RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga
Transcript of RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga
KAJIAN DAMPAK PENAMBANGAN BAUKSIT DI DAERAH KIJANG DAN SEKITAR PULAU MAMOT KORELASINYA DENGAN KEMUNGKINAN PERUBAHAN EKOSISTEM PERAIRAN PESISIR TIMUR PULAU BINTAN DAN PERAIRAN PESISIR PULAU MAMOT (KEPULAUAN LINGGA)
LAPORAN PENELITIAN
Eko Tri Sumarnadi Agustinus, Eko Soebowo
Ade Suriadharma, Ade Tatang dan Dady Sukmayadi
JAKARTA, 2010
Coral Reef Rehabilition and Management Program Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia COREMAP II - LIPI
i
KAJIAN DAMPAK PENAMBANGAN BAUKSIT DI DAERAH KIJANG
DAN SEKITAR PULAU MAMOT KORELASINYA DENGAN KEMUNGKINAN PERUBAHAN EKOSISTEM PERAIRAN PESISIR TIMUR PULAU BINTAN
DAN PERAIRAN PESISIR PULAU MAMOT
RINGKASAN
Wilayah perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamut (Kepulauan
Lingga), termasuk sebagian diantara Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang merupakan
kawasan konservasi pada wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pemanfaatan lahan baik
di daratan maupun perairan yang tidak mempertimbangkan kepedulian terhadap kondisi
lingkungan, berpotensi menimbulkan terjadinya degradasi lingkungan sekitarnya. Dua (2)
isue penting yang kini berkembang di masyarakat, yakni : kekhawatiran masyarakat
nelayan wilayah pesisir Bintan Timur tentang dampak aktivitas penambangan bijih bauksit
di daerah Kijang terhadap perubahan kualitas perairan pesisir timur Pulau Bintan dan
kekhawatiran masyarakat Desa Mamot terhadap rencana penambangan bijih bauksit
(besi) di Pulau Mamot dapat menimbulkan kerusakan dan / atau perubahan ekosistem
perairan di wilayah tersebut.
Mengingat ke-dua (2) wilayah tersebut merupakan kawasan konservasi (daerah
perlindungan laut) yang perlu dilestarikan ekosistemnya, maka diperlukan upaya untuk
memprediksi dan memitigasi akibat adanya ancaman baik dari kegiatan penambangan
bauksit maupun kegiatan lainnya diluar sektor pertambangan. Oleh karena itu, kajian
mengenai kondisi eksisting dan potensi terjadinya perubahan kualitas perairan serta
kemungkinan perubahan ekosistem perairan laut di ke-dua wilayah tersebut menjadi
penting (urgen) untuk dilakukan.
Kajian dilakukan melalui interpretasi dari citra landsat dan ALOS, dilanjutkan
dengan survey di lapangan untuk memperoleh baik data primer maupun data sekunder
serta analisis di laboratorium. Berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dilakukan
analisis korelasi antara dampak penambangan dengan kemungkinan perubahan
ekosistem perairan dengan indikator parameter fisik, kimia dan kandungan unsur logam
berat serta biota perairan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
ii
Hasil kajian yang merupakan hasil analisis dan diskusi diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan acuan bagi pemangkukepentingan (stakeholder) dalam
pengambilan keputusan yang disimpulkan sebagai berikut :
1. Hasil kajian di sekitar perairan pesisir timur Pulau Bintan
• Berdasarkan interpretasi baik dari citra landsat maupun ALOS, tingkat kekeruhan
di perairan pesisir timur Pulau Bintan dibagi menjadi 3 (tiga) tingkat, yakni : dari
arah selatan utara dengan kategori tinggi, sedang dan rendah. Artinya bahwa
terdapat korelasi antara dampak penambangan bauksit di daerah Kijang dengan
perubahan tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan, dimana tingkat
kekeruhan di lokasi DPL termasuk kategori rendah, dansemakin ke arah selatan
dan / atau semakin mendekati sumber dampak, tingkat kekeruhan menjadi
semakin tinggi.
• Sementara dari hasil pengamatan selama di lapangan menunjukkan bahwa
sumber dampak terjadinya perubahan tingkat kekeruhan disebabkan oleh
pengelolaan pertambangan yang belum baik dan benar, khususnya di daerah
dermaga pengapalan (jeti). Perubahan tingkat kekeruhan tersebut bersifat
sementara (temporer), terutama ketika terjadi turun hujan. Material yang bersifat
lepas dari bjih bauksit mudah terangkut oleh air hujan dan langsung terbawa
menuju ke perairan laut, mengingat dermaga (jeti) pada umumnya tidak dibuat
tanggul dan kolam pengendapan. Meskipun perubahan tingkat kekeruhan
bersifat temporer, namun jika terjadi secara terus menerus karena mengingat
wilayah tersebut mempunyai iklim dengan bulan basah (10 bulan/tahun) relatif
lebih lama dibandingkan dengan bulan kering, dan semakin meningkatnya
aktivitas penambangan merupakan ancaman yang perlu segera dicari alternatif
solusinya.
• Hasil model perhitungan berdasarkan hukum stokes menunjukkan bahwa jarak
angkut material/bijih bauksit (lempung-lanau dan pasir halus) yang berpotensi
terbentuknya TSS mencapai lebih kurang 2 km dari sumber dampak
(dermaga/jeti). Pola sebaran tingkat kekeruhan dipengaruhi oleh jumlah material
yang tertransportasi, arah dan kuat arus, tinggi rendahnya pasang surut serta
tinggi rendahnya gelombang laut. Walaupun model perhitungan sebaran TSS
berbentuk tabung, namun dalam kenyataannya pola sebaran mengikuti pola alur
garis pantai.
iii
• Berdasarkan hasil analisis laboratorium terhadap 11 sample yang terdiri dari 4
(empat) sample yang diambil dari muara sungai pesisir timur Pulau Bintan, 3
(tiga) sample di sekitar lokasi DPL dan 4 (empat) sample yang berada di perairan
sekitar lokasi aktivitas penambangan. Hasil analisis menunjukkan bahwa kondisi
eksisting kualitas perairan pesisir timur Pulau Bintan hingga Pulau Mapor baik
ditinjau dari indikator parameter fisik, kimia dan kandungan unsur logam berat
maupun biota perairan pada umumnya masih menunjukkan kondisi relatif normal
bagi kehidupan biota perairan. Walaupun beberapa parameter tersebut sudah
mendekati nilai ambang batas baku mutu yang dipersyaratkan oleh KLH, namun
jika ditarik garis dari titik sample yang diambil dari sekitar DPL menuju titik
sample yang diambil dari perairan di sekitar sumber dampak, menunjukkan
adanya kecenderungan perubahan kualitas fisik perairan yang cukup signifikan.
Sementara perubahan kualitas kimia dan kandungan unsur logam berat serta
parameter biota perairan juga memperlihatkan adanya kecenderungan semakin
meningkat, walaupun nilai parameter tersebut masih sedikit diatas nilai ambang
batas yang diperkenankan KLH.
• Sedangkan korelasi antara perubahan kualitas perairan dengan perubahan
ekosistem perairan di wilayah kajian, yaitu di sekitar lokasi sampling pada
umumnya belum begitu nampak jelas (tidak signifikan). Hasil pengamatan secara
sepintas terhadap terumbu karang dan padang lamun di sekitar lokasi DPL
(seperti perairan pesisir Pantai Trikora, perairan pesisir Pulau Mapor dan
perairan pesisir Pulau Pangkil) masih dalam kondisi baik dan belum terjadi
perubahan secara signifikan, kecuali terumbu karang dan padang lamun di
sekitar lokasi dermaga (jeti) yang mempunyai tingkat kekeruhan tinggi, pada
umumnya sudah mulai rusak dan bahkan mati. Demikian pula tentang vegetasi
mangrove, pada umumnya masih dalam kondisi baik, kecuali vegetasi mangrove
yang berada di sekitar aktivitas penambangan bauksit di bagian selatan Pulau
Bintan mengalami ancaman kerusakan yang cukup serius.
• Kekhawatiran masyarakat di wilayah pesisir timur Pulau Bintan tentang terjadinya
perubahan ekosistem perairan dapat dipahami, karena mengingat adanya bukti
yang menunjukkan terdapatnya korelasi antara dampak penambangan bauksit di
daerah Kijang dengan perubahan tingkat kekeruhan perairan di sekitar pesisir
timur Pulau Bintan. Sementara tingkat kekeruhan yang terjadi akibat
penambangan, bersama-sama dengan gangguan eksositem pantai akan
mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kelimpahan dan keanekaragaman
iv
plankton, benthos, dan nekton dan berdampak lebih lanjut terhadap penurunan
produktifitas primer serta pertumbuhan terumbu karang.
• Walaupun secara umum perubahan tingkat kekeruhan belum berdampak secara
signifikan terhadap perubahan ekosistem perairan, namun dengan semakin
meningkatnya aktivitas penambangan bauksit tanpa memperhatikan kepedulian
terhadap lingkungannya, kini merupakan ancaman yang cukup serius terjadinya
perubahan ekosistem perairan di sekitar daerah perlindungan laut (DPL) yang
telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi yang perlu dilestarikan.
2. Hasil kajian di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga)
• Walaupun tidak dilakukan analisis citra landsat dan ALOS, mengingat
terbatasnya data yang diperoleh, namun tetap dilakukan pengamatan dan
sampling contoh air. Berdasarkan hasil analisis laboratorium terhadap 4 sample
yang terdiri dari 1 (satu) sample yang diambil dari mata air di pesisir barat Pulau
Mamot, dan 3 (tiga) sample di sekitar perairan pesisir Pulau Mamod. Hasil
analisis menunjukkan bahwa kondisi eksisting kualitas perairan pesisir Pulau
Mamot (Kepulauan Lingga) baik ditinjau dari indikator parameter fisik, kimia dan
kandungan unsur logam berat maupun biota perairan pada umumnya masih
menunjukkan kondisi relatif normal bagi kehidupan biota perairan.
• Tidak terdapat korelasi antara dampak penambangan bijih bauksit (besi) dengan
perubahan kualitas perairan pesisir Pulau Mamot, mengingingat lokasi
penambangan jauh berada di bagian utara (Pulau Senayang) yang kini sudah
ditutup dan daerah Sakanah, Pulau Lingga. Hasil pengamatan secara sepintas
baik terhadap terumbu karang dan padang lamun maupun vegetasi mangrove di
sekitar perairan pesisir Pulau Mamot relatif masih dalam kondisi baik dan bahkan
mulai muncul tunas baru.
• Kekhawatiran masyarakat di Desa Mamot tentang adanya rencana
penambangan bijih bauksit (besi) yang hingga kini masih dalam tahap ijin
eksplorasi dapat dimengerti, mengingat dampak penambangan yang akan
ditimbulkannya sangat besar. Tidak hanya masalah perubahan ekosistem
perairan saja, melainkan juga punahnya habitat perikanan dan beberapa mata air
yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir di Pulau Mamot dan
pulau-pulau sekitarnya.
v
3. Solusi alternatif yang ditawarkan
Solusi alternatif yang ditawarkan guna menindak lanjutii terhadap ke-dua (2) isue
penting tersebut adalah sebagai berikut :
Pengelolaan pertambangan bauksit (termasuk bahan tambang lainnya)
diarahkan agar dilakukan secara baik dan benar (good mining practice), dalam
arti bahwa kegiatan usaha pertambangan agar memenuhi ketentuan-ketentuan,
kriteria, kaidah dan norma-norma yang tepat sehingga pemanfaatan sumber
daya mineral memberikan hasil yang optimal dengan dampak buruk minimal
(Suyartono, 2003). Disatu sisi usaha pertambangan tetap menguntungkan,
namun didisi lain dituntut agar tetap memperhatikan/kepedulian terhadap kondisi
lingkungannya. Sebagaimana tertuang dalam Undang Undang No.4, tentang
MINERBA, pasal 2.b antara lain menyebutkan bahwa usaha pertambangan
harus mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan hidup, juga dalam pasal 8.g disebutkan bahwa usaha pertambangan
dituntut untuk melaksanakan pengembangan dan pembangunan masyarakat
setempat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Walaupun lokasi
penambangan bauksit di daerah Kijang telah sesuai dengan peruntukkan
tataruangnya, namun sebagaimana tertuang dalam strategi penataan ruang
wilayah pesisir dan lautan termasuk didalamnya laut perbatasan negara bagi
kemakmuran rakyat yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruang secara terpadu dan tak terpisahkan dari ruang daratan
dengan memperhatikan kepentingan sektoral dan daerah untuk mewujudkan tata
ruang wilayah pesisir dan lautan yang berkualitas dan berwawasan lingkungan
(Bappeda Kabupaten Bintan, 2007).
Berdasarkan kajian tersebut, solusi yang diusulkan guna memitigasi
terjadinya tingkat kekeruhan maka:
- Sebagai bentuk kepedulian perusahaan pertambangan bauksit terhadap
lingkungan, perusahaan pertambangan agar diwajibkan untuk membuat
tanggul dan kolam pengendapan pada setiap dermaga pengapalan (jeti),
sehingga tingkat kekeruhan perairan terutama pada saat terjadi turun hujan
dapat diminimalisir.
- Alternatif solusi bahwa setiap usaha pertambangan tidak selalu harus
membuat masing-masing dermaga pengapalan (jeti), namun beberapa
perusahaan pertambangan bisa saling berkolaborasi untuk membuat satu
dermaga pengapalan (jeti) yang berkualitas sesuai dengan ketentuan
vi
standar yang berlaku untuk digunakan secara bersama-sama. Solusi lainnya
bisa juga dilakukan pengapalan produk tambangnya dengan cara
memanfaatkan dermaga ex. PT. Aneka Tambang yang mempunyai standar
internasional untuk digunakan secara bersama-sama melalui sistem sewa
atau ganti rugi.
- Pelaksanaan pemantauan lingkungan pertambangan oleh dinas-dinas terkait
(yakni: dinas pertambangan, dinas lingkungan hidup dan dinas perikanan
dan kelautan) hendaknya dilakukan secara terpadu.
Rencana penambangan bijih bauksit (besi) di Pulau Mamot yang hingga kini
masih dalam tahap eksplorasi, diusulkan untuk tidak ditindak lanjuti dengan
tahap eksploitasi mengingat berbagai aspek yang perlu dpertimbangkan,
diantaranya bahwa:
- Undang Undang No.27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil. Salah satu pasal menyebutkan bahwa luas pulau-
pulau kecil (< 2.000 Ha) perlu dilindungi, termasuk diantaranya Pulau Mamot
yang hanya dengan luas sekitar 778 Ha.
- Perairan sekitar pesisir Pulau Mamot merupakan daerah perlindungan laut
(DPL) yang perlu dilestarikan, mengingat perairan tersebut kaya akan
terumbu karang, padang lamun dan vegetasi mangrove.
- Perairan sekitar pesisir Pulau Mamot kaya kan jenis ikan, yang merupakan
sumber kehidupan bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di pulau
tersebut. Disamping itu juga terdapat beberapa sumber mata air, yang
merupakan penopang kehidupan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar
Pulau Mamot.
- Berdasarkan strategi pengembangan dan pemanfaatan lahan, Pulau Mamot
termasuk wilalayah peruntukan pertanian dan perikanan serta permukiman,
tidak untuk lahan pertambangan. Mengingat luas pulau Mamot relatif kecil,
maka kemungkinan jumlah cadangan bijihnya juga relatif kecil, sehingga jika
ditambangpun lebih banyak dampak negatifnya dibandingkan dengan
dampak positifnya.
- Walaupun secara regional telah dilakukan studi AMDAL, namun dalam
kenyataannya berpotensi timbulnya konflik, mengingat sebagian besar
masyarakat menentang.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya, sehingga kami dapat
melaksanakan survey lapangan hingga menyelesaikan laporan tentang kajian dampak
penambangan bijih bauksit di daerah Kijang dan sekitar Pulau Mamot korelasinya dengan
perubahan ekosistem di perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau
Mamot. Laporan ini merupakan langkah awal untuk memberikan jawaban atas berbagai
isue permasalahan lingkungan yang akhir-akhir ini berkembang di masyarakat pesisir.
Terdapat dua (2) isue penting, yakni : kekhawatiran masyarakat pesisir tentang
perubahan tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan sebagai akibat adanya
aktivitas penambangan di daerah Kijang dan kekhawatiran masyarakat tentang adanya
rencana penambangan bijih bauksit (besi) di Pulau Mamot dan kemungkinan dampaknya
terhadap ekosistem perairan pesisir Pulau Mamot.
Untuk dapat mengungkap peristiwa perubahan lingkungan pada kawasan
konservasi perairan pada wilayah pesisir timur Pulau Bintan dan perairan sekitar Pulau
Mamot, telah dilakukan kajian secara terpilih pada beberapa lokasi zona penambangan
bauksit dan bahan tambang lainnya sebagai sumber dampak maupun zona perairan yang
diduga mengalami perubahan lingkungan perairan laut. Melalui pengamatan secara
langsung dan pengambilan beberapa conto untuk di analisis di laboratorium guna
mengetahui gambaran sifat fisik dan kimia perairan. Laporan ini disusun baik berdasarkan
data primer maupun data sekunder yang diperoleh dari dinas terkait baik yang berada di
Kabupaten Bintan maupun di Kabupaten Lingga. Untuk itu kami menyampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam memperoleh data / informasi
tersebut. Tidak lupa kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan kepercayaan dan bimbingan kepada kami baik dari awal pelaksanaan
kajian maupun hingga selesainya penulisan laporan ini.
Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan penjelasan kepada
pemangkukepentingan dalam upaya memitigasi dampak perubahan lingkungan maupun
perubahan kondisi perairan laut di wilayah kajian. Semoga laporan ini dapat bermanfaat
baik sebagai sumber informasi maupun sebagai pendorong munculnya pemikiran baru
dalam mengatasi permasalahan dampak perubahan lingkungan perairan maupun dalam
upaya mitigasi pada kawasan tersebut.
Bandung, 10 November 2010
Tim Penelitian
viii
DAFTAR ISI
RINGKASAN ......................................................................................................... i KATA PENGANTAR ............................................................................................. vii DAFTAR ISI .......................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xi DAFTAR TABEL ................................................................................................... xiv BAB – I PENDAHULUAN .............................................................................. I - 1 1.1 Latar Belakang ...................................................................... I - 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................. I - 3 1.3. Maksud dan Tujuan .............................................................. I - 3 1.4 Manfaat Kajian ...................................................................... I - 3 1.5 Ruang Lingkup ...................................................................... I - 4 BAB – II METODOLOGI ................................................................................. II - 1 2.1 Kerangka Pikir ....................................................................... II - 1 2.2 Hipotesis ................................................................................ II - 2 2.3 Metoda ................................................................................... II - 3 2.4 Tahapan Kegiatan ................................................................. II - 3 2.4.1 Pengumpulan Data Sekunder ................................. II - 3 2.4.2 Pengumpulan Data Primer ...................................... II - 3 2.4.3 Pengolahan dan Evaluasi Data ............................... II - 6 2.4.4 Penyusunan Laporan .............................................. II - 6 BAB – III TINJAUAN UMUM WILAYAH KAJIAN .......................................... III - 1 3.1 Lokasi Wilay Kajian ............................................................... III - 1 3.1.2 Dasar Pemilihan Lokasi .......................................... III - 1 3.1.2 Lokasi Daerah Kajian ............................................. III - 4 3.1.3 Kesampaian Daerah Kajian ................................... III - 4 3.2 Kondisi Geologi .................................................................... III - 7 3.2.1 Geologi Regional ................................................... III - 7 3.2.2 Genesa Bijih Bauksit .............................................. III - 9 3.3 Kebijaksanaan Tata Ruang .................................................. III - 10 3.3.1 Kebijaksanaan Tata Ruang Provinsi Riau ............. III - 10 3.3.2 Kebijaksanaan Tata Ruang Kabupaten Bintan ...... III - 11 3.3.3 Kebijaksanaan Tata Ruang Kabupaten Lingga ..... III - 15 3.4 Kondisi Iklim .......................................................................... III - 19 3.4.1 Curah Hujan ............................................................ III - 19 3.4.2 Angin ....................................................................... III - 20 3.4.3 Suhu dan Kelembaban ............................................ III - 20 3.5 Hidro-oceanografi .................................................................. III – 22 3.5.1 Kedalaman (batimetri) .............................................. III - 22 3.5.2 Arus .......................................................................... III - 22 3.5.3 Gelombang ............................................................... III - 22
ix
3.5.4 Pasang Surut ............................................................ III - 27 3.5.5 Suhu Muka Laut ........................................................ III - 27 3.6 Ekosistem Peairan Laut Dangkal ........................................... III - 27 3.6.1 Terumbu Karang ...................................................... III - 27 3.6.2 Padang Lamun ........................................................ III - 29 3.6.3 Vegetasi Mangrove (Bakau) ................................... III - 30 3.7 Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisi .......................... III - 30 3.7.1 Budaya Masyarakat ................................................. III - 30 3.7.2 Sosial Ekonomi ........................................................ III - 31 BAB – IV KAJIAN AKTIVITAS PENAMBANGAN DAN KONDISI PERAIRAN IV - 1 4.1 Kajian Aktivitas Penambangan .............................................. IV - 1 4.1.1 Jenis Komoditi Bahan Tambang .............................. IV - 3 4.1.2 Karakteristik Bahan Tambang .................................. IV - 1 4.1.3 Jumlah Ijin Usaha Pertambangan ............................ IV - 7 4.1.4 Sistem dan Metoda Penambangan .......................... IV - 10 4.1.5 Aspek Perlindungan Lingkingan .............................. IV - 13 4.2 Kajian Kondisi Perairan ......................................................... IV - 14 4.2.1 Parameter Fisik Air .................................................. IV - 14 4.2.2 Paameter Kimia Air dan Kandungan Unsur Logam
Berat ........................................................................ IV - 15
4.2.3 Parameter Biota Perairan ........................................ IV - 16 4.2.4 Kondisi Terumbu Karang ......................................... IV - 19 4.2.5 Kondisi Padang Lamun ............................................ IV - 21 4.2.6 Kondisi Vegetasi Bakau ........................................... IV - 21 BAB – V ANALISIS DAN DISKUSI V - 1 5.1 Aktivitas Penambangan Berpotensi sebagai Sumber Dampak
Terjadinya Perubahan Kualitas Perairan ............................... V - 1
5.1.1 Faktor-faktor internal penambangan yang ikut berperan sebagai pemicu terjadinya tingkat kekeruhan perairan ..................................................
V - 3
5.1.2 Faktor-faktor eksternal penambangan yang ikut berperan sebagai pemicu terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan .......................................
V - 7
5.2 Analisis Kemungkinan Perubahan Kualitas Perairan sebagai Akbibat Aktivitas Penambangan .............................................
V - 9
5.2.1 Analisis pola sebaran tingkat kekeruhan berdasarkan indikator analisis citra landsat ..............
V - 9
5.2.2 Analisis pola sebaran tingkat kekeruhan berdasarkan indikator hasil perhitungan dengan menggunakan hukum Sokes ....................................
V - 15
5.2.3 Analisis perubahan kualitas perairan berdasarkan indikator parameter fisik, kimia air dan unsur logam berat serta biota perairan ........................................
V - 19
5.3 Hasil Diskusi .......................................................................... V - 28 5.3.1 Korelasi dampak aktivitas penambangan bauksit
dengan kemungkinan perubahan ekosistem perairan .....................................................................
V - 28
x
5.3.2 Persepsi masyarakat terhadap kemungkinan
perubahan ekosistem perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot ................
