PROPOSAL TESIS untuk dikumpulkan.pdf

45
i PROPOSAL TESIS “DYNAMIC PATTERN”: WORKSHOP BAGI KAUM KETERBELAKANGAN MENTAL MAJORA NUANSA AL-GHIN 3214207010 DOSEN PEMBIMBING Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M. Arch Dr. Ing. Ir. Bambang Soemardiono PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN PERANCANGAN ARSITEKTUR JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2015

Transcript of PROPOSAL TESIS untuk dikumpulkan.pdf

  • i

    PROPOSAL TESIS

    DYNAMIC PATTERN: WORKSHOP BAGI KAUM

    KETERBELAKANGAN MENTAL

    MAJORA NUANSA AL-GHIN

    3214207010

    DOSEN PEMBIMBING

    Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M. Arch

    Dr. Ing. Ir. Bambang Soemardiono

    PROGRAM MAGISTER

    BIDANG KEAHLIAN PERANCANGAN ARSITEKTUR

    JURUSAN ARSITEKTUR

    FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

    INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

    SURABAYA

    2015

  • i

    DYNAMIC PATTERN: WORKSHOP BAGI KAUM KETERBELAKANGAN

    MENTAL

    Nama mahasiswa : Majora Nuansa Al-Ghin

    NRP : 3214207010

    Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M. Arch

    Co-Pembimbing : Dr. Ing. Ir. Bambang Soemardiono

    ABSTRAK

    Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu distrik terbesar ke-dua di

    Karesidenan Madiun. Perkembangan ekonomi sangat pesat selama beberapa tahun

    belakangan. Namun dibalik perkembangan ekonomi yang pesat terdapat

    fenomena keterbelakangan mental di desa Karang Patihan, Balong, Ponorogo.

    Permasalahannya adalah ketika orang dengan intelegensi rendah sulit untuk

    bergerak dikarenakan koordinasi antara saraf motorik dengan dengan sensorik

    sulit berkembang maka segala aktifitas terasa lama. Dengan adanya issu dan

    permasalahan tersebut perlu dilakukan perancangan tempat pelatihan/workshop

    yang bisa memacu kinerja saraf motorik dengan saraf sensorik supaya lebih peka.

    Proses desain diawali dengan penelitian, dan studi literatur terhadap objek

    rancangan yaitu berupa kaum keterbelakangan mental, pendekatan yang dipilih

    adalah berkaitan dengan perilaku, selanjutnya memilih metode yang sesuai

    dengan hasil penelitian. Setelah itu melakukan proses kreatif sehingga

    menghasilkan rancangan yang sesuai dengan kebutuhan.

    Hasil yang diharapkan dengan adanya perancangan ini yaitu konsep yang

    bisa merangsang gerak motorik dan sensorik para pengidap keterbelakangan

    mental. Konsep yang dipilih adalah dynamic pattern.

    Kata kunci : workshop, dynamic pattern, behavior, tunagrahita sensorik, motorik

  • ii

    KATA PENGANTAR

    Assalamu alaikum Wr. Wb.

    Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas limpahan rahmat dan karunia-Nya,

    penulis diberikan kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikan laporan

    proposal tesis dengan judul:

    Laporan ini disusun untuk memenuhi laporan proposal tesis jurusan

    Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh

    Nopember Surabaya,

    Tiada daya dan upaya penulis dalam menyelesaikan tugas ini tanpa

    dukungan, bimbingan dan dorongan serta bantuan dari banyak pihak. Untuk itu

    penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:

    1. Ir. I Gusti Ngurah Antaryama, Ph.D sebagai dosen koordinator matakuliah

    proposal tesis atas bimbingan pada saat kuliah

    2. Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M. Arch. sebagai dosen asisten 1 proposal tesis,

    senantiasa memberikan bimbingan, masukan dan saran dalam proses

    penyelesaian hingga laporan proposal tesis

    3. Dr. Ing. Ir. Bambang Soemardiono, sebagai dosen asisten 2 proposal tesis, atas

    bantuan dan kerja samanya, sehingga penyusunan proposal tesis terselesaikan

    dengan lebih baik.

    Penulis sadar dalam penyusunan laporan proposal tesis banyak terdapat

    kekurangan sehingga kritik dan saran diperlukan guna memperbaiki kualitas dan

    kuantitas laporan kedepannya, semoga laporan ini bermanfaat bagi para pembaca.

    Wassalamu alaikum Wr. Wb.

    Surabaya, Juni 2015

    Penulis

  • iii

    DAFTAR ISI BAB I .................................................................................................................................... 1

    PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

    1.1. Latar belakang ..................................................................................................... 1

    1.2. Permasalahan rancangan ..................................................................................... 5

    1.3. Tujuan perancangan ............................................................................................ 6

    1.4. Manfaat perancangan .......................................................................................... 6

    1.5. Batasan perancangan ........................................................................................... 6

    BAB II ................................................................................................................................... 7

    KAJIAN PUSTAKA ........................................................................................................... 7

    2.1. Definisi ................................................................................................................ 7

    2.2. Teori behavior (perilaku) ................................................................................... 13

    2.3. Kriteria ............................................................................................................... 21

    2.4. Studi Preseden ................................................................................................... 22

    BAB III............................................................................................................................... 27

    METODE PERANCANGAN DAN EKSPLORASI DESAIN .......... Error! Bookmark not

    defined.

    3.1. Jenis penelitian ......................................................Error! Bookmark not defined.

    3.2. Subjek penelitian ...................................................Error! Bookmark not defined.

    3.3. Desain Problem ................................................................................................. 27

    3.4. Proses Desain .................................................................................................... 28

    3.5. Metode desain ................................................................................................... 32

  • iv

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1.1. Center for the mentally handicapped in Alcolea (Taller de

    Arquitectura Rico+Roa, www.archdaily.com) ............................ 4

    Gambar 1.2 kerangka pikir rumusan masalah .................................................. 5

    Gambar 2.1. kondisi warga di kampung idiot (sumber:google.com) ............... 20

    Gambar 2.2. Dormitory for Mentally Disabled (sumber:

    http://coolboom.net/architecture/residential-care-unit-by-sou-

    fujimoto-architects/) .................................................................... 22

    Gambar 2.3. Denah Asrama orang keterbatasan mental (sumber:

    http://coolboom.net/architecture/residential-care-unit-by-sou-

    fujimoto-architects/) .................................................................... 22

    Gambar 2.4. Pusat cacat mental di Alcolea (sumber:

    http://www.archdaily.com/367366/center-for-the-mentally-

    handicapped-in-alcolea-taller-de-arquitectura-rico-roa/) 24

    Gambar 2.5. Potongan pusat cacat mental (sumber:

    http://www.archdaily.com/367366/center-for-the-mentally-

    handicapped-in-alcolea-taller-de-arquitectura-rico-roa/) ............ 25

    Gambar 3.1. skema desain proses Archers model (Sumber: Cross, 1995) ..... 29

    Gambar 3.2. pengelompokan fase menurut Archer. ......................................... 30

    Gambar 3.3. Pengembangan metode ................................................................ 31

    Gambar 3.4. Diagram pengembangan metode ................................................. 36

    Gambar 3.5. Metode regionalisme ................................................................... 37

  • v

    DAFTAR TABEL

    Tabel 2.1. Prinsip desain (Lockton, 2011) ...................................................... 19

    Tabel 3.1. Pengelompokan informasi desain (sumber: analisa) ....................... 32

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar belakang

    Keterbelakangan mental (tunagrahita) atau retardasi mental merupakan

    fenomena umum yang dianggap oleh sebagian orang sebagai sebuah aib besar

    yang harus disembunyikan. Menurut WHO dan American Association on

    Intellectual and Development Disabilities, retardasi mental adalah suatu

    kondisi dimana perkembangan otak yang tidak sempurna ditandai dengan

    hambatan kemampuan dan kecerdasan secara keseluruhan di beberapa bidang

    seperti kognitif, bahasa, motorik dan kemampuan sosial (Karasavvidis dkk.,

    2011). Tidak ada satupun negara di bumi bebas dari orang keterbelakangan

    mental, artinya meskipun negara tersebut termasuk dalam kategori negara

    sangat maju dengan kemajuan teknologinya, namun masih ada sebagian

    penduduknya yang menyandang keterbelakangan mental. Menurut data

    statistik WHO diperkirakan sekitar 10% dari jumlah penduduk di negara maju

    dan 12% di negara berkembang mengalamai kecacatan, (Baykan, 2003

    dikutip dari penulisan proposal tesis tentang keterbelakangan mental

    repository.unand.ac.id). Secara umum di negara berkembang populasi orang

    cacat mental memiliki angka yang lebih besar dibanding dengan cacat

    lainnya. Sedangkan di negara Indonesia dari jumlah total penduduk 220 juta

    jiwa terdapat sekitar 3% atau 6,6 juta orang mental rendah.

