REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

52
BAB I PENDAHULUAN Tindakan bunuh diri, kekerasan dan penyalahgunaan zat merupakan masalah-masalah serius yang perlu intervensi segera. Ketiga kondisi tersebut merupakan sebagian dari pelbagai kondisi kedaruratan psikiatrik. Pemahaman kesehatan masyarakat bahwa kasus-kasus tersebut merupakan keadaan yang perlu pertolongan segera, menyebabkan dokter akan lebih banyak menemui kassus-kasus kedaruratan psikiatrik tersebut. Hal ini juga sejalan dengan peningkatan pemahaman bahwa perubahan status mental seseorang dapat disebabkan oleh penyakit organik (sesuai dengan konsep hierarki dalam pemehaman diagnosis gangguan jiwa). Sebagai ujung tombak di lapangan, peran dokter umum sangat penting dalam hal ini adalah sebagai bagian dari pelayanan kedaruratan medik yang terintegrasi. Diperlukan keterampilan dalam assesment dan teknik evaluasi untuk membuat diagnosis kerja. Dalam pelaksanaannya sering diperlukan pemeriksaan fisik serta laboratorium yang sesuai dan memadai. Kerja sama dalam suatu tim adalah bentuk pelayanan yang paling diharapkan untuk hasil optimal. Pendekatan Consultation-Liaison Psychiatry bermanfaat untuk beberapa penanganan kasus-kasus kedaruratan, seperti tindakan bunuh diri, delirium, sindrom neuroleptik maligna, dll.

Transcript of REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

Page 1: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

BAB I

PENDAHULUAN

Tindakan bunuh diri, kekerasan dan penyalahgunaan zat merupakan masalah-masalah

serius yang perlu intervensi segera. Ketiga kondisi tersebut merupakan sebagian dari pelbagai

kondisi kedaruratan psikiatrik. Pemahaman kesehatan masyarakat bahwa kasus-kasus

tersebut merupakan keadaan yang perlu pertolongan segera, menyebabkan dokter akan lebih

banyak menemui kassus-kasus kedaruratan psikiatrik tersebut. Hal ini juga sejalan dengan

peningkatan pemahaman bahwa perubahan status mental seseorang dapat disebabkan oleh

penyakit organik (sesuai dengan konsep hierarki dalam pemehaman diagnosis gangguan

jiwa).

Sebagai ujung tombak di lapangan, peran dokter umum sangat penting dalam hal ini

adalah sebagai bagian dari pelayanan kedaruratan medik yang terintegrasi.

Diperlukan keterampilan dalam assesment dan teknik evaluasi untuk membuat

diagnosis kerja. Dalam pelaksanaannya sering diperlukan pemeriksaan fisik serta

laboratorium yang sesuai dan memadai. Kerja sama dalam suatu tim adalah bentuk pelayanan

yang paling diharapkan untuk hasil optimal. Pendekatan Consultation-Liaison Psychiatry

bermanfaat untuk beberapa penanganan kasus-kasus kedaruratan, seperti tindakan bunuh diri,

delirium, sindrom neuroleptik maligna, dll.

Page 2: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

BAB II

KEDARURATAN PSIKIATRI

Kedaruratan psikiatri merupakan cabang ilmu kedokteran jiwa dan kedokteran

kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapu kasus kedaruratan yanng memerlukan intervensi

psikiatrik.

Dokter masa kini harus mengembangkan perannya untuk menjadi bagian dari ruang

gawat darurat psikiatrik. Kasus yang datang minta pertolongan sangat bervariasi. Ada yang

sekedar ingin minta resep, ada yang memerlukan teman bicara, hingga yang merupakan

kasus-kasus psikiatrik, seperti : panik, kondisi medik umum (delirium, intoksikasi, gejala

putus zay, dll), krisis perkawinan, skizofrenia atau psikosis akut, dll.

Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan, dan perilaku yang

memerlukan intervensi terapeutik segera, antara lain:

- Kondisi gaduh gelisah

- Dampak tindak kekerasan

- Bunuh diri

- Gejala ekstrapiramidal akibat penggunaan obat

- Delirium

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan tempat pelayanan kedaruratan

psikiatrik, antara lain :

1. Keamanan

Terdapat tim yang terpadu dalam berbagai disiplin. Jumlah staf yang bertugas harus

cukup terdiri dari atas psikiater atau dokter umum, perawat, pembantu perawat serta

idelanya terdapat juga pekerja sosial. Pembagian tanggung jawab yang spesifik harus

slalu jelas dan dilaksanakan secara baik dan benar oleh tiap-tiap anggota tim. Sangat

diperlukan jalur komunikasi dan autoritas yang jelas, serta akan lebih baik bila staf

terbagi dalam tim yang terdiri atas berbagai pilihan.

2. Pemisahan ruang secara spesifik

Anak dan remaja sebaiknya dilayani diruang terpisah yaitu ruang anak dan remaja.

Bila terdapat resiko terajdinya manifestasi perilaku atau keadaan tidak

memungkinkan, maka pasien dapat dilayani ditempat dewasa, ditempat pertama kali

pasien datang. Pasien dengan tindak kekerasan atau agitatif terpisah dari pasien-

Page 3: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

pasien non-agitatif. Ruang isolasi dan fiksasi harus terletak dekan dengan ruang

perawat agar dapat dilakukan pengawasan yang ketat.

3. Akses langsung dan mudah ketempat ruang gawat darurat medik lainya serta

pelayanan diagnosik penunjang sangat diperlukan, karena 3-50% kondisi medic

umum menunjukkan manifestasi psikiatrik.

4. Obat-obat psikofarmaka harus lengkap tersedia. Alat fiksasi serta ruang evaluasi

diusahakan yang memadai.

5. Tim yang bertugas harus mempunyai kepakaran yang spesifik dan siap bertindak

segera pada saat yang tepat. Keamanan harus diperlakukan sebagai hal klinis dan

dilaksanakan oleh staf klinik, bukan oleh petugas keamanan.

6. Seluruh staf harus mengerti bahwa pasien sedang dalam keadaan distress fisik dan

kondisi emosional yang rapuh. Pengharapan dan fantasinya seringkali tidak realistis

dan ini akan mempengaruhi responya terhadap terapi. Oleh karenanya setiap tindakan

yang akan dilakukan perlu didiskusikan, baik dengan pasienya sendiri maupun dengan

keluarganya.

7. Sikap, prilaku staf dan pasien harus dijaga dan dipahami mulai saat pasien masuk

kedalam ruang gawat darurat. Tindak kekerasan tidak dapat dibenarkan atau ditolerir,

baik pasien maupun staf di tempat pelayanan kedaruratan

2.1 Evaluasi

Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat adalah tujuan

utama dalam melakukan evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera dengan pendekatan

pragmatis, yang harus dilakkan secara tepat adalah:

1. Menentukan diagnosis awal,

2. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera sang pasien,

3. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai.

Dalam kondisi tertentu, terkadang pasien tidak diharapkan berada terlalu lama di unit

gawat darurat, antara lain karena sifat kegawatdaruratan yang tidak terduga, baik medis,

klinis maupun psikiatris, serta keterbatasan waktu, ruang, dan pemeriksaan penunjang.

Tujuan utama dalam evaluasi kedaruratan psikiatrik adalah: menilai kondisi pasien

yang sedang dalam krisis sacara cepat dan tepat. Dengan tugas di unit gawat darurat yang

sifatnya sering tak terduga, banyaknya pasien dengan keluhan-keluhan fisik dan emosional,

terbatasnya waktu, ruang, dan pemeriksaan penunjang, diperlukan pendekatan yang

Page 4: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

pragmatis bagi pasien. Kadang-kadang lebih baik bagi pasien untuk tidak terlalu lama berada

di unit gawat darurat. Dalam proses evaluasi dilakukan:

1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik

Wawancara dilaksanakan dengan lebih terstruktur. Secara umum, fokus

wawancara ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat.

Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman ataupun polisi dapat

melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, negativistik, tidak kooperatif

atau inkoheren.

Seperti halnya wawancara psikiatrik yang biasa dilakukan, hubungan dokter-

pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang diberikan dan yang

diinterpretasikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar, melakukan observasi

dan melakukan interpretasi terhadap apa yang dikatakan ataupun yang tidak dikatakan

olh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat.

