REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI
Transcript of REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI
BAB I
PENDAHULUAN
Tindakan bunuh diri, kekerasan dan penyalahgunaan zat merupakan masalah-masalah
serius yang perlu intervensi segera. Ketiga kondisi tersebut merupakan sebagian dari pelbagai
kondisi kedaruratan psikiatrik. Pemahaman kesehatan masyarakat bahwa kasus-kasus
tersebut merupakan keadaan yang perlu pertolongan segera, menyebabkan dokter akan lebih
banyak menemui kassus-kasus kedaruratan psikiatrik tersebut. Hal ini juga sejalan dengan
peningkatan pemahaman bahwa perubahan status mental seseorang dapat disebabkan oleh
penyakit organik (sesuai dengan konsep hierarki dalam pemehaman diagnosis gangguan
jiwa).
Sebagai ujung tombak di lapangan, peran dokter umum sangat penting dalam hal ini
adalah sebagai bagian dari pelayanan kedaruratan medik yang terintegrasi.
Diperlukan keterampilan dalam assesment dan teknik evaluasi untuk membuat
diagnosis kerja. Dalam pelaksanaannya sering diperlukan pemeriksaan fisik serta
laboratorium yang sesuai dan memadai. Kerja sama dalam suatu tim adalah bentuk pelayanan
yang paling diharapkan untuk hasil optimal. Pendekatan Consultation-Liaison Psychiatry
bermanfaat untuk beberapa penanganan kasus-kasus kedaruratan, seperti tindakan bunuh diri,
delirium, sindrom neuroleptik maligna, dll.
BAB II
KEDARURATAN PSIKIATRI
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang ilmu kedokteran jiwa dan kedokteran
kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapu kasus kedaruratan yanng memerlukan intervensi
psikiatrik.
Dokter masa kini harus mengembangkan perannya untuk menjadi bagian dari ruang
gawat darurat psikiatrik. Kasus yang datang minta pertolongan sangat bervariasi. Ada yang
sekedar ingin minta resep, ada yang memerlukan teman bicara, hingga yang merupakan
kasus-kasus psikiatrik, seperti : panik, kondisi medik umum (delirium, intoksikasi, gejala
putus zay, dll), krisis perkawinan, skizofrenia atau psikosis akut, dll.
Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan, dan perilaku yang
memerlukan intervensi terapeutik segera, antara lain:
- Kondisi gaduh gelisah
- Dampak tindak kekerasan
- Bunuh diri
- Gejala ekstrapiramidal akibat penggunaan obat
- Delirium
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan tempat pelayanan kedaruratan
psikiatrik, antara lain :
1. Keamanan
Terdapat tim yang terpadu dalam berbagai disiplin. Jumlah staf yang bertugas harus
cukup terdiri dari atas psikiater atau dokter umum, perawat, pembantu perawat serta
idelanya terdapat juga pekerja sosial. Pembagian tanggung jawab yang spesifik harus
slalu jelas dan dilaksanakan secara baik dan benar oleh tiap-tiap anggota tim. Sangat
diperlukan jalur komunikasi dan autoritas yang jelas, serta akan lebih baik bila staf
terbagi dalam tim yang terdiri atas berbagai pilihan.
2. Pemisahan ruang secara spesifik
Anak dan remaja sebaiknya dilayani diruang terpisah yaitu ruang anak dan remaja.
Bila terdapat resiko terajdinya manifestasi perilaku atau keadaan tidak
memungkinkan, maka pasien dapat dilayani ditempat dewasa, ditempat pertama kali
pasien datang. Pasien dengan tindak kekerasan atau agitatif terpisah dari pasien-
pasien non-agitatif. Ruang isolasi dan fiksasi harus terletak dekan dengan ruang
perawat agar dapat dilakukan pengawasan yang ketat.
3. Akses langsung dan mudah ketempat ruang gawat darurat medik lainya serta
pelayanan diagnosik penunjang sangat diperlukan, karena 3-50% kondisi medic
umum menunjukkan manifestasi psikiatrik.
4. Obat-obat psikofarmaka harus lengkap tersedia. Alat fiksasi serta ruang evaluasi
diusahakan yang memadai.
5. Tim yang bertugas harus mempunyai kepakaran yang spesifik dan siap bertindak
segera pada saat yang tepat. Keamanan harus diperlakukan sebagai hal klinis dan
dilaksanakan oleh staf klinik, bukan oleh petugas keamanan.
6. Seluruh staf harus mengerti bahwa pasien sedang dalam keadaan distress fisik dan
kondisi emosional yang rapuh. Pengharapan dan fantasinya seringkali tidak realistis
dan ini akan mempengaruhi responya terhadap terapi. Oleh karenanya setiap tindakan
yang akan dilakukan perlu didiskusikan, baik dengan pasienya sendiri maupun dengan
keluarganya.
7. Sikap, prilaku staf dan pasien harus dijaga dan dipahami mulai saat pasien masuk
kedalam ruang gawat darurat. Tindak kekerasan tidak dapat dibenarkan atau ditolerir,
baik pasien maupun staf di tempat pelayanan kedaruratan
2.1 Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat adalah tujuan
utama dalam melakukan evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera dengan pendekatan
pragmatis, yang harus dilakkan secara tepat adalah:
1. Menentukan diagnosis awal,
2. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera sang pasien,
3. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai.
Dalam kondisi tertentu, terkadang pasien tidak diharapkan berada terlalu lama di unit
gawat darurat, antara lain karena sifat kegawatdaruratan yang tidak terduga, baik medis,
klinis maupun psikiatris, serta keterbatasan waktu, ruang, dan pemeriksaan penunjang.
Tujuan utama dalam evaluasi kedaruratan psikiatrik adalah: menilai kondisi pasien
yang sedang dalam krisis sacara cepat dan tepat. Dengan tugas di unit gawat darurat yang
sifatnya sering tak terduga, banyaknya pasien dengan keluhan-keluhan fisik dan emosional,
terbatasnya waktu, ruang, dan pemeriksaan penunjang, diperlukan pendekatan yang
pragmatis bagi pasien. Kadang-kadang lebih baik bagi pasien untuk tidak terlalu lama berada
di unit gawat darurat. Dalam proses evaluasi dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik
Wawancara dilaksanakan dengan lebih terstruktur. Secara umum, fokus
wawancara ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat.
Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman ataupun polisi dapat
melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, negativistik, tidak kooperatif
atau inkoheren.
Seperti halnya wawancara psikiatrik yang biasa dilakukan, hubungan dokter-
pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang diberikan dan yang
diinterpretasikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar, melakukan observasi
dan melakukan interpretasi terhadap apa yang dikatakan ataupun yang tidak dikatakan
olh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat.
Sikap yang tenang dan jujur akan sangat diperlukan dalam proses wawancara.
Hal ini membuat pasien mengerti bahwa dokter memegang kendali, dan bahwa
keputusan untuk melakukan setiap tindakan, adalah untuk mencegah perilaku yang
melukai diri sendiri atau orang lain.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwatyat perjalanan penyakit,
pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik, dan kalau perlu
pemeriksaan penunjang.
Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oleh dokter di unit gawat
darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan darah, suhu, nadi adalah
sesuatu yang mudah diukur yang dapat memberikan suatu informasi yang bermakna
secara cepat. Misalnya seseorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi,
demam, frekuensi nadi 120 per menit, dan tekanan darah meningkat, kemungkinan
besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik
Apapun penyakit pasien yang sesungguhnya, tanda-tanda vital dapat
membantu dokter untuk memilih alur diagnosis yang benar karena pemeriksaan ini saja
sudah banyak yang bisa kita simpulkan atau kita singkirkan.
Pada bagan, dapat dilihat salah satu model alur evaluasi dan penatalaksanaan
pasien darurat psikiatrik.
