Proposal Penelitian (Autosaved)
-
Upload
lia-waliyah-hanifa -
Category
Documents
-
view
20 -
download
0
Transcript of Proposal Penelitian (Autosaved)
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia pada tahun 2015 ini mengalami perekonomian yang belum
stabil. Pertumbuhan ekonomi di negara berkembang termasuk indonesia
berdasarkan laporan perekonomian Indonesia 2015 oleh BPS sedang
mengalami perlambatan. Perekonomian yang sedang terguncang ini
tentunya mempengaruhi pada lapangan pekerjaan dan membuat semakin
banyak pengangguran. PHK pun sering dilaksanakan oleh beberapa
perusahaan untuk menyelamatkan perusahaannya akan tetapi dampak
dari PHK tersebut tentunya menambah jumlah pengangguran di
Indonesia.
Meningkatnya pengangguran di Negara Indonesia ini tentunya
membuat angka kemiskinan meningkat juga. Sehingga masyarakat di
Indonesia yang tergolong negara berkembang ini banyak yang memilih
sektor informal sebagai tumpuan hidupnya. Sektor informal ini dipilih
sebagai tumpuan hidup masyarakat di negara berkembang karena sektor
informal ini menyerap cukup banyak tenaga kerja. Sektor informal oleh
Biro Pusat Statistik (BPS) didefinisikan sebagai unit usaha berskala kecil
yang menggasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan
utama menciptakan kesempatan kerja dan penghasilan bagi dirinya
sendiri, meskipun mereka menghadapi kendala baik modal maupun
sumber daya fisik dan manusia.
2
Selama tahun 2011-2015, jumlah pekerja masih didominasi oleh
para pekerja sektor informal. Tingginya jumlah pekerja di sektor
informal berbanding lurus dengan masih rendahnya tingkat pendidikan
sebagian besar pekerja di Indonesia (Laporan Perekonomian Indonesia
2015- Pekerja sektor Formal dan Informal). Hal tersebut membuktikan
bahwa sektor informal merupakan salah satu wadah bagi pekerja yang
berpendidikan rendah. Selain itu besarnya presentase pekerja di sektor
informal juga dipicu terbatasnya lapangan kerja sektor formal.
Berdasarkan laporan BPS tahun 2015 juga menyatakan bahwa
presentase pekerja sektor formal pada tahun 2014 menurun menjadi
46,76%. Sebaliknya informal meningkat menjadi 53,24% pada tahun
2014. Tentunya bias terlihat bahwa data menunjukkan bahwa masyarakat
Indonesia banya yang berkeja dalam sektor informal di bandingkan
dengan sector formal. Peningkatan pekerja sektor informal haruslah
menjadi perhatian pemerintah, karena peningkatan ini memang memiliki
dampak yang positif dan dampak negatif masing-masing.
Dalam situasi sekarang ini para pencari kerja lari ke sektor informal
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu usaha sektor informal
adalah pedagan kaki lima (PKL). Pedagang Kaki Lima (Sektor Informal)
adalah mereka yang melakukan kegiatan usaha dagang perorangan atau
kelompok yang dalam menjalankan usahanya menggunakan tempat-
tempat fasilitas umum, seperti terotoar, pingir-pingir jalan umum, dan
lain sebagainya. Menurut Poerwadarminta (2000) Pedagang kaki lima
3
atau yang biasa disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja
dagangan yang menggunakan gerobak. Namun saat ini istilah PKL
memiliki arti yang lebih luas, PKL digunakan pula untuk menyebut
pedagang di jalan pada umumnya yang dahulu namanya pedagang
emperan.
Data PKL di kawasan pengkolan Garut saja sekitar Jalan Ahmad
Yani menurut data yang tercatat di DISPERINDAG Kab. Garut
berjumlah 852 PKL. Hal tersebut menunjukkan angka yang tinggi
mengingat bahwa sepanjang Jalan Ahmad Yani ini sangat padat dengan
adanya pedangan kaki lima / PKL. Keberadaan PKL ini juga memiliki
dampak lain selain bisa memenuhi kebutuhan para penjual tentunya
memiliki dampak negatif.
Dalam perkembangan PKL ini menghadapkan pemerintah pada
kondisi yang dilematis, disatu sisi keberadannya dapat menciptakan
lapangan kerja, sedangkan dilain pihak keberadaan PKL yang tidak
diperhitungkan dalam perencanaan tata ruang telah menjadi beban bagi
kota. PKL beraktivitas di ruang-ruang publik seperti jalanan raya Kota.
Di Kabupaten Garut Khususnya di sepanjang Jalan Jendral Ahmad Yani
yang menjadi pusat Kota dan lalu lintas kendaraan justru di tempat inilah
banyak PKL yang berjualan. Sebagian besar PKL menawarkan berbagai
barang dagangan di trotoar sebagai kawasan ruang publik. Berdasarkan
hal tersebut para pejalan kaki telah terganggu atau terenggut haknya
untuk berjalan kaki di atas trotoar, karena telah dipenuhi oleh PKL yang
4
menjajankan berbagai barang dagangannya. Trotoar sebagai kawasan
ruang public menjadi hilang fungsinya dengan keberadaan PKL yang
berada di sekitarnya.
Semakin banyaknya PKL yang menjajakan jualannya baik melalui
gerobak, jongko, gelaran, dan pikulan di kawasan pengkolan Garut/ Jalan
Ahmad Yani ini tentunya memiliki dampak negatif. Bampak negatif dari
banyaknya PKL ini membuat masalah terhadap tata kota, dan juga
menimbulkan pusat kemacetan. Keberadaan PKL yang tidak terkndali ini
mengakibatkan pejalan kaki berdesak-desakkan, sehingga dapat
menimbulkan tindak kriminal (pencopetan). Mengganggu kegiatan
ekonomi pedagang formal karena lokasinya yang cenderung memotong
jalur pengunjung seperti pinggir jalan dan depan toko. Selain itu, pada
beberapa tempat keberadaan PKL mengganggu para pengendara
kendaraan bermotor dan mengganggu kelancaran lalu lintas.
Dengan adanya berbagai macam permasalahan yang muncul dari
banyaknya jumlah PKL ini pemerintah tentunya segera mengambil
tindakan. Adanya larangan dilarang berjualan di jalur merah ini salah
saatu upaya pemerintah menertibkan jalanan dan membuat tata ruang
kota menjadi lebih baik menghindarkan PKL yang berjualan
sembarangan sehingga menimbulkan beberapa masalah salah satunya
yaitu masalah kemacetan.
Mengingat adanya amanat dari Peraturan Menteri Perdagangan
nomor 41 tahun 2012 , tentang penataan Pedagang Kaki Lima pemerintah
5
Kabupaten Garut mengambil tindakan lanjut untuk melakukan penataan
kawasan pusat kota Garut tersebut agar terlihat rapi dan bersih dari PKL
yang selama ini memenuhi hampir seluruh trotoar dan sebagian ruas
badan jalan diseluruh ruas jalan dikawasan pusat kota Garut/ kawaasan
pengkolan Jalan Ahmad Yani tersebut. Langkah yang diambil oleh
Bupati Garut ini adalah melakukan pemberdayaan terhadap PKL dengan
cara membangun Gedung PKL untuk di jadikan tempat rujuan relokasi
bagi para PKL kawasan Pengkolah Garut/ Jalan Ahmad Yani.
