Prosiding SSA 2013
-
Upload
truonghanh -
Category
Documents
-
view
351 -
download
20
Transcript of Prosiding SSA 2013
i
i
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
Prosiding
Makalah dalam prosiding ini telah dipresentasikan di Seminar Sains Atmosfer 2013
Bandung, 28 Agustus 2013
Editor:
1. Prof. Dr. Eddy Hermawan
2. Dr. Ninong Komala
3. Dr. Didi Satiadi
4. Dr. Laras Tursilowati
5. Asif Awaludin, MT
6. Risyanto, SSi
7. Farid Lasmono, ST
8. Emmanuel Adetya, SKom
Dipublikasikan oleh :
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
Jl. Pemuda Persil No.1 Rawamangun, Jakarta Timur, Indonesia
Tel : +62 21 489 2802
Fax: +62 21 489 4815
ISBN : 978-979-1458-73-3
KATALOG DALAM TERBITAN Perpustakaan Nasional RI Jl. Salemba Raya No. 28 A Jakarta Pusat
Hasil ISBN Th. 2014 - Prosiding Seminar Sains Atmosfer
ISBN: 978-979-1458-73-3 Jakarta, 12 Januari 2014
Editor ISBN/KDT
ii
KATA PENGANTAR
Sidang pembaca yang kami hormati,
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan, sehingga
Seminar Sains Atmosfer 2013 dapat diselenggarakan dengan baik pada tanggal 28 Agustus
2013 di Auditorium LAPAN Bandung. Seminar ini dihadiri oleh para peneliti di bidang
sains dan teknologi atmosfer, instansi pemerintah terkait, dan mahasiswa.
Para pemakalah Seminar Sains Atmosfer 2013 sebelum mengirimkan makalah lengkap,
terlebih dahulu mengirimkan ringkasan makalah yang ditelaah dan diseleksi oleh tim
penelaah untuk menentukan makalah yang dapat dipresentasikan dalam seminar. Setelah
acara seminar, makalah lengkap ditelaah oleh tim penelaah. Kemudian pemakalah
melakukan perbaikan berdasarkan saran dan masukan dari penelaah. Hasil perbaikan
selanjutnya ditelaah kembali oleh tim penelaah, dan makalah yang masih mendapatkan
saran perbaikan diperbaiki kembali oleh pemakalah. Hasil perbaikan terakhir diperiksa
kembali oleh tim penelaah, apabila sudah benar maka makalah kemudian dimasukkan
dalam prosiding seminar.
Ringkasan makalah yang diterima oleh panitia pada tanggal 6 Juli 2013 adalah sebanyak
55 ringkasan makalah. Dari jumlah tersebut, berdasarkan hasil seleksi tim reviewer,
terdapat sebanyak 44 makalah dipresentasikan dalam Seminar Sains Atmosfer tanggal 28
Agustus 2013, yang terdiri dari 5 presentasi oral (presenter oral lainnya adalah invited
speaker) dan 39 presentasi poster. Setelah makalah-makalah tersebut melalui proses
penelaahan sebanyak dua kali, masing-masing tanggal 2 September dan 4 November 2013,
diperoleh 33 makalah yang kemudian dimuat dalam prosiding Seminar Sains Atmosfer
2013 yang terbit pada bulan Januari 2014.
Akhir kata, terima kasih kami sampaikan kepada para pemakalah yang telah
mempresentasikan dan memperbaiki makalahnya sesuai saran penelaah, serta seluruh
panitia yang telah membantu terselenggaranya proses penerimaan makalah, penelaahan
dan penerbitan prosiding ini. Semoga prosiding ini bermanfaat bagi pembaca semua dan
memberikan sumbangsih bagi peningkatan peran sains dan teknologi atmosfer bagi
pembanguan berkelanjutan di Indonesia. Amin.
Bandung, Januari 2014
Team Editor
iii
SAMBUTAN KETUA PANITIA
Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera bagi kita semua
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, atas segala nikmat dan karunianya
Seminar Sains Atmosfer 2013 adalah forum yang difasilitasi oleh LAPAN untuk
mempertemukan para pakar dan peneliti dari berbagai instansi dan perguruan tinggi serta
pengguna terkait untuk saling berdiskusi bersama-sama membangun kerjasama dan sinergi
terkait sains dan teknologi atmosfer serta pemanfaatannya. Untuk itu diharapkan seminar
ini akan dapat memacu kualitas penelitian dan pengembangan sains dan teknologi atmosfer
sehingga dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan nasional.
Prosiding Seminar Sains Atmosfer merupakan kumpulan makalah yang telah
dipresentasikan oleh para pemakalah dan melewati proses penelaahan oleh tim penelaah
sebanyak dua kali. Sehingga prosiding diharapkan merupakan prosiding berkualitas yang
mampu memberikan sumbangsih bagi peningkatan peran sains dan teknologi atmosfer bagi
pembanguan berkelanjutan di Indonesia.
Akhir kata, kami selaku Panitia Pelaksana Seminar Sains Atmosfer 2013 mohon maaf
apabila masih terdapat kekurangan dalam seminar dan prosiding ini.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bandung, Januari 2014
Asif Awaludin, MT
Ketua Panitia SSA 2013
iv
SUSUNAN PANITIA SEMINAR SAINS ATMOSFER 2013
Pengarah/Penanggung Jawab : Drs. Afif Budiyono, MT (Kepala PSTA)
Ketua Panitia : Asif Awaludin, MT
Wakil Ketua : Trismidianto, MSi
Sekretaris : Ria Fitria Ritonga, SE
Anggota : Rizka Aulia, SE
: Risyanto, SSi
: Soni Aulia Rahayu, ST
: Farid Lasmono, ST
: Emmanuel Adetya, SKom
: Dyah Aries Tanti, Amd
Editor/Reviewer Prosiding : Prof. Eddy Hermawan
: Dr. Ninong Komala
: Dr. Didi Satiadi
: Dr. Laras Tursilowati
v
SUSUNAN ACARA SEMINAR SAINS ATMOSFER 2013
Waktu Acara
08:00 - 08:45 Registrasi
08:45 - 08:50 Sambutan Ketua Panitia SSA 2013
08:50 - 09:00 Pembukaan : Drs. Afif Budiyono, MT (Kepala Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer)
Sesi I : Keynote Speaker Moderator : Prof Eddy Hermawan
09:00 - 09:20 Prof. Dr. Manabu D. Yamanaka (Kobe University, JAMSTEC)
“Atmosphere-ocean-island interactions over Indonesian maritime continent”
09:20 - 09:40 Prof. Dr. Liong, Shie-Yui (National University of Singapore)
“Does Ensemble of Dynamically Downscaled Climate Models Add Values?”
09:40 - 10:00 Diskusi
Sesi II : Invited Speaker Moderator : Halimurrahman, MT
10:00 - 10:15 Prof. Dr. Ahmad Bey (IPB)
“Pemodelan Atmosfer dalam perspektif konseptual dan praktis”
10:15 - 10:30 Prof. Dr. Eddy Hermawan (LAPAN)
“Anomali Monsun Sebagai Penyebab Utama Terjadinya Kondisi Curah Hujan Ekstrim”
10:30 - 10:50 Diskusi
Sesi III : Sains Atmosfer I Moderator : Dr. Didi Satiadi
10:50 - 11:05 Dr. Armi Susandi (ITB)
“Model Penentuan Masa Tanam Padi dan Palawija di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara
Timur”
11:05 - 11:20 Dr. Laras Tursilowati (LAPAN)
“Skenario Landuse pada model WRF untuk mengamati Planetary Boundary Layer (PBL)
dan Urban Heat Island (UHI)”
11:20 - 11:45 Diskusi
Sesi IV : Sesi Poster dan Ishoma
11:45 - 13:00 Sesi Poster dan Ishoma
Sesi V : Sains Atmosfer II Moderator : Waluyo Eko C, MIL
13:00 - 13:15 Halimurrahman, MT (LAPAN)
“Simulasi Angin Dan Curah Hujan Area Bandung Dan Sekitarnya Dengan Asimilasi
Data Radar Doppler”
13:15 - 13:30 Ir. Asril Umar, MT
Kepala Bagian Adaptasi Perubahan Iklim, Deputi Urusan Mitigasi dan Adaptasi
Perubahan Iklim – Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
13:30 - 13:55 Diskusi
Sesi VI : Sains Atmosfer III Moderator : Dr. Laras Tursilowati
13:55 - 14:10 Ardhi Ardary Arbain, MT (BPPT)
“Intraseasonal Variation Automonitoring Program in the Indonesia Maritime Continent”
14:10 - 14:25 Dr. Rahmat Hidayat (IPB)
“El Nino Modoki Dan Variabilitas Curah Hujan Indonesia”
14:25 - 14:40 Faiz Rohman Fajary, S.Si (IPB)
“Characteristic Of Atmospheric Equatorial Kelvin Waves Under Influence Of El Niño-
Southern Oscillation”
14:40 - 15:05 Diskusi
Sesi VII : Sains Atmosfer IV Moderator : Dr. Ninong Komala
15:05 - 15:20 Tuti Budiwati, MT (LAPAN)
“Pengaruh Kebakaran Hutan Terhadap Aerosol Dan Ozon Total Di Sumatera
Berdasarkan Musiman”
15:20 - 15:35 Dra. Rosida (LAPAN)
"Analisis Hubungan Aerosol Dengan CO Dan Pengaruhnya Terhadap Ukuran Partikel
Awan Es di Indonesia"
15:35- 15:40 Eko Suryanto (IPB)
vi
“Evapotranspirasi Tanaman Dengan Pengamatan Satelit Berdasarkan Konsep Fluks
Pemanasan Laten”
15:40 - 16:05 Diskusi
Sesi VIII : Penutupan
16:05 - 16:15 Kesimpulan dan Penutup : Kepala Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN
16:15 Pembagian sertifikat dan door prize
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................. ii
SAMBUTAN KETUA PANITIA ................................................................................................ iii
DAFTAR PANITIA ..................................................................................................................... iv
JADWAL ACARA ...................................................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................................................ vii
Teknik Pengujian Situs FTP LAPAN Bandung Dengan Metode Black Box Untuk
Menemukan Error ..................................................................................................................... 1
Alhadi Saputra, Yoga Andrian
Identifikasi Jenis Awan Dari Citra Satelit MTSAT IRL Menggunakan Logika Fuzzy
(Studi Kasus : Banjir 5-6 April 2013 Di Kabupaten Aceh Barat Dan Nagan Raya) ........... 13
Anjasman
Analisa Bencana Banjir Di Kota Padang (Studi Kasus Intensitas Curah Hujan Kota
Padang 1980 – 2009 dan Aspek Geomorfologi) ....................................................................... 24
Aprizon Putra, Triyatno dan Semeidi Husrin
Pemanasan Global Dan Keterkaitannya Dengan Kondisi Ekstrem Hujan Beberapa
Daerah Di Jawa Dan Sumatera ................................................................................................. 34
Arief Suryantoro
Desain Muatan Roket Sonda Eksperimen Berbasis Roket RX-100 Untuk Pengukuran
Profil Vertikal Parameter Atmosfer ......................................................................................... 46
Asif Awaludin, Halimurrahman, Rachmat Sunarya, Soni Aulia R
Pengaruh Konsentrasi Ion NH4+ Dan Ca2+
Terhadap Netralisasi Hujan Asam Di Daerah
Cipedes, Kebon Kalapa, Soreang Dan Cikadut ....................................................................... 55
Asri Indrawati, Dyah Aries Tanti
Analisis Curah Hujan Terkait Dengan Kuantifikasi Fluktuasi Level Muka Air Situ
Cileunca ....................................................................................................................................... 63
Dadang Subarna
Pengaruh Pegunungan Malabar Terhadap Peningkatan Curah Hujan Di Daerah
Tangkapan Air Cisangkuy Kabupaten Bandung .................................................................... 73
Dadang Subarna
Simulasi Trayektori Dan Dispersi Asap Menggunakan Model HYSPLIT 4.9 (Studi
Kasus Tanggal 30 Juni – 3 Juli 2013) ....................................................................................... 80
Danang Eko Nuryanto
Analisis Data Komposisi Kimia Air Hujan Menggunakan Metode Analisis Diskriminan . 87
Dessy Gusnita
Interkoneksi Monsun Dan El-Niño Terkait Dengan Curah Hujan Ekstrem ....................... 97
Eddy Hermawan dan Edward Rendra
Estimasi Evapotranspirasi Acuan Dengan Pengamatan Satelit Berdasarkan Fluks
Pemanasan Laten ....................................................................................................................... 114
Eko Suryanto
Karakteristik Gelombang Kelvin Ekuatorial Atmosferik Dibawah Pengaruh
El Niño-Osilasi Selatan .............................................................................................................. 123
Faiz Rohman Fajary, Sandro Wellyanto Lubis, Sonni Setiawan
Analisis Dan Pemetaan Sambaran Petir Wilayah Bali Dan Sekitarnya Tahun 2012 .......... 136
I Putu Dedy Pratama
viii
Analisis Parameter Meteorologi Terhadap Konsentrasi PM10 Di Kota Surabaya ............... 143
Iis Sofiati dan Dessy Gusnita
Deviasi Temperatur Virtual Dalam Proses Evaporasi Dan Kondensasi Di Atmosfer
Kototabang Pada Campaign Period .......................................................................................... 153
Ina Juaeni
Peluang Terjadinya Awan Rendah Dan Awan Menengah Saat terjadi La Nina ............... 163
Juniarti Visa dan Iis Sofiati
Identifikasi Kejadian Monsun Ekstrim Di Pulau Jawa Dan Sekitarnya .............................. 172
Lely Qodrita Avia
Rancang Bangun Sistem Manajemen Basis Data Satelit Dan Implementasinya ................. 186
Mahmud, Edi Maryadi, Muzirwan, Emanuel A, Ria Fitri Yulianti R, Lamartomo
Simulasi Suhu Permukaan Laut Bulanan Berbasis Model CSIRO MK3L .......................... 196
Martono
Analisis Pengaruh Liputan Awan Terhadap Indeks UV Di Sumatera Utara ...................... 203
Ninong Komala
Pengamatan Awan Dan Variasi Cuaca Harian Menggunakan Transportable X-Band
Radar ........................................................................................................................................... 217
Noersomadi, Sinta Berliana Sipayung, Krismianto, Soni Aulia Rahayu, Ginaldi Ari Nugroho,
Rachmat Sunarya, Safrudin, Edy Maryadi dan Halimurrahman
Koreksi Estimasi Data Curah Hujan Satelit TRMM Produk Level 3B31 Dan 3B43 Di
Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi Selama Periode 2003-2012 ........................................... 226
Novvria Sagita
Analisis Diurnal Parameter Cuaca Mikro Di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Emal
Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi ................................................................................... 234
Radyan Putra Pradana, Kadarsah
Identifikasi Tipe Awan Isccp Menggunakan Data Modis Terra/Aqua ................................. 246
Risyanto dan Sinta Berliana Sipayung
Aplikasi Pengolah Informasi Diseminasi Sains Atmosfer Pada Situs Web LAPAN
Bandung ...................................................................................................................................... 258
Siti Maryam
Peran Radiasi Matahari Dalam Proses Pembersihan SO2 Dan NOX Di Troposfer ............. 264
Sumaryati
Prediksi Pengasaman Provinsi Jambi Dan Sekitarnya Akibat Deposisi Sulfur Tahun
2015 .............................................................................................................................................. 272
Toni Samiaji
Identifikasi Curah Hujan Ekstrem Menggunakan Metode Analisis Mesoscale Convective
Complexe (MCC) Dari Data MTSAT IR1 ................................................................................ 283
Trismidianto
Karakteristik Harian Dan Distribusi Musiman Dari Kompleks Konvektif Skala Meso Di
Samudera Hindia Selama 10 Tahun (Periode 2000-2009) ...................................................... 296
Trismidianto
Pengaruh Kebakaran Hutan Terhadap Aerosol Dan Ozon Total Di Sumatera
Berdasarkan Musiman .............................................................................................................. 309
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati
ix
Distribusi Spasial dan Temporal Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan
Lahan di Wilayah Sumatera dan Kalimantan Hasil Pengamatan Aqua/Terra MODIS
Tahun 2004-2012 ........................................................................................................................ 322
Wiwiek Setyawati
Roles Of Relative Humidity On Songda Typhoon 2011 Intensity ......................................... 334
Yopi Ilhamsyah, Ahmad Bey, Edvin Aldrian
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 1 ~
TEKNIK PENGUJIAN SITUS FTP LAPAN BANDUNG
DENGAN METODE BLACK BOX UNTUK MENEMUKAN
ERROR
Alhadi Saputra, Yoga Andrian
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
e-mail : [email protected]
Abstract
Software testing is an investigation to get the quality of product or service information
that is being tested (under test). Software testing also provides insights on software
objectively and independently. The purpose of software testing is used in the operation
of the site in order to avoid the failure to access the site. Tested software can be a
fraction of a sub routine or application program can also overall information system.
Testing techniques are not only limited to the process of executing a program or a part
of the overall application but the goal is to find bugs of software or information system
is being tested. Software testing is a review of the peak of the requirements
specification, design and programming. Successful testing is that managed to find the
hidden error. There are two techniques in software testing is black box testing and white
box testing. In this article that will be discussed is a black box testing and has been used
on the FTP site Lapan Bandung. Multistep process of testing performed on the
application module user data administration and user management process for
administrators on the FTP server Lapan Bandung result is no error or bug in the
application module.
Keyword : Software Testing, Site, Error, Black Box Testing.
Abstrak
Pengujian perangkat lunak merupakan suatu investigasi untuk mendapatkan kualitas
dari produk atau layanan informasi yang sedang diuji (under test). Pengujian perangkat
lunak juga memberikan pandangan mengenai perangkat lunak secara obyektif dan
independen. Tujuan Pengujian perangkat lunak ini digunakan dalam operasional situs
agar tidak terjadi kegagalan untuk mengakses situs tersebut. Perangkat lunak yang diuji
dapat berupa sebagian kecil dari satu sub routine program aplikasi atau dapat juga
keseluruhan dari sistem informasi. Teknik-teknik pengujian tidak hanya terbatas pada
proses mengeksekusi suatu bagian program atau keseluruhan aplikasi akan tetapi
mempunyai tujuan untuk menemukan bug dari perangkat lunak atau sistem informasi
yang sedang diuji. Pengujian perangkat lunak merupakan review puncak terhadap
spesifikasi kebutuhan, desain dan pembuatan program. Pengujian yang sukses adalah
yang berhasil menemukan error yang tersembunyi. Terdapat dua teknik dalam
pengujian perangkat lunak yaitu pengujian black box dan pengujian white box. Pada
tulisan kali ini yang akan dibahas adalah pengujian black box dan telah digunakan pada
situs FTP Lapan Bandung. Proses tahapan pengujian dilakukan pada modul aplikasi
administrasi data user dan proses manajemen user untuk administrator pada FTP server
Lapan Bandung yang hasilnya adalah tidak ada error atau bug dalam modul aplikasi
tersebut.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 2 ~
Kata Kunci : Pengujian Perangkat Lunak, Situs, Error, Pengujian Black Box
1. PENDAHULUAN
Secara keseluruhan aplikasi perangkat lunak menjalankan hampir seluruh
pekerjaan yang dibebankan pada komputer. Pengguna komputer menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk berinteraksi dengan aplikasi perangkat lunak bukan
dengan perangkat lunak sistem. Definisi dari perangkat lunak sistem adalah suatu
program yang dibuat untuk mengatur kinerja perangkat lunak dan perangkat keras agar
dapat saling bekerjasama sehingga para pemakai komputer dapat mengoperasikan
komputer dengan mudah. Sedangkan aplikasi perangkat lunak yaitu suatu program yang
ditulis secara khusus untuk membuat atau menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu
(Nugroho, 2006).
Sistem informasi tidak jauh-jauh dari program aplikasi perangkat lunak yang
terdiri dari beberapa sub routine program aplikasi yang dikumpulkan menjadi satu
sehingga membentuk aplikasi sistem informasi secara keseluruhan.
Sistem informasi memiliki komponen berupa elemen-elemen yang lebih
kecil yang membentuk sistem informasi, misalnya bagian input, proses, output. Sebagai
contoh bagian input adalah user memasukkan data registrasi, maka di sana terdapat user
yang melakukan pekerjaan input, dengan menggunakan perangkat keras yaitu keyboard,
dan menggunakan antarmuka sebuah aplikasi registrasi user yang sudah disediakan
oleh sistem informasi tersebut.
Sistem informasi tersebut dikatakan terpakai apabila hal pokok yang mendasari
pembuatan sistem informasi tersebut telah sesuai dengan kebutuhan spesifikasi user
baik perangkat lunak maupun perangkat keras yang diinginkan.
Sistem informasi dibangun dengan tahapan-tahapan yang dikenal dengan
System Development Life Cycle (SDLC). SDLC yang merupakan siklus hidup
pengembangan sistem dalam rekayasa sistem informasi dan rekayasa perangkat lunak.
SDLC adalah proses pembuatan dan pengubahan system
serta model dan metodologi yang digunakan untuk mengembangkan sistem-sistem
tersebut. Konsep ini umumnya merujuk pada sistem komputer atau informasi. SDLC
juga merupakan pola yang diambil untuk mengembangkan sistem perangkat lunak, yang
terdiri dari tahap-tahap : rencana (planning), analisa (analysis), desain (design),
implementasi (implementation), pengujian (testing) dan pengelolaan (maintenance)
(Bahrami, 1999).
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 3 ~
Pengujian adalah proses pelaksanaan suatu aplikasi dengan tujuan menemukan
suatu kesalahan. Pengujian perangkat lunak dan implikasinya sangat penting dilakukan
karena mengacu pada kualitas perangkat lunak. Pengujian melibatkan sederetan
aktivitas produksi, dimana peluang terjadinya kesalahan oleh manusia sangat besar.
Oleh sebab itu pengembangan perangkat lunak harus diiringi dengan aktivitas jaminan
kualitas dan pengujian.
Meningkatnya visibilitas (kemampuan) perangkat lunak sebagai suatu elemen
sistem, serta biaya yang muncul akibat kegagalan perangkat lunak dapat memotivasi
dilakukannya perencanaan yang baik setelah dilakukannya proses pengujian dengan
tingkat ketelitian yang tinggi. Proses pengujian tersebut sangat mempengaruhi biaya
yang akan dikeluarkan untuk memperbaiki kesalahan. Suatu kasus pengujian yang baik
atau sukses adalah apabila pengujian tersebut mempunyai kemungkinan menemukan
sebuah kesalahan yang tidak terungkap dan tidak diketahui sebelumnya.
Tulisan ini dibuat untuk memaparkan penggunaan teknik pengujian black box
untuk menguji error aplikasi yang diterapkan pada situs FTP Lapan Bandung. Tujuan
akhirnya adalah menemukan suatu kesalahan baik dari desain, coding, serta demi
mencapai kepuasan user agar situs yang dibangun sesuai dengan sasaran akhir yang
ingin dicapai, salah satunya agar situs yang dibuat dapat diakses tanpa ada error atau
bugs. Karena situs ini masih dalam tahap pengembangan, penulis membatasi pengujian
hanya untuk halaman registrasi peneliti, pengguna umum, serta halaman administrator
untuk proses aktivasi, non-aktifkan, dan hapus data user, sehingga pengujian belum
dikatakan sukses atau baik secara keseluruhan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Pengujian perangkat lunak adalah proses mengoperasikan perangkat lunak
dalam suatu kondisi yang dikendalikan, untuk (1) verifikasi : apakah telah berlaku
sebagaimana telah ditetapkan (menurut spesifikasi), (2) mendeteksi error, dan (3)
validasi : apakah spesifikasi yang telah ditetapkan sudah memenuhi keinginan atau
kebutuhan dari pengguna yang sebenarnya (Nugroho, 2010).
Pengujian merupakan aktifitas pengumpulan informasi yang dibutuhkan untuk
melakukan evaluasi efektifitas dari perangkat lunak dengan mengukur suatu atribut
perangkat lunak, termasuk di dalamnya review, walk-through, inspeksi, penilaian dan
analisa yang ada selama proses pengembangan.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 4 ~
Tahap pengujian merupakan suatu komponen dari keseluruhan metodologi. Pada
prakteknya, pengujian sangat kurang dideskripsikan dan telah dengan cepat bergerak ke
titik dimana kebanyakan prosedur pengujian organisasi cepat tertinggal dan tidak
efektif. Pada awalnya pengujian merupakan salah satu sub fase dari fase pengembangan
(development), setelah fase coding (Belzer, 1990). Sistem didisain, dibangun dan
kemudian diuji dan didebug. Sejalan dengan kemapanan pengujian secara praktis,
secara bertahap bahwa sudut pandang pengujian yang tepat adalah dengan menyediakan
suatu siklus hidup pengujian secara lengkap, yang merupakan suatu bagian dan menjadi
satu kesatuan didalam siklus hidup perangkat lunak secara keseluruhan (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Siklus Hidup Perangkat Lunak dan Pengujian
Disain pengujian untuk perangkat lunak dan rekayasa produk lainnya akan
sangat menantang seperti layaknya disain produk itu sendiri. Berdasarkan pada
obyektifitas pengujian, pengembang harus melakukan disain pengujian yang memiliki
kemungkinan tertinggi dalam menemukan error yang kebanyakan terjadi, dengan waktu
dan usaha yang minimum. Variasi-variasi metode disain pengujian kasus untuk
perangkat lunak telah berkembang. Metode-metode ini menyediakan pengembang
dengan pendekatan semantik terhadap pengujian. Metode-metode ini menyediakan
mekanisme yang dapat membantu untuk memastikan kelengkapan dari pengujian dan
menyediakan kemungkinan tertinggi untuk mendapatkan error pada perangkat lunak.
Tiap produk hasil rekayasa dapat diuji dalam dua cara, yaitu (1) dengan
berdasarkan pada fungsi yang dispesifikasikan. Pengujian dapat dilakukan dengan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 5 ~
mendemonstrasikan tiap-tiap fungsi apakah telah beroperasi secara penuh sesuai dengan
yang diharapkan, dan pada saat yang bersamaan dilakukan pencarian error pada tiap
fungsi. Pendekatan metode ini disebut dengan pengujian black box. (2) Dengan
mengetahui operasi internal dari produk perangkat lunak tersebut. Pengujian dapat
dilakukan untuk memastikan apakah semua komponen berjalan sebagaimana mestinya,
operasi internal berlaku berdasarkan pada spesifikasi dan semua komponen internal
telah cukup untuk diperiksa. Pendekatan metode ini disebut dengan pengujian white box
(Braude, 2000).
Pengujian kasus merupakan suatu pengujian yang dilakukan berdasarkan pada
suatu inisialisasi, masukan, kondisi ataupun hasil yang telah ditentukan sebelumnya.
Kegunaan dari pengujian kasus ini adalah untuk melakukan pengujian kesesuaian suatu
komponen terhadap spesifikasi (pengujian black box) serta untuk melakukan pengujian
kesesuaian suatu komponen terhadap disain (pengujian white box). Hal yang perlu
diingat bahwa pengujian tidak dapat membuktikan kebenaran semua kemungkinan
eksekusi dari suatu program. Namun dapat didekati dengan melakukan perencanaan dan
disain pengujian kasus yang baik sehingga dapat memberikan jaminan efektifitas dari
perangkat lunak sampai pada tingkat tertentu sesuai dengan yang diharapkan.
Pengujian black box dilakukan tanpa pengetahuan detil struktur internal dari
sistem atau komponen yang diuji. Pengujian black box berfokus pada kebutuhan
fungsional pada perangkat lunak, berdasarkan pada spesifikasi kebutuhan dari perangkat
lunak. Dengan adanya pengujian black box, perekayasa perangkat lunak dapat
menggunakan sekumpulan kondisi masukan yang dapat secara penuh memeriksa
keseluruhan kebutuhan fungsional pada suatu program. Pengujian black box bukan
teknik alternatif dari pengujian white box Pengujian black box merupakan pendekatan
pelengkap dalam mencakup error dengan kelas yang berbeda dari metode pengujian
white box (Britton et al., 2001).
Pengujian black box dilakukan berdasarkan pada fungsi yang dispesifikasikan
dari produk, pengujian dapat dilakukan dengan mendemonstrasikan tiap fungsi telah
beroperasi secara penuh sesuai dengan yang diharapkan. Pada saat yang bersamaan,
dilakukan pencarian error pada tiap fungsi. Kategori error yang akan diketahui melalui
pengujian black box adalah fungsi yang hilang atau tidak benar, error interface, error
struktur data atau akses eksternal database, error kinerja atau tingkah laku, dan error
inisialisasi dan terminasi.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 6 ~
Pada akhirnya pengujian black box berfokus pada domain informasi. Pengujian
didesain untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut :
Bagaimana validasi fungsi yang akan diuji, bagaimana tingkah laku dan
kinerja sistem diuji?
Kategori masukan apa saja yang bagus digunakan untuk pengujian
kasus?
Apakah sebagian sistem sensitif terhadap suatu nilai masukan tertentu?
Bagaimana batasan suatu kategori masukan ditetapkan?
Sistem mempunyai toleransi jenjang dan volume data apa saja?
Apa saja akibat dari kombinasi data tertentu yang akan terjadi pada
operasi sistem?
3. DATA DAN METODE
Situs FTP Lapan Bandung mempunyai alamat http://ftp.bdg.lapan.go.id. Situs
ini merupakan kumpulan dari data hasil observasi peralatan yang ada di loka atau balai
pengamatan dirgantara. Data spasial yang dihasilkan mempunyai ragam format dan
struktur data yang unik. Data yang sudah tersimpan saat ini dihasilkan dari berbagai
macam peralatan, dimana proses perolehan dan penyimpanannyapun berbeda-beda
karena menggunakan sistem operasi yang berbeda serta spesifikasi perangkat keras yang
berbeda juga. Situs FTP ini sudah terbangun dengan sistem web base yang didalamnya
terdapat fasilitas-fasilitas untuk memudahkan pengaksesan ke situs tersebut.
Proses pengujian yang akan dibahas adalah pengujian menggunakan metode
pengujian black box yang membagi domain input dari program menjadi beberapa kelas
data dengan menemukan sejumlah kesalahan misalnya : kesalahan pemrosesan dari
seluruh data yang merupakan syarat dari suatu modul yang dieksekusi.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian yang pertama adalah melakukan pengujian black box pada program
yang mengelola tabel user untuk menyimpan data peneliti Lapan. Setiap peneliti yang
ingin mendownload data mempunyai syarat yaitu melakukan proses registrasi, dengan
cara mengisi data-data peneliti Lapan pada halaman registrasi, setelah mengisi data-data
yang diminta seharusnya data tersebut masuk ke tabel tbluser secara otomatis.
Algoritmanya adalah bahwa data peneliti Lapan akan disimpan ke dalam tabel user
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 7 ~
setelah user melakukan submit kirim. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka user
tersebut tidak dapat melakukan download data karena data user mengalami kegagalan
penyimpanan. Berikut ini akan disajikan proses pengujiannya dalam bentuk Tabel 4.1.
Pengujian yang kedua dilakukan pada program yang mengelola tabel user lain
untuk menyimpan data pengguna umum. Pada situs ini user dibedakan menjadi dua tipe
yaitu peneliti internal Lapan Bandung dan peneliti eksternal (pengguna umum). Setiap
pengguna umum yang ingin mendownload data pada situs ini diharuskan juga
melakukan proses registrasi dengan melengkapi data-data yang dibutuhkan pada
halaman registrasi lain, setelah mengisi data yang diminta seharusnya data tersebut
masuk ke tabel tbluserlain secara otomatis, algoritmanya adalah bahwa data pengguna
umum akan disimpan kedalam tabel tbluserlain setelah user melakukan submit kirim.
Berikut ini akan disajikan proses pengujiannya dalam bentuk Tabel 4.2.
Tabel 4.1. Proses Pengujian Pertama
No. Skenario Pengujian Pengujian
Kasus
Hasil yang di Harapkan Hasil
Pengujian
Kesimpulan
1. Mengosongkan semua
isian data registrasi, lalu
langsung mengklik tombol
„Kirim‟.
Nama Depan
: -
Nama
Belakang: -
Dst.
Sistem akan menolak
akses registrasi dan
menampilkan pesan
“Mohon semua data
harus diisi dengan
benar”
Sesuai
harapan
Valid
2. Hanya mengisi data
username (email) dan
mengosongkan semua
isian data registrasi yang
lain, lalu langsung
mengklik tombol “kirim”
Username :
alhadi_putra
@yahoo.com
Sistem akan menolak
akses registrasi dan
menampilkan pesan
“Mohon data username
(email) harus diisi
dengan benar”
Sesuai
harapan
Valid
Setelah dilakukan pengujian, hasilnya adalah data berhasil disimpan pada tabel
tbluser yang dijelaskan pada Gambar 4.1.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 8 ~
(a) (b)
Gambar.4.1 Pengujian Black Box Pada Registrasi Peneliti Lapan, (a) Antarmuka
Aplikasi dan (b) Antarmuka Database internal
Tabel 4.2. Proses Pengujian Kedua
No. Skenario Pengujian Pengujian
Kasus
Hasil yang di
Harapkan
Hasil
Pengujian
Kesimpulan
1. Menginputkan tampilan
data validasi yang tidak
sesuai, lalu langsung
mengklik tombol
„Kirim‟.
Validasi
yang muncul
: abcdk
Validasi:
abkcd
Sistem akan
menolak akses
registrasi dan
menampilkan
pesan “Mohon
data validasi
harus diisi
dengan benar”
Sesuai
Harapan
Valid
2. Menginputkan semua
data registrasi yang
benar, lalu langsung
mengklik tombol “Kirim”
Nama
depan:teguh
Nama
belakang
:wiharko
Dst.
Sistem akan
membuka akses
registrasi dan
data
registrasinya
akan disimpan
ke dalam
database.
Sesuai
harapan
Valid
Setelah dilakukan pengujian hasilnya adalah data berhasil disimpan pada
tbluserlain yang terlihat pada Gambar 4.2.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 9 ~
(a) (b)
Gambar 4.2 Pengujian Black Box Pada Registrasi Pengguna Umum (a) Antarmuka
Aplikasi dan (b) Antarmuka Database Internal
Pengujian yang ketiga melibatkan kasus uji yang diulang-ulang dengan jumlah
tertentu dengan tujuan untuk mengevaluasi program apakah sesuai dengan spesifikasi
kebutuhan yang telah ditetapkan. Pengujian yang ketiga adalah melakukan pengujian
black box pada halaman administrator untuk aktifasi, non aktifasi dan penghapusan user
FTP server Lapan khusus user peneliti Lapan. Setelah peneliti berhasil melakukan
registrasi maka selanjutnya yang bertugas adalah administrator. Administrator
mempunyai hak veto untuk mengkonfirmasi, mengaktifasi atau menghapus pengguna
yang telah terdaftar. Algoritmanya adalah data peneliti Lapan akan disimpan pada tabel
tbladm. Ketika administrator menekan link “Aktifkan” maka peneliti yang diaktifkan
akan dapat melakukan login pada halaman login yang disediakan, begitu juga ketika
administrator menekan link “Tidak Aktifkan”, maka peneliti tersebut tidak akan dapat
melakukan login, sedangkan ketika administrator menekan link “hapus” maka peneliti
tersebut akan dihapus dari database user. Berikut ini akan disajikan proses
pengujiannya dalam bentuk Tabel 4.3.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 10 ~
Tabel 4.3. Proses Pengujian Ketiga
No. Skenario Pengujian Pengujian
Kasus
Hasil yang di Harapkan Hasil
Pengujian
Kesimpulan
1. Pengujian fungsionalitas
untuk proses “aktifkan”
pada halaman
administrator
Mengklik
fasilitas
“aktifkan”
pada halaman
administrator
Sistem akan mengaktifkan
user yang melakukan
proses registrasi dengan
benar, kemudian sistem
akan mengirimkan aktivasi
link ke email user tersebut.
Sesuai
harapan
Valid
2. Pengujian fungsionalitas
untuk proses “tidak
aktifkan” pada halaman
administrator
Mengklik
fasilitas “tidak
aktifkan” pada
halaman
administrator
Sistem akan menolak akses
user apabila user
melakukan proses login
Sesuai
harapan
Valid
3. Pengujian fungsionalitas
untuk proses “hapus”
pada halaman
administrator
Mengklik
fasilitas “tidak
aktifkan” pada
halaman
administrator
Sistem akan menghapus
seluruh item data user pada
database, tidak muncul
pada halaman
administrator
Sesuai
harapan
Valid
Sebelum dilakukan pengujian terlihat pada Gambar 4.3 berikut ini :
Gambar 4.3. Sebelum dilakukan Aktivasi, Tidak Aktifkan dan Hapus User
Dari hasil pengujian diatas bahwa tidak adanya fungsi algoritma program yang
hilang atau tidak benar, tidak adanya error antarmuka, tidak adanya error struktur data
atau akses eksternal database, tidak adanya error kinerja atau tingkah laku, dan tidak
adanya error inisialisasi dan terminasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya keterangan
status bernilai 0 dan 1, dimana status bernilai 1 mengindikasikan bahwa user tersebut
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 11 ~
aktif, sedangkan 0 mengindikasikan bahwa status user tersebut non aktif atau tidak aktif
lagi, dan apabila user tersebut telah dihapus dari sistem maka user tersebut tidak akan
ada dalam halaman manajemen user karena sudah terhapus, hasil tersebut terlihat
dengan Gambar 4.4 sebagai berikut ini :
Gambar 4.4 Sesudah Proses Aktifkan, Non Aktifkan dan Hapus User
5. KESIMPULAN
Telah dibuat situs FTP Lapan Bandung yang beralamat
http://ftp.bdg.lapan.go.id, yang telah dilakukan pengujian perangkat lunak dengan
menggunakan metode pengujian black box. Berdasarkan hasil pengujian yang telah
dilakukan, situs FTP ini sudah memenuhi kriteria unjuk kerja yang telah ditetapkan.
Pengujian terhadap fungsionalitas pada modul (1) halaman registrasi peneliti, (2)
pengguna umum, serta (3) halaman administrator untuk proses aktivasi, non-aktifkan,
dan hapus data user, menunjukkan hasil yang siknifikan. Ketiga modul yang dibuat
dapat bekerja sesuai dengan perencanaan dan perancangan, bahwa tidak adanya fungsi
yang hilang atau tidak benar, tidak adanya error antarmuka, tidak adanya error struktur
data atau akses eksternal database, tidak adanya error kinerja atau tingkah laku, dan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 12 ~
tidak adanya error inisialisasi dan terminasi. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga modul
aplikasi ini sudah layak untuk diimplementasikan dalam situs FTP server.
UCAPAN TERIMA KASIH
Bapak Suwardi, S.Kom, Bapak Dr. Teguh Harjana, Yoga Andrian, S.Kom, dan Para
Peneliti Sistem Informasi Lapan Bandung
DAFTAR RUJUKAN
Bahrami, A., “Object Oriented System Development”, Singapore: McGraw-Hill, Inc.,
Pressman, Roger S.,The 5th edition of Software Engineering: A Practitioner's
Approach,McGraw-Hill, 1999.
Belzer, B.,Software Testing Techniques, 2nd Edition, New York : Van Nostrand
Roinhold, 1990.
Braude, E.J, ”Software Engineering: An Object Oriented Perspective”, United State of
America: John Wiley & Sons,Inc, 2000.
Britton, C., Doake, J.,“Object - Oriented System Development: A gentle Introduction” ,
Singapore: McGraw-Hill, Inc, 2001.
Nugroho, A., Analisis dan Perancangan Sistem Informasi Menggunakan Metodologi
Berorientasi Objek. Bandung: Penerbit INFORMATIKA, 2006.
Nugroho, A., Rekayasa Perangkat Lunak Berorientasi Objek dengan Metode USDP.
Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2010.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 13 ~
IDENTIFIKASI JENIS AWAN DARI CITRA SATELIT
MTSAT IR1 MENGGUNAKAN LOGIKA FUZZY (STUDI KASUS : BANJIR 5-6 APRIL 2013 DI KABUPATEN ACEH BARAT
DAN NAGAN RAYA)
Anjasman
STASIUN METEOROLOGI TJUT NYAK DHIEN MEULABOH
email : [email protected]
Abstract
Flooding that occurred on 5-6 April 2013 in West Aceh and Nagan Raya caused by
heavy rain (105.2 mm and 41.2 mm). To identify the types of clouds from satellite
imagery MTSAT IR1 used fuzzy logic. Temperature of the cloud tops of analysis results
indicate that the state of the atmosphere at the time, before and after the incident are
very unstable. These results were confirmed by comparison of cloud type identification
using fuzzy logic and observations indicate that the type of clouds at the time of the
incident is a cloud-convective cumulus and cumulonimbus that can lead to rain
accompanied by thunderstorm.
Keywords: fuzzy logic, flood, cloud type.
Abstrak
Banjir yang terjadi pada tanggal 5-6 April 2013 di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan
Raya disebabkan oleh hujan lebat (105,2 mm dan 41,2 mm). Untuk mengidentifikasi
jenis awan dari citra satelit MTSAT IR1 digunakan logika fuzzy. Hasil analisa suhu
puncak awan menunjukkan bahwa keadaan atmosfer pada saat, sebelum dan sesudah
kejadian sangat labil. Hasil ini diperkuat dengan perbandingan identifikasi jenis awan
menggunakan logika fuzzy dan hasil observasi yang menunjukkan bahwa jenis awan
pada saat kejadian adalah awan konvektif cumulus dan cumulonimbus yang dapat
menimbulkan hujan yang disertai thunderstorm.
Kata Kunci : Logika fuzzy, banjir, jenis awan.
1. PENDAHULUAN
Secara geografis Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya merupakan daerah
pesisir yang sebelah baratnya berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Karena
kondisi geografis tersebut, daerah Aceh Barat dan Nagan Raya sering dilanda kejadian
cuaca ekstrim seperti hujan lebat, banjir dan angin kencang. Curah hujan yang terjadi di
daerah tropis pada umumnya terjadi dalam bentuk sistem konvektif skala meso yang
terorganisir yang dikenal sebagai Mesoscale Convective System (MCSs). Sistem ini
ditandai oleh adanya 2 komponen yang berbeda yakni komponen konvektif dan
stratiform, dimana untuk komponen konvektif ditandai dengan kisaran skala luas
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 14 ~
tutupan yang kecil sekitar beberapa kilometer (Km) hingga 30 Km dan memiliki updraft
dan downdraft yang kuat (gerakan vertikal udara yang kuat) serta dikaitkan dengan
intensitas hujan yang tinggi (Endarwin, 2012).
Awan terbentuk jika uap air mengalami kondensasi menjadi partikel-partikel
kecil. Partikel-partikel di awan dapat berupa cair atau padat. Partikel-partikel cair di
dalam atmosfer disebut “cloud-droplet”, dan partikel-partikel padat disebut kristal es
(Barry&Chorley, 1998). Ketika sejumlah volume udara tak jenuh mengalami
pendinginan, kelembapan relatif (RH)nya meningkat. Jika telah cukup dingin, RH
menjadi 100%, temperaturnya menjadi sama dengan titik embun. Potensi terbentuknya
awan dan presipitasi tergantung pada jumlah uap air di atmosfer. Ketika sebuah parcel
udara naik, uap air di dalamnya akan mendingin dan mengembun ke dalam partikel-
partikel debu yang kecil yang disebut “inti kondensasi” (cloud condensation nuclei)
hingga terbentuk suatu awan.
Kejadian banjir yang terjadi di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya pada
tanggal 5-6 April 2013 banyak menimbulkan kerugian materi, harta dan benda bagi
penduduk yang daerahnya tergenang banjir. Hujan lebat yang melanda dua Kabupaten
tersebut selama dua hari menyebabkan meluapnya beberapa sungai dan menggenangi
beberapa daerah pemukiman penduduk dengan curah hujan yang terukur pada tanggal 6
dan 7 April pukul 07.00 wib adalah sebesar 105.2 mm dan 41.2 mm.
Banjir adalah suatu peristiwa terjadinya peluapan air yang berlebihan di suatu
tempat. Kejadian banjir sendiri dapat terjadi karena kombinasi berbagai faktor yang
kompleks tetapi di daerah-daerah sekitar khatulistiwa dimana kontribusi hujan monsoon
dianggap cukup besar (Harsa&dkk, 2011). Untuk menganalisa kejadian cuaca ekstrim
disuatu wilayah pada umumnya menggunakan analisa model, interpretasi citra awan
satelit dan radar sehingga penyebab kejadian cuaca ekstrim dapat diketahui (Anjasman,
2011). Dalam menganalisa data citra awan satelit, banyak metode yang sering
digunakan oleh para prakirawan, baik dengan cara menggelompokkan jenis awan
berdasarkan visual tekstur, menggunakan nilai ambang temperatur kecerahan
(brightness thersold temperature) TIR1 versus selisih temperatur kecerahan antara IR1
dan IR2 (∆TIR1-IR2) ataupun warna piksel dari citra tersebut.
Pengelompokkan jenis awan berdasarkan selisih temperatur channel (IR1 dan
IR2) dan selisih rata-rata temperatur channel IR1 dengan water vapour (WV) per luasan
piksel telah dilakukan oleh Tokuna dan Tsuchiya. Menggunakan algoritma tersebut,
jenis awan dapat dikelompokkan menjadi enam kelompok awan yaitu Cumulunimbus
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 15 ~
(Cb), Cirrus (Ci), awan tebal, Stratocumulus (Sc), Cumulus (Cu), Stratus (St)/fog dan
clear (tanpa ada awan) (Tokuno&Tsuchiya, 1994).
Pengelompokkan jenis awan berdasarkan selisih nilai temperatur kecerahan
antara IR1 dan IR2 juga dilakukan oleh Suseno dan Yamada. Pengelompokkan ini
menggunakan algoritma split window antara kanal IR1 dan IR2 dari MTSAT dan Multi
Spectral Classification. Jenis awan dengan metode ini akan dibagi menjadi delapan
kelompok yaitu Cb, Cb dewasa (MCB), Cirrus tebal (TkCi), Cirrus tipis (TiCi), awan
menengah (MC), awan rendah (LC), daratan dan lautan (Suseno&Yamada, 2012).
Aplikasi kecerdasan buatan dalam mengelompokkan jenis awan juga sering
digunakan dalam menganalisa data citra, seperti penggelompokkan jenis awan dengan
menggunakan metode jaringan syaraf tiruan oleh Sanju Kuril, dkk. Pengelompokkan
jenis awan dari citra satelit yang diolah dibagi berdasarkan tiga kelompok yaitu awan
rendah, menengah dan tinggi (Kuril&Saini, 2013).
Pengelompokkan jenis awan dengan menggunakan pendekatan logika fuzzy
telah dilakukan oleh Baum. B, dkk. Pengelompokkan tersebut menggunakan data dari
citra satelit global AVHRR NOAA-11. Pengelompokkan tersebut dibagi ke dalam 8
(delapan) kelas yaitu clear sky, broken low-level cloud, uniform low-level cloud, broken
midle-level cloud, uniform midle-level cloud, broken high-level cloud, uniform high-
level cloud dan uniform thick high-level cloud. Pemisahan jenis awan berdasarkan fraksi
dan tinggi awan dan hanya satu lapisan (single layer) awan yang bisa didefinisikan
(Baum&Titlow, 1997).
Untuk mengidentikasi jenis awan dari citra satelit MTSAT IR1 pada saat
kejadian banjir 5-6 April 2013 di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya akan
digunakan metode logika fuzzy. Konsep logika fuzzy pertama kali diperkenalkan oleh
Professor Lotfi A. Zadeh dari Universitas California, pada bulan Juni 1965. Logika
fuzzy merupakan generalisasi dari logika klasik yang hanya memiliki dua nilai
keanggotaan, yaitu 0 dan 1. Dalam logika fuzzy, nilai kebenaran suatu pernyataan
berkisar dari sepenuhnya benar sampai dengan sepenuhnya salah. Dengan teori
himpunan fuzzy, suatu objek dapat menjadi anggota dari banyak himpunan dengan
derajat keanggotaan yang berbeda dalam masing-masing himpunan (Arhami, 2004).
Pada umumnya untuk menghasilkan suatu kesimpulan output dari masing-masing
himpunan input sering digunakan sistem inferensi Tsukamoto. Pada Metode
Tsukamoto, setiap konsekuen pada aturan yang berbentuk IF-Then harus
direpresentasikan dengan suatu himpunan fuzzy dengan fungsi keanggotaan yang
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 16 ~
monoton. Sebagai hasilnya, output hasil inferensi dari tiap-tiap aturan diberikan secara
tegas (crisp) berdasarkan α-predikat (fire strength). Hasil akhirnya diperoleh dengan
menggunakan rata-rata terbobot (Kusumadewi, 2003).
2. DATA DAN METODE
Data yang akan digunakan untuk mengidentifikasi jenis awan adalah data citra
satelit MTSAT kanal IR1 per jam tanggal 27 Maret hingga 6 April 2013. Data tersebut
diperoleh dari website kochi weather archive dengan resolusi piksel 1800x1800 yang
mencakup daerah 70o-160
o BT/20
o LS-70
o LU. Koordinat lokasi yang akan
diidentifikasi jenis awannya adalah radius 10 Km dari Stasiun Meteorologi Tjut Nyak
Dhien Meulaboh (04.0487 LU, 096.247867 BT). Koordinat lokasi ini dipilih karena
Stasiun Meteorologi Tjut Njak Dhien berada diperbatasan antara kedua kabupaten
tersebut dan lokasi banjir terparah berada di dalam radius tersebut. Hasil pengolahan
citra tersebut kemudian akan dibandingkan dengan sinoptik jenis awan dan present
weather 27 Maret hingga 6 April 2013 selama 18 jam operasional stasiun.
Data citra satelit tersebut kemudian akan diolah dengan menggunakan software
Cloud-IT versi 1.0 (Anjasman, 2012). Software tersebut berfungsi untuk menganalisa
suhu, tinggi puncak awan dan menghasilkan suatu kesimpulan jenis awan dengan
pendekatan logika fuzzy. Secara garis besar, data suhu dan tinggi puncak awan akan
digunakan sebagi inputan untuk menghasilkan suatu kesimpulan jenis awan dengan
menggunakan sistem inferensi Tsukamoto. Pengelompokkan jenis awan dengan metode
fuzzy dapat dibedakan menjadi delapan (8) jenis awan yaitu clear (tidak ada awan),
Stratus (St)/Fog, Stratocumulus (Sc), Nimbostratus, Altostratus/Altocumulus , Cumulus
(Cu), Cirrus/Cirrustratus/Cirruscomulus dan Cumulunimbus (Cb). Rata-rata terbobot
metode Tsukamoto yang diaplikasikan dalam menentukan jenis awan dapat ditulis
sebagai berikut:
)/()( THTxCHxCawan TH
dengan :
µH : derajat keanggotaan tinggi puncak awan
µT : derajat keanggotaan suhu puncak awan
CH : jenis awan berdasarkan tinggi puncak awan
CT : jenis awan berdasarkan suhu puncak awan.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 17 ~
Software tersebut telah diuji dan dibandingkan dengan data jenis awan
pengamatan sinoptik pada beberapa lokasi yaitu Stasiun Meteorologi Polonia Medan,
Cengkareng Jakarta, Juanda Surabaya dan Ngurah Rai Bali tanggal 6-15 Maret 2010.
Persentase nilai kebenaran jenis awan menggunakan metode fuzzy terhadap data awan
sinoptik dari masing-masing stasiun adalah 53,2% hingga 84,7%. Nilai kebenaran
53,2% diperoleh dari Stasiun Metorologi Ngurah Rai Bali, dimana kondisi cuaca pada
tanggal 6-15 Maret sebagian besar cerah hingga berawan. Nilai kebenaran 84,7%
diperoleh dari Stasiun Meteorologi Cengkareng, dimana kondisi cuaca pada tanggal 6-
15 Maret sebagian besar berawan dan hujan (Anjasman&Swarinoto, 2010).
Gambar 1 : Software Cloud-IT versi 1.0
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 2 : Grafik suhu puncak awan 27 Maret hingga 6 April 2013
Suhu puncak
awan 3-6 april
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 18 ~
Dari gambar 2 dapat dilihat bahwa pada tanggal 27 Maret hingga 2 April
keadaan suhu puncak awan bervariasi tidak seperti keadaan tanggal 3-6 April (grafik
yang dilingkaran biru). Pada pagi hingga siang hari suhu puncak awan hangat tetapi
pada sore hingga malam hari suhunya dingin. Keadaan atmosfer yang labil ini memicu
pertumbuhan awan-awan konvektif yang mencapai tahap pertumbuhan matangnya pada
sore hingga malam hari. Hal ini diperkuat oleh hasil pengamatan sinoptik 27 Maret
hingga 2 April yang menunjukkan bahwa rata-rata terjadinya hujan dan thunderstorm
pada sore hingga malam hari dan jenis awan hasil pengamatan rata-rata adalah awan
konvektif cumulus dan cumulunimbus.
Hasil analisa suhu puncak tanggal 3 April 2013 (lihat grafik 1), pada umumnya
keadaan atmosfer dari pagi hingga malam hari adalah labil. Hal ini ditandai dengan
terbentuknya awan-awan konvektif cumulonimbus dan cumulus baik dari hasil
pengamatan observer maupun hasil dari identifikasi jenis awan menggunakan logika
fuzzy (lihat tabel 1). Awan-awan konvektif tersebut menyebabkan hujan dengan
intensitas ringan yang terjadi pada pagi dan malam hari dengan curah hujan yang
terukur selama 24 jam adalah 8 mm .
Hasil analisa suhu puncak awan 4 April (lihat grafik 2), dapat dilihat bahwa
keadaan atmosfer dari pagi hingga sore hari adalah labil. Hal ini juga dapat dilihat dari
jenis awan yang tumbuh dari hasil pengamatan sinoptik secara umum adalah awan
konvektif cumulus dan dari hasil pengolahan citra, jenis awan yang tumbuh adalah
awan konvektif cumulonimbus (lihat tabel 2). Keadaan ini berlanjut dengan adanya
lightning pada tengah malam hingga pagi hari, hal ini menandakan keadaan atmosfer
tidak stabil
Hasil analisa suhu puncak awan tanggal 5 April (lihat grafik 3), keadaan
atmosfer yang labil pada tanggal 4 April berlanjut pada pagi hari tanggal 5 april. Pada
pagi hari, keadaan cuaca yang dicatat oleh observer adalah precipitation in sight, terjadi
hujan tetapi tidak jatuh di sekitar stasiun. Suhu puncak awan terus menurun
dibandingkan dengan profil suhu puncak awan tanggal 3-4 April. Penurunan suhu
puncak awan berlanjut hingga pagi hari berikutnya (6 April) dengan terbentuknya awan-
awan konvektif cumulus/cumulonimbus baik dari hasil observasi maupun hasil
identifikasi (lihat tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa keadaan atmosfer sangat labil.
Thunderstorm mulai terjadi pada pukul 08.00 UTC dan terus berlanjut dengan turunnya
hujan dengan intensitas ringan-lebat disertai thunderstorm hingga pagi hari. Curah
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 19 ~
hujan yang tercatat pada tanggal 6 April pukul 00.00 UTC adalah sebesar 105,2 mm.
Hujan lebat yang terjadi dari sore (08.00 UTC) hingga pagi hari 6 April menyebabkan
meluapnya beberapa sungai di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya, sehingga
menyebabkan terjadinya banjir.
Hasil analisa suhu puncak awan tanggal 6 April (lihat grafik 4), keadaan
atmosfer masih labil Hal ini ditandai dengan curah hujan yang terukur sebesar 41,2 mm
pada pagi hari 7 April. Jenis awan yang dicatat oleh observer dan hasil identifikasi citra
satelit menggunakan logika fuzzy (lihat tabel 4) secara umum masih menunjukkan
adanya awan-awan konvektif cumulonimbus.
4. KESIMPULAN
Hasil dari analisa profil suhu puncak awan 3,4,5 dan 6 April menunjukkan
bahwa keadaan atmosfer pada saat kejadian banjir adalah sangat labil. Jenis awan yang
diidentifikasi menggunakan logika fuzzy adalah awan konvektif cumulus dan
cumulonimbus yang dapat menyebabkan terjadinya hujan disertai thunderstorm.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih disampaikan oleh Penulis kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam penyiapan naskah ini.
DAFTAR RUJUKAN
Anjasman. (2012). Identifikasi Jenis Awan Pada Saat Kejadian Cuaca Ekstrim Squall
Line Di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya Menggunakan Software Cloud-
IT Versi 1.0. Prosiding Workshop Cuaca Ekstrim BMKG, Vol.1 No.19 November
2012. ISSN 2302-8289. Jakarta.
Anjasman dan Swarinoto Y.S. (2010). Identifikasi Jenis Awan Menggunakan Metode
Piksel-Fuzzy. Buletin MKG, Vol. 6 No.1 Maret 2010, Jakarta. ISSN 0215-1952.
Arhami, M. (2004). Konsep Dasar Sistem Pakar. Yogyakarta: Andi Offset.
Baum. B.A, Tovinkere. V & Titlow. J. (1997). Automated Cloud Classification of
Global AVHRR Data Using A Fuzzy Logic Approach. Journal of Applied
Meteorology. November Vol.36 hal: 1519-1539.
Barry R.G & Chorley R.J. 1998. Atmosphere, Weather, and Climate. Seventh Ed.
Penerbit Routlege, London, ISBN 0-415-16019-7, 409 hal.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 20 ~
Endarwin. (2012) Analisis Objektif Terhadap Kejadian Cuaca Ekstrim di Indonesia
Memanfaatkan Data Satelit Cuaca,. Prosiding Workshop Cuaca Ekstrim BMKG,
Vol.1 No.19 November 2012. ISSN 2302-8289. Jakarta.
Harsa. H, Kurniawan. R, Linarka, U.A&Noviati.S. (2011). Pemanfaatan SATAID
(Satellite Animation And Interactive Diagnosis) untuk Analisa Banjir dan Angin
Putting Beliung Studi Kasus Jakarta dan Yogyakarta. Jurnal Meteorologi dan
Geofisika Vol.12 No.2 September 2011.
Kuril. S, Saini. I & Saini.B.S. (2013). Cloud Classification for Weather Information by
Artificial Inteligence Neural Network, International Journal of Applied Physics
and Mathematics, Vol.3 , No 1, January 2013.
Kusumadewi, S. (2003). Artificial Inteligence.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suseno, DPY & Yamada, TJ. (2012). Two Dimensional, Thresold-Based Cloud Type
Classification Using MTSAT Data. Remote Sensing Letters, Vol.3,No 8, 20
December 2012.
Tokuna, M & Tsuchiya, K. (1994). Classification of Cloud Types Based on Data of
Multiple Satellite Sensors. Advances in Space Research, Vol.14, Issue 3, p. 199-
206, March 1994.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 21 ~
LAMPIRAN TABEL DAN GRAFIK
Jam/UTC 00.00 01.00 02.00 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00
Fuzzy Cb Cb Cb Cb Cb,Ci Cb,Ci Cc,Cs Cc,Cs Cu,Cs
Obs Sc,Ac,
As,Ci
Cb,Ac
As,Ci
Cb,Ac
As,Ci
Cb,Ac
As,Ci
Cb,Ac
As,Ci
Cb,Ac
As,Ci
Sc,As Cu,Sc
Cc
Cu,Sc,
Ci
Weather Mist Mist RERA C.unch RA RA RERA C.decr C.unch
09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00
Cu,Cs Cs,Ci Cb Cb Cb,Ci Ci Cb Cb Ci,Cc Cc
Cu,Sc,
Ac,Ci
Cu,Sc,
Ac,Ci
Cu,Ac
As,Ci
Sc,As
Ci
Sc,Ac
As,Cc
Sc,Ac
As,Cc
Sc,Ac
As,Cc
Sc,Ac
As,Cc
Sc,Ac
As,Cc
Sc,Ac
As,Cc
C.decr C.Incr C.Unch C.Unch C.Unch/RA RA RERA RA RA RERA
Jam/UTC 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00
Fuzzy Cb Cc,Cs Cb,Ci,Cc Cb Cb
Tabel 1 : Present weather, jenis awan observasi dan hasil identifikasi logika fuzzy 3 April 2013
Jam/UTC 00.00 01.00 02.00 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00
Fuzzy Cb Cb Cb Cb Cb Cb Ci,Cc Cb Cb,Ci
Obs Sc,Ac Cu,Ac Cu,Ac Cu,Ac Sc,Ac Sc,Ac Sc,Ci Sc,Ac Sc,Ci
Weather Haze C.unc C.unc C.Unc C.unc C.unc C.unc C.unc C.unc
09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00
Cb,Cu Cb,Ci Cc,Cs Cu,Cs Cc,Cs Cc,Cs Cu,Cc Cc Cc Cu,Cs
Cu,Ac Cu,Ci Cu,Ci Cu,Ci Cu,Ci Sc,Ci Sc,Ci Sc,Ci Sc,Ci Cb,Ci
C.unc C.unc C.unc C.unc C.unc C.dcr C.inc C.unc C.dcr lightning
Jam/UTC 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00
Fuzzy Cu,Cs Cc,Cs Cb,Ci,Cc Cb Cu,Cs
Tabel 2 : Present weather, jenis awan observasi dan hasil identifikasi logika fuzzy 4 April 2013
Jam/UTC 00.00 01.00 02.00 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00
Fuzzy Cu,Cs Cu Cu Cs,Cc Cs Cb,Ci Cb Cb Cb,Ci
Obs Cb,Cc Cu, Cu Cu,Cc Cu,cc Cu,cc Cu,Ci Cu,Ci Cb,Ci
Weather Prc.ins
ight
C.unc C.unc C.unc C.unc C.unc C.unc C.unc Ts
09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00
Cb Cb Cb Cb Cb Cb Cb Cb Cb Cb
Cb,Ci Cb Cb Sc Sc Sc Cb CB CB CB
Ts TS RA TS RA RA RA RA TSRA TSRA TSRA TSRA
Jam/UTC 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00
Fuzzy Cb Cb Cb Cb Cb
Tabel 3 : Present weather, jenis awan observasi dan hasil identifikasi logika fuzzy 5 april 2013
Jam/UTC 00.00 01.00 02.00 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00
Fuzzy Cb Cb Cb,Ci Cb Cb Cb Cb Cb Cb
Obs Cb Cb Cb Cb Cb Cb Sc Sc Sc
Weather Mist RA RERA C.unch Pr.ins Pr.ins RA RA RA
09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00
Cb Cb Cb Cb Cb Cb Cb Cb Cb Cb
Sc,As Sc,As Sc,As Sc,As Sc,As Sc,As Sc,As Sc,As Sc,As Sc,As
RA RA RA RA RERA C.unc C.unc C.unc C.unc C.unc
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 22 ~
Jam/UTC 19.00 20.00 21.00 22.00
Fuzzy Ci Ci,Cc Cb Ci
Tabel 4 : Present weather, jenis awan observasi dan hasil identifikasi 6 April 2013
Grafik 1 : Suhu puncak awan 3 April 2013
Grafik 2 : Suhu puncak awan 4 April 2013
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 23 ~
Grafik 3 : Suhu puncak awan 5 April 2013
Grafik 4 : Suhu puncak awan 6 April 2013
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 24 ~
ANALISA BENCANA BANJIR DI KOTA PADANG (Studi Kasus Intensitas Curah Hujan Kota Padang 1980 – 2009 dan Aspek
Geomorfologi)
Aprizon Putra1, Triyatno
2 dan Semeidi Husrin
1
1 Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir, Balitbang KP,
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Jl. Raya Padang- Painan Km 16 Padang, Sumatera Barat 2Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang
Jl. Prof. Dr. Hamka Air Tawar Padang - Sumatera Barat
email: [email protected]
Abstract
Flood in Padang is a routine problem which takes place every year at the same locations
and cannot be resolved yet by the local government. Current research has an objective
to obtain data of flood-affected areas (i.e. location and geomorphological conditions)
based on landform analysis. The mapping unit is landform unit which was obtained by
the interpretation of satellite data, topography and geological map. The sampling was
carried out using the Purposive Sampling Method. Based on rainfall statictics from 1980
- 2009, the average rainfall of 3583 mm/yr which implies that Padang has significantly
high rainfall. Padang climate has been classified as type A or extremely wet with Q
value equals 3,90% according to the analysis‟ result using Schmidt-Ferguson climate
classification. The geomorphology of flood-affected areas in Padang is the combination
of central fluvial landform and western marine landform. The central fluvial and
western marine landforms are passed by 6 drainage basins which have about 23 rivers
with total length of 155.40 km.
Keywords: Flood, Padang, Rainfall, Geomorphology and River.
Abstrak
Masalah banjir di Padang merupakan hal yang biasa, dimana hampir setiap tahun terjadi
banjir. Bahkan daerah banjir merupakan daerah yang sama dari tahun ke tahun dan
belum teratasi oleh masyarakat dan lembaga terkait. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan data mengenai wilayah terkena bencana banjir dan mendapatkan data
kondisi geomorfologi berdasakan analisa satuan bentuklahan. Satuan pemetaan adalah
satuan bentuklahan yang diperoleh dari interpretasi citra satelit, peta topografi dan peta
geologi. Pengambilan sampel dilakukan dengan metoda Purposive Sampling.
Berdasarkan data curah hujan tahun 1980-2009, Rerata curah hujan mencapai 3583
mm/th ini berarti Padang mempunyai curah hujan yang sangat besar. Hasil analisa
dengan klasifikasi iklim menurut Schmidt–Ferguson, menunjukkan bahwa Padang
memiliki tipe iklim A dengan kategori iklim sangat basah, dengan nilai Q = 3,90%.
Geomorfologi daerah banjir di Padang merupakan perpaduan antara bentuklahan fluvial
bagian tengah dan bentuklahan marin bagian barat. Bentuklahan fluvial dan marin
dilalui oleh 6 sungai (DAS) dan 23 aliran dengan total panjang 155,40 km.
Kata Kunci : Banjir, Padang, Curah hujan, Geomorfologi dan Sungai
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 25 ~
1. PENDAHULUAN
Umumnya masalah banjir disebabkan oleh; a) akibat dari aktifitas manusia,
berupa; 1) timbulnya pemukiman baru di daerah bantaran sungai, 2) perubahan tataguna
lahan baik di daerah hulu maupun hilir, 3) kurangnya pemeliharaan bangunan
pengendalian banjir, 4) pembuangan sampah di saluran drainase, 5) kerusakan hutan di
daerah hulu, dan 6) pemadatan serta penutupan permukaan tanah oleh bangunan.
sedangkan b) akibat dari kondisi alam, berupa; 1) curah hujan yang tinggi, 2) aliran
anak sungai tertahan oleh aliran induk sungai atau back water, dan 3) pembendungan
muara sungai akibat air pasang surut (Asdak, 1995).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wilayah terkena banjir dan
mengetahui kondisi geomorfologi berdasakan analisa satuan bentuklahan di Kota
Padang, sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah untuk dapat mencari solusi dalam
mengatasi masalah banjir yang selalu datang di wilayah yang sama, tidak saja secara
periodik tetapi juga bisa datang apabila intensitas curah hujan melampaui daya.
Sehingga dari hasil penelitian ini masyarakat akan mendapatkan pengetahuan dan
langkah-langkah untuk tindakan preventif dan kuratif bila banjir akan datang.
Selain itu penelitian juga merupakan acuan dalam pengembangan penelitian
khususnya penelitian yang terkait dengan sumber daya dan kerentanan pesisir, di mana
Kota Padang merupakan salah kota pesisir pantai yang memiliki kerentanan tinggi
terhadap bencana di pesisir Barat pulau Sumatera (Husrin, 2012).
2. METODOLOGI
Satuan pemetaan yang digunakan adalah satuan bentuklahan, yang diperoleh dari
interprestasi citra satelit, peta topografi dan peta geologi. Interpretasi ketiga data
tersebut menghasilkan peta satuan bentuklahan sementara (tentatif). Pengambilan
sampel dilakukan dengan metoda Purposive Sampling (Putra, 2012).
2.1 Analisa Curah Hujan
Dalam penelitian ini diperlukan data curah hujan kawasan yang diperoleh dari
nilai curah hujan di beberapa stasiun penakar. Metode dalam menentukan variasi
distribusi curah hujan yaitu:
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 26 ~
a) Metode Aljabar
Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa semua penakar hujan mempunyai
pengaruh yang setara. Cara ini cocok untuk kawasan dengan topografi datar. Hasil
perhitung curah hujan dengan metode ini diperoleh dengan persamaan.
R = 1 / n (R1 + R2 + . . . . . . +Rn )
Ket.
R = Curah hujan
N = Jumlah titik alat penakar hujan
R1. R2...........................Rn = Curah hujan tiap titik pengamatan
b) Metode Isoyhet
Cara kerja metode ini adalah dengan menggambarkan peta topografi dengan
perbedaan 10 mm - 20 mm berdasarkan data curah hujan pada titik pengamatan. Luas
bagian daerah antara 2 garis ishoyet yang berdekatan diukur dengan planimeter. Variasi
distribusi curah hujan dengan metode ishoyet di hitung dengan persamaan.
R = R1 . A1 + R2 . A2 +...............R8. A8
A1 + A2 + A3
Ket.
R = Curah hujan
R1. R2 = Curah Hujan tiap titik Pengamatan (stasiun)
A1. A2 = Bagian daerah yang diwakili antara dua garis isohyet
c) Iklim
Klasifikasi iklim yang digunakan adalah dengan penentuan nilai Q, yaitu
perbandingan antara bulan kering (BK) dan bulan basah (BB). BK dan BB pada
klasifikasi Schmidt-Ferguson ditentukan tahun demi tahun selama periode pengamatan
yang kemudian dijumlahkan dan dihitung rata-ratanya dengan kriteria klasifikasi
sebagai berikut.
Bulan Basah (BB) = Bulan dengan curah hujan > 100 mm
Bulan Lembab (BL) = Bulan dengan curah hujan antara 60 – 100 mm
Bulan Kering (BK) = Bulan dengan curah hujan < 60 mm
Q : Banyak Bulan Kering x 100%.................
Banyak Bulan Basah
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 27 ~
2.3 Analisa Data
Untuk menentukan kerentanan bahaya banjir digunakan beberapa parameter seperti
yang telah diuraikan di atas. Penilaian dari masing-masing parameter setiap satuan
bentuklahan yang diteliti diberi skor. Nilai skor pada satuan bentuklahan dijumlahkan
guna menentukan tingkat bahaya banjir. Tingkat kerentanan ditentukan dengan
persamaan.
I = (Htt – Htr) / K.............(Yeni, 2010)
Ket :
I = Interval kelas
Htt = Jumlah nilai tertinggi
Htr = Jumlah nilai terendah
K = Jumlah kelas yang diinginkan
Frekuensi banjir adalah jumlah peristiwa banjir pada daerah yang sama dalam
satuan waktu tertentu. Peristiwa banjir secara periodik tidak dapat diperhitungkan secara
matematis, karena banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir (tabel 1).
Tabel 1: Klasifikasi Pengukuran Kondisi Banjir
1) Frekuensi Banjir
No Frekuensi Banjir Kriteria Harkat
1 > 20 Tahun sekali Kecil 1
2 10 – 12 Tahun sekali Sedang 2
3 < 10 Tahun sekali Tinggi 3
2) Lama Genangan Banjir
No Lama banjir Kriteria Harkat
1 < 1 Hari Kecil 1
2 1 – 14 Hari Sedang 2
3 < 15 Hari Tinggi 3
3) Kedalaman Banjir
No Kedalaman Banjir Kriteria Harkat
1 > 70 cm Tinggi 1
2 20 – 70 cm Sedang 2
3 10 – 20 cm Agak rendah 3
Sumber: BNPB, 2008.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 28 ~
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Curah Hujan
Data curah hujan yang digunakan diambil dari 9 stasiun hujan, yaitu St. Tabing
(+ 2 mdpl), St. Kasang (+ 2 mdpl) St. Komp. PU (+ 3 mdpl), St. Simp. Alai (+ 5 mdpl),
St. Ladang Padi (+ 350 mdpl), St. Batu Busuk (+ 130 mdpl), St. Gunung Sarik (+ 100
mdpl) dan St. Teluk Bayur (+2 mdpl). Hasil dengan klasifikasi iklim menurut Schmidt–
Ferguson, menunjukkan bahwa Kota Padang memiliki tipe iklim A dengan kategori
iklim sangat basah dengan nilai Q = 3,90%, Untuk menentukan rata - rata distribusi
curah hujan di Kota Padang digunakan metode isohyet. Nilai intensitas curah hujan
dapat dilihat pada grafik (gambar 1) dan peta distribusi curah hujan (gambar 2).
Gambar 1: Grafik Curah Hujan Kota Padang (1980 – 2009)
3.2 Geomorfologi
Geomorfologi Kota Padang merupakan perpaduan antara bentuklahan pebukitan
vulkanik bagian Timur, bentuklahan fluvial bagian Tengah dan bentuklahan marin
bagian Barat. Daerah bagian Timur merupakan perbukitan vulkanik yang lebih tinggi
dari daerah bagian Tengah dan Barat, sehingga daerah bentuklahan fluvial dan marin
dilalui oleh beberapa DAS, yaitu DAS Air Dingin, DAS Air Timbalun, DAS Bt. Arau,
DAS Bt. Kandis, DAS Bt. Kuranji, dan DAS Sungai Pisang. Terdapat tidak kurang dari
23 aliran sungai yang mengalir dengan total panjang mencapai 155.40 km (10 sungai
besar dan 13 sungai kecil). Umumnya sungai besar dan kecil di Kota Padang
ketinggiannya tidak jauh berbeda dengan tinggi permukaan laut. Kondisi ini
mengakibatkan cukup banyak bagian wilayah di Kota Padang yang rawan terhadap
banjir. Hal ini didukung lagi bahwa Kota Padang merupakan daerah tropis mempunyai
curah hujan yang cukup tinggi rata-rata 3583 mm/th dengan rata-rata hari hujan 16 hari
perbulan.
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Jan,
250
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Feb,
251
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Mar,
300
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Apr,
315
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Mei,
244
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Jun,
222
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep
Okt Nov Des, Jul, 281
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Agu,
239
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Sep,
336
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Okt,
380
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Nov,
422
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Des,
342
Rata - rata Curah Hujan Bulanan Kota Padang (Tahun 1980 - 2009)
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 29 ~
Berdasarkan interpretasi citra satelit, peta topografi, dan peta geologi diperoleh
14 satuan bentuklahan (Verstappen, 1983). Ke-15 satuan bentuklahan tersebut
dikelompokkan menjadi kelompok bentuklahan daratan dan perbukitan. Kelompok
bentuklahan daratan yaitu marin dan fluvial sedangkan kelompok bentuklahan
perbukitan yaitu bentuklahan vulkanik dan bentuklahan solusional (tabel 2).
Tabel 2: Geomorfologi Kota Padang
No. Jenis Morofologi Luas (Ha)
1 Bura Pasir 943.48
2 Aluvial Pantai 1386.94
3 Depresi Antar Beting 738.65
4 Beting Gisik 509.39
5 Kipas Aluvial 1776.73
6 Tanggul Alam 2643.53
7 Rawa Belakang 4160.82
8 Dataran Banjir 684.3
9 Gosong Sungai 363.54
10 Kipas Fluvial - Vulkanik 6313.72
11 Teras Aliran Piroklastik 1877.07
12 Perbukitan Karst 1029.94
13 Pegunungan Volkan 45483.44
14 Perbukitan Vulkanik 743.13
15 Perubahan Manusia* 841.32
Kota Padang 694.96
Sumber: Analisa data, 2011 .
*) Bentuk lahan alami tidak terlihat, karena telah ada campur tangan manusia.
Berdasarkan analisa data pada peta satuan bentuklahan, kejadian banjir di
Padang, umumnya berada pada satuan bentuklahan dataran Aluvial pantai, Depresi
antar beting, Rawa belakang, Dataran banjir dan Gosong sungai yang berada pada
bagian Tengah dan bagian Hilir DAS.
Berdasarkan tabel 3 terlihat ada 5 satuan bentuklahan yang ditandai, satuan
bentuklahan yang ditandai tersebut merupakan satuan bentuklahan yang sangat rentan
terkena banjir, satuan bentuklahan yang rentan terkena banjir tersebut yaitu; 1) satuan
bentuklahan lagun dan lagun yang masih aktif secara spasial berada pada topografi datar
dan daerah ini dikategorikan kelas tinggi - sedang terhadap banjir, 2) satuan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 30 ~
bentuklahan depresi antar beting terdapat memanjang antara beting gisik di belakang
pantai, mulai dari satuan bentuklahan bura pantai arah ke darat, satuan bentuklahan ini
secara spasial berada pada topografi datar dan daerah ini dikategorikan kelas tinggi
terhadap banjir, 3) satuan bentuklahan rawa belakang (backswamp) terdapat di
belakang satuan bentuklahan tanggul alam (Natural levee), satuan bentuklahan ini
secara spasial berada pada topografi datar dan daerah ini dikategorikan kelas tinggi -
sedang terhadap banjir, 4) satuan bentuklahan dataran banjir (floodplain) terdapat di
kiri kanan aliran sungai, satuan bentuklahan ini secara spasial berada pada topografi
datar dan daerah ini dikategorikan kelas sedang terhadap banjir dan 5) satuan
bentuklahan gosong sungai yang terdiri dari satuan bentuklahan point bar dan channel
bar. Point bar biasanya terdapat pada tikungan dalam meander, sedangkan channel bar
merupakan sebuah pulau di tengah aliran sungai, satuan bentuklahan ini secara spasial
berada pada topografi datar dan daerah ini dikategorikan kelas sedang terhadap banjir
(Tabel 3).
Dari tabel 3 dapat dilihat tingkat bahaya banjir terbesar terdapat pada Kecamatan
Koto Tangah dengan luas daerah 8.90 km₂ dan yang terkecil terdapat pada Kecamatan
Lubuk Begalung dengan luas daerah 0.05 km₂. Tingkat bahaya banjir sedang yang
terbesar terdapat pada Kecamatan Kuranji dengan luas daerah 8.02 km₂ sedangkan
tingkat bahaya banjir sedang terendah terdapat pada Kecamatan Padang utara dengan
luas daerah 1.46 km₂. Tingkat bahaya banjir terendah terdapat pada Kecamatan Koto
tangah dengan luas daerah 250.59 km₂. Tingginya tingkat bahaya banjir di Kota Padang
umumnya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan kejadian pasang-surut air laut.
Pasang-surut di Kota Padang memiliki tipe pasang-surut ganda campuran, dalam artian
dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali mengalami surut air laut. Kejadian
banjir di Kota padang sering bertepatan dengan kejadian pasang naik, sehingga air yang
akan mengalir ke laut terhambat karena bertemunya dua massa air yaitu massa air tawar
dan massa air laut ini yang sering menyebabkan banjir.
Informasi terbaru mengenai bencana banjir di Kota Padang yaitu peristiwa banjir
bandang tanggal 24 Juli 2012 di Kecamatan Pauh akibat kegiatan illegal logging di
kawasan penyangga perbukitan yang menyebabkan topografi bagian hulu mengalami
degradasi. Selain itu bantaran sungai juga mengalami sedimentasi. Kerusakan hutan
pada bagian hulu sungai mengalami erosi dan penumpukan material pada daerah
bantaran sungai.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 31 ~
Tabel 3: Luas Bahaya Banjir secara Administrasi di Kota Padang
No Kecamatan Luas (km₂) Bahaya Banjir Luas Bahaya Banjir (km
₂)
1 Koto Tangah
232.25
Tinggi 8.90
Rendah 250.59
Sedang 6.45
2
Pauh
146.29
Rendah 116.90
Sedang 2.63
3 Kuranji 57.41
Tinggi 0.87
Rendah 49.05
Sedang 8.02
4 Nanggalo 8.07
Tinggi 1.60
Rendah 4.20
Sedang 5.32
5 Padang Utara 8.08
Tinggi 5.03
Rendah 0.68
Sedang 1.46
6 Lubuk Kilangan 85.99 Rendah 83.43
Sedang 1.20
7
Padang Timur
8.15
Tinggi 2.60
Rendah 3.28
Sedang 1.51
8
Padang Barat
7
Tinggi 4.29
Rendah 0.79
9
Lubuk Begalung
30.91
Tinggi 0.05
Rendah 22.89
Sedang 4.17
10
Padang Selatan
10.03
Tinggi 1.80
Rendah 8.79
Sedang 1.59
11
Bungus Tl Kabung
100.78
Tinggi 1.14
Rendah 97.29
Luas Sedang 1.33
694.96
Sumber: Analisa data, 2011.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 32 ~
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan hasil penelitian adalah Padang memiliki 6 DAS dan terdapat tidak
kurang dari 23 aliran sungai yang mengalir di wilayah Kota Padang dengan total
panjang mencapai 155.40 km. Curah hujan di Padang yang cukup tinggi rata-rata 3583
mm/th dengan rata-rata hari hujan 16 hari perbulan. Kondisi Geomorfologi yang rawan
terkena banjir di Kota Padang berada pada satuan bentuklahan dataran Aluvial pantai,
Depresi antar beting, Rawa belakang, Dataran banjir dan Gosong sungai. Kecamatan
Koto tangah merupakan kecamatan terluas terkena banjir di Utara Kota Padang 8.90
km₂ dan yang terkecil terdapat pada Kecamatan Lubuk Begalung dengan luas daerah
0.05 km₂.
Gambar 3: Peta Hasil Analisa Data
A) distribusi Curah Hujan, B) Geomorfologi
dan C) Peta Bahya Banjir)
A
B
C
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 33 ~
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka saran yang dapat di kemukakan adalah
masyarakat sebaiknya tidak mendirikan bangunan-bangunan permanen pada sempadan-
sempadan sungai, yaitu pada radius tertentu dari tubuh sungai (biasanya 100-200 m).
Kawasan ini umumnya merupakan daerah limpah banjir sehingga sebaiknya dihindari.
Pemerintah daerah setempat sebaiknya selalu melakukan monitoring di kawasan yang
berpotensi banjir untuk antisipasi kemungkinan terjadinya bencana banjir.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada anggota tim peneliti Kerentanan
Pesisir Satker LPSDKP Bungus Padang, khusus kepada Bpk. Gunardi Kusumah selaku
Kepala dan penyarah dalam kajian hidrologi. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan
untuk Bpk. Helfia Ideal dan Bpk. Sutarman Karim selaku pembimbing penulis dan tak
lupa kepada sdr. Azhari Syarief selaku editor dalam pemetaan yang telah membantu
serta civitas akademis Jurusan Geografi Universitas Negeri Padang yang telah banyak
membantu penulis dalam menyiapkan data – data pada tulisan ini.
DAFTAR RUJUKAN
Asdak, C., Hidrologi dan Daerah Aliran Sungai, UGM Press., Yogyakarta, 1995.
BNPB., Peraturan BNPB KEP.02/BNPB/2008., Pedoman Umum Pengkajian Risiko
Bencana di Indonesia, 2008.
Husrin, S., and Putra, A., Tsunami vulnerability of critical infrasrtuctures in the city of
Padang', Research Report LPSDKP, Ministry Of Marine Affairs And Fisheries,
Jakarta, 2013.
Syarief, A., Rapid Built-up Cover Changes on Flood Innudation Areas in Padang City,
Thesis IPB., Bogor, 2010.
Putra, A., Studi Erosi Lahan Pada DAS Air Dingin Bagian Hulu di Kota Padang,
Skripsi UNP., Padang, 2012.
Yeni, A., Analisa Permasalahan Banjir di Nagari Pasar Muara Labuh Kec. Sungai Pagu
Kab. Solok Selatan, Skripsi UNP., Padang, 2010.
Verstappen, H., Applied Geomorphology: Geomorphological Surveys for Environment
Development. Elsivier Sci. Publ. Comp; Amsterdam, 1983.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 34 ~
PEMANASAN GLOBAL DAN KETERKAITANNYA
DENGAN KONDISI EKSTREM HUJAN BEBERAPA
DAERAH DI JAWA DAN SUMATERA
Arief Suryantoro
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN
ariefsurya61@gmail
Abstract.
Variation and trends in extreme rainfall events alleged as one of the effects of global warming phenomenon started to get a lot of attention. Global warming and its association with the extreme conditions of rain in some areas of Java and Sumatra are discussed in this paper. The main data used in this study consisted of global air temperature data published by the Australian BoM and monthly rainfall data published by BMKG Jakarta. The main criteria used to determine the threshold value of rainfall extremes is a percentile criterion that includes the 90th percentile (P90), 95th percentile (P95), and 99th percentile (P99). The results obtained showed that the apparent global warming happening, especially since 1980, not simultaneously followed extreme rainfall events in Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Bandar Lampung and Solok. Before the era of global warming (before 1980) is precisely the number of extreme rainfall events far more from those of global warming era (after 1980) in the region of interest in this study. Keywords: Template, Full Paper, SNSAA 2012
Abstrak
Variasi dan kecenderungan dalam kejadian ekstrem hujan yang diduga sebagai
salah satu dampak dari fenomena pemanasan global mulai mendapat banyak perhatian.
Pemanasan global dan keterkaitannya dengan kondisi ekstrem hujan beberapa daerah di
Jawa dan Sumatera dibahas dalam makalah ini. Data utama yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari data suhu udara global yang dipublikasikan oleh BoM
Australia, dan data curah hujan bulanan yang dipublikasikan oleh BMKG Jakarta.
Kriteria utama yang digunakan untuk menentukan nilai ambang ekstrem hujan adalah
kriteria persentil yang meliputi persentil 90 (P90), persentil 95 (P95), dan persentil 99
(P99). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemanasan global yang tampak jelas
terjadi, terutama sejak tahun 1980, tidak secara serentak diikuti kejadian ekstrem hujan
di Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Bandar Lampung. Sebelum era pemanasan
global (sebelum tahun 1980) justru jumlah kejadian ekstrem hujan jauh lebih banyak
dibandingakan dengan era pemanasan global (sesudah tahun 1980) di daerah yang
ditinjau dalam penelitian ini. Kata Kunci : pemanasan global, ekstrem hujan, Jawa dan Sumatera
1. PENDAHULUAN
Pemanasan global dapat dikatakan sebagai kejadian meningkatnya suhu rata-rata
udara (atmosfer), lautan dan daratan bumi. Saat ini, bermakna sebagai ekspresi yang
berkaitan dengan gejala pemanasan dari dampak kegiatan manusia. Meningkatnya suhu
udara (atmosfer) global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 35 ~
lain seperti naiknya permukaan air laut, perubahan jumlah dan pola curah hujan sampai
pada tingkat yang ekstrem, (Thompson, 2007). Variasi dan kecenderungan dalam
kejadian iklim ekstrem yang diduga sebagai salah satu dampak dari fenomena
pemanasan global pun mulai mendapat banyak perhatian. Peningkatan secara
eksponensial kerugian ekonomi, ditambah dengan peningkatan kematian akibat
peristiwa ini, telah menggiring opini dan perhatian pada kemungkinan bahwa frekuensi
peristiwa iklim ekstrem ini memang meningkat signifikan. Kejadian ekstrem juga dapat
didefinisikan oleh dampak peristiwa di masyarakat. Dampak tersebut mungkin
melibatkan hilangnya kehidupan yang berlebihan, kerugian ekonomi atau moneter yang
berlebihan, atau keduanya (Easterling et al., 2000).
Selain kenaikan suhu rata-rata global pada permukaan bumi, istilah yang sering
digunakan untuk menggambarkan fenomena pemanasan global adalah adanya
kenaikkan konsentrasi gas karbondioksida (CO2) di atmosfer. Hal ini diawali dari
anggapan para ilmuwan di tahun 1896, bahwa membakar bahan bakar fosil akan
mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan suhu rata-rata global. Dan
anggapan ini mendapatkan konfirmasi yang bernilai benar, ketika di tahun 1957
sekelompok peneliti mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di
Hawaii dalam rangka program penelitian global International Geophysical Year. Hasil
pengukurannya menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi gas
karbondioksida (CO2) di atmosfer, demikian pula halnya hasil analisis kelompok
peneliti lainnya dalam rentang yang lebih lama, (Morita T. et al., 2001 dari Suryantoro,
2007).
Identifikasi fenomena pemanasan global ini diperoleh dari pengumpulan
pengukuran suhu rata-rata permukaan daratan, lautan maupun udara permukaan yang
dilakukan oleh berbagai negara di dunia, terutama negara-negara anggota WMO (World
Meteorological Organization). Dalam makalah ini digunakan data anomali suhu
permukaan rata-rata global yang dipublikasikan oleh BoM (Bureau of Meteorology)
Australia selama pengamatan 1850 – 2010 untuk menunjukkan adanya fenomena
pemanasan global tersebut, sebagaimana disajikan dalam gambar (1) berikut. BoM,
(2013).
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 36 ~
Gambar 1 : Anomali suhu permukaan rata-rata global 1850 – 2010. BoM, (2013).
Secara lebih kuantitatif, identifikasi fenomena pemanasan global ini adalah :
”Suhu rata-rata permukaan bumi meningkat sekitar 1,4 ° F (0.8 ° C) selama 100 tahun
terakhir, dengan sekitar dua per tiga dari pemanasan ini terjadi selama hanya tiga
dekade terakhir sejak tahun 1980”. (America's Climate Choices, 2011). UNFCCC
(United Nations Framework Convention on Climate Change), telah sepakat bahwa
pengurangan emisi dan pemanasan global di masa depan harus dibatasi di bawah 2,0 ° C
(3.6 ° F) relatif terhadap tingkat pra-industri, (UNFCCC, 2011). Meskipun dari laporan
yang diterbitkan pada tahun 2011 oleh UNEP (United Nations Environment
Programme) dan Badan Energi Internasional menunjukkan bahwa upaya pada awal
abad ke-21 untuk menurunkan emisi mungkin tidak memadai untuk memenuhi ambang
pemanasan global sebesar 2 ° C, sebagaimana target yang dicanangkan UNFCCC
tersebut.
Benua Maritim Indonesia (BMI) yang terdiri dari 17.500 pulau, yang diapit oleh
2 samudera luas yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, yang memiliki garis
pantai terpanjang di dunia yaitu 81.000 km dan secara geografis terletak di daerah
tropis, merupakan wilayah yang rawan bencana hidrometeorologis, khususnya bila
dikaitkan dengan pemanasan global dan perubahan iklim ekstrem. Dengan demikian,
penelitian tentang identifikasi kejadian ekstrem hujan di beberapa daerah di Jawa dan
Sumatera dalam kaitannya dengan fenomena global merupakan hal yang penting untuk
dilaksanakan. Apakah fenomena pemanasan global memainkan peranan yang signifikan
terhadap kejadian hujan ekstrem di lingkup area yang jauh lebih kecil (misalnya Jawa
dan Sumatera) merupakan hal utama yang ingin diketahui gambaran rincinya. Tujuan
yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui keterkaitan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 37 ~
fenomena pemanasan global dengan kejadian ekstrem hujan di beberapa daerah di Jawa
dan Sumatera (Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Lampung).
2. DATA DAN METODE
Data suhu rata-rata permukaan daratan, lautan maupun udara permukaan yang
dikenal sebagai data suhu global, yang merupakan hasil pengumpulan pengukuran suhu
rata-rata permukaan daratan, lautan maupun udara permukaan oleh berbagai negara di
dunia, terutama negara-negara anggota WMO (World Meteorological Organization),
yang dipublikasikan oleh BoM (Bureau of Meteorology) Australia selama pengamatan
1850 – 2010 digunakan sebagai data utama untuk memperoleh gambaran fenomena
pemanasan global. Sedang data curah hujan bulanan beberapa daerah di Jawa dan
Sumatera (Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Lampung) selama pengamatan
1901 – 2002 digunakan sebagai data yang dicari nilai / kondisi ekstremnya dan dicari
keterkaitannya dengan fenomena pemanasan global tersebut. Sumber data curah hujan
bulanan beberapa daerah di Jawa dan Sumatera ini adalah BMKG (Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika) Jakarta.