Bagan alur evaluasi dan penatalaksanaan pasien gawat darurat psikiatri
Pasien rujukan Datang sendiri Pasien diantar oleh polisi
Pelayanan gawat darurat psikiatrik
Triage
Tanda vital
Kesadaran
Pemeriksaan medik, neurologik
Pemeriksaan laboratorium
Triage psikiatrik
Evaluasi medik
Evaluasi psikiatrik; organik atau fungsional
Rawat bersama dengan disiplin ilmu lain Rawat inap psikiatrik Rawat jalan
Lima hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:
1. Keamanan pasien
Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa situasi di ruang
gawat darurat, pola pelayanan dan kominikasi antar staf, serta jumlah pasien dalam
ruangan tersebut cukup aman bagi pasien, baik secara fisik maupun emosional. Jika
intervensi verbal tidak cukup atau merupakan kontraindikasi, perlu dipikirkan
pemberian obat atau pengekangan. Perhatian perlu diberikan terhadap kemungkinan
timbulnya agitasi atau perilaku merusak.
2. Medik atau psikiatrik?
Penting sekali bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik, atau
kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi-kondisi
medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan demam tinggi, kelainan
metabolisme, tumor, AIDS, intoksikasi atau gejala putus zat, seringkali menyebabkan
gangguan fungsi mental yang menyerupai gangguan psikiatrik pda umumnya. Bila
konsisi ini tidak ditangani semestinya, dapat menyebabkan kematian. Karena itu
dokter gawat darrurat tetap arus menelusuri semua kemungkinan penyebab gangguan
fungsi mental yang tampak, meskipun sebelumnya secara mesik telah dinyatakan tak
ada kelainan oleh dokter lain.
3. Psikosis
Yang penting disini bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh
ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan mempengaruhi
hidupnya. Hal ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita
berikan serta kepatuhannya dalam berobat.
Kominikasi dengan pasien psikosis harus luwes dan tidak bertele-tele. Semua
intervensi klinis harus dijelaskan secara singkat dan jelas, dalam bahasa yang dapat
dimengerti. Jangan mengharapkan pasien mempercayai atau mengharapkan bantuan
kita. Dokter harus siap untuk melakukan wawancara terstruktur atau menghentikan
wawancara sewaktu-waktu untuk membatasi kemungkinan terjadinya agitasi atau
regresi.
4. Suicidal atau homicidal
Pasien-pasien dengan kecenderungan ini sangat membehayakan dirinya atau orang
lain. Jangan pernah menyepelekan semua ancaman, pikiran atau sikap yang
menunjukkan adanya kecenderungan bunuh diri, sampai terbukti hal itu tidak benar.
Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus diobservasi secara ketat.
Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau pikiran bunuh diri
harus selalu ditanyakan pada pasien.
5. Kemampuan merawat diri sendiri
Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien mampu
merawat dirinya sendiri, mampu menjalankan saran yang dianjurkan.
Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk merawat pasien di rumah
merupakan salah satu indikasi rawat inap.
Indikasi rawat inap adalah:
- Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,
- Bila perawatan di rumah tidak memadai,
- Perlu observasi lebih lanjut.
2.2 Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis dan Terapi
Beberapa hal yang perludipertimbangkan dalam penegakan diagnosis dan terapi antara lain:
1. Diagnosis
Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada beberapa hal
yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data, misalnya penapisan
toksikologi (tes urin untuk opioid, amfetamin, benzodiazepin, kanabis, dsb),
pemeriksaan radiologi, EKG, tes laboratorium. Sedapat mungkin pemeriksaan dan
konsultasi medik untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab organik dilakukan di
ruang gawat darurat. Data penunjang seperti catatan medik sebelumnya, informasi
dari sumber luar (alloanamnesis dari keluarga, polisi, dll) juga dikumpulkan sebelum
kita menentukan tindakan. Prioritas utama memang kemanan, namun hal ini jangan
sampai menunda penegakan diagnosis.
2. Terapi
Pemberian terapi obat atau pengekangan (bila memang diperlukan) harus mengikuti
prinsip terapi: maximum tranquilization with minimum sedation.
Tujuannya adalah untuk:
- Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali
- Mengurangi/menghilangkan penderitaannya,
- Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat kesimpulan akhir.
Pasien yang tidur memang tidak dapat membahayakan orang lain, tetapi kita pun tidak
dapat melakukan pemeriksaan status mental pada pasien tersebut. Obat-obatan yang
sering digunakan adalah:
- Low-dose high-potency anti psychotics, seperti haloperidol, trifluoperazine,
perphenazine, dsb, karena batas keamanannya cukup luas. Haloperidol terdapat
dalam kemasan injeksi dan tetes (cairan) sehingga memudahkan pemberian.
- Atypical anti psychotics,seperti risperidone, quetiapine, olanzapine. Olanzapine
juga terdapat dalam bentuk injeksi.
- Injeksi benzodiazepin. Kombinasi antipsikotik dengan benzodiazepin kadang
sangat efektif.
Kesalahan yang sering dilakukan oleh para dokter adalah:
1. Pemberian dosis yang terlalu besar atau penggunaan preparat yang terlalu kuat
(overmedication), sehingga evaluasi atau pemulangan menjadi terlambat,
2. Pemberian dosis yang kurang atau pemberian preparat yang kurang tepat
(undermedication),
3. Penggantian obat yang terlalu cepat.
2.3 Rujukan/Pemindahan
Pada beberapa keadaan, misalnya psikosis akibat zat, reaksi stres akut, dekompensasi
psikologik sementara pada pasien dengan gangguan kepribadian tertentu, akan lebih baik
pasien tidak langsung dirawat atau dipulangkan.
Penempatan di ruang observasi berkelanjutan akan memberikan waktu bagi dokter
untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut mengenai penyebab gangguan mentalnya. Selain
itu keadaan pasien juga akan membaik bila berada di tempat yang aman.
Dengan demikian pasien mungkin tidak perlu dirawat di instalasi rawat inap psikiatrik
yang dapat menimbulkan stigma atau trauma baginya, juga mengurangi kapasitas tempat
tidur yang mungkin dapat diberikan pada orang lain yang benar-benar membutuhkannya.
Intervensi krisis pada korban perkosaan atau korban trauma lainnya, misalnya, juga dapat
dilakukan pada fasilitas observasi ini.
Bila pasien dianggap perlu untuk dirawatinapkan, sebaiknya hal itu dilakukan dengan
persetujuan pasien sehingga ia merasa dapat mengendalikan hidupnya dan ikut berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan berkenaan dengan pengobatannya. Bila pasien memang
membahayakan diri sendiri atau lingkungannya, maka hal itu dapat dilakukan tanpa
persetujuannya.
2.4 Dokumentasi
Semua penemuan dan tindakan harus didiskusikan dan dicatat dengan baik untuk kepentingan
pasien, dokter dan RS, asuransi/pembayaran, dan hukum. Catatan medik harus dapat
menggambarkan keadaan pasien. Penemuan positif maupun negatif serta informasi yang belu
didapat sebaiknya dicatat. Nama-nama serta alamat dan nomor telepon yang dapat dihubungi
wajib dicatat. Rencana penatalaksanaan awal dilakukan sesuai diagnosis kerja saat itu.
BAB III
BUNUH DIRI
Definisi Bunuh Diri (Suicide)
Bunuh diri merupakan kematian yang ditimbulkan oleh diri sendiri dan disengaja
dimana bukan tindakan yang acak dan tidak bertujuan. Sebaliknya, bunuh diri merupakan
jalan keluar dari masalah atau krisis yang hampir selalu menyebabkan penderitaan yang kuat.
Bunuh diri merujuk kepada perbuatan memusnahkan diri karena enggan berhadapan
dengan suatu perkara yang dianggap tidak dapat ditangani. Menurut Keliat (1994) bunuh diri
adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan dan
merupakan keadaan darurat psikiatri karena individu berada dalam keadaan stres yang tinggi
dan menggunakan koping yang maladaptif. Lebih lanjut menurut Keliat, bunuh diri
merupakan tindakan merusak integritas diri atau mengakhiri kehidupan, dimana keadaan ini
didahului oleh respon maladaptif dan kemungkinan keputusan terakhir individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.
