Proposal
-
Upload
muhamad-fajar-setia-budi -
Category
Documents
-
view
97 -
download
4
Transcript of Proposal
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang
umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal. Gagal ginjal
mengakibatkan gangguan keseimbangan elektrolit, asam basa dan air (Tambayong,
2001).
Gagal ginjal di klasifikasikan menjadi gagal ginjal akut dan gagal ginjal
kronis. Menurut Nursalam (2006) Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal
progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen
lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis
atau transplantasi ginjal). Centers Disease Control (CDC) melaporkan bahwa dalam
kurun waktu tahun 1999-2004 terdapat 16.8% dari populasi penduduk usia di atas 20
tahun, mengalami penyakit ginjal kronis (PGK). Persentase ini meningkat bila
dibandingkan data pada 6 tahun sebelumnya, yakni 14.5%. Insiden ini diperkirakan
sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per tahun di negara-negara berkembang.
Laporan The United States Renal Data System (USRDS) pada tahun 2007
menunjukan adanya peningkatan populasi penderita dengan End Stage Renal Disease
(ESRD) di Amerika Serikat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Prevalensi
penderita ESRD pada tahun 2005 mencapai 1.569 orang per sejuta penduduk. Nilai
ini mencapai 1,5 kali prevalensi penderita ESRD pada tahun 1995. Data di beberapa
bagian nefrologi di Indonesia, diperkirakan insidensi PGK berkisar 100-150 per 1 juta
penduduk dan prevalensi mencapai 200-250 kasus per juta penduduk (Firmansyah,
2010).
Angka kejadian gagal ginjal di dunia secara global lebih dari 500 juta orang
dan yang harus menjalani hidup dengan bergantung pada cuci darah (hemodialisis)
1,5 juta orang. Prevalensi di Amerika Serikat yang terkena gagal ginjal sebanyak 300
ribu dengan hemodialisis sebanyak 220 ribu orang. Jumlah penderita gagal ginjal di
1
Indonesia sekitar 150 ribu orang dan yang menjalani hemodialisis 10 ribu orang
(Yuwono, 2010).
Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik dapat mempertahankan hidupnya
lebih lama dan berkualitas dengan hemodialisa (cuci darah), hemodialisa merupakan
pilihan utama saat ini dengan teknik menggunakan mesin dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang terampil serta profesional. Prinsip hemodialisa adalah mengalirkan
darah pasien ke ginjal pengganti untuk dibersihkan melalui proses difusi osmosis dan
ultrafiltrasi menggunakan bantuan sebuah mesin hemodialisa, sehingga harapan hidup
pasien dapat di tingkatkan (Aru, 2009).
Menurut data Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000,
glomerulonefritis merupakan 46,39% penyebab gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis, sedangkan diabetes melitus insidennya 18,65 % di susul obstruksi/
infeksi ginjal 12,85% dan hipertensi 8,46% (Aru, 2009).
Mengingat bahwa penyelenggaraan hemodialisis merupakan suatu upaya
untuk membantu pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik untuk dapat
mempertahankan hidupnya lebih lama dan perlu diketahui oleh mahasiswa
kedokteran, maka kami akan melakukan Tugas Pengenalan Profesi untuk
mengobservasi mekanisme kerja hemodialisis di Rumah Islam Siti Khadijah
Palembang.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa manfaat hemodialisis?
b. Apa saja indikasi pasien yang harus menjalani hemodialisis?
c. Bagaimana mekanisme kerja alat hemodialisis?
d. Bagaimana sterilisasi dari alat hemodialisis?
e. Apa saja efek samping setelah proses hemodialisis?
2
1.3 Tujuan Tugas Pengenalan Profesi
1.3.1 TujuanUmum
Setelah menyelesaikan Tugas Pengenalan Profesi ini, diharapkan
mahasiswa mampu memahami, menjelaskan, serta mengaplikasikan
metode kerja hemodialisis.
1.3.2 TujuanKhusus
Setelah melakukan Tugas Pengenalan Profesi ini, diharapkan mahasiswa
mampu :
a. Mengetahui manfaat hemodialisis
b. Mengetahui indikasi pasien yang harus menjalani hemodialisis
c. Mengetahui mekanisme kerja alat hemodialisis
d. Mengetahui sterilisasi dari alat hemodialisis
e. Mengetahui efek samping setelah proses hemodialisis
1.4 Manfaat Tugas Pengenalan Profesi
Hasil dari Tugas pengenalan profesi (TPP) diharapkan akan
bermanfaat yaitu untuk:
1. Menambah pengetahuan mengenai alat hemodialisis
2. Menambah ilmu tentang proses hemodialisis di Rumah Sakit Islam
Siti Khadijah Palembang.
