Proposal Penelitian MPPH Safina
-
Upload
slprabowo18 -
Category
Documents
-
view
182 -
download
26
Transcript of Proposal Penelitian MPPH Safina
Universitas Indonesia
1
1. 1 Pendahuluan
1. 1. 1 Latar Belakang
Perlindungan hukum bagi satwa yang dilindungi baik dalam
tingkat nasional dan internasional diperlukan dalam hal pemanfaatan
sumber daya alam hayati, yang salah satunya adalah satwa. Hal ini
diperlukan agar dapat dicegah maupun dikurangi potensi kepunahan dari
satwa karena pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan oleh
manusia. Karena selain merugikan bagi generasi yang sekarang karena
salah satu sumber untuk mempertahankan kehidupan mereka berkurang
karena ulah mereka sendiri, merugikan pula bagi generasi yang akan
datang. Berdasarkan hal tersebut pula, munculah ide pembangunan
berkelanjutan yang didasarkan pada sikap keprihatinan terhadap kerusakan
lingkungan yang dipandang sangat mengkhawatirkan keberlangsungan
lingkungan hidup dalam jangka panjang dan berimplikasi pula pada
kehidupan generasi mendatang.
Dari sekian banyak permasalahan atau isu terkait perlindungan dan
pelestarian lingkungan, pembahasan mengenai lingkungan cenderung
berpusat pada masalah pencemaran dan bencana-bencana lingkungan saja.
Padahal persoalan lingkungan tidak hanya masalah pencemaran dan
bencana-bencana lingkungan semata. Salah satu permasalahan atau isu
tentang lingkungan yang menarik dan penting untuk dibahas adalah isu
mengenai penurunan jumlah satwa di dunia yang dapat berakibat pada
meningkatnya potensi kepunahan.
Di satu sisi, kepunahan spesies dan populasi merupakan hasil
proses alamiah sehingga merupakan peristiwa yang wajar. Hilangnya
populasi suatu spesies dari suatu lokasi biasanya diimbangi dengan
pembentukan suatu populasi baru melalui penyebaran. Namun, aktivitas
manusia mengakibatkan tingkat kepunahan bertambah seratus kali lipat.1
Kepunahan akibat kegiatan manusia ini tidak diiringi dengan peningkatan
populasi ataupun spesies baru. Saat ini, kepunahan hampir sepenuhnya
dipengaruhi manusia. Belum pernah sebelumnya terjadi kerusakan yang
1 Mochamad Indrawan, Richard B. Primack dan Jatna Supriatna, Biologi Konservasi, ed. 2, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 11.
Universitas Indonesia
2
disebabkan oleh makhluk yang demikian pandai yang merasa mempunyai
moral dan budi pekerti, serta pemikiran bebas sebagai sifat unik dan khas
mereka. Lebih parah lagi, dengan diiringi meningkatnya pola konsumsi
manusia, ancaman terhadap keanekaragaman hayati dipercepat oleh
peningkatan populasi manusia secara cepat.2 Semakin meningkat jumlah
penduduk perkotaan, semakin besar pula masalah lingkungan hidup
perkotaan yang akan dihadapi.3 Tanpa upaya serius untuk menahan laju
kepunahan akibat ulah manusia, maka spesies-spesies yang
menggambarkan lingkungan alami, seperti panda raksasa, kupu-kupu,
burung-burung penyanyi, dan paus akan hilang selamanya dari habitat
alami di bumi, kecuali populasi dan habitat mereka dilindungi. Hilangnya
spesies-spesies yang kurang dikenal manusia akan menghilangkan pula
peranan spesies-spesies tersebut dalam menjaga komunitas biologi, dan
pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan planet serta tempat tinggal
manusia.4
Faktor-faktor lainnya yang mendorong semakin meningkatnya
kepunahan selain yang telah dipaparkan diatas yaitu: Kerusakan hutan
tropis, kehilangan berbagai spesies, kerusakan habitat, fragmentasi habitat,
kerusakan ekosistem, polusi, perubahan iklim global, perburuan,
eksploitasi berlebihan, spesies asing/pengganggu, dan penyakit. Masing-
masing faktor saling mempengaruhi satu sama lain.