Penentuan nilai ambang batas kondisi ekstrem hujan dalam penelitian ini
menggunakan kriteria persentil, baik persentil 90 (P90), persentil 95 (P95) dan persentil
99 (P99) yang mengacu pada hal serupa, yang dilakukan oleh Haylock dan Nicholls,
(2000) maupun Zhang, Chen dan Stefan (2011). Selanjutnya, dilakukan analisis
frekuensi kejadian dan intensitas ataupun akumulasi hujan ekstrem selama rentang
waktu pengamatan (Januari 1901 – Desmber 2002) dan penelusuran keterkaitannya
dengan fenomena pemenasan global.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
Pola bulanan curah hujan (mm) Ciamis (108,35 °BT; 7,33 °LS) rata-rata
klimatologis 1971 – 2000 dan rata-rata sentenial 1901 – 2002; Cilacap (108,35 °BT;
7,33 °LS) rata-rata klimatologis 1971 – 2000 dan rata-rata sentenial 1901 – 2002;
Banyuwangi (108,35 °BT; 7,33 °LS) rata-rata klimatologis 1971 – 2000 dan rata-rata
sentenial 1901 – 2002; Solok (108,35 °BT; 7,33 °LS) rata-rata klimatologis 1971 – 2000
dan rata-rata sentenial 1901 – 2002; dan Lampung (108,35 °BT; 7,33 °LS) rata-rata
klimatologis 1971 – 2000 dan rata-rata sentenial 1901 – 2002; masing-masing disajikan
dalam gambar (1), (3), (5), (7) dan (9). Sedang nilai ambang batas kondisi ekstrem
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 38 ~
hujan menggunakan kriteria persentil, baik persentil 90 (P90), persentil 95 (P95)
maupun persentil 99 (P99) untuk masing-masing daerah yang sama yang diperoleh
dalam penelitian ini disajikan dalam (2), (4), (6), (8) (10) berikut.
Gambar 1 : Pola bulanan curah hujan (mm) Ciamis
(108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002.
Gambar 2 : Ambang ekstrem curah hujan (mm)
Ciamis (108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002.
Gambar 3 : Pola bulanan curah hujan (mm) Cilacap
(109,0 °BT; 7,73 °LS) 1901 – 2002.
Gambar 4 : Ambang ekstrem curah hujan (mm)
Cilacap (109,0 °BT; 7,73 °LS) 1901 – 2002.
Gambar 5 : Pola bulanan curah hujan (mm)
Banyuwangi (108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002.
Gambar 6 : Ambang ekstrem curah hujan (mm)
Banyuwangi (108,35 °BT; 7,33 °LS)
1901 – 2002.
408
336350
303
243
145
95 94109
256
305
343
369 362346
286
241
143
9283
112
232
300 301
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nop des
Cu
ra
h H
uja
n (
mm
)
waktu (bulan)
Ciamis (108,35 BT; 7,33 LS)
rata-rata-sentenial-1901-2002 rata-rata-klimatologis-1971-2000 Poly. (rata-rata-sentenial-1901-2002)
408
336 350303
243
14595 94 109
256305
343369 362 346
286241
143
92 83112
232
300 301
0
200
400
600
800
1000
1200
jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nop des
Cu
ra
h H
uja
n (m
m)
Ciamis ambang ekstrem (P90), (P95) (P99)
rata-rata-sentenial-1901-2002
rata-rata-klimatologis-1971-2000
Persentil 90-(P90)
Persentil 95-(P95)
Persentil 99-(P99)
300
259
288 282 289271
181
153168
376
457
383
320
231
289
261279
226
118
83
152
272
444
369
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Cu
rah
Hu
jan
(m
m)
Waktu (bulan)
Cilacap (109 BT; 7,73 LS)
rata-rata-sentenial-1901-2012 rata-rata-klimatologis-1981-2010 Poly. (rata-rata-sentenial-1901-2012)
300259
288 282 289 271
181153 168
376
457
383
318
231
289261 279
226
11883
152
272
444
369
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
jan feb mar apr mei jun jul aug sep okt nop des
Cu
rah
Hu
jan
(m
m)
Cilacap ambang ekstrem (P90), (P95) (P99)
rata-rata-sentenial-1901-2005
rata-rata-klimatologis-1981-2010
Persentil 90-(P90)
Persentil 95-(P95)
Persentil 99-(P99)
221
183
155
8984
7167
48 47
64
93
155
225
188
158
95 97
6559
43
5954
102
172
0
50
100
150
200
250
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Cu
ra
h H
uja
n (
mm
)
waktu (bulan)
Banyuwangi (8,22 LS; 114,37 BT)
rata-rata-sentenial-1901-2003 rata-rata-klimatologis-1971-2000 Poly. (rata-rata-sentenial-1901-2003)
221
183155
89 8471
51 49 4764
93
155
225
188
158
95 97
6548 43
59 54
102
172
0
100
200
300
400
500
600
700
jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nop des
Cu
ra
h H
uja
n (m
m)
Banyuwangi ambang ekstrem (P90), (P95), (P99)
rata-rata-sentenial-1901-2002
rata-rata-klimatologis-1971-2000
Persentil 90-(P90)
Persentil 95-(P95)
Persentil 99-(P99)
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 39 ~
Gambar 7 : Pola bulanan curah hujan (mm) Solok
(108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002.
Gambar 8 : Ambang ekstrem curah hujan (mm)
Solok (108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002.
Gambar 9 : Pola bulanan curah hujan (mm)
Bandar Lampung (108,35 °BT; 7,33 °LS)
1901 – 2002.
Gambar 10 : Ambang ekstrem curah hujan (mm)
Bandar Lampung (108,35 °BT; 7,33 °LS)
1901 – 2002.
Pola bulanan curah hujan (mm) dengan akumulasi hujan rata-rata tertinggi dan
terrendah, ambang ekstrem P90, P95 dan P99; rata-rata klimatologis 1971 – 2000; dan
rata-rata sentenial 1901 – 2002 daerah Ciamis (108,35 °BT; 7,33 °LS) disajikan dalam
gambar (11) dan (12). Hal yang serupa untuk daerah Cilacap (108,35 °BT; 7,33 °LS)
disajikan dalam gambar (13) dan (14); untuk daerah Banyuwangi (108,35 °BT; 7,33
°LS) disajikan dalam gambar (15) dan (16); untuk daerah Solok (108,35 °BT; 7,33 °LS)
disajikan dalam gambar (17) dan (18); dan untuk daerah Bandar Lampung (108,35 °BT;
7,33 °LS) disajikan dalam gambar (19) dan (20) berikut.
Gambar 11 : Pola bulanan dan ambang ekstrem
P90, P95 dan P99 curah hujan (mm) Ciamis Januari
1901 – 2002.
Gambar 12 : Pola bulanan dan ambang ekstrem
P90, P95 dan P99 curah hujan (mm) Ciamis
Agustus 1901 – 2002.
223
175
209218
147
10392
115
157
188
224
248
218
169
222 219
163
10899
123
152 148
170
221
0
50
100
150
200
250
300
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Cu
ra
h H
uja
n (
mm
)
waktu (bulan)
Solok (0,82 LS; 100,67 BT)
rata-rata-sentenial-1901-2003 rata-rata-klimatologis-1971-2000 Poly. (rata-rata-sentenial-1901-2003)
223
175
209218
147
10392
115
78
179
129
229218
169
222 219
163
10899
123133
148
170
221
0
100
200
300
400
500
600
jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nop des
Cu
rah
Hu
jan
(m
m)
Solok ambang ekstrem (P90), (P95), (P99)
rata-rata-sentenial-1901-2002
rata-rata-klimatologis-1971-2000
Persentil 90-(P90)
Persentil 95-(P95)
Persentil 99-(P99)
289
274
254
162
145
10694 100
109
132
169
255
302
263251
134 138
97
82 86
107
92
156
240
0
50
100
150
200
250
300
350
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Cu
ra
h H
uja
n (
mm
)
waktu (bulan)
Bandar Lampung (5,45 LS; 105,25 BT)
rata-rata-sentenial-1901-2003 rata-rata-klimatologis-1971-2000 Poly. (rata-rata-sentenial-1901-2003)
223
175
209218
147
10392
115105
179
201
229218
169
222 219
163
10899
123107
148
170
221
0
100
200
300
400
500
600
700
jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nop des
Cu
rah
Hu
jan
(m
m)
Solok ambang ekstrem (P90), (P95), (P99)
rata-rata-sentenial-1901-2002
rata-rata-klimatologis-1971-2000
Persentil 90-(P90)
Persentil 95-(P95)
Persentil 99-(P99)
1039 mm;(1916)
653 mm;(1919)
737mm;(1930)
811 mm;(1931)
659 mm;(1956)
902 mm;(1968)
764 mm;1969)
793 mm;1991)
0
200
400
600
800
1000
1200
Cu
rah
Hu
jan
(m
m)
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Ciamis Januari 1901-2002 (P90=176.1%; P95=211.9%; P99 = 260.4% thd rata-rata 1971-2000)
hujan-obsv (mm)
rata-rata (1971-2000)=369.2 mm
ekstr-P90=650.0 mm
ekstr-P95=782.2 mm
ekstr-P99=961.3 mm
Linear (hujan-obsv (mm))
567 mm;(1904)
210 mm;(1916)
322 mm;(1917)
413 mm;(1920)
214 mm;(1933)
383 MM;(1943)
446 mm;(1955)
331 mm;(1956)
1199 mm;(1957)
459 mm;(1968)
310 mm;(1974)
309 mm;(1998)
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Cu
ra
h H
uja
n (
mm
)
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Ciamis Agustus 1901-2002 (P90=228.0%; P95=337.1%; P99 = 432.9% thd rata-rata 1971-2000)
hujan-obsv (mm)
rata-rata (1971-2000)=83.0 mm
ekstr-P90=189.2 mm
ekstr-P95=279.8 mm
ekstr-P99=359.3 mm
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 40 ~
Gambar 13 : Pola bulanan dan ambang ekstrem
curah hujan (mm) Cilacap Nopember
1901 – 2002.
Gambar 14 : Pola bulanan dan ambang ekstrem
curah hujan (mm) Cilacap Agustus 1901 – 2002.
Gambar 15 : Pola bulanan dan ambang ekstrem
P90, P95 dan P99 curah hujan (mm) Banyuwangi
Januari 1901 – 2002.
Gambar 16 : Pola bulanan dan ambang ekstrem
P90, P95 dan P99 curah hujan (mm) Banyuwangi
Agustus 1901 – 2002.
Gambar 17 : Pola bulanan dan ambang ekstrem
curah hujan (mm) Solok Desember
1901 – 2002.
Gambar 18 : Pola bulanan dan ambang ekstrem
curah hujan (mm) Solok Juli
1901 – 2002.
Gambar 19 : Pola bulanan dan ambang ekstrem
P90, P95 dan P99 curah hujan (mm)
Bandar Lampung Januari 1901 – 2002.
Gambar 20 : Pola bulanan dan ambang ekstrem
P90, P95 dan P99 curah hujan (mm)
Bandar Lampung Juli 1901 – 2002.
886 mm;(1901)
757 mm;(1918)
954 mm;(1935)
873 mm;(1952)
850 mm;(1954) 756 mm;
(1974)756 mm;
(1980)752 mm;
(1983)
799 mm;(2005)
853 mm;(2007)
0
200
400
600
800
1000
1200
19
01
19
03
19
05
19
07
19
09
19
11
19
13
19
15
19
17
19
19
19
21
19
23
19
25
19
27
19
29
19
31
19
33
19
35
19
37
19
39
19
41
19
43
19
45
19
47
19
49
19
51
19
53
19
55
19
57
19
59
19
61
19
63
19
65
19
67
19
69
19
71
19
73
19
75
19
77
19
79
19
81
19
83
19
85
19
87
19
89
19
91
19
93
19
95
19
97
19
99
20
01
20
03
20
05
20
07
20
09
20
11
Cu
rah
Hu
jan
(m
m)
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Cilacap Nopember 1901-2012 (P90=167.6%; P95=187.6%; P99 = 214.6% thd rata-rata 1981-2010)
hujan-obsv (mm)
rata-2-(1981-2010)=443.5 mm
ekstr-P90=743.4 mm
ekstr-P95=831.8 mm
ekstr-P99=951.8 mm
631 mm;(19016)
695 mm;(1908)
903 mm;(1920)
955 mm;(1938)
741 mm;(1943)
598 mm;(1954)
983 mm;(1955)
539 mm;(1956)
492 mm;(1958)
913 mm;(1974)
0
200
400
600
800
1000
1200
19
01
19
03
19
05
19
07
19
09
19
11
19
13
19
15
19
17
19
19
19
21
19
23
19
25
19
27
19
29
19
31
19
33
19
35
19
37
19
39
19
41
19
43
19
45
19
47
19
49
19
51
19
53
19
55
19
57
19
59
19
61
19
63
19
65
19
67
19
69
19
71
19
73
19
75
19
77
19
79
19
81
19
83
19
85
19
87
19
89
19
91
19
93
19
95
19
97
19
99
20
01
20
03
20
05
20
07
20
09
20
11
Cu
rah
Hu
jan
(m
m)
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Cilacap Agustus 1901-2012 (P90=580.0%; P95=820.8%; P99 = 1202.7% thd rata-rata 1981-2010)
hujan-obsv (mm)
rata-2-(1981-2010)=83.2 mm
ekstr-P90=476.8 mm
ekstr-P95=674.7 mm
ekstr-P99=988.6 mm
617 mm;(1902)
383 mm;(1906)
526 mm;(1913)
413 mm;(1938) 411 mm;
(1940)
447 mm;(1994)
377 mm;(2002)
462 mm;(2003)
0
100
200
300
400
500
600
700
Cu
ra
h H
uja
n (
mm
)
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Banyuwangi Januari 1901-2003
(P90=162.6%; P95=183.2%; P99 = 255.1% thd rata-rata 1971-2000)
hujan-obsv (mm)
rata-rata (1971-2000)=225.4 mm
ekstr-P90=366.4 mm
ekstr-P95=412.9 mm
ekstr-P99=575.0 mm
306 mm;(1901)
246 mm;(1909)
185 mm;(1917)
147 mm;(1921)
145 mm;(1930) 135 mm;
(1939)
260 mm;(1951)
194 mm;(1986) 183 mm;
(1988)
130 mm;(2000)
0
50
100
150
200
250
300
350
Cu
ra
h H
uja
n (
mm
)
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Banyuwangi Agustus 1901-2003 (Q6=260.1%; P90=299.1%; POT=340.9%; P92=343.7%; P93=365.8%; P95=421.4%; P96=450.9%; P99 = 671.9% thd rata-rata 1971-2000)
hujan-obsv (mm)
rata-rata (1971-2000)=43.0 mm
ekstr-P90=128.6 mm
ekstr-P95=181.2 mm
ekstr-P99=288.9 mm
534 mm;(1904)
575 mm;(1912) 545 mm;
(1925)
473 mm;(1931)
503 mm;(1935)
562 mm;(1963)
448 mm;(1973)
458 mm;(1982)
536 mm;(1994)
479 mm;(2003)
0
100
200
300
400
500
600
700
Cu
ra
h H
uja
n (
mm
)
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Solok Desember 1901-2003
(P90=201.0%; P95=234.6%; P99 = 269.8% thd rata-rata 1971-2000)
hujan-obsv (mm)
rata-rata (1971-2000)=220.5 mm
ekstr-P90=443.1 mm
ekstr-P95=517.4 mm
ekstr-P99=594.9 mm
261 mm;(1907) 245 mm;
(1910) 238 mm;(1953)
246 mm;(1960)
389 mm;(1963)
327 mm;(1979)
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Cu
ra
h H
uja
n (
mm
)
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Solok Juli 1901-2003
(P90=242.0%; P95=234.7%; P99 = 381.1% thd rata-rata 1971-2000)
hujan-obsv (mm)
rata-rata (1971-2000)=98.6 mm
ekstr-P90=238.6 mm
ekstr-P95=231.4 mm
ekstr-P99=375.8 mm
698 mm;(1914)
478 mm;(1934)
923 mm;(1956)
507 mm;(1960)
483 mm;(1987)
468 mm;(1988)
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
Cu
ra
h H
uja
n (
mm
)
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Bandar Lampung Januari 1901-2003
(P90=210.0%; P95=227.3%; P99 = 245.5% thd rata-rata 1971-2000)
hujan-obsv (mm)
rata-rata (1971-2000)=202.0 mm
ekstr-P90=424.2mm
ekstr-P95=459.2 mm
ekstr-P99=495.9 mm
223 mm;(1922)
256 mm;(1951)
244 mm;(1955)
278 mm;(1960)
422 mm;(1975)
274 mm;(1995)
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Cu
ra
h H
uja
n (
mm
)
Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Bandar Lampung Juli 1901-2003 (P90=273.2%; P95=314.7%; P99 = 408.4% thd rata-rata 1971-2000)
hujan-obsv (mm)
rata-rata (1971-2000)=70.2 mm
ekstr-P90=191.8 mm
ekstr-P95=220.9 mm
ekstr-P99=286.7 mm
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 41 ~
3.2. Pembahasan
Dari gambar (1), (5), (7) dan (9) terlihat secara umum bahwa pola utama curah
hujan bulanan di daerah yang ditinjau dalam penelitian ini, baik itu di daerah Ciamis
(108,35 °BT; 7,33 °LS); Banyuwangi (108,35 °BT; 7,33 °LS); dan Solok (108,35 °BT;
7,33 °LS) maupun Bandar Lampung (108,35 °BT; 7,33 °LS), baik rata-rata sentenial
selama seratus tahun lebih (1901 – 2002) maupun rata-rata klimatologis selama 30
tahun (1971 – 2000) memberikan pola utama yang serupa. Secara umum menunjukkan
adanya pola curah hujan monsunal (pola curah hujan bulanan yang memiliki akumulasi
puncak curah hujan satu kali dalam satu tahun, dan memiliki akumulasi lembah curah
hujan satu kali dalam satu tahun. Secara kasar, dapat dianalogikan dengan pola serupa
huruf “V”). Dengan mengacu pada kajian yang dilakukan dalam BoM (2013) maupun
America's Climate Choices, (2011) di atas, yang menyatakan bahwa “sekitar dua per
tiga dari pemanasan global ini terjadi selama hanya tiga dekade terakhir sejak tahun
1980”, maka dapat diungkapkan pemanasan global tidak mempengaruhi secara
signifikan terhadap pola utama curah hujan bulanan di daerah Ciamis, Banyuwangi dan
Bandar Lampung.
Sedang untuk dua daerah lainnya yang ditinjau dalam penelitian ini yaitu
Cilacap (108,35 °BT; 7,33 °LS), sebagaimana disajikan dalam gambar (3) di atas,
memiliki pola utama curah hujan yang sedikit berbeda. Di daerah Cilacap ini memiliki
akumulasi puncak curah hujan dua kali dalam satu tahun (Mei dan Nopember), dan
memiliki akumulasi lembah curah hujan satu kali dalam satu tahun (Agustus). Pola
seperti ini dikenal sebagai pola curah hujan ekuatorial. Namun demikian, dalam
kaitannya dengan fenomena pemanasan global maka dapat diungkapkan bahwa, sama
seperti daerah lainnya yang ditinjau dalam penelitian ini (Ciamis, Banyuwangi dan
Bandar Lampung), pemanasan global tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap
pola utama curah hujan bulanan di daerah Cilacap ini.
Dari gambar (2), (4), (6) dan (10) terlihat secara umum bahwa nilai ambang
ekstrem hujan yang diperoleh secara umum juga mengikuti pola nilai-nilai maksimum
akumulasi hujan sentenial maupun klimatologisnya. Nilai ambang ekstrem hujan
berdasar kriteria persentil 90 (P90) sudah dapat mencerminkan kondisi ekstrem hujan di
daerah yang ditinjau, karena sudah jauh berada di atas ambang batas keadaan di atas
normal, jika mengacu pada kriteria ambang batas di atas normal yang ditetapkan oleh
BMKG selama ini. Untuk kasus bulan Januari selama 1901 – 2002, di semua daerah
yang ditinjau dalam penelitian ini memiliki nialai ambang ekstrem hujan P90 >137,0%
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 42 ~
terhadap nilai rata-rata klimatologi 1971-2000. Secara lengkap, di daerah Ciamis
memiliki nilai ambang ekstrem hujan P90 > 176,1% terhadap nilai rata-rata klimatologi
1971-2000. Di daerah Cilacap memiliki nilai P90 > 137,2%; di Banyuwangi memiliki
nilai P90 > 162,6%; di Solok memiliki nilai P90 > 164,4% dan di Bandar Lampung
memiliki nilai P90 > 210,0%. Sebagaimana diketahui, bahwa jika hujan yang terjadi
memiliki nilai perbandingan > 115,0% terhadap rata-rata 30 tahunnya, maka hujan pada
saat tersebut digolongkan sebagai di atas normal (BMKG, 2013).
Nilai ambang ekstrem hujan berdasar kriteria persentil 95 (P95) dan persentil 99 (P99)
memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai ambang ekstrem hujan P90
di semua daerah yang ditinjau dalam penelitian ini.
Sedang dari gambar (11) sampai (20), yang secara umum menunjukkan pola
bulanan curah hujan (mm) dengan akumulasi hujan rata-rata tertinggi dan terrendah,
ambang ekstrem P90, P95 dan P99; rata-rata klimatologis 1971 – 2000; dan rata-rata
sentenial 1901 – 2002 di semua daerah yang ditinjau dalam penelitia ini (Ciamis,
Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Bandar Lampung) diperoleh gambaran bahwa dalam
sebelum era pemanasan global (sebelum tahun 1980) jumlah kejadian ekstrem hujan
jauh lebih banyak dibandingakan dengan era pemanasan global (sesudah tahun 1980).
Secara lebih rinci, untuk daerah Ciamis selama rentang pengamatan 1901 – 2002, total
kejadian ekstrem hujan berdasar kriteria P90 (dan yang lebih tinggi yaitu P95 dan P99)
ada 74 kejadian, dengan rincian 62 kejadian terjadi sebelum era pemanasan global
(sebelum tahun 1980) dan 12 kejadian terjadi di era pemanasan global (sesudah tahun
1980). Hal serupa, untuk daerah Cilacap, selama rentang pengamatan 1901 – 2002, total
kejadian ekstrem hujan berdasar kriteria P90 ada 124 kejadian, dengan rincian 99
kejadian terjadi sebelum era pemanasan global (sebelum tahun 1980) dan 25 kejadian
terjadi di era pemanasan global (sesudah tahun 1980). Sedang untuk daerah
Banyuwangi, selama rentang pengamatan 1901 – 2002, total kejadian ekstrem hujan
berdasar kriteria P90 ada 116 kejadian, dengan rincian 80 kejadian terjadi sebelum era
pemanasan global (sebelum tahun 1980) dan 36 kejadian terjadi di era pemanasan
global (sesudah tahun 1980). Untuk daerah Solok selama rentang pengamatan 1901 –
2002, total kejadian ekstrem hujan berdasar kriteria P90 (dan yang lebih tinggi yaitu
P95 dan P99) ada 115 kejadian, dengan rincian 92 kejadian terjadi sebelum era
pemanasan global (sebelum tahun 1980) dan 23 kejadian terjadi di era pemanasan
global (sesudah tahun 1980). Terakhir, untuk daerah Bandar Lampung, selama rentang
pengamatan 1901 – 2002, total kejadian ekstrem hujan berdasar kriteria ≥ P90 ada 141
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 43 ~
kejadian, dengan rincian 114 kejadian terjadi sebelum era pemanasan global (sebelum
tahun 1980) dan 27 kejadian terjadi di era pemanasan global (sesudah tahun 1980).
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini sekaligus mengindikasikan bahwa
pemanasan global tidak serta-merta (simulataneously) diikuti kejadian ekstrem hujan di
daerah yang memiliki skala jauh di bawah ukuran global, seperti daerah ditinjau dalam
penelitian ini (Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Bandar Lampung). Bahkan
untuk skala daerah yang sama pun (misalnya global), pola pemanasan global juga tidak
selalu diikuti dengan kejadian hujan dengan pola ataupun kecenderungan yang sama.
Hal ini tampak jelas jika membandingkan pola ataupun kecenderungan pemanasan
global di BBU dan BBS dengan pola ataupun kecenderungan curah hujan global di
BBU dan BBS, sebagaimana disajikan dalam gambar (21.a; 21.b; 22.a dan 22.b)
berikut.
Gambar 21.a : Anomali suhu permukaan
rata-rata BBU 1850 – 2010. BoM, (2013).
Gambar 21.b : Anomali curah hujan rata-
rata BBU 1850 – 2010. BoM, (2013).
Gambar 22.a : Anomali suhu permukaan rata-rata
BBS 1850 – 2010. BoM, (2013).
Gambar 22.b : Anomali curah hujan rata-rata
BBS 1850 – 2010. BoM, (2013).
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 44 ~
4. KESIMPULAN
Pemanasan global yang tampak jelas terjadi, terutama sejak tahun 1980, tidak serta-
merta (simulataneously) diikuti kejadian ekstrem hujan di daerah yang ditinjau dalam
penelitian ini (Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Bandar Lampung). Diperoleh
gambaran yang cukup berbeda dengan anggapan (hipotesa) yang digunakan pada awal
penelitian ini, yang mengacu pada kajian Thomson (2007), yang menyatakan bahwa
meningkatnya suhu udara (atmosfer) global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-
perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, perubahan jumlah dan pola
curah hujan sampai pada tingkat yang ekstrem. Hasil penelitian ini justru menunjukkan
bahwa sebelum era pemanasan global (sebelum tahun 1980) jumlah kejadian ekstrem
hujan jauh lebih banyak dibandingakan dengan era pemanasan global (sesudah tahun
1980). Perbedaan yang mencolok terjadi di wilayah kajian Bandar Lampung (108,35
°BT; 7,33 °LS). Selama pengamatan 1901 – 2002, total kejadian ekstrem hujan berdasar
kriteria ≥ P90 ada 141 kejadian, dengan 114 kejadian terjadi sebelum era pemanasan
global dan 27 kejadian terjadi di era pemanasan global.
UCAPAN TERIMA KASIH.
Diucapkan terimakasih kepada Drs. Afif Budiyono, M.T. dan Dr. Didi Satiadi atas
masukan, saran dan diskusi yang konstruktif dalam penelitian ini. Penelitian ini
merupakan bagian dari Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi yang ada di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN Tahun anggaran
2013.
DAFTAR RUJUKAN
America's Climate Choices, Washington, D.C., The National Academies Press.
ISBN 978-0-309-14585-5., pp.15, 2011 dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Global_warming. Diakses 18 September 2013.
BMKG, Prakiraan Hujan Bulan Maret, Apri dan Mei 2013; dari :
http://www.bmkg.go.id/ImagesData/prash0513.jpg, 2013. Diakses 4 April 2013.
BoM, About the Climate Extremes Analyses dari
http://www.bom.gov.au/climate/change. Diakses 9 Januari 2013.
Haylock, M and N.Nicholls, Trends in Extreme Rainfall Index for an Updated High
Quality Data Set for Australia, 1910 – 1998, Int. J. Climatol., 20, pp. 1533–1541,
2000.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 45 ~
Easterling, D.R., J.L. Evans, P. Ya. Groisman, T.R. Karl, K.E. Kunkel, P. Ambenje.
Observed Variability and Trends in Extreme Climate Events : A Brief Review,
Bulletin of the American Meteorological Society, vol.81, 417-425, 2000.
Morita, T. et al. (2001). Greenhouse Gas Emission Mitigation Scenarios and
Implications. In: Climate Change 2001: Mitigation. Contribution of Working Group
III to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change [B. Metz et al. Eds.]. Cambridge University Press, Cambridge, U.K., and
New York, N.Y., U.S.A.. Retrieved on 2010-01-10.
Suryantoro, Arief, Pro dan Kontra Dunia Menyikapi Perubahan dan Pemanasan Global,
Media Dirgantara, vol.2 no.4, Desember 2007, 6-10.
Thompson, Andrea, 2007, NASA: Global Warming to Cause More Severe Tornadoes,
Storms, Fox News, September 04, 2007, dari
http://www.foxnews.com/story/0,2933,295272,00.html. Diakses 22 Januari 2009.
Zhang, Q., X. Chen, and B. Stefan, 2011, Spatio-Temporal Variations of Precipitation
Extremes in the Yangtze River Basin (1960-2002), China, Atmospheric and Climate
Sciences, 2011, 1, pp. 1-8, doi:***** Published Online January 2011 dari :
http://www.SciRP.org/journal/acs. Diskses 15 Maret 2012.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 46 ~
DESAIN MUATAN ROKET SONDA EKSPERIMEN
BERBASIS ROKET RX-100 UNTUK PENGUKURAN
PROFIL VERTIKAL PARAMETER ATMOSFER
Asif Awaludin, Halimurrahman, Rachmat Sunarya, Soni Aulia R
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN
Email : [email protected]
Abstract
Sounding rocket is ones of instruments used for atmospheric vertical profile
measurement. This paper describe about payload design for Sounding Rocket
Experiment based on RX-100 rocket which consist of rocket aerodynamics payload and
atmospheric parameter payload. The design was created by considering RX-100 rocket
technical specification and vertical profile of atmospheric parameter being measured.
Based on analysis result to the design, it is expected that initial acceleration of the
rocket flight carrying 6 kg payload is about 5.35 g, and its last acceration is about 8,02
g. Signal power expected to be received by the receiver system, which has receiving
sensitivity -118 dBm, from a 1 watt rocket payload transmitter at 8 km height is -73,29
dBm.
Keywords : Sounding Rocket Experiment, payload, atmospheric parameter.
Abstrak
Salah satu instrumen untuk pengukuran profil vertikal atmosfer adalah roket sonda.
Dalam tulisan ini dibuat desain muatan Roket Sonda Eksperimen berbasis roket RX-100
yang terdiri dari muatan aerodinamika roket dan muatan parameter atmosfer.
Pembuatan desain dilakukan dengan mempertimbangkan spesifikasi teknis roket RX-
100 dan profil vertikal parameter atmosfer yang akan diukur. Berdasarkan analisis
terhadap hasil desain, diharapkan percepatan awal terbang roket dengan total berat
muatan 6 kg adalah sekitar 5,35 g dan percepatan akhirnya adalah sekitar 8,02 g. Daya
sinyal yang diharapkan diterima oleh sistem penerima telemetri roket dengan
sensitivitas penerimaan -118 dBm dan daya transmisi muatan 1 watt pada ketinggian
maksimum 8 km adalah sebesar -73,29 dBm.
Kata Kunci : Roket Sonda Eksperimen, muatan, parameter atmosfer.
1. LATAR BELAKANG
Pengukuran profil vertikal parameter atmosfer sangat penting dilakukan untuk
memahami iklim dan cuaca yang sedang terjadi atau bahkan untuk memprediksi kondisi
cuaca dan iklim di waktu yang akan datang. Instrumen yang dapat digunakan untuk
melakukan pengukuran tersebut antara lain satelit pengamat cuaca, roket sonda,
radiosonda dan radar. Dalam tulisan ini dilakukan desain eksperimen roket sonda
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 47 ~
berbasis roket RX-100. Desain ini akan digunakan sebagai panduan pembuatan roket
sonda yang akan dilakukan selanjutnya.
Pembuatan desain dilakukan dengan mempertimbangkan spesifikasi teknis roket
RX-100 dan kondisi parameter atmosfer yang akan diukur oleh Roket Sonda
Eksperimen. Parameter atmosfer yang akan diukur meliputi tekanan udara, suhu udara,
dan kelembaban udara. Hasil desain kemudian akan dianalisis prediksi kinerjanya
meliputi prediksi kinerja roket setelah ada muatan, prediksi kinerja sistem transmisi
data, dan prediksi kinerja sistem sensor.
2. PERTIMBANGAN DESAIN
Roket yang digunakan untuk Roket Sonda Eksperimen adalah roket RX-100
yang diproduksi oleh Pusat Teknologi Roket LAPAN. Roket ini mempunyai spesifikasi
seperti ditunjukkan dalam Tabel 2-1 (Satrya dan Simorangkir, 2013). Bentuk roket hasil
foto kamera ditunjukkan dalam Gambar 2-1. Berdasarkan spesifikasi roket tersebut
kemudian dibuat kriteria bahan pertimbangan untuk pembuatan desain muatan roket
yang meliputi pertimbangan dimensi dan berat muatan, sistem transmisi data, dan
sistem sensor aerodinamika roket yang akan digunakan. Sensor akselerasi yang
digunakan mempunyai kisaran hingga 10g dan sensor kecepatan sudut mempunyai
kisaran hingga 300 o/s (Widada, 2005 dan Wahyudi et al, 2009).
Selain itu, untuk bahan pembuatan desain sensor-sensor muatan atmosfer yang
akan dipasang pada muatan roket, digunakan bahan pertimbangan berupa data profil
vertikal tekanan udara, temperatur udara, dan kelembaban udara daerah Surabaya
tanggal 13 Juli 2012 jam 07.00 WIB yang grafiknya ditunjukkan dalam Gambar 2-2.
Data tersebut diperoleh dari data Radiosonda University of Wyoming. Kriteria-kriteria
pertimbangan desain untuk muatan Roket Sonda Eksperimen secara keseluruhan
tercantum dalam Tabel 2-2.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 48 ~
Gambar 2-1. Foto RX-100.
Tabel 2-1. Spesifikasi Roket RX-100.
Spesifikasi Spesifikasi
Tipe 1110 Akselerasi max 10 g
Panjang 195 cm Gaya Dorong 289 kgf
Berat 34,845 kg Tekanan Rata-rata 43 kg/cm3
Kisaran vertikal 6,83 km Massa motor roket 45,36 kg
Kisaran horizontal 8,77 km Massa propelan 20 kg
Diameter dalam 107 mm Kecepatan pembakaran 3,33 kg/s
Diameter luar 114,3 mm
Sumber : Satrya dan Simorangkir, 2013.
Gambar 2-2. Profil vertikal tekanan, temperature, dan kelambaban daerah Surabaya
tanggal 13 Juli 2012.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 49 ~
Tabel 2-2. Pertimbangan desain
Kriteria Nilai Kriteria Nilai
Range vertikal max 8 km Tekanan Udara Luar 350 s/d 1015 mbar
Massa muatan max 6 kg Temperatur Luar -25 s/d 40 oC
Daya transmisi 1 watt Kelembaban Luar 0 – 100 %
Akselerasi max 10 g Metode separasi Teknik Pyro
Kecepatan Sudut Max 300 o/s Kecepatan turun 3 m/s
Sumber : Hasil perancangan
3. HASIL DESAIN
Berdasarkan kriteria pertimbangan desain tersebut, dibuat desain muatan Roket
Sonda Eksperimen. Pada desain ini dibuat dua macam muatan roket yang terpisah, yaitu
muatan aerodinamika roket dan muatan parameter atmosfer. Spesifikasi lengkap hasil
desain kedua muatan tersebut ditunjukkan dalam Tabel 3-1. Susunan muatan dalam
tubuh roket ditunjukkan dalam Gambar 3-1.
Tabel 3-1. Spesifikasi muatan roket hasil desain.
Spesifikasi Muatan Aerodinamika Roket Muatan Parameter Atmosfer
Massa Total 3000 gram 3000 gram
Diameter 94 mm 94 mm
Tinggi 300 mm (nosecone)
200 mm (isi muatan)
200 mm (isi muatan)
100 mm (parasut)
Sensor • IMU (Inertial Measurement
Unit), 3-axis Acelero, 3-axis
Gyro
• GPS
• Tekanan
• Temperatur
• Kelembaban
• Posisi (GPS)
Frekuensi 900 MHz 433 MHz
Daya Transmisi 1 watt 1 watt
Sumber : Hasil perancangan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 50 ~
Gambar 3-1. Desain susunan muatan untuk Roket Sonda Eksperimen.
Sesuai dengan susunan muatannya, mekanisme separasi Roket Sonda
Eksperimen direncanakan sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 3-2. Roket Sonda
Eksperimen diluncurkan ke atas dengan sudut elevasi peluncuran 80o. Bersamaan
dengan mulai meluncurnya roket, timer untuk separasi roket dijalankan. Setelah timer
mencapai 5 detik, berdasarkan hasil perhitungan massa propelan dibagi dengan
kecepatan pembakaran propelan, diprediksi bahwa bahan bakar propelan motor roket
telah habis. Sehingga tepat pada saat tersebut roket diseparasi menjadi dua, yaitu motor
roket dipisahkan dari bagian muatan. Metode separasi yang sering digunakan adalah
menggunakan teknik Pyro (Mariani, 2010). Motor roket terbuang ke bawah dan bagian
muatan masih meluncur ke atas memanfaatkan gaya dorong yang tersisa.
Sesaat setelah bagian muatan mencapai ketinggian maksimum, muatan
parameter atmosfer akan dilontarkan keluar dari bagian muatan roket. Begitu muatan
parameter atmosfer keluar, parasunya akan langsung mengembang, sehingga ia akan
turun pelan dengan kecepatan 3 m/s. Selama meluncur, kedua muatan akan terus
melakukan pengukuran. Hasil pengukuran akan disimpan dalam memori SD Card
payload dan juga ditransmisikan ke sistem penerima di ruas bumi.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 51 ~
Gambar 3-2. Mekanisme separasi Roket Sonda Eksperimen.
4. PEMBAHASAN
Berdasarkan spesifikasinya, gaya dorong roket RX-100 adalah sebesar 289 kgf,
massa roket tanpa muatan sekitar 50 kg, massa muatan roket total 6 kg, dengan
menggunakan hukum Newton pada persamaan 4-1, dimana a adalah percepatan, F
adalah gaya, dan m adalah masa benda, didapatkan percepatan awal roket saat terbang
adalah sebesar 5,35 g (1 g = 9.80665 m/s2).
(4-1)
Karena adanya penyusutan massa bahan bakar propelan hingga massa terakhir
saat habis adalah sebesar 0 kg, sehingga massa roket berkurang 20 kg, maka percepatan
akhirnya adalah sebesar 8,02 g. Dengan demikian range percepatan awal hingga akhir
roket masih dapat terpantau dengan baik menggunakan sensor accelerometer 10 g. Hal
ini sesuai dengan hasil desain.
Dalam analisis hasil desain sistem transmisi data radio analog, terdapat tiga
parameter penting, yaitu Effective Isotropic Radiated Power (EIRP), free space loss,
dan sensitivitas radio penerima. EIRP merupakan daya yang dipancarkan oleh antena.
Free space loss merupakan salah satu rugi transmisi yang terjadi karena gelombang
elektromagnetik menjalar melalui ruang terbuka. Dalam analisis ini, rugi-rugi yang lain
misalnya rugi karena redaman gas, hujan, dan multipath fading akan diabaikan dengan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 52 ~
asumsi terjadi kondisi atmosfer ideal dan tidak ada penghalang atau pantulan yang
signifikan antara pemancar dan penerima. Sensitivitas radio penerima merupakan level
daya minimal sinyal radio yang dapat ditangkap dan diolah dengan baik oleh radio
penerima.
Pada hasil desain sistem radio pemancar muatan roket, daya keluaran system
pemancar adalah 1 watt, panjang kabel diasumsikan 0 m karena antenna langsung
terpasang pada printed circuit board (PCB) rangkaian radio, dan gain antenna adalah 1,
maka besarnya EIRP berdasarkan persamaan 4-2 (dalam Simanjuntak , 1993) adalah
sebesar 0 dB.
(4-2)
Dimana adalah daya keluaran sistem pemancar, adalah panjang kabel antara
sistem pemancar dengan antena pemancar, dan adalah gain antena pemancar.
Dengan frekuensi pemancar dan penerima adalah 433 MHz dan jarak maksimum
antara pemancar dengan penerima adalah 8 km, maka didapatkan nilai free space lost
menggunakan persamaan 4-3 (dalam Simanjuntak , 1993) adalah sebesar 103,29 dB
atau 73,29 dBm.
(4-3)
Dimana Ladalah free space lost dalam dB, adalah D adalah pemancar ke penerima
dalam km, dan f adalah frekuensi kerja pemancar dan penerima dalam MHz.
Dengan gain antena penerima adalah 1, panjang kabel diasumsikan 0 m karena
antena langsung terpasang pada PCB rangkaian radio, maka berdasarkan persamaan 4-4
(dalam Simanjuntak , 1993) didapatkan daya yang diterima sekitar -73,29 dBm.
(4-4)
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 53 ~
Dimana adalah daya yang diterima oleh sistem penerima, adalah panjang
kabel antara sistem peenerima dengan antenna penerima, adalah gain antenna
penerima.
Karena sensitivitas radio penerima adalah -118 dBm, maka sinyal yang masuk dengan
daya sebesar -73,29 dBm akan dapat diterima dengan baik oleh sistem radio penerima.
Namun karena terdapat noise yang muncul, maka sinyal masukan dapat diterima dengan
baik oleh penerima dengan syarat signal to noise ratio (SNR) minimal 70 dBm (Kraus,
1988). Dengan kata lain, noise yang muncul tidak boleh melebihi -143,29 dBm.
Sensor-sensor parameter atmosfer hasil desain mempunyai range pengukuran
yang mencakup kisaran nilai profil vertikal tekanan, temperatur, dan kelembaban yang
ditunjukkan dalam Gambar 2-2. Hasil pengukuran nanti diharapkan mempunyai nilai
mendekati nilai profil-profil vertikal tersebut dengan asumsi tidak terjadi suatu kondisi
cuaca yang ekstrim.
5. KESIMPULAN
Telah dibuat desain Roket Sonda Eksperimen berbasis roket RX-100 yang meliputi
desain muatan aerodinamika roket dan muatan parameter atmosfer. Berdasarkan analisis
terhadap hasil desain, diharapkan percepatan awal terbang roket dengan total berat
muatan 6 kg adalah sekitar 5,35 g dan percepatan akhirnya adalah sekitar 8,02 g. Daya
sinyal yang diharapkan diterima oleh sistem penerima telemetri roket dengan
sensitivitas penerimaan -118 dBm dan daya transmisi muatan 1 watt pada jarak
maksimum 8 km adalah sebesar -73,29 dBm.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami sampaikan kepada Dr. Laras Tursilowati atas dukungan terhadap
penelitian ini. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Herma Yudhi, MT, Lilis
Mariani, MT, dan teman-teman Pustek Roket LAPAN atas diskusi dan masukannya.
DAFTAR RUJUKAN
Satrya, E dan Simorangkir H. 2013. Kajian Tentang Rancangan Motor Roket Rx100
Menggunakan Pendekatan Gaya Dorong Optimal. Jurnal Matematika dan
Statistik, Vol 13, No 1, Hal 63 – 69.
Kraus, JD. 1988. Antennas. Mc Graw Hill. ISBN 0-70-035422-7.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 54 ~
Mariani L. 2010. Sistim Separasi Tingkat Roket. Laporan Akhir Riset Insentif Ristek –
Dikti 2010.
Simanjuntak, T. 1993. Dasar Dasar Telekomunikasi. Penerbit Alumni. ISBN 979-414-
481-9. Bandung.
Widada, W. 2005. Aplikasi Digital Exponential Filtering Untuk Embedded Sensor
Payload Rocket. Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta
Aplikasi.
Wahyudi, Susanto, A, Pramono, S, Widada, W. 2009. Design and Application of The
Exponential Filter on Rotation Estimation Using The Angular RateSensor
(Gyroscope). Proceedings of The 3rd Asian Physics Symposium 2009. Bandung
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 55 ~
PENGARUH KONSENTRASI ION NH4+ DAN Ca
2+
TERHADAP NETRALISASI HUJAN ASAM DI DAERAH
CIPEDES, KEBON KALAPA, SOREANG DAN CIKADUT
Asri Indrawati, Dyah Aries Tanti
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
[email protected]; [email protected]
Abstract
Neutralization of acid rain is influenced by cation ion concentration contained in rain
water, especially NH4 + and Ca
2 + ions. From neutralization factor calculations, it was
found that neutralization of rainwater acidity in Cipedes area affected by NH4+ ions by
neutralization factor values from 0.3 to 1.4, whereas for the area Kb. Kalapa, Soreang
and Cikadut, more influenced by Ca2+
ions with a range of values of the neutralization
factor from 0.1 to 3.4. This indicated also by the new pH value which takes into account
the concentration of NH4+ ions in rainwater pH calculation.
Keywords : neutralization factor, rainwater, pH, NH4+, Ca
2+
Abstrak
Netralisasi hujan asam di pengaruhi oleh konsentrasi ion kation yang terkandung dalam
air hujan, terutama ion NH4+ dan ion Ca
2+. Dari perhitungan faktor netralisasi,
didapatkan bahwa netralisasi keasaman air hujan di daerah Cipedes dipengaruhi oleh
ion NH4+ dengan nilai faktor netralisasi sebesar 0,3 – 1,4. Untuk daerah Kebon Kalapa,
Soreang dan Cikadut, lebih banyak dipengaruhi oleh ion Ca2+
dengan rentang nilai
faktor netralisasi sebesar 0,1 – 3,4. Hal ini ditunjukkan pula oleh nilai pH baru (pH
kalkulasi) yang memperhitungkan konsentrasi ion NH4+ dalam perhitungan pH air
hujan.
Kata Kunci : faktor netralisasi, air hujan, pH, NH4+, Ca
2+
1. PENDAHULUAN
Sumber basa di atmosfer mempunyai pengaruh dalam penetralan keasaman air
hujan. Sumber basa yang utama adalah NH3 dan CaCO3 (Wang, et al 2002). Amonia
dalam bentuk gas (NH3) berhubungan erat dengan kehadiran amonium (NH4+) di
atmosfer, yang pada gilirannya amonium ini bertindak sebagai senyawa penetral di
atmosfer dan juga berkontribusi terhadap masalah pengasaman atmosfer (Wameck,
1999). Kalsium, Magnesium dan Natrium dalam air hujan berasal dari garam-garam
lautan dan dari tanah (Carroll, 1962). Wang (Wang et al., 2002 dalam GAO et al 2010)
mengungkapkan bahwa ion Ca2+
yang terkandung dalam aerosol tanah di kawasan Asia
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 56 ~
Timur memiliki pengaruh netralisasi yang kuat pada pH curah hujan dan dapat
menaikkan pH rata-rata tahunan (0,8 – 2,5) di Cina Utara dan Korea.
Perhitungan faktor netralisasi digunakan untuk melihat pengaruh kation terhadap
netralisasi keasaman air hujan. Dilakukan pula perhitungan nilai pH baru dengan
memperhitungkan konsentrasi H+ dan konsentrasi ion NH4
+ untuk mengetahui seberapa
besar pengaruh netralisasinya terhadap nilai keasaman air hujan. Perhitungan faktor
netralisasi dan pH baru digunakan untuk melihat sumber basa mana yang paling
mempengaruhi nilai keasaman air hujan di suatu daerah (Possanzini et al, 1988 dan
GAO et al 2010).
Tujuan dari penelitian dilakukan untuk melihat pengaruh NH4+ dan Ca
2+ pada
penetralan keasaman air hujan untuk daerah Cipedes, Kb. Kalapa, Soreang dan Cikadut,
yang nantinya dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya mengenai penetralan
keasaman air hujan dan dapat juga digunakan untuk mendeteksi apakah terjadi
perubahan kondisi lingkungan pada daerah tersebut.
2. DATA DAN METODE
Data yang digunakan yaitu data konsentrasi kation dan anion air hujan daerah
Cipedes, Kb. Kalapa, Soreang dan Cikadut – Bandung kurun waktu 2007 – 2011.
Dengan menggunakan data rata-rata bulanan konsentrasi ion NH4+ dan Ca
2+ untuk
setiap daerah dari tahun 2007 -2011 dilakukan perhitungan faktor netralisasi (NFs)
dengan menggunakan persamaan berikut (Possanzini et al 1988).
[ ]
⌈ ⌉ [ ] (1)
Dimana Xi adalah konsentrasi kation yang diinginkan, dalam penelitian ini adalah NH4+
dan Ca2+
. Semua ion dinyatakan dalam µeq/l.
Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai pH baru (pH kalkulasi) dengan
memperhitungkan nilai konsentrasi H+ dan NH4
+ dengan menggunakan persamaan
berikut (Wang et al 2002 dalam GAO et al, 2010).
pH =-log ([H +] + [NH4
+]) (2)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pengaruh Nilai Faktor Netralisasi NH4+ dan Ca
2+.
Secara teoritis penurunan pH dalam air hujan terutama disebabkan oleh larutnya
polutan SO42-
dan NOx, sedangkan peningkatan pH disebabkan oleh terlarutnya kalsium
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 57 ~
(Ca2+
) dan amonia (NH3) dalam air hujan (Sari dkk, 2007). Peningkatan pH yang terjadi
pada air hujan mengindikasikan telah terjadinya proses netralisasi keasaman air hujan
oleh sumber basa utama yang ada di atmosfer, yaitu kalsium dan amonia (Wameck,
1999).
Untuk melihat hubungan antara konsentrasi NH4+ dan Ca
2+ yang terlarut di
dalam air hujan terhadap proses penetralan keasaman air hujan tersebut dilakukan
perhitungan faktor netralisasi (NFs) masing-masing untuk NH4+ dan Ca
2+ di setiap
daerah. Faktor netralisasi digunakan untuk mengevaluasi penetralisir keasaman air
hujan oleh lapisan kerak dan amonia. Semakin tinggi nilai faktor netralisasi,
menunjukkan bahwa ion tersebut memiliki kemampuan netralisasi yang kuat terhadap
keasaman air hujan (Possanzini et al 1988).
Hasil yang diperoleh pada perhitungan faktor netralisasi untuk masing-masing
daerah memperlihatkan bahwa selama kurun waktu 2007 - 2011daerah Cipedes
penetralan keasaman air hujan lebih dipengaruhi oleh NH4+ dengan rentang nilai antara
0,3 – 1,4. Sedangkan untuk daerah Kb. Kalapa, Soreang dan Cikadut terjadi perubahan
pengaruh penetralan. Pada tahun 2007 – 2008 penetralan keasaman air hujan
dipengaruhi oleh ion NH4+, namun pada tahun 2009 – 2011 penetralan keasaman air
hujan lebih banyak dipengaruhi oleh Ca2+
yang dapat dilihat pada gambar 1 berikut.
0
1
2
3
4
Jan
-07
May
-07
Sep
-07
Jan
-08
May
-08
Sep
-08
Jan
-09
May
-09
Sep
-09
Jan
-10
May
-10
Sep
-10
Jan
-11
May
-11
Sep
-11
Nila
i Fak
tor
Ne
tral
isas
i
Tahun
Cipedes
Nilai NF NH4+
Nilai NF Ca2+
( a )
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 58 ~
Gambar 1 : Nilai faktor netralisasi antara ion NH4+ dan ion Ca
2+ daerah Cipedes (a),
Kebon Kalapa (b), Soreang (c) dan Cikadut (d).
0
1
2
3
4
Jan
-07
May
-07
Sep
-07
Jan
-08
May
-08
Sep
-08
Jan
-09
May
-09
Sep
-09
Jan
-10
May
-10
Sep
-10
Jan
-11
May
-11
Sep
-11
Nila
i Fak
tor
Ne
tral
isas
i
Tahun
Kb. Kalapa
Nilai NF NH4+
Nilai NF Ca2+
( b )
0
1
2
3
4
Jan
-07
May
-07
Sep
-07
Jan
-08
May
-08
Sep
-08
Jan
-09
May
-09
Sep
-09
Jan
-10
May
-10
Sep
-10
Jan
-11
May
-11
Sep
-11
Nila
i Fak
tor
Ne
tral
isas
i Soreang
Nilai NF NH4+
Nilai NF Ca2+
( c )
0
1
2
3
4
Jan
-07
May
-07
Sep
-07
Jan
-08
May
-08
Sep
-08
Jan
-09
May
-09
Sep
-09
Jan
-10
May
-10
Sep
-10
Jan
-11
May
-11
Sep
-11
Nila
i Fak
tor
Ne
tral
isas
i
Tahun
Cikadut
Nilai NF NH4+
Nilai NF Ca2+
( d )
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 59 ~
Hal tersebut sejalan dengan berubahnya kondisi lingkungan di daerah Kebon
Kalapa, Soreang dan Cikadut. Di daerah Soreang terjadi perubahan penggunaan lahan
dimana lahan persawahan berubah menjadi pemukiman penduduk. Kemudian bukit-
bukit yang ditumbuhi pepohonan sekarang telah habis terkikis karena digunakan sebagai
penambangan pasir. Keadaan ini membuat NH4+ yang teremisikan dari penggunaan
pupuk berkurang dengan semakin sedikitnya lahan pertanian, digantikan dengan
teremisikannya Ca2+
ke udara yang berasal dari penambangan pasir.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wang (Wang et al, 2002 dalam GAO
2010) di daerah Cina Utara dan Republik Korea, konsentrasi Ca2+
dan nilai pH dalam
air hujan jauh lebih tinggi dibandingkan Cina Selatan dan Jepang. Kondisi ini
disebabkan oleh tingginya Ca2+
yang terdapat dalam aerosol tanah, sehingga
kemampuan netralisasi oleh NH4+ tidak menonjol di daerah tersebut.
3.2 Nilai pH air hujan dan pH kalkulasi.
Pada amonium, tingginya nilai faktor netralisasi tidak langsung menunjukkan
bahwa ion tersebut memiliki kemampuan netralisasi yang kuat dan memiliki pengaruh
yang kuat terhadap keasaman air hujan. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
amonia terhadap netralisasi pH air hujan, maka dilakukan analisis perhitungan pH
kalkulasi antara ion amonium dengan nilai pH hujan. Perhitungan pH kalkulasi tidak
hanya memperhitungkan nilai H+ tapi juga memasukkan konsentrasi ion NH4
+ ke dalam
perhitungan nilai pH. Ion amonium di produksi oleh amonia dalam kombinasi dengan
H+. Jika tidak ada amonia di atmosfer, maka konsentrasi H
+ harus meningkat, sehingga
perlu dimasukkannya konsentrasi NH4+ dalam perhitungan nilai pH (GAO, et al., 2010).
Dari hasil perhitungan pH kalkulasi yang dapat dilihat pada gambar 2 dibawah
ini didapatkan bahwa amonia tidak secara signifikan mempengaruhi penetralan
keasaman air hujan di daerah Cipedes. Tingkat signifikasi yang diperoleh hanya 40%
saja. Kondisi ini menandakan bahwa keberadaan kation lain seperti Natrium dan
Magnesium selain Amonium yang terlarut dalam air hujan mempunyai pengaruh yang
besar terhadap penetralan keasaman air hujan daerah Cipedes.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 60 ~
3
4
5
6
7
8
Jan
-07
Ap
r-0
7
Jul-
07
Oct
-07
Jan
-08
Ap
r-0
8
Jul-
08
Oct
-08
Jan
-09
Ap
r-0
9
Jul-
09
Oct
-09
Jan
-10
Ap
r-1
0
Jul-
10
Oct
-10
Jan
-11
Ap
r-1
1
Jul-
11
Oct
-11
Nila
i pH
Tahun
Cipedes
pH hujan
pH kalkulasi
3
4
5
6
7
8
Jan
-07
Ap
r-0
7
Jul-
07
Oct
-07
Jan
-08
Ap
r-0
8
Jul-
08
Oct
-08
Jan
-09
Ap
r-0
9
Jul-
09
Oct
-09
Jan
-10
Ap
r-1
0
Jul-
10
Oct
-10
Jan
-11
Ap
r-1
1
Jul-
11
Oct
-11
Nila
i pH
Tahun
Soreang
pH hujan
pH kalkulasi
( c )
3
4
5
6
7
8
Jan
-07
Ap
r-0
7
Jul-
07
Oct
-07
Jan
-08
Ap
r-0
8
Jul-
08
Oct
-08
Jan
-09
Ap
r-0
9
Jul-
09
Oct
-09
Jan
-10
Ap
r-1
0
Jul-
10
Oct
-10
Jan
-11
Ap
r-1
1
Jul-
11
Oct
-11
Nila
i pH
Tahun
Kb. Kalapa
pH hujan
pH kalkulasi
( b )
( a )
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 61 ~
Gambar 2 : Perbandingan pH air hujan dengan pH kalkulasi daerah Cipedes (a),
Kebon Kalapa (b), Soreang (c) dan Cikadut (d).
4. KESIMPULAN
Ion amonium dan ion kalsium mempunyai pengaruh yang besar terhadap
penetralan keasaman air hujan yang ditunjukkan dengan nilai faktor netralisasi yang
cukup besar, yaitu daerah Cipedes dengan rentang 0,3 – 1,4 untuk NH4+; 0,04 – 0,9
untuk Ca2+.
Kb. Kalapa dengan rentang 0,005 – 3,4 untuk NH4+; 0,18 – 2,9 untuk Ca
2+.
Soreang dengan rentang 0,01 – 0,9 untuk NH4+; 0,09 – 0,9 untuk Ca
2+. Cikadut dengan
rentang 0,01 – 0,8 untuk NH4+; 0,1 – 2,0 untuk Ca
2+.
Dari perhitungan pH kalkulasi diperoleh bahwa penetralan di daerah Cipedes
tidak hanya dipengaruhi oleh amonium, namun juga dipengaruhi oleh kation lain seperti
Natrium dan Magnesium.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih untuk Laboratorium Kimia Lapan Bidang Komposisi Atmosfer
untuk data yang digunakan dalam pembuatan makalah ini, serta Ir. Tuti Budiwati,
M.Eng atas bimbingannya.
DAFTAR RUJUKAN
Carroll Dorothy, 1962. Rainwater as a Chemical Agent of Geologic Process – A
Review.Geological Survey Water-Supply Paper 1535-G.
3
4
5
6
7
8
Jan
-07
Ap
r-0
7
Jul-
07
Oct
-07
Jan
-08
Ap
r-0
8
Jul-
08
Oct
-08
Jan
-09
Ap
r-0
9
Jul-
09
Oct
-09
Jan
-10
Ap
r-1
0
Jul-
10
Oct
-10
Jan
-11
Ap
r-1
1
Jul-
11
Oct
-11
Nila
i pH
Tahun
Cikadut
pH hujan
pH kalkulasi
( d )
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 62 ~
GAO chao, et al. 2010. Ammonium Variational Trends and the Ammonia Neutralization
Effect on Acid Rain over East Asia. ATMOSPHERIC AND OCEANIC
SCIENCE LETTERS, VOL. 3, NO. 2, 120−126.
Possanzini, M., P. Buttini, and V. D. Palo, 1988: Characterization of a rural area in
terms of dry and wet deposition, Sci. Total Environ.,74,111-120.
Sari, R. Puripuspita, Siti Badriyah R., Hermawan R., 2007. Hujan Asam Pada Beberapa
Penggunaan Lahan di Kabupaten dan Kota Bogor. Media Konservasi Vol XII, No
2, 77 - 79
Wang, Z., H. Akimoto, and I. Uno, 2002: Neutralization of soil aerosol and its impact
on the distribution of acid rain over east Asia: Observations and model results, J.
Geophys. Res, 107, D19, 4389, doi: 10.1029/2001JD001040
Warneck, P., 1999. Chemistry of the Natural Atmosphere. International Geophysical
Series 71, Academic Press Inc., San Diego.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 63 ~
ANALISIS CURAH HUJAN TERKAIT DENGAN
KUANTIFIKASI FLUKTUASI LEVEL MUKA AIR SITU
CILEUNCA
Dadang Subarna
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Email:[email protected]
Abstract
Identification of the relation between rainfall and water surface level in lake of a
watershed is importance for the efficiency of water resources management and a
measure of prevention action for potential disaster mitigation. Has been analyzed
rainfall and water surface level data over Cileunca lake in Cisangkuy watershed which
is Sub-Watershed of Upper Citarum Basin which is located between 06o 59'24" - 07
o
13'51" LAT and 107o 28'55" - 107
o 39'84" LON. Rainfall and water surface level
periodogram values are obtained by using spectrum analytical method. Cross correlation
method are applied to know how far contribution of rainfall to fluktuations water
surface level. Results of the this research shows that rainfall over Cileunca lake in
Cisangkuy Watershed shows the bimodal regime matching with seasonal. Dominant
period for both of time series data is 12 months showing the annual oscillation. There is
a significant correlation between rainfall time series and water surface level at Cileunca
lake with a lag time between rainfall periods and peak of water surface level. In this
study found that the relation between rainfall and water surface level at Cileunca lake is
hardly significant at period lag time 3 month of with rainfall has impact around 55,2%.
The rest equal to 55,8% is other factor having contribution to water surface level of
Cileunca lake such as antrophogenic and natural factors like overflow, evaporation,
inflow and outflow processes.
Keywords: Fluctuation, Rainfall, Water Surface Level, Periodogram, Cileunca lake
Abstrak
Identifikasi hubungan antara curah hujan dan level muka air di danau suatu daerah
tangkapan air sangat penting dalam rangka efisiensi pengelolaan sumberdaya air dan
ukuran dalam melakukan tindakan pencegahan untuk mitigasi potensi bencana. Telah
dianalisis data curah hujan dan level muka air Situ Cileunca di daerah tangkapan air
Cisangkuy yang merupakan Sub-DAS Citarum Hulu yang terletak antara 06o 59‟24” –
07o 13‟51” LS dan 107
o 28‟55” – 107
o 39‟84” BT. Dengan menggunakan metode
analisis spektrum diperoleh nilai periodogram dari curah hujan dan level muka air
masing-masing. Metode korelasi silang digunakan untuk mengetahui seberapa jauh
kontribusi curah hujan terhadap fluktuasi level muka air. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa Curah hujan di atas Situ Cileunca dan di DTA Cisangkuy
menunjukkan regim bimodal yang sesuai dengan musiman. Periode dominan untuk
kedua data deret waktu tersebut adalah 12 bulan yang menunjukkan osilasi tahunan.
Terdapat korelasi yang signifikan antara deret waktu curah hujan dan level muka air
Situ Cileunca dengan suatu lag time antara periode curah hujan dan puncak level muka
air. Dalam studi ini ditemukan bahwa hubungan antara curah hujan dan level muka air
di Situ Cileunca sangat signifikan pada periode lag time 3 bulan dengan curah hujan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 64 ~
mempunyai dampak sekitar 55,2%.Sisanya sebesar 55,8% merupakan faktor lain yang
berkontribusi terhadap level muka air Situ Cileunca seperti faktor antropogenik dan
faktor alam seperti limpasan, evaporasi, proses inflow dan outflow.
Kata Kunci: Fluktuasi, Curah hujan, level muka air, periodogram, Situ Cileunca
1. PENDAHULUAN
Level muka air (LMA) di Situ Cileunca Kabupaten Bandung telah menjadi
perhatian dalam beberapa tahun terakhir ini dikarenakan beberapa kejadian bencana
hidrometeorologi di daerah aliran sungai Cisangkuy dan adanya isu-isu akan jebolnya
bendungan. Naik dan turunnya level muka air dalam suatu Situ atau bendungan
merupakan suatu proses dinamik yang dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim dan aktivitas
manusia. Terdapat banyak sekali variabel yang mempengaruhi level air di suatu Danau
atau Situ, akan tetapi kontributor yang paling besar adalah presipitasi dan limpasan yang
menambah volume air ke danau dan evaporasi serta aliran keluar yang mengurangi air
dari danau. Ketika pasokan neto air tinggi maka level situ atau danau akan naik dan
sebaliknya ketika pasokan rendah dan keputusan pengelolaan pelepasan debit untuk
pembangkitan listrik maka level air akan turun.
Pertumbuhan populasi dan pembangunan di DTA (daerah tangkapan air) yang
tidak terkontrol telah menimbulkan peningkatan dalam penggunaan lahan dan
perubahan tutupan lahan. Perubahan tersebut akan merubah rasio curah hujan terhadap
limpasan dan meningkatkan erosi serta sedimentasi terhadap Situ atau Danau yang
mengurangi volumenya. Sementara itu untuk mempertahankan produksi listrik maka
debit harus tetap dipertahankan sesuai kebutuhan guna pencapaian target pembangkitan.
Oleh karena itu terdapat pertanyaan dalam penelitian ini bahwa seberapa besar faktor
curah hujan mempengaruhi level muka air di Situ Cileunca disamping faktor-faktor
lainnya. Oleh karean itu penting untuk meneliti apakah fluktuasi level muka air Situ
Cileunca merupakan hasil variabilitas hidroklimat atau pelepasan air yang berlebih atau
faktor-faktor lainnya yang terkait dan seberapa kontribusi curah hujan terhadap fluktuasi
tersebut.
Identifikasi hubungan antara curah hujan dan level muka air di danau suatu
daerah tangkapan air sangat penting dalam efisiensi pengelolaan sumberdaya air dan
ukuran dalam melakukan tindakan pencegahan untuk mitigasi potensi bencana alam
(Elias and Ierotheos, 2006). Pendekatan pemodelan yang sangat umum digunakan
adalah model terdistribusi, model konseptual dan model kotak hitam (black box).
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 65 ~
Beberapa model hidrologi kotak hitam telah berhasil diterapkan di masa lalu untuk
mensimulasikan proses-proses seperti pelepasan air tanah dalam batuan kars dan
hubungan curah hujan-limpasan dalam area berstruktur geologi sangat heterogen ketika
model distribusi sulit beroperasi dengan efisien (Jukic et al., 2003). Keuntungan yang
signifikan dalam model fungsi transfer kotak hitam adalah model-model tersebut sangat
sederhana. Model tersebut bergantung pada data masukan yang terbatas dan
komprehensif pada sistem yang memudahkan dalam analisis deret waktu parameter
yang ber-autokolerelasi dengan derajat yang tinggi. Oleh karena itu terdapat percobaan
yang cukup signifikan untuk menggambarkan aliran air tanah pada kondisi geologi yang
kompleks dengan menerapkan model-model terdistribusi, tetapi hasil menunjukkan
bahwa masalah kelebihan parameterisasi dan kesulitan dalam tahap kelibrasi (Barret dan
Charbeneau, 1997). Model konseptual telah dikembangkan untuk menggambarkan
hubungan antara faktor iklim dan elevasi muka air pada badan air tawar, umumnya
dengan menggunakan model kesetimbangan air (Asmar da Erenzinger, 2002).
Situ Cileunca yang terletak pada ketinggian 1400 m di atas permukaan laut
merupakan salah satu tandon penting dalam usaha pengelolaan sumberdaya air di
Cekungan Bandung. Situ Cileunca dan aliran sungai Cisangkuy sangat berperan penting
dalam memasok kebutuhan air baku untuk konsumsi penduduk kabupaten dan kota
Bandung masing-masing sebesar 500 l/s dan 1800 l/s (UPTD, 2011). Kondisi pasokan
tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh variabilitas curah hujan yang menjadi
imbuhan utama dalam suatu daerah aliran sungai. Fase ekstrim variabilitas curah hujan
pada musim basah akan menyebabkan kondisi hujan dan debit sungai yang berlebih di
Cekungan Bandung dibandingkan kondisi logaritma normal atau sebaliknya kondisi
kemarau yang jauh lebih kering dari kondisi logaritma normalnya (Subarna et al., 2012).
Oleh karena itu, studi ini sangat penting dan ditujukan untuk menemukan apakah
terdapat hubungan antara curah hujan dan level muka air Situ Cileunca di DTA Hulu
Citarum, seberapa besar kontribusinya diantara faktor-faktor lain yang terkait seperti
limpasan, resapan, evaporasi dan lain-lain di daerah tersebut.
2. DATA DAN METODE
Data yang diolah dan dianalisis merupakan data sekunder yang diperoleh dari
Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Provinsi Jawa Barat dan PT. Indonesia Power Unit
Pembangkitan Plengan pada periode pengukuran 2007-2011. Lokasi yang diteliti
meliputi DTA (Daerah Tangkapan Air) Cisangkuy yang merupakan Sub-DAS Citarum
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 66 ~
Hulu terletak antara 06o 59‟24” – 07
o 13‟51” LS dan 107
o 28‟55” – 107
o 39‟84” BT.
Topografi DTA Cisangkuy bervariasi dari ketinggian 2.054 m dari permukaan laut di
puncak Gunung Malabar, hingga 658 m di pertemuannya dengan sungai induk, yaitu
Sungai Citarum. Kondisi sebaran curah hujan tahunan pada DTA Cisangkuy bervariasi
dari 3.500 mm/tahun hingga 2.000 mm/tahun. Di dalam DTA tersebut terdapat Situ
Cileunca yang merupakan danau buatan untuk pemenuhan kebutuhan listrik perkebunan
pada masa kolonial. Situ Cileunca di bangun pada tahun 1924 dengan kapasitas
tampung sebesar 11,3 juta m3
(PLN PLENGAN, 2010). Di sebelah selatan Situ Cileunca
terdapat Situ Cipanunjang yang mendapat air dari kali Cilaki, Cibolang, Cihurangan,
Cikuningan dan Citambaga. Situ Cileunca mendapat air dari situ Cipanunjang, Sungai
Cilaki Beet dan Sungai Cibuniayu, ditunjukkan pada Gambar 2-1. Beberapa data deret
waktu dalam klimatologi, khususnya curah hujan, secara statistik memperlihatkan
perilaku yang non-stasioner dan sinyal ini berubah baik amplitudo maupun
frekuensinya, serta ada juga kemungkinan mengandung sinyal periodik tersisip yang
dominan.
Gambar 1 : Lokasi penelitian yang merupakan bagian dari daerah Kabupaten Bandung
bagian Selatan (sumber: Subarna, et al., 2012)
Metode yang digunakan adalah analisis spektral yang digambarkan dalam suatu
grafik periodogram untuk curah hujan (CH) dan level muka air (LMA). Suatu deret
waktu dapat diungkapkan sebagai suatu kombinasi dari gelombang sinus atau kosinus
dengan periode yang berbeda-beda. Berapa lama gelombang tersebut akan menjadi
sebuah siklus secara penuh dan berapa amplitudo akan bernilai maksimum atau
minimum selama siklus tersebut. Analisis gelombang tersebut dapat bermanfaat untuk
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 67 ~
menguji perilaku siklus periodil dalam deret waktu CH dan LMA. Periodogram
digunakan untuk mengidentifikasi periode dominan dalam suatu deret waktu. Metode
ini dapat menjadi piranti yang bermanfaat dalam mengidentifikasi perilaku siklus dalam
suatu deret CH dan LMA. Untuk waktu diskrit (dimana waktu t adalah bilangan bulat)
maka definisi ini bermanfaat untuk gelombang kosinus dan sinus dengan periode T yang
merupakan jumlah periode waktu yang diperlukan untuk membuat suatu siklus tunggal
fungsi kosinus dengan frekuensi f=1/T. Dalam analisis spektrum, deret waktu CH dan
LMA dipandang sebagai suatu jumlah gelombang kosinus dengan amplitudo dan
frekuensi yang bervariasi. Tujuan analisis ini adalah untuk mengidentifikasi frekuensi
atau periode penting dalam deret CH atau LMA yang penting. Piranti untuk melakukan
indentifikasi tersebut adalah periodogram. Grafik periodogram merupakan ukuran nilai
periode atau frekuensi yang penting yang dibawa oleh pola osilasi dari data CH atau
LMA. Data CH dan LMA yang digunakan dari tahun 2007-2011 yang mempunyai 60
titik data. Sehingga untuk mengidentifikasi frekuensi atau periode yang penting dan
dominn maka persamaan untuk deret CH dan LMA ditulis dalam komponen-komponen
frekuensi harmonisnya sebagai
∑ (
)
Dimana j=1,2...60/2 dan b1(j/60) dan b2(j/60) adalah parameter regresi.
Jumlah kuadrat dari parameter regresi adalah nilai periodogram dari CH atau LMA
masing-masing yaitu
(
)
(
)
Metode lain yang digunakan adalah metode cross correlation (korelasi silang). Metode
korelasi silang merupakan meode standar untuk mengestimasi derajat korelasi dari dua
data deret waktu. Bila dua data deret waktu yaitu CH dan LMA Situ Cileunca
diungkapkan dalam x(i) dan y(i) masing-masing, dimana i=0,1,2,3...N-1, maka korelasi
silang r (koefisien korelasi) pada lag time d didefinisikan sebagai
Dimana mx dan my merupakan deret yang bersesuaian. Jika persamaan di atas dihitung
untuk semua time lag d=0,1,2,3,..N-1 maka hasilnya dalam deret korelasi silang kedua
panjang sebagai deret asal adalah
2.3
2.1
2.2
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 68 ~
Terdapat dua permasalahan ketika indek pada deret waktu kurang dari 0 atau lebih
besar dari atau sama dengan titik-titik bilangan (i-d<0 atau i-d>=N). Pendekatan yang
umum adalah mengabaikan titik-titk tersebut atau dengan asumsi deret x dan y nol
untuk i<0 dan i>=N. Dalam beberapa penerapan pengolahan sinyal maka deret
diasumsikan sirkular dimana indek-indek yang diluar jangkauan di kemas ulang ke
dalam jangkauan yaitu x(-1)=x(N-1), x(N+5)=x(5) dan seterusnya.
Jangkauan lag time d dan panjang deret korelasi silang dapat menjadi kurang dari N
untuk mgnuji korelasi pada lag time yang cukup pendek. Pembagi pada persamaan (2.2)
dapat berfungsi sebagai normalisasi koefisien korelasi sehingga -1<=r(d)<=1 yang
membatasi korelasi maksimum dan nilai 0 yang menunjukkan tidak berkorelasi.
Korelasi negatif tinggi menunjukkan bahwa kedua data deret waktu berkorelasi tetapi
salah satu kebalikannya dari yang lain.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil ploting data curah hujan selama data pengamatan 2007-2011 di daerah
tangkapan air dataran tinggi menunjukkan pola bimodal seperti ditunjukkan pada
Gambar 1. Bentuk ini merupakan akibat dari dua kali dilalui oleh Intertropical
Convergence Zone (ITCZ) yang bergerak relatif mengikuti pergerakan Matahari Utara-
Selatan atau sebaliknya.
Gambar 1 : Bentuk bimodal curah hujan bulanan pada periode pengamatan 2007-2011
di daerah tangkapan air dataran tinggi.
Langkah awal untuk untuk membuat periodogram adalah estimasi parameter
regresi dengan mengunakan FFT (Fast Fourier Transform). Setelah parameter regresi
0
100
200
300
400
500
600
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
CH
(m
m)
indeks waktu (Bulan)
2007
2008
2009
2010
2011
2.4
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 69 ~
didapat maka jumlah kuadrat keduanya [b1(j/60) dan b2(j/60)] yang menunjukkan
intensitas daya [P(j/60) ] dibuat grafiknya terhadap ( j/60) dimana j=1,2...60/2. Untuk
data CH dan LMA dengan menggunakan persamaan (2.1) dan (2.2) didapat grafik
periodogram dan densitas spektrum yang ditunjukkan pada Gambar 2 (A) dan Gambar2
(B) masing-masing. Nilai intensitas daya yang relatif besar menunjukkan periode yang
penting dan dominan dari osilasi harmonis dalam data. Intensitas daya ini sebanding
dengan korelasi kuadrat antara data deret waktu CH atau LMA dengan gelombang
kosinus dengan periode tertentu. Periode dominan digunakan untuk mencocokan
gelombang kosinus atau sinus terhadap data atau mungkin secara sederhananya
digunakan untuk menggambarkan periodisitas yang penting dalam data.
Gambar 2 : Grafik periodogram dan densitas spektrum masing-masing untuk curah
hujan (A) dan level muka air (B).
Dari Gambar 1(A) dan Gambar 1(B) tampak bahwa periode dominan untuk
kedua data deret waktu adalah 12 bulan yang menunjukkan osilasi tahunan. Hal ini
menunjukkan bahwa pengaruh osilasi tahunan (annual) merupakan pengaruh yang
dominan pada CH dan LMA di daerah tangkapan air Cisangkuy. Hasil ini sesuai dengan
(A). Grafik periodogram dan densitas
spektrum curah hujan.
(B). Grafik periodogram dan densitas
spektrum level muka air.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 70 ~
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Subarna et al. 2012 dengan metode wavelet
bahwa pengaruh monsun dan ENSO merupakan dua fenomena yang sangat
mempengaruhi curah hujan dan debit aliran sungai di daerah tersebut.
Untuk mengatahui hubungan antara CH dan LMA maka digunakan metode
korelasi silang. Korelasi merupakan teknik analisis untuk melihat kecenderungan pola
dalam satu variabel berdasarkan kecenderungan pola dalam variabel yang lain. Ketika
variabel curah hujan hasil memiliki kecenderungan untuk naik atau turun maka terlihat
kecenderungan dalam variabel level muka air Situ Cileunca apakah naik atau turun. Jika
kecenderungan dalam curah hujan selalu diikuti oleh kecenderungan dalam level muka
air Situ Cileunca maka dapat dikatakan bahwa kedua variabel tersebut memiliki
hubungan atau korelasi. Korelasi bermanfaat untuk mengukur similaritas antara dua
variabel (kadang lebih dari dua variabel) dengan skala-skala tertentu, misalnya Pearson
(data harus berskala interval atau rasio), Spearman dan Kendal (menggunakan skala
ordinal), Chi Square (menggunakan data nominal). Kuat-lemah hubungan atau
similaritas diukur dengan nilai koefisien antara 1 sampai dengan -1. Kekuatan
hubungan atau tingkat similaritas antara curah hujan dengan level muka air Situ
Cileunca terungkap dalam nilai koefisien korelasi maksimum sebesar 0,55 pada nilai lag
time 3 bulan (Lihat Gambar 3).
Gambar 3 : Bentuk fungsi korelasi silang antara curah hujan dan level muka air di Situ
Cileunca Kabupaten Bandung
Dari Gambar 3 dapat diketahui bahwa 6,2% (r=0,062) variasi dalam level muka
air Situ Cileunca dapat diterangkan oleh kebalikan fluktuasi curah hujan di atas Situ
tersebut pada lag time 0 bulan karena korelasi berharga negatif, seperti ditunjukkan
pada Gambar 4.
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
-20 -18 -16 -14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Ko
efi
sie
n K
ore
lasi
(r)
Lag time (d)
fungsi…
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 71 ~
Dari Gambar 5 dapat diketahui bahwa 29,4% (r=0,294) variasi dalam level
muka air Situ Cileunca dapat diterangkan oleh fluktuasi curah hujan di atas Situ tersebut
pada lag time 1 bulan.
Dari Gambar 6 dapat ditunjukkan bahwa 49,4% (r=0,494) variasi dalam level
muka air Situ Cileunca dapat diterangkan oleh fluktuasi curah hujan di atas Situ tersebut
pada lag time 2 bulan. Dari Gambar7 dapat ditunjukkan bahwa 55,2% (r=0,552)
variasi dalam level muka air Situ Cileunca dapat diterangkan oleh fluktuasi curah hujan
di atas Situ tersebut pada lag time 3 bulan. Kontribusi curah hujan terhadap pengisian
sampai tercapai puncak level muka air Situ Cileunca mempunyai lag time 3 bulan.
Gambar4: Fluktuasi curah hujan dan elevasi
muka air di atas Situ Cileunca
pada periode lag time 0 bulan.
Gambar 5: Fluktuasi curah hujan dan elevasi
muka air di atas Situ Cileunca
pada periode lag time 1 bulan.
Gambar 6 : Fluktuasi curah hujan dan elevasi
muka air di atas Situ Cileunca
pada periode lag time 2 bulan.
Gambar 7 : Fluktuasi curah hujan dan elevasi
muka air di atas Situ Cileunca
pada periode lag time 3 bulan.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 72 ~
4. KESIMPULAN
Curah hujan di atas Situ Cileuneca dan di DTA Cisangkuy menunjukkan regim
bimodal yang sesuai dengan musiman. Level muka air di Situ Cileunca sangat sensitif
terhadap perubahan dalam curah hujan di atas danau dari pada di curah hujan di tempat
DTA lainnya. Periode dominan untuk kedua data deret waktu adalah 12 bulan yang
menunjukkan osilasi tahunan. Terdapat korelasi yang signifikan antara deret waktu
curah hujan dan level muka air Situ Cileunca dengan suatu lag time antara periode curah
hujan dan puncak level muka air. Dalam studi ini ditemukan bahwa hubungan antara
curah hujan dan level muka air di Situ Cileunca sangat signifikan pada periode lag time
3 bulan dengan curah hujan mempunyai dampak sekitar 55,2%. Sisanya sebesar 55,8%
merupakan faktor lain yang berkontribusi terhadap level muka air Situ Cileunca seperti
faktor antropogenik dan faktor alam seperti limpasan, evaporasi, proses inflow dan
outflow.
DAFTAR PUSTAKA
Asmar, N. B. and Ergenzinger, P. Prediction of the Dead sea dynamic behaviour with
the Dead Sea–Red Sea Canal, Advances in Water Resources 25(7), 783–791. 2002
Barrett, M. E. and Charbeneau, R. J. A parsimonious model for simulating flow in a
karst aquifer , Journal of Hydrology 196, 47–65. 1997
Denic-Jukic, V. and Jukic, D.Composite transfer functions for karst aquifers‟, Journal
of Hydrology 274, 80–94. 2003
Elias, D and Ierotheos, Z. Environmental Monitoring and Assessment. Vol. 119, Issue
1-3, pp 491-506. 2006.
Subarna, D M. Y. J. Purwanto, K. Murtilaksono, Wiweka. Prakiraan Curah Hujan di
Wilayah Situ Cileunca Kabupaten bandung Dengan metode Statistik Non-Linear
(tahap review JSD) 2012.
UPTD [Unit Pelaksanan teknis Daerah] sub DAS Cisangkuy, 2011. PEMDA
Kabupaten Bandung.
PLN PLENGAN [Perusahaan Listrik Negara PLENGAN], 2010.”Sejarah Cileunca”.
PLN
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 73 ~
PENGARUH PEGUNUNGAN MALABAR TERHADAP
PENINGKATAN CURAH HUJAN DI DAERAH
TANGKAPAN AIR CISANGKUY KABUPATEN
BANDUNG
Dadang Subarna 1Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Email: [email protected]
Abtract
The research on the relationship between rainfall and elevation in Cisangkuy Watershed
Bandung Regency has been conducted to be used in estimation of rainfall at certain
elevation for the agenda of water resources management and disaster mitigation. Spatial
monthly rainfall from WorldClim for 50 years and Digital Elevation Model (DEM)
from CGIAR-CSI have been studied and analyzed in Cisangkuy watershed to
understand the relationship between rainfall and elevation. The study was based on the
derivation of rainfall profile to elevation from 700 m mean sea level (msl) which is
valley of Malabar Mountain till 2600 m msl which is top of Malabar Mountain by using
GIS (CD line) profile. Regression analysis showed strong linear relationships between
monthly rainfall and elevation which mean coefficient of correlation is 77%. The
increase of monthly rainfall with elevation is averaged 8,95 mm every 100 m increase
on elevation. The average of decreasing at quasi-rain shadow of equal - 1,87 mm every
the decrease of 100 m.
Keywords: Rainfall, Elevation, Linear Regression, Malabar Mountain, Watershed
Abstrak
Penelitian tentang hubungan antara curah hujan dan elevasi di daerah tangkapan air
Cisangkuy kabupaten Bandung telah dilakukan untuk digunakan dalam pendugaan
curah hujan pada elevasi tertentu dalam rangka pengelolaan sumberdaya air dan
mitigasi bencana. Data curah hujan spasial bulanan dari WorldClim selama 50 tahun
(1950-2000) dan Digital Elevation Model (DEM) dari CGIAR-CSI telah dikaji dan
dianalisis untuk mengatahui hubungan antara curah hujan dengan elevasi. Pengkajian
didasarkan pada penurunan profil curah hujan terhadap elevasi dengan menggunakan
sistem informasi geografi (SIG) dari elevasi 700 m di atas permukaan laut (dpl) yaitu
lembah terendah pegunungan Malabar sampai 2600 m dpl di kawasan puncaknya di
daerah tangkapan air Cisangkuy wilayah Citarum Hulu (Garis CD). Analisis regresi
menunjukkan hubungan yang kuat antara curah hujan bulanan dan elevasi dengan rata-
rata koefisien korelasi sebesar 77%. Peningkatan curah hujan dengan elevasi
mempunyai nilai rata-rata 8,95 mm setiap 100 m kenaikan elevasi. Penurunan pada
daerah semi bayang-bayang hujan (semi -rain shadow) rata-rata sebesar -1,87 mm
setiap penurunan 100 m.
Kata Kunci: Curah hujan, Elevasi, Regresi linear, Pegunungan Malabar, Daerah
Tangkapan Air.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 74 ~
1. PENDAHULUAN
Curah hujan menunjukkan perilaku spasial dan temporal yang kompleks. Perilaku
spasial yang kompleks sering terkait dengan topografi. Dengan menentukan skala
interaksi curah hujan hasil pengamatan dengan topografi maka munculah analisis
spasio-temporal curah hujan, sehingga dapat diperkirakan proses-proses alam yang
terlibat dalam pembentukan curah hujan. Secara khusus, pengetahuan tentang skala dari
kebergantungan curah hujan pada topografi dapat digunakan untuk optimasi metode
interpolasi yang terkait pada kebergantungannya pada topografi untuk estimasi kuantitas
distribusi spasial curah hujan (Sharples et al., 2005). Interaksi antara topografi dan
atmosfer dapat menghasilkan pola-pola curah hujan. Skala spasial dari pola-pola ini
dapat bervariasi dari ukuran pegunungan sampai pada lembah dan punggungan bukit.
Daly et al. (1994) menggunakan Precipitation–Elevation Regressions on Independent
Slopes Model (PRISM) untuk memodelkan curah hujan bulanan dan tahunan di atas
berbagai sub-daerah di negara Amerika. PRISM pada prinsipnya menggunakan konsep
elevasi orografi untuk interpolasi nilai curah hujan stasiun cuaca.
Secara geografis Indonesia terletak di wilayah tropis yang mengalami dua musim
secara bergantian yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan
secara normal berlangsung pada bulan-bulan Desember, Januari dan Pebruari sedangkan
musim kamarau berlangsung pada bulan-bulan Juni, Juli dan Agustus. Bulan-bulan
lainnya merupakan bulan-bulan transisi dari musim penghujan ke musim kemarau atau
sebaliknya. Pola hujan di wilayah Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk
pola menurut deret waktunya yaitu pola monsunal, ekuatorial dan lokal (Haylock and
McBride, 2001; Aldrian and Susanto, 2003; Hendon, 2003).
Selain pola-pola temporal maka pola spasial juga penting untuk dikaji berkenaan
dengan disparitas topografi wilayah Indonesia yang bervariasi dari permukaan laut
sampai puncak es di Jaya Wijaya Papua. Perbedaan-perbedaan spasial dalam curah
hujan ini dapat mempengaruhi geomorfologi secara langsung dengan merubah laju
proses-proses erosi atau secara tak langsung melalui pengaruhnya pada ekosistem-
ekosistem pegunungan (Ander et al., 2006). Penelitian dampak pola curah hujan pada
geomorfologi pegunungan merupakan kajian yang sedang berlangsung sampai saat ini.
Dengan demikian, pengetahuan proses-proses atmosfer yang menghasilkan pola-pola
curah hujan di daerah aliran sungai dataran tinggi merupakan hal yang sangat penting
dalam hidrologi dan pengelolaan sumberdaya air. Gunung-gunung menutupi 25%
permukaan bumi dan dihuni oleh 26% dari populasi global serta menghasilkan 32%
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 75 ~
limpasan (Meybeck et al., 2001). Pegunungan dan dataran tinggi menempati 21%
permukaan daratan, 20% populasi dan 19% dari limpasan (Meyer et al., 2003). Tipe
hujan orografik dianggap sebagai pemasok air tanah, danau, bendungan dan sungai
karena berlangsung di daerah hulu (Asdak, 2007). Salah satu cara yang secara langsung
topografi mempengaruhi cuaca adalah pada kukuatannya mengontrol distribusi curah
hujan lokal.Tujuan penelitian ini adalah merumuskan persamaan regresi antara elevasi
dan curah hujan di pegunungan Malabar serta gradien dan perubahannya karena
pengaruh musim.
2. DATA DAN METODE
Data curah hujan spasial rata-rata bulanan dari WorldClim selama 50 tahun dapat
di unduh dari http://www.worldclim.org/, sedangkan data DEM diperoleh dari
Consultative Group on International Agricultural Research-Consortium for Spatial
Information (CGIAR-CSI) yang dapat diunduh dari http://www.cgiar-csi.org/. Data
curah hujan dan DEM diolah dengan menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografi).
Aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, pola,
profil, hubungan dan pemodelan spasialnya. Data curah hujan dan DEM diolah dengan
menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografi). SIG merupakan sistem informasi
berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi
geografis (Aronoff, 1989). SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan
berbagai data pada suatu titik tertentu di Bumi, menggabungkannya, menganalisis dan
akhirnya memetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial
yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang memiliki
sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Aplikasi SIG dapat menjawab
beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, pola, profil, hubungan dan
pemodelan spasialnya. Diagram alir metodologi pengolahan data curah hujan dan DEM
serta hubungan keduanya dapat dilihat pada Gambar 1.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 76 ~
Gambar 1: Diagram alir pengolahan data
curah hujan spasial dan DEM dengan
SIG untuk mendapatkan profilnya
masing-masing.
Gambar 2: Daerah aliran sungai
Cisangkuy (A) yang merupakan sub-DAS
dari DAS Citarum hulu yang terletak di
Kabupaten Bandung (B)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Digital Elevation Model (DEM) adalah model data raster yang bisa diolah
dengan SIG seperti dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3: Digital Elevation Model
(DEM) daerah aliran sungai Cisangkuy
Kabupaten Bandung.
Gambar 4: Profil ketinggian yang
diinginkan seperti pada garis CD di Gambar
3.
DEM memuat informasi tinggi permukaan tanah yang akan digunakan untuk
menurunkan peta kelas ketinggian dan lereng. DEM yang digunakan dalam makalah ini
merupakan hasil dari misi penginderaan jauh dengan sensor satelit aktif sekitar tahun
2000 dengan nama SRTM (Shuttle Radar Topography Mission). Misi internasional ini
menghasilkan produk DEM dengan resolusi 90 m. Ketinggian dan kelerengan
menggambarkan karakteristik fisis suatu daerah. Ketinggian tersebut diukur tepat di atas
permukaan laut dengan satuan meter. Untuk ukuran suatu daerah aliran sungai maka
SIG
DEMCURAH
HUJAN
DISTRIBUSI
SPASIAL CURAH
HUJAN
ELEVASI
REGRESI
LINEAR
D
C D
C
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 77 ~
data DEM di masking dengan data delineasi daerah aliran sungai dengan menggunakan
SIG, sehingga diperoleh lokasi kajian, seperti pada Gambar 3. Dengan menggunakan
analisis spasial pada SIG diperoleh profil ketinggian yang diinginkan seperti pada garis
CD (lihat Gambar 4). Hubungan linear curah hujan dan elevasi dihitung tiap bulan untuk rata-
rata curah hujan bulanan selama 50 tahun periode 1950-2000 dari data Worldclim, sehingga
didapat kemiringan, koefisien korelasi Pearson (r) untuk setiap bulan. Koefisien korelasi untuk
hubungan curah hujan bulanan dan elevasi (r) didapat bervariasi antara 17% sampai 95%
dengan rata-rata 77%. Kemiringan juga bervariasi dari jangkauan 2,7 sampai 15,3 setiap 100 m
dengan rata-rata 8,95 mm, kecuali pada bulan April, Mei, Juni, Julu, Agustus, Oktober,
Nopember terjadi penurunan terhadap ketinggian yang bervariasi rata-rata kemiringan -1,87
mm (Lihat Gambar 5 dan Gambar 6).