V - 32
5.3.3 Solusi alternatif untuk mengantisipasi terjadinya perubahan ekosistem perairan .................................
V - 35
BAB – VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ VI – 1 6.1 Kesimpulan ............................................................................ VI – 1 6.2 Saran ...................................................................................... VI - 3 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ VII - 1
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagian alir tahapan kegiatan kajian II - 4
Gambar 2.2 Bagan alir tahap persiapan lapangan II - 5
Gambar 3.1 Peta kawasan konservasi terumbu karang di perairan Indonesia Bagian Barat
III - 2
Gambar 3.2 Peta tingkat ancaman kerusakan terumbu karang di perairan Indonesia
III - 3
Gambar 3.3 Peta lokasi daerah kajian yang meliputi wilayah perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot, Kepulauan Lingga
III - 5
Gambar 3.4 Peta lokasi daerah perlindungan laut (DPL) yang terletak di perairan timur Pulau Bintan dan perairan di sekitar Pulau Mamot
III - 6
Gambar 3.5 Peta geologi daerah Bintan dan Lingga (PSG, 2002) III - 8
Gambar 3.6 Peta Rencana Tata Ruang Kabupaten Bintan III - 14
Gambar 3.7 Peta Rencana Tata Ruang Kabupaten Lingga III - 16
Gambar 3.8 Peta Strategi Rencana Tata Ruang Kabupaten Lingga III - 17
Gambar 3.9 Grafik curah hujan di sekitar perairan pesisir timur Pulau Bintan (Kabupaten Bintan)
III - 19
Gambar 3.10 Grafik curah hujan di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Kabupaten Lingga
III - 20
Gambar 3.11 Peta arah dan kecepatan angin di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga
III - 21
Gambar 3.12 Peta batimetri di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga
III - 23
Gambar 3.13 Peta arah dan kecepatan arus di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga
III - 24
Gambar 3.14 Peta tinggi gelombang di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga
III - 26
Gambar 3.15 Peta ilustrasi perubahan suhu muka laut di Indonesia pada periode Februari – Maret 2010
III - 28
Gambar 4.1 Foto sample bijih bauksit (A. Kijang 1, B. Kijang 2, C. Mamot) IV - 2
Gambar 4.2 Fotomikrograf kenampakan mikroskop polarisasi pada sayatan tipis (Sample Kijang 1, Kijang 2, Mamot)
IV - 3
Gambar 4.3 Dafraktogram X-RD (Sample Kijang 1, Kijang 2, Mamot IV - 4
Gambar 4.4 Grafik distribusi ukuran besar butir sample bauksit Pulau Bintan berdasarkan ASTM
IV - 5
xii
Gambar 4.5 Grafik distribusi ukuran besar butir sample bauksit Pulau Mamot berdasarkan ASTM
IV - 6
Gambar 4.6 Foto aktivitas penambangan bauksit di daerah Kijang, Pulau Bintan
IV - 11
Gambar 4.7 Foto aktivitas pengangkutan (pengapalan) bauksit di daerah Kijang
IV - 11
Gambar 4.8 Foto aktivitas reduksi ukuran butir (zrushing plant) granit (andesit)
IV - 12
Gambar 4.9 Foto aktivitas penambangan pasir darat (kuarsa) IV - 12
Gambar 4.10 Foto perbedaan kekeruhan air laut di sekitar jeti ketika turun hujan
IV - 13
Gambar 4.11 Foto aktivitas sampling parameter perairan IV - 14
Gambar 4.12 Foto terumbu karang di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot IV - 20
Gambar 4.13 Foto padang lamun di perairan pesisir barat Pulau Pangkil IV - 21
Gambar 4.14 Foto kondisi mangrove di Pulau Bintan IV - 22
Gambar 4.15 Foto kondisi mangrove di Pulau Mamot IV - 22
Gambar 5.1 Peta lokasi ijin usaha penambangan di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga
V - 2
Gambar 5.2 Mekanisme pelapukan dan sedimentasi akibat perubahan bukaan lahan di daratan yang berpengaruh hingga perairan laut
V - 4
Gambar 5.3 Perubahan luas bukaan lahan dapat dipantau dari kenampakan citra satelit
V - 4
Gambar 5.4 Grafik produksi bahan tambang (bauksit, granit, pasir) di Kabupaten Bintan dan Bintan Timur
V - 5
Gambar 5.5 Baga alir tahapan penambangan bijih bauksit hingga pengapalan
V - 6
Gambar 5.6 Bagan alir tahapan pencucian bijih bauksit V - 7
Gambar 5.7 Citra Landsat (2002) dan ALOS (2008) di daerah Pulau Bintan dan sekitarnya yang memperlihatkan jejak galian bauksit, granit, pasir darat
V - 10
Gambar 5.8 Citra ALOS (2008) di daerah Pulau Bintan dan sekitarnya yang memperlihatkan lahan perkebunan, pemukiman
V - 11
Gambar 5.9 Penafsiran citra landsat (541 dan 457, tahun 2002) di daerah sekitar Pulau Mamut, Kepulauan Lingga
V - 12
Gambar 5.10 Peta analisis tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan berdasarkan citra landsat
V - 13
Gambar 5.11 Peta analisis tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan berdasarkan ALOS band (1,2,3)
xiii
Gambar 5.12 Peta pola sebaran tingkat kekeruhan di perairan timur Pulau Bintan berdasarkan model perhitungan dengan menggunakan hukum stokes ............................................................................
V - 18
Gambar 5.13 Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator parameter fisik air
V - 21
Gambar 5.14 Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator parameter kimia air
V - 23
Gambar 5.15 Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator kandungan unsur logam berat ...............................................................................
V - 25
Gambar 5.16 Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator biota perairan
V - 27
Gambar 5.17 Terumbu karang dan padang lamun di sekitar lokasi dermaga (jeti) di perairan pesisir timur Pulau Bintan ...............................
V - 29
Gambar 5.18 Peta korelasi dampak aktivitas manusia dengan ancaman terhadap kemungkinan perubahan kondisi perairan timur Pulau Bintan .........................................................................................
V - 30
xiv
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Penggunaan lahan di Kabupaten Bintan ........................................ III - 13
Tabel 3.2 Penggunaan lahan di Kabupaten Lingga ....................................... III - 18
Tabel 3.3 Prediksi geolombang laut, arah dan kecepatan angin serta arus laut di beberapa perairan pada bulan Juli 2010 ............................
III - 25
Tabel 4.1 Hasil analisis kimia sample bijih bauksit (Kijang 1, Kijang 2, Mamot) ...........................................................................................
IV – 5
Tabel 4.2 Hasil analisis densitas contoh bijih bauksit Pulau Bintan dan Pulau Mamot ..................................................................................
IV – 6
Tabel 4.3 Jenis, lokasi, luas dan kondisi bahan tambang di Kabupaten Bintan .............................................................................................
IV – 8
Tabel 4.4 Jenis bahan tambang, nama perusahaan, lokasi dan kondisi (2010) di Kabupaten Lingga ...........................................................
IV - 9
Tabel 4.5 Hasil analisis parameter fisik perairan ............................................ IV - 14
Tabel 4.6 Hasil analisis parameter kimia perairan .......................................... IV - 15
Tabel 4.7. Hasil analisis kandungan unsur logam berat perairan ................... IV - 16
Tabel 4.8 Hasil pencacahan phytoplankton/liter ............................................. IV - 17
Tabel 4.9 Hasil pencacahan zooplankton/liter ................................................ IV - 18
Tabel 5.1 Waktu dan jarak transport zat padat tersuspensi ........................... V - 17
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 I - 1
BAB - I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki sekitar 17.508 pulau besar dan kecil,
dengan garis pantai sepanjang lebih kurang 81.000 km. Secara keseluruhan, Indonesia
memiliki luas terumbu karang lebih dari 60.000 km2 yang memiliki 70 genera dan 500
jenis karang. Keanekaragamman tersebut diantaranya terdiri dari karang batu yang
berjumlah lebih dari 450 jenis, karang lunak sebanyak 210 jenis serta 350 jenis gorgonian.
Potensi keanekaraman terumbu karang ini menyimpan sebanyak 53 % dari potensi
terumbu karang dunia, yang terdiri dari 3000 jenis species. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika Indonesia menjadi pusat keberadaan keanekaragaman hayati
termasuk diantaranya adalah ekosistem terumbu karang (coral reef), padang lamun (sea
grass) dan vegetasi bakau (mangrove) yang perlu dilindungi dari berbagai tekanan dan
ancaman kerusakan.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, sebagian kawasan pesisir (pantai) khususnya
yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dengan jumlah tingkat kepadatan penduduk
relatif tinggi telah mengalami tingkat kerusakan (degradasi) yang cukup parah. Beberapa
kawasan terumbu karang dan hutan bakau di Indonesia telah banyak yang mengalami
kerusakan yang dikonversikan menjadi pemukiman, kawasan industri untuk kepentingan
pembangunan tanpa adanya kontrol baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat.
Diperkirakan sekitar 10 % terumbu karang dunia dalam keadaan rusak, demikian pula
tidak jauh berbeda dengan kondisi terumbu karang di Indonesia. Hasil studi Pusat
Penelitian Oceanologi (P2O), 1997, (dalam Soetopo T dan Sudiyono, 2009), menyebutkan
bahwa terumbu karang di Indonesia cukup memprihatikan, mengingat kondisi terumbu
karang yang sangat baik hanya tinggal 5.23 %, selebihnya 24.26 % dalam kondisi baik,
37.34 % dalam kondisi cukup dan 33.17 % dalam kondisi kurang baik atau rusak.
Tingkat kerusakan terumbu karang di Indonesia sudah dalam batas yang sangat
mengkhawatirkan, sebagai akibat adanya berbagai tekanan dan ancaman baik oleh
kondisi alam maupun akibat kegiatan manusia. Tingkat ancaman kerusakan terumbu
karang tersebut, khususnya bagi perairan di wilayah kajian termasuk kategori sedang
hingga tinggi. Secara alami kerusakan terumbu karang bisa disebabkan oleh adanya
badai, perubahan suhu yang ekstrim, tsunami maupun oleh adanya pemangsa (predator)
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 I - 2
seperti bintang laut pemakan karang (Dahuri, 1996). Sedangkan kerusakan terumbu
karang yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak dan racun seperti sianida dan potasium. Ekskploitasi
terumbu karang yang berlebihan untuk berbagai kepentingan seperti cinderamata
(perhiasan) dan bahan baku fondasi bangunan rumah. Disamping itu, kerusakan terumbu
karang juga bisa dikarenakan terjadinya siltasi dan sedimentasi akibat pengerukan dan
penimbunan pantai untuk konstruksi pembangunan infrastruktur (pemerintah) dan
bangunan komersial (hotel), pembukaan lahan perkebunan dan aktivitas penambangan.
Menyikapi kerusakan terumbu karang tersebut, pemerintah Indonesia membuat
program yang berkaitan dengan pengelolaan terumbu karang yang disebut sebagai :
COREMAP (Coral Reef management and Program) yang dalam pendanaannya didukung
oleh ADB (Asean Development Bank). Program tersebut secara nasional bertujuan untuk
menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam meningkatkan pengelolaan dan rehabilitasi
terumbu karang agar sumber daya laut dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat (lokal). Dalam konteks ini,
dilakukannya kajian di kawasan perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir
Pulau Mamot (Lingga), mengingat di sekitar wilayah perairan tersebut banyak dilakukan
aktivitas penambangan bauksit.
Kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan bauksit di
Pulau Bintan dan Pulau Lingga, pada umumnya belum menerapkan konsep pengelolaan
pertambangan yang baik dan benar (good mining practice) sehingga dapat menimbulkan
dampak lingkungan terhadap wilayah di sekitar pertambangan tersebut. Disatu sisi
kegiatan tersebut berdampak positif, yakni dapat memberikan konstribusi dalam
penyediaan lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) di wilayah
tersebut, namun disisi lain juga berdampak negatif, yaitu dapat mengakibatkan terjadinya
degradasi kualitas air permukaan (sungai) yang mengalir menuju ke perairan laut.
Dampak negatif aktivitas penambangan tersebut, antara lain dapat menyebabkan
terjadinya perubahan kualitas air laut di perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan
pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga) yang memiliki ekosistem terumbu karang yang
harus di lindungi. Berdasarkan peta konservasi terumbu karang dunia (Asia Tenggara),
perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga)
mempunyai tingkat ancaman kerusakan ekosistem terumbu karang termasuk kategori
sedang hingga tinggi. Ancaman terjadinya kerusakan tersebut dapat terjadi sebagai akibat
baik karena proses alami maupun ancaman yang paling besar sebagai akibat kegiatan
manusia, seperti aktivitas pembukaan lahan kehutanan dan pertambangan. Sementara
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 I - 3
ini, hasil pemantauan terhadap pertumbuhan terumbu karang di wilayah tersebut
(Program Coremap II) dari tahun ke tahun menunjukkan adanya penurunan yang cukup
signifikan. Oleh karena itu, kajian ini perlu dilakukan untuk memberikan masukan bagi
pemangkukepentingan (stakeholder) terutama dalam pengambilan keputusan (kebijakan)
di masa mendatang.
1.2 Perumusan Masalah
Aktivitas pertambangan bauksit yang dilakukan di Pulau Bintan dan di sekitar Pulau
Mamot (Lingga) tanpa menerapkan konsep pengelolaan pertambangan yang baik dan
benar (good mining practice) dapat mengakibatkan terjadinya degradasi kualitas air
permukaan yang mengalir menuju ke perairan (laut). Perubahan kualitas air laut seperti
penurunan salinitas, peningkatan kekeruhan dan sedimentasi yang melebihi ambang
batas yang telah ditetapkan KLH sebagai akibat adanya kegiatan pertambangan tersebut
kemungkinan besar dapat mengganggu pertumbuhan terumbu karang.
Permasalahannya : Sejauhmana korelasi antara degradasi kualitas air laut sebagai akibat adanya kegiatan
penambangan bouksit di daerah Kijang (Pulau Bintan) dan di daerah sekitar Pulau Mamot
dengan kemungkinan menurunnya pertumbuhan terumbu karang di perairan pesisir timur
Pulau Bintan dan sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga)?
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud kajian adalah untuk mempelajari sejauhmana aktivitas penambangan bauksit
tersebut berdampak atau mengancam terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang di
perairan pesisir timur Pulau Bintan dan sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan
Lingga). Sedangkan tujuan kajian adalah memperoleh korelasi antara dampak aktivitas
penambangan dengan kemungkinan perubahan ekosistem perairan dan menurunnya
pertumbuhan terumbu karang di sekitar perairan pesisir timur Pulau Bintan dan sekitar
perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga).
1.4 Manfaat Kajian
Hasil kajian tersebut berupa basis data beserta analisisnya yang mempunyai strategis
yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pemangku kepentingan (stakeholder), terutama
sebagai bahan pertimbangan (masukan) dalam pemengambilan keputusan (kebijakan).
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 I - 4
1.5 Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian meliputi berbagai aspek teknologi penambangan dan pengolahan
serta perlindungan lingkungan di wilayah pertambangan bauksit di Pulau Bintan dan
sekitar Pulau Lingga. Kondisi umum seperti kondisi geologi, tutupan lahan, iklim, arus dan
gelombang laut serta faktor-faktor lingkungan perairan seperti kualitas fisik dan kimia air,
biota perairan yang berperan terhadap perubahan ekosistem terumbu karang di perairan
pesisir timur Pulau Bintan dan sekitar perairan pesisir Pulau Lingga.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 II - 1
BAB - II METODOLOGI
2.1 Kerangka Pikir
Pertumbuhan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik lingkungan yang
membentuk ekosistem terumbu karang, diantaranya adalah suhu, kedalaman, cahaya,
salinitas, sedimentasi, gelombang dan arus serta paparan udara terbuka. Secara ideal,
pertumbuhan terumbu karang dapat berlangsung pada suhu air rata-rata diatas 18o C,
yakni pada kondisi optimal : 23-25o C dan suhu maksimal yang dapat ditolerir : 36-40o C.
Kedalaman perairan kurang dari 50 m, dan kondisi optimal kurang dari 25 m. Salinitas air
konstan berkisar antara : 30-36 o/oo, dan perairan yang cerah, bergelombang besar serta
bebas dari sedimen.
Menurut Veron (1995) dan Wallace (1998), ekosistem terumbu karang sangat unik
karena hanya terdapat di perairan tropis dan sangat sensitif terhadap perubahan
lingkungan dan memerlukan kualitas perairan yang alami (pristine). Perubahan ekosistem
terumbu karang dapat terjadi baik karena peristiwa alami maupun karena akibat ulah
manusia. Seperti perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda
perairan tropis pada tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching)
yang diikuti dengan kematian karang secara massal. Sementara perubahan ekosistem
terumbu karang akibat aktivitas manusia, seperti pembukaan lahan untuk aktivitas
penambangan yang pada ujungnya dapat berdampak terhadap perubahan (degradasi)
kualitas perairan laut dangkal.
Perubahan kualitas air laut, seperti penurunan salinitas, peningkatan kekeruhan
dan sedimentasi yang melebihi ambang batas sebagai akibat adanya kegiatan
pertambangan dapat mengganggu pertumbuhan terumbu karang. Nilai ambang batas
salinitas (32-35 o/oo) merupakan salinitas dimana terumbu karang dapat bertahan hidup.
Sedangkan arus laut membawa nutrien dan bahan-bahan organik yang diperlukan oleh
karang dan zooxanthellae, namun jika kelebihan nutrien (nutrient overload) berkonstribusi
terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang
melimpah (overgrowth) terhadap karang. Namun arus dan gelombang juga dapat
menyebabkan terjadinya sedimentasi di perairan terumbu karang dan menutupi
permukaan karang sehingga berakibat pada kematian terumbu karang.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 II - 2
Faktor cahaya dan kedalaman perairan berperan penting untuk kelangsungan
proses foto sintesis oleh zooxantellae yang terdapat di dalam jaringan karang. Kecerahan
berhubungan dengan penetrasi cahaya, kecerahan tinggi membuat penetrasi cahaya
menjadi tinggi. Tingginya penetrasi cahaya mengakibatkan produktivitas perairan menjadi
tinggi. Sedangkan paparan udara (aerial exposure) merupakan faktor pembatas karena
dapat mematikan jaringan hidup dan alga yang bersimbiosis didalamnya.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa potensi terjadinya degradasi kualitas
perairan dan ekosistem terumbu karang lebih sering disebabkan oleh adanya aktivitas
manusia, seperti pembukaan lahan pertambangan dan perkebunan. Dengan demikian,
perlu dilakukan kajian dampak aktivitas penambangan bauksit di Pulau Bintan dan di
Pulau Lingga korelasinya dengan kelestarian ekosistem terumbu karang di perairan
pesisir timur Pulau Bintan dan di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Lingga).
Pendekatan permasalahan kajian dilakukan melalui analisis citra landsat untuk
mendeleniasi sebaran kekeruhan di wilayah kajian, yakni : baik wilayah potensi sumber
dampak (aktivitas penambangan) maupun wilayah yang berpotensi terkena dampak
(ekosistem perairan terumbu karang). Selanjutnya dilakukan survey lapangan untuk
mengecek hasil analisis tersebut, serta dilakukan pengukuran parameter fisik, kimia air
dan unsur logam berat serta biota perairan. Disamping itu, juga dilakukan pengambilan
(sampling) terhadap beberapa conto air (5 sample) dan plankton untuk keperluan analisis
fisik, kimia air dan unsur logam berat serta biota perairan di laboratorium. Disamping itu
juga dilakukan sampling terhadap conto bijih bauksit untuk mengetahui komposisi mineral
dan komposisi kimia serta karakter bijih yang meliputi ukuran butir dan densitasnya.
Guna mendukung analisis tersebut dilakukan juga kompilasi data sekunder baik melalui
koordinasi institusi maupun studi literatur.
2.2 Hipotesis
Terdapat korelasi antara dampak aktivitas penambangan bauksit di daerah Kijang (Pulau
Bintan) dan di sekitar Pulau Mamot (Lingga) jika dilakukan tanpa pengelolaan
pertambangan yang baik dan benar, dengan kemungkinan terjadinya perubahan
ekosistem dan bahkan menurunnya pertumbuhan terumbu karang di perairan pesisir
timur Pulau Bintan dan di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga).
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 II - 3
2.3 Metoda
Metoda untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan melalui analisis citra landsat dan
survey lapangan guna mengidentifikasi aktivitas penambangan sebagai sumber dampak,
sampling dan pengukuran parameter fisik air permukaan dan air laut di wilayah perairan
yang diprediksi terkena dampak. Guna mendukung analisis data tersebut diperlukan: citra
landsat, peta rupabumi, geologi, batimetri, tinggi gelombang dan arah arus laut, iklim yang
mencakup data curah hujan, arah angin serta kabijaksanaan tata ruang, sebaran bahan
tambang dan aktivitasnya, peta fungsi lahan dan kawasan konservasi. Disamping itu, juga
dilakukan koordinasi dengan dinas terkait untuk memperoleh data sekunder serta data
sekunder lainnya melalui studi literatur tentang laporan-laporan dan tulisan ilmiah
mengenai kondisi sosial-ekonomi-budaya di kedua wilayah kajian tersebut secara
komprehensif.
2.4 Tahapan Kegiatan
Tahapan kegiatan yang akan dilakukan secara rinci disajikan dalam bentuk bagan alir
(Gambar 2.1) yang meliputi : pengumpulan data sekunder melalui studi literatur,
pengumpulan data primer melalui persiapan lapangan, survey lapangan, dan kegiatan
analisis di laboratorium, pengolahan dan evaluasi data serta penyusunan laporan.
2.4.1 Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi literatur dan penelusuran data
melalui internet, serta berkoordinasi dengan dinas terkait untuk memperoleh data
sekunder yang relevan dengan ruang lingkup wilayah kajian, seperti citra landsat, ALOS
atau sejenisnya, peta rupabumi, peta geologi, tutupan lahan, curah hujan, batimetri, arus
dan gelombang laut serta data sosial-ekonomi masyarakat pesisir.
2.4.2 Pengumpulan Data Primer Persiapan Lapangan Persiapan lapangan dilakukan melalui analisis citra landsat di studio guna menentukan
batas wilayah studi, lokasi tambang, deliniasi sebaran tingkat kekeruhan, potensi dampak
perubahannya. Merencanakan titik-titik sampling air permukaan, jumlah sample,
menentukan parameter fisik dan kimia air serta jenis unsur logam berat yang akan
dianalisis di laboratorium. Tahapan kegiatan secara rinci disajikan pada bagan alir
Gambar 2.2.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 II - 4
Gambar 2.1 Bagan alir tahapan kegiatan kajian
Survey lapangan Survey lapangan dilakukan di kedua wilayah kajian tersebut selama 14 hari guna
memperoleh data primer yang meliputi identifikasi aktivitas penambangan dan
perlindungan lingkungan, sampling air permukaan dan air laut, sedimen, pengukuran
parameter fisik air di wilayah studi, serta berkoordinasi dengan dinas terkait sesuai
dengan ruang lingkup ke-dua wilayah kajian tersebut untuk memperoleh data sekunder.
Disamping itu juga dilakukan pengamatan lapangan secara diskriptif dan difokuskan
pada komponen ekologi seperti gambaran terumbu karang, padang lamun, mangrove,
dan hidrologi, dan gejala-gejala fenomena alam yang terjadi seperti sedimentasi,
degradasi lahan, erosi dan kekeruhan. Penentuan posisi geografis lokasi pengamatan
dilakukan dengan menggunakan instrumentasi standard berupa GPS dan peta topografi
Bakosurtanal.
Studi literatur
Penyusunan KAK
Persiapan lapangan
Survey lapangan
Kegiatan laboratorium
Pengolahan data
Evaluasi data
Analisis citralandsat
Identifikasi,pengukuran, sampling
Analisis sample
Analisis korelasi
Penyusunan laporan
Perubahan kualitas perairan, lokasi titik sampling
KAK & RAB
Teridentifikasi sumber dampak & wilayah terkena
dampak, sample
Parameter kimia fisik air & biota air dan teristrikal
Kesimpulan dan saran
Laporan
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 II - 5
Gambar 2.2 Bagan alir tahap persiapan lapangan
Analisis di laboratorium Analisis di laboratorium dilakukan terhadap conto bijih bauksit untuk mengetahui
komposisi mineral, komposisi kimia dan analisis ukuran butir serta densitas. Sementara
analisis conto air dilakukan untuk mengetahui parameter fisik dan kimia air serta
kandungan unsur logam berat. Parameter kimia dan fisika yang memiliki sifat cepat
berubah, seperti pH, temperatur, oksigen terlarut (DO), daya hantar listrik (DHL), dan
bikarbonat, pengukuran dan analisis kimia dilakukan di lapangan.
Sementara analisis kimia seperti bikarbonat, klorida, zat organik, oksigen terlarut,
COD, kalsium, dan magnesium dilakukan secara volumetri. Nitrat, nitrit, ammonium,
boron, sulfida, posfat, silikat fluorida, secara spektrofotometri sinar tampak. Sulfat dan
kekeruhan secara turbidimetri, dan logam berat secara spektrofotometri serapan atom
(AAS). Disamping itu juga dilakukan analisis terhadap conto biota perairan, seperti jumlah
toksa plankton.
PETA TEMATIK
Peta lokasi : Wilayah Perairan
Pesisir Timur Pulau Bintan
TAHAP PERSIAPAN LAPANGAN
MENENTUKANWILAYAH KAJIAN
Peta Pola Sebaran Tingkat
Kekeruhan, Titik Sampling Air,
Peta Ancaman Kerusakan Ekologi Terumbu Karang
Peta Pola Sebaran Tingkat
Kekeruhan, Titik Sampling Air,
Peta Ancaman Kerusakan Ekologi Terumbu Karang
Peta lokasi : Wilayah Perairan Pesisir Kepulauan
Lingga Utara
Peta Dasar Kajian Peta Geologi
Peta Rupabumi Peta Lokasi Tambang
Data Curah hujan Laju, Arah Arus, Gelombang Laut,
Peta Batimetri
Peta Dasar Kajian Peta Geologi
Peta Rupabumi Peta Lokasi Tambang
Data Curah hujan Laju, Arah Arus, Gelombang Laut,
Peta Batimetri
MENENTUKAN BATASAN WILAYAH
KAJIAN
ANALISIS CITRALANDSAT
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 II - 6
2.4.3 Pengolahan dan Evaluasi Data Pengolahan data primer dilakukan melalui analisis sample di laboratorium, sedangkan
data sekunder dianalisis guna melengkapi data primer. Data-data tersebut digunakan
untuk mendukung dalam analisis korelasi antara aktivitas penambangan dengan
perubahan ekosistem perairan serta korelasinya dengan kemungkinan menurunnya
pertumbuhan terumbu karang di sekitar kedua wilayah kajian tersebut. Hasil analisis data,
disajikan sedemikian rupa dalam bentuk laporan teknis yang mencakup narasi, tabel,
grafik, foto maupun dalam bentuk peta tematik guna menjawab permasalahan tersebut.
2.4.4 Penyusunan Laporan Laporan disusun berdasarkan format dan jumlah yang telah disepakati bersama. Luaran
hasil kajian berupa buku laporan sebagai bentuk pertanggungjawaban kegiatan dan karya
tulis ilmiah.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 1
BAB - III TINJAUAN UMUM WILAYAH KAJIAN
3.1 Lokasi Wilayah Kajian 3.1.1 Dasar Pemilihan Lokasi Berdasarkan Atlas of ADB Project Implementation Area (2006), di wilayah Indonesia
Bagian Barat terdapat 8 simpul lokasi konservasi perairan terumbu karang yang pada
umumnya meliputi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Sumatera. Ke-
delapan (8) simpul lokasi konservasi tersebut (Gambar 3.1), yakni: Provinsi Sumatera
Utara (Kabupaten Tapanuli Tengah, Nias dan Nias Selatan), Provinsi Sumatera Barat
(Kabupaten Kepulauan Mentawai), Provinsi Kepulauan Riau (Kota Batam, Kabupaten
Bintan, Lingga dan Natuna). Kawasan konservasi tersebut, khususnya bagi wilayah
Indonesia yang terletak di segitiga karang dunia (coral triangle) merupakan ekosistem
terumbu karang yang amat kaya akan keanekaragaman hayati (jenis fauna dan flora laut)
yang perlu dilindungi dan dilestarikan.
