Referat Ppi
-
Upload
am-echa-dwi-reswari -
Category
Documents
-
view
132 -
download
0
description
Transcript of Referat Ppi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persalinan prematur merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan
neonatus. Persalinan prematur berkisar 6-10% dari seluruh kehamilan dan
merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian perinatal tanpa kelainan
kongenital yaitu 75% dari seluruh kematian perinatal.(12)
Menurut World Health Organization (WHO), di antara 130 juta bayi yang
lahir setiap tahun di seluruh dunia, 8 juta meninggal sebelum mencapai tahun
pertama kehidupan mereka. Di Amerika Serikat, 17-34% dari kematian bayi ini
dikaitkan dengan prematuritas, dan hanya sekitar setengah kasus prematur
dihasilkan dari penyebab yang dapat diidentifikasi.(8)
Angka kejadian persalinan prematur cenderung makin meningkat setiap
tahunnya. Data di Amerika Serikat menunjukan bahwa angka kejadian persalinan
prematur telah meningkat dari 9,5% pada tahun 1980 menjadi 11% pada tahun
2000. Sementara di negara berkembang 10% dari seluruh kelahiran. Di Indonesia
angka kejadian berat badan lahir rendah dan prematur masih tinggi yakni sekitar
14% dari sekitar 4 juta kelahiran. Kematian perinatal untuk bayi-bayi ini adalah 5-
6 kali dibandingkan dengan berat badan lahir cukup. Dengan demikian, kelahiran
prematur tetap menjadi suatu masalah kesehatan yang utama..(8)
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang diangkat dalam referat ini yaitu :
1. Apakah definisi dari persalinan prematur?
2. Apa saja etiologi terjadinya persalinan prematur?
3. Bagaimana mekanisme persalinan normal?
4. Bagaimana mekanisme terjadinya persalinan prematur?
5. Bagaimana penegakan diagnosis ancaman persalinan prematur?
6. Bagaimana pencegahan ancaman persalinan prematur?
7. Bagaimana penatalaksanaan ancaman persalinan prematur?
1.3 Tujuan
2
1. Mengetahui definisi dari persalinan prematur
2. Mengetahui etiologi terjadinya persalinan prematur
3. Mengetahui mekanisme persalinan normal
4. Mengetahui mekanisme terjadinya persalinan prematur
5. Mengetahui penegakan diagnosis ancaman persalinan prematur
6. Mengetahui pencegahan ancaman persalinan prematur
7. Mengetahui penatalaksanaan ancaman persalinan prematur
1.4 Manfaat
Dengan referat ini diharapkan dapat menjelaskan bagaimana mendiagnosis
persalinan prematur sedini mungkin, faktor yang mempengaruhi terjadinya
persalinan preterm dan penatalaksanaan yang sebaik mungkin untuk persalinan
preterm.
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kelahiran prematur didefinisikan sebagai kelahiran bayi pada usia
kehamilan kurang dari 37 minggu. Secara legal, di Inggris, The Amendment to the
Infant Life Preservation Act tahun 1992, menetapkan batas viabilitas adalah 24
minggu.(12)
WHO menambahkan usia gestasi sebagai satu kriteria bayi prematur, yaitu
bayi yang lahir pada usia gestasi 37 minggu atau kurang dan dibuat pembedaan
antara berat badan lahir rendah (2500 g atau kurang) dengan prematuritas (37
minggu atau kurang). (1)
2.2 Etiologi
Persalinan prematur bukanlah wujud satu penyakit, tetapi merupakan
gejala atau sindrom yang mungkin mempunyai satu atau lebih sejumlah penyebab.
Persalinan prematur dikaitkan dengan inkompetensi serviks, kelainan
haemostasis, infeksi dalam uterus, plasenta abruptio atau perdarahan desidua,
janin atau stres ibu dan kehamilan ganda. Dalam beberapa kasus, beberapa dari
faktor-faktor tersebut dapat saling berkaitan untuk meningkatkan resiko terjadinya
kelahiran prematur.(10)
4
Gambar 2.1 Faktor Resiko Kelahiran Prematur (10)
2.2.1 Faktor Ibu
2.2.1.1 Infeksi Bakteri
Terdapat korelasi yang kuat antara infeksi dalam uterus dan mulainya
permulaan persalinan preterm spontan. Infeksi pada selaput dan cairan amnion
disebabkan oleh berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan beberapa kasus
seperti ketuban pecah, persalinan prematur, atau keduanya. Infeksi dalam uterus
memiliki potensi untuk mengaktivasi semua jalur biokimia yang mengarah pada
pematangan serviks dan kontraksi uterus. Infeksi dari darah dari tempat lain
jarang terjadi. (2)
Patogenesis
Telah diketahui bahwa kelemahan atau pendeknya serviks merupakan
faktor utama terjadinya risiko infeksi ascendens bakteri. Namun, terdapat
kemungkinan juga bahwa dengan jumlah patogen yang tinggi dalam vagina,
bakteri dapat memperoleh akses menuju daerah uterus melalui leher uterus yang
berfungsi normal, di mana bakteri tersebut mengaktifkan mediator inflamasi yang
membuat serviks menjadi matang dan memendek. Bakteri mungkin juga
5
mendapatkan akses menuju rongga ketuban melalui penyebaran secara hematogen
atau melalui bersamaan dengan dilakukannya prosedur yang invasif. (2,8)
Produk-produk bakteri seperti endotoksin merangsang monosit desidua
untuk memproduksi sitokin, termasuk interleukin-1, faktor nekrosis tumor, dan
interleukin-6, yang pada gilirannya merangsang asam arakidonat dan kemudian
memproduksi prostaglandin. Prostaglandin E2 dan F2 bertindak sebagai parakrin
untuk merangsang kontraksi miometrium. (2,8)
Faktor pengaktif trombosit juga ikut berperan dalam aktivasi jaringan
sitokin, yang ditemukan di dalam cairan amnion. Faktor pengaktif trombosit
diperkirakan diproduksi di dalam paru dan ginjal janin. Oleh karenanya, janin
tampaknya memainkan suatu peran sinergistik untuk inisiasi kelahiran preterm
yang disebabkan oleh infeksi bakterial. Secara teoritis, hal ini kemungkinan
menguntungkan bagi janin yang ingin melepaskan dirinya dari lingkungan yang
terinfeksi. (2,8)
Gambar 2.2 Patogenesis Infeksi Bakteri Menginduksi Persalinan Preterm (2)
Invasi bakteri yang menghasilkan endotoxin terhadap amnion maupun uterus akan menyebabkan kontraksi uterus akibat pengaktifan mediator-mediator inflamasi.
