Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di...
Transcript of Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di...
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [ii]
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional
Ternak Babi
Peran Peternakan Babi dalam Konstelasi Penyedia
Pangan Nasional Denpasar, 5 Agustus 2014
Penyunting: Komang Budaarsa
Ida Bagus Komang Ardana N. Sadra Dharmawan
I Wayan Suarna I Gede Mahardika
N. N. Suryani I N. Tirta Ariana
A. A. A. Sri Trisnadewi
Diterbitkan Oleh:
Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar Bali 80232 Telp./ Fax. (0361) 222096 e-mail: [email protected]
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS UDAYANA
Denpasar, 2014
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [iii]
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional
Ternak Babi
Peran Peternakan Babi dalam Konstelasi Penyedia
Pangan Nasional
Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar Bali 80232 Telp./ Fax. (0361) 222096 e-mail: [email protected]
Isi prosiding dapat disitasi dengan menyebutkan sumbernya
KATA PENGANTAR
Dicetak di Denpasar, Bali, Indonesia
Penyunting: Komang Budaarsa, Ida Bagus Komang Ardana, N. Sadra Dharmawan, I Wayan Suarna, I Gede
Mahardika N. N. Suryani, I N. Tirta Ariana, A. A. A. Sri Trisnadewi
Prosiding Seminardan Lokakarya Nasional Ternak Babi, diselenggarakan di Denpasar, 5 Agustus 2014 vii + 291 halaman
ISBN: 978-602-294-028-9
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [iv]
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkatrahmatNya Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014
dengan tema “Peran Peternakan Babi dalam Konstelasi Penyediaan Pangan
Nasional” dapat diselesaikan dengan baik. Seminar dan Lokakarya Nasional
Ternak Babi dilaksanakan pada tanggal 5 Agustus 2014 oleh Fakultas Peternakan
Universitas Udayana dalam rangka Dies Natalis Universitas Udayana dan Hari
Ulang Tahun Fakultas Peternakan Universitas Udayana yang ke-52.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional ini merangkum rumusan
seminar nasional, rumusan lokakarya nasional, deklarasi pembentukan AITBI,
makalah lengkap dari pemakalah seminar yang dibagi dalam tiga kelompok yaitu
Produksi Ternak Babi, Nutrisi Ternak Babi, dan Kesehatan Ternak Babi.
Panitia mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Udayana,
Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana, dan Direktur Pascasarjana
Universitas Udayana atas fasilitas dan bantuan yang diberikan sehingga Seminar
dan Lokakarya Nasional Ternak Babi dapat terselenggara dengan baik.
Terimakasih juga disamapaikan kepada sponsor (terlampir), pemakalah/keynote
speaker, peserta seminar, dan semua anggota panitia yang banyak membantu dari
persiapan sampai terselenggaranya Semiloka Nasional ini dengan baik. Semoga
Prosiding ini dapat berguna sebagai ajang pertukaran ilmu khususnya tentang
ternak babi.
Denpasar, Nopember 2014
Ketua Panitia
Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [v]
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................ Iv
DAFTAR ISI .......................................................................................... V
RUMUSAN SEMINAR NASIONAL ....................................................
RUMUSAN LOKAKARYA ...................................................................
DEKLARASI AITBI ...............................................................................
1
3
4
MAKALAHKEYNOTESPEAKER....................................................... 5
Ir. I Putu Sumantra, Mapp.Sc. (Kepala Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi Bali) ......................................................
Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan
Universitas Udayana) ......................................................................
6
12
KUMPULAN MAKALAH
.....................................................................
31
MAKALAH KELOMPOK I: PRODUKSI TERNAK BABI
............
32
Performans Reproduksi Induk Babi Melalui Ovulasi Ganda
Dengan PMSG Dan hCG Sebelum Pengawinan
Mien Theodora Rossesthellinda Lapian........................................
33
Peluang Dan Tantangan Pengembangan Ternak Babi Bali Di
Kabupaten Gianyar Provinsi Bali
I W. Suarna dan N. N. Suryani......................................................
51
The Utilization of Azollapinnata in Reducing Pollutants on A Pig
Farm Liquid Waste
Vonny R W Rawung dan Jeanette E M Soputan ...........................
60
Pengaruh Penambahan Probiotik Kering Pada Ransum Babi
terhadap Daya Simpan Daging dan Dampak Lingkungan sebagai
Usaha Menuju Peternakan Babi yang Berkelanjutan
Tirta A., I N., A. A. Oka, S. A. Lindawati, I Gd.Suarta, I Gede
Suranjaya, dan Md. Dewantari .....................................................
61
Penggunaan Protexin untuk Menurunkan Angka Kematian Anak
Babi Sampai Disapih
Rachmawati WS dan Ni Luh Gde Sumardani ..............................
69
Hubungan Antara Ukuran Testis dengan Volume Semen dan
Konsentrasi Spermatozoa pada Babi
Ruben Panggabean, Iis Arifiantini, WMM Nalley, dan Bondan
Achmadi.......................................................................................
76
Penentuan Waktu Optimal Pemeriksaan Integritas Membran
Plasma Sperma Babi Menggunakan Hypo-Osmotic Swelling
(HOS) Test
IN Donny Artika, RI Arifiantini, TL Yusuf, dan WM Nalley .........
86
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [vi]
Pengaruh Pemberian Jenis Antibiotika terhadap Penampilan
Anak Babi Prasapih
Sriyani, N. L. P., Tirta, A., I N., I W. Sukanata, dan Md.
Artiningsih R. .................................................................................
96
Analisis Usahatani Penggemukan Ternak Babi dengan
Pengaturan Ransum
Ida Ayu Parwati, L. G. Budiari,dan N. Suyasa,.............................
101
Studi Kebutuhan Babi untuk Warung Makan Babi Guling di Bali
Miwada, INS., IG. Mahendra, K. Budaarsa, dan Martini H.........
Pengaruh Bahan Pengencer Biologis Terhadap Kualitas Semen
Babi Hampshire
Suberata I W, Artiningsih NM, Sumardani NLG, Putra Wibawa
AAP, A. T. Umiarti ........................................................................
112
128
MAKALAH KELOMPOK II: NUTRISI TERNAK BABI
..............
142
Potensi Ampas Sagu sebagai Pakan Babi
Tabita N. Ralahalu .........................................................................
143
Pengaruh Penambahan Tepung Tanaman Bangun-bangun
(Coleus amboinicus Lour) dalam Ransum terhadap Penampilan
Reproduksi Induk Babi dan Anak Babi Menyusu
Pollung H. Siagian, Agik Suprayogi, dan Parsaoran Silalahi ......
154
Penampilan Ternak Babi yang Diberi Pakan Mengandung
Tepung Bekicot (Achatina fulica) sebagai Pengganti Tepung
Ikan
Egedius, L. L.,K. Budaarsa, dan I G. Mahardika ........................
167
Pengaruh Suplementasi Starbio dalam Pakan dengan 40% Dedak
Padi terhadap Penampilan Babi Landrace
I K. Sumadi,I M. Gede Wijaya, dan I. B. Sudana ..........................
169
Penampilan Babi Landrace yang Diberikan Pakan Mengandung
Enceng Gondok
I Wayan Sudiastra, I Gd. Mahardika, K. Budaarsa, dan N. S.
Dharmawan ....................................................................................
179
Pengaruh Tingkat Penggunaan Limbah Hotel dalam Ransum
terhadap Bobot Potong dan Komposisi Fisik Karkas Babi
Persilangan (Babi Bali Saddleback) Tjok Gde Oka Susila, Tjok Istri Putri, dan Tjok Gede Belawa
Yadnya......................................................................................................
180
Distribusi Lemak Karkas Babi Persilangan Saddleback dengan
Babi Bali yang Diberi Ransum Tradisional dengan Suplementasi
Rumput Laut
Ni W. Siti, Suci Sukmawati, Ni M., Ni G. K. Roni, Ni M.
Witariadi, dan I N. Ardika
................................................................................
192
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [vii]
MAKALAH KELOMPOK III: KESEHATAN TERNAK BABI
.....
201
Sistiserkosis Pada Babi Di Bali
Nyoman Sadra Dharmawan, Kadek Swastika, I Ketut Suardita, I
Nengah Kepeng,Yasuhito Sako, Munehiro Okamoto, Toni
Wandra, dan Akira Ito ...................................................................
202
Daun Kelor (Moringa oleifera) sebagai Feed Suplemen untuk
Meningkatkan Daya Tahan Babi terhadap Infeksi Parasit
Intestinal
Nyoman Adi Suratma, Hapsari Mahatmi, IBK Ardana dan I N
Kertha Besung .............................................................................
212
Babi Sebagai Hewan Model Harvesting Dan Implantasi STSG
dengan Aplikasi PRFM dan PRP
Mirta Hediyati Reksodiputro .........................................................
220
Strategi Pencegahan Penyakit Infeksi pada Peternakan Babi
Ida Bagus Komang Ardana, Dewa Ketut Harya Putra, W.
Sayang Yupardi, Ni Luh Gede Sumardani, I G.A. Arta
Putra,dan I G. Suranjanjaya
......................................................................
229
Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Titer Hog Cholera pada
Babi
I Nyoman Suartha, Rui Daniel de Carvalho, Nyoman Sadra
Dharmawan ...................................................................................
239
Pengujian Babi Menggunakan Morfologi Spermatozoa Pada
Berbagai Breed Pewarnaan Eosin-Nigrosin dan Carbofluchsin
Annisa Fithri Lubis, R Iis Arifiantini, WM Nalley, Bondan
Achmadi .........................................................................................
246
Diferensiasi Colibacillosis Pada Babi Berdasarkan Lesi
Histopatologi (Studi Retrospectif)
I Ketut Berata, I Made Kardena dan Ida Bagus Oka Winaya......
256
Peran Babi sebagai Reservoir Balantidium coli dalam Penyebab
Disentri
Ida Ayu Pasti Apsari.....................................................................
264
Babi sebagai Hewan Pilihan untuk Hewan Coba
I Komang Wiarsa Sardjana ...........................................................
270
Introduksi Vaksin ETEC dalam Menurunkan Kejadian Diare
Akibat Enterotoxigenic Escherichia colipada Anak Babi
Nyoman Suyasa dan IAP. Parwati ................................................
280
LAMPIRAN ........................................................................................... 289
JADWAL ACARA SEMNAS II HITPI ......................................... 290
DAFTAR JADWAL PRESENTASI .............................................. 291
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [viii]
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [1]
RUMUSAN SEMINAR
Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi yang diselenggarakan pada
tanggal 5 Agustus 2014 oleh Fakultas Peternakan Universitas Udayana dalam
rangka Dies Natalis Universitas Udayana dan Hari Ulang Tahun Fakultas
Peternakan Universitas Udayana yang ke-52. Seminar dan Lokakarya Nasional
Ternak Babi dilaksanakan di Lt. 3 Gedung Pascasarjana Universitas Udayana
Denpasar.
Pembicara utama (keynotespeaker) pada seminar nasional terdiri dari
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Ir. I Putu Sumantra, MApp.Sc.
(Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali) dengan makalah
yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof.
Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)
dengan judul makalah Potensi Ternak Babi dalam Pemenuhan Daging di Bali.
Sedangkan makalah dari peserta seminar terdiri dari 28 makalah yang
dipresentasikan secara oral. Peserta seminar berasal dari berbagai institusi di
seluruh Indonesia Fakultas Peternakan dan Fakultas Kedokteran Hewan dari
Iinstitut Pertanian Bogor, Uiversitas Jenderal Seodireman, Uiversitas Airlangga,
Universitas Udayana, Universitas Nusa Cendana, Universitas Sam Ratulangi,
Universitas Patimura, BPTP Bali, dan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Prov.Bali, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Flores
(NTT).Ke-28 makalah dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok Produksi
Ternak Babi, Nutrisi Ternak Babi, dan Kesehatan Ternak Babi. Intisari atau hasil
dari masing-masing kelompok adalah sebagai berikut:
Intisari atau hasil dari masing-masing kelompok adalah sebagai berikut:
Kelompok 1: Masalah klasik tentang perlunya peningkatan produktivitas dan
penanganan masalah ternak babi dalam rangka menghadapi
tantangan pengembangan peternakan babi di Indonesia.
Kelompok 2: Pakan yang menduduki biaya tertinggi dalam indusri peternakan
babi, masih terus diusahakan dan dicari solusi untuk menekan
seminimal mungkin biaya pakan dengan berbagai manipulasi
yang berasal dari bahan yg murah, mudah diperoleh, dan bernilai
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [2]
gizi tinggi.
Kelompok 3. Dalam menjalankan usaha peternakan babi, baik skala kecil atau
menengah-industri, tindakan preventif adalah lebih baik dari
tindakan kuratif. Berbagai hasil penelitian banyak dilakukan
untuk tindakan pencegahan tersebut.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [3]
RUMUSAN LOKAKARYA
Lokakarya yang dilaksanakan bertujuan untuk mengetahui dan mendata
para pakar atau peneliti dan pemerhati peternakan babi, dan merintis berdirinya
asosiasi atau perhimpunan para peneliti dan praktisi di bidang peternakan babi
yang diawali dengan pembentukan jejaring melalui media sosial sehingga dapat
menyebarkan informasi tentang ternak babi secara lebih cepat. Lokakarya diikuti
oleh 16 orang yang berasal dari wakil instritusi dari perguruan tinggi dan praktisi
dalam bidang peternakan babi.
Hasil lokakarya adalah deklrasi atau kesepakatan terbentuknya Asosiasi
Ilmuwan Ternak Babi Indnesia (AITBI) yang ditandatangi oleh 16 orang peserta
lokakarya. Isi deklarasi atau kesepakatan seperti terlampir pada Lampiran 1.
Pada akhir pelaksanaan semiloka, dibacakan deklarasi pembentukan
AITBI dan disaksikan oleh seluruh peserta semiloka.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [4]
PANITIA PELAKSANA
SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL TERNAK BABI
Sekretariat: Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman DenpasarBali –
80232. Telp. 0361-222096 Fax. 0361-222096; e-mail: [email protected]
DEKLARASI PEMBENTUKAN
ASOSIASIILMUWANTERNAKBABI INDONESIA (INDONESIANSWINESCIENTISTASSOCIATION(ISSA)
Kami
yangbertandatangandibawahini,denganpenuhkesadaran,menyatakan
dukungandan persetujuanuntuk dibentuknyaAsosiasi
IImuwanTernakBabi Indonesia(AlTBI),
yanguntukselanjutnyadisebutIndonesian Swine Scientist
Association(ISSA),yangakanmenjadimedia komunikasi,sekaligusmedia
pengembangan profesidiantaraIImuwan-ilmuwanTernakBabidiIndonesia.
Untukmenindaklanjutimaksud
tersebutdiatas,kiranyaperludibentukKelompok Kerja (Pokja), yang
bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan
denganpembentukanasosiasiyangdimaksud.
Demikiandeklarasiinikamibuat,dengankesungguhanhatidansemogaTuhan
YangMahaEsasenantiasamerestuidanmerahmatiikhtiarini.
Denpasar,5Agustus2014
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [5]
MAKALAH
KEYNOTE
SPEAKER
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [6]
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN BABI DI PROVINSI
BALI
Ir. I Putu Sumantra, MApp.Sc.
DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
PROVINSI BALI
2014
Abstrak
Babi merupakan salah satu ternak yang mempunyai peran dan prospek yang baik
untuk dikembangkan di wilayah Bali.Disesuaikan dengan Rencana Umum Tata
Ruang (RUTR) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) daerah. Pasar komoditas
ternak babi dan/atau produk olahan ini masih terbuka lebar.Selain untuk
memenuhi kebutuhan lokal setiap tahun pengeluaran daging babi mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Pada 2013 tercatat mengeluarkan daging babi
sebanyak 1.053 ton. Pada Tahun 2011populasi babi di Bali sebanyak 922.739 ekor
dibandingkan dengan populasi tahun 2012 sebanyak 890.197 ekor terjadi
penurunan sebesar 3,35%. Populasi Babi pada tahun 2013 berdasarkan hasil
cacah jiwa ternak sebanyak 852.319 ekor juga mengalami penurunan dari tahun
2012 sebesar 4,26%. Dalam pengembangan ternak babi masalah yang sering
dihadapi untuk memasukkan bibit babi unggul terutama dari luar pulau Bali sering
menyebabkan terjangkitnya penyakit ternak seperti: Hog Chollera, Avian
Influenza dan juga mengakibatkan harga daging, bibit dan pakan berfluktuasi,
sehingga merugikan peternak babi di Bali. Disamping bibit babi unggul, harga
pakan yang berfluktuasi menyebabkan pengembangan ternak babi menjadi
menurun, dan dalam dunia usaha peternakan acapkali terjadi persaingan usaha
antara peternak kecil (Mandiri) dengan pengusaha, dimana merugikan peternakan
kecil. Meskipun terjadi pengeluaran namun kualitas ternak babi dimasyarakat
terjadi penurunan.Provinsi Bali dalam rangka meningkatkan kualitas bibit ternak
telah melaksanakan program upgradingterhadap babi yang ada di Bali dengan
mendatangkan babi unggul setiap 5 (lima) tahun sekali dan Inseminasi Buatan
pada babi, baik dari Pemerintah maupun pihak swasta. Dan terakhir pada tahun
2003 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali memasukkan Babi
unggul dari Australia. Pada 2008 program untuk memasukkan bibit unggul tidak
bisa terlaksana, mengingat anggaran dialokasikan untuk kegiatan prioritas
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [7]
“Swasembada Daging Sapi Tahun 2010”. Pada tahun 2013 Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi Bali sudah menganggarkan memasukkan semen cair
dari Australia sebanyak 50 dosis, tidak terealisasi karena terjadi hubungan
diplomatik yang kurang harmonis antara Indonesia dengan Australia. Tetapi pada
tahun 2014 telah dianggarkan untuk memasukan semen cair dari Australia.Untuk
pelestarian sumber daya lokal khususnya babi bali, difokuskan di Kabupaten
Karangasem dan Buleleng. Populasi Babi Bali di khususnya Babi Bali tahun 2013
tercatat sebanyak 253.959 ekor dan juga mengalami penurunan 10,75% kalau
dibandingkan dengan populasi tahun 2012 sebanyak 284.531 ekor. Selain
peningkatan kualitas bibit, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali
juga mengantisipasi terjadinya penyebaran penyakit, dan menggairahkan
peternakan Babi di bali serta perlindungan Usaha Peternakan melalui Peraturan
Gubernur Bali Nomor 33 Tahun 2005 tanggal 1 Nopemebr 2005, tentang
“Penutupan Sementara Pemasukan Ternak Babi dan Produksinya Dari Luar
Pulau Bali” dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 6 Tahun 2013 tanggal 4 Maret
2013 tentang “Pelaksanaan Kemitraan dan Perlindungan Usaha Peternakan
di Provinsi Bali”.
1. PENDAHULUAN
Babi merupakan salah satu ternak yang mempunyai peran dan prospek
yang baik untuk dikembangkan di wilayah Bali terutama di wilayah pemukiman
non muslim dan disesuaikan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) daerah. Pasar komoditas ternak babi dan/atau
produk olahan ini masih terbuka lebar ke berbagai negara seperti Singapura dan
Hongkong. Meskipun ekspor ternak babi berada di urutan kedua setelah ternak
ayam, namun ternak babi belum menjadi komoditas unggulan pemerintah. Fokus
perhatian pemerintah hingga saat ini masih dominan pada ternak ruminansia besar.
Kegiatan usaha budidaya ternak babi di pemukiman penduduk yang
semakin intensif akan menimbulkan permasalahan yang komplek terhadap
lingkungan hidup. Permasalahan yang paling sering dijumpai dari peternakan babi
adalah kotoran dan urine yang menyebabkan bau. Kesulitan pembuangan limbah
kotoran ternak, urine dan permasalahan lingkungan sekitar usaha. Limbah organik
yang dihasilkan di lahan peternakan seperti kotoran ternak sisa pakan lebih
banyak menimbulkan masalah seperti penyakit ternak dan lingkungan dari pada
keuntungan yang ditimbulkannya. Permasalahan lingkungan tersebut sebagian
besar disebabkan oleh limbah organik yang tidak terurai dengan baik, sehingga
menimbulkan masalah-masalah lingkungan seperti bau, gas beracun, hama
penyakit dan terjadi fluktuasi harga pakan, bibit dan daging serta penurunan
kualitas ternak/mutu genetic pada babi. Selain masalah tersebut juga terjadi
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [8]
persaingan usaha antara peternakan kecil (Mandiri) dengan pengusaha, maka
peran pemerintah sangat diperlukan.
2. POTENSI
a. Potensi lahan untuk pengembangan peternakan dan pengembangan
pakan ternak belum dimanfaatkan secara optimal :
1. Lahan Tegal : 133.138 Ha
2. Lahan Sawah : 81.908 Ha
3. Lahan Hutan : 125.354 Ha
4. Lahan Perkebunan : 118.218 Ha
b. Sumber Daya Manusia
- Peternakan sangat dekat dengan ternak (Sosiokultura)
- Masyarakat Bali > 60% memelihara ternak.
- Hampir sebagian besar masyarakat Bali beternak babi sebagai
tatakan banyu (sisa dapur).
c. Kelembagaan
Selain dipelihara dirumah tangga/perorangan beternak babi juga
dilaksanakan secara berkelompok (GUBBI). Di Bali kelompok ternak babi dapat
dilihat sebagai berikut :
No.
Kabupaten/Kota JUMLAH TAHUN 2013
Kelompok Orang
1. Jembrana 68 1.277
2. Tabanan 46 909
3. Badung 35 607
4. Gianyar 78 1.405
5. Klungkung 12 284
6. Karangasem 63 1.858
7. Bangli 40 1.101
8. Buleleng 113 3.031
9. Denpasar 30 150
J u m l a h 485 10.622
d. Populasi
No
Kabupaten/
JUMLAH TAHUN 2013
Babi Bali Babi Saddle Babi Landrace
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [9]
. Kota Back dan
Peranakannya
dan
Persilangannya
1. Jembrana 5.785 12.543 50.566
2. Tabanan 4.796 3.140 83.836
3. Badung 1.087 9.462 74.222
4. Gianyar 2.606 20.576 111.156
5. Klungkung 18.613 5.546 10.389
6. Karangasem 73.677 28.624 43.424
7. Bangli 12.601 16.097 39.549
8. Buleleng 134.794 46.604 26.291
9. Denpasar - 1.292 15.043
J u m l a h 253.959 143.884 454.476
e. Pasar
- Bali sebagai daerah pariwisata terbuka dalam pemasaran produk
peternakan.
- Pasar Lokal seperti : Babi Guling, urutan, krupuk.
- Pasar antar pulau : seperti produk olahan
f. Teknologi
Terdapat beberapa lembaga penyedia teknologi (BPTP, BBVet,
Universitas).
3. ISU-ISU STRATEGIS
1) Menurunnya kualitas bibit/mutu genetik babi dimasyarakat
2) Harga pakan yang sering berfluktuasi
3) Harga bibit dan daging yang tidak stabil
4) Persaingan peternak kecil dengan pengusaha
5) Masih cukup banyak Rumah Tangga Miskin (RTM)
4. KEBIJAKAN
1) Meningkatkan kualitas bibit ternak babi melalui upgrading dan
Inseminasi Buatan (IB) dengan memasukan bibit unggul dari luar
daerah/luar negeri.
a). Pemasukan Bibit Unggul
No.
Tahun
Ras Jenis Kelamin
Jumlah
Asal
Ket Jantan Betina
1 1985 Saddleback 4 5 9 Australia PT. Pusaka
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [10]
Landrace 8 15 23 Australia Tunggul
Naga Lardwhite 8 15 23 Australia
2 1988 Landrace 105 180 285 P. Bulan Banpres I
3 1991 Landrace 70 210 280 P. Bulan Banpres II
4 1992 Landrace 4 8 12 Australia PT. Sari
Bumi Raya Lardwhite 3 5 8 Australia
5 2002 Landrace 5 5 10 Australia Pemprov.
Bali Lardwhite 5 5 10 Australia
6 2003 Landrace 5 2 7 Australia Dirjennak
Lardwhite 3 1 4 Australia Dirjennak Duroc 2 2 4 Australia Dirjennak Saddleback 1 - 1 Australia Dirjennak Hamshira - 1 1 Dirjennak
b). Inseminasi Buatan (IB)
Inseminasi Buatan pada babi dilaksanakan mulai tahun 2003. Semen
cair yang digunakan untuk pelaksanaan IB diproduksi oleh Balai
Inseminasi Buatan daerah (BIBD) Provinsi Bali dengan target produksi
dan pelaksanaan 3 tahun terakhir sebagai berikut:
No. TAHUN PRODUKSI REALISASI KET
1. 2011 9.000 9.000
2. 2012 9.000 9.089
3. 2013 9.000 8.885
2) Harga pakan, bibit dan daging yang sering berfluktuasi
Pemasukan ternak babi dari luar pulau Bali sering menyebabkan
terjangkitnya penyakit ternak seperti : Hog Chollera, Avian Influenza
dan juga mengakibatkan harga daging, bibit dan pakan berfluktuasi,
sehingga merugikan peternak babi di Bali. Untuk mengantisipasi hal
tersebut, dilakukan kebijakan berupa Peraturan Gubernur No. 33
Tahun 2005 tanggal 1 Nopember 2005 tentang “Penutupan
Sementara Pemasukan Ternak Babi dan Produksinya Dari Luar
Pulau Bali” dan berlaku sampai saat ini.
Dan khususnya harga pakan yang berfluktuasi, Pemerintah Provinsi
Bali berencana membuat pabrik pakan ternak di Provinsi Bali yang
pada tahun 2014 baru tahap Fleksible Study(FS) yang akan
dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi.
3) Persaingan peternak kecil dengan pengusaha
Dalam dunia usaha peternakan acapkali terjadi persaingan usaha antara
peternak kecil (Mandiri) dengan pengusaha, dimana merugikan
peternakan kecil. Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [11]
perlindungan usaha dalam upaya menjamin adanya kepastian hokum
untuk memberikan perlindungan kepada pelaku usaha dalam
menjalankan usahanya dari praktek monopoli, persaingan usaha tidak
sehat dan pemusatan kekuatan ekonomi oleh kelompok usaha tertentu
melalui Peraturan Gubernur Bali Nomor 6 Tahun 2013 tanggal 4 Maret
2013 tentang “Pelaksanaan Kemitraan dan Perlindungan Usaha
Peternakan di Provinsi Bali”.
4) Pemerintah Provinsi Bali dalam hal ini Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi Bali pada tahun 2015 dalam mendukung
program Bali Mandara Jilid 2 melalui kegiatan penanggulangan
kemiskinan dengan penyebaran bibit ternak pada RTM di lokasi bedah
rumah, sesuai dengan potensi lahan yang dimiliki (setiap KK
mendapatkan 2 ekor babi) yang dialokasikan pada 50 KK miskin di 8
(delapan) Kabupaten di Bali.
5. KESIMPULAN
1) Usaha peternakan babi di Bali mempunyai prospek yang cukup
potensial, sesuai dengan RUTR dan RDTR daerah.
2) Program upgrading/peningkatan mutu genetik dan Inseminasi Buatan
pada babi dengan mendatangkan babi unggul dan semen cair dari luar
negeri dalam upaya peningkatan mutu genetik babi yang ada di
Provinsi Bali setiap 5 (lima) tahun yang dilaksanakan baik oleh
pemerintah maupun pihak swasta (Pengusaha ternak babi) perlu
dilaksanakan secara berkelanjutan.
3) Dalam upaya mengantisipasi terjadinya penyakit, menggairahkan
usaha peternakan babi di Bali serta memberikan perkembangan usaha
peternakan dari praktek monopoli dan pesaing usaha tidak sehat, Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali telah mengambil
kebijaksanaan menerbitkan Peraturan Gubernur :
a. Peraturan Gubernur No. 33 Tahun 2005 tanggal 1 Nopember 2005
tentang “Penutupan Sementara Pemasukan Ternak Babi dan
Produksinya Dari Luar Pulau Bali” dan berlaku sampai saat ini.
b. Peraturan Gubernur Bali Nomor 6 Tahun 2013 tanggal 4 Maret
2013 tentang “Pelaksanaan Kemitraan dan Perlindungan Usaha
Peternakan di Provinsi Bali”.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [12]
POTENSI TERNAK BABI DALAM PEMENUHAN DAGING DI BALI
Komang Budaarsa
Fakultas Peternakan Universitas Udayana
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penduduk pulau Bali mayoritas (83,46%) memeluk agama Hindu, hanya 13,37%
yang beragama Islam, sisanya 3,17% beragama Kristen, Budha Konghucu dan
aliran kepercayaan lain, oleh karena itu daging babi merupakan salah satu daging
yang dikonsumsi cukup banyak oleh masyarakat. Selain itu ternak babi
dipelihara tidak semata untuk dikonsumsi dagingnya, tetapi juga untuk keperluan
upacara adat dan agama. Babi guling misalnya, digunakan sebagai sesaji pada
berbagai upacara adat dan agama. Peternakan babi di Bali sampai saat ini
mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang ekonomi masyarakat,
khususnya di pedesaan. Sekitar 80% rumah tangga di pedesaan memelihara
ternak babi yang jumlahnya antara 1 – 3 ekor. Ternak babi sebagai ternak
penghasil daging mempunyai kelebihan dibandingkan ternak lain, antara lain
karena karkasnya yang relatif tinggi mencapai 65%, bersifat prolifik (beranak
banyak) bisa mencapai 12 ekor sekali beranak, dan mampu beranak dua kali
dalam satu tahun. Kalau dilihat perkembangan ternak babi lima tahun terakhir
(2009-2013) di Bali tampak terjadi penurunan populasi. Menurut Buku Cacah
Jiwa Ternak Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali tahun 2013,
populasi babi tahun 2009, 2010, 2011, 2012 dan 2013 berturut turut 925.290,
918.087, 922.739, 890.197, dan 852.319 ekor.Sementara kalau dilihat jumlah
pemotongan babi tahun 2012 sebanyak 1.780.055 ekor, meningkat 10,67%
dibandingkan tahun 2011. Kalau dari data tersebut dihitung bobot karkasnya
diperoleh angka 115.703,575 ton, dengan asumsi bobot babi yang dipotong adalah
100 kg. Selanjutnya dengan perhitungan komposisi daging adalah 51% dari
karkas, maka produksi daging tahun 2012 adalah 59.008,823 ton. Penurunan
populasi berdampak pada penurunan produksi daging babi. Turunnya populasi
ternak babi antara lain disebabkan oleh rendahnya harga babi di pasaran, dan
tingginya harga pakan sehingga banyak peternak yang gulung tikar. Peran
pemerintah dalam menstabilkan populasi dengan cara melarang masuknya babi
dari luar sangat perlu, sehingga tercapai harga babi yang menguntungkan peternak,
di sisi lain harga daging terjangkau oleh konsumen. Peran pemerintah tersebut di
Bali sudah dituangkan dalam bentuk Peraturan Gubernur Bali Nomor 6 Tahun
2013, tentang Pelaksanaan Kemitraan dan Perlindungan Usaha Peternakan di
Provinsi Bali. Perlu ketegasan pemerintah sesuai dengan peranan dan
tanggungjawabnya yang telah tertuang dalam pergub tersebut. Peran pemerintah
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [13]
yang lain adalah dalam hal pemetaan wilayah (Zonasi) untuk usaha peternakan
yang jelas dan pasti, sehingga peternak bisa beternak dengan nyaman, tidak
dipermasalahkan oleh warga, mengingat modal yang ditanam untuk usaha
peternakan babi tersebut cukup tinggi.
. Kata kunci: Hindu, babi, daging babi, pemeri
PENDAHULUAN
Kebutuhan daging nasional setiap tahunnya terus meningkat sejalan
dengan meningkatnya jumlah penduduk. Menurut laporan Badan Pusat Statistik
tahun 2013 penduduk Indonesia tahun 2010 sudah mencapai anggka 237.6 juta
jiwa, dan saat ini jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 250 juta
jiwa. Semetara konsumsi daging pertahun/kapita masyarakat Indonesia paling
rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lain. Menurut laporan FAO tahun
2010, konsumsi daging Indonesia hanya 11,14 kg/kapita/tahun, sementara
Thailand 28,31 kg/kapita/tahun, Philipina 31,8 kg/kapita/tahun, Vietnam
40,65kg/kapita/tahun, Malaysia 48,99kg/kapita/tahun, Brunai 65,12
kg/kapita/tahun dan Singapura 71,1 kg/kapita/tahun (Igbal, 2011).
Walaupun sumber protein hewani sangat beragam, namun daging masih
dipandang sebagai alah satu sumber protein yang penting mengingat kandungan
asam-asam amino esensialnya sangat lengkap. Disamping itu, daging
mempunyai kecernaan yang cukup tinggi, dan citarasa yang enak, sehingga sangat
disukai oleh konsumen. Secara nasional pemenuhan daging masih didominasi
dari ternak sapi dan ayam, dari babi porsinya sangat sedikit. Data Apfindo
(Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia) tahun 2007menunjukan
bahwa pangsa konsumsi daging nasional didominasi oleh daging ayam sebesar
56%, sapi 23%, babi 13%, kambing dan domba 5%, dan lainnya sekitar 3%.
Berbicara masalah potensi babi sebagai daging babi di Bali setidaknya
ada tiga aspek yang patut diperhatikan. Pertama adalah aspek produksi,
mengingat tradisi beternak babi di Bali seolah menjadi pekerjaan wajib
masyarakat di pedesaan. Kedua dari aspek pemasaran daging babi di Bali
sangat potensial dihubungkan dengan jumlah penduduk, sosiobudaya dan Bali
sebagai daerah tujuan wisata internasional. Ketiga dari aspek peran pemerintah
dalam membantu peternak babi melalui regulasi dan kewenangannya. Ketiga
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [14]
aspek tersebut secara bersama-sama akan sangat berpengaruh terhadap
perkembangan peternakan babi di Bali yang memiliki keunikan tersendiri,
dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
ASPEK PRODUKSI
Kependudukan
Peternakan babi di Bali sampai saat ini mempunyai peranan yang sangat
penting dalam menunjang ekonomi masyarakat, khususnya di pedesaan. Sekitar
80% rumah tangga di pedesaan memelihara ternak babi yang jumlahnya antara 1-
3 ekor. Walaupun bersifat sambilan, namun babi terbukti menjadi salah satu
sumber pendapatan yang sangat diandalkan bagi keluarga. Pemeliharaan ternak
babi sangat membantu menstabilkan ekonomi masyarakat, terutama saat-saat
keperluan dana mendadak dalam jumlah yang cukup banyak. Ternak babi
menjadi cadangan dana pengaman dalam sistem keuangan keluarga. Itulah
sebabnya di Bali memelihara babi identik dengan membuat celengan atau
menabung.
Dari aspek kependudukan di Bali sebenarnya sangat mendukung untuk
usaha peternakan babi. Penduduk pulau Bali tahun 2012 tercatat 3.686.665 jiwa
dan yang termasuk dalam usia kerja sebanyak 3.008.973 orang (81,67%) dengan
komposisi non muslim dan muslim adalah 86,63% dan 13,37%, karena itu
merupakan potensi yang sangat besar untuk menggerakkan sektor peternakan
babi. Dikaitkan dengan jumlah rumah tangga usaha pertanian berdasarkan sensus
pertanian tahun 2013 tercatat 408.233 rumah tangga, terdiri atas jasa pertanian
5.257 rumah tangga, kehutanan 141.012 rumah tangga, perikanan14.869 rumah
tangga, perkebunan, 220.893 rumah tangga, pangan 218.591 rumah tangga,
hotikultura 238.834 rumah tangga dan sub sektor peternakan 315.747 rumah
tangga. Berdasarkan data tersebut jelas terlihat bahwa usaha rumah tangga di
bidang subsektor peternakan jumlahnya paling banyak yakni 77,34%. Hal ini
merupakan potensi yang luar biasa dalam pengembangan usaha peternakan di
Bali, termasuk peternakan babi di dalamnya.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [15]
Data pada bulan Agustus 2013 menunjukkan penduduk Bali yang bekerja
di sektor pertanian masih menempati urutan teratas, yaitu 545, 83 ribu orang atau
24% dari total penduduk yang bekerja. Urutan yang kedua adalah mereka yang
bekerja di sektor jasa sebanyak 16,86%. Demikian juga kalau dikaitkan dengan
penggangguran, pada bulan Februari 2013 tercatat tenaga penggangguran di Bali
sebanyak 45.38ribu orang. Dari jumlah tersebut sangat mungkin ada yang
bersedia bekerja di sektor peternakan, khususnya peternakan babi. Mereka bisa
menjadi peternak mandiri, bermitra dengan pengusaha, atau paling tidak menjadi
tenaga kerja di sektor peternakan.
Produksi Ternak Babi di Bali
Peternak babi di Bali saat ini dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu
peternak mandiri dan peternak dengan pola kemitraan. Sistem pemeliharaan
ternak babi di Bali khususnya peternak mandiri sebagian besar masih tradisonal,
bahkan ada yang masih sangat sederhana, dengan cara mengikat dengan tali,
kemudian diikatkan pada patok. Sama sekali tidak ada tempat khusus untuk
berbaring, tanpa atap penaung panas dan hujan. Jika musim hujan, maka babi
berendam dalam lumpur, mirip kerbau. Babi diberi makan seadanya (Gambar 1).
Namun saat ini sudah banyak juga yang memelihara dengan sistem semi intensif
bahkan modern. Sedangkan peternak dengan pola kemitraan umumnya sistem
pemeliharaannya sudah intensif.
Gambar 1. Sistem pemeliharaan babi secara tradisional dan intensif.
Peternak di Bali lebih banyak memilih babi ras jenis peranakan landrace
untuk diternakan dibandingkan babi bali atau jenis babi lainnya. Alasannya, babi
peranakan landrace pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan babi jenis lain.
Selain itu, babi landrace kandungan lemaknya lebih sedikit dibandingkan dengan
babi bali. Kalau dilihat data lima tahun terakhir (2009- 2013) populasi babi di
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [16]
Bali terus mengalami penurunan (Tabel 1).Hal ini akibat jatuhnya harga babi dan
naiknya harga pakan secara terus menerus. Terutama pada sekitar tahun 2012 -
2013 ketika harga babi mencapai Rp 13,000/kg. Saat itu banyak peternak yang
merugi dan akhirnya gulung tikar. Padahal tahun-tahun sebelumnya produksi
meningkat. Namun demikian sebenarnya populasi babi tersebut sudah melibihi
dari sasaran yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Tahun 2010, 2011, 2012, dan tahun 2013 sasaran populasi adalah
860.321, 848.586, 833.533 dan 812.092 ekor, sedangkan populasi yang ada adalah
918.087, 922.739, 890.197 dan 852.319. Kalau dihubungkan dengan harga babi
hidup di pasaran saat ini yakni Rp 27.000/kg dan populasi yang ada, bisa jadi
itulah populasi yang ideal untuk Bali, namun ini perlu dikaji lebih lanjut.
Salah satu faktor yang ikut memacu laju produktivitas peternakan babi di
Bali adalah sudah memasyarakatnya kawin suntik atau inseminasi buatan (IB).
Peternak babi sekarang jarang yang mau memelihara kaung (pejantan), karena
dianggap tidak efisien. Selain itu, bagi peternak di perkotaan transportasi untuk
membawa pejantan sangat susah. Mereka lebih praktis menggunakan IB, karena
inseminator sudah cukup banyak. Jika mempunyai bangkung (induk babi) yang
buang (birahi), tinggal memanggil melalui HP, maka petugas inseminator akan
datang. Biayanya juga cukup murah, hanya Rp. 70.000 sekali IB.
Selain itu, adanya pola peternakan kemitraan ikut memacu populasi ternak
babi. Pola yang diterapkan sistem kemitraan ini, peternak plasma cukup
meyediakan kandang, kemudian perusahaan inti sebagai mitra memberikan bibit
beserta makanan yang diperlukan selama pemeliharaan. Setelah waktunya panen,
diambil oleh pengusaha mitra. Jadi peternak tidak pusing-pusing memasarkan
babinya saat harus dijual. Mereka tinggal membagi keuntungan sesuai dengan
perjanjian yang disepakati sebelumnya. Sistem kemitraan ini telah terbukti
mendongkrak populasi ternak babi di Bali, sehingga tidak ada alasan lagi
memasukkan babi dari luar, yang sering kali menjatuhkan harga babi di Bali.
Tabel 1. Populasi ternak babi di Bali lima tahun terakhir (tahun 2009 – 2013).
Tahun
Babi Bali, Babi Saddle Back Peranakan dan Babi Landrace Persilangan
Pejantan Jantan
Muda Kebiri Induk
Betina
Muda
Kucit Jumlah*
Jnt/Kbr Betina
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [17]
2013
7.486 29.297 227.155 86.296 143.215 189.889 178.325 852.319
2012
9.375 31.631 233.043 94.479 147.646 187.712 186.311 890.197
2011
11.081 31.740 244.856 95.624 149.849 197.411 192.178 922.739
2010
6.655
26.115 252.362 98.158 147.873 195.788 191.136 918.087
2009
5.854
30.119 250.604 99.832 148.949 197.022 192.910 925.290
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali Tahun 2013
Produksi Daging Babi
Menurut laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali
yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Bali 2013, pemotongan
ternak babi di Bali dari tahun ketahun meningkat. Jumlah ternak babi yang
dipotong pada tempat pemotongan dan perhitungan produksi daging selama lima
tahun (2008-2012) disajikan pada Tabel 2. Pemotongan babi paling banyak tahun
2008 yaitu 1.802,451 ekor. Jumlah pemotongan babi di rumah potong hewan di
Bali paling besar berada di Kota Depasar. Data yang dihimpun dari Dinas
Peternakan Perikanan d Kelautan Kota Denpasar tahun 2014 jumlah pemotongan
babi di RPH Sanggaran dari bulan Januari – Mei 2014 berturut-turut 3.060, 3.060,
3.287, 2.727 dan 3.135 ekor. Terjadi lonjakan pada bulan Mei, karena pada
bulan tersebut ada hari raya Galungan.
Tabel 2. Pemotongan ternak babi dan perkiraan produksi daging di Bali (Tahun 2008-2012)
Tahun Jumlah babi
yg dipotong(ekor)
Perkiraan karkas
(ton) Daging (ton)
2012 1.780.055 115.703,575 59.008,823* 99.683,10**
2011 1.608.362 104.543,53 53.317,200 90.068,28
2010 1.589.882 103.342,33 52.704,590 89.033,37
2009 1.538.082 99.975,33 50.987,418 86.132,58
2008 1.802.451 117.159,315 59.751,251 85.872.23
Sumber : BPS Provinsi Bali 2013 (diolah)
Keterangan: * Daging tanpa lemak
** Kemungkinan dengan lemak (BPS Provinsi Bali, 2013)
Babi memiliki persentase karkas yang lebih tinggi dibandingkan ternak
potong lainnya. Persentase karkas babi berkisar 65-70%, sisanya merupakan hasil
sampingan dari penyembelihan (kepela, jeroan, darah, kaki dan bulu). Berbeda
dengan ternak sapi, kerbau, kambing, kulit pada babi termasuk bagian dari karkas.
Karkas babi mengandung daging antara 43-51%, sisanya berupa lemak, kulit dan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [18]
tulang. Komponen karkas babi (daging, lemak, kulit dan tulang) sangat terkait
dengan umur. Makin bertambah umur babi, maka porsi daging menurun,
sebaliknya porsi lemak meningkat (Tabel 3). Oleh karena itu jika ingin
mendapatkan porsi daging yang lebih banyak, maka sebaiknya babi dipotong
pada umur yang tepat yaitu maksimum umur 6 bulan. Kalau lebih, porsi lemaknya
yang akan lebih banyak. Untuk babi guling yang baik umur di bawah 4 bulan,
karena dagingnya banyak, lemaknya sedikit, dan kulitnya banyak.
Tabel 3. Pengaruh umur dan komposisi karkas babi
Umur (bulan) Daging (%) Lemak (%) Kulit (%) Tulang (%)
5 50,00 31,00 8,50 10,50
6
48,00 35,00 7,50 9,50
51,00 28,98 9,10 9,92*
7,5 43,00 41,00 7,50 8,50
Sumber: Laboratorium Teknologi Pengolahan Produk Peternakan, Fakultas Peternakan UNPAD
(2009),sudah diolah,
* Budaarsa (1997).
Mengacu pada populasi babi di Bali lima tahun terakhir (Tabel 1) maka
potensi penghasil daging babi adalah babi yang jantan muda, kebiri, betina muda.
Namun yang paling potensi dipotong adalah babi yang dikebiri, karena babi
jantan ada kemungkinan dijadikan pejantan, sedangkan babi betina muda
dijadikan induk.
Tabel 4. Komposisi populasi babi yang potensial penghasil daging di Bali lima tahun Terakhir
(2009 – 2013)
Status babi
Tahun (ekor)
2009 2010 2011 2012 2013
Jantan muda 30.119 26.115 31.740 31.631 28.971
Kebiri 250.604 252.362 244.856 233.043 235.701
Betina muda 148.949 147.873 149.849 147.646 146.186
Jumlah 429.672 426.350 426.445 412.320 410.858
Prediksi Karkas
(ton)
27.929 27.713 27.719 26.807 26.706
Prediksi daging
(ton)
14.243,79 14.133,63 14.136,69 13.671,57 13.620,06
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali 2014 (diolah).
Prediksi daging dihitung 51% dari bobot karkas babi umur 5 bulan (Tabel 3 )
Kalau dari jumlah di atas kita asumsikan dipotong pada berat 100 kg
dengan persentase karkas 65%, maka jumlah karkas yang dihasilkan sejak tahun
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [19]
2009-2013 berturut: 27.929, 27.713, 27.719, 26.807 dan 26.706 ton. Menurut
Budaarsa (1997) komposisi karkas babi landrace terdiri atas daging 51%, lemak
28,98% kulit 9,10% dan tulang 9,92%. Berdasarkan komposisi tersebut maka
total daging yang dihasilkan adalah tahun 2009 sebanyak 14.243,79 ton, tahun
2010 sebanyak 14.133,63, tahun 2011 sebanyak 14.136,69 ton, tahun 2012
sebanyak 13.671,57 ton dan tahun 2013 sebanyak 13.620,06 ton. Namun jika
jumlah daging yang diproduksi lebih tinggi sangat mungkin babi betina maupun
pejantan yang afkir ikut dipotong. Begitulah gambaran potensi produksi daging
di Bali dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 berdasarkan populasi babi
jantan muda, babi kebiri, dan betina muda yang memang berpotensi dipotong.
Babi Bali Satu Potensi
Babi bali merupakan plasma nutfah yang patut diselamatkan, kalau tidak
bisa punah. Babi bali sebenarnya ada dua jenis, yaitu yang terdapat di Bali bagian
timur, yang diduga nenek moyangnya berasal dari China (Sus vitatus). Ciri-cirinya:
warna bulunya hitam agak kasar, punggungnya melengkung tetapi perutnya tidak
sampai menyentuh tanah dan cungurnya agak panjang. Jenis yang hidup di Bali
bagian utara, barat, tengah dan selatan mempunyai ciri-ciri: punggungnya
melengkung ke bawah (lordosis), perutnya besar, ada belang putih di bagian
perut dan keempat kakinya, moncongnya pendek, telinga tegak, tinggi badan
babi dewasa sekitar 54 cm, panjang badan sekitar 90 cm dan panjang ekor antara
20-25 cm (Gambar 2). Babi induk (bangkung) perutnya sangat turun ke bawah,
bahkan bisa menyentuh tanah bila berdiri. Puting susunya antara 12-14, bisa
melahirkan mencapai 12 ekor sekali beranak. Babi inilah yang lebih dikenal
sebagai babi bali (Sihombing, 2006).Tahun 2013 babi bali hanya tinggal 253.959
ekor, gambaan populasi selengkapnya disajikan pada Tabel 5.
Babi bali secara genetik pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan
dengan babi ras impor. Diperlukan waktu 10-12 bulan untuk mencapai berat
badan 90-100 kg, sedangkan babi ras impor hanya 5-6 bulan. Tetapi kelebihannya,
babi bali adalah babi yang tahan menderita, lebih hemat terhadap air, masih
mampu bertahan hidup walau diberi makan seadanya. Sehingga sangat cocok
dipelihara di daerah yang kering. Di Kecamatan Kubu, Karangasem, khususnya
di Desa Tianyar Barat, dan beberapa desadi Kecamatan Gerokgak, Buleleng,
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [20]
masih banyak orang memelihara babi bali. Para peternak di sana memberi istilah
babi bali itu dadi ajak lacur (bisa diajak hidup melarat). Maksudnya, tidak perlu
harus diberikan konsentrat, sebagaimana babi landrace dan babi ras lainnya, masih
dapat bertahan hidup. Hal ini bisa dipahami, karena secara ekonomi sebagian
besar mereka kurang mampu. Tiga kabupaten yang memiliki populasi babi bali
terbanyak adalah Karangasem, Buleleng dan Klungkung masing-masing: 73.677,
34.794 dan 18.613 ekor.
Tabel 5. Populasi babi bali di provinsi Bali tahun 2009-2013
Tahun
B a b i b a l i
Pejantan Jantan
Muda Kebiri Induk
Betina
Muda
Kucit Jumlah
Jnt/Kbr Betina
2013 3.886 14.307 56.559 30.760 42.447 52.421 53.579 253.959
2012 5.631 14.924 62.220 37.073 46.839 59.465 58.379 284.531
2011 6.586 17.983 59.806 34.730 44.710 54.093 54.620 272.528
2010 3.241 14.055 65.756 37.546 47.198 57.126 53.847 278.769
2009 2.980 15.075 66.789 36.535 44.804 62.718 58.769 287.670
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Bali 2013.
Dari penelitian pendahuluan diperoleh data bahwa babi bali mempunyai
persentase karkas 56,25%, lebih rendah dibandingkan babi Landrace yaitu 67,47%,
(Budaarsa, 1997). Kalau karkas tersebut diurai menjadi komponen karkas, maka
proporsinya adalah sebagai berikut: daging 48,50%, lemak 13,46%, tulang 16,24%
dan kulit 21,80%. Persentase daging tidak jauh berbeda dengan babi Landrace
yaitu 49%. Hal yang menarik pada babi bali, komposisi kakasnya mempunyai
persentase kulit lebih tinggi dari lemaknya. Itulah sebabnya babi bali lebih
disukai untuk babi guling karena kulitnya yang lebih tebal, umumnya konsumen
lebih suka dengan kulit babi guling. Disamping itu bagi masyarakat pedesaan
untuk upacara dan saat hari raya Galungan dan Kuningan masih banyak yang
memotong babi bali. Artinya, babi bali tetap merupakan potensi yang patut
diperhitungkan dalam pemenuhan daging di Bali.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [21]
Gambar 2. Babi bali, ada yang hitam dan ada yang belang putih
POTENSI PASAR
Konsumen
Penduduk pulau Bali mayoritas beragama Hindu, oleh karena itu daging
babi merupakan salah satu daging yang sangat diminati oleh masyarakat.
Berdasarkan hasil regestrasi penduduk tahun 2012 tercatat penduduk di Bali
sebanyak 3.686.665 jiwa, terjadi kenaikan 3,19% dari tahun sebelumnya
3.572.831 jiwa. Kalau dilihat komposisi agama yang dipeluk, berdasarkan
sensus penduduk tahun 2010, sebanyak 3.247.283 jiwa (83,46%) memeluk agama
Hindu, 529.244 jiwa (13,37%) agama Islam, 64.454 jiwa (1,66%) Kristen
Protestan, 31.397 jiwa (0,81%) Kristen Katholik, 21.156 jiwa (0,54%) agama
Budha, 427 jiwa (0,01%) agama Konghucu dan sisanya 282 jiwa (0,01%)
menganut aliran kepercayaan lainnya. Kalau dilihat komposisi penduduk di atas,
mayoritas (86, 63%) merupakan konsumen daging babi potensial, karena
berdasarkan kayakinan mereka diperbolehkan mengkonsumsi daging babi.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [22]
Hanya 13,37% yang mengharamkan daging babi. Tentu ini menjadi pangsa pasar
daging babi yang cukup besar.
Kalau diasumsikan bahwa penduduk yang mengkonsumsi daging babi
adalah mereka yang berusia antara 10-64 tahun ternyata jumlahnya sekitar 75%
dari jumlah penduduk. Pada tahun 2012 misalnya konsumen potensial tersebut
sekitar 2.395.319 orang, meningkat 3,19% dari tahun 2011 (Tabel 6). Jumlah
tersebut merupakan konsumen yang sangat potensial untuk mengkonsumsi daging
babi.
Tabel.6. Konsumen potensial daging babi di Bali
Tahun Jumlah
Penduduk (or)
Non Muslim
(or)*
Konsumen
Potensial
(or)**
Produksi
daging babi
(ton)
Konsumsi
(kg/kapita/th)
2012 3.686.665 3.193.758 2.395.319 59.008,823 24,64
2011 3.572.831 3.095.149 2.321.362 53.317,200 22,97
2010 3.522.375 3.051.433 2.288.575 52.704,590 23.03
2009 3.471.952 3.007.752 2.255.814 50.987,418 22.68
2008 3.409.845 2.953.948 2.215.462 59.751,251 26.98
Keterangan: * 86,63% dari jumlah penduduk
** usia 10-64 tahun, 75% dari jumlah penduduk
Dihubungkan dengan target konsumsi daging masyarakat Bali yang
dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi Bali kalau hanya dari daging babi saja
memang belum cukup. Kekurangan tersebut akan tertutupi dari daging ayam,
sapi, kambing, dan aneka ternak. Tetapi jika diacu produksi daging babi versi
BPS Provinsi Bali 2013 (Tabel 2), justru melebihi target tersebut. Kenyataannya
realisasi konsumsi daging masyarakat Bali sudah memenuhi target yang
ditetapkan, bahkan tahun 2011 sudah melebihi dari target yang ditetapkan (Tabel
7). Menurt laporan FAO 2010 konsumsi daging masyarakat Indonesia hanya
11,14 kg/kapita/tahun,
Tabel 7. Konsumsi daging, telur dan susu per kapita/tahun di provinsi bali tahun 2007- 2011
Komoditi
2008 2009 2010 2011
Target Reali
Sasi Target
Reali
sasi Target
Reali
sasi Target
Reali
Sasi
Daging
kg/Kap/Th 29,21 30,56 29.98 31,92 30.50 30.49 31,04 32,57
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [23]
Telur
kg/Kap/Th 8,74 9,99 9.98 10,06 10.09 8.45 10,10 11,40
Susu
kg/Kap/Th 0,17 1,01 1.23 1,87 1.23 1.69 1.23 1.69
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali 2013
Faktor Harga
Mulai awal tahun 2014 sampai bulan Juni 2014 harga babi hidup cukup
baik yakni bergerak dari Rp 25.000- 28.000/kg. Pada hari raya Galungan dan
Kuningan, bulan Mei 2014 harganya sempat naik mencapai Rp30.000/kg. Kalau
dibandingkan dengan harga babi pada hari raya Galungan bulan Oktober 2013
harga tahun 2014 jauh lebih baik. Tahun 2013 harga babi menjelang Galungan
Rp 22.000 –Rp 23.000/kg, namun pada hari-hari biasa sebelumnya harga babi
sangat rendah yakni Rp 15.000 – Rp 17.000/kg, bahkan pernah mencapai Rp
13.000/kg. Tingginya harga babi sesaat menjelang hari raya Galunga dan
Kuningan merupakan fenomena yang biasa dan terjadi secara terus menerus,
karena menjelang hari raya tersebut permintaan daging babi bagi umat Hindu
pasti meningkat. Masyarakat umumnya memotong babi pada hari penampahan
(sehari) menjelang Galungan dan Kuningan. Momen itulah yang digunakan oleh
peternak, khususnya peternak mandiri tradisional untuk menjual babinya. Hanya
dengan menjual babi dua ekor, yang dipelihara antara 5-6 bulan sudah mempunyai
uang Rp 5 juta lebih.
Meningkatnya harga babi potong berdampak juga terhadap harga bibit.
Kalau pertengahan tahun 2013 harga bibit (kucit) sempat mencapai Rp
200.000/ekor, tahun 2014 sudah membaik. Pada awal tahun 2014, bulan Februari
sampai Maret harga bibit di tingkat peternak sekitar Rp 400.000 – 450.000/ekor.
Namun bergerak naik sejalan dengan naiknya harga babi potong. Pada bulan Juni
harga bibit berkisar antara Rp 600.000 – Rp 650.000/ekor. Kenaikan ini memicu
sulitnya mendapatkan bibit bagi peternak, karena penghasil bibit lebih memilih
memelihara sendiri bibitnya, digemukan sendiri dengan harapan mendapat
keuntungan yang lebih banyak.
Harga daging babi juga merangkak naik mengikuti harga babi hidup. Pada
bulan Januari 2014 harga daging babi Rp 57.000/kg, naik menjadi Rp.58.000
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [24]
pada bulan Pebruari dan melonjak Rp 60.000/kg pada saat menjelang hari Raya
Galungan dan Kuningan pada bulan Mei 2014. Harga daging babi di seputar
Denpasar sampai bulan Juni 2014 disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Harga daging babi di Denpasar dari bulan Januari – Juni 2014
No Bulan Harga
Rp/kg
Keterangan
1. Januari 57.000*
2. Pebruari 55.000
3. Maret 58.000
4. April 58.000
5. Mei 60.000 Hari raya Galungan dan
Kuningan
6. Juni 58.000
*Rata-rata dari 4 pasar (Pasar Badung, Kreneng, Suung dan Sidakarya)
Kebutuhan Babi untuk Guling
Konsumsi daging babi di Bali tidak semata dalam bentuk daging yang
merupakan bagian dari karkas, tetapi juga dalam bentuk daging utuh yaitu babi
guling. Babi guling yang sebelumnya hanya sebatas sebagai sesaji atau bahan
persembahan pada upacara keagamaan tertentu, sekarang sudah menjadi salah
satu kuliner yang sangat digemari oleh masyarakat. Konsumennya tidak terbatas
hanya pada masyarakat Bali, tetapi sudah meluas pada wisatawan, baik domestik
maupun dari mancanegara. Maka rumah makan babi guling bermunculan dimana-
mana. Berdasarkan hasil survei Budaarsa (2012) di Bali terdapat 207 warung
babi guling yang tersebar di delapan kabupaten dan satu kota. Jumlah babi yang
dibutuhkan untuk babi guling pada warung makan di masing-masing kabupaten
disajikan pada Tabel 9.
Berdasarkan data tersebut setiap hari rata-rata diperlukan 207 ekor babi
muda untuk babi guling yang dijual oleh rumah makan. Berarti dalam satu bulan
diperlukan 6.210 ekor babi muda atau 74.520 ekor dalam satu tahun. Data di atas
hanya keperluan babi di warung makan, belum termasuk babi yang di guling oleh
masyarakat untuk sesaji dalam upacara tertentu di berbagai pelosok desa di Bali.
Kalau diasumsikan babi yang diguling untuk sesaji 20% saja dari keperluan
untuk warung babi guling, berarti dibutuhkan tambahan sekitar 41 ekor babi
muda setiap hari. Maka sedikitnya dibutuhkan 248 ekor babi muda setiap hari
atau 7.440 ekor setiap bulan, atau 89.280 ekor setiap tahun. Di tambah dengan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [25]
jumlah babi guling sebagai sesaji pada upacara Ngusaba Dalem di Desa Timbrah
Karangasem sekitar 1.600 ekor setiap tahun dan ngusaba di Pura Bukit Gumang,
Desa Bugbug, Karangasem ada sekitar 1.000 ekor babi guling sebagai sesaji,
maka diperlukan sekitar 91.880 ekor babi muda untuk babi guling di Bali setiap
tahun. Satu angka yang cukup banyak, dan seharusnya dipenuhi dari peternak
lokal (Bali), tidak usah mendatangkan dari luar Bali. Ini potensi pasar yang luar
biasa.
Tabel. 9. Kebutuhan babi untuk babi guling pada warung makan di masing-masing
kabupaten/kota se-Bali.
N0 Kabupaten/Kota Jumlah warung makan Kebutuhan babi /ekor/hari
1. Jembrana 8 8,00
2. Tabanan 17 20, 00
3. Badung 56 53,00
4. Gianyar 26 34,00
5. Klungkung 6 5,00
6. Bangli 9 7,00
7. Karangasem 22 15,00
8. Buleleng 16 17,00
9. Denpasar 47 48,00
Total 207 207
Sumber: Hasil survei grup riset Kajian Nutrisi Ternak Nonruminansia Unud (2011-2012).
Aktivitas Budaya dan Pariwisata
Beternak babi di Bali tidak bisa dipisahkan dengan budaya. Bahkan
beternak babi sendiri sudah merupakan budaya orang Bali, khususnya yang
beragama Hindu. Di Bali kegiatan adat, budaya dan agama tidak bisa dipisahkan.
Bahkan untuk Bali nyaris susah dibedakan antara kegiatan adat dan kegiatan
agama, walau sesungguhnya ke duanya berbeda. Dari sekian banyak kegiatan adat
dan upacara agama di Bali hampir selalu menggunakan ternak babi. Masyarakat
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [26]
Bali yang memiliki beragam tradisi atau adat di masing-masing desa adat sangat
mungkin setiap hari ada saja yang membuat babi guling, misalnya untuk
peringatan hari lahir anak (otonan) atau untuk naur sesangi. Babi guling
digunakan sebagai salah satu sarana persembahan sekaligus perlambang
kemakmuran yang telah diwarisi secara turun temurun oleh masyarakat Hindu di
Bali. Jadi untuk memenuhi kebutuhan aktivitas budaya, Bali membutuhkan babi
yang cukup banyak setiap tahun, suatu potensi pasar yang belum banyak
terungkap.
Gambar 3. Babi guling yang dipersembahkan saat upacara usaba di Desa
Timbrah Karangasem (Foto: Martawan)
Jumlah kunjungan wisatawan dari negara-negara yang potensial
mengkonsumsi daging babi, termasuk babi guling jumlahnya juga cukup banyak
(Tabel10). Australia sebagai pemasok wisatawan yang paling besar ke Bali
mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada tiga tahun terakhir. Australia
adalah negara yang masyarakatnya sebagian besar tidak mengharamkan daging
babi. China walaupun tahun 2010 kelihatan turun dibandingkan tahun 2009,
namun di tahun 2010 naik menjadi 236.867 orang, dan tahun 2012 sebanyak
317.165 orang.
China adalah salah satu sumber wisatawan yang akan menjadi konsumen
daging babi dan babi guling. Apalagi China dengan Indonesia, khususnya Bali
mempunyai hubungan sejarah yang sangat panjang. Hubungan tersebut terjalin
baik sejak abad XII dan sisa hubungan baik itu ditandai dengan adanya kesenian,
tempat suci dan arsitektur bercirikan khas China. Hubungan yang secara
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [27]
emosional sebenarnya masih terjalin baik sampai sekarang. Salah satu bukti, uang
kepeng China (pis bolong) sampai saat ini masih digunakan dalam upacara adat
maupun keagamaan di Bali. Cerita Sampek Ing Tai sempat menjadi judul drama
gong yang sangat populer di Bali. Sangat mungkin kalau wisatawan asal China
yang berkunjung ke Bali akan menyempatkan diri mencicipi babi guling.
Tabel 10. Wisatawan mancanegara yang datang langsung ke Bali per bulan tahun 2008- 2012
No Negara Tahun
2008 (or) 2009 (or) 2010 (or) 2011 (or) 2012 (or)
1 Australia 313.111 446.570 641.679 788.664 799.897
2 China 131.318 206.151 196.925 236.867 317.165
3 Jepang 399.824 333.905 241.212 182.385 188.711
4 Korea Selatan 134.909 124.889 124.752 126.702 123.157
5 Taiwan 130.449 120.445 122.271 129.226 100.447
6 Inggris 82.856 93.688 96.536 102.989 116.462
7 Perancis 77.379 113.453 104.142 111.491 112.447
8 Jerman 82.355 74.849 84.455 84.041 89.924
9 Amerika Serikat 68.934 73.653 68.977 89.573 94.893
Dikutip dari BPS Provinsi Bali (2013)
Gambar 4. Wisatawan dari mancanegara menikmati babi guling di Ubud Gianyar
Beberapa Kendala
Kendala utama yang dirasakan oleh para peternak babi adalah harga pakan
yang terus bergerak naik. Harga pakan jadi untuk penggemukan tahun 2013
sekitar Rp 300.000/sak (50 kg) atau Rp 6.000/kg tahun 2014 sudah naik menjadi
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [28]
Rp 350.000 atau Rp 7.000/kg. Bahkan pakan komplit butiran untuk anak babi
sapihan harganya mencapai Rp 403.000/sak (50 kg). Bahan pakan yang lain
antara lain dedak, polar yang penggunaannya cukup banyak juga ikut bergerak
naik. Dedak padi yang sebelumnya Rp. 2.500, sekarang harganya Rp 3.500/kg.
Polar pada akhir tahun 2013 sampai awal tahun 2014 Rp 180.000/sak atau Rp
3.600/kg, sekarang sudah mencapai Rp 185.000 atau Rp 3.700/kg. Kenaikan
harga pakan dari waktu kewaktu sangat memukul peternak babi, karena 70%
biaya operasional tersedot untuk pembelian pakan. Alasan pihak pabrik menaikan
harga pakan karena bahan baku diantaranya: jagung, kedelai, dan tepung ikan
harga di pasaran juga terus mengalami kenaikan. Ironisnya bahan pakan tersebut
sebagian besar masih diimpor. Selain itu semakin menyusutnya lahan pertanian
di Bali akan menjadi kendala tersendiri bagi peternak untuk mengembangkan
usahanya. Sangat sulit bagi peternakan babi berskala besar mencari lahan. Harga
tanah juga di Bali naik dengan sangat cepat. Alih fungsi lahan pertanian di Bali
diperkirakan mencapai 750 hektar setiap tahunnya. Hal ini kalau tidak
dikendalikan akan mengancam sektor pertanian, termasuk peternakan.
PERAN PEMERINTAH
Seperti halnya dalam sektor-sektor pembangunan lainnya, kehadiran
pemerintah sebagai pihak regulator selalu diharapkan oleh peternakan babi di
Bali. Ketika jumlah populasi babi di Bali sudah mencukupi kebutuhan pasar,
pemerintah dengan kewenangannya semestinya dengan tegas melarang
masuknya babi dari luar Bali. Hal ini pernah terjadi ketika babi dari Jawa
membanjiri Bali sehingga harga babi menjadi sangat murah yaitu sekitar Rp
12.000 – 16.000/kg hidup. Dalam kondisi demikian peternak babi sangat terpukul,
tidak sedikit yang bangkrut.
Peran pemerintah lainnya dalam hal mengawasi pemasaran babi dari
peternakan pola kemitraan yang dituding oleh peternak mandiri mengganggu
pasaran babi di Bali. Peternakan mandiri menuntut agar peternak kemitraan
tidak menjual babi di pasar lokal, tetapi harus ke luar Bali supaya harga babi tidak
anjlok. Hal ini harus dimediasi oleh pemerintah, kalau tidak, bisa menimbulkan
keresahan di kalangan peternak. Peran pemerintah tersebut di Bali sudah
dituangkan dalam bentuk Peraturan Gubernur Bali Nomor 6 Tahun 2013, tentang
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [29]
Pelaksanaan Kemitraan dan Perlindungan Usaha Peternakan di Provinsi Bali yang
ditetapkan pada tanggal 4 Maret 2013. Perlu ketegasan pemerintah sesuai dengan
peranan dan tanggungjawabnya yang telah tertuang dalam pergub tersebut.
Selain itu, peternak babi, khususnya yang skala besar sering dihadapkan
pada kendala sosial di lapangan dalam bentuk protes warga di sekitar kandang.
Padahal ketika kandang babi didirikan oleh pengusaha di lingkungan sekitar,
sama sekali belum ada perumahan. Menyikapi kondisi tersebut, semestinya
pemerintah mempunyai rencana tata ruang yang jelas. Harus ada pemetaan
mengenai zonasi wilayah untuk usaha peternakan yang jelas dan pasti. Kalau di
suatu daerah sudah ditetapkan menjadi kawasan peternakan, seyogyanya tidak ada
ijin untuk membangun perumahan. Dengan demikian pihak perusahaan
peternakan ada jaminan untuk mengembangkan usahanya, sehingga bisa beternak
dengan nyaman. Kalau tidak, mereka akan selalu dihantui dengan perasaan was-
was, adanya demo atau protes dari warga. Harus disadari bahwa modal yang
mereka tanamkan cukup besar. Sudah cukup banyak kasus yang demikian terjadi,
khususnya untuk peternakan babi dan ayam di Bali.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ternak babi mempunyai potensi dan posisi yang strategis dalam
menyediakan kebutuhan daging untuk mayoritas masyarakat Bali dan wisatawan
manca negara, untuk itu usaha peningkatan kuantitas dan kualitas peternakan babi,
termasuk babi bali harus terus di diorong. Peran pemerintah dalam menata
pelaksanaan usaha peternakan babi di Bali perlu ditingkatkan, serta perlu
menetapkan kawasan peternakan dalam bentuk perda sehingga ada jaminan
bagi pengusaha untuk memelihara ternak babi.
Saran
Pengembangan usaha ternak babi di Bali perlu diarahkan menjadi usaha
ternak yang lebih efisien berbasis pada peternakan rakyat dengan memanfaatkan
limbah pertanian lokal secara optimal. Babi bali sebagai plasma nutfah perlu
dilindungi dan dikembankan jangan sampai punah sebab mempunyai potensi yang
cukup tinggi sebagai penghasil daging babi. Perlu adanya ketegasan dari
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [30]
pemerintah dalam memberikan sanksi jika ada pihak yang melanggar isi dari
Peraturan Gubernur Nomor 6 tahun 2013, serta perlu adanya pemetaan wilayah
yang jelas untuk usaha ternak babi sehingga terhindar dari protes masyarakat
sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
Bali dalam Angka. 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Penerbit BPS
Provinsi Bali.
Budaarsa, K. 1997. Kajian Penggunaan Rumput Laut dan Sekam Padi Sebagai
Sumber Serat Dalam Ransum Untuk Menurunkan Kadar Lemak Karkas dan
Kolesterol Daging Babi. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Budaarsa, K. 2006. Survei Kebutuhan Babi Guling di Kabupaten Badung.
Laporan Penelitian. DIK. Universitas Udayana.
Budaarsa, K. 2012. Babi Guling Bali, dari Beternak, Kuliner Hingga Sesaji.
Penerbit Buku Arti, Denpasar.
Budaarsa. K, N. Tirta. A, K. Mangku Budiasa dan P.A. Astawa. 2013.
Eksplorasi Hijuan Pakan Babi dan Cara Penggunaannya pada Peternakan
Babi Tradisonal Di Provinsi Bali. Makalah Seminar Nasional II Himpunan
Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HIPT), di Denpasar 28-29 Juni
2013.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Rencana Strategis
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2010-2014.
Gubernur Bali. 2013. Peraturan Guberur Bali Nomor 6 Tahun 2013 Tentang
Pelaksanaan Kemitraan dan Perlindungan Usaha Peternakan di Provinsi Bali.
Igbal, M. 2011. Antara Kecerdasan, Kemakmuran dan Prioritas Pembangunan
Peternakan. http://www.geraidinasingapura.com/. [Diunduh 14 Juni 2014].
Sihombing, D.T.H. 2006. Ilmu Ternak Babi. Yoyakarta, Gajahmada Univesity
Press.
Tirta A. I.N. 2012. Pemberian Larutan Gula-Garam sebagai Upaya Mengurangi
Dampak Negatif Penundaan Waktu Pemotongan terhadap Karakteristik dan
Kualitas Karkas Babi Landrace Persilangan. (Disertasi) Program
Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [31]
KUMPULAN
MAKALAH
PESERTA
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [32]
1.
PRODUKSI
TERNAK BABI
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [33]
PERFORMANS REPRODUKSI INDUK BABI MELALUI OVULASI
GANDA DENGAN PMSG DAN hCG SEBELUM PENGAWINAN
Mien Theodora Rossesthellinda Lapian,
Program Studi Ilmu Ternak, Laboratorium Produksi Ternak, Fakultas Peternakan
Universitas Samratulangi Manado, Sulawesi Utara
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian telah dilakukan untuk mempelajari pengaruh superovulasi dari babi
dara sebelum dikawinkan terhadap performans reproduksi. Penelitian
menggunakan 60 ekor babi dara dibagi menjadi dua perlakuan yaitu: 1) babi dara
tanpa superovulasi dan 2) babi dara dengan superovulasi. Setelah babi dara
memperlihatkan gejala birahi, pejantan dimasukkan kedalam kandang untuk
mengawini babi dara yang birahi. Selama penelitian, babi yang telah bunting
dipelihara bersama dalam kandang postal, dan dua minggu menjelang beranak
ditempatkan pada kandang individu berukuran 2,5 × 3,5 m2 yang dilengkapi
dengan tempat makan dan minum. Penelitian tahap I menggunakan rancangan
acak lengkap (RAL), terdiri dari dua perlakuan masing-masing dengan 30
ulangan,dan analisis data mengikuti prosedur model matematika sebagai
berikut:Yij = µ + αi + εij. Semua data diolah dengan menggunakan sidik ragam
(Steel dan Torrie, 1989).Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan
tanpa dan dengan superovulasi sangat berbeda nyata (P<0.01) terhadap mortalitas
(MRTA) masing-masing 26,64 ± 18,6 dan 14,92 ± 10,18%. Litter size sapih (LSS)
masing-masing 7.48 ± 1,97 dan 9,29 ± 1,98 ekor). Bobot sapih per litter (BSPL)
masing-masing 79,63 ± 20,78 dan 107,02 ± 21,85 kg, (BSPE) masing-masing
10,64 ± 0,75 dan 11,61±1,41 kg. Akan tetapi pengaruh perlakuan berbeda nyata
(P<0.05) terhadap bobot badan induk (BBI) masing-masing 171,38 ± 9,15 dan
179,86 ± 11,49 kg, litter size lahir hidup (LSLH) masing-masing 8,95 ± 2,03 dan
10,43 ± 2,54 ekor, bobot badan lahir per litter (BLPL) masing-masing 13,64 ±
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [34]
2,31 dan 16,10 ± 4,19 kg, bobot badan lahir per ekor (BLPE) masing-masing
(1,34 ± 0,14 kg) dan (1,46±0,19), sedangkan pengaruh perlakuan terhadap litter
size lahir mati (LSLM) masing-masing 1,33 ± 1,02 dan 0,81 ± 1,57 ekor, litter size
lahir total (LSLT) masing-masing 10,29 ± 2,19 dan 11,24 ± 3,33 ekor tidak
berbeda nyata.Hasil penelitian dapat disimpulkan, performans reproduksi induk
babi melalui ovulasi ganda sebelum pengawinan, dapat memperbaiki bobot lahir,
litter size sapih, dan mortalitas.
Kata kunci: superovulasi, performans reproduksi
REPRODUCTIVE PERFORMANCE OF SOWS SUPEROVULATED
WITH PMSG AND hCG THROUGH SUPEROVULATION BEFORE
MATING
ABSTRACT
This research has been conducted to study the effect of superovulation prior to
mating toward gilts reproduction performance. Sixty gilts were divided into two
treatments,1) gilts without superovulation and 2) gilts with superovulation. Once
the gilts shows a standing heat symptoms, the boar inserted into the pig pen to mat
the gilts. During the study, the pregnant gilts kept together in postal pens, then
two weeks before farrowing each pregnant gilts then placed in 2.5 × 3.5 m2
individual cages equipped with feeding and drinking devices. A Completely
Randomized Design (CRD) was used in the first phase of study, consisting of two
treatments with 30 replicates each, while analysis of data based on the
mathematical model procedures, as follows: Yij = μ + αi + εij. All data were then
analysed using variance (Steel and Torrie, 1989).The results showed that the
superovulation treatments were highly significant affected (P <0.01) respectively
against the mortality (MRTA) 26.64 ± 18.60 and 14.92% ± 10.18, litter size
weaning (LSW)79.63 ± 20.78 and 107.02 ± 21.85 kg, the weaning litter size
(WLS) 7.48 ± 1.97 and 9.29 ± 1.98 pigs. But the superovulation treatment was
just significantly affected (P <0.05) respectively towards the sows body weight
(SBW) 171.38 ± 9.15 and 179.86 ± 11.49 kg, the litter size born alive (LSBA)
8.95 ± 2.03 and 10.43 ± 2.54 pigs), the litter weigth at birth (LWAB) (13.64 ±
2.31 dan 16.10 ± 4.19 kg, the pig weight at birth (PWAB) 1.34 ± 0.14 and1.46 ±
0.19 kg, whereas the treatment effect respectively on the litter size dead born
(LSDB)1.33 ± 1.02 and l 0.81 ± 1.57 pig, and the total born litter size (TBLS)
10.29 ± 2.19 and 11.24 ± 3.33 pigs were not Significantly affected.It is concluded
that the superovulation treatment in the parent before mating can improve sow
reproductive performance reproduction, which is described by the improvement of
birth weight, weaning litter size, mortality.
Keywords: superovulation, reproduction
PENDAHULUAN
Performans reproduksi ternak babi sangat tergantung pada keberhasilan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [35]
proses reproduksi. Kemampuan reproduksi sangat ditentukan oleh keberhasilan
induk untuk menghasilkan anak babi yang sehat dan kuat pada saat penyapihan,
sehingga periode hidup berikutnya lebih baik. Faktor-faktor yang sangat
mempengaruhinya adalah frekuensi beranak, pertambahan bobot badan anak
sebelum disapih, angka kematian yang rendah dan bobot anak pada saat lahir,
semuanya ditentukan oleh pertumbuhan prenatal (selama dalam kandungan) yang
merupakan akumulasi pertumbuhan sejak zigot berkembang menjadi embrio,fetus
sampai dilahirkan.
Kehidupan anak babi lahir sampai disapih merupakan periode kritis,
umumnya angka kematian atau mortalitas pada periode ini sangat tinggi. Hal ini
merupakan masalah utama yang sering terjadi pada usaha peternakan babi baik
skala kecil maupun skala besar, angka kematian anak babi sebelum disapih
berkisar 20–30% dan bahkan dapat mencapai 70% (Sihombing 1997). Tingginya
angka kematian ini dapat dimengerti karena pada periode awal (starter) status faali
dimana anak babi sangat peka terhadap derita cekaman (stress) dingin. Jumlah
anak babi sekelahiran (litter size) yang tinggi dengan bobot lahir yang rendah juga
akan mempengaruhi kematian anak babi selama menyusu (Eusebio 1980). Anak
babi yang lahir dengan bobot badan rendah diduga ada hubungan dengan
kemampuan untuk melawan cekaman pada kehidupan diluar kandungan karena
adanya sistem hormonal dalam lingkungannya serta keadaan faali yang relatif
belum matang.
Produktivitas induk, banyak cara telah dilakukan untuk memperbaikinya
antara lain dengan memanipulasi sistem reproduksi untuk memperbaiki
pertumbuhan dan perkembangan prenatal yaitu perkembangan embrio dan fetus
yang pada gilirannya mampu menghasilkan anak sekelahiran dengan bobot yang
optimal. Pertumbuhan dan perkembangan prenatal pada dasarnya dapat dibagi
menjadi tiga periode yaitu zigot, embrio dan fetus. Diantara ketiga periode
tersebut, periode pertumbuhan dan perkembangan fetus merupakan periode
pertumbuhan prenatal yang paling pesat, selain itu dapat memperbaiki
pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu selama kebuntingan sehingga dapat
memproduksi susu secara optimal selama masa laktasi. Pertumbuhan anak babi
ditentukan oleh produksi air susu dari induk untuk pemeliharaan anak selama pra
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [36]
sapih (Kim et al., 2000; Valros et al., 2003).
Ovulasi ganda merupakan salah satu cara untuk memperbaiki sistem
reproduksi ternak dengan harapan dapat memperbaiki produksi melalui perbaikan
pertumbuhan prenatal selama kebuntingan dan produksi air susu selama laktasi
(Manalu et al., 1998; Manalu dan Sumaryadi, 1999). Penggunaan PMSG dan hCG
telah dibuktikan dapat meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon
kebuntingan, pertumbuhan uterus, embrio dan fetus, bobot lahir dan bobot sapih,
pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu dan produksi air susu pada domba
(Manalu et al., 1998), sapi (Sudjadmogo et al., 2001), kambing (Adriani et al.,
2005) dan babi (Mege et al., 2007). Melalui peningkatan produksi air susu dari
induk, pertumbuhan dan perkembangan anak babi dapat ditingkatkan, angka
mortalitas ditekan dan berat sapihan dapat dinaikkan. Penampilan anak babi lepas
sapih yang baik selanjutnya dapat mempengaruhi kualitas bakalan dalam hal ini
pertumbuhan dan kualitas karkas pada saat dipotong.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh ovulasi ganda pada
induk babi sebelum pengawinan terhadap performans anak babi yang dilahirkan
sampai disapih.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian tahap I ini dilaksanakan di Peternakan Wailan, yang berlokasi di
Kelurahan Kayawu, Kecamatan Tomohon Barat, Kota Tomohon Provinsi
Sulawesi Utaramulai dari Oktober 2010 hingga Maret 2011. Jarak dari Manado ke
lokasi penelitian ± 25 km.
Tabel 1. Komposisi Bahan dan Zat Makanan dalam Ransum Induk Babi dan Pejantan, Induk
Bunting dan Laktasi (%)
Bahan Makanan Induk dan Pejantan Induk Bunting dan Laktasi
Jagung 80 40
Konsentrat 20 60
Dedak halus - -
Butiran EGP 702 - -
Komposisi Zat-zat Makanan
Ransum Induk dan Pejantan)* Ransum Induk Bunting dan
Laktasi )*
Bahan Kering 87.47 87.47
Abu 3.83 10.58
Protein Kasar 14.49 16.68
Lemak 8.05 8.30
Serat Kasar 3.91 15.18
Beta-N 57.19 38.53
Kalsium 0.95 1.38
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [37]
Fospor 0.88 1.04
NaCl 0.12 0.27
Energi Brutto (kkal/kg) 3960 3956
Ket.:*) Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Institut Pertanian Bogor
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Bagian Ilmu dan Teknologi Pakan (2011)
Materi Penelitian
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah babi dara (calon induk)
keturunan Landrace, Yorkshire dan Durocsebanyak 60 ekor dengan bobot badan
berkisar antara 100–107 kg. Ransum yang digunakan selama penelitian
disesuaikan dengan ransum yang digunakan di perusahaan.
Komposisi bahan makanan dan zat-zat makanan dalam ransum masing-
masing dapat dilihat pada Tabel 1. Pemberian makan dilakukan dua kali sehari
dan air minum tersedia ad libitum sepanjang hari. Agen superovulasi yang
digunakan adalah hormon PMSG (Follig on, Intervet, North Holland) dan hCG
(Chorulon, Intervet, North Holland). Penyerentakan birahi dilakukan dengan
menggunakan prostaglandin (Prosolvin, Intervet, North Holland).
Metode Penelitian
Rancangan Percobaan
Penelitian tahap I ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL),
terdiri dari dua perlakuan masing-masing dengan 30 ulangan, dan analisis data
mengikuti prosedur model matematika sebagai berikut:Yij = µ + αi + εij. Semua
data diolah dengan menggunakan sidik ragam (Steel dan Torrie, 1989).
Prosedur Penelitian
Penelitian tahap 1 (Gambar 5) menggunakan 60 ekor babi dara yang
ditempatkan dalam kandang, dimana 30 ekor babi dara dilakukan penyuntikan
PMSG dan hCG dengan dosis: 400/200 (superovulasi 600) IU per ekor dan 30
ekor disuntik dengan NaCl fisiologis 0,95%. Sebelum penyuntikan PMSG dan
hCG, dilakukan penyerentakan birahi dengan penyuntikan satu ml
PGF2αsebanyak dua kali dengan interval waktu 14 hari. Pada penyuntikan
PGF2αkedua, atau tiga hari sebelum birahi, dilakukan penyuntikan PMSG dan
hCG secara intramuskular (sesuai dengan dosis pada masing-masing perlakuan),
sedangkan kelompok kontrol disuntik dengan NaCI fisiologis 0,95%. Setelah
menampakkan gejala birahi,babi pejantan dimasukkan kedalam satu kandang
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [38]
untuk mengawini babi dara yang birahi. Selama penelitian, babi yang telah
bunting dipelihara bersama dalam kandang postal, dan dua minggu menjelang
beranak, babi ditempatkan pada kandang individu berukuran 2,5 × 3,5 m2 yang
dilengkapi dengan tempat makan dan minum sampai umur 49 hari setelah beranak
(postpartum), yang merupakan umur penyapihan.
Peubah yang diamati dalam penelitian tahap I ini adalah sebagai berikut:
1. Liter Size lahir dibagi dalam tiga kategori yaitu, jumlah anak babi yang
hidup lahir (LSHL), jumlah anak babi yang mati lahir (LSML) dan hasil
penjumlahan dari kedua ketegori tersebut yaitu litter size total (LSTL).