3. Menambah pengalaman dalam observasi proses hemodialisis Rumah
Sakit Islam Siti Khadijah Palembang.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Hemodialisa berasal dari kata hemo dan dialisa. Hemo adalah darah
sedangkan dialisa adalah pemisahan atau filtrasi. Pada prinsipnya hemodialisa
menempatkan darah berdampingan dengan cairan dialisat atau pencuci yang
dipisahkan oleh suatu membran atau selaput semi permeabel. Membran ini dapat
dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut dialysis yaitu
proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi permeable. (Pernefri,
2003)
Menurut Price dan Wilson, dialisa merupakan suatu proses solute dan air
mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair
menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua
tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama
yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap
perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu. (Price, 1995)
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox, hemodialisa didefinisikan sebagai
pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel
(dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan
sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana
tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan
perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan memperbesar jalan masuk
pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang dapat dipercaya dan efisien,
hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut
dan kronik di Amerika Serikat. (Havens, 2005)
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang
dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk
membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam
sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah,
4
maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa)
melalui pembedahan. (NKF, 2006)
B. Indikasi
Hemodialisa sebagai terapi penyakit ginjal end-stage digunakan lebih dari
300.000 orang di Amerika Serikat. Standarisasi terapi ini dimulai pada tahun 1973
oleh beberapa ahli seperti Kolff, Merrill, Sribner dan Schreiner. Terapi ini juga
mempertimbangkan segi pendidikan, pekerjaan, dan kondisi kesehatan pasien.
Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan terapi berdasarkan kesehatan penderita
yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya
dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita
neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya
juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria
sedangkan pada wanita diatas 4 mg/100 ml. Selain itu, nilai kadar glomeluro filtration
rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus
berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan
lagi. (Wijaya, 2010)
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Stadium Fungsi Ginjal Laju Filtrasi Glomerulus
(mL/menit/1,73m2)
Risiko meningkat Normal > 90, terdapat faktor risiko
Stadium 1 Normal atau meningkat > 90, terdapat kerusakan ginjal,
proteinuria menetap, kelainan
sedimen urin, kelainan kimia
darah dan urin, kelainan pada
pemeriksaan radiologi.
Stadium 2 Penurunan ringan 60-89
Stadium 3 Penurununan sedang 30-59
Stadium 4 Penurunan berat 15-29
5
Stadium 5 Gagal Ginjal <15
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) (2003)
secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) kurang dari 15
mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia atau malnutrisi dan
LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis. Selain
indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat
komplikasi akut seperti edema paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan
nefropatik diabetik. (Pernefri, 2003)
Thiser dan Wilcox menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai ketika
bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar
kreatinin serum 8–10 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia dan secara
mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan hemodialisa.
(Havens, 2005)
Perbandingan Nilai Kreatinin, Laju Filtrasi Glomerulus dan Clearance
Creatinin Rate untuk menilai Fungsi Ginjal
Nilai GFR
(mg/dl)
Kreatinin
(ml/menit/1,73 m2)
Clearance Rate
(ml/menit)
Normal >90 Pria : <1,3
Wanita : <1,0
Pria : 90-145
Wanita : 75-115
Gangguan
Ginjal Ringan
60-89 Pria : 1,3-1,9
Wanita : 1,0-1,9
56-100
Gangguan
Ginjal Sedang
30-59 2-4 35-55
Gangguan
Ginjal Berat
15-29 >4 <35
6
Tabel 2. Perbandingan Nilai Kreatinin, Laju Filtrasi Glomerulus dan Clearance
Creatinin Rate untuk menilai Fungsi Ginjal
Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis adalah
laju filtrasi glomerulus ( LFG ) sudah kurang dari < 15 mL/menit, sehingga dialisis
dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai pemeriksaan tanda dan gejala serta
pemeriksaan laboratorium, sebagai berikut :
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
Penderita dapat mengalami gangguan kesadaran. Adanya gangguan
asidosis metabolik dan atau gejala sindrom uremia seperti mual, muntah
dan anoreksia. Tanda – tanda overload cairan seperti edema, sesak napas
akibat edema paru, serta adanya gangguan jantung. Penderita juga dapat
mengeluhkan sulit kencing (anuria) lebih dari 5 hari.