Sikap yang tenang dan jujur akan sangat diperlukan dalam proses wawancara.

Hal ini membuat pasien mengerti bahwa dokter memegang kendali, dan bahwa

keputusan untuk melakukan setiap tindakan, adalah untuk mencegah perilaku yang

melukai diri sendiri atau orang lain.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwatyat perjalanan penyakit,

pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik, dan kalau perlu

pemeriksaan penunjang.

Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oleh dokter di unit gawat

darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan darah, suhu, nadi adalah

sesuatu yang mudah diukur yang dapat memberikan suatu informasi yang bermakna

secara cepat. Misalnya seseorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi,

demam, frekuensi nadi 120 per menit, dan tekanan darah meningkat, kemungkinan

besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik

Apapun penyakit pasien yang sesungguhnya, tanda-tanda vital dapat

membantu dokter untuk memilih alur diagnosis yang benar karena pemeriksaan ini saja

sudah banyak yang bisa kita simpulkan atau kita singkirkan.

Pada bagan, dapat dilihat salah satu model alur evaluasi dan penatalaksanaan

pasien darurat psikiatrik.

Page 5: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

Bagan alur evaluasi dan penatalaksanaan pasien gawat darurat psikiatri

Pasien rujukan Datang sendiri Pasien diantar oleh polisi

Pelayanan gawat darurat psikiatrik

Triage

Tanda vital

Kesadaran

Pemeriksaan medik, neurologik

Pemeriksaan laboratorium

Triage psikiatrik

Evaluasi medik

Evaluasi psikiatrik; organik atau fungsional

Rawat bersama dengan disiplin ilmu lain Rawat inap psikiatrik Rawat jalan

Lima hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:

1. Keamanan pasien

Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa situasi di ruang

gawat darurat, pola pelayanan dan kominikasi antar staf, serta jumlah pasien dalam

ruangan tersebut cukup aman bagi pasien, baik secara fisik maupun emosional. Jika

intervensi verbal tidak cukup atau merupakan kontraindikasi, perlu dipikirkan

pemberian obat atau pengekangan. Perhatian perlu diberikan terhadap kemungkinan

timbulnya agitasi atau perilaku merusak.

2. Medik atau psikiatrik?

Penting sekali bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik, atau

kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi-kondisi

medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan demam tinggi, kelainan

metabolisme, tumor, AIDS, intoksikasi atau gejala putus zat, seringkali menyebabkan

gangguan fungsi mental yang menyerupai gangguan psikiatrik pda umumnya. Bila

konsisi ini tidak ditangani semestinya, dapat menyebabkan kematian. Karena itu

Page 6: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

dokter gawat darrurat tetap arus menelusuri semua kemungkinan penyebab gangguan

fungsi mental yang tampak, meskipun sebelumnya secara mesik telah dinyatakan tak

ada kelainan oleh dokter lain.

3. Psikosis

Yang penting disini bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh

ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan mempengaruhi

hidupnya. Hal ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita

berikan serta kepatuhannya dalam berobat.

Kominikasi dengan pasien psikosis harus luwes dan tidak bertele-tele. Semua

intervensi klinis harus dijelaskan secara singkat dan jelas, dalam bahasa yang dapat

dimengerti. Jangan mengharapkan pasien mempercayai atau mengharapkan bantuan

kita. Dokter harus siap untuk melakukan wawancara terstruktur atau menghentikan

wawancara sewaktu-waktu untuk membatasi kemungkinan terjadinya agitasi atau

regresi.

4. Suicidal atau homicidal

Pasien-pasien dengan kecenderungan ini sangat membehayakan dirinya atau orang

lain. Jangan pernah menyepelekan semua ancaman, pikiran atau sikap yang

menunjukkan adanya kecenderungan bunuh diri, sampai terbukti hal itu tidak benar.

Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus diobservasi secara ketat.

Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau pikiran bunuh diri

harus selalu ditanyakan pada pasien.

5. Kemampuan merawat diri sendiri

Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien mampu

merawat dirinya sendiri, mampu menjalankan saran yang dianjurkan.

Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk merawat pasien di rumah

merupakan salah satu indikasi rawat inap.

Indikasi rawat inap adalah:

- Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,

- Bila perawatan di rumah tidak memadai,

- Perlu observasi lebih lanjut.

Page 7: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

2.2 Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis dan Terapi

Beberapa hal yang perludipertimbangkan dalam penegakan diagnosis dan terapi antara lain:

1. Diagnosis

Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada beberapa hal

yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data, misalnya penapisan

toksikologi (tes urin untuk opioid, amfetamin, benzodiazepin, kanabis, dsb),

pemeriksaan radiologi, EKG, tes laboratorium. Sedapat mungkin pemeriksaan dan

konsultasi medik untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab organik dilakukan di

ruang gawat darurat. Data penunjang seperti catatan medik sebelumnya, informasi

dari sumber luar (alloanamnesis dari keluarga, polisi, dll) juga dikumpulkan sebelum

kita menentukan tindakan. Prioritas utama memang kemanan, namun hal ini jangan

sampai menunda penegakan diagnosis.

2. Terapi

Pemberian terapi obat atau pengekangan (bila memang diperlukan) harus mengikuti

prinsip terapi: maximum tranquilization with minimum sedation.

Tujuannya adalah untuk:

- Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali

- Mengurangi/menghilangkan penderitaannya,

- Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat kesimpulan akhir.

Pasien yang tidur memang tidak dapat membahayakan orang lain, tetapi kita pun tidak

dapat melakukan pemeriksaan status mental pada pasien tersebut. Obat-obatan yang

sering digunakan adalah:

- Low-dose high-potency anti psychotics, seperti haloperidol, trifluoperazine,

perphenazine, dsb, karena batas keamanannya cukup luas. Haloperidol terdapat

dalam kemasan injeksi dan tetes (cairan) sehingga memudahkan pemberian.

- Atypical anti psychotics,seperti risperidone, quetiapine, olanzapine. Olanzapine

juga terdapat dalam bentuk injeksi.

- Injeksi benzodiazepin. Kombinasi antipsikotik dengan benzodiazepin kadang

sangat efektif.

Page 8: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

Kesalahan yang sering dilakukan oleh para dokter adalah:

1. Pemberian dosis yang terlalu besar atau penggunaan preparat yang terlalu kuat

(overmedication), sehingga evaluasi atau pemulangan menjadi terlambat,

2. Pemberian dosis yang kurang atau pemberian preparat yang kurang tepat

(undermedication),

3. Penggantian obat yang terlalu cepat.

2.3 Rujukan/Pemindahan

Pada beberapa keadaan, misalnya psikosis akibat zat, reaksi stres akut, dekompensasi

psikologik sementara pada pasien dengan gangguan kepribadian tertentu, akan lebih baik

pasien tidak langsung dirawat atau dipulangkan.

Penempatan di ruang observasi berkelanjutan akan memberikan waktu bagi dokter

untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut mengenai penyebab gangguan mentalnya. Selain

itu keadaan pasien juga akan membaik bila berada di tempat yang aman.

Dengan demikian pasien mungkin tidak perlu dirawat di instalasi rawat inap psikiatrik

yang dapat menimbulkan stigma atau trauma baginya, juga mengurangi kapasitas tempat

tidur yang mungkin dapat diberikan pada orang lain yang benar-benar membutuhkannya.

Intervensi krisis pada korban perkosaan atau korban trauma lainnya, misalnya, juga dapat

dilakukan pada fasilitas observasi ini.

Bila pasien dianggap perlu untuk dirawatinapkan, sebaiknya hal itu dilakukan dengan

persetujuan pasien sehingga ia merasa dapat mengendalikan hidupnya dan ikut berpartisipasi

dalam pengambilan keputusan berkenaan dengan pengobatannya. Bila pasien memang

membahayakan diri sendiri atau lingkungannya, maka hal itu dapat dilakukan tanpa

persetujuannya.

2.4 Dokumentasi

Semua penemuan dan tindakan harus didiskusikan dan dicatat dengan baik untuk kepentingan

pasien, dokter dan RS, asuransi/pembayaran, dan hukum. Catatan medik harus dapat

menggambarkan keadaan pasien. Penemuan positif maupun negatif serta informasi yang belu

didapat sebaiknya dicatat. Nama-nama serta alamat dan nomor telepon yang dapat dihubungi

wajib dicatat. Rencana penatalaksanaan awal dilakukan sesuai diagnosis kerja saat itu.

