referat HMD

60
REFERAT HYALINE MEMBRANE DISEASE (HMD) Diajukan untuk Memenuhi Syarat Kepaniteraan Klinik Bidang Ilmu Kesehatan Anak Di RSUD Kota Semarang Disusun oleh : Luana Junia Bunarli 406118029

description

hyaline membrane disease

Transcript of referat HMD

Page 1: referat HMD

REFERAT

HYALINE MEMBRANE DISEASE

(HMD)

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Kepaniteraan Klinik

Bidang Ilmu Kesehatan Anak

Di RSUD Kota Semarang

Disusun oleh :

Luana Junia Bunarli

406118029

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

RSUD Kota Semarang

Page 2: referat HMD

Periode 30 September 2013 – 7 Desember 2013

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Luana Junia Bunarli

NIM : 406118029

Fakultas : Kedokteran Umum

Universitas : Tarumanagara Jakarta

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bidang Pendidikan : Ilmu Kesehatan Anak

Periode Kepaniteraan Klinik : 30 September 2013 – 7 Desember 2013

Judul Referat : Hyaline Membrane Disease

Diajukan : November 2013

Pembimbing : dr. Zuhriah Hidajati , Sp.A, MSi. Med.

TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN TANGGAL : ………………..

Mengetahui :

PEMBIMBING Ketua SMF Ilmu Kesehatan AnakBLUD RSUD Kota Semarang

Page 3: referat HMD

dr. Zuhriah Hidajati, Sp.A, MSi. Med dr. Zuhriah Hidajati, Sp.A, MSi. Med

KATA PENGANTAR

Dengan penuh rasa syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat,

rahmat dan petunjuk yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat

mengenai “Hialin Membran Disease“ guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

Tarumanagara.

Referat ini ditulis selama penulis menjalankan kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak dan

penulis mendapat kesempatan untuk menjalankan kepaniteraan di RSUD Kota Semarang, mulai

tanggal 30 September 2013 – 7 Desember 2013. Dengan bimbingan serta pengarahan yang telah

diberikan sebelum dan selama kepaniteraan ini, penulis mencoba menyusun referat yang berupa

Hialin Membran Disease.

Pada kesempatan ini juga, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar –

besarnya atas kerjasama yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan referat ini.

Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan khususnya kepada:

1. Pimpinan beserta staf RSUD Kota Semarang.

2. dr. Zuhriah Hidajati, Sp.A, MSi. Med selaku kepala bagian/SMF dan pembimbing

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Kota Semarang.

Page 4: referat HMD

3. dr. Hartono, Sp.A selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di

RSUD Kota Semarang.

4. dr. Slamet Widi Saptadi, Sp.A selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan

Anak di RSUD Kota Semarang.

5. dr. Lilia Dewiyanti, Sp.A selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

di RSUD Kota Semarang.

6. Rekan – rekan anggota Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota

Semarang.

7. Semua pihak yang telah membantu meluangkan waktu, tenaga dan pikiran, baik secara

langsung maupun tidak langsung selama proses penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, mengingat terbatasnya

kemampuan dan waktu yang ada. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang

kiranya dapat membangun. Besar harapan penulis agar referat ini dapat bermanfaat bagi kita

semua.

Akhir kata, penulis mohon maaf yang sedalam – dalamnya bilamana ada kesalahan dalam

penyusunan referat ini, juga selama menjalankan kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak di RSUD

Kota Semarang.

Jakarta, November 2013

Page 5: referat HMD

Penulis

LEMBAR PENGESAHAN ..............................................................................................ii

KATA PENGANTAR ......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................2

II. 1 DEFINISI ........................................................................................................2

II. 2 EPIDEMIOLOGI ............................................................................................2

II. 3 KLASIFIKASI ................................................................................................2

II. 4 ETIOLOGI ......................................................................................................3

II. 5 PATOFISIOLOGI ...........................................................................................3

II. 6 MANIFESTASI KLINIS ................................................................................8

II. 7 PEMERIKSAAN PENUNJANG ..................................................................10

II. 8 DIAGNOSIS .................................................................................................17

II. 9 DIAGNOSIS BANDING ..............................................................................18

II. 10 PENATALAKSANAAN .............................................................................20

II. 11 KOMPLIKASI ............................................................................................26

II. 12 PROGNOSIS ..............................................................................................26

BAB III KESIMPULAN ................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................30

Page 6: referat HMD

BAB I

PENDAHULUAN

Hyaline Membrane Disease (HMD) atau penyakit membran hialin, juga dikenal sebagai

respiratory distress syndrome (RDS), adalah penyebab tersering dari gagal nafas pada bayi

premature. Hyaline Membrane Disease merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru

lahir. Menurut Farrel dan Avery (dikutip Yu, 1986), hyaline membrane disease (HMD)

prevalensinya adalah 1 % dari semua kelahiran dan 14 % pada Bayi Berat Lahir Rendah

(BBLR). Gangguan nafas ini merupakan sindrom yang terdiri dari satu atau lebih gejala sebagai

berikut: pernafasan cepat > 60 x/menit, retraksi dinding dada, merintih dengan atau tanpa

sianosis pada udara kamar. Menurut European Consensus Guidelines on the Management of

Neonatal Respiratory Distress Syndrome in Preterm Infants – 2010 Update, sindrom gawat nafas

ini biasanya terjadi 4 jam setelah kelahiran dan memburuk sampai dengan 48 – 96 jam

kehidupan, yang mana gejala akan membaik 1 – 2 hari berikutnya. Etiologi penyakit ini sampai

sekarang belum diketahui dengan pasti. Kelainan yang terjadi dianggap karena faktor

pertumbuhan atau karena pematangan paru yang belum sempurna.

Page 7: referat HMD

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 DEFINISI

HMD atau respiratory distress syndrome (RDS) adalah gangguan respirasi yang

ditemukan pada bayi prematur akibat kurangnya surfaktan sehingga mengakibatkan kolapsnya

alveoli.1

II. 2 EPIDEMIOLOGI

HMD merupakan penyebab kematian utama pada bayi prematur, di Amerika Serikat

sekitar 12% bayi lahir prematur, sekitar 10% bayi prematur menderita HMD setiap tahunnya.

Insiden meningkat pada negara berkembang. Menurut Farrel dan Avery (dikutip Yu, 1986), HMD

prevalensinya adalah 1 % dari semua kelahiran dan 14 % pada Bayi Berat Lahir Rendah

(BBLR). Insiden HMD tertinggi terjadi pada bayi prematur, ras caucasian, laki-laki, riwayat

saudara sebelumnya yang menderita RDS, lahir melalui sectio secaria, asfiksia dan ibu diabetes

melitus.2, 3

Pada tahun 2003, di Amerika Serikat terdapat 4 juta kelahiran setiap tahunnya, dan 6%

kelahiran berkembang menjadi RDS. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan kasus RDS dari 11,6%

menjadi 12,7%, mayoritas disebabkan karena kelahiran kurang bulan.2, 3 Berdasarkan penelitian

di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2001, dari 41 bayi yang lahir preterm, 14

bayi mengalami sindrom gawat nafas, dan 7 bayi didiagnosa HMD. Semuanya lahir dari

kehamilan kecil dari 32 minggu. Hal itu menunjukan prevalensi HMD pada bayi preterm sebesar

17%.4

II. 3 KLASIFIKASI

Page 8: referat HMD

Berdasarkan foto thorax, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu:

1. Stadium 1: terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara.

2. Stadium 2: bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran air

bronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan

jantung dengan penurunan aerasi paru.