a. Hilangnya habitat
Ancaman terbesar bagi keanekaragaman hayati adalah
penghancuran habitat oleh manusia. Pertambahan penduduk dan
peningkatan konsumsi sumberdaya alam, menyusutkan luasan ekosistem
secara dramatis. Pembangunan bendungan, pengurugan danau, merusak
banyak habitat perairan. Pembangunan pesisir menyapu bersih karang dan
komunitas pantai. Hilangnya hutan tropis sering disebabkan perluasan
2 Ibid., hlm. 2.
3 R. M. Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, cet. 2, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm. 195.
4 Mochamad Indrawan, Richard B. Primack dan Jatna Supriatna, loc.cit.
Universitas Indonesia
3
lahan pertanian dan pemungutan hasil hutan secara besar-besaran. Sekitar
tujuh belas juta hektar hutan hujan tropis dibabat habis tiap tahun,
sehingga sekitar 5-10% spesies dari hutan hujan tropis akan punah dalam
tiga puluh tahun mendatang.5
b. Bencana alam besar
Adanya bencana super dahsyat seperti tumbukan meteor seperti
yang terjadi ketika jaman dinosaurus memungkinkan banyak spesies yang
mati dan punah tanpa ada satu pun yang selamat untuk meneruskan
keturunan di bumi. Sama halnya dengan jika habitat spesies tertentu yang
hidup di lokasi yang sempit terkena bencana besar seperti bancir,
kebakaran, tanah longsor, tsunami, tumbukan meteor, dan lain sebagainya
maka kepunahan mungkin tidak akan terelakkan lagiEksploitasi
berlebihan.6
c. Eksploitasi berlebihan
Banyak sumber daya hutan, perikanan dan satwa liar
dieksploitasi secara berlebihan. Banyak kelangkaan disebabkan oleh
perburuan, untuk mendapatkan gading gajah, cula badak, burung nuri,
cenderawasih, dll. Pengambilan gaharu yang berlebihan mengurangi
populasi alami, hingga para pemburu gaharu harus mencari lebih jauh ke
dalam hutan.7
d. Pencemaran
Pencemaran mengancam, bahkan melenyapkan species yang
peka. Pestisida ilegal yang digunakan untuk mengendalikan udang karang
sepanjang perbatasan Taman Nasional Coto Donana di Spanyol, telah
membunuh tiga puluh ribu ekor burung. Pertambakan udang yang intensif
di sepanjang pantai utara pulau Jawa telah merusakkan sebagian besar
terumbu karang dan hutan mangrove, karena sisa makanan udang dan
5 “Konservasi Keanekaragaman Hayati,” http://elisa1.ugm.ac.id/files/marhaento/4Bp7yftq/Konservasi%20Keanekaragaman%20Hayati.pdf , diunduh pada 31 Oktober 2012.
6 “Penyebab Punah/Kepunahan Spesies Hewan/Binatang dan Tumbuhan Dari Muka Bumi,” http://organisasi.org/penyebab-punah-kepunahan-spesies-hewan-binatang-dan-tumbuhan-dari-muka-bumi, diunduh pada 30 Oktober 2012.
7 “Konservasi Keanekaragaman Hayati,” op.cit.
Universitas Indonesia
4
pemupukan tambak merangsang pertumbuhan alga yang menghancurkan
terumbu karang.
