RANGKUMAN KEDWIBAHASAAN
-
Upload
suecha-gnesh -
Category
Documents
-
view
107 -
download
3
Transcript of RANGKUMAN KEDWIBAHASAAN
RANGKUMAN
KEDWIBAHASAAN DALAM PENDIDIKAN
OLEH
I GST. NGR. AG. SUPADMA YASA
I NENGAH SUECA
NI PUTU JULIASIH
PRODI PENDIDIKAN BAHASAPROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA2013
2.1 Pengantar
2.2 Pendidikan Kedwibahasaan
Negara-negara maju seperti Kanada dan Amerika serikat, pendidikan
kedwibahasaan atau bilingual education bukanlah barang baru. Di Amerika
Serikat, misalnya undang-undang sekolah pada tahun 1800-an di Ohio (1839),
Wisconsin (1846), Colorando (1867), Oregon (1872), Maryland (1874), dan
Minnesota (1877) telah membahas tentang bahasa dalam kurikulum baik sebagai
media pengajaran maupun sebagai mata pelajaran yang akan diajarkan.
Dalam perkembangannya, pendidikan kedwibahasaan mendapatkan
perlawanan dari beberapa penentangnya. Mereka sering mempertanyakan apakah
tidak merupakan suatu ancaman bagi cara hidup orang Amerika apabila
keunggulan dan keulungan bahasa Inggris berkurang sebagai suatu daya
pemersatu. Mereka menunjuk adanya risiko separatisme dan kesukuan kultural
berdasarkan bahasa, mengingat pembelaan-pembelaan atau pembagian-pembagian
antara kebudayaan-kebudayaan atau kultur-kultur pemakai bahasa Inggris dan
bahasa Prancis di Kanada sebagai kasus-kasus nyata dalam masalah ini. Akibat
pendapat tersebut, para pendukung pendidikan bilingual menuduh para penentang
tidak mengindahkan cara hidup orang Amerika secara linguistik dan kultural.
Mereka menegaskan bahwa tujuan pendidikan bilingual adalah menolong anak-
anak yang mempunyai kemahiran bahasa Inggris terbatas untuk dapat
mengembangkan kompetensinya dalam bahasa itu dan dapat membantu mereka
menjembatani jurang bahasa secara lebih efektif dalam upaya mempelajari
konsep-konsep dalam berbagai mata pelajaran.
Komisi mengenai hak-hak sipil pun telah mengesahkan pendidikan
kedwibahasaan sebagai suatu sarana penting bagi penyajian kesempatan
pendidikan yang sama bagi para siswa yang berkemahiran terbatas (atau tidak
sama sekali) dalam bahasa Inggris untuk meningkatkan pendidikan anak-anak
semua tingkatan sosio-ekonomik dan kelompok-kelompok rasial-etnik melalui
pembelajaran dua bahasa dan dua budaya (Buto et all, 1975:4). Sayangnya,
penentang pendidikan kedwibahasaan merasa pemberlakuan hal tersebut justru
harus mengorbankan bahasa dan budaya aslinya yang kaya untuk mencapai
partisispasi yang bermakna dalam masyarakat-yang-berbahasa-dan-berbudaya-
berbeda dari bahasa-dan budayanya-sendiri. Selain itu, mereka menganggap
pengajaran kedwikebahasaan tidak dapat memberikan pengalaman-pengalaman
yang berhasil dengan memuaskan anak-anak yang berbahasa minoritas (yang
berkemampuan berbahasa Inggris terbatas) yang memungkinkan para orang tua
mempunyai pilihan terhadap alternatif-alternatif pendidikan yang anaknya sukai.
Para pendukung kedwibahasaan pun bereaksi dengan memberikan peringatan
bahwa hal itu tidak benar. Selama pemberian pendidikan kedwibahasaan terdapat
perubahan-perubahan yang bermanfaat di dalam hubungan-hubungan di rumah
dan di sekolah, yang sebagian besar disebabkan oleh gerakan pendidikan
kedwibahasaan. Peningkatan keterlibatan orang tua siswa bertambah seiring
dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya pendidikan bilingual. Selain itu,
para administrator sekolah, para guru, dan para penyuluh juga memperlihatkan
kepekaan yang meningkat dan memiliki pengertian yang lebih dalam terhadap
kebutuhan-kebutuhan anak yang berbahasa minoritas.
Pada tahun 1960an, gerakan bagi pendidikan kedwibahasaan itu merupakan
hasil gabungan peristiwa-peristiwa historis, tekanan-tekanan politik, aktivisme
hak-hak sipil, dan suatu kesadaran etnis baru. Semua ini melibatkan para pemuka
politik dan pendidikan tertentu menyadarkan anggota Kongres di Amerika beserta
masyarakat akan pentingnya masalah pendidikan anak-anak yang putus sekolah
yang jumlah rata-ratanya lebih tinggi daripada anak-anak yang lain. Bapak
pendidikan kedwibahasaan yaitu Senator Yarborough (ketua subkomite senat
khusus mengenai pendidikan bilingual) beserta anggota kongres lainnya
memperjuangkan rancangan undang-undang pendidikan kedwibahasaan. Tepat
tahun 1968, presiden Johnson menandatangani Undang-Undang Pendidikan
Kedwibahasaan yang disetujui oleh Kongres Amerika Serikat.