2.2.1.2 Faktor Gaya Hidup
6
Faktor-faktor yang menyebabkan kelahiran prematur (terutama kelahiran
prematur spontan) masih belum diketahui dan diapahami dengan baik. Walaupun
jalur yang tepat antara merokok selama kehamilan dan kelahiran prematur tidak
diketahui, para peneliti berteori bahwa salah satu mekanisme yang dapat
diperkirakan ialah gangguan aliran darah plasenta akibat nikotin dan karbon
monoksida, yang merupakan vasokonstriktor yang poten pada pembuluh plasenta.(10,13)
Plasenta dari ibu yang perokok telah terbukti menjadi lebih besar, dengan
meningkatnya luas permukaan plasenta, dan memiliki karakteristik lesi-lesi
sebagai akibat kurangnya perfusi dari uterus. Merokok dapat menyebabkan
perubahan sel endotel yang kemudian menyebabkan vasokonstriksi dan kekakuan
dinding arteriol, dengan perfusi yang kurang dari plasenta. Hal ini, dapat
mengakibatkan iskemia dari desidua basalis, yang kemudian menjadi nekrosis dan
terjadi perdarahan. (13)
Karbon monoksida dalam asap rokok dapat mengganggu oksigenasi janin
dengan membentuk carboxyhemoglobin, dan nikotin dapat meningkatkan tekanan
darah ibu dan detak jantung, juga menghambat aliran darah ke janin, sehingga
pada ibu perokok sering dapat membuat pertumbuhan janin terganggu dan
melahirkan dengan berat badan bayi yang rendah. (13)
Komplikasi plasenta dapat berupa perdarahan, terutama placenta
abruption (solutio plasenta) dan, yang lebih sedikit, ialah plasenta previa,
merupakan faktor yang penting dalam predisposisi kelahiran prematur dan bayi
lahir mati pada ibu yang merokok selama kehamilan.(13)
Dalam sebuah penelitian ditemukan faktor-faktor ibu lain yaitu ibu terlalu
muda atau lanjut usia; kemiskinan; penggunaan alcohol, dan faktor-faktor seperti
pekerjaan lama berjalan atau berdiri, kondisi kerja berat dan panjang
meningkatkan insidensi kelahiran prematur.(7)
Pada ibu yang terlalu tua terjadi lesi sklerotik (proses ateriosklerosis) pada
arteri miometrium sehingga dapat menyebabkan perfusi yang kurang dari plasenta
mengarah pada risiko yang lebih tinggi pada hasil mortalitas dan morbiditas
7
perinatal. Perfusi yang kurang dapat mengakibatkan iskemia dari desidua basalis,
yang kemudian menjadi nekrosis dan terjadi perdarahan. (10,13)
Hipotesis bahwa adanya hubungan yang buruk antara usia ibu yang terlalu
muda dan pendarahan vagina pada awal kehamilan disebabkan adanya bagian ke
ketidakdewasaan dari sumbu hipothalamus-hipofisis-gonad saat menarche dan
adanya hubungan ginekologis yang terbalik antara usia dan kadar progesteron
selama fase luteal dari ovulasi siklus menstruasi. Dan terjadinya pendarahan
vagina dikaitkan dengan peningkatan insiden kelahiran premature.(4)
2.2.1.3 Perdarahan
Abruptio plasenta atau solutio plasenta dapat mengakibatkan terjadinya
prematur pelahiran. Ini terjadi melalui pengeluaran trombin yang merangsang
kontraksi miometrium oleh reseptor yang diaktivasi protease tetapi secara
independen juga disebabkan sintesis dari prostaglandin. Ini menjelaskan kesan
klinis bahwa persalinan preterm berkaitan dengan chorionamnionitis sering cepat
sedangkan yang berhubungan dengan plasenta abruptio ialah kurang begitu karena
pada abruptio plasenta tidak ada proses kematangan (preripening) serviks uterus.
Pembentukan trombin mungkin juga mempunyai peran dalam persalinan prematur
yang disebabkan karena chorionamnionitis ketika dilepaskannya trombin sebagai
akibat dari perdarahan desidua.(13)
Plasenta previa ditandai dengan perdarahan yang tidak nyeri, yang tidak
muncul sampai trimester II akhir atau setelahnya. Mekanismenya adalah sebagai
berikut setelah bulan ke-4 terjadi regangan pada dinding uterus karena isi uterus
lebih cepat tumbuhnya dari uterus sendiri, akibatnya ialah bahwa isthmus uteri
tertarik menjadi dinding cavum uteri (segmen bawah uterus). Pada plasenta
previa, ini tidak mungkin tanpa pergeseran antara plasenta dan dinding uterus, saat
perdarahan tergantung pada kekuatan insersi plasenta dan kekuatan tarikan pada
isthmus uteri. Jadi dalam kehamilan tidak perlu ada his untuk menimbulkan
perdarahan tapi sudah jelas dalam prsalinan his pembukaan menyebabkan
perdarahan karena bagian plasenta di atas akan terlepas pada dasarnya.(6,8)
8
2.2.1.5 Kelainan Uterus
Uterus yang tidak normal menganggu resiko terjadinya
abortus spontan dan persalinan prematur. Pada serviks
inkompeten dimana serviks tidak dapat menahan kehamilan
terjadi dilatasi serviks mengakibatkan kulit ketuban menonjol
keluar pada trimester 2 dan awal trimester 3 dan kemudian
pecah yang biasanya diikuti oleh persalinan. Terdapat penelitian
menyatakan bahwa risiko terjadinya persalinan prematur akan
makin meningkat bila serviks < 30 mm. Hal ini dikaitkan dengan
makin mudahnya terjadi infeksi amnion bila serviks makin
pendek.(13)
2.2.1.6 Penyakit Sistemik
Ibu dengan penyakit sistemik kronis misalnya: diabetes
mellitus, penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal dan paru
kronis meningkatkan resiko terjadinya kelahiran prematur.(4,13)
2.2.1.7 Sanggama
Prostaglandin yang terlibat dalam mekanisme orgasme
serta ada dalam cairan seminal dapat merangsang pematangan
serviks dan kontraksi miometrium sehingga menyebabkan
persalinan kurang bulan pada ibu yang sensitif.(13)
2.2.1.8 Riwayat Obstetri Sebelumnya
Riwayat persalinan prematur dan abortus merupakan
faktor yang berhubungan sangat erat dengan persalinan
prematur berikutnya. Penderita yang pernah mengalami 1 kali
persalinan premature mempunyai resiko 37% untuk mengalami
persalinan prematur lagi dan penderita yang pernah mengalami
persalinan prematur 2 kali atau lebih mempunyai resiko 70%
untuk mengalami persalinan prematur.(4,13)
2.2.2 Faktor Janin
2.2.2.1 Kehamilan Ganda dan Hidramnion
9
Distensi uterus berlebihan sering menyebabkan persalinan
prematur. Usia kehamilan makin pendek pada kehamilan ganda,
25% bayi kembar 2, 50% bayi triplet dan 75% bayi kuadriplet
lahir 4 minggu sebelum kehamilan cukup bulan.(13)
Patogenesis
Beberapa kehamilan mungkin mengarah pada kelahiran prematur melalui
setidaknya dua mekanisme. Over-distensi uterus mengarah ke regulasi prematur
terkait dengan kontraksi yang disebabkan oleh protein-protein dan faktor yang
memediasi kematangan cervix, yang seluruhnya menunjukkan adanya kepekaan
terhadap regangan mekanis. Kehamilan kembar yang berhubungan dengan jumlah
beberapa plasenta sehingga terjadi peningkatan CRH yang lebih awal dalam
sirkulasi dibandingkan dengan janin yang tunggal. (13)
2.2.2.2 Stress Pada Ibu dan Janin
Ada bukti bahwa janin dan ibu yang stres mungkin menjadi faktor risiko
persalinan prematur. Janin stres mungkin timbul dalam hubungannya dengan
terhambatanya pertumbuhann. Ibu stres dapat disebabkan oleh faktor-faktor
lingkungan. Pada kedua kasus tersebut dipostulasikan bahwa sekresi berlebih dari
kortisol menyebabkan meningkatnya regulasi dari produksi CRH dalam plasenta.(13)
2.2.3 Faktor Lainnya
2.2.3.1 Genetik
Sifat keluarga, riwayat prematur dan sifat rasial kelahiran prematur telah
diketahui bahwa genetika mungkin memainkan peran dalam menyebabkan
persalinan preterm. Gen untuk relaksin desidua merupakan salah satu kandidat.