Gambar 5: Estimasi regresi linear beserta
gradien (slope) curah hujan bulanan
terhadap elevasi
Gambar 6: Estimasi regresi linear beserta
gradien (slope) curah hujan bulanan
terhadap elevasi
Skala efek orografi yang teramati merupakan hal yang sangat penting dalam
analisis pada makalah ini yang didasarkan pada penggunaan data elevasi DEM bergrid
90x90 m. Terdapat ketidaksesuain secara implisit dalam skala ketika menggunakan
hubungan elevasi dan curah hujan antara titik stasiun pada sel-sel grid DEM. Elevasi di
pusat sel grid DEM tidak menggambarkan elevasi pada titik tersebut tetapi
menggambarkan rata-rata atau elevasi diperhalus yang menggambarkan sel grid
keseluruhan. Dengan demikian elevasi sel DEM jarang tepat dengan elevasi stasiun
seandainya stasiun berada tepat di pusat sel grid. Secara umum resolusi DEM yang
semakin halus maka semakin tepat elevasi sel grid akan cocok pada titik stasiun
tersebut. Sharples et al. (2005) meneliti tentang resolusi spasial minimum dimana
pengaruh kebergantungan curah hujan pada topografi nampak jelas di kontinen
Australia berada pada kisaran 5-10 km. Pada penampang profil garis CD (Gambar 4),
dengan analisis spasial menggunakan SIG maka diperoleh data curah hujan yang
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 78 ~
mempunyai 13 grid sedangkan data DEM mempunyai 136 grid. Pendekatan hubungan
nilai grid ke grid adalah 1 grid curah hujan bersesesuai dengan 10 grid DEM. Persamaan
regresi setiap bulan, kemiringan dan koefisien korelasi dapat diringkas seperti pada Tabel 1.
Tabel 1 : Estimasi regresi linear beserta gradien (slope) curah hujan bulanan
terhadap elevasi dan koefisien korelasi Pearson dengan 700 <x<2600
4. KESIMPULAN
Analisis regresi linear antara curah hujan rata-rata bulanan dari data WorldClim
dengan elevasi dari data DEM di daerah tangkapan air Cisangkuy wilayah Citarum Hulu
kabupaten Bandung selama periode 1950-2000 telah dianalisis dan diteliti. Analisis
regresi menunjukkan hubungan yang kuat antara curah hujan bulanan dan elevasi
dengan rata-rata koefisien korelasi sebesar 77%. Peningkatan curah hujan dengan
elevasi mempunyai nilai rata-rata 8,95 mm setiap 100 m kenaikan elevasi. Penurunan
pada daerah semi bayang-bayang hujan rata-rata sebesar -1,87 mm setiap penurunan
100 m.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E., and R.D. Susanto.(2003). Identification of Three Dominat rainfall Regions
Within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface temperature . Int. J.
Climatology. 23: 1435–1452.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 79 ~
Anders, A.M., Roe, G.H, Hallet, B, D.R, Montgomery, D.R, N.J, Finnegen and J,
Putkonen. (2006). Spatial patterns of precipitation and topography in the
Himalaya Geological Society of America Special Paper 398, 39–53.
Aronoff, S. (1989). Geographic Information System Management Perspective WDL
Publication,Ottawa-Canada
Daly, C., R.P. Nelson, and D.L. Phillips. (1994). A Statistical-Topographic Model for
Mapping Climatological Precipitation over Mountainous Terrain. J. of Appl.
Meteorology 33 : 140-158
Haylock, M and J.L. McBride. (2001). Spatial Coherence and Predictability of
Indonesian West Season Rainfall. Journal of Climate 14:3882-3887.
Hendon, H. (2003). Indonesian Rainfall Variability: Impact of ENSO and Local Air-
Sea Interaction. Journal of Climate 16, 1775-1790.
WorldClim (2012) http://www.worldclim.org/ Diakses 23 November 2012
Consultative Group on International Agricultural Research-Consortium for
Spatial Information http://www.cgiar-csi.org/. Diakses 2 Desember 2012
Meybeck, M., P. Green, and C. Vörösmarty, (2001). A new typology for
mountains and other relief classes: an application to global continental
water resources and population distribution. Mountain Research and
Development 21, 34-45.
Meyers, M.P., J.S. Snook, D.A. Wesley, and G.S. Poulos, (2003). A Rocky Mountain
storm. Part II: The forest blowdown over the West Slope of the northern
Colorado mountains - Observations, analysis, and modeling. Wea. Forecasting,
18, 662-674.
Sharples, J.J., M. F. Hutchinson, and D.R. Jellett. (2005). On the Horizontal Scale of
Elevation Dependence of Australian Monthly Precipitation. J. of Appl.
Meteorology 44, 1850-1865
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 80 ~
SIMULASI TRAYEKTORI DAN DISPERSI ASAP
MENGGUNAKAN MODEL HYSPLIT 4.9
(Studi Kasus Tanggal 30 Juni – 3 Juli 2013)
Danang Eko Nuryanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Abstract
The trajectory and dispersion simulation of fires smoke has been done with June 30,
2013 using Hysplit 4.9 with the input data from the output model of WRF EMS which
run by the Research and Development Center of BMKG using 27 km resolution. These
simulation using June 30, 2013 at 12 UTC data initiation. Hotspot data taken from the
Ministry of Forestry of Indonesia on June 30, 2013. Simulated by using 3 source height:
10 m, 500 m and 1000 m above ground level. From the simulation results show that for
the height of 10 m smoke move to mainland Malaysia at 6 UTC, and at 18 UTC on June
1, 2013 which is on the same property is crossed by the South China Sea. For dispersion
seen also at 6 UTC on June 1, 2013 smoke began to enter mainland Malaysia.
Dispersion seen leaving the mainland of Malaysia finished at 18 UTC on June 2, 2013.
In this case the smoke passing through Malaysia in less than 30 hours.
Keywords: hysplit, trajectory, dispersion
Abstrak
Telah dilakukan simulasi trayektori dan dispersi asap kebakaran lahan tanggal 30 Juni
2013 menggunakan Hysplit 4.9 dengan data input dari keluaran model WRF-EMS yang
dijalankan oleh Puslitbang BMKG dengan resolusi 27 km. Pada simulasi ini
menggunakan data inisiasi tanggal 30 Juni 2013 jam 12 UTC. Untuk data hotspot
diambil dari Kementerian Kehutanan RI tanggal 30 Juni 2013. Disimulasikan dengan
menggunakan 3 ketinggian sumber yaitu 10 m, 500 m dan 1000 m di atas permukaan
tanah. Dari hasil simulasi memperlihatkan bahwa untuk ketinggian 10 m asap sampai
daratan Malaysia pada pukul 6 UTC tanggal 1 Juni 2013, dan pada pukul 18 UTC
tanggal yang sama asap sudah menyeberang hingga Laut China Selatan. Untuk
dispersinya terlihat juga pada pukul 6 UTC tanggal 1 Juni 2013 asap mulai memasuki
daratan Malaysia. Terlihat dispersi habis meninggalkan daratan Malaysia pada pukul 18
UTC tanggal 2 Juni 2013. Dalam hal ini asap tersebut melewati Malaysia dalam waktu
kurang lebih 30 jam.
Kata Kunci : hysplit, trayektori, dispersi
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki luas hutan tropis basah
terbesar di dunia. Baru-baru ini fenomena asap kebakaran lahan telah menjadi isu
nasional dengan dampak hingga ke negara tetangga (Singapore dan Malaysia). Untuk
itu diperlukan suatu perangkat untuk mensimulasikan pergerakan lintasan asap yang
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 81 ~
bersumber dari lokasi tertentu. Pemodelan kualitas udara adalah teknologi standar yang
dipergunakan untuk membuat simulasi maupun prediksi yang telah dikembangkan di
berbagai negara maju di dunia.
Banyak model prakiraan untuk aplikasi kualitas udara yang telah dikembangkan
secara gratis oleh para ahli dengan pendekatan perhitungan yang cukup bervariasi, baik
untuk skala global maupun regional. Informasi mengenai kualitas udara yang reliable
(dapat diandalkan) dan akurat sangat diperlukan untuk menunjang kebutuhan di
berbagai sektor kehidupan. Model HYbrid Single-Particle Lagrangian Integrated
Trajectory (HYSPLIT) dengan menggunakan data meteorologi untuk mensimulasikan
pergerakan lintasan dan konsentrasi baik maju atau mundur dalam jangka waktu dan
interval yang teratur (Draxler, et. al., 1998). Model ini adalah sistem yang lengkap
untuk menghitung lintasan atmosfer, dispersi dan simulasi kompleks menggunakan
partikel puff atau lagrangian (Draxler, et. al., 2007).
Model HYSPLIT ini dapat dijalankan secara interaktif di internet melalui website
National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) di
http://www.arl.noaa.gov/HYSPLIT.php atau dengan single PC. Model ini sudah dalam
bentuk Graphic User Interface (GUI) untuk kemudahan dalam pengaturan lintasan,
konsentrasi atau simulasi deposisi. GUI utama meliputi kemampuan untuk men-
download data model input dari server File Transfer Protocol (FTP), mengkonversi data
ke format ARL, membuat lintasan atau model konsentrasi, dan pasca-proses output
grafis. Model ini juga memiliki kemampuan untuk menghasilkan output untuk aplikasi
Sistem Informasi Geografis (SIG). Lebih jauh tentang contoh aplikasi model HYSPLIT
dapat dipelajari pada Predetti (2004) dan Yerramilli, dkk. (2011)
Dengan menggunakan model HYSPLIT penelitian ini akan mensimulasikan
pergerakan asap kebakaran tanggal 30 Juni – 3 Juli 2013 dari sumber titik api di wilayah
Sumatera (satu sumber) untuk melihat apakah lintasan asap dari Sumatera mencapai
daratan Malaysia dan atau Singapura.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Pada model Hysplit ini menurut Draxler (1997) menggunakan persamaan
trayektori dasar yaitu suatu partikel adveksi dihitung dari rata-rata vektor kecepatan tiga
dimensi pada posisi awal P(t) dan posisi dugaan awal P‟(t+∆t). Vektor kecepatan
tersebut diinterpolasi secara linear baik secara spasial maupun temporal.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 82 ~
Persamaan posisi dugaan awal adalah sebagai berikut :
ttPVtPttP ),()()( .....................................................................................................(1)
Persamaan posisi final adalah sebagai berikut :
tttPVtPVtPttP ),(),(5.0)()(
................................................................(2)
Dispersi polutan dihitung dengan mengasumsikan baik lintasan atau partikel yang
dilepaskan ke udara. Dalam model ini, jangkauan lintasan dapat lebih luas dari grid
yang telah ditetapkan untuk input meteorologi dan kemudian dipecah menjadi beberapa
lintasan baru, masing-masing dengan massa polutan. Dalam model partikel, jumlah
partikel digerakkan oleh angin baik secara horisontal dan vertikal maupun turbulent.
3. DATA DAN METODE
Pada penelitian ini menggunakan data keluaran model WRF-EMS dengan
resolusi 27 km, yang dijalankan dengan menggunakan data inisial dari Global Forecast
System (GFS) 6 jam-an resolusi 0.5o x 0.5
o pada
tanggal 30 Juni 2013 pukul 12.00 UTC
selama 3 hari. Sedangkan proses untuk mendapatkan data keluaran model WRF-EMS
tersebut ada 3 tahap. Pertama, proses download data GFS tanggal 30 Juni 2013 pukul
12.00 UTC. Kedua, proses running model WRF-EMS untuk mendapatkan model
meteorologinya. Pada proses kedua ini menggunakan domain wilayah seluruh Indonesia
dengan resolusi 27 km. Terakhir ketiga, proses konversi menjadi data berformat .BIN
untuk bisa dibaca model HYSPLIT.
Untuk simulasi trayektori dan dispersi dipergunakan model HYSPLIT versi 4.9
berbasis PC yang cukup mudah instalasinya. Dalam simulasi ini dilakukan setting
lamanya emisi kebakaran adalah 6 jam dimulai dari pukul 12.00 UTC. Domain yang
dipakai dalam simulasi ini akan menyesuaikan sampai batas mana trayektori atau
dispersi asap tersebut mencapai titik terjauh.
Untuk data titik api, penulis menggunakan data sebaran titik api yang secara
resmi dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan RI, dimana dapat diunduh pada alamat
www.indofire.org. Sedangkan untuk membandingkan hasil simulasi dengan kondisi
lapangan dipergunakan data citra satelit Terra-Modis yang terekam pada tanggal 1 juli
2013 pukul 03.55 UTC dan tanggal 2 juli 2013 pukul 03.00 UTC.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 83 ~
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk menentukan lokasi sumber asap, penulis menggunakan salah satu titik
panas dari peta sebaran titik panas yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan RI
(Gambar 1). Penulis memilih lokasi yang lebih mendekati Malaysia dan Singapura
untuk menunjukkan pergerakan lintasan dari sumber tersebut. Pada peta Gambar 1
lingkaran hijau menunjukkan lokasi titik api (100 BT dan 2.3 LU) yang dipilih sebagai
sumber asap kebakaran.
Hasil simulasi lintasan asap dengan sumber titik api pada 100 BT dan 2.3 LU
menggunakan 3 ketinggian yang berbeda: 10 m (merah), 500 m (biru) dan 1 km (hijau)
dapat diperhatikan pada Gambar 2. Dipilih 3 ketinggian sumber yang berbeda untuk
melihat jika ada asap yang bergerak ke atas pada posisi sumber dengan ketinggian
tertentu apakah mempunyai arah lintasan yang sama.
Gambar 1. Lokasi titik api tanggal 30 Juni 2013. Sumber yang dipakai dilingkari
hijau. Sumber gambar dari Kementerian Kehutanan RI.
Untuk ketinggian sumber 10 m arah lintasan cenderung agak ke Utara sedangkan
dua posisi ketinggian lainnya (0.5 km dan 1 km) menunjukkan arah agak ke Selatan
dahulu baru ke arah Timur Laut. Terlihat bahwa lintasan asap mulai memasuki
Malaysia pada pukul 06 UTC tanggal 1 Juli 2013, dan pada pukul 12 UTC memasuki
Laut China Selatan dilihat dari sumber dengan ketinggian 10 m. Sedangkan jika dilihat
dari sumber dengan ketinggian 0.5 km dan 1 km, terlihat bahwa lintasan asap berada di
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 84 ~
atas daratan Malaysia pada pukul 18 UTC tanggal 1 Juli 2013 (ketinggian sumber 0.5
km) dan pada pukul 00 UTC tanggal 2 Juli 2013 (ketinggian sumber 1 km).
Pengaruh secara signifikan terlihat pada sumber dengan ketinggian 10 m
memberikan dampak yang jelas dilihat dari tinggi lintasannya dibanding pada sumber
dengan ketinggian 0.5 km atau 1 km. Secara umum lintasan asap bergerak ke arah
Timur/Tenggara lalu bergerak ke arah Timur Laut dimana melewati Malaysia.
Gambar 2. Hasil simulasi trayektori asap kebakaran lahan dengan titik api pada 100
BT dan 2.3 LU. Garis merah menunjukkan litasan dari sumber dengan
ketinggian sumber 10 m, garis biru menunjukkan lintasan dengan
ketinggian sumber 500 m dan garis hijau menunjukkan lintasan dengan
ketinggian sumber 1 km. Kiri (tampilan asli keluaran Hysplit), kanan
(tampilan google earth)
Hasil simulasi dispersi asap (Gambar 3) terlihat juga pada pukul 06 UTC tanggal
1 Juni 2013 asap mulai memasuki daratan Malaysia dan dispersi habis meninggalkan
daratan Malaysia pada pukul 18 UTC tanggal 2 Juni 2013. Dalam hal ini asap tersebut
melewati Malaysia dalam waktu kurang lebih 30 jam.
Gambar 1. Lokasi titik api tanggal 30 Juni 2013. Sumber yang dipakai dilingkari hijau. Gambar dari Kementerian Kehutanan RI.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 85 ~
Gambar 3. Hasil simulasi dispersi asap kebakaran hasil keluaran model, kiri (awal
masuk-nya asap ke daratan Malaysia) dan kanan (asap memasuki daratan
Malaysia).
Gambar 4. Hasil citra satelit Modis-Terra menunjukkan dispersi asap kebakaran (kotak
merah), kiri (citra pukul 03.55 UTC tgl 1 Juli 2013) dan kanan (citra pukul
03.00 UTC tgl 2 Juli 2013).
Untuk menguji kemampuan model HYSPLIT, digunakan hasil citra satelit
Modis-Terra (Gambar 4) untuk dibandingkan dengan hasil model pada Gambar 3.
Secara visual memang agak sulit untuk membedakan antara awan dengan asap.
Sehingga untuk membedakan antara awan dan asap penulis memberikan definisi yaitu
awan lebih pekat dan menggerombol sedangkan asap lebih tipis dan mudah
diterbangkan oleh angin. Dengan definisi sederhana tersebut pada pukul 03.55 UTC
tanggal 1 Juli 2013 hasil citra satelit memperlihatkan kumpulan asap di atas Pulau
Sumatera, artinya belum memasuki daratan Malaysia. Sedangkan pada pukul 03.00
UTC tanggal 2 Juli 2013 hasil citra satelit memperlihatkan kumpulan asap berada di
Citra satelit Jam 03.55 UTC tgl 1 juli 2013 Citra satelit Jam 03.00 UTC tgl 2 juli 2013
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 86 ~
atas daratan Malaysia (Gambar 4). Hal ini sesuai dengan hasil model pada Gambar 3 di
atas.
5 KESIMPULAN
Telah dilakukan simulasi trayektori dan dispersi asap kebakaran lahan pada
tanggal 30 Juni – 3 Juli 2013 menggunakan Hysplit 4.9. Dari hasil simulasi
memperlihatkan bahwa lintasan asap bergerak ke arah Timur/Tenggara lalu bergerak ke
arah Timur Laut dimana melewati Malaysia.
Model Hysplit 4.9 cukup baik merepresentasikan trayektori dan dispersi asap
kebakaran lahan dari sumber titik api pada 100 BT dan 2.3 LU. Hal ini terlihat dari citra
satelit persebaran asap yang sesuai dengan keluaran model Hysplit. Harus diakui bahwa
asap yang asalnya dari wilayah Indonesia menyebar ke arah negara tetangga (Singapura
dan Malaysia).
UCAPAN TERIMA KASIH.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada panitia seminar sains atmosfer 2013 sudah
diberikan kesempatan untuk mengirimkan makalah ini.
DAFTAR RUJUKAN
Draxler, R.R., 2007, HYSPLIT 4 User's Guide, NOAA Technical Memorandum
[http://www.arl.noaa.gov/HYSPLIT.php]
Draxler, R.R., and Hess, G. D. 1998. An Overview of the Hysplit_4 Modelling System
for Trajectories, Dispersion, and Deposition. USA : NOAA Air Resources
Laboratory, Silver Spring, Maryland.
Draxler, R. R. 1997. Description of The HYSPLIT_4 Modeling System. NOAA Air
Resources Laboratory, Silver Spring, Maryland.
Pedretti S. (Thesis, 2004); Monthly pollen rain sampling at the Modena Botanic garden,
2002: first example of the application NOAA Hysplit 4 Model for November."
Universita' di Modena e Reggio Emilia. Modena, Italy.
Yerramilli, A., V.B.R. Dodla, V.S. Challa, L. Myles, W.R. Pendergrass, C.A. Vogel,
H.P. Dasari, and others. 2011. An integrated WRF/HYSPLIT modeling approach for
the assessment of PM2.5 source regions over the Mississippi Gulf Coast region, Air
Qual Atmos Health, DOI 10.1007/s11869-010-0132-1.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 87 ~
ANALISIS DATA KOMPOSISI KIMIA AIR HUJAN
MENGGUNAKAN METODE ANALISIS DISKRIMINAN
Dessy Gusnita
Bidang Komposisi Atmosfer-LAPAN
Jl. Dr. Djundjunan 133 Bandung
email: [email protected]
Abstracts
Data analysis of rain water composition in Bandung basin was carried out in five
locations that are Lembang, Soreang, Cipatik, Tanjungsari and Padalarang consist of 5
variables: rainfall, SO4, NO3, NH4 and Cl concentration. The data period was used from
2003 to 2005. Whereas the analysis method used discriminant method with steps:
separated variables to the dependent variable that consisted of 3 groups: rain season, the
transition and dry season, whereas independent variable consist of: pH, rainfall, ion SO4
concentration, ion NO3, ion NH4 and ion Cl, coefficient discriminant count as well as
tested the significance of the discriminant function. From the discriminan function was
formed then the variable that was influential in the Lembang area was Ammonium and
SO4, in Padalarang area the variable that influenced was NH4 compound, in Soreang
area NO3 and Cl compound, in Cipatik area the variable that influenced discriminan
function was NH4 and SO4. Whereas in the Tanjungsari area, was not formed the
function for this area, in the other words from 5 variable was not variable that was
influential against.
Keywords: rain water, discriminant method, independent variable, dependent variable
Abstrak
Analisa data komposisi kimia air hujan di cekungan Bandung dilakukan di lima lokasi
pengukuran yaitu Lembang, Soreang, Cipatik, Tanjungsari dan Padalarang. Data
Komposisi kimia air hujan yang di analisa terdiri dari 6 variabel yaitu: pH, curah hujan,
ion SO4, NO3, NH4 dan Cl. Periode data air hujan yang digunakan dari tahun 2003
hingga tahun 2005. Sedangkan metode analisa menggunakan metode analisis
diskriminan dengan langkah-langkah: memisah data menjadi variabel tak bebas yang
terdiri atas 3 kelompok yaitu: musim hujan, peralihan dan musim kering, serta variabel
bebas yang terdiri dari: curah hujan, ion SO4, ion NO3, ion NH4 dan ion Cl, menghitung
koefisien diskriminan serta menguji signifikansi fungsi diskriminan. Dari fungsi
diskriminan yang terbentuk maka variabel yang berpengaruh di daerah Lembang adalah
senyawa amonium dan ion SO4, daerah Padalarang variabel yang mempengaruhi
pengelompokan suatu data adalah variabel NH4, di daerah Soreang variabel yang
berpengaruh adalah senyawa NO3 dan Cl, dan di Cipatik variabel yang mempengaruhi
fungsi diskriminan adalah NH4 dan SO4. Sedangkan di daerah Tanjungsari, dari keenam
variabel bebas yaitu: pH, curah hujan, SO4, NO3, NH4 dan Cl, berdasarkan proses
pengelompokan menggunakan metode diskriminan tidak terbentuk fungsi untuk daerah
tersebut, dengan kata lain dari ke-lima variabel tersebut tidak ada variabel yang
berpengaruh terhadap pembentukan fungsi diskriminan.
Kata kunci: air hujan, metode diskriminan, variabel bebas, variabel tak bebas.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 88 ~
1. PENDAHULUAN
Polusi udara memberikan dampak yang signifikan bagi kota Bandung dan
wilayah-wilayah kabupaten disekitarnya. Dampak dari perkembangan kota Bandung
ternyata memberikan pengaruh yang signifikan terhadap polutan pencemar baik yang
berasal dari aktivitas masyarakat, industri, transportasi serta faktor alami wilayah
Bandung itu sendiri (Budiwati, 1999). Kondisi cekungan Bandung ini diperparah pula
dengan terjadinya peningkatan jumlah kendaraan pribadi, tumbuh dan berkembangnya
pusat keramaian kota, serta manajemen lalulintas yang kurang baik. Sementara itu
konsentrasi polutan yang semakin besar tidak mampu lagi diserap dengan baik oleh
tanaman yang ada, karena berkurangnya ruang terbuka hijau dan berubahnya taman kota
menjadi bangunan. Bandung sebagai kota pariwisata, jasa, industri serta perdagangan
hal ini tentunya akan menghidupkan perekonomian di Kabupaten Bandung dan
sekitarnya. Kota-kota di tepi cekungan Bandung seperti Lembang, Soreang, Padalarang,
Tanjungsari dan Cililin menjadi lokasi yang dipilih dalam pengukuran ini. Adanya
kejadian hujan asam adalah suatu fenomena yang menunjukkan terpolusinya atmosfer di
suatu wilayah.
Makalah ini bertujuan untuk menganalisis data komposisi kimia air hujan yang
berasal dari 5 daerah di sekitar kota Bandung yaitu Lembang, Soreang, Cipatik,
Tanjungsari dan Padalarang. Data yang akan dianalisis adalah curah hujan, ion-ion SO4,
NO3, NH4 dan Cl. Dari 5 parameter data tersebut selanjutnya dilakukan analisis
menggunakan metode analisis Diskriminan. Metode analisis diskriminan berguna untuk
mengetahui variabel yang paling berperan di suatu wilayah, sehingga dapat dipelajari
faktor dominan yang berpengaruh terhadap keasaman air hujan di suatu wilayah yang
didasarkan atas pengelompokan musim kering, musim hujan dan musim peralihan
(Giovana, 1993).
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hujan Asam
Hujan asam disebabkan oleh oksida asam yaitu SO2 dan NO2, yang dengan
adanya uap air akan bereaksi membentuk hujan yang bersifat asam yaitu H2SO4 maupun
HNO3. Hal ini terjadi apabila asam di dalam udara larut ke dalam butir-butir air di
awan. Jika kemudian turun hujan dari awan itu, air hujannya akan bersifat asam (J.
Finlayson, 1986).
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 89 ~
Menurut (Anonim, 1993) masalah deposisi asam/hujan asam terjadi di lapisan
atmosfer terendah, yaitu di troposfer. Asam yang terkandung didalam deposisi asam
ialah asam sulfat (H2SO4) dan asam nitrat (HNO3). Keduanya merupakan asam yang
sangat kuat. Asam sulfat berasal dari gas SO2 dan asam nitrat, terutama dari gas NOx
yang melalui proses fisik dan kimia di udara membentuk keasaman. Proses yang terjadi
sangatlah kompleks yang melibatkan proses transportasi dan transformasi. Kontribusi
air hujan untuk mengikat zat-zat polutan tersebut membentuk keasaman dalam bentuk
senyawa H2SO4 dan HNO3 (Narita, 2000) . Hal ini bisa terjadi di daerah perkotaan,
karena adanya pencemaran udara dari lalu lintas yang berat dan daerah yang langsung
terkena udara yang tercemar dari pabrik. Dapat pula terjadi di daerah perbukitan yang
terkena angin yang membawa udara yang mengandung asam. Deposisi kering biasanya
terjadi di tempat dekat sumber pencemaran. (Seinfeld J.H & Pandis, 1999).
2.2 Analisis Data menggunakan analisis Diskriminan
Tujuan dari analisis diskriminan adalah mengelompokkan data ke dalam
kelompok masing-masing, penelitian ini kelompok (variabel tak bebas) dibagi menjadi
tiga yaitu:
1. Kelompok Musim Kering,
2. Kelompok Musim Peralihan
3. Kelompok Musim hujan
Sedangkan data yang akan dikelompokkan terdiri dari enam (5) variabel bebas
yaitu: curah hujan, konsentrasi SO4, NO3, NH4 dan Cl, yang akan diuji yaitu apakah ada
perbedaan yang nyata dari variabel bebas terhadap ketiga kelompok tersebut.
Selanjutnya semua Variabel bebas dan variabel tak bebas tersebut secara simultan
dianalisis untuk menghasilkan persamaan regresi, yang disebut Fungsi Diskriminan.
Secara umum analisis multivarians atau metode multivarians berhubungan dengan
metode statistik yang secara bersama-sama (simultan) melakukan analisis terhadap lebih
dari 2 variabel pada setiap objek. Analisis Diskriminan pada prinsipnya bertujuan
melakukan ”pembedaan” data, dan mempelajari sifat tingkat pembedaan dalam bentuk
bobot vartiabel yang terlibat dalam terjadinya pembedaan (Sudjana, 2003).
3. DATA DAN METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari curah hujan, ion SO4, ion
NO3, ion NH4 dan ion Cl, dengan periode data selama tahun 2003- 2005. Tahapan untuk
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 90 ~
memperoleh data komposisi kimia air hujan dilakukan dengan menganalisa sampel air
hujan yang diambil dari 5 lokasi pengamatan, selanjutnya dilakukan analisa pH air
hujan, serta analisa komposisi kimianya menggunakan Ion kromatografi dan
spektrofotometer. Sedangkan metode yang digunakan untuk menganalisis data tersebut
di atas menggunakan analisis statistik metode diskriminan. Langkah- langkah yang
dilakukan untuk menganalisis data menggunakan analisis diskriminan adalah:
- memisah variabel-variabel menjadi variabel tak bebas yang terdiri atas 3 kelompok
yaitu: musim hujan, peralihan dan musim kering serta variabel bebas yang terdiri dari:
curah hujan, ion SO4, ion NO3, ion NH4 dan ion Cl,
- menghitung koefisien diskriminan
- serta menguji signifikansi fungsi diskriminan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Daerah Lembang
Dari data komposisi kimia air hujan yang terdiri dari pH, curah hujan, SO4, NO3,
NH4 dan Cl yang di analisa pada musim hujan, peralihan dan musim kering maka di
daerah Lembang dilakukan pengolahan data dengan menggunakan SPSS 17. Hasil yang
diperoleh sebagai berikut:
Hasil uji variabel
Tabel diatas berfungsi untuk menguji apakah ada perbedaan yang signifikan
antar grup untuk setiap variabel. Sebagai pedoman adalah lihat besaran angka yang
terdapat dalam kolom sig.
Jika sig. > 0.05 berarti tidak ada perbedaan antar group
Jika sig. <= 0.05 berarti ada perbedaan antar grup
Dalam prosesnya fungsi diskriminan akan memberikan nilai-nilai yang sedekat
mungkin dalam kelompok dan sejauh mungkin antar kelompok. Ternyata dari enam
variabel diatas yang signifikan (<=0.05) hanya variabel SO4 dan NH4 saja sedangkan
Tests of Equality of Group Means
,985 1,841 2 248 ,161
,982 2,215 2 248 ,111
,983 2,164 2 248 ,117
,937 8,373 2 248 ,000
,999 ,114 2 248 ,892
,968 4,056 2 248 ,018
pH
Rain fall [mm]
NO3(mmol/l)
SO4 (mmol/ l)
Cl- (mmol/l)
NH42+ (mmol/l)
Wilks'
Lambda F df 1 df 2 Sig.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 91 ~
yang lainnya tidak signifikans karena nilai sig>0,05. dari nilai ini dapat diambil
penjelasan bahwa ada perbedaan antar grup yaitu musim hujan, musim kering dan
peralihan dimana perbedaan ini dipengaruhi oleh besarnya SO4 dan NH4. Begitu juga
bahwa tidak ada perbedaan antar grup musim kering, hujan dan peralihan oleh variabel
pH, curah hujan, N03 dan Cl.
Variabel yang membentuk fungsi diskriminan
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa ada dua variabel yang akan membentuk
fungsi diskriminan, yaitu SO4 dan NH4, sedangkan variabel lainnya tidak masuk
kedalam fungsi diskriminan yang terbentuk. Jadi Fungsi diskriminan yang terbentuk
adalah persamaan regresi ganda dengan sebuah variabel tak bebas yang mencerminkan
keanggotaan kelompok (Sudjana, 2003)
Proses pemasukkan variabel dari angka wilk’s Lambda
Pada langkah 1, jumlah variabel yang dimasukkan kedalam fungsi ada satu yaitu
SO4 dengan angka wilk‟s lambda sebesar 0.937. Hal ini berarti 93.7% varians
(keberagaman faktor-faktor yang tidak bisa dijelaskan) belum bisa dijelaskan dengan
hanya memasukkan satu variabel saja yaitu SO4. Ini berarti harus dimasukkan variabel
lain selain SO4 yaitu NH4. Lalu langkah berikutnya adalah memasukkan variabel NH4
ternyata didapat angka wilk‟s lambda sebesar 0.902 atau 90.2% varians tidak bisa
dijelaskan oleh fungsi yang terbentuk. Dapat dilihat ternyata terjadi penurunan angka
Variables Entered/Removeda,b,c,d
SO4
(mmol/l),104
Peralihan
and Hujan5,252 1 248,000 ,023
NH42+
(mmol/l),165
Peralihan
and Hujan4,145 2 247,000 ,017
Step
1
2
Entered Stat ist ic
Between
Groups Stat ist ic df 1 df 2 Sig.
Exact F
Min. D Squared
At each step, the v ariable that maximizes the Mahalanobis distance between the two closest
groups is entered.
Maximum number of steps is 12.a.
Maximum signif icance of F to enter is .05.b.
Minimum signif icance of F to remove is .10.c.
F lev el, tolerance, or VIN insuf f icient f or further computation.d.
Wilks' Lambda
1 ,937 1 2 248 8,373 2 248,000 ,000
2 ,902 2 2 248 6,512 4 494,000 ,000
Step
1
2
Number of
Variables Lambda df 1 df 2 df 3 Stat ist ic df 1 df 2 Sig.
Exact F
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 92 ~
wilks lambda seiring dengan telah dilakukannya langkah kedua. Penurunan angka
wilk‟s lambda tentu baik bagi model diskriminan, karena varians yang tidak bisa
dijelaskan juga semakin kecil dari 93,7% menjadi 90,2% (Singgih Santoso, 2002).
Analisis Perbedaan antar Grup Musim Kering, Musim peralihan dan Musim Hujan
Tabel di atas berkaitan dengan penjelasan wilk‟s Lambda sebelumnya dimana
ada dua tahapan proses yang menghasilkan dua variabel pada pembentukan fungsi
diskriminan. Pada langkah kedua dari tabel diatas (yang merupakan step akhir) terlihat
jarak (distance) antara grup musim kering dengan musim hujan mempunyai jarak lebih
besar (9,3) dibandingkan jarak antara peralihan dengan hujan (4,1) maupun dengan
kering dan peralihan (7.6).
Menguji Perbedaan antar Grup
Sebuah fungsi diskriminan berfungsi untuk menempatkan sebuah kasus masuk pada
satu grup atau grup yang lain. Karena tulisan ini ada 3 grup yang berfungsi sebagai
variabel tak bebas yaitu musim kering, peralihan dan musim hujan maka akan terbentuk
2 fungsi diskriminan dengan kriteria:
Fungsi Diskriminan 1 untuk memilah mana yang masuk ke grup kering atau ke
grup peralihan.
Fungsi Diskriminan 2 untuk memilah mana yang masuk ke grup peralihan atau
ke grup hujan.
Pairwise Group Comparisonsa,b
6,585 16,433
,011 ,000
6,585 5,252
,011 ,023
16,433 5,252
,000 ,023
7,602 9,317
,001 ,000
7,602 4,145
,001 ,017
9,317 4,145
,000 ,017
F
Sig.
F
Sig.
F
Sig.
F
Sig.
F
Sig.
F
Sig.
musim
Kering
Peralihan
Hujan
Kering
Peralihan
Hujan
Step
1
2
Kering Peralihan Hujan
1, 248 degrees of f reedom f or step 1.a.
2, 247 degrees of f reedom f or step 2.b.
Eigenvalues
,077a 72,3 72,3 ,267
,029a 27,7 100,0 ,169
Function
1
2
Eigenvalue % of Variance Cumulat iv e %
Canonical
Correlation
First 2 canonical discriminant functions were used in the
analysis.
a.
Fungsi 1 Fungsi 2
Kering Peralihan Hujan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 93 ~
Dari tabel eigen value di atas terlihat keeratan antara 2 fungsi diskriminan yang
terbentuk. Angka 0.267 menunjukkan keeratan yang rendah dengan ukuran skala
asosiasi antara 0 sampai dengan 1. Pada fungsi kedua walaupun angka canonical
correlation untuk fungsi kedua ini lebih kecil yaitu 0.169, namun kedua fungsi tetap
digunakan untuk interpretasi selanjutnya. Hal ini bisa dilihat pada keterangan tabel
wilk‟s Lambda berikut:
Tabel diatas menguji penggunaan fungsi diskriminan yang telah terbentuk
dengan hipotesa sebagai berikut:
Tes uji pertama (1 through 2)
Ho: Tidak ada perbedaan rata-rata (Centroid) dari kedua fungsi diskrminan
H1: Ada perbedaan rata-rata (centroid) yang jelas dari kedua fungsi diskriminan.
Terlihat angka signifikansi adalah sebesar 0.000 nilai ini ada di bawah 0.05 yang
berarti tolak Ho, atau terdapat perbedaan rata-rata (centroid) yang jelas dari kedua
fungsi diskriminan. Oleh karena ada perbedaan, maka grup untuk musim ini memang
berbeda.
Tes uji kedua (2)
Ho: Tidak ada perbedaan rata-rata (centroid) dari fungsi diskriminan kedua
H1: ada perbedaan rata-rata yang jelas dari fungsi diskriminan kedua
Membuat fungsi diskriminan 1 dan 2
fungsi diskriminan 1 yaitu:
, dimana nilai:
Z = skore diskriminan
W = koefisien/bobot diskriminan
Wilks' Lambda
,902 25,437 4 ,000
,971 7,175 1 ,007
Test of Function(s)
1 through 2
2
Wilks'
Lambda Chi-square df Sig.
Canonical Discriminant Function Coefficients
,044 ,012
-,019 ,039
-,503 -1,022
SO4 (mmol/l)
NH42+ (mmol/l)
(Constant)
1 2
Function
Unstandardized coef f icients
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 94 ~
X = variabel prediktor
Sedangkan fungsi diskriminan kedua adalah
Pada persamaan diskriminan diatas, parameter yang berperan adalah ion SO4
dan NH4. Senyawa SO4 di daerah ini diduga berasal dari sumber lokal yaitu Gunung
Tangkuban Perahu yang secara alami mengeluarkan senyawa SO2. Sedangkan
Amonium diduga berasal dari daerah pertanian dan peternakan sapi yang mendominasi
daerah Lembang (Narita, 2000).
4.2 Daerah Padalarang
Dengan cara yang sama dengan pengolahan data di atas, maka analisa data
komposisi kimia air hujan dilakukan pula untuk daerah Padalarang. Hasil analisis
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara musim hujan, musim kering
dan peralihan dimana perbedaan ini dipengaruhi oleh besarnya NH4. Dengan fungsi
diskriminan yaitu:
Z
4.3 Daerah Soreang
Hasil pengolahan data di daerah Soreang berdasarkan kategori data terdapat
perbedaan antar grup musim hujan, musim kering dan musim peralihan dipengaruhi
oleh besarnya konsentrasi NO3 dan Cl. Dari nilai korelasi yang terbentuk dapat dilihat
baik NO3 maupun Cl memiliki korelasi paling besar pada fungsi diskriminan kedua.
Dengan fungsi diskriminan 1:
Fungsi Diskriminan kedua adalah:
Soreang sebagai daerah di kabupaten Bandung arus transportasinya mulai ramai,
maka perlu diwaspadai dari kemungkinan terkena hujan asam. Sesuai dengan fungsi
diskriminan menunjukkan bahwa daerah Soreang ini parameter yang mempengaruhi
terhadap keasaman air hujan adalah senyawa Nitrat.
4.4 Daerah Cipatik
Hasil analisis data daerah Cipatik menunjukkan ada perbedaan yang jelas antara
data yang tergolong kedalam musim kering, musim hujan atau musim peralihan.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 95 ~
Variabel yang membedakan sebuah kasus masuk kategori musim hujan, musim
peralihan atau musim kering adalah ion SO4 dan NH4. Fungsi diskriminan yang
terbentuk adalah:
Jika dilihat dari wilayah Cipatik/Cililin yang didominasi daerah persawahan,
maka hal ini mendukung fungsi diskriminan diatas yang menyatakan bahwa variabel
yang menentukan pada masing-masing musim adalah ion NH4. Sedangkan senyawa
sulfat yang juga merupakan variabel penentu dalam pengelompokan musim di daerah
Cipatik ini diduga berasal dari sumber lokal yaitu gunung yang berada dekat lokasi
tersebut.
4.5 Daerah Tanjungsari
Ternyata dari lima variabel yang dianalisa yaitu: curah hujan, SO4, NO3, Cl, dan
NH4 tidak ada satupun yang signifikan (<=0.05). Dari nilai ini dapat diambil penjelasan
bahwa tidak ada perbedaan antar grup yaitu musim hujan, musim kering dan peralihan
jika dihubungkan dengan variabel-variabel diatas. Sehingga bisa disimpulkan bahwa
untuk daerah Tanjungsari, dengan ditelitinya variabel curah hujan, NO3, SO4, Cl, dan
NH4 tidak ada satupun yang bisa membedakan untuk sebuah kasus masuk kedalam
musim hujan, musim kering dan musim peralihan. Tidak terbentuk fungsi diskriminan.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan analisa data komposisi kimia air hujan di lima wilayah cekungan
Bandung maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: di Lembang fungsi diskriminan
yang terbentuk adalah: dan
; daerah Padalarang fungsi diskriminan yang terbentuk
adalah: Z ; daerah Soreang fungsi diskriminan yang terbentuk
dan
daerah Cipatik fungsi diskriminan yang terbentuk:
dan ; di Tanjungsari tidak terbentuk
fungsi diskriminan.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 96 ~
DAFTAR RUJUKAN
Anonim, Acid rain in Canada http://esa.org./education acid rainrevisited.htm [Maret,
2007] didownload Maret 2007
Barbara J. Finlayson-Pitts, James N Pitts, Jr. Atmospheric Chemistry. Fundamental and
Experimental Techniques, second edition, John Wiley & Sons, 1986.
Budiwati, Siti Asiati dan Nanang Effendi AR, 1991, Komposisi Kimia Air Hujan di
Bandung, Proceeding Program Penelitian Dirgantara LAPAN, 1991.
Giovana Vinzi, Alberto, An Application of Multivariate analysis to Acid rain data in
Northen Italy to discriminate naturale and man made compound, Enal Centro
Italy, 1993
Narita Y., Satoh K., Hayashi Keiichi., Iwase T., Tanaka S., Dokiya Y., Hosoe M.,and
Hayashi Kazuhiko, Long term of Chemical Constituents in Tokyo Metropolitan
area in Japan, Acid Rain, Proceeding from the 6 th
International Conference on
Acidic Deposition, Vol. III, 1649-1654, 2000
Seinfeld, John H. Pandis, Spyros N, Atmospheric Chemistry and Physics, second
edition, John Wiley & Sons, 998-1027, 2006
Singgih Santoso. Buku Latihan SPSS Statistik Multivariat, Elex media Komputindo.
Jakarta, 2002.
Sudjana, Teknik Analisis Regresi dan Korelasi, Tarsito Bandung, 2003.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 97 ~
INTERKONEKSI MONSUN DAN EL-NiñO TERKAIT
DENGAN CURAH HUJAN EKSTREM
Eddy Hermawan1)
dan Edward Rendra2)
1)
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN, Jalan Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 2)
Geofisika dan Meteorologi (GFM), IPB, Bogor
Email: [email protected]
Abstract
This study is mainly concerned to investigate the interaction or interconnection or
teleconnections between Monsoon and El-Niño coming simultaneously near real time period.
This is as a continuously of an earlier study that examines the interconnections between the
Dipole Mode with El-Niño. During normal conditions, the anomalous Monsoons almost did not
significantly affect rainfall anomalies. However, when conditions are abnormal, anomalous
Monsoon rainfall anomalies causing serious as it did in 1982/83 and 1997/98. Not only the
joining of two forces Monsun (Monsoon Asia and Australia), but also the presence of other
forces, namely the El-Niño events. On this basis, the research was conducted with the main
objective would like to know the interconnection between events Monsoon and El-Niño on
rainfall anomalies that occurred in some parts of Indonesia, such as Lampung, Sumbawa Besar,
Indramayu, Banjar Baru, and Pandeglang, respectively for period of 1976 to 2000. Although the
obtained correlation coefficient (R2) is relatively small (about 0.5) and CCF (Cross Correlation
Function) is relatively large (above 0.6), but each region has turned out a different response or a
response to the impact caused by the merging of events Monsoon and El-Niño above. In order to
obtain optimal results, it is necessary to better analysis of the main focus during the Monsoon
and the El-Niño was well above the normal threshold, especially in the period of 1996-1999.
Keywords: Interconection between Monsoon, El-Niño and extreme rainfall
Abstrak
Studi ini menekankan pentingnya penelitian interaksi atau interkoneksi atau telekoneksi
yang terjadi antara Monsun dengan El-Niño di saat keduanya bertemu dalam satu kurun yang
hampir bersamaan (simultan). Ini merupakan kelanjutan dari studi sebelumnya yang mengkaji
interkoneksi antara Dipole Mode dengan El-Niño. Pada saat kondisi normal, anomali Monsun
hampir tidak berpengaruh nyata terhadap anomali curah hujan. Namun, pada saat kondisi yang
tidak normal, anomali Monsun menimbulkan anomali curah hujan yang cukup serius seperti
yang terjadi pada tahun 1982/83 dan 1997/98. Tidak hanya bergabungnya dua kekuatan Monsun
(Monsun Asia dan Australia), namun juga adanya kekuatan lain, yakni kejadian El-Niño. Atas
dasar itulah, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama ingin mengetahui interkoneksi
yang terjadi antara kejadian Monsun dan El-Niño terhadap anomali curah hujan yang terjadi di
beberapa kawasan Indonesia, masing-masing Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjar
Baru, dan Pandeglang periode 1976 hingga 2000. Walaupun diperoleh nilai koefisien korelasi
(R2) yang relatif kecil (sekitar 0.5) dan CCF (Cross Correlation Function) yang relatif besar (di
atas 0.6), namun masing-masing kawasan ternyata memiliki tanggap atau respon yang berbeda
terhadap dampak yang ditimbulkan akibat bersatunya kejadian Monsun dan El-Niño di atas.
Agar diperoleh hasil yang optimal, maka diperlukan analisis yang lebih tajam dengan fokus
utama pada saat Monsun dan El-Niño berada jauh di atas ambang normal, yakni periode 1996-
1999.
Kata Kunci : Interkoneksi Monsun, El-Niño, dan curah hujan ekstrem
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 98 ~
1. PENDAHULUAN
Kajian tentang El-Niño di LAPAN telah dirintis bersama ITB sejak tahun 2002
melalui riset RUK (Riset Unggulan Kemitraan) yang menghasilkan satu model prediksi
El-Niño berbasis Space-Time (Sutawanir, D, dkk, 2002). Karena fenomena El-Niño
tidak berdiri sendiri, melainkan terkait erat dengan fenomena lain, khususnya Dipole
Mode (DM), maka pada tahun 2003 dilakukanlah satu kajian tentang karakteristik DM
(Hermawan, 2003). Kajian secara intensif tentang dua fenomena di atas, walaupun
belum sepenuhnya dilakukan secara optimal, telah dilakukan bersama tim peneliti dari
Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang memfokuskan pada kajian model time-series
data indeks suhu permukaan laut global dan indeks Osilasi Selatan (SOI) (Nurani, B,
dkk, 2003).
Di tahun yang sama dilakukan kajian dampak DM terhadap perilaku curah hujan
di kawasan barat Indonesia (Hermawan, dkk, 2003). Walaupun belum menunjukkan
hasil yang cukup signifikan pada waktu itu, namun ini merupakan cikal bakal
berkembangnya kajian tentang DM melalui teknik analisis spektrum berbasis FFT (Fast
Fourier Transform) terhadap kenormalan curah hujan yang terjadi di beberapa kawasan
di Sumetera Barat dan Selatan (Hermawan, 2006). Pada saat yang sama dikembangkan
pula model prediksi ENSO menggunakan data ESPI (ENSO Precipitation Index)
(Hermawan, 2006).
Hingga akhir tahun 2007, kajian tentang bersatunya dua fenomena atmosfer El-
Niño dan DM belum mencapai titik temu, dan baru tahun 2008, ditemukanlah adanya
osilasi baru yang kemudian dikenal sebagai osilasi 15 tahunan sebagai hasil
interkoneksi antara fenomena El-Niño dan DM (Hermawan, 2008). Tahun 2009
merupakan awal dimulainya penggunaan data penginderaan jauh, khususnya data satelit
TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) untuk mengkaji fenomena El-Niño dan
La-Niña di Indonesia (Hermawan, 2009).
Jika disimak dengan seksama, kajian yang menyeluruh tentang kompleksitas
dinamika atmosfer Indonesia belum terlihat dengan jelas, khususnya interaksi atau
interkoneksi atau telekoneksi yang terjadi di saat El-Niño dan Dipole Mode bersatu,
walaupun itu sudah dimulai oleh Harjono (2009). Gagasan untuk mengkaji interkoneksi
berbagai fenomena atmosfer di Indonesia lebih mendalam tidak lain untuk
menindaklanjuti rekomendasi sidang IPCC (Intergovernmental Panel on Climate
Change) ke-31 tanggal 26-29 Oktober 2009 di Bali, GEOSS (Global Earth System to
System) ke-4 tanggal 10-12 Maret 2010 juga di Bali, dan terakhir di acara United
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 99 ~
Nations/Indonesia International Conference on Integrated Space Technology
Application To Climate Change pada tanggal 2-4 September 2013 di Jakarta, mengingat
dampak serius yang ditimbulkannya.
Hal ini dapat dimengerti mengingat posisi Indonesia yang sangat unik dan
spesifik, diapit oleh dua Benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan
Hindia) yang merupakan satu-satunya kawasan yang didominasi oleh lautan dikenal
sebagai Indonesian Maritime Continent (IMC) atau kita kenal sebagai Benua Maritim
Indonesia (BMI) (Ramage, 1968). Hal inilah yang menjadi motivasi utama untuk terus
dilakukan pengembangan model interaksi antara fenomena Monsun, Dipole Mode dan
ENSO dalam mengkaji perilaku curah hujan di Indonesia (Hermawan, 2010).
Melalui kegiatan RIK (Riset Intensif Kedirgantaraan) LAPAN 2010, Hermawan,
dkk (2010) mengembangkan satu sistem pakar (expert system) berbasis indeks ENSO,
DMI, Monsun dan MJO untuk penentuan awal musim. Selain itu, dikembangkan pula
analisis parameter Monsun, ENSO, DM, dan MJO sebagai prekursor iklim di Indonesia
(Hermawan, 2010), selain analisis interkoneksi fenomena atmosfer di atas kawasan
Indonesia terkait dengan proyeksi iklim di masa mendatang (Hermawan, 2010). Lebih
jauh, melalui skema kegiatan IPKPP (Intensif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan
Perekayasa) tahun 2011 dari Kementrian Ristek dan Teknologi, dilakukanlah
pengembangan model interkoneksi berbagai fenomena atmosfer global sebagai indikasi
awal (precursor) datangnya kejadian iklim esktrem (khususnya curah hujan) di kawasan
sentra produksi tanaman pangan (Hermawan, dkk, 2011), yang kemudian diikuti oleh
analisis perilaku curah hujan di Pulau Jawa disaat fenomena El-Niño dan Dipole Mode
terjadi secara simultan (Hermawan, 2011).
Atas dasar itulah maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama mengetahui
interkoneksi yang terjadi antara fenomena Monsun dengan El-Nino dan dampak yang
ditimbulkannya terhadap curah hujan ekstrem di beberapa wilayah Indonesia.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Interkoneksi umumnya terkait erat dengan hubungan timbal balik (sering disebut
sebagai kopel atau couple) yang terjadi antara fenomena atmosfer satu dengan
fenomena atmosfer lainnya, walaupun kedua fenomena tersebut berada dalam jarak atau
ruang yang relatif cukup jauh. Ciri khas utama terjadinya interkoneksi biasanya ditandai
dengan terjadinya dua/lebih fenomena dalam kurun waktu yang hampir sama (near real
time) atau simultan seperti kasus tahun 1997/98. Hal ini ditandai oleh kenaikan Suhu
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 100 ~
Permukaan Laut (SPL) atau lebih dikenal dengan istilah SST (Sea Surface
Temperature) di kawasan Niño 3.4 yang terletak di tengah (central) Lautan Pasifik di
atas batas ambang normal mencapai 2o, yang kemudian diikuti dengan naiknya SST di
Lautan Hindia yang kemudian dikenal dengan istilah Dipole Mode Positif, disingkat
menjadi DM (+).
Dampak dari perubahan tersebut hampir sembilan puluh persen kawasan
Indonesia mengalami musim kering panjang, dan hanya beberapa kawasan saja yang
tidak terpengaruh dampak bersatunya dua fenomena alam di atas, yakni kawasan
Sumatera Utara bagian utara, seperti Aceh dan Medan yang relatif basah sepanjang
tahun (Harijono, 2008). Kondisi ini tidak jauh berbeda, disaat keduanya bertemu
kembali, namun dalam fase yang berbeda. Jika di tahun 1997 keduanya bertemu dalam
satu fase positif yang berdampak musim kering panjang, maka di tahun 1998 keduanya
bertemu dalam satu fase negatif, yang menyebabkan musim basah berkepanjangan,
sehingga muncullah istilah Dipole Mode Negatif atau DM (-), yang diikuti dengan
hadirnya La-Niña.
Hal terpenting terkait dengan anomali iklim adalah adanya fakta empiris yang
menunjukkan adanya interkoneksi yang kuat antara gejala alam El-Niño di sepanjang
Samudera/Lautan Pasifik dengan variabilitas curah hujan di sebagian besar wilayah
Indonesia. Keterkaitan yang erat antara El-Niño dengan Monsun dan curah hujan di
daerah tropis telah dibahas secara rinci oleh Yasunari (1990). Selain El-Niño, terdapat
gejala iklim lain yang juga dapat diidentifikasikan dengan pendefinisian indeks iklim,
yang diduga mempunyai interkoneksi kuat dengan curah hujan di Indonesia, yakni
Indian Ocean Dipole Mode (IODM) kemudian disingkat menjadi Dipole Mode (DM)
yang tidak lain merupakan fenomena interaksi timbal balik atmosfer-laut (air and sea
interaction) di Samudera Hindia (Saji, et.al., 1999). Akibat adanya interkoneksi, maka
tidak menutup kemungkinan jika pada akhirnya DM terkait dengan proses pembentukan
Pacific Decadal Oscillation (PDO) yang hingga kini masih belum banyak dikaji orang
(Mantua, et.al., 1997).
Pada saat terjadinya El-Niño kuat, variasi indeks iklim sering kali dianalisis dari
segi keterkaitannya dengan kejadian iklim ekstrem, khususnya musim kering ataupun
basah panjang, seperti kejadian El-Niño 1997 yang menyebabkan terjadinya musim
kering panjang di Indonesia pada saat itu. Sebaliknya, pada saat kejadian El-Niño yang
tidak kuat, justru faktor lokal setempat yang diduga berperan aktif (Dupe, dkk, 2002).
Oleh karena itu, maka sifat keterkaitan indeks iklim global dengan variasi curah hujan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 101 ~
lokal perlu dikaji secara seksama sebelum indeks iklim tersebut dapat digunakan
sebagai indikator curah hujan.
3. DATA DAN METODE ANALISI
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (a). Data curah hujan rata-
rata bulanan, masing-masing untuk kawasan Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu,
Banjar Baru, dan Pandeglang periode 1976-2000, (b). Data SST Ninño 3.4 yang
diperoleh dari (http://www.cpc.noaa.gov/data/indices/nino34.mth.ascii.txt), periode
1950 – 2009, dan (c). Data Monsun Index periode 1950 – 2009 yang terdiri dari data
Australian Monsoon Index (AUSMI), Western North Pasific Monsoon Index (WNPMI),
dan Indian Summer Monsoon Index (ISMI). Ketiga indeks data tersebut diperoleh dari
http://iprc.soest.hawaii.edu/users/ykaji/monsoon/realtime-monidx.html.
Sementara metode penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap yang diawali
dengan mengubah data curah hujan bulanan menjadi suatu data anomali dengan formula
sebagai berikut:
Formula diatas digunakan dengan tujuan agar sifat monsunal pada data curah
hujan bulanan tidak dihilangkan. Setelah data curah hujan berbentuk anomali, maka
dapat dilakukan tahap penelitian selanjutnya. Diawali dengan analisis spektral untuk
mengetahui osilasi dominan daripada data anomali curah hujan rata-rata bulanan di atas.
Salah satu metode analisis spektral yang banyak digunakan orang adalah teknik FFT
(Fast Fourier Transform) sebagaimana dijelaskan oleh (Mulyana, 2004).
Sementara teknik lain yang juga masih tergolong analisis spektral adalah teknik
wavelet (Tang, 2009). Kedua teknik tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan,
seperti teknik FFT misalnya, ia dengan tepat akurat dapat mengetahui osilasi dominan
dalam satu data time-series, namun dapat mengetahui dengan pasti bila osilasi dominan
itu muncul. Sementara teknik WL, walaupun dengan nilai ketepatan energi spektral
yang agak sulit untuk ditentukan, namun dapat diketahui bila osilasi dominan itu
muncul. Oleh karena itu, umumnya digunakan keduanya dalam satu kali analisis.
Terakhir adalah analisis statistik, khususnya analisis korelasi silang berbasis CCF
(Cross Correlation Function).
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 102 ~
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Data Anomali Curah Hujan Bulanan
Berikut disajikan data time-series anomali curah hujan bulanan masing-masing
untuk kawasan/wilayah Sumbawa Besar, Indramayu, Banjar Baru, Pandeglang, dan
Lampung selama 24 tahun pengamatan periode 1976-2000 sebagaimana ditunjukan
pada Gambar 4.1-1 berikut.
Gambar 4.1-1: Time-series data anomali curah hujan bulanan berbagai wilayah yang
ditinjau periode 1976–2000.
Dari gambar di atas, terlihat adanya pola Monsunal yang tegas/jelas yang
ditandai dengan perubahan fase positif dan negatif yang teratur selama kurun waktu
tertentu (sekitar 12 bulanan). Fase positif merupakan suatu fase dimana dalam tersebut
mengalami hujan atau kondisi basah yang umumnya selama periode DJF (Desember,
Januari, Februari) dengan nilai puncak maksimum pada bulan Januari, sedangkan untuk
fase negatif (-) merupakan suatu fase dimana dalam periode tertentu pada suatu wilayah
tidak turun hujan dan mengalami kondisi yang kering yang biasanya terjadi pada bulan
JJA (Juni, Juli, Agustus) dengan nilai puncak minimum pada bulan Juli.
Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa wilayah Lampung, Sumbawa
Besar, Indramayu, Banjar Baru, dan Pandeglang memiliki tipe hujan Monsunal yang
dicirikan oleh distribusi curah hujan bulanan berbentuk huruf V dengan jumlah curah
hujan musiman terendah terjadi pada bulan kering (JJA) dan tertinggi pada bulan basah
(DJF). Wilayah dengan pola curah hujan Monsunal memiliki perbedaan yang jelas
antara periode musim hujan dan periode musim kering.
Berdasarkan hasil deret waktu curah hujan yang telah diperoleh dapat dilihat
bahwa wilayah-wilayah yang memiliki hujan tipe Monsunal antara puncak yang satu
dengan yang lain baik puncak maksimum maupun puncak minimum memiliki periode
atau osilasi 12 bulanan. Berbeda dengan wilayah kajian yang memiliki hujan tipe
equatorial dalam satu tahun terdapat dua puncak maksimum dengan osilasi yang nyata
Jan-76 Jan-77 Jan-78 Jan-79 Jan-80 Jan-81 Jan-82 Jan-83 Jan-84 Jan-85 Jan-86 Jan-87 Jan-88 Jan-89 Jan-90 Jan-91 Jan-92 Jan-93 Jan-94 Jan-95 Jan-96 Jan-97 Jan-98 Jan-99 Jan-00-400
-200
0
200
400
600
800
1000
1200
Waktu
Ano
mal
i
SUMBAWA BESAR
INDRAMAYU
BANJARBARU
PANDEGLANG
LAMPUNG
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 103 ~
terlihat antara 6 bulan. Untuk mengkaji adanya osilasi yang nyata terhadap data curah
hujan di wilayah Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, dan Pandeglang
selain menggunakan analisis deret waktu, dapat juga dilakukan analisis PSD (Power
Spectral Density) seperti Gambar 4.1-2.
Gambar 4.1-2: Power Spektral Density (PSD) curah hujan periode 1976 – 2000
Analisis PSD (Power Spectral Density) merupakan salah satu metode yang
digunakan untuk mengetahui periodesitas dari suatu data deret waktu. Dari Gambar di
atas dapat dilihat bahwa wilayah-wilayah kajian yang bertipe curah hujan Monsunal
(Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, dan Pandeglang) menunjukkan
pola osilasi dominan 12 bulanan (dikenal dengan istilah AO, Annual Oscillation). Hal
ini terlihat dari puncak energi spektral masing-masing wilayah kajian berada pada
periode 12 bulanan, artinya kejadian kuat akan berulang dalam selang waktu 12
bulanan. Wilayah Indramayu dan Banjarbaru memiliki puncak yang lebih tinggi
dibandingkan wilayah Lampung, Sumbawa Besar, dan Pandeglang. Hal ini berarti
kekuatan Monsun di wilayah Indramayu dan Banjar Baru relatif lebih kuat
dibandingkan wilayah lainnya.
4.2. Analisis Data Indeks Monsun Asia dan Australia serta Data SST Niño 3.4
Monsun merupakan siklus tahunan yang membedakan secara tegas keadaan
atmosfer ketika musim basah dan musim kering. Menurut Webster (1987) Monsun juga
merupakan suatu fenomena yang kuat dan luas, sehingga suatu sistem Monsun dapat
mempengaruhi suatu wilayah yang luas. Fenomena ini juga sangat berpengaruh
terhadap penentuan awal musim hujan dan musim kering.
Bhalme (1991) menyatakan bahwa El-Niño merupakan anomali suhu permukaan
laut yang terjadi di daerah khatulistiwa bagian tengah dan timur, yaitu menghangatnya
permukaan laut hingga mencapai suhu satu derajat di atas standar deviasi rata – rata
1 6 12 180
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5x 10
8
Periode (bulan)
En
erg
i Sp
ektr
al
SUMBAWA BESAR
INDRAMAYU
BANJAR BARU
PANDEGLANG
LAMPUNG
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 104 ~
bulanan selama empat bulan berturut – turut. Secara umum hubungan antara Monsun
dengan SST Niño 3.4 adalah berbanding terbalik, artinya apabila Monsun melemah,
maka SST Niño 3.4 akan menguat, dan begitupun sebaliknya sebagaimana nampak pada
Gambar 4.2-1 berikut.
Gambar 4.2-1: Sama dengan Gambar 4.1-1, tetapi untuk Data Indeks Monsun Global
dan SST Nino 3.4
Berdasarkan Gambar 4.2-1 di atas, terlihat bahwa tidak selamanya kedua
fenomena tersebut berbanding terbalik. Monsun Asia yang masing-masing diwakili oleh
ISMI dan WNPMI, berbanding terbalik dengan monsun Australian yang diwakili oleh
AUSMI. Artinya, ketika data AUSMI menguat, maka Monsun Asia melemah,
begitupun sebaliknya. Namun ketika ketiganya digabungkan dengan SST Nino 3.4, ada
kalanya Monsun Asia maupun Monsun Australia, sama sama menguat dengan SST
Nino 3.4, begitupun sebaliknya. Terkait dengan itu pulalah, maka dipandang perlu
untuk dilakukan analisis spektral terhadap ketiga indeks Monsun global di atas, dan satu
untuk indeks SST Niño 3.4.
4.3. Analisis Spektral Monsun dan Nino 3.4
Analisis spektral menggunakan teknik wavelet masing-masing untuk indeks
Monsun ISMI, WNPMI, dan AUSMI dapat dilihat pada Gambar 4.3-1, 4.3-2, dan 4.3-3.
Dari gambar tersebut terlihat jelas bahwa mereka memiliki osilasi dominan sekitar 12
bulanan, walaupun ada juga terlihat osilasi 6 bulanan (dikenal dengan istilah SAO, Semi
Annual Oscillation). Sementara pada Gambar 4.3-4 menunjukkan osilasi dominan untuk
data SST Nino 3.4.
Jan-76 Jan-77 Jan-78 Jan-79 Jan-80 Jan-81 Jan-82 Jan-83 Jan-84 Jan-85 Jan-86 Jan-87 Jan-88 Jan-89 Jan-90 Jan-91 Jan-92 Jan-93 Jan-94 Jan-95 Jan-96 Jan-97 Jan-98 Jan-99 Jan-00-15
-10
-5
0
5
10
15
Waktu
Ind
eks
ISMI WNPMI AUSMI NINO3.4
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 105 ~
Gambar 4.3-1: The global wavelet spctrumuntu data AUSMI periode 1976 – 2000
Gambar 4.3-2: Sama dengan Gambar 4.3-1, tetapi untuk Data Indeks Monsun WNPMI
Gambar 4.3-3: Sama dengan Gambar 4.3-1, tetapi untuk Data Indeks Monsun ISMI
Gambar 4.3-4: Sama dengan Gambar 4.3-1, tetapi untuk Data Indeks SST Nino 3.4
Dari Gambar tersebut terlihat bahwa hampir semua indeks Monsun global
berosilasi 12 bulanan (sekitar 1 tahunan). Hal yang amat sangat berbeda dengan indeks
SST Nino 3.4, dengan osilasi dominan sekitar 60 bulanan (sekitar 5 tahunan). Terlihat
sedikit komplikatit untuk dijeaskan satu per satu, apalagi terkait dengan interkoneksi
yang terjadi didalamnya. Oleh karena itu, dipandang perlu dilakukan analisis bila
keempat indeks tadi menunjukkan pola yang sama. Dengan menggunakan teknik
wavelet, tepatnya teknik variansi, maka ditemukanlah bahwa keempat indeks di atas
ternyata memiliki pola yang sama saat 1997/98, sebagaimana nampak pada Gambar 4.3-
76 77 78 79 80 81 82 83-2
0
2
4
Time Observation
Ind
ex
a) The Time Series of AUSMI for Period Jan 1976 to Dec 2000
76 77 78 79 80 81 82 830
2
4
6
8
Time Observation
Mean
varia
ns (
m/s
)2 d) The Average Time Series
Time Observation
Pe
rio
d (
mo
nth
)
The Wavelet Power Spectrum
76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00
4
8
16
32
64
128
256 -4
-2
0
2
4
0 50 100 150 200 250
4
8
16
32
64
128
256
The Global Wavelet Spectrum
76 77 78 79 80 81 82 83-2
0
2
4
Time Observation
Ind
ex
a) The Time Series of WNPMI for Period Jan 1976 to Dec 2000
76 77 78 79 80 81 82 830
5
10
15
20
Time Observation
Mean
varia
ns (
m/s
)2 d) The Average Time Series
Time Observation
Perio
d (
mo
nth
)
The Wavelet Power Spectrum
76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00
4
8
16
32
64
128
256 -4
-2
0
2
4
0 200 400 600
4
8
16
32
64
128
256
The Global Wavelet Spectrum
76 77 78 79 80 81 82 83-2
-1
0
1
2
Time Observation
Ind
ex
a) The Time Series of ISMI for Period Jan 1976 to Dec 2000
76 77 78 79 80 81 82 830
5
10
15
20
Time Observation
Mean
varia
ns (
m/s
)2 d) The Average Time Series
Time Observation
Pe
rio
d (
mo
nth
)
The Wavelet Power Spectrum
76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00
4
8
16
32
64
128
256 -4
-2
0
2
4
0 200 400 600
4
8
16
32
64
128
256
The Global Wavelet Spectrum
76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00-4
-2
0
2
4
Time Observation
Ind
ex
a) The Time Series of NINO 3.4 for Period Jan 1976 to Dec 2000
Time Observation
Peri
od
(m
on
th)
The Wavelet Power Spectrum
76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00
4
8
16
32
64
128
256 -4
-2
0
2
4
0 5 10 15 20
4
8
16
32
64
128
256
c) The Global Wavelet Spectrum
76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 000
0.2
0.4
0.6
0.8
Time Observation
Mean
vari
an
s
d) The Average Time Series
b
b
b
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 106 ~
5. Hasil ini ternyata konsisten dengan hasil sebelumnya yang menyatakan adanya
anomali indeks Monsun global dan juga SST Nino 3.4 (Harijono, 2008)
Gambar 4.3-5: Mean varians indeks Monsun dan SST Nino 3.4 periode 1976 – 2000
Analisis varians pada Gambar 4.3-5 di atas menunjukkan nilai rata-rata sebaran
data deret waktu. Mean varians (rata-rata varians) merupakan suatu kisaran nilai rata-
rata data menyimpang dari kondisi normalnya. Jika diperhatikan dengan seksama, maka
nampak jelas keempat indeks di atas menunjukkan pola yang sama, khususnya periode
1996-1999, dimana terjadi kenaikan SST Nino 3.4 yang cukup signifikan pada tahun
1997 (dikenal dengan nama Strong El-niño), lalu diikuti dengan penurunan SST Nino
3.4 (dikenal dengan nama Strong La-Niña), tanpa ada waktu jeda sedikitpun. Oleh
karena itu, pada pembahasan selanjutnya mengenai pemodelan untuk memprediksi
curah hujan monsunal wilayah kajian maka dapat menggunakan variabel AUSMI,
WNPMI dan SST Nino 3.4, yakni disepanjang tahun 1996-1999.
4.4. Analisis Interkoneksi antara Data Anomali Curah Hujan dan Data Iklim
Global (Indeks Monsun dan SST Niño 3.4)
Hal yang perlu dipahami disini adalah dari ketiga indeks global di atas, hanya
indeks ISMI, WNPMI dan AUSMI yang akan dianalisis lebih lanjut. Hal ini disebabkan
ISMI dan WNPMI memiliki pengaruh yang relatif besar terhadap wilayah Indonesia,
terutama disaat musim penghujan. Sebaliknya, indeks AUSMI merupakan indeks
Monsun Australia yang cukup berpengaruh kuat disaaat musim kemarau. Sementara
indeks SST Niño 3.4 lebih nyata di saat musim kemarau dan penghujan. Kombinasi
ketiga indeks itulah apalagi disaat ketiganya bertemu (beriteraksi) seperti kejadian di
tahun 1997/98, merupakan hal yang menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Berikut
disajikan rangkaian data time-series ketiga indeks di atas sepanjang tahun 1996-1999.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 107 ~
Gambar 4.3-5: Anomali data indeks AUSMI, WNPMI, dan SST Niño 3.4 periode
1996-1999
Dengan demikian, maka besarnya anomali curah hujan (dilambangkan dengan ∆CH)
merupakan fungsi dari besaran indeks ISMI, WNPMI, dan AUSMI yang bila
disederhanakan menjadi :
∆CH = f (AUSMI, WNPMI, SST Niño 3.4)
Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa didapat formula dengan rumusan :
∆CH = AUSMI – WNPMI – SST Niño 3.4
Hal ini nampak lebih jelas bila diperhatikan dengan seksama Gambar 4.3-6 berikut:
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 108 ~
Gambar 4.3-6: Diagram batang fenomena interkoneksi berbagai indeks global dengan
anomali curah hujan di beberapa kawasan Indonesia periode 1996 –
1999
Gambar 4.3-6 di atas menjelaskan kondisi pada tahun 1996 - 1999 baik dari segi
interkoneksinya maupun dari anomali curah hujan. Dari gambar tersebut terlihat jelas
secara keseluruhan curah hujan mengalami kondisi ekstrim akibat terjadi interkoneksi
antara Monsun dan El-Niño. Pada gambar dapat dilihat bahwa pola curah hujan seluruh
wilayah kajian mengikuti pola interaksi antara Monsun dan El-Niño 3.4. Akibat dari
interkoneksi kedua fenomena tersebut menyebabkan terjadinya curah hujan ekstrem,
yakni kemarau panjang dan basah panjang pada tahun 1997 dan 1998. Sehubungan
dengan adanya response atau tanggap yang berbeda masing-masing kawasan yang
ditinjau terhadap dampak interkoneksi yang ditimbulkan oleh ketiga indeks iklim global
di atas, maka dipandang perlu untuk dilakukan analisis korelasi silang (Cross
Correlation Analysis).
4.5. Korelasi Silang Berbasis CCF (Cross Correlation Function) Analysis
Asumsi dasar yang digunakan ketika berbicara masalah interkoneksi adalah
besarnya anomali curah hujan yang terjadi atau turun di suatu wilayah dipengaruhi oleh
iklim global yang jika disederhanakan menjadi ∆CH = f (AUSMI, WNPMI, Nino3.4)
(Hermawan, 2010). Dari asumsi tersebut didapatkan sebuah persamaan regresi
multivariate (Tabel 1) dari masing-masing wilayah, dimana nilai X1 menunjukkan nilai
AUSMI, nilai X2 nilai WNPMI, dan nilai X3 nilai SST Niño 3.4.
Persamaan regresi multivariate menjelaskan peranan masing-masing fenomena
iklim dalam mempengaruhi curah hujan wilayah kajian. Persamaan multivariate (Tabel
1) digunakan untuk membuat curah hujan model yang akan dipakai untuk membuat
model prediksi. Keeratan antara curah hujan model dengan curah hujan pengamatan
dijelaskan melalui nilai koefisien korelasi (r). Korelasi merupakan teknik analisis yang
termasuk dalam salah satu teknik pengukuran hubungan mengenai ada atau tidaknya
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 109 ~
hubungan antara dua fenomena atau lebih (Hasan, 2003). Wilayah Banjarbaru memiliki
nilai korelasi (r) yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah kajian lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa wilayah Banjarbaru menunjukkan respon yang lebih besar pada
telekoneksi yang menurunkan curah hujan di daerah tersebut.
Analisis Cross Correlation Fungtion (CCF) digunakan untuk mengetahui waktu
tunda atau time lag antara fenomena interaksi (AUSMI dan El-Nino) terhadap curah
hujan. Tanda positif dan negatif pada nilai CCF menunjukkan arah hubungan terhadap
dua variabel. Jika nilai CCF memiliki tanda (+) berarti kedua variabel memiliki
hubungan yang berbanding lurus dan sebaliknya, apabila nilai CCF memiliki nilai
negatif (-) maka kedua variabel memiliki hubungan yang berbanding terbalik.
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa seluruh wilayah kajian (Lampung, Sumbawa
Besar, Indramayu, Banjarbaru dan Pandeglang) memiliki nilai CCF yang positif (+), hal
ini menunjukkan bahwa fenomena interaksi antara monsun dan El-Nino terhadap curah
hujan memiliki hubungan yang berbanding lurus. Artinnya apabila fenomena interaksi
menguat maka curah hujan di wilayah kajian akan meningkat, begitu juga sebaliknya
semakin melemahnya fenomena interaksi maka curah hujan di wilayah kajian akan
semakin menurun.
Selain mengetahui nilai CCF, pada Tabel 4.5-1 dapat dilihat juga seberapa lama
lag time atau waktu tunda di beberapa wilayah kajian. Lag time atau waktu tunda ini
merupakan waktu yang dibutuhkan oleh fenomena interaksi Monsun dan El-Niño untuk
dapat mempengaruhi curah hujan di wilayah kajian. Pada Tabel dapat dilihat bahwa
seluruh wilayah kajian (Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, dan
Pandeglang) memiliki lag time 0 bulan. Artinya antara kejadian interaksi Monsun dan
El-Nino tidak memiliki waktu tunda untuk mempengaruhi curah hujan di wilayah tadi.
Tabel 4.5-1: Kaitan Interaksi atau Interkoneksi antara dua Fenomena (AUSMI -
WNPMI - Nino3.4) dengan Curah Hujan Bulanan Periode 1976 - 2000.
KOTA CCF Lag time
(bulan) Error R
2 Persamaan Multivariant
Sumbawa
Besar
0.692 0 78.23 0.53 Y = 16.267X1 - 3.940X2 - 6.790X3 + 6.819
Indramayu 0.642 0 124.86 0.45 Y = 20.549X1- 5.976X2 -15.042X3+ 10.883
Banjarbaru 0.76 0 84.99 0.59 Y = 8.195X1-12.388X2 - 25.964X3 + 7.408
Pandeglang 0.695 0 74.67 0.54 Y = 15.923X1 - 3.445X2 - 5.264X3 + 6.509
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 110 ~
Lampung 0.694 0 75.64 0.49 Y = 9.954X1 - 6.721X2 - 2.913X3 + 6.593
Catatan : X1 = AUSMI, X2 = WNPMI, dan X3 = SST Nino3.4.
5. KESIMPULAN
Bersatunya dua fenomena alam dalam satu kurun waktu yang hampir bersamaan
(simultan), masing-masing Monsun dan El-Niño yang lebih dikenal dengan istilah
interaksi atau interkoneksi atau telekoneksi ternyata memiliki dampak yang serius
(severe) terhadap anomali curah hujan rata-rata bulanan yang terjadi di beberapa
kawasan Indonesia. Berbasis kepada hasil analisis korelasi silang (Cross Correlation
Analysis) periode 1976-2000, walaupun diperoleh nilai koefisien korelasi (R2) yang
relatif kecil (sekitar 0.5), namun memiliki nilai CCF (Cross Correlation Function) yang
relatif besar (raat-rata di atas 0.6). Kawasan Banjar Baru yang ada di Kalimantan
Selatan ternyata memiliki nilai R2 dan CCF yang paling besar, masing-masing 0.59 dan
0.76. Sementara kawasan Indramayu, memiliki niali R2 dan CCF yang paling kecil,
masing-masing 0.45 dan 0.64. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masing-
masing kawasan memiliki respon atau tanggap yang berbeda pada saat terjadinya
interaksi antara Monsun dan El-Niño. Hal ini diduga akibat periode analisis yang
digunakan relatif panjang 1976-2000 yang mestinya hanya fokus ke periode 1996-1999.
Satu hal lagi yang dapat disimpulkan adalah hampir tidak adanya jeda watu (time-lag),
sehingga dapat dipastikan bahwa fenomena Monsun Australia (yang diwakili AUSMI)
lah yang sebenarnya dominan dalam mempengaruhi kompleksitas dinamika atmosfer,
khsusnya anomali curah hujan yang ada di Indonesia, khususnya kawasan barat.
UCAPAN TERIMA KASIH.
Ucapan terima kasih disampikan dengan tulus dan ikhlas kepada Sdri. Naziah Madani
yang telah membantu mengedit paper ini.
DAFTAR RUJUKAN
Bhalme HN. 1991. El-Niño-Southern Oscillation (ENSO) – Onset, Growth, and
Decay.WMO/TD. 496 : 84-87.
Dupe, Z. L., T. W. Hadi, and A. Lubis. 2002. El-Niño/La-Niña Forcasting Using
Adaptive Neuro-Fuzzy Interference System (ANFIS), Seminar Nasional
Pengembangan dan Aplikasi Teknik Prediksi Cuaca dan Iklim, LAPAN, Bandung,
30 Juli 2002, hal. 15-20.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 111 ~
Hasan, M. Iqbal. 2003. Pokok-Pokok Materi Statistik 2 (Statistik Iterensif) Edisi Kedua.
Jakarta: Bumi Aksara.
Harijono, S.W.B. 2008. Analisis Dinamika Atmosfer di Bagian Utara Ekuator Sumatera
Pada Saat Peristiwa El-Niño dan Dipole Mode Positif Terjadi Bersamaan, Jurnal
Sains Dirgantara (JSD), 5(2), 130 – 148.
Hermawan, E. 2003. Characteristics of Indian Ocean Dipole as the Preliminary Study
of Monsoon Variability in the Western Part of Indonesia Region, Jurnal Sains
Dirgantara (JSD), 1(1), 23-31, ISSN: 1412-808X.
Hermawan, E., M.A. Ratag, A. Suryantoro, dan F. Renggono. 2003. Kajian Awal
Dampak Fenomena Indian Ocean Dipole Mode Terhadap Perilaku Curah Hujan di
Kawasan Indonesia Barat Hasil Analisis Data Radar Atmosfer Khatulistiwa,
Prosiding Workshop Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Pertanian di Sumatera
Barat, Fakultas Perikanan Universitas Bung Hattta, Padang, Suumatera Barat, 12-
14 Agustus 2003.
Hermawan, E. 2006. Penggunaan FFT dalam Analisis Kenormalan Curah Hujan di
Sumatera Barat dan Selatan, Khususnya Saat Kejadian Dipole Mode, Prosiding 31th
Annual Scientific Meeting (PIT) HAGI-Geophysics for Sustainable Development,
Semarang 13-15 November 2006. ISBN: 979-98933-2-1.
Hermawan, E dan N.R. Budi. 2006. Prediksi ENSO di Masa Mendatang Berbasis Hasil
Analisis data ESPI dengan Teknik Wavelet, Prosiding Seminar Perubahan Iklim
Nasional dan Lingkungan di Indonesia, diselenggarakan oleh LAPAN, Bandung 9
November 2006, hal:32-37, ISBN: 978-979-8554-99-5.
Hermawan, E. 2008. Pengaruh Siklus Lima Belas Tahunan Terhadap Estimasi
Kekeringan di Indonesia Berbasis Hasil Analisis Data ESPI, GPCP, dan Siklus ke 24
Matahari, Procceding Agriculture Meteorology Symposium VII Increasing National
Capacity of Adaptation for Climate Change Through Cross Sectoral and Regional
Cooperation, Jakarta 15-16 January 2008, 273-279, ISBN:978-979-546-012-1.
Hermawan, E. 2009. Role of TRMM Satellite Data on Investigation of El-Niño and La-
Niña Signal in Indonesia, Jurnal Lingkungan Tropis (JLT), Edisi Khusus Agitus
2009, hal: 433-446. ISSN: 1978-2713
Hermawan, E., J. Visa, Trismidianto, Krismianto, I. Fathrio, dan I. Sunarsih. 2010.
Pengembangan Expert System Berbasis Indeks ENSO, DMI, Monsun dan MJO
untuk Penentuan Awal Musim, Prosidng Pertemuan Ilmiah XXIV 2010, HFI Jateng
dan DIY, 10 April 2010 di UNDIP, Semarang, hal: 19-26, ISSN: 0853-0823.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 112 ~
Hermawan, E. 2010. Analisis Parameter Monsun, ENSO dan Dipole Mode dan MJO
Sebagai Precursor Iklim, Prosidng Seminar Nasional Sains Atmosfer 2010,
Pusfatsatklim, 16 Juni 2010, hal: 1-10, ISBN: 978-9779-1458-38-2.
Hermawan, E. 2010, Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di atas Kawasan
Indonesia Terkait dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang, Prosiding Seminar
Perubahan Iklim di Indonesia, Mitigasi dan Strategi Adaptasi dari Tinjauan Multi
Displin, Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, hal: 67-84, ISBN: 978-602-8683.
Hermawan, E. 2011. Analisis Perilaku Curah Hujan di Pulau Jawa disaat Fenomena
El-Niño dan Dipole Mode Terjadi Secara Bersamaan (Simultan), Seminar Nasional
Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, FMIPA UNY, Yogyakarta, 14 Mei
2011.
Hermawan, E. 2010. Pengembangan Model Interaksi antara Fenomena Monsun,
Dipole Mode dan ENSO dalam Mengkaji Perilaku Curah Hujan di Indonesia,
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, FMIPA
UNY, Yogyakarta, 15 Mei 2010, hal: F63-F86, ISBN: 978-979-99314-4-3.
Hermawan, E., J. Visa, Noersomadi, W. Setyawati, dan D. Gusnita, 2011.
Pengembangan Model Interkoneksi Berbagai Fenomena Global Sebagai Indikasi
Awal (Precursor) Datangnya Kejadian Iklim Ekstrem (Khususnya Curah Hujan) di
Kawasan Sentra Produksi Tanaman Pangan, Seminar Nasional Fisika 2011, P2F
LIPI, 12-13 Juli 2011.
Mantua, N. J., S. R. Hare, Y. Zhang, J. M. Wallace, and R. C. Francis. 1997. A Pacific
decadal climate oscillation with impacts on salmon. Bulletin of the American
Meteorological Society, 78, 1069-1079.
Mulyana. 2004. Analisis Spektral untuk Menelaah Periodesitas Tersembunyi dari Data
Deret Waktu. Bandung: Statistika FMIPA Universitas Padjadjaran.
Nurani, B., E. Hermawan, M.A. Ratag, dan F. Renggono. 2003. Kajian Model Time
Series Data Suhu Permukaan Laut Global dan Indeks Osilasi Selatan dalam Prediksi
Datangnya ENSO di Indonesia, Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya,
Jurusan Fisika, FMIPA, ITS, Surabaya, ISBN: 979-97932-0-3.
Ramage, C. S. 1968. Role of Tropical “Maritime Continent” in the Atmospheric
Circulation. Monthly Weather Review, 96, 365-370.
Saji, N.H., B.N. Goswami, P.N. Vinaychandran, and T. Yamagata. 1999. A Dipole
Mode in the Tropical Indin Ocean. Nature, 401, 360-363.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 113 ~
Sutawanir, D., S.P. Udjianna, N.R. Budi, dan E. Hermawan. 2002. Forecasting El-Niño
Based on Space-Time Models, Prosiding Temu Ilmiah Prediksi Cuaca dan Iklim
Nasional, ISBN: 979-8554-65-5.
Tang Y. 2009. Wavelet Theory Approach to Pattern Recognition 2nd Edition.
Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.
Webster PJ. 1987. The Variable and Interactive Monsoon. Dalam Fein JS and Stephen
PL, (eds) Monsoon. John Wiley and son: New York; 269-330.
Yasunari, T. 1990. Impact of Indian Monsoon on the Coupled Atmosphere/Ocean
System in the Tropical Pacific. Meteorology and Atmospheric Physics, 44, 29-41.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 114 ~
ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI ACUAN DENGAN
PENGAMATAN SATELIT BERDASARKAN FLUKS
PEMANASAN LATEN
Eko Suryanto
Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor
Abstract Spatial evapotranspiration (ET) is needed advanced information in terms of land and
crop evaporation. Several statistical techniques can be used to produce them, with input
multiple points of observation stations that have been able to represent spatial regions.
Station density is still a problem leading the use satellite data in representing the
atmospheric parameters. Evapotranspiration models for considerable spatial region can
be generated by using the equation
. The results
showed an average percentage error is only 4% and an average value comes close to the
ET FAO-56 PM. Interval values and standard deviation which resulting ET models is
smaller than the ET FAO-56 PM, however has been able to representing
evapotranspiration of study area. ET Remote Sensing models are good enough to use to
generate the ET reference with spatially extensive.
Keywords: Remote sensing, evapotranspiration reference, latent heat flux
Abstrak Evapotranspirasi (ET) spasial menjadi kebutuhan lanjutan dalam hal informasi
penguapan lahan dan tanaman. Beberapa teknik stastistik dapat digunakan untuk
menghasilkannya, dengan input beberapa titik stasiun pengamatan yang telah dapat
mewakili spasial wilayah tersebut. Kerapatan stasiun yang masih menjadi kendala
mendorong pemanfaatan data satelit dalam merepresentasikan parameter atmosfer
tersebut. Model evapotranspirasi untuk wilayah spasial yang cukup besar dapat
dihasilkan dengan menggunakan persamaan
.
Hasil menunjukkan rata-rata persentase galat hanya sebesar 4% dengan nilai rata-rata
yang mampu mendekati ET FAO-56 PM. Selang nilai dan standar deviasi yang
dihasilkan ET model lebih kecil dibandingkan ET FAO-56 PM, namun telah mampu
merepresentasikan evapotranspirasi wilayah kajian. Model ET penginderaan jauh sudah
cukup baik digunakan untuk menghasilkan ET acuan dengan spasial yang luas.
Kata Kunci : Penginderaan jauh, evapotranspirasi acuan, fluks pemanasan laten
1. PENDAHULUAN
Komponen cuaca memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Hal ini yang mendorong adanya klasifikasi iklim dalam dunia
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 115 ~
pertanian, karena suatu tanaman tidak selalu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik
di semua kondisi cuaca. Beberapa parameter cuaca input bagi tanaman ialah curah hujan
dan radiasi yang memiliki pengaruh terhadap suhu udara. Tanaman akan memanfaatkan
masukan tersebut sebagai bahan dalam menjaga dan mencukupi kebutuhan metabolisme
tanaman. Selain itu komponen keluaran (kehilangan) seperti evapotranspirasi juga
memiliki peran penting dalam menjaga kadar air tanah dan manajemen air tanaman.
Besar evapotranspirasi harian di stasiun pengamatan meteorologi hanya
mewakili radius beberapa meter dari stasiun. Keragaman nilai dimungkinkan akan kecil
jika kondisi wilayah bersifat homogen. Topografi juga menjadi faktor yang dapat
mempengaruhi cakupan wilayah yang direpresentasikan oleh stasiun. Pemasangan alat
pengukur lebih banyak dan rapat dibutuhkan agar keragaman nilai evapotranspirasi
dapat direpresentasikan dengan baik. Metode interpolasi menjadi penghubung titik-titik
pengamatan agar nilai evapotranspirasi skala spasial yang lebih luas dapat dihasilkan.
Beberapa metode yang sering digunakan ialah interpolasi dengan pembobotan jarak
stasiun (Ni et al., 2006) dan regresi linier berganda (Gurtz et al., 1999). Wilayah dengan
topografi yang beragam harus diikuti dengan peningkatan kerapatan stasiun
pengamatan. Wilayah Indonesia masih memiliki kendala dalam hal ini.
Pengamatan satelit menjadi salah satu pilihan dalam pendugaan evapotranspirasi
dengan cakupan spasial yang luas. Satelit memanfaatkan pantulan dan pancaran energi
dari permukaan bumi untuk mengidentifikasi komponen atmosfer permukaan. Oleh
karena itu, konsep neraca energi menjadi kajian wajib dalam pemanfaatan data satelit.
Kajian evapotranspirasi melalui konsep neraca energi dilakukan dalam penelitian ini
untuk mendapatkan formulasi evapotranspirasi spasial dengan menggunakan data
penginderaan jauh.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Evapotranspirasi diartikan sebagai proses hilangnya air melalui proses
penguapan dari badan air atau lahan (evaporasi) dan tanaman (transpirasi). Besarnya
nilai evapotranspirasi diperoleh dari hasil pengukuran lisimeter, dengan menggunakan
metode timbang maupun drainase (Handoko, 1994). Asumsi yang harus dipenuhi oleh
alat tersebut ialah tidak adanya aliran permukaan (run off) atau semua air hujan diserap
oleh tanaman dan tanah. Penggunaan asumsi menjadikan proses evapotranspirasi
bersistem tertutup tanpa ada input massa seperti air hujan dan limpasan.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 116 ~
Stasiun meteorologi Indonesia tidak memasukkan evapotranspirasi dalam daftar
pengamatan, namun dalam daftar perhitungan. Model evapotranspirasi berkembang
dengan baik dan telah mengalami modifikasi, diantaranya model Thornthwaite
(Thornthwaite, 1948), Hargreaves (Hargreaves et al., 1985), Makkink (de Bruin, 1987),
dan FAO-56 Penman-Monteith (Allen et al., 1998). Model ET FAO-56 PM telah
melalui pengujian pada beberapa kondisi iklim yang berbeda dan dibandingkan dengan
data observasi (Allen et al., 1998). Pengujian menunjukkan bahwa model tersebut dapat
mengestimasi evapotranspirasi acuan dengan baik di berbagai lokasi. Pernyataan yang
sama juga muncul dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Itensifu et al. (2003) yang
membandingkan pendugaan ET dengan data iklim 49 posisi di Amerika Serikat.
