PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK...
Transcript of PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK...
DI
UNIVER
UNT
DALAM
IAJUKAN K
SITAS ISL
TUK MEM
MEMPER
1. LIND
2. NUR
FA
UIN
UL
M PUTUSAN
REPU
KEPADA F
LAM NEGE
MENUHI SE
ROLEH GE
DALA
PE
DRA DARN
RAINUN M
PROD
AKULTAS
SUNAN KA
i
ULTRA PET
N MAHKA
UBLIK IND
SKRIPSI
FAKULTA
ERI SUNA
EBAGIAN
ELAR SAR
AM ILMU H
OLEH :MULATN
12340088
EMBIMBIN
NELA, S.A
MANGUNSO
DI ILMU H
S SYARI'A
KALIJAGA
2016
TITA
AMAH KO
DONESIA
I
AS SYARI'A
AN KALIJA
DARI SYA
RJANA STR
HUKUM
NO 8
NG :
Ag., M.Hum
ONG, S.H.,
HUKUM
AH & HUKU
YOGYAK
ONSTITUSI
AH & HUK
AGA YOGY
ARAT-SYA
RATA SAT
m.
, M.Hum.
UM
KARTA
I
KUM
YAKARTA
ARAT
TU
A
ii
ABSTRAK
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudisial yang masih baru dianggap cukup penting kehadirannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Mahkamah Konstitusi yang memiliki tugas penting untuk menjaga supremasi konstitusi di Indonesia terkadang memberikan putusan melebihi yang dimohonkan (ultra petita). Putusan tersebut menimbulkan perdebatan di kalangan para pegiat hukum karena tidak jarang putusan ultra petita tersebut melanggar norma-norma yang ada dalam undang-undang. Namun demikian, tentu Mahkamah Konstitusi memiliki dasar-dasar tertentu dalam memberikan putusan ultra petita. Penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai dasar dari Mahkamah Konstitusi membuat putusan ultra petita.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang menitik beratkan pada telaah atau kajian hukum positif. Obyek penelitian dalam penelitian ini adalah putusan melebihi yang dimohonkan (ultra petita) yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Penyususun akan menganalisis putusan tersebut sesuai dengan karakter keilmuan hukum normatif berdasarkan norma-norma hukum yang ada.
Penyusun menyimpulkan bahwa ketentuan Pasal 86 UU MK menjadi dasar yuridis bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya termasuk kewenangan untuk membuat putusan yang melebihi permohonan (ultra petita). Penyusun juga menemukan setidaknya ada 4 (empat) dasar yang membuat Mahkamah Konstitusi memberikan putusan ultra petita, yaitu: 1) Untuk mewujudkan keadilan substantif. Ketika undang-undang yang berlaku tidak dapat memberikan keadilan bagi warga negara dan bertentangan dengan hak-hak konstitusionalitas seorang warga negara, maka seorang hakim harus dapat berkreasi dalam membuat putusan agar dapat mencapai substansi keadilan dan mengesampingkan keadilan prosedural yang kaku karena terbelenggu oleh bunyi undang-undang; 2) Koherensi antar pasal yang dibatalkan. Pembatalan pasal tertentu saja akan menimbulkan ketidakpastian hukum jika pasal yang dibatalkan tersebut merupakan inti undang-undang atau menentukan operasionalisasi keseluruhan undang-undang; 3) Memperkuat Sistem Checks and Balances. Tujuan pembentukan Mahkamah Konstitusi salah satunya adalah sebagai lembaga yang berfungsi untuk menyempurnakan mekanisme Checks and Balances untuk mengawasi dan mengontrol dua lembaga lainnya (eksekutif dan legislatif); 4) Menghindari terjadinya kekosongan hukum dan menjamin kepastian hukum. Ketika Mahkamah Konstitusi hanya membatalkan sebuah pasal yang dimohonkan saja terkadang hal tersebut akan menimbulkan kekosongan hukum yang berakibat terjadinya ketidakpastian hukum.
Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Ultra Petita.
vii
MOTTO
Manusia yang menginginkan ilmu bagaikan menginginkan makanan dan air.
(Imam Hambali)
“Everything is difficult before you make it easy,
thinking simple and everything will be simple”
“You’ll never be perfect, but you can be better”
viii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Puji syukur kepada Allah SWT dan Muhammad SAW atas rahmat-Nya skripsi ini dapat selesai
karena semua yang terjadi di dunia ini sudah pasti atas kehendak-Mu.
Untuk kedua orang tua yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, dan cinta kasih yang
tiada terhingga sehingga tidak dapat dibalas hanya dengan segunung emas sekalipun. Bangga
bisa diberi kesempatan hidup bersama dalam satu ikatan keluarga. Semoga ini menjadi
langkah awal untuk mendapatkan ridho kalian berdua karena selama ini belum dapat berbuat
lebih banyak untuk kalian. Dan untuk kakakku satu-satunya, terimakasih telah menjadi
panutan yang baik untukku.
Untuk almamaterku Ilmu Hukum 2012 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih telah memberikan motivasi, kritik dan saran
yang sangat membangun.
P
menyele
P
dari All
sebagai
Hukum
menguc
1. B
S
2. B
H
3. B
U
S
S
4. B
5. I
p
Puji syukur
esaikan skri
Penyusun m
lah SWT d
persyaratan
Universita
capkan terim
Bapak Prof
Sunan Kalij
Bapak Dr.
Hukum Uni
Bapak Dr.
Universitas
S.H., M.Hu
Sunan Kalij
Bapak Faisa
Ibu Lindra
pembimbing
r kehadirat A
ipsi ini. Shal
mengakui ba
dan orang-or
n untuk men
as Islam N
ma kasih kep
f. Drs. Yud
jaga Yogyak
H. Syafiq
iversitas Isla
Ahmad Ba
Islam Nege
um., selaku
jaga Yogyak
al Luqman H
Darnela S.A
gan kepada
KAT
Allah SWT
lawat serta
ahwa skripsi
rang yang m
ndapatkan g
Negeri Suna
pada:
ian Wahyud
karta.
Mahmadah
am Negeri S
ahiej, S.H.,
eri Sunan K
Sekertaris
karta.
Hakim, S.H
Ag., M.Hum
penyusun.
ix
TA PENGA
سم هللا الرحمن
T karena ata
salam tercu
i ini tidak ak
membantu
elar strata s
an Kalijaga
di MA, Ph.
h Hanafi, M
Sunan Kalij
M.Hum. s
Kalijaga Yog
Program St
H., M.Hum. s
m. selaku P
ANTAR
بس
as rahmat d
urah kepada j
kan berhasil
penyusun d
atu Ilmu Hu
a Yogyakar
.D selaku R
M.Ag. selaku
aga Yogyak
selaku Ketu
gyakarta da
tudi Ilmu H
selaku Dose
Pembimbing
dan karunia-
junjungan R
l tanpa duku
dalam meny
ukum pada F
rta. Oleh k
Rektor Univ
u Dekan F
karta.
ua Program
an Bapak Fa
Hukum Univ
en Pembimb
g I yang me
-Nya penyu
Rasulullah S
ungan dan b
yelesaikan s
Fakultas Sy
karena itu,
versitas Isla
akultas Sya
m Studi Ilm
aisal Lukma
versitas Isla
bing Akadem
emberikan w
usun dapat
SAW.
bimbingan
skripsi ini
yari’ah dan
penyusun
am Negeri
ari’ah dan
mu Hukum
an Hakim,
am Negeri
mik.
waktu dan
x
6. Ibu Nurainun Mangunsong, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing II yang memberikan
waktu dan pembimbingan kepada penyusun.
7. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta yang telah memberikan ilmu kepada penyusun.
8. Seluruh teman-teman Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
angkatan 2012 yang tidak dapat disebutkan satu-persatu karena telah memberikan
dukungan pada penyusun.
Demikian penyusunan skripsi ini yang disusun agar dapat bermanfaat dalam menambah
keilmuan kita semua. Penyusun menyadari masih terdapat kekurangan dan kelemahan sehingga
mengharapkan saran dan kritik yang membangun.
Yogyakarta, 22 Mei 2016
Penyusun,
Mulatno NIM. 12340088
xi
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................................... i
Abstrak............................................................................................................................... ii
Surat Pernyataan ............................................................................................................. iii
Surat Persetujuan Skripsi ............................................................................................... iv
Pengesahan ....................................................................................................................... vi
Motto ................................................................................................................................ vii
Persembahan .................................................................................................................. viii
Kata Pengantar ................................................................................................................ ix
Daftar Isi ........................................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................................6
C. Tujuan dan Kegunaan .....................................................................................6
D. Tinjauan Pustaka .............................................................................................7
E. Kerangka Teoritik .........................................................................................11
F. Metode Penelitian .........................................................................................23
G. Sistematika Pembahasan ...............................................................................26
BAB II PERKEMBANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM
SISTEM KETATANEGARAAN DAN ULTRA PETITA ...........................28
A. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi ...............................................28
B. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ...................................................41
C. Pengertian Ultra Petita .................................................................................61
xii
D. Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia .......................62
BAB III ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI: CONTOH KASUS DAN ALASAN ...................................70
A. Putusan Nomor 36/PUU-X/2012: Kekayaan Alam Untuk
Kemakmuran Rakyat ....................................................................................75
B. Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014: Persamaan di Depan Hukum
Bagi Anggota DPR .......................................................................................86
C. Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009: Pendidikan
Sebagai Hak Setiap Warga Negara .............................................................92
BAB IV DASAR DAN URGENSI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM
MEMUTUS PERKARA MELEBIHI YANG DIMOHONKAN
(ULTRA PETITA)............................................................................................103
A. Penegakkan Keadilan Substantif .................................................................107
B. Penjaminan Koherensi Antar Pasal .............................................................115
C. Peguatan Sistem Checks and Balances .......................................................118
D. Penciptaan Kepastian Hukum .....................................................................123
BAB V PENUTUP ........................................................................................................129
A. Kesimpulan .................................................................................................129
B. Saran ...........................................................................................................129
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................131
LAMPIRAN ....................................................................................................................140
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan manusia yang selalu ingin berkembang dan lebih baik dari waktu
ke waktu harus selalu diikuti dengan perkembangan hukum guna menjamin
keselarasan kehidupan dalam bermasyarakat. Hukum diciptakan untuk melindungi
yang lemah dari kekuasaan yang lebih kuat, membatasi kekuasaan penguasa agar
tidak semena-mena dengan kekuasaanya. Lebih singkatnya hukum diciptakan untuk
mewujudkan sesuatu yang disebut keadilan, kepastian dan kemanfaatan untuk
mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat. Dalam melaksanakan peranan
pentingnya bagi masyarakat, hukum mempunyai fungsi, seperti penertiban
pengaturan, penyelesaian pertikaian sedemikian rupa sehingga dapat mengiringi
masyarakat yang berkembang.1 Di dalam kehidupan bernegara hukum dibuat oleh
penguasa dalam bentuk seperti undang-undang dasar, undang-undang dan peraturan-
peraturan lainnya yang bersumberkan dari keadaan sosiologi, politik dan budaya yang
ada dalam suatu negara tersebut. Namun ada kalanya hukum yang dibuat oleh
penguasa tersebut tidak sesuai dengan apa yang diinginkan ataupun bertentangan
dengan asas ataupun nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Negara memiliki asas
dasar dalam pemerintahannya atau sering disebut konstiusi yang mencerminkan cita-
cita suatu negara. Ketika suatu peraturan dibentuk tidak sesuai dengan konstitusi atau
1 Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 45.
2
kehendak rakyatnya, maka yang akan terjadi adalah adanya penolakan dari rakyat.
Jika hal demikian dibiarkan terus berlanjut tidak menutup kemungkinan akan
terjadinya suatu endapan emosioal (amarah) dari rakyat yang pada akhirnya timbul
pemberontakan dari rakyat. Seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 pada
akhir era Orde Baru, ketika amarah masyarakat telah mencapai puncaknya karena
pemerintahan yang berlindung di balik undang-undang dan tidak sedikit peraturan
perundang-undanga yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar sehingga
menimbulkan pemerintahan yang korup karena pemerintahan yang cenderung
otoriter. Seperti halnya ungkapan power tends to corrupt, and absolute power,
corrupts absolutely.
Maka untuk menjamin keselarasan antara hukum dan masyarakat serta
mencegah suatu perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi, paska
pemerintahan Orde Baru muncul ide untuk membentuk suatu lembaga yang berfungsi
untuk menguji suatu undang-undang. Suatu badan hasil dari amandemen ke-3
Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Mahkamah Konstitusi .
Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi diharapkan tidak akan ada
undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Undang-Undang
Dasar negara menjamin Hak asasi setiap warga Negara yang selama Orde Baru hak-
hak itu dirampas. Pribadi atau kelompok dapat mengajukan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi jika suatu pasal dalam undang-undang dianggap bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar dan merugikan pihak tertentu. Dalam sistem
3
kekuasaan kehakiman (yudisial), di samping ada Mahkamah Agung dan badan-badan
peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha
negara telah muncul Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.2
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang masih baru dianggap cukup
penting dalam kehadirannya. Secara khusus Mahkamah Konstitusi diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Tujuan
pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitui sepertinya
cukup tepat, hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pengujian undang-undang
yang telah dilakukannya sejak tahun 2003 awal berdirinya dan putusan-putusannya
dianggap tepat.
Namun demikian, di balik kelebihan-kelebihannya, timbul kecemasan dari
para pengamat hukum karena beberapa kewenangannya. Sesuai dengan amanat
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24C ayat (1) bahwa, “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar ….”. Hal
tersebut memunculkan kekhawatiran bahwa sifat final Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut kemudian turut menahbiskan MK menjadi organ konstitusional yang
2 Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi Dalam Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006), hlm. 118.
4
superbody. Artinya, melalui putusan yang bersifat final, MK memiliki kekuasaan
yang luar biasa besar, melebihi kekuasaan lembaga-lembaga negara lainnya. 3
Mahkamah Konstitusi dipandang sering mengambil perspektif sendiri, padahal ada
perspektif lain yang juga argumentatif. Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi
itu kemudian tak dapat dilihat sebagai kebenaran yang secara substantif sejalan
dengan isi atau politik hukum undang-undang dasar melainkan hanya sejalan dengan
pilihan perspektifnya sendiri. Padahal setiap perspektif memiliki logikanya sendiri-
sendiri yang juga benar.4
Dalam beberapa kasus Mahkamah Konstitusi dianggap mengambil keputusan
yang bersifat ultra petita (melebihi apa yang diminta/dimohonkan). Hal tersebut
menjadi kontroversi dan berdebatan bagi kalangan pengamat hukum karena
mengenai asas ultra petita tersebut tidak di atur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 45A Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya melarang hakim untuk
memberikan putusan ultra petita tetapi pasal tersebut dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi sendiri melalui judicial review. Dengan begitu maka tidak ada peraturan
3 Fajar Laksono Soeroso, “Aspek Keadilan dalam Sifat Final Putusan Mahkamah Konstitusi”,
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 1. (Maret 2014), hlm. 67.
4 Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Rajawali Press:Jakarta, 2013), hlm. 100.
5
perundang-undangan yang mengatur mengenai putusan ultra petita di Mahkamah
Konstitusi. Hal ini menjadi perdebatan bagi beberapa ahli hukum, ada yang setuju
tentang putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi, tetapi banyak juga yang kontra.
Beberapa kasus diputus oleh Mahkamah Konstitusi melebihi dari yang
dimohonkan oleh pemohon (ultra petita). Misalnya dalam hal ini penyusun
mengambil contoh kasus yaitu dalam Putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014. Putusan
tersebut mengandung ultra petita karena pemohon hanya meminta untuk meninjau
beberapa pasal dan frasa yang ada dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Bahwa pada
pemohon pengajukan judicial review Pasal 245 UU MD3. Namun dalam putusannya
Mahkamah Konstitusi membuat norma baru yaitu mengubah norma pada Pasal 245
ayat (1) dari yang sebelumnya berbunyi:
Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.5
Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” diubah
menjadi “persetujuan tertulis dari Presiden” oleh Mahkamah Konstitusi. Selain
perkara tersebut, pada perkara-perkara sebelumnya Mahkamah Konstitusi juga tidak
5 Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
6
sedikit memberikan putusan yang ultra petita, misalnya Putusan No 5/PUU-V/2007
Pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Putusan No 133/PUU-VII/2009 Pengujian Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Putusan No 65/PUU-VII/2010 Pengujian
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hal seperti itulah
yang menjadi suatu perdebatan dalam putusan tersebut dan penyusun akan
mengkajinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penyusun merumuskan
permasalahan yaitu apa dasar dari Mahkamah Konstitusi memutus suatu perkara
melebihi yang dimohonkan (ultra petita) oleh pemohon?
C. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan yang diharapkan penyusun dalam penelitian ini adalah untuk
memahami apa dasar dari Mahkamah Konstitusi memutus suatu perkara
melebihi yang dimohonkan (ultra petita) oleh pemohon.
2. Kegunaan yang ingin dicapai penyusun melalui penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Manfaat Akademis
Melalui penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
pemikiran dan memberikan manfaat di bidang akademis untuk:
7
1) Pengembangan wawasan keilmuan penyusun, memperkaya khasanah
Ilmu Hukum dalam rangka pengembangan Hukum Tata Negara.
2) Memberikan sumbangan pemikiran teoritikal dan kritikal dalam
pemahaman mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi
menggunakan asas ultra petita saat memutus perkara.
b. Manfaat Institusional
1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pemahaman
serta dapat menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi untuk
menggunakan asas ultra petita dalam memutus suatu perkara.
2) Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran dan wacana sebagai sumbangan pemikiran konsepsional
terutama pada bidang Hukum Tata Negara Pemerintah mengenai dasar
dari Mahkamah Konstitusi memutus perkara dengan asas ultra petita.
D. Tinjauan Pustaka
Keaslian penelitian dapat diartikan bahwa masalah yang dipilih belum pernah
atau jarang diteliti oleh peneliti sebelumnya maka harus dinyatakan mengenai
perbedaan dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Ini dilakukan untuk
memposisikan skripsi ini, serta menghindari kemungkinan adanya pengulangan
penelitian. Pembahasan mengenai masalah yang ada dalam penelitian ini sudah ada
yang mengangkat sebelumnya. Penyusun menyadari tentunya ada persamaan baik itu
dilihat dari teori yang dipakai ataupun yang lainya. Tetapi perlu penyusun tegaskan
8
bahwa dalam penyusunan penelitian ini akan ada hal yang membedakan dengan
penelitian-penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan mengenai masalah yang
diangkat.
Adapun penyusun menemukan beberapa literatur yang berkaitan dengan
skripsi ini adalah sebagai berikut:
Literatur pertama, skripsi yang ditulis oleh Geri Afandi. Penyusun
berkesimpulan bahwa Putusan ultra petita ditinjau dari Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi adalah merupakan putusan yang tidak diatur dalam hukum acara
Mahkamah Konstitusi, akan tetapi larangan ultra petita hanya diatur dalam hukum
acara perdata, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR dan
Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg.6 Tentunya penyusun menyadari ada persamaan dan
perbedaan antara karya ilmiah tersebut. Persamaanya yaitu dalam skripsi saudara Geri
Afandi dan skripsi yang penyusun tulis keduanya membahas tentang putusan yang
bersifat ultra petita yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitus. Namun tentunya ada
perbedaan antara skripsi yang ditulis oleh saudara Geri Afandi susun dan skripsi yang
penyusun tulis. Perbedaanya skripsi yang penyusun tulis akan membahas mengenai
dasar dari Mahkamah Konstitusi memutus suatu perkara dengan ultra petita.
Literatur kedua, skripsi yang ditulis oleh Taufik Kemal Hadju. Penyusun
mengambil intisari dari kesimpulan skripsi tersebut yaitu: Putusan perkara Nomor
6 Geri Afandi, “Kajian Normatif Putusan Ultra petita Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Kasus Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 tentang BP Migas),” skripsi Universitas Bung Hatta (2014), hlm. 97.
9
49/PUU-IX/2011 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi, telah memutus melebihi permohonan (ultra petita) yaitu,
menambahkan unsur Komisi Yudisial dalam komposisi Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi untuk dihilangkan dalam Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d
dan huruf e.7 Secara umum persamaan antara skripsi yang saudara Taufik Kemal
Hadju tulis dengan skripsi yang penyusun tulis adalah mengenai ultra petita oleh
Mahkamah Konstitusi. Sementara bedanya adalah putusan yang kami bahas, saudara
Taufik Kemal Hadju hanya membahas perihal Putusan Perkara Nomor 49/PUU-
IX/2011 Perihal Pengujian undang-undang Mahkamah Konstitusi sedangkan dalam
skripsi yang penyusun tulis menggunakan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi
yang mengandung unsur ultra petita.
Literatur ketiga, skripsi yang ditulis oleh Fadel. Penyusun mengambil intisari
dari kesimpulan skripsi tersebut yaitu: Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai
penjaga konstitusi (Guardian of Constitution), sehingga jika perlu dalam putusannya
mungkin terjadi penyimpangan dari prinsip keadilan prosedural, demi terwujudnya
keadilan substantif.8 Persamaan antara skripsi yang penyusun tulis dengan skripsi
saudara Fadel adalah bahwasanya kami membahasan tentang prinsip ultra petita
dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Pembeda dari skripsi antara skripsi
7 Taufik Kemal Hadju,“Implikasi Hukum Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Dalam
Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi (Putusan Perkara Nomor 49/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian UU Mahkamah Konstitusi),” skripsi Universitas Andalas (2012), hlm. 112.
8 Fadel, “ Tinjauan Yuridis Prinsip Ultra petita Oleh Mahkamah Konstitusi Sebagai Upaya Mewujudkan Keadilan Substantif Di Indonesia,” skripsi Universitas Hasanuddin (2012), hlm. 77.
10
yang penyusun tulis dengan skripsi saudara Fadel adalah bahwasanya penyusun
membahas tentang dasar dari Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara dengan
ultra petita sementara dalam skripsi saudara Fadel membahas tentang tujuan dari
Mahkamah Konstitusi melakukan putusan yang bersifat ultra petita kaitannya dengan
keadilan keadilan prosedural dan keadilan substantif.
Literatur keempat, skripsi yang ditulis oleh Sri Wahyuni. Penyusun
berkesimpulan bahwa pola dan bentuk pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi
yaitu tidak dapat diterima, dikabulkan, ditolak, konstitusional bersyarat, tidak
konstitusional bersyarat, ultra petita dan perumusan norma dalam putusan.9
Persamaan antara skripsi yang penyusun tulis dengan skripsi saudari Sri Wahyuni
adalah bahwasanya kami menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai objek penelitian
kami. Hal yang yang palig mendasar berbeda antara skripsi yang penyusun tulis
dengan skripsi saudari Sri Wahyuni adalah bahwa saudari Sri Wahyuni membahas
tentang pola dan bentuk pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi sedangkan
skripsi yang penyusun tulis membahas dasar dari Mahkamah Konstitusi dalam
memberikan putusan yang bersifat ultra petita yang berarti penelitian penyusun akan
lebih spesifik pada putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita.
Literatur kelima, skripsi yang ditulis oleh Abdullah Fikri. Penyusun
mengambil intisari dari kesimpulan skripsi saudara Abdullah Fikri yaitu: Putusan
9 Sri Wahyuni, “Pola dan Bentuk Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Untuk Mewujudkan Konstitusionalisme,” skripsi Universitas Sebelas Maret (2012), hlm. 132.
11
Ultra petita Mahkamah Konstitusi, diperbolehkan dalam perspektif Fiqh Siyasah,
selama putusan tersebut mengandung kemaslahatan umum sebagai tujuan dari Fiqh
Siyasah dan dapat diterima oleh mayoritas masyarakat sebagai tolok ukur tercapainya
kemaslahatan. Kemaslahatan tersebut berada pada tingkatan kemasalahatan
dlaruriyat. Disamping itu, Pancasila harus diutamakan dalam penegakkan keadilan,
karena merupakan falsafah Negara Indonesia yang secara substantif mencakup
prinsip-prinsip Al-Qur’an dan As-Sunnah.10 Persamaan antara skripsi yang penyusun
tulis dengan skripsi saudara fikri adalah bahwasanya kami membahasan tentang
prinsip ultra petita dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Pembeda dari
skripsi antara skripsi yang penyusun tulis dengan skripsi saudara Fikri adalah
bahwasanya saudara Fikri membahas putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi
dengan menggunakan perspektif Fiqh Siyasah sedangkan skripsi yang penyusun tulis
menggunankan perspektif hukum positif yang sedang berlaku saat ini.
