Referat Baru Fix Aamiiiin

102
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMH Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya BAB I PENDAHULUAN Penyakit kompleks imun adalah sekelompok penyakit yang didasari oleh adanya endapan kompleks imun pada organ spesifik atau jaringan tertentu. Penyakit ini dibagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok penyakit kompleks imun alergi dan non-alergi. 1 Kompleks imun merupakan kumpulan dari antigen dan antibodi yang saling berikatan. Pada kondisi normal, kompleks imun dengan cepat dihilangkan dari sirkulasi. Namun, pada kondisi tertentu kompleks imun terus bersrikulasi dan akan terperangkap ke dalam jaringan dari ginjal, paru, kulit, sendi, atau pembuluh darah. Di dalam jaringan, kompleks imun ini menginisiasi respon imun oleh komplemen dan inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan. Kompleks imun memiliki patogenesis tersendiri di dalam menimbulkan suatu proses penyakit. 1 Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo bukan saja bergantung pada jumlah absolute antigen dan antibody, tetapi juga bergantung pada perbandingan relatif antara kadar antigen dengan antibodi. Dalam suasana antibodi berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari antibodi, kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi yang ditimbulkannya adalah kelainan 1

description

referat pdl

Transcript of Referat Baru Fix Aamiiiin

Page 1: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kompleks imun adalah sekelompok penyakit yang didasari oleh

adanya endapan kompleks imun pada organ spesifik atau jaringan tertentu.

Penyakit ini dibagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok penyakit kompleks imun

alergi dan non-alergi.1

Kompleks imun merupakan kumpulan dari antigen dan antibodi yang

saling berikatan. Pada kondisi normal, kompleks imun dengan cepat dihilangkan

dari sirkulasi. Namun, pada kondisi tertentu kompleks imun terus bersrikulasi dan

akan terperangkap ke dalam jaringan dari ginjal, paru, kulit, sendi, atau pembuluh

darah. Di dalam jaringan, kompleks imun ini menginisiasi respon imun oleh

komplemen dan inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan. Kompleks

imun memiliki patogenesis tersendiri di dalam menimbulkan suatu proses

penyakit.1

Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo bukan saja

bergantung pada jumlah absolute antigen dan antibody, tetapi juga bergantung

pada perbandingan relatif antara kadar antigen dengan antibodi. Dalam suasana

antibodi berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari

antibodi, kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi yang

ditimbulkannya adalah kelainan setempat infiltrasi hebat dari sel – sel PMN,

agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan

edema.2

Agregasi trombosit dapat meningkatkan penglepasan vasoactive-amine

atau mungkin juga menimbulkan mikrotumbus yang berakibat iskemia local.

Dalam suasana antigen yang berlebih, kompleks yang terbentuk adalah kompleks

yang larut dan beredar dalam sirkulasi serum sickness atau terperangkap di

berbagai jaringan diseluruh tubuh dan menimbulkan reaksi inflamasi setempat.2

Reaksi yang diinisiasi kompleks imun dapat menimbulkan morbiditas dan

mortalitas yang tinggi. Hal itu dapat dicegah dengan diagnosis dan

penatalaksanaan dini yang akurat dan adekuat.

1

Page 2: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

BAB II

IMUNOPATOGENESIS

PENYAKIT KOMPLEKS IMUN

1. Imunopatogenesis penyakit kompleks imun 1,2,3

Dasar patofisiologi dari penyakit kompleks imun ini adalah reaksi

hipersensitivitas tipe I,II, dan III menurut Gell dan Comb. Reaksi yang terjadi

disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi

ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/dinding pembuluh darah dan

mengaktifkan komplemen. Antibodi di sini biasanya jenis IgM dan IgG, dan

dapat pula berupa IgA atau IgE. IgG dan IgM mengaktifkan komplemen melalui

jalur alternatif. Pada penyakit kompleks imun alergik seperti Aspergilosis

Bronkopulmonari Alergik IgE juga berperan melalui reaksi hipersensistivitas tipe

I Gell dan Comb. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepas Macrophage

Chemotactc Factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepas

enzim protease dan enzim lain yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Makrofag

juga melepas bahan toksik yang berasal dari metabolisme oksigen dan arginin

(Oksigen Radikal Bebas) yang akan menyebabkan kerusakan jaringan lebih

parah.1,2

Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria),

bahan yang terhirup (spora jamur menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau

dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen

dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.

Dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit

mononuklear, terutama di hati, limpa, dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam

proses tersebut, ukuran kompleks merupakan faktor yang penting. Pada

umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh

makrofag dalam hati, sedangkan kompleks kecil sulit untuk dimusnahkan karena

itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi

fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit

dimusnahkan.

2

Page 3: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Meskipun kompleks imun berada di dalam sirkulasi untuk jangka waktu

lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun

tersebut mengendap di jaringan.

Hal yang memungkinkan terjadinya pengednapan kompleks imun dalam

jaringan, ialah ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskular yang

meninggi, antara lain karena histamin yang dilepas.

Komplemen, mastosit dan trombosit ikut berperan pada penglepasan

histamin tersebut. Histamin dilepas dari mastosit atas pengaruh anafilaktosin

(C3a dan C5A) yang dilepas pada aktivasi komplemen.

Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan, misalnya dalam kapiler

glomerulus, bifurkasi pembuluh darahm pleksus koroid dan ciliary body mata.

Pada lupus eritematosus sistemik (SLE), ginjal merupakan tempat endapan

kompleks imun. Pada artritis reumatoid, sel plasma dalam sinovium membentuk

anti-IgG (faktor reumatoid berupa IgM) dan menimbulkan kompleks imun di

sendi.

Muatan listrik kompleks imun ikut pula berperan. Kompleks imun

bermuatan positif cenderung lebih mudah mengendap, terutama di glomeruli. Hal

ini diduga karena glomeruli bermuatan negatif.

Kompleks imun terbentuk setiap kali antibody bertemu dengan antigen,

tetapi dalam keadaan normal pada umumnya kompleks ini segera disingkirkan

secara efektif oleh jaringan retikuloendotel, tetapi ada kalanya pembentukan

kompleks imun menyebabkan reaksi hipersensitivitas.2

Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis

besar dapat digolongkan menjadi 3 golongan,1,2 yaitu :

1) Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibody yang

lemah, menimbulakn pembentukan kompleks imun kronis yang dapat

mengendap di berbagai jaringan.

2) Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi secara

terus menerus yang berikatan dengan jaringan self.

3) Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru–paru,

akibat terhirupnya antigen secara berulang kali.

3

Page 4: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Gambar 1. Reaksi kompleks imun2

Pemaparan pada antigen dalam jangka panjang dapat merangsang

pembentukan antibody yang umumnya tergolong IgG dan bukan IgE seperti

halnya pada reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada reaksi hipersensitivitas tpe III,

antibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen

antibodi yang akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktivasi sistem komplemen,

menyebabkan pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Selanjutnya terjadi

vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan kompleks. Dilain pihak

proses itu juga merangsang PMN sehingga sel–sel tersebut melepaskan isi granula

berupa enzim proteolitik diantaranya proteinase, kolegenase, dan enzim

pembentuk kinin. Apabila kompleks antigen-antibodi itu mengendap dijaringan,

proses diatas bersama–sama dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak

jaringan sekitar kompleks. Reaksi ini dapat terjadi saat terdapat banyak kapiler

twisty (glomeruli ginjal, kapiler persendian).1,3

Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo bukan saja

bergantung pada jumlah absolute antigen dan antibody, tetapi juga bergantung

pada perbandingan relatif antara kadar antigen dengan antibodi. Dalam suasana

antibodi berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari

antibodi, kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi yang

4

Page 5: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

ditimbulkannya adalah kelainan setempat infiltrasi hebat dari sel – sel PMN,

agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan

edema. Reaksi ini disebut Reaksi Arthus.2

Agregasi trombosit dapat meningkatkan penglepasan vasoactive-amine

atau mungkin juga menimbulkan mikrotumbus yang berakibat iskemia local.

Dalam suasana antigen yang berlebih, kompleks yang terbentuk adalah kompleks

yang larut dan beredar dalam sirkulasi serum sickness atau terperangkap di

berbagai jaringan diseluruh tubuh dan menimbulkan reaksi inflamasi setempat

seperti pada glomerulo-nefritis dan arthritis. Tempat pengendapan kompleks yang

berbeda dapat memunculkan manifestasi klinis yang berbeda pula. Meskipun

demikian, pengendapan setempat juga dapat menimbulkan reaksi inflamasi

sistemik seperti:3

1. Demam, nyeri, malaise

2. Gatal, edema

3. Pengurangan komplemen di dalam darah

4. Glomerulonephritis (ginjal)

5. Arthritis (persendian)

6. Rheumatik penyakit jantung

Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hipersensitivitas tipe III antara

lain : 1,2

a. Ukuran kompleks imun

Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit, kompleks imun

harus mempunyai ukuran yang sesuai. Kompleks imun berukuran besar

biasanya dapat disingkirkan oleh hepar dalam waktu beberapa menit,

tetapi kompleks imun berukuran kecil dapat beredar dalam sirkulasi untuk

beberapa waktu. Ada dugaan bahwa efek genetic yang memudahkan

produksi antibody dengan afinitas rendah dapat menyebabkan

pembentukan kompleks imun berukuran kecil, sehingga individu

bersangkutan mudah menerima penyakit kompleks imun.1

5

Page 6: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

b. Kelas imunoglobulin

Pembersihan (clearance) kompleks imun juga dipengaruhi oleh

kelas immunoglobulin yang membentuk kompleks. Kompleks IgG mudah

melekat pada eritrosit dan dikeluarkan secara perlahan–lahan dari

sirkulasi, tetapi tidak demkian halnya dengan IgA yang tidak mudah

melekat pada eritrosit dan dapat disingkirkan cepat dari sirkulasi, dengan

kemungkinan pengendapan dalam berbagai jaringan misalnya ginjal, paru-

paru, dan otak.2,4

c. Aktivasi komplemen

Salah satu factor penting lain yang turut menentukan manifestasi

klinik adalah berfungsinya aktivasi komplemen melalui jalur klasik.

Aktivasi komplemen melalui jalur klasik dapat mencegah penegendapan

kompleks imun karena C3b yang terbentuk dapat menghambat

pembentukan kompleks yang besar. Kompleks yang terikat pada C3b akan

melekat pada eritrosit melalui reseptor C3b, lalu dibawa ke hepar mana

kompleks itu dihancurkan oleh makrofag. Bila system ini terganggu,

misalnya pada defisiensi komplemen, maka kompleks diatas akan

membentuk kompleks yang berukuran besar dan memungkinkan ia

terperangkap diberbagai jaringan atau organ. Telah diketahui bahwa

kompleks imun yang paling merusak apabila ia mengendap atau

terperangkap dalam jaringan.1,2

d. Permeabilitas pembuluh darah

Yang paling penting dalam kompleks imun adalah peningkatan

permeabilitas vaskular. Peningkatan permeabilitas vascular dapat

disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya oleh peningkatan pelepasan

vasoactive amine. Semua hal yang berkaitan dengan penglepasan substansi

ini harus dipertimbangkan, misalnya komplemen, mastosit, basofil, dan

trombosit yang dapat memberikan kontribusinya pada peningkatan

permeabilitas vascular.

e. Proses hemodinamik

6

Page 7: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-

tempat dengan tekanan darah tinggi dan ada turbulensi. Banyak kompleks

imun mengnedap dalam glomerulus dimana tekanan darah meningkat

hingga 4 kali dan dalam dinding percabangan arteri dan ditempat-tempat

terjadinya filtrasi, seperti pada pleksus choroids dimana tempat turbelensi.

f. Afinitas antigen pada jaringan

Ada beberapa jenis kompleks imun yang memilih mengendap di

tempat – tempat tertentu, misalnya untuk SLE, sasaran pengendapan

kompleks imun adalah ginjal. Pada arthritis rheumatoid kompleks imun

lebih suka mengendap dalam sendi dan walaupun selalu ada kompleks

imun dalam sirkulasi, ia tidak mengendap di ginjal. Hal ini ditentukan oleh

afinitas antigen terhadap organ tetentu.

Prekursor umum reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :

1. Sensitisasi sel B dengan sejumlah besar antigen disajikan dalam waktu

lama

2. Infusi intravena obat antigenik

3. Injeksi sejumlah besar obat antigenik (tidak cepat dibersihkan)

4. Sejumlah besar infeksi (contoh, Streptococcus, dengan demam

rematik)

5. Autoantigen yang tidak dapat dihindari (contoh., systemic lupus

erythematosis -SLE) : sistem imun mengenali DNA sendiri sebagai

senyawa asing dan membuat anti-nuclear antibodies (ANA); kompleks

Ag/Ab terdeposit pada dinding pembuluh (vasculitis) pada:

− Persendian dan otot mengakibatkan arthritis and myalgia

− Ginjal

− Pembuluh kutan pada wajah menimbulkan topeng merah serigala

(Canis lupus)

− Perikardium, pleura menimbulkan nyeri dada

7

Page 8: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Pengobatan dan penanganan penderita reaksi hipersensitivitas tipe III

antara lain :

1. Obat anti-inflamasi\antihistamin

2. Menghindari sejumlah besar antigen dan berhati-hati terhadap

immunisasi dan antitoksin.

Reaksi Artus1,2

Artus yang menyuntikkan serum kuda ke dalam kelinci intradermal

berulang kali menemukan reaksi yang makin menghebat di tempat suntikan.

Mula-mula hanya terjadi eritema dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi

tersebut menghilang keesokan harinya. Suntikan kemudian menimbulkan edema

yang lebih besar dan suntikan yang ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan nekrosis

yang sulit sembuh. Hal tersebut disebut fenomena Artus yang merupakan bentuk

reaksi dari kompleks imun.

Reaksi Artus biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah

besar. Antigen yang disuntikkan akan membentuk kompleks yang tidak larut

dalam sirkulasi atau mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat

menjadi besar, komplemen mulai diaktifkan. C3a dan C5a (anafilaktosin) yang

terbentuk meninggikan permeabilitas pembuluh darah dan terjadi edema.

Komponen lain yang berperan adalah faktor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit

mulai menimbun ditempat reaksi dan mengakibatkan stasis dan obstruksi total

aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama

dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan toksik seperti

oksigen radikal bebas, protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif. Akhiornya

terjadi perdarahan disertai dengan nekrosis jaringan setempat.

Dengan teknik imunofluoresen, antigen, antibodi, dan berbagai

komplemen dapat ditemukan di tempat kerusakan pada pembuluh darah. Bila

kadar komplemen atau jumlah granulosis (pada binatang, kadar komplemen dapat

diturunkan dengan bisa kobra), maka kerusakan khas dari Artus tidak terjadi. Di

dalam klinik, reaksi Artus jarang terlihat.

8

Page 9: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

BAB III

PEMBAGIAN PENYAKIT KOMPLEKS IMUN

1. Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) 1,4,14

a. Definisi SLE

Lupus adalah suatu kondisi inflamasi kronik yang disebabkan oleh

penyakit autoimun.