Defek pada protein trifunctional mitokondria defek janin atau polimorfisme dalam
kompleks gen interleukin-1, reseptor 2-adrenergik, atau faktor nekrosis tumor
(TNF) mungkin juga terlibat dalam ruptur membran yang prematur.(7)
Untuk saat ini, hubungan antara polimorfisme dalam calon gen dan risiko
kelahiran prematur adalah moderat. Misalnya, variasi dalam reseptor progesteron
telah terlibat sebagai faktor risiko ibu dalam sebuah penelitian, tetapi tidak dalam
penelitian lainnya. Demikian juga, meskipun polimorfisme dalam gen yang
10
mengkode sel inflamasi sitokin pada awalnya diidentifikasi sebagai faktor risiko
yang mungkin dapat terjadi, namun hubungan yang konsisten dengan kelahiran
prematur belum dapat ditentukan. studi asosiasi Genomewide sekarang sedang
berlangsung terus dan berjanji untuk membuat wawasan baru dalam waktu dekat.
Untuk menjelaskan interaksi antara gen-gen dan gen-lingkungan yang
meningkatkan risiko kelahiran prematur, kohort besar (> 10.000 objek penelitian)
akan diperlukan, terutama jika tujuannya adalah untuk menemukan varian dengan
ukuran efek kecil yang bisa menjelaskan wawasan fisiologis yang baru. (12)
Para ilmuwan dari Amerika Serikat berhasil menemukan perbedaan DNA
pada bayi yang lahir prematur. Para peneliti dari US National Institutes of Health
melakukan penelitian terhadap 700 varian DNA pada 190 gen wanita yang
melahirkan bayi prematur dan yang melahirkan bayi cukup bulan. Darah tali pusat
bayi mereka juga diperiksauntuk mengetahui variannya. Terungkap bahwa variasi
gen lebih sering ditemukan pada para ibu yang melahirkan bayi prematur dan juga
bayinya. Bayi yang membawa gen "interleukin 6 receptor" cenderung lahir lebih
dini. Gen ini diyakini memegang peran penting dalam mengatur sistem imun
untuk melawan infeksi dan peradangan.Bila terjadi infeksi, gen tersebut akan
mengirim sinyal pada tubuh untuk segera menyiapkan diri pada persalinan. Kadar
gen interleukin 6 yang terlalu tinggi dalam cairan ketuban dan darah bayi diduga
menyebabkan bayi lahir sebelum waktunya meski sebenarnya tidak terjadi infeksi.(12)
2.3 Mekanisme Persalinan Normal
2.2.1 Pengaruh Proses Inflamasi Pada Persalinan
Sepanjang kehamilan, serviks uterus membutuhkan untuk tetap kokoh dan
tertutup ketika tubuh dari uterus tumbuh secara hipertrofi dan hiperplasia tetapi
tanpa disertai adanya kontraksi. Untuk persalinan yang normal serviks diubah
menjadi struktur yang lembut dan lentur sehingga dapat berdilatasi membesar dan
uterus menjadi organ yang dapat berkontraksi dengan kuat. Beberapa minggu
sebelum melahirkan terjadi perubahan bagian bawah uterus yang menjadi masak
dan terjadi penipisan dari cervix. Perubahan pada segmen bawah uterus ini
berhubungan dengan peningkatan produksi sitokin yang merupakan suatu produk
11
inflamasi, terutama interleukin-1, -6 dan -8 dan prostaglandin dari membran yang
melapisi janin dan desidua dan dari leher uterus itu sendiri. Pematangan cervix
dikaitkan dengan masuknya sel-sel inflamasi ke dalam cervix yang melepaskan
matriks metalloprotein yang berkontribusi anatomis dengan perubahan yang
terkait dengan pematangan cervix. Kemudian peningkatan kontraktilitas dominan
terjadi di segmen atas uterus dikaitkan dengan peningkatan ekspresi reseptor dari
oksitosin dan prostaglandin, pada protein gap-junction yang menengahi
konektivitas elektris antara miosite-miosit, dan perubahan yang lebih kompleks
lagi pada jalur sinyal intraselular yang bisa meningkatkan kontraktilitas dari
miosit-miosit.(2)
2.2.2 Pengaruh Hormonal Pada Persalinan
Dalam banyak spesies progesteron diduga memainkan peran penting
dalam menekan onset persalinan. Progesteron memiliki sifat anti-inflamasi
umumnya pada uterus. Peristiwa biokimia yang berhubungan dengan pematangan
cervix dan telah dimulainya proses persalinan seperti yang dijelaskan sebelumnya
merupakan suatu proses peradangan. Pada beberapa spesies dimulainya proses
persalianan didahului dengan menurunnya kadar progesteron. Pada domba,
menurunnya kadar progesteron mengarah ke peningkatan pembentukan gap-
junction miometrium, peningkatan pembentukan prostaglandin, dan meningkatkan
respon dari bagian uterus yang mampu menghasilkan kontraksi. (6,11,13)
Menurunnya kadar progesteron tampaknya disebabkan oleh meningkatnya
respon sel adrenal janin adrenocorticotropic hormon (ACTH), mengakibatkan
peningkatan produksi kortisol. Melalui beberapa langkah, kortisol menyebabkan
biosintesis steroid plasenta dan penurunan sekresi progesteron. Penurunan
progesteron beredar mengarah ke peningkatan pembentukan gap junction
miometrium, peningkatan pembentukan prostaglandin, dan meningkatkan respon
dari uterus dan mampu menghasilkan kontraksi. (13)
Namun, ada perbedaan besar, antara status hormonal domba dan primata,
termasuk manusia. Pada manusia, tidak ada peningkatan yang besar kortisol dari
kelenjar adrenal janin sebelum persalinan, dan tidak terjadi penurunan dramatis
dari hormon progesteron secara konsisten. Namun, progesteron penting dalam
12
kehamilan manusia, dan sejumlah studi telah meneliti peran rasio progesteron-ke-
estrogen sebelum timbulnya persalinan. Pada 1974, para peneliti menunjukkan
penurunan yang signifikan kadar serum progesteron dan peningkatan tingkat
estrogen dalam banyak perempuan sebelum persalinan. Temuan ini belum
direproduksi secara konsisten. Peningkatan estriol mungkin merupakan sinyal dari
janin yang menunjukkan bahwa itu matang dan siap untuk persalinan. Produksi
estriol meningkat selama bulan terakhir kehamilan. Dalam jumlah besar yang
dihasilkan, fungsi estriol sama dengan estradiol dalam merangsang pertumbuhan
uterus. Terdapat laporan dari meningginya rasio estradiol / progesteron pada akhir
kehamilan.(11)
Kadar sirkulasi corticotrophin releasing hormone (CRH), yang disintesis
oleh plasenta, meningkat secara progresif selama kehamilan dan terutama selama
minggu-minggu sebelum onset persalinan. Konsentrasi CRH binding protein
menurun dengan bertambahnya usia kehamilan, kira-kira 3 minggu sebelum onset
persalinan dimana konsentrasi CRH melebihi protein pengikatnya. Tidak seperti
CRH pada hipothalamus, CRH di plasenta diatur oleh kortisol. Beberapa studi
telah menghubungkan antara produksi CRH plasenta dengan waktu persalinan dan
telah menunjukkan bahwa kenaikan prematur CRH dikaitkan dengan kelahiran
prematur. (13)
Hipotesis lain adalah bahwa peristiwa peradangan yang terjadi pada uterus
pada saat persalinan berkaitan dengan peningkatan faktor nuclear faktor-kappa B
(NF-kappa B) (yang merupakan faktor transkripsi sangat berhubungan dengan
peradangan dalam konteks lain seperti asma, radang penyakit usus atau arthritis).