2. Bobot Lahir meliputi;
a. Bobot badan lahir per litter (BLPL) (kg/litter), diperoleh dengan cara
menimbang semua anak babi yang hidup lahir dari seperindukan
b. Bobot badan lahir per ekor (BLPE) (kg/e), diperoleh dari hasil
perhitungan bobot badan per litter dibagi dengan jumlah anak per
induk per kelahiran.
a. Produksi air susu induk (PASI) babi per hari diperoleh dari frekuensi
induk menyusui (FIM) x PASI babi per menyusui
b. Produksi air susu induk (PASI) babi per laktasi (kg), PASI/hari × 49
hari (selama laktasi)
3. Litter Size Sapihan (LSS) (ekor), diperoleh dengan menghitung jumlah
anak babi sekelahiran segera setelah disapih
4. Bobot Sapih meliputi;
a. Bobot sapih per litter (BSPL) (kg), diperoleh dengan menimbang
semua anak babi seperindukan segera setelah disapih.
b. Bobot sapih per ekor (BSPE) (kg), diperoleh dengan cara menghitung
bobot badan sapih per litter (BSPL) dibagi dengan jumlah anak babi
sapihan per induk per kelahiran
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Perlakuan terhadap Penampilan Reproduksi Induk Babi
Penampilan reproduksi induk babi yang diamati dalam penelitian ini
antara meliputi:litter size lahir, mortalitas, bobot sapih dan litter size sapih.
Tabel 2. Penampilan Reproduksi Induk Babi Kontrol Tanpa Ovulasi Ganda (TSO) dan yang
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [39]
Diovulasi Ganda (SO)
Parameter Perlakuan Rataan
TSO SO
Litter size lahir (LSL)
1. Litter size hidup lahir (LSHL) (Ekor) 8.,95 ± 2, 03 a 10,43 ± 2, 54 b 9, 69 ± 2.,39
2. Litter size lahir mati (LSML) (Ekor) 1,33 ± 1, 02 0,81 ± 1, 57 1, 07 ± 1.,33
3. Litter size total lahir (LSTL) (Ekor) 10.,29 ± 2,19 11,24 ± 3, 33 10, 76 ± 2.,83
Bobot Lahir
1. Bobot lahir per litter (BLPL) (Kg /litter) 13,64 ± 2, 31 a 16,10 ± 4, 19 b 14.,87 ± 3, 57
2. Bobot lahir per ekor (BLPE) (Kg/e) 1,34 ± 0, 14 a 1,46 ± 0,19 b 1,40 ± 0,18
Mortalitas (MRTA) (%) 26.,64 ±18,60 B 14.,92 ± 10,18 A 20,78 ± 15, 95
Litter size sapih (LSS) (Ekor) 7.,48 ±1,97A 9.,29 ± 1,98B 8,38 ± 2,15
Bobot Sapih
1. Bobot sapih per litter (BSPL) (Kg/litter) 79,63 ± 20,78A 107,02 ± 21,85B 93,33 ± 25, 21
2. Bobot sapih per ekor (BSPE) (Kg/e) 10,64 ± 0,75A 11.,61 ± 1,41B 11,13 ± 1,07
Keterangan: Superskrip huruf besar dan kecil yang berbeda pada baris dan kolom yang sama
masing-masing menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (P<0,01) dan berbeda nyata
(P<0,05); TSO = tanpa superovulasi, SO = superovulasi
Litter Size Lahir
Litter size lahir dibagi kedalam tiga kategori yaitu, jumlah anak babi yang
hidup lahir (Litter Size Hidup Lahir, LSHL), jumlah anak mati lahir (Litter Size
Mati Lahir, LSML) dan hasil penjumlahan kedua kategori tersebut (Litter Size
Total Lahir, LSTL).
1. Litter Size Hidup Lahir
Rataan umum dari penelitian anak-anak babi yang hidup lahir sebesar 9,69
± 2,39 ekor (Tabel 3). Litter size hidup lahir yang dihasilkan hampir sama dengan
hasil pengamatan Herawaty (2006) sebesar 9,43 ekor. Rataan umum yang
diperoleh dalam penelitian ini masih lebih rendah daripada pernyataan Kurniawan
(2006) bahwa litter size hidup lahir anak babi sebesar 10,16 ekor. Hasil analisa
sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0.05)
terhadap litter size hidup lahir dimana tanpa dan dengan superovulasi masing-
masing dengan nilai rataan 8,95 ± 2,03 ekor (KK= 22,74 %) dan 10,43 ± 2,54
ekor (KK= 24,37 %).
Litter size hidup lahir yang disuperovulasi lebih tinggi daripada tanpa
superovulasi. Lazimnya pada ternak yang beranak banyak seperti ternak babi
semakin tinggi jumlah anak yang dikandung cenderung semakin banyak anak
yang lahir dibawa bobot rataan normal, sehingga anak yang bobot dibawah
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [40]
normal akan mati, dengan demikian akan mempengaruhi jumlah anak yang
hiduplahir. Litter size hidup lahir tergantung dari jumlah anak yang mati pada
proses sebelum dan sesudah lahir. Makin tinggi anak babi yang mati pada proses
tersebut diikuti dengan makin rendah litter size hidup lahir.
2. Litter Size Mati Lahir
Rataan umum anakbabi yang mati lahir sebesar 1,07 ± 1,33 ekor atau 9,29
± 9,87%. Persentase rataan umum yang diperoleh pada penelitian ini hampir sama
dengan pendapat Sihombing (2006), yang menyatakan hampir 10% anak babi
yang mati lahir adalah yang benar-benar mati sebelum mulai proses kelahiran dan
90% sisanya adalah mati selama proses kelahiran. Rataan litter size mati lahir
pada penelitian selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 2. Hasil analisa sidik
ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap litter size
mati lahir. Rataan litter size mati lahir pada penelitian ini untuk induk babi tanpa
dan dengan superovulasi masing-masing adalah1,33 ± 1,02 ekor (11,83%) dan
0,81 ± 1,56 ekor (10 %).
Walaupun hasil analisis ragam runtuk perlakuan tidak berbeda nyata
namun pada Tabel 3 memperlihatkan babi dara yang disuperovulasi menghasilkan
jumlah anak babi yang mati lahir lebih sedikit dibanding dengan yang tidak
disuperovulasi. Hal ini disebabkan anak babi yang lahir dari induk babi tanpa
superovulasi umumnya mempunyai bobot lahir yang rendah lebih banyak yaitu
dibawah satu kg. Hasil pengamatan memperlihatkan umumnya anak babi mati
sesudah dilahirkan. Banyak anak babi yang mati dalam keadaan lemah, dan pada
umumnya mempunyai bobot lahir yang sangat rendah yaitu dibawah satu kg, ini
terjadi pada saat lahir hingga hari ke-3. Sesuai pernyataan Sihombing (2006),
bahwa anak babi yang lahir sampai umur tiga hari tingkat kematian 12%
sedangkan 4-7 hari 10%.
3. Litter Size TotalLahir
Rataan umum litter size total lahir hasil penelitian adalah 10,76 ± 2,83
ekor. Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah anak sekelahiran baik faktor
genetik maupun lingkungan. Litter sizetotal lahir yang diperoleh selama penelitan
lebih rendah daripada yang dilaporkan oleh Krider dan Carrol (1971) yaitu
sebesar 11,4 ekor, sedangkan menurut Eusebio (1980) litter size lahir anak babi
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [41]
berkisar antara 8,12 ekor. Bangsa babi juga dapat mempengaruhi jumlah litter
size lahir, babi Duroc dengan litter size 10,24 ekor dan bangsa babi Landrace
10,94 ekor (Milagres et al., 1983) dan 11 ekor (Devendra dan Fuller, 1979),
sedangkan untuk bangsa babi Yorkshire adalah 9,57 ekor (Park dan Kim, 1983).
Rataan litter size total lahir seperti terlihat pada Tabel 2, untuk induk babi
yang diberi perlakuan tanpa dan dengan superovulasi masing-masing adalah 10,29
± 2,19 ekor (KK=21,33%) dan 11,24 ± 3,33 ekor (KK=29,63%). Hasil analisis
ragam perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap litter
size total lahir. Hal ini dapat dijelaskan bahwa litter size total lahir dari induk yang
disuperovulasi menghasilkan rataan jumlah anak yang hampir sama dengan induk
yang tidak superovulasi ini disebabkan ternak babi adalah ternak yang prolifik.
Walaupun tidak berbeda nyata secara statistik namun dilihat dari jumlah
anak total lahir atau litter size total lahir dari induk babi yang disuperovulasi
masih lebih tinggi daripada tanpa superovulasi. Hal ini memberi gambaran bahwa
secara fisiologis induk babi memberikan respons yang baik terhadap pemberian
PMSG dan hCG yang kerjanya mirip dengan FSH dan LH yaitu merangsang
pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium untuk mensekresi estrogen yang
selanjutnya akan merangsang ovulasi (Bates et al., 1987; Estiene dan Harper,
2003) dan perkembangan korpus luteum untuk menghasilkan ovum yang lebih
banyak dan berpotensi meningkatkan jumlah anak sekelahiran (Mege, 2007).
Bobot Lahir Anak Babi
Bobot lahir dibagi kedalam dua kategori yaitu, penimbangan anak babi
yang lahir dari setiap induk (bobot lahir per litter, BLPL) dan bobot lahir per ekor
(BLPE) hasil penimbangan bobot badan lahir per litter dibagi dengan jumlah anak
hidup lahir (ekor).
1. Bobot Badan Lahir per Litter
Rataan umum bobot lahir anak babi per litter adalah 14,87 ± 3,57 kg.
Pengaruh perlakuan terhadap bobot badan lahir per litter dapat dilihat pada Tabel
2. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan berbeda
nyata (P<0,05) terhadap bobot lahir per litter. Bobot badan lahir anak per litter
dari induk babi tanpa dan dengan superovulasi masing-masing adalah 13,64 ±
2,31 kg (KK = 16,98 %) dan 16,10 ± 4,19 kg (KK=25,99 %). Superovulasi pada
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [42]
induk babi menghasilkan bobot lahir per litter lebih tinggi daripada tanpa
superovulasi, karena superovulasi meningkatkan aktivitas hormon kebuntingan
progesteron dan estradiol dan faktor pertumbuhan, hormon-hormon tersebut akan
disekresikan secara endogen selama kebuntingan dan berperan dalam
perangsangan proses sintesis dan sekresi kelenjar endometrium uterus yang pada
gilirannya akan sangat menentukan kelangsungan hidup, pertumbuhan dan
perkembangan konseptus sejak pra-implantasi sampai menjelang kelahiran
(Carson et al., 2000). Pregnant Mare’s Serum GonadotropindanHuman Chorionic
Gonadotrophinberperan dalam meingkatkan kapasitas dan sekresi uterus (Giesert
dan Schmitt, 2002), serta pertumbuhan dan perkembangan intrauterus (Valet et al.,
2002), setelah plasentasi sangat dipengaruhi oleh kapasitas plasenta yang
memfasilitasi sirkulasi substrat dari induk untuk pemeliharaan fetus (Wilson et al.,
1999; Giellespie dan James, 1998).
2. Bobot Badan Lahir perEkor
Rataan umum untuk bobot lahir anak babi per ekor adalah 1,40 ± 0,18 kg.
Kurniawan (2006) yang meneliti hubungan bobot lahir dengan litter size lahir
manyatakan bahwa bobot lahir anak babi adalah 1,30 kg/ekor. Bobot lahir anak
babi dari induk dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain, frekuensi induk babi
beranak (parity), umur induk, bangsa induk dan jumlah anak seperindukan pada
waktu lahir (De Borsotti et al., 1982). Pengaruh perlakuan terhadap bobot badan
lahir dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa
pengaruh perlakuan terhadap bobot lahir per ekor berbeda nyata (P<0,05). Bobot
lahir per ekor anak babi dari induk perlakuan tanpa dan dengan superovulasi
masing-masing adalah 1,34 ± 0,14 kg (KK= 10,46%) dan 1,46 ± 0,19 kg
(KK=13,12%) (Tabel 3).Bobot lahir yang lebih tinggi dari induk babi dengan
perlakuan superovulasi dapat disebabkan superovulasi meningkatkan aktivitas
hormon kebuntingan dan faktor pertumbuhan, hormon-hormon tersebut akan
disekresikan secara endogen selama kebuntingan dan berperan dalam deferensiasi
dan perkembangan fetus selama kebuntingan yang berkaitan dengan
kemampuannya beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi pada masa
transisi dari kehidupan intrauterus ke ekstrauterus (Geisert et al., 1994). Bobot
lahir tidak lepas dari kapasitas dan sekresi uterus (Giesert dan Schmitt, 2002), dan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [43]
juga oleh gangguan pertumbuhan dan perkembangan intrauterus (Valet et al.,
2002), setelah plasentasi sangat dipengaruhi oleh kapasitas plasenta yang
memfasilitasi sirkulasi substrat dari induk untuk pemeliharaan fetus (Wilson et al.,
1998),
Konsentrasi progesteron dan estradiol selama kebuntingan berkorelasi
positif dengan peningkatan berat uterus, bobot fetus dalam kandungan, dan bobot
lahir anak (Manalu dan Sumaryadi, 1999; Mege et al., 2007). Superovulasi dapat
meningkatkan pertumbuhan otot awal ditandai dengan peningkatan ukuran serat
otot (hipertropi), pertumbuhan otot kemudian berasal dari peningkatan jumlah
serat otot (hiperplasia) (Giellespie dan James, 1998).Sebagain besar ternak
berkembang 60–70% dari berat lahir selama fase pertumbuhan fetus. Peningkatan
terbesar dalam bobot fetus terjadi selama kebuntingan (Giellespie dan James,
1998). Akibat dari pertumbuhan dan perkembangan yang sebagian besar terjadi
pada periode kebuntingan menyebabkan bobot anak babi yang lahir dari induk
yang disuperovulasi lebih baik.
Konsumsi Ransum Harian Induk Babi Laktasi
Konsumsi ransum harian induk (KRHI) babi laktasi adalah jumlah ransum
yang dimakan induk babi setiap hari selama masa laktasi. Konsumsi ransum
diperoleh dari selisih antara jumlah ransum awal dengan jumlah sisa. Ransum
yang dikonsumsi induk babi disamping akan diubah menjadi jaringan tubuh, juga
digunakan untuk produksi air susu, energi dan sebagian lagi akan dikeluarkan
sebagai kotoran. Rataan umum untuk konsumsi harian ransum induk babi laktasi
adalah 5,16 ± 0,70 kg. Sihombing (2006) menyatakan dalam menghitung
kebutuhan ransum untuk induk laktasi adalah 2 kg untuk hidup pokok induk dan
ditambah dengan 0,5 kg dalam setiap ekor anak. Dari hasil perhitungan, rataan
kebutuhan ransum dihubungkan dengan rataan umum litter size lahir hidup (9,69
± 2,39 ekor) adalah sebesar 6,85 kg per ekor induk. Apabila dibandingkan dengan
hasil penelitian maka ransum yang dikonsumsi oleh induk babi laktasi masih lebih
rendah 1,69 kg daripada kebutuhan yang direkomendasikan. Hasil analisa sidik
ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan sangat berbeda nyata (P<0,01)
terhadap konsumsi ransum harian induk babi laktasi. Hasil pengamatan konsumsi
ransum harian induk (KRHI) babi selama masa laktasi diperlihatkan pada Tabel 2.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [44]
Rataan konsumsi ransum harian induk babi menurut perlakuan tanpa dan dengan
superovulasi masing-masing adalah 4,87 ± 0,77 kg dengan (KK=15,86 %) dan
5,48 ± 0,45 kg dengan (KK = 8,23 %).
Konsumsi ransum induk babi laktasi untuk yang disuperovulasi lebih
tinggi disebabkan litter size hidup lahir (10,43 ± 254 ekor) juga lebih tinggi
daripada tanpa disuperovulasi (8,95 ± 2,03 ekor). Kebutuhan ransum induk babi
selama laktasi tergantung banyaknya anak yang disusuinya (Sihombing, 2006).
Hasil penelitian rataan litter sizelahir pada perlakuan induk babi superovulasi dan
tidak disuperovulasi dihubungkan dengan konsumsi ransum harian induk babi
laktasi dalam penelitian ini masih lebih rendah daripada yang seharusnya yaitu
7,21 kg untuk yang disuperovulasi dan tanpa superovulasi adalah 6,48 kg.
Kebutuhan ransum untuk induk babi laktasi tergantung dari jumlah dan bobot
badan anak yang disusuinya, semakin tinggi litter size semakin meningkat
konsumsi ransum induk. Litter size juga mempengaruhi produksi susu, semakin
tinggi litter size lahir maka konsumsi ransum induk laktasi semakin banyak,
apabila konsumsi ransum induk selama laktasi tidak terpenuhi sesuai dengan
jumlah anak sekelahiran, cadangan makanan dalam tubuh akan digunakan untuk
memproduksi susu dan selanjutnya apabila cadangan makanan dalam tubuh
berkurang maka produksi susu akan berkurang. Bobot badan anak juga
mempengaruhi konsumsi ransum, makin tinggi bobot badan anak-anak babi yang
disusuinya maka konsumsi ransum induk laktasi makin tinggi (Parakkasi, 1983).
Bobot lahir anak babi dari induk babi yang tanpa dan dengan superovulasi
masing-masing adalah 1,34 ± 0,14 dan 1,46 ± 0,19 kg/ekor, dengan demikian
induk yang mempunyai anak yang bobot lahirnyalebih tinggi akan mengkonsumsi
ransum lebih banyak daripada yang bobot badan rendah. Induk babi yang
disuperovulasi mempunyai anak dengan bobot badannya lebih tinggi sehingga
frekuensi induk babi menyusui lebih sering daripada anak babi yang bobot
badannya lebih rendah, dengan demikian untuk mengimbangi produksi air susu
induk babi maka konsumsi ransum induk laktasi yang disuperovulasi lebih banyak
daripada induk babi tanpa superovulasi yang kenyataannya mempunyai anak lebih
rendah bobot badannya.
Mortalitas Anak Babi Prasapih
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [45]
Rataan umum persentase mortalitas anak babi prasapih adalah 20,78 ±
15,95%. Tingkat mortalitas yang diperoleh sesuai dengan pernyataan Sihombing
(2006), bahwa persentase mortalitas anak babi berkisar 20-25%.Persentase
mortalitas anak babi prasapih menurut perlakuan ditunjukkan pada Tabel 2. Hasil
analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata
(P<0,01) terhadap mortalitas anak babi selama menyusu. Mortalitas anak babi dari
induk babi tanpa dan dengan superovulasi masing-masing adalah 26,64 ± 18,60%
(KK=69,82%), dan 14,92 ± 10,18 % (KK= 68,20%). Mortalitas anak babi yang
lebih tinggi dari induk yang tanpa superovulasi daripada yang disuperovulasi,
terbukti bahwa superovulasi dapat memperkecil angka mortalitas. Mortalitas
berhubungan dengan bobot lahir anak babi. Bobot lahir anak babi dari induk yang
tanpa dan dengan superovulasi masing-masing adalah 1,34 ± 0,14 kg dan 1,46 ±
0,19 kg, dengan bobot anak babi lahir yang tinggi maka daya tahan hidupnya akan
semakin baik. Didukung oleh Eusebio (1980) yang menyatakan bahwa semakin
tinggi bobot lahir anak babi maka daya tahan tubuh akan semakin meningkat dan
dengan demikian mempunyai kesempatan yang baik untuk hidup. Superovulasi
dapat meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan yang berperan
dalam pertumbuhan dan perkembangan embrio selama kebuntingan (Mege, 2007)
sehingga berdampak pada anak babi yang lahir dengan bobot badan yang tinggi,
dengan demikian anak babi berkesempatan untuk bertahan hidup lebih banyak,
dan mengakibatkan persentase mortalitas anak babi menjadi rendah.
Angka mortalitas anak babi yang terjadi selama penelitian juga dapat
disebabkan manajemen dalam kandang, seperti penanganan induk dan anak mulai
dari lahir hingga menyusu adalah kurang baik, sifat keibuan dari induk (mothering
ability) yang kurang baik karena ketika induk akan berbaring ada anak babi yang
ditindihnya, karena induk yang digunakan pada penelitian ini adalah induk yang
baru pertama kali beranak jadi belum berpengalaman dalam mengasuh anaknya
selain itu ada juga yang disebabkan oleh anak-anak babi yang sakit (mencret)
karena anak babi kedinginan, menjadi lemas dan sulit mendapat air susu induk,
sehingga menyebabkan kematian bagi anak babi. Hurley (2001) manyatakan
bahwa lebih dari 60% kematian anak babi sebelum disapih disebabkan oleh faktor
induk dan juga pengaruh dari pasokan pakan yang mengakibatkan rendahnya
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [46]
produksi air susu induk.
Bobot Sapih
Bobot sapih dibagi kedalam dua kategori yaitu, bobot sapih anak babi per
litter (BSPL) (kg/litter), diperoleh dengan melakukan penimbangan semua anak
babi dari seperindukan segera setelah penyapihan, dan bobot sapih per ekor
(BSPE) (kg/e) adalah hasil penimbangan bobot badan lahir per litter dibagi
dengan jumlah anak yang disapih (ekor).
1. Bobot Sapih per Litter
Bobot sapih tergantung pada bobot lahir karena kondisi dari anak babi
sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan prenatal (Dziuk, 1992), termasuk perubahan
biokimia
sebelum implantasi embrio oleh estradiol dan progesteron. Bobot sapih juga
merupakan indikator dari produksi air susu induk babi dan kemampuan
bertumbuh anak babi. Rataan umum bobot sapih per litter adalah 93,33 ± 25,21 kg.
Secara rinci pengaruh perlakuan terhadap bobot sapih per litter dapat dilihat pada
Tabel 2. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan
berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot sapih per litter, dimana bobot sapih
tanpa dan dengan superovulasi masing-masing adalah 79,63 ± 20,78 dan 107,02 ±
21,85 kg/ litter atau bobot sapih per litterdari induk tanpa superovulasi 28,39 kg
lebih rendah daripada superovulasi.
Superovulasi ternyata dapat meningkatkan bobot sapih per litter hal ini
disebabkan bobot sapih sangat ditentukan oleh pertambahan bobot badan anak
selama menyusu. Pertambahan bobot badan anak babi sampai disapih dari induk
babi tanpa superovulasi (9,35 ± 0,69 kg) lebih rendah daripada dengan
disuperovulasi (10,81 ± 1,69 kg). Hal ini disebabkan superovulasi sebelum
pengawinan akan mensekresi hormon-hormon kebuntingan (progesteron dan
estradiol) pada induk babi, yang akan mempengaruhi perkembangan saluran
reproduksi pada betina terutama uterus dan plasenta yang merupakan salah satu
penentu keberhasilan kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan
embrio dan fetus sampai lahir (Geisert dan Schmitt, 2002; Sterle et al., 2003).
Bahkan pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta yang memperbaiki
pertumbuhan dan perkembangan fetus selama kebuntingan akan sangat
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [47]
menentukan penampilan anak pasca lahir dan produksi (Foxcroft dan Town,
2004). Hal ini didukung oleh hasil penelitian bahwa penyuntikan PMSG dan hCG
pada induk babi sebelum pengawinan dapat meningkatkan bobot embrio (Mege,
2007), ini memberi gambaran bahwa superovulasi yang menstimulasi sekresi
endogen hormon kebuntingan sehingga sangat mempengaruhi sekresi progesteron
dan estradiol selama kebuntingan (Gisert et al., 1994; Geisert dan Shcmitt, 2002).
Pertumbuhan sapi, kambing dan domba sangat dipengaruhi oleh progesteron dan
estradiol melalui mekanisme modulasi peningkatan pertumbuhan dan
perkembangan serta fungsi uterus dan plasenta mensekresi zat makanan juga
faktor pertumbuhan untuk mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup
fetus yang berdampak sampai anak lahir bahkan bobot sapih lebih baik(Manalu
dan Sumaryadi,1998; Manalu et al., 1999; Sumaryadi dan Manalu, 2001).
2. Bobot Sapih perEkor
Rataan umum bobot sapih per ekor adalah 11,13 ± 1,07 kg. Bobot sapih
per ekor hasil penelitian ini masih lebih rendah dibandingkan dengan yang
direkomendasikan oleh NRC (1998) yaitu sekitar 13-18 kg. Bobot sapih sangat
ditentukan oleh antara lain: jenis kelamin, bobot badan induk, umur induk,
keadaan saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui anaknya, kuantitas dan
kualitas ransum, serta suhu lingkungan (Sihombing, 2006). Secara rinci pengaruh
perlakuan terhadap bobot sapih per ekor dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisa
sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata
(P<0,01) terhadap bobot sapih per ekor, dimana dengan tanpa dan superovulasi
masing-masing adalah 10,64 ± 0,75 dan 11,61 ± 1,14 kg/ekor, dengan perkataan
lain babi dara dengan pemberian superovulasi menghasilkan bobot sapih 0,97
kg/ekor lebih berat daripada yang tanpa disuperovulasi.
Perkembangan setelah lahir anak tegantung dari produksi air susu induk
dan kemampuan anak babi untuk menyusunya. Anak babi dari induk yang
disuperovulasi lebih baik untuk menyusui anaknya daripada induk yang tidak
disuperovulasi, hal ini dibuktikan juga dengan frekuensi menyusui induk babi
masing-masing adalah 18,93 ± 0,23 dan 19,89 ± 0,40 kali dengan produksi air
susu induk 6,23 ± 1,86 dan 7,74 ± 1,00 kg/e. Bobot sapih dari babi dara hasil
superovulasi lebih berat daripada tanpa superovulasi. Hal ini disebabkan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [48]
superovulasi mampu mensekresi endogen hormon-hormon kebuntingan
(progesteron dan estradiol) sehingga setelah bunting terjadipetumbuhan dan
perkembangan kelenjar susu (Manalu dan Sumaryadi, 1998; Manalu et al., 1999)
dan terus meningkat sampai periode akhir kebuntingan. Pada periode tersebut
terjadi periode pertumbuhan dan perkembangan paling ekstensif bagi sel kelenjar
pensekresi susu serta sistem vaskuler, sel-sel ephitel, jaringan ikat dan jaringan
basal yang merupakan pertautan sel-sel pensekresi (Knight dan Wilde 1993).
Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu terutama ductus dan
perkembangan lobul alveolar selama kebuntingan sangat dipengaruhi oleh
sejumlah hormon yang meliputi estrogen, progesteron, prolaktin, laktogen
plasenta, insulin, hormon tiroid dan faktor pertumbuhan (Forsyth, 1986).
Peningkatan hormon-hormon tersebut bertanggung jawab atas kontrol
pertumbuhan kelenjar susu selama kebuntingan, dan apabila terjadi gangguan
keseimbangan hormon mammogenik (Anderson et al., 1986) Peningkatan jumlah
sel sekretoris digambarkan dengan peningkatan DNA dan RNA sangat
menentukan tingkat produksi air susu induk sejalan dengan peningkatan
konsentrasi hormon kebuntingan seperti progesteron, estradiol selama laktasi dan
faktor pertumbuhan, sehingga menyebabkan peningkatan kelenjar susu yang amat
berperan dalam produksi air susu induk sehingga berdampak pada bobot sapih
anak babi (Hurley, 2003; Manalu dan Sumaryadi, 1998; Mege, 2007).
Litter Size Sapih
Sapih yaitu tahap pertumbuhan suatu hewan atau ternak dan tidak lagi
bergantung pada air susu induknya dan mulai mengkonsumsi ransum padat dan
cair (Inglis,1980). Rataan umum litter size sapih yang diperoleh selama
pengamatan adalah 8,38 ± 2,15 ekor. Secara rinci pengaruh perlakuan terhadap
litter size sapih dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil litter size sapih yang diperoleh
lebih tinggi dibandingkan dengan litter size sapih untuk babi dara menurut
Sihombing (2006) yaitu 6,2 ekor.Litter size sapih sangat bergantung pada litter
size lahir dan mortalitas prasapih. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa
perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap litter size
sapih.
Rataan litter size sapih dari induk babi tanpa dan dengan superovulasi
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [49]
masing-masing 7,48 ± 1,97 ekor (KK= 26,29 %) dan 9,29 ± 1,98 ekor (KK= 21,31
%).Litter size sapih dari induk babi superovulasi yang lebih banyak daripada tanpa
superovulasi, terbukti bahwa superovulasi dapat meningkatkan sekresi endogen
hormon-hormon kebuntingan (progesterondan estradiol) sehingga memperbaiki
bobot embrio dan fetus (Megeat al., 2007). Penampilan embrio dan fetus yang
baik berdampak pada anak babi yang lahir dan bahkan lepas sapih yang lebih baik
yang dihasilkan oleh induk yang disuperovulasi, ini memberi gambaran bahwa
pengaruh hormon tersebut merupakan mimik dari LH dan FSH terhadap
pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus selama kebuntingan terutama
melalui modulasi progesteron dan estradiol serta faktor pertumbuhan yang juga
memperbaiki penampilan anak sejak lahir sampai lepas sapih.
Litter size sapih sangat bergantung pada litter size lahir dan mortalitas
prasapih. Litter size hidup lahir pada babi dara tanpa dan dengan superovulasi
masing-masing 8,95 ± 2,03 dan 10,43 ± 2,54 ekor. Sedangkan persentase
mortalitas tanpa dan dengan superovulasi masing-masing 26,64 ± 18,60% dan
14,92 ± 10,18%, maka dengan jumlah anak babi lahir yang tinggi diimbangi
dengan mortalitas prasapih yang lebih rendah akan menyebabkan litter size sapih
yang optimal.
SIMPULAN
Performans reproduksi induk babi melalui ovulasi ganda dengan PMSG dan hCG
sebelum pengawinan, dapat mempersingkatlama bunting, memperbaiki bobot
badan induk bunting, litter size lahir, bobot lahir, konsumsi ransum harian induk,
produksi air susu induk, pertambahan bobot badan anak, mortalitas, litter size
sapih dan bobot badan sapihan.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani IK, Sutama, Sudono A, Sutardi dan Manalu W. 2005. Pengaruh
superovulasi sebelum perkawinan dan suplementasi seng terhadap
produksi susu kambing peranakan etawa. J. Anim. Production 6:86-94
Bates RO, Day BN, Britt JH, Clark LK, Brauer MA. 1991. Reproductive
performance of sows treated with a combination of pregnan mare’s
serum gonadotropin and prostaglandins during lactation. J Anim Sci
9:894-898.
Carson DD, Bagchi I, Dey SK, Enders AC, Fazleabas AT. 2000. Embrio
implantasi. Dev Biology 223:217-237.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [50]
Devendra C, Fuller MF, 1979. Pig Production in the Tropics. London. Oxford
University Press.
De Borsotti PN, Verde O, Plasse D. 1982. Genetic and enviromental factor
affecting growth of piglets. Anim Breed Abstr 50 (12)
Dziuk PJ. 1992. Embryonic development and fetal growth. Anim Reprod Sci
28:299-308.
Eusebio JA 1980. Pig Production and the Tropics. Intermediate Tropical
Agriculture Series. Logman Group Ltd. Hong Kong. pp 7-26
Estiene JM, Harper AF. 2003. Uses of P.G.600 in swine breeding herd
management http://ext.vt.edu/news/livestock/aps-0344.htmi. [29 Mei
2004].
Forsyth IA. 1986. Varition among species the endokrine control of mammary
growth and function. The role of prolactin, growth hormone and plasental
laktogen. J Dairy Sci 46: 1293-1298.
Foxcroft GR and Town S. 2004. Prenatal programming of postnatal
performance the unseen cause of variance. Adv Pork Prod 15:269–279.
Geisert RD, Zavy MT, Moffatt RJ, Blair ML, Yellin T. 1990. Embryonic steroids
ndtheestablishment of pregnancy. J Reprod Fertil 40:293 – 305.
Geisert RD, Pratt T, Bazer FW, Mayes JS and Watson GH. 1994.
Immunocytochemical lokalization pregnancy. Reprod Vertil Dev 6:749-
760.
Geisert RD, Schmitt RAM. 2002. Early embryonic survival in the pig: Can it be
improved. J Anim Sci 80:54 – 85.
Giellespie, James R. 1998. Animal Science. Delmar Publishers, New York.
Hafez ESE. 1993. Reproduction in Farm Animals. Ed. Ke-6. Philadelpia: Lea
and Fibeger.
Hurley WL. 2001. Mammary gland growth in the lactating sow. Livestock Prod
Sci 70:149-157.
Inglis LK. 1980. To Laboratory Animal Science and Technology. Pergamon
Press Ltd., Oxford.
Kim SW, Hurley WL, Han IK, Easter RA. 2000. Growth of nursing pigs related
to thecharacteristics of nursed mammary glands. J Anim Sci 78:1313-
1318.
Knight CH, Peaker M. 1982. Development of the mammary gland. J Reprod
Fert 65:521-536.
Krider JL, Carroll WE. 1971. Swine Production. New Delhi. Tata Mc Graw Hill
Publishing Company.
Kurniawan RI. 2006. Hubungan litter size dengan bobot lahir dan mortalitas
anak babi tiga hari setelah lahir [sripsi]. Bogor. Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [51]
PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN TERNAK BABI BALI
DI KABUPATEN GIANYAR PROVINSI BALI
I W. Suarna dan N. N. Suryani
Laboratorium Ilmu Tumbuhan Pakan Fakultas Peternakan Universitas Udayana
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Babi bali bila dilihat dari potensi genetisnya menghasilkan banyak lemak
sehingga babi bali lebih mendekati kepada babi tipe lemak. Karakteristik babi bali
seperti tersebut sangat potensial untuk dijadikan babi guling karena komposisi
lipatan lemak setelah kulit akan memberikan aroma dan tekstur babi guling yang
sangat baik. Produk kuliner asal babi yang sangat digemari dan telah menjadi
branding Kabupaten Gianyar adalah babi guling. Sementara, jenis (breed) babi
yang paling baik untuk diguling adalah babi bali yang menempati jumlah populasi
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [52]
paling kecil di Kabupaten Gianyar. Fenomena kontroversial tersebut perlu
dicarikan solusi agar Gianyar tetap menjadi kabupaten yang terkenal dengan babi
guling gianyar. Pencermatan terhadap peluang dan tantangan pengembangan
babi bali bertumpu pada integrasi lima pilar utama yakni peternak, desa adat,
pemerintah daerah, pengusaha, dan akademisi. Sinergisme kelima pilar tersebut
menghasilkan strategi pengembangan babi bali sebagai akselerasi mencapai
pertumbuhan babi yang lebih cepat sehingga produktivitas pemeliharaan babi bali
dapat ditingkatkan tanpa mengurangi kualitas babi bali sebagai komuditas babi
guling yang menjanjikan.
Kata kunci: peluang, tantangan, strategi, babi bali
PENDAHULUAN
Bali memiliki berbagai plasma nutfah hewan/ternak dan tumbuhan yang
sudah dikenal keberadaanya di tingkat nasional dan internasional. Sapi bali, babi
bali, itik bali, jalak bali, harimau bali, rusa bali, anjing kintamani, kambing
gembrong, kera ekor panjang, kakatua jambul kuning, dan sapi putih taro adalah
plasma nutfah kekayaan alam Bali yang tak ternilai harganya. Beberapa jenis
diantaranya ada yang sudah punah, kritis, nyaris kritis, dan masih berkembang
baik. Harimau bali telah lama dinyatakan punah, sedangkan itik bali
keberadaannya sangat sulit ditemukan. Kambing gembrong, kakatua jambul
kuning, dan sapi putih taro populasinya saat ini dalam kondisi kritis karena
jumlahnya dibawah 100 ekor. Jenis ternak lainnya masih berkembang dengan
baik kecuali babi bali (asli) populasinya sudah mulai mengkhawatirkan. Kita akan
merasa kehilangan sangat besar ketika ternak/hewan itu punah, tetapi belum
berbuat banyak untuk melindungi ternak/hewan yang kondisinya nyaris punah.
Babi bali bila dilihat dari potensi genetisnya menghasilkan banyak lemak
sehingga babi bali lebih mendekati kepada babi tipe lemak. Karakteristik babi bali
seperti tersebut sangat potensial untuk dijadikan babi guling karena komposisi
lipatan lemak setelah kulit akan memberikan aroma dan tekstur babi guling yang
sangat baik. Produk kuliner asal babi yang sangat digemari dan telah menjadi
branding Kabupaten Gianyar adalah babi guling. Sementara, jenis (breed) babi
yang paling baik untuk diguling adalah babi bali yang menempati jumlah populasi
paling kecil di Kabupaten Gianyar. Fenomena kontroversial tersebut perlu
dicarikan solusi agar Gianyar tetap menjadi kabupaten yang terkenal dengan babi
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [53]
guling gianyar. Menurunya keaslian babi bali terjadi akibat pelaksanaan up-
grading babi bali dengan babi saddle back yang dilakukan sangat intensif untuk
mempercepat pemenuhan akan daging bagi masyarakat. Namun, up-grading telah
membuat babi bali semakin terdesak populasinya termasuk produk olahan babi
bali tersebut. Jadi penomena tersebut seperti vicious circle yang segera
memerlukan solusi. Suatu komuditas peternakan akan dapat berkembang baik
apabila komuditas tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan budidayanya
dapat memberikan keuntungan bagi peternak. Demikian pula halnya dengan tenak
babi bali, pencermatan terhadap peluang dan tantangan pengembangan babi bali
sangat penting untuk menemukan sebuah strategi dan kebijakan pengembangan
ternak babi bali yang adaptif dan menguntungkan.
KONDISI PETERNAKAN BABI BALI DI KABUPATEN GIANYAR
Babi bali di Bali memiliki status sosial-budaya yang sangat penting sekali.
Untuk kegiatan upacara dan bahan upakara banyak mempergunakan daging babi,
selain untuk memenuhi kebutuhan untuk upacara agama, daging babi juga
dipergunakan dalam berbagai aktivitas sosial. Babi bali sangat cocok dipelihara
oleh para ibu rumah tangga di Bali sebagai celengan atau ”tatakan banyu” karena
dengan pemberian pakan seadanya saja dan pemanfaatan limbah dapur (banyu dan
sebagainya) babi bali telah mampu memberikan pertambahan berat badan.
Dilihat dari persentase daging yang dihasilkan, karakteristik babi bali
dipandang kurang baik karena potensi untuk menghasilkan daging kurang dan
jumlah anak (litter size) yang dihasilkan sedikit. Karenanya pemerintah melalui
Dinas Peternakan pada sekitar tahun 1978 mulai melaksanakan program
upgradingbabi bali. Program tersebut dilaksanakan dengan melakukan
persilangan antara babi bali dengan babi saddle back. Program tersebut mampu
memperbaiki kualitas daging babi persilangan dan performans babi persilangan
juga mengalami perubahan. Sejak pelaksanaan program upgrading tersebut maka
babi persilangan telah tersebar di seluruh Bali. Sebagai dampaknya adalah saat ini
sangat sulit mendapatkan jenis babi bali yang asli. Berdasarkan kondisi geografis
Bali sebagai kepulauan yang relatif kecil dapat diprediksi kemungkinan babi bali
dapat ditemui di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung.Jika dilihat dari
potensi dan status sosial babi bali nampaknya babi bali perlu dipertahankan dan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [54]
dikembangkan karena sebagai sumber plasma nutfah, populasinya nyaris punah,
penghasil babi guling yang baik, cocok sebagai tatakan banyu, memiliki status
sosial budaya bagi masyarakat Bali dan telah menjadi talenta bagi kabupaten
Gianyar.
Jumlah produksi daging di Kabupaten Gianyar trus meningkat dari tahun
ke tahun, sedangkan produksi daging babi keseluruhan di Kabupaten Gianyar
mencapai 4.956,50 ton pada tahun 2013. Produksi daging babi tersebut adalah
lebih besar dari separuh total produksi daging Kabupaten Gianyar yakni 8.113,53
ton. Meningkatnya produksi daging babi tersebut didukung oleh meningkatnya
kelompok peternak Bali dari 60 kelompok pada Tahun 2009 menjadi 79
kelompok pada Tahun 2013.
Jenis babi yang dipelihara peternak di Kabupaten Gianyar berdasarkan
data populasi ternak oleh Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan (2013)
adalah ternak babi bali, babi saddle back dan peranakannya, serta babi landrace
dan persilangannya. Pada tahun 2013 jenis babi yang paling banyak dipelihara
adalah babi landrace dengan populasi sebanyak 134.364 ekor meningkat dari
tahun sebelumnya (2012) sebanyak 131.286 ekor. Peningkatan juga terjadi pada
babi saddle back dan peranakannya yakni mencapai 20.576 ekor pada Tahun 2013.
Penurunan populasi babi terjadi sangat drastis pada babi bali yakni dari 5.715 ekor
pada tahun 2012 menjadi 2.632 ekor pada tahun 2013 (Gambar 1). Babi bali
terbanyak dipelihara oleh masyarakat di kecamatan Tegalalang yakni sebanyak
1706 ekor kemudian diikuti oleh masyarakat di kecamatan Sukawati, Payangan,
Blahbatuh, dan Tampaksiring. Dua kecamatan yakni kecamatan Ubud dan
Gianyar tidak ada peternak babi yang memelihara babi bali.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [55]
Gambar 1. Populasi babi di Kabupaten Gianyar
Mencermati menurunya perkembangan peternakan babi bali di Kabupaten
Gianyar dan semakin banyaknya berdiri rumah makan yang menyediakan babi
guling maka ternak babi bali memiliki kesempatan untuk dikembangkan dan
ditingkatkan kapasitasnya sebagai salah satu plasma nutfah yang sangat
menjanjikan. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran
dan keberpihakan masyarakat peternak untuk memilih babi bali untuk
dikembangkan. Disisi lain peningkatan promosi dan informasi ilmiah tentang
guling babi bali sangat diperlukan agar “guling babi bali dapat berceritera tentang
dirinya sendiri”.
Gambar 2. Babi bali dan urutan (makanan khas daging babi)
PELUANG PETERNAKAN BABI MEMASUKI PASAR GLOBAL
Masyarakatbangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN)
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
Babi bali Babi saddle back Babi landrace
2012
2013
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [56]
telahsepakatuntukmenciptakankawasanekonomi ASEAN yang stabil, makmur,
danmemilikidayasaingtinggi. Dalamrangkamewuudkan MEA 2015
telahdirumuskan ASEAN Economic Community Blueprint, yang memuatlangkah-
langkahstrategis yang harusdiambilsetiap negara anggota ASEAN.
Terdapatempatpilaruntukmewujudkan MEA 2015 yakni:
1. ASEAN sebagaiPasar Tunggal dan Basis Produksi Regional:
arusbarang, jasa, daninvestasi yang bebas, tenagakerja yang
lebihbebas, danpengembangan sector food-agriculture-forestry;
2. ASEAN sebagaikawasanberdayasaingtinggi:
memerlukankebijakanperlindungankonsumen, HKI, kerjasama energy,
pembangunaninfrastruktur, perpajakandan e-commerce;
3. ASEAN sebagaiKawasandengan Pembangunan Ekonomi yang
Merata: pengembangan UKM danprakarsabagiintegrasi ASEAN;
4. ASEAN sebagaiIntegrasidenganPerekonomianDunia;
pendekatankoherenterhadaphubunganekonomieksternal, partisipasi
yang semakinmeningkatdalamjaringansuplai global.
Jikadiperhatikankeempatpilar di
atasmakapilarpertamamasihmenjadiperhatianutamauntukmenjadiskalaprioritas.
MenurutBaskoro (2014) MEA akan menjadi kesempatan yang baik karena
hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal
tersebut akan berdampak pada peningkatan eskpor yang pada akhirnya akan
meningkatkan GDP Indonesia. Di sisi lain, muncul tantangan baru
terhadapbeberapakomuditas Indonesia berupa permasalahan homogenitas
komoditas yang diperjualbelikan.
Terhadapkomuditaspertaniansepertihalnyaternakbabidengansegalakespesifikannya
memilikipeluanguntukdapatbersaingdalampasar MEA.
Dipta (2014) menyatakanbahwatantangan yang akandihadapioleh UMKM
dalammenghadapiMasyarakatEkonomiASEANadalah:
1. persaingan yang makintajam, termasukdalammemperolehsumberdaya;
2. menjagadan meningkatkan dayasaing UKM sebagai industri kreatif dan
inovatif;
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [57]
3. meningkatkan standar, desaindankualitasproduk agar sesuai ketentuan
ASEAN (misal mempersiapkanLSPro);
4. diversifikasi output danstabilitaspendapatanusahamikrosangatdiperlukan
agar tidak “jatuh” kekelompokmasyarakatmiskin;
5. meningkatkan kemampuan UMKM agar mampu memanfaatkan fasilitas
pembiayaan yang ada, termasuk dalam kerangka kerjasama ASEAN.
Meskipun pasar ASEAN sangat potensial dengan berkembangnya populasi
ASEAN, khususnya kelas menengah yang semakin banyakdanASEAN telah
memiliki lima Free Trade Agreement (FTA), yaitu dengan RRT, Jepang, Korea
Selatan, India, dan Australia-Selandia Barumakaterdapathal yang
sangatpentingdipertimbangkanyaknikesiapankitauntukmemasuki MEA 2015.
Kreativitasmasyarakat Bali yang
cukupbanyakmelahirkankeunggulankomparatifsudahmenjadikewajibanuntukseger
aditingkatkandayasaingnya, termasukprodukpertanian yang
tingkathomogenitasnyacukuptinggi.
PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN BABI BALI
Pengembanganternakbabibali diKabupatenGianyarmengalamipenurunan
yang sangatdrastis (Gambar 1). Dari hasilwawancaramendalamdengan para
peternakbabi di sentra-
sentrapeternakanbabidikatakanbahwamenurunnyapopulasibabibalidisebabkanoleh
pertambahanberatbadanbabibali yang lambat, litter size lebihrendah,
dankandunganlemaknyalebihbanyak. Namunbeberapamasyarakat yang
masihtetapmemeliharababibalimenyatakanbahwababibalilarisdipasarankarenalebi
hgurihkalaudigulingdanlebihcocokdigunakansebagaibahanuntukmelengkapipiranti
upakara (misal: untukgayah). Permasalahan lain yang ditemukan dalam
pengembangan ternak babi bali di Kabupaten Gianyar adalah bahwa petani
peternak belum ada yang menanam tanaman pakan secara khusus untuk pakan
ternak babi (Suarna dan Suryani, 2013). Hal tesebut juga akan mempengaruhi
keberlanjutan peternakan babi bali.
Produktivitas ternak sangat ditentukan oleh keberadaan dan produktivitas
tanaman penghasil pakan. Perhatian tentang pengadaan dan penyediaan sumber
pakan untuk ternak babi saat ini masih sangat terbatas. Terhadap hal tersebut
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [58]
Suarna dan Duarsa (2012) menyarankan bahwa kebijakan pengembangan
tumbuhan pakan memerlukan strategi pendekatan antara lain adalah
meningkatkan jumlah, jenis, dan efektivitas berbagai kebun bibit tanaman
makanan ternak, dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam
mempercepat proses alih teknologi budidaya tanaman pakan kepada petani
peternak dan menciptakan pabrikasi pakan berbasis sumber pakan lokal.
Tantanganpengembanganpeternakanbabibali di KabupatenGianyarantara
lain:
1. Kapasitas sumberdaya manusia seperti penyuluh, pengawas, peternak, dan
aparatur institusi yang membidangi memerlukan upaya untuk
meningkatkan unjuk kerjanya mengingat daya saing akan menjadi
indikator utama;
2. Meningkatnya alih fungsi lahan pertanian, disertai berkurangnya jumlah
dan jenis tumbuhan pakan yang dapat dijadikan sumber bahan pakan;
3. Implementasi Ipteks pada babi bali masih memerlukan penguatan seperti
inseminasi buatan (IB) pada babi, bioteknologi dan sebagainya;
4. Pertumbuhan babi bali masih lambat;
5. Sertifikasi produk terutama untuk babi bibit dan induk belum tersedia.
Adapun peluang pengembangan babi bali asli sangat terbuka lebar,
sehingga sejak dini memerlukan persiapan agar babi bali dapat memanfaatkan
setiap peluang dan dapat menguasai pasar. Peluang tersebut antara lain adalah:
1. Akan tersedianya pasar tunggal ASEAN;
2. Berkembangnya keberagaman usaha kuliner;
3. Kabupaten Gianyar telah memiliki branded “babi guling gianyar”
4. Telah ada UPTD semen beku untuk babi di Bali;
5. Akan dibentuk LSPro untuk komuditas ternak;
6. Semakin banyak restoran yang menyuguhkan babi guling sebagai sajian
spesial.
Mencermati tantangan dan peluang pengembangan babi bali di Kabupaten
Gianyar maka seharusnya sudah dipersiapkan kebijakan yang bersifat strategi
sehingga plasma nutfah babi bali terselamatkan, peternak mendapat keuntungan,
dan mampu bersaing di pasar global.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [59]
KEBIJAKAN STRATEGIS PENGEMBANGAN BABI BALI
Berbagai kebijakan yang sangat strategis yang kiranya perlu mendapat
perhatian untuk diterapkan antara lain adalah:
1. Melaksanakan penguatan terhadap para peternak babi bali dan penyuluh
pertanian lapangan agar dapat menerapkan Ipteks untuk mempercepat
pertambahan bobot badan babi tanpa mengesampingkan kaedah-kaedah
konservasi;
2. Melaksanakan diversifikasi horizontal dan vertikal terhadap produk babi
bali sehingga mampu meningkatkan ketahanan produk asal babi bali;
3. Melaksanakan sertifikasi, ISO, dan sebagainya untuk meningkatkan daya
saing produk babi bali;
4. Menjaga sanitasi kandang dan kesehatan ternak babi bali
5. Mengembangkan kelembagaan peternak babi bali sehingga dapat
mendukung produktivitas babi bali;
6. Menyiapkan infrastruktur dan pasar
7. Meningkatkan kapasitas peternakan babi bali melalui fasilitasi pendanaan
dan perbibitan;
8. Mengembangkan tumbuhan pakan untuk meningkatkan produktivitas
peternakan babi bali.
9. Membangun pola kemitraan yang adaptif agar permasalahan
pembangunan peternakan dapat diselesaikan dengan baik
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Babi bali memiliki peluang besar untuk dikembangkan baik untuk
kebutuhan pasar domestik ataupun pasar tunggal ASEAN;
2. Pola kemitraan dan fasilitasi pemerintah diperlukan untuk menjadikan
Gianyar sebagai kabupaten seni budaya dan sekaligus menjadi “kota babi
guling”;
3. Komitmen pemerintah daerah (pemda) yang kuat sangat diperlukan untuk
mengembangkan babi bali sehingga memiliki daya saing yang tinggi:
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [60]
4. Model skenario pengembangan babi bali perlu segera disusun dan
diimplementasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.
Saran
Pemerintah semestinya membantu peternak dalam hal permodalan
khususnya peternak yang secara tekun memelihara babi bali sehingga mereka
tidak kesulitan untk membeli bibit. Peternakan babi bali perlu diarahkan pada
usaha peternakan yang bersertifikat sehingga mampu bersaing di pasaran global,
mengingat babi bali mempunyai keunikkan tersendiri dan sudah mulai diminati
oleh wisatawan manca negara.
DAFTAR PUSTAKA
Baskoro, A.2014. Peluang, Tantangan, Dan Risiko Bagi Indonesia Dengan
Adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Gianyar. 2013. Data
Populasi Ternak Kabupaten Gianyar. Dinas Peternakan, Perikanan, dan
Kelautan Kabupaten Gianyar
Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Gianyar. 2013. Rencana
Strategis (Renstra) Tahun 2013-2018. Dinas Peternakan, Perikanan, dan
Kelautan Kabupaten Gianyar
Dipta, I W. 2014. TantangandanKesiapan UMKM IndonesiadalamMEA
2015Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK. Jakarta
Suarna, I W. dan N.N. Suryani. 2013. Potensi dan Pengembangan Tanaman
Pakan pada Lahan Perkebunan di Kabupaten Gianyar Provinsi Bali.
Prosiding Seminar Nasinal Hijauan Pakan Lokal dalam Sistem Integrasi
untuk Ketahanan Pakan dan Ekonomi Peternakan Nasional. Himpunan
Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia. Denpasar.
Suarna, I W. dan M.A.P. Duarsa. 2012. Kebijakan Dan Strategi Pengembangan
Tumbuhan Pakan Untuk Peningkatan Produktivitas Sapi Bali Pada
Simantri. Prosiding Seminar Nasinal, Pusat Kajian Sapi Bali. Universitas
Udayana Denpasar.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [61]
THE UTILIZATION OF Azollapinnata IN REDUCING POLLUTANTS ON
A PIG FARM LIQUID WASTE
Vonny R W Rawung dan Jeanette E M Soputan
Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi, Manado
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
The aims of this study is to detect the ability of Azollapinnata (AP) to reduce
pollutants in the liquid waste (LW) produced by the pig farm (PF), at different
density levels. This study has used LW discharges precipitated a pig farm for over
1 hour and then the LW was separated from solid waste. LW was inserted into the
container, diluted with a ratio of waste water 1:3. AP was inserted into the rice
pan of water for about 3 days. Sampling was conducted at 4 pm each day, for 4
days as much as half a liter while the pH and TDS measurements performed in
situ. Variables of acidity (ph), dissolved oxygen (DO), biological oxygen demand
(BOD), chemical oxygen demand (COD), total suspended solidity (TSS), total
dissolved solidity (TDS), turbidity and nitrate (NO3) were observed. The results
showed that AP was able to reduce the pollution level of organic material from a
pig farm liquid waste and in other words, the AP was able to increase the DO,
lowering the value of BOD, COD, TSS and TDS, turbidity and NO3. AP can
improve the quality of liquid waste from a pig farm class II to class I.
Keywords: Azollapinnata, liquid waste, pig
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi kemampuan Azollapinnata (AP)
untuk mengurangi polutan dalam limbah cair (LW) yang dihasilkan oleh
peternakanb abi (PF), pada tingkat kepadatan yang berbeda. Penelitian ini
menggunakan limbah cair (LW) diendapkan pada peternakan babi selama lebih
dari 1 jam dan kemudian LW dipisahkan dari limbah padat. LW dimasukkan ke
dalam wadah, diencerkan dengan perbandingan 1:3 air limbah. AP dimasukkan ke
dalam panci air sawah selama sekitar 3 hari. Pengambilan sampel dilakukan pukul
4 sore setiap hari, selama 4 hari sebanyak setengah liter sedangkan pengukuran
pH dan TDS dilakukan secara in situ. Diamati variabel keasaman (ph), oksigen
terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologis (BOD), kebutuhan oksigen kimia
(COD), total soliditas ditangguhkan (TSS), jumlah soliditas terlarut (TDS),
kekeruhan, dan nitrat (NO3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa AP mampu
mengurangi tingkat pencemaran bahan organic dari limbah cair peternakan babi
dan dengan kata lain, AP mampu meningkatkan DO, menurunkan nilai BOD,
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [62]
COD, TSS dan TDS, kekeruhan dan NO3 . AP dapat meningkatkan kualitas
limbah cair dari kelas peternakan babi tingkat II ke kelas I.
Kata kunci: Azollapinnata, limbah cair, babi
PENGARUH PENAMBAHAN PROBIOTIK KERING PADA RANSUM
BABI TERHADAP DAYA SIMPAN DAGING DAN
DAMPAKLINGKUNGAN SEBAGAI USAHA MENUJU PETERNAKAN
BABI
YANG BERKELANJUTAN
Tirta A., IN., A. A.Oka, S. A. Lindawati, IGd.Suarta, I Gede Suranjaya, dan
Made Dewantari
Fakultas Peternakan Universitas Udayana
e-mail:[email protected]
ABSTRAK
Penelitianinitelahdilakukandengantujuanuntukmengetahuipenambahanprobiotikke
ring (jenisStarbio)
padaransumbabiterhadapdayasimpandagingdandampakterhadaplingkunganpeterna
kanbabidimanausahatersebutdilaksanakan.
Penellitianmenggunakanrancanganacaklengkap (RAL) denganduaperlakuanyaitu:
pemberianstarbio 0% (NS) danpemberian 0,25% starbio (ST).
Setiapperlakuandiulangsebanyak 12 kali, jadijumlahbabi yang
dipergunakandalampenelitianinisebanyak 24 ekordenganberat ±70 kg (fase
finisher). Parameter
dalampenelitianiniadalah:dayasimpandagingyaitudenganmengamatipertumbuhan
mikroba patogen setiap 3 jam selama 24 jam,
dandampaklingkunganseperticemaran/kandunganammoniadanmikroba pathogen
(E.coli, Coliform, TPC)
padafeses.Hasilpenelitianmenunjukkanbahwaprofilmikroba (TPC)daging
NSpadapengamatan 3 jam pertamatidakberbedanyata (P>0,05) dengan ST.Setelah
6 jam pengamatan, baikpadadaging NS maupun ST
terjadipertumbuhanmikrobadengancepat. Pada 15-18 jam pengamatan, TPC
padasampelmencapai 105-6cfu/cm2TPCnamunpadasampel NS
nyatalebihbanyakdari TPC sampelST (P<0,05).Pengamatanselama 18-24 jam,
keduasampelmengalamiperubahanbausampaitingkatpembusukandengan TPC 107-
8cfu/cm2dan TPC padasampel NS nyatalebihtinggidari ST (P<0,05). Pengamatan
TPC, Colliform,
danE.colipadafesessebagaisumberpencemaranterhadaplingkungandiperolehmasing
-masing16,7%, 9,1%, dan 25% padasampel NS
nyatalebihtinggijikadibandingkandengansampel ST (P<0,5).
Kesimpulannyaadalahdenganpenambahanprobiotikkeringstarbio (0,25%)
padaransumbabidapatmemperbaikidayasimpandagingdanmengurangidampakterha
daplingkunganpeternakanbabi.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [63]
Kata kunci: starbio, babi, dayasimpandaging,lingkungan
EFFECTS OF ADDITIONAL OF DRIED PROBIOTIC IN PIG RATIONS
TO THE SELF LIFE OF PORK AND IMPACT ON ENVIRONMENT AS
ACTIONS TO PIG FARMING CONTINUATION
ABSTRACT
This researchhas beenconductedin order to determinethe addition
ofdriedprobiotic(type Starbio) inpigrationsonthe shelf lifeof pork andimpact on
the environment as an action to pigfarm continuation. The researchused
acompletely randomized design(CRD), withtwo treatments, namely: non
starbio0% (NS) andwith starbio 0.25% (ST). Eachtreatmentwas replicated12
times, sothe number of pigsusedin this study were24with live weight for about 70
kg per head(finisher). The parameters observed inthis studywere the shelf
lifethrough the growth ofpathogenic microbesin every3 hoursof 24hours,
andenvironmental impactssuch asammoniacontent andmicrobialpathogens(E. coli,
Coliform, TPC) in their feces.The results showed that the microbial profiles
(TPC) NS pork in the first 3 hours of observation was not significantly different
(P>0.05) than the ST. After 6 hours of observation, the microbes of both pork of
ST and NS grew fast. At 15-18 hours of observation, the samples reached 105-6
TPC cfu/cm2 but, the NS samples more samples from TPC ST (P<0.05).
Observation for 18-24 hours, both samples changed their smell up to perishable
level with TPC and TPC at 107-8 cfu/cm2 NS samples of ST was significantly
higher (P<0.05) than TPC sample ST (P<0.05). Observations TPC, Colliform, and
E. coli in the feces as a source of pollution to the environment obtained
respectively 16.7%, 9.1%, and 25% in NS samples was significantly higher when
compared with ST samples (P <0.5). The conclusion was that with the addition of
dried probiotic starbio (0.25%) in pig rations can fixed up the shelf life of pork
and reduce the environmental impact of pig farms.
Keywords: starbio, pig, pork shelf life, environment.
PENDAHULUAN
Peternakan di Denpasar, khususnya peternakan babi sebagian besar sudah
melaksanakan tatalaksana peternakan dengan baik dan benar, baik dari aspek
reproduksi dan pembibitan (breeding) maupun penggemukan (fattening) (Ardana
dan Putra, 2008; Anon, 2013). Aktivitas peternakan (khususnya peternakan babi
ataupun unggas) di daerah Denpasar sangat perlu diperhatikan terutama
dampaknya terhadap lingkungan, mengingat perkembangan penduduk yang
sangat pesat. Sebaik apapun manajemen peternakan yang dilaksanakan, sedikit
banyak akan berdampak terhadap lingkungan dimana peternakan tersebut
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [64]
beraktivitas, seperti bau kurang sedap maupun limbah lainnya. Dampak yang
ditimbulkannya menjadi masalah baru pada lingkungan. Upaya bersama antara
peternak dengan masyarakat dan pemerintah sudah dilakukan, namun
permasalahan lingkungan sulit dihilangkan.
Ketika populasi ternak babi di Denpasar mencapai jumlah 16.517 ekor
(dengan 67 pemilik/perusahan peternakan) dan 89.355 ekor (Anon, 2012),
merupakan salah satu potensi pemicu masalah lingkungan. Pada saat ini ada
informasi probiotik kering seperti Starbio yang direkomendasikan dapat
mengurangi dampak dari aktivitas peternakan dan dapat meningkatkan produksi
ternak. Dengan melihat permasalahan tersebut, sangat perlu dilakukan penelitian
ini yang bisa memberikan solusi dalam permasalahan lingkungan dan sekaligus
untuk meningkatkan produksi dan populasi ternak di daerah Denpasar.
METODOLOGI
Rancangan Penelitian
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) sub sampling
dengan dua perlakuan, yaitu dengan pemberian probiotik kering 0% (NS) dan
dengan pemberian probiotik kering 0,25% (ST). Setiap perlakuan diulang
sebanyak 12 kali (untuk babi), sehingga jumlah ternak babi yang digunakan
sebanyak 24 ekor pada fase finisher
Ternak babi sebagai materi penelitian berasal dari satu sumber, yaitu satu
lokasi kandang suatu perusahaan peternakan babi. Hal ini dilakukan agar
diperoleh sumber atau asal ternak yang sama, perkandangan, manajemen
pemeliharaan, dan manajemen pakan serta makanannya diharapkan sama.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di peternakan babi milik bapak Ir. Wayan Sana yang
beralamat di Jln Trenggana no. 90 Banjar Paang Kaja, Kelurahan Penatih,
Denpasar Timur - Denpasar. Pengambilan data pengaruh aktivitas peternakan babi
yang berdampak terhadap lingkungan dilakukan di peternakan babi milik bapak
Dharma di Jl. Kaswari Desa Penatih dan peternakan babi milik Bapak Diah di
Desa Pohmanis-Denpasar Timur-Denpasar. Dasar pemlihan peternakan tersebut
sebagai lokasi pengambilan sampel penelitian adalah di daerah tersebut terdapat
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [65]
jumlah/popolasi ternak babi relatif cukup banyak jika dibandingkan dengan
daerah maupun kecamatan lainnya di Denpasar.
Pemotongan ternak babi dilakukan di Jl. Buluh Indah Gang IV/8, Br.Kerta
Sari Denpasar Barat-Denpasar dan pengujian kualitas fisik dan kimia daging
dilakukan di laboratorium THT (Teknologi Hasil Ternak) dan laboratorium nutrisi
dan biofisik Fakultas Peternakan, Laboratorium THP (Teknologi Hasil Pertanian)
Fakultas Teknologi Pertanian, dan Laboratorium Analitik Universitas Udayana.
Penelitian dilakukan selama 2,5 bulan, yaitu dari tanggal 15 September-30
Nopember 2013.
Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan analisis sidik
ragam. Jika terdapat perbedaan nyata diantara perlakuan, maka analisis
dilanjutkan dengan uji T test (Steel dan Torrie, 1989).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Daya Simpan Daging
Daya simpan daging merupakan kemampuan dari daging tersebut untuk
mempertahankan kualitasnya, baik fisik maupun kimia terhadap perubahan-
perubahan lingkungan dalam jangka waktu tertentu. Pertumbuhan mikroba pada
sampel daging babi karena pengaruh starbio terhadap pertumbuhan mikroba pada
daging babi pada Gambar 1. Pengamatan terhadap pertumbuhan jumlah mikroba
pada daging dilakukan setiap 3 (tiga) sekali, selama 24 (dua puluh empat jam).
Dapat dilihat pada Gambar 1 dengan penambahan starbio pada ransum (ST) dapat
menghambat pertumbuhan mikroba patogen pada daging selama waktu
penyimpanan daging pada ruang terbuka atau pada suhu ruang/kamar (25-28 0C).
Pengamatan pada sampel daging mulai dari 3 (tiga) jam sampai 6 (enam)
jam terjadi pertumbuhan yang sangat lambat. Pertumbuhan ini disebut fase lambat
(fase lag), karena pada fase ini mikroba masih beradaptasi dengan lingkungan dan
material inti. Pertumbuhan cepat atau pertumbuhan logaritmik mulai terjadi pada
8 (delapan) jam sampai 18 jam pengamatan (Gmbr.1).
Dalam fase tersebut, jumlah mikroba meningkat dan tumbuh dengan laju
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [66]
pertumbuhan yang konstan hingga faktor lingkungan sebagai pembatas. Fase
logaritmik berakhir secara berangsur-angsur, kemudian mencapai titik ekuilibrium
(keseimbangan) yaitu jumlah sel bisa konstan selama beberapa saat karena
berkurangnya pembelahan sel, atau adanya keseimbangan antara laju perbanyakan
sel dengan laju kematian. Hal tersebut sesuai dengan pendapatnya Fardiaz (1992)
yang dikutip oleh Lindawati (1998), yang menyampaikan pola pertumbuhan
mikroorganisme digambarkan sebagai suatu kurva dan terdiri dari beberapa fase
pertumbuhan. (1) Fase awal atau adaptasi, adalah fase mulainya pembelahan sel
dengan kecepatan yang masih rendah, karena baru selesai peneyesuaian diri. (2)
Fase logaritmik (pertumbuhan), adalah fase pembelahan sel dengan cepat dan
konstan. Fase ini memerlukan pasokan makanan yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan fase lainnya, dan selnya sangat rentan terhadap keadaan
lingkungan. (3) Fase tetap (statis), disini terjadi pertumbuhan mikroorganisme
dengan jumlah yang sama dengan yang mati. (4) Fase pertumbuhan lambat
(menurun), terjdi pertambahan jumlah dan ukuran sel yang menurun yang
disebabkan sumber nutrisi yang semakin berkurang dan adanya hasil samping dari
metabolisme yang beracun. Pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh faktor
intrinsik seperti pH, aktivitas air (Aw), potensial oksidasi-reduksi, kandungan
nutrisi, dan senyawa antimikroba.
Pertumbuhan logaritmik yang diamati sampai 24 jam menunjukkan
bahwa sampel daging sudah mengalami perubahan bau (off odor) sampai busuk.
Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Jay (1986), bahwa bau busuk yang
ditimbulkan oleh aktivitas mikroba jika terdeteksi pada sampel ditemukan jumlah
mikroba mencapai 107-107,5 cfu/cm2, dan terjadi lendir jika ditemukan jumlah
mikroba mencapai 107,5-108 cfu/cm2 lebih. Perubahan tersebut terjadi karena
pengaruh aktivitas mikroba terhadap konstituen daging. Hasil metabolisme
pertumbuhan mikroba yang menggunakan konstituen daging, menyebabkan
perubahan mikrobial, kimiawi, dan fisik dari daging atau produk daging selama
pengamatan dan penyimpanan.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [67]
Gambar 1. Pertumbuhan Total Mikroba (TPC) pada Daging Babi yang Diberi Probiotik Starbio
selama Penyimpanan pada Suhu Ruang.
Dampak Lingkungan
Untuk menyatakan dampak terhadap lingkungan dari aktivitas suatu
peternakan babi dapat dilihat pada buangan limbah/kotoran ternak, seperti bau
yang menyengat, dan cemaran pada sungai ataupun lingkungan sekitarnya.
Parameter tersebut sebagian besar disebabkan oleh gas metan/kandungan amonia
dan mikroba pada kotoran dan urine ternak serta sisa-sisa pakan yang tidak
tereduksi dengan sempurna dalam metabolisme tubuh.
Penambahan starbio pada ransum (ST) dapat secara signifikan menurunkan
jumlah amonia, jumlah mikroba (TPC), Coliform, dan E.coli pada feces babi
(P(0<,05) (Tabel di bawah).
Tabel . Kandungan Amonia dan Mikroba pada Feses Babi yang Diberi
Probiotik Starbio.
Variabel Perlakuan Rataan/Mean SEM
ATLB/TPC (log cfu/m2) S T
N S
10a
12b
0.2311
0,2357
Coliform (log cfu/m2) S T
N S
10c
11d
0,3421
0,2431
E.coli (log cfu/m2) S T
N S
9e
12f
0,4211
0,4233
Ket.: Nilai rataan yang diikuti dengan huruf yang sama menyakatan tidak berbeda nyata (P>0,05).
ST = Starbio, NS = Non Starbio, SEM =Standard Error of Mean.
0
2
4
6
8
10
T0 T3 T6 T9 T12 T15 T18 T21 T24
Pertumbuhan Jumlah Mikroba/TPC pd daging Babi
TPC ST TPC NS
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [68]
Gambar.2. Profil Mikroba Patogen pada Feces Babi yang Diberi Probiotik Starbio.
Gambar 3. Kandungan Amoniak pada Feces dan Urin Babi yng DiberiProbiotik Starbio. (ST =
starbio, NS = non starbio).
SIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Penggunaan probiotik starbio dapat memperlambat/mengurangi jumlah
mikroba patogen selama daging disimpan dan berada pada ruang terbuka.
2. Penggunaan probiotik starbio dapat mengurangi jumlah mikroba patogen
dan kandungan amonia pada feces dan urine ternak babi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pemerintah Kota Denpasar,
melalui Bappeda kota Denpasar yang telah memberi bantuan dana pada penelitan
0
2
4
6
8
10
12
14
TPC COLIFORM E.COLI
PROFIL MIKROBA PADA FECES BABI
ST NS
0
20
40
60
80
100
120
FECES URINE
Kandungan Amonia pada Feces dan Urine Babi
ST NS
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [69]
ini. Terimakasih disampaikan pula kepada Bapak Ir.I Wayan Sana pemilik
peternakan babi penelitian, Laboratorium Bersama Fakultas Peternakan
Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani. L., L.,E, Hermawan, K. A. Kamil dan A. Mushawwir. 2010. Fisiologi
Ternak. Fenomena dan Nomena Dasar, Fungsi, dan Interaksi Organ pada
Hewan. Penerbit Widya Padjadjaran. Bandung
Anonymous. 2011. The Livestock Industry Working Together for Responsible
Animal Care. www.afac.ab.ca/curent/activists/stress.htm. 24 Februari 2011.
Anonymous. 2012. Laporan Cacah Jiwa Ternak Tahun 2012. Dinas Peternakan,
Perikanan, dan Kelautan Denpasar.
Anonymous. 2013. Informasi Data Peternakan Provinsi Bali Tahun 2012. Dinas
Peternakan danKesehatan Hewan. Denpasar
Ardana, I.B., D.K.H.Putra. 2008. TERNAK BABI. Manajemen Reproduksi,
Produksi dan Penyakit. Udayana University Press. Denpasar
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat jendral Pendidikan Tinggi Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
Jaworska, D., W. Przybylski, K. Kajak-Siemaszko. and E. Czarniecka-Skubina.
2009. Sensory Quality of Culinary Pork Meat in Relation to Slaughter and
Tecnological Value. Food Science and Technology Reserch. Vol. 15 (2009),
No. 1 pp.65-74.
Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. (Aminudin Parakasi) Ed.V. Penerbit Universitas
Indonesia. Jkt
Lay, W dan S. Hastowo. 1992. Mikrobiologi. PAU-Bioteknologi. IPB. Bogor.
Mountney, G.J. 1976. Mikrobiology of Poultry Meat. In Poultry Products
Technology. 2nd Ed. The Avi Publishing Company, Inc. Connecticut.
Muir, L.A. 1988. Effects of Beta-Adrenergic Agonists on Grouth and Carcass
Characteristics of Animals. Designing Foods.National Academy Press.
Washington, D.C.
Purnomo, H. dan M. C. Padaga. 1989. Ilmu Daging. Penerbit Universitas
Brawijaya, Malang.
Sihombing DTH., 2006. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada Univercity Press,
Cetakan Kelima, Yogyakarta
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1989. Prinsip Dan Prosedur Statistika. Suatu
Pendekatan Biometrik. PT. Gramedia. Jakarta.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [70]
PENGGUNAAN PROTEXIN UNTUK MENURUNKAN ANGKA
KEMATIAN ANAK BABI SAMPAI DISAPIH
Rachmawati WS* dan N. L. G. Sumardani**
*Universitas Jenderal Soedirman, ** Universitas Udayana
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian telah dilakukan menggunakan rancangan acak kelompok dengan
membedakan kontrol (tanpa protexin) dan pertakuan (P) dengan pemberian
protexin konsentrasi 2 × 109 CFU/g pada induk babi mulai dua minggu sebelum
dikawinkan dengan nomor kelahiran I,II,III dan IV. Protexin diberikan pada 20
ekor induk (0, 5, 10 dan 15 g protexin per ton pakan) sampai anaknya disapih.
Jumlah anak yang dilahirkan adalah 184 ekor. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dengan penggunaan protexin pada induk sebelum dikawinkan
menghasilkan anak dengan berat lahir yang secara nyata (P<0,05) lebih tinggi
(1,50 – 1,54 kg) jika dibandingkan dengan yang tidak diberi (1,38 kg). Jumlah
anak yang lahir hidup pada kelahiran pertama adalah 55 dari 57 ekor (3%) dan
total anak babi mati sampai disapih sebanyak 7 ekor (12,7%). Sementara itu
dengan pemberian 10 g protexin, angka kematian babi yang dilahirkan adalah
2,01%, dengan 15g protexin adalah 2,3 %.Pada perlakuan tanpa protexin kematian
anak babi sampai disapih mencapai 20%. Kesimpulan yang dapat diambil adalah
penggunaan protexin pada induk babi menjelang kawin dan selama bunting secara
nyata menurunkan angka kematian anak babi sampai disapaih.
Key word: protexin, kematian anak babi
THE USE OF PROTEXIN TO REDUCE PIGLET MORTALITY
ABSTRACT
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [71]
The research of The Use of Protexin to Reduce Piglet Mortality has been
done by using group random design to compare control ( without protexin ) and
treatments (with protexin 2 X 10⁹ CFU/g concentration) to sows with different
number of parturition (I, II, III, and IV. Protexin is given two weeks before 20
head of sows mating until weaning piglet (0,5, 10 and 15g protexin/ton feed) with
184 pigletsborn.Result of the experiment showed that, the significant (P<0.05)
higher birth weight of piglets (1.50 – 1.54 kg) are achieved by given protexin to
premating sows compared to without protexin (1.38 kg). The number of piglet
born alive without protexin treatment represented by first parturition are 55 head
from 57, until weaning total piglet die are 7 heads. It means that the percentage of
mortality is 12.2%. whereas with 5 g protexin treatment the number of piglets
born alive are 47 head from 48 total piglet or equal to 2.01%. Therefore, by 10 g
protexin there are 41 piglets born alive from 42 total piglets or equal to 2.3%.
Whereas, without protexin normally piglet mortality reach up to 20%.It can be
concluded that using protexin to pregnant sows significantly reduce the piglet
mortality until weaning.
Key word: protexin, piglet mortality
PENDAHULUAN
Peternakan babi disebut sukses jika jumlah anak babi yang dilahirkan per
kelahiran tinggi, angka kematian anak babi dari lahir sampai disapih rendah,
pertambahan berat badan harian pre dan pascasapih tinggi, dan kondisi tubuh
prima sampai siap jual atau potong. Di sisi lain, nilai reproduktivitas ternak babi
dapat dievaluasi mulai dari umur pubertas, beranak pertama, lama waktu kosong
dari kelahiran sampai kebuntingan berikutnya dan jumlah kelahiran selama masa
produktif induk.
Ternak babi disebut prolifik karena mampu menghasilkan delapan ekor
anak babi per kelahiran dengan 2,5 kali beranak per induk per tahun. Akan tetapi,
kematian anak babi rela tif tinggi, yaitu mencapai 10 – 30 % sejak dilahirkan
sampai di sapih. Upaya untuk menekan angka kematian anak babi, biasanya
dilakukan dengan pemberian antibiotic dengan harapan meningkatkan daya tahan
tubuh anak babi. Penggunaan antibiotic dalam jangka pendek, terlihat
meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas ternak babi. Akan tetapi, jika
digunakan terus menerus, ternyata memberi efek negatif antara lain menyebabkan
penyakit Candidiasis yang berpengaruh terhadap penurunan produktivitas dan
reproduktivitas ternak.. Selain itu penggunaan antibiotic secara terus menerus juga
memicu penurunan daya tahan tubuh yang dapat dilihat dari makin meningkatnya
dosis pemberian antibiotik dari waktu ke waktu.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [72]
Guna mencegah kerugian yang lebih tinggi pada peternak, maka
penggunaan antibiotik harus dikurangi. Protexin merupakan alternati untuk
meningkatkan dan memperbaiki daya tahan tubuh babi, conversion rate dan
kecepatan pertumbuhan (Tontora et al. 1997).
Protexin adalah probiotic multi-strained yang membantu pertumbuhan
mikroorganisme non-patogen di dalam intestine babi dan ternak lain serta
mencegah pertumbuhan bakteri patogen (Cho et al. 2011). Mikroflora di dalam
intestine juga mencegah stress yang disebabkan oleh perubahan pakan,
lingkungan dan manajemen. Oleh karena itu, penggunaan probiotik melalui pakan
atau air minum secara kontinyu akan memperbaiki aktifitas produksi dan
reproduksi pada ternak babi, termasuk pertambahan berat badan harian dan
konversi pakan (Bohmer et al. 2006; Cyberhouse, 1997).
Fakta dan berbagai hasil penelitian pada berbagai ternak yang
menunjukkan bahwa probiotik berupa protexin memperbaiki produktivitas dan
reproduktivitas ternak, menjadi alasan penelitian ini. Tujuan penelitian adalah
mengevaluasi apakah pemberian protexin pada induk babi dua minggu sebelum
kawin sampai anaknya disapih akan meningkatkan berat lahir, meningkatkan
pertambahan berat badan harian anak babi sampai disapih dan menurunkan
angka kematian perinatal serta angka kematian genjik sampai disapih.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilakukan pada induk babi dari empat nomor kelahiran (L I,L II,
L III dan L IV) dengan lima ekor induk per kelompok perlakuan dan anak yang
dilahirkan sampai sapih. Perlakuan diberikan dua minggu sebelum induk
dikawinkan berlanjut sampai anaknya di sapih yaitu 30 hari setelah lahir.
Protexin diberikan dengan konsentrasi 2 × 10⁹ CFU setelah sebelumnya
ditambahkan pada premix dan dihomogenkan menggunakan mixer kemudian
dicampurkan secara homogen dengan pakan sehingga terbuat campuran 0 g(P0);
5g(P1); 10g(P2); dan 15g (P3) protexin per ton pakan. Penelitian dilakukan
pada 20 ekor induk babi dengan jumlah anak yang dilahirkan sebanyak 187 ekor,
menggunakan rancangan acak kelompok. Nomor beranak (L) sebagai kelompok
dan dosis protexin (P) sebagai perlakuan.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [73]
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian (Tabel 1) menunjukkan bahwa rataan berat lahir anak
pada induk babi kelahiran pertama cenderung lebih rendah jika dibandingkan
dengan kelahiran berikutnya. Hal ini disebabkan oleh kemampuan organ
reproduksi pada kelahiran berikutnya lebih baik jika dibandingkan dengan
kelahiran pertama. Pada kelahiran pertama, induk belum mengalami dewasa tubuh
yang sempurna, karena umumnya dikawinkan pada berat badan 100 kg atau pada
umur 10 bulan. Hal ini sesuai dengan pendapat Beaulieu et al (2010) bahwa berat
lahir dan jumlah anak per kelahiran (litter size) berpengaruh positif terhadap
performans pertumuhan, kualitas karkas dan komposisi otot).
Tabel 1. Penggunaan protexin pada induk mulai sebelum kawin sampai penyapihan terhadap berat
lahir anak babi (kg)
Perlakuan Kelompok (No. kelahiran ) Rataan
(protexin) 1 2 3 4 5 (kg)
P0 1,36 1,55 1,62 1,12 1,26 1,38
P1 1,42 1,58 1,59 1,44 1,67 1,54
P2 1,49 1,45 1,58 1,54 1,43 1,50
P3 1,42 1,64 1,28 1,58 1,78 1,54
Kenyataan bahwa dengan penggunaan protexin anak babi memiliki berat
lahir lebih tinggi (1,50 – 1,54 kg) jika dibandingkan dengan tanpa protexin (1,38
kg). akan lebih menguntungkan peternak. Oleh karena itu, penggunaan protexin
akan lebih menguntungkan peternak. Hal ini disebabkan, dengan lebih tingginya
berat lahir, maka survival rate anak babi akan lebih tinggi. Penggunaan protexin
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa protexin mampu menekan pertumbuhan
mikroorganisme yang memberikan pengaruh jelek terhadap kebuntingan, meski
efek terhadap berat lahir belum neningkat secara tajam. Hasil ini sesuai dengan
pendapat Cyberhouse (1977) yang menyatakan bahwa pemberian probiotik akan
meningkatkan pertumbuhan bakteri yang bermanfaat sehingga bakteri penyebab
penyakit menjadi berkurang populasinya dan babi akan menjadi lebih sehat.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa periode kelahiran dan pemberian
protexin dalam pakan belum memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap
berat lahir. Hal ini disebabkan, induk pada nomor kelahiran 2, 3, dan 4 melahirkan
anak dengan jumlah yang lebih banyak, sehingga rataan berat lahir relatif hampir
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [74]
sama antar – kelahiran (Fuller, 2001). Selain itu, pakan yang diberikan pada induk
memiliki kualitas dan kuantitas yang sama sehingga pengaruh terhadap konsumsi
pakan belum berbeda
Tabel 2. Penggunaan protexin pada induk mulai sebelum kawin sampai penyapihan terhadap berat
sapih anak babi (kg)
Perlakuan Kelompok Rataan
1 2 3 4 5
A 7.05 8.32 8.37 6.40 7.33 7.49
B 7.95 7.00 7.93 7.11 9.03 7.80
C 7.98 7.10 7.07 7.83 7.62 7.46
D 7.93 7.87 6.74 7.90 7.75 7.64
Kelompok 30.61 30.29 30.11 29.24 31.73
Rataan 7.65 7.57 7.53 7.31 7.93
Tabel 2 memperlihatkan bahwa jika perlakuan probiotik diabaikan, maka
berat sapih tertinggi dicapai pada periode kelahiran ke V (7,93 kg), diikuti oleh
kelahiran I (7,65 kg), kedua (7,57 kg), ketiga (7,53 kg), dan terkecil adalah
kelahiran keempat (7,31 kg). Hal ini disebabkan jumlah anak pada kelahiran
pertama lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelahiran berikutnya, sehingga
kesempatan menyusu pada induk dengan jumlah anak yang sedikit akan lebih
banyak menyusu (Estienne et al, 2005; Meonier, 2013).
Perlakuan 5g protexin per ton pakan memperlihatkan berat lahir tertinggi
(7,8 kg), diikuti oleh 15 g protexin per ton pakan (7,64 kg), 0 g protexin dan 10 g
protexin per ton pakan. Secara normal, berat sapih pada anak babi kelahiran
pertama lebih rendah jika dibandingkan kelahiran berikutnya. Akibat pemberian
protexin, ternyata dapat meningkatkan berat sapih anak babi pada kelahiran
pertama. Di sisi lain, induk pada kelahiran ke V memperlihatkan litter size yang
lebih kecil meski berat total anak babi per kelahiran sama. Hal ini menunjukkan
bahwa liter size meningkatdari kelahiran pertama sampai ketiga dan setelah itu
turun lagi. Penyebab dari turunnya litter size ini disebabkan oleh kerja hormon
pada kelahiran kelima sudah berkurang.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan protexin tidak
memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap berat lahir anak babi. Akan tetapi,
kelahiran pertama nampaknya dipengaruhi oleh protexin sehingga
memperlihatkan berat sapih tertinggi. Pemberian protexin pada babi, lebih baik
pada kelahiran pertama sampai ke tiga. menunjukkan pengaruh yang positif. Hal
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [75]
ini sesuai dengan pendapat Robertfroid et al, (1977) bahwa probiotik memang
bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan hewan.
Kematian anak babi
Selama perlakuan, yaitu sejak menjelang induk dikawinkan sampai anaknya
disapih, nampak bahwa protexin memberikan pengaruh yang baik terhadap
jumlah anak babi yang lahir hidup dan persentase kematian anak babi yang
disapih. Pada perlakuan 0 g protexin jumlah anak babi yang lahir hidup 55 dari
57(3,5%) dan tanpa kematian sampai disapih. Pada perlakuan 5g protexin, hanya
satu ekor anak babi yang mati dari 49 anak babi yang lahir sampai disapih (2,04).
Pakan dengan kandungan protexin 10 g/ton dari 46 dihasilkan 1 (2,1%) ekor babi
yang lahir hidup dan hingga sapih bertambah satu kematian, ini menunjukan
bahwa hingga disapih kematian yang terjadi hanya 2 dari 46 ekor (4,34%).
Perlakuan terakhir dilakukan hanya untuk babi dara yang menggunakan 15 g
protexin. Pada kasus ini tidak ada satu pun babi yang lahir hidup, namun hingga
disapih terdapat 7 babi yang mati dari 48 (14,58%). Ini disebabkan oleh total babi
yang lahir pada kelahiran pertama yang cukup tinggi, sekitar 6-8 atau lebih rendah
daripada perlakuan tanpa pemberian protexin. Tingginya jumlah babi yang lahir
menyebabkan bobot lahir yang rendah dan hal ini menyebabkan tingginya tingkat
mortalitas (Anderson, 2008). Dari data di atas dapat dilihat bahwa mortalitas
tertinggi terjadi pada babi dara walaupun mereka diberikan 15% protexin dan
penggunaan protexin terbaik adalah 10g protexin/ton. Namun demikian, tingkat
mortalitas ini lebih baik dibandingkan tanpa pemberian protexin dimana kematian
babi hingga disapih dapat mencapai 30%.