e. Perubahan iklim global
Di masa mendatang efek samping pencemaran udara yang
menimbulkan pemanasan global, mengancam keragaman hayati. Efek
rumah kaca menaikkan suhu bumi satu sampai tiga derajat celcius,
sehingga permukaan laut naik satu sampai dua meter. Banyak spesies flora
dan fauna tidak akan mampu menyesuaikan diri.8
f. Daya regenerasi yang rendah
Banyak hewan yang butuh waktu lama untuk masuk ke tahap
berkembang biak, biasa memiliki satu anak perkelahiran, butuh waktu
lama untuk merawat anak, sulit untuk kawin, anaknya sulit untuk bertahan
hidup hingga dewasa, dan sebagainya. Tumbuhan tertentu pun juga
terkadang membutuhkan persyaratan situasi dan kondisi yang langka
untuk bisa tumbuh berkembang. Hal tersebut menyulitkan spesies yang
memiliki daya regenerasi/memiliki keturunan rendah untuk
memperbanyak dirinya secara signifikan. Berbeda dengan tikus, ayam,
lalat, kelinci, dll yang mudah untuk melakukan regenerasi.9
g. Didesak populasi lain yang kuat
Kompetisi antar predator seperti macan tutul dengan harimau
mampu membuat pesaing yang lemah akan terdesak ke wilayah lain atau
bahkan bisa mati kelaparan secara masal yang menyebabkan kepunahan.
h. Campur tangan manusia
Adanya manusia terkadang menjadi malapetaka bagi
keseimbangan makhluk hidup di suatu tempat. Manusia kadang untuk
mendapatkan sesuatu yang berharga rela membunuh secara membabi buta
tanpa memikirkan regenerasi hewan atau tumbuhan tersebut. Gajah
misalnya dibunuhi para pemburu hanya untuk diambil gadingnya, harimau
untuk kulitnya, monyet untuk dijadikan binatang peliharaan, dan lain
sebagainya. Perubahan areal hutan menjadi pemukiman, pertanian dan
8 Ibid.
9 “Penyebab Punah/Kepunahan Spesies Hewan/Binatang dan Tumbuhan Dari Muka Bumi,” op.cit.
Universitas Indonesia
5
perkebunan juga menjadi salah satu penyebab percepatan kepunahan
spesies tertentu. Mungkin di jakarta jaman dulu terdapat banyak spesies
lokal, namun seiring terjadinya perubahan banyak spesies itu hilang atau
pindah ke daerah wilayah lain yang lebih aman.10
Penjelasan diatas memaparkan bahwa campur tangan manusia
merupakan salah satu penyebab kepunahan satwa. Salah satu penyebab
pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan oleh manusia sehingga
berdampak pada jumlah populasi satwa yang menurun yang kemudian
dapat menimbulkan bahkan meningkatkan potensi kepunahan adalah
karena nilai ekonomis yang tinggi yang dimiliki oleh satwa-satwa tertentu
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga manusia
bertindak sewenang-wenang terhadap satwa tanpa memikirkan efek jangka
panjang terhadap keberlangsungan hidup satwa tersebut. Pemanfaatan
satwa-satwa tertentu oleh manusia salah satunya dilakukan melalui
perdagangan lintas negara, dimana pada satwa-satwa tersebut diambil
bagian tertentu untuk diperdagangkan karena nilai ekonomisnya yang
tinggi.
Pemanfaatan satwa dalam bentuk perdagangan hewan yang dalam
bahaya terutama akan kepunahan ini adalah isu lingkungan yang acap kali
tersisihkan oleh isu lingkungan lainnya. Sebagaimana globalisasi
meningkat, maka usaha untuk menghentikan perdagangan hewan yang
dalam bahaya tersebut pun meningkat. Sebuah perjanjian internasional
dibentuk untuk menyatukan negara-negara dalam suatu usaha untuk
mengurangi eksploitasi margasatwa. Komitmen ini bernama the
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild fauna
and Flora (CITES), adalah pengaturan perjanjian internasional yang
ditandatangani pada tahun 1963 dalam pertemuan Persatuan Konservasi
Dunia (the International Union for Conservation of Nature). Amanat
CITES adalah untuk mengatur perdagangan hewan yang dalam bahaya dan
10 Ibid.
Universitas Indonesia
6
produk dari hewan yang dalam bahaya untuk melindungi ekosistem yang
terancam (CITES 2007).11
CITES sebagai instrument hukum internasional dikarakteristikan
sebagai “perjanjian internasional yang mungkin paling sukses berkaitan
dengan fokus konservasi dari margasatwa.” Di ratifikasi oleh 164 negara
pada tahun 2004, perjanjian ini di desain untuk mencegah perdagangan
terhadap spesies maupun produk dari satwa yang terancam bahaya
kepunahan. Di bawah naungan CITES, spesies di list di dalam Appendiks
I, II dan III. Spesies yang termasuk dalam Appendiks I adalah terancam
bahaya, dan perdagangan terhadap spesies ini akan dapat dilakukan hanya
pada kondisi tertentu. Appendiks II berisi spesies yang sekarang tidak
terancam punah tetapi dapat terancam punah apabila diperdagangkan.