NF-kappa B diketahui juga mampu menekan fungsi reseptor progesteron dan
sehingga bisa menengahi penarikan progesteron fungsional. (13)
Tidak ada peningkatan produksi oksitosin terkait dengan permulaan atau
perkembangan baik persalinan prematur atau aterm. Namun, terdapat peningkatan
reseptor ekspresi oksitosin dalam uterus dan terdapat produksi oksitosin lokal
dalam uterus, desidua dan membran janin. Walaupun mungkin oksitosin tidak
berperan penting dalam waktu yang tepat dari kelahiran pada manusia,
13
peningkatan dari kepadatan reseptor oksitosin menunjukkan bahwa oksitosin tidak
memainkan peran dalam menengahi kontraktilitas. (13)
Gambar 2.3 Mekanisme Persalinan Normal (13)
2.4 Ancaman Persalinan Prematur
Menurut World Health Organisation (WHO), yang dimaksud dengan
persalinan prematur adalah persalinan yang terjadi pada umur kehamilan kurang
dari 259 hari berdasarkan hari pertama haid terakhir. Ancaman persalinan
prematur sering menimbulkan masalah bagi ibu hamil, karena ibu hamil dengan
umur kehamilan kurang dari 259 hari sering datang mengeluh timbulnya kontraksi
yang memberikan ancaman terjadinya proses persalinan. Pada ancaman persalinan
prematur terjadi kontraksi uterus yang reguler diikuti dengan dilatasi serviks yang
progresif dan atau penipisan serviks.(1)
Persalinan prematur dapat dipicu oleh beberapa keadaan seperti infeksi,
iskemik pada janin dan distensi uterus. Pada permukaan plasenta dan membrane
amnion banyak mengandung makrofag. Bila ada invasi bakteri akan dihasilkan
14
produk-produk bakteri seperti Phospholipase A2(PLA2), endotoksin, dan
collagenase. Peningkatan Phospholipase (PLC, PLA2) akan melepaskan asam
arachidonat yang dipakai untuk mensintesis COX-1 dan COX-2 pada jalur sintesis
prostaglandin. Selain itu terjadi peningkatan produksi lipoxygenase,
cycloxygenase, dan sitokin ( IL-1, IL-6, IL-8, TNF). Makrofag akan mensintesis
prostaglandin, enzim protease dan collagenase yang akan menyebabkan penipisan
serviks dan kontraksi otot miometrium sehingga menginduksi persalinan
prematur.(3)
Gambar 2.4 Mekanisme Persalinan Prematur (5)
2.4 Diagnosis
2.4.1 Gejala Pada Pasien
15
Diagnosis persalinan prematur yang akurat sulit diketahui sampai
persalinan telah jelas maju walaupun sudah menggunakan tokolitik. Dengan
peringatan ini, persalinan prematur dapat diklasifikasikan sebagai ancaman atau
memang aktual. Dasar klasifikasi seperti ini mempunyai perbedaan dalam
prognosis. Sekitar 85% pasien dengan ancaman persalinan prematur melahirkan
setelah aterm, padahal hanya 40-50% pasien dengan persalinan preterm yang
aktual melahirkan aterm.(5)
The American College of Obstetricians and Gynecologists merumuskan
kriteria untuk membuktikan adanya persalinan preterm, yaitu: (1)
Kontraksi 4 kali dalam 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit ditambah
perubahan progresif pada serviks,
Dilatasi serviks > 1 cm
Pendataran serviks 80% atau lebih.
Sejumlah keluhan mungkin terdapat pada persalinan prematur, tetapi
banyak dari gejala-gejala ini sering terjadi pada kehamilan normal dan sering
diabaikan oleh dokter atau bidan yang melakukan perawatan prenatal. Sebuah
studi yang membandingkan gejala ibu hamil pada persalinan prematur dengan
gejala normal ibu hamil menunjukkan bahwa gejalanya saling melengkapi.
Kontraksi seperti kram menstruasi sering kali menjadi keluhan yang paling
mencolok, dengan hanya 13% dari pasien persalinan prematur tidak terjadi gejala
ini. Sekitar 10% dari wanita hamil normal mengeluh adanya kontraksi yang
menyakitkan. (5)
Biasanya, pasien dengan persalinan prematur mengancam mempunyai
respon yang baik terhadap terapi konservatif sederhana (bedrest, hidrasi, obat
penenang, atau dosis subkutan terbatas terbutaline atau nifedipine). Prognosis dari
persalinan saat aterm tampaknya meningkat jika persalinan prematur dimulai pada
trimester ketiga bukan di trimester kedua. (5)
2.4.2 Perubahan Serviks
2.4.2.1 Dilatasi Serviks
16
Dilatasi serviks setelah tengah usia kehamilan diduga sebagai faktor resiko
untuk persalinan preterm, meskipun beberapa klinisi mempertimbangkan adanya
beberapa varian anatomi yang normal, terutama pada wanita mulipara.
Gambar 2.5 Dilatasi Serviks
Meskipun dilatasi dan penonjolan servix pada trimester III meningkatkan
resiko kelahiran prematur, namun deteksi dini tersebut tidak memberikan dampak
dalam hasil kehamilannya. (8,12)
2.4.3 Fibronektin Janin
Fibronektin adalah suatu glikoprotein yang diproduksi dalam 20 bentuk
molekul yang berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit, sel ganas,
fibroblas, sel endotel, dan amnion janin. Glikoprotein ini terdapat dalam
konsentrasi tinggi di darah ibu dan di cairan amnion, serta dianggap memainkan
peran pada adhesi antarsel dalam kaitannya terhadap implantasi serta dalam
mempertahankan adhesi plasenta ke desidua. Fibronektin janin dapat dideteksi di
dalam sekret servikovagina pada kehamilan normal dengan selaput ketuban utuh
aterm, dan tampaknya memperlihatkan remodeling stroma serviks sebelum
persalinan.(8)
Penemuan fibronektin janin pada sekret servikovagina sebelum selaput
ketuban pecah dapat menjadi suatu petanda adanya ancaman persalinan preterm.
Laporan ini telah merangsang minat yang cukup besar terhadap penggunaan
pemeriksaan fibronektin untuk meramalkan kelahiran preterm. Fibronektin janin
17
diukur dengan menggunakan enzyme linked immunosorbent assay dan nilai di atas
50 ng/mL dianggap sebagai hasil positif. Kontaminasi sampel dengan cairan
amnion dan darah ibu harus dihindari.(8)
2.5 Pencegahan Kelahiran Preterm
Pada wanita dengan primigravid yang tidak mempunyai faktor-faktor
risiko yang signifikan untuk kelahiran prematur, tidak terdapat metode efektif
untuk memprediksi persalinan prematur oleh karena itu penatalaksanaan hanya
dapat ditetapkan pada saat muncul keluhan akut seperti adanya kontraksi. Terapi
yang umum digunakan ialah cervix cerclage, obat antiinflamasi non steroid dan
baru-baru ini penggunaan progesteron. (7)
2.5.1 Progesteron
Progesteron dianggap menghambat produksi sel proinflamasi sitokin dan
prostaglandin dalam uterus dan menghambat kontraktilitas miometrium. Pada
tahun 2003, Da Fonseca et al. melaporkan bahwa perempuan dengan risiko tinggi
kelahiran prematur dan secara acak menerima 100-mg progesteron supositoria
vagina sehari antara 24 dan 33 minggu memiliki jumlah persalinan prematur yang
lebih rendah (13,8% pada 37 minggu, 2,8% sebelum 34 minggu) versus kelompok
plasebo (28% sebelum 37 minggu, 18,6% sebelum 34 minggu). Dalam studi
serupa Mies et al. menggunakan suntikan mingguan dari 17 α-
hydroxyprogesterone capruate (250 mg) pada ibu dengan usia kehamilan antara
16 dan 36 minggu, hasilnya ternyata dapat mengurangi rata-rata persalinan
prematur sebanyak 55-36% sebelum usia kehamilan 37 minggu dan 19-11%
sebelum usia kehamilan 32 minggu. (7)
2.5.2 Ligasi Cervix Cerclage
Kelainan fungsi cervix dapat menjadi faktor utama atau kontributor minor
terhadap kejadian biokimia dan mekanis yang dapat menyebabkan kelahiran
prematur. Sudah jelas bahwa pada wanita dengan riwayat cervix yang lemah,
misalnya, pada wanita dengan dengan riwayat operasi cervix atau mereka dengan
episode berulang dari kehilangan janin trimester kedua tanpa rasa sakit relatif
cepat, cerclage cervix akan memperbaiki prospek dalam suksesnya kehamilan
berikutnya secara signifikan. (9)
18
Gambar 2.6 Cerclage cervix (8)
Terdapat 3 kondisi diamana penggunaan cerclage cervix bermanfaat pada
pencegahan kelahiran preterm. Kesatu, cerclage dapat digunakan pada wanita
dengan riwayat kelahiran prematur pada tengah trimester ketiga yang berulang
dan wanita yang didiagnosis memiliki cervix yang inkompeten. Kondisi kedua,
wanita yang memiliki cervix yang pendek saat dilakukan USG. Ketiga,
melakukan cerclage “penyelamatan/rescue”, pada saat cervix yang inkompeten
baru dikenali pada ibu dengan kelahiran preterm yang mengancam. Rescue
cerclage cervix dilakukan pada wanita dengan dilatasi cervix yang diam/silent dan
menonjol dari membran ke dalam vagina tetapi tidak disertai kontraksi uterus
sebelumnya.(8)
2.5.3 Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Peran penting dari sel inflamasi prostaglandin dan sitokin dalam etiologi
persalinan prematur menunjukkan bahwa non-steroid anti-inflammatory drugs
(NSAID) dapat bermanfaat dalam mencegah kelahiran prematur. NSAID bekerja
terutama dengan menginhibisi enzim cyclo-oxygenase yang mengkatalisasi
sintesis prostaglandin. Akan tetapi, berbagai OAINS juga memiliki aksi
mekanisme lain meliputi efek pada jalur sinyal intraselular dan pada faktor
transkripsi termasuk NF-kappa B. Ada dua isoform utama pada enzim cyclo-
oxygenase disebut COX-1 dan COX-2. COX-1 adalah secara konstitutif
diekspresikan dalam sel mayoritas, sedangkan COX-2 ialah bagian yang
menginduksi dan mengkatalisis sintesis prostaglandin pada tempat peradangan.