b. Pemeriksaan Laboratorium ditemukan :
Kreatinin serum > 8 mg/dL
Ureum darah > 200 µ/dL
Hiperkalemi
pH darah < 7,1
C. Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox, kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi
yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak
organik. Sedangkan menurut Pernefri kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak
didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas
hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya
adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati
lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut. (Pernefri, 2003)
D. Proses Hemodialisa
7
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja dari hemodialisa yaitu difusi, osmosis
dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah didalam darah dikeluarkan melaui proses
difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, kecairan
dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. (Wijaya, 2010)
Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradient tekanan, gradien ini
dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai
ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Karena pasien tidak dapat mengekskresikan air,
kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovelemia
(keseimbangan cairan). (Wijaya, 2010)
Sistem tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan berdifusi
dari cairan dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami metabolisme untuk
membentuk bikarbonat. Darah yang sudah dibersihkan kemudian dikembalikan ke
dalam tubuh melalui pembuluh darah vena. (Wijaya, 2010)
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu
saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk menyaring
dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa metabolisme yang
tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa diperlukan akses
vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin
hemodialisa. Hemodialisa dilakukan pada penyakit gagal ginjal terminal yaitu dengan
mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari
dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dialirkan dan dipompa ke
kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput permiabel buatan (artificial) dengan
kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialairi cairan dialysis yang bebas
pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit yang sama dengan serum normal
dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialysis dan darah yang
terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zar terlarut berpindah dari
konsentrasi yang tinggi kearah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat
terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialysis, air juga berpindah
8
dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan
tekanan hidrostatik negative pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air
disebut dengan ultrafiltrasi.(Wijaya, 2010)
Cairan dialysis adalah cairan yang digunakan pada proses hemodialisa, terdiri
dari campuran air dan elektrolit yang mempunyai konsentrasi hampir sama dengan
serum normal dan mempunyai tekanan osmotic yang sama dengan darah. Fungsi
cairan dialysis adalah mengeluarkan dan menampung cairan serta sisa-sisa
metabolisme dari tubuh, serta mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama
dialisa. Cairan dialysis mengandung macam-macam garam, elektrolit dan atau zat
antara lain :
1. NaCl / Sodium Chloride.
2. CaCl2 / Calium Chloride.
3. Mgcl2 / Magnesium Chloride.
4. NaC2H3O2 3H2O / acetat atau NaHCO3 / Bilkarbonat.
5. KCl / potassium chloride, tidak selalu terdapat pada dialisat.
6. Dextrose.
9
Gambar 1. Cairan Dializer
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa
berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran
darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk
dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi
sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh
efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan
ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan
mempengaruhi pemindahan larutan. (Pernefri, 2003)
10
Gambar 2. Mesin Hemodialisa
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran
semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain untuk
dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah dialisat ataupun
dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer merupakan sebuah hollow
fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler halus yang
tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil ini, dan
dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan kompak karena
memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler. (Pernefri, 2003)
11
Gambar 3. Aliran Darah
Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter
masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran
semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah
dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah
darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam
tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt). (Ganong, 1998)
Gambar 4. Sirkuit
12
Suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi
untuk dialisat. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood
line), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Dialisat
membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan
suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa
pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian
dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga
sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi
sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis,
dan ultrafiltrasi. (Guyton, 1997)
Komposisi dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi ion
darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan cairan dan
elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur yang umum terdiri dari
Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl- , asetat dan glukosa. Urea, kreatinin, asam urat dan fosfat
dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke dalam dialisat karena unsur-unsur ini
tidak terdapat dalam dialisat. Natrium asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam
dialisat, akan berdifusi ke dalam darah. Tujuan menambahkan asetat adalah untuk
mengoreksi asidosis penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh pasien
menjadi bikarbonat. Glukosa dalam konsentrasi yang rendah ditambahkan ke dalam
dialisat untuk mencegah difusi glukosa ke dalam dialisat yang dapat menyebabkan
kehilangan kalori dan hipoglikemia. Pada hemodialisa tidak dibutuhkan glukosa
dalam konsentrasi yang tinggi, karena pembuangan cairan dapat dicapai dengan
membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat.(Price, 1995)
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik
antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan
meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan
meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan menimbulkan efek vakum
dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur tekanan negatif. Perbedaaan
tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi
13
solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl
0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien
mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar
tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran dengan
quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan aliran kecepatan
yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus
lambat untuk mencegah pembekuan darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung
udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam
aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern
dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter.
