Proposal Akar Wangi 3
description
Transcript of Proposal Akar Wangi 3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Minyak akar wangi merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang
banyak digunakan dalam industri parfum, kosmetika dan pewangi sabun.
Minyak akar wangi memiliki daya fiksasi yang kuat sehingga banyak
digunakan sebagai pengikat aroma (fixative agent) dalam parfum dan
kosmetika. Manfaat lain minyak akar wangi adalah sebagai bahan insektisida
alami, sedangkan dalam obat herbal berfungsi sebagai carminative, stimulant,
dan diaphoretic 3,4. Sifat dan kegunaan minyak akar wangi tersebut berkaitan
dengan komponen kimia yang dikandungnya. Komponen utama minyak akar
wangi adalah senyawa golongan seskuiterpen (3-4%), seskuiterpenol (18-
25%) dan seskuiterpenon seperti asam benzoat, vetiverol, furfurol, α dan β-
vetivon, vetiven dan vetivenil vetivenat (.Emmyzar SRoechan, A.M,2000).
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak akar wangi
terbesar di dunia setelah Haiti dan Bourbon. Minyak akar wangi yang
dihasilkan oleh genus vetiveriae yang banyak digunakan dalam industri
parfum sebagai fiksatif, sebagai komponen campuran dalam industri sabun
dan kosmetik, dan untuk aromaterapi. Vetiverol merupakan komponen utama
minyak akar wangi yang menjadi penentu dari kualitas minyak. Minyak akar
wangi diperoleh dengan cara distilasi akar tanaman akar wangi. Harga minyak
ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga minyak atsiri lainnya.
Semakin tinggi kadar vetiverol dalam minyak akar wangi, maka harganya
semakin mahal (Guenther,1987;1990).
Sentra budidaya tanaman dan produksi minyak akar wangi di Indonesia
berada di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Minyak atsiri diproduksi dengan
menggunakan teknologi yang sederhana/konvensional, sehingga kualitasnya
masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Penurunan kualitas minyak atsiri
dapat disesbabkan oleh terjadinya burning pada proses penyulingan.
Akibatnya terjadi penurunan nilai ekonomisnya. Minyak atsiri yang telah
disimpan satu tahun ternyata lebih baik daripada minyak atsiri yang baru di
produksi. Belum diketahui secara pasti apa faktor penyebab perubahan
kualitas ini. Untuk mengetahui hal ini maka dilakukan penelitian analisis
minyak atsiri akar wangi yang telah disimpan selama satu tahun dengan
menggunakan kromatografi gas (KG)(…….).
Kromatografi gas adalah teknik kromatografi yang didasarkan atas
pemisahan komponen campuran senyawa kimia berbentuk gas dengan sistem
adsorpsi pada fasa diam padat atau sistem partisi diantara fase diam cair yang
melapisi penyangga padat dan fase gerak gas. Kromatografi gas mempunyai
keunggulan dalam hal kecepatan analisis dan sensitivitasnya yang tinggi.
Sampel yang dapat dianalisis menggunakan kromatografi gas adalah zat-zat
yang mudah menguap sewperti halnya minyak atsiri. Oleh karena itu pada
penelitian ini kromatografi gas digunakan untuk analisis minyak atsiri akar
wangi (setiadarma,dkk,2004)
1.1 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang penilitian diatas, dapat di identifikasi
masalah sebagai berikut:
1. Apakah terjadi perubahan kandungan senyawa kimia dari minyak atsiri
akar wangi?
2. Apakah kadar senyawa kimia dari minyak atsiri akar wangi yang sudah di
simpan selama satu tahun masih sama dengan minyak atsiri yang baru?
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan
perbedaan kualitas minyak atsiri yang baru dengan minyak atsiri akar wangi
yang sudah disimpan selama satu tahun.
1.3 Manfaat Penelitian
Untuk memberikan informasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kualitas minyak atsiri akar wangi.
1.4 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Januari sampai Juni 2016 di
Laboratorium kimia Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Jalan Soekarno –
Hatta No. 354 Bandung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Akar wangi
2.1.1 Taksonomi akar wangi
(Anonim 5, 2012)
2.1.1 Gambar Ttumbuhan Akar Wangi
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus :Chrysopogon
Spesies : C.zizanoides
(Wikipedia 2011)
2.1.2 Deskripsi Tanaman Akar Wangi
Tanaman akar wangi termasuk keluarga Gramineae, berumpun lebat,
memiliki akar tinggal yang bercabang banyak dan berwarna kuning pucat atau
abu-abu sampai merah tua. Dari akar-akar yang halus itu tersembul tangkai
daun yang panjangnya dapat mencapai sekitar 1,5 – 2 meter. Rumpun
tanaman akar wangi terdiri dari beberapa anak rumpun yang nantinya dapat
dijadikan bibit. Daunnya sedikit kaku, berbentuk pita, berwarna hijau,
panjangnya sekitar 75 – 100 cm dan tidak mengandung minyak. Tanaman ini
berbunga yang warnanya hijau atau ungu dan berada di pucuk tangkai daun
(Damanik, 2006). Bunga akar wangi bentuknya menyerupai padi dan berduri.
Akar wangi memiliki batang yang tumbuh tegak namun lunak.Warna
batangnya putih, dengan ruas-ruas di sekeliling batang (Anonim3, 2013).
Terdapat 2 tipe akar wangi yaitu tipe India Utara (tumbuh liar dan berbiji) dan
tipe India Selatan (tidak berbiji atau steril). Akar wangi yang banyak
dibudidayakan dan diusahakan diberbagai negara untuk diambil minyaknya
berasal dari tipe India Selatan (Hadipoentyanti, 2008).
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan kualitas minyak akar
wangi antara lain keadaan tanah dan iklim. Berdasarkan penelitian Hermanto
dkk, 1996 jenis tanah Andosol cenderung memberikan pengaruh terbaik
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman akar wangi. Hal ini dikarenakan
tanah andosol memiliki kapasitas air dan kesuburan yang tinggi sehingga
dapat menunjang pertumbuhan akar wangi (Kaunang, 2008). Akar wangi
memerlukan derajat keasaman tanah (pH) sekitar 6-7. Tanaman akar wangi
dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian sekitar 300 – 2.000 meter di atas
permukaan laut dan akan berproduksi dengan baik pada ketinggian 600 –
1.500 meter di atas permukaan laut. Tanaman akar wangi memerlukan curah
hujan yang cukup yaitu sekitar 140 hari per tahun, sedang suhu yang cocok
untuk pertumbuhan tanaman sekitar 17-27 derajat Celcius. Akar wangi
menyukai sinar matahari langsung, bila ditanam di tempat yang teduh akan
berpengaruh terhadap sistem pertumbuhan akar dan mutu minyaknya
(Anonim 4, 2012).
