PURNAMA SALURA · Belanda yang sekarang digunakan sebagai restoran. ... Salah satu wanita ini...
-
Upload
hoangxuyen -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
Transcript of PURNAMA SALURA · Belanda yang sekarang digunakan sebagai restoran. ... Salah satu wanita ini...
PURNAMA SALURA
1 / 22
2 / 22
C A T A T A N
3 / 22
Adaptive Re-Use
Sore ini restoran tak begitu ramai pengunjung.
Hanya sekitar duapuluh persen meja yang terisi. Kami
bertiga duduk agak di ujung dekat jendela krepyak
yang terbuka. Hembusan udara luar terasa tapi tak
begitu kencang. Hawa disini memang agak panas.
Walaupun kipas angin kuno yang tergantung di langit-
langit sudah berputar kencang, keringat rasanya tetap
merembes di kulit.
Mata saya tertawan pola lantai yang terbuat dari
ubin kepala basah berwarna marun. Tampaknya lantai
ini sudah berusia hampir seratus tahun, seumur
bangunannya. Ini adalah bangunan peninggalan
Belanda yang sekarang digunakan sebagai restoran.
Bagian luar bangunan tua bertembok satu-bata ini
masih dipelihara dengan baik. Konstruksinya masih
kokoh, hanya gentingnya yang sudah diganti. Saat
dibangun, trend arsitektur di negeri Belanda sedang
dilanda gaya Imperial. Gaya ini yang rupanya
diterapkan di sini oleh arsitek Belanda. Ciri-ciri gaya
ini dapat dibaca dari kolom besar yang penuh ukiran.
Demikian juga bentuk lengkung di bagian atas tiap
jendelanya.
Teritis jendela nyaris tak ada. Saya menebak,
jika hujan turun pastilah jendela krepyak ini harus
segera ditutup. Mengapa? Karena jendela pasti
terkena cipratan air hujan yang akhirnya pasti akan
membasahi lantai dan membuat genangan air di
ruangan.
Dua wanita muda yang duduk semeja dengan
saya berceloteh riang. Selain berdiskusi tentang
4 / 22
C A T A T A N
5 / 22
bangunan tua ini, tampaknya mereka juga berdiskusi
tentang jenis serta kualitas makanan yang disajikan.
Salah satu wanita ini sekarang menjadi patner kerja
saya. Seorang desainer interior yang handal.
Patner kerja saya mulai bercerita pada
temannya tentang rancangan interior adaptive-reuse
yang dikerjakannya di bangunan tua ini. Teman
bicaranya adalah seorang wanita muda berprofesi
pengacara yang berencana ingin membuka kantor
sendiri. Ayahnya seorang pengacara terkenal yang
seringnya membela selebritas televisi yang sedang
berperkara. Patner kerja saya rupanya pernah
membuatkan rancangan interior untuk salah satu
kantor ayahnya.
Secara garis besar adaptive Reuse didefinisikan
sebagai proses adaptasi struktur lama untuk tujuan
baru. Dalam prosesnya, bangunan lama digunakan
dengan fungsi yang lain dari fungsi semula. Kadang
tindakan ini dapat dianggap sebagai kompromi antara
pelestarian sejarah dan pembongkaran.
Bangunan tua ini tergolong langka.
Keistimewaan yang menonjol adalah pada gaya
bangunannya. Patner kerja saya menceritakan tentang
hal-hal yang meyebabkan ia memutuskan bahwa
perubahan rancangan hanyalah pada bagian dalam.
Bagian interiornya dibuat senyaman mungkin sesuai
dengan aktivitas restoran modern. Ia banyak
meletakkan ragam elemen yang memadukan gaya
imperial dengan gaya modern di sana-sini. Adaptive-
Reuse.
6 / 22
C A T A T A N
7 / 22
Ketika menjelang jam makan malam restoran ini
mulai penuh. Tapi kami telah usai makan dan
beranjak pulang.
motivasi akan “needs” dan “wants”
Tampak dari jalan, saya melihat bangunan ini
seperti umumnya rumah biasa. Bentuk atap, dinding,
lebar tapak, nyaris serupa dengan rumah tetangganya.
Bangunan ini tidak berpagar sehingga kendaraan roda
empat dapat mudah masuk dan keluar langsung dari
jalan. Kesan terbuka. Sedangkan bangunan
tetangganya semua berpagar tinggi. Kesan tertutup.
Ada hal lain yang berbeda dengan tetangganya, pada
dinding muka terpampang simbol dan nama sebuah
kantor komersial. Ukuran papan nama cukup besar,
terbaca jelas dari jalan.