A Bruce Gaarder, pembela setia pemeliharaan/pelestarian bahasa asli
menekankan kemustahilan suatu kebijakan pendidikan yang menghabiskan dana
besar untuk pengajaran bahasa-bahasa di SD, SMP, SMA, dan TA jika tidak ada
usaha pemeliharaan dan pengembangan keterampilan berbahasa asli anak-anak itu
(U.S.Congress,1967:54). Joshua Fishman mendesak menetapkan suatu kebijakan
penguatan pemeliharaan bahasa yang terencana. Beliau juga menganjurkan
pendirian suatu komisi mengenai kedwibahasaan di dalam kehidupan Amerika,
pembukaan sekolah-sekolah umum yang dwibahasa, dan pendirian Departemen
Pemeliharaan bahasa pada U.S Office of Education. Anjuran Fisman menjadi
kenyataan. Tahun 1969 berdirilah Office for Spanish speaking American Affair
pada Departemen Pendidikan di bawah pimpinan Armando Roddriguez.
Masalah pendidikan kedwibahasaan memang menjadi bahan perdebatan.
Dalam waktu singkat sejak muncul pada tahun 1977, sebuah laporan yang dibuat
oleh Epstein mempunyai pengaruh yang sangat kuat pada para pembuat kebijakan
dan telah menyebabkan pemuka pendidikan kedwibahasaan merenungkan dalm-
dalam tentang falsafah, implementasi, dan evaluasi program-program pendidikan
kedwibahasaan itu.
2.3 Aneka Model bagi Program Pendidikan Kedwibahasaan.
Memang terdapat berbagai model bagi program pendidikan kedwibahasaan
yang dapat dipilih untuk diterapkan di sekolah-sekolah daerah. Salah satunya
model program pendidikan bilingual yang dikembangkan oleh Anthony Gradisnik
dibawah ini.
Gagasan mengenai pengadaan program pendidikan bilingual juga
dipaparkan oleh Fishman dan Lovas. Menurut mereka ada empat tipe program
kedwibahasaan yang mungkin digunakan antara lain, (1), Transitional bilingual
program, (2) Monoliterate bilingual program, (3) Partial bilingual program, (4)
Full bilingual program.
The self-contained classroom(kelas mandiri)
Kelas yang serba lengkapDapat berdiri sendiriDipimpin satu orang guru dwibahasawan dan satu ajudan yang dwibahasawanKelas yang paling diinginkan
Team-teaching(kerabat mengajar)
Dipimpin oleh satu guru yang dwibahasawan dan ekabahasawanDilengkapi oleh fleksibelitas, indivi-Dualisasi dan kesempatan-kesempatanbagi interaksi kelompok besar
The integrated fullday program(Program harian terpadu)
Murid-murid dari kelas berbedadikumpulkan dan mendapat pelajaran khusus berbagai ma-ta pelajaran oleh seorang guru dwibahasawan.
The departmental model(Model departemen)
Sangat popular pada tingkat SMP dan SMAMenerima pengajaran dalam berbagai matapelajaran dari beberapa guru dwibahasawanyang berbeda dan pada berbagai kelas atau ruangan
A nonbilingual teacher assis-ted by a bilingual aide
(Guru nonbilingual dibantu asisten bilingual)
Situasi pengajaran ini tidak be-gitu diinginkan sehingga sedi-kit peminatnya
A district-wide center
for newly arrived non-English-speaking
pupils(Penampungan siswa baru
yang tidak berbahasa inggris)Penyediaan pendidikan
kedwibahasaan “peralihan”dan pendidikan bilingual “transisi” untuk anak-anak dari kelompok etnis dan bahasa minoritas
Aneka ModelProgram
PendidikanBilingual
Pengadaan program kedwibahasaan dan kedwibudayaan ini tidaklah
diterima orang secara universal dan tulus iklas apalagi keuntungan-keuntungan
kedwibahasaan belum ditunjang secara sungguh-sungguh oleh penelitian.
Menurut Egler, menangani para siswa yang tidak fasih berbicara dalam bahasa
yang dipakai di sekolah telah menjadi masalah pendidikan, sosiologis, psikologis,
dan politik dalam lima puluh tahun terakhir. Konferensi UNESCO pada awal
tahun 1950-an telah menuntaskan masalah tersebut. Keputusannya adalah para
pakar menetapkan media terbaik bagi pengajaran adalah bahasa ibu sang pelajar.
Tetapi berbagai telaah empiris pada tahun 1970-an, belumlah menampilkan
kesimpulan-kesimpulan yang jelas dan konsisten. Secara keseluruhan, fakta-fakta
menyarankan kemasukakalan generalisasi-generalisasi berikut ini.
Full bilingual program(Program kedwibahasaan
penuh)
Transitional bilingual program
(Program kedwibahasaan transisisonal)
Partial bilingual program(Program kedwibahasaan
sebagian)
Monoliterate bilingualProgram
(Program kedwibahasaanEka-melek-huruf)
Empat TipeProgramBilingual
1) Pengajaran membaca tanpa didahului latihan lisan jelas tidak akan berhasiil;
2) Partisipasi dalam program-program kedwibahasaan jelas tidak akan
mengganggu atau merusak perkembangan bahasa asli
3) Anak-anak dwibahasawan mempunyai kerugian awal dan kecepatan belajar
yang lebih lambat
4) \penataran/ latihan sang guru beserta kebangsaannya barangkali juga
merupakan faktor, tetapi kecurigaan ini belum dapat dibuktikan
5) Agar efektif, maka program itu hendaknya memasukkan latihan lisan pada
permulaannya.