Model evapotranspirasi remote sensing dikembangkan dalam penelitian ini
dengan input fluks bahang laten penguapan. Persamaan yang digunakan ialah:
(2.1)
(2.2)
Keterangan, ET Remote Sensing = Model pendugaan evapotranspirasi spasial menggunakan
data penginderaan jauh (mm hari-1
), sedangkan ET LEN = Nilai evapotranspirasi spasial
sebelum menggunakan pembobotan. λLE = Kerapatan fluks bahang laten penguapan
(Watt m-2
), λ = Panas laten penguapan (J kg-1
), N = Lama penyinaran (detik), C1 dan C2
merupakan konstanta spesifik yang dihasilkan dari analisis regresi polinomial sederhana
(y = a . x + b). Konstanta ini merupakan faktor pembobotan yang akan diperoleh dari
penelitian ini.
3. DATA DAN METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data meteorologi stasiun Muara
Bogor, Cimanggu Bogor, dan Pakuwon Sukabumi yang bersumber dari Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat). Selain itu, data penginderaan jauh berupa data
satelit Landsat bersumber dari United States Geological Survey (USGS) tanggal 2 Juli
2005, 6 Agustus 2009, 24 Juni 2010, 12 Agustus 2011, dan 28 Juni 2012. Data stasiun
yang digunakan telah mencakup dua ketinggian, yaitu 246 meter (Muara dan
Cimanggu) dan 400 meter (Pakuwon). Pemilihan waktu yang beragam tersebut
dimaksudkan agar pengamatan yang dilakukan mencakup variasi bulanan yang dapat
dipengaruhi oleh aktivitas MJO (Madden Julian Oscillation) maupun interaksi lainnya.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 117 ~
Data meteorologi yang didapatkan berupa data suhu udara (minimum dan
maksimum), kelembaban udara (minimum, maksimum, dan rata-rata), kecepatan angin,
curah hujan, dan radiasi gelombang pendek masuk. Data-data tersebut diolah dengan
menggunakan model evapotranspirasi acuan FAO-56 PM yang merupakan hasil
pengembangan model evapotranspirasi oleh Allen et al. (1998). Persamaan tersebut
ialah:
E P 0.408 ( n - )
900
273 u es- e
1 0.34 u (3.1)
Keterangan, Rn = Radiasi netto di atas tajuk tanaman (MJ m-2
hari-1
), G = Kerapatan
fluks bahang tanah (MJ m-2
hari-1
), T = Suhu udara rata-rata pada ketinggian 2 meter
(oC), u2 = Kecepatan angin pada ketinggian 2 meter (m s
-1), ∆ = Kemiringan kurva
tekanan uap air (kPa oC
-1), = Konstanta psikometrik (kPa
oC
-1), es = Tekanan uap air
jenuh (kPa), ea = Tekanan uap air aktual (kPa) dan (es – ea) = defisit tekanan uap air
jenuh (kPa).
Data citra satelit Landsat diolah dengan menggunakan konsep kesetimbangan
energi yang masuk ke permukaan. Radiasi netto dihasilkan dari radiasi gelombang
pendek masuk yang telah dikurangi dengan pemantulan permukaan dan pengemisiannya
dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Persamaan neraca energi yang digunakan
yaitu:
(3.2)
Keterangan, Rn = Radiasi netto (Watt m-2
), G = Kerapatan fluks bahang tanah (Watt
m-2
), H = Kerapatan fluks bahang terasa (Watt m-2
), dan λLE = Kerapatan fluks bahang
laten penguapan (Watt m-2
). Komponen λLE yang akan lebih dikaji dan dijadikan
sebagai input dalam model evapotranspirasi remote sensing, agar dihasilkan nilai ET
untuk cakupan spasial yang lebih luas.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penyusunan Model
Nilai ET FAO-56 PM memiliki selang nilai yang berkisar dari 2.67 mm hingga
5.62 mm (Tabel 1). Keragaman evapotranspirasi dipengaruhi oleh adanya perbedaan
waktu dan ketinggian tempat pengamatan. ET bernilai 2.67 mm terjadi di Pakuwon pada
24 Juni 2010 dengan ketinggian 400 meter di atas permukaan laut. Nilai ET Pakuwon
selalu lebih rendah dibandingkan dengan ET di stasiun lain. Ini merupakan respon dari
adanya perbedaan ketinggian yang berpengaruh pada kondisi suhu yang semakin rendah
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 118 ~
(ElNesr et al., 2011). ET dengan nilai 5.62 mm terjadi di Cimanggu pada 6 Agustus
2009. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh suhu udara rata-rata dan kecepatan angin yang
mencapai 27.75ᵒC dan 1.5 ms-1
di wilayah Cimanggu pada waktu pengamatan.
Tabel 1 : Perbandingan evapotranspirasi FAO-56 PM dengan model ET LEN dan ET
Remote Sensing (yang telah diberi faktor pembobot)
Waktu Stasiun ET FAO-56
PM (mm)
Model Error (%)
ET LEN ET RS
2 Juli 2005
Muara
Cimanggu 4.52 42.7 -1.6
Pakuwon
6 Agustus 2009
Muara
Cimanggu 5.62 57.3 10.6
Pakuwon 4.71 33.1 29.3
24 Juni 2010
Muara 4.45 36.5 8.6
Cimanggu 3.31 20.4 -35.7
Pakuwon 2.67 -18.0 -24.6
12 Agustus
2011
Muara 5.48 53.9 13.8
Cimanggu
Pakuwon
28 Juni 2012
Muara 4.85 47.1 4.0
Cimanggu 4.71 50.4 -9.8
Pakuwon 2.72 -11.3 -32.1
Rata-rata 31.2 -3.8
Data satelit menghasilkan nilai fluks bahang laten pada sawah dan ladang yang
posisi dan luasnya disesuaikan dengan posisi stasiun meteorologi. Fluks bahang laten
rata-rata masing-masing wilayah dijadikan sebagai input dalam persamaan model ET
LEN. Model ET LEN merepresentasikan model ET remote sensing tanpa pembobotan.
Model ini cenderung memberikan hasil dengan penyimpangan cukup besar, yaitu
dengan rata-rata penyimpangan 31% dari data ET FAO-56 PM (Tabel 1).
Penyimpangan terkecil terjadi di wilayah Pakuwon dibandingkan dengan dua wilayah
lainnya, karena Pakuwon berada di dataran yang lebih tinggi (400 mdpl) dengan variasi
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 119 ~
suhu yang lebih kecil (Suharsono, 1982), sehingga keragaman nilai ET semakin kecil
dengan penyimpangan yang lebih kecil pula.
Gambar 1 : Hubungan dan tren nilai evapotranspirasi LEN dengan FAO-56 PM
Fluks bahang laten satelit memberikan respon negatif atau penurunan nilai
terhadap evapotranspirasi, yaitu ketika fluks bahang laten meningkat maka nilai
evapotranspirasi akan menurun. Respon ini mendorong pola garis menurun yang
ditandai pula oleh nilai negatif pada slope persamaan regresi yang bernilai -2.25
(Gambar 1). Nilai intersep persamaan tersebut sebesar 10.42 yang mengisyaratkan
bahwa ET maksimum yang dapat dihasilkan model yaitu 10.42 mm/hari, karena nilai
fluks bahang laten tidak mungkin mencapai negatif. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan
ET maksimum yang dihasilkan oleh Sivaprakasam et al. (2011) yaitu sebesar 10.82
mm/hari di Tamilnadu, India. Penguapan yang relatif tinggi disebabkan oleh kondisi
meteorologi wilayah Tamilnadu yang panas dan lembab. Koefisien slope dan intersepsi
tersebut merupakan faktor pembobot C1 dan C2 dalam model ET Remote Sensing.
4.2 Pengujian Model
Pengujian model dilakukan sebagai langkah dalam menilai kualitas pendugaan
yang dihasilkan oleh model. Parameter pengujian yang digunakan ialah persentase galat,
sebaran nilai, dan keragaman data yang dihasilkan.
Persentase galat (error) membandingkan besarnya penyimpangan ET Remote
Sensing terhadap ET FAO-56 PM. Tanda negatif hanya menunjukkan arah
penyimpangan, ke atas atau bawah, sedangkan besarnya penyimpangan dilihat dari titik
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 120 ~
setimbangnya, pada angka nol. Tabel 1 menunjukkan adanya penurunan persentase
galat sekitar 10 kali sebagai efek dari faktor pembobotan. Galat pada model tanpa
pembobotan mencapai 31.2%, sedangkan pada model dengan pembobotan hanya
sebesar 3.8%. Penurunan persentase galat dinilai sebagai peningkatan kualitas estimasi
ET, karena kemungkinan adanya galat dalam proses perhitungan ET Remote Sensing
akan semakin kecil. Hal ini mendorong penggunaan model ET Remote Sensing yaitu
untuk menghasilkan nilai
evapotranspirasi spasial harian dengan data penginderaan jauh. Nilai persentase galat
terbesar dan terkecil pada ET LEN ialah 57.3% dan 11.3%, sedangkan pada ET Remote
Sensing sebesar 35.7% dan 1.6%. Informasi tersebut menunjukkan bahwa penurunan
persentase galat berbeda-beda untuk masing-masing pengamatan. Perbedaan ini
disebabkan oleh analisis regresi polinomial dan dipengaruhi oleh perbedaan nilai pada
pengamatan lainnya.
Gambar 2 : Perbandingan sebaran nilai evapotranspirasi FAO-56 PM dengan ET
Remote Sensing sebelum dan setelah diberi faktor pembobot
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 121 ~
Sebaran nilai ET FAO-56 PM dan ET hasil penginderaan jauh sebelum diberi
pembobotan (ET LEN) menunjukkan pola yang sama, yaitu mengikuti sebaran normal.
Nilai ET FAO-56 PM menyebar normal dengan rata-rata 4.3 mm dan standar deviasi
1.05. Nilai ET LEN yang terdapat pada Gambar 3a (kiri) memiliki rata-rata dan standar
deviasi yang lebih kecil, yaitu 2.72 mm dan 0.30. Kedua nilai tersebut mengindikasikan
bahwa nilai pendugaan ET LEN akan lebih kecil dari ET FAO-56 PM. Gambar 3b
(kanan) merupakan ET hasil pembobotan (ET Remote Sensing) dengan rata-rata 4.297
mm atau mendekati rata-rata sebaran nilai ET FAO-56 PM. Keragaman ET Remote
Sensing belum dapat menyamai keragaman ET FAO-56 PM, dikarenakan keterbatasan
data yang digunakan. Grafik tersebut sudah menunjukkan bahwa model ET Remote
Sensing dapat diterapkan dengan baik untuk mendapatkan nilai evapotranspirasi spasial
dengan menggunakan data satelit.
5. KESIMPULAN
Nilai evapotranspirasi spasial dapat dihasilkan dari pengamatan satelit dengan
memanfaatkan informasi fluks bahang laten permukaan dalam model
. Model ini telah mampu menghasilkan nilai evapotranspirasi
dengan persentase galat sebesar 4% dari hasil ET FAO-56 Penman-Monteith. Sebaran
statistik ET Remote Sensing telah mendekati sebaran nilai ET FAO-56 PM, dengan tingkat
keragaman 67% dari keragaman nilai ET FAO-56 PM.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami ucapkan terima kasih kepada staf Balitklimat, khusunya Ibu Karmila dan Ibu Tuti
yang telah memberikan akses data meteorologi.
DAFTAR RUJUKAN
Allen, R. G., Pereiro, L. S., Raes, D., and Smith, M., Crop Evapotranspiration:
Guidelines for Computing Crop Requirements, FAO Irr. Drain. paper 56, 1–300,
1998.
de Bruin, H., From penman to makkink. In: Hooghart, C. (Ed.). Evaporation and
Weather: Proceedings and Information, TNO Comm. Hydro. Res.: The Hague, 28,
5–30, 1987.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 122 ~
ElNesr, M., Alazba, A., and Amin, M., Estimation Of Shortwave Solar Radiation In The
Arabian Peninsula; A New Approach, Solar Radiation, Under review, 2011.
Gurtz, J., Baltensweiler, A., and Lang, H., Spatially Distributed Hydrotope-Based
Modeling of Evapotranspiration and Runoff in Mountainous Basins, Hydro. Proc.,
13 (17), 2751–2768, 1999.
Handoko, Klimatologi Dasar, Bogor, IPB Pr., 1994.
Hargreaves, G. H. and Allen, R. G., History And Evaluation Of Hargreaves
Evapotranspiration Equation, J. Irr. Drain. Eng., 129 (1), 53–63, 2003.
Hargreaves, L. G., Hargreaves, G. H., and Riley, J. P., Irrigation Water Requirements
for Senegal River Basin, J. Irr. Drain. Eng., 129(1), 53–63, 1985.
Itensifu, D., Elliott, R. L., Allen, R. G., and Walter, I. A., Comparison of Reference
Evapotranspiration Calculations as Part of the ASCE Standardization Effort, J. Irr.
Drain. Eng., 129 (6), 440–448, 2003.
Ni, G., Li, X., Cong, Z., Sun, F., and Liu, Y., Temporal and Spatial Characteristics of
Reference Evapotranspiration in China, Nongye Gongcheng Xuebao/Transaction of
the Chinese Soc. Agri. Eng., 22 (5), 1–4, 2006.
Sivaprakasam, S., Murugappan, A., and Mohan, S., Modified Hargreaves Equation for
Estimation of ET0 in a Hot and Humid Location in Tamilnadu State India, Inter. J.
Eng. Scien. Tech., 3(1), 592–600, 2011.
Suharsono, H., Beberapa aspek iklim Bogor, Skripsi, Jurusan Agrometeorologi
Departemen Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor,
1982.
Thornthwaite, C. W., An Approach Toward a Rational Classification of Climate, Geogr.
Rev., 38(1), 55–94, 1948.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 123 ~
KARAKTERISTIK GELOMBANG KELVIN
EKUATORIAL ATMOSFERIK DIBAWAH PENGARUH
EL NIÑO-OSILASI SELATAN
*Faiz Rohman Fajary1,2
, Sandro Wellyanto Lubis1,3
, Sonni Setiawan1
1Department of Geophysics and Meteorology, Bogor Agricultural University (IPB), Indonesia
2Earth Sciences, Institut Teknologi Bandung (ITB), Indonesia
3Physics of the Atmosphere, GEOMAR Helmholtz Centre for Ocean Research Kiel , Germany
Abstract The purpose of this research is to qualitatively analyze characteristics of atmospheric
equatorial Kelvin waves using space-time spectral analysis (STSA) of zonal wind
perturbation at the 100-hPa level (tropopause) in Normal (1990), La Niña (1988–1989),
and El Niño (1997–1998) conditions. Kelvin waves propagate eastward with an implied
phase velocity of ~17.4 m/s and are predominantly excited in the tropopause by deep
tropical convections. Energy of Kelvin waves during the Normal, the El Niño, and the
La Niña events is strongly observed in tropopause of Indonesia, however the existing
energy during the La Niña becomes stronger than in the Normal. As for the El Niño
event, the existing energy of the waves in tropopause of central and eastern Pasific is
significantly stronger than to those in the Normal and the La Niña.
Keywords: ENSO, Kelvin Waves, STSA, Tropopause
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis secara kualitatif karakteristik
gelombang Kelvin ekuatorial atmosferik dengan menggunakan STSA (space-time
spectral analysis) pada angin zonal level 100-hPa (tropopause) pada kondisi Normal
(1990), La Niña (1988–1989), dan El Niño (1997–1998). Gelombang Kelvin merambat
dengan kecepatan fase ~17.4 m/s ke arah timur dan secara dominan dibangkitkan di
tropopause oleh konvektif tropis kuat. Energi gelombang Kelvin pada kondisi Normal,
El Niño, dan La Niña sama-sama menguat di tropopause kepulauan Indonesia, tetapi
pada kondisi La Niña energi gelombang Kelvin di tropopause kepulauan Indonesia lebih
kuat dibandingkan dengan kondisi Normal. Pada kondisi El Niño energi gelombang
Kelvin di tropopause Samudra Pasifik bagian tengah dan timur lebih kuat dibandingkan
dengan kondisi Normal dan La Niña.
Kata Kunci : ENSO, Gelombang Kelvin, STSA, Tropopause
1. PENDAHULUAN
Gelombang Kelvin ekuatorial atmosferik merupakan gelombang skala planeter
yang terdapat di atmosfer ekuator. Gelombang ini merambat ke arah timur dan
mempunyai kecepatan zonal dan perturbasi geopotensial [tidak terdapat perturbasi angin
meridional] yang meluruh secara Gaussian terhadap lintang dan berpusat di ekuator
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 124 ~
(Matsuno 1966, Wallace & Kousky 1968, Holton 2004, Randel & Wu 2005, Setiawan
2010). Gelombang atmosfer di wilayah ekuator memiliki peran dalam interaksi antara
troposfer dan stratosfer, khususnya transfer momentum zonal dan ozon (Yang et al
2011). Di samping itu, gelombang tersebut mempengaruhi QBO (quasi-biennial
oscillation) (Wallace & Kousky 1968, Maruyama 1969, Yang et al 2011, Yang et al
2012) dan osilasi setengah tahunan di stratosfer atas (Lindzen & Holton 1968).
Secara teoritis, gelombang Kelvin dapat dipahami dengan cara menurunkan
persamaan-persamaan gerak atmosfer yang dilinierkan pada bidang-β ekuator (Matsuno
1966, Holton & Lindzen 1968, Wallace & Kousky 1968, Lubis & Setiawan 2011).
Aproksimasi bidang-β digunakan untuk menyelesaikan permasalahan osilasi linear baik
di ekuator maupun lintang menengah (Lindzen 1967). Observasi terhadap gelombang
Kelvin dilakukan oleh Wallace dan Kousky (1968) dengan menggunakan data
radiosonde di stratosfer ekuatorial, Maruyama (1969) dengan menggunakan analisis
spektrum pada data angin atas dan suhu di stratosfer-bawah ekuatorial, dan Randel dan
Wu (2005) dengan menggunakan data suhu di troposfer-atas dan stratosfer-bawah
ekuatorial.
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji karakteristik gelombang Kelvin pada
kondisi El Niño, La Niña, dan Normal. Pada kondisi El Niño awan konvektif dominan
terbentuk di atas wilayah Pasifik tropis bagian tengah dan timur (Murphree & Reynolds
1995), sedangkan saat terjadi La Niña awan konvektif terbentuk lebih dominan di atas
wilayah Indonesia. Salah satu sumber pemicu gelombang Kelvin adalah pelepasan
panas laten oleh awan konvektif terutama awan jenis cumulonimbus (Lane 2000, Holton
2004, Randel & Wu 2005). Hipotesis awal pada penelitian ini adalah pada kondisi El
Niño energi gelombang Kelvin akan kuat teramati di atas wilayah Samudra Pasifik
bagian tengah dan timur, sedangkan pada kondisi La Niña energi gelombang Kelvin
kuat di atas wilayah Indonesia.
2. DATA DAN METODE
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data angin zonal (U) dan OLR
(outgoing longwave radiation) dalam satu pita ekuator (15o
LU–15o
LS) dengan resolusi
2.5o x 2.5
o. Data U adalah data harian dengan interval pengamatan enam jam yang
diperoleh dari NCAR/NCEP Reanalysis I untuk kondisi Normal (Des 89–Feb 90 [DJF-
N] & Sep 90–Nop 90 [SON-N]), La Niña (Des 88–Feb 89 [DJF-L] & Sep 88–Nop 88
[SON-L]), dan El Niño (Des 97–Feb 98 [DJF-E] & Sep 97–Nop 97 [SON-E]) di level
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 125 ~
ketinggian 100-hPa (tropopause). El Niño 1997/1998 merupakan salah satu peristiwa El
Niño paling kuat yang dimulai sekitar pada pertegahan tahun 1997 dan menghilang pada
akhir musim gugur 1998 (Trenberth 1997, Barnston et al 1999). La Niña 1988/1989
dimulai pada bulan Mei 1988 dan berakhir pada bulan Juni 1989 (Trenberth 1997).
Tabel 1 : Episode hangat (merah) dan dingin (biru) berdasarkan ambang batas ±0.5oC
rata-rata tiga bulan berjalan anomali SST di wilayah Niño 3.4 pada tahun
1988/1989 (La Niña), 1990 (Normal), dan 1997/1998 (El Niño) (Sumber:
NOAA 2012).
Tahun DJF MAM JJA SON
1988 0.7 -0.2 -1.3 -1.6
1989 -1.7 -0.8 -0.3 -0.3
1990 0.1 0.2 0.3 0.3
1997 -0.4 0.4 1.7 2.4
1998 2.3 1 -0.5 -1.1
Berdasarkan Tabel 1, ONI (Oceanic Niño Index) minimum pada kondisi La Niña
(1988/1989) terjadi pada periode SON dan DJF dan ONI maksimum pada kondisi El
Niño (1997/1998) terjadi pada periode SON dan DJF. Oleh karena itu, untuk mengkaji
karakteristik gelombang Kelvin pada tiga kondisi ini (Normal, La Niña, dan El Niño),
periode dominan yang akan digunakan adalah SON dan DJF pada masing-masing
kondisi, dengan kontrol adalah kondisi Normal (SON-N & DJF-N).
Data rata-rata harian OLR diperoleh dari NOAA (National Oceanic &
Atmospheric Administration). Data OLR dapat digunakan untuk mengestimasi lokasi
dan intensitas pusat awan konvektif tropis dan panas laten. Nilai anomali OLR
diperoleh dengan cara menghilangkan efek seasonal dan tren pada data, menggunakan
teknik pemulusan FFT. Semakin rendah nilai anomali OLR, menunjukkan semakin
tebal dan besar tutupan awan, sehingga energi pelepasan panas laten akan semakin
tinggi terjadi.
Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah STSA (Space-Time
Spectral Analysis). Metode ini digunakan untuk mempelajari gelombang yang
merambat secara zonal dan mendekomposisikan medan data kedalam komponen ruang
dan waktu (bilangan gelombang dan frekuensi) yang merambat ke arah barat dan timur
(Hayashi 1982, Wheeler & Kiladis 1999 [selanjutnya disebut WK99]). Perbedaan
penelitian ini dengan WK99 terletak pada penggunaan data, dimana data utama yang
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 126 ~
kami gunakan befokus pada komponen angin yang akhirnya akan dikombinasikan
dengan variasi nilai OLR anomali.
Untuk menghindari aliasing; tren dan siklus musiman pada data angin zonal
dihilangkan. Proses kompleks FFT (Fast Fourier Transform) dilakukan pada medan
data dalam bujur untuk mendapatkan koefisien-koefisien Fourier pada masing-masing
waktu dan lintang. Kemudian, dilakukan proses kompleks FFT lanjut dalam waktu
terhadap koefisien-koefisien Fourier tersebut untuk merekonstruksi spektrum dalam
fungsi bilangan gelombang dan frekuensi pada masing-masing lintang. Spektrum daya
(power spectrum) angin zonal dirata-ratakan selama waktu kajian dan dijumlahkan
dalam lintang (150
LU–150
LS) (WK99). Panjang temporal window (nDayWin) yang
digunakan dalam STSA adalah 80 hari, sedangkan panjang hari untuk melewati antar
temporal windows (nDaySkip) adalah 30 hari.
Dalam struktur horizontal, gelombang ekuatorial linier dapat dibagi menjadi tipe
simetris dan asimetris terhadap ekuator dalam fungsi lintang ( ). Secara matematis
dapat dituliskan sebagai berikut: , dimana
merupakan komponen asimetris, dan merupakan
komponen simetris (WK99). Dimana, untuk gelombang dengan mode meridional (n)
ganjil (genap), struktur horizontal dari medan perturbasi adalah simetris (asimetris)
terhadap ekuator (WK99). Gelombang Kelvin memiliki n = –1 (ganjil) (Matsuno 1966)
sehingga medan data dari gelombang Kelvin adalah simetris terhadap ekuator.
Dalam penelitian ini, produk utama dari STSA adalah spektrum daya angin zonal
dalam domain bilangan gelombang (k)-frekuensi (ω), dimana bilangan gelombang
maksimum adalah 15 dan frekuensi (nyquist) adalah 0.5 siklus per hari. Selain itu,
dalam penelitian ini, kami hanya menggunakan komponen simetris, mengingat struktur
horizontal gelombang Kelvin memiliki karakteristik simetris relatif terhadap lintang.
Proses filtrasi pada gelombang Kelvin dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:
bilangan gelombang (k) adalah 1–14, kedalaman ekuivalen (equivalent depth [H])
adalah 8–90 m, dan periode (T) adalah 2.5–20 hari.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Karakteristik Gelombang Kelvin pada Kondisi Normal, El Niño, dan La Niña
Setelah melakukan invers terhadap spektrum kuasa bilangan gelombang-
frekuensi dengan k=1–14, H=8–90 m, dan T=2.5–20 hari, nilai rekontruksi perturbasi
angin zonal yang berasosiasi kuat dengan gelombang Kelvin dapat diperoleh.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 127 ~
Berdasarkan Gambar 1, ciri-ciri utama yang terlihat dari gelombang Kelvin yang telah
diisolasi adalah bahwa perturbasi angin zonal bersifat simetris dan memiliki puncak di
sekitar ekuator. Nilai modulasi angin zonal meluruh secara eksponensial dengan
bertambahnya posisi lintang. Arah fasa perambatan adalah timuran, mengikuti fungsi
kurva dispersif teoritik gelombang Kelvin, dan dengan laju perambatan berkisar pada
~17.4 m/s. Karateristik gelombang Kelvin yang diperoleh ini bersesuaian dengan
konsep pemodelan linear gelombang Kelvin yang diturunkan dalam basis persamaan
perairan dangkal barotropik (Matsuno 1966, Wallace &Kousky 1968, Holton 2004,
Randel & Wu 2005, Setiawan 2010).
Gambar 2a–7a menunjukkan distribusi spasial varians angin zonal untuk
gelombang Kelvin pada masing-masing kondisi kajian. Secara umum nilai varians
perturbasi angin zonal yang berasosiasi dengang gelombang Kelvin memiliki pucak di
sekitar ekuator, dan meluruh dengan bertambahnya posisi lintang . Pola yang diperoleh
ini secara umum bersesuaian dengan nilai osilasi perturbasi OLR gelombang Kelvin
yang ditemukan sebelumnya oleh WK99 (Gambar 7e dan 7f dalam WK99).
Pada periode SON-N (Gambar 2a), energi gelombang Kelvin menguat di
tropopause benua Afrika, dan Samudra Pasifik bagian barat sampai dengan Samudra
Atlantik. Nilai maksimum amplitudo gelombang pada kondisi normal SON-N berada di
tropopause kepulauan Indonesia. Kuatnya energi gelombang Kelvin pada periode kajian
ini bersesuaian dengan semakin rendahnya nilai varians anomali OLR yang teramati
(Gambar 2b), khususnya di sekitar kepulauan Indonesia. Hal ini mengindikasikan
bahwa gelombang Kelvin pada periode ini umumnya dipicu oleh pelepasan panas laten
dari aktivitas pertumbuhan awan-awan konvektif. Pada periode DJF-N (Gambar 3a),
energi yang teramati relatif lebih kuat dan menyebar cukup seragam di sepanjang pita
ekuator. Perluasan nilai varians ini bersesuaian dengan perluasan secara garis bujur
distribusi keawanan yang diindikasikan oleh penyebaran nilai anomali OLR yang lebih
rendah dibandingkan pada periode SON-N
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 128 ~
Gambar 1 : Gelombang Kelvin ekuatorial dengan bilangan gelombang 1–14, periode
2.5–20 hari, dan kedalaman ekuivalen 8–90 m. Arah propagasi adalah
timuran.
a)
b)
Gambar 2 : Periode SON-N a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi
spasial anomali OLR.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 129 ~
a)
b)
Gambar 3 : Periode DJF-N a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi
spasial anomali OLR.
.
a)
b)
Gambar 4 : Periode SON-E a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi
spasial anomali OLR.
a)
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 130 ~
b)
Gambar 5 : Periode DJF-E a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi
spasial anomali OLR.
Pada periode El-Niño SON-E (Gambar 4a), energi gelombang Kelvin yang
teramati umumnya lebih kuat dibandingkan pada kondisi Normal. Tingginya sabuk
keawanan yang terbentuk di atas Samudra Pasifik menjadi sumber dinamo utama
pemicu bangkitnya gelombang ini. Proses pelepasan panas laten yang ditandai dengan
tingginya nilai SST pada tahun-tahun El-Niño menyediakan energi yang substansial
untuk mengeksitasi perambatan vertikal dan horizontal gelombang ini hingga mencapai
lintang tengah. Selain itu, rendahnya sabuk keawanan pada bagian timur Pasifik, yang
diindikasikan dengan rendahnya nilai OLR anomali, dapat digunakan juga untuk
menspekulasi energi pemicu gelombang Kelvin via panas laten yang dilepaskan oleh
proses mikrofisik awan-awan konvektif. Selanjutnya, pada periode DJF-E, nilai varians
menjadi dua kali lebih kuat dan lebih meluas ke timur Samudra Atlantik. Tingginya
aktivitas pada DJF-E ini, merupakan impilikasi dari penguatan aktivitas gelombang
Kelvin di kepulauan maritim dan Samudra Hindia, yang pada akhirnya merambat ke
timur dan membawa energi hingga ke tropopause Samudra Pasifik bagian tengah dan
barat (hasil kalkulasi energi kinetik tidak ditampilkan disini).
a)
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 131 ~
b)
Gambar 6 : Periode SON-L a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi
spasial anomali OLR.
a)
b)
Gambar 7 : Periode DJF-L a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi
spasial anomali OLR.
Pada kondisi La Niña energi gelombang Kelvin di tropopause mengalami
pergeseran ke arah barat, dimana varians aktivitas gelombang pada kepulauan Indonesia
dan Samudra Hindia memiliki amplitudo yang lebih tinggi dibandingkan dengan
wilayah lainnya dalam satu pita ekuator (Gambar 6a & Gambar 7a). Sama halnya
dengan periode El-Niño, penguatan aktivitas ini disebabkan oleh awan konvektif hasil
transfer massa uap air dari proses kesetimbang kontinuitas masa udara pada kondisi La-
Niña. Hasilnya, aktivitas gelombang Kelvin cenderung lebih dominan terbentuk di atas
kepulauan Indonesia dibandingkan di wilayah timur Samudra Pasifik. Energi
gelombang Kelvin pada kondisi Normal dan La Niña terlihat sama-sama menguat di
tropopause kepulauan Indonesia. Tetapi pada kondisi La Niña energi gelombang Kelvin
di atas Indonesia teramati jauh lebih kuat dibandingkan saat kondisi Normal.
3.2 Spektrum Bilangan Gelombang-Frekuensi pada Kondisi Normal, El Niño, dan
La Niña
Eksistensi gelombang Kelvin dengan menggunakan STSA ditunjukkan pada
Gambar 8. Berdasarkan hasil STSA, terdapat aktivitas gelombang Kelvin pada semua
waktu kajian pada kondisi Normal, El Niño, dan La Niña. Namun, aktifitas gelombang
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 132 ~
Kelvin pada periode El-Niño DJF-E (Gambar 8d) cenderung lebih kuat dibandingkan
dengan periode-periode lainnya. Hal ini memberikan konfirmasi terhadap tingginya
nilai distibusi varians yang telah kami temukan sebelumnya. Distribusi spasial varians
gelombang Kelvin (Gambar 2a–7a) juga menunjukkan bahwa aktifitas gelombang
Kelvin pada periode DJF-E (Gambar 5a) memiliki aktivitas yang terkuat.
a) b)
c) d)
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 133 ~
e) f)
Gambar 8 : Komponen simetris spektrum daya (m2/s
2) bilangan gelombang-frekuensi
angin zonal di level 100-hPa untuk a) SON-N b) DJF-N c) SON-E d)
DJF-E e) SON-L f) DJF-L.
Secara teoritik, laju gelombang (c) dapat diperoleh dengan menggunakan nilai
kedalaman ekuivalen (H) berdasarkan persamaan gelombang perairan dangkal
barotropik dalam bidang beta, √ , dimana g adalah percepatan gravitasi. WK99
mengisolasi gelombang Kelvin pada kisaran nilai H=8–90 m, dimana sinyal varians
gelombang Kelvin dominan terletak di sekitar H=25 m (Gambar 6b dalam WK99),
sedangkan dalam penelitian ini nilai maksimum spectra daya umumnya menempati
posisi H=8–150 m, dengan sinyal varians gelombang Kelvin dominan terletak di sekitar
H=50 m (Gambar 8b dan 8d). Nilai ini menunjukkan bahwa laju perambatan gelombang
Kelvin yang termati pada penelitian ini memiliki laju fasa yang lebih cepat
dibandingkan yang ditemukan oleh WK99. Hal ini disebabakan karena gelombang
Kelvin yang termatai pada level 100-hPa merupakan fase transisi dari gelombang yang
bersifat lembab “moist” menuju gelombang yang bersifat kering “dry”. Gelombang
yang ter-couple secara kuat dengan proses konvektif cenderung memiliki bilangan
gelombang vertikal dan kedalaman ekuivalen yang relatif lebih rendah dibandingkan
dengan gelombang kering, dan hal ini akhirnya akan berimplikasi pada perlambatan laju
fasa gelombang.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 134 ~
4 KESIMPULAN
Gelombang Kelvin merambat dengan kecepatan fasa sekitar ~17.4 m/s ke arah
timur. Tingginya sabuk keawanan yang terbentuk di atas Samudra Hindia dan Pasifik
menjadi sumber dinamo utama pemicu bangkitnya gelombang Kelvin. Pada kondisi El-
Niño (La-Niña), aktivitas gelombang Kelvin bermigrasi ke arah timur (barat), mengikuti
proses pertumbuhan awan konvektif dan pelepasan panas laten di atas samudra. Proses
pelepasan panas laten yang ditandai dengan nilai SST yang tinggi pada tahun-tahun El-
Niño menyediakan energi yang substansial untuk mengeksitasi perambatan vertikal dan
horizontal gelombang Kelvin hingga mencapai lintang tengah. Analisis STSA
menunjukkan bahwa eksistensi gelombang Kelvin pada periode El-Niño DJF-E
memiliki nilai spektrum yang paling dominan dibandingkan dengan periode-periode
lainnya. Tingginya laju fasa pada penelitian ini menunjukan bahwa gelombang Kelvin
yang teramati merupakan gelombang transisi dari lembab „moist’ menuju kering „dry’.
DAFTAR RUJUKAN
Barnston, A. G., Glantz, M. H., and He, Y., Predictive Skill of Statistical and
Dynamical Climate Models in SST Forecasts during the 1997–98 El Niño Episode
and the 1998 La Niña Onset, Bull. Amer. Meteor. Soc., 80(2), 217–243, 1999.
Hayashi, Y., Space-Time Spectral Analysis and Its Applications to Atmospheric Waves,
J. Meteorol. Soc. Jpn., 60(1), 156–171, 1982.
Holton, J. R., An Introduction to Dynamics Meteorology, Ed ke–4, Burlington: Elsevier,
2004.
--------------- and Lindzen, R. S., A Note on Kelvin Waves in the Atmosphere, Mon.
Wea. Rev., 96(6), 385–386, 1968.
Lane, T. P., Reeder, M. J., and Clark. T. L., Numerical Modeling of Gravity Wave
Generation by Deep Tropical Convection, J. Atmos. Sci., 58, 1249–1274, 2000.
Lindzen, R. S., Planetary Waves on Beta-Planes, Mon. Wea. Rev., 95(7), 441–451,
1967.
-------------- and Holton, J. R., A Theory of the Quasi-Biennial Oscillation, J. Atmos.
Sci., 25, 1095–1107, 1968.
Lubis, S. W. and Setiawan. S., Theoretical Simulation of Free Atmospheric Planetary
Waves on an Equatorial Beta-Plane, J. Theor. Comput. Stud., 1–17, 2011.
Maruyama, T., Long-Term Behavior of Kelvin Waves and Mixed Rossby-Gravity
Waves, J. Meteorol. Soc. Jpn., 47(4), 245–254, 1969.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 135 ~
Matsuno, T., Quasi-geostrophic Motions in the Equatorial Area, J. Meteorol. Soc. Jpn.,
44(1), 25–42, 1966.
Murphree, T. and Reynolds, C., El Niño and La Niña Effects on the Northeast Pacific:
The 1991–1993 and 1988–1989 Events, CalCOFl., 36, 45–56, 1995.
[NOAA] National Oceanic & Atmospheric Administration, Cold and warm episodes by
season, [terhubung berkala], http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/
analysis_monitoring/ensostuff/ensoyears.shtml, [17 Nov 2012], 2012.
Randel, W. J. and Wu, F., Kelvin Wave Variability near the Equatorial Tropopause
Observed in GPS Radio Occultation Measurements, J. Geophys. Res., 110, 1–13,
2005.
Setiawan, S., Perumusan Struktur Horizontal dan Struktur Vertikal Gelombang
Atmosfer Ekuatorial Planeter. Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2010.
Trenberth, K. E., The Definition of the El Niño, Bull. Amer. Meteor. Soc., 78(12),
2771–2777, 1997.
Wallace, J. M. and Kousky, V. E., Observational Evidence of Kelvin Waves in the
Tropical Stratosfer, J. Atmos. Sci., 25, 900–907, 1968.
Wheeler, M. and Kiladis, G. N., Convectively Coupled Equatoril Waves: Analysis of
Clouds and Temperature in the Wavenumber-Frequency Domain, J. Atmos. Sci., 56,
374–399, 1999.
Yang, G. Y., Hoskins, B. J., and Slingo, J. M., Equatorial Waves in Opposite QBO
Phases, J. Atmos. Sci., 68, 839–862, 2011.
---------------------------, and Gray, L., The Influence of the QBO on the Propagation of
Equatorial Waves into the Stratosphere. J. Atmos. Sci., 69, 2959–2982, 2012.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 136 ~
ANALISIS DAN PEMETAAN SAMBARAN PETIR
WILAYAH BALI DAN SEKITARNYA TAHUN 2012
I Putu Dedy Pratama
BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) Stasiun Geofisika Denpasar
e-mail: [email protected]
Abstract
Lightning services in Denpasar Geophysics Station is quite important for the region Bali
and surrounding areas since this area is prone to lightning hazard. This area has
topography that allows the growth of convective clouds in the southern waters around
Bali and also the mountains in the area Batukaru, Batur, and Besakih. Recorded this
area has reached 91 days of thunder per day per year. In the year 2012 Denpasar
Geophysics Station received six reports from public and one person killed by lightning
strikes reported by Bali Post. The news and the reports used as a comparatorbetween
position and time event of actual strike with therecord of the Lightning Detector. Based
on the analysis of data processing and mapping of density strikes vary by region
depending on the season, topography, evaporation, and the upward movement of air
masses. Areas with a high strike occurred in waters south of Tabanan, the island of
Nusa Penida, Padang Bay bay, and the mountains to the topography of 200-1000 m
AMSL. Highest lightning activity occurs in the rainy season in December 2012.
Distribution pattern of daily lightning strikes has two peaks with the semi-diurnal
pattern in which an increase in lightning activity at 14:00 and 02:00 local time.
Keywords: lightning, Lightning Detector, topography, density strikes
Abstrak
Pelayanan jasa petir di Stasiun Geofisika Denpasar cukup penting bagi wilayah Bali dan
sekitarnya karena daerah ini merupakan daerah rawan bencana petir. Daerah ini
mempunyai topografi yang memungkinkan tumbuhnya awan-awan konvektif di sekitar
perairan selatan Bali dan juga pegunungan di wilayah Batukaru, Batur, dan Besakih.
Tercatat daerah ini memiliki hari guruh mencapai 91 hari per tahun. Dalam tahun 2012
Stasiun Geofisika Denpasar mendapat laporan sambaran petir dari masyarakat sebanyak
enam laporan dan tercatat dua korban tewas akibat sambaran petir menurut media Bali
Post dan Fajar Bali. Dari laporan dan berita tersebut digunakan sebagai pembanding
antara posisi dan waktu kejadian sambaran aktual dengan rekaman alat Lightning
Detector. Berdasarkan analisa pengolahan data dan pemetaan kerapatan sambaran petir
bervariasi setiap wilayah tergantung pada musim, topografi, penguapan, dan pergerakan
naik massa udara. Daerah dengan sambaran tinggi terjadi di perairan selatan Tabanan,
Pulau Nusa Penida, teluk Padang Bay, dan wilayah pegunungan dengan topografi 200-
1000m DPL. Aktivitas petir tertinggi terjadi pada musim penghujan yaitu pada bulan
Desember 2012. Pola distribusi sambaran petir memiliki dua puncak dengan pola
semidiurnal dimana terjadi peningkatan aktivitas petir pada pukul 02.00 dan 14.00
waktu lokal.
Kata kunci : Petir, Lightning Detector, topografi, kerapatan sambaran
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 137 ~
1. PENDAHULUAN
Bali merupakan daerah potensi rawan petir. Daerah ini mempunyai topografi yang
memungkinkan tumbuhnya awan-awan konvektif dan di sekitar lereng pegunungan dengan
bentuk geomorfologi yang landai dan curam selain itu perairan selatan Bali juga menyuplai
uap air yang tinggi memungkinkan pertumbuhan awan konvektif dan arus konveksi (Dedy,
2013).
Dengan daerah padat penduduk dan keunggulan pariwisata menjadikan Bali
sebagai citra Indonesia di mata dunia dalam pelayanan jasa petir. Seringkali ada laporan
dari masyarakat termasuk dunia pariwisata akan adanya sambaran petir. Untuk itu dipasang
alat pemantau petir secara real time untuk mendeteksi dan merekam kejadian petir wilayah
Bali dan sekitarnya. Selanjutnya dibuat pemetaan kerapatan petir untuk mengetahui
daerah-daerah yang rawan terhadap aktivitas petir.
Stasiun Geofisika Denpasar adalah Unit pelaksana Teknis Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di wilayah Bali dan sekitarnya yang melakukan
pengamatan petir (listrik udara) untuk wilayah Bali dan sekitarnya. Alat pendeteksi petir
tersebut adalah Lightning Detector (LD).
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Petir
Petir merupakan pelepasan muatan elektrostatis berasal dari badai guntur.
Pelepasan muatan ini disertai dengan pancaran cahaya dan radiasi elektromagnetik lainnya.
Pada musim hujan petir perlu diwaspadai, petir biasanya muncul pada saat akan hujan atau
ketika hujan sudah turun. Namun, bukan berarti setiap hujan dan mendung akan selalu
disertai petir dan hanya terjadi jika ada awan Cumulonimbus (Cb). Awan Cumulonimbus
adalah awan yang terjadi sangat cepat akibat pemanasan tinggi di permukaan Bumi.
Pemanasan di permukaan Bumi ini mendorong uap air naik ke atas dengan cepat. Oleh
karena itu, ciri-ciri awan Cumulonimbus adalah bentuknya yang menggumpal seperti
kapas dan membubung tinggi di langit (Husni, 2002).
2.2. Lightning Detector
Prinsip kerja dari Storm Tracker adalah mendeteksi sinyal radio yang dihasilkan
oleh sambaran petir. Storm Tracker mendeteksi sinyal radio frekuensi rendah (low
frequency) yang dihasilkan oleh lecutan kilat (10 kHz sampai 200 kHz) dan menggunakan
Direction Finding antena untuk menentukan arah darimana kilat datang. Setiap antena
memiliki radius jangkauan potensial dengan radius mencapai 300 mil. Analisa software
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 138 ~
menyaring gangguan dan membuat informasi sambaran lebih akurat
(http://www.boltek.com/stormtracker.html).
Gambar 1 : Antena luar dan bagian hardware Boltek Storm Tracker (Boltek, 2013)
3. DATA DAN METODE
3.1. Data
Data yang digunakan adalah data petir periode tahun 2012 Stasiun Geofisika
Denpasar, peta rupa bumi dan kontur topografi wilayah Bali dan sekitarnya. Pemetaan dan
analisa kerapatan meliputi wilayah Bali dan sekitarnya dengan batasan daerah 7,680 LS –
9,680 LS dan 114,21
0 BT – 116,21
0 BT. Lokasi sensor berada di Stasiun Geofisika
Denpasar di koordinat 8,680 LS dan 115,21
0 LS.
3.2. Metode
Pengolahan data menggunakan Lightning/2000 dengan merubah ekstensi .ldc ke
format .kml, selanjutnya konversi data petir harian format .kml menjadi .xlsx dengan
Microsoft Excel 2007, kemudian disimpan dengan format .csv (comma delimited).
Clustering kejadian petir dengan pembagian tiap kluster 40 x 40 grid, dan perhitungan
kejadian petir per grid dengan menggunakan software Lightning Data Processing. Proses
pemetaan selanjutnya dilakukan menggunakan Surfer 10.
Secara garis besar, penelitian dilakukan berdasarkan pemetaan petir yang di-
overlay dengan kontur topografi wilayah Bali, pembandingan sampel citra satelit NOAA
serta laporan masyarakat dan media, dan pembuatan grafik distribusi petir per jam.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 139 ~
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Produk dan layanan data petir yang dilakukan oleh Stasiun Geofisika Denpasar
dibuat dalam bulletin tahunan dan bulanan stasiun, buletin Balai Besar BMKG Wilayah 3,
serta tujuan penelitian maupun skripsi mahasiswa. Permintaan data petir juga digunakan
untuk klaim asuransi masyarakat maupun lembaga. Laporan masyarakat dan data citra
satelit NOAA dijadikan pembanding apakah alat bekerja dengan baik dalam penentuan
posisi dan waktu kejadian ditambah dengan laporan sambaran petir dari media. Berikut
adalah daftar laporan kejadian petir dari masyarakat dan berita media :
Tabel 1 : Laporan kejadian petir tahun 2012 daerah Bali
Sumber Lokasi Tanggal Kejadian Waktu (WITA)
PT. Tower Bersama Group Unggasan-Badung 4 Februari 2012 23.00-24.00
Chedi Club Tengkulak-Gianyar 1 Maret 2012 15.00-16.00
PT. BCA Tbk. KCU Denpasar Denpasar 17 Maret 2012 22.00-23.00
Eddy Sagita Gianyar 8 Desember 2012 22.00-24.00
Alit Artama Payangan-Gianyar 10 Desember 2012 01.00-02.00
Four Seasons Resort Jimbaran-Badung 13 Desember 2012 -
Bali Post Kintamani-Bangli 21 Desember 2012 -
Fajar Bali Penatih-Denpasar 30 Desember 2012 Sekitar 15.00
Gambar 2 : (a) Berita sambaran petir daerah Kintamani (Bali Post 23 Desember 2012) dan
(b) Analisa waktu kejadian dan lokasi petir dengan LD 2000 (c) Citra satelit
NOAA-16 mencitrakan jenis awan Cb (titik merah) yang terjadi pada 28
Maret 2013 pukul 01:28 UTC (d) Plot kejadian petir satu jam sebelum dan
sesudah pukul 01:28 UTC tanggal 28 Maret 2013.
Aktivitas petir umumnya meningkat pada musim penghujan dan pancaroba. Untuk
tahun 2012 di wilayah Bali dan sekitarnya aktivitas petir tinggi terjadi pada musim
a b c d
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 140 ~
penghujan yaitu bulan Januari s.d. Maret dan November s.d. Desember terlihat dari
perbandingan strong stroke pada Grafik 1.
Grafik 1 : Jumlah stong stroke dalam persen tahun 2012 dengan aktifitas tertinggi terjadi
pada bulan Desember mencapai 41%
Gambar 2 : Perbandingan frekuensi sambaran terhadap waktu per jam Stasiun Geofisika
Denpasar tahun 2012
Wilayah yang memiliki aktivitas petir tinggi untuk perairan berada di daerah
selatan kabupaten Tabanan mencapai kerapatan hingga di atas 1500 kali sambaran. Ini
menunjukkan daerah tersebut memiliki pemanasan dan penguapan yang cukup tinggi.
Sedangkan pada wilayah daratan, aktivitas tertinggi terjadi pada wilayah pegunungan
Batukaru, Batur, dan Agung, Pulau Nusa Penida dan teluk Padang Bay (Gambar 3).
Hubungan antara kerapatan petir dan ketinggian mengindikasikan korelasi positif.
Kerapatan petir cenderung konstan pada ketinggian 100-700 m DPL dan terjadi
peningkatan pada ketinggian 700-1200 m DPL (Bavika, 2007). Untuk wilayah daratan Bali
petir umumnya terjadi pada daerah ketinggian 200-1000 m DPL dengan topografi lereng
pegunungan selatan dengan kemiringan curam. Namun, pada sisi utara lereng pegunungan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 141 ~
kerapatan petirnya lebih rendah karena udara lembab tertahan pada sisi selatan sehingga
sisi utara memperoleh udara kering (Gambar 3).
Gambar 3 : Peta kerapatan petir di-overlay dengan peta topografi wilayah Bali dan
sekitarnya
Berdasarkan Grafik 1 sambaran petir maksimum terjadi pada pukul 14.00 dan
terendah pada pukul 09.00 waktu lokal. Terjadi 2 puncak maksimum aktivitas petir yaitu
pukul 02.00 dan 14.00 waktu lokal. Grafik semi diurnal ini menyerupai dengan penelitian
petir yang dilakukan oleh Xie, dkk (2013).
Pada pukul 14.00 aktivitas petir meningkat karena pengaruh dari pengangkatan
massa udara akibat dari pengaruh orografi dimana pada siang hari dengan puncaknya pukul
12.00 terjadi angin lembah yang bertiup dari lereng ke gunung atau bukit. Perlu waktu bagi
uap air untuk membentuk awan Cumulonimbus (Cb). Pada wilayah perairan maksimum
pukul 14.00 karena adanya pengaruh panasnya permukaan daerah perairan yang memicu
peningkatan uap air dan pergerakan massa udara ke atas sehingga terbentuk awan
konvektif.
Pada pukul 02.00 aktivitas petir terjadi karena desakan massa udara dingin dari angin
darat yang bertemu dengan massa udara hangat di lautan pada malam hari menimbulkan
naiknya massa udara hangat yang mengandung uap air. Pengangkatan ini menimbulkan
pembentukan awan cumulonimbus meningkat pada malam hari, dimana tahap matang dan
proses terjadinya petir terjadi pada dini hari.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 142 ~
5. KESIMPULAN
Data sambaran petir cukup akurat untuk memperhitungkan posisi dan waktu
kejadian sambaran petir pada suatu daerah. Pada pemetaan dengan overlay kontur
topografi menunjukkan hubungan antara kerapatan petir dan ketinggian mengindikasikan
korelasi positif hingga batas ketinggian tertentu. Untuk wilayah dataran rendah, aktivitas
petir cenderung konstan. Pola distribusi sambaran petir memiliki dua puncak semi diurnal
dengan pengaruh lokal akibat adanya pemanasan perairan dan orografi pada siang hari
serta pertemuan dua massa udara yang berbeda di wilayah perairan pada malam hari.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepada kepala dan seluruh staf Stasiun Geofisika
Denpasar atas kerjasamanya dalam pengumpulan data petir harian maupun bulanan serta
diskusi dalam penyusunan buletin tahunan.
DAFTAR RUJUKAN
Bali Post. 2013. Merta Tewas Tersambar Petir, 23 Desember 2012.
Bavika, Bhika. 2007. The Infulence of Terrain Elevation on Lighning Density in South
Africa, Depatmen of Geography, Environtmental Management and Energy Studies
University of Johanenesburg.
Boltek. 2013. Boltek Storm Tacker, http://www.boltek.com/stormtrastor.html (diakses
Januari 2013).
Dedy Pratama, I Putu. 2013. Kawentenan Tatit ring Bali, Bali Post, 3 Maret 2013.
Fajar Bali. 2012. Bajak Sawah, Warga Banyuwangi Tewas Tersambar Petir, 30 Desember
2012.
Husni, M. 2002. Mengenal Bahaya Petir. Jurnal Meteorologi dan Geofisika. Vol 3. No. 4
Oktober – Desember 2002. Jakarta.
Pusdiklat BMKG. 2013. Materi Diklat Geofisika Potensial dan Tanda Waktu, Depok.
Xie, Yiran, Kai Xu, Tengfei Zhang, Xuetao Liu. 2013.Five-year Study of Cloud-to-ground
Lightning Activity in Yunnan Province, China. Atmospheric Research 129-130, 49-
57
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 143 ~
ANALISIS PARAMETER METEOROLOGI TERHADAP
KONSENTRASI PM10 DI KOTA SURABAYA
Iis Sofiati dan Dessy Gusnita
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN
Jl. Dr. Junjunan 133, Bandung 40173
Email: [email protected]
Abstract
The influences of meteorological parameters such as wind speed and direction very well to
the concentration of pollutants, including PM10. Meanwhile PM10 was an important
element in determining of air quality in an area. The purpose of this study was to analyze
the influence of meteorological parameters on the PM10 concentration. The data used is
three hourly-data meteorological parameters (wind speed and direction, temperature,
pressure, and relative humidity) and the concentration of PM10 daily data from 2009 to
2011. Processing of data by the method of statistical averaging is done by using Fortran 77
software. From the results obtained that the maximum concentration of PM10 of
approximately 38.36 μg/m3 occured during transition season (March-April-May) with the
smallest wind speed average of 6 km/h, and the wind direction comes from the west and
east alternately. At the same time, the average temperature reaches 29°C, the average
pressure of 1009 hPa and an average relative humidity of 78%. While minimum
concentrations of PM10 on averaged about 32.82 μg/m3 occured during the dry season
(June-July-August) with the smallest wind speed average of 5 km/h, and the wind direction
comes from the east. At the same time, other results showed an average temperature of
28°C, the average pressure of 1011 hPa and an average relative humidity of 73%.
Meteorological parameters that most significantly affect to PM10 concentration was the
wind direction and speed.
Keywords: Wind direction and speed, temperature, pressure, relative humidity, PM10.
Abstrak
Pengaruh parameter meteorologi seperti arah dan kecepatan angin cukup besar terhadap
konsentrasi polutan, diantaranya PM10. Sementara itu PM10 merupakan unsur penting
dalam penentuan kualitas udara pada suatu daerah. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisa pengaruh parameter meteorologi terhadap konsentrasi PM10. Data yang
digunakan adalah data tiga-jam-an parameter meteorologi (arah dan kecepatan angin, suhu,
tekanan, dan kelembaban relatif) dan data harian konsentrasi PM10 dari tahun 2009 sampai
2011. Pengolahan data dengan metoda perata-rataan secara statistik dan dikerjakan dengan
menggunakan software Fortran 77. Dari hasil didapat bahwa konsentrasi PM10 rata-rata
maksimum 38.36 µg/m3 terjadi pada saat musim transisi (Maret-April-Mei) dengan
kecepatan angin terkecil rata-rata 6 km/jam, dan arah angin berasal dari arah Barat dan
Timur secara bergantian. Pada saat yang sama, suhu rata-rata mencapai 29°C, tekanan rata-
rata 1009 hPa dan kelembaban relatif rata-rata sebesar 78%. Sedangkan konsentrasi PM10
rata-rata minimum 32.82 µg/m3 terjadi pada saat musim kering (Juni-Juli-Agustus) dengan
kecepatan angin terkecil rata-rata terbesar 8.5 km/jam, arah angin berasal dari arah Timur.
Pada saat yang sama, hasil lain menunjukkan suhu rata-rata 28°C, tekanan rata-rata 1011
hPa dan kelembaban relatif rata-rata sebesar 73%. Parameter meteorologi yang paling
signifikan berpengaruh terhadap konsentrasi PM10 adalah arah dan kecepatan angin.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 144 ~
Kata kunci: Arah dan kecepatan angin, suhu, tekanan, kelembaban relatif, PM10.
1. PENDAHULUAN
Parameter meteorologi seperti curah hujan, arah dan kecepatan angin, suhu,
tekanan, dan kelembaban relatif merupakan faktor penting yang akan mempengaruhi
proses tranformasi dan transportasi polutan di atmosfer. Suhu udara vertikal dapat
menentukan stabilitas atmosfer dan lapisan inversi suhu yang berpengaruh pada kualitas
udara di lingkungan industri (Barmpadimos, I., 2011). Perubahan suhu dan hunungannya
dengan musim yang sedang terjadi juga berpengaruh terhadap konsentrasi polutan terutama
PM10 (Sait E., et al., 2007; Proias T., et al., 2010). Inversi berbahaya, yaitu lapisan dengan
konsentrasi pencemar di permukaan tanah sangat tinggi (Pey J., et al., 2013). Kelembaban
dapat memberi gambaran mengenai kemampuan udara di sekitar sumber dalam kaitannya
dengan kemampuan terjadinya proses pencucian oleh air hujan dan kemungkinan
terbentuknya bermacam-macam kabut (Suharsono, 1985). Secara tidak langsung
kelembaban akan mempengaruhi karakteristik buoyancy dan momentum yang terjadi pada
proses plume rise atau naiknya kepulan asap dari cerobong industri (Ana, S, et al., 2013,
Unal, Y, S., et al., 2011). Parameter meteorologi angin bertindak sebagai media yang dapat
memperbesar dan memperkecil penyebaran pencemar terutama PM10 di atmosfer (Holst,
J., et al., 2008). Kecepatan dan arah angin menentukan transportasi horizontal dan vertikal
dari dispersi polutan. Tetapi pada kasus lain Proias T., et al, 2010 menyebutkan arah angin
tidak berkorelasi secara signifikan terhadap nilai rata-rata harian konsentrasi PM10.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kecepatan angin berkorelasi secara signifikan
terhadap nilai rata-rata harian konsentrasi PM10, karena itu digunakan kecepatan angin
rata-rata per jam untuk memprediksi nilai konsentrasi rata-rata harian PM10.
Sementara itu parameter meteorologi berperan aktif tehadap konsentrasi polutan
(Unal, Y, S. et al, 2011; Doreena, D., et al., 2012) dan PM10 merupakan salah satu unsur
penting dalam penentuan kualitas udara pada suatu daerah. Oleh karena itu dalam
penelitian ini akan dianalisa pengaruh parameter meteorologi terhadap PM10.
2. DATA DAN METODE
Peneltian ini menggunakan data sekunder berupa data tiga-jam-an parameter
meteorologi (arah dan kecepatan angin, suhu, tekanan, dan kelembaban relatif) dan data
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 145 ~
harian konsentrasi PM10 dari tahun 2009 sampai 2011. Pengolahan data dengan metoda
perata-rataan secara statistik dan dikerjakan dengan menggunakan software Fortran 77.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter meteorologi seperti arah dan kecepatan angin, suhu, tekanan, dan
kelembaban relatif memegang peranan dalam proses penyebaran bahan pencemar udara
(Suharsono, 1985). Dalam penelitian ini akan dianalisa sejauh mana pengaruh parameter
meteorologi terhadap salah satu pencemar udara yaitu PM10.
Gambar 1 menunjukkan distribusi konsentrasi PM10 dan suhu pemukaan, dan dari
hasil terlihat bahwa konsentrasi PM10 rata-rata maksimum yaitu 38.36 (µg/m3) terjadi pada
pengamatan bulan Maret-April-Mei. Dalam waktu yang sama dapat dilihat distribusi suhu
rata-rata mencapai 29.1oC.
Gambar 1. Distribusi konsentrasi PM10 (µg/m3) rata-rata harian (kiri) dan distribusi suhu
(oC) rata-rata harian (kanan) bulan Maret-April-Mei tahun 2009-2011.
Gambar 2. Distribusi kecepatan angin (m/det) rata-rata harian (kiri) dan distribusi arah
angin (o) rata-rata harian (kanan) bulan Maret-April-Mei tahun 2009-2011.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 146 ~
0
50
100
150
200
250
300
350
400
0 10 20 30
Juni-09
Jun-10
Jun-11
Jul-09
Jul-10
Jul-11
Agus-09
Gambar 3. Distribusi tekanan (hPa) rata-rata harian (kiri) dan distribusi kelembaban relatif
(%) rata-rata harian (kanan) bulan Juni-Juli-Agustus tahun 2009-2011.
Gambar 4. Distribusi konsentrasi PM10 (µg/m3) rata-rata harian (kiri) dan distribusi suhu
(oC) rata-rata harian (kanan) bulan Juni-Juli-Agustus tahun 2009-2011.
Gambar 5. Distribusi kecepatan angin (m/det) rata-rata harian (kiri) dan distribusi arah
angin (o) rata-rata harian (kanan) bulan Juni-Juli-Agustus tahun 2009-2011.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 147 ~
Gambar 6. Distribusi tekanan (hPa) rata-rata harian (kiri) dan distribusi kelembaban relatif
(%) rata-rata harian (kanan) bulan Juni-Juli-Agustus tahun 2009-2011.
Konsentrasi PM10 rata-rata maksimum terjadi pada saat kecepatan angin mencapai
rata-rata minimum sebesar 6 m/det, dan arah angin dominan berasal dari arah 250o
dan
350o, atau dari arah nol derajat dan 100
o, secara bergantian yang terjadi pada bulan Maret-
April-Mei seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.
Pada bulan Maret-April-Mei terjadi konsentrasi maksimum dari PM10, pada saat
yang sama nilai tekanan rata-rata sebesar 1009 hPa dan kelembaban relatif mencapai
78.1% seperti yang terlihat pada Gambar 3. Nilai tekanan pada musim transisi (Maret-
April-Mei) lebih besar dibandingkan pada musim hujan (Desember-Januari-Februari),
tetapi lebih kecil dibandingkan pada musim kemarau (Juli-Juli-Agustus), hasil lengkap
dapat dilihat pada Tabel 1.
Hasil sebaliknya untuk konsentrasi PM10 rata-rata minimum terjadi pada
pengamatan bulan Juni-Juli-Agustus seperti yang terlihat pada Gambar 4. Dari hasil
didapat bahwa konsentrasi PM10 rata-rata minimum yaitu 32.8 (µg/m3), sedangkan
konsentrasi minimumnya sebesar 8.2 (µg/m3). Pada waktu yang sama dapat dilihat
distribusi suhu rata-rata mencapai 28.9oC, lebih rendah dibandingkan dengan yang terjadi
pada bulan Maret-April-Mei sebesar 29.1oC.
Hasil lengkap untuk konsentrasi PM10 dan suhu rata-rata tiga bulanan berturut-turut
dapat dilihat pada Tabel 1, dimana nilai rata-rata untuk bulan Desember-Januari-Februari
adalah 34.8 (µg/m3) dan suhu 28.3
oC, Maret-April-Mei sebesar 38.4 (µg/m
3) dan suhu
29.1oC, Juni-Juli-Agustus 32.8 (µg/m
3) dan suhu 28.9
oC, sementara September-Oktober-
November sebesar 36.9 (µg/m3) dengan nilai suhu sebesar 29.4
oC.
Pada musim kemarau yaitu bulan Juni-Juli-Agustus disaat konsentrasi PM10
mencapai nilai minimum, parameter meteorologi untuk kecepatan angin justru mencapai
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 148 ~
maksimum sebesar 8.5 m/det, dengan arah angin dominan rata-rata dari arah Timur atau
dari sekitar (50-150)o seperti yang terlihat pada Gambar 5.
Hasil lengkap untuk kecepatan dan arah angin rata-rata tiga bulanan berturut-turut
dapat dilihat pada Tabel 2, dimana nilai rata-rata untuk bulan Desember-Januari-Februari
adalah 7.1 m/det dan kecepatan angin terbanyak berasal dari arah 250o dan 350
o, untuk
Maret-April-Mei sebesar 6.0 m/det dengan kecepatan angin berasal dari 250o dan 350
o
atau berasal dari nol derajat dan 150o, Juni-Juli-Agustus 8.5 m/det dengan arah angin
dominan dari arah 50o
sampai 100o, dan September-Oktober-November sebesar 8.3 m/det
dengan arah angin dominan dari arah nol derajat dan 150o.
Nilai tekanan dan kelembaban relatif mencapai rata-rata maksimum sebesar 1011
hPa dan 73.4% berturut-turut seperti yang terlihat pada Gambar 6. Keadaan tersebut terjadi
pada musim kemarau yaitu bulan Juni-Juli-Agustus pada saat konsentrasi PM10 mencapai
nilai minimum. Hasil lengkap untuk konsentrasi PM10 terlihat pada Tabel 3.
Dengan demikian dari keseluruhan diperoleh hasil yang signifikan bahwa
konsentrasi PM10 rata-rata maksimum 38.36 µg/m3 terjadi pada saat musim transisi (Maret-
April-Mei) dengan kecepatan angin minimum rata-rata 6 km/jam, dan arah angin berasal
dari arah Barat Laut dan Timur secara bergantian. Pada saat yang sama, suhu rata-rata
mencapai 29°C, tekanan rata-rata 1009 hPa dan kelembaban relatif rata-rata sebesar 78%.
Sementara konsentrasi PM10 rata-rata minimum 32.82 µg/m3 terjadi pada saat musim
kering (Juni-Juli-Agustus) dengan kecepatan angin rata-rata maksimum 8.5 km/jam, arah
angin berasal dari arah Timur, dengan suhu rata-rata 28°C, tekanan rata-rata 1011 hPa, dan
kelembaban relatif rata-rata sebesar 73%. Untuk melengkapi analisa dihitung korelasi
antara paramater meteorologi (kecepatan dan arah angin, tekanan, kelembaban dan suhu)
dengan konsentrasi PM10, dan hasil lengkap pada Tabel 4.
Dalam penelitian ini parameter meteorologi yang paling berpengaruh terhadap
konsentrasi PM10 adalah kecepatan angin, karena dari hasil didapat konsentrasi PM10
maksimum terjadi pada saat kecepatan angin minimum.
Kesimpulan yang sama telah dinyatakan sebelumnya oleh Proias T., et al, 2010,
dimana disebutkan bahwa arah angin tidak berkorelasi secara signifikan terhadap nilai rata-
rata harian konsentrasi PM10, dan disimpulkan hanya kecepatan angin yang berkorelasi
secara baik seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 7. Itulah sebabnya dalam penelitian
tersebut digunakan kecepatan angin rata-rata per jam untuk memprediksi nilai konsentrasi
rata-rata harian PM10.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 149 ~
022.5 45
67.5 90112.5 135
157.5 180202.5 225
247.5 270292.5 315
337.5 360
WIND DIRECTION (0)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
PERC
ENTA
GE (%
)
0 22.545 67.5
90 112.5135
157.5180
202.5225
247.5270
292.5315
337.5360
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Gambar 7. Presentasi dari hari untuk tahun 2001-2003 dalam hubungannya dengan arah
angin pada saat munculnya konsentrasi PM10 maksimum (Sumber: Papanastasiou D. K., et
al., 2003)
Hasil lain dalam penelitian ini menunjukkan bahwa parameter suhu dan tekanan
tidak begitu banyak berpengaruh terhadap konsentrasi PM10. Meskipun dalam penelitian
lain perubahan suhu dapat menjelaskan bagian penting dari varians konsentrasi PM10.
Diperoleh hasil bahwa suhu udara berhubungan dengan tekanan udara dan akan
berpengaruh terhadap dinamika atmosfer yang selanjutnya mengakibatkan perubahan
kestabilan atmosfer dalam sistem pergerakan udara, baik dalam kondisi tetap ataupun
berubah. Semua ini berkontribusi terhadap konsentrasi PM10, sehingga suhu dapat
dianggap sebagai salah satu prediktor konsentrasi PM10 (Holst, J., et al., 2008; Van der
Wal, et al., 2000). Dalam penelitian tersebut ditemukan hasil bahwa perbedaan antara nilai
suhu maksimum dan minimum berkorelasi secara signifikan terhadap konsentrasi PM10
rata-rata harian dan sehari sebelumnya.
KESIMPULAN
Dari hasil keseluruhan dapat dilihat bahwa konsentrasi PM10 rata-rata maksimum
terjadi pada saat musim transisi (Maret-April-Mei) dengan kecepatan angin mencapai
minimum, dan arah angin berasal dari arah Barat Laut dan Timur secara bergantian.
Sedangkan konsentrasi PM10 rata-rata minimum terjadi pada saat musim kering (Juni-Juli-
Agustus) dengan kecepatan angin rata-rata maksimum, dan arah angin berasal dari arah
Timur, Parameter meteorologi yang paling signifikan berpengaruh terhadap konsentrasi
PM10 adalah kecepatan angin.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 150 ~
DAFTAR RUJUKAN
Ana, S., Roberto M., Alejandro, V, F., Juan, C. G. H., María, T, Z. Meteorological factors
for PM10 concentration levels in Northern Spain, Geophysical Research Abs. Vol. 15,
EGU2013-13746, 2013.
Barmpadimos, I., C. Hueglin, J. Keller, S. Henne, and A. S. H. Prevot. Influence of
meteorology on PM10 trends and variability in Switzerland from 1991 to 2008,
Atmos. Chem. Phys., 11, 1813–1835, 2011.
Doreena, D., Mohd, Talib L., Hafizan, J., Ahmad Zaharin A., and Sharifuddin M. Z. An
assessment of influence of meteorological factors on PM10 and NO at selected
stations in Malaysia, Sustain. Environ. Res., 22 (5), 305-315, 2012.
Holst, J., Mayer, H., Holst, T. Effect of meteorological exchange conditions on PM10
concentration, Meteorologische Zeitschrift, Vol. 17, No. 3, pp. 273-282, 2008.
Papanastasiou D.K., Melas D., Zerefos C.F. Relationship of Meteorological Variables and
Pollution with PM10 Concentrations in an Urban Area. 7th International Conference
on Applications of Natural, Technological and Economical Sciences. Szombathely,
Hungary. 2003.
Proias T., Nastos, P. T., Larissi, I. K., Paliatsos, A. G. PM10 Concentrations Related to
Meteorology in Volos, Organized By The Hellenic Physical Society with The
Cooperation of The Physics Departments of Greek Universities: 7th
International
Conference of The Balkan Physical Union. AIP Conference Proceedings, Greece,
Vol., 1203, pp. 1091-1096, 2010.
Pey, J., Querol, X., Alastuey, A., Forastiere, F., Stafoggia, M. African dust outbreaks over
the Mediterranean Basin during 2001-2011: PM10 concentrations, phenomenology
and trends, and its relation with synoptic and mesoscale meteorology, Atmospheric
Chemistry and Physics, Vol. 13, Issue 3, pp.1395-1410, 2013.
Suharsono, H. Pengaruh Cuaca dan Iklim Terhadap Polusi Udara. Thesis, Fakultas Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor. 1985.
Sait E., Baysal, A., Akba O., Merdivan M., and Hamamci C. Relationship Between
Wintertime Atmospheric Particulate Matter and Meteorological Conditions in
Diyarbakir (Turkey), Asian Journal Of Chemistry, Vol. 19, No. 3, 1703-1708, 2007.
Unal, Y, S., Toros, H., Deniz, A., Incecik, S. Influence of Meteorological Factors and
Emission Sources on Spatial and Temporal Variations of PM10 Concentrationsi in
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 151 ~
Istanbul Metropolitan Area, Atmospheric Environment, Vol. 45, Issue 31, P. 5504-
5513, 2011.
Van der Wal J.T., Janssen L.H. Analysis of spatial and temporal variations of PM10
concentrations in the Netherlands using Kalman filtering. Atmospheric Environment,
34, 3675 – 3687, 2000.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 152 ~
Lampiran
Tabel 1. Konsentrasi PM10 (µg/m3) rata-rata tiga bulanan (kiri) dan suhu rata-rata tiga
bulanan (kanan) tahun 2009-2011.
Tabel 2. Kecepatan angin (m/det) rata-rata tiga bulanan (kiri) dan arah angin (0) rata-rata
tiga bulanan (kanan) tahun 2009-2011.
Tabel 3. Tekanan (hPa) rata-rata tiga bulanan (kiri) dan kelembaban relatif (%) rata-rata
tiga bulanan (kanan) tahun 2009-2011.
Tabel 4. Nilai koefisien korelasi antara kecepatan angin (KA), arah angin (AA), tekanan
(P), kelembaban relatif (RH), dan suhu (T) dengan konsentrasi PM10 (Kons), rata-rata tiga
bulanan tahun 2009-2011.
KA-Kons AA-Kons P-Kons RH-Kons T-Kons
DJF 0,5 0,4 0,3 -0,2 0,5
MAM 0,7 0,6 -0,4 -0,4 0,2
JJA -0,6 0,5 -0,3 -0,2 0,4
SON 0,4 0,5 0,2 0,3 -0,3
DJF MAM JJA SON
Max 84.9 121.4 81.3 106.1
Min 12.5 4.7 8.2 4.1
Rata-
rata
34.8 38.4 32.8 36.9
DJF MAM JJA SON
Max 30.7 31.2 30.7 31.5
Min 26.3 25.9 26.0 26.5
Rata-
rata
28.3 29.1 28.9 29.4
DJF MAM JJA SON
Max 23.6 25.3 20.4 27.1
Min 1.6 2.0 1.7 1.6
Rata-
rata
7.1 6.0 8.5 8.3
DJF MAM JJA SON
Arah
terbanyak
250-
350
250-
350 dan
0-150
50-
100
0-
150
DJF MAM JJA SON
Max 1012 1014 1013 1016
Min 1004 1006 1009 1005
Rata-
rata
1009 1009 1011 1010
DJF MAM JJA SON
Max 87.6 89.7 89.9 87.3
Min 65.9 66.1 64.2 57.9
Rata-
rata
79.1 78.1 73.4 74.4
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 153 ~
DEVIASI TEMPERATUR VIRTUAL DALAM PROSES
EVAPORASI DAN KONDENSASI DI ATMOSFER
KOTOTABANG PADA CAMPAIGN PERIOD
Ina Juaeni
Bidang Pemodelan Atmosfer, Pusat Sain dan Teknologi Atmosfer LAPAN
Jl. dr.Junjunan 133, Bandung, 40173 Telp. (022)6037445, 6012602; Fax. (022)6037443
e-mail : [email protected]
Abstract
Good and thorough knowledge of every stage of the water cycle in the atmosphere will be
very meaningful for the development of atmospheric science itself and for the development
of various methods of weather/climate prediction. In line with the above statement, this
research have a major focus on two important stages in the water cycle on Earth such as
the process of evaporation and condensation that occurs in Kototabang. Evaporation and
condensation processes associated with the formation of clouds and rain related with
changes in temperature. Meanwhile the real temperature (T) is proportional to the virtual
temperature (Tv) then the convection activity can be monitored via the virtual temperature
changes. Under period study (November 2002, April-May 2004 and November-December
2005) virtual temperature deviation (positive or negative) are not positive linearly
correlated with the rainfall. The correlation coefficient between rainfall and virtual
temperature deviation generate a value of -0.33. This is presumably because there are
convection cells that had formed earlier. Rain produced the first cell occurs during the
process of evaporation and condensation takes place on the second cell.
Keywords: virtual temperature, evaporation, condensation, convection cell
Abstrak
Pengetahuan yang baik dan menyeluruh terhadap setiap tahapan dalam siklus air di
atmosfer akan sangat berarti bagi pengembangan sains atmosfer itu sendiri maupun
sebagai input pengembangan berbagai metode prediksi cuaca/iklim. Sejalan dengan
pernyataan di atas, dilakukan penelitian ini dengan penekanan pada dua tahap penting
dalam siklus air di bumi yaitu proses evaporasi dan kondensasi yang terjadi di
Kototabang. Proses evaporasi dan kondensasi yang berkaitan dengan pembentukan awan
dan hujan berkaitan dengan perubahan temperatur. Sementara itu temperatur ril (T )
sebanding dengan temperatur virtual (Tv) maka aktivitas konveksi dapat dipantau melalui
perubahan temperatur virtual. Pada periode yang diteliti (November 2002, April-Mei 2004
dan November-Desember 2005) deviasi temperatur virtual (positif atau negatif) tidak
berkorelasi linier positif dengan hujan. Koefisien korelasi antara curah hujan dengan
deviasi temperatur virtual menghasilkan nilai sebesar -0,33. Hal ini diduga karena ada sel
konveksi yang sudah terbentuk sebelumnya. Hujan yang dihasilkan sel pertama terjadi
pada saat proses evaporasi dan kondensasi sel kedua berlangsung.
Kata kunci: temperatur virtual, evaporasi, kondensasi, sel konveksi
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 154 ~
1. PENDAHULUAN
Ada empat proses yang terlibat dalam siklus air di atmosfer. Yang pertama adalah
evaporasi (termasuk didalamnya evapotranspirasi yaitu evaporasi dari tanaman),
kondensasi, presipitasi dan koleksi. Evaporasi atau penguapan terjadi ketika air di
permukaan sungai, danau atau lautan yang dipanasi matahari berubah wujud menjadi uap.
Uap hasil evaporasi terangkat ke udara, lalu mengalami penurunan suhu, mengalami
perubahan wujud lagi menjadi cair. Proses ini disebut kondensasi. Kumpulan tetes air hasil
kondensasi membentuk awan. Presipitasi akan terjadi jika jumlah air yang terkondensasi
sudah cukup jumlahnya sehingga udara tidak dapat menahannya lagi. Air yang jatuh
kembali ke bumi akan berbentuk hujan, butiran es atau salju. Air hujan akan kembali
ketempat berkumpulnya semula (kolisi) yaitu sungai, danau atau laut. Siklus air seperti
diuraikan di atas sangat besar peranannya dalam mengontrol kondisi cuaca dan iklim di
bumi. Gangguan yang terjadi terhadap salah satu tahapan siklus akan berpengaruh, baik
besar atau kecil terhadap tahap lainnya. Dengan demikian pengetahuan yang baik dan
menyeluruh terhadap setiap tahapan tersebut akan sangat berarti bagi pengembangan sains
atmosfer itu sendiri maupun sebagai input pengembangan berbagai metode prediksi
cuaca/iklim. Sejalan dengan pernyataan di atas, dilakukan penelitian dengan penekanan
pada dua tahap penting dalam siklus air di bumi yaitu proses evaporasi dan kondensasi.
RASS yang berada di Kototabang mempunyai kemampuan untuk mendukung penelitian
ini, karena menghasilkan data profil temperatur virtual.
Pada beberapa dekade terakhir, radio acoustic sounding systems (RASS) telah
berkembang menjadi piranti yang diperhitungkan dalam mengukur profil vrtikal
temperature. RASS memperoleh profil temperatur virtual dengan menggunakan radar
Doppler yang mengukur penjalaran kecepatan gelombang suara sebagai fungsi dari
temperatur. Sistem yang pertama kali digunakan oleh Marshall et al. (1972) dan Frankel
et al. (1977) berdasarkan radar yang beroperasi hanya pada panjang gelombang beberapa
meter. Dilanjutkan oleh May et al. (1990), Carter et al. (1995) dan Angevine et al.
(1998) dengan radar angin UHF dalam pengamatan lapisan batas atmosfer. RASS
kemudian dikembangkan dengan menambahkan sumber akustik yang tersebar sehingga
memperluas area pengukuran temperatur. Pengaruh angin dan gradien temperatur pada
struktur spasial pantulan radar juga telah diperhitungkan.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 155 ~
2. TINJAUAN PUSTAKA
Dua proses dalam siklus air di atmosfer yaitu evaporasi dan kondensasi
diidentifikasi melalui profil temperatur. Data profil temperatur banyak digunakan untuk
memperoleh pemahaman lebih mendalam tentang fenomena meteorologis atau untuk
mengidentifikasi gangguan temperatur akibat gelombang gravitas atau dapat juga
digunakan untuk mengamati lapisan inversi yang berkaitan dengan terperangkapnya
beberapa unsur kimia.
Teknik observasi untuk memeperoleh data profil temperatur terbagi menjadi dua
jenis, yaitu teknik pengukuran langsung atau pengukuran insitu. Untuk teknik ini biasanya
digunakan Radiosonde. Teknik kedua adalah teknik penginderaan jauh. Untuk teknik ini
biasanya digunakan Radiometer atau Radio Acoustic Sounding System (RASS). RASS
merupakan gabungan antara teknik radio dan akustik untuk memperoleh pengamatan profil
temperatur yang kontinu.
Gambar 1: Prinsip dasar RASS
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 156 ~
Gelombang suara dengan kecepatan tertentu dipancarkan oleh radar di permukaan.
Gelombang suara tersebut dipantulkan kembali ke permukaan oleh acoustic wave front.
Kecepatan gelombang suara (Ca) yang diterima kembali oleh radar sebanding dengan
temperatur virtual (Tv). Pada pendekatan pertama digunakan persamaan:
2aC
γR
MvT
Dengan R adalah konstanta gas, M adalah berat molekul udara kering dan γ =
Cp/Cv adalah perbandingan panas spesifik pada tekanan tetap dan panas spesifik pada
volume tetap (Görs-dorf and Lehmann, 2000). Untuk memperoleh temperature RASS
biasanya digunakan 2
21
047,20 ,)(047,20
CaTvTvCa untuk M =28,96 g/mol
dan γ = 1,4 (meskipun konstanta ini tidak konstan).
3. DATA DAN METODE
3.1 Data dan spesifikasi peralatan
Untuk keperluan penelitian ini digunakan data temperatur virtual (oK) dari RASS
(Radio Acoustic Sounding System) setiap 9 menit 11 detik dan setiap beda ketinggian 150
m. Untuk melengkapi analisis digunakan juga data angin vertikal dari EAR (Equatorial
Atmosphere Radar) dan data curah hujan dari AWS. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data-data untuk Kototabang (100,32oBT; 0,20
oLS, 865 m di atas
permukaan laut) pada 2 sampai 28 November 2002, 10 April sampai 5 Mei 2004 dan 24
November sampai 23 Desember 2005. Data AWS tersedia di http://www.rish.kyoto-
u.ac.jp/ear. Periode data tidak kontinu karena disesuaikan dengan ketersediaan data RASS
yang memang hanya dioperasikan pada saat-saat tertentu.
RASS yang dioperasikan dengan EAR dapat mengukur profil temperatur dengan
resolusi yang sangat tinggi. Sistem RASS terdiri dari beberapa buah speaker dan radar
profiling EAR. Speaker mentransmisikan gelombang akustik pada frekuensi 100 Hz.
Karena temperatur virtual sebanding dengan kecepatan gelombang akustik, maka
temperatur virtual dapat ditentukan dengan persamaan 1 (Angevine et al. , 1998 dan
Angevine, 2000):
2
21
047,20 ,)(047,20
CaTvTvCa (1)
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 157 ~
dengan: Ca adalah kecepatan udara dan Tv adalah temperatur virtual
3.2 Metodologi
Dari studi pustaka di atas dinyatakan bahwa proses evaporasi dan kondensasi yang
berkaitan dengan pembentukan awan dan hujan juga berkaitan dengan perubahan
temperatur. Dengan demikian maka aktivitas konveksi di atas Kototabang dapat dipantau
melalui perubahan temperatur (T) terhadap waktu. Karena RASS hanya memberikan data
temperatur virtual (Tv) maka investigasi terhadap aktivitas konveksi dilakukan melalui Tv.
Adapun relasi antara Tv dan T adalah:
)61.01( wTTv (Bailey, 2000) (2)
Dengan ur virtual temperatvT
r temperatuT
iomixing ratw
Dari persamaan di atas nampak bahwa temperatur virtual berbanding lurus dengan
temperatur udara ril. Artinya bahwa temperatur virtual bisa digunakan sebagai indikator
terjadinya perubahan temperatur udara ril akibat aktivitas mikrofisika
(evaporasi/kondensasi). Dari temperatur virtual ditentukan deviasi temperatur virtual.
Deviasi positif berkaitan dengan proses kondensasi sedangkan deviasi negatif berkaitan
proses evaporasi. Deviasi adalah simpangan data terhadap rata-ratanya yang dihitung
dengan:
)(),( zTtzTDeviasiTv (3)
Data temperatur virtual tersedia sampai ketinggian ~ 30 km, tetapi untuk keperluan
penelitian ini, uraian dan gambar temperatur virtual dibatasi sampai ketinggian ~ 10 km
karena aktivitas konveksi terbesar terjadi dalam rentang ketinggian tersebut.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Aktivitas konveksi diidentifikasi dari temperatur virtual melalui deviasi terhadap
rata-ratanya. Untuk periode 2002, deviasi temperatur virtual ditampilkan pada Gambar 2
kiri dan Gambar 2 kanan. Gambar 2 kiri untuk profil deviasi temperatur virtual dari
permukaan sampai ketinggian 10 km dan Gambar 2 kanan untuk profil deviasi temperatur
virtual dari permukaan sampai ketinggian 5 km. Pada dua gambar tersebut tampak ada
deviasi yang positif (kuning sampai merah) dan ada deviasi yang negatif (hijau sampai
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 158 ~
biru), namun deviasi positif lebih dominan. Deviasi positif artinya terjadi pelepasan panas
dari kolom konveksi ke lingkungan atau berkaitan dengan aktifnya proses kondensasi.
Ketika profil deviasi di fokuskan pada lapisan permukaan sampai 5 km (Gambar kanan),
selain deviasi positif pada tanggal 10 sampai 19 November dan 23 sampai 28 November
tampak juga adanya deviasi negatif atau proses evaporasi pada tanggal 2 s/d 7 November
pada ketinggian 1,5 s/d 5 km , 9 s/d 10 November dan 19 s/d 23 November pada
ketinggian 1,5 s/d 2,5 km.
Gambar 2: Deviasi temperatur virtual pada 2 sampai 28 November 2002
untuk ketinggian 1,5 km s/d 10 km (kiri) dan untuk ketinggian 1,5 km
s/d 5 km (kanan)
Identifikasi aktivitas konveksi dari deviasi temperatur virtual untuk tahun 2004
ditunjukkan pada Gambar 3 kiri dan Gambar 3 kanan. Pada periode April dan Mei 2004,
deviasi negatif lebih dominan dibandingkan deviasi positif atau proses evaporasi lebih
dominan dibandingkan proses kondensasi (Gambar 3 kiri). Tetapi pada Gambar 3 kanan,
deviasi positif tampak pada tanggal 12 sampai 13 dan 24 sampai 29 April di ketinggian 1,5
sampai ~5 km.
Gambar 3: Deviasi temperatur virtual pada 10 April-5 Mei 2004 untuk ketinggian
1,5 km s/d 10 km (kiri) dan untuk ketinggian 1,5 km s/d 5 km (kanan)
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 159 ~
Kasus terakhir yaitu data 24 November sampai 23 Desember 2005, proses
evaporasi dan kondensasi terkonsentrasi pada periode tertentu (Gambar 4 kiri dan Gambar
4 kanan).
Gambar 4: Deviasi temperatur virtual pada 10 November sampai 9 Desember 2005
untuk ketinggian 1,5 km s/d 10 km (kiri) untuk ketinggian 1,5 km s/d 5 km
(kanan)
Dari Gambar 4, deviasi temperatur virtual yang terjadi di lapisan 5 km lebih
sampai ketinggian 10 km, juga nampak di ketinggian < 5 km. Terjadi deviasi positif pada
tanggal 2 Desember sampai 5 Desember dan tanggal 14 sampai 23 Desember 2005.
Deviasi temperatur virtual pada periode ini baik yang positif maupun yang negatif lebih
tinggi dibandingkan dua periode yang lain.
4.2 Pembahasan
Pada kasus tahun 2002 dan 2004, pada saat terjadi deviasi (positif atau negatif) Tv,
tidak bersesuaian dengan kejadian hujan. Sedangkan pada kasus tahun 2005, pada deviasi
negatif curah hujannya lebih kecil dibandingkan pada deviasi positif. Ini menunjukkan
deviasi temperatur virtual (positif atau negatif) tidak berkorelasi linier positif dengan
hujan. Hal ini diduga karena terbentuk lebih dari satu sel konveksi. Koefisien korelasi
antara curah hujan dengan deviasi temperatur virtual menghasilkan nilai sebesar -0,33.
Hujan yang dihasilkan sel pertama terjadi pada saat proses evaporasi dan kondensasi sel
kedua berlangsung (atau sesuai periode pengamatan di atas).
Pada kasus November tahun 2002 dan April-Mei 2004, pada semua deviasi (positif
atau negatif) Tv, tercatat ada hujan dengan pola yang tidak teratur (Gambar 5, kiri dan
tengah). Sedangkan pada kasus tahun 2005 (Gambar 5, kanan), pada deviasi negatif
curah hujannya lebih kecil dibandingkan pada deviasi positif.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 160 ~
Gambar 5: Intensitas curah hujan di Kototabang berdasarkan AWS pada November
2002, April-Mei 2004 dan November-Desember 2005
Analisis di atas dikonfirmasi dengan angin vertikal (Gambar 6) dari
http://www.rish.kyoto-u.ac.jp/ear. Angin vertikal menunjukkan bahwa di Kototabang pada
November 2002 didominasi oleh updraft yang lemah (0,0 - 0,6 m/detik) terutama dari 1,5
km sampai 9 km, pada ketinggian > 9 km nampak downdraft yang cukup intensif tetapi
dengan kekuatan lemah. Angin vertikal menunjukkan bahwa di Kototabang pada April-
Mei 2004 didominasi oleh updraft yang lemah (1 m/detik) dan downdraft yang lemah (1
m/detik). Kondisi yang sama juga diperlihatkan oleh data angin vertikal tahun 2005.
Perbandingan pola spasial deviasi temperatur virtual dengan angin vertikal tidak
menunjukkan konsistensi. Pada saat deviasi Tv mengindikasikan adanya evaporasi, angin
vertikal tidak selalu menunjukkan adanya updraft. Demikian pula ketika deviasi Tv
mengindikasikan terjadi kondensasi, angin vertikal kadang positif kadang negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa pengurangan Tv atau evaporasi terjadi bukan dalam arah vertikal.
Ini semakin menguatkan dugaan bahwa ada sel konveksi yang tumbuh dan berkembang
serta menghasilkan hujan pada saat evaporasi dan kondensasi sel konveksi kedua
berlangsung.
(a) (b) (c)
Gambar 6: Angin vertikal pada ketinggian 1500 sampai 5000 m pada (a) November
2002, (b) April- Mei 2004 dan (c) November-Desember 2005
W: Angin vertikal
November 2002
Keti
ng
gia
n (
m)
1 6 11 16 21 261500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
W: Angin vertikal
April-Mei 2004
Keti
ng
gia
n (
m)
10 April 14 19 24 29 4 Mei 91500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
W: Angin vertikal
Nov-Des 2005
Keti
ng
gia
n (
m)
29 Nov. 4 9 14 19 Des.1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 161 ~
Penelitian ini menunjukkan bahwa penelitian yang menyangkut sistem konveksi bukan
penelitian yang sederhana. Hasil penelitian ini merupakan gambaran umum proses
pembentukan awan dan hujan di Kototabang. Kompleksitas analisis pembentukan awan
dan hujan memerlukan intensifikasi penelitian proses serupa.
5. KESIMPULAN
Aktivitas konveksi dapat diidentifikasi melalui perubahan temperatur virtual.
Akantetapi pada periode yang diteliti (November 2002, April-Mei 2004 dan November-
Desember 2005) deviasi temperatur virtual (positif atau negatif) tidak berkorelasi linier
positif dengan hujan. Koefisien korelasi antara curah hujan dengan deviasi temperatur
virtual menghasilkan nilai sebesar -0,33. Hujan terjadi pada saat evaporasi dan
kondensasi masih berlangsung. Ini menunjukkan bahwa terbentuk lebih dari satu sel
konveksi yang menghasilkan hujan. Sel konveksi sebelumnya yang menghasilkan hujan
pada saat sel konveksi kedua mengalami evaporasi dan kondensasi. Jika periode
pengamatan diperpanjang bisa saja teridentifikasi sel-sel konveksi sebelumnya atau
berikutnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Drs. Sri Kaloka dan Prof. T. Tsuda yang telah membuka
kesempatan penggunaan data-data di Kototabang oleh tim penelitian ini pada tahun 2010.
Selanjutnya, terima kasih kepada PSTA, staf EAR di RISH Kyoto serta pimpinan dan staf
EAR di Kototabang atas dukungannya.