(Price, 1995)
Menurut Pernefri waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan
kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4–5 jam dengan frekuensi 2 kali
seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10–15 jam/minggu dengan QB 200–300
mL/menit. Pada akhir interval 2–3 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam,
air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia
karena sebagian sel darah merah rusak dalam proses hemodialisa. (Pernefri, 2003)
(Aru, 2009)
Price dan Wilson menjelaskan bahwa dialisat pada suhu tubuh akan
meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan
hemolisis sel-sel darah merah sehingga dapat menyebabkan pasien meninggal.
Robekan pada membran dializer yang mengakibatkan kebocoran kecil atau masif
dapat dideteksi oleh fotosel pada aliran keluar dialisat. Hemodialisa rumatan biasanya
dilakukan tiga kali seminggu, dan lama pengobatan berkisar dari 4 sampai 6 jam,
tergantung dari jenis sistem dialisa yang digunakan dan keadaan pasien. (Price, 1995)
(Aru, 2009).
14
Perawatan Hemodialisa
I. Perawatan Sebelum Hemodialisis (Pra HD)
Persiapan mesin
Alat dan Bahan:
- Listrik
- Air (sudah melalui pengolahan)
- Saluran pembuangan
- Dialisat (proportioning sistim, batch sistim)
- Persiapan peralatan + obat-obatan
- Dialyzer/ Ginjal buatan (GB)
- AV Blood line
- AV fistula/abocath
- Infuse set
- Spuit : 50 cc, 5 cc, dll ; insulin
- Heparin inj
- Xylocain (anestesi local)
- NaCl 0,90 %
- Kain kasa/ Gaas steril
- Duk steril
- Sarung tangan steril
- Bak kecil steril
- Mangkuk kecil steril
- Klem
- Plester
- Desinfektan (alcohol + bethadine)
- Gelas ukur (mat kan)
- Timbangan BB
15
- Formulir hemodialisis
- Sirkulasi darah
- Cuci tangan
Cara Kerja:
1. Letakkan GB pada holder, dengan posisi merah diatas
2. Hubungkan ujung putih pada ABL dengan GB ujung merah
3. Hubungkan ujung putih VBL dengan GB ujung biru, ujung biru VBL
dihubungkan dengan alat penampung/ mat-kan
4. Letakkan posisi GB terbalik, yaitu yang tanda merah dibawah, biru diatas
5. Gantungkan NaCl 0,9 % (2-3 kolf)
6. Pasang infus set pada kolf NaCl
7. Hubungkan ujung infus set dengan ujung merah ABL atau tempat khusus
8. Tutup semua klem yang ada pada slang ABL, VBL, (untuk hubungan tekanan
arteri, tekanan vena, pemberian obat-obatan)
9. Buka klem ujung dari ABL, VBL dan infus set
10. Jalankan aliran darah (Qb) dengan kecepatan kurang lebih 100 ml/m
11. Udara yang ada dalam GB harus hilang (sampai bebeas udara) dengan cara
menekan-nekan VBL
12. Air trap/Bubble trap diisi 2/3-3/4 bagian
13. Setiap kolf NaCl sesudah/ hendak mengganti kolf baru Qb dimatikan
14. Setelah udara dalam GB habis, hubungkan ujung ABL dengan ujung VBL,
klem tetap dilepas
15. Masukkan heparin dalam sirkulasi darah sebanyak 1500-2000 U
16. Ganti kolf NaCl dengan yang baru yang telah diberi heparin 500 U dan klem
infus dibuka
17. Jalankan sirkulasi darah + soaking (melembabkan GB) selama 10-15 menit
sebelu dihubungkan dengan sirkulasi sistemik (pasien).
