REFERAT anak rscm
-
Upload
febrina-sintari -
Category
Documents
-
view
232 -
download
4
description
Transcript of REFERAT anak rscm
TINJAUAN PUSTAKA15 SEPTEMBER 2015
PERAN A.R.T.I PADA EPIDEMIOLOGI TUBERKULOSIS
Rudy Kurniawan Putra
Pembimbing :Dr. Noenoeng Rahajoe, Sp.A(K)
Dr. Nastiti Noenoeng Rahajoe, Sp.A(K)
Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Departemen Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaRSU Persahabatan Jakarta
Dibacakan di:Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaJakarta
Abstract
Definition of Tuberculosis (TB) epidemiology in addition to covering the prevalence,
incidence, mortality due to TB (mortality) but also because of its uniqueness includes
similarly, the prevalence and incidence of the disease arising out of the infected population,
as well as the average person who contracted tuberculosis by a contagious tuberculosis
patients. The incidence and mortality of tuberculosis is a good parameter to describe the
epidemiology of TB, but in connection with the surveillance inadequate in many countries, it
is not possible to show the data insindensi and mortality of TB in fact, so used a few
parameters epidemiological indirectly Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI).
Prevalence of infection may be known annual risk of tuberculosis infections (ARTI) with
conversion method, and is one of the parameters to determine the epidemiology of the disease
burden (burden of tuberculosis)
Keyword : , tuberculosis, epidemiology, ARTI
PENDAHULUAN
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban Tuberkulosis (TB)
tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010)
dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB
diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya.1
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan Negara pertama
diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu
mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun
2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati
(data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian,
Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%).
Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar
90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut
merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama.1
Jumlah kasus TB anak pada tahun 2009 mencapai 30.806 termasuk 1,865 kasus BTA positif.
Proposi kasus TB anak dari semua kasus TB mencapai 10.45%. Kasus TB pada tahun 2010
9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011, dan 8,2% pada tahun 2012. Angka-angka ini
merupakan gambaran parsial dari keseluruhan kasus TB anak yang sesungguhnya mengingat
tingginya kasus overdiagnosis di fasilitas pelayanan kesehatan yang diiringi dengan
rendahnya pelaporan dari fasilitas pelayanan kesehatan.2
Definisi epidemiologi TB mencakup prevalensi, insidensi, kematian karena TB, prevalensi
dan insidensi penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang terinfeksi ini, serta rata-rata
orang yang tertular penyakit tuberkulosis oleh seorang penderita tuberkulosis menular.
Insidensi dan mortalitas tuberkulosis merupakan parameter yang baik untuk menggambarkan
epidemiologi TB namun sehubungan dengan surveilans yang tidak adekuat berbagai negara,
tidak mungkin untuk menunjukkan data insidensi dan mortalitas TB yang sebenarnya,
sehingga dipergunakan beberapa parameter epidemiologi secara tidak langsung yaitu Annual
Risk of Tuberculosis Infection (ARTI).3
EPIDEMIOLOGI
Beberapa ilmu, seperti kedokteran, kedokteran sosial, revolusi mikrobiologi, demografi,
sosiologi, ekonomi, statistik, fisika, kimia, biologi molekuler, dan teknologi komputer, telah
mempengaruhi perkembangan teori dan metode epidemiologi. Demikian pula The Black
Death (wabah sampar), pandemi cacar, revolusi industri (dengan penyakit okupasi), pandemi
Influenza Spanyol (The Great Influenza) merupakan beberapa contoh kejadian epidemiologis
yang mempengaruhi filosofi manusia dalam memandang penyakit dan cara mengatasi
masalah kesehatan populasi. Sejarah epidemiologi perlu dipelajari untuk mengetahui konteks
sejarah, konteks sosial, kultural, politik, dan ekonomi yang melatarbelakangi perkembangan
epidemiologi, sehingga konsep, teori, dan metodologi epidemiologi dapat diterapkan dengan
tepat.4
Ilmu epidemiologi sudah dimulai sejak zaman kedokteran Yunani kuno. Cara orang
memandang penyakit, penyebab terjadinya penyakit, dan upaya untuk mengendalikannya,
telah dimulai sejak zaman kedokteran Yunani kuno, lebih dari dua puluh empat abad yang
lalu. Terdapat beberapa teori yang berhubungan dengan kesehatan dan penyakit pada manusia
seperti Teori Kosmogenik Empat Elemen, Teori Generasi Spontan, Teori Humor, dan Teori
Miasma.4
Pada Zaman kedokteran Yunani, lahir seorang filsuf dokter, sastrawan, dan orator Yunani
yang bernama Empedocles (490–430 SM) yang tinggal di Agrigentum, sebuah kota di
Sisilia. Para ahli sejarah menemukan sekitar 450 baris puisi karyanya yang ditulis pada daun
papirus. Dari kumpulan puisi itu diketahui bahwa Empedocles memiliki pandangan tentang
berbagai isu yang berhubungan dengan biologi modern, khususnya biologi genetik dan
molekuler tentang terjadinya kehidupan, fisiologi komparatif dan eksperimental, biokimia,
dan ensimologi.5
Di bagian lain puisi Empedocles menunjukkan, dia telah mempraktikkan epidemiologi
terapan. Pada masa itu penduduk sebuah kota dekat dengan Agrigentum, yaitu Selinunta,
tengah dilanda epidemi penyakit dengan gejala panas seperti malaria. Empedocles
mendeteksi, penyebabnya terletak pada genangan dan rawa yang berisi air terkontaminasi.
