RABU, 10 NOVEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Atapnya Satu ... · Pemerintah Wali Kota Jakarta ... an...

1
14 | Ekonomi Nasional RABU, 10 NOVEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Atapnya Satu Pintunya Banyak S EKTOR properti na- sional mengalami pertumbuhan pesat da lam satu de kade ter akhir. Namun, per kem- bangannya belum optimal karena terhadang berbagai masalah. Survei Doing Business 2011 International Finance Corpora- tion (IFC) menunjukkan penu- runan peringkat aspek pendaf- taran properti dalam kemu- dahan berbisnis di Indonesia. Banyaknya prosedur dan ting- ginya biaya menjadi sorotan dalam survei tersebut. Ketua Umum Dewan Pengu- rus Pusat Persatuan Perusa- haan Realestat Indonesia (DPP REI) Teguh Satria mengemuka- kan kalangan pengembang real estat menghadapi enam permasalahan. Masalah pertama adalah ekonomi biaya tinggi. Proses izin yang panjang dan berbelit berujung pada besarnya biaya yang harus ditanggung kon- sumen pada akhirnya. “Hampir seluruh kota kabu- paten diberlakukan perizinan satu atap. Atapnya satu, pintu- nya banyak,” kata Teguh dalam Musyawarah Nasional XIII REI di Jakarta, kemarin. Teguh mengakui saat ini perizinan bisa diselesaikan 14 hari. Namun, untuk meleng- kapi persyaratannya memerlu- kan waktu yang panjang. “Ada pengembang yang harus meng- urus 24 persyaratan untuk di- lampirkan, butuh waktu 1 ta- hun,” ujarnya. Kedua, masalah kepastian hukum, khususnya hak kepemi- likan tanah. Hingga kini belum ada jaminan tanah yang dibeli dan memiliki sertifikat akan bebas dari gugatan pihak tiga. Contohnya adalah Kantor Pemerintah Wali Kota Jakarta Barat yang digugat dan kalah. Demikian pula dengan lapang- an Gasibu di Bandung. Ketiga adalah masalah pem- biayaan. Untuk mengatasi ke- tidaktepatsasaran sekaligus menekan suku bunga kredit, perlu dibentuk tabungan wajib perumahan. Bagi karyawan, iuran itu bisa dibayarkan pem- beri kerja. Untuk itu, lanjut Teguh, se- baiknya ketentuan tersebut dimasukkan ke revisi Undang- undang (UU) tentang Perumah- an dan Permukiman. “Jika terwujud, bisa dihimpun tidak kurang bisa Rp17,5 triliun per tahun.” Masalah keempat adalah program 1.000 menara rumah susun sederhana milik (rusu- nami) yang dicanangkan pada 2007. Sebanyak 200 pengem- bang REI yang membangun rusunami di sekitar Jakarta nasibnya tidak jelas karena in- sentif tidak pernah ada. Prihatin kemacetan Masalah kelima, REI prihatin atas kemacetan di kota-kota besar, terutama Jakarta. Sayang- nya, belum ada satu pun kota Indonesia memiliki tata ruang bawah tanah dan udara. “Kalau diwujudkan, ini akan mengurangi macet. Terowong- an bawah tanah bisa kurangi kemacetan,” ujarnya. Masalah terakhir, kata dia, adalah masalah kepemilikan properti untuk orang asing. REI memperkirakan dapat terjadi penjualan 10 ribu unit per ta- hun dengan potensi pendapat- an US$2,5 miliar. Di samping itu, terdapat potensi pajak pen- jualan US$1 miliar atau Rp9 triliun per tahun. Dalam sambutannya, Men- teri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa langsung merespons keluhan yang disampaikan REI tersebut. Yang menjadi perha- tian pemerintah adalah mereka yang berpenghasilan mene- ngah ke bawah. Revisi UU Perumahan dan Permukiman yang dibahas se- jak Juli lalu diharapkan selesai akhir tahun ini. (CS/E-2) [email protected] Proses izin yang panjang dan berbelit di sektor properti berujung pada besarnya biaya yang harus ditanggung konsumen. Dwi Tupani BURUH TEMBAKAU: Buruh memindahkan tembakau kering setelah dijemur di Kelurahan Antirogo, Jember, Jawa Timur, kemarin. Setiap buruh jemur tembakau mendapat upah harian Rp20.000 dengan jam kerja mulai pukul 07.00 sampai 15.00 WIB. PEMERINTAH memperkirakan pendapatan devisa dari komo- ditas kelapa sawit bisa menca- pai US$15 miliar. Angka itu meningkat 22% jika dibanding- kan dengan pendapatan devisa sawit di 2008 ketika harga sawit mencapai puncaknya. “Angka ini meningkat dari pendapatan devisa (dari ko- moditas ke lapa sawit) 2008 yang mencapai US$12,3 miliar,” ungkap Direktur Budi Daya Tanaman Tahunan Kementerian Pertanian Mukti Sardjono di Jakarta, kemarin. Dengan begitu, dia menegas- kan pengembangan kelapa sawit menjadi sangat penting bagi Indonesia. Bukan saja di sisi