E. Kerangka Teoritik
Adapun landasan teori yang penyusun gunakan dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1. Teori keadilan
Hukum tidak dapat dipisahkan dengan keadilan, karena keadilan
merupakan roh dari hukum itu sendiri. Keduanya merupakan suatu kesatuan.
10Abdullah Fikri, ”Putusan Ultra petita Mahkamah Konstitusi Dalam Perspektif Fiqh
Siyasah” skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (2012), hlm. 143.
12
Meniadakan pandangan keadilan dari hukum berarti menyamakan hukum
dengan kekuasaan.11 Ada teori yang mengajarkan, bahwa hukum semata-mata
menghendaki keadilan. Teori yang mengajarkan hal tersebut, disebut teori-
teori yang etnis karena menurut teori-teori itu, isi hukum harus ditentukan
semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etnis mengenai apa yang adil
dan apa yang tidak adil.12
Aristoteles menggolongkan keadilan ke dalam keadilan distributif dan
keadilan korektif. Keadilan distributif menyangkut soal pembagian barang-
barang dan kehormatan kepada masing-masing orang sesuai dengan
tempatnya dalam masyarakat, sedangkan keadilan korektif memberikan
ukuran untuk menjalankan hukum sehari-hari. Dalam menjalankan hukum
sehari-hari harus ada standar yang umum guna memulihkan konsekuensi dari
suatu tindakan yang dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain.13
Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan
yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Di sisi lain keadilan
korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu perjanjian
11 L. J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), hlm 28.
12 Ibid., hlm. 24.
13 Sukarno Aburaera, dkk., Filsafat Hukum Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 184.
13
dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berupaya
memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan.14
Sedangkan Madjid Khadduri menggambarkan prinsip pokok keadilan
dengan menggolongkan keadilan ke dalam dua kategori, yaitu aspek
substantif dan prosedural. Aspek substantif berupa elemen-elemen keadilan
dalam substansi syari’at, sedangkan aspek prosedural berupa elemen-elemen
keadilan dalam hukum-hukum prosedural yang dilaksanakan (keadilan
prosedural).15 Selain itu dapat juga dikatakan bahwa keadilan prosedural
adalah keadilan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang dirumuskan
dari peraturan hukum formal, seperti mengenai tenggat waktu maupun syarat-
syarat beracara di pengadilan lainnya. Sedangkan keadilan substantif adalah
keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber
hukum yang responsif sesuai hati nurani.16
2. Teori penemuan hukum (rechtsvinding)
Menurut Sudikno Mertokusumo sebagimana dikutip dalam bukunya
Ahmad Rifai mengartikan penemuan hukum sebagai proses pembentukan
14 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nusa Media, 2010),
hlm. 25.
15 Sukarno Aburaera, dkk., Filsafat Hukum Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 193-194.
16 Bambang Sutiyoso, “Mencari Format Ideal Keadilan Putusan Dalam Peradilan”, Jurnal Hukum, No. 2, vol. 17 (April 2010), hlm. 227.
14
hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas
melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan hukum umum terhadap
peristiwa hukum yang konkret.17 Sedangkan menurut Amir Syamsudin bahwa
penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim dalam
upaya menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwanya
berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu, yang digunakan agar
penerapan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dapat dilakukan secara tepat
dan relevan menurut hukum, sehingga hasil yang diperoleh dari proses itu
dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum.18
Sejalan dengan pemikiran tentang penemuan hukum tersebut
memunculkan beberapa aliran, salah satunya adalah aliran recthsvinding.
Menurut aliran recthsvinding, tugas hakim sebagai penemu hukum adalah
menyelaraskan undang-undang sesuai dengan tuntutan zaman.19 Aliran ini
dapat dikatakan sebagai jalan tengah antara aliran legisme dan freie
rechtsbewegung. Aliran freie rechtsbewegung memberikan kebebaasan pada
hakim untuk memutus berdasarkan undang-undang atau tidak karena hakim
adalah pencipta hukum (jugde made law).20 Sedangkan aliran legisme
17 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 21.
18 Ibid., hlm. 23.
19 Sudikni Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1993), hlm. 32.
20 Soejono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. ke-13 (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 160.
15
menekankan bahwa hakikat hukum itu adalah hukum yang tertulis (undang-
undang), sehingga terlihat aliran legisme ini sangat mengagungkan hukum
tertulis.21 Aliran rechtsvinding merupakan aliran di antara aliran legisme dan
freie rechtsbewegung. Aliran rechtsvinding tetap berpegang pada undang-
undang, tetapi tidak seketat aliran legisme karena hakim juga memiliki
kebebasan. Tetapi kebebasan itu tidak seperti kebebasan yang dianut Freie
Rechtsbewegung. Hakim memiliki kebebasan yang terikat dan keterikatan
yang bebas. Tugas hakim adalah menyelaraskan undang-undang dengan
tuntutan zaman, dengan hal-hal yang konkret yang terjadi dalam masyarakat
dan bila perlu menambah undang-undang yang disesuaikan dengan asas-asas
keadilan masyarakat.22
3. Teori kekuasaan kehakiman
Secara etimologis istilah kekuasaan terbentuk dari kata kuasa yang
menurut kamus besar bahasa Indonesia kuasa berarti: 1) kemampuan atau
kesanggupan (untuk berbuat sesuatu); kekuatan; 2) wewenang atas sesuatu
atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb), sedangkan
kekuasaan berarti kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang
atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma, atau
21 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 28.
22 Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1993), hlm. 91.
16
kekuatan fisik; secara hukum berarti fungsi menciptakan dan memantapkan
kedamaian (keadilan) serta mencegah dan menindak ketidakdamaian atau
ketidakadilan. Secara sederhana kekuasaan dapat diartikan sebagai
kewenangan atau kemampuan untuk memberi pengaruh. Sedangkan
kehakiman berasal dari kata hakim yang dalam kamus besar bahasa Indonesia
berarti orang yg mengadili perkara (dalam pengadilan atau mahkamah),
kemudian kehakiman berarti: 1) urusan hakim dan pengadilan; 2) segala
sesuatu yg berkenaan dengan hukum (undang-undang, pengadilan, dsb). 23
Miriam Budiarjo mengartikan kekuasaan sebagai kewenangan yang
didapatkan oleh seorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan
tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh
dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang
atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok
lainnya sesuai dengan keinginan dari pelaku.24
Dalam konteks negara Indonesia kekuasaan kehakiman didefinisikan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
bentuk peraturan tertinggi dalam negara menyebutkan dalam Pasal 24 ayat (1)
bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
23 Departemen Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi
Keempat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), hlm. 746.
24 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jarkarta: Kencana Prenada Media, 2012), hlm. 24.
17
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”25
Selanjutnya pada Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan
bahwa:
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.26 Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 angka (1):
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.27 Adanya kekuasaan kehakiman sebagai salah satu lembaga kekuasaan
dalam suatu negara tidak lepas dari ide John Locke yang pertama kali
mengemukakan teori pemisahan kekuasaan. Teori pemisahan kekuasaan
membagi kekuasaan pada negara menjadi kekuasaan legislatif yaitu
kekuasaan membentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif yaitu kekuasaan
yang menjalankan undang-undang, serta kekuasaan federatif yang merupakan
kekuasaan yang meliputi perang dan damai, membuat perserikatan, dan segala
25 Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
26 Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
27Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
18
tindakan dengan semua orang serta badan-badan di luar negeri.28 Selanjutnya
Montesque dalam bukunya yang terkenal , I ‘Esprit de Lois yang membagi
kekuasaan negara dalam tiga kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Badan legislatif bertugas membuat undang-undang, eksekutif
melaksanakan dan yudikatif mengawasi bahwa undang-undang itu tidak
melanggar Undang-Undang Dasar (inkonstitusional) dan bahwa undang-
undang itu benar-benar dilaksanakan secara murni dan konsekuen oleh
eksekutif.29 Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara
tersebut dilembagakan dalam tiga organ/lembaga negara sesuai fungsinya
masing-masing, artinya satu organ/lembaga hanya menjalankan satu fungsi
dan tidak boleh mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak.
Montesquieu menghendaki agar tiga lembaga kekuasaan tersebut tidak saling
mempengaruhi satu sama lain. Termasuk kekuasaan yudikatif yang tidak
boleh mendapat intervensi dari pihak manapun dalam menjalankan
kekuasaannya.
Setiap negara mempunyai ciri dan kekhasan tersendiri di bidang
ketatanegaraanya, termasuk juga kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hal itu
terjadi karenan banyak faktor. Namun, secara garis besar susunan kekuasaan
28 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, (Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, t.t.), hlm. 13.
29Loekman Wiriadinata, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989), hlm. 67.
19
kehakiman suatu negara dapat ditinjau dari berbagai dasar yaitu30: Pertama,
perbedaan antara badan peradilan umum (the ordinary cour) dan badan
peradilan khusus (the special court). Kedudukan ini menyangkut kedudukan
pejabat administrasi negara dalam forum peradilan. Maka susunan kekuasaan
kehakiman dibedakan antara lain: (1) Susunan kekuasaan pada negara-negara
yang tergolong ke dalam “common law state.” Pada negara-negara ini berlaku
konsep rule of law.” Menurut konsep ini tidak ada perbedaan forum peradilan
bagi rakyat biasa dan pejabat administrasi negara. Setiap orang (tanpa
memandang sebagai rakyat biasa atau pejabat administrasi negara) akan
diperiksa, diadili, dan diputus oleh badan peradilan yang sama yaitu badan
peradilan umum (the ordinary court). (2) Susunan kekuasaan kehakiman pada
negara-negara yang tergolong kedalam “prerogative state”. Menurut konsep
ini, pejabat administrasi negara dalam melakukan fungsi administrasi
negaranya tunduk pada hukum administrasi negara. Apabila pejabat
administrasi negara tersebut melakukan kesalahan atau kekeliruan dalam
menjalankan fungsi administrasi negara akan mempunyai forum peradilan
tersendiri yaitu forum administrasi. Konsep ini berasal dari Dicey, yang
membedakan antara sistem “rule of law” dan “droit administrative”.
Perbedaan ini menurut Dicey menimbulkan dua sistem susunan peradilan
yaitu judicial court (common law court) dan administrative court. Pada
30 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2012), hlm. 40-42.
20
negara yang tergolong droit administrative akan ada lingkungan peradilan
yaitu peradilan umum dan peradilan administrasi. Adapun negara-negara
dengan sistem rule of law hanya ada satu lingkungan peradilan yaitu
peradilan umum (common law court). Kedua, perbedaan antara susunan
kekuasaan kehakiman menurut negara yang berbentuk federal dan negara
kesatuan. Perbedaan ini menyangkut cara pengorganisasian badan peradilan.
Pada negara-negara federal seperti Amerika Serikat mempunyai dua sistem
kekuasaan kehakiman yaitu susunan kekuasaan kehakiman federal dan
susunan kekuasaan kehakiman negara-negara bagian. Sedangkan pada negara-
negara kesatuan kekuasaan kehakiman disusun dalam susunan tunggal untuk
seluruh wilayah negara. Ketiga, kehadiran hak menguji. Faktor ini
mempengaruhi kekuasaan kehakiman dengan adanya hak menguji atas
peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah. Sekarang sesuai
dengan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi, maka masing-masing lembaga tersebut mempunyai wewenang
menguji peraturan perundang-undangan dengan tingkatan-tingkatannya.
Keempat, sejarah dan keadaan suatu negara. Keadaan suatu negara sangat
menentukan susunan kekuasaan kehakiman. Karena biasannya sesuai dengan
kehendak perubahan, maka sendi-sendi susunan kekuasaan negara pun
mengalami perubahan termasuk di dalamnya kekuasaan kehakiman.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga kekuasaan
kehakiman di Indonesia yang baru lahir setelah amandemen ke-3 Undang-
21
Undang Dasar 1945 memiliki peran yang sangat fital sebagai lembaga
yudisial yang memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga
permanen yang keberadaan dan kewenangannya diatur dalam Undang-
Undang Dasar 1945. Tujuan pokok pembentukan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia adalah menjaga agar tidak ada undang-undang yang bertentang
dengan Undang-Undang Dasar atau menjamin supremasi konstitusi terhadap
undang-undang. Jika ada pasal dalam undang-undang yang bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar maka peran Mahkamah Konstitusi adalah
dapat membatalkannya. Sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 hasil
amandemen ke-3, tugas pokok Mahkamah Konstitusi adalah:
1. Menguji peraturan undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
(judicial review).
2. Memutus sengketa antar lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
3. Memutus pembubaran parpol.
4. Memutus sengketa hasil pemilu.
5. Memutus pendapat DPR bahwa presiden telah melanggar hal-hal
tertentu yang di atur dalam UUD sehingga dapat diproses untuk
berhentikan.
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
22
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jika dilihat
dari undang-undang tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa jenis
putusan terhadap gugatan yang diajukan, yaitu:
1. Ditolak
Pasal 56 Ayat (5) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi mengatur tentang amar putusan yang menyatakan
permohonan ditolak, yaitu “Dalam hal undang-undang dimaksdud tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau
keseluruhan amar putusan menyatakan ditolak”.
2. Tidak dapat diterima
Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi mengatur tentang amar putusan yang menyatakan
permohonan tidak dapat diterima yaitu: “Dalam hal Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa Pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar
putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.31
3. Dikabulkan
Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi mengatur tentang amar putusan yang menyatakan
31 Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
23
permohonan dikabulkan, yaitu: “Dalam hal Mahkamah Konstitusi 24
berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan
permohonan dikabulkan.32
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi diatur sendiri oleh Mahkamah
Konstitusi yaitu melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor:
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-
Undang.
F. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penyusun menggunakan metode-metode yang
sesuai dengan permasalahan dalam skripsi ini. Adapun metode penelitian yang
digunakan oleh penyusun dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis penelitian dan metode pendekatan
a. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah melalui
penelitian kepustakaan (library research) penelitian yang mengumpulkan
datanya dengan membaca dan mempelajari buku-buku dan peraturan
perundang-undangan ataupun apa saja yang ada kaitannya dengan
masalah yang diteliti.
32 Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
24
b. Metode pendekatan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu
penelitian yang dilakukan terhadap substansi atau kaidah-kaidah hukum
yang dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kelengkapan perangkat
atau kaidah-kaidah hukum sehingga mampu diimplikasikan kepada
realitas. Penelitian yang menitik beratkan pada telaah atau kajian hukum
positif. Obyek penelitian dalam penelitian ini adalah putusan melebihi
yang dimohonkan (ultra petita) yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi. Penyususun akan menganalisis putusan tersebut sesuai dengan
karakter keilmuan hukum normatif berdasarkan norma-norma hukum yang
ada.
2. Sumber data
Untuk memecahkan permasalahan yang ada dalam penelitian hukum
ini penyusun membedakan sumber-sumber penelitian menjadi tiga, yaitu
sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer, bahan-
bahan hukum sekunder, bahan-bahan hukum tersier.
a. Bahan Hukum Primer, yang terdiri dari:
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman.
25
b. Bahan Hukum sekunder, yang terdiri dari:
Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum sekunder, yaitu : Jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau
pandangan ahli hukum yang termuat dalam media masa mengenai
permasalahan. Berbagai hasil pertemuan ilmiah baik di tingkat nasional
maupun internasional yang ada kaitannya mengenai masalah diatas.
c. Bahan-Bahan Hukum Tersier
Bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus hukum,
kamus bahasa Indonesia dan bahasa Inggris Selain bahan hukum
sekunder yang berasal dari bahan-bahan hukum, penyusun juga
menggunakan bahan-bahan non hukum yang dinilai relevan dengan
penelitian ini, misalnya dari bidang keilmuan Filsafat, Politik dan
Sosiologi.
3. Teknik pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan cara
dengan melakukan penelusuran serta penggalian lebih dalam mengenai
masalah yang diteliti yaitu dari sumber-sumber data yang disebutkan di atas,
yaitu baik itu primer seperti bahan-bahan yang berupa Undang-Undang
mengikat ataupun sumber data sekunder, seperti: Jurnal-jurnal hukum, dan
dari sumber data tersier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus
26
hukum, kamus bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Selain bahan hukum
sekunder yang berasal dari bahan-bahan hukum, penyusun juga menggunakan
bahan-bahan non hukum yang dinilai relevan dengan penelitian ini, misalnya
dari bidang keilmuan filsafat, politik dan sosiologi.
G. Sistematika Pembahasan
Penyusun merencanakan dalam penelitian ini pembahasan akan
disistematikakan dalam 5 (lima) bab. Bab pertama adalah pendahuluan, terdiri dari:
(a) latar belakang masalah, (b) rumusan masalah, (c) tujuan dan kegunaan, (d)
tinjauan pustaka, (e) kerangka teoritik, (f) metode penelitian, (g) sistematika
pembahasan.
Bab kedua mengenai Perkembangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem
Ketatanegaraan dan ultra petita , terdiri dari: (a) sejarah pembentukan Mahkamah
Konstitusi, (b) Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (c) Pengertian ultra petita,
dan (d) Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Bab ketiga adalah mengenai Ultra Petita Dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi: Contoh Kasus dan Alasan, terdiri dari: (a) Putusan Nomor 36/PUU-
X/2012: Kekayaan Alam Untuk Kemakmuran Rakyat, (b)Putusan Nomor 76/PUU-
XII/2014: Persamaan di Depan Hukum Bagi Anggota DPR, dan (c) Putusan Nomor
11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009: Pendidikan Sebagai Hak Setiap Warga
Negara.
27
Bab keempat adalah dasar dan urgensi mahkamah konstitusi dalam
memutus perkara melebihi yang dimohonkan (ultra petita), yang terdiri dari: (a)
Penegakkan Keadilan Substantif, (b) Penjaminan Koherensi Antar Pasal, (c)
Penguatan Sistem Checks and Balances, dan (d) Penciptaan Kepastian Hukum.
Bab kelima merupakan bab penutup yang terdiri dari dua subbab yaitu
kesimpulan dan saran.
28
BAB II
PERKEMBANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM
SISTEM KETATANEGARAAN DAN ULTRA PETITA
A. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi
1. Sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi di dunia
Negara yang dapat dianggap pelopor dalam membentuk Mahkamah
Konstitusi di Eropa adalah Austria yang mengadopsikan ide pembentukannya
itu dalam UUD 1920.33 Revolusi Prancis telah membentuk elemen-elemen
demokratis dan kebebasan hak sipil. Revolusi Prancis itu ternyata juga
menyulut terjadinya revolusi di Austria. Revolusi tersebut menghendaki
adanya penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan partisipasi dari
rakyat. Hampir setengah abad terjadi dinamika ketatanegaraan di Austria baru
pada tahun 1920 lahir konstitusi Austria setelah runtuhnya Kekaisaran Austro-
Hungaria (1919). Hans Kelsen menjadi salah satu tokoh perancang konstitusi
tersebut. Konstitusi tersebut dianggap sebagai konstitusi yang paling
memenuhi syarat karena dalam konstitusi tersebut menjamin adanya
pemisahan kekuasaan, sistem demokrasi dan jaminan atas hak asasi manusia.
33 Jimly Assiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), hlm. 1.
29
Rancangan mengenai sebuah mahkamah khusus untuk melaksanakan
tugas menegakkan konstitusi yang terpisah dari peradilan biasa untuk
mengawasi dan membatalkan jika ternyata bertentangan dengan undang-
undang dasar tidak lepas dari ide rancangan Hans Kelsen, seorang sarjana
hukum yang sangat berpengaruh pada abad ke-20 yang juga menjadi salah
satu tokoh perancang konstitusi Austria pada saat itu. Menurut Kelsen,
konstitusi dapat dipahami dalam dua arti yaitu konstitusi dalam arti formal
dan konstitusi dalam arti materil. Dalam arti formal, konstitusi adalah suatu
dokumen khusus yang khidmat, suatu perangkat norma hukum yang hanya
dapat diubah dengan mematuhi sejumlah keharusan dan persyaratan khusus,
dengan tujuan agar norma-norma itu menjadi lebih sulit untuk diubah.
Sedangkan dalam arti materil, konstitusi adalah berupa aturan-aturan yang
mengatur pembentukan norma-norma hukum umum, khususnya
pembentukan undang-undang. Konstitusi dalam arti materil bukan hanya
dapat menentukan organ-organ dan prosedur legislasi, dalam tingkatan
tertentu juga dapat menetukan isi hukum (undang-undang) yang akan dibuat
dimasa yang akan datang. Konstitusi dapat menentukan secara negatif bahwa
undang-undang tidak boleh memuat substansi atau isi tertentu. Dengan cara
ini, larangan yang ditentukan oleh konstitusi itu bukan hanya berlaku terhadap
isi undang-undang itu tetapi juga terhadap norma-norma dari tata hukum
lainnya serta keputusan-keputusan hukum administrasi.34 Pengaduan
34 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusi (Constitutional Complain) Upaya Hukum
30
konstitusional adalah suatu upaya hukum untuk mempertahankan hak-hak
konstitusional yang dimiliki warga negara.35 Maka perlu adanya sebuah
peradilan guna menegakkan konstitusi tersebut. Kelsen mengakui adanya
ketidakpercayaan yang luas terhadap badan peradilan biasa untuk
melaksanankan tugas penegakan konstitusi.36 Hans Kelsen berpendapat bahwa
tugas judicial review tidak boleh dipercayakan kepada Mahkamah Agung
sebagai peradilan biasa tetapi harus diletakkan pada suatu special tribunal
yang berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung. Indonesia mengikuti
pendirian ini dan menjadi negara ke-78 yang membentuk Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga yang berdiri sendiri di samping Mahkamah
Agung.37 Organ yang menjalankan pengawasan mungkin dapat menghapus
sepenuhnya undang-undang yang “tidak konstitusional” sehingga undang-
undang tersebut tidak dapat diterapkan oleh setiap organ lain. Jika pengadilan
biasa berkompeten untuk menguji kekonstitusionalan suatu undang-undang,
pengadilan ini mungkin hanya diberi hak untuk menolak penerapannya dalam
kasus konkret jika pengadilan tersebut memandangnya tidak konstitusional,
Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusi Warga Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 204-205.
35 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusi (Constitutional Complain) Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusi Warga Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 4.
36 Maruar, Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika. 2011), hlm. 3-4.
37Jimly Assiddiqqie, Model-Model Pengujian Konstitusi di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 23.
31
sedangkan organ-organ lain tetap diwajibkan untuk menerapkan undang-
undang tersebut.38 Charles Beard menyatakan bahwa judicial review
merupakan bagian dari sistem checks and balances yang ditetapkan
convention untuk melindungi hak kepemilikan (property) terhadap serangan
mayoritas. Sistem checks and balances itu sendiri, yang tak pelak lagi
merupakan elemen esensial dari konstitusi, dibangun atas doktrin bahwa
cabang pemerintahan rakyat tersebut tidak boleh berkuasa penuh, lebih-lebih
dalam melaksanakan undang-undang yang menyentuh hak kepemilikan.39
Meski Kelsen merancang model ini untuk Austria, yang mendirikan
Mahkamah Konstitusi berdasarkan model itu untuk pertama kali adalah
Cekoslowakia pada bulan Februari tahun 1920. Baru pada bulan Oktober
1920, rancangan tersebut diwujudkan di Austria.40 Karena gagasan model
pengujian konstitusi tersebut digagas Hans Kelsen maka ini juga disebut
sebagai Kalsenian Models atau sebutan Continental Model lainnya atau
Austrian Model. Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi lahir dari adanya
keinginan untuk menjamin tegaknya konstitusi yang dianggap ideal.
38 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, (Bandung: Nusamedia dan Nuansa,
2006), hlm. 225.
39 Leonard W. Levy (ed.), Judicial Review: Sejarah Kelahiran, Wewenang, dan Fungsinya dalam Negara Demokrasi, (Jakarta: Penerbit Nuansa, 2005), hlm. 3.
