanaan tromboemboli vena adalah
antikoagulan, antikoagulan parenteral direkomendasikan pada fase awal
terjadinya tromboli emboli vena, dan kemudian dilanjutkan dengan
antikoagulan oral.
4. Peranan antikoagulan oral baru sebagai pengobatan terhadap
tromboemboli vena memiliki efikasi yang sama dengan terapi standar
dan bahkan menurunkan efek samping perdarahan
6.2. Saran
1. Perlunya pemahaman lebih lanjut mengenai patogenesis dan
penatalaksanaan tromboemboli vena.
2. Perlunya melengkapi sarana dan prasarana pemeriksaan penunjang
untuk diagnosis tromboemboli vena sehingga dapat menangani pasien
lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
33
1. Setiabudy RD. Patofisiologi Trombosis. Dalam : Hemostasis dan Trombosis.
Edisi Kelima. Editor Setiabudy RD. Penerbit FKUI. 2012 : 34-47
2. Cushman M. Epidemiology and Risk Faktor for Venous Thrombosis. Semin
Hematol. 2007; 44: 62-69
3. Sukrisman L. Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keenam. Editor Sudoyo AW, Setiohadi, Alwi I,
Simadibrata, Setiati S. Penerbit Interna Publising. 2014: 2818-2822
4. Wilbur J, Shian B. Diagnosis of Deep Venous Thrombosis and Pulmonary
Embolism. Journal of American Family Physician. Vol.86, 2012
5. Konstantinides SV, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D, Gallie
N, et all. 2014 ESC Guedlines on the Diagnosis and Management of Acute
Pulmonary Embolism. European Heart Journal. 2014; 35: 3033-3080
6. Jaff MR, Murtry MS, Archer SL, Cushman M, Goldenberg N, Goldhaber SZ,
et all. Management of Massive and Submassive Pulmonary Embolism,
Iliofemoral Deep Vein Thrombosis, and Chronic Thromboembolic
Pulmonary Hypertension: A Scientific Statement From the American Heart
Association. Circulation. 2011;123:1788-1830
7. Versteeg HH, Heemskerk JWM, Levi M, Reitsma PH. New Fundamentals in
Hemostasis. Physiol rev. 2013; 93: 327-358
8. Goldhaber SZ. Risk Factors for Venous Thromboembolism. Journal of the
American College of Cardiology. Vol. 56. No.1, 2010
9. Mackman N. New Insights Into the Mechanisms of Venous Thrombosis. The
Journal of Clinical Investigation. Vo.122. No.7, 2012
10. Moheimani F, Jackson DE. Venous Thromboembolism: Classification, Risk
Factors, Diagnosis, and Management. ISRN Hematology. Vol.11. 2011
11. Wells PS, Forgie MA, Rodger MA. Treatment of Venous Thromboembolism.
Journal of American Medical Association. 2014; 311(7): 717-728
12. Esmon CT. Basic Mechanisms and Pathogenesis of Venous Thrombosis.
Blood rev. 2009; 23(5): 225-229
13. Bounameaux H, Perrier A, Righini M. Diagnosis of venous
thromboembolism. Vascular Medicine Journal. 2010; 15(5): 399–406
34
14. Ageno W. Recent Advances in the Management of Venous
Thromboembolism. Korean Journal of Hematology. 2010; 45: 8-13
15. Einstein. Oral Rivaroxaban for the Treatment of Symptomatic Pulmonary
Embolism. New England Journal Medical. 2012; 366: 1287-1297
16. Qaseem A, Chou R, Humphrey LL, Starkey M, Shekelle P. Venous
Thromboembolism Prophylaxis in Hospitalized Patients: A Clinical Practice
Guideline From the American College of Physicians. Annal Intern Medicine.
2011; 155: 625-632
17. Oesman F, Setiabudy RD. Fisiologi Hemostasis dan Fibrinolisis. Dalam:
Hemostasis dan Trombosis. Edisi Kelima. Editor Setiabudy RD. Penerbit
FKUI. 2012 : 1-15
18. Harrison P. Platelet function analysis. Blood Reviews. 2005: 19; 111–123
19. Scarvelis D, Wells PS. Diagnosis and treatment of Deep Vein Thrombosis.
CMAJ. 2006; 175(9): 1087-1092
20. Wells P, Anderson D. The diagnosis and Treatment of Venous
Thromboembolism. Journal of American Society of Hematology. 2013: 457-
463
21. Kesieme E, Kesieme C, Jebbin N, Irekpita E, Andrew D. Deep Vein
Thrombosis: a clinical review. Journal of Blood Medicine. 2011; 2: 59–69
22. JCS Joint Working Group. Guidelines for the Diagnosis, Treatment and
Prevention of Pulmonary Thromboembolism and Deep Vein Thrombosis.
Journal of the Japanese Circulation Society. 2011; 75: 1258-1281
23. Sedille N, Korte W. New Anticoagulants for the Prevention and therapy of
Venous Thromboembolism-a review. Cardiovascular Medicine. 2012; 15(5):
147-164
24. Schulman S, Kearon C, Kakkar AK, Schellong S, Eriksson H, Baanstra D, et
all. Extended Use of Dabigatran, Warfarin, or Placebo in Venous
Thromboembolism. New England Journal Medical. 2013; 368: 709-718
25. Hokusei. Edoxaban versus Warfarin for the Treatment of Symptomatic
Venous Thromboembolism. New England Journal Medical. 2013; 369: 1406-
1415
35
26. Agnelli G, Buller HR, Cohen A, Curto M, Gallus AS, Johnson M, et all.
Apixaban for Extended Treatment of Venous Thromboembolism. New
England Journal Medical. 2013; 368: 699-708
36