6) Prestasi bergantung pada sejumlah variable yang banyak di antaranya berada
di luar kelas itu sendiri
7) Luasnya efek Hawthorne yang telah memengaruhi hasil-hasil belum atau
tidak diketahui pasti
8) Suatu transfer atau peralihan dari satu bahasa ke bahasa lain tanpa instruksi
telah diobservasi atau diamati (Engler, 1975:309)
2.4 Aneka Saran bagi Implementasi Program Pendidikan Kedwibahasaan
Agaknya, salah satu aspek pendidikan kedwibahasaan yang paling
kontroversial, yang paling sering diperdebatkan adalah kurang efektifnya evaluasi
dan prosedur-prosedur pengumpulan data bahkan sampai beberapa tahun yang
lalu, banyak wilayah sekolah tidak mempunyai gagasan mengenai pelaksanaan
suatu program pendidikan kdwibahasaan. Para tokoh dalam pendidikan
kedwibahasaan mengemukakan bahwa beberapa program pendidikan
kedwibahasaan tidak dapat meraih hasil-hasil yang positif atau memuaskan karena
kegagalan-kegagalan dalam pelaksanaan, dalam implementasi, ketimbang
kesalahan dalam konsep pendidikan kedwibahasaan itu sendiri.
Berikut ini merupakan petunjuk dasar yang sangat berguna bagi sekolah-
sekolah yang mendirikan atau mengadakan program-program pendidikan
kedwibahasaan agar berjalan sukses dan berhasil baik.
a. Mulailah dengan program kecil dan memperluasnya secara bertahap dan
berangsur-angsur setiap tahun.
b. Peliharalah kesinambungan atau kontinuitas sehingga pada akhirnya suatu
program dari taman kanak-kanak sampai tingkat sekolah dasar akan
terbentuk.
c. Adakan atau terbitkanlah laporan berkala kedwibahasaan untuk
memberikan informasi kepada setiap orang mengenai perkembangan-
perkembangan sekolah, kota, Negara bagian, dan nasional dalam
pendidikan kedwibahasaan.
d. Adakan komite penasehat kedwibahasaan orang tua pada tingkat sekolah
lingkungan dan juga pada tingkat wilayah.
e. Libatkanlah para pakar kurikulum yang bertindak sebagai suatu kerabat-
sumber-pendidikan untuk memberikan kritik terhadap program dan
memberikan rekomendasi bagi perbaika dan kemajuannya. (Gradisnik
dalam Tarigan, 1988:74)
Jelaslah merupakan fakta bahwa tidak ada suatu model program-program
pendidikan kedwibahasaan yang dapat diterapkan di setiap sekolah. Ada sekolah-
sekolah di daerah kecil yang jumlah bahasa minoritas yang besar mempunyai
masalah dalam penyediaan kebutuhan bagi bahasa satu, bahasa dua, dan
seterusnya atah bahkan ada sekolah yang seringkali tidak ada yang dapat
dilakukan untuk menyediakan program pengajaran minimum pun dalam bahasa
kedua seperti pengajaran bahasa Inggris. Sekolah dapat memenuhi kebutuhan
pengajaran bahasa inggris atau bahasa lainnya sebagai bahasa kedua dengan cara
menyiapkan guru-guru yang spesialis dalam bahasa kedua atau sebagai guru-guru
dwibahasa dengan jalan berupaya belajar lebih lanjut dan banyak membaca
bahan-bahan dalam bidang tersebut.
2.5 Prinsip-prinsip Perencanaan Program Kedwibahasaan
Dalam perencanaan program kedwibahasaan, sebaiknya ada prinsip-
prinsip dasar yang menjadi pegangan kerja. Prinsip-prinsip yang dimaksudkan itu
sering pula disebut sebagai “prinsip-prinsip pendidikan kedwibahasaan yang
berhasil” atau “principles of successful bilingual education” yaitu program yang
membimbing ke arah pengembangan dan pemeliharaan keterampilan-
keterampilan bilingual, tingkat-tingkat prestasi akademik yang tinggi, dan
pengayaan personal secara social psikologi. Ada tiga prinsip utama pendidikan
kedwibahasaan yang berhasil.
2.5.1 Prinsip “Yang Penting Harus Didahulukan”
First things first atau yang penting harus didahulukan ini menetapkan
peranan inti bahasa pertama sang anak dalam segala aspek perkembangan
pendidikannya. Prinsip ini mengimplikasikan bahwa bahasa pertama (B1) begitu
penting dan berpengaruh pada kesejahteraan emosional dan akademik sang anak,
sehingga perkembangannya harus dilihat sebagai suatu prioritas penting dalam
tahun-tahun pertama prasekolah.
Penerimaan atau diterimanya bahasa keluarga di rumah dan di sekolah
merupakan salah satu langkah pertama dalam penciptaan suatu lingkungan tempat
berlangsungnya proses belajar. Akan tetapi, penerimaan bahasa keluarga itu
barulah merupakan permulaan belaka. Dorongan aktif untuk menggunakan
bahasa-bahasa di sekolah justru sama pentingnya. Hal ini dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Tentu saja, salah satu cara adalah menggunakan bahasa sebagai
media pengajaran.