16
Persiapan Sirkulasi
1. Rinsing/Membilas GB + VBL + ABL
2. Priming/ mengisi GB + VBL + ABL
3. Soaking/ melembabkan GB.
4. Volume priming : darah yang berada dalam sirkulasi (ABL + GB +
VBL )
5. Cara menghitung volume priming :
Σ NaCl yang dipakai membilas dikurangi jumlah NaCl yang ada
didalam mat kan (gelas tampung/ ukur)
Contoh :
∑ NaCl yang dipakai membilas : 1000 cc
∑ NaCl yang ada didalam mat kan : 750 cc
Jadi volume priming : 1000 cc – 750 cc = 250 cc
6. Cara melembabkan (soaking) GB Yaitu dengan menghubungkan GB
dengan sirkulasi dialisat
7. Bila mempergunakan dialyzer reuse / pemakaian GB ulang :
Buang formalin dari kompartemen darah dan kompartemen dialisat
Hubungkan dialyzer dengan selang dialisat Biarkan kurang lebih 15
menit pada posisi rinse.
Test formalin dengan tablet clinitest :
1. Tampung cairan yang keluar dari dialyzer atau drain
2. Ambil 10 tts (1/2 cc), masukkan ke dalam tabung gelas, masukkan
1cairan tablet clinitest ke dalam tabung gelas yang sudah berisi
cairan
3. Lihat reaksi :
Warna biru : – / negative
Warna hijau : + / positif
17
Warna kuning : + / positif
Warna coklat : +/ positif
4. Selanjutnya mengisi GB sesuai dengan cara mengisi GB baru
Persiapan pasien
1. Persiapan mental
2. Izin hemodialisis
3. Persiapan fisik :Timbang BB, Posisi, Observasi KU (ukur TTV)
II. Perawatan Selama Hemodialisis (Intra HD)
Pasien
Sarana hubungan sirkulasi/ akses sirkulasi :
- Dengan internal A-V shunt/ fistula cimino
- Pasien sebelumnya dianjurkan cuci lengan & tangan
- Teknik aseptic + antiseptic : bethadine + alcohol
- Anestesi local (lidocain inj, procain inj)
- Punksi vena (outlet). Dengan AV fistula no G.14 s/d G.16/ abocath,
- fiksasi, tutup dengan kasa steril
- Berikan bolus heparin inj (dosis awal)
- Punksi inlet (fistula), fiksasi, tutup dengan kassa steril
- Dengan eksternal A-V shunt (Schibner)
- Desinfektan
- Klem kanula arteri & vena
- Bolus heparin inj (dosis awal)
- Tanpa 1 & 2 (femora dll)
- Desinfektan
18
- Anestesi local
- Punksi outlet/ vena (salah satu vena yang besar, biasanya di lengan).
- Bolus heparin inj (dosis awal)
- Fiksasi, tutup kassa steril
- Punksi inlet (vena/ arteri femoralis)
- Raba arteri femoralis
- Tekan arteri femoralis
- 0,5 – 1 cm ke arah medialVena femoralis
- Anestesi lokal (infiltrasi anetesi)
- Vena femoralis dipunksi setelah anestesi lokal 3-5 menit
- Fiksasi
- Tutup dengan kassa steril
Memulai hemodialisis
1. Ujung ABL line dihubungkan dengan punksi inlet
2. Ujung VBL line dihubungkan dengan punksi outlet
3. Semua klem dibuka, kecuali klem infus set 100 ml/m, sampai sirkulasi darah
terisi darah semua.
4. Jalankan pompa darah (blood pump) dengan Qb
5. Pompa darah (blood pump stop, sambungkan ujung dari VBL dengan punksi
outlet
6. Fiksasi ABL & VBL (sehingga pasien tidak sulit untuk bergerak)
7. cairan priming diampung di gelas ukur dan jumlahnya dicatat (cairan
dikeluarkan sesuai kebutuhan).
8. Jalankan pompa darah dengan Qb = 100 ml/m, setelah 15 menit bisa
dinaikkan sampai 300 ml/m (dilihat dari keadaan pasien)
9. Hubungkan selang-selang untuk monitor : venous pressure, arteri pressure,
hidupkan air/ blood leak detector
19
10. Pompa heparin dijalankan (dosis heparin sesuai keperluan). Heparin
dilarutkan dengan NaCl
11. Ukur TD, Nadi setiap 1 jam. Bila keadaan pasien tidak baik/ lemah lakukan
mengukur TD, N, lebih sering.