3. Stadium 3: kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat

lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas.

4. Stadium 4: seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat dilihat.5

II. 4 ETIOLOGI

HMD terjadi ketika suatu substansi paru yang disebut surfaktan tidak cukup. Surfaktan

terbuat dari sel yang berada dalam jalan napas dan mengandung fosfolipid serta protein.

Surfaktan diproduksi saat fetus berusia sekitar 24 – 28 minggu dan dapat ditemukan dalam cairan

amnion sekitar 28 – 32 minggu. Saat usia gestasi 35 minggu, bayi – bayi telah memiliki jumlah

surfaktan yang adekuat. Bayi yang lahir dari seorang ibu penderita penyakit diabetes mellitus

dapat terjadi penurunan produksi surfaktan. Insulin dapat memperlambat maturasi sel alveolar

dan menurunkan phospatidilcolin, yang merupakan fosfolipid yang penting dalam sintesa

surfaktan.4, 10

II. 5 PATOFISIOLOGI

II. 5. 1. Komposisi Surfaktan

Surfaktan paru merupakan komplek lipoprotein yang disintesa dan disekresi oleh sel

alveolar tipe II dan Clara sel di saluran napas pada lapisan epitel. Surfaktan paru merupakan

Page 9: referat HMD

senyawa komplek yang komposisinya hampir 90% adalah lipid dan 10% protein. Secara

keseluruhan komposisi lipid dan fosfolipid dari surfaktan diisolasi dari bermacam – macam

spesies binatang yang komposisinya hampir sama. Pada manusia phosphatidylcholine

mengandung hampir 80% total lipid, yang separuhnya adalah dipalmitoylphosphatidylcholine

(DPPC), 8% lipid netral, dan 12% protein dimana sekitar separuhnya merupakan protein

spesifik surfaktan dan sisanya protein dari plasma atau jaringan paru.

Fosfolipid surfaktan terdiri dari 60% campuran saturated phosphatidylcholine yang 80%

mengandung dipalmitoylphosphatidylcholine, 25% campuran unsaturated phosphatidylcholine,

dan 15% phosphatidylglycerol dan phosphatidylinositol dan sejumlah kecil phosphatidylserine,

phosphatidylethanolamine ,sphingomyeline, dan glycolipid (dikutip dari Dobbs, 1989; Van

Golde, 1988; Wright and Clements, 1987). Fosfolipid saturasi ini merupakan komponen penting

untuk menurunkan tegangan permukaan antara udara dan cairan pada alveolus untuk mencegah

kolaps saluran napas pada waktu ekspirasi.

Pada tahun 1973 menurut King dkk, dan Possmayer, 1988 terdapat 4 macam protein

spesifik surfaktan dengan struktur dan fungsi yang berbeda. Keempat macam protein tersebut

(surfactant - associated proteins) adalah SP – A, SP – B, SP – C dan SP – D. Protein tersebut

didapat dari cairan lavage bronkoalveoli (BALF) dan dengan teknik ultrasentrifugasi serta

pemberian pelarut organik kaya lemak, dapat dipisahkan dan dibedakan menjadi dua golongan

yaitu hidrofobik dengan berat molekul rendah SP – B dan SP – C, sedangkan SP – A dan SP – D

merupakan hidrofilik dengan berat molekul tinggi.11, 12, 13

II. 5. 2. Fungsi Surfaktan

Faktor – faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh

alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan kurang sempurna karena dinding

thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan

kolaps pada alveolus sehingga paru – paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan

fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal,

pernafasan menjadi berat.5, 8

Page 10: referat HMD

Surfaktan dibuat oleh sel alveolus tipe II yang mulai tumbuh pada gestasi 22 – 24

minggu dan mulai mengeluarkan keaktifan pada gestasi 24 – 26 minggu, yang mulai berfungsi

pada masa gestasi 32 – 36 minggu. Produksi surfaktan pada janin dikontrol oleh kortisol melalui

reseptor kortisol yang terdapat pada sel alveolus type II. Produksi surfaktan dapat dipercepat

lebih dini dengan meningkatnya pengeluaran kortisol janin yang disebabkan oleh stres, atau oleh

pengobatan deksamethason yang diberikan pada ibu yang diduga akan melahirkan bayi dengan

defisiensi surfaktan.

Karena paru – paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid

dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan

paru, dengan cara menghitung rasio lesitin/sfingomielin dari cairan amnion. Sfingomielin adalah

fosfolipid yang berasal dari jaringan tubuh lainnya kecuali paru – paru. Jumlah lesitin meningkat

dengan bertambahnya gestasi, sedangkan sfingomielin jumlahnya menetap. Rasio L/S biasanya

1:1 pada gestasi 31 – 32 minggu, dan menjadi 2:1 pada gestasi 35 minggu.

Rasio L/S 2:1 atau lebih dianggap fungsi paru telah matang sempurna, rasio 1,5 – 1,9

sejumlah 50% akan menjadi RDS, dan rasio kurang dari 1,5 sejumlah 73% akan menjadi RDS.

Bila radius alveolus mengecil, surfaktan yang memiliki sifat permukaan alveolus, dengan

demikian mencegah kolapsnya alveolus pada waktu ekspirasi. Kurangnya surfaktan adalah

penyebab terjadinya atelektasis secara progresif dan menyebabkan meningkatnya distres

pernafasan pada 24 – 48 jam pasca lahir.12, 14

Surfaktan merupakan suatu komplek material yang menutupi permukaan alveoli paru,

yang mengandung lapisan fosfolipid heterogen dan menghasilkan selaput fosfolipid cair, yang

dapat menurunkan tegangan permukaan antara air-udara dengan harga mendekati nol,

memastikan bahwa ruang alveoli tetap terbuka selama siklus respirasi dan mempertahankan

volume residual paru pada saat akhir ekspirasi. Rendahnya tegangan permukaan juga

memastikan bahwa jaringan aliran cairan adalah dari ruang alveoli ke dalam intersisial.

Kebocoran surfaktan menyebabkan akumulasi cairan ke dalam ruang alveoli. Surfaktan

juga berperan dalam meningkatkan klirens mukosiliar dan mengeluarkan bahan particulate dari

paru. 13, 11. 15, 16

Page 11: referat HMD

II. 5. 3. Sintesis dan Metabolisme Pembentukan Surfaktan

Berbagai teori telah dikemukakan sebagai penyebab kelainan ini. Pembentukan substansi

surfaktan paru yang tidak sempurna dalam paru, merupakan salah satu teori yang banyak dianut.

Surfaktan ialah zat yang memegang peranan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu

kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama zat tersebut ialah

lesitin. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22 – 24 minggu dan mencapai maksimum pada

minggu ke – 35.