Appendiks III berisi spesies yang dilindungi oleh suatu negara di dalam
yurisdiksinya dimana negara tersebut bekerjasama dengan negara lain
untuk melindungi spesies tersebut dari kegiatan eksploitasi. Hanya dalam
kondisi yang sangat ketat yang diatur di dalam CITES, spesies yang di list
dalam CITES dapat diperdagangkan.12
CITES bukanlah berisi hak satwa maupun filosofi mendalam dari
ekologi.13 Namun Bowman menunjuk, dalam mendukung pertimbangan
moral terhadap satwa, CITES mengatur ketentuan yang bertujuan
mengamankan kesejahteraan satwa yang dimasukkan kedalam
perdagangan internasional.14 CITES merupakan koservasi dan instrument
dalam perdagangan. Meskipun tujuan utamanya adalah untuk melindungi
atau memelihara satwa/hewan yang terancam bahaya, tujuan keduanya
adalah memperbolehkan dalam taraf level tertentu eksploitasi dari spesies
11 “Trade in Endangered Species,” http://www.environmentalgovernance.org/research/issues/trade-in-endangered-species/ diakses pada 30 Oktober 2012.
12 Nancy K. Kubasek dan Gary S. Silverman, Environmental Law, ed. 5, (New Jersey : Pearson Prentice Hall, 2005, hlm. 434.
13 Kevin D. Hill, “The Convention on International Trade in Endangered Species : Fifteen Years Later,” Loyola of Angeles International and Comparative Law Journal Volume 13 Number 2 (Desember 1990):246.
14 Patricia Birnie dan Alan Boyle, International Law and The Environment, ed. 2, (New York : Oxford University Press, 2002), hlm. 558.
Universitas Indonesia
7
tersebut. Konvensi ini berusaha untuk menyeimbangkan gagasan bahwa
perlindungan/pemeliharaan spesies adalah baik, berlawanan dengan
permintaan komersil dari pengeksploitasian satwa tersebut.15 CITES
sendiri telah disahkan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 43 Tahun 1978, oleh karena itu Indonesia harus
mengimplementasikan konvensi ini.
Para ilmuwan menyadari bahwa banyak ancaman terhadap
keanekaragaman hayati itu bersifat sinergis. Efek negatif dari berbagai
faktor misalnya kemiskinan, pembalakan hutan, kebakaran, dan perburuan
yang berlebihan merupakan kombinasi yang meningkatkan bahkan
melipatgandakan kerusakan terhadap keanekaragaman hayati. Ancaman
terhadap keanekaragaman hayati juga hampir pasti akan mengancam
populasi manusia karena manusia bergantung pada lingkungan alami
untuk bahan baku, makanan, obat-obatan, bahkan untuk air minum.16 Oleh
karena itu perlulah untuk mengupayakan perlindungan terhadap
keanekaragaman hayati dimana semestinya dilakukan untuk membuktikan
komitmen dan kesadaran pentingnya mencegah secara dini kepunahan
keanekaragaman hayati sebelum bertambah parah sehingga mempengaruhi
ekosistem yang ada.