Prioritas pendidikan hendaknya meyakinkan bahwa sang anak mempunyai
dasar yang kuat dan logis dalam bahasa pertama (B1) mereka. Dengan melakukan
hal ini, maka kita akan memelihara lingkungan sosial-emosional sang anak
sebagai wadah berlangsungnya kondisi-kondisi dasar belajar, dan juga sebagai
wadah perkembangan linguistik dan kognitif dalam B1 dapat menunjang hal yang
sama dalam B2.
2.5.2 Prinsip ‘Dwibahasa melalui Ekabahasa”
Prinsip kedua mengenai pendidikan kedwibahasaan yang berhasil adalah
prinsip ”dwibahasa melalui ekabahasa” atau “principle of bilingual through
monolingualism”. Prinsip ini mengacu pada para staf pengajar menggunakan
bahasa-bahasa pengajaran. Pada satu pihak, kedua bahasa itu dapat dipakai secara
bersamaan, yaitu dengan peralihan yang sering terjadi ke sana ke mari antara
kedua bahasa itu di dalam suatu pelajaran kelas. Pendekatan terhadap pengajaran
kedwibahasaan ini disebut “mixing opproach” atau “pendekatan campuran” (Mc
Laughlin, dalam Tarigan, 1988:78). Pada pihak lain, kedua bahasa tersebut dapat
dipakai secara terpisah, dipasahkan oleh orang, oleh waktu, oleh pelajaran, atau
oleh isi mata pelajaran. Pendekatan terhadap pengajaran kedwibahasaan seperti ini
disebut “separation approach” atau “ pendekatan terpisah”. Prinsip
kedwibahasaan melalui keekabahasaan mengusulkan agar perkembangan
keterampilan berdwibahasa pada pihak para pelajar akan ditingkatkan oleh
penggunaan bahasa-bahasa yang terpisah pada pihak para pengajar atau guru.
Pendekatan terpisah akan menghasilkan atau membuahkan hasil yang
relatif lebih unggul bila dibandingkan pendekatan campuran. Agaknya ada empat
alasan kuat yang menyebabkan hal tersebut. Prinsip dwibahasa melalui ekabahasa
berpendapat bahwa secara pedagogis jauh lebih tepat menggunakan bahasa-
bahasa secara terpisah dalam suatu unit pengajaran daripada memakainya secara
berbarengan atau secara bersamaan.
a. Kalau bahasa-bahasa dipakai secara bersamaan melalui ekabahasa para
siswa cenderung menghilangkan bahasa yang tidak meraka ketahui,
atau paling tidak, yang tidak mereka pahami.
b. Menggunakan kedua bahasa itu dalam konteks-konteks yang terpisah,
yaitu tidak dapat mempercayai atau mengandalkan diri pada bahasa
lainnya kalau situasi kian sukar, berarti bahwa para guru dan para
siswa harus bekerja lebih giat.
c. Tuntutan-tuntutan linguistik yang melelahkan untuk menerjemahkan
dari bahasa ke bahasa, ataupun mencakup topik-topik yang sama
dalam kedua bahasa, tidak akan menjadi beban berat guru.
d. Melalui penggunaan bahasa minoritas yang cukup memadai, maka
daya tarik linguistik budaya yang dominan dapat ditiadakan.
Ini merupakan satu cara untuk menanggulangi pengaruh kuat dari daya
sosiolinguistik eksternal yang mempromosikan penggunaan bahasa mayoritas. Ini
menjamin keseimbangan yang baik dalam penggunaan bahasa secara pedagogis,
psikologis, san sosiolinguistik.
2.5.3 Prinsip “Dwibahasa sebagai Bonus”
Maksud dan tujuan “prinsip dwibahasa sebagai bonus” ini sederhana saja,
yaitu biarkan para siswa mengetahui bagaimana dan mengapa kedwibahasaan
akan bekerja bagi mereka. Dan akibat wajar atau korolari bagi prinsip ini adalah
“percayalah padanya dan dia akan menjadi suatu ramalan yang memenuhi
kebutuhan sendiri”. Dengan perkataan lain, “Banggakanlah keuntungan-
keuntungan kedwibahasaan” kepada para siswa, orang tua merekam para pendidik
dalam sistem itu kepada setiap orang sebagai teman bicara. Memang banyak
sekali keuntungan atau manfaat yang dapat dibanggakan mengenai
kedwibahasaan, mulai dari bonus politik, sampai ekonomi, budaya, linguistik,
kognitif, dan pribadi.
Kedwibahasaan berhubungan juga dengan kelenturan pengertian,
keterampilan berbahasa pertama yang unggul, dan tingkat IQ yang lebih tinggi.