Gambar 1. Timeline Pembentukan surfaktan pada fetus17

Surfaktan merupakan gabungan kompleks fosfolipid. Surfaktan membuat stabil alveoli

dan mencegahnya dari kolaps pada saat ekspirasi dengan mengurangi tegangan.

Dipalmitoylphophatidyl choline (DPPC) merupakan komposisi utama dalam surfaktan yang

mengurangi surface tension. Surfaktan memiliki 4 surfactant – associated proteins yaitu SP - A,

SP - B, SP – C, dan SP – D. Surfaktan disintesis oleh sel alveolar tipe II dengan proses multistep

dan mensekresi lamellar bodies, yang memiliki kandungan fosfolipid yang tinggi.

Lamellar bodies ini berikutnya diubah menjadi lattice structure yang dinamakan tubular

myelin. Penyebaran dan adsorpi dari surfaktan merupakan karakteristik yang penting dalam

pembentukan monolayer yang stabil dalam alveolus. 18

Page 12: referat HMD

Gambar 2. Fisiologi pembentukan surfaktan18

Peranan surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak

terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara fungsionil pada akhir ekspirasi. Defisiensi

substansi surfaktan yang ditemukan pada penyakit membran hialin menyebabkan kemampuan

paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu. Alveolus akan kembali kolaps setiap akhir

ekspirasi, sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang

lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat.

Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia,

retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia akan menimbulkan: (1) oksigenasi jaringan menurun,

sehingga akan terjadi metabolism anaerobic dengan penimbunan asam laktat dan asan organik

lainnya yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi, (2) kerusakan endotel

Page 13: referat HMD

kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam

alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin bersama – sama dengan jaringan epitel

yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan atelektasis

juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah

paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi

surfaktan.19

Gambar 3. Patofisiologi HMD18

II. 6 MANIFESTASI KLINIS

Page 14: referat HMD

Gejala klinis yang timbul yaitu: adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah

lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/menit), pernapasan cuping hidung, grunting, retraksi

dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48 – 96 jam pertama setelah lahir.5, 6

Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan APGAR score (derajat

asfiksia), Silverman – Anderson score atau Downes score.21

Score 0 1 2

A – Appearance

(warna kulit)Pucat

Badan merah, ekstremitas biru

Seluruh tubuh kemerah – merahan

P – Pulse

(denyut nadi)Tidak ada Kurang dari 100 x/menit Lebih dari 100 x/menit

G- Grimace

(reflek)Tidak ada Sedikit gerakan mimic Batuk bersin

A – Activity

(tonus otot)Tidak ada

Ekstremitas diam sedikit fleksi

Gerakan aktif

R – Respiration

(usaha bernafas)Tidak ada Lemah, tidak teratur Baik menangis

Tabel 1. APGAR Score21

Nilai APGAR 8 – 10 : Vigorous baby

Nilai APGAR 7 : Asfiksia ringan

Nilai APGAR 4 – 6 : Asfiksia sedang

Nilai APGAR 0 – 3 : Asfiksia berat

GradeGerakan dada atas

Dada bawah (retraksi ICS)

Retraksi epigastrium

PCH Grunting

Page 15: referat HMD

0 sinkron - - - -

1Tertinggal

pada inspirasiringan ringan minimal

Terdengar pada stetoskop

2 See – saw jelas jelas jelasTerdengar

tanpa stetoskop

Tabel 2. Silverman score21

Score 0 – 3 = Mild respiratory distress – O2 by hood

Score 4-6 = Moderate respiratory distress – CPAP

Score > 6 = Impending respiratory failure

Score 0 1 2 Score

Respiratory rate < 60 60 – 80 >80 / apneu episode 2

Cyanosis None In room air In 40% oxygen 1

Retractions None Mild Moderate – severe 2

Grunting None Audible with

stethoscope

Audible without

stethoscope

1

Air entry* Clear Delay / decreased Barely audible 1

*air entry represents the quality of inspiratory breath sound as heard in the midaxillary line

Tabel 3. Downes skore21

Score : <6 = Respiratory distress

>6 = Inpending respiratory failure

II. 7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

II. 7. 1 Analisa gas darah

Hasil analisis gas darah menunjukkan asidosis respiratorik dan asidosis metabolik dengan

hipoksia. Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis dari alveoli dan atau overdistensi dari

Page 16: referat HMD

bronkiolus (terminal airways). Asidosis metabolik yang terjadi pada HMD diawali dengan

asidosis laktat sebagai akibat dari menurunnya perfusi ke jaringan sehingga tubuh menggunakan

jalur anaerob untuk metabolisme. Hipoksia pada HMD ini terjadi dari shunting right to the left

melalui pembuluh dari pulmonal, patent ductus artreriosus (PDA), dan atau foramen ovale tidak

menutup.8

II. 7. 2 Radiologi

Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto Rontgen toraks.

Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang

diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks,

hernia diafragmatika, dan lain – lain.19 Gambaran radiologis memberi gambaran penyakit

membran hialin. Gambaran yang khas berupa pola retikulogranular, yang disebut dengan ground

glass appearance, disertai dengan gambaran bronkus di bagian perifer paru (air bronchogram).22

Terdapat 4 stadium:

o Stadium 1: pola retikulogranular (ground glass appearance)

o Stadium 2: stadium 1 + air bronchogram

o Stadium 3: stadium 2 + batas jantung-paru kabur

o Stadium 4: stadium 3 + white lung appearance

Gambar 4. Gambaran ground glass appearance.22

Page 17: referat HMD

Gambar 5. Gambaran air bronchogram.22

Gambar 6. Gambaran batas jantung-paru kabur.22

Page 18: referat HMD

Gambar 7. white lung appearance.22

II. 7. 3. Tes Kematangan Paru

Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin adalah Tes Kematangan

Paru yang biasanya dilakukan pada bayi prematur yang mengancam jiwa untuk mencegah

terjadinya neonatal Respiratory Distress Syndrome (RDS). Tes tersebut diklasifikasikan sebagai

tes biokimia dan biofisika.23, 24

a. Tes Biokimia (Lesithin – Sfingomyelin rasio)

Paru – paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid

dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur

kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari

cairan amnion. Tes ini pertamakali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971, merupakan

salah satu tes yang sering digunakan dan sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes

yang lain.

Rasio lesithin dibandingkan sfingomyelin ditentukan dengan thin-layer

chromatography (TLC). Cairan amnion disentrifus dan dipisahkan dengan pelarut

organik, ditentukan dengan chromatography dua dimensi; titik lipid dapat dilihat dengan

Page 19: referat HMD

ditambahkan asam sulfur atau kontak dengan uap iodine. Kemudian dihitung rasio

lesithin dibandingkan sfingomyelin dengan menentukan fosfor organik dari lesithin dan

sfingomyelin.23, 24 Sfingomyelin merupakan suatu membran lipid yang secara relatif

merupakan komponen non spesifik dari cairan amnion.

Gluck dkk menemukan bahwa L/S untuk kehamilan normal adalah < 0,5 pada

saat gestasi 20 minggu dan meningkat secara bertahap pada level 1 pada usia gestasi 32

minggu. Rasio L/S = 2 dicapai pada usia gestasi 35 minggu dan secara empiris

disebutkan bahwa neonatal RDS sangat tidak mungkin terjadi bila rasio L/S > 2.