Bunuh diri adalah pengambilan tindakan untuk melukai diri sendiri yang secara
sengaja dilakukan oleh seseorang. Orang yang melakukan tindakan bunuh diri mempunyai
pikiran dan perilaku yang merupakan perwakilan (representing) dari kesungguhan untuk mati
dan juga merupakan manifestasi kebingungan (ambivalence) pikiran tentang kematian
(Hoeksema, 2001).
Para klinikus menemukan adanya perbedaan antara bunuh diri yang asli (genuine
suicide) dengan bunuh diri yang dimanipulasi (manipulative suicide). Bunuh diri asli adalah
bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang benar-benar ingin mati dan tindakan yang
dilakukan untuk merealisasikan bunuh dirinya tersebut, dilakukan tanpa perhitungan yang
salah (miscalculation).
Sementara orang yang melakukan bunuh diri yang dimanipulasi tidak sungguh-
sungguh ingin membunuh dirinya, tindakan mereka (bunuh diri) adalah percobaan yang
terkontrol, yang dilakukan untuk memanipulasi orang lain (Landis & Meyer, Shneidman,
dalam Barlow & Durand, 2002).
Lyttle (1986) juga membedakan antara bunuh diri (suicide) dengan usaha bunuh diri
(parasuicide). Wilkinson menyebutkan jika bunuh diri (suicide) sebagai tindakan fatal untuk
mencederai diri sendiri yang dilakukan dalam kesadaran untuk merusak diri yang kuat atau
secara sungguh-sungguh (conscious self-destructive intent). Sementara usaha bunuh diri
(parasuicide) merujuk pada tindakan menyakiti diri sendiri yang dilakukan dengan
pertimbangan yang mendalam yang biasanya tidak berakibat fatal. Usaha bunuh diri
(parasuicide), biasanya juga digambarkan sebagai percobaan bunuh diri (attempted suicide).
Heeringan (2001) menyebutkan jika perilaku bunuh diri merupakan istilah yang
digunakan untuk mewakili istilah bunuh diri itu sendiri dan usaha bunuh diri sebagai suatu
perbuatan yang menghasilkan kejadian fatal maupun tidak fatal.
Epidemiologi
Tiap tahun kira-kira 30.000 kematian di Amerika Serikat disebabkan oleh bunuh diri.
Angka tersebut adalah untuk bunuh diri yang berhasil; jumlah usaha bunuh diri diperkirakan
8 sampai 10 kali lebih besar dari angka tersebut.
Antara tahun 1970 dan 1980 lebih dari 230.000 orang melakukan bunuh diri di
Amerika Serikat, kira-kira satu dalam setiap 20 menit, 75 bunuh diri dalam sehari. Angka
bunuh diri total agak tetap setiap tahunnya. Di tahun 1977 bunuh diri berada dalam
puncaknya yaitu 13,3 per 100.000. Sekarang, bunuh diri berada dalam urutan kedelapan dari
semua penyebab kematian di Amerika Serikat, setelah penyakit jantung, kanker, penyakit
serebrovaskular, kecelakaan, pneumonia, diabetes melitus, dan sirosis.
Insiden bunuh diri di Amerika Serikat terjadi pada usia 15-24 tahun sedangkan dalam
survey nasional baru-baru ini terhadap siswa senior sekolah lanjutan 27% dari mereka pernah
memikirkan secara serius untuk bunuh diri dan salah satunya pernah mencobanya. Secara
internasional, angka bunuh diri yang lebih dari 25 per 100.000 orang terjadi di Skandinavia,
Swiss, Jerman, Austria, Negara-negara Eropa Timur, dan Jepang. Sedangkan yang kurang
dari 10 per 100.000 orang terjadi di Spanyol, Italia, Irlandia, Mesir, dan Belanda. Tempat
bunuh diri nomor satu di dunia adalah Jembatan Golden Gate di San Francisco, dengan lebih
dari 800 bunuh diri sejak di buka tahun 1937.
Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab bunuh diri, diantaranya adalah:
Faktor Sosial
Teori Durkheim. Sumbangan pertama yang besar untuk penelitian pengaruh sosial dan
kultural terhadap bunuh diri dilakukan pada akhir abad yang lalu oleh ahli sosiologi
Perancis Emile Durkheim. Dalam upaya menjelaskan pola statistikal, Durkheim membagi
bunuh diri menjadi tiga kategori sosial : egoistik, altruistik, dan anomik.
Bunuh Diri Egoistik diterapkan pada mereka yang tidak terintegrasi secara kuat ke
dalam kelompok sosial. Tidak adanya integrasi keluarga dapat digunakan untuk
menjelaskan mengapa orang yang tidak menikah adalah lebih rentan terhadap bunuh
diri dibandingkan dengan mereka yang menikah dan mengapa pasangan dengan anak-
anak adalah kelompok yang paling terlindung dari semua kelompok. Masyarakat
perkotaan memiliki lebih banyak integrasi sosial dibandingkan dengan daerah
pedesaan, jadi lebih sedikit bunuh diri.
Bunuh Diri Altruistik terjadi dalam masyarakat yang mempunyai ikatan sosial yang
kuat. Bunuh diri ini dimaksudkan demi kelompok, hampir seperti bunuh diri ritual
Jepang “Seppuku” yang dilakukan ketika kekacauan melada masyarakat.
Bunuh Diri Anomik terkait dengan apa yang disebut “Anomie” atau keadaan dimana
anda tidak tahu tempat yang tepat bagi seseorang seperti menjadi tunawisma atau
yatim piatu. Orang tersebut merasa tidak punya apa-apa dan ini berarti berada dalam
keadaan tanpa norma dan peraturan yang membimbing dalam kehidupan sosial sehari-
hari. Hal ini dapat menjelaskan mengapa mereka dengan situasi ekonomi yang
berubah secara drastik lebih rentan dibandingkan mereka sebelum perubahan
keberuntungan mereka. Anomik juga dimaksudkan pada ketidakstabilan sosial,
dengan kehancuran standar dan nilai-nilai masyarakat.
Faktor Psikologis
Teori Freud
Tilikan psikologis pertama yang paling penting ke dalam bunuh diri berasal dari Sigmund
Freud. Ia menggambarkan hanya satu pasien yang mencoba bunuh diri, tetapi ia melihat
banyak pasien depresi. Dalam tulisannya “Mourning and Melancholia”, Freud
menyatakan keyakinannya bahwa bunuh diri mencerminkan agresi yang dibelokkan ke
dalam objek cinta yang terintroyeksi, dan ditangkap secara ambivalen.
Teori Menninger
Berdasarkan konsep Freud, Karl Menninger menyimpulkan bahwa bunuh diri adalah
pembunuhan yang di retrofleksikan, pembunuhan yang dibalikkan sebagai akibat
kemarahan pasien kepada orang lain, yang dibalikkan pada diri sendiri atau digunakan
sebagai pengampunan akan hukuman.
Ia juga menggambarkan insting kematian yang diarahkan kepada diri sendiri (konsep
Thanatos dari Freud). Ia menggambarkan tiga komponen permusuhan dalam bunuh diri :
keinginan untuk membunuh, keinginan untuk dibunuh dan keinginan untuk mati.
Teori-teori Baru
Peneliti bunuh diri kontemporer tidak yakin bahwa struktur psikodinamika atau
kepribadian spesifik berhubungan dengan bunuh diri. Tetapi mereka telah menulis bahwa
banyak yang dipelajari tentang psikodinamika pasien bunuh diri dari khayalan mereka
seperti apa yang akan terjadi dan apa akibatnya jika mereka melakukan bunuh diri.