(Cummins & Swain dalam Tarigan, 1988:84). Akan tetapi, hal ini hanya benar
dan berlaku bagi bentuk-bentuk (Cummins & Swain dalam Tarigan, 1988:85)
“aditif” saja dan tidak berlaku bagi bentuk-bentuk (Cummins & Swain dalam
Tarigan, 1988:85) subtraktif. Ini berarti bahwa hal ini sejalan dengan prinsip”first
thing first”. Hanya dengan dukungan yang saksama, perkembangan dan
pemeliharaan B1 yang baik di dalam situasi kelompok linguistik minoritas sajalah
terdapat jaminan atau garansi bagi perkembangan (Cummins & Swain dalam
Tarigan, 1988:85) aditif, yaitu wadah bahasa kedua ditambahkan pada bahasa
pertama. Ini memang berkontras dengan situasi (Cummins & Swain dalam
Tarigan, 1988:85) subtraktif, yakni wadah mempelajari bahasa kedua yang karena
pada statusnya mayoritas, nilai prestasinya, atau apa saja, justru mengakibatkan
kurangnya pemeliharaan, atau hilangnya bahasa pertama. Pada akhirnya kondisi
ini dapat membimbing ke arah monomlingualisme dalam bahasa kedua yang
justru melebihi bilingualisme.
Ada tiga prinsip yang telah disarankan yang mendasari operasi program-
program pendidikan bilingual yang sukses. Prinsip “first things first”
mengemukakan pendapat yang mengatakan bahwa perkembangan atau
pemeliharaan B1 di sekolah berdasarkan dukungan psikologis dan sosiologis
terhadap pembelajaran linguistic dan akademik dalam kedua bahasa. Prinsip
kedua, yaitu “bilingualism throught monolingualism”, menganjurkan penggunaan
terpisah kedua bahasa bagi maksud-maksud pengajaran.dan prinsipketiga, yaitu
“bilingualism as a bonus” berpendapat bahwa adalah tanggung jawab kita
mengetahui kemungkinan keuntungan-keuntungan kedwibahasaan dan kondisi-
kondisi yang akan menunjungnya adalah tanggung jawab kita sebagai pendidik
untuk membantu penciptaan kondisi-kondisi yang akan membantu perkembangan
bentuk-bentuk v yang positif. (Cummins & Swain dalam Tarigan, 1988:85)
2.6 Kesalingtergantungan Linguistik Kedwibahasaan
Kesalingtergantungan atau interdependensi linguistik merupakan prinsip
pokok pendidikan kedwibahasaan. Memang sering diperdebatkan dalam
perlawanan atau oposisi terhadap pendidikan kedwibahasaan bagi para siswa
minoritas bahwa kalau siswa kurang atau tidak sempurna dalam bahasa sekolah
(misalnya, bahasa Inggris) maka mereka membutuhkan pengajaran intensif dalam
bahasa tersebut.
Perkembangan keterampilan-keterampilan akademis berbahasa inggris
secara langsung berkaitan dengan eksposure atau pembukaan bahasa inggris dan
karenanya para siswa minoritas memerlukan maximum exposure atau pembukaan
maksimal terhadap bahasa inggris kalau mereka memang ingin maju secara
akademis.
Pembukaan yang memuaskan bagi bahasa sekolah memang sangat penting
bagi perkembangan keterampilan-keterampilan akademis. Akan tetapi, yang lebih
penting tingkat kemampuan pemahaman para siswa akan masukan akademis yang
tersingkap bagi mereka. Dalam kasus para siswa minoritas maka hal ini secara
langsung berkaitan dengan sifat-sifat atau ciri-ciri konseptual yang telah
berkembang sebagai interaksi dalam B1 mereka. Masalah-masalah atau isu-isu di
sekitar kedua konsepsi alternatif kecakapan bilingual itu dapat diberi istilah
model-model “kecakapan tersendiri (KT) dan kecakapan umum (KU)”.
2.6.1 Model KT dan Model KU Kecakapan Bilingual
Argumen yang menyatakan bahwa “kalau anak-anak minoritas
mempunyai kekurangan dalam berbahasa Inggris, bukan dalam B1”, mereka
mengimplikasikan:
a) bahwa kecakapan dalam B1 terpisah dari kecakapan dalam bahasa Inggris;
b) bahwa ada hubungan langsung antara pembukaan terhadap suatu bahasa
(di rumah atau di sekolah) dan prestasi di dalam bahasa tersebut.
Implikasi kedua dari model KT yang muncul dari yang pertama tadi,
bahwa kalau kecakapan B1 dan kecakapan B2 terpisah, maka isi dan keterampilan
yang dipelajari melalui B1 tidak dapat dialihkan atau ditransfer kepada B2 dan
sebaliknya.
Model KU mengekspresikan masalah pokok bahwa pengalaman dengan
salah satu dari kedua bahasa itu dapat mempromosikan perkembangan kecakapan
yang mendasari kedua kecakapan itu, memberikan motivasi dan pembukaan yang
adekuat atau yang memadai kepada keduanya baik di sekolah maupun dalam
lingkungannnya yang lebih luas. Pada umumnya ciri-ciri permukaan B1 dan B2
adalah semua yang telah menjadi otomatis secara relatif atau kurang tuntutan
secara kognitif, sedangkan kecakapan yang mendasarinya adalah yang terlihat
dalam tuntutan tugas-tugas komunikatif secara kognitif. Memang ada tiga sumber
fakta utama bagi model KU, yaitu:
a) hasil-hasil program kedwibahasaan;
b) telaah-telaah yang berkaitan dengan usia pada saat kedatangan dan
pemerolehan bahasa kedua (PB2) para siswa imigran;
c) telaah-telaah yang berkaitan dengan penggunaan bahasa dwibahasawan di
rumah dengan prestasi akademik.