Beberapa penulis telah melakukan pemeriksaan rasio L/S dengan hasil yang sama. Suatu

studi yang bertujuan untuk mengevaluasi harga absolut rasio L/S bayi immatur dapat

memprediksi perjalanan klinis dari neonatus tersebut dimana rasio L/S merupakan

prediktor untuk kebutuhan dan lamanya pemberian bantuan pernapasan.

Dengan melihat umur gestasi, ada korelasi terbalik yang signifikan antara rasio

L/S dan lamanya hari pemberian bantuan pernapasan. Adanya mekonium dapat

mempengaruhi hasil interpretasi dari tes ini. Pada studi yang dilakukan telah menemukan

bahwa mekonium tidak mengandung lesithin atau sfingomyelin, tetapi mengandung suatu

bahan yang tak teridentifikasi yang susunannya mirip lesithin, sehingga hasil rasio L/S

meningkat palsu.17

Page 20: referat HMD

Gambar 8. Grafik perbandingan L/S dengan usia gestasi17

b. Test Biofisika :

1. Shake test diperkenalkan pertama kali oleh Clement pada tahun 1972. Tes ini

bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat dan menjaga agar

gelembung tetap stabil. Pengenceran secara serial dari 1 ml cairan amnion dalam saline

dengan 1 ml ethanol 95% dan dikocok dengan keras. Bila didapatkan ring yang utuh

dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion : ethanol) merupakan indikasi

maturitas paru janin. Pada kehamilan normal, mempunyai nilai prediksi positif yang tepat

dengan resiko yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS . 3,5

2. TDX- Maturasi paru janin (FLM II) tes lainnya yang berdasarkan prinsip

tehnologi polarisasi fluoresen dengan menggunakan viscosimeter, yang mengukur

mikroviskositas dari agregasi lipid dalam cairan amnion yaitu mengukur rasio surfaktan-

Page 21: referat HMD

albumin. Tes ini memanfaatkan ikatan kompetitif fluoresen pada albumin dan surfaktan

dalam cairan amnion. Bila lompatan fluoresen kearah albumin maka jaring polarisasi

nilainya tinggi, tetapi bila mengarah ke surfaktan maka nilainya rendah. Dalam cairan

amnion, polarisasi fluoresen mengukur analisa pantulan secara otomatis rasio antara

surfaktan dan albumin, yang mana hasilnya berhubungan dengan maturasi paru janin.

Menurut referensi yang digunakan oleh Brigham and Women’s Hospital, dikatakan

immatur bila rasio < 40 mg/dl; intermediet 40 – 59 mg/dl; dan matur bila lebih atau sama

dengan 60 mg/dl. Bila terkontaminasi dengan darah atau mekonium dapat menggangu

interpretasi hasil test.5, 23

Gambar 9. Shake Test

Pembacaan :

Neonatus imatur : tidak ada gelembung 60 % resiko terjadi HMD

1 ml Alkohol 95%

O,5 ml NaCl 0,9%

0,5 ml cairan lambung

Kocok 15 detik Diamkan tegak lurus 15 menit

Positif gelembung > 2/3

Intermediategelembung 1/3- 2/3

Negatif gelembung < 2/3

SHAKE TEST

Page 22: referat HMD

+1: gelembung sangat kecil pada meniskus (< 1/3) 20 % resiko terjadi HMD

+2: gelembung satu derat, > 1/3 permukaan tabung

+3: gelembung satu deret pada seluruh permukaan dan beberapa gelembung pada dua

deret

+4: gelembung pada dua deret atau lebih pada seluruh permukaan neonatus matur (2)

Gambar 10. Hubungan hasil shake test dengan insidiens terjadinya HMD.25

II. 7. 4. Tes apung paru

Page 23: referat HMD

Tes apung paru – paru (docimacia pulmonum hydrostatica), dikerjakan untuk mengetahui

apakah bayi yang diperiksa pernah hidup. Untuk melakukan tes ini syaratnya mayat harus segar.

Keluarkan alat – alat dal m rongga mulut, leher dan rongga dada dalam satu kesatuan, pangkal

dari esofagus dan trakea boleh diikat. Apungkan seluruh alat – alat tersebut pada bak yang berisi

air. Bila terapung, lepaskan organ paru – paru, baik yang kiri maupun yang kanan.

Apungkan kedua organ paru – paru tadi, bila terapung lanjutkan dengan pemisahan

masing – masing lobus. Apungkan semua lobus tersebut, catat mana yang tenggelam, mana yang

terapung. Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap – tiap lobus 5 potong dengan ukuran

5mm x 5mm, dari tempat yang terpisah dan perifer. Bila terapung, letakan potongan tersebut

pada 2 karton, dan lakukan penginjakan dengan berat badan, kemudian dimasukkan kembali ke

dalam air.

Bila terapung berarti tes apung positif, paru – paru mengandung udara, bayi tersebut

pernah dilahirkan hidup. Bila hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan

partial, bayi tetap pernah dilahirkan hidup.22

II. 8 DIAGNOSIS

II. 8. 1 Anamnesis

Riwayat kelahiran kurang bulan, ibu DM

Riwayat persalinan yang mengaalami asfiksia perinatal (gawat janin)

Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit membrane hialin.2

II. 8. 2 Pemeriksaan fisik

Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan.

Dijumpai sindrom klinis yang terdiri dari kumpulan gejala:

o Takipnea (frekuensi nafas > 60x/menit)

o Grunting atau nafas merintih

o Retraksi dinding dada

o Kadang dijumpai sianosis (pada udara ruangan)

Perhatikan tanda prematuritas

Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru

Page 24: referat HMD

Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya bayi, adanya

infeksi dan derajat dari pirau PDA

Penyakit dapat menetap atau menjadi progresif dalam 48 – 96 jam2

Diagnosis dari PMH dapat dikonfirmasi dengan foto Rontgen toraks dengan gambaran

khas/klasik yaitu ground glass appearance dan air bronchograms. Menurut Vermont Oxford

Neonatal Network definisi dari PMH selain gambaran khas dari Rontgen Toraks memerlukan

bahwa si bayi mempunyai PaO2 <50 mmHg pada udara ruangan, cyanosis sentral pada udara

ruangan atau keadaan dimana si bayi memerlukan suplimentasi oksigen tambahan untuk

mempertahankan PaO2 >50 mmHg.3,4

II. 9 DIAGNOSIS BANDING

1. Transient Tachypnoea of the newborn (TTNB)

Peningkatan kadar epinefrin pada fetus pada saat partus umumnya mengurangi produksi

cairan paru dan mengaktivasi channel natrium yang menimbulkan terjadinya reabsorbsi.

Gagalnya untuk membersihkan paru dari cairan paru ini menyebabkan terjadinya TTN. Faktor

risiko terjadi TTN termasuk kelahiran preterm, kelahiran dengan sectio caesaria, dan bayi dengan

jenis kelamin laki - laki. TTN juga dihubungkan dengan maternal asma. Pada gejala awal, TTN

sulit untuk dibedakan dengan penyakit membran hialin.