40 Maruar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 4.
32
2. Sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Bagi negara Indonesia, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
negara dan pelaksana kekuasaan kehakiman memang dapat dikatakan sebagai
hal baru. Namun, sebagai sebuah gagasan, Mahkamah Konstitusi bukanlah
sesuatu yang baru, karena fungsi pengujian dan penafsiran konstitusi sebagai
gagasan yang sudah lama ada menjelang Indonesia merdeka.41 Didalam
penelusuran sejarah ketatanegaraan Indonesia pada awal penyusunan Naskah
Pembukaan UUD 1945 BPUPKI, tepatnya pada awal dalam 15 Juli 1959.
Terdapat dua hal yang perlu mendapat perhatian awal dalam bahasan ini,
yaitu: pertama, kewenangan lembaga kekuasaan kehakiman untuk melakukan
pengujian konstitusional terhadap undang-undang yang berlaku, walaupun
belum menyebutkan institusi mana yang berwenang untuk melakukan. Kedua,
melakukan interpretasi terhadap undang-undang. Terhadap yang pertama,
pada penyusunan UUD 1945, oleh Yamin, hak menguji oleh hakim yang di
Amerika Serikat disebut Judicial review, menjadi perdebatan dalam sidang
Pleno Dokuritsu Zyunbi Chosa Kai (BPUPKI), ketika Supomo menanggapi
usulan Yamin tentang Mahkamah Agung, tuan Yamin menghendaki supaya
41 Abdul Latif, dkk., Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: Total
Media, 2009), hlm. 3.
33
Mahkamah Agung mempunyai hak untuk memutus, bahwa suatu undang-
undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.42
Soepomo tidak menyetujui kewenangan untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar diberikan kepada MA. Karena, selain
alasan bahwa pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar hanya
dikenal dalam suatu sistem pemerintahan yang mengenal pemisahan
kekuasaan secara tegas, juga karena konsepsi undang-undang dasar ini tidak
memakai sistem yang membedakan secara prinsipal antara tiga badan atau
lembaga negara itu, artinya tidaklah kekuasaan kehakiman akan mengontrol
kekuasaan membentuk undang-undang. Tegasnya, yang dianut Undang-
Undang Dasar 1945 adalah pembagian kekuasaan bukan pemisahan
kekuasaan menurut teori atau doktrin trias politica yang dikembangkan oleh
Montesque di negara-negara Eropa Barat.43 Selain itu, Undang-Undang Dasar
1945 sebelum amandemen menganut supremasi parlemen dengan
menempatkan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sistem
demikian itu, produk legislatif tidak boleh diuji oleh kekuasaan lain.44
42 Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Upaya Mewujudkan Negara Hukum
Demokratis, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 54.
43 Jimly Asshidiqie, dkk., Menjaga Denyut Konstitusi (Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: -, 2004), hlm. 5-9.
44 Abdul Latif, dkk, Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 5.
34
Tahun 1997 adalah tahun ketika bangsa Indonesia dilanda gejolak
krisis ekonomi disebabkan oleh krisis moneter. Bersamaan dengan krisis
tersebut keadaan politik di tanah airpun mengalami krisis karena maraknya
tuntutan reformasi, termasuk didalamnya reformasi konstitusi.45 Praktik
ketatanegaraan di awal reformasi tahun 1998 menunjukan perkembangan dan
dinamika kehidupan bernegara yang sangat pesat, sementara UUD 1945
sebelum amandemen kurang dapat mengikuti dinamika kehidupan yang
berkembang dan pada akhirnya menimbulkan pertentangan, karena masing-
masing pihak memberikan penafsiran terhadap UUD 1945 berdasarkan
pemahaman dan kepentingan masing-masing.46 Gagasan pembentukan
Mahkamah Konstitusi baru menjadi kenyataan ketika UUD 1945
diamanademen untuk yang ketiga kalinya (2001), sebagaimana tampak
pengaturannya dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.47 Di dalam
Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 yang ditetapkan MPR
pada 9 November 2001, menambahkan lembaga pelaksanaan kekuasaan
kehakiman baru, yakni Mahkamah Konstitusi.48
45Sri Soemantri, Hukum Tata negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, (Bandung: PT
Rosda, 2014), hlm. 279.
46 Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 10.
47 Ibid, hlm. 7-8.
48 Ach. Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 11, No. 1, (Maret 2014), hlm. 87.
35
Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 disahkan maka dalam rangka
menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah
Agung (MA) menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk sementara
sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil
perubahan ke-empat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat rancangan
undang-undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan
mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pada tanggal 13 Agustus 2003
Presiden Megawati Soekarno Putri mengesahkan landasan hukum Mahkamah
Konstitusi yaitu Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4316). Undang-undang ini landasan hukum bagi Mahkamah
Konstitusi dalam melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan Undang-
Undang Dasar 1945. Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M
Tahun 2003 melantik hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang
dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di
istana negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan Mahkamah
Konstitusi selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari Mahkamah Agung ke
Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai
beroperasinya kegiatan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu cabang
kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.49
49 Mahkamah Konstitusi, Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi,
36
Hingga 12 (dua belas) tahun berdirinya Mahkamah Konstitusi,
Mahkamah Konstitusi telah menjalankan dan melaksanakan tugasnya dalam
menangani tiga macam perkara yang menjadi yurisdiksinya yaitu menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Hingga saat ini Mahkamah Konstitusi belum pernah memberikan putusan
mengenai pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, dan tindak pidana berat lainnya adatu perbuatan tercela, dan/atau
pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai presiden dan/atau wakil presiden dan juga belum pernah memutus
pembubaran partai politik.
3. Judicial Review sebagai salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi
Judicial review merupakan pengawasan kekuasaan kehakiman
terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif.50 Sejarah judicial review pertama
kali timbul dalam praktik hukum di Amerika Serikat melalui putusan Supreme
Court (Mahkamah Agung) dalam perkara Merbury vs Medison pada tahun
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1, (diakses pada 11 Januari 2016)
50 Ni’matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: UII Press, 2011), hlm. 27.
37
180351. Saat itu Jhon Marshall (seorang hakim agung Amerika) membatalkan
undang-undang dan harus diuji konstitusionalitasnya melalui putusannya
dalam menangani perkara Marbury Vs Medison. Marbury menuntut agar
Mahkamah Agung memerintahkan pemerintahan Thomas Jeffrson agar
mengeluarkan writ of mandamus.52 Namun John Marshall menolak
permohonan tersebut dan memberikan putusan yang berisi pembatalan
undang-undang dan melakukan constitusional review. Ketentuan memberikan
kewenangan Mahkamah Agung untuk mengeluarkan writ of mandamus. Pada
Pasal 13 Judiciary Act dianggap melebihi kewenangan yang diberikan
konstitusi sebagai the supreme of land.53 Putusan yang melebihi yang
dimohonkan tersebut sempat membuat kontroversi karena sebelumnya di
Amerika belum pernah ada hakim yang membatalkan undang-undang.
Peristiwa tersebut menjadi sejarah terjadinya judicial review dalam sejarah
Amerika Serikat dan pengaruhnya meluas dalam pemikiran dan praktek
hukum di banyak negara. Bagir Manan mengungkapkan bahwa judicial
review di Amerika Serikat adalah kekuasaan pengadilan untuk menyatakan
51 Syaiful Bakhri, Beban Pembuktian Dalam Beberapa Praktik Peradilan, (Jakarta: Gramata
Publishing, 2012), hlm. 199.
52 Writ of Mandamus dalam sistem hukum Amerika Serikat dapat diartikan sebagai surat perintah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tertinggi kepada organ tertentu termasuk Pemerintah agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang menjadi kewajiban hukumnya.
53 Tim Penyusun Buku Lima Tahun MK, Lima Tahun Mengakkan Konstitusi Gambaran Singkat Pelaksanaan Tugas Mahkamah Konstitusi 2003-2008, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepanieraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 3.
38
batal (null and void) suatu hukum perundang-undangan atau tindakan
pemerintah karena berdasarkan alasan bertentangan dengan konstitusi.54
Di Indonesia sebelum terjadinya reformasi 1998 terjadi, banyak
kalangan mengusulkan dibentuknya sebuah lembaga yang memiliki
kewenangan untuk melakaukan pengujian terhadap undang-undang. Ide
tersebut bahkan ide itu sudah ada sejak berdirinya negara Indonesia itu sendiri
lebih tepatnya pada saat pembahasan penyusunan UUD 1945 oleh BPUPKI
yang salah satu pembahasannya adalah mengenai kewenangan lembaga
kekuasaan kehakiman untuk melakukan pengujian konstitusional terhadap
undang-undang yang berlaku, walaupun pada saat itu belum disebutkan
institusi mana yang berwenang untuk melakukannya.55 Baru setelah reformasi
1998 keinginan tersebut dapat terwujud setelah amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 dilakukan. Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga yang
lahir dari amandemen ke-3 Undang-Undang Dasar 1945 diberikan kekuasaan
oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 yang diamanatkan melalui Pasal 24C ayat (1).
Sedangkan sesuai amanat Undang-Undang Dasar Pasal 24A ayat (1),
54 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung:
Mandar Maju, 1995), hlm. 9.
55 Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 54.
kew
und
und
yan
und
me
ban
Ma
me
Da
san
wenangan u
dang-undang
Berikut
dangan sebe
Meskip
ng diamana
dang terhad
ndominasi
nyaknya per
ahkamah Ko
Judicia
njaga agar
sar. Penguj
ngat penting
untuk peng
g terhadap u
t adalah sk
elum dan ses
pun Mahk
atkan oleh
dap Undan
tugas Mah
rmohonan p
onstitusi.
al review m
undang-un
ujian undan
g mengingat
gujian per
undang-und
ketsa kewen
sudah terjad
amah Kon
Undang-Un
ng-Undang
hkamah Kon
pengujian u
merupakan
ndang tidak
ng-undang
t undang-un
raturan per
dang dilakuk
nangan pen
dinya Undan
stitusi mem
ndang Dasa
Dasar me
nstitusi. Ha
undang-unda
kewenanga
k bertentang
terhadap U
ndang dibua
rundang-und
kan oleh Ma
ngujian pera
ng-Undang
miliki bebe
ar, tetapi p
erupakan tu
al tersebut
ang yang di
an yang san
gan dengan
Undang-Und
at oleh lemb
dangan di
ahkamah Ag
aturan peru
Dasar 1945
erapa kewe
pengujian u
ugas yang
dapat dilih
imohonkan
ngat pentin
n Undang-U
dang Dasar
baga legislat
39
bawah
gung.
undang-
5.
enangan
undang-
paling
hat dari
kepada
g guna
Undang
r tentu
tif yang
40
merupakan lembaga politik yang sangat kental dengan kepentingan-
kepentingan tertentu. Foucault, seorang filsuf dan sejarawan Perancis
berpendapat bahwa hukum hanyalah ekspresi dan pelaksanaan kekuasaan.
Hukum dalam hal ini dipahami sebagai peraturan dan regulasi yang
ditetapkan dalam undang-undang atau hukum kasus.56 Pendapat tersebut
menunjukan bahwa pembentukan sebuah peraturan tidak dapat lepas dari
kepentingan pribadi/kelompok tertentu. Maka perlu adanya sebuah pengujian
untuk memastikan sebuah undang-undang tetap pada jalur konstitusi. Untuk
menentukan suatu undang-undang bertentangan atau tidak maka Mahkamah
Konstitusi akan melakukan penafsiran terhadap undang-undang yang sedang
diuji terhadap Undang-Undang Dasar. Jika tafsir yang ditentukan dalam
putusan Mahkamah Konstitusi dipenuhi, maka suatu norma atau undang-
undang tetap konstitusional sehingga dipertahankan legalitasnya. Adapun jika
tafsir yang ditentukan dalam putusan Mahkamah Konstitusi tidak dipenuhi
maka suatu norma hukum atau undang-undang menjadi inkonstitusional
sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.57
56 Ian Warda, Pengantar Teori Hukum Kritis, (Bandung: Nusa Media, 2014), hlm. 260-261.
57Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-undangan, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 149.
41
B. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
1. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Pembentukan Mahkamah Konstitusi pada setiap negara memiliki latar
belakang yang beragam, tetapi secara umum pembentukan Mahkamah
Konstitusi berawal dari suatu proses perubahan politik kekuasaan yang
otoriter menuju demokrasi. Penolakan terhadap otoritarianisme berdampak
pada tuntutan penyelenggaraan negara secara demokratis dan menghargai hak
asasi manusia.58 Demikian juga yang terjadi di Indonesia, setelah berakhirnya
pemerintahan presiden Soeharto rakyat menuntut adanya perubahan menuju
negara yang menerapkan demokrasi secara lebih fair. Akibatnya terjadilah
amademen UUD yang mereformasi struktur ketatanegaraan Indonesia dan
melahirkan beberapa lembaga baru setelahnya guna menjamin terwujudnya
suatu pemerintahan yang demokratis. Salah satunya adalah Mahkamah
Konstitusi.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen, struktur kelembagaan Republik
Indonesia setidaknya terdapat sembilan buah lembaga negara yang menerima
kewenangan secara langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan
organ/lembaga tersebut adalah:
58 Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika Perubahan
UUD 1945, Cet. ke-2 (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), hlm. 221-222.
42
Di samping kesembilan lembaga tersebut diatas, terdapat pula
beberapa lembaga yang diatur kewenangannya dalam UUD, yaitu (a) Tentara
Nasional Indonesia, (b) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (c)
Pemerintah Daerah, dan (d) Partai Politik. Selain itu, ada pula lembaga yang
tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, tetapi kewenangan
dinyatakan akan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Ada pula
lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, akan tetapi
kewenangan dinyatakan akan diatur dengan undang-undang, yaitu bank
sentral dan komisi pemilihan umum. Hal ini dapat membedakan antara
kewenangan organ negara berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar
UUD
DPR DPD
PRESIDEN
WAKIL PRESIDEN
BPK
KY
MA MK
MPR
43
(constitutionally entrusted power), dan kewenangan organ negara yang hanya
berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted power).59
H.M. Laica Marzuki mengemukakan Mahkamah Konstitusi bukan
bagian dari Mahkamah Agung dalam makna perkaitan struktur Unity
Jurusdiction, seperti halnya dalam sistem Anglo Saxon, tetapi berdiri sendiri
serta terpisah dari Mahkamah Agung secara duality of jurisdicton. Keduanya
adalah penyelenggara tertinggi dari kekuasaan kehakiman.60 Hal tersebut
menunjukan bahwa keduanya (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi)
merupakan puncak kekuasaan kehakiman yang sejajar. Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu lembaga pemegang kekuasaan kehakiman di samping
Mahkamah Agung.61 Jimly Assiddiqqie menyebutnya Mahkamah Agung pada
hakikatnya adalah ‘court of justice’, sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah
‘court of law’62.
Yang satu mengadili ketidakadilan untuk mewujudkan keadilan,
sedangkan yang kedua mengadili sistem hukum dan sistem keadilan itu
59 Jimly Assiddiqqie, Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia, http://www.jimly.com/KEDUDUKAN_MK-2 (diakses pada 19 Februari 2016).
60 Abdul Latif, dkk., Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 15.
61 Inu Kencana Syafiie, Proses Legislatif, (Bandung: PT Rafika Aditama, 2014), hlm. 58.
62 Kedua istilah ini seringkali dikaitkan dengan pembedaan pengertian antara keadilan formal dengan keadilan substantif, seperti dalam istilah “court of law” versus “court of just law” yang diidentikkan dengan pengertian “court of justice”. Namun di sini kedua istilah ini dipakai untuk tujuan memudahkan pembedaan antara hakikat pengertian peradilan oleh Mahkamah Agung dan oleh Mahkamah Konstitusi.
44
sendiri.63 Munculnya Mahkamah Konstitusi yang secara kelembagaan
merupakan lembaga negara yang kedudukannya sederajat dengan lembaga
negara lainnya merupakan bagian dari upaya kontrol yudisial terhadap
penyelenggaraan negara melalui mekanisme hukum guna membangun dan
mengembangkan prinsip negara demokrasi berdasarkan hukum.
2. Fungsi Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi memiliki tugas untuk mengawal konstitusi, agar
dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggaraan kekuasaan negara maupun
warga negara. Mahkamah Konstitusi juga menjadi penafsir akhir konstitusi.
Lembaga negara lain dan bahkan orang per orang boleh saja menafsirkan arti dan
makna dari ketentuan yang ada dalam konstitusi. Akan tetapi, yang menjadi
otoritas akhir untuk memberi tafsir yang mengikat adalah Mahkamah
Konstitusi.64 Menurut Kusnu Goesniadhie (Guru Besar Universitas
Wisnuwardhana, Malang) sebagaimana dikutip oleh Putera Astomo,
mengungkapkan bahwa dalam melakukan fungsi peradilan, Mahkamah Konstitusi
melakukan penafsiran terhadap UUD sebagai satu-satunya lembaga yang
mempunyai kewenangan tertinggi untuk menafsirkan Undang-Undang Dasar.
Karena itu, di samping berfungsi sebagai pengawal UUD, Mahkamah Konstitusi
63 Jimly Assiddiqqie, Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia, http://www.jimly.com/KEDUDUKAN_MK-2 (diakses pada 19 Februari 2016).
64 Maruar, Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet. ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika. 2011), hlm. 7-8.
45
juga bisa disebut sebagai The Sole Interpreter Of The Constitution.65
Sebagaimana tujuan awal pembentukan Mahkamah Konstitusi yang dicetuskan
oleh Hans Kelsen, Mahkamah Konstitusi memiliki tugas pokok untuk
menegakkan konstitusi dengan kewenangannya meninjau undang-undang
terhadap undang-undang dasar.
Dalam konteks bernegara, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai
pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusi di tengah
kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin
agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secra
konsisten dan betanggung jawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang
ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu
hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.”66
3. Wewenang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Pengaduan konstitusional sebagai mekanisme perlindungan hak-hak
konstitusional warga negara jelas tidak dapat dipisahkan dari hakikat keberadaan
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang sengaja didesain untuk
65 Putera Astomo, Hukum Tata Negara Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Thafa Media, 2014),
hlm. 167.
66 _,Cetak Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi, Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern dan Terpercaya, (Jakarta:Sekretariat Jendral MKRI, 2004), hlm. iv.
46
melaksanakan fungsi constitutional review.67 Di Indonesia lebih dikenal dengan
istilah judicial review, meskipun secara makna berbeda. Makna constitutional
review lebih sempit karena yang digunakan untuk menguji peraturan perundang-
undangan hanya terhadap konstitusi saja, sedangkan judicial review dapat
menggunakan undang-undang di bawah konstitusi sebagai bahan pembanding
untuk menentukan keabsahan suatu peraturan perundang-undangan. Di Indonesia
pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang
Dasar dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pengaduan konstitusi merupakan suatu
wujud perlindungan hak konstitusional melalui mekanisme pengadilan dimana
pengadilan yang dimaksud di sini adalah pengadilan yang yang secara khusus
diberi fungsi untuk melaksanakan constitusional review (dalam hal ini adalah
Mahkamah Konstitusi). Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili
perkara pengaduan konstitusi merupakan sesuatu yang melekat dalam fungsi
Mahkamah Konstitusi untuk melaksanakan pengujian konstitusional. Menurut
Maurice Duverger,68 judicial control adalah penting agar undang-undang atau
peraturan perundang-undangan tidak menyimpang dari Undang-Undang Dasar
atau konstitusi. Undang-Undang Dasar akan kehilangan asas-asasnya dan akan
menjadi rangkaian kata-kata yang tidak ada artinya sama sekali kalau tidak ada
lembaga yang mempertahankan dan menjaga kehormatan hukum tersebut. Selain
67 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusi (Constitutional Complain) Upaya Hukum
Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusi Warga Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 309.
68 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 271.
47
itu, kontrol terhadap tindakan badan eksekutif bertujuan agar tindakan badan
eksekutif tidak melanggar hukum.
Bagi negara-negara yang mengalami proses transisi menuju demokrasi,
pengaduan konstitusional dipandang bukan sekedar jaminan perlindungan hak-
hak konstitusional warga negara melainakan juga sebagai sarana penting untuk
membangun demokrasi konstitusional yang berlandaskan pada penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia. Sebagai instrumen khusus perlindungan hak-hak
konstitusional sesorang, pengaduan konstitusi juga memberi warga negara suatu
hak untuk memasuki sengketa hukum melawan negara, beserta aparatnya.69
Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi yang penting dalam menjaga
keselarasan peraturan perundang-undangan di Indonesia agar tidak bertentangan
dengan konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Wewenang
Mahkamah Konstitusi memutus pengujian undang-undang adalah menguji
konstitusionalitas suatu undang-undang.70 Selain fungsi untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi juga
memiliki fungsi lain yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil
amandemen ketiga yaitu dalam Pasal 24C ayat (1) sebagai berikut:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguju undang-undang
69 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusi (Constitutional Complain) Upaya Hukum
Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusi Warga Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 309-311.
70 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hlm.28.
48
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewengannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai polotik, dan memutus perselisaihan hasil pemilihan umum.”71 Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi ini adalah perwujudan
prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga-lembaga negara
dalam kedudukan setara sehingga dapat saling kontrol dan saling imbang dalam
praktek penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi jelas
merupakan langkah progresif untuk mengoreksi kinerja antara lembaga negara
khususnya dalam proses pendewasaan politik berbangsa dan bernegara.72
Peradilan konstitusional dengan yurisdiksi pengujian konstitusionalitas
undang-undang memiliki kekhasan dibandingkan dengan peradilan biasa karena
peradilan konstitusional memiliki fungsi untuk menegakkan konstitusi sebagai
hukum kepada pembentuk undang-undang.73
Secara lebih khusus Mahkamah Konstitusi diatur dalam Undang-Undang
No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Wewenang secara khusus diatur dalam Pasal
71 Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945.
72 Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 145.
73 Suwarno Abadi, “Ultra Petita dalam Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi” Jurnal Konstitusi, Vol.12, No.3, (September 2015), hlm. 596.
49
10 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu74:
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rumusan terinci dalam Pasal 10 UU MK adalah salinan Pasal 24C ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 7B ayat (1) sampai dengan
ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 yang lebih dikenal dengan nama
impeachment. Oleh karena adanya pemisahan antara empat kewenangan yang
disebut pertama dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dengan
ketentuan yang disebutkan dalam ayat (2) dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi
wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden.75
74 Pasal 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
75 Maruar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 16.
50
4. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Mahkamah Konstitusi memiliki karakteristik khusus yang berbeda
dengan peradilan lain. Hal tersebut sesuai dengan dengan sifat perkara yang
masuk dalam wewenang peradilan Mahkamah Konstitusi. Karakteristik utama
dasar hukum dalam proses peradilan (baik terkait dengan substansi maupun
hukum acara) adalah konstitusi, yaitu UUD 1945. Namun demikian juga
terdapat berbagai ketentuan undang-undang dan Peraturan Mahkamah
Konstitusi (PMK) yang digunakan sebagai dasar memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini tidak
terlepas dari wewenang Mahkamah Konstitusi yang pada hakikatya adalah
mengadili perkara-perkara Konstitusional.76 Pada setiap jenis perkara yang
diterima Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki hukum acara
yang berbeda sesuai dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Setidaknya
Mahkamah Konstitusi memiliki 5 hukum acara, yaitu hukum acara pengujian
undang-undang terhadap UUD, hukum acara memutus sengketa
kewenanangan konstitusionalitas lembaga negara, hukum acara pembubaran
partai politik, hukum acara perselisihan hasil pemilu dan hukum acara
memutus pendapat DPR dalam proses pemberhentian presiden dan/wakil
presiden dalam masa jabatannya. Namun demikian, meskipun setiap jenis
perkara memiliki hukum acara yang berbeda-beda sesuai dengan
76 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hlm. 28.
