PROSES PENCIPTAAN ALAM DALAM ENAM MASA (STUDI...
Transcript of PROSES PENCIPTAAN ALAM DALAM ENAM MASA (STUDI...
PROSES PENCIPTAAN ALAM DALAM ENAM
MASA (STUDI KOMPARATIF TAFSIR AL-
MANĀR DAN AL-JAWĀHIR FĪ AL-TAFSĪR AL-
QUR’ĀN AL-KARĪM)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Hadi Asrori
NIM: 11140340000094
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN &TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020 M
v
ABSTRAK
HADI ASRORI. Proses Penciptaan Alam dalam Enam Masa,
“Studi Komparatif Tafsīr al-Manār dan al-Jawāhir fī al-Tafsīr al-
Qur’ān al-Karīm.”
Skripsi ini membahas penafsiran tentang penciptaan alam dalam
enam masa dengan membandingkan penafsiran Muhamamd Rasyīd Riḍā
dan Ṭanṭāwi Jauharī dalam kitab tafsir mereka masing-masing. Topik ini
menarik untuk dibahas karena lafaẓ sittati ayyām masih membutuhkan
penjelasan lebih, terutama dari beragam kitab tafsir yang memiliki metode
dan corak penafsiran yang berbeda, seperti tafsir al-Manār dan Tafsir
Jawāhir yang muncul sebagai respon sarjana Muslim terhadap munculnya
diskursus modern yang mengiringi pesatnya kemajuan dalam bentuk
temuan-temuan mutakhir di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi secara
umum, terutama perkembanagan sains menyangkut proses penciptaan
alam semesta yang juga disinggung di dalam al-Qur’an.
Dalam menjawab pertanyaan tentang bagaimana perbandingan
penafsiran antara kedua kitab tafsir tersebut, penulis menggunakan metode
library research dengan mengumpulkan data-data terkait untuk membantu
menyelsaikan penelitian ini. Sumber data primer dalam penelitian ini
adalah penafsiran ayat al-Qur’an yang ditulis oleh Rasyīd Riḍā yang
berjudul al-Manār dan Ṭanṭāwi Jauharī yang berjudul al-Jawāhir fī al-
Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm. Sedangkan sumber data sekunder, peniliti
mengambil buku-buku dan jurnal terkait dengan tema judul pembahasan
yaitu proses penciptaan yang dituliskan oleh intlektual muslim maupun
intlektual barat.
Setelah melakukan kajian analisis terhadap penafsiran kedua tokoh
ini ditemukanlah kesimpulan sebagai hasil penelitian bahwa perbedaan
pandangan mengenai lafaẓ sittati ayyām merupakan permasalahan yang
terjadi dikarenakan Rasyīd Riḍā dalam menafsirkan lafaẓ sittati ayyām
dalam proses penciptaan merujuk kepada QS. al-Haj: 47 dan QS. al-
Fussilat: 9-12, bahwa satu hari dalam proses penciptaan itu setara dengan
seribu tahun, dan pada hari pertama adalah penciptaan bumi. Sedangkan
menurut Ṭanṭāwi Jauharī satu hari itu merupakan satu kali perputaran
bumi (revolusi bumi) dan penciptaan pertama itu berupa matahari.
Perbedaan ini didasari pada sumber penafsirannya, yang mana Rasyīd
Riḍā bersumber dengan al-Qur’an atau bil ma’ṡur, sedangkan Ṭanṭāwi
Jauharī lebih kepada ijtihadnya (rasional) atau bi al-Ra’yi.
Kata Kunci: Tafsir Ilmiah (saintifik) al-Quran, Teori Penciptaan
Semesta.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillāhirrahmānirrahīm
Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam yang telah
memberikan kenikmatan jasmani maupun rohani, serta Rahmat dan
hidayah-Nya, dan kemudahan serta kesabaran dalam menghadapi berbagai
rintangan dan kesulitan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir
kuliah ini (Skripsi) berkat pertolongan-Nya. Sholawat beserta salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi kita, yaitu Nabi
agung Muhammad Saw, dengan satu harapan semoga kita semua sebagai
umat muslim mendapatkan syafa’at al-‘uẓma di yaumil qiyamah nanti.
Terlebih dahulu saya sembahkan bakti do’a dan rasa terima kasih
kepada kedua orang tua saya, ibu dan bapak saya, yang mana dalam setiap
sujud mereka selalu mendo’akan kesuksesan anak-anaknya. Mereka yang
telah bersabar dalam mengasuh dan mendidik, memberikan kasih sayang,
dan tentunya selalu ikhlas mendoʻakan setiap langkah anak-anaknya demi
tercapai cita-cita yang mulia. Mereka juga yang selalu memotivasi saya
untuk menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain.
Semoga Allah senantiasa mengampuni dan memaafkan segala khilaf dan
salahnya dan menempatkan mereka derajat kedudukan yang paling tinggi.
`Amȋn.
Selanjutnya saya sampaikan rasa terima kasih saya yang setinggi-
tingginya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Amany Lubis, M.A. selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’n
dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan bapak Fahrizal Mahdi, Lc.
MIRKH. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’n dan Tafsîr. Serta
seluruh dosen dan staf akademik fakultas Ushuluddin, khususnya
jurusan ilmu al-Qur’n dan tafsîr yang telah membagikan waktu,
tenaga dan ilmu pengetahuan juga pengalaman yang berharga kepada
penulis.
4. Bapak Anwar Syarifuddin, M.Ag.selaku dosen pembimbing penulis
yang telah memberikan arahan, saran dan dukungan kepada penulis,
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Mohon maaf yang sebesar-
besarnya jika selama proses bimbingan penulis banyak merepotkan.
Semoga bapak senantiasa diberikan kesehatan, dan kelancaran dalam
segala urusan. Amȋn.
5. Kedua Kakak ku tersayang Lina Rofidah, SE dan Arfiyana, S.Kom
serta kedua kakak iparku M. Ghufran Sakhazuro S.Pd dan M. Fadhlu
Ar-Rabbani yang selalu memberikan arahan dan semangat kepada
punulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Semoga
Allah Swt senantiasa memberikan kesehatan jasmani dan rohani,
panjang umur serta diberkahkan rezekinya dan selalu dalam
lindungan Allah Swt. Amin.
6. Nur Hafidoh, yang telah setia menemani penulis dalam proses
penyelesaian skrisi ini. Hadirmu sungguh memberi semangat penulis
dan melupakan segala lelah yang dilalui dalam menyelesaikan skripsi
ini. Terimakasih atas segala waktuya. Semoga Allah mempermudah
urusan kita. Amin.
7. Sahabat Dayu Aqrominas S.Ag, yang telah banyak memberikan
arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
kemudian Sahabat M. NurCholidin yang telah meminjamkan
viii
laptopnya kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas
akhir ini. Terimakasih banyak sahabat, semoga Allah membalas
kebaikanmu berlipat ganda. Amin.
8. Teman-teman seperjuangan jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
angkatan 2014, khususnya teman-teman setongkrongan (Aldi, Buaya,
Irfan (benjol), Alwi (Boim), Qbel, Ubed, Khubab). Terima kasih atas
kerja sama selama ini semoga kita semua dilancarkan oleh Allah
dalam segala urusan. `Amȋn.
9. Serta masih banyak lagi pihak-pihak yang sangat berpengaruh dalam
proses penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu.
Semoga Allah Swt. membalas semua kebaikan yang telah diberikan,
dan semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan umumnya bagi para pembaca agar selalu berpegang pada
ajaran-ajaran Rasulullh Saw. `Amȋn.
Jakarta, 22 Januari 2020
Hadi Asrori
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ....................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ......................... iv
ABSTRAK .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
TRANSLITERASI ...................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................ 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 9
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 10
F. Metodologi Penelitian ....................................................................... 13
1. Jenis Penelitian ............................................................................ 13
2. Sumber Data ................................................................................ 15
3. Metode Pengumpulan Data ......................................................... 15
4. Langkah Penelitian ...................................................................... 15
5. Metode Penulisan ........................................................................ 16
G. Sistematika Penulisan ........................................................................ 16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PENCIPTAAN
ALAM DALAM ENAM MASA
A. Pengertian Alam Semesta .................................................................. 18
B. Teori Penciptaan Alam ...................................................................... 21
1. Menurut Ahli Astronomi ............................................................. 21
x
2. Menurut Filsafat Islam ................................................................ 25
C. Term Penciptaan dalam al-Qur’ān .................................................... 27
1. Kata Khalaqa ............................................................................... 27
2. Kata Ja’ala .................................................................................. 32
BAB III MENGENAL PROFIL KEDUA MUFASSIR DAN KITAB
TAFSIRNYA (TAFSĪR AL-MANĀR DAN TAFSĪR AL-JAWĀHIR FĪ
TAFSĪR AL-QUR’ĀN AL-KARĪM)
A. Mengenal Rasyid Ridha dan Kitab Tafsirnya ................................... 36
1. Riwayat Hidup dan Karya-karyanya ........................................... 36
2. Latar Belakang Penulisan Kitab al-Manār.................................. 41
3. Corak dan Metode Penulisan Tafsīr al-Manār ............................ 45
4. Pandangan Ulama Terhadap Kitab al-Manār ............................. 47
B. Mengenal Ṭanṭāwi Jauharī dan Kitab Tafsirnya ............................... 49
1. Riwayat Hidup dan Karya-karyanya ........................................... 49
2. Latar Belakang Penulisan Kitab al-Jawāhir ............................... 53
3. Corak dan Metode Penulisan Tafsīr al-Jawāhir ......................... 56
4. Pandangan Ulama Terhadap Kitab al-Jawāhir ........................... 59
BAB IV KOMPARASI PENAFSIRAN RASYID RIDHA DAN
ṬANṬĀWI JAUHARĪ TENTANG PENCIPTAAN ALAM DALAM
ENAM MASA
A. Klasifikasi Ayat-ayat Mengenai Proses Penciptaan Alam dalam
Enam Masa ........................................................................................ 63
B. Asbāb al-Nuzūl dan Munāsabah antar Ayat ...................................... 65
C. Penafsiran Rasyid Ridha tentang Enam Masa ................................... 71
1. QS. al-A’rāf [7]: 54 ..................................................................... 71
2. QS. Yūnus [10]: 3 ........................................................................ 77
3. QS. Hūd [11]: 7 ........................................................................... 78
D. Penafsiran Ṭanṭāwi Jauharī tentang Enam Masa ............................... 81
1. QS. Yūnus [10]: 3 ........................................................................ 81
xi
2. QS. al-A’rāf [7]: 54 ..................................................................... 84
3. QS. al-Furqān [25]: 59 ................................................................ 87
E. Perbedaan dan Persamaan Penafsiran Rasyid Ridha dan Ṭanṭāwi
Jauharī ................................................................................................ 91
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 94
B. Saran .................................................................................................. 95
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 96
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini
berpedoman pada hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan
Nomor: 0543b/U/1987.
1. Konsonan
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf
Arab
Nama Huruf Latin Nama
Alif Tidak dilambangkan Tidak ا
dilambangkan
Ba B Be ب
Ta T Te ت
Ṡa ṡ Es (dengan ث
titik di atas)
Jim J Je ج
Ḥa ḥ Ha (dengan ح
titik di bawah)
Kha Kh ka dan ha خ
Dal D De د
Żal ż Zet (dengan ذ
titik di atas)
Ra R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy es dan ye ش
Ṣad ṣ es (dengan ص
titik di bawah)
xiii
Ḍad ḍ de (dengan ض
titik di bawah)
Ṭa ṭ te (dengan titik ط
di bawah)
Ẓa ẓ zet dengan ظ
titik di bawah)
ain ‘ koma terbalik‘ ع
(di atas)
Gain G Ge غ
Fa F Ef ف
Qaf Q Ki ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Mim M Em م
Nun N En ن
Wau W We و
ـه Ha H Ha
Hamzah ' Apostrof ء
Ya Y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah A A
Kasrah I I
xiv
Dhammah U U
Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
ي Fathah dan
ya
Ai a dan i
و Fathah dan
wau
Au a dan u
Contoh:
kaifa- ك ي ف
haula- ه و ل
3. Vokal Panjang/ Maddah
Ketentuan alih aksara vocal panjang (maddah), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Harakat
dan huruf
Nama Huruf dan
tanda
Nama
ا ي... Fathah dan
alif atau ya
Ā a dan garis
di atas
ي ى Kasrah dan
ya
Ī I dan garis
di atas
Dhammah ى ـو
dan wau
Ū u dan garis
di atas
xv
Contoh:
ال ق -qāla
ىم ر -ramā
ل ي ق -qīla
4. Ta’ Marbūṭah
Transliterasi untuk Ta’ Marbūṭah ada dua:
a. Ta’ Marbūṭah hidup
Ta’ Marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah, dan
ḍommah, transliterasinya adalah “t”.
b. Ta’ Marbūṭah mati
Ta’ Marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya
adalah “h”.
c. kalau pada kata terkahir dengan Ta’ Marbūṭah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah maka
Ta’ Marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h).
No Kata Arab Alih Aksara
rauḍah al-aṭfāl ر و ض ة الأ ط ف ال 1
ل ة 2 د ين ة الف اض al-madīnah al-fāḍilah الم
م ة 3 al-ḥikmah الح ك
xvi
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Contoh:
rabbanā- ر بـن ا
nazzala- ن ـزل
ر al-birr- الب
al-ḥajj– الح ج
Jika huruf ى ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh
huruf kasrah ( ـى ـــــــــــــــ ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (ī).
Contoh:
Alī (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)‘ : عل ى
Arabī (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)‘ : ع ر ب
xvii
6. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال. Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang
ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika dia diikuti oleh huruf
syamsiyah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi
huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata
yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-),
Contohnya:
al-rajulu- الرج ل
al-sayyidu- السي د
al-syamsu- الشم ش
al-qalamu- الق ل م
al-badĭ’u- أل ب د ي ع
al-jalālu- ال لا ل
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (') hanya berlaku
bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah
terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia
berupa alif. Contohnya:
xviii
ta'murūna : ت م ر و ن
'al-nau : النـو ء
syai'un : ش ي ئ
umirtu : أ م ر ت
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah
atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah
atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan
bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa
Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya
kata Al-Qur’an (dari al-Qur'ān), sunnah, khusus, dan umum. Namun bila
kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka
mereka harus ditransliterasi secara utuh. contoh:
Kata Arab Alih Aksara
Fī Ẓilāl al-Qur'ān ف ظ لا ل الق ر آن
و ي ن Al-Sunnah qabl al-tadwīn الس نة ق ـب ل الت د
ب ص و ص الع با ر ة ب ع م و م الل ف ظ ل السب ب
Al-‘ibārāt bi ‘umūm al-lafẓ lā bi
khuṣūṣ al-sabab
xix
9. Lafẓ al-jalālah (الله)
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf
lainnya atau berkedudukan sebagai mudāf ilaih (frasa nominal),
transliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh:
dīnullāh : د ي ن الله
الله ب : billāh
Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-
jalālah, ditransliterasi dengan huruf (t). Contoh :
hum fī rahmatillāh : ه م ف ر ح ة الله
10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf capital (All Caps),
dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang
penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia
yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menulis
huruf awal nama dari (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada
permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka
huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-).
Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi
yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks
maupun dalam catatan rujukan (CK,DP,CDK, dan DR). Contoh:
xx
Kata Arab Alih aksara
Wa mā Muḥammadun illā rasūl- و م ا م مد إ ل ر س و ل
ع ل لناس ل با ر كا لذ ي ب ب كة م إ ن أ ول ب ـي ت و ض -Inna awwala baitin wuḍi’a linnāsi
bi Bakkata mubārakan
ر ر م ض ان لق ر آن الذي أ ن ز ل ف ي ه اش ه -Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh
al-Qur'an
ي ي الد ي ن الطرو س Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī- ن ص
Abū Naṣr al-Farābī- أ ب ـو ن ص ر الف ر اب
Al-Gazālī- الغ ز ال
ن ق ذ م ن الد ل ل Al-Munqiż min al-Ḍalāl- الم
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sebuah dokumen untuk umat manusia.1 Di
dalamnya berisi tentang himpunan wahyu Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muḥammad Saw. Ia merupakan kitab suci bagi agama Islam yang
berisikan tuntunan-tuntunan dan pedoman-pedoman bagi umat manusia
dalam menata kehidupan, untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan
akhirat.2
Al-Qur’an yang terdiri atas 114 surat dan 6236 ayat itu menguraikan
berbagi persoalan hidup dan kehidupan dan juga menyangkut alam raya
dan fenomenanya. Uraian-uraian tersebut biasa disebut ayat-ayat kauniyah
(penguat). Tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan hal-
hal tentang kehidupan, hampir seperdelapan dari kandungan ayat itu
menegur orang-orang mukmin untuk mempelajari alam semesta, untuk
berfikir, menggunakan penalaran yang sebaik-baiknya, dan untuk
menjadikan kegiatan ilmiah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan manusia.3
Kajian tentang asal-usul alam semesta (dunia) dan berbagai aspek
yang terkandung di dalamnya telah menarik perhatian para filosof sejak
dahulu kala. Thales, misalnya mengatakan bahwa alam semesta berasal
dari air. Kemudian Anaximandros mengatakan bahwa alam semesta
1Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’ān, penerjemah Anas Mayudin (Bandung:
Pustaka, 1993), 1. 2 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’ān(Bandung: Mizan, 1994), 51. 3 Muhammad Nor Ichwan, Memasuki Dunia Al-Qur’ān (Semarang: Lubuk
Raya, 2001), 5.
2
berasal dari uap, dan Anaximenes mengatakan bahwa alam semesta
berasal dari aperion.4
Kemudian banyak timbul pertanyaan bagaimanakah alam semesta
ini terbentuk? Bagaimanakah keseimbangan, keselarasan dan keteraturan
jagat raya ini berkembang? Bagaimanakah bumi ini menjadi tempat
tinggal yang tepat dan terlindung bagi kita?
Aneka pertanyaan seperti ini telah menarik perhatian sejak ras
manusia bermula. Para Ilmuan dan Filusuf yang mencari jawaban dengan
kecerdasan dan akal sehat mereka sampai pada kesimpulan bahwa
rancangan dan keteraturan alam semesta merupakan bukti keberadaan
pencipta Mahatinggi yang menguasai seleruh jagat raya ini.
Allah Swt menciptakan alam semesta ini dengan haq, tidak untuk
diciptakan dengan main-main dan tidak pula dengan palsu, sebagaimana
dijelaskan dalam QS. Al-Anbiyā’ [21]:16,
ماء وٱلر عبين وما خلقنا ٱلس ن هما ل ض وما ب ي
Artinya : “Dan tidaklah Kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala
yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.”(QS. Al-Anbiyā’ [21]:
16).
Alam semesta dan segala isinya berikut sistem kerjanya adalah
sebagai ayat atau tanda-tanda bagi keesaan dan kekuasaan Allah SWT.5
البحر ر ال ل هار و ال ت والرض واختلف اليل والن و م ان ف خلق السها م ا وب ي مو اء اح يا ب ه الرض ب ع ماء م م م الس ع الناس وما ان زل الل با ي ن
م اء والرض ليت لقوم ي عقل ون ر بين الس حاب المسخ تصريف الريح والس كل دابة و
4 Mohammad Hatta, Berkenalan dengan Filsafat Yunani (Jakarta: Gramedia,
1980), 14 5 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’ān: Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan
Isyarat Ilmiah, Dan Pemberitaan Ghaib (Bandung: Mizan, 1998), 21.
3
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan tata kerja langit dan bumi,
silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut
membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan
dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati
(kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi;
sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum
yang memikirkan. (QS. Al-Baqarah/02: 164).
Al-Qur’an sebagai kitab suci tidak hanya berbicara masalah akidah,
fiqih dan hukum saja, Al-Qur’an adalah kitab suci yang menyimpan
semua informasi tentang berbagai hal. Al-Qur’an juga merupakan kitab
penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya. Maka karena Al-Qur’an
merupakan sebagai penyempurna kitab-kitab sebelumnya boleh jadi al-
Qur’an juga menyajikan apa yang belum tersedia di kitab-kitab
sebelumnya, terutama dari hal yang erat kaitannya dengan ilmu
pengetahuan.
Di dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang menganjurkan manusia
untuk berfikir, meneliti dan mengkaji pencptaan alam semesta serta
hukum-hukum yang berlaku di dalamnya. Ditegaskan juga terhadap
kajian penciptaan alam beserta hukm-hukumnya yang berlaku merupakan
usaha pemenuhan kebutuhan manusia itu sendiri. Sebab manusia akan
mendapat banyak manfaat dari kegiatan tersebut. Setiap kali penilitian
yang dilakukan manusia untuk mengungkap rahasia-rahasia hukum alam,
semakin disadari betapa rapi, teratur dan menakjubkan penciptaan alam
tersebut. Hal inilah sekaligus akan menyadarkan manusia betapa Allah
maha bijaksana dan maha luas pengetahuannya.6
Penciptaan alam semesta merupakan salah satu perkara penting,
tidak hanya termasuk pemikir Islam, akan tetapi juga dalam ilmu
6 Abdul Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran al-Qur’ān(Bandung:
Mizan, 1997), 231-232.
4
pengetahuan kosmologi. Dengan memperlihatkan langit dan bumi,
dapatlah manusia meyakinkan bahwa alam ini tidak dijadikan Allah
dengan main-main, melainkan mengandung faidah yang mendalam dari
segi keimanan.
Menurut Quraish Shihab, Al-Qur’an membicarakan mengenai
tanda-tanda sains di alam, yakni bagaimana kita diperintahkan untuk
membaca (meneliti dan menganalisa) semua ayat-ayat-Nya bukan saja
yang tertulis dalam kitab suci tetapi juga yang terlihat dan nampak di
alam. Hal ini menurutnya dapat ditemukan dalam surat pertama yang
diturunkan kepada Nabi Muḥammad SAW yang berbunyi :7
الذ خلق ) اق رأ بسم نسان م علق )1رب الكرم )2( خلق ال ( الذ 3( اق رأ وربنسان ما ل ي علم 4علم بلقلم ) (5)( علم ال
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya”. (Q.S. al-‘Alaq: 1-5).
Dalam karyanya “Ayat-ayat Semesta” Agus Purwanto menjelaskan
bahwa umat ini terlalu sibuk dengan urusan-urusan fiqh dan ukhrawi,
seringkali mereka melupakan apa-apa yang terlihat di depan mereka
tentang ciptaan Tuhan. Mereka tidak mencoba memperhatikan peredaran
bulan, perputaran bumi dan matahari, bintang yang kelap kelip, udara,
hewan dan tumbuhan, kesemua hal tersebut jika dicermati dengan
seksama justru akan membawa pemahaman mendalam hamba pada nilai-
nilai kebesaran tuhan.8
7 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ān: Tafsir Maudhu’I atas berbagai
Persoalan Umat, cet VII (Jakarta: Mizan, 1998), 433. 8 Agus Purwanto, Ayat-ayat Semesta Sisi-sisi al-Qur’ān yang Terlupakan, cet-3
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009), 24.
5
Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang berbicara tentang alam yang
hampir tidak dikutip oleh para mufassir. Ada sekitar 1.108 ayat yang
berbicara tentang alam dan beserta klasifikasinya, terutama ayat-ayat yang
berbicara tentang sesuatu yang bersifat materi. Ayat-ayat tersebut
memang tidak langsung menunjukan tanda-tanda ilmiah, tetapi ada
banyak tema tentang alam yang beragam dalam bahasa al-Qur’an.
Keragaman ini menunjukan bahwa memang ada rahasia yang sepertinya
harus diungkap.9
Mengapa alam semesta harus kita bahas? Sebagaimana diketahui
bahwa alam semesta itu masih banyak menyimpan misteri yang belum
mampu terjawab oleh manusia. Banyak ayat yang berbicara tentang alam
namun banyak pula yang memahaminya secara implisit tanpa mencari
tahu tentang tanda dan sebab penciptaannya. Hal demikian hanya
dipahami bahwa Allah telah menciptakannya (alam) tanpa percuma.
Seorang filusuf yang bernama John Leslie menggambarkan keadaan
ketika para ilmuan menemukan alam semesta memiliki beberapa ciri khas
kosmos yang secara menakjubkan tertata dengan baik sesuai dengan
keberadaan manusia. Andaikata parameter-parameter fisik yang
membentuk alam semesta tersusun secara asal-asalan, kemungkinan
terciptanya kehidupan dan munculnya kecerdasan disejumlah waktu dan
ruang akan amat sangat kecil.10
Alam semesta dalam karyanya Osman Bakar “Tauhid dan Sains”
mengatakan, bahwa alam adalah sumber berbagai jenis pengetahuan. Hal
ini karena sebagai sebuah dunia dan dipandang dalam totalitasnya, realitas
9Agus Purwanto, Ayat-ayat Semesta Sisi-sisi al-Qur’ân yang Terlupakan, 25. 10 Nidhal Guessoum, Islam dan Sains Modern, terjemahan Maufur, cet-1
(Bandung: PT. Mizan Pustaka 2011), 411.
6
alam semesta mencakup berbagai aspek. Setiap fenomena di alam dapat
dikaji dan menjadi jenis ilmu pengetahuan tertentu.11
Al-Qur’an mengandung berbagai permasalahan, ternyata
penjelasannya dalam satu permasalahan tidak tersusun secara sistematis
seperti yang dikenal dalam buku-buku ilmiah. Metode pengungkapan al-
Qur’an pada umumnya bersifat universal, bahkan tidak jarang al-Qur’an
menampilkan suatu masalah dalam prinsip-prinsip pokok saja. Inilah yang
menjadi salah satu perbedaan al-Qur’an dengan buku-buku ilmu
pengetahuan, karena yang diutamakan adalah tujuan yang hendak dicapai,
yakni kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam hal ini bukan berarti al-
Qur’an menipiskan ilmu pengetahuan kapan pun dan dimana pun,
melainkan al-Qur’an menempatkan ilmu pengetahuan pada peringkat
yang tinggi.
Demikian juga halnya dengan informasi alam semesta dalam al-
Qur’an. permasalahan ini tidaklah terhimpun pada satu kesatuan, akan
tetapi ilmu pengetahuan diungkapkan dalam berbagai ayat yang terdapat
pada beberapa surat dalam al-Qur’an.