Diagnosis TTN hanya dapat ditegakkan dengan foto rontgen paru yaitu adanya opasitas paru

yang berbentuk “streaky”, ditemukannya cairan pada fisura transversalis, dan biasanya disertai

dengan kardiomegali. TTN terjadi pada 5 / 1000 bayi cukup bulan. Gejala TTN ialah adanya

takipnea yang parah (frekuensi nafas >60 x / menit) dan terjadinya hiperinflasi, tetapi jarang

disertai dengan grunting. 17

Page 25: referat HMD

Gambar.11. Transient tachypnoea of the newborn dengan gambaran cairan pada fisura

transversalis dan hiperekspansi paru.17

2. Meconium aspiration syndrome

Aspirasi mekoneum jarang terjadi pada bayi kurang bulan. Sindrom aspirasi mekonium

terjadi apabila janin mengeluarkan mekonium ke dalam cairan amnion ketika masih berada

dalam kandungan, dan cairan amnion yang terkontaminasi mekonium teraspirasi oleh bayi.

Aspirasi mekonium menyebakan obstruksi mekanis pada paru sehingga menyebabkan

terperangkapnya udara dan mengakibatkan atelektasis dan ketidakseimbangan perfusi –

ventilasi. Secara klinis, bayi tampak berwarna kuning kehijauan atau lebih dikenali sebagai

meconium – stained skin. Penegakkan diagnosis aspirasi mekoneum dapat dilakukan dengan

kombinasi foto rontgen dengan gambaran bercak – bercak konsolidasi atau atelektasis, infiltrat

kasar di kedua lapangan paru, dan hiperinflasi karena terperangkapnya udara.10,17

Gambar 12. Foto thoraks sindrom aspirasi mekonium.10

Page 26: referat HMD

Penyakit Gejala Radiologi

HMD Sianosis, apnea, nafas cuping

hidung,

Ateletaksis, air broncogram,

infitrat granular

TTN Takipnea segera setelah lahir,

retraksi, merintih

Hiperexpansi perihiler pulmonal,

peningkatan corakan vaskuler

pulmonal, infitrat sudut

costofrenikus tumpul

Aspirasi Mekonium Takipnea, nafas cuping hidung,

retraksi, sianosis, mekonium

stained skin

Infitrat kasar bilateral,

hiperinflasi paru

Tabel 4. Diagnosa banding HMD.

II. 10 PENATALAKSANAAN

II. 10. 1 Pemberian Kortikosteroid pada Ibu

Steroid antenatal diberikan pada ibu untuk menurunkan resiko kematian pada neonatal.

Keberhasilan pemberian steroid hanya terlihat pada bayi preterm yang ibunya menerima dosis

pertama steroid 1 – 7 hari sebelum persalinan. Betamethason dan Dexamethason digunakan

untuk meningkatkan pematangan paru janin. Pemberian steroid antenatal direkomendasikan pada

semua kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm.3

Dosis optimal kortikosteroid, waktu pemberian dan frekuensi pemberian masih belum

diketahui secara pasti. Menurut NIH Consensus Development Panel on the Effect of

Corticosteroids for Fetal Maturation on Perinatal Outcomes, regimen pemberian kortikosteroid

secara umum ialah 2 dosis betametason 12 mg diberikan secara intramuskular dengan jarak

waktu 24 jam dan 4 dosis deksametason 6 mg intramuskular dengan jarak waktu antar pemberian

12 jam.28

II. 10. 2 Penatalaksanaan Umum

Dasar tindakan ialah mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis agar bayi mampu

melanjutkan perkembangan paru dan organ lain sehingga dapat mengadakan adaptasi sendiri

terhadap sekitarnya.13,18

Page 27: referat HMD

Tindakan yang perlu dikerjakan ialah:

1. Memberikan lingkungan yang optimal

Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5 – 370 C) dengan

meletakkan bayi di dalam inkubator. Humiditas ruangan juga harus adekuat (70 – 80%).1,3

Semua usaha meresusitasi bayi haruslah dengan langkah mencegah terjadinya hipotermia

untuk meningkatkan angka kehiudpan.

2. Pemberian oksigen

Prinsip: Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi yang baru lahir.

Pemberian O2 yang terlalu tinggi dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan

seperti fibrosis paru (bronchopulmonary dysplasia (BPD)), dan lain – lain.20

Terapi Oksigen sesuai dengan kondisi:

Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan konsentrasi yang cukup untuk

mempertahankan tekanan oksigen arteri antara 50 – 70 mmHg untuk distres pernafasan

ringan.17, 19

Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada konsentrasi oksigen inspirasi

60% atau lebih, penggunaan NCPAP (Nasal Continuous Positive Airway Pressure)

terindikasi. NCPAP merupakan metode ventilasi yang non - invasif.20 Penggunaan

NCPAP sedini mungkin (early NCPAP) untuk stabilisasi bayi dengan berat lahir sangat

rendah (1000 – 1500 gram) di ruang persalinan juga direkomendasikan untuk mencegah

kolaps alveoli.20 Penggunaan humidified high flow nasal cannula therapy (HHFNC)

sebagai pengganti NCPAP sedang digalakkan di beberapa negara karena memiliki

keefektivitasan yang sama dengan NCPAP serta dapat digunakan untuk bayi dengan

semua usia gestasi.17

Page 28: referat HMD

Gambar 13. Nasal CPAP dan HHFNC5

II. 10. 3 Ventilator mekanik

Tujuan penggunaan ventilator adalah untuk memastikan perfusi pulmonal yang

berkesinambungan sehingga menurunkan resiko terjadinya trauma paru dan menurunkan work of

breathing pasien. Kesulitannya adalah dalam menentukan ventilator yang paling sesuai untuk

menangani gagal nafas neonatus.22 Ventilator mekanis dibagi menjadi 2, yaitu: 26

1. Non invasif

Continuos positive airway pressure (CPAP) adalah memberikan tekanan yang

berkesinambungan pada alveoli sepanjang siklus respirasi, memastikan alveolar terus inflasi dan

mencegahnya dari kolaps, terutama pada akhir ekspirasi. Dulu CPAP digunakan melalui selang

endotrakeal, tapi kini CPAP bisa diberikan secara nasal. Keuntungan dalam penggunaan CPAP

adalah menghasilkan pola pernafasan yang regular, terutama pada bayi preterm.

CPAP terdiri atas tiga komponen, yaitu :

a. Sirkuit yang mensuplai gas inspirasi yang harus dalam keadaan hangat dan lembap secara

terus menerus.

b. Komponen yang menghubungkan komponen pertama dengan jalan nafas bayi. Yang

sering digunakan sekarang adalah selang binasal.

c. Komponen terakhir adalah alat yang menghasilkan tekanan positif.