Empedocles mengatasi masalah itu dengan membuka kanal (terusan) dan mengosongkan
genangan air ke laut. Dengan membuka dua sungai besar dan menghubungkannya dengan
laut, mengeringkan rawa, Empedocles berhasil menurunkan epidemi yang menjangkiti
penduduk Selinunta. Empedocles berhasil membuat Selinunta sebuah kota sehat dengan
sistem irigasi yang dibiayainya. Karya sanitasi ini bisa dipandang sebagai Projek Kesehatan
Masyarakat pertama di muka bumi.5
Empedocles juga dikabarkan telah melakukan penyembuhan sampar di kota Athena dengan
menggunakan api. Dia melakukan cara serupa, yaitu metode disinfeksi menggunakan asap,
untuk mengatasi sampar di kota kelahirannya. Secara keseluruhan pandangan dan karya
Empedocles merupakan prekursor kedokteran modern dan epidemiologi, mendahului
Hippocrates yang lebih dikenal sebagai Bapak Kedokteran Modern.5
Aristoteles (384-322 SM). Aristoteles adalah seorang filsuf dan ilmuwan Yunani, berasal
dari Stagira. Anak seorang dokter, Aristoteles merupakan murid Plato. Tetapi berbeda dengan
gurunya dalam penggunaan metode untuk mencari pengetahuan, Aristoteles berkeyakinan,
seorang dapat dan harus mempercayai panca-indera di dalam menginvestigasi pengetahuan
dan realitas.5
Pada masa epidemiologi modern, kita mengenal Teori Kuman (The Germ Theory, Pathogenic
Theory of Medicine ) adalah teori yang menyatakan bahwa beberapa penyakit tertentu
disebabkan oleh invasi mikroorganisme ke dalam tubuh. Abad ke 19 merupakan masa
kejayaan Teori Kuman di mana aneka penyakit yang mendominasi rakyat berabad-abad
lamanya diterangkan dan diperagakan oleh para ilmuwan sebagai akibat dari mikroba.
Epidemiologi berkembang seiring dengan berkembangnya mikrobiologi dan parasitologi.
Jacob Henle (1809-1885), Louis Pasteur (1822–1895), Robert Koch (1843–1910), dan Ilya
Mechnikov (1845–1916) merupakan beberapa di antara figur sentral di masa kuman
(Gerstman, 1998). Teknologi yang memungkinkan timbulnya Teori Kuman dan mikroskop
dan biakan (kultur) kuman.5
Robert Koch (1843-1910). Robert Koch adalah serorang ahli bakteriologi Jerman. Dia
belajar di Göttingen di bawah bimbingan Jacob Henle . Sebagai praktisi di pedalaman di
Wollstein, Posen (kini Wolsztyn, Polandia), Koch mengabdikan sebagian besar waktunya
untuk melakukan studi mikroskopis tentang bakteri. Koch tidak hanya menciptakan metode
pewarnaan dengan pewarna anilin tetapi juga teknik kultur bakteri, suatu teknik standar
mikrobiologi yang masih digunakan sampai sekarang. Koch menemukan bakteri dan
mikroorganisme penyebab berbagai penyakit infeksi, meliputi antraks (1876), infeksi luka
(1878), tuberkulosis (1882), konjunktivitis (1883), kolera (1884), dan beberapa lainnya.5
Robert Koch adalah professor pada Universitas Berlin dari 1885 sampai 1891, menjabat
Kepala Institut Penyakit Infeksi yang didirikannya, dari 1891 sampai 1904. Dalam rangka
investigasi bakeriologis untuk pemerintah Inggris dan Jerman, dia melakukan perjalanan ke
Afrika Selatan, India, Mesir, dan negara lain, melakukan aneka studi yang penting tentang
penyakit sulit tidur, malaria, sampar (bubonic plague), dan penyakit lainnya. Untuk karyanya
menemukan tes tuberkulin Koch menerima Hadiah Nobel di bidang Fisiologi dan Kedokteran
pada 1905.6
EPIDEMIOLOGI TUBERKULOSIS
Epidemiologi berasal dari bahasa Yunani EPI = pada, DEMOS = berarti masyarakat dan
LOGOS berarti ilmu atau teori. Epidemiologi didefinisikan sebagai “Ilmu tentang distribusi
dan determinan-determinan dari keadaan atau kejadian yang berhubungan dengan kesehatan
didalam populasi tertentu, serta penerapan dari ilmu ini guna mengendalikan masalah-
masalah kesehatan. Definisi epidemiologi TB selain mencakup prevalensi, insidensi,
kematian karena TB dan rata-rata orang yang tertular penyakit tuberkulosis oleh seorang
penderita tuberkulosis menular.3
Frekuensi, distribusi dan determinan yang ada menurut umur, jenis kelamin, suku bangsa dan
letak daerahnya memberi kita pengetahuan tentang keadaan penyakit tuberkulosis di wilayah
tertentu. Selanjutnya dengan mengetahui besarnya prevalensi, distribusi dan determinan dari
tuberkulosis di masyarakat tersebut maka dapat diperkirakan besarnya permasalahan
tuberkulosis yang ada di masyarakat tersebut. Dengan demikian kita dapat menentukan
prioritas dan strategi yang harus dilaksanakan pada program pemberantasan penyakit TB.3
Dalam epidemiologi, pencegahan dibagi menjadi 3 tingkatan sesuai dengan perjalanan
penyakit meliputi, pencegahan primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tersier.