Adapun di dalam al-Qur’an ayat-ayat yang mejelaskan tentang
penciptaan alam semesta berjumlah kurang lebih 53 ayat, akan tetapi
dalam hal ini penulis hanya meneliti tujuh ayat tentang penciptaan alam
yang berkaitan dengan masa (sittati Ayyām). Pertama QS. Al-A’rāf ayat
54, QS. Yūnus ayat 3, QS. Hūd ayat 7, QS. Al-Furqān ayat 59, QS. Al-
Sajadah ayat 4, QS. Qāf ayat 38, QS. Al-Hadīd ayat 4.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan proses penciptaan alam terkhusus
megenai enam hari (sittati ayyām) masih menjadi problem bagi mereka
11 Osman Bakar, Tauhid dan Sains; Persfektif Islîam tentang Agama dan Sains,
terjemahan Yuliani Liputo dan M.S Nasrullah, cet-1 (Jakarta: Pustaka Hidayah 2008),
150.
7
yang meninggikan akal sehat. Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa alam
ini diciptakan dalam kurun waktu enam hari, bagi mereka yang
menggunakan akal sehat pasti akan menolak pernyataan tersebut,
bagaimana mungkin alam semesta yang sangat luas ini diciptakan dalam
kurun waktu enam hari?.
Dalam penelitian ini penulis menyuguhkan penjelasan dari mufassir
yang mempunyai keahlian dalam bidang sains untuk mencoba
merasionalisasikan ayat tersebut. Yang menjadikan menarik dalam
penelitian ini bahwa perkembangan kebanyakan para ulama tafsir dalam
menafsirkan sittati ayyām tidak dijelaskan secara mendetail baik itu
menggunakan sumber ma’ṡur atau rasional. Masih terdapat perdebatan
antara lain ada mufassir yang mengatakan satu hari dalam sittati ayyām
itu setara dengan seribu tahun, kemudian juga ada yang mengatakan satu
hari itu jauh dari hari-hari manusia. Dari kedua mufassir yang penulis
ambil dalam penelitian ini menyuguhkan hegemoni masing-masing,
Rasyīd Riḍā dalam kitabnya al-Manār memberikan hegemoni quranik,
sedangkan Ṭanṭāwi Jauharī dalam kitabnya al-Jawāhir berhegemoni
rasional serta memberikan penjelasan yang sistematis.
Dalam penelitian ini, perlu dijelaskan kenapa penulis memilih tafsīr
Al-Manār karya Muḥammad ‘Abduh dan Rasyīd Riḍā dan Al-Jawāhir fī
al-Tarsīr Al-Qur’ān Al-Karīm karya Imam Ṭanṭāwi Jauharī, dikarenakan
karena kajian ini merupakan kajian ilmiah, maka sudah pasti penulis akan
mengambil tokoh yang sesuai dengan keahliannya. Kemudian yang
menjadikannya lebih menarik bahwa kedua tokoh yang penulis ambil
yaitu Rasyīd Riḍā dan Ṭanṭāwi Jauharī mempunyai sanad keilmuan yang
sama, yakni keduanya merupakan murid dari Muḥammad ‘Abduh. Akan
tetapi walaupun mempunyai sanad keilmuan yang sama, dalam
menafsirkan ayat yang berkaitan dengan enam hari (sittati ayyām) terjadi
8
perbedaan. Adapun perbedaannya Rasyīd Riḍā lebih tendensi ke
tradisionalis sedangkan Ṭanṭāwi Jauhari lebih ke rasional (ilmiah).
Kemudian ketertarikan penulis selanjutya adalah bagaimana kajian-
kajian kealaman yang didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an, kebanyakan
orang hanya mengenal ayat al-Qur’an sebagai produk hukum saja atau ia
hanya berbicara tentang surga neraka, pahala dosa, halal haram, dan tanpa
mereka sadari bahwa al-Qur’an juga menyuguhkan hal lain bahwasannya
al-Qur’an juga berbicara sisi lain, sisi yang mana berbicara mengenai
penampakan atau proses alam ini terjadi.
Dari pemaparan di atas, bahwasannya penulisan ini bermaksud
untuk memberikan pemahaman bagaimana alam semesta ini diciptakan
dalam perspektif al-Qur’an menurut pemahaman dari tafsir al-Manār dan
tafsir al-Jawāhir fī al-Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm. Oleh karena itu, penulis
memilih judul “Proses Penciptaan Alam dalam Enam Masa (Studi
Komparatif Tafsir al-Manār dan al-Jawāhir Fī al-Tafsīr al-Qur’ān al-
Karīm)”.
B. Identifikasi Masalah
1. Terjadi perbedaan interpretasi dan sumber penafsiran (maṣādir al
tafsīr) Ṭanṭāwi Jauharī dengan Rasyīd Riḍā dalam menafsirkan
ayat-ayat yang berkaitan dengan proses penciptaan alam.
2. Terdapat kurang lebih 53 ayat yang berkaitan dengan proses
penciptaan alam semesta.
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dari pemaparan latar belakang masalah di atas, supaya pembahasan
lebih terarah maka penulis membatasi masalah dengan pembahasan yang
hanya difokuskan pada perbandingan penafsiran antara tafsir Al-Manār
9
karya Muḥammad ‘Abduh dan Rasyīd Riḍā dan tafsir Al-Jawāhir karya
Ṭanṭāwi Jauharī tentang proses penciptaan alam dalam enam masa.
kemudian dari 53 ayat yang berkaitan dengan proses penciptaan alam
semesta penulis hanya fokus pada tujuh ayat yang berkaitan dengan enam
masa (sittati ayyām) yaitu QS. al-A’rāf ayat 54, QS. Yūnus ayat 3, QS.
Hūd ayat 7, QS. al-Furqān ayat 59, QS. al-Sajadah ayat 4, QS. Qāf ayat
38 dan QS. al-Hadīd ayat 4. Dari ketujuh ayat tersebut yang ditafsirkan
oleh mufassir hanya 4 ayat saja, yaitu QS. al-A’rāf ayat 54, QS. Yūnus
ayat 3, QS. Hūd ayat 7, dan QS. al-Furqān ayat 59.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana
perbandingan penafsiran Muhamamd Rasyīd Riḍā dan Ṭanṭāwi Jauharī
tentang proses penciptaan alam dalam enam masa?”
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dari penelitian yang penulis lakukan ini, diharapkan dapat mencapai
beberapa sasaran sebagai tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui
perbandingan penafsiran antara tafsir Al-Manār dan Al-Jawāhir tentang
proses penciptaan alam semesta dalam Enam Masa. Dan juga untuk
menganalisis perbandingan proses penciptaan alam menurut tafsir al-
Manār dan tafsir Al-Jawāhir tentang proses penciptaan alam semesta
dalam al-Qur’an.
Dalam penelitian ini penulis berharap tulisan ini tidak menjadi
pajangan belaka, akan tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat. Adapun
manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
10
1. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pemahaman
terhadap kajian tentang proses penciptaan alam dalam al-Qur’an.
2. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana dari UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Untuk memperluas khazanah keilmuan, khususnya dalam bidang
tafsir al-Qur’an yang sangat penting guna menjawab persoalan-
persoalan yang muncul.
E. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka ini bertujuan sebagai pembeda antara penelitian
terdahulu dengan penelitian yang penulis teliti. Dalam dunia akademis
kampus, kajian dan penelitian terkait proses penciptaan alam dalam al-
Qur’an itu cukup banyak diangkat untuk dijadikan tema atau topik utama.
Tulisan skripsi terdahulu akan dijadikan referensi bagi penulis agar dapat
membedakan masalah yang diangkat, objek dan tujuan penelitian. Berikut
beberapa skripsi yang berhubungan dengan topik yang penulis teliti dalam
skripsi ini.
1. Skripsi yang disusun oleh Mu’adz D. Fahmi dengan judul “The
Qur’an and the Big Bang Teory: A Comparative Study On the
Creation”12. Skripsi ini membahas mengenai penciptaan alam
menurut ilmu sains dan al-Qur’an. Adapun ilmu sains di sini
menggunakan teori Big Bang. Jadi dalam skripsi ini membahas
bagaimana awal mula alam ini terbentuk melalui sudut pandang
sains dan al-Qur’an.
2. Skripsi yang disusun oleh Nida’ Ul Khusna dengan judul “Konsep
penciptaan alam semesta (Studi Komparatif antara tafsīr Ilmi
Penciptaan Jagat Raya Kementrian Agama RI dengan teori M
12 Mu’adz D. Fahmi, The Qur’an and the Big Bang Teory: A Comparative Study
On the Creation, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Jakarta tahun, 2011).
11
Stephen Hawking”.13 Skripsi ini membahas bagaimana konsep awal
mula penciptaan alam ini terbentuk dengan menggunakan metode
komparatif tafsir ilmi Kementrian Agama RI dan teori M Stephen
Hawking.
3. Skripsi yang disusun oleh Fitri Kurniati dengan judul “Studi
Analisis Pandangan Stephen Hawking tentang berawalnya Semesta
dalam tinjauan Islam”.14 Skripsi ini membahas mengenai awal mula
proses penciptaan alam dengan menggunakan perbandingan antara
pandangan Stephen Hawking dengan pandangan Islam.
4. Skripsi yang disusun oleh Muḥammad Rusli dengan judul “Konsep
Penciptaan Alam Semesta dalam Tafsīr Al-Miṣbaḥ”.15 Skripsi ini
membahas tentang konsep penciptaan alam semesta menurut
pandangan ilmuan dan Quraish Shihab. Keduanya memiliki
pandangan yang berbeda. Menurut ilmuan bahwa alam ini tidak ada
awal dan tidak ada akhir sedangkan menurut Quraish Shihab, awal
alam ini dimulai penciptaannya selama enam hari dan berakhir pada
hari kiamat.
5. Jurnal yang ditulis oleh Ahmad Atabi dengan judul “Konsep
Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar Agama-
Agama”.16Artikel ini membahas berbagai pendapat tentang asal usul
kejadian alam. Dimulai dari konsep penciptaan alam secara umum,
kemudian konsep-konsep agama-agama, seperti Islam (al-Qur’an),
13 Nida’ Ul Khusna, Konsep penciptaan alam semesta; Studi Komparatif antara
Tafsir Ilmi Penciptaan Jagat Raya Kementerian Agama RI dengan teori M Stephen
Hawking, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta tahun, 2013). 14 Fitri Kurniati, Studi Analisis Pandangan Stephen Hawking tentang
berawalnya Semesta dalam tinjauan Islam, (Skripsi S1 Fakultas Tarbiyah, UIN Jogja
tahun, 2003). 15 Muhammad Rusli, Konsep Penciptaan Alam Semesta dalam Tafsir Al-
Misbah, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Sultan Syarif Kasim, 2013). 16 Ahmad Atabi, Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif Antar
Agama-Agama.Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan. Vol. 3, 1, 2015.
12
Kristen (al-Kitab), dan konsep-konsep agama-agama lain seperti
Hindu dan Budha.
6. Skripsi yang disusun oleh Ahmad Harfa dengan judul
“Keseimbangan Penciptaan Bumi menurut Al-Qur’an dan Sains”.17
Skripsi ini membahas tentang keselarasan dan keharmonisan antara
al-Qur’an dan sains mengenai penciptaan bumi. Mustahil bila al-
Qur’an bertentangan dengan ilmu pengetahuan sains.
7. Skripsi yang ditulis oleh Cici Zulaika dengan judul “Penciptaan
Alam menurut Imam Al-Ghazali”.18 Skripsi ini membahas tentang
pandangan Imam Ghazali mengenai Alam. Bahwa menurutnya alam
itu baru dan setiap yang baru pasti memiliki kesudahan. Alam itu
baru karena diciptakan oleh Tuhan yang Maha Pencipta. Sesuatu
yang diciptakan tidak bisa berkehendak sendiri jika bukan karena
kehendak Tuhan.
8. Skripsi yang ditulis oleh Jamiluddin dengan judul “Komparasi
Konsep Kosmologi dalam Perspektif Buddha dengan Kosmologi
Sains Modern”.19 Skripsi ini membahas tentang Konsep Kosmologi
Buddha dengan sains modern bahwasanya para pakar ilmu
pengetahuan sekarang meyakini bahwa alam semesta adalah suatu
sistem yang berdenyut, yang setelah mengembang secara maksimal,
lalu menciut dengan segala energi yang ditekan pada suatu bentukan
masa sedemikian besar sehingga menyebabkan ledakan yang
disebut Big Bang yang berakibat pelepasan energi.
17 Ahmad Harfa, Keseimbangan Penciptaan Bumi menurut Al-Qur’ân dan Sains,
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011). 18Cici Zulaika, Penciptaan Alam menurut Imam al-Ghazali (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018). 19 Jamiluddin, Komparasi Konsep Kosmologi dalam Perspektif Buddha dengan
Kosmologi Sains Modern (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2016).
13
9. Skripsi yang ditulis oleh Mursyidah dengan judul “Konsep
Penciptaan Alam menurut Ibnu Rusyd”.20 Skripsi ini membahas
tentang pemikiran falsafi Ibn Rusyd mengenai konsep penciptaan
alam. Menurut Ibn Rusys alam ini diciptakan Tuhan melalui konsep
al-Khalq min al-Syay’. Alam ini tercipta bukan dari ketiadaan tapi
dari ada menjadi ada dalam bentuk lain. Ibn Rusyd mengemukakan
bahwa alam ini azali, yaitu Tuhan dan alam ini. Hanya saja bagi Ibn
Rusyd keazalian Tuhan itu berbeda dari keazalian alam, sebab
keazalian Tuhan lebih utama dari keazalian alam.
10. Skripsi yang ditulis oleh Moh. Sandiawan dengan judul “Konsepsi
Penciptaan Alam Semesta dan Makhluk Hidup dalam al-Qur’an
dan al-Kitab.”21 Skripsi ini membahas tentang bagaimana konsep
alam semesta ini tercipta menurut al-Qur’an dan al-Kitab.
Setelah penulis membacanya, penelitian diatas berbeda dengan apa
yang akan penulis teliti. Adapun penelitian yang akan penulis teliti adalah
mengkomparatifkan antara ulama sains yaitu Rasyīd Riḍā dan Ṯanṯâwi
Jauharī mengenai lafadz sittatu Ayyām dalam proses penciptaan alam
yang terdapat dalam ayat-ayat yang penulis teliti.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
a. Analisis data merupakan upaya untuk mencari dan menata secara
sistematis data yang terkumpul untuk meningkatkan pemahaman
penulis tentang kasus yang diteliti dan dikaji. Penulis menggunakan
20Mursyidah, Konsep Penciptaan Alam menurut Ibn Rusyd, (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018). 21Moh. Sandiawan, Konsepsi Penciptaan Alam Semesta dan Makhluk Hidup
dalam al-Qur’an dan al-Kitab, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2016).
14
metode deskriptif dan metode analisis isi (content analysis).22 Oleh
karena itu, penulis berusaha mendeskripsikan pendapat Rasyīd Riḍā
dan Ṭanṭāwi Jauharī dalam menafsirkan lafadz sittati Ayyām dengan
analisis isi, sehingga diperoleh gambaran pemikiran yang jelas dan
mendalam.
b. Metode Komparatif (Muqarran) yaitu membandingkan penafsiran
Rayid Ridha dan penafsiran Ṭanṭāwi Jauharī. Dari perbandingan
tersebut dapat diketahui persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan
kekurangan masing-masing.
c. Metode Tematik (Maudhu’i) yaitu dengan cara membahas bentuk-
bentuk pengungkapan dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan proses
penciptaan alam dalam enam masa. Menurut al-Farmawi metode
maudhu’i adalah menghimpun atau mengumpulkan ayat-ayat al-
Qur’an yang mempunyai tujuan satu dalam surah al-Qur’an yang sama
membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sedapat
mungkin dengan masa turunnya, selaras dengan masa turunnya,
kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-
penjelasan yang berhubungan dengan ayat lain kemudian menisbatkan
hukum-hukum.23 Adapun langkah-langkah dari metode ini antara lain:
1) Menetapkan atau memilih tema yag akan dikaji secara maudhu’i.
2) Melacak dan mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan
dengan tema tersebut.
3) Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologis
masa turunnya, kemudian disertakan tentang sebab-sebab turunya.
22Metode yang meliputi semua analisis mengenai isi teks atau penelitian yang
bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis. 23 Abd Al Hayy al Farmawi, Metode Tafsīr Maudhu’i Suatu Pengantar, Terj.
Sufyan A. Jamrah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 45-46.
15
4) Menjelaskan munasabah atau korelasi ayat-ayat tersebut di dalam
masing-masing surahnya.
5) Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,
sempurna dan utuh.
6) Melengkapi penjelasan ayat dengan hadits-hadits Nabi, bila
dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna
dan gamblang.
2. Sumber Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
kategori, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber
data primer meliputi al-Qur’an dan terjemahannya, tafsir al-Manār dan
tafsir al-Jawāhir. Sedangkan data sekunder adalah data-data yang dicari
dari sumber-sumber kepustakaan berupa kitab-kitab tafsir, buku-buku,
majalah, artikel, jurnal dan lain-lain yang berkaitan dengan tema
penelitian.
3. Metode Pengumpulan Data
Mengingat penelitian ini adalah library research, maka metode
yang digunakan adalah metode dokumentasi yaitu dengan mencari dan
mengumpulkan berbagai data yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu
melakukan penelusuran kepustakaan, kemudian mengkaji dan menelaah
berbagai buku dan tulisan, baik berupa kitab-kitab (tafsir) sebagai
referensi utama maupun tulisan-tulisan para pakar dan ahli yang
mempunyai relevansi dengan kajian penelitian ini.
4. Langkah Penelitian
Dalam menyelesaikan penelitian ini terdapat beberapa langkah yaitu
penulis menganalisis data agar dapat menghantarkan pada inti
permasalahan. Dalam menganalisis data, penulis mengumpulkan data-data
16
lalu membandingkan penafsiran Rasyīd Riḍā dan Ṭanṭāwi Jauharī yang
berkaitan dengan tema penelitian ini. Kemudian menentukan kesimpulan
dengan cara analogi yang mengacu kepada komparatif penafsiran Rasyīd
Riḍā dan Ṭanṭāwi Jauharī tentang Proses Penciptaan Alam dalam al-
Qur’ān pada surat Al-A’rāf ayat 54, surat Yūnus ayat 3, surat Hūd ayat 7,
surat Al-Furqān ayat 59, surat Al-Sajadah ayat 4, surat Qāf ayat 38 dan
surat Al-Hadīd ayat 4.
5. Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada keputusan
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017 tentang
pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Agar skripsi yang disusun tersusun rapi dan mudah dipahami,
penulis membuat sistematika penulisan sesuai dengan masing-masing
bab. Penulis membaginya menjadi lima bab, yang masing-masing bab
terdiri dari beberapa sub bab yang merupakan penjelasan dari bab
tersebut. Adapun sistematika penulisan tersebut adalah sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, pendahuluan merupakan otak atau induk dari
tema yang diajukan dalam skripsi ini. Kemudian dari adanya pendahuluan
ini menjadi dasar munculnya bab-bab selanjutnya sehingga pada bab I ini
berisi uraian tentang Latar Belakang Masalah, Identifikasi, Pembatasan
dan Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodelogi
Penelitian, Kajian Pustaka dan Sistematika Penulisan.
Bab II menjelaskan tinjauan umum mengenai proses penciptaan
alam dalam al-Qur’ān. Tinjauan umum ini bertujuan sebagai pengantar
17
atau rujukan yang nantinya dapat menjadi bahan pembanding dalam
penelitian ini. Bab ini berisikan tentang pengertian alam semesta, teori
sains penciptaan alam semesta, teori filsafat Islam dan term-term
penciptaan alam dalam al-Qur’an.
Bab III menjelaskan tentang profil kedua tafsir. Tujuannya adalah
untuk memperkenalkan tokoh mufassir dan nama tafsir yang akan penulis
gunakan dalam penelitian ini. Adapaun profil tersebut berisi biografi
singkat mufassir, metode dan corak penafsirannya, dan sistematika
penulisannya.
Bab IV menjelaskan tentang hasil dari penelitian mengenai
Penafsiran kedua Mufassir terkait ayat-ayat penciptaan alam semesta dan
analisa atau perbandingan antara penafsiran kedua mufassir mengenai
ayat-ayat terkait proses penciptaan alam dalam enam masa. Tujuan pada
bab ini adalah untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dengan
menggunakan studi komparatif. Dari kedua mufassir ini memiliki
kesinambungan dengan bab II yang menjelaskan tentang teori sains yang
digunakan oleh para ulama dan tokoh intlektual sais terkait tema ini.
Bab V Setelah melakukan analisis lebih jauh pada bab IV, maka
pada bagian bab ini menjelaskan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan
dalam skripsi. Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran dari penulis
mengenai hal-hal yang dibahas dalam skripsi ini.
18
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PENCIPTAAN ALAM
SEMESTA DALAM AL-QUR’ĀN
A. Pengertian Alam Semesta
Alam semesta adalah segala yang ada, mulai dari makhluk terkecil
di bumi hingga struktur terjauh dan terbesar di antariksa. Alam semesta
merupakan tempat yang dinamis. Semua yang ada di dalamnya patuh
kepada daur hidup, baik manusia yang berusia 70-80 tahun, atau bintang
yang berumur sampai 10 miliar tahun. Daur ini terus sinambung. Di alam
semesta selalu ada objek baru yang hadir atau lahir, hidup untuk sementara
waktu dan kemudian mati.1
Umumnya para ahli astronomi percaya bahwa alam semesta lahir
sekitar 13 miliar tahun silam, melalui suatu ledakan besar yang disebut big
bang (ledakan dahsyat). Dalam sekejap mata, dalam waktu yang terlalu
singkat untuk dihitung, alam semesta tercipta. Mula-mula alam semesta
merupakan kumpulan energi yang luar biasa termampat di dalam ruang
yang teramat kecil. Namun, dalam waktu sepersekian detik alam semesta
berkembang luas. Alam semesta mengalami pemekaran secara tiba-tiba,
dari ruang sekecil ujung jarum menjadi ruang yang lebih besar dari sebuah
galaksi.2
Segala sesuatu di alam semesta sedang bergerak. Bumi perpusar
pada porosnya, sekali putaran perhari, dan terjadilah siang dan malam.
Selama siang, kita bermandi cahaya matahari, sepanjang malam, kita
1Etty Indriati dkk, “Visual Dictionary”, Ensiklopedia Iptek Bumi Ruang dan
Waktu (Jakarta: Lentera Abadi, 2004), 50. 2Etty Indriati dkk, Ensiklopedia Iptek Bumi Ruang dan Waktu, 52.
19
bersua dengan kegelapan. setiap planet dan bulan, sepenggal batu terkecil
di antariksa, bahkan setiap bintang, berpusar di sumbunya sendiri.3
Para astronom yang mempelajari asal mula alam semesta disebut
ahli kosmologi. Mereka juga menaruh perhatian kepada nasib alam
semesta di masa depan. Ada yang berpendapat bahwa alam semesta akan
mengembang, bertambah besar, dan kian mendingin. Akhirnya semua
bintang akan mati dan alam semesta akan dingin dan gelap. Kita tahu
bahwa ketika galaksi-galaksi bergerak saling menjauh, gravitasi dari
galaksi yang satu akan menarik galaksi yang lain sehingga melambatkan
laju pengembangan atau pemekaran.4
Namun beberapa ahli kosmologi lain menduga bahwa dalam waktu
beberapa triliun tahun, gravitasi akan melambatkan dan mengehentikan
laju pemekaran galaksi, sehingga nantinya akan berhenti pada batas
ukuran tertentu. Gravitasi akan menarik galaksi-galaksi sehingga saling
merapat. Alam semesta akan menyusut seluruhnya menuju satu titik.
Ketika semua materi terkumpul kian rapat, suhu akan meninggi. Akhirnya
isi alam semesta akan saling membentur dan runtuh dengan dahsyatnya ke
arah dalam, yaitu mengalami remukan dahsyat (big crunch). Segalanya
akan musnah dan riwayat alam semesta tamat. Namun, peristiwa ini akan
segera diikuti oleh big bang baru, yang mengawali sejarah alam semesta
baru pula.5
Kemudian dalam islam kata alam berasal dari bahasa arab ‘alm satu
akar kata dengan ‘ilm (pengetahuan) dan alamat (pertanda). Kenapa
disebut demikian karena jagad raya ini adalah pertanda (dapat sebagai
pertanda) adanya sang Maha Pencipta, yaitu Tuhan yang Maha Esa.
3Etty Indriati dkk, Ensiklopedia Iptek Bumi Ruang dan Waktu, 51. 4Etty Indriati dkk, Ensiklopedia Iptek Bumi Ruang dan Waktu, 53. 5Etty Indriati dkk, Ensiklopedia Iptek Bumi Ruang dan Waktu, 53.
20
Dalam bahasa Yunani alam jagad raya ini disebut cosmos yang berarti
serasi, harmonis.6 Alam sebagai pertanda adanya pencipta, sejalan dengan
pandangan Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa alam semesta adalah
sebuah pertanda yang menunjukan kepada sesuatu yang berada di atasnya
dan bahwa tanpa sesuatu itu alam semesta beserta sebab-sebab alamiahnya
tidak pernah ada. Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat dipahami
bahwa alam ini adalah makhluk ciptaan Allah.7
Hakikat alam semesta menurut al-Qur’an, dalam berbagai tempat
pada surat-surat al-Qur’an disinggung tentang apa itu alam semesta. Al-
Qur’an terkadang menunjuk apa itu alam semesta secara lebih abstrak.
Misalnya ayat al-Qur’ān surat al-Anbiyā’ ayat 30 menyebutkan, jagad
raya ini adalah sebuah massa atau susunan unsur-unsur yang berada dalam
perbentangan. Sehingga alam semesta dalam persfektif al-Qur’an dapat
dipahami sebagai perbentangan unsur-unsur yang saling mempunyai
keterkaitan. Sedang jagad raya; dimana alam semesta yang terbentang ini
mempunyai atau mencakup pula hukum-hukum atau sebab-sebab
alamiahnya.
Jadi pada hakikatnya, alam semesta haruslah dipahami sebagai
wujud dari keberadaan Allah SWT, keesaan-Nya, kebesaran-Nya,
kemahakuasaan-Nya, dan belas kasih-Nya, sebab alam semesta dan
seluruh isinya serta hukum-hukumnya tidak ada tanpa keberadaan Allah
yang Maha Esa.8
6 Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992),
289. 7 Fazlur Rahman, “Major Themes of the Qur’an”, terj. Anas Mahyudin,
(Bandung: Pustaka, 1983), 100. 8 Ade Jamarudin, “Konsep Alam Semesta Menurut Al-Qur’an”, Jurnal
Ushuluddin, vol. XVI, no.2, (Juli 2010): 137-138.