Proses relokasi ini tentunya bukan persoalan yang mudah. Pendataan
PKL di kawasan pengkolan Garut tersebut tentu di lakukan terlebih
dahulu untuk memastikan yang berhak berjualan di Gedung PKL
nantinya tanpa ada biasa penyewaan. Namun penolakan relokasi
Pedagang Kaki Lima (PKL), Garut, Jawa Barat, terus bergejolak. PKL
menuding proses relokasi ke lokasi baru terkesan dipaksakan, sarat
kepentingan politis dan berindikasi dugaan tidak korupsi, serta tidak
sesuai kajian Revitalisasi Penataan di tempat PKL tahun 2012. Sehignga
proses relokasi ini merupakan kasus yang panjang sepanjang 2015 ini.
Gedung PKL baru ini setelah relokasi memang ramai dengan adanya
para PKL Kawasan pegkolan yang pindah, akan tetapi semakin hari
semakin sepi saja, bahkan di kawasan pengkolan mulai terlihat kembali
adanya PKL yang kembali berjualan. Bahkan setelah adanya relokasi ini
PKL melakukan aksi penolakan degan adanya demo ke kantor PDRD
Garut menolak relokasi PKL ini. Banyak dari PKL mengalami kondisi
6
dilematis. Di satu sisi, mereka ingin berjualan di tempat yang strategis
sehingga akan lebih mudah mendapatkan keuntungan, tetapi lokasi
strategis tersebut mengganggu fungsi tata ruang kota yang ada, yang
berkaitan dengan ketersediaan fasilitas ruang public yang teganggu. Oleh
karena itu dari pihak Pemerintah Daerah berupaya untuk menata
keberadaan PKL yang berjualan di sekitar ruang publik.
Banyak kasus yang mendasari keberadaan PKL terhadap fungsi tata
ruang kota. Di satu sisi, para PKL tetap ingin menjalankan usahanya
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, tetapi di sisi lain perlu
adanya perwujudan penataan fungsi tata ruang kota yang memperhatikan
aspek lingkungan secara optimal. Dalam hal ini berarti diharapkan para
PKL tetap berjualan menjalankan usahanya untuk mendapatkan
penghasilan mereka sehari-hari, tetapi tidak mengganggu optimalisasi
fungsi tata ruang yang ada. Sebagai contoh banyak PKL yang berjualan
di trotoar, padahal kaki, sehingga pejalan kaki terenggut haknya tidak
dapat menikmati fasilitas umum yang ada dan keselamatannya terganggu.
Selain itu banyak PKL yang tidak memperhatikan kondisi kebersihan di
sekitar tempat berjualan, sehingga menyebabkan lokasi tersebut terlihat
kotor atau kumuh. Hal-hal demikian termasuk kedalam perilaku
massa /mass behavior dari PKL.
Situasi dan kondisi yang terjadi pada kalangan pekerja nonformal
yakni PKL yang sedang hangat di Garut ini membuat peneliti berharap
tidak ada kekisruhan yang terjadi. Peneliti berharap bahwa relokasi ini
7
bisa menjadi suatu kegiatan pemberdayaan kepada PKL yang tepat
tujuannya. Perilaku Massa PKL yang ditunjukkan oleh PKL juga bisa
menujukkan kepada perilaku massa PKL yang positif.
Sebagaimana yang telah dikemukankan pada uraian di atas bahwa
permasalahaan pemberdayaan kepada PKL yang dalam hal ini adalah
relokasi yang dilakukan pemerintah akan menunjukkan situasi sosial dan
menghasilkan Perilaku Massa PKL. Sejalan dengan latar beakang
tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti “Mass Behaviour PKL
Kawasan Pengkolan Garut Pasca Relokasi ke Gedung PKL Jalan Guntur
Garut”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka
perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Mass
Behaviour/ Tingkah Laku Massa PKL (Pedagang Kaki Lima) Kawasan
Pengkolan Garut pasca Relokasi ke Gedung PKL Jalan Guntur Garut?”.
Selanjutnya permasalahan tersebut dirinci ke dalam sub-sub
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Karakteristik PKL di Gedung PKL Garut?
2. Bagaimana Kebutuhan PKL kawasan Pengkolan Garut pasca
relokasi ke Gedung PKL Jalan Guntur Garut?
3. Bagaimana kekecewaan PKL kawasan Pengkolan Garut pasca
relokasi ke Gedung PKL Jalan Guntur Garut?
8
4. Bagaimana sikap PKL kawasan Pengkolan Garut pasca relokasi ke
Gedung PKL Jalan Guntur Garut?
5. Bagaimana nilai yang dimiliki PKL kawasan Pengkolan Garut pasca
relokasi ke Gedung PKL Jalan Guntur Garut?
6. Bagaimana hambatan yang dihadapi oleh PKL kawasan Pengkolan
Garut pasca relokasi ke Gedung PKL Jalan Guntur Garut?
7. Bagaiamana keinginan yang dimiliki PKL kawasan Pengkolan
Garut pasca relokasi ke Gedung PKL Jalan Guntur Garut?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran secara
empiris tentang:
1. Karakteristik PKL.
2. Kebutuhan PKL kawasan Pengkolan Garut pasca relokasi ke Gedung
PKL Jalan Guntur Garut.
3. Kekecewaan PKL kawasan Pengkolan Garut pasca relokasi ke
Gedung PKL Jalan Guntur Garut.
4. Sikap PKL kawasan Pengkolan Garut pasca relokasi ke Gedung PKL
Jalan Guntur Garut.
5. Nilai yang dimiliki PKL kawasan Pengkolan Garut pasca relokasi
ke Gedung PKL Jalan Guntur Garut.
6. Hambatan yang dihadapi oleh PKL kawasan Pengkolan Garut pasca
relokasi ke Gedung PKL Jalan Guntur Garut.
9
7. Keinginan yang dimiliki PKL kawasan Pengkolan Garut pasca
relokasi ke Gedung PKL Jalan Guntur Garut.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dalam memperkaya wawasan praktek
pekerjaan sosial terutama tentang perilaku massa PKL Kawasan
Pengkolan Garut pasca relokasi ke Gedung PKL Jalan Guntur Garut.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat
menyumbangkan pemikiran dan pemecahan masalah terhadap
perilaku massa PKL Kawasan Pengkolan Garut pasca relokasi ke
Gedung PKL Jalan Guntur Garut.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
1. Solidaritas Sosial Pedagang Kaki Lima dalam Menghadapi Resiko-
resiko Usaha di Pasar Inpres Kota Payakumbuh Propinsi Sumatera
Barat: Karya Ilmiah Diploma IV STKS Bandung oleh Jemmy
Defriyansyag tahun 2011
Karya Ilmiah memuat hasil penelitian mengenai solidaritas
sosial pedagang kaki lima dalam menghadapi resiko-resiko usaha di
Pasar Inpres Kota Payakumbuh Provinsi Sumatera Barat. Untuk
mengetahui solidaritas tersebut penulis menjabarkan ke dalam sub-
sub problematik yang meliputi: karakteristik informan, semangat
10
komunitas diantara PKL, dan harapan-harapan PKL. Responden
pada penelitian ini adalah PKL di emperan Toko Pasar Inpres, Kota
Payakumbuh sebanyak 42 orang.
Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif deskriptif.
Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer data primer
yang diperoleh langsung dari para PKL melalui kuisioner dan
dibantu dengan wawancara untuk memperjelas jawaban serta sumber
data sekunder yaitu Kepala Dinas dan Kepala Bagian Pengelolaan
Pasar, Dinas Koperasi, UKM dan Perindag Kota Payakumbuh.
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa adanya
solidaritas sosial diantara PKL di emperan toko Pasar Inpres Kota
Payakumbuh yang timbul karena adanya rasa kepentingan bersama
diantara sesama PKL, namun demikian masih banyak terdapat
permasalahan yang sangat menonjol pada komunitas ini yaitu
keaktifan PKL memberikan masukan, masih adanya PKL yang
menjual dagangan tidak sesuai kesepakatan, masih terjadi perebutan
lokasi dagang yang strategis.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang ditemui, penulis
menawarkan sebuah rencana program yaitu “Program Pembentukan
Organisasi dalam pelaksanaan program ini adalah metode
pengembangan masyarakat menggunakan teknik kolaborasi dan
kampanye.
11
2. Aktivitas Sosial Pedagang Kaki Lima Pasca Reloksi Pasar
Tradisional Telaga di Desa Hulawa Kecamatan Telaga Kabupaten
Gorontalo, Provinsi Gorontalo: Karya Ilmiah Diploma IV STKS
Bandung oleh Arnif Idris Cenign tahun 2009
Penelitian ini menggambarkan bagaimana Aktivitas Sosial
Pedagang Kaki Lima Pasca Relokasi Pasar Tradisional Telaga di
Desa Hulawa Kacamatan Telaga mengetahui tentang karakteristik
informan, bentuk kegiatan saling ketergantungan pedagang kaki
lima, bentuk kegiatan kerja sama pedagang kaki lima, bentuk
kegiatan kesetiakawanan pedagang kaki lima, hambatan informan
dan harapan informan dalam aktivitas sosialnya pasca direlokasi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dengan 7 (tujuh) informan
yang terdiri dari tiga informan utama (pedagang kaki lima) dan 4
(empat) informan pendukung (petugas pasar, kepala seksi sarana dan
prasarana pasar, dan dua orang konsumen) dengan teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara secara
mendalam (Indepth Interview) , obervasi partisipasi dan studi
dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan yang paling
medasar dan juga menjadi kebutuhan yang perlu ditangani yaitu : 1)
Ketiadaan wadah resmi sebagai sarana berkumpul, utnuk
menyampaikan aspirasi pedagang kaki lima 2) Sulitnya mengakses
12
permodalan yang digulirkan pemerintah sehingga timbul
ketergantungan yang bersifat negatif dimana pedagang kaki lima
sehingga pedagang kaki lima merasa kurang aman dan nyaman
dalam beraktivitas.
Bedasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti mendesain
sebuah program untuk mengatasi permasalahan informan / pedagang
kaki lima dalam aktivitas sosial dengan “Progmran Pembentukan
Organisasi Kelompok Pedagang Kaki Lima di Pasar Tradisional
Telaga Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Metode program
yang digunakan adalah: Community Organization dan Community
Development (CO/CD), dengan strategi kampanye dengan Taktik
Pendidikan dan Persuasi serta Strategi Kolaborasi dengan Taktik
Implementasi dan Membangun Kapasitas. Analisis kelayakan
program menggunakan teknik analisis SWOT (Strengths, Weekness,
Opportunities, Threats).
B. Tinjauan Kepustakaan yang Relevan
1. Tinjauan Tentang Mass Behaviour / Tingkah Laku Massa
Dalam kehidupan sehari-hari individu selalu menghadapi situasi
di mana situasi tersebut dapat berpengaruh terhadap sikap dan
tingkah laku individu yang bersangkutan. Dr. W.A. Gerungan
membagi situasi yang dimaksud menjadi dua bagian, yaitu situasi
kebersamaan dan situasi sosial.
13
Situasi kebersamaan adalah suatu situasi di mana berkumpul
sejumlah individu seperti orang-orang yang sedang berbelanja. Ciri-
ciri situasi kebersamaan adalah orang-orang itu telah mengenal satu
sama lain, interaksi sosial tidak mendalam, mereka bukan
merupakan keseluruhan yang utuh, dan ada kepentingan bersama
dari orang-orang tersebut. Situasi sosial ini akan menimbulkan apa
yang disebut crowd atau orang banyak.
Sedangkan situasi sosial dimana berkumpul sejumlah orang
yang dapat mempengaruhi satu sama lain seperti anak-anakyang
belajar di kelas, orang-orang berdiskusi sesuatu hal dalam ruangan.
Ciri-ciri situasi sosial adalah orang-orang itu merupakan kesatuan,
interaksi sosial yang terjalin cukup mendalam, ada argumentasi yang
jelas anatara orang-orang tersebut, ada hubungan yang bersifat
struktural dan hierarkis, ada aturan untuk organisasinya, dan ada
pembagian tugas antara orang-orang tersebut. Maka pada akhirnya
situasi sosial ini akan memunculkan yang disebut dengan kelompok
sosial.
a. Definisi Mass Behaviour
Menurut Stanfeld S. Sargent dalam Slamet Santoso
(2012:80) memberi definisi mass behaviour sebagai berikut:
Mass behaviour is a broud term often used to designate similar or common social behaviour on the part of a large number of people, particularly when it is transitory or cyclical in nalure and when it result from sugestion or some other irasional process.(Tingkah laku massa adalah istilah umum yang sering kali digunakan utnuk menunjukkan
14
tingkah laku sosial yang sama atau umum pada sebagian dari sejumlah besar orang, terutama saat tingkah laku itu pada hakikatnya sementara atau berputar dan saat tingkah laku akibat dari keyakinan atau beberapa proses lain yang tidak masuk akal).
b. Aspek Mass Behaviour
Terdapat beberapa aspek-aspek yang penting mengenai
Mass Behaviour dan perlu mendapat perhatian yaitu:
1) First We shall note the more or less objective situational
factor. Such as the number of person involve, their age, sex,
economic, and ethnic status the leadership. (Pertama kami
akan mencatat faktor-faktor situasional yang lebih atau
kurang nyata seperti sejumlah orang yang terlibat, usia
mereka, jenis kelamin, kesukuan, dan kepemimpinan).
2) Then we shall discuss the personality trendds of
participants-their needs and frustations, their attitude value
and interest. (Kemudian kami akan membahas arah
kepribadian peserta-kebutuhan dan kekecewaan mereka,
sikap, nilai-nilai, dan keinginan-keinginan mereka).