19
COX-2 merupakan cyclo-oxyge nase utama yang terkait dengan meningkatnya
sintesis prostaglandin yang muncul saat terjadinya persalinan. (11,13)
Terdapat beberapa penelitian penggunaan OAINS dalam pengelolaan akut
kelahiran prematur, terdapat beberapa studi acak penggunaan OAINS sebagai
profilaksis. OAINS berhubungan dengan efek samping pada janin secara
signifikan, khususnya oligohidramnios dan penyempitan ductus arteriosus. (13)
Oligohidramnios terjadi pada 30% dari janin yang terkena indometasin.
Efek ini tergantung dosis dan mungkin terjadi baik dengan penggunaan jangka
pendek maupun jangka panjang. Penghentian terapi biasanya menghasilkan
pergantian cepat janin normal urin output dan resolusi dari oligohydramnion. (13)
Penyempitan terjadi ductus arteriosus hingga 50% janin terkena
indometasin pada usia kehamilan lebih besar dari 32 minggu. Ada hubungan
antara dosis, durasi terapi dan usia kehamilan. Duktus penyempitan terlihat jarang
di bawah usia kehamilan 32 minggu dan lebih jarang di bawah usia kehamilan 28
minggu. Terapi indometasin jangka panjang, terutama setelah usia kehamilan 32
minggu berhubungan dengan risiko hipertensi paru bayi secara signifikan. (13)
2.5.4 Kontraindikasi Penundaan Persalinan
Gambar 2.7 Kontraindikasi Penundaan Persalinan(4)
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini Dan Persalinan Preterm
20
Wanita yang diidentifikasi mempunyai resiko kelahiran prematur dan
wanita dengan gejala dan tanda persalinan preterm memiliki banyak inertevensi
dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang baik. Meskipun banyak intervensi
yang dapat dilakukan namun tidak semua dianjurkan. Beberapa intervensi
memberikan perbaikan yang cukup baik, namun beberapa lainnya masih belum
terbukti. (8)
2.6.1.1 Riwayat Pecah Ketuban Preterm
Cox dkk. (1988b) melaporkan hasil kehamilan pada 298 wanita berturut-
turut yang melahirkan setelah pecah ketuban spontan pada usia gestasi antara 24
sampai 34 minggu. Meskipun komplikasi ini hanya ditemukan pada 1,7 persen
kehamilan, kondisi ini merupakan penyebab 20 persen kematian perinatal selama
periode waktu ini. Pada saat masuk, 75 persen wanita sudah in partu, 5 persen
melahirkan karena penyulit lain, dan 10 persen lainnya melahirkan setelah
persalinan spontan dalam 48 jam. Hanya terdapat 7 persen wanita yang
pelahirannya tertunda 48 jam atau lebih setelah pecah-nya ketuban. Namun,
kelompok wanita yang mengalami penundaan pelahiran ini tampaknya
diuntungkan akibat lambatnya pelahiran karena tidak terjadi kematian neonatal.
Hal ini berlawanan dengan angka kematian neonatal 80 per 1000 pada bayi yang
dilahirkan dalam 48 jam setelah pecah ketuban. Nelson dkk. (1994) melaporkan
hasil serupa. (8)
2.6.1.2 Rawat Inap
Sebagian besar ahli kebidanan merawat inap wanita dengan kehamilan
yang mengalami penyulit pecah ketuban preterm. Keprihatinan tentang biaya
perawatan rumah sakit yang lama biasanya masih dapat diperdebatkan karena
kebanyakan wanita memasuki persalinan dalam 1 minggu atau kurang setelah
ketuban pecah. Carlan dkk. (1993) mengacak 67 kehamilan dengan pecah ketuban
yang dipilih secara cermat untuk menjalani penatalaksanaan di rumah versus di
rumah sakit. Tidak ada keuntungan yang ditemukan pada perawatan inap dan
masa tinggal ibu di rumah sakit berkurang 50 persen pada ibu yang dikirim pulang
14 menjadi 7 (hari). Yang penting, para peneliti ini menekankan bahwa penelitian
21
ini terlalu kecil untuk nenyimpulkan bahwa penatalaksanaan di rumah aman-aman
saja. (8)
2.6.1.3 Penatalaksanaan Menunggu
Meskipun ada banyak sekali literatur mengenai penatalaksanaan
menunggu pada ketuban pecah preterm, baru sedikit penelitian acak yang telah
dilakukan. Dalam penelitian acak wanita yang menerima tokolitik dan terapi
menunggu. Peneliti menyimpulkan intervensi aktif tidak memperbaiki hasil
perinatal.(9)
2.6.1.6 Percepatan Pematangan Fungsi Paru
Produksi surfaktan dipercepat jauh sebelum aterm pada kehamilan yang
dipersulit oleh sejumlah kondisi dan stres pada ibu atau janin. Contohnya antara
lain penyakit ginjal atau kardiovaskular kronis, gangguan hipertensi lama yang
disebabkan oleh kehamilan, kecanduan heroin, pertumbuhan janin terhambat,
infark plasenta, korioamnionitis, atau ketuban pecah preterm.(9)
2.6.1.7 Terapi Antimikroba
Patogenesis mikrobiologis ketuban pecah preterm telah memacu
penelitian-penelitian mengenai berbagai macam antimikroba untuk mencegah
kelahiran. Mercer dan Arheart (1995) mengulas 13 penelitian acak tentang
efektivitas terapi antimikroba dibandingkan dengan plasebo untuk pecah ketuban
pada usia gestasi di bawah 35 minggu. Total 10 hasil akhir kehamilan menjalani
metaanalisis dan hanya tiga yang menunjukkan kemungkinan efek
menguntungkan dari obat antimikroba: (1) lebih sedikit wanita yang mengalami
korioamnionitis; (2) lebih sedikit bayi yang mengalami sepsis, dan (3) kehamilan
lebih sering memanjang 7 hari pada ibu yang diberi antimikroba. Angka harapan
hidup tidak dipengaruhi, demikian pula insiden enterokolitis nekrofikans, gawat
napas, atau perdarahan intracranial. (9)
Untuk meninjau masalah ini lebih jauh, the NICHD Maternal-Fetal
Medicine Units Network melaksanakan sebuah uji coba prospektif acak-terhadap
penatalaksanaan menunggu dikombinasikan dengan ampisilin atau amoksisilin
plus eritromisin, atau placebo. Pada wanita dengan ketuban pecah preterm pada
usia gestasi antara 24 dan 32 minggu. Tokolisis, terapi kortikosteroid, atau
22
keduanya tidak diberikan pada uji coba ini. Lebih sedikit neonatus yang
mengalami sindrom gawat napas dan enterokolitis nekrotikans pada kehamilan
yang mendapatkan obat antimikroba.(4)
2.6.1.8 Kortikosteroid
The National Institus of Health Consensus Development Confrence (2000)
menganjurkan pemberian tunggal kortikosteroid antenatal pada ibu dengan pecah
ketuban preterm sebelum usia kehamilan 32 minggu dan yang tidak ditemukan
adanya korioamnionitis. Sejak saat itu, banyak penelitian metanalisis yang