Pencegahan tingkat pertama atau pencegahan primer merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi
sakit. Upaya pencegahan primer yaitu pencegahan umum (mengadakan pencegahan pada
masyarakat umum contohnya pendidikan kesehatan masyarakat dan kebersihan lingkungan)
dan pencegahan khusus (ditujukan pada orang-orang yang mempunyai resiko terkena
penyakit). Pencegahan tingkat kedua atau pencegahan sekunder merupakan upaya manusia
untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit,
menghindarkan komplikasi dan mengurangi ketidakmampuan.7
Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan dengan cara mendeteksi penyakit secara dini dan
mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Pencegahan tingkat ketiga atau pencegahan
tersier dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi. Upaya
pencegahan tersier ini dapat dilakukan dengan cara memaksimalkan fungsi organ yang cacat,
membuat protesa ekstremitas akibat amputasi dan mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik.7
Menurut Leavell & Clark dalam bukunya “Preventive Medicine for The Doctor in his
Community” membagi usaha pencegahan penyakit yang dapat dilakukan pada masa sebelum
sakit dan pada masa sakit. Usaha-usaha tersebut adalah sebagai berikut:
A. Masa sebelum sakit (pre patogenesis phase)
1. Mempertinggi nilai kesehatan (Health Promotion).
Merupakan suatu usaha pencegahan penyakit melalui usaha mengatasi atau mengontrol
faktor-faktor risiko (risk factors) dengan sasaran utamanya orang sehat melalui usaha
peningkatan derajat kesehatan secara umum (promosi kesehatan). Usaha peningkatan derajat
kesehatan (health promotion) atau pencegahan umum yakni meningkatkan derajat kesehatan
perorangan dan masyarakat secara optimal, mengurangi peranan, penyebab dan derajat risiko
serta meningkatkan lingkungan yang sehat secara optimal.8
2. Memberikan perlindungan khusus terhadap sesuatu penyakit (spesific protection).
Adapun sasaran pencegahan tingkat pertama ini dapat pula ditujukan pada faktor penjamu
seperti perbaikan gizi, pemberian imunisasi, peningkatan kehidupan sosial dan psikologis
individu dan masyarakat serta peningkatan ketahanan fisik individu. Usaha ini merupakan
tindakan terhadap pencegahan penyakit-penyakit tertentu seperti pemberian imunisasi dasar,
pemberian vitamin A, tablet penambah zat besi, Isolasi penderita penyakit menular (misalnya
isolasi penderita Tuberkulosis), Perlindungan kerja terhadap bahan berbahaya.8
Perlindungan khusus terhadap penyakit Tuberkulosis dilakukan dengan beberapa cara sebagai
berikut:8
a. Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan
hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan.
b. Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect gambas,
sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect,
perawatan.
c. Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit inaktif
dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan.
d. Imunisasi BCG, vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi dengan perlindungan
bagi ibunya dan keluarhanya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut
berupa tempat pencegahan.
e. Memberantas penyakti TB pada pemerah air susu dan tukang potong sapi, dan
pasteurisasi air susu sapi.
f. Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karean menghirup udara yang tercemar
debu para pekerja tambang, pekerja semen dan sebagainya.
g. Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala TB paru.
h. Pemeriksaan screening dengan tubercullin test pada kelompok beresiko tinggi, seperti
para emigrant, orang-orang kontak dengan penderita, petugas dirumah sakit, petugas/guru
disekolah, petugas foto rontgen.
i. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan
Tuberculin test.
B. Masa sakit (patogenesis phase)
3. Mengenal dan mengetahui penyakit pada tingkat awal serta mengadakan
pengobatan yang tepat dan segera (Early diagnosis & Promt Treatment).
Diagnosis Awal dan Pengobatan tepat (Early Diagnosis and Prompt Treatment) memiliki
tujuan utama yaitu :8
a. Pengobatan yang setepat-tepatnya dan secepat-cepatnya dari setiap jenis penyakit
sehingga terjadi penyembuhan yang sempurna dan segera
b. Pencegahan penularan kepada orang lain bila penyakitnya menular
c. Mencegah terjadinya kecacatan yang diakibatkan suatu penyakit.
Beberapa diantaranya dengan melakukan:
a. Screening (Penyaringan)
b. Pejejakan kasus (Case Finding)
c. Pemeriksaan khusus (laboratorium dan tes)
d. Pemberian obat yang rational dan efektif
. Diagnosis Awal
1) Penemuan Penderita Tuberkulosis Pada Orang Dewasa
Penemuan penderita TB Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita
dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan
secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan
maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini
biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case finding (penemuan penderita secara
pasif dengan promosi aktif).8
Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa
dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini
mungkin, mengingat tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan
kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari
berturut-turut, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).8
2) Diagnosis Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa
Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada
pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikitnya dua tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 yang positif perlu
diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksan dahak SPS
diulang.8
a) Kalau hasil rontgen mendukung TB Paru, maka penderita didiagnosis sebagai penderita
TB Paru BTA positif.
b) Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB Paru. Maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain, misalnya biakan.
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya
kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1 – 2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun
gejala klinis tetap mencurigakan TB Paru, ulangi pemeriksaan dahak SPS.8
a) Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB Paru BTA positif.
b) Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung
diagnosis TB Paru.
i. Bila hasil rontgen mendukungTB Paru, didiagnosis sebagai penderita TB Paru BTA
negatif Rontgen positif.
ii. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB Paru, penderita tersebut bukan TB Paru.