21
B. Teori Penciptaan Alam
1. Menurut Ahli Astronomi
Seabad yang lalu, penciptaan alam semesta merupakan sebuah
konsep yang terabaikan oleh para ahli astronomi. Alasannya, karena
penerimaan umum atas gagasan bahwa alam ini telah ada sejak waktu tak
terbatas. Dalam mengkaji alam semesta, ilmuan beranggapan bahwa jagad
raya hanyalah akumulasi materi dan tidak mempunyai awal. Tidak ada
momen penciptaan, yakni momen ketika alam semesta dan segala isinya
muncul.9
Tahun 1920-an adalah tahun yang penting dalam perkembangan
astronomi modern, pada tahun 1922, ahli fisika Rusia, Alexandra
Friedman, menghasilkan perhitungan yang menunjukan struktur alam
semesta dan bahwa impulus kecil pun mungkin cukup untuk menyebabkan
struktur keseluruhan mengambang atau mengerut, menurut teori
Relativitas Einsten, George Lemaitre adalah orang pertama yang
menyadari apa arti perhitungan friedman. Berdasarkan perhitungan ini,
Astronomer Belgia Lemaitre, menyatakan bahwa alam semesta
mempunyai permulaan, dan bahwa ia mengembang sebagai akibat dari
sesuatu yang telah memicunya. Dia juga menyatakan bahwa tingkat
radiasi (rate of radiation) dapat digunakan sebagai ukuran dari akibat
(aftermath) dari sesuatu itu.10
Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
hingga ini, ada beberapa teori yang menjelaskan tentang proses penciptaan
alam, diantaranya:
9 Harun Yahya, The Creation of Universe, terj. Ari Nilandari (Bandung: Dzikra,
2003), 7. 10 Harun Yahya, the creation of Universe, 9.
22
a. Teori Kabut (Nebula)
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Emanuel Swendenborg
pada tahun 1793, kemudian disempurnakan oleh Emanuel Kant pada tahun
1775 dan teori serupa juga dikembangkan oleh Peirre Simon de Laplace
secara independen pada tahun 1796, dalam teori ini dijelaskan bahwa alam
semesta ini berasal dari sebuah kabut pijar yang berpilin dalam jagat raya,
karena pilinannya itu berupa kabut yang membentuk bulat seperti bola
yang besar, semakin kecil bola itu semakin cepat putarannya.11
Dengan proses tersebut mengakibatkan bentuk bola memepet pada
kutubnya dan melebar di bagian ekuatornya, bahkan sebagian masa dari
kabut gas menjauh dari gumpalan intinya dan mebentuk gelang-gelang di
sekeliling bagian utama kabut, gelang-gelang tersebut kemudian
membentuk gumpalan padat yang disebut planet, sedangkan bagian yang
berpijar tetap berbentuk gas pijar yang sekarang disebut matahari.12
b. Teori Planetesimal
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Thomas Chamberlindan
Forest Moultonpada pada tahun 1900. Teori ini menjelaskan bahwa tata
surya kita terbentuk akibat adanya bintang lain yang lewat cukup dekat
dengan matahari, pada masa awal pembentukan matahari. Kedekatan
tersebut menyebabkan terjadinya tonjolan pada permukaan matahari, dan
bersama proses internal matahari, menarik materi berulang kali dari
matahari. Efek gravitasi bintang mengakibatkan terbentuknya dua lengan
spiral yang memanjang dari matahari. Sementara sebagian besar materi
tertarik kembali, sebagian lain akan tetap di orbit, mendingin dan memadat
dan menjadi benda-benda berukuran kecil yang mereka sebut Planetesimal
11 Maskufa, Ilmu Falak, Cet. I (Jakarta: Gaung Persada Press), 30. 12 Maskufa, Ilmu Falak, 30.
23
dan beberapa yang besar sebagai Protoplanet. Objek-objek tersebut
bertabrakan dari waktu ke waktu dan mementuk planet dan bulan,
sementara sisa-sisa materi lainnya menjadi komet dan asteroid.13
c. Teori Pasang Surut atau Tidal
Teori pasang surut ini pertama kali dikemukakan oleh Sir James H
Jeans dan Haarold Joffers pada tahun 1919. Menurut teori ini bahwa
sebuah bintang besar mendekati matahari dalam jarak pendek, sehingga
pasang surutnya air laut di bumi dan kemudian bintang tersebut
menghilang. Kemudian pada saat itu sebagian masa matahari itu tertarik
dan lepas sehingga membentuk seperti cerutu yang menjorong ke arah
matahari yang satunya dan mengakibatkan cerutu itu terputus-putus
membentuk gumpalan gas di sekitar matahari dengan ukuran yang
berbeda-beda, gumpalan itu membeku dan kemudian membentuk planet-
planet.14
Teori ini menjelaskan mengapa planet-planet di bagian tengah
seperti Yupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus merupakan planet raksasa,
sedangkan di bagian ujungnya merupakan planet-planet kecil. Adanya
kesembilan planet itu karena pecahan gas dari matahari yang berbentuk
cerutu itu, maka besarnya planet itu berbeda-beda.15
d. Teori Dentuman Besar / Ledakan Besar (Big Bang)
Teori ini pada awalnya dicetuskan oleh ahli Fisika Rusia Alexandra
Friedman pada tahun 1922, ketika itu ia menghasilkan perhitungan yang
menunjukan bahwa struktur alam semesta secara keseluruhan
mengambang atau mengerut, menurut teori Relativitas Einstein. Kemudian
13 http://id.wikipedia.org/wiki/Tata_Surya diakses pada tanggal 5 Agustus 2019 14 Maskufa, Ilmu Falak, 31. 15 Maskufa, Ilmu Falak, 31.
24
pada tahun 1927 adalah George Lemaitre orang pertama yang menyadari
apa arti dari perhitungan Friedman. Berdasarkan perhitungan ini,
Astronomer Belgia Lemaitre, menyatakan bahwa alam semesta mempunya
permulaan, dan bahwa ia mengambang sebagai akibat dari sesuatu yang
telah memicunya.16
e. Teori Kondensasi (Protoplanet)
Teori ini pertama kali dicetuskan oleh G.P. Kuiper pada tahun 1950.
Dalam teori ini dijelaskan bahwa alam semesta terbentuk dari gumpalan
awan gas dan debu. Gumpalan awan tersebut mengalami pemampatan,
pada proses pemampatan itu partikel-partikel debu itu tertarik ke bagian
pusat awan membentuk gumpalan bola dan mulai berpilin kemudian
membentuk cakram yang tebal di bagian tengah dan tipis di bagian
tepinya. Partikel-partikel di bagian tengah cakram itu saling menekan dan
menimbulkan panas dan berpijar, bagian inilah yang kemudian menjadi
matahari. Sementara bagian yang luar berputar sangat cepat sehingga
terpecah-pecah menjadi gumpalan yang lebih kecil, gumpalan kecil ini
berpilin pula dan membeku kemudian menjadi planet-planet.17
f. Teori Bintang Kembar
Bahwasannya teori ini dikemukakan oleh Fred Hoyle pada tahun
1956. Menurut teori ini, awalnya ada dua bintang yang berdekatan
(bintang kebar), salah satu bintang tersebut meledak dan berkeping-keping
akibat pengaruh gravitasi dari bintang kedua (matahari yang sekarang),
maka keping-keping ini bergerak mengelilingi bintang tersebut dan
16 Harun Yahya, The Creation of Universe, 9. 17 http://www.kompasiana.com/jucky/teori-terbentuknya-alam-semesta-tata-
surya-dan-bumi_550097b5a33311376f5118bd diakses pada tanggal 5 Agustus 2019
25
berubah menjadi planet-planet. Sedangkan bintang yang tidak meledak
adalah matahari.18
Pemikiran teoritis dari kedua ilmuan di atas tidak menarik banyak
perhatian atau bahkan akan begitu saja terlupakan kalau saja tidak
ditemukan bukti pengamatan baru. Pada tahun 1929 Edwin Huble, seorang
Astronomer Amerika yang bekerja di Observatorium Mount Wilson
California, membuat penemuan penting dalam sejarah astronomi. Ketika
mengamati sejumlah bintang melalui teleskop raksasa, dia menemukan
bahwa cahaya bintang-bintang itu bergeser ke arah ujung merah spektrum
dan bahwa pergeseran itu berkaitan langsung dengan jarak bintang-bintang
dari bumi.19
Menurut aturan Fisika yang diketahui, spektrum cahaya yang
mendekati titik observasi cenderung kearah ungu, sedangkan spektrum
cahaya yang menjauuhi titik observasi cenderung kearah merah.
Pengamatan Hubble menunjukan bahwa menurut hukum ini benda-benda
luar angkasa menjauh dari kita. Tidak lama kemudian Hubble menemukan
penemuannya lagi, bintang-bintang tidak hanya menjauh dari bumi saja,
mereka juga menjauhi satu sama lain. Satu-satunya kesimpulan yang bisa
diturunkan dari alam semesta dimana segala sesuatunya saling menjauhi
adalah bahwa alam semesta dengan konstan mengambang.20
2. Menurut Filsafat Islam
Dalam teori ini terbagi menjadi dua madzhab, yang pertama teori
Kreasi (dari tidak ada menjadi ada), dan teori emanasi (yang bersumber
pada Nūr Muhammad).
18 Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar, Cet. 19 (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2011), 118. 19 Harun Yahya, The Creation of Universe, 10. 20 Harun Yahya, The Creation of Universe, 11.
26
a. Teori Kreasi
Teori ini dipopulerkan oleh Al-Kindi, menurutnya Alam ini
dijadikan oleh Allah dari tidak ada (creatio ex nihilo) kepada ada. Di
samping itu, Allah juga tidak hanya menjadikan alam, tetapi juga
mengendalikan dan mengaturnya serta menjadikan sebgaiannya menjadi
sebab bagi yang lain. Alam ini diciptakan Allah dari tiada. Dari
pernyataan tersebut, Al-Kindi menyanggah teori mengenai keqadiman
alam. menurut al-Kindi bahwa di alam ini terdapat berbagai gerak, antara
lain gerak menjadikan dan gerak merusak. adapun gerak demikian
mempunyai beberapa sebab, yakni sebab material, formal, pembuat dan
sebab tujuan. sebab-sebab tersebut pada akhirnya bertemu pada “sebab
pertama” yang menyebabkan segala kejadian dan kemusnahan pada alam
ini, yaitu Allah.21
b. Teori Emanasi
Teori ini dicetuskan oleh Al-Farābi, menurutnya bahwa alam
diciptakan bukan dari tiada, melainkan dari sesuatu yang ada, maka alam
ini qadim. Proses penciptaan alam melalui teori emanasi terjadi melalui
pemikiran Allah tentang zat-Nya yang menjadi sebab dari adanya alam ini.
Maksud dari al-Farābi mengemukakan teori emanasi adalah untuk
menghindarkan arti banyak dalam diri Allah, karena Allah tidak bisa
secara langsung menciptakan alam yang banyak jumlah unsurnya. Jadi
jika Allah berhubungan langsung dengan alam yang plural ini, maka tentu
dalam pemikiran Allah terdapat hal yang plural. Hal ini merusak citra
tauhid (tidak ada yang qadim kecuali Allah).22
21Muhaemin, “Teori Emanasi dalam Hubungannya dengan Sains Modern”. Al-
Fikr, Vol.XX, no.3 (2016): 321. 22Muhaemin, “Teori Emanasi dalam Hubungannya dengan Sains Modern”, 322.
27
C. Term Penciptaan di dalam al-Qur’an
Di dalam al-Qur’ān term proses penciptaan ditemukan berbeda-
beda, salah satu contoh penulis mengambil derivasi khalaqa dan ja’ala.
Kedua kata ini meskipun secara etimologi memiliki kesamaan yaitu
menciptakan tetapi secara konteksnya memiliki perbedaan.
1. Kata Khalaqa
Di dalam kitab Mu’jam Maqāyis al-Lugah kata khalaqa mempunyai
makna penetapan sesuatu. Dalam bahasa Arab kata khalaqa yaitu memulai
sesuatu dari perumpamaan yang tidak didahului oleh sesuatu tersebut, dan
setiap sesuatu Allah menciptakannya, maka pemulaiannya setiap selain
perumpamaan yang didahului oleh sesuatu tersebut.23 Kata khalaqa
menunjukan kemahakuasaan dan kehebatan ciptaan Allah yang tiada
taranya.24 Kata khalaqa terdapat 266 pengulangan dalam al-Qur’an.25
Penulis akan memberikan beberapa contoh kata khalaqa dalam al-Qur’an
sesuai dengan objeknya.
a. Kata khalaqa yang mempunyai objek Penciptaan Langit dan Bumi
Dalam al-Qur’an surah al-An’ām [6]:1
ت وٱلنور ثه ٱلهذين كفروا برب ض وجعل ٱلظلم رح ت وٱلح و د لله ٱلهذي خلق ٱلسهم مح مح ٱلح
دلون ي عح
23 Ibnu Manzur, Lisān al-‘Arāb (Kairo: Al-Mu’assasah al-Misriyyah al-
‘Ammah), 1243. 24 M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’ān: Kajian Kosa Kata, Cet. 1
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), 458. 25 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faẓ al-Qur’ān al-
Karīm (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 241.
28
Artinya: “Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan
bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir
mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka”.
Firman Allah ض رح ت وٱلح و yang telah menciptakan“ ٱلهذي خلق ٱلسهم
langit dan bumi.” Allah memberitahukan tentang kekuasaan, pengetahuan,
dan kehendaknya.
Allah berfirman, “yang telah menciptakan, yakni menemukan,
mengadakan dan membuat (langit dan bumi)”. Sebab kata al-Khalq
(menciptakan) itu terkadang mengandung makna al-Ikhtirā’ (menemukan
atau menciptakan) dan terkadang pula mengandung makna at-Taqdir
(menentukan). Firman Allah Swt tersebut merupakan dalil bahwa langit
dan bumi itu baru. Allah meninggikan langit tanpa tiang, menjadikannya
lurus tanpa kebengkokan, menciptakan padanya matahari dan bulan
sebagai sebuah tanda kekuasaannya, menghiasinya dengan bintang-
bintang, dan menciptakan padanya awan dan mendung sebagai tanda
kekuasaanya.26
Dalam tafsīr al-Miṣbāḥ dijelaskan bahwa kata khalaqa
(menciptakan) langit dan bumi, untuk menekankan betapa hebat dan
agungnya penciptaan itu. Adapaun ketika menguraikan kata gelap dan
terang, maka kata yang digunakannya adalah ja’ala (menjadikan). ini
bukan karena gelap dan terang dalam kehidupan sehari-hari muncul akibat
adanya sesuatu sebelumnya, melainkan untuk mengisyaratkan bahwa
manusia harus dapat meraih manfaat dari keadiran gelap dan terang.27
Apabila matahari mengirimkan sinarnya, bukanlah matahari itu yang
harus dipuji, melainkan hendaklah pujian diberikan kepada yang
26 Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsīr al-Qurthubi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008),
912. 27 M.Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur’ān, Jilid 4 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 7.
29
menciptakan matahari itu. Maka langit dan bumi itu Allah lah yang
menciptakan. Setelah dia menciptakan langit dan bumi, ia adakan pula
yang gelap-gelap dan cahaya. Maka disebutkanlah yang lebih dahulu
dijadikan ialah langit dan bumi, artinya seluruh alam setelah ada seluruh
alam, Allah pun mengadakan yang gelap-gelap, dan setelah ada yang
gelap-gelap, baru Allah menjadikan yang terang, yaitu cahaya.28
Di dalam surah lainnya yang mempunyai objek penciptaan langit
dan bumi ialah surah al-Baqarah [2]: 29, surah al-An’ām [6]: 73, 101,
surah al-A’rāf [7]: 54, surah at-Taubah [9]: 36, surah Yūnus [10]: 3,5,6,
surah Hūd [11]: 7, surah Ibrāhīm [14]: 19, 32, surah an-Nahl [16]: 3, 81,
surah al-Isrā [17]: 99, surah Ṭāhā [20]: 4, surah al-Furqān [25]: 59, surah
al-Naml [27]: 60, surah al-Ankabūt [29]: 44, 61, surah al-Rūm [30]: 8,
surah Luqmān [31]: 10, 11, 25, surah al-Sajadah [32]: 4, surah Yāsīn [36]:
81, surah al-Zumar [39]: 5, 38, surah Fushilat [41]: 9, surah al-Zukhruf
[43]: 9, surah al-Jāsiyah [45]: 22, surah al-Ahqāf [46]: 33, surah al-Hadīd
[57]: 4, surah al-Taghābun [64]: 3, surah at-Thalāq [65]: 12, surah al-
Mulk [67]: 3, surah Nūh [71]: 15.
b. Kata khalaqa yang mempunyai objek Penciptaan Manusia
Dalam surah al-Rahmān [55]: 14
نسان من صلصال كالفخهار خلق ال
Artinya: “Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar”.
Lafadz ن نس dia menciptakan manusia” ketika Allah“ خلق ٱلح
menyebutkan penciptaan alam yang besar ini yang terdiri dari langit, bumi
dan segala isinya, yang di dalamnya terdapat tanda-tanda keesaan dan
28 Hamka, Tafsīr al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 111
30
kekuasaannya, Allah pun menyebutkan penciptaan alam kecil, ن خلق نس .ٱلحSesuai kesepakatan para ahli takwil bahwa yang dimaksud adalah
penciptaan Nabi Adam as.
Ayat ini menjelaskan tentang penciptaan kedua yakni makhluk yang
menjadi mitra bicara ayat ini. Firman Allah: “dia telah menciptakan
manusia yakni Adam as. Atau jenis manusia dari tanah kering seperti
tembikar, dan dia menciptakan jin yakni iblis atau jenis jin dari nyala api
yag murni. Maka nikmat Tuhan pemelihara kamu wahai manusia dan jin
manakah yang kamu berdua ingkari. Kata shalshal adalah tanah kering
yang bila diketuk akan mengeluarkan suara. Al-Qur’an menyebut berbagai
materi penciptaan manusia.29
Surah lainnya yang mempunyai objek penciptaan manusia ialah
surah al-Baqarah [2]: 228, surah al-Nisā’ [4]: 10, surah al-Mâidah [5]: 18,
surah al-Nahl [16]: 4, surah al-Furqān [25]: 54, surah al-Rahmān [55]: 14,
surah al-Mulk [67]: 14, surah al-Qiyamah [75]: 38, surah al-Alaq [96]: 2.
c. Kata khalaqa yang mempunyai objek Penciptaan Mati dan Hidup.
Dalam al-Qur’an surah al-Mulk [67]: 2
ز زي ع ل و ا لا وه م ن ع س ح م أ يك م أ وك ل ب ي اة ل وت والي م ل ق ا ل ي خ الهذور ف غ ل ا
Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu,
siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun”
Firman Allah Swt ة ي وت وٱلح موح yang menjadikan mati dan“ ٱلهذي خلق ٱلح
hidup”. Mengutip salah satu pendapat bahwa makna firman ini adalah
29 M.Quraish Shihab, Tafsīr al-Misbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur’an, 504.
31
“Dia menciptakan kalian untuk kematian dan kehidupan”. Maksudnya
adalah untuk kematian di alam dunia dan kehidupan di akhirat.
Dalam hal ini kematian disebutkan terlebih dahulu daripada
kehidupan, sebab kematian itu lebih identik dengan pemaksaan,
sebagaimana anak perempuan terlebih dulu disebutkan dari pada anak
laki-laki. Allah berfirman : “Dia memberikan anak perempuan kepada
siapa Dia menghendaki”. (QS. al-Asyūara [42]: 49. Menurut salah satu
pendapat bahwa Allah lebih dulu menyebutkan kematian karena kematian
itu memang lebih dulu. Sebab segala sesuatu itu pada mulanya berada
dalam hukum kematian, seperti sperma, tanah dan yang lainnya.30
Hemat penulis, kematian disebutkan terlebih dahulu dari pada
kehidupan karena mempunyai tujuan. Tujuannya adalah sebagai
peringatan terhadap manusia bahwa hidup ini tidak berhenti di dunia saja.
Ini merupakan peringatan terhadap manusia agar mereka insyaf.
Dalam tafsīr al-Miṣbāḥ, kematian manusia dalam pentas bumi ini
bukanlah ketiadaan. Ia masih wujud tetapi berpindah ke alam lain. Itulah
alasan salah satu yang diisyaratkan oleh kata menciptakan kematian. Ada
juga yang memahami mati dalam arti ketiadaan wujud. Yang memahami
demikian, memahami ayat di atas dalam arti Allah menciptakan sebab-
sebab kematian.31
Hemat penulis, kata khalaqa itu bermakna membuat dengan melalui
proses yang tidak dapat diganggu gugat. Kata khalaqa merupakan kata
kerja yang tidak dihubungkan pada proses manusiawi, proses penciptaan
30Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsīr al-Qurthubi, 6 31M.Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
343.
32
yang terkandung dalam makna khalaqa adalah murni hak preogatif Allah
Swt.
2. Kata Ja’ala
Kata ja’ala bermakna menciptakan atau menjadikan dari sesuatu,
sesuatu yang lain oleh karenanya kata ja’ala membutuhkan dua objek.
Tidak jarang ditemukan kata ja’ala hanya menggunakan satu objek, ketika
itu ia semakna dengan khalaqa.32 Kata ja’ala menunjukan bahwa
penciptaan itu dari materi yang sudah ada yakni nafs wāḥidat.33
Kata ja’ala dalam al-Qur’ān disebut 346 kali, terdapat dalam 66
surah.34 Penulis akan memberikan beberapa contoh kata ja’ala dalam al-
Qur’an sesuai dengan objeknya.
a. Kata ja’ala yang mempunyai objek penciptaan bumi dan langit
QS. al-Baqarah [2]: 22
اءا اء م م ن السه زل م ن اءا وأ ن اء ب م ا والسه راشا م الرض ف ك ل ل ع ي ج الهذون م ل ع م ع م ن ا وأ ااا د ن وا لله أ ل ع ل ت ف م ك رات رزقاا ل ن الثهم ه م رج ب خ أ ف
Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan
langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki
untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi
Allah, padahal kamu mengetahui”.
Firman Allah Swt ٱلهذي جعل“Dialah yang menjadikan”. maknanya
adalah shayyara, artinya kata kerja yang mebutuhkan dua maf’ul (objek).
bisa bermakna khalaqa sebagai contoh firman Allah Swt “Dan Allah
32M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsīr, Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut
Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2013), Cet. II, h.
133. 33M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’ān: Kajian Kosa Kata, Cet. I
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), 458. 34M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’ān: Kajian Kosa Kata, 368.
33
mengadakan gelap dan terang” (QS. al-An’ām [6]: 1. Kata ja’ala juga bisa
bermakna akhadza (mulai). Terkadang kata ja’ala hanya tambahan.35
Thahir Ibn Asyur menjelaskan bahwa memahami makna ja’ala
dalam arti menjadikan yakni mewujudkan sesuatu dari bahan yang telah
ada sebelumnya, yakni memberi isyarat bahwa bumi yang dihuni telah
mengalami perubahan dan berpindah dari keadaan yang lain hingga
menjadi seperti sekarang.36
Ayat ini mempunyai tujuan, yakni menyuruh agar kita berfikir dan
merenung, diikuti dengan merasakan bahwasannya semuanya itu pasti ada
yang menciptakan, itulah Allha Swt. Tidak mungkin ada kekuasaan lain
yang dapat membuat aturan setertib dan seteratur itu. Oleh karenanya
maka datanglah ujung ayat yang mengatakan tidaklah patut kita
menyembah kepada Tuhan yang lain, selain Allah Swt.37 Surah lain yang
mempunyai objek penciptaan bumi dan langit adalah surah Yūnus [10]: 5,
surah Ṭāhā [20]: 53, surah al-Furqān [25]: 61, surah al-Naml [27]: 61,
surah al-Mu’minūn [23]: 64, surah al-Zukhruf [43]: 10, surah al-Mulk
[67]: 15, surah Nūh [71]: 19.
b. Kata Ja’ala yang mempunyai objek Penciptaan Istri
Dalam QS. an-Nahl [16]: 72
ن ازواجكم بني وحفدةا وهرزقكم ن ان فسكم ازواجاا وهجعل لكم م جعل لكم م ن والل م الطهيبت افبالباطل ي ؤمن ون وبنعمت الل هم يكفرون
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-
35Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, 521. 36M.Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
122. 37Hamka, Tafsîr al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 183.
34
cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah
mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?"
Firman Allah Swt ن ان فسكم ازواجاا جعل لكم م Allah menjadikan“ والل
bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri”. Ja’ala dalam ayat ini
maksudnya menciptakan dan telah jelas “bagi kamu istri-istri dari jenis
kamu sendiri”. Maksudnya, Adam dan diciptakan darinya Hawa. Ada juga
yang berpendapat makna نح أنفسكمح adalah bahwa dari jenismu جعل لكم م
dan macammu serta sebagaimana penciptaanmu.38
Dalam tafsīr al-Miṣbāḥ dikatakan bahwa selain anugrah dan rezeki
Allah juga mejadikan bagi kamu pasang-pasangan dari istri, yakni jenis
kamu sendiri agar kamu dapat merasakan ketenangan hidup dan
menjadikan bagi kamu dari hasil hubungan kamu dengan pasang-pasangan
kamu itu, anak-anak kandung dan menjadikan dari anak-anak itu cucu-
cucu baik lelaki maupun perempuan. Tidak hanya itu, Dia juga memberi
rezeki aneka anugerah dan rezeki yang baik-baik, yakni yang sesuai
dengan kebutuhan dan tidak membawa dampak negatif, baik berupa
benda, pangan dan lain-lain yang memelihara kelanjutan dan kenyamanan
hidup.39
Surah lainnya yang mempunyai objek penciptaan istri ialah surah al-
A’rāf [7]: 189, surah al-Ahzāb [33]: 4, surah al-Zumar [39]: 6.
c. Kata Ja’ala yang mepunyai objek Penciptaan Hewan
Dalam surah al-Maidah [5]: 60 وغضب عليه وجعل من لك مث وبةا عند الل من لهعنه الل ن ذ راة قل هل ان بئكم بشر م هم ال
ك شر مهكانا وهاضل عن ىء السهبيل والنازي ر وعبد الطهاغوت اول
سوا
38Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, 352. 39M.Quraish Shihab, Tafsîr al-Miṣbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
287.
35
Artinya: Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang
orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu
disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara
mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah
thaghut?". Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan
yang lurus.”