2. Invasif

Page 29: referat HMD

Dibagi menjadi dua yaitu:

1. Konvensional

a. Intermittent Mandatory Ventilation (IMV)

Dengan IMV tenaga medis dapat menentukan kadar di mana ventilator

mekanis memberikan nafas mekanis pada bayi, dimana ada interval

regularnya. Ini membolehkan bayi bernafas spontan antara dua jarak nafas

buatan. Kekurangannya adalah bayi sering bernafas tidak teratur dengan

penggunaan IMV. Pertukaran gas sangat bervariasi pada IMV, tergantung

kondisi bayi bernafas dengan atau melawan ventilator. Selain menyebabkan

tidak effisiensinya proses pertukaran gas tapi juga bisa mengakibatkan

terperangkapnya udara.

b. Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation (SIMV)

Ini adalah perbaikan dari IMV. Pada SIMV, onset dari nafas buatan ditentukan

berdasarkan onset dari nafas spontan jika terjadi dalam timing window.

Contohnya, jika kadar SIMV berdasarkan frekuensi nafas 30 kali / menit,

siklus ventilator akan terjadi setiap 2 detik. Pada setiap kali ventilator

seharusnya memulai nafas buatan, ia akan menunggu nafas spontan terlebih

dahulu, jika nafas spontan didapatkan dalam timing window

c. Assis /Control Ventilation (A/C)

Pada A/C semua nafas spontan yang melebihi ambang batas akan

menghasilkan nafas buatan pada onset inspirasi (assist / membantu). Jika

terjadi henti nafas atau ketidakmampuan paru dalam menghasilkan nafas

spontan maka nafas buatan akan diberikan dengan kadar yang ditetapkan oleh

tenaga medis (kontrol).

2. Non Konvensional

Disebut juga dengan High – Frequency Ventilation (HFV), yaitu ventilator non –

tidal dimana volume pemberian gas lebih rendah dari anatomic dead space dan

diberikan dengan kadar yang sangat cepat. Terdiri atas dua jenis yaitu high –

frequency jet ventilation dan high – frequency oscillatory ventilation. Keuntungan

dari penggunaan HFV adalah pemberian volume gas yang rendah pada kadar yang

cepat menghasilkan tekanan alveolar yang lebih rendah dan menurunkan resiko

Page 30: referat HMD

terjadinya trauma paru akibat pemberian volume dan tekanan yang eksesif. Pada

HFV, tekanan nafas rata – rata meningkat oleh itu, aliran balik vena menurun

sehingga jantung harus bekerja lebih kuat untuk menigkatkan volume inputnya.

a. High frequency jet ventilation (HFJV)

Menggunakan injector jet yang diletakan di proksimal atau distal trakea,

dimana gas bervolume rendah dan kadar cepat diberikan melalui alat ini.

Dengan HFJV, ekshalasi pasif dapat terjadi dengan bantuan dari elastisitas

recoil paru bayi itu sendiri.

b. High frequency oscillatory ventilation (HFOV)

Menggunakan piston atau diafragma untuk mengalirkan gas keluar dan masuk

paru melalui jalan nafas sehingga menghasilkan ekspirasi aktif. Dengan

HFOV, tekanan yang diberikan akan mengembangkan paru, menurunkan

ketidakseimbangan perfusi - ventilasi, dan meningkatkan luas permukaan

alveolar untuk pertukaran gas.26

II. 10. 4 Terapi Surfaktan

Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan pada bayi prematur

dengan RDS. Sampai saat ini ada dua pilihan terapi surfaktan, yaitu natural surfaktan yang

berasal dari hewan dan surfaktan sintetik bebas protein, dimana surfaktan natural secara klinik

lebih efektif. Adanya perkembangan di bidang genetik dan biokimia, maka dikembangkan secara

aktif surfaktan sintetik. Surfaktan paru merupakan pilihan terapi pada neonatus dengan RDS

sejak awal tahun 1990 (Halliday,1997), dan merupakan campuran antara fosfolipid, lipid netral,

dan protein yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan pada air – tissue interface . 29,30

Dosis Surfaktan

Dosis yang digunakan bervariasi antara 100mg/kg sampai 200mg/kg. Dengan dosis

100mg/kg sudah dapat memberikan oksigenasi dan ventilasi yang baik, dan menurunkan angka

kematian neonatus dibandingkan dosis kecil, tapi dosis yang lebih besar dari 100mg/kg tidak

memberikan keuntungan tambahan. Membaiknya oksigenasi dan ventilasi lebih cepat dengan

dosis 200mg/kg dibandingkan dosis 100mg/kg, tetapi pada penelitian yang dilakukan pada babi

dengan RDS berhubungan dengan meningkatnya perubahan aliran sistemik dan aliran darah ke

otak ( dikutip dari Moen, dkk 1998 ). Saat ini dosis optimum surfaktan yang digunakan adalah

100mg/kg.27

Page 31: referat HMD

Sampai saat ini surfaktan diberikan secara injeksi bolus intratrakeal, karena diharapkan

dapat menyebarkan sampai saluran napas bagian bawah. Dengan pemberian secara bolus dapat

mempengaruhi tekanan darah pulmonar dan sistemik secara fluktuatif (Wagner, dkk 1996).

Menurut Henry, dkk 1996 pemberian surfaktan secara nebulasi mempunyai beberapa efek

samping pada jantung dan pernapasan tetapi kurang dari 15% dosis ini akan sampai ke paru –

paru. Berggren, dkk 2000 mengatakan bahwa pemberian secara nebulasi pada neonatus kurang

bermanfaat.

Cosmi, dkk 1997 mengusulkan pemberian secara intra amnion akan tetapi teknik tersebut

sulit karena harus memasukkan kateter pada nares anterior fetus dengan bantuan USG.14

Surfaktan eksogen mempunyai dosis dengan variasi volume yang berbeda, Curosurf dengan

dosis 100 mg/kg volumenya 1,25 ml sedangkan survanta dengan dosis 100 mg/kg dengan

volume 4 ml. Surfaktan diberikan secara intratrakeal melalui endotrakeal tube (ETT).14, 27 Dosis

diberikan secara terbagi menjadi 4 dosis supaya pemberiannya homogen sampai ke lobus paru

bagian bawah. Setiap seperempat dosis diberikan dengan posisi yang berbeda. ETT dilepaskan

dari ventilator dan kemudian :

1. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5° - 10° ke bawah kepala menoleh ke kanan,

masukkan surfaktan seperempat dosis pertama melalui ETT selama 2 – 3 detik setelah

itu lakukan ventilasi manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik.

2. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5° - 10° ke bawah kepala menoleh ke kiri,

masukkan surfaktan seperempat dosis kedua melalui ETT selama 2 – 3 detik

setelah itu lakukan ventilasi manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik.

3. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5° - 10° ke atas kepala menoleh ke

kanan, masukkan surfaktan seperempat dosis ketiga melalui ETT selama 2 – 3

detik setelah itu lakukan ventilasi manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik.

4. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5° - 10° ke atas kepala menoleh ke

kiri, masukkan surfaktan seperempat dosis keempat melalui ETT selama

2 – 3 detik setelah itu lakukan ventilasi manual untuk mencegah sianosis selama 30

detik.14

DOSIS SURFAKTAN

Page 32: referat HMD

Berat Badan

(gram)

Dosis Total

(ml)

Berat Badan

(gram)

Dosis Total

(ml)

600-650 2.6 1301-1350 5.4

661-700 2.8 1351-1400 5.6

701-750 3.0 1401-1450 5.8

751-800 3.2 1451-1500 6.0

801-850 3.4 1501-1550 6.2

851-900 3.6 1551-1600 6.4

901-950 3.8 1601-1650 6.6

951 - 1000 4.0 1651-1700 6.8

1001-1050 4.2 1701-1750 7.0

1051-1100 4.4 1751-1800 7.2

1101-1150 4.6 1801-1850 7.4

1151-1200 4.8 1851-1900 7.6

1201-1250

1251-1300

5.0

5.2

1901-1950

1951-2000

7.8

8.0

Tabel 5. Dosis surfaktan.14

Pemberian dosis dapat diulang sebanyak 4 kali dengan interval 6 jam dan diberikan

dalam 48 jam pertama setelah lahir.14

Page 33: referat HMD

Exosurf (sintetik)

 67.5 mg (5 mL reconstituted suspension) 

Dosis pertama (diberikan segera setelah lahir) 5 mL/kg. dapat diberikan 2 – 3 kali dengan interval 12 dan 24 jam.

Survanta (beractant) (semi sintetik, dibuat dari paru anak sapi)

Available in 4 and 8 mL vialsSetiap 100 mg mengandung phospholipids/kgBB (4 mL/kg).

Page 34: referat HMD

Infasurf (Surfaktan eksogen biologik yaitu surfaktan yang diambil dari paru anak sapi atau babi)

Tiap 1 mL mengandung 35 mg total phospholipids (1mL/kg)

3 mL/kg (birth weight) intratracheal q12hr up to 3 doses

Page 35: referat HMD

Alveofact (Surfaktan eksogen biologik yaitu surfaktan yang diambil dari paru anak sapi atau babi)

50mg/kg (1,2 mL)

BLES (Bovine lipid extract surfactant) (Surfaktan eksogen biologik yaitu

Page 36: referat HMD

surfaktan yang diambil dari paru anak sapi atau babi)

5 mL/kg at 27 mg of phospholipids/mL, which equals 135 mg phospholipid/kg. 

Curosurf (poractant alfa) (Surfaktan eksogen biologik yaitu surfaktan yang diambil dari paru anak sapi atau babi)

One 1.5 ml vial contains 120mg of phospholipid fraction from porcine lung (poractant alfa).

One 3.0ml vial contains 240mg of phospholipid fraction from porcine lung (poractant alfa).

The recommended starting dose is 100-200mg/kg (1.25-2.5ml/kg), administered in a single dose as soon as possible after diagnosing RDS

Page 37: referat HMD
Page 38: referat HMD
Page 39: referat HMD
Page 40: referat HMD

II. 10. 5 Pemberian antibiotika

Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat antibiotika untuk mencegah

terjadinya infeksi sekunder.1 Pemberian antibiotik dimulai dengan spektrum luas, biasanya

dimulai dengan ampisilin 50 mg/kgBB intravena setiap 12 jam dan gentamisin 3 mg/kgBB untuk

bayi dengan berat lahir kurang dari 2 kilogram. Jika tak terbukti ada infeksi, pemberian

antibiotika dihentikan.2

II. 11 KOMPLIKASI

Komplikasi dari HMD dapat terjadi sebagai berikut:8

1. Ruptur alveoli: bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorax, pneumomediastinum,

pneumopericardium, emfisema intersisiel), pada bayi dengan RDS yang tiba – tiba

memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang

menetap.

2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya

perubahan jumlah leukosit dan trombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv

seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat – alat respirasi.

3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan intraventrikuler terjadi

pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi

mekanik.

4 PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan

RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.

5 Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan

pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan

tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik,

adanya infeksi, inflamasi. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.

II. 12 PROGNOSIS

Penyakit membran hialin prognosisnya tergantung dari tingkat prematuritas dan beratnya

Page 41: referat HMD

penyakit. Prognosis jangka panjang untuk semua bayi yang pernah menderita penyakit ini sukar

ditentukan. Mortalitas diperkirakan antara 20 – 40%. Beberapa penelitian melaporkan bahwa

dengan perawatan yang baik, bayi yang hidup masih mempunyai kepandaian dan keadaan

neurologis yang sama dibandingkan dengan bayi prematur lain yang masa gestasinya sama pula.

Kelainan pada paru dan saraf mungkin disebabkan karena penyakitnya sendiri yang berat atau

kurang sempurnanya perawatan, di antaranya karena pemberian kadar O2 tinggi secara terus –

menerus. Kelainan paru sebagai dysplasia bronchopulmoner umumnya disebabkan tekanan

positif yang terus menerus. Komplikasi lain yang mungkin terjadi pada waktu perawatan ialah

kelainan pada retina (fibroplasi retrolental) sebagai akibat pemberian O2 yang tidak semestinya.

Page 42: referat HMD

BAB III

KESIMPULAN

HMD atau respiratory distress syndrome (RDS) adalah gangguan respirasi yang

ditemukan pada bayi prematur akibat kurangnya surfaktan sehingga mengakibatkan kolapsnya

alveoli. HMD merupakan penyebab kematian utama pada bayi prematur, di Amerika Serikat

sekitar 12% bayi lahir prematur, sekitar 10% bayi prematur menderita HMD setiap tahunnya.

Berdasarkan foto thorax, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu:

1. Stadium 1; terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara.

2. Stadium 2; bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran

air bronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi

bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.

3. Stadium 3; kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru

terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara

lebih luas.

4. Stadium 4; seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat

dilihat.5, 6

HMD terjadi ketika suatu substansi paru yang disebut surfaktan tidak cukup. Surfaktan

paru merupakan senyawa komplek yang komposisinya hampir 90% adalah lipid dan 10%

protein. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru – paru

menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan

paru (compliance) menurun 25 % dari normal, pernafasan menjadi berat. Zat ini mulai dibentuk

pada kehamilan 22 – 24 minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke – 35.

Gejala klinis yang timbul yaitu: adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah

lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/menit), pernapasan cuping hidung, grunting, retraksi

dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48 – 96 jam pertama setelah lahir.

Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan APGAR score (derajat

Page 43: referat HMD

asfiksia), Silverman – Anderson score atau Downes score. Pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan pada HMD, yaitu: analisa gas darah, radiologi, tes kematangan paru (tes biokimia dan

tes biofisika) dan tes apung paru.

HMD dapat diketahui dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan

penunjang. Dari anamnesis dan berbagai pemeriksaan, dapat disingkirkan penyakit lainnya

seperti Transient Tachypnoea of the newborn (TTNB) dan meconium aspiration syndrome. Untuk

mecegah terjadinya HMD pada bayi baru lahir dapat diberikan kortikosteroid pada ibu. Secara

umum penatalaksanaan HMD ialah mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis agar bayi

mampu melanjutkan perkembangan paru dan organ lain sehingga dapat mengadakan adaptasi

sendiri terhadap sekitarnya.