Khayalan tersebut sering kali termasuk keinginan untuk balas dendam, kekuatan,
pengendalian atau hukuman; untuk pertobatan, pengorbanan, atau pemulihan; untuk
meloloskan diri atau untuk tidur; atau untuk pembebasan, kelahiran kembali, berkumpul
kembali dengan orang yang telah meninggal atau untuk hidup baru. Pasien bunuh diri
yang paling mungkin melakukan khayalan bunuh diri adalah mereka yang telah menderita
kehilangan objek cinta atau menderita cedera narsisistik, yang mengalami efek berat
seperti kemarahan dan rasa bersalah, atau yang teridentifikasi dengan seorang korban
bunuh diri. Dinamika kelompok mendasari bunuh diri massal seperti yang terjadi di
Masada dan Jonestown.
Faktor Fisiologis
Genetika
Teori faktor genetik dalam bunuh diri telah diajukan. Penelitian menunjukan bahwa
bunuh diri cenderung berjalan di dalam keluarga. Sebagai contohnya,
pada orang yang mencoba bunuh diri ditemukan adanya riwayat bunuh diri dalam
keluarga lebih banyak secara bermakna daripada orang yang tidak pernah melakukan
bunuh diri.
Satu penelitian terbesar menemukan bahwa resiko bunuh diri untuk sanak saudara
dari pasien psikiatri hampir delapan kali lebih tinggi dibanding sanak saudara dari kontrol.
Selain itu, resiko bunuh diri pada sanak saudara pasien psikiatri yang melakukan bunuh
diri adalah empat kali lebih tinggi dibandingkan pada sanak saudara pasien psikiatri yang
tidak melakukan bunuh diri.
Neurokimia
Defisiensi serotonin, diukur sebagai penurunan metabolisme 5-hydroxyindo-leacetic
acid (5-HIAA), telah ditemukan dalam kelompok pasien depresi yang mencoba bunuh diri.
Pasien depresi yang mencoba bunuh diri dengan cara keras (contoh, senjata api atau
meloncat) memiliki kadar 5-HIAA yang lebih rendah di dalam cairan serebrospinalisnya
dibandingkan pasien depresi yang tidak melakukan bunuh diri atau yang mencoba bunuh
diri dengan cara yang kurang keras (overdosis zat).
Beberapa penelitian terhadap binatang dan manusia telah menyatakan suatu hubungan
antara defisiensi sistem serotonin sentral dan pengendalian impuls yang buruk. Beberapa
peneliti telah memandang bunuh diri sebagai salah satu tipe perilaku impulsif. Kelompok
pasien lain yang diperkirakan memiliki masalah dengan pengendalian impuls adalah
pelaku kekerasan, pembakar rumah dan mereka dengan ketergantungan alkohol.
Beberapa peneliti telah menemukan pembesaran ventrikular dan elektroensefalogram
(EEG) yang abnormal pada beberapa pasien bunuh diri. Sampel darah dari kelompok
sukarelawan normal yang dianalisis untuk monoamin oksidase trombosit menemukan
bahwa orang dengan kadar enzim yang terendah didalam trombositnya memiliki
prevalensi bunuh diri delapan kali lebih besar didalam keluarganya, dibandingkan dengan
orang yang memiliki kadar enzim yang tinggi.
3.4 Faktor yang terkait
Adapun faktor-faktor yang terkait dengan tindakan bunuh diri adalah:
1. Jenis Kelamin
Laki-laki tiga kali lebih sering melakukan bunuh diri dibandingkan wanita. Akan tetapi
wanita adalah empat kali lebih mungkin berusaha bunuh diri dibandingkan laki-laki.
2. Metode
Lebih tingginya angka bunuh diri yang berhasil pada laki-laki adalah berhubungan dengan
metode yang digunakan dimana laki-laki menggunakan pistol, menggantung diri, atau
lompat dari tempat yang tinggi. Sedangkan wanita lebih mungkin menggunakan zat
psikoaktif secara overdosis atau memotong pergelangan tangannya, tetapi mereka mulai
lebih sering menggunakan pistol dibandingkan sebelumnya.
3. Usia
Angka bunuh diri meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki, puncak
bunuh diri adalah usia 45 tahun; pada wanita, jumlah terbesar bunuh diri yang berhasil
adalah diatas 55 tahun. Orang lanjut usia kurang sering melakukan usaha bunuh diri
dibandingkan orang muda tetapi lebih sering berhasil. Angka untuk mereka yang berusia
75 tahun atau lebih adalah lebih dari tiga kali dibandingkan angka untuk orang muda.
4. Ras
Angka bunuh diri diantara orang kulit putih adalah hampir dua kali lebih besar dari angka
bulan kulit putih, tetapi angka tersebut masih diragukan, karena angka bunuh diri pada
kulit hitam adalah meninggi.
5. Status perkawinan
Perkawinan yang diperkuat oleh anak tampaknya secara bermakna menurunkan risiko
bunuh diri. Orang yang hidup sendirian dan tidak pernah menikah memiliki angka hampir
dua kali lipat angka untuk orang yang menikah. Tetapi, orang yang sebelumnya pernah
menikah menunjukan angka yang jelas lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak pernah
menikah. Bunuh diri lebih sering pada orang yang memiliki riwayat bunuh diri dalam
keluarganya dan yang terisolasi secara sosial. Yang disebut bunuh diri ulang tahun
(anniversary suicide) adalah bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang mencabut
hidupnya pada hari yang sama seperti yang dilakukan oleh anggota keluarganya.
6. Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin besar resiko bunuh diri, tetapi penurunan
status sosial juga meningkatkan risiko. Pada umumnya, pekerjaan menghalangi bunuh diri.
Bunuh diri lebih tinggi pada orang yang pengangguran dibandingkan orang yang bekerja.
Selama resesi ekonomi dan depresi, angka bunuh diri menjadi meningkat. Selama waktu
tingginya pekerjaan dan selama perang, angka bunuh diri menurun. Dokter secara
tradisional dianggap memiliki risiko terbesar untuk bunuh diri. Dokter psikiatri dianggap
memiliki risiko yang paling tinggi. Populasi yang berada dalam risiko khusus adalah
musisi, dokter gigi, petugas hukum, pengacara dan agen asuransi.
7. Kesehatan Fisik
Hubungan antara kesehatan fisik dan bunuh diri sangat bermakna. Penelitian
postmortem menunjukan bahwa suatu penyakit fisik ditemukan pada 25 sampai 75 persen
dari semua korban bunuh diri. 50% orang dengan kanker yang melakukan bunuh diri
melakukannya dalam satu tahun setelah mendapatkan diagnosis. Tujuh penyakit sistem
saraf pusat yang meningkatkan risiko bunuh diri : epilepsi, sklerosis multipel, cedera
kepala, penyakit kardiovaskular, penyakit Huntington, demensia, dan AIDS. Semua adalah
penyakit dimana diketahui terjadi gangguan mood yang menyertai.
Faktor yang berhubungan dengan penyakit dan terlibat didalam bunuh diri dan usaha
bunuh diri adalah hilangnya mobilitas pada orang yang aktivitas fisiknya memiliki
kepentingan pekerjaan atau rekreasional; kecacatan, terutama pada wanita; dan rasa sakit
kronis yang tidak dapat diobati.
Obat tertentu dapat menyebabkan depresi, yang dapat menyebabkan bunuh diri pada
beberapa kasus. Diantara obat-obat tersebut adalah reserpine (Serpasil), kortikosteroid,
antihipertensi (propanolol/Inderal), dan beberapa obat antikanker.
8. Kesehatan Menal
Faktor psikiatrik yang sangat penting dalam bunuh diri adalah penyalahgunaan zat,
gangguan depresif, skizofrenia, dan gangguan mental lainnya. Hampir 95 persen dari
semua pasien yang melakukan bunuh diri atau berusaha bunuh diri memiliki gangguan
mental yang terdiagnosis. Pasien yang menderita depresi delusional berada pada resiko
tertinggi untuk bunuh diri sebesar 80%. 25 persen dari semua pasien yang memiliki
riwayat perilaki impulsif atau tindakan kekerasan juga berada dalam resiko untuk bunuh
diri. Perawatan psikiatrik sebelumnya untuk alasan apapun meningkatkan resiko bunuh
diri.