    Fenomena orang keterbelakangan mental berkumpul dalam satu

    kampung benar - benar terjadi di Kabupaten Ponorogo. Pada sebuah desa

    yang bernama Desa Karang Patihan, Kecamatan Balong. Banyak ditemukan

    warga dengan predikat cacat mental di dalamnya, oleh karena itu kampung

    ini mendapat julukan sebagai kampung idiot. Diketahui bahwa salah satu

    penyebab dari masalah tersebut adalah masyarakat yang kekurangan yodium,

    desa ini berada di pegunungan yang kadar kandungan yodiumnya hampir

    tidak ada. Predikat keterbelakangan mental di desa ini menjadikan warganya

    semakin tertekan dan mengisolir diri dari hubungan sosial antar kampung,

  • 2

    akibatnya mereka harus mencukupi sendiri kebutuhannya untuk bertahan

    hidup.

    Meskipun secara umum orang cacat mental memiliki kekurangan pada

    intelektual mereka namun harus diperhatikan juga bagaimana mereka

    mengurus diri, cara bersosialisasi dan bekerja sesuai dengan umurnya.

    Kemampuan tuna grahita dewasa dalam menyelesaikan pekerjaan memang

    terbatas, karena IQ mereka yang rendah, hal ini akan menimbulkan asumsi

    bahwa orang tuna grahita akan selalu membutuhkan bantuan. Persepsi

    tersebut tidak sepenuhnya benar, karena ketika orang tuna grahita sudah

    dewasa dan telah merasakan pendidikan di sekolah luar biasa, ternyata

    mereka dapat tumbuh dan berkembang layaknya orang normal, hidup mandiri

    dan produktif, serta tidak menunjukkan kesulitan dalam penyesuaian diri

    terhadap lingkungan dan keluarganya.

    Permasalahannya sekarang adalah mereka merupakan sekumpulan orang

    cacat mental mulai dari muda hingga dewasa yang memiliki keterbatasan

    dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya, tidak bisa memikirkan hal

    abstrak, sulit memecahkan masalah dan mengikuti pelajaran secara akademik.

    Sehingga kesempatan untuk mengembangkan hidup menjadi lebih baik sulit

    untuk terwujud. Selama ini program pemerintah dan kebanyakan masyarakat

    umum hanya memberikan bantuan berupa bahan makanan, uang tunai dan

    barang bisa pakai, hal ini diyakini tidak memberikan hasil yang maksimal

    malah menimbulkan ketergantungan lebih besar dari kaum keterbelakangan

    mental, ketika bantuan berhenti mereka bingung untuk melakukan sesuatu

    karena sudah merasa nyaman pada zona aman tersebut.

    Berkaitan dengan hal diatas, kemampuan gerak (motorik kasar dan halus)

    merupakan suatu hal yang penting dalam keluwesan aktifitas sehari-hari

    seseorang pada umumnya. Agar dapat mengurus diri sendiri dan aktifitas

    lainnya perlu adanya kestabilan koordinasi antara gerak motorik dengan

    sensorik. Lain halnya dengan orang keterbelakangan mental yang mengacu

    pada fungsi intelektual umum dibawah normal, akibat ketunagrahitaan ini

    sering timbul gangguan penyertaan lain seperti gangguan pada motorik, baik

    motorik kasar maupun halus. Padahal dalam aktivitas sehari-hari kedua

  • 3

    motorik ini sangat dibutuhkan, misalnya pada motorik kasar yaitu

    kemampuan menggerakkan anggota tubuh yang menggunakan otot besar

    seperti berjalan, berlari, atau menendang. Sedangkan kemampuan motorik

    halus merupakan kemampuan gerak tubuh yang menggunakan gerak otot-otot

    kecil terutama di bagian atas, seperti mata, mulut, alis, dan sebagainya.

    Disamping itu, kemampuan gerakan bersamaan dengan indra penglihatan

    (koordinasi gerak mata dan tangan) sangat diperlukan secara baik dan

    sempurna. Menurut Jurgen Hofsab dalam Sri Muzia (2008:14) menyatakan

    bahwa koordinasi gerak mata dan tangan merupakan suatu gerakan yang

    sangat berkaitan satu dengan yang lainnya agar suatu pekerjaan dapat

    terselesaikan dengan baik dan lancar, berurutan serta sesuai dengan

    keinginan. Dengan demikian koordinasi mata dan tangan sangat berpengaruh

    dan keterkaitan kepada aktivitas yang kita laksanakan. Misalnya dalam

    kemampuan motorik halus seperti meremas, menempel, memindahkan

    bendabenda kecil, menggunting, meronce, menulis, mewarnai gambar,

    memasang tali sepatu, memasang kancing baju, namun akibat

    ketunagrahitaannya semua kegiatan ini mengalami hambatan. Ketika

    koordinasi antara saraf sensori dengan saraf motorik kurang berjalan dengan

    baik akibatnya orang akan memerlukan waktu yang lama untuk

    menyelesaikan satu kegiatan.

    Gerak termasuk dalam perilaku, dengan melihat gerakan seseorang maka

    sudah bisa diketahui di awal perilaku seseorang itu seperti apa. Dengan

    menggunakan pendekatan human behaviour, mengutip salah satu isi yang di

    tulis oleh (Yasaman Haji Esmaili) pada laporan program Master yang

    berjudul Consideration Of Human Behaviour in Design A Green Office

    Space For Environmentalist A Simulation Study, Dengan menyimulasikan

    pengguna perilaku tertentu dalam desain baru akan mungkin untuk

    memprediksi bagaimana desain akan tampil sesuai dengan kebutuhan

    mereka. Berdasarkan hasil studi di atas, perlu adanya tempat pelatihan atau

    workshop yang bisa menampung orang keterbelakangan mental di desa

    dengan memperhatikan perilaku terutama untuk menyesuaikan gerak mereka

    yang terbatas. Konsep yang ditawarkan adalah dynamic pattern yaitu suatu

  • 4

    pola pada workshop yang bisa memandu saraf motorik dengan sensorik orang

    cacat mental untuk bisa bergerak lebih aktif.

    Gambar 1.1. Center for the mentally handicapped in Alcolea (Taller de

    Arquitectura Rico+Roa, www.archdaily.com)

    Dalam perkembangannya, sudah banyak bangunan yang berpihak

    terhadap eksistensi dari orang berkebutuhan khusus layaknya orang cacat

    mental, mulai dari pusat rehabilitasi penyandang cacat mental, asrama bagi

    orang berintelektual sangat rendah, maupun sekolah luar biasa bagi orang

    keterbelakangan mental. Bisa diambil contoh yaitu Center for the mentally

    hadicapped (archdaily.com) yang berada di Cordoba, Spanyol. Bangunan ini

    merupakan perluasan dari bangunan yang telah ada di tahun 2004, yaitu hasil

    dari kompetisi desain. Konsep yang muncul pada bangunan ini adalah

    keterbukaan, akses ke dalam bangunan didesain secara menerus dari jalan

    sehingga memudahkan mobilitas para penyandang cacat mental. Lokasi

    berada di lereng, namun bangunan didesain dengan tanpa perbedaan

    ketinggian mengikuti kemiringan lereng, hal ini dimaksudkan supaya dalam

    bangunan tidak banyak ruang terbuang karena perbedaan ketinggian hal itu

    juga dimaksudkan tidak memberi beban kepada penyandang cacat mental.

    Konsep terbaru tempat yang berhubungan dengan orang keterbelakangan

    mental yang ada sekarang ini adalah dengan mengutamakan privatisasi

    individu, menjadikan perkamar yang berisi 2 sampai 3 orang cacat mental

    sebagai sebuah unit terpisah dengan unit lainnya sebagai antisipasi ketika

  • 5

    beberapa orang cacat mental bertemu dan terjadi suatu hal yang tidak

    diinginkan. Pada workshop yang berkonsep dinamic pattern ini bangunan

    didesain dengan penyusunan material berpola mengalir, kombinasi antara

    material yang bisa memasukkan cahaya matahari secara langsung, dinding

    dengan pola zig-zag yang bisa melaith fungsi motorik halus orang

    keterbelakangan mental.

    1.2. Permasalahan rancangan

    Keterbelakangan mental bukanlah penyakit, namun ketika dialami oleh

    seseorang efek psikologis yang dialami terasa berat baik bagi yang

    bersangkutan dan keluarga dekat. Keterbelakangan mental yang dikarenakan

    tingkat intelektualnya rendah mengakibatkan gerak motorik (kasar dan halus)

    terganggu, daya koordinasi antara saraf sensorik dengan motorik tidak

    berjalan lancar akibatnya dalam melakukan aktifitas menjadi lambat, hal ini

    bisa dilatih secara terus menerus dengan pengawasan yang rutin, dalam

    lingkup arsitektur permasalahannya adalah bagaimana mengatur komposisi

    komponen bangunan supaya bisa memberikan stimulasi terhadap penyandang

    keterbelakangan mental tanpa melibatkan pendamping.

    Gambar 1.2 kerangka pikir rumusan masalah

    (Issu) Keterbelakang mental

    (Konteks) Karangpatihan, Ponorogo

    (Masalah) IQ dibawah normal

    (Batasan masalah) Koordinasi Gerak motorik dengan sensorik

    (Pendekatan) perilaku

    (Solusi) konsep- DYNAMIC PATTERN

  • 6

    1.3. Tujuan perancangan

    Karakteristik orang cacat mental berbeda dengan orang normal, dari

    berbagai aspek. Jika dilihat dari sudut pandang perilaku, orang terbelakang

    mental bisa dikenali hanya dengan gerakannya. Gerakan adalah suatu yang

    sangat penting untuk melakukan kegiatan sehari-hari, ketika koordinasi antara

    sensorik dengan motorik tidak berjalan sempurna, untuk melakukan aktifitas

    sehari-hari akan memerlukan waktu lebih lama dibading dengan orang

    normal. Dengan menggunakan pendekatan perilaku konsep perancangan

    workshop diharapkan bisa memicu orang terbelakang mental itu lebih aktif

    dan mandiri dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

    1.4. Manfaat perancangan

    Teoritis

    Konsep berasal dari pengamatan perilaku orang terbelakang mental, dan

    literatur yang membahas tentang keterbelakangan mental dan macam-

    macamnya, dengan begitu diharapkan konsep ini bisa khazanah solusi bagi

    kaum keterbelakangan mental.

    Praktis

    Konsep nantinya diharapkan bisa diaplikasikan secara praktis kepada

    siapapun yang membutuhkan.

    1.5. Batasan perancangan

    Lokasi berada di desa Karang Patihan, Kecamatan Balong, Kabupaten

    Ponorogo.

    Lingkup pengkajian gerak motorik penyandang tunagrahita

  • 7

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    Perancangan ini bertujuan untuk menghasilkan konsep rancangan bagi kaum

    berkebutuhan khusus, terutama kaum keterbelakangan mental di desa Karang

    Patihan, Kecamatan Balong, Ponorogo. Oleh sebab itu perlu adanya teori yang

    bisa dijadikan rujukan dalam merancang desain yang sesuai bagi orang

    keterbelakangan mental.

    2.1. Definisi

    Dalam merancang diperlukan pendekatan yang sesuai dengan apa yang

    ingin disampaikan pada perancangan workshop.

    Tunagahita

    Pengertian tunagrahita

    Istilah tuna grahita menurut (B3PTKSM, p. 19), tuna grahita merupakan

    kata lain dari retardasi mental. Tuna berarti merugi, sedangkan grahita berarti

    pikiran. Retardasi mental berarti terbelakang mental. Menurut (B3PTKSM,

    p.19) terdapat beberapa istilah dalam menyebut kaum tuna grahita, yaitu

    lemah fikiran (feeble-minded), terbelakang mental (mentally retarded), bodoh

    atau dungu (idiot), pandir (imbecile), tolol (moron), oligofernia

    (oligophernia), mampu didik (educable), mampu latih (trainable),

    ketergantungan penuh (totallydependent)/butuh rawat, mental subnormal,

    defisit mental, defisit kognitif, cacat mental, defisit mental, gangguan

    intelektual. Pengertian menurut ahli tentang keterbelakangan mental pada

    prinsipnya sama yaitu orang yang memiliki kecerdasan intelektual di bawah

    normal. Berikut beberapa pengertian tentang keterbelakangan mental atau

    tunagrahita menurut beberapa ahli,

    American Asociation on Mental Deficiency/ AAMD dalam B3PTKSM,

    (p.20) pengertian tuna grahita meliputi fungsi intelektual umum dibawah

    rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes yang

  • 8

    muncul sebelum usia 16 tahun, yang menunjukan hambatan dalam

    perilaku adaptif.

    Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM

    (p. 20-22) sebagai berikut: fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70

    ke bawah berdasarkan tes intelegensi baku. Kekurangan dalam

    perilaku adaptif. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu antara

    masa konsepsi hingga usia 18 tahun.

    Menurut (Soemantri 2006: 103) tuna grahita adalah istilah yang

    digunakan untuk menyebut anak dengan hendaya perkembangan.

    Diambil dari kata Children with Developmental Impairment. Kata

    impaiment diartikan sebagai hendaya atau penurunan kemampuan

    atau berkurangnya kemampuan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas,

    dan kuantitas (American Heritage Dictionary, 1982:644; Maslim. R.,

    2000: 119 dalam Delphine: 2006: 113)

    Karakterisik tunagrahita

    Karakteristik tunagrahita menurut Brown adalah sebagai berikut,

    Lamban dalam mempelajari hal baru, mempunyai kesulitan dalam

    mempelajari dengan kemampuan abstrak atau yang berkaitan, dan

    selalu cepat lupa apa yang dipelajari tanpa latihan terus menerus.

    Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru

    Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak tuna grahita berat.

    Cacat fisik dan perkembangan gerak. Anak tuna grahita berat

    mempunyai keterbatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat

    berjalan, tidak dapat berdiri atai bangun tanpa bantuan. Mereka lambat

    dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit

    menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala.

    Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak

    tunagrahita berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti:

    berpakaian, makan, mengurus kebersihan diri. Mereka selalu

    memerlukan latihan khusus untk mempelajari kemampuan dasar.

  • 9

    Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak tunagrahita ringan

    dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang

    mempunyai tunagrahita berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu

    mungkin disebabkan kesulitan bagi anak tunagrahita dalam

    memberikan pehatian terhadap lawan main.

    Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak

    tunagrahita erat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Kegiatan

    mereka seperti ritual, misalnya memutar-mutar jari di depan wajahnya

    dan melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri, misalnya

    menggigit diri sendiri, membenturkan kepala.

    Klasifikasi tunagrahita

    Pengklasifikasian/penggolongan anak/orang tunagrahita untuk

    keperluan pembelajaran menurut American Association on Mental

    Retardation dalam Special Education in Ontario Schools (p. 100) sebagai

    berikut:

    Educable. Anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan

    dalam akademik setara dengan anak reguler pada kelas 5 sekolah

    dasar.

    Trainable. Mempunyai kemampuan dalam mengurus diri sendiri,

    pertahanan diri, dan penyesuaian sosial. sangat terbatas kemampuan

    untuk pendidikan secara akademik.

    Custodial. Dengan pemberian latihan yang terus menerus dan khusus,

    dapat melatih anak tentang dasar-dasar cara menolong diri sendiri dan

    kemampuan yang bersifat komunikatif. Hal ini biasanya memerlukan

    pengawasan dan dukungan terus menerus. Sedangkan penggolongan

    tunagrahita untuk keperluan pembelajaran menurut B3PTKSM (p. 26)

    sebagai berikut :

    Taraf perbatasan (border line) dalam pendidikan disebut sebagai

    lamban belajar (slowlerner) dengan IQ 70 85

    Tunagrahita mampu didik (educable mentally retarded dengan IQ

    50 75

  • 10

    Tunagrahita mampu latih ( dependent of proudlley retarded

    dengan Q 30 50 atau IQ 3 -55

    Tunagrahita butuh rawat ( dependent of proudlly mentally

    retarded dengan IQ 25 30.

    Pengolongan tunagrahita secara medis biologis menurut Roan, 1979

    dalam B3PTKSM sebagai berikut :

    Retardasi mental taraf perbatasan ( IQ 68 85)

    Retardasi mental ringan (IQ 52 67)

    Retardasi mental sedang (IQ 36 51)

    Retardasi mental berat ( 20 -35)

    Retardasi sangat berat (IQ < 20 dan

    Retardasi mental tak tergolongkan.

    Adapun penggolongan tunagrahita secara sosial psikologis terbagi 2

    kriteria, yaitu: Psikometrik dan perilaku adaptif.

    Ada 4 taraf tunagrahita berdasarkan kriteria psikometrik menurut

    skala intelegensi Wechler ( Kirk and Gallagher, 1979, dalam B3PTKSM,

    p. 26) yaitu :

    Retardasi mental ringan (mild mental retardation dengan IQ 55 69)

    Retardasi mental sedang ( moderate mental retardation dengan IQ 40

    54)

    Retardasi mental berat (sever mental retardation dengan IQ 20 39)

    Retardasi mental sangat berat (provan mental retardation IQ

  • 11

    Menurut standar IQ Stanford-Binet, disebutkan bahwa terdapat 4

    klasifikasi pengidap tuna grahita (mental retarded) berdasarkan skor IQ

    adalah,

    1. Mild, ringan atau mampu didik (rentang IQ 55-70), untuk kemandirian,

    dapat melakukan keterampilan tanpa selalu diawasi.

    2. Moderate, mampu latih (rentang IQ 40-55), mereka dapat dilatih untuk

    keterampilan tertentu.

    3. Severe, membutuhkan perlindungan, pengawasan dan perawatan terus

    menerus (rentang IQ 25-40).

    4. Profound, mereka mengalami kesulitan secara fisik dan intelektual

    (rentang IQ 25)

    Sedangkan secara klinis, tunagrahita dapat digolongkan atas dasar tipe

    atau ciri-ciri jasmaniah sebagai berikut.

    1. Sindroma down mongoloid; dengan ciri-ciri wajah khas mongol,

    mata sipit dan miring , lidah dan bibir tebal dan suka menjulur jari

    kaki melebar, kaki dan tangan pendek, kulit kering, tebal, kasar dan

    keriput, dan susunan geligi kurang baik

    2. Hidrosefalus (kepala besar berisi cairan); dengan ciri kepala besar,

    raut muka kecil, tengkorak sering menjadi besar

    3. Mikro sefalus dan makro sefalus dengan ciri-ciri ukuran kepala tidak

    proporsional (terlalu kecil dan terlalu besar)

    Implikasi pendidikan bagi kaum tunagrahita

    Pendekatan yang dapat diberikan kepada kaum tunagrahita adalah

    1. Occuppasional therapy (terapi gerak). Terapi ini diberikan kepada

    anak tunagrahita untuk melatih gerak fungsional anggota tubuh (gerak

    kasar dan halus)

    2. Play therapy (terapi bermain). Terapi yang diberikan anak

    tunagrahita dengan cara bermain, misalnya: memberikan pelajaran

    terapi hitungan, anak diajarkan dengan cara sosiodrama, bermain jual-

    beli.

  • 12

    3. Activity Daily Living (ADL) atau kemampuan merawat diri.

    Untuk memandirikan anak tunagrahita, mereka harus diberikan

    pengetahuan dan keterampilan tentang kegiatan kehidupan sehari-hari

    (ADL) agar mereka dapat merawat diri sendiri tanpa bantuan orang

    lain dan tidak tergantung kepada orang lain.

    4. Life skill (keterampilan hidup). Bagi anak tunagrahita yang

    memiliki IQ dibawah rata-rata, mereka juga diharapkan dapat hidup

    mandiri. Oleh karena itu, untuk bekal hidup, mereka diberikan

    pendidikan keterampilan. Dengan keterampilan yang dimilikinya

    mereka diharapkan dapat hidup di lingkungan keluarga dan

    masyarakat serta dapat bersaing di dunia industri dan usaha.

    5. Vocational therapy (terapi bekerja). Selain diberikan latihan

    keterampilan. Dengan bekal keterampilan ang dimilikinya, anak

    tunagrahita diharapkan mampu dapat bekerja.

    Workshop

    Pengertian workshop.

    Pengertian workshop dalam bahasa Inggris cukup luas yaitu sebuah

    tempat yang berfungsi sebagai tempat kerja untuk membuat barang

    kerajinan. (www.artikata.com) workshop adalah kelompok kecil orang

    yang dibentuk, khusus dalam membahas tentang pemecahan masalah;

    sebuah toko dimana pembuatannya dilakukan dalam satu tempat

    dengan hasil karya.

    Sedangkan dalam bahasa Indonesia, arah pengertiannya lebih fokus

    kepada satu tujuan, dimana di Indonesia cenderung kepada kegiatan

    sekumpulan orang untuk membahas masalah dan memecahkannya.

    (www.wikipedia.com) bahwa workshop itu berarti sebuah lokakarya

    yang dihadiri oleh masyarakat untuk memecahkan masalah dan mencari

    solusinya.

    Orang yang berpartisipasi dalam workshop biasanya orang yang

    ingin meningkatkan kemampuan di bidang tertentu yang mereka sukai

    atau memperoleh pengetahuan tambahan dengan membahas topik dan

  • 13

    berpartisipasi dalam kegiatan dengan orang lain yang mempunyai

    aspirasi yang sama.

    Dynamic pattern

    Pattern atau pola dalam bahasa Indonesia (wikipedia.com) adalah

    bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set peraturan) ang bisa

    dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian dari

    sesuatu, khususnya jika sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu

    ang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang

    mana sesuatu itu dikatakan memamerkan pola. Deteksi pola dasar disebut

    pengenalan pola. Menurut (KBBI) pola adalah gambar yang dipakai untuk

    contoh; corak; bentuk (struktur) yang tetap.

    Sedangkan dynamic atau dinamis dalam bahasa Indonesia menurut

    (KBBI) berarti penuh semangat dan tenaga sehingga cepat bergerak dan

    mudah menyesuaikan diri dengan keadaan.

    2.2. Teori behavior (perilaku)

    Deskripsi umum

    Kata perilaku menunjukkan manusia dalam beraktifitasnya secara

    fisik, berupa interaksi manusia dengan sesama ataupun dengan lingkungan

    fisiknya. Di sisi lain, desain arsitektur menghasilkan sesuatu yang bisa

    dipegang dan dilihat. Maka dari itu hasil desain arsitektur bisa menjadi

    faktor pembentuk maupun penghalang terjadinya perilaku. Merupakan

    teori yang membahas tentang keterkaitan antara arsitektur dengan perilaku

    manusia yang bersinggungan secara langsung. Dalam teori behaviorisme

    analisa hanya dilakukan pada perilaku yang tampak saja, yang dapat

    diukur, dilukiskan dan diramalkan. Teori behavioris bisa disebut sebagai

    teori belajar, karena setiap perilaku manusia merupakan hasil dari

    pembelajaran.

  • 14

    Behaviorisme dalam konteks arsitektur

    Pada umumnya para ahli teori perilaku beropini bahwa dalam setiap

    perilakunya manusia mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Berdasarkan

    konsep teori hierarki yang dikemukakan oleh Maslow, disebutkan bahwa

    manusia lebih cenderung memenuhi kebutuhan dasar lebih awal dibanding

    kebutuhan lainnya. Dalam hubungannya dengan arsitektur, manusia

    cenderung memilih pemenuhan fisiologis dahulu seperti tersedianya ruang

    untuk berlindung, memenuhi kebutuhan ruang untuk tidur daripada

    sekedar memenuhi estetika bangunan.

    Manfaat penerapan behaviorisme

    Pengkajian topik arsitektur berwawasan perilaku diharapkan dapat

    menjadi langkah awal dalam pembentukan kepribadian atau perilaku

    manusia terhadap lingkungannya. Dorongan yang timbul akibat keinginan

    untuk memecahkan masalah (lingkungan) tersebut kemudian

    menumbuhkan apa yang disebut ilmu psikologi lingkungan, yaitu ilmu

    psikologi untuk menyatakan dan mengonsepkan lingkungan manusia.

    Posisi objektifitas ilmu psikologi lingkungan adalah lebih ke arah

    teoritikal, karenanya ilmu ini lebih menekankan kepada bagaimana

    mendefinisikan lingkungan itu seperti apa. Untuk referensi pada objek

    arsitektur diharapkan bisa menghasilkan rancangan yang dapat diterima

    oleh pengguna, oleh karena itu diperlukan imajinasi dan pertimbangan

    akal sehat dari perancang setiap kali merancang. Ketika mendesain harus

    memperhatikan banyak aspek seperti membuat asumsi-asumsi, perkiraan

    kebutuhan manusia, hingga perilaku manusia. Selanjutnya perancang

    memutuskan bagaimana lingkungan yang dia desain bisa menampung

    penggunanya sebaik mungkin.

    Kajian literatur behaviorisme

    Menurut John Locke(1632-1704), pada waktu lahir manusia tidak

    mempunyai warna mental. Warna ini didapat dari pengalaman.

    Pengalaman adalah satu-satunya jalan menuju pengetahuan. Secara

    psikologis, seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan tempramen

  • 15

    ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience). Pikiran dan

    perasaan disebabkan oleh perilaku masa lalu. Terjadi kesulitan dalam

    menjelaskan gejala psikologi yang timbul ketika seseorang membicarakan

    tentang apa yang mendorong manusia berperilaku tertentu. Hedonisme

    (Aristippus, 395 SM) mengajarkan bahwa kesenangan merupakan satu-

    satunya yang ingin dicari manusia. Kesenangan didapat langsung dari

    pancaindera. Orang yang bijaksana selalu mengusahakan kesenangan

    sebanyak-banyaknya, sebab kesakitan adalah suatu pengalaman yang tidak

    menyenangkan. Utilitarianisme (Shomali, 2005: 11) disebut sebagai teori

    kebahagiaan terbesar yang mengajarkan manusia untuk meraih

    kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Karena,

    kenikmatan adalah hal satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan

    adalah satu-satunya kejahatan intrinsik. Oleh karena itu sesuatu yang

    paling utama bagi manusia menurut (Betham) adalah bahwa kita harus

    bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat-akibat baik

    sebanyak mungkin dan sedapat dapatnya mengelakan akibat-akibat buruk.

    Karena kebahagianlah yang baik dan penderitaanlah yang buruk. Dan

    apabila utilitarianisme digabungkan dengan hedonisme maka bisa disebut

    dengan behaviorisme.

    Scott (1974) mengatakan, arsitektur hendaknya memiliki tujuan yang

    humanis. Sedangkan bagi Norberg Schulz (1986), tugas para perancang

    adalah menyediakan suatu pegangan eksistensial bagi pemakainya agar

    dapat mewujudkan cita-cita dan mimipinya. Charles Jencks (1971)

    menambahkan bahwa dalam masyarakat yang pluralis, arsitek dutuntut

    untuk mengenali berbagai konflik dan mampu mengartikulasikan bidang

    sosial setiap manusia pada setiap situasi sosial tertentu. Membahas tentang

    arsitektur perilaku sangat penting bagi perancangan ini karena perilaku

    orang keterbelakangan mental berbeda dengan perilaku orang normal.

    Mereka lebih membutuhkan penangan khusus.

    Menurut Donna P. Duerk dalam bukunya yang berjudul Architectural

    Programming dijelaskan bahwa manusia dan perilakunya adalah bagian

    dari sistem yang menempati tempat dan lingkungan tidak dapat dipisahkan

  • 16

    secara empiris. Karena itu perilaku manusia selalu terjadi pada suatu

    tempat dan dapat dievaluasi secara keseluruhan tanpa pertimbangan

    faktor-faktor lingkungan. Y.B. Mangunwijaya dalam buku Wastu Citra

    berpendapat bahwa arsitektur berwawasan perilaku adalah arsitektur yang

    manusiawi, yang mampu memahami dan mewadahi perilaku-perilaku

    manusia yang ditangkap dari berbagai macam perilaku, baik itu perilaku

    pencipta, pemakai, pengamat juga perilaku alam sekitarnya. Pembahasan

    perilaku disebutkan dalam Wastu Citra sebagai berikut:

    Perilaku manusia didasari oleh pengaruh sosial budaya ang juga

    mempengaruhi terjadinya proses arsitektur

    Perilaku manusia yang dipengaruhi oleh kekuatan religi dari pengaruh

    nilai-nilai kosmologi

    Perilaku alam dan lingkungan mendasari perilaku manusia dalam

    berarsitektur

    Dalam berarsitektur terdapat keinginan untuk menciptakan perilaku

    yang lebih baik.

    Menurut Victor Papanek, dalam telaah lingkungan arsitektur harus

    dipahami dua kerangka konsep yang satu menjelaskan jajaran informasi

    lingkungan perilaku-perilaku yang tersedia, dan yang lain memperhatikan

    proses perancangan informasi lingkungan perilaku ang paling

    mempengaruhi pengambilan keputusan arsitektur.

    Dalam kehidupan nyata antara manusia dengan lingkungan

    mempunyai hubungan yang timbal balik, ketika manusia membentuk suatu

    lingkungan, lingkungan yang tercipta akan membentuk perilaku manusia

    penggunanya. Pada buku Arsitektur Perilaku Manusia karya Joyce

    Marcella Laurens, dalam penelitian perilaku-lingkungan, hubungan

    perilaku dan lingkungan adalah satu unit yang dipelajari dalam keadaan

    saling terkait. Dengan demikian, apa yang dihasilkan adalah hubungan

    sebab-akibat dari sesuatu yang dihasilkan oleh keduanya.

  • 17

    Prinsip desain teori behavior

    Pada penelitian guna memperoleh gelar doktor di Royal College of

    Art, Dan Lockton mengutip strategi yang dilakukan oleh Christopher

    Alexander (Alexander, dkk. 1975, 1977; Alexander, 1979) menyatakan

    bahwa strategi dan taktik dapat dinyatakan dalam arsitektur dalam hal

    pola, yang menggambarkan masalah yang terjadi berulang-ulang di

    lingkungan kita, dan menjelaskan inti solusi untuk masalah tersebut.

    Objek Akhiran Cara

    Simpul

    aktifitas

    Untuk membuat konsentrasi

    manusia pada sebuah komunitas

    Fasilitas harus

    dikelompokkan pada

    sebuah lingkungan

    publik yang sangat

    kecil/sempit yang

    berfungsi sebagai

    simpul, dengan semua

    pergerakan pejalan

    kaki supaya melewati

    simpul-simpul ini.

    Gerbang

    utama

    Untuk mempengaruhi penduduk

    bagian dari kota untuk

    mengidentifikasi sebagai entitas

    yang berbeda.

    Menandai setiap batas

    di kota untuk

    mengidentifikasi

    sebagai sebuah arti

    yang penting bagi

    manusia. Batas klaster

    bangunan, lingkungan,

    sebuah kantor polisi.

    Dengan pintu gerbang

    dimana jalan masuk

    utama lintas batas.

    Bermain

    yang saling

    Untuk mendukung formasi

    kelompok bermain bagi anak-

    Tata ruang tanah

    umum, jalan, kebun,

  • 18

    terhubung anak dan jembatan sehingga

    kelompok minimal 64

    rumah tangga yang

    dihubungkan oleh

    sebuah petak tanah

    yang tidak melintasi

    lalu lintas. Membuat

    tanah ini sebagai ruang

    bermain terhubung

    untuk anak-anak di

    dalam rumah tangga

    Rumah

    petani

    Untuk membantu semua anggota

    keluarga untuk menerima fakta

    bahwa merawat diri mereka

    sendiri dengan memasak adalah

    menjadi bagian dari kehidupan

    seperti halnya merawat diri

    dengan makan.

    Membuat dapur lebih

    besar dari biasanya,

    cukup besar untuk

    menyertakan ruang

    keluarga. Buatlah

    cukup besar untuk

    menampung meja dan

    kursi yang baik,

    beberapa ada yang

    lembut dan beberapa

    ada yang kasar, dengan

    kompor yang

    tenggelam di sekitar

    tepi ruangan, dan

    membuatnya menjadi

    ruangan yang lebih

    terang dan nyaman.

    Ruang

    pertemuan

    kecil

    Untuk mendorong sekelompok

    kecil orang, dengan mendorong

    orang untuk berkontribusi dan

    Membuat setidaknya

    70% dari semua ruang

    rapat, untuk 12 orang

  • 19

    membuat argumen mereka

    didengar.

    atau kurang.

    Menempatkan mereka

    pada bagian paling

    umum dari bangunan

    tersebar merata di

    antara tempat kerja.

    Tabel 2.1. Prinsip desain (Lockton, 2011)

    4.2.1. Gambaran umum kampung idiot Karang Patihan, Balong

    Populasi orang keterbatasan mental atau tunagrahita di Ponorogo

    mencapai 500 jiwa lebih. Jumlah ini merupakan jumlah terbesar di tanah

    air untuk tingkat distrik atau kabupaten. Desa Karang Patihan merupakan

    salah satu dari beberapa desa di Ponorogo yang warganya banyak

    mengidap keterbelakangan mental atau idiot, letak desa ini sangat terpencil

    dengan lokasi berada di dekat gunung tandus tidak produktif. Kebanyakan

    warga idiot di desa itu merupakan orang dengan umur produktif, sehingga

    pemenuhan kebutuhan sehari-hari mengandalkan warga yang normal tidak

    terkecuali orang yang kondisinya sudah sangat tua.

    Desa tersebut sering diliput media bukan karena prestasinya

    melainkan fenomena aneh yaitu banyak orang idiot yang berkumpul dalam

    satu kampung. Sehingga seringkali mendapat julukan Kampung Idiot.

    Seringkali banyak pihak yang membantu desa tersebut dalam bentuk

    bantuan logistik, maupun uang tunai. Namun hal tersebut ditengarai

    kurang tepat karena jika mereka selalu mendapat bantuan materi, mereka

    akan selalu bergantung kepada bantuan itu, sehingga kondisi ini tidak akan

    lebih baik daripada ketika mereka tidak mendapat bantuan. .

    Di Desa Karangpatihan, warga idiot hanya memiliki harapan hidup

    sampai 30 - 40 tahun saja. Kecilnya harapan hidup ini, akibat minimnya

    asupan gizi yang diterima. Dalam sehari-hari, sebagian besar warga idiot,

    mengonsumsi nasi tiwul yang terkadang sudah dikeringkan, atau menjadi

    nasi aking. Kebutuhan sehari-hari pun, terkadang warga idiot memerlukan

  • 20

    bantuan dari pihak lain, seperti pemerintah dan masyarakat. Dalam setiap

    bulan, selalu saja ada masyarakat atau instansi yang memberikan

    sumbangan dan bantuan bagi warga kampung idiot.

    Gambar 2.1. kondisi warga di kampung idiot (sumber:google.com)

    Faktor genetis yang kerap dijadikan faktor utama merupakan kesalahan

    yang dilakukan oleh warga setempat yang melakukan perkawinan sedarah.

    Hal ini juga tidak lepas dari minimnya pendidikan masyarakat dan kondisi

    demografi daerah yang terpencil tidak terjadi interaksi dengan penduduk

    daerah lainnya.

    Orang dengan keterbelakangan mental bukan penderita penyakit yang

    dapat disembuhkan jika selalu minum obat secara rutin, melainkan tidak

    mempunyai kemampuan seperti layaknya orang normal, seperti intelegensi

    rendah, dan kemandirian, mereka masih membutuhkan bantuan, American

    Association on Mental retardation (1992) menyusun sistem klasifikasi baru

    berdasarkan tingkat dukungan yang dibutuhkan seseorang untuk

    melaksanakan fungsi mereka pada level tertinggi. Klasifikasi tersebut adalah

    sebagai berikut:

    1. Intermittent, dukungan diberikan saat dibutuhkan individu mungkin

    membutuhkan dukungan episodik atau dukungan jangka pendek selama

    transisi dalam kehidupan.

  • 21

    2. Limited, dukungan cukup intens dan relatif konsisten dari waktu ke waktu.

    Dukungan itu dibatasi waktu (time-limited) tetapi tidak diselingi dengan

    jeda.

    3. Extensive, dukungan diberikan secara reguler (misal, tiap hari) tidak

    dibatasi waktu.

    4. Pervasive, dukungan diberikan terus menerus (konstan).

    Berdasarkan hasil klasifikasi di atas, orang tuna grahita diyakini masih

    bisa latih dan punya kemampuan berkembang meskipun hasil yang diperoleh

    tidak akan pernah sesuai ekspektasi, namun yang diharapkan adalah

    bagaimanakaum keterbelakangan mental tersebut berdaya dan mampu untuk

    hidup mandiri tanpa bantuan orang luar. Oleh karena itu mereka

    membutuhkan wadah untuk bisa berkarya, yaitu sebuah workshop.

    2.3. Kriteria

    Sudah diketahui secara umum bahwa kabupaten Ponorogo merupakan

    daerah lahirnya seni tari reog yang diakui dunia, namun masyarakat luar juga

    mengetahui bahwa dibalik itu semua terdapat fenomena kampung idiot

    dimana kebanyakan penghuni kampung itu mengidap keterbelakangan mental

    yang sampai sekarang belum terselesaikan. Kondisi tersebut diperparah

    dengan potret kehidupan mereka jauh di bawah kelayakan. Maka kriteria

    yang harus dilakukan adalah

    Desain workshop sebaiknya bisa menampung orang cacat mental

    Konsep workshop seharus bisa memacu kinerja gerak motorik dengan

    saraf sensorik pengidap keterbelakangan mental

    Desain workshop seharusnya tanggap terhadap iklim setempat.

  • 22

    2.4. Studi Preseden

    2.4.1. Dormitory for Mentally Disabled

    Nama proyek : Dormitory for Mentally Disabled

    Fungsi : Asrama bagi orang keterbelakangan mental

    Arsitek : Sou Fujimoto

    Lokasi : Hokkaido, Jepang

    Gambar 2.2. Dormitory for Mentally Disabled (sumber:

    http://coolboom.net/architecture/residential-care-unit-by-sou-fujimoto-

    architects/)

    Asrama bagi kaum keterbelakangan mental dirancang oleh firma

    arsitektur Jepang, Sou Fujimoto Architect yang berada di lereng bukit yang

    landai menghadap Hokkaido, Jepang, dan menyediakan akomodasi untuk

    dua puluh orang pengidap keterbelakangan mental. Dengan ukuran modul

    ruang sekitar 5,4 m, disusun berkelok-kelok dan menghasilkan ruang

    segitiga diantara modul. Mengadopsi kepentingan masa kini dalam

    menerapkan bahan cladding tunggal untuk kedua dinding dan atap,

    selubung bangunan hanya diartikulasikan dalam warna gelap cladding.

    Gambar 2.3. Denah Asrama orang keterbatasan mental (sumber:

    http://coolboom.net/architecture/residential-care-unit-by-sou-fujimoto-

    architects/)

  • 23

    Kajian perilaku keterbelakang mental terhadap bangunan

    Cacat mental merupakan keadaan kemampuan mental di bawah normal

    yang tidak dapat disembuhkan, tetapi bisa diperingan melalui pendidikan,

    bimbingan, latihan, dan perlakuan-perlakuan. Pada kasus bangunan

    preseden ini adalah mengumpulkan orang dengan keterbatasan mental

    menjadi satu dalam bangunan asrama.

    Hampir semua unit terdiri dari 2 lantai, kecuali pada unit yang terletak

    di bagian lereng tertinggi. Meskipun terletak di daerah berkontur namun

    bangunan tidak mengikuti kontur setempat. Semua lantai di desain merata

    tanpa perbedaan tingkat ketinggian. Bagian utama pada bangunan ini adalah

    pada modul 5,4m dimana difungsikan sebagai tempat aktifitas utama, yaitu

    tempat tidur, kamar mandi, tempat berkumpul, dsb. Sedangkan ruang yang

    terbentuk dari pertemuan antar modul berfungsi sebagai ruang kecil.

    Perlakuan terhadap orang pengidap keterbelakangan mental tidak hanya

    dilakukan secara aktif namun secara tidak langsung bangunan itu juga

    berperan dalam memberikan membentuk perilaku penghuni

    keterbelakangan mental. Dalam asrama itu perlakuan desain yang paling

    tampak yaitu bagaimana perancang mengelompokkan ruang tidur bagi

    penyandang keterbelakangan mental per luasan 5,4m. Perancang mencoba

    meminimalisir terjadinya kontak fisik yang tidak diharapkan antar pengidap

    keterbelakangan mental. Jadi dalam modul 5,4m hanya menyediakan

    tempat tidur 2 buah.

    Perlakuan terhadap orang dengan keterbelakangan mental harus

    berbeda dengan orang normal pada umumnya, ketika orang normal menuju

    ke sebuah tempat dan berada di ruang dengan banyak sirkulasi atau jalan,

    dengan mudah mereka mampu mempertimbangkan jalan mana yang lebih

    mudah dicapai, berbeda dengan pengidap keterbelakangan mental, sehingga

    Sou Fujimoto memberikan model sirkulasi linear yang memudahkan

    pengidap keterbelakangan mental menuju ke tempat yang dimaksud.

  • 24

    2.4.2. Center for the Mentally Handicapped in Alcolea

    Nama Proyek : Center for the Mentally Handicapped

    Fungsi : Pusat rehabilitasi bagi penyandang cacat mental

    Arsitek : Taller de Arquetectura Rico+Roa

    Lokasi : Cordoba, Spanyol

    Pusat cacat mental di Alcolea diusulkan sebagai perluasan gedung yang

    sudah ada berdasarkan kompetisi ide yang diadakan pada tahun 2004. Pada

    kompetisi ini dibebaskan untuk memilih lokasi dari bangunan. pada

    akhirnya lokasi yang terpilih adalah tempat yang berhubungan dengan

    lembah Alcolea. Di sebelah utara, latar belakang kanvas dari Sierra de

    Cordoba. Di sebelah timur, pemandangan yang dihasilkan oleh penurunan

    tajam ke lembah dan lereng bukit di seberang sungai Guadalbarbo

    menawarkan pemandangan indah. Di sebelah barat, bangunan ini

    melindungi dari terpaan cahaya matahari yang menyengat.

    Gambar 2.4. Pusat cacat mental di Alcolea (sumber:

    http://www.archdaily.com/367366/center-for-the-mentally-handicapped-in-

    alcolea-taller-de-arquitectura-rico-roa/)

    Kajian perilaku keterbelakangan mental terhadap bangunan

    Bangunan didesain tidak mengikuti kontur tanah yang miring. Terdiri

    dari 2 lantai, dimana lantai bawah berfungsi sebagai lantai transisi dari luar

  • 25

    menuju ke lantai 2 yang merupakan tempat aktifitas utama. Secara manfaat,

    desain bangunan ini mencoba untuk meminimalkan pergerakan antar level

    karena untuk memudahkan mobilitas dari pengidap keterbelakangan mental.

