Prospek Usaha Budidaya Udang Organik Secara Polikultur

download Prospek Usaha Budidaya Udang Organik Secara Polikultur

of 14

description

polikultur

Transcript of Prospek Usaha Budidaya Udang Organik Secara Polikultur

  • Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013

    86 ISSN : 2303 - 1158

    PROSPEK USAHA BUDIDAYA UDANG ORGANIK SECARA POLIKULTUR

    Oleh : Muhammad Yasin.

    Dosen Fak. Ekonomi Universitas Alkhairaat Palu.

    Abstrak Industri udang Indonesia mengalami masa pasang surut, terutama setelah

    merebaknya serangan White Spot salah satu jenis virus yang menghancurkan usaha budidaya udang windu di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama pantai utara Jawa yang menerapkan pola intensif. Intensifikasi tambak udang windu dilakukan sebagai usaha untuk tetap mempertahankan kontribusi komoditas udang sebagai penyumbang devisa terbesar (lebih 50 %) sektor perikanan. Masalah pokok yang menjadi perhatian dalam tulisan singkat ini (1) menguraikan secara deskriptif bagaimana metode pengelolaan budidaya udang di Indonesia dan dampaknya, (2) bagaimana prospek pengelolaan budidaya udang organik secara polikultur. Tulisan ini dimaksudkan sebagai tambahan referensi bagi pelaku bisnis udang termasuk di dalamnya pembudidaya udang (petambak). Selain itu, diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa yang tertarik meneliti lebih lanjut tentang budidaya udang

    Kesimpulan yang dapat diambil adalah : 1. Ekstensifikasi dan intensifikasi yang tidak terkendali pada budidaya udang di tambak akan bermuara pada krisis ekologi khususnya pada hutan mangrove. 2. Budidaya udang organik secara polikultur, selain mencegah krisis ekologi juga akan mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi petambak selaku produsen dan masyarakat umum selaku konsumen, dan secara tidak langsung akan dapat mencegah terjadinya eksploitasi lingkungan yang tidak terkendali. Kata Kunci: Industri Udang, Ekstensifikasi dan intensifikasi, polikultur. PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago state) terdiri dari 17.508 buah pulau, memiliki luas wilayah perairan laut sekitar 5,8 juta km persegi, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (BPPT Wanhakamnas, 1996). Sumberdaya perairan tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu penggerak utama roda pembangunan nasional, melalui pemanfaatan potensi perikanan yang terkandung di dalamnya.

    Berdasarkan potensi perikanan yang dimiliki, industri perikanan Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Kegiatan perikanan tangkap lebih ditekankan pada usaha penangkapan di laut, sedangkan pengelolaan perikanan budidaya lebih ditekankan pada kegiatan di perairan payau, perairan tawar, dan perairan pantai. Komoditas yang banyak dibudidayakan antara lain: udang, ikan bandeng, nila, kerapu, dan rumput laut (DPK,2002).

  • Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013

    87 ISSN : 2303 - 1158

    Tabel 1. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Udang Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Ekspor, Tahun 2005-2011

    Sumber: http://repository.ipb.ac.id (akses 12 Februari 2013) Pasar ekspor udang Indonesia

    meliputi Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara Uni Eropa. Selama ini negara tujuan utama ekspor udang Indonesia adalah Jepang sekitar 60 persen dari total ekspor. Pada tahun 1998 Jepang mengimpor udang 238.900 ton, dan Indonesia sebagai pemasok utama dengan pangsa pasar 22,48 persen. Adapun volume dan nilai ekspor udang Indonesia sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2007, secara terinci dapat dilihat pada Tabel 1.1

    Di antara produk perikanan dan

    kelautan, udang merupakan komoditas primadona yang berpotensi ekspor dan menghasilkan devisa bagi negara. Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan (2008), bahwa lebih dari 50 persen devisa dari sektor perikanan berasal dari komoditas udang (dari berbagai jenis). Namun demikian, komoditas ini sering mengalami pasang surut, baik produksi maupun pemasarannya.

    Di sejumlah daerah sentra

    produksi komoditas udang masih tetap diusahakan, karena masih tetap menguntungkan bagi petambak, bahkan pada saat krisis moneter melanda Indonesia tahun 1998 1999, terjadi lonjakan harga jual produk udang cukup tinggi mencapai Rp 150.000 per kg.

    Meskipun terjadi resesi ekonomi,

    ternyata kurang berpengaruh terhadap perkembangan harga udang dunia, dan permintaan atas komoditas tersebut cenderung meningkat. Pada tahun 1987, ekspor udang Indonesia baru mencapai 23.843 ton atau 2,66 persen dari permintaan dunia. Tahun 2005 produksi udang Indonesia mencapai 300.000 ton, dan diekspor sebesar 145.400 ton dengan nilai US $ 1 miliar, tahun 2007 nilai ekspor 155.250 (DKP, 2008).

    Industri udang Indonesia

    mengalami masa pasang surut, terutama setelah merebaknya serangan White Spot salah satu jenis virus yang menghancurkan usaha budidaya udang windu di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama pantai utara Jawa yang menerapkan pola intensif.