9. Pasien Psikiatrik
Resiko pasien psikiatrik untuk melakukan bunuh diri adalah 3 sampai 12 kali lebih
besar dibandingkan bukan pasien psikiatrik. Derajat resikonya adalah bervariasi
tergantung usia, jenis kelamin, diagnosis, dan status rawat inap atau rawat jalan. Diagnosis
psikiatrik yang memiliki resiko tertinggi untuk bunuh diri pada kedua jenis kelamin adalah
gangguan mood.
Relatif mudanya korban bunuh diri sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa dua
gangguan mental kronis yang memiliki onset awal, skizofrenia dan gangguan depresif
yang berat rekuren berjumlah lebih dari setengah dari semua bunuh diri tersebut.
3.5 Gangguan-gangguan yang beresiko terjadinya bunuh diri :
1. Gangguan mood
Gangguan mood adalah diagnosis yang paling sering berhubungan dengan
bunuh diri. Pasien laki-laki lebih banyak yang melakukan bunuh diri dibanding pasien
wanita. Kemungkinan orang terdepresi yang melakukan bunuh meningkat jika tidak
menikah, dipisahkan, diceraikan, janda atau baru saja mengalami kehilangan.
2. Skizofrenia
Resiko bunuh diri tinggi diantara pasien skizofrenik; sampai 10 persen
meninggal akibat bunuh diri. Usia onset skizofrenia biasanya pada masa remaja atau
dewasa awal dan sebagian besar pasien skizofrenik yang melakukan bunuh diri
melakukannnya selama tahun-tahun pertama penyakitnya; dengan demikian pasien
skizofrenia yang melakukan bunuh diri cenderung relatif muda.
Gejala depresif berhubungan erat dengan bunuh diri mereka. Hanya sejumlah
kecil yang melakukan bunuh diri karena instruksi halusinasi atau untuk melepaskan
waham penyiksaan. Jadi, faktor resiko untuk bunuh diri diantara pasien skizofrenik
adalah usia yang muda, jenis kelamin laki-laki, status tidak menikah, usaha bunuh diri
sebelumnya, kerentanan terhadap gejala depresif, dan baru dipulangkan dari rumah
sakit.
3. Ketergantungan Alkohol
15 persen orang yang ketergantungan alkohol melakukan bunuh diri. Kira-kira
80 persen dari semua korban bunuh diri yang tergantung alkohol adalah laki-laki.
Kelompok terbesar pasien laki-laki yang ketergantungan alkohol adalah mereka
dengan gangguan kepribadian antisosial. Korban bunuh diri yang tergantung alkohol
cenderung merupakan golongan kulit putih, usia pertengahan, tidak menikah, tidak
memiliki teman, terisolasi secara sosial dan baru saja mulai minum.
4. Ketergantungan Zat Lain .
Penelitian di berbagai negara telah menemukan peningkatan resiko bunuh diri
diantara penyalahgunaan zat. Angka bunuh diri untuk orang yang tergantung heroin
kira-kira 20 kali lebih besar dibandingkan angka untuk populasi umum.
5. Gangguan Kepribadian
Sejumlah besar korban bunuh diri memiliki berbagai macam gangguan
kepribadian yang menyertai. Menderita suatu gangguan kepribadian mungkin
merupakan suatu determinan perilaku bunuh diri dalam beberapa cara : dengan
mempredisposisikan pada gangguan mental berat seperti gangguan depresif atau
ketergantungan alkohol, dengan menyebabkan kesulitan dalam hubungan dan
penyesuaian sosial, dengan mencetuskan peristiwa kehidupan yang tidak diinginkan,
dengan mengganggu kemampuan untuk mengatasi gangguan mental atau fisik dan
dengan menarik orang ke dalam konflik dengan orang disekitar mereka, termasuk
anggota keluarga, dokter dan anggota staf rumah sakit.
Depresi adalah berhubungan tidak hanya dengan bunuh diri yang dilakukan
tetapi juga dengan usaha bunuh diri yang serius. Jika orang yang melakukan usaha
bunuh diri dinyatakan sebagai memiliki maksud bunuh diri yang tinggi dibandingkan
dengan mereka yang memiliki maksud bunuh diri yang rendah, mereka secara
bermakna lebih banyak adalah laki-laki, berusia lebih tua, tidak menikah atau bercerai
dan hidup sendirian. Kesimpulan dari korelasi tersebut adalah bahwa pasien depresi
yang melakukan usaha bunuh diri yang serius lebih menyerupai korban bunuh diri
dibandingkan dengan mereka yang berusaha bunuh diri.
3.6 Terapi
Tidak semua pasien memerlukan perawatan di rumah sakit, beberapa dapat diobati
dengan rawat jalan. Untuk menentukan apakah dimungkinkan terapi rawat jalan, klinisi harus
menggunakan pendekatan klinis yang langsung meminta pasien yang diduga bermaksud
bunuh diri untuk setuju menelepon segera jika mencapai titik dimana mereka tidak yakin
akan kemampuan mereka untuk mengendalikan impuls bunuh dirinya. Pasien yang dapat
membuat persetujuan tersebut memperkuat keyakinan bahwa mereka memiliki kekuatan yang
cukup untuk mengendalikan impuls tersebut dan berusaha mencari bantuan. Jika pasien tidak
dapat memenuhi komitmen ini, maka perawatan di rumah sakit menjadi indikasi yang harus
diambil.
Menurut Schnedman, klinisi memiliki beberapa tindakan preventif praktis untuk
menghadapi orang yang ingin bunuh diri seperti :
1. Menurunkan penderitaan psikologi dengan memodifikasi lingkungan pasien yang
penuh dengan stress, menuliskan bantuan dari pasangan, perusahaan atau teman.
2. Membangun dukungan yang realistik dengan menyadari bahwa pasien mungkin
memiliki keluhan yang masuk akal.
3. Menawarkan alternatif terhadap bunuh diri.
Keputusan untuk merawat pasien di rumah sakit tergantung pada diagnosis, keparahan
depresi dan gagasan bunuh diri, kemampuan pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah,
situasi hidup pasien, tersedianya dukungan sosial dan ada atau tidaknya faktor resiko untuk
bunuh diri.
Dalam rumah sakit pasien mungkin menerima medikasi antidepresan atau antipsikotik
sesuai dengan indikasi, terapi individual, terapi kelompok dan pasien mendapatkan dukungan
sosial rumah sakit dan rasa aman. Tindakan terapeutik lain tergantung pada diagnosis dasar
pasien. Sebagai contohnya, jika ketergantungan alkohol adalah masalah yang berhubungan,
terapi harus diarahkan untuk menghilangkan kondisi tersebut.
Tindakan yang berguna untuk terapi pasien rawat inap yang mencoba bunuh diri dan
mengalami depresi adalah memeriksa barang-barang pasien dan orang yang berkunjung ke
bangsal. Hal ini bertujuan untuk mencari benda-benda yang dapat digunakan untuk bunuh
diri dan secara berulang mencari eksaserbasi gagasan bunuh diri. Idealnya, pasien rawat inap
yang mencoba bunuh diri dan mengalami depresi harus diobati dalam bangsal yang terkunci
dimana jendela dipasang terali dan ruangan pasien harus berlokasi dekat dengan tempat
perawat untuk memaksimalkan pengamatan oleh staf perawat. Tim yang mengobati harus
memeriksa secara berulang atau terus menerus mengawasi secara langsung. Terapi yang
efektif dengan medikasi antidepresan harus dimulai. Terapi elektrokonvulsif (ECT) mungkin
diperlukan untuk beberapa pasien yang terdepresi parah yang mungkin memerlukan beberapa
kali pengobatan.
Pasien yang sedang pulih dari depresi bunuh diri berada pada resiko khusus. Saat
depresi menghilang, pasien menjadi memiliki energi dan mampu untuk melakukan rencana
bunuh dirinya. kadang-kadang pasien depresi dengan atau tanpa terapi secara tiba-tiba
tampak damai dengan dirinya sendiri karena mereka telah mengambil keputusan rahasia
untuk melakukan bunuh diri. Klinisi harus secara khusus mencurigai perubahan klinis yang
dramatis tersebut, yang mungkin meramalkan usaha bunuh diri.