Page 9: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

BAB III

BUNUH DIRI

Definisi Bunuh Diri (Suicide)

Bunuh diri merupakan kematian yang ditimbulkan oleh diri sendiri dan disengaja

dimana bukan tindakan yang acak dan tidak bertujuan. Sebaliknya, bunuh diri merupakan

jalan keluar dari masalah atau krisis yang hampir selalu menyebabkan penderitaan yang kuat.

Bunuh diri merujuk kepada perbuatan memusnahkan diri karena enggan berhadapan

dengan suatu perkara yang dianggap tidak dapat ditangani. Menurut Keliat (1994) bunuh diri

adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan dan

merupakan keadaan darurat psikiatri karena individu berada dalam keadaan stres yang tinggi

dan menggunakan koping yang maladaptif. Lebih lanjut menurut Keliat, bunuh diri

merupakan tindakan merusak integritas diri atau mengakhiri kehidupan, dimana keadaan ini

didahului oleh respon maladaptif dan kemungkinan keputusan terakhir individu untuk

memecahkan masalah yang dihadapi.

Bunuh diri adalah pengambilan tindakan untuk melukai diri sendiri yang secara

sengaja dilakukan oleh seseorang. Orang yang melakukan tindakan bunuh diri mempunyai

pikiran dan perilaku yang merupakan perwakilan (representing) dari kesungguhan untuk mati

dan juga merupakan manifestasi kebingungan (ambivalence) pikiran tentang kematian

(Hoeksema, 2001).

Para klinikus menemukan adanya perbedaan antara bunuh diri yang asli (genuine

suicide) dengan bunuh diri yang dimanipulasi (manipulative suicide). Bunuh diri asli adalah

bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang benar-benar ingin mati dan tindakan yang

dilakukan untuk merealisasikan bunuh dirinya tersebut, dilakukan tanpa perhitungan yang

salah (miscalculation).

Sementara orang yang melakukan bunuh diri yang dimanipulasi tidak sungguh-

sungguh ingin membunuh dirinya, tindakan mereka (bunuh diri) adalah percobaan yang

terkontrol, yang dilakukan untuk memanipulasi orang lain (Landis & Meyer, Shneidman,

dalam Barlow & Durand, 2002).

Page 10: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

Lyttle (1986) juga membedakan antara bunuh diri (suicide) dengan usaha bunuh diri

(parasuicide). Wilkinson menyebutkan jika bunuh diri (suicide) sebagai tindakan fatal untuk

mencederai diri sendiri yang dilakukan dalam kesadaran untuk merusak diri yang kuat atau

secara sungguh-sungguh (conscious self-destructive intent). Sementara usaha bunuh diri

(parasuicide) merujuk pada tindakan menyakiti diri sendiri yang dilakukan dengan

pertimbangan yang mendalam yang biasanya tidak berakibat fatal. Usaha bunuh diri

(parasuicide), biasanya juga digambarkan sebagai percobaan bunuh diri (attempted suicide).

Heeringan (2001) menyebutkan jika perilaku bunuh diri merupakan istilah yang

digunakan untuk mewakili istilah bunuh diri itu sendiri dan usaha bunuh diri sebagai suatu

perbuatan yang menghasilkan kejadian fatal maupun tidak fatal.

Epidemiologi

Tiap tahun kira-kira 30.000 kematian di Amerika Serikat disebabkan oleh bunuh diri.

Angka tersebut adalah untuk bunuh diri yang berhasil; jumlah usaha bunuh diri diperkirakan

8 sampai 10 kali lebih besar dari angka tersebut.

Antara tahun 1970 dan 1980 lebih dari 230.000 orang melakukan bunuh diri di

Amerika Serikat, kira-kira satu dalam setiap 20 menit, 75 bunuh diri dalam sehari. Angka

bunuh diri total agak tetap setiap tahunnya. Di tahun 1977 bunuh diri berada dalam

puncaknya yaitu 13,3 per 100.000. Sekarang, bunuh diri berada dalam urutan kedelapan dari

semua penyebab kematian di Amerika Serikat, setelah penyakit jantung, kanker, penyakit

serebrovaskular, kecelakaan, pneumonia, diabetes melitus, dan sirosis.

Insiden bunuh diri di Amerika Serikat terjadi pada usia 15-24 tahun sedangkan dalam

survey nasional baru-baru ini terhadap siswa senior sekolah lanjutan 27% dari mereka pernah

memikirkan secara serius untuk bunuh diri dan salah satunya pernah mencobanya. Secara

internasional, angka bunuh diri yang lebih dari 25 per 100.000 orang terjadi di Skandinavia,

Swiss, Jerman, Austria, Negara-negara Eropa Timur, dan Jepang. Sedangkan yang kurang

dari 10 per 100.000 orang terjadi di Spanyol, Italia, Irlandia, Mesir, dan Belanda. Tempat

bunuh diri nomor satu di dunia adalah Jembatan Golden Gate di San Francisco, dengan lebih

dari 800 bunuh diri sejak di buka tahun 1937.

Page 11: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

Etiologi

Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab bunuh diri, diantaranya adalah:

Faktor Sosial

Teori Durkheim. Sumbangan pertama yang besar untuk penelitian pengaruh sosial dan

kultural terhadap bunuh diri dilakukan pada akhir abad yang lalu oleh ahli sosiologi

Perancis Emile Durkheim. Dalam upaya menjelaskan pola statistikal, Durkheim membagi

bunuh diri menjadi tiga kategori sosial : egoistik, altruistik, dan anomik.

Bunuh Diri Egoistik diterapkan pada mereka yang tidak terintegrasi secara kuat ke

dalam kelompok sosial. Tidak adanya integrasi keluarga dapat digunakan untuk

menjelaskan mengapa orang yang tidak menikah adalah lebih rentan terhadap bunuh

diri dibandingkan dengan mereka yang menikah dan mengapa pasangan dengan anak-

anak adalah kelompok yang paling terlindung dari semua kelompok. Masyarakat

perkotaan memiliki lebih banyak integrasi sosial dibandingkan dengan daerah

pedesaan, jadi lebih sedikit bunuh diri.

Bunuh Diri Altruistik terjadi dalam masyarakat yang mempunyai ikatan sosial yang

kuat. Bunuh diri ini dimaksudkan demi kelompok, hampir seperti bunuh diri ritual

Jepang “Seppuku” yang dilakukan ketika kekacauan melada masyarakat.

Bunuh Diri Anomik terkait dengan apa yang disebut “Anomie” atau keadaan dimana

anda tidak tahu tempat yang tepat bagi seseorang seperti menjadi tunawisma atau

yatim piatu. Orang tersebut merasa tidak punya apa-apa dan ini berarti berada dalam

keadaan tanpa norma dan peraturan yang membimbing dalam kehidupan sosial sehari-

hari. Hal ini dapat menjelaskan mengapa mereka dengan situasi ekonomi yang

berubah secara drastik lebih rentan dibandingkan mereka sebelum perubahan

keberuntungan mereka. Anomik juga dimaksudkan pada ketidakstabilan sosial,

dengan kehancuran standar dan nilai-nilai masyarakat.

Faktor Psikologis

Teori Freud

Tilikan psikologis pertama yang paling penting ke dalam bunuh diri berasal dari Sigmund

Freud. Ia menggambarkan hanya satu pasien yang mencoba bunuh diri, tetapi ia melihat

banyak pasien depresi. Dalam tulisannya “Mourning and Melancholia”, Freud

menyatakan keyakinannya bahwa bunuh diri mencerminkan agresi yang dibelokkan ke

dalam objek cinta yang terintroyeksi, dan ditangkap secara ambivalen.

Teori Menninger

Page 12: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

Berdasarkan konsep Freud, Karl Menninger menyimpulkan bahwa bunuh diri adalah

pembunuhan yang di retrofleksikan, pembunuhan yang dibalikkan sebagai akibat

kemarahan pasien kepada orang lain, yang dibalikkan pada diri sendiri atau digunakan

sebagai pengampunan akan hukuman.