    Tahun

    Jepang AS UE Lainnya Volume

    (ton) Nilai

    (US$.1.000) Volume

    (ton) Nilai

    (US$.1.000) Volume

    (ton) Nilai

    (US$.1.000) Volume

    (ton) 2005 45.951 373.874 50.489 327.364 27.775 161.308 29.691 2006 50.380 419.895 60.973 418.175 31.016 190.125 26.960 2007 40.334 334.982 60.399 420.720 28.845 178.195 27.967 2008 39.582 337.681 80.479 550.773 26.825 177.855 26.397 2009 38.528 333.056 63.592 426.995 23.689 146.597 25.180 2010 36.712 351,402 58.277 443.220 13.383 100.549 36.720 2011 17.712 186.495 33.779 293.780 9.265 81.973 14.536

  • Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013

    88 ISSN : 2303 - 1158

    Intensifikasi tambak udang windu dilakukan sebagai usaha untuk tetap mempertahankan kontribusi komoditas udang sebagai penyumbang devisa terbesar (lebih 50 %) sektor perikanan.

    Intensifikasi budidaya udang

    juga merupakan respons dari dikeluarkannya Keputusan Presiden (Kepres) No. 39 tanggal 1 Juli Tahun 1980. Maksud dari Kepres tersebut adalah melarang kapal-kapal penangkap udang menggunakan pukat harimau (trawl) yang dapat merusak kelestarian sumber daya perairan. Sebelum dikeluarkannya Keputusan Presiden tersebut, produksi udang Indonesia 60-70 persen berada dari hasil tangkapan di laut. Dan sekitar 30 persen berasal dari usaha budidaya (tambak).

    Udang windu, merupakan udang

    yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia, terutama setelah dikeluarkannya SK Menteri Pertanian No. 5/SK/Mentan/Bimas/IV/1984 tanggal 4 Juni 1984. Sebagai andalan dalam intensifikasi tambak yang dapat meningkatkan produksi, pendapatan, dan devisa negara, jenis komoditas yang layak dibudidaya pada air payau adalah (a) udang windu dan (b) ikan bandeng.

    Namun demikian, beberapa tahun

    yang lalu industri udang Indonesia secara keseluruhan baik yang dikelola secara tradisional maupun intensif mengalami penurunan produksi sangat drastis akibat serangan penyakit yang mematikan yaitu white spot (bintik

    putih) yang banyak menyerang tambak dengan padat penebaran tinggi. Tambak udang yang banyak diserang bintik putih adalah udang windu.

    Sebagai upaya untuk

    mempertahankan eksistensi Indonesia sebagai produsen dan eksportir udang di dunia, serangkaian penelitian dan percobaan terus dilakukan, dan akhirnya melalui Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.41/2001, pada tanggal 12 Juli 2001 pemerintah secara resmi melepas udang Vannamei (Vaname) sebagai varietas unggul untuk dibudidayakan petambak di Indonesia. Kelebihan udang vannamei antara lain lebih tahan terhadap virus bintik putih, pertumbuhan lebih cepat, tahan terhadap fluktuasi kondisi lingkungan, waktu pemeliharaan relatif pendek yakni sekitar 90-100 hari per siklus, tingkat survival rate (SR) atau derajat kehidupannya tergolong tinggi (Amri dkk, 2008).

    Kehadiran varietas udang

    vaname tidak hanya menambah pilihan bagi petambak, tetapi juga menopang kebangkitan usaha budidaya udang di Indonesia dan diharapkan dapat membuat investasi di bidang pertambakan udang bergairah kembali. Udang vaname merupakan komoditas pengganti udang windu yang sensitif terhadap beberapa jenis virus. Bila kondisi tambak di Indonesia sudah normal (bebas serangan virus bintik putih), udang windu akan dibudidayakan

  • Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013

    89 ISSN : 2303 - 1158

    kembali, karena udang windu merupakan andalan ekspor Indonesia tiga dasawarsa terakhir (Haliman, dkk, 2006).

    Selain serangan virus bintik

    putih, ada beberapa masalah lain yang kerap melanda industri udang di Indonesia mulai dari hulu sampai hilir. Salah satu contoh adalah adanya penolakan terhadap produk udang Indonesia di sejumlah negara Eropa karena terkait masalah lingkungan. Mereka mensinyalir tambak udang Indonesia sebahagian besar dibangun dengan mengorbankan hutan mangrove dan nipa. Penolakan terhadap produk udang lainnya dilakukan oleh Jepang karena terkait dengan isu kesehatan, diduga udang Indonesia mengandung sisa zat kimia akibat penggunaan pestisida yangt tidak terkontrol.

    Dari sekian banyak alasan

    penolakan terhadap komoditas udang tersebut, secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga isu utama, yakni; tentang lingkungan, kebersihan, dan kesehatan. Ketiga isu tersebut dapat menjadi hambatan non-tarif bagi produk udang Indonesia di pasaran internasional. Hambatan non-tarif ini mencakup persoalan perizinan ekspor, sertifikasi kesehatan, standar sanitasi, dan standar mutu (Yasin Muhammad, 2006). Hal ini hendaknya menjadi perhatian serius baik pemerintah, petambak, maupun para pengusaha/pedagang udang (pelaku bisnis).