Terkait akan hal mengenai perlindungan keragaman hayati dikenal
sebuah prinsip yaitu prinsip perlindungan keragaman hayati (Biodiversity
Conservation) dalam pembangunan berkelanjutan. Prinsip perlindungan
keanekaragaman hayati yang menjadi konsep dari materi muatan
pembangunan berkelanjutan, menempatkan Indonesia sebagai salah satu
negara yang memiliki komitmen untuk melindungi keragaman hayatinya
dalam aktivitas pembangunan nasionalnya. Hal ini dibuktikan dengan
diberlakukannya UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.17 Perlindungan keanekaragaman
hayati meski telah dilakukan oleh Indonesia melalui beberapa instrumen
15 Hill, op.cit., hlm. 246.
16 Mochamad Indrawan, Richard B. Primack dan Jatna Supriatna, op. cit., hlm. 2.
17 Syamsuharya Bethan, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri Nasional, ed. 1, cet. 1, (Bandung : PT Alumni, 2008), hlm. 101.
Universitas Indonesia
8
hukum yang diberlakukannya, tetapi hal itu tidak berarti upaya
perlindungan tersebut lebih mengutamakan salah satu dimensi semata,
seperti keanekaragaman ekosistem dan melupakan keanekaragaman
spesies, genetika, dan budaya. Perlindungan berbagai dimensi
keanekaragaman hayati dalam konteks pembangunan berkelanjutan di
Indonesia, idealnya dilakukan secara komprehensif untuk mencegah
kerusakan-kerusakan akibat perlakuan atau tindakan masyarakat yang
membahayakan kelestariannya, baik jangka pendek maupun dalam jangka
panjang aktivitas pembangunan berkelanjutan di Indonesia.18
Sebagai pelaksanaan dari UU No. 5 Tahun 1990 sendiri, dengan
diundangkannya PP No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru
maka semakin dapat terlihat secara nyata bahwa Indonesia memiliki
komitmen untuk melindungi satwa dari pemanfaatan yang sewenang-
wenang melalui payung hukum yang disediakan oleh negara. Selain itu,
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/kpts-II/2003 tentang Tata
Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan
Satwa Liar yang berusaha mengimplementasikan CITES ke dalam hukum
positif di Indonesia juga menjadi suatu langkah yang di tempuh Indonesia
dalam melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati dimana salah
satunya adalah satwa-satwa yang berada dalam ancaman kepunahan
diupayakan mendapatkan perlindungan hukum.
1. 1. 2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
pokok permasalahan yang akan diteliti dan akan dianalisis dalam
penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimanakah ketentuan perlindungan dan pelestarian satwa yang
dilindungi dari ancaman kepunahan karena perdagangan satwa
internasional menurut Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora?
18 Ibid., hlm. 102.
Universitas Indonesia
9
2. Bagaimanakah langkah Indonesia dalam melindungi dan melestarikan
satwa langka yang dilindungi dari ancaman kepunahan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Hayati dan Ekosistem, dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun
1994 tentang Perburuan Satwa baru?
1. 2 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. 2. 1 Tujuan Penelitian
1. 2. 1. 1 Tujuan Umum
Dengan menelaah latar belakang dan pokok permasalahan di atas,
dapat dikemukakan bahwa tujuan umum dari pelaksanaan penelitian ini
adalah untuk memberikan pemahaman serta gambaran mengenai
perlindungan hukum yang diberikan kepada satwa yang dilindungi dalam
ranah nasional dan internasional dengan membahas secara rinci instrumen-
instrumen hukum yang mengatur tentang hal tersebut.
1. 2. 1. 2 Tujuan Khusus
Tujuan Khusus disusunnya penelitian ini adalah untuk memberikan
jawaban mengenai :
1. Ketentuan perlindungan dan pelestarian terhadap satwa yang dilindungi
dari ancaman kepunahan karena perdagangan satwa internasional dalam
hukum internasional.
2. Langkah Indonesia dalam melindungi dan melestarikan satwa langka yang
dilindungi dari ancaman kepunahan dalam hukum nasional.
1. 2. 2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca
dalam memahami gambaran sederhana tentang perlindungan hukum yang
diterapkan terhadap satwa yang dilindungi pada tingkat nasional maupun
internasional.