Penyakit lupus merupakan penyakit kelebihan kekebalan tubuh.

Penyakit lupus terjadi akibat produksi anti-bodi yang berlebihan, sehingga

tidak berfungsi menyerang virus, kuman atau bakteri yang ada di tubuh,

melainkan justru menyerang sistem kekebalan sel dan jaringan tubuh

sendiri Jika jaringan kulit saja yang terlibat, disebut diskoid lupus, jika

organ-organ dalam turut terlibat, ia dikenali sebagai lupus eritematosus

sistemik.4

b. Patogenesis SLE

Hubungan antara lupus dan patogenesis masih kontroversial,

karena komponen komplemen dan imunoglobulin, termasuk kompleks

penghancur membran, dapat dijumpai kedua kulit non-lesi dan lesi pada

pasien lupus eritematosus sistemik.

Pada manusia normal, sistem kekebalan tubuh biasanya akan

membuat anti-bodi yang fungsinya melindungi tubuh dari berbagai macam

serangan virus, kuman, bakteri maupun benda asing lainnya (anti-gen).

Pada penyakit autoimun seperti lupus, sistem kekebalan tubuh seperti

kehilangan kemampuan melihat perbedaan antara substansi asing dengan

sel maupun jaringan tubuhnya sendiri. Pada lupus, produksi anti-bodi yang

seharusnya normal menjadi berlebihan. Akibatnya, anti-bodi ini tidak lagi

berfungsi untuk menyerang virus, kuman atau bakteri yang ada di tubuh,

tetapi justru menyerang sistem kekebalan sel dan jaringan tubuhnya

sendiri. Anti-bodi seperti ini disebut auto anti-bodi. Ia bereaksi dengan

anti-gen membentuk immune complex/ komplek imun.

9

Page 10: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,

gangguan pemrosesan komplek imun dalam hati dan penurunan uptake

kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan

terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear.

Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan

akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini

menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab

timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan

timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan

seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.

c. Etiologi SLE

Hingga kini, faktor penyebab hadirnya lupus di tubuh belum

diketahui secara pasti. Namun beberapa penelitian kemungkinan lupus

hadir melalui beberapa faktor diantaranya :

Faktor Lingkungan

- Infeksi

- Stress

- Makanan

- Antibiotik (khususnya kelompok sulfa & penisilin)

- Ultraviolet

- Penggunaan obat-obat tertentu

Faktor Genetik

Sampai saat ini, tidak diketahui gen-gen yang menjadi

penyebabnya, lupus diturunkan angkanya relatif kecil, kemungkinan hanya

10 %.

Faktor Hormon

Faktor hormonal bisa menjelaskan mengapa kaum hawa lebih

sering terkena lupus dibanding pria. Meningkatnya angka pertumbuhan

10

Page 11: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

penyakit lupus sebelum periode menstruasi atau selama masa kehamilan

mendukung keyakinan bahwa hormon, khususnya estrogen, menjadi

pencetus lupus.

Faktor Sinar Matahari

Sinar matahari memancarkan sinar ultraviolet yang dapat

merangsang peningkatan hormon estrogen yang cukup banyak sehingga

mempermudah terjadinya reaksi autoimun.

d. Jenis-Jenis Lupus

Lupus Eritematosus Diskoid

- Paling sering menyerang dan merupakan lupus kulit dengan

manifestasi beberapa jenis kelainan kulit

- Kelainan biasanya berlokalisasi simetrik di muka (terutama hidung,

pipi), telinga atau leher.

- Ruam kulit berupa makula eritem, berbatas jelas dengan sumbatan

keratin pada folikel-folikel rambut (follicular plugs). Bila ruam

atau lesi di atas hidung dan pipi berkonfluensi dapat seperti kupu-

kupu (Butterfly Erythema)

- Ruam biasanya tidak nyeri dan bukan penyakit gatal, tetapi

bekasnya dapat menyebabkan hilangnya rambut permanen. 5-10 %

pasien dengan lupus diskoid dapat berkembang menjadi lupus

eritematosus sistemik

- Ruam ini pulih dengan meninggalkan parut, diskoid lupus tidak

serius dan jarang sekali melibatkan organ-organ lain

Lupus Eritematosus Sistemik

Kriteria A.R.A (The American Rheumatism Association) 1982 :

1. Eritema fasial (butterfly rash)

2. Lesi diskoid

3. Fotosensitivitas

4. Ulserasi di mulut dan rinofaring

5. Arthritis (non erosif, mengenai dua atau lebih sendi perifer)

11

Page 12: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

6. Serositis (pleuritis, pericarditis)

7. Kelainan ginjal :

- Proteinuri 0,5 g/dl atau > 3+

- Cellular cast : sel darah merah, Hb, granular, tubular atau mix

8. Kelainan neurologi : (kelelahan, psikosis)

9. Kelainan darah :

- Hemolitik anemia dengan retikulosit

- Leukopenia : < 4000/mm3

- Trombositopenia: <100.000 mm

10. Kelainan imunologi :

- Anti- DNA

- Anti-Sm

- Positif semu test serologik untuk sifilis

11. Anti-bodi antinuklear (8).

Gejala atau Simptom

1. Sakit pada sendi (arthralgia) 95 %

2. Demam di atas 38oC 90 %

3. Bengkak pada sendi (arthritis) 90 %

4. Penderita sering merasa lemah, kelelahan (fatigue) berkepanjangan

81%

5. Ruam pada kulit 74 %

6. Anemia 71 %

7. Gangguan ginjal 50 %

8. Sakit di dada jika menghirup nafas dalam 45 %

9. Ruam bebentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung 42 %

10. Sensitif terhadap cahaya sinar matahari 30 %

11. Rambut rontok 27 %

12. Gangguan abnormal pembekuan darah 20 %

13. Jari menjadi putih/biru saat dingin (Fenomena Raynaud’s) 17 %

14. Stroke 15 %

15. Sariawan pada rongga mulut dan tenggorokan 12 %

16. Selera makan hilang > 60 %

12

Page 13: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Lupus Obat

Timbul akibat efek samping obat akan sembuh sendiri dengan

memberhentikan obat terkait, biasanya pemakaian obat hydralazine

(obat hipertensi) dan procanamide (untuk mengobati detak jantung

yang tidak teratur)

Hanya 4 % dari orang yang mengkonsumsi obat-obat yang bakal

membentuk anti-bodi penyebab lupus.

e. Diagnosis SLE

Karena pasien dengan lupus eritematosus sistemik bisa memiliki

gejala yang sangat bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang

berbeda, tidak ada pengujian tunggal yang dapat mendiagnosa lupus

sistemik. Untuk membantu keakuratan diagnosis lupus eritematosus

sistemik, sebelas kriteria diterbitkan oleh asosiasi reumatik Amerika.

Kesebelas kriteria tersebut berkaitan dengan gejala-gejala yang di

diskusikan diatas. Beberapa pasien yang dicurigai menderita lupus

eritematosus sistemik mungkin tidak pernah memenuhi kriteria yang

cukup untuk diagnosis defenitif. Pasien yang lain mungkin mengumpulkan

kriteria yang cukup hanya dalam beberapa bulan atau tahun setelah

observasi. Jika seseorang memenuhi empat atau lebih kriteria berikut,

diagnosis lupus eritematosus sistemik sangat mungkin. Namun demikian,

diagnosis lupus eritematosus sistemik dapat ditegakkan pada pasien

dengan kondisi tertentu dimana hanya sedikit kriteria yang dapat dipenuhi.

Pada pasien-pasien tersebut, kriteria yang lain dapat berkembang

kemudian, tapi pada kebanyakan kasus tidak demikian.

Sebelas kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis lupus

eritematosus sistemik :

o Ruam kemerahan berbentuk kupu-kupu di daerah pipi atau muka.

o Ruam diskoid : bercak-bercak kemerahan yang dapat menyebabkan

parut.

o Fotosensitivitas : ruam kulit akibat reaksi terkena matahari.

13

Page 14: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

o Ulkus pada membran mukosa : ulkus daerah mulut, hidung atau

tenggorokan.

o Arthritis : pembengkakan pada dua atau lebih sendi-sendi di

ekstremitas.

o Pleuritis dan Perikarditis : peradangan pada jaringan ikat yang

membungkus jantung atau paru-paru, biasanya berkaitan dengan nyeri

dada saat bernafas.

o Gangguan ginjal : terdapatnya jumlah proteinuri yang abnormal.

o Iritasi otak : ditunjukkan dengan adanya kejang dan psikosis.

o Hitung darah yang tidak normal : ditemukannya leukosit, eritrosit dan

trombosit yang rendah.

o Gangguan imunologis : pengujian imun yang abnormal termasuk anti-

bodi anti-DNA atau anti-Sm (Smith), positif semu pada pengujian

darah untuk sifilis, anti-bodi anti-kardiolipin, uji LE positif.

o Anti-bodi antinuklear : pengujian anti-bodi ANA positif

o Sebagai tambahan dari sebelas kriteria tersebut, pengujian lainnya

dapat membantu mengevaluasi pasien dengan lupus eritematosus

sistemik untuk menentukan keparahan organ-organ yang terlibat.

Termasuk diantaranya darah rutin dengan laju endap darah, pengujian

kimia darah, analisa langsung cairan tubuh lainnya, serta biopsi

jaringan. Kelainan cairan tubuh dan sampel jaringan dapat membantu

diagnosis lanjut lupus eritematosus sistemik

f. Pemeriksaan Penunjang SLE 1,6,14

1. Patologi Anatomi

Epidermis atrofi

Degenerasi pada junction dermal-epidermal

Dermis edema

Infiltrat limfositosis dermal

Degeneratif fibrinoid dari jaringan konektif dan dinding

pembuluh darah.

14

Page 15: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

2. Imunofloresensi Kulit

LBT (lupus band test)

Direct imunofloresensi demonstrasi IgG, IgM, C3

3. Serologi

ANA positif

Anti double strand DNA antibodies

Anti-Sm antibodies dan rRNP antibodies specific

Anti-kardiolipin auto anti-bodi

4. Hematologi

Anemia

Limpopenia

Trombositopenia

Elevasi ESR

5. Urinalisa

Proteinuria

g. Komplikasi SLE

1. Serangan pada Ginjal

Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)

Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)

Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin)

2. Serangan pada Jantung dan Paru

Pleuritis

Pericarditis

Efusi pleura dan Efusi pericard

Radang otot jantung atau Miocarditis

Gagal jantung

Perdarahan paru (batuk darah)

3. Serangan Sistem Saraf

15

Page 16: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

a. Sistem saraf pusat

Cognitive dysfunction

Sakit kepala pada lupus

Sindrom anti-phospholipid

Sindrom otak

Fibromyalgia

b. Sistem saraf tepi

Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki

c. Sistem saraf otonom

Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan

jaringan otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan

kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat

menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom

4. Serangan pada Kulit

Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung

cahaya disebut lesi diskoid

§ Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir

70-an :

o Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat

sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult

subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka

psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.

o Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat

mencakup area yang luas di bagian tubuh

§ Lesi non spesifik

o Rambut rontok (alopecia)

o Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan

kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki

yang dapat menjadi borok

o Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari

dan kadang di sertai pusing.

5. Serangan pada Sendi dan Otot

16

Page 17: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

- Radang sendi pada lupus

- Radang otot pada lupus

6. Serangan pada Mata

7. Serangan pada Darah

Anemia

Trombositopenia

Gangguan pembekuan

Limfositopenia

8. Serangan pada Hati

h. Penatalaksanaan SLE14

1. Serangan pada Ginjal

§ Urinalisis

§ Creatinin clearence test

§ BUN

§ Sinar X

§ Biopsi ginjal

§ Therapi :

Kortikosteroid (Prednison, Prednisolone, Metilprednisolone)

Sitostatik/Imunosupresif (Azatioprin, Siklofosfamide)

§ Hemodialisa

2. Serangan pada Jantung dan Paru

o Semua pasien lupus mengalami serangan batuk secara tiba-tiba atau

rasa sakit di dada harus segera memberitahu dokter.

o Masalah jantung dan paru yang berkaitan dengan lupus dapat di obati

namun, tetap harus ditindak lanjuti secara seksama

3. Serangan Sistem Saraf

o Pengobatan sistem saraf lupus tergantung dari gejalanya.

o Pengobatan dapat menggunakan : steroid, imunosupresan, anti

koagulan, antibiotik, anti konvulsan, anti depresi, konsultasi dengan

psikiater, atau operasi pembedahan.

4. Serangan pada Kulit

17

Page 18: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Pengobatan penyakit kulit akibat lupus eritematosus sistemik dapat

menggunakan : cream steroid, plester steroid untuk menutup luka

lupus, atau dengan suntikan steroid dosis tinggi.

Untuk luka akibat lupus yang menyebar luas, sering diobati dengan

hidroksikhloroquin (plaquenil) atau di kombinasi dengan steroid

oral dosis tinggi untuk waktu yang singkat.

Cream pelindung matahari digunakan untuk mencegah luka kulit

lupus.

Sebaiknya odapus menghindari paparan sinar matahari secara

langsung dalam waktu yang lama

5. Serangan pada Sendi dan Otot

- Radang sendi pada lupus dapat diobati : NSAIDs, seperti aspirin,

ibuprofen, dan naproxen.

- Bila tidak efektif dapat digunakan obat-obatan anti malaria seperti

hidroksihloroquin (plaquenil) efektif untuk mengobati gejala kulit

dan sendi yang biasa terjadi pada lupus eritematosus sistemik.

- Anti malaria juga dapat meredakan gejala ruam kulit dan sendi

pada pasien lupus

i. Kesimpulan

Lupus merupakan suatu kondisi inflamasi kronik yang disebabkan

oleh penyakit autoimun. Ia muncul karena adanya aktivitas sistem

kekebalan tubuh (zat anti-bodi) yang berlebihan.

2. Vaskulitis6,15

a. Definisi

Vaskulitis adalah suatu kumpulan gejala klinis dan patologis yang

di tandai adanya proses inflamasi dan nekrosis dinding pembuluh

darah.Pembuluh darah yang terkena dapat arteri atau vena dengan berbagai

ukuran.5

b. Etiologi Vaskulitis

18

Page 19: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Sampai saat ini penyebab penyakit ini belum di ketahui dengan

jelas, namun ada beberapa yang memegang peranan yang memicu

timbulnya penyakit ini yaitu:

a. Komplek imun

b. Infeksi bakteri atau virus

c. Elergi terhadap obat atau akibat pajanan terhadap bakteri, virus dan

parasit.

d. Genetik

e. Nekrosis granulomatosa

c. Klasifikasi Vaskulitis6,14,17

Walaupun banyak pembagian mengenai vaskulitis akan tetapi

klasifikasi yang banyak dianut adalah pembagian menurut Consensus

Chapel Hill (1994) yang melibatkan berbagai ahli sehingga dapat diterima

dari berbagai susdut pandang. 