DAFTAR RUJUKAN
Angevine, W.M., A.W. Grimsdell, L.M. Hartten and A.C. Delany. The Flatland boundary
layer experiments. Bull. Amer. Meteor. Soc., 79, 419-31, 1998.
Angevine, W. M., P. S. Bakwin, and K. J. Davis. Wind profiler and RASS measurements
compared with measurements from a 450-m-tall tower. J. Atmos. Oceanic Technol.,
15, 818–825, 1998.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 162 ~
Angevine, W.M. Radio acoustic sounding system (RASS) applications and limitations.
Geoscience and Remote Sensing Symposium, Proceedings IGARSS, IEEE
Conference Publications Volume: 3, 2000.
Bailey, Desmond T. Upper-air Monitoring, Meteorological Monitoring Guidance for
Regulatory Modeling Applications. John Irwin, Research Triangle Park, NC: United
States Environmental Protection Agency. pp. 9–14. EPA-454/R-99-005, 2000.
Carter, D. A., K. S. Gage, W. L. Ecklund, W. M. Angevine, P. E. Johnston, A. C. Riddle, J.
Wilson, and C. R. Williams. Developments in UHF lower tropospheric wind
profiling at NOAA‟s Aeronomy Laboratory. Radio Sci., 30, 977–1001, 1995.
Emmanouil N. Anagnostou. A convective/stratiform precipitation classification algorithm
for volume scanning weather radar observations, Meteorological Applications
(Cambridge University Press) 11, 2004.
Frankel, M. S., N. J. F. Chang, and M. J. Sanders. A highfrequency Radio Acoustic
sounder for remote measurement of atmospheric winds and temperature. Bull. Amer.
Meteor. Soc.,58, 928–934, 1977.
Görs-dorf, U., and V. Lehmann, 2000: Enhanced accuracy of RASS measured
temperatures due to an improved range correction. J. Atmos. Oceanic Technol., 17,
406–416.
Marshall, J. M., A. M. Peterson, and A. A. Barnes. Combined radar-acoustic sounding
system. Appl. Opt., 11, 108–112, 1972.
May, P. T. The accuracy of RASS temperature measurements. J. Appl. Meteor., 28, 1329–
1335, 1989.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 163 ~
PELUANG TERJADINYA AWAN RENDAH
DAN AWAN MENENGAH SAAT TERJADI LA NINA
Juniarti Visa dan Iis Sofiati
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN Bandung
Jl. dr. Djundjunan 133, Telp:022-6037445 Fax:022-6037443, Bandung-40173
e-mail: [email protected] ; [email protected]
Abstrack
In this paper carried out research on the possibility of low clouds and high clouds during a
La Nina in Kototabang-region of West Sumatra. The data analysis is used as the data of the
tool that generates the data cloud Ceilometer low and medium-scale cloud 2010-2012
daily. SOI and data to determine the incidence of La Nina. From the analysis of the data
obtained by low clouds that occur in the wet season (DJF = Dec, Jan, Feb) during the years
2010 to 2012 obtained an average chance of occurrence of low cloud at 32.13%. Then to
the average incidence of low cloud opportunities in transitional seasons (MAM = Mart,
Apr, May) of 33.3%. And in the dry season the average chance of occurrence of low
clouds and 33.33% in the transitional seasons (SON = Sept, Oct., Nov.) also amounted to
33.3%. Further to medium clouds in the wet season (DJF), transitional season (MAM), dry
season (JJA) and the transitional seasons (SON) have an average chance of occurrence at
middle cloud by 33.3% The results showed the current La Nina there are lots of low clouds
and high clouds in Kototabang
Keyword: La-Nina, Low clouds, middle clouds, season and SOI
Abstrak
Dalam tulisan ini dilakukan penelitian mengenai peluang terjadinya awan rendah dan awan
menengah saat terjadi La Nina di daerah Kototabang-Sumatra Barat. Data yang digunakan
sebagai bahan analisis adalah data dari alat Ceilometer yang menghasilkan data awan
rendah dan awan menengah skala harian tahun 2010-2012. Dan data SOI untuk
mengetahui kejadian La Nina. Awan rendah yang mempunyai ketinggian dasar awan
kurang dari 2 km, dan awan menengah mempunyai ketinggian dasar awan antara 2 sampai
6 km. Sedangkan untuk menentukan peluang terjadinya awan rendah dan awan menengah
dilakukan dengan melihat frekuensi dan peluang kemunculan terjadinya awan rendah dan
awan menengah. Dari hasil analisis data diperoleh awan rendah yang terjadi pada musim
basah (DJF=Des, Jan, Feb) selama tahun 2010 – 2012 diperoleh rata-rata peluang kejadian
awan rendah sebesar 32.13 %. Kemudian untuk rata-rata peluang kejadian awan rendah
pada musim peralihan (MAM= Mart, Apr, Mei) sebesar 33.3 %. Dan pada musim kering
rata- rata peluang kejadian awan rendah 33.33 % dan pada musim peralihan (SON= Sept,
Okt, Nov) juga sebesar 33.3 %. Selanjutnya untuk awan menengah pada musim
basah(DJF), musim peralihan (MAM), musim kering(JJA) dan musim peralihan(SON)
mempunyai rata-rata peluang kejadian awan menegah sama sebesar 33.3%. Hasil
penelitian menunjukan pada saat La Nina banyak terdapat awan rendah dan awan
menengah di Kototabang.
Kata kunci: Awan rendah, awan menengah, La-Nina, musim dan SOI.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 164 ~
1. PENDAHULUAN
Atmosfer terdiri dari banyak lapisan. Tiap lapisan mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda. Demikian juga halnya atmosfer diatas wilayah Indonesia memiliki
karakteristik yang bebeda dengan atmosfer di wilayah khatulistiwa lainnya. Hal ini
dimungkinkan karena letak geografisnya yang unik, diapit antara dua samudera luas
(Pasifik dan Hindia) yang dikenal sebagai benua maritim. Wilayahnya yang dua pertiga
terdiri dari lautan dan tersebar diantara kurang lebih 17.000 pulau (sebagai suatu kawasan
kepulauan) memungkinkan kawasan ini sebagai penyimpan panas baik berupa panas
sensibel maupun laten terbesar bagi pembentukan awan-awan raksasa yang dikenal sebagai
awan Cb. (Sofiati, 2012)
Menurut BMKG, terjadinya penyimpangan iklim yang memicu terjadinya cuaca
ekstrim di musim kemarau tidak lepas dari beberapa faktor pengendali curah hujan seperti
memanasnya suhu muka laut di perairan Indonesia. Meningkatnya suhu muka laut di
perairan Indonesia menyebabkan semakin intensifnya proses penguapan dan pembentukan
awan yang menyebabkan terjadinya banyak hujan. Selain suhu permukaan laut, kondisi
cuaca ekstrem di sebagian besar wilayah Indonesia akhir-akhir ini terjadi akibat adanya
fenomena faktor global La Nina. La Nina menyebabkan penumpukan massa udara yang
banyak mengandung uap air di atmosfer Indonesia, sehingga potensi terbentuknya awan
hujan menjadi semakin tinggi. Akibatnya pada bulan-bulan di pertengahan tahun 2010
yang seharusnya berlangsung musim kemarau kini justru turun hujan deras di berbagai
daerah.
Menurut Tjasyono 1999, awan dibedakan berdasarkan ketinggian dasar awan.
1. awan rendah mempunyai ketinggian dasar awan kurang dari 2 km, biasanya dipakai kata
„Strato‟ atau Stratus‟, misalnya Nimbustratus (Ns), Stratuscumulus (Sc) dan Stratus(St).
2. awan menengah mempunyai ketinggian dasar awan antara 2-6 km biasanya di awali dengan
kata „Alto‟, misalnya Altocumulus (Ac) dan Altostratus (As).
3. awan tinggi mempunyai ketinggian dasar awan diatas 6 km, biasanya ditandai dengan awalan
„Cirrus‟, misalnya Cirrostratus (Cs), Cirrocumulus (Cs) dan Cirrus (Ci).
Hasil prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan
sejumlah lembaga pemantau cuaca dunia seperti NOAA (USA), BOM (Australia), Jamstec
(Jepang) menunjukkan adanya anomali suhu muka laut negatif. Pada bulan Agustus hingga
September 2010 diprediksi terjadi fenomena La Nina moderat, sedangkan pada Oktober
2010 hingga Januari 2011 akan terjadi fenomena La Nina kuat.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 165 ~
Untuk menentukan kejadian La Nina diantaranya dengan melihat nilai SOI yang
dihitung dari perbedaan tekanan udara permukaan bulanan antara Tahiti dan Darwin. Nilai SOI
berkisar antara (-35) dan 35. (BOM, 2011) Nilai SOI positif hingga positif kuat menunjukkan
kejadian dari La Nina, sedangkan nilai SOI negatif hingga negatif kuat menunjukkan kejadian
El Nino (Kirono dalam Prabowo, 2002).
Data SOI dapat diunduh melalui web: http://www.ncdc.noaa.gov/ sehingga dapat
diketahui saat terjadi fenomena La Nina. (Gambar 1). Disini terlihat La Nina terjadi mulai tahun
2010 - Mart 2012. Namun Fadli Syamsuddin dari BPPT mengatakan, bahwa fenomena La
Nina diprediksi berlangsung hingga Juni 2012. La Nina mempengaruhi hujan di wilayah
Indonesia bagian barat. (Kompas.com, 14 Maret 2012). Sedangkan Dodo Gunawan dari
BMKG berpendapat bahwa La Nina sudah berjalan selama 12 bulan dan sudah mencapai
akhir dari periode umum suatu kejadian anomali cuaca. Indikasi berakhirnya La Nina, kata
Dodo, terlihat dari indeks ENSO (El Nino-Southern Oscillation), yaitu penyimpangan suhu
permukaan laut (SST) dan indeks osilasi selatan (SOI) yang menuju ke arah normal. Bulan
Mei 2011 merupakan musim pancaroba atau titik awal perubahan dari kondisi La Nina ke
kondisi normal. Akan tetapi Manajer Laboratorium Teknologi Sistem Kebumian dan
Mitigasi Bencana (Geotech) pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Fadli Syamsudin menyampaikan hal yang berbeda. Berdasarkan riset simulasi untuk model
prakiraan cuaca bekerja sama dengan Japan Agency for Marine-Earth Science and
Technology (Jamstec), kondisi La Nina akan terlahir kembali pada Juli 2011. ”Akan terjadi
fenomena reborn, terlahirnya kembali La Nina dalam waktu yang cukup singkat.
(Kompas.com, 17 Juni 2011)
Penelitian (Sofiati,2012) menemukan bahwa kemunculan awan hujan di Kototabang
(0.20°LS, 100.32°BT) ditandai dengan pertumbuhan awan hujan. Dan hujan terjadi rata-
rata pada awan rendah atau awan pada ketinggain dibawah 2 km. Tujuan dari penelitian ini
yakni untuk mengetahui dan menganalisa seberapa besar pengaruh fenomena La Nina
terhadap pertumbuhan awan rendah dan awan menengah di daerah Kototabang – Sumbar
2. DATA DAN METODA
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data awan rendah dan awan menengah
skala harian periode 2010 – 2012, hasil pengamatan dari alat Ceilometer Alat ini berfungsi untuk
mendapatkan ketinggian awan. Diukur mulai dari permukaan sampai dengan dasar awan,
beroperasi secara otomatis dan terus menerus. Di instal di SPD Kototabang (0,2° LS;
100,32° BT) Sumatera Barat. Awan yang dideteksi hingga jangkauan 13 km (43.000 ft). Alat
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 166 ~
ini handal untuk diopersikan di segala cuaca, kinerjanya sangat baik dalam visibilitas
vertikal dan deteksi awan saat curah hujan.
Gambar 1: Data dari alat Ceilometer, untuk awan rendah pada ketinggian (0-2) km
Gambar 1, contoh awan rendah pada ketinggian (0-2) km, pada tanggal 13 Desember
2010. Dengan sumbu X menyatakan waktu (local time) dan sumbu Y menyatakan
ketinggian. Pada gambar 1 ini terlihat banyak awan rendah yang cukup tebal terjadi
sepanjang hari.
Gambar 2, Data Ceilometer untuk awan menengah pada ketinggian (2-6) km.
Gambar 2, contoh data yang memperlihatkan awan menengah yang terjadi pada
ketinggian (2-6) km, dimana sumbu X menyatakan waktu (local time) dan sumbu Y
menyatakan ketinggian (height) pada tanggal 11 Januari 2011.
Tahapan dalam penulisan penelitian ini yang pertama difokuskan pada musim
basah(DJF), musim peralihan(MAM), musim kering(JJA) dan musim peralihan(SON).
Dengan menggunakan metoda statistik, mengenai frekuensi dan peluang.
Untuk menentukan frekuensi dan peluang terlebih dahulu dicari :
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 167 ~
1. Dalam penelitian ini di fokus pada musim basah (DJF), musim peralihan (MAM)
dan (SON) dan musim kemarau (JJA).
2. Hitung dalam 1 bulan berapa kali awan rendah dan awan menengah
3. Hitung jumlah hari pada musim basah, musim peralihan dan musim kering.
4. Peluang adalh jumlah frekuensi dibagi jumlah hari permusim.
3. HASIL
Dari gambar 3, yang memperlihatkan kejadian La Nina, pokus penelitian kejadian
La Nina pada tahun 2010-2012 dengan nilai SOI rata-rata diatas +20. Pada saat kejadian
La Nina ini di lakukan analisis data dari alat Ceilometer berupa awan rendah dan awan
menengah. Untuk menentukan peluang terjadinya awan rendah dan awan menengah saat
terjadinya fenomena La Nina (lih. gambar 4).
Gambar 3. Kurva SOI, yang memperlihat kejadian La Nina.
Sumber http://www.ncdc.noaa.gov/
Pada tahun 2010 terlihat peluang kejadian awan rendah berkisar antara 30 – 37 %.
Diperoleh dengan cara menjumlahkan berapa kali muncul awan rendah dalam satu bulan
pada musim basah (DJF) kemudian dibagi dengan jumlah hari pada saat musim basah
selama tiga bulan (DJF), sehingga diperoleh peluang setiap bulan pada musim basah.
Dapat dilhat pada gambar 4, selama tahun 2010 kejadian awan rendah berada antara (30 –
37) %. Hal yang sama dilakukan untuk tahun 2011 dan 2012 pada setiap musim.
Sedangkan untuk tahun 2011 peluang kejadian awan rendah maksimum pada bulan
Agustus 2011 sebesar 44.28% dan untuk November 2011 peluang kejadian awan rendah
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 168 ~
minimum sebesar 19 %. Tahun 2012 peluang kejadian awan rendah berkisar antara 22%
sampai 37% yang terdapat pada bulan Februari dan bulan Desember.
Gambar 4. Peluang Awan Rendah di Kototabang Saat Terjadi La Nina
Selanjutnya Gambar 5, menunjukkan peluang kejadian awan menengah saat terjadi La
Nina pada tahun 2010 sampai 2012. Proses penentuan peluang kejadian awan menengah
sama dengan proses awan rendah. Sehingga dipoleh peluang kejadian awan menengah
tahun 2010 berkisar antara 27 % sampai 39 %, sedangkan tahun 2011 berkisar dari 16 %
sampai 50% . Untuk tahun 2012 peluang kejadian awan menengah minimum 25 % dan
maksimum 43 % yang terjadi pada bulan Agustus dan November.
Gambar 5. Peluang Awan Menengah di Kototabang Saat Terjadi La Nina
15
20
25
30
35
40
45
50
Des Jan Feb Mar April Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov
Waktu(bulan)
Pelu
an
g(%
)2010
2011
2012
15
20
25
30
35
40
45
50
55
Des Jan Feb Mar April Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov
Waktu(bulan)
Pelu
an
g(%
)
2010
2011
2012
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 169 ~
4. PEMBAHASAN
Hasil analisis data diperoleh awan rendah (gambar 4) yang terjadi pada musim
basah (DJF=Des, Jan, Feb) yang terdiri dari 90 hari, dengan frekuensi kemunculan awan
rendah sebanyak 85 kali, untuk musim basah (DJF). Kemudian untuk musim peralihan
(MAM= Mart, Apr, Mei) selama 92 hari, frekuensi kemunculan awan rendah sebanyak 89
kali. Kemudian untuk musim kering (JJA=Jun, Jul, Agt) yang terdiri dari 92 hari dengan
frekuensi kemunculan awan rendah sebanyak76 kali. Selanjutnya musim pealihan (SON=
Sept, Okt, Nov) yang terdiri dari 91 hari dengan frekuensi kemunculan awan rendah
sebanyak 67 kali, peluang kejadian awan rendah dapat dilihat pada tabel 1.
Untuk analisa awan menengah (gambar 5) pada musim basah tahun 2010, sebanyak
90 hari yang terdiri dari bulan Desember 2009, Januari dan Februari 2010. Dan ternyata
awan menengah yang muncul selama bulan basah (DJF) mempunyai frekuensi kemunculan
awan menengah sebanyak 75 kali. Selanjutnya untuk musim peralihan (MAM=Mart, Apr,
Mei) ada sebanyak 92 hari dengan kemunculan awan menengahnya sebanyak 65 kali. Dan
untuk musim kering (Jun, Jul, Agt) selama 92 hari dengan frekuensi kemunculan awan
menengah sebanyak 68 kali. Musim peralihan berikutnya (SON=Sept, Okt, Nov).
Frekuensi awan menengah pada musim peralihan ini terjadi sebanyak 52 kali, sedangkan
pada musim peralihan(SON) ini terdiri dari 91 hari. Uraian kejadian awan menengah dapat
dilihat pada tabel 2
Pada bulan September peluang kejadian awan menengah sebanyak 32.69 %, begitu juga
untuk bulan Oktober sama sebesar 32.69 %, sedangkan untuk bulan November peluang
kejadian awan menengah terjadi sebanyak 34.61 %.
Tabel 1: Peluang Awan Rendah Pada Setiap Musim
Musim Basah (DJF) M. Peralihan (MAM) M. Kering (JJA) M. Peralihan
(SON)
Jml hr 90 Jml hr 92 Jml hr 92 Jml hr 91
Frek 85 kali Frek 89 kali Frek 76 kali Frek 67 kali
Peluang Peluang Peluang Peluang
Des 32.9 % Mart 34.8 % Juni 36.8 % Sept 34.32 %
Jan 34.1 % April 32.58 % Juli 30.26 % Okt 32.83 %
Feb 32.9 % Mei 32.58 % Agt 32.89 % Nov 32.83 %
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 170 ~
Tabel 2: Peluang Awan Menengah Pada Setiap Musim
Musim Basah (DJF) M. Peralihan (MAM) M. Kering (JJA) M. Peralihan
(SON)
Jml hr 90 Jml hr 92 Jml hr 92 Jml hr 91
Frek 75 kali Frek 65 kali Frek 68 kali Frek 52 kali
Peluang Peluang Peluang Peluang
Des 36 % Mart 38.46 % Juni 35.29 % Sept 32.69 %
Jan 33.3 % April 22.84 % Juli 26.47 % Okt 32.69 %
Feb 30.6 % Mei 27.69 % Agt 38.23 % Nov 34.61 %
5. KESIMPULAN.
Dari hasil penelitian selama periode 2010 – 2012 pada saat terjadi fenomena La
Nina, menghasilkan banyak awan-awan rendah yang menghasilkan hujan juga awan-awan
menengah. Disebabkan La Nina terjadi saat permukaan laut di pasifik tengah dan timur
suhunya lebih rendah dari biasanya pada waktu-waktu tertentu. Dan tekanan udara
kawasan pasifik barat menurun yang memungkinkan terbentuknya awan. Sehingga tekanan
udara di pasifik tengah dan timur tinggi, yang menghambat terbentuknya awan. Sedangkan
di bagian pasifik barat tekanan udaranya rendah yaitu di Indonesia yang memudahkan
terbentuknya awan cumulus nimbus, awan ini menimbulkan turun hujan lebat yang juga
disertai petir. Karena sifat dari udara yang bergerak dari tekanan udara tinggi ke tekanan
udara rendah. Menyebabkan udara dari pasifik tengah dan timur bergerak ke pasifik barat.
Hal ini juga yang menyebabkan awan konvektif di atas pasifik tengah dan timur bergeser
ke pasifik barat.
UCAPAN TERIMAKASIH.
Penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada teman-teman di Bidang
Pemodelan Atmosfer yang telah memberikan masukan dan partisipasinya dalam penulisan
makalah ini.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 171 ~
DAFTAR PUSTAKA.
BOM (Bureau of Meteorology). 2011. El Nino, L Nin d n Austr li ’s Clim te. (Diakses
dari www.bom.gov.au pada tanggal 9 September 2011).
Gunawan, D., 2007, Cuaca dan Iklim Indonesia, http:// www. dirgantara-lapan. or.
id/moklim/
http://www.bmkg.go.id/bbmkg_wilayah_2/Lain_Lain/Artikel/
http://www.ncdc.noaa.gov/
Kirono, D.G.C., Hadi, M.P., Nurjani, E.. 2004. Laporan Komprehensif Hasil Penelitian
Hibah Bersaing XI Tahun Anggaran 2003-2004 Pengembangan Sistem Prakiraan
Penyimpangan
Prabowo, M. dan Nicholls, N. (2002) Kapan Hujan Turun ? Dampak Osilasi Selatan di
Indonesia. Brisbane : Publishing Services.
Sofiati. I, 2012. Korelasi Parameter Fisis Awan dengan Curah Hujan di Kototabang-
Sumatera Barat. Laporan program penelitian PSTA 2012.(Tidak dipublikasikan).
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 172 ~
IDENTIFIKASI KEJADIAN MONSUN EKSTRIM
DI PULAU JAWA DAN SEKITARNYA
Lely Qodrita Avia
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN
Jl. Dr. Djundjunan - Bandung
email : [email protected]
Abstract
Rainfall is elements of climate in Indonesia has the highest variability compared to the
other climatic elements. The main factors causing seasonal climate variations at Jawa
island is monsoon phenomenon. Comparison between the amount of rainfall in the Asian
monsoon for period of December,January,and February relatively is larger than the
Australian monsoon for period of June, July, and August in Java island. The TRMM
3B43v6 satellite data over the period 1998-2010 as the main data is used in this study.
While ONI (Oceanic Nino Index) and DMI (Dipole Mode Index) data is used as
supporting data. This research was conducted to investigate the characteristics of the
distribution of rainfall during the monsoon period, and to identify the extreme monsoon
events at Java island. The results showed that the incidence of extreme looks the same
between the Asian monsoon and the Australian monsoon in Java occurred in the period
1999, 2002, 2006 and 2008. The results also showed that the incidence of extreme
monsoon seems related to the global phenomenon of ENSO events in the equatorial Pacific
Ocean and the IOD phenomenon in the equatorial Indian Ocean.
Keywords: rainfall, TRMM, monsoon, extreme
Abstrak
Curah hujan sebagai unsur iklim di wilayah Indonesia memiliki variabilitas paling tinggi
dibanding unsur-unsur iklim lainnya. Faktor utama penyebab variasi iklim musiman di
pulau Jawa adalah fenomena monsun. Perbandingan antara jumlah curah hujan di pulau
Jawa pada periode monsun Asia (Desember, Januari, dan Februari) relatif lebih besar
daripada periode monsun Australia (Juni, Juli, dan Agustus). Data satelit TRMM 3B43v6
selama periode 1998-2010 sebagai data utamapada penelitian ini. Sedangkan data ONI
(Oceanic Nino Index) dan DMI (Dipole Mode Index) digunakan sebagai data pendukung.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik spasial distribusi
curah hujan monsun dan melakukan identifikasi kejadian monsun ekstrim di pulau Jawa
selama periode tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tampak kejadian ekstrim
yang bersamaan antara monsun Asia dan monsun Australia di pulau Jawa terjadi pada
periode tahun 1999, 2002, 2006 dan 2008 . Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
kejadian monsun ektrim ini tampak berkaitan dengan berlangsungnya fenomena global
ENSO di Samudera Pasifik ekuator dan fenomena IOD di Samudera Hindia ekuator.
Kata kunci : curah hujan, trmm, monsun, ekstrim
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 173 ~
1. PENDAHULUAN
Wilayah Indonesia yang dikenal sebagai negara benua maritim. Sekitar 70% bagian
wilayahnya berupa lautan. Daratan Indonesia yang terdiri dari beberapa pulau besar dan
pulau-pulau kecil dengan topografi yang terdiri dari banyak pegunungan. Posisi wilayah
Indonesia juga diapit oleh dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta diapit dua
lautan yang besar yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selain dari itu wilayah
Indonesia juga dilalui oleh dua sirkulasi atmosfer global yaitu sirkulasi zonal dan
meridional yang dikenal dengan sirkulasi Walker dan sirkulasi Hadley. Karena keunikan
posisi, kondisi geografis dan topografi Indonesia tersebut menjadikan kondisi iklim di
wilayah Indonesia yang juga sangat beragam.
Monsun sebagai fenomena cuaca yang besar di bumi, dimana wilayah Indonesia
termasuk wilayah yang dipengaruhinya (Webster 1987). Monsun Asia menunjukkan
variabilitas antar tahun yang kuat (Webster et al.,1998). Fenomena monsun merupakan
interaksi langsung antara udara dan lautan. Fenomena monsun adalah salah satu dari
fenomena atmosfer yang terjadi di daerah ekuator dengan osilasi sekitar 6-12 bulan
(Krishnamurti-Bhalme,1976). Monsun merupakan angin yang bertiup sepanjang tahun dan
berganti arah sebanyak dua kali dalam satu tahun. Chao et al (2001) mengemukakan
bahwa monsun adalah perbedaan tegas awal musim basah (hujan) dan musim kering
(kemarau) karena perubahan arah dan kecepatan angin akibat gradient tekanan. Monsun
Asia dipengaruhi oleh WNPMI (Western North Pacific Monsoon Index) dan ISMI (Indian
Summer Monsoon Index). Sedangkan monsun Australia dipengaruhi oleh AUSMI
(Australia Monsoon Index).
Daerah monsun ditandai dengan (a) perubahan arah angin utama sekurang-
kurangnya 120 derajat dari bulan Januari dan Juli; (b) rata-rata frekuensi angin utama
dalam bulan Januari dan Juli lebih dari 40%; (c) sekurang-kurangnya sebulan, rata-rata
resultan angin dalam sebulan lebih dari 3m/detik; (d) sekurang-kurangnya satu siklon-
antisiklon terjadi bergantian di daerah 5 derajat lintang dan bujur. Monsun merupakan
suatu fenomena cuaca besar di bumi. Berdasarkan kriteria yang dikemukakan Ramage
tersebut maka daerah yang disebut kawasan monsun adalah daerah yang terletak antara
35oLU dan 25
oLS serta antara 30
oBT dan 170
oBT. Wilayah tersebut mencakup sebagian
Asia (Asia bagian timur dan selatan), Indonesia, sebagian Australia (Australia bagian
utara), Ramage (1971). Monsun dapat juga didefinisikan sebagai pembalikan angin
permukaan tahunan, termasuk pembalikan perpindahan kelembaban tahunan dan distribusi
presipitasi tahunan yang kontras antara musim panan dan musim dingin. Pusat musim
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 174 ~
panas menyebabkan musim hujan, sementara musim kering terjadi disaat musim dingin,
Wang and Ding (2006).
Ramage (1971) juga menyatakan bahwa ada dua sistem monsun di Asia, yaitu
Monsun Musim Dingin Asia Timur (the East Asian Winter Monsoon) atau angin monsun
barat Asia yang dikenal juga dengan sebutan monsun Asia dan Monsun Musim Panas Asia
Selatan (the South Asian Summer Monsoon) atau angin monsun timur yang dikenal juga
dengan sebutan monsun Australia. Angin monsun barat atau monsun Asia yang
berlangsung sekitar bulan Oktober sampai April. Pada saat ini matahari berada di belahan
bumi selatan yang menyebabkan Benua Australia mengalami musim panas sehingga
bertekanan rendah. Sedangkan Benua Asia lebih dingin sehingga bertekanan tinggi.
Menurut hokum Buys Ballot, angin akan bertiup dari tekanan tinggi ke tekanan rendah.
Sehingga angin akan bertiup dari benua Asia menuju ke benua Australia, karena menuju ke
Selatan ekuator maka angin akan dibelokkan ke arah kiri. Angin ini melewati lautan luas di
bagian utara samudera Pasifik dan Laut Cina Selatan dengan membawa banyak massa uap
air sehingga menyebabkan di Indonesia akan mengalami musim hujan. Sedangkan angin
monsun timur atau monsun Australia adalah angin yang berlangsung sekitar bulan April
sampai Oktober. Pada saat ini matahari berada di belahan bumi utara, sehingga
menyebabkan benua Australia mengalami musim dingin dan bertekanan tinggi. Sedangkan
benua Asia lebih panas dan bertekanan rendah. Angin akan bertiup dari benua Australia
menuju benua Asia. Karena menuju ekuator maka angin akan dibelokkan ke arah kanan.
Pada periode ini Indonesia akan mengalami musim kemarau akibat angin tersebut melalui
gurun pasir di bagian utara Australia yang kering dan hanya melalui lautan sempit.
Oleh karena itu, identifikasi periode monsun di Indonesia selain dengan
menggunakan data angin, dapat digunakan data curah hujan karena jelas sangat signifikan
perbedaan distribusi curah hujan yang terjadi pada kedua periode monsun tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan pertama untuk mengetahui karakteristik spasial
distribusi curah hujan selama periode monsun Asia dan monsun Australia berbasis data
satelit dan tujuan kedua melakukan identifikasi kejadian monsun ekstrim di pulau Jawa
selama periode 1998-2010 berdasarkan prosentase anomali curah hujan yang terjadi pada
masing-masing periode monsun tersebut.
Penelitian ini dilakukan secara spasial dengan menggunakan data curah hujan yang
diperoleh dari satelit TRMM 3B43v6 yang memiliki resolusi spasial dan temporal yang
tinggi. Hal ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan keterbatasan stasiun hujan, data
curah hujan dari stasiun hujan yang kosong atau tidak lengkap. Data satelit TRMM
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 175 ~
3B43v6 ini digunakan dengan pertimbangan data tersebut menunjukkan pola curah hujan
yang umumnya dapat mengikuti pola curah hujan observasi permukaan dengan baik. Hal
ini ditunjukkan oleh nilai korelasi yang kuat yaitu 63.66%, 66.85% dan 72.94% untuk
lokasi sekitar stasiun Lhokseumawe Aceh, stasiun Simpang Tiga Pekanbaru dan stasiun
Bengkulu Bengkulu. Bahkan tampak nilai korelasi yang sangat kuat yaitu 83.05%, 80.44%,
85.08%, dan 84.88% untuk stasiun Polonia Medan, stasiun.Tabing Padang, stasiun
Banyuasin Sumsel dan stasiun Raden Inten Lampung (Avia dan Bambang, 2012). Begitu
juga untuk stasiun Supadio Pontianak, stasiun Kayuwatu Manado, stasiun Sicincin Padang
dan stasiun Kemayoran Jakarta yang tampak memiliki korelasi sangat kuat yaitu sekitar
80% (Suryantoro et al, 2008).
Suatu indikator umum yang dikemukakan BMKG tentang salah satu kriteria cuaca
ekstrim terjadi jika curah hujan lebih dari 50 mm/hari atau masuk dalam kategori intensitas
hujan lebat. Namun untuk prediksi potensi banjir atau tanah longsor bulanan digunakan
indikator jika curah hujan lebih dari 400 mm/bulan. Indikator 400 mm/bulan tersebut
termasuk dalam kriteria distribusi curah hujan bulanan sangat tinggi, yang tampak
prosentasenya lebih tinggi sekitar 33% dari distribusi curah hujan dengan kriteria
menengah (mendekati rata-ratanya). Dengan memperhatikan beberapa kriteria tersebut
diatas sehingga penulis pada penelitian ini menentukan kriteria monsun ekstrim terjadi jika
prosentase anomali curah hujan pada masing-masing periode monsun tersebut lebih tinggi
40% dari kondisi rata-ratanya mengingat data periode monsun tersebut merupakan
akumulasi dari data bulanan.
Secara umum, sistem monsun juga dapat dipengaruhi oleh sistem sirkulasi lain
seperti interaksi dengan jets stream, IOD (Indian Ocean Dipole), osilasi selatan (Ashok et
al. 2001, Li et al, 2003). Fenomena monsun terjadi secara periodik, akan tetapi awal
musim hujan dan musim kemarau tidak selalu sama sepanjang tahun di Indonesia. Hal ini
disebabkan musim di Indonesia juga dipengaruhi oleh fenomena global seperti El Nino/La
Nina, Osilasi Selatan, dan IOD. El Nino/La Nina adalah fenomena anomali panas/dingin
Samudera Pasifik Ekuatorial Tengah dan Timur, sedangkan IOD adalah beda temperatur
permukaan laut Pantai Timur Afrika dan Pantai Barat Sumatera (Yamagata et al., 2002).
Pada penelitian ini juga dianalisis penyebab kondisi ekstrim tersebut dengan
memperhatikan pengaruh fenomena global tersebut terhadap peningkatan atau penurunan
curah hujan yang terjadi.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 176 ~
2. DATA DAN METODOLOGI
2.1 Data
Untuk mengetahui karakteristik curah hujan pada suatu daerah sangat diperlukan
data yang cukup panjang dan kontinyu. Karena keterbatasan jumlah stasiun observasi
curah hujan dan kesinambungan data curah hujan permukaan secara spasial maka pada
peneliti ini sebagai data utama digunakan data satelit TRMM 3B43v6. Data TRMM
3B43v6 ini memiliki resolusi temporal bulanan dan resolusi spasial 0,25 x 0,25 derajat
lintang bujur. Adapun periode data TRMM 3B43v6 yang digunakan pada penelitian ini
merupakan data curah hujan periode monsun Asia (Desember, Januari, dan Februari) dan
monsun Australia (Juni, Juli, dan Agustus) sejak 1998 sampai 2010. Sedangkan data
lainnya yang digunakan sebagai data pendukung pada penelitian ini untuk mengetahui
penyebab kondisi ekstrim tersebut adalah data ONI (Oceanic Nino Index) dan DMI (Dipole
Mode Index) yang mengindikasikan fenomena ENSO (El Nino and Southern Oscillation
Index) dan fenomena IOD (Indian Ocean Dipole), juga data MJO (Maden-Julian
Oscillation).
2.2 Metodologi
Metodologi yang dilakukan pada penelitian ini dengan melakukan pengolah data
menggunakan software McExcell dan GrADS (Grid Analysis and Display System) adalah
untuk mengetahui karakteristik curah hujan pada periode monsun Asia dan monsun
Australia di pulau Jawa dilakukan kroping data satelit TRMM untuk wilayah Jawa dengan
batasan geografis 5,75oLS sampai 9,00
oLS dan 105,00
oBT sampai 114,75
oBT. Selanjutnya
data untuk data terpilih dilakukan perhitungan akumulasi data setiap tahunnya untuk
masing-masing periode monsun. Selanjutnya dilakukan perata-rataan selama periode
penelitian yaitu 1998-2010 yang dapat merepresentasikan karakteristik curah hujan pada
periode monsun tersebut. Sedangkan untuk mengetahui kondisi ekstrim dilakukan
pengolahan data prosentase anomalinya yang merupakan prosentase perbedaan curah hujan
periode monsun untuk setiap tahunnya terhadap kondisi rata-rata curah hujan monsun,
secara matematis dapat ditulis
(((
) ) ), dimana Pi adalah prosentase anomali curah hujan monsun
tahun ke-i, adalah curah hujan pada periode monsun tahun ke-i, adalah curah hujan
rata-rata periode monsun selama 1998-2010, dan i adalah tahun penelitian. Hal ini
dilakukan untuk masing-masing periode monsun, sehingga dapat dianalisis jika prosentase
anomali curah hujan pada periode tersebut lebih dari 40% dapat merepresentasikan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 177 ~
kondisi monsun ekstrim. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap hasil yang diperoleh dan
juga analisis terhadap data pendukung lainnya guna mengetahui penyebab terjadinya
kondisi esktrim tersebut.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Karakteristik curah hujan periode monsun Asia dan monsun Australia di pulau
Jawa
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab pendahuluan bahwa pada periode sekitar
bulan Oktober sampai April,bertiup angin monsun barat atau monsun Asia, dimana
periode tersebut matahari berada di belahan bumi selatan, sehingga menyebabkan di benua
Australia musim panas dan bertekanan rendah. Sedangkan kondisi sebaliknya terjadi yaitu
angin monsun timur atau monsun Australia yang bertiup sekitar bulan April sampai
Oktober, dimana periode tersebut matahari berada di belahan bumi utara, sehingga
menyebabkan benua Australia musim dingin dan bertekanan tinggi. Gambar 1
menunjukkan pola rata-rata arah angin bulanan selama periode monsun Asia dan monsun
Australia berlangsung.
Gambar 1. Rata-rata arah angin bulanan pada periode monsun Asia(a) dan periode monsun
Australia (b) (sumber : BMKG)
Berdasarkan hasil pengolahan data selama periode penelitian ini diperoleh
karakteristik curah hujan periode monsun Asia di pulau Jawa sebagaimana yang terlihat
pada Gambar 2. Pada penelitian ini dapat dikatakan karakteristik curah hujan periode
monsun Asia karena merupakan hasil olahan data rata-rata selama periode monsun Asia
yang cukup panjang yaitu sekitar 13 tahun pengamatan atau dapat dikatakan sebagai
kondisi rata-ratanya. Sejalan dengan keterangan diatas tampak karakteristik curah hujan
yang besar di pulau Jawa terjadi pada periode monsun Asia ini. Pada Gambar 2 tersebut
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 178 ~
tampak bahwa karakteristik curah hujan periode monsun Asia di pulau Jawa bervariasi
antara 600 mm sampai 1300 mm, dimana curah hujan terbesar antara 1100 mm sampai
1300 mm terjadi pada dua lokasi yaitu satu di daerah Jawa Tengah dan satu lagi di daerah
Jawa Timur yang tampak merupakan daerah dengan topografi dataran tinggi. Selain itu
daerah tersebut juga tampak pada Gambar 1 merupakan daerah pertemuan angin yang
bertiup dari utara dan dari selatan. Sedangkan daerah sekitar pantai barat dan tenggara
pulau Jawa tampak memiliki karakteristik curah hujan monsun Asia yang relatif kecil yaitu
antara 600 mm sampai 800 mm.
Gambar 2. Karakteristik curah hujan periode monsun Asia di pulau Jawa
Berdasarkan hasil pengolahan data selama periode penelitian ini diperoleh
karakteristik curah hujan pada periode monsun Australia di pulau Jawa sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 3. Sama halnya dengan periode monsun Asia, pada periode
monsun Australia ini dapat dikatakan karakteristik curah hujan periode monsun Australia
karena merupakan hasil olahan data rata-rata selama periode monsun Australia yang
cukup panjang yaitu sekitar 13 tahun pengamatan atau juga disebut sebagai kondisi rata-
ratanya. Karakteristik curah hujan periode monsun Australia di pulau Jawa yang memiliki
curah hujan yang kecil dimana hanya bervariasi antara 50 mm sampai 400 mm.
Karakteristik daerah di bagian timur pulau Jawa tampak lebih kering dimana curah hujan
hanya sekitar 50 mm sampai 150 mm yang dibandingkan daerah bagian tengah dan barat
pulau Jawa tampak relatif lebih besar umumnya antara 150 mm sampai 300 mm. Hanya
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 179 ~
sebagian daerah di Jawa Barat yang memiliki curah hujan antara 300 mm sampai 400 mm
seperti yang tampak pada Gambar 3.
Gambar 3. Karakteristik curah hujan periode monsun Australia di pulau Jawa
3.2 Identifikasi Kondisi Ekstrim Monsun Asia di pulau Jawa
Berdasarkan data curah hujan dari satelit TRMM 3B43v6 telah diperoleh rata-rata
curah hujan selama periode monsun Asia seperti yang telah dijelaskan pada point 3.1
sebagai karakteristik curah hujan periode monsun Asia. Untuk mengetahui kondisi monsun
ektrim telah dilakukan pengolahan data anomali curah hujan pada periode monsun Asia
setiap tahunnya di pulau Jawa dalam bentuk prosentase. Sehingga diperoleh hasil
sebagaimana yang tampak pada Gambar 4 merupakan variasi anomali curah hujan
periode monsun Asia setiap tahun selama periode penelitian ini. Pada Gambar 5 tersebut
diketahui bahwa selama periode penelitian dapat diidentifikasi kejadian monsun Asia yang
cukup ekstrim yaitu pada tahun 1999, 2002, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 dan 2010
yang ditunjukkan oleh adanya peningkatan intensitas curah hujan yang sangat besar di
beberapa daerah di pulau Jawa. Prosentase anomali curah hujan selama periode monsun
tampak umumnya antara 40% sampai 60% dibanding kondisi rata-ratanya. Dari Gambar 4
tersebut juga tampak bahwa lokasi daerah monsun ekstrim yang tidak konsisten atau tidak
selalu sama hal ini sangat terkait dengan kondisi pergeseran pusat awan-awan konvektif
yang sangat dinamis.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 180 ~
Gambar 4. Variasi anomali curah hujan periode monsun Asia tahun 1998-2010
Berdasarkan kondisi global fenomena ENSO dan fenomena IOD yang dapat dilihat
dari indikasi nilai ONI (Oceanic Nino Index) dan DMI (Dipole Mode Index). Tampak
bahwa adanya kaitan antara peningkatan curah hujan yang menjadikan kondisi periode
monsun ekstrim tersebut terhadap berlangsungnya fenomena La Nina di Samudera Pasifik
terutama tahun 1999, 2007, 2010 dengan intensitas kuat dan tahun 2005, 2008 dengan
intensitas sedang. Sedangkan tahun 2002, 2006 dan 2009 tampak pada Gambar 5 indikasi
dari ONI menunjukkan berlangsungnya fenomena El Nino di Samudera Pasifik namun
data curah hujan di pulau Jawa tampak juga menunjukkan anomali positif yang cukup
tinggi 40% sampai 60% dari kondisi normalnya terutama untuk Jawa bagian timur. Oleh
karena itu tampak adanya faktor lain yang mempengaruhi peningkatan curah hujan di
pulau Jawa pada periode tersebut. Pada periode ini tampak adanya fenomena MJO
(Maden-Julian Oscillation) yang berada dalam status aktif dan kuat di kawasan Benua
Maritim Indonesia dan samudera India pada tahun 2002 bulan Desember, sedangkan tahun
2006, bulan Desember sampai Februari, serta tahun 2009 bulan Desember dan Januari
sebagaimana yang tampak pada Gambar 6.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 181 ~
Gambar 5. Ocean Nino Index (ONI) bulan Desember-Februari (a) dan Dipole Mode
Index bulan Desember-Februari (b) selama periode penelitian
Gambar 6. Diagram fase Madden-Julian Oscillation untuk bulan Desember-Maret
3.3 Identifikasi Kondisi Ekstrim Monsun Australia di pulau Jawa
Berdasarkan data curah hujan dari satelit TRMM 3B43v6 juga telah diperoleh rata-
rata curah hujan selama periode monsun Australia seperti yang telah dijelaskan pada point
3.1 sebagai karakteristik curah hujan periode monsun Australia. Untuk mengetahui kondisi
monsun ektrim juga telah dilakukan pengolahan data anomali curah hujan pada periode
monsun Australia setiap tahunnya di pulau Jawa dalam bentuk prosentase. Sehingga
diperoleh hasil sebagaimana yang tampak pada Gambar 7 merupakan variasi anomali
curah hujan periode monsun Asia setiap tahun selama periode penelitian ini.
Tampak pada Gambar 7 tersebut untuk periode monsun Australia (JJA) selama
periode penelitian ini telah teridentifikasi kejadian monsun ekstrim yaitu pada tahun 1998,
1999, 2001, 2002, 2003, 2006, 2008, 2010. Diantara waktu tersebut tampak kejadian curah
hujan monsun yang sangat ekstrim pada tahun 1998 dan 2010 dimana tampak anomali
positif curah hujan periode monsun Australia ini yang sangat tinggi yaitu lebih dari 80%
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 182 ~
dibanding kondisi rata-ratanya. Pada Gambar 8 dapat menjelaskan hal tersebut sangat
berkaitan erat dengan berlangsungnya fenomena La Nina dengan intensitas sedang dan
pada waktu yang bersamaan ditambah dengan berlangsungnya fenomena IOD negatif di
Samudera Hindia sehingga tampak telah memberikan dampak yang nyata pada
peningkatan curah hujan yang luar biasa di pulau Jawa. Sementara pada tahun 1999
tampak La Nina masih berlangsung dengan intensitas melebihi tahun 1998 namun di
samudera Hindia tampak IOD dalam kondisi normal sehingga dampak peningkatan curah
hujan di pulau Jawa tidak sebesar pada tahun 1998. Pada tahun 2001 tampak peningkatan
curah hujan yang lebih dari 60% dari rata-ratanya terutama tampak di pulau Jawa bagian
tengah dan timur. Hal ini tampak merupakan akibat dari berlangsungnya IOD negatif di
Samudera Pasifik. Namun pada tahun 2002 dan 2003 tampak kondisi yang sebaliknya
dimana tampak kondisi pulau jawa yang kering karena adanya penurunan curah hujan 60%
sampai 100% dibanding rata-ratanya. Hal ini disebabkan tahun 2002 berlangsung
fenomena El Nino namun tampak diredam oleh fenomena IOD negatif. Sedangkan pada
tahun 2003 tampak IOD positif tampak berpengaruh kuat pada pengurangan jumlah curah
hujan di pulau Jawa yang hampir merata. Sama halnya dengan kondisi pada monsun Asia,
pada periode monsun Asutralia ini juga tampak adanya fenomena lain yang dominan
mempengaruhi atmosfer. Pada tahun 2006 dan 2008 dari indeks ENSO maupun indeks
IOD tidak menunjukkan kondisi anomali di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia,
namun terlihat dari data curah hujan untuk periode ini juga menunjukkan kondisi yang
kering dimana anomali curah hujan negatif cukup tinggi yaitu 60% sampai 80% dari rata-
ratanya. Tampak selama periode Juni sampai Juli 2006 tersebut kondisi MJO yang dalam
kondisi tidak aktif untuk wilayah Indonesia, yang baru maenjadi aktif pada bulan
September. Sehingga kondisi di wilayah Indonesia menjadi kering dan tampak bebas dari
awan-awan konvektif seperti yang ditunjukkan Gambar 9.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 183 ~
Gambar 7. Variasi anomali curah hujan periode monsun Australia tahun 1998-2010
Gambar 8. Ocean Nino Index (ONI) bulan Juni-Agustus (a) dan Dipole Mode Index bulan
Juni-Agustus (b) selama periode penelitian
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 184 ~
Gambar 9. Diagram fase Madden-Julian Oscillation untuk bulan Juni-September 2006
4. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis diatas dapat disimpulkan beberapa hal yaitu telah
teridentifikasi periode tahun dimana terjadi kondisi monsun ekstrim yang bersamaan antara
monsun Asia dan monsun Australia yang memberikan dampak terhadap peningkatan
ataupun penurunan curah hujan yang cukup besar di pulau Jawa yaitu mencapai 60% -
100% lebih dari kondisi rata-ratanya atau sebaliknya 60%-100% kurang dari kondisi rata-
ratanya yaitu pada tahun 1999, 2002, 2006 dan 2008. Dari beberapa kejadian ektrim
tersebut tampak tidak konsisten terjadi pada lokasi yang selalu sama, namun tampak
daerah yang rentan umumnya terjadi di bagian timur pulau Jawa. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa kejadian monsun ekstrim ini tampak sangat berkaitan dengan
berlangsungnya fenomena global ENSO di Samudera Pasifik ekuator dan fenomena IOD
di Samudera Hindia ekuator yang mempengaruhi distribusi curah hujan di pulau Jawa.
Selain fenomena tersebut juga tampak fenomena MJO juga cukup berperan dalam indikasi
keberadaan awan-awan konvektif di pulau Jawa dan wilayah Indonesia pada umumnya
DAFTAR RUJUKAN
Ashok, K., Z. Guan, and T. Yamagata, 2001: Impact of the Indian Ocean dipole on the
relationship berween the Indian Monsoon rainfall and ENSO, eophys. es. Lett.,
28, 4499-4502
Avia, L. Q. dan Bambang S., 2012: Pembandingan Data Curah Hujan Bulanan Estimasi
Satelit TRMM Terhadap Data Curah Hujan Observasi di Sumatera, Prosiding
Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia, ISSN 2088-4818, 389 – 399
Chao, W.C. and B. Chen, 2001. The Origin of Monsoons. J. Atmos. Sci.,58, 3497-3507.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 185 ~
Li, T., B. Wang, C.P.Chang, and Y.Zhang, 2003: A theory for the Indian Ocean dipole-zonal
mode. J.Atmos.Sci., 60, 2119-2135
Krishnamurti, T. N., H. N. Bhalme, 1976: Oscillations of a Monsoon System. Part I.
Observational Aspects. J. Atmos. Sci., 33,1937–1954
Ramage, C. S., 1971. onsoon eteorology, Academic Press, New York.
Suryantoro, A., T. Harjana, Halimurrahman, 2008 : Variasi Spasio Temporal Curah Hujan
Indonesia Berbasis Observasi Satelit TRMM, Prosiding Workshop Aplikasi Sains
Atmosfer : Sains Atmosfer Dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan, ISBN
978-979-1458-25-2. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN,
Bandung, 1 Desember 2008, 175-186
Wang, B., and Q. Ding, 2006. Changes in global monsoon precipitation over the past 56
years. Geophys. Res. Lett., 33, L06711, doi:10.1029/2005GL025347.
Webster, P.J., 1987 : The elementary monsoon. Monsoon, J. S. Frein and P.L,. Stephens,
eds., John Wiley and Sons, 3-32.
Webster, P.J., V.O. Magana, T.N. Palmer, J. Shukla, R.A. Tomas, M.Yanai, and T.
Yasunari,1998: Monsoons: processes,
predictability, and the prospects for prediction. J. Geopys. Res., 193,14,451-14,510
Yamagata, T., S. K. Behera, S. A. Rao., Z. Guan, K. Ashok, and H.N. Saji, 2002: The
Indian Ocean dipole: a physical entity, CLIVAR
Exchanges, 24, 15–18
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 186 ~
RANCANG BANGUN SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA
SATELIT DAN IMPLEMENTASINYA
Mahmud, Edi Maryadi, Muzirwan, Emanuel A, Ria Fitri Yulianti R, Lamartomo
Pusat Sain dan Teknologi Atmosfer, Jl. Dr. Junjunan No. 133 Bandung, 40173, LAPAN,
Abstract
The abundance of data without proper management, will be difficult for users to implement
all existing data, therefore, required the development of a system that can manage the
receipt and data collection system that integrates monitoring, network systems and
software that has the ability to automatically insert, modify, delete, manipulate, and display
data and information with practical and efficient. The design of a data base management
system implemented by identify and inventory data, while development activities database
management system implemented in stages of analysis and identification of needs,
gathering and documenting requirements, global design and detail, followed by the
implementation or activity programming or coding of results design, and testing /
integration testing of inter-module Based on the above process has awakened data
transmission network between the Bandung – Balai/ Loka using Fiber Optics, and database
management systems Indonesian atmosphere, that contain Indonesian atmosphere data and
scientific papers atmospheric science that can be accessed online
Keyword : management systems, fiber optics, atmosphere database
Abstrak
Melimpahnya data tanpa pengelolaan yang baik, akan menyulitkan pengguna dalam
mengimplementasikan semua data yang ada, oleh karena itu diperlukan pengembangan
sistem yang dapat mengelola penerimaan dan pengkoleksian data yang mengintegrasikan
sistem monitoring, sistem jaringan dan perangkat lunak yang mempunyai kemampuan
secara otomatis memasukkan, mengubah, menghapus, memanipulasi, dan menampilkan
data dan informasi dengan praktis dan efisien. Perancangan sistem manajemen basis data
dilaksanakan berdasarkan identifikasi dan inventarisasi data, sedangkan kegiatan
pengembangan sistem manajemen basis data dilaksanakan berdasarkan tahapan kegiatan
analisis dan identifikasi kebutuhan, pengumpulan dan pendokumentasian kebutuhan,
rancangan detail dan global , dilanjutkan dengan implementasi atau aktifitas pemograman
atau coding dari hasil desain; dan pengetesan/ pengujian integrasi antar modul.
Berdasarkan proses diatas telah terbangun jaringan transmisi data antara Bandung dengan
Balai/Loka menggunakan Fiber Optics, dan sistem manajemen basis data atmosfer
Indonesia, yang memuat data atmosfer Indonesia dan makalah ilmiah sains atmosfer yang
dapat diakses secara online
Kata kunci : sistem manajemen, fiber optics, basis data atmosfer
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 187 ~
1. PENDAHULUAN
Koleksi data yang lengkap serta memuat semua data atmosfer, baik bersifat data
insitu ataupun data spasial dari sensor satelit, yang dapat diperoleh dengan cepat, tepat dan
akurat adalah merupakan suatu keinginan yang ditunggu-tunggu oleh setiap para pemakai.
Data yang dikelola dalam suatu sistem disebut sistem manajemen basis data, karena
sistem tersebut merupakan suatu tempat penyimpanan data dan sekumpulan program untuk
mengkases data tersebut (Silberschatz, dkk, 2009), atau suatu program komputer yang
digunakan untuk memasukkan, mengubah, menghapus, memanipulasi, dan memperoleh
data dan informasi dengan praktis dan efisien (Kadir, 2003; Connolly dkk, 2005 ).
Sedangkan basis data adalah sekumpulan data yang terhubung (interrelated data) yang
disimpan secara bersama-sama pada suatu media, mudah di update dan dapat digunakan
oleh satu atau lebih program aplikasi tanpa ada ketergantungan pada program yang
menggunakannya (Martin, 1975). Tujuan sistem basis data menurut Courtney dan Paradice
(1988) meliputi penyediaan sarana akses yang fleksibel, pemeliharaan integritas data,
proteksi data dari kerusakan dan penggunaan yang tidak legal, penyediaan sarana untuk
penggunaan bersama (share) dan keterhubungan data, pengurangan / minimalisasi
kerangkapan data, menghilangkan ketergantungan data pada program-program aplikasi,
menstandarkan definisi-definisi rinci data (data item) dan meningkatkan produktivitas
personal sistem informasi
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) telah mempunyai sistem basis data
Atmosfer Indonesia yang memuat data insitu stasiun, teledeteksi lidar dan radar, data
satelit Aqua, Terra, TRMM, GMS-MTSAT; data spasial RBI, land use, NCEP, data
pertanian, hidrologi; dan makalah publikasi ilmiah . Data-data tersebut masih tersebar di
beberapa tempat yang berbeda, metadata dan kemampuan pencarian datanya masih belum
lengkap dan masih bersifat intern bidang.
Dengan tersebarnya keberadaan posisi Balai/Loka yang secara rutin melakukan
monitoring, serta data hasil dari sistem pengamatan atmosfer memiliki ukuran rata-rata
setiap bulannya sebesar 165.713 Mb, maka jumlah data berkembang terus, begitu juga
dengan peralatannya. Oleh karena itu diperlukan pengembangan sistem yang dapat
mengelola penerimaan dan pengoleksian data yang mengintegrasikan sistem monitoring,
sistem jaringan dan perangkat lunak yang mempunyai kemampuan secara otomatis
memasukkan, mengubah, menghapus, memanipulasi, dan menampilkan data dan informasi
dengan praktis dan efisien.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 188 ~
2. METODOLOGI.
Perancangan sistem manajemen basis data dilaksanakan dalam dua kegiatan utama,
yaitu kegiatan inventarisasi dan koleksi data dan kegiatan pengembangan sistem
manajemen basis data.
Kegiatan utama kelompok inventarisasi dan koleksi data adalah melakukan
identifikasi dan inventarisasi data, inventarisasi makalah terbit dan melakukan penindaian
data dari bentuk hardcopy menjadi softcopy, backup data dan meng-inputkan file data pada
sistem basisdata.
Kegiatan pengembangan sistem manajemen basis data (Pressman, 1997)
dilaksanakan dalam tahapan kegiatan sebagaimana digambarkan pada Gambar 2.1,
Gambar 2.1. Flowchart pengembangan sistem manajemen basis data dan sistem informasi web.
Tahapan analisis adalah identifikasi dan pengumpulan kebutuhan elemen-elemen
perangkat lunak (software requirement analysis) dan data, yang bersifat spasial maupun
numerik. Dalam tahap ini harus dihasilkan dihasilkan spesifikasi sistem, domain data dan
informasi yang berupa fungsi, prosedur, desain dari interface nya dan kebutuhan perangkat
lunak.
Tahapan desain, mengacu pada kebutuhan atau spesifikasi data dan perangkat
lunak yang dihasilkan dalam tahap analisis akan ditransformasikan ke dalam bentuk
arsitektur perangkat lunak yang memiliki karakteristik mudah dimengerti dan tidak sulit
Start
Analisis
Implementasi
Desain
Pengetesan
Penginstalan
End
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 189 ~
untuk diimplementasikan. Tahapan ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu preliminary
design dan detailed design. Preliminary design menghasilkan rancangan global,
sedangkan detailed design menghasilkan rancangan detil hingga semua modul, tipe data,
fungsi, metode dan prosedur dapat terdefinisi.
Tahapan implementasi merupakan suatu aktifitas pemrograman atau coding dari
hasil perancangan ke dalam baris/bahasa kode yang dapat dibaca oleh komputer.
Tahapan pengetesan, yaitu proses pengujian dilakukan pada hasil implementasi.
Tahapan awal dalam pengujian adalah menguji modul, setelah itu menguji integrasi antar
modul, dan yang terakhir adalah pengujian pada tingkat perangkat lunak setelah modul-
modul yang terintegrasi tersebut dikompilasi. Pengujian pada tingkat perangkat lunak
ditekankan pada logika internal, fungsi eksternal dan potensi error.
Tahapan penginstalan, Pengistalan semua modul dan setiap perangkat lunak yang
telah melewati tahapan pengujian dibuatkan standar operasional atau manual guide yang
didalamnya berisi panduan pengeoperasian, error handling, pemeliharaan dan potensi
pengembangan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan utama menitik beratkan pada pengembangan sistem manajemen basis
data, sedangkan muatannya didapat dari hasil Inventarisasi dan koleksi data berupa data
dari semua balai/Loka, data makalah terbit dan data hasil penindaian.
Kegiatan analisi yang melingkupi kegiatan identifikasi, pengumpulan,
dokumentasi dan analisis kebutuhan yaitu berupa domain data dan informasi, fungsi,
prosedur, desain dari interface nya dan kebutuhan perangkat lunak dalam bentuk
spesifikasi kebutuhan perangkat lunak (Software requirement Specification, SRS) yaitu
untuk perencanaan pembuatan aplikasi.
Pada SRS terdapat dua aktor utama, pertama adalah administrator yang berperan
melakukan pengintegrasian pengelolaan data atmosfer, monitoring karya ilmiah,
keberadaan jaringan transmisi data dan pengelolaan pengguna. Kedua adalah pengguna
yaitu yang akan menggunakan data yang telah dikoleksikan. Kasus-kasus proses aplikasi
terdiri dari proses pencarian, penyimpanan, pengaksesan, penampilan, update,
pengambilan dan transfer data atmosfer.
Aplikasi untuk Administrator terdiri dari :
• Use case login, update akun, update info data (metadata) dan update makalah.
• Use case user untuk digunakan untuk memverifikasi user yang masuk, berisi
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 190 ~
aplikasi login nama User dan password nya
• Use case transfer data atmosfer berisi aplikasi otentifikasi, verifikasi, transfer
data, penerimaan dan penyimpanan pada file sistem, pembuatan log transfer, dan
sistem penerima
• Use case Pencarian data atmosfer dan makalah (internal dan eksternal), berisi
aplikasi pencarian data yang dapat dilakukan berdasarkan sumber data, nama
peralatan, nama variabel atau dengan key, sedangkan untuk pencarian makalah
aplikasi pencariannya berdasarkan nama peneliti, atau topik makalah atau dengan
key, setelah itu dilakukan pembuatan aplikasi veifikasi, tampilan, pemilahan
spesifik unduh data dan verifikasi, dan unduh.
Fitur/modul yang dibangun adalah Pencarian Data Atmosfer dan makalah, Update
akun/username, Update info data, Update makalah dan Transfer data atmosfer.
Hasil dari pada proses desain adalah berupa tabel pustaka dan hubungan antar
entitas. Tabel pustaka terdiri dari :
T_sumber_data = (sumber_data_id, nama_sumber, resolusi temporal,
nama_lokasi, lokasi_lat_awal, lokasi_lon_awal,
lokasi_lat_akhir, lokasi_lon_akhir, resolusi _spasial,
format_file, keterangan, jenis_observasi,
teknologi_observasi, instansi,
metoda_mendapatkan_data, metoda_mengolah_data,
dokumentasi_mengolah_data,
tanggal_mulai_beroperasi).
T_data_atmosfer = (data_id, nama_data, deskripsi, katagori).
T_data_hasil = ( data_id, sumber_data, keterangan, satuan, nama_file,
tanggal_data, path_file).
T_karya_tulis = (karya_tulis_id, judul, abstrak, kata_kunci, kategori,
tanggal_terbit, penerbit).
T_membuat = (karya_tulis_id, nip).
T_pegawai = (nip, nama, alamat, email, no_hp, jabatan,
pangkat_golongan, titel_depan, titel_belakang).
T_referensi = ( referensi_id, nama_referensi).
T_acuan = (referensi_id, karya_ilmiah_id).
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 191 ~
Terdapat dua diagram utama pada sistem manajeman basis data satelit yang akan
dibangun, yaitu diagram hubungan entitas untuk data atmosfer dan diagram hubungan
entitas untuk karya ilmiah
Skema database menunjukkan diagram hubungan relasi antar entitas untuk entitas
t_sumber data dengan entitas t_data_hasil mempunyai hungan entitas satu ke banyak,
sedangankan entitas t_data_hasil dengan t_data atmosfer mempunyai relasi banyak ke satu.
Diagram kedua menunjukkan hubungan relasi antar entitas untuk entitas t_karya_tulis
dengan entitas t_membuat mempunyai hubungan satu ke banyak; entitas t_membuat
dengan t_pegawai mempunyai hubungan banyak ke satu; entitas t_karya tulis dengan
t_mengacu mempunyai relasi satu ke banyak; dan entitasa t_mengacu dengan entitas
t_referensi mempunyai relasi banyak ke satu (Gambar 3.1)
Gambar 3.1. Diagram hubungan entitas pada database satelit
Jaringan komunikasi data dari Pare-pare ke Bandung dan dari Rumpin ke Bandung
menggunakan media fiber Optics (FO), dengan topologi Metronet Icon+, untuk
komunikasi dengan internet menggunakan jaringan Internet Icon+ ( Gambar 3.2),
komunikasi dengan balai-balai yang ada di LAPAN menggunakan jaringan VPN, dan
jaringan lokal menggunakan intranet.
Kemampuan jaringan yang ada adalah jaringan FO Metronet Icon+ (5 Mbps),
Jaringan VPN Lintas Arta (128 Kbps), Jaringan Internet Icon+(1 Mbps), dan Jaringan
Intranet Bandung(1 Mbps)
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 192 ~
Gambar 3.2 Topologi jaringan transmisi dan komunikasi data antar dan inter Balai/ Loka
Spesifikasi teknis jaringan komunikasi data dan jaringan internet dengan ratio
bandwidth 1:1 , yaitu kapasitas uplink dan downlink sama, dedicated dan Full Duplex
System. Interface yang digunakan untuk jaringan komunikasi data dan jaringan internet
adalah Fast ethernet ready to 100 Mbps.
Service Level Agreement (SLA) untuk jaringan komunikasi data sebagai berikut :
a. SLA sebesar 99%
b. Troughput Bandwith minimal 90%
c. Latency < 125 ms
d. Packet Loss < 1%
e. Response Time terhadap setiap gangguan 30 menit
f. Mean Time To Repair setiap gangguan 6 jam
g. Dapat diakses dalam monitoring MRTG
Hasil kegiatan implementasi berupa skrip antarmuka sistem database atmosfer
Indonesia dan Antarmuka Monitoring Karya Ilmiah, yang memuat proses transfer data
atmosfer, pengintegrasian data, pencarian data atmosfer dan makalah, update info data,
update makalah, skrip download
Antarmuka sistem database atmosfer Indonesia disimpan pada situs
http://202.162.218.234/dai. (Gambar 3.3). Sedangkan antarmuka monitoring karya ilmiah
http://202.162.218.234/monitoring (Gambar 3.4)
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 193 ~
Tampilan keluaran Database atmosfer Indonesia, terdiri dari 3 halaman utama, yaitu index
, detail data dan data.
– Index berisi daftar data yang ada berserta informasi pendukungnya, memuat
featur ; searching dan paging;
– Detail data berisi penampilan data yang dipilih oleh user meliputi info data dan
list file yang bisa di download, memuat feature searching, paging dan
download.
– Data berisi penampilan dari data yang di download
Gambar 3.3 sistem database atmosfer Indonesia.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 194 ~
Gambar 3.4 sistem database karya ilmiah
4. KESIMPULAN.
Dengan telah terbangun jaringan transmisi data antara Bandung dengan Balai/Loka
secara online menggunakan FO dan Sistem Manajemen Basis Data Atmosfer Indonesia,
maka data atmosfer Indonesia dan makalah ilmiah sains atmosfer dapat diakses secara
online.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami sampaikan ucapan terima kasih, kepada semua pihak yang telah membantu
terwujudnya Sistem Manajemen Basis Data Atmosfer Indonesia, khusunya kepada Ka
Balai Pengindraan Jauh Parepare dan Ka. Bidang Ruas Bumi - Pusteksat yang telah
membantu memfasilitasi kamunikasi data Modis.
DAFTAR RUJUKAN.
Kadir, A., Dasar Pemrograman Web Dinamis Menggunakan PHP, Andi, Yogyakarta.,
2003
Connolly, Thomas dan Begg, Carolyn, Database Systems: A Practical Approach to Design,
Implementation, and Management, Fourth Edition. Addison-Wesley Publishing
Company, United States of America, 2005.
Courtney, J. F. Jr., dan Paradice, D.B., Database Systems for Management, 1st edition,
USA: Times Mirror/ Mostby College Publishing., 1988.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 195 ~
Martin, J. , Database Organization, Parth I, New Jersey: Practice-Hall Inc., 1975.
Pressman, R. S., Rekayasa Perangkat Lunak : Pendekatan Praktisi (Edisi Satu), Penerbit :
Andi, Yogyakarta, 1997.
Silberschatz, A., Korth, H, dan Sudarshan, S., Database System Concepts, 6th
edition.
McGraw - Hill, New York.2009
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 196 ~
SIMULASI SUHU PERMUKAAN LAUT BULANAN
BERBASIS MODEL CSIRO MK3L
Martono
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN
Abstract Sea surface temperature has an important role in the interaction between the atmosphere and the ocean. The important role relates to energy exchange between the atmosphere and ocean. Sea surface temperature changes will affect the atmospheric conditions on it. This research was conducted to understand the distribution of sea surface temperature in the Indian Ocean and the Pacific Ocean based numerical model. The method used in this research was three-dimensional modeling using the CSIRO Mk3L Climate System Model V1.2. This model was consist of atmospheric general circulation model that has zonal and meridional resolution 5.625
O x 3.18
O with 18 vertical levels and ocean general circulation
model has zonal and meridional resolution 2.8125O x1.59
O with 21 vertical levels.
Simulation done for 10 years from 1990-1999. Simulation results show that the sea surface temperature in the Indian Ocean north of the equator and west Pacific Ocean reaches maximum during the east season and minimum during the the first transition and west season. In general, the sea surface temperature of the western Pacific Ocean is warmer than the waters of the Indian Ocean. Keywords: simulation, sea surface temperature, csiro mk3l
Abstrak
Suhu permukaan laut mempunyai peranan penting dalam interaksi antara atmosfer dan
laut. Peranan penting ini berkaitan dengan pertukaran energi antara atmosfer dan laut.
Perubahan suhu permukaan laut akan mempengaruhi kondisi atmosfer di atasnya.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi suhu permukaan laut Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik berbasis model numerik. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pemodelan tiga dimensi dengan menggunakan The CSIRO Mk3L
Climate System Model V1.2. Model ini merupakan model kopel yang terdiri atas model
sirkulasi umum atmosfer yang mempunyai resolusi zonal and meridional 5.625O x 3.18
O
dengan 18 level vertikal dan model sirkulasi umum laut mempunyai resolusi zonal and
meridional 2.8125O x1.59
O dengan 21 level vertikal. Simulasi model selama 10 tahun
dengan periode waktu 1990-1999. Hasil simulasi menunjukkan bahwa suhu permukaan
Samudera Hindia utara ekuator dan Samudera Pasifik barat mencapai maksimum saat
musim timur dan minimum terjadi pada saat musim peralihan pertama dan musim barat.
Secara umum suhu permukaan Samudera Pasifik bagian barat lebih hangat daripada
perairan Samudera Hindia.
Kata Kunci : simulasi, suhu permukaan laut, csiro mk3l
1. PENDAHULUAN
Laut mempunyai peranan penting dalam sistem iklim di bumi. Peranan ini
berkaitan dengan sifat-sifat fisis laut antara lain berupa fluida, mempunyai albedo yang
rendah dan mempunyai kapasitas panas yang besar. Berupa fluida, maka arus laut akan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 197 ~
menggerakan massa air dalam skala besar. Laut mempunyai albedo yang rendah, karena
laut sebagai penyerap yang sempurna sehingga lebih dari setengah jumlah radiasi matahari
yang sampai ke permukaan bumi diserap oleh laut. Laut mempunyai kapasitas panas yang
besar, laut akan menerima dan melepaskan panas lebih lama sehingga laut merupakan
tandon panas yang besar (Prawirowardoyo, 1996; Deser dkk, 2010).
Suhu permukaan laut merupakan salah satu parameter oseanografi yang banyak
mendapat perhatian tidak hanya dalam masalah kelautan saja, tetapi juga dalam masalah
atmosfer (Nontji, 1987). Dinamika laut dan suhu permukaan laut mempunyai peranan
penting terhadap iklim (Qu dkk, 2005). El Nino Southern Oscillation (ENSO), Indian
Ocean Dipole (IOD) dan upwelling merupakan beberapa beberapa contoh fenomena
oseanografi yang berhubungan dengan perubahan suhu permukaan laut. Perubahan suhu
permukaan laut akan mempengaruhi suhu udara, dan suhu udara akan mempengaruhi
sirkulasi angin, dan sirkulasi angin akan mempengaruhi arus dan gelombang laut, dan
proses ini akan berulang terus (Ningsih, 2003).
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mengenai pola sebaran suhu permukaan
laut penting dilakukan dalam rangka mendukung program penelitian mengenai proses
interaksi antara laut dan atmosfer. Dengan berkembangnya teknologi komputer maka
pemanfaatan pemodelan laut dan pemodelan atmosfer (model kopel) merupakan salah satu
alternatif yang baik untuk mengetahui pola dan proses interaksi antara laut dan atmosfer.
2. DATA DAN METODE
Daerah penelitian mencakup perairan Samudera Hindia, Benua Maritim Indonesia
dan Samudera Pasifik bagian barat yang meliputi 20O LU – 20
O LS dan 40
O BT – 180
O BT.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemodelan tiga dimensi dengan
menggunakan model kopel atmosfer dan laut. Model yang digunakan adalah The CSIRO
Mk3L Climate System Model V1.2. Model ini terdiri dari model sirkulasi umum atmosfer
yang mempunyai resolusi zonal and meridional 5.625O x 3.18
O dengan 18 level vertikal
dalam koordinat sigma dan model sirkulasi umum laut mempunyai resolusi zonal and
meridional 2.8125O x1.59
O dengan 21 level vertikal dalam koordinat sigma. Simulasi
model dijalankan selama 10 tahun untuk periode waktu 1990-1999.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan Januari dan Februari diperlihatkan pada
Gambar 1 dan Gambar 2. Pada bulan Januari suhu permukaan di utara dan selatan ekuator
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 198 ~
Samudera Hindia sekitar 25,50 OC dan 26,88
OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,26
OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 26,80
OC dan 28,09
OC.
Rata-rata suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada
Samudera Hindia. Pada bulan Februari suhu permukaan di utara dan selatan ekuator
Samudera Hindia sekitar 25,91 OC dan 27,29
OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,15
OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 26,40
OC dan 27,96
OC.
Rata-rata suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada
Samudera Hindia.
Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan Maret dan April diperlihatkan pada
Gambar 3 dan Gambar 4. Pada bulan Maret suhu permukaan di utara dan selatan ekuator
Samudera Hindia sekitar 26,97 OC dan 27,65
OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,52
OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 26,67
OC dan 27,91
OC.
Rata-rata suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih rendah daripada
Samudera Hindia. Pada bulan April suhu permukaan di utara dan selatan ekuator Samudera
Hindia sekitar 28,09 OC 27,39
OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,82
OC serta di
utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 27,18 OC dan 27,66
OC. Rata-rata suhu
permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih rendah daripada Samudera Hindia.
Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan Mei dan Juni diperlihatkan pada Gambar
5 dan Gambar 6. Pada bulan Mei suhu permukaan laut di utara dan selatan ekuator sekitar
28,81 OC dan 26,42
OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,67
OC serta di utara dan
selatan ekuator Samudera Pasifik 27,73 OC dan 27,08
OC. Rata-rata suhu permukaan laut
Samudera Pasifik bagian barat lebih rendah daripada Samudera Hindia. Pada bulan Juni
suhu permukaan laut di utara dan selatan ekuator Samudera Hindia sekitar 28,79 OC dan
24,50 OC, di Benua Maritim Indonesia yaitu sekitar 27,45
OC serta di di utara dan selatan
ekuator Samudera Pasifik sekitar 28,11 OC dan 28,09
OC. Secara umum suhu permukaan
laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada Samudera Hindia.
Gambar 1. Pola suhu permukaan laut
bulan Januari
Gambar 2. Pola suhu permukaan laut
bulan Februari
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 199 ~
Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan Juli dan Agustus diperlihatkan pada
Gambar 7 dan Gambar 8. Pada bulan Juli suhu permukaan laut di utara dan selatan ekuator
Samudera Hindia sekitar 27,99 OC dan 24,29
OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,05
OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 28,31
OC dan 25,99
OC.
Secara umum suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada
Samudera Hindia. Pada bulan Agustus suhu permukaan laut di utara dan selatan ekuator
Samudera Hindia sekitar 27,60 OC dan 24,04
OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 26,87
OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 28,38
OC dan 25,94
OC.
Secara umum suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada
Samudera Hindia.
Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan September dan Oktober diperlihatkan
pada Gambar 9 dan Gambar 10. Pada bulan September suhu permukaan laut di utara dan
selatan ekuator Samudera Hindia sekitar 27,48 OC dan 24,43
OC, di Benua Maritim
Indonesia sekitar 26,88 OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar
28,37 OC dan 26,25
OC. Secara umum suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat
lebih tinggi daripada Samudera Hindia. Pada bulan Oktober suhu permukaan laut di utara
dan selatan sekitar 27,32 OC dan 25,06
OC, di Benua Maritim sekitar 27,14
OC serta di
utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 28,27 OC dan 26,70
OC. Secara umum
suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada Samudera
Hindia.
Gambar 3. Pola suhu permukaan laut
bulan Maret
Gambar 4. Pola suhu permukaan laut
bulan April
Gambar 5. Pola suhu permukaan laut
bulan Mei
Gambar 6. Pola suhu permukaan laut
bulan Juni
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 200 ~
Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan Nopember dan Oktober diperlihatkan
pada Gambar 11 dan Gambar 12. Pada bulan Nopember suhu permukaan laut di utara dan
selatan ekuator Samudera Hindia sekitar 28,79 OC 25,85
OC, di Benua Maritim Indonesia
sekitar 27,59 OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 28,09
OC dan
27,35 OC. Secara umum suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi
daripada Samudera Hindia. Pada bulan Desember suhu permukaan laut di utara dan selatan
ekuator Samudera Hindia sekitar 26,01 OC dan 26,46
OC, di Benua Maritim Indonesia
sekitar 27,53 OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 27,49
OC dan
27,91 OC. Secara umum suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi
daripada Samudera Hindia.
Dari analisis hasil simulasi model di atas diketahui bahwa sumber utama suhu
permukaan laut adalah radiasi matahari yang diterima baik secara langsung maupun tidak
langsung melalui refleksi dan skatering dari awan dan atmosfer. Karena laut bersifat fluida,
maka suhu permukaan laut akan didistribusikan dari satu tempat ke tempat yang lain. Oleh
karena itu, pola distribusi suhu permukaan laut dipengaruhi oleh pergerakan matahari dan
letak geografis.
Gambar 7. Pola suhu permukaan laut
bulan Juli
Gambar 8. Pola suhu permukaan laut
bulan Agustus
Gambar 9. Pola suhu permukaan laut
bulan September
Gambar 10. Pola suhu permukaan laut
bulan Oktober
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 201 ~
Saat musim barat antara bulan Desember-Februari suhu permukaan laut di bagian
utara ekuator Samudera Hindia paling rendah yaitu sekitar 25,81 OC dan paling tinggi
terjadi pada saat musim timur antara bulan Juni-Agustus yaitu sekitar 28,13 OC. Sedangkan
di bagian selatan ekuator paling rendah terjadi pada saat musim timur antara bulan Juni-
Agustus yaitu sekitar 24,28 OC dan paling tinggi pada saat musim peralihan pertama antara
bulan Maret-Mei yaitu sekitar 27,15 OC. Pada saat musim barat posisi matahari berada di
selatan ekuator sehingga radiasi matahari yang sampai di permukaan laut bagian utara
ekuator minimal dan sebaliknya pada saat musim timur posisi matahari berada di utara
ekuator sehingga radiasi matahari yang sampai di permukaan laut bagian utara ekuator
mencapai maksimal.
Pada saat musim barat antara bulan Desember-Februari suhu permukaan laut di
bagian utara ekuator Samudera Pasifik barat paling rendah yaitu sekitar 26,90 OC dan
paling tinggi terjadi pada saat musim timur antara bulan Juni-Agustus yaitu sekitar 28,27
OC. Sedangkan di bagian selatan ekuator paling rendah terjadi pada saat musim timur
antara bulan Juni-Agustus yaitu sekitar 26,09 OC dan paling tinggi pada saat musim barat
yaitu sekitar 27,99 OC. Pada saat musim barat posisi matahari berada di selatan ekuator
sehingga radiasi matahari yang sampai di permukaan laut bagian utara ekuator minimal
dan sebaliknya pada saat musim timur posisi matahari berada di utara ekuator sehingga
radiasi matahari yang sampai di permukaan laut bagian utara ekuator mencapai maksimal.
4 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil simulasi dengan menggunakan model CSIRO MK3L maka dapat
disimpulkan bahwa simulasi menunjukkan hasil yang konsisten dengan pola umum
distribusi suhu permukaan laut berdasarkan posisi matahari. Pada saat musim barat antara
bulan Desember-Februari posisi matahari berada di selatan ekuator sehingga suhu
permukaan laut di belahan bumi bagian selatan ekuator lebih hangat dan di belahan bumi
bagian utara ekuator lebih dingin. Sebaliknya pada saat musim timur antara bulan Juni-
Gambar 11. Pola suhu permukaan laut
bulan Nopember
Gambar 12. Pola suhu permukaan laut
bulan Desember
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 202 ~
Agustus posisi matahari berada di utara ekuator sehingga suhu permukaan laut di belahan
bumi bagian selatan ekuator lebih dingin dan di belahan bumi bagian utara ekuator lebih
hangat. Suhu permukaan laut bagian utara ekuator Samudera Hindia dan Samudera Pasifik
barat mencapai maksimum terjadi pada saat musim timur. Di perairan Indonesia suhu
maksimum terjadi pada saat musim peralihan. Secara rata-rata suhu permukaan perairan
Samudera Pasifik barat lebih hangat daripada Samudera Hindia.
UCAPAN TERIMA KASIH.
Diucapkan terima kasih kepada Drs. Bambang Siswanto, M.Si yang telah mengijinkan
saya untuk menggunakan data suhu permukaan laut bulanan hasil simulasi untuk keperluan
seminar ini.
DAFTAR RUJUKAN
Prawirowardoyo, S, 1996. Meteorologi. Institut Teknologi Bandung.
Deser, C., Alexander, M, A., Xie, S, P., Philips, A, S. 2010. Sea Surface Temperature
Variability: Patterns and Mechanisms. Annu. Rev. Marine. Sci. 2010.2:115-143
Nontji, A, 1987. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.
Qu, T., Du, Y., Strachan, J., Meyers, G., Slingo, J. 2005. Sea Surface Temperature and Its
Variability In The Indonesian Region. Oceanography Vol. 18, No. 4, Dec. 2005.
Ningsih, N.S, 2003. Peranan Iklim Pada Studi-Studi Kelautan. Prosiding Seminar dan
lokakarya Kajian Aspek Klimatologi dan Lingkungan Serta Pemanfaatannya,
LAPAN, Bandung.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 203 ~
ANALISIS PENGARUH LIPUTAN AWAN TERHADAP
INDEKS UV DI SUMATERA UTARA
Ninong Komala
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN
Jl.Dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173
Telp. (022) 6037445, 6012602; Fax. (022)6037443
e-mail: [email protected];
Abstract
Research on the analysis of the effect of cloud cover on the index of Ultra Violet (UV
index) is important to do because the cloud cover will affect the UV radiation reaching the
earth's surface. For coverage of the research was done and the UV index as well as the
relationship between cloud cover with UV index in North Sumatra-based AURA OMI data
is from 2005 to 2012. Results of spatial variation analysis of UV indices of North Sumatra
in 2005-2012 is between 9.9 up to 12. UV Index of North Sumatra has an annual pattern
with a maximum in March and minimum in December. Spatial variation of cloud cover
varies between 0.28 to 0.55 with a maximum annual pattern in November and minimum in
June. The result of statistical analysis of cloud cover and UV index linkage spatially
obtained a negative correlation results as an increase in cloud cover will decrease the UV
index with correlation coefficients between 0.90 to 0.96. Temporally correlation between
cloud cover with UV index also showed a negative correlation, the highest correlation is
achieved in the JJA season with a correlation coefficient of 0.7.
Keywords: AURA-OMI, cloud cover, UV index, North Sumatera
Abstrak
Penelitian tentang analisis pengaruh liputan awan terhadap indeks Ultra Violet (indeks
UV) penting untuk dilakukan karena liputan awan akan berpengaruh pada radiasi UV yang
sampai ke permukaan bumi. Untuk itu dilakukan penelitian liputan awan dan indeks UV
serta keterkaitan antara liputan awan dengan indeks UV di wilayah Sumatera Utara
berbasis data OMI-AURA tahun 2005 sampai dengan 2012. Hasil analisis variasi spasial
indeks UV dan liputan awan Sumatera Utara tahun 2005-2012 adalah indeks UV antara
9,9 sampai dengan 12. Indeks UV Sumatera Utara mempunyai pola tahunan dengan
maksimum pada bulan Maret dan minimum pada Desember. Variasi spasial liputan awan
bervariasi antara 0,28 – 0,55 dengan pola tahunan maksimum pada bulan November dan
minimum pada bulan Juni. Dari hasil analisis statistik keterkaitan liputan awan terhadap
indeks UV di Sumatera utara secara spasial diperoleh hasil korelasi negatif, yaitu
peningkatan liputan awan akan menurunkan indeks UV dengan koefisien korelasi antara
0,90 sampai dengan 0,96. Korelasi liputan awan dengan indeks UV secara temporalpun
menunjukkan korelasi negatif, korelasi tertinggi dicapai pada musim JJA dengan koefisien
korelasi 0,7.
Kata kunci : liputan awan, indeks UV , AURA-OMI, Sumatera Utara
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 204 ~
1. PENDAHULUAN
Penelitian radiasi UV matahari dan parameter atmosfer Sumatera Utara merupakan
bagian dari rangkaian penelitian yang merupakan salah satu langkah untuk menunjang dan
merealisir penelitian pengembangan komposisi atmosfer di Pusat Sains dan Teknologi
Atmosfer LAPAN (Komala, N. dkk, 2009, Komala, N. dkk, 2010).
Awan memiliki pengaruh besar terhadap radiasi ultra violet yang sampai ke
permukaan bumi. Untuk mengetahui pengaruh awan terhadap radiasi ultra violet yang
sampai ke permukaan bumi, bisa digunakan data liputan awan.Liputan awan atau jumlah
awan adalah luas langit yang tertutup awan berdasarkan pengamatan dari satelit. Liputan
awan yang digunakan bisa dalam perdelapanan, persepuluh atau persen dan dalam
penelitian ini digunakan persen.
Indeks UV adalah ukuran kulit manusia yang relevan dengan intensitas radiasi UV di
permukaan bumi. Indeks UV berupa unit tanpa satuan yang berhubungan linier terhadap
laju dosis erythema. 1 indeks UV sama dengan 25 mW/m2. Karena radiasi ultra violet yang
sampai ke permukaan bumi terkait dengan kondisi liputan awan. Hal lain penyebab
terjadinya perubahan radiasi UV-B yang sampai ke permukaan bumi tergantung juga
kepada beberapa faktor seperti posisi matahari yang berubah secara siklus harian dan
musiman, kondisi awan lokal, ketinggian lokasi, jumlah tutupan es atau salju dan jumlah
aerosol di atmosfer di atas lokasi tersebut. Perubahan kondisi awan dan aerosol yang
terkait dengan kondisi polusi udara dan emisi GRK dari aktivitas manusia.
Data dari satelit mengenai komposisi atmosfer memegang peranan penting
untuk menunjang kelengkapan data yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian ini.
Lengkapnya data liputan awan dan indeks UV di Sumatera Utara akan sangat berguna
bagi basis data atmosfer Indonesia. Pertanyaan penelitian tentang variasi liputan awan dan
indeks UV matahari (UV indeks) di Sumatera Utara serta seberapa besar keterkaitan
kondisi liputan awan dan indeks UV di Sumatera Utara dapat dijawab dan diselesaikan
dengan melakukan penelitian ini sehingga dapat menginformasikan variasi liputan awan,
indeks UV dan parameter atmosfer di Sumatera Utara.
Hasil dari UNEP pada tahun 2010, membahas hasil pengamatan dan pemantauan
dalam jangka panjang menunjukkan bahwa radiasi ultra violet yang mencapai permukaan
bumi mengalami peningkatan sebagai respons terhadap variasi lapisan ozon. Jumlah
radiasi UV B yang mencapai permukaan bumi di lokasi tertentu sangat tergantung kepada
kondisi lapisan ozon di daerah tersebut. Molekul ozon di stratosfer dan di troposfer
mengabsorbsi radiasi UV-B, sehingga secara signifikan mengurangi jumlah radiasi yang
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 205 ~
akan mencapai permukaan bumi. Bila kondisi pengurangan ozon ini terjadi di stratosfer
atau di troposfer, maka jumlah total ozonnya berkurang dan jumlah radiasi ultra violet
yang mencapai permukaan bumi akan meningkat secara proporsional. Hubungan antara
total ozon dan radiasi UV-B telah dibuktikan di banyak lokasi dengan melakukan
pengukuran ozon dan radiasi UV-B secara langsung.
Richard L. McKenzie (2007), membahas tentang distribusi global radiasi UV dan
perubahan musimannya dibandingkan dengan perubahan dalam jangka panjang karena
terjadinya perubahan komposisi atmosfer. Diperoleh hasil korelasi yang signifikan antara
time series ozon total dan indeks UV yaitu penurunan ozon total akan mengakibatkan
peningkatan indeks UV di New Zealand.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan karakter liputan awan dan
indeks UV di Sumatera Utara serta keterkaitan antara liputan awan dengan indeks UV
yang terdeteksi di permukaan. Pertanyaan penelitian tentang variasi liputan awan dan
indeks UV matahari (UV indeks) di Sumatera Utara serta seberapa besar keterkaitan
kondisi liputan awan dan indeks UV di Sumatera Utara dapat dijawab dan diselesaikan
dengan melakukan penelitian ini. Dari hasil penelitian ini dapat diinformasikan kondisi,
karakter dan keterkaitan variabilitas liputan awan dengan indeks UV yang terdeteksi di
Sumatera Utara, serta penyebarluasan data dan informasi agar dapat meminimalkan
dampak buruk terpapar radiasi UV berlebih.
2. DATA DAN METODE
Data dari satelit AURA-OMI yang digunakan dalam penelitian adalah data liputan
awan dan indeks UV untuk wilayah Sumatera Utara jadi tidak dibahas metoda cara
memperoleh data liputan awan dan indeks UV tersebut. Data yang digunakan adalah data
harian liputan awan dan data UV Indeks di Sumatera Utara tahun 2005 sampai dengan
2012 (OMI home page: http://toms.gsfc.nasa.gov/omi). Data harian liputan awan dan
indeks UV dengan ukuran grid sel 1 derajat lintang x 1 derajat bujur kemudian dirata-rata
dijadikan data bulanan dan musiman DJF, MAM, JJA dan SON. Data liputan awan dan
indeks UV tidak mempunyai satuan. Data yang diperoleh dari AURA-OMI adalah data
dalam skala global. Data liputan awan dan indeks UV dengan 1° x 1° grid sel ini
cakupannya dari -180.0° sampai +180.0° bujur dan dari lintang -90.0° sampai + 90.0°.
Dilakukan ekstrak data liputan awan dan indeks UV untuk wilayah Sumatera Utara dengan
cakupan 1 ° LS sampai 4 °LU dan 98° BT sampai 100° BT, dengan periode data yang
dianalisis adalah data dari tahun 2005 sampai dengan 2012.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 206 ~
Metoda untuk menganalisis data adalah dengan melakukan analisis variasi spasial
tahunan dan rata-rata spasial selama periode penelitian. Juga dilakukan analisis variasi
temporal untuk menganalisis karakter variasi tahunan dan musiman liputan awan dan
indeks UV. Dilakukan pula analisis statistik untuk menganalisis keterkaitan antara liputan
awan terhadap variasi indeks UV di Sumatera Utara secara spasial dan temporal.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis variasi spasial liputan awan Sumatera Utara
Rata-rata spasial liputan awan Sumatera Utara 2005 sampai 2012 ada pada range
0,29 sampai dengan 0,52. Nilai ini diartikan bahwa di Sumatera utara liputan awannya
adalah antara 29 % sampai dengan 52 %. Kondisi liputan awan yang cukup tinggi di
Sumatera Utara sesuai dengan yang diungkap NASA (2012) bahwa daerah yang paling
berawan adalah daerah tropis dan daerah beriklim sedang, daerah subtropis dan daerah
kutub memiliki awan 10%-20% lebih sedikit.
Dengan membandingkan pengamatan satelit variasi awan dengan data meteorologi,
dimungkinkan bagi kita untuk membangun korelasi sifat awan dan kondisi atmosfer.
Gambar 1: Variasi spasial rata-rata liputan awan dari tahun 2005 sampai dengan 2012 di
Sumatera Utara dalam skala standar 0 sampai dengan1 (a) dan skala yang sesuai
dengan kondisi di Sumatera Utara (b).