Ia juga menggambarkan insting kematian yang diarahkan kepada diri sendiri (konsep

Thanatos dari Freud). Ia menggambarkan tiga komponen permusuhan dalam bunuh diri :

keinginan untuk membunuh, keinginan untuk dibunuh dan keinginan untuk mati.

Teori-teori Baru

Peneliti bunuh diri kontemporer tidak yakin bahwa struktur psikodinamika atau

kepribadian spesifik berhubungan dengan bunuh diri. Tetapi mereka telah menulis bahwa

banyak yang dipelajari tentang psikodinamika pasien bunuh diri dari khayalan mereka

seperti apa yang akan terjadi dan apa akibatnya jika mereka melakukan bunuh diri.

Khayalan tersebut sering kali termasuk keinginan untuk balas dendam, kekuatan,

pengendalian atau hukuman; untuk pertobatan, pengorbanan, atau pemulihan; untuk

meloloskan diri atau untuk tidur; atau untuk pembebasan, kelahiran kembali, berkumpul

kembali dengan orang yang telah meninggal atau untuk hidup baru. Pasien bunuh diri

yang paling mungkin melakukan khayalan bunuh diri adalah mereka yang telah menderita

kehilangan objek cinta atau menderita cedera narsisistik, yang mengalami efek berat

seperti kemarahan dan rasa bersalah, atau yang teridentifikasi dengan seorang korban

bunuh diri. Dinamika kelompok mendasari bunuh diri massal seperti yang terjadi di

Masada dan Jonestown.

Faktor Fisiologis

Genetika

Teori faktor genetik dalam bunuh diri telah diajukan. Penelitian menunjukan bahwa

bunuh diri cenderung berjalan di dalam keluarga. Sebagai contohnya,

pada orang yang mencoba bunuh diri ditemukan adanya riwayat bunuh diri dalam

keluarga lebih banyak secara bermakna daripada orang yang tidak pernah melakukan

bunuh diri.

Satu penelitian terbesar menemukan bahwa resiko bunuh diri untuk sanak saudara

dari pasien psikiatri hampir delapan kali lebih tinggi dibanding sanak saudara dari kontrol.

Selain itu, resiko bunuh diri pada sanak saudara pasien psikiatri yang melakukan bunuh

diri adalah empat kali lebih tinggi dibandingkan pada sanak saudara pasien psikiatri yang

tidak melakukan bunuh diri.

Page 13: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

Neurokimia

Defisiensi serotonin, diukur sebagai penurunan metabolisme 5-hydroxyindo-leacetic

acid (5-HIAA), telah ditemukan dalam kelompok pasien depresi yang mencoba bunuh diri.

Pasien depresi yang mencoba bunuh diri dengan cara keras (contoh, senjata api atau

meloncat) memiliki kadar 5-HIAA yang lebih rendah di dalam cairan serebrospinalisnya

dibandingkan pasien depresi yang tidak melakukan bunuh diri atau yang mencoba bunuh

diri dengan cara yang kurang keras (overdosis zat).

Beberapa penelitian terhadap binatang dan manusia telah menyatakan suatu hubungan

antara defisiensi sistem serotonin sentral dan pengendalian impuls yang buruk. Beberapa

peneliti telah memandang bunuh diri sebagai salah satu tipe perilaku impulsif. Kelompok

pasien lain yang diperkirakan memiliki masalah dengan pengendalian impuls adalah

pelaku kekerasan, pembakar rumah dan mereka dengan ketergantungan alkohol.

Beberapa peneliti telah menemukan pembesaran ventrikular dan elektroensefalogram

(EEG) yang abnormal pada beberapa pasien bunuh diri. Sampel darah dari kelompok

sukarelawan normal yang dianalisis untuk monoamin oksidase trombosit menemukan

bahwa orang dengan kadar enzim yang terendah didalam trombositnya memiliki

prevalensi bunuh diri delapan kali lebih besar didalam keluarganya, dibandingkan dengan

orang yang memiliki kadar enzim yang tinggi.

3.4 Faktor yang terkait

Adapun faktor-faktor yang terkait dengan tindakan bunuh diri adalah:

1. Jenis Kelamin

Laki-laki tiga kali lebih sering melakukan bunuh diri dibandingkan wanita. Akan tetapi

wanita adalah empat kali lebih mungkin berusaha bunuh diri dibandingkan laki-laki.

2. Metode

Lebih tingginya angka bunuh diri yang berhasil pada laki-laki adalah berhubungan dengan

metode yang digunakan dimana laki-laki menggunakan pistol, menggantung diri, atau

lompat dari tempat yang tinggi. Sedangkan wanita lebih mungkin menggunakan zat

psikoaktif secara overdosis atau memotong pergelangan tangannya, tetapi mereka mulai

lebih sering menggunakan pistol dibandingkan sebelumnya.

3. Usia

Page 14: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

Angka bunuh diri meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki, puncak

bunuh diri adalah usia 45 tahun; pada wanita, jumlah terbesar bunuh diri yang berhasil

adalah diatas 55 tahun. Orang lanjut usia kurang sering melakukan usaha bunuh diri

dibandingkan orang muda tetapi lebih sering berhasil. Angka untuk mereka yang berusia

75 tahun atau lebih adalah lebih dari tiga kali dibandingkan angka untuk orang muda.

4. Ras

Angka bunuh diri diantara orang kulit putih adalah hampir dua kali lebih besar dari angka

bulan kulit putih, tetapi angka tersebut masih diragukan, karena angka bunuh diri pada

kulit hitam adalah meninggi.

5. Status perkawinan

Perkawinan yang diperkuat oleh anak tampaknya secara bermakna menurunkan risiko

bunuh diri. Orang yang hidup sendirian dan tidak pernah menikah memiliki angka hampir

dua kali lipat angka untuk orang yang menikah. Tetapi, orang yang sebelumnya pernah

menikah menunjukan angka yang jelas lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak pernah

menikah. Bunuh diri lebih sering pada orang yang memiliki riwayat bunuh diri dalam

keluarganya dan yang terisolasi secara sosial. Yang disebut bunuh diri ulang tahun

(anniversary suicide) adalah bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang mencabut

hidupnya pada hari yang sama seperti yang dilakukan oleh anggota keluarganya.

6. Pekerjaan

Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin besar resiko bunuh diri, tetapi penurunan

status sosial juga meningkatkan risiko. Pada umumnya, pekerjaan menghalangi bunuh diri.

Bunuh diri lebih tinggi pada orang yang pengangguran dibandingkan orang yang bekerja.

Selama resesi ekonomi dan depresi, angka bunuh diri menjadi meningkat. Selama waktu

tingginya pekerjaan dan selama perang, angka bunuh diri menurun. Dokter secara

tradisional dianggap memiliki risiko terbesar untuk bunuh diri. Dokter psikiatri dianggap

memiliki risiko yang paling tinggi. Populasi yang berada dalam risiko khusus adalah

musisi, dokter gigi, petugas hukum, pengacara dan agen asuransi.

7. Kesehatan Fisik

Hubungan antara kesehatan fisik dan bunuh diri sangat bermakna. Penelitian

postmortem menunjukan bahwa suatu penyakit fisik ditemukan pada 25 sampai 75 persen

dari semua korban bunuh diri. 50% orang dengan kanker yang melakukan bunuh diri

melakukannya dalam satu tahun setelah mendapatkan diagnosis. Tujuh penyakit sistem

saraf pusat yang meningkatkan risiko bunuh diri : epilepsi, sklerosis multipel, cedera

Page 15: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

kepala, penyakit kardiovaskular, penyakit Huntington, demensia, dan AIDS. Semua adalah

penyakit dimana diketahui terjadi gangguan mood yang menyertai.

Faktor yang berhubungan dengan penyakit dan terlibat didalam bunuh diri dan usaha

bunuh diri adalah hilangnya mobilitas pada orang yang aktivitas fisiknya memiliki

kepentingan pekerjaan atau rekreasional; kecacatan, terutama pada wanita; dan rasa sakit

kronis yang tidak dapat diobati.

Obat tertentu dapat menyebabkan depresi, yang dapat menyebabkan bunuh diri pada

beberapa kasus. Diantara obat-obat tersebut adalah reserpine (Serpasil), kortikosteroid,

antihipertensi (propanolol/Inderal), dan beberapa obat antikanker.