1) Vaskulitis Primer

i. Vaskulitis Pembuluh Darah Besar

Arteritis Takayasu

Adalah penyakit kronik yang tidak diketahui etiologinya

yang sering muncul pda wanita muda. Prepalensi lebih banyak

ditemukan pada orang asia . penyempitan , sumbatan bervariasi

tergantung kepada tingkat kelainan penyakit tersebut sehingga

gejala klinisnya akan berbeda tergantung derajat penyumbatan

dan kerusakan .

Umumnya 80-90% arteritis takayasu mengenai wanita .

dapat dimulai pada umur 10-40 tahun . Gejala awal umumnya

berupa kelelahan , penurunan berat badan , dan panas yang tidak

terlalu tinggi . Gejala artralgia atau pun nyeri otot ditemukan pada

separuh pasien dan jarang disertai sinovitis. Nyeri daerah sendi

dapat hilang timbul atau menetap . (tjokronegoro,2001)

Tanda dan gejala lainnya asimetris denyut arteri dan

hilangnya pulsus arteri , bruit di arteri , hipertensi (reno

19

Page 20: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

vascular), sakit kepala , sinkop atau  postural dizziness dan

klaudikasio

Criteria diagnosis arteritis takayasu ( ditemukan 3 dari 6 kriteria )

No Kriteria Definisi

1 Usia awal penyakit < 40

tahun

Timbul gejala ditemukan pada umur 40

tahun atau kurang

2 Gejala klaudikasio

ekstremitas

Perburukan kelemahan , perasaan tidak

enak pada otot (pegal) satu atau lebih

terutama bila melakukan aktivitas terutam

ekstremitas bagian atas

3 Penurunan pulsasi arteri

brakialis

Adanya penurunan pulsasi  salah satu

atau kedua arteri brakialis

4 Perbedaan TD > 10 mmHg Adanya pebedaan TD sistolik >10 mmHg

antara kedua lengan

5 Bruit pada daerah A .

subklavia atau aorta 

Ditemukan bruit pada pemeriksaan

auskultasi diatas kedua daerah atau salah

satu arteri subklavia atau pun aorta

abdominalis

6 Angiografi yang abnormal Ditemukan arteriogram dengan

penyempitan atau penyumbatan aorta dan

cabang – cabangnya .

Arteritis Temporal (giant cell arteritis)

Suatu penyakit yang kausanya tidak diketahui,terjadi pada

pembuluh arteri besar dan medium.Gejala akan muncul pada umur

50 tahun atau lebih (90% didapatkan pada umur 60 tahun atau

lebih), insidensi terbanyak pada usia 70 tahun.Dua pertiga pasien

adalah wanita.Pada umumnya gejala dapat muncul beberapa

minggu sebelum diagnosis ditegakkan. Gejala dapat berupa

kelelahan, pana, dan berat badan menurun. Keluhan panas

20

Page 21: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

ditemukan pada setengah pasien arteritis temporal. Suhu dapat

tinggi lebih dari 40 derajat Celsius dan disertai gejala yang mirip

sepsis. Gejala lainnya yang sering di jumpai adalah polimialgia

reumatika dan keluhan sakit kepala dan gejala local yang

berhubungan dengan lesi kelainan berupa nyeri tekan di arteri

temporal, pembengkakan dan kadang ditemukan bruit. Kadang

ditemukan gangguan penglihatan yang dapat menetap.

Criteria diagnostic arteritis temporal.(ditemukan 3 dari 5 kriteria)

(Kriteria American college of rheumatology tahun 1990)

No

.

Kriteria Definisi

1 Usia saat awitan ≥ 50

tahun

Timbul tanda dan gejala pertama kali pada usia

50 tahun atau lebih

2 Sakit kepala (baru) Nyeri yang baru pada lokasi

3 Kelainan

A.temporalis

A.temporalis yang lemah pada palpasi atau

ditemukan pulsasi yang menurun, tidak ada

hubungannya dengan aterossklerosis a.cervicals

4 Kenaikan LED LED ≥50mm/jam (westergen)

5 Kelainan pada biopsi Menunjukkan predominansi infiltrasi

mononuclear atau infragranulomatosa umumnya

dengan multi-nuklear giant cell

ii. Vaskulitis Pembuluh Darah Sedang

Poliarteritis nodosa (Poliarteritis nodosa klasik)

Suatu penyakit kompleks imun arteri muskularis dan arteriol.

Penyakit ini jarang mengenai paru dan etiologinya tidak

diketahui. Gejala yang dapat ditemukan ialah : artralgia , mialgia ,

gangguan saraf perifer , kemerahan pada kulit ,nodul di kulit , nyeri

abdomen , hipertensi ,dan gangguan pada jantung ( gagal jantung ).

21

Page 22: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Untuk memudahkan pendekatan diagnosis perlu diingat hal sebagai

berikut :

- Vaskulitis  yang mengenai pembuluh darah sedang, organ yang

terkena kulit , otot, saraf perifer , lambung , ginjal , sedang

paru –paru tidak terkena.

- Dihubungkan dengan HBsAg (kurang lebih 20 %)

- Diagnosis ditegakkan dengan angiografi dan biopsi  jaringan .

Arteriografi  menunjukkan adanya aneurisma atau oklusi arteri

visera yang bukan disebabkan oleh arteriosklerosis atau sebab

noninflamasi lainnya.Pada biopsi didapatkan adanya gambaran

granulosit dan mononuklear pada dinding arteri.

Penyakit Kawasaki

Beberapa buku menyebut istilah poliarteritis infantile , karena

berhubungan dengan usia yang terjadi pada anak-anak . Penyakit 

ini jarang mengenai orang dewasa.

Kriteria diagnosis :

1.    Panas > 5 hari

2.    Ditemukan 4 dari 5 keadaan ini :

a) Injeksi konjungtiva non eksudatif bilateral .

b) Ditemukan salah satu kelainan di orofaring :

- Injected atau fisura di bibir

- Injected  farings

- Strawberry tongue

c) Satu atau lebih kelainan di ekstremitas.

- Eritema di telapak tangan

- Edema di tangan atau kaki

- Deskuamasi periungual

d) Eksantema polimorfi

e) Kelenjar getah bening servikal akut non supuratif

inflamasi

3. Penyakitnya tidak dapat diterangkan oleh sebab lain .

22

Page 23: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

iii. Vaskulitis Pembuluh Darah kecil

Granulomatosis Wagener

Suatu vaskulitis yang banyak menyerang saluran nafas bagian

atas dan bawah serta ginjal yang etiologinya tidak di ketahui .Proses

inflamasi yang terjadi dapat mengenai system arteri dan vena terbukti

dengan ditemukannya deposit sel limfosit dan sel fagosit lainnya . Dari

keadaan ini dapat disimpulkan bahwa yang bertanggung jawab  pada

proses diatas adalah system imun.

Hubungannya dengan ANCA (merupakan suatu keadaan

kompleks imun)yang dapat merusak pembuluh darah banyak

dilaporkan peneliti , walaupun pada beberapa kasus belum terbukti

hubungannya. Bila mengenai ginjal akan menimbulkan

glomerulonefritis kresentik .

Kriteria  diagnostik granulomatosa wagener (ditemukan 2 dari 4 kriteria di bawah

ini )

No Kriteria Definisi

1 Inflamasi oral atau

nasal

Timbulnya ulkus di mulut yang nyeri atau tidak di

temukannya sekret hidung yang purulen atau

hemoragik

2 Foto dada

abnormal

Dapat di lihat gambaran nodul , infiltrat yang menetap

atau kavitas

3 Sedimen urin Ditemukan mikrohematuria (> 5 sel darah merah /

LPB) atau silinder eritrosit

4 Biopsi , adanya

inflamasi

Inflamasi granulomatosa di temukan pada

granulomatosa dinding arteri atau daerah

perivaskuler/ekstravaskuler

23

Page 24: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Beberapa penelitian mengemukakan bahwa granulomatosis

wagener sangat berhubungan erat dengan ANCA , sehingga

pemeriksaan ini sekarang dapat di pakai sebagai pemeriksaan penapis

untuk penyakit wagener.

Sindrom Churg-Strauss

Keadaan yang perlu diketahui mengenai sindrom churg

strauss ialah :

a) Vaskulitis yang mengenai arteri dan vena pembuluh darah sedang

dan dapat mengenai paru, saluran nafas bagian atas , usus, susunan

saraf perifer , kulit ,dan ginjal.

b) Diawali gejala vase alergi (gejal asma).

c) Eosinofilia dan peninggian eosinofil di paru

Kriteria diagnostik sindrom churg-strauss (ditemukan 4 dari 6 kriteria)

No Kriteria Definisi

1 Asma Riwayat wheezing atau ronki kering nyaring pada

ekspirasi

2 Eosinofilia Eosinofil >10% hitung jenis

3 Riwayat alergi Riwayat alergi musim,dan makanan serta kontak

lainnya kecuali alergi obat.

4 Mononeuropati Berhubungan dengan vaskulitis sistemik atau poli

neuropati

5 Infiltrat paru yang

tidak menetap

6 Kelainan sinus

7 Eosinofil ekstra

vascular

Biopsi arteri , arteriol atau venul menunjukkan

penumpukan eosinofil ekstra vascular

Poliarteritis mikroskopik

Poliarteritis mikroskopik (PM) adalah suatu vaskulitis

sistemik yang mengenai arteriol dan kapiler dengan gejala

24

Page 25: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

prodromal panas, lelah , dan mialgia, yaitu suatu sindrom yang

menyerupai infeksi virus.Pada PM ini tidak ada hubungannya

ddengan infeksi. Gejale tersebut dapat berlangsung 1 bulan

sebelum tanda dan gejala penuh poliarteritis mikroskopik terlihat.

Kelainan akut GN kresentik dapat disebabkan oleh poliarteritis

mikroskopik selain granulomatosa wagener.

Walaupun penyakit tersebut hampir serupa akan tetapi

gejala di luar ginjal berbeda. Poliarteritis mikroskopik dapat

menyebabkangagal ginjal akut (GGA) sehingga bila menemukan

gejala GGA tanpa sebab tidak jelas perlu dipikirkan PM.

Perbedaan yang lain dengan granulomatosis wagener adalah bahwa

pada PM, ANCA jarang ditemukan. Penyakit ini bila tidak segera

di obati akan berakibat fatal, oleh karena itu penemuan secara cepat

akan memberikan prognosis yang lebih baik.

Purpura Henoch-Schonlein

Suatu sindrom tanpa trombositopenia nyeri abdomen ,

kadang ditemukan perdarahan saluran cerna , dan kelaina ginjal.

Ditemukannya kompleks imun lgA di jaringan merupakan hal yang

patognomonik . Umumnya pasien adalah anak-anak dan kadang-

kadang penyakit ini self limiting yang tidak menemukan

pengobatan.

Kriteria diagnostik (ditemukan 2 dari 4 kriteria)

a. Pulpura palpable

b. Umur mulai kena kurang atau sama dengan 20 tahun

c. Bowel angina

d. Pada biopsi ditemukan granulosit pada dinding pembuluh darah

(arterio maupun venul)

25

Page 26: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Vaskulitis krioglobulinemia esensial

Tanda dan gejal yang perlu diketahui :

Vaskulitis pada pembuluh darah kecil umumnya mengenai kulit,

saraf perifer, sendi dan ginjal dan umumnya karena infeksi

hepatitis C.

Angitis kutaneus leukositoklastik

Vaskulitis yang mengenai pembuluh darah kecil ini sering

juga disebuthypersensitivity vasculitis, oleh karena gejala lebih

banyak pada daerah kulit , jarang / tidak ditemukan kelainan pada

visceral . Nama lain ialah allergic vasculitis, cutaneus systemic

vasculitis, leucocytoclastic vasculitis atau small vessel vasculitis.

Walaupun banyak nama , akan tetapi semua sependapat

bahwa kelainan hanya pada kulit saja yaitu pada biopsi akan

terlihat suatu endapan (deposit) kompleks imun dengan suatu

aktivasi komplemen

Kriteria diagnostik Angitis Leukositoklastik(ditemukan 3 dari 5 kriteria)

No Kriteria Definisi

1 Usia saat awitan penyakit >16 tahun

2 Pengobatan saat awitan

penyakit

Pengobatan yang didapat yang

mungkin menjadi faktor presipitasi

3 Pulpura palpable Tidak berhubungan dengan

trombositopenia

4 Ruam makulopapular

5 Gambaran biopsi arteriol dan

venul

Adanya gambaran granulosit pada

perivaskular dan ekstra vascular

26

Page 27: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

2) Vaskulitis Sekunder

i. Vaskulitis yang berhubungan dengan penyakit infeksi

(endokarditis bacterial,viral,mikobakterial dan riketsia).

ii. Vaskulitis yang berhubungan dengan penyakit kolagen(lupus

eritematosussistemik,arthritis rheumatoid, sindrom Sjogren’s,

dermatomiositis)

iii. Vaskulitis oleh karena obat(drug induced vasculitis)

iv. Vaskulitis yang berhubungan dengan keganasan

v. Vaskulitis yang berhubungan dengan penyakit

sistemik(hepatitis kronik aktif,sirosis biliaris primer).

d. Patofisiologi dan WOC Vaskulitis15,17

Vaskulitis terjadinya akibat aktivitas proses imunologi pada

dinding pembuluh darah.Bebeapa pertanyaan yang banyak dikemukakan

misalnya ,kenapa vaskulitis itu terjadi ,keadaan apa saja yang dapat

mencetuskan kerusakan pembuluh darah,atau jenis allergen apa saja yang

dapat menyebabkan vaskulitis,dan mengapa proses inflamasi tersebut

hanya terjadi pada pembuluh darah tertentus saja tanpa melibatkan

pembuluh darah lainnya,serta mediator-mediator yang dapat

menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah.Kondisi tersebut hanya

sebagian dapat diterangkan sedangkan mekanisme lainnya masih dalam

penelitian.

Keadaan imunologi yang dapat menerangkan timbulnya aktivasi

imunologi ditentukan oleh beberapa keadaan,yaitu jumlah

antigen,kemampuan tubuh mengenal antigen,kemampuan respons imun

untuk mengiliminasi antigen dan route(target organ)yang dirusak.

Beberapa mediator yang dapat terlibat dalam vaskulitis

ini,misal:interleukin(sitokin)yaitu suatu molekul yang dihasilkan oleh sel

yang teraktivasi oleh respons imun yang dpat berpengaruh terhadap

mekanisme imunolgi selanjutnya.Interleukin yang berperan pada

vaskulitis ialah: IL-1,IL-2,IL-6,IL-4,TNF alfa,dan interferon gama.S

27

Page 28: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

edangkan mediator inflamasi lainnya yang terlibat dalam terjadinya

vaskulitis misalnya histamine,serotonin,PAF dan endotelin.

Dengan ditemukannya ANCA (Anti Neutrophilic Cytoplasmic

Antibody) pathogenesis beberapa vaskulitis dapat diterangkan,dan dari

beberpa laporan penelitian pemeriksaan ini erat kaitannya dengan arteritis

Wegener. 

i. Vaskulitis Reumatoid dan Poliarteritis Nodosa

Patologi pada penyakit ini yaitu: adanya inflamasi nekrotik

fokal, panmural mengenai arteri otot berukuran kecil dan sedang.