Hasil analisis memperlihatkan pola spasial liputan awan di daerah dekat Danau
Toba mempunyai liputan awan tertinggi yaitu sekitar 0,52 atau liputan awan di lokasi
tersebut adalah 52% dibandingkan dengan liputan awan di bagian lain di Sumatera Utara
yang menunjukkan liputan awan lebih kecil. Perbedaan liputan awan sekitar 0.24 atau 24
%.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 207 ~
Tabel 1. variasi spasial liputan awan tahun 2005 sampai 2012
Tahun
Liputan awan
Rata-rata st deviasi maksimum minimum
2005 0.38 0.07 0.52 0.28
2006 0.40 0.08 0.52 0.29
2007 0.38 0.08 0.52 0.30
2008 0.40 0.08 0.54 0.31
2009 0.39 0.07 0.51 0.30
2010 0.38 0.07 0.49 0.28
2011 0.40 0.07 0.55 0.32
2012 0.38 0.07 0.52 0.29
Pada tabel 1 ditampilkan variasi spasial tahunan liputan awan Sumatera Utara dari
tahun 2005 sampai dengan tahun 2012 berupa nilai rata-rata, standar deviasi, maksimum
dan nilai minimum.
Gambar 2: Grafik variasi spasial liputan awan Sumatera Utara dari 2005 sampai 2012 (a) dan
variasi spasial rata-rata 2005 sampai 2012 (b).
.
Pada gambar 2 (a) dapat dilihat hasil analisis spasial tahunan liputan awan di
Sumatera Utara dari tahun 2005 sampai dengan 2012. Liputan awan di Sumatera Utara
pada tahun 2010 terdeteksi paling rendah sedangkan pada tahun 2011 liputan awannya
paling tinggi. Analisis pola spasial rata-rata 2005 sampai dengan 2012 liputan awan di
Sumatera Utara menunjukkan liputan awan rata-rata 0,39 dengan standar deviasi 0,07,
liputan awan maksimum 0,52 dan liputan awan minimum 0,29.
Analisis variasi temporal liputan awan Sumatera Utara
Hasil analisis variasi temporal liputan awan di Sumatera Utara dapat dilihat pada
gambar 3 (a). Hasil analisis menunjukkan bahwa liputan awan Sumatera Utara 2005-2012
mempunyai range antara 0,24 sampai dengan 0,56 atau liputan awan di Sumatera Utara
antara 24 % sampai dengan 56 %.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 208 ~
Gambar 3 : Variasi temporal liputan awan Sumatera utara (a) dan pola tahunan rata-rata 2005
sampai dengan 2012 (kanan).
Pada gambar 3 (a) pola tahun 2005 dan 2007 menunjukkan puncak liputan awan
yang lebih besar dari pola rata-rata tahunan 2005 sampai dengan 2012. Pada pola tahunan
2009 dan 2012 nilai minimum liputan awan lebih kecil dari pola rata-rata. Pola tahunan
rata-rata liputan awan tahun 2005 sampai 2012 menunjukkan maksimum pada bulan
November dan minimum pada bulan Juni seperti diperlihatkan pada gambar 3 (b).
Pola variasi musiman liputan awan untuk bulan-bulan Desember, Januari, Februari (DJF),
Maret, April, Mei (MAM), Juni, Juli, Agustus (JJA) dan September, Oktober, November
(SON) pada tahun 2005-2012, dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4 : Pola musiman liputan awan Sumatera Utara tahun 2005 sampai dengan 2012
(a) dan pola musiman rata-rata 2005 sampai dengan 2012 (b).
Pola musiman liputan awan Sumatera Utara pada musim DJF range liputan awan
antara 0,39 sampai dengan 0,43. Liputan awan terrendah terjadi pada DJF tahun 2007
yaitu 39,3 % dan tertinggi pada tahun 2006 yaitu 43 %. Musim MAM range liputan awan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 209 ~
antara 0,33 sampai dengan 0,395. Liputan awan tertendah terjadi pada MAM tahun 2009
yaitu 33 % dan tertinggi pada tahun 2008 yaitu 39,5 %. Untuk musim JJA range liputan
awan antara 0,328 dan 0,359. Liputan awan tertendah terjadi pada JJA tahun 2012 yaitu
32,8 % dan tertinggi pada tahun 2007 yaitu 35,9%. Liputan awan pada musim SON range
antara 0,402 sampai dengan 0,48, dengan liputan awan terrendah terjadi pada tahun 2010
yaitu 40,2 % dan tertinggi terjadi pada SON tahun 2006 yaitu 48%.
Pola variasi musiman liputan awan di Sumatera Utara secara umum menunjukkan
pada musim SON liputan awan terdeteksi paling tinggi khususnya pada tahun 2006 dengan
liputan awan 48% dan liputan awan terrendah pada JJA tahun 2012 dengan liputan awan
32,8%.
Analisis variasi spasial dan temporal indeks UV Sumatera Utara
Analisis variasi spasial indeks UV Sumatera Utara
Variasi spasial Indeks UV Sumatera Utara 2005 sampai 2012 ada pada range 9,9
sampai dengan 12,2. Kondisi indeks UV yang cukup tinggi di Sumatera Utara adalah
sebagai konsekwensi dari tempat atau lokasi yang terletak di daerah tropis seperti
Indonesia yang mendapat limpahan radiasi matahari sepanjang tahun.
Gambar 5: Variasi spasial rata-rata indeks UV dari tahun 2005 sampai dengan 2012 di Sumatera
Utara dalam skala standar 6 sampai dengan 14 (a) dan skala yang sesuai dengan
kondisi di Sumatera Utara (b).
Hasil analisis memperlihatkan pola spasial indeks UV di daerah dekat Danau Toba
mempunyai indeks UV terrendah yaitu sekitar 9,9 dibandingkan dengan indeks UV di
bagian lain di Sumatera Utara yang menunjukkan indeks UV lebih besar. Perbedaan indeks
UV sekitar 2,3.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 210 ~
Tabel 1. variasi spasial indeks UV tahun 2005 sampai 2012
Tahun
Indeks UV
Rata-rata st deviasi maksimum minimum
2005 11.3 0.4 12.0 10.6
2006 10.6 0.5 11.3 10.0
2007 11.4 0.5 12.2 10.6
2008 10.6 0.5 11.3 9.9
2009 11.3 0.5 12.0 10.4
2010 11.2 0.4 11.9 10.4
2011 10.9 0.4 11.5 10.1
2012 11.3 0.4 11.8 10.5
Pada tabel 1 ditampilkan variasi spasial tahunan indeks UV Sumatera Utara dari tahun
2005 sampai dengan tahun 2012 berupa nilai rata-rata, standar deviasi, maksimum dan
nilai minimum.
Gambar 6: Variasi spasial tahunan indeks UV dari tahun 2005 sampai dengan 2012 nilai rata-
rata, maksimum dan minimumnyadi Sumatera Utara (a) dan variasi spasial rata-rata
indeks UV tahun 2005 sampai dengan 2012 (b).
Pada gambar 6 dapat dilihat hasil analisis spasial tahunan indeks UV di Sumatera
Utara dari tahun 2005 sampai dengan 2012. Indeks UV di Sumatera Utara pada tahun 2006
paling rendah sedangkan 2007 paling tinggi. Analisis pola spasial rata-rata indeks UV di
Sumatera Utara menunjukkan rata-rata 11,1 dengan standar deviasi 0,5, maksimum 12,2
dan minimum 9,9.
Variasi Temporal Indeks UV Sumatera Utara
Data variasi temporal indeks UV Sumatera Utara tahun 2005 sampai 2012 di buat
pola tahunannya kemudian dibandingkan dengan pola tahunan rata-rata 2005-2012. Variasi
temporal indeks UV Sumatera Utara 2005 sampai dengan 2012 juga memperlihatkan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 211 ~
terjadinya pola tahunan seperti pada gambar 7 (a). Hasil perbandingan pola tahunan indeks
UV Sumatera Utara setiap tahun terhadap rata-rata pola tahunan indeks UV tahun 2005
sampai dengan 2012, diperoleh bahwa pola tahunan indeks UV tahun 2007, tahun 2010
dan 2012 lebih tinggi dari tahun lainnya sedangkan pola tahunan tahun 2006 dan 2008
lebih rendah dari pola tahunan rata-rata 2005-2012. Pola tahunan indeks UV tahun 2010
dan 2012 menunjukkan puncak yang paling tinggi sedangkan pola tahunan tahun 2011
menunjukkan puncak dan minimum paling rendah.
Pada periode 2005 sampai dengan 2012, indeks UV di Sumatera Utara bervariasi
antara 8,96–13,46. Tahun 2005 indeks UV bervariasi antara 9,75–12,92 , tahun 2006 antara
9,16-11,96, tahun 2007 antara 9,97 -13,25 , tahun 2008 antara 8,96–11,46 , tahun 2009
antara 10,29–12,57, tahun 2010 antara 9,23–13,46, tahun 2011 antara 9,59-11,96 dan tahun
2012 indeks UV di Sumatera Utara bervariasi antara 9,94–12,48. Indeks UV terendah
terjadi pada bulan Juni 2008 yaitu 8,96 dan tertinggi terjadi pada bulan Maret 2010 dengan
indeks UV 13,46.
Pada periode 2005 sampai dengan 2012, seperti terlihat pada gambar 7 (b), pola
rata-rata tahunan indeks UV Sumatera Utara mencapai maksimum pada bulan Maret dan
minimum pada bulan Desember.
Gambar 7: Pola variasi temporal indeks UV Sumatera Utara tahun 2005 sampai dengan
Desember 2012 (a) dan pola tahunan rata-rata 2002 sampai dengan 2012
beserta standard deviasinya (b).
Pola variasi musiman indeks UV Sumatera Utara
Pola variasi musiman untuk bulan-bulan Desember,Januari, Februari (DJF), Maret,
April, Mei (MAM), Juni, Juli, Agustus (JJA) dan September, Oktober, November (SON)
Pada gambar 6 dapat dilihat pola musiman dan perbandingan pola musimannya dengan
pola musiman rata-rata 2005-2012. Pola musiman indeks UV Sumatera Utara dalam deret
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 212 ~
waktu dari 2005 sampai dengan Desember 2012 mempunyai pola musiman demikian juga
pada nilai deviasinya. Pola variasi musiman indeks UV Sumatera Utara secara umum
menunjukkan musim SON mempunyai nilai indeks UV tertinggi dalam setiap tahunnya.
Variasi musiman indeks UV Sumatera Utara mencapai maksimum pada musim MAM dan
minimum pada musim DJF.
Gambar 8. Pola variasi musiman (DJF, MAM, JJA dan SON) untuk indeks UV di
Sumatera Utara pada tahun 2005-2012 (a) dan rata-rata pola musiman indeks
UV tahun 2005 sampai dengan 2012 (b).
Dari analisis variasi musiman indeks UV Sumatera Utara pada gambar 8, pola
variasi musiman indeks UV menunjukkan pada tahun 2005, 2007 dan 2010 variasi
musimannya lebih tinggi dari tahun yang lainnya, sedangkan tahun 2006 dan 2008 lebih
rendah khususnya untuk musim JJA. Variasi musiman indeks UV Sumatera Utara untuk
DJF antara 9,4-10,4. Indeks UV terendah terjadi pada DJF tahun 2011 yaitu 9,4 dan
tertinggi pada tahun 2012 yaitu 10,4. Musim MAM indeks UV antara 10,5-12,0. Indeks
UV tertendah terjadi pada MAM tahun 2008 yaitu 10,5 dan tertinggi pada tahun 2012
yaitu 12,0. Pada musim JJA range indeks UV antara 9,3-10,8. Indeks UV tertendah terjadi
pada JJA tahun 2008 yaitu 9,3 dan tertinggi pada tahun 2005 yaitu 10,8. Sedangkan indeks
UV pada musim SON mempunyai range 9,5-11,3, dengan indeks UV terendah terjadi pada
tahun 2010 yaitu 9,5 dan tertinggi terjadi pada SON tahun 2012 yaitu 11,3.
Keterkaitan liputan awan dengan indeks UV di Sumatera Utara
Korelasi Spasial liputan awan dengan indeks UV
Keterkaitan liputan awan terhadap indeks UV di Sumatera utara secara spasial dari
tahun 2005 sampai dengan 2012 diperoleh dengan melakukakan analisis statistik. Hasil
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 213 ~
yang diperoleh menunjukkan korelasi negatif, yaitu peningkatan liputan awan akan
menurunkan indeks UV dengan koefisien korelasi antara 0,90 sampai dengan 0,96.
Gambar 9. Keterkaitan liputan awan dengan indeks UV di Sumatera Utara pada tahun
2006 yang menunjukkan korelasi negatif.
Tabel 2. Persamaan regresi linier keterkaitan liputan awan dengan indeks UV
Tahun Persamaan regresi Koef determinasi Koef korelasi
2005 y = - 5,2923 x +13,343 0,8513 0,922659
2006 y = - 5,5377 x +12,821 0,9194 0,958853
2007 y = - 5,8073 x +13,652 0,8539 0, 924067
2008 y = - 5,8863 x +12,952 0,9115 0,954725
2009 y = - 5,8198 x +13,580 0,8302 0,911153
2010 y = - 5,3752 x +13,264 0,8076 0,898666
2011 y = - 5,2940x +13,037 0,8525 0,923309
2012 y = - 5,3510 x +13,320 0,8552 0,92477
Korelasi variasi musiman liputan awan dengan indeks UV
Korelasi liputan awan dengan indeks UV secara temporal dilakukan dengan
mengkorelasikan secara musiman (DJF, MAM, JJA dan SON), hasil yang diperoleh juga
menunjukkan korelasi negatif. Korelasi tertinggi dicapai pada musim JJA dengan koefisien
korelasi 0,7.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 214 ~
Gambar 10. Scatter plot variasi musiman liputan awan dengan indeks UV Sumatera Utara
untuk musim JJA.
Keterkaitan variasi musiman liputan awan dengan indeks UV di Sumatera Utara
berdasarkan scatter plot pada gambar 10, menghasilkan persamaan regresi linier.
Persamaan yang dihasilkan dari plot liputan awan dan indeks UV dapat dilihat pada Tabel
3.
Persamaan yang diperoleh untuk musim DJF adalah y = -0,0145 x + 0,5519, y
adalah liputan awan dan x adalah indeks UV. Koefisien determinasi yang diperoleh adalah
0,1159 dan koefisien korelasi antara liputan awan dengan indeks UV adalah 0,34. Dari
persamaan yang diperoleh diartikan bahwa 11,59 % variabel liputan awan dapat dijelaskan
oleh variabel indeks UV pada persamaan tersebut, sedangkan sisanya tidak bisa dijelaskan
oleh indeks UV karena tergantung pada variabel yang lainnya. Untuk musim yang lainnya
yaitu MAM, JJA dan SON variabel ozon total yang dapat dijelaskan oleh variabel indeks
UV adalah 41,95 %, 49,69 %, dan 0.16 %. Koefisien korelasi yang diperoleh untuk musim
DJF, MAM, JJA dan SON adalah 0,34, 0,65, 0,70 dan 0,04. Dari hasil analisis statistik
keterkaitan variasi musiman liputan awan dengan indeks UV di Sumatera Utara diperoleh
hasil korelasi negatif, yaitu peningkatan liputan awan akan menurunkan indeks UV, atau
sebaliknya semakin tipis liputan awan, semakin tinggi indeks UV. Koefisien korelasi yang
diperoleh antara 0,04 sampai dengan 0,70. Korelasi tertinggi terjadi pada musim JJA
dengan koefisien korelasi 0,70.
Tabel 3. Korelasi musiman liputan awan dan indeks UV Sumatera Utara
Musim Persamaan regresi Koef determinasi Koef korelasi
DJF y = -0,0145 x + 0,5519 0,1159 0,34
MAM y = -0,023 x + 0,6194 0,4195 0,65
JJA y = -0,0173 x + 0,5156 0,4969 0,70
SON y = 0,0016 x + 0.4336 0,0016 0,04
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 215 ~
UNEP (2010), menyatakan bahwa faktor musim atau posisi matahari di atas suatu
wilayah berpengaruh terhadap indeks UV. Faktor liputan awan, partikulat, aerosol dan
pencemar udara juga dapat menyerap dan menyebarkan sebagian radiasi UV dan dengan
demikian dapat mengurangi jumlah radiasi UV yang dapat mencapai permukaan bumi. Hal
ini dipengaruhi juga oleh faktor lokasi dan musim. Pola variasi tahunan indeks UV
Sumatera Utara yang diperoleh mempunyai pola yang berbeda dengan yang diperoleh
McKenzie (2007) dan Komala (2012).
Dari hasil analisis nilai indeks UV Sumatera Utara pengamatan 2005 sampai
dengan 2012 adalah antara 8,96 sampai dengan 13,46. Nilai indeks UV di Sumatera Utara
ini sudah tergolong ekstrem (sesuai dengan standar indeks UV yang dikeluarkan oleh
EPA. Menurut US EPA dan WHO (2002), semakin tinggi Indeks UV, semakin besar laju
dosis kulit dan mata dirusak oleh radiasi UV. Akibatnya, semakin tinggi Indeks UV,
semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk kulit atau mata terjadi kerusakan.
4. KESIMPULAN
Telah dilakukan analisis variasi spasial dan temporal liputan awan dan indeks UV
di Sumatera Utara serta keterkaitannya. Hasil analisis menujukkan range indeks UV di
Sumatera Utara sudah tergolong ekstrem dan diperoleh korelasi negatif secara spasial
maupun temporal yang membuktikan bahwa meningkatnya liputan awan akan
menurunkan indeks UV atau semakin kecil liputan awan akan semakin tinggi indeks UV
yang terdeteksi berdasarkan hasil analisis terhadap data selama tahun 2005 sampai 2012.
Hasil analisis variasi spasial indeks UV dan liputan awan Sumatera Utara tahun
2005-2012 adalah indeks UV antara 9,9 sampai dengan 12. Indeks UV Sumatera Utara
mempunyai pola tahunan dengan maksimum pada bulan Maret dan minimum pada
Desember. Variasi spasial liputan awan bervariasi antara 0,28 – 0,55 dengan pola tahunan
maksimum pada bulan November dan minimum pada bulan Juni. Dari hasil analisis
statistik keterkaitan liputan awan terhadap indeks UV di Sumatera utara secara spasial
diperoleh hasil korelasi negatif, yaitu peningkatan liputan awan akan menurunkan indeks
UV dengan koefisien korelasi antara 0,90 sampai dengan 0,96. Korelasi liputan awan
dengan indeks UV secara temporal juga menunjukkan korelasi negatif, korelasi tertinggi
dicapai pada musim JJA dengan koefisien korelasi 0,7.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 216 ~
DAFTAR RUJUKAN
OMI home page: http://toms.gsfc.nasa.gov/omi.
Komala, N., A. Budiyono, N. Ambarsari, Thohirin, H. Suherman dan E. Adetya,
Karakteristik ozon total dan parameter atmosfer Indonesia dari Satelit AURA,
Program Penelitian Pusfatsatklim, 2009.
Komala, N., A. Budiyono, N. Ambarsari, D. Y. Risdianto, H. Suherman dan E. Adetya,
Kondisi ozon total dan parameter atmosfer Indonesia keterkaitannya dengan iklim,
Program Penelitian Pusfatsatklim, 2010.
Komala, N, Variabilitas Ozon dan UV Indeks di Pulau Jawa, dalam Buku Fisika, Dinamika
dan Kimia Atmosfer Berbasis Data Satelit dan Insitu, hal: 124-137, Penerbit CV
Andira Bandung, ISBN:978-979-1458-58-0. 2012.
NASA, 2012, Cloud climatology at http://isccp.giss.nasa.gov
Richard L. McKenzie, UV Radiation Climatology and Trends, National Institute of Water
& Atmospheric Research (NIWA), Lauder, Central Otago, New Zealand , Presented
at PMOD/WRC Meeting, Davos, 18-20 September 2007.
UNEP, Laporan Tahunan, 2010.
US EPA (Environmental Protection Agency), at http://http.epa.gov/sunwise/
World Health Organization (WHO), Global Solar UV Index, A Practical Guide, 2002.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 217 ~
PENGAMATAN AWAN DAN VARIASI CUACA HARIAN
MENGGUNAKAN TRANSPORTABLE X-BAND RADAR
Noersomadi, Sinta Berliana Sipayung, Krismianto, Soni Aulia Rahayu, Ginaldi Ari Nugroho,
Rachmat Sunarya, Safrudin, Edy Maryadi dan Halimurrahman
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN
Jl. Dr. Junjunan 133 Bandung, 40173
[email protected] / [email protected]
Abstract
Weather observation campaign using Transportable X-band radar has been done during
March 13 to 19, 2013 around Bandung, West Java. The observation for detecting cloud
expansion has been done through two fundamental methods of radar scanning, there were
Plan Position Indicator (PPI) and Range Height Indicator (RHI). The results showed cloud
expansion over Bandung area especially during March 14 to 18, 2013. The result from PPI
scan at 3 km, so called Constant Altitude Plan Polar Position (CAPPI) observation depicted
that convective activity reach its maximum at 09 UTC. RHI observation scan showed
cloud expansion that growth reach over 10 km. The diurnal variation that described from
observation data indicated that cloud expansions over Bandung area were generally
influenced by the orographic topography around the location.
Keywords : X-band radar, PPI, RHI, diurnal variation
Abstrak
Telah dilakukan pengamatan cuaca di wilayah Bandung, Jawa Barat dan sekitarnya selama
periode 13 – 19 Maret 2013 menggunakan Transportale X-band Radar. Observasi untuk
mendeteksi pertumbuhan awan dilakukan melalui dua metode dasar pengamatan radar,
yaitu Plan Position Indicator (PPI) dan Range Heigt Indicator (RHI). Hasil observasi
mampu menunjukkan pertumbuhan awan konvektif di sekitar cekungan Bandung terutama
pada periode 14-18 Maret 2013. Berdasarkan hasil pengamatan menggunakan metode PPI,
pada ketinggian 3 km atau Constant Altitude Plan Position Indicator (CAPPI) tampak
bahwa puncak aktivitas konvektif sekitar pukul 09 UTC. Adapun berdasarkan metode RHI,
pertumbuhan awan konvektif yang terekam hingga mencapai ketinggian di atas 10 km.
Variasi cuaca harian yang ditunjukkan oleh data pengamatan radar selama periode
observasi mengindikasikan bahwa pertumbuhan awan dipengaruhi oleh faktor topografi
pegunungan di sekitar wilayah Bandung.
Kata kunci : X-band radar, PPI, RHI, variasi harian
1. PENDAHULUAN
Wilayah Bandung sebagai ibu kota provinsi Jawa Barat yang berada di 760 m di
atas permukaan laut, memiliki karakteristik cuaca yang unik. Terutama berkaitan dengan
kondisi topografi pegunungan yang ada disekitarnya. Seperti diketahui bahwa salah satu
jenis pertumbuhan awan konvektif adalah pertumbuhan akibat orografis yang memaksa
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 218 ~
udara naik ke atas sehingga terjadi kondensasi sebagai inisial adanya pertumbuhan awan
(Markowski et.al., 2010).
Diawali dengan motivasi untuk pemanfaatan teknologi X-band radar (9.4 GHz) yang dapat
dipindahkan (transportable), telah dilakukan observasi awan yang berpotensi hujan di
wilayah Bandung, Jawa Barat. Gambar 1 menunjukkan titik lokasi pengamatan radar.
Tercatat bahwa koordinat lokasi pengamatan adalah 107,69o BT dan 6,89
o LS. Gambar 2
memperlihatkan foto instrumen X-band radar yang dibawa oleh bus dan ditempatkan di
suatu area sehingga tidak ada penghalang disekitarnya untuk melakukan pengamatan awan.
Eksperimen ini bertujuan untuk mengamati pertumbuhan awan dan variasi cuaca harian di
wilayah Bandung dan sekitarnya. Periode pengamatan adalah darri tanggal 13 Maret 2013
pukul 18 UTC atau dinihari pukul 01.00 WIB tanggal 14 Maret 2013 sampai dengan 19
Maret 2013 pukul 07 UTC atau pukul 14.00 WIB.
Gambar 3 Lokasi titik pengamatan radar di daerah Gedebage, Bandung,
Jawa Barat. Koordinat titik pengamatan adalah 107,69o BT dan
6,89o LS.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 219 ~
Gambar 4. Instrumen Transportable X-band radar yang ditempatkan di wilayah Gedebage,
Bandung untuk pengamatan awan dan variasi cuaca harian.
2. DATA DAN METODE
Data yang digunakan dalam makalah ini adalah hasil eksperimen pengamatan
Transportable X-band Radar selama periode observasi sebagaimana disebutkan pada bab
sebelumnya. Parameter dasar hasil pengamatan radar meliputi besaran reflektivitas
(reflectivity) dalam satuan desibell (dB atau dBz), lebar spektrum (spectral width) yang
merepresentasikan banyaknya objek yang terekam oleh radar dalam satu elemen volume,
dan kecepatan (radial velocity) atau kecepatan gerak objek terhadap radar.
Observasi awan menggunakan Transportable Xband Radar didasarkan pada skedul yang
dirancang. Skedul yang dimaksud meliputi Plan Position Indicator (PPI) dan Range
Height Indicator (RHI). Pengamatan PPI mencakup satu lingkaran penuh (360o) atau
disebut juga sebagai surveillance (Fang et.al., 2004) yang diatur mulai dari elevasi 0o
hingga 50o untuk kenaikan setiap 1
o. Adapun pengamatan RHI mencakup hingga elevasi
80o untuk azimuth tiap 30
o.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 220 ~
Gambar 5. Skedul pengoperasian X-band radar selama periode pengamatan (13 – 19
Maret 2013) untuk observasi cuaca di wilayah Bandung dan sekitarnya.
Gambar 3 di atas memperlihatkan skedul pengoperasian radar selama periode
pengamatan. Warna cyan menunjukkan skedul PPI, dan warna magenta menunjukkan
skedul RHI. Warna putih dalam interval waktu 00 – 24 UTC menunjukkan tidak ada
pengamatan karena instrumen radar dihentikan sementara untuk menghindari panas yang
berlebih pada sistem generator. Pada awal pengamatan hanya dilakukan dengan skedul
RHI. Kemudian pada hari kedua telah dicoba untuk pengamatan kontinu dengan skedul
PPI. Setelah mengevaluasi hasil kedua metode pengamatan tersebut, skedul observasi
dilanjutkan dengan selang-seling antara PPI dan RHI.
Dalam makalah ini hanya dibatasi pada analisis data reflektivitas dari kedua skedul
pengamatan. Oleh karena radar hanya mendeteksi tetes awan yang berpotensi hujan
(sebagaimana bergantung pada besar frekuensi yang dipancarkan), maka dari hasil
perekaman tidak terlihat data signifikan apabila kondisi cuaca cerah pada saat observasi.
Data yang tidak signifikan tercatat pada waktu dini hari hingga pagi hari selama periode
observasi.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 221 ~
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Observasi radar berbasis pemindaian volume (volume scan) yang meliputi skedul
PPI dan RHI mampu mengamati suatu volume atmosfer di sekeliling radar. Hasil skedul
PPI untuk ketinggian tertentu disebut Constant Altitude Plan Polar Indicator (CAPPI).
Artinya, dari semua hasil pemindaian dalam satu skedul data yang dicuplik hanya pada
ketinggian yang sama. Gambar 4 mendeskripsikan data reflektivitas di ketinggian 3 km
pada tanggal 14 Maret 2013 pukul 09 UTC. Tercatat bahwa radar mampu mengamati
atmosfer hingga mencapai 82 km jarak horizontal dari titik lokasi radar. Warna abu-abu
dalam gambar menunjukkan bahwa kondisi atmosfer di atas wilayah tersebut cerah atau
tidak terdapat pertumbuhan awan yang berpotensi hujan.
Gambar 6 Data reflektivitas di ketinggian 3 km (CAPPI) pada tanggal 14 Maret 2013
pukul 09 UTC.
Semakin tinggi nilai reflektivitas yang ditampilkan pada pemantauan radar cuaca,
memberi arti bahwa pada wilayah tersebut terdapat awan konvektif yang berpotensi hujan
(Steiner et.al., 1995). Gambar 4 diatas menunjukkan adanya aktifitas konvektif untuk nilai
reflektivitas lebih dari 35 dBz di sekitar wilayah utara radius 25 – 50 km dan wilayah
selatan radius 25 km atau berada di atas pegunungan di sekeliling wilayah Bandung (peta
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 222 ~
topografi pada Gambar 1). Berdasarkan kriteria yang dikategorikan oleh (Anagnostou,
2004) dalam mengklasifikasikan presipitasi jenis konvektif dan stratus (stratiform), maka
dapat dilihat pula bahwa awan konvektif terlihat lebih tebal yang ditunjukkan oleh nilai
reflektivitas > 45 dBz di wilayah barat.
Hasil pengamatan pada tanggal 15 Maret 2013 sekitar pukul 09 UTC atau pada sore hari
(16.00 WIB) memperlihatkan kondisi cuaca yang dipenuhi oleh aktifitas konvektif di
sekitar Bandung (Gambar 5). Hal ini mengindikasikan adanya variasi cuaca harian
berdasarkan hasil observasi selama kurun waktu 5 – 6 hari. Tampak jelas bahwa aktifitas
konvektif dipengaruhi oleh faktor topografi di sekitar wilayah Bandung.
Gambar 7 Data reflektivitas di ketinggian 3 km pada tanggal 15 Maret 2013 pukul 09
UTC.
Selain pertumbuhan awan konvektif, hasil dari observasi dengan skedul RHI juga
menampilkan awan stratus atau awan tinggi yang dicirikan oleh nilai reflektivitas < 30 dBz
(Matyas, 2008). Gambar 6 dan Gambar 7 memperlihatkan contoh hasil rekaman RHI
berturut-turut pada tanggal 15 dan 16 Maret 2013 sekitar pukul 08 – 10 UTC atau 15.00 –
17.00 WIB. Gambar 6 menunjukkan di arah barat daya (azimut 330o) dari titik pengamatan
terdapat awan stratus dalam radius 20 km dengan ketinggian awan 10 km, dan awan
kumulonimbus yang menjulang tinggi hingga 15 km dalam radius 30 – 80 km.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 223 ~
Gambar 8 Data reflektivitas pada tanggal 15 Maret 2013 pukul 09.55 UTC arah barat
daya (azimut 330o).
Hasil observasi pada tanggal 16 Maret 2013 (Gambar 7) memperlihatkan terdapat
pertumbuhan awan konvektif di radius 30 km dan 50 km arah utara dari titik pengamatan.
Apabila diperhatikan kembali peta topografi di sekitar wilayah Bandung dimana terdapat
gunung Tangkuban Perahu, maka semakin jelas bahwa faktor orografik mempengaruhi
pertumbuhan awan konvektif. Selain hal tersebut yang diatas, tercatat pula bahwa secara
rata-rata puncak pertumbuhan awan terjadi sekitar pukul 09 UTC (16.00 WIB).
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 224 ~
Gambar 9 Data reflektivitas pada tanggal 16 Maret 2013 pukul 08.47 UTC arah utara
(azimut 0o).
Hasil eksperimen ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam menganalisisi lebih lanjut
terkait fenomena fisis yang terdapat dalam awan seperti turbulensi dalam awan
cumulonimbus. Selain hal tersebut dapat pula dilakukan pembandingan data reflektivitas
terhadap data pengamatan curah hujan permukaan guna mencari persamaan empirik
seperti yang dilakukan oleh (Bhattacharya et.al., 2011; Hagen dan Yuter, 2003). Data
eksperimen ini juga dapat dimanfaatkan untuk validasi simulasi model numerik
pertumbuhan awan.
4. KESIMPULAN
Observasi Transportable X-band Radar menunjukkan bahwa radar cuaca tersebut
mampu mengamati awan yang berpotensi hujan di sekitar titik pengamatan melalui dua
metode dasar obsevasi, yakni PPI dan RHI. Secara rata-rata tercatat bahwa radar mampu
mengamati atmosfer hingga 82 km jarak horizontal. Puncak aktivitas konvektif terjadi
sekitar pukul 09 UTC (16 LT) atau pada waktu sore hari. Observasi RHI tidak hanya
menampilkan pertumbuhan awan konvektif yang ditandai oleh nilai reflektivitas > 35 dBz,
namun mengindikasikan pula adanya awan stratus di ketinggian 10 km (nilai reflektivitas <
30 dBz). Variasi harian pertumbuhan awan konvektif di sekitar titik pengamatan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 225 ~
dipengaruhi oleh faktor topografi pegunungan. Analisis awal hasil eksperimen ini dapat
menjadi dasar untuk analisis lanjutan terkait fenomena fisis pertumbuhan awan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer yang
mendukung pelaksanaan eksperimen pengamatan menggunakan Transportable X-band
Radar. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan observasi.
DAFTAR RUJUKAN
Anagnostou, E.N., A convective/stratiform precipitation classification algorithm for
volume scanning weather radar observations, Meteor.Appl.11,291-300, 2004.
Battacharya, A.B., D.K. Tripathi, A. Nag, dan M. Debnath, Measurement of Rain Drop
Size Distribution from Radar Reflectivity and Associated Rain Attenuation of Radio
Waves, International Journal of Engineering Sciences and Technology (IJEST), 3,
4171-4179, 2011.
Fang, M., Doviak, R.J., dan Melnikov, V., Spectrum Width Measured by WSR-88D: Error
Sources and Statistics of Various Weather Phenomena, J. Atmos. Sci. 21, 888-904,
2004.
Hagen, M., dan S.E., Yuter, Relations between Radar Reflectivity, Liquid Water Content,
and Rainfall Rate during MAP SOP, Q.J.R. Meteorol. Soc., 129, 477-493, 2003.
Markowski, P., dan Y. Richardson, Mesoscale Meteorology in Midlatitudes, Wiley-
Blackwell Pub., ISBN: 978-0-470-74213-6, 2010.
Matyas, C.J., A Spatial Analysis of Radar Reflectivity Regions within Hurricane Charley
(2004), Journal of Appl. Meteor. And Clim., 48, 130-142, 2008.
Steiner, M., Houze Jr., R.A., and Yuter, S.E., Climatological Characterization of Three-
Dimensional Storm Structure from Operational Radar and Rain Gauge Data, J. Appl.
Meteor., 34, 1978-2007, 1995.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 226 ~
KOREKSI ESTIMASI DATA CURAH HUJAN SATELIT
TRMM PRODUK LEVEL 3B31 DAN 3B43 DI STASIUN
METEOROLOGI SAM RATULANGI
SELAMA PERIODE 2003-2012
Novvria Sagita
Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi
Abstract TRMM satellite has one function which is to estimate rainfall. The function of estimating
rainfall is use to obtain rainfall data in an area with no rainfall measurements, but in some
previous research shows that there are significant deviations between observation rainfall
data and TRMM estimation. This research compares rainfall data in Sam Ratulangi
Manado Meteorological Stations with data of TRMM satellite level product 3B31 and
3B43 to obtain corrected estimations of TRMM to approaches the data values of surface
rainfall observation. The index multiplied with TRMM estimation level product of 3B31 is
2.91 to obtain TRMM rainfall estimation corrected level product o3B31. The index
multiplied with TRMM estimation level product 3B43 is 1.59 to obtain TRMM rainfall
estimation corrected level product 3B43. Estimation of TRMM rainfall corrected product
level 3B31 and 3B43 are able to reduce the deviation with surface rainfall observation
data.
Keywords: TRMM satellite, Rainfall estimation, 3B31, 3B43.
Abstrak Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) memiliki salah satu fungsi yaitu
untuk estimasi curah hujan. Fungsi estimasi curah hujan inilah yang bisa digunakan untuk
mendapatkan data curah hujan di suatu wilayah yang tidak ada pengukuran curah hujan,
tapi beberapa penelitian sebelumnya menunjukan bahwa terdapat selisih yang besar antara
data observasi curah hujan di permukaan dengan estimasi TRMM. Penelitian ini
membandingan data curah hujan di stasiun meteorologi Sam Ratulangi dengan data
estimasi curah hujan satelit TRMM produk level 3B31 dan 3B43 agar diperoleh estimasi
TRMM yang terkoreksi mendekati nilai observasi curah hujan di permukaan. Indeks yang
dikalikan dengan estimasi TRMM produk level 3B31 adalah 2.91 agar memperoleh
estimasi curah hujan TRMM produk level 3B31 terkoreksi dan Indeks yang dikalikan
dengan estimasi TRMM produk level 3B43 adalah 1.59 agar memperoleh estimasi curah
hujan TRMM produk level 3B43 terkoreksi. Estimasi curah hujan TRMM produk level
3B31 dan 3B43 yang telah terkoreksi mampu memperkecil selisih dengan data observasi
curah hujan di permukaan.
Kata Kunci : Satelit TRMM, Estimasi curah hujan, 3B31, 3B43
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 227 ~
1. PENDAHULUAN
Manado merupakan kota yang terletak di 1o 25' 88" - 1
o 39' 50" LU dan 124
o 47'
00" - 124 o
56' 00" BT. Kota Manado masuk dalam dalam tipe pola hujan Mosunal[1]
.
Pengamatan curah hujan biasanya menggunakan penakar hujan observasi yang manual
atau yang otomatis seperti penakar hujan Hellman atau penakar hujan yang terdapat di
AWS (Automatic Weather System).
Pada era ini dikenal satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) adalah
satelit milik NASA (National Aeoronautics And Space Administration). Satelit TRMM
berguna untuk mendeteksi curah hujan di wilayah yang tidak ada pos pengamatan sinoptik
. Penelitian tentang estimasi curah hujan TRMM produk level 3B43 sebelumnya di
Indonesia menunjukkan bahwa hubungan antara TMPA dengan data lapangan dari Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) adalah tinggi khususnya terhadap pola
hujan bulanan [2]
. Vernimmen et al. (2012) melakukan kajian tentang estimasi curah hujan
satelit TRMM produk level 3B42 di Indonesia dengan mengambil contoh wilayah di
Jakarta, Bogor, Bandung, Lampung, Jawa Timur dan Banjar Baru dan menghasilkan
estimasi curah hujan TRMM produk level 3B42 yang terkoreksi yang bisa mengurangi
relatif bias terhadap data observasi curah hujan dipermukaan[3]
. Penelitian ini dibatasi
hanya mengetahui nilai koreksi estimasi akumulasi curah hujan bulanan satelit TRMM
produk level 3B31 dan produk level 3B43 dengan pengamatan pengangkar curah hujan
dari tahun 2003 – 2012. Penelitian ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui nilai
koreksi estimasi curah hujan TRMM produk level 3B31 dab 3B43 agar mendekati data
observasi curah hujan di permukaan.
Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi, yaitu suatu unsur hidrometeor yang
jatuh ke permukaan bumi yang memiliki diameter 0,5 mm atau lebih. Tidak semua unsur
hidrometeor tesebut sampai ke permukaan bumi [4]
.
Alat untuk observasi curah hujan disebut pengangkar hujan. Tipe pengangkar
hujan ada 2 tipe yaitu observasi (manual) dan otomatis. Penakar hujan observasi
mengukur curah hujan yang jatuh ke permukaan bumi yang memiliki satuan mm. 1 mm
curah hujan berarti tinggi curah hujan pada luasan 1 m2. Satelit TRMM (Tropical Rainfall
Measuring Mission) adalah program kerjasama antara NASA (National Aeoronautics And
Space Administration) dan NASDA (National Space Development Agency). Tujuan
program ini untuk mengukur curah hujan dan energi (seperti contoh panas laten dari
kondensasi uap air) di wilayah tropis dan subtropics[5]
.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 228 ~
Data 3B31 merupakan gabungan dari data 2B31 yang merupakan produk sensor PR
didasarkan teknik yang dikembangkan Haddad et al. [1997a, 1997b] dan data 2A12 yang
merupakan hasil produk TMI. Resolusi dari data 3B31 adalah 0.5o X 0.5
o[6]. Data 3B43
adalah data gabungan data harian 3B42 dengan data GPCC (Global Precipitation
Climatology Centre). Hasil data 3B43 merupakah akumulasi curah hujan bulanan dengan
resolusi 0.25 o x 0.25
o[7].
3. DATA DAN METODE
Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data total curah hujan bulanan di
stasiun meteorologi Sam Ratulangi dan Produk data estimasi curah hujan bulanan 3B31
dan 3B43 periode 2003 sampai 2012.
Data estimasi curah hujan satelit TRMM dalam produk 3B31 dan 3B43 dalam
bentuk grib yang diolah dengan software Matlab 10 dengan script yang kami lampirkan.
Data yang estimasi curah hujan satelit TRMM diambil adalah data grid yang terdekat
dengan lokasi tempat observasi curah hujan di stasiun meteorologi Sam Ratulangi Manado.
Langkah – langkah yang dilakukan pada penelitian ini meliputi :
1. Download produk data satelit TRMM 3B31 dan 3B43 dalam format Netcdf dari tahun
2003 sampai 2012[8]
.
2. Mengumpulkan data observasi total curah hujan bulanan di stasiun meteorologi Sam
Ratulangi Manado dari tahun 2003 sampai 2012.
3. Menghitung total curah hujan tahunan data observasi penakar hujan, estimasi curah
hjan satelit TRMM produk level 3B31 dan 3B43.
4. Menghitung nilai korelasi antara estimasi curah hujan produk level 3B31 dan produk
level 3B43 dengan data penakar hujan:
√
Keterangan :
= nilai korelasi estimasi curah hujan produk level 3B31 dan produk level 3B43.
= variabel estimasi curah hujan produk level 3B31 atau produk level 3B43.
= variabel data penakar hujan.
5. Menghitung :
a. Relatif bias (%) =
b. Root Mean Square Error (RMSE)
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 229 ~
=√
Keterangan :
= data curah hujan penakar hujan.
=estimasi curah hujan produk level 3B31 atau 3B43.
6. Mencari indeks koreksi (K) TRMM level 3B31 dan 3B43
TRMMterkoreksi=K.TRMM
(
)
7. Membuat grafik perbandingan rata-rata curah hujan bulanan data observasi penakar
hujan, TRMM dan TRMM terkoreksi.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 4.1. Grafik data curah hujan bulanan observasi permukaan, TRMM produk level
3B31 dan 3B43
Gambar 4.1,menunjukan data TRMM produk level 3B31 memiliki selisih yang lebih
tinggi dari data estimasi TRMM produk level 3B43, hal ini disebabkan karena resolusi data
3B43 lebih tinggi yaitu 0.25o X 0.25
o (25 km), sedangkan 3B31 memiliki resolusi data 0.5
o
X 0.5o (50 km).
0
200
400
600
800
1000
1 6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
10
1
10
6
11
1
11
6
Data curah hujan bulanan observasi permukaan, TRMM produk level 3B31 dan 3B43
Observasi 3B31 3B43
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 230 ~
Tabel 4.1. Tabel korelasi observasi penakar curah hujan dengan TRMM produk level 3B31
dan 3B43.
Korelasi
Observasi
3B31 0.637723698
3B43 0.886664486
Tabel 4.1 menunjukan nilai korelasi produk level 3B31 dan 3B43 terhadap data
penakar hujan yang lebih dari 0.5 menunjukan bahwa data 3B43 dan 3B31 memiliki
keterkaitan yang tinggi terhadap data curah hujan observasi penakar curah hujan.
Tabel 4.2. Relatif bias dan RMSE data curah hujan tahunan penakar hujan dan estimasi
TRMM produk level 3B31.
Tahun Penakar
hujan
3B31
terkoreksi
3B31 R.Bias RMSE R.BIAS
terkoreksi
RMSE
terkoreksi
2003 3387.8 3333.12 1143.465 66.25% 225.9778 1.61% 153.5467
2004 2857.05 2497.05 856.64 70.02% 201.6694 12.60% 120.4335
2005 3665 3050.65 1046.56 71.44% 236.5226 16.76% 180.6056
2006 2954.6 2454.56 842.065 71.50% 250.4814 16.92% 119.6172
2007 3581 3355.92 1151.285 67.85% 236.8123 6.29% 189.8328
2008 3789.14 4320.98 1482.36 60.88% 234.9997 -14.04% 160.3821
2009 3063.1 4293.74 1473.015 51.91% 155.1781 -40.18% 183.6197
2010 3555.5 4541.84 1558.13 56.18% 215.1001 -27.74% 271.6125
2011 3665 3920.76 1345.06 63.30% 223.0873 -6.98% 164.7007
2012 3775.2 3563.72 1222.575 67.62% 248.2164 5.60% 144.0087
Pada tabel 4.2 menggambarkan bahwa produk level 3B31 memiliki selisih nilai
curah hujan yang tinggi karena ditunjukan nilai relatif bias yang tinggi yaitu rata-rata
kisaranan lebih dari 60% dan nilai root mean square error (RMSE) untuk data estimasi
curah hujan produk level 3B31 memiliki nilai kisaran lebih dari 200. Indeks koreksi untuk
produk level 3B31 adalah 2.91. Relatif bias data 3B31 yang telah terkoreksi terhadap data
penakar hujan lebih rendah dari relatif bias data 3B31 yang belum terkoreksi. Nilai RMSE
rata-rata mengalami penurunan setelah data 3B31 terkoreksi Hal itu dapat dilihat pada
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 231 ~
gambar 4.2. Produk level 3B31 yang telah terkoreksi memiliki nilai hampir mendekati data
penakar hujan.
Gambar 4.2. Curah hujan rata-rata bulanan penakar hujan obs (AV obs), TRMM 3B31
(AV TRMM), dan TRMM 3B31 terkoreksi (AV TRMMC) periode tahun 2003 - 2012
Tabel 4.3. Relatif bias dan RMSE data curah hujan tahunan penakar hujan dan estimasi
TRMM produk level 3B43.
Tahun Penakar
hujan
3B43 3B43
terkoreksi
R.Bias R.BIAS
terkoreksi
RMSE
RMSE
terkoreksi
2003 3387,8 2154,995 3.430,38 36,39% -1% 131,0573 49,17
2004 2857,05 1333,575 2.628,94 53,32% 8% 123,0782 47,96
2005 3665 2154,995 3.430,38 41,20% 6% 127,8105 137,31
2006 2954,6 1763,345 2.806,94 40,32% 5% 135,9872 136,02
2007 3581 2186,425 3.480,41 38,94% 3% 143,4018 76,50
2008 3789,14 2456,815 3.910,82 35,16% -3% 396,8086 57,42
2009 3063,1 1896,625 3.019,10 38,08% 1% 126,771 60,76
2010 3555,5 2731,075 4.347,40 23,19% -22% 105,2777 121,76
2011 3665 2950,985 4.697,45 19,48% -28% 89,04075 138,22
2012 3775,2 2347,235 3.736,39 37,82% 1% 141,1584 51,52
Pada tabel 4.3 menunjukan selisih yang besar antara estimasi curah hujan TRMM
produk level 3B43 dengan penakar hujan. Nilai RMSE produk level 3B43 terhadap
penakar hujan kisran 105 hingga 397. Indeks koreksi untuk produk level 3B43 yaitu 1,59.
Tabel 4.3 menunjukan relatif bias estimasi produk level 3B43 terkoreksi terhadap data
penakar hujan lebih rendah dari relatif bias produk level 3B43 yang belum terkoreksi.
Produk level 3B43 yang telah terkoreksi memiliki nilai hampir mendekati data penakar
0
100
200
300
400
500
JAN
FEB
MA
R
AP
R
MEI
JUN
JUL
AG
ST
SEP
T
OK
T
NO
V
DES
AV OBS
AV TRMM
AV TRMMC
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 232 ~
hujan, sehingga indeks koreksi bisa digunakan untuk meminimalisir perbedaan antara data
curah hujan penakar hujan dengan estimasi curah hujan satelit TRMM produk level 3B43.
Gambar 4.3 Curah hujan rata-rata bulanan penakar hujan obs (AV obs), TRMM 3B43
(AV TRMM), dan TRMM 3B43 terkoreksi (AV TRMMC) periode tahun 2003 – 2012.
5. KESIMPULAN
Uraian perbandingan data curah hujan penakar hujan dengan estimasi satelit
TRMM produk level 3B31 dan produk level 3B43 dapat ditarik keimpulan bahwa Estimasi
curah hujan satelit TRMM memiliki korelasi yang tinggi dengan data penakar hujan yaitu
untuk produk level 3B31 memiliki nilai korelasi 0.64 dan pada produk level 3B43
memiliki nilai korelasi 0.89. Indeks koreksi estimasi produk level 3B31 sebesar 2.91 dan
produk level 3B43 sebesar 1.59 untuk data hujan di stasiun meteorologi Sam Ratulangi.
Nilai RMSE yang besar antara data estimasi curah hujan satelit TRMM dengan data
observasi permukaan disebabkan posisi grid yang diamati satelit TRMM tidak tepat
dengan grid observasi permukaan, sehingga terjadi perbedaan besar antara data curah hujan
observasi permukaan dengan estimasi curah hujan satelit TRMM. Indek koreksi
menghasilkan estimasi curah hujan satelit TRMM produk level 3B31 yang telah dikoreksi
dan dan produk level 3B43 yang telah terkoreksi. Produk level 3B31 dan 3B43 yang telah
dikoreksi mempunyai nilai RMSE rata-rata 50% lebih rendah dari nilai RMSE produk
level 3B31 dan 3B43 yang belum dikoreksi dan produk level 3B31 dan 3B43 memiliki
nilai relaif bias rata-rata 90% lebih rendah dari data estimasi yang belum dikoreksi. Saran
untuk penelitian ini kedepannya adalah perlu adanya penelitian untuk wilayah lain dan
dalam periode waktu yang lebih lama dan produk level yang lain yang berisi data
akumulasi curah hujan.
0
100
200
300
400
500
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGST SEPT OKT NOV DES
AV obs
AV TRMM
AV TRMMc
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 233 ~
UCAPAN TERIMA KASIH.
Ucapan terimkasih kepada bapak Samsul Arifin ST dan Ratih Prasetya S.Si yang memberi
saran masukan untuk penelitian ini hingga selesainya penilitian ini.
DAFTAR RUJUKAN
[1] Aldrian and Susanto. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions Within
Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. Wiley Interscience.
23: 1435 – 1452.
[2] Suryantoro et al. (2008). Annual and Interannual Variability of Precipitation Based on
3B43 TRMM Data Analysis. International Symposium on Equatorial Monsoon
System, 16-17 September 2008, pg. 105-113. Jakarta: Puslitbang BMKG
[3] Vernimmen, R. R. E.; Hooijer, A.; Mamenun; Aldrian, E. (2011). Evaluation and bias
correction of satellite rainfall data for drought monitoring in Indonesia. Volume 8,
Issue 3, pp.5969-599.Hydrology and Earth System Sciences Discussions.
[4] Prawirowardoyo, Susilo. 1996. Meteorologi. Penerbit ITB. Bandung.
[5] About TRMM.(2013).(http://www.eorc.jaxa.jp/TRMM/about/history/history_e.htm),
diakses pada tanggal 25 Mei 2013.
[6] Produl level 3B31. (2013).
(http://rain.atmos.colostate.edu/CRDC/datasets/TRMM_3B31.html), diakses pada
tanggal 25 Mei 2013.
[7] Produl level 3B43. (2013).
(http://rain.atmos.colostate.edu/CRDC/datasets/TRMM_3B43.html), diakses pada
tanggal 25 Mei 2013.
[8] download produk level 3B31 dan 3B43.(2013).(http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daac-
bin/G3/gui.cgi?instance_id=TRMM_Monthly), diakses pada tanggal 25 Mei 2013.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 234 ~
ANALISIS DIURNAL PARAMETER CUACA MIKRO DI
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. EMAL
KABUPATEN SAROLANGUN PROVINSI JAMBI
Radyan Putra Pradana, Kadarsah
Puslitbang BMKG Jakarta. Jl. Angkasa I No. 2 Kemayoran 10720
Email : [email protected]
Abstract
Diurnal analysis of micro weather were conducted by considering the influence of the oil
palm canopy cover of the meteorological parameters. The research was done by comparing
the results of measurements of Portable Weather Station (PWS) I and II. Measurements
PWS I placed under the palm canopy with PWS II were placed in an open area. Conditions
showed that the palm canopy affect micro weather which has level differences fluctuation,
and the difference level getting more widening after 16.00 pm. Temperature difference of
about 0.5 - 30
C, with a significant reduction occurs in PWS I due to the influence of the oil
palm canopy. Diurnal moisture also shows a difference of 1 - 5 %, diurnal pressure
difference of 0.5 - 1 mb. In addition, wind speed PWS I fluctuate but not as much
fluctuation in PWS II. Wind direction that occurs in PWS I was more focused on one way
and not spread out like that happened in PWS II. The wind direction due to the spread of
PWS II position in an open area.
Keywords : diurnal analysis, micro weather, Portable Weather Station
Abstrak
Analisis diurnal cuaca mikro dilakukan dengan memperhatikan pengaruh tutupan tajuk
kelapa sawit terhadap parameter meteorologi. Penelitian ini dilakukan dengan cara
membandingkan hasil pengukuran Portable Weather Station (PWS) I dan PWS II.
Pengukuran (PWS) I yang ditempatkan dibawah tajuk kelapa sawit dengan PWS II yang
ditempatkan di area terbuka. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa tajuk kelapa sawit
mempengaruhi cuaca mikro dengan tingkat perbedaan yang berfluktuasi dan perbedaan
tersebut makin membesar setelah pukul 16.00 WIB. Perbedaan temperatur sekitar 0.5 - 30
C, dengan penurunan yang signifikan terjadi pada PWS I akibat pengaruh tajuk kelapa
sawit. Kelembapan diurnal juga menunjukkan perbedaan sebesar 1-5 %, perbedaan
tekanan diurnal sebesar 0.5 - 1 mb. Selain itu, kecepatan angin PWS I berfluktuasi tetapi
tidak sebesar fluktuasi di PWS II. Arah angin yang terjadi di PWS I lebih terfokus pada
salah satu arah dan tidak tersebar seperti yang yang terjadi pada PWS II. Tersebarnya arah
angin tersebut akibat posisi PWS II yang di area terbuka.
Kata Kunci : analisis diurnal, cuaca mikro, Portable Weather Station
1. Pendahuluan
1.1. Kondisi Geografis
Kabupaten Sarolangun adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jambi, Indonesia
(Gambar 1.1). Luas wilayahnya 6.174 km² dengan populasi 246.245 (sensus penduduk
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 235 ~
2010. Ibu kotanya ialah Sarolangun. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo,
Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur
(http://id.wikipedia.org/wiki/Sarolangun, diakses tanggal 01 oktober 2012). Sebelumnya,
kabupaten ini bersama-sama dengan Kabupaten Merangin membentuk Kabupaten
Sarolangun-Bangko. Secara geografis, Kabupaten Sarolangun terletak antara 01°53‟39‟‟
sampai 02°46‟02‟‟ Lintang Selatan dan antara 102°03´39‟‟ sampai 103°13´17‟‟ Bujur
Timur dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 10 sampai dengan 1000
meter dari permukaan laut. Luas wilayah administratif Kabupaten Sarolangun meliputi
6.174 Km2, terdiri dari Dataran Rendah 5.248 Km
2 (85%) dan dataran tinggi 926 Km
2
(15%). Secara administratif pada awal berdirinya Kabupaten Sarolangun terdiri atas 6
kecamatan, 4 kelurahan dan 125 desa. sampai dengan tahun 2010 Kabupaten Sarolangun
terdiri dari 10 kecamatan, 9 kelurahan dan 134 desa dengan jumlah penduduk pada tahun
2008 sebanyak 214.036 jiwa dengan kepadatan penduduk 32 jiwa/Km2, rata-rata
pertumbuhan penduduk pertahun mencapai 2,48 persen.
Gambar 1.1. Peta lokasi Kabupaten Sarolangun (warna merah) dengan koordinat: 01°53‟39‟‟-
02°46‟02‟‟ LS 102°03´39‟‟-103°13´17‟‟ BT.
Peningkatan luas lahan kelapa sawit selalu meningkat dari tahun ke tahun sehingga
perlu diketahui pengaruh peningkatan tutupan kelapa sawit tersebut terhadap parameter
meteorologi. Fokus penelitian ini adalah mengenali pengaruh tutupan tajuk kelapa sawit
terhadap parameter meteorologi sehingga dapat diketahui kondisi cuaca mikro dibawah
tajuk kelapa sawit. Kondisi cuaca mikro di bawah tajuk kelapa sawit belum banyak
dilakukan oleh peneliti di Indonesia (Purba, 2007 dan Ridwan, 2009). Penelitian ini
dilakukan di perkebunan kelapa sawit PT. EMAL Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi
dengan menggunakan Portable Weather Station (PWS) I dan PWS II. Pengukuran PWS I
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 236 ~
ditempatkan di bawah tajuk kelapa sawit, sedangkan PWS II ditempatkan di area terbuka.
Hasilnya kemudian dibandingkan sehingga diketahui perbedaan hasil pengukuran tersebut.
1.2. Deskripsi PWS
Pengamatan kondisi atmosfer menggunakan PWS Vaisala tipe WXT520 di
Provinsi Jambi dilakukan di perkebunan PT Era Mitra Agro Lestari (EMAL). Pengamatan
ini dilakukan untuk mengetahui kondisi mikro khususnya di daerah perkebunan kelapa
sawit. PWS Vaisala tipe WXT520 merupakan alat pengukur parameter cuaca yang terdiri
dari enam sensor (Gambar 1.2).
Gambar 1.2. Sensor-sensor PWS Vaisala WXT520. Sensor yang terdiri dari 1). Kecepatan
Angin dan Arah Angin 2). Presipitasi 3). Tekanan Atmosfer terdapat di dalam modul 4).
Suhu dan Kelembapan terdapat di dalam modul
Kelebihan alat pengukur cuaca ini adalah sangat mudah dioperasikan,
ringan/mudah dibawa dan memiliki enam buah sensor dalam satu paket. Pada bagian
sensor kecepatan dan arah angin terdapat teknologi sonic dimana sensor angin memiliki
sebuah array dari tiga transducer ultrasonik yang sama pada bidang horizontal. Kecepatan
angin dan arah angin ditentukan dengan mengukur waktu yang dibutuhkan ultrasound
untuk perjalanan dari masing-masing transduser dengan dua lainnya. Sensor angin
mengukur waktu transit (di kedua arah) sepanjang tiga jalur yang ditetapkan oleh array
transducer. Waktu transit ini tergantung pada kecepatan angin sepanjang jalur ultrasonik.
Untuk kecepatan angin nol, baik waktu transit menuju dan kembali adalah sama.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 237 ~
Gambar 1.3. Sensor arah angin dan kecepatan angin dalam vektor
Gambar 1.4. Waktu perjalanan gerak sonic dari transducer pengirim ke transducer penerima
yang arahnya telah ditentukan.
Gambar 1.5. Konfigurasi dari segitiga sama sisi dari tiga transduser
Rumus yang digunakan untuk kecepatan angin adalah :
Vw = 0.5 x L x 1 (tf – 1 tr)
dimana,
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 238 ~
Vw = Kecepatan Angin
L = Jarak diantara dua transduser
tf = Waktu transit arah menuju
tr = Waktu transit arah membalik
Gambar 1.6. Desain lokasi pengamatan PWS
. Gambar 1.7. Unit bagian bawah PWS WXT520
Untuk menentukan arah utara terdapat tulisan “NORTH” pada unit bagian bawah
PWS WXT520. Software aplikasi untuk menampilkan dan menyimpan data parameter
cuaca pada PWS Vaisala WXT520 menggunakan weather display versi 10.37P. Pada
software aplikasi ini terdapat beberapa parameter-parameter cuaca yang dapat ditampilkan
secara real time diantaranya : kecepatan angin, arah angin, suhu, kelembapan, presipitasi
dan tekanan. Data-data parameter cuaca tersebut dapat disimpan dalam rentang waktu
setiap satu menit secara kontinyu dalam format excel.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 239 ~
Gambar 1.8. Offset arah angin
2. Metodologi
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil pengukuran PWS I
yang ditempatkan dibawah tajuk kelapa sawit dengan PWS II yang ditempatkan di area
terbuka. Hasil yang diperoleh dianalisis untuk mengetahui pengaruh tajuk kelapa sawit
terhadap cuaca mikro di lingkungan tersebut. Penempatan PWS I dan II serta lingkungan
daerah penelitian ditunjukkan Gambar 2.1 dan Gambar 2.2 menunjukkan kondisi di
perkebunan kelapa sawit. Waktu pengukuran, dilakukan selama tanggal 11-17 Juli 2012.
Gambar 2.1. Aplikasi weather display untuk menampilkan parameter meteorologi secara real
time dengan menggunakan PWS
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 240 ~
Gambar 2.2. Lokasi penempatan PWS I dan PWS II di PT. EMAL
Gambar 2.3. Sensor PWS yang diletakkan dibawah tajuk kelapa sawit
3. Hasil dan Pembahasan
Hasil pengamatan pada PWS I dan II dibandingkan dalam satu grafik seperti
Gambar 3.1 yang menunjukkan grafik perbedaan temperatur diurnal PWS I dan II. Kondisi
tersebut memperlihatkan bahwa tajuk kelapa sawit mempengaruhi cuaca mikro dengan
tingkat perbedaan yang berfluktuasi dan perbedaan tersebut makin membesar setelah pukul
16.00 WIB. Perbedaan temperatur sekitar 0.5 - 3 0
C, dengan penurunan yang signifikan
terjadi pada PWS I akibat pengaruh tajuk kelapa sawit. Selain itu, grafik kelembapan
(Gambar 3.2) juga menunjukkan hal yang sama bahwa tajuk kelapa sawit mempengaruhi
kondisi kelembapan dengan perbedaan 1-5 %. Kelembapan yang tinggi diakibatkan
kondisi yang lembap akibat tutupan tajuk kelapa sawit. Grafik tekanan (Gambar 3.3) juga
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 241 ~
menunjukkan hal yang sama bahwa terdapat perbedaan tekanan diurnal antara PWS I dan
PWS II (0.5-1 mb). Tekanan yang tinggi pada PWS I akibat temperatur yang rendah dan
kelembapan tinggi yang terjadi di bawah tajuk kelapa sawit. Kondisi tersebut dapat
dipahami bahwa tajuk kelapa sawit akan mempengaruhi kondisi cuaca mikro sehingga
akan berbeda dengan cuaca sekitarnya.
Gambar 3.1. Plot rata-rata diurnal temperatur PWS I dan II
Gambar 3.2. Plot rata-rata diurnal kelembapan PWS I dan II
Gambar 3.3. Plot rata-rata diurnal tekanan PWS I dan II
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 242 ~
Parameter cuaca mikro lain yang terlihat jelas terpengaruh adalah kecepatan angin
(Gambar 3.4). Kecepatan angin di bawah tajuk kelapa sawit (PWS I) berfluktuasi tetapi
tidak sebesar fluktuasi PWS II. Kedua PWS menunjukkan fluktuasi yang tinggi saat
menjelang siang hari. Hal tersebut akibat turbulensi yang terjadi di permukaan bumi oleh
sinar matahari melalui proses pemanasan. Tajuk kelapa sawit berfungsi untuk mengurangi
turbulensi serta menghambat kecepatan angin yang terjadi di lokasi tersebut. Analisis arah
angin PWS I (Gambar 3.5) dan PWS II (Gambar 3.6) berupa windrose yang
memperlihatkan arah angin dominan yang terjadi di sekitar lokasi pengukuran. Arah
angin yang terjadi di PWS I lebih terfokus pada salah satu arah dan tidak tersebar seperti
yang yang terjadi pada PWS II. Tersebarnya arah angin tersebut akibat posisi PWS II di
area terbuka.
Gambar 3.4. Plot rata-rata diurnal kecepatan angin PWS I dan II
Gambar 3.5. Windrose di lokasi pengamatan PWS I
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 243 ~
Gambar 3.6. Windrose di lokasi pengamatan PWS II
Penelitian tentang cuaca mikro harus terus ditingkatkan dengan mempertimbangkan
morfologi permukaan dan penempatan alat pengamatan meteorologi. Selain itu, analisis
struktur vertikal atmosfer dengan memasukkan efek cuaca mikro masing-masing tipe dan
kekasaran permukaan yang terjadi dekat dengan sumber kekasaran berupa perkebunan
kelapa sawit. Hal ini berlaku untuk profil vertikal, fluks turbulensi energi spektrum
keseimbangan energi dan spektrum turbulensi. Analisis lebih dalam dapat dilakukan
dengan menggunakan konsep Urban Climate Zone (UCZ) (Gambar 3.7) seperti yang
dilakukan oleh Oke (2006). Jika konsep UCZ diterapkan untuk analisis cuaca mikro maka
daerah pengamatan tadi merupakan daerah dengan tipe UCZ 7 dengan karakteristik daerah
semi-rural dengan pemukiman yang tersebar dalam area perkebunan. Kekasaran tipe UCZ
ini berkategori 4, aspek rasio lebih besar dari 0.05 dengan kurang dari 10 % bangunan.
Kondisi di atas akan ikut membantu analisis cuaca mikro di sekitar perkebunan kelapa
sawit. Nilai-nilai di atas harus terus diteliti lebih jauh mengingat aspek rasio yang
tergantung dari tanaman yang berada di area tersebut. Sehingga aspek-aspek lainnya dapat
dipertimbangkan dengan lebih lengkap. Sebaliknya, jika pengamatan dilakukan di antara
gedung, di dalam kanopi perkotaan, hanya akan mewakili sebuah area yang lebih kecil dari
skala mikro. Hal tersebut akan sesuai, misalnya, untuk pengukuran urban heat island
(UHI). Lapisan kekasaran perkotaan bisa memberikan pemahaman yang lebih baik dalam
proses yang terjadi pada lapisan yang komplek tersebut (Oke, 2002, 2006). Penempatan
sensor meteorologi/klimatologi, seperti yang ditunjukkan Gambar 2.3, dilakukan dengan
mempertimbangkan berbagai faktor meteorologi, klimatologi serta aspek lainnya seperti
topografi. Panduan lengkap tentang penempatan alat pengamatan meteorologi tersebut
dapat dilihat di Oke (2002).
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 244 ~
Kondisi cuaca mikro di bawah tajuk kelapa sawit serta struktur vertikal atmosfer di
atasnya dipengaruhi oleh Planetary Boundary Layer (PBL). Ketinggian PBL atau disebut
Atmospheric Boundary Layer (ABL) (Todd and Glickman, 2000) merupakan bagian
terendah dari atmosfer dan karakteristiknya secara langsung dipengaruhi oleh kontak
dengan permukaan bumi (Todd and Glickman, 2000). Sehingga tingkat kekasaran dan
aktivitas yang berlangsung di area perkebunan kelapa sawit sangat mempengaruhi tinggi
PBL. Ketinggian yang rendah terjadi saat pagi dan malam hari sedangkan menjelang siang
hari ketinggian PBL mengalami kenaikan.
Gambar 3.7. Tipe Urban Climate Zones (UCZ) (Oke, 2006)
4. Kesimpulan
Kesimpulan berdasarkan pengamatan dan analisis yang telah dilakukan adalah
Sinar matahari yang terhalang tajuk kelapa sawit mengakibatkan proses pemanasan
permukaan bumi menjadi lambat dan tidak sekuat di area terbuka sehingga mempengaruhi
keenam parameter cuaca yang diamati, yaitu temperatur, tekanan, presipitasi, kelembapan,
kecepatan dan arah angin. Perbedaan temperatur didaerah pengamatan antara 0.5 - 30 C,
tekanan antara 0.5 - 1 mb, kelembapan 1 - 5 %, sedangkan arah angin sangat berfluktuasi.
Analisis cuaca mikro sangat memerlukan konsep Urban Climate Zone (UCZ) dan
Planetary Boundary Layer (PBL untuk analisis udara vertikal akibat tingkat kekasaran tipe
vegetasi berupa kelapa sawit.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 245 ~
Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini tidak dapat dilakukan tanpa bantuan DIPA Penelitian Klimatologi dan
Kualitas Udara 2012 PUSLITBANG BMKG, terima kasih yang sebesar-besarnya
diucapkan kepada rekan – rekan personil lapangan : Eko Heriyanto, Ratna Satyaningsih,
Danang Eko Nuryanto, Endarwin, Jose Rizal atas kerjasama tim.
Daftar Pustaka
Glickman, Todd:2000; ed. Glossary of Meteorology. American Meteorological Society:
Boston, Massachusetts
http://id.wikipedia.org/wiki/Sarolangun, diakses tanggal 01 oktober 2012
Kanda, M., R. Moriwaki, M. Roth & T.R. Oke. 2002: Area-averaged sensible heat flux
and a new method to determine zero-plane displacement length over an urban
surface using scintillometry. Boundary-Layer Meteorology, 105, 177-193.
Lagouarde, J.-P., M. Irvine, J.-M. Bonnefond, C.S.B. Grimmond, T.R. Oke, J. Salmond &
B. Offerle, 2006: Monitoring the sensible heat flux over urban areas using large
aperture scintillometry: case study of Marseille city during the ESCOMPTE
experiment. Boundary-Layer Meteorology, 118, 449-476.
Oke, T.R. 2006: Initial Guidance to Obtain Representative Meteorological Observations at
Urban Sites. World Meteorological Organization, Instruments and Observing
Methods, IOM Report No. 81, WMO/TD-No. 1250
Purba, F. F. 2007. Intersepsi Hujan Pada Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus di Unit
Usaha Rejosari PTPN VII Lampung). Skripsi. Program Studi Ilmu Tanah. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Ridwan, B. M. 2009. Penerapan Model Gash Untuk Pendugaan Intersepsi Hujan Pada
Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus di Unit Usaha Rejosari PTPN VII
Lampung). Skripsi. Program Studi Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 246 ~
IDENTIFIKASI TIPE AWAN ISCCP MENGGUNAKAN
DATA MODIS TERRA/AQUA
Risyanto dan Sinta Berliana Sipayung
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
email:[email protected]
Abstract
International Satellite Cloud Climatology Project (ISCCP) has established criteria for
satellite-based cloud classification using two parameters, namely cloud top pressure
(CTP) and cloud optical thickness (COT). The criteria was built based on climatological
data relationship between optical parameter of satellite measurements and cloud type data
observations The purposes of this study are to identify the ISCCP cloud-type criteria using
MODIS Terra and Aqua satellites data, and to verify the results with cloud-type image of
MTSAT products. Research study area is western part of Indonesia, especially Java,
Sumatra and Kalimantan, with a data period of 13 to 19 March 2013. Cloud parameters
(CTP and COT) are products of Level-2 MOD06/MYD06 algorithm. The results of study
showed that Terra and Aqua MODIS data can be used to obtain cloud classification data
in accordance to ISCCP criteria. Based on verification, by comparing MODIS ISCCP and
MTSAT cloud-type image, the MODIS cloud-type have similar pattern to MTSAT image at
around 79,8% of similarity. There are still some differences between the two images, which
are caused by the different of cloud-type naming between MODIS and MTSAT products.
Overall, based on this study, identification of cloud-type using ISCCP criteria can be
applied in Indonesia with consideration on its advantages and disadvantages. Keywords: ISCCP, Satellite, Cloud-type, MODIS, Terra and Aqua
Abstrak International Satellite Cloud Climatology Project (ISCCP) telah menetapkan kriteria tipe
awan berbasis satelit yang didasarkan pada dua parameter awan, yaitu cloud top pressure
(CTP, tekanan puncak awan) dan cloud optical thickness (COT, ketebalan optik awan).
Kriteria ini dibangun berdasarkan data klimatologi hubungan antara parameter optik hasil
pengukuran satelit dengan tipe awan hasil pengamatan di permukaan. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengidentifikasi tipe awan kriteria ISCCP menggunakan data MODIS satelit
Terra dan Aqua, serta memverifikasi hasilnya dengan data tipe awan dari produk satelit
MTSAT. Daerah kajian penelitian adalah wilayah Indonesia bagian barat, terutama Pulau
Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan periode data penelitian tanggal 13-19 Maret 2013.
Data parameter awan (CTP dan COT) merupakan produk algoritma MOD06/MYD06 level
dua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa data MODIS Terra dan Aqua dapat
dimanfaatkan untuk memperoleh data tipe awan sesuai dengan kriteria ISCCP. Verifikasi
secara visual kemudian dilakukan dengan cara membandingkan data tipe awan MODIS
ISCCP dengan tipe awan MTSAT. Berdasarkan verifikasi, tipe awan yang dihasilkan
MODIS memiliki pola yang hampir sama dengan tipe awan MTSAT dengan persentase
kemiripan sebesar 79,8%. Masih terdapat beberapa perbedaan antara keduanya, meskipun
tidak terlalu besar, yang lebih disebabkan oleh penamaan tipe awan yang berbeda antara
produk MODIS dan MTSAT. Secara keseluruhan, berdasarkan penelitian ini, identifikasi
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 247 ~
tipe awan menggunakan kriteria ISCCP dapat diterapkan di Indonesia dengan
mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya. Kata Kunci : ISCCP, Satelit, Tipe Awan, MODIS, Terra dan Aqua
1. PENDAHULUAN
Teknologi pengamatan atmosfer melalui satelit penginderaan jauh saat ini telah
berkembang sedemikian pesat. Pemantauan atmosfer kini dapat dilakukan dengan skala
yang sangat luas dalam waktu yang bersamaan, bersifat kontinyu dan seragam serta
mampu menjangkau tempat-tempat terpencil yang sulit untuk diakses jika melalui
pengukuran di permukaan. Meskipun demikian, data satelit juga memiliki beberapa
kekurangan, terutama dalam hal tingkat akurasi produk serta diperlukannya penguasaan
teknik pengolahan data yang baik untuk memperoleh parameter yang diinginkan. Beberapa
perangkat lunak (software) pengolah data satelit telah dilengkapi dengan algoritma
penurunan parameter atmosfer secara otomatis, sehingga pengolahan data lanjutannya
menjadi lebih mudah.
Salah satu informasi tentang awan yang sering diperlukan bagi penelitian atmosfer
adalah tipe (jenis) awan. Deteksi awan dan klasifikasinya berdasarkan data satelit secara
otomatis dan akurat akan bermanfaat untuk beragam aplikasi iklim, hidrologi dan atmosfer
(Liu et al., 2009). Pengamatan tipe awan melalui data satelit memiliki perbedaan prinsip
dibandingkan pengamatan dari permukaan. Satelit mengamati perilaku/kondisi puncak
awan jauh dari atas permukaan bumi, sedangkan di permukaan, pengamat mendapatkan
gambaran dasar awan yang dilakukan secara visual menggunakan mata. Resolusi sensor
satelit juga relatif lebih rendah dibandingkan mata manusia sehingga klasifikasi tipe awan
yang diamati dari permukaan bumi tidak sepenuhnya dapat dilakukan melalui data satelit.
Dengan demikian, tipe awan yang dapat diidentifikasi oleh satelit berbeda secara mendasar
dengan tipe awan yang diidentifikasi oleh pengamat di permukaan (JMA, 2002).
Berbeda dengan pengamatan dari permukaan yang mengklasifikasi tipe awan
berdasarkan bentuk dan ketinggian, klasifikasi tipe awan menggunakan satelit dapat
dilakukan dengan memanfaatkan parameter-parameter awan yang diturunkan berdasarkan
nilai spektral radians pada kanal-kanal tertentu yang diterima sensor satelit. Seperti
misalnya International Satellite Cloud Climatology Project (ISCCP) yang telah
menetapkan kriteria tipe awan berdasarkan dua parameter awan, yaitu Cloud Top Pressure
(CTP, tekanan puncak awan) dan Cloud Optical Thickness (COT, ketebalan optik awan).
Kriteria ini dibangun berdasarkan data klimatologi hubungan antara parameter optik hasil
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 248 ~
pengukuran satelit dengan tipe awan hasil pengamatan di permukaan, sehingga tipe awan
yang dihasilkan diharapkan sama dengan pengamatan dari permukaan.
Identifikasi tipe awan pada penelitian ini dilakukan menggunakan data Moderate-
resolution Imaging Spektroradiometer (MODIS) dari satelit Terra dan Aqua. Keuntungan
dari penggunaan data MODIS ini adalah telah tersedianya algoritma serta program
pengolah data sampai dengan level dua termasuk penurunan data parameter awan
(menggunakan algoritma MOD06/MYD06) seperti cloud surface temperature, cloud top
pressure, cloud phase, serta cloud optical thickness. Dengan tersedianya data-data tersebut,
identifikasi tipe awan menggunakan kriteria ISCCP dengan data MODIS akan lebih mudah
diterapkan. Meskipun demikian, evaluasi dari penerapan metode tipe awan ISCCP tersebut
belum pernah dilakukan untuk wilayah Indonesia. Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi tipe awan ISCCP di Indonesia dan memverifikasi hasilnya dengan data
tipe awan dari produk satelit Multi-functional Transport Satellite (MTSAT). Wilayah yang
dijadikan kajian penelitian adalah Indonesia bagian barat, yaitu Pulau Sumatera, Jawa dan
Kalimantan. Wilayah tersebut dipilih untuk kemudahan pengolahan data MODIS dimana
ketiganya sering kali berada dalam satu scene data, yang diterima dalam satu waktu yang
sama.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Satelit Terra/Aqua diluncurkan pada tahun 2000 (Terra) dan 2002 (Aqua),
merupakan satelit meteorologi dengan orbit polar dengan resolusi spasial 250 m – 1 km.
MODIS merupakan salah satu instrumen penting yang terpasang pada satelit Terra dan
Aqua, yang berfungsi untuk meningkatkan pemahaman tentang dinamika global dan proses
yang terjadi di darat, laut dan atmosfer. Dengan resolusi spasial yang cukup baik
ketersediaan data MODIS cukup membawa kemajuan positif bagi penelitian dan
pengembangan bidang atmosfer dan lingkungan. Hal ini dikarenakan MODIS memiliki 36
kanal spektral yang bekerja pada kisaran gelombang visibel dan infra merah (1-19 dan 26)
dan termal pada kanal-kanal selebihnya. Instrumen MODIS menghasilkan sensitivitas
radiometrik (12 bit) untuk 36 kanal spektral dengan panjang gelombang 0,4 µm sampai
14,4 µm. Dua kanal dengan resolusi 250 m di nadir, lima kanal 500 m, dan sisanya 29
kanal beresolusi 1 km. Dengan pola sapuan ±55 derajat pada ketinggian orbit 705 km,
lebar sapuan 2330 km dan menghasilkan cakupan global setiap 1 – 2 hari (NASA, 2013a).
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 249 ~
ISCCP didirikan pada tahun 1982 sebagai bagian dari World Climate Research
Program (WCRP) yang diinisiasi oleh NASA. Proyek ini mengelola data-data atmosfer
dari satelit dan melakukan analisa mengenai distribusi global awan, propertinya, serta
variasi harian, musiman dan tahunan. Hasil kajian ISCCP bertujuan untuk memberikan
pemahaman mengenai klimatologi awan termasuk dampaknya terhadap pertukaran energi
radiatif dan perannya dalam siklus air global (NASA, 2013b). Salah satu produk yang
dihasilkan ISCCP adalah data tipe awan klimatologi yang dibangun berdasarkan parameter
CTP dan COT.
Gambar 2.1. Klasifikasi tipe awan ISCCP (Rossow dan Schiffer, 1999)
CTP merupakan tekanan dimana puncak awan berada, yaitu titik tertinggi dari
bagian awan yang dapat dilihat secara kasat mata. CTP juga dapat dijadikan sebagai
indikator tinggi puncak awan. Parameter ini ditentukan dari nilai suhu puncak awan,
dimana satelit dapat mengukurnya secara langsung, menggunakan profil atmosfer suhu
terhadap tekanan. Parameter COT merepresentasikan ketebalan optik awan pada panjang
gelombang visibel (sekitar 0.6 mikron). Nilai COT satelit didapat berdasarkan reflektifitas
matahari kanal visibel dari objek yang telah teridentifikasi sebagai awan. Penurunan nilai
COT bergantung pada asumsi ukuran dan bentuk partikel awan (NASA, 2013b).
3. DATA DAN METODE
Daerah kajian penelitian adalah wilayah Indonesia bagian barat, terutama Pulau
Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan periode data penelitian tanggal 13-19 Maret 2013.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 250 ~
Data MODIS diperoleh dari situs penyedia data satelit Terra/Aqua yang dimiliki oleh
NASA (http://ladsweb.nascom.nasa.gov/data/). Data MODIS yang dipilih adalah data
produk atmosfer level dua MOD06/MYD06 (cloud product). Sebagai data pembanding,
digunakan citra tipe awan wilayah Indonesia produk satelit MTSAT yang tersedia di situs
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
(http://satelit.bmkg.go.id/satelit/OCAI).
Pengolahan data dimulai dengan melakukan ekstraksi dan eksport data
MOD06/MYD06 (parameter CTP, COT serta posisi lintang dan bujur) dalam bentuk hdf
menjadi file ascii, menggunakan program HDFView. Resolusi antara kedua parameter
awan tersebut tidak sama (CTP = 1 x 1 km; COT = 5 x 5 km), sehingga perlu dilakukan
penyamaan resolusi menjadi 5 km menggunakan program ENVI 4.5. Proses
pengklasifikasian CTP dan COT menjadi citra tipe awan dan visualisasinya dilakukan
dengan bantuan program ArcView 3.3. Kriteria ISCCP digunakan untuk membedakan tipe
awan menjadi Cumulus, Stratocumulus, Stratus (awan rendah), Altocumulus, Altostratus,
Nimbostratus (awan menengah), Cirrus, Cirrostratus, dan deep convection (awan tinggi).
Hasil identifikasi tipe awan dari citra MODIS ini kemudian diverifikasi secara visual
dengan citra tipe awan keluaran satelit MTSAT.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Contoh hasil pengolahan data parameter COT dan CTP MODIS Terra dan Aqua
yang menghasilkan tipe awan dengan kriteria ISCCP disajikan pada Gambar 4.1 dan
Gambar 4.2. Pada gambar tersebut juga disertakan citra tipe awan MTSAT sebagai
pembandingnya. Berdasarkan perbandingan kedua gambar, terlihat bahwa klasifikasi tipe
awan yang dihasilkan MODIS memiliki persamaan pola dengan citra tipe awan MTSAT.
Masih terdapat beberapa perbedaan antara keduanya, meskipun tidak terlalu besar, yang
lebih disebabkan oleh penamaan tipe awan yang berbeda antara produk MODIS ISCCP
dan MTSAT.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 251 ~
Gambar 4.1. Klasifikasi tipe awan kriteria ISCCP dengan data MODIS Aqua (kiri), dan citra tipe
awan produk satelit MTSAT (kanan), data tanggal 15 maret 2013 pukul 06.30 UTC
ISCCP dengan data MODIS Aqua (kiri), dan citra tipe awan produk satelit MTSAT (kanan)
Gambar 4.2. Klasifikasi tipe awan ISCCP dengan data MODIS Terra (kiri), dan citra tipe awan
produk satelit MTSAT (kanan), data tanggal 15 maret 2013 pukul 03.30 UTC
Perbedaannya adalah pada penamaan tipe awan level menengah, yaitu Altocumulus
(Ac), Altostratus (As) dan Nimbostratus (Ns) pada MODIS, sedangkan dalam citra
MTSAT ketiganya masuk ke dalam tipe Middle Clouds (CM). Perbedaan lainnya adalah
penamaan pada level tinggi, yaitu Cirrus (Ci) dan Cirrostratus (Cs) pada MODIS,
sedangkan pada MTSAT disebut sebagai tipe High Clouds (CH). Tipe awan konvektif
tebal (deep convection) pada MODIS dalam penelitian ini diasumsikan identik dengan tipe
awan Cumulonimbus (Cb) pada citra MTSAT. Berdasarkan hasil pengolahan, tipe awan
jenis deep convection pada data MODIS lebih sering muncul dengan ukuran yang lebih
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 252 ~
luas dibandingkan tipe awan Cb pada citra MTSAT. Sebaliknya, untuk tipe awan Stratus,
hampir tidak pernah muncul pada hasil pengolahan data MODIS selama periode
pengamatan. Sehingga kriteria ISCCP khusus untuk tipe awan jenis konvektif tebal dan
Stratus masih perlu dievaluasi.
Berdasarkan hasil perhitungan, dalam skala propinsi di Sumatera, Jawa dan
Kalimantan, persentase kemiripan nama tipe awan yang dihasilkan MODIS dengan
MTSAT adalah sebesar 79,8%. Hasil ini mengindikasikan bahwa kriteria ISCCP dengan
data MODIS secara baik mampu menghasilkan klasifikasi awan untuk wilayah Indonesia
terutama di wilayah bagian barat. Meskipun demikian, evaluasi metode secara menyeluruh
serta validasi dengan data observasi permukaan yang lebih akurat masih diperlukan untuk
mendapatkan hasil yang optimal.
Pada dasarnya, nilai batasan parameter COT dan CTP untuk klasifikasi tipe
awan dapat berubah sesuai kondisi atmosfer di masing-masing wilayah. Hahn et al. (2001)
telah mengevaluasi metode tipe awan yang dikembangkan ISCCP berdasarkan Rossow dan
Schiffer (1991), yaitu dengan membandingkan COT dan CTP yang diperoleh dari data
satelit dengan tipe awan hasil observasi permukaan. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-
rata CTP hasil observasi permukaan tidak selalu sama dengan nilai yang tertera pada
klasifikasi ISCCP terutama untuk tipe awan tinggi, yaitu Cirrus, Altocumulus dan
Cumulonimbus.
Hasil dalam penelitian ini merupakan studi awal yang menyajikan penggunaan
salah satu metode klasifikasi awan yang secara praktis dan mudah dapat diterapkan untuk
wilayah Indonesia. Informasi tipe awan bagi masyarakat umum, terutama awan konvektif
tebal seperti Cumulonimbus, sangat diperlukan mengingat kaitannya yang cukup erat
dengan kejadian bencana seperti hujan ekstrim yang berpotensi banjir dan longsor, serta
kecelakaan pesawat terbang. Sayangnya, pemantauan dengan menggunakan data MODIS
memiliki keterbatasan dalam hal resolusi temporal. Untuk keperluan skala jam-jaman dan
harian, informasi atmosfer dari data satelit penginderaan jauh akan lebih tepat bila
menggunakan data satelit geostasioner seperti MTSAT.
5. KESIMPULAN
Klasifikasi tipe awan dari data satelit menggunakan kriteria ISCCP merupakan
salah satu alternatif metode yang cukup praktis dan mudah untuk digunakan. Secara umum
berdasarkan hasil penelitian, identifikasi tipe awan menggunakan kriteria ISCCP dengan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 253 ~
data MODIS Terra dan Aqua dapat diterapkan di Indonesia dengan mempertimbangkan
kelebihan dan kekurangannya. Klasifikasi awan MODIS dengan kriteria ISCCP cenderung
menghasilkan tipe awan deep convection dengan luasan yang relatif lebih luas
dibandingkan citra MTSAT, sebaliknya tidak terlalu baik dalam menghasilkan tipe awan
Stratus. Oleh karena itu, evaluasi metode secara menyeluruh serta validasi dengan data
observasi permukaan yang lebih akurat masih diperlukan untuk mendapatkan hasil yang
optimal.
DAFTAR RUJUKAN
Hahn C. J., Rossow W. B., Warren S. G., ISCCP Cloud Properties Associated with
Standard Cloud Types Identified in Individual Surface Observations, AMS Journal of
Climate Vol.14, 2001.
Japan Meteorological Agency (JMA), 2002, Analysis and Use of Meteorological Satellite
Images, First Edition, Meteorological Satellite Center, JMA 2002.
Liu Y., Xia J., Shi C.X., Hong Y., An Improved Cloud Classification Algorithm for
China‟s FY-2C Multi-channel Images Using Artificial Neural Network, Sensor, 9,
5558–5579, 2009.
NASA, Moderate-resolution Imaging Spektroradiometer (MODIS),
http://modis.gsfc.nasa.gov/about/, 2013a. [diakses pada tanggal 3 September 2013]
NASA, International Satellite Cloud Climatology Project (ISCCP),
http://isccp.giss.nasa.gov/ISCCP.html, 2013b. [diakses pada tanggal 3 September
2013].
Rossow W. B., Schiffer R. A., ISCCP Cloud Data Products, Bull. Amer. Meteor. Soc., 72,
2–20, 1991.
Rossow W. B., Schiffer R. A., Advances in Understanding Clouds from ISCCP, Bull.
Amer. Meteor. Soc., 80, 2261–2257, 1999.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 254 ~
LAMPIRAN 1.
Hasil pengolahan klasifikasi awan data MODIS menggunakan kriteria ISCCP
dibandingkan dengan citra tipe awan MTSAT
MODIS Aqua MTSAT
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 255 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 256 ~
MODIS Terra MTSAT
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 257 ~
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 258 ~
APLIKASI PENGOLAH INFORMASI DISEMINASI SAINS
ATMOSFER PADA SITUS WEB LAPAN BANDUNG
Siti Maryam
Pusat Sains Antariksa, Lapan
[email protected], [email protected]
Abstract
Lapan Bandung website www.bdg.lapan.go.id contains information dissemination of
atmospheric sciences. Sources of information come from the activities and utilization of
atmospheric science research wich consist of two types of text and images with sizes above
4MB. Web servers limit the size of any image information to be loaded does not exceed 50
KB. This paper describes the dissemination of information processing stages atmospheric
sciences through the application of image processing software and text so that the
information could be loaded on the main page of the website LAPAN Bandung.
Keywords : Dissemination of Atmospheric Sciences, Application
Abstrak
Situs web Lapan Bandung www.bdg.lapan.go.id memuat informasi diseminasi sains
atmosfer. Sumber informasi berasal dari kegiatan dan pemanfaatan hasil penelitian sains
atmosfer, terdiri dari dua jenis, yaitu teks dan gambar dengan ukuran diatas 4MB. Web
server membatasi ukuran setiap informasi gambar yang akan dimuat, tidak melebihi 50
KB. Tulisan ini menjelaskan tahapan pengolahan informasi diseminasi Sains Atmosfer
melalui aplikasi perangkat lunak pengolah gambar dan teks sehingga informasinya
diseminasi berhasil dimuat pada halaman utama situs web LAPAN Bandung.
Kata Kunci : Diseminasi Sains Atmosfer, Aplikasi
1. PENDAHULUAN
Jaringan internet lebih mempercepat penyebaran informasi dibandingkan media
tradisional (Kun Li dkk, 2012). Perkembangan pesat penyebaran informasi di era internet
telah mengubah cara orang untuk memperoleh pengetahuan dan jasa layanan berbagai
berita dan laporan paling cepat dan otentik. Sebagai salah satu lembaga pemerintah, Lapan
ikut berperan dalam melakukan penelitan dan pengembangan dalam bidang sains atmosfer
dan iklim serta pemanfaatannya. Inilah yang menjadi visi dari Pusat Sains dan Teknologi
Atmosfer. Seiring dengan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi serta dalam
memenuhi misi meningkatkan penyediaan, pemasyarakatan dan pelayanan data dan
informasi dalam bidang sains atmosfer dan iklim, situs web Lapan Bandung
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 259 ~
www.bdg.lapan.go.id ikut berupaya agar setiap informasi hasil penelitian di bidang sains
atmosfer dapat disampaikan ke masyarakat.
Salah satu tantangan utama saat ini yang dihadapi oleh sistem informasi di
perpustakaan atau di web adalah mengelola secara efisien sejumlah besar dokumen yang
dimiliki (Morales-del-Castillo dkk, 2009). Lapan memanfaatkan teknologi sistem operasi
windows, open source Linux Debian, HTML, basis data PHP MySQL serta perangkat
lunak aplikasi Browser, Paint, ACDSee Photo Manager untuk mengolah setiap informasi
diseminasi sains atmosfer. Teknologi ini akan mengolah setiap informasi diseminasi sains
atmosfer agar dapat disampaikan pada halaman utama situs web Lapan Bandung.