Jumlah anak babi lahir hidup dari kelahiran ke I – V adalah 55 ekor dari
57 ekor yang lahir dan sampai disapih sebanyak 7 ekor mati. Artinya, hanya dari
pengaruh mothering ability atau tanpa protexin maka persentase mortalitas anak
babi sampai disapih mencapai 12,2%, sedangkan pada pemberian protexin 5 g,
angka kematian hanya 2,01% yang mati sampai disapih (hidup 47 dari 48 ekor
anak babi yang lahir). Pada perlakuan 10 g protexin angka kematian mencapai 2,3%
(lahir 48 ekor, hidup sampai disapih sebanyak 47 ekor); sedangkan pada
perlakuan 15 g protexin semua anak babi lahir hidup yaitu sebanyak 58 ekor dari
7 ekor babi dengan kelahiran pertama atau 8,28 ekor anak babi per induk.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [76]
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukan bahwa:
1. Pemberian 5 g protexin/ton pakan untuk babi dara bunting dan induk dapat
meningkatkan bobot lahir (1,54 kg) dan bobot sapih (7,8 kg)
2. Mortalitas anak babi dari lahir sampai disapih dicapai oleh 5 g protexin 2,04%
DAFTAR PUSTAKA
Beaulieu AD, Aalhus JL, Williams NH, Patience JF.2010. Impact of piglet birth
weight, birth order, and litter size on subsequent growth performance,
carcass quality, muscle composition, and eating quality of pork. Journal of
animal science. 2010;88(8):2767-78. Epub 2010/04/27.
Bohmer BM, Kramer W, Roth-Maier DA.2006. Dietary probiotic
supplementation and resulting effects on performance, health status, and
microbial characteristics of primiparous sows. Journal of animal physiology
and animal nutrition. 2006;90(7-8):309-15. Epub 2006/07/27.Volume 90,
Issue 7-8, pages 309–315, August 2006
Brandherm M, Newton B, Cook DR, Yoon I, Fitzner G. 2010. Effect of
supplementing Saccharomyces cerevisiae fermentation product in sow diets
on reproductive performance in a commercial environment. Canadian
Journal of Animal Science. 2010;90(2):229-32.
Cho JH, Zhao PY, Kim IH. 2011. Probiotics as a dietary additive for pigs: a
review. Journal of Animal and Veterinary Advances. 2011;10(16):2127-34.
Cyberhouse. 1997. Multi strain probiotic contains billions of naturaly occuring
and beneficial live bacteria. Essensial for intestinal good health.
www.cyberhouse.com
Estienne MJ, Hartsock TG, Harper AF. 2005. Effects of antibiotics and probiotics
on suckling pig and weaned pig performance. International Journal of
Applied Research in Veterinary Medicine. 2005;3(4):303-8.
Hamilton, A. 2002. The Role of Probiotic in Intestinal health.
http://www.dieteticintern.com/ litreviews/probiotic.htm.
Hillman, K. 2000. Manipulation of intestinal microflora for improve health and
growth in pig. Presented to the British Society for Animal Science (BSAS)
Conference Scarborouhg. http://www.pighealth.com/News99/Growth 2.htm.
Meunier, NV. 2013. The influence of probiotic use in sows and neonatal piglets
on performance measures and diarrhoea in suckling piglets. Thesis.
Robertfroid, M.B. 2000. Prebiotic and Probiotic: are they Functional Food?
http:/www.pediatrik.com/pojok-khusus/kontribusi-probiotik.htm
Samadi. 2002. Probiotik pengganti antibiotik. http://www.kompas.com
Tortora, G.J., Berdell R. Funke, dan Cristine L. Case. 1997. Microbiology: an
Introduction. Edisi ke enam. Benjamin/Cummings Publishing Company.
California.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [77]
HUBUNGAN ANTARA UKURAN TESTIS DENGAN VOLUME SEMEN
DAN KONSENTRASI SPERMATOZOA PADA BABI
Ruben Panggabean1, Iis Arifiantini2, WM Nalley3, Bondan Achmadi4) 1) Mahasiswa program studi sarjana Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
2) Staf pengajar Divisi Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi, dan
Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
3) Staf pengajar Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. 4) PLP Ahli Muda Divisi Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi, dan
Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
* Corresponding author: [email protected]
ABSTRAK
Pengukuran lingkar testis pada sapi, domba dan kambing jantan digunkan sebagai
penduga kemampuan produksi spermatozoa. Anatomi testis babi menempel pada
bagian belakang berdekatan dengan anus, sehingga lingkar skrotum tidak dapat
dilakukan dan diganti menjadi ukuran testis (testis size). Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari hubungan ukuran testis dengan volume semen dan konsentrasi
spermatozoa pada babi. Dua puluh ekor hewan babi jantan dari berbagai breed
digunakan dalam penelitian ini. Lebar dan panjang testis diukur menggunakan
jangka sorong. Semen dikoleksi menggunakan glove hand method dan volume
semen diukur menggunakan gelas ukur serta konsentrasi spermatozoa dihitung
menggunakan counting chamber (Neubauer). Hasil penelitian menunjukkan
ukuran testis babi adalah 127,46±53,54 cm2dan tidak ada perbedaan ukuran
antara testis kanan dan testis kiri (p>0,05). Volume semen babi rata-rata adalah
248±94,5 mL dengan konsentrasi spermatozoa 239,50±161,52 × 106 sel/mL.
Ukuran testis tidak ada hubungan dengan volume semen dan konsentrasi
spermatozoa demikian juga antara volume semen dengan konsentrasi spermatozoa
(p>0,05).
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [78]
Kata kunci: ukuran testis, volume semen, konsentrasi spermatozoa, babi
RELATIONSHIP BETWEEN TESTIS SIZE, SEMEN VOLUME AND
SPERMATOZOA CONCENTRATION IN BOAR
ABSTRACT
Measurement of the scrotal circumference in bulls, ram and buck is a good
estimator of sperm producing ability of a male. Boar testis locate ventral to the
anusand testis size can only be determined by the assessment of testis volume
(testis width x length).This research aims to study the relationship of boar testis
size with semen volume and sperm concentration. Twenty boars of various breeds
used in this study. The width and length of testes were measured using calipers.
Semen was collected using a hand glove method and the semen volume were
measured using a measuring cup and sperm concentration was evaluate using a
counting chamber (Neubauer). The results showed that the boar testicular size was
127.46 ± 53.54 cm2 and there were no difference between left and right testis size
(p> 0.05). The average of semen volume was 248±94.5 mL with a concentration
of spermatozoa was 239.50 ± 161.52 × 106 cells/mL. There were no diferences
between testis size, semen volume and sperm concentration as well as the semen
volume with sperm concentration (p> 0.05).
Keywords: testis size, semen volume, sperm concentration, boar
PENDAHULUAN
Pejantan sebagai sumber bibit di Balai Inseminasi Buatan (BIB) harus
merupakan pejantan unggul yang terpilih. Diantara keunggulan yang
dipersyaratkan adalah (1) berasal dari turunan yang telah diketahui kelebihannya
(2) mempunyai riwayat produksi dan produktivitas semen yang memadai (3) sehat
dan tidak memiliki cacat tubuh serta (4) mempunyai penampilan tubuh yang
seimbang sesuai dengan jenisnya. Satu hal yang juga sangat penting adalah
melewati seleksi individu menggunakan breeding soundness evaluation (BSE).
Evaluasi BSE pada umumnya meliputi tiga unsur penting yaitu pengamatan fisik
(meliputi pengamatan organ kelamin luar dan eksplorasi rektal), pengukuran
lingkar skrotum serta kemampuan kawin (mating ability) dan kualitas semen.Babi
mempunyai anatomis testis yang berbeda dengan ternak lainnya. Testis menempel
pada bagian belakang berdekatan dengan anus, sehingga pengukuran lingkar
skrotum tidak bisa dilakukan dan istilah lingkar skrotum diganti menjadi ukuran
testis (testis size).
Testis merupakan organ reproduksi primer pada hewan ternak jantan, yang
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [79]
menghasilkan spermatozoa dan hormon testosteron. Setiap gram testis
menghasilkan sejumlah spermatozoa sehingga ukuran testis memiliki hubungan
yang positif terhadap kuantitas spermatozoa. Ukuran testis juga dipengaruhi oleh
umur dan berat. Testis dibungkus oleh skrotum, dengan mengetahui besarnya
scrotum diharapkan dapat mengasumsikan memiliki kuantitas spermatozoa yang
baik (Holden and Ensminger 2006).
Volume semen adalah banyaknya semen (mL) yang diejakulasikan oleh
seekor ternak atau hewan. Volume semen berbeda-beda antar ternak (Arifiantini
2012). Semen sapi dan domba mempunyai volume yang sedikit, sedangkan kuda
dan babi mempunyai volume yang banyak. Volume semen juga dipengaruhi
teknik koleksi semen dan frekuensi koleksi.
Konsentrasi adalah jumlah spermatozoa per mL semen. Penilaian
konsentrasi spermatozoa yang akurat sangatlah penting (Maes et al., 2010),
karena akan menentukan jumlah bahan pengencer yang akan ditambahkan. Seekor
hewan atau ternak harus memenuhi standard konsentrasi tertentu agar dapat
membuahi sel telur (Knox et al. 2002). Konsentrasi spermatozoa dapat dinilai
dengan beberapa cara, diantaranya dengan cara estimasi (dengan melihat jarak
antar kepala), menggunakan counting chamber, spectrophotometer, photometer
SDM 5 atau 6, dan spermaque. Teknik yang telah lama dikenal dalam melakukan
penilaian konsentrasi spermatozoa adalah dengan menggunakan kamar hitung
yang kini menjadi teknik “standard emas” di dunia (Jin-Chun et al. 2007).
Mengingat anatomis testis babi yang berbeda dengan ternak lainnya, dan ukuran
testis akan memengaruhi produksi spermatozoa, maka penelitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk menguji hubungan antara ukuran testis dengan volume
semen dan konsentrasi spermatozoa yang dihasilkan oleh lima breed hewan babi.
MATERI DAN METODE
Sebanyak 20 ekor babi jantan dari lima breed (Duroc 6 ekor; Landrace 6
ekor; Yorkshire 4 ekor; Berkshire 2 ekor; dan Hampshire 2 ekor) yang sudah
dewasa kelamin milik UPTD Siborong-borong, PT. Allegrindo di Sumatera Utara;
PT. Fajar Semesta Indah dan PT. Ngalah di Kalimantan Barat; PT. Adifarm di
Solo-Jawa Tengah; serta BIB Baturiti di Bali digunakan dalam penelitian ini.
Pengukuran Panjang dan Lebar Testis
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [80]
Pengukuran panjang dan lebar testis dari masing-masing testis
menggunakan jangka sorong. Ukuran testis diketahui dengan mengalikan panjang
dan lebarnya dari masing-masing testis.
Koleksi Semen
Koleksi semen pada babi dilakukan dengan teknik masase pada bagian
corpus penis. Koleksi semen dilakukan dengan menggunakan dummy sow.
Tabung penampung menggunakan gelas piala ukuran 250-500 ml. Untuk
memudahkan cara memegang tabung koleksi semen babi dapat dilakukan
modifikasi dengan menggunakan gelas piala yang dilindungi dengan paralon.
Semen babi banyak mengandung gelatin, maka pada bagian permukaan tabung
penampung dilapisi dengan kain kasa untuk menyaring gelatin tersebut agar tidak
tercampur dengan semen (Arifiantini, 2012).
Pengukuran Volume Semen dan Konsentrasi Spermatozoa
Semen yang diperoleh diukur menggunakan gelas ukur. Untuk
penghitungan konsentrasi spermatozoa sebanyak 10 µL semen dimasukkan ke
dalam microtube berisi 990 µL formol saline (1:100) dihomogenkan dan disimpan
sampai saat pengujian.
Penilaian Konsentrasi Spermatozoa
Counting chamber dibersihkan dengan alkohol 70% dan dilap dengan
kertas tisu ditutup dengan cover glass khusus hemocytometer. Cover glass (kaca
penutup) harus dipastikan menempel pada counting chamber dengan
menggunakan gel perekat. 8-10 μL sampel dimasukkan ke dalam kamar hitung
sampai merata. Penghitungan dilakukan pada 5 kotak yang berisi 16 kotak kecil.
Penghitungan dilakukan dengan cara menghitung kotak di setiap sudut dan satu
kotak yang berada di tengah. Kemudian hasil dari masing-masing kotak
dijumlahkan dan hasilnya dirata-ratakan antara kamar 1 dengan kamar 2. Setelah
itu dikalikan dengan faktor pengali standar.
Prosedur Analisis Data
Data ukuran testis, volume semen dan konsentrasi spermatozoa disajikan
dalam bentuk rata-rata dan standar deviasi (SD). Untuk menguji perbedaan ukuran
testis untuk setiap breed dilakukan dianalisis dengan uji Kruskal Wallis (Kruskal-
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [81]
Wallis one-way analysis of variance by ranks). Hubungan antara ukuran testis,
volume semen dan konsentrasi spermatozoa diuji menggunakan uji Pearson
dengan bantuan IBM SPSS Statistic 20.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ukuran Testis pada Berbagai Breed Babi
Anatomi organ reproduksi babi jantan berbeda dengan beberapa hewan
ternak lainnya. Struktur testis babi tidak menggantung tetapi terletak pada daerah
prepubis (perianal) mengakibatkan pengukuran hanya mungkin dilakukan pada
panjang dan lebar testis. Hasil penelitian menunjukkan lebar dan panjang testis
dari kelima breed babi yang digunakan berbeda. Lebar testis breed Berkshire
sama dengan Hampshire, keduanya lebih besar (p<0.05) dibandingkan Duroc dan
Landrace. Panjang testis breed Berkshire paling besar, diikuti oleh Yorkshire.
Tidak terdapat perbedaan (p>0.05) panjang testis antara Duroc, Landrace dan
Hampshire (Tabel 1).
Tabel 1. Rata-rata ukuran testis pada berbagai breed babi
Ukuran
Testis
Breed
Duroc Landrace Yorkshire Berkshire Hampshire
Lebar (cm)
Kanan 7,30±1,40b 8,20±1,60ab 8,60±1,90ab 9,70±1,70a 9,50±2,10a
Kiri 7,70±0,70b 7,80±1,30b 8,80±0,70ab 9,90±1,70a 11,30±4,60a
Panjang (cm)
Kanan 13,90±4,70b 13,00±2,70b 16,20±5,10ab 20,50±6,40a 13,70±6,00b
Kiri 13,90±4,30b 12,60±2,30b 15,60±4,30ab 20,00±4,20a 16,00±4,20ab
Luas (cm2)
Kanan 106,10±55,00b 110,10±39,90b 145,50±71,20ab 204,20±96,50a 124,20±27,90ab
Kiri 108,40±41,80b 100,10±32,70b 140,70±49,20ab 201,60±75,90a 172,60±26,40ab
* Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya
perbedaan nyata (p<0,05)
Luas testis terbesar ditunjukkan oleh Berkshire dan yang paling kecil
ditunjukkan oleh Duroc dan Landrace. Tidak terdapat perbedaan antara Berkshire,
Yorkshire, dan Hampshire (p>0,05) demikian juga antara Yorkshire, Hampshire
dengan Duroc dan Landrace (Tabel 1). Secara keseluruhan ukuran testis terbesar
terdapat pada Berkshire. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan National
Research Council (NRC, 2008) yang menyatakan bahwa babi jenis ini sangat
memenuhi kriteria produksi sebagai babi pejantan unggul. Ukuran testis normal
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [82]
pada babi (baik panjang maupun lebar) yang berumur lebih dari 1 tahun ke atas
adalah > 7 × 11 cm (Shipley 1997), berdasarkan hal tersebut ukuran testis dari
kelima breed babi berada dalam kisaran normal.
Hasil penelitian menunjukkan ukuran luas testis babi adalah 127,46±53,54 cm2,
dan juga uji T (independent T-test) membuktikan ukuran testis kanan dan testis
kiri sama besar (p>0,05). Karena hasil ukuran testis kanan dan testis kiri tidak
menunjukkan adanya perbedaan, maka dapat diasumsikan bahwa produksi dari
masing-masing testis adalah sama. Keseragaman ukuran ini disebabkan karena
babi diteliti sudah dewasa dan dipelihara serta diberikan pakan yang baik. Pakan
yang mengandung protein tinggi dapat meningkatkan dimensi testis (Fernandez et
al. 2000; Hotzel et al. 2003).
Volume Semen Babi
Hasil evaluasi makroskopis semen dari 20 ekor babi menunjukkan volume
rata-rata semen adalah 248,00±94,50 mL (Tabel 2). Volume semen ini termasuk
tinggi dibandingkan dengan volume ternak lainnya, Tingginya volume semen babi
dipengaruhi oleh gelatin yang disekresikan oleh kelenjar vesikularis (Robert,
2006). Hasil penelitian yang diperoleh hampir sama dengan yang dilaporkan oleh
Frangez et al. (2005) yakni sebesar 235,00±29,14 mL, lebih tinggi dibandingkan
laporan Ugwu et al. (2009), dengan volume hanya 127,09±52,10 mL, tetapi lebih
rendah dari laporan Wolf and Smital (2009) yang mencapai 274,13±1,53 mL.
Secara keseluruhan volume semen yang diperoleh dari penelitian ini berada dalam
kisaran normal. Bervariasi antar breed dan jantan tetapi secara statistik tidak ada
perbedaan volume semen antar breed ataupun antar jantan yang diteliti (p>0,05).
Variasi dalam volume semen ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
umur, metode penampungan, jumlah sampel, dan frekuensi penampungan (Parker
2000).
Volume semen babi menurut beberapa laporan sangat bervariasi mulai dari 150-
450 mL (Shipley 1997), 250–500 mL (Gardner dan Hafez 2000). Tinggi variasi
volume semen babi disebabkan banyaknya jenis babi yang dikembangkan mulai
dari babi berukuran paling kecil seperti breed Pygmi Bandel, Banmpudke; sampai
babi yang berukuran paling besar seperti breed Meishan (FAO 2009). Besarnya
ukuran tubuh babi akan diikuti dengan besarnya ukuran organ reproduksi
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [83]
termasuk ukuran kelenjar asesoris yang merupakan penghasil plasma semen
paling banyak (Gardner dan Hafez 2000).
Tabel 2. Rata-rata volume semen pada berbagai breed babi
Breed Volume semen (mL)
Duroc 189,20±106,50
Landrace 260,00±103,90
Yokshire 288,70±44,40
Berkshire 280,00±141,40
Hampshire 275,00±35,30
Rata-rata 248,00±94,50
Konsentrasi Spermatozoa Babi
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata konsentrasi spermatozoa dari 20
ekor babi yang diperiksa adalah 239,5±161,5 juta sel/mL. Hasil ini hampir sama
dengan yang dilaporkan oleh Frangez et al. (2005) sebesar 239,90±61,27 juta
sel/mL, lebih tinggi dibandingkan laporan Ugwu et al. (2009), dengan konsentrasi
spermatozoa hanya 186,38±24,34 juta/mL, tetapi lebih rendah dari laporan Wolf
and Smital (2009) yang mencapai 425,67±4,04 juta/mL.
Tabel 3. Rata-rata konsentrasi spermatozoa dan konsentrasi total pada berbagai breed Babi
Breed
Variabel
Konsentrasi Spermatzoa
(Juta sel/mL)
Konsentrasi Total
(Juta)
Duroc 203,60±154,60ab 38081,70±35267,30
Landrace 259,60±178,50ab 73485,50±55108,40
Yokshire 157,20±154,40b 49392,10±52658,50
Berkshire 360,00±61,20a 105130,00±68057,60
Hampshire 331,00±241,80ab 95300,00±78206,00
Rata-rata 239,5±161,52 72277,86±57589,56
*Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan
nyata (p<0,05)
Secara keseluruhan konsentrasi spermatozoa yang diperoleh berada dalam kisaran
normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan (p>0,05)
pada breed Berkshire dan Hampshire bila dibandingkan dengan konsentrasi
spermatozoa pada breed Duroc, Landrace, dan Yorkshire. Konsentrasi
spermatozoa dalam keadaan segar berkisar 200-500 juta sel/ml (Shipley
1997).Konsentrasi spermatozoa pada masing-masing breed berada dalam rentang
normal; kecuali pada breed Yorkshire. Konsentrasi spermatozoa tertinggi
diperoleh pada breed Berkshire dengan rata-rata 360,00±61,20 juta/ml. Keadaan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [84]
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jumlah ejakulat, interval
penampungan, kondisi pejantan dan lingkungan (Jonhson et al., 2000). Pada
penghitungan konsentrasi total, tidak didapatkan perbedaan jumlah antar breed
ataupun individu babi yang diuji (p>0,05), dengan konsentrasi spermatozoa total
antara 38081,70±35267,30 sampai dengan 105130,00±68057,60 juta/ml.
Hubungan antara Ukuran Testis dengan Volume Semen dan Konsentrasi
Spermatozoa
Untuk melihat besarnya keeratan hubungan antara ukuran testis dengan
volume semen dan konsentrasi spermatozoa, maka perlu dianalisis dengan
menggunakan analisis korelasi Pearson. Hasil penelitian menunjukkan nilai
korelasi ukuran testis dengan volume semen yang diperoleh yaitu 0,266. Angka
yang diperoleh bernilai positif, yang menunjukkan adanya korelasi antara ukuran
testis dengan volume semen, namun dalam jumlah sedikit yaitu hanya 26%.
Tabel 4. Koefisien korelasi antara ukuran testis, volume semen dan konsentrasi spermatozoa pada
breed babi
Variabel Ukuran testis
Volume semen 0,266
Konsentrasi spermatozoa 0,070
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Jainudeen dan Hafez (2000)
yang menyatakan bahwa volume semen dipengaruhi oleh lingkar testis. Perbedaan
hasil dapat dipengaruhi oleh variasi umur, tingkat rangsangan, frekuensi ejakulasi
serta kualitas pakan yang diberikan (Jonhson et al., 2000). Pada ternak babi
lingkar testis tidak dapat diukur dan sebagai penggantinya dilakukan ukuran testis.
Selain itu volume semen yang dihasilkan dipengaruhi oleh banyaknya plasma
yang dihasilkan oleh kelenjar aksesoris jantan yaitu kelenjar vesikularis (± 99%),
sedangkan sisanya adalah jumlah sel spermatozoa (Arifiantini, 2012), dan kelenjar
asesoris babi sangat besar dibandingkan kelenjar asesoris ternak pada umumnya.
Ukuran testis dengan konsentrasi spermatozoa menunjukkan nilai korelasi
sebesar 0,070 (p>0,05). Hal ini dapat diartikan tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara ukuran testis dengan konsentrasi spermatozoa. Angka yang
diperoleh positif, yang menunjukkan terdapat korelasi antara ukuran testis dengan
konsentrasi spermatozoa namun hanya 7%.
Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Aurich et al.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [85]
(2002), Schatten dan Contantinescu (2007) dan Ugwu et al. (2009) yang
menyatakan bahwa jumlah total spermatozoa dan produksi spermatozoa harian
berhubungan positif dengan ukuran testis. Perbedaan ini dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu jumlah ejakulat, interval penampungan, kondisi pejantan
dan lingkungan (Jonhson et al., 2000). Selain itu, keadaan ini juga disebabkan
karena sebaran data yang tidak seragam pada masing-masing breed dan jumlah
sampel yang tidak memenuhi asumsi kenormalan suatu data untuk diolah secara
statistik.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nyata
antara ukuran lebar, panjang dan luas testispada seluruh breed. Tidak ada
hubungan antara ukuran testis dengan volume semen dan konsentrasi spermatozoa.
Saran
Saran yang diajukan berdasarkan penelitian ini adalah perlu dilakukan
penelitian dengan jumlah babi yang lebih banyak. Penelitian lanjutan disarankan
memiliki ragam data yang cukup untuk masing-masing breed yang akan dicoba.
DAFTAR PUSTAKA
Arifiantini RI. 2012. Teknik Koleksi dan Evaluasi Semen pada Hewan. Bogor (ID):
IPB Press.
Aurich JE, Achmann R, Aurich C. 2002. Semen parameters and level
heterozgosity in Austrian draught horse stallions. Theorigenol. 58:1175-
1186.
[FAO] Food and Agricultural Organization. 2009. Farmer’s Hand Book on Pig
Production. Caracalla (IT): UN Pr.
Fernandez M, Giralde FJ, Frutos P, Lavin P, Mantecon AR. 2004. Effect of
undegrable protein supply on testicular size, spermiogram parameters, and
sexual behaviour of mature Assaf rams. Theriogenol 62:299-310.
Frangez R, Gider T, Kosec M. 2005. Frequency of boar ejaculate collection and
it’s fluence on semen quality, pregnancy rate and litter size. Acta Vet BRNO.
74:265-273.
Gardner DL, Hafez ESE. 2000. Spermatozoa and Seminal Plasma. In : Hafez B
dan Hafez ESE, editor. Reproduction in Farm Animal 7th ed. Philadelphia
(US): Williams & Wilkins.
Hotzel MJ, Markey CM, Walkden-Brown SW, Blackberry A, Martin GB. 2003.
Determinants of the annual pattern of reproduction in mature male Merino
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [86]
and Suffolk sheep: responses to a nutritional stimulus in the breeding and
non-breeding seasons. Reprod Fertil Dev. 15:1-9.
Jainudeen MR, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animal: Cattle and
Buffalo. Hafez ESE, Hafez B, editor. Philadelphia (US): Williams &
Wilkins.
Jin-Chun L, Fang C, Hui-Ru X, Yu-Feng H, Nian-Qing L. 2007. Comparison of
three sperm-counting methods for the determination of sperm concentration
in human semen and sperm suspensions.JLabmed. 38(4):232-236.
Jonhson LA, Weitze KF, Fiser P, Maxwell WMC. 2000. Storage of boar semen. J
Anim Sci. (62):143-172.
Knox RV, Rodriguez-Zas SL, Roth S, Kelly R. 2002.Use and Accuracy of
Instruments to Estimate Sperm Concentration.Proceedings, Cons. &
Economics. Urbana (US): University of Illinois, hlm20-31.
Maes D, Rijsselaere T, Vyt P, Sokolowska A, Deley W, Van Soom A. 2010.
Comparison of five different methods to assess the concentration of boar
semen.Vlaams Diergeneeskundig Tijdschrift. (79):42-47.
[NRC] National Research Council. 2008. Nutrien Requirements for Swine Tenth
Edition. Washington (USA): National Academy Pr.
Parker JE. 2000. Reproductive physiology in poultry.Hafez ESE , editor. Philadelphia
(US): Lippincott Williams & Wilkins.
Robert VK. 2006. Semen Processing, Extending and Storage for Artificial
Insemination in Swine. Urbana (US): Departement of Animal Science
University of Illinois.
Schatten H, Constantinescu G. 2007. Comparative reproductive Biology. Iowa
(US): Blackwell Publishing Ltd.
Shipley CF. 1997 Breeding soundness examination of the boar. Swine Health
Prod. 7(3):117-120.
Ugwu SOC, Onyimonyi AE, Foleng H. 2009. Testicular development and
relationship between body weight, testis size and sperm output in tropical
boars. Afri J Biotech. 8(6):1165-1169.
Wolf J, Smital J. 2009. Effects in genetic evaluation for semen traits in czech
large white and czech landrace boars. J Anim SciCzech. 54(8):349-358.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [87]
PENENTUAN WAKTU OPTIMAL PEMERIKSAAN INTEGRITAS
MEMBRAN PLASMA SPERMABABI MENGGUNAKAN HYPO-
OSMOTIC SWELLING (HOS) TEST
IN Donny Artika1), RI Arifiantini2), TL Yusuf2), WM Nalley3) 1) Mahasiswa program studisarjanaFakultasKedokteranHewan, InstitutPertanian Bogor
2) Divisi Reproduksi dan Kebidanan, DepartemenKlinik, Reproduksi, danPatologi,
FakultasKedokteranHewan, InstitutPertanian Bogor
3) Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
* Corresponding author: [email protected]
ABSTRAK
Keutuhan membran plasma merupakan faktor penting untuk menentukan
fertilitas spermatozoa. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan waktu optimum
untuk pengujian membran plasma yang utuh (MPU) pada semen segar babi
menggunakan hypo-osmotic swelling (HOS) test. Sebanyak 10 ekor babi dari
bangsa Landrace, Duroc dan Yorkshire yang telah dewasa digunakan sebagai
sumber semen. Semen dikoleksi menggunakan pemijatan massase. Semen yang
diperoleh dievaluasi secara makroskopis dan mikroskopis. Pengujian MPU
dilakukan dengan cara memasukkan 50 µL semen ke dalam mikrotub berisi 1 ml
larutan hipoosmotik (150 mOsm Kg-1). Campuran larutan diinkubasi pada suhu
37oC. Sperma yang bereaksi dan yang tidak bereaksi terhadap larutan HOS
dievaluasi mulai jam ke 0 dan setiap 15 menit dengan total 200 sel sperma. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa waktu optimal sperma bereaksi maksimal terhadap
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [88]
larutan HOS adalah 60 menit setelah inkubasi.
Kata kunci: keutuhan membran plasma, HOS test, semen babi
DETERMINATION OF OPTIMAL TIME FOR SPERM MEMBRAN
INTEGRITY TEST OF BOAR SPERM USING HYPO-OSMOTIC
SWELLING (HOST) TEST
ABSTRACT
Sperm plasma membrane integrity was important for sperm fertility. The
objective of this study was to determine the optimal time to test sperm plasma
membrane of raw boar semen using hypo osmotic swelling (HOS) test. A total of
10 sexualy mature boars from three breed (landrace, Duroc, and Yorkshire) used
as a sperm source. Semen were collected using hand glove method. Immediatley
after collection the semen were evaluate macro and microscopically. The HOS
test conducted by putting 50 µL semen into 1 ml HOS medium (150 mOsm Kg-1)
incubated at 37oC. Two hundred reacted and not reacted sperm cell to HOS
medium were evaluate at 0 min and every 15 minutes. Result showed that
theoptimum response to HOS was obtained at 60 minutes after incubation.
Keywords: plasma membrane integrity, HOS test, boar semen
PENDAHULUAN
Penerapan teknologi inseminasi buatan (IB) pada peternakan babi
meningkat secara signifikan pada satu decade terakhir (Maes et al., 2011),
termasuk di Indonesia. Salah satu faktor keberhasilan IB adalah kualitas semen.
Kualitas semen yang baik diketahui melalui proses evaluasi semen setelah
penampungan. Evaluasi semen yang dilakukan di Balai Inseminasi Buatan Daerah
(BIBD) Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Peternakan Provinsi Bali di
Baturiti dan peternakan Adhi Farm, Solo masih terbatas pada metode pengujian
standard yang meliputi pengujian makroskopis seperti volume, konsistensi, warna,
dan pH serta pengujian mikroskopis yang meliputi motilitas, viabilitas dan
konsentrasi.
Pengujian kualitas semen, selain yang telah disebutkan di atas juga dapat
dilakukan dengan beberapa parameter lain seperti pengujian tudung akrosom dan
pengujian integritas membran. Lechniak et al. (2002) menyebutkan bahwa
integritas fungsional dan struktur membran plasma spermatozoa sangat penting
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [89]
bagi kehidupan spermatozoa. Spermatozoa juga harus mempunyai energi yang
cukup untuk pergerakan, protein dan senyawa lain yang penting selama berada
dalam saluran reproduksi betina serta memiliki membran plasma yang baik
sehingga dapat melakukan fertilisasi dengan baik (Purdy et al., 2010).
Integritas membran dapat diuji menggunakan mikroskop cahaya atau mikroskop
fluorescent yang dikombinaskan dengan pewarnaan vital (Brito et al., 2003), flow
cytometry (Hallap et al., 2004) dan hypo-osmotic swelling (HOS) tes pada
Estonian Holstein(Padrik et al., 2012); kambing (Fonseca et al., 2005); domba
(Nalley dan Arifiantini, 2013); kuda (NiedanWanzel, 2001). Hypo-osmotic
swelling (HOS) test merupakan metode yang murah dan mudah diaplikasikan
dalam pengujian integritas membran plasma (Nalley dan Arifiantini 2013).
Pengujian HOS didasarkan pada kemampuan spermatozoa membengkak setelah
dimasukkan ke dalam larutan hipoosmotik. Spermatozoa dengan kerusakan fungsi
membran tidak mengalami pembengkakan dan ekornya tidak mengalami
invaginasi/melingkar.
Babi memiliki karakteristik semen yang unik, berbeda dengan ternak lain
seperti sapi, domba dan kambing. Semen babi mengandung gelatin yang
merupakan sekresi dari kelenjar bulbouretralis dan akan keluar pada saat
ejakulasi. Gelatin yang menyelimuti sel spermatozoa akan memengaruhi
kecepatan larutan hipoosmotik memasuki sel, sehingga diperlukan waktu yang
tepat untuk melakukan pengujian HOS.Mengingat karakteristik semen babi yang
berbeda dan adanya perbedaan kecepatan masuknya larutan hipoosmotik ke dalam
sel spermatozoa maka penelitian ini dilakukan untuk menentukan waktu optimal
dalam pengujian integritas membran plasma spermatozoa babi menggunakan
larutan HOS.
MATERI DAN METODE
Penampungan Semen
Sebagai sumber semen digunakan 10 ekor babi jantan dengan breed yang
berbeda yaitu Landrace (6 ekor), Duroc (3 ekor), dan Yorkshire (1 ekor). Tujuh
ekor babi di BIB Baturiti dan tiga ekor di PT Adi Farm, Solo. Penampungan
semen dilakukan dengan metode pemijatan (massage) / gloves hand methodpada
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [90]
korpus penisdengan bantuan dummy sow, dilengkapi dengan kasa untuk
memisahkan gelatin dan semen.
Evaluasi Semen
Segera setelah koleksi, semen dibawa ke laboratorium untuk dianalisis
secara makroskopis dan mikroskopis. Pengujian makroskopis diawali dengan
pengukuran volume semen menggunakan gelas ukur. Keasaman dari semen diuji
menggunakan kertas indikator pH, selanjutnya dilihat secara visual
konsistesi/kekentalan, warna, dan bau semen. Pengujian mikroskopis dimulai
dengan menilai persentase motilitas spermatozoa dengan cara meneteskan 1 tetes
semen pada gelas objek kemudian ditambahkan satu tetes larutan NaCl fisiologis,
dihomogenkan dan diambil satu tetes untuk dipindahkan ke gelas objek yang lain.
Pengamatan motilitas pada mikroskop cahaya (Olympus CX21) dengan
pembesaran 10 × 40 (400×). Pengamatan dilakukan pada lima lapang pandang
dengan interval nilai 1-100%.
Pengujian viabilitas dilakukan menggunakan pewarna eosin nigrosin. Satu
tetes semen diteteskan pada gelas objek, ditambahkan satu tetes eosin nigrosin
kemudian dihomogenkan dan dibuat preparat ulas. Pemeriksaan dilakukan dengan
mikroskop cahaya (Olympus CX21) pada pembesaran 10 × 40 (400×). Penilaian
dilakukan dengan melihat warna kepala spermatozoa. Kepala spermatozoa yang
menyerap warna menunjukkan spermatozoa yang mati dan spermatozoa hidup
tidak menyerap warna. Spermatozoa hidup dan mati dihitung hingga 200 sel atau
10 lapang pandang kemudian dihitung dengan cara: Spermatozoa hidup dibagi
dengan jumlah spermatozoa terhitung (hidup dan mati) dikali 100%. Perhitungan
konsentrasi menggunakan photometer SDM 5 dan Neubauer chamber (Arifiantini,
2012).
Pengujian Integritas Membran Plasma
Pengujian integritas membran plasma dilakukan sebagai berikut: Semen
sebanyak 50 µL dimasukkan ke dalam mikrotub berisi 1 mL larutan hipoosmotik
(1.351 g fruktosadan 0.735 g Na sitrat dalam Aquabidest100 mL). Campuran
larutan kemudian diinkubasi pada suhu 37oC dan dievaluasi menggunakan
mikroskop cahaya (Olympus CX21) dengan pembesaran 10 × 40 (400×).
Spermatozoa yang bereaksi terhadap larutan hipoosmotik (ekor melingkar) dan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [91]
spermatozoa yang tidak bereaksi (ekor lurus) dihitung hingga 200 sel. Pengujian
dilakukan setiap 15 menit dan dihentikan pada saat waktu inkubasi mencapai 90
menit. Data yang diperoleh merupakan persentase spermatozoa yang bereaksi
positif terhadap larutan HOS.
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji Anova dan uji lanjut
Duncan. Data antar breed diseragamkan dengan proporsi dan diuji dengan
menggunakan t-test menggunakan SPPS 16.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Semen Segar
Hasil evaluasi semen segar merupakan tahap awal untuk menentukan kelayakan
semen yang akan diperoses lebih lanjut. Rata-rata volume semen per ejakulat yang
didapatkan dari penelitian ini adalah 326,67±141,33 mL, derajat keasaman (pH)
7,2 – 7,5 dengan rata-rata 7,32±0,12, konsistensi encer dan berwarna putih keruh.
Motilitas spermatozoa antara 60-75% (68,89 ± 6,01%), spermatozoa hidup 79,49
± 5,52% dengan konsentrasi spermatozoa 175,50 ± 8214 × 106sel/ml (Tabel 1).
Tabel 1 Nilai karakteristik semen segar babi
Karakteristik semen Nilai rerata
Volume (mL) 326,67 ± 141,33
Warna Putih susu
Konsistensi Encer
pH 7,32 ± 0,12
Motilitas spermatozoa (%) 68,89 ± 6,01
Spermatozoa hidup (%) 79,49 ± 5,52
Konsentrasi spermatozoa (106 sel/mL) 175,50 ± 82,14
Integritas membran plasma spermatozoa pada babi
Membran plasma merupakan lapisan semipermeabel yang menyelimuti sel
spermatozoa. Menurut Curry dan Watson (1995), integritas membran plasma
serta fungsinya penting untuk menjaga viabilitas sel. Bagian ini menjadi struktur
penting dari sel sebagai gerbang yang menghubungkan lingkungan ekstra seluler
dan intra seluler, dengan demikian keutuhan struktur dan fungsi membran plasma
sangat penting untuk dievaluasi dalam pengujian kualitas spermatozoa. Membran
plasma memiliki kemampuan permeabilitas yang selektif untuk mengatur aktivitas
metabolik intrasel, pH, dan komposisi ion.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [92]
Sel spermatozoa akan bereaksi ketika dimasukkan kedalam larutan
hipoosmotik, hal ini terjadi karena larutan hipoosmotik akan masuk kedalam sel
melewati membran plasma. Akibat perbedaan tekanan osmotik dari larutan
tersebut dengan tekanan osmotik luar sel lebih tinggi, maka larutan tersebut akan
masuk ke dalam sel dan menyebabkan kebengkakan, fenomena inilah yang dapat
diamati dan diukur untuk menguji integritas membran plasma (Vaszquez et al.,
1997). Fenomena ini lebih mudah diamati pada ekor spermatozoa (Gambar 1),
daripada kepala karena membran plasma yang mengelilingi ekor tampak lebih
longgar (Vazquez et al., 1997).
Berdasarkan hasil penelitian, pada menit ke-15 sudah menunjukkan HOS
positif antara 36,27 sampai 63,50% dengan rata-rata 52,32± 9,05. Pada 30 menit
inkubasi, sel yang positif terhadap larutan HOS semakin meningkat antara 47,44
sampai dengan 77,00% dengan rata-rata 60,13±9,56. Peningkatan reaksi
spermatozoa yang positif terhadap larutan HOS terus terjadi dan puncaknya
terlihat pada menit ke-60 (Tabel 2).
Gambar 1. Hasil pengujian integritas membran plasma dengan HOS test.
a spermatozoa HOS positif dan b Spermatozoa HOS negatif
Persentase HOS positif pada menit ke-60 berkisar antara 64,36 sampai
84,07% dengan rata-rata 74,65±7,03, reaksi ini lebih tinggi (p<0,01) dibandingkan
jumlah spermatozoa dengan HOS positif pada menit ke 45, 30 ataupun 15 menit.
Setelah melewati puncak reaksi pada menit ke-60 persentase spermatozoa yang
HOS positif mulai menurun. Spermatozoa yang mengalami HOS positif pada
menit ke-75 antara 50,70 sampai 82,50%. Penurunan terus terjadi dan akhirnya
pada menit ke-90 menunjukkan reaksi HOS positif hanya 49,50 sampai dengan
a
b
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [93]
72,30% dan rata-rata 60,96±5,85 (Tabel 2). Penurunan ini disebabkan karena
paparan larutan hipoosmotik yang terlalu lama sehingga membran plasma
mengalami kerusakan dan tidak reaktif lagi terhadap larutan hipoosmotik.
Teknik hypo-osmotik swelling (HOS) test pada babi telah dilaporkan oleh
Vazquez et al. (1997), Perez-Llano et al. (2001) dan Yesteet al. (2010) namun
dalam penelitian tersebut belum ada yang menentukan secara spesifik waktu
optimal dalam pengujian integritas membran dengan menggunakan HOS
test.Selain itu cara penampungan semen di Indonesia masih belum bisa
memisahkan fraksi gelatin secara sempurna, dengan demikian akan memengaruhi
kecepatan masuknya larutan hipoosmotik ke dalam sel spermatozoa yang akan
berpengaruh terhadap waktu pengujian.
Tabel 2. Persentase jumlah spermatozoa yang bereaksi positif Hipo-osmoticswelling (HOS) test
selama masa inkubasi
Ulangan Menit ke
15 30 45 60 75 90
1 53,00 60,50 76,70 84,07 82,50 72,30
2 63,50 66,30 72,50 76,68 79,50 70,00
3 54,80 61,40 69,30 68,00 66,20 58,50
4 50,20 51,20 62,80 62,36 50,70 49,50
5 62,50 77,00 87,00 83,70 78,90 65,00
6 36,27 47,44 60,00 64,36 56,52 55,00
7 60.00 67,50 76,90 80,60 76,00 62,10
8 52,50 57,73 72,90 80,60 68,50 60,00
9 45,45 55,00 64,82 65,00 57,84 60,00
10 45,00 51,50 58,17 75,00 66,20 57,21
Rerata±SD 52,32
± 9,05c
60,13
± 9,56bc
70,10
± 9,12ab
74,65
± 7,03a
68,28
± 10,25ab
60,96
± 5,85bc
Huruf superscrip berbeda yang mengikuti angka pada baris yang sama menunjukkan beda sangat
nyata (p<0,01)
Membran plasma spermatozoa memiliki peran penting dalam proses fusi
dalam ovum pada saat fertilisasi. Pengujian membran plasma dengan
menggunakan hypo-osmotik swelling(HOS)testtelah banyak dilakukan pada
hewan domestik yaitu pada kerbau (Padrik et al., 2012), kuda (Nie dan Wenzel,
2001), dan domba (Nalley dan Arifiantini, 2013).
Waktu yang paling tepat untuk melakukan pengujian integritas membran
pada babi berdasarkan hasil penelitian ini adalah pada menit ke-60 inkubasi
(Gambar 2). Ketepatan waktu pengujian HOS sangat penting dilakukan, bila
waktu pengujian terlalu cepat, maka spermatozoa belum bereaksi secara optimal.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [94]
Sebaliknya jika dilakukan terlalu lama sejak inkubasi kemungkinan waktu optimal
bereaksi sudah hilang. Menurut Lang et al. (1998) mekanisme regulasi volume
selmerupakan faktor pentingsel. Selharusvolume berlebihan yang
dapatmembahayakanintegritas structural dankestabilanlingkunganintraselular.
Stabilitas volume selmerupakan proses lanjutdarimekanismeregulasi volume,
akumulasiataupelepasanosmolitdanmetabolit organic sertatransportasi ion
melaluimembran plasma. Fungsiselharusdipertahakandalammenghadapi
perubahan tekanan osmotik. Spermatozoa beberapamamalia (babi, tikus,
bantengdanmanusia) telahditemukanmemilikikemampuanregulasi volume,
dibagimenjadiduayaituregulatory volume decrease (RVD)
merupakanresponterhadaptekananhipoosmotikdanregulatory volume increase
(RVI) yaituselmampumengembalikanvolumenya setelah mengalami pengerutan
karena lingkungan hipertonis (Petrukinaet al., 2007).
Gambar 2. Grafik reaksi spermatozoa positif terhadap larutan HOS
Tabel 3. Persentase jumlah spermatozoa yang bereaksi positif Hipo-osmotic swelling
(HOS) testantar breed selama masa inkubasi
Breed Menit ke
15 30 45 60 75 90
Landrace 53,38 60,64 71,38 73,02 69,05 61,72
Duroc 52,65 60,00 71,54 75,40 67,45 60,70
Yorkshire 51,50 51,50 58,17 75,00 66,20 57,21
Pada penelitian ini reaksi HOS positif antar breed pada setiap waktu
%ek
or
mel
ingk
ar
Menit ke-
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [95]
pengamatan disajikan pada Tabel 3. Data tersebut diuji dengan uji t-test dan
menunjukan hasil yang tidak berbeda (p >0,05) hal ini sesuai dengan pernyataan
Amorim et al. (2009) bahwa reaksi spermatozoa pada larutan HOS dipengaruhi
oleh spesies hewan, jenis larutan, osmolalitas, dan waktu inkubasi. Fungsi
membran plasma spermatozoa sangat fundamental dalam mengatur volume sel,
karena akan menentukan kelangsungan hidup spermatozoa.
Optimalnya pengujian pada menit ke-60 dalam penelitian ini juga
dilaporkan oleh Padrik et al. (2012) pada sapi Estonian Holstein dengan
menggunakan tekanan hipoosmotik yang sama (150 mOsm kg-1). Fonseca et al.
(2005) melaporkan pengujian integritas membran pada semen kambing dengan
larutan HOS 125 mOsm kg-1 pada 37oC dalam waktu 60 menit. Pada spermatozoa
kuda Niedan Wanzel (2001) menyatakan, inkubasi selama 60 menit dengan
larutan hipoosmotik 100 mOsm kg-1 menunjukkan persentase HOS reaktif yang
lebih tinggi dibandingkan dengan larutan hipoosmotik lainnya.
Tekanan osmotik yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda. Pada
penelitian ini spermatozoa babi bereaksi dengan larutan HOS (150 mOsm kg-1),
optimal pada menit ke-60 inkubasi. Pengujian yang dilakukan lebih cepat atau
lambat akan mendapatkan hasil yang kurang akurat.
SIMPULAN
Waktu optimal untuk melakukan pemeriksaan integritas membran plasma
adalah pada menit ke-60 dengan larutan hipoosmotik 150 mOsm Kg-1. Tidak ada
perbedaan yang nyata antara breed dan waktu pemeriksaan integritas membran
plasma spermatozoa babi dengan hypo-osmotic swelling (HOS) test.
DAFTAR PUSTAKA
Amorim EA, Torres CA, Graham JK, Amorim LS,Santos LV. 2009. The hypo-
osmotic swelling test infresh rabbit spermatozoa. Anim Reprod Sci.111:
338‒343.
Brito LFC, Barth AD, Bilodeau-Roessels S, Panich PL, Kastelic JP. 2003.
Comparison methods to evaluate the plasmalemma of bovine sperm and
their relationship with in vitro fertilization rate. Theriogenology60: 1539-
1551
Curry MR, Watson PF. 1995. Sperm structure and function. Di dalam:
Grudzinskas JG, Yovich JL. Editor. Gametes-The Spermatozoon.
Cambridge (UK): Cambridge University Pr.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [96]
Fonseca JF, Torres CAA, Maffili VV, Borges AM, Santos ADF, Rodriques MT.
Oliveira RFM. 2005. The hypoosmotic swelling test in fresh goat
spermatozoa. Anim Reprod sci.2: 139-144
Garner DL, Hafez ESE. 2000. Spermatozoa and Seminal Plasma. In: Hafez B,
Hafez ESE. 2000. Reprod in Farm Anim. 7th ed. Philadelphia (US):
Lippincott Williams & Wilkins. 96-109.
Hallap T, Nagy S, Haard M, Jaakma U, Larsson B, Rodriquez-Martinez H. 2004.
Variations in quality of frozen-thawed semen from Swedish Red and White
siresat 1 and 4 years of age. J of Andrology. 27:166‒171.
Lang F, Gillian L, Busch L, Markus R, Harald Vo Lkl, Siegfried W, Erich G.
1998. Functional significance of cell volume regulatory mechanisms. Phys
Rev. 78 (1): 248-273
Lechniak DA, Kedzierski D, Stanislawski D. 2002. The use of HOS test to
evaluate membrane functionality of boar sperm capacitated in vitro. Reprod
Dom Anim. 37(6): 379-380.
Maes D, López A, Rijsselaere T, Vyt P, Van A. 2011. Artificial insemination in
pigs. In Artificial insemination in farm animals ed. M. Manafi. In Tech
Rijeka Croatia. 79-94
Nalley WMM, Arifiantini RI. 2013. The Hypo-osmotic swelling test in fresh garut
ram spermatozoa. J.Indonesian TropAnim Agric. 38(4): 212-216
Nie GJ, Wenzel JGW. 2001. Adaptation of the semen hypo-osmotic swelling test
to assess functional integrity of stallion spermatozoal plasma membranes.
Theriogenology59: 735-742.
Padrik P, Hallap T, Kaart T, Bulitko T, Jaakma U. 2012. Relationships between
the results of hypo-osmotic swelling tests, sperm motility, and fertility in
Estonian Holstein dairy bulls. Czech J Anim Sci. 57 (10): 490-497
Perez-Llano BJLP, Lorenzo YA. Trejo P. Garcia-Casado P. 2001. Hypoosmotic
swelling test for the prediction of boar sperm fertility. Theriogenology56:
387-398
Petrunkina AM, Waberski D, Gunzel-Apel AR, Topfer-Peterson E. 2007.
Determinants of sperm quality and fertility in domestic species. Society for
Reprod and Fertil. 1470-1626.
Purdy PH, Moce E, Stobart R, Murdoch WJ, Moss GE, Larson B, Ramsey S,
Graham JK, Blackburn HD. 2010. The fertility of ram sperm held for 24h at
5°C prior to cryopreservation. AnimReprod Sci. 118:231-235.
Vazquez JM, Martinez EA, Martinez P. 1997. Hypoosmotic swelling of boar
spermatozoa compared to other methods for analyzing the sperm membrane.
Theriogenology47:913-922
Yeste M, BrizM, PinartES. Sancho E. Bussalleu S. 2010. The osmotic tolerance of
boar spermatozoa and its usefulness as sperm quality parameter. Anim
Reprod Sci.119: 265-274
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [97]
PENGARUH PEMBERIAN JENIS ANTIBIOTIKA TERHADAP
PENAMPILAN ANAK BABI PRASAPIH
Sriyani, N. L. P., Tirta A., I N., I W. Sukanata, dan Md. Artiningsih R.
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini telah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh
pemberian jenis antibiotika terhadap penampilan anak babi prasapih. Penelitian
menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan yaitu P0:
anak babi yang tidak diberi antibiotika, P1: anak babi yang diberi antibiotika jenis
Tysinol, dan P2: anak babi yang diberi antibiotika jenis Corflox. Anak babi yang
dipergunakan sebanyak 24 ekor (±1,5 kg) yang berasal dari 4 induk (sebagai
blok/kelompok). Setiap blok masing-masing perlakuan diulang sebanyak 2 kali,
sehingga anak babi yang dipakai disetiap blok sebanyak 6 ekor. Parameter yang
diukur adalah: berat badan, panjang badan, lingkar dada, tinggi badan, dan
mortalitas. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam, jika terjadi
perbedaandiantara perlakuan (P>0,05), maka uji dilanjutkan dengan uji beda nyata
terkecil (BNT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan pemberian
antibiotika (Tysinol dan Corflox) pada anak babi umur 1 hari nyata dapat
meningkatkan bobot sapihan, pertambahan bobot badan harian, dan mengurangi
mortalitas. Pemberian antibiotika tidak nyata pengaruhnya terhadap parameter
lingkar dada, tinggi badan, dan panjang badan. Perbedaan jenis antibiotika yang
diberikan tidak nyata pengaruhnya terhadap penampilan dan mortalitas anak babi
prasapih (P>0,05). Kesimpuland an saran dari penelitian ini adalah sangat perlu
pemberian antibiotika (baik Tysinol maupun Corflox) pada anak babi umur 1 hari
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [98]
untuk meningkatkan PBB, bobot sapihan, dan menurunkan mortalitas.
Kata kunci: anakbabiprasapih, antibiotika, penampilan
ABSTRACT
This researchhas beenconducted todetermine the effect ofantibioticson the
performance ofpiglets. Researchusingrandomized block design(RBD) with
3treatments, namelyP0: pigletswerenot givenantibiotics, P1: piglets given
antibiotictypesTysinol, andP2: piglets given antibiotic typesCorflox.
Pigletswereusedas many as 24 tails (± 1.5kg) derived from 4 sows (as a
block/group). In eachblock ofeach treatmentwas repeated2 times, so
thepigletsused in everyblockas much as6tails. Parametersmeasured were: body
weight, body length, chest garth, body height, andmortality. Datawere
analyzedwithanalysisof variance, ifthere is a
differencebetweentreatments(P>0.05), then thetestfollowed by Least Significant
Differencetest(LSD). The results showed that the administration of antibiotics
(Tysinol and Corflox) in children aged 1 day pigs can markedly improve sapling
weight, daily gain, and reduced mortality. Antibiotics no real influence on the
parameters of chest garth, height, and body length. The different types of
antibiotics that are given no real influence on the appearance and preweaning
piglet mortality (P> 0.05). Conclusions and suggestions of this research is very
necessary antibiotics (either Tysinol orCorflox) in piglets aged 1 day to improve
the ADG, the weight of weaning, and reduce mortality.
Keywords: piglets, antibiotics, performance
PENDAHULUAN
Produktivitas suatu usahapeternakan babi (pola breeding) dapat dinilai dari
jumlah anak perkelahiran (littersize), jumlah sapihan, laju pertumbuhan, FCR, dan
tingkat imun (Putra, dkk., 1992). Mortalitas yang tinggi pada anak-anak babi
prasapih yang tinggi menyebabkan secara signifikan kerugian pada perusahaan
pembibitan babi. Penanganan anak babi dari lahir sampai disapih diperlukan
teknik yang cukup intensif, karena pada fase ini merupakan fase sangat kritis bagi
seekor anak babi.
Antibiotika selain dapat dipakai sebagai obat, dalam jumlah sedikit dapat
pula ditambahkan ke dalam ransum dengan tujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan dan mencegah penyakit (Srigandono, 1987). Pemberian antibiotika
sebagai feed aditif dapat menekanperkembangan mikroorganisme yang sifatnya
berkompetisi dengan ternak terhadap beberapa zat makanan yang dibutuhkan oleh
tubuh ternak. Di dalam saluran pencernaan, antibiotika dapat mencegah penebalan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [99]
dinding usus/saluran pencernaan yang disebabkan oleh mikroorganisme, sehingga
antibiotika dapat meningkatkan penyerapan terhadap zat makanan dan mencegah
penyakit subklinis. Pemberian antibiotika pada anak babi banyak diberikan dan
terbukti nyata dapat menekan mortalitas dari 11% menjai 7,5% dan meningkatkan
berat badan 8,5% (Anon, 1999).
Di pasaran sangat banyak jenis atau merek dagang antibiotka yang
ditawarkan kepada peternak babi dengan tujuan dan manfaat yang hampir sama
atau mempunyai spektrum luas maupun pengaruh khusus. Berdasarkan fakta yang
ditemukan di pasaran tersebut maka perlu diteliti pengaruh dari masing-masing
antibiotika tersebut terhadap penampilan dan mortalitas anak babi prasapih.
METODOLOGI
Materi penelitian menggunakan anak babi putih persilangan (landrace ×
chester white) umur 1 (satu) hari sebanyak 24 ekor dengan berat badan 1,4-1,8 kg
yang berasal dari 4 ekor induk babi. Penelitian menggunakan rancangan acak
kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan yaitu anak babi yang tidak dinjeksi dengan
antibiotika (P0), anak babi yang diinjeksi dengan antibiotika merek Tysinol (P1),
dan anak babi yang diinjeksi dengan antibiotika merek Corflox (P2). Injeksi
antibiotika dilakukan pada umur 1 (satu) hari. Setiap perlakuan diulang pada 4
induk (sebagai blok),dan setiap ulangan terdiri dari 2 ekor. Parameter pada
penelitian ini adalah berat lahir, berat badan pada umue 20 hari, pertambahan
berat badan, panjang badan, lingkar dada, dan mortalitas. Data yang dipeoleh
dianalisa dengan analisis sidik ragam, dan apabila terjadi perbedaan yang nyata
diantara perlakuan (P<0,05), maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil
(BNT) (Steel and Torrie, 1989).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Injeksi antibiotika jenis Tysinol maupun jenis Corflox cenderung dapat
meningkatkan penampilan secara umum anak babi prasapih, namun secara
statistik untuk beberapa parameter penampilan antara ketiga kelompok perlakuan
tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil penelitian juga menunjukkan
mortalitas untuk semua kelompok perlakuan adalah 0% (P>0,05), seperti yang
disajikan pada Tabel 1 di bawah. Data mortalitas yang non signifikan diperoleh
mungkin disebabkan kurangnya materi (anak babi) yang dipakai pada setiap
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [100]
blok/kelompok. Secara statistik banyaknya ulangan akan memberikan hasil
dengan tingkat akurasi yang tinggi dan dapat meminimalis kesalahan. Faktor lain
manejemen kandang seperti tata letak kandang induk yang selalu kering dengan
tingkat penyinaran yang cukup, merupakan faktor yang berkontribusi terhadap
sulitnya berkembangnya mikroba patogen.
Tabel 1. Penampilan anak babi putih persilangan prasapih yang diinjeksi dengan jenisantibiotika
yang berbeda
No
P a r a m e t e r
P e r l a k u a n
SEM P0 P1 P2
1
PBB. (kg/h)
0,15a
0,17b
0,18b
0,02
2 Berat Sapih (kg) 6,25a 6,63b 7,15b 0,45
3 Lingkar dada Sapih (cm) 43,6a 44,3a 44,9a 0,63
4 Panjang badan Sapih (cm) 36,3a 37,8a 37,8a 0,86
5 Tinggi badan Sapih (cm) 26,4a 27,0b 27,1b 0,38
6 Mortalitas (%) 0 0 0 0
Keterangan:Angka dengan superskrip yang sama pada baris yang sama adalahtidak berbeda
nyata(P>0,05). P0: tanpa antibiotika, P1: antibiotikajenis Tysinol, P2: antibiotika jenis
Corflox
Secara totalitas untuk parameter produksi induk pada fase menyusui
adalah berat badan sapihan dan mortalitas. Injeksi antibiotika jenis Tysinol dan
Corflox diperoleh databerat badan sapih yang tidak berbeda nyata (P>0,5) namun
secara statistik nyata(P<0,05) lebih berat jika dibandingkan dengan kelompok
anak babi tanpa injeksi antibiotika. Penyebab utamanya adalah dari pengaruh
antibiotika yang mempunyai efek dapat menekan mikroorganisme patogen di
dalam saluran pencernaan, mengurangi penebalan dinding saluran pencernaan,
yang selanjutnya akan berdampak terhadap efisiensi penyerapan zat makanan oleh
saluran pencernaan. Tingkat efisiensi penyerapan zat makanan/susu yang baik
akan menyebabkan tingkat pertumbuhan (PBB) yang baik, tinggi badan, dan
peningkatan imun selanjutnya berdampak terhadap penurunan mortalitas (Tabel 1)
(Srigandono, 1987).
Non signifikan efek dari injeksi antibiotika terhadap parameter lainnya,
sesuai dengan pendapat Parakasi (1983) bahwa pengaruh antibiotika tidak selalu
sama pada setiap saat. Salah satu faktor penyebab adalah adanya stres (yang
diartikan sebagai segala kondisi lingkungan yang dapat menurunkan kondisi
ternak termasuk pakan, situasi kandang, dan penyakit). Selanjutnya Sihombing
(2006), menyatakan bahwa produktivitas antibiotika menjadi meningkat jika
kondisi lingkungan maupun manejemen peternakan babi yang kurang bagus.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [101]
Disampaikan pula babi yang mendapat Tysinol dalam ransumnya mengalami
perbaikan pertambahan berat badan 2,4%-14,6% pada kandang baru, dan kandang
yang lama mencapai 9,6%-19,6%. Pada parameter mortalias = 0%, sesuai dengan
pendapat Hollis (1993) dan Putra (1993), yang menyampaikan bahwa penerapan
manejemen peternakan babi yang baik dan tidak ada wabah penyakit, maka
keuntungan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan menjadi kecil.
SIMPULAN
Injeksi antibiotika jenis Tysinol dan Corflox menyababkan penampilan
anak babi prasapih yang tidak berbeda nyata, namun injeksi kedua jenis
antibiotika tersebut menyebabkan perbaikan penampilan (pada PBB, berat sapihan
dan tinggi badan) yang nyata lebih baik jika dibandingkan dengan tanpa injeksi
antibiotika.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Wayan Sukanata dan Bapak Ir. I
G. G.Putra,MS., yang banyak membantu dalam peleitian ini, dan kepada Bapak H.
Suwito selaku pemilik peternakan babi yang telah banyak memberikan bantuan
ternak babi sebagai materi penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 1999. Pig International. London.
Anonymous. 2013. Informasi Data Peternakan Provinsi Bali Tahun 2012. Dinas
Peternakan danKesehatan Hewan. Denpasar
Ardana, I.B., D.K.H.Putra. 2008. Ternak Babi. Manajemen Reproduksi, Produksi
dan Penyakit. Udayana University Press. Denpasar
Muir, L.A. 1988. Effects of Beta-Adrenergic Agonists on Grouth and Carcass
Characteristics of Animals. Designing Foods.National Academy Press.
Washington, D.C.
Parakasi. A.,1992. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik.Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penerbit Angkasa Bandung.
Putra, IG. G., 1993. Pengaruh Kombinasi Dynamutilin dan Quxalud Terhadap
Komposisi Karkas Berbagai Jenis Kelamin Anak Babi. Tesis Fakultas
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sihombing DTH., 2006. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Srigandono, B., 1997. Ilmu Peternakan. Diterjemahkan dari James Blakeley-
David H. Bade. Fakultas Peternakan, Universitas Diponogoro. Gadjah Mada
University Press.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1989. Prinsip Dan Prosedur Statistika. Suatu
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [102]
Pendekatan Biometrik. PT. Gramedia. Jakarta.
ANALISIS USAHATANI PENGGEMUKAN TERNAK BABI
DENGAN PENGATURAN RANSUM
Ida Ayu Parwati, Luh Gde Budiari dan Nyoman Suyasa
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
Jl. By Pas Ngurah Rai Pesanggaran, Denpasar
Telp/Fax: 0361-720498
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Untuk melihat dampak teknologi terhadap untung rugi suatu usaha penggemukan
babi dengan pengaturan ransum telah dilakukan penelitian di Kelompok Ternak
Babi di Desa Tua, Kecamatan Marga, Tabanan.Salah satu komponen input
dalampengkajian ini adalah pakan, dimana pada pengkajian ini ransum yang
digunakan dibagai kedalam 3 formula ransum yaitu formula untuk starter ( 70%
Konsentrat CP 551 + 30% dedak padi), grower ( 15% Konsenntrat Cp 152 + 30%
jagung + 55% dedak Padi) dan finisher (10% Konsentrat Cp152 + 20% Jagung +
70% dedak padi). Jumlah ternak yang digunakan sebanyak 30 ekor yang terbagi
dalam 3 kelompok perlakuan pakan P0: kontrol, P1: babi yang diberikan enzim
philazim 0,1% dari berat ransum dan P2: babi diberikan probiotik bio B 2cc/liter
air minum.Parameter yang diamati adalah:tingkat penerimaan petani, Gross B/C,
TIP dan TIH. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dengan pemberian probiotik
(Bio B) dan pemberian enzim (Philazim) pertambahan bobot badan dan efisiensi
penggunaan ransum lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol (P0).
Analisis usahatani menunjukkan bahwa R/C ratio pada P2 paling tinggi (1,61)
diikuti oleh P1 (1,59) dan P0 (1,40). Kelompok babi P2 membutuhkan harga
paling rendah untuk mencapai titik impas disusul oleh P1 dan P0. Hal ini
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [103]
menunjukkan bahwa pemberian enzim (philazim) dan probiotik (Bio B) dalam
ransum babi dapat meningkatkan efisiensi ransum dan secara ekonomis layak
untuk diterapkan.
Kata kunci: usahatani, pengaturan ransum, babi penggemukan
ABSTRACT
To see the impact of technology on aprofitand loss of fattening pigs with feed
arrangement has conducted research in farminggroups offatteningpigs in Tua
village, district Marga, Tabanan. One component of this assessment is input in
feed, divided into 3 formula is a formula for starter feed (70% CP concentrate 551
+ 30% rice bran), grower (15% consenntrate Cp 152 + 30% corn + 55% rice bran)
and finisher (10% Concentrate Cp152+ 20% Corn + 70% rice bran). The number
of animals used as many as 30 tiles were divided into 3 treatment groups feed P0:
control, P1: pigs given philazim enzyme 0.1% of the feed weight and P2: pork
given probiotic bio B 2cc/liter drinking water. Parameters measured were; farmer
acceptance rate, Gross B/C, Breakeven Production and Breakeven Price. These
results indicate that by giving probiotics (Bio B) and giving enzym (Philazim)
body weight gain and feed efficiency was higher (p <0.05) compared with
controls (P0). Farm analysis shows that R/C ratio at the highest P2 (1.61)
followed by P1 (1.59) and P0 (1.40). Pig group P2 requires minimum price to
break even, followed by P1 and P0. This indicates that the administration of the
enzyme (philazim) and probiotics (Bio B) in swine rations can improve feed
efficiency and economically feasible to implement.
Keywords: farming, feed settings, pig fattening
PENDAHULUAN
Dewasa ini kebutuhan akan nilai gizi masyarakat, khususnya protein
hewani per kapita masih belum memadai. Apalagi bahwa pada akhir-akhir ini
populasi ternak potong begitu sangat menurun. Agar kebutuhan protein hewani
per kapita bisa terpenuhi maka perlu ada peningkatan produksi dibidang
peternakan. Salah satu sumber pemenuhan protein ini bisa diatasi dengan
mengusahakan ternak babi.
Babi merupakan salah satu komoditas unggulan Bali karena mempunyai
peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Babi
diprioritaskan pengembangannya karena ternak ini selain memiliki nilai ekonomi
tinggi juga mempunyai nilai sosial di masyarakat Bali. Hampir 90% rumah tangga
yang beragama Hindu memelihara babi 2 sampai 5 ekor, hal ini disebabkan oleh
peranan ternak babi dalam kehidupan sosial di Bali sangat berarti bila
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [104]
dihubungkan dengan upacara adat maupun keagamaan (Sutji,2003). Disamping
itu babi dipelihara juga sebagai penampungan sisa-sisa dapur dan tabungan
keluarga. Sehubungan itu ditinjau dari segi ketrampilan memelihara babi, bagi
masyarakat di Bali sudah cukup dapat diandalkan (Mantra, dkk., 1988).
Pada umumnya pemeliharaan babi oleh petani hanya sebagai sambilan
(sebagai penampung sisa dapur) sehingga pertumbuhannya sangat lambat
sehingga dari segi finansial sangat tidak ekonomis dan tidak layak untuk
diusahakan. Dilain pihak kurangnya bibit unggul merupakan masalah pembatas
peningkatan produksi babi. Meskipun dewasa ini telah banyak peternakan besar di
Bali, namun belum mampu memenuhi kebutuhan akan bibit babi di Bali, sehingga
sumber bibit babi masih kebanyakan berasal dari peternakan rakyat yang
kualitasnya masih rendah dan kuantitas produksinya masih sedikit karena dalam
pemeliharaannya kurang memperhatikan kulaitas pakan, kesehatan dan
perkandangan.
Ternak babi sebagai ternak potong penghasil daging, Dinas Peternakan dan
Veteriner (http//www.bali.bps.go.id) dilaporkan bahwapopulasi babi di Bali dari
tahun 2009-2013 menurut informasi data peternakan Dinas Peternakan Provinsi
Bali terus menurun dari 925.290 ekor (2009) menjadi 860.117 ekor (2013) atau
turun sebanyak 7,58%.Menyusutnya populasi ini antara lain disebabkan karena
angka pemotongan yang meningkat tajam yakni dari 1.538.082 ekor pada tahun
2009 menjadi 1.780.055 ekor pada tahun 2012 yang tidak sebanding dengan
pertambahan populasi tiap tahunnya (Anon., 2012).Akibatnya untuk memenuhi
kebutuhan daging babi selama ini masih mendatangkan dari luar daerah.
Lambatnya peningkatan populasi babi di Bali disebabkan oleh rendahnya minat
masyarakat, khususnya peternak kecil. Kondisi ini tidak terlepas dari seiring
meningkatnya harga bahan-bahan pakanmengingat biaya pakan hampir 65% dari
biaya produksi, karenaitu perlu upaya untuk mencari ransum alternatif yang lebih
murah dan penggunaan pakan tambahan seperti probiotik atau enzim agar
peternak bisa memperoleh keuntungan yang lebih tinggi sehingga dapat
mendorong upaya peningkatan populasi babi.
Probiotik merupakan mikroorganisme yang hidup dalam makanan yang
memiliki efek menguntungkan dalam tubuh dengan meningkatkan keseimbangan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [105]
mikrooorganisme dalam saluran pencernaan (Guntoro, dkk., 2008). Lebih lanjut
Kompiang (2009) menjelaskan bahwa probiotik adalah mikroba hidup atau
sporanya yang dapat hidup atau berkembang dalam usus dan dapat
menguntungkan inangnya baik secara langsung maupun tidak langsung dari hasil
metabolis substrat dapat mengubah mikroekologi usus sedemikian rupa sehingga
mikroba yang menguntungkan dapat berkembang biak dengan baik.
Probiotik BioB merupakan probiotik temuan BPTP Bali yang diarahkan
untuk ternak potong monogastrik. Probiotik ini berbentuk cair, yang didalamnya
mengandung beberapa jenis mikroba yang diisolasi dari intestinum, antara lain
Lactobacillus yang dapat membantu pencernaan makanan (Fuller, 1989), dikutip
Guntoro, dkk. (2008). Lebih lanjut dijelaskan, Bio B juga dapat diberikan pada
ternak babi, untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi penggunaan ransum
disamping juga dapat menekan angka kematian, sebagaimana pada ayam
pedaging.
Enzim merupakan katalis yang dihasilkan oleh organisme hidup, dimana
katalis dapat diartikan sebagai substansi yang dapat meningkatkan kecepatan
reaksi kimia (Mc Donald et al., 1995) dikutip Yasa, 2004. Penggunaan enzim
pada pakan ternak akan meningkatkan nilai cerna pakan, baik untuk sumber
protein maupun energi yang dapat digunakan oleh ternak (Yasa, 2004).Dalam
enzim philazim terdiri dari campuran enzim phitase, amilase, protease dan lipase
dalam komposisi yang proporsional6. Enzim phitase bermanfaat mengubah fosfor
yang terdapat pada biji-bijian (jagung,padi, gandum, dan kacang kedelai) dalam
bentuk tidak tersedia menjadi bentuk tersedia dan dapat diserap oleh ternak.
Demikian pula pemecahan amilum oleh amilase, protein oleh protease dan lemak
oleh enzim lipase (Anon., 2004 dan Yupardi, 1998).
Probiotik Bio B mengandung beberapa mikroba pembantu pencernaan,
dengan mikroba dominan Lactobasillus, diantaranya Lactobacillus
acidophillus(Guntoro, dkk., 2008). Penggunaan Lactobacillus diharapkan akan
dapat meningkatkan aktivitas enzim pencernaan, menghambat pertumbuhan
bakteri pathogen, menstimulir sistem kekebalan tubuh dan menurunkan produksi
amonia (Jin et al., 1998) Berdasarkan pertimbangan tersebut tujuan dari penelitian
penambahan probiotik (Bio B) dan enzim dalam ransum babi diharapkan mampu
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [106]
meningkatkan produktivitas dan efisiensi penggunaan pakan, sehingga usaha
ternak babi bisa lebih menguntungkan.
Dalam penggemukan babi, efisiensi usaha dapat dilihat dari angka Feed
Convertion Ratio (FCR). FCR merupakan perbandingan antara banyaknya pakan
yang dikonsumsi dengan peningkatan bobot badan yang dicapai (Scott et al.,
1976). FCR dapat ditekan dengan mengurangi konsumsi pakan melalui
pembatasan makanan atau dengan peningkatan angka produksi tanpa peningkatan
konsumsi pakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat sejauhmana
pemeliharaan babi dengan pengaturan pola ransum dapat memberikan tambahan
pendapatan bagi petani ternak khususnya peternak babi.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Desa Tua, kabupaten Tabanan.Salah satu
komponen input dalampengkajian ini adalah pakan, dimana pada pengkajian ini
ransum yang digunakan dibagai kedalam3 formula ransum,masing-masing
perlakuan menggunakan 10 ekor babi sebagai ulangan, sehingga babi keseluruhan
30 ekor. Jenis babi yang dipelihara adalah peranakan Landrace umur 8 minggu
dengan berat badan awal 11-12 kg.Perlakuan yang diberikan adalah sebagai
berikut: P0: Babi tanpa memperoleh pakan tambahan (kontrol). P1: Babi
diberikan enzim philazim 0,1% dari berat ransum. P2: Babi diberikan probiotik
Bio B 2cc/liter air minum. Ransum yang diberikan merupakan kombinasi
konsentrat yang diproduksi oleh Charoen Phokphand (CP) 551 dicampur dengan
dedak padi dan jagung. Pada fase starter (hari 0-28) formula ransum terdiri dari
konsentrat CP 551: 70% dan dedak padi 30%. Pada fase grower (hari 29-84)
ransum terdiri dari konsentrat CP 152 : 20% dedak padi 50%, jagung 30% dan
pada fase finisher (hari 85-114) ransum terdiri dari konsentrat CP 152 : 10%,
dedak padi 70% dan jagung 20%. Babi-babi dipelihara dalam 3 kandang yang
terpisah. Pakan diberikan dua kali sehari dengan jumlah pemberian sesuai dengan
standard kuantitas ransum yang dibutuhkan babi, sedangkan air minum diberikan
ad libitum.
Analisa finansial data yang akan dicari adalah pendapatan bersih, R/C
ratio, titik Impas Harga dan Titik Impas Produksi.Untuk mengetahui pendapatan
bersih petani pada usaha pengembangan ternak dapat digunakan rumus sebagai
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [107]
berikut :
1) NR = TR – TC
TR = Py. Y – (Px.X + TFC)
Keterangan :
NR = Net Revenue (pendapatan bersih)
TR = Total Revenue (pendapatan total)
TC = Total Cost(biaya total)
Py = Harga output
Y = Output
Px = Harga input
X = Input
TFC = Total Fixed Cost (total biaya tetap)
2) R/C rasio, yang secara matematis dapat ditulis sebagai berikut
Keterangan:
P = Produksi H= Harga Produksi B = Total Biaya
Analisis kelayakan pengembangan usaha ternak digunakan untuk melihat
tingkat pengembalian atas biaya usaha tani yang telah dikeluarkan untuk
menerapkan teknologi introduksi. Apabila Gross B/C > 0, maka usaha tani
dianggap layak secara finansial, karena keuntungan bersih masih lebih besar
daripada biaya yang dikeluarkan.
3) Batas aman usaha penggemukan babi dapat dilihat melalui analisis Titik Impas
Produksi (TIP) maupun Titik Impas Harga (TIH). Angka tersebut merupakan
batas dimana penerapan teknologi masih memberikan tingkat keuntungan
normal. Nilai titik impas dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut
(Hermanto, 1989) :
TIP = B/H
TIH = B/P
Keterangan :
TIP = Titik Impas Produksi,
TIH= Titik Impas Harga,
B= Biaya Total,
H= harga produksi
P = Produksi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Kimia Ransum
R/C = P X H
B
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [108]
Formula ransum yang diberikan, disesuaikan dengan formula ransum yang
telah diterapkan oleh peternak. Para peternak umumnya tidak memberikan
konsentrat pabrikan 100%, hal ini berdasarkan pertimbangan ekonomi, meskipun
dengan adanya substitusi beberapa jenis bahan terhadap ransum pabrikan
mengakibatkan menurunnya mutu ransum, namun berdasarkan pengalaman
peternak, akan memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan
penggunaan ransum pabrikan yang sesuai dengan standar kebutuhan gizi babi.
Berdasarkan hasil proximate analysis komposisi kimia ransum seperti
tertera pada Tabel 1, apabila dibandingkan dengan standard komposisi kimia
ransum menurut Tillman, dkk (1989) seperti yang tertera pada Tabel 2, mutunya
masih dibawah mutu ransum standar, baik untuk fase starter, grower maupun
finisher. Kandungan protein dalam ransum masing-masing pada fase starter
15,14%, grower 12,23% dan finisher 12,15%, sedangkan kebutuhan standar
menurut Tillman, dkk. (1989) seharusnya masing-masing 19%, 17% dan 14%.
Sementara kandungan serat kasar, lebih tinggi dari standar, hal ini berarti pada
ransum yang diberikan akan lebih sulit dicerna dibanding ransum standar. Adanya
pemberian Bio-B dan enzim diharapkan akan dapat membantu mencerna serat
kasar disamping zat-zat makanan yang lain. Haryanto (1998) melaporkan bahwa
pemanfaatan probiotik dalam pakan berpengaruh positif terhadap peningkatan
kecernaan komponen serat pakan maupun terhadap produktivitas ternak.
Tabel 1. Komposisi Kimia Ransum yang diberikan pada Fase Starter, Grower dan
Finisher.
No Zat Kimia Konsentrat + Jagung + Dedak Padi
Pakan Starter Pakan Grower Pakan Finisher
1 Air (%) 11,2 11,55 10,94
2 Cp (%) 15,14 12,23 12,15
3 Lemak (%) 11,59 13,31 11,06
4 SK (%) 6,51 6,84 7,26
5 Abu (%) 10,07 12,65 7,81
6 Ca (%) 0,52 0,39 0,29
7 P (%) 0,38 1,40 0,78
8 GE (Kcal/Kg) 3.701 3.483 3.810
Tabel 2. Komposisi Standard Kimia Ransum Pada Babi Fase Starter, Grower dan
Finisher.
No Zat Kimia Bahan Standar
Starter Grower Finisher
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [109]
1
2
3
4
5
6
7
Air (%)
CP (%)
Lemak (%)
SK (%)
Abu (%)
Ca (%)
GE (Kcal/Kg)
14
19
4,5
4
6
0,7-1
3.200
14
17
3
4
6
0,6-1
3.100
14
14
3
6,0
7,
0,75-1
3.100
Sumber : Tillman, dkk (1989)
Ransum yang diberikan, kandungan gross energi (GE) dan lemak lebih
tinggi dibandingkan standar. Hal ini disebabkan karena adanya penggunaan
jagung dan dedak padi dalam ransum dengan level yang cukup tinggi.
Analisis Usahatani
Dari data hasil penimbangan bobot badan selama kurang lebih 5 bulan
menunjukkan bahwa bobot badan pada babi yang mendapat enzim philazim (P1)
dan yang mendapat probiotik bio B (P2) nyata lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan
dengan babi kontrol (P0). Pada penimbangan pertama sebanyak 30 ekor babi
sampel diperoleh bobot awal rata-rata untuk P0: 11,13 kg/ekor, P1: 11,63 kg/ekor
dan P2: 11,13 kg/ekor. Selama perlakuan 16 minggu (144 hari), diperoleh
bobotbadan rata-rata untuk P0: 90,15 kg, P1: 103,00 kg dan P2: 105,50 kg. Dengan
demikian pada P0 diperoleh pertambahan bobot badan (PBB) rata-rata 69,32
g/ekor/hari, P1: 80,19g/ekor/hari dan P2: 82,78 g/ekor/hari dan secara statistik
berbeda nyata (P ≤ 0,05).
Jika petani mengeluarkan seluruh biaya produksi, maka biaya riil yang
dikeluarkan untuk penggemukkan babi selama 114 hari meliputi biaya bibit,
pakan tambahan (dedak, obat-obatan dan probiotik) dan tenaga kerja. Biaya
tenaga kerja merupakan biaya yang diterima kembali oleh petani karena tenaga
kerja yang digunakan adalah tenaga kerja keluarga. Namun dalam analisis tenaga
kerja tersebut dibagi menjadi kelompok keuntungan riil dan tidak riil. Keuntungan
riil merupakan keuntungan yang diterima petani setelah pendapatan kotor
dikurangi biaya produksi dengan menghitung biaya tenaga kerja keluarga. Rata-
rata petani mengeluarkan tenaga kerja keluarga sebesar Rp. 88.667 untuk
pemeliharaan per ekor ternak babi selama 114 hari, baik cara petani (P0) maupun
dengan tambahan enzim (P1) maupun tambahan bio B (P2). Total biaya produksi
yang dikeluarkan dalam penerapan pada perlakuan P0 sebanyak Rp.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [110]
1.613.689/ekor/114 hari, P1 sebanyak Rp. 1.623.817/ekor/114hari sedangkan
perlakuan P2 sebesar Rp. 1.636.544/ekor/114 hari. P0 (cara petani) cenderung
mengeluarkan biaya lebih sedikit dibandingkan dengan P1 dan P2. Nilai
penerimaan kotor dengan perlakuan P0 mencapai Rp 2.253.750, P1 sebanyak Rp
2.575.000 sedangkan P2 Rp 2.637.500. Penerimaan finansial yang diperoleh
dalam usahatani penggemukkan ternak babi dapat diketahui dengan
menghubungkan variabel input dan harga yang diterima petani (Tabel 3). Dengan
menggunakan tingkat harga yang diterima oleh petani ternak sebagai dasar
perhitungan, keuntungan yang diperoleh dari usahatani penggemukkan ternak
babi denagn perlakuan P0, P1 dan P2 pada tingkat harga Rp. 25.000/kg secara riil
(biaya tenaga kerja dihitung) masing-masing sebesar Rp. 640.061, Rp 951.184
dan Rp. 1.000.957 per ekor selama 114 hari.
Rasio antara penerimaan dengan biaya menunjukkan bahwa perlakuan P0
memiliki Gross B/C sebesar 1,40 lebih rendah dari Gross B/C P1 dan P2 yang
mencapai 1,59 dan 1,61(Taebl 4).Pada perlakuan P0 setiap Rp. 1000 biaya yang
dikeluarkan untuk usahatani penggemukkan ternak babi mampu mendatangkan
penerimaan sebesar Rp. 1400. Sedangkan pada perlakuan P1 dan P2 dengan
memberikan tambahan enzim dan bio B pada ransum ternak babi penggemukkan
mampu memberikan keuntungan jauh lebih banyak dari P0 yaitu sebesar Rp. 1590
dan Rp 1610 selama 114 hari. Dari analisis ini menunjukkan bahwa pada
perlakuan P1 dan P2 biaya yang dikeluarkan petani lebih banyak dari perlakuan
P0 namun karena pertambahan berat badan harian ternak babi yang diberikan
tambahan enzim philazim(P1) dan bio B (P2) lebih berat dari P0 masing-masing
sebesar 0,69 kg (P0); 0,80 (P1) dan 0,83 kg (P2). Sehingga output yang diterima
petani lebih banyak yang menyebabkan penggemukkan babi dengan perlakuan P1
dan P2 lebih layak untuk dikembangkan. Keuntungan yang dicapai ditentukan
oleh pelaksanaan alokasi masukan output.
Alokasi masukan yang optimal akan memaksimumkan pendapatan. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Machmud (1990). Sedangkan
Herman Supriadi et al. (2001) menyatakan bahwa pendapatan petani dapat
ditingkatkan melalui pemacuan produksi (bobot hidup/hari) dalam hal ini dengan
pemberian pakan tambahan berupa enzim dan bio B memberikan tambahan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [111]
pendapatan petani.
Tabel 3. Analisis finansial penggemukkan ternak babi per ekor
No Uraian
Vol. Satuan Perlakuan
P0 P1( Enzim) P2(Bio B)
A Komponen Input
1 Bibit (Rp) 1 ekor 500.000 500.000 500.000
2 Pakan (RP)
Fase Starter 26,6 Kg 165.186 166.383 167.846
Fase Grower (1) 47,6 Kg 212.772 214.914 217.532
Fase Grower (2) 69,3 Kg 305.960 309.078 312.890
Fase Finisher 87,9 Kg 317.605 321.275 326.109
3 Obat-obatan dan Vitamin
11.000 11.000 11.000
4
Tenaga Kerja(114 hari@0,18
HOK/hari) @Rp 4375/jam 20,27 HOK 88.667 88.667 88.667
5 Penyusutan Kandang dan Alat
Bulan 12.500 12.500 12.500
Total Biaya
1.613.689 1.623.817 1.636.544
B Penerimaan (Rp) :
1 Bobot Akhir Babi (Kg) 1 ekor 90,15 103,00 105,50
2 Harga/kg bobot hidup (Rp) 1 ekor 25.000 25.000 25.000
Total Penerimaan
2.253.750 2.575.000 2.637.500
C Keuntungan (B - A) (Rp)
640.061 951.184 1.000.957
Teknologi cara petani (P0) hanya membutuhkan bobot hidup akhir sebesar
64,55 kg dengan tingkat harga Rp. 17.900/ekor agar memperoleh penerimaan
yang dapat menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan tanpa memperoleh
keuntungan. Perlakuan P1 membutuhkan bobot hidup akhir sebesar 64,95 kg
dengan tingkat harga Rp. 15.765/ekor agar memperoleh penerimaan yang dapat
menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan tanpa memperoleh keuntungan
Sedangkan perlakuan P2 membutuhkan pertambahan bobot badan akhir sebesar
65,46 kg/ekor dengan harga Rp. 15.512/ekor untuk terjadinya titik impas produksi
dan harga. Tampaknya perlakauan P3 membutuhkan pertambahan bobot badan
akhir lebih sedikit dengan tingkat harga lebih rendah dibanding P0 dan P1 untuk
mencapai titik impas.