Pada anak menentukan diagnosis TB dengan melakukan pemeriksaan pada anak yang kontak
erat dengan pasien TB menular, anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai
dengan TB anak. Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat
menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.2
3) Uji Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan
dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin
adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji
tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–
12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka
hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.8
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih
sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan
bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin
dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi)
yang terjadi:2
a) Pembengkakan (Indurasi) : 0–4 mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada infeksi
Mycobacterium tuberculosis, sedang dalam masa inkubasi, anergi.
b) Pembengkakan (Indurasi) : 5–9 mm, uji mantoux positif meragukan. Hal ini bisa karena
kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi
BCG, infeksi TB alamiah.
c) Pembengkakan (Indurasi) : 10-14mm, uji mantoux positif. Arti klinis: sedang atau pernah
terinfeksi Mycobacterium tuberculosis, vaksin BCG, Infeksi Mycobacterium atypikal.
d) Pembengkakan (indurasi) : ≥15mm, uji mantoux positif. Artinya : sangat mungkin
infeksi TB alamiah.
4. Pembatasan kecacatan dan berusaha untuk menghilangkan gangguan kemampuan
bekerja yang diakibatkan sesuatu penyakit (Disability Limitation).
Disability Limitation atau pembatasan kecacatan dan berusaha untuk menghilangkan
gangguan kemampuan berfikir dan bekerja yang diakibatkan suatu masalah kesehatan dan
penyakit. Usaha ini merupakan lanjutan dari usah early diagnosis and promotif treatment
yaitu dengan pengobatan dan perawatan yang sempurna agar penderita sembuh kembali dan
tidak cacat (tidak terjadi komplikasi). Bila sudah terjadi kecacatan maka dicegah agar
kecacatan tersebut tidak bertambah berat dan fungsi dari alat tubuh yang cacat ini
dipertahankan semaksimal mungkin.7
Pada epidemiologi TB, parameter-parameter yang digunakan ada 4 (empat) yang penting
yaitu :6
1. Angka kematian karena TB, yaitu banyaknya kematian karena TB pada populasi tertentu
dalam 1 (satu) tahun per 100.000 penduduk.
2. Angka insidensi penderita TB yaitu banyaknya kasus-kasus baru TB pada populasi
tertentu dalam 1 (satu) tahun per 100.000 penduduk.
3. Angka prevalensi penderita TB yaitu banyaknya kasus-kasus TB lama dan baru yang
ditemukan pada populasi tertentu, biasanya dinyatakan pasif dengan mikroskopik dalam
jangka waktu tertentu.
4. ARTI (Annual Risk of Tuberculosis Infection) yaitu suatu probalitas/kemungkinan
seseorang yang belum pernah terinfeksi TB akan terinfeksi oleh kuman tersebut dalam 1
(satu) tahun.
Annual Risk Tuberculosis Infection (ARTI)
Pada tahun 1934, Muench mengusulkan untuk dibentuk metode untuk menurunkan tingkat
rata-rata insiden resiko infeksi pertahun dari pengamatan menggunaakan prevalensi infeksi
seperti pada infeksi M. tuberculosis.9 Pada tahun 1957, NYBOE merumuskan model yang
sederhana untuk memperkirakan prevalensi infeksi yang diharapkan (P) dari resiko konstan
yang diketahui (R) berdasarkan usia dan tahun kalender, yaitu P= 1-(1-R)a, di mana a adalah
usia yang diamati pada prevalen yang diharapkan.10 Untuk nilai R, berikut diperoleh: R=1-
(1-P)1/a. Sekarang inilah standar yang digunakan untuk menurunkan rata-rata resiko infeksi
pertahun dari prevalensi infeksi dengan asumsi bahwa tidak ada perubahan dalam waktu
kelender.11
Asumsi ini lebih banyak kemungkinan kesalahannya oleh karena kejadian sebenarnya dari
infeksi kemungkinan akan berubah dari masa ke masa di kalender; mungkin bisa menurun,
mungkin meningkat, atau mungkin campuran pasang surut, namun perhitungan rata-rata
resiko infeksi pertahun dapat menghasilkan hasil yang sama.11 Kekurangan ini juga telah
ditunjukkan oleh NYBOE. Kesulitan lainnya juga dirasakan dalam dalam memisahkan
mereka yang terinfeksi dari mereka yang tidak karena seringnya terjadi kepekaan terhadap
mikrobakteri yang mengarah ke reaksi non spesifik karena cross reaksi. Tuberculosis
Surveillance and Research Unit (TSRU) mengembangkan model yang lebih dinamis, yaitu
mengambil perubahan kalender dalam resiko infeksi ke dalam perhitungan untuk memastikan
perubahan dari serangkaian survey prevalensi uji kulit tuberkulin.12
Pada tahun 1977, sebelum adanya dokumen Cauthen dkk., WHO mengidentifikasi daerah
dengan beban tinggi untuk TB, untuk prevalensi infeksi, angka notifikasi, dan kematian.
Akan tetapi sejak survei tuberkulin telah dilakukan di kelompok usia yang berbeda,
perbandingan secara langsung dari prevalensi infeksi antara daerah itu tidak memungkinkan.