devisa, melainkan juga pe- nyerapan lapangan kerja. Saat ini perkebunan sawit telah me- nyerap tenaga kerja lebih dari 3,5 juta petani. “Jumlah itu akan lebih besar lagi kalau dimasuk- kan sektor hilir dan jasanya,” katanya. Mukti mengatakan luas areal perkebunan kelapa sawit Indo- nesia pada 1979 hanya 260 ribu hektare (ha) yang seluruhnya merupakan perkebunan besar. Namun, pada 2009 luas areal sawit meningkat menjadi 7,5 juta ha, dengan 3,1 juta ha (41%) berupa perkebunan rakyat. Hal itu diakui Presiden Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Jan Kees Vis. Pihaknya berencana merangkul para petani kecil kelapa sawit dengan memberikan sertikat. Sertikat itu akan meningkat- kan sumbangan para petani kecil bagi produksi minyak sawit berkelanjutan. “RSPO harus dan akan terus menjangkau petani kecil dalam jumlah yang jauh lebih besar sehingga semakin banyak pa- sokan minyak sawit yang ber- kelanjutan hasil sertifikasi,” ujar Jan Kees. Berdasarkan data RSPO, jum- lah petani kecil di seluruh dunia sekitar 3 juta. Satu juta di antaranya berada di Indonesia. Umumnya, petani kecil meng- garap lahan yang sangat terba- tas dengan produksi jauh di bawah pengusaha besar. “Pelatihan akan memung- kinkan petani kecil meningkat- kan hasil panen, menambah penghasilan dan pasokan mi- nyak sawit tanpa harus me- ngonversi hutan menjadi per- kebunan,” tuturnya. Selain RSPO, Indonesia saat ini tengah menyosialisasikan Indonesian Sustainable Palm Oil. Itu merupakan panduan pengembangan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia yang didasarkan kepada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. (*/Ant/E-6) Komoditas Sawit Sumbang Devisa US$15 M Standardisasi Pacu Daya Saing INDONESIA harus segera me- nyiapkan standardisasi di se- gala sektor secara cerdas dan efektif untuk menghadapi glo- balisasi. Sebab di era globalisasi ba- nyak aturan main, baik di sek- tor ekonomi, politik, keamanan maupun lingkungan yang di- negosiasikan pada tingkat in- ternasional, dan bukan menjadi kewenangan satu negara. Wakil Presiden (Wapres) Boediono menyatakan hal tersebut pada acara Pencanang- an Bulan Mutu Nasional yang diadakan Badan Standardisasi Nasional (BSN) di Istana Wa- pres Jakarta, kemarin. “Aturan global terjadi di berbagai forum dan kalau kita tidak cerdas akan ketinggalan. Selain itu, aturannya akan men- jadi aturan yang ditentukan negara lain bukan atas dasar kepentingan kita,” kata dia. Khusus untuk bidang ekono- mi, Boediono mengatakan pentingnya standardisasi mutu dalam upaya peningkatan daya saing. “Dalam jangka panjang, bu- kan kompetisi potongan harga yang menang, melainkan kom- petisi mengenai mutu dan ke- andalan suatu produk yang dihasilkan suatu negara,” ung- kapnya. Karena itu, kata Boediono, standardisasi menjadi benar- benar sangat penting sehingga harus dilaksanakan secara se- rius jika negara ini tidak ingin terus tertinggal. “Dunia sudah begitu makin mengecil dari segi jarak, infor- masi, dan persaingan sehingga tidak bisa tidak kita harus me- nyiapkan diri,” jelasnya. Pada kesempatan sama, Kepala BSN Bambang Setiadi mengatakan pencanangan Bu- lan Mutu Nasional dilakukan sebagai salah satu strategi menghadapi perjanjian ekono- mi internasional yang melibat- kan Indonesia. “Gerakan ini pada intinya mencoba supaya standar-stan- dar oleh BSN dapat digunakan sebagai sarana untuk stan- dardisasi mutu produk kita di tingkat internasional,” jelas- nya. Selain itu, Bambang menya- takan BSN akan menggunakan SNI sebagai cara untuk mela- wan serbuan barang-barang dari luar. Ia mencontohkan, Peraturan Presiden (Perpres) No 54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa yang dalam salah satu pasalnya juga telah mengatur barang-barang yang menggu- nakan APBN diharuskan ber- standar SNI. “Kalau itu bisa dipakai, se- mua barang-barang terkait dengan APBN harus berstan- dar SNI, kita bisa dengan ele- gan (melawan produk luar). Tidak perlu buat larangan stan- dar yang berlawanan dengan negara lain, tapi dengan me- ningkatkan penggunaan per- pres itu,” ujarnya. (Tup/E-3) Dalam jangka panjang, bukan kompetisi potongan harga yang menang, melainkan kompetisi mengenai mutu dan keandalan suatu produk.” Boediono Wakil Presiden RI MI/ROMMY P ANTARA/SENO S