    Masalah pokok yang menjadi perhatian dalam tulisan singkat ini (1) menguraikan secara deskriptif bagaimana metode pengelolaan budidaya udang di Indonesia dan dampaknya, (2) bagaimana prospek pengelolaan budidaya udang organik secara polikultur.

    Tulisan ini dimaksudkan sebagai

    tambahan referensi bagi pelaku bisnis udang termasuk di dalamnya pembudidaya udang (petambak). Selain itu, diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa yang tertarik meneliti lebih lanjut tentang budidaya udang.

    HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Hutan Mangrove Berkelanjutan

    Seiring dengan laju pertumbuhan

    jumlah penduduk dan pembangunan, maka fungsi lingkungan pantai di beberapa daerah telah menurun atau rusak. Hal ini diindikasikan oleh adanya proses erosi/abrasi pantai, interusi air laut dan degradasi hasil perairan. Mengingat letaknya yang strategis, banyak kepentingan yang menyebabkan kawasan mangrove mengalami perlakuan yang melebihi kemampuannya untuk mengadakan permudaan alami, misalnya konversi status peruntukannya.

    Saat ini, hutan mangrove di dunia

    hanya tersisa sekitar 17 Juta hektar, dan sekitar 22 Persen dari luas tersebut terdapat di Indonesia. Namun demikian,

  • Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013

    90 ISSN : 2303 - 1158

    hutan mangrove juga telah mengalami banyak kerusakan, bahkan sebagain besar telah berubah status peruntukannya (Arief, Arifin, 2003 : 9)

    Beberapa ahli mengatakan bahwa

    konversi hutan mangrove ke dalam peruntukan lain dapat memberikan dampak positif ditinjau dari segi ekonomi dan lingkungan, jika dikerjakan dengan tahapan yang tidak terlalu cepat, hati-hati, dan penyebaran geografis yang seimbang.

    Potensi lahan mangrove ditinjau

    dari sudut pandang daerah yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk budidaya (tambak), maka Indonesia mempunyai potensi terbesar di antara negara-negara di Asia dengan luas 3.740.000 hektar, Filipina 448.000 hektar, Malaysia 650.000 hektar, dan Thailand 368.100 hektar.

    Peranan tambak udang semakin

    menonjol di Indonesia setelah adanya Kepres No. 33/1980 dan ditetapkannya komoditas udang sebagai primadona ekspor non migas. Sehingga dibutuhkannya adanya pembukaan lahan-lahan baru untuk pertambakan. Ekosistem lahan mangrove di kawasan pesisir sangat ideal untuk dikonversi menjadi tambak, maka mulailah hutan mangrove banyak dilirik oleh masyarakat dan pengusaha di wilayah pesisir. Dengan demikian, laju perluasan areal tambak (ekstensifikasi) dinilai cukup cepat. Dalam kurun waktu tujuh tahun saja (1976-1983) peningkatan

    mencapai 48 persen (dengan rata-rata pertumbuhan 7 persen per tahun). Pada tahun-tahun selanjutnya laju perkembangan luas areal tambak berjalan lebih cepat lagi seiring dengan program budidaya udang nasional yang telah ditetapkan sebagai prioritas utama.

    Ada beberapa faktor pendorong

    sehingga tambak menjadi prioritas pengembangan setelah dikeluarkannya Kepres No. 33/1980 tersebut antara lain. Lahan ekosistem mangrove sangat

    ideal untuk usaha budidaya udang. Dilihat dari sektor pertanian, kondisi lingkungan di daerah pasang surut sepanjang pesisir terdiri dari air payau/asin, dan kurang cocok untuk usaha tanaman pangan.

    Lingkungan air payau sangat cocok untuk pemeliharaan jenis-jenis jasad akuatik curyhaline maupun stenohalin.

    Kondisi hidrologi daerah pasang surut sangat ideal untuk pengairan (pengisian dan pengeringan) tambak secara alami dengan gravitasi tanpa penambahan usaha ekstra, sehingga secara ekonomi sangat menguntungkan.

    Tambak merupakan media di mana komoditas yang bernilai ekonomi tinggi (udang, kakap, baronang, bandeng, nila, kepiting, rumput laut) dapat dibudidayakan. Jenis komoditas yang dapat dibudidayakan akan terus berkembang, seiring dengan berkembangnya teknologi budidaya dan permintaan pasar.

  • Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013

    91 ISSN : 2303 - 1158

    Di beberapa daerah seperti di Jawa Barat, Aceh Utara, Sulawesi Selatan, banyak sawah-sawah yang sudah dialih fungsikan menjadi tambak, karena usaha tambak dinilai lebih menguntungkan.

    Hasil penelitian Departemen Sosial Ekonomi IPB menegaskan bahwa usaha tambak memberikan income tertinggi dibandingkan dengan jika hutan mangrove hanya diusahakan untuk menghasilkan kayu, arang dan produk hutan lainnya.