Terapi Psikofarmaka
Seseorang yang sedang dalam krisi karena baru ditinggal mati atau baru mengalami
suatu kejadian yang jangka waktunya tak lama, biasanya akan berfungsi lebih baik setelah
mendapatkan tranquilizer ringan, terutama bila tidurnya terganggu. Obat pilihannya adalah
golongan benzodiazepine misalnya lorazepam 3 x 1 mg sehari, selama 2 minggu. Hati-hati
memberikan benzodiazepine pada pasien yang hostile, karena penggunaan benzodiazepine
yang teratur dapat meningkatkan iritabilitas pasien. Jangan memberikan obat dalam jumlah
banyak sekaligus kepada pasien (resepkan sedikit-sedikit saja) dan pasien harus kontrol
dalam beberapa hari.
Pemberian antidepresan biasanya tidak dimulai di ruang gawat darurat, meskipun
biasanya terapi definitif pasien-pasien yang mempunyai kecenderungan bunuh diri adalah
antidepresan. Antidepresan boleh diberikan di instalasi gawat darurat asal dibuat perjanjian
kontrol keesokan harinya secara pasti.
DELIRIUM
Definisi
Delirium merupakan sindrom mental organik akut yang berakibat hendaya kognitif
menyeluruh, yang dapat disebabkan oleh penyakit fisik ( delirium akibat kondisi medis
umum ), obat-obatan ( intoksikasi zat atau delirium putus zat ), beberapa penyebab
bersamaan ( delirium akibat etiologi multiple ), atau oleh kondisi organik yang tidak
diketahui.
Etiologi
a. Penyebab intrakranial
Epilepsi dan keadaan pasca iktal
Trauma otak
Infeksi ( Meningitis, Ensefalitis )
Neoplasma
Gangguan Vaskular
b. Penyebab ekstrakranial
Obat dan Racun
o Sedativa ( termasuk alkohol ) dan hipnotika
o Obat penenang
o Obat lain :
Antikolinergika
Antikonvulsiva
Antihipertensiva
Antiparkinsonia
Glikosida kardiak
Simetidin
Disulfiram
Insulin
Opioida
Fensiklidin
Salisilat
Steroida
o Racun
Karbon monoksida
Logam berat dan limbah Industri lain
Disfungsi endokrin ( hipo- atau hiperfungsi )
o Hipofisis
o Pankreas
o Suprarenal
o Paratiroid
o Tiroid
Penyakit alat nonendokrin
o Hati
Ensefalohepatik
o Ginjal dan saluran kemih
Ensefalopati uremikum
o Paru-paru
Narkosis karbon monoksida
Hipoksia
o Sistem Kardiovaskular
Gagal jantung
Aritmia
Hipotensi
o Penyakit Defisiensi
Defisiensi tiamin
Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis
Ketidakseimbangan elektrolit oleh aneka penyebab
Keadaan pasca bedah
Patofisiologi
Banyak kondisi sistemik dan obat bisa menyebabkan delirium, contoh antikolinergika,
psikotropika, dan opioida. Mekanisma tidak jelas, tetapi mungkin terkait dengan gangguan
reversibilitas dan metabolisma oxidatif otak, abnormalitas neurotransmiter multipel, dan
pembentukan sitokines (cytokines). Stress dari penyebab apapun bisa meningkatkan kerja
saraf simpatikus sehingga mengganggu fungsi kolinergik dan menyebabkan delirium. Usia
lanjut memang dasarnya rentan terhadap penurunan transmisi kolinergik sehingga lebih
mudah terjadi delirium. Apapun sebabnya, yang jelas hemisfer otak dan mekanisma siaga
(arousal mechanism)dari talamus dan sistem aktivasi retikular batang otak jadi terganggu.
Kriteria Diagnosis
A. Kemampuan yang terbatas untuk mempertahankan daya perhatian
dari luar. Biasanya pasien Sangat mudah teralih perhatiannya dan tidak dapt
emusatkan perhatian dengan baik atau cukup lama untuk mengikuti rangkaian isi
pikir atau mengerti apa yang sedang terjadi disekelilingnya. lakukan tes serial
pengulangan tujuh atau tes huruf acak pada pasien.
B. Alam pikiran yang kacau, yang ditunjukan oleh cara bicara yang ngawur dan tidak
jelas ( asal bersuara ), soalnya tidak relevan, atau daya bicara inkoheren.
C. Sedikitnya dua dari yang tercantum dibawah ini :
1. Kesadaran yang menurun.
Pasien tidak waspada seperti biasanya dan dapat tampak bingung dan
kacau. lakukan observasi terhadap pasien, dapat terjadi penurunan kesadaran
(bertahap sampai stupor) atau hiper-alert (waspada berlebihan ).
2. Gangguan persepsi
Hal ini lazim terjadi, misal, salah interpretasi terhadap kejadian di
sekitarnya, ilusi ( misal, gorden tertiup angin dan pasien yakin ada seseorang
sedang memanjat jendela ), dan halusinansi ( biasanya visual ). pasien bisa
atau mungkin juga tidak mengenali kesalahan persepsinya yang dianggapnya
sebagai tidak nyata.
3. Perubahan pola tidur-bangun
Insomnia hampir selalu ada ( semua gejala biasanya memburuk di waktu
malam hari dan pada keadaan gelap ) dan kantuk berat juga dapat terjadi.
4. Aktivitas psikomotor meningkat atau menurun
Sebagian besar pasien delirium dalam keadaan gelisah dan agitasi, serta dapat
menunjukkan pengulangan gerakan, ada pula yang mengantuk berlebihan
( somnolen ), dan ada juga yang berfluktuasi dari satu bentuk ke bentuk
lainnya ( biasanya kegelisahan terjadi malam hari dan mengantuk sepanjang
hari ).
5. Disorientasi terhadap waktu, tempat atau orang.
6. Gangguan daya ingat
Pasien terutama mengalami defisit ”recent memory” dan biasanya
menyangkalnya ( ia dapat berkonfabulasi dan cenderung ingin berbicara
mengenai hal lampau ).
D. Gambaran klinis yang timbul yang berkembang berfluktuasi dalam
waktu yang singkat ( biasanya dalam jam atau hari ) dan cenderung naik turun
dalam alunan sehari
E. Salah sati dari (1 ) atau ( 2 ) :
( 1 ) Terbukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau uji laboratorik tentang satu atau
beberapa faktor organik yang khas yang dapat diduga sebagai penyebab yang terkait
dengan gangguan itu.
( 2 ) dengan tiada bukti ini, satu faktor penyebab organik dapat diduga bila
gangguannya tidak dapat diperkirakan disebabkan oleh gangguan mental non-
organik ( contoh, episoda manik yang merupakan sebab untuk menjadi agitatif dan
gangguan tidur ).
Gejala-gejala prodormal dini perkembangan delirium yang harus diwaspadai meliputi:
- Kegelisahan ( terutama malam hari ), ansietas ;
- Mengantuk siang hari;
- Insomnia ( gangguan tidur ), banyak mimpi-mimpi yang jelas, mimpi buruk;
- Hipersensitivitas terhadap cahaya dan suara;
- Ilusi dan halusinasi yang hilang timbul;
- Perhatian mudah teralih, kesulitan untuk berfikir dengan jernih.
Diagnosa Banding
- Dementia;
- Gangguan psikotik
- dll
Delirium dan demensia merupakan dua gangguan yang berbeda, namun sering
sukar dibedakan. Pada keduanya, fungsi kognitif terganggu, namun demensia biasanya
memori yang terganggu, sedangkan delirium daya perhatiannya yang terganggu. Beberapa
ciri khas membedakan kedua gangguan tersebut (lihat tabel I). Delirium biasanya
disebabkan oleh penyakit akut atau keracunan obat (kadang mengancam jiwa orang) dan
sering reversibel, sedangkan demensia secara khas disebabkan oleh perubahan anatomik
dalam otak, berawal lambat dan biasanya tidak reversibel. Delirium bisa timbul pada
pasien dengan demensia juga.