Secara keseluruhan, Indonesia memiliki luas terumbu karang lebih dari 60.000
km2 yang memiliki 70 genera dan 500 jenis karang. Keanekaragamman tersebut
diantaranya terdiri dari karang batu yang berjumlah lebih dari 450 jenis, karang lunak 210
jenis serta 350 jenis gorgonian. Potensi keanekaraman terumbu karang ini menyimpan
sebanyak 53 % dari potensi terumbu karang dunia, yang terdiri dari 3000 jenis species.
Namun demikian, kondisi terumbu karang di Indonesia cukup memprihatikan mengingat
kondisi terumbu karang yang sangat baik hanya tinggal 5.23 %, selebihnya 24.26 %
dalam kondisi baik, 37.34 % dalam kondisi cukup dan 33.17 % dalam kondisi kurang baik
atau rusak.
Berbagai ancaman cukup serius terhadap kerusakan terumbu karang tersebut,
baik ancaman yang berasal dari aktivitas manusia melalui penangkapan ikan yang tidak
ramah lingkungan, penggunaan bom dan sianida, pembukaan lahan untuk perkebunan
dan penambangan, maupun ancaman lainnya yang berasal dari aktifitas alam.
Kerentanan ekosistem terumbu karang akibat berbagai aktivitas manusia terus memaksa
terdegradasinya terumbu karang. Tingkat kerentanan terumbu karang di Indonesia
terhadap ancaman kerusakan diperlihatkan pada Gambar 3.2.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 2
Gambar 3.1 Peta kawasan konservasi terumbu karang di perairan Indonesia Bagian
Barat
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 3
Gambar 3.2 Peta tingkat ancaman kerusakan terumbu karang di perairan Indonesia
Berdasarkan uraian tersebut, maka kawasan konservasi terumbu karang di
perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot dipilih sebagai
lokasi kajian. Sebagai dasar pertimbangan bahwa perairan tersebut di satu sisi
merupakan kawasan koservasi perairan yang mempunyai ciri khas tertentu yang ideal
untuk tujuan penelitian (ilmu pengetahuan) yang menunjang budidaya perikanan,
kelautan, pariwisata, namun disisi lain juga rentan terhadap ancaman kerusakan akibat
aktivitas pertambangan disekitar perairan tersebut. Wilayah Kecamatan Bintan Timur
merupakan wilayah kawasan pertambangan bauksit, granit, pasir darat (Bappeda
Kabupaten Bintan, 2010). Sedangkan Pulau Mamut dan Pulau Senayang di rencanakan
akan dilakukan eksplorasi dan eksploitasi tambang bijih bauksit (komunikasi dengan
masyarakat Desa Mamut, 2010).
.
3.1.2 Lokasi Daerah Kajian Terdapat 2 (dua) lokasi daerah kajian terpilih, yaitu : wilayah penambangan bauksit di
daerah Kijang (Pulau Bintan) hingga perairan pesisir timur Pulau Bintan - Pulau Mapur,
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 4
dan wilayah penambangan bauksit di sekitar Pulau Mamot (Kepulauan Lingga) hingga
perairan pesisir Pulau Mamot (Gambar 3.3). Secara regional kedua wilayah kajian
tersebut termasuk wilayah administrasi Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan dan
Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau.
Bagi kepentingan penelitian kelautan, lokasi daerah kajian di sekitar perairan
pesisir timur Pulau Bintan terdapat 7 lokasi Daerah Perlindungan Laut (DPL). Sedangkan
lokasi daerah kajian di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot terdapat 7 lokasi DPL. Lokasi
DPL di ke-dua daerah kajian tersebut, secara jelas dapat dilihat pada peta Gambar 3.4
3.1.3 Kesampaian Daerah Kajian Kedua wilayah kajian dapat ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang dari
Bandung-Jakarta-Batam, dilanjutkan dengan menggunakan kapal ferri menuju Pulau
Bintan dan/ atau Pulau Lingga. Sedangkan untuk survei di daratan ditempuh dengan
menggunakan kendaraan roda empat, sedangkan untuk perairan (laut) digunakan perahu
jenis kepompong.
Gambar 3.3 Peta lokasi daerah kajian, yang meliputi wilayah perairan pesisir timur Pulau
Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot , Kepulauan Lingga
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 5
Gambar 3.4 Peta lokasi daerah perlindungan laut (DPL) yang terletak di perairan timur
Pulau Bintan dan perairan di sekitar Pulau Mamot 3.2 Kondisi Geologi 3.2.1 Geologi Regional Berdasarkan hasil penafsiran dari citra landsat di daerah Bintan (Kabupaten Bintan) dan
Lingga (Kabupaten Lingga), memperlihatkan bahwa jenis dan sebaran batuan bervariasi
yang mengikuti bentuk, ciri-ciri tektur dan rona, baik tekstur kasar, sedang, maupun halus
setara dengan sebaran jenis batuannya. Berdasarkan data-data yang diperoleh baik dari
data sekunder maupun data primer hasil penafsiran citra landsat, susunan lapisan batuan
di kawasan konservasi perairan di sekitar daerah Bintan Timur dan sekitar Lingga dapat
diuraikan dari yang berumur tua ke muda sebagai berikut :
1. Batuan granit dan diorit yang terdiri dari granit Munjung dan Tanjung Buku, berwarna
ke abuan, tektur kasar, berbutir kasar umumnya membentuk sebagai batolit. rbreksi
vulkanik, lava, tufa yang dihasilkan dari aktifitas gunungapi Tersier. Penyebarannya di
bagian Pulau Singkep dan di Pulau Bintan dan pulau disekitarnya.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 6
2. Kuarsit Bukit Duabelas yang terdiri dari kuarsa, sisipan filit dan batusabak.
3. Formasi Tanjung Datuk berupa batupasir malihan, batulempung, lanau sisipan batu
rijang dan berwarna abu kecoklat-coklatan.
4. Formasi Pancar yang terdiri dari serpih kemerahan,urat kuarsa tipis, sisipan batupasir
kuarsa berlapis baik dan konglomerat.
5. Formasi Semarung terdiri dari batupasir arkose, berbutir kasar, berlapis baik,
terkonsilidasi baik, sisipan batulempung.
6. Formasi Goungon berupa batupasir tufan, batulanau, dan karbonan
7. Endapan Aluvial yang terdiri dari kerikil, lanau, lempung.
Struktur geologi yang berkembang, yaitu : patahan turun, mendatar dan beberap
lokasi patahan naik yang terdapat di Pulau Singkep (Suwarna, N dkk, 1989). Peta geologi
yang menggambarkan kondisi geologi di wilayah kajian tersebut diperlihatkan padam
Gambar 3.5. Berdasarkan kondisi geologi dan pola struktur geologi di daerah Bintan dan
Lingga ditemukan indikasi adanya sebaran cebakan bouksit, bijih besi, timah, granit,
andesit dan pasir darat yang cukup berpotensi untuk di usahakan penambangannya.
Gambar 3.5 Peta geologi daerah Bintan dan Lingga (PSG, 2002).
3.2.2 Genesa Bijih Bauksit Bijih bauksit secara umum merupakan sumber logam alumina (Al) yang dikenal dengan
rumus kimia (Al2O3.2H2O) dengan sistem kristal oktahedral, sedangkan bentuk mineral
lainnya berupa ikatan monohidrat seperti diaspore (Al2O3 H2O), bouhmite dan gibsite Al
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 7
(OH) 3. Namun pada kenyataannya di alam, secara umum mempunyai komposisi berbagai
oksida logam, diantaranya terdiri dari oksida alumina (35 - 65 %) Al2O3; oksida besi (2 -
20 %) Fe2O3; silika bebas antara (2 - 10 %) SiO2; oksida titan (1 - 3 %) TiO2 dan air (10 -
30 %) H2O.
Keterdapatan bijih bauksit di alam bisa berbentuk cebakan bijih bauksit primer dan
cebakan bijih bauksit sekunder. Cebakan bijih bauksit primer terbentuk sebagai akibat
proses magmatik dan hidrotermal yang kaya akan mineral yang mengandung alumina.
Batuan sumber sebagai akibat proses magmatik, yakni berupa batuan beku yang
mengandung mineral anorthosite [(Na,K) AlSi3O8] dan nepheline (Na3K,Al4Si4O16) dan
syenite yang mengandung lebih dari 20 % Al2O3. Sementara oksida alumina produk dari
alterasi hidrotermal pada batuan trachyte dan rhyolite pada daerah volkanik menghasilkan
mineral alumnit [K,Al3 (SiO4)2(OH)2] yang mengandung sekitar 75 % Al2O3.
Sedangkan cebakan bijih bauksit sekunder dapat terbentuk sebagai akibat proses
metamorfosa dari mineral-mineral alumina silikat seperti andalusite, silimanite dan kianite
(Al2SiO5). Cebakan bijih bauksit juga dapat terbentuk sebagai akibat proses pelapukan
dari batuan primer yang bersifat feldspatik (nepheline), terangkut dan terjadi
pengendapan. Berdasarkan letak pengendapannya, cebakan bijih bauksit sekunder dapat
dibagi menjadi 3 (tiga), yakni cebakan (endapan) bauksit residual, bauksit koluvial dan
bauksit aluvial. Sementara berdasarkan lingkungan pengendapannya, cebakan bijih
bauksit dapat diklasifikasikan sebagai cebakan bauksit pada batuan klastik kasar (misal:
bouhmite); cebakan bauksit pada batuan karbonat berumur paleosin (terarosa), misalnya
diaspore; cebakan bauksit pada batuan phosphate yang pada umumnya banyak
mengandung mineral lempung (seperti monmorilonite dan atapulgite); cebakan bauksit
pada batuan sedimen klastik yang banyak dijumpai pada lingkungan pengendapan sungai
berstadium tua atau delta.
Cebakan bauksit di daerah kajian termasuk jenis cebakan residual, merupakan
hasil pelapukan (mengalami laterisasi) akibat pengaruh perubahan temperatur secara
terus menerus dari batuan sumber (granite). Pada awal pelapukan, alkali tanah dan silikat
akan larut dengan baik pada pH : 5 - 7 sebagai akibat delitifikasi. Demikian pula kaolin
bebas akan larut dalam air yang bersifat asam. Proses ini menyesuaikan suasana basa
lemah dari alumina, besi dan titan yang kemudian membentuk endapan aluvial.
Sementara unsur yang mudah larut (Na, K, Mg dan Ca) dihanyutkan oleh air, warna
hidroksida besi lambat laun akan berubah dari warna hitam menjadi coklat kemerahan
dan akhirnya berwarna merah. Litifikasi akan membentuk laterit yang selanjutnya
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 8
mengalami proses pengkayaan hidroksida aluminium [Al(OH)3] dan dilanjutkan dengan
proses dehidrasi sehingga mengeras menjadi bauksit.
3.3 Kebijaksanaan Tata Ruang 3.3.1 Kebijaksanaan Tata Ruang Provinsi Riau Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang berhadapan langsung dengan Singapura
menyebabkan pembangunan berjalan sangat cepat, sehingga dalam waktu mendesak
penataan ruang perlu segera menyelesaikannya. Sementara ini, Provinsi Kepulauan Riau
(Kepri) merupakan salah satu dari provinsi di Sumatera yang belum selesai penunjukan
kawasan hutannya. Hal ini disebabkan karena Kepri merupakan provinsi baru (terbentuk
tahun 2002), dan sedang dalam proses menyusun RTRWP.
Percepatan penyelesaian tentang permasalahan penataan ruang ini akan
mempercepat kepastian hukum terhadap pemanfaatan ruang. Kondisi eksisting Provinsi
Kepulauan Riau, terutama Pulau Batam telah berubah dengan cepat. Banyak kawasan
hutan yang telah berubah fungsi menjadi Ruko, real estate, fasilitas sosial dan fasilitas
umum lainnya. Sementara di Pulau Bintan segera akan menyusul seperti yang terjadi di
Pulau Batam, karena di pulau ini akan dijadikan pusat Pemerintahan Provinsi dan
Kabupaten Lingga yang berdampak terhadap perubahan peruntukan ruang. Berkaitan
dengan hal tersebut Pusdalbanghut Regional I memfasilitasi pertemuan untuk percepatan
proses penataan ruang Provinsi Kepri. Departemen Kehutanan berkepentingan terhadap
legalitas RTRWP Kepri sehingga penunjukan kawasan hutan bisa dilaksanakan. Fasilitasi
tersebut sejak tahun 2005 telah dilakukan beberapa kali dengan mengundang berbagai
pihak antara lain dari Pusat (Direktur Depdagri, Direktur Penataan Ruang Wilayah
Sumatera Departemen PU, Badan Planologi Departemen Kehutanan) dan Daerah
(Kepala Bappeda Provinsi dan Kabupaten/ Kota se provinsi Kepri, Dinas-Dinas Teknis
Provinsi/Kabupaten/Kota se Provinsi Kepri yang berkepentingan terhadap pemanfaatan
ruang).
Permasalahan umum dalam penataan ruang di Provinsi Kepulauan Riau antara
lain: penataan ruang belum mendapat perhatian proposional, adanya konflik
pemanfaatan, kewenangan yang belum jelas dan kurangnya koordinasi antar instansi.
Rekomendasi penting yang perlu diperhatikan bagi Pemprov Kepri adalah perencanaan
tata ruang Provinsi Kepulauan Riau harus memperhatikan kekhasan daerah antara lain :
terdiri dari ribuan pulau termasuk pulau-pulau terluar, posisi strategis, berada di jalur
perdagangan internasional serta kemungkinan ditetapkannya sebagai kawasan Defense
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 9
Coorporation Agreement (DCA) antara Indonesia-Singapura. Penyusunan rencana tata
ruang Wilayah Kepri agar selalu memperhatikan dan mengacu pada keberadaan
kawasan hutan baik yang telah ditunjuk maupun yang telah ditetapkan. Apabila terjadi
perubahan status/fungsi kawasan hutan agar dikonsultasikan ke Kementerian Kehutanan
sejak dari awal. Selain hal tersebut perlu diperhatikan pula situs-situs budaya melayu di
Pulau Lingga, kawasan mangrove di pulau-pulau kecil, dan pulau-pulau terluar.
Implementasi di lapangan sering terjadi perbenturan antar sektor karena terjadi
perbedaan interpretasi peta. Untuk itu dalam penyusunan tata ruang wilayah diperlukan
kesamaan sumber peta yang sama yang dapat diacu oleh semua sektor yaitu peta dari
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Berkaitan dengan
hal tersebut Departemen Kehutanan telah bekerjasama dengan BAKOSURTANAL untuk
membuat peta dasar tematik berbasis citra. Pengalaman menunjukkan masih sering
terjadinya perbenturan antar sektor dalam pemanfaatan ruang. Untuk itu perlu dibentuk
suatu forum sebagai wadah koordinasi antar sektor. Oleh karena itu direkomendasikan
agar pemerintah Provinsi Kepri agar mendorong pembentukan Badan Koordinasi
Penataan Ruang Daerah (BKTRD) tingkat Kabupaten/Kota untuk mempercepat
sinkronisasi dan harmonisasi penataan ruang Kabupaten/Kota.
3.3.2 Kebijaksanaan Tata Ruang Kabupaten Bintan Kabupaten Bintan yang terletak berdekatan dengan negara tetangga, yaitu Singapura dan
Malaysia menjadikan peluang bagi pengembangan daerah dengan prinsip persamaan
dan saling menguntungkan. Disamping letak yang sangat strategis, Kabupaten Bintan
juga mempunyai potensi kawasan budidaya dari berbagai sektor, yakni sektor perikanan,
pertambangan, pariwisata, pertanian dan industri. Kebijaksanaan tata ruang yang
mencakup tentang pengelolaan dan pemanfaatan ruang kawasan budidaya tersebut,
diperlukan strategi pengembangan wilayah yang selaras dengan tujuan kebijaksanaan
pengembangan wilayah regional baik tingkat propinsi maupun tingkat nasional, yaitu
berupa :
• Mempercepat tingkat pertumbuhan ekonomi dan pertahanan dan keamanan di sekitar
Batam termasuk diantaranya Kabupaten Bintan.
• Mempromosikan pusat-pusat pertumbuhan baru melalui struktur dan pola
pemanfaatan ruang sesuai dengan potensi masing-masing wilayah.
• Mengoptimalkan laju pembangunan sektoral dan daerah sehingga dapat mengurangi
melebarnya kesenjangan perkembangan pembangunan antar daerah di wilayah
kepulauan.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 10
• Menyediakan dan mendistribusikan sarana dan prasarana pelayanan yang
mendukung pengembangan wilayah di Kepulauan Riau.
Keterkaitan dengan tujuan tersebut, maka diperlukan strategi pengembangan
wilayah di Kabupaten Bintan, diantaranya adalah :
1. Menjaga dan menciptakan keserasian pemanfaatan ruang diantara berbagai
kepentingan untuk mendukung perkembangan antar sektor dan antar kawasan yang
seimbang dalam suatu kesatuan wilayah, ke arah terwujudnya tata ruang berkualitas
dan terselenggaranya peraturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan
budidaya.
2. Menyerasikan laju pembangunan antar kabupaten/kota untuk mengurangi
kesenjangan perkembangan antar daerah dengan mengembangkan dan memperluas
keterkaitan ekonomi dan ruang antar dan intra daerah, serta melakukan pembukaan
isolasi wilayah untuk mengembangkan kawasan-kawasan tertinggal dan terpencil.
3. Mendorong pengembangan pusat-pusat pertumbuhan dan daerah sekitarnya serta
meningkatkan keterkaitan ekonomi dan ruang antar kawasan untuk lebih memacu dan
memeratakan perkembangan wilayah.
4. Mengembangkan pusat-pusat pemukiman di wilayah pesisir secara selektif,
terkoordinasi dan terpadu dengan sistem pusat-pusat permukiman yang sudah
berkembang di wilayah darat sebagai basis dukungan bagi upaya mendayagunakan
dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan yang ada di
daerah.
5. Menyelenggarakan penataan ruang wilayah pesisir dan lautan termasuk didalamnya
laut perbatasan negara bagi kemakmuran rakyat yang meliputi perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu dan tak
terpisahkan dari ruang daratan dengan memperhatikan kepentingan sektoral dan
daerah untuk mewujudkan tata ruang wilayah pesisir dan lautan yang berkualitas dan
berwawasan lingkungan.
6. Menyelenggarakan penataan ruang udara termasuk didalamnya ruang udara
perbatasan negara yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruang udara secara terpadu dan tak terpisahkan dari ruang daratan,
pesisir dan lautan untuk mewujudkan tertib pemanfaatan ruang udara bagi berbagai
kepentingan.
7. Menegaskan fungsi-fungsi ruang di wilayah daratan, pesisir, lautan serta wilayah
udara untuk mewujudkan perlindungan terhadap fungsi ruang dan untuk mencegah
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 11
serta menanggulangi kemungkinan dampak negatif terhadap lingkungan, termasuk
penetapan spesifikasi ruang dan peruntukkannya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappeda Kabupaten Bintan, penggunaan
peruntukan lahan seperti disajikan pada Tabel 3.1 dan Gambar 3.6.
Tabel 3.1 Penggunaan lahan di Kabupaten Bintan
No Landuse Luas ( Ha )
1 Hutan primer dataran rendah 3.949
2 Hutan dataran rendah 13.203
3 Hutan mangrove 8.244
4 Tegalan 17.794
5 Semak belukar 57.256
6 Pemukiman 5.812
7 Lahan terbuka 1.795
8 Pertambangan 7.845
Jumlah 115.898
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 12
Gambar 3.6 Peta Rencana Tata Ruang Kabupaten Bintan
Sementara berdasarkan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang
telah dituangkan dalam peraturan daerah Kabupaten Bintan Nomor 14 Tahun 2007
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan tanggal 23 Agustus 2007.
Diantaranya menetapkan :
a. Rencana Struktur Tata Ruang Wilayah yang meliputi :
- Rencana Kawasan Lindung dan Budidaya
- Rencana Sistem Kota-kota
- Rencana Sistem Prasarana Wilayah
b. Rencana Pemanfaatan Ruang Daerah yang meliputi :
- Kawasan Lindung
- Kawasan Budaya
c. Rencana Pengembanga Kawasan Strategis dan Kawasan Prioritas :
- Kawasan Strategis
- Kawasan Prioritas
Strategi Pengelolaan Kawasan Lindung :
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 13
1. Strategi pemanfaatan kawasan lindung meliputi langkah-langkah pengelolaan
kawasan lindung yang bertujuan untuk mencegah timbulnya dampak negatif pada
lingkungan hidup dan melestarikan fungsi lindung kawasan yang memberikan
perlindungan kawasan dibawahnya, kawasan perlindungan setempat, kawasan
suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan pelestarian budaya dan kawasan
lindung lainnya.
2. Untuk kawasan lindung strategi pengelolaan yang dilakukan adalah berupa
pemanfaatan dan pengendalian kawasan lindung yang berfungsi untuk wilayah
daerah maupun untuk wilayah yang lebih luas, yaitu Provinsi Kepulauan Riau.
3.3.3 Kebijaksanaan Tata Ruang Kabupaten Lingga Kebijaksanaan Tata Ruang Kabupaten Lingga tidak jauh berbeda dengan Kebijaksanaan
Tata Ruang di Kabupaten Bintan, karena Kabupaten Lingga merupakan kabupaten yang
baru terbentuk dari hasil pemekaran. Berdasarkan data yang diperoleh Bappeda
Kabupaten Lingga, penggunaan peruntukan lahan seperti disajikan pada Tabel 3.2 dan
Gambar 3.7 dan model strateginya diperlihatkan pada Gambar 3.8.
Gambar 3.7 Peta Rencana Tata Ruang Kabupaten Lingga
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 14
Gambar 3.8 Peta Strategi Rencana Tata Ruang Kabupaten Lingga
Tabel 3.2 Penggunaan lahan di Kabupaten Lingga
No Landuse Luas ( Ha )
1 Hutan primer dataran rendah 7.361
2 Hutan dataran rendah 73.250
3 Hutan mangrove 2.334
4 Tegalan 492
5 Semak belukar 1.403
6 Pemukiman 385
7 Lahan terbuka 103
8 Pertambangan 189
Jumlah 85.517
Pada Gambar 3.8 tersebut, terlihat bahwa Pulau Mamot terletak di antara 2 (dua)
model strategi pengembangan dan pemanfaatan lahan, yakni :
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 15
1. Pada bagian timur Pulau Mamot pada umumnya diperuntukkan sebagai :
• Koleksi dan distribusi hasil perikanan dan kelautan
• Kawasan pertanian, perkebunan dan perikanan
• Minapolitan
• Perumahan dan permukiman.
2. Pada bagian timur Pulau Mamot pada umumnya diperuntukkan sebagai :
• Pengembangan kegiatan pertanian
• Kawasan pertanian, perkebunan dan perikanan
• Pusat koleksi dan distribusi hasil pertanian
• Simpul pelayanan transportasi lokal
• Perumahan dan permukiman
3. Berdasarkan model strategi tersebut dapat ditarik model strategi pengembangan dan
pemanfaatan Pulau Mamot sebagai :
• Koleksi dan distribusi hasil perikanan dan kelautan
• Kawasan pertanian, perkebunan dan perikanan
• Pusat koleksi dan distribusi hasil pertanian
• Simpul pelayanan transportasi lokal
• Perumahan dan permukiman
3.4 Kondisi Iklim Sistem klasifikasi iklim di Indonesia pada umumnya mengacu klasifikasi Oldemann dan
klasifikasi Schmidt & Fergusson, kedua klasifikasi ini didasarkan pada jumlah bulan basah
dan bulan kering dalam setahun yang terjadi di suatu daerah. Parameter yang diperlukan
antara lain curah hujan dan banyaknya hari hujan, arah dan kecepatan angin, suhu dan
kelembaban. Iklim di wilayah kajian mengacu data iklim tahun 2009 yang diperoleh dari
stasiun metereologi Hang Nadim yang merupakan stasiun terdekat.
3.4.1 Curah Hujan Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt & Fergusson, wilayah kajian termasuk jenis iklim
basah (type B), dengan Q berkisar antara : 20 - 33 %. Data curah hujan yang diperoleh
dari stasiun Pos Pengamatan Tajung Pinang dan Lingga (Bappeda 2008), menunjukkan
bahwa curah hujan rata-rata di daerah ini adalah 1500 - 3300 mm/tahun dan bulanan
antara 135 – 280 mm/bulan (gambar 3.9 dan gambar 3.10). Bulan basah untuk daerah
ini terjadi pada bulan Oktober hingga Maret, sedang bulan kering terjadi pada April hingga
September. Dengan demikian daerah kawasan konservasi perairan pesisir timur Pulau
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 16
0
50
100
150
200
250
300
350
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des
mm
Bulan
Grafih Curah Hujan Thn 2008 didaerah Lingga
Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot (Lingga) mempunyai bulan basah yang lebih
banyak dari pada bulan keringnya.
Gambar 3.9 Grafik curah hujan di sekitar perairan pesisir timur Pulau Bintan (Kabupaten Bintan)
Gambar 3.10 Grafik curah hujan di sekitar perairan pesisir Pulau Mamut
(Kabupaten Lingga)
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 17
3.4.2 Angin Kondisi angin sangat dipengaruhi oleh sistem tekanan udara di Asia dan Australia
sehingga dalam periode Bulan Desember sampai dengan Bulan maret angin rata-rata
bertiup dari arah Baratdaya menuju Timurlaut, dengan kecepatan angin rata-rata sebesar
5.knot. Pada periode ini bertiup angin musim Barat yang dicirikan oleh hembusan angin
yang kuat dan disertai besarnya amplitudo gelombang laut. Periode Mei sampai Oktober
angin dominan bertiup dari arah Selatan dengan kecepatan berkisar antara 5-7 knot.
Periode Mei sampai Agustus bertiup angin musim Timur, sementara periode bulan
September – Oktober adalah musim peralihan. Data arah angin dan kecepatan angin
rata-rata bulanan tahun 2009 disajikan pada Gambar 3.11
3.4.3 Suhu dan Kelembaban Suhu udara rata-rata bulanan tahun 2009 adalah 26,4o C, sedangkan suhu minimum
berkisar antara 21,8 - 24,9o C, dan suhu maksimum berkisar antara 30,4 - 34,5o C.