51
kewenangannya, secara umum aspek-aspek Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi adalah sebagai berikut:
a. Permohonan
Permohonan disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
oleh pemohon atau kuasa hukum kepada Mahkamah Konstitusi.77
Didalam permohonan harus diuraikan secara jelas perkara yang
dimohonkan terkait dengan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi
dan harus dilengkapi dengan alat bukti pendukung permohonan. Selain itu
jika harus memuat nama dan alamat pemohon , uraian mengenai perihal
yang menjadi dasar permohonan sesuai dengan perkara yang dimohonkan,
dan hal-hal yang diminta untuk dihapus.78
b. Pendaftaran permohonan dan penjadwalan sidang
Permohonan yang telah diterima petugas Mahkamah Konstitusi
disampaikan kepada panitera Mahkamah Konstitusi yang akan melakukan
pemeriksaan kelengkapan permohonan (administratif). Secara umum alur
pendaftara permohonan adalah sebagai berikut:
77 Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
78 Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
c.
79 T
(Jakarta: Sek
80 PUndang No.
Persidanga
Ber
perkara, si
(empat), ya
1) Pemeri
memer
memas
2) Pemeri
untuk
keteran
Pemeri
Tim Penyusun kretariat Jende
Pasal 39 ayat 24 Tahun 200
an
rdasarkan
idang Mahk
aitu:79
iksaan Pend
riksa keleng
suki pemerik
iksaan Pers
memeriksa
ngan saksi,
iksaan persi
Hukum Acar
eral dan Kepan
(1) Undang-U03 tentang Ma
materi pes
kamah Kon
dahuluan, y
gkapan dan
ksaan pokok
sidangan, y
a permohon
keterang
idangan pad
ra Mahkamah niteraan MKR
Undang No. ahkamah Kons
sidangan te
nstitusi dap
yaitu persid
kejelasan m
k perkara.80
yaitu jenis
nan, alat b
gan ahli, da
da prinsipny
Konstitusi, HI, 2010), hlm
8 Tahun 201stitusi.
erkait deng
pat dikatego
dangan yang
materi per
persidangan
bukti, keter
an keterang
ya dilakukan
Hukum Acara Mm. 44.
1 tentang Per
gan proses
orikan menj
g dilakukan
rmohonan s
n yang dil
rangan term
gan pihak
n oleh pleno
Mahkamah Ko
rubahan Atas
52
s suatu
jadi 4
n untuk
ebelum
lakukan
mohon,
terkait.
o hakim
onstitusi,
Undang-
53
konstitusi, kecuali untuk perkara tertentu berdasarkan keputusan ketua
Mahkamah Konstitusi dapat dilakukan oleh panel hakim.81
3) Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), yaitu salah satu dari sidang
pleno yang sifatnya tertutup. Dalam RPH ini dibahas perkembangan
suatu perkara, putusan, serta ketetapan terkait suatu perkara.82
4) Sidang pengucapan putusan, yaitu sidang pleno yang agendanya hanya
pembacaan putusan atau ketetapan Mahkamah Konstitusi terkait suatu
perkara yang telah diperiksa atau diadili.83
d. Pembuktian, untuk memutus suatu perkara konstitusi, harus didasarkan
pada sekurang-kurangnya dua alat bukti.84 Pembuktian di Mahkamah
Konstitusi menerapkan ajaran bebas yang terbatas. Dikatakan bebas
karena hakim dapat menetukan secara bebas kepada beban pembuktian
suatu hal akan diberikan. Namun hakim juga masih dalam batasan
tertentu.85 Alat bukti yang dapat digunakan di Mahkamah Konstitusi
meliputi: surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan para pihak,
petunjuk dan alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim,
81 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hlm. 48.
82Ibid., hlm.49.
83 Ibid., hlm.50.
84 Pasal 45 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
85 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hlm. 37-38.
54
diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu.86
e. Putusan, terdapat dua jenis putusan hakim dalam suatu proses peradilan,
yaitu:87 putusan sela (putusan provisi) dan putusan akhir. Putusan sela
merupakan putusan yang diberikan oleh majelis hakim atas permohonan
pihak yang bersengketa terkait dengan suatu hal yang berhubungan
dengan perkara yang diperiksa atau dipertimbangkan hakim. Putusan sela
dapat berupa permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
atau terkait dengan status hukum tertentu sebelum putusan akhir
dijatuhkan.
5. Jenis-jenis amar putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat
berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat
secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak
kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa
yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim itu merupakan tindakan
negara dimana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan
86 Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
87 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hlm. 51.
55
UUD 1945 maupun undang-undang.88 Di Mahkamah Konstitusi, dasar
putusan perkara adalah Undang-Undang Dasar 1945. Untuk putusan yang
mengabulkan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti
yang sah dan keyakinan hakim bahwa permohonan itu memenuhi syarat-
syarat konstitusional sebagaimana dimaksud dalam konstitusi.89 Putusan
Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap di dalam
persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan. Putusan
tersebut harus diambil secara mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi
yang dipimpin oleh ketua sidang. Dalam sidang permusyawaratan hakim
wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap
permohonan.90 Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa jenis putusan
terhadap gugatan yang diajukan, yaitu:
88 Jimly Asshidiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press,
2006), hlm. 201.
89 UU Mahkamah Konstitusi Pasal 45 menyatakan:
(1) Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.
(4) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.
90 C.S.T Kansil dan Cristine S.T. Kansil, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Pendidikan Pancasila di Perguran Tinggi), Cet. ke-22 ( Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2005), hlm. 239.
56
1. Ditolak
Pasal 56 Ayat (5) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
mengatur tentang amar putusan yang menyatakan permohonan ditolak,
yaitu “Dalam hal undang-undang dimaksdud tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai
pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan amar putusan
menyatakan ditolak”91. Salah satu contoh putusan yang amar putusannya
adalah menolak permohonan para pemohon karena permohonan pemohon
tidak cukup beralasan adalah dalam Perkara Nomor 009-014/PUU-
III/2005 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris terhadap UUD 1945.
2. Tidak dapat diterima
Tidak dapat diterima merupakan amar putusan terhadap
permohonan yang tidak memenuhi syarat kewenangan Mahkamah
Konstitusi dan legal standing.92 Pasal 56 ayat (1) Mahkamah Konstitusi
mengatur tentang amar putusan yang menyatakan permohonan tidak dapat
diterima yaitu: “Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
91 Pasal 56 Ayat (5) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
92 Abdul Mukhtie Fajar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press dan Citra Media, 2006), hlm. 143.
57
Pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan
permohonan tidak dapat diterima”.93 Contoh putusan dalam hal
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa tidak memenuhi syarat (Niet
Ontvantkelijk Verklaard) adalah Putusan Perkara Nomor 031/PUU-
IV/2006 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran terhadap UUD 1945, dimana pemohonnya adalah
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan KPI sebagai pemohon tidak
dirugikan hak atau kewenangan konstitusionalnya dengan berlakunya
undang-undang penyiaran.
3. Dikabulkan
Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengatur
tentang amar putusan yang menyatakan permohonan dikabulkan, yaitu:
“Dalam hal Mahkamah Konstitusi 24 berpendapat bahwa permohonan
beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan”.94 Contoh
putusan dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan
dikabulkan adalah Putusan Nomor 11/PUU-VIII/2010 perihal Pengujian
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
93 Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
94 Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
58
Umum terhadap UUD 1945, tanggal 18 Maret 2010, dimana pemohonnya
adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Dalam perkembangannya, terdapat pula amar putusan lainnya dalam
praktik di Mahkamah Konstitusi, yaitu:
1. Konstitusional Bersyarat
Munculnya gagasan tentang Putusan Konstitusional Bersyarat saat
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air. Dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi diatur 3 (tiga) jenis amar putusan, yaitu
permohonan tidak dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan
permohonan ditolak. Jika hanya berdasarkan pada ketiga jenis putusan
tersebut akan sulit untuk menguji undang-undang di mana sebuah undang-
undang seringkali mempunyai sifat yang dirumuskan secara umum,
padahal dalam rumusan yang sangat umum itu belum diketahui apakah
dalam pelaksanaannya akan bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.
Yang menjadi masalah adalah ketika dipersoalkan bahwa belum ada
peratuturan pelaksanaan yang menjadi turunan di bawahnya. Katakanlah
Peraturan Pemerintah yang belum ada, oleh karena itu Mahkamah
Konstitusi tidak mungkin dalam pengambilan putusan menunggu keluar
terlebih dahulu Peraturan Pemerintah yang belum ada. Jika menunggu
Peraturan Pemerintahnya (PP) maka yang diuji bukan undang-undangnya
melainkan Peraturan Pemerintahnya.
59
2. Tidak Konstitusional Bersyarat
Pada dasarnya, sebagaimana argumentasi dan diputuskannya
putusan konstitusional bersyarat, putusan tidak konstitusional bersyarat
juga disebabkan karena jika hanya berdasarkan pada amar putusan yang
diatur dalam Pasal 56 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, yaitu permohonan tidak dapat diterima,
permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak, maka akan sangat sulit
untuk menguji undang-undang di mana sebuah undang-undang seringkali
dirumuskan bersifat umum, padahal dalam rumusannya yang sangat
umum itu belum diketahui apakah dalam pelaksanaannya akan
bertantangan dengan UUD 1945 atau tidak.
3. Penundaan Keberlakuan Putusan
Putusan ini dikeluarkan Mahkamah Konstitusi untuk jangka waktu
tertentu guna terpenuhi suatu syarat di mana kekuatan mengikat putusan
ini akan berlaku. Bentuk lain dari putusan ini adalah dengan menyatakan
tidak mengikatnya salah satu pasal dalam undang-undang yang diujikan
sebelum ada syarat yang harus terpenuhi sebagai contoh Putusan
Mahkamah Konstitusi yang merupakan penundaan keberlakuan putusan
adalah dalam Putusan Nomor 016/PUU-IV/2006 perihal Pengujian
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945 terutama Pasal 53 Undang-
60
Undang KPK yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dalam
pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa “Apabila
dalam jangka waktu tiga tahun tidak dipenuhi oleh pembuat undang-
undang, maka ketentuan Pasal 53 UU KPK dengan sendirinya, demi
hukum (van rechtwege), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
lagi”.95 Hal ini dimaksudkan agar baik itu DPR dan Pemerintahan baru
hasil Pemilu 2009, melakukan perbaikan dalam undang-undang guna
memperkuat basis konstitusionalnya dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pembatasan akibat hukum berupa penangguhan tidak mengikatnya
Pasal 53 Undang-Undang KPK yang telah dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 sedemikian rupa dengan memberi waktu yang cukup
bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan agar sesuai
dengan UUD 1945 dan sekaligus dimaksudkna agar pembentuk undang-
undang secara keseluruhan memperkuat dasar-dasar konstitusional yang
diperlukan bagi keberadaan KPK dan upaya pemberantasan korupsi.
Mahkamah Konstitusi merasa perlu membatasi akibat hukum yang timbul
dari pernyataan inkonstitusional sesuai undang-undang guna kepentingan
umum yang lebih besar.
95 Putusan Nomor 016/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindank Pidana Korupsi.
61
4. Perumusan Norma dalam Putusan
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi ini mengubah atau penghapusan
bagian tertentu dari isi dari suatu undang-undang maka norma dari undang-
undang itu juga berubah dari yang sebelumnya. Contohnya dalam Pengujian
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap UUD 1945.
C. Pengertian Ultra Petita
Pada dasarnya prinsip ultra petita diatur dalam hukum perdata yaitu pada
ketentuan Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
dan oleh Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg. Ketentuan tersebut melarang seorang
hakim menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut, atau memberikan
lebih dari pada yang dituntut. HIR yang merupakan Hukum Acara Perdata ini
berlaku di Indonesia dengan mendapat legitimasi dari Pasal 1 aturan peralihan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa ”Segala peraturan
perundang-undangan yang ada masih tetap beraku selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.96 Prinsip larangan ultra petita ini
kemudian juga dianut oleh sistem peradilan perdata di Indonesia.
96 Pasal 1 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.
62
Resiko terjauh hakim dari tindakan hakim melakukan ultra petita, hakim
dapat mengarah dan tergelincir melakukan tindakan reformation ini peies, dimana
hakim akan membawa penggugat kepada suatu keadaan atau situasi yang justru
merugikan kepentingan penggugat dibandingkan dengan keadaan penggugat
sebelum mengajukan gugatan.97
D. Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi memiliki
peran yang sangat penting guna menjaga negara agar sesuai dengan yang
diamanatkan oleh konstitusi. Sejalan dengan perkembangannya Mahkamah
Konstitusi terus membuat Terobosan-Terobosan hukum yang seringkali membuat
para ahli hukum khawatir. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan karena dalam
beberapa kasus Mahkamah Konstitusi membuat Terobosan dengan melanggar
ketentuan undang-undang. Misalnya saja pada Mahkamah Konstitusi perkara
Pilkada Jawa Timur tanggal 14 November 2008. Jika didasarkan pada ketentuan
undang-undang, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perkara
sengketa pemilukada tidak lebih dari mengadili angka. Mahkamah Konstitusi
tidak boleh memerintahkan diselenggarakannya pemilu ulang atau
memerintahkan pemungutan suara ulang. Sebab, pemilu ulang atau pemungutan
suara ulang hanya boleh dilakukan oleh dan atas dasar perintah KPU jika terjadi
97 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, (Yogyakarta:
UII Press, 2003), hlm. 167-168.
63
bencana atau huru-hara sosial atau keadaan tertentu lainny.98 Namun pada
kenyataanya Mahkamah Konstitusi memerintahkan dilakukannya pemungutan
suara ulang.
Tercatat hingga tahun akhir 2015 terdapat 1273 permohonan judicial
review diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Dari jumlah tersebut 843 permohonan
pengujian undang-undang yang dinyatakan diterima dan 807 putusan dikeluarkan
oleh Mahkamah Konstitusi. Berikut penyusun sampaikan data rekapitulasi
perkara pengujian undang-undang sejak 2003 hingga akhir 2015 yang penyusun
ambil dari data yang dirilis oleh Mahkamah Konstitusi.99
Tahun Dalam Proses Yang Lalu Terima Jumlah Jumlah Putusan2003 0 24 24 4 2004 20 27 47 35 2005 12 25 37 28 2006 9 27 36 29 2007 7 30 37 27 2008 10 36 46 34 2010 39 81 120 61 2011 59 86 145 94 2012 51 118 169 97 2013 72 109 181 110 2014 71 140 211 131 2015 80 140 220 157
Jumlah 430 843 1273 807
98 Rita Triana Budiarti, Kontroversi Mahfud Md Jilid 2 Di Balik Putusan Mahkamah
Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2013), hlm. 1-2.
99Mahkamah Konstitusi, Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU, (diakses pada 8 Juni 2016).
64
Berdasarkan data yang diperoleh oleh Abdulah Fikri dari pernyataan
Puslitka Mahkamah Konstitusi, hingga tahun 2010 terdapat setidaknya ada 13
putusan yang dapat dikategorikan ultra petita (melebihi yang dimohonkan).
Putusan tersebut dapat digolongkan menjadi dua yaitu putusan pengujian undang-
undang yang dibatalkan seluruhnya dan yang tidak dibatalkan seluruhnya.100
Meskipun Mahkamah Konstitusi sudah sangat produktif memeriksa dan memutus
perkara judicial review, tidak sedikit masyarakat yang terusik oleh beberapa
putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap kontroversial, yakni putusan-
putusan dalam pengujian undang-undang yang bersifat ultra petita, bahkan ada
kesan Mahkamah Konstitusi bukan hanya bertindak sebagai negative legislator
tetapi juga sudah memasuki area positive legislator.101 Munculnya ultra petita di
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sendiri tidak lepas dari adanya
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan judicial review sebagai
upaya untuk menjaga konstitusionalitas undang-undang yang dihasilkan oleh
lembaga legislatif. Semula putusan Mahkamah Konstitusi hanya sekedar
menyatakan suatu norma atau undang-undang bertentangan terhadap Undang-
Undang Dasar, kemudian berkembang dengan memberikan tafsir suatu norma
100 Abdullah Fikri, ”Putusan Ultra petita Mahkamah Konstitusi Dalam Perspektif Fiqh
Siyasah”, s skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (2012), hlm. 65.
101 Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-undangan, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 148.
65
atau undang-undang yang diuji agar memenuhi syarat konstitusionalitas sehingga
tidak terhindarkan Mahkamah Konstitusi membuat norma baru.
Dalam beberapa putusannya Mahkamah Konstitusi telah melakukan
pengujian atas produk legislasi sehingga norma atau undang-undang yang diuji
memenuhi syarat konstitusionalitas. Putusan Mahkamah Konstitusi memberi
tafsir (petunjuk, arah, dan pedoman serta syarat bahkan memberikan norma baru)
yang dapat diklarifikasi sebagai keputusan konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) dan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional).102 Beberapa pihak tidak menerima adanya tindakan-tindakan
Mahkamah Konstitusi yang memberikan putusan melebihi yang dimohonkan,
karena dinilai dianggap tidak memiliki kepastian hukum. Sebagai negara yang
menganut sistem civil law tentu hal ini memberikan dampak terjadinya ketidak-
pastian hukum di Indonesia. Akan menjadi hal yang berbeda jika ini terjadi di
negara yang menganut sistem Anglo Saxon, karena dalam sistem Anglo Saxon
hakim memiliki kebebasan yang sangat luas dalam mempertimbangkan suatu
perkara. Selama ini pemberian kewenangan pengujian undang-undang kepada
Mahkamah Konstitusi tanpa adanya pembatasan tertentu juga berpotensi
terjadinya penyelewengan kekuasaan. Beberapa putusan ultra petita dan
menimbulkan kekacauan baru dalam perspektif yuridis maupun politis.103
102 Ibid.
103 Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandeman Ulang, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 259.
66
Contoh lain yang cukup ramai dibicarakan adalah ketika pada tahun
2012 Mahkamah Konstitusi menyatakan BP Migas inkonstitusional dengan
membatalkan undang-undang yang mengatur BP Migas melalui Putusan MK
Nomor 36/PUU-X/2012 tentang BP Migas sehingga BP Migas harus bubar.
Putusan dinilai mengandung unsur ultra petita karena pemohon hanya meminta
untuk meninjau beberapa pasal dan frasa yang ada dalam Undang-Undang BP
Migas tersebut. Namun lebih dari itu dalam putusannya Mahkamah Konstitusi
membatalkan pasal-pasal yang oleh pemohon sendiri tidak di mohonkan.
Pelarangan tentang ultra petita di lembaga Mahkamah Konstitusi sendiri
sebenarnya sudah pernah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Khususnya pada Pasal 45A yang berbunyi:
“Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak
diminta oleh pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal
tertentu yang terkait dengan pokok Permohonan”.104 Namun kemudian pasal
tersebut dibatalkan sendiri oleh Mahkamah Konstitusi. Artinya bahwa tidak ada
dasar hukum bagi pelarangan ultra petita di dalam sistem peradilan Mahkamah
Konstitusi.
Di beberapa negara yang telah mengadopsi pendirian Mahkamah
Konstitusi sebagai sebuah lembaga yudisial juga telah mengenal adanya prinsip
104 Pasal 45A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
67
ultra petita. Dalam hal ini penulis melihat Mahkamah Konstitusi di Hungaria
sebagai pembanding diterapkannya prinsip ultra petita dalam putusan Mahkamah
Konstitusi.
Hungaria merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Austria
yang merupakan negara Hans Kelsen, seorang ahli hukum yang sangat
berpengaruh pada masanya dan juga menjadi seorang tokok pencetus ide
pendirian lembaga independen untuk menjaga konstitusioalitas suatu undang-
undang. Hungaria dapat dikatakan sebagai negri makmur. Mulanya sejarah
Hungaria berkembang dalam segi tiga sejarah antara Polandia dan Bohemia,
dengan banyak hubungan dengan para paus dan kaisar dari kekaisaran Suci
Romawi. Antara 1241-1242 sebagian Hungaria hancur dan banyak sekali yang
meninggal di tangan tentara mongol.105 Hungaria mengalami dinamika
kenegaraan yang cukup panjang hingga akhirnya pada akhir tahun 1980-an
beralih pada demokrasi multipartai. Mahkamah Konstitusi Hungaria merupakan
hasil kesepakatan parlemen Hungaria. Kesepakatan untuk membentuk suatu
institusi yang terpisah dari peradilan umum mencapai puncak kesepakatan pada
akhir Januari 1989. Berdasarkan hasil perubahan Pasal 32/A Konstitusi Hungaria
parlemen pada Oktober 1989 mengesahkan Undang-Undang No XXXII tentang
Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan undang-undang yang mengatur tentang
Mahkamah Konstitusi Hungaria (Act CLI of 2011 on the Constitutional Court)
105 Robert Tjahyono Adi, Mengenal 192 Negara di Dunia, (Jakarta: Pustaka Widyatama,
2007), hlm. 238-240.
68
salah satu tujuan dibentuknya Mahkamah Konstitusi Hungaria adalah untuk
melindungi Undang-Undang Dasar Hungaria sebagaimana disebutkan dalam
mukadimah Act CLI of 2011 on the Constitutional Court sebagai berikut:
The Parliament of Hungary, with a view to protecting democratic State governed by the rule of law, constitutional order and the rights guaranteed in the Fundamental Law and to safeguard the inner coherence of the legal sistem, and enforcing the principle of the division of powers – implementing the Fundamental Law, pursuant to Article 24 (5) thereof – has adopted the following Act on the regulation of the competence, organisation and operation of the Constitutional Court as the principal organ for the protection of the Fundamental Law.106
Mahkamah Konstitusi Hungaria mempunyai putusan yang bersifat final
(tidak dapat dibanding) dan mengikat.107 Salah satu hal yang berbeda dari
Mahkamah Konstitusi di Indonesia bahwasanya Mahkamah Konstitusi Hungaria
dapat melakukan pengujian tanpa adanya permohonan dengan ketentuan yang
telah diatur dalam Act CLI of 2011 on the Constitutional Court. 108 Hal yang
menarik dari Mahkamah Konstitusi Hungaria ini adalah bahwa dalam amar
putusan pada 1993 Mahkamah Konstitusi Hungaria menyatakan bahwa sebagai
akibat dari uji konstitusionalitas undang-undang, mahkamah dalam putusannya
106 Mukadimah Act CLI of 2011 on the Constitutional Court.
107 Hal ini diatur dalam section 45(6) Act CLI of 2011 on the Constitutional Court yang menyebutkan bahwa: “The Constitutional Court shall order the review of the criminal proceedings or contravention proceedings concluded with a final decision based on a legal regulation which is contrary to the Fundamental Law, if the annulment of the applied legal regulation or provision therein would result in the reduction or waiver of the punishment or measure or in the exemption from or limitation of criminal or contravention liability.”
108 Hal ini diatur dalam Section 32 (1) Act CLI of 2011 on the Constitutional Court yang menyebutkan bahwa: “Pursuant to Article 24 (2) f) of the Fundamental Law, the Constitutional Court shall examine legal regulations on request or ex officio in the course of any of its proceedings.”
69
dapat menentukan persyaratan konstitusionalitas apa saja yang tidak dipenuhi
oleh undang-undang tersebut.109 Dalam konteks Mahkamah Konstitusi Repubik
Indonesia putusan yang seperti ini seringkali menimbulkan pertentangan diantara
ahli hukum bahwa putusan tersebut melebihi yang dimohonkan. Namun di
Hungaria sendiri putusan konstitusionalitas bersyarat tersebut telah berlangsung
sejak lama. Seiring dengan perkembangannnya, ketika pembatalan tidak secara
langsung dapat memulihkan keluhan yang didalihkan oleh pemohon Mahkamah
Konstitusi Hungaria menggunakan instrumen tersebut. Namun demikian putusan
ini dapat menyebabkan terjadinya kekosongan hukum. Artinya Mahkamah
Konstitusi dapat saja membatalkan undang-undang secara keseluruhan. Meskipun
hal demikian tidak dimohonkan oleh pemohon. Berkenaan dengan putusan model
ini, suatu ketentuan yang dinilai tidak konstitusional dapat dibatalkan melalui cara
menentukan terlebih dahulu constitutional content dari norma hukum tersebut.110
109 Jimly Assiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), hlm. 24.
110 Ibid.
70
BAB III
ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI: CONTOH KASUS DAN ALASAN
Isi pokok dari pada Undang-Undang Dasar pada umumnya mengandung
prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan suatu negara dan menjadi pedoman
pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah.111 Maka ketika undang-undang di bawahnya
tidak sesuai Undang-Undang Dasar, undang-undang tersebut harus diuji
kekonstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi setelah terlebih dahulu pihak yang
merasa berkeberatan dengan isi undang-undang tersebut mengajukan permohonan
judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Adakalanya Mahkamah Konstitusi
memberiaan putusan melebihi yang dimohonkan (ultra petita) dengan pertimbangan-
pertimbangan tertentu.