8. Kesehatan Menal

Faktor psikiatrik yang sangat penting dalam bunuh diri adalah penyalahgunaan zat,

gangguan depresif, skizofrenia, dan gangguan mental lainnya. Hampir 95 persen dari

semua pasien yang melakukan bunuh diri atau berusaha bunuh diri memiliki gangguan

mental yang terdiagnosis. Pasien yang menderita depresi delusional berada pada resiko

tertinggi untuk bunuh diri sebesar 80%. 25 persen dari semua pasien yang memiliki

riwayat perilaki impulsif atau tindakan kekerasan juga berada dalam resiko untuk bunuh

diri. Perawatan psikiatrik sebelumnya untuk alasan apapun meningkatkan resiko bunuh

diri.

9. Pasien Psikiatrik

Resiko pasien psikiatrik untuk melakukan bunuh diri adalah 3 sampai 12 kali lebih

besar dibandingkan bukan pasien psikiatrik. Derajat resikonya adalah bervariasi

tergantung usia, jenis kelamin, diagnosis, dan status rawat inap atau rawat jalan. Diagnosis

psikiatrik yang memiliki resiko tertinggi untuk bunuh diri pada kedua jenis kelamin adalah

gangguan mood.

Relatif mudanya korban bunuh diri sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa dua

gangguan mental kronis yang memiliki onset awal, skizofrenia dan gangguan depresif

yang berat rekuren berjumlah lebih dari setengah dari semua bunuh diri tersebut.

3.5 Gangguan-gangguan yang beresiko terjadinya bunuh diri :

1. Gangguan mood

Gangguan mood adalah diagnosis yang paling sering berhubungan dengan

bunuh diri. Pasien laki-laki lebih banyak yang melakukan bunuh diri dibanding pasien

wanita. Kemungkinan orang terdepresi yang melakukan bunuh meningkat jika tidak

menikah, dipisahkan, diceraikan, janda atau baru saja mengalami kehilangan.

Page 16: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

2. Skizofrenia

Resiko bunuh diri tinggi diantara pasien skizofrenik; sampai 10 persen

meninggal akibat bunuh diri. Usia onset skizofrenia biasanya pada masa remaja atau

dewasa awal dan sebagian besar pasien skizofrenik yang melakukan bunuh diri

melakukannnya selama tahun-tahun pertama penyakitnya; dengan demikian pasien

skizofrenia yang melakukan bunuh diri cenderung relatif muda.

Gejala depresif berhubungan erat dengan bunuh diri mereka. Hanya sejumlah

kecil yang melakukan bunuh diri karena instruksi halusinasi atau untuk melepaskan

waham penyiksaan. Jadi, faktor resiko untuk bunuh diri diantara pasien skizofrenik

adalah usia yang muda, jenis kelamin laki-laki, status tidak menikah, usaha bunuh diri

sebelumnya, kerentanan terhadap gejala depresif, dan baru dipulangkan dari rumah

sakit.

3. Ketergantungan Alkohol

15 persen orang yang ketergantungan alkohol melakukan bunuh diri. Kira-kira

80 persen dari semua korban bunuh diri yang tergantung alkohol adalah laki-laki.

Kelompok terbesar pasien laki-laki yang ketergantungan alkohol adalah mereka

dengan gangguan kepribadian antisosial. Korban bunuh diri yang tergantung alkohol

cenderung merupakan golongan kulit putih, usia pertengahan, tidak menikah, tidak

memiliki teman, terisolasi secara sosial dan baru saja mulai minum.

4. Ketergantungan Zat Lain .

Penelitian di berbagai negara telah menemukan peningkatan resiko bunuh diri

diantara penyalahgunaan zat. Angka bunuh diri untuk orang yang tergantung heroin

kira-kira 20 kali lebih besar dibandingkan angka untuk populasi umum.

5. Gangguan Kepribadian

Sejumlah besar korban bunuh diri memiliki berbagai macam gangguan

kepribadian yang menyertai. Menderita suatu gangguan kepribadian mungkin

merupakan suatu determinan perilaku bunuh diri dalam beberapa cara : dengan

mempredisposisikan pada gangguan mental berat seperti gangguan depresif atau

ketergantungan alkohol, dengan menyebabkan kesulitan dalam hubungan dan

penyesuaian sosial, dengan mencetuskan peristiwa kehidupan yang tidak diinginkan,

dengan mengganggu kemampuan untuk mengatasi gangguan mental atau fisik dan

dengan menarik orang ke dalam konflik dengan orang disekitar mereka, termasuk

anggota keluarga, dokter dan anggota staf rumah sakit.

Page 17: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

Depresi adalah berhubungan tidak hanya dengan bunuh diri yang dilakukan

tetapi juga dengan usaha bunuh diri yang serius. Jika orang yang melakukan usaha

bunuh diri dinyatakan sebagai memiliki maksud bunuh diri yang tinggi dibandingkan

dengan mereka yang memiliki maksud bunuh diri yang rendah, mereka secara

bermakna lebih banyak adalah laki-laki, berusia lebih tua, tidak menikah atau bercerai

dan hidup sendirian. Kesimpulan dari korelasi tersebut adalah bahwa pasien depresi

yang melakukan usaha bunuh diri yang serius lebih menyerupai korban bunuh diri

dibandingkan dengan mereka yang berusaha bunuh diri.

3.6 Terapi

Tidak semua pasien memerlukan perawatan di rumah sakit, beberapa dapat diobati

dengan rawat jalan. Untuk menentukan apakah dimungkinkan terapi rawat jalan, klinisi harus

menggunakan pendekatan klinis yang langsung meminta pasien yang diduga bermaksud

bunuh diri untuk setuju menelepon segera jika mencapai titik dimana mereka tidak yakin

akan kemampuan mereka untuk mengendalikan impuls bunuh dirinya. Pasien yang dapat

membuat persetujuan tersebut memperkuat keyakinan bahwa mereka memiliki kekuatan yang

cukup untuk mengendalikan impuls tersebut dan berusaha mencari bantuan. Jika pasien tidak

dapat memenuhi komitmen ini, maka perawatan di rumah sakit menjadi indikasi yang harus

diambil.

Menurut Schnedman, klinisi memiliki beberapa tindakan preventif praktis untuk

menghadapi orang yang ingin bunuh diri seperti :

1. Menurunkan penderitaan psikologi dengan memodifikasi lingkungan pasien yang

penuh dengan stress, menuliskan bantuan dari pasangan, perusahaan atau teman.

2. Membangun dukungan yang realistik dengan menyadari bahwa pasien mungkin

memiliki keluhan yang masuk akal.

3. Menawarkan alternatif terhadap bunuh diri.

Keputusan untuk merawat pasien di rumah sakit tergantung pada diagnosis, keparahan

depresi dan gagasan bunuh diri, kemampuan pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah,

situasi hidup pasien, tersedianya dukungan sosial dan ada atau tidaknya faktor resiko untuk

bunuh diri.

Dalam rumah sakit pasien mungkin menerima medikasi antidepresan atau antipsikotik

sesuai dengan indikasi, terapi individual, terapi kelompok dan pasien mendapatkan dukungan

sosial rumah sakit dan rasa aman. Tindakan terapeutik lain tergantung pada diagnosis dasar

Page 18: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

pasien. Sebagai contohnya, jika ketergantungan alkohol adalah masalah yang berhubungan,

terapi harus diarahkan untuk menghilangkan kondisi tersebut.

Tindakan yang berguna untuk terapi pasien rawat inap yang mencoba bunuh diri dan

mengalami depresi adalah memeriksa barang-barang pasien dan orang yang berkunjung ke

bangsal. Hal ini bertujuan untuk mencari benda-benda yang dapat digunakan untuk bunuh

diri dan secara berulang mencari eksaserbasi gagasan bunuh diri. Idealnya, pasien rawat inap

yang mencoba bunuh diri dan mengalami depresi harus diobati dalam bangsal yang terkunci

dimana jendela dipasang terali dan ruangan pasien harus berlokasi dekat dengan tempat

perawat untuk memaksimalkan pengamatan oleh staf perawat. Tim yang mengobati harus

memeriksa secara berulang atau terus menerus mengawasi secara langsung. Terapi yang

efektif dengan medikasi antidepresan harus dimulai. Terapi elektrokonvulsif (ECT) mungkin

diperlukan untuk beberapa pasien yang terdepresi parah yang mungkin memerlukan beberapa

kali pengobatan.