Tabel 4. Rasio, titik impas produksi dan harga perekor ternak babi
URAIAN PERLAKUAN
P0 P1 P2
A R/C Ratio 1,40 1,59 1,61
B Titik Impas Harga (Rp/Kg bobot hidup) 17.900
15.765 15.512
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [112]
C Titik Impas Produksi (Kg) 64,55 64,95 65,46
SIMPULAN
1. Tambahan enzim (P1) dan tambahan bio B kedalam ransum (perlakuan P2)
mampu meningkatkan berat badan harian ternak babi potong lebih baik dari
cara petani (P0). Sehingga penerimaan petani meningkat yang pada akhirnya
mampu memberikan keuntungan yang lebih banyak.
2. Penggemukan ternak babi dengan perlakuan P1 dan P2 layak untuk
dikembangkan. Kelompok babi P2 membutuhkan harga paling rendah untuk
mencapai titik impas disusul oleh P1 dan P0. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian enzim (philazim) dan probiotik (Bio B) dalam ransum babi dapat
meningkatkan efisiensi ransum dan secara ekonomis layak untuk diterapkan.
SARAN DAN PERTIMBANGAN
Ternak babi merupakan ternak nonruminansia, dimana hampir 80% dari
biaya pemeliharaan yang dikeluarkan merupakan biaya pakan. Untuk mengurangi
tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh peternak untuk pembelian pakan
sebaiknya dilakukan suatu pengkajian penggunaan pakan alternatif dari limbah
pertanian, sebagai pakan konsentrat pengganti dedak padi.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M.O., A. Djulin, K. Kariyasa dan A. Syam. 1994. Study Pertumbuhan
Produksi Jagung di Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara
Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan bekerjasama
dengan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
Anon. 2012. Informasi Data Peternakan Di Propinsi Bali. Dinas Peternakan dan
Veteriner Propinsi Bali. 76 hal.
Guntoro, S. 2001. Penggunaan Enzym untuk Peningkatan Produktivitas Ayam
Petelur. Leaflet. Kerjasama Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi
Pertanian (IP2TP) Denpasar dengan Bappeda Prov. Bali. Denpasar.
Guntoro, S., N. Suyasa, A.A. Badung dan M. Londra. 2008. Pengaruh Pemberian
Probiotik (Bio B) Terhadap Pertumbuhan dan Komposisi Kimia Karkas
Ayam Pedaging. Makalah Seminar Hasil Penelitian- Bappeda tahun 2008.
Denpasar. 12 Desember 2008. 8 hal.
Supriadi H., D. Zaenuddin dan S. Guntoro. 2001. Analisa Ekonomi Pemanfaatan
Limbah Dapur dan Restoran untuk Ransum Ternak di Tingkat Petani. Pros.
Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian dalam Upaya Optimalisasi
Potensi Wilayah Mendukung Otonomi Daerah.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [113]
Machmud, M. 1990. Analisis Ekonomi Pengembangan Supra Insus di
SulawesiSelatan Dalam Rangka Pemanfaatan Swasembada Beras Nasional.
Tesis MagisterSains, Institut Pertanian Bogor.
Haryanto, B., A. Thalib dan Isbandi. 1998. Pemanfaatan Probiotik Dalam Upaya
Peningkatan Efisiensi Fermentasi Pakan di Dalam Rumen. Prosiding Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan Bogor. Hal 496-502.
Jin, L.Z., Y.W. Ho, N. Abdullah and S. Yalaludin. 1998. Probiotik in Poultry.
Model of Action. Word Poultry Sc.J. 53: 351-368
Kompyang, I. P. 2009. Pemanfaatan Mikroorganisme sebagai Probiotik untuk
meningkatkan Produksi Ternak Unggas di Indonesia. Majalah Pengembangan
Inovasi Pertanian. 2(3). Hal. 177-188
Kadariah, Lien Karlina, Clive Gray. 1988. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta
Mantra, IB. IB Jagra, IGK. Budiaerta dan IG Wenten, R. 1988. Mutu Karkas Babi
Bali dan Persilangan. Majalah Ilmiah UNIV. Udayana XV:18 (126)
Scott,ML. MC Neshum and R.J. Young (1962). Nutrition of The Chickens.
Departement of Poultry Science @nd ED. Scott and Associates. Inthaca New
York.
STUDI KEBUTUHAN BABI UNTUK WARUNG MAKAN BABI GULING
DI BALI
Miwada, IN.S., I G. Mahendra, K. Budaarsa dan Martini H.
Fakultas Peternakan Universitas Udayana
e-mail:
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan babi di Bali sebagai
bahan baku babi guling, jenis babi dan berat babi yang ideal. Penelitian ini
dilaksanakan selama bulan Desember 2011-Januari 2012. Penentuan responden
dilakukan dengan metoda sensus pada seluruh warung makan babi guling di Bali.
Analisa data menggunakan metoda deskriptif yaitu mendeskripsikan secara terinci
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [114]
fenomena sosial disertai interpretasi rasional terhadap faktor-faktor yang ada.
Berdasarkan hasil penelitian, di Bali terdapat sebanyak 207 warung makan babi
guling, terbanyak berturut-turut di Kabupaten Badung, Denpasar, Gianyar,
Karangasem, Tabanan, Buleleng, Bangli, Jembrana, dan Klungkung. Kebutuhan
babi guling lebih dari 1 ekor per hari terbanyak di Kabupaten Gianyak (10 warung
makan), kebutuhan babi guling sebanyak 1 ekor per hari terbanyak di Kota
Denpasar (31 warung makan), dan kebutuhan babi guling kurang dari 1 ekor per
hari terbanyak di Kabupaten Badung. Berat babi dan jenis babi yang digunakan
sebagai bahan baku babi guling bervariasi yakni babi Landrace, babi bali, dan
babi persilangan (crossing). Kesimpulan penelitian ini adalah kebutuhan babi
guling per hari sebanyak 203,92 ekor untuk 207 warung makan di Bali, diperoleh
dengan mengguling sendiri (85,51%), sedangkan dengan membeli babi guling
siap saji sebanyak 14.49%. Jenis babi yang digunakan untuk babi guling yakni
babi Landrace (59,90%); babi bali (37,20%) dan Crossing (2,90%). Sementara,
berat babi yang diguling lebih dari 61 kg. Rata-rata lama menguling babi adalah
2-3 jam, dengan harga rata-rata per porsi nasi babi guling tertinggi terdapat di
Kabupaten Gianyar ( Rp 17.769,-) dan terendah di Kabupaten Tabanan (Rp 9.029).
THE STUDY OF NEEDS PIG TO FOOD STALL SUCKLING PIG IN BALI
ABSTRACT
This study aims to determine the needs in Bali suckling pig as raw material,
the type and weith pf pig. This study was conducted during the months of
December 2011-January 2012. The research used of cencus method on the whole
suckling pig food stalls in Bali. Analyze data using descriptive method that is
described in detail social phenomenon with a rational interpretation of the factors
that exist. The result of the research, in Bali there are as many as 207 stalls
suckling pigs, the highest regency of Badung, Denpasar, Gianyar, Karangasem,
Tabanan, buleleng, Bangli, Jembrana and Klungkung, respectively. Suckling pig
needs more than 1 fish per day highest in regency Gianyar (10 stalls), need as
much as 1 whole suckling pig per day highest in Denpasar (31 stalls), and
suckling pig needs less than 1 fish per day highest in the district Badung. Weight
of pigs and pig kind used as raw materials varies the pork roll landrace pigs, pigs
bali, and pigs crossing. The conclusion of this study is the need for suckling pig
tails 203.92 per day for 207 stalls in Bali, obtained by tumbling alone (85.51%),
where as the suckling pig ready to buy as much as 14.49%. Types of pigs used for
suckling pig that landrace pigs (59.90%), bali pigs (37.205) and crossing (2.90%).
Meanwhile, the overthrow of heavy pigs over 61 kg. the average length the
processing of suckling pig is 2-3 hours, with the average price of rice per serving
suckling pig was highest in Gianyar regency (Rp 17.769,-) and the lowest in
Tabanan regency (Rp 9.029,-).
Keywords: suckling pig, types of pigs, food stalls
PENDAHULUAN
Balidisamping wisata alamnya yang menarik, juga memiliki aneka macam
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [115]
wisata kuliner khas bali, diantaranya adalah warung makan berbasis daging babi
yang disebut babi guling atau be guling. Babi guling adalah produk olahan babi
utuh dengan metode pemanasan dan pengasapan sambil diputar-putar (diguling-
gulingkan). Karakteristik khas dari babi guling adalah warna kulitnya yang
kecoklatan dan renyah dan didalam perut babi biasanya diisi bumbu base genep
yang dicampur dengan formula lainnya seperti daun ketela pohon. Babi guling
sebagai makanan favorit di warung-warung makan yang tersebar hampir di semua
kabupaten di Bali (Suter etal.,1999 ). Kebutuhan babi guling di Bali diduga akan
semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena konsumen babi guling di Bali tidak
hanya dari masyarakat lokal namun banyak wisatawan asing yang tertarik dengan
wisata kuliner khas bali ini. Apalagi kunjungan wisatawan ke Bali setiap tahunnya
mengalami peningkatan. Laporan data statistik menunjukkan jumlah kunjungan
wisatawan ke Bali sebesar 2.085.084 orang pada tahun 2008dan di tahun 2010
terjadi peningkatan sebesar 23,55% (Anonim, 2011). Peningkatan ini diduga akan
berpengaruh terhadap peningkatan wisata kuliner khas Bali termasuk warung
makan babi guling. Dugaan ini didasari karena anggapan wisatawan yang
berkunjung ke Bali belum lengkap mengenal Bali bila belum sempat merasakan
makan babi guling (khususnya wisatawan yang tidak terganggu dengan status
keharaman daging babi).
Namun demikian, meskipun kebutuhan babi guling diduga semakin
meningkat namun sampai saat ini data tentang berapa banyak kebutuhan babi
untuk babi guling, berat babi, dan jenis babi yang ideal dijadikan babi guling
untuk warung makan babi guling di Bali belum ada. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui kebutuhan, jenis babi dan berat idealsebagai bahan baku pada
warung makan babi guling di Bali.Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ini
untuk mengetahui data kebutuhan babi pada warung makan babi guling di seluruh
wilayah Bali.
METODE PENELITIAN
Materi:
Warung Makan Babi Guling di Bali
Semua pemilik warung makan babi guling di Bali yang tersebar di delapan
kabupaten dan satu kota yaitu Kabupaten Negara, Buleleng, Tabanan, Badung,
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [116]
Bangli, Gianyar, Klungkung, Kabupaten Karangasem, dan Kota Denpasar
dijadikan sebagai responden.
Kuisioner
Kuesioner merupakan seperangkat alat yang memuat daftar pertanyaan yaitu
identitas informan yang terdiri dari alamat usaha, nama usaha, nama pemilik, dan
nomor telepun serta data-data yang dibutuhkan untuk penelitian. Kuesioner
tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk memandu wawancara dengan
pemilik warung makan babi guling.
Perlengkapan Wawancara
Penggunaan alat-alat bantu bertujuan untuk membantu berlangsungnya
proses wawancara sehingga tujuan dari wawancara dapat tercapai lebih baik
dibandingkan tanpa menggunakan alat bantu. Alat bantu atau perlengkapan
wawancara yang digunakan diantaranya pulpen, pensil, karet penghapus, stopmap
plastik, dan daftar responden, serta peta lokasi penelitian yang sangat membantu
(Bungin, 2007). Dalam menggunakan alat bantu wawancara ini menjadi ototritas
pewawancara yang disesuaikan dengan kemampuan, pengalaman, dan kondisi
yang ada.
Metode:
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah Bali yakni di delapan kabupaten dan satu
kota, yaitu Kabupaten Negara, Buleleng, Tabanan, Badung, Bangli, Gianyar,
Klungkung, Kabupaten Karangasem dan Kota Denpasar, yang dilaksanakan
selama satu bulan yaitu dari bulan Desember 2011 sampai bulan Januari 2012.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
bersumber dari responden atau pemilik warung makan babi guling, meliputi data
pribadi responden dan data mengenai kebutuhan warung makan babi guling
diantarannya jumlah babi guling yang dijual setiap hari, jenis babi dan berat babi,
serta cara memperoleh babi guling dilakukan dengan menggunakan teknik sensus
yaitu dengan mendatangi semua warung makan babi guling di Bali. Data sekunder
menyangkut data keadaan umum lokasi penelitian meliputi letak geografis
Provinsi Bali, penduduk dan tenaga kerja, populasi ternak, jumlah wisatawan dan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [117]
jumlah restoran dan warung makan yang kesemuannya diperoleh dari instansi
terkait diantarannya Badan Pusat Statistika Provinsi Bali.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini mengacu pada pendapat
Bungin (2007) tentang metoda pengumpulan data yaitu sebagai berikut:
a. Metode Wawancara
Metode wawancara yang digunakan adalah metoda wawancara mendalam,
yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya
jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan (pemilik
warung makan babi guling), dengan atau tanpa menggunakan pedoman
wawancara (kuesioner).
b. Metode observasi
Metode observasi adalah metoda pengumpulan data yang digunakan untuk
menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan. Dalam hal
ini metoda observasi dilakukan dengan cara mengamati langsung objek
penelitian agar memperoleh gambaran yang jelas tentang kebutuhan babi
guling di Provinsi Bali.
Metode Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisis dengan
menggunakan metoda deskriptif. Metode deskriptif adalah metode yang
digunakan untuk mendeskripsikan secara terinci fenomena sosial disertai
interpretasi rasional terhadap faktor-faktor yang ada (Singarimbun dan Efendi,
1989).
HASILDAN PEMBAHASAN
Hasil:
Kebutuhan Babi Guling Per Hari yang Habis Terjual
Kebutuhan babi guling dimaksud di sini berdasarkan jumlah babi guling
yang habis terjual di setiap warung makan babi guling di Bali yang dikategorikan
sebagai berikut:
a. Warung makan babi guling yang membutuhkan babi guling kurang dari satu
ekor/ hari (<1).
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [118]
b. Warung makan yang membutuhkan babi guling satu ekor/hari (=1).
c. Warung makan babi guling yang membutuhkan babi guling lebih dari satu
ekor/hari (>1).
Hasil penelitian menunjukan dari 207 buah warung makan yang terdapat di Bali,
61 warung makan atau 29,47% membutuhkan babi guling kurang dari satu
ekor/hari (Tabel 1). Sebanyak 123 warung makan atau 59,42% membutuhkan babi
guling sama dengan satu ekor/hari dan 23 warung makan atau 11,11%
membutuhkan babi guling lebih dari satu ekor/hari.
Tabel 1. Kebutuhan Babi Guling per Hari yang Habis Terjual pada Warung Makan Babi Guling
di Bali
No Kabupaten/
Kota
Babi guling yang habis terjual (Ekor/Hari) Total <1 =1 >1
1 Jembrana 2 5 1 8 2 Tabanan 1 14 2 17
3 Badung 22 28 6 56 4 Gianyar 4 12 10 26
5 Klungkung 2 4 0 6 6 Bangli 4 5 0 9
7 Karangasem 11 10 1 22
8 Buleleng 1 14 1 16 9 Denpasar 14 31 2 47
Total 61 123 23 207
Jumlah Kebutuhan Babi Guling Tiap-Tiap Kabupaten/Kota.
Sebanyak 207 warung makan babi guling yang terdapat di Provinsi Bali
secara keseluruhan membutuhkan 203,92 ekor babi guling/hari (Tabel 2).
Jumlah kebutuhan babi guling di Kabupaten Badung adalah yang tertinggi yaitu
52,78 ekor dari 56 warung makan babi guling yang ada di kabupaten tersebut.
Kabupaten Klungkung menempati peringkat terendah yaitu 6 warung makan
dengan kebutuhan babi guling per harinnya adalah 4,75 ekor.
Tabel. 2 Jumlah Warung Makan Babi Guling dan Jumlah Kebutuhan Babi Guling Tiap-Tiap
Kabupaten/Kota.
No Kabupaten/Kota Jumlah Warung Makan Kebutuhan Babi Guling/ Ekor/ Hari
1 Jembrana 8 7,50 2 Tabanan 17 19,25
3 Badung 56 52,78 4 Gianyar 26 34,00
5 Klungkung 6 4,75 6 Bangli 9 6,66
7 Karangasem 22 15,15 8 Buleleng 16 16,33
9 Denpasar 47 47,50
Total 207 203,92
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [119]
Jenis Babi yang Digunakan untuk Babi Guling
Hasil penelitian menujukan, dari 207 warung makan babi guling di Bali,
sebanyak 124 warung makan babi guling atau 59,90% menggunakan babi
Landrace, 77 warung makan babi guling atau 37,20% menggunakan babi bali, dan
2 warung makan babi guling atau 2,90% menggunakan babi Crossing (Tabel 3).
Tabel 3. Jumlah Warung Makan Babi Guling dan Jenis Babi yang Digunakan untuk Babi
Guling
No Kab. Jenis Babi Total Land. % Bali % Cross %
1 Jembrana 3,00 1,45 2,00 0,97 3,00 1,45 8,00 2 Tabanan 16,00 7,73 1,00 0,48 - - 17,00 3 Badung 44,00 21,26 12,00 5,80 - - 56,00 4 Gianyar 18,00 8,70 8,00 3,86 - - 26,00 5 Klungkung 2,00 0,97 4,00 1,93 - - 6,00 6 Bangli 4,00 1,93 5,00 2,42 - - 9,00 7 Karangasem 12,00 5,80 8,00 3,86 2,00 0,97 22,00 8 Buleleng 5,00 2,42 11,00 5,31 - - 16,00 9 Denpasar 20,00 9,66 26,00 12,56 1,00 0,48 47,00 Total 124 59,90 77,00 37,20 6,00 2,90 207
Berat Rata-rata Babi yang Digunakan Pada Warung Makan Babi Guling
Kisaran berat babi yang dibutuhkan oleh warung makan babi guling di Bali
dikelompokan dalam empat kategori yaitu babi dengan berat 15-30 kg (a), 31-45
kg (b), 46-60 kg (c), dan lebih dari 61 kg (d) (Tabel 4).
Tabel 4. Berat Rata-rata Babi Untuk Babi Guling
No Kabupaten/
Kota
Berat babi Jml. a % b % c % d % e %
1 Jembrana - - 2 0,97 2 0,97 4 1,93 - 0 8 2 Tabanan - - 1 0,48 2 0,97 14 6,76 - 0 17
3 Badung 2 0,97 11 5,31 25 12,08 16 7,73 2 0,97 56
4 Gianyar 3 1,45 4 1,93 16 7,73 3 1,45 - 0 26
5 Klungkung - - 4 1,93 2 0,97 - - - 0 6
6 Bangli 1 0,48 2 0,97 2 0,97 4 1,93 - 0 9
7 Karangase
m
5 2,42 5 2,42 5 2,42 7 3,38 - 0 22
8 Buleleng - - 2 0,97 8 3,86 6 2,90 - 0 16
9 Denpasar 6 2,90 8 3,86 12 5,80 21 10,14 - 0 47
Total 17 8,21 39 18,84 74 35,75 75 36,23 2 0,97 207
Keterangan: e= Warung makan babi guling yang tidak mengetahui berat babi.
Hasil penelitian menunjukan dari 207 warung makan babi guling, tertinggi yaitu
sebanyak 75 warung makan babi guling atau 36,23% menggunakan babi dengan
berat rata-rata lebih dari 61kg sebagai bahan baku babi guling. Sisanya 74 warung
makan atau 35,75% menggunakan babi dengan berat rata-rata 46-60kg, 39 warung
makan atau 18,84% menggunakan babi dengan berat rata-rata 31-45kg, dan 17
warung makan atau12,18% menggunakan babi dengan berat rata-rata 15-30kg.
Lama Mengguling Babi Hingga Matang
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [120]
Waktu yang dibutuhkan untuk mengguling babi bervariasi antar
Kabupaten/Kota di Bali (Tabel 5). Lama mengguling babi 2-3 jam lebih dominan
yaitu sebanyak 127 warung makan atau 61,35%, sisanya 62 warung makan atau
29,95% mengguling babinya selama lebih dari 3 jam, dan sebanyak 10 warung
makan atau 4,84% mengguling babinya 1-2 jam.
Tabel 5. Lama Mengguling Babi Hingga Matang Sempurna
No Kabupaten Lama Mengguling (Jam) Tanpa
Ket. Jumlah
1-2 2-3 >3 1 Jembrana 1 4 3 - 8 2 Tabanan 2 7 8 - 17 3 Badung 0 35 20 1 56
4 Gianyar 1 14 11 - 26 5 Klungkung 0 5 1 - 6
6 Bangli 0 5 4 - 9
7 Karangasem 0 18 4 - 22 8 Buleleng 0 13 3 - 16
9 Denpasar 6 26 8 7 47
Total 10 127 62 8 207
Cara Memperoleh Babi Guling
Cara memperoleh babi guling untuk memenuhi kebutuhan warung makan di
Bali sangat bervariasi, selain untuk memperoleh daging yang baik juga untuk
memenuhi kebutuhan warung makan dengan tepat diantarannya:
a. Mengguling sendiri dengan membeli babi hidup
b. Membeli babi guling siap saji
Dari 207 warung makan babi guling di Bali, sebanyak 177 atau 85,51%
memperoleh babi guling dengan cara mengguling sendiri, 30 warung makan atau
14,49% dari seluruh warung makan babi guling memperoleh babi guling dengan
cara membeli babi guling siap saji (Tabel 6).
Tabel 6. Jumlah Warung Makan Babi Guling dan Cara Memperoleh Babi Guling No Kabupaten Mengguling Persen Membeli Persen Total
1 Jembrana 7,00 3,38 1,00 0,48 8,00 2 Tabanan 17,00 8,21 - - 17,00
3 Badung 45,00 21,74 11,00 5,31 56,00 4 Gianyar 23,00 11,11 3,00 1,45 26,00
5 Klungkung 6,00 2,90 - - 6,00 6 Bangli 9,00 4,35 - - 9,00
7 Karangasem 22,00 10,63 - - 2,00
8 Buleleng 16,00 7,73 - - 16,00 9 Denpasar 32,00 15,46 15,00 7,25 47,00
Total 177,00 85,51 30,00 14,49 207,00
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [121]
Rata-rata Harga Per Porsi Nasi Babi Guling
Rata-rata harga per porsi nasi babi guling tertinggi terdapat di Kabupaten
Gianyar yaitu sebesar Rp. 17.7695.494 terendah di Kabupaten Tabanan sebesar
Rp.9.0292.886 (Tabel 7).
Tabel 7. Rata-rata Harga per Porsi Nasi Babi Guling pada Masing-masing Kabupaten/Kota di
Bali
No Kabupaten/Kota Jumlah Warung Makan
Makan Babi Guling
Rata-rata Harga per Porsi
Nasi Babi Guling (Rp) 1 Gianyar 26 17.769 5.196 2 Badung 56 14.4464.075 3 Denpasar 47 13.511 4.322 4 Klungkung 6 11.833 1.951 5 Karangasem 22 10.841 2.635 6 Bangli 9 10.444 1.641 7 Jembrana 8 9.750 829 8 Buleleng 16 9.438 934 9 Tabanan 17 9.029 2.800 Total 207
Pembahasan:
Kebutuhan Babi Guling Per Hari yang Habis Terjual
Hasil penelitian menunjukan bahwa keberadaan warung makan babi guling
yang tersebar di Provinsi Bali dengan kebutuhan babi guling sangat bervariasi.
Hal ini terlihat dari perbedaan jumlah warung makan dengan jumlah kebutuhan
babi guling per ekor per harinya (Tabel 1). Kebutuhan babi guling 1 ekor/hari
paling banyak dijumpai pada warung makan babi guling di Bali. Dari 207 warung
makan babi guling, sebanyak 59,42% membutuhkan babi guling satu ekor/hari
yaitu terbanyak terdapat di Kota Denpasar (31 warung makan), diikuti Kabupaten
Badung (28 warung makan), dan terendah terdapat di Kabupaten Klungkung
(Tabel 1).
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik
Provinsi Bali, Kota Denpasar merupakan daerah perkotaan dengan jumlah
penduduk tahun 2000 sebanyak 532.440 jiwa dengan 67,16% beragama Hindu,
25,51% beragama Islam, dan sisanya beragama Budha dan Kristen (Anonim,
2011). Pada tahun 2010 jumlah penduduk Kota Denpasar meningkat 48,10%
(pertumbuhan 4,81% tiap tahun) dari tahun 2000 atau 20,27% dari penduduk Bali
(3,890,757 jiwa) namun luas wilayahnya hanya 127,78 km2(2,27% dari luas Pulau
Bali). Semakin banyak jumlah penduduk maka semakin besar peluang atau
peminat yang mengkonsumsi babi guling. Hal ini sesuai dengan pendapat
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [122]
Adisasmita (2005) menyatakan jika kepadatan penduduk dalam suatu kota
meningkat akan diikuti oleh peningkatan kebutuhan internal diantarannya fasilitas
pelayanan air minum, listrik, angkutan umum, perdagangan, dan lain-lain. Apabila
terjadi peningkatan permintaan kebutuhan barang dan jasa terutama di tempat-
tempat sentral dan daerah perkotaan, maka akan mempengaruhi tingkat
pendapatan pada daerah sekitar yang berdampak pada tumbuhnya sektor usaha
lain termasuk usaha warung makan babi guling. Tahun 2002 dilaporkan jumlah
warung makan babi guling sebanyak 32 buah, sedangkan hasil penelitian
menunjukan jumlah warung makan babi guling di Kota Denpasar sebanyak 47
buah.Makanan siap saji khususnya babi guling merupakan salah satu alternatif
yang banyak dipilih untuk memenuhi kebutuhan makanan, terutama oleh
masyarakat perkotaan seperti Kota Denpasar dengan aktifitas yang padat.
Sebanyak 61 warung makan atau 29,47% membutuhkan babi guling kurang
dari satu ekor/hari. Paling banyak terdapat di Kabupaten Badung, selanjutnya
Kota Denpasar, diikuti Kabupaten Karangasem, Gianyar, Bangli, Jembrana,
Klungkung, Tabanan, dan Kabupaten Buleleng (Tabel 1). Warung makan babi
guling yang menghabiskan babi guling kurang dari 1 ekor per hari umumnya
memilih untuk membeli babi guling siap saji untuk mencegah tersisanya babi
guling yang tidak terjual. Jumlah yang dibeli disuaikan dengan kebutuhan,
biasanya 1/4 atau 1/2 bagian babi guling namun ada juga yang membeli per kg
dengan harga Rp.80,000 per kg babi guling.
Dari 207 warung makan babi guling, sebanyak 11,11% yang membutuhkan
babi guling lebih dari 1 ekor/hari, terbanyak di Kabupaten Gianyar (10 warung
makan) dan Kabupaten Badung (6 warung makan), keduanya sama-
samamerupakan daerah tujuan wisata. Selain masyarakat Bali sebagai konsumen
babi guling, keberadaan wisatawan di Bali juga mempengaruhi permintaan
terhadap nasi babi guling. Wisatawan yang berkunjung ke Bali meningkat dari
tahun-ketahun yaitu tahun 2008 sebanyak 2.085.084 meningkat sebesar 23,55%
pada tahun 2010 (Anonim, 2011).
Jumlah Kebutuhan Babi Guling di Bali
Keberadaan peternakan babi (bidang usaha produksi) dan warung makan
babi guling (bidang usaha pasca panen) di Bali memiliki ketergantungan satu
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [123]
sama lain serta memiliki peranan penting dalam memajukan perekonomian di Bali.
Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian yang menunjukan di Bali terdapat
sebanyak 207 warung makan babi guling yang membutuhkan 203.92 (dibulatkan
menjadi 204) ekor babi guling per hari (Tabel 2). Ini berarti dalam sebulan
diperlukan sebanyak 6.120 ekor babi muda atau 73.440 ekor dalam setahun.
Jumlah tersebut hanya keperluan babi di warung makan, belum termasuk babi
yang diguling untuk keperluan upacara di berbagai pelosok desa di Bali,
mengingat masyarakat Bali memiliki beragam adat dan budaya. Sehingga sangat
memungkinkan setiap harinya ada saja yang membuat babi guling, misalnya
untuk peringatan hari lahir anak (otonan) atau untuk upacara agama. Jika
diasumsikan babi yang diguling untuk upacara adat dan agama 10% saja dari
keperluan untuk warung babi guling, maka dibutuhkan tambahan sekitar 20 ekor
babi muda setiap hari. Sehingga sedikitnya diperlukan 224 ekor babi muda setiap
hari yang sama dengan 6.720 ekor setiap bulan atau 80.604 ekor babi muda setiap
tahunnya.
Jenis Babi yang Digunakan Untuk Babi Guling di Provinsi Bali
Jenis babi yang digunakan untuk babi guling adalah babi bali, babi
Landrace, dan crossing. Hasil penelitian yang menunjukan dari 207 warung
makan babi guling sebanyak 124 warung makan (59,90%) menggunakan babi
Landrace, 77 warung makan (37,20%) memilih babi bali dan sisannya
menggunakan babi crossing sebanyak 6 warung makan (2,90%). Sudana(1997)
menyatakan memang pada mulanya babi bali digunakan sebagai babi guling
diBali. Populasi babi Bali yang berkurang menyebabkan sulit mendapatkan babi
bali, sehingga digunakanlah babi Saddleback dan Landracesebagai bahan baku
babi guling. Dari 918.087 ekor babi babi di Bali, populasi babi Landraceadalah
yang tertinggi yaitu sebesar 51%, sedangkan babi bali hanya sebesar 30%, dan
babi Saddleback hanya 19% (Anonim, 2011).
Selain itu, babi guling dari bahan baku babi Landracedianggap memiliki
kandungan lemak lebih sedikit dibandingkan babi bali. Kandungan lemak medium
dapat dikatakan optimum bagi selera maupun kesehatan konsumen (Sutji dan
Sulandra, 1994). Kolesterol dankandungan lemak yang tinggi dan pada produk
hewani diduga sebagai penyebab penyakit aterosklerosis dan jantung koroner.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [124]
Meskipun demikian, hasil penelitian menunjukan penggunaan babi bali sebagai
bahan baku babi guling cukup tinggi yaitu 37,20% dari 207 warung makan babi
guling. Hal ini disebabkan memang pada mulanya babi bali digunakan sebagai
bahan baku babi guling (Sudana, 1997). Selain itu babi guling dari bahan baku
babi bali dianggap memiliki cita rasa yang khas. Cita-rasa khas daging babi bali
disebabkan umumnya babi bali diberi pakan seadanya terdiri dari dedak padi,
limbah dapur, hijauan (daun talas, batang pisang, ketela rambat, dagdag), dan
umbi-umbian (ubi jalar, ketela pohon, ubi talas). Apalagi sekarang telah
dibuktikan bahwa babi guling aman dikonsumsi jika disertai dengan bumbunya,
karena di dalam bumbu babi guling mengandung antioksidan diantarnya vitamin
A, E, C, B-caroten, flavonoid, polyphenol dan terpenoid yang telah dibuktikan
efektif mencegah pembentukan dan penumpukan kolesterol dalam pembuluh
darah dan saluran pencernaan yang mengkonsumsi makanan tersebut (Indraguna,
2011).
Tidak selamanya kolesterol merugikan kesehatan, tetapi kolesterol juga
dibutuhkan oleh jaringan tubuh. Kolesterol merupakan komponen esensial
memberan sel mamalia (Soeparno, 2011; Anggorodi, 1994; dan McDonald et al.,
1995), 17 % bahan kering otak disusun oleh kolesterol (McDonald et al., 1995).
Kolesterol juga merupakan prekursor steroid lainya seperti hormon reproduksi
dan asam empedu.
Berat Rata-rata Babi dan Lama Mengguling
Hasil penelitian menunjukan sebagian besar responden atau 36,23%
menggunakan babi dengan berat rata-rata lebih dari 61kg sebagai bahan baku
babi guling (Tabel 4). Selanjutnya berat rata-rata babi 46-60 kg menduduki posisi
kedua dengan jumlah yang tidak jauh berbeda yaitu 74 warung
makan(35,75%).Perbedaan rata-rata berat babi yang digunakan pada setiap
warung makan babi guling satu dengan yang lainnya disebabkan karena kondisi
atau situasi pasar, efektifitas, dan efisiensi. Budaarsa (2002) menyatakan
umumnya babi yang digunakan sebagai bahan baku babi guling adalah babi yang
berat badannya sekitar 36-40kg. Kemungkinan situasi pasar (permintaan
masyarakat terhadap babi guling) saat ini cukup ramai sehingga berat rata-rata
babi guling yang ditawarkan jauh lebih besar yaitu antara 46-60kg dan lebih dari
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [125]
61kg.
Babi dengan berat rata-rata lebih dari 61kg termasuk fase grower-finisher.
Sesuai dengan pola pertumbuhan, komponen karkas yang diawali dengan
pertumbuhan tulang dan otot yang cepat, kemudian setelah mencapai pubertas,
laju pertumbuhan otot menurun dan deposisi lemak meningkat, maka pada
periode penyelesaian (penggemukan atau fattening) pertumbuhan otot menjadi
sangat lambat (Soeparno, 2005). Pemotongan ternak sebaiknya dilakukan
menjelang kedewasaan antara umur 5-12 bulan pada saat perlemakan mencapai
tingkat yang optimum dan sebelum terjadinya penimbunan lemak yang berlebihan
(Soeparno, 2005). Lemak daging yang optimum selain memberi karakteristik
flavor juga karena lemak melindungi daging selama proses memasak (Wiseman,
1984). Lemak yang terdeposisi di bawah kulit (lemak subkutan) secara fisik
mudah mencair jika mendapat panas, sehingga kulit mendapat perlindungan dan
seola-seolah tergoreng untuk menghasilkan kulit guling yang matang sempurna
(renyah dan warna merah-kecoklatan) serta mencegah terjadinya kegosongan kulit.
Ukuran (bobot) babi yang diguling akan mempengaruhi lamanya proses
penggulingan. Semakin besar ukuran atau berat babi yang diguling, maka waktu
yang diperlukan dalam proses mengguling semakin lama.Hasil penelitian
menunjukan dari 207 warung makan babi guling, lama mengguling babi 2-3 jam
lebih dominan yaitu sebanyak 127 warung makan atau 61,35%, sisanya 62
warung makan atau 29,95% mengguling babinya selama lebih dari 3 jam, dan
sebanyak 10 warung makan atau 4,84% mengguling babinya 1-2 jam. Babi yang
diguling lebih dari 61kg akan membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam atau lebih, jika
dibandingkan dengan babi yang diguling dengan berat kurang dari 60kg yang
hanya memerlukan waktu 2-3 jam, seperti yang diutarakan oleh pemilik warung
makan babi guling. Lamanya proses mengguling bertujuan agar panas terdistribusi
secara merata keseluruh bagian daging babi sehingga dihasilkan babi guling
dengan tingkat kematangan yang sempurna. Proses mengguling yang tidak
sempurna akan menyebabkan kematangan daging tidak merata terutama pada
daging bagian dalam. Akibatnya pada saat direcah daging babi guling akan
terlihat merah dan umumnya tidak disukai oleh konsumen.
Mengguling babi lebih dari 61kg akan lebih efesien dari segi waktu, biaya,
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [126]
dan tenaga kerja dibandingkan dengan mengguling babi dengan berat kurang dari
61kg. Dari segi waktu dan tenaga kerja akan lebih hemat, karena waktu dan
tenaga yang dibutuhkan untuk mengguling babi dengan berat lebih dari 61kg atau
kurang dari 61kg tidak jauh berbeda. Begitu pula dari segi biaya, harga bahan
baku babi berat 61-100kg umumnya lebih murah per satuan berat karena dihitung
berdasarkan harga per kg daging babi hidup, sedangkan harga bahan baku babi
berat 15-45kg dihitung berdasarkan harga bibit atau cawangan.Oleh karena itu,
biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk mengguling babi lebih dari 61kg akan
lebih sedikit dibandingkan dengan biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk
mengguling babi kurang dari 60kg. Hal ini disebabkan karena biaya tetap yang
dikeluarkan untuk mengguling babi lebih dari 61kg dibagi ke lebih banyak unit
(kg) dengan masing-masing unit menanggung bagian yang lebih kecil dari biaya
tetap (Kotler dan Armstrong, 2008).
CaraMemperoleh Babi Guling Pada Warung Makan Babi Guling di Bali
Variasi cara warung makan babi guling untuk memperoleh babi guling
dipengaruhi oleh beberapa hal diantarannya potensi daerah, tradisi atau kebiasaan,
tempat usaha, dan letak geografis. Warung makan babi guling yang memperoleh
babi guling dengan cara mengguling sendiri paling banyak terdapat di Kabupaten
Badung (45 warung makan), diikuti Kota Denpasar (32 warung makan),
Kabupaten Gianyar (23 warung makan) dan Kabupaten Karangasem (22 warung
makan). Pemilik warung makan makan babi guling mengaku bahwa mengguling
sendiri sudah dilakukan secara turun-temurun yang menjadi kebiasaan sebagai
corak dan ciri khas masing-masing. Secara teknis mengguling sendiri, mampu
menciptakan babi guling sesuai dengan harapan, misalnya untuk mendapatkan
kulit merah-kecoklatan dapat dilakukan dengan menambahkan air kelapa atau
gula merah pada permukaan kulit babi sebelum dilakukan penggulingan. Ada juga
yang menambahkan air kunyit atau kecap untuk mendapatkan warna dan cita rasa
kulit guling yang khas. Selain itu, dengan mengguling sendiri tingkat kematangan
babi guling dapat dicapai dengan mengatur suhu dan lamanya mengguling. Secara
fisik keadaan tempat (luas tempat usaha) dibeberapa kabupaten diantaranya
Kabupaten Badung, Gianyar, dan Karangasem, yang lokasinya agak di luar kota
memiliki tempat usaha yang lebih luas sehingga memudahkan untuk melakukan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [127]
pengolahan dan tidak mengganggu keberadaan orang lain di sekitar.
Proses pengolahan dengan cara membeli babi guling siap saji terlihat di
Kota Denpasar (15 warung makan) lebih dominan dibandingkan dengan
Kabupaten Badung (11 warung makan), Gianyar (3 warung makan), dan
Kabupaten Jembrana (1 warung makan).Membeli babi guling siap sajidianggap
lebih efektif dan efesiendan dapat disesuaikan dengan kebutuhan harian, terutama
bagi warung makan yang menghabiskan babi guling kurang dari satu ekor per
hari.Terbatasnya ruang untuk mengguling di daerah perkotaan seperti Kota
Denpasar, juga menjadi alasan kenapa masyarakat perkotaan memilih membeli
babi guling siap saji.
Harga Per Porsi Nasi Babi Guling di Bali
Harga per porsibabi guling bervariasi antar kabupaten/kota di Bali dengan
rata-rata harga tertinggi terdapat di Kabupaten Gianyar (Rp.17.7695.494),
sedangkan rata-rata harga terendah terdapat di Kabupaten Tabanan
(Rp.9.0252.886) selebihnya disajikan dalam Tabel 7. Tingginya harga rata-rata
nasi babi guling di Gianyar karena 17 dari 26 warung makan babi guling yang ada
di Gianyar tersebar di daerah pariwisata diantaranya 12 warung makan babi guling
di kawasan pariwisata Ubud, 3 warung makan babi guling di kawasan wisata
Sukawati, dan 2 warung makan babi guling di kawasan wisata Tegalalang.
Umumnya harga nasi babi guling di daerah pariwisata lebih tinggi,karena yang
berbelanja selain masyarakat setempat juga wisatawan asing. Kotler dan
Armstrong (2008) menyatakan setiap konsumen akan rela mengeluarkan setiap
sen uangnya untuk mendapatkan nilai-nilai kepuasan dari sebuah produk. Dalam
hal ini, wisatawan berani membayar dengan harga tinggi agar dapat mencicipi
babi guling di Bali dengan cita rasa, pelayanan, fasilitas, dan suasana yang
berbeda dengan daerah lainya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai
berikut:
1. Jumlah warung makan babi guling di Provinsi Bali sebanyak 207 warung
makan dengan kebutuhan babi guling per harinnya sebanyak 203,92 ekor.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [128]
2. Jenis babi yang digunakan untuk babi guling di Provinsi Bali lebih banyak
babi Landrace (58,71%) dibandingkan dengan babi bali (38,31%) dan
Crossing (2,99%).
3. Berat babi yang banyak digunakan adalah lebih dari 61 kg pada 75 warung
makan (37,31%).
4. Cara memperoleh babi guling dengan mengguling sendiri lebih banyak yaitu
172 warung makan (85,57%), dibandingkan dengan membeli babi guling
siap saji yaitu 29 warung makan (14.43%).
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disarankan sebagai berikut:
1. Warung makan babi guling agar meningkatkan mutu produk, memilih jenis
babi danberat ideal babi guling, memberikan pelayanan yang baik terhadap
konsumen, selalu terbuka kepada kaum akademisi yang hendak melakukan
penelitian tentang babi guling.
2. Peternak yang memelihara babi untuk babi guling agar mampu memelihara
hingga berat lebih dari 61kgkarena permintaan pada berat tersebut paling
banyak.
3. Pemerintah Provinsi Bali diharapkan melakukan pendataan dan pembinaan
terhadap warung makan babi guling, agar warung makan babi guling tetap
eksis dan mampu bersaing dengan warung-warung makan lainya di Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, R. 2005. Pembangunan Ekonomi Perkotaan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia, Jakarta.
Anonim, 2011. Bali Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.
Denpasar.
Bagiada, N. A. 1986. Pengaruh Substitusi Ransum Tradisional Dengan Rumput
Laut Terhadap Kolesterol Dan Daging Babi Yang Sedang Tumbuh.
Majalah Ilmiah Unud Tahun ke-13. No.14:89-97.
Budaarsa, K. 2002. Survei Kebutuhan Babi Guling di Kota Denpasar. Laporan
Penelitian. DIK. Universitas Udayana.
Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial Lainya. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.
Indraguna Pinatih G. N. 2011, Disertasi doctoral. Bumbu Babi Guling Mencegah
Aterosklerosis yang Diinduksi oleh Daging Babi Melalui Meningkatkan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [129]
Antioksidan Total dan Glutathione yang Menekan F2-Isoprostan dan
Interleukin-6 pada TIkus Wistar, Program Pascasarjana Universitas
Udayana.
Kotler, P dan G. Armstrong. 2008. Prinsip-Prinsip Pemasaran. Edisi 12. Erlangga,
Jakarta.
McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh dan C. A. Morgan. 1995.
Animal Nutrition. Fifth Edition. Longman Group Ltd, Singapore.
Singarimbun dan Sofyan Effendi. 1989. Metoda Penelitian Survei. Jakarta.
Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Keempat. Yogyakarta.
Gajah Mada University Press.
Soeparno, 2011. Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Cetakan Pertama. Yogyakarta.
Gajah Mada University Press.
Sudana, I. B. 1997. Disertasi Studi Pengaruh Komposisi dan Frekwensi
Pemberian Ransum Terhadap Kualitas Babi Guling. Bogor.
Suter IK., Arga IW., Kencana Putra IN., Semadi Antara I N., Jelantik A.A.M.S.,
Martini Hartawan, Setiawan I.K. 1999, Laporan Penelitian: Inventarisasi
50 Jenis Makanan dan Minuman Daerah, Pusat Kajian Makanan
Tradisional Madya, Universitas Udayana, hal:18-21.
Sutji, N. N dan I. K. Sulandra. 1994. Evaluasi Organoleptik Guling Babi Hasil
Pemberian Pakan Dedak Padi dan Batang Pisang. Laporan Penelitian DIP.
SPP/DPP. Universitas Udayana, Denpasar.
Wiseman, J. 1984. Fats In Animal Nutrition. First Edition. Anchor Brendon Ltd.
PENGARUH BAHAN PENGENCER BIOLOGIS TERHADAP KUALITAS
SEMEN BABI HAMPSHIRE
Suberata I W, Artiningsih NM, Sumardani NLG, Putra Wibawa AAP, dan A.
T. Umiarti
Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar-Bali
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [130]
e-mail:
ABSTRAK
Penelitian yang berjudul “Pengaruh Bahan Pengencer Biologis terhadap Kualitas
Semen Babi Hampshire” dilaksanakan pada dua tempat, yaitu di laboratorium
Reproduksi Fakultas Peternakan Unud, dan di Depo Sperma Dinas Peternakan
Kabupaten Gianyar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas
semen babi Hampshire yang diencerkan dengan bahan pengencer biologis seperti
sari buah tomat, sari buah papaya dan sari buah melon. Rancangan yang
digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan dan
lima kelompok ulangan. Perlakuan A adalah semen diencerkan dengan sari buah
papaya. Perlakuan B semen diencerkan dengan sari buah tomat dan perlakuan C
semen diencerkan dengan sari buah melon. Pengelompokan didasarkan atas waktu
pengambilan semen. Semen diencerkan dengan perbandingan 1 : 4 dan disimpan
pada lemari es dengan suhu 12 – 140C. Pengamatan dilakukan setiap 6 jam.
Variabel yang diamati meliputi pemeriksaan secara makroskopis yang terdiri atas
warna, konsistensi, volume, bau dan derajat keasaman (pH) semen, sedangkan
secara mikroskopis meliputi konsentrasi, daya tahan hidup dan persentase hidup
spermatozoa. Hasil pengamatan secara makroskopis menunjukkan bahwa warna
semen babi Hampshire adalah putih keabuan, konsistensinya encer, volume 242 ±
38,98 ml, pH semen adalah 7, baik tanpa bahan pengencer maupun setelah
diencerkan dengan pengencer sari buah. Pengamatan mikroskopis menunjukkan
bahwa konsentrasi semen babi Hampshire yang belum diencerkan adalah 63,28 ±
2,6 × 106/ml. Konsentrasi spermatozoa pada pengamatan jam ke-0 untuk
perlakuan A adalah 52,8 × 106/ml, perlakuan B adalah 54,2 × 106/ml dan
perlakuan C adalah 54,2 × 106/ml. Analisis statistik menunjukkan bahwa
konsentrasi spermatozoa berbeda tidak nyata (P>0,05). Gerakan masa dari semen
babi yang belum diencerkan ++ (baik). Daya tahan hidup spermatozoa pada
perlakuan A, B dan C masing-masing 6,6 jam, 18,6 jam dan 12 jam. Secara
statistik menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01). Persentase hidup
spermatozoa pada jam ke-0 untuk perlakuan A, B dan C masing-masing adalah
79,21%, 85,22% dan 78,95%, hasil ini menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05).
Persentase hidup spermatozoa pada 6 jam pertama pada perlakuan A, B dan C
adalah 46,52%, 70,76% dan 51,83%, hasil ini secara statistik menunjukkan
berbeda sangat nyata (P<0,01). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
pengenceran semen babi Hampshire dengan bahan pengencer sari buah tomat
memiliki daya tahan hidup dan persentase hidup spermatozoa yang paling tinggi
dibandingkan dengan bahan penngencer sari buah melon dan sari buah papaya.
Kata kunci; pengencer biologis, semen babi Hampshire
THE EFFECT OF BIOLOGICAL DILUENTS
ON THE QUALITY OF HAMPSHIRE PIG SEMEN
ABSTRACT
The study, entitled " The Effect of Biological Diluents on the Quality of
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [131]
Hampshire Pig Semen” held in two places, there are at Reproduction Laboratory
of animal Husbandry Faculty of Udayana University, and at the Sperm bank of
animal husbandry department, Gianyar District.The purpose of this research is to
know the quality of Hampshire pig semen diluted with biological diluents such as
tomato juice, papaya juice and melon juice. The design was used Randomized
Block Design (RBD) with three treatments and five groups replication. Treatment
A is semen diluteds with papaya juice, treatment B is semen diluteds with tomato
juice, and treatment C semen diluteds with melon juice.The grouping is based on
the taking semen time. Semen was diluted in the ratio 1: 4 and stored in a
refrigerator with temperature 12 – 14oC. Observations were conducted every 6
hours.Observed variables included macroscopic examination consisting semen
color, consistency, volume, smell and measure of acidity (pH), while the
microscopic includes concentration, survival and live percentage of
spermatozoa.The results of macroscopic observation showed that the color of
Hampshire pig semen is grayish white, watery consistency, volume 242 ± 38.98
ml, the pH of semen is 7, either without or with diluents juice.Microscopic
observations showed that the undiluted Hampshire pig semenconcentration was
63.28 ± 2.6 × 106/ml. The concentration of spermatozoa in the 0-hour observation
for treatment A was 52.8 × 106/ml, treatment B was 54.2 × 106/ml and treatment
C was 54.2 × 106/ml. Stasistical analysis showed that consentration of
spermatozoa in not significant (P>0.05). Mass movement of undiluted pig semen
is ++ (good). Spermatozoa survival on treatment A, B and C were 6.6 hours, 18.6
hours and 12 hours.Statistically showed significant (P<0.01). Live percentage of
spermatozoa in 0 hour for treatment A, B and C were 79.21%, 85.22% and
78.95%, this result indicates not significant (P> 0.05).The live percentage of
spermatozoa in the first 6 hours of treatment A, B and C was46.52%, 70.76% and
51.83%, statistically this result indicates significant (P<0.01). The result showed
that Hampshire pig semen dilution with tomato juicediluent has survival and
spermatozoa live percentage highest compared with melon juice and papaya juice
diluent.
Key words: biological diluent, Hampshire pig semen
PENDAHULUAN
Populasi masyarakat yang semakin meningkat tiap tahunnya menyebabkan
kebutuhan masyarakat akan gisi khususnya protein hewani semakin meningkat
pula. Berdasarkan atas data dari Dinas Peternakan Propinsi Bali tentang
kebutuhan daging masyarakat pada tahun 2004 adalah 29.150.325,23 (kg/tahun)
dan tahun 2005 adalah 30.790.255,99 (kg/tahun) atau2,7%. Untuk mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan protein hewani semestinya diikuti dengan
peningkatan produksi di bidang peternakan. Salah satu sumber pemenuhan
kebutuhan akan protein hewani bisa diatasi dengan meningkatkan produktivitas
ternak babi. Teknik produksi yang baik, manajemen yang baik dan kualitas daging
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [132]
yang baik dapat menyebabkan peningkatan industry usaha peternakan babi.
Salah satu teknologi yang telah dipergunakan untuk meningkatkan
populasi dan produksi ternak baik secara kuantitatif maupun kualitatif adalah
dengan menggunakan teknologi Inseminasi Buatan (IB). Menurut Toelihere (1993)
Inseminasi Buatan adalah suatu metode pemasukan atau penyampaian semen ke
dalam saluran kelamin betina dengan menggunakan alat-alat buatan manusia dan
bukan secara alam. Dengan menggunakan teknologi Inseminasi Buatan dayaguna
seekor pejantan yang memiliki genetik unggul dapat dimanfaatkan secara
maksimal. Seekor babi pejantan unggul dengan menggunakan teknologi IB dapat
melayani 2000 ekor betina tiap tahun (Toelihere, 1993). Selain menggunakan
pejantan unggul, IB memberikan kesempatn untuk menggunakan sedikit pejantan,
hal ini berarti efesiensi dalam pemeliharaan ternak jantan baik dari segi biaya,
pakan dan kandang. Parakkasi (1990) menyatakan bahwa dalamsuatu usaha
peternakan khususnya babi, biaya pakan merupakan ongkos produksi terbesar
berkisar antara 55-85% dari seluruh pengeluaran usaha.
Dalam teknologi Inseminasi Buatan diperlukan kualitas dan kuantitas
semen yang baik. Kualitas semen akan cepat menurun dalam proses penyimpanan
tanpa memberikan perlakuan pada semen tersebut. Menurut Suyadnya (2005)
motilitas spermatozoa tanpa bahan pengencer hanya mampu bertahan hidup
selama 6-8 jam pada temperaturruang 370C. Setelah waktu tersebut spermatozoa
akan menjadi kehilangan daya geraknya atau tidak motil lagi. Fungsi dari bahan
pengencer yang utama adalah untuk memperbanyak volume semen. Disamping itu
bahan pengencer juga berfungsi untuk memberikan nutrisi bagi spermatozoa serta
melindungi spermatozoa dari kuman penyakit. Untuk tujuan itu semen perlu
dicampur dengan larutan pengencer untuk menjamin kebutuhan fisik dan kimiawi
spermatozoa. Telah diketahui bahwa bahan pengencer yang sering digunakan
dalam Inseminasi Buatan antara lain sitrat kuning telur, fosfat kuning telur, air
susu dan air kelapa (Djanuar, 1985).
Buah-buahan merupakan salah satu alternativ bahan pengencer biologis
yang bisa dipergunakan sebagai bahan pengencer semen. Sari buah menurut
Trisnawati dan Setiawan (1994) adalah cairan yang diperoleh melaluiproses
pemerasan dari bagian buah yang dapat diminum tanpa proses fermentasi.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [133]
Menurut Susilowati at.al. (1989), sari buah-buahan seperti sari buah tomat, pisang
dan papaya yang ditambah dengan sitrat dapat mempertahankan daya tahan hidup
spermatozoa domba selama 200-260 jam. Demikian pula Yulnawati (2002)
menyatakan bahwa sari buah melon dan sari buah wortel dapat digunakan sebagai
bahan pengencer bagi semen domba garut. Sari buah-buahan mempunyai
kandungan zat yang dapat menunjang kebutuhan hidup spermatozoa sperti
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Oleh karena itu buah-buahan
perlu dicoba untuk diteliti sebagai bahan pengencer untuk semen babi.
Dari uraian di atas maka dipandang perlu untuk diteliti kualitas semen babi
yang diencerkan dengan bahan pengencer sari buah papaya, sari buah tomat, dan
sari buah melon dengan harapan dapat meningkatkan daya hidup dan daya simpan
spermatozoa sebelum dipakai untuk Inseminasi Buatan.
MATERI DAN METODE
MATERI
Semen Babi
Dalam penelitian ini diperlukan satu ekor babi Hampshire yang telah
berumur 4 tahun untuk diambil semennya. Pengambilan semen dilakukan dengan
cara massage (hand method) dengan menggunakan alat bantu dummy sow.
Alat-alat
Alat-alat yang digunakan untuk pemeriksaan makroskopis dan
mikroskopis dalam penelitian ini antara lain mikroskop, objek glass, deck glass,
cover glass, beaker glass, haemocytometer, pipet, batang pengaduk, erlemeyer,
timbangan analitik, kertas saring, aluminium foil, juicer, pemanas Bunsen lengkap
dengan spritus, kertas lakmus, kain lap, ember, autoclave, acounter, termos sedan
thermometer.
Bahan-bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sari buah tomat
matang atau yang kulitnya berwarna merah, sari buah pepaya yang matang atau
dagingnya berwarna merah, sari buah melon yang matang dan dagingnya
berwarna hijau, pewarna eosin, aquades dan larutan penyanggah Natrium Sitrat.
Untuk mencegah berkembangnya bakteri yang dapat membunuh spermatozoa
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [134]
maka perlu ditambahkan antibiotika. Dalam penelitian ini antibiotika yang
digunakan adalah Streptomycin.
METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan dan evaluasi semen secara makroskopis dilakukan langsung
di Depo Sperma Dinas Peternakan Kabupaten Gianyar. Evaluasi semen secara
mikroskopis, pengenceran, penyimpanan dan evaluasi lebih lanjut dilakukan di
Laboratorium Reproduksi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Jl.
P.B Soedirman Denpasar, selama delapan minggu.
Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak
kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan. Perlakuan A adalah semen diencerkan
dengan bahan pengencer sari buah pepaya. Perlakuan B adalah semen diencerkan
dengan sari buah tomat. Perlakuan C adalah semen diencerkan dengan sari buah
melon. Masing-masing perlakuan terdiri dari lima kelompok. Pengelompokan
didasarkan pada waktu pengambilan semen.
Cara Menampung Semen
Semen ditampung dengan cara manual (hand method) dikandang pejantan
atau ditempat khusus. Proses penampungan semen babi menggunakan induk
buatan (dummy sow). Proses awal adalah bulu-bulu yang tumbuh pada ujung
preputium dipotong untuk mencegah kontaminasi dengan kuman-kuman penyakit.
Untuk merangsang pejantan mengeluarkan penisnya maka preputium diurut-urut.
Begitu penis keluar dari preputium segera pegang dengan erat ujung penis yang
berbentuk bulir (derat), diusahakan agar jari-jari tangan berada diantara lekukan
bulir-bulir tersebut dan gland penis berada d iluar genggaman. Kemudian
dilakukan pijatan-pijatan untuk merangsang pengeluaran semen. Apabila semen
telah diejakulasikan, cairan bening (plasma semen) yang pertama kali keluar dari
penis dibuang karena selain tidak mengandung spermatozoa kemungkinan juga
mengandung bibit penyakit. Penampungan baru dilakukan ketika keluar cairan
keruh berwarna putih. Alat penampungan dipakai glass yang permukaannya
ditutup dengan alat saring berupa kain kasa yang bersih. Penampungan semen
dilakukan sampai babi tidak mengeluarkan semen lagi dan babi menarik penisnya
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [135]
ke dalam serta turun dari induk buatan.
Membuat Bahan Pengencer
a. Membuat Larutan Penyanggah
Larutan penyanggah dibuat dengan cara menimbang 2,9 g Natrium Sitrat
selanjutnya dilarutkan dengan 100 ml aquades kemudian dipanaskan sampai
1000C sehingga larutan terlihat jernih, selanjutnya didinginkan sampai mencapai
suhu kamar.
b. Membuat Bahan Pengencer Sari Buah
Sehari sebelum penelitian alat-alat yang akan dipergunakan dalam
penelitian ini seperti beaker glass, tabung reaksi, pipet, Erlenmeyer, gelas ukur
disterilisasi dengan menggunakan autoclave pada suhu 1200C selama 30 menit.
Buah tomat, buah pepayadan buah melon yang sudah matang kulitnya dikupas
lalu dihaluskan dengan juicer kemudian disaring dengan kasa steril dan
dimasukkan ke dalam beaker glass (Narayana, 2004), selanjutnya sari buah
tersebut disimpan dalam refrigerator sebelum digunakan. Setelah larutan
penyanggah siap maka sari buah tersebut didiamkan selama beberapa menit agar
tidak menggumpal, kemudian sari buah digoyang-goyang secara perlahan agar
sari buah tercampur dengan rata (homogen). Selanjutnya dibuat larutan sari buah
sitrat dengan perbandingan 1 : 4. Dalam penelitian ini 4 ml sari buah ditambahkan
16 ml larutan penyanggah. Kedalam masing-masing bahan pengecer ditambahan
0,008 g streptomycin (Wahyuni, 2002).
c. Pengenceran Semen
Semen babi yang sudah dperiksa secara makroskopis dan mikroskopis
kemudian diberibahan pengencer sari buah tomat, sari buah papaya dan sari buah
melon dengan perbandingan 1 : 4. Dalam penelitian ini 16 ml bahan pengencer
ditambahkan ke dalam 4 ml semen. Semen babi yang telah diencerkan disimpan
dalam refrigerator dengan suhu 12-140C, kemudian diperiksa lagi secara
mikroskopis terutama mengenai persentase spermatozoa hidup dan daya tahan
hidup spermatozoa. Pengamatan selanjutnya dilakukan setiap 6 jam sekali.
Variabel yang Diamati
Warna Semen
Warna semen dalam penelitian ini dapat dilihat secara langsung pada gelas
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [136]
penampung semen setelah semen ditampung.
Bau Semen
Bau semen babi dapat ditentukan dengan cara mencium secara langsung
aroma dari semen tersebut setelah penampungan.
Derajat Keasaman (pH) Semen
Derajat keasaman (pH) diukur dengan menggunakan kertas lakmus. Kertas
lakmus dibasahi dengan sedikit semen dan didiamkan sesaat. Perubahan warna
yang terjadi dicocokkan dengan warna standard yang tersedia.
Derajat Kekentalan Semen
Derajat kekentalan (konsistensi) semen diukur dengan cara menggoyang-
goyang wadah penampung semen secara perlahan-lahan.
Gerakan Massa
Gerakan massa semen dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop.
Mula-mula tabung berisi semen yang baru ditampung digoyang-goyangkan
dengan hati-hati agar homogen.Kemudian semen diambil dengan pipet steril dan
ditaruh pada objek glass lalu ditutup dengan cover glass. Selanjutnya dilihat di
bawah mikroskop dan diamati dengan pembesaran 10 × 10 dan cahaya dikurangi,
setelah itu akan terlihat gelombang-gelombang. Penilaian gerakan massa menurut
Toelihere (1993) adalah sebagai berikut; (a). penilaian (+++) artinya kualitas
semen sangat baik dengan ciri-ciriterlihat gelombang besar, banyak, gelap, tebal
dan aktif bagaikan gumpalan awan hitam yang bergerak cepat, (b). penilaian (++)
artinya kualitas semen baik dengan cirri-ciri gelombang kecil,tipis, jarang, kurang
jelas, bergerak lambat, (c). penilaian (+) artinya kualitas semen lumayan dengan
cirri-ciri tidak terlihat gelombang melainkan hanya gerakan-gerakan individual
aktif progresif, (d). penilaian (0) artinya kualitas semen buruk atau tidak ada
gerakan-gerakan individual.
Gerakan Individu
Gerakan individu dapat dilihat di bawah mikroskop pembesaran 45 × 10
pada selapis tipis semen diatas objek glass yang ditutup dengan cover glass akan
terlihat gerakan-gerakan individu spermatozoa. Gerakan individual yang diamati
adalah gerakan progresif yaitu gerakan sperma aktif maju ke depan.
Menghitung Konsentrasi Spermatosoa
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [137]
Untuk menghitung konsentrasi spermatozoa menggunakan alat
haemocytometer dan pengamatan dilakukan di bawah mikroskop. Semen diambil
sebanyak 2 tetes ke dalam tabung reaksi berukuran kecil. Selanjutnya ke dalam
tabung reaksi tersebut ditambahkan NaCl 3% sebanyak 10 tetes dan
dihomogenkan dengan cara diaduk dengan batang pengaduk. Kemudian semen
tersebut diteteskan pada objek glass haemocytometer tepat pada bagian tepi glass
penutupnya sehingga larutan menyebar keseluruh bagian atas penutup.
Selanjutnya dilakukan penghitungan dengan menghitung jumlah spermatozoa
pada lima kotak dari 25 kotak yang ada yaitu empat kotak di setiap sudut dan satu
kotak ditengah dengan pembesaran 10 × 45. Kepala spermatozoa yang ada pada
garis sisi kiri dan atas dihitung meskipun ekornya berada diluar kotak, sedangkan
kepala spermatozoa pada garis bawah dan kanan tidak dihitung. Jika spermatozoa
dalam kelima kotak tersebut adalah X, maka konsentrasi spermatozoa
dikemukakan dengan rumus adalah X/80 × 4000000 × faktor pengenceran, yang
merupakan modifikasi dari cara penentuan konsentrasi spermatozoa sapi menurut
Toelihere (1993).
Cara Menghitung Spermatozoa Hidup dan Mati
Menghitung spermatozoa hidup dan mati dilakukan dengan pewarnaan
deferensial. Sedikit semen diambil dengan pipet steril dan ditaruh pada objek
glass. Setelah itu ditambahkan sedikit pewarna pada objek glass tersebut.
Kemudian diambil objek glass yang lain,lalu ditempelkan pada campuran itu
dengan posisi miring bersudut 300C, objek glass yang tidak berisi semen dan sat
warna selanjutnya ditarik kedepan dan didorong sepanjang objek glass yang
pertama untuk mendapatkan selapis semen yang telah diwarnai setipis mungkin.
Keringkan di atas api Bunsen dengan cara menggoyang-goyangkan. Setelah
kering dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 45 × 10. Spermatosoa
yang hidup tidak menyerap zat warna sedangkan sperma yang mati akan
menyerap sat warna karena permiabilitas dinding sel meningkat sewaktu mati.
Analisa Data
Data mengenai volume semen, gerakan massa, bau, warna, derajat
kekentalan dan pH semen dan gerakan individu dianalisis deskriptif. Persentase
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [138]
spermatozoa yang hidup dianalisis dengan sidik ragam tersarang. Sedangkan daya
hidup spermatozoa dan konsentrasi spermatozoa dianalisis dengan analisis sidik
ragam, jika hasil yang diperoleh berbeda sangat nyata (P<0,01) maka dilanjutkan
dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Steel dan Torrie, 1989).
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Sebelum semen babi diberi perlakuan maka dilakukan pemeriksaan secara
makroskopis dan mikroskopis yang meliputi volume, warna, bau, gerakan massa,
pH, konsistensi semen dan konsentrasi spermatozoa.
Volume, Derajat Keasaman (pH), Warna, Konsistensi Semen dan
Konsentrasi Spermatozoa
Dalam penelitian ini didapatkan rataan volume semen babi Hampshire
adalah 242 ± 38,98 ml, dengan derajat keasaman (pH) semen babi adalah 7.
Konsistensi atau derajat kekentalan semen babi Hampshire yang diperoleh dari
hasil pengamatan setiap pengambilan semen termasuk kategori encer (Tabel 1)
Tabel 1. Pengamatan Semen Babi Hampshire
Parameter yang diamati Rataan
Volume (ml)
Konsentrasi (× 106 / ml)
Derajat keasaman (pH)
Warna
Bau
Konsistensi
Gerakan massa
242 ± 38,98
63,28 ± 2,6
7
Putih keabuan
Khas semen babi
Encer
++ (baik)
Rataan konsentrasi semen babi Hampshire adalah 63,28 ± × 106 / ml.
Warna semen babi sebelum diencerkan adalah putih keabuan dan untuk gerakan
massa semen babi sebelum pengenceran adalah ++, dimana nilai ++ pada semen
babi menurut Toelihere (1993) termasuk katagore baik (Tabel 1).
Derajat Keasaman, Konsentrasi setelah Semen Diencerkan dan Daya Tahan
Hidup Spermatozoa Semen Babi Hampshire
Hasil pemeriksaan semen babi Hampshire yang sudah diencerkan dengan
bahan pengencer sari buah papaya, sari buah tomat, dan sari buah melon dapat
dilihat pada Tabel 2. Derajat keasaman (pH) semen setelah ditambah dengan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [139]
bahan pengencer sari buah pepaya, sari buah tomat, dan sari buah melon adalah 7
(pH) awal, demikian pula derajat keasaman (pH) semen yang diencerkan dengan
bahan pengencer sari buah pepaya, sari buah tomat dan sari buah melon setelah
spermatozoa mati (pH) akhir adalah 7 (Tabel 2).
Konsentrasi semen babi Hampshire yang diencerkan dengan sari buah
papaya adalah 52,8 × 106 / ml. Semen yang diencerkan dengan bahan pengencer
sari buah tomat dan bahan pengencer sari buah melon masing-masing memiliki
konsentrasi sebesar 54,2 × 106 / ml dan 52,4 × 106/ ml. Hasil ini secara statistik
menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05) Tabel 2.
Daya tahan hidup spermatozoa babi Hampshire pada masing-masing
bahan pengencer adalah 6,6 jam pada bahan pengencer sari buah pepaya
(perlakuan A), 19,8 jam pada bahan pengencer sari buah tomat (perlakuan B) dan
untuk semen yang diberi bahan pengencer sari buah melon (perlakuan C)
memiliki daya tahan hidup selama 13,4 jam. Hasil ini secara statistik berbeda
sangat nyata (P<0,01) (Table 2).
Persentase hidup spermatozoa babi Hampshire pada awal pengenceran
(jam ke-0) yang didapatkan pada penelitian ini pada masing-masing bahan
pengencer adalah 79,21% pada bahan pengencer sari buah pepaya (perlakuan A),
bahan pengencer sari buah tomat (perlakuan B) sebesar 85,22% dan pada bahan
pengencer sari buah melon (perlakuan C) sebesar 78,95%. Secara statistic
menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05).
Tabel 2. Kualitas Semen Babi Hampshire yang Diencerkan dengan Sari Buah Pepaya, Sari Buah
Tomat dan Sari Buah Melon
Parameter yang diamati
Perlakuan
A B C SEM
pH campuran awal
pH campuran akhir
Konsentrasi (× 106/ml)
Daya tahan hidup (jam)
Persentase hidup jam ke-0
Persentase hidup 6 jam I
Persentase hidup 6 jam II
Persentase hidup 6 jam III
7
7
52,8a
6,6a
79,21a
46,52a
-
-
7
7
54,2a
19,8b
85,22a
70,76b
57,04
35,71
7
7
52,4a
13,4c
78,95a
34,79a
33,49
-
-
-
1,29
0,69
1,46
5,36
-
-
Keterangan: Perlakuan A: Semen diencerkan dengan sari buah papaya
Perlakuan B: Semen diencerkan dengan sari buah tomat
Perlakuan C : Semen diencerkan dengan sari buah melon
Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05)
Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Pada pengamatan 6 jam I rataan persentase hidup semen babi Hampshire
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [140]
yang diencerkan dengan sari buah papaya (perlakuan A) adalah 46,52%, sari buah
tomat (perlakuan B) adalah 70,76% dan sari buah melon (perlakuan C) adalah
34,79%. Hasil ini secara statistic\k menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)
(Tabel 2).
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian ini volume semen babi Hampshire didapatkan rata-
rata sebesar 242 ml. Menurut Ax et al. (2000) volume semen babi normal berkisar
antara 240-250 ml. Sedangkan Toelihere (1993) mendapatkan volume semen
babi berkisar antara 125-500 ml.
Derajat keasaman (pH) semen babi Hampshire pada penelitian ini adalah 7.
Derajat keasaman pada semen babi yang diencerkan dengan bahan pengencer sari
buah pepaya, sari buah tomat dan sari buah melon yaitu 7. Hasilyang diperoleh
sama dengan penelitian Narayana (2004) yang mendapat derajat keasaman (pH)
semen babi Landrace adalah 7. pH semen babi yang normal berkisar antara 7-8
(Toelihere, 1993). Untuk mencegah penurunan derajat keasaman (pH) semen
maka kedalam bahan pengencer perlu ditambahkan lautan penyanggah atau buffer.
Warna semen babi yang didapatkan dalam penelitian ini adalah putih
keabuan. Warna tersebut pada semen babi termasuk warna yang normal, hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Suyadnya (2005) bahwa semen babi
berwarna putih.
Gerakan massa semen babi dalampenelitian ini adalah ++ (baik). Gerakan
massa dapat digunakan untuk mengetahui konsentrasi semen (Djanuar, 1985).
Menurut Toelihere (1993) gerakan massa ++ (baik) menunjukkan kualitas
semidensum dimana konsentrasi sperma berkisar 500-1000 juta sel per milliliter
semen.
Konsistensi atau derajat kekentalan semen babi yang didapat dari
penelitian ini adalah encer. Sesuai dengan pernyataan Toelihere (1993) yang
menyatakan bahwa konsistensi dari semen babi adalah cukup encer. Konsistensi
semen babi setelah diencerkan dengan bahan pengencer sari buah papaya, sari
buah tomat dan saribuah melon adalah encer, oleh karena itu berbeda halnya
dengan semen sapi maka pada semen babi tingkat pengencerannya adalah lebih
rendah dibandingkan dengan semen sapi.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [141]
Konsentrasi semen babi sebelum diencerkan yang didapat dalam penelitian
ini rata-rata 63,28 × 106/ml. Konsentrasi semen babi yang diencerkan dengan
bahan pengencer dari sari buah papaya (perlakuan A) adalah 52,8 × 106/ml dan
dengan bahan pengencer dari sari buah tomat (perlakuan B) 54,2 × 106/ml,
sedangkan untuk bahan pengencer dari sari buah melon (perlakuan C) 52,4 ×
106/ml. Wirtha at al. (2003) dalam penelitian pada semen babi Landrace
mendapatkan konsentrasi sebesar 678,75 × 106/ml. Menurut Toelihere (1993)
konsentrasi semen babi berkisar antara 25-1000 (juta/ml). Konsentrasi semen babi
menurut Yusuf (2003) adalah 50-200 juta/ml.
Daya tahan hidup spermatozoa semen babi yang diencerkan dengan bahan
pengencer dari sari buah tomat (perlakuan B) 13,2 jam lebih lama dibandingkan
dengan bahan pengencer sari buah pepaya (perlakuan A) dan 6,4 jamlebih lama
dibandingkan dengan bahan pengencer sari buah melon (perlakuan C). Daya
hidup spermatozoa yang diencerkan dengan bahan pengencer sari buah melon
(perlakuan C) 6,8 jam lebih lama dari sari buah pepaya (perlakuan A).
Rataan persentase spermatozoa yang hidup pada pengencer sari buah
tomat (perlakuan B) lebih tinggi dari pengencer sari buah pepaya (perlakuan A)
dan sari buah melon (perlakuan C), masing-masing 2,45% dan 2,58% pada
pengamatan jam ke-0. Secara statistik antar perlakuan pengencer menunjukkan
berbeda tidak nyata (P>0,05). Persentase hidup 6 jam I pada perlakuan B
menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A dan
perlakuan C. Pada 6 jam II perlakuan A sudah mati dan 6 jam III hanya perlakuan
B yang masih hidup.
Daya tahan hidup dan persentase hidup spermatozoa pada semen yang
diencerkan dengan bahan pengencer sari buah tomat lebih lama dibandingkan
dengan semen yang diencerkan dengan bahan pengencer sari buah papaya dan sari
buah melon, hal ini disebabkan karena bahan pengencer sari buah tomat
(perlakuan B) memiliki kandungan zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh
spermatozoa antara lain karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin. Untuk bahan
pengencer sari buah pepaya (perlakuan A) dan bahan pengencer sari buah melon
(perlakuan C) kandungan sat-sat makanan untuk spermatozoa hanya terdiri dari
karbohidrat, protein dan vitamin. Sari buah tomat memiliki kandungan lemak,
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [142]
protein dan vitamin C yang lebih banyak dari bahan pengencer sari buah pepaya
dan sari buah melon.
Menurut Susilowati at al. (1989) komponen lemak dan protein yang ada
pada buah dimanfaatkan untuk pembentukan lipoprotein yang sangat berguna
dalam melindungi spermatozoa sehingga membran sel menjadi lebih kuat
terhadap gangguan perubahan suhu lingkungan. Kandungan karbohidrat yang ada
pada setiap komponen sari buah tersebut berfungsi untuk sumber energy untuk
kehidupan spermatozoa. Vitamin C yang ada pada setiap sari buah tersebut
menurur Yulnawati (2002) berfungsi sebagai antioksidan yang akan mengikat
radikal bebas yang dapat merusak keutuhan membrane yang terbentuk sebagai
hasil metabolisme spermatozoa selama penyimpanan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Daya tahan hidup spermatozoa semen babi Hampshire pada bahan pengencer
sari buah tomat menunjukkan hasil yang paling lama bila dibandingkan
dengan semen yang diencerkan dengan bahan pengencer sari buah melon dan
sari buah pepaya.
2. Persentase hidup spermatozoa yang diencerkan dengan bahan pengencer sari
buah tomat pada pengamatan 6 jam I masih tinggi, sedangkan pada bahan
pengencer sari buah melon dan pepaya persentase hidupnya adalah rendah.
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut untuk menguji fertilitas semen yang
diencerkan dengan bahan pengencer sari buah tomat yaitu dengan melakukan
Inseminasi Buatan untuk melihat litter sise yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
AAK. 2002. Beternak babi. Kanisius. Yogyakarta
Dinas Peternakan Propinsi Bali. 2005. Laporan survey Ketersediaan Kebutuhan
Daging di Provinsi Bali Tahun 2004 dan Tahun 2005.
Djanuar, R. G. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Narayana, I Kt Gd. 2004. Kemampuan Pengenceran Semen Babi dengan Ekstrak
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [143]
Buah Tomat dalam Mempertahankan Kualitas Semen dan Jumlah Anak
yang Dilahirkan pada Babi Landrace. Program Pasca Sarjana Universitas
Udayana, Bali.
Parakkasi, A. 1990. Ilmu dan Gisi Makanan Ternak Monogastrik. Angkasa.
Bandung.
Steel, R. G. D.and J. M.Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu
Pendekatan Biometrik. Penerjemah Bambang.S. Edisi ke-2 PT. Gramedia
Jakarta.
Susilowati, S. T. Hernawati dan Soehartojo. 1989. Sari Buah sebagai Diluter Air
Mani Domba (Suatu Study Pendahuluan). Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga. Surabaya.
Suyadnya, I Pt. 2005. Inseminasi Buatan pada Ternak Babi. Makalah Pelatihan
Inseminasi Buatan Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar.
Toelihere, M. R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Cetakan ke-III. Angkasa.
Bandung.
Trisnawati, Y. dan A. I. Setiawan. 1994. Tomat Pembudidayaan secara Komersial.
PS. Jakarta.
Wahyuni, Ni Kt. 2002. Pengaruh Pengenceran Sitrat Kuning Telur Ayam
Kampung terhadap Daya Hidup Spermatosoa Kambing Peranakan Etawa
(FE). Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar.
Wirtha, W. D. K. Harya Putra dan N.M. Sukreni. 2003. Pengaruh Kadar
Pengenceran Air Kelapa dan Suhu Penyimpanan terhadap Daya Simpan
Semen Babi Landrace. Majalah Ilmiah Peternakan Universitas Udayana.
Volume 6, No. 3.
Yulnawati. 2002. Pemanfaatan Sari Buah Melon dan Sari Wortel sebagai
Pengencer Aternatif Semen Domba Garut. Skripsi Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.
Yusuf, L. Tuty. 2003. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Babi.
Makalah Pelatihan Inseminasi Buatan pada Ternak Babi PUSPITNAK.
Direktoran Jendral Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian Bali.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [144]
POTENSI AMPAS SAGU SEBAGAI PAKAN BABI
Tabita N Ralahalu
2.
NUTRISI TERNAK
BABI
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [145]
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Ambon
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Ampas sagu adalah limbah yang diperoleh dari proses pengolahan batang sagu
menjadi tepung sagu dan banyak dijumpai di daerah penghasil sagu (Metroxylon
spp). Dalam satu hektar lahan sagu diperoleh 20pohon sagu masak tebang dengan
berat rata-rata per pohon adalah 220 kg. Perbandingan tepung sagu dan ampas
sagu adalah 1 : 6. Pati yang terdapat dalam ampas sagu masih cukup tinggi, yaitu
52,98% sehingga dapat digunakan sebagai bahan pakan sumber energi.
Penggunaan ampas sagu sebagai pakan didasari oleh beberapa hal, yaitu hasil
penelitian tentang ampas sagu dalam ransum memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan ternak maupun hewan percobaan, penggunaan ampas sagu sebagai
pakan dapat mengurangi penggunaan jagung dan dedak padi, dan program
diversifikasi pangan terutama pangan sumber karbohidrat. Pakan lokal ampas
sagu, dapat digunakan sebagai sumber energi dalam ransum babi. Untuk
mendapatkan PBB babi yang baik ampas sagu dapat digunakan sampai 22,5%
sedangkan ampas sagu fermentasi pemberiannya sampai taraf 15%. Selain itu
ampas sagu berpotensi menurunkan total kolesterol darah. Disimpulkan bahwa
pemanfaatan ampas sagu sebagai bahan pakan lokal sumber energi dapat
ditingkatkan terutama di daerah penghasil sagu.
Kata kunci: potensi, ampas sagu, pakan
THE POTENCY OF SAGO BY-PRODUCT AS SWINE FEEDSTUFF
ABSTRACT
Sago by-productis a by-product yielding from sago stem processing to get sago
mash, and it can be found abundantly in the producing sago (Metroxylon spp) area.
In one Ha sago plant area, twenty trees of sago are ready to be harvested with
average weight of sago mash for each tree is 220 kg. Rasio of sago mash and its
by-product is 1 : 6. Starch contains in sago by-product is 52.98%, so it can be
used as source of energy. However, it contains low crude protein and high fibre.
Using sago by-product as feedstuff is base on several factors, namely research
reviews about using sago by-product in the ration on growth of animals, using
sago by-product as feedstuff can reduce the use of corn and rice by-product, and
food divercification programs particularly carbohydrate source. Local feedstuff,
sago by-product can be used as source of energy in swine ration. To reach
optimum live weight gain, sago by-product and fermented sago by-product can be
used up to 22.5%, and15%, respectively. In addition, sago by-product can reduce
total blood cholesterol.It can be concluded that the use of sago by-product as local
feedstuff source of energy need to be improved particularly in producing sago
area.
Key words: potency, sago by-product, feedstuff
PENDAHULUAN
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [146]
Pertumbuhan dan produksi ternak sangat dipengaruhi oleh ransum yang
diberikan. Disisi lain, biaya terbesar dari suatu usaha peternakan adalah biaya
pengeluaran untuk ransum daripada biaya produksi lainnya. Khususnya ternak
babi, biaya pengeluaran untuk ransum berkisar antara 55-85% (Parakkasi, 1980)
dari seluruh pengeluaran usaha. Kisaran ini tergantung kepada harga ransum, dan
hal lain dimana usaha tersebut dilaksanakan. Mahalnya harga ransum komersial,
membuat peternak babi berusaha memberikan ransum dengan ramuan mereka
sendiri agar usaha yang mereka tekuni dapat tetap dipertahankan. Walaupun
disadari seringkali ramuan/formula yang dibuat peternak tidak konsisten, karena
kurangnya biaya dan masih rendahnya skill dan pengetahuan yang dimiliki
peternak tentang bahan pakan.
Sagu sejak lama dipergunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian
penduduk diwilayah Indonesia bagian Timur terutama Maluku dan Papua.
Walaupun kenyataannya fungsi sagu sebagai sumber karbohidrat sudah digantikan
oleh nasi, sagu masih tetap dikonsumsi oleh penduduk pada ke dua daerah
tersebut.
Daerah-daerah yang merupakan kawasan sagu adalah Papua, Maluku,
Maluku Utara, dan Sulawesi (lokasi tertentu), Kalimantan terutama Kalimantan
Barat, Sumatra terutama Riau, Kepulauan Nias dan Mentawai. Di Pulau Jawa,
sagu ditemukan secara terbatas di Banten, Sukabumi, Bogor dan beberapa lokasi
sepanjang pantai utara. Di daerah Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat,
Maluku Barat Daya, Bali, Nusa Tenggara dan Timor sagu ditemukan sangat
sedikit atau tidak ada. Sagu dikenal dengan banyak nama, sesuai nama lokal
daerah masing-masing, seperti rumbia di Minangkabau; bulung, kresula, bulu,
rembulung, atau resula di Jawa Tengah; kirai di Jawa Barat; bhulung di Madura;
ambulung di Bali; rambia atau hambia di Sangir Thalaud; tumba di Gorontalo;
Pantaworo di Toli-toli-Sulawesi Tengah; Pogalu atau tabaro di Toraja-Sulawesi
Selatan; tawaro di Makassar dan kendari; lapia atau napia di Ambon; tumba di
Gorontalo; Pogalu atau tabaro di Toraja;danrambiamatau rabi di Kepulauan Aru.
Pohon sagu merupakan nama umum untuk tumbuhan genus Metroxylon,
berasal dari kata Yunani yang terdiri dari kata Metra berarti isi batang atau
empulur dan Xylon berarti xylem (Flach 1977). Pada umumnya dikenal lima jenis
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [147]
sagu di Maluku, yakni: sagu Tuni (Metroxylon rumphii Mart), sagu Ihur
(Metroxylon sylvester Mart), sagu Makanaru (Metroxylon longispinum Mart),
sagu Duri Rotan (Metroxylon microcanthum Mart) merupakan sagu berduri dan
satu jenis sagu yang tidak berduri yakni sagu Molat (Metroxylon sagu Rottb)
(Louhenapessy 2006).
Ampas sagu diperoleh dari proses ekstraksi pati, yaitu pemisahan pati dari
empulur batang sagu dengan bantuan air. Proses penghancuran empulur ini di
Maluku dapat dilakukan dengan dua cara, yakni penghancuran empulur dengan
menokok (menggunakan nani) dan dengan cara mekanik (penghancuran empulur
dengan menggunakan mesin).