Akar wangi (Vetiveria zizanoides) merupakan salah satu tanaman
penghasil minyak atsiri yang potensial. Tanaman dari famili Gramineae ini
telah lama dikenal di Indonesia dan menjadi salah satu komoditas ekspor
nonmigas. Rumpun tanaman akar wangi terdiri dari beberapa anak rumpun
yang memiliki sejumlah akar-akar halus, berwarna kuning pucat atau abu-abu
sampai kemerahan (Ketaren 1985 dan Santoso 1993).
Tanaman tersebut terbagi dalam beberapa famili, genus dan spesies.
Salah satu tanaman yang banyak dijumpai di beberapa wilayah Indonesia
adalah tanaman yang termasuk dalam famili Poaceae. Poaceae merupakan
famili tanaman keempat terbesar yang memiliki 700 genus dan 8000 spesies.
Tanaman yang termasuk dalam famili Poaceae diklasifikasikan ke dalam dua
subgenus, yaitu Poaoideae dan Panicoideae. Poaoideae terbagi menjadi tiga
genus yaitu : Paniceae, Maydeae, dan Andropogoneae sedangkan subgenus
Panicoideae terbagi menjadi dua genus yaitu Cymobopogan dan Vetiveria.
Beberapa spesies dari Famili Poaceae memiliki karakteristik aromatik mampu
menghasilkan minyak atsiri yang dapat digunakan untuk kepentingan
komersial seperti parfum, kosmetik dan farmasi (Khanuja dkk, 2005).
Tanaman genus Vetiveria merupakan salah satu tanaman penghasil
minyak atsiri. (Champagnat dkk, 2008). Minyak atsiri yang dihasilkan oleh
tanaman yang berasal dari genus Vetiveria sebagian besar mengandung
terpen, siskuiterpen alifatik, turunan hidrokarbon teroksigenasi dan
hidrokarbon aromatik.Komponen utama dari minyak atsiri akar wangi adalahn
senyawa golongan seskuiterpen (30-40 %), seskuiterpenol (18-25 %) dan
seskuiterpenon seperti asam benzoat, vetiverol, vetiverol, furfurol, α dan β
vetivone, vetivene dan vetivenil vetivenat (Anon, 2006; Kamal and Ashok,
2006; Emmyzar et al., 2000). Selain memiliki senyawa siskuiterpen yang
merupakan komponen mayor dalam minyak atsiri, Genus Vetiveria dari
Perancis juga mengandung senyawa flavonoid. Beberapa senyawa flavonoid
tersebut adalah carlinoside, neocarlinoside, 6,8-di-C-
arabinopyranosylluteolin, isoorientin, dan tricin-5-O-glukoside (Champagnat
dkk, 2008).
Tanaman ini menghasilkan minyak akar wangi (vetiver oil) yang
banyak digunakan dalam pembuatan parfum, kosmetik, pewangi sabun, obat-
obatan, serta pembasmi dan pencegah serangga. Minyak vetiver mempunyai
aroma yang lembut dan halus karena ester dari asam vetivenat dan adanya
senyawa vetivenol (Taringan,2006).
2.2 Minyak akar wangi
Minyak akar wangi merupakan salah satu minyak atsiri yang
mengandung campuran seskuiterpen alkohol dan hidrokarbon yang sangat
kompleks (Cazaussus 1988; Akhila & Rani 2002), dan jenis minyak atsiri
yang sangat kental dengan laju volatilitas yang rendah (Akhila & Rani
2002). Luu (2007) menyebutkan, komponen utama penyusun minyak akar
wangi terdiri dari sesquiterpen hidrokarbon (γ-cadinene, clovene, a-
amorphine, aromadendrene, junipene, dan turunan alkoholnya), vetiverol
(khusimol, epiglobulol, spathulenol, khusinol, serta turunan karbonilnya),
dan vetivone (a-vetivone, b-vetivone, khusimone dan turunan esternya).
Diantara komponen-komponen tersebut, a- vetivone, b-vetivone, dan
khusimone merupakan komponen utama sebagai penentu aroma minyak
akar wangi. Ketiga komponen ini disebut sebagai sidik jari (finger print)
minyak akar wangi (Demole et al. 1995).
Minyak akar wangi merupakan cairan kental, berwarna kuning
kecoklatan hingga coklat gelap, memiliki aroma sweet, earthy, dan woody
(Martinez et al. 2004). Minyak akar wangi secara luas digunakan untuk
pembuatan parfum, bahan kosmetika, pewangi sabun dan obat-obatan, serta
pembasmi dan pencegah serangga (Kardinan 2005). Minyak akar wangi dapat
juga digunakan sebagai aroma terapi dan pangan, yaitu sebagai penambah
aroma dalam pengalengan asparagus dan sebagai flavor agent dalam minuman
(Martinez et al. 2004).
Metode penyulingan yang digunakan produsen minyak akar wangi
Garut adalah penyulingan uap (steam) dengan tekanan tinggi berkisar 4–5 bar.
Penyulingan ini menghasilkan minyak dengan mutu yang kurang baik, seperti
bau gosong dan warna gelap. Pada tekanan uap 4 bar suhu mencapai 1500 C,
sehingga terbentuk uap kering (superheated steam) yang dapat
menghanguskan bahan-bahan organik yang rentan terhadap panas. Metode
dan kondisi operasi proses penyulingan merupakan tahapan penting untuk
menghasilkan minyak atsiri dengan jumlah dan mutu yang tinggi. Jumlah
minyak yang menguap ditentukan oleh tekanan uap, berat molekul komponen-
komponen dalam minyak, dan laju penyulingan (Ketaren, 1985)
Umumnya minyak akar wangi yang baik ditandai oleh berat jenis dan
putaran optiknya yang tinggi, komposisi bau lebih sempurna, dan ketahanan
bau lebih lama (Lutony dan Rahmayati, 2002).