Seluruh arteri tubuh dapat terkena dengan berbagai tingkatan

inflamasi. Lesi awal berupa nekrosis fibrinoid bersebukan sel

radang. Perubahan kronik tampak sebagai parut yang tebal dan

menyebabkan oklusi pembuluh darah. Pada tahap awal tampak

adanya deposit komplek imun baik immunoglobulin maupun

komplemen dan sulit di temukan pada fase kronik.

ii. Vaskulitis Hipersensitif

Proses inflamasi dapat di cetuskan oleh reaksi alergi

terhadap obat atau akibat pajanan terhadap bakteri, virus atau

parasit. Reaksi di perantarai sel maupun komplek imun dapat

terlihat pada penyakit ini. Pada fese akut tampak pembengkakan

endotel pembuluh darah di sertai oklusi lumen, sebukan sel radang

polimurfonuklear dan tampak adanya fragmentasi nucleus serta

leukositoklasik. Tampak pula nekrosis fibrinoid dan

ekstrafasasieritrosit. Fase lanjut akan mengenai jaringan ikat yang

lebih luas dari dermis.

28

Page 29: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

iii. Angitis Granulomatosa dan Alergi (Sindrom Churg-

Strauss)

Pada pembuluh darah dapat di jumpai deposit

imunoglobulin. Nekrosis granulomatosa di jumpai baik pada arteri

kecil dan sedang maupun pada vena. Granuloma berukuran 1 mm

yang terletak dekat arteri kecil mengandung banyak eusinofil yang

di kelilingi oleh makrofag dan sel raksasa epiteloid. Pada fese akut

sebukan sel radang lebih banyak di dominasi oleh eusinofil dan

pada fese kronik lebih banyak di jumpai makrofag dan sel raksasa.

Pada kulit, ginjal gambaran patologi lebih karakteristik dimana

terlihat granuloma eusinofilik serta infiltrasi eosinofil.

iv. Arteritis Takayasu

Proses patofisiologi penyakit ini di kaitkan dengan adanya

infeksi oleh spirochaeta, basil tuberculosis dan streptococcus. Di

jumpai adanya antibodi terhadap aorta.

v. Purpura Henoch-Schonlein

Sepertihalnya vaskulitis hipersensitif, pada penyakit ini

memberikan gambaran patofisisologi yang hampir sama.

Kebanyakan immunoglobulin yang di jumpai adalah Ig A. proses

aktivasi komplemen lebih banyak melalui jalur alternatif.

vi. Granulomatosis Wegener

Pada tahap awal terlihat keterlibatan paru dan di ikuti oleh

berbagai proses inflamasi sistemik di banyak jaringan lain

termasuk ginjal. Terdapat gangguan imunitas yang di perantarai sel

dan di curigai berkaitan dengan faktor genetik berkaitan dengan

HLA-DR2 dan HLA-B8. pada fase awal tampak adanya granuloma

nekrotik yang di kelilingi oleh histiosid yang membentuk palisade.

29

Page 30: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

e. Manifestasi Vaskulitis

i. Vaskulitis Reumatoid

Manifestasi klinis yang merupakan gabungan dengan arthritis

rheumatoid sering di jumpai pada pasien ini, baik laki-laki maupun wanita,

dapat di jumpai gejala konstitusional seperti demam dan kelelahan, Infark

ujung jari merupakan kelaininan yang mudah di temukan di sertai dengan

neuropati sensorimotor. Penyakit ini tidak berkaitan dengan gangguan

ginjal. Di jumpai peningkatan titer factor rheumatoid, rendahnya kadar

komplemen serum, krioglobulin dan meteri komplek imun dalam serum,

juga terdapat peningkatan laju endapan rendah, anemia, trombosit dan

menurunnya kadar albumin serum.

ii. Poliarteritis Nodosa (Poliarteritis nodosa klasik)

Suatu penyakit kompleks imunarteri muskularis dan arteriol.

Penyakit ini jarang mengenai paru dan etiologinya belum diketahui. Gejala

yang dapat di temukan ialah: artralgia, mialgia, gangguan saraf perifer,

kemerahan pada kulit, nodul di kulit, nyeri abdomen, hipertensi, dan

gangguan pada jantung (gagal jantung). Pada beberapa kasus terdapat

perforasi usus dan instususepsi ileoilel yang disebabkan oleh vaskulitis

dinding usus yang menyebabkan udema dan pendarahan submukosa.

iii. Vaskulitis Hipersensitif

Demam merupakan gejala sistemik yang paling sering pada

penyakit ini, di duga demam terjadi akibat pelepasan mediator sitokin

yang bersifat vasokontriktor yang menghambat pengeluaran panas tubuh.

Gejala lain pada penyakit ini yaitu purpura yang dapat di raba, nyeri

abdominal dan arthritis. Edema pada kaki, tangan, periorbital  seringkali di

jumpai. Artritis terutama mengenai sendi lutut dan pergelangan kaki.

Hipertensi di jumpai pada 13% pasien, dan jarang terjadi kelainan fungsi

ginjal.

30

Page 31: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

iv. Angitis Granulomatosa dan Alergi (Sindrom Churg-Strauss)

Keadaan yang perlu di ketahui mengenai penyakit ini ialah:

a. Peradangan granulomatosa di mana vaskulitis yang mengenai

arteri dan vena pembuluh darah sedang dan dapat mengenai

paru, saluran nafas bagian atas, usus, susunan saraf perifer, dan

kulit.

b. Di awali gejala fase alergi (gejala asma)

c. Eosinofilia dan peninggian eosinofil di paru.

v. Arteritis Takayasu

Adalah suatu penyakit kronik yang tidak di ketahui etiologinya

yang sering muncul pada perempuan muda. Awalnya dominansi gejala

sistemik lebih manonjol seperti: demam ringan, kelelahan, penurunan BB,

artalgia maupun artritis dan panas yang tidak terlalu tinggi. Kemudian di

ikuti oleh infusisinensi vaskuler akibat sumbatan atau penyempitan arteri

besar. Klaudikasio, penurunan suhu ekstremitas sering di jimpai.

Hipertensi di jumpai lebih dari 50% pasien. Apabila kelaini ini mengenai

arteri pulmonalis dapat timbul gejala sesak nafas, hemoptisis atau

hipertensi pulmonal. Kelainan akibat stenosis arteri mesentrika dapat

menimbulkan nyeri abdominal atau pendarahan gastrointestinal. Pada

arteri koronaria yang manyempit dapat timbul gejala angina pectoris.  

vi. Purpura Henoch Schonlein

Berawal berupa ruam macula erterimatosa pada kulit yang disertai

rasa gatal dan berlanjut menjadi palpable purpura tanpa adanya

trombosotopenia. Purpura dapat timbul dalam 12-24 jam. Purpura

terutama terdapat pada kulit yang sering terkena tekanan. Penyakit ini

merupakan suatu sindrom tanpa trombositopenia, nyeri abdomen, kadang

ditemukan perdarahan saluran cerrna, dan kelainan ginjal. Ditemukannya

kompleks imun IgA di jaringan merupakan hal yang patognomonik.

Umumnya pasien adalah anak-anak dan kadang-kadang penyakit ini self

limiting yang tidak memerlukan pengobatan.

31

Page 32: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

vii. Granulomatosa Wegener

Suatu vaskulitis yang banyak menyerang saluran nafas bagian atas

seperti: rinorea, sinusitis, ulkus mukosa hidung, otitis media bahkan

sampai ketulian dengan gejala seperti: batuk, hemoptisis, sesak nafas,

bahkan sampai terjadi efusi pleura.pada stadium lanjut biasanya dapat di

jumpai kegagalan ginjal yang progresif. Proses inflamasi yang terjadi 

dapat mengenai system arteri dan vena terbukti dengan di temukannya

deposit sel limfosit dan sel fagosit lainnya. Dari keadaan ini dapat di

simpulkan bahwa yang bertanggung jawab pada proses ini adalah system

imun.

f. Pemeriksaan Penunjang Vaskulitis 1,6,15

a) Laboratorium (sampel urin)

Gejala keterlibatan ginjal mungkin tidak diperhatikan oleh pasien,

tetapi dapat dievaluasi dengan melihat sampel urin untuk sejumlah

kecil darah dan protein. Gagal ginjal tidak umum, tetapi dapat terjadi

terutama dengan paparan berat atau berkepanjangan terhadap obat

yang dicurigai atau infeksi. Gagal ginjal dapat 'akut', yang berarti ada

kerugian cepat fungsi ginjal, tetapi terapi suportif dengan dialisis

(pembersihan mekanik darah) bisa dilakukan selama beberapa hari

atau minggu dan kembali fungsi ginjal. Dalam beberapa kasus, gagal

ginjal 'kronis' terjadi, yang berarti bahwa ada kebutuhan yang sedang

berlangsung untuk cuci darah karena ginjal tidak memulihkan fungsi

normal mereka. 

b) Biopsi kulit

Biopsi kulit paling sering dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.

Selama prosedur, contoh kecil dari jaringan kulit akan dihapus dan

dianalisis di bawah mikroskop di laboratorium. Analisis ini akan

menentukan apakah vaskulitis hadir.

32

Page 33: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

c) ESR

Sebuah tingkat sedimentasi eritrosit (ESR) tes dapat dilakukan untuk

memantau kondisi pasien. Tes satu jam mengukur jarak (dalam

milimeter) yang sel darah merah mengendap dalam darah unclotted ke

bagian bawah tabung reaksi.

g. Penatalaksanaan Medis Vaskulitis

Pemberian steroid dalam dosis terbagi dapat dimulai bla

menemukan vaskulitis, karena efek anti-inflamasi steroid dapat segera

terlihat lebih cepat dibanding pemberian siklofospamid. Dosis prednison

dimulai 1 mg/kg BB/hari, dapat diberikan tiap 6-8 jam .Dosis permulaan

diberikan antara 7-10 hari dan setelah itu dapat diberikan pagi hari sampai

2 minggu berikutnya. Pemberian ini umumnya disebut sebagai dosis

induksi . Setelah dosis induksi, pemberian steroid diturunkan secara

bertahap dosis 60 mg diberikan secara selang sehari untuk waktu 1-2 bulan

berikutnya . Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan sampai dosis

pemeliharaan yang tergantung pada gambaran klinis .

Pada keadaan khusus seperti pada penyakit granulomatosis

wagener, serta poliarteris nodosa, arteritis takayasu , dan vaskulitis

susunan saraf pusat yang resisten terhadap steroid diberikan kombinasi

dengan siklofosfamid. Umumnya pemberian siklofosfamid secara oral tiap

hari yang digabung dengan steroid dosis kecil selang sehari untuk

menghindari terjadinya infeksi sekunder akibat pemakaian steroid jangka

lama. Lama pemberian siklosfosfamid berkisar antara 18-24 bulan ,

sedang lama pemberian steroid tergantung pada aktivitas penyakitnya.

Pemberian pulse methyl prednisolon 0,5-1 g/ hari selama 3 hari

berturut-turut diberikan pada permulaan pengobatan kasus-kasus yang

mengancam nyawa (life threatening vasculitis syndrome) atau vasculitis

yang progresif. Intervensi pembedahan hanya dimungkinkan pada

penyakit takayasu setelah aktivitas penyakitnya tenang, sedang pada

arteritis temporal jarang dilakukan tindakan pembedahan .

(tjokronegoro,2001).

33

Page 34: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

i. Vaskulitis Reumatoid dan Poliarteritis Nodosa

Pengobatan bergantung pada jenis dan luasnya lesi. Pada

dasarnya pengobatan pada penyakit ini tidak memerlukan pengobatan

tambahan selain dari penggunaan anti inflamasi non steroid.

Penggunaan dipiridamolpada beberapa penelitian memberikan

harapan yang baik, walaupun belum di lakukan penelitian acak

terkontrol dalam hal ini. Seperti halnya arthritis rheumatoid,

glukokortikoid dapat di berikan pada kelainan yang progresif seperti:

manifestasi infak ujung jari atau neuropati sensorik dan motorik.

Panggunaan prosedur transfusi tukar walaupun telah di gunakan, saat

ini masih merupakan pengobatan alternatifdalam tahap

eksperimantal.

ii. Vaskulitis Hipersensitif

Dalam penatalaksanaan vaskulitis hipersensitif, suatu hal

yang harus di lakukan pertama kali adalah menyingkirkan seluruh

obat-obatan atau antigen yang di duga sebagai penyebabnya. Pada

kasus yang ringan hanya di jumpai purpura pada kulit tanpa

dijumpainya gejala sistemik atau keterlibatan organ internal,

umumnya tidak di perlukan pengobatan spesifik. Pada kasus

dengan gejala sistemik atau keterlibatan organ vital dapat di

berikan pengobatan glukokortikoid yang setara dengan 20-60

mg/hari tergantung pada beratnya gejala klinis. Jika glukokortikoid

tidak memberikan perbaikan yang bermakna atau timbul efek

samping pada penggunaan obat, penggunaan sitostatika dapat di

pertimbangkan walaupun belum jelas bahwa pemberian sitostatika

merupakan cara pengobatan yang lebih baik. Pada kasus vaskulitis

hipersensitif kronik dimana factor pencetus sulit di tentukan,

penggunaan dopsone, OAINS atau colchicines dapat di coba,

walaupun hasil pengobatan dengan penggunaan modalitas ini

umumnya masih bervariasi.  

34

Page 35: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

iii. Angitis Granulomatosa dan Alergi (Sindrom Churg-Strauss)

Pengobatan utama penyakit ini adalah: pemberian

kartikosteroid serta dengan prednisone 20-40 mg/hari, dalam dosis

yang terbagi. Penggunaan kartikosteroid bersama pulse

siklofosfamid atau pertukaran plasma bersama sitostatika pada

kelainan ini belum jelas manfaatnya. Prognosis pasien pada

penyakit ini umumnya lebih baik dari jenis poliarteritis yang lain.

iv. Arteritis Takayasu

Pada tahap awal pemberian steroid sangat membantu dalam

menekan gejala sistemik serta mengatasi timbulnya stenosis

pembuluh darah. Pemberian dengan teknik pulse dapat dengan

cepat memperbaiki keadaan penyakit terutama keluhan klaudikasio.

Dosis yang di anjurkan adalah: 45-60 mg prednison dalam dosis

ekuivalen. Parameter laboratorik saperti laju endapan darah (LED)

di pakai untuk menentukan aktifitas penyakit, serta dosis steroid

dapat di turunkan sampai dosis minimum yang tetap memberikan

efek supresi terhadap gejala klinisnya. Selanjutnya di lanjutkan

dengan dosis pemeliharaan (dosis kecil) jangka panjang.

Penggunaan sitostatik, vasodilator atau anti koagulan tidak

memberikan hasil yang memuaskan. Penyakit ini dapat mengalami

remisi spontan atau menjadi lebih buruk dan menimbulkan

kematian.

v. Purpura Henoch Schonlein

Penyakit ini bersifat self-limited dan berfariasi antara 6-16

minggu. Untuk kasus ringan pengobatan soportif biasanya

mencukupi, sedangkan pada kusu yang lebih berat di perlukan

steroid selama fase akut untuk mencegah perburukan maupun

kelainan ginjal.