Limbah berupa ampas sagu yang diperoleh dari proses pengolahan sagu,
banyak dijumpai di daerah penghasil sagu (Metroxylon spp). Kondisi ini
menggambarkan potensi produksi ampas sagu di daerah kawasan sagu dalam
jumlah yang cukup banyak sehingga pemanfaatannya sebagai pakan ternak tidak
menjadi kendala. Limbah tersebut selain dapat dimanfaatkan sebagai pakan
ternak juga dapat dibuat produk seperti campuran briket arang dan campuran
papan partikel, media jamur, serta media pembuatan kompos. Kebiasaan
masyarakat peternak di daerah Maluku dalam memanfaatkan ampas sagu sebagai
pakan ternak telah dilakukan sejak dahulu. Hal ini dikarenakan sebagai limbah,
ampas sagu masih mengandung nutrien terutama pati. Namun, pemanfaatannya
hanya dijumpai pada peternakan yang berdekatan dengan tempat pengolahan
sagu atau dengan membiarkan ternak memperolehnya secara langsung di tempat
penumpukan ampas sagu. Kondisi ini menggambarkan pemanfaatan ampas sagu
sebagai pakan alternatif sumber energi oleh peternak sampai saat ini belum
banyak dilakukan. Jarak lokasi pengolahan tepung sagu dan peternakan babi yang
berjauhan merupakan salah satu penyebab. Selain itu ketersediaan bahan pakan
sumber energi konvensional seperti jagung, dedak padi dan bahan pakan lainnya
sampai saat ini belum menjadi kendala. Keadaan ini menyebabkan peternak hanya
bergantung pada bahan-bahan tersebut. Kenyataan ini akan memberikan dampak
yang kurang baik, terutama pada saat harga jagung meningkat.
Pada kondisi seperti ini, peternak cenderung memberikan ransum dengan
komposisi bahan pakan yang rendah proporsi jagung. Padahal diketahui dalam
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [148]
penyusunan ransum, jagung merupakan bahan pakan yang digunakan dalam
proporsi yang tinggi, disebabkan kadar energi metabolis yang dimiliki jagung
sangat tinggi, yaitu 3327 kkal/kg. Tidak ada yang salah dalam pengurangan
jumlah/proporsi penggunaan jagung sebagai sumber energi dalam ransum, namun
kecenderungan ini sebaiknya terjadi, jika tersedia bahan pakan lain sebagai
sumber energi yang dapat digunakan dalam penyusunan ransum sehingga
kebutuhan energi ternak dapat terpenuhi. Konsekwensi dari pengurangan
penggunaan jagung dalam ransum yang diikuti dengan terbatasnya penggunaan
bahan pakan lain sebagai sumber energi dapat menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan dan produksi ternak. Manfaat dari penggunaan ampas sagu sebagai
pakan adalah mengurangi pencermaran lingkungan di sekitar daerah pemrosesan
tepung sagu terutama di daerah aliran sungai.
Berdasarkan fakta yang dikemukakan, maka penulis tertarik untuk
mengkaji masalah ampas sagu sebagai pakan babi sebagai upaya untuk
mengurangi penggunaan bahan pakan sumber energi sekaligus sebagai
diversifikasi pakan sumber energi dalam ransum.
DASAR PEMIKIRAN
Memanfaatkan ampas sagu sebagai pakan substitusi/alternatif babi terutama
pada daerah penghasil tumbuhan sagu, didasarkan pada beberapa permasalahan
pokok, yaitu 1). Aspek ketersediaan: ketersediaanampas sagu ditinjau dari potensi
produksi maupun nutrien terutama kadar pati yang masih tinggi dan sampai saat
ini belum banyak dimanfaatkan oleh peternak terutama di daerah penghasil tepung
sagu;2). Hasil penelitian pemanfaatan ampas sagu dalam ransum babi yang belum
diaplikasikan; 3). Aspek manfaat: belum dimanfaatkannya ampas sagu dalam
ransum babi sebagai upaya untuk mengurangi penggunaan bahan pakan energi
lain; dan 4). Belum dimanfaatkannya ampas sagu sebagai pakan dari kegiatan
program diversifikasi pangan sumber karbohidrat.
PEMBAHASAN
Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat esensial untuk ternak dapat
bertumbuh dan berproduksi dengan baik dalam rangka mempersiapkan pangan
yang baik untuk dikonsumsi. Dengan demikian fungsi pakanbagi ternak adalah
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [149]
mensuplai nutrien sehingga fungsi-fungsi fisiologis dalam tubuh dapat berjalan
dengan normal. Suatu bahan dapat dijadikan pakan jika bahan tersebut memenuhi
syarat, yakni tidak beracun, mengandung nutrien, mudah diperoleh, mudah diolah,
harga murah, tersedia setiap saat, tidak kompetitif dengan kebutuhan manusia.
Umumnya pemanfaatan bahan limbah mempunyai keuntungan, yakni
mengurangi pencemaran lingkungan, menambah pendapatan bagi petani
peternakdan mengatasi permasalahan ketersediaan pakan. Bahan pakan
konvensional seperti jagung kuning biasanya digunakan pada setiap daerah
sebagai bahan pakan sumber energi. Namun bahan pakan ini dalam kebutuhannya,
kompetetif dengan manusia sehingga tidaklah heran jika harga jagung kuning di
beberapa daerah tertentu menjadi mahal. Ketersediaan ampas sagu sebagai hasil
dari proses pengolahan sagu, membuka peluang bagi peternak terutama di daerah
penghasil sagu untuk memanfaatkannya secara baik sebagai bahan pakan
alternatif sumber energi. Namun hal ini belum juga terlaksana, disebabkan jarak
lokasi tempat pengolahan sagu dan usaha peternakan yang berjauhan.
Taksiran luas lahan sagu di Indonesia sangat bervariasi dari waktu ke
waktu. Luas lahan sagu di Indonesia adalah 1.398.000 ha, sedangkan di Maluku
(provinsi Maluku dan Maluku Utara) luas lahan sagu adalah 50.000 ha
(Balitbanghut 2005). Menurut Alfons (2006), luas areal sagu potensial di Maluku
diperkirakan sebesar 31.360 ha. Jumlah pohon masak tebang untuk kondisi hutan
sagu di Indonesia adalah antara 8–36 pohon/ha dimana untuk kondisi hutan sagu
di Maluku rata-rata pohon sagu masak tebang berbagai jenis sagu adalah 20
pohon/ha (Louhenapessy 1988). Perbandingan ampas sagu yang dihasilkan dalam
proses pengolahan tepung sagu adalah 1 : 6 (Rumalatu 1981), artinya jika
produksi tepung sagu dari satu pohon sagu masak tebang seberat 220 kg dapat
diperoleh 1320 kg ampas sagu (berat basah) atau 396 kg ampas sagu kering.
Menurut Louhenapessy (1988) dalam satu hektar lahan tumbuhan sagu
diperoleh 20pohon sagu masak tebang. Jika masing-masing pohon mempunyai
berat rata-rata 220 kg, maka akan menghasilkan 26400 kg ampas sagu basah atau
7920 kg ampas sagu kering. Jumlah tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan
sebagai pakan ternak. Jika satu ton ampas sagu, dengan taraf pemberian 20%
ampas sagu dalam ransum, dapat memenuhi kebutuhan 10 ekor babi sedang
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [150]
tumbuh (2,5-5 bulan) sampai penggemukan (5-9 bulan).
Kandungan energi yang terdapat dalam ampas sagu cukup tinggi, hal ini
dengan adanya pati dalam ampas sagu yang masih cukup tinggi, yaitu 52,98%
(Ralahalu, 2012). Mengacu pada kadar pati, penggunaan ampas sagu dalam
ransum dapat mengurangi penggunaan bahan makanan sumber energi lain seperti
jagung yang sampai saat ini masih kompetitif dengan kebutuhan manusia dan
proporsi penggunaannya dalam ransum lebih tinggi daripada bahan pakan lain.
Selain kadar energi ampas sagu yang cukup tinggi, kadar nutrien ampas
sagu yang lain seperti protein kasar sangat rendah (1,73%), sebaliknya kadar serat
kasarnya tinggi. Kadar serat kasar ampas sagu bervariasi dari 11,02 sampai
dengan 27,08% dan kadar selulosa adalah 21,62 sampai dengan 23,92%. Kondisi
inilah yang menyebabkan kualitas ampas sagu dinilai rendah. Namun keberadaan
selulosa dalam ampas sagu menjadi penting karena berpotensi menurunkan kadar
kolesterol. Rendahnya kualitas ampas sagu, menyebabkan perlu dilakukan proses
pengolahan untuk meningkatkan kualitas ampas sagu. Sentuhan teknologi yang
dapat dilakukan sebagai upaya pengolahan untuk meningkatkan kualitas nutrien
dari ampas sagu adalah pengolahan biologis.
Mahalnya harga pakan ataupun ransum mendorong dilakukannya
berbagai usaha untuk mencari bahan pakan lain untuk dijadikan sebagai makanan
ternak. Usaha tersebut terutama diarahkan pada bahan lokal spesifik daerah,
khususnya limbah hasil ikutan. Di daerah Maluku, ampas sagu merupakan salah
satu bahan lokal yang dapat dijadikan sebagai pakan. Hal ini didukung dengan
berbagai penelitian yang telah dilakukan baik pada hewan percobaan tikus putih
(Rattus novergicus) ternak ayam, babi dan sapi. Hasil penelitian penggunaan
ampas sagu dalam ransum babi memberikan pertambahan berat badan yang baik
(Tabel 1).
Tabel 1. Pertambahan Berat Badan (gram/ekor/hari) Babi yang DiberiAmpas Sagu pada Taraf
yang Berbeda
Ampas sagu R0 7,5% 15% 22,5%
741 746 705 694
Ampas sagu fermentasi
772 760 704 507
Sumber : Ralahalu (1998)
Penggunaan ampas sagu sebagai pakan dalam ransum babi pada taraf
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [151]
pemberian tertentu ternyata memberikan hasil pertambahan berat badan babi yang
baik. Terlihat pada hasil penelitian Ralahalu (1998), untuk pertambahan berat
badan babi yang baik penggunaan ampas sagu (tanpa difermentasi) dalam ransum
babi fase grower masih dapat diberikan sampai taraf 22,5%, sedangkan untuk
ampas sagu fermentasi (ASF) pemberiannya dalam ransum cukup sampai taraf
15%. Hal ini disebabkan ransum yang diberi 22,5% ASF mempunyai aroma
fermentasi yang lebih dominan/kuat daripada ransum yang diberi ampas sagu <
22,5%, sehingga berdampak menurunkan pertambahan berat badan yang
disebabkan menurunnya jumlah konsumsi ransum. Ampas sagu bermanfaat
bukan saja sebagai sumber energi tetapi penggunaan ampas sagu juga dapat
digunakan sebagai sumber serat yang bertujuan untuk menurunkan kadar total
kolesterol darah. Hal ini terlihat pada penelitian penggunaan beberapa sumber
serat dalam ransum tikus putih ((Rattus novergicus) yang disajikan pada Tabel 2.
Kenyataannya, pemberian 20% ampas sagu tanpa difermentasi dalam ransum
tikus putih, menghasilkankan kadar total kolesterol darah yang lebih rendah
daripada tikus putih yang menerima sumber serat yang lain pada taraf pemberian
10 dan 20%.
Tabel 2. Penggunaan Beberapa Sumber Serat Terhadap Kadar Total Kolesterol Darah Tikus
Putih ((Rattus novergicus)
Sumber: Ralahalu (2012)
Hasil penelitian ini menunjukkan, betapa ampas sagu sebagai limbah
bermanfaat bagi ternak. Namun, manfaat ini belum sepenuhnya diaplikasikan,
karena tidak terdapatnya ampas sagu siap pakai dipasaran, layaknya bahan pakan
lain.Kondisi ini sekaligus menggambarkan permasalahan pada penyediaan ampas
sagu. Fenomena ini pula yang membuat pemanfaatan ampas sagu sampai saat ini
hanya berorientasi pada kajian penelitian. Oleh sebab itu penggunaan ampas sagu
sudah saatnya di aplikasikan dalam pemberian ransum. Terkait dengan hal
Perlakuan Total Kolesterol Darah (mg/dl)
Sumber serat
Ransum kontrol 70,97a
10% ampas sagu 71,09a
20% ampas sagu 59,75b
10% limbah udang 70,70a
20% limbah udang 67,83ab
10% ampas sagu fermentasi 70,70a
20% ampas sagu fermentasi 62,80ab
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [152]
tersebut, perlu adanya perhatian terutama dari pihak-pihak yang terkait untuk
melakukan terobosan dalam hal penyediaan ampas sagu baik diolah atau tanpa
diolah pada daerah penghasil tepung sagu sehingga mudah diperoleh peternak.
Pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan ternak sumber energi dari
beberapa penelitian terutama dalam ransum monogastrik (ayam dan babi) dapat
mengurangi penggunaan bahan pakan lain sumber energi, seperti jagung kuning
dan dedak padi yang dikenal sebagai bahan pakan sumber energi konvensional.
(Tabel 3).
Tabel 3. Penggunaan Ampas sagu Mengurangi Penggunaan Jagung dan Dedak Padi
Pada Babi Fase Grower* Ampas Sagu Tanpa Fermentasi (ASB)
R0 7,5% 15% 22,5%
Jagung (kg) 65,75 53,50 52,00 40,50
Dedak padi (kg) 7,00 7,75 1,00 0,50
Pada Ayam kampung
Fase Starter**
Ampas sagu Fermentasi (ASF)
R0 5% 10% 15%
Dedak padi (kg) 18,25 15,75 13,75 10,50
Ayam Kampung fase
Grower** 17,5 16,00 14,00 12,00
Dedak padi (kg)
Keterangan: *) Ralahalu (1998); **) Ralahalu, dkk., (2008)
Berkurangnya penggunaan jagung kuning atau dedak padi sekaligus dapat
mengurangi pengeluaran biaya untuk pengadaan bahan pakan tersebut yang secara
umum berpengaruh terhadap biaya ransum secara keseluruhan. Kondisi ini jelas
terlihat terutama di daerah-daerah yang ketersediaan jenis bahan pakan
konvensionalnya terbatas.
Kondisi seperti ini, memungkinkan penggunaan jagung kuning dalam
jumlah/proprsi yang tinggi terutama untuk memenuhi kebutuhan energi babi pada
phase hidup tertentu. Contoh, ransum babi fase grower tanpa menggunakan
ampas sagu dapat menggunakan jagung kuning sebanyak 65,75 kg. Harga 1 kg
tepung jagung kuning Rp. 1000 sehingga diperlukan biaya sebesar Rp. 65.750.
Jika pemberian ampas sagu dalam ransum tersebut sebanyak 15% atau 22,5%,
maka tepung jagung kuning yang digunakan berturut-turut 52 kg dengan harga Rp.
52.000 atau 40,50 kg dengan harga Rp. 40.500. Hal ini berarti penggunaan 15%
atau 22,5% ampas sagu dalam ransum menghemat Rp. 13.750 atau Rp. 25.250.
Demikian halnya untuk dedak padi pada ransum tersebut, digunakan 7 kg dengan
harga Rp. 7000 dan menjadi Rp. 1000 karena digunakan hanya 1 kg ketika
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [153]
menggunakan 15% ampas sagu. Jika persentase ampas sagu 15% digunakan
dalam ransum untuk 25 ekor babi selama fase grower, maka biaya yang dapat
dihemat untuk pembelian jagung adalah Rp 386.720. Sebaliknya untuk
penggunaan ampas sagu sebanyak 22,5% dalam ransum, penghematan biaya
untuk pembelian jagung adalah sebesar Rp. 710.156. Uraian ini memberikan
motivasi bagi peternak agar dapat memanfaatkan ampas sagu,mengingat harga
bahan pakan sumber energi terus meningkat.
Pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan sumber energi didukung juga
dengan dikeluarkannya undang-undang no.18 tahun 2012 tentang pangan yang
menetapkan penganekaragaman pangan berbasis pada potensi sumber daya lokal.
Hal ini berartiuntuk konsumsi karbohidrat tidak saja diperoleh dari beras, tetapi
dapat diperoleh dari pangan sumber karbohidrat lain seperti sagu dan umbi-
umbian. Selain itu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memperoleh
hasil bahwa sagu baik untuk kesehatan. Hal inilah yang menyebabkan sagu
kembali menjadi perhatian masyarakat Maluku untuk dikonsumsi, baik dalam
bentuk makanan ringan berupa kue, bagea, sagu tumbu, sagu dan papeda
sekaligus sebagai pangan khas asli daerah Maluku. Kondisi ini menjadikan pohon
sagu dipelihara untuk memproduksikan pati sagu sebagai bahan dasar kue, papeda
dan lain-lain. Kondisi ini membuka peluang untuk memanfaatkan limbah hasil
pengolahan tepung sagu sebagai pakan ternak.
Hal-hal teknis lain yang perlu diperhatikan, jika pemberian ampas sagu
diaplikasikan dalam ransum babi adalah pemberian ampas sagu dapat diberikan
dalam bentuk yang sudah diolah dengan teknologi fermentasi, hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan nutrien ampas sagu. Kapang yang dipakai
untuk fermentasi ampas sagu selama ini adalah Aspergillus niger dan Pleurotus
ostreatus.
Pemanfaatan ampas sagu dalam ransum dapat dilakukan dengan 3 cara,
yaitu dalam bentuk basah, bentuk kering tanpa diolah dan bentuk kering yang
telah diolah dengan teknologi fermentasi. Pemanfaatan ampas sagu dalam bentuk
basah memiliki kelebihan seperti menghemat tenaga dan waktu sedangkan
kekurangannya, ampas sagu cepat menjadi rusak sehingga pemberiannya harus
selalu barusetiap hari. Sebaliknya pemberian ampas sagu kering memiliki
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [154]
kelebihan, dapat disimpan lama sedangkan kekurangannya, membutuhkan tenaga,
waktu dan biaya walaupun hanya sedikit. Untuk pemanfaatan ampas sagu yang
diolah, kelebihannya yakni kualitas nutrien menjadi lebih baik dengan adanya
kadar protein kasar yang meningkat,sedangkankekurangannya adalah
membutuhkan tenaga, waktu dan biaya. Pemanfaatan ampas sagu menjadi lebih
baik, jika ransum yang menggunakan ampas sagu dibuat pellet. Hal ini untuk
menghindari nutrien pakan yang tidak dikonsumsi dan akan berdampak pada
objek pengamatan, misalnya pertambahan berat badan.
Berdasarkan hasil penelitian, ampas sagu maupun ampas sagu yang diolah
dengan menggunakan teknologi pengolahan biologis (fermentasi) dapat
dimanfaatkan sebagai pakan dengan memperhatikan tujuan pemberiannya apakah
sebagai sumber energi atau sebagai sumber serat dan persentase pemberian ampas
sagu yaitu apakah pemberiannya hanya berupa serbuk ampas sagu atau kombinasi
serbuk ampas sagu dan serat empulur.
Penggunaan ampas sagu dalam ransum bukan saja sebagai upaya untuk
memperoleh pakan lokal atau menambah jenis bahan pakan tetapi memberikan
manfaat positif, yaitu memanfaatkan yang terbuang menjadi sesuatu yang bernilai.
SIMPULAN
Berdasarkan beberapa aspek yang melandasi dasar pemikiran dan
pembahasan, maka dikemukakan beberapa kesimpulan untuk mengusahakan dan
mengembangkan ampas sagu sebagai bahan pakan sumber energi terutama pada
daerah penghasil sagu.
1. Pemanfaatan ampas sagu pada daerah penghasil tepung sagu sebagai pakan
lokal sumber energi dalam ransum, perlu dilakukan sebagai upaya
diversifikasi sekaligus untuk mengurangi penggunaan bahan pakan sumber
energi yang lain.
2. Peningkatan kualitas ampas sagu dapat dilakukan dengan sentuhan teknologi
secara biologis.
3. Diversifikasi pakan sumber energi perlu ditunjang oleh ketersediaan ampas
sagu sebagai pakan siap pakai.
DAFTAR PUSTAKA
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [155]
Alfons JB.2006. Diversifikasi sumber daya sagu di Maluku. Makalah
Disampaikan pada Lokakarya Sagu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Maluku. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Ambon.
BALITBANGHUT, 2005. Potensi Hutan Sagu, Kendala Pemanfaatan dan
Prospek Pengembangannya. Balai Penelitian dan Pengembangan kehutanan,
Bogor.
Flach M. 1977. Yield Potensial of the Sago Palm its Relation. Papers of the first
International Sago Symposium in Kuching Malasya.
Louhenapessy JE. 1988. Sagu di Maluku (harapan dan tantangan dalam
pembangunan) disampaikan dalam seminar berkala pada pusat studi Maluku,
Unpatti, Ambon.
Louhenapessy JE. 2006. Potensi dan Pengelolaan Sagu di Maluku. Makalah
Disampaikan pada Lokakarya Sagu Kerjasama Fakultas Pertanian,
BAPPEDA Provinsi Maluku, Dinas Pertanian Provinsi Maluku dan BPTP
Maluku. Ambon.
Parakkasi A. 1980. Ilmu gizi dan makanan ternak monogastrik. Bandung. Penerbit
Angkasa.
Rumalatu FJ. 1981. Distribusi dan potensi pati beberapa sagu (Metroxylon sp) di
daerah seram barat. [Karya Ilmiah]. Bogor: Fakultas Pertanian/Kehutanan
yang berafiliasi dengan Fateta IPB, Bogor.
Ralahalu TN. 1988. Pengaruh Tingkat Penggunaan Ampas Sagu Yang
Difermentasi dengan Aspergillus niger Dalam Ransum Pada Pertumbuhan
Babi Selama Periode Pertumbuhan.
Ralahalu, TN.2012. Potensi Ampas Sagu dan Limbah Udang sebagai Sumber
Serat Dalam Ransum dan Pengaruhnya Terhadap Kadar Kolesterol serta
Kualitas Karkas babi. [Disertasi]. Bogor: Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
Ralahalu TN, Latupeirissa Ch C E, Hehanussa S Ch H dan Fredriksz S. 2008.
Penerapan Teknologi Fermentasi dalam Meningkatkan Kualitas Ampas
Sagu sebagai Pakan Alternatif dalam Ransum Ternak ayam Kampung.
Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Fakultas Pertanian Universitas
Pattimura, Ambon.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [156]
PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG TANAMAN BANGUN-BANGUN
(Coleus amboinicus Lour) DALAM RANSUM TERHADAP PENAMPILAN
REPRODUKSI INDUK DAN ANAK BABI MENYUSU
Pollung H. Siagian (1), Agik Suprayogi (2) dan Parsaoran Silalahi (3) (1) Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, 08128460878
e-mail: [email protected] (2) Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, 081310462986
(3) Sedang Studi S3 (Ph. D) di INRA UMR 1313 GABI Domaine de Vilvert
78352 Jouy en Jasas cedex, Perancis, +33 771083031,
e-mail: parsaoran sililalahi@jouy. inra.fr
PENDAHULUAN
Tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan salah satu
tanaman yang dapat dijadikan sebagai ramuan tradisional di Indonesia. daunnya
bermanfaat sebagai obat sariawan, batuk rejan, influenza, demam, perut kembung,
mulas, sembelit. Menurut tradisi masyarakat Batak di Propinsi Sumatera Utara,
daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) dipercaya mampu meningkatkan
produksi air susu ibu yang sedang menyusui (Damanik et al., 2001).
Pemberian 5% tepung daun bangun-bangundalam ransum induk mencit
(Musmusculus) yang diberikan pada hari ke-14 umur kebuntingan dapat
meningkatkan produksi air susu induk (PASI) (Wening, 2007). Bangun-bangun
telah diketahui dapat meningkatkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan
dan efisiensi penggunaan makanan pada ternak babi fase bertumbuh. Daun
bangun-bangun juga meningkatkan persentase kebuntingan pada mencit. Tepung
tanaman bangun-bangun tidak hanya berperan sebagai antibakteri, membantu
pencernaan dan meningkatkan nafsu makan (Gunter dan Bossow, 1998), tetapi
juga meningkatkan pertumbuhan dan penampilan reproduksi ternak (Khajarern
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [157]
dan Khajarern, 2002).
Data dari berbagai penelitian menunjukkan, bahwa sekitar 20-25% dari
anak babi yang lahir, mati sebelum disapih. Saat yang paling berbahaya bagi anak
babi yang baru lahir adalah selama tiga hari pertama setelah lahir. Kebanyakan
anak babi dengan bobot lahir ringan tidak dapat memperoleh air susu yang cukup
setelah lahir, yang sering disebabkanoleh ketidakmampuannya mencapai ambing
induknya, karena persediaan energi dalam tubuhnya yang terbatas sudah
dihabiskan. Produksi air susu induk (PASI) babi yang banyak sangat diperlukan
pada masa awal laktasi sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi anak babi.
Tanaman bangun-bangun tidak hanya mempunyai efek laktogogum, tetapi
juga bersifat antibakterial jika dikonsumsi oleh ternak yang sedang menyusui.
Sifat antibakteri ini sangat diharapkan berperan saat induk babi beranak yang akan
mengurangi MMA atau mastitis, metritis dan agalactia (Amrik dan Bilkey, 2004).
Pemberian daun bangun-bangun dalam ransum diharapkan mampu meningkatkan
PASI babi. Tingginya PASI babi dapat meningkatkan daya tahan dan per-
tambahan bobot badan anak babi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan taraf
penambahan tepung tanaman bangun-bangun (TTB) di dalam ransum dan waktu
pemberiannya pada induk babi yang akan memperbaiki penampilan reproduksi
induk dan meningkatkan penampilan anak babi selama masa menyusu.
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi untuk kemajuan
dunia peternakan mengenai pengaruh taraf penambahan TTB dalam ransum dan
waktu pemberiannya terhadap PASI, penampilan reproduksi induk dan
penampilan anak babi menyusu. Kematian anak babi yang tinggi saat lahir dan
menyusu diharapkan dapat berkurang karena induknya akan menghasilkan air
susu yang lebih banyak dan pertumbuhan anak babi yang lebih cepat.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Penelitian ini didahului dengan persiapan pembuatan bahan tepung
tanaman bangun-bangun (TTB) dari tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus
Lour) segar hasil identifikasi (LIPI, 2011). Tanaman bangun-bangun sebelum
dikeringkan, diangin-anginkan terlebih dahulu, kemudian ditimbang dan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [158]
dikeringkan di rumah kaca dan dilanjutkan dengan oven 600C sampai kering.
Tanaman bangun-bangun yang sudah dikeringkan kemudian dihaluskan dengan
grinder, lalu diayak dengan ukuran 50 mesh dan hasilnya adalah tepung tanaman
bangun-bangun (TTB).
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor babi bunting
yang tanggal pengawinannya tercatat dengan baik. Babi induk bunting hingga
beranak dan menyusui ditempatkan pada kandang induk beranak individu yang
dilengkapi dengan tempat makan dan water nipple. Suhu dan kelembaban diukur
dengan thermohygrometer.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 4 × 2 masing-masing dengan tiga
ulangan. Faktor pertama adalah penambahan taraf TTB dalam ransum (0; 2,5; 5;
dan 7,5%) dan faktor kedua adalah waktu pemberian ransum dengan taraf TTB
yang berbeda pada induk babi saat umur 107 hari kebuntingan (W1) dan segera
setelah induk babi selesai beranak (W2).
Tabel 1. Komposisi Bahan Makanan Penyusun Ransum Penelitian
Bahan Makanan R0 R1 R2 R3 Pakan Anak
-------------------------------- kg ------------------------------------
TTB - 2.50 5.00 7.50 -
Jagung 30.00 30.00 30.00 30.00 50.00
Bekatul 28.00 28.00 28.00 28.00 8.00
Konsentrat T51 - - - - 5.00
Meat Bone Meal 2.00 2.00 2.00 2.00 3.00
Soy Bean Meal 20.00 20.00 20.00 20.00 22.00
Wheat Pollard 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00
Bungkil kelapa 8.00 8.00 8.00 8.00 -
Mineral (makro) 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00
Zat Nutrisi*
EM (kkal/kg) 2719.88 2702.32 2685.60 2669.66 2758.32
Protein kasar (%) 16.93 17.10 17.25 17.40 18.36
Lemak kasar (%) 5.74 5.71 5.68 5.66 3.86
Serat kasar (%) 4.24 4.34 4.43 4.52 4.02
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [159]
Kalsium (%) 0.26 0.31 0.36 0.41 0.49
Fosfor (%) 0.76 0.76 0.76 0.75 0.58
Abu (%) 6.19 6.41 6.62 6.83 4.08
Keterangan : TTB = tepung tanaman bangun-bangun, R0 = ransum kontrol, R1 = ransum kontrol +
2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5%% TTB,
EM = energi metabolis, T51 = konsentrat anak babi, * = hasil perhitungan.
Ransum yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti susunan ransum
yang diberikan di usaha peternakan babi dimana penelitian ini dilakukan dan
hanya ditambahkan taraf TTB yang berbeda (Tabel 1) dengan waktu
pemberiannya sebagai perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan di Perusahaan Peternakan Babi CV. Adhi Farm
berlokasi di Desa Sepreh, Kelurahan Sroyo, Kecamatan Janten, Kabupaten
Karanganyar, Jawa Tengah. Rataan suhu dan kelembaban pada pagi, siang dan
malam hari masing-masing adalah 20,610C dan 81,06%; 27,080C dan 54,55%; dan
21,760C dan 77,54%, sedangkan rataan suhu selama penelitian adalah 23,15 ±
1,410C dengan kelembaban 71,15% ± 8,01%. Suhu lingkungan penelitian masih
diatas rataan suhu yang dibutuhkan oleh induk babi menyusui dimana kisaran
suhu optimum bagi induk babi menyusui adalah 5-180C (Devendra dan Fuller,
1979), sedangkan kelembaban optimum adalah 70% (Goodwin 1974).
Komposisi Nutrisi Ransum
Hasil analisa proksimat ransum perlakuan diperlihatkan pada Tabel 2,
bahwa semakin tinggi taraf penambahan TTB dalam ransum induk babi, maka
terjadi peningkatan kandungan protein, serat kasar dan abu, sebaliknya dengan
kadar lemak yang menurun.
Peningkatan penggunaan lemak dan protein ransum yang lebih tinggi
terjadi pada ransum induk babi yang ditambahkan TTB. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sahelian (2006) yang menyatakan, bahwa senyawa forkskolin yang
terkandung dalam TTB bersifat merombak lemak menjadi energi. Sementara
Khajerern dan Khajerern (2002) menyatakan bahwa penambahan thymol dan
carvacrol dalam ransum ternak akan membantu proses pencernaan dan
meningkatkan kecernaan protein.
Peningkatan kandungan abu dan serat kasar di dalam ransum tidak diikuti
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [160]
oleh kandungan yang sama dalam feses, sebaliknya di dalam feses terjadi
penurunan. Hal ini menunjukkan, bahwa dengan penambahan TTB dalam ransum
induk babi maka daya cerna serat kasar akan lebih baik. Kandungan serat kasar
yang tinggi pada feses induk babi yang memperoleh R0 juga diikuti kandungan
abu yang tinggi. Semakin tinggi serat kasar maka semakin rendah energi yang
dapat dicerna, penyebabnya adalah kandungan serat kasar yang tinggi berakibat
semakin rendahnya kandungan pati, gula dan lemak. Serat kasar yang tinggi pada
ransum juga akan mengakibatkan meningkatnya konsumsi makanan (Sihombing,
2006).
Tabel 2. Hasil Analisa Proksimat TTB dan Ransum Serta Daya Cernanya
Bahan analisa
proksimat Abu Lemak Protein Serat kasar
-------------------------------- %BK----------------------------------
TTB 15.39 4.61 23.55 8.26
R0 7.49 5.70 17.00 3.36
R1 9.70 5.66 17.20 4.54
R2 10.10 5.62 17.54 4.41
R3 10.88 5.57 17.91 4.79
Daya cerna R0 - 2.15 3.87 -11.41
Daya cerna R1 - 2.84 5.41 -6.34
Daya cerna R2 - 2.53 5.32 -8.05
Daya cerna R3 - 2.49 4.09 -7.08
Keterangan : KA = kadar air, BK = bahan kering, R0 = ransum kontrol, R1 = ransum kontrol + 2.5%
TTB, R2 = ransum kontrol + 5%TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, Sumber:
Pusat Antar Universitas IPB (2011)
Pengaruh Perlakuan terhadap Penampilan Reproduksi Induk Babi
Hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap penampilan reproduksi
(konsumsi ransum harian, lama bunting, lama waktu induk babi beranak, litter
size lahir, anak babi mati lahir, bobot lahir, produksi air susu induk babi dan
frekuensi induk menyusui perhari dan interval waktu antara penyapihan hingga
birahi kembali diperlihatkan pada Tabel 3) dan penampilan anak babi menyusu
(konsumsi ransum harian anak babi, pertambahan bobot badan, mortalitas, bobot
sapih, dan litter size sapih diperlihatkan pada Tabel 4).
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [161]
Tabel 3. Pengaruh Perlakuan terhadap Penampilan Reproduksi Induk Babi
Parameter
Perlakuan
Rataan R0W1 R1W1 R2W1 R3W1 R0W2 R1W2 R2W2
R3W
2
1. KRH
(kg/e) 3.58 3.09 2.34 2.79 2.59 3.41 2.87 2.86 2.94
2. LB (hari) 113.3 112.0 114.3 112.6 112.6 111.6 113.0 115.3 112.88
3. LWIBB
(menit/e) 132.6 104.0 159.3 71.5 104.7 112.5 148.6 166.6 127.17
4. LSL
(ekor) 11.3 9.00 12.33 10.00 7.66 11.67 10.67 11.67 10.54
5. BL (kg/e) 1.48 1.64 1.58 1.56 1.50 1.42 1.46 1.56 1.52
6. PASI
(g/e/my) 256ab 196a 229ab 249ab 217a 376c 177a 329bc 253.88
7. IWS (h) 5.00 5.67 3.67 5.50 4.00 4.00 4.00 4.00 4.48
Keterangan : KRH = konsumsi ransum harian, LB = lama bunting, LWIBB = lama waktu induk
babi beranak, LSL = litter size lahir, BL = bobot lahir, PASI = produksi air susu
induk dan IWSBK = interval waktu sapih hingga birahi kembali, R0 = ransum
kontrol, R1 = ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 =
ransum kontrol + 7.5%% TTB
Konsumsi Ransum Harian Induk Babi
Analisis ragam memperlihatkan bahwa taraf penambahan TTB dalam
ransum dan waktu pemberian serta interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap
KRH induk babi. Konsumsi ransum harian yang tinggi akan meningkatkan PASI
dan pertumbuhan anak babi yang disusui. Penelitian Khajarern dan Khajarern
(2002) menyatakan, bahwa pemberian 60 g carvacrol dan 55 g thymol per ton
pakan dapat meningkatkan KRH induk babi laktasi, membantu mencerna
makanan dan meingkatkan palatabilitas. Namun kandungan senyawa aktif
carvacrol dan thymol yang ada dalam TTB tidak mampu meningkatkan KRH
induk babi dalam penelitian ini.
Lama Bunting
Rataan lama bunting induk babi selama penelitian adalah 112,88 hari
dengan kisaran 109–117 hari dan tidak berbeda jauh dengan pendapat Eusebio
(1980) dengan kisaran 112–120 hari, sedangkan hasil penelitian Yoga (1988)
adalah 113.5 hari dan Hartoyo (1995) 114.43 hari. Hasil analisis ragam
menunjukkan, bahwa taraf waktu pemberian dan interaksinya tidak berpengaruh
terhadap lama bunting. Hal ini dapat dipahami karena lama atau umur
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [162]
kebuntingan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor dalam (faktor genetik) daripada
faktor luar. Hasil penelitian Siagian (1984) pada 3178 ekor induk babi Yorkshire,
1806 Landrace dan 1131 ekor induk babi Duroc masing-masing dengan lama
kebuntingan 114,31; 114,73 dan 114,29 hari dimana Landrace nyata (P<0,05)
lebih lama umur kebuntingannya daripada kedua bangsa babi lainnya.
Lama Waktu Induk Babi Beranak
Rataan lama waktu induk babi beranak dalam penelitian ini adalah 127,17
menit/litter. Pemberian ransum mengandung TTB lebih awal (W1) menghasilkan
lama waktu induk babi beranak yang lebih singkat (121.0 menit/litter) daripada
W2 (135,0 menit/litter). Pemberian ransum yang mengadung TTB lebih awal (W1)
yang berarti jumlahnya lebih banyak dikonsumsi daripada W2. Tanaman bangun-
bangun mengandung 3-ethyl-3 hydoxy-5- alpha andostran-17-one yang secara
hormonal akan merangsang pituitary untuk menghasilkan oksitoksin yang
berperan dalam kelancaran proses beranak dan memproduksi air susu.
Penyuntikan oksitoksin untuk memperlancar proses kelahiran anak babi di
peternakan sangat umum dilakukan, sehingga tanaman bangun-bangun
memungkinkan dapat menggantikan peran oksitoksin untuk membantu proses
kelahiran pada babi (Lawraence et al., 2005). Daun bangun-bangun juga
mengandung kalium yang berfungsi sebagai pembersih darah, melawan infeksi,
mengurangi rasa nyeri dan menimbulkan rasa tenang (Mepham, 1987).
Litter Size Lahir
Rataan litter size lahir total adalah 10,54 ekor dengan lahir hidup 9,92 ekor.
Taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberian serta interaksi
keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap litter size lahir. Hal ini mungkin
terjadi karena perlakuan tidak lagi berpengaruh terhadap jumlah fetus karena fetus
jauh sebelumnya sudah terbentuk dalam uterus induk babi, sedangkan Amrik dan
Bilkei (2004) menyatakan, bahwa pemberian ekstrak daun bangun-bangun pada
hari ke-110 kebuntingan akan meningkatkan litter size lahir hidup anak babi.
Tepung tanaman bangun-bangun mengandung senyawa aktif carvacrol
(Lab. Dept. of Chemistry, Gorakhpur Univ., 2006). Senyawa carvacrol yang
dikenal sebagai senyawa antiinfeksi dan antiinflamasi (Burfield 2001) dan dalam
penelitian Isley et al. (2004) terungkap bahwa penggunaan carvacrol dalam suatu
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [163]
campuran ekstrak tanaman sebagai suplemen dalam ransum ternak babi
menghasilkan litter size lahir lebih tinggi dibanding babi tanpa suplemen dalam
ransumnya.
Bobot Lahir Anak Babi
Bobot lahir per ekor adalah 1,52 ± 0,18 kg dan per litter 15,12 ± 3,83 kg.
Kurniawan (2006), Simorangkir (2008) dan Hutapea (2009) menyatakan bobot
lahir anak babi masing-masing 1,30; 1,36; dan 1,18 kg/ekor atau ketiganya lebih
rendah dari hasil penelitian ini. Hasil analisi ragam menunjukkan bahwa taraf
penambahan TTB, waktu pemberian serta interaksinya tidak berpengaruh terhadap
bobot lahir per ekor pada W1 (1,56 ± 0,09 kg) dan W2 (1,49 ± 0,12 kg) dan
perbedaan ini lebih dipengaruhi oleh litter size lahir total anak babi masing-
masing 10,67 ± 3,05 dan 10,42 ± 2,67 ekor.
Produksi Air Susu Induk Babi
Rataan produksi air susu induk (PASI) babi adalah 253 ± 81,9
g/litter/menyususi atau 5,45 ± 1,64 kg/litter/hari dengan rataan 21,63 kali
menyusui/hari. Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa interaksi taraf
penambahan TTB dalam ransum dengan waktu pemberiannta nyata (P<0,05)
meningkatkan PASI babi per hari dan per menyusui. Perlakuan R1W2 (376
g/litter/menyusui) menghasilkan PASI babi tertinggi dan tak berbeda dengan
perlakuan R3W2 (329 g/litter/menyusui) tetapi berbeda nyata (P<0,05) dengan
perlakuan lainnya.
Produksi air susu induk (PASI) babi per menyusui dengan pemberian
ransum pada W1 tidak berbeda nyata pada berbagai taraf penambahan TTB,
sebaliknya pada W2 berbeda berdasarkan taraf penambahan TTB. Induk babi
yang diberi ransum perlakuan pada W1, mempersiapkan ambing lebih baik untuk
memproduksi air susu dibandingkan W2. Persiapan ambing dibantu oleh adanya
senyawa aktif yang ada di dalam TTB untuk menstimulasi progesteron, ekstradial
dan glokukortikoid dengan meningkatkan jumlah sel kelenjar mammae (jumlah
DNA) dan aktivitas metabolik, sedangkan induk babi yang diberi ransum
perlakuan pada W2 lebih cepat merespon adanya senyawa aktif di dalam TTB
daripada W1. Senyawa aktif di TTB juga menstimulasi dikeluarkannya hormon
prolaktin, growth hormone dan aksitoksin daripada induk yang sudah mendapat
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [164]
TTB pada W1. Konsentrasi hormon prolaktin, oksitosin dan pertumbuhan yang
tinggi pada W2 dibuktikan dengan tingginya PASI babi pada hari ke-5 laktasi.
Produksi air susu induk babi yang tinggi tetapi tidak diikuti oleh persiapan ambing
yang cukup mengakibatkan penurunan PASI babi W2 pada hari ke-10 laktasi,
sedangkan PASI babi di W2 terus mengalami peningkatan.
Interval Waktu Penyapihan hingga Induk Babi Birahi Kembali
Jarak waktu antara penyapihan anak hingga induk babi birahi kembali
(interval between weaning to estrus and conception) dapat juga diartikan sebagai
waktu kosong atau masa tidak produktif karena pada masa tersebut induk babi
tidak mengalami kebuntingan maupun laktasi. Masa produktif induk babi
dalamsatu tahun dapat diminimalkan dengan mempersingkat setiap jarak waktu
tersebut. Rataan interval waktu penyapihan hingga induk birahi kembali adalah
4,47 ± 1,03 hari dengan kisaran 3–7 hari. Waktu pemberian ransum dengan
berbagai taraf TTB berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap waktu antara penyapihan
hingga induk babi birahi kembali masing-masing W1 (4,91 hari) dan W2 (4,00
hari). Hal ini erat kaitannya dengan KRH induk babi dimana pemberian pada W2
lebih tinggi daripada W1. Menurut Damanik et al. (2006) tanaman bangun-
bangun berperan mengontrol postpartumbleeding (pendarahan setelah beranak)
dan sebagai uterine cleansing agent(agen pembersih uterus). Peran TTB juga
menyebabkan involusi uterus yang lebih cepat (Martin et al., 2004). Pemberian
TTB setelah induk babi beranak ternyata lebih efektif mempercepat waktu birahi
kembali setelah penyapihan.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Penampilan Anak Babi Menyusu
Pengaruh perlakuan terhadap penampilan anak babi menyusu (konsumsi
ransum harian), pertambahan bobot badan anak babi hingga disapih, bobot sapih,
mortalitas prasapih dan litter size sapih diperlihatkan pada Tabel 4.
Konsumsi Ransum Harian Anak Babi
Ransum mulai diberikan pada anak babi ketika berumur 10 hari dan
jumlahnya dipengaruhi oleh ketersediaan air susu induk babi sebagai sumber gizi
bagi anaknya. Semakin banyak PASI babi, maka anak babi akan mengkonsumsi
ranusm semakin sedikit, dan sebaliknya. Komposisi bahan makanan penyusun
ransum anak babi diperlihatkan pada Tabel 1.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [165]
Konsumsi ransum harian (KRH) anak babi adalah 34,5 ± 11,5 g/litter/hari.
Pengaruh perlakuan atau interaksi antara taraf penambahan TTB ransum dan
waktu pemberiannya berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap KRH anak babi per
litter dengan perlakuan R0W1 (50,0 g/litter/hari) tertinggi dan R0W2 (22,83
g/litter/hari) yang terendah. Produksi air susu induk (PASI) babi berhubungan
erat dengan KRH anak babi pada penelitian ini, dimana PASI babi yang tinggi
juga memacu pertumbuhan anak babi, sehingga mendorong peningkatan KRH
anak babi pada perlakuan R0W1. Pertumbuhan anak babi yang cepat memerlukan
nutrisi yang lebih banyak lagi, sehingga kebutuhannya harus dipenuhi dari
makanan tambahan atau ransum yang dikonsumsinya.
Tabel 4. Pengaruh Perlakuan terhadap Penampilan Anak Babi Menyusu
Parameter R0W1 R1W1 R2W1 R3W1 R0W2 R1W2 R2W2 R3W2 Rataan
1. KRH
(g/litte
r/hari)
50.0 30.5 38.0 30.8 22.8 41.6 27.1 39.3 34.57
2. PBB
(kg/e) 4.65 5.35 4.53 4.94 4.75 4.12 3.92 4.83 4.51
3. BS
(kg/e) 6.35 6.35 6.00 6.63 6.81 5.55 5.69 6.47 6.35
4. MPS
(%) 9.23 12.04 3.03 2.38 20.08 13.90 8.10 5.34 10.66
5. LSS
(ekor) 9.33 6.67 11.03 8.67 6.67 9.67 8.33 11.00 8.96
Keterangan : KRH = konsumsi ransum harian, PBBS = pertambahan bobot badan sapiha; BS =
bobot sapihan, MPS = mortalitas prasapihan, LSS = litter size sapih
Pertambahan Bobot Badan Anak Babi Sapihan
Bobot sapih anak babi merupakan indikator PASI babi dan kemampuan
bertumbuh anak babi. Faktor-faktor yang mempengaruhi bobot sapih anak babi
antara lain adalah kesehatan anak babi, PASI babi dan cara pemberian makan
(Sihombing, 2006). Semakin berat bobot sapih, efisiensi penggunaan makanan
lebuh baik dan rataan laju pertumbuhan lebih cepat daripada anak babi dengan
bobot sapih yang lebih ringan
Pertambahan bobot badan (PBB) anak babi per ekor pada pemberian W1
(4.87 kg/e) dan W2 (4,40 kg/e) tidak berbeda nyata dan perlakuan R1W1 (5,35
kg/e) adalah tertinggi dan R2W2 (3,92 kg/e) adalah terendah, tetapi keduanya
tidak berbeda nyata. Perbedaan PBB anak babi selama menyusu lebih dipengaruhi
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [166]
perbedaan LS sapih dan umur penyapihan. Litter size sapih R3W2 (11,0 ekor) dan
R3W1 (8,67 ekor) masing-masing dengan umur penyapihan 29 dan 24 hari. Hasil
analisa korelasi menunjukkan bahwa perbedaan bobot sapih sangat nyata (P<0,01)
dipengaruhi PBB, bobot lahir dan KRH anak babi tersebut, apabila PBB anak babi
meningkat maka bobot sapih anak babi juga akan meningkat.
Bobot Sapih
Rataan bobot sapih per litter dan per ekor masing-masing 55,2 kg dan 6,22
kg dengan rataan umur sapih 27 hari. Perlakuan tidak mempengaruhi bobot sapih,
hal ini terjadi karena CV. Adhi Farm dimana penelitian ini dilakukan sudah
mempunyai standar bobot sapih tertentu dengan melakukan penyapihan anak
babinya.
Pertambahan bobot badan anak babi menyusu yang tinggi dengan
konsumsi ransum yang tinggi serta umur penyapihan yang berbeda akan
mempengaruhi bobot sapih. Penyapihan anak babi yang dilakukan selama
penelitian tetap mengikuti manajemen yang berlaku yaitu dengan cara
berkelompok. Setiap waktu penyapihan dilakukan minimal melibatkan empat ekor
induk sekaligus dengan umur masing-masing penyapihan tidak sama yang dapat
berakibat langsung terhadap bobot dapih anak babi. Hasil analisa korelasi
menunjukkan bahwa perbedaan bobot sapi sangat nyata (P<0,01) dipengaruhi
bobot lahir, KRH dan PBB, apabila PBB anak babi meningkat maka bobot babi
sapih juga akan meningkat.
Mortalitas Anak Babi Prasapih
Rataan persentase mortalitas anak babi prasapih adalah 9,35% dari rataan
litter size lahir hidup (10,04 ekor) dengan pemberian ransum perlakuan pada W1
persentase mortalitas anak babi prasapih adalah 6,67% lebih rendah dibanding W2
(12,09%), sementara persentase anak babi lahir mati pada W1 (6,26%) juga lebih
rendah daripada W2 (7,46%). Hasil ini menunjukkan, bahwa penambahan TTB
dalam ransum yang diberikan pada W1 akan meningkatkan daya tahan anak babi
yang lebih baik daripada W2.
Litter Size Sapih
Sapih yaitu tahap pertumbuhan suatu hewan atau ternak tidak lagi
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [167]
tergantung pada air susu induknya dan mulai mengkonsumsi ransum padat dan
cair (Inglis, 1980). Litter size sapih sangat tergantung pada litter size sapih pada
penelitian ini adalah 8,95 ekor dan sangat nyata (P<0,05) dipengaruhi perlakuan
atau terjadi interaksi antara taraf TTB dengan ransum dan waktu pemberiannya.
Litter size sapih pada W1 (9,00 ekor) sedikit lebih tinggi daripada W2
(8,92 ekor). Litter size sapih ini terkait dengan litter size lahir dan mortalitas
prasapih. Litter size lahir hidup pada W1 (10,17 ekor) lebih tinggi daripada W2
(9,67 ekor) dan dengan ransum R2 (11,17 ekor) adalah dengan liiter size lahir
hidup tertinggi sedangkan R0 (8,83 ekor) adalah yang terendah. Bila litter size
lahir tinggi maka litter size sapih juga akan tinggi, tetapi dengan mortalitas
prasapih yang seimbang. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa antara LS
lahir hidup dengan LS sapi sangat nyata (P<0,01), artinya apabila LS anak babi
lahit tinggi maka LS anak babi sapih juga tinggi.
SIMPULAN
Penambahan tepung tanaman bangun-bangun dengan taraf 5% dalam
ransum induk babi dan diberikan pada saat hari ke-107 kebuntingan (R2W1)
menghasilkan penampilan reproduksi induk dan anak babi terbaik.
DAFTAR PUSTAKA
Amrik B, Bilkei G. 2004. Influence of farm application of oregano on
performances of sows. [terhubung berkala]. Can Vet J. 45: 674-677 [14
mei 2009].
Burfield T. 2001. The Seychelles : Aromatic journey notes. India. [terhubung
berkala]. http://www.users.globalnet.co.uk [20 April 2009].
Damanik R et al. 2001. Consumption of bangun-bangun leaves (Coleus
amboinicus Lour) to increase breast milk production among Bataknese
women in North Sumatera Island, Indonesia. Proceedings of the Nutrition
Society of Australia. 25:S67.
Damanik R, Wahlqvist ML, Wattanapenpaiboon. 2006. Lactogogue effects of
bangun-bangun, a Bataknese traditional cuisine. APJCN 15 (2): 267-274.
Devendra C, Fuller MF. 1979. Pig Production in Tropics. Oxford University
Press.
Eusebio JA. 1980. Pig Production In The Tropics. Longman Group. Ltd.
Goodwin DH. 1974. Pig Management and Production. National book store, inc.
Gunter KD, Bossow H. 1988. The effect of etheric oil from Origanum vulgaris
(Ropadiar) in the feed ration of weaned pigs on their daily feed intake,
daily gains and food utilization (Abstract). Proc 15th Int Pig Vet Soc
Congr, Birmingham. 1998:223.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [168]
Hartoyo B. 1995. Pengaruh taraf dan waktu pemberian lemak dalam ransum
induk bunting terhadap penampilan induk dan anak babi [Tesis]. Bogor.
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hutapea I. 2009. Penampilan anak babi menyusu dari induk dengan ransum yang
mengandung tepung daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) pada
taraf yang berbeda [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.
Inglish LK. 1980. Introduction to Laboratory Animal Science and Technology.
Oxford: Pergamon Press Ltd.
Isley SE, Miller HM, Kamel CH. 2004. The use of plant extract in sow diets has
revealed novel aplication for improvements of sow and litter performance.
J Feedmix 14:24-27.
Khajarern J, Khajarern S. 2002. The effcacy of origanum essential oils in sow
feed. Int Pig Topics. 200217:17.
Kurniawan RI. 2006. Hubungan litter size dengan bobot lahir dan mortalitas anak
babi tiga hari setelah lahir [skripis]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.
Laboratorium Department of Chemistry. 2006. Analysis Coleus amboinicus Lour
component with GC and GCMS technique. India: gorakhpur university.
[terhubung berkala]. http://www.baanmaha.com [20 April 2009].
Lawrence M, Naiyana, Damanik MRM. 2005. Modified nutraceutical
composition. Australia: freehills patent and trademark Attorneys.
Melbroune: [terhubung berkala]. http://www.wipo.int/pctdb [24 April
2009].
Martin MA, Teagasc, Athenry. 2004. When should sows be weaned. [terhubung
berkala].http://www.teagasc.ie/publications/2004/20041011/paper02.htm
[18September 2010].
Mepham TB. 1987. Physiology of Lactation. Melton Keynes, Philadelphia; Open
University Press.
Sahelian R. 2006. Forskholin mechanism of action. Bulletin plant natural products
20: 1-8 [terhubung berkala]. http://www.pnp.com [24 April 2009].
Siagian PH. 1984. Comparative performance of Landrace, Duroc and Yorkshire
Breeds of Swine. Univ. Of Philippines at Las Bauas, Philippines.
Sihombing DTH. 2006. Ilmu Ternak Babi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Simorangkir CRD. 2008. Penampilan anak babi menyusu dengan taraf dan waktu
pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) yang
berbeda dalam ransum induk [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.
Wening W. 2007. Penambahan daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour)
dalam ransum pengaruhnya terhadap sifat reproduksi dan produksi air susu
mencit putih (Mus musculus albinus). [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Yoga MS. 1988. Studi penggunaan ekstrak hipofise sapi untuk peningkatan
reproduksi babi [tesis]. Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana, Universitas
Gajah Mada.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [169]
PENAMPILAN TERNAK BABI YANG DIBERI PAKAN
MENGANDUNG TEPUNG BEKICOT (Achatina fulica)
SEBAGAI PENGGANTI TEPUNG IKAN
Egedius, L. L.1), K. Budaarsa2), dan I G.Mahardika2)
Fakultas Peternakan Universitas Udayana
e-mail: [email protected] 1) Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Flores Timur, NTT
2) Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui informasi tentang penampilan dan
nilai ekonomis dari penggunaan tepung bekicot sebagai pengganti tepung ikan
dalam ransum ternak babi. Penelitian menggunakan babi Landrace betina
sebanyak 12 ekor dilaksanakan di Kelurahan Waiwerang Kecamatan Adonara
Timur Kabupaten Flores Timur, NTT, selama 13 minggu. Rancangan yang
digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 (empat) perlakuan
yang masing-masing terdiri dari 3 (tiga) ulangan. Tiap unit percobaan
menggunakan satu ekor babi Landrace dengan berat badan awal 9,8 + 0,38 kg.
Keempat perlakuan tersebut adalah: Perlakuan R0 (ransum menggunakan 12%
tepung ikan tanpa tepung bekicot) sebagai ransum kontrol; perlakuan R1 (ransum
menggunakan 4% tepung bekicot dan tepung ikan 8%); perlakuan R2 (ransum
menggunakan 8% tepung bekicot dan tepung ikan 4%) dan perlakuan R3 (ransum
menggunakan 12% tepung bekicot tanpa tepung ikan). Ransum di susun
berdasarkan standar kebutuhan menurut Sihombing (1997). Variabel yang diamati
meliputi konsumsi ransum, pertambahan berat badan, konversi ransum, koefisien
cerna bahan kering, koefisien cerna bahan organik, koefisien cerna protein kasar
dan koefisien cerna serat kasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
tepung bekicot sebagai pengganti tepung ikan dalam ransum ternak babi
cenderung memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan ransum tanpa
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [170]
tepung bekicot, walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata,sedangkan terhadap nilai ekonomisnya, penggunaan tepung bekicot sebagai
pengganti tepung ikan secara nyata dapat menurunkan biaya pakan dalam usaha
peternakan babi. Penggunaan tepung bekicot dapat diberikan hingga 12% sebagai
pengganti tepung ikan dalam ransum ternak babi.
Kata kunci: babi Landrace, tepung bekicot, penampilan
ABSTRACT
This research was conducted to find out information about the performance
and economic value of the use of snails flour as substitute of fish flour in pig
rations. The study was used 12 female landrace pig it was held at the Waiwerang
vukkage, subdistrict of East Adonara, Flores regency, NTT, for 13 weeks. The
design was used a completely randomized design (CRD) with 4 (four) treatment
that each consisting of 3 (three) replications. Each unit of experiment by using a
pig with a starting weight of 9.8 + 0.38 kg. These four treatments were: Treatment
R0 (ration by using 12% of fish flour without snails flour) used as the control
ration; treatmen Rl (ration by using 4% snail flour and 8% fish flour); treatment
R2 (ration by using 8% snails flour and 4% fish flour) and treatment R3 (ration by
using 12 % snail flour without fish flour). Ration arranged based on need standard
according Sihombing (1997). The variable observed as follows ration
consumption, weight gain, ration conversion, digestibility coefficients of dry
matter, organic matter digestibility coefficient, coefficient of digestibility of crude
protein and crude fiber digestibility coefficients. The results showed that the use
of snails flour as substitute of fish flour in pig rations tend to give better results
than the ration without snails flour, although statistically do not show significant
differences,while the economic value, usage of snail flour as a substitute of fish
flour in significant could decrease the cost of pig feed in the livestock business.
The usage of snail flour can be given up to 12 % as substitution of fish flour in pig
rations.
Keywords: landrace pig, snail flour, performance
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [171]
PENGARUH SUPLEMENTASI STARBIO DALAM PAKAN DENGAN 40%
DEDAK PADI TERHADAP PENAMPILAN BABI LANDRACE
I K. Sumadi, I M. Gede Wijaya dan I.B. Sudana
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui penampilan babi landrace yang diberi
pakan mengandung 40% dedak padi dengan suplementasi Starbio. Penelitian ini
menggunakan babi landrace sebanyak 12 ekor dengan berat badan antara 20 – 30
kg. Pakan terdiri dari konsentrat Guyofeed, dedak padi dan jagung kuning.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK); 4
kelompok berat badan yang diberi 3 macam pakan perlakuan. Pakan yang diberi
dengan 40% dedak padi tanpa suplementasi Starbio sebagai kontrol (perlakuan A);
pakan dengan 40% dedak padi dan disuplementasi 0,2% Starbio (perlakuan B);
dan pakan dengan 40% dedak padi dan disuplementasi 0,4% Starbio (perlakuan C)
selama 6 minggu. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam dan
bila terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan (P<0,05) dilanjutkan
dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1989). Dari hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa suplementasi Starbio dalam pakan dengan 40% dedak
padi mampu memperbaiki penampilan (konsumsi pakan, pertambahan berat badan,
energi tercerna, dan profil kotoran) babi landrace.
Kata kunci: babi landracesuplementasi, Starbio,penampilan, profil kotoran
THE EFFECT OF STARBIO SUPPLEMENT ON DIET WITH 40% OF
RICE BRAN TO THE PERFORMANCE OF LANDRACE PIGS
ABSTRACT
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [172]
The aims of the research are to know the performance of landrace pigs which is
given the ration that use 40% of rice bran with Stranbio suplement. This
experiment used twelve landrace pigs with live weight of 20 – 35 kg. The ration
concists of Guyofeed concentrate, rice bran, and yellow corn. Randomized
completely block design with three treatmens while each treatment concists of
four blocks were used in this study. The three given treatments were the ration
with 40% rice bran without Starbio supplement as a control (treatment A); the
ration with 40% rice bran and 0,2% Starbio supplement (treatment B); ); the ration
with 40% rice bran and 0,4% Starbio supplement (treatment C) for 6 weeks. The
obtained data were analyzed by the analysis of variance and followed by
Duncan’s multiple range test method (Steel and Torrie, 1989) when the significant
differences amongst treatments (P<0,05) were observed. The result of this study
shows that Starbio supplement on 40% rice bran diet can improve the
performance (feed consumtion, live weight gain, DE, FCR and feces profile) of
landrace pigs.
Key words:landrace pigs, supplement, Starbio, performance, feces profile
PENDAHULUAN
Perkembangan peternakan babi sangat pesat di Bali, sehingga penyediaan
bahan-bahan pakan juga harus memadai. Pemanfaatan limbah pertanian dan
limbah hasil pertanian sebagai bahan pakan babi merupakan hal yang sangat lazim,
sebab babi dengan mudah dapat memanfaatakan bahan-bahan dari limbah tersebut
sebagai makanannya. Selain itu, bahan-bahan pakan dari limbah harganya relatif
lebih, namun perlu diingat bahwa ternak babi merupakan ternak monogastri,
sehingga kemampuan mencerna bahan-bahan pakan berserat sangat terbatas.
Salah satu limbah hasil pertanian adalah dedak padi. Kualitas dedak padi di
Indonesia tidak sama, karena proses penggilingan gabah menjadi beras
menggunakan mesin yang berbeda-beda.
Secara umum kualitas dedak padi sebagai salah satu bahan penyusun
pakan babi cukup memadai, meunurut Scott et al. (1982) dedak padi mengandung
1630 kkal ME; 12% CP; 13% lemak; dan 13% serat kasar. Tingginya kandungan
serat kasar pada dedak padi menyebabkan penggunaan dedak padi dalam pakan
menjadi terbatas, karena ternak babi sebagai ternak monogastrik mempunyai
keterbatasan dalammencerna serat kasar (Rasyaf, 1990). Kadar serat kasar yang
tinggi di dalam pakan babi akan menurunkan nilai TDN pakan sehingga dapat
menurunkan pertambahan berat dan menurunkan efisiensi penggunaan pakan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [173]
(Parakkasi, 1990).
Rendahnya TDN mengakibatkan kotoran babi masih banyak mengandung
zat-zat makanan yang belum dicerna oleh babi. Zat makanan yang berupa protein
dan zat bukan protein yang mengandung N akan dipecah atau diurai oleh mikroba
dan hasil dari pemecahan tersebut menjadi amonia. Verstegen et al. (1999)
menjelaskan bahwa gas amonia akan menimbulkan masalah seperti bau dan
pencemaran udara, dan pada konsentrasi tinggi dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan dan gangguan keesehatan. Feses yang banyak mengandung airdapat
meningkatkan jumlah mikroorganisme terutama E. coli, Coliform dan total
mikroba.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat memanfaatkan dedak
padi secara maksimal adalah dengan memenfaatkan starbio. Starbio merupakan
antibiotika dalam media dari bubuk jerami dengan komponen bakteri yang berasal
dari kayu, akar rumput, kedelai dan isi lambung sapi (Zainudinet al., 1995).
Menurut Sartika et al. (1994) starbio merupakan salah satu probiotik yang dapat
meningkatkan produktivitas ternak. Dijelaskan juga, starbio terdiri atas
multimikroorganisme yang menghasilkan enzim yang mampu memecah lignin
(lignolitik), selulosa (selulolitik), lignoselulosa (lignoselulolitik), protein
(proteolitik) dan lemak (lipolitik). Starbio dalam ransum dapat meningkatkan nilai
cerna ransum sehingga zat nutrisi seperti protein, lemak dan karbohidrat lebih
sedikit terbuang melalui feses. Meningkatnya nilai cerna ransum akan
memberikan pengaruh positif terhadap penampilan ternak. Berkurangnya zat-zat
nutrisi yang terbuang melalui feses dapat diharapkan kadar amonia yang
dihasilkan kotoran babi juga juga akan berkurang.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Lama Penelitiann
Penelitian dilaksanakan di Jl. Taman Wedasari No. 9, Dusun Batuparas,
Desa Padangsambian Kaja, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar. Lama
penelitian enam minggu berlangsung dari tanggal 27 November 2005 sampai 08
Januari 2006. Analisis proksimat ransum, sisa ransum dan feses dilaksanakan di
Lab. Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Jl. PB Sudirman,
Sanglah, Denpasar.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [174]
Ternak
Babi yang digunakan dalam penelitian ini adalah babi keturunan babi
landrace sebanyak 12 ekor. Berat badan awal babi-babi tersebut berkisar 20 – 35
kg. Babi tersebut diperoleh dari peternak di Desa Padangsambian Kaja, Denpasar.
Kandang dan Perlengkapan
Kandang yang digunakan adalah kandang individual sebanyak 12 petak
kandang. Tiap kandang berukuran panjang 3 m, lebar 1,5 m dan tinggi 0,8 m.
Bangunan kandang dibuat dari kayu beratap asbes. Setiap petak kandang individu
dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat air minum.
Pakan dan Air Minum
Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan campuran antara
konsentrat komersial merk Guyofeed, jagung kuning, dedak padi dan starbio.
Kandungan nutrisi konsentrat Guyofeed terdiri atas: 37% protein, 4% lemak, 8%
serat kasar, 18% abu, 6% Ca dn 3,1% P. Semua pakan yang dipakai dalam
penelitian ini berbentuk tepung (mash). Air minum yang diberikan kepada babi
berasal dari air sumur setempat. Pakan dan air minum diberi secara ad libitum.
Komposisi bahan dan kandungan nutrien pakan masing-masing disajikan dalam
Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Komposisi bahan pakan penelitian
Bahan (%)
Perlakuan
A B C
Konsentrat 20 20 20
Jagung kuning 40 40 40
Dedak padi 40 40 40
Starbio 0 0,20 0,40
Tabel 2. Kandungan nutrisi pakan penelitian
Komposisi nurien Kandungan nutrien Kebutuhan*)
ME (kkal/kg) 2549,60 3360
Protein kasar (%) 15,76 18
Serat kasar (%) 8,92 6 – 8
Lemak (%) 7,40 4 – 13
Ca (%) 1,24 0,65
P (%) 1,00 0,50
*) Parakkasi (1990)
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [175]
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan acak kelompok (RAK) yang terdiri atas tiga perlakuan dan empat
kelompok berat badan babi landrace. Ketiga perlakuan tersebut adalah pakan
dengan 40% dedak padi tanpa suplementasi starbio sebagai kontrol (perlakuan A);
pakan dengan 40% dedak padi dan suplementasi 0,20% starbio (perlakuan B); dan
pakan dengan 40% dedak padi dan suplementasi 0,40% starbio (perlakuan C).
Kelompok 1 dengan berat badan 34,5 ± 1,08 kg; kelompok 2 dengan berat
badan 26,83 ± 2,25 kg; kelompok 3 dengan berat badan 24,17 ± 0,4 kg; dan
kelompok 4 dengan berat badan 21,83 ± 1,31 kg. Masing-masing kelompok terdiri
atas 3 ekor, sehingga dalam penelitian ini diperlukan 12 ekor babi landrace dan
setiap kandang ditempati oleh 1 ekor babi landrace.
Variabel yang Diamati
Variabel yang diamati dalam penelitian ini terdiri atas: penampilan babi
landrace (konsumsi pakan, pertambahan berat badan (PBB), FCR, DE dan PER)
serta profil kotoran (kadar amonia, total E. coli, coliform, dan total mikroba).
Analisis Statistika
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam dan bila
diantara perlauan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05), maka analisis
dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie (1989).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil:
Konsumsi pakan
Rataan konsumsi pakan selama enam minggu pada babi landrace yang
diberi pakan perlakuan dedak padi 40% tanpa suplementasi starbio (perlakuan A)
88,855 kg/ekor (tabel 3). Konsumsi pakan babi landraceyang diberi perlakuan
pakan dedak padi 40% dengan suplementasi starbio 0,20% (perlakuan B) 13,36%
lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan A (P<0,05). Konsumsi pakan babi
landrace yang diberi perlakuan pakan dedak padi 40% dengan suplementasi
starbio 0,40% (perlakuan C) sebanyak 4,15% lebih rendah dibandingkan dengan
perlakuan A (P<0,05), sedangkan perlakuan C 10,78% lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan B (P<0,05).
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [176]
Pertambahan berat badan
Pertambahan berat badan babi landrace selama enam minggu pada
pelakuan A memiliki rataan 28,250 kg/ekor (tabel 3). Rataan pertambahan berat
badan babi perlakuan B dan C masing-masing 19,91% dan 12,39% lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan A (P<0,05), sedangkan pada perlakuan C 6,27%
lebih rendah dibandingkan perlakuan B (P>0,05).
Tabel 3. Pengaruh suplementasi starbio dalam pakan dengan 40% dedak padi terhadap penampilan
babi landrace
Variabel
Perlakuan1)
SEM2) A B C
Konsumsi pakan (kg/ekor) 88,855a3) 76,980b 85,283a 1,102
DE (Mkal/ekor) 283,712b 336,880a 321,253a 7,14
PBB (kg/ekor) 28,250b 33,875a 31,750a 0,676
FCR 3,12a 2,28c 2,69b 0,063
PER 1,917a 2,60b 2,58b 0,116
Keterangan: 1) Pakan dengan 40% dedak padi tanpa suplementasi starbio (perlakuan A); dengan suplementasi 0,20%
starbio (perlakuan B); dan dengan suplementasi 0,40% starbio (perlakuan C). 2) SEM = Standard Error of the Treatment Means 3) Superskrip huruf yang sama pada baris yang sama berbeda tidak nyata (P>0,05)
Feed Convertion Ratio (FCR)
Rataan nilai FCR pada babi landrace perlakuan A sebesar 3,12 (Tabel 3).
Nilai FCR pada perlakuan B dan C masing-masing 26,92% dan 13,78% lebih
rendah dibandingkan perlakuan A (P<0,05), sedangkan rataan nilai FCR pada
perlakuan C 13,78% lebih rendah dari perlakuan A (P<0,05), akan tetapi 17,98%
lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan B (P<0,05).
Digestible Energy (DE)
Rataan nilai DE padaperlakuan A sebesar 283,712 Mkal (tabel 3). Rataan
nilai DE pada perlakuan B dan C masing-masing 18,74% dan 13,23%
dibandingkan dengan perlakuan A (P<0,05), sedangkan pada perlakuan C 4,64%
lebih rendah dari perlakuan B (P>0,05).
Protein Efficiency Ratio (PER)
Rataan nilai PER pada perlakuan A adalah 1,917 (tabel3). Nilai PER pada
perlakuan B dan C masing-masing 2,60 dan 2,58. Secara statistika berbeda nyata
(P<0,05) dibandingkan dengan A, sedangkan antara perlakuan B dan C
menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05).
Kadar amonia
Rataan kadar amonia kotoran babi landrace yang diberi perlakuan A
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [177]
61,673 mg/kg (tabel 4). Perlakuan B memiliki kadar amonia 13,27% lebih rendah
dari perlakuan A (P<0,05), sedangkan perlakuan C memiliki rataan kadar amonia
2,94% lebih rendah dari perlakuan A (P<0,05) dan 34,58% lebih tinggi dari
perlakuan C (P<0,05).
Tabel 4. Pengaruh suplementasi starbio dalam pakan dengan 40% dedak padi terhadap profil
kotoran babi landrace.
Variabel
Perlakuan1)
SEM2)
A B C
Kadar amonia (mg/kg) 61,673a3 53,489c 58,859b 0,536
E. coli (koloni/ml) 2,745×107a 2,277×107b 1,642×107c 0,027
Coliform (koloni/ml) 7,655×107a 4,945×107b 2,625×107c 0,162
Jml. mikroba (populasi/ml) 14,930×104a 2,422×104b 1,557×104b 0,071
Keterangan: 1) Pakan dengan 40% dedak padi tanpa suplementasi starbio (perlakuan A); dengan suplementasi 0,20%
starbio (perlakuan B); dan dengan suplementasi 0,40% starbio (perlakuan C). 2) SEM = Standard Error of the Treatment Means 3) Superskrip huruf yang sama pada baris yang sama berbeda tidak nyata (P>0,05)
Jumlah Escherichia coli
Rataan jumlah E. colikotoran babi landrace yang diberi perlakuan A
adalah 7,655 × 107 koloni/ml (tabel 4). Pada perlakuan B danC memiliki jumlah
rataan E. coli masing-masing 17,05% dan 40,18% lebih rendah dibandingkan
dengan perlakuan A (P<0,05), sedangkan pada perlakuan A 27,89% lebih tinggi
(P<0,05) dibandingkan perlakuan B.
Jumlah coliform
Rataan jumlah coliform kotoranbabi lanrace yang diberi perlakuan A
adalah 2,475 × 107koloni/ml (Tabel 4). Rataan jumlah coliform pada perlakuan B
dan C masing-masing 35,40% dan 65,71% lebih rendah dibandingkan perlakun A
(P<0,05), sedangkan pada perlakuan C 35,71 lebih tingghi dari perlakuan B
(P<0,05).
Jumlah mikroba
Rataan jumlah mikroba pada kotoran babi landrace yang diberi perlakuan
A adalah 14,930 × 104 populasi/ml (Tabel 4). Rataan populasi mikroba pada
perlakuan B dan C masing-masing 83,78% dan 89,57% lebih rendah
dibandingkan perlakuan A (P<0,05), sedangkan pada perlakuan C 35,71% lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan B (P<0,05).
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [178]
Pembahasan:
Konsumsi pakan yang paling tinggi terjadipada babi landrace dengan
pakan 40% dedak padi tanpa suplementasi starbio (perlakuan A). Hal ini terlihat
jelas bahwa suplementasi starbio mengakibatkan meningkatnya DE pakan. Pada
pakan dengan tingkat energi (DE) yang lebih rendah (A, Tabel 3) ternak akan
mengkonsumsi pakan lebih tinggi untuk pemenuhan kebutuhan energi (Supnet,
1980 dalam Putri, 1994). Penggunaan dedak padi yang tingi dalam pakan
menyebabkan meningkatnya kadar serat kasar dalam pakan sehingga laju aliran
pakan dalam saluran pencernaan meningkat dan sebagian fraksi energi neto akan
hilang untuk gerak peristaltik usus, sehingga babi akan mengkonsumsi pakan
lebih banyak (Lloyd et al., 1978).
Suplementasi starbio dalam pakan babi telah nyata dapat menurunkan
konsumsi pakan, meningkatkan DE, meningkatkan pertambahan berat badan,
meningkatkan PER dan menurunkan FCR (tabel 3, perlakuan B dan C). Hal ini
disebabkan starbio dalam pakan telah meningkatkan aktivitas enzimatiknya untuk
membantu meningkatkan aktivitas pencernaan, sehingga ketersediaan nutrien bagi
babi landrace akan meningkat, sehingga pertambahan berat badan babi landrace
juga meningkat. Perlu dikemukakan di sini bahwa, menurut Sartika et al. (1994),
starbio terdiri atas multimikroorganismeyang menghasilkan enzim yang mampu
memecah lignin, selulosa, lignoselulosa, protein dan lemak. Pencernaan enzimatik
terhdap sumber-sumber karbohidrat dan protein menyebabkan ketersediaan
sumber energi dan asam-aam amino bagi bebi untuk melakukan aktivitas
pertumbuhan.
Menurunnya konsumsi pakan dan meningkatnya pertambahan berat badan
pada babi-babi yang mendapat pakan dengan dedak padi 40% yang
disuplementasi dengan 0,20% (B) dan 0,40% starbio (C), karena meningkatnya
ketersediaan energi dan protein serta sumber-sumber nutrien lainnya sebagai
akibat dari peningkatan pross-proses enzimatik di dalam saluran pencernaan babi
tersebut. Kejadian ini dapat dikatakan pula bahwa penambahan starbio ke dalam
pakan babi akan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Terlihat jelas pada
perlakuan B dan C, dimana terjadi peningkatan angka PER dan penurunan angka
FCR.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [179]
Hasil penelitian menunjukkan pada kotoran babi yang mendapat pakan
yang disuplementasi starbio (perlakuan B dan C) memiliki kadar amonia lebih
rendah dibandingkan dengan yang tidak mendapat suplementasi starbio
(perlakuan A) (Tabel 4). Hal ini disebabkan starbio yang disuplementasi dalam
pakan dapat meningkatkan kecernaan protein pakan, sehingga protein yang
terbuang melelui feses menurun. Gas amonia ini berasal dari perombakan protein
yang terkandung dalam feses. Protein dalam feses dipecah oleh mikroba menjadi
asam amino dan mengalami proses deaminasi menghasilkan amonia (Sihombing,
1997).
Penggunaan starbio dalam pakan dapat menekan jumlah E. coli, coliform
dan mikroba dalam feses babi. Hal ini disebabkan keberadaan starbio dalam
saluran pencernaan mampu memproduksi hidrogen peroksida (H2O2) yang dapat
menghambat pertumbuhan organisme tersebut (Ritonga. 1992). Keberadaan
starbio disamping menekan pertumbuhan E. coli, juga dapat meningkatkan kadar
vitamin B12, E dan K dalam saluran pencernaan serta menurunkan pH dalam
saluran pencernaan sehingga E. coli dan coliform tidak dapat tumbuh (Sand dan
Hankin (1976).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa suplementasi starbio
dalam pakan 40% dedak padi mampu meningkatkan digestible energy (DE),
pertambahan berat badan (PBB), dan protein effisiency ratio (PER) serta
menurunkan konsumsi ransum dan angka feed covertion ratio (FCR).
Suplementasi starbio dalam pakan juga mampu memperbaiki profil kotoran babi
landrace dengan menurunkan kadar amonia, jumlah koloni E. Coli, coliform dan
jumlah mikroba.
Saran
Peternak babi yang selama ini memberikan dedak padi sebagai salah satu
bahan pakan sebaiknya disuplementasi dengan starbio untuk meningkatkan
efisiensi pakan babi sehingga pertumbuhannya lebih bagus.
DAFTAR PUSTAKA
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [180]
Lloyd, L.E., B.E. McDonald and E.W. Crampton. 1978. The Carbohyrates and
The Metabolism. In: Fundamental of Nutrition. 2 nd Ed. W.H. Freeman
and Co, San Francisco.
Parakkasi, A. 1990. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Monogastrik.Cetakan ke-
10. Penerbit Angkasa, Bandung.
Putri, T.I. 1994. Perbaikan lemak tubuh dan karkas babi dengan ransum yang
mengandung bungkil inti kelapa sawit. Tesis. PPs. Univ. Gajah Mada,
Yogyakarta.
Rasyaf, M. 1994. Bahan Makanan Unggas di Indoonesia. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Ritonga, H. 1992. Bakteri sebagai pemicu pertumbuhan. Poultry Indonesia, No.
14/April 1992. Hal 11-13.
Sand, D.C. and L. Hankin. 1976. Fortification of food by fermentation with
lysine excreting mutans of Lactobacilli. J. Agric. Food. Chem. 24.
Saetiika, T,Y., C. Raharjo dan K. Dwiyanto. 1994. Penggunaan probiotik starbio
dalam ransum dengan tingkat protein yang berbeda terhadap performans
kelinci lepas sapih. Balitnak Ciawi, Bogor. Sains Majalah Ilmiah UNIV.
Diponegoro, Semarang.
Scott, M.L., C. Nesheim and R.J. Young. 1992. Nutrition of The Chicken. Publ.
By M.L. Scott an Associates Ithaca, New York.
Sihombing, D..T.H. 1997. Pendaurulangan dan Penanganan Kotoran Ternak. Fak.
Peternakan IPB, Bogor.
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1989. Principles and Procedures of Statistics. 2nd
Ed.. McGraw-Hill Int. Book Co., London.
Vestegen, M., S. Tamminga and R. Greers. 1999. Pengaruh Pencemaran |Gas
Terhadap Hewan: dalam Pencernaan pada Sistem Produksi Ternak.
Penyunting: Dewi A. et al.. CV IKIP Semarang Press, Semarang.
Zainudin, D.K.,Dwiyanto dan Suharto.. 1995. Uttilization of probiotic Starbio in
broiler diet with different levels of crude fibre. Bull. Anim. Sci. T.W.
Murti, K.A. Santoso, Suhartanto, Zubrizal, A.Wibowo (Ed). Publ. Of
Anim.b. Gajah Mada University Press.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [181]
PENAMPILAN BABI LANDRACE YANG DIBERIKAN PAKAN
MENGANDUNG ENCENG GONDOK
I Wayan Sudiastra1), I Gd. Mahardika1), K. Budaarsa1), dan N. S.
Dharmawan2) 1) Fakultas Peternakan Universitas Udayana
2) Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
e-mail:
ABSTRAK
Penggunaan limbah sebagai bahan penyusun ransum akan memberikan
keuntungan yaitu tidak bersaing dengan manusia, harganya relatif murah serta
dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Salah satu limbah yang
ketersediaannya cukup banyak serta memiliki potensi sebagai bahan pakan ternak
adalah eceng gondok. Penelitian untuk memanfaatkan eceng gondok sebagai
bahan makanan tambahan untuk babi telah dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui bagaimana pengaruh pemberian eceng gondok terhadap pertumbuhan
babi landrace. Enam belas ekor babi digunakan dalam penelitian ini yang
menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan.
Keempat perlakuan tersebut adalah perlakuan A: babi yang mendapat ransum
tanpa eceng gondok, perlakuan B: babi yang mendapat ransum yang ditambah
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [182]
dengan 2,5% eceng gondok, perlakuan C: babi yang mendapat ransum yang
ditambah dengan 5% eceng gondok, dan perlakuan D: babi yang mendapat
ransum yang ditambah dengan 7,5% eceng gondok. Hasil penelitian mendapatkan
bahwa pertumbuhan babi yang diberikan pakan mengandung 2,5 sampai 7,5%
eceng gondok dalam ransum tidak berbeda dengan babi yang diberikan pakan
tanpa eceng gondok, namun terjadi kenaikan nilai FCR dan penurunan harga
ransum dengan meningkatnya level eceng gondok.
Kata kunci: babi landrace, eceng gondok, pertumbuhan, efisiensi
PENGARUH TINGKAT PENGGUNAAN LIMBAH HOTEL DALAM
RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG DAN KOMPOSISI FISIK
KARKAS BABI PERSILANGAN (BABI LANDRACE SADDLEBACK)
Tjok Gde Oka Susila, Tjok Istri Putri, dan Tjok Gede Belawa Yadnya
Fakultas PeternakanUniversitas Udayana Denpasar
e-mail: -
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat penggunaan limbah hotel
dalam ransum terhadap berat potong dan komposisi fisik karkas babi persilangan
Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan
dan tiga kelompok (ulangan).Ketiga perlakuan tersebut adalah babi diberi ransum
tanpa limbah hotel, 25 dan 50% limbah hotel masing masing untukperlakuan P1,
P2 dan P3. Peubah yang diamati meliputi bobot potong, berat karkas, persentase
karkas, persentase tulang, daging dan lemak dalam karkas. Ransum disusun iso
kalori dan iso protein. Ransum dan air minum diberikan secara adlibitum.Hasil
penelitian menunjukkan bahwa berat potong babi P2 dan P3 masing-masing
10,05 dan 35,95% lebih tinggi dibandingkan babi P1, tetapi secara statistik
berbeda tidak nyata(P>0,05). Berat karkas dan persentase karkas babi P1, P2 dan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [183]
P3 berbeda tidak nyata (P>0,05).Babi P2 menghasilkan persentase daging
berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan babi P1, tetapi persentase tulangnya 8,4%
lebih rendah (P<0,05) dengan persentasa lemak 4,58% lebih tinggi (P<0,05). Babi
P3 mnghasilkam persentasa daging dan tulang masing - masing 6,42 dan 8,04%
lebih rendah (P<0,05) dengan persentasa lemak 14,37% lebih tinggi(P<0,05)
dibandingkan babi P1. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
penggunaan limbah hotel hingga 50% dalam ransum cenderung meningkatkan
berat karkas dan persentase karkas, tetapi menurunkan persentase daging dan
tulang dan meningkatkan persentase lemak secara bermakna. Persentase daging
pada karkas babi yang diberi ransum mengandung 25% limbah hotel sama dengan
kontrol.
THE EFFECT OF HOTEL TANGKAGE IN THE DIET ON SLAUGHTER
WEIGHT AND PHYSICAL CARCASS COMPOSITION OF CROSSING
PIG (BALI PIG × SADDLEBACK )
ABSTRACT
The experiment aim to study the effect of hotel tangkage in the diet on slaughter
weight and physical carcass composition of crossing pig. The completely
randomized block design (CRBD) were used in this experiment consisted of three
treatments and three blocks (replicates). The treatments were diet without hotel
tangkage, 25 and 50% hotel tangkage for treatment P1, P2 and P3.Variable
measured in this experiment were slaughter weight, carcass weight, and meat,
bone and fat percentage of carcass. All diet iso caloric and iso protein. Feed and
water is given adlibitum. Results showed that slaughter weight of pig on treatment
P2 and P3 were 10.05 and 35.95% higher than treatment P1, but statitically were
not significant different (P>0.05).Carcass percentage between pig at treatment P1,
P2 and P3 were not significant different (P>0.05). Meat percentage of carcass of
pig between P2 and P1 were not significantly different (P>0.05), but its bone
percentage 8,4% lower (P<0,05) and fat percentage 4,58% higher than that of pig
P1 (P<0.05). Meat and bone percentage of carcass of pig P3 were 6,4 and 8,04%
lower than pig on P1 (P<0.05), but its fat percentage 14,37% higher than pig on
P1(P<0.05). Based on results of the expriment it can be concluded that level of
hotel tangkage until 50% in the diet, tend to increase slaughter weight and carcass
percentage of crossing pig, but decrease meat and bone percentage of carcass,
meat percentage of carcass of pig on treatment P2 and P1 were similar.
PENDAHULUAN
Seiring dengan laju pertambahan penduduk, pendapatan perkapita dan
kesadaran gizi masyarakat, kebutuhan daging semakin meningkat
pula.Peningkatan kebutuhan daging perlu diimbangi dengan peningkatan produksi
ternak agar tercapai keseimbangan antara kebutuhan dengan persediaan daging
tersebut. Salah satu ternak yang berpotensi untuk dikembangkan di Bali adalah
ternak babi, disamping karena ternak babi lebih efisien menggunakan bahan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [184]
pakan dibandingkan ternak lain (Parakkasi, 1990), namun juga karena babi
beranak banyak 6-12 ekor banyak digunakan dalam menunjang sosial budaya
masyarakat Hindu di Bali dan dari segi citarasa daging babi sangat diminati
masyarakat non muslim didaerah ini. Peningkatan produktivitas ternak babi
dihadapkan pada masalah tingginya biaya pakan yakni mencapai 55-85% dari
seluruh ongkos produksi (Parakkasi, 1985). Oleh karena itu perlu dicari bahan
pakan alternatif yang harganya murah, salah satu diantaranya dengan
memanfaatkan limbah hotel karena 64% limbah padat dihasilkan hotel berbintang
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan untuk ternak babi (Rika et al., 1996).