    Usaha budidaya tambak merangsang pertumbuhan usaha hatchery, dan kebutuhan benur untuk budidaya sepenuhnya bisa di supply dari hatchery.

    Nampaknya faktor yang paling menonjol justru masalah sosial, di mana desakan pertambahan penduduk memaksa perlunya penyediaan lapangan kerja. Usaha budidaya udang tambak sangat besar perannya dalam menanggulangi masalah lapangan kerja. Selain itu, budidaya udang tambak merupakan satu alternatif usaha yang mudah bagi kebanyakan penduduk golongan petani kecil.

    Sebetulnya masih banyak hal yang menjadi faktor penyebab usaha tambak menjadi prioritas pengembangan. Demikian halnya dengan komoditas yang cocok dikembangkan (dibudidayakan) di tambak, sebagian masih dalam penelitian.

    Ekstensifikasi Tambak Udang dan Dampaknya

    Ekstensifikasi tambak udang di

    Indonesia dimulai pada pertengahan tahun 1979-an, dengan rata-rata 7 persen pertahun. Hal ini dilakukan petambak untuk meningkatkan produksi udang, pada waktu itu produksi udang budidaya masih sangat rendah dibandingkan dengan hasil tangkapan di laut. Tingginya produksi/hasil tangkapan udang di laut disebabkan karena setiap saat penangkapan bisa dilakukan, apalagi dengan menggunakan pukat harimau (trawl) yang mampu menyumbang 60-70 persen produksi udang nasional.

    Penangkapan udang dengan

    menggunakan trawl ternyata dapat mengancam kelestarian sumber daya perairan seperti terumbu karang menjadi rusak, semua jenis ikan dapat terjaring mulai ikan kecil hingga yang ukurannya besar. Hal yang lebih mengkhawatirkan yakni timbulnya keresahan di kalangan nelayan tradisional, karena pengoperasian kapal-kapal motor yang menggunakan trawl tersebut seringkali melanggar jalur penangkapan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

    Keresahan nelayan tradisional

    mendapat apresiasi dari pemerintah dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 39/1980 tentang Pelarangan Penggunaan Trawl. Dampak dari Surat Keputusan tersebut ialah turunnya produksi udang secara tajam.

  • Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013

    92 ISSN : 2303 - 1158

    Ini berarti peluang emas bagi petambak untuk meningkatkan keterampilan dalam usaha budidaya udang di tambak.

    Namun upaya untuk

    meningkatkan produksi udang tambak oleh petambak tidak dilakukan dengan meningkatkan keterampilan budidaya, melainkan dengan perluasan areal tambak. Dan yang menjadi sasaran adalah hutan-hutan mangrove, sehingga banyak yang dialih fungsikan menjadi tambak.

    Akibat dari ekstensifikasi yang

    tidak terkendali, maka hilang pula fungsi dan manfaat hutan mangrove. Ada lima fungsi utama dari hutan mangrove yaitu :

    1) Fungsi fisik meliputi : (1) menjaga

    garis pantai agar tetap stabil, (2) melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi, serta menahan atau menyerap tiupan angin dari laut, (3) menahan sedimen sampai terbentuk lahan baru, (4) sebagai penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke darat, atau sebagai filter air asin menjadi tawar.

    2) Fungsi Kimia, meliputi : (1) sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen, (2) sebagai penyerap karbondioksida, (3) sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal-kapal di lautan.

    3) Fungsi Biologi, meliputi : (1) sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan bagi invertebrate kecil pemakan bahan

    pelapukan (detritus), yang kemudian menjadi sumber makanan bagi hewan yang lebih besar, (2) sebagai kawasan pemijah (nursery ground) bagi udang, ikan, kepiting, kerang, dan sebagainya, (3) sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi burung dan satwa lain, (4) sebagai sumber plasma muftah dan sumber genetika, (5) sebagai habitat alami bagi berbagai biota darat dan laut lainnya.

    4) Fungsi Ekonomi, meliputi : (1) penghasil kayu, (2) penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, kertas, tekstil, makanan obat-obatan, alkohol, penyamak kulit, kosmetika, dan zat pewarna, (3) penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting, telur burung, dan madu.

    5) Fungsi Lain (wanawisata), meliputi : (1) sebagai kawasan wisata alam pantai, (2) sebagai tempat pendidikan, konservasi dan penelitian. (Arief, Arifin, 2003 : 14-15)

    Intensifikasi Tambak Udang dan

    Dampaknya

    Penurunan produksi udang yang tajam akibat dikeluarkannya Surat Keputusan tentang pelarangan trawl, diantisipasi pemerintah dengan mempercepat pengembangan budidaya udang tambak khususnya jenis udang windu. Dalam usaha memacu pelaksanaan budidaya udang tambak untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan Surat Keputusan Menteri Pertanian /Ketua Badan Pengendali Bimas No. 05/SK/Mentan/Bimas/IV/1984 tanggal 4

  • Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013

    93 ISSN : 2303 - 1158

    Juni 1984 yang berisi program intensifikasi tambak udang/bandeng yang disebut intam dengan teknologi budidaya tambak yang dikenal dengan istilah pancausaha tambak, meliputi : (1) perbaikan saluran pengairan, (2) pengolahan tanah, (3) pemakaian pupuk, (4) pemberantasan ham, dan (5) penyediaan benih yang cukup.