1. 3 Tinjauan Pustaka
1. Judul : Environmental Law
2. Pengarang : Nancy K. Kubasek dan Gary S. Silverman
Universitas Indonesia
10
3. Penerbit : PEARSON Prentice Hall
4. Ulasan: CITES sebagai instrumen hukum internasional dibutuhkan dalam
mencegah perdagangan internasional atas satwa dan tumbuhan yang dalam
bahaya. Buku ini menjelaskan secara komprehensif mengenai ketentuan
yang diatur dalam CITES untuk melindungi baik satwa maupun tumbuhan
yang diatur dalam tiga Appendix dengan penjelasan mengenai penerapan
di beberapa negara di dunia. Dengan hal ini, para pembaca dapat
mengetahui seberapa besar CITES berpengaruh. Dengan demikian, buku
ini penting karena juga menyediakan data-data pendukung berupa grafik
dan tabel yang menggambarkan seberapa besar penurunan jumlah populasi
satwa di dunia disertai dengan tingkatan kepunahannya berdasarkan
Persatuan Konservasi Dunia (IUCN).
1. Judul : International Law and The Environment Second Edition
2. Pengarang : Patricia Birnie dan Alan Boyle
3. Penerbit : OXFORD University Press
4. Ulasan : Di dalam hukum nasional awalnya hanya mengatur berkenaan
dengan hewan tergolong berguna atau ganas dan demikian dilindungi
hanya nilai ekonomis dari margasatwa sebagai sumber makanan dan
pakaian, membatasi perburuan dari spesies tertentu untuk
mempertahankan level populasi untuk tujuan tersebut atau mendorong
perburuan hewan karena berbahaya untuk manusia dan aktivitasnya. Buku
ini menjelaskan mengenai perkembangan pengaturan mengenai hak-hak
satwa yang dijelaskan melalui perkembangan pengaturannya secara umum
disertai perkembangan pendekatan-pendekatan yang mendukung
pengaturan hak-hak hewan.
1. Judul : The Convention on International Trade in Endangered Species :
Fifteen Years Later
2. Pengarang : Kevin D. Hill
Universitas Indonesia
11
3. Penerbit : Loyola of Los Angeles International and Comparative Law
Journal Volume 13 Number 2
4. Ulasan : Sejak lahir tahun 1975, the Convention on International Trade in
endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) memiliki
kesuksesan yang bercampur dalam mencapai tujuan untuk melindungi
hewan yang terancam bahaya dari perdagangan internasional. Sementara
CITES efektif mengeliminasi ancaman perdagangan terhadap beberapa
spesies, perburuan komersil tetap mengancam keberlangsungan hidup
spesies lainnya. Jurnal ini penting karena menjelaskan CITES secara
sederhana mengenai ikhtisar dari CITES termasuk penjelasan setiap
appendix disertai dengan ketentuan rinci terkait perizinan perdagangan
beberapa spesies yang cukup ketat. Jurnal ini pun penting karena
menjelaskan filosofi dasar dari CITES dan memaparkan pula sejumlah
studi kasus sehingga gambaran aktualisasi CITES secara praktik dapat
lebih mudah dipahami.
1. Judul : Hukum Lingkungan Indonesia
2. Pengarang : R. M. Gatot P. Soemartono
3. Penerbit : Sinar Grafika
4. Ulasan : Pemahaman mengenai permasalahan yang berhubungan dengan
lingkungan, termasuk hukum lingkungan, harus diperhatikan suatu konsep
yang disebut ekologi. Buku ini penting karena membahas secara
mendalam tentang ekologi beserta asas-asanya sehingga dapat memberi
gambaran yang jelas tentang lingkungan hidup dengan segala “disiplin”
yang berhubungan dengannya. Dengan kata lain, hukum lingkungan
sekarang dan di masa mendatang akan lebih banyak mengacu atau berguru
pada ekologi.
1. Judul : Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup
Dalam Aktivitas Industri Nasional
2. Pengarang : Syamsuharya Bethan
3. Penerbit : PT. Alumni Bandung
Universitas Indonesia
12
4. Ulasan : Upaya perlindungan keragaman hayati disadari sebagai hal yang
urgensial dalam dinamika pembangunan berkelanjutan. Upaya
perlindungan keragaman hayati tersebut dilakukan untuk membuktikan
komitmen dan kesadaran pentingnya mencegah secara dini kepunahan
keragaman hayati. Buku ini penting karena memaparkan secara sederhana
mengenai pengaruh prinsip perlindungan keragaman hayati (Biodiversity
Conservation) dan aktualisasi dari prinsip tersebut dalam hukum positif
Indonesia.