Table 2.1 Syarat mutu vetiver oil yang di tetapkan berdasar kan SNI 06-2386-
2006 sebagai berikut:
No Parameter Zat/Ukuran
1 Warna Bau Kuning muda – kecoklatan khas
akar wangi
2 Berat jenis pada 200 C 0,980 – 1,003
3 Indeks bias 1,520 – 1,530
4 Kelarutan dalam etanol 95% 1:1 jernih, seterusnya jernih
5 Bilangan Asam 10 – 35
6 Bilangan Ester 5 -26
7 Bilangan ester setelah asetilasi 100 – 150
8 Vetiverol total Minimum 50%
Menurunnya volume ekspor dan rendahnya harga minyak akar wangi Indonesia
disebabkan oleh rendahnya produksi dan mutu minyak akar wangi. Rendemen
minyak akar wangi yang dihasilkan rendah, hanya sekitar 1,2% dari potensi minyak
2-3% dan kadar vetiverolnya dibawah 50% (anonymous,2006). Kondisi tersebut
merupakan akumulasi dari kurang baiknya mutu bahan baku, penggunaan alat
penyuling dan teknologi proses yang belum terstandar serta tidak adanya insentif
harga bagi minyak akar wangi yang bermutu baik (anonymous,2006). Mutu minyak
akar wangi Indonesia merosot tajam sejak akhir tahun 90-an sebagai akibat terjadinya
burning pada proses penyulingan yang menyebabkan adanya aroma gosong (smoky
burn), sehingga dalam perdagangannya mendapat harga yang rendah. Menurut
Chomchalow, akibat mutunya kurang baik tersebut maka minyak akar wangi asal
Indonesia di pasar dunia sering mendapatkan potongan harga yang sangat merugikan.
Minyak akar wangi diproduksi dengan cara distilasi (penyulingan) akar tanaman.
Dibandingkan dengan minyak atsiri lainnya, proses penyulingan minyak akar wangi
relatif lebih sulit dilakukan, karena sel-sel minyaknya terletak pada bagian dalam
jaringan akar yang relatif keras. Untuk mengekstraknya, minyak harus berdifusi dari
bagian dalam jaringan akar ke permukaan yang umumnya berjalan lambat. Fraksi
senyawa yang paling bernilai pada minyak akar wangi adalah vetiverol dan vetivon
yang memiliki titik didih dan bobot jenis tinggi. Senyawa tersebut akan tersuling
pada akhir proses penyulingan sehingga fraksi-fraksi tersebut memiliki kontribusi
yang besar terhadap lamanya waktu penyulingan (chamcalow,2001).
Minyak akar wangi diproduksi dengan cara distilasi (penyulingan)
akar tanaman. Dibandingkan dengan minyak atsiri lainnya, proses
penyulingan minyak akar wangi relatif lebih sulit dilakukan, karena sel-sel
minyaknya terletak pada bagian dalam jaringan akar yang relatif keras. Untuk
mengekstraknya, minyak harus berdifusi dari bagian dalam jaringan akar ke
permukaan yang umumnya berjalan lambat. Fraksi senyawa yang paling
bernilai pada minyak akar wangi adalah vetiverol dan vetivon yang memiliki
titik didih dan bobot jenis tinggi. Senyawa tersebut akan tersuling pada akhir
proses penyulingan sehingga fraksi-fraksi tersebut memiliki kontribusi yang
besar terhadap lamanya waktu penyulingan (Chamcalou N, 2001)
2.2.1 Kandungan Kimia Minyak Akar Wangi
Komponen utama penyusun minyak akar wangi terdiri dari
sesquiterpen hidrokarbon (γ-cadinen, cloven, α-amorphine, aromadendren,
junipen, dan turunan alkoholnya), vetiverol (khusimol, epiglobulol,
spathulenol, khusinol, serta turunan karbonilnya), dan vetivon (α-vetivon, β-
vetivon, khusimon dan turunan esternya). Di antara komponen-komponen
tersebut, α-vetivon, β-vetivon, dan khusimon merupakan komponen utama
sebagai penentu aroma minyak akar wangi. Ketiga komponen ini disebut
sebagai sidik jari (finger print) minyak akar wangi (Demole EP GW, at al
1995).
2.2.2 Parameter Mutu Minyak Akar Wangi
Beberapa parameter yang digunakan untuk mengetahui standar mutu dari
minyak akar wangi, antara lain:
A. Bobot Jenis Minyak Akar Wangi
Prinsip Bobot jenis minyak akar wangi berdasarkan perbandingan antara berat
minyak dengan berat air pada volume dan suhu yang sama (Dewan
Standarisasi Nasional, 2006).
Cara penentuan bobot jenis minyak akar wangi yaitu dengan
menggunakan alat piknometer. Piknometer dicuci dan dibersihkan, kemudian
dibasuh berturut-turut dengan etanol dan dietil eter. Bagian dalam piknometer
dan tutupnya dikeringkan dengan arus udara kering. Didiamkan pinometer di
dalam lemari timbangan selama 30 menit dan ditimbang (m). Piknometer diisi
dengan air suling yang telah dididihkan pada suhu 20°C. sambil menghindari
adanya gelembung gelembung udara. Piknometer dicelupkan ke dalam
penangas air pada suhu 20°C ± 0,2°C selama 30 menit sisipkan penutupnya
kemudian dikeringkan piknometernya. Piknometer didiamkan dalam lemari
timbangan selama 30 menit, kemudian ditimbang dengan isinya (m1).
Piknometer tersebut dikosongkan, dan dicuci dengan etanol dan dietil eter.
Kemudian dikeringkan dengan arus udara kering. Piknometer diisi dengan
contoh minyak dan hindari adanya gelembung-gelembung udara. Piknometer
dan penutupnya dimasukkan kembali dalam penangas air pada suhu 20°C ±
0,2°C selama 30 menit dan dikeringkan piknometer tersebut. Piknometer
dibiarkan di dalam lemari timbangan selama 30 menit kemudian ditimbang
dengan isinya (m2) (Dewan Standarisasi Nasional, 2006).
B. Indeks Bias Minyak Akar Wangi
Prinsip penentuan indeks bias minyak akar wangi menurut Standar Nasional
Indonesia (SNI) No. 06-2386-2006, yaitu metode penetapan indeks bias
didasarkan pada pengukuran langsung sudut bias minyak yang dipertahankan
pada kondisi suhu yang tetap (Dewan Standarisasi Nasional, 2006).
Nilai indeks juga dipengaruhi salah satunya dengan adanya air dalam
kandungan minyak atsiri tersebut. Semakin banyak kandungan airnya, maka
semakin kecil nilai indek biasnya. Ini karena sifat dari air yang mudah untuk
membiaskan cahaya yang datang. Jadi minyak atsiri dengan nilai indeks bias
yang besar lebih bagus dibandingkan dengan minyak atsiri dengan nilai indeks
bias yang kecil (Sastrohamidjojo, 2004).