12. Isi formulir HD antara lain : Nama, Umur, BB, TD, S, N, P, Tipe GB, Cairan
priming yang masuk, makan/minum, keluhan selama HD, masalah selama
HD.
Catatan
1. Permulaan HD posisi dialyzer terbalik setelah dialyzer bebas udara posisi
kembalikan ke posisi sebenarnya.
2. Pada waktu menghubungkan venous line dengan punksi outlet, udara harus
diamankan lebih dulu
3. Semua sambungan dikencangkan
4. Tempat-tempat punksi harus harus sering dikontrol, untuk menghindari
terjadi perdarahan dari tempat punksi.
Mesin
Memprogram mesin hemodialisis :
1. Qb : 200 – 300 ml/m
2. aliran dialisat (Qd) : 300 – 500 ml/m
3. Temperatur : 36-400C
4. TMP. UFR
5. Heparinisasi
Tekanan (+) /venous pressure
Trans Membran Pressure / TMP Tekanan (-) / dialysate pressure
Tekanan (+) + tekanan (-)
Tekanan / pressure :
20
Arterial pressure / tekanan arteri : banyaknya darah yang keluar dari tubuh
Venous pressure / tekanan vena : lancar/ tidak darah yang masuk ke
dalam.
Heparinisasi
Dosis heparin :
Dosis awal : 25 – 50 U/kg BB
Dosis selanjutnya (maintenance) = 500 – 1000 U/kg BB
Cara memberikan
Kontinus
Intermiten (biasa diberikan tiap 1 jam sampai 1 jam terakhir sebelum HD
selesai)
Heparinisasi umum
Kontinus :
Dosis awal : ……. U
Dosis selanjutnya : …… U
Intermitten :
Dosis awal : …… U
Dosis selanjutnya : ……. U
Heparinisasi regional
Dosis awal : …… U
Dosis selanjutnya : ….. U
Protamin : …. U
Heparin : protamin = 100 U : 1 mg
Heparin & protamin dilarutkan dengan NaCl.
Heparin diberikan/ dipasang pada selang sebelum dializer.
Protamin diberikan/ dipasang pada selang sebelum masuk ke tubuh/ VBL.
Heparinisasi minimal
21
Syarat-syarat :
Dialyzer khusus (kalau ada).
Qb tinggi (250 – 300 ml/m)
Dosis heparin : 500 U (pada sirkulasi darah).
Bilas dengan NaCl setiap : ½ – 1 jam
Banyaknya NaCl yang masuk harus dihitung
Jumlahnya NaCl yang masuk harus dikeluarkan dari tubuh, bisa dimasukkan
ke dalam program ultrafiltrasi
Catatan
Dosis awal : diberikan pada waktu punksi : sirkulasi system
Dosis selanjutnya: diberikan dengan sirkulasi (maintenance) ekstra korporeal.
Pengamatan Observasi, Monitor Selama Hemodialisa
1. PASIEN
KU pasien
TTV
Perdarahan
Tempat punksi inlet, outlet
Keluhan/ komplikasi hemodialisis
2. MESIN & PERALATAN
Qb
Qd
Temperature
Koduktiviti
Pressure/ tekanan : arterial, venous, dialysate, UFR
Air leak & Blood leak
22
Heparinisasi
Sirkulasi ekstra corporeal
Sambungan-sambungan
Catatan :
Obat menaikkan TD ( tu. pend hipotensi berat) : Efedrin 1 ampul + 10 cc
aquadest kmd disuntik 2 ml/IV
III. Perawatan Sesudah Hemodialisis (Post HD)
Mengakhiri HD
- Persiapan alat :
- Kain kasa/ gaas steril
- Plester
- Verband gulung
- Alkohol/ bethadine
- Antibiotik powder (nebacetin/ cicatrin)
- Bantal pasir (1-1/2 keram) : pada punksi femoral
Cara kerja
1. 5 menit sebelum hemodialisis berakhir
Qb diturunkan sekitar 100cc/m
UFR = 0
2. Ukur TD, nadi
3. Blood pump stop
4. Ujung ABL diklem, jarum inlet dicabut , bekas punksi inlet ditekan
dengan kassa steril yang diberi betadine.