    Kelima macam kegiatan pada

    pancausaha tambak, kemudian disempurnakan lagi menjadi tujuh macam kegiatan pokok (Saptausaha Tambak) meliputi : (1) perbaikan kontruksi tambak, (2) penyediaan dan pengaturan air sesuai dengan keperluan, (3) penyediaan tanah, pemupukan, dan pemberian makanan tambahan, (4) perlindungan udang dan bandeng dari hama penyakit yang merugikan, (5) penyebaran benih unggul , (6) pengolahan dan pemasaran hasil, dan (7) manajemen usaha yang baik. Tahun 2002, disempurnakan dengan Intensivikasi Budidaya Ikan = Inbudkan Udang, meliputi saptausaha tambak ditambah dengan kemitraan.

    Melalui intensifikasi tambak,

    para petambak mulai merasakan manfaat dengan semakin meningkatnya produksi setiap musim panen. Sehingga memancing minat para pemodal besar untuk ikut dalam usaha tambak udang (terutama udang windu) yang menjadi ciri khas udang Indonesia.

    Pemodal besar terjun dalam

    usaha budidaya udang tambak dengan menerapkan pola TIR (Tambak Inti Rakyat). Sebagai contoh, ialah PT. Dipasena di Lampung yang memiliki ribuan petambak plasma. Pada pertengahan tahun 1990-an, industri udang Indonesia berkembang pesat.

    Dengan menerapkan teknologi intensif, tambak semakin dipacu agar dapat berproduksi lebih besar lagi. Mereka menggunakan pakan buatan yang semakin tidak terkendali, dan tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan, akibatnya, sisa-sisa makanan yang menumpuk di dasar tambak mempengaruhi kualitas air menyebabkan udang menjadi stress. Ketika udang di tambak stres, saat yang bersamaan daya tahannya juga akan semakin menurun sehingga mudah terserang penyakit.

    Penyakit yang menyerang udang

    windu di Indonesia ialah White Spot Syndrome Virus (WSSV), ini terjadi pada pertengahan tahun 1990 an sampai awal tahun 2000 an, menyebabkan industri udang windu Indonesia terutama yang menerapkan teknologi intensif rontok satu persatu.

    Ketika petambak di Teluk Naga

    ditanya Apa yang menyebabkan Bapak kaya pada tahun 1980 an dan apa yang menyebabkan Bapak miskin pada tahun 1990 an ? maka mereka akan serentak menjawab udang windu Ini hanya merupakan ilustrasi batapa dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari pengelolaan sumber daya alam yang tidak memperhatikan keseimbangan dan daya dukung lingkungan.

    Diversifikasi Tambak Udang sebagai

    Solusi Percepatan peningkatan produksi

    udang dilakukan dengan mempercepat pengembangan budidaya udang tambak, baik dengan pola ekstensifikasi, intensifikasi, maupun diversifikasi. Dua metode telah diuraikan secara singkat

  • Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013

    94 ISSN : 2303 - 1158

    dan mengungkap sebagian dampak dari masing-masing metode.

    Diversifikasi adalah salah satu

    metode budidaya yang sudah lama dipraktekan oleh petambak. Namun demikian, karena kurangnya pemahaman dan rendahnya penguasaan sumberdaya dan teknologi serta kurangnya keterpaduan antarpetambak menyebabkan metode ini belum mendatangkan hasil yang dapat meningkatkan taraf hidup petambak itu sendiri. Bahkan metode ini belum diminati oleh pemodal besar.

    Ada empat jenis teknologi yang

    dianjurkan pada program Intensifikasi Tabak (Intam) yakni : A1 = merupakan teknologi sederhana

    dengan mengusahakan tambak udang secara tunggal (monokultur)

    A2 = menerapkan teknologi menengah (madya) dengan mengusahakan tambak udang secara tunggal (monokultur)

    B1 = menerapkan teknologi sederhana dengan mengusahakan tambak udang secara ganda (polikultur, yakni udang dengan bandeng).

    B2 = menerapkan teknologi menengah (madya) dengan mengusahakan tambak udang secara ganda (polikultur) yakni udang dengan bandeng. (Soetono, Moch, HA., 2002 : 5)

    Sebetulnya masih ada jenis teknologi yakni teknologi intensif yang banyak diusahakan oleh para pemodal besar. Dan biasanya dikelola oleh perusahaan besar dengan penguasaan lahan tambak yang sangat luas dan proses pengelolaannya biasanya berbentuk TIR. Namun demikian, sampai saat ini belum

    ada perusahaan yang berani menerapkan pola diversivikasi secara besar-besaran.