35

Page 36: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

vi. Granulomatosa Wegener

Pada beberapa kasus penggunaan glukokortikoid

memberikan hasil yang baik, di samping penggunaan

siklofosfamid, azatioprin, metotreksat, klorambusil, dan nitrogen

mustard. Siklofosfamid labih baik dari azatioprin dalam

menginduksi timbulnya remisi. Di pakai dosis 2 mg/kbBB secara

oral. Pada pasien yang menunjukkan reaksi elergi terhadap

siklofosfamid dapat di pakai azatioprin atau dengan penambahan

kotrimoksazol. Apabila di jumpai manifastsi sistemik yang berat,

harus di berikan pula prednison secara bersamaan dengan

siklofosfamid dengan dosis 1 mg/kgBB dalam dosis terbagi. Dosis

prednison dapat di turnkan apabila gejala sistemik telah teratasi.

Evaluasi penyakit dapat di lakukan dengan pemeriksaan

terhadap laju endapan darah, kadar c-reactive protein (CRP). Pada

pasien dengan gangguan fungsi ginjal biasanya prognosisnya lebih

buruk dan bila terjadi gagal ginjal di perlukan tindakan cuci darah.

h. Prognosis Vaskulitis6,15

HSP adalah penyakit vaskulitis yang sembuh sendiri dengan

prognosis semuanya yang sempurna. Penyakit ginjal kronis dapat

menghasilkan morbiditas : studi dasar populasi mengindikasikan bahwa

kebih sedikit dari 1% pasien dengan HSP menjadi penyakit ginjal persisten

dan kurang dari 0.1% menimbulkan penyakit ginjal yang serius.

Jarangnya, kematian dapat timbul selama fase akut penyakit sebagai hasil

dari infark usus, keterlibatan CNS, atau penyakit ginjal. Sesuai keadaan,

anak-anak yang menampakkan sindrom seperti HSP membawa

karakteristik dari penyakit jaringan ikat lain.

Pada umumnya prognosis adalah baik, dapat sembuh secara

spontan dalam beberapa hari atau minggu (biasanya dalam 4 minggu

setelah onset).Rekurensi dapat tejadi pada 50% kasus.Pada beberapa kasus

terjadi nefritis kronik, bahkan pada 2% kasus menderita gagal ginjal. Bila

manifestasi awalnya berupa kelainan ginjal yang berat, maka perlu

36

Page 37: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

dilakukan pemantauan fungsi ginjal setiap 6 bulan hingga 2 tahun pasca-

sakit. Sepertiga sampai setengah anak-anak dapat mengalami setidaknya

satu kali rekurensi yang terdiri dari ruam merah atau nyeri abdomen,

namun lebih ringan dan lebih pendek dibandingkan episode sebelumnya.

Eksaserbasi umumnya dapat terjadi antara 6 minggu sampai 2 tahun

setelah onset pertama, dan dapat berhubungan dengan infeksi saluran nafas

berulang.

Prognosis buruk ditandai dengan penyakit ginjal dalam 3 minggu

setelah onset, eksaserbasi yang dikaitkan dengan nefropati, penurunan

aktivitas faktor XIII, hipertensi, adanya gagal ginjal dan pada biosi ginjal

ditemukan badan kresens pada glomeruli, infiltrasi makrofag dan penyakit

tubulointerstisial.

3. Glomerulonefritis1,6

a. Epidemiologi

Di Indonesia tahun 1980, Glomerulonefritis menempati urutan

pertama sebagai penyebab penyakit ginjal tahap akhir dan meliputi 55%

penderita yang mengalami hemodialisis.6

 Insidens tidak dapat diketahui dengan tepat, diperkirakan jauh lebih tinggi

dari data statistik yang dilaporkan oleh karena banyaknya pasien yang

tidak menunjukkan gejala sehingga tidak terdeteksi. Kaplan

memperkirakan separuh pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok

pada suatu epidemi tidak terdeteksi6,7

Glomerulonefritis akut pascastreptokok terutama menyerang anak

pada masa awal usia sekolah dan jarang menyerang anak di bawah usia 3

tahun. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Hasil

penelitian multicentre di Indonesia pada tahun 1988, melaporkan terdapat

170 pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien

terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut

di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%) dan Palembang (8,2%). Pasien laki-

laki dan perempuan berbanding 1,3:1 dan terbanyak menyerang anak pada

37

Page 38: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

usia antara 6-8 tahun (40,6%). Penyakit ini lebih sering terjadi pada musim

dingin dan puncaknya pada musim semi.6

b. Etiologi1,2,8

  Glomerulonefritis pascastreptokok didahului oleh infeksi 

Streptococcus β- hemolyticus grup A jarang oleh streptokokus dari tipe

yang lain. Hanya sedikitStreptococcus β-hemolyticus grup A bersifat

nefritogenik yang mampu mengakibatkan timbulnya glomerulonefritis

pascastreptokokus. Beberapa tipe yang sering menyerang saluran napas

adalah dari tipe M1, 2, 4, 12, 18, 25 dan yang menyerang kulit adalah tipe

M49, 55, 57, 60.6,7

Glomerulonefritis akut pascastreptokokus menyertai infeksi

tenggorokan atau kulit olehstrain “nefritogenik” dari streptococcus β-

hemolyticus grup A tertentu. Faktor-faktor yang memungkinkan bahwa

hanya strain streptokokus tertentu saja yang menjadi “nefritogenik” tetap

belum jelas. Selama cuaca dingin glomerulonefritis streptokokus biasanya

menyertai tonsilofaringitis streptokokus, sedangkan selama cuaca panas

glomerulonefritis biasanya menyertai infeksi kulit atau pioderma

streptokokus. Epidemi nefritis telah diuraikan bersama dengan infeksi

tenggorokan (serotipe 12) maupun infeksi kulit (serotipe 49), tetapi

penyakit ini sekarang paling lazim terjadi secara sporadik.6,7

Penyakit infeksi lain yang juga dapat berhubungan ialah skarlatina,

otitis media, mastoiditis, abses peritonsiler dan bahkan infeksi kulit. Jasad

reniknya hampir selalu streptokok beta hemolitik golongan A, dan paling

sering ialah tipe 12. Strain nefritogenik lain yang dapat ditemukan pula

ialah tipe 4, 47, 1, 6, 25 dan Red Lake (49)6,7,10

Periode antara infeksi saluran nafas atau kulit dengan gambaran

klinis dari kerusakan glomerulus dinamakan periode laten. Periode laten

ini biasanya antara 1-2 minggu, merupakan ciri khusus dari penyakit ini

sehingga dapat dibedakan dengan sindrom nefritik akut karena sebab

lainnya. Periode laten dari infeksi kulit (impetigo) biasanya antara 8-21

hari.10

38

Page 39: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

c. Patologi1,6

Makroskopik

Ginjal pada glomerulonefritis akut membesar secara simetris

hingga meregang, mudah terkelupas, berpermukaan licin, dan berwarna

merah tengguli disertai bercak-bercak perdarahan fokal. Gambaran korteks

tampak sembab dan melebar, korteks dan medula berbatas jelas6,7,9

Glomerulus dapat terlihat sebagai titik-titik putih kelabu, kadang-kadang

terdapat daerah-daerah merah fokal. Piramida-piramida dan pelvis

kongestif atau normal6,7,8

Mikroskopik

Dari pemeriksaan secara mikroskopis, hampir semua glomerulus

yang terkena memperlihatkan gambaran pembesaran dan hiperselularitas,

sehingga dinamakan sebagaiglomerulonephritis acuta proliferativa. Belum

ada kesepakatan mengenai jenis sel yang berproliferasi, kemungkinan

ialah endotelial, mesangial atau sebukan sel monokleus. Sebukan leukosit

polimorfonukleus mungkin ada. Akibat proliferasi sel, lumen kapiler-

kaliper tersumbat, dan glomelurus seolah-olah menjadi avaskuler. Kadang-

kadang dapat pula ditemukan trombus dalam kapiler-kaliper. Sekali-kali

tampak nekrosis fibrinoid dinding kapiler. Dalam ruang Bowman kadang-

kadang dapat ditemukan banyak eritrosit. Selain eritrosit, ruang Bowman

berisi endapan protein dan leukosit. Proliferasi sel epitel mungkin juga

ada, tetapi hanya ringan, kadang-kadang dengan pembentukkan bulan sabit

(crescent) dan mungkin terjadi perlekatan antara gelung glomerulus dan

simpai Bowman. Membrana basalis kapiler dapat menunjukkan penebalan

fokal.6,7,9

Tubulus menunjukkan vakuolisasi lipoid dan pembentukkan

“hyaline-droplet”dalam sel epitel dan dilatasi tubulus proximalis. Dalam

tubulus dapat ditemukan berbagai torak (cast). Pada bentuk nekrotik dan

hemoragik ditemukan torak eritrosit yang berdegenerasi dalam tubulus

distalis7,9

39

Page 40: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Interstisium bersebukan leukosit polimorfonukleus atau sel

mononukleus dan menunjukkan edema setempat. Pembuluh darah arteri

dan arteriol tidak menunjukkan kelainan jelas9,11

d. Patogenesis1,4

 Glomerulonefritis pascastreptokok dapat terjadi setelah radang

tenggorok dan jarang dilaporkan bersamaan dengan demam reumatik akut.

Berdasarkan hubungannya dengan infeksi streptokokus, gejala klinis, dan

pemeriksaan imunofluoresensi ginjal, jelaslah kiranya bahwa

glomerulonefritis pascastreptokokus adalah suatu glomerulonefritis yang

bermediakan proses imunologis. Meskipun secara umum patogenesis

glomerulonefritis telah dimengerti, namun mekanisme yang tepat

bagaimana terjadinya lesi glomerulus, terjadinya proteinuria dan hematuria

pada glomerulonefritis pascastreptokokus belumlah jelas benar.

Pembentukan kompleks-imun bersirkulasi dan pembentukan kompleks-

imun in situ, telah ditetapkan sebagai mekanisme patogenesis

glomerulonefritis pascastreptokok. Hipotesis lain yang sering disebut-

sebut adalah adanya neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus

yang mengubah IgG endogen sehingga menjadi “autoantigenik”.

Akibatnya terbentuklah autoantibody terhadap IgG yang telah berubah

tersebut, yang mengakibatkan pembentukan kompleks imun bersirkulasi,

yang kemudian mengendap dalam ginjal6,7

Adanya periode laten antara infeksi streptokok dengan gambaran

klinis dari kerusakan glomerulus menunjukan bahwa proses imunologis

memegang peranan penting dalam patogenesis glomerulonefritis.

Glomerulonefritis akut pasca streptokok merupakan salah satu contoh dari

penyakit kompleks-imun6,7,9

Pada penyakit kompleks-imun, antibodi tubuh (host) akan bereaksi

dengancirculating antigen dan komplemen yang beredar dalam darah

untuk membentukcirculating immunne complexes.

Pembentukkan circulating immunne complexes ini memerlukan

antigen dan antibodi dengan perbandingan 20 : 1. Jadi antigen harus lebih

40

Page 41: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

banyak atau antibodi lebih sedikit. Antigen yang bersirkulasi dalam darah

bersifat heterolog baik eksogen maupun endogen. Kompleks-imun yang

beredar dalam darah dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat akan

menempel/melekat pada kapiler-kapiler glomeruli dan terjadi proses

kerusakan mekanis melalui aktivasi sistem komplemen, reaksi peradangan

dan mikrokoagulasi. Untuk sistematisnya dapat dilihat pada skema berikut

ini:

e. Patofisiologi1,5

Patofisiologi pada gejala-gejala klinik berikut:

1. Kelainan urinalisis: proteinuria dan hematuria

Kerusakan dinding kapiler glomerulus sehingga menjadi

lebih permeable dan porotis terhadap protein dan sel-sel eritrosit, maka

terjadi proteinuria dan hematuria7

2. Edema

Mekanisme retensi natrium dan edema pada glomerulonefritis

tanpa penurunan tekanan onkotik plasma. Hal ini berbeda dengan

mekanisme edema pada sindrom nefrotik.

Penurunan faal ginjal yaitu laju filtrasi glomerulus (LGF) tidak

diketahui sebabnya, mungkin akibat kelainan histopatologis

(pembengkakan sel-sel endotel, proliferasi sel mesangium, oklusi kapiler-

kaliper) glomeruli. Penurunan faal ginjal LFG ini menyebabkan penurunan

ekskresi natrium Na+ (natriuresis), akhirnya terjadi retensi natrium Na+.

Keadaan retensi natrium Na+ ini diperberat oleh pemasukan garam natrium

dari diet. Retensi natrium Na+ disertai air menyebabkan dilusi plasma,

kenaikan volume plasma, ekspansi volume cairan ekstraseluler, dan

akhirnya terjadi edema6,7,10

41

Page 42: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

3. Hipertensi

a.  Gangguan keseimbangan natrium (sodium homeostasis)

Gangguan keseimbangan natrium ini memegang peranan dalam genesis

hipertensi ringan dan sedang.

b. Peranan sistem renin-angiotensin-aldosteron biasanya pada hipertensi

berat. Hipertensi dapat dikendalikan dengan obat-obatan yang dapat

menurunkan konsentrasi renin, atau tindakan nefrektomi.

c. Substansi renal medullary hypotensive factors, diduga prostaglandin.

Penurunan konsentrasi dari zat ini menyebabkan hipertensi7

4. Bendungan Sirkulasi

Bendungan sirkulasi merupakan salah satu ciri khusus dari sindrom

nefritik akut, walaupun mekanismenya masih belum jelas.

Beberapa hipotesis yang berhubungan telah dikemukakan dalam

kepustakaan-kepustakaan antara lain:

a. Vaskulitis umum

Gangguan pembuluh darah dicurigai merupakan salah satu tanda

kelainan patologis dari glomerulonefritis akut. Kelainan-kelainan

pembuluh darah ini menyebabkan transudasi cairan ke jaringan interstisial

dan menjadi edema.

b. Penyakit jantung hipertensif

Bendungan sirkulasi paru akut diduga berhubungan dengan

hipertensi yang dapat terjadi pada glomerulonefritis akut.

c. Miokarditis

Pada sebagian pasien glomerulonefritis tidak jarang ditemukan

perubahan-perubahan elektrokardiogram: gelombang T terbalik pada

semua lead baik standar maupun precardial. Perubahan-perubahan

gelombang T yang tidak spesifik ini mungkin berhubungan dengan

miokarditis.