2.3 Minyak Atsiri
Minyak atsiri sudah dikenal sejak 3000 tahun yang lalu dan sudah digunakan
serta dipelajari sejak lama. Pada awalnya minyak atsiri digunakan oleh bangsa Mesir
sebagai bahan ritual dan obat-obatan pada bidang kedokteran dan terus berkembang
hingga ke berbagai negara seperti Cina, Iran dan India.Menurut sejarah minyak atsiri
dihasilkan sebagai bahan dasar dari parfum pada abad ke 13 dan perkembangan
teknologi dan inovasi, minyak atsiri terus berkembang sampai penggunaanya sebagai
bahan dasar makanan, kosemetik dan juga obat-obatan (Mosset al., 2003).
Minyak atsiri dikenal dengan istilah minyak mudah menguap atau minyak
terbang, merupakan senyawa yang umumnya berwujud cairan, diperoleh dari bagian
tanaman akar, kulit, batang, daun, buah, biji, maupun dari bunga dengan cara
penyulingan.Minyak atsiri diperoleh secara ekstraksi menggunakan pelarut organik
maupun dengan cara dipres ataudikempa dan secara enzimatik. Minyak atsiri dibagi
menjadi dua kelompok yaitu minyak atsiri yang mudah dipisahkan menjadi
komponen atau penyusun murninya (contohnya minyak serai, daun cengkeh, minyak
permen, dan minyak terpentin), dan minyak atsiri yang sukar dipisahkan menjadi
komponen murninya (contoh minyak nilam dan kenanga (Sastrohamidjojo, 2004).
Minyak atsiri merupakan salah satu hasil sisa proses metabolisme dalam
tanaman, yang terbentuk karena reaksi antara berbagai persenyawaan kimia dengan
air. Minyak tersebut disintesis dalam sel kelenjar jaringan tanaman dan ada juga yang
terbentuk dalam pembuluh resin, misalnya minyak terpentin dari pohon pinus.
Minyak atsiri selain dihasilkan oleh tanaman dapat juga terbentuk dari hasil degradasi
trigliserida oleh enzim atau dapat dibuat secara sintesis (Lutony dan Rahmayati,
2002).
Pemisahan minyak atsiri dari beberapa campuran molekul yang komplek,
dapat dipisahkan dengan cara kromatografi distilasi, dan ekstraksi dengan pelarut.
Molekul utama adalah 95 % senyawa terpen, alkohol dan berbagai molekul organik
lainnya. Minyak atsiri dapat dikelompokkan secara homogen yang sifat fisiknya
sebagai berikut:keadaan cair, volatilitas, pucat kuning, indeks bias biasanya tinggi,
polaritas rendah, kerentanan terhadap oksidasi, dan juga cenderung polimerisasi
untuk membentuk produk resin (Bocquel-Baritaux, 1991).
Hasil penelitian Arswendiyumna (2011), menjelaskan metode penarikan air
menggunakan Natrium Sulfat (Na2SO4) anhidrat, di mana air akan ditarik oleh
Na2SO4 anhidrat hingga dihasilkan minyak atsiri dengan kemurnian yang tinggi.
Minyak atsiri pada umumnya dihasilkan melalui 4 macam metode pengolahan, yaitu
metode penyulingan, pressing, ekstraksi dengan pelarut menguap dan ekstraksi
dengan lemak padat (Ketaren, 1985).
Metode Penyulingan Minyak Atsiri
Penyulingan adalah proses pemisahan antara komponen cair atau padat
dari dua macam campuran atau lebih berdasarkan perbedaan titik uapnya dan
dilakukan untuk minyak atsiri yang tidak larut dalam air. Dalam industri minyak
atsiri dikenal tiga metode penyulingan, yaitu:
A. Penyulingan dengan Air
Metode ini merupakan metode paling sederhana dibandingakan dengan
metode yang lainnya. Proses penyulingan dengan cara ini hampir sama
dengan perebusan. Bahan baku yang sudah kering/layu dimasukkan kedalam
ketel suling yang telah terisi air. Perbandingan berat air dengan bahan baku
pada umumnya 1:3. Selanjutnya ketel ditutup rapat agar tidak ada uap yang
keluar, kemudian ketel dipanaskan sampai uap air dan minyaknya mengalir
melalui pipa didalam kondensor. Air dan minyak yang keluar ditampung
didalam tangki pemisah. Pemisahan minyak dengan air berdasarkan pada
berat jenisnya. Namun metode penyulingan dengan air mempunyai beberapa
kelemahan, yaitu hanya cocok untuk bahan baku dalam jumlah sedikit dan
tidak cocok untuk bahan baku yang larut dalam air. Metode ini diterapkan
untuk penyulingan minyak jahe, palmarosa dan kemangi (Yuliani dan Suyanti,
2012).
B. Penyulingan dengan Uap
Pada metode ini, ketel suling dan tangki air berisi sumber uap panas (boiler)
diletakan secara terpisah. Di dalam boiler terdapat pipa yang berhubungan
dengan ketel suling. Penyulingan dengan uap sebaiknya dimulai dengan
tekanan uap yang rendah (sekitar 0,5-1 bar). Setelah itu, secara berangsur-
angsur tekanan di boiler ditingkatkan sampai suhu uap mencapai 150°C dan
tekanan mencapai 5 bar. Air dari boiler akan mendidih lalu uapnya mengalir
kedalam ketel suling yang sudah ada bahan di dalamnya. Uap air akan
menembus sel-sel bahan dan membawa uap minyak atsiri yang selanjutnya
akan mengalir melalui kondensor, uap minyak akan mengembun menjadi
cairan yang kemudian ditampung ditangki pemisah.
di boiler ditingkatkan sampai suhu uap mencapai 150°C dan tekanan
mencapai 5 bar. Air dari boiler akan mendidih lalu uapnya mengalir kedalam
ketel suling yang sudah ada bahan di dalamnya. Uap air akan menembus sel-
sel bahan dan membawa uap minyak atsiri yang selanjutnya akan mengalir
melalui kondensor, uap minyak akan mengembun menjadi cairan yang
kemudian ditampung ditangki pemisah.
Hal yang perlu diperhatikan dalam metode ini adalah tekanan pada boiler
yang harus dikontrol. Suhu di ketel penyulingan harus diatur sekitar 110-
120°C, sedangkan tekanan pada ketel suling disesuaikan dengan ketebalan
ketelnya. Metode ini cocok untuk menyuling minyak atsiri yang diambil dari
bagian tanaman yang keras, seperti kulit batang, kayu dan biji-biji yang keras
(Yuliani dan Suyanti, 2012).