    Diverifikasi tambak udang dalam

    hal ini polikultur, mungkin bukanlah pilihan yang terbaik bila ditinjau dari sudut pandang ekonomi. Akan tetapi bila ditinjau dari sudut pandang penyelamatan lingkungan dan keberlanjutan usaha, serta upaya menciptakan harmoni kehidupan dalam bingkai simbiosis mutualisma. Maka tentu saja metode ini perlu mendapat apresiasi dari segenap pemerhati dan pelaku bisnis udang (tambak udang), termasuk dari kalangan pengambil kebijakan.

    Sekilas tentang Polikultur Organik Sebagaimana telah dijelaskan di

    depan, bahwa diverifikasi merupakan metode budidaya yang ramah lingkungan. Dalam budidaya udang di tambak, metode diversifikasi sering pula disebut dengan polikultur.

    Polikultur merupakan metode

    budidaya yang digunakan untuk memelihara banyak komoditas dalam satu lahan, seperti udang, bandeng, dan rumput laut. Melalui sistem ini, diperoleh manfaat, yaitu tingkat produktifitas lahan yang tinggi. Polikultur organik merupakan sistem budidaya yang mengandalkan bahan alami dalam siklus produktivitasnya. Namun tidak sekedar memanfaatkan bahan alami. Teknik ini juga memperhitungkan karakteristik produk sehingga ketersediaan bahan alami akan terus mencukupi kebutuhan produk yang yang dipelihara. Simbiosis mutualisma atau hubungan yang saling menguntungkan antara udang windu, bandeng, dan gracilaria dimaksimalkan

  • Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013

    95 ISSN : 2303 - 1158

    sehingga tidak dibutuhkan faktor dari luar seperti pemberian pakan buatan maupun pestisida yang berbahaya.

    Dalam budi daya organik,

    penambahan obat-obatan dan pestisida harus diminimalkan. Tujuannya tidak lain agar produk yang dihasilkan bebas dari pengaruh residu bahan-bahan kimia yang dikhwatirkan dapat mengganggu kesehatan. Setiap teknik di dalamnya diusahakan selalu menggunakan teknik-teknik alami dan ramah lingkungan, mulai dari pemberian pakan, penanganan lokasi budaya, hingga pencegahan hama dan penyakit. Potensi dan Prospek Budidaya Udang Organik Secara Polikultur

    Penolakan pasar ekspor Jepang

    terhadap udang vannamei merupakan suatu bukti bahwa dunia internasional semakin kritis terhadap produk-produk yang mengandung bahan kimia, tidak terkecuali produk udang yang nota bene menjadi primadona ekspor subsektor perikanan Indonesia. Seperti diketahui, bahwa penolakan ekspor udang tersebut disebabkan adanya isu penggunaan antibiotik chloramphenicol.

    Chloramphenicol merupakan

    antibiotik yang biasa digunakan dalam pakan untuk menanggulangi infeksi bakteri anaerobic, seperti aeromonas, pseudomonas, mycoplasma, dan enterobacteriaceae. Chloramphenicol mempunyai efek membunuh mikroorganisme dalam pakan agar lebih awet, serta mampu memperbaiki sistem pencernaan pada ikan (termasuk udang) sehingga nafsu makan ikan atau udang meningkat. Namun, residu chloramphenicol tersebut dapat menyebabkan kematian kepada

    penderita anemia yang bisa berlanjut ke leukemia (http://finance.detik.com).

    Sementara itu Penolakan ekspor

    komoditi perikanan termasuk udang Indonesia ke Amerika Serikat disebakan oleh adanya bakteri pathogen, filthy, bahan kimia, dan misbranding. Penyebab terbesar adalah adanya kontaminasi bakteri pathogen (Salmonella) yang menunjukan masih adanya kelemahan dalam pengawasan selama proses produksi produ-produk perikanan di Indonesia (Rinto, 2010).

    Isu-isu lingkungan juga menjadi

    prasyarat bisa diterimanya produk perikanan udang oleh negara importir. Beberapa waktu yang lalu ekspor udang Indonesia tidak bisa masuk Amerika Serikat dengan alasan perahu nelayan tidak dilengkapi dengan turtle excluded device (TED) pada jaring udangnya. Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat di Uni Eropa yang dimotori oleh Global Aquaculture Alliance mengadakan kampanye penolakan udang tambak dari negara-negara yang merusak lingkungan dengan cara membabat hutan bakau menjadi lahan tambak (http://budidayaukm.blogspot.com).

    Seiring dengan meningkatnya

    kesadaran masayarakat pada kesehatan, lingkungan dan isu-isu lainnya, permintaan produk-produk organik seperti udang, bandeng, dan rumput laut pun ikut meningkat. Produk organik diperoleh dari sistem budidaya yang menggunakan metode bebas bahan kimia atau bahan tambahan lain yang dapat berakibat pada terkontaminasinya produk oleh senyawa kimia yang berbahaya. Oleh sebab itu, produk organik sangat mendapat tempat dalam daftar permintaan konsumen.

  • Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013

    96 ISSN : 2303 - 1158

    Sistem budidaya secara organik, tidak menggunakan pakan tambahan selain pakan alami. Kalaupun diberikan pakan tambahan, pakan harus berupa pakan organik. Produk pakan organik bersertifikat masih diproduksi oleh Belanda dan belum tersebar secara meluas. Oleh karena itulah, produk udang organik masih sangat terbatas. Namun, keterbatasan jumlah tersebut diikuti oleh harga yang sangat tinggi. Untuk kasus harga yang berlaku di Babelan, Bekasi (tahun 2006), harga udang windu organik mencapai Rp 70.000/Kg. Keistimewaan bagi udang organik diberikan sesuai ketentuan internasional yang mewajibkan penambahan harga sebesar US$ 1 untuk setiap transaksi udang organik per kilogramnya.

    Sementara itu, sistem polikultur

    mulai diminati oleh para petambak. Hingga saat ini, tambak budi daya udang organik telah tersebar di daerah Bekasi (Jawa Barat), Brebes (Jawa Tengah), dan Sidoarjo (Jawa Timur). Khusus di Sidoarjo, pola tambak organik telah dimulai pada tahun 1997 dengan luasan 1.100 ha dan telah mendapat pengakuan secara internasional pada tahun 2002.

    Melihat pasaran udang organik di

    dunia cenderung tanpa batas, perluasan tambak udang organik mulai dipacu sejak tahun 2006. Pada tahun 2006, tambak udang organik diperluas dari 500 ha menjadi 8.157 ha, tahun 2007 seluas 10.587 ha, tahun 2008 seluas 13.373, dan tahun 2009 menjadi 42.810 ha dengan produksi minimal 50.200 ton atau senilai 2,5 miliar. Tentu saja perluasan lahan ini bukan lahan baru akibat pembabatan hutan mangrove, melainkan lahan tambak yang selama ini banyak terbengkalai karena tidak

    diusahakan oleh pemiliknya. Minat petambak yang cukup tinggi untuk mengaplikasikan pola budidaya organik secara polikultur sangatlah wajar. Dapat dibayangkan, bila dengan sistem monokultur, petambak hanya dapat memanen satu produk perikanan dalam satu musim. Namun dengan polikultur, hasil panen dalam satu lahan akan bertambah. Dengan pemanfaatan lahan berluasan sama, masyarakat dapat menambah penghasilannya dari panen produk lain. Hal ini tentu saja sangat membantu peningkatan penghasilan petambak. Selain memenuhi kebutuhan udang organik bagi konsumen. Kebutuhan konsumen pada produk organik lainnya juga dapat dipenuhi.

    Polikultur yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah produk tambak yaitu udang windu, bandeng, dan rumput laut jenis gracilaria. Ketiga produk ini menjadi pilihan karena ketiganya mempunyai sifat yang relatif sama, yakni bersifat euryhalin, yaitu tahan pada rentang salinitas, pH, dan suhu yang cukup tinggi. Keseimbangan Ekosistem dalam Sistem Polikultur Organik

    Perlu diketahui bahwa polikultur organik berusaha untuk menghindari sebisa mungkin masuknya unsur buatan yang berasal dari luar yang bersifat racun. Seperti halnya yang telah dilakukan para petambak di Babelan, Bekasi, Lalu, bagaimana udang windu, bandeng, dan gracilaria saling mendukung dalam hal penyediaan pakan dan kebutuhan lainnya ? Setelah memahami karakteristik udang windu, bandeng dan gracilaria maka dapat diketahui hubungan simbiosismutualisma antara ketiga produk perikanan tersebut. Untuk lebih

  • Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013

    97 ISSN : 2303 - 1158

    memudahkan pemahaman, berikut disajikan fungsi gracilaria dan bandeng dalam budi daya udang organik.

    a. Gracilaria

    Pada siang hari, gracilaria menjadi penyuplai oksigen di perairan. Dengan begitu, jumlah oksigen terlarut dalam air dapat terjaga. Gracilaria juga merupakan tempat yang nyaman bagi udang untuk bersembunyi. Percabangannya yang lebat memungkinkan tanaman ini menjadi tempat peristirahatan udang pada siang hari dan menyembunyikan diri dari pemangsa ketika mengalami pergantian kulit. Selain itu, gracilaria merupakan tempat berkumpulnya plankton yang menjadi pakan udang.

    Selain sebagai tempat

    berkumpulnya plankton dan tempat persembunyian yang aman bagi udang maupun bandeng, rumput laut ini juga berfungsi sebagai filter pada tambak. Hal tersebut dapat dilihat pada satu areal perairan yang sama, di mana kumpulan gracilaria hidup tampak lebih jernih dibandingkan yang tidak ditumbuhi gracilaria. Namun, tanaman tingkat rendah ini juga memiliki keterbatasan dalam menyaring hara yang ada pada perairan. Melimpahnya hara (yang terlihat dari keruhnya air) yang tidak diimbangi dengan jumlah gracilaria justru akan mengganggu kelangsungan hidup gracilaria.

    b. Bandeng

    Bagian perairan tambak dengan kedalaman 30-50 cm dan bersalinitas 28-30 ppm merupakan tempat yang sangat baik untuk menumbuhkan kelekap. Seperti telah diketahui, kelekap merupakan sumber pakan bagi udang windu dan bandeng. Bagian thalus atau

    batang semu gracilaria yang mati akibat muncul di atas permukaan air juga menjadi sumber terbentuknya kelakap. Kelekap yang membusuk dapat mencemari perairan dan mengganggu pertumbuhan gracilaria. Oleh sebab itu, kehadiran bandeng dan udang windu membantu membersihkan perairan.