2.6.2 Evaluasi Program Kedwibahasaan
Tinjauan mutahir terhadap evaluasi-evaluasi pendidikan kedwibahasaan
internasional (Cummins, 1983) melaporkan bahwa sebenarnya semua hasil
evaluasi dapat diinterpretasi di dalam konteks model KU. Hasil-hasil program
immersi pun turut menunjang hal ini. Berikut ini dikemukan bebera contoh.
Pertama, Program Bahasa Inggris-Ukraina di Edmonton, Alberta. Pada bulan
September tahun 1974, Edmonton Public School Boar (EPSB) memperkenalkan
program kedwibahasaan Inggris-Ukraina pad ataman kanak-kanak dan kelas 1
SD. Evaluasi yang dilakukan oleh EPSB menguji masalah apakah program itu
sama memadainya bagi para siswa dari tingkat-tingkat kemampuan yang berbeda.
Evaluasi EPSB juga melaporkan bahwa keterampilan berbahasa Ukraina para
siswa berkembang sesuai atau sejalan dan harapan-harapan program dan juga
mereka mengembangkan apresiasi terhadap dan pengetahuan mengenai
kebudayaan Ukraina. Sebagai tambahan, mayoritas terbesar orang tua dan
personel program sangat senang dengan program itu, dan menginginkan agar
program itu diteruskan sampai tingkat-tingkat kelas yang lebih tinggi.
Selanjutnya, disinggung proyek Mother Taunge dan EnglishTeaching
(MOTET) Bradford. Program ini terdiri atas program pendidikan kedwibahasaan
satu tahun bagi para pembicara bahasa Punjabi yang berusia lima tahun, yang
hanya pada permulaan proyek hanya sedikit atau tidak tahu sama sekali bahasa
Inggris. Evaluasi ini benar-benar terancang baik dalam hal bahwa para siswa
secara random dirancang serta diberikan perlakuan eksperimental dan control dan
berbagai ukuran kesalingtergantungan B1 dan B2 pun dipergunakan. Hal itu jelas
tidak memperlihatkan konsekuensi-konsekuensi yang merusak atau mengganggu
bagi perkembangan bahasa inggris sebagai akibat pemakaian B1 sebagai media
pembelajaran permulaan.
Ketiga, Program “Immersi” Bahasa Inggris-Spanol San Diego. Evaluasi
proyek tersebut memperlihatkan bahwa walaupun para siswa agak ketinggalan
sedikit di belakang norma-norma kelas atau tingkat dalam keterampilan bahasa
Spanyol dan bahasa Inggris sampai dekat sekolah dasar, tetapi di kelas enam,
mereka berpenampilan di atas norma dalam kedua bahasa tersebut. Walaupun
jelas hasil-hasil proyek demontrasi ini harus diperlakukan dengan berhati-hati,
kepercayaan dalam/terhadap keterumumannya yang potensial tetap meningkat
dengan kenyataan bahwa keseluruhannya itu dapat diramalkan dari prinsip-prinsip
kesalingtergantungan (model KU) dan konsisten data dari program-program yang
sama yang melibatkan prankofon-prankofon minoritas di dalam konteks Kanada
(Carey & Cummins 1983; Hebert [et al] 1976). Hasil-hasil tersebut secara kuat
menunjang kelayakan program-program kedwibahasaan yang dirancang bagun
untuk mempromoskan kedwibahasaan aditif diantara anak-anak minoritas yang
secara akademis benar-benar mengandung risiko.
Demikian sebagai rangkuman, hasil-hasil penelitian mengenai program-
program kedwibahasaan memperlihatkan bahwa B1 anak-anak minoritas dapat
dipromosikan di sekolah tanpa merugikan bagi perkembangan kecakapan pada
bahasa mayoritas. Dengan perkaaan lain, tantangan edukasional terhadap
pendidikan kedwibahasaan tidaklah valid, tidak sahih; untuk menjelaskan
penemuan-penemuan itu maka kita perlu mempunya dimensi kecakapan umum
yang mendasari perkembangan keterampilan-keterampilan akademik dalam kedua
bahasa itu. Data-data itu memperlihatkan bahwa program-program kedwibahasaan
yang dilaksanakan dengan baik pasti mempunyai keberhasilan yang diharapkan
dlam pengembagan keterampilan-keterampilan akdemik bahasa inggris walaupun
ternyata bahwa para siswa menerima lebih sedikit pembukaan terhadap bahasa
inggris daripada dalam program-program bahasa inggris monolingual. Model KU
mendasari program-program immerse bagi para pelajar bahasa mayoritas seperti
juga halnya program-program kedwibahasaan bagi para pelajar bahasa minoritas
(Cummins & Swain: 82-7).
2.6.3 Usia Kedatangan dan PB2
Berdasarkan prinsip kesalingketergantungan dapat diramalkan bahwa para
pelajar yang lebih tua usianya adalah lebih matang atau lebih dewasa secara
kognitif serta yang kecakapan B1-nya lebih baik akan memperoleh secara kognitif
aspek-aspek kecakapan B2 yang dituntut lebih cepat daripada para pelajar yang
lebih muda usia. Ada dua telaah yang akan dibicarakan di sini yang
menggambarkan keuntungan para pelajar B2 yang lebih tua dalam memperoleh
secara kognitif aspek-aspek B2 yang diperlukan.