Dalam menguji konstitusionalitas suatu undang-undang atau kebijakan,
Mahkamah Konstitusi seringkali dihadapkan pada pilihan dilematis. Mahkamah
Konstitusi dapat bertindak agresif, dengan secara aktif mengubah kebijakan yang
diambil oleh pembentuk undang-undang. Legitimasi pengambilan tindakan aktif ini,
secara teoritis, diperoleh dari konsep yudisialisasi politik. Konsep ini telah menjadi
konsep yang matang dengan banyak diulas dalam artikel-artikel ilmiah yang ditulis
oleh pakar-pakar hukum dan politik. Tidak hanya dalam perspektif teoritis, secara
111 C.S.T Kansil, Hukum Antar Tata Pemerintahan dalam Rangka Perbandingan Hukum Tata Negara, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 67.
71
praktek, penerapan yudisialisasi politik juga lazim ditemukan dalam pengujian
konstitusionalitas oleh lembaga peradilan di berbagai negara. Fenomena global
menunjukkan telah terjadi pergeseran kewenangan pengambilan kebijakan dari
pembentuk undang-undang ke lembaga peradilan. Indonesia, tidak terlepas dalam
salah satu negara yang menerapkan yudisalisasi politik dalam pengujian
konstitusionalitas undang-undang atau kebijakan. Beragam putusan yang dikeluarkan
oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi sangat kental bercorak aktif dengan
mengubah suatu kebijakan yang selama ini merupakan ranah pembentuk undang-
undang (eksekutif dan legislatif). Konsekuensi pilihan aktif yang diambil oleh
mahkamah konstitusi adalah munculnya resistensi dan perlawanan dari pembentuk
undang-undang.112
Beberapa pakar hukum tidak sepakat dengan pitusan ultra petita yang
dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahkan sebelum menjadi hakim konstitusi,
Mahfud MD, Arief Hidayat, dan Patrialis Akbar bisa dikatakan sebagai para pakar
hukum yang tidak setuju ultra petita, mereka beranggapan bahwa ultra petita yang
dilakukan Mahkamah Konstitusi harus dibatasi. Patrialis Akbar ketika masih
menjabat sebagai Mentri Hukum dan HAM Republik Indonesia (Oktober 2009 –
Oktober 2011) menilai bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator
hanya berwenang menyatakan suatu norma undang-undang bertentangan dengan
112 Bisariyadi, “Yudisialisasi Politik dan Sikap Menahan Diri: Peran Mahkamah Konstitusi
dalam Menguji Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 3, (September 2015). hlm. 496.
72
UUD 1945. Bukan menambah norma baru dalam undang-undang. Patrialis Akbar
juga menjadi wakil pemerintah saat revisi UU MK dan menyetujui pembatasan ultra
petita oleh Mahkamah Konstitusi yang dimuat dalam Pasal 45A yang berbunyi
“Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta
oleh pemohon atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu
yang terkait dengan pokok permohonan”.113 Meskipun kemudian pasal tersebut
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sendiri melalui judicial review. Namun saat ini
ketika Patrialis Akbar menjadi salah satu hakim di Mahkamah Konstitusi Patrialis
juga tidak dapat terlepas dari putusan-putusan yang ultra petita.
Mahfud MD sebelum juga merupakan salah satu tokoh yang menentang ultra
petita yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebelum menjadi hakim konstitusi
Mahfud MD berpendapat bahwa dalam melakukan uji materi, perlu dibatasai
beberapa hal sebagai berikut:114
1. Dalam membuat putusan, Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat isi yang
bersifat mengatur.
2. Dalam membuat putusan, Mahkamah Konstitusi tidak boleh memutus batal
atau tidak batal sebuah undang-undang atau sebaian isi undang-undang yang
113 Pasal 45A Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
114 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
(Jakarta: LP3ES, 2007), hlm. 190.
73
bersifat terbuka yakni yang oleh UUD diatribusikan (diserahkan
pengaturannya) kepada undang-undang.
3. Dalam membuat putusan, Mahkamah Konstitusi tidak boleh memutus hal-hal
yang tidak diminta (ultra petita).
Kemudian saat ujian fit and proper test saat akan menjadi hakim konstitusi
Mahfud juga menyampaikan makalah tentang ultra petita di Mahkamah Konstitusi.
Beliau menentang ultra petita dengan beberapa alasan yang disampaikannya. Beliau
juga menyanggah pendapat Jimly Assiddiqqie yang berpendapat bahwa larangan
ultra petita hanya ada dalam hukum perdata dan Mahkamah Konstitusi dapat
memutus hal yang tidak langsung diminta jika memang undang-undang bertentangan
dengan UUD. Namun Mahfud memiliki pendapat berbeda, larangan ultra petita tidak
hanya dalam hukum perdata, tapi juga berlaku pada ranah hukum lainnya, termasuk
pengujian undang-undang terhadap UUD. Nyatanya, setelah menjadi hakim Mahfud
kemudian juga memberikan putusan ultra petita. Kemudian memperbolehkan ultra
petita yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Beliau menyadari kesenjangan
antara teori akademis dengan kenyataan yang ada di lapangan.
Arief Hidayat juga menjadi salah satu tokoh yang berpendapat bahwa ultra
petita di Mahkamah Konstitusi perlu dibatasi. Dalam makalah yang disampaikan
dalam ujian fit and proper test saat untuk menjadi hakim Mahkamah Konstitusi.
Menurut Arif Hidayat, pada dewasa ini MK dalam kewenangan pengujian undang-
undang selain membatalkan undang-undang, bagian, pasal, ayat, telah pula
menuliskan atau menetapkan norma baru. Hal ini bisa di mengerti apabila dilakukan
74
oleh Mahkamah Konstitusi dalam rangka untuk menghindari adanya
kekosongan/kevakuman hukum dan menjaga supaya adanya tertib hukum dan
kepastian hukum, sehingga tidak memunculkan kekacauan hukum dan sosial, politik,
ekonomi di negara ini. Satu catatan yang harus diperhatikan bahwa secara filosofis-
yuridis perubahan kewenangan tersebut yang sering disebut sebagai putusan bersifat
ultra petita yang dapat dibenarkan atas pertimbangan tersebut di atas, tetapi batasan
sebagai negative legislator harus tetap dipertahankan agar tidak menggeser dan
melampui kewenangan lembaga lain yaitu lembaga pembentuk undang-undang.
Selain itu, pertimbangan lain yang lebih filosofis yang dapat dipergunakan adalah
upaya Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mencari dan menemukan keadilan
yang bersifat substanstif tidak semata-mata menemukan keadilan yang bersifat
prosedural. Atas dasar pertimbangan formil dan filosofis ini, maka putusan
Mahkamah Konstitusi yang menggunakan prinsip ultra petita harus dilakukan secara
terbatas dan menggunakan prinsip kehati-kehatian.115 Namun demikian ketika
menjadi ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat juga ternyata juga membuat
putusan yang dapat dikatakan bersifat mengatur dan membuat norma baru yaitu
dalam Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 mengenai Pengujian Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
115 Arief Hidayat, “Prinsip Ultra Petita Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait
Pengujian Undang Undang terhadap Undang Undang Dasar 1945”, Makalah, Disampaikan pada saat fit and propter test di hadapan Komisi III DPR RI, pada tanggal 27 Februari 2013.
75
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Melihat fenomena di atas penyusun akan mengambil 3 (tiga) putusan yang
akan penyusun kaji untuk melihat apa dasar dari dari Mahkamah Konstitusi membuat
putusan yang melebihi yang dimohonkan (ultra petita). Sebenarnya banyak putusan
Mahkamah Konstitusi yang mengandung unsur ultra petia, tetapi penyusun hanya
mengambi 3 sample putusan yaitu, Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai
Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan dan Putusan Nomor
76/PUU-XII/2014 mengenai Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Penyusun
mengambil sample 3 (tiga) putusan tersebut karena putusan tersebut dibuat oleh para
tokoh yang sebelumnya justru tidak sepakat dengan putusan ultra petita ataupun
membatasi putusan ultra petita yang dilakukan oeh Mahkamah Konstitusi.
A. Putusan Nomor 36/PUU-X/2012: Kekayaan Alam Untuk Kemakmuran
Rakyat
Pada hakekatnya terdapat empat macam hak kepemilikan atas sumber daya
yang sangat berbeda satu dengan yang lain, yaitu milik negara, milik pribadi, milik
76
umum dan tak bertuan.116 Sebagaimanan tertuangkan dalam UUD 1945 dalam Pasal
33 ayat (3) menyebutkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.”.117 Negara memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan seluruh kekayaan yang
ada. Namun hal yang perlu digaris bawahi bahwasanya kemanfaatan tersebut
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Mohammad Hatta sebagai
salah satu perumus dalam Pasal 33 UUD 1945 mengungkapkan bahwa pengertian
“dikuasai” bukan secara otomatis dikelola langsung oleh negara atau pemerintah,
akan tetapi dapat menyerahkan pada pihak swasta, asalkan dengan pengawasan
pemerintah.118 Hatta juga menganjurkan agar negara tidak hanya membuat undang-
undang saja, akan tetapi juga mengadakan badan usaha.
Pada tanggal 22 Maret 2012 beberapa organisasi masyarakat mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi terhadap konstitusi Indonesia. Mereka mengajukan beberapa pasal dalam
Undang-Undang Migas kepada Mahkamah Konstitusi agar menguji
konstitusionalitasnya . Adapun pasal-pasal yang diujikan adalah Pasal 1 angka 19 dan
angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat
(2), Pasal 13 dan Pasal 44 UU Migas. Para pemohon menilai pasal-pasal tersebut
116 Bustanul Arifin, Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia Perspektif Ekonomi, Etika dan Praksis Kebijakan, (Jakarta: Erlangga, 2001), hlm. 112.
117 Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
118 Aminudin Ilmar, Hak menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, (Jakarta: Kencana Media Group, 2012), hlm. 53.
77
bertentangan dengan UUD 1945 karena kehadiran BP Migas tidak mencerminkan
pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Dalam pertimbangannya MK mengenai UU Migas ini, Mahkamah Konstitusi
mempertimbangkan beberapa hal dalam memberikan putusannya yang kemudian
dituangkan dalam putusan mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar. Dari UU BP
Migas yang di mohonkan oleh pemohon setidaknya Mahkamah Konstitusi melihat
peran BP Migas sebagai berikut:
1. BP Migas merupakan badan hukum milik negara yang secara khusus
berdasarkan undang-undang dibentuk oleh Pemerintah selaku pemegang
Kuasa Pertambangan untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di
bidang Minyak dan Gas Bumi. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik
negara dilakukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan
Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana. Fungsi BP Migas selaku badan
milik negara hanya sebatas melakukan pengendalian dan pengawasan
terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu agar
pengambilan sumber daya alam agar pengambilan sumber daya alam Minyak
dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang
maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Peran BP
78
Migas yang hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap
pengelolaan sumber daya alam Migas sehingga negara tidak dapat melakukan
pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam Migas pada kegiatan
hulu. Pihak yang secara langsung dapat mengelola sumber daya alam Migas
menurut UU Migas hanya Badan Usaha (BUMN dan BUMD), Koperasi serta
badan usaha swasta) dan Bentuk Usaha Tetap.
2. BP Migas oleh Pemerintah dimaksudkan sebagai ujung tombak bagi
pemerintah agar secara langsung tidak terlibat bisnis Migas, sehingga
Pemerintah tidak dihadapkan secara langsung dengan pelaku usaha. BP Migas
merupakan organ pemerintah yang khusus, berbentuk Badan Hukum Milik
Negara (BHMN) memiliki posisi strategis bertindak atas nama Pemerintah
melakukan fungsi penguasaan negara atas Migas khususnya kegiatan hulu
(ekplorasi dan eksploitasi), yaitu fungsi pengendalian dan pengawasan yang
dimulai dari perencanaan, penandatangan kontrak dengan badan usaha,
pengembangan wilayah kerja, persetujuan atas rencana kerja dan anggaran
badan usaha, monitoring pelaksanaan kontrak kerja serta menunjuk penjual
Migas bagian negara kepada badan hukum lain.
Dari hal tersebut Mahkamah Konstitusi menilai bahwa bentuk penguasaan
tingkat pertama dan utama yang harus dilakukan oleh negara. Artinya BP Migas
sebagai badan hukum milik negara melakukan pengelolaan secara langsung atas
sumber daya alam. Dari konstruksi hubungan, BP Migas yang hanya melakukan
fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan Migas, dan tidak melakukan
79
pengelolaan secara langsung, karena pengelolaan Migas pada sektor hulu baik
(eksplorasi dan eksploitasi) dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara maupun badan
usaha bukan milik negara. Menurut Mahkamah model hubungan antara BP Migas
sebagai representasi negara dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam
pengelolaan Migas mendegradasi makna penguasaan negara atas sumber daya alam
Migas. Konstruksi hubungan BP Migas sebagai tersebut menurut Mahkamah
Konstitusi memiliki setidaknya 3 (tiga) kelemahan: Pertama, Pemerintah tidak dapat
secara langsung melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung badan usaha
milik negara untuk mengelola seluruh wilayah kerja Migas dalam kegiatan usaha
hulu; Kedua, setelah BP Migas menandatangani KKS, maka seketika itu pula negara
terikat pada seluruh isi KKS, yang berarti, negara kehilangan kebebasannya untuk
melakukan regulasi atau kebijakan yang bertentangan dengan isi KKS; Ketiga, tidak
maksimalnya keuntungan negara untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat, karena
adanya potensi penguasaan Migas keuntungan besar oleh Bentuk Hukum Tetap atau
Badan Hukum Swasta yang dilakukan berdasarkan prinsip persaingan usaha yang
sehat, wajar dan transparan. Dalam hal ini, dengan konstruksi penguasaan Migas
melalui BP Migas, negara kehilangan kewenangannya untuk melakukan pengelolaan
atau menunjuk secara langsung Badan Usaha Milik Negara untuk mengelola sumber
daya alam Migas, padahal fungsi pengelolaan adalah bentuk penguasaan negara pada
peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Sehingga Mahkamah Konstitusi menilai bahwa hal itu bertentangan dengan
konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) yang menghendaki penguasaan negara yang
80
membawa manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat, yang seharusnya mengutamakan
penguasaan negara pada peringkat pertama yaitu melakukan pengelolaan terhadap
sumber daya alam Migas yang membawa kuntungan lebih besar bagi rakyat. Hal itu
karena menurut Mahkamah Konstitusi tujuan utama dari ketentuan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 adalah pengelolaan sumber daya alam “untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat” sehingga dalam implementasinya ke dalam pengorganisasian negara dan
pemerintahan juga harus menuju ke arah tercapainya tujuan tersebut. Maka setiap
pembentukan organisasi negara dan semua unitnya harus disusun berdasar
rasionalitas birokrasi yang efisien dan tidak menimbulkan peluang inefisiensi dan
penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena keberadaan BP Migas sangat berpotensi
untuk terjadinya inefisiensi dan diduga dalam praktiknya telah membuka peluang
bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan maka menurut Mahkamah keberadaan BP
Migas tersebut tidak konstitusional, bertentangan dengan tujuan negara tentang
pengelolaan sumber daya alam dalam pengorganisasian pemerintahan.
Mahkamah Konstitusi berpendapat negara tidak berwenang mengatur atau
menentukan aturan yang melarang dirinya sendiri untuk memiliki saham dalam suatu
badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara negara
mempertahankan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan negara dibagi menjadi lima bentuk
yaitu fungsi kebijakan dan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan.
Bentuk penguasaan negara tersebut harus dikitkan antara satu dengan yang lain agar
81
dapat memberikan makna konstitusional yang tepat. Jika hanya satu bentuk
pengusaan yang dilakukan negara, misalnya hanya fungsi mengatur saja, maka
penguasaan negara tidak akan mampu mencapai tujuan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, tujuan penguasaan negara negara adalah untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan BP Migas hanya berfungsi
melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama
Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi
milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tetapi tidak terjun secara langsung untuk
mengelola sumber daya alam yang ada sehingga keberadaan BP Migas sangat
berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga dalam praktiknya telah membuka
peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan maka menurut Mahkamah
keberadaan BP Migas tersebut tidak konstitusional, bertentangan dengan tujuan
negara tentang pengelolaan sumber daya alam dalam pengorganisasian pemerintahan.
Di pihak pemerintah, pembentukan UU BP Migas merupakan upaya untuk
meningkatkan produksi migas di tanah air karena produksi minyak dan gas bumi
Indonesia sejak tahun 1995 sampai sekarang cenderung mengalami penurunan yang
signifikan. Maka diperlukan adanya cadangan baru untuk meningkatkan produksi
minyak di tanah air. Sedangkan menurut pendapat pemerintah untuk menemukan
cadangan baru diperlukan investasi yang tinggi sesuai dengan sifat kegiatan usaha
hulu minyak dan gas bumi yang padat modal (high cost), beresiko tinggi (high risk),
82
dan menggunakan teknologi tinggi (high tech), sehingga dalam rangka menghindari
adanya pembebanan terhadap keuangan negara, Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) sebagaimana dituangkan dalam UU Migas telah mengambil suatu
keputusan bahwa bentuk Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang sesuai
adalah Kontrak Bagi Hasil atau kontrak lain yang menguntungkan bagi negara.
Mahkamah kemudian memberikan pertimbangan frasa yang dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi yang memiliki keterkaitan dengan pasal lain yang tidak
dimohonkan sebagi berikut:
Menimbang bahwa meskipun para Pemohon hanya memohon pengujian Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 44 UU Migas tetapi oleh karena putusan Mahkamah ini menyangkut eksistensi BP Migas yang dalam Undang-Undang a quo diatur juga dalam berbagai pasal yang lain maka Mahkamah tidak bisa lain kecuali harus juga menyatakan pasal-pasal yang mengatur tentang “Badan Pelaksana” dalam pasal-pasal, yaitu frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 41 ayat (2), Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49, Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63, serta seluruh frasa Badan Pelaksana dalam Penjelasan adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.119 Hal ini merupakan alasan Mahkamah Konstitusi melakukan ultra petita
dalam perkara ini yaitu karena frasa yang dibatalkan dalam pasal yang dimohonkan
juga memiliki saling keterkaitan (koherensi) dengan pasal lain sehingga Mahkamah
Konstitusi juga membatalkan pasal-pasal yang terkait dengan frasa yang dibatalkan
tersebut.
119 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
83
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa KKS yang telah
disepakati sebelumnya tidak serta merta batal setelah dibubarkanya BP Migas, karena
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa segala KKS yang telah ditandatangani
antara BP Migas dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, harus tetap berlaku
sampai masa berlakunya berakhir atau pada masayang lain sesuai dengan kesepakatan
agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat mengakibatkan kekacauan
dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Karena apabila keberadaan BP Migas
secara serta merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan pada saat yang
sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka
pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang sedang berjalan menjadi
terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat
menyebabkan kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak
dikehendaki oleh UUD 1945.
Pasal yang dibatalkan dalam UU Migas adalah Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat
(3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61,
dan Pasal 63. Selain pasal Mahkamah Konstitusi juga membatalkan beberapa frasa
yaitu frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan
Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan
Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49.
Mahkamah Konstitusi juga membatalkan Seluruh hal yang berkait dengan Badan
Pelaksana dalam PenjelasanUndang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
84
dan Gas Bumi. Adapun pasal-pasal yang diujikan adalah Pasal 1 angka 19 dan angka
23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2),
Pasal 13 dan Pasal 44.
Hakim Konstitusi Harjono dalam perkara ini memiliki pandangan yang
berbeda (dissenting opinion), beliau mengungkapkan bahwa ” Pembentukan badan-
badan pemerintahan secara konstitusional menjadi ranah pembuat Undang-Undang
yang mendapat amanat langsung dari rakyat yang berdaulat karena pembuat
Undang-Undang, yaitu DPR dan Presiden dipilih langsung oleh rakyat. …”.120
Hakim Harjono menilai bahwa Mahkamah Konstitusi harus mempunyai alasan yang
kuat dan terukur mengapa Undang-Undang pembentukan suatu badan pemerintah
harus dibatalkan sehingga alasan tersebut dapat digunakan oleh pembuat Undang-
Undang dalam membentuk badan-badan pemerintahan lainnya yang di masa akan
datang karena tentu kedepannya akan lebih banyak kebutuhan untuk dibentuknya
badan-badan serupa. Pembentuk Undang-Undang oleh DPR dan Presiden, lebih
mengetahui badan pemerintah apa yang diperlukan dan dalam urusan apa, karena
kedua lembaga negara tersebut terlibat secara langsung secara aktual maka keduanya
harus dihargai. Mengenai potensi sesuatu yang melanggar konstitusi sebagai mana
dituangkan dalam Putusan Mahkamah Nomor 006/PUUIII/2005 bertanggal 31 Mei
120 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
85
2005 dan Putusan Mahkamah Nomor 11/PUUV/2007 bertanggal 20 September 2007,
Hakim Harjono melihat bahwa:
“… hal yang sangat keliru ialah putusan berdasar adanya frasa "yang berpotensi melanggar konstitusi pun bisa diputus oleh Mahkamah sebagai perkara konstitusionalitas". Frasa tersebut berhubungan dengan pemberian legal standing kepada Pemohon bukan untuk memutus dalam pokok perkara. Pemohon yang mendalilkan bahwa suatu pasal, atau bagian dari Undang-Undang yang menurut pendapatnya berpotensi melanggar konstitusi sehingga hak konstitusionalnya dirugikan cukup menjadi dasar bagi Mahkamah memberikan legal standing. Sedangkan pada pokok perkara kerugian tersebut harus nyata terdapat dan harus dibuktikan oleh Pemohon, karena putusan akan mempunyai akibat erga omnes maka kerugian tidak hanya dialami oleh pemohon secara pribadi tetapi juga menjadi kerugian seluruh mereka yang mempunyai hak konstitusional...”.121
Dari pandangannya tersebut beliau mempertanyakan apa sebenarnya yang
menjadi dasar alasan memutus eksistensi inkonstitusionalitas BP Migas, karena
dikatakan cukup alasan dengan hanya merujuk Putusan Nomor 006/PUU-III/2005
dan Putusan Nomor 11/PUUV/2007 Mahkamah tidak mempermasalahkankan ada
tidaknya penyalahgunaan kekuasaan di BP Migas.
Dengan dibatalkannya pasal-pasal inti mengenai BP Migas maka secara
otomatis juga membatalkan pasal lainnya yang mengandung frasa yang dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi meskipun tidak dimohonkan untuk di uji (ultra petita)
yang kemudian secara otomatis berakibat pada dibubarkannya BP Migas. Kemudian
untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak adanya lagi BP Migas setelah
dibubarkannya BP Migas maka Mahkamah mengamanatkan pada Pemerintah selaku
121 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
86
pemegang kuasa pertambangan yaitu kementerian yang memiliki kewenangan dan
tanggung jawab dalam bidang Migas untuk melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas
sampai terbentuknya aturan yang baru.
B. Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014: Persamaan di Depan Hukum Bagi
Anggota DPR
Pada tanggal 5 Agustus 2014, Presiden Susilo Bambang Yudoyono
mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Pada saat yang
bersamaan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi menerima berkas permohonan
pengujian undang-undang tersebut. Para pemohon memohonkan sebuah pasal untuk
dalam undang-undang MD3. Pasal diajukan tersebut adalah Pasal 245 yang dilnilai
bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Dalam permohonannya pemohon
berdalih bahwa frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan”
dalam Pasal 245 UU MD3 yang berbunyi menyebutkan bahwa “Pemanggilan dan
permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah
87
Kehormatan Dewan” bertentangan dengan UUD 1954.122 Hal itu dinilai merupakan
diskriminatif dan bertentangan dengan asas kesamaan di depan hukum (equality
before the law).