1. 4 Kerangka Konsep
Untuk menghindarkan terjadinya kerancuan, maka di dalam
penelitian ini perlu dilakukan pembatasan definisi dari kata, istilah, dan
konsep yang digunakan yaitu :
1. CITES yang merupakan singkatan dari Convention on International Trade
in Endangered Species of Wild Fauna and Flora adalah konvensi
(perjanjian) internasional yang bertujuan untuk membantu pelestarian
populasi di habitat alamnya melalui pengendalian perdagangan
internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar.19
2. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri
dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani
(satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara
keseluruhan membentuk ekosistem.20
3. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya
alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk
menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.21
19 Kementerian Kehutanan, Peraturan Menteri tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, PMK No. 447/kpts-II/2003, Ps.1 ayat 1.
20 Indonesia(1), Undang-undang tentang Konservasi, Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 5 Tahun 1990, LN No. 49 Tahun 1990, TLN No. 3419, Ps. 1 ayat 1.
21 Ibid., Ps. 1 ayat 2.
Universitas Indonesia
13
4. Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat,
dan atau di air, dan atau di udara.22
5. Berburu adalah menangkap dan/atau membunuh satwa buru termasuk
mengambil atau memindahkan telur-telur dan/atau sarang satwa buru.23
6. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan
atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas
maupun yang dipelihara oleh manusia.24
7. Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan
berkembang secara alami.25
8. Populasi adalah kelompok individu dari jenis tertentu di tempat tertentu
yang secara alami dan dalam jangka panjang mempunyai kecenderungan
untuk mencapai keseimbangan populasi secara dinamis sesuai dengan
kondisi habitat beserta lingkungannya.26
9. Pemanfaatan jenis adalah penggunaan sumber daya alam baik tumbuhan
maupun satwa liar dan atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya
dalam bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan; penangkaran;
perburuan; perdagangan; peragaan; pertukaran; budidaya tanaman obat-
obatan; dan pemeliharaan untuk kesenangan.27
1. 5 Metode Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan adalah bentuk penelitian hukum
yuridis normatif yang menggunakan metode penelitian hukum
kepustakaan dengan melakukan studi dokumen dalam memperoleh data.
Penelitian hukum sendiri memiliki definisi sebagai suatu kegiatan ilmiah,
22 Ibid., Ps. 1 ayat 5.
23 Indonesia(2), Peraturan Pemerintah tentang Perburuan Satwa Buru, PP No. 13 Tahun 1994, Ps. 1 ayat 1.
24 Op. cit., Ps. 1 ayat 7.
25Ibid., Ps. 1 ayat 8.
26Indonesia(3), Peraturan Pemerintah tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, PP No. 7 Tahun 1999, Ps. 1 ayat 7.
27 Indonesia(4), Peraturan Pemerintah tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, PP No. 8 Tahun 1999, Ps. 1 ayat 1.
Universitas Indonesia
14
yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu,
dengan jalan menganalisanya.28 Tipe penelitian yang digunakan oleh
peneliti menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif
ini bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan,
gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu
gejala.29 Dari sudut tujuannya, penelitian ini bertujuan menemukan fakta
tentang suatu gejala yang diteliti atau fact finding dan untuk menemukan
permasalahan sebagai akibat dari suatu kegiatan atau program yang telah
dilaksanakan atau problem finding.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini
menggunakan jenis data sekunder yang memperoleh data dari
kepustakaan, kemudian jenis bahan hukum yang digunakan adalah bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Alat
pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini dilakukan
dengan melakukan studi dokumen. Metode analisis data pada penelitian ini
adalah metode kualitatif dan bentuk dari hasil penelitian ini adalah berupa
penelitian deskriptif-analitis.