C. Penyulingan dengan Uap dan Air
Metode ini disebut dengan sistem kukus atau sistem uap tidak langsung. Alat
yang digunakan pada metode ini menyerupai dandang nasi. Proses
penyulingan diawali dengan memasukkan air ke bagian dasar ketel sampai 1/3
bagian. Bahan baku diletakan di bagian atas lempeng penyekat. Bahan baku
sebaiknya jangan terlalu padat karena akan mempersulit jalannya uap air
untuk menembus bahan baku. Setelah itu ketel ditutup rapat lalu dipanaskan.
Pada saat air mendidih uap air akan melewati lubang-lubang pada lempeng
penyekat dan celah-celah bahan. Minyak atsiri yang ada di dalam bahan akan
terbawa uap panas menuju ke pipa kondensor. Selanjutnya uap air dan minyak
atsiri akan mengembun dan ditampung dalam tangki pemisah.
Keuntungan dari metode ini adalah adanya penetrasi uap yang terjadi secara
merata kedalam jaringan bahan. Selain itu, suhu dapat dipertahankan sampai
100°C, harga alat lebih murah, dan rendemen minyak yang dihasilkan lebih
besar dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan dengan metode
penyulingan air (Yuliani dan Suyanti, 2012).
2.2.2 Penggolongan minyak atsiri
Komponen minyak atsiri adalah senyawa yang bersifat kimia, fisika
serta mempunyai bau dan aroma yang khas, demikian pula peranannya sangat
besar sebagai obat. Komponen penyusun minyak atsiri dibagi menjadi beberapa
golongan sebagai berikut :
A. Minyak Atsiri Hidrokarbon
Minyak atsiri kelompok ini komponen penyusunnya sebagian besar terdiri
dari senyawa-senyawa hidrokarbon, misalnya minyak terpentin diperoleh dari
tanaman-tanaman go longan pinus (family Pinaceae). Terpentin larut dalam
alkohol, eter, kloroform, dan asam asetat glasial dan bersifat optis aktif.
Kegunaannya dalam farmasi adalah sebagai obat luar, melebarkan pembuluh
darah kapiler dan merangsang keluarnya keringat. Terpentin jarang digunakan
sebagai obat dalam (Gunawan dan Mulyani, 2004).
B. Minyak Atsiri Alkohol
Minyak pipermin dihasilkan dari daun tananaman Mentha piperita Linn, yang
penyusun utamanya adalah mentol. Pada bidang farmasi digunakan sebagai
antigatal, bahan pewangi dan pelega hidung tersumbat. Sementara pada
industri digunakan sebagai pewangi pasta gigi (Gunawan dan Mulyani, 2004).
C. Minyak Atsiri Fenol
Minyak cengkeh merupakan minyak atsiri fenol. Minyak ini diperoleh dari
tanaman cengkeh yang memiliki nama latin yaitu Eugenia caryophyllata atau
Syzigium caryophyllum (famili Myrtaceae). Bagian yang dimanfaatkan adalah
bunga dan daun. Minyak cengkeh tersusun dari eugenol yaitu sampai 95%
dari jumlah minyak atsiri keseluruhan. Selain eugenol, juga mengandung
aseton-eugenol, beberapa senyawa dari kelompok seskuiterpen, serta bahan-
bahan yang tidak mudah menguap seperti tanin, lilin, dan bahan seperti
damar. Kegunaan minyak cengkeh antara lain mengobati masuk angin serta
menghilangkan rasa mual dan muntah (Gunawan dan Mulyani, 2004).
D. Minyak Atsiri Eter Fenol
Minyak adas merupakan minyak atsiri eter fenol. Minyak adas berasal dari
hasil penyulingan buah Pimpinella anisum atau dari Foeniculum vulgare
(famili Apiaceae atau Umbelliferae). Minyak yang dihasilkan, terutama
tersusun dari komponen-komponen terpenoid seperti anetol, sineol, pinena
dan felandrena. Minyak adas digunakan sebagai pelengkap sediaan obat
batuk, sebagai korigen odoris untuk menutup bau tidak enak pada sediaan
farmasi dan bahan parfum (Gunawan dan Mulyani, 2004)
E. Minyak Atsiri Oksida
Minyak kayu putih merupakan minyak atsiri oksida. Diperoleh dari isolasi
daun Melaleuca leucadendon L (famili Myrtaceae). Komponen penyusun
minyak atsiri kayu putih palig utama adalah sineol (85%) (Gunawan dan
Mulyani, 2004).
F. Minyak Atsiri Ester
Minyak gandapura merupakan atsiri ester. Minyak atsiri ini diperoleh dari
isolasi daun dan batang Gaultheria procumbens L (famili Erycaceae).
Komponen penyusun minyak ini adalah metil salisilat yang merupakan bentuk
ester. Minyak ini digunakan sebagai korigen odoris, bahan parfum, industri
permen dan minuman tidak beralkohol (Gunawan dan Mulyani, 2004).
2.3.1 Kandungan kimia minyak atsiri
Minyak atsiri sebagian besar terdiri dari senyawa terpen, yaitu suatu
senyawa produk alami yang strukturnya dapat dibagi ke dalam satuan-satuan.
Universitas Sumatera Utara isopren. Satuan-satuan isopren (C5H8) ini
membentuk asetat melalui jalur biosintesis asam mevalonat dan merupakan rantai
bercabang lima dari satuan atom karbon yang mengandung dua ikatan rangkap
(Gunawan dan Mulyani, 2004).
Terpen yang paling sering terdapat dalam komponen penyusun minyak
atsiri adalah monoterpen. Monoterpen banyak ditemukan dalam bentuk asiklis,
monosiklis, serta bisiklis sebagai hidrokarbon dan turunan yang teroksidasi
seperti alkohol, aldehid, keton, fenol, oksidasi dan ester. Terpen lain di bawah
monoterpen yang berperan penting sebagai penyusun minyak atsiri adalah
seskuiterpen dan diterpen (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Kelompok besar lain dari komponen penyusun minyak atsiri adalah
senyawa golongan fenil propan. Senyawa ini mengandung cincin fenil C6 dengan
rantai samping berupa propana C3 (Gunawan dan Mulyani, 2004).