Cauthen dkk membuat dua kontribusi yang penting. Ini diterapkan ke konsep ARTI dengan
data dari berbagai negara dan termasuk penilaian tren/kecendrungan, bukan hanya pada
waktu tertentu saja. Konsep ARTI telah dikembangkan dan diterapkan pada studi data di
Belanda oleh Styblo dkk. Daya tarik dari pengukuran ini adalah pengukuran ini lebih
independen, berkualitas dan komprehensif dari sistem notifikasi dan bertentangan dengan
angka notifikasi.14
Dye et al. mengintegrasi informasi yang berbeda dari berbagai sumber. Menyatakan
hubungan antara berbagai parameter seperti risiko tahunan infeksi, tingkat kejadian, proporsi
kasus yang terdeteksi, angka notifikasi, durasi penyakit, prevalensi, dan CFR tergantung pada
pengobatan yang diterima. Berdasarkan informasi yang tersedia (termasuk Hasil survei
tuberkulin dirangkum oleh Cauthen dkk, perkiraan insiden penyakit dan kematian yang
diproduksi dan dibahas dalam panel ahli. Jumlah insiden TB pada tahun 1997 adalah
diperkirakan 8 juta kasus per tahun, dan jumlah TB-terkait mortalitas 1,9 juta. Sebuah hasil
penting yang telah identifikasi 22 negara-beban tinggi yang 80% dari semua kasus terjadi.
Perkiraan ini diperbarui setiap tahun.14
Meskipun hasil Cauthen dkk. pada prevalensi infeksi telah membantu untuk memperkirakan
insiden TB global tetapi aplikasi ini masih kontroversial. Pertama, Cauthen dkk. sendiri
memperingatkan terhadap ekstrapolasi hasilnya terutama untuk negara yang tidak disurvei.
Kedua, estimasi insiden penyakit dengan ARTI menggunakan aturan Styblo ini telah dikritik.
Selain itu, jumlah infeksi mungkin tergantung pada pembangunan sosial ekonomi melalui
perubahan kondisi rumah, kepadatan penduduk, dan berbagai sosial budaya. Ketiga, di
negara-negara dengan prevalensi tinggi infeksi HIV, hubungan antara risiko infeksi TB dan
insiden TB dapat diubah, tergantung pada penularan yang dari infeksi HIV terinfeksi kasus
TB. Hal ini penting untuk dicatat di sini bahwa rasio risiko kejadian infeksi dan insiden
penyakit tergantung pada jumlah infeksi yang dihasilkan per kasus dan bukan pada
kemungkinan penyakit setelah infeksi.14
Untuk masing-masing negara, estimasi insiden TB berdasarkan aturan Styblo ini sangat tidak
pasti. Akhirnya, metodologi memperkirakan prevalensi infeksi dan ARTI itu sendiri adalah
kontroversial dan bermasalah. Untuk mengurangi masalah tersebut, pelatihan dan
pengawasan tim survei sangat penting. Sebagai tambahan, tes yang lebih baik untuk
diagnosis infeksi TB akan sangat membantu dan ini memang sedang dikembangkan.14
Survei tuberkulin memberikan informasi penting pada masalah TB. Perkiraan berdasarkan
survei tuberkulin yang cukup kuat, dan tidak tergantung kuat pada proporsi anak dengan
BCG bekas luka, atau titik cut-off digunakan untuk mendefinisikan '' tes kulit 'positif'. Karena
pengukuran ketidaktepatan, perubahan prevalensi infeksi harus ditafsirkan sebagai
berkorelasi lebih dari langkah-langkah yang tepat dari perubahan sebenarnya risiko infeksi.
Selain itu, perbedaan agak besar diperlukan untuk menunjukkan jelas penurunan atau
peningkatan risiko tahunan infeksi, menunjukkan bahwa survei tuberkulin harus dilakukan
hanya sekali setiap 5-10 tahun. Sehingga Alat ini tidak berguna untuk pemantauan jangka
pendek, tetapi sangat penting untuk penilaian jangka panjang di negara-negara beban tinggi.
Beberapa tahun yang lalu survei tuberkulin telah sangat membantu untuk memperkirakan
dampak epidemi HIV pada penularan TB di Afrika.14
Insidensi dan mortalitas tuberkulosis merupakan parameter yang baik untuk menggambarkan
epidemiologi TB namun sehubungan dengan surveilans yang tidak adekuat diberbagai
negara, tidak mungkin untuk menunjukkan data insindensi dan mortalitas TB yang
sebenarnya, sehingga dipergunakan beberapa parameter epidemiologi secara tidak langsung
yaitu Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI), perkiraan insindens BTA (+), jumlah
dan pencatatan kasus-kasus TB, perkiraan cakupan populasi dibandingkan dengan pelayanan
kesehatan, dan perkiraan kasus fatal pada BTA (+) dan bentuk lain TB. Styblo dkk dari
penelitian terhadap 19.000 orang mendapatkan bahwa kematian karena TB : Insidens BTA
(+) : prevalensi BTA = 1 : 2 : 4. Selanjutnya diperkirakan untuk setiap 1% ARTI, mencakup
50 kasus BTA (+) per 100.000 penduduk.6
Uji tuberkulin adalah uji yang dilakukan untuk mendeteksi infeksi M. tuberkulosis, dapat
juga dipergunakan untuk mengukur prevalens infeksi. Dari prevalens infeksi dapat diketahui
annual risk of tuberculosis infections (ARTI) dengan metode konversi, dan merupakan salah
satu parameter epidemiologi untuk menentukan beban penyakit (burden of tuberculosis).