dilakukan, dan berdasarkan the American College Obstetrics and Gynecologist
(2007), terapi kortikosteroid dosis tunggal dianjurkan pada usia kehamilan 24-32
minggu. Pemberian tidak dianjurkan pada usia kehamilan sebelum 24 minggu. (4)
2.6.2 Persalinan Preterm Dengan Selaput Janin Utuh
Penatalaksanaan antepartum pada wanita dengan tanda-tanda dan gejala
persalinan preterm serta selaput ketuban intak kurang lebih sama dengan yang
telah diuraikan untuk kehamilan dengan pecah ketuban preterm. Yaitu, patokan
terapi adalah menghindari kelahiran sebelum usia gestasi 34 minggu bila
mungkin. (8)
2.6.2.1 Amniosentesis untuk Mendeteksi Infeksi
Romero dan rekannya (1993) mencoba mengevaluasi nilai diagnostik dari cairan
amnion dengan leukositosis, kadar gula yang rendah, konsentrasi interleukin-6
yang tinggi, atau adanya bakteri gram positif pada 120 wanita dengan kelahiran
prematur dan membrane yang utuh. Hasil investigasi ini menemukan bahwa tidak
ditemukan bakteri pada cairan amnion pada 99% wanita. Konsentrasi interleukin-
6 sebanyak 82% spesifik untuk mendeteksi cairan amnion yang mengandung
bakteri. The American College Obstetrics and Ginecology (2003) menyimpulkan
bahwa tidak ada bukti melakukan amniocentesis rutin untuk mengidentifikasi
suatu infeksi. (8)
2.6.2.2 Terapi Kortikosteroid Kematangan Paru Janin
Glukokortikoid dapat mempercepat maturasi paru-paru pada domba yang
preterm namun kemudian Liggins dan Howie (1972) mencobanya pada wanita.
Terapi kortikosteroid efektif dalam menurunkan insidensi dari respiratory distress
23
dan angka kematian neonatal jika kelahiran dapat ditunda setelah pemberian awal
betametason. Bayi baru lahir yang terekspose terapi ini tidak mendapatkan
penyakit sampai usia 31 tahun. Penelitian Liggins dan Howie (1972) merangsang
lebih dari 35 tahun penelitian paru-paru janin lainnya. Dan pada tahun 1995,
National Institute of Health Consensus Development merekomendasikan
penggunaan kortikosteoid untuk pematangan paru-paru janin yang terancam
kelahiran preterm. (9)
2.6.2.3 Metode-Metode Untuk Menghambat Persalinan Preterm
Banyak sekali obat dan intervensi lain yang telah digunakan untuk
menghambat persalinan preterm, tetapi sayangnya, tidak ada yang benar-benar
efektif. The American College Obstetrics and Gynecologist (2007) menyimpulkan
bahwa obat tokolitik tidak secara jelas memperlama gestasi, namun dapat
menunda persalinan pada wanita selama 48 jam. Fungsi ini dapat memfasilitasi
transportasi pengiriman ibu ke RS pusat atau memberikan waktu untuk
pemasukan kortikosteroid. (1)
2.6.2.3.1 Tirah Baring
Regimen terapi yang paling sering digunakan adalah tirah baring selama
kehamilan. Pada tahun 1994, Goldenberg dkk. telah mengulas tirah baring yang
digunakan untuk merawat berbagai macam komplikasi kehamilan dan tidak
menemukan bukti konklusif bahwa tirah baring dapat membantu mencegah
kelahiran preterm. Baru-baru ini, Sosa dkk. (2004) meneliti secara acak manfaat
tirah baring di rumah dan di rumah sakit. Mereka menyimpulkan tidak adanya
bukti bahwa tirah baring dapat mencegah kelahiran prematur, begitu pula dengan
hasil yang diteliti oleh Goulet dkk (2001). (4)
2.6.2.3.2 Hidrasi dan Sedasi
Helfgott dkk. (1994) melakukan percobaan hidrasi dan sedasi pertama
secara acak yang dibandingkan dengan tirah baring saja dalam perawatan 119
wanita yang sedang dalam persalinan preterm. Wanita yang diacak untuk
mendapatkan terapi menerima 500 mL larutan Ringer Laktat secara intravena
dalam 30 menit dan 8 sampai 12 mg morfin sulfat intramuskular. Terapi seperti
ini ternyata tidak lebih menguntungkan daripada tirah baring saja. (4)
24
2.6.2.3.3 Agonis Reseptor Beta Adrenegik
Banyak senyawa bereaksi dengan reseptor β-adrenergik untuk mengurangi
kadar ion kalsium intraseluler dan mencegah protein yang mengaktivasi kontraksi
miometrium. Dalam kondisi yang akut, obat-obatan dapat diberikan secara
intravena (ritodrine dan terbutaline) atau secara subkutan (terbutaline). Dosis
ditingkatkan sampai uterus ibu menjadi tenang atau terjadinya efek samping yang
mencegah dari meningkatkan dosis lebih lanjut. Terjadinya tachyphylaxis terjadi
dengan cepat. Di Amerika Serikat, ritodrine dan terbutaline telah digunakan dalam
obstetri, namun hanya ritodrin hidroklorida yang telah diakui oleh Food and Drug
Administration untuk mengobati persalinan preterm. (5,9)
Ritodrine
Dalam sebuah studi multisentra di Amerika Serikat, bayi-bayi yang ibunya
diterapi dengan ritodrin atas dugaan persalinan preterm mempunyai angka
kematian yang lebih rendah, lebih jarang mengalami gawat napas, dan lebih sering
mencapai usia gestasi 36 minggu atau berat lahir 2500 g daripada bayi-bayi yang
ibunya tidak diberi terapi (Merkatz dkk., 1980). (8)
Infus ritodrin, juga agonis (3-adrenergik lainnya sering kali
mengakibatkan efek samping dan kadang- kadang efek samping tersebut serius,
seperti edema paru. Tokolitik merupakan penyebab ketiga dari acute respiratory
distress dan kematian pada ibu hamil selama 14 tahun terakhir di Mississippi
(Perry dkk, 1996). Penyebab edema paru adalah multifaktorial, dan faktor resiko
meliputi terapi tokolitik dengan β-agonis, kehamilan multijanin, terapi
kortikosteroid yang berbarengan, tokolitik > 24 jam, dan infuse kristoloid dalam
jumlah besar. Disebabkan β-agonis dapat menyebabkan retensi natrium dan air,
pemberian selama waktu 24-48 jam dapat membuat volume overload (Hankins
dkk, 1988).(8)
Kini hanya ritodrin parenteral yang tersedia di Amerika Serikat sejak
pabriknya menghentikan distribusi tablet pada tahun 1995. Berdasarkan Federa
Register, ritodrin ditarik dari peredaran pada tahun 2003 oleh pabriknya sendiri
dan sudah tidak tersedia lagi di Amerika Serikat. (8)
Terbutaline
25
Agonis-β ini umumnya digunakan untuk mencegah persalinan preterm,
namun, seperti ritodrin, toksisitasnya khususnya edema paru. Lam dkk.
melaporkan pemberian terbutalin dosis rendah secara subkutan jangka panjang
dengan menggunakan pompa portabel pada sembilan kehamilan.