Tindakan yang perlu dikerjakan ialah memberikan lingkungan yang optimal dan

pemberian oksigen. Selain itu dapat diberikan surfaktan. Pemberian surfaktan merupakan salah

satu terapi rutin yang diberikan pada bayi prematur dengan RDS. Dosis yang digunakan

bervariasi antara 100mg/kg sampai 200mg/kg. Setiap penderita penyakit membran hialin perlu

mendapat antibiotika untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pemberian antibiotik dimulai

dengan spektrum luas, biasanya dimulai dengan ampisilin 50mg/kgBB intravena setiap 12 jam

dan gentamisin 3mg / kgBB untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 2 kilogram.

Jika tak terbukti ada infeksi, pemberian antibiotika dihentikan. Berbagai komplikasi

dapat terjadi pada pasien HMD berupa ruptur alveoli, timbul infeksi, perdarahan intrakranial dan

leukomalacia periventricular, PDA, bronchopulmonary dysplasia, retinopathy premature.

Penyakit membran hialin prognosisnya tergantung dari tingkat prematuritas dan beratnya

penyakit. Prognosis jangka panjang untuk semua bayi yang pernah menderita penyakit ini sukar

ditentukan. Mortalitas diperkirakan antara 20 – 40%. Beberapa penelitian melaporkan bahwa

dengan perawatan yang baik, bayi yang hidup masih mempunyai kepandaian dan keadaan

neurologis yang sama dibandingkan dengan bayi premature lain yang masa gestasinya sama

pula.

Page 44: referat HMD

DAFTAR PUSTAKA

1. Schraufnagel DE. Breathing in America: Diseases, Progress, and Hope. American

Thoracic Society. 2010. Chapter 19, 197-205.

2. Smith JH. Neonatal Respiratory Care Handbook. Jones and Bartlett Publishers. 2009.

Chapter 2, 37-52.

3. Gommela TL, Cunningham MD, Eyal FG, Neonatology management, procedur, on-call

problems, disease, and drugs. Edisi 6. Lange. Chapter 89: Hyalin membran disease.

2004. 477-481.

4. Dzulfikar DLH, Ali Usman, Melinda D Nataprawira and Aris Primaldi. The prevalence of

hyaline membrane disease and the value of shake test and lamellar body concentration in

preterm infants. Paediatrica Indonesiana. 2003. Volume 43 No. 5-6:77-81.

5. Honrubia D, Stark AR. Respiratory Distress Syndrome. Dalam: Cloherthy J, Eichenwald

EC, Stark AR, Eds. Manual of Neonatal Care. Edisi 5. Philadelphia: Lippincott Williams

& Wilkins,2004:341-61.

6. Rennie JM, Roberton NRC. Respiratory Distress Syndrome. Dalam A Manual of

Neonatal Intensive Care, Edisi 4.London ; Arnold, 2002:128-78.

7. Ware.L, Matthay.M. The acute respiratory distress syndrome. Dari : http;//www.N Engl J

Med org. pada tgl 2 april 2005.

8. Pramanik AMD. Respiratory Distress Syndrome. Dari :http://www.emedicine.com/topic.

Updated July 2002.

9. Bermanshah E. Pencitraan pada kegawatan neonatus. Pendidikan Kedokteran

Berkelanjutan II (Continuing Medical Education) IDAI JAYA 2005;59-74.

10. Numan Nafie Hameed ,Muhi K. Al-Janabi, Yasser Ibrahim AL-Reda.Respiratory distress

in full term newborns.The Iraqi Postgraduate medical journal. Vol.6, No. 3, 2007.

11. Poynter.S, Marie Ann. Surfactan biology and clinical application. Crit Care Clin,

2003;19:459-73.

Page 45: referat HMD

12. Worthman.L. Surfactan Protein A (SP-A) affects Pulmonary Surfactant Morphology and

Biophysical Properties. Department of Biochemistry Memorial University of

Newfoundland, St. John’s, Newfoundland,1997;1-130.

13. Griese. M. Pulmonary surfactant in health and human lung diseases: state of the art. Eur.

Respir. J. 1999;13:1455-76.

14. Morley.C, Davis.P. Surfactant treatment for premature lung disorders: A review of best

practices in 2002. In Paediatric Respiratory Reviews, 2004;299-304

15. Crouch E, Wright JR. Surfactan proteins A and D and pulmonary host defense. Annu Rev

Physiol 2001;63:521-54.

16. Gunther A, Ruppert C, Schmidt R. Surfactant alteration and replacement in acute

respiratory distress syndrome. Respir Res 2001;2:353-64.

17. Miall Lawrence, Wallis Sam, “The management of respiratory distress in the moderately

preterm newborn infant”, Neonatal Intensive Care Unit, Leeds Teaching Hospitals NHS

Trust, Leeds, UK. Dipublikasi pada tanggal 28 Februari 2011.

18. Oommen P. Mathew, “Chapter 10: Respiratory Distress Syndrome: Impact of Surfactant

Therapy and Antenatal Steroid”, buku Innovations in Neonatal-perinatal Medicine

Innovative Technologies and Therapies That Have Fundamentally Changed the Way We

Deliver Care for the Fetus and the Neonate. Dipublikasi tahun 2011.

19. Latief Abdul dr., Napitupulu Partogi M dr., Pudjiadi Antonius dr., Ghazali Vinci

Muhammad dr, Putra Tulus Sukman dr, “Penyakit Membran hialin”, buku Ilmu

Kesehatan Anak jilid 3 FKUI hal. 1083 – 1087.

20. Monintja, H.E, Rulina Suradi, Asril Aminullah. Sindrom Gawat Nafas Pada Neonatus,

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA XXIII, FKUI, Jakarta, 1991, hal. 1-7. 55. 65-

66.

21. Surg Cdr SS Mathai, Col. U Raju, Col M. Kanitkar. Management of respiratory distress

in the newborn. MJAFI 2007; 63 : 269-272

22. Pudjiadi Antonius dr., Hegar Badriul dr, Handryastuti Setyo dr, Idris Salamia Nikmah dr,

Gandaputra Ellen P dr, Harmoniati Eva Devita dr, “Penyakit Membran Hialin”, buku

Pedoman Pelayanan Medis IDAI jilid 1 hal.238 – 242.

Page 46: referat HMD

23. Cosmi.EV. Fetal lung maturity tests. In: Prenat Neonat Med 2001;21-30.

24. Scarpelli.M. Fetal lung maturity tests assess the capacity to form surfactant foam films at

birth. Prenat Neonat Med 2001;15-20.

25. KEITH TANSWELL, ELIZABETH SHERWIN, AND BARRY T. SMITH Single-step

gastric aspirate shake test,from the Neonatal Intensive Care Unit, Kingston General

Hospital, Division of Neonatology, Queens University, Kingston, Ontario, Canada.

Dipublikasi 1976.

26. Steven M Donn and Sunil K Sinha. Respiratory Care : Invasive and Noninvasive

Neonatal Mechanical Ventilation. 2003. Volume 48 Chapter 4, 426-441

27. Ainsworth.SB, McCormack.K. Exogenaus surfactant and neonatal lung disease : An

update on the curent situation. Journal of neonatal nursing, 2004;10;1:6-11.

28. Brownfoot FC, Crowther CA, Middleton P, ”The Cochrane Collaboration: Different

corticosteroids and regimens for accelerating fetal lung maturation for women at risk of

preterm birth (Review)”. Dipublikasi tahun 2008.