Transcript of RABU, 10 NOVEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Atapnya Satu ... · Pemerintah Wali Kota Jakarta ... an...

Page 1: RABU, 10 NOVEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Atapnya Satu ... · Pemerintah Wali Kota Jakarta ... an Gasibu di Bandung. Ketiga adalah masalah pem-biayaan. Untuk mengatasi ke-tidaktepatsasaran

14 | Ekonomi Nasional RABU, 10 NOVEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA

Atapnya SatuPintunya Banyak

SEKTOR properti na-s i o n a l m e n g a l a m i per tumbuhan pesat da lam satu de kade

ter akhir. Namun, per kem-bangannya belum optimal ka rena terha dang berbagai masalah.

Survei Doing Business 2011 International Finance Corpora-tion (IFC) menunjukkan penu-runan peringkat aspek pendaf-taran properti dalam ke mu-dahan berbisnis di Indonesia. Banyaknya prosedur dan ting-ginya biaya menjadi sorot an dalam survei tersebut.

Ketua Umum Dewan Pengu-rus Pusat Persatuan Perusa-haan Realestat Indonesia (DPP REI) Teguh Satria mengemuka-kan kalangan pengembang real estat menghadapi enam per masalahan.

Masalah pertama adalah ekonomi biaya tinggi. Proses izin yang panjang dan berbelit berujung pada besarnya biaya yang harus ditanggung kon-sumen pada akhirnya.

“Hampir seluruh kota kabu-paten diberlakukan perizinan satu atap. Atapnya satu, pintu-nya banyak,” kata Teguh dalam Musyawarah Nasional XIII REI di Jakarta, kemarin.

Teguh mengakui saat ini

perizinan bisa diselesaikan 14 hari. Namun, untuk meleng-kapi persyaratannya memerlu-kan waktu yang panjang. “Ada pengembang yang harus meng-urus 24 persyaratan untuk di-lampirkan, butuh waktu 1 ta-hun,” ujarnya.

Kedua, masalah kepastian

hukum, khususnya hak kepemi-likan tanah. Hingga kini belum ada jaminan tanah yang dibeli dan memiliki sertifikat akan bebas dari gugatan pihak tiga.

Contohnya adalah Kantor Pemerintah Wali Kota Jakarta Barat yang digugat dan kalah. Demikian pula dengan lapang-an Gasibu di Bandung.