Saya berada di dalam, duduk di ruangan tunggu
yang lebih mirip ruangan tamu rumah tinggal.
Menunggu pemimpin kantor itu tiba. Mata saya
berputar memandang berkeliling. Semakin terasa
organisasi ruangnya sangat serupa dengan rumah
tinggal. Ruang tamu terpisah jauh dengan receptionist.
Untuk masuk ke ruang rapatpun harus melewati meja
pekerja. Letak ruang rapat agak jauh di belakang,
dekat dengan dapur. Toilet lebih cocok disebut
sebagai sebuah kamar mandi rumah tinggal. Semua
tidak fit untuk kantor. Janggal.
Pemimpinnya tiba, ia wanita pengacara muda
kawan patner kerja saya. Kemarin, di sebuah restoran
ia berjanji menerima kami di kantornya. Tapi patner
8 / 22
C A T A T A N
9 / 22
kerja saya tak bisa hadir. Ia meminta saya sendiri yang
datang.
Sekarang saya sedang mendengarkan ia
bercerita sambil duduk berdampingan di sofa ruang
kerjanya. Ruangannya tidak terlalu terang. Bajunya
formal sekali, memakai jas yang tebal. Cocok dengan
pengkondisian udara dikamarnya. Dingin. Hanya saja
rok mini yang dipakainya kurang cocok dengan
temperatur sedingin ini.
Awalnya bangunan ini adalah sebuah rumah
tinggal. Sehingga ketika dipaksa-gunakan sebagai
kantor oleh ayahnya, selalu saja tersisa konflik di
dalamnya. Mulai dari tampak depan sampai tata letak
ruangan dalamnya tidak fit untuk kantor. Pada
praktiknya bangunan rumah ini tetap berdiri megah,
tapi tak efektif dan efisien sama sekali ketika harus
melayani kegiatan barunya. Kegiatan kantor
pengacara.
Fenomena serupa ini tak sulit kita temui dalam
praktik berarsitektur sekarang. Fenomena tidak fit.
Fenomena arsitektur yang janggal. Janggal untuk
saya. Mungkin tidak untuk pemiliknya. Fenomena
tidak fit ini rupanya yang ia rasakan. Ia ingin
membangun sebuah kantor baru. Tentu yang cocok
untuk pola kegiatan dan seleranya saat kini. Saya
berpikir, apakah bangunan ini cukup ideal
mengakomodasi kegiatan perkantoran untuknya?
Menurutnya, pola ruangan serta style
bangunannya sudah out of date. Saya tak tahu yang
mana alasan sebenarnya. Jangan-jangan hanya karena
ia mempunyai style berbeda dengan ayahnya.
10 / 22
C A T A T A N
11 / 22
Ia ingin meratakan bangunan ini dengan tanah. Lalu
membangun sebuah bangunan baru. Bangunan yang
tentunya harus lebih sesuai dengan kebutuhan dan
keinginannya. Saya bertanya-tanya dalam hati.
Apakah ruang kerjanya sekarang sudah mewakili
kebutuhan dan keinginannya?
Meja kerjanya tak besar benar. Permukaannya
ditutupi marmer abu-abu. Mengkilat. Disampingnya
ada komputer lipat dan layar kaca berukuran sedang.
Saat itu ada siaran berita. Dekat dengan meja rapat
kecil ada papan tulis elektrik berwarna putih yang
tertanam di dinding. Saya duduk di sofa dekat dengan
meja rapat. Disamping saya ada meja kecil tempat
minuman dan makanan. Setidaknya saya menangkap
ada dua gaya perabot disana. Antik dan modern.
Keduanya tetap berkesan mewah, mahal.
Pertanyaan tentang apakah ia puas dengan
performansi ruangnya saya ajukan sambil
melontarkan senyum. Mata yang nyaris tertutup
rambutnya yang panjang menjuntai itu berkejap. Ia tak
tampak bingung. Saya yang mulai bingung. Apakah
saya menyimak jawabannya atau hanya menatap
mukanya.
Ia hanya menjawab bahwa ini adalah
peninggalan ayahnya yang berprofesi sama
dengannya. Seorang pengacara. Sambil
mengerlingkan mata dengan agak genit, ia bercerita
panjang lebar tentang proses pekerjaannya.