Kemudian Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pasal tersebut tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar selama frasa “persetujuan tertulis dari
Mahkamah Kehormatan Dewan” selama dimaknai “persetujuan tertulis dari”. Dalam
hal ini Mahkamah Konstitusi membuat norma baru dengan mengalihkan kewenangan
untuk memberikan ijin tertulis yang sebelumnya di berikan kepada Mahkamah
Kehormatan Dewan tetapi dialihkan oleh Mahkamah Konstitusi kepada Presiden.
Pengalihan tersebut sama sekali tidak dimohonkan oleh pemohon. Karena pemohon
keberatan dengan proses ijin tertulis dan dinilai menghambat proses hukum.
Pasal 245 Undang-Undang a quo yang dinilai pemohon bertentangan dengan
prinsip judicial independent, prinsip equality before the law oleh para pemohon. Hal
senada juga diungkapkan oleh Taufik Basri (Kuasa Hukum Partai Nasdem) yang
merupakan pihak terkait dalam permohonan ini. Taufik Basri meyampaikan dalam
persidangan bahwa “Ketentuan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun2014
yang mengatur bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan
terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat
persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan dan diberikan batas waktu
hingga paling lama 30 hari untuk memberikan persetujuan tertulis tersebut nyata-
122 Putusan Nomor 76 & 83/PUU-XII/2014 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
88
nyata bertentangan dengan konstitusi”.123 Menurutnya Pasal 245 yang telah
menempatkan anggota DPR menjadi pihak yang memiliki keistimewaan dalam
proses penegakan hukum karena harus melalui suatu tahapan berupa persetujuan
tertulis dari mahkamah kehormatan dewan untuk dapat dipanggil dan diminta
keterangan untuk penyidikan. Perlakuan khusus terhadap anggota DPR merupakan
bentuk perlakuan yang berbeda dalam hal penegakan hukum yang tidak
diperkenankan oleh konstitusi. Menurut Pandangan partai Nasdem, anggota DPR
dalam hal penegakan hukum mestinya diperlakukan sama seperti warga negara
lainnya. Tidak ada alasan yang rasional yang memberikan landasan argumentasi
bahwa harus ada tahapan khusus berupa persetujuan tertulis Mahkamah Kehormatan
Dewan.
Pemerintah sebagai pihak yang terkait dalam pembuatan UU MD3
berpendapat bahwa yang mengatur tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap
anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan
tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan bagian dari pelaksanaan asas
praduga tak bersalah, dan persamaan kedudukan hukum, berkesamaan kedudukan di
muka hukum dalam rangka menjaga wibawa hukum. Menurut Mualimin Abdi
ketentuan tersebut lebih kepada persyaratan administratif untuk meyakinkan bahwa
123 Risalah Sidang Perkara Nomor 76 & 83/PUU-XII/2014 Perihal Pengujian Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
89
dugaan pidana terhadap anggota DPR telah memiliki bukti atau basis yuridis yang
kuat.
Namun Mahkamah Konstitusi berpendapat Pasal 245 Undang-Undang a quo
yang dinilai pemohon bertentangan dengan prinsip judicial independent, prinsip
equality before the law, dan prinsip non-diskriminasi, yang dijamin oleh Pasal 24 ayat
(1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat(1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sebagai
berikut:124
1. Sebagai pejabat negara pemegang kekuasaan pembentuk Undang-Undang
dalam pelaksanaan kekuasaannya masing-masing anggota DPR mempunyai
hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas
sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945. Pelaksanaan fungsi dan hak
konstitusional anggota DPR tersebut juga harus diimbangi dengan adanya
perlindungan hukum yang memadai dan proporsional, sehingga anggota DPR
tidak dengan mudah dan bahkan tidak boleh dikriminalisasi pada saat dan/atau
dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan konstitusonalnya
sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
2. Proses penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak
pidana, sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, meskipun
124 Putusan Nomor 76 & 83/PUU-XII/2014 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
90
dapat mengganggu kinerja anggota DPR dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, tetapi tidak menghalangi yang bersangkutan untuk melaksanakan
tugasnya. Anggota DPR yang diselidiki dan/atau disidik masih tetap dapat
melaksanakan tugasnya sehari-hari.
3. Pejabat negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terkait jabatan
negara yang diembannya memang berbeda dari warga negara lain yang bukan
pejabat negara, karena dalam rangka menjalankan fungsi dan haknya, pejabat
negara memiliki risiko yang berbeda dengan warga negara lainnya. Namun
demikian, adanya pembedaan itu harus berdasarkan prinsip logika hukum
yang wajar dan proporsional yang secara eksplisit dimuat dalam Undang-
Undang serta tidak diartikan sebagai pemberian keistimewaan yang
berlebihan.
4. Adanya proses pengaturan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan
Dewan kepada anggota DPR yang sedang dilakukan penyidikan menurut
Mahkamah adalah tidak tepat karena Mahkamah Kehormatan Dewan
meskipun disebut “Mahkamah” sesungguhnya adalah alat kelengkapan DPR
yang merupakan lembaga etik yang tidak memiliki hubungan langsung dalam
sistem peradilan pidana. Proses pengisian anggota Mahkamah Kehormatan
Dewan yang bersifat dari dan oleh anggota DPR akan menimbulkan konflik
kepentingan.
5. Proses persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang kepadanya akan
dilakukan penyidikan maka persetujuan tertulis tersebut haruslah dikeluarkan
91
oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara dan bukan oleh
Mahkamah Kehormatan Dewan karena salah satu bentuk perlindungan hukum
yang memadai dan bersifat khusus bagi anggota DPR dalam melaksanakan
fungsi dan hak konstitusionalnya adalah dengan diperlukannya persetujuan
atau izin tertulis dari Presiden dalam hal anggota DPR tersebut dipanggil dan
dimintai keterangan karena diduga melakukan tindak pidana. Hal ini penting
sebagai salah satu fungsi dan upaya menegakkan mekanisme checks and
balances antara pemegang kekuasaan legislatif dengan pemegang kekuasaaan
eksekutif.
6. Adanya persyaratan izin atau persetujuan tertulis dari Presiden dalam hal
anggota DPR dipanggil dan dimintai keterangan dalam konteks adanya
dugaan tindak pidana diharapkan, di satu pihak, tetap dapat melaksanakan
fungsi dan kewenangannya sebagai anggota DPR, di lain pihak, tetap
menjamin adanya kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
Dari uraian diatas dapat ditarik suatu pokok pertimbangan bahwasanya
Mahkamah Konstitusi berpendapat Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) adalah
alat kelengkapan DPR yang merupakan lembaga etik yang tidak memiliki hubungan
langsung dalam sistem peradilan pidana dan proses pengisian anggota Mahkamah
Kehormatan Dewan yang bersifat dari dan oleh anggota DPR sehingga Mahkamah
Konstitusi menganggap bahwa proses seperti itu dapat menimbulkan konflik
kepentingan di dalam intern DPR itu sendiri. Atas pertimbangan tersebut Mahkamah
92
Konstitusi memberikan solusi dengan memberikan kewenangan memberi ijin tertulis
tersebut kepada Presiden apabila seorang anggota DPR dipanggil dan dimintai
keterangan karena diduga melakukan tindak pidana . Pemberian izin tertulis dari
presiden tersebut merupakan suatu wujud checks and balances antara pemegang
kekuasaan legislatif dan yudikatif. Pertimbangan memberikan kewenangan izin
kepada presiden terhadap anggota DPR yang dipanggil dan dimintai keterangan
karena diduga melakukan tindak pidana tersebut didasarkan pada beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur izin untuk melakukan proses hukum diberikan
kepada lembaga lain sebagai wujud mekanisme checks and balances.
C. Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009: Pendidikan Sebagai
Hak Setiap Warga Negara
Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara yang mana hal tersebut
telah dijamin oleh konstitusi negara Indonesia. Pendidikan menjadi unsur yang sangat
penting bagi sebuah negara jika negara tersebut ingin sejahtera. Sesuai dengan cita-
cita para pendiri bangsa Indonesia seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD
1945 bahwasanya salah satu tujuan kemerdekaan Indonesia adalah untuk
mencerdaskan bangsa.125 Hal ini dapat dipahami sebagai suatu cita-cita yang sangat
125Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Alenia
keempat menyatakan” Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu… .”.
93
mulia jika dilihat bangsa Indonesia pada masa pra kemerdekaan pendidikan menjadi
hal yang sangat mahal bahkan bagi kalangan bawah menjadi sesuatu yang bisa
dikatakan tidak mungkin. Pendidikan pada masa pra kemerdekaan hanya berlaku bagi
orang-orang tertentu saja, misalnya anak seorang lurah dan orang-orang eropa.
Meskipun pada masa-masa akhir penjajahan pemerintah kolonial semakin membuka
pintu pendidikan bagi orang-orang pribumi tetapi masih banyak terjadi diskriminasi
terhadap orang-orang asli pribumi yang berusaha menempuh penddidikan.
Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan kebangsaan yang sangat
penting yang menjadi tanggungjawab negara. Di samping terkait dengan tanggung
jawab untuk memenuhi hak setiap warga negara memperoleh pendidikan yang baik
dan berkualitas secara adil, negara juga bertanggung jawab untuk membangun dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang berkarakter sesuai dengan
dasar falsafah negara. Pendidikan harus diarahkan dalam rangka memperkuat
karakter dan nationbuilding, dan tidak boleh lepas dari akar budaya dan jiwa bangsa
yaitu jatidiri nasional, identitas, dan kepribadian bangsa serta tujuan nasional untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa.126
Pendidikan merupakan suatu cara untuk meningkatkan kualitas masyarakat
ataupun sumber daya manusia. Menurut seorang ahli pendidikan dari Belanda yang
benama Mj. Langefek, mengungkapkan bahwa ilmu pendidikan sebagai ilmu teoritis
dan ilmu praktis mempelajari proses pembentukan kepribadian manusia yang
126 Putusan Nomor 5/PUU-X/2012 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
94
dirancang secara sistematis dalam proses interaksi antara pendidikan dan peserta
didik, baik di dalam maupun diluar sekolah.127 Sedangkan di dinia Islam, Ali bin Abi
Thalib r.a. mengingatkan kepada orang tua dan atau para pendidik untuk mengajari
anak-anak (peserta didik) agar mereka diajari dengan ilmu supaya mereka bisa hidup
dizamannya yang berbeda zaman ketika mereka menuntut ilmu. Puncak pendidikan
adalah tercapainya titik kesempurnanaan kualitas hidup.128Dalam Pasal 28C ayat (1)
menyebutkan bahwa:
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.129
Dengan melihat pasal tersebut dapat dipahami bahwa sudah menjadi
tanggung jawab dan kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi
seluruh warga negaranya tanpa membedakan status maupun kedudukan warga
negaranya. Keadilan menjadi salah satu segmen moralitas bukan terutama terkait
dengan perilaku atau tindakan individu melainkan dengan cara-cara yang
diperlakukannya kelas-kelas individu.130 Maka sudah seharusnya pemerintah tidak
127 Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Cet. ke-3 (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2004), hlm. 13.
128 Dedy Mulyasana, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 2-4.
129 Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 130 H.L.A. Hart, Konsep Hukum ( The Concept Of Law), (Bandung: Nusa Media. 2009), hlm.
259.
95
membedakan kelas-kelas status maupun kedudukan warga negaranya dalam hal
pendidikan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan di
ajukan oleh beberapa pemohon yang kemudian dijadikan satu oleh Mahkamah
Konstitusi. Para Pemohon (Perkara Nomor 11/PUU-VII/2009, Nomor
14/PUUVII/2009, Nomor 21/PUU-VII/2009, 126/PUU-VII/2009, 136/PUU-
VII/2009) dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Pasal 6 ayat (2) dan
ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 9, Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (1) huruf c dan
huruf d, Pasal 12 ayat (2) huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 46 ayat (1) dan
Penjelasannya, Pasal 47 ayat (2), Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 56 ayat (2) dan ayat (3)
UU Sisdiknas dan 41 ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (9), Pasal 46 ayat (1), ayat
(2), Pasal 57 huruf a, huruf b, dan huruf c UU BHP terhadap UUD 1945.
Dari permohonan yang diajukan para pemohon mengenai UU BHP,
Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa tujuan akhir yang hendak dicapai adalah
dihilangkannya ketentuan yang membebani masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan dengan argumentasi bahwa negara in casu pemerintah yang seharusnya
menjadi penanggung jawab utama dalam penyelenggaraan pendidikan tetapi hanya
ditempatkan menjadi fasilitator. Mahkamah Konstitusi dalam mempertimbangkan
permohonan UU BHP, selain berdasarkan UUD 1945 juga mengacu pada Putusan
96
Nomor 021/PUU-IV/2006 bertanggal 22 Februari 2007 sebagai dasar acuan
pertimbangan terutama yang tertera pada halaman 134 yang menyatakan bahwa:
”...agar undang-undang mengenai badan hukum pendidikan yang diperintahkan oleh Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas sesuai dengan UUD 1945, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Aspek fungsi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Alinea Keempat Pembukaan), kewajiban negara dan pemerintah dalam bidang pendidikan sebagaimana ditentukan Pasal 31 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), serta hak dan kewajiban warga negara dalam bidang pendidikan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28 ayat (1) (sic.) UUD 1945;
2. Aspek filosofis yakni mengenai cita-cita untuk membangun sistem pendidikan nasional yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan bangsa, aspek sosiologis yakni realitas mengenai penyelenggaraan pendidikan yang sudahada termasuk yang diselenggarakan oleh berbagai yayasan, perkumpulan, dan sebagainya, serta aspek yuridis yakni tidak menimbulkan pertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan badan hukum;
3. Aspek pengaturan mengenai badan hukum pendidikan dalam undang-undang dimaksud haruslah merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan, sehingga tidak memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik;
4. Aspek aspirasi masyarakat harus mendapat perhatian di dalam pembentukan undang-undang mengenai badan hukum pendidikan, agar tidak menimbulkan kekacauan dan permasalahan baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. 131
Acuan tersebut tersebut dibuat dalam hal pengujian Pasal 53 ayat (1) UU
Sisdiknas yang mana pasal pasal tersebut pernah diujikan ke oleh sekelompok
masyarakat dalam Perkara Nomor 021/PUU-IV/2006 dan dinyatakan tidak dapat
diterima oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 22 Februari 2007 yang merupakan
131 Putusan Nomor 021/PUU-IV/2006 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
97
rekomendasi Mahkamah Konstitusi untuk DPR dalam menyusun UU BHP. Faktanya
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa UU BHP tidak memenuhi unsur-unsur yang
direkomendasikan Mahkamah Konstitusi sehingga Mahkamah Konstitusi menyatakan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4965) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.132
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa sekolah-sekolah swasta yang dikelola
dengan keragaman yang berbeda telah turut berjasa dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, baik pada masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan
hingga sekarang. Maka negara seharusnya memberdayakan sekolah-sekolah swasta
tersebut supaya bersama-sama dengan pemerintah menjadi mitra dalam memajukan
pendidikan nasional.
Dalam perkara ini pemerintah berasumsi bahwa dirinya dapat secara praktis
mengawasi penyelenggara pendidikan untuk jangka waktu yang lama tetapi menurut
Mahkamah Konstitusi hal itu justru dapat menguras energi karena kesibukan
administratif yang luar biasa, Sehingga pemerintah akan kehabisan waktu untuk
mengawasi apakah penyelenggara pendidikan di seluruh pelosok Indonesia telah
sesuai dengan ketentuan UU BHP atau kah tidak. Pekerjaan ini dapat menyita
perhatian pemerintah yang justru seharusnya difokuskan untuk berusaha membuka
132 Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
98
kesempatan agar warga negara dapat menikmati pendidikan secara luas. Mahkamah
berpendapat bahwa UU BHP yang menyeragamkan bentuk hukum badan hukum
pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (BHPM) adalah tidak sesuai
dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Mahkamah dalam putusan perkara
Nomor 021/PUU-IV/2006 . Pengelolaan dana secara mandiri dan prinsip nirlaba yang
diterapkan dalam UU BHP tidak secara otomatis menjadikan pendidikan murah bagi
peserta didik, padahal biaya yang terjangkau adalah salah satu masalah pendidikan di
Indonesia.
Secara yuridis Mahkamah Konstitusi menilai UU BHP memiliki banyak
kelemahan baik dari aspek yuridis, kejelasan maksud, dan keselarasan dengan UU
lain. Mahkamah Konstitusi melihat bahwa dengan adanya UU BHP misi pendidikan
formal yang menjadi tugas pemerintah di Indonesia akan dilaksanakan oleh BHPP
dan BHPPD. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berhasil atau tidaknya
pendidikan formal di Indonesia akan tergantung kepada kinerja BHPP dan BHPPD.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Tanggung jawab BHPP untuk mencukupi
kebutuhan dana pendidikan tidak ringan karena BHPP dan BHPPD harus
menanggung biaya beberapa biaya, yaitu:
1. Bagian dari tanggung jawab bersama dengan pemerintah untuk menyediakan biaya investasi (vide Pasal 41 ayat (5) UU BHP);
2. Menutup kekurangan biaya operasional sebesar 2/3 karena peserta didik menanggung 1/3 dari biaya operasional [vide Pasal 41 ayat (4) UU BHP];
3. Menyediakan beasiswa [vide Pasal 40 ayat (3) UU BHP]. Dalam ketentuan UU BHP tidak lagi terdapat ketentuan bahwa terhadap BHPP yang tidak dapat memenuhi kewajibannya pemerintah mengambil alih tanggung jawab
99
tersebut, dan bahkan apabila ternyata kemampuan keuangan dari BHPP dan BHPPD dalam keadaan sangat jelek tidak tertutup kemungkinan BHPP dan BHPPD dipailitkan.133
UU BHP mendasarkan pada asumsi bahwa penyelenggara pendidikan di
Indonesia mempunyai kemampuan yang sama untuk melaksanakan ketentuan yang
terdapat dalam UU BHP meskipun diberi batas waktu selama 6 (enam) tahun untuk
menyesuaikan dengan UU BHP. Hal demikian tanpa melihat realitas bahwa
kesamaan status sebagai perguruan tinggi negeri (PTN) saja tidak berarti secara serta
merta semua PTN di Indonesia mempunyai kemampuan yang sama. Perbedaan
kemampuan antara PTNPTN di Indonesia sangatlah jelas terlihat. Pemberian
otonomi kepada PTN dalam bentuk BHPP juga akan mempunyai akibat yang sangat
beragam, meskipun ada beberapa PTN yang mampu untuk menghimpun dana, tetapi
Mahkamah Konstitusi menilai justru lebih banyak PTN yang tidak mampu untuk
menghimpun dana karena terbatasnya pasar usaha di masing-masing daerah dan
terbatasnya modal investasi serta sumber daya manusia yang mempunyai kemampuan
kewirausahaan.134 Hal demikian pasti akan menyebabkan terganggunya
penyelenggaraan pendidikan.
Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut Mahkamah Konstitusi
berpendapat bentuk BHPP dan BHPPD yang diatur dalam UU BHP tidak menjamin
133 Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
134 Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
100
tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Sedangkan menurut UUD 1945 negara mempunyai peran dan tanggung jawab yang
utama. Oleh karenanya, bentuk hukum BHPP dan BHPPD sebagaimana dimaksud
oleh UU BHP tidak sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam Putusan
Mahkamah Nomor 021/PUU-IV/2006 tanggal 22 Februari 2007 dan bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 31 UUD 1945, bahkan bertentangan pula dengan
Pembukaan UUD 1945.
Kemudian Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya membuat keputusan
kosntistusional bersyarat terhadap Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas yang merupakan
latar belakang lahirnya UU BHP konstitusional sepanjang frasa “badan hukum
pendidikan” dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan
sebagai bentuk badan hukum tertentu.
Mengenai UU Sisdiknas, Mahkamah Mahkamah Konstitusi hanya
mengabulkan sebagian pasal yang diajukan. Pasal 6 ayat (2) UU Sisdiknas
menentukan bahwa “Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”.135 Dalam pertimbangannya
Mahkamah Konstitusi membenarkan bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap
pendidikan warga negaranya, akan tetapi demi kualitas dirinya maka tiap warga
negara juga harus ikut memikul tanggung jawab terhadap dirinya untuk mencapai
kualitas yang diinginkannya. Maka kualitas setiap warga negara akan sangat
135 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
101
menentukan kualitas bangsa, oleh sebab itu negara tidak boleh berpangku tangan
dengan menyerahkan sepenuhnya pengembangan kualitas diri atau kecerdasan
kehidupan warganya kepada setiap warga negaranya, sebab kalau hal ini terjadi maka
tiap-tiap warga negara akan menggunakan kebebasannya memilih untuk menempuh
pendidikan atau sebaliknya tidak menempuh pendidikan sama sekali. Di sinilah peran
dan tanggung jawab pemerintah dan warga negara menjadi sangat penting. Artinya,
negara memiliki tanggung jawab utama sedangkan masyarakat juga ikut serta dalam
memikul tanggung jawab itu.
Dengan pertimbangan tersebut kemudian Mahkamah Konstitusi membuat
keputusan konstitusional bersyarat dengan membuat norma baru dengan menyatakan
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional sepanjang frasa, “... bertanggung jawab” adalah konstitusional sepanjang
dimaknai “... ikut bertanggung jawab”, sehingga pasal tersebut selengkapnya
menjadi, “Setiap warga negara ikut bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
penyelenggaraan pendidikan”.
Kemudian dalam menguji Pasal 12 ayat (1) UU Sisdiknas, Mahkamah
Konstitusi hanya memotong (inkonstitusional sebagian) pasal saja. Pasal 12 ayat (1)
huruf c yang berbunyi “mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang
tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”,136 kemudian Mahkamah Konstitusi
136 Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
102
dengan hanya membatalkan frasa “...yang orang tuanya tidak mampu membiayai
pendidikannya.”, dan tetap mempertahankan sebagian pasalnya yaitu “Mendapatkan
beasiswa bagi yang berprestasi”. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbanganya
menilai bahwa frasa, “...yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”
inkonstitusional karena jika yang menjadi dasar pemberian beasiswa adalah yang
berprestasi saja, begitu juga pemberian beasiswa haruslah tidak didasarkan pada
mampu dan tidak mampu, karena bagi peserta didik yang orang tuanya tidak mampu
sudah diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d sehingga frasa, “yang orang tuanya
tidak mampu” menjadi tidak relevan dan bisa dengan pengaturan dalam huruf d Pasal
a quo.137 Selain itu, peserta didik yang berprestasi perlu diberikan rangsangan dengan
memberikan beasiswa agar memacu peserta didik untuk menggapai prestasi yang
pada gilirannya akan meningkatkan mutu pendidikan nasional, termasuk ilmu
pengetahuan.
137 Ibid.
103
BAB IV
DASAR DAN URGENSI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS
PERKARA MELEBIHI YANG DIMOHONKAN (ULTRA PETITA)
Konstitusi yang dibentuk berdasarkan hasil kesepakatan para pendiri bangsa
dinilai telah memenuhi syarat untuk dapat memberikan keadilan bagi seluruh rakyat
jika dijalankan secara konsekuen. Satjipto Raharjo berpendapat bahwa menegakkan
konstitusi sama artinya dengan menegakkan hukum dan keadilan. Sebaliknya, dengan
tercapainya keadilan akan memperkuat bangunan negara hukum di Indonesia. Sebab,
makna keadilan dalam Pancasila mengandung prinsip bahwa setiap warga negara
Indonesia harus memperoleh perlakuan yang adil diberbagai ranah kehidupan, mulai
dari ranah hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.138 Pada hakikatnya,
penegakan hukum mengandung supremasi nilai substansial, yaitu nilai keadilan.139
Dengan tegakknya konstitusi diharapkan akan memberikan rasa keadilan bagi seluruh
rakyat sehingga secara tidak langsung juga mewujud cita-cita para pendiri bangsa
yang diamanatkan melalui sila kelima Pancasila yaitu “keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”.