    Selain kelakap, sumber pakan

    lain bagi bandeng adalah alga. Alga banyak ditemui menempel pada gracilaria. Kelebatan alga dapat mengganggu udang windu. Tak sedikit kasus ditemukannya udang yang mati karena terbelit alga dan tidak dapat bergerak. Selain itu, alga hijau akan menjadi pesaing bagi udang windu, bandeng, dan gracilaria dalam memperoleh oksigen di malam hari. Jumlah alga dan plankton yang membludak (booming) sangat berbahaya bagi kehidupan udang windu. Bila terjadi kematian massal, busukan plankton akan menimbulkan senyawa kimia yang berbahaya. Kehadiran bandeng di tambak membantu pembersihan alga dalam rangka mengendalikan jumlahnya agar tidak melimpah.

    Selain sebagian pengontrol

    jumlah kelekap dan alga dalam perairan tambak, bandeng juga mengeluarkan kotoran yang berfungsi untuk menyuburkan perairan. Kesuburan perairan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan gracilaria.

    Budidaya udang organik secara

    polikultur tersebut, bila dikelola dengan baik oleh para petambak, tentunya akan mendatangkan hasil yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan ekstensifikasi dan intensifikasi yang justru banyak menguras tenaga, modal,

  • Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013

    98 ISSN : 2303 - 1158

    dan banyak merusak lingkungan. Dan yang lebih penting adalah bahwa metode ini tentunya lebih ramah lingkungan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari uraian singkat tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Ekstensifikasi dan intensifikasi yang

    tidak terkendali pada budidaya udang di tambak akan bermuara pada krisis ekologi khususnya pada hutan mangrove.

    2. Budidaya udang organik secara polikultur, selain mencegah krisis ekologi juga akan mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi petambak selaku produsen dan masyarakat umum selaku konsumen, dan secara tidak langsung akan dapat mencegah terjadinya eksploitasi lingkungan yang tidak terkendali.

    Saran 1. Mengingat kemungkinan pembatasan

    luas areal tambak sulit dikendalikan, maka efisiensi penggunaan sumberdaya alam hutan mangrove perlu dilakukan. Hal ini dapat diwujudkan dengan semakin memperluas pengelolaan budidaya udang organik secara polikultur.

    2. Perluasan pengelolaan budidaya udang organik secara polikultur perlu ditunjang oleh tersedianya saprokan yang memadai.

    3. Menjaga kelestarian hutan mangrove perlu dibuat program yang lebih terarah dan lebih matang tentang konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, melalui sosialisasi yang intensif dan mendorong timbulnya kelompok-kelompok masyarakat konservasi di wilayah pesisir.

    DAFTAR PUSTAKA

    Arief, Arifin, 2003, Hutan Mangrove

    Fungsi dan Manfaatnya. Yogyakarta, Kanisius.

    Firdaus, Muhammad, 2008, Manajemen

    Agribisnis. Jakarta, Bumi Aksara. Haliman, RW., Adijaya S. Dian, 2002,

    Udang Vannamei. Jakarta, penebar Swadaya.

    Jomo F.W., 1986, Membangun

    Masyarakat. Bandung, Alumni. Rinto, 2010, Kajian Penolakan Ekspor

    Produk Perikanan Indonesia ke Amerika Serikat, (Studi Import Refusal Report US FDA). Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya.

    Soetono, Moch. HA, 2002, Teknik

    Budidaya Udang Windu. Bandung, Sinar Baru Algesindo.

    Sumardi, 2008, Perlindungan

    Lingkungan : Sebuah Perspektif dan Spiritual Islam. Bandung Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Padjadjaran.

    Syahid M. Subhan Ali, Armando

    Roclim, 2006, Budidaya Udang Organik secara Polikultur. Jakarta, Penebar Swadaya.

    Tohir, Kaslan A, 1991, Seuntai

    Pengetahuan Usahatani Indonesia. Jakarta, PT. Rineka Cipta.

  • Jurnal Ilmiah AgrIBA No.1 Edisi Maret Tahun 2013

    99 ISSN : 2303 - 1158

    Yasin, Muhammad, 2006, Domestic Support dan Kebijakan Perdagangan Produk Udang Indonesia. Dipublikasikan pada Jurnal Ichsan Gorontalo ISSN : 1907-5324 Volume 1 No. 2 Juni-September 2006.

    http://finance.detik.com , Udang Asal

    Cilacap Ditolak Ekspor ke Jepang (akses 12 Februari 2013).

    http://repository.ipb.ac.id,

    Perkembangan kuantitas dan Nilai Ekspor Udang Indonesia.(akses 12 Februari 2013).

    http://budidayaukm.blogspot.com,Beter

    nak Udang. (akses 12 Februari 2013)