Kelembaban nisbi bulanan rata-rata antara 80 - 87 %, tekanan udara berkisar antara
1009,0 hingga 1011,4 MBS.
Gambar 3. 11 Peta arah dan kecepatan angin di wilayah Kabupaten Bintan dan
Kabupaten Lingga
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 18
3.5 Hidro – oceanografi
Dalam konteks ini, gambaran tentang hidro-oceanografi mencakup kedalaman (batimetri),
pola dan kecepatan arus, gelombang dan pasang surut air laut. Hidro-oceanografi ini
perlu diketahui, mengingat bahwa penyebaran �ediment, suhu, salinitas, zat hara,
organisme air maupun tingkat kekeruhan air laut dipengaruhi oleh gerakan massa air di
perairan.
3.5.1 Kedalaman (batimetri) Berdasarkan peta laut yang dikeluarkan oleh Dinas Hidro Oceanografi TNI AL (Gambar
3.12), dapat diketahui bahwa perairan di wilayah kajian mempunyai dasar perairan
dangkal dengan kedalaman antara 2 sampai 46 m kedalaman di bawah permukaan air
laut (dpal).
3.5.2 Arus Pola arus di wilayah kajian dan sekitarnya pada bulan Nopember.- Mei.berarah Baratlaut
dan Tenggara, sementara pada bulan Juni – September berarah Tenggara dan Baratlaut
(gambar 3.13 ). Sementara dari hasil analisis progresif vector diagram di wilayah studi
diperoleh data bahwa arus bergerak �amper� Baratlaut dan Tenggara atau berosilasi
hanya antara dua arah tersebut. Kekuatan arus tersebut tercermin dua osilasi yang kuat
dan �amper�� lemah dengan dua puncak dalam waktu 24 jam. Nampak bahwa massa
air cenderung mengalir �amper� Baratlaut dan �amper mencapai 10 km dalam waktu
sekitar 24 jam.
3.5.3 Gelombang Gelombang atau ombak adalah pergerakan massa air (naik turun) yang dibangkitkan oleh
angin, semakin kuat angin semakin besar pula gelombang yang dibangkitkan. Gelombang
akan menjalar dan bereaksi pada saat mencapai kedalaman tertentu, dan berpotensi
membentuk arus sepanjang pantai (longshore current). Beberapa faktor yang
mempengaruhi tinggi, panjang dan periode gelombang adalah kecepatan, arah, lama
angin bertiup dan fetch. Gelombang dapat diprediksi berdasarkan significant wave
method atau wave spectrum method. Berdasarkan prediksi gelombang laut pada bulan
Jjuli 2010 seperti disajikan pada tabel 3.14 yang memperlihatkan tinggi gelombang
perairan secara regional.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 19
Gambar 3.12 Peta batimetri di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga
Gambar 3. 13 Peta arah dan kecepatan arus di wilayah Kabupaten Bintan dan
Kabupaten Lingga
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 20
Tabel 3.3 Prediksi gelombang laut, arah dan kecepatan angin serta arus laut di beberapa perairan pada bulan Juli 2010
Berdasarkan hasil analisis kondisi gelombang di wilayah kajian menunjukkan
bahwa nilai tinggi gelombang significant (H1β) berkisar antara 25 hingga 75 cm dengan
nilai rata-rata 50 cm. Sedangkan nilai periode gelombang significant (T1β) diperoleh
berkisar antara 2 - 5 detik dengan rata-rata 3 detik. Periode gelombang yang masih
dibawah 4 detik dan tingginya bisa mencapai lebih dari 30 cm, dapat digolongkan sebagai
jenis gelombang yang dibangkitkan oleh kekuatan angin lemah. Energi rata-rata yang
diperoleh lebih kecil dari 8(cmsq), maka gelombang tersebut belum mampu
menggerakkan kolom massa air sampai dekat dasar. Dengan demikian peran gelombang
belum memberikan konstribusi terhadap turbulensi yang dapat mengaduk atau
mengangkut sedimen dari dasar laut.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 21
Gambar 3. 14 Peta tinggi gelombang di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten
Lingga 3.5.4 Pasang surut Pasang surut adalah fenomena naik turunnya paras muka air laut yang diakibatkan oleh
gaya tarik menarik matahari dan bulan. Gaya tarik bulan mempunyai pengaruh yang lebih
besar dibandingkan gaya tarik matahari. Pola pasang surut di sekitar lokasi kajian
dipengaruhi oleh kondisi perairan sekitarnya. Tinggi pasang surut tidak dilakukan
pengamatan, sementara tinggi pasang surut di wilayah kajian sekitar 0,7 sampai 3 m.
3.5.5 Suhu muka laut Sebagai gambaran umum tentang suhu muka laut di Indonesia diilustrasikan dalam
bentuk peta seperti terlihat pada gambar 3.15. Pada peta tersebut terlihat dengan jelas,
bahwa suhu muka laut di Indonesia pada umumnya berkisar antara 28 – 30oC, dengan
suhu muka laut tertinggi di kawasan perairan Indonesia bagian timur, sedangkan suhu
muka laut di sekitar Kepulauan Riau berkisar antara 28 – 29oC. Sedangkan di perairan
Batam dan sekitarnya pada umumnya masih dalam batas normal berkisar – 0,5 s/d +
0,5oC.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 22
3.6 Ekosistem Perairan Laut Dangkal
Ekosistem perairan laut dangkal terdiri dari terumbu karang, padang lamun, hutan bakau,
yang pada umumnya memiliki keanekaragaman jenis tumbuh-tumbuhan dan hewan yang
sangat tinggi.
3.6.1 Terumbu Karang Terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis yang mempunyai
keanekaragaman dan produktivitas yang tinggi.Nilai produktivitas dan keanekaragaman
yang tinggi tersebut dapat dibuktikan oleh banyaknya biota laut yang ditemui, seperti ikan
, moluska, crustacea, echinodermata maupun rumput laut. Brown (1982), mengemukakan
bahwa tingkatan produktivitas primer terumbu karang adalah sepuluh kali lebih besar
dibandingkan dengan lautan tropis terbuka. Kondisi tersebut terbukti dengan efisiensinya
perputaran kembali unsur organik dan anorganik dalam ekosistem terumbu karang.
Gambar 3.15 Peta ilustrasi perubahan suhu muka laut di Indonesia pada periode
Februari – Maret 2010
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 23
Secara mendasar ekosistem terumbu karang dibentuk hasil klasifikasi oleh
kelompok hewan coelenterata yang bermorfologi polip. Bentukan ekosistemnya dilandasi
oleh kemampuan biota tersebut untuk membentuk CaCO3 dengan bantuan simbion
zooxanthellae. Mekanisme pembentukan terumbu karang diawali oleh adanya plankton
yang terapung dan melekat pada dasar laut yang cocok untuk memulai pertumbuhan
karang dengan cara membelah diri dan membentuk koloni. Karang adalah hewan yang
berukuran sangat kecil dan berbentuk seperti tabung yang menghasilkan endapan kapur
yang keras dan merupakan cangkang luar untuk melindungi tubuhnya yang lunak. Dalam
jaringan tubuhnya, hidup sel algae yang memberikan makanan kepada hewan karang
tersebut sebagai hasil dari proses fotosintesa. Endapan kapur dari hewan karang dan
flora-fauna lainnya (algae berkapur tersebut), selanjutnya membentuk terumbu karang
sebagai akibat proses geologi dan biologi yang berlangsung sangat lambat dalam kurun
waktu ribuan bahkan jutaan tahun. Dengan demikian, karang merupakan hewan
pembentuk utama dari sebuah terumbu karang. Berbagai jenis karang, seperti karang
lunak, karang kipas dan karang api termasuk karang batu yang hidup berkoloni dengan
bentuk koloni yang bervariasi, seperti meja, massive, percabangan dan menyerupai
lembaran daun.
Berbagai tipe atau bentuk terumbu karang, diantaranya adalah terumbu karang
tepi, yang terbentuk di tepi atau pinggir pulau (daratan). Gosong terumbu (patch reefs),
yakni terumbu karang yang tidak luas dan pembentukannya belum mencapai permukaan
laut. Atol, yaitu terumbu karang yang menyerupai cincin. Terumbu karang penghalang
(barrier reefs), yakni terumbu karang yang terpisah dari daratan oleh laut (goba) yang
dalam. Dengan demikian, terumbu karang dapat berfungsi sebagai penahan dan
penyangga dari hempasan ombak dan arus yang kuat, sehingga dapat melindungi pantai
dari ancaman abrasi. Sementara keunikan dan keindahan bentuk dan warna dari
tumbuhan dan hewan pembentukkannya mempunyai nilai estitika yang tak terhingga
untuk dinikmati dan diteliti. Disamping itu, terumbu karang juga merupakan daerah
asuhan, rumah tempat berpijah, daerah berlindung bagi ribuan ikan, moluska, kepiting,
dan udang, yang semuanya itu merupakan sumber kehidupan bagi manusia yang tinggal
di daerah pesisir.
3.6.2. Padang Lamun Padang lamun (seagrass beds) dan rumput laut (alga makro) merupakan ekosistem yang
sangat penting bagi wilayah pesisir dan laut. Padang lamun dapat berfungsi sebagai
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 24
pengikat sedimen dan penyaring zat-zat pencemar yang berhaya. Disamping itu, juga
berfungsi sebagai tempat pemijahan dan pembesaran ikan serta penghasil nutrien.
Beberapa jenis lamun yang terdapat di perairan pesisir timur Pulau Bintan, antara
lain : Halodule universis, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii
dan Enhelus acoroides. Bahkan diketemukan di Berakit satu jenis lamun yang langka di
Indonesia (LIPI, 2003), yaitu : Halophyla spinulosa yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan
berpotensi sebagai bahan baku industri makanan, obat dan kosmetika.
3.6.3. Vegetasi Mangrove (Bakau) Vegetasi mangrove ditandai dengan banyaknya akar nafas, jenisnya sedikit, tetapi setiap
jenis biasanya mempunyai populasi dominan dan melimpah. Ekosistem mangrove
mempunyai fungsi sangat penting, yakni sebagai penahan angin, ombak dan abrasi bagi
daerah pesisir juga merupakan rumah (habitat) dan berkembang biak bagi berbagai jenis
ikan, udang, kepiting dan satwa lainnya seperti ular, kelelawar dan berbagai jenis burung.
Akar mangrove yang unik dapat membantu menahan lumpur dan / atau mengurangi laju
pelumpuran di padang lamun dan terumbu karang. Sementara batang mangrove
mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, seperti jenis kayu gabus banyak digunakan
dalam industri farmasi dan kedokteran, bahan pulp pembuatan kertas, pembuatan arang,
kayu bakar serta bahan pembuatan tiang bangunan.
3.7 Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisir 3.7.1 Budaya Masyarakat Pola budaya penduduk di sekitar kawasan konservasi perlindungan laut di Bintan Timur,
Kabupaten Bintan dan di Pulau Mamut, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau
terlihat dalam kehidupan sehari-hari terutama untuk golongan nelayan saling tolong
menolong antara tetangga yang tinggal berdekatan terutama untuk pekerjaan-pekerjaan
kecil yang lokasi berdekatan. Demikianpula tolong menolong antara kaum kerabat dalam
suatu keluarga atau upacara adat sekitar titik-titik peralihan pada lingkungan hidup
individu atau keluarga.
Nilai budaya dari semua suku selalu berorientasi ke atas/vertikal (ketua adat) hal ini
menimbulkan kurang percaya pada kemampuan sendiri, sikap tak berdisiplin murni dan
kurang mempunyai rasa tanggung jawab. Tetapi dari aspek negatif nilai budaya
masyarakat tersebut dapat menjadi positif dilakukan untuk membangun dengan
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 25
mengajak tokoh-tokoh masyarakat (ketua adat) menjadi penuntun (sebagai conto hidup
hemat, kerja keras dan disiplin) dalam proses membangun tersebut. Aspek lainnya yaitu
sifat tahan penderitaan, hal ini dikarenakan oleh kondisi alamnya sehingga apabila akan
dikembangkan untuk proses pembangunan perlu keuletan untuk bekerja.
3.7.2 Sosial Ekonomi Kabupaten Bintan (khususnya Bintan Timur), Provinsi Kepulauan Riau memiliki luas
kurang lebih 2.046,60 km2 atau 204.660 Ha, perkembangan jumlah penduduk yang terjadi
berakibat pada semakin berkembangnya kegiatan dari tingkat perekonomian wilayah.
Struktur penduduk menurut mata pencaharian umumnya dikaitkan dengan tingkat
pendidikan yang didominasi belum tamat SD serta keahlian yang didapat merupakan
warisan turun menurun/budaya, hal ini menunjukkan bahwa dominasi kegiatan untuk
melakukan produktifitas sehari-hari masih disektor pertanian kurang sebesar 76,31 %,
sektor jasa kemasyarakatan 8,08 %, industri pengolahan 5,56 % dan jasa pariwisata yang
masih relatif kecil.
Dalam konteks pembangunan ekonomi wilayah tiap-tiap daerah mempunyai pola
arahan pengembangan struktur tata ruang wilayah, untuk wilayah Taman Nasional
Kelimutu di katagorikan sebagai Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) 3 (tiga) yang
dimasukkan dalam wisata bahari, kelautan dan budidaya perikanan. Pertumbuhan
ekonomi wilayah Kabupaten Bintan Timur secara bertahap masih mengandalkan
beberapa sektor antara lain pertambangan (bauksit, andesit, pasir kuarsa dan lainnya),
perkebunan kelapa sawit (tanaman pangan, tanaman perkebunan, kehutanan,
peternakan dan perikanan).
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 1
BAB - IV
KAJIAN AKTIVITAS PENAMBANGAN DAN KONDISI PERAIRAN
4.1 Kajian Aktivitas Penambangan
4.1.1 Jenis Komoditi Bahan Tambang Beberapa jenis bahan tambang yang terdapat di wilayah kajian, diantaranya adalah bijih
bauksit, bijih besi, pasir kuarsa dan batuan andesit. Bijih bauksit kini pada umumnya
dieksport ke Singapura masih dalam kondisi mentah, namun masih menyisakan
pertanyaan apakah bijih tersebut diolah menjadi bahan baku industri lainnya atau hanya
sekedar dijadikan sebagai material tanah urug?. Demikian pula dengan bijih besi dan bijih
bauksit yang juga masih dalam kondisi mentah di ekport untuk memenuhi permintaan
industri peleburan di Cina (RRC). Sementara pasir kuarsa dan batuan granit (andesit)
yang telah direduksi ukurannya menjadi agregat di eksport ke Singapura sebagai bahan
bangunan.
Sementara menurut Undang Undang No.4 tahun 2009, tentang pertambangan,
dalam pasal 8 dinyatakan bahwa semua bahan galian (tambang) sebelum di eksport
harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu didalam negeri. Dengan demikian akan dapat
memberikan nilai tambah dan mampu mensuport kebutuhan bahan baku dalam negeri
untuk industri-industri lainnya diluar sektor pertambangan. Diantara jenis bahan tambang
tersebut, bijih bauksit merupakan primadona komoditi eksport bahan tambang dan paling
dominan untuk dieksploitasi baik di Kabupaten Bintan maupun di Kabupaten Lingga.
4.1.2 Karakteristik Bahan Tambang Terdapat 4 (empat) jenis komoditi bahan tambang, yaitu bijih bauksit, bijih besi, batuan
andesit dan pasir kuarsa. Diantara ke-empat komoditi bahan tambang tersebut, bijih
bauksit yang paling banyak disusahakan untuk ditambang baik di Kabupaten Bintan
maupun di Kabupaten Lingga. Dengan demikian dalam konteks ini, hanya dipilih bijih
bauksit saja yang akan dikarakerisasi lebih lanjut, mengingat aktivitas penambangannya
paling berpotensi terhadap kemungkinan perubahan ekosistem perairan laut dangkal.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 2
Bijih Bauksit Secara megaskopik bijih bauksit berwarna coklat kemerahan, coklat kekuning-kuningan,
kuning kecoklatan. Pada umumnya, bijih bauksit bersifat keras, berongga, dan fragmental
dengan ukuran fragmen berkisar (1 mm - 1,5 cm). Komposisi fragmen dan matriks telah
mengalami pelapukan secara intensif dan pada umumnya menjadi mineral lempung dan
oksida besi (Gambar 4.1).
Gambar 4.1 Foto sample bijih bauksit (A. Kijang 1, B Kijang 2, C. Mamot)
Komposisi Mineral
Berdasarkan hasil analisis mikroskopis terhadap sayatan tipis pada posisi nikol silang
seperti diperlihatkan oleh fotomikrografi (Gambar 4.2), menunjukkan bahwa batuan induk
berupa granit teralterasi sangat kuat, dan memperlihatkan tekstur klastik yang terdiri dari
fragmen dan matriks. Ukuran fragmen (0,2 - 2) mm, pada umumnya terdiri dari fragmen
yang yang komposinya telah terubah menjadi mineral lempung (Lp) yang berwarna coklat
kemerah-merahan. Mineral-mineral lainnya berupa mika halus (Mk), silika halus (Si), kuarsa (Ku), dan felspar yang terserisitkan, serisit (Se) serta nefelin syenite. Matriksnya
berupa mineral lempung berwarna coklat kemerah-merahan hingga kekuning-kuningan.
Nampak adanya Gibbsite (= Gb, yaitu: salah satu jenis dari mineral bauxite) yang
menunjukkan bentuk-bentuk struktur radier/agregat/melingkar dan kadang-kadang
menyerupai bentuk garis (lining) yang mirip dengan felspar dan seringkali mengisi rongga
(space), dan mineral limonit (berupa Goethite = Gt) yang berwarna coklat kehitam-
hitaman.
Sementara defraktogram hasil analisis X-RD (X-Ray Diffraction) teerhadap ketiga
conto tersebut sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4.3. Pada defraktogram tersebut
menunjukkan bahwa contoh bijih bauksit tersebut mengandung beberapa jenis mineral,
seperti : Gibbsitte [Al (OH)3], Hematite (Fe2O3), Goethite (Fe3O(OH), Nacrite
A B C
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 3
[Al2Si2O2(OH)4] (termasuk jenis lempung). Hasil analisis baik secara mikroskopik maupun
dengan metoda X-RD, menunjukkan bahwa sebagian bauksit mengandung mineral
lempung yang berpotensi terjadinya kekeruhan perairan.
Gambar 4.2 Fotomikrograf kenampakan mikroskop polarisasi pada sayatan tipis (Sample Kijang 1, Kijang 2, Mamot)
Si Se
Gb Ku
Lp Gt
Gb
Gb
Lp Gt
Lp Gt Si A. Kijang 1
Gb
Mk
Gb
Gt
Gb,
Gb Gt, Lp Gb
Gt/Lm
Ku B. Kijang 2
Gb
Ku
Mk, Si, Gt
Gb
Mk, Si, Gt
Ok
C. Mamot
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 4
Gambar 4.3 Defraktogram X-RD (Sample Kijang 1, Kijang 2, Mamot)
Komposisi Kimia Hasil analisis kimia terhadap ke-tiga conto bijih bauksit dengan menggunakan AAS
seperti disajikan pada Tabel 4.1.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, menunjukkan bahwa bijih bauksit Pulau
Bintan didominasi oleh mineral gibsite, dengan kandungan Al2O3 berkisar antara 47,31 %
- 49,39 %, dan kandungan Fe2O3 sekitar 1,53 - 7,49 %. Sementara kandungan mineral
lempung berupa nacrite yang cukup tinggi, yakni sekitar 30 % serta mempunyai densitas
rata-rata sebesar 2.54. Sedangkan bijih yang berasal dari Pulau Mamot, sementara
cenderung dapat dikatakan sebagai bijih besi, karena kandungan mineralnya lebih
didominasi oleh mineral hematite dan goetite dengan kadar Fe2O3 sekitar 36,74 % lebih
tinggi dibanding kadar Al2O3 yang hanya sekitar 17,31 %. Sementara kandungan mineral
lempung lebih rendah, yaitu hanya sekitar 10 %, namun mempunyai densitas rata-rata
lebih tinggi dibandingkan dengan bijih bauksit, yaitu sekitar 2,68.
A. Kijang 1
B. Kijang 2
C. Mamot
Nacrite
Gibssite Hematite
Gouthite
Nacrite
Nacrite
Gibbsite Hematite
Gibbsite
Gouthite
Hematite
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 5
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
0.001 0.01 0.1 1 10
JUM
LAH
LOLO
S S
ARIN
GAN
(%
)
DIAMETER BUTIR
GRAFIK PEMBAGIAN BUTIR - ASTM
BINTAN
Tabel 4.1 Hasil analisis kimia sample bijih bauksit (Kijang 1, Kijang 2, Mamot)
No Komponen Oksida (% berat)
Kadar oksida conto bijih bouksit, % Keterangan
Kijang 1 Kijang 2 Mamot 1 Silicone dioxide (SiO2) 13,85 8,92 7,56 Gravimetry 2 Titanium diuxide (TiO2) 1,21 3,59 12,37 Spectrophotometry3 Aluminium trioxside
(Al2O3) 49,37 47,31 17,31 Titration
4 Iron trioxside (Fe2O3) 1,53 7,49 36,74 AAS 5 Manganase oxide (MnO) 0,06 0,11 0,11 AAS 6 Magnesium oxide (MgO) 0,00 0,00 0,00 AAS 7 Calcium oxide (CaO) 0,01 0,01 0,00 AAS 8 Potassium oxide (K2O) 0,03 0,06 0,56 AAS 9 Sodium oxide (Na2O) 0,93 1,44 5,19 AAS
10 Phosphoric (P2O5) 3,98 5,71 4,68 Spectrophotometry11 Moisture content (H2O-) 2,93 1,92 3,34 Gravimetry 12 Volatic content (H2O+) 24,65 22,15 10,18 Gravimetry 13 LOI (Ignition Loss) 28,93 25,32 15,38 Gravimetry
Distribusi Ukuran Butir
Gambar 4.4. Grafik distribusi ukuran besar butir sample bauksit Pulau Bintan berdasarkan ASTM
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 6
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
0.001 0.01 0.1 1 10
JUM
LAH
LOLO
S SA
RIN
GAN
(%
)
DIAMETER BUTIR
GRAFIK PEMBAGIAN BUTIR - ASTM
LINGGA
Gambar 4.5 Grafik distribusi ukuran besar butir sample bauksit Pulau Mamot berdasarkan ASTM
Densitas
Tabel 4.2 Hasil analisis densitas contoh bijih bauksit Pulau Bintan dan Pulau Mamot
NO. CONTOH Pulau Bintan Pulau MamotKEDALAMAN Stockpile Permukaan tanah WAKTU PENGERJAAN 12 Oktober 2010 12 Oktober 2010 NO. PIKNOMETER 18 20A 17 5A BERAT PIKNOMETER + TANAH (W1) ggrr 64.34 65.09 66.91 65.05 BERAT PIKNOMETE (W2) gr 50.23 51.42 52.15 51.06 BERAT TANAH WT=W1-W2 gr 14.11 13.67 14.76 13.99 SUHU oC 24 24 24 24 PIKNOMETER + AIR + TANAH (W3) gr 160.02 157.63 165.35 158.88 PIKNOMETER + AIR PADA oC (W4) gr 151.49 149.3 156.53 150.50 KOREKSI SUHU 0.9973 0.9973 0.9973 0.9973 (W1-W2) + W4 (W5) gr 165.600 162.970 170.867 164.084 ISI TANAH (W5 - W3) gr 5.58 5.34 5.52 5.20BERAT JENIS WT/(W5-W3) gr/cm2 2.5287 2.5599 2.6752 2.6885 BERAT JENIS RATA-RATA 2.5443 2.6818
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 7
4.1.3 Jumlah Ijin Usaha Pertambangan Sejarah aktivitas pertambangan bijih bauksit di daerah Kijang dimulai pada tahun 1924,
yakni sejak diketemukannya cebakan bauksit oleh sebuah perusahaan Belanda, NV
Nederland Indische Bauxiet Exploitatie Maatschappij (NIBEM). Namun NIBEM baru mulai
melaksanakan penambangannya pada tahun 1935 hingga tahun 1942. Pada tahun 1942
hingga 1945, usaha pertambangan tersebut diambil alih oleh pihak Pemerintah Jepang
melalui perusahaan Furukawa Co.Ltd. Sekitar tahun 1959, usaha pertambangan tersebut
kembali ditangani oleh NV Nederland Indische Bauxiet Exploitatie Maatschappij (NIBEM).
Setelah tahun 1959, kegiatan pertambangan bauksit ini diambil alih oleh Pemerintah
Republik Indonesia dengan mendirikan PT Pertambangan Bauoksit Indonesia (PERBAKI)
yang kemudian dilebur menjadi PN Pertambangan Bauksit Indonesia yang berada di
lingkungan BPU PERTAMBUN. Tahun 1968, BPU PERTAMBUN bersama-sama dengan
PN, PT dan proyek-proyek lainnya dalam lingkungan BPU PERTAMBUN dilebur kedalam
PN Aneka Tambang (Persero) yang selanjutnya berganti nama menjadi PT Aneka
Tambang. Tbk.
Semenjak paska penambangan bauksit oleh PT Aneka Tambang, kini telah
dilakukan kembali kegiatan inventarisasi dan evaluasi terhadap area bekas tambang
bauksit di wilayah PT Aneka Tambang dan pengamatan lapangan pada perusahaan-
perusahaan tambang yang kini masih aktif. Perusahaan-perusahaan pertambangan
tersebut diantanya adalah: Perusahaan tambang granit PT. Bukit Panglong di daerah
Panglong (Kijang), CV Kijang Jaya dan PT Mitra Investindo di daerah Galang Batang,
Kecamatan Gunung Kijang, serta Perusahaan tambang pasir PT Anyer Raja Utama dan
PT Pulau Batu Mulia. Namun dengan diterbitkannya Keputusan Kementrian Perdagangan
Nomor 2 tahun 2007, yakni kebijakan pemerintah tentang pelarangan ekspor pasir darat,
sehingga produksi penambangan pasir kini cenderung turun, karena hanya untuk
memenuhi kebutuhan di daerah Pulau Bintan dan sekitarnya.