5. Hubungkan ujung abl dengan infus set 50 – 100 cc) 100 ml/m (NaCl
masuk)
23
6. Darah dimasukkan ke dalam tubuh dengan do dorong dengan nacl sambil
qb dijalankan
7. Setelah darah masuk ke tubuh Blood pump stop, ujun VBL diklem.
8. Jarum outlet dicabut, bekas punksi inlet & outlet ditekan dengan kassa
steril yang diberi bethadine
9. Bila perdarahan pada punksi sudah berhenti, bubuhi bekas punksi inlet &
outlet dengan antibiotik powder, lalu tutup dengan kain kassa/band aid
lalu pasang verband.
10. Ukur TTV : TD. N, S, P
11. Timbang BB (kalau memungkinkan)
12. Isi formulir hemodialisis
Catatan :
1. Cairan pendorong/ pembilas (NaCl) sesuai dengan kebutuhan , kalau
perlu di dorong dengan udara ( harus hati-hati)
2. Penekanan bekas punksi dengan 3 jari sekitar 10 menit
3. Bekas punksi femoral lebih lama, setelah perdarahan berhenti, ditekan
kembali dengan bantal pasir
4. Bekas punksi arteri penekanan harus tepat, lebih lama
5. Memakai teknik aseptik dan antiseptik
Scribner
1. Pakai sarung tangan
2. Sebelum ABL & VBL dilepas dari kanula maka kanula arteri & kanula
vena harus diklem lebih dulu
3. kanula arteri & vena dibilas dengan NaCl yang diberi 2500 U – 300 U
heparin inj
4. Kedua sisi kanula dihubungkan kembali dengan konektor
5. Lepas klem pada kedua kanula
24
6. Fiksasi
7. Pasang balutan dengan sedikit kanula bisa dilihat dari luar, untuk
mengetahui ada bekuan atau tidak.
E. Penatalaksanaan Hemodialisa
Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal terminal
atau tahap akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal yang sangat
membantu penderita. Proses tersebut merupakan tindakan yang dapat dilakukan
sebagai upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisa tidak dapat
menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisa dapat
meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal.(Havens, 2005)
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa
mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu
mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan
menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun dan toksin. Gejala yang
terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal sebagai gejala uremia dan
akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Diet rendah protein akan mengurangi
penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala. (Havens,
2005)
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung
kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga merupakan
bagian dari resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif,
asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa
penyesuaian dan pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan. .
(Havens, 2005)
F. Komplikasi
Hemodialisa sangat penting untuk menggantikan fungsi ginjal yang rusak
tetapi hemodialisa juga dapat menyebabkan komplikasi umum berupa hipertensi (20-
25
30% dari dialisis), kram otot (5-20% dari dialisis), mual dan muntah (5-15% dari
dialisis), sakit kepala (5% dari dialisis), nyeri dada (2-5% dialisis), sakit tulang
belakang (2- 5% dari dialisis), rasa gatal (5% dari dialisis) dan demam pada anak-
anak (<1% dari dialisis). Sedangkan komplikasi serius yang paling sering terjadi
adalah sindrom disequilibrium, arrhythmia, tamponade jantung, perdarahan
intrakaranial, hemolisis dan emboli paru. (Wijaya, 2010)
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,
gatal, demam dan menggigil.(Wijaya, 2010)
Komplikasi dari renal replacement theraphy
Complication Hemodialisis Peritonel dialysis
cardiovascular Air embolism
Angina
Arrytmia
Cardiac tamponade
Hypotension*
Arrytmia
Hipotension
Pulmonary edema
Infection Bacterimia
Colonization of temporary
central venous cateters
Endocarditis
Meningitis
Osteomyelitis
Sepsis
Vascular access celulitis
or absess
Catheter exit sitre
infection
peritonitis
Mecahnical Obstruksi pada
arterivena, terbentuk fistul
Catheter
obstruction by
26