3) We shall begin with mass behaviour as manifested in the
crowd and mob. (Kami akan mulai dengn tingkah laku masa
seperti dinyatakan dalam crowd dan mob).\
Penulis dalam hal ini mengambil aspek-aspek Mass
Behaviour atau tingkah laku /perilaku massa yaitu Karakteristik,
Kebutuhan, Sikap, nilai, tingkah laku
15
c. Macam-macam Mass Behaviour
Ada berbagai macam mass behaviour, seperti dikemukakan
oleh Stanfeld S. Sargent yaitu:
1) Mass Behavior formed face to face group as in crowd, mob,
lynching, or panic. ( Bentuk tingkah laku ,assa kelompok
tatap muka seperti dalam crowd, mob, lynching, atau
panic).
2) In other cases they do not, as with fashions, fads, crazes
and mass hysteria. (Pada kasus lain, mereka tidak seperti
fashions, fads, crazes and mass hysteria).
Kedua macam bentuk tingkah laku massa tersebut di atas
akan diuraikan pada bagian belakang agar bentuk-bentuk
tingkah laku massa tersebut menjadi jelas.
2. Tinjauan Tentang Pekerja Informal Pedagang Kaki Lima
Kegiatan ekonomi dibagi menjadi 2 yaitu formal dan informal.
Sector formal adalah usaha yang telah mendapatkan berbagai
proteksi dari pemerintah, padat modal, adanya serikat buruh,
hubungan dengan pekerja atas dasar kontrak kerja. Sedangkan sector
informal dicirikan oleh kesulitan dalam permodalan, padat karya,
organisasi keluarga, tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah,
dan belum ada akses kepada bantuan pemerintah.
a. Pengertian Pedagang Kaki Lima
16
Pedagang Kaki Lima (Sektor Informal) adalah mereka yang
melakukan kegiatan usaha dagang perorangan atau kelompok
yang dalam menjalankan usahanya menggunakan tempat-tempat
fasilitas umum, seperti terotoar, pingir-pingir jalan umum, dan
lain sebagainya. Pedagang yang menjalankan kegiatan usahanya
dalam jangka tertentu dengan menggunakan sarana atau
perlangkapan yang mudah dipindahkan, dibongkar pasang dan
mempergunakan lahan fasilitas umum sebagai tempat usaha
seperti kegiatan pedagang- pedagang kaki lima yang ada di
Kawasa Pengkolan JL. Ahmad Yani kecamatan Garut Kota.
Kegiatan Perdagangan dapat menciptakan kesempatan kerja
melalui dua cara .Pertama, secara langsung, yaitu dengan
kapasitas penyerapan tenaga kerja yang benar. Kedua, secara
tidak langsung, yaitu dengan perluasan pasar yang di ciptakan
oleh kegiatan perdagangan disatu pihak dan pihak lain dengan
memperlancar penyaluran dan pengadaan bahan baku (Kurniadi
dan Tangkilisan, 2002:21)
Pedagang adalah perantara yang kegiatannya membeli
barang dan menjualnya kembali tanpa merubah bentuk atas
inisiatif dan tanggung jawab sendiri dengan konsumen untuk
membeli dan menjualnya dalam partai kecil atau per satuan
(Sugiharsono dkk,2000:45).
17
Pedagang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dibagi
atas dua yaitu : pedagang besar dan pedagang kecil .Pedagang
kecil adalah pedagang yang menjual barang dagangan dengan
modal yang kecil (KBBI,2002:230).
Menurut UU Nomor 29 Tahun 1948 , Pedagang adalah
orang atau badan membeli , menerima atau menyimpan barang
penting dengan maksud untuk di jual diserahkan , atau dikirim
kepada orang atau badan lain , baik yang masi berwujud barang
penting asli , maupun yang sudah dijadikan barang lain
(Widodo,2008:285-286).
b. Karakteristik Pedagang Kaki Lima
Tipe pedagang kaki lima (McGee dan Yeung, 1977)
dibedakan menjadi 3 yaitu pedagang menetap (static), pedagang
semi menetap (semi static) dan pedagang keliling (mobile). Tipe
unit pkl ini berkaitan dengan perlakuan terhadap sarana aktifitas
setelah aktifitas berakhir, yaitu tinggal seluruhnya di lokasi
berdagang, dibawa pulang sebagian dan ditinggal sebagian dan
dibawa pulang seluruhnya.
Menurut McGee & Yeung (1977:81), bahwa karakteristik
aktivitas PKL dapat diidentifikasi berdasarkan jenis komoditas
dagangannya, yaitu:
1) Bahan mentah dan setengah jadi (unprocessed and
semiprocessed foods), seperti daging,
18
2) buah, sayuran, beras, dan sebagainya.
Makanan siap konsumsi (prepared foods), terdiri dari
bahan‐bahan yang dapat langsung
3) dikonsumsi saat itu juga, biasanya berupa makanan dan
minuman.
Non‐makanan (nonfood items), jenis barang dagangan ini
cakupannya lebih luas dan
4) biasanya tidak berupa makanan, misalnya tekstil sampai
dengan obat‐obatan, dan lain‐lain.
Jasa (services), yang termasuk dalam kategori jasa
pelayanan, seperti tukang semir sepatu, potong rambut.
Berdasarkan pengelompokan jenis komoditas dagangan
tersebut, maka jenis komoditas dagangan pedagang kaki lima
akan dipengaruhi dan menyesuaikan aktivitas yang ada di
sekitarnya tersebut. Selain jenis komoditi dagangan, waktu
berdagang PKL dapat terbagi menjadi dua periode waktu dalam
satu hari, yaitu pagi/siang dan sore/malam (McGee & Yeung,
1977: 38). Perbedaan waktu berdagang PKL tergantung pada
aktivitas formal di sekitar area PKL tersebut. Adapun sarana
fisik untuk berdagang PKL menurut Waworoentoe
(Widjajanti,2000: 39), dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
1) Kios, jenis sarana ini biasanya dipakai oleh PKL yang
tergolong menetap secara fisik tidak dapat dipindah‐
19
pindahkan, dengan bangunan berupa papan papan yang
diatur.
2) Warung semi permanen, sarana fisik PKL ini berupa
gerobak yang diatur berderet ditambah meja dan bangku
panjang. Atap menggunakan terpal yang tidak tembus air.
3) Gerobak/kereta dorong, sarana ini ada dua jenis lagi, yaitu
yang beratap (sebagai perlindungan barang dagangan dari
pengaruh debu, panas, hujan) dan tidak beratap
4) Jongko/meja, bentuk sarana ini ada yang beratap dan ada
yang tidak beratap. Biasanya dipakai oleh PKL yang
lokasinya tergolong tetap.
5) Gelaran/alas, bentuk sarana ini adalah dengan menjajakan
barang dagangan di atas tikar atau alas yang digelar.
6) Pikulan/keranjang, biasanya digunakan oleh pedagang
keliling (mobile hawkers) atau PKL yang semi menetap.
Dengan menggunakan satu atau dua buah keranjang dengan
cara dipikul. Bentuk sarana ini bertujuan agar mudah
dibawa dan dipindah-pindahkan.
Karakteristik Lokasi Aktivitas PKL menempati ruang yang
mudah dilihat dan dijangkau pengunjung sehingga memudahkan
interaksi. Menurut Bromley dalam Manning (1985:238), bahwa
secara umum PKL selalu memilih ruang yang paling
menguntungkan dimana terdapat pengunjung yang berlalu
20
lalang. Penggunaan ruang dengan mobilitas pengunjung yang
cukup tinggi, (seperti trotoar, pinggir jalan) akan semakin
memperbesar peluang lakunya barang dagangan mereka.