2. METODE
Metode aplikasi pengolah informasi diseminasi sains atmosfer terdiri dari dua
tahap, yaitu tahap modifikasi dan pemroses back office. Tahap modifikasi (gambar 2.1)
meliputi kegiatan penataan format informasi yang akan dibagi menjadi informasi teks dan
gambar. Tahap ini melibatkan aplikasi sistem operasi Windows,Linux dan Paint. Informasi
gambar yang bercampur dengan informasi teks diproses dengan aplikasi Capture dan
diolah dengan aplikasi Paint. Informasi gambar diseminasi sains atmosfer yang masih utuh
akan dimodifikasi menggunakan aplikasi ACDSee Photo Manager melalui menu modify
dan resize dengan ukuran tidak lebih dari 50 KB (http://www.acdsee.com).
Gambar 2.1 : Skema Aplikasi Modifikasi
Tahap kedua metode aplikasi pengolah informasi diseminasi sains atmosfer adalah
tahap pemroses back office (Gambar 2.2). Tahap ini meliputi semua kegiatan yang
dilakukan pada situs web Lapan Bandung dan hanya dikerjakan oleh administrator yang
berwenang. Tahap Pemroses back office melibatkan sistem operasi Linux Debian, aplikasi
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 260 ~
Browser, HTML, PHP MySQL dan FCK Editor dengan urutan kegiatan otorisasi dan
otentifikasi, pemilihan modul basis data informasi, pengunggahan informasi teks,
penggabungan informasi teks dan gambar hasil modifikasi serta pengiriman informasi
diseminasi sains atmosfer ke halaman utama situs web Lapan Bandung.
Gambar 2.2 : Skema Aplikasi Pemroses Back Office
News adalah modul basis data yang digunakan untuk menata informasi diseminasi
sains atmosfer pada situs web Lapan Bandung. Aplikasi FCK Editor akan mengolah dan
menyimpan informasi teks dan gambar pada modul news. Aplikasi FCK Editor akan
menggabungkan dan menata informasi teks dan gambar hasil modifikasi
(http://www.sourceforge.net). Sebagai tahap ahir adalah pengiriman hasil penataan
gabungan informasi teks dan gambar diseminasi sains atmosfer ke halaman utama situs
web Lapan Bandung.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 3.1. Hasil penataan Informasi diseminasi sains atmosfer menggunakan sistem
operasi Windows7 dibagi menjadi informasi teks dan gambar. Setiap informasi diseminasi
menyertakan file gambar yang berukuran rata-rata diatas 4MB.
Gambar 3.1 : Penataan Sumber Informasi Diseminasi Sains Atmosfer
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 261 ~
Proses modifikasi informasi diseminasi Sains Atmosfer. Informasi teks tidak
mengalami perubahan. Informasi gambar dimodifikasi menggunakan ACDSee 10 Photo
Manager dari ukuran 4 MB diperkecil hingga 45.4 KB dan diberi nama file baru
(DSC_0082res).
Gambar 3.2 : Penataan informasi diseminasi sains atmosfer. Terdapat satu buah file
teks dan 2 buah file gambar hasil modifikasi yaitu DSC_0082res dan DSC_0031res. Situs
web Lapan Bandung membatasi informasi gambar diseminasi hanya berjumlah dua file.
Pemeriksaan spesifikasi file gambar yang akan dimuat pada situs web Lapan Bandung
dilakukan dengan menggunakan menu properties.
Gambar 3.2 : Hasil Modifikasi Informasi Diseminasi Sains Atmosfer Hasil Modifikasi
Setelah melewati tahap otorisasi dan otentifikasi, informasi diseminasi sains
atmosfer siap disimpan pada basis data modul news (Gambar 3.2). Untuk mulai
menggunggah informasi diseminasi sains atmosfer, dipilih menu tambah news. Menu ini
akan menampilkan form aplikasi untuk memulai kegiatan pengisian informasi diseminasi
baik berupa teks atau gambar hasil modifikasi. Terdapat dua pilihan penempatan informasi
teks yaitu ringkasan dan uraian informasi. Pada modul news tersedia ikon-ikon untuk
mengatur ragam informasi teks. Untuk mengatur informasi gambar digunakan ikon
insert/edit image dengan ketentuan ukuran 250 x168 DPI (Dot Per Inch). Informasi
gambar dapat diatur sesuai kebutuhan baik dengan posisi rata kiri, tengah ataupun rata
kanan.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 262 ~
Gambar 3.3 : Modul News Untuk Penataan Informasi diseminasi Sains Atmosfer
(http://www.dirgantara-lapan.or.id)
Tampilan basis data informasi gambar hasil modifikasi. Ini merupakan kumpulan
file gambar informasi diseminasi yang sudah dimodifikasi dengan kapasitas tidak melebihi
50 KB (Gambar 3.4). Pemeriksaan basis data informasi gambar hasil modifikasi dilakukan
untuk meyakinkan bahwa informasi yang akan disampaikan telah berada pada server web
Lapan Bandung.
Gambar 3.4 Basis Data Informasi Gambar Hasil Modifikasi
Gambar 3.5 : Integrasi informasi gambar dan teks diseminasi sains atmosfer yang
telah diproses dan dikirim kehalaman utama situs web Lapan Bandung. Inilah sebagai hasil
akhir dari rangkaian proses pengolahan informasi diseminasi sains atmosfer
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 263 ~
Gambar 3.5 : Hasil Submitting Informasi Diseminasi Sains Atmosfer Pada Situs Web
Lapan Bandung (http://www.bdg.lapan.go.id).
4. KESIMPULAN
Telah dibangun aplikasi pengolah informasi diseminasi sains atmosfer yang
disesuaikan dengan standar aturan kapasitas web server Lapan Bandung. Berdasarkan hasil
pengolahan melalui sistem operasi windows dan open source Linux Debian, aplikasi
ACDSee Photo manager, Paint dan FCK Editor, kapasitas informasi gambar diatur,
diintegrasikan dan ditampilkan pada halaman utama situs web Lapan Bandung.
DAFTAR RUJUKAN
Kun Li, dkk, A CA Model of Culture Information Dissemination in the Network Era and
the Simulation of Its Dynamic Character, Journal of Theoretical and Applied
Information Technology, 31st December 2012. Vol. 46 No.2, ISSN: 1992-8645, E-
ISSN: 1817-3195.
Morales-del-Castillo dkk, E. Information Technology and Libraries,March 2009, Vol 28
Issue 1, p21-30,10p, 6 Diagrams, ISSN 07309295.
Internet, http://www.sourceforge.net/, diakses 5 Juni 2013
Internet, http://www.acdsee.com/, diakses 27 Juni 2013
Internet, http://www.bdg.lapan.go.id/, diakses 15 Juli 2013
Internet, http://www.dirgantara-lapan.or.id/, diakses 20 Juli 2013
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 264 ~
PERAN RADIASI MATAHARI DALAM
PROSES PEMBERSIHAN SO2 DAN NOx DI TROPOSFER
Sumaryati
Bidang Komposisi Atmosfer – LAPAN
Abstract
SO2 and Nox (NO and NO2) compounds are important air pollutants in urban area where transportation and industry activities are high intensity. The compounds can be removed from the troposphere through the deposition and chemical reactions. This paper is studied the role of solar radiation in the chemical reaction that cleans SO2 and NOx in the troposphere, when the day was no rain. The data in this paper are the daily average concentration of SO2, NO, NO2, and daily solar radiation energy in Bandung, from 2008 to 2010. Results showed that there is a negative correlation between the energy of solar radiation by SO2, NO, and NO2, respectively, -0.09, 0.34, and 0.20. They mean that increasing of 1 MJ/m
2hari solar radiation cause of decreasing the concentration of SO2,
NO, and NO2 of 0.09 ppm, 0.34 ppm, and 0.20 ppm. The correlation coefficient of the relationship between the energy of solar radiation and SO2, NO, and NO2 in this study is very weak, ie less than 0.2 because it this study the wind direction and local emissions is neglected.
Keywords: SO2, NOx, solar radiation, removal
Abstrak
Senyawa SO2 dan NOx (NO dan NO2) merupakan polutan udara yang penting di daerah
perkotaan, dengan mana kegiatan transportasi dan industri tinggi. Senyawa tersebut dapat
dibersihkan dari troposfer melalui proses deposisi dan reaksi kimia. Dalam makalah ini
dikaji peran radiasi matahari dalam reaksi kimia yang membersihkan SO2 dan NOx di
troposfer, pada waktu tidak ada hujan. Data yang digunakan adalah rata-rata harian
konsentrasi SO2, NO, NO2, serta energi radiasi matahari harian dari tahun 2008 – 2010 di
Bandung. Hasil menunjukkan korelasi negatif antara energi radiasi matahari dengan SO2,
NO, dan NO2 sebesar masing-masing -0,09, 0,34, dan 0,20. Itu berarti bahwa setiap
kenaikan 1 MJ/m2hari menurunkan konsentrasi SO2, NO, dan NO2 sebesar 0,09 ppm, 0,34
ppm, dan 0,20 ppm. Koefisien korelasi dari hubungan antara energy radiasi matahari
dengan SO2, NO, dan NO2 dalam kajian ini sangat kecil, yaitu kurang dari 0,2 karena tidak
diperhitungkan perubahan arah angin dan emisi lokal.
Kata kunci: SO2, NOx, radiasi matahari, pembersihan
1. PENDAHULUAN
Gas SO2 dan NOx (NO dan NO2) merupakan masalah polutan udara di kota-kota
besar karena dampaknya langsung di lingkungan udara dan dampak tidak langsung sebagai
hujan asamnya. Baik SO2 maupun NOx di daerah perkotaan banyak dihasilkan dari
aktifitas kendaraan bermotor, yang mana jumlah kendaraan bermotor meningkat cukup
pesat di Indonesia dengan laju pertambahan kendaraan bermotor dari tahun 2000 sampai
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 265 ~
2011 sekitar 6,3 juta kendaraan per tahun (BPS, 2013). Kontribusi lain selain dari
tranpsortasi adalah dari industri dan domestik.
Gas SO2 dan NOx hilang dari troposfer melalui proses deposisi dan reaksi kimiawi,
yang merubah senyawa SO2 dan NOx menjadi senyawa lain. Dalam reaksi kimia tersebut
energi radiasi matahari terlibat dalam proses reaksinya, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Beberapa reaksi kimia di troposfer melibatkan hidroksil OH, yang mana
hidroksil OH ini terbentuknya membutuhkan ketersediaan ozon, dan uap air di troposfer
serta radiasi matahari.
Hidroksil OH sering dikatakan sebagai detergen bagi polutan di troposfer karena
berperan penting dalam mengoksidasi senyawa kimia di troposfer (Crutzen, 1999). Daerah
tropik sebagai daerah dengan konsentrasi OH tinggi karena intensitas radiasi dan
kelembaban yang tinggi sering dikatakan sebagai mesin cucinya bagi polutan di troposfer.
Dalam makalah ini akan dikaji peran radiasi matahari di Bandung sebagai daerah tropik
dalam proses pembersihan senyawa polutan SO2 dan NOx (NO dan NO2), dengan melihat
korelasi antara energi radiasi martahari harian dengan konsentrasi rata-rata harian SO2 dan
NOx.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Jumlah senyawa X dalam suatu lokasi bisa didekati dengan model box
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1. Jumlah senyawa X (QX) nilainya dapat
dituliskan seperti pada persamaan (1). Nilai QX dibagi dengan volume box merupakan
konsentrasi senyawa X (CX) yang terukur oleh instrumentasi kualitas udara seperti system
AQMS (air quality monitoring system).
clcpDEoutinX QQQQQQQ (1)
Dengan
Qin : besarnya senyawa X yang memasuki lokasi
Qout : besarnya senyawa yang meninggalkan lokasi
QE : besarnya emisi senyawa X pada lokasi yang ditinjau
QD : besarnya deposis senyawa X pada lokasi yang ditinjau
Qcp : besarnya senyawa X yang dihasilkan oleh reaksi kimia
Qcl : besarnya senyawa X yang lenyap karena reaksi kimia
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 266 ~
Dengan volume box yang ditinjau konstan, maka persamaan (1) yang menyatakan jumlah
senyawa X dapat diubah menjadi besarnya konsentrasi X (CX) berikut:
clcpDEoutinX CCCCCCC (2)
Dengan huruf C melambangkan konsentrasi.
Jika diasumsikan bahwa arus massa yang masuk sama dengan yang keluar atau
dengan kata lain arah angin dari manapun membawa konsentrasi X yang sama, emisi dan
deposisi besarnya konstan sama maka konsentrasi senyawa X hanya dipengaruhi oleh
reaksi kimia, baik pembentukan maupun peruraiannya.
Gambar 1: Box model untuk menggambarkan besarnya senyawa X
(http://acmg.seas.harvard.edu/people/faculty/djj/book/bookchap3.html)
Proses reaksi yang ditinjau dalam penelitian ini adalah proses reaksi kimia
fotokimia, yaitu reaksi kimia yang menggunakan radiasi matahari sebagai energi reaksinya
dan reaksi yang melibatkan senyawa lain yang mana senyawa tersebut keberadaannya di
troposfer melalui reaksi fotokimia. Oleh karena itu besarnya energi radiasi matahari akan
mempengaruhi besarnya konsentrasi senyawa SO2 dan NOx.
Hidroksil OH merupakan radikal adalah unsur penting dalam oksidasi beberapa
polutan di troposfer. Hidroksil OH terbetuk melalui reaksi berikut (Monks, 2005).
O3 + hυ O2 + O ( < 320 nm) (R1)
O + H2O 2 OH (R2)
Hidroksil OH berperan dalam mengoksidasi gas SO2 di troposfer melalui beberapa
rangkaian reaksi berikut,
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 267 ~
OH + SO2 + M HOSO2 + M (R3)
HOSO2 + O2 HO2 + SO3 (R4)
SO3 + H2O H2SO4 (R5)
-----------------------------------------------------
Net: OH + SO2 + O2 + H2O HO2 + H2SO4
Antara NO dan NO2 di toposfer terjadi reaksi yang timbal balik berikut Crutzen 1999,
Logan 1983)
NO2 + h NO + O ( < 420 nm) (R6)
RO2 + NO RO + NO2 (R7)
Dimana R adalah: H, CH3, dan radikal organoperoksi lainnya.
Reaksi lain yang merubah NO menjadi NO2 terjadi melalui reaksi berikut (R8) dan
pembersihan NO2 dari atmosfer terjadi ketika terkonversi menjadi asam nitrat melalui
reaksi (R9) berikut,
NO + O3 NO2 + O2 (R8)
NO2 + OH HNO3 + M (R9)
Reaksi (R8) dalam memusnahkan NO melibatkan O3, yang mana O3 sendiri
terbentuk karena senyawa-senyawa CO, NOx, VOC di troposfer dan adanya sinar matahari
(Science daily, 2013). Peruraian NO2 jelas memerlukan sinar matahari secara langsung
dengan panjang gelombang kurang dari 420 nm dan pada pembentukan OH. Sedangkan
peran radiasi matahari dalam pembersihan NO dari atmosfer ketika NO teroksidasi
membentuk NO2.
Jadi peran matahari dalam peruraian senyawa-senyawa polutan di atmosfer,
khususnya SO2 dan NOx dapat secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung,
radiasi matahari berperan sebagai energi reaksi peruraian NO2, dan peran tidak langsung
berperan sebagai energi reaksi yang membentuk senyawa lain (OH dan RO2) yang akan
mengurai polutan tersebut SO2 dan NOx.
3. DATA DAN METODOLOGI
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi konsentrasi SO2, dan NOx (NO
dan NO2) per 30 menit diamati dengan AQMS (air quality monitoring system) dan
intensitas radiasi global erta curah hujan yang diamati dengan AWS (automatic weather
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 268 ~
station). Kedua system peralatan dipasang di kantor LAPAN Bandung, pada koordinat
(6°54` LS; 107°35`BT). Data dianalisa dari tahun 2008 – 2010.
Data polutan SO2 dan NOx dalam pengamatan per 30 menit dikompilasi dalam
rata-rata harian. Rata-rata harian SO2 dan NOx tersebut dipilih pada hari ketika tidak ada
hujan, untuk mengeliminer deposisi oleh hujan. Energi radiasi matahari (Eh) dihitung dari
pengamatan intensitas radiasi matahari global dengan persamaan berikut,
2
1
t
t iih tIE (3)
Dengan t1 adalah waktu matahari terbit dan t2 adalah waktu matahari terbenam, Ii adalah
intensitas radiasi global dalam selang waktu i (W/m2), dan ti adalah selang waktu
pengamatan ke-i (detik).
Analisis dilakukan terhadap keterkaitan antara energi radiasi matahari global harian
dengan rata-rata konsentrasi harian SO2, NO, NO2, dan NO/NO2, dengan mengasumsikan
bahwa tidak ada perubahan konsentrasi akibat dari efek tranpotasi dan emisi SO2 dan NOx
pada lokasi yang ditinjau.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Spektrum radiasi matahari mayoritas tersusun pada cahaya tampak (visible) yaitu
pada panjang gelombang sekitar 380 - 780 nm, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1. Dari
spektrum tersebut panjang gelombang yang digunakan pada reaski kimia dalam kaitannya
dengan peruraian SO2 dan NOx, sebagaimana diuraikan di atas adalah radiasi dengan
panjang gelombang kurang dari 420 nm, yang mana panjang gelombang tersebut masuk
dalam kategori spektrum visible pada warna ungu (violet) dan ultra violet.
Energi radiasi yang terukur dalam penelitian ini adalah radiasi global yang berarti
mencakup seluruh spektrum radiasi matahari. Tetapi pada kondisi umum di Bandung, yaitu
kondisi langit yang berawan antara radiasi global dengan radiasi ultraviolet terkorelasi
linear (Sumaryati, 2012). Oleh karena itu besarnya energi radiasi global yang terukur dapat
mewakili radiasi ultraviolet yang berpengaruh terhadap reaksi kimiawi di troposfer
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 269 ~
Gambar 1: Spektrum radiasi matahari
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Sunlight)
Analisis ini hanya membahas pengaruh radiasi matahari yang mempengaruhi
konsentrasi polutan SO2, NO dan NO2, sedangkan pengaruh transportasi (Qin dan Qout)
serta emisi dan deposis (QE dan QD) diasumsikan tidak ada . Antara radiasi matahari dan
polutan udara, termasuk SO2 dan NOx ada hubungan yang saling mendukung. Polutan
udara juga menghamburkan dan menyerap intensitas radiasi matahari untuk reaksi kimia,
sehingga mengurangi intensitas radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi
(Jauragui dan Luyando, 1999). Intensitas radiasi matahari yang terhalang awan atau karena
sudut zenithnya kecil menyebabkan intensitas radiasi matahari yang sampai ke troposfer
berkurang, sehingga menyebabkan reaksi kimia polutan di troposfer berjalan lambat.
Data dipilih pada hari ketika tidak ada hujan, sehingga tidak ada pengaruh
pembersihan polutan melalui proses rain out, yang mempercepat proses deposisi. Gambar
2 di bawah merupakan diagram pencar antara energi radias global matahari setiap luasan 1
m2 (MJ/hari) dan rata-rata harian konsentrasi SO2, NO, NO2, serta NO/NO2 pada hari
ketika tidak ada hujan.
Gambar 2.a menunjukkan persamaan yang menghubungkan antara energi radiasi
matahari dan konsentrasi SO2 yang memiliki gradien negatif. Hal itu berati semakin tinggi
energi radiasi matahari semakin cepat semakin kecil konsentrasi SO2, karena semakin
tinggi energi radiasi matahari semakin banyak hidroksil OH yang terbentuk di toposfer
untuk menguraikan SO2. Oleh karena itu semakin tinggi energi radiasi matahari semakin
cepat SO2 terurai menjadi senyawa lain, sesuai dengan penelitian Lee et al.(2010) yang
menyatakan bahwa pada musim panas lifetime SO2 lebih pendek dari pada musim dingin.
Dengan asumsi bahwa arah angin tidak mempengaruhi konsentrasi dan dan emisi dianggap
tidak konstan, ada penurunan konsentrasi SO2 sebesar 0,09 ppm setiap kenaikkan energi
radiasi matahari sebesar 1 MJ/m2hari
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 270 ~
a)
b)
c)
d)
Gambar 2: Diagram pencar antara energi radiasi matahari terhadap:
a). SO2, b). NO, c). NO2, dan d). NO/NO2
Demikian juga untuk senyawa NO dan NO2 (Gambar 2.b dan 2.c), terkorelasi
negatif terhadap energi radiasi matahari dengan koefisien korelasi yang sangat kecil. Hal
itu diduga karena variabilitias arah angin dan emisi tidak diperhitungkan.
Antara NO dan NO2 (Gambar 2.d) ada reaksi timbal balik (R6) dan (R7). Korelasi
negatif antara energi radiasi matahari dengan perbandingan NO terhadap NO2 (NO/NO2)
itu menunjukkan bahwa reaksi NO menjadi NO2 (R6) lebih cepat dari pada NO2 menjadi
NO (R7). Dalam Gambar 2.d terpisah terilihat kecepatan pemusnahan setiap kenaikan
energi radiasi matahari sebesar 1 MJ/m2hari untuk NO dan NO2 masing-masing adalah
0,344 ppm dan 0,198 ppm.
Koefisien korelasi (r) dari hubungan di atas sangat kecil, yaitu kurang dari 0,1
kecuali korelasi antara energi radiasi matahari terhadap NO2 yang hampir 0,2. Lemahnya
korelasi tersebut karena pengaruh transport (Cin dan Cout) dianggap tidak ada ataupun arah
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 271 ~
angin dari manapun membawa konsenrasi yang samg serta emisi lokal SO2 yang dianggap
kontinyu dalam titik yang ditinjau.
5. KESIMPULAN
Ada pengaruh yang teramati dari korelasi negatif antara energi radiasi matahari
terhadap pelenyapan SO2 dan NOx di troposfer Bandung, meskipun koefisien korelasinya
sangat kecil, yaitu kurang dari 0,2. Koefisein yang kecil diduga karena pengaruh arah
angin dan emisi lokal yang tidak tidak diperhitungkan dalam kajian. Korelasi negatif
berarti semakin tinggi energi radiasi matahari akan mempercepat pelenyapan SO2 dan NOx
di troposfer, yang masing-masing besarnya penurunan konsentrasi untuk SO2, NO, dan
NO2 adalah sebagai berikut: 0,09 ppm, 0,34 ppm, dan 0,20 ppm untuk setiap kenaikan
energi radiasi matahari sebesar 1 MJ/m2hari.
DAFTAR RUJUKAN
Crutzen, P.J. M.G. Lawrence, dan U. Poschl. On the Background Photochemistry of
Tropospheric Ozone. Tellus series, Vol 51, no 1 (1999).
Lee C., et al. SO2 Emission and Life times: Estimates from inverse modeling using in Situ
and Global, Space-based (SCIAMACHY and OMI) Observation 2010,
Jauregui, E., dan E. Luyando, 1999. Global Radiation Attenuation by Air pollution and Its
Effect on Thermal Climate in Mexico City. International Journal Climatology, 19: 638
– 694
Logan, J.A., Nitrogen oxides in the troposphere: Global and Regional Budgets. Journal of
Geophysical Research Vol. 88 10785-10805, 1983
Monks, P.S. 2005. Gas-phase radical chemistry in the troposphere, journal of Chem. Soc.
Rev., 2005, 34, 376–395, DOI: 10.1039/b307982c
Sumaryati, S. Hamdi, dan Suparno. Keterkaitan radiasi global, radiasi ultraviolet dan
indeks ultraviolet. Prosiding Seminar Nasional LAPAN 2012.
Simple models: http://acmg.seas.harvard.edu/people/faculty/djj/book/bookchap3.html
Science daily, http://www.sciencedaily.com/articles/t/tropospheric_ozone.htm
2013
BPS, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=17¬ab=12, 2013
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 272 ~
PREDIKSI PENGASAMAN PROVINSI JAMBI DAN
SEKITARNYA AKIBAT DEPOSISI SULFUR TAHUN 2015
Toni Samiaji
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN, Gedung LAPAN,
Jl. Dr. Junjunan 133 Bandung – Indonesia
Email : [email protected] & [email protected]
Abstract
Sulfur when fused with elements of oxygen is one of the main components in acid
deposition. In addition to sulfur is produced naturally also resulted from anthropogenic
activities of the energy consumption. While the energy consumption is proportional to the
gross regional domestic product (GRDP). Research the question here is when the rate of
growth of GDP of a province is the highest in the region whether in the future will result in
the relevant province experiencing the most severe acidification in the region? To answer
this question, then as a case study in this study is taken Jambi Province and surrounding
areas since Jambi Province is the province with the highest GRDP growth rate in Sumatra
from 2009 until 2011, i.e. from 6.39 to 8.54 %. The methods used in this study is by using
the model Rains Asia with B2 scenario. As a result of this study showed that the Jambi
province with the highest GRDP growth rate from 2009 until 2011 in Sumatra in 2015 is
not a province that will emit, deposit extreme SOx gas and has the highest SO2 gas
concentration, also will not suffer the most severe acidification in Sumatra but Riau.
Keywords : Deposition, sulfur, acidification, Jambi, 2015
Abstrak
Sulfur ketika bersenyawa dengan unsur oksigen merupakan salah satu komponen utama
dalam deposisi asam. Sulfur selain dihasilkan secara alami juga dihasilkan dari kegiatan
antropogenik yakni dari pemakaian energi. Sedangkan pemakaian energi berbanding lurus
dengan pendapatan domestik regional bruto (PDRB). Yang menjadi pertanyaan penelitian
di sini adalah bila laju pertumbuhan PDRB suatu daerah adalah paling tinggi di suatu
wilayah apakah pada waktu yang akan datang akan mengakibatkan daerah yang
bersangkutan mengalami pengasaman yang paling parah di wilayah tersebut? Untuk
menjawab pertanyaan ini, maka pada penelitian ini sebagai studi kasus diambil Provinsi
Jambi dan sekitarnya karena Provinsi Jambi adalah provinsi dengan laju pertumbuhan
PDRB paling tinggi di Sumatera dari tahun 2009 hingga tahun 2011 yakni dari 6,39
hingga 8,54 %. Metoda yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan
model Rains Asia dengan skenario B2. Sebagai hasil dari penelitian ini diperoleh bahwa
Provinsi Jambi sebagai provinsi dengan laju pertumbuhan PDRB paling tinggi di
Sumatera dari tahun 2009 hingga tahun 2011 pada tahun 2015 adalah bukanlah provinsi
yang mengemisikan, mendeposisikan gas SOx tertinggi dan mempunyai konsentrasi gas
SO2 yang paling tinggi juga tidak mengalami pengasaman yang paling parah di Sumatera
melainkan Riau.
Kata kunci : Deposisi, sulfur, pengasaman, Jambi, 2015
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 273 ~
1. PENDAHULUAN
Sulfur berada di alam dalam bentuk S2 atau bersenyawa dengan unsur lain. Sulfur
selain dihasilkan secara alami juga dihasilkan dari kegiatan antropogenik. Secara alami
dihasilkan dari letusan gunung api, kebakaran hutan, dari laut sedangkan dari kegiatan
antropogenik dihasilkan dari pemakaian energi. Sulfur ketika bersenyawa dengan unsur
oksigen merupakan salah satu komponen utama dalam deposisi asam. Karena senyawa
sulfur bersifat korosif, maka perlu dilakukan prediksi baik itu emisinya, konsentrasinya
maupun deposisinya.
Tabel 1 : Laju pertumbuhan PDRB dalam persen
Provinsi 2009 2010 2011
1 Aceh 5.51 2.79 5.02
2 Sumatera Utara 5.07 6.35 6.58
3 Sumatera Barat 4.28 5.93 6.22
4 Riau 2.97 4.18 5.01
5 Jambi 6.39 7.35 8.54
6 Sumatera Selatan 4.11 5.63 6.50
7 Bengkulu 5.62 6.06 6.40
8 Lampung 5.26 5.85 6.39
9 Kep. Bangka Belitung 3.74 5.93 6.40
10 Kepulauan Riau 3.52 7.19 6.67
Sumber data : BPS, 2013.
Emisi sulfur sebagai hasil dari kegiatan antropogenik berbanding lurus dengan
tingkat ekonomi suatu negara yang dinyatakan dengan Produk Domestik Bruto(PDB),
dengan kata lain PDB yang meningkat akan menyebabkan emisi gas SO2 meningkat [Toni
S. Dkk, 2006]. Demikian juga untuk ekonomi suatu daerah yang dinyatakan dengan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah berbanding lurus dengan emisi gas SO2
dari daerah tersebut. Lalu apabila laju pertumbuhan PDRB suatu daerah/provinsi yang
paling tinggi di suatu wilayah akan menyebabkan emisi gas SO2 yang paling tinggi pula di
wilayah tersebut? Karena gas SO2 merupakan salah satu penyebab deposisi asam , apakah
provinsi dengan laju pertumbuhan PDRB yang paling tinggi di suatu wilayah akan
menyebabkan provinsi tersebut mengalami pengasaman yang paling parah dan paling luas
dibanding provinsi lain di wilayah tersebut ? Sebagai contoh pada Tabel 1 diperlihatkan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 274 ~
Laju pertumbuhan PDRB tahun 2009 hingga 2011 di Sumatera dari Badan Pusat Statistik.
Dari tabel 1 ini kita bisa melihat bahwa Provinsi Jambi adalah provinsi dengan laju
pertumbuhan PDRB paling tinggi di Sumatera. Lalu untuk tahun yang akan datang
misalnya tahun 2015, apakah Provinsi Jambi pada tahun 2015 mengalami pengasaman
yang paling parah dan paling luas dibanding provinsi lain di Sumatera? Untuk menjawab
pertanyaan ini maka penelitian ini dilakukan.
2. DATA DAN METODE
Data yang digunakan adalah proyeksi intensitas energi, pemakaian energi tiap
sektor, pertumbuhan GDP dan konsumsi energi biomasa sejak tahun 1990 hingga 2030
dari IEA (International Energy Agency).
Untuk pemetaan pengasaman dan lain-lain digunakan model Rains Asia 7.5 yang
mempunyai resolusi spasial / grid 1 x 1 derajat dengan langkah kerja seperti diperlihatkan
pada Gambar 1. Pada gambar ini proyeksi energi (energy projections) yang dipakai ada 3
macam yakni khusus untuk Cina, khusus untuk India sedangkan yang lainnya termasuk
Indonesia adalah dengan skenario B2 (dinamika seperti biasa) dari IPCC. Yang dimaksud
dengan dinamika seperti biasa adalah pemakaian energi di Indonesia seperti sekarang ini
mengikuti laju pembangunan seperti biasanya. Sedangkan skenario B2 ini berisikan
penekanan pada solusi lokal daripada solusi global untuk ekonomi,sosial dan ketahanan
lingkungan, peningkatan populasi global yang lebih rendah dari A2, tingkat
pengembangan ekonomi yang intermediate, perubahan teknologi lebih lambat dan lebih
bermacam-macam dibanding Skenario B1 dan A1, skenario berorientasi pada proteksi
lingkungan dan kekayaan sosial, yang berfokus pada tingkat lokal dan regional, dunia
lebih terbagi-bagi, tetapi ramah secara ekologi [IPCC, 2013]. Pada pilihan untuk
mengontrol emisi (emission control options) pada rains asia versi 7.5 ini digunakan
teknologi pengurangan emisi sulfur misalnya dalam bentuk FGD (Flue Gas
Desulfurization) dan pemakaian bahan bakar dengan kadar sulfur yang rendah. Setelah itu
dihitung emisi sulfur dan biaya yang diperlukan untuk pengurangan emisi sulfur tersebut.
Kemudian emisi SOx dipetakan per grid, sedangkan konsentrasi SO2 dan deposisi SOx
dipetakan melalui atmospheric dispersion, yaitu suatu model dispersi yang perhitungannya
berdasarkan matrik transfer polutan yang dikembangkan bersamaan dengan model
ATMOS di Universitas Iowa [Arndt et al, 1995, 1998]. Selanjutnya dengan model ini di
dalam modul environmental impact dipikirkan bilamana suatu daerah kelebihan sulfur
sekian miligram per meter persegi per tahun maka berapa persen ekosistim yang akan
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 275 ~
rusak di daerah tersebut, sehingga kita bisa mengtargetkan kerusakan lingkungan
(environmental targets) yang diakibatkan pemilihan teknologi pengurangan emisi sulfur
pada opsi kontrol emisi (emission control option) dengan cara optimisasi (optimization)
emisi yang dihasilkan dan biaya yang diperlukan.
Gambar 1 : Bagan langkah kerja dalam Rains Asia
Untuk menganalisis hasil simulasi dibuat gambar administrasi wilayah sumatera
dengan cara mengkrop dari peta rupa bumi Indonesia yang diperoleh dari Bakosurtanal
dengan skala 1 : 250.000 menggunakan software arc view, hasilnya ditampilkan pada
Gambar 2. Di sini karena masih menggunakan peta dasar yang lama maka Kepulauan
Riau masih bersatu dengan Provinsi Riau.
Gambar 2 : Gambar administrasi wilayah Sumatera
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 276 ~
Gambar 3 : Prediksi emisi SOx dalam kiloton/grid per tahun dan konsentrasi gas SO2
dalam mikrogram/m3 tahun 2015 di Sumatera
Dari simulasi dengan menggunakan model Rains Asia versi 7.52 diperoleh
Gambar 3 yang menampilkan prediksi emisi gas SOx dan konsentrasi gas SO2 tahun 2015
di Sumatera. Dari gambar ini terlihat bahwa emisi gas SOx Provinsi Jambi (1407 – 7003
ton/grid-th) lebih kecil dibanding Provinsi Sumatera selatan (3688 – 13351 ton/grid-th),
kepulauan Riau (2531 - 435254 ton/grid-th) dan Lampung ( 9000 – 23089 ton/grid-th).
Padahal pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi tahun 2009 hingga 2011 adalah paling
tinggi (lihat tabel 1) [BPS, 2013], tetapi tahun 2015 tidak mengemisikan gas SOx terbesar
di Sumatera. Masih pada Gambar 3 konsentrasi SO2 Jambi (0,4 – 1,4 mikrogram/m3)
lebih kecil daripada Riau (0,7 – 6,5 mikrogram/m3), Sumatera Selatan (0,5 – 1,9
mikrogram/m3) dan Lampung (0,6 – 15,5 mikrogram/m
3). Demikian juga kalau dilihat
dari deposisi SOx-nya seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4,
Gambar 4 : Prediksi deposisi SOx dalam miligram per meter persegi per tahun dan
persentase pengasaman oleh deposisi sulfur dengan asumsi deposisi nitrogen
dianggap tetap tahun 2015 di Sumatera
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 277 ~
bahwa deposisi SOx provinsi Jambi ( 187,6 – 600,2 mg/m2-th) lebih kecil dari Riau (286,8
-1918 mg/m2-th) dan Lampung (732,6 – 2158,5 mg/m
2-th). Lalu bagaimana dengan
tahun yang sudah lewat yakni tahun 2010? Menurut Gambar 6 tahun 2010 menunjukkan
pola yang sama yakni deposisi SOx di Jambi (163,5 – 551,1 miligram/m2-th) adalah lebih
kecil dibanding di Riau (285,8 – 1789,4 miligram/m2-th), di Sumatera Selatan (201,4 –
609,2 miligram/m2-th) dan di Lampung (385,4 – 2442,7 miligram/m
2-th). Kemudian
gambar sebelah kanannya yang menunjukkan emisi SOx tahun 2010, emisi SOx Jambi
(1215 – 6049 ton/grid-th) adalah lebih kecil daripada yang di Riau (1892 – 14559 ton/grid-
th) dan Sumatera Selatan (3186 – 11248 ton/grid-th). Jadi provinsi dengan pertumbuhan
ekonomi yang paling tinggi di suatu wilayah belum tentu akan menjadikan provinsi
tersebut mengemisikan, mendeposisikan gas SOx atau mempunyai konsentrasi gas SO2
tertinggi di wilayah tersebut. Maka pertanyaan penelitian yang pertama yang ada di
pendahuluan terjawab di sini. Ini mengapa bisa terjadi demikian, bukankah dari
penelitian sebelumnya dikatakan bahwa PDB yang meningkat akan menyebabkan emisi
gas SO2 meningkat ? Bila dikaji lebih jauh hasil penelitian ini sebenarnya tidak
bertentangan dengan hasil penelitian sebelumnya, karena daerah dengan pertumbuhan
ekonomi yang paling tinggi di suatu wilayah belum tentu menggambarkan tingkat ekonomi
daerah tersebut adalah paling tinggi di wilayah tersebut, lihat Gambar 5. Dari gambar ini
terlihat bahwa Provinsi Jambi dari tahun 2007 hingga 2011 bukanlah provinsi dengan
PDRB yang paling tinggi di Sumatera akan tetapi Provinsi Riau yang paling tinggi.
Kemudian untuk menjawab pertanyaan berikutnya yaitu tentang pengasaman adalah
dengan melihat Gambar 4 sebelah kanan. Dari gambar ini diperoleh bahwa Provinsi Jambi
tahun 2015 mengalami pengasaman dari 0 hingga 56,8 % (pengasaman itu meliputi
pengasaman tanah, tumbuh-tumbuhan dan kolam) adalah lebih kecil dibanding dengan
provinsi Sumatera Utara dari 0 hingga 71 %, Riau dan kepulauan Riau dari 0 hingga 98
%, Sumatera Selatan dan Lampung dari 0 hingga 63 %. Demikian pula untuk tahun 2010
seperti diperlihatkan Gambar 7, persentase pengasaman yang dialami provinsi Jambi (0 –
56,4 %) adalah lebih kecil daripada Provinsi Riau (0 – 97,8 %), Kepulauan Riau (0 – 97,8
%), Sumatera Selatan (0 – 62,4 %), Lampung (0 – 65,7 %) dan Sumatera Utara (0 – 71,3
%). Dengan demikian menurut model, provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang
paling tinggi di suatu wilayah belum tentu mengalami dan akan mengalami pengasaman
yang paling parah di wilayah tersebut. Jadi di sini pertanyaan penelitian yang kedua pada
pendahuluan terjawab di sini. Dan yang mengalami pengasaman paling parah tahun
2015 adalah Provinsi Riau.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 278 ~
Gambar 5 : Produk domestik regional bruto berdasarkan harga pasar yang berlaku di
Sumatera. Sumber data : BPS, 2013.
Gambar 6 : Deposisi dan emisi SOx tahun 2010 di Sumatera
Gambar 7 : Persentase pengasaman di Sumatera tahun 2010
Ysu = 3E+07x - 6E+10 R² = 0.9848
Yr= 4E+07x - 9E+10 R² = 0.9825
Yj = 6E+06x - 1E+10 R² = 0.9764 0
100
200
300
400
500
600
2003 2005 2007 2009 2011 2013 2015
PD
RB
[Tr
iliu
n r
up
iah
]
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 279 ~
Gambar 8 : Deposisi kelebihan sulfur tahun 2015 sehingga ekosistim menjadi rusak, P5
adalah kelebihan sulfur yang menyebabkan 5 % ekosistem akan rusak dan
P25 adalah kelebihan sulfur yang menyebabkan 25 % ekosistem akan rusak
Kalau melihat Gambar 5 diperlihatkan pada gambar ini garis kecenderungan dan
persamaan regresi linear PDRB Provinsi Riau, Sumatera Utara dan Jambi. Dari beberapa
garis kecenderungan ini terlihat bahwa pada tahun 2015 garis kecenderungan yang paling
tinggi adalah milik Riau sehingga dengan persamaan
.........(1)
maka diperoleh PDRB paling tinggi di Sumatera adalah PDRB Provinsi Riau, sehingga
pengasaman paling parah tahun 2015 adalah yang terjadi di Provinsi Riau.
Pada Gambar 8 diperlihatkan deposisi kelebihan sulfur tahun 2015 sehingga
ekosistim menjadi rusak, P5 adalah kelebihan sulfur yang menyebabkan 5 % ekosistem
akan rusak dan P25 adalah kelebihan sulfur yang menyebabkan 25 % ekosistem akan
rusak. Jadi ketika 5 % ekosistem provinsi Jambi mengalami kerusakan tahun 2015 maka
provinsi Jambi mengalami kelebihan deposisi sulfur sebesar 200 mg/m2-th. Beda dengan
Provinsi Lampung yakni ketika 5 % ekosistem Provinsi Lampung mengalami kerusakan
tahun 2015 maka Provinsi Lampung mengalami kelebihan deposisi sulfur sebesar 240
hingga 1759 mg/m2-th dengan luas ekosistim yang rusak jauh lebih luas daripada provinsi
Jambi. Jadi beban pencemaran sulfur dalam bentuk deposisi terhadap sensifitas ekosistim
tiap provinsi adalah berbeda-beda. Sehingga agar Provinsi Jambi terbebas dari kerusakan
5 % pada daerah yang bukan berwarna abu-abu harus mengurangi deposisi sulfur sebesar
200 mg/m2-th tentunya dengan cara penerapan teknologi pengurangan emisi sulfur yang
tepat guna. Pertanyaannya provinsi mana yang harus menggunakan teknologi
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 280 ~
pengurangan emisi sulfur yang tepat guna itu ? Apakah hanya provinsi Jambi saja ?
Dengan model Rains Asia ini kita bisa menelusuri asal sulfur yang terdeposisikan di
provinsi Jambi ini. Yaitu deposisi SOx tahun 2015 yang sebesar 375,1 eq/Ha-yr setara
dengan 600.2 mg/m2-th di Jambi pada lintang selatan 1 derajat dan 103 bujur timur berasal
dari negara Singapura 248,3 eq/ha-yr, dari jalur laut 36,8 eq/ha-yr, dari negara Malaysia
14,1 eq/ha-yr, dari Sumatera 70,2 eq/ha-yr, dari Jawa 1,9 eq/ha-yr, dari pembangkit
tenaga listrik di Sumatera Selatan 1,1 eq/ha-yr dan dari yang lainnya. Jadi di sini banyak
daerah yang terkait untuk menurunkan deposisi sulfur di Provinsi Jambi. Di sini kontribusi
terbesar adalah dari Negara Singapura yang mana negara ini tahun 2010 PDB per kapita-
nya ($56,532) paling tinggi di dunia [The wall street Journal, 2013]. Selanjutnya saat
ekosistem yang rusak bertambah dari 5 % (Gambar 7 sebelah kiri) menjadi 25 % (gambar
7 sebelah kanan), kelebihan deposisi sulfur di Provinsi Jambi adalah tetap yakni 0 – 200,2
mg/m2-th, tetapi kelebihan deposisi sulfur di Provinsi Sumatera Selatan menjadi
bertambah dari 0 – 240,1 mg/m2-th menjadi 0 – 332,6 mg/m
2-th sedangkan kelebihan
deposisi sulfur di provinsi Lampung menjadi berkurang dari 0 – 1758,5 mg/m2-th menjadi
0 – 1598,5 mg/m2-th. Jadi tiap provinsi berbeda-beda ini dikarenakan beban kritis (critical
load) tiap provinsi ada yang sama ada yang berbeda tergantung dari jenis tanah, jenis
vegetasi dan air permukaan selain itu daya dukung lingkungan seperti presipitasi,
penguapan, aliran air dan unsur kimia yang ada di provinsi tersebut ikut menjadi
penyangga keasaman di provinsi tersebut [Hettelingh et al., 1995]. Yang dimaksud beban
kritis (critical load) adalah deposisi sulfur yang diperkenankan agar tidak merusak
ekosistim. Misalnya beban kritis 5 % adalah deposisi sulfur yang
Gambar 9 : Beban kritis deposisi sulfur yang diperkenankan di Sumatera agar tidak
merusak 5 dan 25 % ekosistim
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 281 ~
diperkenankan agar tidak merusak 5 % ekosistim. Sebagian besar deposisi Sulfur yang
diperkenankan agar tidak merusak 5 % ekosistem di Sumatera adalah 400 mg/m2-th.
Namun ketika yang diinginkan tidak merusak 25 % ekosistim maka terjadi perubahan
deposisi sulfur yang diperkenankan. Misalnya Provinsi Jambi ketika berubah beban
kritisnya dari 5 % menjadi 25 % maka deposisi sulfur yang diperkenankan berubah dari
400 mg/m2-th menjadi 400 – 2078 mg/m
2-th seperti yang diperlihatkan Gambar 9 dari
gambar sebelah kiri ke sebelah kanan. Demikian juga provinsi yang lain mengalami
perubahan misalnya Lampung dari 400 – 560 mg/m2-th menjadi 400 – 2992 mg/m
2-th dan
lain-lain yang umumnya terjadi kenaikan deposisi sulfur yang diperkenankan. Ini wajar
karena terjadi kerusakan ekosistim yang semakin meningkat.
Dari uraian di atas meskipun pembangunan ekonomi di suatu daerah berdampak
terhadap kerusakan ekosistim, tetapi kesehatan manusia harus diutamakan, oleh karena itu
perlu diupayakan pengurangan emisi sulfur, dan karena pengurangan emisi sulfur itu
memerlukan biaya yang cukup besar, maka menurut Jitendra dan kawan kawan
menggunakan energi yang efisien adalah lebih menghemat biaya [Jitendra J. Shah et al,
2001].
4. KESIMPULAN
Dari hasil running model diperoleh bahwa provinsi dengan pertumbuhan ekonomi
yang paling tinggi di suatu wilayah belum tentu akan menjadikan provinsi tersebut
mengemisikan, mendeposisikan gas SOx yang paling tinggi dan mempunyai konsentrasi
gas SO2 tertinggi demikian juga belum tentu akan mengalami pengasaman yang paling
parah di wilayah tersebut. Hasil ini berdasarkan Provinsi Jambi dengan laju pertumbuhan
PDRB dari tahun 2009 hingga tahun 2011 adalah paling tinggi di Sumatera tetapi yang
mengalami pengasaman paling parah di Sumatera tahun 2015 adalah Provinsi Riau dan
Kepulauan Riau.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Tuti Budiwati MEng. yang telah
membawa model ini dari Thailand tahun 2003 yang lalu, juga kepada Panitia SSA2013
yang telah mengadakan seminar ini dan mencetak poster ini tanpa dipungut biaya.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 282 ~
DAFTAR RUJUKAN
Arndt R..L., and Carmichael G.R., (1995), Long-Range transprot and deposition of sulfur
in Asia. Water, Air and Soil Pollution 85, 2283 - 2288.
Arndt R. L., Carmichael G.R., Roorda J.M., (1998), Seasonal Source- Receptor
Relationships in Asia. Atmospheric Environment 31 1553 - 1572.
BPS, 2013. Ekonomi dan Perdagangan,
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=52&n
otab=3 , diakses tanggal 19 Agustus 2013.
Hettelingh J.-P., Chadwick M.J., Sverdrup H., Zhao D. (eds.) (1995) Assessment of
Environmental Effects of Acidic Deposition. Chapter 6 of the Report on the World
Bank Sponsored Project "RAINS-ASIA: An Assessment Model for Air Pollution in
Asia". (http://www.iiasa.ac.at/~rains/asia1/).
IPCC, 2013. IPCC Special Report on Emissions Scenarios,
http://www.grida.no/publications/other/ipcc_sr/?src=/climate/ipcc/emission/096.htm
diakses 19 Agustus 2013.
Jitendra J. Shah, Tanvi Nagpal, Todd Johnson, Jia Li dan C. Peng. Rains-Asia Model
Application to China : Policy Implication for Sulfur Control, Journal of Water, Air
and Soil Pollution, Vol. 130, Issue 1-4, pp. 235-240, Kluwer Academic Publishers,
Printed in the Netherlands, August 2001.
The RAINS 7.52 Model of Air Pollution, 2013. dalam file:///C:/RAINS-
ASIA/docAsia/manual/intro.HTM
The wall street Journal, 2013. http://realtime.wsj.com/indonesia/2012/08/16/negara-
terkaya-di-dunia/, akses tanggal 23 Agustus 2013.
Toni S. Dkk, 2006. Pengaruh jumlah penduduk, pemakaian energi dan pertumbuhan
ekonomi terhadap emisi gas SO2, Prosiding Seminar Nasional Basic Science III 2006,
Universitas Brawijaya, Malang, 25 Februari 2006, ISBN 979-25-6030-0.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 283 ~
IDENTIFIKASI CURAH HUJAN EKSTREM
MENGGUNAKAN METODE ANALISIS MESOSCALE
CONVECTIVE COMPLEXE (MCC) DARI DATA MTSAT IR1
Trismidianto
Bidang Pemodelan Atmosfer, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
email: [email protected]
Abstract
Identification of Mesoscale Convective Complexes (MCC) was done using infra-red image
data (IR1) of the Multi-functional Transport Satellite (MTSAT) to create algorithms for
use in the detection of MCC from IR1 image data which built by combining multiple
criteria of the extent of cloud cover, eccentricity and lifetimes. The linkage for MCC with
extreme rainfall is done spatial analysis to analyze the evolution of the development of
MCC at each phase is the initial phase, maximum phase and the dissipation phase of
MCC. In this study, we also use surface wind from CCMP data to analyze the movement
of MCC with seen the surface vectors wind anomaly at each phase of the MCC. And we
use also TRMM rainfall data to analyze the influence of MCC on extremes rainfall. MCC
can produce extreme rainfall through the mechanism of cold pool with a new convection
cell formation system that induces the growth of convection around it so as to make the
growth of significant convective clouds around it so that it can lead to extreme rainfall.
Keyword: MCC, extremes rainfall, wind vector anomaly.
Abstrak
Identifikasi Mesoscale Convective Complexes (MCC) dilakukan menggunakan data citra
infra-red (IR1) dari Multi-functional Transport SATellite (MTSAT) dengan membuat
algoritma untuk digunakan dalam mendeteksi MCC dari data citra IR1 yang dibangun
dengan menggabungkan beberapa kriteria dari luasan tutupan awan, tingkat kelonjongan
dan lama masa hidupnya. Keterkaitan MCC dengan curah hujan ekstrem dilakukan dengan
analisis spasial dengan menganalisis evolusi perkembangan MCC pada setiap fasenya yaitu
fase awal, fase maksimum dan fase punah dari MCC. Pada penelitian ini juga digunakan
data angin permukaan CCMP untuk menganalisis pergerakan MCC dengan melihat
anomali vektor angin permukaan pada setiap fase MCC. Dan digunakan data curah hujan
TRMM untuk menganalisis pengaruhnya terhadap curah hujan ekstrem. MCC bisa
menghasilkan curah hujan ekstrem melalui mekanisme cold pool dengan sistem
pembentukan sel konveksi baru yang menginduksi pertumbuhan konveksi disekitarnya
sehingga membuat pertumbuhan awan konveksi yang cukup signifikan disekitarnya
sehingga bisa menyebabkan curah hujan ekstrem.
Kata kunci: MCC, Curah Hujan Ekstrem, Anomali vektor angin.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 284 ~
1. PENDAHULUAN
Curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat penting bagi kehidupan di bumi,
karena hujan berdampak secara langsung terhadap kehidupan manusia. Kejadian hujan di
daerah tropis, seperti Indonesia berpengaruh pada cuaca dan iklim global. Selain itu
perubahan iklim global, dampaknya untuk wilayah Indonesia akan berbeda di setiap
daerah. Hal ini disebebabkan oleh beberapa faktor, yaitu dinamika atmosfer di atas Benua
Maritim Indonesia memiliki tingkat nonlinieritas yang sangat tinggi sebagai akibat dari
sangat beragamnya topografi dan vegetasi. Namun cuaca dan iklim daerah tropis lebih
didominasi oleh organisasi konveksi (Sherwood and Wahrlich, 1999) yaitu mesoscale
convective systems (MCS), gelombang timuran skala sinoptik, sistem supercluster, dan
Madden-Julian Oscillation (MJO). Proses-proses skala meso tersebut antara lain adalah
konveksi, sirkulasi lokal akibat topografi, siklus diurnal (harian), aliran jet, interaksi
permukaan-atmosfer, gangguan yang terperangkap di daerah pantai dan ketidakstabilan
skala meso.
Kompleks Konvektif Skala Meso (KKSM) atau Mesoscale Convective Complexes
(MCC) merupakan populasi MCS yang hidup terbesar dan terpanjang. MCC merupakan
salah satu hasil perkembangan dari deep convective, dan bahkan MCC bisa menjadi
pemicu kejadian siklon tropis. Seperti ilusterasi pada gambar 1.1.
Gambar 1.1 Skema ilusterasi perkembangan awan konvektif
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa fenomena ini dapat menghasilkan
cuaca buruk dan hujan yang terus menerus (Maddox, 1980; Fritsch dkk., 1986; McAnelly
dan Cotton, 1989). Hujan seperti ini diketahui telah menyebabkan bencana banjir di
berbagai tempat seperti: Asia Timur (Ninomiya dkk,1981; Chen dan Li, 1995), Amerika
Selatan Subtropis (Durkee dan Mote, 2009) dan Amerika Serikat (Maddox,1981). Menurut
Yuan dan Houze (2010), Benua Maritim Indonesia (BMI) merupakan area munculnya
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 285 ~
MCC, dan sering muncul di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, kondisi lautan di
BMI merupakan tempat yang sangat cocok untuk tumbuhnya MCC dengan ukuran yang
besar.
Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya tersebut, dapat disimpulkan bahwa MCC
bisa menjadi pemicu curah hujan ekstrem dan dapat dipakai sebagai acuan dalam
menentukan curah hujan ekstrem, namun dari beberapa penelitian sebelumnya tersebut,
belum ada penelitian secara rinci tentang analisis curah hujan ekstrem di Indonesia
mengggunakan analisis MCC. Curah hujan ekstrem sering terjadi di Indonesia, dan sudah
banyak juga metode yang dilakukan untuk menentukan curah hujan ekstrem, baik
menggunakan statistik ataupun menggunakan meodel dinamik, namun belum banyak
bahkan belum ada yang menentukan curah hujan ekstrem di Indonesia, dengan melihat
kejadian MCC, Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji bagaimana mengidentifikasi
kejadian curah hujan ekstrem menggunakan analisis kejadian MCC.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Curah hujan ekstrem adalah kondisi curah hujan yang cukup tinggi/rendah dari
rata-rata kondisi normalnya. Secara garis besar, curah hujan ekstrim dapat dibedakan
menjadi curah hujan ekstrim basah yang mengakibatkan banjir, dan curah hujan ekstrim
kering yang berdampak kekeringan. Menurut Supriatna dalam BMKG (2011) curah hujan
dengan intensitas > 100 mm/hari menjadi parameter terjadinya hujan ekstrim. Hujan
ekstrim pada peneliti ini juga didefinikan dari analogi kejadian hujan yang menyebabkan
banjir pada tanggal 6-7 Januari dan 10-11 Februari tahun 1996 di daerah aliran sungai
Ciliwung (Rachmawati et al. 2004). Dampak dari curah hujan ekstrim seringkali
menimbulkan permasalahan yang serius bagi kehidupan manusia. Informasi terjadinya
perubahan curah hujan dalam perioda klimatologis penting bagi sektor yang membutuhkan
data curah hujan harian untuk menjalankan kegiatannya (misalnya: pertaninan,
perkebunan, pariwisata dll), sehingga jika terjadi perubahan curah hujan harian dapat
segera menyesuaikan kegiatannya.
Menurut Maddox (1998), ada tiga karakteristik yang digunakan untuk menentukan
apakah badai kompleks adalah MCC. Karakteristik tersebut adalah suhu awan bagian atas
pada pencitraan satelit inframerah. Suhu awan atas -32oC atau kurang perlu untuk
menutupi area seluas 100.000 km2 atau lebih besar bersama dengan suhu terdingin atas
awan yang kurang dari atau sama dengan -52oC seluas minimal 50.000 km
2. Karakteristik
kedua adalah bahwa bentuk puncak awan dingin kompleks perlu melingkar atau hampir
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 286 ~
bundar. Hal ini untuk membedakan MCC dari squall lines dan kompleks badai lainnya.
Panjang (panjang terpendek) dari MCC harus setidaknya 70% dari lebar (panjang tegak
lurus terpanjang dengan panjang lebih pendek). Dengan demikian, MCC akan memiliki
bentuk tipe elips atau melingkar dengan eksentrisitasnya (sumbu minor/sumbu utama)
lebih besar dari atau sama dengan 0,7 pada batas maksimum. Ketiga, MCC harus
berlangsung setidaknya 6 jam. Karakteristik dari lingkungan meteorologi dari
pembentukan MCC adalah adveksi udara hangat kuat ke dalam pembentukan lingkungan
oleh aliran jet tingkat rendah selatan (angin maksimum), adveksi kelembaban yang kuat
meningkatkan kelembaban relatif dari pembentukan lingkungan, konvergensi udara di
dekat permukaan, dan divergensi udara tinggi.
MCC terbentuk melalui proses layer lifting, yang memiliki kecocokan dengan
proses pembentukan sistem konvektif menurut Ahrens (2001). Proses layer lifting adalah
proses konveksi yang merupakan gabungan dari konveksi mekanis dan termal dan / atau
proses konveksi karena fron yang akan menghasilkan suatu fenomena yang biasa disebut
deep convection (konveksi tebal) sedangkan menurut Ahrens (2001) menyebutnya sebagai
severe thunderstorm. Deep convection / severe thunderstorm pada keadaan tertentu
memiliki area antara ratusan hingga ribuan kilometer sehingga termasuk fenomena-
fenomena cuaca skala meso (Houze, 2004). Proses ini berawal ketika awan konvektif
(awan Cb) mencapai saat fase matang/maksimum dimana downdraft sangat dominan
membawa endapan turun hingga mencapai permukaan dan mendinginkan massa udara
yang ada. Keadaan ini berlangsung terus hingga massa udara yang dingin semakin melebar
di sekitar sistem awan, sehingga ada dua massa udara yang berbeda saling bertemu. Massa
udara dingin pada bagian bawah sistem dan terus melebar dan massa udara hangat disekitar
sistem awan, pada kondisi ini massa udara dingin semakin menyebar berfungsi seperti
pengganjal memaksa massa udara hangat dan lembab naik masuk ke dalam sistem
(Ahrens, 2001).
Pemaksaan naik ini kemungkinan menyebabkan suatu aliran angin kuat sporadis
pada lapisan bawah troposfer yang biasa disebut low level jet. Jika keadaan ini terus
berulang sebagai hubungan sebab akibat, downdraft mendinginkan massa udara -
menyebabkan naiknya massa udara hangat disekitarnya - sehingga awan tumbuh – semakin
besar pula downdraft dan endapan yang turun, maka sistem konveksi ini akan semakin
berkembang terus menjadi sebuah MCC. Naiknya massa udara hangat disekitar batas dari
sistem skala meso akibat downdraft yang membawa massa udara dingin ini bisa memicu
semakin meluasnya area konvektif skala meso dari keadaan awalnya, dan merupakan salah
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 287 ~
satu hipotesa penyebab pergerakan MCC (Houze, 2004), massa udara dingin pada wilayah
downdraft yang tersebar secara horizontal di bawah awan hujan tersebut biasa disebut cold
pool (Engerer dkk. 2008) dan cold pool juga merupakan bagian penting dalam
pembentukan sel-sel konvektif baru (Wilson dan Schreber, 1986), (lihat Gambar 2.1). Di
satu pihak, cold pool akan memutuskan pasokan udara lembab dari lapisan bawah ke
dalam sistem awan konvektif dan menyebabkan matinya awan hujan tetapi di pihak lain,
cold pool memberikan kontribusi penting dalam pembentukan awan-awan konvektif baru.
Gambar 2.1 Ilustrasi perkembangan cold pool yang menghasilkan konveksi baru.
(The COMET Program, 2011).
3. DATA DAN METODE
Studi ini dimulai dengan terlebih dahulu mengidentifikasi dan mendokumentasikan
MCC di Samudera Hindia menggunakan data citra infra merah (IR) MTSAT. Untuk
mengidentifikasi dan mendokumentasikan MCC tersebut dilakukan dengan analisa
pertama yaitu mengidentifikasi seluruh awan yang menembus di atas lapisan 450 mb
(bagian tengah troposfer), sekitar (altitude) 6 – 9 km ketinggian dari permukaan bumi,
Kemudian menggunakan karakteristik MCC yang ditentukan oleh Maddox (1980) dengan
threshold suhu -33ºC sekitar 241 K sebagai selimut awan yang mewakili area stratus dan
inti awan digunakan -53ºC sekitar 221 K sebagai area konvektif, batas suhu ini digunakan
untuk menentukan sistem MCC. Secara detail, berikut algoritma / prosedur yang harus
dilakukan :
1. Data citra satelit IR1 yang mempunyai nilai suhu puncak awan dalam Kelvin dipilih
yang mempunyai nilai lebih kecil dari 241 º K sebagai selimut awan (SA) dan 221 º K
sebagai inti awan dingin (IA). Tiap grid yang memenuhi nilai suhu puncak awan
tersebut diganti dengan “1” dan yang tidak memenuhi diganti dengan angka “0”, proses
ini merubah data satelit dalam suhu menjadi data biner.
2. Data biner kemudian dicari luasan area yang memenuhi syarat suhu (prosedur 1, pixel
yang mempunyai nilai “1” ) dengan menghitung jumlah piksel yang saling terhubung
dengan 4 koneksi grid disekitarnya.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 288 ~
3. Seleksi selanjutnya hanya dipilih area yang memiliki luasan SA ≥ 100.000 km² sekitar
3305 piksel , IA ≥ 50.000 Km² sekitar 1652 piksel.
4. Mencari titik pusat dari area yang terpilih, titik pusat merupakan pusat massa dari area
yang saling terkoneksi. Untuk mencari titik pusat dapat dilakukan dengan rumus
(Carvhalo dan Jones, 2001).
N
Y
YdanN
X
X
N
i
o
N
i
o
11 ; (3.1)
Dimana Xi=posisi piksel ke-i pada sumbu X;Yi= posisi piksel ke-i pada sumbu Y; X0
dan Y0 = centroid; N = luasan area / total piksel.
5. Dalam kriteria MCC menurut Maddox (1980) harus mempunyai Eksentrisitas ≥ 0,7,
dalam kajian ini dilakukan pengujian untuk menghitung Eksentrisitas atau tingkat
kelonjongan dengan Metode Emperical Ortogonal Function (EOF). Dari hasil
penelitian Ismanto (2011), metode EOF lebih bagus dibanding metode lain yaitu
Machado dan Ellips Fitting, eksentrisitas merupakan salah satu alat untuk menentukan
bentuk kelonjongan dari suatu gambar (sistem awan). Eksentrisitas ini memiliki nilai
antara 0 hingga 1, untuk metode EOF nilai “0” menunjukkan bahwa benda tersebut
lebih berbentuk lonjong demikian sebaliknya nilai ”1” benda tersebut adalah bulat /
lingkaran.
Setelah diidentifikasi, terlebih dahulu dilakukan studi kasus untuk menganalisis
MCC saat fase awal, fase maksimum, dan fase punah serta untuk mengidentifikasi adanya
cold pool pada saat kejadian MCC tersebut berdasarkan analisis pertumbuhan konveksi
baru dari sistem MCC dan analisis spasial indek konvektif dan anomali vektor angin, lalu
menganalisis pergerakan MCC, serta kemudian menganalisis keterkaitan MCC terhadap
curah hujan ekstrem tersebut, dan terkahir melakukan analisis komposit MCC dan curah
hujan.
Data angin permukaan dipergunakan untuk melihat pengaruh MCC terhadap angin
permukaan dan menganalisis aktivitas konvektif. Data angin permukaan yang digunakan
yaitu Cross-Calibrated Multi-Platform (CCMP) yang merupakan penggabungan antara
data angin permukaan yang diturunkan sumber konvensional (pengamatan kapal) dan in
situ (buoys) dan beberapa satelit ke dalam analisis global yang mendekati konsisten dengan
resolusi 25 km setiap 6 jam-an.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 289 ~
Untuk mengetahui derajat aktivitas konveksi di tiap titik grid pengamatan,
digunakan suatu parameter indek konvektif (Ic) berdasarkan data tbb dengan perumusan
sebagai berikut :
Ic =255 – TBB ; untuk TBB < 255 K (3.2)
Ic = 0 ; untuk TBB ≥ 255 K
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada studi kasus yaitu tanggal 27–28 Oktober 2007, telah diidentifikasi adanya
MCC yang terjadi di Samudera Hindia. Identifikasi ini menggunakan data black body
temperature (tbb) dari data MTSAT IR1 dengan berdasarkan karakteristik MCC dari
Maddox (1980). Evolusi pertumbuhan MCC dari fase awal sampai fase punah pada kasus
ini diperlihatkan pada gambar 4.1. MCC pertama muncul sebagai kumpulan awan-awan
skala kecil saat pukul 15.00 UTC tanggal 27 Oktober 2007 pada garis bujur 93-98 oBT
dan garis lintang 4-8 oS (lihat Gambar 4.1.a), kemudian karena keadaan termodinamis dan
fisis yang sangat mendukung sehingga menghasilkan sistem awan skala meso dan
berkembang menjadi MCC fase awal (inisiasi) sekitar pukul 18.00 UTC tanggal 27
Oktober 2007 pada bujur 94-98 oBT dan garis lintang 4-6
oS (lihat Gambar 4.1.b). Secara
luasan MCC ini mencapai keadaan maksimum saat pukul 00.00 UTC tanggal 28 Oktober
2007 pada garis bujur 94-102 oBT dan 2-6
oS (lihat gambar 4.1.d), dan pada fase
maksimum ini, terlihat inti awan menjadi lebih besar. MCC mencapai fase punah setelah
pukul 06.00 UTC tanggal 28 Oktober 2007 (lihat Gambar 4.1.f), pada fase ini, terlihat inti
awannya pecah dan kembali membentuk awan-awan skala kecil dan selimut awannya
membesar.
Kasus ini menarik dilakukan karena evolusi pertumbuhan MCC dari fase awal
sampai fase punah pada kasus ini terlihat jelas dan konsisten dengan hasil penelitian
Cotton, dkk (1989) dan Maddox (1980) yang menyatakan bahwa pada fase awal terlihat
adanya awan-awan skala kecil dan pada fase maksimum, awan-awan skala kecil tersebut
menjadi inti awan skala besar dan maksimum, lalu pada fase punah, inti awannya pecah
dan kembali membentuk awan-awan skala kecil dan selimut awannya membesar. MCC
pada kasus ini juga menarik karena memiliki masa hidup yang cukup panjang yaitu 15 jam.
Hal yang juga menarik dari kasus ini adalah terlihat adanya pergerakan awan-awan
konvektif saat dimulainya fase punah MCC pada pukul 06:00 UTC dari area teerjadinya
MCC di Samudera Hindia menuju pulau Sumatera, hal ini mengidentifikasikan adanya
pengaruh dari MCC terhadap aktivitas konvektif disekitarnya, untuk memperkuat asumsi
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 290 ~
itu, dilakukan juga analisis terhadap angin permukaan saat kejadian MCC tersebut, seperti
terlihat pada gambar 4.2.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
Gambar 4.1. TBB dari data MTSAT IR1 yang menunjukkan evolusi perkembangan
MCC di Samudera Hindia, dari fase awal sampai fase punah. Lingkaran merah
menunjukkan area terjadinya MCC.
Gambar 4.2 menunjukkan anomali angin permukaan dan indek konvekti pada saat
fase awal, fase maksimum dan fase punah dari MCC. Pada saat fase awal (lihat gambar
4.2.a) terlihat bahwa adanya konvergensi angin permukaan yang diperkirakan membawa
massa udara dari segala arah menuju suatu area disekitar 98oE-102
oE dan 2
oS-4
oS,
konvergensi angin ini terus berlanjut sehingga membentuk awan konvektif dengan skala
besar, dan awan konvektif pada kondisi ini disebut fase maksimum pada sistem MCC
dengan area sekitar 94oE-102
oE dan 1
oS -6
oS, pukul 00.00 UTC (Lihat gambar 4.2.b),
MCC mulai punah pada pukul 06.00 UTC, saat kondisi ini, sudah terlihat adanya
divergensi angin/penyebaran angin di area MCC, angin ini diestimasi sebagai angin yang
terjadi dari mekanisme cold pool, hal ini juga diperkuat dengan adanya sel konvektif baru
di sekitar area MCC yang sudah mulai mengalami kepunahan (Lihat gambar 4.2.c) , Pada
pukul 12.00 UTC, MCC sudah benar mengalami fase punah, dan sudah terlihat adanya
pergerakan awan konevktif dari area MCC menuju pulau Sumatera. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa adanya pengaruh MCC terhadap awan konvektif disekitarnya.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 291 ~
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4.2. Indek konvektif dan anomaly vector angin permukaan pada a) fase awal
dari MCC pada 18.00 UTC 27 Oktober 2007. b) Fase maksimum MCC pada 00.00 UTC
28 Oktober 2007, c dan d) fase punah MCC pada 06.00 UTC sampai 12.00 UTC.
Gambar 4.3 menunjukkan estimasi curah hujan menggunakan data TRMM,
estimasi curah hujan pada saat fase awal dari MCC pada tanggal 27 oktober 2007, pukul
18.00 UTC diperlihatkan pada gambar 4.3.a, dimana curah hujan yang terjadi membentuk
pola yang sama seperti gambar 4.1.a pada area garis bujur 93-98 oBT dan garis lintang 4-8
oS, hal ini menunjukkan bahwa sudah terjadinya curah hujan di area terbentuknya MCC.
Curah hujan tinggi di area MCC pada garis bujur 94-102 oBT dan 2-6
oS terlihat ketika
terjadinya fase maksimum MCC, seperti terlihat pada gambar 4.3.b. Curah hujan tinggi
terlihat di atas Sumatera ketika terjadinya fase punah MCC pada tanggal 28 Oktober 2007,
pukul 12.00 UTC, hal ini memperkuat analisis sebelumnya pada gambar 4.2.d bahwa
adanya pergerakan awan konvektif dari area MCC pada saat fase punah menuju pulau
Sumatera, sehingga adanya pengaruh MCC terhadap awan konvektif disekitarnya yang
mengakibatkan curah hujan tinggi di sekitarnya yaitu pulau Sumatera.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 292 ~
Gambar 4.3 Estimasi curah hujan dari data TRMM (3 jaman) ketika terjadinya MCC
pada saat; a) Fase awal MCC, b) Fase maksimum MCC, c) Fase punah MCC.
Gambar 4.4 Curah hujan dan suhu permukaan di Bengkulu saat terjadinya MCC.
Gambar 4.4 memperkuat analisis gambar 4.3, dimana terlihat bahwa adanya curah
hujan tinggi di daerah Bengkulu pada saat fase punah MCC tanggal 28 Oktober 2007,
pukul 06.00 UTC sampai pukul 12.00 UTC, dan curah hujan meningkat tajam pada pukul
09.00 UTC. Suhu permukaan di Bengkulu juga mengalami penurunan drastis terutama
pukul 09.00 – 11.00 UTC, kejadian penurunan suhu permukaan yang drastis tersebut
disebabkan adanyak mekanisme cold pool yang terjadi pada saat adanya MCC.
Untuk menguji konsistensi pengaruh MCC di Samudera Hindia terhadap aktivitas
konvektif disekitarnya, maka dilakukan proses komposit untuk masing-masing kejadian
MCC yang muncul pada area yang sering terjadinya MCC. Area yang dikaji dimisalkan area A,
seperti terlihat pada lingkaran biru dalam gambar 4.5.a yang terjadi pada area sekitar 94-
99oBT dan 0-4
oLU, analisis komposit kejadian MCC dilakukan pada fase maksimum pukul
00.00 UTC, pengambilan waktu ini dikarenakan frekuensi kejadian fase maksimum dari
KKSM tersebut lebih banyak terjadi pada pukul 00.00 UTC. Gambar 4.5.b menunjukkan
bahwa adanya MCC pada area A.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 293 ~
(a)
(b)
Gambar 4.5 a) Sebaran kejadian KKSM/MCC di Samudera Hindia selama 10 tahun
(2000-2009), lingkaran biru menunjukkan area A (area MCC). b) Komposit
KKSM/MCC fase maksimum pada area A selama 10 tahun (2000-2009)
Dari Analisis komposit kejadian MCC pada area A di Samudera Hindia (Gambar
4.6) menunjukkan konsisten dengan hasil studi kasus, dimana adanya pengaruh besar dari
MCC pada aktivitas konvektif di sekitarnya sehingga menyebabkan curah hujan tinggi di
atas wilayah Sumatera. Dan juga teridentifikasinya cold pool pada saat kejadian MCC
dengan adanya konveksi baru di sekitar MCC dan pola anomali angin yang tidak
merepresentasikan angin darat/laut. Dimana cold pool adalah area pendinginan secara
evavorasi dari downdraft udara yang menyebar horizontal dibawah awan MCC, dan cold
pool ini bisa menjadi fokus penting bagi perkembangan sel konvektif baru, karena
beberapa lingkungan udara yang mendekati cold pool diangkat ke atas, Wilson dan
Schreiber (1986).
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 294 ~
Gambar 4.6 Analisis komposit untuk indek konvektif dan anomali vektor angin ketika
terjadi MCC di area A.
Gambar 4.7 memperlihatkan pengaruh MCC pada area A terhadap curah hujan di
atas Kototabang, Sumatera Barat. Curah hujan terjadi sejak pukul 06.00 UTC dan
berlangsung terus menerus sampai pukul 21.00 UTC. Hasil ini konsisten dengan hasil
penelitian (Maddox, 1980; Fritsch dkk., 1986; McAnelly dan Cotton, 1989) bahwa
fenomena KKSM ini dapat menghasilkan cuaca buruk dan hujan yang terus menerus.
Dimana hujan seperti ini diketahui telah menyebabkan bencana banjir di berbagai tempat
seperti: Asia Timur (Ninomiya dkk,1981; Chen dan Li, 1995), Amerika Selatan Subtropis
(Durkee dan Mote, 2009) dan Amerika Serikat (Maddox,1981).
Gambar 4.7 Analisis komposit curah hujan di Kototabang Sumatera Barat saat terjadinya
MCC di area A
Cu
rah
Hu
jan
(m
m)
waktu (UTC)
Komposit Curah Hujan di Atas Kototabang Pada Saat Kejadian
KKSM di Area A (Data AWS)
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 295 ~
5. KESIMPULAN
MCC bisa menghasilkan curah hujan ekstrem melalui mekanisme cold pool dengan
sistem pembentukan sel konveksi baru yang menginduksi pertumbuhan konveksi
disekitarnya sehingga membuat pertumbuhan awan konveksi yang cukup signifikan
disekitarnya sehingga bisa menyebabkan curah hujan ekstrem.
UCAPAN TERIMA KASIH:
Penulis mengucapkan terimakasih pada Dr. Tri Wahyu Hadi sebagai dosen sains kebumian
ITB dan Ass Prof. Dr. Yasumasa Kodama (Hirosaki University – Japan) yang telah
bersedia berdiskusi dengan penulis tentang penelitian ini.
DAFTAR RUJUKAN
Ashley, W. S. (2003) : A Distribution of Mesoscale Convective Complexe Rainfall in the
United State. Monthly weather Review, 131, 3003 – 301.
Durkee, J. D., Mote, T. L. dan Shepherd, M. J. (2009): The Contribution of Mesoscale
Convective Complexes to Rainfall across, Subtropical South America. Journal of
Climate.,vol 22.
Fritsch, J. M., Kane, R. J. dan Chelius, C. R. (1986) : The Contribution of Mesoscale
Convective Weather System to the Warm Season Precipitation in the United States.
Journal of Climate., 25, 1333 - 1345.
Houze, R. A. Jr. (2004) : Mesoscale Convective System, Review of Geophisics, American
Geophisical Union, 43 pp.
Laing, A. G. dan Fritsch, J. M. (1993a) : Mesoscale Convective Complexes Over the
Indian Monsoon Region. Monthly Weather Review, 121, 2254 – 2263.
Ismanto, H. (2011): Karakteristik Kompleks Konvektif Skala Meso di Benua Maritim,
Tesis Magister, FITB, ITB.
Maddox, R. A. (1980) : Mesoscale Convective Complexes, Bulletin American Meteorology
Society. 61, 1374 - 1387.
Miller, D. dan Fritsch, J. M. (1991): Mesoscale Convective Complexe in Western
Pasific Region. Monthly Weather Review., 119, 2978 – 2992.
Takahashi, C., Uyeda, H., Maki, M., Iwanami, K., Misumi, R. (2008) : Relationship among
Structure, Development Processes, and Heating Profiles for Two Mesoscale
Convective Systems in Inactive Phase of a Large-Scale Disturbance over Northern
Australia during the Southern Summer in 1998-1999. Journal of the
Meteorological Society of Japan, 86, 81 – 117.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 296 ~
KARAKTERISTIK HARIAN DAN DISTRIBUSI MUSIMAN
DARI KOMPLEKS KONVEKTIF SKALA MESO DI
SAMUDERA HINDIA SELAMA 10 TAHUN
(PERIODE 2000-2009)
Trismidianto
Bidang Pemodelan Atmosfer, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
email: [email protected]
Abstract
Effects of Mesoscale Convective Complexes (MCC) in Indian Ocean on convections over
Sumatera Island have been investigated using Multi-functional Transport SATellite
(MTSAT) infrared (IR1) imageries, Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) rainfall
data, and Cross-Calibrated Multi-Platform (CCMP) surface wind data of 10-year period
(2000-2009). Occurrences of MCC were identified using an algorithm that combines
criteria of cloud coverage, eccentricity, and cloud lifetime. Then, we do analyze of the
spatial and temporal characteristics of daily and seasonal distribution of MCC in the
Indian Ocean for 10 years. And also study the relationship MCC against convective index
and surface wind anomalies. From this study, we found about a number of 553 MCC
events have been identified over western Indian Ocean or there are about 55 MCC events
per year in average. However, it is of interest to note MCC events tend to occur with
significantly higher frequency during the monsoon transition season of March- April-May
(MAM) period. Available data suggest that the life cycle of MCCs over western Indian
Ocean is about 12 to 15 hours. The daily characteristics of MCC in the Indian Ocean
shows that the initial phase of MCC common in 17:00 UTC, and the maximum phase of
MCC dominant occurred at 00:00 UTC, while the dissipation phase of MCC dominant
occurs at 12:00 UTC. And we also found a strong linkage between MCC with the
convective index, especially in DJF and JJA seasons, and MCC affecting the convective
clouds in the surrounding area for every season. Distribution of convective index during
dissipation phase of MCC every season of DJF, MAM, JJA and SON shows the number of
distribution of convective cloud over the Sumatra island, which had not previously seen in
the maximum phase of MCC, it indicates that there are movement of the convective cloud
when the dissipation phase of MCC.
Keyword: MCC, Convective Index, Indian Ocean
Abstrak
Pengaruh konvektif komplek skala meso (KKSM) atau Mesoscale Convective Complexes
(MCC) di Samudera Hindia terhadap konveksi di atas pulau sumatera sudah diinvestigai
menggunakan data citra satelit Multi-functional Transport SATellite (MTSAT), data curah
hujan dari Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) dan data angin permukaan
Cross-Calibrated Multi-Platform (CCMP) selama 10 tahun (2000-2009). Kejadian MCC
diidentifikasi menggunakan sebuah algoritma yang mengkombinasikan criteria tutupan
awan, eksentrisitas dan lama hidup awan. Dan kami melakukan analisis spasial dan
temporal terhadap karakteristik harian dan distribusi musiman dari KKSM di Samudera
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 297 ~
Hindia selama 10 tahun. Dan juga kajian keterkaitan KKSM terhadap indek konvektif dan
anomali angin permukaan. Dari penelitian ini diperoleh sekitar 553 kejadian KKSM dan
rata-rata 55 kejadian MCC per tahunnya. Oleh karena itu, meanrik ditulis KKSM
cenderung terjadi dengan frekuensi tinggi yang signifikan pada musim transisi yaitu Maret,
April dan Mei (MAM). Diperolehnya data yang menunjukkan bahwa KKSM mempunyai
siklus hidup yang cukup panjang sekitar 12-15 jam. Karakteristik harian KKSM di
Samudera Hindia menunjukkan bahwa fase awal KKSM sering terjadi pada pukul 17:00
UTC, dan fase maksimum KKSM dominan terjadi pada pukul 00:00 UTC, sedangkan fase
punah dominan terjadi pada pukul 12:00 UTC. Dan dihasilkan juga bahwa adanya
keterkaitan yang cukup kuat antara kejadian KKSM dengan indek konvektif terutama pada
musim DJF dan JJA, serta KKSM mempengaruhi awan konvektif disekitarnya untuk setiap
musim. Distribusi indek konvektif pada saat fase punah KKSM setiap musim DJF, MAM,
JJA dan SON memperlihatkan banyaknya distribusi awan konvektif di atas pulau sumatera,
yang sebelumnya tidak terlihat pada fase maksimum KKSM, hal ini menunjukkan bahwa
adanya pergerakan awan konvektif saat terjadinya fase punah dari KKSM.
Kata Kunci: KKSM, Indek konvektif, Samudera Hindia
1. PENDAHULUAN
Fenomena Kompleks Konvektif Skala Meso (KKSM) atau yang biasa juga disebut
Mesoscale Convective Complexes (MCC) ini telah dikaji banyak peneliti dalam kurun
waktu lebih dari tiga dekade, namun penelitian-penelitian tersebut banyak dilakukan di
Asia Timur, Amerika Selatan Subtropis, Amerika Serikat. Belum ada yang meneliti secara
rinci di Benua Maritim Indonesia (BMI). Salah satu penelitian KKSM yang dimulai di
Benua Maritim adalah oleh Laing dan Fritsch (1997), Namun hasil kajian Laing dan
Fritsch menunjukkan bahwa Samudera Hindia bukan merupakan tempat munculnya
KKSM (Lihat Gambar 1.1.a, Kemudian tahun 2010, Yuan dan Houze juga melakukan
penelitian KKSM di BMI. (Lihat Gambar 1.1.b). Menurut Yuan dan Houze (2010), BMI
merupakan area munculnya KKSM, dan sering muncul di Samudera Hindia dan Samudera
Pasifik, kondisi lautan di BMI merupakan tempat yang sangat cocok untuk tumbuhnya
KKSM dengan ukuran yang besar. namun penelitian Yuan dan Houze ini, hanya
memperlihatkan bahwa KKSM juga terjadi di Samudera Hindia, namun belum secara rinci
membahas karakteristik KKSM di Samudera Hindia.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 298 ~
(a)
(b)
Gambar 1.1 a) Distribusi spasial KKSM menurut Laing dan Fritsch (1997), dan
b) Distribusi spasial KKSM menurut Yuan dan Houze (2010).
Ismanto H dan Hadi TW (2011) dalam penelitian tesisnya menunjukkan hasil yang
konsisten dengan hasil yang telah dilakukan Yuan dan Houze 2010, dimana KKSM sering
muncul di BMI terutama muncul di wilayah lautan luas (Samudera Hindia Barat Sumatera
dan Samudera Pasifik Utara Papua), dan di daratan luas Di benua maritim (Pulau Papua,
Pulau Kalimantan, beberapa di Sumatera). Namun, penelitian ini juga belum secara rinci
membahas distribusi KKSM di Samudera Hindia. Kenapa KKSM ini penting dikaji karena
hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa fenomena ini dapat menghasilkan cuaca
buruk dan hujan yang terus menerus (Maddox, 1980; Fritsch dkk., 1986; McAnelly dan
Cotton, 1989). Hujan seperti ini diketahui telah menyebabkan bencana banjir di berbagai
tempat seperti: Asia Timur (Ninomiya dkk,1981; Chen dan Li, 1995), Amerika Selatan
Subtropis (Durkee dan Mote, 2009) dan Amerika Serikat (Maddox,1981). Menurut Yuan
dan Houze (2010) dan Yuan dan Houze (2011) serta diperkuat oleh Ismanto (2011), Benua
Maritim merupakan area munculnya sistem konveksi skala meso besar yang terpisah-pisah
(individu) ataupun yang saling terkoneksi (termasuk didalamnya adalah KKSM). Oleh
karena itu, penelitian ini akan mengkaji bagaimana karakteristik harian dan distribusi
musiman dari KKSM di Samudera Hindia.
2. TINJAUAN PUSTAKA
KKSM merupakan populasi Mesoscale Convective System (MCS) yang hidup
terbesar dan terpanjang, sedangkan MCS secara luas dapat didefinisikan sebagai sistem
awan terkait dengan ansambel dari badai dengan curah hujan daerah berdekatan. biasanya,
skala horisontal mereka dapat memperpanjang 100 km atau lebih dalam satu arah, dan
siklus hidup mereka dapat berlangsung dari beberapa jam selama 2-3 hari (Houze, 1993).
KKSM terbentuk melalui proses layer lifting, yang memiliki kecocokan dengan proses
pembentukan sistem konvektif menurut Ahrens (2001). Proses layer lifting adalah proses
konveksi yang merupakan gabungan dari konveksi mekanis dan termal dan / atau proses
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 299 ~
konveksi karena fron yang akan menghasilkan suatu fenomena yang biasa disebut deep
convection (konveksi tebal) sedangkan menurut Ahrens (2001) menyebutnya sebagai
severe thunderstorm. Deep convection / severe thunderstorm pada keadaan tertentu
memiliki area antara ratusan hingga ribuan kilometer sehingga termasuk fenomena-
fenomena cuaca skala meso (Houze, 2004).
Gambar 2.1 (a) Skema ideal melintang pembalikan suatu lapisan konvektif. Garis bentuk
awan adalah batas awan, garis kontur utuh setiap 4 K menunjukkan
temper ture potenti l equiv lent θe , garis utuh tebal menunjukkan zona
fron, arsiran terang menunjukkan area θe rendah, arsiran gelap
menggambarkan lapisan lembab labil (Bryan dan Fritsch, 2000 dalam
Houze, 2004).
(b) Mekanisme fron skala kecil di daerah tropis (Ahrens, 2001).
Menurut Laing (2003), ada beberapa keadaan lingkungan skala luas yang secara
khas muncul sebagai bagian proses layer lifting antara lain (Gambar 2.1.a dan b): adanya
angin kecepatan tinggi di bagian bawah troposfer yang sporadis (low level jet) yang
memiliki temperatur potensial ekivalen yang tinggi (θe) menyusup / masuk ke daerah
pembentukan yang memaksa suatu kumpulan massa udara (lapisan) terangkat naik secara
dangkal diantara lapisan dasar permukaan yang relatif udaranya lebih dingin. Nampak jelas
bahwa adveksi hangat disertai pembelokan troposfer bawah yang sangat kuat menutupi
lapisan dasar permukaan yang lebih dingin. Kondisi maksimum lokal dari kelembaban
relatif (relative humidity) merupakan tanda dari area favorit pembentukan dari sistem
konvektif ini.
Menurut Maddox (1998), ada tiga karakteristik yang digunakan untuk menentukan
apakah badai kompleks adalah KKSM. Karakteristik tersebut adalah suhu awan bagian
atas pada pencitraan satelit inframerah. Suhu awan atas atau selimut awan adalah -32oC
atau kurang perlu untuk menutupi area seluas 100.000 km2 atau lebih besar bersama
dengan suhu terdingin atas awan atau inti awan yang kurang dari atau sama dengan -52oC
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 300 ~
seluas minimal 50.000 km2. Karakteristik kedua adalah bahwa bentuk puncak awan dingin
/ inti awan kompleks perlu melingkar atau hampir bundar. Hal ini untuk membedakan
KKSM dari squall lines dan kompleks badai lainnya. Panjang (panjang terpendek) dari
KKSM harus setidaknya 70% dari lebar (panjang tegak lurus terpanjang dengan panjang
lebih pendek). Dengan demikian, KKSM akan memiliki bentuk tipe elips atau melingkar
dengan eksentrisitasnya (sumbu minor/sumbu utama) lebih besar dari atau sama dengan
0,7 pada batas maksimum. Ketiga, KKSM harus berlangsung setidaknya 6 jam.
Karakteristik dari lingkungan meteorologi dari pembentukan KKSM adalah adveksi udara
hangat kuat ke dalam pembentukan lingkungan oleh aliran jet tingkat rendah selatan (angin
maksimum), adveksi kelembaban yang kuat meningkatkan kelembaban relatif dari
pembentukan lingkungan, konvergensi udara di dekat permukaan, dan divergensi udara
tinggi.
3. DATA DAN METODE
Identifikasi KKSM dilakukan menggunakan data citra infra-red (IR1) dari Multi-
functional Transport SATellite (MTSAT) dengan membuat algoritma untuk digunakan
dalam mendeteksi KKSM dari data citra IR1 yang dibangun dengan menggabungkan
beberapa kriteria dari luasan tutupan awan, tingkat kelonjongan dan lama masa hidupnya,
seperti terlihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Kriteria Penentuan KKSM (Maddox, 1980)
Kriteria Karakteristik Fisik
Ukuran SA - Mempunyai suhu SA ≤ -32oC yang menutupi area
seluas ≥ 100.000 km2
IA - Mempunyai suhu IA ≤ -52oC yang menutupi area
seluas ≥ 50.000 km2
Inisiasi/Awal KKSM berawal dengan terpenuhinya ukuran SA dan IA
Masa Hidup Masa hidupnya ≥ 6 Jam
Batas Maksimum Batas fase maksimum KKSM dinyatakan ketika IA
mencapai luas maksimum
Bentuk Mempunyai eksentrisitas/kelonjongan (sumbu minor/sumbu
mayor) ≥ 0.7 pada waktu mencapai batas maksimum
Terminasi/Akhir KKSM berakhir dengan mengecilnya ukuran SA dan IA
Setelah KKSM teridentifikasi lalu dilakukan analisis spasial dan temporal terhadap
karakteristik harian dan distribusi musiman dari KKSM di Samudera Hindia selama 10
tahun. Dilakukan juga kajian keterkaitan KKSM terhadap indek konvektif dan anomali
angin permukaan.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 301 ~
Data angin permukaan dipergunakan untuk melihat pengaruh KKSM terhadap
angin permukaan dan menganalisis aktivitas konvektif. Data angin permukaan yang
digunakan yaitu Cross-Calibrated Multi-Platform (CCMP) yang merupakan
penggabungan antara data angin permukaan yang diturunkan sumber konvensional
(pengamatan kapal) dan in situ (buoys) dan beberapa satelit ke dalam analisis global yang
mendekati konsisten dengan resolusi 25 km setiap 6 jam-an, sehingga data angin
permukaan menjadi lengkap secara global di seluruh wilayah bumi. Data angin permukaan
ini tersedia dari tahun 1987–2008 dan dapat diunduh melalui
http://dss.ucar.edu/datasets/ds744.9. Namun pada penelitian ini hanya digunakan periode
data dari tahun 2000 sampai 2009.
Untuk mengetahui derajat aktivitas konveksi di tiap titik grid pengamatan,
digunakan suatu parameter indek konvektif (Ic) berdasarkan data tbb dengan perumusan
sebagai berikut :
Ic =255 – TBB ; untuk TBB < 255 K (3.1)
Ic = 0 ; untuk TBB ≥ 255 K
Dimana 255 K ini secara umum dapat disamakan temperatur atmosfer pada level
ketinggian sekitar 400 hPa, sehingga nilai Ic ini menunjukkan suatu indek awan-awan
konveksi yang puncak awannya mencapai level ketinggian di atas 400 hPa. Dalam
penelitian ini, untuk menghitung Ic digunakan persamaan (III.1) tersebut, dengan
pertimbangan bahwa penggunaan nilai batas 255 K sudah dapat mencirikan aktivitas
konveksi yang kuat, dan sudah dapat mereduksi pengaruh variasi temperatur permukaan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi kejadian KKSM di wilayah Samudera Hindia sudah dilakukan
menggunakan data MTSAT IR1 dan mengacu pada karakteristik KKSM yang ditentukan
oleh Maddox (1980), dan secara rinci karakteristik tersebut dibuat algoritma dalam
pemrograman menggunakan Software Matlab serta divalidasi secara manual sehingga
sudah diperoleh hasil bahwa terdapat sekitar 553 KKSM yang terjadi di daerah Samudera
Hindia selama 10 tahun periode Januari – Desember (2000-2009). MCS yang terjadi
merupakan MCS besar yang terpisah-pisah (individu) ataupun yang saling terkoneksi
termasuk KKSM, hal ini sesuai dengan Yuan dan Houze (2010) serta Ismanto (2011)
bahwa BMI merupakan area munculnya MCS besar yang terpisah-pisah (individu) ataupun
yang saling terkoneksi (termasuk didalamnya adalah KKSM) terutama di daerah Samudera
Hindia. (Lihat Gambar 4.1).