2.3.2 Parameter Minyak Atsiri
Beberapa parameter yang biasanya dijadikan standar untuk mengenali
kualitas minyak atsiri meliputi:
A. Berat Jenis
Berat jenis merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan mutu dan
kemurnian minyak atsiri. Nilai berat jenis minyak atsiri didefinisikan sebagai
perbandingan antara berat minyak dengan berat air pada volume air yang
sama dengan volume minyak yang sama. Berat jenis sering dihubungkan
dengan fraksi berat komponen-komponen yang terkandung didalamnya.
Semakin besar fraksi berat yang terkandung dalam minyak, maka semakin
besar pula nilai densitasnya. Biasanya berat jenis komponen terpen
teroksigenasi lebih besar dibandingkan dengan terpen tidak teroksigenasi
(Sastrohamidjojo, 2004).
B. Indeks Bias
Indeks bias merupakan perbandingan antara kecepatan cahaya di dalam udara
dengan kecepatan cahaya didalam zat tersebut pada suhu tertentu. Indeks bias
minyak atsiri berhubungan erat dengan komponen-komponen yang tersusun
dalam minyak atsiri yang dihasilkan. Sama halnya dengan berat jenis,
komponen penyusun minyak atsiri dapat mempengaruhi nilai indeks biasnya.
Semakin banyak komponen berantai panjang seperti sesquiterpen atau
komponen bergugus oksigen yang ikut tersuling, maka kerapatan medium
minyak atsiri akan bertambah sehingga cahaya yang datang akan lebih sukar
untuk dibiaskan. Hal ini menyebabkan indeks bias minyak lebih besar.
Menurut Guenther, nilai indeks bias juga dipengaruhi oleh adanya air dalam
kandungan minyak atsiri tersebut. Semakin banyak kandungan airnya, maka
semakin kecil nilai indek biasnya. Ini karena sifat dari air yang mudah untuk
membiaskan cahaya yang datang. Jadi,
Universitas Sumatera Utara minyak atsiri dengan nilai indeks bias yang besar
lebih bagus dibandingkan dengan minyak atsiri dengan nilai indeks bias yang
kecil (Sastrohamidjojo, 2004).
C. Putaran optic
Sifat optik dari minyak atsiri ditentukan menggunakan alat polarimeter yang
nilainya dinyatakan dengan derajat rotasi. Sebagian besar minyak atsiri jika
ditempatkan dalam cahaya yang dipolarisasikan maka memiliki sifat memutar
bidang polarisasi ke arah kanan (dextrorotary) atau ke arah kiri (laevorotary).
Pengukuran parameter ini sangat menentukan kriteria kemurnian suatu
minyak atsiri (Sastrohamidjojo, 2004).
D. Bilangan Asam
Bilangan asam menunjukkan kadar asam bebas dalam minyak atsiri. Bilangan
asam yang semakin besar dapat mempengaruhi kualitas minyak atsiri, yaitu
senyawa-senyawa asam tersebut dapat merubah bau khas dari minyak atsiri.
Hal ini dapat disebabkan oleh lamanya penyimpanan minyak dan adanya
kontak antara minyak atsiri yang dihasilkan dengan cahaya dan udara sekitar
ketika berada dalam botol atau wadah pada saat penyimpanan. Karena
sebagian komposisi minyak atsiri apabila terkontaminasi dengan udara atau
berada pada kondisi yang lembab akan mengalami reaksi oksidasi dengan
udara (oksigen) yang dikatalisis oleh cahaya sehingga akan membentuk suatu
senyawa asam. Jika penyimpanan minyak tidak diperhatikan atau
terkontaminasi langsung dengan udara sekitar, maka akan semakin banyak
juga senyawa-senyawa asam yang terbentuk. Oksidasi komponen-komponen
minyak atsiri terutama golongan aldehid dapat membentuk gugus asam
karboksilat sehingga akan menambah nilai bilangan asam suatu minyak atsiri.
Hal ini juga dapat disebabkan oleh penyulingan pada tekanan tinggi
(temperatur tinggi), karena pada kondisi tersebut kemungkinan terjadinya
proses oksidasi sangat besar. Bilangan asam adalah ukuran dari asam lemak
bebas, serta dihitung berdasarkan berat molekul dari asam lemak atau
campuran asam lemak. Bilangan asam dinyatakan sebagai jumlah milligram
KOH 0,1N yang digunakan untuk menetralkan asam lemak bebas yang
terdapat dalam 1 gram minyak atau lemak (Sastrohamidjojo, 2004).
E. Kelarutan dalam Alkohol
Telah diketahui bahwa alkohol merupakan gugus OH. Karena alkohol dapat
larut dengan minyak atsiri maka pada komposisi minyak atsiri yang dihasilkan
tersebut terdapat komponen-komponen terpen teroksigenasi. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Guenther bahwa kelarutan minyak dalam alkohol
ditentukan oleh jenis komponen kimia yang terkandung dalam minyak. Pada
umumnya minyak atsiri yang mengandung persenyawaan terpen teroksigenasi
lebih mudah larut daripada yang mengandung terpen tidak teroksigenasi.
Semakin tinggi kandungan terpen maka semakin rendah daya larutnya (sukar
larut), karena senyawa terpen tidak teroksigenasi merupakan senyawa
nonpolar yang tidak mempunyai gugus fungsional. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa semakin kecil kelarutan minyak atsiri pada alkohol
(biasanya alkohol 90%) maka kualitas minyak atsirinya semakin baik
(Sastrohamidjojo, 2004).
2.4 Kromatografi Gas
Kromatografi berasal dari kata chroma (warna) dan graphein (penulisan)
merupakan suatu teknik pemisahan fisik karena memanfaatkan perbedaan yang kecil
sifat-sifat fisik dari komponen-komponen yang akan dipisahkan. Istilah penulisan
warna dengan kromatografi sudah tidak tepat lagi karena pemisahan dengan
kromatografi dapat dipakai untuk memisahkan komponen-komponen yang tidak
berwarna. Kromatografi adalah pemisahan fisik suatu perbedaan migrasi dari masing-
masing komponen campuran yang terpisah pada fase diam dibawah pengaruh fase
gerak. Kromatografi Gas (KG) adalah suatu cara untuk memisahkan suatu campuran
dengan mengalirkan arus gas melalui fase diam (H.M Mc nair,1988).
Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah berbagai komponen
campuran dalam sampel, sedangkan spektrometer massa berfungsi untuk mendeteksi
masing–masing molekul komponen yang telah dipisahkan pada sistem kromatografi
gas (Agusta, 2000). Satu keuntungan dari GC–MS adalah identifikasinya berdasarkan
waktu retensi dan spektrum massa (pola fragmentasi senyawa) (Anonimc, 2009).