Dua percobaan acak prospektif belum menemukan manfaat apapun dari
terapi pompa terbutalin. Wenstrom dkk. (1997) mengacak 42 wanita untuk
mendapatkan terapi dengan pompa terbutalin pompa salin, atau terbutalin oral.
Guinn dkk. (1998). Dalam sebuah percobaan tersamar ganda, mengacak 52 wanita
untuk mendapatkan terapi pompa terbutalin atau pompa salin. Terapi pompa
terbutalin tidak secara signifikan memperpanjang kehamilan, mencegah pelahiran
preterm, atau memperbaiki hasil akhir neonates pada kedua studi ini. (8)
Terapi terbutalin oral pernah dilaporkan tidak efektif oleh beberapa
kelompok (How dkk., 1995; Parilla dkk., 1993): Pada sebuah percobaan tersamar
ganda, Lewis dkk. (1996) mengacak 203 wanita yang mengalami persalinan
preterm setelah tokolisis intravena yang berhasil pada usia gestasi 24 sampai 34
minggu, untuk mendapatkan 5 mg terbutalin oral setiap 4 jam atau plasebo.
Kelahiran dalam waktu satu minggu setara pada kedua kelompok demikian juga
median masa laten, rerata usia gestasi saat kelahiran, dan insiden persalinan
preterm berulang. (8)
2.6.2.3.4 Magnesium Sulfat
Magnesium ionik dalam konsentrasi yang cukup tinggi dapat mengubah
kontraktilitas miometrium in vivo dan in vitro. Perannya diperkirakan sebagai
antagonis kalsium. Steer dan Petrie (1977) menyimpulkan bahwa magnesium
sulfat yang diberikan secara intravena, 4 g diberikan sebagai dosis awal diikuti
dengan infuse kontinu 2 g/jam, biasanya akan menghentikan persalinan. Ibu yang
diberikan magnesium sulfat harus diobservasi karena adanya bahaya
hipermagnesemia. (8)
Hanya ada dua studi berkontrol acak tentang khasiat tokolitik magnesium
sulfat pada manusia. Cotton dkk. (1984) membandingkan magnesium sulfat
dengan ritodrin serta dengan plasebo, dan mereka hanya menemukan perbedaan
kecil pada hasil akhirnya. Cox dkk. (1990) mengacak 156 wanita dalam persalinan
26
preterm dengan selaput ketuban utuh untuk mendapatkan infus magnesium 5ulfat
atau saline normal. Wanita-wanita ini menjadi berisiko dan hanya sedikit yang
mencapai usia kehailan 33 minggu. Tidak ditemukan keuntungan dan terapi
seperti ini dan metode tokolisis ini ditolak di Parkland Hospital. Grimes dan
Nanda (2006) mengkaji ulang penggunaan magnesium sulfat sebagai tokolitik dan
menyimpulkan “saatnya berhenti” menggunakan terapi ini disebabkan tidak
efektif dan timbulnya bahaya yang potensial pada janin. (8)
Magnesium sulfat juga memberikan efek janin dan bayi baru lahir secara
signifikan. Magnesium sulfat melintasi plasenta dan berakumulasi dalam janin.
Akibatnya, dapat mempengaruhi parameter biofisik janin (terutama aktivitas
pernapasan janin) dan penurunan variabilitas detak jantung janin. Neonatus yang
lahir dengan konsentrasi magnesium sulfat tali lebih dari 4 mg per 100 mL
mungkin menunjukkan tanda-tanda depresi, termasuk penurunan otot, mengantuk,
usaha pernapasan yang buruk, dan skor Apgar yang rendah. Kasus bayi
osteoporosis dengan patah tulang terkait telah dilaporkan pada seorang wanita
diterapi dengan tokolitik jangka panjang dengan magnesium sulfat. (8)
2.6.2.3.5 Inhibitor Prostaglandin
Senyawa-senyawa yang menghambat prostaglandin telah menjadi subjek
perhatian yang cukup besar karena prostaglandin dianggap terlibat erat dalam
kontraksi miometrium pada persalinan normal. Obat antiprostaglandin mungkin
bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin atau menghalangi kerja
prostaglandin pada organ target. Sekelompok enzim yang disebut prostaglandin
sintase bertanggung jawab atas konversi asam arakhidonat bebas menjadi
prostaglandin. Beberapa obat diketahui menyekat sistem ini, antara lain aspirin
dan salisilat lain dan indometasin. (8)
Indometasin adalah obat yang digunakan pertama kali oleh Zuckerman dan
rekannya pada tahun 1974, dengan hasil indometasin menghentikan kontraksi dan
menunda kelahiran. Indometasin dapat digunaka secara per oral atau per rectal. (8)
Indometasin merupakan kontraindikasi pada pasien dengan gangguan
hematologi, penyakit ulkus peptikum, dan diketahui alergi dan tampaknya dapat
meningkatkan waktu pendarahan. Kontraindikasi relatif pada penyakit ginjal ibu.
27
Indometasin tidak secara signifikan mempengaruhi perfusi uteroplacental atau
nilai Apgar. (8)
Komplikasi pada janin paling signifikan berhubungan dengan penutupan
ductus arteriosus yang prematur, gagal jantung kanan, dan kematian janin. Jenis
prostaglandin E memungkinkan ductus arteriosus tetap paten, sedangkan
indometasin cenderung membuat ductus menutup, lebih cenderung menutup
duktus reversibel setelah beberapa minggu. Penutupan duktus yang ireversibel
dapat terjadi pada usia kehamilan lebih tua, lebih dekat dengan waktu penutupan
fisiologis, namun ada laporan kasus terjadinya kematian janin diakibatkan
penutupan duktus yang lengkap. (5)
2.6.2.3.6 Obat Penghambat Kanal Kalsium
Aktivitas otot polos, termasuk miometrium, secara langsung berhubungan
dengan kalsium bebas di dalam sitoplasma, dan penurunan konsentrasi kalsium
akan menghambat kontraksi. Obat penyekat kalsium beraksi dengan menghambat,
dengan berbagai mekanisme, pintu masuk saluran kalsium pada membran sel.