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 302 ~
Gambar 4.1 Distribusi kejadian KKSM di Samudera Hindia selama 10 tahun
(2000-2009)
Pada umumnya sistem KKSM dikenal sebagai sistem nocturnal yang mana fase
awal /tumbuh sekitar sore hingga malam hari sekitar pukul 22.00 (waktu lokal), dan saat
fase maksimumnya terjadi antara pukul 23.00-05.00 (waktu lokal), lalu dilanjutkan fase
akhir (menghilangnya KKSM) sekitar pukul 08.00-10.00 (waktu lokal) dengan lama hidup
secara rata-rata sekitar 11-12 jam. Hal ini berbeda dengan KKSM yang diperoleh pada
hasil penelitian ini dimana secara umum KKSM di Samudera Hindia dominan muncul
lebih awal pada fase awal terjadi menjelang pagi hingga pagi hari pukul 16.00 – 20.00
UTC, fase maksimumnya terjadi sekitar pukul 22.00 – 00.00 UTC dan yang paling
mencolok bahwa KKSM di Samudera Hindia sedikit mengalami keterlambatan dalam
mencapai fase punah yang mencapai hingga pukul 10.00-12.00 UTC (Lihat Gambar 4.2.a).
Sehingga secara umum siklus hidup KKSM di Samudera Hindia lebih lama yang
berkisar 12-15 jam (Lihat Gambar 4.2.b), hal ini bisa disebabkan karena keadaan lautan
dan atmosfer Samudera Hindia sangat mendukung untuk terbentuknya konveksi yang tebal
dan di lautan luas siklus diurnal dalam kondisi lemah sehingga membuat sistem KKSM ini
mencapai keadaan maksimum, hasil ini konsisten dengan hasil dari Mori dkk (2004)
mengungkapkan bahwa puncak hujan konvektif terjadi antara pukul 15.00-20.00 di darat
sedangkan pada pagi hari di sekitar laut, komposisi hujan merupakan perpaduan antara tipe
stratiform dan konvektif.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 303 ~
(a)
(b)
Gambar 4.2. a) Karakteristik harian KKSM di Samudera Hindia selama 10 tahun (2000-
2009). b) Lama fase KKSM selama 10 tahun (2000-2009)
Berdasarkan gambar 4.3.a) terlihat bahwa KKSM yang muncul di Samudera
Hindia banyak terjadi pada tahun 2004 dan 2005, dan dari seluruh kejadian KKSM yang
terjadi di Samudera Hindia selama 10 tahun, persentase kejadian KKSM banyak terjadi
pada musim transisi yaitu bulan Maret, April, Mei (MAM) (Lihat Gambar 4.3.b).
(a)
(b)
Gambar 4.3 a) Jumlah kejadian KKSM di Samudera Hindia selama 10 tahun (2000-
2009), b) Persentase kejadian KKSM pada saat bulan DJF, MAM, JJA, dan SON.
Gambar 4.4 memperlihatkan keterkaitan distribusi kejadian KKSM di Samudera
Hindia dan indek konvektif serta anomali vektor angin permukaan untuk setiap musim di
Indonesia selama 10 Tahun (2000-2009), dari area lingkaran merah pada gambar 4.4 kiri
dan kanan terlihat adanya indek konvektif yang cukup kuat pada area tersebut, dimana
pada saat itu terjadi banyak KKSM di area tersebut, Namun musim DJF dan JJA yang
memperlihatkan hubungan kuat antara kejadian KKSM dengan indek konvektif, sedangkan
pada musim MAM dan SON tidak memperlihatkan keterkaitan yang cukup kuat sehingga
walaupun menurut gambar 4.3.b bahwa MCC lebih banyak terjadi pada musim MAM,
namun MCC yang terjadi pada bulan tersebut tidak terlalu mempengaruhi curah hujan
disekitarnya karena tidak memperlihatkan keterkaitan yang cukup kuat dengan indek
Jum
lah
Ke
jad
ian
Jam (UTC)
Karakteristik Harian Komplek Konvektiv Skala
Meso di Samudera … FaseAwal
Jum
lah
Ke
jad
ian
KK
SM
Lama Fase KKSM (Jam)
Lama Fase KKSM (2000-2009)
Jum
lah
Ke
jad
ian
KK
SM
Bulan
Jumlah Kejadian KKSM di Wilayah Samudera Hindia dan
Sekitarnya (2000-2009) 2000
2001
Pe
rse
nta
se K
eja
dia
n
Bulan
Persentase Kejadian KKSM pada saat bulan DJF, MAM,
JJA, SON(2000-2009)
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 304 ~
konvektif, sedangkan angin permukaan memperlihatkan keterkaitan yang cukup kuat pada
musim JJA dan SON, dimana adanya konvergensi angin permukaan pada area lingkaran
merah tersebut yang menandakan adanya pembentukan KKSM.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 305 ~
Gambar 4.4 kiri: Distribusi KKSM pada saat fase maksimum saat musim DJF, MAM,
JJA dan SON selama 10 tahun di Samudera Hindia. Kanan: Distribusi indek konvektif dan
anomaly vector angin pada saat fase maksimum KKSM saat musim DJF, MAM, JJA dan
SON selama 10 tahun di Samudera Hindia.
Gambar 4.5 memperlihatkan distribusi indek konvektif pada saat fase punah
KKSM, dimana terlihat bahwa pada saat fase punah KKSM, terjadi banyaknya distribusi
awan konvektif di atas pulau sumatera, yang sebelumnya tidak terlihat pada fase
maksimum KKSM seperti terlihat pada gambar 4.4 (kanan). Hal ini menunjukkan bahwa
adanya pergerakan awan konvektif saat terjadinya fase punah dari KKSM.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 306 ~
Gambar 4.5 Distribusi indek konvektif pada saat fase punah KKSM saat musim DJF,
MAM, JJA dan SON di Samudera Hindia selama 10 tahun (2000-2009).
5. KESIMPULAN
Terdapat sekitar 553 kejadian KKSM selama 10 tahun di Samudera Hindia dengan
siklus hidup yang cukup panjang sekitar 12-15 jam dan KKSM di Samudera Hindia sering
terjadi pada musim transisi yaitu Maret, April dan Mei (MAM), serta adanya keterkaitan
yang cukup kuat antara kejadian KKSM dengan indek konvektif terutama pada musim DJF dan
JJA, serta KKSM mempengaruhi awan konvektif disekitarnya untuk setiap musim. Distribusi indek
konvektif pada saat fase punah KKSM setiap musim DJF, MAM, JJA dan SON memperlihatkan
banyaknya distribusi awan konvektif di atas pulau sumatera, yang sebelumnya tidak terlihat pada
fase maksimum KKSM, hal ini menunjukkan bahwa adanya pergerakan awan konvektif saat
terjadinya fase punah dari KKSM.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 307 ~
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih pada Dr. Tri Wahyu Hadi sebagai dosen sains kebumian
ITB dan Ass Prof. Dr. Yasumasa Kodama (Hirosaki University – Japan) yang telah
bersedia berdiskusi dengan penulis tentang penelitian ini.
DAFTAR RUJUKAN
Ahrens, C. D. (2001): Cloud Development and Precipitation. Essentials of Meteorology –
An Invitation to the Atmosphere, 504 pp.
Anderson, C. J. dan Arrit, R. W. (1998) : Mesoscale Convective Complexes and Persistent
Elongated Convective Systems over theUnited state during 1992 and 1993.
Monthly weather Review., 126, 578 – 599.
Ashley, W. S. (2003) : A Distribution of Mesoscale Convective Complexe Rainfall in the
United State. Monthly weather Review, 131, 3003 – 301.
Durkee, J. D., Mote, T. L. dan Shepherd, M. J. (2009): The Contribution of Mesoscale
Convective Complexes to Rainfall across, Subtropical South America. Journal of
Climate.,vol 22.
Fritsch, J. M., Kane, R. J. dan Chelius, C. R. (1986) : The Contribution of Mesoscale
Convective Weather System to the Warm Season Precipitation in the United States.
Journal of Climate., 25, 1333 - 1345.
Houze, R. A. Jr. (2004) : Mesoscale Convective System, Review of Geophisics, American
Geophisical Union, 43 pp.
Houze, R. A. Jr. (2011): Orographic Effect on Precipitating Clouds, Review of Geophisics,
American Geophisical Union, 47 pp.
Ismanto, H. (2011): Karakteristik Kompleks Konvektif Skala Meso di Benua Maritim,
Tesis Magister, FITB, ITB.
Laing, A. G. dan Fritsch, J. M. (1997) : The Global Population of Mesoscale Convective
Complexes. Q. Journal of Meteorological Society. , 123, 389-405.
McAnelly, R. L. dan Cotton, W. R. (1989) : The Precipitation life cycle of Mesoscale
Convective Complexes over the Central United States. Monthly Weather
Review.,117, 784 - 808.
Maddox, R. A. (1980) : Mesoscale Convective Complexes, Bulletin American Meteorology
Society. 61, 1374 - 1387.
Miller, D. dan Fritsch, J. M. (1991): Mesoscale Convective Complexe in Western
Pasific Region. Monthly Weather Review., 119, 2978 – 2992.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 308 ~
Takahashi, C., Uyeda, H., Maki, M., Iwanami, K., Misumi, R. (2008) : Relationship among
Structure, Development Processes, and Heating Profiles for Two Mesoscale
Convective Systems in Inactive Phase of a Large-Scale Disturbance over Northern
Australia during the Southern Summer in 1998-1999. Journal of the
Meteorological Society of Japan, 86, 81 – 117.
Yuan, J dan Houze, R. A. Jr. (2010): Global Variability of Mesoscale Convective System
Anvil Structure from A-Train Satellite Data. Journal of Climate, 23, 5864-5888.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 309 ~
PENGARUH KEBAKARAN HUTAN TERHADAP AEROSOL
DAN OZON TOTAL DI SUMATERA BERDASARKAN
MUSIMAN
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati
Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer Dan Iklim-LAPAN
Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung, e-mail; [email protected]
Abstract
Total ozone (O3) concentration distributions and hotspot were high during dry season June-
July-August (JJA). In the other hand aerosol concentration distributions indicated by
Aerosol Optical Depth (AOD483.5nm) was high during transition dry to wet season
September-October-November (SON). Maximum total ozone and aerosol (AOD483.5nm)
during August and September. High concentration value was correlated well with hotspot
indicating forest fires in Sumatera, that was high number of hotspot followed by high
concentration during JJA and SON. Total O3 and aerosol data were obtained from Aura-
OMI sensor (Observation Monitoring Instrument) from NASA from January 2005 to
December 2010 for Sumatera region (6.210 S - 6.270 S; 94.580 E - 109.080 E),
0.2500.25
0 resolution. Hotspot data were obtained from MODIS Aqua/Terra. The data
were then plotted by using ARC View/GIS version 3.3. Forest fires occured in 2005-2010
in Sumatera were sources of aerosol and CO and gave impact on total ozone. Results
showed that aerosol and cloud formations during DJF had influenced ozone concentration
in Indonesia. In the other hand forest fires during SON were correlated well with
AOD483.5nm and ozone by 0.522 and significance p< 0.05; hotspot with AOD483.5nm by
0.831 and significance p<0.01 and hotspot with ozone by 0.529.
Keywords: Aerosol Optical Depth (AOD), hotspot, total ozone, Sumatera
Abstraks
Distribusi konsentrasi ozon (O3) total dan titik api adalah tinggi pada saat musim kemarau
Juni Juli Agustus (JJA). Sedangkan aerosol yang diindikasikan dengan Aerosol Optical
Depth (AOD483,5 nm ) adalah tinggi saat musim peralihan kemarau ke hujan September
Oktober Nopember (SON). Konsentrasi maksimum O3 total dan aerosol (AOD 483,5nm)
pada bulan Agustus dan September. Nilai konsentrasi yang tinggi terkorelasi dengan baik
dengan jumlah titik api yang menandakan adanya kebakaran hutan di wilayah Sumatera,
yaitu konsentrasi tinggi jumlah titik api juga banyak pada musim JJA dan SON. Data O3
total, dan aerosol diambil dari sensor Aura-OMI (Observation Monitoring Instrument) dari
NASA dari Januari 2005 sampai Desember 2010 untuk wilayah Sumatera (6,210 LS-6,270
LS; 94,580 BT-109,080 BT), dengan resolusi 0,25ox0,25
o. Data titik api berasal dari
MODIS AQUA/TERRA. Kemudian data-data tersebut digambarkan dengan menggunakan
ARV VIEW/GIS versi 3.3. Kebakaran hutan yang terjadi dari tahun 2005 sampai tahun
2010 di Sumatera merupakan sumber dari aerosol dan CO yang berdampak pada O3 total.
Hasilnya menunjukkan bahwa terbentuknya aerosol dan awan pada pada DJF telah
mempengaruhi konsentrasi ozon di Indonesia. Sebaliknya kebakaran hutan pada musim
SON berkorelasi dengan baik yaitu AOD dengan O3 sebesar 0,522 dengan signifikasi
p<0,05; titik api dengan AOD sebesar 0,831 dengan signifikansi p<0,01dan titik api
dengan O3 sebesar 0,529.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 310 ~
Kata kunci: Aerosol Optical Depth (AOD), titik api, ozon total, Sumatera
1. PENDAHULUAN
Pembakaran biomasa merupakan sumber dari gas-gas telusur yang reaktif seperti
NOx, NMHC, CO dan kurang reaktif seperti CO2, CH4 di daerah tropis selama musim
kemarau hasil penelitian Crutzen et al., (1979). Crutzen dan Andreae (1990) menghitung
emisi dari oksida karbon (CO2, CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen (NOx, N2O), metan
(CH4), metil clorida (CH3Cl), hidrogen (H2) dan aerosol dari pembakaran biomasa di
tropik. Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera terjadi hampir setiap tahun seiring dengan
datangnya musim kemarau. Dampak dari kebakaran hutan adalah turunnya jarak pandang
dan meningkatnya gas-gas hasil pembakaran biomass seperti CO2, CO, SO2, NH3, NOx,
CH4, CH3Cl, hidrokarbon lainnya dan aerosol ke udara.
Gas-gas dan aerosol ini berperanan dalam kimia atmosfer dan iklim global. Gas-gas
seperti CO2, CH4, N2O sebagai gas rumah kaca mempunyai peranan meningkatkan
temperatur. Selain itu terbentuknya CO akan memicu terbentuknya O3 di atmosfer yang
berperanan sebagai oksidator SO2 dan NO2 untuk membentuk asam sulfat dan nitrat yang
berdampak terjadinya hujan asam. Karbonmonoksida dan metan bereaksi dengan radikal
OH dan bersama-sama dengan non-methane hidrocarbons (NMHC) dan nitrogen oksida
(NOx) yang reaktif akan memproduksi O3 (Crutzen and Andreae,1990; Langmann et al.,
2009; Anderson and Herschbach, 1985; Meszaros, 1981; Seinfeld and Pandis, 1998).
Konsentrasi CO dan O3 memperlihatkan korelasi linear yang baik sekali. Sehingga
mengesankan bahwa O3 yang diamati selama musim kering diproduksi secara fotokimia
dengan oksidasi hidrokarbon dan NOx yang diemisikan dari pembakaran biomasa.
Produksi O3 di daerah net boundary layer dari semua kebakaran daerah savana tropis
Amerika diperhitungkan antara 0,28 dan 0,36 Tmol per tahun, yaitu 3 kali lebih besar dari
produksi O3 dari sumber polusi di Amerika Serikat bagian timur selama musim panas
(Sanhueza et al., 1999).
Dampak kebakaran hutan (pembakaran biomasa) di Kalimantan Indonesia telah
menimbulkan penurunan kualitas udara di wilayah tropik Asia Tenggara. Dari total titik
api 10173 yang dipantau oleh satelit MODIS Aqua selama Agustus 2004 telah
menyebabkan peningkatan konsentrasi PM10 di enam stasiun kualitas udara di Sarawak, di
Malaysia Timur, yang berada disebelah Barat Laut Kalimantan (Mahmud, 2012). Selain
itu didapatkan AOD (aerosol) yang tinggi lebih dari 0,9 selama minggu terkhir Agustus
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 311 ~
2004 saat terjadi kebakaran hutan di Kalimantan bagian barat, tengah dan utara (Mahmud,
2012).
Masalah kebakaran hutan tidak disengaja atau pembukaan lahan perkebunan
dengan cara membakar atau pembakaran biomasa telah menimbulkan penurunan kualitas
udara di wilayah Sumatera dan sekitarnya. Maka pada penelitian ini dikaji pengaruh
kebakaran hutan terhadap aerosol dan O3 berdasarkan musim secara statistik, untuk
mengetahui optimasi distribusinya. Kajian tren titik api sebagai indikasi terjadinya
kebakaran, aerosol dan O3 untuk menjelaskan lebih detil adanya pengaruh musiman.
2. DATA DAN METODOLOGI
Data ozon (O3) total, dan AOD untuk aerosol pada panjang gelombang 483,5 nm
(AOD483,5nm) diambil dari satelit Aura-NASA sensor OMI (The Ozone Monitoring
Instrument) dan diunduh dari website Giovanni-NASA
(http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/giovanni/overview/index.html), selama 6 tahun dari Januari
2005 sampai Desember 2010 untuk wilayah Sumatera (6,210 LS -6,270 LS; 94,580 BT-
109,080 BT), dengan resolusi 0,25ox0,25
o. Kemudian data-data tersebut diolah menjadi
rata-rata bulanan dan musiman DJF, MAM, JJA dan SON yang dipetakan dengan
menggunakan Arc View/GIS versi 3.3. Satuan untuk O3 total adalah Dobson Unit yaitu
ketebalan lapisan 0,01 mm diatas permukaan bumi pada tekanan standar 1013,25 hPa dan
temperatur standar 0,0oCelsius. Atau 1 Dobson Unit (DU) adalah 2,686710
20 molekul per
meter2
atau 4,461510-04
mol per meter2. Dibuat variasi rata-rata bulanan dan musiman dari
ozon (O3) total, dan AOD untuk Sumatera.
Data titik api hasil olahan data AQUA/TERRA MODIS diunduh dari website Fire
Information for Resource management System (FIRMS, 2012)
http://earthdata.nasa.gov/data/near-real-time-data/firms. Data yang digunakan adalah data
titik api dari bulan Januari 2005-Desember 2010 untuk wilayah Sumatera (6,210 LU,
94,580 BT; -6,27
0 LS, 109,08
0 BT), yang merupakan titik koordinat lintang bujur dimana
diduga telah terjadi kebakaran lahan atau hutan. Selanjutnya data dengan nilai kepercayaan
lebih besar atau sama dengan 90 dipilih untuk digunakan pada analisis total bulanan dan
total musiman titik api mengggunakan metode statistic deskriptif, musiman yaitu DJF,
MAM, JJA dan SON berdasarkan ruang. Data musiman titik api ditumpangkan (overlay)
pada peta aerosol (AOD483,5nm), dan O3 total dengan perangkat lunak Arc View/GIS ver. 3.3
dengan grid= 0,01ox0,01
o. Data titik api diolah bulanan dan musiman secara time series di
lokasi Sumatera (satu titik) untuk mengetahui variasi bulanan dan musiman.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 312 ~
Data luas hutan dan lahan terbakar Sumatera tahun 2006 sampai 2010 dari
Departemen Kehutanan RI dibuat grafik untuk diketahui wilayah yang mengalami
pembakaran biomasa. Selain itu dibuat korelasi titik api terhadap aerosol dan O3 total
untuk mengetahui pengaruh dari kebakaran hutan terhadap pembentukan aerosol dan O3
dengan nilai koefisien kepercayaan yang dalam perhitungan ini digunakan (alpha) 0,05
atau tingkat kepercayaan 95% (Seni, 2005).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.2 Hutan dan lahan terbakar di Sumatera
Gambar 1: Luas hutan dan lahan serta kebun yang terbakar berdasarkan bulan dari 2006
sampai 2010 (atas) dan pengelompokan wilayah (bawah) di Sumatera
(sumber data Departemen Kehutanan RI)
Berdasarkan data luas hutan dan lahan terbakar yang diperoleh dari Departemen
Kehutanan RI, ternyata kabakaran hutan terjadi pada bulan-bulan kering di Sumatera
Utara, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Luas hutan yang terbakar terbanyak pada bulan
-500
1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 3.500 4.000 4.500 5.000
1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10
2006 2007 2008 2009 2010
Lu
as
(Ha
)
Waktu
Lahan TerbakarA C E HSUMATERA UTARASUMATERA BARATR I A UJ A M B IBENGKULUSUMATERA SELATANBANGKA BELITUNGLAMPUNG
-
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
4.500
5.000
1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10
2006 2007 2008 2009 2010
Lu
as
(Ha
)
Waktu
Hutan Terbakar A C E HSUMATERA UTARASUMATERA BARATR I A UJ A M B IBENGKULUSUMATERA SELATANBANGKA BELITUNGLAMPUNG
-
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
Lu
as
(ha
/ta
hu
n)
Lahan Terbakar2005
2006
2007
2008
2009
2010
-
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
Lu
as
(ha
/ta
hu
n) Hutan Terbakar 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 313 ~
Agustus 2006 di Riau dan Jambi yaitu 1.105,50 ha dan 1.222,50 ha (Gambar 1 atas).
Kebakaran pada tahun tersebut hampir meliputi seluruh Sumatera dikarenakan pula adanya
lahan dan perkebunan yang terbakar. Ternyata dari data Departemen Kehutanan, jumlah
lahan yang terbakar lebih luas pada bulan Agustus 2006 di wilayah Riau dan Jambi yaitu
2.339,00 ha dan 4.862,00 ha. Secara total tahun 2006 lahan dan kebun yang terbakar di
Sumatera terbanyak Riau diikuti Jambi, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat yaitu 6204
ha; 4866 ha; 3767,25 ha dan 1922,10 ha, berurutan.
Adapun kebakaran hutan di wilayah tersebut lebih kecil dibandingkan lahan yang
terbakar seperti yang terjadi di Riau, Jambi dan Sumatera Selatan seluas 1106,70 ha;
1726,80 ha dan 1726 ha (Gambar 1 bawah). Tahun 2008 terjadi kebakaran hutan yang luas
di Lampung 2950 ha, sedang lahan dan kebun yang terbakar luas adalah Riau, Sumatera
Selatan, dan Sumatera Utara yaitu 4587,75 ha; 655,50 ha dan 313 ha, berurutan.
Tahun 2009 di Sumatera didapati wilayah kebakaran hutan dan lahan di Riau sejak
Januari sampai Februari, dan selanjutnya terjadi pula pada bulan Mei sampai Oktober.
Wilayah yang mengalami kebakaran lahan dan kebun tahun 2009 adalah Sumatera Utara,
Riau dan Sumatera Barat yang cukup luas yaitu total 1489,75 ha; 7637,90 ha dan 393,90
ha. Sedangkan dari hutan yang terbakar tahun 2009 maka Riau dan Sumatera Utara yang
terluas yaitu total 275,30 ha dan 847,50 ha, berurutan.
Di Riau pada Januari 2009 lahan terbakar mencapai 1.671,00 ha, demikian pula
pada Februari 2009 seluas 1.073,00 ha dan bertambah luas pada bulan Juni yaitu 3.280,00
ha. Daerah Sumatera Utara pada bulan Mei 2009 terjadi kebakaran lahan seluas 1.234,00
ha. Maka perlu perhatian penyebabnya, mengingat terjadi lahan-lahan terbakar pada bulan
basah.
3.2 Jumlah titik api
Dari Gambar 2 memperlihatkan bahwa rata-rata bulanan dan musiman jumlah titik
api (sumber data dari MODIS AQUA/TERRA) di Sumatera terbanyak terdapat pada bulan
Agustus sampai Oktober dan musim kemarau JJA diikuti musim peralihan kemarau ke
hujan SON. Maksimum jumlah titik api mencapai 471 pada bulan Agustus dan rata-rata
musiman JJA mencapai maksimum pula yaitu 8731, selanjutnya DJF dan terkecil musim
MAM. Dan didapati rata-rata bulanan pada Februari tinggi pula yaitu 409. Sedangkan pada
musim SON kondisi titik api masih belum padam, karena pengaruh El Nino maka kemarau
bisa lebih panjang seperti tahun 2006.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 314 ~
2a 2b
Gambar 2: Variasi bulanan (2a) dan musiman (2b) jumlah (Sum) titik api di Sumatera
dari 2005 sampai 2010 (sumber data titik api berasal dari MODIS
AQUA/TERRA (FIRMS, 2012)
Gambar 3: Tren (kecenderungan) jumlah titik api di Sumatera dari 2005 sampai 2010
(sumber data titik api berasal dari MODIS AQUA/TERRA (FIRMS, 2012)
Gambar 3 memperlihatkan kecenderungan jumlah titik api yang menurun selama
periode 2005 sampai 2010. Maksimum total titik api di Sumatera terjadi pada Februari
2005 sejumlah 2636 dan Oktober 2006 sejumlah 2641, dimana terjadi peningkatan titik api
dari Juli sampai Oktober. Secara umum puncak peningkatan titik api terjadi pada musim
kemarau dan peralihan kemarau ke hujan. Dan ternyata terlihat adanya korelasi yang
signifikan dengan luas lahan dan kebun yang terbakar saat musim kemarau (Gambar 1).
Jumlah titik api adalah indikasi kejadian kebakaran hutan dan lahan tersebut. Maka
musim kemarau adalah sangat rawan dalam menimbulkan kebakaran selain faktor
lingkungan yang lebih kering dibandingkan musim basah. Berdasarkan data jumlah titik
api dari 2005 sampai 2010 di Sumatera dari Kementerian Kehutanan maka wilayah dengan
jumlah titik api terbanyak adalah Riau, Sumatera Selatan, Jambi dan Sumatera Utara.
Jumlah tertinggi didapati di Riau tahun 2005 sejumlah 22.630, dan pada tahun 2006 masih
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 315 ~
tinggi yaitu 11.526 dan telah menimbulkan luas hutan dan lahan terbakar cukup luas di
wilayah ini. Tahun 2006 jumlah titik api yang tertinggi terdapat di Sumatera Selatan
sebesar 21.734 titik api, diikuti Riau 11.526 titik api. Jumlah titik api tinggi pula pada
tahun 2009 terdapat di Riau sejumlah 7.756 dan tahun tersebut didapati tinggi di Sumatera
Selatan sebesar 3.891. Jadi daerah yang mempunyai titik api terbanyak di Sumatera
berturut-turut adalah Riau, Sumatera Selatan, Jambi dan Sumatera Utara.
Kondisi jumlah titik api yang tinggi pada tahun 2006 berkorelasi dengan luas lahan
dan hutan yang terbakar secara signifikan. Hal tersebut telah menimbulkan hutan dan
lahan terbakar di Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan
Aceh.
3.3 Aerosol dan Ozon (O3)
Tren aerosol dan ozon
Gambar 4: Tren (kecenderungan) AOD483,5nm di Sumatera dari 2005 sampai 2010 (sumber
Aura OMI, Giovanni NASA, 2012)
Gambar 5: Tren (kecenderungan) O3 total di Sumatera dari 2005 sampai 2010 (sumber
data Aura OMI /Giovanni NASA, 2012)
y = -3E-05x + 1,967
0,000
0,200
0,400
0,600
0,800
1,000
1,200
1,400
1,600
1,800
2,000
Jan-0
5
Mei
-05
Sep
-05
Jan-0
6
Mei
-06
Sep
-06
Jan-0
7
Mei
-07
Sep
-07
Jan-0
8
Mei
-08
Sep
-08
Jan-0
9
Mei
-09
Sep
-09
Jan-1
0
Mei
-10
Sep
-10
AO
D4
83
.5n
m
y = 0,000x + 234,9
220
230
240
250
260
270
280
Jan-0
5
Mei
-05
Sep
-05
Jan-0
6
Mei
-06
Sep
-06
Jan-0
7
Mei
-07
Sep
-07
Jan-0
8
Mei
-08
Sep
-08
Jan-0
9
Mei
-09
Sep
-09
Jan-1
0
Mei
-10
Sep
-10
O3to
tal (D
U)
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 316 ~
Dari Gambar 4 terlihat puncak ADO483,5nm (arosol) tinggi pada musim kemarau JJA
dan SON. Demikian pula puncak maksimum O3 total terjadi pada musim kemarau JJA
(Gambar 5). Hal ini terkorelasi dengan jumlah titik api yang tinggi pada bulan Agustus
seperti diperlihatkan pada Gambar 2. Jumlah titik api yang rendah pada bulan April dan
Mei terkorelasi dengan tingkat aerosol (AOD483,5nm ) yang rendah pula (Gambar 4). Jumlah
titik api yang titik pada bulan Oktober 2006 telah menimbulkan AOD483,5nm dan O3 total
yang tinggi pula yaitu mencapai 1,400 dan 258 DU. Dari Gambar 2 memperlihatkan
jumlah titik api tinggi pada Agustus 2008 mencapai 661 dan Agustus 2009 mencapai 931.
Dampak yang ditimbulkan adalah ADO483,5nm tinggi mencapai 1,150 dan 1,286 pada
September 2008 dan September 2009 (Gambar 4). Nilai AOD di Sumatera tersebut telah
melebihi nilai AOD (aerosol) di Kalimantan dan (Mahmud, 2012) saat terjadi kebakaran
hutan di Kalimantan bagian barat, tengah dan utara dan Sumatera selama minggu ketiga
dan keempat (akhir) Agustus 2004 yang tinggi antara 0,58 sampai 0,9 di Kalimantan Barat
dan Tengah, tetapi AOD rendah di Sumatera. Dampak kebakaran hutan dan lahan adalah
konsentrasi O3 total tinggi pada Agustus 2008 dan 2009 berturut-turut sebesar 267 DU dan
251 DU.
Gambar 6: Maksimum (Maks), minimum (Min), rata-rata dan Standar deviasi (Stdev)
musiman AOD483,5nm (kiri) dan Ozon (O3) total (kanan) di Sumatera dari
2005 sampai 2010 (sumber Aura OMI, Giovanni NASA, 2012)
Dari 2005 sampai 2010 didapati kecenderungan ADO483,5nm menurun signifikan
dengan penurunan jumlah titik api. Sedangkan O3 total berfluktuasi yaitu tinggi pada
kemarau dan rendah pada musim hujan menunjukkan kecenderungan tidak naik maupun
DJF MAM JJA SON
Maks 247 255 262 259
Min 235 247 248 249
Rata-rata 241 251 255 253
Stdev 2 1 3 1
0
50
100
150
200
250
300
Ozo
n t
ota
l (D
U)
Ozon total di Sumatera 2005-2010
DJF MAM JJA SON
Maks 4,45 4,78 3,45 4,43
Min 0,23 0,34 0,11 0,02
Rata-rata 1,03 1,04 1,02 1,17
Stdev 0,52 0,61 0,55 0,52
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
AO
D48
3.5n
m
AOD483.5 nm di Sumatera 2005-2010
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 317 ~
menurun selama 2005-2010. O3 total berasal dari O3 stratosfer dan O3 troposfer yang
merupakan hasil dari reaksi fotokimia karbonmonoksida dan metan bereaksi dengan
radikal OH dan bersama-sama dengan non-methane hidrocarbons (NMHC) dan nitrogen
oksida (NOx) yang reaktif, yang banyak diemisikan dari pembakaran biomasa.
Nilai musiman AOD483,5nm didapati tinggi pada musim SON yaitu mencapai 1,17
dan nilai musiman O3 total tinggi sebesar 255 DU pada musim JJA (Gambar 6). Perbedaan
ini terkait dengan sumber atau pembentukan yang mempengaruhi keduanya. Terjadinya
kebakaran lahan dan hutan yang tinggi di musim kemarau Juni Juli Agustus (JJA) sampai
bulan Oktober akan memberikan kontribusi emisi aerosol yang maksimum tentunya.
Jumlah titik api berkorelasi dengan baik pada pada musim kemarau JJA dengan
koefissien korelasi cukup baik 0,660 dengan nilai signifikan p < 0,01 demikian pula pada
musim SON dengan koefissien korelasi yang semakin kuat yaitu 0,831 dengan nilai
signifikansi p < 0,01 (Tabel 1). Jumlah titik api berkorelasi dengan bagus untuk O3 total
didapati pada musim peralihan kemarau ke hujan SON dengan nilai korelasi 0,529 dan
signifikansi p < 0,05. Hubungan yang bagus antara AOD483,5nm dan O3 total terjadi pada
musim SON pula dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,522 dan signifikansi p < 0,05.
Tabel 1: Matrik korelasi AOD, O3 dan titik api pada musim SON (sumber data titik api
berasal dari MODIS AQUA/TERRA (FIRMS, 2012).
*Korelasi dengan signifikansi pada level 0,05
**Korelasi dengan signifikansi pada level 0,01
Nilai konsentrasi yang tinggi terkorelasi dengan baik dengan jumlah titik api
(hotspot) dalam musim seperti diperlihatkan pada Tabel 1 yang menandakan adanya
kebakaran hutan di wilayah Sumatera. Dan konsentrasi O3 dan aerosol tinggi ditandai oleh
jumlah titik api juga banyak pada musim JJA dan SON yaitu 8731 dan 7906 dibandingkan
musim hujan (DJF) dan peralihan hujan ke kemarau (MAM) sebesar 6209 dan 3825.
DJF AOD O3 Titik api
AOD 1
O3 0,385 1
Titik api 0,207 0,367 1
MAM AOD O3 Titik api
AOD 1
O3 -0,415 1
Titik api 0,445 0,002 1
JJA AOD O3 Titik api
AOD 1 O3 0,211 1
Titik api 0,660(**) 0,148 1
SON AOD O3 Titik api
AOD 1 O3 0,522(*) 1
Titik api 0,831(**) 0,529(*) 1
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 318 ~
Kebakaran hutan yang terjadi dari tahun 2005 sampai tahun 2010 di Sumatera merupakan
sumber dari aerosol dan CO yang berdampak pada O3 total. Proses pembentukan O3 dari
CO pada musim kemarau tidak dihambat oleh H2O akibatnya konsentrasi ozon terlihat
tinggi. Pada musim DJF dan MAM terdapat penurunan ozon total dengan rata-rata 241 DU
dan 251 DU dibandingkan musim JJA dan SON yaitu 255 DU dan 253 DU.
Gambar 7: Distribusi aerosol (AOD483,5nm) dan tititk api (merah) di Sumatera (2005-2010)
{sumber Aura OMI, Giovanni NASA, 2012; sumber data titik api berasal dari
MODIS AQUA/TERRA (FIRMS, 2012)}
Sedangkan mekanisme pembentukan O3 dipengaruhi oleh sinar matahari di daerah
tropis dan prekursornya seperti CO, metan (CH4) dan NOx (Crutzen and Andreae,1990;
Langmann et al., 2009; Anderson and Herschbach, 1985; Meszaros, 1981; Seinfeld and
Pandis, 1998). Pulau Sumatera terletak di daerah tropis dan dilewati garis ekuator, dan
kelembapan udara adalah rendah pada bulan-bulan JJA, maka pembentukan O3 lebih
maksimal dibandingkan saat musim basah atau hujan. Mekanisme ini tentunya bisa dilihat
dari proses pembentukan dan pengrusakan ozon (Anderson and Herschbach, 1985;
Meszaros, 1981; Seinfeld and Pandis, 1998), mengingat pengrusakan O3 terjadi karena
H2O yang banyak pada musim penghujan.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 319 ~
Pada musim kemarau JJA didapati jumlah titik api adalah terbanyak di Riau, Jambi
sampai Sumatera Selatan (Gambar 2), dan dampaknya nilai AOD483,5nm dan O3 total tinggi
pada musim JJA dan SON (Gambar 7 dan 8). Nilai emisi AOD483,5nm terkonsentrasi di
Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan sampai Lampung yang tinggi di wilayah
Sumatera dibandingkan Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darusalam. Berbeda dengan
hasil dari Budiyono dan Samiaji (2010) yang telah melakukan proyeksi emisi polutan NOX,
CO, SOX, SPM dan VHC untuk tahun 2005, 2010 dan 2015. Proyeksi emisi polutan
dihitung berdasarkan perhitungan emisi dari hasil data proyeksi konsumsi energi di
Indonesia, data proyeksi pertambahan penduduk Indonesia dan koefisien emisi polutan.
Hasil proyeksi didapati beberapa wilayah seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah,
Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, berturut turut menunjukkan nilai emisi dari tingkat
tinggi ke rendah. Wilayah yang disebut tadi mempunyai nilai emisi yang lebih besar
dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya, hal ini disebabkan bahwa wilayah tersebut
mempunyai nilai kepadatan penduduk yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
wilayah-wilayah lainnya. Jumlah penduduk yang lebih banyak akan mempergunakan
energi yang lebih banyak pula, sehingga polutan-polutan yang diemisikan akan lebih besar
pula. Proyeksi emisi aerosol atau partikulat (SPM) adalah tinggi di Sumatera Utara. Hal
tersebut terkait dengan jumlah penduduk di Sumatera Utara (Shankar, 2003) adalah
terpadat dibandingkan provinsi lainnya di Sumatera. Maka pengaruh kebakaran hutan dan
lahan cukup luas di Sumatera dibandingkan aktivitas manusia dilihat dari distribusinya.
Dari Gambar 8 terlihat bahwa konsentrasi musiman O3 total di Sumatera sangat
berbeda sekali dalam hal nilainya dan distribusi penyebarannya dibandingkan dengan
AOD483,5nm. Hal ini disebabkan karena prekursor ozon seperti CO yang meningkat tajam
pada saat kebakaran hutan di wilayah Sumatera dan Kalimantan, contohnya tahun 2006
(Setyawati dan Budiwati, 2008). Pada musim JJA, konsentrasi O3 total di bagian utara
Sumatera tinggi dibandingkan bagian selatan. Pengaruh angin yang bertiup dari tenggara
berperanan dalam penyebaran polutan prekursor O3 sehingga menaikkan konsentrasi O3 di
bagian utara pulau Sumatera. Berbeda saat musim hujan atau basah DJF, konsentrasi O3
total tinggi di bagian selatan Sumatera. Musim hujan angin berasal dari barat atau utara
dan tentunya menyebabkan polutan menyebar ke arah selatan Sumatera (Mc. Gregor and
Nieuwolt, 1998)..
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 320 ~
Gambar 8: Distribusi O3 total dan titik api (merah) di Sumatera (2005-2010) {sumber
Aura OMI, Giovanni NASA, 2012; sumber data titik api berasal dari MODIS
AQUA/TERRA (FIRMS, 2012)}
4. KESIMPULAN
Hasilnya menunjukkan bahwa terbentuknya aerosol dan awan pada DJF telah
mempengaruhi konsentrasi ozon yang rendah di Sumatera. Dan musim DJF, konsentrasi
O3 total tinggi di bagian selatan Sumatera dibandingkan utara berbeda saat musim JJA.
Sebaliknya kebakaran hutan dan lahan pada musim SON berkorelasi dengan baik yaitu
AOD dengan O3 sebesar 0,522 dengan signifikasi p<0,05; titik api dengan AOD sebesar
0,831 signifikansi p<0,01 dan titik api dengan O3 sebesar 0,529 dan signifikasi p<0,05.
Tingginya konsentrasi O3 total disebabkan prekursor yang terbentuk saat pembakaran
biomasa. Perlu kewaspadaan terbentuknya deposisi asam pada musim JJA dan SON karena
peningkatan aerosol dan O3.
DAFTAR RUJUKAN
Budiyono, A., dan Samiaji, T., Proyeksi emisi polutan, deposisi SOX dan konsentrasi SO2
dari pemakaian energi, Prosiding Seminar Nasional Proyeksi Iklim dan Kualitas
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 321 ~
Udara 2010-2014, ISBN: 978-979-1458-33-7, kerjasama LAPAN dan PERHIMPI,
2009.
Crutzen, P.J., Andreae, M.O., Biomass burning in the tropics: impact on atmospheric
chemistry and biogeochemical cycles. Science 250, 1669-1678, 1990.
Crutzen, P.J., Heidt, L.E., Krasnec, J.P., Pollock, W.H., Seiler, W., Biomass burning as a
source of atmospheric gases CO, H2, N2O, NO, CH3Cl and COS. Nature 282, 253-
256, 1979.
Langmann, B., Duncan, B., Textor, C., Trentmann, J., Van derWerf, G.R., Vegetation fire
emissions and their impact on air pollution and climate, Atmospheric Environment
43, 107e116, 2009.
Mahmud, M., Assessment of atmospheric impacts of biomass open burning in Kalimantan
Borneo during 2004, Atmospheric Environment, Contents lists available at SciVerse
ScienceDirect, journal homepage: www.elsevier.com/locate/atmosenv, 1-8, 2012.
Mc. Gregor, G.R. and Nieuwolt, S., Tropical Climatology: An Introduction To The
Climates Of The Low Latitudes, second edition, John Wiley & Sons, pp. 125-133,
1998.
Seni, M. S., Tugas makalah: Analisis Multiregresi, STT Telkom Bandung,
http://www.stttelkom.ac.id, 2005.
Anderson J.G. and Herschbach D.R., Atmospheric Ozone 1985 Volume I, World
Meteorology Organization Global Ozone Research and Monitoring Project-Report
No. 16, NASA, 117-119, 1985.
Meszaros E., Atmospheric Chemistry, Fundamental Aspects, Studies in Environmental
Science 11, Elsevier Scientific Publishing Company, 61, 1981.
Seinfeld J.H. and Pandis S.N., Atmospheric Chemistry and Physics from Air Pollution to
Climate Change, John Wiley and Sons. INC., New York, 85-95, 1998.
Setyawati, W., dan Budiwati, T., Peningkatan konsentrasi karbon monoksida pada saat
kebakaran hutan tahun 2006 di Indonesia, Prosiding Seminar Nasional Kimia XVIII,
FMIPA UGM, Yogyakarta, ISSN: 1410-8313, 10 Juli 2008.
Sanhueza, E., Paul J. Crutzen, P. J., and FernaHndez, E., Production of boundary layer
ozone from tropical American Savannah biomass burning emissions, Atmospheric
Environment 33, 4969-4975, 1999.
Shankar, K. R., Smoke haze from biomass burning in South East Asia and estimation of
associated particulate emissions, Proc Indian Natn Sci Acad, 69, A, No. 6, 759-774,
November 2003.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 322 ~
DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL TITIK PANAS
SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN HUTAN DAN
LAHAN DI WILAYAH SUMATERA DAN KALIMANTAN
HASIL PENGAMATAN AQUA/TERRA MODIS TAHUN
2004-2012
Wiwiek Setyawati Bidang Komposisi Atmosfer –LAPAN
Jl. dr. Djundjunan 133, Bandung 40173
Telp/fax: (022) 6037 445/6037 443
Email: [email protected]
Abstract
Forest and land fires occurred frequently every year in Indonesia especially during dry
season in Sumatera and Kalimantan regions. Smoke produced resulted in negative impact
to human health and also distributed to neighboring countries such as Malaysia and
Singapore. Therefore information regarding forest and land fires is important for
adaptation and mitigation. Fire Information for Resource Management System (FIRMS)
provides information regarding hotpot location that can be used as indicator of forest and
land fires by using MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) sensor
installed in Aqua and Terra satellites belong to NASA. During period 2004-2012 majority
of hotspots in Sumatera region were found in Riau, South Sumatera and Jambi provinces
i.e. 50%, 25% and 10%, respectively. Majority of hotspots in Kalimantan region were
found in Central and West Kalimantan provinces i.e. 53% and 31%, respectively. These
provinces were known to have relatively very large peatland and also palm plantation
areas. Fires in peatland areas were relative very difficult to extinguish, therefore high
precaution must be taken. Significant increase of hotspot was found during dry months
(June-August) and transition months from dry to wet (September to October).
Keywords: Forest and land fires, hotspot, FIRMS, Sumatera, Kalimantan
Abstrak
Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan hampir setiap tahunnya terutama pada
musim-musim kering di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Asap yang ditimbulkannya
selain memberikan pengaruh negatif terhadap kesehatan juga menyebar hingga ke negara-
negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Oleh sebab itu diperlukan informasi
mengenai kebakaran hutan dan lahan guna melakukan adaptasi dan mitigasi. Fire
Information for Resource Management System (FIRMS) menyediakan informasi
mengenai lokasi titik panas yang dapat digunakan sebagai indikator kebakaran hutan dan
lahan menggunakan sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging
Spectroradiometer)yang terpasang pada satelit Aqua dan Terra milik NASA. Selama kurun
waktu 2004-2012 mayoritas titik panas di Sumatera ditemukan di Provinsi Riau, Sumatera
Selatan dan Jambi yaitu masing-masing 50%, 25% dan 10%, sedangkan di Kalimantan
ditemukan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat masing-masing
sebesar 53% dan 31%. Provinsi-provinsi tersebut diketahui memiliki lahan gambut dan
perkebunan kelapa sawit yang relatif sangat luas. Hal ini perlu diwaspadai karena
kebakaran pada lahan gambut relatif sangat susah untuk dipadamkan. Peningkatan titik
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 323 ~
panas yang signifikan ditemukan pada bulan-bulan kering (Juni-Agustus) dan musim
peralihan kering ke basah (September-November).
Kata kunci: Kebakaran hutan dan lahan, titik panas, FIRMS, Sumatera, Kalimantan
1. PENDAHULUAN
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terutama disebabkan oleh kegiatan
pembukaan lahan oleh masyarakat atau perusahaan perkebunan (WWF, 2007). Definisi
hutan dan lahan adalah lahan dengan tutupan tajuk pohon lebih dari 10%, termasuk juga
lahan dimana tutupan tajuk pohonnya telah berkurang hingga kurang dari 10% namun
belum beralih fungsi (NASA, 1996). Wilayah Sumatera dan Kalimantan merupakan
wilayah yang paling sering mengalami kebakaran hutan dan lahan yang memberikan
dampak negatif terhadap kesehatan (Betha dkk., 2012), penurunan jarak pandang dan
kontribusi yang besar terhadap pemanasan global (Page dkk., 2002). Selain itu asap yang
ditimbulkannya telah mengakibatkan dampak sosial-politik terhadap negara-negara
tetangga seperti Malaysia dan Singapura (WWF, 2007).
Informasi mengenai distribusi titik panas terutama di wilayah Sumatera dan
Kalimantan sangat diperlukan untuk melakukan mitigasi dan adaptasi terkait kebakaran
hutan dan lahan. Fire Information For Resource management System (FIRMS, 2013)
menyajikan informasi mengenai lokasi titik panas/api menggunakan instrumen Moderate
Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) yang terpasang pada satelit Aqua dan
Terra milik NASA. Informasi yang diberikan berupa koordinat lintang dan bujur (pusat
titik lokasi), brightness (brightness temperature diukur dalam Kelvin), scan dan track
(resolusi spasial dari scanned pixel, tanggal akuisisi, waktu (waktu satelit lewat), satelit
(Terra atau Aqua), dan confidence (quality flag dari tiap individual titik panas yang masih
bersifat eksperimen lapangan. Validasi data titik panas MODIS untuk wilayah Thailand
menunjukkan nilai akurasi sebesar 91,84% - 97,53% (Tanpipat dkk., 2009). Hal ini
menunjukkan bahwa data titik panas dari MODIS dapat digunakan sebagai indikator
kebakaran hutan dan lahan dengan tingkat akurasi yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui distribusi spasial dan temporal titik panas di Indonesia terutama
di wilayah Sumatera dan Kalimantan dimana kebakaran hutan dan lahan sudah rutin
terjadi.
2. METODOLOGI
Tahapan metodologi yang dilakukan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 324 ~
Mengunduh data titik panas untuk wilayah Indonesia (60 LU, 92,5
0 BT, -11
0 LS,
1410 BT) selama rentang waktu tahun 2004-2012 dari situs EOSDIS-NASA
(FIRMS, 2013). Data yang memiliki nilai confidence 90 dipilih untuk digunakan
dalam analisis selanjutnya.
Melakukan penentuan lokasi titik panas berdasarkan koordinat lintang-bujur
menggunakan software Arc/GIS ver. 10. Data titik panas yang berada di wilayah
Sumatera dan Kalimantan dipilih untuk digunakan dalam analisis selanjutnya.
Analisis statistik deskriptif menggunakan software Excel dan SPSS ver. 18 untuk
mendapatkan distribusi titik panas musiman, spasial dan temporal.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Tren bulanan dan musiman titik panas di wilayah Sumatera dan Kalimantan
Tahun 2004-2012
Tren bulanan titik panas untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan selama periode
tahun 2004-2012 mencapai maksimum pada bulan Oktober 2006 dan bulan September
2009 dengan jumlah titik panas masing-masing 7.114 dan 5.007 seperti ditunjukkan pada
gambar 1. Pembukaan hutan dan lahan (land clearing) untuk perkebunan ataupun pertanian
dengan cara dibakar merupakan salah satu cara termurah yang banyak dilakukan oleh
masyarakat maupun pihak pengusaha perkebunan pada saat itu, dimana saat ini hal tersebut
sudah dilarang dengan keluarnya UU kehutanan no 41 tahun 1999 yang menerapkan
hukum pidana bagi siapa saja yang melakukan pembakaran hutan atau lahan dengan
sengaja. Kejadian El Nino selama bulan Agustus 2006 - Februari 2007 dan bulan Juni 2009
- Mei 2010 (NOAA, 2013) seperti ditunjukkan pada tabel 1 berdampak pada kekeringan di
wilayah basah seperti Indonesia (Wiratno, 1998) sehingga menyebabkan kebakaran hutan
dan lahan semakin parah.
Berdasarkan total musiman titik panas yaitu nilai kumulatif tiap musim dari tahun
2004-2012 untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan diketahui bahwa peningkatan total
titik panas yang signifikan terjadi pada musim kering (Juni-Agustus) dan musim peralihan
dari kering ke basah (September-November) masing-masing sebesar 24.059 dan 31.245
seperti ditunjukkan pada gambar 2. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan musim
dimana petani atau pemilik kebun mulai menyiapkan lahannya untuk mulai ditanami
terhadap banyaknya titik panas yang muncul di kedua wilayah tersebut.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 325 ~
Gambar 1. Tren total bulanan titik panas di wilayah Sumatera dan Kalimantan selama
bulan Januari 2004-Desember 2012
Gambar 2. Total musiman titik panas di wilayah Sumatera dan Kalimantan selama 9
tahun (tahun 2004-2012).
Berdasarkan total tahunan titik panas dari tahun 2004-2012 untuk wilayah Sumatera dan
Kalimantan diketahui bahwa jumlah titik panas yang signifikan terjadi pada tahun 2004,
2005, 2006 dan 2009 yaitu masing-masing sebesar 9.658, 10.303, 19.038 dan 10754 titik
panas seperti ditunjukkan pada gambar 3.
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
Jan
-04
May
-04
Sep
-04
Jan
-05
May
-05
Sep
-05
Jan
-06
May
-06
Sep
-06
Jan
-07
May
-07
Sep
-07
Jan
-08
May
-08
Sep
-08
Jan
-09
May
-09
Sep
-09
Jan
-10
May
-10
Sep
-10
Jan
-11
May
-11
Sep
-11
Jan
-12
May
-12
Sep
-12
Tota
l tit
ik p
anas
Bulan
DJF MAM JJA SON
Total titik panas 7052 5020 24059 31245
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
Tota
l tit
ik p
anas
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 326 ~
Gambar 3. Total tahunan titik panas di wilayah Sumatera dan kalimantan selama 9
tahun (2004-2012).
3.2. Distribusi titik panas di wilayah Sumatera dan Kalimantan tahun 2004-2012
Berdasarkan hasil olahan data total titik panas selama kurun waktu 9 tahun
diketahui bahwa distribusi titik panas terbesar di wilayah Sumatera ditemukan di provinsi
Riau (50%), Sumatera Selatan (25%) dan Jambi (10%) dari total titik panas sebesar 37.643
seperti ditunjukkan pada gambar 4a. Ketiga provinsi ini memiliki lahan gambut terluas
yaitu masing-masing sekitar 60%, 20% dan 10% dari total 6.436.649 ha luas lahan gambut
yang ada di wilayah Sumatera (Kementerian Pertanian, 2011). Lahan gambut menjadi
sangat rentan terbakar akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh adanya pembukaan hutan
dan lahan terutama di wilayah lahan gambut untuk pengusahaan perkebunan dan pertanian
(Paige, 2002).
Untuk wilayah Kalimantan diketahui bahwa distribusi titik panas terbesar
ditemukan di provinsi Kalimantan Tengah (53%) dan Kalimantan Barat (31%) dari total
titik panas sebesar 29.733 seperti ditunjukkan pada gambar 4b. Kedua provinsi ini juga
memiliki lahan gambut terluas yaitu masing-masing sekitar 56% dan 35% dari total luas
lahan gambut sebesar 4.778.000 ha yang ada di Kalimantan (Kementerian Pertanian,
2011).
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
18000
20000
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Tota
l tit
ik p
anas
Tahun
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 327 ~
Gambar 4. Distribusi frekuensi total titik panas di a) Sumatera dan b) Kalimantan
selama periode 9 tahun (2004-2012)
Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2011) perkebunan kelapa sawit terbesar
di Sumatera ditemukan di wilayah Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Jambi
masing-masing sekitar 35%, 18%, 14% dan 10% dari total 5.176.883 ha seperti
ditunjukkan pada gambar 5a. Sedangkan di Kalimantan perkebunan kelapa sawit terbesar
ditemukan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat masing-masing
sekitar 44% dan 22% dari total 2.413.757 ha seperti ditunjukkan pada gambar 5b.
0% 10% 2%
3%
2%
50% 3%
25%
5%
BENGKULU JAMBI
KEP BANGKA BELITUNG LAMPUNG
NAD RIAU
SUMATERA BARAT SUMATERA SELATAN
SUMATERA UTARA
31%
7%
53%
9%
KALIMANTAN BARAT
KALIMANTAN SELATAN
KALIMANTAN TENGAH
KALIMANTAN TIMUR
b
a
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 328 ~
Gambar 5. Distribusi luas perkebunan kelapa sawit di wilayah a) Sumatera dan b)
Kalimantan (Kementerian Pertanian, 2011)
Tabel 1. Kejadian El Nino dan La Nina berdasarkan nilai ONI (Oceanic Nino Index)
dimana El Nino jika nilai ONI +0,5 0C dan La Nina jika ONI 0,5
0C
selama periode tahun 2002-2012 (NOAA, 2013)
El Nino Nilai ONI
tertinggi
La Nina Nilai ONI
terendah
AMJ 2002 – JFM 2003 1,3 ND 2005 – FMA 2006 -0,9
JJA 2004 – DJF 2004/05 0,7 JAS 2007 – MJJ 2008 -1,5
ASO 2006 – DJF 2006/07 1,0 OND 2008 – FMA 2009 -0,8
JJA 2009 – MAM 2010 1,6 JJA 2010 – MAM 2011 -1,5
ASO 2011 – FMA 2012 -1,0
3.2.1. Distribusi titik panas di Riau, Sumatera Selatan dan Jambi
Berdasarkan data olahan total titik panas selama kurun waktu 9 tahun (2004-2012)
diketahui bahwa distribusi titik panas di wilayah Provinsi Riau terbesar ditemukan di
wilayah Kabupaten Bengkalis (29%), Rokan Hilir (20%) dan Pelalawan (14%) dari total
titik panas sebesar 18.889 seperti ditunjukkan pada gambar 6. Provinsi Riau memiliki
sekitar 1.781.900 ha perkebunan kelapa sawit atau yang terluas di wilayah Sumatera dan di
Indonesia. Berdasarkan data kepemilikan perkebunan kelapa sawit yang ada di Provinsi
Riau diketahui bahwa di Kabupaten Bengkalis sebagian besar pengusahaannya dikelola
oleh rakyat 70% dan swasta 30%, Kabupaten Rokan Hilir 61% oleh rakyat, 4% oleh negara
dan 36% oleh swasta, sedangkan Kabupaten Pelalawan 67% oleh swasta dan 33% oleh
rakyat (Kementerian Pertanian, 2011).
35%
18% 14%
10%
7% 6%
4% 3%
3%
0%
RIAU
SUMUT
SUMSEL
JAMBI
SUMBAR
NAD
BENGKULU
LAMPUNG
BABEL
KEPRI
44%
23%
20%
13% KALTENG
KALBAR
KALTIM
KALSEL
b a
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 329 ~
Di Provinsi Sumatera Selatan mayoritas titik api ditemukan di wilayah Kabupaten
Ogan Komering Ilir (54%) dan Musi Banyuasin (17%) dari total titik api sebesar 9.417
seperti ditunjukkan pada gambar 7. Berdasarkan data Kementerian pertanian (2011)
diketahui bahwa Provinsi Sumatera Selatan memiliki perkebunan kelapa sawit seluas
717.551 ha atau terbesar ketiga di Sumatera dan keempat di Indonesia. Adapun
pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Ogan Komering Ilir sekitar 53%
dikuasai oleh rakyat dan 47% oleh swasta, sedangkan di Kabupaten Musi Banyuasin
sekitar 48% oleh swasta, 31% oleh rakyat dan 21% oleh negara.
Untuk Provinsi Jambi distribusi titik panas mayoritas ditemukan di wilayah
Kabupaten Muaro Jambi (46%) dan Tebo (16%) dari total titik api sebesar 3.928 seperti
ditunjukkan pada gambar 8. Dari total 465.265 ha luas areal perkebunan kelapa sawit yang
ada di Provinsi Jambi atau terluas kedua di Sumatera dan keenam di Indonesia, sekitar
28% berada di Kabupaten Muaro Jambi dan 9% di Kabupaten Tebo. Pengusahaan
perkebunan kelapa sawit di kabupaten Muaro Jambi sekitar 91% dikuasai oleh rakyat, 24%
oleh swasta dan 6% oleh negara. Sedangkan di Kabupaten Tebo sekitar 64% perkebunan
kelapa sawit dikelola oleh masyarakat, 20% oleh swasta dan 17% oleh negara
(Kementerian Pertanian, 2011)
Gambar 6. Distribusi titik panas di provinsi Riau selama kurun waktu 9 tahun (tahun
2004-2012).
29%
4% 7%
4% 0%
0% 0%
8%
0%
0% 1% 1%
14%
20%
6% 6% Bengkalis
Indragiri Hilir
Indragiri Hulu
Kampar
Karimun
Kepulauan Riau
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 330 ~
Gambar 7. Distribusi titik panas di provinsi Sumatera Selatan selama kurun waktu 9
tahun (tahun 2004-2012).
Gambar 8. Distribusi titik panas di Provinsi Jambi selama kurun waktu 9 tahun (tahun
2004-2012)
3.2.2. Distribusi titik panas di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat
Di Provinsi Kalimantan Tengah, mayoritas titik api ditemukan di wilayah
Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas masing-masing sekitar 21% dan 16% dari total titik
api sebesar 15.948 seperti ditunjukkan pada gambar 9. Berdasarkan data Kementerian
Pertanian (2011) Provinsi Kalimantan Tengah memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar
di wilayah Kalimantan dan kedua di Indonesia yaitu sekitar 1.037.525 ha. Dari total luas
wilayah perkebunan kelapa sawit tersebut, sekitar 1% berada di wilayah Kabupaten Pulang
Pisau dan 3% berada di Kabupaten Kapuas. Pengelolaan perkebunan kelapa sawit di
Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas keseluruhannya dikuasai oleh swasta.
4% 0%
0% 0%
2%
9%
17%
9% 54%
5%
Banyuasin
Kota Lubuk Linggau
Kota Palembang
Kota Prabumulih
Lahat
Muara Enim
Musi Banyuasin
Musi Rawas
Ogan Komering Ilir
Ogan Komering Ulu
6%
5% 0% 5%
46%
10%
4%
8%
16%
Batanghari
Bungo
Kerinci
Merangin
Muaro Jambi
Sarolangun
Tanjung Jabung Barat
Tanjung Jabung Timur
Tebo
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 331 ~
Gambar 9. Distribusi titik panas di Provinsi Kalimantan Tengah selama kurun waktu 9
tahun (tahun 2004-2012)
Distribusi titik panas di wilayah Kalimantan Barat sebagian besar ditemukan di
wilayah Kabupaten Ketapang dan Sintang masing-masing sebesar 34% dan 15% dari total
9.166 seperti ditunjukkan pada gambar 10. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2011)
diketahui bahwa wilayah Provinsi Kalimantan Barat memiliki luas lahan perkebunan
kelapa sawit sekitar 540.835 ha atau terluas kedua di wilayah Kalimantan dan kelima di
Indonesia. Dari total luas wilayah perkebunan kelapa sawit tersebut sekitar 26% berada di
wilayah Kabupaten Ketapang dan 10% di Kabupaten Sintang. Pengelolaan perkebunan
kelapa sawit di Kabupaten Ketapang sekitar 64% di pihak swasta dan 36% berada di
tangan rakyat. Sedangkan untuk wilayah Kabupaten Sintang sekitar 63% oleh pihak
swasta dan 37% oleh rakyat.
Gambar 10. Distribusi titik panas di Provinsi Kalimantan Barat selama kurun waktu 9
tahun (tahun 2004-2012)
4% 1% 4% 3%
16%
10%
2%
8% 14%
2%
1%
21%
10%
4% Barito Selatan
Barito Timur
Barito Utara
Gunung Mas
Kapuas
Katingan
Kota Palangka Raya
Kota Waringin Barat
Kota Waringin Timur
Lamandau
Murung Raya
Pulang Pisau
Seruyan
Sukamara
11% 8%
34%
0%
0% 5%
8%
11%
8%
15% Bengkayang
Kapuas Hulu
Ketapang
Kota Pontianak
Kota Singkawang
Landak
Pontianak
Sambas
Sanggau
Sintang
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 332 ~
4. Kesimpulan
Tren bulanan titik panas untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan selama periode
tahun 2004-2012 mencapai maksimum pada bulan Oktober 2006 dan bulan September
2009 dengan jumlah titik panas masing-masing 7.114 dan 5.007. Berdasarkan total
musiman titik panas dari tahun 2004-2012 untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan
diketahui bahwa peningkatan total titik panas yang signifikan terjadi pada musim kering
(Juni-Agustus) dan musim peralihan dari kering ke basah (September-November) masing-
masing sebesar 24.059 dan 31.245. Distribusi titik panas terbesar di wilayah Sumatera
ditemukan di provinsi Riau (50%), Sumatera Selatan (25%) dan Jambi (10%) dari total
titik panas sebesar 37.643, sedangkan Untuk wilayah Kalimantan diketahui bahwa
distribusi titik panas terbesar ditemukan di Provinsi Kalimantan Tengah (53%) dan
Kalimantan Barat (31%) dari total titik panas sebesar 29.733. Semua Provinsi tersebut
diketahui memiliki lahan gambut dan juga perkebunan kelapa sawit yang relatif sangat
luas. Hal ini perlu diwaspadai karena wilayah lahan gambut yang dijadikan perkebunan
kelapa sawit menjadi rentan terhadap kebakaran.
Daftar Pustaka
Berha, R., Pradani, M., lestari, P., Man Joshi, U., Reid, J. S., Balasubramanian, R. (2012).
Chemical Speciation of Trace Metals Emitted from Indonesian Peat fires for health
Risk Assessment. Atmos. Res, doi:10.1016/j.atmosres.2012.05.024
NASA. (1996). Sustainable Development Indicator Group.
http://www.hq.nasa.gov/iwgsdi/Forest_Land.html
Page, S.E., Siegert, F., Rieley, J. O., Boehm, H. D. V.,Jaya, A., Limin, S. (2002). The
amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997,
Nature, 420 (6911), 61-65.
WWF, (2012). Laman: http://www.wwf.or.id
FIRMS, (2013). Laman: https://earthdata.nasa.gov/data/near-real-time-data/firms
NOAA, (2013), ENSO Cycle: Recent Evolution, current status and prediction,
http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitoring/lanina/enso_evolution
-status-fcsts-web.pdf
Tanpipat, V., Honda, K., Nuchaiya, P. (2009). MODIS hotspot validation over Thailand.
Remote Sensing, 1, 1043-1054; doi: 10.3390/rs1041043
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 333 ~
Wiratno, J. (1998). Sudah benarkah pemahaman anda tentang La Nina dan El Nino?.
Penerbit ITB, Bandung
Kementerian Pertanian. (2011). Peta Potensi dan sebaran areal perkebunan kelapa sawit di
Indonesia: Sistem Integrasi Sapi-kelapa sawit (SISKA)
Kementerian Pertanian. (2011): Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000, Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Edisi Desember
2011
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 334 ~
ROLES OF RELATIVE HUMIDITY ON SONGDA
TYPHOON 2011 INTENSITY
Yopi Ilhamsyah1*
, Ahmad Bey2, Edvin Aldrian
3
1Department of Marine Sciences Syiah Kuala University,
2Department of Geophysics and
Meteorology Bogor Agricultural University, 3Center for Climate Change and Air Quality BMKG
Jakarta *[email protected]
Abstract The objectives of the research were to investigate the influences of relative humidity as
well as its changes on Songda Typhoon intensity. Advanced Research of Weather
Research and Forecasting (AR-WRF) with three scenarios were implemented in the
research, i.e., by performing AR-WRF standard-release along with its initial data and by 10
% to 20 % decrease of relative humidity initial data at 850-700 hPa. From AR-WRF
standard-release, it was shown that in the early development relative humidity in the
middle level were about 80 % and even drier at 600 hPa. As ocean temperature continued
to warm, it provided large supplies of moist air into the middle level which led to increase
relative humidity above 90 % and further affect to intensify the storm. As it turned into
Extratropical Storm, relative humidity concentration in the middle level had dispersed as
the structure was no longer axisymmetric due to the presence of Jet Stream in the upper
troposphere. Relative humidity at 850-700 hPa had reduced to less than 80 %. Thus,
insufficient moist environment eventually led to weaken the storm. In various stages of the
storm, it was found that 20 % decreasing scenario played a significant role in reducing
storm intensity. In the vertical levels, 20 % decreasing scenario showed lower wind speeds
than 10 % decreasing scenario where significant wind intensity reduction mainly occurred
at 850-700 hPa, which further affected to weaken storm intensity in the lower levels.
Meanwhile, the reduction of moisture supply at 850-700 hPa resulting from 20 %
decreasing scenario played a major role in the weakening of wind intensity. Thus, it further
affected to reduce the mechanical energy of the cycle process as much as 300 J kg-1
. Keywords: relative humidity, Songda Typhoon, AR-WRF, wind intensity
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki pengaruh kelembapan nisbi serta
perubahannya terhadap intensitas Topan Songda. Advanced Research of Weather Research
and Forecasting (AR-WRF) dengan tiga skenario, yaitu dengan menjalankan keluaran
standar AR-WRF disertai data awalnya dan pengurangan 10 % hingga 20 % data awal
kelembapan nisbi pada tingkat 850-700 hPa diaplikasikan pada penelitian ini. Berdasarkan
keluaran standar WRF terlihat bahwa pada tahap awal pembentukan, kelembapan nisbi
pada tingkat menengah adalah sebesar 80 % dan bahkan lebih kering pada 600 hPa.
Peningkatan suhu permukaan laut memasok udara lembab pada tingkat menengah sehingga
meningkatkan kelembapan nisbi di atas 90 % dan selanjutnya berpengaruh terhadap
penguatan intensitas badai. Pada saat berubah menjadi badai Ekstratropis, konsentrasi
kelembapan nisbi di tingkat menengah telah menyebar karena struktur tidak lagi simetrik
akibat kehadiran Arus Jet di troposfer atas. Kelembapan nisbi pada 850-700 hPa telah
berkurang menjadi 80%. Dengan demikian, ketidakcukupan lingkungan yang lembab
akhirnya menyebabkan badai melemah. Pada berbagai tahapan badai ditemukan bahwa
penurunan skenario 20 % berperan penting dalam mengurangi intensitas badai. Pada
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 335 ~
tingkat vertikal, skenario penurunan 20% menunjukkan kecepatan angin yang lebih rendah
daripada penurunan skenario 10% dimana penurunan intensitas angin secara signifikan
terutama terjadi pada 850-700 hPa yang selanjutnya berpengaruh terhadap melemahnya
intensitas badai pada tingkat yang lebih rendah. Sementara itu, pengurangan suplai
kelembapan pada tingkat 850-700 hPa yang dihasilkan dari skenario penurunan
kelembapan nisbi sebesar 20 % berperan penting dalam melemahkan intensitas angin
sehingga berpengaruh terhadap pengurangan energi mekanik dari proses siklus sebesar 300
J kg-1
. Kata Kunci : kelembapan nisbi, Topan Songda, AR-WRF, intensitas angin 1. INTRODUCTION
Western North Pacific (WNP) Ocean is well-known for the most dynamical basin
to Tropical Cyclone (TC) occurrences (Lin et al., 2008). The frequent occasion of TC lies
from 10˚N to 26˚N and 121˚E to 170˚E (Holliday and Thompson, 1979). TC over WNP is
locally called as Typhoon. Sources of TC development come from warm ocean
temperature where latent heat is released during condensation processes. The moisture
sources are then subsequently concentrated in the boundary layer. Sufficient moisture in
the middle troposphere layer (850-700 hPa) is considered to have a major influence in
supplying heat to drive TC intensity. Schade and Emanuel (1999) found that relative
humidity at 850-700 hPa layer is responsible to produce the most intense storm. Thus, the
increase of humidity in the middle troposphere is one of thermal characteristics that can be
taken into account. The humid environment leads the themal energy to increase and start
circulating from warm to cold environment in a closed process, known as Carnot cycle.
Emanuel (1986) constructed a simple energy balance model to explain the corresponding
role of TC heat engine as a Carnot cycle. Moist entropy from the lower level is the primary
energy in the cycle. It allows air to flow inward the boundary layer. At that moment, the air
rises and releases heat at lower temperature in the upper troposphere which further
converts it from thermal to mechanical energy.
The uses of simulation model had been conducted to investigate moisture changes
and their implications on TC intensity, e.g., Frank and Ritchie (1999), and Wong and Chan
(2004). However, their study was based on full idealized physics simulation. In the present
study, the influences and moisture changes on TC intensity was examined by using three-
dimensional numerical model by varying its initial condition.
Songda Typhoon (ST) was the fourth named TC of the 2011 NH tropical season.
ST was the most devastating storm that striked WNP Ocean for the period of 2011. It
lasted from May 18th
to 30th
, 2011 for two continuous weeks and strengthened to boost
peak activity of powerful Super Typhoon stages between May 24th
and 27th
. Long curving
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 336 ~
track and the exhibition of all sequences of TC life cycle, ST was then considered as an
ideal case of TC. Its development and intensification, however, still remained questions.
The fact that ST is not a subject of exploration yet soon motivates the present research. The
purposes of the research with a case of ST presented herein will investigate the influences
of thermal characteristic on ST intensity and its changes effect on ST intensity as well as
mechanical energy of the Carnot cycle. The primary point of emphasis is relative humidity
as mentioned earlier. The research is expected to provide a better understanding on roles of
relative humidity and its changes effect on TC intensity which is useful to assist
operational weather forecaster to produce good short-range forecasts in terms of TC
intensities.
2. MATERIAL AND METHOD
2.1. Model Performance
The research was carried out by performing Advanced Research of Weather
Research and Forecasting model (AR-WRF) version 3.3. AR-WRF is a non-hydrostatic
three-dimensional numerical model with terrain-following in the vertical-sigma coordinate.
Two domains were employed in the model. The first domain situated from 02˚N to 40˚N
and 118˚E to 149˚E consisted of 103 x 138 horizontal grids and covered spatial resolutions
( ) of 33.1 km. The second domain situated from 09˚N to 27˚N and 119˚E to 132˚E
consisted of 133 x 190 horizontal grids at 11 km in spatial resolution (Figure 2-1). The two
domains were utilized to analyze the result. Timestep of the model ( ) was 120 seconds.
In addition, 28 pressure levels ranging from 1000 to 10 hPa were employed in the model.
i.e., Yonsei University Scheme (YSU) in the Planetary Boundary Layer (PBL), Kain-
Fritsch scheme (KF) in the Cumulus, and WRF Single-Moment 3-class scheme in the
microphysics.
2.2. The initial condition and Experimental Design
The data applied in the initial boundary conditions of the model were (a) 2-minutes
resolution of USGS terrain height data, (b) 2-minutes resolution of global 24-category
USGS land use/cover data, and (c) 1.0˚ latitude x 1.0˚ longitude grids NCEP Final
Analysis (NCEP FNL) data with grib2 format.
The description of the NCEP FNL dataset are as follows: (a) 6-hourly in temporal
resolution, i.e., 0000, 0600, 1200, and 1800 UTC, (b) pressure levels are available from
1000 to 10 hPa, and (c) consist of meteorological variables such as: surface pressure, Sea
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 337 ~
Figure 2-1 : Geographical location and domains of WRFSRL over WNP Ocean. D01
and D02 are the first and second domain, respectively
Level Pressure (SLP), geopotential height, temperature, evaporation, relative and
specific humidity, zonal and meridional velocity, vertical velocity, etc. The information as
well as the data is available online through
http://rda.ucar.edu/datasets/ds083.2/#description. The initial data applied in the initial
condition of AR-WRF model hereafter refer to WRF standard-release model initial data (or
WRFSRL).
The research was implemented by performing WRFSRL and by adjusting thermal
characteristics of ST in terms of relative humidity. The adjustment of the thermal
characteristics of ST was carried out by decreasing 10 % to 20 % of WRFSRL NCEP FNL
relative humidity initial data at 850-700 hPa. Once the initial data had been adjusted, the
model was ready to be tested, the steps were as follows:
Running WRFSRL along with its initial data. The wind intensity and track of ST
resulting from WRFSRL was then evaluated by comparing them with those of Joint
Typhoon Warning Center (JTWC), Japan Meteorological Agency (JMA), and
Reanalysis data and also by checking the Root Mean Square Error (RMSE) and
Coefficient of Determination (R2) between the intensity of WRFSRL and JTWC.
WRFSRL was then used to analyze the influence of relative humidity on ST intensity
prior to implementing the adjustment scenario. The result was also compared with
satellite images. JTWC and JMA best track and intensity data can be found in
http://weather.unisys.com/hurricane/w_pacific/2011H/index.php and
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 338 ~
http://www.jma.go.jp/jma/jma-eng/jma-center/rsmc-hp-pub-eg/besttrack.html while
Reanalysis data was taken from NCEP/NCAR NOAA through
http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.ncep.reanalysis.html with spatial
coverages of 2.5° latitude x 2.5° longitude which is further interpolated into 33 km in
accordance with the first domain of the model.
Implementing 10 % and 20 % decreasing scenarios of relative humidity at levels 850-
700 hPa into WRFSRL initial data (hereafter refer to RHM10 and RHM20), re-
running the model, and discussed the intensity changes and changes of mechanical
energy of Carnot cycle at mature stage.
Paired T-test was used to determine significant intensity differences of maximum
wind speeds for each stages. The selected simulation days were from May 18th
to 30th
,
2011 during ST lifetime. Hence, the entire life cycles of ST from early disturbance until
reaching the mature, and decaying stage could be well-observed. In addition, model needed
to perform a warm-start simulation in the first day of simulation in order to adjust the
initial boundary condition as well as physical parameters in the model. Thus, analysis
focussed on the second day on May 19th
, 2011.
3. RESULT AND DISCUSSION
3.1. ST intensity
Figure 3-1 showed time-series of ST maximum wind speeds of WRFSRL and its
comparison to maximum wind speeds originated from JTWC, JMA, and Reanalysis data. It
was shown that WRFSRL was not well-coincided with those of JTWC, JMA and even
Reanalysis data. Reanalysis data showed much lower intensity compared to JTWC, JMA,
and WRFSRL which presented poor-indication of the Typhoon event. The maximum wind
speeds of Reanalysis data of about 30 ms-1
occurred on May 29th
which indicated a time-
lag in reaching peak intensity of Typhoon. Much lower intensity from Reanalysis data
might be due large spatial coverage of the data which was 2.5°. Even though, it has been
interpolated into 30 km which was similar to spatial resolution given in the first domain,
however, it did not give significant increase of wind speeds which resulted in a poor-
description to the Typhoon development and intensification. The WRFSRL showed that
stronger maximum wind speeds was found as soon as ST reached Typhoon 1 on May 23rd
at 0000 UTC. The stronger maximum wind speeds was still observed until ST had changed
into the decaying stage in the final simulation. It was also shown that the strongest wind
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 339 ~
0
20
40
60
80
Max
.Win
d S
pee
ds
(ms-
1)
Date and Time (UTC)
WRFSRL JTWC JMA Reanalysis Data
speeds occurred on May 27th
at 0000 UTC rather than on May 26th
at 1800 UTC as given
by JTWC. Thus, WRFSRL had 6-hour time-lag in simulating the peak intensity of ST. The
maximum wind speeds between WRFSRL and JTWC during mature stage were 74 ms-1
and 72 ms-1
, respectively. In addition, the lower maximum wind speeds was found at some
points during Tropical Depression and Tropical Storm from May 20th
at 0000 UTC to May
22nd
at 1200 UTC. At this stage, the wind only reached 22 ms-1
in speeds compared to 28
ms-1
on magnitude of JTWC. In the development stages from May 23rd
to 25th
, wind speed
of WRFSRL showed a rapid increase compared to JTWC and JMA. The reason behind this
still remains question. As discussed before that YSU and KF scheme was essential in
obtaining better intensity. However, in this research, the selections of appropriate PBL and
Cumulus scheme to obtain better TC intensity still need to be further investigated.
Figure 3-2 : Comparison of time-series of maximum wind speeds (ms-1
) of ST from May
20th
to 30th
for WRFSRL (blue line), JTWC (red line), JMA (green line),
and Reanalysis data (violet line)
On the contrary, JMA showed much lower maximum wind speeds than JTWC
mostly during the mature stage on May 26th
. The reasonable explanation might be due to
the model resolution used by JMA. Based on Angove and Falvey (2011), JTWC applied
many leading operational models with highest resolution to forecast short-term (72-hour)
ongoing events of TC intensity and track. Numerous model outputs that had been evaluated
and compared with satellite images and radar were then fitted by means of a certain
statistical technique developed by JTWC to improve and to achieve best track and
intensity. Davis et al. (2008) found that different resolution used by the models could
influence the position and intensity of TC. Thus, the model resolution was behind the
reason for the emergence of intensity differences in terms of maximum wind speeds among
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 340 ~
WRFSRL, JTWC, and JMA. Tory and Frank (2010) reported that the chosen of physical
parameterization in the model configuration could also influence differences on intensity
simulation. On the other hand, based on the calculation of RMSE and R2 between
WRFSRL and JTWC, it was found that RMSE and R2 values were 12.45 ms
-1 and 0.53,
respectively. It further implied that the model was moderate-performed since small
deviation found in the model. Besides, the model was able to capture the maximum wind
speeds during mature stage. For that reason, WRFSRL was then utilized to explain the
influences of relative humidity on ST intensity.
Figure 3-2 : Time-series of (a) maximum wind speed (ms-1
) of WRFSRL and (b) scenario
deviation from WRFSRL (ms-1
) for RHM10 (red line) and RHM20 (green
line) from May 20th
to 30th
3.2. The influences of relative humidity on ST intensity
Moisture supply represented by relative humidity in the middle troposphere at 850-
700 hPa was one of the requirements which played significant role in strengthening ST
intensity. Appendix 1c showed that at Super Typhoon stage, relative humidity of more than
90 % was concentrated in the middle level of the eye wall while at Tropical Storm stage
where the intensity still developed, it showed no concentration of high relative humidity in
the inner structure but relative humidity of more than 80 % was found at 850-700 hPa
(Appendix 1a). This result was consistent with Montgomery et al. (2006) and Hidalgo
(2008) who found that in the early development, relative humidity in the middle level were
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 341 ~
about 80 % and even drier at 600 hPa. As ocean temperature continued to warm, it
provided large supplies of moist air into the middle level which led to increase relative
humidity above 90 %. The increase of cyclonic rotation driven by the acceleration of upper
level vorticity then helped to concentrate relative humidity in the inner structure which led
to intensify the storm (Appendix 1a and c). This agreed with Nolan (2007) who found that
the simulation of intense TC with warm core vortex was not well-performed until relative
humidity in the middle level increased to more than 90 %. Previous study by Bister (2001)
also the supported this result. As it turned into Extratropical Storm, relative humidity
concentration in the middle level had dispersed as the structure was no longer
axisymmetric due to the presence of Jet Stream in the upper troposphere. Relative humidity
at 850-700 hPa had reduced to less than 80 %. Thus, insufficient moist environment
eventually led to weaken ST (Appendix 1e).
In the present study, it was also shown that in the early development, the warm core
arose from lower level and gradually increased until 600 hPa at Super Typhoon stage. At
this stage, the temperature anomaly at the warm core was 6˚C between 300 and 600 hPa
(Appendix 1b and d). It was lower than Halverson et al. (2006) who in their observational
study found that maximum temperature anomaly at the core near 500 hPa was 11˚C with
minimum SLP and wind speeds of 969 hPa and 54 m s-1
, respectively. However, these
findings were lower than energetic TC shown in Hawkins and Imbembo (1976). In field
study conducted by them to investigate TC Inez (a category 5 Hurricane) in 1966, the
maximum temperature anomaly at the same level was 16˚C with SLP of 927 hPa. These
differences might refer to the differences of size distribution on TC. Meanwhile, at
Extratropical Storm, due to the convergence with cold front in the middle latitude,
temperature advection altered the warm core formation and made the warm core to
concentrate in the upper level (Appendix 1e).
3.3. The influences of relative humidity changes on ST intensity
Figure 3-2 showed maximum wind speeds differences of ST for RHM10 and
RHM20. It was shown that RHM20 had weaker wind speeds than the others. Statistically
significant differences between WRFSRL and RHM20 were found in the development of
Typhoon 1 to Typhoon 4 with speed reductions of 6 ms-1
on averages. However, it showed
no statistically significant differences at Super Typhoon stage. Besides, it showed weaker
wind intensity than WRFSRL mainly in the peak intensity on May 27th
at 0000 UTC with
speed reduction of 5 ms-1
. Weaker wind intensity was still observed in the decaying stage
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 342 ~
until Typhoon underwent into Extratropical Storm with averages speed reduction of about
2 ms-1
even though statistically it was not significant.
RHM10 scenario also revealed weaker wind speeds without significant differences
(P > 0.05) compared to WRFSRL. Although it was shown that during Super Typhoon
stage, it had the weakest wind speeds than WRFSRL and RHM20; statistically there were
no significant differences found in this stage. The average speed reduction of RHM10
compared to WRFSRL and RHM20 were about 2.4 ms-1
and 0.3 ms-1
, respectively. In
various stages of the storm, it was found that RHM20 played a significant role in reducing
storm intensity.
The reduction of wind speeds resulting from both decreasing scenarios agreed with
Nolan et al. (2007). By setting drier relative humidity in the middle troposphere, they
found that the experiment had little impact on TC genesis which implied relative humidity
tended to reduce TC intensity during experiment. Moreover, in a simulation carried out by
Nong and Emanuel (2003) by adding moisture in the middle level, they found there were
no significant increase of TC intensity. Thus, moisture sources in particular relative
humidity, one of the requirements to the development of TC, was questionable. The
increasing scenarios of relative humidity could not be carried out in the present research
since the air was saturated in the middle level. Tory and Frank (2010) commented that the
use of relative humidity in diagnosing TC formation still could not be well-explained yet.
3.4. Relative humidity scenarios in the vertical level
In the vertical level, it was also shown that weaker wind speeds were found in
RHM20 (Appendix 2b and c). which further affected to weaken ST intensity in the lower
levels. The decline of wind speeds were caused by the reduction of moisture supply at 850-
700 hPa in large quantities resulting from RHM20 which was important to drive the
intensification of ST. It was also noted that the increasing scenario adjustment of relative
humidity was impossible to carry out since it had already reached saturated condition with
100 % relative humidity in the levels.
3.5. Entropy and mechanical energy
Entropy as well as the description of Carnot cycle of ST and scenario deviation
from RHM10 and RHM20 were shown in appendix 3. Appendix 3 describes the lower
entropy was found in RHM20 which indicated that the reduction of relative humidity at
850-700 had an effect on reducing the thermal energy of ST. Thus, it caused to decrease
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 343 ~
ST intensity. Mechanical energy found in RHM10 and RHM20 were 1,603 and 1,331 J kg-
1, respectively. These results were reliable since relative humidity play important role in
driving ST intensity. In addition, heat engine in the Carnot cycle could be represented by
its efficiency. The efficiency is the fraction of cold air temperature in the upper level to
warm temperature in the bottom where energy was extracted and converted into
mechanical energy. In all scenarios, the efficiency was 21 % since there were no vertical
level differences of air temperature in all scenarios. The temperatures of 22˚C and -40˚C at
900 hPa and 200 hPa were found at all scenarios, respectively. Michaud (1995) found that
the average temperature of 22˚C in the surface and -18 ˚C in the upper level gave the
Carnot efficiency of 15 %. Thus, vertical structures of temperature were important to
determine the Carnot efficiency. The efficiency is helpful to find the limit of transporting
heat upward that can be used to do work in a reversible system. The Carnot efficiency in
ST that could be used to do work as obtained in the present research was lower than
Emanuel (1988) who found that 33 % of heat carried upward was converted to work. The
possibly reason might be due to the use of surface temperature at 900 hPa instead of 1000
hPa.. As already mentioned, the temperature of 22 ˚C was colder to be used as warm
source in the surface compared to 28 ˚C. Thus, it resulted in smaller efficiency in ST than
in ideal TC provided in Emanuel (1988). Carnot cycle efficiency in all relative humidity
scenarios were 21 %.
4. CONCLUSION
The significant reduction of ST intensity resulting from moisture environment
scenario gave an indication that moisture played an important role in strengthening and
weakening TC intensity and structures. Thus, future research can focus on moisture and its
implication on TC structure and intensity by setting much drier moisture in a Super
Typhoon or adding moisture in a Tropical Storm category, and also the influence of
moisture with different schemes of physical parameterization on TC intensity.
REFERENCES
Angove, M.D. and Falvey, R.J., Annual Tropical Cyclone Report, USA: Joint Typhoon
Warning Center, 2011.
Bister, M., Effect of Peripheral Convection on Tropical Cyclone Formation, J. Atmos. Sci.,
33, 1008-1020, 2001.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 344 ~
Davis, C., Wang, W., Chen, S.S., Chen, Y-S., Corbosiero, K., DeMaria, M., Dudhia, J.,
Holland, G., Klemp, J., Michalakes, J., Reeves, H., Rotunno, R., Snyder, C., and Xiao,
Q., Prediction of Landfalling Hurricanes with the Advanced Hurricane WRF Model,
Mon. Wea. Rev., 136, 1990-2005, 2008.
Emanuel, K.A., An Air-Sea Interaction Theory for Tropical Cyclones. Part I: Steady-State
Maintenance, J. Atmos. Sci., 43, 585-604, 1986.
Emanuel, K.A., Toward a General Theory of Hurricanes, Am. Sci.,76: 370-379, 1988.
Frank, W.M. and Ritchie, E.A., Effects of Vertical Wind Shear on the Intensity and
Structure of Numerically Simulated Hurricanes, Mon. Wea. Rev., 129(9), 2249-2269,
2001.
Halverson, J.B., Simpson, J., Heymsfield, G., Pierce, H., Hock, T., and Ritchie, L., Warm
Core Structure of Hurricane Erin Diagnosed from High Altitude Dropsondes during
CAMEX-4, J. Atmos. Sci., 63, 309-324, 2006.
Hawkins, H.F. and Imbembo, S.M., The Structure of a Small, Intense Hurricane-Inez 1966.
Mon. Wea. Rev.,104, 418–442, 1976.
Hidalgo, J.M., Vertical Hot Towers, Their Aggregate Effects and Their Resolution
Dependence in the Formation of Hurricane Diana (1984), [Ph.D Thesis]. Colorado
(USA): Colorado State University, 2008.
Holliday, C.R. and Thompson, A.H., Climatological Characteristics of Rapidly
Intensifying Typhoons, Mon. Wea. Rev., 107, 1022-1034, 1979.
Lin, I.I., Wu, C.C, Pun, I.F., and Ko, D.S., Upper Ocean Thermal Structure and the
Western North Pacific Category-5 Typhoons: Part I. Ocean Features and Category-5
Typhoons‟ Intensification, Mon. Wea. Rev., 136, 3288–3306, 2008.
Michaud, L.M., Heat to Work Conversion during Upward Heat Convection Part I: Carnot
Engine Method. Atmos. Res., 39, 157-178, 1995.
Montgomery, M.T., Nicholls, M.E., Cram, T.A., and Saunders, A., A Vertical Hot Tower
Route to Tropical Cyclogenesis, J. Atmos. Sci., 63, 355-386, 2006.
Nolan, D.S., What is the Trigger for Tropical Cyclogenesis?, Aus. Met. Mag., 56, 241-266,
2007.
Nolan, D.S., Rappin, E.D., and Emanuel, K.A., Tropical Cyclogenesis Sensitivity to
Environmental Parameters in Radiative–Convective Equilibrium, Quart. J. Roy. Meteor.
Soc., 133, 2085–2107, doi: 10.1002/qj.170, 2007.
Nong, S. and Emanuel, K., A Numerical Study of the Genesis of Concentric Eyewalls in
Hurricanes. 2002, Quart. J. Roy. Meteor. Soc., 129, 3323–3338, 2003.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 345 ~
Schade, L.R. and Emanuel, K.A., The Ocean‟s Effect on the Intensity of Tropical
Cyclones: Results from a Simple Coupled Atmosphere-Ocean Model, J. Atmos. Sci.,
54, 642-651, 1999.
Tory, K.J. and Frank, W.M., Tropical Cyclone Formation. In Global Perspectives on
Tropical Cyclones from Science to Mitigation, J.C.L. Chan, J.D. Kepert, editors. World
Scientific Publishing, Singapore, pp. 55-91, 2010.
Wong, M.L.M. and Chan, J.C.L., Tropical Cyclone Intensity in Vertical Wind Shear, J.
Atmos. Sci., 61(15), 1859-1876, 2004.
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 346 ~
Appendix 1 : West-East vertical structures of ST for temperature (˚C) in shaded and
relative humidity (%) in contour line (figures in the left side) and
temperature anomaly (˚C) in shaded (figures in the right side), (a and b) at
Tropical Storm on May 22nd
(c and d) at Super Typhoon on May 27th
, (e and
f) at Extratropical Storm on May 30th
at 0000 UTC
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 347 ~
Appendix 2 : West-East vertical structures of maximum wind speeds (shaded and barb) in
ms-1
of ST and scenario deviation at Super Typhoon stage on May 27th
at
0000 UTC, (a) WRFSRL, (b) RHM10, and (c) RHM20
(a) (b)
(c)
Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3
~ 348 ~
Appendix 3 : West-East vertical structures of entropy (J kg-1
K-1
) as well as the
description of Carnot cycle of ST and scenario deviation at Super Typhoon
stage on May 27th
at 0000 UTC, (a) WRFSRL, (b) RHM10, and (c)
RHM20
(a) (b)
(c)