Kebanyakan penyelidikan dengan kromatografi gas–spektrometri massa (GC–
MS) dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu: penjatidirian obat atau metabolit dan
kuantitasi obat dalam cairan hayati. Pada penjatidirian penekanan pada perolehan
spektrum massa dari senyawa, lalu dibandingkan dengan spektra baku, ini digunakan
untuk menjelaskan struktur analit. Bukti struktur juga dikuatkan oleh waktu tambat
pada kolom terpilih kromatografi gas. Untuk 16 kuantitasi obat dalam terokan hayati
ditekankan pada keselektifan dan kepekaan. Kedua kondisi ini dipenuhi dengan
penggunaan spektrometer massa sebagai detektor (Munson, 1991).
2.4.1 Unsur-unsur penting dalam sistem GC-MS:
a. Gas pembawa
Faktor yang menyebabkan suatu senyawa bergerak melalui kolom
kromatografi gas ialah keatsiriannya, aliran gas yang melalui kolom yang
diukur dalam satuan ml/menit, serta penurunan tekanan antara pangkal dan
ujung kolom. Gas pembawa harus memenuhi sejumlah persyaratan, antara
lain harus inert (tidak bereaksi dengan sampel, pelarut sampel, material dalam
kolom), murni, dan mudah diperoleh. Pemilihan gas pembawa tergantung
pada detektor yang dipakai.
Kemurnian gas pembawa sangat penting. Penggunaan gas yang
kemurniannya rendah sering dijumpai sejumlah puncak yang bukan berasal
dari sampel yang dianalisis (ghost peak) dan baseline kromatogram tidak rata
(Agusta, 2000). Oleh karena itu, gas pembawa sebelumnya dialirkan melalui
penyaring molekul untuk menghilangkan uap air yang terdapat dalam gas
pembawa. Sebagai gas pembawa pada GC-MS biasanya digunakan helium
karena ringan, relatif mudah dihilangkan dengan sistem pompa hampa
(Megawati,2010).
b. Kolom
Kolom merupakan jantung dari kromatografi gas karena didalam kolom inilah
sampel dianalisis sehingga beberapa komponen dapat dipisahkan dan terelusi
pada waktu yang berbeda. Beberapa faktor yang mempengaruhi kolom antara
lain ukuran kolom, jenis padatan pendukung fase diam, ukuran partikel
padatan pendukung dan fase cairan yang digunakan sebagai fase diam
(Megawati, 2010).
Ada dua macam kolom, yaitu kolom kemas dan kolom kapiler. Kolom kemas
adalah pipa yang terbuat dari logam, kaca, atau plastik yang berisi penyangga
padat yang inert. Fase diam baik berwujud padat maupun cair, diserap atau
terikat secara kimia pada permukaan penyangga padat tersebut. Diameter
kolom biasanya 2–4 mm dengan panjang 0,5–6 meter (Agusta, 2000).
Kolom kapiler pertama kali diperkenalkan oleh M.J.E Golay pada tahun 1956.
Keuntungan penggunaan kolom ini adalah jumlah sampel yang dibutuhkan
hanya sedikit, gas pembawa yang dibutuhkan juga sedikit, dan pemisahan
lebih sempurna. Kolom kapiler dibedakan menjadi 4 tipe yang didasarkan
pada diameter sebelah dalamnya.
1. Narrow bore
Kolom ini berdiameter 0,1 mm, digunakan untuk melakukan analisis
dengan waktu yang relatif pendek atau analisis cepat. Kolom tipe ini
dapat memisahkan campuran dengan konsentrasi sekitar 10 ng untuk
masing-masing komponen.
2. Middle bore
Kolom ini berdiameter 0,22–0,25 mm, memiliki daya pisah yang
tinggi, dapat memisahkan campuran dengan konsentrasi 50–100 ng
untuk masing-masing komponen. Untuk menganalisis komponen
minyak atsiri, lebih disarankan menggunakan kolom ini.
3. Semi wide bore
Kolom ini berdiameter 0,32 mm, penggunaannya lebih ditujukan
untuk analisis yang membutuhkan sensitivitas yang tinggi. Kolom
semi wide bore dapat memisahkan campuran dengan konsentrasi 150–
300 ng untuk masing-masing komponen.
4. Wide bore
Kolom ini berdiameter 0,50–0,53 mm. Kolom wide bore dapat
memisahkan campuran dengan konsentrasi 500–2500 ng untuk
masing-masing komponen, penggunaan kolom ini ditujukan untuk
analisis campuran yang relatif lebih banyak (Agusta, 2000).
c. Fase diam
Fase diam biasanya disapukan pada permukaaan dalam medium, seperti tanah
diatomae dalam kolom atau dilapiskan pada dinding kapiler. Berdasarkan
bentuk fisiknya, fase diam yang umum digunakan pada kolom adalah fase
diam padat dan fase diam cair. Akan tetapi, untuk kolom kapiler lebih banyak
digunakan fase diam cair yang disebut dengan istilah film thickness. Ketebalan
fase diam ini berbeda untuk masing–masing tipe kolom kapiler. Kolom tipe
narrow bore memiliki film thickness setebal 0,1 mu, tipe middle bore 0,25–
0,5 mu, tipe semi–wide bore 0,5–1,0 mu, dan tipe wide–bore 1,0–5,0 mu.
Berdasarkan sifatnya, fase diam dibedakan berdasarkan kepolarannya yaitu
nonpolar, sedikit polar, setengah polar (semi polar), dan sangat polar
(Agusta,2000).
Menurut adnan, 1997, Pemilihan fase diam cair biasanya didasarkan
atas pedoman like dissolves like. Hal ini berarti bahwa fase diam yang bersifat
polar cocok untuk sampel yang bersifat polar dan sample–sampel yang non
polar akan terpisah dengan baik pada fase cair non polar (Megawati, 2010).