Pada ayat ini apakah bentuk rupa mereka saja yang dijadikan atau
diubah menjadi kera atau bahkan hati dan pikiran mereka juga. Karena
binatang yang ditunjuk oleh Allah ini merupakan salah satu binatang yang
selalu terlihat auratnya. Sementara orang yahudi yang dikecam oleh al-
Qur’an tidak tunduk dan taat kecuali dijatuhi sanksi atau ancaman.
kemudian Babi adalah binatang yang tidak memiliki sedikitpun rasa
cemburu, walau betinanya ditunggangi oleh yang lain. Ini juga merupakan
sifat dari sebagian orang yahudi. Tidak adanya cemburu walau istrinya
berdansa dengan pria lain.40
Dalam surah yang lain yang mempunyai objek penciptaan hewan
adalah surah al-Māidah [5]: 103 dan surah al-Mu’minūn [23]: 79.
Hemat penulis, kata ja’ala berbeda dengan kata khalaqa dalam segi
konteks. Kata ja’ala yang pada prosesnya meyertakan pekerjaan-pekerjaan
kemanusiaan. Jika sebuah kalamullah menggunakan kata ja’ala, maka
berarti manusia turut dilibatkan dalam proses pengerjaannya.
40M.Quraish Shihab, Tafsīr al-Misbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
141.
36
BAB III
MENGENAL PROFIL KEDUA MUFASSIR DAN KITAB
TAFSIRNYA (TAFSĪR AL-MANĀR DAN TAFSĪR AL-JAWĀHIR)
A. Mengenal Sayyid Muhammad Rasyīd Riḍā
1. Riwayat Hidup dan Karya-Karyanya
Sayyid Muhammad Rasyīd Riḍā dilahirkan di Qalamun wilayah
pemerintahan Tarablus Syam pada tahun 1282 H/1865 M. Qalamun adalah
sebuah desa yang terletak di pantai laut tengah , sekitar tiga mil dari kota
Libanon.Saat itu Libanon merupakan bagian dari wilayah kerajaan Turki
Usmani.1
Sayyid Muhammad Rasyīd Riḍā merupakan tokoh reformis terkenal.
Nama lengkapnyaadalah Muhammad Rasyīd Riḍā bin‘Ali Ridha bin
Muhammad Syamsuddin bin Muhammad Baha al-Dinbin Manla ‘Ali
Khalifah. Ia dilahirkan pada tanggal 27 Jumadil Awwal 1282 H.
Bertepatan dengan tanggal 23 September 1865 M. Ia adalah putra dari
pasangan Sayyid ‘Ali Ridha bin Sayyid Muhammad Syamsuddin bin
Sayyid Muhammad Baha al-Din bin Sayyid ‘Ali al-Baghdadi dan
Fatimah.2
Masa kecil (usia tujuh tahun), Rasyīd Riḍā dimasukan oleh orang
tuanya ke madrasah tradisional di desanya, Qalamun. Rasyīd Riḍā juga
belajar kepada banyak guru pada masa pembentukan karakter
(kepribadiannya). Pendidikan pertamanya dimulai di kampungnya yang
ketika itu dinamai dengan Madrasah al-Kuttab, di sana Ia belajar
membaca al-Qur’ān, menulis, dan dasar-dasar berhitung. Berbeda dengan
anak-anak seusianya, Rasyīd Riḍā kecil lebih sering menghabiskan
1 A. Athaillah, Konsep Teologi Rasional dalam Tafsīr al-Manār (Jakarta:
Erlangga, 2006), 26. 2 Mani’ Abd al-Halim Mahmud, Manhaj al Mufassirin, Terj. Faisal Saleh dan
Syahdianor (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006), 271.
37
waktunya untuk belajar ketimbang bermain dengan teman-teman seperti
seusianya.3
Setelah menyelesaikan pendidikan di kampung halamannya, Ia
dikirim oleh orang tuanya ke Tripoli (Libanon) untuk belajar di Madrasah
Ibtida’iyah yang mengajarkan ilmu Nahwu, Ṣorof, Aqidah, Fiqh,
berhitung dan Ilmu bumi dengan bahasa pengantar yang menggunakan
bahasa Turki, karena Madrasah ini adalah milik pemerintah yang
bertujuan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang akan menjadi
pegawai pemerintah Turki Usmani saat itu. Mengingat saat itu Libanon
merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Turki Usmani. Akan tetapi Rasyīd
Riḍā tidak tertarik pada sekolah tersebut, setahun kemudian Ia pindah ke
sekolah Islam Negeri Madrasah Waṭāniyyah Islāmiyyah yang merupakan
sekolah terbaik pada saat itu, dengan bahasa Arab sebagai bahasa
pengantar, tak hanya bahasa Arab, bahasa Turki dan Prancisjuga diajarkan
pada sekolah itu. Sekolah ini dipimpin oleh ulama besar Syam ketika itu,
yaitu Syaikh Husain al-Jisr yang kelak mempunyai andil besar terhadap
perkembangan pemikiran Rasyīd Riḍā, karena hubungan keduanya tidak
berhenti meskipun kemudian sekolah ini ditutup oleh pemerintah Turki.
Dari Syaikh Husain al-Jisr inilah Rasyīd Riḍā mendapat kesempatan
menulis dibeberapa surat kabar Tripoli yang kelak mengantarnya
memimpin majalah al-Manār.
Sayyid Muhammad Rasyīd Riḍā Wafat pada tanggal 23 Jumadil Ula
1354 H / 22 Agustus 1935 M setelah mengalami kecelakaan mobil yang
mengakibatkannya gegar otak yang merenggut nyawanya.4
Adapun guru-guru dari Rasyīd Riḍā adalah:5
3 A. Athaillah, Konsep Teologi Rasional dalam Tafsīr al-Manār, 26. 4 A. Athaillah, Konsep Teologi Rasional dalam Tafsīr al-Manār, 26-27. 5 A. Athaillah, Konsep Teologi Rasional dalam Tafsīr al-Manār, 28.
38
- Syaikh Husein al-Jisr. Ia adalah seorang ulama ahli bahasa,
sastra dan filsafat.
- Syaikh Mahmud Nasyabāh. Ia adalah seoarang ulama yang ahli
di bidang hadits.
- Syaikh Muhammad al-Qawijī., seorang ulama yang ahli dalam
bidang hadits.
- Syeikh Abdul Ghānī al-Rāfi’
- Al-Ustādz Muḥammad Al-Husaini
- Syeikh Muḥammad Kāmil Rāfi’
- Syeikh Muḥammad ‘Abduh
Sayyid Muhammad Rasyīd Riḍā merupakan mufassir dan
pembaharu Islam yang cukup terkenal. Ia bisa disetarakan dengan
Muḥammad ‘Abduh dan Jamaluddin al Afghaniy. Banyak karya-karya
yang telah Ia hasilkan yang menjadi khazanah umat saat ini. Di kalangan
umat Islam Indonesia, Rasyīd Riḍā memang identik dengan tafsīr al-
Manār, namun selain itu masih banyak karya yang telah Ia hasilkan baik
dalam bidang tauhid, fiqh, dan lainnya. Diantara karya-karya Ia adalah :6
- Al-Hikmah Al-Syar’iyyah fī Muhakamat Al-Dadiriyah wa Al-
Rifa’iyah. Buku ini adalah karya pertamanya ketika Ia masih belajar,
isinya adalah bantahan kepada Abdul Hadyi Ash-Shayyad yang
mengecilkan tokoh sufi besar Abdulkadir Al-Jailani, juga
menjelaskan kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan oleh para
penganut tasawuf, tentang busana muslim, sikap meniru non
muslim, Imam Mahdi, masalah dakwah dan kekeramatan.
6 Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsīr Al-Manār (Bandung: Pustaka Hidayah,
1994), 66.
39
- Al-Azhar dan Al-Manār. Buku ini berisi sejarah Al-Azhar,
perkembangan dan misinya, serta bantahan terhadap sementara
ulama Al-Azhar yang menentang pendapat-pendapatnya
- Tarikh Al-Ustadz Al-Imam, berisi tentang riwayat hidup
Muḥammad ‘Abduh dan perkembangan masyarakat Mesir pada
masanya.
- Nida’ li Al-Jins Al-Lathif, berisi uraian tentang hak dan kewajiban-
kewajiban wanita.
- Zikra Al-Maulid An-Nabawi
- Risālatu Al-Hujjah Al-Islām Al-Ghazali
- Al-Sunnah wa Al-Syi’ah
- Al-Waḥdah Al-Islāmiyah
- Haqiqah Al-Riba
- Majalah al-Manār, yang terbit sejak 1315 H / 1898 M sampai
dengan 1354 H / 1935 M.
- TafsīrAl-Manār
- Tafsīr Surah-surah Al-Kausar, Al-Kafirun, Al-Ikhlaṣ dan Al-
Mu’awidzatain
Selain sebagai seorang mufassir dan penulis, Rasyīd Riḍā juga
mempunyai ide-ide pembaruan yang bertujuan mengembalikan ajaran
islam kepada al-Qur’ān dan Hadits. Ide pembaruan Rasyīd Riḍā meliputi
bidang agama, pendidikan dan politik.7
a. Bidang Agama
Rasyīd Riḍā berpendapat, faktor utama yang menyebabkan umat
Islam lemah adalah karena tidak mengamalkan ajaran Islam yang
sebenarnya. Islam banyak dipengaruhi oleh bid’ah yang menghambat
7 Akhmad Taufik, dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 103.
40
perkembangan dan kemajuan umat, diantaranya adalah ajaran-ajaran
syeikh-syeikh thariqat tentang tidak pentingnya hidup di dunia, dan
pengkultusan pada syeikh dan wali.
Ia berpendapat bahwa salah satu penyebab mundurnya umat Islam
adalah paham fatalisme, karena paham tersebut menyebabkan manusia
tidak memiliki etos kerja dan sering pasrah terhadap keadaan. Jadi umat
Islam harus menggali kembali teks al-Qur’an tanpa harus terikat dengan
pendapat ulama terdahulu, sebab akal dapat memberikan iterpretasi
(penafsiran) ulang terhadap teks-teks al-Qur’an dan Hadits yang tidak
mengandung arti tegas, atau bersifat ẓanni apalagi persoalan yang tidak
terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits.
Demi menghindari sifat fanatik terhadap pendapat ulama terdahulu,
Rasyīd Riḍā menganjurkan adanya toleransi dalam bermadzhab, yaitu
hanya ajaran dasar yang harus disamakan pemahamannya, sedangkan
selain ajaran dasar tersebut, umat boleh memilih mana yang disetujui
selama tidak melenceng dari kebenaran.
b. Bidang Pendidikan
Rasyīd Riḍā merasa perlunya dilaksanakan ide pembaruan dalam
bidang pendidikan. Untuk itu perlu ditambahkan dalam kurikulum mata
pelajaran teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ilmu
kesehatan, dan lain-lain.
Menurut Rasyīd Riḍā membangun sarana dan prasarana pendidikan
lebih penting dari pada membangun masjid, karena masjid tidak akan
berfungsi optimal jika yang mengisinya hanya orang-orang bodoh. Tapi
jika sarana dan prasarana pendidikan dibangun maka akan menghapuskan
kebodohan, sehingga urusan duniawi dan ukhrawi menjadi baik.
Pemekiran ini Ia wujudkan dengan membangun sekolah “misi Islam”
bernama al-Da’wāt wa al-Irsyād di Kairo pada tahun 1912 M.
41
Lulusan dari sekolah ini akan dikirim ke berbagai dunia islam yang
membutuhkan bantuan mereka. Sekolah ini tidak berumur lama, karena
harus ditutup pada waktu pecahnya Perang Dunia I.
c. Bidang Politik
Sewaktu masih berada di tanah airnya, Rasyīd Riḍā pernah
bergabung dalam dunia politik. Namun atas nasehat dan gurunya
Muḥammad ‘Abduh, Ia menjauhi panggung politik. Setelah gurunya
wafat, maka Rasyīd Riḍā kembali terjun ke dunia politik, dengan
keinginan untuk menghapuskan pemerintahan yang otoriter.
Rasyīd Riḍā berpendat bahwa salah satu faktor yang menyebabkan
kemunduran umat Islamadalah perpecahan. Karena itu, untuk
memperbaikinya perlu adanya penghimpunan umat islam dalam kesatuan
bangsa, agama, hukum, persaudaraan, kewarganegaraan, peradilan, dan
bahasa. Kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan atas dasar keyakinan
yang sama, bukan atas dasar kesatuan bahasa dan bangsa semata.
Kedaulatan umat berada ditangan rakyat dan berdasarkan musyawarah,
karena itu bentuk pemerintahan yang dianjurkan adalah bentuk
kekhalifahan. Rasyīd Riḍā mengatakan, apapun bentuk pemerintahan yang
paling penting adalah membumikan ajaran-ajaran Islam.8
2. Latar Belakang penulisan Kitab Tafsīr Al-Manār
Secara mendetail tidak ada referensi atau penjelasan mengenai sebab
penulisan tafsīr al-Manār. Namun dari beberapa pengamat menyebutkan
bahwa pada dasarnya penulisan tafsīr al-Manār bermula dari gagasan
pemikiran dari tiga tokoh pembaharu dalam Islam yaitu Jamaludin al-
Afghani, Syeikh Muḥammad ‘Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyīd
8 Akhmad Taufik, dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, 104-
105.
42
Riḍā. Meski mereka sepakat mengatakan bahwa penulis karya tafsīr al-
Manār ini adalah hasil tokoh yang ketiga.9
Pada dasarnya, al-Manār merupakan nama sebuah majalah masyhur
yang bertujuan sama dengan majalah al-‘Urwah al-Wusqa, antara lain
mengadakan pembaharuan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi,
memberantas tahayyul dan bid’ah yang masuk kedalam tubuh Islam,
menghilangkan paham fatalisme yang terdapat di kalangan umat Islam dan
paham-paham yang salah yang dibawa oleh tarekat-tarekat tasawuf,
meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam terhadap
permainan politik-politik Negara Barat.10
Menurut Harun Nasution dalam bukunya “Pembaharuan dalam
Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan”, yang mengutip pandangan
Muhamad Abduh dalam bukunya al-Islam Din al-‘Ilm wa al-Madinah
menyebutkan bahwa kondisi umat Islam saat itu adalah kondisi jumud,
statis(tidak berkembang). Kondisi ini disebabkan oleh masuknya orang-
orang non Arab yang kemudian merampas puncak kekuasaan politik di
dunia Islam. Dengan masuknya mereka ke dalam Islam, adat istiadat dan
faham-faham animistis mereka turut mempengaruhi umat Islam yang
mereka perintah. Di samping itu mereka berasal dari bangsa yang jahil,
tidak kenal padailmu pengetahuan dan tidak mementingkan pemakaian
akal seperti yang dianjurkan dalam Islam.11
Di sisi lain, penafsiran al-Qur’an saat itu lebih merupakan suatu
masalah akademisi. Tafsir-tafsir ditulis oleh para ulama untuk ulama-
ulama lain. Memahami sebuah tafsir memerlukan pengetahuan yang detail
9 Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah (Jakarta: Djambatan,
1995), 48. 10 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, Cet. 12, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 70. 11 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, 62.
43
terhadap kata-kata teknis dan istilah tata bahasa Arab, hukum dan dogma
Muslim, sunnah Nabi dan para sahabatnya, serta biografi Nabi. Tafsīr-
Tafsīral-Qur’ān merupakan ensiklopedi-ensiklopedi dari ilmu tersebut
atau lebih merupakan kutipan-kutipan dari ensiklopedi tersebut.
Karenanya Diperlukan energi intelektual yang besar untuk
mempelajari pengetahuan yang tertimbun di dalam tafsir-tafsir yang ada,
yang membicarakan segala sesuatu menyangkut makna al-Qur’an .12
Muḥammad ‘Abduh telah merintis kebangkitan ilmiah dan
memberikan buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat
pada kesadaran Islam, dan upaya untuk mendapatkan pemahaman
sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan
masa kini. Benih-benih kebangkitan itu sebenarnya sudah dimulai dengan
gerakan Jamaludin al-Afghani, yang kepadanya Muḥammad ‘Abduh
berguru.
Abduh memberikan mata kuliah Tafsīr di Universitas al-Azhar dan
mendapat sambutan baik dari murid dan mahasiswanya. Muhammad
Rasyīd Riḍā adalah murid yang paling tekun mempelajari matakuliah
tersebut, paling semangat dan mencatatnya dengan teliti. Maka dapatlah
dikatakanbahwa ia adalah ahli waris tunggal bagi ilmu-ilmu Syaikh
Muḥammad ‘Abduh.13
Ia melihat perlu diadakan tafsir modern dari al-Qur’an, yaitu tafsiran
yang sesuai dengan ide-ide gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada
Muhamad Abduh supaya menulis tafsir modern, namun sang guru tidak
sepaham dengan hal ini. pada akhirnya Muḥammad ‘Abduh setuju untuk
memberikan kuliah mengenai tafsir al-Qur’an di al-Azhar karena selalu
didesak oleh sang murid.
12 J. J. G. Jansen, Diskursus Tafsīr Al-Qur’ān Modern (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1997), 27-28. 13 A. Athaillah, Konsep Teologi Rasional dalam Tafsīr al-Manār, 45.
44
Kuliah ini dimuli pada tahun 1899 M dan dihadiri oleh Rasyīd Riḍā.
Keterangan-keterangan yang disampaikan oleh Muhamad Abduh dicatat
dan kumpulkan dalam sebuah karangan yang sistematis. Apa yang Ia tulis
kemudian Ia serahkan kepada Muḥammad ‘Abduh untuk diperiksa.
Setelah diteliti dan mendapat persetujuan dari Muḥammad ‘Abduh,
karangan tersebut disiarkan dalam al-Manār. Dengan demikian timbulah
apa yang kemudian dikenal dengan tafsīr al-Manār.
Muḥammad ‘Abduh memberikan kuliah-kuliah tafsir sampai Ia
meninggal di tahun 1905 M. Ia sempat memberikan tafsiran sampai
dengan ayat 125 dari surat al-Nisā’ (413 ayat). Sepeninggalnya, Rasyīd
Riḍā melanjutkan penulisan tafsir sesuai dengan jiwa dan ide yang
dicetuskannya.Ia melanjutkan penulisannya dari surat al-Nisā ayat 125
sampai surat Yūsuf ayat 111 (930 ayat), kemudian dirampungkan oleh
Bahjah al-Baytars.14
Tafsīr al-Manār merupakan kitab tafsir yang disusun sesuai dengan
surat dan ayat mushaf Utsmani. kitab ini terbagi menjadi dua belas jilid
yang berisi dua belas surat dalam al-Qur’an yakni dimulai dari surat al-
Fātihah hingga surat Yūsuf. ia terdiri dari 6117 halaman, untuk lebih
jelasnya kita lihat tabel berikut:
Tabel 3.1. Susunan nama surah dalam kitab al-Manār
No Juz Isi Jumlah
Halaman
1 I Al-Fatihah Tafsīr al-Qur’ān al-Adzim,
Muqaddimah Tafsir al-Fatihah: 1-7, Tafsīr surat
al-Baqarah: 1-141
496
2 II Tafsir surat al-Baqarah: 142-252 496
3 III Tafsir surat al-Baqarah: 253-286 dan surat Ali
Imron: 1-92
376
4 IV Tafsir surat Ali Imran: 93-200 dan surat An- 481
14 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, 71.
45
Nisa: 1-23
5 V Tafsir surat An-Nisa: 24-146 476
6 VI Tafsir surat An-Nisa: 147-174 dan surat al-
Maidah: 1-84
492
7 VII Tafsir surat al-Maidah: 85-183 dan surat al-
An’am: 1-109
673
8 VIII Tafsir surat al-An’am: 110-166 dan surat Al-
A’raf: 1-86
533
9 IX Tafsir surat al-A’raf: 86-205 dan surat al-Anfal:
1-40
668
10 X Tafsir surat al-Anfal: 41-75 dan surat at-
Taubah:1-93
591
11 XI Tafsir surat at-Taubah: 94-129 dan surat Yunus:
1-107
511
12 XII Tafsir surat Hud: 1-123 dan surat Yusuf: 1-52 324
Jumlah 6117
3. Corak dan Metode Penafsiran Tafsīr al-Manār
Secara umum dapat dikemukakan bahwa Muḥammad ‘Abduh hidup
dalam suatu masyarakat yang tengah disentuh oleh berbagai
perkembangan yang ada di Eropa, dimana masyarakat sangat kaku, beku
dan menutup pintu ijtihad, hal ini muncul karena adanya kecenderungan
umat yang merasa cukup dengan produk-produk ulama terdahulu,
sehingga akal mereka beku (jumud), sementara di Eropa sendiri sedang
berkembang baik pola kehidupan yang mendewakan akal.
Berdasarkan kondisi di atas, Muḥammad ‘Abduh bermaksud dalam
setiappenuangan pikirannya termasuk dalam kitab tafsirnya berkeinginan
untuk selalu mengingatkan sekaligus menyadarkan umat untuk kembali
kepada al-Qur’an dan Hadits.
Mengenai metode yang digunakan oleh Sayyid Muhammad Rasyīd
Riḍā dalam penulisan kitab al-Manār, Ia menggunakan metode tahlili
(analisis) yang bercorak adab wa al-Ijtimā’i (sastra dan kemasyarakan)
dalam tafsirnya.
46
Hal ini dapat dilihat dari adanya penafsiran dan penjelasan dari ayat
per ayat, dengan menjelaskan makna yang terkandung dalam kata perkata
ataupun perayat yang dimaksud, sebagaimana yang terdapat dalam metode
tahlili pada penafsiran sebelumnya.
Ia menggunakan kerasionalitasannya dalam memahami dan
menjelaskan suatu ayat dengan memperhatikan beberapa aspek yang
termuat dari seorang mufassir dan juga memperhatikan beberapa kitab
tafsir terdahulu untuk dijadikan bahan rujukan dalam menafsirkan
karyanya. Jenis tafsir seperti ini biasa juga disebut tafsīr tajzi’ah. 15
Walaupun secara umum tafsir ini menggunakan metode tahlili
sebagaimana yang terdapat pada penafsiran-penafsiran sebelumnya,
namun terdapat titik penekanan yang menjadikan tafsir ini berbeda dengan
metode pada tafsir yang ada. Dimana pada tafsir-tafsir sebelumnya
menitik beratkan pada pemaknaan terhadap makna linguistik yang terdapat
pada ayat, hal ini berbeda dengan tafsīr al-Manār, karena karya Rasyīd
Riḍā ini tidak hanya menitikberatkan pada sisi linguistik saja, melainkan
juga menekankan keterkaitan makna ayat dengan aspek-aspek atau
persoalan yang muncul pada zaman sekarang, atau biasa disebut dengan
corak Adab wa al-Ijtimā’i. Sehingga al-Qur’an bukan lagi dianggap
sebagai kitab suci yang memiliki sastra tinggi, namun al-Qur’an dapat
berfungsi sebagaimana fungsi utamanya bagi masyarakat (umat Islam),
yakni sebagai petunjuk dalam hidup. Hal ini yang menjadikan titik
perbedaan yang menjadikan kitab tafsīr al-Manār sebagai bibit tafsir
modern.16
Tafsir al-Manār sendiri dalam penafsirannya mengambil beberapa
referensi dari berbagai kitab terdahulu, seperti: Al-Kasysyāf, Al-Jami’ fī
15 Muhammad Baqr Shadr, Sejarah dalam Perspektif Al-Qur’an, Cet. I
(Jakarta:Pustaka Hidayah, 1993), 12. 16 Fachruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ān (Yogyakarta: Qalam, 2002), 64.
47
Ahkām al-Qur’ān , Tafsīr al-Ṭabari, Tafsīr Mafātih al-Ghaib, Ta’wil
Musykil al-Qur’ān , Tafsīr al-Alūsi, Tafsīr Al-Bahr al-Muhiṭ, Tafsīr Ibn
Katsīr, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān , Mabāhits fī‘Ulūm al-Qur’ān, Lubab
al-Nuqūl fī Asbab al-Nuzūl, Asbab al-Nuzūl karya al-Wāḥidi, I’jāz al-
Qur’ān , dan al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān .17
4. Pandangan Ulama Terhadap Kitab Al-Manār
Muhammad Husein al-Dzahabi dalam karyanya al-Tafsīr wa al-
Mufassirūn menyatakan bahwa Abduh dengan metodenya telah
melahirkan aliran atau corak baru dalam sejarah penafsiran al-Qur’ān.
Aliran ini menurutnya adalah corak al-adabi al-Ijtimā’i yang diberi
pengertian sebagai mengkaji al-Qur’an dengan usaha untuk menunjukan
kecermatan ungkapan bahasa, dilanjutkan dengan merajut berbagai makna
yang dimaksud dengan cara yang lebih menarik, kemudian diusahakan
eksplorasi penerapan naṣ kitab suci dalam kenyataannya sesuai dengan
hukum-hukum yang berlaku dalam kehidupan masayarakat dan untuk
membangun peradaban.
Al-Dzahabi menilai bahwa aliran yang diprakasai oleh Abduh
disamping memiliki kebaikan-kebaikan juga mempunyai cacat. Kebaikan-
kebaikan yang dengan terus terang ditunjukannya adalah:
a) Tidak terpengaruh oleh madzhab
b) Bersikap kritis terhadap riwayat-riwayat israilliyat
c) Tidak tertipu oleh hadits-hadits ḍa’if dan mauḍū’
d) Menjauhkan tafsīr dari istilah teknis keilmuan (bahasa arab)
Disamping itu dia menyebutkan kebaikan lain yang dimiliki aliran
ini, yaitu metode semantik sosial yang digunakannya. Melalu metode ini
Muhammad ‘Abduh dengan alirannya berusa untuk:
17 Nasir Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, Cet. I (Solo: PT.
Tiga Serangkai, 2002), h. 77.
48
a) Mengungkapkan keindahan bahasa dan kemukjizatan al-Qur’ān
b) Menjelaskan makna dan maksud-maksudnya
c) Menujukan hukum-hukum yang berlaku di alam raya dan
masyarakat manusia
d) Menawarkan solusi bagi problem-problem yang dihadapi kaum
muslimin pada khususnya dan bangsa-bangsa di seluruh dunia pada
umumnya
e) Mempertemukan kebaikan dunia dan akhirat
f) Memaduka al-Qur’ān dengan teori-teori ilmu pengetahuan yang
valid sedangakan kejelekannya menurut al-Dzahabi adalah
memberikan kebebasan yang besar terhadap akal.18
Kemudian manna al-Qattān dalam kitabnya Mabāits fī Ulūm al-
Qur’ān memberikan komentar terhadap Tafsīr al-Manār bahwa tafsir
tersebut adalah sebuah tafsir yang penuh dengan pendapat para sahabat
dan tabi’in dan penuh dengan uslub-uslub bahasa arab dan penjelasan
tentang sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan umat manusia, dengan
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan gaya bahasa yang menarik dan
menyajikan pemahaman kandungan makna dengan redaksi yang mudah
dipahami, penjelasan terhadap berbagai persoalan diurai secara jelas dan
tuntas, membantah terhadap tuduhan dan kesalahpahaman terhadap islam
dengan tegas dan memberikan petunjuk qur’ani untuk mengobati
penyakit-penyakit masyarakat. dan Rasyīd Riḍā menjelaskan bahwa tujuan
pokok tafsirnya ialah untuk memahami kitabullah sebagai sumber ajaran
agama yang mebimbing umat manusia kearah kebahagiaan hidup di dunia
dan hidup di akhirat.19
18Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Beirut: Daar al-
Hadits, 2005), 57. 19Mannā Qalil al-Qattān, Mabahits fī ‘Ulum al-Qur’ān (Jakarta: Lentera
Antarnusa, 1992), 512.
49
B. Mengenal Ṭanṭāwi Jauharī
1. Riwayat Hidup dan karya-karyanya
Syaikh Ṭanṭāwi Jauharī bin Jauharī al-Misri dilahirkan di desa Kifr
‘Iwadhillah hijazi tahun 1287 H/ 1870 M. dan wafat pada tahun 1358
H/1940 M. Desa Kifr terletak di timur kota Mesir. Kondisi sosial ekonomi
desa tersebut berjalan sebagaimana mestinya desa di sekitar kota Mesir,
begitu pula aktifitas yang dilakukan oleh penduduknya, yaitu dengan
bekerja keras membanting tulang untuk mencukupi kehidupan mereka
masing-masing. Di antara mata pencarian yang paling menonjol pada saat
itu adalah pekerjaan sebagai seorang petani. Ṭanṭāwi Jauharī dilahirkan
dalam sebuah keluarga petani, sehingga aktifitas masa kecilnya sering
membantu orang tuanya sebagai petani.20 Ṭanṭāwi Jauharī adalah ulama
moderat yang dikenal sebagai seorang cendekiawan muslim yang berasal
dari Mesir yang terkenal karena kegigihannya dalam gerakan
pembaharuan untuk menumbuhkan dan memotivasi umat Islam terhadap
penguasaan ilmu pengetahuan.21
Dalam kesehariannya, sejak kecil ia dikenal sebagai sosok yang
sangat rajin dan juga mencintai agamanya. Meskipun dilahirkan dari
kalangan keluarga petani yang bisa dikatakan sangat sederhana, namun hal
tersebut tidak mengurungkan semangatnya untuk terus berjuang dalam
menuntut ilmu. Pendidikannya dimulai di Desa al-Ghār, dan bahkan
semangat untuk belajarnya dari waktu ke waktu semakin menggebu. Di
sisi lain ia juga turut membantu orang tuanya sebagai petani di desanya.
Tanṯawi tidak hanya belajar di sekolahnya saja, melainkan juga belajar
20 Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam di Indonesia (Jakarta: Anda Utama,
1992/1993), 11. 21 Mannā Khalil al-Qattān, Studi Ilmi-ilmu Qur’ān (Bogor: Litera Antar Nusa,
2013), 510.
50
kepada orang tuanya sendiri beserta pamannya, yakni Syaikh Muhammad
Syalabi.22
Selain sebagai petani, orang tua Ṯanṯāwi Jauharī merupakan
seorang tokoh agama di desanya, sehingga orang tuanya sangat
memperhatikan pendidikan yang ditempuh anaknya. Tidak cukup sampai
di situ, orang tua Ṭanṭāwi Jauharī menginginkan anaknya tumbuh sebagai
orang yang berpredikat terpelajar. Karena itu, setelah menamatkan
pendidikan formal di kota kelahirannya, ia dikirim ke Universitas al-Azhar
Kairo Mesir untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Di jenjang pendidikan
inilah, Ṭanṭāwi Jauharī dipertemukan dengan berbagai tokoh pembaharu
terkemuka di Mesir. Dan di antara sekian banyak tokoh pembaharu
tersebut, yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadiannya
adalah Muḥammad ‘Abduh, atau yang dikenal sebagai salah satu
pengarang tafsīr al-Manār. Bagi Ṭanṭāwi Jauharī, Abduh tidak hanya
dianggap sekedar guru saja, melainkan juga sebagai mitra dialog. Sebab,
pemikiran Abduh sangat berpengaruh besar terhadap pemikiran Ṭanṭāwi
Jauharī selanjutnya, terutama keilmuannya dalam bidang tafsir.
Sebagai akademisi, Ṭanṭāwi Jauharī selalu aktif untuk mencermati
serta meneliti setiap perkembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan
secara massif dengan menggunakan cara yang beragam, mulai dari
membaca buku, menelaah artikel di media massa, sampai menghadiri
berbagai seminar keilmuan pada masa itu. Dari sekian banyak jenis
keilmuan yang dipelajari, Ṭanṭāwi Jauharī lebih tertarik dan tergila-gila
dengan ilmu tafsir. Di samping itu, Ṭanṭāwi Jauharī Juga fasih berbicara
tentang ilmu fisika. Menurutnya, ilmu itu harus dikuasai oleh umat islam.
22 Zaghlul an-Najjar, Tafsīr Al-ayatul Kauniyyah fī al-Qur’ān al-Karīm, jilid 3
(al-Qathirah: Maktabah as-Syarqiyyah ad-Dauliyyah, 2007), 467.
51
Dengan cara itu maka anggapan bahwa islam adalah agama yang
menentang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat ditepis.23
Setelah menyelesaikan pendidikannya di al-Azhar, kemudian
Ṯanṯāwī Jauharī melanjutkan pendidikannya di Dar al- Ulum, dan
menyelesaikannya pada tahun 1311 H. atau 1893 M. Atas bimbingan
Muḥammad ‘Abduh, yang telah membuka cakrawala pemikirannya
sehingga demikian luas ketika menempuh studi di Al-Azhar. Setelah
menyelesaikan pendidikannya, Ṭanṭāwi Jauharī memulai perjuangannya
sebagai pengajar. Pada awalnya, Ia menjadi guru madrasah ibtida‘iyyah
dan tsanawiyyah, kemudian juga mengajar di Universitas Dār al-Ulūm,
tempat belajarnya duhulu.24
Oleh sebab itu, ia terus belajar ilmu tafsir dengan sangat cermat
dan teliti. Dan pada gilirannya, bentuk kecintaan dan kepeduliannya
terhadap ilmu tafsīr tersebut kemudian dibuktikan dengan memunculkan
sebuah karya tafsīr, yaitu Al-Jawāhir Fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm.
Karena memang Ṭanṭāwi Jauharī mahir di bidang sains atau ilmu
pengetahuan, tafsir yang dihasilkannya pun lebih bercorak ilmu
pengetahuan (tafsir ilmi). Dengan segenap kemampuannya, ia berusaha
menafsirkan al-Qur’an dengan corak khasnya tersebut yang memang
sangat dibutuhkan seluruh umat Islam pada masa kini.25 Adapun beberapa
karya dari Ṭanṭāwi Jauharī antara lain: Jawāhir al-Ulum (Mutiara-mutiara
Ilmu); Niẓām al-‘Alam wa al-Umam (Tata dunia dan umat manusia); al-
Taj al-Arsy (Mahkota yang bertahta); Jamal al-‘Alam (Keindahan alam);
al-Islām wa al-Niẓām (Islam dan Sistem); al-Hikmah wa al-Hukamā’
23 Abdul Ghaffar, “Isra’ Mi’rajdalam Tafsir‘Ilmi“ (Studi Komparatif Penafsiran
al-Razi dan Tanthawi Jauhari terhadap QS. Al-Isra: 1 dan QS. Al-Najm: 13-15” (Skripsi
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), 44. 24 Andi Rosadisastra, Metode Tafsīr Ayat-Ayat Sains dan Sosial (Jakarta:
Amzah, 2007), 152-157. 25 Zaghlul an-Najjar, Sains dalam hadits, Mengungkap Fakta Ilmiah dan
Kemukjizatan Hadits Nabi, terj. Zainal Abidin, dkk(Jakarata: Amzah, 2011), 288.
52
(Kebijaksanaan dan orang-orang yang bijaksana); dan al-Jawāhir fī Tafsīr
al-Qur’ān al-Karīm (Mutiara-mutiara dalam tafsīr al-Qur’ān yang mulia).
Di antara berbagai karya yang dihasilkan Ṭanṭāwi Jauharī, karya
yang paling fenomenal adalah kitab tafsīr yang diberi nama “al-Jawāhir fī
Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm.26 Karena di dalam tafsīr ini mengandung
berbagai informasi secara lebih komprehensif. Selain menyajikan
penafsiran ayat-ayat al-Qur’ān secara tahlili (urutan penafsiran
berdasarkan urutan mushaf), penjelasannya juga sangat bagus, yang
memadukan tafsir al-Qur’an dengan penjelasan ilmu pengetahuan modern
(sains). Bahkan di dalam tafsirnya dijelaskan pula gambar-gambar
tumbuhan, hewan, pemandangan-pemandangan alam, eksperimen ilmiah,
dan semacamnya sebagai pendukung atas tafsir yang dikemukakannya.
Dalam karyanya, Ṭanṭāwi Jauharī berusaha mengkonsultasikan
ayat-ayat al-Qur’an dengan keajaiban alam. Ia menyarikan hasil ilmu
kealaman dari al-Qur’an bahkan merekonsilasikan teori-teori sains yang
belum pasti dengan ilmu al-Qur’an. Ṭanṭāwi Jauharī dalam kitab Tafsirnya
banyak memuat kajian-kajan ilmiah yang merupakan kajian baru dalam
penafsiran, termasuk pengetahuan-pengetahuan kontemporer sehingga
kajian-kajian tidak terbatas masalah fiqh dan tauhid saja. Dalam
muqaddimahnya ia menjelaskan bahwa tafsir ini merupakan tiupan
rabbani isyarat suci dan informasi simbolik yang didapatkan melalui
ilham.27 Menurut Ṭanṭāwi Jauharī ayat-ayat yag membahas fiqh tidak
lebih dari 150 ayat, sedangkan dalam ilmu alam terdapat 750 ayat.28 Tanpa
menghilangkan rasa hormatnya kepada seorang imam dan mufassir klasik
26 Muhammad Husein Adz-Dzahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I (Kairo:
Dar al-Hadits, 2005), 442. 27 Ṭanṭāwi Jauharī, al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān, Juz 1 (Beirut: Dar el-Fikr,
1350 H), 3. 28Ṭanṭāwi Jauharī, al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān, 53.
53
sebelumnya, ia mengeluhkan begitu banyak para mufassir berlomba-
lomba menyusun kitab tafsir fiqh dibanding menyusun tafsir ilmi.
2. Latar Belakang Penulisan Kitab Tafsīr al-Jawāhir fī Tafsīr al-
Qur’ān al-Karīm
Nama kitab al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm. Karya dari
Ṭanṭāwi Jauharī, Ia memberi nama dengan istilah ‘’mutiara’’ (Jawāhir).29
Kitab ini ditulis dengan mengikuti mushaf al-Imām (Rasm al-Usmani),
yakni dalam menafsirkan ayat dan surat, mufassir mendasarinya pada
urutan sebagaimana urutan mushaf al-Qur’ān , tidak berdasarkan urutan
ayat. Kitab al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm adalah sebuah karya
tafsir yang disusun pada abad ke 20, di mana kecanggihan teknologi
semakin memperkaya wacana keilmuan di bidang eksak. Ṭanṭāwi Jauharī
yang memiliki semangat tinggi untuk melakukan rasionalisasi ilmiah
terhadap wacana tafsir, tidak sedikit mengadopsi perkembangan ilmu-ilmu
mutakhir untuk mengungkap kandungan al-Qur’an sehingga kitab ini
memuat demikian banyak macam pembahasan, dan tentunya sangat logis
jika kandungan isi kitab ini mempunyai informasi lebih dibandingkan
kitab tafsir ilmi yang beredar sebelumnya.
Kitab ini memiliki metode pembahasan yang amat berbeda dari
kitab-kitab tafsir lainnya, cirinya yang menonjol adalah: 1) Banyaknya
merangkum kembali tulisan-tulisannya yang pernah ditulisnya; 2) Dalam
pendahuluannya ia mengedepankan alasan mengapa ia menulis kitab ini,
yaitu agar umat Islam menyadari betapa pentingnya penguasaan ilmu pada
umat Islam seperti fisika, pertanian, pertambangan, matematika ilmu ukur,
ilmu falak, ilmu kedokteran, dan lain sebagainya; 3) Dalam menafsirkan
29 Abdul Majid Abd as-Salam al-Muhtasim, Visi dan Paradigma Tafsir al-
Qur’ān Kontemporer, terj. M. Minzhftir Wabid (Bangil: al-Izzah, 1997), 273.
54
ayat-ayat yang berhubungan hal alamiah, ia melengkapinya dengan
kelengkapan gambar dan foto-foto.30
Kemudian juga ada juga beberapa faktor lain yang mendorong
Ṭanṭāwi Jauharī menulis kitab tafsir ini, di antaranya adalah sebagai
berikut: pertama, Minimnya orang-orang yang berfikir tentang alam dan
keajaiban-keajaiban yang terdapat di dalamnya. Keuda, Dalam al-Qur’an
terdapat ayat-ayat tentang sains lebih dari 750 ayat sementara ilmu-ilmu
yang berkaitan dengan hukum fiqih tidak lebih dari 150 ayat.31
Tujuan dari penulisan kitab ini adalah untuk menghilangkan
kejumudan umat Islam dari ilmu pengetahuan serta mendorong agar umat
Islam bangkit dan mampu mengungguli Eropa di bidang argaris, medis,
pertambangan, matematika, arsitektur, astronomi serta sains dan
perindustrian.32
Mengenai isi dari kitab al-Jawāhir, dalam tafsir ini terkandung
pembahasan-pembahasan unik yang menjadikannya berbeda dengan
kebiasaan pembahasan kitab tafsir yang lain. Misalnya di dalam
menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan alamiah Ṭanṭāwi Jauharī
perlu melengkapinya dengan foto-foto dan gambar tumbuh-tumbuhan,
hewan, pemandangan alam, eksperimen ilmiah, tabel-tabel ilmiah spesialis
dengan tujuan untuk memberikan gambaran yang transparan kepada
pembaca seolah fakta tersebut benar-benar riil di depannya layaknya fakta
empiris.
Al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, terdiri dari tiga belas
jilid, dua puluh enam juz dengan isi surat tiap jilid adalah sebagai berikut:
30 Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam di Indonesia(Jakarta: Anda Utama,
1992/1993), 308. 31Tanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, 2-3. 32Ṭanṭāwi Jauharī, al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’ân, 3.
55
Tabel 3.2. Susunan nama surah dalam kitab al-Jawāhir
NO JILID JUZ NAMA SURATī
1 1 1 Al-Fātihah, Al-Baqarah
2 1 2 Al-‘Imrān
3 2 3 Al-Nisā’, Al-Mā’idah
4 2 4 Al-An’ām, Al-A’rāf
5 3 5 Al-Anfāl, Al-Taubah
6 3 6 Yūnus, Hūd
7 4 7 Yūsuf, Al-Ra’ad, Ibrāhim
8 4 8 Al-Hijr, Al-Nahl
9 5 9 Al-Isrā’, Al-Kahfi
10 5 10 Maryam, Ṯāhā, Al-Anbiyā’
11 6 11 Al-Haji, Al-Mu’minūn
12 6 12 An-Nūr, Al-Furqān
13 7 13 Al-Syu’arā’, Al-Naml
14 7 14 Al-Qasas, Al-Ankabūt
15 8 15 Al-Rūm, Luqmān, Al-Sajadah
16 8 16 Al-Ahzāb, Sabā’
17 9 17 Fātir, Yāsīn
18 9 18 As-Sāffāt, Sād, Az-Zumar
19 10 19 Al-Mu’min, Hamim as-Sajadah
20 10 20 Asy-Syūra, Al-Zukhruf
21 11 21 Al-Dukhān, Al-Jāsiyah, Al-Ahqāf,
Muhammad
22 11 22 Al-Fath, Al-Hujarāt
23 12 23 Qāf, Al-Zāriyāt, Al-Ṯūr, Al-Najm, Al-
Qomar
24 12 24 Al-Rahmān, Al-Wāqiah, Al-Hadīd, Al-
Mujādilah, Al-Hasyr, Al-Mumtahanah,
As-Saff, Al-Jumu’ah, Al-Munāfiqūn, Al-
Taghābun, At-Talāq, At-Tahrīm, Al-
Mulk, Al-Qalam, Al-Hāqqah, Al-Ma’ārij,
Nūh, Al-Jinn, Al-Muzammil, Al-
Muddassir, Al-Qiyāmah, Ad-Dahr, Al-
Mursalāt
56
25 13 25 Al-Nabā’, Al-Nāzi’āt, Abasa, At-
Takwīr,Al-Infiṯār, Al-Tatfīf, Al-Insyiqāq,
Al-Burūj, At-Ṯāriq, Al-A’lā, Al-
Ghāsyiyah, Al-Fajr, Al-Balad, Asy-
Syams, Al-Layl, Ad-Duhā, Al-Insyirah,
Al-Tīn, Al-Alaq, Al-Qodr, Al-Bayyinah,
Al-Zillat, Al-‘Ādiyāt, Al-Qāri’ah, Al-
Takāsur, Al-‘Asr, Al-Humazah, Al-Fīl,
Al-Quraisy, Al-Mā’ūn, Al-Kausar, Al-
Kāfirūn, Al-Nasr, Al-Lahab, Al-Ikhlās,
Al-Falaq, An-Nās
26 13 26 Mulkhaq Juz awal33
3. Corak dan Metode Penafsiran Tafsīr al-Jawāhir fī Tafsīr al-
Qur’ān al-Karīm
Kitab Tafsīr Al-Jawāhir disusun ketika Ia berumur 60 tahun, kitab
ini banyak merangkum kembali tulisan-tulisannya yang sudah beredar
sebelumnya, di dalam pendahuluan tafsirnya, Ṭanṭāwi Jauharī
mengemukakan alasan yang mendorongnya untuk menulis yaitu agar umat
Islam sadar untuk mengejar dan menuntut berbagai macam ilmu dalam arti
yang seluas-luasnya, yakni ilmu fisika, biologi, ilmu kalam, ilmu ukur,
falak dan lain sebagainya.34
Secara umum penafsiran al-Qur’an itu dilakukan dengan dua cara
yaitu: bil ma’qul yang disebut juga dengan bil riwayat atau tafsīr bil
ma’ṡur, dan penafsiran bi al-mardud yang disebut juga dengan tafsīr bil al
ra’yi, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya menurut Subki Shalih
dua caratersebut cenderung terpadu, dari perpaduan itulah lahir beberapa
metode yaitu Tahlili, Ijmali, Muqorrin dan Maudhu’i.35
33Ṭanṭāwi Jauharī, Al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, 221. 34 Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat
Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Saran
Perguruan Tinggi Agama /IAIN, 1992/1993), 1188. 35 Muhammad Ali Ash Shobuni, Ikhtiyar Ulumul Qur’ān Praktis, terj. M.
Qodirun Nar, (Jakarta: Pustaka Imani, 1988), 86.
57
a. Metode Tahlili, yaitu salah satu metode tafsīr dengan menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya. Mufassir
yang menggunakan metode ini umumnya menafsirkakn ayat secara
tertib dari al-Fatihah sampai al-Nas sesuai dengan urutan mushaf
Ustmani. Melalui metode ini seorang mufassir juga dituntut
menjelaskan kandungan ayat secara luas dan terperinci. Sehingga ia
harus mampu menguraikan kosa kata dan lafadz, ijaz dan
balaghahnya, munāsabah dan asbābun nuzūl, juga aspek-aspek tafsir
lainnya. Oleh karena itu, penafsiran dengan metode ini akan
menghasilkan penafsiran yang luas dan mendalam.
b. Metode Ijmali, yaitu metode menafsirkan kandungan ayat-ayat al-
Qur’an dengan menyampaikan makna globalnya saja. Dengan
metode ini mufassir hanya menyampaikan makna pokok dari ayat
yang ditafsirkan dan menghindari hal-hal yang dianggap diluar
makna pokok tersebut. Sehingga penafsiran dengan metode ini
umumnya sangat singkat dalam penjelasannya.
c. Metode Muqaran, sesuai dengan namanya, metode tafsir ini
menekankan kajian pada aspek perbandingan (komparasi) tafsir al-
Qur’an. Perbandingan dimaksud dapat berupa ayat dengan ayat,
surat dengan surat, al-Qur’an dengan hadits atau perbandiangan
antar mufassir sebelumnya.
d. Metode Maudhu’i, metode tafsir yang pembahsannya didasarkan
tema-tema tertentu dalam al-Qur’an. Sehingga metode ini sering
disebut metode tematis.36
Dari bebrapa metode tersebut yang digunakan Ṭanṭāwi Jauharī ini
adalah metode tahlili yaitu suatu metode yang mufassirnya berusaha
36 Rasyid Ridha, Konsep Theologi Rasional dalam Tafsîr al-Manâr (Jakarta: PT.
Erlangga, 2006), 31.
58
menjelaskan makna dan kandungan ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya,
di dalam tafsirnya penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang
telah tersusun dalam mushaf, penafsir memulai uraiannya dengan
mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti
global ayat. Ia juga menggunakan munāsabah (korelasi) ayat-ayat serrta
menjelaskan hubungan maksud ayat tersebut satu sama lain, begitu pula
penafsir membahas mengenai asbāb al-nuzūl (latar belakang turunnya
ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, atau sahabat, atau para tabi’in
yang kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat penafsir itu sendiri
dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya.37
Jika kita mencermati secara detail, semua yang digunakan oleh
Ṯanṯāwī Jauharī dalam menafsirkan al-Qur’an adalah dengan
menggunakan penalaran atau pemikiran (tafsir bi al-ra’yi). Kita tahu
bahwa cara Ia dalam menafsirkan al-Qur’an adalah dengan menyuguhkan
dan memberi keterangan berupa gambar-gambar dan penjelasan yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Selain itu, dalam menafsirkan suatu
ayat, Ṭanṭāwi Jauharī murni menggunakan pemikirannya sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya, kecuali hanya sedikit yang mengutip
pendapat para ulama.
Tafsir bi al-Ra’yi adalah jenis penafsiran al-Qur’an melalui
pemikiran atau ijtihad. Bentuk tafsir ini banyak berkembang pesat dan
muncul di kalangan ulama-ulama mutaakhkhirin, sehingga abad modern
ini lahir tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sains, di antaranya adalah
tafsir al-Manār dan al-Jawāhir. Berbeda dengan penafsiran al-Qur’an
37 Abd Al Hayy al Farmawi, Metode Tafsīr Maudhu’i Suatu Pengantar, Terj.
Sufyan A. Jamrah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 12.
59
dengan bentuk al-ma’ṡur, karena bentuk penafsiran al-ma’ṡur sangat
bergantung dengan riwayat.38
Setelah dilakukan penelitian secara seksama terhadap kitab al-
Jawāhir ternyata corak penafsiran tafsir al-Jawāhir adalah bercorak Ilmi.
Kenapa dikatakan demikian, karena Ia dalam penafsirannya didasarkan
pada pengalaman ilmu pengetahuan yang mana ilmu tersebut menjadi
keahliannya dalam menafsirkan ayat.
Tafsir Ilmi adalah, sebuah metode penafsiran al-Qur’an yang
menjelaskan isi-isi ayat al-Qur’an berdasarkan ayat-ayat sains. Mufassir
memberikan penafsiran terhadap lafaẓ dari ayat-ayat al-Qur’an secara
singkat dan sekedar cukup. Kemudian langsung memasuki pembahasan
ilmiah dari berbagai ilmu pengetahuan yang dibahas secara panjang lebar
disertai pendapat-pendapat para ahli, baik dari pakar-pakar yang adadi
dunia timur maupun di dunia barat.39
4. Pandangan Ulama terhadap Kitab Tafsīr al-Jawāhir fī Tafsīr al-
Qur’ān al-Karīm
Banyaknya bahasan yang dimuat dalam kitab ini membuat
sebagian ulama memandang kitab al-Jawāhir fī al-Tafsīr al-Qur’ān al-
Karīm tersebut bukan sebagai kitab tafsir lagi. Hal ini disebabkan
kecenderungan penulisannya berbeda dengan tafsir-tafsir lainnya.
Pemikiran Ṭanṭāwi Jauharī yang memandang bahwa al-Qur’an
memuat banyak tentang ilmu pengetahuan alam yang kemudian ia
tuangkan dalam tafsirnya dengan pembahasan yang sangat luas,
membuatnya diperdebatkan dan bahkan ditolak. Penolakan yang keras
adalah yang dilakukan oleh raja Arab Saudi, Abdul Azīz ‘Ali al-Su’udi
38 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsīr (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
2005), 376. 39 M. Nur Ikhwan, Tafsīr Ilmi Memahami Al-Qur’ān Melalui Pendekatan Sains
(Jogjakarta: Menara Kudus Jogja, 2004), 127.
60
yang melarang kitab tafsirnya. Hal ini juga dimungkinkan karena
pemikirannya yang menyerang para ulama fiqih yang tuduhannya telah
melalaikan ayat-ayat tentang ilmu pengetahuan dalam arti luas.40
Al-Dzahabi dalam kitab al-Tafsīr wa al-Mufassirūn menjelaskan
bahwa metode yang dipergunakan oleh Ṭanṭāwi Jauharī di dalam
tafsirannya adalah memberikan tafsiran-tafsiran secara lafẓi dan kemudian
dilanjutkan dengan kajian-kajian yang bersifat ilmiah. Pembahasan-
pembahasan tersebut menurut al-Dzahabi merupakan akumulasi dari
pendapat para pemikir barat dan timur zaman modern. Kajian-kajian yang
bersifat keilmuan menurut al-Dzahabi juga ditransfer oleh Ṭanṭāwi Jauharī
dari Injil Barnabas yang dianggap sebagai Injil yang paling Sahih, juga
dari Plato dan Ikhwan al-Safa dalam risalahnya. Ṭanṭāwi Jauharī juga
menggunakan teori-teori ilmiah modern pada saat menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’ān, dimana teori-teori tersebut belum pernah ada di Arab pada
masa sebelumnya.41
Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib yang merupakan salah
seorang doktor ahli tafsir yang telah mengkaji sejumlah kitab tafsir ilmiah
kontemporer dengan kesimpulan bahwa ia tidak membenarkan praktik
menundukan ayat-ayat al-Qur’an pada ilmu pengetahuan alam. Pandangan
tersebut berdasarkan pada pernyataan bahwa kitab al-Qur’an bukan buku
ilmu pengetahuan, tetapi ia adalah kitab Islam yang berisi aqidah yang
menjadi interaksi manusia dengan khaliqnya, dengan dirinya dan atas
sesamanya dalam bermu’amalah. Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib
melihat bahwa tafsir ilmiahnya Ṭanṭāwi Jauharī dipandang telah
melampaui batas makna ayat, sehingga banyak realitas yang terhimpun di
40 Fuad Taufiq Imron, “Konsep Gunung Dalam Kitab al-Jawāhir fī Tafsīr al-
Qur’ān al-Karīm” (Skripsi Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits Universitas Islan
Negeri Walisongo Semarang tahun 2016), 81. 41 Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I (Beirut:
Dar al-Hadits, 2005), 508-509.
61
dalamnya. Walaupun demikian ia memandang bahwa sesungguhnya
Ṭanṭāwi Jauharī sendiri telah memakai jalan yang seharusnya dilaluinya
untuk membangkitkan umat Islam dengan kebangkitan baru dalam bidang
saintis.42
Di samping itu, juga ada pihak-pihak yang memberikan respon
yang baik terhadap kitab al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm.
Diantaranya adalah Muhammad Ibrahim Syeikh Kujin (ketua utusan
China di Universitas Al-Azhar) yang mengatakan dalam suratnya bahwa,
Ṭanṭāwi Jauharī adalah salah satu seorang ulama modern yang mengarang
kitab tafsīr dengan gaya bahasa yang indah dan berdasarkan pandangan-
pandangan ilmiah modern.43
Abu Abdullah al-Zarjani dari golongan Syi’ah juga mengatakan
bahwa selama ini banyak pertentangan antara ilmu sains modern dengan
agama. Namun setelah membaca kitab tersebut menjadi terang dan yakin
(tidak ada pertentangan), di samping itu ustad Murtada al-Hasani salah
seorang ulama Syi’ah juga menyampaikan pujiannya terhadap kitab ini.44
42Abdul Majid Abd as-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsīr al-Qur’ān
Kontemporer, Terj. Moh Magihfur Wachid, (Bangil: al-Izzah, 1997), 192. 43Ṭanṭāwi Jauharī, Mulhaq al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, Juz I,
(Mesir: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1350), 269. 44Ṭanṭāwi Jauharī, Mulhaq al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, 269-271.
62
BAB IV
KOMPARASI PENAFSIRAN ṬANṬĀWI JAUHARĪ DAN
RASYĪD RIḌĀ TENTANG PENCIPTAAN ALAM DALAM ENAM
MASA
Pada bab ini penulis memaparkan tentang penafsiran Rasyīd Riḍā
dalam kitabnya al-Manār dan Ṭanṭāwi dalam kitabnya al-Jawāhir tentang
proses penciptaan alam dalam enma masa. Penelitian ini menggunakan
metode komparatif yang bertujuan untuk mengetahui argumen-argumen
yang dibangun dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan proses
penciptaan alam dalam enam masa. Sebelum masuk kajian lebih jauh,
penulis memberikan langkah-langkah dalam menentukan ayat yang
berkaitan tentang judul ini. Sehingga kajian ini memiliki pembatasan dan
fokus agar tidak terjadi pemaparan-pemaparan yang lebih luas dan keluar
dari konteks judul ini.
Dalam menentukan langkah-langkah ini, penulis menggunakan
metode tematik yang dikembangkan oleh al-Farmawi antara lain:
Pertama, menetapkan atau memilih tema yang akan dikaji secara
maudhu’i. Tema yang digunakan adalah proses penciptaan alam dalam
enam masa. Kedua, melacak dan mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan dengan judul yang penulis teliti. Dalam melacak ayat-ayat
tentang judul ini, penulis menggunakan kamus al-Qur’an yang berjudul
Mu’jam al-Mufahras li alfaẓ al-Qur’ān dan kitab Faturrohman. Term
yang didapati dalam kajian ini yaitu Lafadz sittati ayyām. Ketiga,
menjelaskan munāsabah (korelasi) dan asbāb al nuzūl ayat-ayat tersebut
di dalam setiap surahnya.
63
Setelah menjelaskan langkah-langkah dalam penentuan ayat, maka
selanjutnya penulis memaparkan dan menganalisis argumen-argumen
yang dibangun oleh Rasyīd Riḍā dan Ṭanṭāwi tentang tema ini.
A. Klasifikasi Ayat-ayat Mengenai Proses Penciptaan Alam dalam Enam
Masa
1. Surat al-A’rāf ayat 54 ام ث م ام تو ى ع لى وام ة أ ي إأنام ربامك م للام لامذأي خىق لسامماوتأ ولرض فأ تأ
رأهأ أ ى سامرتث مر ولج ي لىاميل ل امهار يطى ب ه حثأيثا ولشاممس و ل لعرشأ ي غشأ ت بارك للام ربج لعالمأي ر يل له لىق ول
Artinya: “Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia
bersamayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang
yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan dan
bintang-bntang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala
penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Maha suci Allah, tuhan
seluruh alam”.(QS. al-A’rāf[7]:54)
2. Surat Yūnus ayat 3
ام ث م ام تو ى ع لى لعرشأ وامة أ ي إأنام ربامك م للام لامذأي خىق لسامماوتأ ولرض فأ تأ يفل تذكامر ون لأك م للام ربجك م فالب د وه ذع ن ب عدأ إأذنأهأ ن شفأيعث إألام أ ا أ ر ي دب أر ل
Artinya: “Sesungguhnya Tuhan kamu Dialah Allah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arsy (singgasana) untuk mengatur segala
urusan. Tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali setelah ada
izin-Nya. Itulah Allah, Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Apakah
kamu tidak mengambil pelajaran?(QS. Yūnus[10]:3)
64
3. Surat Hūd ayat 7
ى ىك م أ لأي ب ام ث وكان ل رش ه لى لما وامة أ ي وه ى لامذأي خىق لسامماوتأ ولرض فأ تأ ىلنام لامذأين ك فر و ن ب عدأ لمىتأ لي ب ع ىث ىن أ ولئأن ق ىت إأنامك م ييجك م يحسن لمل
بأين حرن ذ إألام تأ إأن هعArtinya: “Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, dan ‘Arsy-Nya di atas air, agar dia menguji siapakah
diatara kamu yang lebih baik amalnya. Jika engkau berkata (kepada
penduduk makkah), “Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan setelah
mati,” niscaya orang kafir itu akan berkata, “ini hanyalah sihir yang
nyata”.(QS. Hūd[11]:7)
4. Surat al-Furqān ayat 59
ام ث م ام تو ى ع لى لعرشأ وامة أ ي ه ما فأ تأ لامذأي خىق لسامماوتأ ولرض وا ب ي خبأي بأهأ فاتأل لرامحعن
Artinya: “Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada
diantara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam
di atas ‘Arsy, (Dialah) Yang Maha Pengasih, maka tanyakanlah
(tentang Allah) kepada orang yang lebih mengetahui
(Muḥammad)”. (QS. al-Furqān [25]: 59)
5. Surat Al-Sajadah ayat 4
ام ث م ام تو ى ع لى لع رشأ وام ة أ ي ه ما فأ تأ للام لامذأي خىق لسامماوتأ ولرض وا ب ي يفل ت وذكامر ون ن ولأ ث ول شفأيعث ن د ونأهأ أ ا لك م أ
Artinya: “Allah yang menciptakan langt dan bumi dan apa
yang ada diantara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arsy. Bagimu tidak ada seorang pun
penolong maupun pemberi syafaat selain Dia. Maka apakah kau
tidak memperhatikan? (QS. as-Sajadah [32]:4)
65
6. Surat Qāf ayat 38
ن ل غ ىبث ام ث وا ساما أ وامة أ ي ه ما فأ تأ ا لسامماوتأ ولرض وا ب ي د خى ول
Artinya: “Dan sungguh, kami telah menciptakan langit dan bumi
dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan kami
tidak merasa letih sedikit pun”. (QS. Qāf [50]: 38)
7. Surat Al-Hadīd ayat 4
ام ث م ام تو ى ع لى لعرشأ وامة أ ي ه ى لامذأي خىق لسامماوتأ ولرض فأ تأ وه ى أ وا ي عر ج فأيها ن لسام ما ها وا ي زأل أ ي عىم ا يىأج فأ لرضأ وا ير ج أ
ين ا ت عمى ىن بيأ وللام مأ و م عك م يين ا ك Artinya: “dialah yang meciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia
mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar
dadri dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke
sana. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS. al-Hadīd [57]: 4)
B. Asbāb Nuzūl dan Munāsabat Antar Ayat
1. Asbābun Nuzȗl
Dari tujuh ayat yang penulis teliti, penulis hanya menemukan satu
ayat yang memiliki Asbab al-Nuzūl yaitu QS. Qāf ayat 38. Menurut
Suyuthi surah Qāf memiliki Asbab al-Nuzūl yang diambil dari al-Hākim
meriwayatkan riwayat yang dinilainya shahih dari Ibn Abbas bahwa suatu
ketika orang-orang Yahudi datang kepada Rasulullah menanyakan
penciptaan langit dan bumi. Rasulullah lalu bersabda, “Allah menciptakan
bumi pada hari ahad dan senin; menciptakan gunung dan hal-hal yang
bermanfaat di dalamnya pada hari selasa; menciptakan pepohonan, air,
madain, bahan-bahan pembangunan dan perusakan pada hari rabu;
menciptakan langit pada hari kamis; dan pada hari jumat hingga tersisa
tiga jam terakhir menciptakan bintang-bintang, matahari, bulan dan
malaikat. Dari tiga jam yang tersisa itu, pada jam pertama diciptakan ajal
66
untuk seluruh makhluk, pada jam kedua diciptakan kerusakan yang akan
mengakhiri seluruh hal yang dimanfaatkan manusia, sedangkan pada jam
ketiga diciptakan Adam lalu dimasukan kedalam surga lalu iblis disuruh
untuk sujud kepadanya serta pada penghujung waktu itu juga iblis diusir
dari dalam surga.”
Setelah mendengar jawaban Rasulullah, orang-orang Yahudi itu lalu
bertanya, “setelah itu apalagi wahai Muḥammad?” Rasulullah menjawab,
“selanjutnya Allah bersemayam di ‘Arsy.” Orang-orang Yahudi itu lalu
berkata, “Jawaban engkau akan benar sekiranya engkau sempurnakan.”
Mereka lalu berkata, “setelah semua pekerjaan itu, Allah beristirahat.”
Mendengar ucapan tersebut, Rasulullah menjadi sangat marah. Setelah itu
turunlah ayat, “Dan sesungguhnya telah kami ciptakan langit dan bumi
serta apa yang ada diantara keduanya dalam enam masa, dan kami
sedikitpun tidak ditimpa keletihan.1
2. Munāsabah ayat
Dalam subbab ini penulis menjelaskan munasabah setiap ayat yang
diteliti. dalam hal ini penulis memberikan kolerasi dengan cara melihat
pertema ayat sesuai rujukan primer tafsīr dan terjemahnya Kementerian
Agama RI. Pertama, QS.al- A’rāf ayat 54, pada ayat-ayat yang laluAllah
menggambarkan keadaan orang-orang kafir di akhirat dan penyesalan
mereka karena telah mengikuti anjuran pemimpin-pemimpin dan setan-
setan. Sedangkan rasul-rasul Allah telah datang dan mengajak mereka agar
menganut agama tauhid. Maka pada ayat berikut Allah menjelaskan
bahwa dia adalah pencipta langit dan bumi dan bagaimana besarnya
kekuasaan-Nya dan bagaimana hebat dan rapih ciptaan-Nya, untuk
menjadi bukti bagi manusia bahwa Dia sajalah Tuhan yang berhak
1 Jalaludin Al-Suyuthi, Lubab al-Nuqûl fî Asbab al-Nuzûl, terj. Tim Abdul
Hayyie (Jakarta: Gema Insani, 2008), 532-533.
67
disembah dan dipanjatkan doa kepada-Nya.2 Ayat ini merupakan ayat
tentang tauhid rububiyyah yaitu keyakinan tentang keesaan Allah dan
Allah lah pencipta dan pemelihara alam semesta. Maka pada ayat-ayat
selanjutnya diterangkan tentang tauhid Uluhiyyah yang hanya kepada
Allah lah manusia menyembah dan memohon pertolongan, dan Allah
adalah tempat pengabdian dalam beribadah. Berdoa adalah kunci ibadah.
Maka berdoa itu hanya langsung kepada Allah semata.3
Kedua,QS. Yūnus ayat 3, ayat-ayat yang lalu menjelaskan bahwa al-
Qur’ān mempunyai hikmah, tetapi orang kafir tidak mau percaya bahwa
al-Qur’ān itu dari sisi Allah, diturunkan kepada rasul-Nya Muḥammad
dengan perantaraan malaikat Jibril AS. Mereka mengatakan bahwa al-
Qur’ān itu sihir dan Muḥammad adalah tukang sihir.
Ayat ini merupakan bukti atau dalil untuk membantah pendapat dan
anggapan orang-orang kafir tersebut, dan menetapkan bahwa al-Qur’an
yang dibacakan oleh Nabi Muḥammad benar-benar dari Tuhan yang
menciptakan seluruh alam beserta isinya, dan memberi syafaat dengan
seizin-Nya, juga yang mengurus dan mengatur seluruh alam dan wajib
disembah oleh makhluk-Nya.4
Ayat ini juga menerangkan bahwa Allah dalam penciptaan langit
dan bumi itu tidak dibantu oleh siapapun, Allah itu Esa dan harus diesakan
oleh makhuknya, hanya Dia-Lah yang berhak disembah, dan tidak
dipersekutukan dengan yang lain. Kemudian ayat setelahnya
menerangkanprinsip pokok ajaran tauhid lainnya, yaitu adanya hari
2 Kementerian Agama RI, Tafsīr al-Qur’ān dan Terjemahnya, Jilid 1(Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), 356. 3 Kementerian Agama RI, Tafsīr al-Qur’ān dan Terjemahnya, 362. 4 Kementrian Agama RI, Tafsīr al-Qur’ān dan Terjemahnya, Jilid 4 (Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), 251-252.
68
kebangkitan disertai dengan bukti dan hikmah Allah mengadakan hari
kebangkitan.5
Ketiga,QS. Hūd ayat 7, ayat sebelumnya menerangkan kekuasaan-
Nya yang meliputi segala sesuatu, Allah mengetahui apa yang
tersembunyi dalam hati hambanya. Maka pada ayat ini Allah
mengemukakan apa yang seharusnya menjadi perhatian manusia
sehubungan dengan kekuasaan dan ilmu-Nya serta apa yang berhubungan
dengan hidup,maupun kehidupan manusia yang beraneka ragam.
Kemudian Allah menerangkan bahwa Dia-lah yang menciptakan alam
semesta. Kesemuanya itu diciptakan untuk menguji manusia, agar mereka
mengetahui siapa diantara mereka yang lebih baik amalnya dan siapa yang
paling banyak mengambil manfaat dari alam semesta itu untuk
kebahagiaan hidup mereka di dunia dan akhirat.6
Ayat ini merupakan ayat yang menerangkan penciptaan langit dan
bumi untuk menguji manusia apakah mereka mensyukuri nikmat Allah
atau megingkarinya. Pada ayat selanjutnya Allah menerangkan tabiat
manusia pada umumnya, yaitu apabila mereka di Anugerahi nikmat oleh
Allah kemudian nikmat itu dicabut, ia bersikap putus asa. Apabila ia diberi
nikmat setelah mengalami bencana dan kesulitan, maka timbulah
kesombongan dan kebanggaan. Demikian tabiat manusia pada umumnya,
kecuali orang-orang sabar yang selalu mensyukuri nikmat Allah dan
berbuat amal saleh.7
Keempat, QS.al-Furqān ayat 59, pada ayat-ayat yang lalu, Allah
menjelaskan tanda-tanda keesaan-Nya di alam ini dan keindahan ciptaan-
Nya, yang penuh berisi hikmah dan kebijaksanan. Pada ayat-ayat ini,
Allah menerangkan sikap dan perbuatan kaum musyrikin yang tetap saja
5 Kementrian Agama RI, Tafsīr al-Qur’ān dan Terjemahnya, 255. 6 Kementrian Agama RI, Tafsīr al-Qur’ān dan Terjemahnya, 386. 7Kementerian Agama RI, Tafsīr al-Qur’ān dan Terjemahnya, 389.
69
berpaling dari petunjuk dan kebenaran, bahkan tetap menyembah berhala
yang tidak memberi manfatat dan kemudaratan apa-apa.8 Ayat-ayat ini
merupakan ayat yang menerangkan tentang sifat-sifat orang kafir yang
tidak mau patuh dan taat kepada perintahnya serta enggan bersujud
kepadanya. kemudian pada ayat-ayat selanjutnya Allah menerangkan sifat-
sifat orang mukmin yang benar-benar beriman dan berhak diberi julukan
“hamba Allah yang Maha Pengasih, Penyayang” karena ketaatan dan
ketinggian akhlaknya yang patut menjadi contoh teladan bagi manusia
sebagai hamba Allah yang akan memperoleh kemuliaan di akhirat.9
Kelima, QS. al-Sajadah ayat 4, pada ayat-ayat yang lalu diterangkan
kebenaran al-Qur’ān sebagai kalamullah dan kebenaran risalah
Muḥammad Saw sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan kepada
orang-orang musyrik. Pada ayat-ayat ini diterangkan bukti-bukti
kekuasaan dan keesaan Allah yang terdapat pada penciptaan langit dan
bumi pada permulaannya, kemudian penciptaan manusia dari tanah dan
keturunannya dari sari pati air yang hina, kemudian Allah
menyempurnakannya sebagai manusia.10 Ayat-ayat ini merupakan ayat
yang menerangkan bahwa Allah mengutus Muḥammad saw sebagai nabi
dan rasulnya untuk menyampaikan peringatan kepada manusia, dan untuk
membuktikan bahwa yang berhak disembah itu hanyalah Allah yang Maha
Esa yang menciptakan langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya.
Kemudian pada ayat-ayat selanjutnya diterangkan bukti-bukti adanya
kebangkitan dan sikap orang-orang kafir yang tertunduk lesu, menyesali
perbuatan di dunia, dan mengetahui tempat kembalinya berupa neraka.11
8 Kementerian Agama RI, Tafsīr al-Qur’ān dan Terjemahnya, Jilid 7 (Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), 39-40. 9 Kementerian Agama RI, Tafsīr al-Qur’ān dan Terjemahnya, 47. 10 Kementerian Agama RI, Tafsīr al-Qur’ān dan Terjemahnya, 580. 11Kementerian Agama RI, Tafsīr al-Qur’ān dan Terjemahnya, 586-587.
70
Keenam, QS. Qāf ayat 38, pada ayat-ayat yang lalu, Allah
memberikan gambaran kepada orang-orang yang beriman dengan akan
datangnya balasan yang penuh dengan kenikmatan. Pada ayat-ayat berikut
ini, Allah memberikan peringatan tentang adanya azab di dunia yang dapat
dilihat dan disaksikan dalam sejarah orang-orang yang dahulu, yang
mendustakan para rasul yang menyeru mereka kepada agama tauhid.
Umat-umat dahulu jika dibandingkan kekuatan fisiknya, jauh lebih kokoh
daripada umat sekarang. Mereka yang telah dibinasakan itu pernah
menjelajahi beberapa negeri, akan tetapi kekuatan dan keangkuhan mereka
tidak dapat menolak datangnya azab Allah. Semestinya bagi orang yang
mempunyai akal atau menggunakan pendengaran, peristiwa itu menjadi
peringatan yang membawa kepada kesadaran.12 Ayat ini merupakan ayat
menerangkan tentang hari kabangkitan disertai dengan dalil-dalilnya yang
meyakinkan, akan tetapi orang-orang musyrik tetap juga bersikap ingkar.
Dan pada ayat-ayat selanjutnya dijelaskan soal kebangkitan dengan cara
yang lebih serius lagi, yaitu diadakan sumpah . Sumpah Allah yang
dijumpai dalam al-Qur’an itu semuanya dimaksudkan untuk
memperlihatkan kekuasaan Allah yang sempurna dan agar isi uraian
setelah sumpah itu benar-benar diperhatikan. Sebab setiap pembicaraan
yang dimulai dengan sumpah, tentu menarik perhatian.13
Ketujuh, QS. Al-Hadīd ayat 4 pada akhir surat al-Waqi’ah
diterangkan kedahsyatan sakaratulmaut dan nasib manusia yang berbeda-
beda, serta perintah untuk bertasbih. Pada ayat-ayat ini menerangkan
bahwa seluruh makhluk bertasbih kepada Allah.14 Ayat ini merupakan
ayat yang menyatakan bahwa Dia Maha Kuasa, Maha Esa, Maha Tahu,
12Kementerian Agama RI, Tafsīr al-Qur’ān dan Terjemahnya, 448-449. 13 Kementerian Agama RI, Tafsīr al-Qur’ān dan Terjemahnya, Jilid 9(Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), 456. 14Kementerian Agama RI, Tafsīr al-Qur’ān dan Terjemahnya, 664.
71
Maha Besar dan menyatakan bahwa lagit dan bumi serta seluruh isinya
berada dalam genggamannya. Dia mengatur segala sesuatu menurut
hikmah kebijaksanaannya, dari yang besar sampai kepada yang sehalus-
halusnya, semuanya agar diperhatikan dan dijadikan iktibar. Pada ayat
selanjutnya Allah menyatakan beberapa kewajiban agama serta
memerintahkan agar setiap manusia mempunyai iman yang sempurna
yang dapat menjauhkannya dari perbuatan maksiat dan membiasakan
dirinya mengerjakan amal saleh, serta megakui keesaan Allah dan
kebenaran rasulnya.15
C. Penafsiran Rasyīd Riḍā
Di antara tujuh ayat mengenai masa penciptaan alam (sittati ayyām),
Rasyīd Riḍā hanya menafsirkkan 3 ayat saja, yaitu surat Al-A’rāf ayat 54,
surat Yūnus ayat 3 dan surat Hūd ayat 7, dikarenakan sebelum Rasyīd Riḍā
menyelesaikan karya tafsirnya, ajal telah menjemput dan memaksa ia tak
bisa menyelesaikan karyanya tersebut, karya tafsirnya ini dimulai dari QS.
al-Fātihah sampai dengan QS. Yūsuf ayat 111. Sedangkan ayat-ayat yang
penulis kaji antara lain surat al-A’rāf ayat 54, surat Yūnus ayat 3, surat
Hūd ayat 7, surat al-Furqān ayat 59, surat al-Sajadah ayat 4, surat Qāf
ayat 38 dan surat al-Hadīd ayat 4.
1. Surat al-A’rȃf ayat 54
ام ث م ام تو ى ع لى ل عرشأ وام ة أ ي إأنام ربامك م للام لامذأي خىق لسامماوتأ ولرض فأ تأ يل له رأهأ أ ى سامرتث مر ولج ي لىاميل ل امهار يطى ب ه حثأيثا ولشاممس ول ي غشأ
ت بارك للام ربج لعالمأي ر لىق ول Artinya: “Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersamayam di atas ‘Arsy.
Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat.
(Dia ciptakan) matahari, bulan dan bintang-bntang tunduk kepada
15Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qur’an dan Terjemahnya, 670-671.
72
perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-
Nya. Maha suci Allah, tuhan seluruh alam”. (QS. al-A’raf [7]:54).
Dalam kitab al-Manār, Rasyīd Riḍā menjelaskan sebagai berikut:
ماله يكىن فيه، ل لسوة فهي ن الله لتي يوحدد ليى ها بعمل ن لوا هذه ن لذي يمواز فيه ن غيه كا وياز ا م فان ليى ا يحدها ن لىر ف لىغة هى لز
ت ين يذكر ولظل ، و لعرب ما كان فيها ن لحرب وليا ، و الله لتي ير ى ه بها ا لد ربك كالف تقى ة نعمه لىيهم، وقد قال تعالى )وإن يى ة مما ، يي يزل يعل ن ووصف يى لياة بىله )ف يى كان دره خمسي لف تة ( و (تعدونفكيف هذه ل ن رضا، فان هذه ل نما وجدت بعد خىق هذه لرضتكىن
ىرة )حم وصف تعالى خىها وخىق لسما ف تيكىن يصل خىها ف ها. وقد ىرة ما يدل لى هذه ل ، ووصف صل تكىيهما وحال ادتهما ف ت لسدة( لنبيا.
Penafsiran yang dilakukan oleh Rasyīd Riḍā berbeda dengan
Ṭanṭāwi Jauharī. Terlihat sekali pada ayat pertama Rasyid Rida memulai
penafsiran dengan pembahasan definisi sittati ayyām (enam hari). Secara
metodologis Rasyīd Riḍā melakukan penafsiran yang mengkoneksi satu
ayat dengan ayat lain di dalam al-Qur’an. Hal ini nampak ketika ia
menjelaskan makna enam masa di dalam ayat ini. Enam hari penciptaan
menurut Rasyīd Riḍā ialah hari-hari yang dibatasi dengan sebuah proses
penciptaan. Alasannya adalah kerena hari secara bahasa adalah masa atau
waktu yang membedakan suatu proses dengan proses yang lain. Ini
dijelaskan lebih lanjut seperti perbedaan pada hari-hari yang kita alami
saat ini yang dibatasi dengan waktu terang dan waktu gelap. Orang Arab
menyebut hari-hari mereka dengan mengaitkannya pada sebuah
peperangan atau hari yang berkaitan dengan kenikmatan yang Allah
73
berikan kepada mereka (orang Arab) seperti kenikmatan yang diberikan
kepada nabi Musa as.16
Dalam menjelaskan durasi waktu hari disisi Allah, Rasyīd Riḍā
menerangkannya sebagai kurun waktu yang setara dengan seribu tahun
menurut perhitugan manusia. Ini dikuatkan dengan Firman Allah dalam
surah al-Haj ayat 47.17
ا لأد رب أك كألفأ تة ممأاما وإأنام ي ى لعذبأ ولن ي ىأف للام ولده ى ىنك بأ أ ويسو ع ت ع دجون
Artinya, “Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu
disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-
Nya. Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu
tahun menurut perhitunganmu”.