Pasien yang sedang pulih dari depresi bunuh diri berada pada resiko khusus. Saat

depresi menghilang, pasien menjadi memiliki energi dan mampu untuk melakukan rencana

bunuh dirinya. kadang-kadang pasien depresi dengan atau tanpa terapi secara tiba-tiba

tampak damai dengan dirinya sendiri karena mereka telah mengambil keputusan rahasia

untuk melakukan bunuh diri. Klinisi harus secara khusus mencurigai perubahan klinis yang

dramatis tersebut, yang mungkin meramalkan usaha bunuh diri.

Terapi Psikofarmaka

Seseorang yang sedang dalam krisi karena baru ditinggal mati atau baru mengalami

suatu kejadian yang jangka waktunya tak lama, biasanya akan berfungsi lebih baik setelah

mendapatkan tranquilizer ringan, terutama bila tidurnya terganggu. Obat pilihannya adalah

golongan benzodiazepine misalnya lorazepam 3 x 1 mg sehari, selama 2 minggu. Hati-hati

memberikan benzodiazepine pada pasien yang hostile, karena penggunaan benzodiazepine

yang teratur dapat meningkatkan iritabilitas pasien. Jangan memberikan obat dalam jumlah

banyak sekaligus kepada pasien (resepkan sedikit-sedikit saja) dan pasien harus kontrol

dalam beberapa hari.

Pemberian antidepresan biasanya tidak dimulai di ruang gawat darurat, meskipun

biasanya terapi definitif pasien-pasien yang mempunyai kecenderungan bunuh diri adalah

antidepresan. Antidepresan boleh diberikan di instalasi gawat darurat asal dibuat perjanjian

kontrol keesokan harinya secara pasti.

Page 19: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

DELIRIUM

Definisi

Delirium merupakan sindrom mental organik akut yang berakibat hendaya kognitif

menyeluruh, yang dapat disebabkan oleh penyakit fisik ( delirium akibat kondisi medis

umum ), obat-obatan ( intoksikasi zat atau delirium putus zat ), beberapa penyebab

bersamaan ( delirium akibat etiologi multiple ), atau oleh kondisi organik yang tidak

diketahui.

Etiologi

a. Penyebab intrakranial

Epilepsi dan keadaan pasca iktal

Trauma otak

Infeksi ( Meningitis, Ensefalitis )

Neoplasma

Gangguan Vaskular

b. Penyebab ekstrakranial

Obat dan Racun

o Sedativa ( termasuk alkohol ) dan hipnotika

o Obat penenang

o Obat lain :

Antikolinergika

Antikonvulsiva

Antihipertensiva

Antiparkinsonia

Glikosida kardiak

Simetidin

Disulfiram

Insulin

Opioida

Fensiklidin

Salisilat

Steroida

Page 20: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

o Racun

Karbon monoksida

Logam berat dan limbah Industri lain

Disfungsi endokrin ( hipo- atau hiperfungsi )

o Hipofisis

o Pankreas

o Suprarenal

o Paratiroid

o Tiroid

Penyakit alat nonendokrin

o Hati

Ensefalohepatik

o Ginjal dan saluran kemih

Ensefalopati uremikum

o Paru-paru

Narkosis karbon monoksida

Hipoksia

o Sistem Kardiovaskular

Gagal jantung

Aritmia

Hipotensi

o Penyakit Defisiensi

Defisiensi tiamin

Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis

Ketidakseimbangan elektrolit oleh aneka penyebab

Keadaan pasca bedah

Patofisiologi

Banyak kondisi sistemik dan obat bisa menyebabkan delirium, contoh antikolinergika,

psikotropika, dan opioida. Mekanisma tidak jelas, tetapi mungkin terkait dengan gangguan

reversibilitas dan metabolisma oxidatif otak, abnormalitas neurotransmiter multipel, dan

pembentukan sitokines (cytokines). Stress dari penyebab apapun bisa meningkatkan kerja

Page 21: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

saraf simpatikus sehingga mengganggu fungsi kolinergik dan menyebabkan delirium. Usia

lanjut memang dasarnya rentan terhadap penurunan transmisi kolinergik sehingga lebih

mudah terjadi delirium. Apapun sebabnya, yang jelas hemisfer otak dan mekanisma siaga

(arousal mechanism)dari talamus dan sistem aktivasi retikular batang otak jadi terganggu.

Kriteria Diagnosis

A. Kemampuan yang terbatas untuk mempertahankan daya perhatian

dari luar. Biasanya pasien Sangat mudah teralih perhatiannya dan tidak dapt

emusatkan perhatian dengan baik atau cukup lama untuk mengikuti rangkaian isi

pikir atau mengerti apa yang sedang terjadi disekelilingnya. lakukan tes serial

pengulangan tujuh atau tes huruf acak pada pasien.

B. Alam pikiran yang kacau, yang ditunjukan oleh cara bicara yang ngawur dan tidak

jelas ( asal bersuara ), soalnya tidak relevan, atau daya bicara inkoheren.

C. Sedikitnya dua dari yang tercantum dibawah ini :

1. Kesadaran yang menurun.

Pasien tidak waspada seperti biasanya dan dapat tampak bingung dan

kacau. lakukan observasi terhadap pasien, dapat terjadi penurunan kesadaran

(bertahap sampai stupor) atau hiper-alert (waspada berlebihan ).

2. Gangguan persepsi

Hal ini lazim terjadi, misal, salah interpretasi terhadap kejadian di

sekitarnya, ilusi ( misal, gorden tertiup angin dan pasien yakin ada seseorang

sedang memanjat jendela ), dan halusinansi ( biasanya visual ). pasien bisa

atau mungkin juga tidak mengenali kesalahan persepsinya yang dianggapnya

sebagai tidak nyata.

3. Perubahan pola tidur-bangun

Insomnia hampir selalu ada ( semua gejala biasanya memburuk di waktu

malam hari dan pada keadaan gelap ) dan kantuk berat juga dapat terjadi.

4. Aktivitas psikomotor meningkat atau menurun

Sebagian besar pasien delirium dalam keadaan gelisah dan agitasi, serta dapat

menunjukkan pengulangan gerakan, ada pula yang mengantuk berlebihan

( somnolen ), dan ada juga yang berfluktuasi dari satu bentuk ke bentuk

Page 22: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

lainnya ( biasanya kegelisahan terjadi malam hari dan mengantuk sepanjang

hari ).

5. Disorientasi terhadap waktu, tempat atau orang.

6. Gangguan daya ingat

Pasien terutama mengalami defisit ”recent memory” dan biasanya

menyangkalnya ( ia dapat berkonfabulasi dan cenderung ingin berbicara

mengenai hal lampau ).

D. Gambaran klinis yang timbul yang berkembang berfluktuasi dalam

waktu yang singkat ( biasanya dalam jam atau hari ) dan cenderung naik turun

dalam alunan sehari

E. Salah sati dari (1 ) atau ( 2 ) :

( 1 ) Terbukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau uji laboratorik tentang satu atau

beberapa faktor organik yang khas yang dapat diduga sebagai penyebab yang terkait

dengan gangguan itu.

( 2 ) dengan tiada bukti ini, satu faktor penyebab organik dapat diduga bila

gangguannya tidak dapat diperkirakan disebabkan oleh gangguan mental non-

organik ( contoh, episoda manik yang merupakan sebab untuk menjadi agitatif dan

gangguan tidur ).

Gejala-gejala prodormal dini perkembangan delirium yang harus diwaspadai meliputi:

- Kegelisahan ( terutama malam hari ), ansietas ;

- Mengantuk siang hari;

- Insomnia ( gangguan tidur ), banyak mimpi-mimpi yang jelas, mimpi buruk;

- Hipersensitivitas terhadap cahaya dan suara;

- Ilusi dan halusinasi yang hilang timbul;

- Perhatian mudah teralih, kesulitan untuk berfikir dengan jernih.