Kini jumlah ijin usaha pertambangan di Kabupaten Bintan meningkat kembali,
secara keseluruhan tercatat sebanyak 20 perusahaan, yang mencakup 3 (tiga) jenis
komoditi bahan tambang, yaitu pasir darat (6 perusahaan), granit (5 perusahaan) dan
bouksit (9 perusahaan). Dari seluruh jumlah ijin usaha pertambangan tersebut, 3
perusahaan masih dalam tahap eksplorasi dan selebihnya 17 perusahaan sudah dalam
tahap eksploitasi (produksi) meskipun ada sebagian yang sudah tidak aktif lagi. Data
tentang jenis bahan tambang, lokasi, luas dan kondisi dan jumlah ijin usaha
pertambangan tersebut secara rinci disajikan pada Tabel 4.3.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 8
Tabel 4.3 Jenis, lokasi, luas dan kondisi bahan tambang di Kabupaten Bintan (2010)
No
Jenis No dan Tgl Lokasi Luas Status Nama Perusahaan SIUP Bahan tambang (Ha) Kondisi
Pasir Darat
1 PT.Tri Panorama Setia 244/V/2009, 5 Mei 2009 Kec.Gunung Kijang 45.5 Produksi
2 PT.Buana Bangun Sejati
259/V/2009, 20 Mei 2009
Kec.Seri Kuala Loban 71.12 Produksi
3 PT.Sri Jaya Abadi 227/IV/2009, 27 April 2009
Teluk Bakau, Kec G.Kijang 10 Produksi
4 PT.Bintang Mas Jaya 408/X/2009, 13 10 2009 Kec.Tel Bintan 35.1 Produksi
5 PT.Shanindo Indah 488/XII/2009, 30 12 2009 Kec.G.Kijang 44.23 Produksi
6 PT.Bintan Inti Sukses 298/VI/2010, 23 Jun 2010 Kec.G.Kijang 57.14 Produksi
Granit
1 PT.Bukit Panglong 244/V/2009, 5 Mei 2009 Kec.Gunung Kijang 41.78 Produksi
2 PT.Sindo Mandiri 259/V/2009, 20 Mei 2009
Kec.Seri Kuala Loban 22.98 Produksi
3 PT.Mitra Investindo 227/IV/2009, 27 April 2009
Teluk Bakau, Kec G.Kijang 63.72 Produksi
4 PT.Bintan Nusa multi 408/X/2009, 13 10 2009 Kec.G.Kijang 42.5 Produksi
5 PT.Bina Riau Jaya 488/XII/2009, 30 12 2009 Kec.Tel Sebaong 26.2 Produksi
Bauksit
1 PT.Gunung Sion 173/III/2010, 23 Mei 2010
Kec.Bintan Pesisir Kec.Batang 577.9
Perpanjangan IUP
2 PT.Gunung Kijang Jaya Lestari
174/III/2010, 29 3 2010
Desa G.Kijang, Kec.G.Kjang 19
Perpanjangan IUP
3 PT.Danpac Resources 217/IV/2009, 26 April 2010 P.Matang Baru 186.5
Perpanjangan IUP
4 PT.Wahana karya Suksesindo
352/VIII/2008, 13 8 2008 Kec.Bintan Timur 195.8 Produksi
5 PT.Bina Riau Jaya 488/XII/2009, 30 12 2009 Kec.Tel Sebaong 26.2 Produksi
6 PT.Bintang Cahaya Terang
385/IX/2010, 07 Sep 2010 Kec.Tel Bintan 148.2 Produksi
7 PT. Gunung Bintan Abadi
219/IV/2010, 26 April 2010
Kec.Tel Bintan, Kec.Bintan Pesisir -
IUP Eksplorasi
8 PT.Lobindo Nusa Persada
127/III/2010, 12 3 2010 Kec.Bintan Timur 373.7
IUP Eksplorasi
9 PT.Tunggul Ulung Makmur
49/I/2010, 28 Jan 2010 Kec.Bintan Pesisr 62.4
IUP Eksplorasi
Jumlah total 2050 *) Sumber : Dinas ESDM – Kabupaten Bintan
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 9
Sedangkan jumlah ijin usaha pertambangan yang berada di Kabupaten Lingga
relatif lebih banyak dibandingkan yang berada di Kabupaten Bintan, secara keseluruhan
tercatat sebanyak 29 perusahaan yang mencakup 2 (dua) komoditi bahan tambang, yaitu:
bijih timah putih (9 perusahaan) dan bijih bauksit (20 perusahaan). Dari seluruh jumlah
ijin usaha pertambangan tersebut, 15 perusahaan masih dalam tahap eksplorasi dan
selebihnya 14 perusahaan sudah dalam tahap eksploitasi. Data tentang jenis bahan
tambang, lokasi, luas dan kondisi dan jumlah ijin usaha pertambangan tersebut secara
rinci disajikan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Jenis bahan tambang, nama perusahaan, lokasi dan kondisi (2010) di Kabupaten Lingga
No Jenis bahan tambang
dan Nama Perusahaan
Lokasi Kondisi
Timah putih 1 PT.Singkep Timah Mas Kec.Singkep Selatan dan Barat Eksploitasi 2 PT.Nusantara Resources Desa Kuala Raya, Kec Singkep Barat Eksplorasi 3 PT.Nusantara Resources Laut Teluk Baruk, Kec.Singkep Eksplorasi 4 PT.Singkep Tin Mining Laut Kruing, Kec.Singkep Eksplorasi 5 PT.Citra Dana Laut Singkep, Kec.Singkep Eksplorasi 6 PT.Singkep Timas Utama Kec.Singkep Selatan dan Barat Eksplorasi 7 PT.Citra Dana Laut Singkep, Kec.Singkep Eksplorasi 8 PT.Singkep Tin Mining Laut Lanjut Singkep, Kec.Singkep Eksplorasi 9 PT.Bumi Mineral Perindo Laut Cibia, Kec.Lingga Eksplorasi
Bouksit 1 PT.Telaga Bintan Jaya Desa Penuba, P.Selayar, Lingga Eksploitasi
2 PT.Pinarik Hitam Desa Selayar, Tanjung Dua, Kec.Lingga Eksploitasi
3 PT.Kampung Lepan Mulya P.Selayar, Desa Penuba, Kec.Lingga Eksploitasi
4 PT.Sanmas Mekar Abadi P.Lingga Desa Sekanah, Kec Lingga Utara Eksploitasi
5 PT.Impian Cipta Bintan Sukses Desa Bakong, Kec.Singkep Barat Eksploitasi
6 PT.Hermina Jaya Desa Marok Tua, Kec Singkep Barat Eksploitasi
7 PT.Sumber Prima Lestari P.Bendahara,Desa Posek,Kec.Singkep Barat Eksploitasi
8 PT.Telaga Bintan Jaya Tanjung Baru Tinjul,KualaRaya,Singkep Barat Eksploitasi
9 PT.Karya Bintan Perkasa P.Kentar, Kec.Senayang Eksploitasi
10 PT.Telaga Bintan Jaya Langkap Desa Bakong, Kec Singkep Barat Eksploitasi
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 10
11 PT.Sanmas Mekar Abadi Desa Marok Kecil, Kec Singkep Eksploitasi
12 PT.Telaga Bintan Jaya Bukit Belah Panggah S. Buluh, Kec Singkep Barat Eksploitasi
13 PT.Sanmas Mekar Abadi Desa Sakanah, Kec.Lingga Utara Eksploitasi
14 PT.Citra Lingga Abadi P.Panjang Desa Posek, Kec.Singkep Barat Eksplorasi
15 PT.Citra Lingga Abadi P.Rusuk Buaya Desa Posek, Kec.Singkep barat Eksplorasi
16 PT.Sumber Prima Lestari Pulau Posek, Desa Posek, Kec.Singkep Barat Eksplorasi
17 PT.Citra Lingga Abadi P.Simping Desa Posek, Kec.Singkep Barat Eksplorasi
18 PT.Telaga Bintan Jaya Desa Bakong/Cukas, Kec.Singkep Barat Eksplorasi
19 PT.Gunung Bintan Abadi Desa Mamut, P.Mamut, Kec.Senayang Eksplorasi
20 PT.Lingga Bauksit Bersama P.Sebangka, Kec.Senayang Eksplorasi
*) Sumber : Dinas ESDM – Kabupaten Lingga
4.1.4 Sistem dan Metoda Penambangan Sistem penambangan yang diterapkan pada umumnya adalah sistem tambang terbuka
(surface mining) dengan metoda penambangan (open cash dan/atau atau open pit) yang
dilakukan secara berjenjang (benching). Aktivitas penambangan dengan sistem tambang
terbuka minimal terdiri dari 5 (lima) tahapan kegiatan, yakni: tahap persiapan
(development), dimulai sejak dari pembersihan lahan (land clearing) dan pengupasan
tanah penutup (stripping of overburden) hingga pembangunan infrastruktur. Tahap
penambangan terdiri dari penggalian, pemuatan, pengangkutan dan penampungan
menuju ke (stockpile). Tahap pengolahan produk : seperti reduksi ukuran besar butir,
pencampuran (mixing) dan pencucian. Tahap pemasaran : pemuatan dan pengapalan.
Tahap terakhir adalah paska tambang (reklamasi).
Sebagai gambaran tentang aktivitas penambangan bijih bauksit diperlihatkan pada
(Gambar 4.6), yaitu semenjak tahap persiapan hingga tahap pemasaran produk
dilakukan dengan bantuan peralatan berat. Beberapa jenis alat berat, seperti bouldozer
digunakan sebagai alat gali dan alat dorong dalam pekerjaan stripping dan land clearing.
Sementara back hue disamping digunakan sebagai alat gali juga sekaligus sebagai alat
muat, whell loader digunakan sebagai alat muat, serta dump truck digunakan sebagai alat
angkut. Sedangkan di laut umumnya digunakan tongkang yang ditarik oleh toughboat
(Gambar 4.7).
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 11
Gambar 4.6 Foto aktivitas penambangan bauksit di daerah Kijang, Pulau Bintan
Gambar 4.7 Foto aktivitas pengangkutan (pengapalan) bauksit di daerah Kijang
Sedikit berbeda dengan aktivitas penambangan bijih bauksit maupun bijih besi,
penambangan batuan granit (andesit) sebagai agregat bahan bangunan yang dilakukan
melalui pengambilan/ pengumpulan batuan andesit berbentuk boulder yang banyak
tersebar di wilayah usaha pertambangan. Sebagian besar boulder tersebut diangkut ke
beberapa lokasi unit pemecahan batu untuk direduksi ukurannya secara manual
(konvensional) dengan melibatkan masyarakat penambang setempat secara
berkelompok, sementara boulder yang berukuran lebih kecil langsung diangkut ke unit
cruhing plant yang berada di dekat pantai. Produk batu belah yang dihasilkan oleh
masyarakat penambang, selanjutnya diangkut ke lokasi crushing plant untuk mereduksi
menjadi ukuran yang lebih kecil sebagai produk agregat dalam berbagai ukuran yang siap
untuk dipasarkan (Gambar 4.8 ).
Lain halnya dengan penambangan pasir darat (kuarsa) yang menempati kolam-
kolam bekas area penambangan terdahulu, pada umumnya dilakukan oleh kelompok
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 12
masyarakat penambang yang dikelola oleh KUD. Penambangan dilakukan secara
konvensional dengan menggunakan pompa hisap yang ditaruh diatas rakit yang
dilengkapi dengan saringan sederhana (Gambar 4.9). Hasil penambangan pasir kuarsa
tersebut, selanjutnya diangkut ke dermaga (pengapalan) untuk di ekspor ke Singapura
sebagai bahan agregat untuk campuran beton bertulang.
Gambar 4.8 Foto aktivitas reduksi ukuran butir (crushing plant) granit (andesit)
Gambar 4.9 Foto aktivitas penambangan pasir darat (kuarsa)
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 13
4.1.5 Aspek Perlindungan Lingkungan Hampir semua aktivitas pertambangan berpotensi terjadinya perubahan kualitas
lingkungan perairan, mulai dari ketika pembukaan lahan, pembangunan infrastruktur,
penambangan, pengangkutan, penimbunan di stockpile hingga ke pemasaran
(pengapalan). Perubahan tersebut terutama jika turun hujan, dimana tumpukan material
lepas terangkut oleh air hujan dan mengalir melalui sungai yang pada ujungnya bermuara
ke perairan laut. Oleh karena itu, dalam pengelolaan pertambangan perlu dilakukan
secara baik dan benar, atau paling tidak mempunyai kepedulian terhadap lingkungan di
sekitarnya. Kepedulian lingkungan tidak hanya dilakukan pada tahap paska tambang,
melainkan dilakukan semenjak awal perencanaan tambang sudah dipikirkan.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, menunjukkan bahwa sebagian besar
usaha pertambangan baik di Kabupaten Bintan maupun di Kabupaten Lingga masih
kurang kepedulian terhadap lingkungan. Terutama aktivitas penimbunan (stockpile) dan
pemuatan di dermaga (jeti) tempat pengapalan bahan tambang yang akan di eksport,
yang pada umumnya tidak dibuat benteng maupun kolam pengendapan. Ketika terjadi
turun hujan, sebagian material lepas (bijih bouksit) terbawa air hujan mengalir menuju ke
laut, sehingga dapat mengakibatkan air laut menjadi keruh sebagaimana diperlihatkan
pada gambar 4.10, dengan demikian dapat menimbulkan terjadinya perubahan kualitas
perairan yang berujung pada perubahan ekosistem perairan dan degradasi lingkungan
perairan.
Gambar 4.10 Foto perbedaan kekeruhan air laut di sekitar jeti ketika turun hujan
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 14
4.2 Kajian Kondisi Perairan
4.2.1 Parameter Fisik Air Komponen parameter fisik air yang diamati dan akan digunakan sebagai indikator dalam
kajian ini, yakni : derajat keasaman (pH), temperatur, daya hantar listrik (DHL), salinitas,
total disolved solid (TDS), total suspended solid (TSS), kekeruhan dan kecerahan. Hasil
analisis terhadap sample air yang diambil di lokasi wilayah kajian (Gambar 4.11), baik di
perairan timur Pulau Bintan (kode sample BT) maupun di perairan utara Kepulauan
Lingga (kode sample MT) disajikan pada Tabel 4.5.
Gambar 4.11 Foto aktivitas sampling parameter perairan
Tabel 4.5 Hasil analisis parameter fisik perairan
No Kode Sample
Koordinat Komponen parameter fisik air
X Y pH Suhu DHL Salinitas TDS TSS Kekeruhan- oC μS/cm o / oo mg/l mg/l NTU
01 BT- 01 456621 108962 6.13 28.1 256 0.0 132 50 0.88
02 BT- 02 459454 109695 6.68 26.8 90 0.0 122 50 4.02
03 BT- 03 449646 133191 6.88 26.6 6430 3.4 340 56 6.59
04 BT- 04 459479 109708 8.26 26.4 50900 33.6 49396 46 0.28
05 BT- 05 470193 102942 8.47 28.6 50200 32.9 59406 36 0.56
06 BT- 06 477029 110365 8.38 29.5 43600 29.0 58754 36 15.2
07 BT- 07 461769 100625 8.38 27.2 42700 27.5 46990 142 98.8
08 BT- 08 457824 99350 5.70 27.3 34 0.0 134 36 0.74
09 BT- 09 457178 87089 8.41 27.0 46100 30.1 49246 52 61.6
10 BT- 10 462444 101193 8.45 27.5 47900 31.4 48754 52 0.82
11 BT- 11 461961 105474 8.40 27.9 47000 30.5 61006 36 0.29
12 MT- 01 443820 14214 6.89 27.0 43 0.0 104 28 0.67
13 MT- 02 445906 12102 8.36 28.6 45200 29.5 46490 40 0.62
14 MT- 03 448047 10814 8.53 27.3 45900 29.7 48680 38 0.43
15 MT- 04 449706 9122 8.44 27.6 45600 29.5 52382 34 0.82
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 15
4.2.2. Parameter Kimia Air dan Kandungan Unsur Logam Berat Komponen parameter kimia air yang diamati hanya terbatas pada parameter kimia air
yang mencakup : DO, COD, nitrit, nitrat, amonium dan zat organik (Tabel 4.6). Disamping
itu juga dilakukan analisis terhadap kandungan unsur logam berat seperti unsur : Cu, Pb,
Zn, Fe, Cd, Cr dan Al. Seperti diketahui bahwa kandungan unsur logam berat juga
termasuk parameter yang diperlukan dalam menilai perubahan kualitas perairan
sebagaimana dipersyaratkan oleh KLH. Hasil analisis unsur logam berat di wilayah kajian
tersebut disajikan pada Tabel 4.7 walaupun tidak semua unsur logam berat dianalisis,
namun paling tidak dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam kajian ini.
Tabel 4.6 Hasil analisis parameter kimia perairan
No. Kode
Sample
Koordinat Parameter kimia air
DO Nitrat Nitrit NH4 PO4 Zat.Org COD
X Y mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter
01 BT- 01 456621 108962 3.95 0.346 ttd 0.45 0.45 13.37 48.16
02 BT- 02 459454 109695 5.05 0.651 ttd 0.78 0.42 31.14 36.72
03 BT- 03 449646 133191 3.99 0.602 ttd 0.23 ttd 41.52 54.01
04 BT- 04 459479 109708 5.95 0.415 ttd 0.39 0.17 53.68 36.48
05 BT- 05 470193 102942 5.78 0.365 ttd 0.08 0.18 28.05 57.24
06 BT- 06 477029 110365 5.77 0.377 ttd 0.14 0.16 15.72 55.08
07 BT- 07 461769 100625 5.78 0.404 ttd 0.26 0.17 15.41 59.41
08 BT- 08 457824 99350 3.04 0.709 ttd 0.22 0.25 32.16 46.04
09 BT- 09 457178 87089 5.88 0.426 ttd 0.24 0.18 32.16 44.28
10 BT- 10 462444 101193 6.11 0.408 ttd 0.01 0.19 29.36 32.41
11 BT- 11 461961 105474 6.38 0.423 ttd 0.18 0.17 38.89 29.16
12 MT- 01 443820 14214 5.52 0.354 ttd 0.21 0.67 3.23 48.60
13 MT- 02 445906 12102 6.14 0.468 ttd 0.19 0.20 64.30 61.56
14 MT- 03 448047 10814 6.54 0.499 ttd 0.29 0.17 35.44 59.40
15 MT- 04 449706 9122 5.78 0.392 ttd 0.17 0.16 36.10 48.60
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 16
Tabel 4.7 Hasil analisis kandungan unsur logam berat perairan
No. Kode
Sample
Koordinat Kandungan unsur logam berat
Cu Pb Zn Fe Cd Cr Al
X Y mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter
01 BT- 01 456621 108962 0.027 0.031 0.047 1.006 0.278 0.040 0.312
02 BT- 02 459454 109695 0.032 0.035 0.072 1.247 0.281 0.039 0.325
03 BT- 03 449646 133191 0.033 0.037 0.066 0.988 0.403 0.041 1.575
04 BT- 04 459479 109708 0.041 0.042 0.067 1.012 0.517 0.030 1.600
05 BT- 05 470193 102942 0.098 0.071 0.091 1.111 0.666 0.042 2.013
06 BT- 06 477029 110365 0.096 0.098 0.114 0.907 0.704 0.037 1.742
07 BT- 07 461769 100625 0.098 0.098 0/113 1.305 0.862 0.048 1.426
08 BT- 08 457824 99350 0.099 0.081 0.112 1.021 0.875 0.030 1.389
09 BT- 09 457178 87089 0.116 0.091 0.126 0.994 0.776 0.034 2.111
10 BT- 10 462444 101193 0.085 0.086 0.121 1.010 0.993 0.031 1.964
11 BT- 11 461961 105474 0.091 0.091 0.115 1.234 1.002 0.055 1.783
12 MT- 01 443820 14214 0.096 0.010 0.120 0.987 0.741 0.043 1.888
13 MT- 02 445906 12102 0.097 0.107 0.118 1.026 0.863 0.040 1.065
14 MT- 03 448047 10814 0.136 0.140 0.091 0.941 0.542 0.037 1.942
15 MT- 04 449706 9122 0.135 0.140 0.101 1.110 0.708 0.040 1.965
4.2.3 Parameter Biota Perairan Komponen biota perairan yang diamati dalam kajian ini, terbatas pada 3 (tiga) komponen,
yakni: phytoplaknton, zooplankton, dan nekton (ikan) walaupun masih ada komponen
lainnya seperti benthos. Meskipun demikian, komponen-komponen tersebut merupakan
refleksi dari keberadaan dan dinamika lingkungan kimia-fisik perairan. Keberadaan ke-tiga
komponen tersebut akan saling berkaitan dalam rangkaian fungsi kehidupan yang
tercermin di dalam ekosistem perairan.
Phytoplankton : Phytoplankton berupa jazad renik yang melayang bebas dipermukaan atau melayang dan
hanyut terbawa aliran arus serta mampu berphotosynthesis. Phytoplankton merupakan
dasar dari rantai makanan di laut sebagai produsen primer. Dengan demikian,
phytoplankton mampu mengubah zat hara menjadi senyawa organik yang kaya akan
energi melalui photosynthesis. Oleh karena itu, phytoplankton memegang peranan
penting dalam kehidupan organisme aquatik lainnya yang berada pada jenjang trofik di
atasnya.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 17
Struktur komunitas dan kelimpahan phytoplankton akan berpengaruh terhadap
struktur dan kelimpahan produsen sekunder seperti zooplankton dan organisme herbivora
lainnya sesuai dengan kaidah transfer energi melalui jejaring makanan. Hasil pencacahan
kandungan phytoplankton di sekitar perairan timur Pulau Bintan dan perairan Pulau
Mamot disajikan pada Tabel 4.8. Sebaran setiap jenisnya tidak merata, namun dari jenis
yang ditemukan pada setiap lokasi sampling yang paling sering dijumpai adalah
Coscinodiskus oculus iridis Kelimpahan pada setiap titik pengamatan berkisar antara 33 –
44.484 individu/liter.
Tabel 4.8 Hasil pencacahan phytoplankton/liter
No Kode Sample Koordinat
Jenis Organisma Phytoplankton Bacteriastrum Sp
Bidulphia sinensis
Cerataulina Sp
Coscinodiskus oculus
iridis
Cylindro theca Sp
Fragitaria Sp
01 BT- 01 456621 108962 02 BT- 02 459454 109695 33 03 BT- 03 449646 133191 33 264 04 BT- 04 459479 109708 33 99 05 BT- 05 470193 102942 33 66 132 06 BT- 06 477029 110365 66 198 07 BT- 07 461769 100625 198 08 BT- 08 457824 99350 - 33 09 BT- 09 457178 87089 Tidak dilakukan sampling 10 BT- 10 462444 101193 66 33 363 11 BT- 11 461961 105474 99 33 231 12 MT- 01 443820 14214 Tidak dilakukan sampling 13 MT- 02 445906 12102 198 660 14 MT- 03 448047 10814 33 1.419 15 MT- 04 449706 9122 99 792
No Kode Sample Koordinat
Jenis Organisma Phytoplankton Gymnozyga
monolitiformis
Hemidiscus Sp
Hyalotheca dissilien
Lauderia Sp
Phormidium Sp
Rhizosolenia
clevel
01 BT- 01 456621 108962 02 BT- 02 459454 109695 33 03 BT- 03 449646 133191 33 04 BT- 04 459479 109708 66 05 BT- 05 470193 102942 132 330 06 BT- 06 477029 110365 66 99 07 BT- 07 461769 100625 66 66 08 BT- 08 457824 99350 10.263 1.089 429 09 BT- 09 457178 87089 Tidak dilakukan sampling 10 BT- 10 462444 101193 462 11 BT- 11 461961 105474 132 132 12 MT- 01 443820 14214 Tidak dilakukan sampling 13 MT- 02 445906 12102 66 297 165 14 MT- 03 448047 10814 198 165 15 MT- 04 449706 9122 66 66
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 18
No Kode Sample Koordinat
Jenis Organisma Phytoplankton Rhizosolenia
imbricata Rhizosolenia
styliformis Spaerozosma aubertianum
Thallasiothrix nitzschiodes
Uithona Sp
01 BT- 01 456621 108962 33 02 BT- 02 459454 109695 132 03 BT- 03 449646 133191 04 BT- 04 459479 109708 132 05 BT- 05 470193 102942 396 561 06 BT- 06 477029 110365 33 33 07 BT- 07 461769 100625 33 231 33 08 BT- 08 457824 99350 30.261 2.409 09 BT- 09 457178 87089 Tidak dilakukan sampling 10 BT- 10 462444 101193 528 66 11 BT- 11 461961 105474 3.366 4.785 12 MT- 01 443820 14214 Tidak dilakukan sampling 13 MT- 02 445906 12102 165 14 MT- 03 448047 10814 33 15 MT- 04 449706 9122
Zooplankton : Zooplankton menempati tingkat tropik kedua setelah phytoplankton dan merupakan pakan
utama bagi beberapa jenis ikan. Keberadaan zooplankton dalam ekosistem perairan
banyak ditentukan oleh ketersediaan phytoplankton. Hasil pencacahan kandungan
zooplankton di sekitar perairan timur Pulau Bintan dan perairan utara Kepulauan Lingga
disajikan pada Tabel 4.9 Kandungan zooplankton berkisar antara 33 – 1.320 individu/
liter.