Konstitusi yang masih bersifat sangat umum (universal) perlu ditafsirkan
lebih lanjut untuk mendapatkan makna yang benar-benar sesuai dengan kondisi
138 Satjipto Raharjo, Hukum Progresif Urgensi dan Kritik, (Jakarta: Epistema Institute, 2001), hlm. 194.
139 Faisal, Menerobos Positifisme Hukum, Cet. ke-2 (Jakarta: Gramata Publishing, 2012), hlm. 109.
104
masyarakat dan tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Mahkamah
Konstitusi memiliki kewenangan menafsirkan konstitusi. Indonesia sebagai negara
yang menganut asas kebebasan hakim dalam memeriksa perkara penggunaan asas
kebebasan hakim ini juga membawa dampak negatif.140 Salah satu dampak asas
kebebasan hakim ialah munculnya putusan ultra petita. Di Mahkamah Konstitusi
sendiri ultra petita sudah berlangsung sejak lama tetapi hingga saat ini masih sering
menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat. Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga yudikatif berperan sebagai penafsir tunggal konstitusi yang mana
putusannya bersifat tunggal dan mengikat. Setiap warga negara memiliki kebebasan
untuk menafsirkan konstitusi, baik itu lembaga pemerintah organisasi masyarakat
partai politik maupun akademisi memiliki hak untuk manafsirkan konstitusi, tetapi
penafsiran yang memiliki kekuatan hukum hanya dimiliki Mahkamah Konstitusi
melalui putusannya. Sehingga diharapkan tidak terjadi penafsiran yang semena-mena
dalam menafsirkan konstitusi untuk melanggengkan kekuasaan hingga dapat
menimbulkan kesewenang-wenangan mengingat norma-norma yang dikandung
konstitusi masih bersifat umum dan luas.
Negara hukum tidak dapat dipisahkan dari sistem konstitusi yang merupakan
gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Setelah perubahan ketiga pada
tahun 2001, ketentuan mengenai negara hukum ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3).
Meskipun dalam pasal tersebut tidak ditegaskan Indonesia menganut ide rechtsstaat
140 Jeremias Lemek, Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum di
Indonesia, (Yogyakarta: Galang Press, 2007), hlm. 165.
105
atau machtsstaat, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sistem hukum Indonesia
mendapat pengaruh dari keduanya. Tentu hal ini juga sangat berpengaruh terhadap
cara hakim dalam memutus sebuah perkara. Sebagai negara hukum, tidak dapat
dipungkiri bahwa Indonesia mendapat pengaruh dari sistem hukum civil law dan
sistem hukum common law. Sebagai negara yang merupakan bekas jajahan Belanda
yang menganut sistem hukum civil law, sistem hukum Indonesia juga mendapat
pengaruh kuat dari sistem hukum ini (civil law). Bagir Manan menyatakan, bahwa
pada negara-negara yang berada dalam Sistem Eropa Kontinental selalu berusaha
untuk menyusun hukum-hukumnya dalam bentuk tertulis, bahkan dalam suatu
sistematika yang diupayakan selengkap mungkin dalam sebuah kitab undang undang
(kodifikasi).141 Secara singkat dapat dipahami bahwa sumber hukum dalam sistem
civil law adalah statute (undang-undang), regulation (regulasi) dan custom
(kebiasaan). Maka dalam lembaga yudikatif di negara-negara yang menganut sistem
hukum civil law, kewenangan hakim adalah untuk menerapkan hukum dan tidak
dimungkinkan untuk merujuk pada referensi atau sumber lain.142 Seiring
perkembangannya Indonesia juga mendapat pengaruh dari sistem hukum common
law yang memberikan kekuasaan yang luas kepada hakim dalam menangani sebuah
perkara untuk membuat sebuah penemuan hukum. Namun demikian kebebasan
141 Bagir Manan, Dasar Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: IN-HILL-Co, l992),
hlm. 6.
142 Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 69.
106
hakim tidak bersifat mutlak, maka kebebasan hakim tidak boleh terlepas dari unsur
tanggung jawab. Kebebasan hakim bukanlah kebebasan yang mutlak dan tanpa batas
yang cenderung menjurus kepada kesewenang-wenangan.143 Hakim memiliki
kekuasaan yang besar terhadap para pihak yang bersengketa berkenaan dengan
masalah atau konflik yang dihadapkan kepada dirinya. Para hakim dalam
menjalankan tugasnya juga sepenuhnya memikul tanggung jawab yang besar dan
harus menyadari tanggung jawabnya tersebut, sebab keputusan hakim dapat
membawa akibat yang sangat jauh pada kehidupan orang-orang lain yang terkena
oleh jangkauan keputusan tersebut. Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat
membekas dalam batin para yastisinbel yang bersangkutan sepanjang perjalanan
hidupnya.144 Negara-negara common law secara umum adalah negara yang gaya
yuristiknya didasarkan pada model common law Inggris, yang terutama didirikan
berdasarkan pada sistem kasus atau preseden yudisial, dan dimana legislasi secara
tradisional tidak dianggap sebagai sumber hukum utama, tetapi biasanya dianggap
sebagai hanya sekedar sarana konsolidasi atau klarifikasi dari peraturan dan prinsip
hukum yang secara esensial diturunkan dari hukum kasus dan hukum yang dibuat
oleh hakim.145
143 Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta : Kanisius , 1999), hlm. 94.
144 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hakim, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 29.
145 Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum, Cet. ke-4 (Bandung: Nusa Media, 2014), hlm. 62.
107
Ketika Mahkamah Konstitusi memutus sebuah perkara melebihi yang
dimohonkan setidaknya penyusun menemukan ada 4 (empat) dasar yaitu untuk
mewujudkan keadilan substantif, koherensi antar pasal yang dibatalkan, memperkuat
sistem checks and balances dan menghindari terjadinya kekosongan hukum dan
menjamin kepastian hukum.
A. Penegakkan Keadilan Substantif
Sesuai dengan amanat Pasal 2 UU MK yang menyebutkan bahwa
”Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.” jelas dari situ tugas Mahkamah Konstitusi
adalah menegakkan hukum dan keadilan. Hakim diberikan kebebasan untuk
mewujudkan keadilan, namun dalam memutus perkara hakim juga diberi batasan
atau rambu-rambu sebagaimana disebutkan dalam pada Pasal 45 ayat (1) UU MK
menyebutkan bahwa:
Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.146
Maka dapat dilihat bahwa dalam rangka mewujudkan keadilan tersebut
juga harus didasarkan pada alat-alat bukti yang ada di persidangan. Dari pasal
tersebut juga menyebutkan frasa “keyakinan hakim” maka dapat dipahami bahwa
hakim juga diberi kebebasan dalam berijtihat dalam mewujudkan keadilan,
146 Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
108
selama itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Dari keyakinan
hakim tersebut dapat saja hakim melakukan sebuah penemuan hukum agar
undang-undang tetap dapat memberikan keadilan sesuai perkembangan zaman.
Dalam perkara-perkara tertentu undang-undang yang berlaku tidak dapat
memberikan keadilan bagi warga negara dan bertentangan dengan hak-hak
konstitusionalitas seorang warga negara maka di sini seoarang hakim harus dapat
berkreasi dalam membuat putusan agar dapat mencapai sebuah keadilan bahkan
terkadang hakim harus mengesampingkan asas-asas hukum yang berlaku ataupun
harus mengesampingkan keadilan prosedural yang kaku karena terbelenggu oleh
bunyi undang-undang. Maka hakim harus mampu mewujudkan substansi dari
keadilan tersebut. Sesuai dengan aliran rechtsvinding yang menyebutkan tugas
hakim adalah menyelaraskan undang-undang dengan tuntutan zaman, dengan hal-
hal yang konkret yang terjadi dalam masyarakat dan bila perlu menambah
undang-undang yang disesuakan dengan asas-asas keadilan masyarakat. Namun
perlu digaris bawahi bahwa dalam proses pembentukan hukum ataupun penemuan
hukum dalam upaya mewujudkan keadilan tersebut harus dapat dilakukan secara
tepat dan relevan menurut hukum, sehingga hasil yang diperoleh dari proses itu
dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum. Akibatnya
seringkali hakim harus membuat putusan yang melebihi yang dimohonkan demi
tercapainya substansi keadilan. Ultra petita biasanya terjadi pada perkara-perkara
pengujian undang-undang terhadap UUD.
109
Tidak hanya pada perkara judicial review saja Mahkamah Konstitusi
memberi beberapa putusan ultra petita namun juga pada perkara pemilu. Sebagai
contoh Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Perselisihan Hasil
Pemilukada Jawa Timur 2008 yang memutuskan pemilihan kepala daerah Jawa
Timur harus di ulang. Berdasarkan ketentuan undang-undang, kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perkara sengketa pemilukada tidak lebih
dari sebuah pengadilan angka karena susuai dengan UU MK, Mahkamah
Konstitusi hanya sebatas memutus sengketa perhitungan suara pemilikada dan
Mahkamah Konstitusi tidak boleh memerintahkan untuk menyelenggarakan
pemilu ulang ataupun memerintahkan pemungutan suara ulang. Pemilu ulang dan
pemungutan suara ulang merupakan kewenangan KPU, itupun dengan ketentuan
apabila telah terjadi bencana, huru-hara sosial maupun keadaan tertentu lainnya.
Namun kemudian Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang cukup
kontroversial yaitu memutus dilakukannya pemilukada ulang. Mahkamah
Konstitusi yang saat itu diketuai oleh Mahfud MD menyampaikan bahwa putusan
tersebut harus diambil karena Mahkamah Konstitusi menganut strategi hukum
responsif yang dirasa lebih adil. Hukum responsif mengatakan bahwa hakim
jangan hanya mau dibelenggu oleh bunyi undang-undang yang sifatnya
situasional. Pada perkara tersebut, Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa
sebagian besar sengketa yang terjadi disebabkan karena pelanggaran dalam
proses, baik dalam pelaksananaa, kelalaian penyelenggara pemilukada maupun
saat proses pendaftaran pasangan calon dan bukan semata-mata karena kesalahan
110
dalam proses perhitungan. Dalam kasus pemilu tersebut dapat dilihat bahwa tidak
hanya pada perkara judicial review saja Mahkamah Konstitusi membuat putusan
ultra petita. Terobosan yang melanggar ketentuan undang-undang dengan alasan
ketentuan tersebut tidak memberikan jaminan kadilan bagi para pencari keadilan
karena ketentuan undang-undang terkadang dapat diakali dengan berbagai cara.
Setiap menguji sebuah undang-undang setiap hakim bebas menggunakan
metode penafsiran yang diyakini sesuai dengan undang-undang yang sedang diuji.
Adnan Buyung Nasution mengungkapkan seorang hakim Mahkamah Konstitusi
tidak boleh membatasi pandangannya dalam menafsirkan konstitusi. Penafsiran
sebuah konstitusi haruslah selalu mengacu pada asas-asas demokrasi, rule of law,
HAM dan konstitusionalisme.147 Setiap hakim menggunakan penafsiran yang
berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan penafsiran antara hakim
konstitusi tersebut menghasilkan perbedaan pendapat antar hakim itu sendiri
kareana setiap hakim memiliki cara pandangnya sendiri-sendiri dalam
menafsirkan sebuah undang-undang. Kemudian penafsiran-penafsiran tersebut
melahirkan pendapat dan pertimbangan hukum yang kemudian dituangkan dalam
putusan dan tidak jarang perbedaan penafsiran antar hakim menyebabkan adanya
dissenting opinion ataupun concurring opinion.
147 Adnan Buyung Nasution, Pikiran dan Gagasan Demokrasi Konstitusional, (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 107.
111
Menurut Mahfud menegakkan kebenaran tak dapat dipisahkan dengan
upaya menegakkan keadilan.148 Hakim harus membuat putusan berdasarkan pada
kondisi lokal dan kondisi waktu. Dengan keyakinan dan kemuliaannya, hakim
harus membuat putusan sendiri, sehingga rasa keadilan tersebut diterima oleh
masyarakat sehingga rasa keadilan bukan karena kebenaran bunyi undang-
undang.149 Selanjutnya Mahfud juga mengungkapkan bahwa hakim konstitsi
berani keluar dari undang-undang jika undang-undangnya memang tidak benar,
tidak memberi rasa keadilan. Bagi Mahkamah Konstitusi, tekanan hukum
progersif adalah hukum dimana hakim mengambil putusan boleh berdasarkan
undang-undang sepanjang undang-undangnya itu benar dan diyakini memberi
rasa keadian, tetapi jika hakim membuat putusan-putusan berdasarkan kreasinya
sendiri apabila undang-undangnya itu memang tidak mampu memberikan rasa
keadilan.150
Dari beberapa pandangan tersebut dapat dipahami bahwa undang-undang
yang dibuat oleh legislatif terkadang tidak memberikan rasa keadilan bagi rakyat.
Maka untuk menjamin terwujudnya keadilan tersebut dapat dipahami jika
Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang melebihi yang dimohonkan.
148 Rita Trianita Budiarti, On The Record Mahfud MD diBalik Putusan Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: PT Grafindo Persada, 2010), hlm. 180.
149 Rita Trianita Budiarti, Kontroversi Mahfud MD Jilid 2 di Balik Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2013), hlm. 6.
150 Mahfud MD, dkk., Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, (Yogyakarta: Thafa Media, 2013), hlm. 7.
112
Sejalan dengan tujuan dari Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemegang
kekuasaan kehakiman sebagimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 angka (1):
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.151 Maka sudah menjadi tugas Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
kekuasaan kehakiman untuk menegakkan keadilan di Indonesia.
Seperti yang penyusun sebutkan dalam kerangka teori bahwa keadilan
dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu keadilan prosedural dan keadilan
substantif. Keadilan prosedural adalah keadilan yang didasarkan pada ketentuan-
ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal, seperti mengenai
tenggat waktu maupun syarat-syarat beracara di pengadilan dan lainnya.
Sedangkan keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai
yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani.152 Pada
dasarnya keduanya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Karena ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum
formal ditujukan juga untuk mewujudkan suatu keadilan. Namun ada kalanya
peraturan hukum formal tersebut tidak dapat memberikan rasa keadilan karena
151 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
152 Bambang Sutiyoso , “Mencari Format Ideal Keadilan Putusan Dalam Peradilan”, Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 2, (April 2010), hlm. 227.
113
cenderung kaku. Maka di sini hakim sangat berperan dalam mewujudkan keadilan
sesuai dengan garis-garis konstitusi. Hakim konstitusi memiliki kewenangan
untuk melakukan pembentukan hukum sebagai upaya menerapkan konstitusi
terhadap undang-undang berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu,
yang digunakan agar penerapannya dapat dilakukan secara tepat dan relevan
menurut hukum, sehingga hasil yang diperoleh dari proses itu dapat diterima dan
dipertanggungjawabkan.
Hamdan Zoelfa mengungkapkan bahwa Mahkamah Konstitusi mencoba
keluar dari penafsiran undang-undang secara sempit. Konsep putusan tersebut
dikenal dengan putusan yang mengedepankan konsep keadilan substantif.153
Mahkamah Konstitusi tidak dapat membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural
memasung dan mengesampingkan keadilan substantif, karena fakta-fakta hukum
yang ada merupakan pelanggaran konstitusi. John Rawls dalam pemikirannya
tentang keadilan menyatakan: “Justice is the first virtue of social institutions, as
truth is of systems of thought. A theory however elegant and economical must be
rejected or revised if it is untrue; likewise laws and institutions no matter how
efficient and well-arranged must be reformed or abolished if they are unjust.”154
Rawls memposisikan keadilan sebagai keutamaan pertama dari institusi sosial.
153 Muhammad Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Dan
Hukum Islam , Cet. ke-2 (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 61.
154 John Rawls, A Theory of Justice, (Cambridge-Massachussets: The Belknap Press of Harvard University Press, 1999), hlm. 3.
114
Dengan posisi tersebut maka keadilan adalah tujuan yang harus direalisasikan
oleh setiap institusi sosial. Oleh karena itu Rawls sampai pada kesimpulan bahwa
betapapun suatu institusi sosial itu seperti hukum misalnya, efisien dan tertata
dengan baik, tetapi tetap harus dirombak atau dihapuskan jika terbukti tidak adil.
Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwasanya tujuan hukum adalah untuk
mewujudkan keadilan di masyarakat, maka ketika keadilan tidak lagi dapat
dicapai dengan peraturan-peraturan atau bahkan bertentangan dengan keadilan
maka tidaklah salah bahwa peraturan tersebut harus dikesampingkan ataupun
dihapuskan.
Dalam perkara-perkara tertentu seperti dalam pengujian undang-undang
terhadap UUD dan pengujian hasil pemilu jika Mahkamah Konstitusi hanya
memutus perkaranya hanya didasarkan pada petitum putusan tersebut tidak dapat
mewujudkan substansi keadilan dan kaku karena undang-undang telah tertinggal
dengan realitas kehidupan masyarakat. Di Hungaria, Mahkamah Konstitusi dapat
membuat putusan konstitusional bersyarat dan membuat norma baru meskipun
bersifat ultra petita untuk mewujudkan supremasi konstitusi terhadap undang-
undang. Bahkan penerapan ultra petita di Mahkamah Konstitusi Hungaria sudah
berlangsung sejak lama, meskipun pada mulanya juga menimbulkan kontroversi
para pegiat hukum di Hungaria. Namun saat ini hal itu sudah menjadi hal yang
wajar dan dapat diterima.
115
B. Penjaminan Koherensi Antar Pasal
Salah satu tujuan putusan ultra petita yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi adalah untuk mewujudkan keadilan yang bersifat substantif dan tidak
terpaku pada keadilan prosedural yang kaku karena terbelenggu oleh bunyi
undang-undang. Setiap perkara yang ditangani Mahkamah Konstitusi khususnya
judicial review sangat rawan membuat keputusan ultra petita, karena setiap pasal
yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi seringkali memiliki konektifitas atau
hubungan antara satu pasal yang dengan pasal lainnya. Sedangkan tidak semua
pasal yang diajukan pemohon yang saling berkaitan tersebut diajukan judicial
review oleh pemohon, karena pasal yang diajukan untuk ditinjau hanya pasal yang
dinilai merugikan/perpotensi merugikan hak konstitusional pemohon.
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi mengungkapkan
bahwa jika pasal tersebut merupakan “jantung” atau menentukan operasionalisasi
keseluruhan undang-undang, pembatalan pasal tertentu saja akan menimbulkan
ketidakpastian hukum. Misalnya, bagaimana implikasi putusan tersebut terhadap
pasal-pasal lain yang bersumber dari pasal yang dibatalkan? Akibatnya,
pelaksanaan UU tersebut menjadi sangat rawan bertentangan dengan UUD
1945.155 Penyusun menilai bahwa pembatalan pasal yang tidak dimohonkan
merupakan sebuah keniscayaan jika memang inti pasal yang terkandung dalam
undang-undang tersebut memang inkonstitusional. Seperti yang terjadi pada UU
155 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 54-55.
116
Migas yang mana frasa “badan pelaksana” dalam undang-undang tersebut
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 36/PUU-X/2012.
Sedangkan ide utama dari UU Migas adalah mengatur badan pelaksana itu
sendiri. Pada akhirnya dengan dibatalnya frasa “badan pelaksana” dalam UU
Migas maka semua pasal juga harus dibatalakan karena frasa-frasa lain dalam
tersebut mengatur tentang badan pelaksana. Meskipun pemerintah berpandangan
bahwa pembentukan UU BP Migas merupakan upaya untuk meningkatkan
produksi migas di tanah air. Namun Mahkamah Konstitusi tetap berpandangan
bahwa badan pelaksana dalam hal ini BP Migas perpotensi menimbulkan
inefisiensi dan bertentangan dengan konstitusi.
Secara yuridis, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk
mengatur lebih lanjut apa yang diperlukan unutuk memperlancar tugas dan
kewenangannya sebagiamana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Dalam pasal Pasal 86 UU MK
disebutkan bahwa “Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal
yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut
Undang-Undang ini.”156 Artinya Mahkamah Konstitusi dapat membuat
ketentuan-ketentuan untuk memperlancar tugas dan kewenangannya dalam
menjaga konstitusi. Penyusun melihat Mahkamah Konstitusi menggunakan
156 Pasal 86 Pasal 45A Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
117
landasan yuridis tersebut dengan memberikan putusan melebihi yang
dimohonkan. Meskipun pada nyatanya ketentuan tersebut tidak dituangkan
Mahkamah Konstitusi melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), tetapi
secara tersirat Mahkamah Konstitusi telah mengatur mengenai ultra petita dengan
membatalkan Pasal 45A UU MK yang menyatakan bahwa “Putusan Mahkamah
Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon
atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait
dengan pokok Permohonan.”157
Mengenai Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009
mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan, Penyusun melihat bahwa Mahkamah Konstitusi telah
membuat acuan mengenai tindak lanjut Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas agar
kedepannya undang-undang yang dibuat legislatif tetap pada jalur konstitusi.
Acuan tersebut dituangkan dalam pengujian UU Sisdiknas sebelumnya yaitu
Putusan Nomor 021/PUU-IV/2006. Kemudian pada pengujian Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan Mahkamah Konstitusi
menemukan UU a quo yang merupakan tindak lanjut dari Pasal 53 ayat (4) UU
Sisdiknas tidak sesuai dengan acuan yang dibuat Mahkamah Konstitusi yang
terdapat dalam Putusan Nomor 021/PUU-IV/2006 sehingga Mahkamah
157 Pasal 45A Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
118
Konstitusi membatalkan UU a quo.158 Maka dalam hal ini penyusun menilai
putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi tersebut tepat untuk menjaga agar
undang-undang tetap pada jalur konstitusi.
C. Penguatan Sistem Checks and Balances
Sistem kekuasaan di Indonesia tidak dapat lepas dari ide Montesque yang
membagi kekuasaan negara dalam tiga kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Lembaga legislatif berfungsi membuat undang-undang, lembaga
eksekutif melaksanakannya dan kemudia yudikatif mengawasi bahwa undang-
undang itu tidak melanggar Undang-Undang Dasar (inkonstitusional) dan bahwa
undang-undang itu benar-benar dilaksanakan secara murni dan konsekuen oleh
eksekutif. Pemikiran ini kemudian digunakan dengan penyesuaian yaitu adanya
checks and balances antara tiga lembaga tersebut. Kedudukan kekuasaan
kehakiman sebagai lembaga yang menjalankan fungsi yudikatif disejajarkan yang
legislatif dan eksekutif di bawah Undang-Undang Dasar agar kekuasaan
kehakiman merdeka bebas dari intervensi lembaga lainya.
Pada putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Pengujian Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yaitu Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 yang mana
158 Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
119
pada dasarnya pemohon hanya keberatan jika dalam melakukan penyidikan
terhadap anggota DPR harus melakukan ijin terlebih dahulu kepada Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD), tetapi Mahkamah Konstitusi ternyata memiliki
pendapat berbeda bahwa ijin sebelum melakukan penyidikan terhadap anggota
DPR itu memang perlu sebagimana pejabat negara lainnya dengan ketentuan yang
berwenang memberikan ijin tersebut bukan Mahkamah Kehormatan Dewan
karena Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan lembaga etik yang tidak
memiliki hubungan langsung dalam sistem peradilan pidana. Selain itu proses
pengisian anggota Mahkamah Kehormatan Dewan yang bersifat dari dan oleh
anggota DPR berpotensi menimbulkan konflik kepentingan sehingga pemberian
ijin tersebut dikhawatirkan menjadi tidak obyektif. Sehingga Mahkamah
Konstitusi memutuskan proses persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang
kepadanya akan dilakukan penyidikan maka persetujuan tertulis tersebut haruslah
dikeluarkan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara dan bukan
oleh Mahkamah Kehormatan Dewan. Keputusan tersebut diambil guna
menegakkan mekanisme checks and balances antar lembaga negara. Mahkamah
Konstitusi sendiri hadir sebagai lembaga yang berfungsi untuk menyempurnakan
mekanisme checks and balances untuk mengawasi dan mengontrol dua lembaga
lainnya (eksekutif dan legislatif). Sistem checks and balances itu sendiri, yang tak
pelak lagi merupakan elemen esensial dari konstitusi, dibangun atas doktrin
120
bahwa cabang pemerintahan rakyat tersebut tidak boleh berkuasa penuh, lebih-
lebih dalam melaksanakan undang-undang yang menyentuh hak kepemilikan.159
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga kekuasaan kehakiman
melaksanakan kewenangannya terkait dengan produk hukum yang dibuat oleh
lembaga eksekutif dan legislatif. Guna memperkuat posisi tersebut Mahkamah
Konstitusi juga medapatkan kewenangan yang diberikan langsung oleh Undang-
Undang Dasar 1945. Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 menunjukan bahwa
begitu pentingnya mekanisme checks and balances hingga Mahkamah Konstitusi
membuat norma baru dalam putusan tersebut yang menyebabkan putusan tersebut
ultra petita.