Lebih lanjut dinyatakan sebagai pakan ternak limbah hotel yang dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak ini mengandung 25,50- 27,79% bahan kering;
15,55-23,92% protein kasar; 16,4-24,05 lemak kasar; 1,70-3,30% serat kasar;
3997-4375 kkal energi tercerna/kg; 4,31- 9,06% mineral kalsium dan 4,29-6,53%
mineral fosfor. Babi sedang tumbuh memerlukan ransum dengan kadar lemak 5-
15% dan serat kasar 5-7% (ARC, 1967). Ternak babi yang diberi ransum dengan
kadar lemak yang tinggi akan menghasilkan karkas dengan persentasa lemak
yang tinggi pula(Soeparno, 1994), akibatnya karkas kurang disukai konsumen.
Oleh karenanya penggunaan limbah hotel sebagai pakan ternak babi perlu
dicampur dengan bahan pakan yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat penggunaan limbah hotel dalam ransum babi yang dapat
menghasilkan bobot potong yang tinggi dengan persentasa daging karkas
maksimal dan pesentasa lemak karkas optimal dan persentasa tulang minimal.
MATERI DAN METODA
Materi
Ternak
Babi yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil persilangan (babi
bali × Saddleback) jantan kebiri lepas sapih, sebanyak 18 ekor dengan berat badan
awal 6,97 ± 0,06 kg yang dibeli dari penjual bibit babi di Kabupaten Tabanan.
Kandang dan Perlengkapan
Penelitian ini menggunakan 9 petak kandang yang masing-masing
berukuran panjang 2,0 m, lebar 1,0 m, dan tinggi 1,0 m. Dinding kandang
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [185]
menggunakan bambu, atap asbes, dan lantai beton. Tempat pakan menggunakan
kayu dengan ukuran panjang 40 cm, lebar 20 cm, dan tinggi 15 cm dan tempat air
minum menggunakan ember plastik.
Ransum dan Air Minum
Bahan penyusun ransum terdiri atas jagung kuning, dedak padi, bungkil
kelapa, tepung ikan dan limbah hotel. Limbah hotel diperoleh dari hotel Dysnasti
yang beralamat di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Sebelum dicampur
dengan bahan lainnya, limbah hotel dipisahkan dari bagian-bagian yang tidak
dapat dikonsumsi ternak babi seperti: botol, kaleng, dan bahan yang terbuat dari
plastik, kertas dan lain-lain.Selanjutnya bagian limbah hotel yang dapat
dimanfaatkan sebagai pakan babi dicincang terlebih dahulu hingga homogen.
Limbah hotel digunakan dalam penelitian ini mengandung 26,90% bahan kering,
4375,11 Kkl energi tercerna/kg, 20,78 % protein kasar, 1,70% serat kasar, 24,05%
lemak kasar, 6,87 % kalsium dan 4,29 % fosfor. Susunan ransum disesuaikan
dengan perlakuan. Kandungan zat-zat makanan dalam ransum disusun
berdasarkan rekomendasi ARC (1967). Komposisi ransum tertera pada Tabel 1
dan Tabel 3, sedangkan kandungan nutrien dalam ransum tertera pada Tabel 2 dan
Tabel 4.Pemberian ransum dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi pukul 07.00 Wita
dan sore pukul 17.00 Wita. Pemberian air minum secara ad libitum.Tempat air
minum dibersihkan setiap hari.
Alat-Alat yang Digunakan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain,gergaji besi,
timbangan “ shalter” berkapasitas 25 kg dengan skala 0,01 kg, golok, tali, bambu,
air panas (70-800C), dan pisau silet.
Tabel 1. Komposisi Bahan Penyusun Ransum Babi Berat 5 – 10 kg
Bahan
Perlakuan
P1 P2 P3
Limbah hotel 0,00 25,00 50,00
Jagung kuning 45,80 27,35 12,90
Dedak padi 22,00 18,75 24,35
Bungkil kelapa 2,40 10,05 0,05
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [186]
Tepung ikan 4,02 1,17 2,65
Bungkil kedele 24,98 17,14 9,75
Tepung tulang 0,50 0,24 0,00
Garam dapur 0,15 0,15 0,15
Pig mix 0,15 0,15 0,15
Total 100,00 100,00 100,00
Keterangan :
P1 = Ransum tanpa limbah hotel
P2 = Ransum mengandung 25 % limah hotel
P3 = Ransum mengandung 50 % limbah hotel
Tabel 2. Komposisi Nutrien Dalam Ransum Babi Berat 5 – 10 kg
Zat – Zat Makanan
Perlakuan
P1 P2 P3 Standar 1)
Energi Tercerna (Kkal/kg) 3500,14 3500,04 3490,39 3,500,00
Protein Kasar (%) 20,56 20,25 20,06 20,00
Lemak Kasar (%) 5,54 8,97 13,95 10,002)
Serat Kasar (%) 3,83 4,68 3,22 6,002)
Kalsium (%) 0,60 1,79 3.47 0,80
Fosfor (%) 0,70 1,88 3,19 0,65
Keterangan :
P1 = Ransum tanpa limbah hotel
P2 = Ransum mengandung 25 % limah hotel
P3 = Ransum mengandung 50 % limbah hotel 1) = NRC (1979) 2) = ARC ( 1967)
Tabel 3. Komposisi Bahan Penyusun Ransum Babi Berat 10 – 20 kg
Bahan Makanan Perlakuan
P1 P2 P3
Limbah Hotel 0,00 25,00 50,00
Jagung Kuning 67,00 40,00 11,50
Dedak Padi 3,50 11,95 12,15
Bungkil Kelapa 4,58 12,50 24,20
Tepung Ikan 5,50 6,00 0,50
Bungkil Kedele 15,98 2,20 0,30
Tepung Tulang 3,14 2,05 1,05
Garam Dapur (NaCL) 0,15 0,15 0,15
Pig Mix 0,15 0,15 0,15
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [187]
Total 100,0 100,00 100,00
Keterangan :
P1 = Ransum tanpa limbah hotel
P2 = Ransum mengandung 25 % limah hotel
P3 = Ransum mengandung 50 % limbah hotel
Tabel 4. Komposisi Nutrien Dalam Ransum Babi Berat 10 – 20 kg
Zat – Zat Makanan Perlakuan
P1 P2 P3 Standar 1)
Energi tercerna (Kkal/kg) 3370,09 3370,12 3370,22 3370,00
Protein Kasar (%) 18,18 18,00 18,44 18,00
Lemak Kasar (%) 4,13 8,58 11,96 10,002)
Serat Kasar (%) 3,37 4,16 5,90 6,002)
Kalsium (%) 0,60 1,86 3,43 0,65
Fosfor (%) 0,72 1,81 3,08 0,55
Keterangan :
1) = NRC ( 1979 )
2) = ARC ( 1967 )
Metoda
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yng digunakan adalah rancangan acak kelompok
(RAK) yang terdiri atas 3 perlakuan dan 3 kelompok (ulangan). Ketiga perlakuan
tersebut yaitu ransum tanpa limbah hotel (P1), ransum mengandung 25% limbah
hotel (P2), dan ransum mengandung 50% limbah hotel (P3). Untuk tiap perlakuan
dalam satu ulangan menggunakan 2 ekor babi, sehingga digunakan 18 ekor babi.
Tempat dan Lama Penelitian
Penelitian dilakukan dirumah seorang peternak yang tinggal di Jalan
Sidakarya 58 Denpasar. Penelitian dilaksanakan selama 8 minggu. Sebelum
pengumpulan data dilakukan penelitian pendahuluan selama 1 minggu untuk
memberi kesempatan pada babi untuk beradaptasi dengan lingkungan serta
pakan yang akan diberikan selama penelitian.
Cara Mencampur Ransum
Bahan pakan selain limbah hotel dicampur 5 hari sekali. Untuk ransum
yang mengandung limbah hotel, pencampuran dengan limbah hotel dilakukan 2
kali sehari yakni menjelang waktu pemberian pakan.
Pencegahan Penyakit
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [188]
Untuk mencegah timbulnya penyakit, sebelum percobaan dimulai semua
babi divaksinasi dengan menggunakan vaksin SE dengan dosis 1 cc per ekor
melalui suntikan intramuskuler. Disamping itu juga diberikan obat cacing
combatrin dengan dosis tablet per ekor yang diberikan melalui makanan.
Kandang babi dibersihkan setiap hari.
Prosedur Pemotongan Babi
Setelah pengamatan terhadap penampilan/pertumbuhan berakhir, sejumlah
babi dipotong untuk mengetahui komposisi fisik karkas yang dihasilkan. Jumlah
babi yang dipotong sebanyak 9 ekor. Setiap perlakuan dipotong 3 ekor babi. Babi
yang dipotong adalah babi yang berat badannya paling mendekati berat badan
rata-rata dalam masing-masing perlakuan.
Sebelum dipotong babi tersebut dipuasakan selama 12 jam, setelah itu
ditimbang untuk memperoleh berat potong. Pemotongan dilakukan dengan
memotong Vena Cava Anterior. Darah dikeluarkan, bulu dan kulit dibersihkan
dengan cara mencelupkan ke dalam air yang suhunya 700C-800C selama ± 5 menit
lalu digosok sampai kulit arinya terkelupas. Pembersihan sisa bulu dan kulit
arinya dilakukan dengan pisau, selanjutnya dibersihkan dengan air dingin. Organ-
organ di dalam rongga perut dan rongga dada dikeluarkan melalui sayatan pada
bagian linea mediana. Pemisahan bagian karkas dengan cara pemotongan kepala
pada articulatio atlantoocipitalis dengan otot pipi yang masih melekat pada
karkas, kaki depan dan kaki belakang yang bertaut pada karkas dipotong masing-
masing pada articulaatio carpometacarpeae dan articulatio tarso metataerseae.
Setelah semua lemak pelvis dan lemak abdominal dikeluarkan lalu karkas
ditimbang untuk mengetahui berat karkas segarnya (Pond dan Mener, 1974).
Membelah dan Memisahkan Karkas
Sebelum dilakukan pembelahan karkas terlebih dahulu bagin kepala
dipisahkan dengan jalan memotong tepat dibelakang telinga yaitu antara tulang
atlas dan sendi putar. Karkas digantung dengan jalan menusuk bagian tendo
ulnaris internal kemudian direntangkan sehingga dengan demikian karkas dalam
keadaan terbalik. Kemudian dibelah degan gergaji tepat ditengah-tengah dari arah
posterior ke anterior sehingga menjadi 2 bagian yang sama. Belahan karkas
ditimbang dengan menggunakan timbangan shalter, selanjutnya dipisahkan untuk
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [189]
mengetahui berat bagian daging , tulang dan lemak.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diukur antara lain: berat potong, berat karkas, persentase
karkas dan komposisi fisik karkas (daging, tulang dan lemak).
Analisis Statistika
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragamm selanjutnya bila antar
perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P< 0,05) dilanjutkan dengan uji jarak
berganda dari Duncan’s ( Steel and Torrie, 1989).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Berat Potong
Berat potong babi yang diberi ransum tanpa limbah hotel (P1) adalah
13,63 kg /ekor (Tabel 5). Babi yang diberi ransum mengandung 25% (P2) dan 50%
limbah hotel (P3) menghasilkan bobot potong 10,05 dan 35,95% lebih tinggi
dibandingkan dengan babi yang mendapat perlakuan P1 akan tetapi secara
statistik perbedaan tersebut tidak nyata (P>0,05). Berat potong babi yang
mendapat perlakuan P3 23,53% lebih tinggi dibandingkan P2 (P>0,05).
Berat Karkas
Rata-rata berat karkas babi yang mendapat perlakuan P1 adalah 8,18 kg
(Tabel 5), sedangkan babi yang mendapatkan perlakuan P2 dan P3 memiliki berat
karkas 9,78 dan 37,65 % lebih berat dibandingkan dengan babi yang mendapat
perlakuan P1 ( P>0,05). Berat karkas babi P3 25,3% lebih tinggi dibandingkan P2
(P>0,05).
Persentase Karkas
Persentase karkas babi antar ketiga perlakuan berbeda tidak nyata (P>0,05)
(Tabel 5). Persentase karkas babi yang mendapat perlakuan P1 adalah 59,37%.
Persentase karkas babi P2 dan P3 masing-masing 0,94 dan 1,23 % lebih tinggi
dari P1. Persentase karkas babi P3 lebih tinggi 0,28 % dari babi P2 ( P>0,05).
Tabel 5. Pengaruh Tingkat Penggunaan Limbah Hotel dalam Ransum terhadap Bobot Potong.
Berat karkas,dan Persentasa Karkas Babi Persilangan (Babi Bali × Babi Saddleback)
Produksi Karkas Perlakuan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [190]
P11) P2 P3 SEM2)
Berat Potong (kg) 13,63a 15,00a 18,53a 1,19
Berat Karkas (kg) 8,18a 8,98a 11,26a 1,54
Persentase Karkas (kg) 59,37a 59,93a 60,10a 2,72
Keterangan :
P1 = Ransum tanpa limbah hotel
P2 = Ransum mengandung 25 % limah hotel
P3 = Ransum mengandung 50 % limbah hotel 1) = nilai dengan huruf yang sama dalam baris yang sama berbeda tidak nyata ( P>0,05 ) 2) SEM = standar error of the treatment meant
Komposisi Fisik Karkas
Persentase daging dalam karkas babi yang mendapatkan ransum P1 adalah
52,93% (Tabel 6). Babi yang mendapatkan perlakuan P2 memiliki prosentase
daging karkas yang berbeda tidak nyata ( P>0,05)dengan babi yang mendapatkan
perlakuan P1. Persentase daging pada karkas babi yang mendapat perlakuan P3,
6,42 % lebih rendah dibandingkan babi P2 (P< 0,05).
Persentase tulang dalam karkas babi yang mendapatkan perlakuan P1 adalah
16,29 % (Tabel 6), sedangkan persentase tulang pada babi perlakuan P2 dan P3
masing-masing 8,41% dan 15,78% lebih rendah dibandingkan persentase tulang
babi yang mendapat perlakuan P1 (P<0,05). Persentase tulang pada karkas babi
perlakuan P3 8,04 % lebih rendah dari pada persentase tulang karkas babi P2
(P<0,05).
Tabel 6. Pengaruh Tingkat Penggunaan Limbah Hotel dalam Ransum terhadap Komposisi Fisik
Karkas Babi Persilangan (Babi Bali × Babi Saddleback)
Komposisi Fisik
Karkas
Perlakuan
SEM2) P1 P2 P3
Daging (%) 52,93a 52,89a 49,53b 0,69
Tulang (%) 16,29a 14,92b 13,72c 0,10
Lemak (%) 30,78a 32,19b 36,75b 0,69
Keterangan :
P1 = Ransum tanpa limbah hotel
P2 = Ransum mengandung 25 % limah hotel
P3 = Ransum mengandung 50 % limbah hotel 1) = nilai dengan huruf yang sama dalam baris yang sama berbeda tidak nyata ( P > 0,05 ) 2) SEM = standar error of the treatment meant
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [191]
Babi yang mendapatkan perlakuan P1 memiliki persentase lemak dalam
karkas 30,78 % (Tabel 6). Babi mendapat perlakuan P2 memiliki persentase
lemak karkas 4,58 % lebih tinggi dibandingkan P1 (P<0,05), sedangkan karkas
babi yang mendapat perlakuan P3 menghasilkan persentase lemak karkas 19 39%
lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan babi P1 dan 14,17% lebih tinggi
dibandingkan babi P2 (P>0,05).
Pembahasan
Berat potong babi yang dihasilkan dalam penelitian ini menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) diantara ketiga perlakuan. Ini berarti
penggunaan limbah hotel hingga 50% mampu menghasilkan berat potong yang
secara statistik berbeda tidak nyata dengan babi yang diberi ransum tanpa limbah
hotel. Perbedaan yang tidak nyata pada berat potong disebabkan karena
kandungan energi ransum antar ketiga perlakuan sama(Tabel 2), sehingga
dikonsumsi dalam jumlah yang sama, akibatnya menghasilkan berat potong yang
berbeda tidak nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Sosroamidjojo dan Soeradji
(1990) yang menyatakan bahwa pertumbuhan erat kaitanny dengan konsumsi
ransum, yang juga mencerminkan konsumsi gizinya. Secara kuantitatif ada
kecenderungan bobot potong babi yang mendapat perlakuan P2 dan P3 lebih
tinggi dibandingkan babi P1.Lebih tingginya berat potong babi P2 dan P3
disebabkan karena ransum pada P2 dan P3 mengandung limbah hotel yang
sebagian besar (62-82 %) sudah dimasak (Rika et al., 1996), sehingga mudah
dicerna dalam saluran pencernaan yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah
nutrien yang tersedia untuk mensintesis jaringan tubuh, akibatnya berat potong
yang dihasilkan menjadi lebih tinggi.
Babi yang diberi perlakuan P2 dan P3 menghasilkan persentase karkas yang
berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan babi P1. Hal ini disebabkan karena nutrien
yang dikonsumsi ternak didistribusikan secara proporsional di dalam tubuh,
akibatnya prosentase karkas yang dihasilkan sama. Perbedaan yang tidak nyata
pada persentase karkas dari ketiga perlakuan juga dikarenakan saat dipotong berat
babi pada ketiga perlakuan berbeda tidak nyata pula. Hal ini sesuai dengan
pendapat Pond dan Mener (1984), yang menyatakan bahwa makin tinggi berat
potong maka berat karkas yang dihasilkan semakin tinggi pula, sehingga pada
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [192]
berat potong berbeda tidak nyata akan menghasilkan berat karkas yang berbeda
tidak nyata pula.
Persentase daging dalam karkas babi antara P1dan P2 menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata tetapi persentase daging babi P3 nyata (P<0,05) lebih
rendah dibandingkan dengan persentase daging dalam karkas babi P1 dan P2.
Penurunan persentase daging dalam karkas babi P3 disebabkan karena persentase
lemak dalam karkas meningkat (Tabel 6). Hal ini sesuai dengan pendapat
Soeparno (1994) yang menyatakan bahwa peningkatan salah satu komponen
penyusun karkas akan mengakibatkan penurunan komponen penyusun karkas
lainnya.
Persentase tulang dalam karkas babi P2 dan P3 nyata (P<0,05) lebih rendah
dibandingkan dengan persentase tulang karkas babi P1. Rendahnya persentase
tulang pada babi P2 dan P3 disebabkan karena persentase lemak karkas babi P2
dan P3 lebih tinggi dari persentase lemak dalam karkas babi P1(Tabel 6).Sesuai
dengan pendapat Soeparno (1994) yang menyatakan bahwa peningkatan salah
satu komponen karkas akan mengakibatkan penuran komponen penyusun karkas
yang lain. Rendahnya persentase tulang dalam karkas babi P2 dan P3 erat
kaitannya dengan berat potong. Berat potong babi P2 dan P3 lebih tinggi
dibandingkan dengan berat potong babi P1 (Tabel 5) akibatnya persentase tulang
karkas babi P2 dan P3 lebih rendah dibandingkan babi P1. Hal ini sesuai dengan
pendapat Pond dan Manner (1984) yang menyatakan bahwa makin tinggi bobot
potong makin rendah persentase tulang dalam karkas.
Babi yang mendapat perlakun P2 dan P3 menghasilkan persentase lemak
karkas yang lebih tinggi dibandingkan dengan P1 (P<0,05). Hal ini disebabkan
karena kandungan lemak kasar pada ransum P2 dan P3 lebih tinggi dari
kandungan lemak kasar ransum babi P1 (Tabel 2 dan Tabel 4). Tingginya
kandungan lemak kasar ransum menyebabkan meningkatnya konsumsi energi
sehingga meningkatkan kandungan lemak tubuh, sesuai dengan pendapat Supnet
dan Alkantara (1978) yang menyatakan bahwa babi yang mengkonsumsi energi
tinggi akan disimpan di dalam hati dalam bentuk glikogen atau juga diubah
menjadi lemak yang disimpan di dalam tubuh. Tingginya persentase lemak dalam
karkas babi P2 dan P3 juga disebabkan karena kandungan serat kasar pada ransum
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [193]
P2 dan P3 lebih rendah dari ransum P1 akibatnya kecernaan ransum meningkat
dan pada gilirannya energi yang disimpan dalam bentuk lemak meningkat.
SIMPULAN
1. Penggunaan limbah hotel pada aras 25-50% dalam ransm tidak berpengaruh
pada berat potong, berat karkas dan persentasa karkas babi persilangan
(babi bali × Sadddleback)
2. Penggunaan limbah hotel pada aras 25% dalam ransum menghasilkan
persentasa daging karkas yang sama,dengan persentasa,tulang yang lebih
rendah dan persentasa lemak yang lebih tinggi dibandingkan kontrol
3. Penggunaan limbah hotel pada aras 50% dalam ransum menghasilkan
persentase daging dan tulang karkas yang lebih rendah, namun persentase
lemaknya lebih tinggi dibandingkan kontrol
SARAN
Perlu diteliti lebih lanjut dengan menggunakan babi yang barat badannya
lebih berat dan penelitian dalam kurun waktu yang lebih lama hingga mencapai
berat badan akhir 100kg.
DAFTAR PUSTAKA
Agriculture Research Council.1967. The Nutrient Requirement of Farm Livestock.
3 ed. Pigs.ARC London.
National research council,1970. Nutrient Requirement of Domestic Animal 2.
Nurient Requirement of Swine.8th Rev.Ed. NRC Washington, DC.
Parakkasi, A.1990. Ilmu Gizi Dan Makanan Ternak Monogastrik, Penerbit
Angkasa Bandung
Pond, W.G and J.H.Mener.1974.Swine Production In Tmperate And Tropical
Enviroment, 2 Ed-WH. Freeman and Co, Saw ransisco, USA
Rika, I K., T.G.O Susila, N.K. Candraasih dan I W. Redjonta, 1995. Potensi
Limbah Hotel Dalam Mendukung Usha Peternakan Babi di Kabupaten
Badung. Laporan Kegiatan Penelitian Kaji Tindak. Kerjasama LPM Unud
Dengan Pemda Tk.II Badung
Steel, R. G.D. and J.H.Trorrie 1989.Principle and Proscedures of Statistic.
Mc.Graw Hill. Book company Inc.New york, USA
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknolgi Daging. Gadjah Mada UniversityPress.
Yogyakarta
Supnet, M.G. and P.F. Alcantara. 1978. Common Feed In Stuffs For Swine. Pork
Production Manual.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [194]
DISTRIBUSI LEMAK KARKAS BABI PERSILANGAN SADDLEBACK
DENGAN BABI BALI YANG DIBERI RANSUM TRADISIONAL
DENGAN SUPLEMENTASI RUMPUT LAUT
Siti, Ni W., Ni M.Suci Sukmawati, Ni G. K. Roni, Ni M. Witariadi, N. N.
Candraasih K., dan I N. Ardika
Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan
Universitas Udayana Denpasar
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [195]
Penelitian telah dilakukan selama 12 minggu bertujuan untuk mengetahui
distribusi lemak karkas babi persilangan sadleback dengan babi bali yang diberi
ransum tradisional disuplementasi dengan rumput laut. Rancangan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) terdiri
dari tiga macam perlakuan ransum tradisional (T) yang masing-masing
disuplementasi dengan rumput laut (R) yaitu : 0% (T100 R0), 10% (T90R10) dan 20%
(T80R20) dalam bahan kering. Pada setiap perlakuan terdiri dari tiga kelompok
masing-masing diisi dua ekor babi persilangan sadleback dengan babi bali
sehingga jumlah babi yang digunakan 18 ekor dengan berat badan awal 4,13 kg.
Data yang didapatkan dianalisis dengan sidik ragam, jika diantara perlakuan
menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P <0,05) dilanjutkan dengan uji
Duncan`s (Steel dan Torrie, 1989). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
persentase lemak pada recahan loin dengan perlakuan (T100 R0) dan (T80R20)
masing-masing 45,47% dan 63,60% lebih rendah dibandingkan perlakuan (T100
R0), secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Demikian pula persentase lemak pada
recahan Boston Butt lebih rendah masing-masing 14,99% (P>0,05) dan 53, 00%
(P<0,05). Persentase lemak pada recahan Bacon Belly pada perlakuan T90R10
danT80R20 masing-masing 49,81% dan 71,61% lebih rendah dibandingkan dengan
perlakuan (T100 R0), secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Demikian juga
persentase lemak pada recahan Spare Ribs nyata lebih rendah masing-masing
26,79% dan 73,47% (P<0,05). Persentase pada recahan Ham, Jowl dan Picnic
Shoulder pada perlakuan T90R10dan T80R20 menunjukkan perbedaan yang tidak
nyata (P>0,05) dengan perlakuanT100 R0. Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa suplementasi rumput laut 10% sampai 20% dalam ransum
tradisional dapat menurunkan persentase lemak pada recahan Loin, Bacon Belly,
Boston Butt dan Spare Ribs pada babi persilangan sadleback dengan babi bali.
Kata kunci: ransum tradisional, rumput laut, distribusi lemak babi, persilangan
sadleback bali
FAT DISTRIBUTION ON THE CARCASS OF SADDLEBACK BALI
CROSSBRED PIGS FED WITH TRADITIONAL DIETS
SUPPLEMENTED WITH SEAWEED
ABSTRACT
An experiment was carried out for 12 weeks to study the fat distribution on the
carcass of saddleback x bali crossbred pigs fed with traditional diets supplemented
with seaweed. Completely randomized block design arrangement consisted of
three tratmentss on traditional diets (T) supplemented with seaweed (R) = 0%
(T100R0), 10% (T90R10) and 20% (T80R20) in dry matter basis respectively. Each
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [196]
treatment consested of three blocks, two crossbred pigs in each block, so that total
pigs used are 18 with an initial body weight of 4.13 kg. The data obtained was
analyzed with variance analysis and Duncan`s test (Steel and Torrie, 1989). Result
of the experiment showed that the fat percentage of the cuts Loin supplemented
with 10% and 20% seaweed (T90R10) dan (T80R20) was 45.47% and 63.60% lower
than those pigs T100R0 respectively, and the differences was statistically
significant (P<0.05). The fat percentage of the cuts of Boston Butt was
respectively 14.99% (P>0.05) and 53.00% lower (P<0.05). The fat percentage of
the cuts of Bacon Belly T90R10 and T80R20 was 49.81% and 71.61% lower than
dose pigs T100R0 resvectively, and the differences was statistically significant
(P<0.05). The fat percentage of the cuts of Spare Ribs was respectively 26.79%
and 73.47% lower (P<0.05). The fat percentage of the cuts of Ham, Jowl, and
Picnic Shoulder T90R10 and T80R20 was not statistically significant (P >0.05) than
dose pigs T100R0. It Could be concluded that supplementation with 10 to 20%
seaweed to traditional diets decreases fat percentage of the cauts of Loin, Boston
utt, Bacon Belly and Spare Ribs of saddleback bali crossbred pigs.
Key words : traditional diets. Seaweed, fat distribution on the carcass, saddleback
bali crossbred pigs
PENDAHULUAN
Jumlah lemak antara depo-depo dan distribusinya pada karkas adalah
penting dalam menilai mutu komersial karkas. Diatnara komponen-komponen
utama karkas (daging, tulang dan lemak), lemak adalah jaringan yang tumbuh dan
berkembang belakangan, dan penimbunannya di dalam tubuh meningkat bila
hewan telah mencapai dewasa tubuh.
Makanan yang mengandung lemak tinggi belakangan ini cenderung
dihindari oleh masyarakat, terutama masyarakat dari kalangan menengah ke atas.
Hal tersebut dihubungkan dengan meningkatnya kejadian penyakit jantung
koroner yang sering menimbulkan kematian. Daging dan produk hewan lainnya
sampai saat ini dicurigai sebagai sumber yang menyebabkan penyakit tersebut.
Melihat kenyataan demikian, banyak masyarakat mulai mengurangi konsumsi
daging dan produk hewan lainnya. Namun fenomena tersebut merupakan kondisi
yang kurang menguntungkan bagi pemerintah, mengingat daging sebagai sumber
protein hewani yang kaya akan asam - sam sensial masih sangat diperlukan bagi
masyarakat Indonesia.
Pada peternakan babi yang diusahakan secara tradisional di Bali,
pertumbuhan babi terlambat karena mutu pakannya rendah yang umumnya terdiri
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [197]
dari sisa-sisa dapur, daun-daunan, batang pisang, dedak padi dan bungkil kelapa
(Nitis, 1967). Untuk ternak babi ada tiga jenis asam amino esensial yang
dibutuhkan yaitu lisisn, metionin dan triptofan (Krider dan Carrol, 1971)
sedangkan pada pakan babi yang diusahakan secara tradisional, jumlah asam
amino tersebut sangat kurang. Untuk meningkatkan nilai gizi ransum tradisional
babi di Bali maka diusahan untuk mencari bahan-bahan pakan yang bermutu baik
dan harganya dapat dijangkau. Berbagai macam bahan yang dapat digunakan
salah satu diantaranya adalah rumput laut. Rumput laut merupakan bahan pakan
bermutu dengan kandungan asam amino esensialnya cukup tinggi. Bagi ternak
babi mutu protein merupakan kebutuhan yang esensial, sehingga secara mutlak
harus terdapat dalam ransum. Mutu protein dipengaruhi oleh kandungan asam-
asam aminonya. Menurut Pond dan Manner, 1974 rumput laut mengandung lisin
2,71%, metionin 0,73% dan triptopan 1,04% (berdasarkan bahan kering).
Beberapa hasil penelitian pemanfaatan rumput laut pada ransum babi
diantaranya Bagiada (1986) mendapatkan bahwa subsetitusi ransum tradisional
dengan rumput laut 7% dapat menurunkan kadar kolesterol dan daging babi.
Endang (1986) mendapatkan bahwa substitusi ransum tradisional babi bali dengan
rumput laut 7% dapat menurunkan trigliserida serum dan meningkatkan total
protein serum pada babi bali. Budaarsa (1997) melaporkan bahwa penambahan
rumput laut dan sekam padi pada taraf 10% mampu menurunkan lemak karkas
dan kolesterol daging babi landrace. Berdasarkan uraian di atas, masih
kurangnya data tentang pemanfaatan rumput laut untuk menurunkan lemak dalam
karkas babi persilangan saddleback dengan babi bali maka penelitian ini
dilakukan.
MATERI DAN METODE
Ternak yang digunakan adalah ternak babi persilangan saddleback dengan
babi bali sebanyak 18 ekor dengan berat badan 4,13 kg.
Kandang yang digunakan adalah kandang individu sebanyak 9 petak
dengan ukuran p l t masing-masing 2,21 1,37 0,93 cm.Lantai kandang
terbuat dari semen dan atap dari genteng. Setiap kandang dilengkapi dengan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [198]
tempat pakan terbuat dari karet ban berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter
47 cm dan tinggi 11 cm, dan tempat air minum terbuat dari semen dengan ukuran
26 26 13 cm.
Pakan yang diberikan adalah pakan tradisional terdiri dari 90% dedak padi,
7% buungkil kelapa dan 3% batang pisang, disuplementasi dengan rumput laut
0%, 10% dan 20% (berdasarkan bahan kering). Rumput laut yang digunakan dari
jenis Gracilaria spp, diperoleh di pasar Badung.
Tabel 1. Komposisi bahan penyususn ransum
Bahan-bahan (%) Perlakuan
T100R0 T90R10 T80R20
Rumput laut (Gracilaria spp) - 10 20
Ransum Tradisional (T)
- Dedak padi 90 81 72
- Bungkil kelapa 7 6,30 5,6
- Batang pisang 3 2,70 2,4
Total 100 100 100
Keterangan:
T100R0 = Ransum tradisional 100% tanpa suplementasi rumput laut
T90R10 = Ransum tradisional 90% dengan suplementasi rumput laut 10%
T80R20 = Ransum tradisional 80% dengan suplementasi rumput laut 20%
Tabel 2. Komposisi zat-zat makanan (% bahan kering)
Zat-zat makanan (1) Perlakuan
T100R0 T90R10 T80R20 Standar2
DM (%) 100 100 100 100
DE (kkal/kg 3555 3408 3260 3756
CP (%) 15,22 15,35 15,49 17,78
DE/CP ratio (%) 233,57 222,02 210,46 211,25
CF (%) 12,81 12,20 11,59 5-7 3
EE/Fat (%) 15,90 14,34 12,79 5,56-16,7
Ca (%) 0,12 0,34 0,56 0,67
P (%) 1,80 1,66 1,53 0,56
Ca/P ratio (%) 0,07 0,20 0,37 1,20
Keterangan: (1) Hasil perhitungan dari komposisi zat-zat makanan menurut Hartadi et al. (1990) (2) Standard N.R.C. (1973) (3) Standard A.R.C. (1967)
Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah rancangan acak
kelompok (RAL) yang terdiri dari tiga perlakuan ransum, setiap perlakuan terdiri
dari tiga kelompok (ulangan), masing-masing kelompok diisi dua ekor babi
persilangan saddleback dengan babi bali, sehingga jumlah babi yang digunakan
18 ekor. Ketiga perlakuan tersebut adalah ransum tradisional 100% tanpa
suplementasi rumput laut /0%(T100R0), ransum tradisional 90% disuplementasi
rumput laut 10% (T90R10) dan ransum tradisional 80% disuplementasi rumput laut
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [199]
20% (T80R20).
Variabel yang diamati dan cara pengukurannya
Setelah pemeliharaan selama 12 minggu, maka babi-babi tersebut
dipotong untuk diamati lemaknya. Karkas digantung untuk dibelah menjadi dua
bagian yang dilakukan membujur tepat pada pertengahan sepanjang tulang
belakang. Pemisahan masing-masing recahan karkas dilakukan menurut cara Pond
dan Maner (1974) yaitu : Ham, Loin, Boston Butt, Jowl, Bacon Bally, Spare Ribs
dan Picnic Shoulder. Tiap-tiap recahan karkas kemudian didiseksi untuk
memisah-misahkan komponen-komponen lemak subkutan dan lemak
intramuskuler, Masing-masing variabel yang telah didapatkan kemudian
ditimbang.
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila di antara
perlakuan menunjuuka perbedaan yang nyata (P <0,05) dilanjutkan dengan uji
jarak berganda Duncan`s (Steel dan Torrie, 1989).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase lemak Ham pada perlakuan ransum tradisional 100% tanpa
rumput laut (T100R0) adalah 4,90% (Tabel 3). Suplementasi rumput laut 10% dan
20% dalam ransum tradisional (T90R10dan T80R20) dapat menurunkan lemak Ham
masing-masing 0,61% dan 45,10%, namun secara statistik menunujukkan
perbedaan yang tidak nyata ( P>0,05). Demikian juga persentase lemak Ham,
pada perlakuan T80R20tidak nyata lebih rendah 44,76% (P >0,05) daripada
perlakuan T90R10.
Secara statistik persentase lemak Loin pada perlakuan
T90R10danT80R20nyata lebih rendah masing-masing 45,47% dan 63,60% (P <0,05)
dibandingkan dengan perlakuan T100R0(Tabel 3). Persentase lemak Loin pada
perlakuan T80R20tidak nyata lebih rendah 33,26% (P>0,05) dibandingkan dengan
perlakuan T90R10.
Persentase lemak Boston Butt pada perlakuan T90R1014,99% lebih rendah,
namun secara statistik berbeda tidak nyata (P >0,05), tetapi persentase Boston
Buttpada perlakuan T80R20nyata lebih rendah 53% dan 44,71% (P<0,05)
dibandingkan dengan perlakuan T100R0 dan T90R10(Tabel 3).
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [200]
Pada perlakuan T100R0persentase lemak Jowl adalah 1,71% (Tabel 3).
Persentase lemak Jowl pada perlakuan T90R10lebih tinggi 24,56% dan perlakuan
T80R20lebih rendah 21,64% dibandingkan dengan perlakuan T100R0 namun secara
statistik berbeda tidak nyata (P >0,05). Demikian pula persentase lemak Jowl pada
perlakuan T80R20tidak nyata lebih rendah 37,09% (P >0,05) dibandingkan dengan
perlakuan T90R10.
Tabel 3. Distribusi lemak dalam karkas babi Saddleback x babi bali yang diberi ransum tradisional
disuplementasi rumput laut
Variabel Perlakuan 1) SEM 2)
T100R0 T90R10. T80R20
Lemak Ham (%) 4,90 a 3) 4,87 a 2,69 a 0,80
Lemak Loin (%) 7,72 a 4,21 b 2,81 b 0,50
Lemak Boston Butt (%) 6,34 a 5,39 a 2,98 b 0,32
Lemak Jowl (%) 1,71 a 2,13 a 1,34 a 0,37
Lemak Bacon Bally (%) 7,89 a 3,96 b 2,24 c 0,36
Lemak Spare Ribs (%) 3,92 a 2,87 b 1,04 c 0,02
Lemak Picnic Shoulder (%) 3,12 a 1,97 b 1,50 a 0,94
Keterangan : 1) T100R0 = Ransum tradisional 100% tanpa suplementsi rumput laut
T90R10 = Ransum tradisional 90% disuplementasi rumput laut 10%
T80R20 = Ransum tradisional 80% disuplementasi rumput laut 20% 2) SEM adalah Standard Error of The Treatment Means 3) Nilai dengan huruf yang sama pada baris berbeda tidak nyata (P >0,05).
Persentase lemak Bacon Bally pada perlakuan T100R0adalah 7,89%
(Tabel 3). Pada perlakuan T90R10dan T80R20persentase lemak Bacon Bally masing-
masing 49,71% dan 71,61% lebih rendah, secara statistik berbeda nyata (P<0,05).
Demikian pula persentase Bacon Bally pada perlakuan T80R20nyata lebih rendah
43,44% (P <0,05) dibandingkan dengan perlakuan T90R10.
Persentase lemak Spare Ribs pada perlakuan T100R0adalah 3,12% (Tabel
3). Persentase lemak Spare Ribs pada perlakuan T90R10dan T80R20 masing-masing
26,79% dan 73,47% lebih rendah, secara statistik berbeda nyata (P<0,05)
dibandingkan dengan babi yang mendapat perlakuan T100R0. Demikian pula
persentase lemak Spare Ribs pada perlakuan T80R20 nyata lebih rendah 63,76%
(P <0,05) dibandingkan dengan perlakuan T90R10.
Pada perlakuan T100R0diadapatkan persentase Picnic Shoulder 3,12%
(Tabel 3). Persentase lemak Picnic Shoulder pada perlakuan T90R10 dan T80R20
tidak nyata lebih rendah masing-masing 36,86% dan 51,92% (P>0,05)
dibandingkan dengan perlakuan T100R0. Demikian pula persentase lemak Picnic
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [201]
Shoulder pada perlakuan T80R20 tidak nyata lebih rendah 23,86% (P>0,05)
dibandingkan dengan perlakuan T90R10.
PEMBAHASAN
Distribusi lemak dalam karkas meliputi lemak subkutan dan lemak
intramuskuler. Pada Tabel 3 terlihat bahwa persentase lemak pada recahan Loin,
Boston Butt, dan Spare Ribs pada babi yang mendapat perlakuan ransum
tradisional disuplementasi rumput laut 10% dan 20% (T90R10danT80R20) menurun
secara nyata. Menurunnya persentase lemak subkutan sampai tingkat suplmentasi
20% rumput laut, mungkin disebabkan oleh adanya kecenderungan penurunan
tingkat konsumsi ransum (lampiran1). Penurunan tersebut mungkin juga
disebabkan oleh kandungan energi tercerna dan lemak pada perlakuan T90R10dan
T80R20 (Tabel 2) lebih rendah dari pada ransum tanpa suplementasi rumput laut
(perlakuan T100R0), sehingga sangat kecil kemungkinan terjadinya kelebihan
energi. Kelebihan energi tersebut sebagian besar disimpan dalam bentuk lemak
subkutan di bawah kulit. Hal ini sesuai dengan pendapat Davis (1982)
menyatakan bahwa kehilangan energi yang didapat dari makanan akan disimpan
dalam bentuk lemak subkutan.
Suplementasi rumput laut dalam ransum tradisional mengakibatkan
pembentukan asam empedu dari tubuh oleh hati semakin meningkat. Komponen-
komponen rumput laut seperti algin, agar-agar dan karagenan dapat mengikat
asam empedu dalam usus kemudian membawa keluar bersama feses, sehingga
hati harus memproduksi asam empedu lebih banyak dari lemak tubuh untuk
mengganti asam empedu yang hilang (Heslet, 1996; dalam Budaarsa, 1997). Hal
inilah yang menyebabkan persentase lemak pada perlakuan suplementasi rumput
laut 10% dan 20% menurun (Tabel 3).
Persentase lemak pada recahan Ham, Jowl dan Picnic Shoulder pada babi
yang diberi ransum tradisional dengan suplementasi rumput laut 10% dan 20%
(T90R10dan T80R20) tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hal ini mungkin
disebabkan oleh babi yang digunakan dalam penelitian untuk ketiga perlakuan
mempunyai fase yang sama yaitu fase pertumbuhan. Jadi meskipun energi pada
ransum (Tabel 2) dan yang terkonsumsi (Lampiran 2) cenderung menurun,
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [202]
namun karena energi tersebut digunakan untuk pertumbuhan maka akibatnya
penimbunan lemak relatif sama. Hal ini sejalan dengan pendapat Soeparno (1994)
menyatakan bahwa fase pemeliharaan (umur) ternak khususnya babi berpengaruh
terhadap tingkat perlemakan tubuh, semakin tua umur ternak maka tingkat
perlemakan tubuh semakin tinggi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa peningkatan suplementasi
rumput laut dalam rnsum tradisional babi saddleback babi bali dari 10% menjadi
20% dapat menurunkan persentase lemak pada recahan Loin, Boston Butt, Bacon
Belly dan Spare Ribs, namun persentase lemak pada recahan Ham, Jowl dan
Picnic Shoulder tidak dipengaruhi.
Saran
Supplementasi 10 sampai 20% dalam ransum tradisional babi saddleback
babi bali bisa diterapkan dimasyarakat karena dapat menurunkan persentase lemak
pada recahan Loin, Boston Butt, Bacon Belly dan Spare Ribs.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor, Ketua LPPM Unud atas
dana yang diberikan, dekan beserta staf, ketua Lab. Nutrisi dan Makanan Ternak,
Fapet Unud atas fasilitas yang diberikan, sehingga penelitian dapat dilaksanakan
sesuai dengan rencana.Terima kasih disampaikan kepada Ibu Ir. Ni N. Sutji SU
atas bimbingan sehingga penelitian dan penelulisa artikel dapat diselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA.
Agriculture Research Council (ARC). 1967. The Nutrient Requirement of Farm
Livstock. 3. Pigs. ARC : London
Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Penerbit PT. Gramdia Jakarta.
Bagiada, N.A. 1986. Pengaruh Substitusi ransum tradisional dengan rumput laut
terhadap kadar kolesterol darah dan daging babi babi bali yang sedang
tumbuh. Majalah Ilmiah Universitas Udayana Th. XIII no. 14 Hal. 90, 94.
Budaarsa, K. 1997. Kajian penggunaan rumput laut dan sekam padi sebagai
sumber serat dalam ransum untuk menurunkan kadar lemak karkas dan
kolesterol daging babi. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [203]
Davis, H Lloyd. 1982. Nutrition and Growth Manual Published bay the Australian
University International Development Program (AUIDP).
Endang, L.P.C. 1986. Pengaruh substitusi ransum tradisional dengan rumput laut
terhadap kadar trigliserida dan total protein serum babi bali yang sedang
tumbuh. Majalah Ilmiah Universitas Udayana. Th XIII no. 14 Hal. 136.
Hartadi,H., S. Reksohadiprodjo dan A.D. Tillman. 1990. Tabel Komposisi Pakan
untuk Indonesia. Gajah Mada University Press.
Krider, J.L. and W.E. Carrol. 1971. Swine Production 4th ED. Tata McGraw-Hill
Pub. Co. Ltd. BombayNew Delhi.
NationalAcademy of Science. 1973. Nutrient Requirements of Domestic Animals
2 Nutrient Requirements of Swine. 8 th ED. N.R.C. Washington, DC.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. GajahMadaUniversity Press. UGM
Yoyakarta.
Steel, R.G.D. and Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Penerbit PT
Gramedia Jakarta.
Lampiran 1. Pertumbuhan Babi Saddleback Babi Bali Fase “Grower” yang Diberi Ransum
Tradisional Dengan Suplementasi Rumput Laut Selama 12 Minggu
Variabel Perlakuan SEM2)
T100R01) T90R10 T80R20
Berat badan awal (kg/ekor) 4,18 3) 4,12 a 4,10 a 0,37
Berat badan pada minggu ke 12 (kg/ekor) 10,47 a 8,90 a 8,07 a 0,72
Pertambahan berat badan (kg/ekor) 6,28 a 4,78 a 3,97 a 0,82
Konsumsi ransom (kg DM/ekor) 25,12 a 21,26 a 17,22 a 2,96
Konversi ransum 4,50 a 4,49 a 4,33 a 0,74
Protein Efficiency Ratio 1,69 a 1,47 a 1,49 a 0,22
Lampiran 2. Pengaruh Suplementasi Rumput Laut Dalam Ransum Tradisional Terhadap
Konsumsi Zat-Zat Makanan Selama 12 Minggu
Variabel Perlakuan SEM2)
T100R01) T90R10 T80R20
Konsumsi energi (Mcal/ekor) 89,31 a 3) 72,46 a 55,20 a 14,24
Konsumsi protein kasar (kg/ekor) 3,82 a 3,26 a 2,67 a 0,45
Konsumsi serat kasar (kg/ekor) 3,22 a 2,59 a 2,00 a 0,37
Konsumsi lemak (kg/ekor) 3,99 a 3,05 a 2,20 a 0,43
Konsumsi kalsium (kg/ekor) 0,03 a 0,07 ab 0,10 b 0,013
Konsumsi fosfor (kg/ekor) 0,45 a 0,36 a 0,26 a 0,05
Konsumsi Lysin (kg/ekor) 0,14 a 0,16 a 0,17 a 0,02
Konsumsi Methionin (kg/ekor) 0,08 a 0,08 a 0,07 a 0,01
Konsumsi Tryptophan (kg/ekor) 0,03 a 0,04 a 0,05 a 0,007
Keterangan: 1) T100R0 : Ransum tradisional 100% tanpa suplementasi rumput laut.
T90R10 : Ransum tradisional 90% dengan suplementasi rumput laut 10%.
T80R20 : Ransum tradisional 20% dengan suplementasi rumput laut 20%. 2) SEM “Standart Error of The Treatment Means” 3) Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama berbeda tidak nyata (p>0,05)
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [204]
SISTISERKOSIS PADA BABI DI BALI
3.
KESEHATAN TERNAK
BABI
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [205]
Nyoman Sadra Dharmawan1, Kadek Swastika2, I Ketut Suardita3, I Nengah
Kepeng3,Yasuhito Sako4, Munehiro Okamoto5, Toni Wandra6, dan Akira Ito4 1Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana;2Fakultas Kedokterana Universitas
Udayana;3Dinas Peternakan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem; 4Asahikawa Medical
University,Japan; 5Kyoto University, Japan; 6Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr Sulianti
Saroso, Kementerian Kesehatan Indonesia.
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
KejadiansistiserkosispadababidantaeniasiskarenaTaeniasoliumtelah lama
tidakdilaporkan di Bali.Padaawal 2011, ditemukanduakasustaeniasisT. soliumpada
orang yang berasaldariKecamatanKubu,
KabupatenKarangasem.Surveiserologismenggunakanmetode ELISA
kemudiandilakukanterhadapbabi-babi yang dipelihara di wilayahtersebut.Antigen
yang
digunakantelahdimurnikandanspesifikuntukdeteksisistiserkosispadamanusia.Surve
idilakukantigakali,pertama(September2011)terhadap 64 sera babi;kedua(Januari
2013)terhadap 164 sera babi; danketiga(September 2013),terhadap 101 sera
babi.Hasilpemeriksaanmenunjukkanbahwa13,37% (44/329) sera yang
diperiksapositifsistiserkosis.Ketikadilakukannekropsipadalimababi
yangserologispositif, ditemukanCysticercuscellulosaemenyebar di seluruhkarkas,
otak, mata, danlidah. Selainitu,
ditemukanjugaCysrticercustenuicollispadamesenterium.DitemukannyaC.
tenuicollis, menunjukkanbahwaantigen yang
digunakanmasihmemberireaksisilang.Studilebihlanjutdiperlukanuntukdeteksisistis
erkosispadababi di wilayahlainnya di Bali. Di sisilain, walaupun antigen yang
digunakanuntuk survey
initelahterbuktibermanfaatuntukdeteksisistiserkosispadamanusia,
masihperludilakukanevaluasiketikaditerapkanuntuk survey padababi.
PIG CYSTICERCOSIS IN BALI
ABSTRACT
Incidences of cysticercosis in pigs and Taeniasoliumtaeniasis have not been
reported for years in Bali. In early 2011, we found two cases of T. soliumtaeniasis
in people originating from Kubu district, Karangasem regency. Serological
surveys using the ELISA method then carried out on pigs reared in the region.
The antigen used was purified and specific for the detection of cysticercosis in
humans. The survey was conducted three times, the first (September 2011) for 64
sera of pigs; the second (January 2013) for 164 pig sera; and the third (September
2013), for 101 pig sera. The results of sera tested showed that 13.37% (44/329)
positive for cysticercosis. When necropsies were performed on five of
serologically positivepigs, Cysticercuscellulosae found spread throughout the
carcass, brain, eyes, and tongue. In addition there are also Cysrticercustenuicollis
on the mesentery. The discovery of C. tenuicollis showed that the antigen used
was cross-reaction. Further studies are needed for the detection of cysticercosis in
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [206]
pigs in other areas in Bali. On the other hand, although the antigen used for this
survey has been shown to be beneficial for the detection of cysticercosis in
humans, still need to be evaluated when applied to the survey on pigs.
PENDAHULUAN
Sistiserkosis pada babi merupakan penyakit infeksi yang disebabkanfase
larva dari cacing pita Taenia solium(Cysticerus cellulosae). Babi bertindak
sebagai inang antara untuk kelangsungan hidup C. cellulosae. Manusia sebagai
inang sejati untuk fase dewasa dari T. solium. Cacing pita ini dapat
mengakibatkan taeniasis, salah satu penyakit parasit zoonosis yang berbahaya
(WHO, 2011; Borkataki et al., 2012). Penyakit sisitiserkosis dan taeniasis
termasuk penyakit tropis yang sering terabaikan/neglected disease(Weka et al.,
2013).
Sistiserkosis pada babi menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan
akibat pengapkiran karkas yang terinfeksi (Hafeez et al., 2004; Boa et al., 2006).
Manusia juga dapat terinfeksi sistiserkosis, karena tidak sengaja menelan telur T.
solium yang dapat berasal dari luar tubuh atau dari fesesnya sendiri yang
mengandung telur tersebut. Neurosistiserekosis (NCC) pada manusia, yaitu
infeksi C. cellulosae di otak, merupakan salah satu penyakit yang ditakuti, karena
dapat menyebabkan kematian (Ito et al., 2006; Lescano et al., 2007).
Sistiserkosis pada babi terjadi karena babi mengonsumsi makanan atau
minuman yang tidak higienis yang mengandung telur T. solium. Di dalam tubuh
babi, cysticercus akan menyebar ke otot-otot di seluruh karkas, jantung, hati,
limfe, lidah, mata, dan organ lain (Borkatake et al., 2012). Daur hidup parasit ini
akan berlangsung awet di wilayah komunitas pedesaan dengan sanitasi buruk,
tidak ada pemeriksaan daging, dan dimana babi dipelihara secara bebas tidak
dikandangkan (Molyneux et al., 2011; WHO, 2011).
Sistiserkosis pada babi dan taeniasis karena T. solium telah lama tidak
dilaporkan di Bali. Pada awal 2011, ditemukan dua kasus taeniasis T. solium pada
orang yang berasal dari Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali (Swastika
et al., 2011). Keberadaan sistiserkosis pada babi di wilayah tersebut dianggap
penting untuk diketahui, lalu dilakukanlah studi ini. Survei dikerjakan dengan uji
ELISA untuk mengetahui seroprevalensi dan konfirmasi keberadaan C. cellulosae
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [207]
pada beberapa babi yang serumnya terdeteksi positif.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Studi seroprevalensi terhadap kejadian sistiserkosis pada babi dilakukan di
Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali, pada September
2011, Januari 2013, dan September 2013. Penetapkan lokasi berdasar informasi
kejadian taeniasis pada orang (Swastika et al., 2011). Karangasem terletak di
bagian timur Provinsi Bali yang mayoritas penduduknya berpenghasilan rendah.
Secara geografis, Karangasem terletak pada posisi S8o41'37,8" andE54o9.8'
dengan luas wilayah sekitar 839.54km2, atau kira-kira 14.90% dari luas Pulau
Bali.
Pengambilan Sampel Serum
Sebanyak 329 serum babi diambil dari babi-babi yang dipelihara oleh
penduduk lokal, di tiga banjar: 1) Banjar Pangeno, 2) Banjar Batugiling, dan 3)
Bahel, Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Darah babi
diambil dari vena jugularis dengan menggunakan syringe 5 ml. Darah didiamkan
sekitar tiga jam, lalu disentrifus. Serum yang terbentuk dipipet, dimasukkan ke
dalam eppendorf dan disimpan dalam suhu minus 20oC, sebelum dilakukan
pemeriksaan dengan metode ELISA.
Pemeriksaan ELISA
Antigen yang digunakan berupa nativeglycoproteins dari cairan kista C.
cellulosae yang telah dimurnikan (Ito et el., 1998). Untuk coating antigen ke
dalam 96 well microplates (Maxisorp, Nunc, Copenhagen), digunakan 1 µg/ml
glycoproteins (Sako et al., 2000; Sato et al., 2003). Pengenceran sampel serum
babi sebagai antibodi primer 1:100 dan protein G sebagai antibodi sekunder
1:4000. Uji ini menggunakan satu kontrol positif dari kasus sistierkosis dan satu
kontrol negatif (Ito et al., 1999; Sato et al., 2003).
Konfirmasi Hasil ELISA dan Nekropsi
Konfirmasi hasil pemeriksaan serum babi yang menunjukkan serologis
postif dilakukan dengan cara membeli babi yang terindikasi, lalu dilakukan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [208]
nekropsi. Nekropsi pada studi ini dilakukan terhadap 5 ekor babi dengan metode
pemeriksaan kesehatan daging yang telah lazim digunakan (Dharmawan et al.,
2011).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeriksaan Serologi
Hasil pemeriksaan terhadap329 serum babi yang berasal dari babi-babi
yang dipelihara di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali,
diketahui bahwa jumlah sampel yang menunjukkan reaksi seropositif terhadap C.
celulosae sebesar 44 (13,37%). Prevalensi tertinggi ada di Banjar Batugiling
(18,90%), diikuti Banjar Pangeno (9,37%) dan yang terendah di Banjar Bahel
6,93% (Tabel 1).
Tabel 1, menunjukkan bahwa seropositif terhadap C. cellulosae ditemukan
pada babi-babi yang dipelihara oleh penduduk di tiga banjar yang menjadi lokasi
studi. Hal ini sejalan dengan laporan Swastika et al. (2011; 2012), yang
mengungkapkan di daerah tersebut ditemukan kasus ocular-cysticercosis pada
seorang anak perempuan dan 3 orang sebagai karier yang terinfeksi T. solium.
Sistiserkosis dapat menjadi masalah serius bila setiap orang melakukan defekasi
di sembarang tempat yang menyebabkan penyebaran telur parasit serta kontak
antara babi dan feses manusia (Assa et al., 2012).
Tabel 1. Seroprevalensi Serum Babi di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem
No. Lokasi/Banjar Sampel
(n)
Hasil Prevalensi
(%)
Pengambilan
Sampel Positif Negatif
1. Pangeno 64 6 58 9,37 September 2011
2. Batugiling 164 31 133 18,90 Januari 2013
3. Bahel 101 7 94 6,93 September 2013
Total 329 44 285 13,37
Sudah lama tidak ada laporan kasus sistiserkosis pada babi di Bali.
Kejadian terakhir dilaporkan 24 tahun yang lalu oleh Dharmawan et al., (1992).
Melalui pemeriksaan kesehatan daging yang dilakukan selama 3 bulan pada 1990,
Dharmawan et al. (1992) menemukan 0,012% (7/5630) babi-babi yang dipotong
di Rumah Potong Hewan Denpasar teerinfeksi berat C. cellulosae. Empat dari
tujuh babi yang terinfeksi tersebut, ternyata berasal dari Kabupaten Karangasem.
Belakangan ini, kasus taeniasis karena T. solium di Bali memang jarang
dilaporkan (Ito et al., 2004; Sudewi et al., 2008; Wandra et al., 2011).
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [209]
Angka seroprevalensi yang ditemukan pada studi ini (13,37%), itu berarti
lebih rendah bila dibandingkan dengan seroprevalensi sistiserkosis pada babi di
Kabupaten Jayawijaya, Papua, sebesar 40,54% yang dilaporkan oleh Assa et al.,
(2012). Demikian halnya dengan laporan Pondja et al. (2010) yang menyatakan
bahwa 34,9% dari 231 sampel serum babi yang berasal dari Distrik Angonia,
Mozambique positif porcine-cysticercosis. Namun, angka prevalensi pada studi
ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan prevalensi sistiserkosis pada babi di
Assam, India sebesar 9,5% (Borkataki et al., 2012).
Menurut Goussanou et al. (2013) sistiserkosis pada babi mengakibatkan
problem kesehatan masyarakat yang serius di negara-negara yang sedang
berkembang. Kejadian sistiserkosis dan taeniasis karena T. solium tersebar di Asia,
Afrika, Amerika Latin. Flisser et al. (2003) melaporkan prevalensi sistiserkosis di
negara-negara Amerika Latin seperti Ekuador, Guatemala, dan Bolivia berturut-
turut sebesar 7,5%; 14%; dan 38,9%. Sementara Rajshekar et al. (2003)
mengemukakan prevalensi sistiserkosis di Cina, Vietnam, India, dan Nepal
berturut-turut 0,8-40%; 0,04-0,9%; 9,3%; dan 32,5%.
Konfirmasi dan Nekropsi
Pada studi ini dilakukan konfirmasi terhadap hasil pemeriksaan serologi
ELISA yang menunjukkan seropoistif. Konfirmasi dengan cara menelusuri dan
melakukan wawancara ke pemilik babi yang serumnya postif. Dari 44 sampel
yang postif, lima babi (11,36%) yaitu P129, P131, P133, P144, dan P146 dibeli
dan dilakukan nekropsi. Hasil nekropsi menunjukkan dua babi (40%) terinfeksi C.
celulosae. Kista ditemukan menyebar di seluruh karkas, otak, mata, dan lidah.
Selain itu, ada dua babi (40%) terinfeksi campuran C. celulosae dan C. tenuicollis,
dan satu ekor lainnya (20%) hanya positif C tenuicollis yang ditemukan
menggantung pada mesenterium (Tabel 2).
Pemeriksaan post mortem pada studi ini dilakukan secara menyeluruh di
seluruh karkas dan organ viseral. Pada kasus yang berat, C. cellulosae ditemukan
menyebar di seluruh karkas, sekitar 9-15 kista ditemukan dalam setiap sayatan
otot (Gambar 1). Kista juga ditemukan pada beberapa organ, seperti otak
(Gambar 2) dan mata (Gambar 3). Pada studi ini juga ditemukan C. tenuicollis
yang menggantung pada mesenterium (Gambar 4). Menurut beberapa peneliti,
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [210]
otot di daerah paha, leher, bahu, dan lidah merupakan tempat predileksi umum
dari C. cellulosae(de Aluja et al., 1996; Selvam et al., 2004; Sharma et al., 2004;
Prassad et al., 2006).
Tabel 2. Konfirmasi ELISA Seropositif C. cellulosae dengan Hasil Nekropsi
No. Sampel Babi Hasil Nekropsi
Positif Cysticercus
Lokasi Kista
Kode Sex
1. P129 Jantan C. cellulosae otot paha, masseter
2. P131 Jantan C. tenuicollis Mesenterium
3. P133 Jantan C. cellulosae dan C.
tenuicollis
otot paha, mesenterium
4. P144 Jantan C. cellulosae dan C.
tenuicollis
otot paha, masseter, mesenterium
5. P146 Jantan C. cellulosae seluruh karkas, otak, mata, lidah,
jantung, paru-paru, hati.
Gambar 1. C. cellulosae pada karkas babi Gambar 2. C. cellulosae pada otak babi
Gambar 3. C. cellulosae pada mata babi Gambar 4. C. tenuicollis pada mesenterium
babi
Sharmaet al., (2004) lebih lanjut melaporkan bahwa tempat predileksi
utama dari C. cellulosae adalah otot paha, otot forequarters, dan otot leher.
Ocular andorbitalcysticercosis atau infeksi C. cellulosae pada mata juga
dilaporkan pada babi (Cardenas et al., 1984). Menurut Subaharet al. (2001) dan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [211]
Prasadet al. (2006), pemeriksaan lidah kurang sensitif dibandingkan pemeriksaan
otot orbitaluntuk diagnosissistiserkosis pada babi. Pada kasus infeksi yang berat,
C. cellulosae juga dapat terdeteksi pada jantung, hati, diafragma, ginjal, dan
oesophagus (Sharma et al., 2004).
Dari hasil studi ini, dapat dinyatakan bahwa uji serologi ELISA yang
diterapkan cukup efektif dipakai mendeteksi kejadian sistiserkosis pada babi
secara pre-mortum. Oleh karena itu, studi lebih lanjut diperlukan untuk deteksi
sistiserkosis pada babi di wilayah lainnya di Bali. Babi-babi yang terdeteksi
seropositif, pada konfirmasi lanjut tidak hanya diketahui terinfeksi oleh C.
cellulosae saja, tetapi juga oleh C. tenuicollis.
SIMPULAN
Dari hasil studi ini dapat dibuat beberapa kesimpulan seperti berikut.
1. Hasil pemeriksaan terhadap329 serum babi yang diperoleh dari Desa Dukuh,
Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali, menunjukkan reaksi
seropositif terhadap C. celulosae sebesar 44 (13,37%).
2. Prevalensi tertinggi ada di Banjar Batugiling (18,90%), diikuti Banjar
Pangeno (9,37%) dan yang terendah di Banjar Bahel 6,93%.
3. Hasil nekropsi pada lima babi yang dinyatakan seropositif, ditemukan
adanyaC. cellulosae(menyebar di seluruh karkas, otak, mata, dan lidah) danC.
tenuicollis(pada mesenterium).
4. Ditemukannya C. tenuicollis, menunjukkan bahwa antigen yang digunakan
masih memberi reaksi silang.
5. Studi lebih lanjut diperlukan untuk deteksi sistiserkosis pada babi di wilayah
lainnya di Bali.
6. Walaupun antigen yang digunakan untuk studi ini telah terbukti bermanfaat
untuk deteksi sistiserkosis pada manusia, masih perlu dilakukan evaluasi
ketika diterapkan untuk survei pada babi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Studi ini merupakan salah satu bagian dari Proyek Kerjasama Asahikawa
Medical University dengan Universitas Udayana dengan dukungan dana dari
Grant-in-AidforScientificResearch dari the Japan Society
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [212]
forthePromotionofScience(JSPS)(21256003 kepada A.Ito;21406009 kepada
M.Okamoto),theAsia/AfricaScience Platform Fund from JSPS (2006-2008, 2009-
2011) dantheSpecial Cooperation FundforPromoting Science and Technology,
Ministry of Education, Japan (MEXT) (2010-2012) kepadaA.Ito.
DAFTAR PUSTAKA
Assa I, Satrija F, Lukman DW, Dharmawan NS, Dorny P. 2012. Faktor resiko
babi yang diumbar dan pakan mentah mempertinggi prevalensi
sistiserkosis. J Vet. 13 (4): 345-352.
BoaME, Mahundi EA,Kassuku AA, WillinghamIIIAL, Kyvsgaard NC. 2006.
Epidemiological survey ofswine cysticercosis using ante-mortemand
post-mortem examinationtests inthesouthern highlands ofTanzania. Vet
Parasitol.139: 249-255.
Borkataki S, Islam S, Borkataki MR, Goswami P, Deka DK. 2012. Prevalence
of porcine cysticercosis in Nagaon, Morigaon and Karbianglong district
of Assam, India. Vet World. 5 (2): 86-90.
Cardenas RR, Celis RR, HelnandezJP. 1984.Ocularandorbital cysticercosisin
hogs. Vet Pathol. 21: 164-167.
deAlujaAS, Villalobos ANM, PlancarteA, RodarteLF, HernandezM, Sciutto E.
1996.Experimental Taenia soliumcysticercosis in pigs: characteristics
oftheinfectionand antibody response. VetParasitol. 61: 49-59.
Dharmawan NS, SiregarEAA, HeS, Hasibuan KM. 1992.Cysticercosis ofpigs in
Bali. Hemera Zoa. 75: 25-37.
Dharmawan NS, Swastika K, Suardita IK, Kepeng IN, Sako Y, Okamoto M,
Yanagida T, Wandra T, Ito A. 2011. Case report: a massive infection
with Taenia solium cysticerci in a pig, Bali, Indonesia. Paper presented
in JITMM 2011. “One World-One Health”. Bangkok, 1-2 December
2011.
FlisserA, Sarti E, Lightowlers, M., Schantz P. 2003.Neurocysticercosis: regional
status, epidemiology, impact and control in the Americans. Acta
Tropica. 87: 43-51.
Goussanou JSE, Kpodekon TM, Saegerman C, Azagoun E, Youssao AKS,
Faroungou S, Preat N, Gabriel S, Dorny P, KOrsak N. 2013. Spatial
distribution and risk factors of porcine cysticercosis in southern Benin
based meat inspection record. IRJM. 4(8); 188-196.
HafeezM, ReddyCVS,Ramesh B, Devi DA, ChandraMS.
2004.Prevalenceofporcine cysticercosis insouthIndia. JParasiticDis.28:
118-120.
Ito A, PlancarteA, MaL,KongY,FlisserA, ChoS-Y,Liu Y-H,
KamhawiS,Lightowlers MW, SchantzPM. 1998.Novel antigens
forneurocysticercosis:simplemethodfor
preparationandevaluationforserodiagnosis.Am JTrop Med Hyg.59: 291-
294.
ItoA, PlancarteA, Nakao M, NakayaK,IkejimaT, Piao ZX, KanazawaT,Margono
SS. 1999. ELISAandimmunoblotusing purifiedglycoproteins
forserodiagnosis ofcysticercosis in pigsnaturally infectedwithTaenia
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [213]
solium. JHelminthol.73: 363-365.
Ito A, WandraT, Yamasaki H, Nakao M, SakoY,NakayaK, Margono SS, Suroso
T, Gauci C,Lightowlers MW. 2004.Cysticercosis/taeniasis inAsia
andthePacific. Vector-Borne ZoonoticDis. 4: 95-107.
ItoA,TakayanaguiMO,SakoY,SatoMO,OdashimaNS,YamasakiH,NakayaK,Nak
ao M.
2006.Neurocysticercosis:clinicalmanifestation,neuroimaging,serologyan
dmolecular
confirmationofhistopathologicspecimens.SoutheastAsianJTropMedPubli
cHealth.37 (Suppl 3): 74-81.
Lescano AG, GarciaHH,Gilman RH, GuezalaMC, TsangVCW, Gavida CM,
Rodriguez S, Moulton LH,Green JA, Gonzales AE, Thecysticercosis
working groupin Peru. 2007. Swine cysticercosis hotspots surrounding
Taeniasoliumtapewormcarriers. Am JTrop Med Hyg.76: 376-383.
MolyneuxD, HallajZ, Keusch TK, McManus DP, Ngowi H, Cleaveland
S,Ramos-Jimenez P,GotuzzoE,KarK,SanchezA,
GarbaA,CarabinH,BassiliA,Chanignat CL,MeslinFX, AbushamaHM,
Willingham AL,KioyD. 2011.Zoonoses andmarginalisedinfectious
diseases ofpoverty:Wheredo westand? Parasit Vectors.4: 106.
Pondja, A., Neves, L., Mlangwa, J.,Afonso, S., Fafetine, J., Willingham III, A.L.,
Thamsborg, S.M., Johansen, M.V. 2010. Prevalence and Risk Factors
ofPorcine Cysticercosisin Angonia District,
Mozambique.PLoSNeglTropDis4(2):e594.doi:10.1371/journal.
pntd.0000594
Prasad KN, ChalwaS, Prasad A, Tripathi M, Husain N, GuptaRK. 2006.Clinical
signs for identificationofneurocysticercosis inswinenaturally
infectedwithTaenia solium. Parasitol Int.55: 151-154.
Rajshekhar, V, Joshi, DD, DoanhNQ, Van De N, Xiaonong Z. 2003. Taenia
solium taeniosis/cysticercosis in Asia: epidemiology impact and issues.
Acta Tropica. 87: 53-60.
Sako Y, Nakao M,IkejimaT, Piao ZX,NakayaK,ItoA. 2000.Molecular
characterizationand diagnosticvalueofTaenia solium low-molecular-
weightantigengenes. JClin Microbiol.38: 4439-4444.
Sato MO, Yamasaki H, Sako Y, Nakao M, NakayaK, PlancarteA, KassukuAA,
DornyP, Geerts S, Ortiz WB, Hashiguchi Y,ItoA. 2003.
Evaluationoftongueinspectionandserology fordiagnosis
ofTaeniasoliumcysticercosis inswine:usefulness ofELISA using
purifiedglycoproteins andrecombinantantigens. Vet Parasitol.111: 309-
322.
Selvam P, D’SouzaPE,Jagannath MS. 2004.Serodiagnosis ofTaenia solium
cysticercosis in pigs by indirecthaemagglutinationtest. Veterinarski
Arhiv.74: 453-458.
SharmaR, SharmaDK, Juyal PD, SharmaJK. 2004.Epidemiology ofTaenia
solium cysticercosis in pigs ofNorthernPunjab, India. JParasiticDis.28:
124-126.
SubaharR, Hamid A, PurbaW, WandraT, Karma C, Sako Y, Margono SS,
CraigPS,Ito A. 2001. Taenia soliuminfectioninIrianJaya (WestPapua),
Indonesia:a pilot serological survey ofhumanand porcine cysticercosis
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [214]
inJayawijaya District. Trans R SocTrop Med Hyg.95: 388-390.
Sudewi AAR, WandraT,ArthaA, NkouawaA,Ito A. 2008.Taenia
soliumcysticercosis in Bali, Indonesia:serology and mtDNA analysis.
Trans R SocTrop Med Hyg.102: 96-98.
Swastika K., Wandra T, Sudarmaja M, Dharmawan NS, Sako Y, Yanagida T,
Okamoto M, Sutisna P, Ito A. 2011. Current situation of taeniasis and
cysticercosis in Bali, Indonesia. Paper presented in JITMM 2011. “One
World-One Health”. Bangkok, 1-2 December 2011.
SwastikaK, Dewiyani CI, YanagidaT, SakoY, SudarmajaM, SutisnaP, WandraT,
Dharmawan NS, NakayaK, Okamoto M,ItoA. 2012. Anocular
cysticercosis in Bali, Indonesia caused by Taenia soliumAsiangenotype.
Parasitol Int. 61(2); 378-380.
WandraT, Sudewi AAR,SwastikaIK, SutisnaP, Dharmawan NS, Yulfi H, Darlan
DM, KaptiIN, SamaanG, Sato MO, Okamoto M, Sako Y,ItoA. 2011.
Taeniasis/cysticercosis in Bali, Indonesia. Southeast Asian JTrop
MedPublicHealth.42: 793-802.
Weka RP, Ikeh E, Kamani J. 2013. Seroprevalence of antibodies (igG) to
Taenia solium among pig reraes and associated risk factors in Jos
metropolis, Nigeria. J Infect Dev Ctries. 7 (2): 067-072.
WHO2011.TheControlofNeglectedZoonoticDiseases.WHO/HTM/NTD/NZD/201
1.1.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [215]
DAUN KELOR (Moringa oleifera) SEBAGAI FEED SUPLEMEN UNTUK
MENINGKATKAN DAYA TAHAN BABI TERHADAP INFEKSI
PARASIT INTESTINAL
Nyoman Adi Suratma, Hapsari Mahatmi, IBK Ardana dan I N. Kertha
Besung
Fakultas Kedokteran Hewan Unud
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh daun kelor (Moringa
oliefera) terhadap pertanmbahan berat badan babi, perkembangan infeksi dan
cacing Ascaris suum pada babi. Pada penelitian ini dipergunakan 24 ekor babi
umur 2 bulan yang terbagi menjadi 6 kelompok. Pada kelompok I babi tidak
diberikan perlakuan, kelompok II diberi daun kelor 5%, kelompok III diberi daun
kelor 10%, kelompok IV diberi daun kelor 5% selanjutnya dinfeksi dengan
cacing Ascaris suum, kelompok V diberi daun kelor 10% selanjutnya dinfeksi
dengan cacing Ascaris suum, kelompok VI hanya dinfeksi dengan cacing Ascaris
suum.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian daun kelor (Moringa
oliefera) dapat berpengaruh terhadap berat badan babi, dan infeksi cacing Ascaris
suum. Konsentrasidaun kelor (Moringa oliefera) 10% memberikan pengaruh
yang terbaik terhadap pertambahan berat badan babi, serta menghambat
perkembangan cacing Ascaris suum.
Kata kunci: babi, daun kelor (Moringa oliefera), berat badan, Ascaris suum
MORINGA LEAVES (Moringa oleifera) AS A FEED SUPPLEMENT TO
IMPROVE PIG RESISTANCE AGAINST GASTROINTESTINAL
PARASITES INFECTIONS
ABSTRACT
Research has been done to determine the effect of Moringa oliefera on pig body
weight, E. coli bacterial and Ascaris suum infection in pigs. In the present study
used 24 pigs 2 months age, divided into 6 groups. In group I pigs were not given
treatment, group II granted Moringa oliefera 5%, group III granted Moringa
oliefera 10% group IV given Moringa oliefera 5% and infected with Ascaris suum,
group V given Moringa oliefera 10% and infected with and Ascaris suum, group
VI only infected with Ascaris suum. The results showed that giving Moringa
oliefera influence to the weight gain of pigs, E. coli bacterial and Ascaris suum
infections. Concentration Moringa oliefera 10% gives the best effect on weight
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [216]
gain of pigs, and prevent the development Ascaris suum.
Keywords: pigs, Moringa oliefera, pig weight, Ascaris suum
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bali tidak terlepas dari
keberadaan usaha ternak Babi. Bali merupakan salah satu wilayah dengan jumlah
populasi babi terbesar di Indonesia yaitu sekitar 1 juta ekor lebih pada tahun 2008.
Hal ini tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat Bali terhadap komoditas babi
yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Dengan semakin sempitnya wilayah yang mendapat ijin masyarakatnya
untuk beternak babi maka ke depan Bali berpotensi menjadi pusat peternakan babi
dan penelitian tentang babi khususnya di Universitas Udayana. Oleh karenanya
sangat penting dilakukan penelitian tentang berbagai aspek pada babi selain
bertujuan untuk meningkatkan kompetensi juga merupakan bagian dari
implementasi Pola Ilmiah Pokok Kebudayaan yang dicanangkan oleh
Universitas Udayana.
Tanaman kelor (Moringa oleifera) merupakan tanaman yang banyak
tumbuh di kebun, halaman rumah, pinggir ladang atau sawah yang telah dikenal
oleh nenek moyang masyarakat Bali sebagai tanaman yang mempunyai khasiat
sebagai obat tradisional terutama kulit batangnya dan daun serta buahnya
dimanfaatkan sebagai sayur. Selain itu di beberapa daerah tanaman kelor
digunakan untuk memandikan jenasah orang yang meninggal dan dimitoskan
sebagai tananam yang bisa mengusir roh-roh jahat. Dari cerita-cerita tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa daun kelor mempunyai khasiat tertentu yang tidak
dijelaskan oleh nenek moyang. Tanaman kelor justru banyak diteliti oleh peneliti
dari Eropa, India, dan Amerika namun masih sangat sedikit diteliti oleh peneliti di
Indonesia. Menurut Reyes, (2006) daun kelor mempunyai kandungan nutrisi yang
sangat tinggi yang mampu meningkatkan produksi susu pada sapi perah yang
sangat signifikan yaitu sampai 50% dari produksi awal. Penelitian yang dilakukan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [217]
oleh Rahman et al. (2009) menunjukkan bahwa daun kelor mempunyai potensi
sebagai antibakterial terhadap bakteri pathogen yang menyerang manusia. Hasil
penelitian Vingga (2010) menunjukkan bahwa ekstrak kasar daun kelor (Moringa
oleifera) mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli yang diisolasi dari
ayam.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu diketahui secara ilmiah
khasiat daun kelor terutama kemampuan sebagai pemacu pertumbuhan dan
anthelmintik sehingga nantinya bisa dipakai sebagai pengganti penggunaan obat
kimia yang berdampak buruk pada kesehatan konsumen khususnya pada manusia.
Hasil akhir dari penelitian ini adalah produk feed suplemen untuk pakan ternak
tidak terbatas untuk babi namun bisa diberikan pada ayam, sapi, dan bangsa ikan.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan
enam perlakuan yaitu: kontrol /tanpa diberi perlakukan apapun (P1), diberi daun
kelor 5% dari jumlah pakan (P2), diberi daun kelor 10% dari jumlah pakan (P3),
diberi daun kelor 5% dari jumlah pakan dan diinfeksi dengan 1000 telur cacing
Ascaris suum (P4), diberi daun kelor 10% dari jumlah pakan dan diinfeksi dengan
1000 telur cacing Ascaris suum (P5), anak babi diinfeksi dengan 1000 telur cacing
Ascaris suum.
Masing-masing kelompok perlakuan dipergunakan 4 ekor anak babi,
sehingga jumlah babi yang dipakai sebanyak 24 ekor.
Sampel Penelitian
Anak babi yang dipakai adalah anak babi jenis Landrace usia 8 minggu
berat badan sekitar 10 kg sebanyak 24 ekor yang terbagi dalam 6 kelompok
masing-masing terdiri dari 4 ekor yang diletakan pada kandang terpisah.
Alur Penelitian
Semua anak babi terlebih dahulu diadaptasikan selama 1 minggu sebelum
diberi perlakuan. Selama adaptasi anak babi diberi pakan pabrik seperti biasa,
selanjutnya pada minggu kedua mulai diberikan perlakuan pemberian daun kelor.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [218]
Uji tantang dengan infeksi telur cacing Ascaris suum mulai dilakukan pada
mimggu ke-2 setelah perlakuan pemberikan daun kelor. Pengamatan dilakukan
setiap minggu sampai minggu ke-8 pasca infeksi.
Tolok Ukur
Tolok ukur yang diamati dan dianalisis adalah: kondisi babi, berat badan
dan jumlah telur cacing Ascaris suum per gram tinja.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, selain itu juga dianalisis
secara statistik dengan uji Time series (Split time).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil:
Kondisi Babi
Pada minggu pertama setelah diberikan perlakukan dengan tantangan
bakteri dan telur cacing, anak babi yang tanpa diberikan daun kelor tapi dilakukan
uji tantang (P6) menunjukkan gejala diare. Sedangkan babi lainnya belum
menunjukkan gejala klinis yang mengarah sakit. Pada minggu kedua tampak diare
makin berat terjadi pada babi yang ditantang tapi tidak diberikan daun kelor P6),
selain itu diare juga terjadi pada babi yang tidak diberikan apa-apa (P1),
sedangkan babi lainnya tidak terjadi diare.
Pada minggu ketiga diare terjadi pada P6, pada perlakuan P1 dan juga
terjadi diare ringan pada perlakuan P2, namun pada minggu keempat diare hanya
masih terjadi pada perlakuan P6, yaitu pada babi yang ditantang dengan bakteri
dan telur cacing, tapi tidak diberikan daun kelor.
Diare secara umum tidak terjadi pada babi yang tidak ditantang dengan
bakteri dan telur cacing, serta pada babi yang diberikan daun kelor dengan
konsentrasi 10% (P3 dan P5)
Tabel 1. Kondisi babi selama penelitian
Perlakuan Minggu 0 Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV
P1 Normal normal 1 ekor diare diare Normal
P2 Normal normal Normal Diare ringan Normal
P3 Normal normal Normal Normal Normal
P4 Normal Normal 1 ekor diare Normal Normal
P5 Normal Normal Normal Normal Normal
P6 Normal 1 ekor diare 1 ekor diare berat 2 ekor diare 2 ekor diare
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [219]
Berat Badan Babi
Pada penelitian ini tampak bahwa terjadi peningkatan berat badan yang
berbeda pada setiap perlakuan, setelah dianalisis ternyata perlakuan pemberian
daun kelor (Moringa olifera) berpengaruh terhadap berat badan babi (P<0,05).
Dalam hal ini tampak bahwa peningkatan berat badan babi yang diberikan daun
kelor lebih baik dibandingkan dengan babi yang tidak diberikan kelor.
Peningkatan berat badan yang terbaik terlihat pada perlakuan dengan pemberian
daun kelor 10% tanpa dilakukan tantangan bakteri dan cacin (Tabel 2 dan Gambar
1).
Tabel 2. Berat Badan Babi Selama Penelitian
Perlakuan Minggu 0
(Kg)
Minggu I
(Kg)
Minggu II
(Kg)
Minggu III
(Kg)
Minggu IV
(Kg)
P1 20.25 22.6 23.2 24,8 25.5
P2 16.1 17.6 18.9 19,7 20.9
P3 16,7 19,65 22,25 25.15 26.4
P4 17.67 19.03 22.93 26.53 27.6
P5 19.57 26.03 26.77 28.97 30
P6 15.9 17.35 18.2 20.75 21.3
Gambar. 1. Grafik Perkembangan Berat Badan Babi Selama Penelitian
Total Telur Cacing Ascaris suum per gram tinja
0
5
10
15
20
25
30
35
M0 M1 M2 M3 M4
P1
P2
P3
P4
P5
P6
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [220]
Pada peneltian ini tampak bahwa, pada perlakuan P1, P2, dan P3 tidak
teridentifikasi adanya telur cacing Ascaris suum pada tinjanya. Sedangkan pada
perlakuan P4, P5 dan P6 telur cacing mulai teridentifikasi pada minggu ketiga
pasca infeksi, namun pada jumlah yang minimal. Pada minggu keempat jumlah
telur cacing padsa perlakuan P4 dan P5, yaitu babi yang diberikan daun kelor,
jumlah telur cacing tampak tidak meningkat, sedangkan peningkatan telur cacing
tampak pada babi yang tidak diberikan daun kelor (Tabel 4 dan Gambar 3).
Tabel 4. Total Telur Cacing Ascaris suum per gram tinja
Perlakuan M 0 M I M II M III M IV
P1 0 0 0 0 0
P2 0 0 0 0 0
P3 0 0 0 0 0
P4 0 0 0 60 60
P5 0 0 0 50 50
P6 0 0 0 100 200
Gambar 3. Perkembangan Total Telur Cacing Ascaris suum
Pembahasan:
Daun kelor dapat berperan pada kondisi, berat badan babi serta infeksi
bakteri dan parasit, karena daun kelor ini mengandung baha-bahan yang
0
50
100
150
200
250
M0 M1 M2 M3 M4
P1
P2
P3
P4
P5
P6
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [221]
bermanfaat, diantaranya senyawa gula sederhana seperti rhamnosa, glukosinalat
dan isothiocyanat (Fahey, 2005). Selain itu, menurut Moyo et al. (2011) dan
Sirimongkolvorakul et al. (2012), tanaman kelor juga mengandung vitamin E,
vitamin A, vitamin C dan β karoten yang dapat berperanan sebagai antioksidan
terhadap proses detoksifikasi. Oluduro (2012) pada penelitiannya melaporkan
bahwaterdapat beberapa beberapa kandungan dari kelor yang dapat berperanan
terhaaaadap terjadi infeksi bakteri atau parasit, yaitu saponin, alkaloid dan
flavonoid.
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan:
1. Pemberian daun kelor (Moringa oliefera) dapat berpengaruh terhadap
berat badan babi, dan cacing Ascaris suum
2. Konsentrasidaun kelor(Moringa oliefera) 10% memberikan pengaruh yang
terbaik terhadap pertambahan berat badan babi, serta menghambat
perkembangan cacing Ascaris suum.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka disarankan untuk
melakukan sosialisasi terhadap manfaat pemberian daun kelor pada
peternakan babi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali AM., Alam S.,Hassan SMR and Shirin M. 2009. Antibiotic Resistance of
Escherichia Coli Isolated From Poultry and Poultry Environment of
Bangladesh. Journal of Food Safety, Vol.11. p. 19-23
Blanco M, Blanco J E Gonzalez, E A, Mora A, Jansen W Gomes, T A, Zerbini L
F, Yano T, de Castro A F, and Blanco 1997. Genes coding for
enterotoxins and verotoxins in porcine Escherichia coli strains belonging
to different O: K: H serotypes: relationship with toxic phenotypes. J Clin
Microbiol.35(11): 2958–2963
Fahey, JW. 2005. Moringa oliefera: A Review of the medical evidence for its
nutritional. Therapeutic and prophylactic properties. Trees for Life
Journal 1:5
Francis, D.H. 1999. Colibacillosis in pigs and its diagnosis. Swine Health Prod.