Ketiga adalah masalah pem-

biayaan. Untuk mengatasi ke-tidaktepatsasaran sekaligus menekan suku bunga kredit, perlu dibentuk tabungan wajib perumahan. Bagi karyawan, iuran itu bisa dibayarkan pem-beri kerja.

Untuk itu, lanjut Teguh, se-baiknya ketentuan tersebut

dimasukkan ke revisi Undang-undang (UU) tentang Perumah-an dan Permukiman. “Jika ter wujud, bisa dihimpun tidak kurang bisa Rp17,5 triliun per tahun.”

Masalah keempat adalah program 1.000 menara rumah susun sederhana milik (rusu-nami) yang dicanangkan pada 2007. Sebanyak 200 pengem-

bang REI yang membangun rusunami di sekitar Jakarta nasibnya tidak jelas karena in-sentif tidak pernah ada.

Prihatin kemacetanMasalah kelima, REI prihatin

atas kemacetan di kota-kota besar, terutama Jakarta. Sayang-nya, belum ada satu pun kota Indonesia memiliki tata ruang bawah tanah dan udara.

“Kalau diwujudkan, ini akan mengurangi macet. Terowong-an ba wah tanah bisa kurangi kema cetan,” ujarnya.

Masalah terakhir, kata dia, adalah masalah kepemilikan properti untuk orang asing. REI memperkirakan dapat terjadi penjualan 10 ribu unit per ta-hun dengan potensi pendapat-an US$2,5 miliar. Di samping itu, terdapat potensi pajak pen-jualan US$1 miliar atau Rp9 triliun per tahun.

Dalam sambutannya, Men-teri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa langsung merespons keluhan yang disampaikan REI tersebut. Yang menjadi perha-tian pemerintah adalah mereka yang berpenghasilan mene-ngah ke bawah.

Revisi UU Perumahan dan Permukiman yang dibahas se-jak Juli lalu diharapkan selesai akhir tahun ini. (CS/E-2)

[email protected]

Proses izin yang panjang dan berbelit di sektor properti berujung pada besarnya biaya yang harus ditanggung konsumen.

Dwi Tupani

BURUH TEMBAKAU: Buruh memindahkan tembakau kering setelah dijemur di Kelurahan Antirogo, Jember, Jawa Timur, kemarin. Setiap buruh jemur tembakau mendapat upah harian Rp20.000 dengan jam kerja mulai pukul 07.00 sampai 15.00 WIB.

PEMERINTAH memperkirakan pendapatan devisa dari komo-ditas kelapa sawit bisa menca-pai US$15 miliar. Angka itu meningkat 22% jika dibanding-kan dengan pendapatan devisa sawit di 2008 ketika harga sawit mencapai puncaknya.

“Angka ini meningkat dari pen da pat an devisa (dari ko-moditas ke lapa sawit) 2008 yang mencapai US$12,3 miliar,” ungkap Di rektur Budi Daya Tanaman Tahunan Kementerian Pertanian Mukti Sardjono di Jakarta, kemarin.

Dengan begitu, dia menegas-kan pengembangan kelapa sawit menjadi sangat penting bagi Indonesia. Bukan saja di sisi devisa, melainkan ju ga pe-nyerapan lapangan ker ja. Saat ini perkebunan sawit te lah me-nyerap tenaga kerja lebih dari 3,5 juta petani. “Jumlah itu akan lebih besar lagi kalau dimasuk-

kan sektor hilir dan jasanya,” katanya.

Mukti mengatakan luas areal perkebunan kelapa sawit Indo-nesia pada 1979 hanya 260 ribu hektare (ha) yang seluruhnya merupakan perkebunan besar. Namun, pada 2009 luas areal sawit meningkat menjadi 7,5 juta ha, dengan 3,1 juta ha (41%) berupa perkebunan rakyat.

Hal itu diakui Presiden Round table on Sustainable Palm Oil (RSPO) Jan Kees Vis. Pihaknya berencana merangkul para petani kecil kelapa sawit dengan memberikan sertifi kat. Sertifi kat itu akan meningkat-kan sumbangan para petani kecil bagi produksi minyak sawit berke lanjutan.