Jika dilihat lebih komprehensif, Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014
mengenai Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah salah satu
pertimbangan Mahkamah Konstitusi adalah untuk menegakkan mekanisme
checks and balances antar lembaga negara membuat putusan tersebut ultra petita.
Melalui putusan tersebut Mahkamah Konstitusi membuat norma baru yang tidak
dimohonkan oleh pemohon sehingga putusan tersebut ultra petita. Dari putusan
tersebut dapat dilihat bahwa hakim melihat perlunya pengawasan dari lembaga
lain agar antar lembaga dapat saling megontrol antar satu dengan yang lain.
159 Leonard W. Levy (ed.), Judicial Review: Sejarah Kelahiran, Wewenang, dan Fungsinya
dalam Negara Demokrasi, (Jakarta: Penerbit Nuansa, 2005), hlm. 3.
121
Sebagaimana diketahui bahwa dalam ajaran trias politika, kekuasaan negara
dibagi ke dalam 3 (tiga) kekuasaan yang terpisah, yaitu kekuasaan legislatif ,
kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudisial, dan untuk menghindari dengan
kekuasaan yang absolut pada salah satu lemabaga maka harus ada mekanisme
checks and balances sehingga antar lembaga dapat saling mengawasi. Jika lihat
sejarah amandemen UUD 1945 yang memunculkan lembaga yudikatif baru yaitu
Mahkamah Konstitusi, salah satu tujuan pembentukan Mahkamah Konstitusi
sendiri adalah melakukan agar dapat checks and balances melalui salah satu
tugasnya yaitu menguji konstitusionalitas sebuah undang-undang.
Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi ini adalah perwujudan
prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga-lembaga negara
dalam kedudukan setara sehingga dapat saling kontrol dan saling imbang dalam
praktek penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi jelas
merupakan langkah progresif untuk mengoreksi kinerja antara lembaga negara
khususnya dalam proses pendewasaan politik berbangsa dan bernegara.160
Penyusun melihat bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai
Ketentuan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang mengatur
bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap
anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan
tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan dan diberikan batas waktu hingga
160 Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan,
(Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 145.
122
paling lama 30 hari untuk memberikan persetujuan tertulis yang kemudian
Mahkamah Konstitusi memutus bahwa pada intinya izin tertulis tersebut harus
diberikan kepada Presiden dan bukan Mahkamah Kehormatan Dewan dengan
pertimbangan untuk memperkuat sistem checks and balances adalah kurang
tepat. Benar bahwa keputusan ultra petita untuk memperkuat sistem checks and
balances. Namun penyusun berpendapat bahwa ketentuan batas waktu hingga
paling lama 30 hari untuk memberikan persetujuan tertulis akan menghambat
proses penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.
Jika dilihat keterangan yang diberikan pemerintah selaku pihak yang terkait
dalam pembentukan UU MD3 yang menyatakan ketentuan Pasal 245 UU MD3
lebih kepada persyaratan administratif untuk meyakinkan bahwa dugaan pidana
terhadap anggota DPR telah memiliki bukti atau basis yuridis yang kuat, maka
ketentuan izin tertulis itu sebenarya tidaklah perlu karena sebagai penyidik tentu
sudah memiliki standar aturan tersendiri untuk melakukan penyidikan.
Lebih lanjut jika memang ultra petita yang dilakukan Mahkamah
Konstitusi dalam putusan a quo161 untuk memperkuat sistem checks and
balances, maka izin tertulis dari presiden dengan batasan waktu 30 hari untuk
memberikan persetujuan tertulis adalah berlebihan dan akan menghambat proses
penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.
Penguatan sistem checks and balances dapat dilakukan dengan memberikan surat
161 Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 Mengenai Pengujian Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
123
pemberitahuan dilakukannya penyidikan kepada presiden dan bukan izin tertulis
dengan batasan waktu 30 hari.
D. Penciptaan Kepastian Hukum
Pembatalan sebuah pasal saja dalam sebuah pasal dalam undang-undang
dapat menimbulkan akibat yang luas, apalagi jika undang-undang tersebut telah
berlaku lama. Dalam berbagai kasus, ketika Mahkamah Konstitusi menguji
sebuah pasal dan memutuskan bahwa pasal tersebut inkonstitusional maka
Mahkamah Konstitusi akan membuat sebuah terobosan yang terkadang itu diluar
dugaan kita. Tidak jarang terobosan Mahkamah Konstitusi tersebut keluar dari
ketentuan undang-undang yang ada untuk menjamin kepastian hukum bagi setiap
warga negara agar stabilitas negara tetap terjaga maupun untuk mendapatkan
substasi keadilan. hal itu tidak hanya terjadi pada pengujian undang-undang
terhadap UUD sajaakan tetapi juga pada perkara sengketa hasil Pilkada yang
menjadi salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Dalam Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Mahkamah
Konstitusi memutuskan bahwa KKS yang telah disepakati sebelumnya tidak serta
merta batal setelah dibubarkanya BP Migas,162 karena Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa segala KKS yang telah ditandatangani antara BP Migas dan
162 Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
124
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, harus tetap berlaku sampai masa
berlakunya berakhir atau pada masayang lain sesuai dengan kesepakatan agar
tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat mengakibatkan kekacauan
dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Penyusun melihat bahwa putusan ini
harus diambil Mahkamah Konstitusi akibat dari amar putusan Mahkamah
Konstitusi sebelumnya yang menyatakan bahwa:
Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.163
Jika keberadaan BP Migas secara serta merta dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan pada saat yang sama semua kegiatan BP Migas termasuk
KKS dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka
pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang sedang berjalan menjadi
terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat
menyebabkan kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak
dikehendaki oleh UUD 1945. Maka kemudian untuk mencegah terjadinya
kekosongan hukum yang menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum
kemudian Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa fungsi dan tugas Badan
Pelaksana Minyak dan Gas Bumi yang sebelumnya dilaksanakan oleh BP Migas
harus di ambil alih oleh Pemerintah.
163 Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
125
Dengan dibatalkannya pasal-pasal inti mengenai BP Migas maka secara
otomatis juga membatalkan pasal lainnya yang mengandung frasa yang dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi meskipun tidak dimohonkan untuk di uji (ultra petita)
yang kemudian secara otomatis berakibat pada dibubarkannya BP Migas.
Kemudian untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak adanya lagi BP Migas
setelah dibubarkannya BP Migas maka Mahkamah mengamanatkan pada
Pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan yaitu Kementerian yang
memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang Migas untuk
melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru.
Penyusun melihat bahwa dalam putusan ultra petita yang dilakukan
Mahkamah Konstitusi dengan membatalkan Frasa “dengan Badan Pelaksana”
dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3),
frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat
(1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi akan menyebabkan ketikdakpastian
hukum karena kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan BP Migas masih
berlangsung.164 Maka kemudian Mahkamah Konstitusi memberikan putusan ultra
petita lagi untuk menghindari kekosongan hukum tersebut. Artinya jika amar
putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi yang pertama menimbulkan
kekosongan hukum dan menimbulkan ketidakpastian hukum, maka Mahkamah
164 Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
126
Konstitusi akan memberikan amar putusan ultra petita lagi sebagai solusi dari
ultra petita dari amar putusan sebelumnya agar tidak terjadi kekosongan hukum
dan ketidakpastian hukum.
Dalam pengujian sebuah undang-undang, jika putusan Mahkamah
Konstitusi hanya berdasarkan pada petitum para pemohon saja maka putusan
tersebut akan sulit untuk menguji undang-undang di mana sebuah undang-undang
seringkali mempunyai sifat yang dirumuskan secara umum. Sedangkan pada
umumnya rumusan sebuah undang-undang sangat umum dan belum diketahui
apakah dalam pelaksanaannya akan bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.
Permasalahannya adalah ketika dipersoalkan bahwa belum ada peratuturan
pelaksanaan yang menjadi turunan di bawahnya. Misalnya Peraturan Pemerintah
atau Peraturan Presiden yang belum ada, oleh karena itu Mahkamah Konstitusi
tidak mungkin dalam pengambilan putusan menunggu keluar terlebih dahulu
Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang belum ada. Jika menunggu
Peraturan Pemerintahnya atau Peraturan Presidennya maka yang diuji bukan
undang-undangnya melainkan peraturan dibawahnya sedangkan itu bukanlah
kewenangan Mahkamah Konstitusi karena kewenangan Mahkamah Konstitusi
adalah menguji undang-undang terhadap UUD, bukan menguji peraturan dibawah
undang-undang. Dalam hal seperti biasanya Mahkamah Konstitusi membuat
sebuah terobosan dengan membuat batasan-batasan yang dituangkan dalam amar
putusan agar kedepannya dalam pelaksanaan undang-undang keluar dari jalur
konstitusi. Mahkamah Konstitusi mencoba keluar dari batasan-batasan undang-
127
undang yang dianggap tidak memberikan rasa keadilan guna mewujudkan
keadilan substantif. Sebagaimana pendapat Madjid Khadduri bahwa keadilan
substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari
sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani.165 Maka ketika
peraturan perundang-undangan yang ada tidak membrikan rasa keadilan,
Mahkamah Konstitusi akan membuat putusan dengan mengesampingkan
peraturan perundang-undangan tersebut.
Ultra petita yang dilakukan Mahkamah Konstitusi untuk menjamin
kepastian hukum juga dapat dilihat pada Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006
mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi yang dalam putusannya Mahkamah Konstitusi
memberikan pembatasan akibat hukum berupa penangguhan tidak mengikatnya
Pasal 53 Undang-Undang KPK yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945 sedemikian rupa dengan memberi waktu yang cukup bagi pembentuk
undang-undang untuk melakukan perbaikan agar sesuai dengan UUD 1945 dan
sekaligus dimaksudkna agar pembentuk undang-undang secara keseluruhan
memperkuat dasar-dasar konstitusional yang diperlukan bagi keberadaan KPK
dan upaya pemberantasan korupsi. Dalam Putusan tersebut Mahkamah Konstitusi
merasa perlu membatasi akibat hukum yang timbul dari pernyataan
inkonstitusional sesuai undang-undang guna kepentingan umum yang lebih besar.
165 Bambang Sutiyoso , “Mencari Format Ideal Keadilan Putusan Dalam Peradilan”, Jurnal
Hukum, No. 2, vol. 17 (April 2010), hlm. 227.
128
Jika Mahkamah Konstitusi langsung menyatakan pasal tersebut inkonstitusional
maka tentu kinerja KPK pasti akan menjadi terhambat kerena tentu legislatif tentu
tidak bisa langsung merevisi undang-undang yang dibatalkan tersebut.
129
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di atas,
penyusun menyimpulkan bahwa ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa, “Mahkamah
Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut Undang-Undang ini.” menjadi dasar
yuridis bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya termasuk
kewenangan untuk membuat putusan yang melebihi permohonan (ultra petita).
Penyusun juga menemukan setidaknya ada 4 (empat) dasar dari Mahkamah
Konstitusi memutus suatu perkara dengan ultra petita, yaitu penegakkan keadilan
substantif, penjaminan koherensi antar pasal, penguatan sistem checks and balances,
dam penciptaan kepastian hukum.
B. SARAN
Dasar dari Mahkamah Konstitusi untuk membuat suatu putusan yang bersifat
ultra petita sangatlah luas dan berpotensi menimbulkan suatu kesewenang-wenangan
bagi Mahkamah Konstitusi. Mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan
penafsir tunggal konstitusi yang putusannya bersifat final dan mengikat. Maka perlu
130
adanya batasan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara dengan ultra petita.
Karena putusan ultra petita yang dilakukan Mahkamah Konstitusi berpotensi
menimbulkan suatu kesewenang-wenangan bagi Mahkamah Konstitusi maka perlu
adanya batasan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara ultra petita. Setiap
putusan ultra petita selain berdasarkan konstitusi juga harus berdasarkan nilai-nilai
Pancasila.
131
DAFTAR PUSTAKA
UNDANG-UNDANG
Act CLI of 2011 on the Constitutional Court of Hungary.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
BUKU
Aburaera, Sukarno, dkk.. Filsafat Hukum Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group. 2013.
Adi, Robert Tjahyono. Mengenal 192 Negara di Dunia. Jakarta: Pustaka Widyatama.
2007.
Apeldoorn, L. J van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita. 1976.
Arifin, Bustanul. Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia Perspektif Ekonomi,
Etika dan Praksis Kebijakan. Jakarta: Erlangga. 2001.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara. Jakarta: Sekretariat Jendral
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006.
132
Asshidiqie, Jimly, dkk. Menjaga Denyut Konstitusi (Refleksi Satu Tahun Mahkamah
Konstitusi). Jakarta: -. 2004.
Asshidiqie, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusi Di Berbagai Negara. Jakarta:
Sinar Grafika, 2010.
Asshidiqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi
Press. 2006.
Assiddiqie, Jimly. Model-Model Pengujian Konstitusi di Berbagai Negara. Jakarta:
Konstitusi Press. 2005.
Astomo, Putera. Hukum Tata Negara Teori dan Praktek. Yogyakarta: Thafa Media.
2014.
Bakhri, Syaiful. Beban Pembuktian Dalam Beberapa Praktik Peradilan. Jakarta:
Gramata Publishing. 2012.
Bertens, Kees. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta : Kanisius. 1999.
Budiarti, Rita Triana. Kontroversi Mahfud MD Jilid 2 di balik Putusan Mahkamah
Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press. 2013.
Cruz, Peter de. Perbandingan Sistem Hukum. Cet. ke-4. Bandung: Nusa Media.
2014.
Dirjosisworo, Soedjono. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. 2012.
Faisal. Menerobos Positifisme Hukum. Cet. ke-2.Jakarta: Gramata Publishing. 2012.
Fajar, Abdul Mukhtie. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi.Fab Jakarta:
Konstitusi press dan Citra Media. 2006.
133
Fattah, Nanang. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan Cet. ke-3. Bandung: Remaja
Rosda Karya. 2004.
Frank, Jerome. Hukum & Pemikiran Modern. Bandung: Nuansa Cendekia. 2013.
Friedrich, Carl Joachim. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nusa Media.
2010.
Hart, H.L.A.. Konsep Hukum ( The Concept Of Law). Bandung: Nusa Media. 2009.
Huda, Ni’matul dan R. Nazriyah. Teori & Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan. Bandung: Nusa Media. 2011.
Huda, Ni’matul. Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan-Putusan
Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta:UII Press. 2011.
Huda, Ni’matul. Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika
Perubahan UUD 1945 (Cetakan ke-2). Yogyakarta: FH UII Press. 2004.
Huda, Ni’matul. UUD 1945 dan Gagasan Amandeman Ulang. Jakarta: Raja Grafino
Persada. 2008.
Ilmar, Aminudin. Hak menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN. Jakarta:
Kencana Media Group. 2012.
Kansil, C.S.T. dan Cristine S.T. Kansil, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
(Pendidikan Pancasila di Perguran Tinggi), Cet. ke-22 (Edisi Revisi),
Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2005.
134
Kansil, C.S.T.. Hukum Antar Tata Pemerintahan dalam Rangka Perbandingan
Hukum Tata Negara. Jakarta: Erlangga. 1987.
Kelsen, Hans. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Bandung: Nusamedia dan
Nuansa. 2006.
Latif, Abdul, Dkk. Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: Total
Media. 2009.
Levy, Leonard W. (ed.). Judicial review: Sejarah Kelahiran, Wewenang, dan
Fungsinya dalam Negara Demokrasi. Jakarta: Penerbit Nuansa. 2005.
Lubis, Suhrawardi K.. Etika Profesi Hakim. Jakarta: Sinar Grafika. 2002.
Mahfud, MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.
Rajawali Pers: Jakarta, 2013.
Manan, Bagir. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara. Bandung:
Mandar Maju. 1995.
Marbun, S.F. Peradilan Administrasi dan Upaya Administrative di Indonesia.
Yogyakarta: UII Press. 2003.
Marbun, S.F. Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Liberty. 2003.
Membangun Mahkamah Konstitusi, Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang
Modern dan Terpercaya. Sekretariat Jendral MKRI. 2004.
Mulyasana, Dedy. Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2011.
135
Nurdin, Boy. Kedudukan dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum di Indonesia.
Bandung: Alumni. 2012.
Rahardjo, Satjipto, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode, dan Plihan Masalah.
Surakarta: Muhammadiyah University Press. 2004.
Raharjo, Satjipto. Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta:
Genta Publishing. 2009.
Rawls, John. A Theory of Justice, (Cambridge-Massachussets: The Belknap Press of
Harvard University Press, 1999.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekjen MKRI, 2006.
Siahaan, Maruar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta:
Konstitusi Press. 2005.
Siahaan, Maruar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (Edisi
Kedua). Jakarta: Sinar Grafika. 2011.
Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. 2000.
Soemantri, Sri. Hukum Tata negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan. Bandung:
PT Rosda. 2014.
Sudikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty,
1993.
Syafiie, Inu Kencana. Proses Legislatif. Bandung: PT Rafika Aditama. 2014.
Thaib, Dahlan. DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Liberty: Yogyakarta.
1994.
136
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI. 2010.
Tim Penyusun Lima Tahun Mahkamah Konstitusi. Lima Tahun Mengakkan
Konstitusi Gambaran Singkat Pelaksanaan Tugas Mahkamah Konstitusi
2003-2008. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepanieraan Mahkamah
Konstitusi. 2008.
Warda, Ian. Pengantar Teori Hukum Kritis. Bandung: Nusa Media. 2014.
Wiriadinata, Loekman. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. 1989.
SKRIPSI
Afandi, Geri.“Kajian Normatif Putusan Ultra petita Dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Dalam Pengujian Undang-Undang (Studi
Kasus Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 tentang BP Migas),” skripsi
Universitas Bung Hatta. 2014.
Fadel. “ Tinjauan Yuridis Prinsip Ultra petita Oleh Mahkamah Konstitusi Sebagai
Upaya Mewujudkan Keadilan Substantif Di Indonesia,” skripsi Universitas
Hasanuddin. 2012.
Fadjar, Abdul Mukthie. Hukum Konstitusi Dalam Mahkamah Konstitusi. Jakarta:
Konstitusi Press, 2006.
Fikri, Abdullah. ”Putusan Ultra petita Mahkamah Konstitusi Dalam Perspektif Fiqh
Siyasah” skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. 2012.
137
Hadju, Taufik Kemal.“Implikasi Hukum Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Dalam
Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi (Putusan Perkara
Nomor 49/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian UU Mahkamah Konstitusi).”
skripsi Universitas Andalas. 2012.
Jamil, M..”Penegakan Hukum Tindak Pidana Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di
Polresta Yogyakarta Tahun 2011).” skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2014.
Wahyuni, Sri. “Pola dan Bentuk Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Untuk
Mewujudkan Konstitusionalisme,” skripsi Universitas Sebelas Maret. 2012.
JURNAL
Abadi, Suwarno. “Ultra Petita dalam Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah
Konstitusi”. Jurnal Konstitus. Volume 12, Nomor 3. (September 2015),
Nurjaya, Nyoman. “Putusan Ultra petita Mahkamah Konstitusi”, Jurnal
Konstitusi, Volume 11, Nomor 1. (Maret 2014).
Bisariyadi. “Yudisialisasi Politik dan Sikap Menahan Diri: Peran Mahkamah
Konstitusi dalam Menguji Undang-Undang”. Jurnal Konstitusi, Volume 12,
Nomor 3, (September 2015).
Rubaie, Ach.. “Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi”. Jurnal Konstitusi,
Volume 11, Nomor 1. (Maret 2014).
138
Soeroso, Fajar Laksono.“Aspek Keadilan dalam Sifat Final Putusan Mahkamah
Konstitusi”. Jurnal Konstitusi. Volume 11, Nomor 1. (Maret 2014).
Sutiyoso, Bambang. “ Mencari Format Ideal Keadilan Putusan Dalam Peradilan”.
Jurnal Hukum. Volume 17, Nomor 2. (April 2010).
KAMUS
Departemen Pendidikan Nasioanal. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
Edisi ke-4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012.
INTERNET
Assiddiqqie, Jimly. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia. http://www.jimly.com/KEDUDUKAN_MK-2
(diakses pada 19 Februari 2016).
Mahkamah Konstitusi. Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU (diakses
pada 8 Juni 2016).
Mahkamah Konstitusi. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1 ,
(diakses pada 11 Januari 2016).
LAIN-LAIN
Putusan Nomor 5/PUU-X/2012 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
139
Putusan Nomor 16/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 mengenai Pengujian Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Risalah Sidang Perkara Nomor 76 & 83/PUU-XII/2014 Perihal Pengujian Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Risalah Sidang Perkara Nomor 36/PUU-X/2012 Perihal Pengujian Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
140
LAMPIRAN
I
A. Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Badan Hukum Pendidikan
AMAR PUTUSAN
Mengadili, ·
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4301) sepanjang frasa, “... bertanggung jawab” adalah konstitusional
sepanjang dimaknai “... ikut bertanggung jawab”, sehingga pasal tersebut
selengkapnya menjadi, “Setiap warga negara ikut bertanggung jawab
terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”;
Menyatakan Pasal 12 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4301), sepanjang frasa, “...yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikannya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga Pasal 12 ayat (1) huruf c
II
UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menjadi, “Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi”;
Menyatakan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4301) konstitusional sepanjang frasa “badan hukum pendidikan” dimaknai
sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk
badan hukum tertentu; · Menyatakan Penjelasan Pasal 53 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; ·
Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4301) sepanjang frasa, “... bertanggung jawab” tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat kecuali dimaknai, “... ikut bertanggung jawab”;
Menyatakan Pasal 12 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
III
Nomor 4301), sepanjang frasa, “...yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikannya”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan Penjelasan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4301) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; ·
Menyatakan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4965) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4965) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
IV
B. Amar Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 mengenai Pengujian Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Permohonan Pemohon I tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon II untuk sebagian;
2.1 Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam
Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”;
2.2 Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam
Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
V
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis
dari Presiden”;
2.3 Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) selengkapnya
menjadi, “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan
terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus
mendapat persetujuan tertulis dari Presiden”;
2.4 Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam
Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”;
VI
2.5 Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam
Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis
dari presiden”;
2.6 Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) selengkapnya
menjadi,“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR
yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”.
3. Menolak permohonan Pemohon II untuk selain dan selebihnya;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;
VII
C. Amar Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1 Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45,
Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UndangUndang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4152) bertentangan dengan UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2 Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45,
Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UndangUndang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4152) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
1.3 Frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui
Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan
pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa
VIII
“Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4152) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.4 Frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui
Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan
pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa
“Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4152) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.5 Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
1.6 Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
IX
1.7 Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan
oleh Pemerintah, c.q. Kementerian terkait, sampai diundangkannya
Undang-Undang yang baru yang mengatur hal tersebut;
2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
X
BIODATA
Nama : Mulatno
Tempat Lahir : Gunung Kidul
Tanggal Lahir : 2 September 1993
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kasihan, Balong, Girisubo, Gunung Kidul, Yogyakarta
Kontak Person : 087738766100
Riwayat Pendidikan
1. SD Negeri Balong
2. SMP Muhammadiyah 2 Tepus
3. SMK Negeri 1 Girisubo
4. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Riwayat Organisasi
1. Dewan Ambalan SMK Negeri 1 Girisubo
2. Scientific Club SMK Negeri 1 Girisubo
3. Jama’ah Cinema Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
4. Pusat Studi & Konsultasi Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta