Proposal Skripsi
-
Upload
roy-barker-marbun -
Category
Documents
-
view
1.103 -
download
2
Transcript of Proposal Skripsi
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang
berlangsung secara sadar terencana dan berkelanjutan dengan sasaran
utamanya adalah untuk manusia atau masyarakat suatu bangsa. Ini berarti
bahwa pembangunan senantiasa beranjak dari suatu keadaan atau kondisi
kehidupan yang kurang baik menuju suatu kehidupan yang lebih baik
dalam rangka mencapai tujuan nasional suatu bangsa (Tjokroamidjojo &
Mustopodidjaja, 1988 ; Siagian, 1985).
Salah satu bukti pelaksanaan pembangunan nasional adalah adanya
pengelolaan di bidang ekonomi yaitu perdagangan. Perdagangan pada
umumnya merupakan kegiatan membeli barang di suatu tempat dan
sewaktu – waktu dapat dijual kembali ditempat lain untuk mendapatkan
keuntungan. Pedagang adalah orang yang melakukan kegiatan
perdagangan dan salah satu contoh pedagang ini adalah pedagang kaki
lima yang merupakan sector informal dalam perekonomian.
Dalam perkembangannya, keberadaan pedagang kaki lima di
perkotaan Indonesia mengalami masalah – masalah yang terkait dengan
gangguan dalam keamanan dan ketertiban masyarakat. Kesan kumuh, liar
dan merusak keindahan sudah melekat pada usaha mikro ini. Mereka
berjualan di trotoar jalan, di taman – taman kota, jembatan penyebrangan
bahkan badan jalan pun dijadikan sebagai tempat berjualan. Pemerintah
1
sudah berulang kali melakukan penertiban terhadap PKL ini karena
ditengarai sebagai penyebab kemacetan.
Perihal timbulnya pedagang kaki lima ini karena adanya suatu
kondisi dimana pembangunan dan pendidikan yang tidak merata di seluruh
Indonesia. Para PKL ini juga timbul akibat tidak adanya lapangan kerja
bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan untuk berproduksi. Jadi
wajar saja para pedagang kaki lima ini merupakan imbas dari banyaknya
jumlah rakyat miskin di Indonesia. Mereka berdagang karena tidak ada
pilihan lain, tidak memiliki pendidikan yang memadai, tingkat pendapatan
ekonomi yang kurang baik dan tidak tersedianya lapangan pekerjaan
untuk mereka.
Dalam Undang – Undang dasar 1945 pasal 27 ayat 2 berbunyi ”
Tiap – tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan. Pasal ini memberikan pengertian bahwa
pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab dalam memberantas
pengangguran dan mengusahakan lapangan pekerjaan yang layak bagi
rakyatnya dengan upah yang layak pula untuk hidup.
Di Indonesia belum ada Undang – Undang yang khusus mengatur
tentang pedagang kaki lima ini tapi hanya ada Peraturan Daerah (Perda)
yang mengaturnya. Peraturan Daerah ini dibuat oleh masing – masing
daerah untuk mengatur masalah – masalah yang terdapat di daerahnya.
Kalaupun ada Undang – undang yang dibuat pemerintah itu lebih mengacu
2
kepada usaha mikro, kecil menengah yaitu UU no 20 tahun 2008 dan UU
no 19 tahun 1995 tentang usaha kecil
Permasalahan pedagang kaki lima ini yang telah menjadi fenomena
di kota – kota besar khususnya di kota Payakumbuh yang juga banyak
terdapat pedagang kaki lima. Untuk itu pemerintah harus memiliki peran
dan tanggung jawab dalam menangani masalah pedagang kaki lima ini
yaitu dengan mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan daerah yang
mengatur tentang pedagang kaki lima. Salah satu kebijakan pemerintah
kota Payakumbuh adalah Perda Kota Payakumbuh no 9 tahun 2010 yang
mengatur tentang Pedagang kali lima ini.
Beberapa peraturan perundangan tersebut diatas merupakan
kebijakan publik (public policy) atau yang sering disebut kebijakan negara,
karena kebijakan itu dibuat negara. Bila dikaitkan dengan tujuan
kebijakan, maka yang hendak dicapai adalah untuk mewujudkan
kehidupan yang sejahtera untuk kaum marginal di Indonesia. Kebijakan
public merupakan keputusan – keputusan orang banyak pada tataran
strategis yang dibuat oleh pemegang otoritas public. Sedangkan pengertian
kebijakan menurut Frederich yang dikutip oleh Rahmadani Yusran dkk
(2006 : 7) merupakan ”Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan
menunjukkan kesulitan – kesulitan atau kemungkinan – kemungkinan
urutan kebijksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu”.
3
Dalam Perda Kota Payakumbuh no 9 tahun 2010 menyatakan
bahwa untuk melaksanakan suatu kegiatan ekonomi baik dari sector
formal maupun informal seperti pedagang kaki lima adalah hak
masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok. Selain itu guna
meningkatkan usaha sector informal di daerah tercakup di dalamnya
pedagang kaki lima ataupun pedagang malam perlu memperoleh jaminan
termasuk perlindungan, pembinaan dan pengaturan dalam melakukan
usahanya agar berdaya guna dan berhasil guna serta meningkatkan
kesejahteraan.
Berdasarkan Perda Kota Payakumbuh no 9 tahun 2010 pasal 1 no 7
menjelaskan pedagang kaki lima adalah pedagang yang melakukan usaha
perdagangan non formal dengan menggunakan lahan terbuka atau tertutup
sebagian baik fasilitas umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah
sebagai tempat kegiatan usahanya baik dengan menggunakan peralatan
bergerak atau peralatan bongkar pasang sesuai waktu yang telah
ditentukan.
Di kota Payakumbuh jumlah pedagang kaki lima sudah banyak
yang menempati pasar Payakumbuh yang terdiri dari pedagang makanan,
pedagang buah, pedagang sayuran, pedagang makanan spesifik kota
Payakumbuh seperti beras rendang, karak kaliang, batiah, galamai,
pedagang sepatu, pedagang pakaian wanita, pedagang kain, pedagang tas
dan pedagang aksesoris . Namun keberadaaan mereka masih belum teratur
dan berseliweran di pinggir jalan sehinggga membuat keadaan di pasar
4
Payakumbuh menjadi padat dan macet. Apalagi hari minggu banyak
pedagang mingguan yang datang dari berbagai daerah luar kota
Payakumbuh untuk berjualan di pasar Payakumbuh menambah jumlah
pedagang kaki lima yang berjualan di pasar Payakumbuh.
Kebanyakan dari pedagang kaki lima ini tidak memiliki tempat
untuk berjualan atau toko. Mereka pada umumnya berjualan di pinggir
jalan dan memadati hampir seluruh lokasi pasar bahkan trotoar pun
dijadikan sebagai tempat untuk menggelar dagangannya. Para pedagang
ini bahkan berjualan hampir ke tengah jalan raya sehingga kendaraan pun
susah untuk lewat ditambah lagi dengan pejalan kaki yang padat
memenuhi pasar.
Melihat kondisi ini Pemko Payakumbuh membentuk suatu
kebijakan pemerintah berupa Peraturan Daerah Kota Payakumbuh yaitu
Perda Kota Payakumbuh No 9 Tahun 2010 Tentang Pedagang Kaki Lima \
Dan Pedagang Malam serta Perwako Payakumbuh No 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Lokasi / Penempatan Dan Penjenisan Pedagang Kaki
Lima Di Pusat Pertokoan Payakumbuh. Adapun tujuan pembentukan perda
dan perwako ini untuk mengantisipasi terjadinya kesemrawutan dan
sekaligus menciptakan suasana yang tertib di pasar dengan adanya
penataan terhadap pedagang kaki lima di pasar payakumbuh. .
5
Melihat permasalahan diatas maka penulis tertarik untuk
mengambil judul skripsi ”IMPLEMENTASI PERDA KOTA
PAYAKUMBUH NO 9 TAHUN 2010 DALAM PENATAAN
PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR PAYAKUMBUH”
B. Identifikasi Masalah
1. Jumlah Pedagang kaki lima yang sangat banyak sehingga mereka
berjualan menggunakan fasilitas umum
2. Semrawutnya tata ruang di pasar sehingga mengganggu ketertiban
umum
3. Terganggunya proses pelaksanaan K3 di pasar Payakumbuh
4. Apabila hari pasar di kota payakumbuh yaitu hari minggu jumlah
pedagang melebihi jumlah pada hari biasa karena mereka yang
berjualan banyak datang dari berbagai daerah sehingga menimbulkan
kemacetan
5. Sering terjadinya aksi kekerasan antara pedagang dengan petugas
satpol PP dalam rangka penertiban pedagang kaki lima khususnya
pedagang liar yang berjualan sayur dan kebutuhan rumah tangga.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas maka penulis membatasi
masalah pada Implementasi Perda Kota Payakumbuh no 9 tahun 2010
dalam penataan pedagang kaki lima di Pasar Payakumbuh.
6
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana implementasi Perda Kota Payakumbuh no 9 tahun 2010
dalam penataan pedagang kaki lima di Pasar Payakumbuh?
2. Apa saja kendala yang dihadapi Pemerintah kota Payakumbuh dalam
implementasi Perda Kota Payakumbuh no 9 tahun 2010 dalam
penataan pedagang kaki lima di Pasar Payakumbuh?
3. Apa saja upaya yang dapat dilakukan Pemerintah Kota Payakumbuh
dalam mengatasi kendala dan hambatan terhadap impelemntasi Perda
Kota Payakumbuh no 9 tahun 2010 dalam penataan pedagang kaki
lima di Pasar payakumbuh
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apa saja hambatan yang dihadapi dalam
implementasi Perda Kota Payakumbuh no 9 tahun 2010 dalam
melakukan penataan terhadap pedagang kaki lima di Pasar
Payakumbuh
2. Untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan Pemerintah Kota
Payakumbuh dalam mengatasi hambatan dalam penataan pedagang
kaki lima di Pasar Payakumbuh
3. Untuk mengetahui bagaimana respon dari pedagang kaki lima terhadap
pelaksanaan kebijakan pemko payakumbuh tentang pengaturan dan
penataan pedagang kaki lima.
7
F. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk
pengembangan konsep ilmu Administrasi Negara khususnya yang
berhubungan dengan Kebijakan Publik
2. Praktis
a. Bagi pemerintah
Memberikan informasi yang bermanfaat sebagai acuan dalam
pengambilan keputusan terutama dalam menangani penataan
pedagang kaki lima di Pasar Payakumbuh
b. Bagi Mahasiswa
Memberikan pengetahuan dan wawasan serta kemampuan
menganalisis permasalahan yang ada mengenai penanganan
terhadap pedagang kaki lima.
c. Bagi masyarakat
Memberikan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat untuk
mengetahui kebijakan yang dibuat pemerintah dalam penataan
pedagang kaki lima
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP KEBIJAKAN PUBLIK
1.1 Defenisi kebijakan dan kebijakan publik
Kebijakan merupakan suatu rangkaian alternatif yang siap dipilih
berdasarkan prinsip – prinsip tertentu. Kebijakan juga merupakan suatu
hasil analisis yang mendalam terhadap berbagai alternative yang bermuara
kepada keputusan tentang alternative terbaik.
Istilah kebijakan diambil dari kata ”Policy” dalam kamus Besara
Bahasa Indonesia diartikan sebagai : kepandaian, kemahiran, dan
kebijkasanaan”. Dalam hal ini policy dipergunakan untuk berbuat baik,
positif atau menguntungkan
Sementara itu menurut Dunn (1998 : 51) : bahwa secara etimologi
istilah policy (kebijakan) berasal dari bahasa Yunani, sansekerta dan latin.
”Akar kata dari bahasa Yunani dan Sansekerta polis (negara kota) dan pur
(kota) kemudian dikembangkan dalam bahasa latin menjadi politia
( negara) dan akhirnya dalam bahasa inggris police yang artinya
menangani masalah – masalah public atau administrasi pemerintah.
Pandangan Dunn ini pada prinsipnya sama dengan apa yang diungkapkan
oleh Hoogerwerf yang tujuan akhirnya adalah penyelesaian masalah.
9
Menurut pendapat Hoogerwerf (1983 : 4) : kebijakan dapat
dilukiskan sebagai usaha untuk mencapai tujuan tertentu dengan sarana
tertentu dalam urutan waktu tertentu. Kebijakan merupakan jawaban
terhadap suatu masalah
Jadi kebijakan adalah upaya untuk memecahkan, mengurangi atau
mencegah suatu masalah dengan cara tertentu yaitu dengan tindakan yang
terarah sehingga dalam hal ini dapat diharapkan perasalahan public dapat
diatasi walaupun secara perlahan.
Carl Frederick dalam ( Solichin, 2002 : 3) mendefenisikan
kebijakan sebagai :
” suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan hambatan – hambatan tertentu seraya mencari peluang – peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.”
Dalam hal ini pemerintah adalah suatu badan hukum yang tak lain
bertugas dalam membuat putusan – putusan public dimana keputusan –
keputusan itu merupakan suatu kebijakan yang disebut juga dengan
kebijakan pemerintah yang tujuanny untuk ditaat oleh seluruh lapisan
masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Dunn (1998 : 132) bahwa :
”kebijakan public adalah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan – pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan – keputusan untuk bertindak yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah ”
Maksud dari kutipan diatas adalah bahwa setiap kebijakan yang
dibuat memiliki sifat yang mengikat secara menyeluruh terhadap objeknya
10
sehingga siapapun dia atau instansi apapun dia tidak bisa bertindak di luar
isi kebijakan itu.
Sementara menurut Thomas R. Dye dalam Solichin (2002 : 4 – 5)
kebijakan pemerintah adalah pilihan tindakan aparatur yang dilakukan atau
tidak ingin dilakukan oleh pemerintah
Dalam suatu kebijakan pemerintah diperlukan pula adanya sanksi
sebagaimana yang dikemukakan oleh Udoji dalam Solichin (2002 : 5)
bahwa :
”kebijakan pemerintah itu adalah suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan yang mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.”
Disini digambarkan bahwa kebijakan pemerintah merupakan
produk hukum yang harus ditaati oleh semua pihak. Ciri – ciri khusus
yang melekat pada kebijakan –kebijakan pemerintah bersumber pada
kenyataan bahwa kebijakan yang dirumuskan oleh apa saja menurut
Easton dalam Islamy (2002 : 20) disebut sebagai ”orang – orang yang
memiliki kewenangan dalam system politik seperti para eksekutif.
Legislative, para hakim administrator dan sebagainya”. Mereka itulah
yang berhak untuk mengambil tindakan – tindakan tertentu sepanjang
tindakan – tindakan itu berada dalam batas – batas peran dan kewenangan
mereka.
11
1.2 Ciri -Ciri Umum Kebijakan Publik
Ciri umum kebijakan seperti yang diungkapkan Zainal Abidin
(2006) adalah sebagai berikut:
a. Setiap kebijakan mesti ada tujuannya. Artinya pembuatan suatu
kebijakan tidak boleh sekedar asal buat atau karena kebetulan
ada kesempatan membuatnya
b. Setiap kebijakan tidak berdiri sendiri terpisah dari kebijakan
yang lain tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan dalam
masyarakat, dan berorientasi pada pelaksanaan, interpretasi dan
penegakan hukum
c. Kebijakan adalah apa yang dilakukan oleh pemerintah buka apa
yang ingin atau diniatkan akan dilakukan pemerintah
d. Kebijakan dapat berbentuk negative atau melarang dan juga
dapat berupa pengarahan untuk melaksanakan atau
menganjurkan
e. Kebijakan didasarkan pada hokum, karena itu memiliki
kewenangan untuk memaksa masyarakat untuk mematuhinya
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN)
nomor : PER/04/MPAN/2007menjelaskan bahwa dalam membentuk suatu
kebijakan public pada dasarnya mempunyai 6 nilai dasar kebijakan :
a. Kebijakan tersebut bersifat cerdas dalam arti memecahkan masalah
yang dapat dipertanggungjawabkan kepada public dari segi manfaat
kualitas, dan akuntabel
12
b. Kebijakan tersebut bersebut bijaksana dalam arti tidak menghasilkan
masalah baru yang lebih besar daripada masalah yang dipecahkan
c. Kebijakan public tersebut memberikan harapan kepada seluruh warga
bahwa mereka dapat memasuki hari esok lebih baik daripada hari ini
d. Kebijakan public adalah kepentingan public, bukan kepentingan
Negara, pemerintah, atau birokrasi saja
e. Kebijakan public harus mampu memotivasi semua pihak yang terkait
untuk melaksanakan kebijakan tersebut dari dalam diri mereka
f. Kebijakan public harus mendorong terbangunnya produktivitas
kehidupan bersama yang efisien dan efektif.
1.3. Jenis – Jenis Kebijakan Publik
Menurut Nugroho dalam Pasolong (2010 : 40) kebijakan public
dibagi menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Kebijakan yang bersifat makro yaitu kebijakan atau peraturan yang
bersifat umum seperti yang telah disebutkan diatas.
2. Kebijakan yang bersifat meso yaitu kebijakan yang bersifat menengah
atau memperjelas pelaksanaan, seperti kebijakan menteri, peraturan
gubernur, peraturan bupati dan peraturan walikota
3. Kebijakan yang bersifat mikro yaitu kebijakan yang bersifat mengatur
pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan diatasnya seperti
kebijakan yang dikeluarkan oleh aparat public di bawah menteri,
Gubernur, Bupati dan Walikota.
13
Sedangkan menurut Anderson dalam Subarsono (2005 : 19) mengatakan
jenis – jenis kebijakan public yaitu :
a. Kebijakan subtantif vs kebijakan procedural
Kebijakan subtantif adalah kebijakan yang menyangkut apa yang
dilakukan pemerintah seperti kebijakan subsidi bahan bakar minyak.
Sedangkan kebijakan procedural adalah bagaimana kebijakan subtantif
tersebut dilaksanakan
b. Kebijakan distributive vs kebijakan regulator vs kebijakan re
distributive
Kebijakan distributive menyangkut distribusi pelayanan atau
kemanfaatan pada masyarakat atau individu. Kebijakan regulatori yaitu
kebijakan yang berupa pembatasan atau pelarangan terhadap perilaku
individu atau sekelompok orang. Kebijakan redistributive yaitu
kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan pendapatan, pemilikan atau
hak – hak diantara kelompok dalam masyarakat.
c. Kebijakan material vs kebijakan simbolis. Kebijakan material adalah
kebijakan yang memberikan keuntungan sumber daya konkrit pada
kelompok sasaran. Sedangkan kebijakan simbolis adalah kebijakan
yang memberikan manfaat simbolis kepada kelompok sasaran.
d. Kebijakan yang berhubungan dengan barang public dan barang privat.
Kebijakan barang public adalah kebijakan yang bertujuan untuk
mengatur pemberian barang atau pelayanan public. Sedangkan
14
kebijakan barang privat adalah kebijakan yang mengatur penyediaan
barang atau pelayanan untuk pasar bebas.
1.4 Sifat Kebijakan Publik
Menurut Budi Winarno sifat kebijakan biasa diperinci menjadi
beberapa kategori :
a. Tuntutan kebijakan (policy demands) adalah tuntutan – tuntutan
yang dibuat oleh actor – actor swasta dan pemerintah ditujukan
kepada pejabat – pejabat pemerintah atau system politik
b. Kepuasan kebijakan (policy decision) didefenisikan sebagai
keputusan – keputusan yang dibuat oleh pejabat – pejabat
pemerintah yang mengesahkan atau member arah dan substansi
kepada tindakan – tindakan kebijakan public. Termasuk dalam
kegiatan ini adalah menetapkan Undang – Undang, memebri
perintah – perintah eksekutif atau pernyataan – pernyataan resmi,
mengumumkan peraturan – peraturan administrative atau
membuat interpretasi yuridis terhadap undang – undang.
c. Pernyataan kebijakan (public statement) adalah pernyataan –
pernyataan resmi atau artikulasi – artikulasi kebijakan public
yang termasuk dalam kategori ini adalah undang – udang
legislative, perintah – perintah dan dekrit presiden, peraturan –
peraturan administratif dan pengadilan, maupun penyataan –
pernyataan atau pidato – pidato pejabat pemerintah yang
15
menunjukkan maksud dan tujuan pemerintah dan apa yang akan
dilakukan untuk mencapai tujuan itu.
d. Hasil kebijakan (policy output) lebih merujuk kepada manifestasi
nyata dari kebijakan public, hal- hal yang sebenarnya dilakukan
menurut keputusan – keputusan dan pernyataan – penyataan
kebijakan
e. Dampak kebijakan (policy outcomes) lebih merujuk pada akibat –
akibat tindakannya atau tidak adanya tindakan pemerintah ( Budi
Winarno, 2002 : 19 – 20)
Dari defenisi sifat kebijakan public diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa sebuah kebijakan yang dibuat oleh actor pemerintahan
tidak hanya dibuat dalam suatu bentuk yang positif berupa undang –
undang, kemudian didiamkan dan tidak diimplementasikan, tetapi sebuah
kebijakan public harus dilaksanakan agar memiliki dampak yang nyata
serta memiliki tujuan yang diinginkan dari pembuatan kebijakan tersebut.
Setelah kebijakan ini diimplementasikan maka akan dapat dilihat
pelaksanaannya ini dan dapat dievaluasi.
1.5 Proses Kebijakan Publik
1. Analisis kebijakan
E.S Quade dalam Nugroho (2006 : 57) mengatakan bahwa asal
mula analisis kebijakan disebabkan oleh banyaknya kebijakan
yang tidak memuaskan. Begitu banyak kebijakan yang tidak dapat
memecahkan masalah kebijakan bahkan menciptakan masalah
16
baru. William N Dunn dalam Pasolong (2010 : 41) mengatakan
bahwa analisis kebijakan adalah disiplin ilmu social terapan yang
menggunakan berbagai metode penelitian dan argument untuk
menghasilkan dan meindahkan informasi relevan dengan
kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam
rangka memecahkan masalah – masalah kebijakan. Nugroho
dalam pasolong (2010 : 41) mengatakan bahwa analisis kebijakan
pemahaman akan suatu kebijakan atau pula pengkajian untuk
merumuskan suatu kebijakan. Proses analisis kebijakan dibedakan
atas penstrukturan masalah atau identifikasi masalah, identifikasi
alternatif dan pengusulan alternative terbaik untuk
diimplementasikan.
a. Identifikasi Masalah
Badujri dalam Pasolong (2010 : 42) mengatakan pada
dasarnya kebijakan public terjadi karena adanya masalah yang
perlu ditangani secara serius. Tanpa adanya masalah maka
kebijakan public tidak akan timbul. Informasi tentang suatu
masalah kebijakan public dapat diperoleh lewat sumber tertulis
seperti indicator social, data – data sensus, laporan – laporan
survey, jurnal, Koran dan juga melalui interview dengan
masyarakat secara lansung. Berbagai metode sering digunakan
dalam merumuskan masalah sehingga masalah tersebut dapat
dipahami dengan baik. Menurut Subarsono dalam Pasolong (2010
17
: 43) yaitu : analisis batas merupakan usaha memetakan masalah
melalui snowball sampling dan stakeholders. Hal ini disebabkan
karena adanya masalah yang tidak jelas dan rumit, sehingga
memerlukan bantuan stakeholders untuk memberikan informasi
yang berhubungan dengan masalah bersangkutan. Analisis
klasifikasi yakni mengklasifikasikan masalah dalam ketegori –
ketegori tertentu dengan tujuan untuk memudahkan analisis.
Analisis hirarki, yakni metode untuk menyusun masalah
berdasarkan sebab – sebab yang mungkin dari suatu masalah.
Brainstorming yakni metode untuk merumuskan masalah melalui
curah pendapat dari orang – orang yang mengetahui kondisi yang
ada. Analisis perspektif ganda yaitu untuk memperoleh
pandangan bervariasi dari perspektif yang berbeda mengenai
suatu masalah dan pemecahannya.
b. Identifikasi Alternatif
Apabila masalah tersebut telah disetujui untuk dipecahkan
atau dengan kata lain tujuan – tujuan yang akan dicapai telah
disetujui maka pertanyaan – pertanyaan untuk tahap berikutnya
adalah model – model atau teori – teori apa yang mampu
mengidentifikasi factor – factor penyebab dan berdasarkan
analisis tersebut mengembangkan alternative – alternative
kebijakan
18
c. Seleksi Alternatif
Dalam analisis kebijakan seleksi alternative merupakan
salah satu tahap yang sangat Quade (dalam Pasolong, 2010).
Dalam tahap ini seseorang perencana atau policy analist akan
melakukan seleksi alternative yang terbaik untuk diajukan ke
policy makers. Untuk menyeleksi atau memilih diantara alternative
kebijakan yang ada secara efektif diperlukan criteria atau standar
yang rasional. Pembahasan mengenai criteria tersebut sudah secara
luas dibahas dalam berbagai literatur kebijakan public Quade
(1982) dan Dunn ( dalam Pasolong)
1. Menyepakati criteria alternatif
2. Penentuan alternatif terbaik
3. Pengusulan alternatif terbaik
2. Pengesahan kebijakan
M Irfan Islamy dalam Pasolong (2010 : 51) mengatakan
bahwa proses pengesahan kebijakan dapat pula dikatakan sebagai
pembuatan keputusan. Oleh karena suatu susulan kebijakan yang
dibuat oleh orang atau badan dapat saja usulan itu disetujui oleh
pengesah kebijakan. Proses pengesahan kebijakan adalah proses
penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip –
prinsip yang diakui dan ukuran – ukuran yang diterima. Landasan
utama untuk melakukan pengesahan kebijakan ialah variable
social seperti system nilai masyarakat, ideology Negara, system
19
politik dan sebagainya. Menurut James E Anderson dalam Islamy
(1986 : 100) bahwa proses pengesahan kebijakan baiasanya
diawali dengan kegiatan “persuasion” dan “bargaining”.
Persuasion diartikan oleh Anderson sebagai usaha – usaha untuk
meyakinkan orang lain tentang suatu kebenaran atau nilai
kedudukan seseorang sehingga mereka mau menerimanya sebagai
miliknya sendiri.
1.6 Teori Formulasi kebijakan
Teori formulasi kebijakan telah dirumuskan oleh R. Dye dalam
Pasolong (2010 : 52), Sembilan teori secara lengkap sebagai berikut :
a. Teori kelembagaan
Teori yang secara sederhana mengatakan bahwa tugas membuat
kebijakan adalah tugas pemerintah. Oleh karena itu apapun dan
cara apapun yang dibuat oleh pemerintah pada dasarnya dapat
dikatakan sebagai kebijakan public. Teori ini merupakan teori
yang paling sederhana dalam formulasi kebijakan public, karena
teori ini hanya mendasarkan pada fungsi – fungsi kelembagaan
pemerintah disetiap sector dan tingkat dalam formulasi kebijakan
dikatakan R Dye dalam Pasolong (2010 : 53) bahwa ada tiga hal
yang membenarkan teori yaitu pemerintah memang sah membuat
kebijakan public fungsi tersebut bersifat universal, karena
pemerintah mempunyai hak memonopoli fungsi mengatur dalam
proses kegiatan public.
20
b. Teori proses
Teori yang berasumsi bahwa politik merupakan sebuah aktivitas
sehingga mempunyai proses. Teori ini memberi rujukan tentang
bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya dibuat, namun
memberikan tekanan pada substansi seperti apa yang harus ada.
c. Teori kelompok
Teori yang mengendalikan kebijakan sebagai titik keseimbangan.
Inti teori ini adalah interaksi di dalam kelompok akan
menghasilkan keseimbangan yang terbaik. Individu dan
kelompok – kelompok kepentingan berinteraksi secara formal dan
informal dan secara lansung atau melalui media massa
menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah untuk melahirkan
kebijakan public yang dibutuhkan. Teori kelompok pada dasarnya
merupakan abstraksi dari formulasi kebijakan yang akan dibuat.
d. Teori elit
Teori yang berkembang dari teori politik elit massa yang
melandaskan diri pada asumsi bahwa dalam setiap masyarakat
pasti terdapat dua kelompok yaitu pemegang kekuasaan atau elit
dan tidak memiliki kekuasaan atau massa. Menurut Nugroho
dalam Pasolong (2010 : 54) mengatakan bahwa ada dua penilaian
dalam teori ini yaitu negative dan positif.
21
e. Teori rasional
Teori yang mengedepankan gagasan bahwa kebijakan public
sebagai maksimum social gain berarti pemerintah sebagai
pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan
manfaat yang terbaik bagi masyarakat. teori ini mengatakan
bahwa proses formulasi kebijakan harus didasarkan kepada
keputusan yang sudah diperhitungkan tingkat rasionalitasnya.
Adapun langkah – langkah dalam memformulasikan kebijakan :
1. Mengetahui prefensi public dan kecendrungan nya
2. Menemukan pilihan – pilihan
3. Menilai konsekuensi masing – masing pilihan
4. Menilai rasional nilai social yang dikorbankan
5. Memilih alternative kebijakan paling efisien.
f. Teori inkrementalis.
Teori inkrementalis pada dasarnya merupaka kritik terhadap teori
rasional. Teori ini berasumsi bahwa kebijakan public merupakan
variasi ataupun kelanjutan dari kebijakan di masa lalu. Teori ini
dapat dikatakan sebagai teori pragmatis.
g. Teori permainan
Teori ini muncul setelah berbagai pendekatan yang sangat
rasional tidak dapat menjawab pertanyaan – pertanyaan yang
muncul dan sulit diterangkan dengan fakta – fakta yang tersedia
karena sebagian besar dari keseluruhan fakta tersebut
22
tersembunyi. Teori permainan ini sangat abstrak dan dedutif
dalam formulasi kebijakan.
h. Teori pilihan public
Teori ini melihat kebijakan sebagai proses formulasi keputusan
kolektif dari individu – individu yang berkepentingan atas
keputsan tersebut. Inti dri teori ini adalah bahwa sebuah kebijakan
public yang dibuat oleh pemerintah harus merupakan pilihan
public yang menjadi pengguna. Dengan demikian dalam
formulasi kebijakan public akan melibatkan public melalui
kelompok – kelompok kepentingan.
i. Teori sistem
Dalam teori ini dikenal tiga komponen yaitu input, proses, output.
Salah satu kelemahan dari teori ini adalah terpusatnya perhatian
pada tindakan – tindakan yang dilakukan pemerintah dan pada
akhirnya kita kehilangan pada apa yang tidak pernah dilakukan
pemerintah. Formulasi kebijakan dengan neggunakan teori system
ini mengasumsikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output
dari sistem politik.
j. Teori demokrasi
Menurut Nugroho dalam Pasolong (2010 : 57) dikatakan teori
“model demokrasi” karena menghendaki agar setiap pemilik hak
demokrasi diikutsertakan sebanyak mungkin. Teori ini biasanya
dikaitkan dengan implementasi Good Governance bagi
23
pemerintahan yang menggunakan agar dalam membuat kebijakan
para konstituen dan pemanfaat diakomodasi keberdaannya. Teori
model demokrasi ini kemudian dikembangkan antara lain mejadi
model “ democratic governance”.
B. Konsep Implementasi kebijakan
2.1. Pengertian implementasi kebijakan
Bernadine R Wijaya & Susilo Supardo dalam Pasolong (2010 :
57) mengatakan bahwa impelemntasi adalah proses
mentransformasikan suatu rencana ke dalam praktik. Hinggis dalam
Pasolong (2010 : 57) mendefenisikan implementasi sebagai
rangkuman dari berbagai kegiatan yang di dalamnya sumber daya
manusia menggunakan sumber daya lain untuk mencapai sasaran
strategi. Grindle dalam Pasolong (2010 : 57) implementasi sering
dilihat sebagai suatu proses yang penuh dengan muatan politik dimana
mereka yang berkepentingan berusaha sedapat mungkin
mempengaruhinya.Gordon dalam Pasolong (2010 : 58) mengatakan
bahwa implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan yang
diarahkan pada realisasi program. Dalam hal ini seorang administrator
mengatur cara untuk mengorganisir, mengeinterpretasikan dan
menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Menggorganisir berarti
mengatur sumber daya, unit – unit danmetode – metode untuk
melaksanakan program. Melakukan interpretasi berkenaan dengan
mendefenisikan istilah – istilah program ke dalam rencana – rencana
24
dan petunjuk – petunjuk yang dapat diterima dan feasible. Menerapkan
berarti menggunakan instrument – instrument mengerjakan atau
memberikan pelayanan rutin melakukan pembayaran – pembayaran,
atau dengan kata lain implementasi merupakan tahap realisasi tujuan –
tujuan program. Dalam hal ini yang diperlukan adalah persiapan
implementasi yaitu memikirkan dan menghitung secara matang
berbagai berbagai kemungkinan keberhasilan dan kegagalan termasuk
hambatan atau peluang – peluang yang ada dan kemampuan organisasi
yang diserahi tugas melaksanakan program.
Adapun dalam implementasi kebijakan terdapat berbagai
hambatan. Yaitu :
a. hambatan politik, ekonomi, dan lingkungan
b. kelemahan institusi
c. ketidakmampuan SDM di bidang teknis dan administrastif
d. kekurangan dalam bantuan teknis
e. kurangnya desentralisasi dan partisipasi
f. pengaturan waktu
g. system informasi yang kurang mendukung
h. perbedaan agenda tujuan antara actor
i. dan dukungan yang berkesinambungan
25
3.2 Faktor pendukung implementasi kebijakan
Adapun syarat – syarat untuk dapat mengimplementasikan
kebijakan Negara secara sempurna menurut teori implementasi Brian
W. Hogwood dan Lewis A. Gun (Abdul Wahab. 1997 : 71 – 78)
yaitu :
a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi
pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan atau atau
kendala yang serius.
b. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber –
sumber yang cukup memadai
c. Perpaduan sumber – sumber yang diperlukan benar – benar
tersedia
d. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasarkan
oleh suatu hubungan kausalitas yang handal
e. Hubungan kausalitas bersifat lansung dan hanya sedikit mata
rantai penghubungnya
f. Hubungan saling ketergantungan harus kecil
g. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap
tujuan
h. Tugas – tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang
tepat
i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna
26
j. Pihak – pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat
menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Menurut teori implementasi George C Edwards III terdapat
empat variable yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan
implementasi. Empat variable tersebut adalah :
a. Komunikasi, menunjuk bahwa setiap kebijakan akan dapat
dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi antara
pelaksana program (kebijakan) dengan para kelompok
sasaran ( target group)
b. Sumber daya, menunjuk setiap kebijakan harus didukung
oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia
maupun sumber daya financial. Sumber daya manusia
adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas
implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok
sasaran. Sumber daya financial adalah kecukupan modal
investasi atas sebuah program kebijakan. Keduanya harus
diperhatikan dalam implementasi program pemerintah.
c. Disposisi, yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat
kepada implementor kebijakan.karakter yang penting yang
harus dimiliki oleh implementor yaitu kejujuran, komitmen
dan demokratis.
d. Struktur birokrasi, menunjuk bahwa strukutur birokrasi
menjadi penting dalam implementasi kebijakan. Aspek
27
struktur birokrasi ini mencakup dua hal penting yaitu
pertama adalah mekanisme, dan yang kedua struktur
organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme implementasi
program biasanya sudah ditetapkan melalui standar
operating prosedur yang dicantumkan dalam guideline
program kebijakan.
C. KONSEP PERATURAN DAERAH
3.1 Pengertian Peraturan Daerah
Peraturan daerah merupakan peraturan perundang – undangan
yang dibentuk Dewan Perwakilan Daerah dengan persetujuan kepala
daerah. Defenisi lain tentang Perda berdasarkan ketentuan Undang –
Undang tentang pemerintahan daerah yaitu UU no 32 tahun 2004
peraturan daerah merupakan peraturan perundang – undangan yang
dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di Kabupaten. / kota
Dalam ketentuan UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah, Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah Propinsi/ kabupaten/ kota dan tugas pembantuan serta
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang –
undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing
– masing daerah.
Sesuai dengan ketentuan pasal 12 UU no 10 tahun 2004 tentang
pembentukan Peraturan Perundang – Undangan materi muatan Perda
28
adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi
khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang –
Undangan yang lebih tinggi
Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur, Bupati / Walikota.
Sedangkan rancangan Perda yang disampaikan oleh Gubernur atau
Bupati dan Walikota dipergunakan sebagai bahan persandingan.
Program perencanaan pembentukan peraturan daerah yang
disusun secara terpadu dan sistematis dilakukan dalam satu program
yaitu program legilasi daerah, sehingga diharapkan tidak terjadi
tumpang tindih dalam penyiapan satu materi daerah. Ada berbagai
jenis perda yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten, kota
dan propinsi antara lain :
a. Pajak daerah
b. Retribusi daerah
c. Tata ruang wilayah daerah
d. APBD
e. Rencana Program Jangka Menengah Daerah
f. Perangkat daerah
g. Pemerintahan desa
h. Pengaturan umum lainnya.
29
3.2 Mekanisme Pembentukan Peraturan Daerah
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dapat berasal dari
DPRD atau kepala daerah ( Gubernur, Bupati atau Walikota).
Raperda yang disiapkan oleh Kepala Daerah disampaikan kepada
DPRD. Sedangkan Raperda yang disiapkan oleh DPRD disampaikan
oleh tingkat – tingkat pembicaraan dalam rapat komisi / panitia / alat
kelengkapan DPRD yang khusus menangani legislasi dalam rapat
paripurna. Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan
Gubernur atau Bupati / walikota untuk disahkan.
D. Konsep Pedagang Kaki Lima
4.1 Sejarah pedagang kaki lima
Istilah pedagang kaki lima pertama kali dikenal pada zaman Hindia
Belanda tepatnya pada saat Gubernur Jenderal Stanford Raffles berkuasa.
Ia mengeluarkan peraturan yang mengharuskan pedagang informal
membuat jarak sejauh 5 kaki atau sekitar 1.2 meter dari bangunan formal
di pusat kota (Danisworo dalam Ginting). Peraturan ini diberlakukan untuk
melancarkan jalur pejalan kaki sambil memberikan kesempatan kepada
pedagang informal untuk berdagang. Tempat pedagang informal yang
berada 5 kaki dari bangunan formal di pusat kota inilah yang kelak dikenal
dengan nama pedagang kaki lima, atau sering kita singkat dengan sebutan
PKL.
30
4.2 Pengertian pedagang kaki lima
Pedagang kaki lima merupakan salah satu bentuk aktivitas
perdagangan di bidang sector informal ( Dorodjatun Kuntjoro Jakti dalam
Ari Sulistiyo Budi). Pedagang kaki lima merupakan pedagang kecil yang
umumnya berperan sebagai penyalur barang – barang dan jasa ekonomi
kota.
Dari maksud diatas yang dimaksud dengan pedagang kaki lima adalah
setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa yaitu
melayani kebutuhan barang – barang atau makanan yang dikonsumsi
lansung oleh konsumen, yang dilakukan cenderung berpindah – pindah
dengan kemampuan modal yang kecil atau terbatas dalam melakukan
usahanya tersebut menggunakan peralatan yang sederhana dan memiliki
lokasi di tempat – tempat umum (terutama di atas jalan atau sebagian
badan jalan) dengan tidak mempunyai legalitas formal.
Namun pengertian pedagang kaki lima ini terus berkembang hingga
sekarang dan menjadi kabur artinya. Mereka tidak lagi berdagang di atas
trotoar saja, tetapi disetiap jalur pejalan kaki, tempat – tempat parkir, ruang
– ruang terbuka, taman – taman bahkan di perempatan jalan dan
berkeliling ke rumah – rumah penduduk ( fakultas tekni unpar, 1980 dalam
Sari 2003 : 27)
Mc Gee dan Yeung dalam Ari Sulistiyo Budi (2006 : 35) memberikan
pengertian pedagang kaki lima sama dengan hawker yang didefenisikan
sebagai sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual
31
pada ruang public terutama dipinggir jalan dan trotoar. Dalam pengertian
ini termasuk juga orang yang menawarkan barang dan jasanya dari rumah
ke rumah.
E. Peraturan Daerah Kota Payakumbuh Nomor 9 Tahun 2010 tentang
Pedagang Kaki Lima dan Pedagang Malam
Dalam pasal 1 ayat 7 Perda Kota Payakumbuh Nomor 9 tahun 2010
dinyatakan bahwa pedagang kaki lima adalah pedagang yang melakukan
usaha perdagangan non formal dengan menggunakan lahan terbuka atau
lahan tertutup, sebagian fasilitas umum yang ditentukan oleh Pemerintah
Daerah sebagai tempat kegiatan usahanya baik dengan menggunakan
peralatan bergerak maupun peralatan bongkar pasang sesuai dengan sesuai
dengan waktu yang ditentukan. Pasal 1 nomor 9 menyatakan bahwa
tempat usaha atau lokasi adalah tempat – tempat tertentu yang ditempati
pedagang kaki lima untuk melaksanakan usaha dagang atau jasa.
Sedangkan dalam pasal 1 nomor 17 peralatan bongkar pasang adalah suatu
peralatan bagi pedagang kaki lima disaat mau dipakai peralatan ini bisa
dipasang dan disaat selesai menggelar jualannya peralatan ini biasa
dibongkar.
a. Tujuan dan fungsi penetapan Lokasi PKL
Adapun dalam pasal 2 bagian pertama tujuan dari penetapan lokasi bagi
pedagang kaki lima yaitu
Untuk pengendalian, pengaturan dan pengawasan terhadap
pedagang kaki lima dan pedagang malam
32
Menciptakan keterpaduan, keserasian dan da bagian keindahan
kota
Menciptakan hygenis dn sanitasi lingkungan bagi pedagang
kaki lima atau pedagang malam.
Sedangkan pada pasal 3 bagian kedua menyatakan bahwa fungsi dari
penetapan lokasi bagi pedagang kaki lima yaitu untuk membina, mengatur
dan menertibkan pedagang kaki lima atau pedagang malam
Sehingga dengan adanya tujuan dan fungsi penetapan lokasi untuk para
pedagang kaki lima di kota Payakumbuh maka dapat diciptakan penataan
yang baik terhadap pedagang kaki lima yang tidak hanya menguntungkan
bagi perekonomian masyarakat di kota Payakumbuh tetapi juga
memberikan dampak yang baik bagi kebersihan dan ketertiban kota
b. Lokasi dan pengaturan pedagang kaki lima
Pada pasal 4 Bab III tentang lokasi dari pedagang dinyatakan sebagai
beikut :
a. Pedagang makanan spesifik / tradisional seperti batiah, gelamai,
beras rendang, kerupuk sanjai, karak kaliang paniaram dan
sebagainya ditempatkan di :
1. Antara pertokoan bertingkat di belakang Hizra dengan blok C
2. Los Canopi Mini / pelataran eks Lapangan Parkir Blok Timur
Pusat Pertokoan Payakumbuh
b. Pedagang buah – buahan ditempatkan di :
33
1. Los buah – buahan ( Pelataran eks Lapangan parkir Blok Timur
dan Pusat Pertokoan Payakumbuh)
2. Jalan Sutan Usman (samping RM Asia Baru / bagi yang tidak
tertampung di los buah – buahan pada blok Timur Pusat
pertokoan Payakumbuh sebanyak 4 pedagang).
c. Jualan Aksesoris, sandal sepatu, pakaian wanita dan sebagainya
ditempatkan di :
1. Lokasi I
Di seputar pelataran Blok Barat Pusat pertokoan Payakumbuh
2. Lokasi II
Pada palung kaki lima lokasi terminal angkutan labuh baru
d. Tukang patri, sol sepatu, service lampu petromax, sepuh emas dan
sebaginya ditempatkan di pinggir jalan sebelah kiri Toko Mas
rendah.
e. Pedagang mingguan dan pakaian bekas serta lainnya (khusus yang
berjualan setiap hari pecan atau hari minggu ) ditempatkan di :
1. Pusat pertokoan Jalan Gajah Mada Payakumbuh
2. Pasar Ibuh terbagi atas pasar Ibuh Barat dan Pasar Ibuh Timur.
Pasar Ibuh merupakan tempat relokasi bagi pedagang kaki lima
yang berjualan sayur dan kebutuhan rumah tangga (ikan, ayam,
daging, bawang, tomat, cabe dan lainnya). Adapun tujuan di
relokasinya pedagang – pedagang ini agar tidak terjadinya
kesemrawutan yang parah di pasar payakumbuh serta untuk
34
menjaga kebersihan dan ketertiban pasar. Pasar Ibuh Barat
ditempatkan di :
a. Dimulai dari batas ujung jembatan Ratapan Ibu Sebelah
Timur sampai pada batas areal parkir ( took Blok a tahap 1)
b. Disekeliling pertokoan pasar Ibuh Barat
Biasanya digunakan pedagang sayur untuk berjualan di sore
hari
c. Pedagang bibit ikan ditempatkan di tepi sungai batang
agam / belakang musholla.
Sedangkan pasar Ibuh Timur ditempatkan di jalan jambu sampai batas
bengkolan mesjid dan biasanya digunakan pedagang sayur untuk
berjualan di pagi hari.
Dalam pengaturan pedagang kaki lima pasal 5 bab III diberikan
tempat usaha dengan luas sebagai berikut :
a. Untuk pedagang kaki lima yang berjualan makanan dan minuman
yang menggunakan gerobak dan tenda seperti martabak mesir,
nasi, sate dan pedagang makanan dan minuman lainnya diberi
tempat usaha dengan ukuran 3 x 3 meter
b. Untuk pedagang kaki lima yang berjualan barang mudo ( sayur dan
buah – buahan) di Pasar Ibuh diberikan tempat usaha seluas 1.5 x
1.75 meter
c. Untuk pedagang kaki lima yang berada di pusat pertokoan
payakumbuh diberikan tempat usaha 1.5 x 1.75 meter
35
c. Kewajiban dan larangan pedagang kaki lima
Dalam pasal 8 Bab IV dinyatakan bahwa :
1. Setiap kegiatan usaha pedagang kaki lima atau pedagang malam
wajib :
a. Memelihara kebersihan, ketertiban, dan keindahan pada masing
– masing tempat yang diizinkan dan mempunyai tong sampah.
b. Pedagang kaki lima dan pedagang malam yang berjualan
makanan dan minuman harus menyediakan :
1. Tempat cuci piring yang hiegenis ( bersih dan sehat) dan
memelihara K3 lainnya
2. Menyediakan tempat limbah dan membuangnya pada
tempat pembuangan limbah atau kotoran.
2. Setiap kegiatan usaha pedagang kaki lima dan pedagang malam
dilarang :
a. Melakukan kegiatan usaha dengan mendirikan tempat usaha
yang bersifat permanen atau semi permanen
b. Melakukan kegiatan yang dapat menghambat kelancaran lalu
lintas umum, pejalan kaki dan sebagainya
c. Melakukan kegiatan yang menimbulkan dampak negative
terhadap kebersihan, keindahan, ketertiban, keamanan dan
kenyamanan kota
d. Menggunakan lahan dan sarana usaha dagang yang melebihi
dari ketentuan yang telah diizinkan oleh Walikota
36
e. Berpindah tempat atau memindahtangankan izin tanpa
sepengetahuan dan seizing walikota atau pejabat yang ditunjuk
f. Dilarang berjualan di emperan toko dan atau lokasi parkir saat
– saat tertentu yang diatur lebih lanjut denga peraturan walikota
g. Menelantarkan dan atau membiarkan tempat kegiatan usaha
kosong tanpa kegiatan secara terus menerus selama 1 bulan
h. Tempat usaha dijadikan tempat penyimpanan, penimbunan
barang kecuali untuk jenis – jenis usaha tertentu yang diatur
lebih lanjut dengan peraturan walikota.
i. Memperdagangkan bahan – bahan yang dilarang oleh
pemerintah berdasarkan peraturan perundang – undangan yang
berlaku
j. Membuang sampah dan limbah ke saluran drainase di lokasi
pasar
k. Pedagang kaki lima yang berjualan sayuran, ayam, daging, ikan
dan sejenisnya dan yang menjual kebutuhan harian dilarang
berjualan di pusat pertokoan dan sekitarnya.
d. Pengawasan dan penertiban
Dalam pasal 10 bab VIII bahwa :
1. Pengawasan pedagang kaki lima dan atau pedagang malam
dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh walikota
2. Penertiban pedagang kaki lima dan / atau pedagang malam
dilakukan oleh petugas keamanan Pasar dan / atau petugas polisi
37
pamong Praja Kota Payakumbuh atau oleh petugas yang ditunjuk
pemerintah kota Payakumbuh.
e. Sanksi
Dalam pasal 12 bab XI menjelaskan bahwa :
1. Pedagang kaki lima dan / atau pedagang malam dapat dikenakan
sanksi pencabutan izin apabila :
a. Pemegang izin melanggar ketentuan yang tercantum dalam
surat izin
b. Tempat usaha yang bersangkutan tidak lagi ditetapkan sebagai
tempat usaha pedagang kaki lima dan / atau pedagang malam
c. Pemegang izin melanggar ketentuan pasal 7 Peraturan daerah
ini dan atau tidak mengindahkan ketentuan lainnya
d. Pemegang izin melanggar ketentuan Peraturan Perundang –
Undangan yang berlaku yang berkaitan dengan Peraturan
Daerah ini.
38
B. Kerangka konseptual
Kerangka berpikir atau kerangka konseptual merupakan model konseptual
tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai factor yang telah
diidentifikasi sebagai masalah penting ( Sugiyono, 2007 : 283 – 284).
Untuk lebih jelasnya kerangka konseptual dapat digambarkan sebagai
berikut :
39
Implementasi Perda kota Payakumbuh no 9 tahun 2010 dalam penataan pedagang kaki lima
Pelaksanaan Perda kota payakumbuh no 9 tahun 2010 dalam penataan pedagang kaki lima
Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perda kota payakumbuh no 9 tahun 2010
Upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendala dan hambatan dalam pelaksanaan perda kota payakumbuh no 9 tahun 2010
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
menggunakan metode deskriptif. Pada dasarnya penelitian ini berusaha
membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan atau objek yang
diteliti sebagaimana adanya. Lexy meleong (2008 : 3) menyatakan bahwa
penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang dihasilkan data
deskriptif berupa kata – kata tertulis atau lisan dari orang – orang atau
perilaku yang diamati.
Menurut Sugiyono (2005 : 213) dalam penelitian kualitatif peneliti
dituntut untuk menggali dan menelusuri berdasarkan apa yang diucapkan
dan dilakukan oleh sumber data. Peneliti kualitatif memperoleh data bukan
sebagaimana yang terjadi di laporan yang dialami dirasakan serta
dipilarkan oleh sumber data. Dengan demikian penelitian kualitatif dengan
metode deskriptif terhadap fenomena yang dimiliki.
Berdasarkan hal tersebut penelitian ini berusaha melakukan
penelusuran dan memperoleh pendeskripsian tentang pengimplementasian
suatu kebijakan perda Kota Payakumbuh berupa Peraturan Daerah (Perda)
Nomor 9 Tahun 2010 dalam penataan pedagang kaki lima
40
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Payakumbuh dengan lokasi
penelitian antara lain Dinas Pasar selaku instansi pemerintah yang bertugas
dalam melakukan pengaturan terhadap pasar dan pedagang – pedagang
yang berjualan di Pasar Payakumbuh dan Pasar Ibuh. Selain itu di Dinas
Pasar penelitian juga dilakukan lansung di pasar Payakumbuh dan pasar
Ibuh. Pasar Payakumbuh merupakan tempat – tempat dimana para
pedagang kaki lima umumnya berjualan dan menggelar dagangannya.
Sedangkan pasar Ibuh merupakan tempat relokasi bagi pedagang kaki lima
yang berjualan sayur dan kebutuhan rumah tangga yang awalnya berasal
dari Pasar Payakumbuh.
C. Informan penelitian
Informan penelitian adalah orang memberikan informasi dan
kondisi yang berkaitan dengan masalah penelitian, Moleong ( 2002 : 97).
Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai informan penelitian adalah
pegawai – pegawai Dinas Pasar yang bertugas dalam pengaturan pedagang
kaki lima, Satuan Polisi Pamong Praja dan pedagang kaki lima yang ada di
Pasar Payakumbuh dan Pasar Ibuh.
D. Jenis, teknik dan alat pengumpulan data
1. Jenis data
Adapun jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terbagi
dua yaitu :
41
a. Data primer yaitu data yang diperoleh secara lansung dari sumber
informasi atau informan penelitian melalui wawancara. Dalam hal
ini data primer yang dikumpulkan adalah data yang berkaitan
dengan implementasi kebijakan Perda kota Payakumbuh nomor 9
tahun 2010 tentang pedagang kaki lima
b. Data sekunder yaitu data pendukung penelitian yang diperoleh dari
dokumen – dokumen seperti perda kota payakumbuh no 9 tahun
2010, peraturan lainnya yang menyangkut kepada pengaturan
pedagang kaki lima, laporan, program kerja serta buku – buku dan
bahan bacaan lainnya yang digunakan dalam penelitian ini
2. Teknik pengumpulan data
Untuk mengumpulkan data dalam penelitian maka penulis yaitu :
1. Teknik wawancara
Wawancara adalah teknik untuk mendapatkan keterangan atau
pendirian secara lisan dengan berbicara tentang sesuatu yang
dialaminya atau diketahuinya. Wawancara dalam penelitian ini
dilakukan secara terstruktur. Lexy J Moleong (2005 : 190)
menjelaskan bahwa wawancara terstruktur adalah wawancara yang
pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan –
pertanyaan yang akan diajukan. Wawancara ini diajukan kepada
informan yaitu kepala dinas pasar dan staf pegawai Dinas Pasar
yang menangani pengaturan dan penataan pedagang kaki lima di
pasar payakumbuh. Selain itu wawancara juga diajukan kepada
42
para pedagang kaki lima di pusat pertokoan pasar Payakumbuh dan
pedagang di Paasar Ibuh.
2. Teknik dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.
Dokumen biasa berbentuk tulisan (catatan harian, peraturan
kebijakan, dsb), gambar (foto, sketsa) atau karya – karya
monumental dari seseorang. Dalam hal ini penulis mencari dan
mempelajari dokumen – dokumen yang ada hubungannya dengan
permasalahan yang penulis teliti yaitu terkait dengan implementasi
perda nomor 9 tahun 2010.
3. Observasi
Observasi dilakukan untuk mengetahui secara lansung bentuk dari
Implementasi Perda Nomor 9 Tahun 2010, kendala yang dihadapi
dalam Pelaksanaan Perda Nomor 9 Tahun 2010, dan upaya yang
dilakukan dalam mengatasi kendala tersebut.
E. Teknik Analisis data
Analisis data adalah proses mencari dan mengatur wawancara dan
catatan di lapangan serta bahan – bahan lain yang telah dihimpun sehingga
dapat merumuskan hasil dari apa yang telah ditemukan. Proses analisis
data ini dimulai dari data yang dikumpul kemudian dicoba untuk dianalisis
dan ditelusuri keabsahannya melalui metode analisis deskriptif kualitatif
sebagian besar data dimulai dari menulis pengamatan hasil wawancara dan
43
hasil studi dokumentasi, mengklasifikasikannya dan kemudian
menyajikannya.
Dalam penelitian ini data yang dianalisis diperoleh dari wawancara
dan diinterpretasikan secara kualiatif, berupa abstraksi, kata – kata dan
pernyataan. Proses analisis data dilakukan sejak awal penelitian sampai
akhir penelitian.
Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2008 : 246 – 253)
mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis kualitatif dilakukan secara
interaktif dan berlansung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga
datanya sudah jenuh. Langkah – langkah analisis data yang penulis
gunakan adalah :
1. Pengumpulan data. Dalam penelitian ini data dikumpulkan
dengan melakukan wawancara dan dokumen – dokumen yang
berkaitan dengan implementasi Perda Nomor 9 Tahun 2010
2. Reduksi data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal – hal yang
pokok, memfokuskan pada hal – hal penting, dicari tema dan
polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan
memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah peneliti
untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.
3. Penyajian data (display data)
Dalam penelitian kualitatif penyajian data bias dilakukan dalam
bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan
44
flowchart dan sejenisnya. Penyajian data dimaksudkan agar
memudahkan bagi peneliti untuk melihat gambaran secara
keseluruhan atau bagian – bagian tertentu dari penelitian.
Dengan kata lain, merupakan pengorganisasian data ke dalam
bentuk tertentu sehingga kelihatan dengan sosoknya yang lebih
utuh.
4. Penarikan kesimpulan / verifikasi
Langkah terakhir yang dilakukan adalah penarikan
kesimpulan / verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan
masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak
ditemukan bukti – bukti yang kuat yang mendukung pada tahap
pengumpulan data berikutnya.
Tetapi apabila kesimpulan uang dikemukakan pada tahap awal
didukung oleh bukti – bukti yang valid dan konsisten saat
peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang
kredibel.
45
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Ngurah, Gusti. 2004. Manajemem Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Budi, Ari Sulistiyo. 2006. Kajian Lokasi Pedagang Kaki Lima Berdasar kan Preferensi Pkl Serta Persepsi Masyarakat Sekitar Di Kota Pemalang. Tesis Program Pasca Sarjana Magister Pembangunan Wilayah Dan Tata Kota Univesitas Dipenogoro : Semarang
Dunn, William N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Fadoli, Muchammad. 2011. Implementasi perda no 17 tahun 2003 tentang ijin penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima di kecamatan sukolilo. Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran : Jawa Timur
Ginting, W Salmina. 2004. Pengaruh Keberadaan Pedagang Kaki Lima Terhadap Jumlah Pengunjung Taman Kota Di Medan. Jurnal Teknik SIMETRIKA. Hlm 204
Ichwani M. Ali. 2007. Evaluasi Kebijakan Publik. Bandung : Makalah PL 4202 Manajemen Pembangunan.
Moleong Lexy J. 2002. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya
Paskarina, Caroline, dkk. 2007. Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Pasar di Kota Bandung : Laporan Penelitian Universitas Padjajaran
Pasolong, Harbani. 2010. Teori Administrasi Publik. Bandung : Alfabeta
Peraturan Daerah Kota Payakumbuh Nomor 9 tahun 2010 tentang Pedagang Kaki Lima Dan Pedagang Malam
Rahmadani Yusran dkk. 2006. Buku Ajar (Kebijakan Publik). Padang : Fakultas Ilmu – ilmu Sosial
Siagian P Sondang, 2007, Administrasi Pembangunan, Bumi aksara, Jakarta
Sugiyono. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif, kuantitatif, dan R & D. Bandung : Alfabeta
Solichin Abdul Wahab. 2002. Analisis kebijaksanaan : dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara . Jakarta : Bina Aksara
46
UU no 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - undangan
Winarno, Budi . 2002. Kebijakan dan Proses kebijakan public. Yogyakarta : Media Pressindo
47