    Orang dengan keterbelakangan mental mempunyai kepribadian yang sulit

    untuk diprediksi, hal ini terkait dengan tingkat emosi yang bersangkutan

    sangat labil. Apabila desain lantai bangunan ini menggunakan perbedaan

    ketinggian, maka secara tidak langsung akan menghasilkan ruang-ruang

    yang luput dari perhatian, sehingga bisa memberi peluang bagi orang

    keterbatasan mental ini melakukan hal-hal diluar dugaan.

    Gambar 2.5. Potongan pusat cacat mental (sumber:

    http://www.archdaily.com/367366/center-for-the-mentally-handicapped-in-

    alcolea-taller-de-arquitectura-rico-roa/)

    2.4.3. Kesimpulan kajian pustaka

    Dari kajian pustaka bisa diambil kesimpulan bahwa orang

    keterbelakangan mental mempunyai beberapa kekurangan salah satunya

    kesulitan dalam bergerak diakibatkan intelektual yang rendah, maka tingkat

    koordinasi antara gerak motorik dengan sensorik agak terganggu akibatnya

    aktifitas yang seharusnya dilakukan secara normal, namun karena orang

    mengidap keterbelakangan mental, aktiftas sehari-hari butuh waktu yang

    lama dan perlu bimbingan dari keluarga terdekat.

    Berdasarkan pengamatan terhadap ketiga preseden, bisa diambil

    pelajaran bahwa

    Jika desain itu bersifat menempel/melekat dengan bangunan lain dan

    masih memiliki keterakaitan dengannya maka bangunan baru itu

    seharusnya bangunan baru itu mempunyai manfaat pada bangunan yang

    menjadi media melekatnya.

  • 26

    Desain bangunan bagi orang keterbelakangan mental lebih mengarah ke

    antisipasi orang terbelakang mental melakukan hal-hal yang tidak

    diinginkan.

    Orang dengan keterbelakangan mental mempunyai pemikiran yang

    sederhana, sehingga bangunan yang terkait harusnya lebih

    memudahkannya untuk beraktifitas.

    Perilaku orang keterbelakangan mental muncul sesuai dengan kondosi

    psikologis mereka, pada kedua bangunan kajian preseden diatas bisa

    diambil pelajaran bahwa setiap arsitek mempunyai alasan masing-

    masing untuk membentuk perilaku, namun ada kesamaan pada tidak

    adanya sebuah perbedaan level ketinggian lantai untuk aktifitas

    penghuni.

    Pada studi kasus asrama bagi orang keterbelakangan mental pola

    penyusunan ruang adalah membatasi perilaku menyimpang antar orang

    terbelakang mental dengan bentuk modular, jadi bentuk ini bisa

    mengurangi interaksi antar sesama orang keterbelakangan mental.

  • 27

    BAB III

    METODOLOGI

    Permasalahan desain tesis yang diangkat adalah bagaimana merancang

    tempat pelatihan atau workshop bagi kaum keterbelakangan mental di Desa

    Karang Patihan Ponorogo, dengan pendekatan perilaku. Luaran desain yang

    diharapkan adalah bagaimana hasil desain tersebut bermanfaat bagi kaum

    keterbelakangan mental dimana perilaku menjadi objek penelitian paling utama.

    Workshop dengan konsep dynamic pattern adalah salah satu cara bagaimana

    desain itu tanggap terhadap perilaku pengguna, menurut (Winston Churcill, 1943)

    Kita mendesain bangunan, setelah itu bangunan itu balik mendesain kita.

    Sebelum melakukan perancangan, hal pertama yang dilakukan ialah dengan

    menggunakan penelitian, sedangkan penelitian juga mempunya metode.

    3.1. Desain Problem

    Ill defined-well structured problems.

    Issu yang diangkat pada perancangan kali ini adalah tentang keterbelakangan

    mental yang terjadi di desa Karang Patihan, Kecamatan Balong, Kabupaten

    Ponorogo, dimana kebanyakan warganya mengalami gangguan kecerdasan

    intelektual. Penyebab yang diketahui salah satunya adalah air pegunungan tidak

    mengandung unsur yodium, sehingga perkembangan fisik warga mengalami

    gangguan. Selama ini masyarakat dan pemerintah telah melakukan berbagai

    macam bantuan ke desa berupa sembako atau dana namun hasil yang didapatkan

    dinilai kurang tepat dikarenakan masalah utama adalah orang cacat mental

    tersebut jika selalu mendapat asupan bantuan maka mereka akan selalu

    bergantung kepada bantuan itu. Seharusnya yang dilakukan adalah

    memberdayakan orang cacat mental terhadap sesuatu yang pada akhirnya mereka

    juga menikmati hasil campur tangan mereka. Oleh karena itu harus ada wadah

    untuk melatih orang keterbelakangan mental supaya mereka bisa mandiri dan

    tidak lagi bergantung kepada bantuan. Wadah tersebut adalah workshop tempat

    pelatihan untuk kaum keterbelakangan mental.

  • 28

    3.2. Proses Desain

    Dalam proses eksplorasi desain kali ini, proses desain yang digunakan adalah

    Archers model, yaitu jenis Prescriptive Model yang sifat proses desainnya yaitu

    memberi petunjuk. Proses desain ini lebih ke arah interaksi/hubungan dengan

    dunia lain diluar proses desain, seperti informasi dari klien, desainer yang terlatih

    dan berpengalaman, dan informasi lainnya yang masih banyak. Hasil dari design

    process ini adalah solusi yang lebih spesifik dengan banyak pertimbangan yang

    diajukan ke klien. Semua macam variasi input dan output proses desain terletak

    diluar design process utama itu sendiri dimana langkah-langkah proses ini terjadi

    secara loop atau berulang.

    Gambar 3.1. skema desain proses Archers model (Sumber: Cross, 1995)

    Model design process ini menuntut untuk mencari informasi sebanyak

    banyaknya tentang objek yang akan dikerjakan, mulai dari informasi tentang

    lokasi, lingkungan sekitar, dll. Selain itu arsitek yang terlatih dan berpengalaman

    juga bisa memberikan nilai tambah pada model seperti ini.

    Pada model ini Archer mengklasifikasikan 6 tipe aktivitas di dalamnya

    yaitu:

    1. Programming, yaitu membuat issu utama, sudah memulai mengusulkan

    rangkaian kegiatan

  • 29

    2. Data collection, yaitu mengoleksi, mengklasifikasi, dan mengoleksi

    banyak data.

    3. Analysis, yaitu mulai mengidentifikasi sub-problem yang ada, menyiapkan

    desain-desain kasar, menilai kembali usulan yang telah dibuat.

    4. Synthesis, yaitu menyiapkan garis besar desain yang diusulkan

    5. Development, yaitu mengembangkan desain prototipe, dan menyiapkan

    studi kelayakan

    6. Communication, yaitu menyiapkan segala sesuatu yang akan ajukan ke

    klien

    Selanjutnya Archer menyimpulkan dan membagi ke dalam 3 fase yaitu:

    Gambar 3.2. pengelompokan fase menurut Archer.

    Pada gambar di atas terdapat 3 fase penting yang bisa memberikan arahan

    bagi perancang untuk mengetahui secara sadar pada posisi mana perancang

    bekerja, yaitu

    Analitical phase yang didalamnya terdapat proses programming dan data

    collection, kegiatan yang dilakukan meliputi observasi, pengukuran, induksi

  • 30

    dan pertimbangan-pertimbangan. Pada proses ini data harus bagus dan lengkap

    sehingga dalam menganalisa akan menghasilkan hasil yang baik.

    Creative phase diisi oleh analisa, sintesa, dan pengembangan, kegiatan yang

    dilakukan diantaranya adalah evaluasi, penilaian, deduktif, pertimbangan-

    pertimbangan dan keputusan. Creative phase merupakan langkah bagi

    perancang untuk mendefinisikan sesuai dengan kreativitasnya.

    Executive phase terdapat proses komunikasi dengan kegiatan yang dilakukan

    adalah mendeskripsikan, mengartikan dan mentransmisi. Fase ini merupakan

    fase matang yang telah di proses pada fase kreatif sebelumnya.

    Dalam kegiatan merancang tahapan yang dilakukan oleh perancangan

    disesuaikan dengan gambar 3.2. adalah sebagai berikut,

    Gambar 3.3. Pengembangan metode

    1. Analithical phase. Dalam fase ini diperlukan kelengkapan dan keakuratan

    data, sehingga mudah untuk dianalisa. Metode yang dilakukan adalah

    kelompok methods of exploring problem structure, yaitu classification of

    design information, yang sifatnya mengelompokkan desain problem ke dalam

    bagian-bagian yang mudah untuk dikelola.