Ini menjadi bukti bahwa Rasyīd Riḍā menekankan intratektulitas
dalam menafsirkan suatu ayat, di mana satu ayat ditafsirkan dengan ayat
yang lain di bagian lain al-Qur’an (tafsīr al-Qur’ȃn bī al-Qur’ȃn).
Menurutnya, tidak rasional jika enam hari penciptaan tersebut
ditafsirkan sama dengan hari-hari yang dialami oleh manusia, dimana hari-
hari yang dialami ini dibatasi oleh siang dan malam dengan rentang waktu
24 jam seperti yang dialami oleh manusia saat ini, termasuk penulis.
Mengapa demikian? Karena hari-hari yang dialami saat ini tercipta jauh
setelah terciptanya bumi dan sangat mustahil itu menjadi dasar atas
kesamaan antara enam hari-Nya Allah dengan kita.18
Dalam hal ini Allah telah memberikan gambaran tentang penciptaan
langit dan bumi pada surat Fussilat ayat 9-12 dan pada surat al-Anbiyā’
ayat 30.
16 Muḥammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Tafsir al-Manâr, jilid 8(Mesir: Daar al-
Manâr, 1947), 445. 17 Muḥammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Tafsir al-Manâr, 445. 18Muḥammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Tafsir al-Manâr, 445.
74
لامذأي خىق لرض فأ ي ىيأ وت عى ىن له يندد ذلأك ربج ق ل يئأامك م لوكف ر ون بأام ث ن ف ىقأها وبرك فأيها وقدام ر فأيها يق ىتها فأ يرب ع ة أ ي ي أ لعالمأي )9( وجعل فأيها روتأال ل ا ولألأرضأ أئوأيا طىلا ي د خانن ف أ وهأ لأىسامائأىأي )10( م ام تو ى إألى لسامما تىث ا ىتث فأ ي ىيأ و يوح فأ ك ل أ ضاه نام تبع ا طائأعأي )11( ف يو كرها قالوا يت ي
دأ ير لعزأيزأ لعىأيمأ )12 فظا ذلأك ت ن ي ا مأيابأيح وحأ لدج رها وزي اماما لسامما ي(9) Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu ingkar kepada
Tuhan yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan
pula sekutu-sekutu bagi-Nya? Itu adalah Rabb semesta alam". (QS.
Fussilat [41]:9)
(10) Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang
kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya
kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa.
(Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.
(QS. Fussilat [41]:10)
(11) Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan
langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan
kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku
dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang
dengan suka hati". (QS. Fussilat [41]:11)
(12) Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa.
Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi
langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami
memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan
Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (QS. Fussilat [41]:12)
أ ن ل ما وجعىا أ ا اه ا ف فو يول ي ر لامذأين كفر و ينام لسامماوتأ ولرض كان وا رت ىن يفل ي ؤأ حي ث
ث ك لام شيArtinya: “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak
mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah
suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan
dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah
mereka tiada juga beriman?” (QS. al-Anbiyā’ [21]:30)
75
Dari ayat-ayat di atas bisa ambil beberapa pembahasan, yang
pertama material yang digunakan untuk penciptaan langit dan bumi adalah
benda sejenis asap sebagaimana yang disampaikan oleh al-Raghib dalam
kitabnya mufradat al-Qur’an. Kemudian al-Suyūṭi menafsirkan bahwa
asap tersebut adalah uap yang berterbangan dan al-Baidawi menafsirkan
bahwa asap tersebut ialah mutiara gelap yang tersusun daripada butiran-
butiran kecil.
Kedua, material yang berupa uap ini dahulunya menyatu kemudian
Allah pisahkan sebagian dari yang lainnya, kemudian Allah ciptakan dari
pisahan-pisahan tersebut langit yang tinggi dan bumi.
Ketiga, bahwa penciptaan bumi terjadi selama dua hari dan
dibentuklah daratan dan gunung-gunung, kemudian diciptakannya sumber
makanan berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan dalam dua hari
sehingga sempurnalah empat hari. Dan pembahasan yang terakhir, bahwa
seluruh tumbuhan hidup dan juga hewan-hewan diciptakan dari air.19
Penafsiran Rasyīd Riḍā mengenai ayat ini didukung oleh ulama
tafsir lainnya, seperti al-Maraghi, ia menjelaskan bahwa penciptaan langit
dan bumi itu adalah berasal dari asap atau seperti uap.20 Kemudian Hamka
dalam kitabnya Tafsir al-Azhar menjelaskan bahwa zaman pertama,
semuanya masih merupakan uap dan kabut.21
Maka dapat diambil kesimpulan dari keempat pembahasan tersebut,
bahwa hari pertama adalah penciptaan bumi dari asap setelah
dipecahkannya gumpalan asap tersebut. Dan dari pecahan asap itu pula
diciptakanlah segala sesuatu secara langsung maupun tidak langsung. Dan
pada hari kedua diciptakanlah air yang sebelumnya berbentuk uap atau
19 Muḥammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Tafsir al-Manâr, 446. 20 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid 7 (Kairo: Mustafa al-
Babi al-Halabi, 1974), 170. 21Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 7 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), 251.
76
asap. Kemudian pada hari ketiga terbentuklah daratan dan dari daratan itu
munculah gunung-gunung. Pada hari keempat munculah jenis-jenis
kehidupan yang berasal dari air, diantaranya tumbuh-tumbuhan dan juga
hewan-hewan. Dan itu merupakan empat fase dari penciptaan makhluk
yang saling berhubungan. Adapaun penciptaan langit yang dimana langit
tersebut merupakan alam yang tinggi bagi penduduk bumi, dan telah
disempurnakan bentuk fisiknya yang asalnya adalah asap selama dua
hari.22
Dalam hal ini, Rasyīd Riḍā menolak hadits yang memberikan
spesifikasi hari tentang enam masa ( وامة أ ,dalam proses penciptaan alam (تأ
hal ini seperti yang diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah. Abu Hurairah berkata:
“Rasulullah memegang tanganku lalu bersabda, “Allah
menciptakan tanah pada hari sabtu, menciptakan bukit-bukit pada
hari ahad, menciptakan pohon pada hari senin, menciptakan hal-hal
yang tidak baik pada hari selasa, menciptakan cahaya pada hari rabu,
menciptakan gunung-gunung pada hari kamis dan menciptakan
Adam pada hari jum’at sesudah ashar, merupakan ciptaan terakhir,
pada saat terakhir itu antara waktu ashar dan permulaan malam”.
(Riwayat Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah)
Hadits ini ditolak oleh para ahli hadits karena bertentangan dengan
naṣ al-Qur’an. dari segi sanad pun matannya. Karena hadits ini merupakan
hadits yang lemah karena diriwayatkan oleh Hajjad bin Muḥammad al-
Ajwar dari Juraij yang sudah tidak waras di akhir hayatnya.23
Menurutnya, hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah merupakan
hadits Israilliyat.24 Sehingga hadits ini menjadi tidak shohih. alasannya
22Muḥammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Tafsir al-Manâr, 447. 23Kementerian Agama RI, Tafsīr al-Qur’ān dan Terjemahnya, Jilid 8 (Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), 359-360. 24Israilliyat adalah cerita yang dikisahkan dari sumber Israil, yang dinisbatkan
kepada Ya’kub dan Ishaq bin Ibrahim As. Yang memiliki 12 keturunan dan dinyatakan
77
bahwa seribu tahun itu mencakupi seluruh hari tanpa memberikan
spesifikasi hari di dalam seribu tahun tersebut. hadits palsu (ḍaif/mauḍū’)
ini merupakan al-dakhīl fī al-Tafsīr yang merupakan sumber-sumber luar
yang tidak bisa diterima sebagai tafsīr yang benar dan autentik. 25
2. Surat Yūnus ayat 3
ي دب أ ر ام ث م ام تو ى ع لى لعرشأ وامة أ ي إأنام ربامك م للام لامذأي خىق لسامماوتأ ولرض فأ تأ يفل تذكامر ون لأك م للام ربجك م فال ب د وه ذع ن ب عدأ إأذنأهأ ا أن شفأيعث إألام أ ر ل
Artinya: “Sesungguhnya Tuhan kamu Dialah Allah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan.
Tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali setelah ada izin-Nya. Itulah
Allah, Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Apakah kamu tidak mengambil
pelajaran?” (QS. Yūnus[10]:3)
Dalam kitab al-Manār, Rasyīd Riḍā menjelaskan sebagai berikut:
لىف لسي لىقت لذي يحده حدث يحدث فيه، ون كان ي فان ليى ف لىغة هىر قدرها فان ن هذه لرض لفىكيه لتي وجدت بعد خىها، يي وجدها كىها مادي
لىق ف لىغة لودير.Pada ayat ini tidak jauh berbeda dengan interpretasi ayat sebelumnya
yang dimulai dengan pembahasan defenisi hari. menurut Rasyīd Riḍā hari
disini menurut bahasa adalah waktu yang dibatasi oleh kejadian yang
terjadi pada waktu tersebut. Dan adapun hari pada ayat ini setara dengan
ribuan tahun sesuai perhitugan bumi yang didapati setelah penciptaan
bumi.26 Pernyataan ini sangat berbeda dengan Ṭanṭāwi Jauharī
dikarenakan maṣādir al-tafsīr (sumber-sumber interpretasi) merekalah
sebagai Yahudi serta Bani Israil. Muḥammad Husein al-Dzahabi, Israiliat dalam Tafsir
dam Hadits, Terj. Didin Hafiduddin, (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 1987), 7. 25Muḥammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Tafsīr al-Manâr, Jilid 8 (Mesir: Dar al-
Manar, 1947),449-450. 26Muḥammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Tafsir al-Manâr, jilid 11 (Mesir: Dar al-
Manar, 1947), 295.
78
yang menjadi titik pembeda. Ṭanṭāwi Jauharī menggunakan rasionalitas
sedangkan Rasyīd Riḍā menggunakan teks to teks (interpretasi tektualis).
Secara implisit ketika dianalisis menggunakan metodologi ta’wil
penafsiran Ṭanṭāwi Jauharī dan Rasyīd Riḍā memiliki kesamaan yaitu
mendefenisikan enam hari dengan masa waktu yang lama. Tetapi yang
menjadi perbedaan adalah dalam memberikan Maṣādir al-Tafsīr (sumber-
sumber tafsir) sehingga ketika menggunakan kategorisasi siapa yang benar
dan salah maka hemat penulis Rasyid Ridah masih dalam lingkup benar
atau dikenal dengan teori al-aṣil fī tafsīr27 (sumber utama) yang berupa bī
al-Maṡur (ayat dengan ayat) sedangkan Ṭanṭāwi Jauharī bisa
dikategorikan salah karena menghadirkan rasionalitas yang tidak memiliki
batasan sehingga bisa disebut dengan al-dakhīl fī tafsīr28 (sumber luar).
3. Surat Hȗd ayat 7
ى ىك م أ لأي ب ام ث وكان ل رش ه لى لما وامة أ ي وه ى لامذأي خىق لسامماوتأ ولرض فأ تأ ىلنام لامذأين كفر و إأ ن ن ب عدأ لمى تأ لي ب ع ىث ىن أ ولئأن ق ىت إأنامك م ييجك م يحسن لمل
بأين حرن ذ إألام تأ هعArtinya: “Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, dan ‘Arsy-Nya di atas air, agar dia menguji
siapakah diatara kamu yang lebih baik amalnya. Jika engkau berkata
(kepada penduduk makkah), “Sesungguhnya kamu akan
dibangkitkan setelah mati,” niscaya orang kafir itu akan berkata, “ini
hanyalah sihir yang nyata”. (QS. Hȗd [11]:7)
27 al-aṣil fī tafsīr secara etimologi berasal dari bahasa Arab al-aṣl yang berarti
asal, valid, dasar, pokok, dan sumber. Dalam bahasa Inggris al-aṣil sepadan dengan kata
authentic yang berarti asli, orisinal, valid, dan genuine. Dalam bahasa Arab dikatakan
syay’un aṣīlun berarti sesuatu yang memiliki asal usul kuat, rajulun aṣīlun adalah
pemuda yang memiliki asal usul yang jelas dan memiliki akal yang kuat dan sehat. Dr.
Muḥammad Ulinnuha, Metode Kritik Ad-Dakhīl fī al-Tafsīr (Jakarta: QAF, 2019), 48. 28 al-dakhīl fī tafsīr secara terminologis, fāyed mendefinisikan al-dakhīl dengan
penafsiran al-Qur’an yang tidak memiliki sumber, argumentasi dan data yang valid dari
agama. Dengan kata lain, al-dakhīl adalah penafsiran yang tidak memiliki landasan yang
valid dan ilmiah, baik dari al-Qur’an, hadits ṣahih, pendapat sahabat dan tabi’in, maupun
dari akal sehat yang memenuhi kriteria dan persyaratan ijtihad. Dr. Muḥammad
Ulinnuha, Metode Kritik Ad-Dakhīl fī al-Tafsīr (Jakarta: QAF, 2019), 52.
79
ghghghDalam kitab al-Manār, Rasyīd Riḍā menjelaskan sebagai
berikut:
ا شا ن لطىر، ل ن ا ف ه ده لدر لتي ن الله تعالى ف لىق وتكىين ولغافىىن لن هذ وجدت بهذلىق ل قبىه، فل ييح ين تدر الله بها كما تىها ا لد ربك كالف تة مما تعدون( وقىله ا يؤيده ن قىله )وإن يى لملئكة ولروح عرج ت)و
ىكية ن غي ليه ف يى كان دره خمسي لف تة ( وقد ثبت ف لىم ليئة لفطىلا، لرض ن لدرري لوابعة لظا شمسا هذه تخوىف لن هذه لرض فىين بخىه ن بحسب خولف ادير يجرها ويبعادها وتر لوها ف دورنها، وين لوك
ليى ها لىف لسدم شمىتا ضيئة ، توبعها كىكب ية، يدر بلدخان لمعبر له تىري للىف ن تيا بل سني ترلة لىر ييضا، وقد تبق ثل هذه لجمىة ف
للرف و يىنس.
Pada kasus ini, Rasyīd Riḍā dan Ṭanṭāwi Jauharī memiliki kesamaan
dalam menginterpretasikan ayat ini. Bahwa satu hari proses penciptaan
memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan satu hari yang
dirasakan oleh manusia di bumi. Bahasa yang digunakan Rasyīd Riḍā satu
harinya Allah bagi makhluk merupakan bentuk fase dan bukan seperti hari
saat ini yang terjadi di muka bumi yang keberadaannya menurut
perhitungan makhluk di bumi dan bukan sebelum diciptakannya bumi.
Maka tidak benar jika hari-hari Allah disamakan dengan hari-hari kita
sebagaimana yang disangkakan oleh orang-orang lalai. Dan diantara yang
menguatkan hal tersebut adalah firmannya Allah dalam surat al-Hajj ayat
47 dan surat al-Ma’arij ayat 4.
Rasyīd Riḍā juga menambahkan tentang ilmu astronomi bahwa hari-
hari pada planet selain bumi seluruhnya memiliki perbedaan dengan hari
yang ada di bumi sesuai dengan perbedaan ukuran bentuk fisiknya dan
juga jarak serta kecepatan perputarannya. Adapun hari-hari penciptaan
asap menjadi matahari dan juga bintang-bintang yang menyala, Maka satu
80
hari tersebut setara jutaan tahun menurut perhitungan kita. Dan telah
lampau pembahasan ini pada surat al-A’rāf ayat ayat 54.29
Dari pembahasan penafsiran tafsīr al-manār tentang ام وامة أ ي dapat تأ
disimpulkan bahwa, konsep enam hari tidak bisa samakan dengan masa
yang dibumi sebab enam hari di dalam teks ayat ini tidak bisa
dirasionalkan karena tidak bisa dijangkau oleh akal. Ia juga memberikan
penjelasan bahwa penciptaan dengan ketentuan hari-hari juga tidak
dibenarkan seperti penciptaan bumi dihari jumat menurutnya ini
merupakan periwayatan yang tidak benar karena merupakan israiliyat. Ia
menolak rasionalitas dan hadits-hadist yang membicarakan spesifikasi
enam hari secara tak langsung ia berpegang dengan masādir al-tafsīr
(sumber penafsiran) utama yaitu al-aṣīl fī tafsīr (sumber dasar) baik itu bi
ma’ṡur dan bi al-ra’yi. Inferensinya (kesimpulan), Rasyid Rida nantinya
berbeda dalam memberikan sumber penafsiranya dengan Ṭanṭāwi Jauharī.
Untuk memperjelas bagaimana proses atau tahapan penciptaan alam
dalam enam masa menurut Rasyīd Riḍā dan Ṭanṭāwi Jauharī, penulis
mengahdirkan tabel agar lebih mudah dipahami.
Tabel 4.3. Perbedaan tahapan penciptaan
Rasyīd Riḍā Ṭanṭāwi Jauharī
1. Penciptaan bumi
2. Penciptaan air
3. Penciptaan daratan dan dari
daratan itu muncul gunung-
gunung.
4. Penciptaan jenis-jenis
1. Penciptaan matahari
2. Penciptaan bumi
3. Penciptaan air
4. Penciptaan tumbuh-tumbuhan
5. Penciptaan hewan
6. Penciptaan manusia
29Muḥammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Tafsīr al-Manār, Jilid 12 (Mesir: Dar al-
Manar, 1947),15-16.
81
kehidupan yang berasal
dari air.
Dan hari kelima dan keenam
penciptaan langit.
D. Penafsiran Ṭanṭāwi Jauharī
Ayat-ayat yang membicarakan tentang ام وامة أ ي (enam hari) تأ
ditemukan di dalam al-Qur’an sebanyak tujuh ayat. hanya saja Ṭanṭāwi
Jauharī tidak menafsirkan semua ayat ini dikarenakan memiliki
interpretasi yang sama. ayat-ayat yang diinterpretasikan oleh Ṭanṭāwi
Jauharī ada tiga ayat, yaitu surat Al-A’rāf ayat 54, surat Yūnus ayat 3 dan
surat Al-Furqān ayat 59. Sedangkan empat ayat yang lain merujuk kepada
ayat-ayat yang telah diinterpretasi di dalam ayat-ayat sebelumnya, di
antaranya: QS. As-Sajadah ayat 4, QS. Qāf ayat 38 dan QS. Al-Hadīd ayat
4 merujuk kepada QS. al-Furqān ayat 59, sedangkan QS. Hūd ayat 7
merujuk kepada interpretasi QS. Yūnus ayat 3.
1. Surat Yūnus ayat 3
ام ث م ام تو ى ع لى وام ة أ ي إأنام ربامك م للام لامذأي خىق لسامماوتأ ولرض فأ تألأ ك م للام ربجك م فالب د وه ذع ن ب عدأ إأذنأهأ ن شفأيعث إألام أ ا أ ر ي دب أر ل لعرشأ
يفل تذكامر ون Artinya: “Sesungguhnya Tuhan kamu Dialah Allah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arsy (singgasana) untuk mengatur segala
urusan. Tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali setelah ada
izin-Nya. Itulah Allah, Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Apakah
kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Yūnus [10]: 3)
Dalam kitab al-Jawāhir, Ṭanṭāwi Jauharī menjelaskan sebagai
berikut:
82
سها وكانت فاذ نظرنا لهل لرض رييا ليى لدهم لبارة لن دورتها رة وحدة حىل نفان يخر ينها بسبب تي لشمس حىل لرض كل يى هذه وليىة ن لمدة عوبرة ف ز
رض لى حرروها لشرق لى لغروب فىما تبي بطلن هذ تور لى نه بسبب دورن لي كىكب عىل سوعدون ين يبىى ين يكىن ليى در مدر تنفسها. فاذن يهل ل
ثابوة فانه حىل كىكب خرو با لىيه لى لوبرناه كذلك ونظرنا لكىكب ن لكىكب لثات للف ولف للفقديوم كما تد ف دورته ف ثات لسي بل ف لفها و
ا لد ربك كالف تة ىضع ن هذ لوفسي. فاذ قرينا ف لري مما تعدون( ن )وإن يىفانا نىل ن وقرينا )ف يى كان دره خمسي لف تة ( ونظرنا ف لىم لفىك لحديث
قبل ذلك ون ل يكن لدنا كذلك ولعل لنسانىليى ذ لوبرناه ن هذه لاحية لمذكىرة ف تكىن تىك ل تابا قىا ن ليى قد يكىن لف للف ن لسي وذن
توة صدق لرين لوفوح لعىل لى لبحث فاذ ع لاس ن الله خىق لعال فىن وكذب وشك يكثر لموعىمي وتركى لذين وصبحى ف حي ة وف شك ن لجهل لؤ
ليل لجهالة ظىم.Dalam meletakkan posisi ayat, penulis menyusun sesuai dengan
penjelasan Rasyīd Riḍā yang dimulai dengan penjelasan defenisi dan
durasi hari. di dalam tafsir Ṭanṭāwi Jauharī, ia menjelaskan defenisi sittati
ayyām secara eksplisit dimuat dalam QS. Yūnus [10]: 3. Sehingga
penempatan ayat, penulis tidak mengikuti sistematika nomor surah.
Dalam ayat ini Ṭanṭāwi Jauharī menjelaskan mengenai defenisi
tentang enam hari. Metodologi yang ia bangun juga berdasarkan
rasionalitas dan hasil ijtihad pemikiran pribadi. Ia menjelaskan
bahwasannya satu hari bagi penduduk bumi merupakan satu kali putaran
bumi (revolusi bumi) seperti yang kita ketahui saat ini. Kemudian beliau
juga mencantumkan pendapat para ahli ‘uqul bahwasannya satu hari itu
bisa diartikan jarak antara bintang dengan bintang. Ia juga mengutip dalam
al-Qur’ān mengenai defenisi enam hari bahwa sesungguhnya satu hari di
83
sisi tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu. Pada
ayat lain Allah juga mengatakan dalam satu hari yang kadarnya lima puluh
ribu tahun. dalam hal ini Ṭanṭāwi Jauharī tidak mengikuti diktum yang
dibawa oleh al-Qur’an sebab ayat-ayat mengenai hal ini memiliki unsur-
unsur mutasyabihāt (antroformisme), sehingga dalam menafsirkan
membutuhkan pentakwilan makna. Makna yang diberikan oleh Ṭanṭāwi
Jauharī juga tidak jauh beda dengan diktum al-Qur’an. Kesamaannya
adalah enam hari ini memiliki masa yang cukup lama dan tidak bisa
diukur oleh sesuatu. Al-Qur’an memberikan penjelasan satu hari sama
dengan ribuan tahun di bumi, sedangkan Ṭanṭāwi Jauharī menafsirkan satu
hari sama dengan putaran bumi. Sehingga secara implisit memliki
inferensi yang sama yaitu waktu yang lama dan membutuhkan masa
ribuan tahun di bumi. Sebagai penguat argumentasi Ṯanṯāwi Jauharī ia
juga memberikan pendapat ilmu falak (astronomi) modern. Pandangan
ilmu falak kita akan mengatakan bahwa satu hari bisa diartikan ribuan
tahun. Dan perhitungan hari tersebut di dalam al-Qur’an bertujuan agar
membuka jalan pikiran kita untuk melakukan penelitian.30
Ṭanṭāwi Jauharī dalam memberikan rasionalitas terhadap
menafsirkan ayat ini tidak didasari dengan kemauan hawa nafsunya.
Tetapi ia berpijak dan berlandasan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang
mendorong untuk melakukan pintu ijtihad dalam menafirkan ayat-ayat
sehingga tidak terjadi mis-interpretasi bagi pembaca dan kalangan awam.
inilah maksud dan tujuan agama untuk menjadikan sebuah keraguan
sebagai dasar penelitian dan pembahasan yang di mana hal tersebut
melahirkan hikmah dan juga falsafah hingga terlahirlah orang-orang yang
cerdas. dan ini lah yang menjadikan Ṭanṭāwi Jauharī untuk melakukan
30 Ṭanṭāwi Jauharī, al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān, Jilid 6 (Beirut: Dar el-Fikr,
1350 H), 5.
84
analisa pada ayat ini, karena memberikan faidah penciptaan langit dan
bumi dalam enam hari secara berangsur sebagaimana yang kita fahami. 31
Hebatnya, ia tidak hanya stagnasi dalam memberikan diktum-diktum
ini saja, ia juga memberikan referensi di luar Islam seperti dogma dalam
pembaharuan (kitab Injil). Dalam kitab Injil dijelaskan mengenai proses
penciptaan yang cukup berbeda dengan interpretasi Ṭanṭāwi Jauharī. Di
antaranya: Penciptaan pertama allah menciptakan langit dan bumi,
kemudian setelah itu Allah sebarkan cahaya dan kegelapan, malam dan
siang, sedangkan bumi masih berbentuk reruntuhan. Dan ruh Allah berada
di atas permukaan air dan dari air tersebut Allah ciptakan kulit dan jadilah
langit. Dan dari langit tersebut Allah ciptakan sore dan pagi (masa). Dan
dari sisa air yang lain berada di bawah langit dan berkumpul disatu
tempat. Dan sisa tanah yang lain menjadi kering hingga menumbuhkan
rerumputan, tetumbuhan dan pepohonan. Lalu Allah ciptakan bulan,
matahari, dan bintang-bintang di langit. Dan Allah ciptakan dari air
tersebut binatang melata yang memiliki nyawa kemudian burung-burung
serta binatang-binatang yang lain, setelah itu Allah menciptakan manusia
laki-laki dan perempuan. Kemudian diakhiri dalam pembaharuan tersebut
dengan sebuah pernyataan bahwa Allah melihat segala sesuatu yang Dia
lakukan begitu indah dan itu terjadi pada sore hari dan pagi hari pada akhir
hari ke enam.32
2. Surat al-A’rāf ayat 54
ام ث م ام تو ى ع لى وام ة أ ي إأنام ربامك م للام لامذأي خىق لسامماوتأ ول رض فأ تأ رأهأ أ ى سامرتث مر ولج ي لىاميل ل امهار يطى ب ه حثأيثا ولشاممس و ل لعرشأ ي غشأ
ت بارك للام ربج لعالمأي ر يل له لىق ول
31Ṭanṭāwi Jauharī, al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān, Jilid 6 (Beirut: Dar el-Fikr,
1350 H), 5. 32Ṭanṭāwi Jauharī, al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān, Jilid 6 (Beirut: Dar el-Fikr,
1350 H), h. 6.
85
Artinya: “Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia
bersamayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang
yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan dan
bintang-bntang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala
penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Maha suci Allah, tuhan
seluruh alam”. (QS. al-A’rāf[7]:54)
Dalam kitab al-Jawāhir, Ṭanṭāwi Jauharī menjelaskan sebagai
berikut:
لذ قىوه هى ولنظن ينلد ذكرت ف تفسي ل لسوة ما ياتب لعىم لحديث لىكأنات وهي لموعي ونما هي صىرة ن ليىرلمحومىة فانا نعىم ين هاك لمادة لصىية
عدن ونبات وحيىن ونسان ل ف توة فهده توة يلما لثي م كانت شمىس ورضىن وا تيك ان، ويال ين يول ا خىق الله لىم م لىىح فكوب فيه ا كان و اخىق ىن يز وا هى خالق لى يى لياة م خىق لظىمة ولىر م خىق لعرش م خىق لسما ن درة وا فيها ن نجى وشمس وقمر م د لرض بيضا م خىق لتربة م خىق لسمىت و
وب وغي ذلك افيها ن جبال وشر ودوبسطها ن لتربة لتي خىها ول م خىق جمع لرض ر لىق ف خر تالة ن تالات يى لجمعة و فيه هبط لى م خىق د خ
لعىما.فوكال جميع لىق ف توة ي كل يى دره يلف تة وهذ قىل يكثر
Dalam ayat ini Ṭanṭāwi Jauharī menjelaskan mengenai substansi
enam hari penciptaan. Sehingga kesalahan yang terjadi adalah ia tidak
memberikan definitif di awal penafsiran tentang hari. substansi yang ia
berikan di dalam tafsirnya adalah tentang derivasi ام وامة أ ي sebagai masa تأ
penciptaan alam. Enam masa yang ia tafsirkan memiliki substansi
berbeda-beda, di antaranya: pertama penciptaan matahari, kedua
penciptaan bumi, ketiga penciptaan air, keempat penciptaan tumbuh-
tumbuhan, kelima penciptaan hewan dan keenam penciptaan manusia.
pendapat ini ia hadirkan dengan menggunakan metodologi rasional
sebagai bentuk hasil ijtihad yang ia lakukan sendiri. diktum ini tidak
ditemukan di dalam penafsiran-penafsiran ulama lainnya, dikarenakan
86
pola ijtihad rasional setiap mufasir berbeda-beda begitupun dalam
penafsiran Rasyid rida memiliki perbedaan yang signifikan dalam
memberikan substansi di dalam enam hari.