Bagaimana sebuah ruang rapat menjadi sangat penting
karena mewakili citra dirinya. Bagaimana cara ia
membedakan pelayanan tamu korporat dan klien
personal. Anehnya bagaimana kedudukan patner
12 / 22
C A T A T A N
13 / 22
kerja, struktur organisasi kantornya, serta jumlah
karyawannya tak ia singgung sedikitpun. Rupanya
citralah yang ia pentingkan. Concern-nya hanyalah
seputar ruang kerjanya, ruang rapat, dan ruang
penerima tamu.
Ia tampak agak bosan, lalu berdiri sambil
memperbaiki posisi rok mininya yang agak terlipat.
Kusut. Lalu ia membuka poci kaca tempat air
dipanaskan. Mendidih. Ia mengambil beberapa lembar
daun teh yang bentuknya agak aneh. Rupanya teh
langka dari negeri Cina. Ia menyeduh lalu
menuangkan teh. Ia membuat ramuan teh untuk saya.
Penuh perhatian. Saya meneguk teh yang aromanya
agak asing terasa di lidah. Harumnya bukan kepalang.
Sofa ini terlalu empuk. Susah untuk berdiri. Ia
bergeser duduk mendekat. Lutut kami nyaris
bersentuhan.
Tapi pikiran saya masih melambung. Entah
mengapa saya masih berpikir apa yang menyebabkan
keinginannya (wants) justru mendominasi
kebutuhannya (needs) akan ruang? Mengapa ia
menginginkan bangunan yang lebih mengutamakan
citra ketimbang kenyamanan isinya?
Apakah ini sudah merupakan kelaziman
perasitekturan jaman sekarang?
proses penciptaan arsitektur
Kali ini ia yang datang terlambat. Saya sedang
menerima tamu lain. Saya keluar sebentar menyambut
dia dan mengantarkannya untuk bertemu patner kerja
14 / 22
C A T A T A N
15 / 22
saya. Saya tinggal mereka berdua. Ketika saya
bergabung dengan kedua wanita cantik ini, mereka
sedang duduk dimeja rapat kami. Saya berkantor
seruangan dengan patner kerja. Meja kami masing-
masing terletak di kedua ujung ruangan. Meja rapat
terletak di tengah memisahkan meja-meja kami.
Pada papan tulis digital, tampak coretan
diagram. Rupanya patner kerja saya sedang
menjelaskan proses perancangan. Saya mencoba
mengulas kembali sambil menerangkan konsep
perancangan untuknya.
Pertama, Bangunan selalu dimulai dari
kebutuhan. Lalu dilengkapi dengan keinginan.
Program ruang muncul dari kebutuhan aktivitas
pengguna. Bukan dari arsitek. Bukan juga dari
pengamat. Walaupun arsitek kerjanya selalu bergelut
mengakomodasi program ke dalam ruang, tetap saja
mereka bukan ahli dalam menciptakan program ruang.
Seringnya mereka hanya memperkirakan kebutuhan
ruang atau aktivitas-aktivitasnya berdasar bangunan
yang ada yang memiliki fungsi serupa. Jadi tugas
seorang arsitek pada tahap ini adalah memahami
bagaimana caranya agar kegiatan-kegiatan tersebut
berjalan efisien dan efektif di dalam bangunan yang
akan dirancangnya. Arsitek lalu menyusun hubungan
antar ruang(an) secara horisontal dan vertikal.
Hasilnya adalah sebuah struktur hubungan antar
ruang yang sering dianalogikan dengan zoning.
Rentang bentuk susunan ini sangat dipengaruhi oleh
tarik-menarik antara dua kutub. Kutub kebutuhan dan
kutub keinginan. Misalkan pengguna membutuhkan
dua buah ruang yang angat berbeda penggunaannya,
16 / 22
C A T A T A N
17 / 22
lalu arsitek membuat dua buah ruangan yang zonanya
berbeda dalam lantai yang sama (zona horisontal).
Bisa juga arsitek membuat dua lantai untuk
membedakan zonanya (zona vertikal)
Kedua, Arsitek lalu membuat tema (theme) atau
titik berangkat yang akan digunakan sebagai guidance
untuk gubahan pelingkup ruang (lantai, dinding, atap).
Arsitek juga yang bertanggung jawab memperkirakan
logika struktur dan konstruksi agar pelingkup ruang
ini dapat berdiri. Hasil akhir dari tahap ini adalah
bentukan bangunan tiga dimensi dalam media gambar
dan maket (model). Gambar juga dilengkapi
perhitungan kasar jumlah biayanya.