Diagnosa Banding

- Dementia;

Page 23: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

- Gangguan psikotik

- dll

Delirium dan demensia merupakan dua gangguan yang berbeda, namun sering

sukar dibedakan. Pada keduanya, fungsi kognitif terganggu, namun demensia biasanya

memori yang terganggu, sedangkan delirium daya perhatiannya yang terganggu. Beberapa

ciri khas membedakan kedua gangguan tersebut (lihat tabel I). Delirium biasanya

disebabkan oleh penyakit akut atau keracunan obat (kadang mengancam jiwa orang) dan

sering reversibel, sedangkan demensia secara khas disebabkan oleh perubahan anatomik

dalam otak, berawal lambat dan biasanya tidak reversibel. Delirium bisa timbul pada

pasien dengan demensia juga.

Tabel I. Perbedaan klinis delirium dan Demensia

Gambaran Delirium Demensia

Riwayat Penyakit akut Penyakit kronik

Awal Cepat Lambat laun

Sebab Terdapat penyakit lain (infeksi,

dehidrasi, guna/putus obat

Biasanya penyakit otak kronik (spt

Alzheimer, demensia vaskular)

Lamanya Ber-hari/-minggu Ber-bulan/-tahun

Perjalanan

sakit

Naik turun Kronik progresif

Taraf

kesadaran

Naik turun Normal

Orientasi  Terganggu, periodic Intak pada awalnya

Afek Cemas dan iritabel Labil tapi tak cemas

Page 24: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

Alam pikiran Sering terganggu Turun jumlahnya

Bahasa Lamban, inkoheren, inadekuat Sulit menemukan istilah tepat

Daya ingat Jangka pendek terganggu nyata Jangka pendek & panjang

terganggu

Persepsi Halusinasi (visual) Halusinasi jarang kecuali

sundowning

Psikomotor Retardasi, agitasi, campuran Normal

Tidur Terganggu siklusnya Sedikit terganggu siklus tidurnya

Atensi &

kesadaran

Amat terganggu Sedikit terganggu

Reversibilitas Sering reversible Umumnya tak reversibel

Penanganan Segera Perlu tapi tak segera

Catatan: pasien dengan demensia amat rentan terhadap delirium, dan delirium yang

bertumpang tindih dengan demensia adalah umum

 

Page 25: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

Membedakan Delirium Dengan Psikosa

Gejala Umum Delirium

(penyakit fisik)

Gejala Umum Psikosa

(kelainan mental)

Bingung tentang waktu, tanggal, tempat

atau identitas

Biasanya sadar akan waktu, tempat &

identitas

Sulit memusatkan perhatian Mampu memusatkan perhatian

Lupa akan peristiwa yg baru saja terjadiBerfikir tidak logis tetapi ingat akan

peristisa yg baru saja terjadi

Tidak mampu berfikir secara logis atau

melakukan perhitungan sederhana

Mampu melakukan perhitungan

sederhana

Demam atau pertanda infeksi lainnya Riwayat kelainan psikis sebelumnya

Halusinasi (lihat) Halusinasi (dengar)

Terdapat bukti pemakaian obat -

Tremor -

VI. Penatalaksanaan

- Berikan perawatan medis yang adekuat untuk penyebab delirium yang telah

diketahui. pasien delirium memiliki angka kematian yang meningkat.

Page 26: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

- Berikan lingkungan yang aman bagi pasien. Observasi pasien dari jam ke jam

( terutama di malam hari ). Untuk itu diperlukan seseorang yang selalu berada

dikamar pasien, lebih baik orang yang telah dikenal pasien dengan baik.

Pergunakan pembatasan fisik seperti pengikatan hanya jika betul-betul diperlukan

( karena sering kali pengikatan akan menambah agitasi ).

- Jagalah agar pasien dalam ruangan yang tenang dengan cukup penerangan.

biarkan benda-benda pribadi pasien berada didekatnya dan jika mungkin orang

yang sama yang merawat pasien.

- Lakukan orientasi kembali secara taktis dan berulang-ulang. perkenalkan diri anda

sekali lagi dan jelaskan apa yang sedang anda lakukan dan mengapa anda

melakukannya.

- Antispasi kecemasan pasien dan tenangkan diri pasien. bersikaplah tenang dan

simpatik terhadap pasien

- Obat-obatan harus digunakan dengan hati-hati.

o Neuroleptic :

Haloperidol (haldol) 2-5 mg

Risperidon 0,5-2 mg

o Short-acting sedatives :

Lorazepam 1-2 mg

Page 27: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

TINDAK KEKERASAN (VIOLENCE)

Definisi

Violence atau tindak kekerasan adalah agresi fisik yang dilakukan seseorang terhadap

orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri disebut mutilasi diri atau tingkah

laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat timbul akibat berbagai gangguan

psikiatrik, tapi dapat pula terjadi pada orang biasa yang tidka dapat mengatasi tekanan hidup

sehari-hari dengan cara yang lebih baik. tindka kekerasan dan ancaman tindak kekerasan

sering terjadi di ruang gawat darurat psikiatrik serta sering menyebabkan permintaan

konsultasi ke psikitarik. Para dokter dan staf harus mengetahui cara cepat memulai prosedur

pencegahan peningkatan tindka kekerasan ini. Prosedur ini meliputi intervensi prilaku,

farmakologik dan psikososial.

Gambaran klinik dan diagnosis :

Gambaran psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah :

Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila penderita paranoid

dan mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding hallucination)

Intoksikasi alcohol atau zat lain

Gejala putus zat akibat alcohol atau obat-obatan hipnotik-sedatif

Katatonik furor

Depresi agitatif

Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan pengendalian

impuls (mislanya gangguan kepribadian ambang dan antisosial)

Gangguan mental organic, terutama yang menegnai lobus frontalis dan temporalis

otak.

Factor resiko lain terjadinya tindakan kekerasan adalah :

Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindka kekerasan.

Adanya rencana spesifik

Adamya kesempatan atau suatu cara untuk terjadi kekerasan

Page 28: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

Laki-laki

Usia muda

Status sosioekonomi rendah

Sistem dukungan sosial yang buruk

Adanya riwayat melakukan tindka kekerasan

Tindak antisocial lain

Pengendalian impuls yang buruk

Riwayat percobaan bunuh diri

Adanya stressor yang baru saja terjadi

Riwayat tindak kekerasan merupakan indicator terbaik

Factor tambahan lain adalah :

Adanya riwayat bahwa yang bersangkutan pernah menjadi korban kekerasan

Riwayat masa kanak-kanak yang meliputi triad : mengompol, main api, dan

kekejaman terhadap hewan.

Mempunyai catatan criminal

Pernah berdinas militer / polisi

Mengendarai kendaraan secara ugal-ugalan

Riwayat tindak kekerasan dalam keluarga

Tujuan pertama menghadapi pasien yang potensial untuk melakukan tindka kekerasan

adalah mencegah hal itu.

Tujuan berikutnya adalah membuat diagnosis sebagai dasar rencana penatalaksanaan,

termasuk cara-cara untuk memperkecil kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.

Panduan wawancara dan psikoterapi :

Bersikaplah suportif dan tidak mengancam. Meskipun demikian, bersikaplah tegas

dan berikan batasan yang jelas bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical

restraints). Tentukan batasan itu dengan memberikan pilihan (misalnya : pilihan obat

atau diikat) dan bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif “ minum tablet ini

sekarang “

Katakana langsung kepada pasien bahwa kekerasan tidak dapat diterima

Tenangkan pasien bahwa ia aman disini. Tunjukkanlah dan tularkan sikap yang

tenang serta penuh control.

Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya menjadi lebih tenang.

Page 29: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

Evaluasi dan penatalaksanaan :

1. Lindungi diri anda. Kita harus memperhatikan bahwa mungkin saja terjadi suatu

tindak kekerasan sehingga kita tidak akan dikejutkan oleh suatu prilaku kekerasan

yang mendadak :

Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata. Pasien harus

menyerahkan senjatanya ke petugas keamanan. Ketahuilah sebanyak mungkin

tentang pasien sebelum diwawancarai.

Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas (violent) seorang

diri atau didalam ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang bisa dijambak/ditarik

pasien seperti kalung, dasi dsb. Usakan agar selalu terlihat staf lainya.

Jangan melakukan pengikatan pasien sendiri, tapi serahkan urusan itu pada

anggota staf yang sudah terlatih untuk itu.

Jangan membiarkan pasien mempunyai akses terhadap ruangan yang berisi

barang-barang yang dapat dijadikan senjata misalnya brankar atau ruang

tindakan

Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid yang mungkin merasa

bahwa sedang diancam.

Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan

Jangan menantang atau menentang pasien psikotik

Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan. Selalu persiapkan rute

untuk melarikan diri seandainya pasien menyerang. Jangan pernah

membelakangi pasien.

2. Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan antara lain :

Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama ini, gigi

yang dikatupkan serta telapak yang dikepal

Ancaman verbal

Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata

Agitasi psikomotor (merupakan indicator kuat)

Intoksikasi alcohol atau obat atau zat lain

Waham kejar

Page 30: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

Halusinasi yang menyuruh (commanding hallucinations)

3. Pastikan bahwa anda terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien secara

aman. Minta bantuan anggota staf lain sebelum agitasi pasien meningkat. Seringkali

unjuk kekuatan dengan menghadirkan banyak anggita staf yang tampak kuat sudah

cukup untuk mencegha tindak kekerasan

4. Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang sudah terlatih. Biasanya

sesudah pasien diikat diberikan benzodiazepine atau antipsikotik (tergantung

diagnosisnya) untuk menenangkan pasien. berikan suasana yang tenang.

5. Lakukan evaluasi diagnostic yang tepat, meliputi tanda-tanda vital, pemeriksaan fisik

dan wawancara psikiatrik. Evaluasi resiko bunuh diri dan buat rencana

penatalaksanaan yang meliputi penanganan tindak kekerasan yang mungkin muncuk

kemudian

6. Eksplorasi kemungkinan dilakukanya intervensi psikososial untuk mengurangi resiko

kekerasan. Jika tindka kekerasan itu berhubungan dengan situasi atau orang tertentu,

coba pisahkan pasien dari orang atau situasi tersebut. Coba intervensi keluarga dan

manipulais lingkungan lainya. Apakah pasien tetap akan bersikap keras bila ia tinggal

dengan keluarga lainya ?

7. Mungkin pasien perlu dirawat untuk mencegahnya melakukan tindak kekerasan.

Observasi harus dilakukan teru-menerus, meskipun pasien dirawat diruang perawatam

psikiatrik yang terkunci.

8. Jika penanganan psikiatrik bukan hal yang sesuai dengan suatu kasus, mungkin perlu

melibatkan polissi atau aparat hukum

9. Calon korban harus diperingatkan seandainya masih ada kemungkinan bahaya

mengancam misalnya : bila pasien tidak dirawat.

Terapi psikofarmaka :

Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenangkan pasien diberikan obat

antipsikotik atau benzodiazepine :

Flufenazin, trifluperazin atau haloperidol diberikan 5mg per oral atau IM

Olanzapine 2,5 – 10 mg per IM maksimal 4 injeksi sehari, dengan dosis rata-rata per-

hari 13-14 mg

Lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10 mg per IV secara perlahan (dalam 2 menit)

Page 31: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

Bila pasien sudah mendapat antipsikotik sebelumnya, berikan lagi obat yang sama. Bila

dalam 20-30 menit kegelisahan pasien tidak berkurang, ulangi dosis yang sama. Hindari

pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai resiko kejang.

Benzodiazepine mungkin tidak akan efektif pada pasien yang sudah toleran.

Benzodiazepine juga dapat menurunkan inhibisi yang secara potensial dapat memperburuk

kekerasan pada pasien. untuk penderita epilepsy, mula-mula berikan antikonvulsan ,isalnya

carbamazepine, baru benzodiazepine. Pasien yang menderita gangguan organic seringkali

memberikan respon yang baik denga pemberian β-blockers, seperti propanolol.

Page 32: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

SINDROMA NEUROLEPTIK MALIGNA

Definisi

Pasien sering datang ke gawat darurat karena keadaan yang disebabkan oleh efek

samping pemberian obat-obatan antipsikotik seperti parkinsonism, distonia akut, akatisia

akut, diskinesia Tardif.

Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang berhubungan dengan

penggunaan obat antipsikotik.

Perlu diwaspadai suatu keadaan yang meskipun jarang terjadi namun sangat

berbahaya. Gejala meliputi : Kekakuan otot, distonia, akinesia, mutisme dan agitasi.

Gambaran klinis dan diagnosis :

Sindroma neuroleptik maligna ditandai dengan demam tinggi (dapat mencapai

41,5%), kekakuan otot yang nyata sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas

otonomik (takikardi,tekanan darah yang labil, berkeringan berlebihan) dan gangguan

kesadaran.

Kekakuan yang parah dapat menyebabkan rhabdomyalosis, myoglobinuria dan

akhirnya ggal ginjal. Penyulit lain dapat berupa thrombosis vena, emboli paru, renjatan dan

kematian. Tingkat kematian dapat mencapai 20%.

Sindroma neuroleptik maligna biasanya terjadi dalam hari-hari pertama penggunaan

antipsikotik pada saat dosis mulai ditingkatkan, umumnya dalam sepuluh dari pertama

pengobatan antipsikotik. Sindroma neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada pasien

yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi dan dosis tinggi atau dosis yang meningkat

cepat.

Panduan wawancara dan psikoterapi :

Sindroma neuroleptik maligna adalah keadaan darurat medik sehingga perlu dirawat

di ICU. Kesadaranya terganggu. Tanyakan perjalanan penyakitnya kepada keluara dan

teman-temanya .

Evaluasi dan penatalaksanaan :

Page 33: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

1. Pertimbangkan kemungkinan sindroma neuroleptik maligna pada pasien yang

mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan obat.

2. Bila terdapat rigiditas ringan yang tidak berespon terhadap antikolinergik biasa dan

bila demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sindroma neuroleptik maligna

3. Hentikan pemberian antipsikotik segera

4. Monitor tanda-tanda vital pasien secara berkala

5. Lakukan pemeriksaan laboratorium yang mencakup : darah perifer lengkap termasuk

hitung jenis, kimia darah, fungsi hati, ureum dan kreatinin. Biasanya terdapat

leukositosis serta peningkatan creatinin phosfokinase (CPK) yang biasanya meningkat

dan secara langsung berkaitan dengan keparahan sindroma neuroleptik maligna

6. Untuk menurnkan suhu lakukan kompres seluruh badan dengan es, antipiretik

biasanya tidak berguna. Ini efektif sebagai tindakan awal sebelum episode berlanjut.

7. Hidrasi cepat intravena dapat mencegah terjadinya renjatan danmenurunkan

kemungkinan gagal ginjal.

8. sindroma neuroleptik maligna biasanya berlangsung sekitar 15 hari. Setelah sembuh,

masalah yang timbul kemudia adalah pemberian antipsikotik selanjutnya.

Terapi psikofarmaka :

- amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi

- bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari, dapat dinaikkan sampai 45 mg/hari

- levodopa 50-100 mg/hari IV dalam infuse terus menerus

- dabtrolene 1 mg/kg/hari IV selama 8 hari, kemudian dilanjutkan PO selama 7 hari

setelah itu

- benzodiazepine atau ECT dapat diberikan apabila obat-obatan lain tidka berhasil.

Page 34: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI

DAFTAR PUSTAKA

1. Hawari, D.; Psikopatologi Bunuh Diri . Balai penerbit FKUI , Jakarta, 2010.

2. Prayitno, A. ; Percobaan Bunuh Diri di Jakarta, Dalam Hubungannya Dengan Diagnosis

Psikiatri dan Faktor Sosiokultural, Disertasi Gelar Doktor FKUI, 1984.

3. Maramis, W.F., Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan kesembilan, Surabaya : Airlangga

University Press, 2005.

4. Rumah Sakit Jiwa Lawang, Membangun Kesadaran-Mengurangi Resiko Gangguan

Mental dan Bunuh Diri, 2007. (online), available :

http://rsjlawang.com/artikel_070309a.html Diakses 7 Oktober 2009. Diakses 7 Juni2011

5. Suwanto, Bunuh Diri, 2009. (online), available :

http://ezcobar.com/dokter-online/dokter15/index.php? Diakses 7 Juni 2011.

6. Kaplan dan Sadock. Kaplan H. I, Sadock B.J Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan

Perilaku Psikiatri, Hal 353-367, Klinis Edisi Ketujuh, Jilid Dua. Binarupa Aksara, Jakarta.

1997.

Page 35: REFERAT-KEDARURATAN-PSIKIATRI