42

Page 43: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

d. Retensi cairan dan hipervolemi tanpa gagal jantung

Hipotesis ini dapat menerangkan gejala bendungan paru akut,

kenaikan cardiac output, ekspansi volume cairan tubuh. Semua perubahan

patofisiologi ini akibat retensi natrium dan air6,7,9

f. Gejala Klinis

Gejala klinis glomerulonefritis akut pasca streptokok sangat

bervariasi, dari keluhan-keluhan ringan atau tanpa keluhan sampai timbul

gejala-gejala berat dengan bendungan paru akut, gagal ginjal akut, atau

ensefalopati hipertensi7

Kumpulan gambaran klinis yang klasik dari glomerulonefritis akut

dikenal dengan sindrom nefritik akut. Bendungan paru akut dapat

merupakan gambaran klinis dari glomerulonefritis akut pada orang dewasa

atau anak yang besar. Sebaliknya pada pasien anak-anak, ensefalopati akut

hipertensif sering merupakan gambaran klinis pertama.

1. Infeksi Streptokok

Riwayat klasik didahului (10-14 hari) oleh faringitis, tonsilitis atau

infeksi kulit (impetigo). Data-data epidemiologi membuktikan, bahwa

prevalensi glomerulonefritis meningkat mencapai 30% dari suatu epidemi

infeksi saluran nafas. Insiden glomerulonefritis akut pasca impetigo relatif

rendah, sekitar 5-10%.

2. Gejala-gejala umum

Glomerulonefritis akut pasca streptokok tidak memberikan keluhan

dan ciri khusus. Keluhan-keluhan seperti anoreksia, lemah badan, tidak

jarang disertai panas badan, dapat ditemukan pada setiap penyakit infeksi.

3. Keluhan saluran kemih

Hematuria makroskopis (gross) sering ditemukan, hampir 40% dari

semua pasien. Hematuria ini tidak jarang disertai keluhan-keluhan seperti

infeksi saluran kemih bawah walaupun tidak terbukti secara bakteriologis.

Oligouria atau anuria merupakan tanda prognosis buruk pada pasien

dewasa.

43

Page 44: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

4. Hipertensi

Hipertensi sistolik dan atau diastolik sering ditemukan hampir pada

semua pasien. Hipertensi biasanya ringan atau sedang, dan kembali

normotensi setelah terdapat diuresis tanpa pemberian obat-obatan

antihipertensi. Hipertensi berat dengan atau tanpa ensefalopati hanya

dijumpai pada kira-kira 5-10% dari semua pasien.

5. Edema dan bendungan paru akut

Hampir semua pasien dengan riwayat edema pada kelopak mata

atau pergelangan kaki bawah, timbul pagi hari dan hilang siang hari. Bila

perjalanan penyakit berat dan progresif, edema ini akan menetap atau

persisten, tidak jarang disertai dengan asites dan efusi rongga pleura6,7,12

g. Komplikasi

 Komplikasi yang dapat terjadi:

· Gagal ginjal akut

· Kongesti sirkulasi dan hipertensi

· Hiperkalemia

· Hiperfosfatemia

· Hipokalsemia

· Asidosis

· Kejang-kejang

· Uremia

h. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai

pada pasien dengan gejala klinis berupa hematuria nyata yang timbul

mendadak, sembab dan gagal ginjal akut setelah infeksi streptokokus.

Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi

streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3

mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis. Tetapi beberapa keadaan

lain dapat menyerupai glomerulonefritis akut pascastreptokok pada awal

44

Page 45: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

penyakit, yaitu nefropati-IgA dan glomerulonefritis kronik. Anak dengan

nefropati-IgA sering menunjukkan gejala hematuria nyata mendadak

segera setelah infeksi saluran napas atas seperti glomerulonefritis akut

pascastreptokok, tetapi hematuria makroskopik pada nefropati-IgA terjadi

bersamaan pada saat faringitis (synpharyngetic hematuria), sementara

pada glomerulonefritis akut pascastreptokok hematuria timbul 10 hari

setelah faringitis, sedangkan hipertensi dan sembab jarang tampak pada

nefropati-IgA6,7,9

Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis

berupa hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal.

Beberapa glomerulonefritis kronik yang menunjukkan gejala tersebut

adalah glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus dan

glomerulonefritis proliferatif kresentik. Perbedaan dengan

glomerulonefritis akut pascastreptokok sulit diketahui pada awal sakit2,7

Urinalisis menunjukkan adanya proteinuria (+1 sampai +4), hematuria,

kelainan sedimen urin dengan eritrosit dismorfik, leukosituria serta torak

seluler, granular dan eritrosit. Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin

serum meningkat dengan tanda gagal ginjal seperti hiperkalemia, asidosis,

hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Kadang-kadang tanpak adanya

proteinuria masif dengan gejala sindrom nefrotik. Komplemen hemolitik

total serum (total hemolytic complement) dan C3 rendah pada hampir

semua pasien dalam minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya

menurun sedikit, sedangkan kadar properdin menurun pada 50% pasien.

Keadaan tersebut menunjukkan adanya aktivasi jalur alternatif

komplemen. Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis

akut pascastreptokok dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-

140 mg/dl). Penurunan C3 tidak berhubungan dengan parahnya penyakit

dan kesembuhan. Kadar komplemen akan mencapai harga normal kembali

dalam waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosis, karena

pada glomerulonefritis yang lain (glomerulonefritis membrans proliferatif,

nefritis lupus) yang juga menunjukkan penurunan kadar C3, ternyata

berlangsung lebih lama6,7

45

Page 46: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Pada glomerulonefritis akut pascastreptokok perjalanan

penyakitnya cepat membaik (hipertensi, sembab dan gagal ginjal akan

cepat pulih). Sindrom nefrotik dan proteinuria masif lebih jarang terlihat

pada glomerulonefritis akut pascastreptokok dibandingkan pada

glomerulonefritis kronik. Pola kadar komplemen C3 serum selama tindak

lanjut merupakan tanda (marker) yang penting untuk membedakan

glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan glomerulonefritis kronik

yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal dalam waktu 6-8

minggu pada glomerulonefritis akut pascastreptokok sedangkan pada

glomerulonefritis yang lain jauh lebih lama7

Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada

glomerulonefritis kronik akibat infeksi karena streptokok dari strain non-

nefritogenik lain, terutama pada glomerulonefritis membranoproliferatif.

Pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok tidak perlu dilakukan biopsi

ginjal untuk menegakkan diagnosis, tetapi bila tidak terjadi perbaikan

fungsi ginjal dan terdapat tanda sindrom nefrotik yang menetap atau

memburuk, biopsi merupakan indikasi6,7

Konfirmasi diagnosis memerlukan bukti yang jelas akan adanya

infeksi streptokokus. Dengan demikian, biakan tenggorokan positif dapat

mendukung diagnosis atau mungkin hanya menggambarkan status

pengidap. Untuk mendokumentasi infeksi streptokokus secara tepat, harus

dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi terhadap antigen

streptokokus. Meskipun biasanya paling banyak diperoleh, penentuan titer

Anti Sterptolisin Titer O (ASTO) mungkin tidak membantu karena titer ini

jarang meningkat pascainfeksi streptokokus kulit. Titer antibodi tunggal

yang paling baik diukur adalah titer terhadap antigen DN-ase B. Pilihan

lain adalah uji Streptozime (Wampole Laboratoris, Stamford, Ct), suatu

prosedur aglutination slide yang mendeteksi antibodi terhadap streptolisin

O, DN-ase B, hialuronidase, streptokinase, dan NAD-ase6

Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan

biakan tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah

diberikan antimikroba. Bebarapa uji serologis terhadap antigen

46

Page 47: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

streptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi

streptokokus, antara lain antistreptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti

DN-ase B. Skrining antistreptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu

mengukur antibodi terhadap beberapa antigen streptokokus. Titer anti

streptolisin O meningkat pada 75-80 % pasien dengan glomerulonefritis

akut pascastreptokok dengan faringitis, meskipun beberapa strain

streptokokus tidak memproduksi streptolisin O. Sebaiknya serum di uji

terhadap lebih dari satu antigen streptokokus. Bila semua uji serologis

dilakukan, lebih dari 90 % kasus menunjukkan adanya infeksi

streptokokus. Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus

glomerulonefritis akut pascastreptokok atau pascaimpetigo, tetapi

antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen streptokokus

biasanya positif. Pada awal penyakit titer antibodi streptokokus belum

meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan secara seri. Kenaikan titer

2-3 kali lipat berarti adanya infeksi. Tetapi, meskipun terdapat bukti

adanya infeksi streptokokus, hal tersebut belum dapat memastikan bahwa

glomerulonefritis tersebut benar-benar disebabkan karena infeksi

streptokokus tersebut. Gejala klinis dan perjalanan penyakit pasien penting

untuk menentukan apakah biopsi ginjal memang diperlukan6,9

Krioglobulin juga ditemukan dalam glomerulonefritis akut

pascastreptokok dan mengandung IgG, IgM dan C3. Kompleks-imun

bersirkulasi juga ditemukan pada glomerulonefritis akut pascastreptokok.

Tetapi uji tersebut tidak mempunyai nilai diagnostik dan tidak perlu

dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien6

i. Penatalaksanaan

Nonmedikamentosa

Istirahat pada fase akut, misalnya bila terdapat GGA, hipertensi

berat, kejang, payah jantung

Diet kalori adekuat terutama karbohidrat untuk memperkecil

katabolisme endogen dan diet rendah garam

47

Page 48: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Medikamentosa

· Penisilin prokain 50.000 U/kgbb/kali i.m. 2x/hr

· Penisilin V 50 mg/kgbb/hr p.o. 3 dosis

· Eritromisin 50 mg/kgbb/hr p.o. 4 dosis

· Bila disertai hipertensi

Ø Ringan (130/80 mmHg) : tidak diberi anti hipertensi

Ø Sedang (140/100 mmHg) : Hidralazin i.m. / p.o. atau Nefidipin

sublingual

Ø Berat (180/120 mmHg) : Klonidin drip / Nefidipin sublingual

· Bila ada tanda hipervolemia (edema paru, gagal jantung) disertai

oligouria beri diuretik kuat (furosemid 1-2 mg/kgbb/kali)7

j. Prognosis

Penyembuhan sempurna terjadi pada lebih dari 95 % anak dengan

glomerulonefritis pascasteptokokus akut. Tidak ada bukti bahwa terjadi

penjelekan menjadi glomerulonefritis kronis. Namun, jarang fase akut

dapat menjadi sangat berat, menimbulkan hialinisasi glomerulus dan

insuffisiensi ginja kronis. Mortalitas pada fase akut dapat dihindari dengan

manajemen yang tepat pada gagal ginjal atau gagal jantung akut.

Kekambuhan sangat jarang terjadi6,7,9

k. Pencegahan

Terapi antibiotik sistemik pada awal infeksi streptokokus

tenggorokan dan kulit tidak akan menghilangkan risiko glomerulonefritis.

Anggota keluarga penderita dengan glomerulonefritis akut harus mendapat

pemeriksaan laboratorium untuk streptococcus β-hemolyiticus grup A dan

diobati jika biakan positif6,12

48

Page 49: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

4. Anafilaksis1,6

a. Definisi

Sampai saat ini belum ada definisi klinis anafilaksis yang diterima

di seluruh dunia. Definisi anafilaksis terbaru dibuat oleh World Allergy

Organization (WAO) yang pada tahun 2004 mendefinisikan anafilaksis

sebagai suatu reaksi hipersensitifitas yang berat dan mengancam jiwa.

Terminologi anafilaksis alergi digunakan apabila reaksi tersebut

diperantarai oleh mekanisme imunologis, yaitu IgE, IgG dan kompleks

imun-komplemen. Reaksi anafilaksis yang diperantarai oleh antibodi IgE,

disebut anafilaksis alergi IgE-mediated.

Reaksi anafilaksis non alergi, sebelumnya disebut reaksi

anafilaktoid atau reaksi pseudo alergi, adalah jika anafilaksis disebabkan

oleh penyebab non imunologis.8 Definisi ini cukup membantu para klinisi,

tenaga medis emergensi dan tenaga kesehatan lainnya yang sering

menghadapi pasien yang menunjukkan salah satu gejala dari pola tanda

dan gejala anafilaksis, mendiagnosanya, dan kemudian memberikan terapi.

b. Epidemiologi

Insidensi anafilaksis secara pasti belum diketahui, sebagian besar

disebabkan oleh belum jelasnya definisi dari sindrom itu sendiri.

Anafilaksis yang fatal relatif jarang, pada individu yang benar-benar

mengalami anafilaksis, hampir 1% terjadi kematian. Bentuk yang lebih

ringan lebih sering terjadi. Insidensi anafilaksis di Amerika Serikat per

tahun diperkirakan 30 kasus per 100.000 orang per tahun (81.000 kasus

per tahun). Suatu survey di Australia menyebutkan 0,59% dari anak-anak

berusia 3-17 tahun mengalami sedikitnya satu kejadian anafilaksis.

Suatu penelitian epidemiologi menyebutkan anafilaksis sekarang

lebih sering terjadi pada komunitas daripada di pusat kesehatan. Angka

kejadiannya meningkat pada individu dengan status sosioekonomi baik.

Insiden tertinggi terjadi pada anak-anak dan remaja. Sampai usia 15 tahun,

predileksinya adalah pada laki-laki, namun setelah usia 15 tahun,

predileksinya pada wanita. Terdapat kecenderungan perbedaan faktor

pencetus pada kelompok usia yang berbeda-beda, sebagai contoh,

49

Page 50: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh makanan puncaknya terjadi pada

remaja dan dewasa muda, sedangkan anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh

sengatan serangga, zat-zat yang digunakan untuk diagnostik, dan obat-

obatan terjadi terutama pada usia pertengahan dan dewasa lanjut.

c. Etiologi

Etiologi tersering dari reaksi anafilaksis yaitu alergi makanan,

obat-obatan, sengatan lebah (Hymenoptera) dan lateks. Anafilaksis yang

terjadi pada pasien rawat inap terutama karena reaksi alergi terhadap

pengobatan dan lateks, sedangkan anafilaksis yang terjadi di luar rumah

sakit paling banyak disebabkan oleh alergi makanan.

Anafilaktik (IgE dependent)

  Antibiotik:

Penisilin dan derivatnya

Basitrasin

Neomisin

Tetrasiklin

Streptomisin, dll

Bahan yang sering dipergunakan

untuk prosedur diagnosis:

Zat radioopak

Bromsulfalein

Benzilpenisiloil-polilisin

Bisa (racun):

Ular

Semut api

Lebah

Kumbang

Ekstrak alergen:

Rumput-rumputan atau jamur

Serum (ATS, ADS, Anti bisa ular)

Darah

Lengkap

Produk

Gamaglobulin

Kriopresipitat

Serum

Imunoglobulin i.v.