Berdasarkan sifat minyak atsiri yang nonpolar sampai sedikit polar, untuk
keperluan analisis sebaiknya digunakan kolom dengan fase diam nonpolar
atau sedikit polar. (Agusta, 2000).
d. Detector
Detektor dalam GC-MS adalah spektroskopi massa yang terdiri atas sistem
ionisasi dan sistem analisis (Agusta, 2000). Spektroskopi massa berdasarkan
atas ionisasi dari molekul solut dalam sumber ion dan pemisahan ion
didasarkan dari hasil unit analisis rasio massa (Fowlis, 1994). Salah satu
keuntungan teknik ini adalah sensitivitasnya tinggi. Spektroskopi massa dapat
mendeteksi senyawa dalam jumlah mikrogram (Sarker et al., 2006).
e. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor utama yang menentukan hasil analisis
kromatografi gas dan spektrometri massa. Ada tiga macam suhu yang penting
untuk pemisahan yang baik dalam GC, yaitu suhu tempat injeksi, suhu kolom
dan suhu detektor. Suhu pada tempat injeksi harus cukup tinggi untuk
menguapkan sampel tetapi tidak terlalu tinggi, sebab kalau terlalu tinggi
akibatnya kemungkinan terjadinya perubahan oleh panas atau peruraian dari
molekul-molekul. Suhu pada kolom harus cukup tinggi sehingga analisis
dapat diselesaikan dalam waktu yang layak dan harus cukup rendah (Mc Nair
and Bonelli, 1988). Suhu-suhu yang rendah memberikan pemisahan lebih
baik, tetapi waktu retensi lebih panjang (Gritter, 1991).
f. System injeksi
GC–MS memiliki dua sistem pemasukan sampel (injection), yaitu secara
langsung (direct inlet) dan melalui sistem kromatografi gas (indirect inlet).
Sampel campuran seperti minyak atsiri, pemasukan sampel harus melalui
sistem GC, sedangkan untuk sampel murni dapat langsung dimasukkan ke
dalam ruang pengion (direct inlet) (Agusta, 2000). Penginjeksian yang lambat
untuk sampel yang terlalu besar akan menyebabkan pelebaran pita dan
pemisahan yang buruk (Mursyidi, 1989).
g. Sistem ionisasi
Ada beberapa metode ionisasi untuk analisis spektrometer massa. Electron
Impact ionization (EI) adalah metode ionisasi yang umum digunakan (Agusta,
2000). EI merupakan proses ionisasi yang sulit, bukan dikarenakan oleh
tabrakan antara molekul sampel tapi oleh interaksi antara elektron dan
molekul ketika elektron lewat berdekatan. Proses ini menghasilkan
perpindahan satu elektron dari molekul sampel, dengan anggapan ion ini tidak
mengalami fragmentasi ditunjukkan sebagai “ion molekuler”. Ion molekuler
adalah molekul dengan satu elektron yang dilepaskan, ion molekuler akan
mempunyai jumlah massa yang sama sebagai molekul netral. Ion yang lain
dalam spektrum diturunkan dari dekomposisis ion molekuler. EI
memperbolehkan penentuan dari massa relatif molekuler dan struktur dari
molekul. Elektron dihasilkan oleh lewatnya arus tertentu menembus tungsten
filament. Elektron ini menyebabkan analit menjadi diionisasi dan
difragmentasi. Semua muatan positif ion dibentuk dalam sumber ion
dimasukkan kedalam quadrupole (Anonimc, 2009).
h. Sistem analisis
Sistem analisis yang digunakan pada spektrometer ini juga ada beberapa
macam. Sistem yang umum digunakan adalah sistem kuadrupol dengan
batang (empat buah) yang mempunyai 4 kutub dan terletak antara sumber ion
dan detektor (Agusta, 2000).
i. Sistem pengolahan data dan identifikasi senyawa
Berdasarkan analisis GC–MS diperoleh dua informasi dasar, yaitu hasil
analisis kromatografi gas yang ditampilkan dalam bentuk kromatogram dan
hasil analisis spektrometri massa yang ditampilkan dalam bentuk spektrum
massa. Kromatogram memberikan informasi mengenai jumlah komponen
kimia yang terdapat dalam campuran yang dianalisis (jika sampel berbentuk
campuran) yang ditunjukkan oleh jumlah puncak yang terbentuk pada
kromatogram berikut kuantitas masing-masing. Spektrum massa hasil analisis
sistem spektroskopi massa merupakan gambaran mengenai jenis dan jumlah
fragmen molekul yang terbentuk dari suatu komponen kimia (masing-masing
puncak pada kromatogram). Setiap fragmen yang terbentuk dari pemecahan
suatu komponen kimia memiliki berat molekul yang berbeda dan ditampilkan
dalam bentuk diagram dua dimensi, m/z (m/e, massa/muatan) pada sumbu X
dan intensitas pada sumbu Y yang disebut spektrum massa (Agusta, 2000).
Daftar pustaka
Agusta, A. (2000). Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. Bandung: Penerbit
Institut Teknologi Bandung. Hal. 101.
Megawati, R.F, 2010. Analisi Mutu Minyak Atsiri Bunga Cengkeh (syzygium
aromaticum. L). Meer & Perry) Dari Maluku, Sumatera, Sulawesi dan Jawa dengan
Metode Metabolomic Berbasis GC-MS. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiah:Surakarta.
Martinez J, Paulo TV, Chantal M, Alain L, Pierre B, Dominique P, Angela AM.
2004. Valorization of Brazilian Vetiver (Vetiveria zizanoides (L) Nash ex Small) Oil.
J. Agr and Food Chem. 52 : 6578 – 6584.
Kardinan A. 2005. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. Jakarta : Agromedia Pustaka.
Yuliani, Sri., Satuhu, Suyanti. 2012. Panduan LengkapMinyak Atsiri. Penebar
Swadaya.Bogor.
Sastrohamidjojo, H., (2004), Kimia Minyak Atsiri, Penerbit Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Gunawan, D, Mulyani, S., (2004), Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid I, Penerbit
Penebar Swadaya, Jakarta.
Lutony, T. L. dan Y. Rahmayati, 2002. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri.
Penebar Swadaya, Jakarta. DSN (Dewan Standarisasi Nasional). (1995) SNI 06-
3735-1995.” Mutu dan Cara Uji Gelatin’, Jakarta.
Hadipoentyanti, E. & Wahyuni, S., 2008, Keragaman Selasih (Ocimum Spp.)
Berdasarkan Karakter Morfologi, Produksi, dan Mutu Herba, Jurnal Littri, 14(4),
141-148.
Anonymous. Akar Wangi. Makalah disampaikan oleh PT Jasula Wangi pada
Konferensi Nasional Minyak Atsiri. Solo: 18-20 September 2006.
Chomchalow N. The utilization of vetiver as medicinal and aromatic plants with
specialreference to Thailand. Technical Bulletin No. 2001/1. Office of the Royal
Development Projects Board. Bangkok, Thailand. 2001.
Emmyzar SRoechan, A.M. Kurniawansyah dan Pulung. Produktivitas dan kadar minyak tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides Stapt) di tanah tercemar logam berat cadmium. Jurnal ilmiah Pertanian Gakuryoku; 2000. VI (2): 129-179.