Meskipun obat ini digunakan sebagai terapi penyakit hipertensi, namun obat
penyekat saluran kalsium dapat diaplikasikan dalam terapi persalinan preterm
sebagai subjek sejak akhir tahun 1970-an. (8)
Nifedipine telah digunakan sebagai obat tokolitik. Banyak protokol untuk
nifedipine. Umumnya, 10 mg nifedipine diberikan peroral. Jika kontraksi tetap
ada, dosis dapat diulang setiap 20 menit untuk total 30 mg dalam 1 jam. Hipotensi
maternal dapat terjadi secara relatif umum. Jika terjadi hipotensi berkembang,
nifedipine dosis tambahan harus diberikan. Sekali kontraksi menurun, pasien
dapat menerima 10 mg setiap 6 jam nifedipine per oral atau menerima 30-60 mg
nifedipine sustainde release per hari. Nicardipine, yaitu relaksan uterus yang kuat,
dapat diberikan sebanyak 40-mg dalam 2 jam dengan dosis maksimum 80 mg jika
kontraksi rahim tidak mereda. Dapat dilanjutkan dengan pemberian nicardipine 45
mg sustained-release setiap 12 jam. (13)
Kombinasi nifedipin dan magnesium sebagai tokolisis kemungkinan
berbahaya. Ben-Ami dkk. (1994) serta Kurtzman dkk. (1993) melaporkan bahwa
nifedipin meningkatkan toksisitas magnesium untuk menimbulkan blokade
28
neuromuskular yang dapat mengganggu fungsi paru maupun jantung. How dan
rekannya (2006) mengacak 54 wanita dengan usia kehamilan 32 dan 34 minggu
dengan memberikan magnesium sulfat ditambah nifedipine atau tanpa tokolitik
menemukan tidak terdapat adanya manfaat maupun bahayanya. (8)
Merujuk kepada aturan secara umum jika diberikan tokolitik, maka
kortikosteroid harus juga seiring diberikan. Rentang usia kehamilan untuk
diberikannya obat ini masih diperdebatkan, namun karena kortikosteroid tidak
umum digunakan setelah usia kehamilan 33 minggu dan karena hasil perinatal
pada umumnya baik setelah usia kehamilan 33 minggu, maka kebanyakan dokter
tidak menggunakan tokolitik dan kortikosteroid pada usia kehamilan 33 minggu
atau lebih. (8)
2.6.3 Penatalaksanaan Intrapartum
Secara umum, semakin imatur janinnya, semakin besar risiko akibat
persalinan.
2.6.3.1 Persalinan
Penilaian apakah persalinan diinduksi atau spontan, kelainan frekuensi
denyut jantung janin dan kontraksi uterus harus dicari, lebih baik dengan
pemantau elektronik .kontinu. Takikardia janin terutama bila terjadi pecah
ketuban, menandakan adanya sepsis. Terdapat beberapa bukti terbaru bahwa
asidemia intrapartum dapat memperberat beberapa komplikasi neonatal yang
biasanya hanya ditimbulkan oleh prematuritas. Misalnya, Low dkk. (1995)
mengamati bahwa asidosis intrapartum pH darah arteri umbilikalis kurang dari 7,0
memainkan peran penting pada komplikasi neonatal. Demikian pula, Kimberlin
dkk. (1996b) menemukan bahwa peningkatan asidemia darah arteri umbilikalis
berhubungan dengan penyakit pernapasan yang lebih berat pada neonatus preterm
meski tidak ditemukan efek pada hasil neurologis jangka pendek yang meliputi
perdarahan intrakranial. (8)
Infeksi streptokokus grup B sering terjadi dan berbahaya pada neonatus
preterm, sehingga terapi profilaksis sebaiknya diberikan. (8)
2.6.3.2 Tindakan dalam Persalinan
29
Bila vagina tidak relaks, episiotomi untuk kelahiran mungkin dapat
bermanfaat begitu kepala janin mencapai perineum. Hasil perinatal tidak
menganjurkan penggunaan forceps untuk melindungi “kepala janin preterm yang
fragile (mudah pecah)”. Seorang dokter dan staf yang terampil dalam teknik
resusitasi serta berorientasi penuh pada masalah spesifik kasus ini harus hadir
pada saat pelahiran. Pentingnya ketersediaan personel dan fasilitas khusus pada
kasus bayi preterm ditekankan oleh membaiknya angka ketahanan hidup bayi-bayi
ini jika mereka dilahirkan di pusat perawatan tersier. (8)
2.6.3.3 Pencegahan Perdarahan Intrakranial Neonatal
Bayi-bayi preterm sering mengalami perdarahan matriks germinal yang
dapat meluas menjadi perdarahan intraventrikel yang lebih serius. Dihipotesiskan
bahwa seksio sesarea untuk meniadakan trauma persalinan dan pelahiran
pervaginam mungkin dapat mencegah komplikasi ini. Observasi-obsevasi awal ini
belum disahkan oleh sebagian besar studi yang dilakukan setelahnya. Dalam studi
terbesar, Malloy dkk. (1991) menganalisis 1765 bayi dengan berat lahir kurang
dari 1500 g dan menemukan bahwa seksio sesarea tidak menurunkan risiko
kematian serta perdarahan intrakranial. Perdarahan ini berhubungan dengan
apakah janinnya telah mengalami fase aktif persalinan atau belum. Menghindari
fase aktif persalinan sudah tidak mungkin pada kebanyakan kelahiran preterm
karena jalur persalinan tidak ditetapkan sampai persalinan benar-benar telah pasti
berlangsung. (8)
30
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jumlah kelahiran prematur terus meningkat setiap tahunnya, baik di
Amerika Serikat maupun di Indonesia, dimana jumlah kelahiran prematur di
Indonesia 16-18% dari seluruh kelahiran hidup.
Pada wanita dengan persalinan prematur episode akut, tokolitik dapat
diberikan dengan kortikosteroid antenatal. Namun obat-obatan tokolitik
mempunyai potensi yang berbahaya dan harus digunakan dengan hati-hati dan
harus terawasi. Saat ini, tidak ada data yang mendukung bahwa penggunaan
tokolitik sebagai terapi pemeliharaan pada wanita dengan persalinan prematur
berhasil dicegah total. Pencegahan kelahiran prematur belum memberikan hasil
yang diharapkan, walaupun data saat ini mendukung menggunakan progesteron
sebagai upaya pencegahan. Wanita yang dalam persalinan prematur sebaiknya
diberikan kortikosteoid antenatal berdasarkan panduan ACOG (American College
Obstetrics and Gynecology) tahun 2002.
3.2 Saran
Dengan adanya upaya penelitian-penelitian lebih lanjut diharapkan dapat
lebih menjelaskan biologis kelahiran yang tidak normal untuk dapat lebih
mengembangkan terapi yang lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA
31
1. ACOG Practice Bulletin. Assessment of risk factor for preterm birth. Am J Obstet Gynecol 2001: 709–716.
2. Cunningham FG,et al. 2001. Williams Obstetrics 21st ed. McGraw Hill Inc.
3. Goldenberg RL, Rouse DJ. Prevention of premature birth. N Engl J Med 1998: 313-320.
4. Husslein P. Strategies to prevent the morbidity and mortality associated with prematurity. Br J Obstet Gynaecol 2003;110-135 .
5. Ichtiarti, P. 2003. Perbandingan Efektifitas Nifedipin dan Isoksuprin dalam Menghambat proses Persalinan Preterm. Tesis.. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
6. Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi dan Patologi. Jakarta : EGC.
7. Philip, S. The epidemiology of preterm labour. Br J Obstet Gynaecol 2005;112:1-3
8. Rompas, J. 2004. Pengelolaan Persalinan Prematur. Cermin Dunia Kedokteran No. 145.
9. Rust, OA. Preterm delivery: risks versus benefit intervention. Current Women’s Health Report 2002: 59–64 .
10. Santoso, A.B. 2003. Hubungan Antara Kelahiran Prematur dengan Tumbuh Kembang Anak pada Usia 1 Tahun. Tesis. Semarang : Fakultas kedokteran Universitas Diponegoro.
11. Wiknjosastro H, Wibowo H. Dalam Saifuddin AB, Rachimhadhi T. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
12. Widjanarko, B. 2009. Persalinan Preterm. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta.
32
13. Yusuf, J. 2008. Efektivitas dan Efek Samping Ketorolac sebagai Tokolitik pada Ancaman Persalinan Prematur Tinjauan Perbandingan dengan Nifedipin. Tesis. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.