Yang pertama adalah The Toronto Board Reanalisis. Dalam 89 komperasi
(dari jumlah 90) ternyata bahwa para pelajar yang lebih tua berpenampilan lebih
baik. Mungkin kelihatan mengejutkan bahwa para pelajar yang lebih tua membuat
perkembangan yang lebih cepat dalam pemeroleh B2 dalam pandangan dongen
popular bahwa terdapat usia prapuber bagi pemerolehan bahasa kedua (PB2).
Akan tetapi, alasan pokok bagi keuntungan itu sangat jelas dan nyata apabila data
tersebut ditinjau dari dalam konteks model KU.
Yang kedua adalah Pemerolehan Bahasa Inggris oleh para Pelajar
Jepang di Toronto. Telaah ini dirancang untuk meneliti luas atau tingkat
keterampilan-keterampilan akademik B1 dan B2 saling bergantung atau saling
terkait. Hasil-hasil yang dilakukan oleh analisis yang dilakukan oleh para pakar
menyarankan adanya pembedaan antara aspek-aspek kecakapan B2 yang
berdasarkan masukan “inpun-based” dan yang berdasarkan atribut “attribute-
based”. Lebih khusus lagi, perkembangan keterampilan gramatikal B2 terlihat
lebih banyak berhubungan dengan tingkat pembukaan dan penggunaan B2 di
dalam lingkungan sekitar daripada atribut-atributkognitif atau personal pribadi
sedangkan kebalikannya justru benar bagi gaya interaksional dan kecakapan
kognitif/akademik B2. Hipotesis mengenai hubungan-hubungan lintas bahasa
yang relatif kuat bagi variabel-variabel ini karena mereka memantulkan atribut-
atribut individual yang relatif stabil (misalnya personalitas dan kognisi).
2.6.4 Perkembangan B1 di Rumah
Beberapa telaah memperlihatkan bahwa penggunaan bahasa minoritas di
rumah tidaklah, dengan sendirinya, merupakan suatu rintangan bagi
perkembangan akedemik anak-anak (Carey & Cummins 1983 dalam Tarigan,
1988). Ada fakta-fakta yang mengungkapkan bahwa di dalam beberapa situasi,
penggunaan eksklusif bahasa mayoritas di rumah dapat dihubungkan dengan
perkembangan akademik yang kerdil dalam bahasa tersebut (Bhatnagar 1980;
Chesarek, 1981).
B1
B2
Personalitas
Personalitas
B1
B2
Kognisi
Kecakapan Kognisi/Akademik
Model Kesalingtergantungan Kecakapan Berbahasa Berdasarkan Atribut (Cummins & Swain 1986: 92
Bhatnagar juga melaporkan bahwa para pelajar imigran yang
menggunakan B1 secara eksklusif dengan orang tua dan saudara-saudara juga
secara signifikan berpenampilan yang lebih jelek daripada para siswa yang
mempergunakan B1 dan B2. Akan tetapi, seakan-akan ada kemungkinan bahwa
temuan ini dapat dikaitkan dengan kenyataan bahwa hanya para yang telah
berimigrasi yang akhir-akhir ini secara relatif akan menggunakan B1 secara
eksklusif.
Agaknya dapatlah disimpulkan bahwa penilaian dan data penelitian yang
telah dibicarakan di atas tadi jelas menyangkal atau tidak menerima hipotesis
“pembukaan maksimum” atau “maximum exposure” yang berkaitan dengan aneka
penyebab tidak-berprestasinya atau kurang-berprestasinya siswa minoritas. Ini
tidak berarti bahwa pembukaan terhadap suatu bahasa tidak penting; melainkan
hal itu mengimplikasikan bahwa keterampilan kognitif/akademik para pelajar B1
minoritas sama saja pentingnya dengan pembukaan B2 bagi perkembangan
keterampilan kognitif/akademik dalam B2. Bagi aspek-aspek kecakapan B2
lainnya (misalnya kompetensi gramatikal); data-data bahasa jepang menyarankan
bahwa pembukaan dan pemakaian mungkin lebih penting daripada atribut-atribut
kognitif/akademik sang pelajar. Akan tetapi, perdebatan kebijaksanaan telah
berpusat atau dipusatkan pada perkembangan akademik para pelajar minoritas dan
akan terlihat bahwa intuisi-intuisi sejumlah pengambilan-kebijakan dikeluarkan
dari realitas ysng diindikasikan atau yang dinyatakan oleh riset. Sebenarnya data-
data itu menyajikan/mengemukakan suatu dasar yang kokoh bagi ramalan-
ramalan kebijakan dan perencanaan program apabila semua itu dipandang di
dalam kerangka-kerja model KU bagi kecakapan berdwibahasa (Cummins &
Swain 1986 : 94).
Ada pula pakar yang menjelaskan bahwa penafsiran atau interpretasi yang
teliti dan saksama terhadap model KT akan membiarkan sang dwibahasawan
dalam suatu keadaan sulit yang pelik atau aneh dalam hal bahwa “dia akan
menghadapi kesulitan besar dalam “berkomunikasi” dengan dirinya sendiri”.