1999; 7 (5): 241-244.
Hong, TTT, 2006. Dietary Modulation to Improve Pig Health and
Performance.Doctoral thesis Swedish University of Agricultural Sciences
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [222]
Uppsala
Makkar, H.P.S.and Becker, K. 1996.Nutritional value and antinutritional
components of whole and ethanol extracted Moringa oleifera leaves.
Animal Feed Science and Technology. Vol. 63. P. 1 -4.
Mahajan, SG.and Mehta, AA. 2008. Effect of Moringa oleifera Lam. seed extract
on ovalbumin-induced airway inflammation in guinea pigs. Inhal
Toxicol. Aug;20(10):897-909.
Mahatmi, H., Suratma. AN., Besung, NK (2012) Daun Kelor (Moringa Oleifera)
Sebagai Produk Feed Suplemen Ramah Lingkungan Yang Mampu
Meningkatkan Produktivitas Serta Daya Tahan Babi Terhadap Infeksi
Bakteri Dan Parasit Intestinal. Laporan Hibah Unggulan Perguruan
Tinggi. Universitas Udayana
Montagne*L., Cavaney JR. 2004. Effect of diet composition on postweaning
colibacillosis in piglets. J. Anim. Sci. 2004. 82:2364-2374,
Moyo, B. Masika, P.J. Hugo, A. and Muchenje, V. 2011. Nutritional
Characterization of Moringa (Moringa oliefera Lam) Leaves. African
Journal of Biotechnology 10 (60): 12925-12933
Narayanan Rita, Ronald BSM., Krishnakumar N., Gopu P., Bharathidasan A., Prab
hakaran R.2008. Effect of citric acid as feed additive in swine starter diet.
Indian Journal of Animal Research Vol. 42, p. 4
Rahman, MM., Sheikh, MI., Sharmin, SK., Islam, MS., Rahman, MA.,
Rahman,MM.2 and Alam, MF. 2009. Antibacterial Activity of Leaf
Juice and Extracts of Moringa oleifera Lam. Against Some Human
Pathogenic Bacteria. CMU. J. Nat.Sci. vol. 8(2) p. 912.
Sads, PR. and Bilkei,G 2003. The effect of oregano and vaccination against
Glässer’s disease and pathogenic Escherichia coli on postweaning
performance of pigs. Irish Veterinary Journal Volume 56 (12): 611
Sánchez NR. 2006. Moringa oleifera and Cratylia argentea: Potential Fodder
Species for Ruminants in Nicaragua. Doctoral thesis Swedish University
of Agricultural Sciences Uppsala
Sonia PA., Hazel GD., Masilungan, Babylyn A.M. 2010. Partial Substitution of
Commercial Swine Feeds with Malunggay (MoringaOleifera) Leaf Meal
Under Backyard Conditions. Philippine Journal of Veterinary and
Animal Sciences, Vol 36, No 2
Supar, Hirst RG and Patten BE. 1991. The importance of enterotoxigenic
Escherichia coli containing the 987P antigen in causing neonatal
colibacillosis in piglets in Indonesia. Vet Microbiol. 15;26(4):393-400.
UMAR D. 1998. Antimicrobial Activity of Moringa oleifera Leaves Journal of
Islamic Academy of Sciences 11:1, 27-32,
Vingga, K 2010. Daya hambat Perasan daun Kelor (Moringa oliefera) Terhadap
Bakteri Escherichia coli Yang Diisolasi Dari Ayam. Skripsi bimbingan
dari Mahatmi, H Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
Vu-KhacH., Holoda E. and E.Pilipčinec 2004. Distribution of Virulence Genes in
Escherichia coli Strains Isolated from Diarrhoeic Piglets in the Slovak
Republic J. of Vet Med. Vol. 57. No. 7.
WHO Scientific Working Group. 1980. Escherichia coli diarrhoae. Bull. WHO.
36 (1). 23-30
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [223]
BABI SEBAGAI HEWAN MODEL HARVESTING DAN IMPLANTASI
STSG DENGAN APLIKASI PRFM DAN PRP
Mirta Hediyati Reksodiputro
Departemen THT-KL, FKUI/RSCM
RS Hewan IPB Bogor
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Perkembangan rekayasa jaringan dewasa ini telah banyak menciptakan produk
biologi yang dapat membantu mempercepat proses penyembuhan luka. Salah satu
produk biologi yang saat ini banyak digunakan dalam proses penyembuhan luka
adalah Platelet Rich Plasma (PRP). PRP merupakan konsentrat trombosit autologus
yang merupakan sumber faktor pertumbuhan. Saat ini telah dikembangkan preparat
trombosit autologus bentuk lain yaitu Platelet Rich Fibrin Matrix (PRFM), yang
mempunyai struktur lebih padat dan lentur. PRFM merupakan generasi terbaru
konsentrat trombosit yang menghasilkan fibrin alami pada mana trombosit
tersebar di dalamnya. Dengan morfologi tersebut selain sebagai faktor
pertumbuhan, PRFM juga berperan sebagai scaffold yang akan membantu
melokalisasi faktor pertumbuhan.
Kata kunci: rekayasa jaringan, trombosit, faktor pertumbuhan, PRP, PRFM
PENDAHULUAN
Perkembangan rekayasa jaringan dewasa ini telah banyak menciptakan
produk biologi yang dapat membantu mempercepat proses penyembuhan luka.
Perkembangan produk biologi untuk aplikasi klinis akan sangat berdampak pada
hasil operasi, khususnya bidang plastik rekonstruksi THT-KL. Rekayasa jaringan
umumnya memerlukan komponen matriks ekstraselular tambahan untuk
berasimilasi ke dalam sel guna meningkatkan potensi regenerasi jaringan baru.
Salah satu produk biologi yang saat ini banyak digunakan dalam proses
penyembuhan luka adalah Platelet Rich Plasma (PRP). PRP merupakan
konsentrat trombosit autologus yang merupakan sumber faktor pertumbuhan.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [224]
Telah diketahui bahwa granula alfa di dalam trombosit mengandung berbagai
faktor pertumbuhan yang dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka. Faktor
pertumbuhan tersebut dilepaskan bila terjadi aktivasi trombosit. Sayangnya PRP
ini tidak memberikan hasil yang optimal, karena mempunyai struktur makroskopis
cair dan pada proses pembuatannya membutuhkan thrombin bovine yang bersifat
xenologus. Selain itu penglepasan faktor pertumbuhan dari trombosit di dalam
PRP terjadi sekaligus yaitu saat awal diaplikasikan. Saat ini telah dikembangkan
preparat trombosit autologus bentuk lain yaitu Platelet Rich Fibrin Matrix
(PRFM), yang mempunyai struktur lebih padat dan lentur. PRFM merupakan
generasi terbaru konsentrat trombosit yang menghasilkan fibrin alami dengan
trombosit tersebar di dalamnya. Dengan morfologitersebut selain sebagai faktor
pertumbuhan, PRFM juga berperan sebagai scaffold yang akan membantu
melokalisasi faktor pertumbuhan.
Pada operasi THT-KL, khususnya plastik rekonstruksi, tandur kulit banyak
digunakan
pada defek yang tidak dapat ditutup primer dengan jabir lokal. Dengan cara
tersebut penyembuhan luka tandur kulit dapat berlangsung lama, tandur kulit
kontraktur dan hasilnya tidak optimal. Terdapat dua klasifikasi tandur kulit
berdasarkan ketebalannya, yaitu split thickness skin graft (STSG) dan full
thickness skin graft (FTSG). Tingkat kesintasan STSG lebih tinggi karena proses
revaskularisasi atau take-nya yang lebih baik. Namun STSG mempunyai
kelemahan yaitu lebih mudah terjadi kontraksi; semakin tipis STSG semakin besar
kemungkinan terjadi kontraktur.
Penggunaan PRFM telah terbukti dapat mempercepat proses penyembuhan
luka terbuka seperti ulkus. Aplikasi PRFM pada implantasi tandur kulit
diharapkan dapat meningkatkan mutu kesintasan tandur. Saat ini telah tersedia
perangkat komersial untuk membuat PRFM, akan tetapi harganya sangat mahal.
Selain itu belum diketahui mekanisme kerja PRFM dalam mempercepat proses
penyembuhan luka tandur kulit. Hasil penelitian yang ada hanya melaporkan bukti
in vitro, yang mengarah pada adanya peran faktor pertumbuhan.
Penelitian eksperimental mengenai keefektivan terapi pada proses
penyembuhan lukamenggunakan hewan model telah banyak dilaporkan antara
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [225]
lain pada babi (porcine) dan tikus. Babi banyak digunakan sebagai hewan model
pada penelitian penyembuhan luka kulit karena struktur, anatomi dan fungsi kulit
babi menyerupai kulit manusia. Selain itu vaskularisasi kulit manusia dan babi
juga hampir sama; baik manusia maupun babi mempunyai 95% kolagen dan 2%
serat elastin dalam matriks ekstraselular. Ketebalan kulit babi berbeda-beda
tergantung lokasinya.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan PRFM yang lebih baik dari
PRP dalam mempercepat proses penyembuhan luka tandur kulit, tanpa
menggunakan perangkat komersial. Juga akan diteliti peran faktor pertumbuhan
dalam mempercepat penyembuhan luka tandur secara in vivo, baik secara
mikroskopis maupun makroskopis. Secara mikroskopis dievaluasi jenis infiltrate
sel serta pembentukan kolagen. Secara makroskopis dievaluasi perubahan
morfologi kulit berupa perubahan warna dan nekrosis.
Manfaat penelitian ini, adalah diperolehnya produk PRFM yang dapat
terjangkausecara ekonomis. PRFM sebagai sumber faktor pertumbuhan autologus
diharapkandapat mempercepat proses pelayanan di rumah sakit dengan
perencanaan perawatan luka operasi yang lebih baik. Selain itu PRFM diharapkan
dapat bermanfaat untuk berbagai operasi rekonstruksi lainnya.
METODE PENELITIAN
Untuk mengetahui peran PRFM pada proses fisiologi penyembuhan luka
tandur kulit dilakukan evaluasi mikroskopis terhadap 75 jaringan biopsi tandur
STSG yang diperoleh dari lima (5) ekor babi. Masing-masing tandur mendapatkan
tiga macam perlakuan sehingga terdapat tiga (3) variasi jaringan biopsi, yaitu
STSG-kontrol, STSG-PRP, STSGPRFM. Setiap macam tandur diobservasi dan
evaluasi selama 30 hari. Evaluasi pemeriksaan dilakukan dengan biopsi pada
setiap jaringan tandur pada hari ke1,3,7,14, dan 30 sesuai dengan fase
penyembuhan luka. Terhadap setiap jaringan biopsi dilakukan pemeriksaan
histologi dan pengukuran kadar faktor pertumbuhan. Pemeriksaan histologi
dilakukan dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin untuk melihat kepadatan sel
PMN, makrofag dan fibroblas; dan Picrosirius Red untuk melihat kepadatan
kolagen tipe 1. Hasil pemeriksaan Pricrosirius Red akan dievaluasi dengan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [226]
menggunakan piranti lunak ImageJ.
Teknik Pembiusan Babi
Babi dipuasakan mulai 6 jam sebelum pembedahan, kemudian dilakukan
anestesi umum. Sebelum babi dianestesi, diberikan premedikasi atropin sulfas
dengan dosis 0,04 mg/kg berat badan, intramuskular. Selanjutnya babi diberi
anestesi umum menggunakan ketamin HCl dengan dosis 11 mg/kg berat badan,
intramuskular dan xylazine HCl yang berfungsi sebagai sedatif, analgesik dan
muscle relaxant dengan dosis 0,2 mg/kg berat badan, intramuskular. Untuk
maintenance, digunakan inhalan anestesi umum isoflurandengan dosis induksi 3 %
dan maintenance 1,5%. Pada kulit yang akan disayat diberi anestesi lokal lidocain
HCl 2%, secukupnya. Setelah operasi selesai, diberikan antisedasi reverzine
(yohimbine HCl ) dengan dosis 0,125 mg/kg berat badan, intravena.
Hasil uji coba menunjukkan bahwa durante operasi babi dalam keadaan
tenang dan stabil (suhu tubuh, nadi, pernapasan). Peneliti dapat dengan nyaman
melakukan seluruh proses penelitian sesuai protokol. Waktu yang diperlukan
sekitar 4 jam. Pasca-operasi, keadaan umum babi stabil.
Meminimalkan Infeksi pada Tandur
Antibiotik yang digunakan selama proses panen dan implantasi adalah
ampisilin dengan dosis 8 mg/kg berat badan, intravena. Ampisilin tersebut juga
disemprotkan ke luka sayatan operasi. Untuk maintenance, mulai hari pertama
sampai hari ke-30 digunakan amoksisilin long acting dengan dosis 15 mg/kg berat
badan, intramuskular, disuntikkan setiap 3 hari. Pada penelitian ini juga diberikan
multivitamin hematopan B12 sebanyak 5 mL intramuskular, untuk babi dengan
berat badan 20-50 kg setiap 3 hari. Babi dipakaikan gurita untuk melindungi
punggungnya agar tidak terjadi infeksi atau kerusakan tandur akibat gesekan.
Dengan cara ini, selama 30 hari penelitian pemberian antibiotik dan multivitamin
seperti di atas berhasil mencegah infeksi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Subjek penelitian adalah lima (5) ekor babi termasuk babi uji coba, terdiri
dari satu (1) ekor jantan dan empat (4) ekor betina dengan berat badan antara 27-
40 kg. Kelima ekor babi ini berasal dari ras Sus scrofa. Walaupun ada seekor babi
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [227]
jantan namun kelima ekor babi homogen karena ternyata berdasarkan hitung
trombosit darah perifer lengkap, hasil pemeriksaan histologi dan kadar faktor
pertumbuhan babi jantan, terlihat adanya gambaran yang kurang lebih serupa
dengan keempat babi betina.
PRFM yang dihasilkan ini bersifat padat dan lentur, menyerupai lapisan
fasia dan dapatdijahit, menyerupai hasil preparasi PRFM menggunakan kit
komersial yang dilaporkan. Metode ini dapat dimanfaatkan untuk preparasi PRFM
yang dapat diaplikasikan di klinik, seperti perawatan luka ulkus, dalam bidang
kedokteran gigi untuk mengisi soket, dan pemberian bersama lemak untuk implan
wajah. Selain itu bentuk PRFM dapat disesuaikan dengan kebutuhan, misalnya
pada pengisian soket gigi dibutuhkan bentuk kerucut.
Gambar 1.Kepadatan sel PMN STSG-kontrol, STSG-PRP, dan STSG-PRFM pada hari ke-1,-3, -7,
-14,dan -30. Sebukan sel PMN lebih tinggi pada tandur PRFM dibandingkan PRP dan kontrol
Pada semua perlakuan, kepadatan sel PMN tinggi pada hari pertama dan
turun bertahap pada hari ke-3 lalu menghilang pada hari ke-7 sesuai fenomena
penyembuhan luka pada umumnya. Sel PMN adalah sel radang akut yang
merupakan mekanisme pertahanan pertama melalui proses fagositosis terhadap
semua kemungkinan yang dapat menimbulkan keadaan patologis pada
penyembuhan luka, seperti infeksi dan partikel asing. Setelah terjadi fagositosis
proses dilanjutkan dengan penghancuran partikel asing, antara lain secara
enzimatik. Peran sel PMN dalam membersihkan area luka akan diambil alih oleh
makrofag. Keadaan tersebut dapat dilihat pada penelitian ini, yaitu ketika sel
PMN sudah mulai berkurang pada area inflamasi, tampak sel makrofag mulai
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [228]
mengisi area inflamasi tersebut (Gambar 1 dan 4).
Gambar 2. Kepadatan makrofag STSG-kontrol, STSG-PRP, dan STSG-PRFM pada hari ke-1, -3,
7,-14,dan-30
Aplikasi PRP dan PRFM pada STSG memperlihatkan kepadatan makrofag
yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Puncak kepadatan makrofag tidak
berbeda antara jenis tandur maupun jenis perlakuan. Berdasarkan gambaran
selularitas ini dapat disimpulkan bahwa aplikasi PRP dan PRFM dapat
mengoptimalkan penyembuhan luka (Gambar 2 dan 4).
Gambar 3. Kepadatan fibroblas STSG-kontrol, STSG-PRP, dan STSG-PRFM pada hari ke-1, -3, -
7, 14,
dan -30.
Pada pemeriksaan histologi secara umum, pada STSG, terlihat fibroblas
telah mengisiarea penyembuhan luka mulai hari ke-3 dan terus meningkat sampai
hari ke-30, walaupun dengan tingkat kepadatan yang berbeda sesuai dengan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [229]
perlakuan. AplikasiPRFM dan PRP meningkatkan migrasi dan proliferasi
fibroblas yang diharapkan akanmempercepat penyembuhan luka, seperti yang
dilaporkan sebelumnya (Gambar 3).
Pada fase maturasi kolagen tipe 3 akan digantikan oleh kolagen tipe 1.
Kolagen tipe 1akan membuat area penyembuhan luka menjadi stabil seperti
jaringan kulit normal. Ketika matriks ekstraselular pada area penyembuhan luka
ini semakin mendekatikeadaan natural (alamiah), maka selularitas jaringan
menjadi semakin berkurang dansel makrofag serta fibroblas mengalami apoptosis.
Pada STSG pada hari ke-14 terlihatbahwa kepadatan kolagen paling tinggi pada
tandur-PRFM; demikian juga kepadatankolagen tipe 1 di hari ke-30 paling tinggi
pada pemberian aplikasi PRFM.
Pembuatan PRFM merupakan proses lanjutan preparasi PRP. Untuk itu
diperlukan sentrifus yang sesuai dengan kebutuhan. Pada saat ini secara komersial
sudah tersedia perangkat untuk preparasi PRFM, namun harganya relatif tinggi
dan masih sulit diperoleh. Walaupun dapat dilakukan proses pembuatan PRFM
menggunakanperangkat komersial, tetapi bentuk PRFM yang diperoleh belum
tentu sesuai denganyang dibutuhkan, karena bentuk PRFM akan sesuai dengan
tabung sentrifus yangdigunakan. Untuk memperoleh bentuk yang diinginkan
diperlukan penyesuaiantabung sentrifus dan jenis rotor serta kecepatan
sentrifugasi yang tepat untukmenghasilkan PRFM yang optimum. PRP setara
dengan PRFM dalam percepatanpenyembuhan luka sehingga bila fasilitas tidak
tersedia PRP dapat merupakan pilihan.Keadaan lain yang membuat PRP dapat
merupakan pilihan antara lain, pemakaian berulang pada luka tandur kulit. Pada
awal proses implantasi dapat digunakan baik PRFM ataupun PRP. PRFM
diletakkan di antara bed dan tandur kulit, sehingga tidakdapat dilakukan berulang;
PRP disuntikkan ke dalam bed, yang dapat dilakukanberulang kali selama masa
penyembuhan luka.
SIMPULAN
Pemberian PRFM sebagai preparat trombosit autologus dapat
meningkatkanpercepatan penyembuhan luka tandur kulit karena mengandung
faktor pertumbuhanyang diperlukan pada penyembuhan luka.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [230]
DAFTAR PUSTAKA
Branski LK, Mittermayr R, Herndon DN, Norbury WB, Masters OE, Martina,
Hofmann M. A porcine model of full-thickness burn, excision and skin
autografting. Burns. 2008;34:1119-27.
David B, Hom DB, Tope WD. Minimal invasive options and skin grafts for
cutaneous reconstruction. In: Ira DP, Frodel J, Holt GR, Larrabee WF,
Nathan N, Park SS, et al., editors. New York: Thieme; 2008.p.703-19.
Dohan DM, Choukroun J, Diss A, Dohan SL, Dohan AJJ, Mouhyi J, et al.
Platelet-rich fibrin (PRF): a second-generation platelet concentrate. Part I:
Technological conceptsand evolution. Oral Surg Oral Med Oral Pathol
Oral Radiol Endod. 2006;101:37-44.
Everts PAM, Knape JTA, Weibrich G, Schönberger JPAM, Hoffmann J,
Overdevest EP, et al. Platelet rich plasma and platelet gel. A review. J
Extra Corpor Techn. 2006;38:17487.
Falabella AF, Valencia IC, Eaglstein WH, Schachner LA. Tissue-engineered skin
(apligraf) in the healing of patients with epidermolysis bullosa wounds.
Arch Dermatol.2000;136:1225-30.
Federer W. The standard split plot experimental design. In: Federer W, ed.
ExperimentalDesign: Theory and application. New Delhy: Oxford and
IBH Pub Com. 1975: 1-36
Fisher E, Frodel J. Wound healing. In: Ira DP, Frodel J, Holt GR, Larrabee WF,
NathanN, Park SS, et al., editors. New York: Thieme; 2008.p. 15-25.
Greer N, Foman Neal, Wilt T, Dorrian J, Fitzgerald P, MacDonald R. Advanced
wound care therapies for non healing diabetic, venous, and arterial ulcers:
A systematic review.Evidence base synthesis program center. Minneapolis.
2012
Gurgen M. Treatment of chronic wound with autologus platelet rich plasma.
EWMAJournal. 2008;8(2):5-10
Hom DB. New developments in wound healing relevant to facial plastic surgery.
Arch Facial Plast Surg. 2008;10:402-6.
Kim YS, Lew DH, Tark KC, Rah DK, Hong JP. Effect of recombinant human
epidermal growth factor agains cutaneous scar formation in murine full
thickness wound healing. J Korean Med Sci. 2010;25:589-96.
Lucarelli E, Beretta R, Dozza B, Tazzari PL, O’Connell SM, Ricci F, et al. A
Recently developed bifacial platelet -rich fiibrin matrix. European cells
and materials. 2010; 20:13-23.
Metcalfe AD, Ferguson MWJ. Tissue engineering of replacement skin: the
crossroads of biomaterials, wound healing, embryonic development, stem
cells and regeneration. J of Royal Soc Interf 2007;4:413-37.
Monaco JL, Lawrence WT. Acute wound healing. An overview. Clin Plastic Surg.
2003;30:1-12.
Oaletta CE, Pokorny JJ, Rumbolo P. Skin graft. In: Mathes SJ, Hentz VR, editors.
Plastic surgery. Vol 1. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006:293-316.
Pietramaggiiori SSS,
Pietramaggiori G, Orgill DP. Skin Graft. In Neligan PC, Gurtner GC. Plastic
Surgery 3rd Edition-Principles. Vol 1. Seattle: Elsevier; 2014:319-338
O’Connell SM, Impeduglia T, Hessler K, Wang XJ; Carroll RJ, Dardik H.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [231]
Autologus platelet rich fibrin matrix as cell therapy in the healing of
chronic lower extremity ulcers.Wound Repair and Regeneration.
2008;16:749-56.
Sclafani AP. Safety, efficacy and utility of platelet-rich fibrin matrix in facial
plastic surgery. Arch Facial Plast Surg. 2011;13(4):247-51
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [232]
STRATEGI PENCEGAHAN PENYAKIT INFEKSI PADA PETERNAKAN
BABI
Ida Bagus Komang Ardana(1,2), Dewa Ketut Harya Putra1,3 , W. Sayang
Yupardi1,3, Ni Luh Gede Sumardani1,3, I G.A. Arta Putra,1,3 dan I Gede
Suranjaya1,3 (1) Group Riset Ternak Babi, Universitas Udayana
(2)Dosen Manajemen dan Penyakit Babi, Fakultas Kedokteran Hewan,(3) Dosen
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penyakit infeksi pada peternakan babi di Indonesia masih menimbulkan kerugian
yang sangat besar, baik penyakit yang sebabkan oleh bakteri
(colibacillosis,Streptokokkosis,Pasteurellosis, Glassers Disease, Disentri,
Erysipelas dan Mycoplasmosis), virus (Hog Cholera,Transmissible gastroenteritis
(TGE),parasit (Ascariasis, Trichuris, Coksidiosis, Scabies), maupun jamur.
Adanya serangan penyakit infeksi tersebut menunjukkan bahwa aktivitas
pencegahan penyakit yang telah dilakukan oleh peternak belum maksimal. Oleh
karena itu, program pencegahan penyakit pada peternakan babi perlu
dimantapkan lagi dengan menerapkan (1) kelima elemen biosekuriti, yaitu
isolasi/pemisahan, sanitasi, pengendalian lalu-lintas objek yang terkait dengan
peternakan, pengendalian vector penyakit, dan pembuangan bangkai babi serta (2)
melaksanakan jadwal vaksinasi dan (3) program medikasi secara benar.
ABSTRACT
Infectious diseases which are still commonly occur in piggery or pig raising in
Indonesia have lead to enormous financial losses. The diseases may be caused by
bacteria (such as Collibacillosis, Streptococcosis, Pasteurellosis, Glassers disease,
Dysentriae, Erysipelas, and Mucoplasmosis), viruses (Hog cholera, Transmissible
gastroenteritis), parasites (Ascariasis, Trichuris, Coccidiosis, Scabies), and by
fungi. The sometimes outbreak of the diseses could indicate that procedures of
disease prevention have not been conducted appropriately by pig farmers.
Therefore, program to prevent occurence of the diseases should be thoroughly
introduced and practized by the farmers, in which the program consists of (1) 5
elements of biosecurity – isolation of sick animals, good sanitation, control
movement of objects related with piggery, control of disease vectors, and proper
disposal of dead animals (corpse) – and routine and appropriate application of (2)
vaccination and (3) medication.
Keywords: pigs, infectious diseases, program of disease prevention (biosecurity,
vaccination, and medication)
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [233]
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi pada babi merupakan kendala sangat besar dalam
mengelola peternakan babi di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Para peternak
telah melakukan berbagai program pencegahan penyakit infeksi. Bahkan
Pemerintah Indonesia telah mengucurkan dana untuk program pencegahan
penyakit, baik berupa vaksin, desinfektan, maupun obat-obatan. Namun, fakta di
lapangan menunjukkan bahwa morbiditas dan mortalitas anak babi masih cukup
tinggi, terutama pada peternakan rakyat. Hasil pengamatan di lapangan pada
peternakan rakyat di Bali tahun 2012 menunjukkan bahwa induk yang melahirkan
10-12 ekor anak, setelah disapih anaknya rata-rata hidup 6-7 ekor. Dengan kata
lain, angka mortalitasnya sebesar 30-41,7% ( Ardana, 2012, data tidak
dipublikasikan). Tingginya mortalitas ini disebabkan oleh banyak faktor,
terutama serangan penyakit infeksi yang terjadi mulai anak babi lahir sampai
setelah disapih. Kuman penyakit mampu masuk ke dalam tubuh babi melalui
berbagai tempat masuk (port dientry) seperti saluran pencernaan bersama
makanan dan air minum, pernapasan, dan kulit.
Berdasarkan fakta tersebut, tingginya angka mortalitas anak babi dapat
mengindikasikan bahwa usaha pencegahan penyakit infeksi belum sepenuhnya
berhasil, populasi kuman penyakit di lingkungan kandang jelas tinggi, kekebalan
anak babi terhadap jenis penyakit mungkin rendah, serta usaha peternak untuk
membunuh kuman di dalam tubuh anak babi belum maksimal. Karena itu, kuman
berkembang dengan leluasa dalam tubuh, selanjutnya membunuh anak babi
tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan tindakan pencegahan penyakit agar
anak babi terhindar dari serangan penyakit dan tumbuh serta berproduksi secara
maksimal.
Kiranya mutlak dilakukan strategi pencegahan penyakit, yang bertujuan
untuk menurunkan populasi kuman (bakteri, larva cacing, oosit, virus, jamur dan
lain sebagainya) di areal kandang (bioskuriti), peningkatan kekebalan anak babi
terhadap berbagai jenis penyakit (vaksinasi), serta membunuh kuman yang
berhasil masuk ke dalam tubuh babi (medikasi). Strategi pencegahan penyakit
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [234]
dengan konsep biosekuriti, vaksinasi, dan medikasi tersebut akan diuraikan secara
rinci dalam artikel ini.
DASAR PEMIKIRAN
Ternak babi dipelihara di dalam kandang babi dengan ukuran tertentu,
sesuai dengan umur dan tipenya. Lingkungan kandang ternak di Indonesia pada
umumnya memiliki suhu dan kelembaban yang sangat cocok untuk
berkembangnya kuman (germ), baik bakteri, virus, parasit, maupun jamur. Bila
kondisi tubuh inang (babi) kurang prima dan titer antibodi terhadap penyakit
tertentu rendah, maka infeksi akan sangat mudah terjadi, yang pada giliran
selanjutnya akan menyebabkan babi menjadi sakit. Rantai kejadian seperti itu
sering disebut sebagai segi tiga epidemiologi, seperti yang diilustrasikan dalam
Gambar 1.
Host
(Penjamu)
Agen
Penyebab
Environment
(Lingkungan)
Pengendalian
infeksi
• Nutrisi
• Vaksinasi
• Mandi
•Manajemen
lingkungan
(Biologis/Non
biologis)
• Limbah
• Aseptik
• Antibiotik
• Eradikasi
Gambar 1. Segi tiga epidemiologi, yang menunjukkan keterkaitan antara kondisi
ternak, lingkungannya, dan kejadian penyakit yang disebabkan oleh kuman
penyakit (Schwabe et al., 1977)
Pada Gambar 1, ditunjukkan bahwa pengendalian infeksi dilakukan melalui
tiga tindakan, yaitu menurunkan populasi agen penyebab penyakit pada
lingkungan kandang dengan tujuan agar tidak terjadi infeksi (biosekuriti),
mendorong pembentukan antibodi terhadap penyakit tertentu dengan tujuan agar
babi kebal terhadap infeksi (vaksinasi), dan membunuh agen penyebab penyakit
(germ) yang masuk ke dalam tubuh babi yang tidak kebal terhadap agen penyakit
tersebut (medikasi). Secara ringkas, disajikan beberapa penyakit infeksi yang
telah menyerang ternak babi di Indonesia seperti yang diuraikan pada Tabel 1 .
Tabel 1. Beberapa Penyakit pada Babi di Indonesia
No Nama Penyakit Penyebab Umur Gejala klinik Pencegahan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [235]
1 New- born diarrhea, ETEC 0- 1 mmg Diare, lesu, kedinginan Sanitasi
Kandang melahirkan,
berikan
anak:antibiotika
2 Young pigdiarrhea ETEC 2- 4 mgg diare, lesu Sanitasi
kandang
menyusui, berikan
antibiotika
3 Hemorrhagic gastro
enteritis
ETEC 1-8 mgg Diare berdarah Sanitasi
kandang menyusui,
berikan antibiotika
4 Septicemia ETEC/ SEPEC 0- 8 mgg Septicemia Terganggu
5. Edema disease VTEC 4 – 8 mgg Oedema Sanitasi
kandang sapih , berikan
antibiotika
6. Koksidiosis Isospora suis 6 – 42 hari diare kekuning-kuningan
atau abu-abu terus menerus,
Sanitasi
kandang menyusui,
berikan
Toltrasuril
7 Ascariasis A.suum 6 mgg-
dewasa
Batuk,kurus,peningkatan
berat badan jelek
Sanitasi semua
kandang,berika
n Antelmintik(lev
amisol
/Hemisol)
8 Streptokokkosis Streptococus suis Type 2
Mulai lahir s/d dewasa
Meningitis (kejang),pleuritis
Sanitasi kandang
melahirkan,
sapih, beri antibiotoka
9 Pasteurellosis
Pasteurella
multocida
10 – 18
mgg (sapihan
dan grower)
Pneumonia, kulit kaki dan
telinga biru
Sanitasi
kandang penyapihan dan
grower, beri
antibiotika dan
vaksinasi
10 Glassers Disease Haemophilus
parasuis
Semua
umur
Artritis, lumpuh Sanitasi semua
kandang, berikan
antibiotika
11 Enzootic Pneumonia
(Mycoplasmosis)
Mycoplasma
hyopneumonia
Semua
umur
Bronchopneumonia Sanitasi,
vaksinasi, beri antibiotika
umur 2- 8
minggu via pakan
12 Porcine Reproductive
and Respiratory(PRRS
virus)
Golongan Arter
virus(Virus PRRS)
Semua
umur, Induk bunting
Lahir prematur (112 hari),
lahir mati
Sanitasi
kandang.
13 Hog Cholera Virus Cholera Semua
umur
Diare warna kuning s/d
berdarah, kejang-kejang
Sanitasi dan
vaksinasi
14 Transmissible
gastroenteritis (TGE)
Corona virus Anak babi s/d dewasa
Masa inkubasi 12 jam, Diare kuning dan busuk
dan muntah
Sanitasi seluruh kandang.
15 Erysipelas Erysipelothix
rhusiophathie/E.insidiosa
Semua
umur
Setelah 3 hri diamond skin
disease (kulit kemerahan), sering kulit mengelupas
Sanitasi dan
pemberian antibiotika
melalui pakan
16 Disentri (swine
dysentry)
Serpulina hyodysentriae
Masa pertumbuha
n sampai
dewasa
Diare berdarah sampai hitam (black scour)
Sanitasi dan berikan
antibiotika yang
cocok melalui pakan
Keterangan: ETEC = Enterotoxigenic E Coli, SEPEC = Septicemic E. Coli, VTEC = Virotoxigenic E. coli.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [236]
Sumber : Ardana dan Harya Putra,2008)
Dipahaminya berbagai jenis penyakit babi seperti yang disajikan pada
Tabel 1, akan memudahkan peternak untuk memilih desinfektan, antibiotika, dan
jenis vaksin, yang dapat dipakai untuk tindakan pencegahan.
PEMBAHASAN
Penyakit infeksi pada babi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit
(cacing, ektoparasit, dan protozoa), serta jamur secara teoritis dapat dicegah
dengan menerapkan tindakan biosekuriti, vaksinasi, dan medikasi. Berikut ini
disampaikan uraiannya secara rinci.
3.1 Biosekuriti
Biosekuriti berasal dari kata bio artinya hidup, dan sekuriti (security)
artinya perlindungan. Secara umum, biosekuriti adalah perlindungan hidup yang
pada hakikatnya, berupa serangkaian tindakan yang dirancang untuk mencegah
masuk dan menyebarnya penyakit ke dan dari sebuah peternakan. Intinya adalah
proses menjauhkan kuman dari babi dan menjauhkan babi dari kuman. Ada
beberapa penyakit pada babi yang perlu dicegah seperti disampaikan pada Tabel 1.
Agen penyakit masuk ke peternakan akan menyebabkan penyakit klinis, penyakit
sub-klinis, dan zoonosis. Agar populasi agen penyakit pada peternakan dapat
ditekan, maka lakukan tindakan ke-5 elemen biosekuriti yaitu: (1)
Isolasi/pemisahan, (2) Sanitasi, (3) pengendalian lalu-lintas berbagai objek yang
terkait dengan peternakan, (4) pengendalian vektor, dan (5) pembuangan bangkai
babi.
Tindakan isolasi atau pemisahan bertujuan menciptakan suasana
lingkungan kandang yang terisolir agar babiterhindar dari agen pembawa penyakit
(carrier), seperti manusia, hewan hewan liar, unggas liar, udara dan air tercemar,
dan pembawa penyakit lainnya. Tindakan nyatanyameliputi: (1) pengaturan jarak
antara lokasi peternakan dengan pemukiman penduduk, yaitu sekitar 400 – 1000
meter, (2) pengandangan hewan di dalam lingkungan peternakan yang terkendali
(adanya terali besi pemisah antara babi dengan hewan lain, seperti misalnya
anjing, kucing, tikus, dan lain-lain), (3) pembuatan pagar di sekeliling peternakan
untuk mengendalikan lalu-lintas manusia dan hewan lain, (4)pemisahan babi
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [237]
berdasarkan kelompok umur dan area, di sebuah peternakan yang memelihara
babi dengan berbagai umur atau stadium pertumbuhan, serta (5) melakukan sistem
manajemen all in –all out(masuk kandang dengan umur sama dan dikeluarkan
bersamaan)pada pemeliharaan babi penggemukan. Tindakan ini akan lebih
berhasil bila juga dibarengi oleh tindakan sanitasi, seperti berikut ini.
Tindakan sanitasi meliputi pembersihan dan desinfeksi secara teratur
terhadap material kandang, peralatan, kendaraan, dan orang yang memasuki
peternakan, dengan menerapkan pola sebagai berikut ini. Pertama adalah
membersihkan dan mencuci semua benda-benda organik dengan menggunakan
deterjen, kemudian gunakan desifektan yang sudah disetujui oleh dokter hewan
penanggung jawab kesehatan dengan mengikuti kadar dan jumlah yang sudah
direkomendasikan oleh pabrik pembuatnya.Adapun jenis dan cara kerja berbagai
jenis desinfektan dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
DesinfeksiCara Kerja
ANTIMICROBIAL CHEMICALS :
THEIR SITES AND MODES OF ACTIONCELL STRUCTURES
Phenol, sodium hypochlorite, and
Merthiolit (low concentrations) cause
lysis
Phenols, alcohols, and detergents affect
cytoplasmic membrane, causing leakage
Hypochlorites,iodine,ethylene oxide,
glutaraldehyde, and salts of heavy metals
combine with SH groups
Ethylene oxide and glutaraldehyde
combine with NH2 groups
Mercury salts, glutaraldehyde, and high
concentration of phenols coagulate proteins
Cell Wall
Cytoplasmic membrane
Nuclear material (DNA)
Ribosomes
Cytoplasm
SH
NH2
Gambar 2. Ilustrasi cara kerja desinfektan.
Sumber : Makalah seminar dalam bentuk power-point dari Technical Service dan
Development Department, Pt. Charoen Pokhphand Indonesia TbK, 2010
Dalam kegiatan desinfeksi, yang perlu dihitung adalah hal berikut ini :
1) Wilayah yang akan didesinfeksi dalam meter persegi (m2). Perhitungan
untuk mencari luas wilayah penyemprotan termasuk semua dinding, lantai,
dan langit-langit dilakukan dengan dua langkah. (a). Langkah 1:
menghitung luas lantai kandang babi dengan rumus: Panjang (m) Lebar
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [238]
(m) misalnya 40 m2. (b). Langkah 2: menghitung luas ruangan kandang
(termasuk semua dinding, lantai, dan langit-langit) dengan rumus: Luas
lantai 2,5 = Luas permukaan semua dinding, yaitu 40 m2 2,5 = 100 m2.
2) Menghitung jumlah air yang diperlukan (berapa banyak air). Jika ingin
menggunakan jumlah air 300 ml (0,3 liter) per meter persegi, maka
rumusnya adalah jumlah air yang digunakan adalah 300 ml (0,3 liter)
luas total kandang. Terakhir, karena luas keseluruhan adalah 100 m2, maka
jumlah air yang diperlukan adalah 100 0,3 lt = 30 liter.
3) Menghitung tingkat pengenceran desinfektan yang benar dan sesuai
dengan rekomendasi pabrik (berapa banyak disinfektan dan air). Dengan
melihat label produk desinfektan, misalnya nama produk yang ada
dipasaran DES HPR, ditulis 1 ml/liter air, pengencerannya adalah 1 ml
DES HP dalam 1 liter air. Bila jumlah airnya 30 liter, maka DES Hp yang
dibutuhkan = 30 ml. Contoh lain bila pada label ditulis pengenceran zat x :
1%, maka diambil 1 gram dilarutkan 100 ml air atau 10 gram zat itu
dalam 1.000 ml (1 liter) air. Jadi, bila air yang dibutuhkan adalah 30 liter
untuk total luas kandang 100 m2, maka zat x yang diencerkan = 300 gram.
Kegiatan sanitasi lainnyaadalah memelihara kebersihan pekerja dengan
cara mencuci tangan, kaki, sepatu, dan lain-lainnya secara rutin dengan sabun
sebelum mulai menangani babi. Pekerja wajib mengganti pakaian dan sepatu
sebelum mulai bekerja.Pekerja diwajibkan untuk menangani makanan babi
terlebih dahulu sebelum menangani kotoran babi, peralatan yang terkontaminasi,
dan babi yang mati (bangkai).
Pengaturan lalu-lintas dalam kandang adalah berupa mengendalikan lalu-
lintas manusia, hewan, peralatan, dan kendaraan yang masuk dan keluar
peternakan, dan di dalam area peternakan itu sendiri. Tidak diperbolehkan orang
lain dan kendaraan masuk tanpa ada kepentingan yang pasti. Pola lalu-lintas
memberi makan dan pengontrolan dipeternakandimulai dari ternak babi yang
paling muda (piglets)ke ternak yang dewasa atau induk dan juga mulai dari babi
yang kondisinya sehat ke babi yang sakit.
Elemen pengendalian vektor dan pembuangan bangkai wajib dilakukan.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [239]
Jenis vektor (agen pembawa penyakit) seperti tikus, kucing, anjing, kecoak, lalat,
burung liar, dan lain-lainnya perlu dikendalikan karena vektor dapat menularkan
penyakit. Contohnya, tikus dapat menularkan toxoplasma dan salmonella. Burung
liar dapat menularkan flu burung. Pembuangan bangkai ternak dilakukan dengan
membakar atau dikubur, yangdapat menekan penyebaran kuman dalam kandang.
3.2 Tindakan vaksinasi
Vaksinasi adalah proses memasukkan vaksin (antigen) ke dalam tubuh
babi untuk membentuk zat kebal yang spesifik (antibodi spesifik) untuk
membunuh agen penyakit yang spesifik, yang mampu masuk ke dalam tubuh
(seperti Hog Cholera, Mycoplasma, Pasteurella/SE, Eschericia coli, dan lain lain).
Cara vaksinasi adalah dengan menginjeksikan vaksin/ bakterin dari agen penyakit
yang spesifik secara terprogram, seperti yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Program Vaksinasi Pada Ternak Babi di Indonesia
Umur babi Jenis
vaksin
Cara pemberian
3 minggu Mycoplas
ma
IM
4 minggu Hog
Cholera
IM
5 minggu Mycoplas
ma
IM
12 minggu SE SC
6 bln (induk,
pejantan)
Hog
Cholera
IM (live vaccine)
12 bln (induk,
pejantan)
Hog
Cholera
IM (live vaccine)
dst
PROGRAM VAKSINASI
Pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa perlu dilakukan booster (pengulangan),
sebab kalau hanya sekali vaksin, maka titer antibodi tidak tinggi. Respon imun
primer adalah respon imun yang terjadi karena paparan antigen pertama kali, di
mana antibodi yang terbentuk berupa IgM (immunoglobulin M).Selanjutnya,
respon imun sekunder merupakan respon pembentukan antibodi Ig G
(immunoglobulin G) dengan titernya yang tinggi, seperti yang dapat dilihat pada
Gambar 3.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [240]
Gambar 3. Respon tubuh terhadap vaksinasi
Program vaksinasi akan sukses tergantung kepada: status antibodi
maternal induk babi, antigenesitas vaksin (dosis, cara pemberian, cara menyimpan,
dan pengangkutan/transport dan ajuvant yang dipakai), dan kondisi babi (genetik
yaitu faktor MHC I dan MHC II, status gizi, dan kesehatan babi).
3.3 Tindakan Medikasi
Tindakan medikasiadalah suatu tindakan pemberian suplemen dan
antibakteri, atau antifungi, atau antiparasit pada babi secara terprogram untuk
menjaga kondisi kesehatan babi tetap baik dan untuk membunuh mikroorganisme
yang ada dalam tubuh babi yang secara fisik tampak sehat. Pemilihan dan waktu
pemberiam antimikroorganisme dan suplemen tersebut sangat bergantung kepada
jenis mikroorganisme yang ada diwilayah peternakan dan kondisi babi yang
dipelihara di sana. Oleh karena itu, program medikasi ini tidaklah baku, dan dapat
berubah atau disesuaikan dengan kondisi di lapangan, umur babi, dan
stadiumpertumbuhan/status induk. Contoh program medikasi dapat dilihat Tabel 3
berikut ini.
Tabel 3. Program Medikasi pada babi
Jenis obat,
suplemen dan
dosis
Induk bunting Induk
menyusui
Anak
menyusu
Sapih s/d finisher
O, C atau Ty Mulai bunting s/d -14
mggu
Selama
menyusui
- Saat sapih s/d 14 hr
diulang 46 hr
setelah sapih s/d –
panen
ATP - - Umur 1 hr Saat sapih
Bivermectin - Saat sapih
ADE Umur 3 hr
Fe (zat besi) 3 hr dan 21 hr
Tol - - Umur 4,5,6 hr -
He Satu mgg sebelum
melahirkan
30 hr
En atau Pen Satu hr sebelum dan Saat sapih
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [241]
sesudah melahirkan
S &E Satu hr sebelum dan
sesudah melahirkan
Saat sapih selama 3
hr
Super Mulai bunting s/d
menyusui
- - Berat 60 kg s/d
panen
Keterangan:
O = OTC (200 ppm), C = CTC (400-500 ppm) Ty = Tyolxacin (1000 grm/ton), DAE = ADE: 0,3
ml/ekor, S&E = Superfit (vitamin & elektrolit oral: 1 grm/liter, En = Enrofloxasin: 1 ml /25 Kg
bb, Pen = Penstrep, He = Hemisol: 1 gr/10 kg (obat cacing), ATP = Bio-ATP: 0,3 ml,Tol =
Toltrasuril: 5 mg/ekor, Super = Super Pig: 3 grm/kg pakan
KESIMPULAN
Pengendalian penyakit infeksi pada ternak babi wajib dilakukan, yaitu
berupa tindakan pencegahan secara utuh dan menyeluruh, mulai dari tindakan
lima elemen biosekuriti, program vaksinasi secara teratur, dan ketepatan memilih
jenis obat dan waktu pemberiannya dalam penerapan program medikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Bindseil, E. 1972. On The Development of Interstitial Hepatitis (“Milk Spots“) in
Pigs Following Infection with Ascaris suum. Nord.Vet. Med. (23) : 191-
195.
Brander, G. C., Pugh, D. M., and Baywater, R. J. 1980. The Veterinary Applied
Pharmacology Therapeutics, 4th Ed. Bailliere Tindall, London.
Close, W.H, (2001). Feeding and management strategies to improve sow
productivity. Asian Pork Magazine. Vol : 1 (10)
Hastasi Wuryastuti. (2002). The Importance of Colostrum / Milk in Swine.
International Seminar On Pig Farming “ Awakening the Sleeping Giant”.
Benoa, Denpasar, Bali. Indonesia.
Johnstone, C. 2001. Parasites and Parasitic Diseases of Domestic Animals.
(Parasites of Swine). University of Pennylvania. Diakses Tanggal 30
Pebruari 2014
Leman. A.D., B.E. Straw, W.L. Mengeling, S. D”Allaire and D.J. Taylor (1996).
Diseases of Swine. 7th Ed. Iowa StateUniversity Press / Ames, Iowa U.S.A.
NRC. (1979). Nutrient Requirements of Swine. Eight revised edition, 1979.
National Academy of Sciences, Washington, DC.
Swenson M.J. 1970. Duke’s Physiology of Domestic Animals. Edisi ke–8.
CornellUniversity Press, Ithaca, New York.
SCA, (1987). Feeding Standards for Australian Livestock. Pigs. CSIRO Printing
Centre. Collingwood, Victoria.
Sihombing. D.T.H.(1997) Ilmu Ternak Babi. Cetakan Pertama.
GajahMadaUniversity Press.
Srigandono, B., K. Praseno, dan Soedarsono, (1992). R.D. Frandson. Anatomi dan
Fisiologi Ternak. Edisi keempat. Gajah Mada University Press.
Supar. 2002 . Escherichia coli dan Kolibasilosis. Balai Penelitian Veteriner.
Bogor
Schwabe, Calvin W., Hans P. Riemann,Charles E. Franti. (1977)Epidemiology in
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [242]
Veterinary Practice. Lea & Febiger, Philadelphia.
Soulsby, E. J. L. 1982. Helminths, Arthrophods and Protozoa of Domesticated
Animals 7th. Ed. Bailliere Tindall,London.
Tizard. 1992. Veteriner Immunology: An Introduction. 4 th Ed. W. B. Saunders
Company. Philadelphia, Tokyo
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN TITER HOG
CHOLERA PADA BABI
I Nyoman Suartha1*, Rui Daniel de Carvalho2, Nyoman Sadra Dharmawan3. 1Laboratorium Penyakit Dalam Veteriner; 3Laboratorium Patologi Klinik Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar Bali 2 Direktorat Nasional Karantina Timor-Leste
*Corespodensi: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi faktor dominan yang berpengaruh
terhadap peningkatan jumlah persentase antibodi Hog Cholera protektif pada
babi.Sebanyak240babi diambil serum sebelum dan setelah vaksinasi,
serumdiperiksa terhadap adanya antibodi CSF menggunakan PrioCheck CSFV Ab
ELISA kit (Prionics Ag). Serum yang diperiksa terdiri atas240serum dari babi
yang tidak divaksinasi dan 240 serum dari babi yang samasetelah diberi
vaksinasi,menggunakan vaksin CSF. Interval pengambilan serum pertama dengan
pengambilan serum keduaminimal 14 hari pasca vaksinasi.Hasil penelitian
menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) terhadap adanya
antibodi pada babi yang divaksinasi dengan yang tidak divaksinasi. Sebanyak 75%
serum babi dengan status divaksinasi, terdeteksi antibodi positifCSF, sementara
hanya 16,7% serum babi dengan status tidak divaksinasi terdeteksi positifantibodi.
Dari uji odd ratio, diketahui bahwa di antara faktor umur babi, jenis kelamin babi,
letak geografis, dan status vaksinasi, ternyata yang paling berpengaruh terhadap
peningkatan persentase antibodi CSF adalah faktor status vaksinasi.
Kata-kata kunci: CSF, Vaksinasi, ELISA
ABSTRACT
The objective of this study wasevaluatedof the dominant factor that affecting the
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [243]
increase ofantibody titers on pigs in Timor Leste. A total of 240 pigs sera were
taken before and after vaccination checked against of CSF antibodies using
PrioCheck CSFV Ab ELISA kits (Prionics Ag). Two hundred and forty sera
obtained from non-vaccinated pigs and 240 other sera obtained from the same
pigs, after being vaccinated with CSF vaccine. The time interval from the first and
the second serum collection was at least 14 days post-vaccination. The results
showed there were significant differences (P<0.01) for the presence of antibodies
in pigs vaccinated with unvaccinated. A total of 75% serum from vaccinated pigs
was found positive for antibodies, while only 16.7% of serum from non-
vaccinated pigs was positive. The odd ratio test, it showed that among the factors
of age, sex, geographic location, and vaccination status, the most influential factor
for increase of antibody titer was vaccination status.
Key words: CSF, Vaccination, ELISA
PENDAHULUAN
Penyakit Hog Cholera merupakan salah satu penyakit yang sangat
membahayakan dan menimbulkan kerugian ekonomi tinggi pada peternakan babi,
karena angka kematian sangat tinggi (Narita,et al., 2000). Penyakit ini akan
berdampak buruk pada daerah yang banyak memanfaatkan daging babi untuk
memenuhi kebutuhan protein dan kebutuhan daging untuk fungsi sosio kultural di
masyarakatseperti pernikahan, pemakaman, ulang tahun, dan hari raya.
Pencegahan penyakit ini dilakukan dengan cara vaksinasi. Keberhasilan
program vaksinasi dipengaruhi oleh banyak factor seperti jenis antigen vaksin
yang digunakan, kondisi penyakit pada suatu wilayah, dan kondisi kesehatan babi
yang akan divaksinasi. Antigen dalam vaksin yang cukup dan diproduksi dengan
tingkat sterilitas tinggi, keamanan tinggi, pelarut vaksin yang tepat, dan proses
penyimpanan yang baik akan mampu meningkatkan titer antibodi Hog cholera
lebih tinggi (Jayanti, 2014). Pemberian obat anti cacing sebelum vaksinasi sangat
membantu peningkatan titer antibodi pada anak babi (Galingging 2014). Tidak
kalah pentingnya perlu diperhatikan titer maternal antibodi pada anak babi yang
pertama kali divaksinasi. Titer maternal antibodi yang tinggi dapat menetralisasi
antigen vaksin yang diberikan, sehingga titer yang terbentuk pada anak babi akan
rendah. Titer maternal antibodi pada anak babi yang lahir dari induk dengan
sejarah vaksinasi yang tidak jelas, titer maternal antibodinya masih protektif
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [244]
sampai umur 4 minggu (Margaretha, 2014). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui factor dominan yang berpengaruh terhadap peningkatan titer antibodi
hog cholera pada anak babi.
METODEPENELITIAN
Sampel serum babi sebanyak 240 diambil pada babi dari empat distrik di
Timor-Leste. Sampel dibedakan berdasarkan atas jenis kelamin, umur, letak
geografis pesisir dan bukit. Deteksi antibodi dilakukan dengan Uji ELISAdi
Laboratorium Biomedis Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana,
Denpasar Bali. Serum pertama diambil sebelum vaksinasiCSF, dan pengambilan
serum kedua14 hari setelah vaksinasi. Pengambilan serum diawali dengan
mengambil darah babi melaluivena cava anterior menggunakan spuit 5 ml.Darah
yang telah diambil ditempatkan dalam suhu ruang selama satu jam dengan posisi
mendatar.Darah diinkubasikan selama 24 jam dalam suhu 4°C. Serum yang
terbentuk selanjutnya ditampung dalam tabung mikro berukuran 1.5
ml.Penyimpanan serum dilakukan dalam suhu -18 °Chingga akan digunakan.
Uji ELISA
Prosedur Uji Elisa terhadap serum babi berdasarkan atas prosedur yang
tercantum pada kit The PrioCHECK ® CSFV Ab. Perhitungan persentase
hambatan (PI) dari serum control positif lemah, serum control positif dan serum
sampel dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
PI = 100 - max 450 OD
] uji sampel OD450 [ x 100
Validasi uji:
1. Rata-rata nilai OD 450 kontrol serum negative harus > 1.0
2. Persentase hambatan control serum positif lemah harus > 50%
3. Persentase hambatan control serum positif harus > 80%
Intepretasi hasil:
Jika persentase hambatan pada serum uji lebih kecil dari 40%, maka antibodi
serum sampel negative. Jika persentase hambatan serum sampel lebih besar atau
sama dengan 40% maka antibodi pada sampel positif.
Analisis Data
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [245]
Data hasil penelitian dianalisis dengan analisis bivariat dengan perangkat
lunak SPSS 20 for Windows. Uji statistsik chi-squaredigunakan untuk
menentukanfaktor (status vaksinasi, jenis kelamin, umur, lokasi pesisir/bukit)
yang paling berpengaruh terhadap tingginya titer antibodi CSF.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai persentase hambatan (PI) uji Elisa titer antibodi CSF pada serum babi
yang protektif lebih besar dari60,96%, sedangkan persentase hambatan titer
antibodi yang nonprotektif lebih rendah dari 15,47%. Persentase jumlah titer
antibodi protektif pada kelompok babi yang divaksinasi dan yang tidak
divaksinasi, antar faktor jenis kelamin, umur, dan lokasi geografis beragam (Tabel
1). Pada masing-masing faktor untuk setiap variabel ditemukan adanya antibodi
protektif dan tidak protektif. Adanya antibodi protektif pada kelompok yang tidak
divaksinasi membuktikan bahwa penyakit hog cholera telah endemis di Timor
Leste. Hasil yang sama juga dilaporkan pada temuan persentase antibodi CSF
yang dilakukan di Kupang Nusa Tenggara Timur (Ratundima, et al., 2012).
Tabel 1. Nilai Odd Ratio dan Persentase Antibodi Protektif Terhadap Virus CSF Serum Babi yang
Divaksinasi dan Nonvaksinasi.
Faktor Variabel Antibodi Protektif (%) Odd Ratio
Vaksinasi Nonvaksinasi
Jenis Kelamin Jantan
70,8 a**
(85/120)
10,8 a*
(13/120) 1.50
Betina
79,2 a**
(95/120)
22,5 a*
(25/120)
Umur 0- 6 Bulan
78,3 a**
(94/120)
15 a*
(18/120) 0.94
> 6 Bulan
71,7 a**
(86/120)
18,3 a*
(22/120)
Letak Geografis Pesisir
77,5a**
(93/120)
20 a*
(24/120) 0.78
Bukit
72,5 a**
(87/120)
13,3 a*
(16/120)
Faktor Vaksinasi Vaksinasi 75,0a
(180/240) 15.00
Nonvaksinasi 16,7b
(40/240)
Keterangan: Huruf yang sama antar baris dalam satu faktor menunjukan hubungan berbeda tidak nyata (P >
0,05). Tanda** dan tanda * berarti menunjukan hubungan berbeda sangat nyata (P < 0,01)
antar kolom pada faktor yang sama
Babi-babi yang telah terpapar infeksi alami maka dalam tubuh babi itu akan
terbentuk antiodi. Hal ini juga dapat disebabkan induk dari babi itu telah pernah
divaksinasi sehingga maternal antibodi akan diturunkan kepada anaknya
(Suradath, at al., 2007)., antibodi maternal bertahan sampai usia 4,5 bulan,
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [246]
tetapidalam beberapa individu, antibodi maternal dapat dideteksi lebih lama (OIE
2009).Dilaporkan pada daerah endemis dengan sejarah vaksinasi induk yang tidak
jelas, maternal antibodi hog cholera yang diturunkan pada anak babi bertahan
lebih dari umur 4 minggu (Margaretha, 2014).
Pada kelompok yang divaksinasi terdapat antibodi nonprotektif dapat
disebabkan oleh netralisasi dari antibodi yang telah terbentuk pada infeksi alam
(Sarosa et al., 2004), adanya maternal antibodi, dan faktor genetik dari individu
yang tidak mampu atau lambat merespon terbentuknya antibodi (Szent-Ivanyi,
1977; Van Oirschot, 2003). Hal lainnya karena ada reaksi silang dengan genus
virus pesti yang lain seperti virus Bovin viral diare (BVD) (Chenet al., 2012),
dan akibat reaksi non spesifik dengan faktor lain (OIE 2009).
Efektivitas vaksin antivirus untuk mengurangi infeksi virus berbeda antara
jantan dan betina. Persentase jumlah dari babi betina yang menunjukkan titer
protektif lebih tinggi, namun perbedaan itu tidak berbeda nyata (P>0.05).
Dilaporkan hal ini disebabkan faktor hormon, gen, dan faktorspesifik lain (Klein,
2012).
Pada faktor umur jumlah babi dengan persentase antibodi protektif tidak
berbeda nyata (P > 0.05). Jika anak babi divaksin terlalu awal, pada hal induk babi
sudah divaksinasi CSF, maka bentuk hambatan respons kekebalan berupa reaksi
netralisasi dari antibodi maternal yang masih tinggi titernya terhadap virus vaksin
yang masuk tubuh, sehingga mengakibatkan virus vaksin tersebut tidak dapat
menstimulir sistem kekebalan untuk memproduksi antibodi (Saroso,et al., 2004,
Nathasha, 2014, Suradhat, et al., 2007).
Pada kelompok babi yang divaksinasi di lokasi pesisir dan bukit
mempunyai jumlah babi dengan persentase antibodi positif/protektif 77,5% dan
72,5%, sedangkan pada kelompok yang tidak divaksinasi jumlah babi dengan
persentase antibodi positif yaitu 22,5% dan 27,5%. Baik pada kelompok yang
divaksinasi, dan kelompok yang tidak divaksinasi nilai itu tidak berbeda nyata
(P>0.05).
Berdasarkan pengamatan faktor vaksinasi, jenis kelamin, umur saat
vaksinasi dan letak geografis maka faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan
jumlah babi dengan titer antibodi protektif adalah status vaksinasi yaitu dengan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [247]
nilai odd ratio 15. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam keberhasilan
program vaksinasi hog cholera adalah strain virus yang digunakan sebagai antigen
(Precausta etal.,1983;Terpstraetal.,1990 dalam Suradhat et al., 2007). Strain virus
yang sesuai akan memberikan perlindungan yang lebih baik (VanOirschot, 2003).
Sistem cold chain diperlukan untuk mempertahankan suhu optimal penyimpanan
dan pendistribusian vaksin dari produsen sampai kepada pemakai. Fluktuasi suhu
yang tidak terkontrol menyebabkan panas bisa merusak vaksin. Jadi sangat
penting menjaga suhu yang benar selama penyimpanan dan pendistribusian vaksin
(WHO, 1998).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian dengan teknik ELISA untuk mendeteksi antibodi
terhadap virus Classical Swine Fever di empat distrik di Timor-Leste dapat
disimpulkan bahwa: Faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan persentase
antibodi CSF pada babi di Timor-Leste adalah status vaksinasi dengan odd ratio
15.
Saran
Disarankan dalam pencegahan penyakit hog cholera sangat diperlukan
melakukan vaksinasi secara menyeluruh terhadap semua babi yang ada didaerah
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Chen, L.J., X.-Y. Dong, M.-Q. Zhao, H.-Y. S., J.-Y. Wang, J.-J. Pei, W.-J.
Liu,Y.-W. Luo, C.-M. Ju and J.-D. Chen, 2012. Classical swine fever virus
failed to activatenuclear factor-kappa b signaling pathway both in vitro and
in vivo. Virology Journal, 9:293.
Klein S.L., 2012.Sex Influences Immune Responses to Viruses, and Efficacy of
Prophylaxis and Treatments for Viral Diseases. Diunduh 4 April 2014
dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23012250
Narita, M., K. Kawashima, K. Kimura, O. Mikami, T. Shibahara, S. Yamada and
Y. Sakoda, 2000. Cholera Virus Comparative Immunohistopathology in
Pigs Infected with Highly Virulent or Less Virulent Strains of Hog
Cholera Virus. Pathologists. American College of Veterinary Pathologists,
European College of Veterinary Pathologists, & the Japanese College of
Veterinary. Published by:. Veterinary Pathology Online.
National Satatistic Directorate (NSD) and United Nations Population Fund
(UNFPA), 2011. Poppulation and Housing Census of Timor-Leste.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [248]
Volume 4: Suco Report.
OIE, 2009. Classical Swine Fever. Terrestrial Animal Health Code.
Ratundima, EM., IN Suartha, IGNK Mahardika, 2012. Deteksi Antibodi terhadap
Virus Classical Swine Fever dengan Teknik Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay. Lab Virologi dan Lab Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
Rumenapf, T. H. 1990. Cloning, Sequencing and Expression of the Genome of
Classical Swine Fever Virus. Inaugural-Dissertation, Fachbereich
Veterinar Medizin, Justus-Liebig-Universitat, Giessen, Germany.
Sarosa, A., Sendow, I., dan Syafriati, T., 2004. Penagamatan Satus Kekebalan
Terhadap Penyakit Hog Cholera dengan teknik Neutralization Peroxidase
Linked Assay. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan veteriner).
Suradhat, S., S. Damrongwatanapokin, R. Thanawongnuwech, 2007. Factors
Critical for Successful Vaccination Against Classical Swine Fever in
Endemic Areas. Faculty of Veterinary Science, Chulalongkorn University,
Henri-Dunant Road, Bangkok 10330, Thailand Virology
Section.Veterinary Microbiology 119 1–9.
Szent-Ivanyi, T., 1977. Eradication of Classical Swine Fever in Hungary.
Proceedings of the CEC.
Terspstra, C. 1991. Classical Swine Fever: an Update of Present Knowledge,
British Vet. J. 147: 397-406.
Tizard, Ian R., (2002). Veterinary Imunology an Introduction. Published by W.B.
Saunders Company.
Van Oirschot, JT. 2003. Vaccinology of Classical Swine Fever: From Lab to Field.
Veterinary Microbiology 96, 367-384.
WHO, 1998. Safe Vaccine Handling, Cold Chain and Immunization. Global
Programme for Vaccine and Immunization. Geneva.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [249]
PENGUJIAN MORFOLOGI SPERMATOZOA PADA BERBAGAI BREED
BABI MENGGUNAKAN PEWARNAAN EOSIN-NIGROSIN DAN
CARBOFLUCHSIN
Annisa Fithri Lubis 1), R Iis Arifiantini2), WM Nalley3), Bondan Achmadi4)
1) Mahasiswa Program Studi Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 2) Staf pengajar Divisi Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi, dan
Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 3) Staf pengajar Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
4) PLP Ahli Muda, Divisi Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi, dan
Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
* Corresponding author: [email protected]
ABSTRAK
Morfologi spermatozoa merupakan salah satu parameter penting dalam
menentukan kualitas semen. Abnormalitas spermatozoa yang tinggi dapat
memengaruhi fertilitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan
morfologi spermatozoa pada berbagai breed babi dengan teknik pewarnaan eosin-
nigrosin dan carbofluchsin, serta mempelajari abnormalitas primer (kepala) pada
spermatozoa berbagai breed babi menggunakan pewarnaan carbofluchsin dan
abnormalitas sekunder (ekor) dengan preparat natif (formol-saline). Sumber
semen diperoleh dari enam breed babi. Hasil penelitian menunjukkan morfologi
spermatozoa babi yang diuji sangat baik dengan jumlah abnormalitas spermatozoa
hanya 8,80±0,06%. Abnormalitas spermatozoa primer (2,97±0,01%)lebih tinggi
(p<0,05) dibandingkan abnormalitas spermatozoa sekunder (2,23±0,01%).
Abnormalitas primer tertinggi terdapat pada breed Backshire sebanyak 4,1% dan
terendah pada breed Pietrain 1,8%. Abnormalitas sekunder tertinggi terdapat pada
breed Backshire sebanyak 4,7% dan terendah pada breed Landrace hanya 0,8%.
Hasil uji independent T-testmenunjukkan morfologi spermatozoa babi dengan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [250]
pewarna eosin-nigrosin tidak berbeda dengan pewarnaan carbofluchsin (p>0,05).
Kata kunci: abnormalitas spermatozoa, eosin-nigrosin, carbofluchsin, formol-
saline, babi
ABSTRACT
Sperm morphology was one of theimportantparametersin determiningof semen
quality.Highspermabnormalitiesnumber will affectthe fertility. The
objectivesofthis research weretocompare themorphologyof boar
spermatozoainvariousbreedswitheosin-nigrosin andcarbolfuchsin
stainingtechnique, andto evaluate sperm primary abnormality(head)
usingcarbolfuchsinstainingandsecondarysperm abnormalities(tail)
withnativepreparations(formol-saline). The results demonstratedall breeds had a
good sperm morphology, total sperm abnormality was only8.80±4.40%. Total
primary spermatozoa abnormality (2.97±0.34%) higher (p<0.05) than secondary
spermatozoa abnormalities (2.23±0.57%).The highest primary abnormality (4.1%)
found in Backshire breed, and the lowest (1.8%) demonstrated by Pietrain breed.
Secondary spermatozoa abnormalities was highest in Backshire breed 4.7% and
the lowest demonstrated by Landrace breed (0.8%).Independent T-test showed
that there was no significant difference in sperm morphology between eosin-
nigrosin andcarbofluchsin stainingtechnique (p>5%).
Keywords:sperm abnormality, eosin-nigrosin, carbolfluchsin, formol-saline, boar
Keywords:sperm abnormality, eosin-nigrosin, carbofluchsin, formol-saline, boar
PENDAHULUAN
Teknologi reproduksi yang digunakan pada peternakan babi di Indonesia
saat ini masih terbatas dengan inseminasi buatan (IB). Salah satu faktor yang
memengaruhi keberhasilan suatu IB terletak pada kualitas semen yang
diinseminasikan (Atiq et al. 2011), yaitu unggul baik motilitas maupun
viabilitasnya. Morfologi spermatozoa merupakan salah satu parameter penting
dalam menentukan kualitas semen karena abnormalitas spermatozoa yang tinggi
dapat memengaruhi fertilitas. Klasifikasi abnormalitas spermatozoa berbeda-beda
antar peneliti dan antar laboratorium penguji. Menurut Ax et al. (2000),
abnormalitas pada spermatozoa dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok:
abnormalitas primer (kepala dan akrosom spermatozoa), abnormalitas sekunder
(midpiece cytoplasmic droplet), dan abnormalitas tersier (kerusakan pada ekor).
Abnormalitas juga dapat bersifat genetik sehingga diturunkan ke generasi
berikutnya, seperti knobbed acrosome deffect. Abnormalitas dapat bersifat mayor
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [251]
karena mengganggu fertilitas, atau bersifat minor karena tidak mengganggu
fertilitas (Chenoweth 2005).
Pengamatan morfologi adalah mengamati bentuk spermatozoa yang
normal dan abnormal. Pengujian abnormalitas spermatozoa dapat dilakukan
menggunakan preparat natif atau dengan teknik pewarnaan. Beberapa teknik
pewarnaan telah dilakukan untuk mempermudah dalam mengamati morfologi
spermatozoa. Menurut Barth dan Oko (1989) teknik fiksasi dan pewarnaan
spermatozoa dibedakan atas dua metode yaitu metode kering dan metode basah.
Pewarnaan dengan metode kering dapat menggunakan eosin-nigrosin, eosin-
aniline blue, Feulgen staining technique, giemsa solution, acid-fast stain dan
pewarnaan fluorescent. Metode pewarnaan basah dapat berupa fiksasi
spermatozoa di dalam larutan formol-saline.
Mengingat banyak teknik pewarnaan yang dapat digunakan dan
abnormalitas dibedakan antara primer dan sekunder, maka penelitian ini bertujuan
untuk membandingkan morfologi spermatozoa pada beberapa breed babi dengan
teknik pewarnaan eosin-nigrosin dan carbofuchsin.
MATERI DAN METODE
Penampungan Semen
Semen ditampung dari 12 ekor babi jantan yang telah dewasa kelamin.
Dari breed Backshire, Duroc, Pietrain, Hampshire, Landrace dan Yorkshire
masing-masing 2 ekor, milik Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Siborong-
borong dan “Allegrindo” di Sumatra Utara, serta “Ngalah” dan “PT. Fajar
Semesta Indah” di Kalimantan Barat, menggunakan teknik masase atau gloves
hand method pada bagian corpus penis dengan bantuan dummy sow (Arifiantini,
2012).
Pewarnaan Semen:
Preparat Natif (Formol-saline)
Preparat natif dibuat dengan cara meneteskan semen yang sudah
diencerkan dengan larutan formol-saline (6,19 g di-sodium hydrogen phosphate
dehydrate, 5,41 g sodium chloride, 2,54 g potassium dihydrogen phosphate, 125
ml formaldehyde solution (37%) dan 875 ml aquades) dengan perbandingan 1 :
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [252]
100 (10 µl semen dengan 990 µl formol-saline).
Pewarnaan Eosin-nigrosin
Pembuatan preparat ulas dilakukan dengan cara mencampur semen segar
dan eosin-nigrosin (20 g nigrosin dan 1,5 g sodium sitrat dalam 300 ml distilated
water ditambah eosin yellow 3,3 g (Barth dan Oko 1989), dengan perbandingan
1:2 (Arifiantini, 2012). Selanjutnya dibuat preparat ulas tipis pada gelas objek dan
dikeringkan di atas meja pemanas (heating table).
Pewarna Carbofuchsin
Pewarnaan carbofuchsin (Williams stein) diawali dengan pembuatan
preparat ulas dengan menggunakan semen segar (fresh semen)kemudian
dikeringkan kemudian disimpan.Preparat kemudian difiksasi diatas api
bunsen.Preparat ulas yang sudah difiksasi, dicuci dengan larutan alkohol absolut
selama 4 menit dan dikeringudarakan. Direndam dalam chloramin solution 0,5%
selama 1-2 menit kemudian dicuci dalam distilated water dan alkohol
95%.Preparat diwarnai dengan pewarnaan Williamsdengan cara direndam selama
8-10 menit.Hasil pewarnaan dibersihkan dengan cara dibilas dengan air mengalir
dan dikeringkan (Arifiantini et al., 2006).
Pengamatan Morfologi Spermatozoa
Pengamatan morfologi spermatozoa dilakukan pada preparat yang telah
diwarnai dengan pewarnaan eosin-nigrosin dan pewarnaan carbofuchsin, serta
preparat natif. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya
Olympus CX21. Morfologi spermatozoa diamati pada 500 sel pada tiap preparat.
Prosedur Analisis Data
Tiap jenis abnormalitas dihitung jumlahnya, untuk mengetahui jumlah
abnormalitas baik primer maupun sekunder, dan dianalisis secara deskriptif. Data
disajikan dalam bentuk rerata dan simpangan baku. Hasil penghitungan
abnormalitas juga dibandingkan antara teknik pewarnaan eosin-nigrosin dengan
pewarnaan carbofuchsin. Analisis data dilakukan denganindependent T-test
menggunakan SPSS16.
HASIL DAN PEMBAHASAN
AbnormalitasPrimer Spermatozoapada Beberapa Breed Babi
Abnormalitas spermatozoa pada penelitian ini diklasifikasikan menjadi
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [253]
dua, yaitu abnormalitas primer (pada bagian kepala) dan abnormalitas sekunder
(pada bagian ekor). Persentase abnormalitas primer spermatozoa terbanyak adalah
knobbed acrosome defect (1,10±0,01%) dan abnormal contour (0,92±0,01%).
Knobbed acrosome defect merupakan bentuk abnormalitas yang ada pada kepala
spermatozoa, berupa adanya dark-staining area atau penebalan keluar pada ujung
kepala (Barth dan Oko 1989). Pada babi, abnormalitas ini dapat terjadi selama
proses spermatogenesis. Abnormal contour(Gambar 1, (i)) merupakan
abnormalitas berupa kelainan bentuk pada kepala spermatozoa (Arifiantini et al.,
2010).
Persentase abnormalitas primer spermatozoa terendah yaitu double head
(0,02±0,00%) dan abaxial (0,02±0,00%) (Tabel 1). Abnormalitas pada bagian
kepala ini dapat menyebabkan kegagalan spermatozoa untuk membuahi sel telur.
Menurut Sutkevičienė dan Žilinskas (2004), faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap terjadinya abnormalitas spermatozoa adalah umur, breed, status
kesehatan dan nutrisi, serta faktor genetik dari ternak.
c
b
a
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [254]
Gambar 1Abnormalitas primer spermatozoa:pearshaped (a dan b),
macrocephalus (c), microcephalus (d dan f), narrow at the base (e),
round head (g dan h), abnormal contour (i)
Tabel 1 Hasil pengujian abnormalitas primer spermatozoa babi dari beberapa breed dengan teknik
pewarnaan carbolfuchsin
Jenis abnormalitas Rata-rata (sel) Persentase (%)
Pear shape 0,92±0,15 0,18±0,03
Narrow at the base 1,42±0,60 0,28±0,12
Tappered head 0,33±0,33 0,07±0,07
Abnormal contour 4,58±1,15 0,92±0,23
Round head 0,67±0,40 0,13±0,08
Macrocephalus 0,67±0,17 0,13±0,03
Microcephalus 0,42±0,2 0,08±0,04
Double head 0,08±0,08 0,02±0,01
Abaxial 0,08±0,08 0,02±0,01
Knobbed acrosome deffect 5,50±1,67 1,10±0,34
Detached head 0,17±0,17 0,03±0,03
Total abnormalitas 14,83±1,67 2,97±0,34
Normal 485,17±1,67 97,03±0,34
Abnormalitas Sekunder Spermatozoa pada Beberapa Breed Babi
Abnormalitas sekunder (Tabel 2) pada ekor dengan jumlah terbanyak
adalah bent tail (1,17±0,01%). Bent tail (Gambar 2, a dan b) merupakan
abnormalitas spermatozoa dengan ekor yang melipat. Abnormalitas sekunder
spermatozoa terbanyak kedua adalah coiled tail (0,60±0,01%) (Tabel
2).Spermatozoa dengan abnormalitas coiled tail disebabkan karena udara yang
dingin serta kondisi lingkungan yang hipoosmotik(Mekasha et al., 2007).
Abnormalitas coiled tailmengalami gangguan motilitas, dan akan menyebabkan
spermatozoa tidak dapat mencapai tempat fertilisasi sehingga gagal untuk
membuahi sel telur. Namunmenurut Kawakami et al. (2005), kelainan coiled tail
f
e d
g
h i
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [255]
denganbentuk double folded masih dapat melakukan fertilisasi secara in-vitro.
Tabel 2 Abnormalitas sekunder spermatozoa babi dari beberapa breed denganformol-saline
Jenis Abnormalitas Rata-rata (sel) Persentase (%)
Bent tail 5,83±2,91 1,17±0,58
Coiled tail 3,00±1,09 0,60±0,22
Ekor patah 2,33±0,68 0,47±0,14
Total Abnormalitas 11,17±2,87 2,23±0,57
Normal 488,83±2,87 97,77±0,57
Persentase total abnormalitas primer spermatozoa (2,97±0,34%) pada
beberapa breed babi menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan
persentase total abnormalitas sekunder spermatozoa (2,23±0,57%) (Tabel 1 dan
2). Abnormalitas primer spermatozoa umumnya disebabkan gangguan langsung
pada epitel tubulus seminiferus, namun tidak dapat diasumsikan bahwa
abnormalitas primer lebih berpengaruh terhadap fertilitas dibandingkan dengan
abnormalitas sekunder (Chenoweth 2005).
Abnormalitas sekunder spermatozoa juga berpengaruh terhadap
keberhasilan fertilisasi. Spermatozoa dengan abnormalitas pada ekor seperti coiled
tail dan bent tail, akan menunjukkan pergerakan yang tidak progresif (Purwantara
et al., 2010), sehingga menyebabkan kegagalan untuk mencapai tempat fertilisasi.
Gambar 2 Abnormalitas spermatozoa sekunder: bent tail (a dan b), coiled tail (c)
Perbandingan Pengujian Abnormalitas Spermatozoa dengan Pewarnaan
Eosin-nigrosin dan Carbofuchsin
Pewarnaan spermatozoa berfungsi untuk membantu proses pengamatan
morfologi dan morfometri spermatozoa. Pewarnaan eosin-nigrosin merupakan
double staining untuk memberikan efek kontras sehingga memberi batas yang
c
b
a
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [256]
jelas pada sel. Pewarnaan eosin-nigrosin selain untuk mengamati morfologi, dapat
juga untuk menghitung jumlah spermatozoa yang hidup dan mati. Spermatozoa
hidup tidak berwarna sedangkan spermatozoa mati akan berwarna merah
(Ermayanti dan Suarni 2010). Pewarnaan carbolfuchsin merupakan pewarnaan
dengan zat warna eosin dan zat warna dasar basic fuchsin golongan trifenil
methan yang umum digunakan untuk mewarnai sitoplasma. Kelebihan dari teknik
pewarnaan carbolfuchsin yaitu sangat praktis karena pewarnaan dan evaluasi
dapat dilakukan pada waktu yang berbeda. Selain itu, larutan chloramin yang
digunakan akan membuat preparat lebih bersih, sehingga mempermudah dalam
pengamatan morfologi spermatozoa (Arifiantini 2012).
Abnormalitas jenis pearshaped, abnormal contour, dan knobbed acrosome
defect menunjukkan hasil yang berbeda nyata, sedangkan untuk jenis abnormalitas
lainnya tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (Tabel 3).Secara
keseluruhan, hasil uji menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara pewarnaan
eosin-nigrosin dan carbolfuchsin pada taraf nyata (α) 5%. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa antara pewarnaan eosin-nigrosin dengan carbolfuchsin,
keduanya memiliki kualitas yang sama baiknya dalam pengujian abnormalitas
spermatozoa babi.
Tabel 3 Nilai abnormalitas beberapa breed babi untuk pewarnaan eosin-nigrosindan carbolfuchsin
Jenis abnormalitas Eosin-nigrosin Carbolfuchsin
Rata-rata±SE Range Rata-rata±SE Range
Pear shaped (%) 0,40±0,16a 0,0-1,2 0,18±0,03b 0,0-0,4
Narrow at the base (%) 0,13±0,05 0,0-0,6 0,28±0,12 0,0-0,8
Tappered head (%) 0,07±0,03 0,0-0,4 0,07±0,06 0,0-0,4
Abnormal contour (%) 0,33±0,14b 0,0-1,2 0,92±0,23a 0,2-2,0
Undeveloped (%) 0,02±0,01 0,0-0,2 0,00±0,00 0,0-0,0
Round head (%) 0,22±0,06 0,0-0,4 0,13±0,08 0,0-0,8
Macrocephalus (%) 0,23±0,04 0,0-0,6 0,13±0,03 0,0-0,2
Microcephalus (%) 0,17±0,09 0,0-1,0 0,08±0,04 0,0-0,2
Double head (%) 0,02±0,01 0,0-0,2 0,02±0,01 0,0-0,2
Abaxial (%) 0,02±0,01 0,0-0,2 0,02±0,01 0,0-0,2
Knobbed acrosome defect
(%) 3,23±0,38a 1,0-5,6 1,10±0,33b 0,0-3,6
Detached head (%) 0,02±0,01 0,0-0,2 0,03±0,03 0,0-0,4
Bent tail (%) 2,07±1,15 0,0-14,6 2,53±0,99 0,2-13,8
Coiled tail (%) 0,03±0,03 0,0-0,4 0,48±0,21 0,0-2,6
Total (%) 6,95±1,10 2,6-18,8 5,98±1,31 1,6-18,8
Normal (%) 93,05±1,10 81,5-97,4 94,02±1,31 81,6-98,4
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [257]
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai
berbeda nyata (P>0.05) berdasarkan independent T-Test
Pemilihan teknik pewarnaan dalam pengujian morfologi spermatozoa
dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Jika dalam pengujian morfologi sekaligus
ingin dilakukan penghitungan jumlah spermatozoa hidup dan mati, maka teknik
yang dapat dipilih yaitu pewarnaan eosin-nigrosin. Pewarnaan carbolfuchsin dapat
dipilih jika pewarnaan tidak bisa langsung dilakukan di lapangan setelah
penampungan semen. Semen yang telah ditampung, dapat dibuat preparat ulas dan
diwarnai dengan teknik carbolfuchsin pada waktu yang berbeda.
Perbandingan Abnormalitas Primer dan Sekunder Spermatozoa pada
BeberapaBreed Babi
Hasil penghitungan abnormalitas primer dan sekunder spermatozoa pada
beberapabreed babi dianalisis secara deskriptif, hasilnya
menunjukkanabnormalitas primer spermatozoa tertinggi terdapat pada
breedBackshire sebanyak 20.50±0.50 (4.1%) dan terendah pada breed Pietrain
9.00±0.00 (1.8%) (Tabel 4). Abnormalitas sekunder spermatozoa tertinggi
terdapat pada breed Backshire sebanyak 23.50±21.50 (4.7%) dan terendah pada
breed Landrace hanya 4.00±1.00 (0.8%) (Tabel 4). Tanpa melihat jenis
abnormalitas spermatozoa, abnormalitas spermatozoa terendah terdapat pada
breed Landrace danHampshire dengan persentase abnormalitas terendah,
yaitu3,70±2,10% dan 3,80±0,00%,Morfologi abnormalitas spermatozoa yang
paling tinggi terdapat pada breed Backshire yaitu 8,80±4,40% (Tabel 4),
Tabel 4 Abnormalitas primer dan sekunder spermatozoa pada berberapa breed babi
Breed n
Sperma-tozoa
Normal
(sel)
Abnormalitas
spermatozoa Total
Abnormalitas
(sel)
Persentase
abnormalitas
(%) Primer
(sel)
Sekunder
(sel)
Backshire 2 456,00±22,00 20,50±
0,50
23,50±
21,50 44,00±22,00 8,80±4,40
Duroc 2 476,00±3,00 15,00±
0,00
9,00±
3,00 24,00±3,00 4,80±0,60
Hampshire 2 481,00±0,00 12,00±
0,00
7,00±
0,00 19,00±0,00 3,80±0,00
Landrace 2 481,50±10,50 14,50±
9,50
4,00±
1,00 18,50±10,50 3,70±2,10
Pietrain 2 476,00±0,00 9,00±
0,00
15,00±
0,00 24,00±0,00 4,80±0,00
Yorkshire 2 473,50±0,50 18,00±
3,00
8,50±
2,50 26,50±0,50 5,30±0,10
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [258]
Abnormalitas primer diuji menggunakan teknik pewarnaan carbolfuchsin, abnormalitas sekunder
diuji dengan formol-saline
Hasil penelitian dari seluruh babi yang diuji menunjukkan morfologi
spermatozoa yang baik dengan abnormalitas tertinggi hanya 8,80±4,40%,Menurut
Ax et al. (2000), abnormalitas spermatozoa yang melebihi 20% dapat menurunkan
fertilitas. Rendahnya abnormalitas spermatozoa babi-babi tersebut dapat dipahami
mengingat babi-babi yang digunakan adalah pada umur produktif dan dipelihara
pada peternakan babi yang telah menerapkan manajemen pemeliharaan yang baik.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Abnormalitas primer lebih tinggi dibandingkan abnormalitas sekunder
pada spermatozoa babi. Pewarnaan eosin-nigrosin dan carbolfuchsin memiliki
kualitas yang sama baiknya, sehingga dapat digunakan untuk pengamatan
morfologi spermatozoa babi.
Saran
Penelitian lanjutan perlu dilakukan pada sampel yang lebih banyak untuk
mengetahui perbedaan antara pewarnaan eosin-nigrosin dan carbolfuchsin dalam
pengamatan morfologi spermatozoa babi.
DAFTAR PUSTAKA
Arifiantini RI. 2012. Teknik Koleksi dan Evaluasi Semen pada Hewan. Bogor
(ID): IPB Pr.