Tabel 4.9 Hasil pencacahan zooplankton / liter
No Kode Sample Koordinat
Jenis Organisma Zooplankton Calanus
Sp Corycaeus
Sp Cyclops
Sp Euterpina
Sp Naupliu
s Oithona
Sp 01 BT- 01 456621 108962 33 33 02 BT- 02 459454 109695 66 33 03 BT- 03 449646 133191 33 33 04 BT- 04 459479 109708 05 BT- 05 470193 102942 33 06 BT- 06 477029 110365 33 33 07 BT- 07 461769 100625 198 66 33 132 08 BT- 08 457824 99350 66 09 BT- 09 457178 87089 Tidak dilakukan sampling 10 BT- 10 462444 101193 66 33 11 BT- 11 461961 105474 132 99 33 33 12 MT- 01 443820 14214 Tidak dilakukan sampling 13 MT- 02 445906 12102 33 33 14 MT- 03 448047 10814 33 15 MT- 04 449706 9122 594 66 66 264 99 231
Sementara hasil perhitungan ID Phytoplankton di perairan laut nilai terendah 0,39
dan nilai terbesar 0.78, sedangkan ID zooplankton nilai terendah 0,45 dan nilai terbesar
0.72. Nilai ID Simpson Total berkisar antara 0,49 hingga 0,86 (Tabel 4.10) .
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 19
Tabel 4.10 Hasil perhitungan ID. Simpson
No Kode Sample Koordinat
Jumlah Phytoplankt
on
ID SimpsonPhytoplankt
on
Jumlah Zooplank
ton
ID Simpson Phytoplankton
Jumlah Total
ID Simpson
Total 01 BT- 01 456621 108962 33 0 66 0.51 99 0.68 02 BT- 02 459454 109695 198 0.51 99 0.45 297 0.78 03 BT- 03 449646 133191 330 0.35 66 0.51 396 0.53 04 BT- 04 459479 109708 330 0.71 0 - 330 0.71 05 BT- 05 470193 102942 1650 0.78 33 0 1683 0.79 06 BT- 06 477029 110365 495 0.76 66 0.51 561 0.81 07 BT- 07 461769 100625 627 0.74 429 0.67 1056 0.86 08 BT- 08 457824 99350 44.484 0.49 66 0 44.550 0.49 09 BT- 09 457178 87089 Tidak dilakukan sampling 10 BT- 10 462444 101193 1.518 0.73 99 0.45 1.617 0.76 11 BT- 11 461961 105474 8.778 0.56 297 0.67 9.075 0.59 12 MT- 01 443820 14214 Tidak dilakukan sampling 13 MT- 02 445906 12102 1.551 0.74 66 0.51 1.617 0.76 14 MT- 03 448047 10814 1.848 0.39 33 0 1.881 0.42 15 MT- 04 449706 9122 1.023 0.39 1.320 0.72 2.343 0.80
Nilai kisaran tersebut memperlihatkan adanya ekosistem perairan yang masih
alami sampai ekosistem perairan yang telah mengalami pertubasi dengan adanya
penurunan nilai indeks hingga lebih kecil dari 0,6.
Nekton : Hasil wawancara dengan para nelayan di sekitar wilayah kajian diperoleh data jenis ikan
yang tertangkap seperti pelagis, demersal dan berbagai jenis ikan karang. Berdasarkan
kategori penggunaannya, terdapat dua kategori ikan karang, yakni : ikan karang konsumsi
dan ikan karang hias. Sumber daya non ikan yang juga merupakan potensi yang cukup
besar baik di Kabupaten Bintan maupun di Kabupaten Lingga adalah udang, kepiting,
penyu dan binatang lunak (moluska). Jumlah tangkapan ikan secara kuantitatif tidak
dapat dikumpulkan dari data primer mengingat terbatasnya waktu, namun menurut
informasi yang diperoleh dari Dinas Perikanan Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga
hasil tangkapan ikan cukup potensial, dan bahkan kini telah diupayakan budidaya
beberapa jenis ikan komersial seperti jenis kerapu, sunu dan kakap di perairan laut
dangkal dengan menggunakan keramba jaring.
4.2.4 Kondisi Terumbu Karang Pengamatan terumbu karang dilakukan secara sepintas, yakni hanya ketika dilakukan
pada titik lokasi pengambilan sample parameter perairan. Walaupun demikian, nampak
bahwa terumbu karang di daerah perlindungan lingkungan (DPL) perairan pesisir timur
Pulau Bintan masih dalam kondisi baik. Namun pada bagian selatan dari perairan timur
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 20
Pulau Bintan relatif rusak (mati). Kondisi tersebut dapat dipahami, mengingat
keberadaannya relatif dekat dengan aktivitas pengapalan bahan tambang (jeti) dan
merupakan peruntukan kawasan industri. Sedangkan terumbu karang di sekitar perairan
Pulau Tangkil terlihat mulai tumbuh kembali, terutama semenjak diberhentikannya
aktivitas penambangan pasir darat di pulau tersebut. Hasil pengamatan sepintas terhadap
terumbu karang di bagian barat Pulau Mapur yang relatif lebih lebar dibandingkan di
bagian timur Pulau Mapur, kondisinya tidak banyak mengalami perubahan yang cukup
berarti. Walaupun demikian, tingkat ancaman terhadap kerusakan terumbu karang akibat
gangguan manusia relatif tinggi mengingat kawasan tersebut dekat dengan wilayah
permukiman.
Sementara terumbu karang di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot masih dalam
kondisi lebih baik, bahkan menurut salah satu petugas PKL kini terumbu karang tumbuh
dengan baik. Kondisi tersebut terlihat ketika air laut sedang surut, permukaan terumbu
karang terlihat berwarna putih. Sebagai gambaran kondisi terumbu karang di sekitar
perairan pesisir Pulau Mamot diperlihatkan pada foto Gambar 4.12. Walaupun demikian,
kondisi perairan ini tidak jauh berbeda seperti kondisi di perairan barat Pulau Mapor yang
rentan terhadap gangguan manusia karena lokasi tersebut juga tidak jauh dengan wilayah
permukiman.
Gambar 4.12 Foto terumbu karang di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 21
4.2.5 Kondisi Padang Lamun Hasil pengamatan padang lamun secara sepintas, menunjukkan bahwa hampir semua
kondisi padang lamun identik dengan kondisi terumbu karang untuk setiap lokasi titik
sampling. Sebagai gambaran tentang kondisi padanglamun tersebut diperlihatkan pada
foto Gambar 4.13 yang diambil di dekat lokasi bekas jeti (dermaga pengapalan pasir
darat) di bagian barat Pulau Pangkil.
Gambar 4.13 Foto padang lamun di perairan pesisir barat Pulau Pangkil.
4.2.6 Kondisi Vegetasi Bakau Berbagai jenis vegetasi mangrove yang dijumpai selama penelitian lapangan baik di
perairan sekitar Pulau Bintan hingga Pulau Mapor maupun di sekitar Pulau Mamot
(Kepulauan Lingga), namun pada umumnya didominasi oleh jenis bakau (Rhizopora
stylosa, Rhizopora alba) dan jenis bakau lainnya. Kondisi vegetasi mangrove di Pulau
Bintan kini mengalami berbagai tekanan akibat aktivitas pembangunan, seperti adanya
konversi hutan bakau menjadi lokasi pertambakan, pelabuhan, dermaga (jeti),
permukiman dan industri pertambangan maupun industri lainnya yang merupakan faktor
menurunnya jumlah hutan bakau. Salah satu gambaran tentang ancaman terhadap fungsi
hutan mangrove akibat aktivitas penambangan di Pulau Bintan seperti diperlihatkan pada
Gambar 4.14. Sementara kondisi vegetasi mangrove di perairan sekitar Pulau Mamot relatif lebih
sedikit mengalami tekanan dibandingkan di perairan sekitar Pulau Bintan. Walaupun
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 22
kondisi lingkungan relatif cukup baik (Gambar 4.15), namun kekhawatiran terhadap
ancaman kerusakan masih tetap ada, seperti pemanfaatan sebagai bahan baku
pembuatan arang, bahan kayu dan keperluan rumah serta bangunan lainnya. Peluang
ancaman tersebut akan menjadi semakin besar, mengingat semakin meningkatnya
permintaan negara tetangga akan kayu bakau kecil dan kayu chip, sehingga
dikhawatirkan akan terjadi eksploitasi hutan bakau yang terus meningkat (Bappeda
Kabupaten Bintan, 2007).
Gambar 4.14 Foto kondisi mangrove di Pulau Bintan
Gambar 4.15 Foto kondisi mangrove di Pulau Mamot
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 1
BAB - V
ANALISIS DAN DISKUSI
5.1 Aktivitas Penambangan Berpotensi Sebagai Sumber Dampak Terjadinya Perubahan Kualitas Perairan
Seperti telah dijelaskan pada Bab III, bahwa jumlah ijin usaha industri pertambangan di
Kabupaten Bintan kini tercatat sekitar 20 perusahaan pertambangan, yang terdiri dari 9
pertambangan bijih bauksit, 6 pertambangan pasir darat (kuarsa) dan 5 pertambangan
batuan granit (andesit). Berdasarkan SIUP tercatat 3 perusahaan berstatus tahap
ekplorasi dan 17 perusahaan berstatus tahap eksploitasi. Sementara jumlah ijin usaha
pertambangan di Kabupaten Lingga tercatat sebanyak 29 perusahaan pertambangan,
yang terdiri dari 20 pertambangan bijih bauksit dan 9 pertambangan bijih timah putih.
Berdasarkan SIUP tersebut tercatat 15 perusahaan yang berstatus ekplorasi dan 14
perusahaan berstatus tahap eksploitasi. Sebagai gambaran tentang jumlah SIUP dan
korelasinya terhadap distribusi lokasi aktivitas penambangan di Kabupaten Bintan dan
Kabupaten Lingga diperlihatkan pada Gambar 5.1 Maraknya jumlah aktivitas
penambangan tersebut cenderung berpeluang besar kemungkinan akan terjadinya
perubahan tingkat kekeruhan perairan disekitarnya.
Berdasarkan karakteristik cebakan baik bijih bauksit maupun batuannya, sistem
penambangan yang diterapkan pada umumnya sistem tambang terbuka (surface mining)
dengan metoda penambangan (open cash/open pit) yang dilakukan dengan cara
membuat jenjang (benching). Penerapan sistem tambang terbuka tersebut, relatif lebih
berpeluang terjadinya dampak negatif terhadap lingkungan perairan sekitarnya,
dibandingkan dengan sistem tambang bawah tanah (underground mining). Aktivitas
penambangan jika tidak dikelola dengan baik dan benar berpotensi terjadinya perubahan
tingkat kekeruhan perairan. Aktivitas penambangan selalu berhubungan dengan sifat
material lepas, pengoperasiannya mudah tercecer dan terbawa aliran air menuju sungai
dan bermuara di perairan. Tingkat kekeruhan dipengaruhi baik oleh faktor internal
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 2
maupun faktor eksternal penambangan yang ikut berperan sebagai pemicu.
Gambar 5.1 Peta lokasi ijin usaha pertambangan di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga
5.1.1 Faktor-faktor internal penambangan yang ikut berperan sebagai pemicu
terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan
1. Pengaruh Faktor Karakteristik Bijih Bauksit
Secara umum bijih bauksit berwarna coklat kemerahan yang terdiri dari fragmen dan
matriks yang telah mengalami pelapukan secara intensif dan terubah menjadi mineral
lempung dan oksida besi. Komposisi mineral utama berupa gibsite sebagai sumber
alumina dan goethite maupun hematite sebagai sumber oksida besi, sedangkan mineral
lainnya berupa kuarsa, silika halus, serisit dan limonit serta mineral lempung berupa
nacrite. Mineral yang berukuran halus (lempung) tersebut, jika terbawa air hujan
berpotensi meningkatkan tingkat kekeruhan perairan, sehingga dapat menimbulkan
terjadinya degradasi lingkungan perairan.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 3
Hasil analisis ukuran butir menunjukkan bahwa kandungan mineral lempung
(nacrite) pada bijih bouksit di daerah Kijang sekitar 30%, sedangkan kandungan mineral
lempung (nacrite) pada bijih bouksit (besi) di Pulau Mamot hanya sekitar 10%. Besar
kecilnya jumlah kandungan mineral lempung tersebut berpengaruh terhadap perubahan
tingkat kekeruhan perairan, semakin besar kandungan lempung pada bijih yang
ditambang akan semakin besar potensi terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan.
Terutama jika terjadi hujan, dimana material ringan akan mudah terbawa (hanyut) oleh air,
sehingga secara kasat matapun dapat terlihat perubahan tingkat kekeruhan perairan.
Demikian pula distribusi ukuran besar butir, karena mengingat semakin kecil ukuran besar
butir semakin berpotensi terbentuknya baik TDS maupun TSS. 2. Pengaruh Faktor Luas Bukaan Lahan Sejak sepuluh tahun terakhir pada abad ke-20 ini, kondisi kawasan kepulauan Bintan dan
Lingga telah mengalami gejala alam amat penting terutama yang berkaitan dengan
peristiwa anomali ekstrem cuaca dan iklim yang berdampak terhadap perubahan
lingkungan sebagai akibat adanya percepatan proses pelapukan, erosi dan sedimentasi
baik di darat maupun perairan laut. Proses tersebut akan semakin berpeluang besar
dampaknya, ketika permukaan lahan yang terbuka menjadi semakin luas. Dampak negatif
dari perubahan luas bukaan lahan ini akan menjadi lebih nyata ketika aktivitas manusia
mulai merambah hutan, peladangan yang dimulai sejak dekade tahun 1980 hingga
sekarang. Seperti aktivitas penambangan bauksit maupun bahan tambang lainnya,
pemanfaatan lahan untuk perkebunan, pemukiman, perindustrian, pelabuhan, merupakan
aktivitas manusia yang dapat menimbulkan terjadinya ancaman berupa degradasi lahan,
akibat pelapukan, erosi, sedimentasi yang mekanismenya disajikan pada (Gambar 5.2).
Sementara laju pelapukan dan sedimentasi tersebut merupakan fungsi dari waktu
perubahan luas bukaan lahan. Gambaran tentang perubahan luas bukaan lahan sesungguhnya dapat dipantau melalui kenampakan dari citra satelit secara periodik
(Gambar 5.3 ).
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 4
Gambar 5.2 Mekanisme pelapukan dan sedimentasi akibat perubahan bukaan lahan
di daratan yang berpengaruh hingga perairan laut.
Gambar 5.3 Perubahan luas bukaan lahan dapat dipantau dari kenampakan citra satelit
3. Pengaruh faktor jumlah produksi penambangan Berdasarkan catatan sejarah aktifitas pertambangan bouksit telah dilakukan sejak tahun
1923, dimana PT Aneka Tambang dimulai sejak tahun 1965 dan berakhir pada tahun
2008. Jumlah produksi bauksit sejak tahun 2004-2008 seperti disajikan pada Gambar 5.4.
Namum pada akhir-akhir ini, terdapat bahan tambang seperti timah, bijih besi, pasir darat,
granit, dan andesit. Besar dan kecilnya perubahan jumlah produksi bahan tambang akan
berpengaruh terhadap terjadinya perubahan tutupan lahan yang secara tidak langsung
merupakan fungsi dari terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 5
Gambar 5.4 Grafik produksi bahan tambang (bauksit,granit,pasir) di Kabupaten Bintan dan Bintan Timur.
4. Pengaruh Faktor Kepedulian Terhadap Lingkungan Sebagaimana telah dijelaskan dalam konsep pengelolaan pertambangan yang baik dan
benar (Suyartono, 2003), adalah kaidah-kaidah yang harus dijalankan dalam proses
penambangan agar dapat memberikan keuntungan maksimal dengan dampak minimal.
Kegiatan pertambangan dituntut dan diawasi untuk selalu menerapkan kaidah tersebut,
terutama untuk menghindari kerugian lingkungan baik disengaja maupun tidak disengaja
dalam usaha mereka mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya. Melalui konsep
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 6
tersebut diharapkan dapat dihindari terjadinya pemborosan sumber daya, terlindunginya
fungsi-fungsi lingkungan serta keselamatan dan kesehatan para pekerja.
Faktor kepedulian terhadap lingkungan perlu dicanangkan sejak tahap awal
perencanaan, pelaksanaan penambangan hingga tahap penutupan dan paska tambang
secara jelas yang dilaksanakan secara konsekuen. Sebagai gambaran tentang
kepedulian terhadap lingkungan dalam pelaksanaan penambangan seperti diilustrasikan
pada bagan alir Gambar 5.5 dan Gambar 5.6 yang memperlihatkan tahapan kegiatan
penambangan dan pencucian bauksit secara jelas sehingga mudah untuk dipantau.
Sumber : PT. Aneka Tambang
Gambar 5.5 Bagan alir tahapan penambangan bijih bauksit hingga pengapalan.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 7
Sumber : PT. Aneka Tambang
Gambar 5.6 Bagan alir tahapan pencucian bijih bauksit.
Setiap tahapan aktivitas penambangan selalu dituntut dan diawasi kemungkinan
dampak negatif terhadap fungsi-fungsi lingkungan, seperti kawasan konservasi perairan
terumbu karang dan fungsi-fungsi lingkungan lainnya. Jika penambangannya dilakukan
secara baik dan benar, niscaya dapat dihindari terjadinya perubahan perairan dan / atau
akan terlindunginya fungsi-fungsi lingkungan.
5.1.2 Faktor-faktor eksternal penambangan yang ikut berperan sebagai pemicu terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan
1. Pengaruh faktor iklim
Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III, bahwa wilayah kajian termasuk iklim sub-
tropis (humid tropics) dengan curah hujan cukup tinggi dan musim hujan bisa terjadi
selama 10 bulan dalam satu tahunnya dengan hari-hari hujan yang tidak menentu. Curah
hujan yang tinggi akan mengangkut material lepas hasil pembongkaran bijih mengalir
melalui sungai dan bermuara ke laut, sehingga memicu terjadinya perubahan tingkat
kekeruhan perairan.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 8
Disamping itu, perubahan iklim seperti suhu udara, musim dan jumlah curah hujan
juga akan berpengaruh terhadap tingkat pelapukan batuan. Pada suhu udara sekitar
20oC, komponen oksida logam dari bauksit, yakni : Al2O3, Fe2O3, dan SiO2 akan mudah
terlarut. Cebakan bauksit residual, disamping terdiri dari Al2O3, Fe2O3, SiO2 dan TiO2 juga
mengandung unsur K, Na, Ca, Mg dan P dan S meskipun relatif kecil.
Pada musim hujan (basah) di daerah beriklim sub-tropis terjadi akumulasi CO2
bebas, larutan dalam tanah menjadi lebih bersifat asam sehingga terbentuk akumulasi
Al2O3 (Ph : 4-9, kelarutan alumina) dan terlepasnya unsur besi (Fe) Fe2O3 (Ph : < 3, Eh
rendah), sehingga terjadi pengkayaan alumina. Namun sebaliknya pada musim kemarau
(kering), unsur alkali dalam larutan terjadi substitusi dengan silika (Ph : <10, kelarutan
silika). Pada daerah sub-tropis, tambahan asam (humus) dan air hujan serta karbon
dioksida (CO2) merupakan reagen yang baik untuk mengubah batuan menjadi lempung
melalui pelapukan secara kimiawi. Karbon dan asam organik berkompeten melarutkan
silikat dan menghasilkan alkali karbonat yang mengandung silika. Karbon dioksida dalam
air hujan juga mampu melarutkan batugamping. Sementara terdapatnya bakteri dalam
larutan juga membantu proses pelapukan sehingga mengakibatkan terjadinya redeposisi
aluminium. Hal ini mengingat karena aluminium sulfat dalam larutan terhidrolisa dan
menghasilkan sulfat.
2. Pengaruh faktor kondisi hidro-oceanografi Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III, bahwa perubahan sifat fisik maupun kimia
perairan laut seperti penyebaran sedimen, perubahan salinitas, kandungan zat hara
maupun biota perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi hidro-oceanografi lokal. Kondisi
hidro-oceanografi tersebut meliputi kedalaman air laut, pasang surut, gelombang dan
angin yang merupakan penyebab utama terjadinya arus atau gerakan massa air di
perairan tersebut. Sejauhmana pengaruh faktor tersebut terhadap pola dan sebaran
kekeruhan maupun perubahan kualitas perairan, faktor kondisi hidro-oceanografi mutlak
diperlukan.
3. Pengaruh faktor aktivitas lainnya Telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa perubahan kualitas perairan disamping
karena pengaruh gejala alam juga disebabkan oleh aktivitas manusia. Sementara
perubahan kualitas perairan yang disebabkan oleh gejala alam seperti sejak sepuluh
tahun terakhir ini, kawasan kepulauan Bintan dan kepulauan Lingga, Provinsi Kepualauan
Riau, telah mengalami gejala alam yang berkaitan dengan peristiwa anomali ekstrem dari
cuaca dan iklim yang berdampak pada perubahan lingkungan baik di darat maupun di
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 9
perairan laut. Namun dampak negatif perubahan lingkungan ini cenderung lebih kuat
ketika aktifitas manusia mulai merambah hutan, peladangan yang dimulai sejak dekade
tahun 1980, dan bahkan kemungkinannya terjadi hingga sekarang. Disamping aktivitas
penambangan, aktivitas manusia lainnya seperti pembukaan lahan untuk keperluan
perkebunan, pembangunan resort di pantai, pariwisata juga dapat berpengaruh terhadap
perubahan ekosistem perairan sekitarnya. Termasuk dalam hal ini, adalah penangkapan
ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun juga dapat berpengaruh terhadap
perubahan kualitas perairan.
5.2 Analisis Kemungkinan Perubahan Kualitas Perairan Sebagai Akibat Aktivitas Penambangan
5.2.1 Analisis pola sebaran tingkat kekeruhan berdasarkan indikator analisis citra
landsat
Dampak aktifitas pemanfaatan lahan bagi kawasan pertambangan dan perkebunan,
resort, permukiman dan pelabuhan/jeti tersebut terhadap perubahan tingkat kekeruhan,
secara kualitatif akan nampak jelas jika dilakukan analisis citra landsat dan ALOS.
Analisis dan interpretasi data Citra Landsat atau ALOS (penginderaan jauh) dan data
topografi Band 457 bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi bentang
alam/topografi, geologi, hidrologi, erosi dan kerusakan lingkungan. Sementara Band 123
untuk mendapatkan informasi zona daerah dampak sedimentasi dan kondisi kekeruhan
perairan. Analisis ini akan dilakukan dengan bantuan aplikasi ErMapper dan Map Info.
1. Analisis kualitatif perubahan tutupan lahan di Kepulauan Bintan berdasarkan penafsiran citra landsat
Mengingat wilayah kajian merupakan daerah yang mempunyai musim basah lebih lama
(10 bulan/tahun) dibanding musim kering (2 bulan/tahun), sehingga wilayah kajian sering
tertutup oleh awan. Kondisi tersebut menjadikan kendala dalam memperoleh data citra
landsat yang cukup bersih secara periodik. Meskipun demikian, dalam kajian ini tetap
dilakukan analisis dari beberapa citra landsat yang dapat dihimpun. Berdasarkan hasil
penafsiran citra Landsat TM di daerah Bintan Timur (Gambar 5.7) memperlihatkan
adanya perubahan tutupan lahan akibat adanya aktifitas penambangan bouksit, granit,
andesit dan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, sementara jejak-jejak
kolong bekas galian pasir nampak jelas di citra dan Alos seperti diperlihatkan pada Gambar 5.8.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 10
Gambar 5.7 Citra Landsat (2002) dan ALOS (2008) di daerah Pulau bintan dan
sekitarnya yang memperlihatkan jejak galian bauksit, granit, pasir darat
Galian pasir, granit
Kolong-kolong galian pasir
Galian pasir, granit
Galian bauksit
Galian baouksit 2008
Bekas galian pasir
Citra 541 daerah Bintan Citra 431 daerah Bintan
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 11
Gambar 5.8. Citra ALOS (2008) di daerah Pulau Bintan dan sekitarnya yang
memperlihatkan lahan perkebunan, permukiman
2. Analisis kualitatif perubahan tutupan lahan di Kepulauan Lingga berdasarkan
penafsiran citra landsat
Berdasarkan penafsiran citra Landsat di daerah Pulau Mamut, Kepulauan Lingga belum
nampak adanya perubahan lahan akibat adanya aktifitas penambangan baouksit, bijih
besi seperti diperlihatkan pada Gambar 5.9. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa
kondisi perairan di wilayah pesisir Pulau Mamot belum terjadi perubahan tingkat
kekeruhan atau masih relatif lebih baik dibanding kondisi perairan di daerah Pulau Bintan.
Lahan perkebunan sawit & resort
Permukiman dan perkebunan
Lahan perkebunan it
Kondisi P.Mapur
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 12
Gambar 5.9. Penafsiran citra landsat (541 dan 457, tahun 2002) di daerah sekitar
Pulau Mamut, Kepulauan Lingga
3. Penafsiran tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan berdasarkan indikator analisis citra landsat
Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat (Gambar 5.10) dan ALOS band 123 (Gambar 5.11) di daerah perairan pesisir timur Pulau Bintan, dapat ditafsirkan bahwa pola tingkat
kekeruhan perairan pada bagian selatan berperingkat tinggi dan semakin ke utara tingkat
kekeruhan menjadi peringkat sedang dan peringkat rendah. Kondisi tersebut dapat
dipahami, mengingat bahwa pada bagian selatan terdapat beberapa aktivitas
pertambangan bauksit, sementara arah angin dan gelombang bergerak dari selatan
menuju ke utara (citra tahun 2002 dan 2008).
Citra Landsat 457, thn 2002, belum nampak adanya aktifitas pertambangan
Citra 541, belum nampak adanya aktifitas pertambangan
Citra 541, belum nampak adanya aktifitas pertambangan
Citra Landsat 457, thn 2002, belum nampak adanya aktifitas pertambangan
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 13
Gambar 5.10 Peta analisis tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan
berdasarkan citra landsat
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 14
Gambar 5.11 Peta analisis tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan berdasarkan ALOS band (1,2,3)
5.2.2. Analisis pola sebaran tingkat kekeruhan berdasarkan indikator hasil perhitungan dengan menggunakan hukum Stokes
Tingkat kekeruhan air laut merupakan salah satu komponen lingkungan perairan yang
harus dipertahankan kualitasnya, karena akan banyak berkaitan dengan berbagai aspek
lingkungan lainnya yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan para
nelayan. Meningkatnya kekeruhan air laut diakibatkan oleh meningkatnya kandungan zat
padat tersuspensi (TSS), kekeruhan air laut tersebut secara kasat mata dapat terlihat
ketika terjadi turun hujan lebat. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa
meningkatnya kekeruhan air laut sebagai akibat aktivitas penambangan, terutama akibat
pengelolaan pertambangan yang belum baik dan benar terutama karena kurang
kepeduliannya terhadap lingkungan.