Parameter epidemiologi lainnya adalah perkiraan insidens BTA positif pada proses TB paru,
kasus yang dilaporkan dan laju yang dilaporkan (case notificationsnotification rates),
perkiraan cakupan yang mendapat layanan kesehatan di populasi, serta perkiraan case fatality
rate untuk pasien dengan BTA positif dan TB yang lain.13
Nilai ARTI adalah probabilitas seseorang yang tidak terinfeksi menjadi terinfeksi atau re-
infeksi oleh M. tuberkulosis, dalam kurun waktu satu tahun; dapat diperkirakan bila
dilakukan survei tuberkulin berulang di suatu populasi pada waktu yang berbeda. Survei
tersebut dilaksanakan dengan teknik yang sama, pada sekelompok subjek yang belum
mendapat vaksinasi BCG dengan usia yang sama, sehinggga dilaksanakan pada anak tanpa
skar BCG saja. Namun akhir-akhir ini karena tingginya cakupan imunisasi BCG, jumlah anak
yang tidak mempunyai skar BCG terbatas, sehingga diikutsertakan pula anak yang telah
diimunisasi BCG (skar BCG positif ).14
Bila sistem surveilans tidak dapat dilakukan untuk deteksi dan pelaporan insidensi kasus,
maka ARTI merupakan teknik yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengetahui
besarnya infeksi TB. Berdasarkan survei yang dilakukan pada tahun 2004 . rata-rata
prevalensi kasus BTA positif diperkirakan 104 per 100.000 penduduk. Namun dengan
membaginya berdasarkan durasi penyakit, insiden dari kasus BTA positif menjadi 96 per
100.000 penduduk. Hasil penelitian uji tuberkulin di beberapa negara berkembang telah
dipakai untuk memperkirakan besarnya ARTI. Dengan dasar survei uji tuberkulin pada anak,
diperkirakan ARTI di negara berkembang berkisar antara 0,6% sampai 2,3%. Data ARTI di
negara-negara Afrika daerah Sub-Sahara berkisar antara 1,5% sampai 2,5%, disusul oleh
negara-negara Asia Selatan dan dan Asia Timur sebesar 1% sampai 2%, sedangkan di Afrika
Utara, Timur Tengah dan Amerika Tengah dan Latin, ARTI diperkirakan antara 0,5% dan
1,5%.15
Beberapa penelitian mengenai ARTI telah dilakukan di India. Penelitian di Bangalore, India
tahun 2005–2006, pada 2459 anak usia 5–14 tahun dilakukan uji tuberkulin pada 2235 anak
hasil tes dapat dibaca; proporsi skar BCG positif 63,7%. Selanjutnya dilaporkan bahwa
prevalensi terduga infeksi TB 5,8% dengan ARTI 0,6% dari prevalensi terduga. Sebagai
perbandingan hasil penelitian di Bangalore tahun 1990-1994 didapatkan penurunan ARTI 3%
setiap tahun. Gopi dkk (2006) melaporkan hasil penelitiannya di sub-distrik Tiruvaller, India
Selatan setelah diimplementasikan program DOTS.15
Dari tiga survei didapatkan penurunan bermakna ARTI masing-masing 1,6% tahun 1999-
20021, 1,4% tahun 2001-2003, dan 1,2% tahun 2004-2005. Didapatkan penurunan 6% dari
survei pertama sampai ketiga setelah dilaksanakan program DOTS. Selanjutnya Gopi dkk
(2006) juga melaporkan hasil survei di India Utara, Barat, Selatan, dan Timur, pada 52.951
anak usia 1–9 tahun. Dilaporkan 32.744 anak telah mendapat vaksinasi BCG, dengan skar
BCG positif. Prevalensi infeksi dan ARTI diperkirakan masing masing 5,4% dan 1,0% pada
anak dengan skar BCG positif, sedangkan pada anak tanpa skar BCG didapatkan hasil 5,9%
dan 1%.15
Hasil penelitian Gopi dkk (2008) di Chennai City, India, total subjek 7098 anak usia 1-9
tahun, hasil penelian mendapatkan BCG skar 0,5% dengan ARTI 2,0%. Penelitian lain dari
Kerala, India pada 4821 anak usa 5-9 tahun, melaporkan 81% anak mempunyai skar BCG,
63,2% ditemukan hasil uji tuberkulin 0 mm, 5% ukuran reaksi ≥10mm, 3% reaksi ≥12 mm,
dan ≥14 mm pada 2% anak.15
Beberapa penelitian untuk memperkirakan nilai ARTI dilakukan di Indonesia, salah satunya
pada tahun 2009 yang dilakukan di lima provinsi di Indonesia dengan sampel anak sekolah
dasar dengan atau tanpa luka parut bekas vaksin BCG. Kesimpulan dari penelitian tersebut
Sumatera Barat prevalensi infeksi 10,7% dengan ARTI 1,4%, Jawa Tengah prevalensi infeksi
6,8% dengan ARTI 0,9%, Kalimantan Selatan prevalensi infeksi 9,9% dengan ARTI 1,3%,
Sulawesi Utara prevalensi infeksi 13,8% dengan ARTI 1,8%, Nusa Tenggara Timur
prevalensi infeksi 7,5% dengan ARTI 1,0%. Pada tahun 2006 dilakukan penelitian untuk
mengetahui angka ARTI pada anak yang dilakukan di Sumatera Barat. Berdasarkan
pengamatan pada anak yang memiliki skar BCG dengan 16 mm sebagai cut off point dari
pemeriksaan tuberkulin didapatkan angka prevalensi infeksi (95% CI: 6,2-9,8%) mencapai
8% sehingga didapatkan nilai ARTI 1%. Diperkirakan untuk setiap ARTI 1%, rata-rata
menunjukkan 96 kasus BTA positif TB per 100.000 populasi.16
Tanzania adalah negara pertama yang menerapkan dan bekerjasama dengan The Union, yang
sekarang dikenal dengan strategi DOTS. Hasil survey uji kulit tuberculin dipresentasikan
pada pertemuan Tuberculosis Surveillance and Research Unit (TSRU), tapi tidak pernah
dipublikasikan dala literature formal. Terdapat beberapa kendala utama yang muncul ketika
mencoba untuk mengukur sejauh mana dampak dari program pengendalian nasional pada
transmisi basil tuberkel. Pertama, mengeklusi vaksin BCG agar sampel lebih representative.