Makanan

Susu sapi

Kerang

Kacang-kacangan

Ikan

Telur, Udang

Lateks

Anafilaktoid (IgE Independent)

Aktivasi komplemen multimediator – Faktor fisik

50

Page 51: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

aktivasi sistem kontak

Media radiokontras

Angiotensin-converting enzyme

inhibitoryang diberikan selam dialisis

ginjal

Etilen oksida

Protamin

Degranulasi sel mast dan basofil

nonspesifik

          Opioid

Pelemas otot

Idiopatik

Olahraga

Suhu (dingin atau panas)

Immune aggregates

Imunoglobulin intravena

Dekstran

Sitotoksik

Reaksi transfusi terhadap elemen seluler

(IgG, IgM)

Psikogenik

Zat artifisial

Anafilaksis idiopatik

Mayoritas kasus reaksi anafilaksis tidak bersifat fatal. Diperkirakan

1-2% kejadian yang disebabkan penisilin diperberat dengan reaksi

sistemik namun hanya 10% yang bersifat fatal. Di Amerika Serikat sekitar

400-800 orang meninggal per tahunnya karena anafilaksis akibat penisilin

dengan gambaran yang serupa dengan media kontras. Tujuh puluh persen

kematian disebabkan oleh komplikasi pernafasan yaitu edema laring dan

atau bronkospasme dan 25% oleh karena disfungsi kardiovaskular.

d. Patogenesis

Seperti dibahas diatas anafliaksis alergi selain berdasarkan

mekanisme imunologik juga dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan

sistem saraf otonom. Sistem parasimpatik (kholinergik) dan sistem

simpatik (adrenergik) mempunyai efek yang berlawanan terhadap organ

sasarannya, sehingga keadaan inipun akan mempengaruhi terhadap

keseimbangan antara sel mediator dan sel sasarananya (otot polos).

Reaksi alergi dimulai ketika alergen melewati barier epitel dan atau

endotel dan kemudian berinteraksi dengan 2 molekul antibodi IgE

sitotropik yang berikatan dengan sel (cell bound IgE antibodies) sehingga

menimbulkan rangkaian peristiwa biokimia. Kekuatan barier alami seperti

51

Page 52: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

kulit atau saluran cerna harus dapat ditembus, dan alergen ini harus

mencapai sel yang tersensitisasi di jaringan (sel mast) atau darah (basofil).

Peristiwa tersebut termasuk aktivasi proesterase (E) menjadi esterse aktif

(Ē) yang menyebabkan agregarsi mikrotubuli dalam sitoplasma mastosit.

Mikrotubuli angat diperlukan untuk pergerakan butir-butir yang

mengandung beberapa mediator tertentu ke arah tepi sel sehingga dapat

dilepaskan ke luar sel, yaitu histamin, SRS-A dan ECF-A. Sebaliknya

pembentukan mikrotubuli akan dihambat oleh pembentukan cAMP dari

ATP oleh adenilsiklase karena mikrotubuli akan bercerai-berai. Lagi pula

cAMP dalam sito plasma dalam keadaan seimbang dengan konsentrasi

cGMP. Dengan demikian degranulasi tersebut tergantung dari konsentrasi

cAMP dan cGMP.

Maka apapun yang menyebabkan kenaikan kadar cGMP atau

penurunan cAMP akan menimbulkan degranulasi. Perangsangan saraf

parasimpatis (misalnya N. Vagus) akan mendorong produksi asetilkolin

yang akan mengubah enzim guanilatsiklase menjadi aktif. Enzim aktif ini

akan mengubah GTP menjadi cGMP. Sedangkan efek perangsangan

parasimpatis ini akan dihambat oleh antagonisnya yaitu atropin.

Dengan mekanisme yang sama perangsangan saraf simpatis akan

mempengaruhi konsentrasi cAMP. Perangsangan saraf simpatis sendiri

akan mengakibatkan 2 jenis efek karena adanya 2 jenis reseptor yang

berbeda. Perangsangan melalui reseptor α-adrenergik akan menghasilkan

penurunan cAMP dalam sel mastosit, sedangkan perangsangan melalui β-

adrenergik akan meningkatkan konsentrasi cAMP yaitu melalui

pengaktifan enzim adenilatsiklase sehingga ATP akan diubah menjadi

cAMP.

Dengan demikian jelaslah bahwa sistem saraf otonom dapat

mempengaruhi degranulasi mastosit melalui pengaturan cGMP dan cAMP.

Namun sebaliknya juga dapat diatur oleh adanya aktifitas enzim

fosfodiesterase yang akan menghancurkan keduanya cAMP dan cGMP.

Reseptor untuk adrenergik α dan β dapat dirangsang oleh molekul yang

sama dengan efek berbeda. Norepinefrin yang dihasilkan oleh ujung saraf

52

Page 53: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

noradrenergik misalnya akan mempengaruhi reseptor dengan efek yang

berbeda. Perangsangan reseptor α akan lebih besar efeknya dari pada

perangsangan reseptor β. Sebaliknya epinefrin yang dihasilkan oleh

kelenjar adrenal akan memberi efek lebih besar apabila merangsang

reseptor β. Belakangan ditemukan adanya 2 jenis reseptor adrenergik

β1 dan β2  yang penyebarannya pada sel-sel jaringan tidak merata.

Misalnya reseptor β2lebih banyak terdapat pada jaringan paru-paru.

Keadaan ini dimanfaatkan untuk pengobatan asma bronkhiale dengan

salbutamol yang merupakan agonis untuk reseptor β2.

Oleh karena keseimbangan siklik nukleotida juga mempengaruhi

keadaan sel sasaran, maka dasar pengobatan alergi juga memperhatikan

keadaan fisiologik sel sasarannya. Apabila sel sasarannya otot polos terjadi

peningkatan kadar cAMP maka otot polos tersebut ada dalam keadaan

relaksasi. Keadaan tersebut juga terjadi pada sel sasaran lainnya, misalnya

sel kelenjar sehingga akan terjadi pengecilan pembuluh darah dan

pengurangan sekresi kelenjar. Keadaan tersebut dapat mengrangi gejala

alergi.

Mekanisme kerja obat yang sering digunakan dalam mengatasi

renjatan anafilaktik diantaranya:

1. Adrenalin.

Adrenalin termasuk golongan adrenergik yang akan meningkatkan

konsentrasi cAMP dalam mastosit sehingga terjadi hambatan degranulasi.

Selain itu adrenalin mempunyai khasiat terhadap sel sasaran, yaitu:

(1). Perangsangan terhadap pembuluh darah kulit, selaput lendir dan

terhadap kelenjar liur. (2). Mengendurkan otot polos usus, bronkhus dan

pembuluh darah otot rangka. (3). Perangsanga jantung dengan akibat

peningkatan denyut jantung, kekuatan kontraksinya dan tekanan darah.

(4). Perangsangan pusat-pusat pengaturan di otak, misalnya pernafasan.

Kesemuanya ini kalau disimpulkan akan mengurangi gejala-gejala renjatan

anafilaktik.

53

Page 54: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

2. Antihistamin.

Antihistamin merupakan kelompok obat-obatn yang berkerja

menghambat histamin yang dihasilkan oleh mastosit.

3. Teofilin

Teofilin termasuk kelompok xantin yang mempunyai khasiat

mengatasi renjatan anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui mastosit dan

sel sasarannya seperti halnya adrenalin.

Teofilin menghambat kerja enzim fosfodiesterase yang akan merusak

cAMP, sehingga kadar cAMP akan meningkat akibatnya degranulasi

mestosit dihambat. Selain itu teofilin akan bekerja pada pusat pernafasan

dan otot-otot bronkhus, lebih-lebih otot-otot brunkhus dalam keadaan

kontraksi. Kesemuanya akan mengrangi gejala-gejala renjatan anafilaktik.

4. Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan kelompok obat-obatan yang paling

banyak dipakai pada penyakit radang dan penyakit imunologik. Walaupun

pada beberapa binatang, pemberiannya menimbulkan kerusakan pada

jaringan limfoid, namun pada manusia hal tersebut tidak terjadi.

Koretokosteroid mempunyai efek menghambat radang, disamping

menghambat respons imun dan menstabilkan dinding mastosit. Dengan

menghambat respons imun mungkin dapat menghambat sintesis IgE.

e. Manifestasi Klinis

Pelepasan mediator seluler kemudian menimbulkan respon pada

organ seperti kulit, saluran nafas, sistem kardiovaskular, dan susunan

saraf 6

 Tanda dan gejala klinis anafilaksis

Kutan / subkutan / jaringan mukosa

     Flushing, pruritus, urtikaria, angioedema, ruam morbiliform

Pruritus pada bibir, lidah, palatum; edema pada bibir, lidah dan uvula

Pruritus periorbita, eritema dan edema, eritema konjungtiva

Saluran pernafasan

54

Page 55: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

     Laring: pruritus dan nyeri tenggorokan, disfagia, disfoni, suara serak,

pruritus di kanalis aurikularis eksterna

Paru-paru: nafas pendek, dispnea, rasa berat di dada, batuk, mengi /

bronkospasme (penurunan PEF)

Hidung: Pruritus, hidung tersumbat, hidung berair, bersin

Kardiovaskular

Hipotensi

     Near syncope, pingsan, penurunan kesadaran

Nyeri dada, disritmia

Gastrointestinal

     Mual, nyeri atau kram perut, muntah, diare

Lain-lain

     Kontraksi uterus pada wanita

Gambaran klinis dari anafilaksis dapat bervariasi, namun

kompensasi dari sistem pernafasan dan kolapsnya kardiovaskular menjadi

hal yang penting karena kelainan yang mengenai kedua sistem organ ini

paling sering berakibat fatal.

Gambaran patologis dari anafilaksis meliputi urtikaria dan

angioedema, serta yang bersifat fatal meliputi hiperinflasi paru akut,

edema dan perdarahan intraalveolar, kongesti visera dan edema laring.

Hipotensi akut diakibatkan oleh dilatasi vasomotor dan atau disritmia

jantung.

Onset dari gejalanya bergantung dari penyebab reaksi, yaitu reaksi

dari alergen yang ditelan (makanan, obat-obatan) mengalami onset yang

lambat (bermenit-menit sampai 2 jam) dibandingkan dengan alergen yang

disuntikkan (sengatan serangga, obat-obatan) dan cenderung lebih banyak

mengalami gejala gastrointestinal. Waktu rata-rata sampai terjadinya henti

nafas atau henti jantung pada alergi makanan sekitar 30 menit, pada

sengatan serangga  sekitar 15 menit, dan pada obat-obatan seperti media

kontras mencapai 5 menit.

55

Page 56: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah

Uji Coomb untuk penderita anemia

Antibodi IgE total serum

Antibodi IgE spesifik dalam RAST (Radioallergosorbent test)

Antibodi IgM dan IgG spesifik

Antibodi antinuklear (ANA) pada SLE yang diduga diinduksi oleh

obat-obatan

Uji kulit

Uji tusuk (Prick test/Scratch test)

Uji tempel (Patch test)

Uji provokasi

Dilakukan setelah keadaan gawat darurat teratasi

Pemeriksaan darah lengkap

Foto toraks

Emfisema (hiperinflasi), atelektasis atau edema paru

EKG

Perubahan EKG bersifat sementara (kecuali pada infark miokardium)

Depresi gelombang S-T

Bundle branch block

Fibrilasi atrium

Berbagai aritmia ventrikular

f. Diagnosis Banding

Diagnosis banding perlu dipikirkan saat melakukan anamnesis,

meskipun penderita memiliki riwayat anafilaksis sebelumnya.

Salah satu diagnosa banding yang penting adalah reaksi

vasodepres/vasovagal. Pada reaksi ini ditemukan hipotensi, pucat, lemah,

mual, muntah, dan berkeringat. Yang dapat membedakannya dengan

reaksi anafilaksis yaitu tidak adanya manifestasi kulit (urtikaria,

angioedema, kemerahan, dan pruritus) dan adanya bradikardia pada reaksi

vasodepres, sementara pada anafilaksis lebih sering terjadi takikardia.

56

Page 57: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Kejadian kemerahan pada kulit (flushing) juga dapat menyerupai

anafilaksis. Obat-obatan seperti niasin, nikotin, katekolamin, penghambat

ACE, alkohol, tumor tiroid atau saluran cerna, feokromasitoma,

hiperglikemi dapat menyebabkan terjadinya flushing.

g. Kriteria Diagnosis

Riwayat penggunaan obat, makanan, gigitan binatang atau

transfusi. Diagnosis anafilaksis bergantung dari anamnesis yang tepat dan

hati-hati. Untuk dapat menggali anamnesa yang tepat, penting untuk

mengetahui manifestasi dari anafilaksis. Manifestasi tersering dari

anafilaksis adalah mengenai kulit, kolaps kardiovaskular, dan syok. Tidak

adanya manifestasi pada kulit tidak menyingkirkan diagnosis anafilaksis.

Alergi yang berbeda dapat menimbulkan respon yang berbeda-beda,

meskipun imunobiologis dan patofisiologi anafilaksis yang terjadi pada

dasarnya sama. Pada anamnesis perlu diketahui kapan serangan terjadi,

aktivitas yang sedang dilakukan sebelum serangan terjadi, terapi yang

diberikan selama serangan, respon terhadap terapi tersebut, dan lamanya

serangan. Bila serangan bukan pertama kalinya maka hal-hal tersebut perlu

ditanyakan dari masing-masing serangan.

Anamnesis harus dapat menggali kemungkinan penyebab dari

serangan. Perlu ditanyakan riwayat konsumsi makanan dan obat-obatan

sebelum timbul serangan, kemungkinan tersengat serangga, aktivitas saat

serangan terjadi, lokasi kejadian apakah di rumah atau tempat kerja, atau

apakah serangan berkaitan dengan panas, dingin, juga aktivitas seksual.

Status atopi pada penderita juga perlu ditanyakan karena anafilaksis yang

dicetuskan oleh makanan juga anafilaksis idiopatik lebih sering terjadi

pada individu dengan riwayat atopi dibandingkan dengan yang tidak. 

Timbulnya kembali gejala setelah remisi juga perlu diperhatikan karena

hal ini menunjukkan reaksi fase lambat, sehingga diperlukan masa

observasi yang lebih lama.

Untuk mendiagnosa anafilaksis karena obat-obatan diperlukan

anamnesis yang akurat, yaitu kapan obat tersebut diberikan, interval

57

Page 58: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

sampai terjadi reaksi, obat-obatan yang sebelumnya pernah didapatkan

oleh pasien (untuk memperkirakan sensitisasi sebelumnya), dan respon

pasien terhadap terapi. Data rekam medis dari unit gawat darurat atau

catatan dokter sebelumnya dapat membantu untuk mendiagnosis dengan

tepat.