Sebagai gambaran tentang besarnya sebaran padatan yang lebih jelas,
diasumsikan bahwa peningkatan kandungan TSS tetap terjadi dan kecepatan
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 15
pengendapan lempung dan lanau dihitung dengan menggunakan hukum stokes (Rubey,
1933, dalam Koesoemadinata, 1982). Dengan diketahuinya data mengenai kecepatan
arus, maka dapat dihitung waktu atau lama butiran mengendap serta jarak butiran
tertrasportasi dengan menggunakan rumus :
2/3 g.d2 ( T-p)
Vg = -------------------- ...................................................................... (1)
μ
S
S – Vg . t atau t = ------ ...................................................... (2)
Vg
Dimana :
Vg = kecepatan pengendapan, m/detik
g = percepatan gravitasi bumi,(9,81 mks/sec)
d = diameter butir, cm
T = densitas butir, kg/m3
p = densitas medium, kg/m3
μ = viskositas medium, (0,00138)
S = jarak pengendapan, m
t = waktu pengendapan, detik
Dengan menggunakan persamaan (1) dan (2), dapat dihitung kecepatan
pengendapan dan jarak terangkut zat padat tersuspensi dan lamanya pengendapan
sedimen (lempung, lanau dan pasir). Dengan memperhitungkan kecepatan arus, arah
arus dan kedalaman efektif pengaruh arus permukaan rata-rata hingga kedalaman dasar
laut dapat diketahui jarak maksimum terangkut baik fraksi lempung, lanau maupun pasir.
Dengan demikian, akan diketahui daerah mana saja yang akan terkena dampak
peningkatan TSS, khususnya untuk fraksi berukuran butir (lempung, lanau dan pasir) dari
sumber dampak (muara sungai, tempat pengapalan/dermaga) baik dari permukaan
hingga dasar laut dan akan semakin menjauh dari sumber dampak tersebut.
Sementara peningkatan kandungan TSS di dalam air laut akan dipengaruhi oleh
berbagai parameter dasar lainnya seperti :
• Volume atau berat material yang tercecer pada saat pemuatan/pengapalan yang
berpotensi menjadi TSS.
• Volume atau berat material yang terkandung dalam muara sungai ketika turun hujan
yang berpotensi menjadi TSS.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 16
• Bobot isi sedimen berukuran (lempung, lanau dan pasir).
Berdasarkan hasil perhitungan jarak terangkutnya sedimen dari permukaan hingga
dasar laut, dan jika radius sebaran diasumsikan sebagai jari-jari lingkaran yang terkena
dampak pada kedalaman tertentu, maka radius sebaran sedimen dapat dihitung dengan
menggunakan rumus tabung, yaitu :
Volume (V) = ּת R2. T ......................................................... (3)
Dimana :
V : vulume , liter
konstanta, (3,14) : ּת
R : garis tengah tabung atau panjang jarak angkut, m
T : tinggi tabung atau kedalaman air laut, m
Dengan demikian akan diketahui pola sebaran dan berapa besar peningkatan
kandungan TSS pada radius sebaran tersebut. Sebagai gambaran tentang contoh hasil
perhitungan untuk daerah kajian perairan pesisir timur Pulau Bintan adalah sebagai
berikut :
• Ukuran butir lempung : 0.02 mm = 0.002 cm
• Kedalaman rata-rata perairan : 15 m
• Kecepatan arus : 35 cm/detik
• Percepatan gravitasi bumi : 9.81 mks/sec = 981 cm/detik
• Densitas butir : 1.544 kg/m3
• Densitas medium : 1.019,76 kg/m3
• Viskositas medium : 0.00138
• Kecepatan pengendapan : = ((2/3) x (981) x (0.001)2 x (0.524)) / 0.00138
= 0.24833 cm/detik
= 0,0024833 m/detik
• Waktu mengendap : 15m/0,0024833m/detik = 6040,35 detik
• Jarak transport dan terendap : 35 cm/detik x 6040,35 detik=
= 211412,23 cm
= 2114,12 m.
Berdasarkan contoh perhitungan tersebut, hasil perhitungan kecepatan
pengendapan dan jarak transport zat padat tersuspensi dan lamanya waktu pengendapan
sedimen (lempung, lanau dan pasir halus) dengan menggunakan persamaan tersebut,
secara keseluruhan disajikan pada Tabel 5.1.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 17
Tabel 5.1 Waktu dan jarak transport zat padat tersuspensi
Ked. Kec.Arus Ked.rata2 Θ butirT-p
Vg T S Arah
(m) cm/detik (m) (cm) (m/detik) (detik) (m) (oNE )
1 35 15 0.002 0.697 0,0132 1136,36 397,73
0.001 0.524 0,0025 6040,35 2.114,12
5 45 15 0.002 0.697 0,0132 1136,36 511,36
0.001 0.524 0,0025 6040,35 2.718,16
dasar 40 15 0.002 0.697 0,0132 1136,36 454,54
0.001 0.524 0,0025 6040,35 2.416,14
Pada tabel tersebut nampak bahwa daerah yang terkena peningkatan TSS
khususnya yang berbutir lempung-lanau di dermaga (jeti) sebagai sumber dampak sekitar
2.114 m di permukaan dan akan semakin menjauh sampai 2.718 m pada kedalaman 5 m
sampai dasar permukaan 2.416 m yang berarah ... sampai .... oNE. Sementara
peningkatan TSS di perairan dipengaruhi oleh jumlah material yang masuk ke perairan,
densitas dan kandungan lempung yang berpotensi menjadi padatan tersuspensi (TSS).
Sebaran kandungan lempung-lanau tersebut mencapai luas 2.631.966,38 m2 untuk setiap
material liter dengan kandungan TSS 13,03 mg/l. Peta sebaran TSS disajikan pada
Gambar 5.12.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 18
Gambar 5.12. Peta pola sebaran tingkat kekeruhan di perairan timur P. Bintan berdasarkan model perhitungan dengan menggunakan hukum stokes
5.2.3 Analisis perubahan kualitas perairan berdasarkan indikator parameter fisik,
kimia air dan unsur logam berat serta biota perairan. Air merupakan komponen ekologis yang mutlak diperlukan bagi proses hidup dan
kehidupan biota perairan. Nilai daya guna air dan sumberdaya perairan ditentukan oleh
kualitasnya yang sangat berkaitan dengan semua aktifitas yang berada di sekitar perairan
tersebut. Kualitas perairan di muara sungai dan pantai ditentukan oleh limbah-limbah
yang terbuang baik secara langsung maupun tidak langsung, baik berupa bahan-bahan
organik maupun bahan-bahan anorganik yang mudah tersuspensi.
Parameter kualitas perairan yang diamati meliputi parameter fisik dan kimia air,
kandungan unsur logam berat serta biota perairan. Pengukuran kualitas perairan tersebut
dilakukan pada tanggal 23 – 30 September 2010 di 15 titik lokasi pengamatan. Lokasi
tersebut meliputi 3 conto pada muara sungai di daerah Bintan Timur, 8 conto di perairan
pesisir timur Pulau Bintan hingga Pulau Mapor, 3 conto di perairan pesisir Pulau Mamot
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 19
dan 1 conto mata air di Pulau Mamot. Meskipun jumlah titik pengamatan dan sampling
parameter perairan tersebut relatif minim, namun diharapkan dapat memberikan
gambaran sejauhmana pengaruh aktivitas manusia terutama kegiatan penambangan
terhadap perubahan ekosistem perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir
Pulau Mamot.
1. Analisis perubahan kualitas perairan berdasarkan indikator parameter fisik perairan
Parameter fisik seperti warna air, merupakan hasil refleksi kembali dari berbagai panjang
gelombang cahaya dari sejumlah material yang berada di dalam air yang tertangkap oleh
mata. Material yang berada di dalam air dapat berupa jumlah zat padat tersuspensi
(TSS) dan/atau jumlah zat padat terlarut (TDS)
(http://www.umaine.edu/water.research/field.guide/color.htm#blue). Sementara partikel
dan larutan (solutes) yang terdapat di dalam air dapat menyerap cahaya, namun demikian
warna yang terlihat oleh mata juga akan dipengaruhi oleh sudut pandang ketika melihat,
kedalaman dan kuantitas air. Warna air terlihat jernih bila partikel dalam jumlah sedikit
(http:// webexhibits.org /causesofcolor /5B.html).
Hasil pengukuran parameter sifat fisik perairan pesisir Bintan Timur dan perairan
pesisir Pulau Mamut, Kepulauan Lingga menunjukkan nilai TSS masih dalam batas
normal < 40 NTU kecuali muara sungai dan perairan di kawasan industri di daerah Kijang
yang mencapai hingga 50 - 142 NTU. Sebaliknya dengan nilai TDS untuk perairan pada
umumnya > 40.000 mg/l kecuali sample pada mata air (104 mg/l). Demikian pula untuk
nilai daya hantar listrik (DHL) untuk perairan pada umumnya > 40.000 μS/cm kecuali pada
mata air relatif kecil (48 μS/cm). Nilai oksigen terlarut berkisar antara 3,04 mg/l hingga
6.54 mg/l. Kandungan oksigen terlarut dalam perairan ikut menentukan kualitas perairan,
karena oksigen sangat dibutuhkan untuk pernapasan (respirasi) mahkluk hidup dalam
perairan. Fungsi lain dari oksigen adalah sebagai oksidator senyawa-senyawa kimia di
perairan. Sedangkan faktor yang dapat mempengaruhi kemampun suatu perairan untuk
mengadopsi oksigen adalah salinitas, suhu, kekeruhan air dan pergerakan air dan udara
seperti arus, gelombang dan pasang surut. KLH telah merekomendasikan, baku mutu air
laut untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut, kadar oksigen terlarut > 5 mg/l.
Sementara temperatur permukaan yang terekam selama berlangsungnya
penelitian mempunyai kisaran 26,4o C hingga 29,5o C. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda
dengan kondisi 4 (empat) tahun yang lalu ketika dilakukan penelitian base line ekologi
yang menunjukkan rerata temperatur 29,50 oC di perairan Pulau Mapor (CRITC -
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 20
COREMAP II - LIPI, 2006). Kondisi salinitas di perairan juga menunjukkan nilai salinitas
yang tidak jauh berbeda, yakni : dengan variasi berkisar antara 27,5 o/oo hingga 31,4
o/oo, kecuali pada mata air dan muara sungan memperlihatkan nilai salinitas yang sangat
rendah (0.0 - 3,4 o/oo)
Parameter fisik lainnya seperti pH yang dapat digunakan sebagai salah satu
indikator kualitas perairan, suatu perairan laut yang baik bisanya bersifat basa dengan pH
> 7, sebagaimana direkomendasikan KLH. Hasil pengukuran derajat keasaman (pH) di
perairan pesisir Bintan Timur dan perairan pesisir Pulau Mamut, Kepulauan Lingga
menunjukkan variasi antara 8,26 hingga 8,53, kecuali pada mata air (6,89) dan muara
sungai (6,13 – 6,88). Secara umum tidak ada parameter yang ekstrim dan masih dapat
mendukung kehidupan organisme perairan, analisis selengkapnya disajikan pada
Gambar 5.13.
Gambar 5.13 Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir
Pulau Mamot berdasarkan indikator parameter fisik air 2. Analisis perubahan kualitas perairan berdasarkan indikator parameter kimia
perairan Beberapa parameter kimia seperti fosfat dan nitrat, merupakan nutrisi yang dibutuhkan
oleh mahkluk hidup yang ada di dalam perairan. Baik fosfat maupun nitrat sumbangan
terbesar berasal dari sedimentasi yang berada pada dasar perairan. Pada umumnya
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 21
semakin dalam perairan, cenderung semakin besar kandungan fosfat dan nitratnya,
kecuali jika perairan tersebut banyak memperoleh sumbangan dari pengaruh dari darat
berupa limbah penduduk atau dari lahan perkebunan sehingga kandungan fosfat dan
nitrat pada permukaan perairan menjadi tinggi. Sementara nitrat dapat berfungsi dalam
membantu pembentukan asam amino sebagai komponen dasar protein (NITC COREMAP
II, 2006). Nilai baku mutu yang dikeluarkan KLH, kadar nitrat untuk kepentingan wisata
bahari dan biota laut kadarnya tidak melebihi 0,8 mg/l, sedangkan untuk fosfat tidak lebih
dari 1.5 mg/l.
Hasil pengukuran parameter kimia perairan pesisir Bintan Timur dan perairan
pesisir Pulau Mamut, Kepulauan Lingga menunjukkan bahwa kandungan nitrat (0.346 –
0.709) mg/l sedangkan fosfat berkisar antara 0.16 mg/l hingga 0.67 mg/l. Parameter kimia
lainnya adalah nitrit, merupakan senyawa kimia yang sangat reaktif karena struktur
molekulnya yang tidak stabil. Nitrit akan cepat bereaksi dengan logam berat dan
membentuk senyawa garam nitrat yang larut dalam air. Kandungan nitrit pada umumnya
lebih kecil dari kandungan nitratnya, dan semakin kecil kadar nitrit akan semakin baik
kualitas perairannya. Hasil pengukuran kadar nitrit yang dilakukan pada semua titik
sampling tidak menunjukkan adanya kandungan nitri (tidak terdeteksi).
Kandungan silikat merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kesuburan
perairan, silikat dibutuhkan untuk perkembangan hidup phytoplankton untuk pembentukan
kerangka dinding sel jenis silicoflagellata. Kandungan silika berkisar antara 8,37 mg/l
hingga 16.03 mg/l, dan KLH tidak menentukan nilai ambang batas nilai bakunya.
Sebaliknya dengan amonia, Grashoff (1976) menyatakan bahwa amonia merupakan
senyawa beracun terhadap ikan maupun biota laut lainnya. Kandungan amonia berkisar
antara 0.016 mg/l - 0.45 mg/l, hasil analisis perubahan kualitas perairan diperlihatkan
pada Gambar 5.14.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 22
Gambar 5.14 Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator parameter kimia air
3. Analisis perubahan kualitas perairan berdasarkan indikator parameter
kandungan unsur logam berat perairan Hasil pengukuran parameter kandungan unsur logam berat perairan pesisir Bintan Timur
dan perairan pesisir Pulau Mamut, Kepulauan Lingga menunjukkan kandungan logam
berat seperti Cr (0.03–0.055) mg/l dan Cd (0.02–1.002) mg/l, hampir semua lokasi
melebihi ambang batas yang diperkenankan KLH 0,01 mg/l (No.2/MEN.KLH/1988). Grafik
korelasi antara titik (BT.01) yang jauh dari sumber ke arah sumber dampak (BT.7) hingga
(BT.11) memperlihatkan kandungan Cd dan Cr cenderung meningkat (Gambar 5.15).
Sedangkan kandungan logam berat lainnya seperti Cu dan Zn masih dibawah ambang
batas 0.06 mg/l dan 0.1 mg/l, sementara kandungan Pb sebagian melebihi ambang batas
(0.01) mg/l.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 23
Semakin tingginya kandungan logam berat Cd dan Cr ke arah titik (BT-07) hingga
(BT-11) tersebut, diperkirakan berasal (bersumber) dari material aktifitas penambangan
bauksit, mengingat kondisi pada saat ini masih aktif melakukan penambangan dengan
sistem tambang terbuka yang kurang memperhatikan kondisi lingkungan setempat. Hal ini
nampak adanya jejak mengalirnya air bermuatan material yang langsung menuju perairan
laut di wilayah pantai Kijang timur dan ke pulau-pulau kecil seperti Pulau Kelong dan
Pulau Buton.
Sementara kandungan logam berat di perairan sekitar Pulau Mamot pada
umumnya relatif sedikit melebihi ambang batas yang diperkenankan KLH, walaupun
wilayah perairan tersebut relatif jauh dengan aktivitas penambangan. Sebagai indikator
adalah sample air yang diambil dari mata air (MT-1), juga memperlihatkan kandungan
logam berat yang sedikit dibawah kandungan logam berat sample yang diambil di lokasi
perairan. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya perairan di sekitar Pulau Mamot
mempunyai kandungan unsur logam berat rata-rata lebih tinggi dari pada nilai ambang
batas yang diperkenankan KLH.
Secara umum kondisi peraian sekitar Pulau Bintan dan perairan sekitar Pulau
Mamot rata-rata sudah mempunyai kandungan unsur logam berat relatif sedikit lebih
tinggi dari nilai ambang batas KLH. Walaupun terdapat perubahan kualitas perairan akibat
aktivitas penambangan, namun tidak dijumpai parameter yang ekstrim dan masih dapat
mendukung kehidupan organisme perairan.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 24
Gambar 5.15 Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator kandungan unsur logam berat
4. Analisis perubahan kualitas perairan berdasarkan indikator parameter biota
perairan Plankton merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis ikan komersial penting yang
hidup dilautan, dengan kata lain kelangsungan hidup ikan sangat tergantung kepada
banyak sedikitnya jumlah plankton yang ada. Namun keberadaan plankton di lautan
sangat peka terhadap perubahan dan gangguan lingkungan, sehingga plankton
merupakan bioindicator yang baik untuk mengetahui kondisi lingkungan perairan.
Hasil pencacahan di laboratorium plankton di 10 titik lokasi pengambilan sekitar
perairan timur Pulau Bintan, P. Mapur dan 3 (tiga) titik di sekitar Pulau Mamut didapatkan
3 golongan Phytoplankton yaitu Class Cyanophyceae ditemukan 5 jenis, Class
Bacillariophycae sebanyak 28 jenis dan Class Dynophyceae sebanyak 3 jenis. Berdasarkan hasil identifikasi jenis, maka kekayaan individu dari phytoplankton yang
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 25
dijumpai di lokasi pengamatan relatif besar, hal ini dapat dimengerti bahwa perairan
memberikan naungan serta persediaan hara yang cukup untuk phytoplankton. Kemudian
jika dilihat dari nilai Indeks keanekaragamannya, dengan nilai rata-rata diatas 2.90
memberikan ciri bahwa perairan disini tergolong stabil.
Strata ke dua dari dasar hierarki kehidupan akuatik adalah zooplankton.
Kelompok ini dapat hidup selamanya sebagai plankton dan juga dapat
berkembang selanjutnya baik ukuran maupun perilakunya sebagai organisme non
planktonik. Seperti Pisces, Molusca, Crustacea dan sebagainya. Hasil pengamatan
komposisi jenis, keberadaan kelompok Crustacea, Protozoa dan Chordata
(Ichtyoplankton) keberadaannya lebih dominan dibandingkan dengan kelompok lain.
Nilal indeks Keanekaragaman dan keseragaman menunjukkan nilai yang tinggi,
Indeks keanekaragaman berkisar antara 86 terendah sampai 2.78 tertinggi,
berdasarkan nilai Indeks Pencemaran perairan maka nilai Indeks ini dapat
dinyatakan ekosistem perairan ke dua pulau berada pada kondisi stabil belum
tercemar. Demikian pula angka yang ditunjukkan dengan nilai indeks keseragaman
cukup tinggi berkisar antara 0.89 sampai 0,93. Hasil analisis perubahan kualitas biota
perairan diperlihatkan pada Gambar 5.16.
Gambar 5.16 Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir
Pulau Mamot berdasarkan indikator biota perairan
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 26
5.3 Hasil Diskusi 5.3.1 Korelasi dampak aktivitas penambangan bauksit dengan kemungkinan
perubahan ekosistem perairan Ditinjau dari peruntukan lahan menunjukkan bahwa lokasi aktivitas penambangan bauksit
pada umumnya menempati kawasan industri atau sesuai dengan peruntukan lahan pada
RTRW (bappeda Kabupaten Bintan, 2007). Persoalan muncul ketika pengelolaan
pertambangan bauksit pada umumnya belum dilaksanakan secara baik dan benar,
namun sejauhmana dampak aktivitas penambangan bauksit di daerah Kijang korelasinya
dengan kemungkinan terjadinya perubahan ekosistem perairan pesisir timur Pulau Bintan
akan dijelaskan sebagai berikut :
Berdasarkan baik hasil analisis citra landsat maupun dari hasil perhitungan
sebaran kekeruhan, menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan tingkat kekeruhan
perairan pesisir timur Pulau Bintan yang diakibatkan oleh aktivitas penambangan di
daerah Kijang. Perubahan tingkat kekeruhan secara signifikan berlangsung sesaat
(bersifat temporer), terutama ketika terjadi turun hujan dan dapat dilihat secara kasat
mata. Pola sebaran tingkat kekeruhan tersebut dipengaruhi oleh adanya arah dan
kecepatan arus, pasang surut serta tinggi rendahnya gelombang laut. Gambaran tentang
jarak sebaran kekeruhan rerata hasil perhitungan dapat mencapai radius sekitar 2 km dari
sumber dampak (dermaga pengapalan bauksit atau jeti). Walaupun perubahan tingkat
kekeruhan bersifat temporer (sementara), namun karena berlangsung secara terus
menerus terutama jika arah arus laut dari Selatan ke Utara dapat mengakibatkan
terjadinya perubahan ekosistem perairan. Perubahan ekosistem perairan mulai nampak
secara kasat mata di sekitar lokasi terumbu karang yang tidak jauh dan / atau kurang dari
1 km dari lokasi dermaga pengapalan (jeti). Seperti pada Gambar 5.17, memperlihatkan
dimana terumbu karang dan padang lamun menjadi rusak (mati) dan terancamnya
vegetasi mangrove yang cukup serius sebagai akibat peningkatan kekeruhan perairan
sebagai akibat aktivitas penambangan.
Sementara hasil analisis berdasarkan indikator parameter baik fisik, kimia dan
kandungan unsur logam berat maupun biota perairan menunjukkan bahwa perubahan
ekosistem perairan belum cukup signifikan. Kondisi tersebut mengingat bahwa perairan
pesisir timur Pulau Bintan mempunyai base line standard parameter perairan yang relatif
sudah mendekati ambang batas nilai baku yang ditetapkan oleh KLH. Meskipun
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 27
perubahan parameter perairan tersebut tidak cukup signifikan, namun jika ditarik garis
korelasi menunjukkan bahwa titik sampling yang keberadaanya semakin mendekati lokasi
penambangan perubahan ekosistem perairan cenderung menjadi semakin tinggi.
Gambar 5.17 Terumbu karang dan padang lamun di sekitar lokasi dermaga (jeti) di perairan pesisir timur Pulau Bintan.
Walaupun hasil analisis baik berdasarkan indikator fisik, kimia dan kandungan
unsur logam berat maupun biota perairan belum menunjukkan perubahan kondisi
perairan yang cukup signifikan, kecuali perubahan tingkat kekeruhan di sekitar lokasi
pengapalan (jeti) terutama pada saat turun hujan. Namun ancaman terhadap ekosistem
perairan tetap berlangsung secara terus menerus, seiring dengan meningkatnya
perubahan luas tutupan lahan sebagai akibat aktivitas manusia dalam meningkatkan
pembangunan fisik wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga. Sebagai gambaran
tentang korelasi ancaman tersebut terhadap konservasi daerah perlindungan laut seperti
disajikan pada Gambar 5.18.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 28
Gambar 5.18 Peta korelasi dampak aktivitas manusia korelasinya dengan ancaman
terhadap kemungkinan perubahan kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan
Sementara perkiraan dampak pemanfaatan lahan (ruang) khususnya bagi aktivitas
penambangan di Pulau Bintan dan Pulau Lingga, dikhawatirkan dapat menyebabkan
terganggunya keberadaan pulau-pulau kecil disekitarnya yang letaknya berdekatan.
Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), baik
pada tingkat nasional maupun propinsi menempatkan Pulau Bintan dan Pulau Lingga dan
sekitarnya sebagai wilayah yang sangat strategis bagi pembangunan nasional dan
regional, sehingga layak mendapatkan prioritas pengembangannya. Meskipun demikian,
proses pembangunan tersebut harus dapat mempertahankan karakteristik lingkungan
sekitarnya sebagai zona terdiri atas pulau-pulau (Riau kepulauan), sehingga keberadaan
dan stabilitas pantai dan pulau-pulau harus tetap dipertahankan. Berdasarkan akumulasi
dampak kegiatan dengan kegiatan sejenis di sisi kiri dan kanannya, maka dampak negatif
terhadap keberadaan pulau-pulau tersebut mempunyai resiko tinggi. Melalui deskripsi
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 29
tersebut, maka kegiatan penambangan bauksit harus dilakukan secara ekstra hati-hati
dan bijaksana. Oleh karena itu, lokasi penambangan disekitar pulau-pulau dibuat buffer
dan daerah konservasi pulau untuk mengamankan keberadaan pulau-pulau tersebut.
Mengingat lokasi aktivitas penambangan terletak pada jalur pelayaran domestik
dan nasional dan merupakan urat nadi yang penting di dalam melayani kegiatan
masyarakat baik pelayanan jasa maupun barang antar pulau, maka perairan di sekitar
lokasi penambangan merupakan jalur transportasi laut yang ramai (padat). Pada siang
hari umumnya merupakan alur pelayaran perairan, yaitu dari jenis kapal ferry (speed
boat) dengan frekuensi hampir setiap 15 menit sekali. Sementara pada malam hari
aktivitas lalu lintas tersebut berhenti dan diganti oleh aktivitas nelayan penangkap ikan
yang mempunyai alur penangkapan disekitar lokasi tersebut.
Demikian pula pengoperasian tongkang yaitu ketika dilakukan pengisian dan
pengangkutan bauksit akan melewati jalur pelayaran laut, dan kegiatan ini diperkirakan
akan menambah kepadatan lalu lintas pelayaran. Meskipun pengaruh terhadap
kelancaran lalulintas pelayaran tidak cukup signifikan, namun mengingat jalur pelayaran
yang dilewati tersebut juga merupakan jalur pelayaran rakyat dan sebagai jalur mobilitas
nelayan dari fishing base ke fishing ground atau sebaliknya, diperkirakan kegiatan
tersebut akan mengganggu jalur pelayaran rakyat dan mobilitas nelayan. Terganggunya
lalu lintas pelayaran pelayaran tersebut, terutama ketika mobilitas pada saat kegiatan
penambangan dan pengangkutan bauksit serta pencucian ditengah laut menuju tempat
penimbunan di negara tujuan (Singapura). Kegiatan pencucian bauksit dengan lama
waktu sekitar 1 jam, diperkirakan juga akan memberikan dampak penting bagi aktivitas
pelayaran baik nasional (regional) maupun pelayaran rakyat (lokal) dan mobilitas nelayan.