Kedua, observasi dari sejumlah reaksi non spesifik di Tanzania membuat kesulitan untuk
menguraikan prevalensi infeksi M.tuberculosis pada populasi karena terdapat crossreaction
dengan lingkungan. Ketiga, dampak pertumbuhan HIV pada angka morbiditas TB, yang tidak
berkurang dengan program pengendalian.18,19
Pengujian test kulit tuberkulin pada abad ke 19, sekitar 50 tahun setelah Koch’s membuat
tuberculin yang lama, Seibert membuat tuberculin yang terstandarisasi, yang sekarang
menjadi standar internasional terhadap semua tuberkulin komersial yang semuanya harus di
uji. Secara global teberkulin yang paling banyak digunakan PPD RT 23 (Statens Serum
Institut, Copenhagen, Denmark). Panduan spesifik tentang bagaimana melaksanakan survey
uji kulit tuberculin yang tersedia, akan membantu untuk mengurangi kesalahan teknis.
Preferensi terminal digit adalah salah satunya, preferensi terminal digit mengacu pada fakta
bahwa manusia cenderung menunjukkan preferensi untuk angka-angka tertentu, seperti yang
berakhiran nol atau lima, atau bahkan nomor-nomor yang ganjil. Hal ini dapat menciptakan
masalah ketika menentukan point cut off seperti menentukan proporsi individu yang
terinfeksi M. TB. 20,21,22
Penentuan risiko infeksi akan menjadi informasi dalam mencegah estimasi insiden penyakit
di masyarakat. Jika dilakukan pada anak-anak, juga akan memungkinkan untuk mengetahui
tentang dampak HIV pada populasi tersebut. Penentuan risiko tahunan rata-rata infeksi
dengan Mycobacterium tuberculosis akan memberikan prevalensi infeksi berhasil jika dapat
ditentukan untuk menunjukkan sejauh mana transmisi untuk generasi muda dapat dibatasi,
indikator penting untuk kemajuan, atau kekurangannya, bertujuan mengurangi masalah TB di
masyarakat.18
Studi menilai ARTI di sekolah Orel Oblast, Rusia, yang dihitung berdasarkan konversi
Tuberculin Skin Test (TST) antara sekolah, meningkat dari 0,2% pada tahun 1991 untuk 1,6%
pada tahun 2000, yang sejajar dengan meningkatkan kejadian TB di wilayah tersebut selama
1991- 2000. Hasil yang serupa diamati ketika ARTI diperkirakan berdasarkan prevalensi
infeksi kalangan anak-anak 3-5 tahun dengan menggunakan cutoff 12mm untuk menentukan
hasil TST positif. Namun, hasil berbeda secara substansial ketika berbeda cut-off yang
digunakan atau ketika prevalensi ditentukan antara anak 6-8 tahun.23 Hal ini terlihat pada
Gambar 1.
Studi di Orel Oblast memberikan contoh pengaturan di yang salah satu estimasi ARTI
berdasarkan survei prevalensi menjadi utilitas terbatas. Insiden TB di Orel Oblast meningkat
tajam selama krisis ekonomi Rusia menyusul pecahnya bekas Republik Uni Sosialis Soviet.
Selain itu, nilai-nilai yang sangat tinggi dari perkiraan ARTI (2-6%) ketika ukuran indurasi
TST ≥10 mm dianggap berpotensi positif disebabkan reaktivitas silang dengan vaksin BCG.23
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, memperkirakan ARTI berdasarkan konversi TST
memiliki keunggulan dibandingkan dengan metode standar untuk memperkirakan ARTI
berdasarkan Survei prevalensi. Pertama, dalam memperkirakan ARTI berdasarkan konversi
TST, dasar TST positif disebabkan vaksinasi BCG saat lahir tidak berdampak pada perkiraan,
dan itu memungkinkan untuk meniadakan pengaruh vaksinasi BCG ulang. Sebaliknya,
memperkirakan ARTI yang berdasarkan prevalensi infeksi sangat sensitif terhadap cut-off
yang digunakan untuk menentukan TST positif, dan itu bisa sulit untuk menentukan cut-off
yang sesuai pada populasi yang divaksinasi BCG. Kedua, sebagai konversi diantara TST
serial kemungkinan mencerminkan infeksi pada periode intervensi, hal ini tidak perlu
dianggap pemerataan risiko infeksi untuk beberapa tahun.23
Gambar 1. ARTI ditentukan berdasarkan prevalensi hasil TST positif antara anak-anak A) usia3-5 tahun dan B) berusia 6-8 tahun, Orel Oblast, Rusia, 1992-2005. TST positif didefinisikan sebagai indurasi ≥10 (garis utuh), ≥12 (garis putus-putus) atau ≥15 mm (garis putus-putus). ARTI = annual risk of tuberculous infection; TST = tuberculin skin test.