trombosis atau infeksi
Stenosis atau trombosis
pada vena subklavia atau
superior vena cava dan
intern vena jugular
clots, fibrin,
omentum, or
fibrous encasement
Dialysate leakage
around the catheter
Dissection of fluid
into the abdominal
wall
Hematoma in the
pericatheter tract
Perforation of a
viscus by the
catheter
Metabolic Hipoglikemi pada orang
diabetik yang memakai
insulin
Hipokalemi
Hiponatremi dan
hipernatremi
Hipoalbumin
Hiperglikemi
Hipertrigliserid
Obesitas
Pulmonary Dispnea sampai reaksi
anafilasis oleh membran
hemodialisa
Hipoksia
Atelectasis
Efusi pleura
Pneumonia
Miscellaneous Deposit amiloid
Hemorragic cateter
Demam yang disebabkan
oleh bakterimia, pirogen,
atau panas dialysate
Perdarahan (GI,
Abdominal and
inguinal hernias
Catheter-related
intra-abdominal
bleeding
27
Intracranial,
retroperitonel, intraocular)
Insomnia
Pruritus
Keram otot
Restlessness
Kejang
Hypothermia
Peritoneal sclerosis
Seizures
*Komplikasi yang sering terjadi
BAB III
METODE PELAKSANAAN
3.1 Tempat Pelaksanaan
Rumah Islam Siti Khadijah Palembang
28
3.2 Waktu Pelaksanaan
Hari dan Tanggal :
Jam :
3.3 Subjek Tugas Mandiri
Mengobservasi penyelenggaraan Hemodialisis di Rumah Islam Siti Khadijah
Palembang
3.4 Langkah Kerja
1. Membuat proposal
2. Melakukan konsultasi kepada pembimbing Tugas Pengenalan Profesi
3. Meminta izin kepada petugas Rumah Sakit secara administratif
4. Mengobservasi penyelenggaraan Hemodialisis di Rumah Islam Siti
Khadijah Palembang
5. Mengumpulkan hasil kerja lapangan untuk mendapatkan suatu kesimpulan
6. Membuat laporan hasil Tugas Pengenalan Profesi dari data yang sudah
didapatkan
3.5 Jadwal Kegiatan
Tabel jadwal kegiatan tugas pengenalan profesi adalah :
No Jenis KegiatanJuni 2013- Juli 2013
(Blok XIII)
29
Minggu I Minggu II Minggu IIIMinggu IV-
Selesai1. Penyusunan proposal
2. Observasi
3. Pembahasan
4. Penyusunan Laporan
5. Pleno
3.6 Pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi
Melakukan observasi langsung terhadap alat dan bahan yang dipakai untuk
proses dan cara kerja hemodialisa.
BAB IV
PENUTUP
30
Proposal ini disusun sebagai usaha melakukan penyelenggaraan kegiatan
Tugas Pengenalan Profesi supaya mahasiswa dapat mengamati lebih awal dan secara
langsung pada penyelenggaraan Hemodialisis di Rumah Sakit Pusri Palembang
Demikianlah proposal kami, semoga proposal ini menjadi bahan
pertimbangan dan perhatian dr. Hj. Siti Hildani Thaib, M. Kes selaku pembimbing
Tutorial 2 dalam mendukung kegiatan Tugas Pengenalan Profesi yang kami
laksanakan dalam rangka meningkatkan Sumber Daya Manusia sekaligus untuk
memenuhi tugas pada blok XIV ini.
DAFTAR PUSTAKA
31
Aru W. Sudoyo et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing,
Edisi V Jilid II. ; h1050-1052
Firmansyah, Adi. (2010). Usaha Memperlambat Perburukan Penyakit GinjalKronik
ke Penyakit Ginjal Stadium Akhir. Jakarta: PPDS Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Havens, L. & Terra, R. P, 2005, Hemodialysis. Terdapat pada:
http://www.kidneyatlas.org.
Ganong, W. F., 1998, Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 17. EGC, Jakarta.
Guyton, A. C. & Hall, J. E., 1997, Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 9. EGC,
Jakarta.
Jan Tambayong. 2001. Anatomi dan Fisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
NKF, 2006, Hemodialysis. Terdapat pada: http://www.kidneyatlas.org.
Pernefri, 2003, Konsensus dialisis. Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi–Bagian Ilmu
Penyakit dalam. FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta.
Price, S. A. & Wilson, L. M., 1995, Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses
penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta.
Wijaya, Awi Mulyadi;dr. Rabu, 27 Januari 2010. Terapi Pengganti Ginjal atau Renal
Replacement Therapy (RRT).
Yuwono. (2010). Kualitas Hidup Menurut Spitzer pada Penderita Gagal Ginjal
Terminal yang Menjalani Hemodialisa di Unit Hemodialisis RSUP Dr.Kariadi
Semarang
32