Karakteristik lokasi PKL, antara lain (Joedo dalam
Widjajanti, 2000:35):
1) Terdapat akumulasi orang pada waktu yang relatif
bersamaan, dengan pertimbangan kemungkinan konsumen
yang lebih banyak.
2) Merupakan pusat‐pusat kegiatan ekonomi maupun non‐ekonomi yang sering dikunjungi.
3) Interaksi langsung antara penjual dan pembeli dapat
berlangsung dengan mudah meski dengan ruang yang relatif
sempit.
4) Tidak memerlukan sarana prasarana umum untuk
melakukan aktivitasnya.
3. Tinjauan Tentang Relokasi
Relokasi merupakan pemindahan suatu tempat ke tempat yang
baru. Relokasi adalah salah satu wujud dari kebijakan pemerintah
daerah yang termasuk dalam kegiatan revitalisasi. Revitalisasi dalam
Kamus Bahasa Besar Indonesia (KBBI) berarti proses, cara, dan
perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang
terberdaya. Salah satu cara merevitalisasi atau membangun pasar
tradisional yang baru adalah menciptakan pasar tradisional dengan
21
berbagai fungsi, seperti tempat bersantai dan rekreasi bersama
dengan keluarga.
Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai Negara hukum. Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP)
dalam menertibkan pedagang kaki lima yang berjualan di sembarang
tempat khususnya di Jalan Jendral Ahmad Yani (sekitar pengkolan)
harus berlandaskan dasar hukum yang jelas, tegas dan menyeluruh
guna menjamin kepastian hukum bagi upaya penegakan Peraturan
Daerah mengenai K3 (Keindahan, Kebersihan, dan Ketertiban
Umum) yang sekaligus berhubungan dengan penataan ruang kota di
Kabupaten Garut.
Dasar Hukum itu dilandasi oleh asas penataan
ruang sebagaimana disebutkan dalam UU No. 26 Tahun 2007
tentang penataan ruang :
a. Asas Keterpaduan
Asas Keterpaduan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan
yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku
kepentingan. Pemangku kepentingan, antara lain, adalah
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
b. Asas Keserasian, Keselarasan, dan Keseimbangan
Asas Keserasian, Keselarasan, dan Keseimbangan adalah
bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan
22
keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan
antara kehidupan manusia dengan lingungannya, keseimbangan
pertumbuhan dan perkembangan antar daerah serta antara
kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan.
c. Asas Keberlanjutan
Asas Keberlanjutan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan
daya dukung dan daya tamping lingkungan dengan
memperhatikan kepentingan generasi mendatang.
d. Asas Keberdayagunaan dan Keberhasilgunaan
Asas Keberdayagunaan dan Keberhasilgunaan adalah
bahwa penataan ruang disellenggarakan dengan
mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang
terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang
yang berkualitas..
e. Asas Keterbukaan
Asas Keterbukaan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya
kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang
berkaitan dengan penataan ruang.
23
f. Asas Kebersamaan dan Kemitraan
Asas Kebersamaan dan Kemitraan adalah bahwa penataan
ruang diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan.
g. Asas Perlindungan Kepentingan Hukum
Asas Perlindungan Kepentingan Hukum adalah bahwa
penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan
kepentingan masyarakat.
h. Asas Kepastian Hukum dan Keadilan
Asas Kepaastian Hukum dan Keadilan adalah bahwa
penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan
hukum/ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa
penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa
keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua
pihak secara adli dengan jaminan kepastian hukum.
i. Asas Akuntabilitas
Asas Akuntabilitas adalah bahwa penyelenggaraan penataan
ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya,
pembiayaanya.
4. Relevansi Pekerja Sosial dengan Mass Behaviour
a. Definisi Pekerjaan Sosial
Praktek pekerjaan sosial secara umum didefinisikan dan
24
mengizinkan intervensi pada tingkat mikro yakni individu,
keluarga, atau unit domestik dan tingkat makro yakni organisasi dan
komunitas. Pekerjaan sosial juga merupakan profesi pertolongan
dalam bidang sosial. Dalam artian sempit pekerjaan sosial
merupakan profesi menolong orang lain secara formal atau tidak
formal sebagai respon bagi orang-orang yang membutuhkan
pertolongan.
Menurut Charles Zastrow (1982) dalam bukunya yang berjudul
“Introduction to sosial problems, servive and current issues” yang
dikutip oleh Dwi Heru Sukoco (1998), mendefinisikan pekerjaan
sosial sebagai :
“Pekerjaan sosial merupakan kegiatan professional untuk membantu individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat guna meningkatkan atau memperbaiki kemampuan mereka dalam berfungsi sosial serta menciptakan kondisi masyarakat yang memungkinkan mereka mencapai tujuan”.
Berdasarkan pendapat ahli diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa pekerjaan sosial adalah suatu profesi yang dapat memberikan
pertolongan kepada individu, kelompok dan masyarakat untuk
melaksanakan dan meningkatkan kemampuan fungsi sosialnya
sehingga dapat mencapai tujuan hidupnya. Pekerjaan sosial
merupakan profesi pertolongan yang bertujuan untuk mencegah dan
mengatasi permasalahan sosial sehingga dapat teratasi,
mengembangkan dan meningkatkan keberfungsian sosial seseorang.
b. Tujuan Pekerjaan Sosial
25
Dwi Heru Sukoco (1998:21-25) mengemukakan tujuan
pekerjaan sosial yaitu:
1) Membantu orang memperluas kompetensinya dan meningkatkan
kemampuan mereka untuk menghadapi serta memecahkan
permasalahannya.
2) Membantu orang memperoleh sistem sumber
3) Membuat organisasi-organisasi yang responsif dalam
memberikan pelayanan terhadap orang.
4) Memberikan fasilitas interaksi antara individu dengan individu
lain didalam lingkungan mereka
5) Mempengaruhi interaksi antara organisasi-organisasi dengan
institusi-institusi.
6) Mempengaruhi kebijakan sosial maupun kebijakan lingkungan
c. Fungsi Pekerjaan Sosial
Pekerjaan sosial didalam usaha mencapai tujuannya, yaitu
memecahkan permasalahan sosial dan meningkatkan kemampuan
orang dalam berinteraksi dengan orang lain maupun dengan sistem
sumber perlu melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
1) Membantu orang meningkatkan dan menggunakan
kemampuannya secara efektif untuk melaksanakan tugas-tugas
kehidupan dan memecahkan masalah-masalah sosial yang
mereka alami.
2) Mengkaitkan orang dengan sistem-sistem sumber.
26
3) Memberikan fasilitas interaksi dengan sistem-sistem sumber.
4) Memberikan fasilitas interaksi di dalam sistem sumber.
5) Mempengaruhi kebijakan sosial.
6) Memeratakan atau menyalurkan sumber-sumber material.