Dikutip dari 23
Namun, mengestimasi ARTI berdasarkan TST konversi memiliki keterbatasan. Karena
kesulitan
dalam menemukan individu untuk mengulang pengujian, survei serial TST secara logistik
lebih menantang daripada survei prevalensi. Sebagai tambahan, TST seri tidak bisa
membedakan antara konversi dan boster, peningkatan ukuran indurasi yang terjadi tanpa
adanya infeksi karena stimulasi dari respon imun. Namun, karena boster adalah yang paling
sering ketika waktu antara dua TST adalah 1-5 minggu, menganalisis TST jarak waktu
setahun seharusnya dapat mengurangi risiko ini.23
Kesimpulannya, ARTI diukur melalui deteksi konversi TST via TST serial pertahun pada
anak-anak dapat menunjukkan tren/kecendrungan kejadian TB pada waktu kewaktu.
Menentukan ARTI berdasarkan konversi TST dapat menghindari beberapa keterbatasan yang
terlibat dalam menggunakan metode tradisional yang menentukan ARTI berdasarkan survei
prevalensi, terutama dalam pengaturan perubahan insiden TB atau tingginya cakupan
vaksinasi BCG.23
KESIMPULAN
1. Sejarah epidemiologi perlu dipelajari untuk mengetahui konteks sejarah, konteks sosial,
kultural, politik, dan ekonomi yang melatarbelakangi perkembangan epidemiologi,
sehingga konsep, teori, dan metodologi epidemiologi dapat diterapkan dengan tepat
2. Nilai ARTI adalah probabilitas seseorang yang tidak terinfeksi menjadi terinfeksi atau re-
infeksi oleh M. tuberkulosis, dalam kurun waktu satu tahun
3. ARTI merupakan salah satu parameter epidemiologi untuk menentukan beban penyakit
(burden of tuberculosis) dan dapat menunjukkan kecenderungan kejadian TB dari waktu
ke waktu
Daftar Pustaka
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010-2014;12-14
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2013. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak 2013;2,11-29.
3. Rasmin Rasjid, Patofisiologi dan Diagnosik TB Paru, Dalam : Yusuf Anwar, Tjokronegoro Arjatmo, editor. Tuberkulosis Paru, Balai Penerbit FKUI, Jakarta 1985; 1-11.
4. E Perdiguero, J Bernabeu, R Huertas, et al. History of health, a valuable tool in public health, Epidemiol Community Health 2001;55:667–673
5. N.P. Stathakou,MD, G.P. Stathakou,MD, S.G. Damianaki,MD, et al. Empedocles Bio-medical Comments: A Precursor of Modern Science. Priory Lodge Education Limited 2007;1-2.
6. Aditama T.Y. Tuberculosis Situation in Indonesia, Singapore, Brunei Darussalam and in Philippines, Cermin Dunia Kedokteran 1993 ; 63 : 3 –7.
7. Budiarto, Eko dan Dewi Anggraeni. 2002. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 2002,5-27
8. Notoatmodjo, S, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, cetakan pertama 2003,5-30
9. Muench H. Derivation of rates from summation data by the catalytic curve. J Am Stat Assoc 1934; 29: 25–38.
10. Nyboe J. Interpretation of tuberculosis infection age curves. Bull World Health Organ 1957; 17: 319–339
11. Cauthen GM, Pio A, ten Dam HG. Annual risk of tuberculous infection (WHO/TB/88.154). Geneva, World Health Organization, 1988.
12. Cauthen GM, Pio A, ten Dam HG. Annual risk of tuberculous infection. 1988. Bull World Health Organ 2002;80: 503–511.
13. Departemen Kesehatan RI. Pedoman nasional penanggula ngan tuberkulosis. Cetakan ke-8. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2002.15-25
14. Martien W. Borgdorff, Annual risk of tuberculous infection —time for an update?, Bulletin of the World Health Organization 2002, 80 (6)
15. Kumar S, Radhakrishna, Chadha VK, Jeetendra R, Kumar P, Chauhan LS, Srivastava R, Umadevi, Kirankumar R. Prevalence of tuberculosis infection among school children in Kerala. Indian J Tuberc 2009;56:10-16.
16. Bachtiar A, Miko TY, Machmud R, Besral, Yudarini, Basri C, Mehta F, Chadha VK, Loprang F, Manissero D, Palupi KR, Jitendra R. Annual risk of tuberculosis infection in West Sumatra Province, Indonesia.Int J Tuberc Dis 2008;12:255-61.
17. Sty´blo K, Meijer J, Sutherland I. Tuberculosis Surveillance Research Unit Report No. 1: the transmission of tubercle bacilli; its trend in a human population. Bull Int Union Tuberc 1969; 42: 1–104
18. Styblo K. The first round of the National Tuberculin Survey in Tanzania, 1983–1987. Tuberculosis Surveillance Research Unit of the IUATLD Progress Report 1989; 2: 101–116.
19. Chum HJ, O’Brien RJ, Chonde TM, Graf P, Rieder HL. An epidemiological study of tuberculosis and HIV infection in Tanzania, 1991–1993. AIDS 1996; 10: 299–309
20. Koch R. Ueber bacteriologische Forschung [On bacteriological research]. Dtsch Med Wochenschr 1890; 16: 756–757.
21. World Health Organization. Comite´ d’Experts pour la Standardisation Biologique. Cinquie`me rapport. 7. Tuberculine [Expert Committee on Biological Standardization. Fifth report. 7. Tuberculin]. Tech Rep Ser 1952; 56: 6–7
22. Magnusson M, Bentzon MW. Preparation of purified tuberculin RT 23. Bull World Health Organ 1958; 19: 829–843.
23. C. M. Yuen,T. M. Krapivina, B. Y. Kazennyy, et al. Annual risk of tuberculous infection measured using serial skin testing, Orel Oblast, Russia, 1991–2005, INT J TUBERC LUNG DIS 19(1):39–43 2015