Tabel I. Perbedaan klinis delirium dan Demensia
Gambaran Delirium Demensia
Riwayat Penyakit akut Penyakit kronik
Awal Cepat Lambat laun
Sebab Terdapat penyakit lain (infeksi,
dehidrasi, guna/putus obat
Biasanya penyakit otak kronik (spt
Alzheimer, demensia vaskular)
Lamanya Ber-hari/-minggu Ber-bulan/-tahun
Perjalanan
sakit
Naik turun Kronik progresif
Taraf
kesadaran
Naik turun Normal
Orientasi Terganggu, periodic Intak pada awalnya
Afek Cemas dan iritabel Labil tapi tak cemas
Alam pikiran Sering terganggu Turun jumlahnya
Bahasa Lamban, inkoheren, inadekuat Sulit menemukan istilah tepat
Daya ingat Jangka pendek terganggu nyata Jangka pendek & panjang
terganggu
Persepsi Halusinasi (visual) Halusinasi jarang kecuali
sundowning
Psikomotor Retardasi, agitasi, campuran Normal
Tidur Terganggu siklusnya Sedikit terganggu siklus tidurnya
Atensi &
kesadaran
Amat terganggu Sedikit terganggu
Reversibilitas Sering reversible Umumnya tak reversibel
Penanganan Segera Perlu tapi tak segera
Catatan: pasien dengan demensia amat rentan terhadap delirium, dan delirium yang
bertumpang tindih dengan demensia adalah umum
Membedakan Delirium Dengan Psikosa
Gejala Umum Delirium
(penyakit fisik)
Gejala Umum Psikosa
(kelainan mental)
Bingung tentang waktu, tanggal, tempat
atau identitas
Biasanya sadar akan waktu, tempat &
identitas
Sulit memusatkan perhatian Mampu memusatkan perhatian
Lupa akan peristiwa yg baru saja terjadiBerfikir tidak logis tetapi ingat akan
peristisa yg baru saja terjadi
Tidak mampu berfikir secara logis atau
melakukan perhitungan sederhana
Mampu melakukan perhitungan
sederhana
Demam atau pertanda infeksi lainnya Riwayat kelainan psikis sebelumnya
Halusinasi (lihat) Halusinasi (dengar)
Terdapat bukti pemakaian obat -
Tremor -
VI. Penatalaksanaan
- Berikan perawatan medis yang adekuat untuk penyebab delirium yang telah
diketahui. pasien delirium memiliki angka kematian yang meningkat.
- Berikan lingkungan yang aman bagi pasien. Observasi pasien dari jam ke jam
( terutama di malam hari ). Untuk itu diperlukan seseorang yang selalu berada
dikamar pasien, lebih baik orang yang telah dikenal pasien dengan baik.
Pergunakan pembatasan fisik seperti pengikatan hanya jika betul-betul diperlukan
( karena sering kali pengikatan akan menambah agitasi ).
- Jagalah agar pasien dalam ruangan yang tenang dengan cukup penerangan.
biarkan benda-benda pribadi pasien berada didekatnya dan jika mungkin orang
yang sama yang merawat pasien.
- Lakukan orientasi kembali secara taktis dan berulang-ulang. perkenalkan diri anda
sekali lagi dan jelaskan apa yang sedang anda lakukan dan mengapa anda
melakukannya.
- Antispasi kecemasan pasien dan tenangkan diri pasien. bersikaplah tenang dan
simpatik terhadap pasien
- Obat-obatan harus digunakan dengan hati-hati.
o Neuroleptic :
Haloperidol (haldol) 2-5 mg
Risperidon 0,5-2 mg
o Short-acting sedatives :
Lorazepam 1-2 mg
TINDAK KEKERASAN (VIOLENCE)
Definisi
Violence atau tindak kekerasan adalah agresi fisik yang dilakukan seseorang terhadap
orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri disebut mutilasi diri atau tingkah
laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat timbul akibat berbagai gangguan
psikiatrik, tapi dapat pula terjadi pada orang biasa yang tidka dapat mengatasi tekanan hidup
sehari-hari dengan cara yang lebih baik. tindka kekerasan dan ancaman tindak kekerasan
sering terjadi di ruang gawat darurat psikiatrik serta sering menyebabkan permintaan
konsultasi ke psikitarik. Para dokter dan staf harus mengetahui cara cepat memulai prosedur
pencegahan peningkatan tindka kekerasan ini. Prosedur ini meliputi intervensi prilaku,
farmakologik dan psikososial.
Gambaran klinik dan diagnosis :
Gambaran psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah :
Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila penderita paranoid
dan mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding hallucination)
Intoksikasi alcohol atau zat lain
Gejala putus zat akibat alcohol atau obat-obatan hipnotik-sedatif
Katatonik furor
Depresi agitatif
Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan pengendalian
impuls (mislanya gangguan kepribadian ambang dan antisosial)
Gangguan mental organic, terutama yang menegnai lobus frontalis dan temporalis
otak.
Factor resiko lain terjadinya tindakan kekerasan adalah :
Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindka kekerasan.
Adanya rencana spesifik
Adamya kesempatan atau suatu cara untuk terjadi kekerasan
Laki-laki
Usia muda
Status sosioekonomi rendah
Sistem dukungan sosial yang buruk
Adanya riwayat melakukan tindka kekerasan
Tindak antisocial lain
Pengendalian impuls yang buruk
Riwayat percobaan bunuh diri
Adanya stressor yang baru saja terjadi
Riwayat tindak kekerasan merupakan indicator terbaik
Factor tambahan lain adalah :
Adanya riwayat bahwa yang bersangkutan pernah menjadi korban kekerasan
Riwayat masa kanak-kanak yang meliputi triad : mengompol, main api, dan
kekejaman terhadap hewan.
Mempunyai catatan criminal
Pernah berdinas militer / polisi
Mengendarai kendaraan secara ugal-ugalan
Riwayat tindak kekerasan dalam keluarga
Tujuan pertama menghadapi pasien yang potensial untuk melakukan tindka kekerasan
adalah mencegah hal itu.
Tujuan berikutnya adalah membuat diagnosis sebagai dasar rencana penatalaksanaan,
termasuk cara-cara untuk memperkecil kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.
Panduan wawancara dan psikoterapi :
Bersikaplah suportif dan tidak mengancam. Meskipun demikian, bersikaplah tegas
dan berikan batasan yang jelas bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical
restraints). Tentukan batasan itu dengan memberikan pilihan (misalnya : pilihan obat
atau diikat) dan bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif “ minum tablet ini
sekarang “
Katakana langsung kepada pasien bahwa kekerasan tidak dapat diterima
Tenangkan pasien bahwa ia aman disini. Tunjukkanlah dan tularkan sikap yang
tenang serta penuh control.
Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya menjadi lebih tenang.
Evaluasi dan penatalaksanaan :
1. Lindungi diri anda. Kita harus memperhatikan bahwa mungkin saja terjadi suatu
tindak kekerasan sehingga kita tidak akan dikejutkan oleh suatu prilaku kekerasan
yang mendadak :
Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata. Pasien harus
menyerahkan senjatanya ke petugas keamanan. Ketahuilah sebanyak mungkin
tentang pasien sebelum diwawancarai.
Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas (violent) seorang
diri atau didalam ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang bisa dijambak/ditarik
pasien seperti kalung, dasi dsb. Usakan agar selalu terlihat staf lainya.
Jangan melakukan pengikatan pasien sendiri, tapi serahkan urusan itu pada
anggota staf yang sudah terlatih untuk itu.
Jangan membiarkan pasien mempunyai akses terhadap ruangan yang berisi
barang-barang yang dapat dijadikan senjata misalnya brankar atau ruang
tindakan
Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid yang mungkin merasa
bahwa sedang diancam.
Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan
Jangan menantang atau menentang pasien psikotik
Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan. Selalu persiapkan rute
untuk melarikan diri seandainya pasien menyerang. Jangan pernah
membelakangi pasien.
2. Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan antara lain :
Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama ini, gigi
yang dikatupkan serta telapak yang dikepal
Ancaman verbal
Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata
Agitasi psikomotor (merupakan indicator kuat)
Intoksikasi alcohol atau obat atau zat lain
Waham kejar
Halusinasi yang menyuruh (commanding hallucinations)
3. Pastikan bahwa anda terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien secara
aman. Minta bantuan anggota staf lain sebelum agitasi pasien meningkat. Seringkali
unjuk kekuatan dengan menghadirkan banyak anggita staf yang tampak kuat sudah
cukup untuk mencegha tindak kekerasan
4. Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang sudah terlatih. Biasanya
sesudah pasien diikat diberikan benzodiazepine atau antipsikotik (tergantung
diagnosisnya) untuk menenangkan pasien. berikan suasana yang tenang.
5. Lakukan evaluasi diagnostic yang tepat, meliputi tanda-tanda vital, pemeriksaan fisik
dan wawancara psikiatrik. Evaluasi resiko bunuh diri dan buat rencana
penatalaksanaan yang meliputi penanganan tindak kekerasan yang mungkin muncuk
kemudian
6. Eksplorasi kemungkinan dilakukanya intervensi psikososial untuk mengurangi resiko
kekerasan. Jika tindka kekerasan itu berhubungan dengan situasi atau orang tertentu,
coba pisahkan pasien dari orang atau situasi tersebut. Coba intervensi keluarga dan
manipulais lingkungan lainya. Apakah pasien tetap akan bersikap keras bila ia tinggal
dengan keluarga lainya ?
7. Mungkin pasien perlu dirawat untuk mencegahnya melakukan tindak kekerasan.
Observasi harus dilakukan teru-menerus, meskipun pasien dirawat diruang perawatam
psikiatrik yang terkunci.
8. Jika penanganan psikiatrik bukan hal yang sesuai dengan suatu kasus, mungkin perlu
melibatkan polissi atau aparat hukum
9. Calon korban harus diperingatkan seandainya masih ada kemungkinan bahaya
mengancam misalnya : bila pasien tidak dirawat.
Terapi psikofarmaka :
Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenangkan pasien diberikan obat
antipsikotik atau benzodiazepine :
Flufenazin, trifluperazin atau haloperidol diberikan 5mg per oral atau IM
Olanzapine 2,5 – 10 mg per IM maksimal 4 injeksi sehari, dengan dosis rata-rata per-
hari 13-14 mg
Lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10 mg per IV secara perlahan (dalam 2 menit)
Bila pasien sudah mendapat antipsikotik sebelumnya, berikan lagi obat yang sama. Bila
dalam 20-30 menit kegelisahan pasien tidak berkurang, ulangi dosis yang sama. Hindari
pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai resiko kejang.
Benzodiazepine mungkin tidak akan efektif pada pasien yang sudah toleran.
Benzodiazepine juga dapat menurunkan inhibisi yang secara potensial dapat memperburuk
kekerasan pada pasien. untuk penderita epilepsy, mula-mula berikan antikonvulsan ,isalnya
carbamazepine, baru benzodiazepine. Pasien yang menderita gangguan organic seringkali
memberikan respon yang baik denga pemberian β-blockers, seperti propanolol.
SINDROMA NEUROLEPTIK MALIGNA
Definisi
Pasien sering datang ke gawat darurat karena keadaan yang disebabkan oleh efek
samping pemberian obat-obatan antipsikotik seperti parkinsonism, distonia akut, akatisia
akut, diskinesia Tardif.
Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang berhubungan dengan
penggunaan obat antipsikotik.
Perlu diwaspadai suatu keadaan yang meskipun jarang terjadi namun sangat
berbahaya. Gejala meliputi : Kekakuan otot, distonia, akinesia, mutisme dan agitasi.
Gambaran klinis dan diagnosis :
Sindroma neuroleptik maligna ditandai dengan demam tinggi (dapat mencapai
41,5%), kekakuan otot yang nyata sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas
otonomik (takikardi,tekanan darah yang labil, berkeringan berlebihan) dan gangguan
kesadaran.
Kekakuan yang parah dapat menyebabkan rhabdomyalosis, myoglobinuria dan
akhirnya ggal ginjal. Penyulit lain dapat berupa thrombosis vena, emboli paru, renjatan dan
kematian. Tingkat kematian dapat mencapai 20%.
Sindroma neuroleptik maligna biasanya terjadi dalam hari-hari pertama penggunaan
antipsikotik pada saat dosis mulai ditingkatkan, umumnya dalam sepuluh dari pertama
pengobatan antipsikotik. Sindroma neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada pasien
yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi dan dosis tinggi atau dosis yang meningkat
cepat.
Panduan wawancara dan psikoterapi :
Sindroma neuroleptik maligna adalah keadaan darurat medik sehingga perlu dirawat
di ICU. Kesadaranya terganggu. Tanyakan perjalanan penyakitnya kepada keluara dan
teman-temanya .
Evaluasi dan penatalaksanaan :
1. Pertimbangkan kemungkinan sindroma neuroleptik maligna pada pasien yang
mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan obat.
2. Bila terdapat rigiditas ringan yang tidak berespon terhadap antikolinergik biasa dan
bila demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sindroma neuroleptik maligna
3. Hentikan pemberian antipsikotik segera
4. Monitor tanda-tanda vital pasien secara berkala
5. Lakukan pemeriksaan laboratorium yang mencakup : darah perifer lengkap termasuk
hitung jenis, kimia darah, fungsi hati, ureum dan kreatinin. Biasanya terdapat
leukositosis serta peningkatan creatinin phosfokinase (CPK) yang biasanya meningkat
dan secara langsung berkaitan dengan keparahan sindroma neuroleptik maligna
6. Untuk menurnkan suhu lakukan kompres seluruh badan dengan es, antipiretik
biasanya tidak berguna. Ini efektif sebagai tindakan awal sebelum episode berlanjut.
7. Hidrasi cepat intravena dapat mencegah terjadinya renjatan danmenurunkan
kemungkinan gagal ginjal.
8. sindroma neuroleptik maligna biasanya berlangsung sekitar 15 hari. Setelah sembuh,
masalah yang timbul kemudia adalah pemberian antipsikotik selanjutnya.
Terapi psikofarmaka :
- amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi
- bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari, dapat dinaikkan sampai 45 mg/hari
- levodopa 50-100 mg/hari IV dalam infuse terus menerus
- dabtrolene 1 mg/kg/hari IV selama 8 hari, kemudian dilanjutkan PO selama 7 hari
setelah itu
- benzodiazepine atau ECT dapat diberikan apabila obat-obatan lain tidka berhasil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hawari, D.; Psikopatologi Bunuh Diri . Balai penerbit FKUI , Jakarta, 2010.
2. Prayitno, A. ; Percobaan Bunuh Diri di Jakarta, Dalam Hubungannya Dengan Diagnosis
Psikiatri dan Faktor Sosiokultural, Disertasi Gelar Doktor FKUI, 1984.
3. Maramis, W.F., Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan kesembilan, Surabaya : Airlangga
University Press, 2005.
4. Rumah Sakit Jiwa Lawang, Membangun Kesadaran-Mengurangi Resiko Gangguan
Mental dan Bunuh Diri, 2007. (online), available :
http://rsjlawang.com/artikel_070309a.html Diakses 7 Oktober 2009. Diakses 7 Juni2011
5. Suwanto, Bunuh Diri, 2009. (online), available :
http://ezcobar.com/dokter-online/dokter15/index.php? Diakses 7 Juni 2011.
6. Kaplan dan Sadock. Kaplan H. I, Sadock B.J Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri, Hal 353-367, Klinis Edisi Ketujuh, Jilid Dua. Binarupa Aksara, Jakarta.
1997.