Kapan saja dan bilamana pun dia mengalihkan bahasa dia akan menghadapi
kesulitan dalam menjelaskan dalam B2 apa-apa yang telah didengarnya atau
dikatakanya dalam B1 (Macnamara 1970 : 25). Maka tidaklah mengherankan
kalau model KT itu tidak diusulkan secara serius oleh seseorang peneliti.
Meskipun demikian, agaknya perlu diteliti fakta-fakta riset dalam kaitannya
dengan model ini, selagi banyak pendidik dan pengambilan-kebijakan yang
mendukung posisi-posisi yang ada hubungannya dengan pendidikan
kedwibahasaan yang secara langsung diturunkan dari model yang di implisit ini.
2.7 Manfaat Pendidikan Kedwibahasaan
Ada tiga aspek manfaat atau keuntungan yang dapat dipetik dari
pendidikan kedwibahasaan, yaitu
a. manfaat pedagogis
b. manfaat historis
c. manfaat teoretis
Manfaat pedagogis. Adalah wajar dan perlu bagi guru bahasa menyadari
benar-benar bahwa dari kesalahan-kesalahan anak didiknya pun dia dapat
memberi fakta-fakta mengenai pembelajaran mereka. Kesalahan-kesalahan dalam
belajar bahasa B mungkin saja ada kaitannya dengan ciri-ciri bahasa A, tetapi
mungkin juga ada kaitannya formasi atau pembentukan kaidah-kaidah baru yang
perlu dikembangkan lebih lanjut oleh sang guru. Salah satu dari masalah-masalah
utama kita adalah bahwa kita biasanya mengajarkan yang “baku” atau “standar”,
jika bahasa-bahasa yang secara abritrer telah pasti, sehingga suatu premi menuntut
pembersihan terhadap sistem-sistem (tingkat) menengah (atau intermediate
system). Namun sistem-sistem ini benar-benar suatu jembatan penghubung yang
harus dilalui oleh kebanyakan pelajar untuk mencapai atau sampai kepada bahasa
lain, dan kadang-kadang mereka berhasil dengan baik tanpa melalui jembatan itu
secara actual. Barang kali kita perlu bekerja begitu keras untuk membersihkan
atau melenyapkan semua jejak pegangan palsu mereka.
Manfaat historis. Dalam lingkungan diakronis, telaah mengenai sistem-
sistem menengah dan variabel tersebut telah lama menjadi pusat perhatian. Yang
sering disebut pengararuh lapisan (substratum influence) dapat dikendali sebagai
hasil kedwibahasaan orang dewasa; seluruh populasi diarahkan pada pembelajaran
bahasa para penakluknya. Kebalikannya, pengaruh lapisan ungggul (super stratum
influence), seperti kasus bahasa Prancis terhadap bahasa Inngris, berkaitan dari
perlawanan populasiyang dominan terhadap peralihan bahasa, sementara
menerima unsur-unsur yang membuat suatu dialek dwibahasa baru dari bahasa
lama.
Manfaat teoretis. Kenyataan akan adanya sistem-sistem menengah
hendaknya menjadi perhatian bagi semua pakar teori bahasa. Sistem-sistem
bilingual yang kekurangan alternasi atau perselangselingan antara /s/ atau /z/,
sehingga alomorf-alomorf morfem /s/ tidak dibedakan. Bahasa-bahasa alamiah
secara realistis dapat diperhatikan hanya kalau kita mengakui bahwa tatabahasa
atau leksikonnyatidak kakau tetapi fleksibel, tidak pasti tetapi berubah-ubah.
Dari pembicaraan tersebut, keberhasilan pendidikan kedwibahasaan
ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor yang paling penting adalah pelajar
dwibahasa yang baik. Adapun ciri-ciri pelajar yang baik itu terlihat pada gambar
di bawah ini.
Sebagai penambahan pengetahuan dan demi perluasan cakrawala
pandangan, ada stategi-strategi atau siasat-siasat yang dipergunakan oleh para
pelajar berbeda dengan satu sama lainnya, bergantung faktor-faktor berikut.
Ciri-ciri Pelajar Bahasa
Yang Baik
Bertindak sebagai penaksir yang aktif dan aktual
Ingin berkomunikasi dan belajar dari
komunikasi
selalu tidak malu-malu
selalu ingin berlatih
Memperhatikan bentuk bahasa
memerhatikan makna kata
memantau ucapan sendiri dan ucapan orang lain
Gambar 1. Ciri-ciri pelajar bahasa yang baik
Gaya belajar pribadi itu pun dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti
yang yang terlihat di bawah ini.
Pengaruh siasat belajar bahasa
Jenis tugas yang diberikan
Tahap belajar
Usia pelajar
konteks
Perbedaan kultural dlm gaya belajar kognitif
Gaya pribadi
Pengaruh gaya
belajar pribadi
Gaya kognitif umum
Ciri-ciri personalitas (perfeksionalisme, percaya diri, ekstroversi
Pengalaman sekolah masa lalu
Prestasi edukasional
Pengalaman dalam belajar bahasa asing lainnya
Gambar 3. Pengaruh gaya belajar pribadi
Gambar 2. Pengaruh siasat pelajar bahasa
Memang, banyak sekali ragam pelajar bahasa kedua, dan ada tiga tipe
yang umum, yaitu:
a. pelajar anak-anak (the child learner)
b. pelajar sekolah (the school learner)
c. pelajar dewasa (the adult learner)
(Hangen dalam Tarigan, 1988: 106)