“RSPO harus dan akan terus menjangkau petani kecil dalam jumlah yang jauh lebih besar sehingga semakin banyak pa-sokan minyak sawit yang ber-

kelanjutan hasil sertifikasi,” ujar Jan Kees.

Berdasarkan data RSPO, jum-lah petani kecil di seluruh du nia sekitar 3 juta. Satu juta di antaranya berada di Indonesia. Umumnya, petani kecil meng-garap lahan yang sangat terba-tas dengan produksi jauh di bawah pengusaha besar.

“Pelatihan akan memung-kinkan petani kecil meningkat-kan hasil panen, menambah penghasilan dan pasokan mi-nyak sawit tanpa harus me-ngon versi hutan menjadi per-kebun an,” tuturnya.

Selain RSPO, Indonesia saat ini tengah menyosialisasikan Indonesian Sustainable Palm Oil. Itu merupakan panduan pengembangan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia yang didasarkan kepada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. (*/Ant/E-6)

Komoditas SawitSumbang Devisa US$15 M

Standardisasi Pacu Daya SaingINDONESIA harus segera me-nyiapkan standardisasi di se-gala sektor secara cerdas dan efektif untuk menghadapi glo-balisasi.

Sebab di era globalisasi ba-nyak aturan main, baik di sek-tor ekonomi, politik, keamanan maupun lingkungan yang di-negosiasikan pada tingkat in-ternasional, dan bukan menjadi kewenangan satu negara.

Wakil Presiden (Wapres) Boediono menyatakan hal tersebut pada acara Pencanang-an Bulan Mutu Nasional yang diadakan Badan Standardisasi Nasional (BSN) di Istana Wa-pres Jakarta, kemarin.

“Aturan global terjadi di berbagai forum dan kalau kita tidak cerdas akan ketinggalan.Selain itu, aturannya akan men-jadi aturan yang ditentukan negara lain bukan atas dasar kepentingan kita,” kata dia.

Khusus untuk bidang ekono-mi, Boediono mengatakan pentingnya standardisasi mutu

dalam upaya peningkatan daya saing.

“Dalam jangka panjang, bu-kan kompetisi potongan harga yang menang, melainkan kom-petisi mengenai mutu dan ke-andalan suatu produk yang dihasilkan suatu negara,” ung-kapnya.

Karena itu, kata Boediono, standardisasi menjadi benar-benar sangat penting sehingga harus dilaksanakan secara se-rius jika negara ini tidak ingin terus tertinggal.

“Dunia sudah begitu makin mengecil dari segi jarak, infor-masi, dan persaingan sehingga tidak bisa tidak kita harus me-nyiapkan diri,” jelasnya.

Pada kesempatan sama, Kepala BSN Bambang Setiadi mengatakan pencanangan Bu-lan Mutu Nasional dilakukan sebagai salah satu strategi menghadapi perjanjian ekono-mi internasional yang melibat-kan Indonesia.

“Gerakan ini pada intinya

mencoba supaya standar-stan-dar oleh BSN dapat digunakan sebagai sarana untuk stan-dardisasi mutu produk kita di tingkat internasional,” jelas-nya.

Selain itu, Bambang menya-takan BSN akan menggunakan SNI sebagai cara untuk mela-wan serbuan barang-barang dari luar.

Ia mencontohkan, Peraturan Presiden (Perpres) No 54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa yang dalam salah satu pasalnya juga telah mengatur barang-barang yang menggu-nakan APBN diharuskan ber-standar SNI.

“Kalau itu bisa dipakai, se-mua barang-barang terkait dengan APBN harus berstan-dar SNI, kita bisa dengan ele-gan (melawan produk luar). Tidak perlu buat larangan stan-dar yang berlawanan dengan negara lain, tapi dengan me-ningkatkan penggunaan per-pres itu,” ujarnya. (Tup/E-3)

Dalam jangka panjang, bukan kompetisi potongan harga yang menang, melainkan kompetisi mengenai mutu dan keandalan suatu produk.”

BoedionoWakil Presiden RI

MI/ROMMY P

ANTARA/SENO S