1. 6 Kegunaan Teoretis dan Praktis
Penelitian ini secara teoretis diharapkan dapat bermanfaat bagi para
akademisi dalam memahami penerapan hukum terkait perlindungan dan
pelestarian terhadap satwa yang dilindungi dalam hukum perlindungan
lingkungan di Indonesia. Tulisan ini diharapkan dapat mengembangkan
pola pikir dalam hukum lingkungan dan lingkungan internasional
khususnya yang berkaitan dengan kepemilikan maupun pemanfaatan
satwa langka sebagai salah satu jenis sumber daya alam hayati sebagai
bagian dari ilmu pengetahuan, dan ilmu hukum terutama.
Secara praktis, penelitian ini berguna untuk memberikan gambaran
yang lebih jelas, memadai, namun sederhana dan mudah dimengerti oleh
28 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI-Press, 2010), hlm. 43.
29 Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.
Universitas Indonesia
15
masyarakat mengenai pemanfaatan satwa sebagai salah satu jenis dari
sumber daya alam hayati agar tidak mengganggu keberlangsungan hidup
mereka melalui penerapan perlindungan hukum terhadapnya yang selama
ini masih kurang dipahami oleh beberapa golongan masyarakat.
1. 7 Biaya
Estimasi biaya yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Honorarium Peneliti Rp 3.000.000
2. Persiapan Proposal
a. Biaya tinta dan kertas print proposal Rp 600.000
b. Fotocopy sumber-sumber tinjauan pustaka Rp 200.000
c. Biaya pembelian buku dan alat tulis lainnya Rp 500.000
d. Perbanyak proposal Rp 500.000
e. Konsumsi Rp 550.000
2. Pengumpulan Data
a. Izin Penelitian Rp 300.000
b. Transportasi Rp 500.000
c. Konsumsi Rp 500.000
3. Analisa Data dan Penyusunan Laporan Perbaikan
a. Biaya kertas dan tinta print Rp 600.000
b. Penjilidan Rp 250.000
c. Penggandaan laporan penelitian Rp 500.000
d. Seminar hasil penelitian Rp 2.000.000 +
Total Rp 10.000.000
DAFTAR PUSTAKA
Bethan, Syamsuharya. Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri Nasional. Ed. 1. Cet. 1. Bandung : PT. Alumni, 2008.
Universitas Indonesia
16
Birnie, Patricia dan Alan Boyle. International Law and The Environment. Ed. 2. New York : Oxford University Press, 2002.
Hill, Kevin D. “The Convention on International Trade in Endangered Species: Fifteen Years Later.” Loyola of Los Angeles International and Comparative Law Journal Volume 13 Number 2. (Desember 1990).
Indonesia, Undang-undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, dan Ekosistemnya, UU No. 5 Tahun 1990, LN No. 49 Tahun 1990, TLN. No. 3419.
_______. Peraturan Pemerintah tentang Perburuan Satwa Baru. PP No. 13 Tahun 1994.
_______. Peraturan Pemerintah tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. PP No. 7 Tahun 1999.
_______. Peraturan Pemerintah tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. PP No. 8 Tahun 1999.
Indrawan, Mochamad, Richard B. Primack dan Jatna Supriatna. Biologi Konservasi. Ed. 2. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Kementerian Kehutanan. Peraturan Menteri Kehutanan tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. PMK No. 447/kpts-II Tahun 2003.
Kubasek, Nancy K dan Gary S. Silverman. Environmental Law. Ed. 5. New Jersey : Pearson Prentice Hall, 2005.
Mamudji, Sri. et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
“Penyebab Punah/Kepunahan Spesies Hewan/Binatang dan Tumbuhan Dari Muka Bumi.” http://organisasi.org/penyebab-punah-kepunahan-spesies-hewan-binatang-dan-tumbuhan-dari-muka-bumi. Diakses 30 Oktober 2012.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 2010.
Soemartono, R.M Gatot P. Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2004.
“Trade in Endangered Species.” http://www.environmentalgovernance.org/research/issues/trade-in-endangered-species/. Diakses 1 November 2012.