Sebagai pembeda ia kemudian memberikan penjelasan derivasi وامة أ تأام dengan mengutip pendapat para Ulama lain yaitu hari pertama yang ي
diciptakan oleh Allah adalah al-Qalām (pena) dan al-Lauh (lembaran),
kemudian Allah tulis di dalamnya apa yang sudah terjadi dan apa yang
akan terjadi sampai hari kiamat. Pada hari kedua Allah menciptakan
kegelapan dan cahaya. Pada hari ketiga Allah menciptakan ‘Arsy. Pada
hari keempat Allah menciptakan langit dari mutiara-mutiara putih lalu
menciptakan butiran debu dilanjutkan dengan menciptakan langit-langit
serta apa yang ada di dalamnya seperti bintang-bintang, matahari dan juga
bulan. Pada hari kelima Allah membentangkan bumi dan juga
menghamparkannya dari butiran debu yang sudah diciptakan dari
sebelumnya (hari keempat). Kemudian dilanjutkan dengan menciptakan
apa yang ada di dalamnya seperti gunung-gunung, pepohonan dan juga
binatang-binatang melatah. Dan pada hari keenam Allah menciptakan
manusia pertama yaitu Nabi Adam as yang menjadi ciptaan terakhir pada
waktu terakhir di hari jumat. Dan pada hari itu pula Nabi Adam di
turunkan ke bumi. Maka sempurnalah penciptaan makhluk ini seluruhnya
dalam enam hari, yang pada setiap harinya setara seribu tahun. Dan ini
merupakan pendapat mayoritas ulama.33
Pada kasus ini, Ṭanṭāwi Jauharī dalam menafsirkan substansi enam
hari tidak berpihak kepada diktum mayoritas para ulama. Ia menafsirkan
secara independen yang sesuai dengan rasionalitas dan ijtihad ia sendiri.
dengan menghadirkan diktum pendapat mayoritas ulama di dalam
33Ṭanṭāwi Jauharī, al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān, Jilid 4 (Beirut: Daar el-Fikr,
1350 H), h. 173.
87
penafsirannya maka bisa dibuktikan bahwa secara implisit ia mengakui
interpretasi yang ia bangun sangat berbeda dengan para ulama lain.
3. Surat al-Furqān ayat 59
ام ث م ام تو ى ع لى لعرشأ وامة أ ي ه ما فأ تأ لامذأي خىق لسامماوتأ ولرض وا ب ي لرامحعن فاتأل بأهأ خبأي
Artinya: “Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada
diantara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di
atas ‘Arsy, (Dialah) Yang Maha Pengasih, maka tanyakanlah
(tentang Allah) kepada orang yang lebih mengetahui (Muḥammad)”.
(QS. al-Furqān[25]:59)
Dalam kitab al-Jawāhir, Ṭanṭāwi Jauharī menjelaskan sebagai
berikut:
تى لرفت ا تأذكره لك توفدت تبب خو يار لسوة فالىم ف لوىرة ولنجيل وول لعدد ين لعدد كىه ركب ن لىحد لن ضافة وحد لى وحد يكىن ثي ولثان
ه كل ي ف وحد فالىحد خاص بلمبدإ لول لذ يشعر بلوعدد ول تعددلن لعدد لزوج ولفرد لىجىد ولثان ول لعدد ولثلثة ول لعدد لفرد وجميع للدد لتخىى ن
وهكذ تكىنت لدك 2و 2و 2إذن هي قسمان زوج ويفرد. فاذ يضفت لى وحد تكىنت لزوج 2و 2و 2للدد لفردية كىها لى ا ل نهاية لا. وذ ضفت لى ثي
كىها.
)ثلثة ذ فهمت ذلك فالىم ين لعدد لزوج ولعدد لفرد جميعا يسم لىوهى لدد يزيد مجمىع ضاريبه 12وا ناقص وا كال فالزئد ثل لدد يقسا ( إا زئد ( ولعدد 12وهي يكثر ن ) 16ولمجمىع 6-4-3-2-1هي 12له. فمضاريب
( 4-2-1لن ضاريبه ) 8لك ثل لدد لاقص هى ا نيت مجمىع ضاريبه له ذ ( ولعدد لكال هى ا يساو جميع ضاريبه وذلك8وهي ينص ن ) 7وهذه لد ها فهى لدد 28وكذلك لدد 6لتي مجمىلها 3-2-1فان ضاريبه هي 6ثل لعدد
(.28هى لدد ) 14-7-4-2-1كال لن مجمىع ضاريبه وهي
88
Setelah melakukan penjelasan substansi dan definisi enam hari,
kemudian ia memberikan elaborasi hikmah dan alasan Allah memberikan
diktum enam hari dalam proses penciptaan. Pada dasarnya, yang
dilakukan oleh Ṭanṭāwi Jauharī dalam menafsirkan ayat tidak terlepas dari
rasionalitas, sehingga pola penafsiran yang ia berikan sangat bergam
dalam memberikan sumber-sumber rasional, baik itu filsafat, logika
maupun ilmu sains. Yang menjadi kesulitan dalam membaca
penafsirannya adalah ketika ia memberika hikmah dibalik angka enam di
dalam ayat ini. ia memberikan disiplin ilmu matimatika dan tentunya ini
sangat jauh berbeda dengan ulama-ulama yang belum pernah memberikan
displin ilmu seperti ini.
Sebagai contoh pola penafsiran Ṭanṭāwi Jauharī dalam memberikan
sumber sains dengan gambaran mengapa dipilihnya angka 6 oleh Allah.
Beliau berkata bahwasannya seluruh bilangan tersusun dari angka 1 (satu),
karena dengan menggabungkan satu dengan satu maka terlahirlah bilangan
2 (dua). Kemudian angka dua ini adalah bilangan pertama, mengapa
demikian? Karena bilangan hanya bisa diketahui dengan kelipatan. Karena
bilangan satu merupakan spesifikasi permulaan pertama untuk segala
bentuk (eksistensi) sehingga ketika bilangan satu merupakan permulaan
pertama maka bilangan yang lain bisa diposisi bilangan pertama seperti
bilangan dua diposisi pertama, bilangan tiga diposisi pertama dari
kesatuan, sehingga apabila semua bilangan ini diakumulasikan maka tidak
ditemukan bilangan yang memiliki posisi berkelipatan dan posisi
kesatuan. Ia menambahkan bahwa bilangan itu memiliki dua bentuk
pertama, bilangan kesatuan dan kedua bilangan berkelipatan. Sebagai
contoh apabila bilangan dimulai dari 2, 2, 2 maka memiliki makna
89
kesatuan, sedangkan bila digabungkan dengan cara berkelipatan maka
permulannya adalah 2+2+2=6.34
Apabila bilangan kesatuan dan bilangan berkelipatan ini
digabungkan maka menurut Tanṯawi memiliki tiga klasifikasi. Pertama,
adakalanya bilangan bertambah (ziyadāh) sebagai contoh angka 12 apabila
1+2+3+4+6 maka jumlahnya lebih banyak dari bilangan 12. Kedua,
adakalanya bilangan kurang (naqis) sebagai contoh bilangan 8 apabila
1+2+4 hasilnya 7 maka ini kurang dari bilangan 8. Ketiga, bilangan yang
sempurna (kamil)yaitu dengan cara mengabungkan bilangan yang setara,
sebagai contoh 1+2+3 maka hasilnya adalah 6 atau menggunakan langkah
2+2+2=6, dan contoh hasil dari bilangan 28 sebagai algoritmenya adalah
1+2+4+7+14 maka hasilnya 28. Hemat penulis dari pernyataan Ṯanṯāwi
Jauharī mengenai derivasi ام وامة أ ي Dengan kesimpulam bahwa angka 6 تأ
merupakan bilangan yang sempurna (kamil) yang memiliki perbedaan
dengan bilangan ziyādah dan nāqiṣ sehingga apabila mengunakan
algoritma tambahan dengan angka yang sama maka hasilnya adalah 6.35
Hemat penulis, dari penjelasan Ṭanṭāwi Jauharī tentang ayat masa
penciptaan alam tendensi merujuk kepada rasional (ilmiah). Ini terbukti
ketika ia menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan menambahkan ilmu-ilmu
logika, filsafat dan ilmu falak (astronomi). Ia juga menjelaskan tentang
hikmah bilangan angka enam dan informasi tentang bilangan enam. Tetapi
ia tidak memberikan referensi bi al-Ma’ṡur (al-Qur’ān dan hadits).
Berbeda sekali dengan Rasyīd Riḍā yang masih memberikan penjelasan
dengan mengutip referensi bial-Ma’ṡur itu berupa ayat al-Qur’ān. Setelah
melakukan analisis diktum kedua tokoh ini, tentunya pandangan mereka
34Ṭanṭāwi Jauharī, al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān, Jilid 12 (Beirut: Daar el-Fikr,
1350 H), h. 207. 35Ṭanṭāwi Jauharī, al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān, Jilid 12 (Beirut: Daar el-Fikr,
1350 H), h. 208.
90
berdua sangat berbeda sekali mengenai penafsiran Sittati Ayyām.
perbedaan yang fundamental (mendasar) Ṭanṭāwi Jauharī dalam
menafsirkan ayat-ayat enam hari dengan menggunakan Maṣādir al-Tafsīr
(sumber penafsiran) berupa rasionalitas, sedangkan Rasyīd Riḍā
sebaliknya. Namun dalam hal ini, Rasyid rida tidak menolak rasionalitas,
melainkan harus sesuai dengan jalur penggunaan rasionalitas. Tetapi yang
dilakukan oleh Ṭanṭāwi Jauharī menggunakan rasionalitas yang jauh
berbeda, terlihat sekali ketika ia memberikan diktum sains, filsafat, dan
lainnya.
Adapun permasalahan tentang menentukan proses penciptaan di
dalam enam hari, penulis menghadirkan tabel menurut penafsiran Ṯanṯāwi
Jauharī agar lebih mudah dipahami.
Tabel 4.4. Perbedaan tahapan penciptaan
Ṭanṭāwi Jauharī Mayoritas Ulama
1. Penciptaan matahari
2. Penciptaan bumi
3. Penciptaan air
4. Penciptaan tumbuh-
tumbuhan
5. Penciptaan hewan
6. Penciptaan manusia
1. al-Qalām (pena) dan al-Lauh
(lembaran)
2. Menciptakan kegelapan dan
cahaya.
3. Menciptakan ‘Arsy
4. Menciptakan langit dari
mutiara-mutiara putih.
5. Membentangkan bumi dan
juga menghamparkannya.
6. Menciptakan manusia
pertama yaitu Nabi Adam as.
91
E. Persamaan dan Perbedaan Penafsiran Rasyīd Riḍā dan Ṭanṭāwi
Jauharī
Dalam memaparkan persaman dan perbedaan penafsiran Rasyīd
Riḍā dan Ṭanṭāwi Jauharī, penulis menghadirkan tabel agar lebih mudah
untuk dipahami.
Tabel 4.5. Analisis penafsiran Rasyīd Riḍā dan Ṭanṭāwi Jauharī
Perbedaan Persamaan
1. Di dalam Tafsir al-Manār
kata sittati ayyām
diinterpretasikan dengan
menggunakan riwayat (bi al-
ma’ṡur). Sedangkan di dalam
tafsir al-Jawāhir Ṭanṭāwi
menafsirkannya dengan
menggunakan rasional yang
terbukti dengan
menghadirkan ilmu logika,
filsafat, astronomi dan
lainnya.
2. Proses waktu enam hari
menurut Rasyīd Riḍā dalam
kitabnya al-Manār ialah hari
pertama penciptaan bumi dari
asap. hari kedua penciptaan
air yang sebelumnya
berbentuk uap atau asap.
Kemudian pada hari ketiga
1. Dalam menjelasakn durasi,
keduanya mempunyai
maksud yang sama yaitu
sama-sama menunjukan
waktu yang lama.
92
terbentuklah daratan dan dari
daratan itu munculah gunung-
gunung. Pada hari keempat
munculah jenis-jenis
kehidupan yang berasal dari
air, diantaranya tumbuh-
tumbuhan dan juga hewan-
hewan. kemudian hari kelima
dan keenam penciptaan langit
yang dimana langit tersebut
merupakan alam yang tinggi
bagi penduduk bumi.
Sedangkan menurut Ṭanṭāwi
dalam kitabnya al-Jawāhir
proses dalam enam hari
diartikan dengan hari pertama
penciptaan matahari, kedua
penciptaan bumi, ketiga
penciptaan air, keempat
penciptaan tumbuh-
tumbuhan, kelima penciptaan
hewan dan keenam
penciptaan manusia.
3. Di dalam menafsirkan lafaẓ
sittati ayyām menurut
Ṭanṭāwi, ia memberikan
hikmah penyebutan angka
enam, sedangkan di dalam
93
tafsir al-Manār tidak
memberikan hikmah
penyebutan angka enam,
sebab di dalam tafsir al-
Manar ketika menafsirkan
lafaẓ sittati ayyām tidak
menghadirkan referensi yang
rasional.
94
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan analisis di atas, maka dapat disimpulkan
beberapa hal di antaranya: pertama, proses penciptaan alam dari kedua
mufasir memiliki perbedaan yang signifikan dalam menenukan
tahapan. Ṭanṭāwi menginterpretasikan tahapan dalam enam hari adalah
pertama penciptaan matahari, kedua penciptaan bumi, ketiga
penciptaan air, keempat penciptaan tumbuh-tumbuhan, kelima
penciptaan hewan dan keenam penciptaan manusia. Sedangkan Rasyid
Ridha menafsirkan tahapan proses penciptaan merujuk kepada QS. al-
Fussilat:9-12, bahwa proses penciptaan alam pertama adalah
penciptaan bumi dari uap. hari kedua diciptakanlah air yang
sebelumnya berbentuk uap atau asap. hari ketiga terbentuklah daratan
dan dari daratan itu munculah gunung-gunung. hari keempat munculah
jenis-jenis kehidupan yang berasal dari air. dan dua hari setelahnya
penciptaan langit tinggi bagi penduduk bumi yang disempurnakan
dengan bentuk fisiknya berasal dari asap.
Kedua, perbedaan ini terjadi dikarenakan berbeda dalam
memberikan maṣādir al-tafsīr (sumber penafsiran) sehingga
berpengaruh kepada substansi isi. Ṭanṭāwi dihegemoni dengan
rasionalitas, sedangkan Rasyid Rida dihegemoni dengan tekstuallis (bi
al-ma’ṡur).
Ketiga, dalam interpretasi kata enam hari (sittati ayyām)
Ṭanṭāwi dan Rasyid Ridha memiliki kesamaan. Pandangan Ṭanṭawi
mengelaborasikan bahwa satu hari sama dengan satu putaran bumi
95
(revolusi bumi), sedangkan pandangan Rasyid Ridha memberikan
referensi ma’tsur bahwa satu hari sama dengan seribu tahun di bumi.
kesamaannya adalah memiliki makna masa waktu yang sangat lama.
B. Saran
Setelah menyelesaikan penelitian ini, penulis menyadari masih
banyak kekurangan atau masih jauh dari kata cukup apalagi sempurna.
Sehingga penulis meyakini bahwa penelitian ini masih meninggalakan
banyak kesalahan dan kekurangan di dalamnya. Karena itu penelitian
belum bisa dikatakan telah selesai, sehingga masih banyak hal yang
dapat dikaji dalam penelitian ini.
Penulis berharap penelitian ini masih ada yang mau melanjutkan
karena dalam penelitian ini penulis hanya menyuguhkan penafsiran
lafadz sittati ayyām dalam proses penciptaan alam menurut dua
mufassir saja. Jadi masih bisa disuguhkan dengan penafsiran mufassir
lain.
96
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad dan Rasyid Ridha. Tafsir al-Manār. Mesir: Daar al-
Manar, 1947.
Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah. Jakarta:
Djambatan, 1995.
Atabi, Ahmad. Konsep Penciptaan Alam: Studi Komparatif-Normatif
Antar Agama-Agama. dalam Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi
Keagamaan. Vol. 3, 1, 2015.
Aṯaillah, Ahmad. Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manār.
Jakarta: Erlangga, 2006.
Baidan, Nasir. Perkembangan Tafsîr al-Qur’ān di Indonesia. Cet. I. Solo:
PT. Tiga Serangkai, 2002.
Bakar, Osman. Tauhid dan Sains: Persfektif Islam tentang Agama dan
Sains. Terjemahan Yuliani Liputo dan M.S Nasrullah.Cet I.
Jakarta: Pustaka Hidayah, 2008.
Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Al-Mu’jam al-Mufahras li alfaẓ al-Qur’ān
al-Karīm. Beirut: Dar al-Fikr. 1987.
Dahlan, Abd. Rahman. Kaidah-kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung:
Mizan, 1997.
Departemen Agama RI. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta:
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek
Peningkatan Prasarana dan Saran Perguruan Tinggi Agama IAIN.
1992.
Dewan Redaksi. Ensiklopedia Islam di Indonesia. Jakarta: Anda Utama,
1992.
al-Dzahabi, Muhammad Husein. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Beirut: Daar
al-Hadits, 2005.
Faiz, Fachruddin. Hermeneutika Qur’an. Yogyakarta: Qalam, 2002.
al-Farmawi, Abd Al Hayy. Metode Tafsīr Maudhu’i Suatu Pengantar.
Terjemahan Sufyan A. Jamrah. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1999.
97
Ghaffar, Abdul, “Isra’ Mi’rajdalam Tafsir ‘Ilmi (Studi Komparatif
Penafsiran al-Razi dan Tanthawi Jauhari terhadap QS. Al-Isra: 1
dan QS. Al-Najm: 13-15” Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010.
Guessoum, Nidhal. Islam dan Sains Modern. Terjemahan Maufur. Cet.
I.Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2011.
Hamka. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Harfa, Ahmad. Keseimbangan Penciptaan Bumi menurut Al-Qur’an dan
Sains. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011.
Hatta, Mohammad. Berkenalan dengan Filsafat Yunani. Jakarta:
Gramedia, 1980.
Ikhwan, M. Nur. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang: Lubuk Raya,
2001.
_______, M. Nur. Tafsîr Ilmi Memahami Al-Qur’an Melalui Pendekatan
Sains. Jogjakarta: Menara Kudus Jogja, 2004.
Imron, Fuad Taufiq. “Konsep Gunung Dalam Kitab Al-Jawāhir Fī al-
Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm” Skripsi Fakultas Ushuluddin Jurusan
Tafsîr Hadits Universitas Islan Negeri Walisongo Semarang, 2016.
Indriati, Etty dkk. Ensiklopedia Iptek Bumi Ruang dan Waktu. Jakarta:
Lentera Abadi, 2004.
Jamarudin, Ade. “Konsep Alam Semesta Menurut Al-Qur’ān” Jurnal
Ushuluddin. Vol. XVI, no. 2 (Juli 2010): 137-138.
Jamiluddin. Komparasi Konsep Kosmologi dalam Perspektif Buddha
dengan Kosmologi Sains Modern. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Jansen, J. J. G. Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1997.
Jasin, Maskoeri. Ilmu Alamiah Dasar.Cet. 19. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011.
98
Jauharī, Ṭanṭāwi. al-Jawāhir fī al-Tafsīr al-Qur’ān. Beirut: Daar el-Fikr,
1350 H.
Kementerian Agama RI. Tafsīr al-Qur’ān dan Terjemahnya. Jakarta:
Lentera Abadi, 2010.
Ul-Khusna, Nida’, Konsep penciptaan alam semesta; Studi Komparatif
antara Tafsir Ilmi Penciptaan Jagat Raya Kementerian Agama RI
dengan teori M Stephen Hawking. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin
UIN Jakarta, 2013.
Kompasiana. “Teori Terbentuknya Alam Semesta” diakses pada tanggal 5
Agustus 2019 dari http://www.kompasiana.com/jucky/teori-
terbentuknya-alam-semesta-tata-surya-dan-
bumi_550097b5a33311376f5118bd
Kurniati, Fitri. Studi Analisis Pandangan Stephen Hawking tentang
berawalnya Semesta dalam tinjauan Islam. Skripsi S1 Fakultas
Tarbiyah, UIN Jogja, 2003.
Mahmud, Mani’ Abd Halim. Manhaj al Mufassirīn. Terjemahan Faisal
Saleh dan Syahdianor. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006.
Majid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina,
1992.
Manzur, Ibnu. Lisān al-‘Arab. Kairo: Al-Mu’assasah al-Misriyyah al-
‘Ammah, 1990.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi. Juz 7. Kairo: Mustafa al-
Babi al-Halabi, 1974.
Muhaemin. “Teori Emanasi dalam Hubungannya dengan ains Modern.”
Jurnal Al-Fikr. vol. XX, no. 3 (2016): 321-322.
al-Muhtasim, Abdul Majid Abd as-Salam. Visi dan Paradigma Tafsir al-
Qur’an Kontemporer. Terjemahan M. Minzhftir al-Shouwi,
Ahmade dkk.Mu’jizat Al-Qur’an dan as Sunnah Tentang Iptek.
Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Mursyidah. Konsep Penciptaan Alam menurut Ibn Rusyd. Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
99
an-Najjar, Zaghlul. Sains dalam hadits, Mengungkap Fakta Ilmiah dan
Kemukjizatan Hadits Nabi. Terjemahan Zainal Abidin
dkk.Jakarata: Amzah, 2011.
_______, Zaghlul. Tafsir Al-ayatul Kauniyyah fî al-Qur’ān al-Karīm. jilid
3. al-Qathirah: Maktabah as-Syarqiyyah ad-Dauliyyah, 2007.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan. Cet. 12. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Purwanto, Agus. Ayat-ayat Semesta Sisi-sisi al-Qur’an yang Terlupakan.
Cet. III.Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009.
al-Qattān, Mannā Khalīl. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Jakarta: Lentera
Antarnusa, 1992.
al-Qurṯubi, Syaikh Imam. Tafsir al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam,
2008.
Rahman, Fazlur. Tema Pokok Al-Qur’an. Terjemahan Anas Mayudin.
Bandung: Pustaka, 1993.
Rosadisastra, Andi. Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial. Jakarta:
Amzah, 2007.
Rusli, Muhammad. Konsep Penciptaan Alam Semesta dalam Tafsîr Al-
Misbah. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Sultan Syarif
Kasim, 2013.
al-Sabûni, Muhammad Ali. Ikhtiyar Ulūmul Qur’ān Praktis. Terjemhan
M. Qodirun Nar. Jakarta: Pustaka Imani, 1988.
Sadr, Muhammad Baqr. Sejarah dalam Perspektif Al-Qur’an. Cet.
I.Jakarta:Pustaka Hidayah, 1993.
Sandiawan, Moh. Konsepsi Penciptaan Alam Semesta dan Makhluk Hidup
dalam al-Qur’an dan al-Kitab. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Shihab, M. Quraish. Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata. Cet. I.
Jakarta: Lentera Hati, 2007.
_______.Membumikan AL-Qur’an. Bandung: Mizan, 1994.
100
_______.Mukjizat al-Qur’an: Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan Isyarat
Ilmiah Dan Pemberitaan Ghaib.Bandung: Mizan, 1998.
_______.Studi Kritis Tafsir Al-Manar.Bandung: Pustaka Hidayah. 1994.
_______.Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas berbagai Persoalan
Umat. Cet. VII. Jakarta: Mizan, 1998.
_______.Kaidah Tafsir, Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami al-Qur’an. Cet. II. Tangerang: Lentera
Hati, 2013.
_______.Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jilid
4. Jakarta: Lentera Hati, 2000.
al-Suyūṭi, Jalaludin. Lubābun Nuqūl fi Asbābin Nuzūl. Terjemahan Abdul
Hayyie dkk. Jakarta: Gema Insani, 2008.
Taufik, Akhmad dkk. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Ulinnuha, Muḥammad. Metode Kritik Ad-Dakhīl fī al-Tafsīr. Jakarta:
QAF, 2019.
Wikipedia. “Tata Surya” diakses pada tanggal 5 Agustus 2019 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Tata_Surya
Yahya, Harun. The Creation of Universe. Terjemahan Ari Nilandari.
Bandung: Dzikra, 2003.
Zulaika, Cici. Penciptaan Alam menurut Imam al-Ghazali. Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.