Leonora Serafica – de Guzman menyatakan ada 3 fungsi
pokok pekerjaan sosial, yaitu :
1) Fungsi Restoratif
2) Fungsi Preventif
3) Fungsi Pengembangan
d. Pekerjaan Sosial dalam Pemasalahan Mass Behaviour PKL
Max Siporin, Charles Zastrow, Rex A. Skidmore dan Milton G.
Thackeray dalam Dwi Heru Sukoco (1998:25) menyatakan bahawa
pekerjaan sosial merupakan suatu profesi pertolongan, yang
ditujukan untuk membantu orang (baik secara individu maupun
kolektif) meningkatkan kemampuan berfungsi sosialnya (social
functioning. Jadi keberfungsian soAial merupakan fokus dari
pekerjaan sosial, dan dalam hal ini yang menjadi fokus dari peneliti
adalah Keberfungsian sosial Pedagan Kaki Lima (PKL).
Dalam social function ada unsur interaksi dan keseimbangan,
yaitu antara orang dengan lingkungannya. Oleh sebab itu, dalam
melaksanakan social functioning orang dapat memanfaatkan sumber-
sumber yang ada dalam dirinya maupun sumber-sumber yang ada di
lingkungannya.
27
Social functioning dapat dipandang dari berbagai segi, yaitu
antara lain:
1) Mampu Melaksanakan Peranan Sosial
Social functioning dapat dipandang sebagai penampilan/
pelaksanaan peranan yang diharapkan sebagai anggota suatu
kolektivitas. Pandangan tersebut mempunyai beberapa aspek
yaitu:
a) Status Sosial
b) Interaksional
c) Tuntutan dan Harapan
d) Tingkah Laku
e) Situasional
2) Kemampuan Memenuhi Kebutuhan
Abraham H. Maslow membagi kebutuhan manusia menjado
5 bagian yaitu:
a) Physioligical needs
b) Safety needs
c) Love and Belonging needs
d) Esteem needs
e) Self Actualization Needs
Usaha memenuhi kebutuhan, berkaitan dengan sumber,
karena sumber merupakan bahan dasar yang dapat dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Siporin (1975: 22-25)
28
dalam Dwi Heru Sukoco (1998:37-38) membedakan jenis-jenis
sumber kesejahteraan sosial sebagai berikut :
a) Sumber Internal dan Eksternal :
(1) Sumber internal : sumber yang berada pada diri
kelayan sendiri
Sumber ini dapat berupa kecerdasan, imajinasi,
kreativitas, kepekaan, motivasi, semangat, karakter
moral, kekuatan fisik, stamina,
energi,kemenarikan/attractiveness, pengalaman hidup,
keyakinan/agama, pengetahuan, dan kemampuan
kelayan.
(2) Sumber eksternal : sumber yang berada di luar diri
kelayan.
Sumber ini dapat berupa kekayaan, prestise,
pekerjaan, saudara yang kaya, teman yang berpengaruh
atau hak untuk mendapatkan jaminan pensiun, dan lain-
lain.
b) Sumber Ofisial dan Non-Ofisial :
(1) Sumber ofisial :
Merujuk pada tokoh-tokoh formal yang memiliki
kompetensi khusus. Seperti pekerja sosial, polisi,
kepala kelurahan, pengacara atau lembaga yang
dianggap dapat mewakili masyarakat, seperti badan-
29
badan pelayanan kesejahteraan sosial, sekolah, dan
rumah sakit.
(2) Sumber Non-Ofisial :
Merujuk pada lembaga-lembaga informal seperti
keluarga, kerabat atau pihak lainnya yang biasanya
memberikan dukungan emosional , material maupun
sosial pada suatu situasi tertentu.
c) Sumber Manusia dan Non Manusia :
(1) Sumber Manusia :
Orang-orang dalam konteks individual maupun
kolektivitas yang memiliki kemampuan dan kekuatan
untuk digali dan dimanfaatkan dalam membantu
memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh
kelayan.
(2) Sumber Non Manusia :
Sumber-sumber material atau benda, sumber daya
alam yang dapat dimanfaatkan dalam memnuhi
kebutuhan kelayan.
d) Sumber Simbolik-Partikularistik, Konkrit-Universal, dan
Pertukaran Nilai :
(1) Sumber Simbolik-Partikularistik :
Informasi dan status sosial seseorang.
(2) Sumber Konkrit-Universal :
30
Pelayanan-pelayanan maupun benda-benda konkrit.
(3) Sumber Pertukaran Nilai : Kasih sayang maupun uang.
3) Kemampuan Memecahkan Masalah
Masalah sosia dapat dipandang dari dua segi yaitu tingkah
laku menyimpang (Deviant behavior) dan disorganisasi sosial
(Social Disorganization)
e. Peran Pekerja Sosial dalam Pemasalahan Mass Behaviour PKL
Masalah Pedagang Kaki Lina di Kabupaten Grut memang
sedang menjadi perbincangan hangat dan merupakan masalah yang
cukup kompleks. Masalah tersebut tidak hanya berdampak pada
keberfungsial PKL tetapi pada kebijakan-kebijakan pemerintah.
Pekerjaan sosial sebagai suatu profesi dalam sistem pelayanan
kesejahteraan sosial, memberikan pelayanan pertolongan baik
kepada individu, kelompok maupun masyarakat untuk menemukan,
mengurangi dan memecahkan masalah yang dialaminya.
Sehubungan dengan hal tersebut maka bidang pekerjaan sosial
sangatlah berkaitan dengan permasalahan PKL. Adapun peranan
yang dapat dilaksanakan dalam menyelesaikan masalah ABH antara
lain :
1) Sebagai Enabler
a) Pekerja sosial membantu PKL di dalam menemukan potensi-
potensi, kekuatan dan sumber-sumber dalam dirinya untuk
menimbulkan perubahan.
31
b) Pekerja sosial berfungsi dalam membantu PKL untuk
mengartikulasi kebutuhan, mengklasifikasi masalah,
membahas dan menentukan strategi pemecahan masalah yang
dihadapi.
2) Sebagai Fasilitator
a) Pekerja sosial membantu meningkatkan kemampuan PKL
supaya mampu hidup mandiri.
b) Mempertinggi peran kelompok PKL untuk bisa keluar
permasalahannya
c) Membantu PKL untuk merespon kebijakan pemerintah.
3) Sebagai Advokat
Pekerja sosial dalam membantu PKL jika ada PKL yang perlu
memberikan perlindungan hukum kepada PKL. Advokasi kepada
aparat penegak hukum harus dilakukan oleh pekerja sosial,
terutama menekankan kapada perlunya pemenuhan kebutuhan
perlindungan sosial terhadap PKL.
4) Sebagai Perencana
Menyelenggarakan analisis tentang sumber dan potensi PKL
untuk dijadikan bahan dalam membuat program agar supaya
program tersebut dapat dijalankan
5) Sebagai Katalisator
a) Memprakarsai pembahasan-pembahasan yang berkenaan
dengan masalah yang dihadapi
32
b) Memonitor dan memelihara perkembangan individu dan
kesejahteraan sosial
6) Sebagai Konselor
Membantu PKL menyadari kesalahan yang diperbuat,
menghilangkan perasaan-perasaan yang menekan kehidupannya
serta memberikan keyakinan dan bimbingan bagi penyesuaian diri
PKL dan memberikan alternatif pemecahan masalah bagi klien.
7) Sebagai Motivator
Memberikan dukungan dan menunmbuhkan semangat PKL dalam
rangka memecahkan masalah dan hambatan yang dihadapi.
8) Sebagai Therapist
Pekerja sosial mampu memberikan langkah-langkah terapi bagi
perubahan kepribadian dan perilaku PKL jika ada yang
memerlukan.
9) Sebagai Broker
Pekerja sosial berusaha mengkaitkan permasalahan yang dihadapi
PKL dengan sistem sumber yang dibutuhkan dalam hal ini
bertugas menghubungkan klien dengan lembaga atau pihak lain
yang diperlukan klien, guna mengatasi masalah serta mencapai
keberfungsian sosial.
10) Sebagai Mediator
Menjadi perantara (mediasi) dengan berbagai unit di dalam Dinas
terkait misalnya Disnakertrans.
33
III. Metode Penelitian
A. Desain Penelitian
Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah desain
penelitian kualitatif dengan menggunakan metode penelitian deskriptif.
Metode penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif menurut
Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2010:14) adalah:
Proses penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh. Jadi dalam hal ini perlu untuk memandang individu atau organisasi sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk
membuat gambaran mengenai situasi-situasi atau kejadian. Menurut
Whitney dalam Nazir (2005:54) menyatakan bahwa:
Metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah, tata cara yang berlaku serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan strategi penelitian
studi kasus terhadap 3 (lima) orang PKL yaitu dua orang di Gedung PKL
Jalan Guntur, satu orang PKL yang kembali ke Kawasan Pengkolan /
Jalan Ahmad Yani pasca relokasi. Studi kasus bertujuan untuk
memberikan gambaran secara mendetail tentang kebutuhan, kekecewaan,
sikap, nilai, dan harapan/ keinginan PKL.
Maxfield (1930) dalam Nazir (1998:66) menyatakan bahwa:
Studi kasus adalah penelitian tentang subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan
34
personalitas. Subjek penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga, masyarakat. Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus anak korban bencana.
Dengan demikian, desain penelitian tersebut diharapkan mampu
menjelaskan secara rinci mengenai perilaku massa/ Mass Behavior PKL
di Garut..
B. Penjelasan Istilah
Guna menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran istilah yang
digunakan dalam penelitian ini maka peneliti membuat penjelasan istilah
sebagai berikut :
1. Mass Behavior adalah perilaku massa / tingkah laku PKL yakni
seluruh aktivitas yang dilakukan oleh PKL baik itu berupa aktivitas
PKL saat berdangang, aktivitas PKL saat bergaul dengan teman-
temannya, dan aktivitas PKL saat bertemu dengan keluarganya.
2. Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah mereka yang melakukan
kegiatan usaha dagang perorangan atau kelompok yang dalam
menjalankan usahanya menggunakan tempat-tempat fasilitas umum,
seperti terotoar, pingir-pingir jalan Ahmad Yani, dan Gedung PKL
pasca relokasi yang akan menjadi informan dalam penelitian ini.
3. Kawasan Pengkolan Garut adalah trotoar dan pinggiran Jalan Ahmad
Yani yang menjadi Pusat Kota Garut dan menjadi tempat para PKL
menjajakan jualannya sebelum relokasi.
35
4. Gedung PKL Guntur adalah tempat yang dibangun oleh pemerintah
Garut untuk PKL berjualan pasca relokasi PKL dari Jalan Ahmad
Yani/ Kawasan Pengkolan.
C. Latar Penelitian
Berdasarkan pertimbangan peneliti berkaitan dengan kemudahan
akses untuk memperoleh informasi mengenai permasalah penelitian,
peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian dengan latar penelitian
di Kecamatan Garut Kota dengan lokasi di Gedung PKL Guntur Garut
dan Kawasan Pengkolan / Jalan Ahmad Yani Garut. Keputusan peneliti
dalam memilih lokasi penelitian dilatarbelakangi oleh banyaknya jumlah
PKL yng memenuhi kawasan pengkolan Garut sebagai pusat Kota
Kabupaten Garut dan membuat berbagai masalah salah satunya
kemacetan. Setelah relokasi dilakukan pun masih saja ada PKL yang
terlihat kembali berjualan di luar lokasi Gedung PKL yang telah
disediakan pemerintah untuk para PKL.
D. Sumber Data dan Cara Menentukannya
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Sumber data primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah informan,
artinya data diperoleh secara langsung dari informan. Dengan
demikian, pada dasarnya informan adalah orang-orang yang diamati
dan memberikan data berupa kata-kata atau tindakan, serta
mengetahui dan mengerti dalam masalah penelitian. Dalam
36
penelitian ini, adapun informan yang dimaksud adalah adalah PKL
dan petugas Satpol PP di Jalan Ahmad Yani.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh
melalui studi dokumentasi yaitu dengan mempelajari dokumen
tertulis, hasil laporan dan literatur lainnya yang ada di Badan Pusat
Statistik Kabupaten Garut dan DINPERINDAG Kabupaten Garut.
Selain itu juga yakni dari dokumentasi dan literatur yang
berhubungan dengan PKL Garut yang ada di internet.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah :
1. Wawancara mendalam (indepth interview)
Wawancara mendalam merupakan teknik pengumpulan data yang
dilakukan untuk memperoleh informasi secara lebih rinci dari
informan. Wawancara ini dilakukan dalam bentuk wawancara
individual, sehingga kerahasiaan informasi yang diberikan oleh
masing-masing informan dapat terjaga dengan baik. Wawancara
mendalam (indepth interview) dilakukan untuk menggali informasi
yang lebih mendalam tentang perilaku massa PKL masca relokasi ke
Gedung PKL Guntur Garut.
37
2. Observasi (observation)
Dalam melengkapi data yang diperoleh melalui wawancara,
peneliti juga akan melakukan observasi. Observasi akan dilakukan
dengan pengamatan secara langsung kepada informan. Pengamatan
tentang perilaku sosial ABH dimaksudkan untuk melihat secara
langsung aktivitas-aktivitas ABH selama menjalani proses hukuman
di Lapas Anak Kelas II A Pangkapinang.
3. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi adalah pengumpulan data dengan
mempelajari data-data yang ada seperti profil Lapas, data dan
riwayat hidup anak yang berhadapan dengan hukum, Peraturan
Daerah, buku atau laporan ilmiah, majalah, buletin, foto-foto, dan
lain sebagainya yang berhubungan dengan obyek penelitian.
F. Pemeriksaan Keabsahan Data
Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid
apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan yang
sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Untuk dapat
mempertanggungjawabkankan data yang diperoleh dalam penelitian
secara akurat dan benar maka diperlukan pemeriksaan keabsahan data
yang telah diperoleh baik hasil wawancara, observasi maupun studi
dokumentasi. Ini dilakukan karena tidak tertutup kemungkinan bahwa
data yang diperoleh dari informan tidak benar, hal ini dilakukannya
karena beberapa hal, misalnya; salah mengajukan pertanyaan yang berarti
38
jawabannya juga salah, dan keinginan untuk menyenangkan peneliti.