Sebagai gambaran tentang peningkatan kepadatan lalulintas dengan adanya aktivitas
pengangkutan dapat dijelaskan sebagai berikut : Frekuensi kapal pelayaran luar negri
sebanyak 2 kapal/hari dan pelayaran luar negri sebanyak 8 kapal/hari, dan bila dikaitkan
dengan penambahan frekuensi angkutan sebanyak 1 unit (dua rit per hari) maka frekuensi
kapal sebanyak 2 kali/hari. Frekuensi ini tidak termasuk lalulintas pelayaran yang tidak
melakukan transit di Pelabuhan Tanjung Pinang Bintan. Dari uraian tersebut di atas,
dapat dijelaskan bahwa aktivitas penambangan bauksit dan pengangkutannya
mempunyai peluang relatif kecil terhadap peningkatan kepadatan lalu lintas, tetapi
mempunyai tingkat resiko tinggi terjadinya kecelakaan, terutama pada saat cuaca kurang
baik dan pada saat malam hari.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 30
5.3.2 Persepsi masyarakat terhadap kemungkinan perubahan ekosistem perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot
Kekhawatiran masyarakat di wilayah pesisir timur Pulau Bintan tentang terjadinya
perubahan ekosistem perairan dapat dipahami, karena mengingat adanya bukti yang
menunjukkan terdapatnya korelasi antara dampak penambangan bauksit di daerah Kijang
dengan perubahan tingkat kekeruhan perairan di sekitar pesisir timur Pulau Bintan.
Sementara tingkat kekeruhan yang terjadi akibat penambangan, bersama-sama dengan
gangguan eksositem pantai akan mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap
kelimpahan dan keanekaragaman plankton, benthos, dan nekton dan berdampak lebih
lanjut terhadap penurunan produktifitas primer serta pertumbuhan terumbu karang.
Walaupun secara umum perubahan tingkat kekeruhan belum berdampak secara
signifikan terhadap perubahan ekosistem perairan, namun dengan semakin meningkatnya
aktivitas penambangan bauksit tanpa memperhatikan kepedulian terhadap
lingkungannya, kini merupakan ancaman yang cukup serius terjadinya perubahan
ekosistem perairan di sekitar daerah perlindungan laut (DPL) yang telah ditetapkan
sebagai kawasan konservasi yang perlu dilestarikan.
Sementara berdasarkan hasil identifikasi dampak, kegiatan penambangan bauksit
yang sudah dan/atau akan dilaksanakan penambangannya diperkirakan akan
menimbulkan dampak gangguan, khususnya terhadap kegiatan nelayan yang
diindikasikan oleh beberapa hal seperti :
1. Terganggunya jalur penangkapan nelayan karena sebagian kawasan tumpang tindih
dengan fishing ground (daerah tangkapan ikan nelayan) menurut SK. Mentan No.
392/Kpts/IK.120/4/99 tentang jalur-jalur penangkapan ikan.
2. Terganggunya lalu lintas perahu nelayan untuk menuju lokasi penangkapan ikan dan
atau penangkapan hasil produksi ikan.
3. Menurunnya produksi atau produktivitas hasil tangkapan ikan nelayan karena
adanya penurunan tingkat produktivitas primer diwilayah perairan sekitar lokasi
penambangan. Dalam hal ini terutama produktivitas penangkapan ikan dari jenis-
jenis ikan demersal yaitu ikan-ikan kurau, kakap dan ikan kerapu.
4. Kemungkinan menurunnya pendapatan keluarga nelayan, terutama nelayan
tradisional sebagai efek dari penurunan hasil tangkapannya khususnya nelayan yang
terdapat di desa-desa wilayah studi yang meliputi masyarakat nelayan dari
Kecamatan Bintan Timur. Kondisi awal nelayan tradisional yang terdapat di
Kecamatan Bintan Timur tersebut sebagian besar dikelompokkan sebagai nelayan
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 31
miskin dengan tingkat pendapatan sekitar Rp.(900.000/bulan ) yang hanya mampu
melaut 20 hari /bulan.
Dampak akan semakin dirasakan nelayan ketika prasarana dan sarana
penangkapan ikan mereka terganggu / rusak karena kegiatan lalu lintas penambangan.
Hal tersebut memungkinkan, karena untuk alat penangkapan ikan jenis jaring rawai yang
biasanya ditebar di pesisir atau selat dan jika tertabrak oleh melajunya kapal tongkang
bauksit akan rusak karena terseret tongkang/penambang tersebut. Sehingga alat mencari
nafkah yang sangat berharga bagi nelayan tersebut tidak dapat digunakan kembali. Jika
hal ini terjadi dan perusahaan pertambangan tidak tanggap untuk segera mengganti rugi,
maka dapat menimbulkan konflik dan keresahan sosial yang pada ujungnya merugikan
semua pihak. Berdasarkan gambaran dalam uraian tersebut diatas, kumulatif dari
dampak-dampak kegiatan penambangan bauksit jika tidak diantisipasi dan dikelola
dengan segera, diperkirakan dapat memicu terjadinya konflik sosial yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat. Dampak tersebut tergolong sebagai dampak negatif
penting.
Sedangkan kekhawatiran masyarakat di Desa Mamot tentang adanya rencana
penambangan bijih bauksit (besi) yang hingga kini masih dalam status ijin eksplorasi
dapat dimengerti, mengingat dampak penambangan yang akan ditimbulkannya sangat
besar. Tidak hanya masalah perubahan ekosistem perairan saja, melainkan juga
punahnya habitat perikanan dan beberapa mata air yang merupakan sumber kehidupan
bagi masyarakat pesisir di Pulau Mamot dan pulau-pulau sekitarnya.
Kegiatan penambangan bauksit di Pulau Mamot meskipun ditujukan kepada
kepentingan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun masyarakt setempat
menganggap dan mempunyaia kesan bahwa teknis operasionalnya relatif sama dalam
memberikan dampak negatif bagi kekeruhan air, menjauhnya ikan-ikan dari lokasi dan
pada akhirnya akan menurunkan hasil tangkapan ikan yang sekaligus pula akan
menurunkan pendapatan nelayan. Persepsi negatif tersebut sesungguhnya sudah
tertanam dalam pikiran sebagian masyarakat khususnya nelayan. Hal yang perlu
diwaspadai dan menimbulkan persepsi negatif bagi masyarakat adalah penyelundupan
barang dari dan ke Singapura. Tindakan ini dapat mengakibatkan dampak yang lebih
luas, khususnya penerimaan negara dan pencemaran lingkungan apabila yang dibawa
adalah limbah berbahaya.
Persepsi masyarakat yang dimaksud di sini adalah daya tangkap (sikap) dari
informasi/pengetahuan yang diterima oleh masyarakat tentang kegiatan penambangan
bauksit (besi) yang akan dilaksanakannya, yaitu berupa:
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 32
1. Rusaknya wilayah perairan pantai dengan ekosistem dasar perairan sebagai tempat
pemijahan ikan dan biota laut lainnya.
2. Terganggunya aktivitas penangkapan ikan atau menurunnya produktifitas perairan
(hasil tangkapan ikan) yang dirasakan oleh nelayan akibat operasional kapal
tongkang dan dampak kekeruhan yang ditimbulkan saat kegiatan operasi
penambangan bauksit dilakukan.
Ke-dua presepsi masyarkat ini timbul berkaitan dengan kegiatan serupa yang
dilakukan oleh kegitan penambangan diwilayah kepulauan Riau yang tidak
memperhatikan dinamika masyarakat dan dinamika ekologi di wilayah lokasi
penambangan dan wilayah sekitarnya.
Berkaitan dengan hal tersebut maka kegiatan penambangan bijih bauksit (besi) bila
tidak diinformasikan secara informatif dan benar kepada masyrakat nelayan yang
melakukan operasi diwilayah tapak proyek ataupun masyarakat yang bertempat tinggal di
wilayah sekitar tapak proyek dan/atau masyarakat yang bertempat tinggal diwilayah
sekitar tapak proyek tentang rencana kegiatan penambangan dapat memicu terjadinya
konflik sosial. Informasi tersebut baik mulai dari tahap perencanaan penambangan, tahap
persiapan, tahap operasional sampai paska penambangan, termasuk kompensasi yang
akan diterima oleh masyarakat dari terganggunya aktivitas penangkapan ikan ataupun
peningkatan pendapatan mereka, maka persepsi ini akan menjadi masalah yang
berlanjut menjadi keresahan masyarakat.
5.3.3 Solusi alternatif untuk mengantisipasi terjadinya perubahan ekosistem
perairan.
Solusi alternatif yang ditawarkan guna menindak lanjuti terhadap ke-dua (2) isue penting
tersebut adalah sebagai berikut :
Pengelolaan pertambangan bauksit (termasuk bahan tambang lainnya) diarahkan
agar dilakukan secara baik dan benar (good mining practice), dalam arti bahwa
kegiatan usaha pertambangan agar memenuhi ketentuan-ketentuan, kriteria, kaidah
dan norma-norma yang tepat sehingga pemanfaatan sumber daya mineral
memberikan hasil yang optimal dengan dampak buruk minimal (Suyartono, 2003).
Disatu sisi usaha pertambangan tetap menguntungkan, namun didisi lain dituntut
agar tetap memperhatikan/kepedulian terhadap kondisi lingkungannya.
Sebagaimana tertuang dalam Undang Undang No.4, tentang MINERBA, pasal 2.b
antara lain menyebutkan bahwa usaha pertambangan harus mendukung
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 33
pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup, juga dalam
pasal 8.g disebutkan bahwa usaha pertambangan dituntut untuk melaksanakan
pengembangan dan pembangunan masyarakat setempat dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan. Walaupun lokasi penambangan bauksit di
daerah Kijang telah sesuai dengan peruntukkan tataruangnya, namun sebagaimana
tertuang dalam strategi penataan ruang wilayah pesisir dan lautan termasuk
didalamnya laut perbatasan negara bagi kemakmuran rakyat yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu
dan tak terpisahkan dari ruang daratan dengan memperhatikan kepentingan sektoral
dan daerah untuk mewujudkan tata ruang wilayah pesisir dan lautan yang berkualitas
dan berwawasan lingkungan (Bappeda Kabupaten Bintan, 2007).
Berdasarkan kajian tersebut, solusi yang diusulkan guna memitigasi
terjadinya tingkat kekeruhan maka:
- Sebagai bentuk kepedulian perusahaan pertambangan bauksit terhadap
lingkungan, perusahaan pertambangan agar diwajibkan untuk membuat tanggul
dan kolam pengendapan pada setiap dermaga pengapalan (jeti), sehingga
tingkat kekeruhan perairan terutama pada saat terjadi turun hujan dapat
diminimalisir.
- Alternatif solusi bahwa setiap usaha pertambangan tidak selalu harus membuat
masing-masing dermaga pengapalan (jeti), namun beberapa perusahaan
pertambangan bisa saling berkolaborasi untuk membuat satu dermaga
pengapalan (jeti) yang berkualitas sesuai dengan ketentuan standar yang
berlaku untuk digunakan secara bersama-sama. Solusi lainnya bisa juga
dilakukan pengapalan produk tambangnya dengan cara memanfaatkan dermaga
ex. PT. Aneka Tambang yang mempunyai standar internasional untuk digunakan
secara bersama-sama melalui sistem sewa atau ganti rugi.
- Pelaksanaan pemantauan lingkungan pertambangan oleh dinas-dinas terkait
(yakni: dinas pertambangan, dinas lingkungan hidup dan dinas perikanan dan
kelautan) hendaknya dilakukan secara terpadu.
Rencana penambangan bijih bauksit (besi) di Pulau Mamot yang hingga kini masih
dalam tahap eksplorasi, diusulkan untuk tidak ditindak lanjuti dengan tahap
eksploitasi mengingat berbagai aspek yang perlu dpertimbangkan, diantaranya
bahwa:
- Undang Undang No.27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil. Salah satu pasal menyebutkan bahwa luas pulau-pulau kecil
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 34
(< 2.000 Ha) perlu dilindungi, termasuk diantaranya Pulau Mamot yang hanya
dengan luas sekitar 778 Ha.
- Perairan sekitar pesisir Pulau Mamot merupakan daerah perlindungan laut (DPL)
yang perlu dilestarikan, mengingat perairan tersebut kaya akan terumbu karang,
padang lamun dan vegetasi mangrove.
- Perairan sekitar pesisir Pulau Mamot kaya kan jenis ikan, yang merupakan
sumber kehidupan bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di pulau
tersebut. Disamping itu juga terdapat beberapa sumber mata air, yang
merupakan penopang kehidupan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Pulau
Mamot.
- Berdasarkan strategi pengembangan dan pemanfaatan lahan, Pulau Mamot
termasuk wilalayah peruntukan pertanian dan perikanan serta permukiman, tidak
untuk lahan pertambangan. Mengingat luas pulau Mamot relatif kecil, maka
kemungkinan jumlah cadangan bijihnya juga relatif kecil, sehingga jika
ditambangpun lebih banyak dampak negatifnya dibandingkan dengan dampak
positifnya.
- Walaupun secara regional telah dilakukan studi AMDAL, namun dalam
kenyataannya berpotensi timbulnya konflik, mengingat sebagian besar
masyarakat menentang.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 VI - 1
BAB - VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian, baik dari pengamatan di lapangan maupun dari hasil analisis di
laboratorium dapat disimpulkan bahwa:
1. Kijang, Pulau Bintan dengan perubahan tingkat kekeruhan perairan pesisir timur
Pulau Bintan. Namun sejauhmana perubahan tingkat kekeruhan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
• Hasil analisis baik citra landsat maupun ALOS mengindikasikan adanya
perubahan tingkat kekeruhan dari arah selatan (sumber dampak) menuju ke-
utara (lokasi DPL), secara kualitatif dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga)
kategori, yakni: kategori kekeruhan tinggi, sedang dan rendah.
• Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa perubahan
tingkat kekeruhan tersebut secara signifikan hanya bersifat sesaat (temporer),
yakni ketika turun hujan lebat. Sebagai sumber dampak adalah di lokasi
beberapa dermaga pengapalan (jeti).
• Hasil model perhitungan berdasarkan hukum stokes penyebaran kekeruhan
bisa mencapai radius sekitar 2 km dari sumber dampak, yang tergantung dari
sifat fisik (ukuran butir, densitas) dan volume material, dan dipengaruhi oleh
kondisi iklim (curah hujan) dan hidrooceanografi (arah dan kecepatan arus,
gelombang dan pasang surut) serta sifat fisik medium pembawa (densitas,
viskositas air laut).
Sementara ini untuk penambangan bauksit di Kepulauan Lingga belum nampak
adanya korelasi tersebut, mengingat lokasi penambangannya relatif jauh dari
perairan pesisir Pulau Mamot (> 2 km).
2. Korelasi antara perubahan tingkat kekeruhan dengan perubahan ekosistem
perairan sebagai akibat dampak aktivitas penambangan baik di Pulau Bintan
maupun di Mamot (Lingga), secara umum belum menunjukkan adanya perubahan
ekosistem perairan yang signifikan. Namun sejauhmana korelasi tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 VI - 2
• Kondisi eksisting perairan di kedua lokasi kajian tersebut berdasarkan
indikator parameter fisik air, kimia dan kandungan logam berat serta biota
perairan masih dalam kondisi batas normal bagi kehidupan biota perairan.
Walaupun terdapat beberapa parameter melebihi dan / atau sedikit dibawah
nilai baku mutu KLH, namun jika ditarik garis dari titik sample yang diambil dari
sekitar DPL menuju titik sample yang diambil dari perairan di sekitar sumber
dampak, menunjukkan adanya kecenderungan perubahan kualitas fisik
perairan yang cukup signifikan. Sedangkan perubahan kualitas kimia dan
kandungan unsur logam berat serta parameter biota perairan walaupun tidak
signifikan, namun juga memperlihatkan adanya kecenderungan yang semakin
meningkat.
• Hasil pengamatan terhadap terumbu karang dan padang lamun di sekitar
lokasi DPL (seperti perairan pesisir Pantai Trikora, perairan pesisir Pulau
Mapor dan perairan pesisir Pulau Pangkil) masih dalam kondisi normal.
Secara umum belum terjadi perubahan secara signifikan, kecuali terumbu
karang dan padang lamun di sekitar lokasi dermaga (jeti) dengan tingkat
kekeruhan tinggi, pada umumnya sudah mulai rusak dan bahkan mati.
Demikian pula tentang kondisi vegetasi mangrove pada umumnya masih
dalam kondisi baik, kecuali vegetasi mangrove yang berada di sekitar aktivitas
penambangan bauksit di bagian selatan pesisir Pulau Bintan mengalami
ancaman kerusakan yang cukup serius.
3. Walaupun secara umum perubahan tingkat kekeruhan belum berdampak secara
signifikan terhadap perubahan ekosistem perairan, namun dengan semakin
meningkatnya aktivitas penambangan bauksit dan aktivitas lainnya tanpa
memperhatikan kepedulian terhadap lingkungannya, kini merupakan ancaman
yang cukup serius akan terjadinya perubahan ekosistem perairan di sekitar daerah
perlindungan laut (DPL) yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi yang
perlu dilestarikan.
4. Kekhawatiran masyarakat (khususnya nelayan) yang tinggal di wilayah pesisir
timur Pulau Bintan dan pesisir Pulau Mamot, baik terhadap aktivitas penambangan
maupun rencana penambangan bauksit cukup beralasan, karena persepsi
masyarakat tentang dampak negatifnya menyangkut berbagai aspek kehidupan
mereka yang perlu mendapat perhatian pemerintah. Persepsi masyarakat yang
dimaksud adalah daya tangkap (sikap) dan informasi yang diterima oleh
masyarakat tentang dampak negatif aktivitas penambangan tersebut diantaranya:
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 VI - 3
• Rusaknya wilayah perairan pantai dengan ekosistem dasar perairan sebagai
tempat pemijahan ikan dan biota laut lainnya.
• Sementara tingkat kekeruhan yang terjadi akibat penambangan, bersama-
sama dengan gangguan eksositem pantai akan mengakibatkan terjadinya
perubahan terhadap kelimpahan dan keanekaragaman plankton, benthos, dan
nekton dan berdampak lebih lanjut terhadap penurunan produktifitas primer
serta pertumbuhan terumbu karang.
• Menjauhnya ikan-ikan dari lokasi daerah penangkapan ikan (fishing ground)
akibat terganggunya wilayah tersebut oleh aktivitas penambangan.
• Terganggunya jalur penangkapan nelayan karena sebagian kawasan tumpang
tindih dengan fishing ground (daerah tangkapan ikan nelayan).
• Terganggunya lalu lintas perahu nelayan untuk menuju lokasi penangkapan
ikan dan atau penangkapan hasil produksi ikan.
• Terganggunya prasarana dan sarana penangkapan ikan karena kegiatan lalu
lintas penambangan. Seperti rusaknya alat tangkap ikan, karena untuk alat
penangkapan ikan jenis jaring rawai yang biasanya ditebar di pesisir atau selat
karena bisa tertabrak dan terseret oleh melajunya kapal tongkang pengangkut
bauksit.
• Menurunnya produksi atau produktivitas hasil tangkapan ikan nelayan karena
adanya penurunan tingkat produktivitas primer diwilayah perairan sekitar
lokasi penambangan.
• Kemungkinan besar menurunnya pendapatan keluarga nelayan, terutama
nelayan tradisional sebagai efek dari penurunan hasil tangkapannya,
khususnya bagi sebagian besar nelayan yang dikelompokkan sebagai nelayan
miskin.
6.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, disarankan bahwa :
1. Bagi perusahaan pertambangan bauksit (termasuk bahan tambang lainnya)
diarahkan agar dalam pengelolaannya dilakukan secara baik dan benar (good
mining practice), dalam arti bahwa kegiatan usaha pertambangan agar memenuhi
ketentuan-ketentuan, kriteria, kaidah dan norma-norma yang tepat sehingga
pemanfaatan sumber daya mineral memberikan hasil yang optimal dengan
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 VI - 4
dampak buruk minimal. Secara kongkritnya untuk mencegah atau mengantisipasi
terjadinya perubahan ekosistem dapat dilakukan sebagai berikut:
• Perusahaan pertambangan diwajibkan untuk membuat tanggul dan kolam
pengendapan pada setiap dermaga pengapalan (jeti), sehingga tingkat
kekeruhan perairan terutama pada saat terjadi turun hujan dapat diminimalisir.
• Beberapa perusahaan pertambangan bisa saling berkolaborasi untuk
membuat satu dermaga pengapalan (jeti) yang berkualitas sesuai dengan
ketentuan standar yang berlaku untuk digunakan secara bersama-sama.
• Solusi alternatif lainnya bisa dilakukan dengan cara memanfaatkan dermaga
ex. PT. Aneka Tambang yang telah mempunyai standar internasional untuk
digunakan secara bersama-sama melalui sistem sewa atau ganti rugi.
• Aktivitas penambangan bauksit perlu dilakukan secara ekstra hati-hati dan
bijaksana. Kepedulian terhadap lingkungan perlu dicanangkan semenjak
perencanaan tambang hingga paska tambang. Seperti lokasi penambangan
yang berada disekitar pulau-pulau kecil dan daerah konservasi agar dibuat
buffer untuk mengamankan keberadaan pulau-pulau kecil dan daerah
konservasi tersebut.
2. Pelaksanaan pemantauan lingkungan pertambangan oleh dinas-dinas terkait
(yakni: dinas pertambangan, dinas lingkungan hidup dan dinas perikanan dan
kelautan) hendaknya dilakukan secara terpadu dan intensif, sehingga:
• Pelanggaran baik aktivitas penambangan maupun aktivitas lainnya yang dapat
merusak daerah konserfasi dapat dicegah atau dihindari.
• Terlindunginya daerah konservasi seperti daerah perlidungan laut (DPL) dan
pulau-pulau kecil dari ancaman terjadinya degradasi lingkungan.
• Terlindunginya masyarakat kecil, termasuk para nelayan dari kehilangan
penopang kehidupannya.
3. Mengingat baik Undang Undang No.27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil maupun Undang Undang No. 4 tahun 2009, tentang
MINERBA, maka rencana penambangan bijih bauksit (besi) di Pulau Mamot yang
hingga kini masih dalam tahap eksplorasi, sebaiknya untuk tidak ditindak lanjuti
dengan ijin eksploitasi.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 VII - 1
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Undang-Undang No.27 Tahun 1999 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil
Anonim, Undang-Undang No.32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Anonim, Undang-Undang No.4 Tahun 2009, tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara
Anonim, Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayti
dan Ekosistemnya.
Anonim, Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Anonim, Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Anonim, Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Anonimous, A field guide to aquatic phenomena, http://www.umaine.edu/
WaterResearch/ FieldGuide/ color. htm#blue.
Anonimous, Causes of Color, http:// webexhibits.org /causesofcolor /5B.html
Atlas of ADB Project Implementation Area dan Coremap, 2006,
Bappeda Kab.Bintan, 2007, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan,
Pemerintah Kabupaten Bintan
Bappeda Kab.Lingga, 2007, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan,
Pemerintah Kabupaten Lingga
BMKG, 2009, Evaluasi Cuaca dan Sifat hujan Bulan Juli serta Prakiraan Cuaca dan Sifat
Hujan Bulan Agustus, Buletin Meteorologi, Hang Nadin, Batam
BMKG, 2010, Evaluasi Cuaca dan Sifat hujan Bulan Maret serta Prakiraan Cuaca dan
Sifat Hujan Bulan April, Buletin Meteorologi, Hang Nadim, Batam
Clark, R.B, 1989, Marine pollution, Oxford, Clarendon Press.
Harning, R, Djohan, E, Rahayu, S., 2006, Dasar-dasar aspek social Terumbu Karang
Indonesia, desa Limbung, Kecamatan Lingga Utara, Kabupaten Lingga, Provinsi
Kepulauan Riau, Coremap-LIPI, Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI, Jakarta
2006.
Hendrik, A.W.C, Djuwariah., 2008, Monitoring Terumbu Karang Pulau Bintan, Pulau
Mapur, Coral Reef Rehabilitation and Management Program – LIPI, Jakarta.
Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 VII - 2
Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup, No.Kep-02/MENKLH/I/1988, tentang
Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan.
Korzeniewski, K and Neugebaur, E, 1991, Heavy metal contamination in the polish zone
at South Baltic. Mar.Pollt.Bull.23, 687 – 689.
Kusnama, Sutisna, K, Amin,T.C, Koesoemadinata, S, Sukardi, Hermanto, B., 1994, Peta
Geologi Lembar Tanjungpinang, Sumatera, Pusat Peneltian Geologi, Bandung.
Peraturan daerah Kabupaten Bintan Nomor 14 Tahun 2007 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Bintan tanggal 23 Agustus 2007
Peraturan Pemerintah No.21 tahun 2006 tentang Penyelengaraan Penanggulangan
Bencana
Siegal,B.S., and Gillespie,A.R., Remote Sensing in Geology, John Wiley & Sons, New
York, 1979.
Sutisna, K, Burham, G, Hermanto, B., 1994, Peta Geologi Lembar Dabo, Sumatera,
Pusat Peneltian Geologi, Bandung.
Suyartono, 2003, “Good Mining Practice” Konsep tentang Pengelolaan Pertambangan
yang Baik dan Benar, ISBN: 979-97534-7-3, Penerbit Studi Nusa, Semarang.
Tim Asdir Kebijakan dan Pengembangan MMA/MCA, 2009, Mengenal Potensi Kawasan
Konservasi Perairan (Laut) daerah, Program Rehabilitasi dan Pengelolaan
Terumbu Karang (Coremap II) Direktorat Jenderal Kelautan Pasisir dan Pulau-
pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Vol.1. ISBN 978-602-
8717-30-4.