Ia menyodorkan rokok putih yang diameternya
kecil sekali. Saya menolak rokok yang ditawarkannya
tapi patner kerja saya menyelipkan satu batang
dijarinya. Saya memantik korek api elektrik yang ada
dimeja untuk menyalakan rokok kedua wanita ini.
Ruang kerja kami memang dirancang bagi para
perokok. Ada penyedot udara di atas meja rapat.
Sejauh ini tampaknya ia setuju dengan rancangan
untuk kantornya. Entah setuju karena adanya
hubungan pertemanan-dekat dengan patner kerja saya
atau karena rancangan memang sesuai dengan
kebutuhan dan keinginannya. Entahlah.
Ketiga, Arsitek bersama dengan teamnya (ahli
struktur, ahli listrik, ahli utilitas bangunan) lalu
membuat gambar, persyaratan serta spesifikasi
penggunaaan material yang akan digunakan sebagai
acuan pembangunan. Gambar ini dulu seringnya
disebut gambar kerja atau working drawings.
18 / 22
C A T A T A N
19 / 22
Anehnya sekarang orang lebih kenal dengan sebutan
DED (detail engineering design).
Keempat, Arsitek bersama wakil dari pemberi
tugas kemudian memilih ahli pembangunan
(kontraktor) yang handal. Agar pemilihan tidak
bersifat semaunya atau asal pilih, prosesnya dilakukan
lewat perbandingan penawaran. Proses ini sering
disebut pelelangan. Pemberi tugas lalu memilih siapa
yang cocok menjadi pelaksana pembangunan sesuai
dengan masukan dari arsitek.
Kelima, dalam proses pelaksanaan
pembangunan selalu ada arsitek yang menjadi
pengawas. Hal ini perlu dilakukan agar pembangunan
sesuai dengan perencanaan. Demikian juga halnya
jika ada perubahan yang mungkin terjadi karena
situasi dan kondisi lapangan yang berbeda. Disini
arsitek sebagai pengawas dapat melakukan koordinasi
serta solusi cepat. Setelah bangunan fisik selesai
pelaksana segera mengisikan furniture dan seluruh
pelengkap kegiatan bangunan agar bangunan dapat
segera di gunakan.
Keenam, setelah seluruh bangunan selesai,
pengguna mulai menggunakan bangunan ini. Pada
tahap ini seharusnya arsitek menyediakan buku
panduan penggunaan bangunan sekaligus juga
melakukan pengamatan, apakah rancangannya
memang sesuai dengan perkiraan semula. Tahap ini
seharusnya merupakan tahap evaluasi bagi
perancangan. Sayangnya hal ini langka dilakukan.
Ketujuh, dalam kurun waktu tertentu, apabila
bangunan ini memang layak dan mempunyai tingkat
sustainability yang tinggi, maka bangunan ini akan
20 / 22
C A T A T A N
21 / 22
terus dipertahankan. Saya memberikan contoh seperti
bangunan restoran adaptive reuse di mana kita pernah
makan bersama disuatu sore. Bangunan itu dipugar
karena punya nilai tertentu yang langka. Jadi punya
nilai keberlanjutan bagi kehidupan sekarang.
Tapi bisa juga dalam kurun waktu tertentu
bangunan lalu dihancurkan. Ini terjadi karena
bangunan sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan
atau keinginan yang ada. Dapat dikatakan bahwa
tingkat keberlanjutan bangunan sangat rendah. Saya
contohkan bangunan kantor ayahnya yang hendak ia
ratakan dengan tanah. Mendadak saya teringat akan
resensi sebuah buku (The language of postmodern
architecture, Charles Jencks, 1977) yang
menceritakan tentang sebuah bangunan yang
membawa dampak buruk bagi lingkungan. Pruit Igoe.
Bangunan ini kemudian dihancurkan. Padahal
awalnya ketika bangunan ini muncul, perancangnya
mendapat “awards” atau penghargaan tinggi dari
institusi penting. Tapi pada ujung cerita, bangunan ini
dijadikan simbol kegagalan dan kebrutalan dari paham
arsitektur modern.
Saya meyakinkan pengacara muda ini bahwa
rancangan kantornya akan bertahan dalam waktu yang
lama, karena dirancang cermat oleh dia dan kami.
Tampaknya ia setuju dengan pendapat saya. Kami
sepakat bekerjasama untuk pertama kalinya. Ia
mengulurkan tangannya. Saya menjabatnya dengan
hangat. Telapak tangannya terasa lembut. Selembut
senyumnya.
22 / 22
SIKLUS ARSITEKTUR purnamasalura.com 2015