Mengacu pada pendapat Sugiyono (2009:270), maka teknik pemeriksaan
keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi :
1. Kredibilitas Data
Kredibilitas data atau kepercayaan terhadap hasil penelitian
kualitatif ini antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan,
peningkatan ketekunan dalam penelitian, serta triangulasi.
a) Perpanjangan Keikutsertaan
Perpanjangan keikutsertaan peneliti kemungkinan
meningkatkan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan
karena peneliti dapat menguji kebenaran informasi yang
diperoleh. Teknik ini menuntut peneliti terjun ke lokasi dalam
waktu yang relatif lama. Teknik ini juga dimaksudkan untuk
membangun kepercayaan terhadap peneliti dan juga
kepercayaan diri peneliti.
b) Ketekunan Pengamatan
Teknik ketekunan pengamatan ini dilakukan peneliti dengan
mengadakan pengamatan dengan teliti dan rinci secara
berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol.
Ketekunan pengamatan dimaksudkan untuk menemukan ciri dan
unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau
isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal
tersebut secara rinci dan lengkap.
39
c) Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu diluar data itu untuk keperluan
pengecekan data atau sebagai pembanding terhadap data tadi.
Atau menurut Sugiyono (2005) triangulasi diartikan sebagai
teknik pengumpulan data bersifat menggabungkan dari berbagai
teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada.
Triangulasi teknik berarti peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data
dari sumber yang sama, dalam waktu yang sama atau berbeda-
beda. Triangulasi sumber berarti untuk mendapatkan data dari
sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama, dalam
waktu yang sama atau berbeda-beda.
Melalui triangulasi peneliti menghimpun data tidak hanya
dari Pedagang Kaki Lima saja dan petugas satpol PP, namun
juga menjaring informasi dari pihak lain yang terkait misalnya
DISPERINDAG, dan masyarakat sekitar. Dengan teknik ini juga
peneliti dapat membandingkan kebenaran data dan informasi
yang diperoleh dengan berbagai teknik pengumpulan data dari
berbagai sumber dalam waktu tertentu.
2. Confirmability
Kriteria ini digunakan untuk menilai hasil penelitian yang
dilakukan dengan cara mengecek data dan informasi serta
40
interprestasi hasil penelitian yang di dukung oleh materi yang ada
pelacakan audit. Uji confirmability mirip dengan uji dependability,
sehingga pengujiannya dapat dilakukan secara bersamaan.
3. Dependability
Teknik ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan
interprestasi data, sehingga data mampu memberikan informasi yang
valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Keterbatasan
pengetahuan serta pengalaman peneliti memungkinkan terjadinya
kesalahan dalam mengolah dan menginterprestasi data yang
diperolehnya. Peran dosen pembimbing, yakni sebagai auditor akan
sangat membantu dalam penggunaan teknik ini.
4. Transferability
Peneliti berusaha dapat memberikan uraian rinci, jelas,
sistematis dan dapat dipercaya sehingga pembaca mengetahui secara
jelas atas hasil penelitian ini dan dapat memutuskan bisa atau
tidaknya untuk mengaplikasikan hasil penelitian tersebut di tempat
yang berbeda dengan karakteristik yang sama.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data pada hakekatnya adalah mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberikan kode, dan mengkategorikan data
dengan tujuan menemukan tema dan hipotesis kerja yang akhirnya
diangkat menjadi teori substantsif (Lexy J. Moleong, 2010). Urutan
langkah dalam analisis data adalah sebagai berikut :
41
1. Pemprosesan
Peneliti memproses satuan analisis dari data berdasarkan apa
yang ada dalam latar penelitian, baik dari data primer yang
diperoleh melalui wawancara dengan para informan yang diperkuat
dengan observasi atau pengamatan. Semua data tersebut baik yang
berupa rekaman, catatan, maupun dokumentasi, dicatat kembali
dengan memilih data dan informasi yang pokok atau hal-hal yang
penting untuk dicatat yakni data dan informasi yang sesuai dengan
aspek-aspek penelitian (sub-problematik), sehingga data dan
informasi tersebut akan dapat memberikan gambaran yang lebih
jelas tentang perilaku massa PKL pasca relokasi ke Gedung PKL
Guntur.
2. Kategorisasi
Kategorisasi berarti penyusunan kategori. Kategori tidak lain
adalah salah satu tumpukan dari seperangkat tumpukan yang
disusun atas dasar pikiran, pendapat, atau kriteria tertentu. Dengan
kata lain kategori adalah pengelompokan yang disusun berdasarkan
keterkaitan atau kesamaan data dan informasi, baik yang diperoleh
melalui wawancara, observasi maupun studi dokumentasi.
Dari hasil pemprosesan tersebut, peneliti berupaya
mengelompokkan satuan-satuan analisis ke dalam kelompok-
kelompok yang memiliki karakter yang sama atau memiliki
keterkaitan, dan masing-masing pengelompokan tersebut
42
disesuaikan dengan permasalahan penelitian dan sub-sub
permasalahannya. Pengakhiran kategori ini peneliti lakukan karena
telah mencapai kejenuhan kategori, yakni peneliti tidak
memerlukan data lainnya karena kategori yang disusun sudah
menunjukkan keteraturan data dan informasi dari para informan,
sehingga pengumpulan data berikutnya tidak menambah informasi
baru.
3. Penafsiran Data
Peneliti menafsirkan data yang telah diproses dan
dikategorisasikan tersebut. Penafsiran disesuaikan dengan apa yang
ada di latar penelitian. Proses penafsiran data dilakukan dengan
cara menelusur berkesinambungan. Menelusur berkesinambungan
berkaitan dengan pertimbangan riwayat proses secara menyeluruh.
Dari tafsiran-tafsiran data tersebut selanjutnya ditarik
kesimpulan yang dapat memberikan jawaban atas pertanyaan
penelitian, yang selanjutnya dapat digunakan untuk menyusun
program pemecahan masalah berdasarkan temuan hasil penelitian.
H. Jadual dan Langkah Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan selama 3 (tiga) bulan Desember-
Februari, adapun tahapan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Tahap pra lapangan
a. Melakukan studi kepustakaan
b. Pengajuan judul penelitian
43
c. Penyusunan dan pengajuan proposal penelitian
d. Bimbingan proposal penelitian
e. Seminar proposal penelitian
f. Penyusunan instrumen penelitian
g. Penyempurnaan rancangan penelitian
h. Mengurus perizinan penelitian
2. Tahap pekerjaan lapangan
a. Persiapan diri dan memahami lokasi penelitian
b. Mengumpulkan data di lapangan
3. Tahap analisa data
a. Melakukan analisis data
b. Penyusunan laporan sementara
c. Bimbingan penulisan laporan
d. Sidang hasil laporan penelitian
e. Pengesahan dan publikasi
Tabel 3.1Mass Behaviour Pedagang Kaki Lima Kawasan Pengkolan Garut Pasca
Relokasi Ke Gedung PKL Jalan Guntur Garut
No Kegiatan2015 2016
Des Jan Feb
1 Tahap Pra Lapangan
2 Tahap Lapangan
4 Tahap Analisis Data
44