Semua individu yang diketahui memiliki riwayat anafilaksis perlu

dicatat dengan lengkap dan teliti, meliputi manifestasi seperti urtikaria,

angioedema, flushing, pruritus, obstruksi saluran nafas atas, gejala

gastrointestinal, sinkop, hipotensi, obstruksi saluran nafas bawah, dan

pusing.

h. Terapi

Tindakan harus segera

Resusitasi kardiopulmonal

Trakeostomi sesuai indikasi

Adrenalin (epinefrin) ® 0,01 ml/kgBB s.k./i.m. (larutan 1:1000),

bila perlu ulangi dengan interval 15-30 menit

Bila syok/kolaps vaskular ® 0,01-0,05 ml/kgBB, i.v. (larutan

1:10.000), suntikan perlahan-lahan (1-2 menit)

Bila penyebabnya suntikan ® adrenalin 0,1–0,2 ml (larutan 1:1000)

s.k. pada daerah suntikan, untuk mengurangi absorpsi antigen

Tourniquet (proksimal dari tempat gigitan)

Bila penyebabnya sengatan/gigitan hewan berbisa atau obat yang

disuntikkan pada ekstremitas

Longgarkan tourniquet tiap 10 menit selama 1-2 menit

O2 : Bila sianosis, dispnea atau mengi

Dosis 5-10 L/menit, melalui masker/kateter hidung

Difenhidramin ® 1-2 mg/kgBB (maks. 50 mg) i.v./i.m. perlahan-

lahan selama 5-10 menit, dilanjutkan p.o. setiap 6 jam setelah

keadaan gawat teratasi

Bila penderita masih hipotensi, dispnea, gawat à rawat di PICU

58

Page 59: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Cairan intravena

Untuk mengatasi syok berikan larutan NaCl fisiologis dan glukosa

5% dengan perbandingan 1:4, 30 ml/kgBB sampai syok teratasi paling

lama 2 jam

Setelah syok teratasi, infus diteruskan sesuai berat badan dan umur

anak

Aminofilin

Pada bronkospasme berikan aminofilin 4-7 mg/kgBB, larutkan dalam

dekstrosa 5% paling sedikit sama banyak, suntikan i.v. secara lambat (15-

20 menit)

Bila belum teratasi dilanjutkan perinfus, kecepatan 0,2-1,2

mg/kgBB/jam atau 4-5 mg/kgBB i.v. selama 20-30 menit setiap 6 jam.

Kalau memungkinkan, monitor kadar aminofilin darah

Vasopresor

Bila tekanan darah belum terkontrol, berikan salah satu obat dibawah

ini. Metaraminol bitartrat (Aramine) : 0,01 mg/kgBB (maks. 5 mg) dosis

tunggal, i.v. secara perlahan sambil memonitor bunyi jantung, bila terjadi

aritmia jantung, hentikan segera. Dosis dapat diulang. Levaterenol

bitartrat (Levophed) : 1 mg (1 ml) dalam 250 ml cairan i.v., kecepatan 0,5

ml/menit

Dopamin

Berikan bersama infus, kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.

Kortikosteroid

Diberikan setelah fase akut teratasi, memperpendek lama sakit dan

mencegah rekurensi.

Hidrokortison ® 7-10 mg/kgBB i.v., dilanjutkan 5 mg/kgBB setiap 6 jam.

Hentikan setelah 2-3 hari

Suportif

Setelah stabil.

59

Page 60: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

i. Pencegahan

Merupakan aspek yang terpenting dalam penatalaksanaan

Anamnesis teliti mengenai alergi obat

Penderita menunggu 30 menit sesudah pemberian obat

Penggunaan antibiotik atau obat lain harus atas indikasi, kalau

mungkin berikanlah p.o. daripada suntikan

Bacalah label obat dengan teliti

Kalau diperlukan anti serum, pergunakanlah preparat serum

manumur

Lakukanlah tes kulit atau tes konjungtiva

Bila alergi terhadap obat, harus mempunyai catatan mengenai

macam/jenis obat tersebut.

5. Reaksi Serum Sickness1

Serum sickness adalah penyakit kompleks imun alergik yang bersifat

sistemik akibat pemberian serumheterolog.

Istilah ini berasal dari Pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai

konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetaus

dengan antiserum asal kuda.

Sekitar 1-2 minggu setelah serum kuda diberikan, timbul reaksi sistemik

berupa panas dan gatal (urtikaria), bengkak-bengkak (angioedema), kemerahan,

dan rasa sakit di beberapa bagian badan, sendi, dan kelenjar limfoid. Sedangkan

pada tempat injeksi didapati tanda radang akut. Gejala tersebut akan menghilang

sendiri (self limited) setelah 7-30 hari. Pada keadaan payah jantung dan ginjal

dapat pula terlibat, tetapi keadaan ini jarang terjadi. Begitu pula gejala-gejala

neurologik seperti mono/polineuropati, sindrom Guillain-Barre, dan

meningoensefalitis jarang terjadi.

6. Aspergilosis Bronkopulmonari Alergik1

Penyakit ini merupakan peradangan saluran napas yang ditemukan pada

pasien atopi usia muda. Pasien sering memperlihatkan gejala alergi terhadap

jamur Aspergillus fumigatus. Penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan pada

60

Page 61: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

bronkus (bronkiektasis) dan kerusakan parenkim paru. Baik IgE maupun IgG

terhadap Aspergilus, berperan dalam patogenesis penyakit ini. IgE terbentuk

terhadap alergen spora sedangakn IgG terhadap alergen miselium. Tidak

didapatkan peningkatan titer IgE yang menyolok pada keadaan eksaserbasi akut.

Pada penyakit ini didapatkan 2 mekanisme imunologik. Pertama:

kompleks imun yang terbentuk dari antigen aspergilus dan antibodi (IgG)

menyebabkan inflamasi saluran napas melalui mekanisme aktivasi komplemen

dan sel-sel fagosit. Kedua; kerusakan parenkim paru dan bronkus terjadi pula

akibat ikatan IgE dengan alergen aspergilus yang menempel pada mastosit, yang

selanjutnya menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe I akibat penglepasan

histamin dan mediator lainnya.

Gambaran klinis penyakit ini menyerupai asma dengan tanda-tanda

serangan demam, batuk produktif, nyeri dada dan kelelahan. Batuk darah jarang

terjadi. Gejala lain dapat berupa sakit kepala, nyeri sendi dan otot. Pada

pemeriksaan fisik paru, ditemukan ronki yang menunjukkan adanya infiltrat.

Aspergilosis bronkopulomonari Alergik ini teremasuk dalam kelompok penyakit

Farmer’s Lung Disease.

Farmer’s Lung Disease ditemukan pula pada orang yang rentan dengan

pemaparan jerami yang mengandung banyak aktinomiset termofilik yang melepas

spora-spora, menimbulkan gangguan napas yaitu pneumonitis yang terjadi dalam

6-8 jam sesudah pemaparan. Orang tersebut memproduksi banyak IgG yang

spesifik terhadap actinomycete termofilik dan membentuk kompleks antigen-

antibodi. Reaksi Tipe III pulmoner lain-lain yang sejenis adalah Pigeon breeder’s

disease, Cheese washer’s disease. Bagassosis, Maple bark stripper’s disease,

Paprika worker’s disease, dan Thatched roof worker’s disease.

7. Anemia Hemolitik Aoutoimun6,15

a. Definisi

Anemia hemolitik autoimun adalah suatu kelainan dimana terdapat

antibodi tertentu pada tubuh kita yang menganggap eritrosit sebagai

antigen non-self nya, sehingga menyebabkan eritrosit mengalami lisis.

Etiologi sampai sekarang masi belum jelas.

61

Page 62: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

b. Imunopatogenesis 16

Ada 2 mekanisme yang menyebabkan anemia hemolitik autoimun.

Yaitu aktivasi komplemen dan aktivasi mekanisme seluler, atau kombinasi

keduanya.

aktivasi komplemen. Ada dua cara aktivasinya, klasik dan alternatif.

(1) Kalau klasik biasanya diaktifkan oleh antibodi IgM,IgG1,IgG2 dan

IgG3. Mulai dari C1, C4, dst hingga C9, nanti ujungnya terbentuklah

kompleks penghancur membran yg terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8

dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyusup ke membran

sel eritrosit dan mengganggu aliran transmembrannya, sehingga

permeabilitas membran eritrosit normal akan terganggu, akhirnya air

dan ion masuk, eritrosit jadi bengkak dan ruptur. Dan satunya yaitu

(2) Untuk aktivasi alternativ hanya berbeda urutan pengaktivannya,

ujungnya ntar molekul C5b yang akan menghancurkan membran

eritrosit.

aktivasi mekanisme seluler. Mekanismenya, jika ada eritrosit yang

tersensitisasi oleh komponen sistem imun seperti IgG atau kompemen,

namun tidak terjadi aktivasi sistem komplemen lebih lanjut, maka ia

akan difagositosis langsung oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses ini

dikenal dg mekanismeimmunoadhearance.

c. Diagnosis

Untuk mendiagnosis seseorang menderita anemia hemolitik, dilakukan

pemeriksaan Commb’s Test. Ada dua cara:

1. Direct Coomb’s test. Sel eritrosit pasien dibersihkan dari protein-protein

yang melekat, lalu direaksikan dengan antibodi monoklonal seperti IgG

dan komplemen seperti C3d. Jika terjadi aglutinasi, maka hasilnya positif.

Berarti IgG atau C3d atau keduanya melekat di eritrosit tersebut.

2. Indirect Coomb’s test. Serum pasien diambil, direaksikan dengan sel-sel

reagen yaitu sel darah merah yang sudah terstandar. Jika terjadi aglutinasi,

maka hasilnya positif. Berarti ada imunoglobulin di serum tersebut yang

bereaksi dengan sel-sel reagen.

62

Page 63: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

d. Klasifikasi dan tatalaksana6,16

Anemia hemolitik autoimun ada dua jenis, yaitu :

i. Tipe Hangat

Yaitu hemolitik autoimun yang terjadi pada suhu tubuh optimal (37

derajat celcius).

Manifestasi klinis: gejala tersamar, gejala2 anemia, timbul perlahan,

menimbulkan demam bahkan ikterik. Jika diperiksa urin pada

umumnya berwarna gelap karena hemoglobinuri. Bisa juga terjadi

splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati.

Pemeriksaan Lab: Coomb’s test direk positif, Hb biasanya

Prognosis: hanya sedikit yang bisa sembuh total, sebagian besar

memiliki perjalanan penyakit yang kronis namun terkendali. Survival

70%. Komplikasi bisa terjadi, seperti emboli paru, infark limpa, dan

penyakit kardiovaskuler. Angka kematian 15-25%.

Terapi: (1) pemberian kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari, jika

membaik dalam 2 minggu dosis dikurangi tiap minggu 10-20 mg/hari.

(2) splenektomi, jika terapi kortikosteroid tidak adekuat; (3)

imunosupresi: azatioprin 50-200 mg/hari atau siklofosfamid 50-150

mg/hari; (4) terapi lain: danazol, imunoglobulin; (5) tansfusi jika

kondisinya mengancam jiwa (misal Hb <3mg/d

B. Tipe dingin

terjadi pada suhu tubuh dibawah normal. Antibodi yang

memperantarai biasanya adalah IgM. Antibodi ini akan langsung

berikatan dengan eritrosit dan langsung memicu fagositosis.

Manifestasi klinis: gejala kronis, anemia ringan (biasanya

Hb:9-12g/dl), sering dijumpai akrosianosis dan splenomegali.

pemeriksaan lab: anemia ringan, sferositosis, polikromasia, tes coomb

positif, spesifisitas tinggi untukantigen tertentu seperti anti-I, anti-Pr,

anti-M dan anti-P.

Prognosis:baik, cukup stabil

terapi: hindari udara dingin, terapi prednison, klorambusil 2-4 mg/hari,

dan plasmaferesis untuk mengurangi antibodi IgM.

63

Page 64: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

BAB IV

KESIMPULAN

Penyakit kompleks imun adalah sekelompok penyakit yang didasari oleh

adanya endapan kompleks imun pada organ spesifik atau jaringan tertentu.

Penyakit ini dibagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok penyakit kompleks imun

alergi dan non-alergi. Penyakit kompleks imun alergik antara lain reaksi arthus,

reaksi serum sickness, bronco-alveoli alergi. Sedangkan yang termasuk penyakit

kompleks imun non-alergik antara lain Lupus Eritmetosus Sistemik (LES),

vaskulitis, grumerulonefritis, dan rhematoid arthritis.

Kompleks imun merupakan kumpulan dari antigen dan antibodi yang

saling berikatan. Pada kondisi normal, kompleks imun dengan cepat dihilangkan

dari sirkulasi. Namun, pada kondisi tertentu kompleks imun terus bersrikulasi dan

akan terperangkap ke dalam jaringan dari ginjal, paru, kulit, sendi, atau pembuluh

darah. Di dalam jaringan, kompleks imun ini menginisiasi respon imun oleh

komplemen dan inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan. Kompleks

imun memiliki patogenesis tersendiri di dalam menimbulkan suatu proses

penyakit.

Berbagai penyakit yang dimediasi kompleks imun antara lain lupus

eritematosus sistemik, vaskulitis, glomerulonefritis, dan reaksi anafilaksis.

Penyakit-penyakit tersebut memiliki dasar patogenesis yang sama, yakni

dicetuskan oleh kompleks imun yang mengawali berbagai proses yang melibatkan

sel-sel imun. Hal inilah yang menimbulkan manifestasi klinis penyakit tersebut.

Melalui deteksi dini faktor resiko dan diagnosis yang akurat, morbiditas

dan mortalitas penyakit tersebut dapat diturunkan sehingga kualitas hidup pasien

akan lebih baik.

64

Page 65: Referat Baru Fix Aamiiiin

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMHFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

DAFTAR PUSTAKA

1. Salim, Eddy .Mart dan Sukmana, Nanang. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Penyakit Kompleks Imun. Interna Publishinh: Jakarta.

2. IAID. 2013. Immune System. Diunduh dari http://www.niaid.nih.gov pada tanggal 21 Januari 2014.

3. Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. p.370-83

4. Kumar, Abbas, Fausto. Robbins and Cotran: Pathologic basis of disease. 7th ed. China: Elsevier Saunders; 2005.

5. Konthen, P. G. 2004. Pandangan baru penatalaksanaan penyakit alergi berdasarkan imunopatogenesis. Surabaya J.Int. Med. 24 (1) : 9 – 13

6. Wollenberg A; Karaft S; Oppel T; Bieber T. Atopic dermatitis: pathogenetic mechanisms, Clin Exp Dermatol, 2000; 25(7): 530-534

7. Juhlin L; Johansson SGO; Bennich H; Hogman C and Thyresson W. Immunoglobulin E in Dermatoses. Level in Atopic Dermatitis and Urticaria, Arch Derm, 100; 1969: 12-15.

8. Johnson E; Irons J.S.; Patterson R and Roberts M. Serum IgE Concentration in Atopic Dermatitis, Allergy Clin Immunol, 1994; 54: 94-99.

9. Fridalni, N. 2013. Lupus Erimatosus Sistemik. Diunduh dari http://www.scribd.com/ pada tanggal 21 Januari 2014.

10. Raharjo, D.L. 2012. Makalah Imunologi dan Sistem Hematologi Vaskulitis. Makalah pada Stikes Ngudia Husada Madura.

11. Husein, A, dkk. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2002. h 345-353

12. Guyton & Hall (2006) “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, Jakarta : EGC.

13. Karnath BM. Anemia in the adult patient. Hospital Physician 2004:32-6.

14. Prico SA. dan Wilson LM. Patologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC; 1995. h 827-829.

15. Sutisna Himawan. Patologi. Jakarta. FK UI; 1998 h 258-261.

16. Cukasah, U. Reaksi Anafilaksis/Anafilaktoid. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNJANI, 2011.

65