    Methods of Exploring Problem Structure

    Berkaitan dengan menentukan pokok masalah yang mampu

    ditransformasikan ke dalam ranah arsitektur seharusnya yang dilakukan

    pertama kali yaitu aktifitas mengeksplorasi berbagai masalah yang terkait.

    Dimana masalah tersebut tidak hanya dipandang dalam satu sudut,

  • 31

    melainkan beberapa sudut pandang yang sudah ditentukan dari awal.

    Selanjutnya untuk menemukan problem struktur yang bisa dijadikan bahan

    dalam merancang adalah dengan mengklasifikasikan berbagai informasi

    desain terkait dengan orang cacat mental ke dalam susunan atau daftar

    yang mudah untuk dijelaskan dan dipahami. Berikut merupakan

    pengelompokan beberapa informasi ke dalam bentuk daftar.

    Fakta Fenomena

    Warga kekurangan yodium Banyak warga desa cacat mental

    Kondisi warga miskin Tidak ada kaum cacat mental

    yang pernah didik atau latih

    Keadaan desa yang terisolir Rata-rata orang cacat mental

    berumur produktif

    Bantuan pemerintah hanya bersifat temporer

    Cacat mental mempunyai IQ rendah

    Orang cacat mental yang ketergantungannya besar

    Mobilitas orang cacat mental terbatas

    Tabel 3.1. Pengelompokan informasi desain

    2. Creative phase. Pada fase ini kreativitas harus dilakukan secara sadar,

    sehingga bisa dipertanggung jawabkan oleh karena itu jenis metode yang

    dipilih adalah methods of searching for ideas. Metode yang dipilih berupa

    morphological chart, yang sifatnya memperluas area dalam mencari solusi

    yang tepat. Dalam fase kreatif ini juga menggunakan metode evaluasi. Artinya

    evaluasi adalah tenik untuk memeriksa apakah desain sudah memenuhi

    kriteria atau belum.

    Methods of Searching for Ideas

    Dalam berpikir kreatif seringkali memerlukan waktu untuk mendapat ide

    yang sesuai dengan apa yang diinginkan sehingga tidak tahu kapan ide itu

    keluar, selain itu ide kreatif juga seringkali sulit dievaluasi dan dijelaskan

    prosesnya karena muncul dengan sendirinya, pada perancangan kali ini

    metode untuk menemukan ide yang bisa dievaluasi adalah menggunakan

    morphological chart. Metode ini bertujuan memperluas wilayah pencarian

    solusi-solusi atas sebuah masalah desain.

  • 32

    Evaluasi

    Tahapan evaluasi dimasukkan ke fase kreatif karena masih dalam proses

    mengambil keputusan desain namun berada pada langkah akhir tahap fase

    kreatif, tanpa ada produk jadi metode evaluasi tidak akan berjalan.

    3. Executive phase. Adalah bagian terakhir dari 3 fase yang berisi tentang desain

    akhir berisi tentang gambar konseptual lengkap dan jelas sehingga bisa

    dikomunikasikan.

    3.3. Metode desain

    Secara fisik kondisi bangunan desa setempat bisa dikatakan bergaya arsitektur

    tradisional, dengan atap joglo, belum banyak terpengaruh gaya modernisme.

    Sebagai masyarakat tradisional, adat istiadat masih dijunjung dengan baik, ketika

    ada bangunan baru muncul masyarakat tradisional akan lebih menerima baik jika

    bangunan itu juga mengikuti apa ang menjadi pakem mereka sejak dahulu,

    sehingga metode desain yang digunakan adalah Regionalism Method, pada buku

    Basic Design Methods karya Kari Jormakka (2007). Metode ini merupakan

    bagian dari response to site, dimana acuan desain bangunan nantinya sangat

    bergantung pada hasil penggalian informasi tentang site.

    Beberapa ciri dari arsitektur regionalisme diantaranya menggunakan material

    lokal, mengikutsertakan masyarakat setempat dalam hal membangun, mengadopsi

    gaya lingkungan sekitar ke dalam desain arsitektur. Oleh karena itu dalam

    memudahkan menerapkan metode regionalisme ke dalam desain bangunan

    dibutuhkan sebuah pendekatan yaitu pendekatan tipologi bangunan, yaitu salah

    satu cara dengan mengamati ciri-ciri bangunan di sekitarnya.

    Regionalism

    Desain

    Tipologi

  • 33

    Metode regionalisme merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan untuk

    perancangan bagi kaum keterbelakangan mental di Desa Karang Patihan, karena

    sesuai dengan sifatnya yang respon to site, penggunaan metode ini merupakan

    hasil dari pengoleksian data-data yang telah didapat selama penelitian, sehingga

    perancangan ini bisa sesuai dengan budaya dan iklim setempat.

    3.5.1. Penjelasan desain proses dengan desain pengembangan

    Gambar 3.4. merupakan pengembangan desain dari desain proses yang telah

    dijelaskan sebelumnya, terdapat penjelasan kegiatan apa saja yang dilakukan pada

    setiap proses desain.

    1. Analithical phase. Kegiatan pertama yang harus dilakukan adalah dengan

    mengangkat issu utama yang menjadi bahan rancang. Setelah kegiatan

    menentukan issu utama, proses selanjutnya dengan mencari literatur dan

    sumber informasi dan literatur berkaitan dengan issu yang diangkat, dalam

    mencari informasi dan literatur menggunakan metode classification of

    design information. Dengan metode tersebut data yang diperoleh jelas dan

    lengkap. Setelah mendapat beberapa informasi tentang issu yang diangkat,

    dari informasi yang didapat, diambil salah satu atau beberapa yang bisa

    dijadikan bahan dalam metode regionalisasi, (mis. tipologi bangunan).

    pada analithical phase ini issu utama dijabarkan ke dalam problem-

    problem kecil sehingga mudah dalam pengelolaanya.

    2. Fase Transisi analithical-creative phase. Fase ini berupa desain kasaran

    yang berisi tentang ide awal dikombinasikan dengan informasi informasi

    yang telah didapat.

    3. Creative phase. Di wilayah ini proses dimulai dari desain konsep 1. Proses

    ini merupakan turunan dari desain kasar yang telah dikembangkan karena

    mendapat sisipan informasi sub problem dari penjabaran issu utama yang

    telah dilakukan pada proses analithical phase. Output yang dihasilkan

    adalah pengembangan desain ang lebih akurat daripada desain kasaran.

    Ketika dalam proses desain konsep 1 disisipkan metode regionalsme.

    Hasilnya berupa desain konsep matang (desain konsep 2). Setelah

    menghasilkan desain konsep matang langkah selanjutnya dievaluasi

  • 34

    apakah hasilnya sudah sesuai kriteria yang diinginkan atau belum. Jika

    belum mencapai kriteria yang diinginkan maka langkah yang ditempuh

    kembali lagi ke desain kasar pada fase transisi, karena pada fase ini

    merupakan fase dimana pentransferan data yang diperoleh ke dalam ranah

    arsitektur. Sehingga proses yang terjadi secara loop/ bolak-balik hingga

    mendapat desain yang sesuai.

    Pada gambar 3.5. merupakan penjelasan bagaimana metode regionalisme

    dilakukan. Langkah paling mudah untuk merumuskan metode regionalisme yaitu

    dengan pendekatan tipologi bangunan. Dengan mengambil sampel dan mengamati

    tipologi bangunan setempat pada fase analitik. Selanjutnya pada fase kreatif

    mengombinasikan antara bentuk-bentuk bangunan yang ada maka didapatkan

    bentukan yang sesuai dengan kondisi setempat.

  • 35

    Gambar 3.4. Diagram pengembangan metode

  • 36

    Gambar 3.5. Metode regionalisme

  • 37

    Daftar pustaka

    Kamus Besar Bahasa Indonesia

    Mangunwijaya, Y.B; Wastu Citra

    Duerk, P. Donna; Architecture Programming

    Yasaman Haji Esmaili; 2011;Consideration Of Human Behaviour in Design

    A Green Office Space For Environmentalist A Simulation Study

    Cross, Nigel (1995); Engineering Design Methods; 2nd edition, John Wiley &

    Son, Inc; Milton Keynes; UK

    Laurens, J. M. (tidak ada tahun); Arsitektur Perilaku; Irasindo;

    Lockton; 2011; Architecture, urbanism, design and behaviour: a brief review;

    http://www.learnersdictionary.com/definition/workshop, diakses tanggal 30

    Maret 2014

    http://id.wiktionary.org/wiki/menempel, diakses tanggal 30 Maret 2014

    http://adinda-trianda.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-

    x-none.html

    http://kbbi.web.id/idiot, diakses pada tanggal 3 Maret 2015, pukul 08.12

    http://www.infospesial.net/old/indonesia/fenomena-kampung-idiot-di-

    ponorogo.html, diakses pada tanggal 2 Maret 2015, pukul 22.00