Arifiantini RI, Purwantara B, Riyadhi M. 2010.Occurrence of Sperm Abnormality
of Beef Cattle at Several Artificial Insemination Centers in Indonesia. Anim
Reprod. 12(1):44-49.
Arifiantini RI, Wresdiyati T, Retnani EF. 2006. Kaji Banding Morfometri
Spermatozoa Sapi Bali (Bos Sondaicus) Menggunakan Pewarnaan Williams,
Eosin, Eosin Nigrosin aan Formol-saline. J Sain Vet. 24(1):65-70.
Atiq N, Ullah N, Andrabi SMH, Akhter S. 2011. Comparison of Photometer With
Improved Neubauer Hemocytometer and Makler Counting Chamber For
Sperm Concentration Measurement In Cattle. J Vet. 31(1):83-84.
AxRL, Dally MR, Didion BA, Lenz RW, Love CC, Varner DD, Hafez B, Bellin
ME. 2000. Semen Evaluation. Hafez ESE, Hafez B, editor. Reproduction in
Farm Animal. Ed 7. US: Wiliams & Wilkins.
Barth AD, Oko RJ. 1989. Abnormal Morphology of Bovine Spermatozoa. Iowa:
Iowa States University Pr.
Chenoweth, PJ. 2005. Genetic sperm defect. Theriogenol. 64:457-468.
Ermayanti NGAM, Suarni NMR. 2010. Kualitas spermatozoa mencit (Mus
musculus L.) setelah perlakuan infus kayu Amargo (Quassia amara Linn.)
dan pemulihannya. J Bio. 1:45-49.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [259]
Kawakami E, Ozawa T, Hirano T, Hori T, Tsutsui T. 2005. Formation of
Detached Tail And Coiled Tail Of Sperm In A Beagle Dog. J Vet Med Sci.
67:83-85.
Mekasha Y, Tegegne A, Martinez HR. 2007. Sperm Morphology Attributes in
Indigenous Male Goat Raised Under Extensive Husbandry in Ethiopia.
AnimReprod. 4:15-22.
Purwantara B, Arifiantini RI, Riyadhi M. 2010. Sperm Morphological
Assessments of Friesian Holstein Bull Semen Collected From Three
Artificial Insemination Centers in Indonesia. J Indones Trop Anim Agric.
35(2):89-94.
Sudrajat DF. 2003. National Report on Animal Genetics Resources Indonesia.
Jakarta (ID): Ministry of Agriculture, Directorate General of Livestock
Service, Directorate of Animal Breeding.
Sutkevičienė N, Žilinskas H. 2004. Sperm Morphology and Fertility in Boar
Artificial Insemination. Vet Ir Zootech. 26(48):11-13.
DIFERENSIASI COLIBACILLOSIS PADA BABI BERDASARKAN LESI
HISTOPATOLOGI
(STUDI RETROSPECTIF)
I Ketut Berata, I Made Kardena dan Ida Bagus Oka Winaya
Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Colibacillosis pada babi berdasarkan lesi histopatologi dikenal 2 bentuk yaitu
bentuk enteritis karena enterotoksin Escherichia coli (ETEC) dan bentuk oedema
karena enteropatogenik E. coli (EPEC). Diferensiasi dari kedua bentuk tersebut
penting diteliti dalam membantu mendiagnosa dan menanggulangi penyakit di
lapangan. Kasus colibaccilosis yang digunakan sebanyak 25 sampel dari babi
yang telah didiagnosa terinfeksi E. coli. Dari babi kasus dilakukan nekropsi
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [260]
kemudian diambil jaringan usus, paru-paru, hati, ginjal, limpa, jantung dan otak.
Jaringan dibuat sediaan histopatologi dengan teknik embedding bloking paraffin
dan pewarnaan hematoksilin eosin (HE). Variabel pemeriksaan dilakukan
berdasarkan adanya peradangan dan edema pada seluruh jaringan. Hasil yang
diperoleh adalah enteritis dan pneumonia terjadi pada seluruh kasus (100%), baik
pada anak babi (≤ 4 minggu) maupun umur disapih (>4 minggu). Lesi edema pada
usus anak babi terjadi 100%, sedangkan pada babi umur sapih 89,5%. Pada paru-
paru terdapat lesi edema masing-masing 50% pada anak babi dan 73,7% pada
babi umur sapih. Lesi peradangan dan edema pada jaringan hati, ginjal, limpa,
jantung dan otak, kejadiannya lebih kecil dari pada di usus dan paru-paru.
Disimpulkan bahwa secara keseluruhan kasus colibaccilosis babi yang diperiksa
menunjukkan lesi histopatologi akibat kombinasi mekanisme infeksi ETEC
dengan EPEC.
Kata kunci: Colibacilosis, histopatologi, peradangan, edema
DIFFERENTIATION OF THE SWINE COLIBACCILLOSIS BASED ON
HISTOPATHOLOGICAL LESSIONS.
(RETROSPECTIVE STUDY)
ABSTRACT
Swine collibacillosis on histopatologically lessions divided in 2 types are enteritis
types by enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC) and edema types by
enteropathogenic E.coli (EPEC). Both differentiation most important to study for
to help on diagnosed and treatment against colibacilosis in the field. The
colibacilosis samples were used amount 25 samples that had konfirmed as
colibacilosis affected. From the swine cases were took their tissues each intestinal,
lungs, liver, kidney, spleen, heart and brain tissues. All of the tissues were to
made histopathological preparation by paraffin embedded-blocked and stained by
haematoxylin eosin (HE) method. Variables that examined based on the
inflammation and edema lessions on those tissues respectively. Result of the
examination showed enteritis and pneumonia lessions on all of the piglets (≤4
weeks) group and postweaning ages (>4 weeks) group. Oedema lessions on the
intestine of piglets group were 100% and postweaning group were 89,5%. Edema
lessions on the lungs showed 50% on the piglets group and 73,7% on the
postweaning group. Prevalence of the inflammation and edematous lessions in the
liver, kidney, spleen, heart and brain tissues were lower than in intestines and
lungs. The conclussion based on histopathologically on all of the swine
collibaccillosis cases were caused by combine of the mechanism between the
ETEC and EPEC infections.
Keyword: Collibaccilosis, histopathology, inflammation, edeme
PENDAHULUAN
Berdasarkan jumlah kasus penyakit pada babi yang didiagnosa di
Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana,
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [261]
diperoleh kejadian terbanyak adalah Colibacillosis (58,5%). Sehingga penyakit
colibacillosis babi sangat menarik dikaji. Colibacillosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Escherichiacoli, yang sering menyerang saluran
pencernaan babi. Bakteri E.coli banyak dilaporkan sebagai komensal dalam
saluran pencernaan. Sifat komensal E. coli dapat berubah menjadi patogen jika
terjadi perubahan lingkungan yang menguntungkannya dan penurunan status
kekebalan hospes (Brookset al., 2004). Bakteri E.coli patogen dapat
dikelompokkan menjadi E.coli invasif dan noninvasif. Bakteri E.coli invasif dapat
menimbulkan infeksi dengan cara menginvasi sel sehingga disebut juga
EnteroinvasiveE.coli (EIEC). Bakteri E. coli non invasif dapat dibagi lagi menjadi
Enteropathogenik dan Enterotoxigenik. Enteropatogenik dapat dikelompokkan
menjadi dua grup patogen yaitu Enteropatogenic E. coli (EPEC) dan
Enterohemorragi E. coli (EHEC). Grup Enteropatogenik E.coli ini sering
menimbulkan lesi edema pada berbagai jaringan yang umumnya menyertai
perdarahan. Bentuk E.coli ini sering terjadi pada manusia (Bertschinger and Gyles,
1994). Enterotoxigenic adalah jenis grup E. coli patogen yang dapat memproduksi
toksin baik yang tahan panas (heat stabile toxin) atau yang tidak tahan panas (heat
labiletoxin) (Doyle dan Dolores, 2006). Strain patogen dapat memproduksi satu
atau lebih exotoksin yang terikat di intestinal dan akan menyebabkan efek lokal
maupun sistemik. Strain ini sering disebut dengan Enterotoxigenic E.coli (ETEC).
Toxin inilah merangsang usus menjadi hipersekresi cairan, sehingga tampak
sebagai diare.
Escherichia coli, merupakan bakteri Gram negatif, berflagela, koloni
bersifat mukoid halus dan sebagian bersifat β-hemolitik. Ada 5 tipe antigenik
pilus yang ditemukan pada babi yaitu F4 (K88), F5 (K99), F41, F6 (987P) dan
F18. Antigen tipe F4, F5, F41 dan F6 merupakan tipe yang sering menyerang babi
baru lahir. Sedangkan tipe F4 dan F18 menyerang babi masa sapih. Beberapa
strain dapat menyebabkan erosi epitel sehingga disebut attaching and effacingE.
coli (AEEC) (Bertschinger and Gyles, 1994). Antigen tipe F4 (K88) bersifat
hemolitik sedangkan E.coli F41 dan F6 (987P) bersifat non hemolitik (Owusu-
Asiedu et al., 2003).
Patogenesis infeksi E.coli umumnya dimulai bakteri masuk tubuh peroral
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [262]
akan menempel pada reseptor di enterosit melalui pili. Bakteri akan berkolonisasi,
proliferasi dan membentuk enterotoksin, sehingga dapat menyebabkan
peningkatan sekresi cairan (diare). Enterotoksin, endotoksin dan factor adhesin
dapat menyebabkan kerusakan mikrovili dan epitel mukosa usus. Usus besar juga
bisa terjadi kerusakan yang sama (Francis, 1999). Lesi makroskopik berupa
dehidrasi, usus halus dan kolon mengandung cairan serta distensi karena adanya
gas. Secara mikroskopik terdapat perlekatan bakteri coliform di mikrovili dari sel-
sel epitel usus. Beberapa strain E.coli dapat menyebabkan nekrosis dan
thrombosis pada kapiler lamina propria. E.coli pada babi baru lahir, menyebabkan
septicemia dan sering ditandai dengan fibrinus poliserositis dan artritis.
Sedangkan pada banyak kasus pada babi lepas sapih terjadi edema yang menyertai
perdarahan (Bertschinger and Gyles, 1994).
Adanya perbedaan lesi akibat perbedaan antigen yang teridentifikasi pada
colibacillosis babi baru lahir dan babi lepas sapih, maka kasus colibacillosis yang
telah didiagnosis sangat penting dikaji secara retrospektif. Hal ini diharapkan
bermanfaat dalam mencegah dan menanggulangi penyakit colibacillosis pada babi.
MATERI DAN METODE
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional retrospektif dengan
sampel berupa jaringan usus, paru-paru, hati, ginjal, limpa, jantung dan
otak,masing-masing dari 25 ekor babi kasus. Semua kasus babi tersebut positif
terinfeksi Escherichia coli berdasarkan konfirmasi di Laboratorium Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
Pembuatan Preparat Histopatologi
Proses pembuatan preparat dilakukan sesuai metode Kiernan (1990)
dengan tahapan fiksasi, streaming, dehidrasi, clearing, embedding, blocking,
cutting dan staining (pewarnaan). Pewarnaan jaringan dilakukan dengan metode
Harris hematoxylin eosin (HE). Pada pewarnaan HE, sediaan preparat pada gelas
objek direndam dalam xylol 1 dan 2 selama masing-masing dua menit untuk
dilakukan deparafinasi, kemudian dehidrasi dengan perendaman secara berurut-
turut dalam alkohol absolut, alkohol 95%, dan alkohol 80% masing-masing
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [263]
selama dua menit, lalu dicuci dengan air mengalir. Pewarnaan dengan
Hematoksilin dilakukan selama 8 menit, selanjutnya dibilas dengan air mengalir,
lalu dicuci dengan Lithium karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air
mengalir, serta diwarnai dengan Eosin selama 2-3 menit. Sediaan yang diwarnai
eosin dicuci dengan air mengalir lalu dikeringkan. Sediaan dimasukkan ke dalam
alkohol 95% dan alkohol absolut masing-masing sebanyak 10 kali celupan, lalu ke
dalam alkohol absolut lagi selama 2 menit. Selanjutnya ke dalam xylol 1 selama 1
menit dan xylol 2 selama 2 menit. Sediaan kemudian diteteskan dengan perekat
permount dan ditutup dengan gelas penutup dan selanjutnya diperiksa di bawah
mikroskop.
Variabel yang Diperiksa
Setiap jaringan yang diperiksa diidentifikasi terhadap adanya peradangan
dan edema. Lesi peradangan diiidentifikasi berdasarkan adanya sel-sel radang
neutrophil dalam masing-masing jaringan. Sedangkan lesi edema didasarkan pada
adanya ruang kosong sekitar pembuluh darah atau masa eosinofilik dalam
jaringan longgar.
Analisis Data
Data tentang peradangan dan edema di masing-masing jaringan seluruh
kasus collibacillosis babi, ditabulasi dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif
kuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pemeriksaan histopatologi berbagai jaringan masing-masing dengan
lesi peradangan dan edema dari 25 kasus collibacillosis babi, disajikan pada Tabel
1.
Tabel 1. Tabulasi data peradangan dan oedema pada Kolibasilosis Babi
Umur babi
(minggu)
Jaringan ∑ Peradangan ∑ Edema
≤ 4 minggu Usus 6/6=100% 6/6=100%
Paru 6/6=100% 3/6=50,0%
Hati 5/6=83,3% 4/6=66,7%
Ginjal 3/6=50,0% 3/6=50,0%
Limpa 3/6=50% 2/6=33,3%
Jantung 1/6=16,7% 0
Otak 1/6=16,7% 2/6=33,3%
>4 minggu Usus 19/19=100% 17/19=89,5%
Paru 19/19=100% 14/19=73,7%
Hati 8/19=42,1% 10/19=52,6%
Ginjal 8/19=42,1% 9/19=47,4%
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [264]
Limpa 9/19=47,4% 5/19=26,3%
Jantung 2/19=10,5% 2/19=10,5%
Otak 5/19=26,3% 6/19=31,6%
Dari Tabel 1 tersebut tampak bahwa lesi peradangan usus (enteritis) pada anak
babi (umur ≤ 4 minggu) dan umur sapih (> 4 minggu) kejadiannya 100 %. Hasil
ini menunjukkan bahwa usus merupakan predileksi utama dari bakteri E. coli
kasus-kasus yang diteliti. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Francis
(1999) yang menyatakan bahwa beberapa strain memiliki predileksi utama pada
epitel mukosa usus babi, sampai dapat menimbulkan erosi epitel sehingga disebut
attaching and effacingE. coli (AEEC). Lesi edema di usus terjadi 100% pada anak
babi baru lahir, sedangkan pada babi lepas sapih 89,5%. Hasil ini menunjukkan
perbedaan dari laporan Bertschinger and Gyles (1994) bahwa colibacilosis babi
lepas sapih cenderung dominan lesi edema dari pada lesi enteritis. Mengenai hal
ini kemungkinan disebabkan oleh faktor patofisiologis akibat infeksi E.coli.
Patofisiologis terjadinya edema dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya
peningkatan tekanan hidrostatik, hipoproteinemia, obstruksi limfatik, retensi
sodium (gangguan ginjal), dan peradangan itu sendiri (Mitchell and Cotran, 2003).
Kasus-kasus lapangan colibacilosis sangat mungkin merupakan komplikasi dari
infeksi E. coli dengan infeksi agen lain maupun gangguan non infeksius lain.
Peradangan paru-paru (pneumonia) terjadi pada seluruh kasus (100%),
baik pada anak babi (≤4 minggu) maupun umur sapih (>4 minggu). Lesi
peradangan paru-paru yang sama-sama 100% ini menunjukkan bahwa respon
sistem pertahanan paru-paru sangat peka terhadap agen infeksi dari luar maupun
dari sirkulasi darah. Paru-paru merupakan organ tubuh yang paling kaya dengan
kapiler darah (Maitra and Kumar, 2003). Sedangkan lesi oedema masing-masing
50% pada anak babi dan 73,7% pada babi umur sapih. Hal ini sesuai dengan
laporan Bertschinger and Gyles (1994), dimana lesi edema dominan pada babi
lepas sapih.
Peradangan hati (hepatitis) pada babi colibacillosis ditemukan 83,3% pada
anak babi baru lahir dan 42,1% pada babi umur sapih. Sedangkan lesi edema
ditemukan 66,7% pada anak babi baru lahir dan 52,6% pada babi umur sapih. Lesi
peradangan sesuai dengan laporan Bertschinger and Gyles (1994), tetapi lesi
edema tidak sesuai. Tidak konsistennya hasil ini menunjukkan bahwa pola yang
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [265]
dijelaskan Bertschinger and Gyles (1994) mungkin tidak berlaku pada kasus
lapangan penyakit colibacilosis.
Peradangan ginjal (nefritis) ditemukan 50% pada anak babi dan 42,1%
pada babi umur sapih. Sedangkan lesi edema ditemukan 50% pada anak babi dan
47,4% pada babi umur sapih. Kejadian nefritis sesuai dengan laporan Bertschinger
and Gyles (1994), tetapi lesi edema tidak sesuai. Hal ini sama kejadiannya pada
hati, kemungkinan akibat perbedaan faktor yang terlibat sebagai komplikasi
penyakit. Ginjal dapat mengalami nefritis jika kompleks antigen-antibodi
tersangkut dalam glomerulus (Cotran, et al.,2003).
Peradangan pada limpa (splenitis) ditemukan 50% pada anak babi baru
lahir dan 47,4% pada babi umur sapih. Sedangkan lesi edema ditemukan 33,3%
pada anak babi dan 26,3% pada babi umur sapih. Lesi peradangan dan edema
masing-masing sama kejadiannya dengan hati dan ginjal yaitu dalam hal
peradangan sesuai dengan pendapat Bertschinger dan Gyles (1994), tetapi berbeda
dalam aspek edema.
Peradangan pada jantung (myocarditis) ditemukan 16.7% pada anak babi
baru lahir dan 10,5% pada babi umur sapih. Sedangkan lesi edema pada jantung
tidak ditemukan pada anak babi baru lahir dan 10,5% pada jantung babi umur
sapih. Hasil ini sesuai dengan pola yang dijelaskan oleh Bertschinger dan Gyles
(1994). Walaupun kejadian peradangan dan edema persentasenya kecil, tetapi pola
ini mungkin berkaitan dengan peranan jantung sebagai salah satu organ predileksi
bakteri E.coli. Pada kasus colibacillosis babi sering terjadi lesi radang berfibrin
pada jantung (Francis, 1999).
Peradangan otak (encephalitis) ditemukan 16,7% pada anak babi baru lahir
dan 26,3% pada babi umur sapih. Sedangkan lesi edema pada otak ditemukan
33.3% pada anak babi baru lahir dan 31,6% pada babi umur sapih. Lesi
peradangan dan edema pada otak ini berbeda dengan laporan Bertschinger dan
Gyles (1994) yang menyatakan lesi peradangan dominan pada anak babi baru
lahir dan edema dominan pada babi umur sapih. Walaupun persentase
kejadiannya kecil, tetapi pola di otak paling berbeda dengan lesi di jaringan usus,
paru-paru, hati, ginjal, dan jantung. Belum ada laporan berkaitan dengan hal ini,
sehingga perlu penelitian lebih lanjut.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [266]
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kejadian colibacilosis
pada babi yang diteliti merupakan gabungan lesi peradangan dan edema akibat
efek dari enterotoxigenic E.coli (ETEC) dan enteropathogenic E.coli (EPEC).
Saran
1. Perlu penelitian lanjutan tentang strain bakteri E.coli dan tipe antigen yang
menginfeksi babi-babi di Bali
2. Perlu penelitian lanjutan tentang patogenesis (perjalanan penyakit) yang
komprehensif infeksi E.coli pada babi
DAFTAR PUSTAKA
Bertschinger HU. and Gyles CL. 1994. Oedema disease of pigs. In Escherichia
coli in domestic animals and humans. CL. Gyles (ed). Oxon, UK: CAB
International, pp. 193–219.
Brooks, GF. Butel, JS. Morse, SA. 2004. Mikrobiologi Kedokteran Ed 23. Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
Cotran, RS., Rennke, H. and Kumar, V.2003. The Kidneys and Collecting System.
In: Robbins Basic Pathology by Eds : Kumar, V., Cotran, RS, and Robims,
SL. 7th. Ed. Saunders.509-542
Doyle, JE. and Dolores. GE. 2006. Escherichia coli in Diarrheal Disease.
Accessed at http:/em.wikipedia.org/wiki/Esherichia_coli.
Francis, DH. 1999. Colibacillosis In Pigs and Its Diagnosis. Swine Health Prod.
7(5):241-244
Kiernan, J.A.1990. Histological and Histochemical Methods : Theory & Practice.
2nd Ed. Pergamon Press.330-354.
Maitra, A. and Kumar, V. 2003. The Lung and The Upper Respiratory Tractus. In:
Robbins Basic Pathology by Eds : Kumar, V., Cotran, RS, and Robims, SL.
7th. Ed. Saunders.453-508
Mitchell, RN. and Cotran, RS. 2003. Hemodynamic, Disorder, Thrombosis, and
Shock. In: Robbins Basic Pathology by Eds : Kumar, V., Cotran, RS, and
Robims, SL. 7th. Ed. Saunders.79-102
Owusu-Asiedu, A.. Nyachoti, C. M Baidoo, S. K.. Marquardt R. R and Yang. X.
2003. Response of early-weaned pigs to an enterotoxigenic Escherichia
coli (K88) challenge when fed diets containing spray-dried porcine plasma
or pea protein isolate plus egg yolk antibody. J Anim Sci . 81:1781-1789.
Supar. 2001. Pemberdayaan Plasma Nutfah Mikroba Veteriner dalam
Pengembangan Peternakan: Harapan Vaksin Escherichia coli
Enterotoxigenic, Enteropatogenik dan Verotoksigenik 266 ocal 266 e
266ocal untuk Pengendalian Kolibasilosis Neonatal pada Anak Babi dan
Sapi. Wartazoa. Vol 11. Hal 33-43.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [267]
PERAN BABI SEBAGAI RESERVOIR BALANTIDIUM COLI
DALAM PENYEBAB DISENTRI
Ida Ayu Pasti Apsari
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [268]
Balantidium coli merupakan parasit protozoa yang sudah tersebar di seluruh dunia
sebagai penyebab penyakit disentri. Parasit ini paling banyak terdapat di daerah
beriklim panas. Babi berperan sebagai pembawa yang dapat menularkan ke hewan
lain atau manusia. Manusia dapat terinfeksi oleh Balantidium coli akibat menelan
makanan atau air minum terkontaminasi bentuk kista atau tropozoit. Balantidium
umumnya sebagai protozoa komensal pada babi. Keadaan kondisi babi yang
menurun akibat infeksi lain atau status gizi yang buruk dapat meningkatkan peran
babi sebagai reservoir bagi infeksi pada manusia.
Kata kunci : babi, Balantidium coli, komensal, reservoir
ROLE SWINE AS RESERVOIR BALANTIDIUM COLI
THE CAUSE OF DYSENTERY
ABSTRACT
Balantidium coli is a protozoan parasite that is spread all over the world as the
cause of dysentery. These parasites are most numerous in warm climates. Pigs act
as a carrier that can infect other animals or humans. Humans can be infected by
Balantidium coli caused by ingestion of food or water contaminated with cysts
form or tropozoit. Generally as a commensal protozoan Balantidium in pigs. State
of decline due to the condition of pigs other infections or poor nutritional status
may increase the role of pigs as reservoirs for human infection.
Keywords: pig, Balantidium coli, commensal, reservoir
PENDAHULUAN
Ternak babi merupakan hewan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
orang Bali. Setiap keluarga terutama di pedesaan memelihara babi menjadi usaha
sampingan terutama ibu-ibu sebagai tabungan. Dengan demikian ternak babi
berperan penting menunjang perekonomian rakyat di pedesaan. Ternak babi yang
dipilih oleh penduduk di desa untuk dipelihara yaitu babi bali, karena menurut
mereka babi bali lebih mudah pemeliharannya yaitu dapat diberi makanan sisa
atau limbah rumah tangga, lebih tahan penyakit dan lebih mudah pemeliharaannya
dibanding memelihara babi Landrace yang memerlukan perhatian
lebih.Sementara itu sistem pemeliharaanbabi masih sangat tradisional, yaitu
kandang terbuat dari kayu atau bambu atau tumpukan batu tanpa atap, atau hanya
diikat dengan tali di bawah pohon yang sewaktu-waktu dapat dipindahkan
(Budaarsa, dkk., 2012). Dengan adanya sistem pemeliharaan yang tradisional
tersebut, memungkinkan berbagai macam penyakit baik parasiter, bakterial
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [269]
maupun viral berbiak dengan baik akibat keadaan lingkungan becek, kotor dan
bercampurnya feses dan makanan di satu tempat.Keadaan demikian akan
memudahkan babi terinfeksi oleh parasit yang penularannya secara oral (melalui
mulut lewat makanan atau minuman). Salah satu penyakit parasite yang
menyerang babi adalah Balantidiasis yang disebabkan oleh Balantidium coli.
Penyakit ini bersifat zoonosis yaitu menular dari hewan ke manusia maupun
sebaliknya, sehingga perlu penanganan yang serius. Balantidium termasuk parasit
protozoa yang sudah tersebar di seluruh dunia (Soulsby, 1982; Levine, 1995) dan
babi berperan sebagai reservoir (Schuster and Avila, 2008; Poudyal et al., 2011).
Kejadian penyakit pada manusia rendah sekitar 0,77% tetapi keadaan ini dapat
meningkat pada manusia yang sering kontak dengan babi. Infeksi pada babi
sangat tinggi mencapai 63-91% (Schuster and Avila, 2008). Namun menurut
Greeson (1981) infeksi asimptomatik pada manusia mencapai 80%. Pada laporan
kasus di Perancis bahwa Balantidium coli dapat diisolasi dari feses manusia yang
mengalami disentri (Bellanger et al., 2013).
DASAR PEMIKIRAN
Babi di Bali merupakan salah satu hewan ternak yang sangat penting
penunjang perekonomian rakyat. Disamping itu babi menjadi penyedia kebutuhan
masyarakat akan daging yang penting terutama di Bali. Oleh karena itu menjaga
kesehatan babi menjadi hal penting untuk mencegah meluasnya penyakit yang
dapat menular ke manusia (zoonosis). Dua spesies Balantidium yang dapat
menginfeksi babi yaitu : Balantidium coli dan Balantidium suis (Young,
1950;Soulsby, 1982; Levine, 1995). Balantidium coli dapat menular ke manusia,
sedangkan Balantidium suis tidak (Schuster and Avila, 2008). Kedua spesies
Balantidium ini dapat secara bersama-sama menginfeksi pada babi.
Penularan Balantidium terjadi secara langsung melalui mulut, lewat
makanan atau minuman tercemar oleh feses hewan ataupun manusia terinfeksi.
Feses hewan terinfeksi mengandung bentuk tropozoit atau kista dari Balantidium.
Feses encer berasal dari hospes terinfeksi yang mengalami diare, biasanya lebih
banyak bentuk tropozoit yang ada. Namun kondisi ini menjadi sumber potensial
pencemar makanan ataupun air minum (Greeson, 1981; Smith, 2003; Schuster and
Avila, 2008). Bentuk kedua dari Balantidium yang juga memungkinkan ada di
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [270]
lingkungan luar adalah kista. Kista Balantidium dapat mencemari makanan atau
pun air minum, tetapi kista Balantidium termasuk resisten terhadap desinfeksi
seperti clorinasi pada air (Greeson, 1981; Garcia, 1999; Schuster and Avila, 2008),
demikian pula Balantidium merupakan patogen yang mempunyai ukuran besar
sehingga dengan proses sterilisasi air dengan cara penyaringan, tidak efektif
(Garcia, 1999). Melihat kenyataan yang ada seperti diatas, bahwa sangat
memungkinkan sewaktu waktu wabah water borne diseases dapat terjadi.
Tingkat kejadian Balantidiasis pada babi sangat tinggi yaitu mencapai
91%, tergantung juga pada ras babi, cara pemeliharaan, lokasi dan status imun
babi (Schuster and Avila, 2008). Menurut Smith (2003) prevalensi Balantidium
coli pada babi dilaporkan mencapai 20% - 100%. Infeksi Balantidium pada babi
tidak menunjukkan gejala penyakit yang jelas, maka babi disebut sebagai
asymptomatic carrier,artinyaBalantidium coli hidup secara komensal di dalam
usus besar babi. Poudyal et a.l (2011) menyebutkan bahwa babi berperan sebagai
reservoir dari Balantidium.Demikian pula peneliti sebelumnya mengatakan babi
bertindak sebagai carier dari Balantidium coli, sehingga babi telah dianggap
sebagai reservoir penting bagi penularan penyakit. Dengan demikian, orang yang
sering kontak dengan babi mempunyai kemungkinan lebih besar menjadi
terinfeksi Balantidiasis (Esteban et al, 1998).Seperti peternak, pekerja rumah
potong hewan, dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di
peternakan (Giarratana et al., 2012).
PEMBAHASAN
Balantidium coli merupakan parasit protozoa yang dapat menginfeksi babi,
sapi, kuda, onta, anjing, manusia, non human primate, tikus dan hamster (Soulsby,
1982; Levine, 1995; Al-Tayib and Abdoun, 2013). Infeksi pada anjing dan tikus
jarang. Protozoa ini sudah tersebar secara meluas di seluruh dunia. Balantidium
colitermasuk golongan ciliata yang besar. Kista berbentuk bundar sampai ovoid,
berdinding tebal dan rangkap. Diantara dua lapis dindingnya terdapat cilia yang
sewaktu bentuk kista menjadi matang, maka cilia dapat menghilang. Ukuran kista
mencapai 40 – 60 mikron (Soulsby, 1982; Levine, 1995; Schuster and Avila,
2008). Kista Balantidium ini sangat tahan berada di lingkungan luar. Pada kondisi
yang menunjang kista bertahan 2 × 24 berada di suhu ruang. Kista tidak dapat
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [271]
bertahan pada kondisi yang kering, tetapi pada feses yang basah kista masih
bertahan hidup berminggu-minggu. Bentuk kista ini hanya mempunyai
makronukleus. Stadium tropozoit (bentuk vegetatif) dari Balantidium ini
berbentuk ovoid (lonjong), dengan ukuran 30 – 150 mikron × 25 – 120 mikrondan
terdapat lubang dengan saluran yang sederhana berfungsi sebagai mulut,
mempunyai dua buah inti. Inti besar berbentuk seperti ginjal dan inti kecil
terdapat di bagian tengah.Terdapat banyak vakuola makanan yang berisi butir
tepung (makanan utama), pecahan sel, eritrosit dan yang lain. Seluruh permukaan
badan tertutup oleh rambut getar (cilia) yang berfungsi sebagai alat gerak (Levine,
1995). Keadaan ini mengakibatkan Balantidium sangat mudah bergerak, demikian
halnya di media air. Sehingga sangat dimungkinkan Balantidium penularan dapat
melalui air yang tercemar oleh bentuk tropozoit.
Balantidium coli pada babi biasanya komensal di dalam usus besar.
Protozoa ini hidup dari tepung dan ingesta lain serta bakteri yang ada di usus
besar. Secara normal Balantidium tidak mampu merusak mukosa usus, tetapi pada
keadaan jumlah parasit menjadi berlipat di dalam usus sehingga mukosa usus
menjadi luka dan timbul ulkus maka Balantidium dapat berada di pusat ulkus
memperbanyak diri. Balantidium juga menghasilkan hyaluronidase yaitu enzim
yang dapat membantu parasit ini memperbesar luka sehingga timbul kerusakan
yang semakin parah. Akibatnya timbul gejala disentri pada manusia ataupun
hewan terinfeksi (Levine, 1995; Smith, 2003; Bellanger et al., 2013).Tanda klinis
dari infeksi yang terjadi pada manusia atau hewan mulai dari gejala ringan sampai
parah dan dilaporkan dapat menimbulkan peritonitis (Poudyal et al., 2013).
Balantidium coli pada manusia biasanya menyerang pada bagian mucosa usus
besar dengan menimbulkan kongesti dan hiperemi, selanjutnya timbul ulcer yang
meluas sampai bagian kripta dan menyebabkan radang oleh sel radang limposit
dan eosinofil. Protozoa ini dapat menyebar ke bagian lebih dalam dari dinding
usus dan dapatmenyebabkan dinding usus berlubang. Disamping itu Balantidium
coli ini dapat juga menyebar menginfeksi hatidan paru (Pan America Health
Organization, 2003). Ekstra intestinal Balantidiasis juga ditemukan pada ginjal
(Karuna dan Khadanga, 2014).
Babi domestik maupun babi liar menjadi reservoir utama Balantidium
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [272]
coliuntuk penularan ke manusia (Estebanet al., 1998; Solaymani-Mohammadi et
al., 2005). Parasit ini termasuk patogen bersifat komensal pada hospesnya, maka
babi terinfeksi tidak menunjukan gejala (Solaymani-Mohammadi et al., 2004).
Kondisi kesehatan babi yang menurun akibat terinfeksi oleh penyakit lain atau
infeksi parasit lain mengakibatkan infeksi Balantidium colimenjadi meningkat
(Ismail et al., 2010). Infeksi Balantidium pada babi yang meningkat menjadi
sumber penular bagi manusia. Ditemukan juga kasus Balantidiasis pada manusia
dimana sebelumnya tidak pernah ada kontak dengan babi. Keadaan ini terjadi
akibat infeksi antar manusia, yaitu makanan atau minuman tercemar oleh
Balantidium berasal dari feses manusia yang disentri. Demikian pula pada orang
muslim di Mesir, kemungkinan sumber penular berasal dari onta (Cox, 2005).
Sumber penular Balantidium yang utama adalah babi. Babi yang paling
banyak dipelihara oleh masyarakat pedesaan di Bali adalah babi bali, dan sistem
pemeliharaannya kebanyakan masih tradisional. Adanya hal ini berarti peran babi
sebagai penular penyakit disentri menjadi tinggi. Jenis babi yang biasa dipelihara
di Bali yaitu babi bali, Landrace dan Duroc. Kejadian Balantidiasis pada babi
Landrace pernah dilaporkan di Bali (Winaya, dkk., 2011). Berdasar kenyataan ini
artinya menambah daftar sumber penular Balantidium bagi manusia yang sering
kontak dengan babi.
SIMPULAN
Babi merupakan reservoir utama Balantidium colisebagai penular pada
manusia. Penularan infeksi antar manusia dapat terjadi. Kista Balantidium resisten
pada sterilasi air dengan clorinasi. Balantidium coli menjadi satu-satunya ciliata
penyebab disentri pada manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Tayeb, O and Abdoun, KA.2013. Balantidium coli Infectipon in hamadryas
baboon (Papio hamadryas) in saudi arabia: A case report. The Journal of
Animal and Plant Science.23(3): 940-943
Bellanger, AP.; Scherer, E.; Cazorta, A.and Grenoullet, F. 2013. Dysenteric
syndrome due to Balantidium coli : A case report. New Microbiologica 56 :
203-205
Cox, F.E., 2005. Human balantidiasis in Iran: are camels reservoirhosts? Trends.
Parasitol. 21, 553.
Esteban, J.G., Aguirre, C., Angles, R., Ash, L.S., Mas-Coma, S., 1998.
Balantidiasis in Aymara children from the northern Bolivian Altiplano.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [273]
Am. J. Trop. Med. Hyg. 59, 922–927.
Garcia, L.S. (1999). Flagellates and ciliates. Clin. Lab.Med. 19 : 621-638.
Giarratana, F.; Muscolino D.; Taviano G.; Zino G. 2012. Balantidium coli in Pigs
Regularly Slaughtered at Abattoirs of the Province of Messina: Hygienic
Observations. Open Journal of Veterinary Medicine, 2 : 77-80. Scientific
Research.
Ismail, H.A., Jeon H.K., Yu Y.M., Do C., Lee Y.H. (2010).Intestinal parasite
infections in pigs and beef cattlein rural areas of Chungcheongnam-do,
Korea.Korean J. Parasitol. 48, 347-349.
Karuna, T. and Khadanga, S. 2014. A rare case of Urinary Balantidiasis in an
Elderly renal failure patient. Tropical Parasitology.volume 4 issue 1. Jan
2014.
Levine, N.D. 1995. Protozoologi Veteriner. Edisi bahasa Indonesia. Penerjemah
Prof.Dr.drh.Soeprapto Soekardono, MSc. Dan Prof.Dr.Mukayat Djarubito
Brotowidjojo, MSc. Penerbit Gadjah Mada University Press.
Poudyal, N., R. Baral, N. Gyawali, R. Gurung and R.Amatya (2011). Intestinal
infection withmultiple parasites including Balantidium coli.Health
Renaissan. 9 (1): 45-46.
Schuster, F.L. and L. Ramirez-Avila (2008). CurrentWorld Status of Balantidium
coli. Clin.Microbiol. Rev. 21(4): 626-638.
Solaymani-Mohammadi, S., Rezaian, M., Anwar, M.A., 2005.Human
balantidiasis in Iran: an unresolved enigma? Trends.Parasitol. 21, 160–161.
Solaymani-Mohammadi, S., Rezaian, M., Hooshyar, H., Mowlavi,G.R., Babaei,
Z., Anwar, M.A., 2004. Intestinal protozoa in wildboars (Sus scrofa) in
western Iran. J. Wildl. Dis. 40, 801–803.
Smith, S. 2003. The Parasite: Balantidium coli. The Disease: Balantidiasis.
Stanford University.
Soulsby, E.J.L. 1982. Protozoa. In Helminth, Arthropods and Protozoa of
domesticated animals. 7th Ed. Bailliere Tindall London: 507-759
Young, M.1950. Attempts to transmit human Balantidium coli. Am. J. Trop.Med.
Hyg. 30:71–72.
Winaya, I.B.O; Berata, I K.dan Apsari, I.A.P. 2011. Kejadian Balantidiasis pada
Babi Landrace. Jurnal Veteriner 12(1) : 65-68
BABI SEBAGAI HEWAN PILIHAN UNTUK HEWAN COBA
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [274]
I Komang Wiarsa Sardjana
Departemen Klinik Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
Jalan Mulyorejo Kampus C Unair Surabaya 60115
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui hewan coba sudah
berkembang secara luas didunia termasuk Indonesia, berbagai studi/experimen
yang telah dilakukan memberikan hasil yang sangat positif untuk kepentingan
kemajuan IPTEK disatu sisi maupun kesejahteraan masyarakat disisi yang lain
yang sangat bermanfaat. Babi sebagai hewan ternak ikut memberikan kontribusi
dan berperan sebagai hewan coba yang dipergunakan dalam berbagai kegiatan
studi/experimen.
Kata kunci : studi/experimen hewan coba – babi
PENDAHULUAN
Aktualisasi penggunaan Hewan Coba dalam pelaksanaan program
penelitian sering digunakan di Indonesia, yang banyak hal dipergunakan dalam
penelitian terapan maupun penelitian experimental.
Penggunaan hewan coba dalam program penelitian banyak digunakan
dalam berbagai bidang keilmuan seperti halnya Biotechnologi, Imunologi,
Farmakologi, Fisiologi maupun Bedah Experimental dan Terapan.
Penggunaan hewan coba sebagai hewan model dalam studi/experimen
yang dilakukan tidak terlepas dengan pilihan terhadap species, strain, umur, sex
dan status kesehatan dan berapa yang dibutuhkan dari hewan coba yang
bersangkutan ( Tuffery A.A., 1995 )
Pilihan terhadap babi sebagai hewan coba dikarenakan sering digunakan
dalam berbagai studi/experimen melalui prosedur pembedahan (Lumley JSP et al.,
1990 )
Pierre Gallix (1990) dan Waynforth H.B. & P.A. Flecknell (2007)
menyampaikan bahwa berbagai penelitian dibidang pembedahan yang sangat luas
cakupannya meliputi:
1. Bedah Rekonstruksi
1.1. Rekonstruksi Trachea dan Oesophagus
1.2. Rekonstruksi Tractus Digestivus
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [275]
1.3. Rekonstruksi Sistim Perkemihan (Urogenitalia)
1.4. Rekonstruksi Cardiac dan Vascularisasi
1.5. Rekonstruksi Orthopedi dan Plastik/Kosmetik.
2. Bedah Transplantasi
2.1. Transplantasi Organ, Sel dan Jaringan
2.2. Teknik Pengambilan Organ, Penyimpanan Organ dan Reimplantasi Organ
2.3. Transplantasi multi Organ.
3. Biomaterial dan Teknologi baru
3.1. Studi pembaharuan protipe dan modifikasi
3.2. Studi pembaharuan aplikasi dari produk yang digunakan dan pembelajaran
fungsi dari produk yang digunakan.
APLIKASI DARI STUDI/EXPERIMEN tersebut meliputi :
1. Prothese dan Organ Artificial yang diimplantasikan melalui studi
Biocompatibilitas,
Seperti halnya:
1.1. Prothese cardiac, valve dan vascular
1.2. Pancreas artificial, Kulit artificial
1.3. Prothese untuk bedah Orthopedi dan bedah plastik
2. Dukungan peralatan dalam kegiatan pembedahan:
2.1. Peralatan Circulation extra corporel (mesin jantung paru) yang
memberikan dukungan terhadap sistim sirkulasi dan pernafasan
2.2. Peralatan Anestesi dan Reanimasi
2.3. Peralatan Dialisa dan Ultrafiltrasi
2.4. Peralatan Diagnostik laboratorium
2.5. Peralatan Diagnostik lainnya seperti: Magnetic Resonance Imaging (MRI),
Sanner, Ultrasonography (USG), X-ray, Kateterisasi untuk ; vascular dan
Liquide Cephalo-Rachidien (LCR),Urinaire dan biliaire.
Electrocardiography (ECG), Electroencephalography (EEG).
LOKASI DAN KEBUTUHAN PUSAT STUDI/EXPERIMEN HEWAN
COBA
Sebagai tempat atau Pusat kegiatan studi/experimen hewan coba tentunya
dibutuhkan lokasi yang permanen dan memadai sebagai aktivitas riset untuk
menjawab berbagai persoalan dan tantangan dibidang ilmu pengetahuan dan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [276]
teknologi, memiliki akses yang mudah dicapai didalam komplex
Lembaga/Institusi sehingga memudahkan para akademisi sebagai anggota
kelompok studi untuk beraktifitas.
1. Kandang Hewan Coba, terdiri dari:
1.1. Tikus dengan luasan 35 m2 memiliki 120 box
1.2. Kelinci dengan luasan 35 m2 memiliki 80 box
1.3. Anjing/Kucing dengan kapasitas 40 box a’ 2 m2
1.4. Ruminantia Kecil (Kambing,Domba,Anak Sapi) dengan kapasitas 20 box a’
6 m2
1.5. Babi dengan kapasitas 20 box a’6 m2
2. Laboratorium Diagnostik
Dibutuhkan untuk menunjang kegiatan studi/ penelitian yang dilakukan
untuk memperoleh hasil yang efektif dan akurat dan bersifat “urgent” dari aktifitas
studi/ experimen yang dilakukan.
Instrumen laboratorium yang dibutuhkan meliputi sarana prasarana
laboratorium sesuai dengan standard laboratorium.
3. Laboratorium Radiologi
Memiliki fasilitas untuk X-Ray, Scanner, USG dan MRI disamping
fasilitas untuk melakukan Kateterisasi, Angiography dan Angioplasty transcutan.
Disamping itu diperlukan sarana pemeriksaan EKG maupun EEG
4. Ruang Operasi
Memiliki 4 blok Ruang Operasi yang meliputi 1 blok untuk Preparasi, 1
blok untuk Operasi Klasik , 1 blok Operasi untuk Operasi besar yang bersifat
khusus seperti bedah/transplan Jantung, Hepar, Ginjal, Paru dan Orthopedi serta 1
blok untuk bedah mikro, yang kesemuanya ditunjang dengan peralatan bedah
yang sesuai dengan standard.
5. Ruang Sterilisator
Dibutuhkan untuk mempersiapkan sarana dan prasarana operasi dengan
Autoclave Oven untuk membuat steril pakaian,drap, kap, masker, gloves,kasa dan
perban steril, pembalut sepatu dan instrumen bedah baik yang ada diruang blok
Operasi maupun yang akan digunakan.
MENGAPA STUDI/EXPERIMEN DENGAN HEWAN COBA SANGAT
DIPERLUKAN?
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [277]
Tujuan utama dari studi atau experimen melalui hewan coba dalam
pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dibidang Kedokteran,
Biomedik dan Farmasi, khususnya untuk peningkatan kualitas hidup manusia
maupun peningkatan kualitas/ pengembangan teknologi Kedokteran melalui
berbagai studi/experimen yang dilakukan.
Manfaat yang sangat berguna dan dirasakan secara langsung oleh
masyarakat ilmiah maupun masyarakat pada umumnya adalah berbagai kemajuan
dan temuan-temuan baru dibidang IPTEK menjadi pendorong bagi kesejahteraan
masyarakat.
Produktifitas yang dihasilkan sebagai wujud kebersamaan dari berbagai
disiplin keilmuan yang bekerja bersama dalam studi/experimen yang dilakukan,
mendorong untuk dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Pembentukan Studi/experimen (Center of Animal Laboratory
Experimentation) dengan personalia yang memiliki latar belakang
keilmuan dari berbagai disiplin ilmu untuk formasi yang dibutuhkan sesuai
dengan kegiatan studi/experimen yang dilakukan.
2. Dibutuhkan dukungan sarana prasarana dan fasilitas dalam kegiatan
studi/experimen dalam Institusi atau Kelembagaan yang ada.
3. Dibutuhkan ketersediaan berbagai hewan model sebagai hewan coba yang
berfungsi sebagai obyek studi/experimen yang dilakukan.
4. Pengembangan studi/experimen yang terdahulu disamping temuan
teknologi/hasil studi yang baru sebagai upaya peningkatan hasil
studi/experimen terkini sebagai wujud dari peningkatan dan
pengembangan teknologi.
5. Pemanfaatan berbagai temuan-temuan maupun pengembangan yang
dilakukan sebagai institusi/lembaga ilmiah oleh para Akademisi (Staf
Pengajar Fakultas/Universitas) dalam studi akhir Strata 1, spesialis, strata
2 maupun strata 3.
6. Pemanfaatan semua hasil studi/experimen untuk dipublikasikan baik
dalam jurnal ilmiah yang berskala lokal, Nasional maupun Internasional.
7. Dengan semangat multi disiplin sebagai Institusi, membangkitkan spirit
keilmuan untuk membangun masyarakat sehat dan sejahtera melalui
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [278]
pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
KOLABORASI ANTAR DISIPLIN ILMU
Keberhasilan dari kegiatan studi/experimen melalui hewan coba tidak bisa
dilepaskan dari dukungan bersama antar disiplin ilmu yang ada , Para Klinikus
khususnya bersama para kolega dari Bagian Anatomi Pathologi dan Histologi,
Pathologi Klinik/Hematologi, Biokimia, Physiologi dan Imunologi serta Bagian
Statistik memberikan kontribusi nyata dalam berbagai kegiatan dari
studi/experimen pada hewan coba yang dilakukan.
Langkah dari kolaborasi juga dilakukan dengan melibatkan sektor swasta
yang memberikan kontribusi sebagai partisipasi publik, sehingga tampak mata
rantai dari kesinambungan antara Akademisi (Pusat Studi Hewan Coba) dan
Pengusaha Swasta yang perduli dan Goverment/Pemerintah yang dalam hal ini
dari Pihak Universitas dan Pemerintah Daerah.
SKEMA KEGIATAN STUDI/EXPERIMEN HEWAN COBA
Menurut A.A. Tuffery (1995); JSP Lumley et al.(1990); H.B. Waynforth
1. STUDI KEPUSTAKAAN
2. PENENTUAN LANGKAH KEGIATAN
3. FEASIBLE UNTUK DILAKSANAKAN
PEMBAHASAN
PROTOKOL
EXPERIMEN HEWAN
COBA
PROTOKOL
EXPERIMEN HEWAN
COBA
PILIHAN MODEL
EXPERIMEN HEWAN
COBA
PROTOKOL
DEFINITIF
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [279]
& P.A. Flecknell (2007) bahwa Kegiatan aktual dari Studi/Experimen pada hewan
coba sampai dengan saat ini mempresentasikan kegiatan bedah experimen
dibidang organ transplan menempati mayoritas kegiatan.
Sebagaimana yang dipahami bahwa sifat dan pengaruh Immuno-suppresif
dari Cyclosporine telah diketahui lebih dari puluhan tahun yang lalu, yang telah
memberikan manfaat dalam terapi pada organ transplan.
Kemajuan yang telah diperoleh dari pemberian terapi ini tidak hanya
berhubungan dengan transplantasi organ baru sebagai organ donor seperti
intestinal dan pulmo yang memiliki sensibilitas terhadap reaksi penolakan tubuh
tetapi juga dipraktekan dalam transplantasi multi organes seperti renal- pancreas ;
jantung- paru ; liver-pancreas – intestinal.
Keberhasilan dari bedah experimen dibidang organ transplan tidak terlepas
dari keberhasilan yang telah dilakukan dibidang organ transplan melalui
percobaan pada hewan terlebih dahulu yang telah memberikan kontribusi
keberhasilan transplantasi organ pada manusia untuk memperbaiki kualitas hidup
manusia yang bersangkutan.
Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari keberhasilan melakukan berbagai
percobaan yang telah dilakukan pada hewan coba seperti halnya :
1. Teknik pembedahan untuk pengambilan organ baik dalam bentuk simple
maupun multiple.
2. Teknik penyimpanan/konservasi organ yang baik untuk bisa
ditransplantasikan dengan hasil yang baik.
3. Teknik bedah reimplantasi dengan tingkat keberhasilan yang baik
4. Teknik biopsi organ yang ditransplan sebagai kontrol terhadap hasil
transplan organ yang dilakukan.
5. Studi pendalaman berkaitan dengan penanganan faktor Immuno-
supression sebagai upaya keberhasilan dari organ transplan yang dilakukan.
MENGAPA BABI MENJADI PILIHAN SEBAGAI MODEL HEWAN
COBA
Lumley JSP(1990) dan Gallix P.(1990) menyatakan bahwa penentuan
pilihan terhadap hewan model sebagai hewan coba ditujukan terhadap tujuan
studi/experimen yang dilakukan.
Dari sisi anatomi dan ukuran tubuh hewan coba sangat penting dan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [280]
sebagai hewan coba, babi sebagai species mammalia memiliki kesamaan secara
luas dengan manusia yang berhubungan dengan sistim cardiovascular, respirasi
sistim maupun sistim persyarafan termasuk sistim muskulo-skeletal.
Sebagai hewan golongan omnivora tentunya memiliki kesamaan dengan
nutrisi sebagaimana yang menjadi asupan nutrisi hewan coba yang bersangkutan.
Babi membutuhkan 6 nutrien esensial yang terdiri dari air, protein,
karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin. Jumlah bahan pakan berserat dalam
ransum babi tidak lebih dari 5% dengan kualitas yang baik seperti tepung daun
alfalfa, bijian seperti jagung, hijauan yang berfungsi sebagai vitamin sedang kan
Protein yang berkualitas dalam bentuk suplemen premix.
Kualitas protein dicerminkan dari kandungan asam aminonya, terdapat 10
macam asam amino esensial seperti arginin, histidin, isoleusin, leusin, lisin,
methionin, fenilalanin, triptofan dan valin. Demikian juga kebutuhan lemak dalam
unsur pakan baibi tetap dibutuhkan tidak lebih dari 5%
Kandungan karbohidrat merupakan komponen utama untuk memenuhi
kebutuhan energi, TDN yang dikenal sebagai Total Digestible Nutrient digunakan
untuk memperkirakan kebutuhan akan energi. Energi metabolis atau energi
tersedia dapat pula dianggap sebagai ukuran yang lebih baik untuk mendasari
perhitungan.
Kebutuhan mineral, disamping garam dapur, kalsium (Ca) merupakan
mineral yang paling dibutuhkan oleh babi, dan sebagai sumber Kalsium dari
ntepung tulang, tepung dari kulit kerang yang digiling. Kebutuhan yodium juga
diperlukan untuk pertumbuhan, kebuntingan maupun periode laktasi. Demikian
juga dengan kebutuhan zat besi dan tembaga untuk pembentukan hemoglobin dan
kejadian anemia yang sering terjadi pada babi, garam yodium dapat ditambahkan
dalam ransum pakan sebesar 0,5%.
Kebutuhan magnesium diperlukan untuk pengontrolan otot, kontraksi dan
keseimbangan tubuh, sedangkan Phosphor dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
perkembangan kerangka dan Zn dibutuhkan untuk kesehatan kulit dan
pertumbuhan, sedang garam dapur (NaCl) adalah mineral yang paling umum
dibutuhkan dimana kebutuhan minimum adalah 0,2%-0,5%.
Vitamin A,D,E,K sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan maupun
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [281]
reproduksi termasuk juga pemberian vitamin B1, B6 maupun B12(James Blakeley
dan David H. Bade, 1991).
Gambar 1 : Babi sebagai hewan coba untuk kegiatan bedah experimen
Gambar 2 : Proses pemasangan kateter pada arteri carotis pada babi.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [282]
Gambar 3 : Pemasangan kateter pada arteri Carotis babi.
KATETERISASI PADA BABI
Pada beberapa gambar dibawah ini menunjukan bahwa penggunaan babi
sebagai hewan coba dalam studi/experimen melalui pembedahan daerah leher
pada babi untuk pemasangan kateter pada arteri Carotis.
Studi tersebut dilakukan berhubungan dengan sistim ventilator dalam
pembaruan sistim Mesin Anestesi.
Keputusan untuk menggunakan babi sebagai hewan coba khususnya dalam
pembedahan untuk experimen memberikan kontibusi yang berhubungan dengan:
1. Babi sebagai hewan coba yang baik digunakan dalam program
pembedahan.
2. Teknik pembedahan pada hewan coba babi memudahkan untuk ditindak
lanjuti pada hewan coba dari jenis yang lebih kecil.
3. Chronic canulation bisa terjadi.
4. Monitoring utk pemeriksaan MRI, Radiography, Angiography sangat baik.
5. Bisa dilakukan anestesi dengan durasi yang lama (Fleknell P.A. 1987)
SIMPULAN
Babi sebagai hewan coba sangat baik dipergunakan dalam studi/experimen
khususnya dalam kaitan dengan teknologi bedah. Bedah experimen memberikan
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [283]
hasil yang baik dengan babi sebagai hewan coba.
KEPUSTAKAAN
Diah Kusumawati. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Gajah Mada
University Press.
Flecknell P.A.1987. Laboratory Animal Anaesthesia, Comparative Biology
Centre The Medical School, Newcastle Upon Tyne, UK. Academic Press.
Gallix Pierre, 1992. Le Laboratoire de Chirurgie Experimentale. Faculte de
Medecine Necker Enfants Malade, Universite Rene Descartes.
James Blakely dan David H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan , Gajah Mada
University Press.
Lumley JSP, CJ Green, P Lear, J E Angell-James. 1990 Essentials of
Experimental Surgery Butterworth & Co. (Publishers) Ltd.
Tuffery A.A. 1995. Laboratory Animals An Introduction for Experimenters. John
Wiley & Sons Ltd.
Waynforth H.B., Fleknell P.A. 2007. Experimental and Surgical Technique in the
Rat. Elsevier Academic Press.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [284]
INTRODUKSI VAKSIN ETEC DALAM MENURUNKAN KEJADIAN
DIARE AKIBAT ENTEROTOXIGENIC ESCHERICHIA COLI PADA
ANAK BABI
Nyoman Suyasa dan IAP. Parwati
Balai Pegkajian Teknologi Pertanian Bali
Jalan Bypass Ngurah Rai – Pesanggaran PO Box 3480
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Peningkatan penduduk di Indonesia dan peningkatan pendapatan perkapita
membutuhkan ketersediaan pangan hewani bermutu tinggi. Salah satu pangan
hewani bermutu tinggi adalah daging babi. Di Bali peternakan babi sudah
memasyarakat sejak dulu, dan saat ini berkembang mengarah ke arah peternakan
yang berorientasi usaha. Pengkajian ini dilakukan di desa Belanga Kecamatan
Kintamani, Bangli. Kajian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian
vaksin ETEC pada induk bunting terhadap penurunan kejadian diare pada anak
babi. Menggunakan 24 ekor induk babi peranakan Landrace yang dipelihara oleh
masyarakat, yang diberikan pakan komersial yang dicampur dengan bahan lokal
yang ada disekitar. Minum diberikan secara ad libitum. 12 ekor induk diberikan
vaksin ETEC secara intra muskular pada umur kebuntingan 70 – 75 hari dan 100
– 105 hari, sedangkan yang 12 ekor induk lainnya diamati sebagai kontrol. Hasil
kajian menunjukkan anak yang dilahirkan oleh induk perlakuan 8,17 sedangkan
oleh induk kontrol 8 ekor/induk. Anak babi yang mengalami diare pada perlakuan
dan kontrol adalah 0,95 (11,63%) dan 7,04 (88%). Sedangkan anak babi yang
mengalami kematian pada umur pra sapih 2,16 (27%) pada kontrol dan 0,7
(8,57%) pada induk yang divaksin dan anak yang dapat disapih per kelahiran pada
kontrol dan perlakuan berturut-turut 5,84 (73%) dan 7,47 (91,43%). Dapat
disimpulkan pemberian vaksin ETEC pada induk babi bunting sangat efektif
mencegah kejadian diare yang disebabkan oleh Enterotoksigenik Escherichia coli
pada anak babi pra sapih sehingga meningkatkan jumlah anak yang dapat disapih.
Kata kunci : vaksin ETEC, babi peranakan Landrace, diare, pra sapih
ABSTRACT
The increase inpopulationin Indonesiaand increasedper capitaincomerequiresthe
availability ofhigh-qualityanimal food. One of thehigh-gradeanimal foodispork. In
Balipig farmhas beensocializedsince the first, andis currentlydevelopingleadsin
the directionof business-oriented farms. The assessmentwas conductedinthe
village ofKintamani districtBelanga, Bangli. The studyaimstodetermine the effect
ofETECvaccineonpregnantmothertodecreasethe incidence ofdiarrhea inpiglets.
Using 24crossbredLandracesowstailismaintained by the community,
givencommercialfeedmixed withlocal materialsthat exist around. Drinkinggivenad
libitum. 12breedingETECvaccineisgivenintramuscularingestation70-
75daysand100-105days, whiletheother12breedingobservedascontrols. The results
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [285]
ofthe studyshowedthatchildrenborn tothe motherby thetreatmentof
8.17whileholdingcontrol8heads /master. Pigletswith diarrheain thetreatment and
control groupswas0.95(11.63%) and7.04(88%). Whilepigletsdyingat the age
ofpre-weaning 2.16(27%) inthe controland0.7(8.57%) in
thevaccinatedparentandchildcan beweanedper litterinthe
controlandtreatmentrespectively5.84(73%) and7.47(91.43%). It can be
concludedETECvaccineinpregnantsowsare veryeffective in preventingthe
incidence ofdiarrhea causedbyEscherichiacoliEnterotoksigeniconpre-weaning
pigletsthereby increasing thenumber of childrenwhocan beweaned.
Keywords: ETECvaccine, Landracecrossbred, diarrhea, pre-weaning
PENDAHULUAN
Populasi penduduk Indonesi yang sekitar 225 juta orang memerlukan
kesediaan pangan hewani bermutu tinggi, dan aman untuk dikonsumsi. Akan tetpi
ketersediaan pangan hewani ini sangat ditentukan oleh tingkat pendapatan dan
kesadaran akan gizi yang baik (Ahmad Suryana, 2008). Rataan konsumsi pangan
hewani asal daging, susu dan telur masyarakat Indonesia adalah 4,1 ; 1,8 dan 0,3
gram/kapita/hari (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). Daging babi merupakan
salah satu sumber protein hewani yang bergizi, maka dari itu harga daging babi
dari tahun ke tahun terus meningkat. Di Bali peternakan Babi sejak dulu telah
memasyarakat terutama di daerah pedesaan, dan saat ini terus berkembang dan
banyak terdapat peternakan menengah – besar yang mensuplai daging babi ke
pasaran. Perkembangan ternak babi di Bali dalam kurun waktu 5 tahun terakhir
(2008 – 2012), menunjukkan kestabilan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah populasi
babi yang ada dari tahun 2008, 924.397 ekor dan tahun 2012 jumlah populasi
890.402 ekor, terjadi peningkatan rata-rata 0,92%/tahun (Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Prov. Bali, 2012). Adapun jenis babi yang dipelihara di Bali
adalah : Babi Bali, Landrace, Saddle Back dan peranakannya. Komposisi Populasi
Babi bali, Landrace dan Saddle Back beserta peranakannya untuk tahun 2012
adalah 284.531 ekor; 459.823 ekor, dan 146.048 ekor. Peternakan babi lebih
banyak dipelihara didaerah pedesaan dan pola pemeliharaan ada dikelola secara
sederhana namun ada yang dikelola menuruti manajemen semi modern (Berata,
I.K. et al. 2008).
Apabila dilihat dari pengeluaran ternak babi dari Bali ke daerah lain dalam
kurun waktu 5 tahun mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Data Dinas
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [286]
Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Bali (2012) menunjukkan tahun 2008
pengeluaran Babi hanya 380 ekor meningkat menjadi 85.387 ekor tahun 2012.
Begitu pula dengan pengeluaran produk/bahan yang berasal dari daging babi,
seperti daging beku rata-rata mencapai 383.591 kg/tahun dan daging olahan untuk
tahun 2008 tidak ada sedangkan tahun 2012 pengeluaran produk olahan ini
mencapai 1.389.775 kg.
Dalam beternak tentu ada kendala, dan kendala yang paling sering dalam
peternakan babi adalah kematian ternak. Baik akibat terserang penyakit maupun
akibat yang lain. Kasus yang tidak kalah pentingnya dalam meningkatkan
mortalitas (kematian) babi terutama anak babi umur muda adalah diare/mencret
putih, atau sering juga disebut dengan Kolibasilosis karena disebabkan oleh
bakteri Escherichia coli. Pengobatan dan pengendalian penyakit infeksius
(bakterial) secara medikasi dengan sediaan obat-obatan antibiotik bukan lagi
menjadi pilihan yang terbaik, selain karena kurang efektif berhubung dengan
resistensi multipel (Supar et al., 1990 ; Poernomo et al., 1992 dalam Supar, 2001),
juga menyebabkan bahaya sampingan yang cukup potensial berkaitan dengan
cemaran, residu antibiotika dan kimia toksik pada produk-produknya. (Widiastuti
dan Murdiati, 1995). Menurut Supar (2001), Enterotoksigenik Escheria coli
merupakan penyebab utama diare pada anak babi dan sapi neonatal. Untuk itulah
kajian ini bertujuan untuk melihat dampak pemanfaatan vaksin ETEC yang
diberikan pada induk babi untuk mencegah terjadinya diare putih pada anak babi
yang baru dilahirkan, serta menurunkan angka kematian. Apalagi menurut
Sjamsul Bahri dan Kusumaningsih (2005), peluang Indonesia dalam hal
pengembangan vaksin sangat besar karena adanya potensi berupa teknologi
pembuatan vaksin, sumberdaya manusia, produsen vaksin, serta sumberdaya
plasma nutfah berupa mikroorganisme lokal yang sesuai untuk mengatasi
penyakit di Indonesia.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di desa Belanga kecamatan Kintamani Bangli.
Menggunakan 24 ekor induk babi peranakan landrace yang dipelihara oleh
masyarakat. Babi dipelihara dalam kandang permanen dan diberikan pakan
komersial 2 kali sehari pagi dan sore hari dan beberapa diantaranya ada yang
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [287]
menambahkan pakan lokal yang diperoleh dari kebun milik sendiri. Untuk minum
diberikan secara ad libitum. Umur kebuntingan babi peranakan Landrace adalah
114 hari dengan rata-rata anak yang dilahirkan 10 ekor per induk. 12 ekor induk
babi yang lagi bunting diberikan perlakuan berupa injeksi intramuskular vaksin
ETEC sebanyak 2 ml/injeksi/ekor. Pemberian vaksin dilakukan 2 kali, pertama
saat umur kebuntingan 70 – 75 hari dan yang kedua pada saat umur kebuntingan
100–105 hari. Sedangkan yang 12 ekor lagi dipakai sebagai pembanding,
dipelihara seperti biasa namun tanpa diberikan vaksinasi ETEC pada induknya.
Parameter yang diamati adalah jumlah anak yang lahir per induk, kejadian diare
pada anak babi, tingkat kematian (mortalitas) pada anak babi sampai umur lepas
sapih (+ 3 bulan).
Data selanjutnya dianalisis secara deskriptif, persentase dan t – Test untuk
melihat perbedaan antara yang diberikan vaksin dengan yang tidak. Dan untuk
mengetahui tingkat keuntungan yang diperoleh dari usahaternak babi dilakukan
analisis usahatani untuk mengetahui BC ratio, Titik impas Porduksi dan titik
impas harga.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Vaksinasi Pada Babi
Ke-12 ekor induk babi yang diberikan divaksinasi tidak ada menunjukkan
gejala sakit pasca vaksinasi. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya perubahan kondisi pada ternak pasca pemberian vaksinasi. Hal ini juga
dapat dilihat dari tidak adanya gejala sakit yang ditunjukkan oleh induk yang
divaksinasi seperti penurunan nafsu makan, demam dan aborsi atau gejala lainnya
yang menunjukkan bahwa ternak dalam keadaan sakit.
Dari seluruh ternak yang diamati 88,89% diantaranya sudah melahirkan
dan rata-rata anak yang lahir dari ternak kontrol adalah 8 ekor/induk sedangkan
dari induk yang diberikan vaksin ETEC 8,17 ekor/induk, ada selisih antara yang
divaksin dengan tidak 0,17 ekor.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [288]
Tabel 1. Rata-rata kejadian Diare, kematian Pra Sapih dan Jumlah Anak yang dapat disapih
No. Perlakuan Rata-rata anak
yang lahir (ekor)
Diare Mati Pra Sapih Anak yang dapat
disapih
Ekor % ekor % ekor %
1. Kontrol 8 7,04 88 2,16 27 5,84 73
2. Vaksinasi 8,17 0,95 11,63 0,7 8,57 7,47 91,43
Selisih 0,17 6,09 76,37 2,1 26,32 2,27 26,27
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa dari pemberian vaksin ETEC multivalen pada
induk babi menunjukkan bahwa anak-anak babi yang lahir dan mengalami diare
pada babi montrol jauh lebih tinggi yaitu 7,04 ekor (88%), sedangkan anak-anak
yang lahir dari induk yang di berikan vaksinasi hanya 0,95 ekor (11,63%) yang
mengalami diare. Diantara induk-induk yang diberikan vaksinasi ada anak-
anaknya yang lahir tidak mengalami diare sama sekali. Namun secara umum rata-
rata 1 ekor diantara 8 ekor anaknya. Kalau dilihat selisih antar induk yang
divaksin dengan yang tidak divaksin selisih mencapai 6,09 ekor atau 76,37%,
cukup tinggi kalau dilihat dari faktor kejadian diare.
Dilihat dari tingkat kematian pra sapih, anak babi yang dilahirkan dari
induk tanpa vaksinasi mencapai 2,16 ekor (27%), jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan anak dari induk yang divaksinasi, tingkat kematian hanya 0,7 ekor
(8,57%). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Supar baik di Tangerang dan
Medan memberikan hasil yang konsisten yaitu untuk kasus diare turun dari rata-
rata 30% menjadi 4,2% dan kematian turun dari 21% menjadi 3,7% (Supar, 1995
dalam Supar, 2001). Kematian pada anak babi lebih sering terjadi pada umur
muda, umur 2 – 4 minggu. Kematian pada anak sapi akibat diare yang disebabkan
oleh Escherichia coli juga sering terjadi pada umur muda. Supar (1986) dalam
Supar et al. (1997) menemukan bahwa kematian akibat diare pada anak sapi dapat
mencapai 19,9% pada umur minggu pertama. Hal ini menunjukkan bahwa
kejadian diare pada ternak baik sapi maupun babi pada umur muda cukup tinggi
bahkan sering menyebabkan kematian kalau tidak ditangani dengan segera.
Dengan adanya kematian anak babi pada umur muda maka jumlah anak yang
dapat disapihpun menjadi menurun. Tabel 1 menunjukkan bahwa anak-anak babi
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [289]
yang dapat disapih pada kontrol hanya 5,84 ekor (73%), sedangkan pada induk
yang mendapatkan vaksinasi mampu memperoleh anak yang disapih 7,47 ekor
(91,43%). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian vaksinasi ETEC pada induk
yang sedang bunting mampu menurunkan kejadian diare pada anak-anak babi
umur muda, yang kalau tidak ditangani akan berakibat fatal yaitu berupa kematian.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arifn dan Supar (1995) juga menunjukkan
bahwa vaksin ETEC dapat menekan angka kematian anak babi pra sapih. Hal ini
juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Rai, dkk. (2004) bahwa
vaksinasi ETEC menunjukkan titer anti bodi Ig G dan Ig A dari induk babi yang
divaksinasi sangat nyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan induk yang tanpa
vaksinasi, anti bodi pada induk babi akan diturunkan oleh induknya lewat air susu
pertama (kolustrum ), sehingga dapat disimpulkan bahwa anak-anak babi yang
lahir dari induk yang divaksin mempunyai kekebalan terhadap kuman E. coli,
sehingga pada pengkajian ini sangat kecil kejadian diare pada anak-anak babi
yang mendapatkan vaksinasi.
Analisis Usahatani Ternak Babi Peranakan Landrace
Dalam beternak keuntungan merupakan faktor utama yang menjadi tujuan,
disamping ada faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi dalam mengelola usaha
ternak. Dalam mengusahakan ternak ada beberapa komponen biaya yang harus
dihitung sebagai input dan hasil penjualan baik anak maupun induk sebagai output.
Dalam kajian ini beberapa komponen input yang dimasukkan adalah
penyusutan kandang, pembelian ternak awal (harga induk), pakan, vaksin, obat-
obatan dan biaya jasa Inseminasi buatan dan pemeliharaan. Sedangkan output
adalah hasil penjualan anak-anaknya. Dengan pemberian vaksin ETEC anak-anak
yang mampu disapih lebih tinggi dibandingkan anak yang dilahirkan dari induk
yang tidak divaksin. Anak-anak yang mampu disapih dari induk yang divaksin
rata-rata adalah 7,47 ekor/induk sedangkan anak yang disapih dari induk yang
tidak divaksin hanya 5,84 ekor/induk. Harga anak-anak babi setelah disapih
mencapai kisaran 450.000 per ekor untuk anak tanpa vaksin sedangkan anak
dengan induk divaksin mencapai 500.000 per ekor. Hal ini dikarenakan anak-anak
dari induk yang divaksin akan mengahsilkan anak yang lebih lincah, dengan kulit
bersih mengkilat dan pada umumnya bobotnya juga rata-rata lebih tinggi sehingga
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [290]
pembeli berani meningkatkan harga 5000 lebih tinggi per kilogram bibit.
Tabel 2. Analisis Usaha Ternak Babi Peranakan Landrace di desa Belanga Bangli
No. Uraian Perlakuan
Kontrol Vaksinasi
1 Input :
- Penyusutan kandang ( umur kandang 5
th, untuk 3 ekor)
100.000 100.000
- Penurunan Nilai ternak : 1.100.000 975.000
Berat awal P0 :100 kg P1 : 105 Kg (Rp
25000/kg)
2.500.000 2.625.000
Berat afkir (selama 5 tahun) ± 180 Kg
(Rp 20000/kg)
3.600.000 3.600.000
- Biaya mengawinkan 50.000 50.000
,- Biaya pakan anak dan anak 0,2
kg/ekor/hari ( Cons. 551 , 3 bln)
647.976 780.864
- Obat-obatan induk dan anak 75.000 75.000
- Mineral 5.000 5.000
- Vaksinansi ETEC - 40.000
- Tenaga Kerja 192.500 192.500
Jumlah 2.170.476 2.218.364
2. Output
- Jumlah anak disapih
a. Kontrol (5,84 ekor, Rp 450.000/ekor) 2.628.000
b. Vaksinansi ( 7,47 ekor, Rp
500.000/ekor)
3.735.000
3. Keuntungan ( Rp) 457.524 1.516.636
4. B/C 0,21 0,68
5. Nisbah keuntungan bersih vaksinasi (%) 69.83
6. TIP (ekor) 4,82 4,44
7. TIH (Rp/ekor) 393.916 334.091
Keterangan:
analisis untuk 1 periode kelahiran sampai umur jual(3 bulan)
Sehingga penjualan anak dengan induk divaksin adalah Rp. 3.735.000,
sedangkan anak dari induk yang tidak divaksin hanya Rp. 2.628.000 setelah
dipotong input maka keuntungan yang diperoleh masing-masing adalah Rp.
1.516.636 dan Rp. 457.524,- BC ratio dari masing-masing (kontrol) dan Vaksinasi
adalah 0,21 dan 0,68, yang mengindikasikan bahwa walaupun ada biaya
pembelian vaksin per induk mencapai 40000 rupiah namun keuntungan yang
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [291]
diperoleh dari induk yang divaksin jauh melebihi dari kontrol.
Sedangkan untuk titik impas produksi untuk kontrol 4,82 dan vaksinansi
4,44 yang berarti minimal induk kontrol harus mampu menghasilkan anak untuk
dijual 4,82 ekor dan untuk vaksinasi 4,44 ekor dalam satu periode beranak.
Sedangkan Titik Impas harga untuk kontrol minimal harga yang harus dicapai
adalah Rp.393.916 per ekor dan vaksinasi Rp. 334.091 agar usaha tersebut tidak
mengalami kerugian (BEP tercapai). Kontrol memiliki titik impas harga yang
lebih besar dibandingkan vaksinasi karena jumlah anak yang mampu disapih lebih
sedikit dibndingkan dengan yang divaksin.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pemberian vaksinasi ETEC pada induk babi yang sedang bunting mampu
menurunkan kejadian diare pada anak babi yang baru dilahirkan dan
sekaligus menurunkan angka kematian pada babi muda sehingga
meningkatkan jumlah anak lepas sapih per induk yang menyebabkan
meningkatkan pendapatan usaha ternaknya. Pemberian vaksin juga mampu
meningkatkan kesehatan dan performans anaknya yang menyebabkan
harga jual juga lebih tinggi.
Kajian ini perlu disosialiasikan ditingkat lapangan agar diketahui dan
diterapkan untuk meningkatkan keuntungan usaha ternak babi di
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Suryana. 2008. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Pangan
Peternakan Bermutu, Aman dan Halal. Dukungan Teknologi Untuk
Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi
Masyarakat. Seminar Nasional Hari Pangan sedunia XXVII.
Arifin dan Supar. 1995. Pengendalian Kolibasilosis Neonatal pada anak Babi.
Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, Vol 1. No.1
Berata, I.K., IB. Winaya., IGK. Suarjana dan IB. Suardana Kade. 2008.
Pemberantasan Penyakit dan Vaksinasi Hog Cholera pada Ternak Babi
Di desa Kelating Tabanan. Journal Pengabdian Kepada Masyarakat.
Udayana Mengabdi. Vol 7. No, 2.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Bali. 2012. Informasi Data
Peternakan Provinsi Bali. Dinas Peternakan dan Kesehatan hewan
Provinsi Bali.
Rai Yasa, Parwati, Suyasa dan Guntoro.2004. Laporan Hasil penelitian BPTP Bali.
Denpasar. 2004.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [292]
Silalahi, M. dan D. Aritonang.1992. Monitoring Productivitas Babi di pusat
Pembibitan Ternak Babi Sumatera Utara :”Pengaruh Penerapan Nursery
Intensif Terhadap productivitas Induk Babi. Buletin Ilmu dan Peternakan.
Vol 5, No.1, Balitnak, Bogor.
Sjamsul Bahri dan A, Kusumaningsih. 2005. Potensi, Peluang dan strategi
Pengembangan Vaksin Hewan di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 24
(3).
Supar., Kusmiyati dan M.B. Poerwadikarta. 1997. Aplikasi Vaksin
Enterotoksigenik Escherichia coli (K99), F41 polivalen Pada Induk Sapi
Perah Bunting Dalam Upaya Pengendalian Kolibasilosis dan Kematian
Pedet Neonatal.Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 3 (1) : 27 – 33.
Supar. 2001. Pemberdayaan Plasma Nutfah Mikroba Veteriner Dalam
Pengembangan Peternakan : Harapan Vaksin Escherichia coli
Enterotoksigenik, Enteropatogenik dan Verotoksigenik Isolat Lokal
Untuk Pengendalian Kolibasilosis Neonatal Pada Anak Babi dan Sapi.
Wartazoa. Vol 11, No. 1 Th. 2001.
Supar, S., S. Cotiah dan G.R.Moekti.1996.Penyakit-penyakit Infeksius Pada Babi
dan Upaya Pengendaliannya. Prosiding seminar Nasional Peternakan dan
veteriner.Cisarua, Bogor 7-8 November 1995. Puslitbangnak, Bogor.
Supar, R.G.Hirst and B.E.Patten.1990.Antimicrobial drug Resistance in
Enterotoxigeic Eschericia coli K88,K99,F41 and Isolat from piglets in
Indonesia. Bulletin Penyakit hewan.Vol.XXII.No.39 Bogor.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [293]
LAMPIRAN
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [294]
JADWAL KEGIATAN SEMILOKA NASIONAL TERNAK BABI DENPASAR, 5 AGUSTUS 2014
No. Waktu (Wita) Acara Semiloka Keterangan
1 08.00 - 08.30 Registrasi Peserta Sie Sekretariat 2 08.30 - 09.00 Acara Pembukaan: Sie Upacara a. Laporan Ketua Panitia b. Sambutan Rektor Universitas Udayana sekaligus membuka Semiloka 3 09.00 - 09.30 Istirahat (Kudapan) Sie Konsumsi 4 09.30 - 11.00 Pemaparan Keynote Speaker: Moderator a. Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Provinsi Bali (Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, MS.)
b. Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)
5 11.00 – 12.30 Seminar Paralel (Oral) Sie Sidang Persiapan Lokakarya Panitia Kecil 6 12.30 - 13.30 Istirahat dan Makan Siang Sie Konsumsi 7 13.30 – 15.00 Seminar Paralel (Oral - lanjutan) Sie Sidang Lokakarya Panitia Kecil 8 15.00 – 15.30 Istirahat (Kudapan) Sie Konsumsi 9 15.30 - 16.00 Penutupan Semiloka Nasional Sie Upacara (Pembantu Rektor I Universitas Udayana)
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [295]
DAFTAR JADWAL PRESENTASI
KELOMPOK I
PRODUKSI TERNAK BABI
Tempat: R1
Sesi I: Pukul 11.00-12.30 Wita
Moderator: Prof. Dr. D. K. Harya Putra, MSc., Ph.D.
1 Performans Reproduksi Induk Babi Melalui Ovulasi Ganda Dengan PMSG
Dan hCG Sebelum Pengawinan
Mien Theodora Rossesthellinda Lapian
2 Peluang Dan Tantangan Pengembangan Ternak Babi Bali Di Kabupaten
Gianyar Provinsi Bali
I W. Suarna dan N. N. Suryani
3 The Utilization of Azollapinnata in Reducing Pollutants on A Pig Farm
Liquid Waste
Vonny R W Rawung dan Jeanette E M Soputan
4 Pengaruh Penambahan Probiotik Kering Pada Ransum Babi terhadap Daya
Simpan Daging dan Dampak Lingkungan sebagai Usaha Menuju
Peternakan Babi yang Berkelanjutan
Tirta A., I N., A. A. Oka, S. A. Lindawati, I Gd.Suarta, I Gede Suranjaya,
dan Md. Dewantari
5 Penggunaan Protexin untuk Menurunkan Angka Kematian Anak Babi
Sampai Disapih
Rachmawati WS dan Ni Luh Gde Sumardani
Sesi II: Pukul 13.30-15.00 Wita
Moderator: Prof. Ir. Sayang Yupardi, MSc.
1 Hubungan Antara Ukuran Testis dengan Volume Semen dan Konsentrasi
Spermatozoa pada Babi
Ruben Panggabean, Iis Arifiantini, WMM Nalley, dan Bondan Achmadi
2 Penentuan Waktu Optimal Pemeriksaan Integritas Membran Plasma Sperma
Babi Menggunakan Hypo-Osmotic Swelling (HOS) Test
IN Donny Artika, RI Arifiantini, TL Yusuf, dan WM Nalley
3 Pengaruh Pemberian Jenis Antibiotika terhadap Penampilan Anak Babi
Prasapih
Sriyani, N. L. P., Tirta, A., I N., I W. Sukanata, dan Md. Artiningsih R
4 Analisis Usahatani Penggemukan Ternak Babi dengan Pengaturan Ransum
Ida Ayu Parwati, N. Suyasa, dan L. G. Budiari
5 Studi Kebutuhan Babi untuk Warung Makan Babi Guling di Bali
Miwada, INS., IG. Mahendra, K. Budaarsa, dan Martini H
6 Pengaruh Bahan Pengencer Biologis Terhadap Kualitas Semen Babi
Hampshire
Suberata I W, Artiningsih NM, Sumardani NLG, Putra Wibawa AAP, A. T.
Umiarti
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [296]
KELOMPOK II
NUTRISI TERNAK BABI
Tempat: R2
Sesi I: Pukul 11.00-12.30 Wita
Moderator: Dr. Ir. Ni Nyoman Suryani, MS.
1 Potensi Ampas Sagu sebagai Pakan Babi
Tabita N. Ralahalu
2 Pengaruh Penambahan Tepung Tanaman Bangun-bangun (Coleus
amboinicus Lour) dalam Ransum terhadap Penampilan Reproduksi Induk
Babi dan Anak Babi Menyusu
Pollung H. Siagian, Agik Suprayogi, dan Parsaoran Silalahi
3 Penampilan Ternak Babi yang Diberi Pakan Mengandung Tepung Bekicot
(Achatina fulica) sebagai Pengganti Tepung Ikan
Egedius, L. L.,K. Budaarsa, dan I G. Mahardika
4 Pengaruh Suplementasi Starbio dalam Pakan dengan 40% Dedak Padi
terhadap Penampilan Babi Landrace
I K. Sumadi,I M. Gede Wijaya, dan I. B. Sudana
Sesi II: Pukul 13.30-15.00 Wita
Moderator: Prof. Ir. Sayang Yupardi, MSc.
1 Penampilan Babi Landrace yang Diberikan Pakan Mengandung Enceng
Gondok
I Wayan Sudiastra, I Gd. Mahardika, K. Budaarsa, dan N. S. Dharmawan
2 Pengaruh Tingkat Penggunaan Limbah Hotel dalam Ransum terhadap
Bobot Potong dan Komposisi Fisik Karkas Babi Persilangan (Babi Bali
Saddleback)
Tjok Gde Oka Susila, Tjok Istri Putri, dan Tjok Gede Belawa Yadnya
3 Distribusi Lemak Karkas Babi Persilangan Saddleback dengan Babi Bali
yang Diberi Ransum Tradisional dengan Suplementasi Rumput Laut
Ni W. Siti, Suci Sukmawati, Ni M., Ni G. K. Roni, Ni M. Witariadi, dan I N.
Ardika
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [297]
KELOMPOK III
KESEHATAN TERNAK BABI
Tempat: R3
Sesi I: Pukul 11.00-12.30 Wita
Moderator: Prof. Dr. Drh. I Ketut Berata, MS.
1 Sistiserkosis Pada Babi Di Bali
Nyoman Sadra Dharmawan, Kadek Swastika, I Ketut Suardita, I Nengah
Kepeng, Yasuhito Sako, Munehiro Okamoto, Toni Wandra, dan Akira Ito
2 Daun Kelor (Moringa oleifera) sebagai Feed Suplemen untuk
Meningkatkan Daya Tahan Babi terhadap Infeksi Parasit Intestinal
Nyoman Adi Suratma, Hapsari Mahatmi, IBK Ardana dan I N Kertha
Besung
3 Babi Sebagai Hewan Model Harvesting Dan Implantasi STSG dengan
Aplikasi PRFM dan PRP
Mirta Hediyati Reksodiputro
4 Strategi Pencegahan Penyakit Infeksi pada Peternakan Babi
Ida Bagus Komang Ardana, Dewa Ketut Harya Putra, W. Sayang Yupardi,
Ni Luh Gede Sumardani, I G.A. Arta Putra, dan I Gede Suranjaya
5 Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Titer Hog Cholera pada Babi
I Nyoman Suartha, Rui Daniel de Carvalho, Nyoman Sadra Dharmawan
Sesi II: Pukul 13.30-15.00 Wita
Moderator: Ir. Antonius Wayan Puger, MS.
1 Pengujian Babi Menggunakan Morfologi Spermatozoa Pada Berbagai Breed
Pewarnaan Eosin-Nigrosin dan Carbofluchsin
Annisa Fithri Lubis, R Iis Arifiantini, WM Nalley, Bondan Achmadi
2 Diferensiasi Colibacillosis Pada Babi Berdasarkan Lesi Histopatologi (Studi
Retrospectif)
I Ketut Berata, I Made Kardena, dan Ida Bagus Oka Winaya
3 Peran Babi sebagai Reservoir Balantidium coli dalam Penyebab Disentri
Ida Ayu Pasti Apsari
4 Babi sebagai Hewan Pilihan untuk Hewan Coba
I Komang Wiarsa Sardjana
5 Introduksi Vaksin ETEC dalam Menurunkan Kejadian Diare Akibat
Enterotoxigenic Escherichia colipada Anak Babi
Nyoman Suyasa dan IAP. Parwati
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [298]